Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
KARAKTERISTIK AJARAN TAŞAWWUF AL-GHAZĀLĪ :”TINJAUAN TERHADAP TEORI KESIMBANGAN ANTARA SYARIAT DAN HAKIKAT” Oleh: Yedi Purwanto ABSTRACT AL-GHAZALI SUFISM CHARACTERISTIC: OBSERVATION OF EQUILIBRIUM THEORY BETWEEN SHARI’AH AND THE TRUTH Al-Ghazālī’s complete name was Abū Hāmid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazālī Al-Ţūsī (450 -505H/1058-1111M). He gave a great contribution to the development of taşawwuf mastered the majority of Islamic traditional knowledge, such as Fiqh, Tafsir, Kalam and taşawwuf with his wide and deep knowledge at least in Muslim Sunni’s perspective, he was considered, at least in Muslim Sunni prespective, as the most complete Muslim thinker who answered most at Islamic questions, especially in sufism. It is not surprising that his works, especially in sufism has exerted great the influences on Islamic world generally and Indonesia especially in interpreting sufi doctrines for long time. The influence of al-Ghazālī’s thought can be seen from the great numbers of studies on sufism conducted by educated Muslim society from the Islamic boarding high school till university or college. With observing several works of al-Ghazālī thought in many boarding schools and the tendency for student college to study the thought of alGhazālī, the writer conclude that concerning religious matters Indonesian Muslim community have considered al-Ghazālī’s works as reference more authoritative than the other thinkers in this field. AlGhazālī dominated the study of it in educated Indonesian Muslim are : Ihya’ ‘Ulūm al-Dīn, Bidāyah al-Hidāyah and Minhāj al-‘Ābidīn. These works had been translated into Indonesian language. Furthermore, the last two works have been explained with Arabic language, first the book ‘Bidāyah al-Hidāyah’ by Nawawi Banten with title al-Marāqi al-
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 135
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
‘ubūdiyyah, secondly the book ‘Minhāj al-‘Ābidīn’ by Ihsān Ibn Muhammad Dahlān (d.1330H/1952M), a ‘alim from Jampes, Kediri with titled Sirāj al-Tālibīn. Al-Ghazālī’s Minhāj al-‘Ābidīn is interesting and very important to study. This book is a short composition but contains the esential doctrines (at sufism). It was the last work of al-Ghazālī before he passed away, just his extraordinary friends who listen directly from al-Ghazālī. This book summons its readers to reflect the essence of Ibādah (Worship) and its various steps to make it perfect. There are seven steps: 1) knowledge and gnosis (al-‘ilm wa al-ma’rifah), 2) repentance (al-tawbah), 3) permanent barriers (al-‘awā’iq), 4) temporary barriers (al-‘awārid), 5) encouraging factors (al-khawf wa al-raja’), 6) blaming spirit (al-qawādih) and 7) praising God (alhamd wa al-shukr). The worship is the form of obedience and slavery at man to his Lord, so that worship would be most valuable thing which guides man to the heaven, but to reach a perfection in worship, a man must go through many blocks, and it needs sacrifice, al-Ghazālī called the stages and the barriers in worship with ‘Aqabah. The result of this research shown that in reality the whole difficulties which must be passed through by worshiper in his worship, the difficulties which must be faced is comparable with the path, full of barriers and temptations which can deviate the worshiper in his worship, ‘Aqabah in worship could only be through with a hard struggle of Mu’min. With this theory al-Ghazālī wants to show us how to cope with all difficulties in worship. As far the method to pass through the ‘Aqabah are: ‘Aqabah in knowledge and gnosis (al-‘ilm wa al-ma’rifah) can be throug by seeking for knowledge and education in theology, science of law, ethics, exact sciences, history, etc. ‘Aqabah in repentance (altawbah) is pass through by relizing bad effect of sins, the severe punishment of Allāh for sins doers and his weakness to defend from Allāh’s punishment. ‘Aqabah in permanent barriers (al-‘awā’iq)is passed through by hard struggle to go through the many kind of barriers like the world, creation, men, devil, and desire which followed by praying for the help from Allāh. ‘Aqabah in temporary barriers (alAl-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 136
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
‘awārid) is passed through by fearness and please to Allāh’s windows. ‘Aqabah in encouraging factors (al-khawf wa al-raja’) is passed through fearness and hope to Allāh SWT. ‘Aqabah in blaming spirit (al-qawādih), is passed through by sincerty of intention to Allāh SWT in worship. And ‘Aqabah in praising God (al-hamd wa al-shukr) is passed through by replacing our thank to Allāh SWT for his mercies and blessings He has given. Hopefilly this research will be useful as the sources information and the basic theory and practice in doing worship in accordance with Islamic shari’ah. To apply or to implement this information in this research needs the practical measure to create a conducive environment for concentrating worship, in the form of institutions which can lead the education in good worship by applying ‘Aqabah Theory of al-Ghazālī.
KARAKTERISTIK AJARAN TAŞAWWUF AL-GHAZĀLĪ : TINJAUAN TERHADAP TEORI KESIMBANGAN ANTARA SYARIAT DAN HAKIKA ABSTRAK Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali Al-Tusi (450-505H / 1058-1111M). Dia memberikan kontribusi besar bagi perkembangan tasawuf menguasai mayoritas pengetahuan tradisional Islam, seperti Fiqh, Tafsir, Kalam dan tasawuf dengan pengetahuan yang luas dan mendalam setidaknya dalam perspektif Islam Sunni, ia dianggap, setidaknya dalam wawasan Sunni Muslim , sebagai pemikir Muslim paling lengkap yang menjawab pertanyaan paling Islam, terutama di sufisme. Hal ini tidak mengherankan bahwa karya-karyanya, terutama dalam sufisme telah diberikan besar pengaruh pada dunia Islam pada umumnya dan Indonesia khususnya dalam menafsirkan doktrin sufi untuk waktu yang lama.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 137
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Pengaruh pemikiran al-Ghazali dapat dilihat dari jumlah besar studi tentang sufisme yang dilakukan oleh masyarakat muslim terpelajar dari SMA pesantren sampai universitas atau perguruan tinggi. Dengan mengamati beberapa karya al-Ghazali berpikir di banyak pesantren dan kecenderungan untuk kuliah mahasiswa untuk mempelajari pemikiran al-Ghazali, penulis menyimpulkan bahwa mengenai masalah agama Indonesia komunitas Muslim telah mempertimbangkan karya al-Ghazali sebagai referensi yang lebih otoritatif daripada pemikir lain dalam bidang ini. Al-Ghazali mendominasi studi di Muslim Indonesia berpendidikan: Ihya '' Ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah dan Minhaj al-'Abidin. Karya-karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, dua karya terakhir telah dijelaskan dengan bahasa Arab, pertama buku 'Bidayah al-Hidayah' oleh Nawawi Banten dengan judul al-Marāqi al-'ubūdiyyah, kedua buku 'Minhaj al-'Abidin' oleh ihsan Ibn Muh Ammad Dahlan (d.1330H / 1952M), seorang 'alim dari Jampes, Kediri dengan judul Siraj al-Talibin. Al-Ghazali Minhaj al-'Abidin menarik dan sangat penting untuk belajar. Buku ini adalah komposisi singkat tapi mengandung ajaranajaran penting dilakukan (di sufisme). Ini adalah karya terakhir dari al-Ghazali sebelum dia meninggal, hanya teman yang luar biasa yang mendengarkan langsung dari al-Ghazali. Buku ini memanggil pembacanya untuk mencerminkan esensi Ibadah (Ibadah) dan berbagai langkah untuk membuatnya sempurna. Ada tujuh langkah: 1) pengetahuan dan gnosis (al-'ilm wa al-ma'rifah), 2) pertobatan (alTaubah), 3) hambatan permanen (al-'awā'iq), 4) hambatan sementara (al-'awārid), 5) faktor (al-khawf wa al-raja 'mendorong), semangat 6) menyalahkan (al-qawādih) dan 7) memuji Allah (al-hamd wa alsyukurnya). Ibadah adalah bentuk ketaatan dan perbudakan di manusia kepada Tuhannya, sehingga ibadah yang akan menjadi hal yang paling berharga yang memandu manusia ke surga, tetapi untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah, seorang pria harus melalui banyak blok, dan perlu pengorbanan , al-Ghazali disebut tahap dan hambatan dalam ibadah dengan 'Aqabah.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 138
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kenyataannya kesulitan seluruh yang harus dilalui penyembah dalam ibadah, kesulitan yang harus dihadapi sebanding dengan jalan, penuh hambatan dan godaan yang dapat menyimpang penyembah dalam ibadahnya, "Aqabah dalam ibadah hanya bisa melalui dengan perjuangan keras Mu'min. Dengan teori ini al-Ghazali ingin menunjukkan kepada kita bagaimana untuk mengatasi semua kesulitan dalam ibadah. Sejauh metode untuk melewati 'Aqabah adalah: 'Aqabah dalam pengetahuan dan gnosis (al-'ilm wa al-ma'rifah) dapat throug dengan mencari pengetahuan dan pendidikan dalam teologi, ilmu hukum, etika, ilmu-ilmu eksakta, sejarah, dll' Aqabah dalam pertobatan (al tawbah) adalah melewati oleh relizing efek buruk dari dosa, hukuman berat dari Allāh dosa pelaku dan kelemahan untuk membela dari hukuman Allah. 'Aqabah hambatan permanen (al'awā'iq) yang dilalui perjuangan keras untuk pergi melalui banyak jenis hambatan seperti dunia, penciptaan, pria, setan, dan keinginan yang diikuti dengan berdoa untuk bantuan dari Allāh. 'Aqabah hambatan sementara (al-'awārid) yang dilalui menyelimuti.Dengan dan mohon untuk jendela Allāh itu. 'Aqabah dalam faktor-faktor (alkhawf wa al-raja mendorong') dilewatkan melalui menyelimuti.Dengan dan berharap untuk Allāh SWT. 'Aqabah menyalahkan roh (alqawādih), yang dilalui sincerty niat untuk Allāh SWT dalam ibadah. Dan 'Aqabah dalam memuji Allah (al-hamd wa al-syukurnya) dilewatkan melalui dengan mengganti terima untuk Allāh SWT untuk belas kasihan dan berkat yang Dia berikan nya. Hopefilly penelitian ini akan berguna sebagai informasi sumber dan teori dasar dan praktek dalam melakukan ibadah sesuai dengan syariat Islam. Untuk menerapkan atau menerapkan informasi ini dalam penelitian ini perlu ukuran praktis untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berkonsentrasi ibadah, dalam bentuk lembaga-lembaga yang dapat menyebabkan pendidikan dalam ibadah yang baik dengan menerapkan 'Aqabah Teori al-Ghazali.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 139
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
A. Berkenalan Dengan Al-Ghazālī Nama lengkap al-Ghazālī adalah Abū Haāmid Muhmammad ibn Muhmammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazālī al-Ţūsi.1 Ia dilahirkan di Ţūs, kawasan Khurāsan, pada tahun 450 H/ 1058 M. dan di sini pula ia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./ 1111 M. Kata Al-Ghazālī kadang-kadang diucapkan "Al-Gazzali" (dua z). Kata ini berasal dari kata Gazzali, artinya tukang pintal pekerjaan ayah Ghazālī sebagai pemintal
benang, karena
benang wol, sedang al-
Ghazālī (dengan satu z), diambil dari "Gazalah", nama tempat al-Ghazālī dilahirkan. Nisbat kepada tempat
kampung
kelahirannya
merupakan panggilan yang lebih sering dipakai bagi al-Ghazālī.2 Ayah al-Ghazālī dikenal sebagai seorang yang saleh, dan ta’at beribādah. Ia menghidupi keluarganya dari hasil usahanya sendiri yaitu sebagai pemintal dan pedagang benang. Selain taat beribādah, ayah al-Ghazālī merupakan seorang yang rajin menghadiri pengajian untuk menimba ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu ayah al-Ghazālī mencita-citakan agar anaknya kelak menjadi orang saleh dan berilmu tinggi.
Khairuddīn Al-Ziriklī, Al-A'lam Qāmus Tarājīm al-Rijāl, ( Beirut: Dār alIlmi li al-Malayin tth) Vol. VII, hlm. 22., Lihat M. Th. Houts, M.A. et_all, First Encyclopaedia of Islam, (New York : Leiden, Kobenhaun. Koln, E. J. Brill, 1987) Vol. III . hlm. 146. 2 Ibn Khallikan, Wafāyat al-A’yān, ( Kairo: tpn. 1978 ) Vol. I. hlm. 586. 1
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 140
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Menurut al-Subki, al-Ghazālī serta saudaranya bernama Ahmad sama-sama menerima pendidikan agama di rumah seorang sufi sahabat ayahnya.3 Pada masa kecilnya, al-Ghazālī belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, Ţūsī, yaitu pada Ahmad ibn Muhammad alRazkani. Lalu ia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imām Abū Nasr alIsmailli. Setelah itu ia kembali ke Ţūs dan terus pergi ke Nisapur. Di sana ia belajar pada salah seorang teolog aliran Ash’ariyyah yang terkenal bernama Abū al-Ma'ālī al-Juwaini ( w. 463 H/1085 M ) yang lebih dikenal dengan sebutan Imām al-Haramain. Menurut Ibn Khallikan, di bawah bimbingan al-Juwaini, al-Ghazālī mendapat pengalaman belajar sunguh-sungguh dalam bebebarapa ilmu termasuk cara berijtihad sampai benar-benar menguasai masalah-masalah mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, teologinya, ushul fiqihnya logikanya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya, serta menguasai berbagai pendapat tentang semua cabang ilmu tersebut. Di samping itu ia pun menjawab tantangan dan mematahkan pendapat lawan mengenai semua ilmu itu, dan ia pun menulis karya-karya yang baik dalam semua bidang ilmu-ilmu tersebut.4 Al-Ghazālī tetap mendampingi gurunya, al-Juwaini, sampai ia meninggal dunia tahun 463 H/1085 M. Dia lalu meninggalkan Nisapur Tājuddīn al-Subkī, Ţabaqāt al-Shafī’iyyah al-Kubrā. ( Mesir: Dār alFikr.1913) J.IV hlm. 102. 4 Ibn Khallikan, Wafāyat al-A’yān. hlm. 586. 3
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 141
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
menuju al-Askar. Di situlah ia bertemu seorang menteri yang terkenal, Nidhām al-Mulk ( w. 470 H/1092 M. ) pada masa
pemerintahan
Dinasti Salajikah pada tahun 470 H/1092 M. Lembaga pendidikan Nidhāmiyyah, merupakan lembaga keilmuan yang ternama pada masa itu. Kedatangannya begitu mendapat sambutan dari menteri ini, sebab Nidhām al-Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghazālī yang tinggi. Diriwayatkan, Nidhām al-Mulk melangsungkan suatu dialog antara alGhazālī dengan para ulama setempat mengenai berbagai masalah, dan dalam dialog tersebut tampak keunggulan al-Ghazālī dibanding ulamaulama itu. Maka namanya pun menjadi terkenal, dan segera Nidhām alMulk menawarinya untuk mengajar di perguruannya, Nidhām al-Mulk, di Bagdad, yang lebih dikenal dengan perguruan al-Nidhāmiyyah. AlGhazālī pun berangkat ke Bagdad, tahun 484 H/ 1106 M. untuk mengajar di perguruan tersebut dan di situ pun ia dikagumi banyak orang. Selama periode kehidupannya itu al-Ghazālī menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan juga filsafat. Ia mempelajari ilmuilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguannya yang selalu muncul sejak ia mengajar. Tapi ternyata ilmu-ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikhis yang kronis, seperti diceritakannya dalam karyanya al-Munqidh min al-Dalāl. Akibat keadaan ini, al-Ghazālī lalu meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di pergurunan al-Nidhāmiyyah, kemudian ia hidup
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 142
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
menyendiri. Padahal dengan mengajar di perguruan tersebut, ia menjadi begitu terkenal serta meraih jabatan maupun kekuasaan yang sulit dicapai oleh orang-orang biasa.
Krisis Jiwa Sebelum Memasuki Tasawwuf Kehidupan yang dijalani Al-Gazali tidak selalu mulus, kadang ada suka, ada juga dukanya. Bahkan krisis jiwa pernah ia alami< sebelum memasuki dunia tasawuf secara totalitas.Krisis jiwa yang dialami al-Ghazālī tersebut, timbul karena ia hendak bersikap jujur terhadap dirinya sendiri. Sebab ia sadar bahwa motivasinya dalam mengajarkan ilmu-ilmu itu tidak lain hanyalah untuk memperoleh jabatan serta popularitas. Karena itu kini ia sadar betapa rendah motivasinya dan berusaha melepaskan diri dari sikap tersebut. Mengenai krisis yang menimpanya, al-Ghazālī berkata sebagai berikut: “ Maka ketika aku menyadari ketidakmampuanku, dan hilang seluruh kesanggupanku untuk memutuskan, aku pun menuju Allāh sebagaimana kembalinya orang yang tersudut dan tanpa daya.”5 Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah taşawwuf pada diri alGhazālī. Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis baginya dalam menempuh jalan taşawwuf. Periode spiritual itu sendiri ditandai dengan berbagai kondisi kejiwaan, seperti
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Dalāl, (Kairo :Dār al-Fikr. 1316 H/ 1938 M). hlm. 33. 5
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 143
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam, rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Sebegitu hebat krisis jiwa yang dialami al-Ghazali, pada akhirnya ia menemukan jalan menuju keridha’an Allāh sebagai obat yang dapat menyembuhkan krisis kejiwaan dialami al-Ghazālī. Mengenai kisah kesembuhan al-Ghazālī mengatakan.” Dalam kurun waktu selama hampir dua bulan, aku berada pada kondisi tidak menentu, penuh kebimbangan yang tiada tara. Keadaan itu berlangsung sampai Allāh menyembuhkan sakit aku, sampai jiwakupun kembali sehat seperti sediakala. Hasil daya pikir pun kembali bisa diterima dan dipercaya penuh rasa aman serta keyakinan. Kesemuanya itu, disebabkan oleh adanya cahaya Allāh yang menyinari dalam hatiku, yakni cahaya Ilahiah sebagai sumber pengetahuan (mukasyafah). Lebih jelasnya al-Ghazālī mengatakan : “ barangsiapa mengira bahwa illuminasi atau kasyaf hanya tergantung pada dalil-dalil semata, maka dia telah mempersempit karunia Allāh yang sangat luas. Cahaya Ilahi turun atas kehendak Ilahi dalam batinku”. Pengalaman al-Ghazali secara empirik dalam kehidupan tasawuf dituangkan dalam karya besar yang monumental berjudul Ihya’ “Ulum al-Din :di dalam kitab tersebut, al-GHazali mengkaji tentang “ Ilmu yakin ( al-‘ilm al-yāqinī) yang dapat menyingkapkan persoalan yang tidak dapat diketahui melalui pengetahuan biasa, sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan serta kekeliruan.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 144
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Empat Kelompok Pencari Kebenaran Lebih jauh lagi al-Ghazālī mencoba membuat kajian terhadap empat kelompok pencari kebanaran yang ada pada masanya, yaitu kelompok yang terdiri dari para teolog, kedua kelompok penganut aliran baţiniyyah,ketiga kelompok yang mangku sebagai filosof dan keempat kelompok sufi. Keempat kelompok tersebut mendapat kritik keras dari alGhazālī, terutama dalam metode pemikiran mereka di dalam menemukan kebenaran hakiki. Kritik al-Ghazali terhadap keempat kelompok tersebut ditulis al-GHazali dalam karyanya, al-Munqidh min al-Dalāl, dan dalam karyanya, Iyha’ ‘Ulūm al-Din. Pada dua karya tersebut al-Ghazālī meneliti cara pandang empat kelompok pencari kebenaran, baik dari segi epistemologis, hingga pada axiologis
mereka
dalam
menetapkan
kebenaran.
Al-Ghazali
menetapkan bahwa mereka belum bisa menemukan hakikat kebenaran. Begitupun pada kelompok sufi yang berkembang pada saat itu, alGhazali melihat kehidupan yang dijalani para sufi kala itu hanya sebatas praktik kamuplase, demi tujuan sesaat, seperti kepentingan politis dan duniawi. Menurut al-Ghazli ajaran sufi yang sebenarnya adalah ajaran yang berpijak pada pengalaman pribadi dalam mengaplikasikan ajaran Islam seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, yakni ajaran tasawuf yang bersumber pada al-Quran dan asSunnah. Tasawuf yang mengaplikasikan nilai-nilai qur’ani.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 145
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Bagi al-Ghazali pengalaman sebagai sufi jauh lebih berharga dari pada mengetahui apa itu tasawuf. Menjadi seorang yang merasakan lapar jauh lebih berarti ketimbang mengetahui apa arti lapar. Inilah yang diyakini al-Ghazali sebagai ilmu yang aplikatif bukan teoritif.Al-Ghazali menjalani sebagai sufi beneran, setelah mengatahui apa dan bagaimana menjadi seorang sufi.
Studi Tasawwuf al-Ghazali Pengetahuan tentang tasawuf dipelajari al-Ghazālī dari bebarapa orang guru. Di antaranya: Yūsuf al-Nassāj ( w. 487 H./1109 M) di Ţūs dan Abū ‘ Ali al-Fadl ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Farmadī ( w. 477 H/1099 M. ) di Nisabur.6 Selain itu al-Ghazālī juga mengaku telah mengusai beberapa literatur taşawwuf yang dihasilkan oleh beberapa sufi terkenal sebelumnya, seperti : Abū Ţālib al-Makkī ( w. 386 H./1008 M ), al-Hārith al-Muhāsibī ( w. 243 H./865 M ), al-Junaid alBagdādī (w. 381 H./1003 M), al-Shibli (w. 334 H./956 M) dan alBusţāmī (w 252 H/874 M.)7 Dengan demikian pengetahuan al-Ghazālī di bidang taşawwuf cukup mendalam dan suasana kehidupan sufi cukup kuat melingkari kehidupannya sejak masa kanak-kanak. Dalam usia 38 tahun al-Ghazālī mulai menjalankan praktek kehidupan sufi hingga wafatnya dalam usia sekitar 55 tahun. Meskipun 6
M. Saeed Sheikh. “Al-Ghazālī”, dalam M.M. Sharif (ed.) A. History os Muslim Philosophy. (Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1963), Vol. I, hlm. 583. 7 Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Dalāl dalam edisi ‘Abd al-Hālim Mahmūd, Qadiyyat al -Taşawwuf, (Kairo : Dār al-Ma-arif, tt.), cet. II, hlm. 372-73. Selanjutnya disebut : Al-Munqidh.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 146
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
selama itu dijalaninya dengan intensitas yang berbeda-beda. Minimal ada dua faktor yang ada pada taşawwuf sehingga al-Ghazālī tertarik untuk melaksanakannya. Pertama, karena taşawwuf mempunyai dua aspek esensial : teori dan praktek (ilmu dan amal). Seorang sufi bukan saja mengerti apa arti hidup zuhud (asketis) tetapi dia betul-betul melaksanakan apa yang dimaksud dengan zuhud tersebut dalam kehidupannya. Dengan memperbandingkan kehidupan para sufi dengan ketiga kelompok yang ditelitinya yaitu teolog, filosof, dan pengikut batiniyyah, maka kehidupan sufi dengan kedua aspek tersebut lebih utama, karena ketiga kelompok itu hanya mengutamakan satu aspek saja yaitu dari aspek teoritis belaka.8 Kedua, karena taşawwuf menawarkan sejenis pengetahuan yang langsung diterima dari Allāh bagi siapa yang melaksanakannya. Bagi al-Ghazālī yang selalu haus akan ilmu pengetahuan sejak muda dan sudah menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan rasional sebagai hasil kajiannya yang intensif - taşawwuf menjadi sangat menarik. Ia berharap bisa memperoleh pengetahuan yang ditawarkan dalam taşawwuf, agar kehausannya terhadap ilmu bisa terpuaskan.9 Dengan daya tarik seperti itu al-Ghazālī betul-betul berusaha melaksanakan kehidupan suf secara nyata, setelah mengatahui pengetahuan dalam bidang taşawwuf secara mendalam. Al-Ghazālī menceritakan pengalaman hidupnya sebagai berikut :
8 9
Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 373-76. Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 328.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 147
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Sejak masa mudaku - sejak aku menginjak masa balig, sebelum usia dua puluh tahun hingga kini dalam usiaku lima puluh tahun ini -senantiasa aku mengalami gelombang lautan ma'rifat yang
sangat
dalam. Aku mengarungi lautan tersebut sedalam-dalamnya
tanpa
mengenal lelah, semua kegelapan aku tembus, segala kerumitan aku hadapi, dan aku senantiasa menyelidiki benar-benar setiap akidah dari
setiap golongan, aku berusaha sekeras kemampuanku untuk
mengungkapkan semua rahasia madzhab pada setiap golongan agar dapat kubedakan mana yang benar dan mana yang tidak10 Selama melaksanakan kehidupan sufi, al-Ghazālī betul-betul telah merasakan apa yang ditawarkan taşawwuf berupa pengetahuan langsung
yang diterima dari Allāh benar-benar diperolehnya,
sebagaimana ia tulis : “Telah terbuka bagiku pengetahuan yang tak terhitung banyaknya selama menjalani kehidupan dalam proses menjadi sufi (khalwat ) tersebut …”11 Dengan demikian, al-Ghazālī memang seorang sufi, malah seorang sufi yang berhasil mempraktekkan ilmu-ilmu tentang tasawuf kemudian memilihnya sebagai piklihan hidupnya. ‘Abd al-Qādir Mahmūd, berpendapat bahwa al-Ghazālī bukan seorang sufi biasa yang menguasai ilmu secara teoritis tetapi ia seorang praktisi sufi yang sukses menjalani kesufiannya Pendapat ini menepis anggapan seorang orientalis Barat bernama Nicholson memandang taşawwuf hanya dari 10 11
Al-Ghazālī, Al-Munqidh., hlm. 24. Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 32.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 148
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
sudut mistikisme, sehinggga yang dianggapnya sebagai seorang sufi hanyalah yang menganut unsur doktrin bersatunya hamba dengan tuhan seperti dalam aliran-aliran al-ittihād, al-hulūl, dan al-wahdāt al wujūd.12
Taşawwuf
al-Ghazālī
memang
menolak
aliran-aliran
tersebut,13 tetapi meneruskan dan mengembangkan taşawwuf akhlāqī atau taşawwuf islāmī, yang sebelumnya telah dirintis oleh para tokoh sufi seperti : al-Hārith al-Muhāsibī (w. 243 H/ 865 M.), Zū al-Nūn alMişrī ( w. 245 H./867 M ), Junaid al -Bagdādī ( w. 297 H./919 M ). Setelah menjalani sendiri kehidupan sebagai seorang sufi barulah al-Ghazālī memberikan apresiasi kepada taşawwuf, sebagai pilihan yang terbaik di antara keempat kelompok yang pernah ia kritisi dalam keterangan di atas. Tasawuf yang dimaksud al-Ghazali adalah tasawuf amali atau yang aplikatif, memadukan antara keilmuan dan amal shaleh. Sumber tasawuf tersebut harus sepadan dengan ajaran qur’ani dan sunnah Nabi SAW. Ajaran tasawuf yang seimbang antara syariat dan hakikat. Al-Ghazali menulis pengalaman kehidupan sebagai seorang sufi dalam al-Munqidh sebagai berikut: “Sungguh aku mengetahui dengan yakin bahwa para sufi adalah betul-betul para sālik menuju Allāh semata, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, jalan mereka adalah jalan terbenar dan ‘Abd al-Qādir Mahmūd, Al-Falsafat al-Sūffiyat fī al-Islām, (Kairo : Dār al-Fikr al-Arabi, 1976), hlm. 199. 13 Al-Ghazālī, Al-Maqsād al-Athnā Sharh Asmā’ Allāh al-Husnā . (Mesir : Maktabat al-Jundi, 1970), hlm. 146-47. 12
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 149
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
akhlak mereka adalah akhlak paling bersih. Andaikata dikumpulkan akal para intelektual, filsafat para filsuf dan ilmu para ulama, bersatu untuk mengubah sedikit saja dari perjalanan mereka, kemudian menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari itu, niscaya tak ada jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka baik secara lahir maupun batin diperoleh dari sinar nubuwwah, padahal tak ada lagi suatu sinar apa pun yang bisa menerangi hati sanubari setiap insan di muka bumi selain dari sinar nubuwwah.”14 Meskipun al-Ghazālī menganggap taşawwuf sebagai jalan terbaik menuju Allāh, namun ia tetap selektif terhadap pelbagai aliran atau konsepsi sufisme yang ada pada masanya. Al-Ghazālī menolak al-hulūl dari al-Hallaj dan al-ittihād
paham
dari
al-Bisţāmi
dengan dalil-dalil rasional.15 Dalam Ihyā’ ‘Ulūm al -Dīn, al-Ghazālī menyebutkan tiga golongan di antara para sufi yang tertipu dalam kehidupan sufi mereka. Pertama,
mereka
yang
mengaku
dirinya
sebagai
sufi
sungguhan, baik dalam berpakaian maupun dalam prilaku, namun mereka tidak pernah berupaya membersihkan batin mereka dari dosa. Sedangkan taubat dari dosa merupakan gerbang utama memasuki pintu tasawuf. Kedua, mereka yang mengaku sudah memperoleh pengetahuan bahkan ma'rifah langsung dari Tuhan, Pengakuan tersebut bisa 14 15
Al-Ghazālī, Al-Munqidh., h.hlm. 377-78 Al-Ghazālī, Al- Maqsād al-Athnā Sharh Asmā’ Allāh al-Husnā., hlm.
147-48.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 150
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
diketahui dari kata-kata yang keluar dari mulut mereka, seperti ungkapan syatah yang disampaikan alp-Hallaj dan al-Busthami ( hulul dan ittihad ). Padahal kata-kata tersebut hanya merupakan kata-kata klise dari pengalaman para sufi yang selalu mereka hafalkan. Pada akhirnya mereka mengaku sebagai kelompok paling benar, mereka menganggap hina para ulama: fiqh, tafsir, hadisth, kalam, dan lain-lain. Mereka juga menganggap hina para ahli ibādah. Justifikasi seperti di atas hanya kedok untuk mendapatkan pengikut dan kehormatan dari orang-orang yang bisa tertipu oleh kata-kata atau perilaku mereka. Sebenarnya mereka itu tak pernah memiliki ilmu yang berarti di bidang ini, malah tak pernah melatih diri untuk mencapai kepribadian yang luhur dan membersihkan batin dari sifat tercela. Ketiga, mereka yang katanya mementingkan hati, karena hati itulah titik pandangan Allāh kepada manusia. Karena itu mereka membiarkan segala anggota tubuh mereka berbuat maksiat, , sebab yang diperhitungakan Tuhan hanyalah gerak hati mereka. Mereka mengakubahwa hati mereka tak pernah absen dari mengingat Allāh. Akibatnya, mereka menganggap enteng syari’at, dan pada waktu yangv sama
,
mereka
mementingkan
hakikat.Menurut
al-Ghazali,
membersihkan hati dengan cara tidak mengindahkan hukum syari’at itu adalah jalan keliru.16 Sebenarnya , kritikan al-Ghazālī atas sikap dan tindakan tidak terpuji dari keolopok ini tidak hanya pada masa alAl-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Din, (Beirut : Dār al-Fikr, 1980), J. XI, h.hlm. 122-28. Selanjutnya disebut: Al-Ihyā’ 16
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 151
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Ghazali saja.. Sebelumnya juga sudah ada upaya mengkritik penyimpangan para sufidari golongan itu seperti tergambar dalam karya-karya taşawwuf sebelumnya, seperti: Kashf al-Mahjūb karya alHujwirī ( w. 465 H/1087 M. ) dan Al-Risālah karya al-Qushairī (w. 465 H./1087 M), dua karya sufi yang membela taşawwuf sunnī dari unsurunsur destruktif dalam taşawwuf.17 Melihat usaha Al-Ghazālī dalam menemukan jalan taşawwuf yang dialaminya, maka dapat dikatakan bahwa taşawwuf al-Ghazālī merupakan hasil kajian kritis sekaligus hasil eksperimennya yang pernah ia jalani sendiri dan membuahkan hasil yang diharapkannya yaitu berupa kayakinan yang mutlak tanpa keraguan sedikit pun. AlGhazālī merumuskan tingkat keyakinan yang dicarinya dalam taşawwuf dan kemudian ia dapatkan itu sebagai berikut: Maka jelaslah bagiku: bahwa ilmu yang membawa keyakinan ialah ilmu yang membukakan segala obyek pengetahuan secara tuntas, tak ada lagi aspek yang meragukan padanya, tak ada kemungkinan keliru dan syakwasangka, karena hati tak melihat lagi ada kemungkinan itu terjadi - malah aman sekali dari - kesalahan, sehingga membawa kepada keyakinan yang mantap. Keyakinan yang tak luntur sedikit pun oleh intimidasi siapa pun, meskipun dari orang yang mampu mengubah batu menjadi emas atau menyulap tongkat jadi ular; semua itu tak menimbulkan keraguan.
17
Abd al-Qādir Mahmūd,Al-Falsafat., h.hlm. 201-202.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 152
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Menurut al-Ghazālī keyakinan seperti inilah yang tidak ia peroleh dari argumen-argumen kalam, setelah ia sendiri mendalami sendiri ilmu ini, yang mengandalkan rasio dalam memberikan pengetahuan yang meyakinkan mengenai kebenaran akidah. Ketidakpuasan al-Ghazālī terhadap segala argumen kalam, karena argumen-argumen tersebut mempunyai kadar kebenaran yang setimbang,
masing-masing
mempunyai
kekuatan
dan
kelemahannya. Hal ini memang tak pernah dinyatakan al-Ghazālī secara tegas, tetapi dapat disimpulkan dari beberapa pernyataannya. Di antaranya: Pertama,
dalam
al-Ihyā’,
ketika
membandingkan
kekuatan iman orang awam dan iman para ahli kalam yang selalu terlibat dalam perdebatan. Di sini al-Ghazālī mengumpamakan iman para ahli kalam seperti seutas tali yang tergantung di udara, terlempar ke kiri atau ke kanan sesuai dengan arah angin yang menerpanya.18 Dari perumpamaan ini, jelaslah bahwa arah angin yang menerpa tali tersebut adalah macam-macam argumen kalam yang masuk ke dalam hatinya, sehingga imannya jadi labil, karena ia mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing argumen tersebut. Kedua, tatkala al-Ghazālī menyebutkan adanya enam macam hal yang menyebabkan orang yakin tanpa ragu-ragu akan kebenaran Al-Ghazālī, “Iljām al-Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām” dalam Muhammad Musţafā Abū al-‘Alā (ed).), Al-Qusūr al-Awalī, (Mesir : Maktabat al-Jundi, 1970), J. II, hlm. 116-17. 18
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 153
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
akidah, sebagaimana ditulisnya dalam Iljām al-‘Awam ‘an Ilm alKalām. Di sini al-Ghazālī mengakui efektifitas argumen kalam tersebut pada masalah-masalah tertentu dan untuk orang-orang tertentu, tetapi dengan ketentuan bahwa mereka tidak merasa ada argumen yang menyalahinya.19 Dari pernyataan ini tampak adanya kesan pada diri alGhazālī bahwa argumen kalam yang bisa membawa keyakinan terhadap orang-orang tertentu itu tidak tahan uji bila dihadapkan pada argumen kalam yang berbeda, karena argumen tersebut juga mempunyai kekuatan dalam aspek tertentu. Kalau analisis ini benar, maka ketidakpuasan al-Ghazālī terhadap argumen-argumen kalam, berarti juga pengakuan al-Ghazālī terhadap kelemahan rasio atau akal dalam merambah bidang metafisika. Namun pada akhirnya al-Ghazālī memperoleh pengetahuan yang bisa meyakinkannya, seperti yang didambakannya itu melalui kehidupan sebagai sufi. Jadi bagi al-Ghazālī taşawwuf baik secara praktis dan teoritis, merupakan solusi yang dapat memberikan keyakinan yang tidak tergoyahkan oleh argumen macam apa pun. B. Karakteristik Taşawwuf Al-Ghazālī Menurut termasuk
“abd al-Qādir Mahmūd, taşawwuf
al-Ghazālī
taşawwuf Akhlāqī atau tasawwuf berdasarkan akhlak mulia
yang digariskan dalam al-Qur’an dan al-hadis. Tasawuf yang timbangan ajarannya dari syariat dan hakikat ajaran Islam. Al-Ghazali 19
Mengenai “antinomie” Lihat : Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, (New Jersey : Littlefield, Adams & Co., 1977), hlm. 14; 158-60.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 154
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
figur sufi Sunni yang mengajarkan aplikasi akidah ahlussunnah waljamaah dalam kehidupan nyata sehari-hari..20 Abd al-Qadir Mahmūd berpendapat,
para pemimpin
Sunnī
pertama
telah
menunjukkan ketegaran mereka menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan
timur, dengan berpegang teguh kepada spirit
Islam, yang tumbuh dari tuntunan
al-Qur’an dan Tasuladan Nabi
SAW. merumus-kan taşawwuf yang Islāmī dan
Mereka mampu
mampu bertahan terhadap pelbagai akidah
Islam
di
kalangan
fitnah
yang
merongrong
sufi. Taşawwuf akhlāqī atau Sunnī
akhirnya beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal
bagi
spirit
metode
Islāmī,
yaitu
al-Ghazālī,
yang
menempatkan sharī’at dan hakikat secara seimbang21.
PRINSIP EDUKASI TASAWWUF AL-GHAZALI Al-Ghazālī menguraikan secara panjang lebar tentang metode taşawwuf yang harus dilalui oleh seorang sālik dalam menemukan jalan menuju Tuhan. Metode tersebut disebut “sulūk” (perjalanan) yang selengkapnya disebut “sulūk ţāriq Allāh Ta’alla” (Menapaki jalan Allāh Ta alla).22 Jalan sufi yang ditawarkan al-Ghazālī mirip dengan suatu sistim dalam pendidikan. Karena itu, penyajian konsepsi alGhazālī tentang sulūk ini diberikan dengan cara menjelaskan setiap .’Abd al-Qādir Mahmūd,Al-Falsafat. hlm. 1 ‘Abd al-Qādir Mahmūd,al-Falsafat., hlm. 151. 22 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. VIII, hlm. 135. 20 21
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 155
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
komponen dalam pendidikan formal, yaitu : tujuan, anak didik (murid), pendidik (guru), alat dan kegiatan.
Tujuan Pendidikan ( Out Come ) Menurut konsepsi al-Ghazālī sulūk merupakan aspek praktis dari taşawwuf. Karena itu, tujuan tasawwuf adalah taşawwuf itu sendiri. Taşawwuf al-Ghazālī berpuncak pada situasi yang disebutnya al-qurb (dekat) kepada Allāh, suatu terminologi yang diambilnya dari al-Qur’an (al-Baqarah: 187). Dalam al-Munqidh, al-Ghazālī menulis : “Kesimpulannya, taşawwuf berakhir pada situasi “al-Qurb” (dekat), sehingga ada sementara orang yang mengira bahwa situasi tersebut sampai kepada “al-hulūl ”, “al-ittihād ” dan “al-wuşūl” ; dan semua itu adalah keliru”.23 Dari penegasan ini, jelaslah bahwa puncak taşawwuf menurut al-Ghazālī sama saja, hanya persepsi orang terhadap situasi akhir itulah yang berbeda, sehingga menimbulkan kekeliruan pada sementara golongan yang pada dasarnya tidak melihat lagi ada jarak antara si hamba dengan Tuhan, sebagaimana pada ketiga paham yang
dianggapnya
mempertahankan
keliru
adanya
tersebut. “jarak”,
Al-Ghazālī sehingga
sendiri
tetap
terminologi
yang
24
dipergunakannya ialah “al-qurb” . Tetapi di tempat lain, al-Ghazālī menulis bahwa tujuan taşawwuf ialah “ al-fanā bi al-kulliyyāt fī Allāh” (fanā secara totalitas 23 24
Al-Ghazālī, Al-Munqidh,. hlm. 378 – 379. ‘Abd al-Qādir Mahmūd,al-Falsafat, hlm. 232.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 156
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
di hadirat Allāh).25 Dalam taşawwuf, terminologi “al-fanā” mula-mula digunakan al-Bisţāmi (w. 261 H./883 M), yang mengambil konsep tersebut dari mistik Budhisme Dayana (meditasi) dan Samadhi (fanā). Dalam taşawwuf al-Bustami, dengan meditasi si hamba bisa sampai ke tingkat fanā, di mana subjek dan objek menjadi satu (ittihād ).26 Kalau demikian, apakah konsep al-Ghazālī tentang “al-fanā” sama dengan konsep al-Bisţāmi tersebut? Al -Ghazālī menganggap paham ittihād dari al-Bisţāmi sebagai kekeliruan; padahal paham ini hanyalah konsekuensi dari konsepnya tentang “al-fanā” ? Dari penjelasan alGhazālī dalam al-Ihyā’, tampaknya konsep keduanya berbeda. Penjelasan al-Ghazālī tentang konsep “al-fanā” dapat ditangkap dari penjelasannya
tentang kualitas
tawhid tingkat
keempat,
yang
disebutnya sebagai tauhid orang-orang şiddīq (tauhid al-şiddīqīn). Dalam menjelaskan tauhid tingkat tertinggi ini, al-Ghazālī menulis sebagai berikut : Bahwa dia tidak melihat dalam yang wujud kecuali esa. Yaitu shuhūd
(pandangan
batin)
orang-orang
şiddīqīn .
Para
sufi
menamakannya dengan fanā di dalam tauhid, karena dia tidak melihat kecuali Yang Esa, dia juga tidak melihat dirinya. Apabila dia tidak melihat dirinya karena dia tenggelam dalam pandangan tauhid, maka
25 26
Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 378. ‘Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafat, hlm. 309-10.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 157
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
dia fanā dari dirinya sendiri dalam pandangan tauhidnya, dengan pengertian bahwa dia fanā dari melihat dirinya dan segala makhluk.27 Sebelumnya al-Ghazālī juga menjelaskan tauhid tingkat ketiga, yang menurut pendapatnya sama-sama merupakan hasil kashāf.28 Bedanya hanya dari segi fokus pandangan batin (shuhūd). Pada tauhid tingkat ketiga, yang disebutnya sebagai “tauhid al-muqarrabin, fokus pandangan batin terletak pada af’āl (segala perbuatan), sehingga semuanya tampak muncul dari Yang Mahaesa, meskipun kelihatannya beragam. Sedangkan pada tauhid tingkat keempat, fokus pandangan batin terletak pada sifat wujud, sehingga wujud selain Allāh sudah tidak tampak lagi dalam shuhūd para şiddīqīn, meskipun wujudnya beragam. Jadi fanā di sini tidak berarti bahwa si hamba lebur wujudnya dan menyatu dengan wujud Tuhan, sebagaimana dalam konsepsi alBisţāmi. Tetapi dalam arti bahwa si hamba merasa hilang kesadaran terhadap wujud dirinya dan segala wujud makhluk, sehingga yang tampak dalam shuhūdnya hanya wujud Tuhan Yang Mahaesa. Shuhūd demikian sebagai hasil kashāf merupakan anugerah Allāh kepada si hamba yang berhasil melaksanakan sulūk, sehingga merupakan suatu yang wajar terjadi. Karena salah satu
“kegiatan” yang harus
dilaksanakan si sālik (orang yang melaksanakan sulūk, atau disebut juga murid atau peserta didik) ialah membersihkan hati (al-qalb) secara tuntas dari tertuju kepada selain Allāh dan menenggelamkan hati secara 27 28
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. XIII, hlm. 158-159. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. XIII, hlm. 160.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 158
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
totalitas dalam mengingat Allāh (Zikr Allāh).29 Selama menjalani sulūk, kegiatan ini selalu dilatih (riyādāh), sehingga bisa terjadi lenyapnya kesadaran terhadap eksistensi alam semesta, termasuk diri sendiri, di dalam batin dan yang tampak hanya wujud Allāh. Situasi fanā seperti ini tampaknya berbeda dari konsep fanā al-Bisţāmi, yang antara lain berkata: “… Perkataanku: “Aku dan Tuhan” adalah suatu pengingkaran terhadap keesaan Allāh (al-Haq), karena aku adalah tidak ada mutlak. Al-Haq adalah cermin Diri-Nya, maka aku melihat bahwa al-Haq adalah cermin diriku, karena Dia berkata-kata dengan lidahku, sedangkan aku telah fanā…”30 Pengertian fanā yang diberikan al-Ghazālī ini,31 juga berbeda dari pandangan mengenai kesatuan wujud dalam sufisme wahdāt al wujūd.
Al-Palimbani (w. 1244 H/1866 M.) dalam menjelaskan
pengertian tauhid tingkat keempat dalam konsepsi al-Ghazālī tersebut, menghubungkannya
dengan
paham
wahdāt
al -wujūd,
yang
dianggapnya sebagai tauhid khawas al-khawas (kalangan yang sangat terpilih), yang memahami kalimat tauhid “la ilaha illa Allāh” (tiada yang wujud kecuali Allāh).32 Interpretasi al-Palimbani ini tidak sejiwa dengan doktrin al-Ghazālī sendiri. Dalam konsepsi al-Ghazālī, tauhid tingkat keempat itu merupakan pandangan batin (shuhūd) si hamba 29
Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 378. Abd al-Qādir Mahmūd,al-Falsafah hlm. 310. 31 Al-Ghazālī, Al-Ihyā, J. XII, hlm. 74-75. 32 Abd al-Samad Al-Palimbanī, Siyār al-Sālikīn, (Mesir : Dār al-Fikr, tt), J. IV, hlm. 103. 30
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 159
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
yang dianugerahkan Allāh kepadanya melalui kashāf, sehingga bersifat pengetahuan intuitif individual; sedangkan dalam konsepsi wahdāt al-wujūd, doktrin keesaan wujud merupakan hasil interpretasi terhadap fenomena wujud secara falsafi, dan dijadikan sebagai dasar bagi doktrin-doktrin lainnya. Dengan demikian, pengertian
“al-fanā” dalam konsepsi al-
Ghazālī tidak bertentangan dengan pengertian “al-qurb” yang dianggapnya sebagai puncak taşawwuf, karena keduanya masih mempertahankan adanya jarak dan eksistensi hamba Tuhan; hanya karena lenyapnya kesadaran terhadap eksistensi diri pada si hamba, maka shuhūd-nya hanya menangkap satu wujud, yaitu wujud Allāh Ta’ālā saja. Jadi, tujuan sulūk menurut al-Ghazālī, sebenarnya bukan untuk mendapatkan ma’rifah atau memperoleh ilmu mukāshafah, yang dalam taşawwuf al-Ghazālī bisa meningkatkan kualitas keyakinan
orang
terhadap kebenaran aqidah. Karena menurut al-Ghazālī, ilmu tersebut “diperoleh tidak dengan ikhtiar si sufi (salik)”.33 Seorang sālik dengan sulūknya hanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allāh. Tetapi dengan pelaksanaan sulūk yang benar, sesuai dengan “kegiatan” - yang akan diuraikan - niscaya akan menghasilkan hati yang bersih dan bersinar. Dalam situasi itu, Allāh membukakan hijab antara hati si sālik dengan Lūh Mahfūz, sumber segala ilmu pengetahuan, sehingga mengalirlah ilmu mukāshafah ke dalam hatinya melalui başirah atau 33
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’. J. VIII, hlm. 378.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 160
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
pandangan dari penglihatan mata hati yang bersih. Jadi, ilmu mukāshafah tidak hanya mengalir bila salik sudah sampai ke ujungnya, tetapi bisa saja sejak awal sudah mulai diperoleh, sesuai dengan intensitas kebersihan hati si sālik.34 Mengalirnya ilmu mukāshafah juga tidak seperti perolehan pengetahuan pada para ulama melalui penalaran yang bisa direncanakan secara kumulatif, tetapi mengalirnya ilmu mukāshafah ke dalam hati itu dialami oleh si sālik (yang karenanya disebut ‘ārif) secara bertingkat-tingkat : ada yang seperti terpaan kilat, datang dengan tiba-tiba dan cepat pergi; ada yang sempat berlangsung dalam batas-batas tertentu; tapi yang agak lama merupakan suatu yang jarang terjadi.35
Peserta Didik Peserta didik atau murid disebut Sālik artinya orang yang menjalani kehidupan sulūk, istilah ini oleh al-Ghazālī sering juga disebut dengan murid, yang berarti orang yang mempunyai kemauan (irādah) menempuh jalan tasawwuf untuk mendapatkan kedekatan atau al-qurb dengan Tuhan.36 Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki si sālik, baik fisik maupun mental, untuk bisa melaksanakan sulūk dengan baik dan benar. Persyaratan pertama ialah kesempurnaan substansi hati (alqalb) pada calon sālik. Bagi al-Ghazālī, hati selain sebagai tempat 34
Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 378. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’. hlm. 379. 36 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, hlm. 136.3 35
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 161
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
berseminya ilmu pengetahuan pada manusia, juga merupakan salah satu aspek esensi jiwa manusia yang berpotensi untuk memperoleh ilmu mukāshafah, sebagaimana akal (al-‘aql) berpotensi memperoleh pengetahuan dengan jalan penalaran.37 Kualitas akal dan hati pada manusia, dilihat dari segi potensinya sebagai alat memperoleh pengetahuan, berada di luar kemampuan manusia menentukannya. Hal ini semata-mata anugerah Allāh, yang telah
menentukan adanya
perbedaan di antara manusia dalam memperoleh nikmat-Nya, seperti juga dalam kekuatan pendengaran, penglihatan, dan sebagainya.38 Di samping itu, al-Ghazālī juga mengakui adanya perkembangan kesempurnaan potensi-potensi tersebut pada manusia, sejalan dengan perkembangan usia. Dia berpendapat, potensi tersebut mulai muncul dalam usia “tamyiz” (anak bisa membedakan) dan terus berkembang dan bertambah sempurna secara gradual hingga mendekati usia 40 tahun.39 Dalam konsepsi al-Ghazālī, kesempurnaan substansi hati si sālik sangat menentukan dalam kaitannya dengan perolehan ilmu Mukāshafah, karenanya, al-Ghazālī menamsilkan hati dengan kaca atau cermin (mir’at) yang bisa memenuhi syarat-syarat tertentu akan mampu menangkap gambaran suatu benda yang terarah kepadanya. Demikian pula, dalam perolehan ilmu mukāshafah, bila situasi dan kondisi hati
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, hlm. 5-8; dan 32-35. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’., J. I, hlm. 150. 39 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ hlm. 150. 37 38
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 162
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
memenuhi syarat-syarat tertentu, niscaya dia akan bisa menangkap apa yang tertera di Lūh Mahfūz. Menurut al-Ghazālī, ada lima sebab sebuah cermin tak bisa menangkap suatu gambar apapun di permukaannya. Pertama, bentuknya yang kurang sempurna, seperti lempengan besi yang belum diberi bentuk untuk diasah. Kedua, karena permukaannya kotor atau kabur, meskipun bentuknya sudah sempurna. Ketiga, karena letaknya yang tidak pada posisi yang memungkinkan gambar suatu benda bisa tertangkap, seperti posisi benda yang terletak di belakangnya. Keempat, karena ada dinding yang menghalangi antara benda dan cermin. Kelima, karena ketidaktahuan letak benda yang mau ditangkap gambarnya, sehingga tak tahu meletakkan cermin pada posisi yang tepat.40 Karena itu, menurut al-Ghazālī, hati anak kecil atau remaja (sabiy) tidak bisa menangkap apapun dari Lūh Mahfūz, karena substansinya yang belum sempurna.41 Dalam kaitan inilah al-Ghazālī, dalam Mīzān al-‘Amal, menekankan hanya kepada mereka yang sudah berumur (kabura sinnuh) untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan mengenai akidah yang diimaninya, melalui taşawwuf.42
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. VIII, hlm. 23. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’.hlm. 150. 42 Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, (Mesir : Dār al-Ma’ārif, 1965), hlm. 226-28. 40 41
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 163
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Persyaratan kedua bagi si sālik sebelum memasuki sulūk ialah mempunyai irādah (kemauan atau ketetapan hati) untuk melaksanakan sulūk. Adanya kemauan ini pada si sālik ditandai dengan usahanya menyingkapkan tabir yang melintang antara dirinya dengan Allāh (alHaq), yaitu : harta, kemuliaan status (al-jāh), taklid dan maksiat. Terangkatnya keempat tabir tersebut, statusnya sama dengan bersuci (ţahārah ) untuk melaksanakan ibādah salat. Tanpa itu sulūk belum bisa dimulai.43 Menurut al-Ghazālī, cara mengangkat keempat tabir tersebut adalah sebagai berikut : Tabir “harta” disingkapkan dengan cara mengeluarkannya dari hak miliknya, kecuali sekadar cukup untuk menutup kebutuhan pokok. Selama masih ada satu dirham pun yang memikat hatinya, maka tabir tersebut belum tersingkap sama sekali.44 Tabir “kemuliaan status” disingkapkan dengan cara menjauhi tempattempat kemuliaan status itu berada, menghindarkan diri dari segala perbuatan yang mengakibatkan nama terkenal dan memperbuat hal-hal yang mengakibatkan orang memalingkan muka daripadanya.45 Kedua usaha menyingkapkan kedua macam tabir tersebut tergambar dalam kata-kata
al-Ghazālī
dalam
al-Munqidh,
yang
menceritakan
tindakannya menjelang memasuki kehidupan sufi: “maka kutinggalkan kota Bagdad dan kusedekahkan hartaku kecuali sekedar cukup
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’. J. VIII, hlm. 136. Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, hlm. 228. 45 Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, hlm. 229. 43 44
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 164
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
keperluan biaya hidup anak-anak”.46 Tabir “taklid” tersingkap dengan cara melepaskan fanatisme terhadap aliran akidah yang diikuti. Jadi yang dimaksud meninggalkan taklid di sini berarti melepaskan fanatisme terhadap keyakinan yang ada, baik yang diperoleh melalui argumen atau tidak. Melepaskan fanatisme tersebut ialah dengan cara hanya mengambil inti akidah dari dua kalimat syahadat, dan berusaha keras untuk melaksanakannya secara konsekuen, terutama dalam mengusir jauh segala objek penyembahan selain Allāh, dan yang terbesar di antaranya ialah hawa nafsu.47 Menurut al-Ghazālī, tidak ada orang langsung beriman karena memperoleh ilmu mukāshafah, tetapi orang beriman bisa karena taklid, tanpa argumen, dan bisa karena adanya argumen yang meyakinkannya.48 Namun bila seorang mau meningkatkan kadar keimanannya dengan ilmu mukāshafah, maka dia harus mukmin lebih dahulu.49 Tetapi harus pula melepaskan fanatisme terhadap kebenaran yang diimaninya menurut versi aliran yang diikutinya. Al-Ghazālī menegaskan bahwa keterikatan si sālik dengan suatu aliran tertentu tidak termasuk salah satu syarat memasuki sulūk.50 Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa di kalangan sufi terdapat sikap toleransi yang kuat sekali.51 Terakhir, untuk menyingkapkan tabir 46
Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 377. Al-Ghazālī, Al-Ihyā; J. VIII, hlm. 136. 48 Al-Ghazālī, Al-Iljām, hlm. 116-19. 49 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. I, hlm. 162. 50 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J., I hlm. 136. 51 Sikap toleran al-Ghazālī sebagai seorang sufi tampak antara lain dalam : interprestasinya terhadap kata-kata al-Hallāj dan al-Busţāmī yang menunjuk kepada paham “al-hulūl” dan “al-ittihād ”, sehingga menimbulkan kesan bahwa kedua 47
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 165
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
“maksiat”
menurut al-Ghazālī, harus dengan taubat dalam arti
sebenarnya. Mengharapkan bisa memperoleh ilmu mukāshafah tanpa lebih dahulu melaksanakan tobat yang benar dari segala maksiat ditamsilkan al-Ghazālī, seperti orang yang mau mengerti rahasiarahasia Al-Qur’an tanpa lebih dahulu mempelajari bahasa Arab.52 Persyaratan ketiga, si sālik juga harus mengetahui taşawwuf secara teoritis, baik ontologis, terminologis dan axiologis sebelum memasuki dunia tasawuf secara praktis atau sulūk. Salikyang mau sukses dalam belajar harus lebih dahulu memahami cara belajar yang benar.53 Hal ini telah dimiliki al-Ghazālī pada saat menjelang memasuki kehidupan sufi, sebagaimana diceritakannya di dalam alMunqidh.54 Dengan memenuhi dua persyaratan terakhir, berarti dia telah memenuhi dua ketentuan yang harus ada bila cermin diharapkan bisa menangkap gambar suatu benda yang terarah kepadanya, yaitu ketentuan keempat dan kelima, sebagaiamana telah disebutkan. Tinggal lagi dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu ketentuan kedua dan ketiga, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
sufi itu tidak salah, hanya keliru dalam pengungkapannya yang bergaya hiperbola, yang bisa menimbulkan kesan bahwa paham mereka bertentangan dengan akidah yang benar. Lihat: Al-Ghazālī, Al-Maqsad, hlm. 146-47. Juga, anggapannya terhadap tiga aliran tentang masalah kebebasan manusia, yaitu: ijbar, ikhtiyar dan al-kasb, masing-masing mempunyai kebenaran dan kekurangannya berdasarkan ma’rifah yang diperolehnya. Lihat: Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. XI, hlm. 152. 52 Al-Ghazālī, Ihyā., J. VIII. HLM. 136. 53 Al-Ghazālī, Ihyā, hlm. 32-34. 54 Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 372-73.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 166
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Pendidik (Guru/ al-Shaikh) Menurut al-Ghazālī, untuk memulai melakukan sulūk, seorang calon sālik yang sudah mampu menyingkapkan keempat tabir yang melintang antara dirinya dengan Tuhan, sebagaimana tersebut di atas. Seorang salik atau murid sudah pasti memerlukan seorang guru, atau pendidik yang mampu menuntunnya menempuh jalan yang benar. Guru dalam konsepsi al-Ghazālī ini disebut “al-shaikh” (anutan) atau “alustaz’ (guru). Eksistensi guru dalam sulūk ini bersifat esensial. Karena, menurut al-Ghazālī, jalan agama yang benar itu bersifat tersamar, sedangkan jalan setan cukup banyak, maka seorang sālik tanpa guru bisa jadi akan dituntun ke jalan yang sesat oleh setan. Meskipun alGhazālī tidak menyebutkan persyaratan bagi seorang guru dalam sulūk ini, namun melihat fungsi dan peran yangsentral bagi si sālik, niscaya si guru haruslah seorang yang sudah berhasil melaksanakan sulūk yang benar dengan baik. Karena itu al-Ghazālī menekankan kepada si sālik bahwa dia tidak boleh ragu sedikitpun terhadap kredibilitas sang guru dalam segala hal selama melaksanakan sulūk. Dia menamsilkan sālik sebagai seorang buta yang mengikuti penuntunnya dalam meniti tepi sungai.55 Keharusan berguru dalam dunia taşawwuf sudah dikenal sebelum al-Ghazālī. Seperti i, al-Qushairī (w. 465 H/1087 M.) dalam risalahnya menyebutkan bahwa para tokoh sufi terkenal berguru secara 55
Al-Ghazālī., Al-Ihyā ., J. VIII, hlm. 136-137.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 167
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
berantai
sampai
kepada
salah
seorang
tokoh
sahabat
Nabi
Muhammad. Dia juga menjelaskan bahwa calon murid taşawwuf harus berjanji patuh dan taat kepada guru tanpa kecuali, seperti yang juga ditegaskan oleh al-Ghazālī.56 Tetapi jika konsepsi ini dihadapkan kepada praktik kehidupan sufi al-Ghazālī sendiri, akan timbul pertanyaan : “Siapakah guru ata shaikh yang menuntunnya dalam melaksanakan kehidupan sufinya?”. Al-Ghazālī
tidak pernah
menjelaskan hal ini dalam “otobiografi”nya, al-Munqidh. Memang alGhazālī pernah berguru di bidang taşawwuf kepada Yūsuf al -Nassāj (w. 487 H./1109 M) di Ţūs dan al-Farmadi (w. 477 H/1099 M.) di Nisabur, tetapi waktu al-Ghazālī memulai kehidupan sufi pada tahun 488 H. Kedua guru tersebut sudah wafat. Sebelum itu, tak ada pertanda bahwa al-Ghazālī melaksanakan kehidupan sufi secara intensif. Karena itu, terasa sulit menerima pemberitaan
al-Zābidī yang menukil
pernyataan al-Ghazālī yang di sampaikan kepada al-Ardabili bahwa dia baru bisa memperoleh maqām ma’rifat setelah dia berada dalam bimbingan gurunya Yūsuf al-Nassāj.57 Kecuali bila yang dimaksudkan adalah bimbingan teoritis, maka pemberitaan al-Zābidī tersebut bisa dimengerti. Tetapi dengan demikian berarti eksistensi guru dalam taşawwuf al-Ghazālī merupakan suatu yang tidak esensial bagi orangorang tertentu yang sudah mendapat bimbingan teoritis yang mantap 56
Al-Qushairī, Al-Risālah al-Qushairīyyah, (Kaio: Dār al-Fikr. 1979).hlm.
129.
Muhammad Husein al-Zābidī, Itithāf al-Sādat al-Muttaqīn fī Sharh Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Mesir : Dār al-Fikr, tth)., J. I, hlm. 9. 57
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 168
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
dari seorang guru yang terpercaya, sebagaimana yang dilaksanakan sendiri oleh al-Ghazālī. Tugas pertama sang guru menurut al-Ghazālī ialah memasukkan si
murid
ke
dalam
perbentengan
yang
tangguh
untuk
menyelamatkannya dari gangguan-gangguan para “perampok” selama sulūknya. Perbentengan tersebut berupa empat keadaan atau situasi diri yang harus dilaksanakan si sālik, yaitu : al-jū’ (lapar), al-sahr (berjaga malam), al-sumt (diam atau tidak bicara), dan al-khalwat (menyepi). Keempat situasi tersebut saling berkaitan eksistensinya, dan semuanya mempunyai peran yang besar dalam membersihkan hati dan membuatnya bersinar serta menolak segala gangguan dalam perjalanan (sulūk). Si sālik diberi makan sekadarnya, tidak sampai kenyang, karena dengan demikian, darah akan berkurang mengalir ke dalam hati, sehingga setan dan nafsu-sahwat makin bertambah sempit jalannya untuk menggoda, dan hati jadi bersinar. Si sālik yang selalu tidak kenyang itu mudah bisa berjaga malam guna melaksanakan kegiatan sulūk. Perut yang kenyang akan mudah didatangi rasa kantuk dan sulit berjaga malam. Banyak bicara mengakibatkan banyak pemikiran yang menyibukkan hati, karena itu si sālik harus diam. Untuk bisa diam dia harus diasingkan oleh gururnya dari orang banyak, kecuali orang yang mengantar makan-minumnya setiap hari, kepada orang ini pun dia tidak boleh bicara kecuali terpaksa. Seiring dengan ini, si sālik juga dimasukkan gurunya ke dalam suatu tempat yang sepi (al-khalwat) agar penglihatan dan pendengarannya sangat terbatas, karena mata dan
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 169
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
telinga itu jendela hati. Penghentian kegiatan indera dan nalar, sebagai sumber pengetahuan, itu dimaksudkan untuk memperkuat başirah sebagai sumber pengetahuan esoterik bagi si sālik.58 Selain tugas awal tersebut, menurut al-Ghazālī, guru harus mengontrol secara ketat murid dalam sulūknya, dan memberikan “kegiatan” sulūk yang sesuai dengan kapasitas si sālik, agar dia terbimbing secara sukses mencapai tujuan sulūknya.59
Sarana Kegiatan Sālik Sebagaimana dalam pendidikan formal, dalam sulūk al-Ghazālī juga terdapat komponen alat bantu pendidikan, baik yang bersifat perangkat keras (hard-ware) maupun perangkat lunak (soft-ware). Di antara perangkat keras yang mutlak adanya ialah “zawiyah” dengan segala perlengkapannya. Zawiyah diperlukan
dalam sulūk untuk
tempat si sālik berkhalwat (menyepi) dan mengkonsentrasikan hatinya hanya ingat kepada Allāh, disamping untuk mengisolasi diri dari manusia dan segala yang menimbulkan keterikatan hati kepada dunia.60 Kehidupan si sālik di dalam zawiyah diatur sepenuhnya oleh guru (shaikh) yang mungkin memiliki atau memimpin zawiyah tersebut. AlGhazālī sama sekali tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan ukuran suatu zawiyah yang tepat yang diperlukan dalam sulūk. Al-Ghazālī sendiri waktu melakukan kehidupan sufi di Damaskus mengambil Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. III, hlm. 137-38. Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 140-41. 60 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 138. 58 59
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 170
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
menara masjid sebagai zawiyah-nya, dan begitu pula waktu di masjid al-Aqsa.61 Padahal di daerah Sham waktu itu sudah ada semacam zawiyah, yang disebut khanaqah, yaitu semacam asrama para sufi.62 Memang “zawiyah”, “khanaqah”, dan “ribāţ ” semuanya mengacu kepada suatu tempat yang serupa, yaitu tempat para sufi melaksanakan kehidupan sufi secara bersama-sama. Salah satunya ribāţ di pulau ‘Abbadan, yang dibina oleh seorang sufi yang bernama ‘Abd al-Wahid Zaid (w. 177 H / 793 M).63 Sebagai tempat si sālik melaksanakan kegiatan sulūknya, zawiyah mempunyai perlengkapan untuk keperluan hidup dan sulūk itu sendiri, seperti menyediakan makanan, tempat bersuci dan sebagainya, yang tidak dirinci oleh al-Ghazālī. Adapun yang termasuk dalam perangkat lunak, sulūk mempunyai bahan pelajaran yang diberikan ialah lafazlafaz zikir yang dipilih oleh guru dan bahan-bahan tafakkur, yang disesuaikan dengan kapasitas si murid. Guru juga mempunyai semacam alat evaluasi terhadap kemajuan dan kapasitas si sālik dalam sulūknya. Meskipun tidak menjelaskan bagaimana alat evaluasinya, dia menekankan sekali kepada guru agar selalu mengontrol pengalaman si sālik. Sebiknya, si sālik
harus selalau memberi laporan dan
61
Al-Ghazālī, Al-Munqidh., hlm. 377. Lihat: Khālid Mu’az, “Dimashq Ayyām al-Ghazālī”, Mahrajan al-Ghazālī fī Dimasyq, Abū Hāmid al-Ghazālī, (Kairo : Al-Majlis al-A’alā liri’āyat al-Funūn wa al-Adab wa al-‘Ulūm al-Ijtimā ‘iyyah, 1962), hlm. 483. 63 J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. ( New York : Oxford University Press, London, Oxford, 1971). hlm. 25. 62
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 171
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
berkonsultasi kepada gurunya mengenai segala yang dialaminya, tanpa sedikitpun boleh menceritakan kepada orang lain.64
Kegiatan Murid (Salik) Komponen terakhir dari sulūk al-Ghazālī ialah kegiatan yang dilaksanakan oleh si sālik di bawah bimbingan gurunya, pada dasarnya, sulūk adalah kegiatan pribadi si sālik, sehingga dialah yang paling aktif melaksanakannya. Dengan komponen kegiatan ini, maka kelima persyaratan yang harus ada agar hati dapat memperoleh ilmu mukāshafah bisa terpenuhi, karena di sini terdapat dua persyaratan lagi, yaitu : bersih dan bersinarnya hati, dan keadaannya yang selalu terarah kepada Allāh. Di
dalam
menggambarkan
al-Munqidh,
“kegiatan”
secara
sulūk
tersebut
ringkas sebagai
al-Ghazālī berikut
:
“membersihkan hati secara tuntas dari tertuju kepada selain Allāh, dan menenggelamkan hati secara totalitas dalam mengingat Allāh”.65 Dalam kitab al-Ihyā,
secara ringkas pula al-Ghazālī
menjelaskan : Jalan menuju Allāh (al-ţāriq) ialah : mengintensifkan mujāhadah (perjuangan melawan tarikan hawa nafsu), memupus habis segala sifat tercela, memotong segala ketertarikan kepada dunia (al-
64 65
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. VIII, hlm. 33 dan 137. Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 378.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 172
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
‘alā’iq) dan memfokuskan pandangan hati sepenuhnya kepada Allāh Ta’ālā.66 Dari kedua penjelasan ringkas di atas, dapat diambil keasimpulan bahwa ada dua kegiatan pokok dalam sulūk ini. Pertama, menciptakan hati yang bersih dari segala sifat yang tercela dan bersinar dengan segala sifat terpuji. Kedua, membantu si salik agar hatinya terarah sepenuhnya hanya kepada Allāh. Dalam kegiatan pertama, si sālik harus melewati tantangan atau rintangan atau tanjakan (‘aqabah) dengan tanjakan di Jalan Tuhan secara bertahap dari tanjakan yang ringan kepada tanjakan yang lebih berat. Tanjakan-tanjakan tersebut tidak lain dari keadaan hati yang masih mempunyai keterikatan kepada dunia, terutama kepada harta, kemuliaan status (al-jāh), kecintaan terhadap dunia dan kecenderungan berbuat hal-hal terlarang. Jika, dalam persiapan sulūk, si sālik sudah menyingkapkan segala tabir yang menghalangi dirinya
dari Tuhan
seperti yang telah diuraikan dengan menjauhinya secara fisik, maka dalam pelaksanaan sulūk ini, semua itu secara total dijauhkan dari dalam hati. Untuk dapat berhasil menaklukan tanjakan demi tanjakan tersebut berbeda-beda lamanya, ada yang lama dan ada yang cukup singkat.67
66 67
Al-Ghazālī, Ál-Ihyā., J. II, hlm. 33. Al-Ghazālī, Ál-Ihyā, hlm. 138-39.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 173
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Keberhasilan si sālik dalam melewati tanjakan demi tanjakan tersebut menghantarkannya kepada status-status spiritual tertentu (manāzil) yang juga bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan tanjakan-tanjakan yang dilalui. Bila status spiritual tertentu yang diperoleh si sālik itu belum mantap, al-Ghazālī menyebutnya “al-hal” (jamak : al-ahwāl yang berarti keadaan); dan bila sudah mantap, disebutnya “al-maqām” (jamak : al-maqāmat yang berarti : kedudukan, derajat, posisi).68 Di dalam al-Ihyā’ al-Ghazālī menyebutkan ada delapan macam tingkatan maqāmat (berurutan dari maqām pertama sampai maqām tertinggi) sebagai berikut : “al-tawbah” (taubat),69 “alsabr” (sabar),70 “al-shukr” (shukur),71 “al-raja” (harap),72 “al-khauf” (takut),73 “al-zuhd” (zuhud)74, “al-tawakkul” (tawakal)75 dan “almahabbah” (cinta).76 Sebelum al-Ghazālī, pembicaraan masalah “maqāmat” dan “ahwāl” dalam sufisme sudah ada, tetapi tidak ada kesepatakan tentang pengertiannya dan macammacamnya, di samping memang ada persamaanya. Sufi pertama yang menyusun adanya “maqāmat” ialah al-Saqatī (w. 251 H/865 M). Mengenai persamaan dan perbedaan pengertian dan macam-macam maqāmat dan ahwāl, lihat: Al-Ţūsī, AlLumā’, edisi ‘Abd. al-Hālim Mahmūd, Kairo, 1960, hlm. 65-66; Al-Qushairī, alRisālah, hlm. 34; dan Abū Ţālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, Kairo, 1961, J. I, hlm. 364550 dan II, hlm. 3-168. Pendapat al-Ghazālī di atas, lihat : Al-Ghazālī, Al-Ihyā, J. XII, hlm. 172-73; dan pednapat ini berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya, tetapi mirip dengan pendapat Abū Ţālib al-Makkī. 69 Al-Ghazālī, Al-Ihyā J. XI, hlm. 144-211; J. XII, hlm. 3-30. 70 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 32-65. 71 Al-Ghazālī, Al-Ihyā ., hlm. 65-169. 72 Al-Ghazālī, Al-Ihyā ., hlm. 154-203; XIV, hlm. 3-37. 73 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. XIII, hlm. 3-60. 74 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 107-52. 75 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 154-203; XIV, hlm. 3-37. 76 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 40-152. 68
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 174
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Untuk melewati segala tantangan agar bisa menempati maqāmat satu demi satu, si sālik harus melaksanakan “riyādāh” dan “mujāhadah”. Riyādāh (latihan), menurut al-Ghazālī, ialah : ”Pembebanan
diri dengan suatu perbuatan yang pada fase awal
merupakan beban dan pada fase akhir menjadi suatu karakter (tabiat)”.77 Adapun mujāhadah (perjuangan) ialah perjuangan melawan tarikan hawa nafsu. Dalam usaha membersihkan hati dan membuatnya bersinar, riyādāhdan mujāhadah selalu bergandengan. Mengenai ini, al-Ghazālī menulis sebagai berikut : Sebagai contoh, siapa yang ingin membina dirinya menjadi seorang dermawan (al-jud), maka caranya ialah dengan membebani dirinya dengan perbuatan mulia tersebut, yaitu memberikan harta kepada
orang
lain.
Hendaklah
dirinya
selalu
dituntut
untuk
mengerjakan perbuatan itu dan diikuti dengan perjuangan melawan hawa nafsu yang menghalanginya, sehingga akhirnya perbuatan mulia itu terlaksana dengan mudah pada dirinya; dan jadilah dia seorang dermawan.78 Dalam contoh di atas, sifat dermawan (al-jud) yang mau dijadikan sebagai suatu karakter, adalah salah satu sifat terpuji yang akan membuat hati jadi bersinar, sebagaimana sifat bakhil atau kikir menjadikan hati kotor dan bernoda. Al-Ghazālī memang mengkaitkan sifat dermawan (dan sifat-sifat terpuji lainnya) dan sifat kikir (dan sifat77 78
Al-Ghazālī, Al-Ihyā,. J. VIII, hlm. 105. Al-Ghazālī, Al-Ihyā hlm. 106.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 175
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
sifat tercela lainnya) dengan situasi hati.79 Dengan demikian, mudah dimengerti jika al-Ghazālī berpendapat bahwa segala perbuatan baik dan jahat seseorang akan memberi bekas kepada situasi hatinya. AlGhazālī menulis : Adapun segala perbuatan terpuji … niscaya membuat cermin hati menjadi terang dan bersinar, sehingga bersinar-sinarlah di dalamnya hakekat kebenaran dan tersingkaplah kepadanya segala hakekat sesuatu yang diupayakan dalam beragama … Sedangkan segala perbuatan tercela itu dapat diumpamakan dengan asap hitam yang menyelubungi kaca hati senantiasa menyelubunginya - bila perbuatan tercela tersebut terus dikerjakan, sehingga akhirnya hati menjadi kelam dan menghitam, terdinding sama sekali dari Allāh. Selanjutnya
al-Ghazālī
menjelaskan
adanya
perngaruh
perbuatan lahir terhadap situasi hati adalah berdasarkan al-Qur’an dan Hadith.80 Bahkan, al-Ghazālī juga berpendapat bahwa situasi hati berpengaruh pula terhadap sikap lahir, sehingga prinsip adanya pengaruh timbal balik antara fisik dan psikis dalam psikologi modern sudah dipergunakan al-Ghazālī dalam taşawwufnya. Sehubungan dengan ini, al-Ghazālī menulis lagi sebagai berikut : Demikianlah, sebagian dari keajaiban hubungan antara hati dan anggota tubuh, antara psikis dan fisik. Setiap situasi yang timbul di hati bekasnya akan melimpah kepada anggota fisik, sehingga anggota tubuh 79 80
Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J., hlm. 52. Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. VIII, hlm. 20-21.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 176
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
hanya bergerak sesuai dengan arah situasi hati tersebut.. Begitu pula sebaliknya, apa saja yang terjadi pada anggota tubuh, pengaruhnya akan melimpah ke dalam hati. Keadaan ini merupakan semacam “dawur” (vicious circle), yang tak bisa ditetapkan mana sebab atau efek dalam terjadinya sesuatu di dalam diri manusia.81 Atas dasar adanya pengaruh timbal balik antara fisik dan psikis itu, al-Ghazālī selalu mengaitkan segala amal anggota tubuh dengan hati secara esensial. Karena itu, segala amal ibādah (seperti : şalat, puasa, zakat dan haji) kalau tidak dibarengi dengan situasi hati yang sesuai dengan spirit amal ibādah tersebut, maka semua itu menjadi tidak bernilai apa-apa.82 Atas dasar ini pula al-Ghazālī menetapkan agar si sālik menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat dan segala faktor yang mendorong ke sana, baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaan sulūknya, baik secara fisik maupun secara batin. Dalam hal ini “mujāhadah” sangat menentukan, karena semua perbuatan maksiat dan segala sifat tercela bisa terwujud karena adanya tarikan hawa nafsu, yang karena itu harus dilawan dengan perjuangan hebat. Memang, menurut al-Ghazālī, hati manusia pada dasarnya mempunyai kemungkinan yang sama untuk berbuat baik dan buruk. Sedang yang menyebabkan salah satu terjadi adalah adanya tarikan hawa nafsu yang menyeretnya (sehingga berbuat buruk), atau karena adanya kemauan
81 82
Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. X, hlm. 52. Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. II, hlm. 95-97.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 177
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
yang keras untuk melawannya, sehingga nafsu jadi tak berdaya.83 Mujāhadah melawan hawa nafsu tidak berarti mematikannya sama sekali atau mencabutnya sampai ke akar-akarnya, karena hal itu, menurut al-Ghazālī, merupakan suatu tindakan yang merugikan manusia, bahkan bisa mematikannya. Yang dimaksud dengan mujāhadah di sini hanya untuk menundukan hawa nafsu di bawah norma-norma syari’at dan akal.84 Atas dasar ini pula, al-Ghazālī menetapkan agar si sālik melaksanakan segala amal saleh dan menghiasi dirinya dengan segala al-Mahmūdah), baik dalam
sifat terpuji (al-akhlāq
persiapan maupun dalam pelaksanaan sulūknya, baik secara fisik maupun batin. Dalam hal ini, riyādāh sangat berperanan. Karena menurut al-Ghazālī, suatu perbuatan baik baru bisa menjadi karakter bila selalu dilaksanakan dengan riyādāh (latihan).85 Konsepsi ini didasarkan atas pandangan filosofis al-Ghazālī mengenai akhlak (etika), bahwa kepribadian manusia bisa dibentuk, Dalam al-Ihyā , alGhazālī
menulis sebuah pasal yang berbunyi : “Bayān Qabūl al-
Akhlāq li al-Tagayyur bi Ţāriq al-riyādāh” (keterangan tentang perubahan akhlak melalui latihan). Dalam pasal ini al-Ghazālī menolak sementara pendapat yang tidak mengakui adanya kemungkinan perubahan perubahan akhlak pada manusia (nativisme), meskipun dia juga mengakui adanya instink (garīzah) yang dibawa setiap manusia Al-Ghazālī, Al-Ihyā, J. VIII, hlm. 48. Al-Ghazālī, Al-Ihyā, hlm. 88-89. 85 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 100-104. 83 84
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 178
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
sejak lahir dengan intensitas yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam hal ini, Al-Ghazālī antara lain menulis : Maka kami berpendapat, andaikata tidak bisa berubah, niscaya sia-sialah semua nasihat, pengajaran dan pendidikan. Padahal Rasulullah bersabda, “Perbaikilah akhlakmu !” Bagaimana
pula
memungkiri kemungkinan perubahan akhlak ini pada manusia, sedangkan pada makhluk hewan saja “akhlaknya” bisa diubah…86 Di samping
itu, al-Ghazālī
juga menulis : “memang
kecenderungan watak (jibillah) pada setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat menerima perubahan dan adapula yang lambat”.87 Dengan demikian, al-Ghazālī juga mempergunakan prinsip konvergensi dalam filsafah etikanya. Terbentuknya suatu akhlak pada diri seseorang mutlak memerlukan
riyādāh.
Menurut
al-Ghazālī,
akhlak
(al-khulq)
merupakan citra yang mantap dalam jiwa seorang manusia yang dengan mudah dapat menimbulkan suatu perbuatan, tanpa melalui proses penalaran lebih dahulu; jika perbuatan itu baik, maka orang itu disebut berakhlak yang baik, dan begitu pula sebailknya.88 Karena itu alGhazālī belum menganggap suatu perbuatan yang terpuji yang lahir dari seorang manusia, sebagai suatu akhlaknya bila perbuatan terpuji itu lahir dari jiwa yang masih merasakan perbuatan baik itu sebagai suatu beban, atau karena suatu motiv insidental atau melalui semacam Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 101. Al-Ghazālī, Al-Ihyā hlm. 102. 88 Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 96-97. 86 87
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 179
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
pertimbangan akal atau penalaran lebih dahulu. Jadi suatu perbuatan baik yang masih dalam proses riyādāh belum bisa dianggap bagain dari akhlak orang, namun untuk membina terwujudnya akhlak tersebut diperlukan riyādāh, kecuali bagi Nabi yang memperolehnya secara fitrah dan anugerah dari Allāh.89 Dengan demikian, tepatlah pendapat Abū al-Qādir Mahmūd, yang menganggap bahwa taşawwuf al-Ghazālī adalah filsafatnya tentang akhlak (etika) dalam Islam, pendapat yang senada juga dikemukakan oleh J. Spencer Trimingham.90 Tetapi karena watak taşawwufnya ini pula, R.A. Nicholson menganggap al-Ghazālī bukan tipe seorang sufi.91 Namun justru karena watak taşawwufnya ini pula Fazlur Rahmān menganggap al -Ghazālī sebagai seorang sufi yang berhasil menarik taşawwuf kembali ke pangkuan Islam, sehingga dapat diterima oleh para fuqahā.92 Karena di dalam taşawwuf al-Ghazālī ditemukan keseimbangan antara kepentingan sharī’at ( lahir) dan hakikat (baţin).93 Keseimbangan (equilibirium) ini tampak dalam penjelasan al-Ghazālī mengenai esensi setiap maqām (station) yang dilalui oleh si sālik, yang mencakup : ilmu (kognitif), hāl (efektif) dan Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 105. Lihat: ‘Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafah., hlm. 230, 242 dst.: dan J. Spencer Trimingham, The Sufi hlm. 3. 91 RA. Nicholson. “Sufis”, Encyclopedia of Religion and Ethics XII, 1921, hlm. 14 . 92 Fazlur Rahmān, Islām, (Cicago : University of Chicago Press, 1979), hlm. 132-133. 93 Ahmad Amīn, Zuhr al-islām, (Kairo : Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah,), J. II, hlm. 62. 89 90
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 180
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
amal (psikomotor). Ketiganya, menurutnya, terwujud secara berurutan : ilmu menimbulkan hāl, dan hāl mendorong terwujudnya amal.94 Sebagai contoh, tentang maqām “al-tawbat”, al-Ghazālī menjelaskan bahwa maqām ini berwujud : ilmu, hāl dan amal. Adapun ilmu, yaitu pengetahuan si sālik terhadap kemudaratan segala dosa, terutama menjadi tirai yang melintang antara dirinya dengan Tuhan. Karenanya, timbullah penyesalan dalam hatinya atas segala perbuatan dosa yang pernah diperbuatnya. Hāl ini melahirkan suatu tekad (irādah) untuk berbuat dalan tiga dimensi waktu, yaitu : sekarang, dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang mengakibatkan dosa; masa yang akan datang, dengan tekad (‘azam) untuk tidak akan mengulanginya lagi sepanjang umur; dan masa lalu, dengan berbuat kabaikan untuk menutupi kekurangan yang telah lewat.95 Dengan menyelesaikannnya kagiatan utama ini, setelah si sālik mendaki tanjakan demi tanjakan dan melewati stasiun demi stasiun menuju Tuhan dengan Riyādāh dan mujāhadah, hampir dapat dipastikan bahwa si sālik telah memperoleh hati yang bersih dari segala noda dan dosa, dan bersinar dengan segala sifat terpuji. Maka, terpenuhilah pula satu persyaratan (lagi) agar cermin dapat menangkap gambar suatu benda, atau hati dapat menangkap pengetahuan yang tertera di Luh Mafudh. Untuk memenuhi secara sempunra satu
94 95
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. XII, hlm. 35. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’.,J. XI, hlm. 146.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 181
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
persyaratan selanjutnya, yaitu terarahnya hati selalu kepada Allāh, maka si sālik harus melaksanakan pula kegiatan kedua sebagai berikut. Inti kegiatan kedua ini adalah mengkonsentrasikan hati sepenuhnya kepada Allāh. Pelaksanaannya dimuali sejak si sālik mampu menyapu habis segala perhatiannya tertuju kepada sarana yang memalingkannya dari Allāh, seperti : harta, kemuliaan, status, perhatian kepada makhluk dan kecenderungan berbuat maksiat. Bila semua ini masih terdapat dalam hati, menurut al-Ghazālī, kegiatan ini tidak bisa dimulai. Pada saat itu si sālik tetap tegar dalam tekadnya untuk melaksanakan sulūk dalam hatinya sudah didominasi oleh cinta kepada Allāh. Pelaksanaan kegiatan ini dijelaskan al-Ghazālī sebagai berikut : Jika sudah demikian, maka si guru memasukkan muridnya ke dalam satu zawiyah sebagai tempat tinggalnya. Lalu, si guru menugaskan orang tertentu untuk melayani makan-minum muridnya sekadar cukup. Dari makanan yang halal; karena makanan yang halal adalah dasar dari pelaksanaan sulūk (ţāriq al -din). Saat itu si guru mentalqin (mengajar) muridnya dengan beberapa zikir tertentu, seperti Allāh Allāh atau “subhāna Allāh Subhāna Allāh”, atau zikir lain yang dipilih oleh guru. Si murid harus selalu zikir dengan kalimat itu sepanjang hari, dengan lidah dan hatinya. Akhirnya, gerak lidah terhenti namun kalimat-kalimat zikir itu seakan-akan terus meluncur di lidah tanpa gerakan. Keadaan ini pun terus berlanjut sampai
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 182
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
bekasnya lenyap di lidah, tapi lazaf zikir itu tetap melekat di hati. Keadaan inipun terus berlangsung sampai lafaz-lafaz tersebut terpupus dari hati, tinggal hakekat maknanya yang masih melekat, tak tanggal lagi, selama-lamanya mengisi hati. Bila hati terisi oleh sesuatu, maka yang lain tak bisa masuk lagi. Jika hati sudah didominasi oleh ingat kepada Allāh, maka yang lain tak bisa menyelinap lagi; dan inilah yang jadi tujuan.96 Mengintensifkan pelaksanaan zikir kepda Allāh dengan kalimat-kalimat yang diajarkan guru merupakan kerja pokok si sālik di zawiyah-nya; sedangkan melaksanakan ibādah wajib dan sunat (termasuk zikir-zikir lain yang diajarkan guru) hanya dikerjakan seperlunya. Selain itu, si sālik harus selalu mengadakan kontrol yang ketat terhadap bisikan di hati yang berkenaan dengan dunia yang bisa memalingkannya lagi dari ingat kepada Allāh, juga berkenaan dengan hakekat makna zikir itu sendiri, seperti munculnya pertanyaanpertanyaan : Apa hakekat Allāh, mengapa Dia disebut Tuhan, mengapa Dia disembah, dan seterusnya. Karena semua bisikan itu berasal dari setan, yang bisa menyesatkannya. Untuk menghadapai segala bisikan tersebut, si sālik harus selalu berkonsultasi dengan guru, bahkan, segala kejadian yang dialaminya selama sulūk, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, harus dilaporkan secara tuntas kepada guru, dan tak boleh dibicarakan kepada orang lain.97 96 97
Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, hlm. 222-23. AL-Ghazālī, Al-Ihyā’., J. VIII, hlm. 139-140.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 183
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dengan terwujudnya dituasi hati bersama Allāh, dengan hasil riyādāh dan mujāhadah intensif yang dilaksanakan si sālik di bawah bimbingan si guru, maka lengkaplah segala persyaratan agar hati dapat menangkap apa yang tertera di Lūh Mahfūz, sebagai sumber pengetahuan. Pada tahap ini, si sālik mempunyai kemungkinan untuk bisa memperoleh ilmu mukāshafah atau ma’rifah yang langsung diberikan Allāh kepadanya.98 Demikianlah jalan sufi atau komponen “kegiatan” sulūk menurut al-Ghazālī dan pelaksanaanya, yang dilaksanakannya sendiri pada saat dia hidup dengan cara sufi. Al-Ghazālī menuliskannya sebagai berikut : Kemudian kumasuki negeri Sham (Shria) dan bermukim disini selama kurang lebih dua tahun. Selama itu, tak ada kesibukan lain kecuali ‘uzlah, khalwat, riyādāhdan mujāhadah, yaitu kegiatan untuk membersihkan jiwa (al-nafs), membina kepribadian (al-akhlāq) dan membersihkan hati agar selalu ingat kepada Allāh Ta’ālā, sebagaimana telah kuketahui dari taşawwuf. Aku selalau beriktikaf di Masjid Damaskus, kunaiki menara masjid sepanjang hari, dan kukunci pintunya
hanya
untukku
seorang.
Kemudian
aku
berangkat
meninggalkan Damaskus menuju Bayt al-Maqdis, kumasuki kubah alShakhrah setiap hari, dan pintunya kututup untukku seorang.99
Al-Ghazali dan Tarekat 98 99
AL-Ghazālī, Al-Ihyā’., hlm. 141. Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 377.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 184
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dari gambaran jalan sufi al-Ghazālī ini, mudah sekali timbul suatu pertanyaan: “apakah jalan sufi yang diajarkan al-Ghazālī ini merupakan, atau sama dengan, suatu tarekat ?” Secara sederhana pertanyaan ini dapat diberikan jawaban bahwa antara jalan sufi atau sulūk al-Ghazālī dan tarekat ada persamaan dan perbedaan, disamping diduga adanya hubungan historis antara keduanya. Menurut Trimingham, sulūk merupakan terminologi lain dari tarekat, yang berarti: suatu metode praktis untuk membimbing si sālik (seeker) dalam mengikuti suatu jalan pikiran, perasaan dan tindakan agar berhasil melewati maqāmat untuk bisa menghadapi hakekat ketuhanan (divine reality).100 Al-Ghazālī mempergunakan kata-kata “sulūk” dan “ţāriq” dalam arti metaforis untuk usaha-usaha mendekatkan diri kepada Allāh. Bahkan kedua kata ini digandengkan al-Ghazālī dalam suatu “terminologi” yang diidentifikasikan sebagai sulūk versi al-Ghazālī, yaitu ”sulūk ţāriq Allāh Ta’ālā ”.101 Tetapi alGhazālī tidak pernah mempergunakan kata “ţāriq” atau “ţāriqah” dengan maksud sebagai terminologi taşawwuf yang dikenal saat ini. Karena tarekat (dalam literatur berbahasa Inggris disebut : “ţāriqa”102 atau “ţāriqah”103), yang menurut Hodgson mempunyai dua ciri : mempunyai semacam organisasi formal para sufi dan mempunyai
100
J. Spencer Trimingham, The Sufi hlm. 3. Al-Ghazālī, Al-Ihyā, J. VIII, hlm. 135. 102 Lihat, J.S. Trimingham, The Sufi, hlm. 3. 103 Lihat: Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, (The University of Chicago, Chicago and London, 1974), J. II, hlm. 211. 101
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 185
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
metode formal dalam berzikir,104 baru bermunculan di dunia Islam pada sekitar pertengahan abad keenam Hijriah (12 M), lebih kurang setengah abad sesudah al-Ghazālī wafat.105 Memang dalam dunia tarekat, nama Abū Hāmid
al-Ghazālī tidak dikenal, baik sebagai tokoh pendiri
tarekat maupun seorang tokoh yang tersebut dalam silsilah guru-guru tarekat. Menurut Trimingham, reputasi al-Ghazālī sebagai tokoh sufi dalam doktrinnya yang ilmiah memang diakui, tetapi dia kurang dihargai sebagai seorang praktisi sufi yang ‘ārif dibanding dengan tokoh-tokoh tarekat.106 Al-Sanusī (w. 1859 M), seorang pendiri tarekat (al-Sanusīyah) menilai karya-karya al-Ghazālī sebagai sufi para Al-Ghazālī, Al-Ihyā hlm. 136. Para sufi yang dianggap sebagai pendiri tarekat-tarekat induk dalam Islam pada umumnya hidup pada abad ke enam Hijrah (12 M). Di antara mereka ialah : Dhiya al-Din Abū al-Nājib al-Suhrawardī (w. 501 H/1168 M.) pendiri Ţārīqah alSuhrawardiyyah; Ahmad Ibn ‘Ali al-Rifā’ī (w. 579 H/1182 M.) pendiri Ţārīqah alRifā’iyyah; ‘Abd al-Qādir ibn Sālih al-Jilānī (w. 562 H/1166 M.) pendiri Ţārīqah alQādiriyyah; Abū Ya’qūb Yūsuf al-Hamdāni (w. 535H/1140 M.) yang dianggap sebagai pendiri dari sebuah tarekat yang terkenal dengan nama Al-Naqshabandiyyah. 106 Dari uraian ini kiranya dapat dipahami juga mengapa sufisme al-Ghazālī, yang dianggap sufisme Sunnī, tidak dijadikan pegangan di kalangan Alhussunah wa al-Jama’ah dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) di bidang taşawwuf. Menurut Bisri, Musţafā di bidang ini, NU “menganut dasar-dasar ajaran Imām Abū Qasim alJunayd”. (lihat: Zamakhsary Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1983, hlm. 149). Tampaknya para ulama NU memandang taşawwuf bukan dari segi ilmiahnya, maka tersisihlah al-Ghazālī; tapi dari segi praktisnya lewat tarekat, maka naiklah tokoh Abū al-Qasim Junayd alBagdādī (w. 297 H/910 M.), seorang tokoh yang selalu disebut dalam sislsilah Shaikh mursyid dalam tarekat-takrekat. Untuk yang terakhir ini, lihat; J.S. Trimingham, The Sufi., diagram pada hlm. 29-30; dan Hodgson, The Venture, hlm. 215.Namun anggapan ini mendapat reaksi keras dari Said Aqil Sirāj, menurutnya tidak benar apa yang diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhafir, yang benar bahwa NU selalu merujuk pada faham sunnī dalam hal mengamalkan tradisi taşawwuf, dan selalu merujuk pada apa yang diajarkan oleh al-Ghazālī, sebagai salah satu buktinya ialah kitab-kitab karya al-Ghazālī selalu menjadi rujukan para tokoh NU. 104 105
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 186
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
fuqahā’ (ahli fiqih); suatu penilaian yang menyisihkan al-Ghazālī dari kalangan sufi murni.107 Dengan demikian, sulūk al-Ghazālī tidak diakui sebagai suatu doktrin tarekat. Selain itu, memang ada beberapa perbedaan esensial antara keduanya, disamping ada beberapa persamaanya. Dari segi historis, bukan suatu kebetulan, bila tarekat berkembang pesat dalam dunia Islam pada masa sesudah al-Ghazālī, meskipun figur ini tidak bisa dianggap sebagai tokoh tarekat. Dalam sejarah taşawwuf, al-Ghazālī diakui sebagai seorang tokoh yang berhasil membawa taşawwuf kembali ke pangkuan Islam, setelah beberapa lama dianggap sebagai suatu yang non-Islāmī. Meskipun al-Ghazālī bukan orang pertama yang berusaha ke arah itu,108 namun sukses besar dalam usaha ini baru terjadi di tangan al-Ghazālī, yaitu dengan diterimanya eksistensi taşawwuf oleh para ahli sharī’at (teolog dan fuqahā). Sukses al-Ghazālī membawa perkembangan positif
bagi perkembangan
taşawwuf di dunia Islam. Yang pada masa itu juga ditandai kemenangan golongan Sunnī di bidang politik, dengan gegemaran para penguasa mereka membangun ribāţ, khanaqah atau zawiyah, sebagai 107
J.S. Trimingham, The Sufi., hlm. 243. Sebelum al-Ghazālī, minimal ada enam tokoh yang berusaha menyajikan sufisme dengan warna Sunnī. Karya-karya mereka merupakan referensi utama di bidang sufisme. Mereka itu ialah : (1) Abū Nasr al-Sarrāj al-Ţūsī (w. 378 H.) dengan karyanya: Al-lumā’; (2) Abū Tālib al-Makkī (w. 386 H.) dengan karyanya: Qūt alQulūb; (3). Abū Bakr Ishāq al-Kalabadhī (w. 380 H.) dengan keryanya: Al-Ta’arruf li Madhāhib Ahl al- Taşawwuf; (4) Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sulamī (w. 412. H.) dengan karyawanya: Al-Risālah; dan (6) Al-Hujwirī (w. 465 H.) dengan karyanya: Kasyf al-Mahjūb. 108
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 187
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
asrama para sufi untuk melaksanakan ajaran mereka.109 Namun dalam perkembangan baru ini juga muncul suatu gejala baru dalam taşawwuf, yaitu adanya penekanan doktrin pada aspek metode konsentrasi dalam mengingat Allāh (zikir) untuk mencapai ma’rifah yang sebenarnya; dan hal ini terpusat pada hubungan antara guru (shaikh murshīd) dan murid. Gejala baru inilah yang kemudian bermuara pada munculnya tarekattarekat yang menjamur di dunia Islam.110 Jika tekanan dalam doktrin tarekat ini dicari dalam doktrin sulūk al-Ghazālī, akan ditemukan sebagai “kegiatan” kedua, yang merupakan salah satu dari lima ketentuan yang harus ada pada hati untuk bisa menerima kemungkinan memperoleh ilmu mukāshafah dari Allāh. Selain itu, dalam komponen “kegiatan” masih ada kegiatan pertama yang cukup berat dilaksanakan murid dalam sulūk al-Ghazālī, suatu aspek yang kurang dipentingkan dalam sulūk al-Ghazālī; dan yang terakhir ini jauh lebih komplit dan mencerminkan taşawwuf yang islāmī dibandingkan yang pertama. Jika
dibandingkan,
taşawwuf
al-Ghazālī
dengan
aspek
prakteknya berupa sulūk, sebagaimana telah diuraikan, mungkin tepat penilaian ‘Abd al-hālim Mahmūd, bahwa golongan sufi itu bersifat elitis, dan sulūknya tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh orang-orang tertentu yang mempunyai potensi dan tekad untuk itu.111 Memang, menurut al-Ghazālī, setiap manusia mempunyai potensi untuk bisa 109
Marshal G.S. Hodgson, The Venture., hlm. 203-04. J. Spencer Trimingham, The Sufi, hlm. 14-15. 111 Abd Hālim Mahmūd, Qadiyyat al-Taşawwuf, (Kairo: Dār al-Ma'arif, tth), cet. II, hlm. 256-58. 110
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 188
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
melaksanakan taşawwuf tersebut,112 tetapi dari segi adanya tekad atau kemauan,
al-Ghazālī
menghargai
kebebasan
individu
untuk
menentukannya, sehingga dia tidak mewajibkan semua individu muslim harus melalui taşawwuf untuk bisa menjadi muslim sejati.113 Taşawwuf
hanya
ditawarkan
untuk
orang-orang
yang
ingin
meningkatkan iman mereka dengan ma’rifah yang meyakinkan, sebagaimana akan dibahas pada bagian berikut ini. Al-Ghazālī mengaku memperoleh keyakinan, yang katanya sampai ke tingkat kebeneran yang bersifat matematis, malalui kehidupan sufi. Adanya keyakinan tersebut dikarenakan adanya pengetahuan, yang dalam konsepsi al-Ghazālī, disebut: (a) ilmu “mukāshafah”114 (karena diperoleh melalui terbukanya hijab antara hati dan Lūh Mahfūz);115 (b) ilmu “mushāhadah” (karena diperoleh melalui penyaksian langsung dengan mata hati atau başirah terhdapa Lūh Mahfūz, sebagai sumber pengetahuan);116 ( c ) “ilmu al-batin” (karena pengetahuan ini diperoleh melalui batin bukan lahir);117 (d) “al-ma’rifah” (karena pengetahuan ini diterima langsung dari Allāh tanpa belajar, dan dengan itu orang memperoleh pengenalan hakiki mengenai Allāh);118 (s) “nūr Illāhi” (karena berupa sinar pengetahuan dari Tuhan yang dicampakanAl-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. I, hlm. 35. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ ., hlm. 162-63. 114 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ ., hlm. 34. 115 Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 378. 116 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ hlm. 164. 117 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, 165. 118 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ hlm. 166., 112 113
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 189
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Nya ke dalam hati orang yang dikehendaki-Nya)119 dan (f) “al-ilm alKhaf” (karena pengetahuan in harus disembunyikan oleh orang yang memperolehnya,
kecuali
terhadap
orang
yang
juga
mendapatkannya).120 Menurut al-Ghazālī, jenis pengetahuan ini (selanjutnya disebut ma’rifah) diperoleh selama sulūk, sebagaimana dia menjelaskan pengalamannya: “Telah terbuka kepadaku, selama khalwat ini, banyak sekali pengetahuan yang tak terkira”.121 Sejak permulaan sulūk sampai ke ujungnya, si sālik bisa memperoleh ma’rifah tersbeut. Al-Ghazālī menulis sebagai berikut : Dari permulaan jalan (al-ţāriqah) sudah mulai muncul ilmu mukāshafah dan mushāhadah, sehingga dalam keadaan jaga (tidak tidur) mereka dapat menyaksikan (lewat başirah) para malaikta dan roh-roh para nabi. Mereka dapat mendengar suara-suaranya dan dapat mengambil faedah dari semua itu. Kemudian, keadaan makin terus meningkat,
dari
penyaksian
terhadap
pelbagai
gambaran
dan
perumpamaan, sampai ke tingkat-tingkat yang tak bisa terkatakan. Setiap orang yang berusaha menggambarkan hal itu dengan katakatanya, pasti kata-kata tersebut akan mengandung kekeliruankekeliruan yang tak terhindarkan.122
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’., hlm. 163. Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, hlm. 35. 121 Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 35. 122 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’ hlm. .36. 119 120
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 190
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dengan demikian, si sālik memperoleh ma’rifah hanya pada maqām-maqām tertentu saja. Hanya saja kualitas ma’rifah yang diperolehnya sesuai dengan tingkat kualitas hati yang menerimanya, dari segi kebersihan dan kebersinarannya, dan konsentrasinya kepada Tuhan selama sulūk. Dalam aspek tersebut, para sālik mempunyai tingkat kualitas yang berbeda-beda dan tak terhingga banyaknya.123 al-Ghazālī, ma’rifah bukan suatu maqām tertentu
Memang, bagi
diantara maqāmat yang harus dilalui oleh si sālik. Karena itu, dia tidak membicarakannya dalam pasal tertentu seperti “al-tawbah”, “almahabah” dan sebagainya. Konsep maqāmat dalam taşawwuf, yang juga dipergunakan al-Ghazālī dalam konsepsinya, berarti suatu tingkat status spiritual si sufi, yang merupakan hasil usaha si sālik dalam sulūknya melalui riyādāhdan mujāhadah; sedangkan ma’rifah dalam konsepsi al-Ghazālī merupakan anugerah Allāh kepada orang yang mempunyai hati dalam situasi dan kondisi tertentu, sebagaimana telah diuraikan. Memang ada di antara ma’rifah yang diperoleh si sālik yang merupakan dasar bagi terwujudnya maqām tertentu, seperti pada maqām “al-tawakul”,124 tetapi hal ini tidak sebagai pertanda awal diperolehnya
ma’rifah, karena bisa saja sebelumnya si sālik telah
memperoleh bentuk ma’rifah yang lain. Maqām al-tawakkul tak bisa terwujud bila si sālik belum memperoleh bentuk ma’rifah sebagimana yang disebutkan. 123 124
Al-Ghazālī, Al-Ihyā, hlm. 163. Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. XIII, hlm. 182.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 191
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dalam
al-Ihyā ,
al-Ghazālī
menjelaskan
materi-materi
ma’rifah yang bisa diperoleh sufi, antara lain : tentang Zat Allāh, sifatsifat-Nya dan af’āl-Nya, tentang ketentuan Allāh terhadap dunia dan akhirat, tentang arti kenabian dan nabi, arti wahyu dan malaikat, tentang bentuk permusuhan setan terhadap manusia, cara malaikta menampakkan diri dan menyampaikan wahyu kepada para nabi, keadaan hari akhirat, arti bertemu dengan Allāh dan dekat dengan-Nya, tentang perbedaan tingkat ahli sorga, sorga, neraka, azab kubur, dan sebagainya.125 Materi-materi ma’rifah tersebut dihayati oleh si sufi yang sudah ‘ārif dengan bentuk penghayatan yang tidak harus sama, karena sesuai dengan anugerah yang diterimanya. Al-Ghazālī pernah memberikan dua contoh ma’rifah yang diperoleh sufi, yaitu tentang sorga dan puncak pengenalan (ma’rifah) terhadap Allāh. Mengenai sorga, al-Ghazālī menyebutkan ada sebagian sufi yang memperoleh ma’rifah, yang menggambarkan bahwa segala penjelasan tentang sorga berupa nama atau sifat, hanya merupakan simbol-simbol yang jauh bedanya dari hakekat sebenarnya, sesuatu yang tak pernah terlintas di hati
manusia.
Ada
pula
yang
memperoleh
ma’rifah
yang
menggambarkan bahwa sebagian dari simbol-simbol tersebut memang tak menggambarkan hakekat yang sebenarnya, tetapi sebagiannya memang sesuai dengan pengertian lafaznya. Adapun mengani puncak ma’rifah terhadap Allāh. al-Ghazālī menjelsakannya: ada yang memperoleh ma’rifah yang menegaskan bahwa puncak ma’rifah ialah 125
Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. I, hlm. 34-35.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 192
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
pengakuan atas kelemahan diri untuk mengenal-Nya; ada yang mengaku mengalami hal-hal yang luar biasa, mungkin yang dimaksud disini seperti “al-hulūl ” atau “al-ittihād” dan sejenisnya.; dan ada pula yang mengaku bahwa puncak ma’rifah tersebut persis sama dengan i’tikad orang awam tentang Allāh.126 Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa ma’rifah yang diperoleh seorang sufi mencakup aspek materi akidah, terutama tiga masalah pokok: ketuhanan, kenabian dan hari akhirat; dan ma’rifah tersebut bersifat individual, sehingga wujud dan kualitasnya bisa berbeda-beda antara seorang ‘ārif dengan ‘ārif yang lain. Di atas al-Ghazālī hanya menyebutkan berbagai materi ma’rifah yang bisa diperoleh seorang’ārif, tetapi tidak menjelaskan bagaimana wujudnya. Memang menurut al-Ghazālī, ma’rifah yang diperoleh tidak termasuk jenis ilmu yang boleh dipublikasikan secara umum, Tepatnya al-Ghazālī menulis : Semua ini adalah ilmu-ilmu yang hanya dapat dibicarakan dengan orang yang memahaminya dengan maksud mudhakarah (saling mengingat) dan dengan cara-sembunyi-sembunyi…127 Al-Ghazālī mengakui, setiap orang mempunyai potensi untuk bisa memperolehnya, tetapi setiap orang tidak wajib mengetahui-Nya.128 Al-Ghazālī sering mengungkapkan kata-kata yang populer di kalangan sufi: “ifshā’ sirr
Al-Ghazālī, Al-Ihyā., hlm. 35. Al-Ghazālī, Al-Ihyā hlm. 34. 128 Al-Ghazālī, Al-Ihyā, hlm. 173; dan J. VIII, hlm. 35. 126 127
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 193
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
al-rubūbiyyah kufr” (membukakan rahasia ketuhanan adalah kufur).129 Hal ini berarti menguatkan larangan terhadap pengungkapan ma’rifah secara umum. Tetapi data menujukkan bahwa al-Ghazālī sendiri tidak hanya mengungkap sejumlah materi ma’rifah yang bisa diperoleh, yang harus dirahasiakan, tetapi juga mengemukakan secara terbuka beberapa hasil ma’rifahnya sendiri dalam beberapa karyanya. Misalnya, dalam alMunqidh, al-Ghazālī antara lain menulis “telah terbuka kepadaku selama dalam khalwat in banyak sekali pengetahuan yang tak terkira. Sekadar untuk mendapat manfaat daripadanya, disini kusebutkan: bahwa aku mengetahui dengan yakin bahwa para sufi adalah orangorang yang menapaki jalan Tuhan secara khusus, bahwa akhlak mereka adalah akhlak yang terbaik, dan metode mereka adalah metode yang benar …”130 Begitu pula dalam al-Ihyā’, al -Ghazālī juga menyebutkan lima macam pengetahuan yang katanya hanya diketahui oleh mereka yang disebut “al-muqarrabun”.131 Pengetahuan ini tak diperoleh mayoritas umat dan terlarang disampaikan kepda mereka.132 Dengan demikian, termasuk juga dalam jenis ma’rifah yang terlarang dipublikasikan kepada umum. Selain itu, al-Ghazālī juga menyebutkan Al-Ghazālī, Al-Ihyā ., J. I, hlm. 173; dan J. XIII, hlm. 160. Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 377-78. 131 ”Al-Muqarrabūn” berarti orang-orang yang dekat di hadirat Tuhan, sedangkan “al-qurb” (dekat) merupakan ujung sufisme. Lihat: Al-Ghazālī, Al-Ihyā ., hlm. 378. Jadi jelas pengetahuan itu merupkaan makriyah. 132 Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. I. hlm. 174-78. 129 130
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 194
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
hal serupa, tatkala dia menjelaskan tingkatan kualitas tauhid, yaitu bahwa kualitas ketiga dan keempat merupakan tingkatan hasil ma’rifah dari al-Ghazālī sendiri.133 Kalau demikian, apakah berarti al-Ghazālī tidak konsisten dengan norma yang ditetapkannya sendiri dan norma yang berlaku di kalangan sufi.; dan bahkan dia terperengkap dalam jerat yang dipasangnya sendiri, yaitu bahwa “siapa yang membukakan rahasia ketuhanan adalah kufur”?.134 Sebenarnya, al-Ghazālī sendiri memang sangat berhati-hati dalam mengungkapkan segala ma’rifah yang telah dinukilkan di atas. kalau bukan untuk tujuan-tujuan tertentu yang sangat urgen - menurut penilaiannya, al-Ghazālī tidak mengungkapkan hal itu. Hal ini dapat ditelusuri dari motivasi dan cara pengungkapannya. Dalam al-Munqidh, al-Ghazālī mengungkapkan salah satu hasil kasyaf-nya, dengan motivasi agar bermanfaat kepada orang lain. Di sini, al-Ghazālī menegaskan bahwa “jalan sufi merupakan jalan terbaik dan terbenar”. Penegasan ini dipandangnya
sangat urgen setelah dia menyelidiki
beberapa metode kalam, filsafat dan baţiniyah, yang semuanya tidak memuaskan, dan bahkan keliru.135 Begitu pula dalam al-Ihyā , dia mengungkapkan lima macam ma’rifah orang-orang muqarrabun juga karena adanya motif insidental yang mendesak diungkapkannya hal itu. Sebelum mengungkapkannya, al-Ghazālī
lebih dahulu menjelaskan
Al-Ghazālī, Al-Ihyā., J. XII, hlm. 160. Lihat juga anggapan di dalam “Sulaymān Dunyā, Al-Haqīqah fī Nazr alGhazālī, (Mesir : Dār al- Ma'arif, 1971), hlm. 97. 135 Al-Ghazālī, Al-Munqidh, hlm. 336-73. 133 134
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 195
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
adanya perbedaan pendapat yang antagonis dalam soal akidah yang diterimsa secara lahir (yang dibenarkan hati karena peniruan atau penalaran) dan yang diterima bahirah (baţin) berupa ma’rifah. Ada yang berpendapat bahwa syari’at dan hakekat (lahir dan baţin) berbeda, dam ada yang pendapat bahwa hakekat tidak boleh beda dari syari’at. Menurut al-Ghazālī, pada dasarnya tak ada perbedaan antara lahir dan baţin, yang ada hanya sebagian dari ma’rifah (baţin) tidak boleh dipublikasikan secara umum, karena bisa membawa dampak yang negatif bagi agama; sehingga ada kesan sementara orang bahwa baţin bertentangan dengan lahir. Untuk itulah, al-Ghazālī menurunkan lima macam ma’rifah sebagai contoh kasusnya, agar masalah tersebut bisa diluruskan.136
Juga, pengungkapan kedua kualitas
tauhid (al-
muqarrabun dan al-şiddīqīn) disebabkan ada urgensinya di tempat itu. Sebab maqām “al-tawakkul” yang dibicarakan pada pasal itu tak bisa dibangun di atas kualitas tauhid yang diperoleh orang awam dan para teolog, tetapi hanya bisa dibangun di atas tauhid tingkat ketiga, yaitu tauhi al-maqarrabin, yang diperoleh melalui kasyaf. Berarti, tanpa pengungkapan hasil kasyāf atau ma-rifah itu, maka pembicaraan “maqām al-tawakkul” tak bisa dibicarakan secara tepat.137 Sejalan dengan prinsip ini, al-Ghazālī menulis “Al-Madnūn Bihā ‘alā Gayr Ahlihā” (yang dirahasiakan terhadap orang yang bukan ahlinya). Karya yang ditunjuk dalam kitabnya Al-Arba’īn fī Uşūl al -Dīn 136 137
Lihat., Al-Ghazālī, Al-Ihyā’,J. I, hlm. 174. Al-Ghazālī, Al-Ihyā.,J. XIII, hlm. 182.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 196
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
ini memang ditegaskan berisi tentang ma’rifah yang diperolehnya sendiri.138 Tetapi untuk bisa membacanya, al-Ghazālī menetapkan tiga persyaratan, yang menggambarkan bahwa orang yang diizinkan mengetahuinya adalah orang - orang yang kualitasnya seperti alGhazālī sendiri.139 Dengan demikian al-Ghazālī, dengan kitabnya “alMadnūn” ini bermaksud untuk mengungkapkan ma’rifahnya pribadi kepda teman-teman yang telah sama-sama memperolehnya, bukan untuk konsumsi umum, sesuai dengan konsepsinya dalam masalah ini. Tetapi setelah risalah yang berjudul seperti itu dipublikasikan atas nama al-Ghazālī, sehingga isinya diketahui umum, maka bermunculan reaksi terhadapnya. Minimal ada tiga reaksi yang berhasil dikumpulkan. Pertama, pihak yang menolak risalah tersebut benar berasal dari al-Ghazālī, karena isinya dianggap bertentangan dengan akidah ahlussunah yang dianut al-Ghazālī dan banyak bersesuaian dengan paham filsuf yang dikafirkannya. Mereka berpendapat bahwa risalah tersebut isinya dibuat-buat oleh mereka yang anti terhadap al-Ghazālī dan dikatakan berasal darinya untuk mendiskreditkan namanya di mata golongan Sunnī. Pendapat seperti ini dari kalangan klasik antara lain dikemukakan oleh Ibn al-Şalāh (w. 643 H/1265M), 140 dan dari kalangan sarjana modern dikemukakan oleh ‘Abd al-Qādir Mahmūd Al-Ghazālī, Kitāb al-Arba’īn fī Uşūl al -Dīn, Edisi Muhammad Abū al ‘Ala, (Mesir : Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 33. 139 Menurut Sulaymān Dunyā, segala persyaratan ini hampir mustahil bisa terwujud. Lihat: Sulaymān Dunyā, Al-Haqāiq., h. 95. 140 Sulaymān Dunyā, Al-Haqāiq., hlm. 79. 138
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 197
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
(1345 H/1967 M), yang menganggap isinya bukan saja bertentangan dengan akidah Sunnī yang dianut al-Ghazālī, tetapi juga bertentangan dengan isi karya-karyanya yang monumental, seperti : al-Tahāfut, alIhyā, dan al-Munqidh, yang tak diragukan kebenarannya sebagai karya-karya al-Ghazālī.141 Kedua, pihak yang menganggap benar risalah tersebut berasal dari al-Ghazālī, berdasarkan pembahasan filologi dan anggapan bahwa al-Ghazālī mempunyai pendapat yang labil. Pendapat seperti ini dari kalangan ulama klasik dikemukakan antara lain oleh Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1350 M.), yang menambahkan bahwa
di dalam risalah tersebut banyak ditemukan
filsafat dari kalangan Sabi’ah. Dengan ini Ibn Taymiyyah memperkuat tuduhannya terhadap al-Ghazālī yang dianggapnya seaorang pengikut filsuf, yang mempergunakan baju sufisme dalam mengungkapkan konsepsinya.142 Dari kalangan sarjana modern, pendapat ini dikemukakan oleh ‘Abd al- Rahmān Badawī (1340 H/1962 M), yang memasukkan risalah “al-Madnūn” ke dalam karya-karya al-Ghazālī yang tidak diragukan.143 Ketiga, pendapat Sulaymān Dunyā yang menganggap benar risalah tersebut berasal dari al-Ghazālī dengan isinya yang dikenal sekarang ini, tetapi bukan untuk menggambarkan faham yang benar menurut al-Ghazālī sebagai konsumsi umum, namun hanya ‘Abd-al Qādir Mahmūd,al-Falsafah, hh. 208-10. Ibn Tamiyyah, Naql al-Mantiq, (Kairo : Matbu’ah al-Sunnah alNabawiyyah, 1951), hlm. 53-55. 143 Abd. Al-Rahmān Badawī, Mu’allafat al-Ghazālī. (Mesir :Al-Majlis al-A’la liri’āyah al-Funun wa al-Adab wa al-‘Ulūm al-Ijtima’iyyah, 1962), hlm. 156.58. 141 142
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 198
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
merupakan fahamnya (mazhabnya) di hadapan Tuhan, bukan untuk diketahui umum.144 Penulis menilai pendapat Sulaymān Dunyā lebih sesuai dengan konspsei al-Ghazālī tentang status ma’rifah dan masalah pengungkapannya.
Hanya
saja
sikap
Sulaymān
Dunyā
yang
menjadikannya sebagai salah satu referensi yang menunjukkan mazhab al-Ghazālī yang sebenarnya, kurang serasi dengan pendapatnya, karena ma'rifah tersebut tidak untuk diketahui umum dan tidak bisa diperivikasikan dengan karya-karyanya yang lain secara ilmiah. Alasan ini juga tertuju kepada pihak kedua, terutama kepada Ibn Taymiyyah, yang secara tendensius menggunakan risalah tersebut sebagai pemukul terhadap al-Ghazālī. Terhadap pihak pertama, perlu dijelaskan bahwa menurut konsepsi al-Ghazālī, ma'rifah yang diperoleh seorang sufi tidak pasti harus sama dengan paham yang dipegangi oleh aliran terntentu, karena ada suatu ketentuan yang harus dipenuhi oleh si sālik ialah menanggalkan fanastismenya terhadap aliran yang dianutnya, karena dia tidak boleh terikat dengan aliran apapun dalam akidah pada saat menjelang memasuki sulūk.145 Karena itu, tidak beralasan menolak risalah “al-Madnūn” tersebut hanya karena isinya bertentangan dengan aliran Sunnī yang didukung al-Ghazālī. Penulis dalam masalah ini mengambil sikap yang dianggap
sesuai
dengan
konsepsi
al-Ghazālī,
yaitu
tanpa
144
Sulaymān Dunyā, al-Haqāiq hlm. 98. Sebagai teolog (mutakallim) al-Ghazālī menganut “al-kasb” dalam masalah “af ‘āl al-‘ibād”, tetapi sebagai seorang ‘ārif, dia melihat paham itu ada benarnya juga disamping kekurangannya. 145
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 199
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
mempersoalkan apakah risalah tersbeut benar-benar berasal dari alGhazālī atau tidak, karena hasilnya sama saja, yaitu keduanya bisa terjadi, mengingat isinya sebagai ma'rifah dengan keunikannya sebagai suatu jenis pengetahuan. Begitu pula penulis belum merasa berhak untuk bisa mengetahui isi risalah tersebut, karena persyaratan yang ditetapkan al-Ghazālī belum bisa terpenuhi, apalagi al-Ghazālī memperingatkan agar orang jangan memaksakan diri dan merasa sebagai orang yang berhak membacanya. Karena itu, penulis tidak menjadikannya suatu referensi untuk dipertimbangkan, dan mengembalikannya sebagai
suatu ma'rifah
individual yang tak perlu diketahui orang lain. Sesuai pula dengan karakteristik ma'rifah atau jenis pengetahuan intuitif, maka simbolsimbol apapun yang dipergunakan oleh yang memperolehnya seperti dalam bentuk bahasa tulis akan banyak kemungkinannya untuk keliru dari hakikat sebenarnya, karena kelemahan simbol-simbol yang dipergunakan. Lebih-lebih, untuk memahami simbol-simbol tersebut diperlukan interpretasi, sehingga akan lebih besar pula kekeliruan yang mungkin ditimbulkannya. Memang, pengetahuan intuitif, menurut Louis O. Kattsoff, dilihat dari segi metode ilmiah tidak bisa dinggap sebagai “ilmu” karena sifatnya yang
individual dan tidak bisa
diverifikasi oleh orang lain.146
146
Al-Ghazālī, Al-Munqidh., hlm. 378; sedangkan pengetahuan intuitif, lihat : Louis O Kattof, Element of Philosopy, terj. S. Soemargono, (Yogyakarta : Tiara Wacana), 1966, hlm. 70.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 200
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Sebagai pengetahuan individual yang diperoleh dengan metode taşawwuf, maka ma'rifah hanya bermanfaat secara individual pula, yaitu bisa meningkatkan keyakinan terhadap kebenaran akidah bagi orang yang memperolehnya. Al-Ghazālī menyebut iman orang ini dengan “īmān al-ārifīn” (iman orang-orang yang memperoleh ma'rifah), dan dianggapnya sebagai kualitas iman tertinggi, lebih tinggi dari iman para teolog (īmān al-mutakallimīn), yang berada di atas tingkat iman orang umum (īmān al-Awāmm).147 Penilaian ini bukan karena sikap bermanis muka yang dikeluarkan al-Ghazālī terhadap golongan sufi, sebagaimana yang dituduhkan oleh Sulaymān Dunyā,148 tetapi
sesuai dengan konsepsi al-Ghazālī sendiri dalam teologinya
yang, salah satu aspeknya, sangat menghargai “keringat” si mukmin dalam mengusahakan imannya. Hal ini akan lebih jelas dalam sebuah contoh yang konkret, tentang sifat keesaan Tuhan. Orang awam beriman bahwa Tuhan bersifat Maha Esa. Keyakinan ini diperolehnya dari seorang guru
yang kredibilitasnya
kurang diragukannya.
Meskipun si guru tidak memberikan argumentasi sifat “kemahaesaan Tuhan” kepadanya, namun dia sudah percaya atau beriman. Al-Ghazālī menganggap iman orang ini sudah benar, dan di akhirat kelak dia melepaskannya dari kekal di api neraka.149 Tetapi bagi sementara orang yang tidak puas beriman kepada kemahaesaan Tuhan tanpa dalil yang bisa meyakinkannya, maka merekapun berusaha Al-Ghazālī, Al-Ihyā;,., J. VIII, hlm. 26. Lihat: Sulaymān Dunyā, al-Haqāiq., hlm. 95. 149 Al-Ghazālī, Al-Iljām, hlm. 95. 147 148
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 201
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
mempelajarai argumen sifat Tuhan tersebut, baik berupa argumen tekstual maupun argumen rasional yang dibuat oleh para teolog, sehingga mereka juga jadi beriman bahwa Tuhan bersifat Mahaesa, karena ada argumen yang meyakinkan. Iman mereka in ijuga diakui alGhazālī sebagai iman yang benar, dan kualitasnya dianggap lebih tinggi dari iman orang-orang awam. Penilaian ini didasarkan atas dasar kerja keras mereka mempelajari atau menalar argumen-egumen, yang memang bisa lebih meyakinkan dibandingkan hanya sebagai hasil peniruan.150 Adapun seorang sufi dengan bekal keyakinannya terhadap kemahaesaan Tuhan baik yang diperoleh lewat penilaian atau penalaran, serta dengan bekal pengetahuan tentang taşawwuf yang diperlukan memasuki sulūk dengan bimbingan seorang Shaikh yang mampu menuntunnya menapaki jalan Tuhan. Ia berusaha keras membersihkan diri dari segala noda dan dosa, dan membuatnya bersinar dengan segala sifat terpuji, lahir batin, serta selalu mengkonsentrasikan hatinya agar tertuju hanya kepada Allāh, dengan riyādāh dan mujāhadah, hingga akhirnya Tuhan memberikan anugerah berupa ma'rifah ke dalam hatinya, yang berkenaan dengan kayakinannya terhadap sifat kemahaesaan Tuhan. Ma'rifah bisa berupa syuhud batinnya yang dapat melihat bahwa segala kejadian yang beragam di alam semesta ini sebenarnya terbit dari Tuhan Yang
150
Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. VIII, hlm. 26; dan Al-Ghazālī, Al-Munqidh,.
hlm. 340.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 202
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Mahaesa; dan bisa pula syuhud baţinnya yang tak melihat lagi adanya wujud selain wujud Tuhan Yang Mahaesa.151 Keimanan si sufi kepada Kemahaesaan Tuhan dengan ma'rifah ini disebut al-Ghazālī dengan “iman al-ārifīn”
(iman orang-orang
‘ārif), yang dianggapnya sebagai iman kualitas tertinggi, karena selain lebih meyakinkan bagi mereka yang memperolehnya, juga jelas sebagai penghargaan yang wajar terhadap adanya kemauan yang keras (irādah) dan kemampuan orang-orang tersebut dalam melaksanakan sulūk yang cukup berat. Apalagi kalau dilihat dari aspek psikilogis, sulūk sebagai metode taşawwuf yang bisa menghasilkan iman kualitas tertinggi tersebut, akan berpengaruh besar bagi pembinaan akhlak dan kepribadian yang baik bagi si sālik, sebagaimana telah diuraikan; sedangkan iman orang awam dan iman para teolog, tidak ada jaminan semacam itu, kecuali dari segi teoritis.152 Dengan keterikatan ma'rifah dalam konsepsi al-Ghazālī dengan amal (ibādah) dalam sulūk sebagai metode untuk menghasilkannya, maka konsepsi ma'rifah al-Ghazālī sangat berbeda dari konsepsi ma'rifah Abū Yazid al- Bisţāmi, yang menganggap ketekunan dalam ibādah sebagai pertanda tidak layaknya orang memperoleh ma'rifah dari Tuhan.153 Karena ini pula, konsepsi ma'rifah al-Ghazālī berbeda dari ilham karena “ittishāl” dalam konsepsi al-Farabi tentang bahagia Al-Ghazālī, Al-Ihyā’, J. VIII, hlm. 158. Yang dimaksud dengan “teoritis” di sini, yaitu adanya sementara pendapat bahwa dalam konsep “iman” termasuk amal; sehingga orang yang beriman secara teoritis harsu beramal kebaikan. 153 Lihat: ‘Abd al-Qādir Mahmūd,al-Falsafah, hlm. 311. 151 152
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 203
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
dan kenabian. Karena yang disebut terakhir ini menegaskan bahwa melimpahnya pengetahuan dari “al-Aql al-Fa’āl” (Akal Aktif) kepada seorang filsuf, karena adanya persambungan (ittishāl) antara “al-‘aql al-mustafād” dari filsuf dengan Akal Aktif, setelah si filsuf berpikir dan berkontemplasi untuk memperoleh segala hakikat yang abadi dan mengembangkan pengetahuan dengan kemauan keras.154 Dengan demikian, perolehan “ma'rifah” dalam falsafah al-Farabi, bukan dengan amal (ibādah), sebagaimana dalam konsepsi al-Ghazālī, tetapi dengan latihan berfikir dan berkontemplasi. Filsafat al-Farabi ini diserap sepenuhnya oleh para pemikir dari kalangan “Ikhwān al-Safā” yang muncul sekitar 334-373 H.155 Meskipun al-Ghazālī mendasarkan keabsahan konsepsinya tentang ma'rifah kepada argumen tekstual dan rasional,156 namun dari segi wujudnya secara parsial
sulit untuk
menolak adanya anggapan bahwa al-Ghazālī juga terpengaruh oleh filsafat al-Farabi tentang kenabian dan kebahagiaan (al-nubuwwah wa al-sa’ādah).157 Namun konsepsinya secara integral memang orisinil dari al-Ghazālī, dan menurut sementara ahli merupakan suatu konsepsi yang islāmī dan Sunnī.158 Al-Farabī, Al-Madīnah al-Fadīlah, hlm. 45-46. Lihat: Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafah hlm. 427. 155 Abd al-Qādir Mahmūd,al-Falsafah., hlm. 429. 156 Lihat: Al-Ghazālī, Al-Ihyā;, J. VIII, hlm. 41-46. 157 Lihat di antaranya: Ibrahīm Madkūr, Fī al-Falsafat al-islāmiyyah, Dār alMa'ārif, Kairo. Tt., cet. III, Vol I, hlm. 67-68; dan Muhammad Rasyad Salim, Muqarabah Bayna al-Ghazālī wa Ibn Taymiyyah, (Riyad : Dār al-Salafiyyah, tt.), hlm. 115. 158 Di antaranya lihat: ‘Abd al Qādir Mahmūd,al-Falsafah., hlm. 199 154
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 204
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
C. Syari’at dan Hakikat dalam Tasawuf Al-Ghazālī Al-Ghazālī di kalangan para sufi abad ke lima dianggap sebagai pembaharu karena mengembalikan taşawwuf ke landasan al-Qur’an dan al-Hadith.Al-GHazali dianggap sebagai tokoh yang mampu memadukan antara ajaran Syariat dan hakikat di dalam ajaran atasawufnya. Walaupun sebelumnya upaya tersebut telah dilakukan oleh al-Qusyairī (376-465 H) dan al-Harawī (lahir 396 H), namun alGhazālīlah yang dianggap sebagai tokoh yang paling menonjol dalam pembaharuan
taşawwuf
saat
itu.
Sebagai
akibat
nyata
dari
pembaharuannya, maka taşawwuf dapat diterima oleh kalangan ahli syari’at yang sebelumnya sangat mengecam ajaran taşawwuf karena dianggap keluar dari ajaran Islam. Dengan demikian, masa abad ke lima Hijriyah dipandang sebagai masa puncak perkembangan taşawwuf di kalangan muslim sunnī. Salah satu sebab mengapa al-Ghazālī dinggap sebagai tokoh sentral dalam pembaharuan taşawwuf saat itu ialah karena ia telah berupaya membuat sistem kehidupan taşawwuf secara runtut sehingga bisa diikuti oleh orang lain. Padahal upaya tersebut sebelumnya belum pernah dilakukan oleh para sufi sebelumnya. Selain itu al-Ghazālī telah mempraktekkan teori-teorinya itu dalam kehidupannya. Hal ini ia gambarkan dalam kitab al-Munqidh min al-Dalāl , dimana di dalamnya diceritakan tentang jalan sufi yang dialaminya ketika mencari hakekat kebenaran melalui taşawwuf.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 205
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Demikian juga al-Ghazālī telah membuat rangkaian jalan sufi melalui karyanya yang menumental yaitu Ihyā’ ‘Ulūm al-Din . Di dalam kitab tersebut al-Ghazālī menguraikan tentang jalan yang akan dilalui oleh setiap penempuh jalan menuju Allāh. Kajian kitab tersebut diawali oleh bab ibādah, adat iatiada, hal-hal atau sifat-sifat yang akan mencelakakan manusia, dan keempat berisi hal-hal atau sifat-sifat yang bisa menyelamatkan manusia. Masing-masing bab terdiri atas sepuluh pasal; seperti dalam bab ibādah dikandung kajian tentang masalah ilmu, ‘aqidah, ibādah, peraturan membaca al-Qur’an, do’a, zikir dan lain-lain hal yang intinya membahas tentang ibādah dari tinjauan syari’at Islam. Dalam bab kedua,. Al-Ghazālī menguaraikan tentang beberapa aturan atau norma seperti dalam makan, pernikahan, mencari nafkah, halal dan haram, persahabatan pokoknya mengenai aturan dalam hubungan dengan sesama manusia. Dalam bab ke tiga yaitu bab al-Muhlikat, al-Ghazālī menguraikan tentang sifat-sifat yang dapat mencelakakan manusia, seperti marah, dengki, kikir, riya’, sombong dan sebagainya, pokok mengenai seluruh sifat jiwa yang dapat menimbulkan keburukan bagi manusia. Sedangkan dalam bab ke empat al-Ghazālī membuat uraian tentang macam-macam sifat terpuji yang harus selalu dijaga agar senantiasa dimiliki oleh para sufi. Bagian ke empat ini, oleh para sufi dikenal dengan sebutan maqām dan hal. Sifat-sifat terpuji yang diuraikan dalam bab ini seperti; taubat, sabar, shukur, khauf, raja’, fakir, zuhud, dan lain-lain.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 206
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa jalan sufi, pada intinya merupakan perjalanan menapaki fase-fase moral melaui latihan jiwa serta mengganti moral-moral tercela dengan moral-moral terpuji, demikian menurut al-Ghazālī . Jalan sufi merupakan pintu masuk latihan
ruhani,
pemghilangan
tabiat-tabiat
tercela,
pemutusan
ketergantungan pada tabi’at-tabi’at tersebut, dan pengkonsentraian niat hanya tertuju kepada Allāh semata. Seandainya kesemua itu biasa dilakukan, Allāh akan menguasai sepenuhnya kelakuan hamba serta menjaminnya dengan memberikan ilmu yang berguna bagi jiwa manusia. Konsep al-Ghazālī tentang jalan sufi di atas, berpengaruh besar bagi perkembangan taşawwuf dan tarekat pada abad-abad sesudahnya. Sehingga pada masa itu taşawwuf sunnī memasuki periode praktis dan bertahan hingga kini. Pada masa pasca al-Ghazālī yaitu abad ke enam dan ke tujuh Hijriyah taşawwuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam, taşawwuf telah memiliki aturanaturan, prinsip, dan sitem khusus dimana sebelumnya taşawwuf hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi di sana-sini, tanpa adanya ikatan satu sama lain. Sejarah mencatat bahwa tarekat berkembang pesat di dunia Islam pada masa sesudah al-Ghazālī, meskipun figur ini tidak bisa dianggap sebagai tokoh tarekat. Tapi pemikirannya dalam bidang taşawwuf telah perpengaruh besar terhadap perkembangan tarekat. AlGhazālī dianggap sebagai tokoh yang berhasil membawa taşawwuf
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 207
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
kembali ke pangkuan Islam, setelah beberapa lama dianggap sebagai sesuatu yang di aluar Islam. Meskipun al-Ghazālī bukan orang pertama yang berusaha ke arah itu 159, namun sukses besar dalam usaha ini baru terjadi di tangan al-Ghazālī, yaitu dengan diterimanya ataşawwuf oleh ahli sharī’at. Karena upayanya ini Fazlur Rahmān menganggap alGhazālī sebagai tokoh sufi yang berhasil mengembalikan taşawwuf ke pangkuan Islam yang sebelumnya dianggap sebagai ajaran di luar Islam.160 Sukses
al-Ghazālī
ini
membawa
dampak
positif
bagi
perkembangan taşawwuf di dunia Islam, yang pada masa itu juga ditandai dengan kemenangan golongan Sunnī di bidang politik yang juga menopang perkembangan taşawwuf dengan kegemaran para penguasa mereka membangun ribāţ, khanaqah dan zawiyyah, sebagai asrama para sufi untuk melakukan ajaran mereka. Tarekat yang ajarannya dipengaruhi oleh taşawwuf al-Ghazālī antara lain tarekat al-Qādiriyah yang didirikan oleh Shaikh ‘Abdul Qādir al-Jaelanī (470- 561 H) . Tarekat ini kemudian disebarkan oleh 159
Sebelum al-Ghazālī, minimal ada enam orang tokoh yang berusaha menyajikan taşawwuf dengan warna Sunnī. Karya-karya mereka merupakan referensi utama di bidang taşawwuf. Mereka itu ialah : (1) Abū Nasr al-Sarrāj al-Ţūsī (w. 378 H.) dengan karyanya Al-Lumā’ ; (2) Abū Ţālib al-Makkī (w. 386 H.) dengan karyanya Qūt al-Qulūb ; (3) Abū Bakr Ishāq al-Kalabadhī (w. 380 H.) dengan karyanya : AlTa’arruf lī Madhab Ahl a-Taşawwuf; (4) Abū Abd al-Rahmān al-Sulamī (w. 412 H.) dengan karyanya : Ţabaqāt al -Sufiyyat; (5) Abū al-Qāsim al-Qushairī (w. 465 H.) dengan karyanya : Al-Risālah; dan (6) Al-Hujwirī (465 H.) dengan karyanya: Kashf al-Mahjūb. 160 Fazlur Rahmān, Islām,( Chicago: University of Chicago Press.1979). h 33
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 208
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
murid-muridnya ke berbagai penjuru kawasan Islam, seperti Yaman, Shiria, dan Mesir. Kemudian menyebar lagi ke India, Turki, Afrika, dan daerah lainnya sehingga menjadi tarikat besar. Menurut Trimingham, tarekat al-Qādiriyah sampai sekarang tetap diikuti berjuta-juta orang baik di Mesir, Sudan, berbagai kawasan Asia dan Afrika. Trimingham mengakui bahwa reputasi al-Ghazālī sebagai seorang tokoh dengan doktrinnya yang ilmiah diakui, tetapi dia kurang dihargai sebagai seorang praktisi sufi yang ‘ārif dibanding dengan tokoh-tokoh tarekat. Karena memang nama al-Ghazālī dalam dunia tarekat tidak dikenal, baik sebagai pendiri tarekat maupun sebagai salah seorang tokoh yang tersebut dalam silsilah guru tarekat. Dengan demikian taşawwuf alGhazālī tidak diakui sebagai suatu doktrin tarekat. Pengaruh pemikiran al-Ghazālī terlihat juga dari banyaknya komentar yang dialamatkan kepada buah karyanya seperti Ihyā’ ‘Ulūm al-Din. Kitab telah memberikan pengaruh yang besar baik di dalam maupun di luar Islam. Dalam kitab tersebut al-Ghazālī memberikan penjelasan tentang sebuah perjalanan menuju Pencipta. Di Barat Ihyā’ telah diterjemahkan dan dicetak dalam bahasa Latin sejak tahun 1150 M., yaitu empat puluh tahun sesudah al-Ghazālī meninggal. Kitab tersebut untuk pertama kalinya dicetak dalam bahasa Arab di Kairo tahun 1306 H. Sedangkan di abad pertengahan Ihyā’ sudah dibaca oleh Thomas Aquinas. Pada Abad ke dua puluh banyak
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 209
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
pemikir Barat tertarik menterjemahkan Ihyā’ ke dalam baha sa Latin. Di antara mereka adalah Miguel Asin Palacios dan Hans Brever.161 Di Indonesia posisi al-Ghazālī dapat dilihat dari reaksi ulma taşawwuf terhadap ajarannya yang ditulis dalam Ihyā’. Ulama taşawwuf di Jawa dan Sumatera, Imām Nawawi dari Banten adal ah salah seorang figur ulama yang banyak menaruh perhatian terhadap kitab Ihyā’. Ia menterjemahkan kitab Ihyā’ dalam huruf pegon, kemudian disusul oleh Kiyai Saleh dari Semarang, dan Kiyai Khalīl dari Madura. Di samping mereka, ada juga sejumlah ulama lainnya seperti M. Zain Jambek, Maisir Taib, A. Taher Hāmidī, dan A. Hanifah Z.162
KESIMPULAN Menurut al-Ghazālī tugas utama manusia adalah mengabdi kepada Allāh SWT sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Dhāriyāt ayat 56 artinya : “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribādah kepada-Ku”. Oleh karena itu menurut al-Ghazālī kegiatan utama dalam taşawwuf adalah ibādah. Ibādah mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allāh SWT.
161
M.M. Sharif, (ed), A History of Muslim Philosophy, (Otto Harasowitz. Wiesbaden. 1963 ) J. . I. h.h. 586-87. 162 R.H.A. Sunarjo dalam “Kata Pengantar” pada buku Al-Ghazālī, Mukhtasar Ihyā’ ‘Ulūm al -Din, terjemahan Mukhtar Rasyidi. (Yogyakarta:UP Indonesia, 1982). h. 5.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 210
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Dalam melakukan ibādah itu manusia pasti akan menemukan beberapa problematika, berupa godaan-godaan baik yang dating dari dalam seperti hawa nafsu maupun dari luar seperti godaan setan, manusia dan makhluk lainnya. Kesulitan – kesulitan dalam ibādah ini oleh al-Ghazālī dinamai dengan istilah ‘aqabah Ibādah. Penggunaan istilah ‘aqabah Ibādah ini oleh al-Ghazālī hanya dimuat pada karangan berjudul Minhāj al-‘Ābidīn buku tersebut berisikan tentang macam – macam kesulitan yang dihadapi oleh seorang ahli ibādah didalam melakukan pendekatan diri kepada Allāh serta langkah – langkah di dalam menghadapi kesulitan – kesulitan ibādah. Tujuan dari penulisan buku tersebut menurut al-Ghazālī untuk memberikan kemudahan bagi para pencari Tuhan dalam melakukan ‘ibādah. Tasawuf Al-Ghazali termasuk tasawuf Sunni, bahkan menurut Abdul Qadir Mahmud tasawuf ini mencapai kematangan di tangan alGhazali.Menurut Abdul Qadir Mahmud al-Ghazali telah mampu menghadapi gelombang gnostik barat dan timur dengan tetap berpegang pada ajaran al-Quran dan assunnah, dengan demikian corak tasawuf al-Ghazali masih tetap pada ajaran syariah Nabi Muhammad SAW. Al-Ghazali menempatkan syariat dan hakekat secara seimbang. Tentang konsep tasawuf yang al-Ghazali anut, menurut penulis hampir sama dengan konsep pendidikan pada umumnya, dimana ada perangkat pendidikan yang harus dimiliki, oleh peserta didik atau murid atau salik maupun pendidik, atau guru atau alsyaikh. Ada tujuan pendidikan dan alat penunjang pendidikan.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 211
136
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Menurut pengamatan penulis tujuan tasawuf al-Ghazali adalah tujuan yang bertpuncak pada kondisi dekat al-qurb dengan Allah SWT suatu istilah yang berasal dari al-Quran Surat al-Baqarah ayat 187. penggunaan istilah al-qurb kata al-Ghazali menunjukkan bahwa ketekatan antara makhluk dengan Allah tetap ada jarak pemisah, sehingga istilah yang tepat adalah al-qurb, bukannya hulul(mengambil tempat) atau ittihad ( menyatu), seperti difahami oleh al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami. Disamping memiliki banyak kelebihan pemikiran al-Ghazālī baik yang ia tuangkan dalam Minhāj al-‘Ābidīn, Ihyā’ ‘Ulūm al -Dīn, Mīzān al-Amal dan kitab – kitab lainnya menurut analisa penulis ada beberapa kelemahan yang dimiliki oleh al-Ghazālī antara lain : dia tidak pernah menyinggung masalah jihad atau peperangan padahal hal ini merupakan satu persoalan yang sangat penting pada masa al-Ghazālī hidup, kenapa dia tidak mau membicarakan masalah jihad apakah karena dia bukan seorang prajurit atau politisi atau mungkin karena dia hidup di lingkungan elite penguasa yang sudah memberikan bermacam – macam fasilitas yang dia butuhkan sehingga dia hidup makmur tanpa kekurangan sesuatu apapun, dia juga tidak tahu tentang gejolak masyarakat dalam masalah politik saat itu. Dalam pemahaman penulis ada satu kitab yang berkaitan dengan dunia politik yang ditulis oleh alGhazālī yang menyangkut masalah politik itupun ia tulis atas permintaan Muhammad ibn Malik Syah seorang Raja Sajuk yang baru saja memenangkan pertikaian politik dengan keponakannya
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 212
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
sekitar tahun 489 H/1104 M pada saat itu dia menulis buku berjudul al Tibbr al Masbuk fī Nasihat al Muluk yang secara garis besar berisikan tentang etika seorang pengusaha dan tata cara menjalankan kekuasaan. Jadi buku ini lebih merupakan kumpulan nasihat bagi penguasa saat itu. Tidak membicarakan tentang bagaimana konsep jihad di dalam Islam. Hal lain yang penulis temui dalam studi al-Ghazālī baik melalui kajian kitab Minhāj al-‘Ābidīn dan kitab – kitab lainnya yang ditulis oleh al-Ghazālī tidak ditemui secara spesifik kajian al-Ghazālī tentang wanita. Sungguhpun demikian penulis pernah menemukan kajian wanita hanya ada pada karyanya yang berjudul al Tibbr al Masbuk fī Nasihat al Muluk namun kajiannya sangat – sangat singkat tidak komprehensif. Kajian wanita yang diangkat dari al-Ghazālī dalam kitab tersebut hanya sebatas tentang kriteria seorang wanita yang saleh itupun
ditujukan
dalam
rangka
memberikan
nasihat
kepada
Muhammad ibn Malik Syah di dalam mencari pasangan atau istri yang saleh. Tidak dibahas mengenai kajian wanita dalam sisi hak dan kewajiban baik sebagai istri atau warga negara apalagi hak politik. Menurut analisa penulis kenapa al-Ghazālī tidak mengkaji secara panjang lebar tentang wanita karena memang dia tidak terlalu tertarik mengkaji tentang masalah wanita. Alasan lain barangkali persoalan wanita pada masa al-Ghazālī hidup belum merupakan suatu persoalan yang dianggap penting dalam wacana masyarakat saat itu. Menurut analisa penulis isi dari kitabMinhaj al-‘Abidin t merupakan panduan praktis bagi setiap orang yang mau melakukan
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 213
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
ibādah. Kajian dalam kitab tersebut cukup ringkas tidak terlalu rumit tapi menghimpun beberapa persoalan yang sangat luas dan dalam terutama kaitannya dalam masalah etika ibādah. Dalam hal ini merupakan suatu hal yang wajar kalau ibn Taymiyah tidak memberikan satu kritikan atas pemikiran al-Ghazālī dalam Minhāj al-‘Ābidīn. Padahal dalam sejumlah karya – karya al-Ghazālī lainnya tidak luput dari kritikan ibn Taymiyah terutama Ihyā’ ‘Ulūm al -Dīn. Salah satu kritikan ibn Taymiyah terhadap al-Ghazālī terutama yang ditujukan pada pemikiran al-Ghazālī ibn Taymiyah mengatakan al-Ghazālī sebagai seorang yang menggadaikan keimanannya kepada filsafat. Mengenai konsep tawakal dan tafwid seperti dijelaskan oleh alGhazālī dalam kajiannya tentang ‘aqabah ‘awārid dalam MInhaj al‘Abidin pemahaman al-Ghazālī dalam masalah tawakal menurut hemat penulis dapat menimbulkan ekses tidak baik bagi perkembangan mental masyarakat terutama ketika dia menjelaskan masalah rezeki yang menurutnya sudah diatur oleh Allāh sejak ajali sehingga rezeki seseorang tidak akan bertambah karena ketaatan seseorang kepada Allāh atau tidak juga akan berkurang karena kemaksiatan seseorang pada Allāh. Hal ini dapat menimbulkan sifat malas bagi orang yang awam. Padahal menurut hemat penulis mencari rezeki yang halal itu merupakan salah satu dari perbuatan ibādah. Demikian juga meninggalkan maksiat itupun merupakan ibādah yang kedua macam kegiatan tersebut seharusnya menjadi tolak ukur guna meningkatkan
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 214
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
produktivitas kerja umat Islam terlebih kalau dihubungkan pada konteks masyarakat sekarang. Mengenai sikap tafwid yang artinya sikap menerima ketika menemui bermacam kekhawatiran dalam kehidupan sehari – hari dengan maksud agar si pelaku ibādah tidak terjerumus kepada keputusasaan. Menurut hemat penulis kekhawatiran – kekhawatiran hidup merupakan satu sikap yang manusiawi yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan setiap manusia. Menurut hemat penulis kekhawatiran – kekhawatiran di dalam menjalani hidup ini justru harus dihadapi dengan sikap berbaik sangka (husnu zon) atau positif thingking. Sikap ini jauh lebih produktif dan efektif jika dibandingkan dengan sikap tafwid karena akan memberikan dorongan secara aktif di dalam mencari solusi dari masalah kesulitan hidup, tidak pasif seperti ditawarkan
al-Ghazālī
melalui
konsep
tafwid.
Wallahu’alam
bishshawwaab.
REFERENSI Amin, Ahmad, Kitāb Al-Akhlāq, Kairo: Dār Al-Kutūb Al-Misriyyah. 1929 Allard, Michel, Essai de Cronologic Des Ceuvres de al-Ghazālī, Beirut: Impimerie Catholique, 1959. Armstrong, Karen, A History of God: The 4000 Years Quest of Judaisme, Christyanity and Islam, New York: Alfred A Knopf. 1993. Arberry, A.J., Muslim Saints and Mystice, London: Arkana, 1990.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 215
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
‘Ata , ‘Abd Qādir Ahmad,Al-Masāi’l fī ‘Imal al-Qulūb wa alJawārih, Kairo, ‘Alim al-Kutūb, t.t. ‘Ata, Muhammad ‘Abd Qādir, Al-Durrat al-Fākhirah fī Kashfi ‘Ulūm al-Ākhirah, Beirut: Mu’assasat al-Kutūb al-Thaqafiyyat, 1992. Badawī, ‘Abd Rahmān,Mua’llafāt al-Ghazālī, Kuwait : Wakālah alMatbū’ah, 1977. ---------------------------, Shaţāhah al-Sūfiyyah, Kuwait: Wakālah alMatbū’ah, 1988. Brannen, Julia (et.all) (ed.), Mixing Methods: qualitative and quantitative research, Hongkong: Avebury, 1993. Burckhardt, Titus, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, (terj.), Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. Bosworth, C.E., Dinasti-Dinasti Islam.( terj.), Bandung: Mīzān, 1993. Basil, Sa’id, Manhāj al-Bahthī ‘inda al-Ghazālī, Beirut: Dār al-Kutūb al-Lubnānī, t.t. Castel, Alburay, An Introduction to Modern Philosophy, New York: Macmillan Publishing, 1976. Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy, London: Kegan Paul International, 1978. Dimashqi, Muhammad Jamāl al -Dīn al-Qāsimī al-, Mau’izah alMu’minīn min Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Beirut: Dār al-Fikr, t.t. Dunya, Sulaimān, Al-Haqīqāt fī Nazri al-Ghazālī, Kairo: Dār alMa’ārif, t.t. ---------------------, Tahāfut al-Falāsifa al-Ghazālī, Kairo: Dār alMa’ārif, t.t. Ghazālī, Muhammad ibn Muhammad al-, I’hya’ ‘Ulūm al-Dīn, Beirut: Dār al-Fikr, 1968. ----------------------, Jawāhir al-Qurā’n, Beirut : Dār al-Afak al-Jadīdah, 1979. ----------------------, Minhāj al-‘Ābidīn, Beirut: Dār al-Fikr, 1989.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 216
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
----------------------, Mi’rāj al-Quds fī Madārij Ma’rifah al-Nafs, Beirut: Dār al-Afak al-Jadīdah, 1981. ----------------------, Al-Mahabbah wa al-Shawq, Kairo: Musţafā al -Bāb al-Halabī, 1961. ----------------------, Al-Makāshif al-Qulūb, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t. ----------------------, Al- Tahāfut al-Falāsifah, Beirut: Dār alFikr, 1968. ----------------------, Al-Tawbah ilā Allāh, Kairo : Maktabat al-Qurā’n, 1986. ----------------------, Mīzān al-‘Amal, Beirut: t.pn. 1989. ----------------------, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl, Beirut: Dār al-Fikr, 1978. ----------------------, Al-Mankhul min Ta’liqat al-Usūli, Kairo: Dār alFikr, t.t. ā, Al-Hayāt al-Rūhiyyat fī al-Islām, Hilmi, Muhammad Musţaf Kairo: Al-Haia’h al-Misriyyah. 1984. Hitti, Phillip. K, History of the Arabs, New York: Macmillan, 1966 Ibn Maskawaih, Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub,Tahdhib alAkhlāq Wa Tathīr al-‘Āra, Beirut: Dār Al-Fikr, 1924 Ibn Taymiyyah, Taqī al-Dīn, Kitāb al-Īmān, Beirut: Dār al-Kutūb al‘Ilmiyyah, 1983. Jazāirī, Abū Bakar Jābir al-, Minhāj al-Muslim, Beirut: Dār al-Fikr, 1992. Karadufa, al-Barun, Al-Ghazālī, Beirut: Al-Mua’assasat al-‘Arabiyyah. 1984. Khaja Khan, Khan Sahib, Studies in Taşawwuf, New Delhi, Idarat alA’dabiyyah, 1978. Kashānī, ‘Abd Razāq al-, Istilahat al-Sufiyyat, Kairo: Dār alMa’ārif. 1984.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 217
Yedi Purwanto : Karakteristik Ajaran........
Kadirī, Ihsān Dahlān al-, Sirāj al-Ţālibīn, Kairo: Dār alFikr, 1996. Miles, Matthew.B, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992. Qardāwī, Yūsuf al-, Al-Imām al-Ghazālī bayna Madihīh wa Naqidīh, Kairo: Dār al-Wafā, 1992. Qushairī, Abd Karīm ibn Hawāzin al-, Al-Risālah al-Qushairīyyah, Kairo: Dār Khairi, t.t. Mahmūd, Abd Halim, Qadiyyāh al-Taşawwuf, Beirut: Dār al-Kitab al-Banani, 1979. Makki, Abū Ţālib al -, Qūt al-Qulūb, Beirut: Dār al-Sadir, t.t. Nicholson, Reynold. A, The Mystic of Islam, New York: Macmillan, 1970 Rahmān, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra, New York: SUN Press, 1975. Sharif, M.M., (ed.) A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1966. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Stannard, Russel, (ed.), God for The 21 st Century, Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2000. Subhi, Ahmad Mahmūd, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fī al-Fikri alIslāmī, Kairo: Dār al-Ma’ārif,t.t. Templeton, Sir John, The Humble Approach Scientists Discover God, Pensilvania: Templeton Foundation Press. 1995. Ţūsī, Abū Nasr al -Sarrāj al-, Al-Lumā’, Kairo: Dār al-Kutūb alHadīthah, 1960. Yazdi, Mehdi Hairi, Ilmu Hudhuri (terj.), Bandung: Mīzān, 1996. Zaqzuq, Mahmūd Hamdi, Al-Manhāj al-Falsafi bayna al-Ghazālī wa Dikart, Kairo: Al-Anglaw al-Misriyyah, 1981. Zābidī, Muhammad ibn Muhammad al-Husaini al-, Ittihāf al-Sādah al-Muttaqīn, Kairo: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Akhbar : Vol.6 No.2 April 2014 218