KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN JARAK GENETIK DOMBA DONGGALA DI TIGA LOKASI DI SULAWESI TENGAH
AMIRUDIN DG MALEWA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
Amirudin Dg Malewa NIM. D051040031
3
ABSTRACT AMIRUDIN DG MALEWA. Fenotype characteristics and genetic distance of sheep from three different location at Donggala regency, Central Sulawesi. Supervised by SRI SUPRAPTINI MANSJOER and CECE SUMANTRI. Sheeps is one of preeminent commodities of Central Sulawesi in term of natural/pastural resources, climatic and cultural social condition. All varieties of sheep in Central Sulawesi were results of cross-breeding between Fat-tail sheep (FTS) and Merbas sheep. This research was aimed to identify the potential of pasture, population dynamic, reproduction, quantitative and qualitative traits as well as their genetic distance as criteria for sheep selection. The study carried out in Palu City, Subdistrict Biromaru, Central Sulawesi in November 2005, from Februari up to May and from November up to December 2006. Data were collected from different location and all of sheep. A total of 412 sheep were used and selected randomly. Adult sheep were observed 102 heads (24%) from East Palu, 122 heads (10%), from South Palu, and 56 heads (28%) from Biromaru. Sheep kids 28 heads from east and 64 heads from south of Palu, respectively. Baby sheep were 15 heads from East Palu and 25 heads from South Palu and 17 heads from Biromaru. Results showed that sheep population tended to decrease every year and only 3 270 remains. Between three locations, the highest body weight of sheep were found in Biromaru. The average of birth weight, weaning, adult males and females body were 3.25±0.53 kgs, 11.25±3.33 kgs, 42.00±6.245 kgs, and 30.14±6.28 kgs, respectively. Body size of sheep 18-24 months from Biromaru were also higher compared to the other location, while from age of groups 36 at months, sheep from East Palu and Biromaru were higher than from South Palu. Principal Component Analysis (PCA) showed that the best characters of sheep for selection were breast diameter, body lenght, height of hip, and wide of tail. Qualitative characters of sheep from Donggala regency at 3 reserach locations were varies on head and ear colour and type wool and tails. Dominant colour wool of sheep and colour patterns were white 60-80% and solid FTS in South Palu dominated by male sheep (94.59%) while Medium tail sheep (MTS) were dominant in Biromaru (67.50%). The genetic distance of sheep from East Palu and South Palu were closer than the sheep from higher Biromaru. Keywords: fenotype characteristics, genetic distance, Donggala sheep
4
ABSTRAK AMIRUDIN DG MALEWA. Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan CECE SUMANTRI Domba merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) kemudian disilangkan dengan domba Merbas. Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk digunakan sebagai kriteria seleksi. Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kec. Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005, Februari-Mei dan Nov-Des 2006. Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kec. Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak 412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, dimana domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor di Biromaru. Populasi domba Donggala cenderung menurun dari tahun ke tahun dan kini tinggal 3 270 ekor. Domba di Biromaru memiliki rerata bobot badan yang tertinggi dibanding lokasi lainnya yakni bobot lahir (3.25±0.53) kg, bobot sapih (11.25±3.33) kg. Demikian pula rerata bobot dewasa domba jantan umur 36 bulan (42.00 ±6.245) kg dan domba betina (30.14 ± 6.28) kg). Secara umum ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan domba pada umur 18-24 bulan di Biromaru lebih besar dibandingkan di lokasi lainnya. Hasil analisis AKU menunjukkan bahwa penciri ukuran dan bentuk tubuh yang juga dapat dijadikan kriteria seleksi domba Donggala jantan dan betina adalah lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar ekor di tiga lokasi. Sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian beragam pada warna kepala, warna telinga, bentuk bulu dan bentuk ekor. Warna bulu domba di tiga lokasi umumnya berwarna putih 6080% dengan pola warna polos. Di Palu Selatan domba ekor gemuk dengan persentase terbanyak (94.59%) adalah pada domba jantan, sedangkan persentase domba ekor sedang terbanyak di Biromaru (67.50%). Domba Palu Timur dan Palu Selatan memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan domba di Biromaru.
Kata Kunci: Karakteristik Fenotipe, Jarak Genetik, Domba Donggala.
5
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
6
KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN JARAK GENETIK DOMBA DONGGALA DI TIGA LOKASI DI SULAWESI TENGAH
AMIRUDIN DG MALEWA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
7
Judul Tesis
: Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah
Nama
: Amirudin Dg Malewa, SPt
NIM
: D051040031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Tanggal Ujian: 30 April 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus: 15 Mei 2007
8
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia dan pertolongan yang diberikan Tesis dengan judul “Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui pengukuran dilapangan (data primer) maupun data yang diperoleh dari peneliti lain (data sekunder).
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi dasar mengenai karakteristik fenotipe domba yang ada di Indonesia, sehingga akan mempermudah dalam penyusunan program pemuliaan. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibunda Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga penyusunan tesis ini
dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan Program Studi Ilmu Ternak angkatan 2004 Syahrir Akil, Fitri Nova Lubis,
Moh Rusdin, Dian Agustina, Desy Berliana, Merry, Linda, Nursanti
Asminaya, Yusmadi, Jhon Bestari dan Janetty. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Harimurti Martojo, Zakaria, Toto Toharmat, Jerry F. Salamena, Feri Munier, Harun dan rekan-rekan HIMPAST (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah) dan teman-teman komunitas Nurul Falah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda Johareng atas segala doa dan kasih sayangnya dan
ayahanda Abdul Karim almarhum yang
meninggal saat penulis masih menempuh S2 semoga almarhum mendapat tempat yang terindah disisi-Nya.
Penulis sangat menyadari Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007
Amirudin Dg Malewa
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solonsa Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1969 dari ayah Abdul Karim (almarhum) dan ibu Johareng. Penulis merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Kolonodale Kab. Morowali dan pada tahun yang sama lulus seleksi bebas tes masuk Universitas Tadulako. Penulis memilih Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Universitas Tadulako Jurusan Peternakan sejak tahun 2000 melalui jalur beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Departemen Pendidikan Nasional. Sebelum
menjadi staf di UNTAD,
penulis pernah menjadi dosen di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Penulis telah menikah dengan Sitti Radhiah SKM tahun 2002 dan telah dikaruniai dua anak yaitu Tsabita Mardatillah dan Fatih Abdurrahman.
10
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Permasalahan .................................................................................... Kerangka Fikir ..................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba .....................…………………………………. Domba Ekor Gemuk ……………………………………………….. Dinamika Populasi ......................................................................... Sifat Reproduksi Ternak Domba .................................................... . Sifat Kuantitatif ............................................................................... .. Analisis Komponen Utama (AKU) ................................................. Penentuan Umur Domba ................................................................ Peningkatan Mutu Genetik Domba Ekor Gemuk .......................... Sifat Kualitatif …………………………………………………….. Jarak Genetik ....................................................................................
5 5 7 9 11 15 15 16 16 19
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Peubah yang Diamati ..................................................................... Analisis Data ....................................................................................
21 22 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................. Keadaan Umum Peternak .................................................................. Populasi dan Kepemilikan Domba....................................................... Sifat Kuantitatif .............................................................................. Bobot Badan ....................................................................................... Tubuh Bagian Kepala ......................................................................... Tubuh Bagian Depan .......................................................................... Tubuh Bagian Tengah ......................................................................... Tubuh Bagian Belakang ...................................................................... Perbandingan Ukuran dan Bentuk Domba di Lokasi Penelitian ...... Sifat Kualitatif ................................................................................ Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram................................... Program Pemuliaan Secara Umum .....................................................
29 33 36 40 40 48 54 58 63 72 90 97 99
SIMPULAN ..............................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
102
11
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep .............................
11
2. Standar mutu bibit domba lokal, garut dan ekor gemuk ....................
14
3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap ..........................
15
4. Gambaran umum keadaan lokasi penelitian ......................................
30
5. Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian ....................
31
6. Tingkat pendidikan menurut kelurahan/desa .....................................
33
7. Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian ....................
36
8. Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 ..................
37
9. Beberapa sifat reproduksi domba Donggala .....................................
38
10. Rataan bobot badan domba jantan umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ............................................................................................
40
11. Rataan bobot badan domba betina umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ............................................................................................
40
12. Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitan .............
42
13. Rataan dan simpangan baku bobot badan (kg) domba dari umur 6-36 bulan di lokasi penelitian . ...........................................................
46
14. Rataan ukuran tengkorak domba Donggala di lokasi penelitian ........
49
15. Rataan ukuran tanduk domba Donggala di lokasi penelitian .............
51
16. Rataan ukuran telinga domba Donggala di lokasi penelitian .............
53
17. Rataan ukuran leher domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian .............................................................................................
55
18. Rataan ukuran tubuh bagian depan domba Donggala .........................
56
19. Rataan ukuran bagian tengah domba Donggala ..................................
59
20. Rataan ukuran dada jantan dan betina domba Donggala dari umur 12-36 bulan di lokasi penelitian .........................................................
61
21. Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian....................................
64
22. Rataan ukuran kaki belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian ..............................................
66
23. Rataan ukuran ekor domba Donggala di lokasi penelitian .................
68
24. Rataan ukuran scrotum domba Donggala di lokasi penelitian ...........
71
12
25. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina umur 18 bulan di lokasi penelitian ..................................
72
26. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian umur 24 bulan ..................................
78
27. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian Umur 36 Bulan ..................................
83
28. Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba jantan di tiga lokasi penelitian ..................................................................................
88
29 Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba betina di tiga lokasi penelitian ..................................................................................
89
30. Sifat-sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian ..........
91
31. Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar subpopulasi domba Donggala ............................................................
97
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka fikir penelitian ......................................................................... 3
2.
Peta lokasi penelitian ............................................................................... 21
3.
Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba ...... 28
4. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna ...................... 32 5.
Kandang domba Donggala di lokasi penelitian
..................................... 35
6.
Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0 - 8 minggu di tiga lokasi penelitian ..................................... 41
7.
Pertumbuhan domba Donggala jantan dan betina dari umur 0-36 bulan di lokasi penelitian ....................................................... 45
8.
Grafik pertumbuhan domba jantan dan betina masing-masing lokasi sejak lahir sampai umur 36 bulan ............................................... 47 9. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 18 bulan ......................... 74 10. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan ......................... 77 11. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 24 bulan .......................... 80 12. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan .......................... 82 13. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan ........................... 85 14. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 36 bulan .......................... 87 15. Variasi warna kepala domba Donggala .................................................. 90 16. Variasi warna bulu domba Donggala ...................................................... 92 17. Variasi pola warna bulu domba Donggala .............................................
94 18. Variasi bentuk bulu/wol domba Donggala ............................................... 95 19. Variasi bentuk ekor domba Donggala ..................................................... 96 20. Pohon fenogram subpopulasi domba Donggala ...................................... 98
14
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi. Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil sebagai sumber protein hewani di pedesaan. Domba yang berkembang di Indonesia adalah domba Priangan, domba ekor gemuk dan domba-domba lokal. Domba Priangan banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk berkembang di daerah Jawa Timur, Madura, Nusatenggara dan Sulawesi. Salah satu domba–domba lokal yang berada di kawasan timur Indonesia dikenal dengan nama domba Donggala atau domba lokal Palu yang berada di lembah Palu dan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) yang kemudian disilangkan dengan domba pejantan Merbas (Doho dan Tantu 1997), sehingga kini cenderung terdapat dua jenis domba di Palu yaitu domba ekor gemuk dan domba hasil silangan. Domba lokal ini telah
berkembang
puluhan generasi, sehingga membentuk
karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak tersebut. Ternak ini memiliki daya adaptasi yang tinggi, dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi padang penggembalaan lembah Palu yang kering dan panas dengan kualitas dan kuantitas pakan yang rendah. Sulawesi Tengah memiliki temperatur rata-rata 34,5oC, namun ketika diukur 30 cm di atas permukaan tanah untuk areal penggembalaan temperatur lingkungan mencapai 41-45oC (Husain 2002) dengan jumlah bulan hujan hanya 3-4 bulan pertahun. Hasil evaluasi yang telah dilakukan, kapasitas tampung padang penggembalaan di lembah Palu 14,2 ha/unit ternak/tahun (Amar 1989). Rendahnya kualitas habitat tersebut sangat berpengaruh besar terhadap penampilan produksi dan reproduksi domba Donggala, namun domba Donggala mempunyai beberapa keunggulan antara lain
dapat bertahan
hidup dengan pakan berkualitas rendah, mampu
bertahan hidup pada tekanan iklim setempat, daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan parasit. Keunggulan ini merupakan karakteristik yang khas untuk
15
digunakan sebagai sumber genetik dalam perbaikan domba Donggala melalui seleksi dan
persilangan.
Dengan demikian domba Donggala merupakan
sumberdaya genetik (plasma nutfah) ternak yang dapat dikembangkan untuk pengembangan
dan perbaikan mutu genetik bangsa domba secara nasional
dengan tetap menjaga kemurnian dan kelestariannya. Apalagi domba Donggala termasuk ternak spesifik lokasi yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan masyarakat, sehingga sangat mendesak untuk ditangani secara serius. Populasi domba Donggala masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor tahun 1987 kemudian menjadi 7.408 ekor tahun 2003 bahkan
populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak
Sulteng 2005).
Hal tersebut
sangat memprihatinkan mengingat penurunan
populasi tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap mutu genetik domba Donggala. Hal ini kemungkinan disebabkan penjualan/pemotongan atau kematian domba yang tidak terkontrol, artinya ternak-ternak besar yang memiliki harga tinggi dijual atau dipotong. Sebagai akibatnya ternak yang tertinggal di kandang mutu genetiknya dapat menjadi lebih rendah, dan jika hal ini terus berlangsung, maka akan terjadi pengurasan sumber daya genetik, sehingga yang tersisa adalah domba yang memiliki produktivitas rendah. Apalagi Domba Donggala sudah tercemar dengan darah domba Merbas (Duma dan Rusdi 2001). Sehingga sangat ironis jika kualitas ternak seperti ini yang akan menjadi bibit generasi domba masa mendatang. Rataan bobot badan domba jantan Donggala umur 1 tahun 16 kg (Abdullah 2001), domba betina umur 1-1,5 tahun ±20 kg (Munier et al. 2002) Munir et al. (2004) menyatakan bahwa rataan bobot badan domba di Sulawesi Tengah umur 1-1,5 tahun masih rendah hanya mencapai 18-20 kg/ekor untuk betina dan 18-22 kg/ekor untuk jantan dengan sistem penggembalaan di padang rumput alam. Salah satu upaya peningkatan populasi dan produktivitas domba Donggala dengan menekan terjadinya seleksi negatif dan seleksi diarahkan untuk pengembangan
domba
Donggala
yang
berkelanjutan
terutama
untuk
mempertahankan mutu genetiknya, agar tersedia bibit unggul yang telah sesuai dengan kondisi iklim setempat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang
16
berkaitan dengan status populasi, sifat reproduksi dan inventarisasi sifat kuantitatif, sifat kualitatif dan jarak genetiknya. Permasalahan 1. Domba Donggala mengalami penurunan populasi dan dikhawatirkan terjadi penurunan mutu genetiknya. 2. Karakterisasi fenotipik domba Donggala belum memadai, padahal informasi ini penting dalam penyusunan kebijakan pemuliaan untuk perbaikan mutu genetiknya dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan regional, khususnya protein hewani. Kerangka Fikir
Pengembangan Domba Donggala sbg Penghasil Daging
Keunggulan : ¾ Daya adaptasi tinggi ¾ Dpt bertahan hidup dgn pakan kualitas rendah dan tekanan iklim setempat (suhu34,5 oC)
Masalah : ¾ Terjadi penurunan populasi ¾ Karakteristik fenotipik & status populasi belum diketahui
Peningkatan jumlah populasi, Seleksi & pemurnian, persilangan Konservasi dan pelestarian
PENELITIAN
Dukungan Kebijakan PEMDA SULTENG
Keragaman sifat reproduksi sifat kuantitatif & kualitatif, ¾ Kriteria seleksi ¾ Perbaikan mutu genetik
Dinamika populasi
Status populasi
REKOMENDASI
17
Gambar 1 Kerangka fikir penelitian. TUJUAN Melakukan identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk kriteria seleksi. MANFAAT Hasil penelitian dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dalam upaya pengembangan domba Donggala di Sulawesi Tengah.
18
PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba
termasuk
dalam filum
Chordata,
klas
mammalia,
ordo
Artiodactyla, famili Bovidae, Sub-famili Caprinae, genus Ovis dan dalam spesies Ovis aries (Banerjee 1982). Domba-domba domestik umumnya memiliki komposisi genetik dari berbagai jenis domba lainnya seperti domba argali, Ovis ammon, yang hidup di Asia tengah, domba Urial, Ovis vignei, juga hidup di Asia dan domba Moufflon, Ovis musimon, yang hidup di Asia Kecil dan Eropa. Pada umumnya domba di Indonesia berekor tipis (thin-thailed) seperti domba Garut, tetapi ada pula yang berekor gemuk (fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy 1992). Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba lokal, domba kampung atau domba kacang yang disebut demikian, karena bertubuh kecil. Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy 1992). Domba Ekor Gemuk Diperkirakan domba ekor gemuk yang hidup di Indonesia berasal dari Asia Barat Daya atau Afrika Timur lewat jalur pedagang-pedagang Arab (Devendra dan McLeroy 1982). Pada awalnya pulau Madura memiliki populasi domba ekor gemuk terbanyak, kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur. Akhirnya domba ekor gemuk (DEG) menjadi domba khas daerah Jawa Timur (Edey 1983). Di Sulawesi ada domba peranakan disebut domba Donggala mempunyai ekor tidak terlalu gemuk, dan termasuk tipe ekor gemuk sedang (Devendra dan McLeroy 1992). Ciri-ciri khusus domba ekor gemuk adalah berbulu kasar, tidak bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Mason 1980). Panjang ekor normal 15-18 cm, berbentuk hurup S atau sigmoid dan menyimpan lemak dalam jumlah besar (Devendra dan McLeroy 1982). Domba ekor gemuk jantan kadang-kadang
19
bertanduk tetapi ukuran tanduknya kecil (Edey 1983). Biasanya terdapat sedikit wol di bagian belakang dan sisi tengah badan, dan ukuran tubuhnya relatif besar (Smith 1979). Bobot badan domba ekor gemuk jantan unggul dapat mencapai 43 kg, betina unggul mencapai 40 kg, dan rataan bobot potong mencapai 24 kg (Devendra dan McLeroy 1982). Menurut Kasim (1996) bahwa pertambahan bobot badan anak prasapih domba Donggala sebesar 38,57 g/ekor/hari lebih rendah dibandingkan domba daerah tropik 45-64 g/ekor/hari. Selanjutnya menurut (Amar et al. 2005) bahwa rataan pertambahan bobot badan pascasapih tanpa pakan tambahan adalah 65,07 g/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badan domba Donggala yang diberi pakan tambahan adalah 82,84 g/ekor/hari. Hal ini berarti pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan domba Donggala. Domba Donggala dengan bobot potong 20 kg mempunyai bobot karkas 8 kg atau 40% pada domba ekor gemuk dan pada domba persilangan, bobot karkasnya lebih tinggi yakni 9 kg atau 45% dari bobot potong. Hal tersebut menurut (Kasim 1996) bahwa introduksi pejantan Merbas kedalam populasi ternak domba lokal (DEG) mempunyai efek positif terhadap peningkatan produktivitas karkas meskipun tidak berbeda nyata karena kondisi pemeliharaan yang masih tradisional. Hal ini berarti ada potensi untuk meningkatkan bobot potong dan bobot karkas jika ada pemberian pakan yang berkualitas. Menurut Herman (2005) domba ekor gemuk dengan bobot potong 25,0 kg mempunyai bobot karkas 13,04 kg atau 52,16%. Dengan demikian bobot karkas domba Donggala masih lebih rendah dibanding bobot karkas domba ekor gemuk di Jawa. Banyak domba ekor gemuk betina bunting dan mempunyai anak di bawah umur satu tahun, berarti domba ini masak dini (Fakultas Peternakan IPB 1985), sangat prolifik dengan (lambing) interval beranak hanya 8-9 bulan, lamb crop 23,4%, dan pertama kali beranak pada umur 11-17 bulan (Devendra dan McLeroy 1982). Nurjadi (1982) dalan rangkaian penelitiannya melaporkan bahwa hasil pengamatan dari 263 ekor domba ekor betina yang memperlihatkan ovulasi tunggal, dua, tiga dan empat masing-masing sebesar 12,55; 50,95; 25,86 dan 8,75%. Dilaporkan pula bahwa domba betina yang mempunyai dua embrio
20
dalam uterusnya sebesar 59%.
Beberapa induk domba ekor gemuk dapat
melahirkan anak kembar tiga dan kadang-kadang empat (Junus 1984). Seleksi umumnya dilakukan pada sifat kualitatif dan kuantitatif. Seleksi yang dilakukan oleh masyarakat umumnya berdasarkan sifat kualitatif ternak. Sifat kualitatif ternak yang banyak diperhatikan oleh petani peternak adalah bangsa, warna bulu dan bentuk tanduk.
Diantara kriteria yang digunakan
tersebut lebih banyak mengarah pada penampilan ternak, dari pada produktivitasnya.
Ciri-ciri fisik yang terdapat pada domba, diyakini dapat
menentukan status sosial dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari unsur seni, budaya (Sutisna 2001). Mempelajari komponen-komponen keragaman pada ternak sangat penting artinya, karena akan membantu dalam perencanaan pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik (Liu dan Makarechian 1990). Selanjutnya Lasley (1978) menjelaskan bahwa keragaman fenotipik total merupakan sumbangan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik,
lingkungan dan interaksi
keduanya. Keragaman fenotipik sifat-sifat yang dimiliki setiap individu dapat digunakan untuk membantu dalam mempelajari keragaman genetik suatu populasi ternak terutama bila dilakukan terhadap sifat-sifat yang sudah diketahui mempunyai nilai repitabilitas yang tinggi. Keragaman fenotipik total dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik
digunakan istilah heritabilitas (Warwick et al.1995).
Heritabilitas dalam arti sempit merupakan dugaan bagian aditif dari ragam keturunan yang sangat penting, karena dapat menunjukkan perubahan yang dicapai seleksi untuk suatu sifat dalam populasi (Johanson dan Randel 1966). Heritabilitas dapat digunakan untuk menunjukkan keunggulan atau kelemahan individu yang diperkirakan akan diwariskan kepada keturunannya (Lasley 1978). Namun yang perlu diperhatikan dalam menghitung nilai heritabilitas adalah jumlah data harus cukup banyak, karena tidak jarang diperoleh angka heritabilitas yang berada di luar kisarannya, yaitu negatif atau lebih dari satu ( Hardjosubroto 1994).
21
Dinamika Populasi Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor (Disnak Sulteng 1987), namun populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Populasi adalah suatu kelompok mahluk yang sama spesiesnya dan mendiami suatu ruang tertentu pada waktu tertentu (Tarumingkeng 1994). Populasi ternak selalu mengalami perubahan atau dinamika, dan dinamika ini dipengaruhi oleh adanya
kelahiran, kematian,
pemotongan ekspor/impor dan populasi awal (Soehadji 1991). Pengembangan domba sebagaimana ternak lainnya diperlukan ketersediaan data populasi dan dinamika populasi yang akurat dan handal. Disamping itu pengembangan domba pada suatu wilayah dan periode tertentu, akan sangat dipengaruhi oleh besarnya populasi, daya dukung wilayah dan jumlah peternak domba (Sumadi 2001). Suatu cara untuk mempertahankan mutu genetik domba Donggala sebagai sumber bibit adalah dengan menghitung secara tepat jumlah yang dapat dikeluarkan seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang dipertahankan sebagai ternak pengganti (Sumadi 2001). Natural increase dihitung berdasarkan selisih tingkat kelahiran dengan tingkat kematian dalam kurun waktu satu tahun. (Hardjosubroto 1994). Banyaknya domba yang dapat dikeluarkan untuk dikirim ke daerah lain atau dipotong dari suatu daerah tertentu tanpa menggangu keseimbangan populasi ternak tersebut adalah merupakan out put domba di suatu daerah.
Disamping itu pola pengembangbiakan ternak akan mempengaruhi
komposisi dari ternak yang dipotong dari suatu wilayah, karena ternak yang disingkirkan dari pembiakan merupakan salah satu bagian dari jumlah ternak yang dapat dikeluarkan atau dipotong, sedangkan bagian lainnya adalah ternak muda yang jumlahnya sama dengan sisa natural increase (pertambahan alami) yang telah dikurangi dengan jumlah ternak yang dibutuhkan untuk mengganti ternak yang telah disingkirkan tadi (Hardjosubroto 1994).
Berdasarkan
pertimbangan kebutuhan ternak pengganti yang akan digunakan untuk perkembangan maka diharapkan populasinya tidak akan terkuras akibat pengeluaran atau pemotongan yang berlebihan (Sumadi 2001).
22
Produktivitas Ternak Domba Produktivitas adalah hasil yang diperoleh oleh seekor ternak pada kurun waktu tertentu dan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Hardjosubroto 1994), sehingga produktivitas ternak merupakan gabungan sifat-sifat produksi dan reproduksi (Lasley 1978). Produktivitas pada ternak dapat dilihat dari Service per Conception (S/C), jumlah anak sekelahiran (litter size), panen anak selama satu tahun (kid crop), interval kelahiran dan mortalitas (Hardjosubroto 1994). Atkins (1980), menyatakan bahwa produktivitas induk domba berdasarkan bobot lahir, bobot sapih, bobot potong setelah dipuasakan 24 jam bobot karkas dan bagian-bagiannya. Edey et al. (1981), menyatakan bahwa bobot lahir anak domba ekor gemuk rataannya adalah 2,16 kg ±0,36 kg bagi yang lahir tunggal dan 1,48 ± 0,23 kg bagi yang lahir kembar dua; rataan pertambahan bobot hidup harian sebelum disapih pada jantan adalah 66,07 g dan betina 61,25 g bagi yang dilahirkan tunggal dan jantan 42,52 g, betina 53,70 g bagi anak lahir kembar. Sifat Reproduksi Ternak Domba Kegiatan reproduksi domba di negara beriklim panas tidak dipengaruhi oleh musim dan reproduksinya berlangsung sepanjang tahun.
Penampilan
reproduksi dapat diperkirakan sebagai petunjuk dari kemampuan produktivitas dari ternak domba, yang terutama dititik beratkan pada anak domba dan perlu diusahakan perbaikan faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi tersebut (Hafez 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi induk diantaranya sistem perkawinan, umur beranak pertama, jumlah anak yang dilahirkan (litter size), selang beranak dan laju mortalitas (Subandriyo et al. 1994). Rataan Jumlah Anak Perkelahiran Menurut Subandriyo et al. (1994) bahwa jumlah yang dilahirkan perkelahiran dipengaruhi faktor induk yang ditentukan oleh laju ovulasi, laju pembuahan dan kemampuan hidup prenatal serta nutrisi induk selama bunting. Hasil penelitian Sutama et al. (1991) menunjukkan bahwa rataan jumlah anak perkelahiran domba ekor gemuk sebesar 1,57 ekor. Subandriyo et al. (1994)
23
menyatakan bahwa jumlah anak perkelahiran domba ekor gemuk lebih rendah dari domba ekor tipis.
Selang Beranak Selang beranak berhubungan dengan lama waktu dikawinkan seperti beranak, terjadinya pembuahan, laju mortalitas anak dan kualitas nutrisi yang dikonsumsi (Subandrio 1994). Rataan jarak beranak pada induk domba yang digembalakan lebih pendek dibandingkan dengan domba yang dikandangkan (249 hari dan 266 hari). Hal tersebut disebabkan kesempatan untuk kawin pada domba yang digembalakan lebih besar dibanding domba yang dikandangkan, karena perkawinan domba di pedesaan dilakukan secara alami tanpa bantuan petani peternak (Priyanto et al. 1992). Mortalitas Eleiser et al. (1994) menyatakan bahwa mortalitas anak disebabkan oleh persaingan untuk mendapatkan colustrum dan air susu induk, persaingan selama dalam kandungan dan sifat keindukan dalam menghadapi masing-masing anak dibandingkan kembar dua atau tunggal. Laju mortalitas ini menurut Subandrio et al. (1994) dapat ditekan dengan sedikit perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan. Menurut Eleiser et al. (1994) bahwa adanya
hubungan antara mortalitas anak dengan tipe
kelahiran, dan umumnya anak kembar mortalitasnya lebih besar dibandingkan dengan anak tunggal, karena vigoritas anak tunggal lebih tinggi dari pada dengan anak kembar, dimana zat makanan yang tersedia dalam uterus hanya dikonsumsi untuk satu ekor calon anak. Sifat Reproduksi Jantan Testis merupakan alat reproduksi jantan yang utama dan besar pengaruhnya terhadap produksi ternak, salah satu kriteria produksi ternak ditentukan oleh keberhasilan pejantan dalam membuahi induk untuk memperoleh keturunan. Performa reproduksi merupakan salah satu faktor yang menentukan
24
produktivitas, aplikasinya pada ternak untuk memperoleh daging, susu, kulit, wol atau rambut. Kegagalan reproduksi baik pada jantan ataupun betina, berarti pula kegagalan terhadap harapan produksi.
Alat reproduksi yang berfungsi baik,
merupakan hal utama dalam menentukan keberhasilan ternak. Aktivitas reproduksi ternak jantan dapat diukur melalui libido dan besarnya testes yang secara tidak lansung diukur berdasarkan skrotum, karena lingkaran skrotum mempunyai hubungan dekat dengan berat testes. Dengan mengetahui besarnya skrotum dapat diharapkan memiliki kuantitas dan kualitas sperma yang baik (Ismaya 1992). Sifat Kuantitatif Bobot Badan dan Ukuran Tubuh Rataan bobot badan domba ekor gemuk menurut Doho (1994) telah berada di atas rataan bobot potong (24 kg), namun masih jauh bila dibandingkan dengan bobot badan jantan unggul (43 kg) dan betina unggul (40 kg) yang dinyatakan Devendra dan McLeroy (1982). Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep No. Ukuran-ukuran tubuh 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bobot badan (kg) Panjang badan (cm) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) Panjang ekor (cm) Lebar ekor (cm)
Lokasi Bondowoso 27,63 58,12 59,16 68,92 26,66 10,12
Sumenep 26,75 56,04 59,58 66,94 26,28 10,28
Sumber : Doho (1994)
Mulliadi (1996) menyimpulkan
bahwa pada domba Priangan, ukuran
tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada merupakan ukuran utama yang dapat dijadikan patokan dalam seleksi domba. Menurut Fourie et al. (2002), bobot badan dan panjang badan merupakan faktor penting yang
25
mempengaruhi tinggi pundak. Tinggi pundak dianggap sebagai indikator yang baik untuk ukuran kerangka. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Diwyanto et al. (1984), bahwa peranan tinggi pundak dalam persamaan untuk menduga bobot badan tubuh domba jantan memberi petunjuk bahwa domba tersebut cenderung kearah tipe adu. Menurut Fourie et al. (2002) yang mengamati domba Dorper, bobot badan dan panjang badan merupakan bagian yang paling penting. Dalam dada, tinggi pundak, lebar pundak dan umur mempunyai pengaruh pada bobot badan. Bobot badan, dalam dada dan lebar pundak memberikan konstribusi yang tinggi terhadap performa ternak. Menurut Diwyanto et al. (1984), lingkar kanon dan lebar panggul dapat digunakan untuk menduga bobot badan betina sesuai dengan penelitian sebelumnya. Secara umum menurut Fourie et al. (2002), lingkar dada, panjang badan, lebar dada, dalam dada dan lingkar tulang kanon berkorelasi posistif dengan pertumbuhan domba pada kondisi ekstensif. Ukuran tubuh dan penilaian visual selalu digabungkan dengan hasil uji performa dan nilai pemuliaan. Keragaman fenotipik sifat kuantitatif yang dimiliki setiap individu ditentukan oleh banyak pasang gen dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keragaman fenotipik setiap individu ternak dapat berupa lingkungan internal (seks, umur, pengaruh maternal, kebuntingan), dan
dapat pula berupa lingkungan eksternal (lokasi,
musim, klimat, penyakit dan pakan) (Turner dan Young 1969). Selain itu ikut pula berperan faktor motivasi pemeliharaan ternak domba yang ternyata sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan seleksi dilapangan, baik dalam memilih domba jantan maupun betina (Diwyanto 1982). Lasley (1978) menyatakan bahwa salah satu sifat kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi pada ternak domba adalah sifat bobot badan. Bobot badan pada semua struktur umur mempunyai nilai heritabilitas yang sedang sampai tinggi, sehingga seleksi berdasarkan
sifat ini akan lebih efektif dan
diinginkan. Nilai heritabilitas bobot badan domba dewasa mencapai 0,40- 0,45.
26
Ukuran-ukuran Tubuh Pengukuran ukuran tubuh yang dilakukan pada kerbau oleh Amano et al. (1981), terdiri dari sepuluh macam pengukuran ukuran tubuh yaitu tinggi pundak, tinggi kelangkang (pinggul), panjang badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, lebar pangkal paha, panjang kelangkang, lingkar dada, lingkar pipa (kanon). Sedangkan pada domba selain beberapa ukuran tubuh tersebut, dilakukan pula terhadap ukuran panjang tanduk, lebar muka, lebar ekor, panjang ekor dan berat badan (Diwyanto 1982). Pada banteng selain ukuran tersebut dilakukan pula pengukuran terhadap bagian kepala (panjang, lebar, dan tinggi), bagian telinga (panjang dan lebar) serta bagian ekor yaitu panjang dan lebarnya (Mansjoer 1993). Menurut Diwyanto (1982), penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda, karena pengaruh genetik maupun lingkungan. Ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sebagai sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun
digunakan
dalam seleksi (Mulliadi 1996). Penggunaan ukuran tubuh yang meliputi tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar dada, lebar panggul dan lingkar kanon pada domba Priangan Diwyanto (1982). Menurut Fourie et al. (2002), bentuk dan ukuran tubuh domba dapat dideskripsikan dengan menggunakan ukuran dan penilaian visual. Ukuran sering digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan, tetapi tidak dapat digunakan untuk mengindikasikan komposisi tubuh ternak. Menurut Diwyanto et al. (1984), semakin besar dan semakin panjang badan tubuh domba akan menyebabkan bobot meningkat. Domba dengan ukuran tulang besar berbobot berat. Ukuran tubuh yang mempunyai hubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan.
27
Menurut Jaya (1981) yang melakukan penelitian pada domba Garut melaporkan bahwa ukuran lingkar dada erat kaitannya dengan bobot badan dan lingkar dada adalah besar dan bernilai positif.
Menurut Fourie et al. (2002),
lingkar dada dan panjang badan mempunyai pengaruh besar pada bobot badan. Lingkar dada meningkat seiring dengan umur ternak. Korelasi positif antara lingkar dada dan tingkat pertumbuhan lepas sapih menandakan bahwa seleksi pada lingkar dada menjadi petunjuk kecepatan pertumbuhan ternak yang berakibat pula pada peningkatan tinggi pundak dan ukuran kerangka. diperhatikan bahwa daya adaptasi ternak dapat
Namun perlu
berkurang, karena adanya
korelasi negatif antara ukuran kerangka dan daya adaptasi lingkungan. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk Standar Khusus Sifat Kuantitas Domba Lokal Tinggi pundak (cm) Jantan 45-55 Betina 40-50 Umur bibit (bulan) Jantan 12−18 Betina 8−18 Bobot badan dewasa (kg) Jantan 15−25 Betina 10−20 Standar Khusus Sifat Kualitas Warna bulu
bermacammacam
Domba Garut
Domba Ekor Gemuk
75-80 62-65
60-65 52-60
12−18 8−12
12−18 8−12
50-70 30-40
40-60 25-35
putih, hitam, putih dan hitam
putih dan kasar
Tanduk : Jantan
bertanduk kecil, tidak melingkar
Betina
tidak bertanduk
Bentuk badan
kecil
tanduk melingkar tidak bertanduk dan besar; pangkal tanduk kanan & kiri hampir bersatu tidak bertanduk tidak bertanduk tubuh lebar, besar dan kekar; kaki kokoh; telinga sedang; bulu halus
badan besar; ekor besar, lebar dan panjang
28
& panjang Sumber : Pangestu & Mansjoer (1996)
Analisis Komponen Utama (AKU) Menurut Everitt dan Dunn (1998), metode multivariate yang paling tua dan paling banyak digunakan adalah Principle Componen Analysis (PCA). PCA yang diterjemahkan sebagai Analisis Komponen Utama (AKU) (Gaspersz, 1992) pada dasarnya bertujuan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linier dari peubah-peubah yang diamati. Menurut Everitt dan Dunn (1998), dasar metode ini untuk menggambarkan variasi dari rangkaian data multivariate yang berkenan dengan rangkaian peubah yang masing-masing tidak berhubungan dengan kombinasi linier khusus dari peubah yang asli. Menurut Otsuka et al. (1982), AKU sudah sering digunakan untuk membedakan fenotipe antara populasi. Menurut Nishida et al. (1982), Everitt dan Dun (1998), AKU digunakan untuk membedakan ukuran-ukuran tubuh. Pada aplikasi morfometrik, komponen utama pertama dapat diterima sebagai vektor ukuran dan komponen utama kedua sebagai vektor bentuk.
Hal tersebut
menunjukkan tingkat variasi yang berbeda pada kondisi tubuh dari kelompok hewan. Penentuan Umur Domba Menurut Sumoprastowo, (1993) anak
domba yang baru lahir telah
mempunyai dua buah gigi seri sulung. Menginjak pada umur sekitar satu bulan semua gigi seri sulung telah lengkap.
Penentuan umur domba berdasarkan
pergantian gigi seri dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap Umur (tahun)
Gigi Seri Tetap
< 1,0 1,0–1,5 1,5-2,0 2,5-3,0 3,5-4,0 > 4,0
Belum ada gigi tetap (gigi susu) Sepasang gigi tetap Dua pasang gigi tetap Tiga pasang gigi tetap Empat pasang gigi tetap Gigi tetap aus mulai lepas
Sumber : Devendra dan McLeroy (1982)
Kode Io I1 I2 I3 I4 >I4
29
Peningkatan Mutu Genetik Domba Ekor Gemuk Perbaikan mutu genetik ternak domba melalui pemuliaan yang lebih terarah dapat dilakukan dengan cara 1) seleksi antara dan dalam genotip lokal; 2) memasukkan domba-domba eksotik; dan 3) pemanfaatan heterosis (Sakul et al. 1994). Seleksi dapat dilakukan atas dasar satu sifat atau kombinasi dari beberapa sifat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Haley et al. 1987). Seleksi adalah suatu proses pemilihan individu yang lebih disukai di antara individu-individu lainnya dalam suatu kelompok untuk membentuk generasi yang akan datang (Lasley 1978).
Pirchner (1969) menyatakan bahwa seleksi
merupakan suatu cara memilih tetua untuk mendapat keturunan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Seleksi harus ditujukan untuk menentukan hewanhewan yang kemungkinan paling besar mempunyai genotipe yang baik (Warwick et al. 1995). Metode seleksi yang paling sederhana adalah pemilihan individu yang didasari pada fenotipe individu itu sendiri (Lasley 1978). Seleksi dapat pula dilakukan berdasarkan catatan produksi silsilah, catatan kerabat segenerasi (kolateral), catatan keturunan) progeni test maupun atas dasar kombinasi berbagai catatan (Warwick et al. 1995). Peningkatan mutu genetik domba ekor gemuk melalui seleksi masih kurang dilakukan, padahal ini penting untuk meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu Subandriyo (1993) menganjurkan agar seleksi domba ekor gemuk sebaiknya diarahkan untuk peningkatan pertumbuhan dan bobot dewasa tubuh dan jarak beranak yang pendek. Sifat Kualitatif Sifat kualitatif adalah suatu sifat mewaris yang diperoleh pada ternak, sifat ini menurut Warwick et al. (1995) dapat diklasifikasikan ke dalam sifat luar (seperti warna bulu), cacat genetik dan polimorfisme genetik.
Ribuan sifat
kualitatif pada hewan-hewan pertanian, banyak di antaranya yang ternyata diatur oleh satu atau beberapa pasang gen (rangkaian alel).
Pada sifat kualitatif dapat
dibedakan peran gen yang dominan dan resesif atau sifat interaksi lainnya seperti
30
epistasis dan hipostasis.
Sifat-sifat ini dalam populasi secara statistik tidak
berdistribusi normal, dan dapat dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda demikian pula sifat ini tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Warna Peranan warna bulu dan warna kulit sangat penting artinya dalam kehidupan seekor ternak, karena berhubungan
dengan daya tahan ternak
bersangkutan dalam menghadapi cekaman radiasi matahari. Sifat kualitatif warna bulu, poliformisme protein darah dan golongan darah
dapat digunakan untuk
mengetahui latar belakang filogenetik ternak (Amano et al. 1981). Sifat lain domba ekor gemuk tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung atau bagian lainnya hampir sama dengan domba lokal dengan kualitas wol dan kulit relatif baik ( Mason 1980). Disamping bentuk tubuh yang ramping, pola warna sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti 1992). Kualitas wol sangat rendah dan termasuk wol kasar (Mason 1980) yang biasanya wol ini dibuang tidak dimanfaatkan (Devendra dan McLeroy 1992). Sifat kualitatif warna atau pigmentasi yang terjadi pada domba Merino (Turner dan Young 1969), berkisar dari warna terang, abu-abu kemudian bervariasi membayangi warna coklat dan hitam. Pemunculan warna ini tersebar dan aksi pigmentasinya ditentukan oleh satu gen resesif. Pada pewarisan ini dapat pula muncul bercak-bercak hitam selain putih, tetapi pemunculan sifat fenotipe yang berbeda masih belum jelas. Kammlade (1955) melaporkan bahwa sifat warna bulu putih pada sebagian besar domba bersifat dominan terhadap hitam, akan tetapi perkawinan domba putih dengan domba hitam, ternyata pada keturunannya tidak semuanya murni putih, walaupun mungkin muncul putih. Searle (1967) warna putih merupakan warna umum, ditemukan pada bangsa domba yang didomestikasi dan telah dijadikan standar penilaian genetik. Warna putih domba disebabkan pengaruh dua jenis gen, yaitu gen bintik putih (White-spotting genes ) dan gen warna (White-W) tanpa efek pleiotropik. Bintik putih pada kepala serta ekor domba Karakul dan
31
bangsa domba lainnya yang berwarna atau coklat, mungkin disebabkan oleh aksi gen white-spotting yang bersifat dominan tidak lengkap. Telinga Bentuk telinga
merupakan sifat kualitatif bentuknya mulai dari kecil,
sedang dan lebar. Siregar (1981) menyatakan bahwa keadaan tipe telinga yang kecil dipengaruhi oleh sepasang gen resesif dalam keadaan homozigot, telinga sedang (medium) diakibatkan keadaan gen yang heterozigot dan dalam keadaan homozigot dominan akan menampakkan bantuk telinga yang panjang. keadaan ini berbeda dengan sifat yang tidak bertelinga. Diwyanto (1982) melaporkan bahwa telinga pendek dipengaruhi oleh sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), sedangkan telinga sedang atau medium dalam keadaan heterozigot (Tt), dan untuk telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT). Tanduk Menurut Diggins dan Bundy (1958) bila domba jantan murni
tidak
bertanduk dikawinkan dengan betina bertanduk, diperoleh keturunannya tidak bertanduk. Sifat tidak bertanduk diduga dominan dan yang lainnya resesif, tetapi pada generasi berikutnya tampak yang diperlihatkan resesif tetapi muncul tanduk. Sifat tidak bertanduk ini menurut beberapa peneliti (Johansson dan Rendel 1966; Turner dan Young 1969 dan Warwick et al. 1995) diketahui sebagai gen dominan, dan sifat bertanduk adalah resesif. Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa sifat pertandukan domba Merino jantan dan betina dipengaruhi oleh gabungan dari tiga alel p, P dan P’, yang mempunyai enam kombinasi genotipe yaitu pp, pP, pP’, PP, PP’, dan P’P’. Genotipe PP pada jantan pertumbuhan tanduk mengalami hambatan, sedangkan pada betina pertumbuhan mengalami hambatan kadang-kadang dengan tonjolan tulang kecil. Genotipe pP’ dan pP akan mengakibatkan pertumbuhan tanduk mengalami hambatan pada jantan dan betina, biasanya pada jantan ada lapisan tanduk kecil atau mempunyai lapisan yang cukup panjang atau tanduk yang tumbuh tidak normal. Pada betina kadang-kadang mempunyai tonjolan kecil, atau bila PP’ dengan lapisan tanduk rendah. Kombinasi genotipe P’ dan pp jantan menunjukan pertandukan yang besar dan melingkar, sedangkan untuk betina pp menunjukkan
tonjolan tulang
atau dengan lapisan tanduk kecil.
Selain
32
dipengaruhi faktor genetik pertumbuhan tanduk, juga dipengaruhi oleh aktivitas hormon testosteron.
Hal ini menurut Turner dan Young (1969) bahwa anak
domba jantan yang dikastrasi tampak pertumbuhan tanduk terhenti. Dari percobaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tanduk dipengaruhi pula oleh
jenis kelamin.
Lasley (1978) mendapatkan bahwa ekspresi dari sifat
pertandukan pada domba dipengaruhi oleh jenis kelamin, walaupun sebenarnya gen sifat pertandukan terletak pada autosom tetapi dalam kondisi tertentu yang seharusnya menimbulkan tanduk (pada jantan), tetapi pada betina hal tersebut tidak muncul tanduk. Ekor Merkens dan Soemirat (1979) menjelaskan bahwa pada domba Garut bagian belakang ekornya mempunyai 5-6 ruas tulang, sedangkan domba ekor gemuk ruas tulang ekornya mencapai 14 ruas atau lebih. Pembentukan lemak pada domba Garut terdapat di dasar ekor tampak ekor lebar dan keujung lebih kecil, pada domba ekor gemuk terjadi bukan pada bagian dasar ekor melainkan di kedua sisi pinggang ekor, gemuknya terdapat ditengah dan bagian bawah ekor. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan domba ekor gemuk memiliki ujung ekor berbentuk lancip dan sigmoid dengan rataan panjang ekor ±10 cm dan lebar ekor sekitar 4-8 cm. Dugaan adanya korelasi positif antara ukuran ekor (panjang dan lebar) dan bobot badan domba ekor gemuk, karena ekor domba ekor gemuk menyimpan lemak dalam jumlah besar yang berfungsi sebagai sumber energi yang membuat mereka dapat bertahan hidup pada saat kekurangan pakan yang berkepanjangan dan sebagai stabilisator saat temperatur sangat tinggi/ekstrim. Jarak Genetik Pengertian pertalian jarak genetik secara luas adalah ukuran persamaan atau perbedaan struktur ukuran tubuh baik antar maupun inter populasi suatu rumpun
domba yang dianalisis untuk mendapatkan suatu angka pendugaan.
Angka tersebut dibuat dalam matriks yang kemudian digunakan untuk mengestimasi jarak pertalian genetik seperti yang dijelaskan oleh Kumar et al. (1993). Hasil estimasi jarak pertalian genetik tersebut akan sangat membantu bagi program persilangan rumpun antar daerah, rumpun domba yang memiliki jarak
33
pertalian genetik yang relatif dekat akan kurang memberikan laju pertumbuhan anaknya dengan baik. Sifat morfolgis ternak seperti ukuran tubuh dan pola warna
dapat
digunakan untuk menganalisis estimasi jarak pertalian genetik rumpun domba antar daerah seperti yang dilakukan oleh Herera et al. (1996) dan Suparyanto et al. (1999). Hartl (1988) menyatakan bahwa pola perbedaan sifat fenotipik yang ada dalam setiap individu ternak dapat digunakan untuk menentukan asal rumpun ternak.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kecamatan Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005 dan selanjutnya dilakukan pada bulan Februari - Mei serta Nov-Des 2006.
Poboya Kawatuna Biromaru
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian.
34
Materi dan Peralatan Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kecamatan Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak 412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor berasal dari Biromaru. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan berdiri kapasitas 100 kg, mistar ukur, kaliper, pita ukur, borang dan alat-alat tulis. Peubah yang Diamati Dinamika Populasi 1.
Jumlah jantan dan betina dewasa
2.
Jumlah domba pada berbagai strata umur (anak, muda, dewasa),
3.
Ternak masuk,
4.
Ternak keluar/ pemotongan
5.
Mortalitas .
6.
Jumlah pemilikan ternak domba/KK,
7.
Jumlah peternak,
8.
Pekerjaan peternak,
9.
Pendidikan peternak dan pengalaman peternak
Sifat Reproduksi 1.
Jumlah anak sepelahiran (tunggal, kembar dua, kembar tiga,)
2.
Jarak beranak antara dua partus
3.
Jumlah anak sapihan (disusui – sapih - hidup)
4.
Jumlah jantan dan betina dewasa perkelompok
5.
Umur jantan afkir dan umur betina afkir.
35
Sifat Kuantitatif Penentuan umur dilakukan terlebih sebelum pengamatan dengan melihat pergantian gigi seri
dan berdasarkan informasi dari peternak. Peubah yang
berkaitan dengan ukuran-ukuran tubuh yang diukur pada domba jantan dan betina dewasa (gigi genap/12-36 bulan). Bobot Badan Bobot badan (BB) pada domba dewasa, bobot lahir-12 minggu, sapih dan muda pada jantan dan betina(6 bulan), ditimbang pada pagi hari sebelum domba diberi makan/digembalakan dengan timbangan gantung kapasitas 50 kg (satuan dalam kg). Tubuh Bagian Kepala 1. Panjang tengkorak (PTR) diukur jarak antara titik yang anterior kepala sampai titik posterior tengkorak, dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 2. Lebar Tengkorak (LTR), diukur jarak antara titik penonjolan tengkorak paling luar kiri dan kanan menggunakan kaliper (satuan dalam cm). 3. Tinggi tengkorak (TKR), diukur jarak antara titik dorsal tengkorak sampai titik lateral rahang terendah dengan kaliper (satuan dalam cm). 4. Panjang tanduk (PTD), diukur dari pangkal tanduk sampai ujung tanduk mengikuti alur putaran tanduk sebelah luar dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 5. Lingkar pangkal tanduk (LPT), diukur melingkar pada pangkal tanduk dengan pita ukur (satuan dalam cm). 6. Jarak antar tanduk (JAT), diukur dari jarak antar pangkal tanduk sebelah kiri dan kanan dengan pita ukur (satuan dalam cm). 7. Panjang telinga (PTl), diukur jarak antara pangkal daun telinga sampai titik ujung telinga dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 8. Lebar telinga (LTl), diukur jarak antara dua titik terluar tengah daun telinga secara tegak lurus terhadap panjang telinga dengan pita ukur (satuan dalam cm).
36
Tubuh Bagian Depan 1. Panjang leher (tulang leher) (PL), diukur dari pangkal leher sampai pangkal punggung dengan pita ukur (satuan dalam cm). 2. Lingkar leher (LkH), diukur melingkar leher bagian tengah dengan pita ukur (satuan dalam cm). 3. Tinggi pundak (TPd), jarak tertinggi pundak sampai tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm). 4. Panjang humerus (PH) diukur dari ujung head humerus sampai ujung bagian bawah humerus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 5. Panjang radius- ulna (PRU) diukur dari olecranon sampai stiloid process of ulna dekat carpus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 6. Panjang metacarpus (PM) diukur dari carpus sampai prox sesamoids diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 7. Lingkar kanon (LkK)/ tulang pipa (metacarpus), diukur melingkar di tengah-tengah tulang pipa kaki depan sebelah kiri dengan pita ukur (satuan dalam cm). Tubuh Bagian Tengah 1. Tinggi punggung (TPg), jarak bagian punggung paling atas sampai ke tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm). 2. Panjang badan (PB), jarak garis lurus dari tepi depan luar tulang Scapula sampai benjolan tulang tapis (tulang duduk/os ischium), diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm). 3. Lebar dada (LD), jarak antara bagian tengah tulang dada kiri dan kanan diukur dengan kaliper (satuan dalam cm). 4. Dalam dada (DD), jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada bawah, diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 5. Lingkar dada (LD), diukur melingkar rongga dada di belakang sendi tulang bahu (os scapula) menggunakan pita ukur (satuan dalam cm). Tubuh Bagian Belakang 1. Tinggi pinggul (TPgl), jarak antara titik tertinggi pinggul sampai tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).
37
2. Panjang dalam pinggul (PDPgl), jarak antara bagian anterior tulang pinggul sampai ujung benjolan tulang tapis (os ischium), diukur dengan menggunakan mistar (dalam cm). 3. Lebar antara tulang tapis (LATT) jarak antara dua os ischium sisi tulang tapis kiri dan kanan, diukur dengan kaliper (satuan dalam cm). 4. Panjang tulang paha (PTP) femur, jarak antara dua ujung tulang paha diukur dengan mistar (satuan dalam cm). 5. Panjang tibia (PT) diukur dari bagian atas sampai ujung bawah tibia diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 6. Panjang metetarsus (PMt) diukur dari jarak antara dua ujung metatarsus dengan mistar ukur (satuan dalam cm).
Bagian Ekor 1.
Panjang ekor (PEk), diukur jarak dari pangkal ekor sampai ujung ekor dengan pita ukur (dalam satuan cm).
2. Lebar pangkal ekor (LPEk), diukur jarak lebar antara titik sisi kiri dan kanan pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm). 3. Lingkar pangkal ekor(LkPEk), diukur dengan melingkarkan pita ukur ke pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm). Bagian Scrotum 1. Panjang
scrotum
(PjS),
diukur
tegak
lurus
sepanjang
scrotum
menggunakan pita ukur (satuan dalam cm). 2. Lebar scrotum (LS), diukur jarak antara sisi kiri dan kanan bagian tengah scrotum menggunakan kaliper (satuan dalam cm). 3. Lingkar scrotum (LkS), diukur melingkar bagian tengah scrotum menggunakan pita ukur (satuan dalam cm). Sifat Kualitatif 1. Garis muka, dilihat dari samping dan diklasifikasikan
dalam dua
kelompok yaitu lurus dan cembung. 2. Mata, diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu menonjol keluar (cembung) dan normal.
38
3. Posisi telinga, diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu mengantung, tegak samping dan tegak atas. 4. Bentuk telinga diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu rumpung (sempit) daun hiris (medium) dan rubak (lebar). Telinga rumpung yaitu bila daun telinga menguncup (seperti kuncup bunga ros) atau menggulung dan lubang telinga tidak tampak jelas, berukuran pendek, kecil bahkan tampak seolah olah tidak berdaun telinga. Telinga berdaun hiris (medium) seolah–olah hampir menggulung, tetapi lubang telinga masih tampak jelas dan daun telinga meruncing ke ujung. Telinga rubak (lebar) daun telinga lebar dan panjang, ujung telinga tidak runcing (bulat), lubang telinga tampak jelas. Secara kuantitatif menurut Mulliadi (1996), telinga rumpung (sempit) bila ukuran panjang krang dari 4 cm, daun telinga hiris (medium) panjang daun telinga antara 4-8 cm dan daun telinga rubak (lebar) bila panjang daun telinga lebih dari 8 cm. 5. Ada tidaknya tanduk, baik pada jantan atau betina diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu tidak bertanduk, benjolan dan bertanduk. 6. Garis punggung, dilihat dari samping pada posisi berdiri normal, diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu cembung, lurus dan cekung. 7. Bentuk ekor, diklasifikasikan dalam tiga kelompok
berdasarkan
pengukuran lebar pangkal ekor, yaitu gemuk bila pangkal ekor lebar lebih dari 9 cm, ekor sedang antara 5-8 cm dan ekor tipis (sempit) lebar kurang dari 4 cm. 8. Bentuk wol/bulu, diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yatiu lurus,
berombak dan keriting. 9. Sebaran pola warna wol/bulu pada bagian badan yang diamati mulai dari leher dan badan tanpa kaki dan ekor. Sebaran pola warna dibagi dalam empat kelompok utama, yaitu
putih, hitam coklat dan abu-abu atau
kombinasi dari keempat warna tadi sesuai dengan sebaran dominasinya. Pola warna dikelompokkan dalam warna polos, bintik-bintik, bercak (belang kecil), bercak (belang besar) , strip sempit dan strip besar.
39
ANALISIS DATA Sifat Kuantitatif Data sifat kuantitatif berupa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dihitung nilai rata-rata (X), simpangan baku (SB) dan koefisien keragaman (KK). Untuk mengetahui pengaruh lokasi, umur dalam lokasi dan jenis kelamin dalam umur dalam lokasi terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dilakukan analisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan General Linier Model (GLM). Untuk memberikan diskriminasi terhadap ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala, data ukuran-ukuran tubuh dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU). Pengolahan data hasil penelitian dan pembuatan diagram menggunakan perangkat lunak statistik Minitab 14. Hasil AKU akan diperoleh persamaan ukuran dan bentuk diturunkan dari matriks kovarian. Model matematika AKU menurut Gasperz (1992) sebagai berikut : Keterangan :
Yp = a1pX1 + a2pX2 + . . . + appXp
Yp = komponen utama ke-p a1p-app = vektor ciri atau vektor Eigen ke-p untuk p = 1,2,3,......,17. Xp = peubah ke-p untuk p = 1,2,3,......,17 Dua komponen utama yang mempunyai nilai keragaman tertinggi digunakan sebagai persamaan ukuran dan bentuk. Korelasi antara ukuran dan bentuk dari masing-masing peubah dihitung berdasarkan rumus (Gaspersz 1992) . rxiyj =
aij λ j Si
Keterangan : rxiyj =
korelasi antara peubah-peubah xi dan komponen utama ke-j (j =1,2,3,......,17 ) vektor Eigen/Vektor ciri ke-j ; λ j = nilai Eigen /Akar ciri ke-j
aij
=
Si
= simpangan baku dari peubah xi
40
Sifat Kualitatif Sifat kualitatif yang diamati. yaitu morfologi tubuh meliputi warna kepala, warna bulu tubuh, pola warna bulu, bentuk wol dan bentuk ekor dianalisis secara deskriptif.
Analisis menggunakan Frekuensi Relatif (Mulliadi 1996) dengan
formula sebagai berikut . Frekuensi Relatif Sifat A = Σ Sifat A x 100% N Keterangan : A = salah satu sifat yang diamati N = total sampel yang diamati Jarak Genetik Fungsi diskriminan sederhana dilakukan untuk penentuan jarak genetik (Manly 1989). Pendugaan kesamaan genetik dan jarak genetik dihitung dengan menggunakan semua peubah morfometrik yang diamati.
Analisis data
menggunakan paket program SAS 6,12. Dari hasil matrik tersebut dilakukan analisis pohon fenogram dengan menggunakan soft ware aplikasi MEGA2 yang dibangun oleh Kumar at al. (1993).
Gambar 3 Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba; Sisson (1953).
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kawasan lembah Palu meliputi wilayah Kota Palu dan sebagian wilayah Kabupaten Donggala. Wilayah Kota Palu yang termasuk kawasan Lembah Palu yaitu Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan, sedangkan Kabupaten Donggala yaitu Kecamatan SigiBiromaru, Kecamatan Dolo, Kecamatan Marawola, Kecamatan Tawaeli. Bagian tengah Lembah Palu dibelah oleh Sungai Palu yang membentang dari Timur ke Barat dan sungai ini bermuara di Teluk Palu. Perbatasan wilayah Lembah Palu yaitu sebelah timur berbatasan dengan gunung Lolo (wilayah Kecamatan Parigi, Kabupaten Parimou), sebelah Barat berbatasan dengan gunung Watu Ralele dan gunung Lebanu, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli Kota Palu dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Iklim Iklim merupakan komponen penting dan penentu dalam keberhasilan pengembangan
suatu
komoditas,
sehingga
penentuan
suatu
program
pengembangan perlu ditunjang oleh ketersediaan data yang akurat dan rinci. Pengembangan komoditas pakan ternak tidak terlepas dari komponen iklim seperti curah hujan, kelembaban udara, penyinaran dan suhu. Iklim seperti curah hujan di Lembah Palu berada pada
kisaran 450–1.000 mm/tahun dengan sebaran curah
hujan tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Curah hujan yang sangat menentukan perkembangan suatu komoditas di suatu wilayah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia air, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai pelarut hara dalam tanah dan alat transportasi. Suhu udara pada tahun 2003-2004 berkisar antara 27,5-27,20C dengan kelembaban udara antara 72,8 - 74,8% (BPS Kota Palu 2004). Lembah Palu termasuk wilayah bayangan hujan, sehingga jarang terjadi hujan tetapi persediaan air tanah cukup dan air yang berasal dari sungai-sungai yang ada
di Lembah Palu.
Potensi air tanah dan air sungai ini
yang
dimanfaatkan oleh petani di Lembah Palu untuk bertanam padi, palawija dan sayuran, akan tetapi kondisi hijauan pakan di padang penggembalaan tergantung
42
musim, saat musim hujan terjadi pertumbuhan vegetasi hijauan pakan yang tinggi namun saat musim kemarau hijauan pakan terbatas, dan kering serta terjadi pengayuan
(lignification). Gambaran umum
keadaan
daerah
penelitian
disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Gambaran umum keadaan lokasi penelitian Potensi Lokasi Luas wilayah (km2) Bentang lahan (%)) a. dataran b. perbukitan c. pegunungan Curah hujan (mm/bln) Ketinggian dpl (m) Jumlah penduduk(jiwa) Jumlah penduduk (KK) Pertanian (ha) - sawah - ladang - padang gembalaan Populasi domba (ekor) Jarak dr Palu Selatan(km)
(Poboya) di Palu Timur
(Kawatuna) di Palu Selatan
(Loru) di Biromaru
63,41
20,67
57,68
25 50 25 100 100 1.287 601
50 25 25 100 250 2.666 613
60 25 15 150 500 1.906 496
50 150 607 425 5
213 378 457 1.213 0
226 286 325 200 10
Sumber : BPS Kota Palu 2004 Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas dataran, persawahan dan ladang di tiga lokasi yang bervariasi, secara umum peternak di tiga lokasi melepaskan ternaknya merumput di padang penggembalaan. Sekilas tampak bahwa lokasi penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan lebih luas dibanding Biromaru, namun produksi hijauannya lebih rendah. Apalagi populasi ternak di Palu Timur dan Palu Selatan lebih banyak dibanding Biromaru. Disamping itu area penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan mulai bergeser kebukit akibat perkembangan pemukiman penduduk dan perumahan. Amar (2002) menyimpulkan bahwa secara umum produksi hijauan lebih tinggi pada musim basah dibanding musim kering, akan tetapi produksi lahan tersebut tergolong sangat rendah sepanjang tahun dan merupakan faktor pembatas bagi produktivitas ternak yang digembalakan. Selanjutnya menurut Amar (2002)
43
bahwa dengan menggabungkan data produksi pada dua musim berbeda sebagai rata-rata daya tampung sepanjang tahun menunjukkan bahwa estimasi daya tampung lahan penggembalaan di Poboya sepanjang tahun sangat rendah. Seekor ternak domba dewasa membutuhkan 1,5 ha/tahun (1 ha domba dewasa hanya mampu menampung 0,67 ekor ternak domba, atau 14,4 ha/tahun untuk seekor sapi dewasa (1 ha hanya mampu menampung 0,07 ekor ternak sapi).
Jika
menggunakan patokan unit-ternak (UT) menurut Amar (2002), maka daya tampung lahan rata-rata hanya 0,06 UT/tahun (1 UT = 1 ekor sapi dewasa dengan bobot 500 kg). Dari patokan tersebut maka daya tampung padang rumput pada masing-masing lokasi adalah 36,79 UT di Palu Timur, 27, 70 UT di Palu Selatan dan 19,7 UT di Biromaru. Populasi ternak masing-masing lokasi di sajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian Ternak (ekor) Sapi Kuda Kambing Domba Jumlah
Palu Timur (Poboya) 505 42 315 425 1287
Palu Selatan (Kawatuna) 718 48 1829 1213 3808
Biromaru (Loru) 270 − 295 200 765
Sumber : BPS Kota Palu 2004 Berdasarkan hasil perhitungan daya tampung padang penggembalaan dengan populasi ternak yang ada pada Tabel 5 menyebabkan ternak yang ada khususnya domba tidak mampu menampilkan potensi genetiknya secara optimal, Upaya-upaya alternatif terus dilakukan untuk mengatasi masalah misalnya penelitian pemberian pakan
sebagaimana telah dilakukan oleh Munier et al.
(sistem semi intensif (2002) maupun intensif (2004). Munier (2002) menyimpulkan
bahwa
pemberian
pakan
tambahan
dapat
meningkatkan
produktivitas domba dibandingkan tanpa pemberian pakan tambahan. Jika sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif
di tiga lokasi, maka di Loru
berpotensi untuk pengembangan ternak karena didukung lokasi persawahan dan tanaman palawija desa sekitarnya.
44
Sumber Pakan Hasil penelitian Hamsun dan Amar (2001) menyatakan bahwa rumputrumputan memperlihatkan respon positif terhadap bulan basah dengan peningkatan produksi. Rumput merupakan
kontributor dominan dalam
mempersiapkan bahan kering. Proporsinya lebih tinggi pada bulan basah dari pada bulan kering. Di Kelurahan Kawatuna, rumput alam yang mendominasi adalah Cynodon sp dan Digitaria fuscescens dengan kapasitas tampung padang penggembalaan 0,5 ekor/ha/tahun untuk domba.
Cynodon sp rendah
Kandungan protein kasar
hanya 11,16% sementara kebutuhan
protein kasar saat
tumbuh domba dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,80%. Dilaporkan juga bahwa beberapa jenis leguminosa yang tumbuh di padang penggembalaan Kelurahan Kawatuna seperti Tephrosia sp, Desmodium
triflorum dan Alysicarpus sp dengan kandungan protein kasar 8,6−9,3% Selanjutnya menurut Amar (2002) bahwa jenis rumput pakan ternak yang dominan di penggembalaan Poboya adalah Cynodon sp. dan Digitaria fuscescens, sedangkan jenis legume yang paling banyak adalah Tephrosia sp, Desmodium
triflorum dan Alysicarpus sp. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di lembah Palu disajikan pada Gambar 4.
a a. Musim hujan (kiri)
b b. Musim kemarau (kanan)
Gambar 4 Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna.
45
Keadaan Umum Peternak Usaha utama peternak adalah bertanam padi sawah, palawija, buahbuahan, sayur-sayuran, kakao dan kelapa dalam sedangkan usaha ternak ruminansia kecil hanya bersifat penunjang. Meskipun beternak domba sebagai usaha sambilan, hasil penjualan ternaknya cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk menyekolahkan anak-anaknya, acara-acara keagamaan dan sosial. Hal ini didukung oleh Priyanti et al. (1989) bahwa meskipun usaha ternak ruminansia kecil sebagai usaha penunjang tetapi kenyataannya memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan peternak. Hasil penjualan produk-produk pertanian hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian dikonsumsi mereka. Keterlibatan wanita dalam usaha ternak domba memberikan andil yang cukup besar. Wanita menggantikan untuk menggembalakan ternak apabila suaminya melakukan kegiatan dilahan sawah atau kebunnya terutama saat pengolahan tanah, penanaman dan panen. Menurut Munier (2003) bahwa jumlah peternak tertinggi di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan 50 kepala keluarga (KK), dan di Kelurahan Paboya Kecamatan Palu Timur 8 KK, di Kecamatan Biromaru 8 KK. Tingkat pendidikan peternak bervariasi dari yang terendah tamat SD dan tertinggi tamat SLTA. Pada umumnya peternak dapat membaca dan berhitung dengan baik. Kaitannya dengan umur peternak ditemukan di lapang juga bervariasi dengan kisaran 23–75 tahun. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Tingkat pendidikan peternak menurut kelurahan Lokasi Penelitian Kelurahan Kawatuna (%) Kelurahan Poboya (%) Biromaru (%) Jumlah (KK) Persentase (%) Sumber : Munier (2003)
SD 12 2 2 16 47,06
Tingkat pendidikan (orang) SMP SLTA 3 3 4 2 3 3 10 8 29,41 23,52
Jumlah 18 8 8 34
Tingkat pendidikan peternak pada Tabel 6 didominasi oleh tamatan SD 47,06%, meskipun ada juga peternak yang tidak tamat SD, tetapi pengamatan di
46
lapang peternak masih mengandalkan pengalaman secara turun temurun dalam memanfatkan sumber pakan guna meningkatkan bobot badan.
Kebiasaan
menggembala ternak masih disukai oleh peternak karena dianggap lebih praktis dari pada mengambilkan rumput ternaknya sebagaimana umumnya petani di Jawa. Hal tersebut mungkin disebabkan selain hijauan yang kurang, domba yang digembala cukup banyak sekitar 50-100 ekor lebih setiap penggembala juga menurut Diwyanto et al. (2002)
karena pengaruh faktor sosial dan budaya.
Namun dari 23,53% lulusan SLTA tersebut diatas memiliki potensi dalam mengakses perkembangan inovasi-inovasi teknologi beternak yang semakin berkembang. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah setempat dan perguruan tinggi dalam meningkatkan produktivitas petani peternak adalah dengan membentuk wadah (kelompok) sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan atau pemberian bantuan.
Disamping itu domba dilokasi penelitian sering
dijadikan sebagai obyek penelitian sehingga dengan interaksi peternak dengan para peneliti memberikan tambahan pengetahuan bagi peternak untuk mengelola ternaknya. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan domba dilokasi penelitian umumnya digembalakan secara bebas dipadang penggembalaan yang berbukit-bukit dan di kandangkan kembali pada sore hari. Jarak lokasi penggembalaan dengan kandang ternak tergantung musim.
Hijauan pakan yang dikonsumsi
oleh domba di padang
tersebut adalah rumput alam dengan ketersediaannya yang terbatas dan rendah kandungan nutrisinya, apalagi jika musim kemarau jarak penggembalaan makin jauh. Hal ini mengakibatkan rendahnya bobot hidup ternak dewasa, bobot lahir yang rendah, dan interval kelahiran anak panjang. Di padang penggembalaan ternak domba sering terjadi serangan parasit cacing terutama saat musim hujan. Akibat dari kekurangan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak dan tingginya angka serangan parasit sering mengakibatkan kematian. Untuk mengantisipasi serangan parasit dipadang penggembalaan, domba mulai digembalakan menjelang siang mulai jam 10,00/11,00–17,00, dimana pada waktu tersebut hijauan sudah
47
mengering.
Jika hari hujan peternak lebih memilih untuk tidak melepas
ternaknya. Perkandangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya kandang domba di lokasi penelitian adalah berlantai tanah. Lantai tanah di tiga lokasi masing-masing di Palu Timur 81,82% , Palu Selatan 73,33 % dan Biromaru 88,89% selebihnya berlantai panggung.
Demikian pula dinding kandang umumnya menggunakan
kayu. Penggunaan kayu sebagai dinding kandang di Palu Timur 63,64%, di Palu Selatan 80% dan di Biromaru 88,89%, selebihnya menggunakan dinding kandang dari papan. Sedangkan penggunaan atap rumbia sebesar 90-100% di tiga lokasi. Lantai yang terbuat dari panggung umumnya dibuat berkat adanya bantuan dari dinas terkait atau kegiatan-kegiatan penelitian di lokasi tersebut. Setiap kandang baik lantai tanah maupun panggung di buatkan kamar kecil sebagai tempat melahirkan atau sebagai tempat mengumpulkan anak yang baru lahir sebelum domba dewasa digembalakan agar tidak ikut bersama induknya. Hal ini dilakukan setiap hari sampai anak berumur 6-8 minggu dengan asumsi anak sudah mampu berjalan mengikuti domba dewasa.
a
a. Lantai panggung (kiri) di Poboya
b
b. Lantai tanah (kanan) di Kawatuna
Gambar 5 Kandang domba Donggala di lokasi penelitian.
48
Unsur iklim yang banyak mempengaruhi produksi ternak adalah temperatur dan kelembaban udara yang tinggi terutama di daerah-daerah tropis seperti di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah yang memiliki temperatur ratarata 34,5oC. Hal tersebut akan mengganggu aktivitas fisiologis tubuh dan secara tidak langsung mempengaruhi konsumsi pakan, pertumbuhan maupun kualitas daging. Menurut Yousef (1985) bahwa daerah untuk domba berkisar pada suhu udara 4-24oC. Untuk mengurangi beban panas tubuh domba perlu dilakukan manajemen pemeliharaan seperti pemilihan sistem
perkandangan.
mempunyai peranan yang sangat penting, karena kandang
Kandang
berfungsi untuk
melindungi ternak dari cekaman sinar matahari, angin kencang, curah hujan, gangguan hewan lain (anjing) serta pencuri ternak. Populasi dan Kepemilikan Ternak Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian Lokasi Palu Timur Palu Selatan Biromaru
Jantan Betina Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa …………………...……(ekor)……………..………… 84 34 22 98 68 354 80 44 33 112 60 347 29 23 23 50 35 150
Total 660 676 310
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah betina dewasa belum diimbangi dengan jumlah anak yang lahir. Namun replacement masih diatas 15%, berarti masih sesuai dengan patokan teknis produksi. Jumlah peternak di tiga lokasi penelitian masing di Palu Timur 16 KK, di Palu Selatan 20 KK dan di Biromaru 13 KK. Dengan demikian rata-rata peternak memiliki 41,25 ekor Palu Timur, 33,80 ekor Palu Selatan dan 23,85 ekor untuk Biromaru. Ternak domba yang dipelihara oleh
peternak di Lembah Palu adalah milik sendiri dan sebagian
peternak memelihara ternak ruminansia kecil sebagai ternak
gaduhan yang
pemiliknya berasal dari Kota Palu. Hal tersebut lebih tinggi dari skala pemilikan domba pada umumnya di Indonesia. Menurut Diwyanto et al. (2002) bahwa pemilikan ternak ruminansia
49
kecil pada setiap keluarga petani hanya 3–5 ekor yang berorientasi pada pemilikan ternak daerah padat penduduk seperti Jawa
dan Bali. Tingginya rataan
kepemilikan ternak domba ini karena ketersediaan padang penggembalaan serta daya adaptasi ternak dengan lingkungan setempat. Disamping itu di wilayah ini merupakan sentra pengembangan domba yang diprogramkan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Palu.
Pola kepemilikan ternak domba umumnya yang
berkembang adalah sistem kooperasi keluarga kecil, karena prinsipnya dalam satu kandang tediri dari puluhan bahkan ratusan ekor ternak domba yang dimiliki 3-5 orang peternak dengan jadwal penggembalaan tujuh atau 10 hari setiap peternak. Daging domba sudah merupakan salah satu sumber protein hewani yang sudah memasyarakat di lembah Palu. Permintaan terhadap ternak ini juga terus meningkat terutama untuk acara-acara hajatan atau hari raya. Akibatnya jumlah pengeluaran, pemotongan dan kematian belum sebanding dengan tingkat kelahiran. Tingkat pengeluaran terbesar terjadi pada domba jantan, dengan jantan dewasa menempati pengeluaran tertinggi. Dinamika populasi domba di Sulawesi Tengah tahun 2005 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 di lokasi penelitian No
Uraian
1 Populasi awal 2005 2 Kelahiran 3 Pemasukan 4 Pengeluaran 5 Pemotongan 6 Kematian 7 Populasi akhir 2005 Sumber : Disnak 2005
Jumlah (ekor) 4010 1203 − 1038 750 155 3270
Persentase Peningkatan (%) 30,00 − 26,00 18,70 3,87
Daya jual domba dewasa yang tinggi terkait dengan hari raya kurban. Banyaknya jantan yang dijual dibandingkan betina karena umumnya konsumen mencari domba jantan dan memiliki harga yang lebih tinggi dari pada betina. Pengurangan populasi berikutnya adalah tingginya angka pemotongan yang juga banyak terjadi pada domba jantan dewasa. Itulah sebabnya terjadi kelangkaan pejantan domba dewasa. Hal tersebut merupakan penyebab turunnya populasi
50
dari tahun ke tahun. Sebab lainnya adalah besarnya pengeluaran ternak domba melalui pengiriman antar pulau. Jika hal hal ini terus terjadi menjadi akan sangat mengancam populasi domba di daerah ini. Oleh karena itu harus ada upaya mengatasi hal tersebut supaya ternak domba yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lembah Palu tidak terancam kepunahan. Berdasarkan
kondisi
tersebut
maka
kebijakan
untuk
tetap
mempertahankan populasi serta meningkatkannya adalah dengan menekan pengeluaran dan pemotongan. Selanjutnya pemerintah mendorong peternak untuk melakukan seleksi terhadap betina produktif. Mempertahankan pejantan unggul yang ada dengan cara, pemerintah membeli pejantan-pejantan yang unggul kemudian menitipkan kembali kepada peternak atau menggilir kepada peternak lain, sehingga tidak ada beralasan jika peternak hendak menjualnya karena membutuhkan uang. Mendatangkan pejantan unggul, menambah wilayah baru yang potensial
untuk pengembangan ternak domba serta meningkatkan
pengetahuan terhadap peternak melalui penyuluhan. Tabel 9 Beberapa sifat reproduksi domba Donggala hasil penelitian 1 Persentase beranak (%) 2 Rasio anak dan induk 3 Persentase anak sapih dari total kelahiran 4 Rasio jantan & betina dewasa
Palu Timur
Palu Selatan
Biromaru
51,41
55,33
57,25
1:1,94
1:1,81
1:1,75
14,86
33,29
13,92
1:16
1:10,5
1:6
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa persentase beranak domba Donggala pada ketiga lokasi masih rendah yakni dibawah 60% dengan jarak beranak antara 7-8 bulan. Menurut Wiradarya (2005) bahwa tingkat produksi anak domba perkelahiran adalah 90%. Rendahnya persentase beranak tersebut mungkin disebabkan karena peternak belum melakukan
seleksi terhadap betina yang
produktif dan mengafkir induk yang tidak produktif sehingga mempengaruhi perhitungan persentase beranak. Rasio jantan dan betina dewasa masih rendah karena menurut Wiradarya (2005) rasio pejantan:induk adalah 1 : 25, sehingga berpotensi sebagai daerah bibit. Rasio tersebut diharapkan melahirkan anak yang dapat mewariskan keunggulan-keunggulan tetuanya.
51
Peluang Pasar Ternak Domba Donggala Hasil wawancara dengan peternak bahwa harga jual harga jual domba Donggala jantan dewasa berkisar Rp 750.000-1.500.000 lebih tinggi dibanding domba betina dewasa sekitar Rp 500.000-750 000. Kebutuhan domba masyarakat Palu dan sekitarnya sebanyak 1.181 ekor/tahun atau 15,9% dari total populasi domba tahun 2003 (7.408 ekor). Dengan demikian ternak domba cukup menjanjikan oleh karena itu Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah menjadikan Domba sebagai salah satu komoditas unggulan berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Penetapan komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perdagangan antar daerah dan antarnegara. (Disnak, 2003) Usaha pemeliharaan domba tersebut memilki peluang pasar yang baik karena lokasi pengembangan dekat kota Palu dimana masyarakatnya menyukai daging domba. Hal tersebut ditunjukkan tingginya pemotongan untuk kebutuhan hajatan, aqikah dan hari raya. Peluang pemasaran ternak domba ke Kalimantan Timur sampai saat ini belum bisa dipenuhi karena populasi yang masih rendah sehingga hal ini menjadi tantangan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan masyarakat peternak untuk melihat domba sebagai salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah. Berdasarkan Disnak Sulteng (2004) bahwa total pemotongan tercatat sapi di Kota Palu pada tahun 2004 mencapai
8.378 ekor dengan produksi daging
karkas 1.069,121 ton sedangkan total pemotongan domba mencapai 1.458 ekor dengan produksi daging karkas 65,56 ton sehingga perbandingan daging domba dengan daging sapi
mencapai 6,132%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
konsumsi daging domba di Kota Palu masih lebih rendah dibanding dengan ternak sapi. Hal tersebut disebabkan disamping populasi yang rendah, harga yang lebih mahal dan adanya anggapan bahwa daging domba lebih tinggi kolesterolnya. Walaupun dengan populasi yang sedikit dibanding ternak sapi dan kambing, ternak domba merupakan ternak khas di daerah ini karena untuk pulau Sulawesi domba tersebut hanya ada di lembah Palu.
52
Sifat Kuantitatif Bobot Badan Bobot Badan Pra Sapih Rataan bobot badan domba jantan dan betina umur 0-8 minggu dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10 Rataan bobot badan domba jantan umur 0-8 minggu dilokasi penelitian
BL
I
II
Rata2
2,70
3,94
4,57
5,09
5,86
SB
0,43
0,52
0,65
0,78
Rata2
2,91
3,84
4,45
SB
0,55
0,62
Rata2
3,25
SB
0,53
Lokasi Palu Timur Palu Selatan Biromaru
MINGGU III IV V
VI
VII
VIII
6,39
6,95
7,57
8,01
1,02
0,86
0,81
0,77
0,75
5,12
5,74
6,08
6,75
7,27
7,88
0,69
0,89
1,03
1,15
1,23
1,24
1,31
3,92
4,52
5,40
6,01
6,71
7,43
7,95
8,36
0,76
0,64
0,65
0,69
0,81
1,07
1,34
1,28
VI 5,99 0,77 6,09 0,86 6,61 1,01
VII 6,71 0,89 6,71 0,97 7,50 1,33
VIII 7,31 0,88 7,28 0,91 7,97 1,13
Tabel 11 Rataan bobot badan domba betina umur 0-8 minggu dilokasi penelitian Lokasi Palu Timur Palu Selatan Biromaru
Rata2 SB Rata2 SB Rata2 SB
BL 2,66 0,34 2,74 0,21 2,67 0,52
I 3,59 0,52 3,55 0,34 3,38 0,59
II 4,06 0,64 4,17 0,46 3,97 0,71
III 4,49 0,63 4,66 0,66 4,70 0,67
MINGGU IV V 5,01 5,51 0,75 0,83 5,32 5,68 0,78 0,83 5,28 6,06 0,92 0,97
Keterangan SB: simpangan baku Rata-rata bobot lahir domba jantan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing 2,70; 2,91 dan 3,25 kg sedangkan domba betina adalah 2,66; 2,74 dan 2,67 kg. Anak domba di Biromaru memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi baik jantan maupun betina dari umur 5-8 minggu, meskipun hasil uji Tukey dari umur 0-8 minggu baik jantan maupun betina tidak berbeda nyata (P>0,5). Priyanto et al. (1992) melaporkan ternak-ternak di desa-desa di daerah Cirebon dengan jumlah anak sekelahiran 1,2 dan 3,0 secara berturut-turut mempunyai
53
bobot lahir sebesar 2,6; 3,3 dan 6,0 kg, bila dikandangkan dan bila digembalakan didapatkan bobot lahir sebesar 2,1 dan 3,0 kg untuk ternak dengan jumlah anak sekelahiran 1 dan 2 secara berturut-turut. Grafik pertumbuhan domba Donggala dari bobot lahir sampai bobot umur 8 minggu di lokasi penelitian berdasarkan bobot badan disajikan pada Gambar 6.
9
8 7
8 7
Bobot Badan (kg)
Bobot Badan (kg)
9
6 5 4 3 2 1
6 5 4 3 2 1
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
1
Umur (Minggu)
♂
PT
PS
2
3
4
5
6
7
8
Umur (Minggu)
BM
♀
PT
PS
BM
Keterangan : PT : Palu Timur; PS : Palu Selatan; BM : Biromaru
Gambar 6
Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0-8 minggu di tiga lokasi penelitian.
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa bobot lahir anak domba di Biromaru lebih tinggi dibanding lokasi lainnya meskipun hasil uji Tukey tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini mungkin disebabkan perbedaaan pasokan nutrien induk yang lebih cukup saat bunting. Lokasi lainnya berada pada kondisi padang penggembalaan yang lebih miskin pakan dibandingkan dengan lokasi induk-induk yang di Biromaru. Demikian pula pertumbuhan anak domba di Palu Selatan lebih tinggi dibanding domba di Palu Timur, namun lebih rendah dibandingkan anak domba di Biromaru baik jantan maupun betina. Sutama (1993) menyatakan bahwa domba ekor gemuk adalah domba prolifik dengan jumlah litter yang bervariasi 1-3 ekor (rata-rata 1,6 ekor) tergantung umur induk. Tipe kelahiran Domba Donggala dominan tunggal namun
54
masih ditemui kelahiran kembar di Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru. Adanya kelahiran kembar tersebut merupakan kemajuan meskipun para peneliti sebelumnya menyimpulkan bahwa domba lokal Palu mempunyai tipe kelahiran tunggal Hamsun et al. (1988), Duma (2001). Kondisi ini mungkin disebabkan ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya yang rendah atau induk yang cenderung menyusui anaknya dalam waktu yang relatif lama karena tidak adanya penyapihan oleh peternak serta pola kawin alam (Mirajuddin dan Duma 2003). Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan
dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika
anak
tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih 1981). Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitian Total Kelahiran Palu Timur Palu Selatan Biromaru
Kembar Dua
Persentase Kembar (%)
31
1
3,23
62
1
1,61
11
1
9,09
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa persentase kelahiran kembar dua domba dilokasi penelitian masih sangat rendah jika dibandingkan dengan persentase kelahiran kembar dua domba ekor gemuk Indramayu oleh Fida (2006) yakni 47,17% kelahiran kembar dua dan 13,21% kembar tiga dari total kelahiran. Demikian pula rataan bobot lahir kembar dua domba penelitian juga lebih rendah yakni hanya 1,82 kg sedangkan pada domba ekor gemuk Indramayu rataan bobot lahir kembar dua mencapai 2,73 kg dan rataan bobot lahir kembar tiga 2,66 kg. Kelahiran kembar dua khususnya di Biromaru pertumbuhannya lambat dan akhirnya mati pada umur 3 minggu. Hal ini terjadi karena induknya sudah tua dan selalu melahirkan anak kembar dua. Inounu (1991) melaporkan bahwa 70% dari total kematian prasapih terjadi pada umur antara 1-6 hari
setelah kelahiran.
Selanjutnya, Boujenane (1996) melaporkan bahwa kematian yang tinggi pada
55
awal kelahiran disebabkan oleh bobot lahir yang rendah
dari jumlah anak
sekelahiran yang tinggi. Menurut Hafez (1969) bahwa induk-induk yang telah tua dan dengan pengalaman beranak yang banyak, uterus akan dipenuhi oleh lemak dan hal ini akan mengakibatkan pengaruh yang negatif pula terhadap bobot lahir anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata–rata pertambahan bobot badan (PBB) anak domba Palu Timur selama 8 minggu 712,50 g/minggu untuk domba jantan dan 625 g/minggu untuk domba betina. Palu Selatan 692,50 g/minggu untuk domba jantan dan 635 g/minggu untuk domba betina, sedangkan PBB domba jantan Biromaru adalah 741,25 g dan 730,00 g untuk betina.
PBB
tersebut lebih tinggi dibanding PBB penelitian sebelumnya yakni 445,55 g/minggu untuk domba ekor gemuk dan 533,33 g/minggu domba Silangan (Duma 2001).
Perbedaan tersebut disebabkan karena musim kelahiran saat penelitian
masih termasuk musim basah dimana ketersediaan pakan untuk induk cukup tersedia sebagai sumber air susu induk sebelum dan sesudah melahirkan. Bobot lahir perekor domba yang lebih berat pada penelitian ini kemungkinan disebabkan tatalaksana pemeliharaan, khususnya waktu pelepasan induk saat digembalakan serta ketersediaan pakan dilokasi penggembalaan. Bobot lahir yang cukup baik menyebabkan daya hidup anak selama 7 hari pertama sesudah melahirkan adalah 100%. Inounu et al. (1993) menyatakan bahwa untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi maka domba anak yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir
lebih tinggi dari 1,5 kg.
Sementara bobot lahir yang
diperoleh pada penelitian 2,33 sampai 3,25 kg, ini
lebih berat dari yang
disarankan. Rataan tersebut memberi gambaran bahwa ketersediaan pakan di penggembalaan masih cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi induk domba bunting. Bobot Sapih Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih domba jantan dan betina yang diperoleh adalah 8,33 kg dan 8,84 kg di Palu Timur, 10,27 kg dan 10,41 di Palu Selatan dan 11,25 kg dan 10,92 Biromaru. Bobot sapi domba di Biromaru lebih tinggi dibanding lokasi lainnya namun tidak berbeda nyata. Hal
56
ini disebabkan perbedaan ketersediaan pakan lokasi penggembalaan di Biromaru lebih mencukupi bagi induk-induk yang sedang menyusui. Bobot sapih domba di Palu Selatan lebih tinggi dibanding dengan bobot sapih sebelumnya 8,87 kg untuk domba ekor gemuk dan 9,85 kg untuk silangan (Duma 2001). Hasil ini lebih rendah dari bobot sapih yang dilaporkan oleh Iniguez et al. (1991) pada domba lokal Sumatera sebesar 11,45 kg. Hafez (1969) menyimpulkan bahwa pada induk-induk yang kekurangan pakan pada saat kebuntingan, tidak saja menyebabkan pertumbuhan yang rendah pada saat fetus masih dalam kandungan (prenatal) tetapi juga berakibat pada rendahnya pertumbuhan pasca lahir. Hafez (1969) menjelaskan lebih lanjut bahwa induk yang
menerima
pakan
buruk
selama
akhir
kebuntingan
menyebabkan
pengurangan kandungan glikogen pada otot fetus dan terutama hati fetus. Penimbunan glikogen pada fetus akan meningkat pada akhir kebuntingan dan glikogen akan bertindak sebagai sumber energi sesaat setelah kelahiran. Oleh karena itu nutrisi induk yang buruk dapat meningkatkan kematian anak saat kelahiran. Demikian pula bobot sapih domba jantan lebih tinggi dari domba betina sejalan dengan Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan memiliki bobot sapih lebih tinggi dibanding anak domba betina. Subandrio (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat disapih dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Hal ini karena terbatasnya produksi susu induk, sehingga apabila induk mempunyai anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut tidak mencukupi. Inounu (1996) memperoleh rataan bobot sapih pada domba Priangan Peridi sebesar 13,12 kg. Sementara Setyowati (2002) mendapatkan rataan bobot sapih umur 90 hari pada domba Garut sebesar 11,39 kg. Bobot Badan Pasca Sapih Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh jenis kelamin dalam umur dalam lokasi terhadap bobot badan domba dari umur 0 - 18 bulan tidak berbeda nyata. Pada umur 24 bulan bobot badan hanya domba di Palu Selatan yang berbeda sangat nyata antara jenis kelamin. Dimana domba jantan sangat nyata (P<0,01) lebih berat daripada domba betina. Bobot badan masing-masing sebesar 31,1 kg dan 23,56 kg dengan koefisien keragaman 14,42% dan 12,8%. Selanjutnya pada umur 36 bulan domba jantan dan betina terdapat perbedaan
57
bobot di lokasi penelitian.
Pada umur yang sama
domba Biromaru nyata
(P<0,05) lebih berat daripada domba jantan Palu Timur dan Palu Selatan dan untuk domba betina sangat nyata (P<0,01) lebih berat dibanding domba Palu Selatan, sedangkan terhadap domba Palu Timur tidak berbeda nyata. Pertumbuhan domba jantan dan betina dari lahir sampai umur 36 bulan di
45
45
40
40
35
35
Bobot badan (kg)
Bobot badan (kg)
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.
30 25 20 15 10
30 25 20 15 10 5
5
0
0 0
3
6
12
18
24
36
0
Umur (bulan)
♂
PT
PS
BM
♀
3
6 12 18 24 Umur (bulan) PT
PS
36 BM
Keterangan : PT : Palu Timur; PS : Palu Selatan; BM : Biromaru
Gambar 7 Pertumbuhan domba Donggala jantan dan betina dari 0-36 bulan di lokasi penelitian. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa titik belok pertumbuhan domba baik jantan maupun betina terjadi umur 12 bulan dengan kisaran bobot badan 22-24 kg hal ini lebih lambat dibandingkan dengan domba lokal Sumatera dan persilangannya dimana titik belok terjadi pada umur 9 bulan dengan bobot badan 20 kg (Suparyanto 2001).
Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena
perbedaan genetik dan lingkungan. Bobot badan domba jantan dan betina umur 36 bulan masing-masing sebesar (31,33 dan 28,21) kg di Palu Timur, (32,82; 25,53) kg di Palu Selatan dan (42,00; 30,14) kg di Biromaru. Kurva pertumbuhan pada umur 36 bulan nampaknya sudah mencapai ukuran maksimal, sehingga jika hendak ditingkatkan lagi kemungkinan membutuhkan biaya yang lebih besar atau tidak ekonomis. Hal ini sesuai dengan Suparyanto (2001) bahwa bobot asimtot
58
(bobot dawasa) yang konstan dicapai setelah umur 3 tahun (36 bulan) ke atas. Selajutnya
Menurut Suparyanto (2001), kurva pertumbuhan merupakan
pencerminan kemampuan suatu individu untuk menampilkan potensi genetiknya dan sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan yang ada. Tabel 13 Rataan dan simpangan baku bobot badan (kg) domba umur 6-36 bulan di Lokasi Penelitian. Umur (bulan)
Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
6 12 18 24 36
Kec,Palu Timur 18,00 ± 2,55 17,20 ± 1,55 22,30 ± 2,83 23,75 ± 5,32 23,50 ± 4,20 23,58 ± 2,84 29,00 ± 3,53 24,17 ± 3,18 29,80 ± 2,39C 28,21 ± 6,29
Lokasi Palu Selatan 17,36 ± 2,17 17,91 ± 1,58 22,00 ± 2,65 24,17 ± 2,14 23,40 ± 3,75 23,39 ± 2,76 31,10 ± 4,48A 23,56 ± 3,01I 32,82 ± 4,45Ac 25,53 ± 2,97IC
Biromaru 16,75 ± 2,06 17,31 ± 2,46 24,33 ± 1,53 18,60 ± 2,07 27,00 ± 6,93 27,33 ± 2,08 30,00 ± 3,34 27,45 ± 3,83 42,00 ± 6,245AD 30,14 ± 6,28ID
Keterangan : Huruf vokal untuk jenis kelamin (kolom) dan konsonan untuk lokasi (baris). Superskrip yang berbeda menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) untuk huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
Bobot badan yang tinggi pada domba Biromaru baik jantan maupun betina kemungkinan disebabkan suplai sumber pakan (iklim), aneka jenis pakan, dan populasi domba yang lebih sedikit di bandingkan dengan domba di Palu Timur dan Palu Selatan yang lebih padat dan jenis pakan pengembalaan yang hanya di dominasi
rumput lapangan. Koefisien keragaman (KK) domba jantan yang
tertinggi adalah di Biromaru pada umur 18 bulan (25,66%), sedangkan keragaman bobot badan tertinggi pada domba betina adalah pada umur 12 bulan di Palu Timur
(22,38%) dan umur 36 bulan di Palu Timur (22,28%) dan Biromaru
(20,83%). Hal ini menunjukkan potensi untuk meningkatkan bobot badan melalui seleksi.
Peningkatan mutu genetik domba ekor gemuk melalui seleksi masih
kurang dilakukan, padahal ini penting untuk meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu Subandriyo (1993) menganjurkan agar seleksi domba ekor gemuk
59
sebaiknya diarahkan untuk peningkatan pertumbuhan dan bobot dewasa tubuh, jarak beranak yang pendek dan bebas wol. 35 Bobot badan (kg)
Bobot Badan (kg)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
20 15 10
0
1
2
3
4
5
6
7
0
8
3
6
12
18
24
36
Umur (bulan)
Umur (minggu) Jantan Betina
PT
Jantan
Betina
35
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
30 Bobot badan (kg)
Bo b o t Bad an (kg )
25
5
0
25 20 15 10 5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
Jantan
6
12
18
24
36
Umur (bulan) Jantan
Betina
Betina
45
10
40 Bobot badan (kg)
8 6 4 2 0
35 30 25 20 15 10 5
1
BM
3
Umur (minggu)
PS
B o b o t B a d a n (k g )
30
2
3
4 5 6 7 Umur (minggu)
8
9
0 0
3
6
12
18
24
36
Umur (bulan)
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Keterangan : PT (Palu Timur), PS (Palu Selatan), BM (Biromaru)
Gambar 8 Grafik pertumbuhan domba jantan dan betina masing-masing lokasi sejak lahir sampai umur 36 bulan.
60
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa pertumbuhan domba dari umur 0-8 minggu domba jantan masih lebih besar dibanding betina, namun pada umur 3-18 bulan pertumbuhan jantan dan betina kelihatan sama kecuali domba Biromaru. Selanjutnya umur 18-36 bulan dimana pertumbuhan jantan lebih besar dari betina. meskipun dari hasil uji Tukey tidak berbeda nyata(P>0,05) dari ketiga lokasi penelitian.
Hal tersebut disebabkan karena perbedaan hormon kelamin yang
dimiliki jantan dan betina. Pada jantan bekerja hormon testosteron yang berfungsi untuk meningkatkan pembentukan protein jaringan tubuh dan merangsang adanya pembesaran tulang (Edey 1983) sehingga bertambahnya bobot badan dan ukuranukuran tubuh pada domba jantan lebih tinggi dibanding pada domba betina. Rataan bobot badan domba jantan Biromaru (42 kg) sesuai dengan standar mutu bibit domba ekor gemuk yang direkomendasikan Mansjoer dan Pangestu (1996) yakni (40-60 kg), demikian juga bobot badan domba betina ke tiga lokasi semua memenuhi standar yakni 25–35 kg. Meskipun dengan keterbatasan sumber pakan, secara umum bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala umur 36 bulan hampir sama dengan domba ekor gemuk Jawa Timur (Doho 1994) yakni 27-32 kg dan domba persilangan lokal dengan domba ekor gemuk (Mulliadi 1996). Munier et al. (2003) menunjukkan bahwa rumput alam (Cynodon sp) lokasi penggembalaan Palu Selatan yang dikonsumsi domba ekor gemuk rendah kandungan protein kasarnya yakni hanya 11,16%. Menurut Tilman et al. (1986) bahwa kebutuhan protein kasar saat pertumbuhan domba dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,80%. Selanjutnya menurut Munier (2003) dengan penambahan pakan tambahan mampu meningkatkan bobot badan domba Donggala. Hal ini menunjukkan bahwa domba Donggala memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai domba pedaging. Tubuh Bagian Kepala Ukuran Tengkorak Rataan ukuran tengkorak domba Donggala jantan dan betina berbagai tingkat umur di lokasi penelitian di sajikan pada Tabel 14.
pada
61
Panjang Tengkorak Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap panjang tengkorak . Secara umum perbandingan panjang tengkorak antar domba jantan dan antar domba betina pada semua tingkat umur di Biromaru lebih panjang dibanding lokasi lainnya meskipun tidak berbeda nyata. Tabel 14 Rataan ukuran tengkorak domba Donggala jantan dan betina pada berbagai tingkat umur di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur
Jenis
(bulan)
kelamin
12
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
18 Panjang tengkorak
24 36 12 18
Tinggi tengkorak
24 36 12 18
Lebar tengkorak
24 36
Palu Timur 15,8± 0,92 15,00± 0,0 16,25±0,5 14,91±0,51 16,71±1,11A 14,73±0,75I 18,33±1,16A
15,21±0,71I 14,07±0,80 13,50±0,82 14,00±0,65 12,78±0,99 14,88±0,41 A 13,36±0,43 I 14,93±0,38A 13,76±0,57i 10,73±0,35 9,63±0,63 10,50±0,41 9,63±0,57 10,88±0,40 10,14±0,46 10,90±0,36 10,40±0,66
Lokasi Palu Selatan 15,67+0,58
14,33± 0,82 15,8±0,63 14,72±0,83 16,00±2,00A 14,69±0,59I 17,07±0,73A 15,09±0,60 I 13,00+0,72
12,70±1,44 13,13±1,34 12,53±1,65 14,15±0,69 13,03±0,66 14,52±0,80 A 13,06±1,21 Ic 10,20+0,26
9,68±1,37 9,19±1,80 7,94±1,51 10,81±0,80a 9,82±1,21i 11,04±0,60 9,52±1,21
Biromaru 16,00± 1,00 15,20±0,45
16,33±1,53 15,00±1,00 17,09±0,83 15,45±0,52 18,67±0,58 A 15,62±0,59 I 14,03±0,45 12,34±0,80
14,70±1,06 13,97±0,81 14,77±1,02 14,00±0,52 15,83±0,96 14,00±0,43d 9,77±0,21 9,84±0,65 10,10±0,78 10,17±0,50 10,76±0,60 10,50±0,39 11,90±0,66a 10,51±0,51i
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
62
Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa pada umur 24 bulan di Palu Timur dan Palu Selatan serta pada umur 36 bulan di lokasi penelitian panjang tengkorak domba jantan sangat nyata lebih panjang (P<0,01) dibanding domba betina. Ukuran panjang tengkorak di lokasi penelitian, baik jantan maupun betina memiliki koefisien keragaman yang rendah yakni 3,08-12,50% untuk domba jantan dan 0,00-6,67% pada domba betina. Panjang tengkorak domba jantan penelitian umur 36 bulan hampir sama dengan panjang tengkorak Persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk penelitian (Mulliadi 1996) umur 2 tahun sedangkan panjang tengkorak betinanya lebih rendah lagi,
hal tersebut
menunjukkan bahwa panjang tengkorak domba betina penelitian lebih pendek. Tinggi Tengkorak Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis
kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi
tengkorak. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa domba jantan umur 36 bulan demikian pula domba betina pada umur 18 sampai 24 bulan di Biromaru tinggi tengkorak lebih tinggi dari lokasi lainnya meskipun tidak berbeda nyata, bahkan pada umur 36 bulan tinggi tengkorak domba betina Biromaru nyata lebih tinggi dari domba Palu Selatan. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa pada umur 24 bulan di Palu Timur dan 36 bulan di Palu Selatan tinggi tengkorak domba jantan sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibanding domba betina. Domba Donggala memiliki tinggi tengkorak yang lebih besar pada berbagai tingkat umur baik jantan maupun betina dibanding tinggi tengkorak domba lokal dengan domba ekor gemuk hasil penelitian Mulliadi (1996). Secara umum tinggi tengkorak domba jantan memiliki koefisien keragaman yang rendah 2,55-10,22 % demikian pula pada domba betina yakni 3,25-13,20 %. Lebar Tengkorak Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin
memberikan pengaruh
sangat
nyata (P<0,01) terhadap lebar
tengkorak. Lebar tengkorak domba jantan pada umur 12 sampai 18 bulan tampak lebih lebar di Palu Timur, tetapi pada umur 36 bulan lebih tinggi di Biromaru. Sedangkan lebar tengkorak domba betina dari umur 12-36 bulan tampak lebih
63
tinggi di Biromaru. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa lebar tengkorak domba jantan Palu Selatan umur 24 bulan dan di Biromaru umur 36 bulan
nyata
(P<0,05) lebih lebar dibanding domba betina. Lebar tengkorak domba Donggala baik jantan maupun betina pada semua tingkat umur hampir sama dengan domba lebar tengkorak domba lokal dengan domba ekor gemuk hasil penelitian Mulliadi (1996). Ukuran lebar tengkorak domba di lokasi penelitian yang menunjukkan keragaman cukup seragam yang tertinggi 19,60% domba jantan dan 18,97% pada domba betina. Mulliadi (1996) melaporkan bahwa pada pengukuran sifat fenotipik domba didapatkan nilai koefisien keragaman sebesar 6-24% nilai tersebut disimpulkan telah seragam. Tanduk Rataan ukuran tanduk domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan ukuran tanduk domba Donggala di lokasi penelitian Peubah
Umur
(cm)
(bulan)
Panjang tanduk
Lingkar pangkl tanduk
Jarak antar tanduk
12 18 24 36 12 18 24 36 12 18 24 36
Palu Timur 13,67± 5,22 18,00± 8,60 18,57± 3,10 14,00± 5,57 11,55± 2,07 14,50± 3,00 13,71± 1,70 13,00± 0,00 4,55± 1,89 3,50± 1,29 2,93± 1,02 2,00± 0,00
Lokasi Palu Selatan Biromaru 9,67±4,16 8,00± 5,29 15,89± 4,57 10,00 ± 1,41 16,10± 7,26 13,45± 10,37 25,86± 4,45 12,33± 17,04 9,17± 1,89 8,83± 4,01 12,44± 2,34 9,67± 3,21 13,15± 3,25 11,41± 4,09 16,14± 1,25 13,00± 4,36 4,50±1,32 4,67± 1,53 2,85± 1,00 4,67± 2,31 3,25± 1,96 4,27± 2,20 2,14± 0,66 4,00± 1,73
Panjang Tanduk Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa hanya domba jantan yang mempunyai tanduk sedangkan domba betina tidak bertanduk. Sifat genetik tanduk diketahui tidak bertanduk sebagai gen dominan, dan bertanduk gen resesif (Johson dan
64
Rendel 1966 dan Warwick et al. 1983). Sifat tanduk pada domba dipengaruhi jenis kelamin walaupun gen pertandukan terletak pada autosom, tetapi dalam kondisi tertentu yang seharusnya muncul tanduk (pada jantan) pada betina hal tersebut tidak muncul (Lasley 1978). Rataan panjang tanduk yang tertinggi dari umur 12-24 bulan adalah di Palu Timur sedangkan pada umur 36 bulan di Palu Selatan. Perbedaan ukuran panjang tersebut dari hasil uji Tukey tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Panjang tanduk domba jantan mempunyai koefisien keragaman (KK) yang tinggi yakni pada umur 12 bulan masing 38,20% di Palu Timur, 43,07% di Palu Selatan dan 66,14% di Biromaru.
Demikian pula pada umur 36 bulan
masing 39,77% di Palu Timur, 17,22% di Palu Selatan dan 138,16% di Biromaru. Besarnya variasi tersebut dipengaruhi adanya pejantan yang menampilkan tonjolan tanduk, menurut Turner dan Young (1969) karena pengaruh genetik dan aktivitas hormon testosteron. Sifat pertandukan pada domba jantan domba Donggala ternyata tidak dimiliki domba jantan Madura. Panjang tanduk domba jantan Donggala lebih panjang dari domba pulau Rote (17,2) cm dan Sumbawa (10,8) cm namun lebih pendek dari domba Garut dengan rataan (29,2) cm. Demikian pula terhadap persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk (11,67-16 cm) Mulliadi (1996). Lingkar Pangkal Tanduk Rataan lingkar pangkal tanduk terbesar pada Tabel 10 yaitu umur 12-24 bulan di Palu Timur sedangkan umur 36 bulan di Palu Selatan meskipun dari hasil uji Tukey tidak berbeda nyata (P>0,05). Lingkar pangkal tanduk domba jantan mempunyai koefisien keragaman (KK) yang tertinggi dari umur 12-36 bulan adalah di Biromaru yakni 33,25-45,40% sedangkan lokasi lainnya hanya berkisar 7,72-24,71%.
Lingkar pangkal tanduk domba Donggala juga lebih besar
dibandingkan persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk (Mulliadi 1996). Jarak Antar Tanduk Jarak antar tanduk sangat tergantung pada lingkar pangkal tanduk. Makin besar lingkar pangkal tanduk makin dekat jarak antar tanduk. Rataan jarak antar
65
tanduk pada Tabel 8 yang tertinggi pada semua tingkat umur adalah domba Biromaru. Hal tersebut disebabkan adanya beberapa domba yang hanya memiliki benjolan tanduk. Tanduk disebut benjolan bila panjangnya kurang dari 4 cm dan dikatakan bertanduk bila menampakkan tonjolan tulang tanduk lebih dari 4 cm. (Mulliadi 1996). Jarak antar tanduk domba jantan mempunyai koefisien keragaman (KK) yang tertinggi dari semua tingkat umur ketiga lokasi yakni 29,40-60,35% . Telinga Panjang Telinga Rataan ukuran telinga domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rataan ukuran telinga domba Donggala di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur Jenis (bulan) Kelamin 12 Jantan Betina 18
Panjang telinga
24 36 12 18
Lebar telinga
24 36
Palu Timur 11,65± 0,67 12,25± 0,50
Lokasi Palu Selatan 12,00±0,00 11,92± 0,49
Biromaru 11,67± 0,58 12,26±0,70
Jantan Betina Jantan
11,5± 0,58 11,83± 0,94 11,79± 0,81
11,5± 0,53 11,75± 1,29 11,75± 0,72
12,33± 0,58 12,00± 0,00 11,68± 0,64
Betina
11,92± 0,98
11,94± 0,66
11,91± 1,38
Jantan
11,67± 1,15
11,72± 1,12
11,33± 0,58
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
12,11± 0,94 5,95± 0,28 5,88± 0,25 5,88± 0,25 5,75± 0,45 6,00± 0,00 5,86± 0,35 6,00± 0,00 6,03± 0,42
11,85± 1,25 6,00± 0,00 6,00± 0,00 5,70± 0,48 5,65± 0,43 6,00± 0,39 5,88± 0,25 6,04± 0,46 5,79± 0,54
12,05± 0,67 5,95± 0,28 5,86±0,22 6,33± 0,29 6,17± 0,29 6,00± 0,22 6,09± 0,54 6,33± 0,58 6,00± 0,00
Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa rataan panjang telinga
domba
Donggala dilokasi penelitian relatif seragam dimana pada domba jantan berkisar 11,33-12,33 cm dan domba betina 11,75-12,26 cm. Hasil uji Tukey panjang
66
telinga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin yang sama. Panjang telinga domba Donggala mempunyai koefisien keragaman (KK) yang relatif seragam dari semua tingkat umur ketiga lokasi yakni dibawa 10%. Rataan panjang telinga domba Donggala lebih panjang dibanding domba Garut Ciomas 5,5 cm, namun lebih pendek daripada domba Madura jantan 12,4 cm dan betina 13,4 cm (Einstiana 2006). Lebar Telinga Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa rataan lebar telinga domba Donggala dilokasi penelitian relatif seragam yakni domba jantan sekitar 5,7-6,33 cm dan domba betina 5,65-6,17 cm. Hasil uji Tukey tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin yang sama.
Lebar telinga
domba
Donggala mempunyai koefisien
keragaman (KK) yang relatif seragam dari semua tingkat umur ketiga lokasi yakni dibawa 10%. Telinga domba Donggala lebih lebar dibanding domba Garut Ciomas sekitar 3,2 cm dan lebih pendek dibanding domba Madura yakni jantan dan betina masing-masing 6,5 dan 6,3 cm. Tubuh Bagian Depan Leher Panjang Leher Hasil analisis keragaman dan hasil uji Tukey diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin memberikan tidak pengaruh berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap panjang leher baik jantan maupun betina.
Rataan
panjang leher domba jantan yang tertinggi adalah di Palu Timur (18,8) cm dan terendah di Palu Selatan (16,5) cm sedangkan pada domba betina panjang leher yang tertinggi (20,74) cm adalah di Palu Timur dan terendah (17,66) cm di Biromaru.
Ukuran panjang leher kemungkinan besar disebabkan pengaruh
genetik. Koefisien keragaman panjang leher domba jantan relatif seragam yakni tertinggi 11,62% demikian pula pada domba betina tertinggi 13,75%. Rataan ukuran leher domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 17.
67
Tabel 17 Rataan ukuran leher domba Donggala jantan dan betina pada berbagai tingkat umur di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur (bulan) 12
Panjang leher
18 24 36 12
Lingkar leher
18 24 36
Jenis kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Palu Timur 18,80±1,93 20,25±1,26 17,50±2,08 19,00±1,04 18,28±1,38 19,47±1,87 18,67±1,15 20,74±1,73 29,70±2,75 25,50±1,00 31,00±2,16 25,83±1,19 37,71±2,87Ac 26,27±2,13I 37,33±4,04 27,26±2,40
Lokasi Palu Selatan 18,00±0,00 18,25±2,22 16,50±1,52 18,33±2,52 18,11±2,09 19,00±1,59 17,70±2,06 19,83±2,18 28,33±1,53 26,50±2,08 29,17±2,79 25,33±2,08 33,67±4,77A 25,85±1,70I 35,20±5,22A 26,72±1,93I
Biromaru 18,33±2,08 17,8±1,10 18,33±0,58 17,66±0,58 18,27±1,27 18,54±1,04 18,33±2,08 19,10±1,41 30,00±0,00 26,60±1,95 30,00±1,00 28,33±0,58 33,27±3,72Ad 27,64±1,86I 39,00±2,65A 27,48±2,14I
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
Lingkar Leher Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis
kelamin
memberikan pengaruh berpengaruh
terhadap lingkar leher.
sangat nyata (P<0,01)
Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa perbandingana
lingkar leher domba pada masing-masing jenis kelamin antar lokasi hanya ditunjukkan pada domba jantan umur 24 bulan, dimana lingkar leher domba jantan di Palu Timur nyata lebih besar (P<0,05) dibanding di Biromaru. Sedangkan perbandingan lingkar leher domba jantan dan betina pada ketiga lokasi di peroleh bahwa lingkar leher domba jantan pada umur 24 bulan dimana jantan sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding domba betina. Demikian pula pada umur 36 bulan di Palu Selatan dan Biromaru. Koefisien keragaman lingkar leher domba jantan relatif seragam yakni tertinggi 14,84% demikian pula pada domba betina tertinggi 8,80%.
68
Tubuh Bagian Depan Tabel 18 Rataan ukuran tubuh bagian depan domba Donggala di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur (bulan) 12 18
Tinggi pundak
24 36 12 18
Panjang humerus
24 36 12 18
Panjang radius ulna
24 36 12 18
Panjang metacarpus
24 36 12 18
Lingkar kanon
24 36
Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Palu Timur 55,7±3,47 58,5±2,38 58,00±3,56 56,25±3,14 60,00±2,08 56,80±2,58 61,67±4,04 59,37±2,54D 13,50±1,08 13,38±0,48 14,25±1,89 13,38±0,64 15,00±1,53A 13,30±0,75I 14,67±0,58 13,89±0,66 17,50±1,58 17,50±0,58 17,75±0,96 16,58±1,24 19,57±0,53A 17,22±1,33I 19,33±1,15 17,58±1,57 13,60±0,84 13,75±0,5 14,25±0,5 13,58±0,90 13,86±1,21 13,51±0,66 14,00±1,00 13,89±0,57 6,65±0,34 6,38±0,48 6,63±0,48 6,08±0,19c 6,93±0,19A 6,20±0,39I 7,00±0,00 6,50±0,47
Lokasi Palu Selatan Biromaru 54,17±1,26 57,00±0,00 57,17±3,19 56,60±3,13 55,30±2,45 60,33±3,21 54,67±3,07 58,33±3,21 59,4±3,13 60,91±1,76 55,83±2,94 58,55±2,11 59,86±3,01A 61,33±3,06 56,10±3,27IC 59,62±2,01D 14,00±0,00 13,00±0,00 15,25±2,22 14,40±0,55 13,17±0,41 13,67±1,15 14,00±2,00 13,67±0,58 14,30±1,12 14,09±0,54 13,78±1,34 13,55±0,69 13,60±0,84 14,67±0,58 13,61±1,09 14,05±0,67 17,67±0,58 18,67±0,58 16,75±0,96 17,60±0,55 17,83±1,33 20,00±1,00 16,67±1,53 18,33±0,58 19,10±1,17 19,363±1,12 17,74±1,23 19,00±1,00 19,70±0,95a 21,00±1,00 17,89±0,96i 19,29±0,64 13,67±0,58 14,00±0,00 13,25±0,5 14,60±0,55 13,50±0,55 13,00±0,00 13,67±0,58 14,33±1,15 14,10±0,60 14,00±0,77 13,22±0,70 13,18±0,60 13,60±0,52 14,33±0,58 13,50±0,79 13,76±0,70 6,33±0,29 6,83±0,58 6,37±0,62 6,64±0,61 6,07±0,46 7,17±0,76 5,73±0,64C 6,83±0,29D 6,66±0,51a 7,14±0,45 6,27±1,22iC 6,73±0,34D 6,52±0,68 7,50±0,87 6,88±0,55D 6,34±1,51C
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
69
Tinggi Pundak Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi pundak. Pada umur 12-24 bulan domba jantan terlihat bahwa rataan tinggi pundak domba Palu Timur secara umum lebih tinggi dibanding tinggi pundak domba Palu Selatan tetapi lebih rendah daripada tinggi pundak domba Biromaru. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa pada umur 12-24 bulan tinggi pundak tidak berbeda nyata baik jenis kelamin maupun antar lokasi, namun pada umur 36 bulan tinggi pundak domba betina Biromaru dan Palu Timur sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding Palu Selatan. Pada umur tersebut hanya tinggi pundak domba jantan di Palu Selatan sangat nyata lebih tinggi daripada domba betina. Tinggi pundak hasil penelitian sejalan dengan tinggi pundak domba ekor gemuk Bondowoso dan Sumenep 59,16 dan 59,58 (Doho 1994) juga sejalan dengan standar mutu bibit tinggi pundak domba ekor gemuk yang direkomendasikan Pangestu dan Mansjoer (1996) yakni 60-65 cm untuk jantan, dan 52-60 cm untuk betina. Koefisien keragaman ukuran tinggi pundak domba jantan relatif masih seragam yakni 0,00-6,55% demikian pula pada domba betina 4,07-5,83%. Panjang Humerus Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa secara umum rataan ukuran panjang humerus hampir sama yakni sekitar 13-15 cm untuk domba jantan dan 13,3015,25 cm domba betina. Hasil analisis ragam tidak menunjukkan pengaruh nyata antar lokasi terhadap panjang humerus. Demikian pula hasil uji Tukey perbedaan nyata hanya terjadi umur 24 bulan di Palu Timur, panjang humerus domba jantan sangat nyata (P<0,01) lebih panjang dibanding domba betina. Panjang Radius Ulna Rataan panjang radius ulna domba jantan sekitar 17,50-21,00 cm dan 16,58- 19,29 cm pada domba betina. Secara umum panjang radius ulna domba Biromaru lebih panjang dibanding lokasi lainnya meskipun dari hasil uji Tukey tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa Panjang radius ulna domba jantan pada umur 24 bulan sangat nyata (P<0,01) di Palu
70
Timur dan nyata (P<0,05) umur 36 bulan di Palu Selatan lebih panjang dibanding domba betina. Panjang Metacarpus Rataan panjang metacarpus domba jantan sekitar 13,00-14,33 cm dan 13,18-14,60 cm pada domba betina. Hasil uji Tukey panjang metacarpus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin yang sama. Panjang metacarpus domba Donggala baik jantan maupun betina mempunyai koefisien keragaman (KK) yang relatif seragam dari semua tingkat umur ketiga lokasi yakni <10%. Lingkar Kanon Rataan panjang radius ulna domba jantan sekitar 6,07-7,50 cm dan 5,756,83 cm pada domba betina. Hampir sama dengan panjang radius ulna, lingkar kanon secara umum lebih besar pada domba di Biromaru. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lokasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap lingkar kanon. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil uji Tukey lingkar kanon umur 18 bulan pada domba betina Biromaru sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding Palu Selatan dan nyata (P<0,01) di Palu Timur. Selanjutnya, lingkar kanon domba betina pada umur 24 bulan di Biromaru sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding Palu Timur dan Palu Selatan. Demikian pula pada umur 36 bulan domba betina di Biromaru sangat nyata (P<0,01)lebih besar dibanding Palu Selatan. Perbandingan lingkar kanon jantan dan betina untuk setiap lokasi hanya tampak pada umur 24 bulan dimana sangat nyata (P<0,01) Palu Timur dan nyata (P<0,05) di Palu Selatan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena secara genetik dan lingkungan serta manajemen pemeliharaan relatif sama. Tubuh Bagian Tengah Tinggi Punggung Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dalam lokasi memberikan pengaruh yang nyata
nyata (P<0,05) dan jenis kelamin sangat
(P<0,01) terhadap tinggi punggung. Hasil uji Tukey menunjukkan tinggi
punggung domba jantan dari ketiga lokasi dan pada masing-masing tingkat umur
71
tidak berbeda nyata (P>0,05) demikian pula tinggi punggung pada domba betina. Perbandingan tinggi punggung domba jantan dan domba betina hanya berbeda nyata di Palu Selatan. Pada umur 24 bulan tinggi punggung di Palu Selatan sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari pada domba betina dan pada umur 36 bulan dilokasi yang sama domba jantan nyata (P<0,05) lebih tinggi dari domba betina. Koefisien keragaman ukuran tinggi punggung domba jantan relatif masih seragam yakni 2,79-8,38% demikian pula Rataan ukuran tubuh bagian tengah
pada domba betina 1,68-6,95%.
domba Donggala
di lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rataan ukuran tubuh bagian tengah domba Donggala di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur (bulan)
Jenis kelamin
Palu Timur
12
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
58,10±3,35 60,25±4,03 58,75±4,92 59,17±3,19 63,28±2,14 59,07±2,37 62,17±3,82 61,26±3,26 52,15±2,69 54,00±4,83 51,63±1,11 52,33±2,06 53,57±2,30 53,28±2,88 54,33±5,69 56,08±3,05
18 Tinggi punggung
24 36 12 18
Panjang badan 24 36
Lokasi Palu Selatan 56,67±3,33 59,5±1,00 58,50±2,26 57,33±1,53 62,06±1,84 56,70±3,94 62,4±3,86 57,78±2,69 53,67±2,31 53,83±4,49 50,20±3,99 48,78±3,64 54,70±3,83 53,73±3,63 55,21±2,12 53,79±4,05
Biromaru 59,00±2,00 57,94±2,91 60,67±4,73 60,67±3,06 62,27±1,74 59,73±2,94 63,67±3,06 60,81±2,38 51,67±2,08 56,98±3,98 54,00±4,36 55,00±1,73 56,04±2,03 55,54±2,41 59,67±3,21 57,38±2,71
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
Panjang Badan Panjang badan merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam memberikan konstribusi yang tinggi terhadap performa ternak. Diwyanto et al.
72
(1984) menyatakan bahwa semakin besar dan semakin panjang tubuh akan menyebabkan bobot meningkat. Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dalam lokasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap panjang badan sedangkan jenis kelamin dalam umur dalam lokasi tidak nyata (P>0,05). Hasil uji Tukey panjang badan domba jantan dari ketiga lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk masing-masing tingkat umur. Selanjutnya pada domba betina menunjukkan bahwa panjang badan umur 12-24 bulan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari ketiga lokasi, namun pada umur 36 bulan panjang badan panjang dari Palu Selatan.
domba betina Biromaru nyata (P<0,05) lebih
Perbedaan panjang badan dapat disebabkan oleh
perbedaan kecepatan pertumbuhan pada masing-masing ternak sesuai dengan potensi genetiknya. Menurut Diwyanto (1982), setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik maupun lingkungan. Panjang badan domba Biromaru sejalan dengan domba Bondowoso dan Sumenep berkisar antara 56-58 cm (Doho 1994).
Koefisien keragaman ukuran panjang badan domba jantan di lokasi
penelitian relatif masih seragam yakni 2,15-10,47% dan
pada domba betina
3,94-8,95%. Dada Lebar Dada Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap lebar dada. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa lebar dada domba jantan Biromaru umur 36 bulan sangat nyata (P<0,01) dan betina nyata (P<0,05) lebih lebar dibanding domba Palu Timur dan Palu Selatan. Hal ini kemungkinan disebabkan penjualan domba jantan banyak dilakukan pada kisaran umur tersebut di Palu Timur dan Palu Selatan, sedangkan di Biromaru relatif lebih jauh dari Kota Palu, sehingga permintaan domba agak kurang dan memberi kesempatan kepada peternak untuk memelihara domba lebih lama disamping suplai pakan yang lebih banyak. Lebar dada domba jantan pada umur 36 bulan sangat nyata (P<0,01) dibanding domba betina baik di Palu Selatan maupun Biromaru.
Koefisien
73
keragaman ukuran lebar dada domba jantan yang tertinggi adalah umur 18 bulan di Palu Selatan yakni 14,86% sedangkan pada domba betina hampir seragam yakni 4,66-9,93%. Lebar dada domba penelitian sejalan dengan lebar dada domba persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk hasil penelitian (Mulliadi 1996). Rataan ukuran dan simpangan baku dada jantan dan betina
domba
Donggala dari umur 12-36 bulan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Rataan ukuran dan simpangan baku ukuran dada jantan dan betina domba Donggala dari umur 12-36 bulan Peubah (cm)
Umur bulan 12 18
Lebar dada 24 36 12 18
Dalam dada 24 36 12
Lingkar dada
18 24 36
Jenis kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Palu Timur
Lokasi Palu Selatan
Biromaru
12,69±0,89 13,00±1,08 12,96±0,67 13,33±0,62 14,40±1,00 13,27±0,85 14,53±0,55C 13,93±0,94 24,85±0,71 25,75±1,5 25,75±0,96 25,50±1,00 28,14±1,35a 25,62±0,99i 28,17±2,57d 26,61±1,44C 67,40±2,46 68,25±3,30 71,75±3,3 68,33±3,26 76,29±4,07a 69,33±3,39i 76,67±4,93C 72,26±5,21C
11,40±1,35 13,67±0,98 12,29±1,83 12,61±1,25 14,55±1,25 13,21±0,97 14,98±1,23AC 13,43±1,21Ic 23,33±1,15 24,5±1,38 24,25±1,14 23,83±1,20 26,85±1,80a 24,47±1,08i 27,36±1,81AD 24,07±3,85ID 67,67±5,86 66,00±6,54 65,50±4,93 63,83±3,42 72,50±4,74a 65,82±3,44i 72,43±5,32AC 65,77±10,04ID
13,10±0,35 12,98±0,82 14,067±1,50 14,07±0,95 14,87±0,78 14,11±0,56 17,50±1,61AD 14,55±1,25Id 25,33±0,58 24,20±1,25 25,50±1,32 26,17±1,44 27,27±0,82 25,86±1,34 30,67±1,15AC 26,64±1,04IC 70,00±1,00 67,40±2,19 70,33±5,86 73,33±4,04 75,54±2,73 70,73±3,04 83,67±5,51AD 72,71±4,54IC
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
74
Dalam Dada Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap dalam dada. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa dalam dada domba jantan umur 36 bulan di Biromaru sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding Palu Selatan dan nyata (P<0,05) di Palu Timur, sedangkan pada domba betina pada umur 36 bulan domba Biromaru dan Palu Timur memiliki dalam dada yang sangat nyata lebih besar (P<0,01) dibandingkan domba betina di Palu Selatan. Domba betina Biromaru lebih besar disebabkan kondisi pakan didaerah ini lebih variatif dan nanti nampak pada umur 36 bulan. Hasil uji Tukey selanjutnya menunjukkan bahwa dalam dada domba jantan pada umur 24 bulan di Palu Timur dan Palu Selatan nyata lebih besar (P<0,05) dibanding domba betina, bahkan pada umur 36 bulan di di Palu Selatan dan Biromaru sangat nyata lebih besar (P<0,01) dibanding dengan domba betina. Koefisien keragaman dalam dada domba jantan relatif seragam yakni 2,28-9,11% demikian pula pada domba betina kecuali di Palu Selatan pada umur 36 bulan yakni 15,98. Rataan dalam dada domba dilokasi penelitian baik jantan maupun betina tidak jauh berbeda dengan dalam dada persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk hasil penelitian (Mulliadi 1996). Lingkar Dada Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dan jenis
kelamin memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap lingkar
dada. Hasil uji Tukey lingkar dada domba jantan umur 36 bulan di Biromaru sangat nyata lebih besar dibanding di Palu Timur dan Palu Selatan, demikian pula pada domba betina pada umur yang sama di Biromaru dan Palu Timur sangat nyata (P<0,01) lebih besar dibanding Palu Selatan. Hasil uji Tukey selanjutnya menunjukkan bahwa lingkar dada domba jantan di Palu Timur dan di Palu Selatan pada umur 24 bulan yang nyata (P<0,05) dan umur 36 bulan di Palu Selatan dan di Biromaru sangat nyata lebih besar (P<0,01) dibanding dengan domba betina. Dengan demikian laju pertambahan lingkar dada domba jantan Biromaru lebih cepat dibanding lokasi lainnya. Rataan lingkar dada domba di
75
lokasi penelitian dari semua tingkat umur baik jantan maupun betina masih lebih besar dibanding lingkar dada domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep (Doho 1994) termasuk dengan lingkar dada persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk hasil penelitian (Mulliadi 1996). Rataan lingkar dada domba jantan domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif sama yakni 1,43-8,66% demikian pula pada domba betina yakni sekitar 3,25-9,91% kecuali di Palu Selatan pada umur 36 bulan 15,26%. Tubuh Bagian Belakang Tinggi Pinggul Pinggul merupakan tubuh bagian belakang yang bagi hewan betina berperan dalam proses melahirkan. Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian, umur dalam lokasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi punggung sedangkan jenis kelamin dalam umur dalam lokasi tidak nyata (P>0,05). Hasil uji Tukey menunjukkan Tinggi pinggul domba jantan dari ketiga lokasi dan pada masing-masing tingkat umur tidak berbeda nyata(P>0,05) demikian pula tinggi punggung pada domba betina kecuali pada umur 36 bulan tinggi pinggul domba betina Palu Timur dan Biromaru sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding Palu Selatan. Koefisien keragaman ukuran Tinggi pinggul domba jantan di Palu Timur dan Biromaru relatif masih seragam yakni yang tertinggi
20,17%. Menurut Mulliadi (1996) keseragaman dalam
populasi terjadi karena tidak adanya seleksi, terjadi silang dalam, keluarnya domba berkualitas dari populasi yang tidak sempat berketurunan, disamping cara pemeliharaan masih tradisional, sehingga kondisi dari ukuran-ukuran tubuh menjadi relatif seragam. Panjang dalam Pinggul Rataan panjang dalam pinggul domba jantan sekitar 14,43-16,30 cm dan 15,17- 16,38 cm pada domba betina. Umumnya panjang dalam pinggul domba betina lebih panjang dibanding jantan, hal tersebut kemungkinan karena pinggul pada domba betina berperan penting dalam
proses melahirkan.
Dari Hasil
analisis ragam menunjukan bahwa lokasi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang dalam pinggul, hal tersebut mungkin karena pengaruh hormon atau
76
genetik. Secara umum rataan panjang dalam pinggul domba di Palu Timur dari berbagai umur lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Hasil uji Tukey yang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata hanya pada umur 36 bulan, dimana panjang dalam pinggul domba betina Palu Timur sangat nyata (P<0,01) lebih panjang dibanding lokasi lainnya. Rataan Panjang dalam pinggul domba jantan domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif sama yakni 3,0314,31% demikian pula pada domba betina yakni sekitar 3,67-16,34% . Tabel 21 Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur (bulan) 12 18
Tinggi pinggul 24 36 12 Panjang dlm pinggul
18 24 36 12
Lebar pinggul
18 24 36 12
Lebar antara tulang tapis
18 24 36
Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Palu Timur 61,50±2,72 62,50±3,70 60,25±5,38 60,33±2,77 65,71±1,38 61,31±2,12 65,00±4,36 64,11±3,00
Lokasi Palu Selatan 59,67±1,53 59,67±2,34 57,90±8,80 55,44±7,49 64,15±3,61 59,79±3,63 60,21±12,15 57,35±6,98
Biromaru 63,00±2,00 60,94±3,92 64,33±3,21 63,33±3,51 65,36±2,16 62,18±2,71 66,17±2,47 63,14±2,39
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
15,97±1,63 16,38±1,93 14,83±1,26 15,71±1,55 16,21±1,01 15,57±1,21 15,67±0,47 16,27±1,32C
14,43±0,60 16,00±1,79 14,89±1,67 15,36±2,51 16,03±1,28 15,17±1,12 16,01±2,29 14,59±1,94D
14,60±0,53 15,22±0,56 15,23±1,37 15,37±0,87 15,90±0,53 15,44±0,64 16,30±0,26 15,90±0,69
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
11,29±0,79 12,76±0,78 11,63±0,48 12,80±0,56 12,41±0,16 12,84±0,70 13,47±1,23 13,23±0,93
10,37±0,64 12,45±0,61 11,13±0,77 12,10±0,66 12,23±1,32 12,51±0,79 12,65±0,90 13,00±0,89C
11,40±0,53 12,02±1,45 10,97±0,51 12,47±1,37 12,70±1,24 13,60±0,87 13,47±0,76 14,24±1,27D
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
8,97±0,57 10,38±1,25 9,68±0,39 9,96±0,58 10,19±0,83 10,25±0,92 10,87±1,27 10,44±1,01
8,40±0,30 12,97±3,49 7,78±3,32 8,90±2,90 10,37±2,30 10,24±2,36 8,91±3,03 8,82±2,70
9,30±0,75 9,76±0,96 9,60±0,75 11,33±0,91 10,64±0,64 11,41±0,91 11,20±0,52 11,46±0,68
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris (antar lokasi) ukuran tubuh yang sama, berbeda sangat nyata (P<0,01) untuk huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
77
Lebar Pinggul Rataan lebar pinggul domba jantan sekitar 10,37-13,47 cm dan 12,0214,24 cm pada domba betina. Dari rataan tersebut nampaknya lebar pinggul tidak banyak berubah dengan meningkatnya umur domba. Dari hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi dan umur tidak berpengaruh nyata terhadap lebar pinggul. Hasil uji Tukey juga menunjukkaan perbandingan jenis kelamin jantan dan betina pada setiap lokasi tidak berbeda nyata terhadap lebar pinggul. Demikian pula dengan perbandingan jenis kelamin yang sama dengan lokasi yang berbeda baik jantan maupun betina tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua tingkat umur kecuali pada umur 36 bulan dimana lebar pinggul domba betina Biromaru sangat nyata (P<0,01) lebih lebar dibanding Palu Selatan. Kenyataan tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa betina yang sering melahirkan anak kembar. Bahkan adanya kejadian melahirkan anak kembar dilokasi lain dilaporkan berasal dari daerah Biromaru. Rataan lebar
pinggul
domba jantan domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni 1,27-10,80% demikian pula pada domba betina yakni sekitar 4,934,93%. Lebar antara Tulang Tapis Rataan lebar antara tulang tapis domba jantan sekitar 7,78-11,20 cm dan 8,82- 11,46 cm pada domba betina.
Hasil uji Tukey tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin yang sama. Lebar antara tulang tapis domba Donggala jantan mempunyai koefisien keragaman (KK) yang tertinggi yaitu pada umur 18 dan 36 bulan masing-masing sebesar 42,61% dan 34,07% di Palu Selatan sedang di lokasi lainnya relatif seragam. Demikian pula koefisien keragaman lebar antara tulang tapis pada domba betina lebih tinggi di Palu Selatan antara 26,89%-49,30% Kaki Belakang Panjang Femur Tulang paha (femur) adalah salah satu bagian tubuh yang merupakan tempat menempelnya perototan (daging) dan merupakan penyanggah kaki belakang untuk berdiri dan berjalan. Rataan panjang femur domba jantan secara
78
umum berkisar antara 15,61-17,93 cm dan domba betina 14,87-17,13 cm. Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala di lokasi penelitian Peubah
Umur (bulan)
(cm)
12 18 Panjang femur 24 36 12 18 Panjang tibia 24 36 12
Panjang metatarsus
18 24 36
Keterangan :
Jenis kelamin
Palu Timur
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
15,61±0,78 14,88±0,63 15,85±1,01 15,34±0,72 17,20±1,30A 15,42±0,76I 15,67±0,58 15,93±0,68 22,78±0,54 23,00±1,08 23,53±1,28 22,93±0,87 25,11±0,75 23,05±0,81 23,67±1,46 24,13±1,19 16,00±0,67 15,50±0,58 16,25±0,96 15,54±0,72 16,00±0,00 15,53±0,67 15,50±0,50 16,08±0,71
Lokasi Palu Selatan Biromaru 15,77±1,33 17,13±1,18 15,57±1,16 15,97±1,23 16,59±1,00 16,23±1,23 15,90±0,87 16,21±1,30 22,30±0,36 23,28±1,25 22,97±1,04 22,4±1,04 24,30±0,53 22,69±0,89 24,29±0,79 23,15±1,12 16,07±0,12 16,00±0,00 16,08±0,49 15,33±0,58 16,10±0,60 15,78±0,89 16,20±0,42 15,61±0,61
15,73±0,92 16,22±0,83 16,93±1,12 16,00±0,92 17,01±1,03 16,36±1,00 17,93±0,74 16,45±0,83 23,10±0,78 23,18±0,58 23,67±0,96 24,23±1,08 24,04±0,89 23,83±0,96 25,43±1,00 23,77±0,95 15,67±0,58 15,46±0,86 16,00±0,00 16,50±0,50 16,45±0,69 15,91±0,30 17,00±0,00 16,05±0,22
Superskrip yang berbeda pada kolom (Sex) ukuran tubuh yang sama, berbeda sangat nyata (P<0,01) untuk huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
Tabel 22 diatas menunjukkan bahwa panjang femur domba jantan Biromaru umur 12 bulan bulan mengalami peningkatan sampai umur 36 bulan sedangkan dilokasi lain mengalami penurunan ukuran panjang femur setelah mencapai umur 24 bulan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan lokasi
79
penggembalaan di Biromaru suplay pakan lebih
kontinyu dibanding lokasi
lainnya. Demikian pula pada domba betina, dimana umur 12 bulan tampak bahwa panjang femur di Palu Selatan Selatan lebih tinggi dibanding lokasi lainnya namun menurun sampai umur 18 bulan dan berada di bawah ukuran panjang femur domba Biromaru sampai umur 36 bulan. Hasil analisis ragam diperoleh bahwa lokasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang femur. Setelah dilakukan uji Tukey didapatkan bahwa perbandingan panjang femur antar jenis kelamin yang sama dengan lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, demikian pula perbandingan panjang femur domba jantan dan betina pada masing-masing lokasi dengan umur yang sama juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pada umur 24 bulan Palu Timur, dimana panjang femur domba jantan sangat nyata (P<0,01) lebih panjang dibanding domba betina. Hal tersebut diduga ketidak mampuan pejantan menunjukkan potensi genetiknya akibat keterbatasan lingkungan dalam hal ini pakan atau mutu genetik domba pejantan yang tertinggal lebih rendah kualitasnya dibanding betina. Rataan panjang femur domba jantan domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni 3,69-8,42% demikian pula pada domba betina yakni sekitar 4,23-8,00%. Panjang Tibia
Tibia (tulang kering) merupakan kaki bagian belakang berbentuk slinder dan memanjang dibawah tulang femur yang diantarai persendian. Rataan panjang tibia domba jantan secara umum berkisar antara 22,30-25,43 cm dan domba
betina 22,40-24,23 cm.
Hasil uji Tukey panjang tibia tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin dan umur yang sama. Rataan panjang tibia jantan dan betina domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni dibawah 6%. Panjang Metatarsus
Metatarsus merupakan bagian kaki belakang yang diantarai persendian dibawah tulang tibia. Rataan panjang metatarsus domba jantan secara umum berkisar antara 15,50-17,00 cm dan domba betina 15,33-16,50 cm. Hasil uji
80
Tukey panjang metatarsus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin dan umur yang sama. Rataan panjang metatarsus jantan dan betina domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni dibawah 6%. Bagian Ekor Rataan ekor domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Rataan ukuran ekor domba Donggala jantan dan betina pada berbagai tingkat umur di lokasi penelitian Peubah (cm)
Umur (bulan) 12 18
Panjang ekor 24 36 12 Lebar pangkal ekor
18 24 36 12
Lingkar pangkal ekor
18 24 36
Jenis Lokasi Kelamin Palu Timur Palu Selatan Biromaru Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
23,20±3,19 21,75±1,26 22,00±4,55 20,58±2,27 22,14±3,02 20,11±2,63 22,67±1,15 21,53±2,93C 6,29±1,62 7,00±1,58 9,98±2,39 10,54±5,53 11,33±2,68 8,97±4,72 13,50±3,10 8,74±3,71 16,90±2,18 19,25±1,71 25,75±4,92 19,25±3,57 31,86±5,73A 18,71±3,92I 37,00±9,54 19,42±4,07
23,00±2,65 19,83±1,60 18,60±2,63 18,00±1,83 20,30±3,23 18,97±2,72 20,64±1,60 17,66±2,96D 8,67±1,21 6,88±3,85 10,66±1,06 8,91±1,23 12,17±2,24a 8,06±2,22i 12,83±2,12a 8,22±1,35i 24,00±5,29 14,50±6,45 26,33±5,01 19,00±1,00 30,30±5,27A 18,00±3,96I 31,90±7,84A 19,67±3,29I
19,67±1,53 20,40±1,34 21,00±2,00 21,00±3,00 20,90±2,02 21,54±1,51 20,33±0,58 21,28±3,04C 9,73±1,91 8,34±1,36 8,23±3,52 9,77±1,57 9,75±1,48 7,28±2,31 11,53±0,50 7,43±1,74 24,00±1,00 22,80±2,17 21,00±7,21 24,33±4,51 25,91±5,79A 16,82±5,21I 27,33±3,51 17,57±3,92
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
81
Panjang Ekor Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lokasi penelitian memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01), jenis kelamin nyata (P<0,05) terhadap panjang ekor sedangkan umur tidak berpengaruh nyata. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa panjang ekor domba jantan tidak berbeda nyata pada semua tingkat umur demikian pula pada domba betina dari umur 12 sampai 24 bulan, akan tetapi pada umur 36 bulan panjang ekor domba betina sangat nyata lebih panjang di Palu Timur dan Biromaru dibanding di Palu Selatan. Panjang ekor domba di lokasi Penelitian lebih pendek dari pada domba ekor Gemuk Bondowoso dan Sumenep yakni 26,66 dan 26,28 cm (Doho 1994). Koefisien keragaman tertinggi panjang ekor domba jantan yaitu pada umur 18 bulan di Palu Timur (20,66%). Pada betina pada umur 36 bulan di Palu Selatan (16,79%). Lebar Pangkal Ekor Mulliadi (1996) mengklasifikasikan bentuk ekor dalam tiga kelompok berdasarkan pengukuran lebar pangkal ekor, yaitu gemuk bila pangkal ekor lebar lebih dari 9 cm, ekor sedang antara 5-8 cm dan ekor tipis (sempit) lebar kurang dari 4 cm.
Persentase lebar pangkal
ekor domba jantan penelitian yang
menunjukkan ciri ekor gemuk tertinggi adalah
di Palu Selatan (94,59%) di
kemudian Biromaru (65,00%) dan Palu Timur (50,00%) sedangkan pada domba betina adalah di Palu Selatan (46,51%); Palu Timur (35,53%); dan Biromaru (27,50%). Variasi persentase tersebut kemungkinan disebabkan jumlah domba Merbas yang disebar kepada kelompok peternak tahun 1986 serta lamanya domba domba Merbas bersama domba ekor gemuk. Persentase ekor gemuk yang tinggi di Palu Selatan juga disebabkan karena peternak dan konsumen lebih menyukai domba ekor gemuk. Setelah peternak melihat adanya perubahan ekor akibat persilangan dengan domba luar sebagian peternak secepatnya menghindari persilangan dengan domba luar yang berekor panjang tipis. Hasil ini berbeda dengan kesimpulan Devendra dan McLeroy (1992) bahwa domba Donggala termasuk domba ekor gemuk sedang. Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa umur dan jenis kelamin sangat nyata (P<0,01) memberikan pengaruh nyata terhadap lebar pangkal ekor tetapi
82
pada perbedaan lokasi penelitian tidak. Hasil uji Tukey lebar pangkal ekor domba jantan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari ketiga lokasi dan pada semua tingkat umur demikian pula lebar pangkal ekor pada domba betina. Selanjutnya perbandingan lebar pangkal ekor domba antar jenis kelamin hanya di Palu Selatan dimana pada umur 24 bulan lebar pangkal ekor domba jantan nyata (P<0,05) dan umur 36 bulan sangat nyata (P<0,01) lebih lebar dibanding domba betina.
Dari rataan lebar pangkal ekor tersebut menunjukkan bahwa domba
Donggala termasuk domba ekor gemuk, walaupun masih memiliki keragaman tinggi
pada domba jantan umur 18 bulan di Biromaru yakni 42,79% dan
keragaman kedua tertinggi ada di Palu Timur 23-25% pada semua tingkat umur. Lebar pangkal ekor pada domba betina yang memiliki koefisien keragaman (KK) tertinggi pada umur 12 bulan di Palu Selatan (55,89%) dan umur 18-36 bulan di Palu Timur (52,48%; 52,62% dan 42,41%). Dengan demikian seleksi lebar pangkal ekor domba jantan dapat dilakukan di Palu Timur dan Biromaru. Lebar pangkal ekor domba Donggala sejalan dengan domba ekor Gemuk Bondowoso dan Sumenep sekitar 10,12-10,28 cm (Doho 1994). Bagian Scrotum Scrotum merupakan alat reproduksi hewan jantan yang berfungsi sebagai tempat produksi spermatozoa dan besar pengaruhnya terhadap produksi ternak Panjang Scrotum Rataan panjang scrotum domba jantan secara umum
berkisar antara
22,30-25,43 cm dan domba betina 22,40-24,23 cm. Hasil uji Tukey panjang scrotum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) baik jantan dan betina dalam lokasi maupun antar lokasi pada jenis kelamin dan umur yang sama. Rataan panjang scrotum
jantan dan betina
domba penelitian mempunyai
koefisien keragaman yang relatif seragam yakni dibawah 18%. Panjang scrotum domba Donggala hampir sama dengan persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk yaitu 12,87-14,3 cm
(Mulliadi 1996).
Rataan ukuran scrotum
domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 24.
83
Tabel 24 Rataan ukuran scrotum domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Peubah (cm) Panjang scrotum
Lebar scrotum
Lingkar scrotum
Umur (bulan) 12 18 24 36 12 18 24 36 12 18 24 36
Palu Timur 12,60±0,97 12,00±1,63 13,43±2,37 12,00±0,00 7,93±0,66 7,90±0,81 8,93±0,58 9,50±0,00 22,60±1,84 22,00±1,41 25,28±1,38 27,00±0,00
Lokasi Palu Selatan 12,33±0,58 12,90±1,66 13,50±1,08 13,86±1,46 7,43±0,81 8,18±0,79 9,02±0,71 8,95±0,58 21,33±1,53 21,75±2,49 24,90±1,60 24,82±1,35
Biromaru 13,67±2,31 13,67±2,08 13,27±1,95 11,90±1,82 8,67±0,42 8,60±0,46 8,91±0,76 11,67±3,79 23,67±1,15 24,00±1,00 24,55±2,34 28,00±1,73
Keterangan : Huruf vokal untuk kolom (Sex) dan konsonan untuk baris (lokasi). Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris ukuran tubuh yang sama, menyatakan berbeda sangat nyata (P<0,01) huruf besar dan berbeda nyata (P<0,05) untuk huruf kecil.
Lebar Scrotum Rataan lebar scrotum domba secara umum berkisar antara 7,43-11,67 cm dimana lebar scrotum domba jantan Biromaru sedikit lebih besar dibanding lokasi lainnya. Hasil uji Tukey lebar scrotum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada umur yang sama dari ketiga lokasi. Rataan lebar scrotum domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni dibawah 11% kecuali di Biromaru pada umur 36 bulan yakni 32,45% dimana mempunyai rataan lebar scrotum tertinggi.
Hal tersebut disebabkan adanya domba yang
memiliki bobot paling besar yakni 49 kg. Lingkar Scrotum Rataan lingkar scrotum domba secara umum berkisar antara 21,33-28,00 cm dimana lingkar scrotum domba Biromaru sedikit lebih besar dibanding lokasi lainnya. Hasil uji Tukey lingkar scrotum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada umur yang sama dari ketiga lokasi. Rataan lingkar scrotum domba penelitian mempunyai koefisien keragaman yang relatif seragam yakni dibawah 12%. Lingkar scrotum domba Donggala masih lebih besar dibanding
84
persilangan domba lokal dengan domba ekor gemuk dari umur 1-3 tahun yakni 21,54, 23,21 dan 24,48 cm (Mulliadi 1996) dan sama besar dengan lingkar scrotum domba Barbados Cross dan domba Komposit dengan bobot badan yang sama (Praharani et all. 2000). Menurut Ismaya (1992) aktifitas reproduksi ternak jantan dapat diukur melalui libido dan besarnya testes yang secara tidak langsung diukur berdasarkan besarnya scrotum, karena lingkaran scrotum mempunyai hubungan dekat dengan berat testes. Dengan mengetahui besarnya scrotum dapat diharapkan dapat mengasumsikan memiliki kuantitas dan kualitas sperma yang baik. Perbandingan Ukuran dan Bentuk Domba di Lokasi Penelitian Karakteristik tiap hewan yang merupakan ciri khas hewan tersebut dapat dibedakan berdasarkan analisis komponen utama (AKU).
Melalui AKU
komformasi tubuh hewan dapat didiskriminasikan menjadi ukuran dan bentuk tubuh. Pada Tabel 25 dapat dilihat ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina umur 18 bulan di lokasi penelitian. Tabel 25 Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina umur 18 bulan di lokasi penelitian Jenis Kelamin Lokasi Palu Timur Jantan
Palu Selatan Biromaru Palu Timur
Betina
Palu Selatan Biromaru
Peubah
Nilai
penciri ukuran v.Eigen Tinggi pinggul 0,678 Panjang ekor 0,494 Tinggi pinggul 0,799 Lingkar dada 0,432 Lingkar dada 0,611 Panjang badan 0,456 Lebar pkl ekor 0,78 Tinggi pundak 0,405 Tinggi pinggul 0,934 Tinggi tengkorak 0,169 Lingkar dada 0,573 Tinggi pinggul 0,482
Peubah
Nilai
penciri bentuk Tinggi pinggul Tinggi pundak Panjang badan Tinggi pinggul Panjang ekor Lebar pkl ekor Lingkar dada Lebar pkl ekor Panjang badan Lebar a.tlg tapis Panjang ekor Tinggi pundak
v.Eigen 0,531 0,496 0,583 0,476 (-0,577) (-0,524) -0,616 -0,521 -0,747 0,313 -0,708 0,501
Domba Jantan Umur 18 Bulan Berdasarkan hasil analisis komponen utama (AKU) bahwa penciri utama ukuran tubuh (Komponen Utama I) domba Donggala jantan umur 18 bulan adalah tinggi pinggul di Palu Timur dan Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru.
85
Penciri ukuran tersebut memberikan konstribusi yang besar terhadap skor ukuran tubuh, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,829; 0,948 dan 0,997. Hal tersebut menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara tinggi pinggul dan lingkar dada dengan ukuran tubuh positif, sehingga pada kelompok domba Donggala semakin besar tinggi pinggul dan lingkar dada maka ukuran tubuhnya semakin besar. Lingkar dada sering dijadikan penciri bobot tubuh pada ternak ruminansia karena lingkar dada menggambarkan tubuh ternak berbentuk silinder sehingga dengan ukuran lingkar dada dapat mewakili volume tubuh domba yang diukur. Sementara penciri kedua ukuran tubuh ditiga lokasi penelitian masingmasing adalah panjang ekor, lingkar dada dan panjang badan dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,715; 0,915 dan 1,000. Dengan demikian tinggi pinggul dan lingkar dada dapat dijadikan sebagai parameter seleksi untuk meningkatkan skor ukuran tubuh. Tinggi pinggul di Palu Timur, panjang badan di Palu Selatan dan panjang ekor di Biromaru merupan penciri utama bentuk (Komponen Utama II) domba Donggala jantan umur 18 bulan.
Koefisien korelasi ketiga peubah tersebut
masing-masing sebesar 0,521; 0,852 dan -0,996. Korelasi antara bentuk tubuh dengan tinggi pinggul di Palu Timur dan panjang badan di Palu Selatan memiliki pola hubungan positif. Hal ini berarti semakin besar ukuran tinggi pinggul kelompok domba Palu Timur dan panjang badan pada domba Biromaru maka semakin besar skor ukuran tubuhnya dan sebaliknya. Sedangkan korelasi antara bentuk tubuh dengan panjang ekor pada kelompok domba Biromaru memiliki pola hubungan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar panjang ekor pada domba Biromaru maka skor bentuk tubuh semakin kecil. Penciri kedua bentuk tubuh adalah tinggi pundak di Palu Timur, tinggi pinggul di Palu Selatan dan lebar pangkal ekor di Biromaru. Koefisien korelasi masing-masing penciri kedua bentuk tubuh adalah sebesar 0,735; -0,315 dan -0,514. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Palu Timur umur 18 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 50,8% dengan nilai Eigen 43,275 dan 27,839.
dan 32,7 %
Keragaman kumulatif komponen
utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 83,5 % berarti sebanyak 83,5% keragaman data domba jantan Palu Timur umur 18 bulan dapat dijelaskan
86
oleh kedua komponen utama tersebut.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh
domba jantan Palu Selatan umur 18 bulan mempunyai keragaman total masingmasing sebesar 69,2%
dan
21,6% dengan nilai Eigen
109,00 dan 33,99.
Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 90,8 % berarti sebanyak 90,8% keragaman data domba jantan Palu Selatan umur 18 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Biromaru umur 18 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 88,5% dan 11,5% dengan nilai Eigen 91,461
dan 11,909. Keragaman kumulatif komponen utama
pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 100% berarti sebanyak 100 % keragaman data domba jantan Biromaru umur 18 bulan dapat dijelaskan oleh kedua
komponen utama tersebut. Gasperzs (1992), menyatakan bahwa
keragaman total tertinggi
yang diperoleh dari AKU diantara komponen-
komponen utama yang diamati sudah dapat memberikan informasi yang akurat untuk menginterpretasikan data tanpa harus memasukkan keseluruhan persamaan komponen-komponen utama yang diperoleh. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 18 bulan disajikan pada Gambar 9.
Keterangan : = סּPalu Timur ● = Palu Selatan ■ = Biromaru
Gambar 9 Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 18 bulan.
87
Pada Gambar 9 terlihat bahwa terdapat perbedaan ukuran maupun bentuk domba jantan umur 18 bulan di lokasi penelitian. Dari segi ukuran, domba Biromaru relatif lebih besar dibandingkan dengan domba Palu Selatan dan Palu Timur. Demikian pula dari segi bentuk domba di ketiga lokasi menunjukkan perbedaan. Perbedaan ukuran antara domba jantan umur 18 bulan di ketiga lokasi penelitian juga terlihat pada ukuran bobot badannya. Rataan bobot badan domba jantan di Biromaru (27,00±6,93 kg) lebih berat daripada Palu Timur (23,5± 4,20) dan Palu Selatan (23,4±3,75 kg) meskipun tidak berbeda nyata. Namun jika diamati dari segi bentuk domba ditiga lokasi memiliki peubah penciri bentuk yang berbeda yaitu tinggi pundak di Palu Timur, panjang badan di Palu Selatan serta panjang ekor dan lebar pangkal ekor di Biromaru. Demikian pula pada skor bentuk yang berbeda di tiga lokasi. Nilai skor bentuk domba jantan di Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing berkisar dari 94,79 sampai 106,34; 41,50 sampai 60,52 dan 9,10 sampai 15,97. Hasil penelitian sesuai dengan Mulliadi (1996) bahwa pada domba Priangan, ukuran tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada merupakan ukuran utama yang dapat dijadikan patokan dalam seleksi domba. Domba Betina Umur 18 Bulan Pada domba betina umur 18 bulan, penciri utama ukuran tubuh diketiga lokasi penelitian berbeda-beda yaitu lebar pangkal ekor di Palu Timur, tinggi pinggul domba di Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru dengan nilai koefisien korelasi masing-masing -0,910; 0,991 dan 1,000.
Korelasi negatif
antara Lebar pangkal ekor dengan ukuran tubuh domba betina Palu Timur menunjukkan bahwa semakin kecil lebar pangkal ekor, maka skor ukuran tubuhnya makin besar dan sebaliknya. Berbeda dengan korelasi antara tinggi pinggul di Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru dengan ukuran tubuh bernilai positif. Berarti semakin besar nilai tinggi pinggul dan lingkar dada, maka skor ukuran tubuhnya makin besar dan sebaliknya. Penciri kedua ukuran tubuh domba betina adalah Tinggi pundak di Palu Timur, tinggi tengkorak Palu Selatan dan tinggi pinggul
di
di Biromaru dengan nilai koefisien korelasi
masing-masing sebesar 0,833; 0,811 dan 0,968.
88
Penciri utama bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan berbeda di ketiga lokasi penelitian masing-masing adalah lingkar dada di Palu Timur, Panjang badan di Palu Selatan dan panjang ekor di Biromaru. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,822; 0,947 dan 0,771 dengan pola hubungan positif. Hal ini berarti semakin besar ukuran ketiga peubah bentuk tersebut maka semakin besar skor ukuran tubuhnya dan sebaliknya. Peubah-peubah tersebut memberi andil yang sama sebagai penentu utama bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan. Penciri kedua bentuk tubuh domba betina adalah lebar pangkal ekor di Palu Timur, lebar antara tulang tapis di Palu Selatan dan Tinggi pundak di Biromaru. Koefisien korelasi masing-masing penciri kedua bentuk tubuh adalah sebesar 0,409; 0,497 dan 0,509 dengan nilai korelasi positif. Peubah-peubah tersebut memberikan andil yang sama sebagai penentu kedua bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Palu Timur umur 18 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 55,3% dan 25,1% dengan nilai Eigen 41,665 dan 18,908. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 80,4% berarti sebanyak 80,4% keragaman data domba betina Palu Timur umur 18 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Palu Selatan umur 18 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 52,9% dan 17,8% dengan nilai Eigen 63,019 dan 21,273. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 70,7% berarti sebanyak 70,7% keragaman data domba betina Palu Selatan umur 18 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Biromaru umur 18 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 82,3% dan 17,7% dengan nilai Eigen 49,775 dan 10,668. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 100% berarti sebanyak 100% keragaman data domba betina Biromaru umur 18 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan pada Gambar 10.
89
Keterangan : = סּPalu Timur ● = Palu Selatan ■ = Biromaru
Gambar 10 Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran maupun bentuk domba betina umur 18 bulan di lokasi penelitian. Dari segi ukuran, domba Biromaru lebih besar dibanding lokasi lainnya. Demikian juga
domba Palu
Selatan cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan domba Palu Timur. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan peubah penciri ukuran tubuh dari masing-masing lokasi. Penciri ukuran tubuh domba betina umur 18 bulan di Biromaru memiliki rataan yang lebih besar dibandingkan penciri ukuran di lokasi lainnya, dimana lingkar dada dan tinggi pinggul lebih mewakili volume tubuh domba betina Biromaru. Perbedaan ukuran antara domba betina umur 18 bulan di ketiga lokasi penelitian juga terlihat pada ukuran bobot badannya. Bobot badan domba betina di Biromaru (27,33±2,08) lebih berat daripada Palu Selatan (23,39±2,76) dan Palu Timur (23,58±2,84) meskipun tidak berbeda nyata. Demikian pula dari segi bentuk ketiga kerumunan domba betina tersebut menunjukkan karakteristik
yang berbeda.
Hal tersebut disebabkan karena
perbedaan peubah bentuk tubuh domba di tiga lokasi. Peubah-peubah tersebut memberikan andil yang sama sebagai penentu bentuk tubuh domba betina umur 18 bulan. Penyebab lain perbedaan tersebut nilai skor bentuk domba betina di Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing berkisar dari 101,624 sampai 117,652; 59,42 sampai 73,98 dan -11,57 sampai -5,45.
Mulliadi (1996)
90
bahwa pada domba Priangan, ukuran tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada merupakan ukuran utama yang dapat dijadikan patokan dalam seleksi domba. Tabel 26 Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian umur 24 bulan Jenis kelamin
Lokasi Palu Timur
Jantan
Palu Selatan Biromaru Palu Timur
Betina
Palu Selatan Biromaru
Peubah penciri ukuran
Nilai v.eigen
Peubah penciri bentuk
Nilai v.eigen
Panjang ekor Panjang badan Panjang ekor Pjg dlm pinggul Panjang ekor Lingkar dada
(-0,749) 0,508 (-0,796) 0,356 (-0,709) 0,369
Lingkar dada Lebar pkl ekor Lingkar dada Panjang badan Lingkar dada Tinggi pinggul
0,673 0,356 0,53 0,432 0,637 0,432
Lebar pkl ekor
(-0,894)
Lingkar dada
0,671
Lingkar dada
0,257
Panjang badan
0,528
Panjang badan
0,585
Tinggi pinggul
0,794
Lingkar dada
0,448
Panjang badan
0,602
Lingkar dada
0,519
Tinggi pinggul
0,614
Lebar pkl ekor
0,453
Lingkar dada
0,572
Domba Jantan Umur 24 Bulan Berdasarkan hasil analisis komponen utama (AKU) bahwa domba Donggala jantan umur 24 bulan di ketiga lokasi penelitian menunjukkan adanya kesamaan peubah penciri utama ukuran tubuh (Komponen Utama I), namun berbeda dengan penciri kedua. Penciri utama ukuran tubuh domba di ketiga lokasi penelitan masing-masing adalah lingkar dada.
Penciri ukuran tersebut
memberikan konstribusi yang besar terhadap skor ukuran tubuh, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,966; 0,907 dan 0,838. Oleh karena itu lingkar dada dapat dijadikan sebagai parameter seleksi untuk meningkatkan skor ukuran tubuh domba jantan. Sementara penciri kedua ukuran tubuh ditiga lokasi penelitian masing-masing adalah lebar pangkal ekor, panjang badan dan tinggi pinggul dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,776; 0,915 dan 0,718. Panjang ekor merupakan penciri utama bentuk (Komponen Utama II) domba Donggala jantan umur 24 bulan di ketiga lokasi penelitian dengan nilai koefisien korelasi masing-masing -0,720; -0,774 dan -0,866. Korelasi negatif
91
antara panjang ekor dengan bentuk tubuh menunjukkan bahwa semakin kecil panjang ekor, maka skor bentuk tubuhnya makin besar dan sebaliknya. Sedangkan penciri kedua bentuk tubuh ditiga lokasi penelitian masing-masing
adalah
panjang badan di Palu Timur, panjang dalam pinggul di Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,642; 0,873 dan 0,333 dengan korfelasi positif. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Palu Timur umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 66,4%
dan 16,4%
dengan nilai Eigen 34,153 dan 8,438. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 82,9% berarti sebanyak 82,9% keragaman data domba jantan Palu Timur umur 24 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Palu Selatan umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 70,4% dan 10,5% dengan nilai Eigen 65,807
dan 9,862. Keragaman
kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 80,9% berarti sebanyak 80,9% keragaman data domba jantan Palu Selatan umur 24 bulan
dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Biromaru umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 41,1% dan 19,4% dengan nilai Eigen 12,904 dan 6,084. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 60,5% berarti sebanyak 60,5% keragaman data domba jantan Biromaru umur 24 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Pada Gambar11 dapat dilihat bahwa domba jantan umur 24 bulan di Palu Selatan dan Biromaru memiliki ukuran yang relatif sama tetapi bentuk tubuhnya berbeda.
Kesamaan ukuran tubuh dikedua lokasi tersebut juga terlihat pada
variabel penciri utama ukuran tubuh yang sama pula dalam hal ini adalah lingkar dada. Sementara ukuran tubuh domba jantan Palu Selatan dan Biromaru lebih besar dibanding ukuran tubuh domba Palu Timur. Hal tersebut disebabkan karena lingkar dada dan panjang badan domba di Palu Selatan dan lingkar dada dan tinggi pinggul domba Biromaru merupakan peubah yang dapat mewakili ukuran (volume) tubuh domba jantan umur 24 bulan. Persamaan dan perbedaan ukuran
92
antara domba jantan umur 24 bulan di ketiga lokasi penelitian juga dapat dilihat pada ukuran bobot badannya. Bobot badan domba jantan di Palu Selatan (31,10±4,48) kg;
Biromaru (30,00±3,34) dan Palu Timur
(29,00±3,53) kg
perbedaan ukuran tersebut tidak berbeda nyata. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 24 bulan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 11.
Keterangan : סּPalu Timur ● Palu Selatan ■ Biromaru
Gambar 11 Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 24 bulan di lokasi penelitian. Jika diamati dari segi bentuk pada Gambar 10, domba ketiga lokasi menunjukkan perbedaan. Hal tersebut lebih jelas terlihat dari skor bentuk tubuh. Domba jantan Biromaru memiliki skor bentuk yang berbeda daripada domba di lokasi lainnya. Demikian pula domba Palu Timur memiliki bentuk yang beda dengan Palu Selatan. Nilai skor bentuk domba jantan di Biromaru, Palu Timur dan Palu Selatan masing-masing berkisar dari 23,60 sampai 32,05; 20,59 sampai 29,83 dan 14,73 sampai 24,64. Perbedaan tersebut juga dapat dilihat dari peubah penentu bentuk tubuh domba jantan ketiga lokasi yakni panjang badan di Palu Timur, Panjang dalam pinggul di Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru. Hasil penelitian sejalan dengan Diwyanto et al. (1984), semakin besar dan semakin panjang badan tubuh domba akan menyebabkan bobot meningkat. Domba dengan ukuran tulang besar berbobot berat.
Ukuran tubuh yang
93
mempunyai hubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Domba Betina Umur 24 Bulan Pada domba betina, penciri utama ukuran tubuh diketiga lokasi penelitan berbeda masing-masing adalah lebar pangkal ekor di Palu Timur, panjang badan di Palu Selatan dan lingkar dada di Biromaru. Penciri ukuran tubuh di ketiga lokasi tersebut menunjukkan pola hubungan positif dengan komponen utama pertama (vektor ukuran), nilai koefisien korelasi masing-masing 0,943; 0,799 dan 0,789. Lingkar dada merupakan penciri kedua ukuran tubuh domba betina di Palu Timur dan Palu Selatan, sedangkan di Biromaru adalah lebar pangkal ekor, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,378; 0,645 dan 0,905. Penciri utama bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan berbeda di ketiga lokasi penelitian, masing-masing yaitu lingkar dada di Palu Timur, tinggi pinggul di Palu Selatan dan Biromaru dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,808; 0,902 dan 0,668. Sementara penciri kedua bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan di ketiga lokasi masing-masing adalah panjang badan di Palu Timur dan di Palu Selatan serta lingkar dada di Biromaru dengan nilai korelasi masing-masing sebesar 0,750; 0,685, 0,556. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Palu Timur umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 37,1 dan 24,9% dengan nilai Eigen 24,832 dan 16,688. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 62,0% berarti sebanyak 62,0% keragaman data domba betina Palu Timur umur 24 bulan dapat dijelaskan
oleh kedua
komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Palu Selatan umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 95,4 dan 1,6% dengan nilai Eigen 1475,9
dan 24,1. Keragaman kumulatif
komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 96,9% berarti sebanyak 96,9% keragaman data domba betina Palu Selatan umur 24 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Biromaru umur 24 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 51,9 dan 21,2% dengan nilai Eigen 20,303 dan 8,308. Keragaman kumulatif komponen utama pertama
94
(ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 73,1% berarti sebanyak 73,1% keragaman data domba betina Biromaru umur 24 bulan dapat dijelaskan
oleh kedua
komponen utama tersebut. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.
Keterangan : = סּPalu Timur
●
= Palu Selatan ■ = Biromaru
Gambar 12 Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 24 bulan di lokasi penelitian. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran domba betina umur 24 bulan di lokasi penelitian. Domba Biromaru memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan domba Palu Timur dan Palu Selatan. Demikian pula ukuran domba Palu Timur relatif lebih besar dari Domba Palu Selatan. Perbedaan ukuran antara domba betina umur 24 bulan di ketiga lokasi penelitian juga terlihat pada ukuran bobot badannya. Bobot badan domba betina di Biromaru (27,45±3,83 kg) lebih tinggi daripada Palu Timur (24,17 ± 3,18) dan Palu Selatan (23,56±3,01) kg walaupun tidak berbeda nyata.
Hal ini berarti
bahwa ukuran tubuh domba Biromaru lebih besar dari ukuran tubuh domba Palu Timur dan Palu Selatan.
Tetapi, bentuk tubuh domba Palu Timur dan Palu
Selatan berbeda dari pada domba Biromaru. Berdasarkan hasil pengamatan saat penelitian, domba betina di Palu Timur dan Palu Selatan masih dalam kondisi pasca melahirkan, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, sementara domba betina Biromaru sebagian besar dalam kondisi bunting. Nilai
95
skor bentuk domba betina Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing berkisar dari 99,00 sampai 119,04; 48,51 sampai 68,61 dan 5,71 sampai 14,11. Perbedaan bentuk tubuh domba betina antara Palu Timur dan Palu Selatan dengan bentuk tubuh domba Biromaru
disebabkan perbedaan peubah yang
menjadi penentu bentuk tubuh ketiga lokasi. Lingkar dada dan panjang badan di Palu Timur serta tinggi pinggul dan panjang badan di Palu Selatan adalah peubah yang menentukan karakteristik bentuk tubuh yang berbeda dengan Biromaru. Hasil penelitian sejalan dengan Diwyanto (1982) bahwa penggunaan ukuran tubuh meliputi, tinggi pinggul, panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak dalam dada, lebar dada, lebar panggul dan lingkar kanon pada domba Priangan Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala
jantan
dan betina di lokasi penelitian umur 36 bulan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian umur 36 bulan Jenis kelamin
Jantan
Betina
Peubah Lokasi penciri ukuran Panjang badan PT Lingkar dada Tinggi pinggul PS Lingkar dada Lingkar dada BM Tinggi pundak Lingkar dada PT Panjang badan Lingkar dada PS Tinggi pinggul Lingkar dada BM Panjang badan
Nilai v.eigen 0,549 0,466 0,930 0,254 0,712 0,366 0,737 0,362 0,803 0,476 0,771 0,378
Peubah penciri bentuk Tinggi pundak Dalam dada Lingkar dada Tinggi pundak Panjang badan Lingkar dada Lebar pkl ekor Tinggi pinggul Tinggi pinggul Panjang badan Tinggi pundak Tinggi pinggul
Nilai v.eigen 0,490 0,381 0,742 0,457 0,631 0,536) (-0,879) 0,305 0,571 0,465 0,554 0,455
Domba Jantan Umur 36 Bulan Penciri utama ukuran tubuh (Komponen Utama I) domba Donggala jantan umur 36 bulan adalah Panjang badan di Palu Timur, Tinggi Pinggul di Palu Selatan dan Lingkar dada di Biromaru. Penciri ukuran tersebut memberikan konstribusi yang besar terhadap skor ukuran tubuh, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,998, 0,993 dan 0,951. Sementara penciri kedua ukuran tubuh adalah lingkar dada di Palu Timur dan Palu Selatan dan tinggi pundak di
96
Biromaru dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,977, 0,620 dan 0,881. Dengan demikian panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak dan tinggi pingggul dapat dijadikan sebagai parameter seleksi untuk meningkatkan skor ukuran tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Mulliadi (1996) bahwa ukuran-ukuran diatas dapat dijadikan patokan dalam seleksi domba. Penciri utama bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan berbeda di ketiga lokasi penelitian, masing-masing yaitu tinggi pundak di Palu Timur, lingkar dada di Palu Selatan dan panjang badan
di Biromaru dengan nilai koefisien korelasi
masing-masing sebesar 0,344; 0,766 dan 0,621. Sementara penciri kedua bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan di ketiga lokasi masing-masing adalah dalam dada di Palu Timur dan tinggi pundak di Palu Selatan serta lingkar dada di Biromaru dengan nilai korelasi masing-masing sebesar 0,421; 0,834, 0,308 dengan korelasi positif. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Palu Timur umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 93,0% dengan nilai Eigen 106,86 dan 8,03.
dan 7,0%
Keragaman kumulatif komponen utama
pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 100% berarti
sebanyak 100%
keragaman data domba jantan Palu Timur umur 36 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba
jantan Palu Selatan umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 76,4% dan 13,7% dengan nilai Eigen 168,14 dan 30,15. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 80,9% berarti sebanyak 80,9% keragaman data domba jantan Palu Selatan umur 36 bulan
dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba jantan Biromaru umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 84,4% dan 15,6 % dengan nilai Eigen 54,133
dan 9,993 . Keragaman kumulatif komponen utama
pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 60,5% berarti sebanyak 60,5% keragaman data domba jantan Biromaru umur 36 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13.
97
Keterangan : = סּPalu Timur
●=
Palu Selatan ■ = Biromaru
Gambar 13 Ukuran dan bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan di lokasi Penelitian. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran maupun bentuk domba jantan umur 36 bulan di lokasi penelitian.
Dari segi ukuran,
domba Biromaru relatif lebih besar dan berbeda dengan Palu Timur, akan tetapi keduanya lebih besar lagi dibandingkan dengan ukuran domba Palu Selatan. Perbedaan ukuran antara domba jantan umur 36 bulan di ketiga lokasi penelitian juga terlihat pada ukuran bobot badannya.
Bobot badan domba jantan di
Biromaru (42,00 ± 6,245) kg berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada Palu Selatan (32,82±4,45) kg dan Palu Timur (31,33±4,509) kg. Namun jika diamati dari segi bentuk, domba Palu Selatan memiliki skor bentuk yang berbeda daripada domba Biromaru dan Palu Timur. Hal tersebut disebabkan sebagian peubah penciri bentuk yang berbeda di tiga lokasi yaitu dalam dada di Palu Timur, tinggi pundak di Palu Selatan dan panjang badan di Biromaru. Peubah tersebut berkonstribusi sebagai penentu bentuk tubuh domba jantan umur 36 bulan. Demikian pula terlihat pada nilai skor bentuk domba jantan di Palu Selatan, Biromaru dan Palu Timur masing-masing berkisar dari 80,20 sampai 99,79;
14,56 sampai 20,73 dan
9,33 sampai 14,72. Hasil penelitian
sejalan dengan Diwyanto (1982) bahwa penggunaan ukuran tubuh, meliputi tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada pada domba Priangan.
98
Demikian pula Menurut Fourie et al. (2002) bahwa lingkar dada dan panjang badan mempunyai pengaruh besar pada bobot badan. Domba Betina Umur 36 Bulan Domba Donggala Betina umur 36 bulan di tiga lokasi penelitian menunjukkan adanya kesamaan peubah penciri utama ukuran tubuh (Komponen Utama I), namun berbeda dengan penciri kedua. Penciri utama ukuran tubuh domba di ketiga lokasi penelitan masing-masing adalah lingkar dada. Penciri ukuran tersebut memberikan konstribusi yang besar terhadap skor ukuran tubuh, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,970; 0,970 dan 0,946. Oleh karena itu lingkar dada dapat dijadikan sebagai parameter seleksi untuk meningkatkan skor ukuran tubuh domba betina. Sementara penciri kedua ukuran tubuh ditiga lokasi penelitian masing-masing adalah panjang badan di Palu Timur dan Biromaru serta tinggi pinggul di Palu Selatan dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,814; 0,774 dan 0,827. Penciri utama bentuk (Komponen Utama II) domba Donggala betina umur 36 bulan di ketiga lokasi penelitian adalah lebar pangkal ekor di Palu Timur, tinggi pinggul di Palu Selatan dan tinggi pundak di Biromaru. Korelasi tinggi pinggul di Palu Selatan dan tinggi pundak di Biromaru dengan bentuk tubuh adalah positif dengan nilai koefisien korelasi masing-masing 0,432 dan 0,843. Hal ini berati semakin besar ukuran peubah tersebut maka skor bentuk tubuhnya makin besar. Sedangkan lebar pangkal ekor di Palu Timur berkorelasi negatif dengan bentuk tubuh dengan nilai
koefisien korelasi -0,962.
Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar lebar pangkal ekor di Palu Timur maka skor bentuk tubuhnya semakin kecil. Sementara penciri kedua bentuk tubuh ditiga lokasi penelitian berbeda, masing-masing yaitu tinggi pinggul di Palu Timur dan Biromaru serta panjang badan di Palu Selatan dengan koefisien korelasi masingmasing sebesar 0,413; 0,582 dan 0,607. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Palu Timur umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 56,5% dan 19,8% dengan nilai Eigen 46,974 dan 16,467. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 76,4% berarti sebanyak 76,4% keragaman data domba betina Palu Timur umur 36 bulan dapat dijelaskan oleh
99
kedua komponen utama tersebut.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba
betina Palu Selatan umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 65,6 dan 12,4% dengan nilai Eigen 147,17 dan 27,86. Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua (bentuk) sebesar 78,0% berarti sebanyak 78,0% keragaman data domba betina Palu Selatan umur 36
bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Persamaan ukuran dan bentuk tubuh domba betina Biromaru umur 36 bulan mempunyai keragaman total masing-masing sebesar 55,8 dan 16,8% dengan nilai Eigen 31,054 dan 9,381.
Keragaman kumulatif komponen utama pertama (ukuran) dan kedua
(bentuk) sebesar 72,6% berarti sebanyak 72,6% keragaman data domba betina Biromaru umur 36 bulan dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut. Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 36 bulan
di lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 14.
Keterangan : = סּPalu Timur ● = Palu Selatan ■ = Biromaru
Gambar 14 Ukuran dan bentuk tubuh domba betina umur 36 bulan di lokasi penelitian. Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran maupun bentuk domba betina umur 36 bulan di lokasi penelitian. Dari segi ukuran, domba betina Palu Timur cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan Biromaru dan domba Palu Selatan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian domba betina di Palu Timur umur 36 bulan memiliki rataan ukuran yang lebih besar dibanding domba betina Biromaru. Demikian pula ukuran domba Biromaru cenderung
100
lebih besar dibanding Palu Selatan. Perbedaan ukuran antara domba betina umur 36 bulan di ketiga lokasi penelitian juga terlihat pada ukuran bobot badannya. Bobot badan domba betina di Biromaru (30,14 ± 6,28) berbeda sangat nyata lebih tinggi daripada Palu Selatan (25,53 ± 2,97), tetapi tidak berbeda dengan Palu Timur (28,21 ± 6,29). Jika diamati dari segi bentuk, domba betina di tiga lokasi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda disebabkan sebagian penentu bentuk tubuh berbeda di tiga lokasi yaitu lebar pangkal ekor di Palu Timur, panjang badan di Palu Selatan dan tinggi pundak di Biromaru. Demikian pula nilai skor bentuk domba betina di Biromaru, Palu Selatan dan Palu Timur masing-masing berkisar dari 52,63 sampai 64,94; 21,99 sampai 43,94 dan -3,26 sampai 16,49. Tabel 28
Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba jantan di tiga lokasi penelitian
Lokasi Palu Timur
Palu Selatan
Biromaru
Penciri Ukuran Lingkar dada Tinggi pinggul Panjang badan Panjang ekor Lebar pkl ekor Lingkar dada Tinggi pinggul Panjang badan
Persentase (%) 33,33 16,66 16,66 16,66 16,66 50,00 33,33 16,66
Lingkar dada Tinggi pinggul Panjang badan Tinggi pundak
50,00 16,66 16,66 16,66
Penciri Bentuk Tinggi pundak Panjang badan Panjang ekor Dalam dada Tinggi pinggul Tinggi pundak Panjang badan Panjang ekor Tinggi pinggul Pjg dlm pinggul Lingkar dada Panjang badan Lingkar dada Panjang ekor Lebar pkl ekor
Persentase (%) 33,33 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 16,66 33,33 33,33 16,66 16,66
Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa lingkar dada mempunyai andil paling besar yakni 50% sebagai penciri ukuran tubuh pada domba jantan Palu Selatan dan Biromaru
lebih besar dibandingkan di dengan Palu Timur hanya 33%.
Lingkar dada menggambarkan bentuk tubuh yang silinder sehingga mewakili volume tubuh. Demikian juga tinggi pinggul 33% di Palu Selatan. Selanjutnya
101
domba di Palu Timur,
Tinggi pundak mempunyai andil paling besar yakni
33,33% sebagai penentu bentuk tubuh. Sementara domba di Palu Selatan semua berandil sama sebagai penentu bentuk tubuh,
sedangkan panjang badan dan
lingkar dada masing-masing 33,33% berandil sebagai penentu bentuk tubuh domba di Biromaru. Tabel 29
Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba betina di tiga lokasi penelitian
Lokasi Palu Timur
Palu Selatan
Biromaru
Penciri Ukuran Lingkar dada Lebar pkl ekor Tinggi pundak Panjang badan Lingkar dada Tinggi pinggul Tinggi tengkorak Panjang badan Lingkar dada Tinggi pinggul Lebar pkl ekor Panjang badan
Persentase (%) 33,33 33,33 16,66 16,66 33,33 33,33 16,66 16,66 50 16,66 16,66 16,66
Penciri Bentuk Lingkar dada Lebar pkl ekor Tinggi pinggul Panjang badan Panjang badan Tinggi pinggul Lebar a.tlg tapis Tinggi pundak Tinggi pundak Tinggi pinggul Panjang ekor Lingkar dada
Persentase (%) 33,33 33,33 16,66 16,66 33,33 33,33 16,66 16,66 33,33 33,33 16,66 16,66
Pada Tabel 29 dapat dilihat bahwa lingkar dada mempunyai andil paling besar yakni 50% sebagai penciri ukuran tubuh pada domba betina di Biromaru lebih besar dibandingkan di dengan Palu Timur dan Palu Selatan yang hanya 33%.
Lingkar dada menggambarkan bentuk tubuh yang silinder sehingga
mewakili volume tubuh. Demikian juga tinggi pinggul 33% di Palu Selatan. Sedangkan
penciri
ukuran
tubuh
lainnya
memberikan
masing-masing
berkonstribusi sebesar 16,66%. Bentuk tubuh domba betina di tiga lokasi berbeda karena perbedaan peubah penentu bentuk tubuh dan persentase masing-masing peubah. Penentu bentuk tubuh domba betina di Palu Timur
adalah Lingkar dada dan lebar
pangkal ekor masing-masing sebesar 33% memberikan andil yang lebih besar dibanding peubah lainnya dengan persentase masing-masing 16%. bentuk tubuh domba betina di Palu Selatan pinggul
Penentu
adalah panjang badan dan tinggi
masing-masing sebesar 33% memberikan andil yang lebih besar
102
dibanding peubah lainnya yang hanya 16%. Demikian pula penentu bentuk tubuh domba betina di Biromaru adalah
tinggi pundak dan tinggi pinggul
masing-masing sebesar 33% memberikan andil yang lebih besar dibanding peubah lainnya yang hanya 16%. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peubah penciri ukuran yang dominan pada domba jantan adalah lingkar dada dan tinggi pinggul demikian pula penciri bentuk adalah tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada. Sedangkan peubah penciri ukuran yang dominan pada domba betina lingkar dada, tinggi pinggul dan lebar pangkal ekor demikian pula penciri bentuk adalah lingkar dada, tinggi pinggul, tinggi pundak dan lebar pangkal ekor Sifat Kualitatif Warna Kepala Domba Donggala Variasi warna kepala domba Donggala di lokasi penelitan disajikan pada Gambar 15.
a
b
c
Gambar 15 Variasi warna kepala domba Donggala (a) putih/hitam (b) hitam (c) putih. Pada Tabel 30 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa persentase warna kepala domba di tiga lokasi didominasi warna putih/hitam yang terbanyak pada domba jantan Biromaru kemudian diikuti warna hitam dan putih. Variasi warna kepala menampilkan perbandingan 1:2:1 mengindikasikan bahwa pasangan induk dari domba-domba tersebut mempunyai genotip warna kepala yang heterozigot. Menurut Searle (1968) bahwa persilangan antara domba muka putih dengan
domba
muka
hitam,
yang
menghasilkan
domba
muka
hitam
103
menggambarkan aksi dua gen dominan yang berbeda sedangkan kerja dua gen resesif menimbulkan warna putih. Sifat kualitatif di sajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Sifat-sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian Morfologi
Palu Timur
Palu Selatan
Biromaru
n=24♂ n=76♀ n=37 ♂ n=86 ♀ n=20 ♂ n=40 ♀ …………………………………………….%............................................................ Warna kepala Putih 22,73 20,00 25,00 15,85 14,42 20,00 Hitam 31,82 22,86 30,00 28,05 22,12 20,00 Putih/hitam 31,82 57,14 45,00 50,00 59,62 55,56 Coklat 0,00 0,00 0,00 3,66 1,92 4,44 Warna telinga Hitam Putih Coklat Putih/hitam Hitam/Coklat Putih/coklat
45,45 18,18 9,09 22,73 0,00 4,55
37,14 40,00 0,00 22,86 0,00 0,00
80 5 0 15 0,00 0,00
47,56 18,29 4,88 26,83 1,22 1,22
36,54 15,38 2,88 41,35 0,96 2,88
64,44 13,33 8,89 13,33 0,00 0,00
81,82 0,00 9,09 9,09 0,00 0,00
68,57 2,86 0,00 11,43 14,29 0,00
60,00 5,00 5,00 10,00 0,00 20,00
87,80 0,00 1,22 7,32 1,22 2,44
75,96 0,00 2,88 9,62 7,69 3,85
82,22 0,00 4,44 6,67 0,00 6,67
77,27 0,00 4,55 18,18
71,43 2,86 5,71 20,00
50,00 0,00 15,00 35,00
85,37 2,44 1,22 10,98
69,23 1,92 11,54 17,31
77,78 0,00 4,44 17,78
36,64 13,64 50,00
77,14 22,86 0,00
20,00 25,00 55,00
74,39 9,76 15,85
73,08 20,19 6,73
75,56 11,11 13,33
50,00 41,67 8,33
35,53 60,53 3,95
94,59 5,41 0,00
46,51 44,19 9,30
65,00 35,00 0,00
27,50 67,50 5,00
90,91 0,00 9,09 0,00 0,00 0,00
80,00 5,71 0,00 8,57 2,86 2,86
60 10 5 15 10 0,00
91,46 1,22 6,1 1,22 0,00
85,58 0,00 0,96 3,85 9,62 0,00
97,78 0,00 0,00 2,22 0,00 0,00
4,55 90,91 4,55 0,00 0,00
5,71 91,43 0,00 0,00 2,86
5 95 0,00 0,00 0,00
1,22 96,34 0,00 2,44 0,00
3,85 90,38 1,92 3,85 0,00
4,44 95,56 0,00 0,00 0,00
Warna bulu Putih Hitam Coklat Putih/Coklat Hitam/putih Kombinasi
Pola warna bulu Warna polos Bintik-bintik Belang Kecil Belang Besar Bentuk bulu/wol Lurus Berombak Keriting Bentuk ekor Gemuk Sedang Tipis Warna ekor Putih Hitam Coklat Putih/coklat Hitam/Putih Kombinasi
Warna kuku Putih Hitam Hitam /putih Coklat Putih/coklat
104
Hasil penelitian Nurjanah (1998) menunjukkan bahwa pewarisan pola warna kepala tetua kepada anaknya dapat dilihat berdasarkan
penggolongan
warna dasar kepala, belang dan pola kepala. Pola warna kepala yang sering tampak pada jantan domba Garut, domba lokal di Bogor dan Cianjur adalah hitam dengan belang putih dan putih dengan belang hitam. Berdasarkan pernyataan Warwick dan Legates (1983) bahwa variasi warna dasar yang diwariskan tetua kadang-kadang tampak sebagai variasi yang tidak dimiliki tetuanya. Warna Bulu Domba Sifat lain domba ekor gemuk tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung atau bagian lainnya hampir sama dengan domba lokal dengan kualitas wol dan kulit relatif baik (Mason 1980) Variasi warna bulu domba Donggala disajikan pada Gambar 16.
a
b
c
d
Gambar 16 Variasi warna bulu domba Donggala (a) putih (b) coklat putih (c) hitam putih (d) putih/coklat hitam.
105
Pada Gambar 16 dan Tabel 30 dapat dilihat bahwa warna bulu pada domba Donggala dominan putih seluruh tubuh meskipun sebagian masih ada belang hitam atau coklat. Warna belang hitam putih lebih banyak pada kepala dengan variasi belang
yang berbeda-beda.
Warna putih merupakan warna
umum yang ditemukan pada bangsa domba yang didomestikasi dan telah dijadikan standar penilaian genetika (Searle 1968). Warna bulu putih pada domba disebabkan oleh gen dominan, sedangkan warna bulu hitam disebabkan oleh gen resesif (Dalton 1981). Warna putih ini disebabkan pengaruh dua jenis gen yaitu gen bintik putih (white spotting gen) dan gen warna putih (white-W) tanpa efek pleotropik. Warna pada domba Merino berkisar dari warna terang; abu-abu kemudian bervariasi
pada warna–warna
yang membayangi warna coklat dan hitam.
Penampakan warna tersebut ditentukan oleh kehadiran satu gen resesif. Pada pewarisan ini dapat pula tampak bercak-bercak hitam selain putih, tetapi pengelompokan sifat fenotip masih belum jelas (Turner dan Young 1969). Menurut Sponenberg (1977) bahwa gen putih (white) atau tan (Awt)
adalah
penyebab fenotip warna putih yang mewaris pada bangsa domba. Warna putih mampu menyerap 20%, sedangkan warna hitam menyerap 100% dari spektrum radiasi sinar matahari yang kelihatan. Noor (1995) menjelaskan bahwa sumber semua warna pada rambut, bulu, kulit dan mata pada ternak adalah melanin. Melanin pada mamalia ditemukan dua macam yaitu eumelanin (melanin hitam atau kecoklatan) dan faeomelanin (melanin merah
atau coklat kekuningan).
Lebih lanjut
Searle (1968)
menerangkan bahwa melanion terletak pada organ sel yang disebut melanosom yang dihasilkan pada melanosit. Menurut Devendra McLeroy (1992) domba ekor gemuk didominasi warna putih. Namun frekuensi warna putih polos domba Donggala ditiga lokasi berada pada kisaran 60-87,8%. Warna tersebut lebih rendah dibanding domba ekor gemuk Bondowoso dan Sumenep (Doho 1994) 88-98% dan domba ekor gemuk Pandeglang 72-80% (Mulliadi 1996).
Kondisi tersebut kemungkinan sebagai
dampak hasil persilangan dengan domba luar.
106
Kammlade (1955) melaporkan bahwa sifat warna bulu putih pada sebagian besar domba adalah dominan terhadap hitam, akan tetapi perkawinan domba putih dengan domba hitam, ternyata pada keturunannya tidak murni untuk putih walaupun mungkin muncul putih. Searle (1967) menyatakan bahwa warna putih merupakan warna umum, ditemukan pada bangsa domba yang didomestikasi dan telah dijadikan standar penilaian genetik.
Warna putih domba disebabkan
pengaruh dua jenis gen, yaitu gen bintik putih (White-Spotting genes ) dan gen warna (White-W) tanpa efek pleiotropik. Bintik putih pada kepala serta ekor domba Karakul dan bangsa domba lainnya yang berwarna atau coklat, mungkin disebabkan oleh aksi gen white-spotting yang bersifat dominan tidak lengkap. Pola Warna Bulu Sifat kualitatif seperti pola warna bulu dalam program pemuliaan penting diperhatikan dalam menentukan kemurnian atau kekhasan sifat suatu bangsa secara fenotipik (Lasley 1978).
Variasi pola warna bulu
domba Donggala
disajikan pada Gambar 17.
a
b
c
d
Gambar 17
Variasi pola warna bulu domba Donggala (a) polos putih (b) belang besar (c) belang kecil (d) bintik-bintik.
107
Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa meskipun diperoleh pola warna bulu yang beragam namun domba Donggala umumnya berwarna polos dan belang besar. Hampir sejalan dengan Tiesnamurti (1992) sifat lain domba ekor gemuk memiliki warna sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam. Sedangkan pola belang menurut Griffiths et al. (1993) dipengaruhi oleh gen S, yaitu gen yang mengontrol ada tidaknya belang, dimana genotype S- menghasilkan warna polos dan ss menghasilkan bercak yang disebut piebald (belang) pada tikus dan kuda. Efek pleiotropik merupakan efek suatu gen yang mempengaruhi dua atau lebih sifat. Menurut Williamson dan Payne (1978), warna mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme adaptasi ternak terhadap panas. Yeates (1965) selanjutnya menyatakan bahwa bulu yang pendek dengan warna terang dengan tekstur halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh radiasi matahari. Beberapa jenis aksi gen yang ditemukan pada gen warna bulu, yaitu 1) gen warna alelomorfik (allelomorphic genes), (2) gen bintik warna (spotting gen ) dengan atau tanpa efek pleiotropik, (3) gen warna (colour genes) dengan atau tanpa efek pleiotropik (Searle 1968). Karakteristik Bulu/Wol Variasi bentuk bulu domba Donggala disajikan pada Gambar 18.
a
b Gambar 18 Variasi bentuk bulu/wol domba Donggala (a) lurus (b) keriting.
108
Warna Telinga Dilihat dari warna telinga domba Donggala baik jantan maupun betina dominan berwarna hitam, putih hitam dan putih sedangkan warna coklat, hitam coklat dan putih coklat relatif sedikit. Dari hasil pengamatan terhadap warna telinga domba jantan dan betina masing-masing untuk hitam (45,45; 47,56%) Palu Timur, (37,14; 36,54%) Palu Selatan dan (80; 64,44%) di Biromaru. Telinga warna putih hitam (22,73; 26,83%) Palu Timur, (22,86; 41,35%) Palu Selatan dan (15; 13,33%) di Biromaru. Bentuk Ekor Bentuk ekor merupakan salah satu ciri khas yang membedakan tipe domba apakah ekor gemuk atau ekor tipis dimana kedua tipe domba ini terdapat di Indonesia. Bentuk ekor domba Donggala disajikan pada Gambar 19.
a
b
c
Gambar 19
Gambar dr belakang
Variasi bentuk ekor domba Donggala (a) ekor gemuk (b) ekor sedang (c) ekor tipis.
Pada Gambar 19 dan Tabel 30 dapat dilihat bahwa lebar pangkal ekor domba penelitian jika ditinjau dari kriteria Mulliadi (1996) jantan maupun betina menunjukkan ciri ekor gemuk, hasil ini berbeda dengan kesimpulan (Devendra dan McLeroy 1992) bahwa Domba Donggala termasuk domba ekor gemuk
109
sedang. Persentase ekor gemuk tertinggi pada domba jantan dan betina berada di Palu Selatan 94,59% dan 46,51%. Domba betina di Palu Timur dan Biromaru dominan bentuk ekor sedang yakni 60,53% dan 67,50%. Persentase ekor gemuk yang tinggi di Palu Selatan disebabkan karena peternak dan konsumen lebih menyukai domba ekor gemuk. Adanya bentuk ekor sedang dan sisanya ekor tipis karena akibat persilangan dengan domba luar yang berekor tipis. Warna Ekor Warna ekor domba Donggala umumnya berwarna putih baik jantan maupun betina.
Dari hasil pengamatan diperoleh ekor warna putih (90,91;
91,46%) Palu Timur, (80; 85,58%) Palu Selatan dan (60; 97,78%) di Biromaru. Warna hitam, putih coklat dan hitam putih lebih banyak pada ekor domba jantan di Biromaru masing-masing (10, 15 dan 10%) sementara warna ekor lokasi lainnya relatif sedikit. Warna Kuku Dari hasil pengamatan terhadap warna kuku domba jantan dan betina dominan warna hitam pada semua lokasi, sementara sisanya warna putih ada pada semua lokasi serta hitam putih, coklat dan putih coklat terbagi pada berbagai lokasi dan jenis kelamin. Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar subpopulasi domba Donggala disajikan pada Tabel 31. Tabel 31
Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar subpopulasi domba Donggala
Subpopulasi Palu Timur Palu Selatan Biromaru
Subpopulasi Palu Timur Palu Selatan Biromaru Total ………………………….(%)................................................. 69,31 12,87 17,82 100,00 19,17 70,00 10,83 100,00 21,2 3,64 74,55 100,00
Pada Tabel 31 dapat dilihat bahwa kesamaan ukuran fenotipik ketiga subpopulasi lokasi cukup tinggi. Nilai kesamaan subpopulasi Palu Timur sebesar
110
69,31%, selebihnya dipengaruhi oleh adanya campuran di dalam kelompok domba Palu Selatan dan Biromaru masing-masing sebesar 12,87% dan 17,82%. Sementara kesamaan ukuran fenotipik terbesar di dalam kelompok terdapat pada domba Biromaru yaitu 74,55%. Hal ini berarti bahwa arus kawin silang domba antar lokasi kurang terjadi. Tingkat campuran domba Biromaru dari subpopulasi domba lain menunjukkan bahwa kelompok domba Palu Timur memiliki konstribusi yang paling besar 21,82%
di banding dengan domba Palu Selatan
dengan nilai campuran hanya 3,64%.
Besarnya kesamaan ukuran fenotipik
domba Biromaru berkaitan dengan lebih terisolasinya lokasi penelitian. Hal ini sejalan dengan laporan Suparyanto (1999) mengenai domba ekor tipis dari Jawa yang dipelihara di Sumatera. Jarak genetik antara domba Palu Timur dan Palu Selatan adalah 2,66314, antara Palu Timur dan Biromaru sebesar 3,13033 dan antara Palu Selatan dan Biromaru sebesar 3,99504. Secara hirarki konstruksi pohon fenogram memberikan hasil yang lebih jelas seperti tersaji dalam Gambar 20. 0,82
0,13
Palu Timur
0,82
Palu Selatan Biromaru
0,94 0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
Gambar 20 Pohon fenogram subpopulasi domba Donggala. Jarak genetik antara masing-masing subpopulasi menunjukkan bahwa domba Palu Timur dengan domba Palu Selatan memiliki kedekatan hubungan genetik dibanding dengan domba Biromaru. Hal ini dapat dipahami mengingat kedua lokasi memiliki jarak geografis yang lebih dekat dimana posisi lokasi kelurahan yang bersebelahan.
Kondisi tersebut berbeda dengan Biromaru,
meskipun bersebelahan kecamatan antara Palu Selatan dan Biromaru, namun lokasi penelitian masih diantarai oleh kelurahan lain. Secara genetik domba dari ketiga lokasi memiliki kesamaan yang tinggi sebab domba tersebut berasal dari tetua yang sama yakni domba ekor gemuk (DEG) dengan domba Merbas. Domba
111
Merbas merupakan domba BANPRES tahun 1986 sebanyak 250 ekor yang disebar kemasing-masing peternak 41 ekor di Palu Timur dan 144 ekor di Biromaru (Disnak Sulteng 1987). Perbedaan jarak genetik domba di Biromaru dengan lokasi lainnya, kemungkinan dipengaruhi lamanya pemeliharaan domba ekor gemuk dengan domba Merbas. Hal ini terungkap dari peternak bahwa setelah mengetahui perubahan penampilan dari dombanya akibat persilangan domba Merbas disingkirkan bahkan ada peternak yang menolak bantuan domba tersebut. Hal tersebut nampak sekali dari perbedaan antara domba hasil silangan dengan domba ekor gemuk, khususnya mengenai ekor dan warna bulu. Pendugaan jarak genetik tersebut akan lebih terarah dan mendalam jika ditunjang dengan adanya penelitian dibidang molekuler (Suparyanto 1999). Namun Suparyanto (2002) juga telah membuktikan bahwa penentuan jarak genetik atas data morfologis dengan molekuler tidak jauh berbeda. Duma dan Rusdi (2001) yang mengidentifikasi variasi genetik domba Donggala dengan teknik elektroporesis menyimpulkan bahwa domba ekor gemuk Palu (Donggala) sudah dicemari sedemikian besar dengan darah domba Merbas (tidak murni lagi) akibat kebijakan persilangan sejak tahun 1986. Program Pemuliaan Secara Umum Domba Donggala memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai domba pedaging mengingat presentasi karkas yang dimiliki cukup besar (45%) sebagai salah satu pangan sumber protein. Oleh karena itu hal-hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan ternak domba Donggala diantaranya adalah 1) pelestarian dan pemurnian domba Donggala melalui seleksi dan persilangan, status domba ekor gemuk perlu dipertahankan karena aromanya khas yang lebih disukai konsumen sehingga dapat memiliki nilai ekonomis yang tinggi; 2) perbaikan padang penggembalaan dan kajian sumber-sumber pakan alternatif; dan 3) perbaikan manajemen pemeliharaan melalui penyuluhan-penyuluhan. Secara umum ketiga lokasi memiliki potensi bibit-bibit unggul, hal tersebut terlihat dari rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh. Pejantanpejantan yang memiliki fenotipe terbaik dapat dipilih dari peternak untuk dijadikan sebagai pemacek.
kandang-kandang
Secara khusus pada lokasi di
Biromaru juga dapat dijadikan sebagai sentra bibit dengan berbagai pertimbangan.
112
1.
Kontinuitas ketersediaan pakan sepanjang waktu baik lokasi penggembalaan maupun limbah hasil-hasil pertanian.
2.
Bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Biromaru lebih besar.
3.
Jarak Biromaru lebih jauh dari pasar hewan. Dukungan Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Balai Penelitian akan sangat
membantu untuk meningkatkan program tersebut. Misalnya Pemerintah memberikan intensif kepada peternak domba yang memiliki domba pejantan terbaik dengan membeli dombanya dan mendistribusikan kembali ke peternak. Sehingga penjualan domba-domba unggul kebutuhan.
tidak terjadi karena desakan
Selanjutnya Perguruan Tinggi dan Balai Penelitian berperan
meningkatkan riset untuk membantu peternak menemukan teknik-teknik budidaya untuk meningkatkan produktifitas domba dan pemberdayaan masyarakat peternak melalui program penyuluhan-penyuluhan.
113
SIMPULAN Populasi domba Donggala cenderung menurun dari tahun ke tahun dan kini tinggal 3 270 ekor. Domba di Biromaru memiliki rerata bobot badan yang tertinggi dibanding lokasi lainnya yakni bobot lahir (3,25±0,53) kg dan bobot sapih (11,25±3,33) kg. Demikian pula rerata bobot dewasa domba jantan umur 36 bulan (42,00±6,245) kg dan domba betina (30,14±6,28) kg.
Secara umum
ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan domba pada umur 18-24 bulan di Biromaru juga lebih besar dibandingkan di lokasi lainnya. Hasil analisis komponen utama (AKU) menunjukkan bahwa penciri ukuran dan bentuk tubuh yang juga dapat dijadikan kriteria seleksi domba Donggala jantan dan betina adalah lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul dan lebar ekor di tiga lokasi. Sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian beragam pada warna kepala, warna telinga, bentuk bulu dan bentuk ekor. Warna bulu domba di tiga lokasi umumnya berwarna putih 60-80% dengan pola warna polos. Di Palu Selatan domba ekor gemuk dengan persentase tertinggi (94,59%) adalah pada domba jantan, sedangkan persentase domba ekor sedang terbanyak di Biromaru (67,50%). Domba Palu Timur dan Palu Selatan memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan domba di Biromaru.
114
DAFTAR PUSTAKA Abdullah S. 2001. Pengaruh model kandang yang berbeda terhadap kualitas fisik daging ternak domba lokal. Jurnal Agroland 8(4):445-450. Adiati U, Subandriyo. Yuliastiani D. Tiesnamurti B. 2002. Tampilan reproduksi domba jantan lepas sapih komprait Sumatera dan persilangan berbeda pada tingkat pakan yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi-Bogor 30 September – 1 Oktober 2002. Bogor: Puslitbangnak. hlm 174-177. Amano T et al. 1981. Morphological and genetical survey of water buffaloes in Indonesia. The original and phylogeny of Indonesia native livestock (Part II) Micro Printing . Tokyo. Japan. hlm 31-51. Amar AL. 1989. Evaluasi padang penggembalaan Dinas Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah di Sidera Palu [laporan penelitian]. Palu: Lab. Studio Jurusan Peternakan Fak. Pertanian, Universitas Tadulako. Amar AL. 2002. Komponen tumbuhan menerna dan daya tampung padang penggembalaan lahan kering di Kelurahan Palu Timur. Jurnal Agroland 12(4):396-401. Amar AA, Tantu R, Hamsun M. 2005. Upaya perbaikan produktivitas ternak domba rakyat yang dipelihara pada penggembalaan lahan kering di lembah Palu. Jurnal Agroland 9(2):172-178. Atkins KD. 1980. The comparative productivity of five ewe breeds. 1- Lamb growth and survival. Ast Jurnal of Expt. Agrc And Anim. Husb 20:288-295 Baliarti E. 1981. Rata-rata berat lahir, berat sapih dan pertambahan bobot badan anak domba yang dipelihara secara tradisional [laporan penelitian]. Yogyakarta: Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Banerjee GC. 1982. A Text Book of Animal Husbandry. Ed ke-5. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Kota Palu dalam angka, Sulawesi Tengah. Boujenane I. 1996. The D'Man. In: Fahmy MH. (Ed.). Prolific Sheep.CAB International. Pp:109-120. Dalton DC. 1981. An Introduction to Practical Animal Breeding. London: Granada Publishing Limited. Devendra C, McLeroy GB. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. London: Longman. Devendra C, McLeroy GB. 1992. Sheep Breeds. In : Goat and Sheep Production in the Tropics. ELBS. England: Longman Group Ltd. Diggins RV. Bundy CE. 1958. Sheep Production. Prentice Hall Inc. Englewood cliffs.
115
[DISNAK SULTENG] Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. 1987. Statistik Peternakan Sulawesi Tengah. Palu: Disnak Sulteng. [DISNAK SULTENG] Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. 2003. InfokomSulteng.go.id [28 Nov 2005]. [DISNAK SULTENG] Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. 2004. Statistik Peternakan Sulawesi Tengah. Palu: Disnak Sulteng. [DISNAK SULTENG] Dinas Peternakan Sulawesi Tengah. 2005. Statistik Peternakan Sulawesi Tengah. Palu: Disnak Sulteng. Diwyanto K. 1982. Pengamatan fenotip domba Priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan [tesis]. Bogor: Fakultas Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Diwyanto K, Martojo H, Siswadi. 1984. Pengamatan ukuran permukaan tubuh domba di kabupaten Garut serta hubungannya dengan bobot badan. Prosiding Pertemuan Ilmiyah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 143-146. Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia 12(1):1-8. Djajanegara A, Sutama IK, Sabrani. 1992. Ragam kinerja domba ekor gemuk. Prosiding Agro-industri Peternakan di Pedesaan. Bogor : BPT Ciawi. Doho SR. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada domba ekor gemuk [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Doho SR, Tantu R. 1997. Irisan-irisan karkas komersial domba ekor gemuk (DEG) dan silangan DEG x Merbas pada berbagai tingkat protein pakan. Jurnal Agroland 4(4):44-56. Duma Y, Syukur SH. 2001. Profil domba ekor gemuk Palu dan silangannya dengan Merbas pada penggembalaan lembah Palu [laporan penelitian]. Palu:. Lembaga Penelitian, Universitas Tadulako. Duma Y, Rusdi. 2001. Identifikasi variasi genetik domba Lokal di Lembah Palu melalui Analisis protein plasma darah dengan teknik Elektroforesis. Jurnal Agroland 8(3):315-321. Edey TN. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Canberra: Australian Universities International Development Program (AUIDP). Eleiser S, Saribu MD, Batubara LP. 1994. Beberapa kegiatan uji coba pengembangan ternak domba. [laporan penelitian]. Sumatera Utara: Sub Balai Penelitian Ternak SEI Putih. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Einstiana A. 2006. Studi keragaman fenotipik dan pendugaan jarak genetik antar domba lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
116
Everitt BS. Dunn G. 1998. Applied Multivariate Data Analysis. New York: John Wiley & Sons Inc. [FAPET IPB] Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 1985. Konservasi Ternak Asli. Bogor: Fakultas Peternakan IPB-Direktorat Jenderal Peternakan. Fida. 2006. Studi penampilan pertumbuhan anak prasapih. bobot badan dan dimensi tubuh domba ekor gemuk di Indramayu. Madura dan Palu. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Flury B. 1988. Common Principal Components and Related Multivariate Models. New York: John Wiley & Son’s Inc. Fourie PJ, Neser FWC, Livier JJ, Westhuizen CV. 2002. Relationship betwen production performance, visual appraisal and body measurements of young Dorpers rams. South African Journal of Animal Science 32(4) 256-262 Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung: Tarsito.
Jilid 2.
Griffiths AJF. Miller JH. Suzuki D. Lewontin RC. Gelbart WM. 1993. An Introduction to Genetics Analysis. New York: Freeman Company. Haley CS, Cameron ND, Slee J, Land RB. 1987. Indirect selection. Di dalam: Marai IFM, Owen JW, editor. New Techniques in Sheep Production. London: Butterworth and Co. Publisher, Ltd. Hamsun M, Amar AL. 2001. An overview range land productions at two location of communal grazing for the low income farmers in Palu valley. Central Sulawesi: Jurnal Agroland 8 (2):193–202. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliaabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hafez ESE. 1969. Prenatal Growth. Di dalam: Animal Growth and Nutrition. Philadelphia: Lea and Febiger. Hafez ESE. 1996. Reproduction in Farma Animal. Ed ke-6. Piladelphia: Lea & Febiger. Hartl DL. 1988. A Primer of Population Genetics. Ed ke-2. Sinauer: Associates Inc. Publisher. Herera M, Rodero E, Gutierrez F, Peria Rodero JM. 1996. Application of multifactorial discriminant analysis in the morphostructural differentiation of Andalusian caprine breeds. Small Rum Res. 22: 39-47. Hamsun M, Saloko F, Syukriah, Marini, Supunawa. 1998. Memperpendek jarak kelahiran domba di perusahaan peternakan domba ”Imam Kawatuna”. [laporan penelitian]. Palu: Lembaga Pengabdian Masyarakat, Untad. Herman R. 2005. Produksi karkas dan non karkas domba priangan dan ekor gemuk pada bobot potong 17.5 dan 25.0 kg. Bogor : Media Peternakan 28(1):8-12.
117
Husain MH. 2002. Standar Mutu Bibit Ternak di Sulawesi Tengah. Palu: Pusat Penelitian Hewan Tropis, Universitas Tadulako. Iniguez L, Bradford GE, Kamarudin, Sutama K. 1991. The Javanese fat tail an Indonesia sheep population with potential to produce hair sheep. Di dalam: Stephan Wideus, editor. Proceedings Hair Sheep Symposium.. USA: Univ of Virgin Island. hlm 54-63. Inounu I. 1991. Production performance of prolipic Javanese sheep [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Inounu I, Iniguez LC, Bradford GE, Subandriyo, Tiesnamurti B. 1993. Performance production of prolific Javanese ewes. Small Ruminant Res. 12: 243-257. Inounu I, Diwyanto K. 1996. Pengembangan ternak domba di Indonesia. Journal litbang Pertanian 15(3):61-68. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. ANDI. Ismaya. 1992. Hubungan antara berat testis dengan umur, berat tubuh dan besar scrotum domba lokal. Buletin Peternakan 16(4):18-22. Jaya M. 1981. Hubungan antara lingkar dada dan panjang badan dengan berat badan domba Garut pada berbagai tingkat umur [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. Johansson I, Rendel J. 1966. Genetics and Animal Breeding. San Fransisco: WH. Freeman and Co. 171-220. Junus M. 1984. Produktivitas ternak domba ekor gemuk pada berbagai ketinggian daerah di Jawa Timur [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Kasim K. 1996. Evaluasi introduksi domba pejantan Merbas terhadap pertumbuhan komponen tubuh domba lokal (DEG) di padang penggembalaan alam lembah Palu. Jurnal Agroland 3(12):22-33. Kammlade WG. 1955. Sheep Science. New York: Lippincott JB.Co. 364-372. Karson M. 1982. Multivariate Statistical Methods. an Introduction. USA: The Iowa State University Press. Ames Iowa. Kumar SK. Tamura. Nei M. 1993. [MEGA] Molecular Evolutionary Genetics Analysis. Version 1.01. USA: Institute of Molecular Evolution Genetic. The Pennsylvania University. Lasley JF. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Ed ke-3. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited. Liu MF, Makarechian M. 1990. Comparison of phenotypic variation within paternal half sib families for weaning wight in purebreed and sinthetic beef cattle population. Can. Jurnal Anim Sci 70:703-706. Mansjoer SS. 1993. Identifikasi keragaman genetik banteng [laporan penelitian] Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
118
Manly BFJ. 1989. Multivariat Statistical Method. A Primer. London : Chapman and Hall Ltd. Mason IL. 1980. Prolific Tripocal Sheep. Animal Production and Health Paper. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations.17: 65-74. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Merkens J, Soemirat R. 1979. Sumbangan pengetahuan tentang ternak domba di Indonesia. Oetojo R, penerjemah. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terjemahan dari: Domba dan Kambing. Mirajuddin, Duma Y. 2003. Meningkatkan efisiensi reproduksi domba lokal Palu melalui aplikasi flushing dan inseminasi buatan. Jurnal Agroland 10(4): 418-422. Mulliadi D. 1996. Sifat Fenotipik domba Priangan di Kabupaten Padeglang dan Garut [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munier FF, Bulo D, Sammang Z, Kairupan AN, Ngatidjo P, Lasonggo A. 2002. Pengkajian pola pemeliharaan semi intensif domba ekor gemuk (DEG) di Lembah Palu Sulawesi Tengah [laporan penelitian]. Palu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Munier FF, Femmi NF, Purwaningsih H, Husain S. 2003. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk yang diberikan pakan tambahan leguminosa. Prosiding Seminar Nasional Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi mendukung Agribisnis. Pertanian Yogyakarta. Munier FF, Bulo D, Saidah, Syafruddin, Boy R, Femmi NF, Husain S. 2004. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk (DEG) yang dipelihara secara intensif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Nishida T, Hayashi Y, Hashiguchi T, Mansjoer SS, 1982. Distribution an identification of jungle fowl in Indonesia. The Origien and Phylogeny of Indonesian Navati Livestock. Report by The Research Group of Overseas Scientific Survey 3:85-95. Noor RR. 1995. Genetika Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya. Nurjadi. 1982. Angka kematian pra-lahir domba ekor gemuk sesuai dengan umur. jumlah dan posisi ovulasi dari induk [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah I. 1998. Studi penurunan sifat pola warna muka domba Garut di desa Sukawargi Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Otsuka J, Namikawa T, Nozawa K, Martojo H. 1992. Statistical analysis on the body measurements of East Asian native livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey.
119
Pangestu RB, Mansjoer SS. 1996. Pemuliaaan domba lokal. Di dalam: Materi Pelatihan Usaha Peternakan Ayam dan Domba lokal di Pedesaan. Bogor: Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Praharani L, Subandriyo, Tiesnamurti B, Adiati U. 2000. Evaluasi lingkar scrotum dan libido pejantan muda rumpun domba Komposit dan Barbados Cross. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Pirchner F. 1969. Population Genetics in Animal Breeding. San Fransisco: Freeman and Company WH. Priyanti A, Soedjana TD, Handayani SW, Ludgate PJ. 1989. Karakteristik peternak berpenampilan tatalaksana tinggi dan rendah dalam usaha ternak domba/kambing di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Kecil Kambing dan Domba. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Priyanto D, Setiadi B, Inounu I, Subandriyo. 1992. Produktivitas domba pedesaan pada kondisi pemeliharaan tradisional di Cirebon. Jurnal Ilmu dan Peternakan 5(1):15-19. Salmin, Sonjaya HD, Rahardja P, Mustafa. 2004. Aktivitas ovarium domba betina lokal Palu pada kondisi lapangan. Jurnal Agroland 11(3):308-311. Sakul H, Bradford GE, Subandriyo. 1994. Prospects of genetic improvement of small ruminants in Asia. Proceedings of a Symposium Held in Conjuction With 7th. Dempasar: Asian-Australian Association of Animal Production Societes Congress. hlm 11-16. Searle AG. (1967). Comparative Genetics of Coat Colour in Mammals. New York: Logos Press Academic. Searle AG. 1968. Comparative Genetic of Coat Colour in Mammal. Ed ke-1. London: Logos Press Academic. Setyowati F. 2002. Produktivitas induk domba Garut pada pemeliharaan intensif di Desa Surakarsa Kecamatan Parakan Salakan Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Siregar AR. 1981. Pendugaan parameter fenotip dan genotip sifat pertumbuhan serta pengamatan beberapa kuantitatif domba Priangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sisson SS. 1953. The Anatomy of the Domestic Animals. Ed ke-4. Revised. Philadelfhia and London: Saunders Company. Smith ID. 1979. Sheep in South-East Asia. Di dalam: “ Sheep Breeding”. By. Jones GL, Robertson DE, Linghtfoot RJ. London: Butterworth & Co. Sponenberg DP. 1977. Genetics of colour and hair texture. Di dalam: Piper L and Ruvinsky A (Eds). The Genetics of Sheep. Cambridge: CAB International Solidus. University Press.
120
Subandriyo. 1993. Strategi pemuliaan domba di Pusat Pembibitan dan Peternak. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJP II. Bogor: ISPI-HPDKI. Subandriyo, Setiadi B, Soedjana TD, Sitorus P. 1994. Produktivitas usaha ternak domba di pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Subandriyo, Djajanegara A. 1995. Potensi produktivitas ternak domba di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.. Subandriyo, Setiadi B, Rangkuti M, Diwyanto K, Handiwirawan E, Romjali E, Doloksaribu M, Elieser S, Batubara L. 1996. Pemuliaan bangsa domba sintetis hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba bulu [laporan penelitian]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Soehadji. 1991. Pembangunan dan Pengembangan Peternakan di Indonesia dari Sapi. Perbaikan Mutu Genetik Ternak. Jakarta: Dirjen Peternakan. Sumadi. 2001. Estimasi dinamika populasi dan output kambing Peranakan Ettawah di Kabupaten Kulon Progo. Bulletin Peternakan 25(4):161-171 Sumoprastowo RM. 1993. Bhatara.
Beternak Domba Pedaging dan Wool.
Jakarta:
Sutisna A. 2001. Pengembangan domba laga untuk menunjang agrowisata. agribisnis. pelestarian budaya dan penyelamatan plasma nutfah. Seminar Nasional Domba dan Kambing. Bogor: Puslitbang Peternakan, Balitbang Pertanian. Suparyanto A, Purwadaria T, Subandrio. 1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4 (2): 80-87. Suparyanto A, Subandriyo, Wiradarya TR, Martojo HH. 2001. Analisis pertumbuhan non-linier domba lokal Sumatera dan Persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(4):259-264. Suparyanto. 2002. Penggunaan polimorfisme protein darah untuk penentuan jarak pertalian genetik antar populasi domba Indonesia, St. Croix dan Merino. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(1): 46-53. Sutama IK, Uli AP, Djayanegara A, Sabrani M. 1991. Perbaikan Mutu Genetik dan Pengembangan Domba Ekor Gemuk. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Pusat penelitian dan Pengembangan peternakan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sutama IK. 1993. Evaluasi performans reproduksi dan produksi domba ekor gemuk yang diseleksi berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Bogor: ISPI HPDKI. hlm 92-95.
121
Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Tiesnamurti B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Prosiding Lokakarya Potensi Ruminansia Kecil di Indonesia Bagian Timur. Mataram, NTB. Bogor: Balai Penelitian Ternak. hlm 79-86. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Turner HN, Young SSY. 1969. Quantitatif Genetics in Sheep Breeding. Ed ke1. New York: Cornel University Press, Ithaca. Triwulaningsih, Sitorus P, Batubara LP, Suradisastra K. 1981. Performans domba Garut. Bulletin BPT 28:1-13 Warwick EW, Legates JE. 1983. Breeding and Improvement of Farm Animals. New York: McGraw-Hill. Warwick EJ, Maria JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Williamson G, Payne WJA, 1978. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Ed ke-3. London: Longman Group Limited. Wiradarya TR. 2005. Sistem 3 Strata sebagai strategi pemulihan dan peningkatan mutu genetik kambing dan domba di Indonesia (Ulasan). Media Peternakan 28(2):87-99. Yeates NTM. 1965. Modern Aspect of Animal Production . Di dalam: Williamson. G. dan Payne WJA. 1978. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Ed ke-3. London: Longman Group Limited. Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Florida: Press. Boca Raton.