http://inpasonline.com/new/syiah-antara-hakikat-akidah-dan-isu-ukhuwah/
Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah 18/09/2013 | By anwar | Reply
Oleh: Kholili Hasib (Peneliti InPAS Surabaya) Pendahuluan Kemunculan aliran Syiah bermula dari sekelompok orang yang mengangkat isu adanya sengketa politik antara sahabat Nabi saw dengan keluarga Nabi saw (Ahlul Bait). Mereka biasanya menyatakan kebencian terhadap Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab karena dianggap merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti Nabi saw. Keyakinan tersebut menjadi ciri khas Syiah tersendiri. Jika disimpulkan secara umum ciri khas Syiah ada dua; Pertama membenci Sahabat Nabi saw dan, Kedua, kecintaan yang ghuluw (berlebihan) kepada Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya atau Ahlul Bait. Isu perebutan Abu Bakar terhadap hak Ali sebagai khalifah inilah yang sangat santer dalam dunia Syiah. Dalam sejarah, kelompok yang mengangkat isu ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dalam buku-buku tarikh disebut sebagai seorang Yahudi yang mengaku masuk Islam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan. Kelompok pengikut Abdullah bin Saba’ ini pada zaman itu membenci para Sahabat Nabi saw dan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Kebencian terhadap Sahabat Nabi saw — terutama Abu Bakar dan Umar — dan kepercayaan terhadap keimamahan Ali beserta keturuannya merupakan akidah dan ciri utama Syiah. Namun dalam dakwahnya, Syiah
menggunakan taqiyah (menyembunyikan identitas). Terkadang ditemukan dalam buku-buku Syiah kontemporer yang mengelak adanya ajaran penistaan terhadap Sahabat Nabi saw. Sedangkan kitab-kitab induk Syiah cukup jelas sikap kebenciannya terhadap Sahabat Nabi saw. Sehingga ditemukan kontradiksi antara buku-buku induk Syiah yang ditulis oleh ulama mereka dengan buku-buku yang ditulis Syiah kontemporer di Indonesia. Tentu saja adanya kontradiksi tersebut menimbulkan tanda tanya, apalagi para ulama Syiah yang menulis bukubuku induk tersebut tetap menjadi referensi Syiah kontermporer. Meski Syiah kontemporer, termasuk di Indonesia menyembunyikan identitas akidah dalam buku-bukunya, namun tetap saja dapat dibaca frame pemikiran yang merendahkan Sahabat Nabi saw. Mengenal Hakikat Syiah Cara yang tepat dan ilmiah untuk mengenal akidah Syiah adalah dengan mengkaji secara langsung kitab-kitab induk mereka yang dijadikan rujukan utama, seperti al-Kafi, Man La Yadhuruhu al-Faqih, Tahdzibul Ahkam, al-Istibshar, Tafsir al-Qummi, Bihar al-Anwar dan lain-lain. Sebab, sebenarnya Syiah tidak pernah membuang kitab-kitab induk tersebut. Tokoh-tokoh Syiah Indonesia tetap memulyakan kitab-kitab tersebut dan para penulisnya sebagai referensi dalam praktik keagamaannya. Meski dalam buku-bukunya kontemporer cukup jarang mengutip referensi tersebut. Minimimnya perujukan terhadap kitab tersebut ditengarai karena Syiah sedang mengamalkan taqiyyahnya. Seperti misalnya dalam buku Agar Tidak Terjadi Fitnah: “Sepanjang pengetahuan kami kaum Syiah menganggap kitab al-Kafi, al-Istibshar, Man La Yadhuruhul Faqih dan al-Tahdzib itu adalah kitab standar mereka, namun mereka tidak pernah mengatakan shahihul Kahfi apalagi dikatakan Kitab Sesudah al-Qur’an sebagaimana mayoritas Ahlus Sunnah menganggap bahwa Kitab Bukhari atau Muwatha’ itu adalah satu-satunya Kitab yang Shahih sesudah al-Qur’an..”. Kalimat dalam buku tersebut sepertinya tidak memposisikan al-Kafi sebagai sebuah kitab yang agung yang memuat kata-kata suci dari Imam mereka. Namun, penulis buku tersebut membantah keraguan terhadap serangan yang ditujukan kepada kitab al-Kafi dimana di dalam kitab tersebut kebanyakan tidak mencantumkan “bersabda Rasulullah saw , tapi hanya berhenti pada perkataan “Berkata Imam …as”. Buku itu menjawab: “…Adapun kebanyakan hadis-hadis kaum Syiah Imamiyah berhenti sampai pada Berkata Imam a.s. karena status imam-imam tersebut di atas sebagai pewaris ilmu nabi, menjadikan mereka berhak menafsirkan serta menakwilkan al-Qur’an, mereka itulah mandatarisnya al-Qur’an di setiap zaman. Karena status Imam-imam tersebut sebagai pengganti Nabi maka apabila ada riwayat yang sudah sampai kepada salah satu dari 12 orang imam tersebut itu sudah sama dengan hadis”. Pernyataan ini merupakan pengakuan terhadap otoritas riwayat dalam al-Kafi.
Usulan untuk mengenal hakikat Syiah melalui referensi-referensi yang muktabar telah diungkapkan oleh Prof. Dr. Quraihs Shihab. Dalam buku Buku Putih Mazhab Syiah ia menulis bahwa Rujukan terbaik untuk memahami Syiah adalah para ulama’nya yang muktabar dan diakui. Ulama dan kitab Syiah yang muktabar inilah yang menjadi pokok panduan Syiah dari dulu hingga sekarang. Sehingga agar tidak terjadi kesalafahaman, perlu meneliti kitab-kitab induk mereka. 1. Arti Kata Syiah Istilah Syiah dalam konteks pemikiran dan ilmu kalam maksudnya adalah kelompok yang memiliki ajaran tersendiri. Namun, sebelum lahirnya sekte Syiah, istilah ‘syiah’ pernah beredar, tapi dengan makna secara bahasa saja yang artinya ‘pendukung’. Istilah itu bahkan telah beredar pada masa Sahabat Nabi saw. Syi’atu Ali maksudnya pecinta dan pendukung Ali bin Abi Thalib. Sesungguhnya istilah Syi’atu dalam makna pendukung bukan hanya dinisbatkan kepad Ali. Para sahabat yang mencintai Utsman bin Affan disebut Syi’atu Utsman. Jadi, istilah tersebut pada zaman itu tidak ada kaitan ideologis sama sekali dengan Syiah yang sekarang disebut Rafidhah atau Imamiyah. Karena itu, harus dipahami makna kata secara istilah dan secara bahasa. Secara etimologi kata Syiah berarti para pengikut atau pendukung. Secara lebih luas diartikan golongan, pengikut, pembantu, pendukung atau sejenisnya. Pengertian etimologis ini seperti telah disebebutkan dalam al-Quran.
$# %&' ( $ )!(&' * + ◌ۢ ! " / + # , ۦ- . “Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (syi’atihi) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir’aun)”. (QS. Al-Qashash: 15). Makna etimologis seperti tersebut dalam al-Quran di atas, juga bukanlah yang dimaksud dengan arti kelompok (firqah) yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini. Karena itu, dalam kajian teologi dan pemikiran Islam, kata Syiah bukanlah yang dimaksud dalam makna etimologis tersebut. Membicarakan Syiah sebagai firqah terkait erat dengan fase perkembangan keyakinan kelompok yang memiliki prinsip-prinsip keimamahan dalam akidahnya. Secara terminologis, al-Syahrastani menerangkan, Syiah adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa hak imamah (menjadi pemimpin umat setelah Nabi saw) adalah sayyidina Ali dan keturunannya. Bila tidak dipegang Ali, maka terjadi kedzaliman. Ibn Hazm mendefinisikan, Syiah adalah firqah dengan beranggapan bahwa jika sayyidina Ali adalah orang
paling utama setelah Rasulullah saw dan hanya beliau dan keturunannya saja yang berhak menjadi pemimpin umat. Istilah firqah Syiah sering disandingkan dengan Rafidhah. Menurut Imam Ahmad, Rafidhah adalah orang-orang yang berlepas diri dari para sahabat Nabi saw serta mencaci dan merendahkan mereka. Karena itu, kelompok Syiah yang mengecam dan mencaci Abu Bakar dan Umar r.a biasanya oleh para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunnah) disebut dengan Rafidhah. Istilah Rafidhah menurut penjelasan Abul Hasan al-Asy’ari muncul pertama kali berdasarkan perkataan Zaid bin Ali bin al-Husein kepada kelompok Syiah. Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan, “Zaid bin Ali tidak lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib r.a dibandingkan semua sahabat Rasulullah saw. Ia mengakui kepemimpinan Abu Bakar serta Umar; ia pun berpendapat harusnya memberontak terhadap para imam yang dzalim. Sewaktu berada di Kufah, di tengah para pengikutnya yang membaiatnya, ia mendengar ada yang menjelek-jelekkan Abu Bakar dan Umar. Serta-merta ia menyalahkan orang itu, sehingga para pembaiatnya memisahkan diri darinya. Lantas beliau mengatakan, ‘Rafadhtumuni’ (kalian meninggalkanku)”. Rafidhah juga disematkan kepada kelompok yang menolak (rafadha) kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Jadi Syiah disebut Rafidhah karena mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Ustman sebagai Khalifah, yang berimplikasi kepada keimanan kaum Syiah. 2. Gejolak Awal : Dari Politik ke Teologi Gejolak awal Syiah bermula dari isu adanya sengketa politik antara sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan Ahl al-Bayt mengenai jabatan khalifah. Isu politis dikobarkan oleh sosok Abdullah bin Saba’. Tersebarlah propaganda yang menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Ustman radhiallāhu ‘anhum merampas hak khalifah. Nama Ali bin Abi Thalib radhiāllahu ‘anhu disodorkan sebagai pemegang hak resmi jabatan khalifah.
Penyebaran isu tersebut juga dilakukan dengan cara-cara politis. Imam al-Thabari menerangkan, propaganda ditanamkan kepada orang-orang tertentu yang awam yang baru masuk Islam. Mereka secara diam-diam menyebarkan adanya sengketa politik sambil menyembunyikan maksud mereka itu. Ada dua pokok hal yang menjadi komoditas propaganda, yaitu mengangkat teologi tasyayyu’ (mencintai Ahl al-Bayt secara berlebihan) dan pendiskulaifikasian sejumlah besar sahabat Nabi Saw dari pengikut kebenarana. Bahwa ada wasiat dari Nabi Muhammad Saw kepada Ali dan keturunannya. Masyarakat awam diprofokasi dengan isu
bahwa Ahl al-Bayt bermusuhan dengan sahabat. Mobilisasi propaganda dilakukan di daerah-daerah pinggiran, seperti Mesir dan Irak. Gejolak makin meningkat pada zaman Ustman bin Affan. Abdullah bin Saba’ menyebarkan pemahaman bahwa setiap Nabi memiliki washi. Dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad. Di lain tempat ia memasang sikap anti-Ustman bin Affan dengan mencemarkan nama beliau. Politik Abdullah bin Saba’ pun berkembang secara luas di kalangan orang-orang Kufah menjadi sistem keyakinan dan menyebar dari generasi ke generasi menjadi sebuah teologi. Selain Abdullah bin Saba’, yang banyak disamarkan oleh Syiah kontemporer, ada lagi sosok yang perlu diketahui dalam historisitas politik Imamah. Al-Du’ali pernah membuat provokasi dengan memujimuji Ali secara berlebihan. Ia mengatakan: “Kutatap roman muka Abu Husein, bak kulihat rembulan yang bersinar terang, membuat semua yang melihat jadi keheranan. Aku mencari Tuhan dan tempat tinggal masa depan melalui cintaku kepada ‘Ali”. Obsesi politik dengan mengangkat teologi Imamah dengan Ahl al-Bayt sebagai pemegangnya hampir menuai hambatan. Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib tidak berlangsung lama, yaitu lima tahun sejak tahun 35 H sampai 40 H. Ketika putranya, Hasan bin Ali diangkap, situasi politik dipenuhi pertentangan hebat. Kerajaan yang diakui mengangkat Ahl alBayt baru dinasti Fatimiyah dan keturunan Hasan yaitu Idris bin Abdullah di Maroko pada tahun 179 H. bahkan dinasti Idris sesungguhnya tidak representatif pemerintahan Syiah, karena wilayah kekuasannya semuanya Sunni. Ibnu Babawihi al-Qummi, salah seorang ulama’ klasik Syiah menjelaskan tentang pokok-pokok teologi politik tersebut. Ia mengatakan bahwa setiap nabi menyampaikan wasiatnya kepada penerimanya atas perintah Allah swt. Dan bahwa jumlah penerima wasiat itu mencapai seratus dua pulu empat ribu orang. Muhammad Ahmad al-Turkamaniy menukil ‘Aqāid al-Imāmiyah bahwasannya, mereka meyakini Nabi Saw menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya dan khalifah di muka bumi. Ketika mereka mengangkat konsep washi terhadap Ali bin Thalib dan keturunannya, para sahabat Nabi Saw, didiskualifikasi. Alasannya, para sahabat tidak mendukung Ahl al-Bait untuk mengangkat Ali menjadi khalifah. Al-Kulayni dalam kitab al-Kāfi mengatakan: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga. Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab; Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar alGhifari dan Salman al-Farisi”. Keyakinan ini berimplikasi pada parameter validitas Hadist Syiah. Jalur penerimaan hadist dipersempit hanya melalui riwayat Ahl al-Bayt. Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita’ mengatakan; “Syiah tidak menerima hadist-hadits Nabi Saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahl al-Bayt. Sementara hadist-hadist yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan lain-lain tidak memiliki nilai walau sedikit”. Khomeini juga membatalkan transmisi hadist dari sahabat selain Ahl al-Bayt. Bahkan ia menuduh sahabat membuatbuat kalimat yang diatasnamakan Nabi Muhammad Saw. Keyakinan seperti tersebut di atas bukan lagi murni politik, tapi telah menjadi sistem dasar teologi Syiah. Setiap pemikiran dan akidah disandarkan kepada konsep Imamah. Dan konsep Imamah sendiri tidak pernah lepas dari cara-cara politik untuk menegakkannya. Seperti yang difatwakan oleh Khomeini bahwa, usaha-usah pendirian Negara Syiah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan). Pada masa terjadi kekosongan Imam, seperti sekarang, jabatan Imam untuk sementara dikendalikan oleh Wilayat al-Faqih yang bertugas menasihati pemimpin Negara dan sekaligus pemimpin tertinggi dalam perkara agama. Oleh sebab itu, mendirikan Negara ‘Islam’ merupakan keniscayaan bagi Syiah. Karena hal itu bagian dari pengamalan doktrin Imamah. Kesempurnaan teologi Syiah dipraktikkan melalui Imamah. Adapun isu sengketa politik antara sahabat dan Ahl al-Bayt yang diisukan sepeninggal Nabi Saw, ternyata tidak ada referensi standar sejarah Islam. Ketika terjadi musyawarah antara kaum Anshar dan Muhajirin di balairung Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah, Ali bin Abi Thalib memang tidak terlibat karena sibuk mengurus jenaza Rasulullah Saw. Akan tetapi pada akhirnya Ali membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Antara Ahl al-Bayt dengan sahabat juga tidak terjadi perselisihan politik, apalagi saling mencaci. Justru Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada keturunannya; “Jagalah hak-hak sahabat Nabi kalian, karena Rasulullah Saw telah mewasiatkan agar menjaga hak-hak mereka”. Ketika terjadi perselisihan politik, terutama ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin, di zaman Ali bin Abi Thalib, tidak dinafikan terdapat sekelompok pendukung setia Ali. Namun wajah ‘Syiah Ali’, pada zaman itu bukanlah seperti wajah Syiah Imamiyah sekarang. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa kaum Syiah dahulu yang ikut serta Ali bin Abi Thalib atau mereka yang hidup pada zaman itu sepakat mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Mereka hanya berselisih tentang mana yang lebih utama antara Ali dan Ustman. Tidak ada caci maki terhadap sahabat. Pengikut setia Ali yang ini bukan kelompok Sabaiyah (pengikut Abdullah bin Saba’). Sehingga tidak bisa dinisbatkan dengan Rafidhah. Syiah Rafidah adalah penerus Sabaiyah yang diidentifikasi menjadi satu kekuatan teologis tersendiri pada tahun 121 H, ketika terjadi penyerbuan kelompok Syiah kepada Hisyam bin Abdul Malik. Sejak ini muncul nama Rafidhah, yang menjelek-jelekkan Abu Bakar dan Umar. Secara teologis kelompok ini penerus dari Sabaiyah zaman dahulu. Keimamahan menjadi prasyarat mutlak untuk menjadi hamba Allah yang sejati. 3. Akidah Pokok Syiah
Imamah adalah konsep kepemimpinan Syiah yang menjadi kepercayaan mutlak. Doktrin ini menjadi landasan paling dasar dari ajaran-ajaran Syiah lainnya. Akidah Imamah diposisikan sebagai akidah penyerta dalam konsep ketuhanan. Secara elementer, konsep imamah berbeda jauh dengan yang dipahami Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beriman kepada imamah sebagai prasyarat untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak sah keimanan seseorang – meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul –Nya jika tidak diberengi oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Dari sinilah konsep Imamah Syiah merupakan konsep murni teologis, tidak sekedar konsep politis. Imamah merupakan jabatan ilahi, kedudukannya tidak diperoleh melalui musyawarah akan tetapi ditunjuk olah Allah. Ulama’ kontemporer Syiah, Husein Ali Kasyif al-Ghita’ mengatakan: “Yang dimaksud Imamah adalah suatu jabatan Ilahi. Allah yang memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih Nabi. Dia memerintahkan kepada Nabi untuk menunjuknya kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Syiah percaya bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menunjuk Ali dengan tegas dan menjadikannya tonggak pemandu bagi manusia sesudah beliau”. Imamah merupakan pokok agama yang membedakan dengan firqah-firqah lainnya, karena sebagaimana diungkapkan ulama Syiah, Ali Kasyif alGhita’ bahwa ia memang jabatan ilahiyah. Pengangkatannya seperti Allah mengangkat Nabi, langsung dipilih oleh Allah tanpa musyawarah di antara manusia. Dalam keyakinan Syiah Imamah ditunjuk oleh Nabi Saw. Sebelum meninggal, Ali diberi wasiat oleh Nabi. Namun dalam kenyataannya, dari data-data sejarah baik Syiah atau Ahl al-Sunnah, tidak ditemukan pernyataan tegas Ali yang mengumumkan bahwa dirinya mendapat wasiat dari Nabi. Bahkan ketika ia didesak oleh Abbas untuk menanyakan kepada Rasulullah Saw adakah wasiat kekhalifahan, Ali menolaknya dan bahwa perkara itu bukan ada di pundaknya. Kedudukan imam dalam Syiah terlampau berlebihan. Teologi Imamah, bahkan hampir mirip dengan ketuhanan. Seperti pendapat para Imam memiliki kuasa seperti Allah. Imam Khomeini mengatakan: “Ini kerana bagi imam itu kedudukan-kedudukan maknawi yang tersendiri, terpisah dari keududukan pemerintahan. Imamah merupakan kedudukan Kekhalifahan yang menyeluruh bersifat ketuhanan, yang telah tersebut oleh para Imam a. s, dimana seluruh hal-hal yang paling kecil yang ada ( di bumi) tunduk kepada mereka”. Pemikiran ini diperkuat dengan riwayat dalam al-Kafi yang menyatakan : “Tidakkah engkau tahu bahawa dunia dan akhirat itu untuk Imam, dia mengurusnya sesuai sekehendaknya dan dia memberinya kepada sesiapa yang dia hendaki, yang demikian itu dari (anugerah) Allah”. Bisa disimpulkan, alam semesta ini diatur oleh Allah
dan para Imam. Para Imam memiliki hak kuasa yang tidak dimiliki para Nabi sekalipun. Dalam sejumlah litelatur, Imamah hampir sama dengan Nubuwah. Tapi dalam pustakan Syiah lainnya ditemukan justru Imamah lebih tinggi daripada Nubuwah. Abdul Husein, seorang pemikir Syiah kontemporer, menulis: “Para imam yang dua belas lebih utama daripada semua nabi selain Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, barang kali penyebab hal itu adalah, bahwa keyakinan mereka (para imam) lebih banyak dari pada Nabi”. Keyakinan tersebut juga ditegaskan oleh Khomeini. Ia mengatakan, “Sesungguhnya di antara hal yang pokok dalam madzhab kami (Syiah) adalah, bahwa para Imam memiliki derajat yang tidak dapat dijangkau oleh para malaikat muqarrabin dan para nabi yang diutus”. Pujian-pujian berlebihan juga dapat dijumpai dalam pustaka-pustaka standar Syiah lainnya. Dengan demikian ‘pengkudusan’ terhadap Imam bukan perkara yang menjadi perdebatan di kalangan Syiah, tapi telah menjadi konsensus para ulama’, baik klasik maupun kontemporer. Makanya tidak heran jika ambisi politik Syiah sebenarnya cukup besar kerena didorong oleh ambisi teologi Imamah yang disakralkan itu. Karena itu fanatisme Syiah terhadap Imamah mengakibatkan pendiskualifikasian terhadap orang-orang di luar Syiah. Teologi Imamah menjadi parameter baku untuk menilai keimanan dan ketauhidan seseorang. Persoalannya, parameter Imamah ini merupakan kreasi para ulama’ Syiah. Meskipun dalam Syiah hal ini menjadi akidah paling mendasar, Ali bin Abi Thalib sendiri tidak pernah mengatakan hal demikian. Dalam kumpulan pidatonya, yang dibukukan dalam Nahajul Balaghah, juga tidak ditemukan fatwa-fatwa seputar kekafiran orang yang tidak mempercayai Imamah. Orang yang menolak keimamahan biasanya disebut syirik. Perluasan makna syirik tentu menguatkan asumsi awal, bahwa Imamah tidak sekedar menyamai Nubuwah, tapi merupakan ruang ilahiyah. Dengan landasan seperti itu, poisis Imamah menjadi absolut. Dalam pemikiran Syiah, imamah merupakan sumber ilmu yang pasti. Alasannya cukup ekstrim; para imam diyakini tidak pernah lupa dan mengantuk. Seperti dikatakan oleh Imam Khumaini; “Para Imam dimana kita tidak bisa memandangnya tidak mengantuk dan lalai”. Oleh karenanya, imam dalam pemikiran Syiah itu ma’sum (terbebas dari dosa). Bahkan, imamah menjadi salah satu rukun Syiah. Imam Khumaini menjadikannya seperti syahadat, para mayit biasanya dibacakan talqin dengan menyebut-nyebut kewajiban meyakini para Imam. Keyakinan-keyakini seperti tersebut di atas memperkuat asumsi, bahwa akidah imamah menjadi salah satu aspek penting dalam praktik keyakinan Syiah. Salah satunya, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berbasis Imamah. Argumentasi yang dikedepankan adalah hujjah berdasarkan
konsep prinsipil imamah Syiah. Untuk itu, ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para imam Syiah. Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan imam Ali dengan kepemimpinan orang lain. Keyakinan seperti ini telah dipertegas oleh ulama’ klasik kenamaan Syiah, al-Majlisi dalam karyanya, Bihar alAnwar. Ia mengatakan: “Ketahuilah bahwa memutlakkan kalimat syirik dan kufur dalam teks-teks Syiah terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orangorang itu kafir dan kekal di neraka”. Surat al-Baqarah ayat 136 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah diselewengkan menjadi keimanan terhadap imam dan Ahl al-Bayt. Ayat tersebut berbunyai: “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini secara keliru. Menurutnya, yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para imam setelah mereka. Dengan demikian, tafsir al-Qur’an terlalu jauh diselewengkan dimana tafsir seperti tersebut tidak pernah dijumpai pada ulama’-ulama salaf. Metodologi tafsir berbasis Imamah inilah yang menyalahi metode baku tafsir para ulama’ salaf. Tanpa perlu penjelasan yang rumit, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep syirik dalam Islam telah dibongkar sedemikian rupa dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Islam adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan imam Ali. Jadi pemahaman tentang syirik berkait dengan kepercayaan terhadapa imamah. Bahkan akidah imamah menjadi syarat untuk membersihkan dari kesyirikan. Konsep syirik tidak sekedar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada imam yang notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak telah terjerumus kepada paham ‘antroposentrisme’ –yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat. Akan tetapi, konsep
akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan. Konsep akidah tauhid Syiah dengan menjadikan para imam sebagai asasnya, dapat dikatakan memiliki unsur paham antroposentrisme. Apalagi, seperti tersebut dalam riwayat di atas, imamah seperti kedudukan nubuwwah (kenabian) yang memiliki sifat uluhiyyah. Menempatkan manusia (yaitu para imamnya) pada level sifat-sifat ketuhanan. Dalam konsep Islam, seluruh manusia memiliki kesalahan, hanya para nabi yang dijamin kema’shumannya (tidak berbuat salah/dosa). Seperti keterangan Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Ishmah al-Anbiya bahwa hanya para nabi yang ma’shum dari dosa besar maupun kecil dengan sengaja. Adapun lupa, para nabi bisa melakukan kelupaan. Namun langsung diberi ingatan oleh Allah. Sedangkan para imam, hampir memiliki sifat seperti sifat Allah, tidak lupa dan mengetahui hal-hal ghaib di alam semesta ini. Akidah yang demikian menjadikan para imam memiliki sifat-sifat rububiyyah yang semestinya tidak tepat disematkan kepada manusia. Doktrin Kebencian dan Pelaknatan Kemulyaan sahabat Nabi saw oleh aliran Syiah tidak diterima. Beragam tuduhan dilemparkan kepada sejumlah pembesar sahabat dan Aisyah, istri Nabi saw, dimotivasi oleh tuduhan palsu bahwa para sahabat merebut hak-hak Ahlul Bait. Dalam kitab induk Syiah al-Kafi diriwayatkan bahwa semua sahabat baik kalangan Muhajirin maupun Anshar telah kafir kecuali hanya tiga orang, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari dan Miqdad bin Aswad. Atas klaim ini, siapa saja yang mengingkari Ali juga dikafirkan. Seperti dikatakan dalam al-Kafi: “Dari Abu Ja’far a.s berkata: ‘Sesungguhnya Allah swt menjadikan Ali sebagai tanda kewalian (kepemimpinan) antara Allah swt dan makhlukNya. Barang siapa yang mengenalnya, maka ia mu’min. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia jadi kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat seseorang bersama dia, maka ia musyrik, dan barang siapa yang datang dengan meyakini keimamahannya maka dia masuk surga”. Imam al-Majlisi, salah seorang ulama’ Syiah menulis dalam kitabnya Bihar al-Anwar juz 23 termasuk ulama yang ekstrim mencaci sahabat. Secara profokatif ia menulis: “Ketahuilah bahwa mengatakan syirik dan kufur kepada orang yang tidak meyakini keimanan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam Syiah, dan imam-imam yang lain dari keturunan beliau, serta mengutamakan yang lain, menunjukkan bahwa mereka kekal di neraka”. Baginya, umat Islam masih dalam keadaan kufur, sebab tidak meyakini Ali dan keturunannya sebagai imam yang suci. Dalam doktrin Syiah Ali bin Abi Thalib adalah imam suci yang pertama. Imam ini posisinya sama dengan nabi. Pendapat-pendatan mereka dinilai sebagai hadis. Syiah
Itsna ‘Asyariyah meyakini ada dua belas imam yang maksum (terbebas dari kesalahan dan dosa). Imam Khomeini, dalam bukunya Kasfu al-Asrar menuduh Umar bin Khattab menentang al-Qur’an karena Umar membawa riwayat tentang keharaman nikah mut’ah. Abu Bakar ra dituduh tidak memberikan warisan tanah fadak kepada Fatimah. Bahkan Khomeini membuat cerita palsu bahwa Fatimah tidak menyapa mereka berdua hingga wafat. Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu adanya ittishal dengan Rasulullah SAW. Karena status Imam seperti seorang Nabi. Siapa saja yang menolak perintah Imam sama dengan menyalahi perintah Allah SWT. Termasuk dalam kepemimpinan Khalifah. Sahabat yang mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, tidak memilih Ali bin Abi Thalib dianggap mengkhianati Allah SWT. Kultus yang berlebihan (ghuluw) terhadap Imam, menjadikan penganut Syiah berwajah ekstrim. Siapa saja yang menolak Imam, dihukumi sebagai orang tersesat. Dalam al-Kafi disebutkan riwayat: “Abi Ja’far berkata:”Sesungguhnya Allah SWT menjadikan Sayyidina Ali sebagai tanda antara Allah SWT dan makhluk-Nya. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat Imam lain bersamanya, maka ia musyrik, dan barang siapa yang mengakui kepemimpinan para Imam, maka ia masuk surga” (al-Kafi juz 1). Jadi, mengakui, dan taat pada para imam menjadi parameter Syiah untuk menilai sesat dan tidaknya seseorang. Karena keyakinan seperti itu, Syiah menerapkan standar ganda dalam meriwayatkan hadis. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Ahlul Bait. Karena selain Ahlul Bait integritas sahabat dinilai tidak tsiqqah. Husein Kasyif Ghita’, seorang ulama Syiah kontemporer mengatakan: “Saya tidak menerima hadis-hadis Nabi SAW kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan lainnya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun”. Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) membuat tuduhan-tuduhan merendahkan sahabat. Di antaranya, buku Sahabat Dalam Timbangan al-Qur’an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan, halaman 6, dikatakan Umar bin Khattab meragukan kenabian nabi Muhammad saw. Syiah membenturkan antara sahabat dan Ahlul Bait, seakan-akan keduanya berseteru. Di antaranya membuat opini bahwa Sayyidah Fatimah melaknat Abu Bakar, karena Abu Bakar dianggap menahan hak waris tanah fadak Fatimah r.a. Atas dasar ini, maka Syiah melaknat
sahabat. Tuduhan ini dijawab dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah bahwa Fatimah bukan memaksa meminta warisan tanah Rasulullah saw, tapi menanyakan statusnya. Abu Bakar menjawab bahwa Rasulullah saw tidak mewariskan hartanya. Fatimah kemudian menerima penjelasan Abu Bakar tersebut. Kredibilitas Abu Bakar dijatuhkan dengan cara membuat opini-opini bahwa Abu Bakar penentang hukum Allah swt. “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar (Syaikhoni) melanggar al-Qur’an, bermain-main hukum Tuhan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram, keduanya dzalim terhadap Fatimah binti Rasulillah saw”. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, r.a, dituduh meragukan kenabian Nabi Muhammad saw, dan menentang firman al-Qur’an. Meskit tidak ada kalimat takfir di sini, namun pendapat tersebut menggiring opini bahwa kredibilitas Umar bin Khattab diragukan. Usman bin Affan, Khalifah ketiga, bersama sejumlah besar sahabat dianggap pernah melarikan diri dari perang Uhud. Ketakutan diserang kaum kafir Qurasy. Para sahabat dalam beberapa persoalan dituduh tidak taat bahkan menentang perintah Rasulullah saw. Tentang larinya para sahabat dalam perang Uhud, karena mereka terdesak pasukan Qurasy. Tapi yang harus dipahami, meski mereka lari, tidak pantas mereka dicaci dan dinista. Ini sebuah kesalahan strategi. Karena itu, tidak tepat mendapat tuduhan menentang Rasulullah saw dan menanggung dosa. Sebagaian di antara syuhada Uhud adalah orang-orang yang diampuni dosanya, dijamin masuk surga. Jika tetap ada penistaan terhadap sahabat, bagaimana mungkin ukhuwah dibangun? Khomeini mengatakan dalam kitabnya tentang sahabat-sahabat tersebut: “Dan sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, dungu, berdosa, tidak pantas menduduki posisi pemimpin” Sasaran penistaan juga ditujukan kepada para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah. Muhammad al-Tijani, dalam bukunya al-Syiah hum Ahlussunnah mengatakan bahwa para Imam empat madzhab telah melanggar alQur’an dan Hadis, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dikatakan melakukan bid’ah dan meninggalkan imam (imam Syiah) pada zamannya. Menghina Sahabat Penistaan terhadap sahabat dapat dikategorikan penodaan agama. Sebab, para sahabat adalah pembesar-pembesar Islam yang mengemban misi suci setelah Rasulullah saw. Sumber-sumber Islam dikenal kaum Muslimin sedunia melalui para sahabat. Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Shawaiq al-Muhriqah menulis riwayat-riwayat buruknya orang yang menodai para sahabat.
Di antaranya; Dari Anas r.a : “Sesungguhnya Allah swt telah memilihku memilihkan untukku para sahabat-sahabatku, di antara mereka menjadi menantu dan penolong. Barangsiapa menjagaku dalam persoalan para sahabat, maka Allah akan menjaganya. Barangsiapa menyakitiku dengan menyakiti mereka, maka ia menyakiti Allah swt” Dari Anas r.a: “Akan datang nanti suatu kaum yang mencaci dan merendahkan para sahabat. Maka janganlah kamu menemani duduk bersama mereka, jangan makan dan minum bersama mereka dan janganlah nikah dengan mereka”. Dari Thabrani dan Abu Na’im dalam kitab al-Ma’rifah, dari Ibnu Asakir dari Iyadh al-Anshari: “Jagalah hak-hak para sahabat, menantu dan penolongku. Barangsiapa yang menjagaku dalam persoalan mereka maka ia akan dijaga oleh Allah swt di dunia dan di akhirat”. Ciri-ciri golongan Rafidhal juga pernah dikutip riwaya oleh Ibn Hajar. Dari Imam al-Dzahabi dari Ibnu Abbas: “Akan ada pada akhir zaman nanti kaum yang bernama Rafidhah, mereka menolak Islam. Maka perangilah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik” Dari Ibrahmin dan Hasan bin Husein bin Ali, dari ayahnya dari kakeknya, Ali bin Abi Thalib r.a. Ali berkata: Rasulullah saw bersabda, “Akan muncul pada umatku pada akhir zaman nanti kaum yang dinamakan Rafidha, mereka menolak Islam”. Sengketa antara Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya dengan para sahabat sesungguhnya tidak pernah terjadi. Banyak keturunannya yang bernama Abu Bakar dan Umar. Anak Husein bin Ali juga ada yang bernama Abu Bakar dan Umar. Husein bin Ali pernah mengatakan bahwa mencintai Abu Bakar dan Umar bukan semata-mata sunnah, tetapi wajib hukumnya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Saya sudah lihat sendiri sahabat-sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka. Mereka siang hari banyak berdiri ruku’ dan sujud (menyembah Allah swt), silih berganti, tampak kegesitan di dahi dan wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di atas bara bila mereka ingat akan hari pembalasan (akhirat) di antara kedua mata mereka tampak bekas sujud mereka yang lama, bila mereka ingat akan Allah, berlinang air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong bagaikan condongnya pohon dihembus angin lembut karena takut siksa Allah, serta mengharapkan pahala atau ganjaran dari Allah”. Cinta kepada sahabat juga menjadi ajaran para keturunan Ali dari Bani Alawi. Diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah, Mu’awiyah pernah berkata kepada Ja’far al-Shadiq: “Tetanggaku mengatakan bahwa engkau berlepas dari Abu Bakar dan Umar r.a. benarkah itu?” Beliau menjawab, “Allah berlepas dari tetanggamu. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap
Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatanku dengan Abu Bakar r.a Ja’far al-Shadiq juga pernah mengatakan: “Abu Bakar adalah kakekku. Jika aku tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan tidak berlepas dari musuh keduanya, maka kelak di hari kiamat aku tidak mendapatkan syafaat Nabi Muhammad saw”. Ja’far al-Shadiq memiliki silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar alShiddiq. Dari garis ayahnya, beliau merupakan keturunan Rasulullah saw, sedangkan dari garis ibunya, beliau keturunan Abu Bakar al-Shiddiq. Ibu beliau adalah Farwah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar alShiddiq. Metode dan Pendekatan Dakwah Syiah 1. Isu Ukhuwah dan Metode Taqiyyah Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran tahun 1979, pernah mengumumkan untuk mengekspor revolusi ke Negara-negara Islam. Pemimimpin Negara-negara Islam menyambut dingin ajakan tersebut. Ketika ia menemui hambatan-hambatan dalam meyakinkan pemimpin Negara-negara Muslim tentang proyek revolusi, maka metode pendekatan (taqrib), mencitrakan kesan netral dan menciptakan common enemy (yaitu AS dan Barat) digunakan. Metode Khomeini tersebut merupakan kebijakan politis. Tapi nampaknya, metode politis tersebut dikembangkan da’i-da’i Syiah dalam berdakwah ke Negara-negara Muslim. Ternyata metode ini dalam kenyataan praktiknya didukung oleh akidah taqiyah (menyembunyikan identitas di tengah mayoritas), yang telah menjadi rukun agama dalam ajaran Syiah. Pasca kerusuhan Sampang Madura, organisasi Syiah Indonesia, ABI (Ahlul Bait Indonesia) dan IJABI (Ikatan Ahlul Bait Indonesia) mengadakan diskusi dan seminar dengan mengusung tema-tema pendekatan dan ukhuwah. Pada 5 November 2012, komunitas Syiah Indonesia mengadakan seminar Seminar Internasional Persatuan Dunia Islam di Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar Sulawesi Selatan. Acara tersebut, dihadiri oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Rektor UMI, Prof. DR. Hj. Masruroh Mokhtar, MA,NB. , Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, tokoh syiah Internasional, Ayatullah M. Ali Tashkiri, Maulawi Ishaq Madani Ulama Sunni penasehat Presiden Iran untuk urusan Ahlussunah wal Jama’ah, dan Deputi Universitas terbuka Iran, Dr.Mazaher. Seminar tersebut disambut dengan aksi protes sejumlah ormas Islam Makassar agar menghentikan seminar tersebut. Wahdah Islamiyah Makassar, salah satu ormas yang turun mengajukan protes ke kampus UMI menilai seminar tersebut pada dasarnya ingin melegalkan ajaran sesat Syiah di Indonesia. Sedangkan kesesatan Syiah lebih berbahaya
dibandingkan perbuatan maksiat, karena merusak aqidah seorang Muslim. Pada hari yang sama, di TMII Jakarta juga digelar diskusi dengan tema yang sama dalam rangka memperingati hari besar Syiah “Idul Ghadir”. Tema persatuan dan pendekatan memang menjadi proyek utama. Dalam kajian-kajian, taklim, buku-buku dan orasi ilmiah selalu Syiah tidak meninggalkan tema ini. Selain itu, mereka menerapkan beberapa metode. Di antaranya, Pertama, menampilkan pustaka atau tokoh Syiah berwajah Sunni (Syi’i biwajhin Sunniyin). Prof. Dr. Mohammad Baharun menulis bahwa kitab kitab Muruj al-Dzahabi oleh Ali bin Husein al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib dan al-Bayan fi al-Akhbar Shahib alZaman Oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Ibnu Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil oleh al-Hakim al-Kaskani, dan Yanabi’ al-Mawaddah oleh Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi, adalah buku-buku Syiah. Pengarangnya mengaku Sunni agar diapat diakses oleh pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah. 2. Klaim Madzhab Ahlul Bait Kerap kali dijumpai juga pengikut Syiah menolak sebagai Syi’i. Tapi terkadang mereka lebih suka disebut pengikut madzhab Ahlul Bait ketimbang pengikut Syiah. Mereka juga menghindari debat terbuka vis a vis. Dalam beberaca acara publik kadang menampilkan tokoh yang tidak memiliki kapasitas. Namun diminta untuk bicara ukhuwah Sunnah-Syiah. Hal ini merupakan taktik pengelabuan untuk menutupi wajah Syiah yang sesungguhnya. Wujud Syiah ideologis tidak ditampakkan, tapi menampakkan sebagai simpatisan madzhab Ahlul Bait. Argumentasi yang dikedepankan biasanya mereka mengatakan bahwa Syiah adalah Muslim, karena membela hak-hak kepemimpinan Ahlul Bait. Bagi Syiah, Ahlul Bait (keluarga Nabi saw) dijadikan icon utama. Dalam hadis, Syiah hanya menerima jalur periwayatan yang hanya ditransmisikan oleh Ahlul Bait. Di luar Ahlul Bait jalurnya ‘ditutup’. Tapi bisa diterima jika isi hadisnya mendukung keutamaan Ahlul Bait. Akibatnya, Syiah menolak mayoritas hadis yang beredar di kalangan kaum Muslimin (Ahlussunnah wal Jama’ah). Berbeda dengan Ahlussunnah, semua hadis diterima baik diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau bukan asalkan memenuhi syarat-syarat keabsahan hadis dan perawinya. Ahlussunnah juga mencitai Ahlul Biat. Mereka mencintai Ahlul Bait berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan atas dasar fanatisme buta. Ahlul Bait merupakan orang-orang baik, tapi mereka manusia biasa, tidak ma’shum. Dalam keyakinan Sunni Ahlul Bait itu adalah satu kesatuan rumah tangga Rasulullah saw yang terdiri dari bapak, ibu, mertua, anak, menantu dan para cucu. Namun Syiah menyempitkan anggota Ahlul Bait, terbatas
Fatimah, Ali dan keturunannya. Abu Bakar yang menjadi mertua Nabi saw didiskualifikasi. Ustman bin Affan yang menjadi menantu Nabi saw dua kali dibenci dikeluarkan dari anggota keluarga besar rumah tangga Rasulullah saw. Pendiskualifikasian dan penyempitan makna oleh Syiah awalnya didasarkan oleh ideologi kebencian, yang termakan propaganda palsu Abdullah bin Saba’ bahwa ada sengketa politik bahwa sahabat (termasuk Abu Bakar, Umar dan Ustman) memusuhi Ahlul Bait. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, dalam bukunya Kasf al-Asrar menulis dongeng tentang Abu Bakar. Bahwa ambisi Abu Bakar untuk berkuasa sudah tertanam sebelum Abu Bakar masuk Islam. Dikisahkan, Abu Bakar masuk Islam atas petunjuk seorang dukun. Si Dukun menganjurkan Abu Bakar untuk masuk Islam, mengikuti Nabi saw, dan setelah Nabi saw wafat Abu Bakar bisa langsung menggantikan kekuasaan. Cerita palsu ini kemudian menjadi landasan ideologis. Padahal tidak ada permusuhan atau sengketa apapun antara sahabat dan Ahlul Bait. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada anak keturunannya agar menjaga hak-hak sahabat. Sebab hal itu telah dipesankan oleh Nabi saw (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah). Dalam satu pidatonya, Ali r.a mengingatkan, “Saya sudah lihat sendiri sahabat-sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai keutamaan mereka”. Nasihat-nasihat Ali r.a ini cukup banyak ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama sekali tidak ditemukan cercaan terhadap sahabat, justru yang banyak adalah pesan keutamaan sahabat. Imam Ja’far al-Shadiq ketika membicarakan keutamaan Abu Bakar r.a beliau berkata, “Di samping sya mengharap syafa’at dari Ali, saya juga mengharap syafa’at dari Abu Bakar” (riwayat al-Daraqutni). Imam Ja’far pernah mengatakan, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali” (Ahmad bin Zain al-Habsyi,Syarhul ‘Ainiyah, 22). Ketika ia masih hidup, nama beliau (Ja’far) pernah dibajak oleh orang-orang Syiah. Syiah membuat fitnah bahwa Ja’far berlepas diri dari Syaikhoni (Abu Bakar dan Umar). Sontak ia marah. Beliau mengatakan, “Allah berlepas dari mereka (orang-orang Syiah). Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatku dengan Abu Bakar” (Abdullah bin Syekh al-Aidarus,Al-Iqdun Nabawi, 230). Pernyataan Ja’far al-Shadiq ini menunjukkan bahwa antara dia beserta nasab-nasabnya mengakui Abu Bakar sebagai kerabat (Ahlul Bait). Keturunan Ja’far juga berkeyakinan sama. Ini menunjukkan, bahwa Ja’far, yang diagungkan oleh Syiah sebagai imam, tidak menyempitkan makna Ahlul Bait. Definisi ini sama dengan keyakinan Ahlussunnah dari dulu hingga kini.
Definis ini lebih masuk akal, sebab pendapat ini berdiri secara adil. Tanpa ada cacian, pilih-pilih sahabat. Yang dikedepankan Ahlussunnah adalah metodologi, bukan doktrin mitologi. Ja’far memang bukanlah berakidah Syiah, tapi beliau adalah imam besar kaum Ahlussunnah. Jadi sesungghunya pendahulu dan pembesar Ahlul Bait berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan Syiah. Syekh Yusuf al-Nabhani dalam Sywahidu al-Haq mengatakan bahwa para Ahlul Bait dan keturunannya berakidah Ahlussunnah mencintai sahabat dan mayoritas bermadzhab Syafi’i. Ali bin Husein, salah satu pembesar Ahlul Bait, pernah didatangi oleh orang-orang Syiah yang mencela Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ali lantas berbicara panjang lebar dan menyebut mereka (kelompok yang mencela sahabat) itu bukan golongan yang diselamatkan oleh Allah swt. Habib Abdullah al-Haddad, ulama yang disegani di kalangan bani Alawi, menilai Syiah itu seperti kotoran hewan dibelah dua (Tastbitul Fuad, 226). Sejatinya madzhab Ahlul Bait itu tidak ada. Yang ada adalah madzhabnya Ahlul Bait (madzhab yang dianut oleh Ahlul Bait). Syiah tidak tepat disebut madzhab Ahlul Bait sebab, ternyata Ahlul Bait sendiri mencela Syiah karena akidahnya yang mencaci sahabat Nabi saw. Para habaib, hampir semuanya berakidah Sunni. Klaim itu seperti diungkapkan tokoh Syiah Indonesia, Jalaluddin Rakhmat. Pada acara miladnya ke-63, Rabu 29 Agustus 2012 lalu, Jalaluddin Rahmad (Kang Jalal) memberi penjelasan kontroversial bahwa para habaib yang menyebarkan agama Islam dulu adalah Syiah. Dugaan Jalal itu diulang dalam wawancara dengan TEMPO pada 29/08/2012 disertai perjelasan agak lebih detil. Jalal menerangkan, bahwa penyebar agama Islam di Indonesia dari Hadramaut itu bermadzhab Syiah tapi bertaqiyah. “Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut madzhab Syafi”i”, terang ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) ini (tempo.com 3/10/2012). Namun, teori bahwa muballigh yang datang ke Indonesia itu Syiah yang ber-taqiyah, itu telah lama dibantah sejarawan dari Bani Alawiyin, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad, dan beberapa ulama’ dari kalangan habaib. Alwi al-Haddad, yang pernah menjabat mufti Johor Malaysia, menerangkan dalam bukunya ‘Uqudul Almas bahwa kaum Alawiyyin serta pendahulu-pendahulu mereka berakidah Ahlussunnah dan menilai bahwa Syiah adalah paham sesat.
Pakar filsafat sejarah, Syed Naquib al-Attas menampik bahwa Islam di Nusantara dibawa kaum Syiah. Dalam bukunya Historical Fact and Fiction, al-Attas menyodorkan butkti-bukti dari penulis Muslim baik klasik maupun kontemporer bahwa Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para dai-dai Ahlussunnah yang diutus secara resmi oleh penguasa di tanah Arab. Mereka, bukanlah pedagang atau kaum Sufi. Dalam catatan-catatan otoritatif sejarah, memang telah ditulis bahwa habaib dari nenek moyang mereka di Hadramaut sampai sekarang di Indonesia mayoritas justru anti-Syiah. Organisasi al-Rabithah alAlawiyyah Indonesia (organisasi yang menghimpun keturunan bani Sadah Alawiyah keturunan Sayyidina Husein bin Ali) pernah mengeluarkan maklumat bahwa Rabithah bermadzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menolak ajaran caci maki sahabat (Syiah). Alwi bin Thohir al-Haddad menjelaskan, kaum Alawiyyin adalah anak keturunan Rasulullah melalui jalur Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah. Mereka biasa disebut sayyid, asyraf, atau di Indonesia dipanggil habaib. Leluhur bani ‘Alawi yang bernama Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir berasal dari Irak merupakan leluhur yang sangat masyhur dalam sejarah keturunan bani Alawi. Sayyid al-Muhajir berjasa menyelamatkan keturunannya dari serangan isu dan fitnah pengikut Syiah di Irak, dengan cara berhijrah ke Hadramaut, Yaman. Dalam buku Jalan Lurus Sekilas Pandang Tariqah Bani Alawi, Novel Alaydrus mengutip buku al-Barqah menulis alasan Sayyid al-Muhajir hijrah ke Yaman: “Berkat hijrah beliau (al-Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucu beliau dari kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid’ah, penentangan terhadap Sunnah (Ahlussunnah) dan pengikutnya. Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syiah yang sangat buruk yang saat itu melanda sebagian asyraf yang berada di Irak” Fitnah pengikut Syiah terhadap keturunan Alawiyyin di Irak yang terjadi pada pertengahan abad ke-10 M mendorong para kaum Alawyyin hijrah. Agar supaya anak keturunannya tidak tersangkut fitnah Syiah, yang memakai ‘topeng’ madzhab Ahlul Bait. Kaum Alawiyyin dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaannya. Maka, apapun rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan. Mereka kaum pemberani dalam menghadapi tantangan, tapi lembut dan low profile terhadap sesama saudara dan ikhwan seagama. Sikap pura-pura (taqiyah) bukan karakter pribadi kaum Alawiyyin. Sayyid al-Muhajir hingga akhir hayatnya di Hadramaut mendidik keturunannya dengan akidah Ahlussunnah dengan madzhab Syafi’i.
Sejumlah data-data sejarah yang ditulis sendiri oleh para pendahulu Alawyyin menunjukkan secara tegas bahwa mereka berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ali bin Abu Bakar al-Sakran, tokoh terkemuka dari Bani Alawiyyin, menulis: “Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim adalah asyraf Sunni” (alBarqah al-Masyiqah, hal. 133). Seorang ulama’ terkemukannya bernama Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Tasbitul Fuad I/227 cukup tegas lugas menolak akidah Syiah. Ia menyebut Syiah sebagai golongan orangorang ahli batil. Dalam segala hal pendapat-pendapat mereka (Syiah) tidak dapat diambil. Habib al-Haddad di kalangan bani Alawiyyin dan nadhliyyin sangat terkenal dengan dzikirnya yang disebut dzikir ratib al-Haddad. Dzikir ini memiliki sejarah penting dalam pembentengan kaum Alawiyyin dari dakwah Syiah. Syekh Abdullah Ba Saudan menerangkan latar belakang disusunnya dzikir ratib ini: “Ketahuilah bahwa penyusun ratib al-Haddad ini dimulai pada tahun 1971 H dan disusun disebabkan setelah para pemuka-pemuka Hadramaut mendengar berita bahwa banyak dari pengikut Syiah Zaidiyah masuk Hadramaut. Mendengar hal itu, para pemuka Hadramaut meminta kepada Habib Abdullah al-Haddad agar mengumpulkan dzikir-dzikir dari Rasulullah sebagai benteng bagi masyarakat Hadramaut agar tidak terpengaruh akidah Syiah tersebut, lebih-lebih bagi masyarakt awam”. Jadi, terhadap Syiah Zaidiyah pun bani Alawiyyin sangat mewaspadai. Dan data ini menyodorkan bukti bahwa Bani Alawiyyin berseberangan dengan golongan Syiah manapun, baik Zaidiyah maupun Imamiyah. Dari para asyraf Hadramaut inilah yang menurunkan para dai-dai yang menyebarkan agama Islam ke rantau Melayu-Indonesia. Mereka membawa tradisi-tradisi keagamaan yang diajarkan di negeri Yaman untuk disebarkan kepada masyarakat melayu. Maka, hingga kini pun dijumpai dzikir-dzikir dan ritual yang memiliki kemiripan dengan tradisi di Hadramaut Yaman. Tradisi dan ritual ini murni tradisi kaum Alawiyyin Sunni. Tidak ditemukan data-data sejarah yang valid bahwa merek yang hijrah ke Melayu adalah Syiah. Adapun teori-teori dari sejarawan Syiah, sifatnya baru spekulatif. Sejumlah ritus yang diklaim seperti tahlilan, membaca yasin, membaca shalawat dan peringatan asyuro, secara geneologis dan ideologis tidak memiliki ketersambungan dengan tradisi kaum Syiah dimanapun, baik Zaidiyah di Yaman atapun Imamiyah di Irak dan Irak. Justru sebaliknya, ritus-ritus tersebut adalah tradisi turun-temurun para anak cucuk Sayyid al-Muhajir yang Sunni bermadzhab Syafi’i.
Para leluhur Ahlul Bait Sayyid al-Muhajir, seperti Ali Zainal Abidin, Ja’far al-Shodiq, Muhammad al-Baqir – yang ketiganya diklaim Syiah sebagai imamnya – ternyata sangat kuat memegang akidah Ahlussunnah. Serta mecerca kaum Syiah yang menodai kehormatan sahabat Nabi Saw. Ali Zainal Abidin pernah didatangi orang-orang Syiah. Kaum Syiah tersebut mencela sahabat Abu Bakar, Umar dan Usman. Sontak, Ali Zainal Abidin mengusir mereka dan bersumpah bahwa mereka bukan dari golongan yang benar. Muhammad al-Baqir juga pernah didatangi kaum Syiah seraya mengejek Abu Bakar. Lantas al-Baqir marah dan mengatakan bahwa mereka tidak akan dibenarkan oleh Allah. Ja’far alShadiq pernah mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai khlaifah tidak akan mendapat syafaat nabi Muhammad Saw. (Jalan nan Lurus Sekilas Pandan Tariqah bani Alawi, 46). Data-data ini juga menjadi bukti bahwa Ahlul Bait Nabi menghormati sahabat-sahabat Nabi dan mencerca orang-orang yang mengkiritik apalagi menodai kehormatan mereka. Sehingga, kita dapat membuat kesimpulan bahwa siapakah sesungguhnya pengikut setia dan pecinta Ahlul Bait Nabi dan siapa pula yang mengkhianati keturunan Nabi tersebut. 3. Memberikan Image Netral Satu sisi mengkampanyekan ukhuwah, namun di kesempatan mengkritik Sunni. Yaitu mengkritik pustaka-pustaka Sunni, dan para ulama’. Yang menjadi sasaran biasanya hadis-hadis riwayat Abu Hurairah dan BukhariMuslim. Selain itu juga pendekatan melalui pendekatan akhlak, memberi jasa bantuan dana serta janji-janji kerja sama jika umat bersedia bergabung ke dalam insitutusi tertentu. Kini, Syiah menggerakkan dunia pendidikan. Mendirikan sekolah-sekolah unggulan mulai TK hingga SMA. Menyelenggarakan training-training metode pendidikan. Dengan dukungan aktivis Liberal, digulirkan wacana Syiah dan Ahlussunnah sama-sama. Tidak boleh menyalahkan Syiah. Wacana yang dikedepankan adalah Syiah adalah Muslim. Dalam kenyataannya di Indonesia, liberalism telah menjadi ‘agen’ dalam ekspansi dakwah Syiah. Mereka bergerak secara kolaboratif. Ulil Abshar Abdallah menyikapi bahwa kasus Ahmadiyah dan Syiah adalah perbedaan penafsiran agama, bukan penyimpangan agama. Dalam diskusi bertema “Memberitakan Isu Keberagamaan” di Surabaya pada 24 November 2012, Ulil mengeluarkan statemen relativis bahwa Ahlussunnah dan Syiah sama, hanya beda tafsir. Kebangkitan Syiah Militan?
H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah menulis bahwa Syiah di Indonesia akan membuat lembaga Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran (www.nu.or.id 30/5/2011). Mereka disebut Syiah politik yang berupaya menegakkan sistema keimamahan seperti halnya Khomeini. Iran dulu membentuk lembaga ini sebelum menyalakan api revolusi. Tentu saja komentar KH. Ali Maschan Moesa pada tahun 2007 saat mengunjungi Iran yang menghimbau kepolisian perlu mewaspadai alumni Iran, masuk akal. Menurut mantan ketua PWNU Jawa Timur ini para pelajar Indonesia di Iran yang berjumlah sekitar 5000 orang meminta untuk mendirikan masjid sendiri di Indonesia, yang terpisah dengan Muslim lainnya. Dari informasi yang diungkap As’ad Ali, Syiah-Politik ini yang mengendalikan gerak dakwah Syiah di Indonesia. Antara Syiah-politik dan non-politik saling berkolaborasi. Syiah non-politik konsen di dalam dakwah pendidikan. Namun, arah dan strateginya dikontrol Syiah-politik. Di Indonesia dimonitor oleh ICC (Islamic Cultural Center) yang langsung di bawah pengawasan SCRC Iran (Supreme Cultural Revolution Council). ICC membina Yayasan OASE yang gerakkanya cenderung politis. Yayasan ini mengkhususkan kepada bidang pembentukan opini publik atau memobilisasi wacana. Lembaga Marja’ Taqlidi , selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintahan, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amkatab atau lajnah asykariyah. Dari informasi ini, geliat Syiah sesungguhnya cukup massif, tapi tidak terlihat. Syiah lebih menampakkan kampanye ukhuwah, persaudaraan, dan toleransi. Apa di balik kampanye ukhuwah ini? Tidak lain membungkam da’i-da’i Sunni untuk tidak memperdebatkan perbedaan Sunnah-Syiah lagi. Jika da’i-da’i Sunni sudah tidak berenergi memperdebatkan Syiah, maka rencana pembentukan Marja’ Taqlidi jauh lebih mudah. Kita masih ingat, pada tahun 1984, Indonesia pernah diributkan kasus pengeboman candi Borobudur, Gereja di Malang dan Bus Pembudi Expres jurusan Bali. Salah satu pelakunya, terprovokasi gaung api revolusi Iran tahun 1979. Perancang pemboman itu mengaku ingin menjadi imam di Indonesia, seperti Khomeini di Iran. Sayap militansi Syiah pada era delapan puluhan meningkat. Konon, sang arsitek ini kabur ke Suriah kemudian ke Iran setelah kasus pengeboman tersebut dikuak kepolisian. Dalam akidah Rafidhah, elemen yang tidak bisa diabaikan adalah Imamah. Pengamalan imamah dianggap sempurna jika telah ada lembaga Marja’ Taqlidi, dan pemerintahan yang berdasarkan hukum Imam, atau pengganti Imam. Imamah dan cita-cita politik, itu tidak bisa dipisahkan dalam Rafidhah. Ayatullah Khomeini dalam bukunya Kasyf al-Asrar pernah mengatakan, bahwa hal yang paling penting dalam Syiah adalah jabatan Imamah. Saat berhasil merebut kekuasaan dari Syah Reza
melalui revolusinya, Khomeini sudah mengumumkan untuk mengekspor revolusinya ke Negara-negara Islam. Ternyata hal itu bukan basa-basi Khomeini. Ia kemudian menanam Garda Revolusinya ke Lebanon. Hingga sekarang menjadi sayap militer Hizbullah. Mereka adalah rantai penghubung yang menunjukkan otot kekuatan Syiah di Timur Tengah. Lebanon memang tidak menjadi Negara Syiah. Tapi tetangganya Suriah, meski mayoritas rakyatnya Sunni, tapi Negara ini dua kali dipimpin Presiden berakidah Syiah. Jadi, semangat membara di balik revolusi sebenarnya adalah Syiahisasi. Secara ekstrim, Khomeini menyebut rival-rival politiknya dengan sebutansebutan seperti musuh Imam Dua belas. Ia mendeskripsikan musuhnya dengan sebutan toghut, mofsidin fil-arz. Imam ke duabelas Syiah sangat dinanti kedatangannya. Rupanya, Khomeini memanfaatkan momentum ini. Gerakan revolusionernya menyiratkan bahwa revolusi merupakan pintu awal kembalinya Imam Mahdi, imam kedua belas. Setelah revolusi, Khomeini diangat menjadi Na’eb-e Imam (Deputi Imam keduabelas). Pengumuman ekspor revolusi itu adalah panggilan kepada umat Syiah untuk menjadi misionaris Syiah di Negara-negara Muslim. Panggilan itu ada yang dijawab dengan cara-cara radikalisme, ada pula dengan pendekatan halus. Syiah Arab cenderung merespon secara ekstrim. Upaya Syiahisasi di Irak memakan waktu yang sangat panjang. Perang Irak-Iran selama delapan tahun, bukan sekedar perkara perebutan lahan minyak, tapi ini perang ideologis. Saddam Husein pasca revolusi sangat khawatir, revolusi Iran dijawab oleh aktivisme Syiah Irak dengan radikal. Khomeini pun kecewa sebab Syiah Irak dibungkam oleh Saddam. Ketika perang, tawaran damai ditolak mentah-mentah oleh Khomeini. Baru tahun 2000-an ini ambisi Khomeini menjadi nyata. Diawali tumbangnya Saddam Husein pada 2003, diikuti suksesi politik dengan bantuan Amerika-Iran. Syiah Irak secara politik berada di dua kaki, satu kaki AS dan satunya lagi kaki ideologis Iran. Syiah Irak sangat berhutang kepada AS, karena yang menumbangkan Saddam adalah AS. Begitu tumbang, Syiah mengambil alih pemerintahan di bawah Nuri al-Maliki. Radikalisme Syiah Arab makin nyata pada krisis Syiria. Syekh al-Shobuni mengecam tindakan Rafidhah di sana. Ketika ceramah di Masjid al-Akbar dan Unesa Surabaya, Syekh al-Shobuni menceritkan bahwa mereka menyembelih anak-anak, wanita dan merobohkan masjid-masjid. Ia menerangkan apa yang terjadi di Syiria, kaum Majusi Rafidah yg mengutuk sahabat-sahabat Rasulullah saw membunuh anak-anak, wanita. Mereka orang terkutuk. “Apakah ini akhlak orang beriman?”, tanya penulis tafsir Tafsir Ayati al-Ahkam ini. Bahkan Syekh al-Shobuni, sangat kecewa dengan mengatakan bahwa Iran bukan lagi Syiah, tapi Majusi. Seperti diungkapkan ketika ceramah di Gresik.
Dalam krisis Suriah ini, Iran mengakui sendiri menyokong rezim Bashar Asad. Kabarnya, Korps Garda Revolusioner Islam Iran (IRGC) memberikan bantuan “non-militer” di Suriah. Hal ini pernah diakui oleh Panglima Muhammad Ali Jafari. “Sejumlah anggota Pasukan Quds berada di Suriah tetapi ini bukanlah merupakan kehadiran militer,” kata kantor berita Iran, ISNA, mengutip Jafari dalam sebuah konferensi pers. Sementara di Indonesia, Syiah cenderung menggunakan pendekatan halus dan akhlak tingkat tinggi. Namun, kiblatnya tetap sama, Iran dan Khomeini sebagai icon perjuangan. Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdusshomad Buchori, pernah mengingatkan bahwa jika mereka besar bisa mengancam NKRI. Sampai-sampai KH. Ali Maschan Moesa mengkhawatirkan pelajar Indonesia yang di Iran jika mereka pulang. Semangat missionaries Syiah untuk Syiahahisasi bukan basa-basi. Tentu saja semangat demikian mengganggu hubungan Sunnah-Syiah. Persoalan Syiah bisa diselesaikan dengan toleransi. Tapi missionaris Syiah dengan semangat Syiahisasi itu yang bisa mencederai toleransi. Karena itu wacan Indonesia Tanpa Syiah, bermakna, “Indonesai tanpa Syiahisasi”. Wacana ini sah-sah saja sebab, selama ini pemicu konflik Sunnah-Syiah ternyata adanya geliat Syihahisasi terhadap jamaah awam Sunni. Penutup Ajakan ukhuwah penganut Syiah dapat dinyatakan kontraproduktif, sebab mereka Syiah masih tetap menggunakan metode taqiyah dalam bermuamalah. Apalagi metode menyembunyikan identitas ini dijadikan sebagai metode dakwah konversi. Sesungguhnya bukannya Sunni yang menolak untuk berukhuwah. Akan tetapi, yang menjadi keberatan umat Sunni adalah kitab-kitab Syiah yang berisi penodaan terhadap sahabat nabi. Sedang, kitab-kitab tersebut menjadi referensi utamanya. Ukhuwah sebenarnya bukan sekedar berati persaudaraan dalam arti luas. Ukhuwah adalah persudaraan yang diikat oleh keimanan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Kamu melihat orang-orang mu’min di dalam saling belas kasih, saling mencintai, dan saling menyayangi adalah bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan menunjukkan pembelaan “.(HR. Bukhari). Maknya, Allah swt mengatakan orang mu’min itu bersaudara. Sehingga, yang tidak beriman, yang menista ajaran Allah bukan saudara. Untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, maka orang Syiah harus bersedia membuang ambisinya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad saw. Dengan itu, kita semua bisa mengkosentrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat.
Tags: featured, hakikat syiah Category: Fikih dan Syariah
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab Ukhuwah dan Keterbukaan* Din, Syiah, dan Muhammadiyah “Sunni-Syiah Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil”
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/antara-tradisi-kultur-sunni-dan-adu-domba-syiah/
Antara Tradisi-Kultur Sunni dan Adu Domba Syiah 14/02/2014 | By admin | Reply
Oleh: Kholili Hasib
Strategi dakwah Syiah saat ini yang perlu diperhatikan adalah, klaim-klaim Syiah terhadap tradisi sebagian penganut Ahlussunnah dan indikasi adu domba antar kelompok. Isu tentang tradisi atau kultur yang berlaku di kalangan NU, misalnya menjadi semakin marak, ketika Syiah mengklaim sebagian tradisi diamalkan. Tradisi-tradisi yang menjadi isu di antaranya; pembacaan maulid Nabi Saw, diba’an, metode membaca harakat tulisan arab di kalangan orang Jawa dan lain sebagainya. Selain itu, Syiah juga ‘bermain’ dengan memunculkan wacana seoalah-olah keturunan ahlul bait (Alawiyyin) itu representasi Syiah. Polemik makin serius, sebab pada satu sisi, sebagian tradisi tersebut dipersoalkan oleh satu kelompok dari kalangan Sunni, dan pada sisi lain Syiah tampil seakan-akan membela keabsahan tradisi tersebut. Pada 19 Maret 1996, budayawan Agus Sunyoto, memunculkan isu tersebut di harian Jawa Pos. Waktu itu, mucul istilah ‘Syiah kultural’ untuk menyebut kaum nahdliyyin yang mengamalkan tradisi-tradisi yang ia katakana mirip dengan Syiah. Namun, tulisan Agus Sunyoto tersebut baru sebatas spekulasi. Bahkan lebih mengedepankan mitos-mitos. Beberapa waktu lalu, di sejumlah kota, seorang tokoh Syiah mengadakan peringatan maulid Nabi Saw sembari mengklaim bahwa tradisi tersebut dari Syiah. Dikatakan, mula-mula dipelopori Dinasti Fatimiyah. Lagi-lagi, klaim ini spekulatif dan ahistoris. Sejarawan Muslim Alwi Alattas membantah klaim tersebut dalam tulisannya “Mencari Asal-Usul Maulid Nabi” dengan data-data ilmiah. Ia menulis: “Di antara informasi awal yang menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578 H (April 1183) dan Rabiul
Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satusatunya peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair (2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah” (baca Alwi Alattas,Mencari Asal-Usul Maulid Nabi di inpasonline.com). Klaim Syiah terhadap tradisi membaca diba’ dan barzanji juga tidak tepat. Sebab, di Iran pusat Syiah, tidak pernah ditemukan diba’ . Klaim Syiah makin lemah, sebab di dalam kitab diba’ terdapat syair-syari pujian kepada Sahabat Nabi. Syair tersebut misalnya berbunyi: “Ya Rabbi wardha ‘ani al-Shahabah ya Rabbi wardha ‘ani al-Sulalah” (Ya Allah semoga ridha atas para Sahabat, Ya Allah semoga ridha atas keturunan Nabi). Padahal, dotkrin utama Syiah mencaci Sahabat. Justru, tradisi membaca sejarah Nabi melalui berbagai macam maulid lebih tepat untuk membetengi Ahlussunnah. Kitab-kitab maulid yang selalu bertaburan pujan kepada Nabi dan Sahabatnya sesungguhnya merupakan edukasi kepada umat untuk mencintai nabi dan Sahabatnya. Pembentenganpembentengan hampir sama juga dilakukan para ulama-ulama di tanah Jawa. Sejak dahulu di surau-surau kampung, sebelum di adakan shalat berjamah, para jamaah membaca puji-pujian kepada Saidina Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ini merupakan strategi kultural ulama’ Jawa untuk membentengi dari pengaruh kaum Syiah. Disebarkan pula isu, bahwa berkembangnya cara mengaji dengan mengeja fathah, kasrah dan dhammah, diklaim dari Persia. Kalau Persia pasti Syiah. Ini juga kesimpulan gegabah dan terburu-buru. Persi tidaklah selalu identik dengan Syiah. Syiah mulai dipeluk mayoritas warga Iran setelah Dinasti Shafawi, yang berakidah Syiah, berkuasaa di daerah Persia dan sekitarnya pada sekitar abad ke-16. Sebelum itu, Persi di bawah kekuasaan raja-raja Sunni. Memang dikenal beberapa seni Islam yang berkultur Persi sejak dahulu. Contoh misalnya model khat Farisi. Namun, harap dicatat, seni-seni Islam yang berasal dari Persi tersebut sudah lama berkembang pada masa kekuasaan Abbasiyah. Pada waktu itu, Persi di bawah kendali pemerintahan Abbasiyah yang Sunni (M. Baharun,Tantangan Syiah terhadap Ahlussunnah, hal. 120). Maka, tidak heran, dahulu banyak ulama-ulama Sunni lahir dari Persi, seperti Imam al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Jadi, Persia ter-Syiah-kan bisa dibilang masih ‘baru’ yakni abad ke-16. Ada pun kaum Alawiyyin (keturunan ahlul bait) juga memiliki strategi pembentengan terhadap akidah Syiah, yaitu dengan mentradisikan pembacaan wirid ratib al-haddad. Wirid ini ditulis oleh Habib Abdullah al-Haddad, tokoh besar kaum Alawiyyin dan menjadi amalan yang terus dibaca hingga kini oleh para keturunan habaib di Nusantara dan kaum nadhliyyin. Habib Alwi al-Haddad dalam Syarh ratib al-haddad menulis: ‘Ratib yang mulia ini disusun Habib Abdullah al-Haddad ketika beliau mendengar masuknya paham Syiah Zaidiyah ke Hadramaut. Beliau khawatir Syiah Zaidiyah ini akam merubah akidah kaum awam. Maka, pada malam 17 Ramadhan 107 H beliau susun ratib ini. Dalam ratib ini penulis menyebutkan “al-Khairu wa al-Syarru bi Masyiatillah” (Kebaikan dan keburukan itu terjadi atas kehendak Allah). Kalimat ini sengaja beliau cantumkan untuk menolak paham Qadariyah dan kaum Syiah Zaidiyah” (Novel bin Muhammad Alaydrus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarikat Bani ‘Alawi, hal. 49).
Al-Habib Abu Bakar binn Abdullah Alaydrus, seorang tokoh besar para habaib yang berjuluk ‘arif billah, mengatakan: “Diberitakan kepada kami, bahwa di India telah banyak tersebar berbagai fitnah sehingga berdampak berbagai bencana dan cobaan. Penduduknya pun saling berselisih pendapat ndapat beraneka ragam tiada kesatuan. Ini adalah bencana besar! Bahkan lebih jelek dari itu, lebih buruk, dan lebih berbahaya. Sebagaimana diberitakan kepada kami, telah muncul sikap secara terang-terangan terangan membenci al-Shiddiq al dan al-Faruq Faruq (Abu Bakar dan Umar). ar). Mereka berakidah rafidhah yang tercela. Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun. Ini adalah kedurhakaan yang serius dan kelalaian yang kronis” (Terjemah ‘Uqudul Ilmas, Ilmas hal. 216). Kaum Alawiyin ini memang sejak dahulu nenek moyang merek kuat memegang tradisi Sunni. Mereka bermadzhab Syafii dan berakidah Asy’ari. Mereka cukup waspada menghadap fitnah orang Rafidhah. Dalam Adwar al-Tarikh al-Hadrami, dikatakan bahwa cikal-bakal cikal habaib di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, al Muhajir, seorang Sunni dari Irak. Ia hijrah hij dari Irak karena menghindar dari huru-hara huru hara politik di Kufah yang diakibatkan oleh fitnah Syiah. Mereka hijrah ke negeri Hadramaut Yaman. Meski tandus, namun Hadramaut Yaman kondusif. Penduduknya berhati halus dan relatif aman dari fitnah. Maka, tidaklahh heran, tradisi-tradisi tradisi tradisi yang dikembangkan berakar dari ajaran Sunni, yang tidak ada sangkut pautnya dengan Syiah. Kaum Alawiyin di Hadramaut ini, memang dikenal sangat kuat memegang tradisi nenek moyangnya. Sehingga, klaim-klaim klaim klaim Syiah sebetulnya tidak ada artinya. Ada dugaan, Syiah ‘mendompleng’ tradisi-tradisi tradisi tradisi Sunni Nusantara untuk membenturkan antar jama’ah Sunni. Syiah memanfaatkan isu pro-kontra pro kontra tradisi tersebut untuk memecah konsentrasi Sunni menjadi dua kutub yang saling berpolemik. Karena itu, Ahlussunnah sunnah harus bijak dan hati-hati hati menyikapi isu-isu isu seputar tradisi dan kultur kaum Syafiiyah ini. Perlu pemahman, bahwa tradisi tersebut bukanlah perkara ushul tapi furu’. Syiah diduga mengambil manfaat dalam polemik masalah furu’ ini. Jangan sampai gara-gara konsentrasi pada isu kecil, sampai menghabiskan energi menghadapi fitnah yang lebih besar. Ukhuwah Sunni harus dikedepankan, daripada perselisihan di bidang furu’. Tags: featured, tradisi kultur sunni dan adu domba syiah Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Kritik Sunni terhadap Syiah “Sunni-Syiah Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Tauhid Syiah:: Antara Kemutlakan Imamah dan Ideologi Takfiri Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/konsep-imamah-syiah-itsna-asyariyyah/
Konsep Imamah Syi’ah Itsna ‘Asyariyah 26/05/2013 | By anwar | 3 Replies
Oleh Budhi Setiyawan1[1]
PENDAHULUAN Semenjak meletusnya revolusi Iran tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah AlImam Khomeini, Iran menjadi pusat perhatian dunia karena revolusinya yang sukses dan menggemparkan itu. Perhatian dunia pada Iran sekaligus identik dengan perhatian pada madzhab Syi’ah,2[2] karena memang Iran merupakan kubu Syi’ah terbesar (mayoritas bangsa Iran adalah beragama Islam Syi’ah madzhab Dua Belas Imam).3[3] Namun karena silau memandang dan terpukau dengan semangat revolusioner Syi’ah, banyak yang terlupa dengan aqidah Syi’ah yang sebenarnya telah meleset dari rel
1[1] Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor 2[2]Ada pula yang menamai madzhab ini dengan Rafidhah, artinya golongan penolak. (At-Ta’liqaat ala Matri lam’atil-I’tiqaat oleh Al-Jibrinhal : 108). Dalam suatu pendapat dikatakan mereka diberi nama Rafidhah dikarenakan penolakannyaakan keimaman Abu Bakar dan Umar. (Abu Hasan al-Asy’ari, MaqaalaatulIslamiyyin wakhtilafi-l-mushallin, (Kairo: Haiah al-‘Amah liqushur ats-tsaqafah),hal :1/89..
3[3] Hal ini tercantum dalam Pasal 12 konstitusi Iran yang berbunyi “ Agama resmi di Iran adalah Islam dari madzhab Ja’fary Itsna Asy’ariyah (Imam Dua Belas). Dan pasal ini tidak dapat diubah untuk selama-lamanya”. Dan dalam Pasal 2 berbunyi “republik Islam adalah rezim berdasarkan kepada imamah”. KBRI Iran, Iran The Cradle of Civilization, (Jakarta: Fauzimandiri, 2009), hal:33 ; O. Hashem, Saqifah Suksesi sepeninggal Rasulullah SAW awal perselisihan umat, (Depok: Yapi, 1989) hal:330; Dr Muhammad Kamil alHasyimi, ‘Aqoid Asy-Syi’ah fil Mizan, pen.M Rasjidi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1989), hal:18
aqidah Islam namun dibungkus dengan taqiyyah,4[4] sebagai salah satu senjata muslihat yang paling ampuh untuk mempropagandakan aqidah mereka. Sampai sekarang, golongan Syi’ah banyak terdapat di India, Pakistan, Irak, Yaman dan terutama di Iran dimana Syi’ah menjadi madzhab resmi Negara.5[5] Jika kita menelaah lebih dalam, kita akan mendapati prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas Imam, yaitu Imamah. Bahkan Imamah seperti halnya pokok agama (ushuluddin).Karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid. Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang yang tidak percaya kepada kalimat syahadat. Sehingga perkataan para Imam merupakan hal yang wajib diikuti, sekalipun menyimpang dari ajaran agama. Dan konsep Imamah inilah yang memberi dampak sangat signifikan dalam seluruh ajaran Syi’ah Dua Belas Imam. Namun dikarenakan mereka masih menanti munculnya Imam kedua belas, Imam Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam yang muncul pada tahun 868 dan kemudian menghilang. Para pengikut Itsna Asyariyyah meyakini bahwa Imam Mahdi akan kembali untuk menghadapi dajjal dan akan membangun pemerintahan Islam. Selama masa penantian tersebut, Ayatullah Khomeini membentuk konsep yang dinamakan Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Maka untuk mengetahui hakekat sebenarnya dari ajaran Syi’ah, dalam tulisan ini akan fokus membahas dua hal, pertama membahas konsep Imamah dan kedudukannya dalam ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Kedua menjelaskan implikasi konsep Imamah terhadap aqidah mereka. Dari kedua hal tersebut, pendapat Ulama Ahlu As-sunnah wa Al-jama’ah dijadikan sebagai acuan perbandingan secara proporsional.
DEFINISI IMAMAH Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.6[6] Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.7[7]Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.8[8] Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata Imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama
4[4] Pembahasan mengenai hal ini akan dijelaskan dalam bab implikasi aqidah imamah 5[5] Ahmad Amin, Fajru al- Islam, (Kairo: Nahdlatul Misriyah,cet.X, 1965), hal:272. 6[6] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir), hal.12/26. 7[7]Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah, (Mesir: Maktabah Al-Madbuly, 2000), hal: 35 8[8] Taufik Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal:.3/204-206.
yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.9[9] Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12.10[10] Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW.11[11] Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antarMadzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.12[12] Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa konsepsi mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas, seperti halnya pokok agama (ushuluddin)13[13] karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang tidak percaya kepada kalimat syahadat.
9[9]Penggunaan kata imamah tidak terdapat di dalam Al-Quran, tetapi kata yang disebutkan di dalam Al-quran adalah kata imam dan aimmah. seperti yang termaktub dalam Surat Al-Baqarah:124, At-Taubah:12, Al-Anbiya: 73 dan Al-Qashash:41 10[10]Imam yang dua belas itu berasal dari keturunan Fatimah putri Rasulullah SAW dan kedua putranya Hasan dan Husein, kemudian dibatasi pada keturunan Husein yang menikah dengan Syahbanu putri Yazdajir Kaisar Persia yang ditaklukkan oleh tentara Islam di zaman Umar bin Khattab. Muhammad Husayn Thabathabai, shi’ite islam, (Houston: Free Islamic Literature, 1979), hal:190-211 ; Dr Ali Ibrahim Hasan, Ath-Tarikh Al-Islamiy Al-‘Am, (Kuwait: Maktabah Al-Falah, 1977), hal: 230-231. 11[11] Al-Allamah al-Hilly, Anwar al-Malakut fi Syarhi al-Yaqut dikutip dari taudhih al-Murad, Ta’liqah ‘ala Syarhi Tajrid al-i’tiqad, karya al-allamah al-Hasan bin Yusuf bin Ali bin al-Muthahhir al-Hilly, Ta’lif as-sayyid Hasyim al-Husaini at-Tahrani, hal.672 12[12]Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, (Beirut: Darul al-Adhwa, 1999). Hal: 145 13[13] Abdul Karim Ali Najf, Al-Imamah Al-Itsna Asy’ariyah, (Markaz At-Thiba’ah wa An-Nasyr lil Majma’ Al-‘alamiy Liahli-l-Bait, 1426), hal: 31
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW, terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.14[14] Maka pada paragraf selanjutnya akan dipaparkan dalil penetapan Imamah menurut Syi’ah dan bagaimana keyakinan mereka terhadap Imamah serta implikasinya dalam aqidah mereka. DUA BELAS IMAM SYI’AH Sebelum membahas tentang dalil penetapan Imamah, kita perlu mengetahui Imam-imam mereka. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan, ada 12 orang imam yang telah ditetapkan sesudah Rasulullah SAW dan mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa). Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia sampai hari kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari kiamat. Mereka adalah15[15]:
1) Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan) Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10 tahun sebelum kenabian dan syahid pada tahun 14[14] Surat An-Nisaa ayat 136 $pk r‘¯ »t tûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãYÏB#uä«!$$Î/¾Ï&Î!qß u urÉ=»tFÅ3ø9$# ur Ï%©!$#tA¨ tR4 n?tã¾Ï&Î!qß u É=»tFÅ6ø9$#urü Ï%©!$#tAt Rr&`ÏBã@ö6 s%4`tBurö àÿõ3t «!$$Î/¾ÏmÏFs3Í´¯ »n=tBur¾ÏmÎ7çFä.ur¾Ï&Î#ß â urÏQöqu ø9$ Ïèt/ÇÊÌÏÈ #urÌ ÅzFy$#ô s)sù¨@|ÊKx»n=|Ê#´
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya.Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya. Hadist Jibril
E )!! , !!:% ,! ! ;#<# ,! ! = > ?&!! @ A! !#B * : 2&! !5 6 ! 7 8! !* . . .” C ! D !3 4&! # # “. . . G 3 4 /C+. /F % & @ # A #!B 3 H : 2&
“. . . Jibril berkata, (Ya Muhammad) jelaskan kepadaku tentang iman. Rasulullah SAW bersabda : (iman itu adalah) beriman kepada Allah dan Malaikat-malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan kepada hari akhir, dan kepada Qadar baik maupun buruk. Berkata Jibril : Benar. . .”(HR. Muslim) 15[15] KBRI Iran, Iran The Cradle of Civilization, (Jakarta: Fauzimandiri, 2009), hal:33.
40 Hijriyah. Khalifah Muslim keempat, sepupu dan anak mantu Rasulullah. 2) Hasan bin Ali (Abu Muhammad) Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 – 50 Hijriyah. Putera Ali dan Fatimah.
3) Husein bin Ali (Abu Abdillah) Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter yang paling disukai Syi’ah Iran, putera termuda Ali dan Fatimah. 4) Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah. Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama julukan: Sajjad (Ahli Sujud), dan Zein al-Abedin (penyembah terbaik) 5) Muhammad bin Ali al Baqir (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 57 – 114 Hijriyah. Putera Ali bin Husein, dipanggil baqir (secara harfiah berarti pembuka) karena ia secara kiasan membedah pelajaran Islam, memiliki otoritas yang memiliki pengetahuan dan tradisi Islam. 6) Ja’far bin Muhammad ash Shadiq (Abu Abdillah) Hidup antara tahun 83 – 148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali, bergelar Sadeq (kebenaran dan adil). 7) Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183 Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq, bergelar Kazem (menyembunyikan amarahnya) 8) Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 148 – 202/203 Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam Syi’ah yang dimakamkan di Iran, di juluki Reza/Ridla (senang dan melawan) 9) Muhammad bin Ali al Jawad (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220 Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki gelar Javad / Jawad (Murah Hati) 10) Ali Bin Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 – 254 Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun). 11) Hasan bin Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 – 260 Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelar Asgari/askari (diawasi oleh kaum militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan. 12) Muhammad bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun 256 Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260 Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam Mahdi. Ia merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang yang dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia
dikenal dengan julukan (penguasa zaman)
Vali-yeAsr
atau
sahibal-Zaman
ARGUMENTASI PENETAPAN IMAMAH Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Nabi SAW telah menunjuk pengganti sepeninggal beliau. Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun implisit- Nabi SAW menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin, penerima amanat wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang keimanan Sayyidina Ali r.a sesudah Nabi SAW berdasar nash yang dhohir, penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat, bahkan isyarat dengan terang.16[16] Beliau telah mengangkat dan membai’atnya sebagai Amirul Mu’minin pada hari Ghadir Khum. Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa para imam setelah Nabi adalah 12 orang imam yang namanama dan urutannya telah ditentukan. Banyak ulama Syi’ah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum merupakan bukti nyata pengangkatan Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan pascawafatnya Nabi. Salah satunya ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah Ja’fariyah abad kedua puluh ini mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist peristiwa Haji Wada’ yang bersejarah di Ghadir Khum.17[17] Dari hadist tersebut, sekiranya perlu untuk diteliti kembali bagaimana kualitas hadist tersebut ditinjau dari otentisitas sanad dan validitas matannya.Apakah hadist tersebut shahih dan bagaimana analisis hadist tentang riwayat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah SAW tersebut.
16[16] Abi al-Fath Muhammad Abdu al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa AnNihal, (Beirut, Darul Fikri), hal: 126 17[17]Rasulullah SAW mengucapkan khutbah beliau di Ghadir Khum ketika beliau baru kembali dari Haji Wada menuju Madinah pada tanggal 18 Dzulhijjah. Latar belakang khutbah tersebut ialah turunnya ayat Al Quran yang berbunyi, $pk r‘¯ »t ãAqß § 9$#õ÷Ïk=t/!$tBtAÌ Ré& ø s9Î)`ÏBy7Îi/¢ (bÎ)uróO©9ö@yèøÿs?$ yJsù|Møó¯ =t/¼çmtGs9$y Í 4ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏBĨ$¨Z9$#3¨bÎ)©!$# w Ï öku tPöqs)ø9$#tûï Í Ïÿ»s3ø9$#ÇÏÐÈ “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS : AlMaidah 5:67) Ayat ini mereka namakan dengan Ayat Al Tabligh tersebut menurut mereka turun atas nama Ali. Mereka katakan sebagai perintah dari Allah agar nabi Muhammad tidak ragu-ragu dalam memberikan mandat imamah kepada Ali dan pengikutnya.Kemudian jadilah bahwa kaum Syiah paling berhak mewarisi imamah nabi dengan landasan normatif ayat tersebut. Al Thusy adalah salah satu ulama’ yang membenarkan tafsir tersebut . (lihat Najafi, Ghader-E-Khum, (Teheran: A Group of Muslim Brothers), hal: 9-19) Selain ayat di atas, ada beberapa ayat-ayat Al Quran yang sering dijadikan argumentasi Syiah untuk mendukung kebenaran Imamah, antara lain: Ayat al-Wilayah : Al Maaidah : 55 Ayat al-Mubahalah : Al-Imraan 61 Ayat Tathhir : Al Ahzab 33 Ayat al-Ishmah : Al Baqarah 124 Ayat iktimal ad-din : Al Maaidah 3 dan al-Ma’arij 1
Dengan harapan menjawab kesalahpahaman yang terjadi selama ini di kalangan umat Islam tentang kepemimpinan dalam sejarah khulafaurrasyidin. Matan hadist yang diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya, dengan menggunakan al-Mu’jam al-Hadist.18[18] Berdasarkan keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat hadist, yang satu di kitab hadist Sunan al-Tirmidzi,19[19] dan Musnad Ahmad ibn Hanbal,20[20] K &! : !!@ C!! -$ & !MN ! #! ;!#!3 & !MN ! !Q &!!VU $ O!!: ,!! ? !!H ,! !N 2)! # !:# % P! !3 "! !- !@ 2&! # !@ C! ! ! ! ,!!N !!; !@ RC+!S# ! ! T!!. C+ ! !J ! ! K -;!!L # # # &] ^ * !!@ !! O' !! _-!!: c!-!@%* ! !3&-!B ,! ! C= WX!( U!% &$ Y&!!HX( NC !ZN [ !!L( \! !:% Y& b!!H ? !!H ,! !N 2)! * ! ! ! !:# % &!! ` a )#&!! !( O!!: ,!! ? !!H ,! !N 2)! # # N N N N h! * O: , + N ! )# !: #NC!ZN G !3 &!N !( O i&! % j a )#(C! Q W N#k ,! )# Z ( O: , ? H , 2):# C@ #d @ C ZN )#-$ % `a )# Z # &< e f H &g #/&WC !; ,! & _!n 2&! # :# % #,! p :# % & 2& !( - !@% m # X!( . !< !< f !H C 3 N#k O!: ,! ? !H ,!N 2)! \!&] ^ * !@ !+ j a C! !B l * ,!N 2) !( o&!Nn E&! * E& !( O: , ? H !# C #B &! » 2&! !( ,!' $ [ R # :# % ,! a _! ;!3X( )#&!3 &! _! n 2&! !( f!# @CN E&! !( P # C! - #! \! # &Nn , a E& 3 N#k #, p X( ,& _ n 2& X( O!: ,! ? !H ,!N 2)! C C 3 N#k #,! p # L (wx /%) – u - !@ A # _+ <# j K ) # #, &W* r+ &s N a t # C #B & t # C #B & t “Menceritakan kepada kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari Imran bin Husain berkata bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala tentara dan menjadikan Ali sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan perang. Kemudian Ali berjima’ dengan salah satu tawanan wanita (budak). Kemudian para tentara mengingkari apa yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang sahabat yang saling bersepakat bahwa apabila kita berjumpa dengan Rasul maka kita akan mengadukan apa yang diperbuat oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka kembali dari perjalanan mereka menemui Rasul dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika rombongan perang itu sampai dan juga mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah satu dari empat sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai Rasulullah atas apa yang dilakukan Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah SAW berpaling dari sahabat tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang ketiga juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.” Apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah pemimpin seluruh mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi) Sedangkan Hadist yang sama juga didapati dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal melalui sumber yang sama yaitu Ja’far bin Sulaiman.
18[18] A.J. Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras li A’faz al-Hadits al-Nabawiy, (Leiden: E.J. Brill, 1936), hal:1/47. 19[19] al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmizy, no. 4077, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), hal: 317 20[20] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, no. 20463, (Software: al-Maktabah asySyamilah), hal: 256.
zCN! ! ; P Q 2&! !3 "! 3 & !:# !# @ C!# - $ &! !M {&!3 – yN # . C+ !# J r MN ! 2&! # ! ! r! - # &!N yNzCN! !# ; & !MN ! # !@ C! ! ,!N !; !@ RC+!S# ! T! b!!H ! &] ^ * !!@ !N ! O' ! ! C!!N* UNC !: O!!: ,!! ? !!H ,! !N 2)! * O!: ,!! ? !!H ! !N |# Y& !3 ! !& # !:# % P! ! ! !- !@ - !!( / C !: [ U&}!!. ~ X( \! * ! ! c!- !@% * ! !3&- !!( # &!!N 2&! N !:C @ &W*! !@ C !: !! & ! !3 ` a &!!N <# # C!! 2&! &!! 2&! ! !( O '# ! ! _!c !$# % E&! !3 .,! ! & N!Z ( O!!: ,!! ? !!H ,! !N 2)! ! !( ,!! )# ! !( 2&! # !3 .O!!: ,!! ? !!H ,!! 2)!!:# C #/C! ! * C#<# ! !3 N#k ,!! pCX!( . ! < !< _!!-!( &!s N a ,! !N 2)! . ! < !< _! !- !( &!!s N a ,! !N 2)! !:# % &!! 2&! ! !( P! !:# % &!! 2&! ! !( o&! !Nn E&! !:# % # !&Nn E&! X!( . ! < !< _! !- !( &!!s N a ,! !N 2)! C # !3 N#k #,!! p N a &!s )!# &!s )!# &!s )!# » 2&! !( #,!'# $ C! !N!B !3 f ! @CN O: , ? H ,N 2) # :# % _ ;!3X( 2& 3 . < < _ - !( &s N a ,N 2) :# % & 2& !( f# @CN E& 3 N#k #, p X( C (* /%) – u - !@ A # _+ <# j K ) # #, &W* r+ &s Sanad21[21] hadist yang diteliti adalah yang melalui jalur hadist Imam Tirmidzi, sedangkan sanad hadist riwayat Imam Ahmad hanya sebagai pendukung hadist pertama. Penelitian hadits ini dimulai dari sanad terakhir dan kemudian dilanjutkan pada perawi sebelumnya hingga sanad teratas yang menerima hadits langsung dari Nabi SAW. Jika dilihat dari sanad hadist yang telah diteliti di atas, maka tidak terdapat masalah besar pada kualitas perawi, (misal kadzdzab atau Dajjal), semua dikategorikan dalam perawi tsiqah dan shaduq.22[22] Namun, perawi pada jalur hadist tersebut ditemukan seorang perawi yang bermasalah, sehingga kualitas sanad tersebut perlu ditinjau kembali. Meskipun Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadist yang telah disampaikan di atas adalah Hasan Gharib.23[23] Karena terdapat sedikit masalah pada perawi ke-2 (urutan terakhir) yaitu Ja’far bin Sulaiman yang bergelar Adh-Dhubba’i sebenarnya dapat dipercaya namun sikapnya cenderung berpihak pada riwayat-riwayat dari Syi’ah. Ada pendapat ulama hadist tentang persolan tersebut, seperti yang disebutkan dalam kitab tahdzibut Tahdzib dikatakan bahwa perawi yang tasayyu’ diterima riwayatnya, apabila hadist yang diriwayatkannya tidak berkenaan dengan ajaran yang mendukung aliran Syi’ah.Artinya hadist yang diriwayatkan oleh perawi Tasyayyu’ ditolak apabila riwayat tersebut berkenaan dengan Syi’ah.24[24] Berdasarkan penelitian kualitas dan persambungan sanad tersebut di atas, diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad Imam Tirmidzi yang menjadi penekanan inti dalam penelitian ini, perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung mulai dari At-Tirmidzi selaku mukharrij sampai kepada ‘Imran bin Husain, selaku perawi pertama yang terkait langsung dengan Rasulullah SAW. Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi ini, dari perawi terakhir yaitu Qutaibah, di sana akan terlihat bahwa Imam Tirmidzi tidak sebagai murid dari Qutaibah. Yang ada hanya Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai murid Qutaibah. Mungkin menurut
21[21]Sanad adalah istilah yang digunakan dalam ilmu Hadist. Sanad atau thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad SAW. Biasanya berupa kata (عن, حدثنا, )أخبرناdan beberapa istilah lain. Lihat, Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadist, (Bandung: PT Al-ma’arif, 1974), hal: 40 22[22]Penelusuran Sanad Hadist dilakukan melalui perangkat software, Mausu’ah al-Hadist AsySyarifah, Harf Information Technology Company, 1998. 23[23]al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmizy, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), no. 4077, hal. 317. 24[24]Lihat. Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Tahdzibut Tahzib.
penulis dalam kasus ini Imam Tirmidzi mengambil Hadist dari Imam Ahmad bin Hanbal. Jika dilihat dari sanad dan matannya pun tidak ada perbedaan dari hadist yang dikeluarkan Imam Ahmad. Hanya perawi terakhir melalui jalur Hadist Imam Ahmad yang berbeda yaitu, bersumber dari ‘Abdur Razak dan Affan Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sanad dari hadist Imam Tirmidzi ini bersambung, namun hadist tersebut bermasalah dari ada salah satu perawi yang Tasyayyu’. Maka dalam hal ini kita juga akan melihat bagaimana analisis terhadap matan hadist tersebut, untuk kemudian di akhir bisa disimpulkan. Untuk menyelesaikan matan hadist yang dibahas tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan peninjauan tentang kemungkinan adanya sisi bertentangan yang dikandung oleh matan hadist tersebut. Jika mengikuti pola analisis di atas kita akan menemukan bahwa ada riwayat lain dari hadist shahih yang juga membahas tentang persolan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW. Di antaranya ada riwayat dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad meriwayatkan,25[25] & !@ \! '!. !@ 2&! &] ^ * !@ !N N * #/C!!; N; ! @ N * T! \! 3 &!H * Y& # 3 2&! ! ^ * & !MN ! Y)! # # - ! & !MN ! ^ * r MN ! ,N # ; & !MN - < !# @ ,!N !# ; o C! !; * &! + )!#!B u! N ,! -$ [ O!: ,! ? !H ,! N 2)! :% ! ! C! !# @ 2&! 3 .U&!>% &@ ,! N ! ;!H !( O!: ,! ? !H ,! N 2)! # :# % ;!H < !Z &!@* &! &! * 2&! * ! # # N 2 &! !( ,!( [ # NS !; r! @ /)! NS !; !@ &N; / @ N; \ :# % N a ,!N G! !( \! # C ! * o+ a ! ,!-$ [ [N ) !#!: O!: ,! ? !H ,!N 2)! W* uC! !B {* 2&! X( & $# # R ! ` &(
)! ! \! # # # # !( .&! @ HX( /& N< &WF [ &< a T ` & & ( &< ( Cm ( ,XZ !( O: , ? H , N 2) :% j a & @ ,! ? !H ,! N 2)! :# % && # X!: }! ,!N !e 2&! # # # N (* /% ) .U@* #,#X: S- #! { && - ! ( O: * { ,) !( U@* &N # && “Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah SAW ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, ‘Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah SAW?’Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik. “Ibnu Abbas berkata, “Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, “Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.“ Ali berkata, “Demi Allah, jika kami meminta kepada Rasulullah SAW lalu menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.” (HR. Ahmad). Riwayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib tidak punya ambisi untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat. Hal ini terlihat dari penolakannya atas bujukan Abbas bin Abdul Muthalib supaya meminta kepemimpinan diwasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib. Selain dari riwayat lain di atas, Penambahan ‘u - !@‘ pada hadist yang dibahas
25[25] Lihat Musnad Imam Ahmad, jilid IV, No. 2374, sudah ditahqiq dan takhrij Syeikh Ahmad Syakir dengan sanad shahih.
u! - !@ A! # _!+ <# j K )! # #,! &!W* r!+ &!s إِ ﱠنmenunjukkan kerancuan berfikir kelompok Syi’ah.26[26] Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat yang disebutkan Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: -!: ! O != *C!( ! ! f!
J! 2&! < # @ _L N; !@ ! F! !;$# !@ # t # 3 ! C#!@ ! &! #,! G! N ^ * # @ & !MN " # # & !MN ^ * r MN ,N # ; & !MN :% G 3 &N !( U) $ :% ,!$ G!*C!( ,#!QN ! !!( &s
O ' !Z # !W* ! " !( C!# !N!! O!: ,! ? !H ,! N 2)! A # &! @ j * G! # C < ` O: , ? H ,N 2) # Z * #! C#!@ &! » 2&! # # # # # 27[27].#/{) e - !( #/{) G 3 .,N 2) :# % & !@ G # <# 2& # #!3 .« &!N 2&! 3 .NC !: [ O!: ,! ? !H ,! N 2)! # :# % &! !n- !@ 2&! 3 ,! @* ! ! C#!@ !@ ! ! !;# !@ -! : ! ! m & !MN ! &- # )#@* & !MN ^ * r MN , N # ; & !MN # !-!(C!( 2&! !H @&b!H O#!! *% !!< » 2&! 2&! !3 .#,!!'# $ CN! !3 .U&!@&;= U!$# % G! !3 .« O =# ; &! !3 & ! 3 ! !3 O!: ,!! ? !!H h! K !N ` !( 2&! # ! <# !:*% G! # !3 .uF! ! #/&= !. * #,#B) = !. &!!N ( 2&! 28[28]#,K e - !( #,N G # # ! ) # # <# 2) Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan bahwa penambahan kata “u! !- !@“ tertolak. Dengan demikian pendapat Syi’ah yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti tunggal Rasul juga tertolak. Menurut Ibnu Taimiyah, riwayat yang menyatakan, “Dia pemimpin umat setelahku” adalah sebuah kebohongan yang ditujukan pada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi maksud hadist tersebut adalah bahwa “Ali kekasih umat Islam, dan umat Islam juga menjadi kekasih Ali, hal ini berlaku baik ketika hidup atau sepeninggalnya (Rasulullah SAW).”29[29] penjelasan tentang matan hadist tersebut adalah bahwa kata j K yang dimaksud bukan pemimpin tapi orang yang dikasihi. Dan menurut Imam Tirmidzi, hadist di atas adalah hadist Marfu’ karena sanad bersambung langsung dengan Rasulullah SAW. Menurutnya, berdasarkan sanad yang bersambung dan juga tidak didapatkan perawi yang cacat, maka secara kualitas hadist ini adalah Hasan Gharib.30[30] Dikatakan Gharib karena hanya memiliki satu jalur riwayat hadist yang menyendiri. Hadist hasan gharib ini bisa diterima jika dari sanad dan matannya tidak mengandung masalah. Meskipun hadist yang dibahas berstatus hasan, namun keberadaan hadisthadist yang diriwayatkan Imam Ahmad -yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya- sebagai penjelas (syarah) terhadap hadist tersebut. Dengan demikian, kesimpulan bahwa tidak ada kata “ba’dii” jelas dapat diterima. Jadi
Berdasarkan penelitian hadist tentang kepemimpinan Ali r.a tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut jika dilihat dari kualitasnya adalah Hasan Gharib.
26[26] Pendapat tersebut dikutip dari kitab Tahfatul Ahuudza, Bab. Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib, (Software: Maktabah Syamilah), hal:10/147. 27[27] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal….,No. 651, (Software: al-Maktabah asySyamilah), hal: 157. 28[28] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal.., No. 23663, hal. 168. 29[29] Lihat kitab Tahfatul Ahuudza.., hal.:10/147. 30[30]Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmizy, hal. 256.
Meskipun di dalamnya terdapat perawi Tasyayyu’, namun hadist ini telah disyarah oleh hadist lain yang shahih sekaligus menjelaskan dengan sempurna makna hadist tersebut. Jika merujuk pada pendapat Imam Ahmad, maka jelas terlihat bahwa hadist tersebut tertolak berdasarkan riwayat lain yang juga terdapat dalam kitab musnadnya. Dan memungkinkan hadist tersebut telah dimansukh oleh hadist yang menjelaskan hadist yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.
KEDUDUKAN IMAMAH Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh karena itu Syi’ah berpendapat bahwa Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak akan sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka juga berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian,31[31] lutf (petunjuk) dari Allah SWT dan sudah menjadi keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam sebagai penerus tugas kenabian dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan permusuhan di antara mereka. Sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa Imamah merupakan estafet dari kenabian, dan dalil yang menetapkan diutusnya Nabi dan Rasul juga menetapkan diutusnya seorang Imam setelah Rasul.32[32] Senada dengan hal itu, Ali Kasyifu alGhita’ juga menyatakan bahwa Imamah itu merupakan kedudukan Ilahiyah (manshobun ilahiyyun) seperti halnya kenabian. Allah-lah yang memilih para Imam, sebagaimana Allah berkehendak untuk memilih seorang Nabi dan memberikan mu’jizat kepada para Nabi.33[33] Oleh sebab itu, teramat sulit bagi manusia untuk membedakan antara Nabi dan Imam.34[34] Pendapat yang lain mengatakan, barangsiapa tidak mempercayai Imamah dianggap kafir bahkan lebih buruk daripada mengingkari kenabian. Hal ini dikarenakan masih memungkinkannya sebuah zaman tanpa adanya seorang Nabi, tidak seperti halnya Imam yang selalu ada di setiap zaman. Karena Imamah merupakan petunjuk yang lebih umum (lutf ‘am), sedangkan kenabian hanya petunjuk khusus (lutf
31[31]Sebagian ulama Syi’ah juga menyatakan bahwa derajat Imamah lebih tinggi dari derajat kenabian. Muhammad Baqir Al-Majlisy, Bihar al-Anwar, (Beirut: Daar Ihya Turats Al-Araby, 1983) hal:26/267-282 32[32]Muhammad ar-Ridla al-Mudzhafar, ‘Aqaid al Imamiyah, (Beirut: Dar ash Shofwah), hal : 87-88 33[33]Ali Kasyif al-Ghita’, Ashlu asy-Syi’ah . . . , hal.134 34[34]LihatAl-Majlisi, Miraatu al-‘Uqul fi Syarhi Akhbari Ali ar-Rasul (Syarhu alKaafi), (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1404), hal: 2/289-290 dan Bihar al-Anwar, (Beirut: Muassasatu al-Wafa), hal.26/82.
khos).35[35] Adapun dalam beberapa kitab Syi’ah disebutkan perbedaan antara Rasul, Nabi dan Imam. Seperti dalam kitab awailu al-maqalat karya Al-Mufid, bahwa Rasul ialah seseorang yang turun Jibril kepadanya dan ia melihatnya serta mendengar perkataannya, kemudian turunlah wahyu. Dan Nabi ialah seseorang yang melihat jibril dalam mimpi dan mendengar perkataannya. Sedangkan Imam mendengar perkataan Jibril akan tetapi tidak melihatnya di dalam mimpi maupun secara langsung.36[36] Maka dapat disimpulkan bahwa Imamah menurut Syi’ah Imamiyah berada di luar otoritas manusia. Lebih dari itu, Ibnu Babawie al-Qummi, yang lebih dikenal dengan asShaduq, berpendapat bahwa iman kepada kenabian Muhammad SAW tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan keimanan kepada Imamah. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi SAW, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi SAW setelah mendapat perintah dari Allah Swt.37[37] Jadi posisi para Imam identik dengan posisi kenabian.38[38] Bahkan ada yang beranggapan bahwa Imam lebih tinggi derajatnya daripada Nabi.39[39] Oleh karena itu, Imam yang menggantikan Nabi SAW bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi SAW. Dan persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (bebasnya para Imam dari kesalahan dan dosa atau kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apapun) dan ilm (ilmu yang sempurna).40[40] Imamah yang memiliki sifat ‘ismah itu perlu, karena
35[35] Al-Hulli, Al-faini, (Kuwait: Maktabah Al-faini, 1985), hal.23. 36[36] Al-Mufid, Awailu al-Maqalat, (Beirut: Dar al-kitab al-Islamiy, 1983), hal:78, pernyataan serupa juga dinyatakan oleh Al-Majlisi dalam Miratu al-‘Uqul, hal.2/289. 37[37] Murtadha Muthahhari,Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta: Lentera, 2002), hal.471 38[38]Muhammad Ridla al Mudzhar, ‘Aqaid al Imamiyah, (Beirut: Dar ash Shofwah), hal.91 39[39] Dalam kitab Biharal-Anwar, Al-Majlisi mencantumkan bab dengan judul : Bab bahwa imam-imam itu lebih utama daripada para Nabi dan semua makhluk. Para Nabi, Malaikat dan semua makhluk diambil janji setianya untuk imam-imam, dan bahwasanya diantara para Nabi bisa menjadi Ulul ‘Azmi karena mereka mencintai imam-imam. Dalam buku yang sama, ia juga menjelaskan bahwa seorang Nabi disiksa karena tidak menerima tawaran wilayah Ali r.a. Ali berkata, “Bahwa Allah menawarkan wilayah atau kedudukanku kepada penduduk langit dan penduduk bumi, maka ada yang mengakui atau menerima wilayahku dan ada yang tidak mengakui. Nabi Yunus mengingkari wilayahku, maka oleh Allah ditahan dalam perut ikan sampai Nabi Yunus menerima dan mengakui wilayahku. (Muhammad Baqir Al-Majlisy, Bihar al-Anwar, (Beirut: Daar Ihya Turats Al-Araby, 1983), hal.26/267-282 40[40]Tentang ‘Ismah, dapat di baca secara lengkap dalam Ja’far Subhani. Ma’a alSyiah al-Imamiyah fi ‘Aqaidihim, (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts alIslamiyah, 1413), hal:56-70. Ja’far Subhani. Ishmah Keterpeliharaan Nabi dari Dosa,
syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.41[41] Jadi bagi Syi’ah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, Syi’ah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.42[42] Mengenai penetepan Imamah, ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, salah satunya Asy-syahrastani, menyatakan bahwa Imamah ditetapkan dengan musyawarah, pemilihan, pendapat dan ijma’, bukan dengan pengangkatan dan penunjukkan (Allah dan RasulNya / Nash wa Ta’ayun).43[43] Karena Imamah bukanlah termasuk kategori ushuluddin, tetapi masalah furu’iyyah. Memang sebagian besar ulama Ahlu Sunnah mengharuskan imam berasal dari keturunan Quraisy, tetapi pendapat ulama mutaakhirin (abad IV dan sesudahnya) tidak mensyaratkan nasab tersebut. Dan juga syarat seorang imam ialah wujud (ada), bukan tersembunyi dan juga bukan ditunggu. Tidak diisyaratkan harus ma’shum, namun seorang imam diharuskan memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan dan sempurna anggota badan.44[44] Namun apabila Syi’ah berpendapat imam itu haruslah ma’shum (terbebas dari dosa besar maupun dosa kecil), apakah mereka tidak memahami firman Allah SWT dalam surat ‘Abasa, bahwa seorang Nabipun pernah melakukan kesalahan dan mendapat teguran dari Allah karena mengabaikan seorang Ibnu Maktum yang buta. Selain itu, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainy, pakar hadist Syi’ah, meriwayatkan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan rukun Islam terbesar.45[45] Ia pun menambahkan bahwa Imamah yang paling utama, sebab ia kunci dari yang lainnya, sementara seorang imam adalah pemandu.46[46] Jadi,
(Yayasan As-Sajjad, 1991) ; Muhammad at-Tijani as-Samawii, Bersama Orang-orang Yang Benar, (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1997), hal : 213-220. 41[41] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal: 31, 40-64. 42[42] Munawir Sjadzali,Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), hal: 216. 43[43] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa . . ., hal: 33 44[44] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah. . . , hal: 136 45[45]Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainy, Ushulu al-Kaafi, (Beirut: Daaru-lMurtadha, 2005), hal.346 46[46]Lihat Ushul al-Kaafi, hal.345
barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui Imam, maka mereka itu meninggal dalam kebodohan (maata maitatan jaahiliyyah).47[47] Ia pun menjelaskan beberapa kelebihan para Imam dan menuliskan bab khusus tentang hal tersebut, seperti sesungguhnya bumi tidak pernah sunyi daripada al-hujjah (imam) sebanyak 13 riwayat, sesungguhnya para imam adalah saksi-saksi Allah ke atas makhluk-Nya 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah uli amri llahi dan penyimpan ilmu-Nya 6 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah khalifah Allah SAW di bumi-nya dan pintu-pintunya yang didatangi 3 riwayat, sesungguhnya para imam a.s di sisi mereka semua kitab yang diturunkan oleh Allah SAW dan sesungguhnya mereka mengetahuinya sekalipun bahasanya berbeda 2 riwayat, sesungguhnya tidak seorangpun yang telah mengumpulkan al-qur’an kesemuanya melainkan para imam a.s. sesungguhnya mereka mengetahui semua ilmuNya 6 riwayat, tanda-tanda para Nabi a.s dimiliki oleh para imam a.s 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui semua ilmu yang telah keluar kepada malaikat, para nabi dan para rasul a.s 4 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui bila mereka akan mati dan sesungguhnya mereka tidak akan mati melainkan dengan pilihan mereka sendiri 8 riwayat.48[48] Itulah beberapa kelebihan para Imam yang tertulis dalam kitab Al-Kaafi dan sebagian lainnya dalam kitab Bihar alAnwar. Dalam pandangan ahlu as-sunnah dan hampir seluruh kelompok dan sekte Islam sepakat bahwa imamah (kepemimpinan) merupakan kebutuhan kemanusiaan serta kewajiban agama, dimana tidak mungkin sebuah masyarakat dimana saja mereka berada dapat menjalani kehidupan mereka secara ideal kecuali di bawah naungan sebuah negara atau pemerintahan. Karena dalam sebuah masyarakat pasti dibutuhkan pemimpin yang akan memimpin dan mengatur seluruh urusan rakyatnya.Namun Syi’ah Imamiah mengatakan bahwa Imamah merupakan kewajiban ketuhanan dan salah satu rukun iman. Dengan kata lain, mengangkat imam merupakan kewajiban bagi Allah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hilly. Dan jika kita perhatikan pemaparan tentang kelebihan para imam di atas, dapat kita simpulkan bagaimana sikap mereka yang berlebihan (Al-Ghuluw) terhadap para Imam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penetapan Imamah sebagai salah satu aqidah Syi’ah Imamiah. Sikap tersebut mendesain dan berimplikasi terhadap seluruh pandangan-pandangan Syi’ah lainnya. IMPLIKASI AQIDAH IMAMAH Telah disebutkan sebelumnya bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Imamah (kepemimpinan) dua belas imam telah ditunjuk melalui nash wa-l-washiyyah (naskah tertulis serta wasiat). Keyakinan inilah yang kemudian menjadi pangkal bagi konsepsi dan keyakinan-keyakinan yang lain. Dengan kata lain, konsep Imamah merupakan konsep pokok dalam pemikiran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, sementara konsepsi yang lainnya merupakan konsepsi pendukung yang merupakan implikasi dari konsepsi pokok, yaitu Imamah. Pengaruh Imamah secara eksplisit lebih menonjol dalam kegiatan dan moralitas Syi’ah, sehingga mewarnai semua ajarannya seperti aqidah, syariah dan tasawuf. Imamah menjadi sumber penafsiran Al-Quran, penjelasan hadits dan sumber kekuasaan setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Implikasi konsepsi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
47[47]Lihat Ushul al-Kaafi, hal.346 48[48]Lihat Ushul al-Kaafi, hal:119-199
Konsep ttg Sahabat
Imamah Konsep ttg Al Quran
Konsep ttg Sunnah
Konsep ttg Rukun Iman
Konsep ttg Bada’ Fiqh Ja’fari
Konsep ttg Raj’ah Konsep ttg Taqiyyah
Pengaruh konsepsi Imamah terhadap Al –Qur’an dapat diketahui dengan pernyataan ulama Syi’ah bahwa al-Qur’an yang ada saat ini telah diubah. Dalam menafsirkannya pun cenderung untuk mendukung ideologi mereka, misalnya, hampir semua kalimat wilayah dalam Al-Qur’an (Wali, maupun wilayah dan isytiqaq lainnya) dikaitkan dengan Imam Ali dan putranya. Contoh ayat 55-56 dalam surat Al-Maaidah yang berbunyi: $uK¯ RÎ)ãNä3 Ï9urª!$#¼ã&è!qß u urtûïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uätûïÏ%©!$#tbqßJ É)ã n o4qn=¢Á9$#tbqè?÷sã urno4qx.¨ 9$#öNèdurtbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ`tBur¤AuqtGt ©!$#¼ã&s!qß u urtûïÏ%©!$#ur(#qãZtB#uä¨bÎ*sùz>÷ Ïm«!$#ÞOèdtbqç7Î=»tóø9$#ÇÎÏÈ “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. Seorang ahli tafsir Syi’ah, Muhammad Husein Ath-Thabathabai dalam kitab tafsirnya Al-Mizan, menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat 55 tersebut adalah imam Ali dan anak keturunannya. Demikian juga kalimat tawalla yang
terdapat dalam ayat berikutnya, yang diartikan wilayah Allah SWT, Rasulullah SAW dan wilayah imam Ali dan anak keturunannya.49[49] Selain kata al-wilayah, kata yang dihubungkan dengan kedudukan Imam Ali dalam Al-Qur’an adalah kata Al-Amanat. Imam Khomeini dalam buku AlHukumat Al-Islamiyah menyatakan bahwa makna kata Al-Amanat dalam surat An-Nisaa ayat 58 ialah Al-Imamah kepada amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.50[50] Demikian implikasi konsepsi Imamah terhadap Al-Qur’an. Selain itu, dalam periwayatan hadits, Syi’ah mengklaim bahwa para imam mempunyai otoritas untuk membuat syariat (sunnah). Sebab perkataan imam bukan merupakan ijtihad, akan tetapi menjadi sumber hukum. Terkait dengan kajian sanad, para ulama Syi’ah menentukan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sebagai seorang periwayat hadis untuk dapat diterima riwayatnya. Di antaranya adalah: 1) sanadnya bersambung kepada imam ma’sum tanpa terputus, 2) seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Imamiyah dalam semua tingkatan, dan 3) seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil, dlabit.51[51] Dengan demikian, hadis sahih menurut Syi’ah adalah, hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum. Pengaruh Imamah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Syi’ah Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.52[52] Berdasarkan pada
49[49] Muhammad Husein Ath-Thabathabai, Tafsir Al-Mizan,(Al-Maktabah ‘Amah, Tanpa Tahun), hal: 1/34.
Al-
50[50] Pernyataan Imam Khomeini sebagai berikut : ÇÎÑÈ. . . .¨bÎ)©!$#öNä.ã ãBù‘t br&(#r
xsè?ÏM»uZ»tBF{$## n<Î)$ygÎ=÷dr&
(\&S@X @&)" ):C&'C* ( A#!C# !*) #& ' X ىa#& 6 &*W& m+8:)'-'&ىQ .!=) ' & ىa&NC# !!W*) '# ' “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,. . “ (Maka Allah SWT memerintahkan Rasul SAW untuk mengembalikan amanat yaitu Al-Imamah kepada ahlinya –yang berhak menerimanya- dan dia itu adalah Amirul Mukminin –Ali bin Abi Thalib- dan atas dasar itulah Nabi hendaknya menyerahkan kepemimpinan kepada pihak yang sesudahnya dan seterusnya.) 51[51]Abu Zahrah mengutip pendapat Syaikh Hasan Zaynuddin dalam kitabnya Ma’alim al-Din, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung dengan yang ma’sum, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dlabit} pada seluruh tingkatannya. Lihat Muhamad Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.thal), hal: 425-426. 52[52]Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), hal :127.
pengertian di atas, ulama Syi’ah membatasi hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, Ali bin Abi Talib dan Imam dua belas.53[53] Suatu keterangan yang dapat dipetik dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi SAW. Dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam hal kehujjahannya.54[54] Dalam menyikapi para Sahabatpun, sikap Syi’ah bertolak belakang dengan sikap Ahlu Sunnah. Jika Ahlu sunnah memandang pentingnya peran Sahabat dalam menjaga Sunnah Rasul (yang dijadikan pusat dan sumber syari’at Islam), namun mayoritas Syi’ah 12 Imam memandang para Sahabat dengan pandangan negatif. Sebagaimana termaktub dalam kitab Al-Kaafi, kitab hadits Syi’ah imamiyah Itsna ‘Asyariyah seperti shahih Bukhari untuk Ahlu as-Sunnah, akan ditemukan hadist-hadist tersebut. Sebagai contoh : “Dari Hinnan, dari bapaknya, dari Abu Ja’far berkata: semua manusia telah murtad sesudah Nabi SAW wafat, kecuali tiga orang, mereka itu adalah Miqdad, Salman, dan Abu Dzar”.55[55] :j&!! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! -B ,!! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! )3 [ ? !! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ; ^* !! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ¨bÎ)tûïÏ%©!$#(#rã xÿx.y ÷èt/öNÎgÏY»yJ Î)¢OèO(#rß #y ø $## øÿä.`©9 @t6ø)è?ó (90 : )آل عمرانOßgçGt/öqs?y7Í´¯ »s9‘ré&urãNèdtbq 9!$ Ò9$#ÇÒÉÈ Dari Abi Abdillah berkenaan dengan firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekalikali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat”. (QS : Al-Imran 90) Mereka menjadikan ayat tersebut sebagai justifikasi pandangan mereka terhadap Sahabat. Seperti apa yang dijelaskan oleh Abu Abdillah bahwa ayatayat di atas turun berkaitan dengan orang-orang tertentu (Abu Bakar, Umar dan Utsman). Mereka pertama kali beriman dengan membai’at Amirul Mukminin (Imam Ali r.a), namun kemudian kafir –mengingkarinya- setelah Rasulullah wafat. Ketika itu mereka tidak lagi berbai’at, kemudian mereka bertambah kufur.56[56] Dalam riwayat lain Abu Abdillah berkata: “Ayat di atas turun untuk orang ini, orang ini, dan orang ini (Al-Kaafi sengaja merahasiakan nama-nama 53[53]Jelas definisi ini berbeda dengan definisi hadis dari kalanggan sunni yang hanya menyandarkan segala hal yang bersumber dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Menurut Thabathaba’i, sekalipun hadis itu disandarkan kepada Nabi SAW dan Imam, namun keduanya dibedakan dengan jelas, yang keduanya merupakan satu himpunan tunggal. Thabathabai, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Grafiti Press, 1989), hal: 278. 54[54]Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq…, hlm. 317.
55[55]
3 C-$ * ,! ! @* & O!# # 4c!MM N{ a O N!: ,! #? N!H K N ! - !@ &! ! # N N !B% : 2&! . % ` ) #!@* # & : %# 56[56]Lihat Al-Kaafi, 1/488
mereka). Mereka telah murtad, tidak beriman kepada ke-wilayahan Imam Ali (Amirul Mukminin). Masih banyak lagi hadist-hadist Syi’ah yang memurtadkan dan mengkafirkan para Sahabat, khususnya Khulafaur Rasyidin. Hal ini tentu saja bertentangan dengan firman Allah yang memuji mereka yaitu para Sahabat, baik Muhajirin maupun Anshar (QS Al-Hasyr 8-10). Bahkan Rasulullah SAW-pun memerintahkan kepada umatnya agar berpegang teguh kepada sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Rasulullah SAW mengecam atau melaknat orang yang mencaci para Sahabat, apalagi mengkafirkan dan memurtadkan mereka. Nabi bersabda: (wx /%) O <#C+. ? # - : )#) # !( & b H * ) !K;Z# &! N O# #!*% ` a “Apabila engkau melihat orang mencaci maki sahabat-sahabatku, maka katakanlah kepada mereka: Tidak, Allah melaknati kejahatan kalian.” (HR. Tirmidzi). Secara implisit, konsep Imamah juga memiliki implikasi terhadap cara pandang negatif terhadap para Sahabat, karena jika imam Ali merupakan imam yang sah berdasarkan nash wa-l-washiyyah, maka naiknya Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan disebabkan karena mereka telah berhasil merebut atau mengkudeta hak imam yang sah. Sosok pribadi yang demikian beserta semua orang yang mendukung mereka tentu saja tidak bisa dipercaya, apalagi dalam meriwayatkan hadits-hadits Rasul SAW.57[57] Oleh karena itu, seluruh hadits yang diriwayatkan dari jalur mereka tidak bisa diterima. Dengan mempersempit periwayatan yang datang melewati jalur para Sahabat, tentu saja membuka peluang periwayatan hadits yang bersumber dari para imam melewati periwayatan Syi’ah, yang tentu akan memunculkan ribuan bahkan puluhan ribu hadits palsu yang dinisbatkan kepada para imam tanpa terseleksi. Hal ini tentu akan berdampak dengan masuknya ajaran dan nilai yang tidak orisinil ke dalam struktur keilmuan Islam. Dapat disimpulkan bahwa dalam penerimaan dan penetapan hukum syari’at (Sunnah), Syi’ah lebih mengedepankan imam mereka. Dalam masalah fiqh, mereka juga merujuk kepada para imam yang mereka anggap ma’shum. Sehingga, dalam penggunaan dalil-dalil fiqih, mereka memilih hanya menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait saja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengaruh konsepsi Imamah ini mendominasi hampir keseluruhan konsepsi fiqh Ja’fari. Salah satu contohnya adalah kewajiban shalat Jum’at, yang menurut pandangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah hukumnya sangat terkait dengan dengan Imam, bagi sebagian ulama mereka hukumnya adalah haram sebelum munculnya Imam Mahdi, sebagian lagi ada yang menghukumi wajib takhyir, artinya harus memilih antara shalat dzuhur atau Jum’at, dan wajib bagi sebagian lainnya.58[58]
57[57] Lihat O. Hashem, Saqifah Suksesi sepeninggal Rasulullah SAW awal perselisihan umat, (Depok: Yapi, 1989), hal:330 58[58] Ali Ahmad As Salus, Ma’a Asy-Syi’ah Al-Itsna Al-Asy’ariyah fi Al-Ushul wa Al-Furu’, (Qatar: Daar Al-Fatwa, 1997),hal: 4/135.
Dalam masalah adzanpun, Syi’ah menambahkan syahadah ketiga “asyhadu anna aliyyan waliyyullah” dan juga mengganti “assholatu khairun minan-naum” dengan “hayya ‘ala khoiri-l-‘amal”. Dan selama masa ghaibah kubro, shalat lima waktu dapat dijama’ kedalam tiga waktu saja.59[59] Inilah implikasi imamah yang sangat terasa terhadap kajian fiqh, dan tentu saja amat berbeda dengan konsep fiqh Ahlu Sunnah. Dan perbedaan yang paling utama adalah masalah menghalalkan nikah mut’ah karena Ahlussunnah seluruhnya sepakat bahwa nikah mut’ah itu haram dan tidak ada bedanya dengan zina. Implikasi lainnya ialah dengan dimasukkannya Imamah dalam bagian keimanan (aqidah) yang harus diyakini kebenarannya. Bukan hanya itu saja, namun ia juga dijadikan dasar konstitusi Negara. Dasar-dasar Iman menurut Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyahadalah:
1. Percaya kepada ke-Esaan Allah (Tauhid) Adalah yakin dan percaya akan wujudnya pencipta alam semesta, dengan sifatnya yang Tsubutiyah (positif) dan Salbiyah (negatif). Dan bahwa Allah itu Maha Esa tiada sekutu bagiNya. 2. Percaya kepada keadilan ( Al-‘Adl) Adalah yakin dan percaya bahwa Allah itu berlaku adil dan tidak melakukan hal-hal yang buruk, seperti berbuat zalim; dan Dia juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib Dia lakukan, seperti bersikap Lutf (memberi petunjuk dan melindungi hambaNya) dengan mengutus para Nabi. 3. Percaya kepada Kenabian (An-nubuwwah) Adalah yakin dan percaya bahwa Allah swt dengan Lutf-Nya telah mengutus para nabi untuk memberi petunjuk dan membimbing manusia ke jalan yang benar. Yang pertama adalah Nabi Adam as.dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW yang diutus dengan syariat agama Islam; agama yang sempurna dan terbaik yang menjamin manusia suatu kehidupan yang bahagia. 4. Percaya kepada Imamah (Al-Imamah) Adalah yakin dan percaya bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan penggantinya yang dapat meneruskan tugasnya yang mulia atas perintah Allah SWT, baik dalam
59[59] Lihat Ma’a Asy-Syi’ah. . ., hal:115
urusan agama, masyarakat, dunia maupun akhirat. Pengganti yang dikatakan imam tersebut berjumlah dua belas orang. 5. Percaya kepada Ma’ad / hari Kiamat (Al-Ma’ad) Adalah yakin dan percaya bahwa Allah SWT akan membangkitkan semua manusia untuk hidup kembali seperti sedia kala, demi mempertanggung jawabkan amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Kemudian mereka akan diberikan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya itu, dengan syurga ataupun neraka. Oleh karena masalah kepemimpinan umat ini dipandang sebagai urusan ‘aqidah, maka sudah barang tentu iapun menghasilkan konsekuensi-konsekuensi dalam hal ‘aqidah Syi’ah. Sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Raj’ah Telah disebutkan di atas bahwa dari sisi aqidah, mazhab ini mengakui keimaman 12 orang dan mereka semua itu dianggap sebagai ma’shum. Imam yang pertama adalah imam Abul Hasan Ali Al-Mutadha, sedangkan yang terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi Al-Hujjah, yang kini masih belum menampakkan diri, dan diyakini oleh orang-orang syi’ah sedang bersembunyi di Sirdab dan akan muncul di akhir zaman kelak. Oleh karena itu, orang Syi’ah membuat konsepsi tentang Raj’ah, sebagaimana dikatakan oleh Al Mufid : “Telah sepakat mazhab Imamiyah atas wajibnya terjadi Raj’ah di kebanyakan dari para orang yang telah mati”60[60]. Yang mereka maksudkan dengan Raj’ah ini adalah bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim pada akhir zaman, ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuh politiknya, dan mengembalikan kepada syiah hak-hak mereka yang dirampas oleh kelompok-kelompok lain sepanjang masa (yang telah berlalu). Pernyataan ini diperkuat oleh sayid Al Murtadho di dalam kitabnya Al Masail An Nashiriyah yang menyatakan bahwa sesungguhnya Abu Bakar dan Umar disalib pada saat itu di atas suatu pohon di zaman Al Mahdi -yakni imam mereka yang kedua belas- yang mereka beri nama Qaaim Ali Muhammad (penegak keluarga Muhammad), dan pohon itu pertamanya basah sebelum penyaliban, lalu menjadi kering setelahnya.61[61] Kemudian pemahaman Raj’ah ini berkembang, dengan mengatakan keimamahan Ali bin abi Thalib hingga Ibnu Al-Hasan Al-Askari akan kembali lagi setelah kematiannya.62[62] Demikian pendapat mereka mengenai raj’ah (reinkarnasi). Dari pernyataan mereka, maka dapat disimpulkan bagaimana sikap Syi’ah yang
60[60]Al Mufiid , Awaailul Maqaalaat, (Beirut: Daru-l-Mufiid, cet.II, 1993), Hal : 78 61[61]Muhibbudin Al Khatiib, Al Khuthuthul ‘Ariidhahli-l-usus allati qoma’alaiha dinu-s-syi’ah al-imamiyah,(Punjab: 2009), hal: 57 62[62]Ihsan Ilahi Zhahir, Asy-syi’ah wa As-Sunnah, (Lahore: Idarah Tarjuman AsSunnah,cet.III, 1396 H), hal:81
berlebihan (al-ghuluw) dalam memandang para imam mereka. Memang di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang adanya kebangkitan setelah kematian kelak,63[63] namun itu tidak hanya berlaku kepada beberapa orang saja, akan tetapi berlaku kepada seluruh umat manusia karena untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka di dunia.64[64] Dan barangsiapa mengingkarinya, mereka dapat dikatakan kafir.65[65]
Bada’ Keyakinan Syi’ah tentang Imamah memiliki dampak yang signifikan terhadap ajaran mereka. Terutama munculnya konsepsi tentang Al-Bada’, yaitu bahwa Allah pernah terlupa dan tersalah.66[66]Atau Allah memiliki sifat tidak mengetahui.67[67] Al-Kulaini, pakar hadits Syi’ah, membuat bab khusus di bukunya Al-Kaafi, dengan judul Al-Bada’. Di bab tersebut, Al-Kulaini meriwayatkan sejumlah riwayat dari para imamnya, yang mereka anggap ma’shum. Di antaranya sebagai berikut: Diriwayatkan oleh Ar-Ridla, Ali bin Musa –imam ma’shum kedelapan menurut Syi’ah-, yang berkata, “Allah tidak mengutus seorang Nabipun, melainkan mengharamkan minuman keras dan mengakui Allah mengalami albada’.” Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah.68[68] Sedang pengertian al-bada’ dijelaskan dalam riwayat lain, yang diriwayatkan dari Abu hasyim Al-Ja’fari, yang berkata, “Aku berada di rumah Abu Hasan alaihi-s-salam, setelah kematian anaknya, Abu ja’far. Aku samasekali tidak punya pikiran. Aku ingin bertanya bahwa keduanya, maksudnya Abu Ja’far dan Abu Muhammad, pada saat sekarang itu seperti Abu-l-Hasan Musa dan Ismail bin Ja’far bin Muhammad dan kisah keduanya persis seperti kisah Abu-l-Hasan Musa dan Ismail bin Ja’far bin Muhammad, karena Abu Muhammad adalah sumber harapan setelah Abu Ja’far. Abu-l-Hasan mendekat kepadaku, lalu berkata sebelum aku bicara, “Ya, wahai Abu Hasyim, Allah mengalami al-bada’ (lupa dan tidak tahu) terhadap Abu Muhammad setelah Abu Ja’far, sebagaimana ia mengalami al-bada’ terhadap Musa setelah kepergian Ismail. Allah itu seperti apa
63[63] Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat-surat berikut: QS. Al Mu`minuun 16, QS.An Naazi`iat 6, QS. Al Muthaffifin 4, QS. Al A`raaf 25, QS.An Naml 65. 64[64]Lihat QS. Al Qiyaamah 14, QS. An Nuur 24, QS. Fushshilat 20-21 65[65] QS. Al Mu`minuun 37 dan QS. Ad Dukhaan 35 66[66] Ihsan Ilahi Zhahir, Asy-Syi’ah . . . ., hal:41 67[67] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Asy-Syi’ah fil Mizan, (Syabakah Lil Imamiyyin Al-Husanain), hal:39 68[68]Lihat Al-kaafi, Kitab At-tauhid, hal:106
yang dikatakan jiwamu, kendati orang-orang batil tidak menyukainya. Dan, anakku, Abu Muhammad, adalah pengganti sesudahnya dan ia mempunyai ilmu tentang sesuatu yang ia butuhkan dan alat imamah”.69[69] Riwayat-riwayat di atas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan albada’ ialah ilmu yang sebelumnya tidak diketahui Allah SWT. Itulah keyakinan Syi’ah terhadap Allah, padahal Allah SWT telah berfirman mengenai Dzat-Nya sendiri. “Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah” (QS.An-Naml 65). Taqiyyah Selanjutnya, implikasi dari konsep Imamah melahirkan konsep taqiyah. Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama kontemporer mereka, yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu”.70[70] Konsepsi tentang taqiyah ini mereka yakini sebagai agama nenek moyang mereka. Bahkan barangsiapa tidak bertaqiyah, ia tidak mempunyai iman.71[71] Al-kulayni juga mempertegas lagi di dalam sebuah riwayat bahwa sesungguhnya point kesembilan dari sepuluh point agama ialah taqiyah dan orang yang tidak bertaqiyah itu tidak memiliki agama”.72[72] Lebih dari itu, al-kulaini meriwayatkan dari Abu Bashir yang berkata,”Abu Abdullah berkata, At-taqiyah termasuk agama Allah, Aku berkata, ”Apa, termasuk agama Allah? Abu Abdullah berkata, ”Demi Allah, taqiyah termasuk agama Allah”. Senada dengan pernyataan Ibnu Babawaih Al-Qummi, menurutnya taqiyah hukumnya adalah wajib, barangsiapa meninggalkannya seperti halnya meninggalkan shalat.73[73] AlQummi pun memperjelas pernyataannya dengan mengatakan bahwa taqiyah itu wajib sampai munculnya Al-Qaaim (imam yang menghilang), siapa yang melanggarnya sebelum munculnya imam itu maka berarti ia sudah keluar dari agama Allah, juga keluar dari Al-imamiyah. Berarti menentang Allah, rasul dan para imam). Muhammad Al-Jawad Al-Mughniyah juga menyatakan hal serupa bahwa taqiyah dapat dilakukan hingga datangnya hari kiamat.74[74] Padahal Allah telah berfirman dalam Surat Al-Hijr 94: ”Maka sampaikan olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Dan Rasulullah SAW pun melarang kebohongan (dusta) sekaligus mengecamnya dan menyuruh jujur, seperti riwayat Al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut: ”Hendaklah kalian jujur (tidak bohong), karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Jika seseorang senantiasa jujur dan memiliki sifat jujur, ia ditulis di sisi Allah
69[69]Lihat Ushulul-kaafi, hal:241 70[70] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Asy-Syi’ah . . . , hal:48 71[71] Al-Kaafi, Bab “At-Taqiyah”, hal:2/219 72[72] Lihat Al-Kaafi, hal:2/217 73[73] Ibnu babawaih al-qummi, al-I’tiqadat, hal.107
74[74] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Asy-Syi’ah fil . . . , hal:34
sebagai orang jujur. Tinggalkanlah kebohongan, karena kebohongan membawa kepada keburukan dan keburukan membawa ke neraka. Jika seseorang senantiasa berbohong dan memiliki sifat bohong, ia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong”
PENUTUP Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa argumentasi tentang Imamah tidak terlepas dari bantahan yang menjadikannya sangat rapuh. Adapun mengenai kedudukan Imamah dari perspektif Syi’ah, amat kental dengan nuansa al-ghuluw (ekstrim) terhadap para imam mereka. Segala sesuatu jika dibangun di atas kerapuhan tanpa adanya dasar yang kuat, pastilah rapuh. Meskipun konsep Imamah yang telah mengimplikasi hampir seluruh aqidah dan ajaran Syi’ah (seperti pandangan terhadap AlQur’an dan penafsirannya, Sunnah dan pemahamannya, sikap mereka terhadap Sahabat, serta munculnya konsep-konsep lain seperti taqiyah, raj’ah dan al-bada), namun argumentasi mereka sebenarnya tidaklah begitu kuat. Oleh karena itu, Imam Khomeini mengubah konsep Imamah dengan konsep tentang wilayah faqih pascarevolusi Iran pada tahun 1979, yang sebenarnya hal tersebut merupakan bukti bahwa tidak ampuh atau lemahnya konsep Imamah yang selalu mereka propagandakan untuk dijadikan sebuah konsep negara. Demikian paparan tentang konsep Imamah Syi’ah Itsna As’ariyah, sehingga kita bisa memahami apa dan bagaimana konsep tersebut dan mampu menumbuhkan sikap kritis. Kritis terhadap Syi’ah bukan berarti menanamkan sikap sentimen dan permusuhan. Akan tetapi kritis, berarti melakukan pembacaan secara proporsional terhadap syi’ah, baik terhadap aqidah, ideologi, ajaran maupun praktik riil keagamaan mereka yang belakangan mulai banyak disebarkan. Apapun kesimpulan yang bisa kita ambil dari sebuah pembacaan kembali terhadap suatu konsep maka sebenarnya semuanya hanya akan kembali pada satu kebenaran hakiki yaitu Allah itu sendiri. Jadilah segala konsep yang dibuat oleh manusia pasti tidak akan bisa menyamai konsep yang dibuat oleh Allah. Seperti halnya kaum Syi’ah yang mencoba menganalogikan konsep nubuwah Allah dengan konsep imamah meraka. Wa Allah A’lam. DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim Abdul Karim Ali Najf, Al-Imamah Al-Itsna ‘Asyariyah, (Markaz AtThiba’ah wa An-Nasyr lil Majma’ Al-‘alamiy Liahli-l-Bait, 1426) Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat alfalsafah, (Mesir: Maktabah Al-Madbuly, 2000) Ali Ibrahim Hasan, Ath-Tarikh Al-Islamiy Al-‘Am, (Kuwait: Maktabah Al-Falah, 1977) Abu Hasan al-Asy’ari, Maqaalaatul-Islamiyyin wakhtilafi-l-mushallin, (Kairo: Haiah al-‘Amah liqushur ats-tsaqafah)
Abi al-Fath Muhammad Abdu al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut, Darul Fikri) Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo: Nahdlatul Misriyah,cet.X, 1965)
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997)
___________, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, cet.I, 1997) _____________, Ma’a Asy-Syi’ah Al-Itsna Al-’Asyariyah fi AlUshul wa Al-Furu’, (Qatar: Daar Al-Fatwa, jilid IV, 1997) Al Mufiid , Awaailul Maqaalaat, (Beirut: Daru-l-Mufiid, cet.II, 1993) Ihsan Ilahi Zhahir, Asy-syi’ah wa As-Sunnah, (Lahore: Idarah Tarjuman As-Sunnah,cet.III, 1396 H) Ibrahim Amini,Para Pemimpin Teladan, (Jakarta: Al-Huda, 2005) Ibnu Taimiah, Minhajusunnah an Nabawiyyah fii Naqdhi Kalamis-Syiah wal Qadariyah,(Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh al-Haditsah) Ja’far Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imamiyah fi ‘Aqaidihim, (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413) ___________,Ishmah Keterpeliharaan Nabi dari Dosa, (Yayasan As-Sajjad, 1991) KBRI Iran, Iran The Cradle of Civilization, (Jakarta: Fauzimandiri, 2009) Muhammad Husayn Thabathabai, shi’ite islam, (Houston: Free Islamic Literature, 1979) Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, (Beirut: Darul Adhwa, 1999) Muhammad Husayn Thabathabai, shi’ite islam, (Houston, Free Islamic Literature, 1979)
Murtadha Muthahhari,Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta: Lentera, 2002) Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqoid Asy-Syi’ah fil Mizan, pen.Prof.Dr. H.M Rasjidi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1989) Muhammad Ridla al Mudzhar, ‘Aqaid al Imamiyah, (Beirut: Dar ash- Shofwah) Muhammad Baqir Al-Majlisy, Biharu-l-Anwar, (Beirut: Daar Ihya Turats Al-Araby, 1983) Muhammad at-Tijani as-Samawi, Bersama Orang-orang Yang Benar, (Jakarta: Yayasan as-Sajjad, 1997) Munawir Sjadzali,Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993)
Muhammad bin Ya’qub Daaru-l-Murtadha, Murtadha, 2005)
Al Al-Kulainy,
Ushulu-l-Kaafi, Kaafi,
(Beirut:
Muhammad Husein Hus Ath-Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, Mizan, jilid 1,AlMaktabah Al-‘Amah) ‘Amah) Muhamad Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu (Beirut: Dar al-Fikr, Fikr, t.thal
Muhibbudin Al Khatiib, Al Khuthuthul ‘Ariidhahli-l-usus ‘Ariidhahli allati qoma’alaiha dinu-s-syi’ah dinu al-imamiyah,(Punjab: ,(Punjab: 2009) 2009 Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Al Imamiyyin Al-Husanain) Husanain)
Asy-Syi’ah Syi’ah
fil
Mizan,
(Syabakah
Lil
Najafi, Ghader-E-Khum, Khum, (Teheran: A Group of Muslim Brothers)
O. Hashem, Saqifah Suksesi sepeninggal Rasulullah SAW awal perselisihan umat, umat (Depok: Yapi, 1989) Said Ismail, Haqiqatu-l-khilaf khilaf baina Ulama Asy-Syiah Asy wa Jumhuru-l-Muslimin, Muslimin, (Carbondale: A.Muslim Group, cet.III, 1985) Syaikh Ahmad Mustafa Al-Farran, Al Tafsir al-Imam Imam asy-Syafi’i, asy (Riyadh: Dar At-tadmuriyyah, At 2006) Taufik Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
Category: Fikih dan Syariah
Related posts: 1. 2. 3. 4.
“Sunni-Syiah Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/ahlul-bait-syiah-atau-ahlussunnah/
Ahlul Bait, Syiah atau Ahlussunnah? 09/09/2012 | By admin | Reply
Jalal menerangkan, bahwa penyebar agama Islam di Indonesia dari Hadramaut itu bermadzhab Syiah tapi bertaqiyah. “Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan bertaqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut madzhab Syafi’I,” terang ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) ini (tempo.com 3/10/2012). Namun, teori bahwa muballigh yang datang ke Indonesia itu Syiah yang ber-taqiyah, itu telah lama dibantah sejarawan dari Bani Alawiyin, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad, dan beberapa ulama’ dari kalangan habaib. Alwi al-Haddad, yang pernah menjabat mufti Johor Malaysia, menerangkan dalam bukunya ‘Uqudul Almas bahwa kaum Alawiyyin menilai bahwa Syiah adalah paham sesat. Pakar filsafat sejarah, Syed Naquib al-Attas menampik bahwa Islam di Nusantara dibawa kaum Syiah. Dalam bukunya Historical Fact and Fiction, al-Attas menyodorkan butktibukti dari penulis Muslim -baik klasik maupun kontemporer- bahwa Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para dai-dai Ahlussunnah yang diutus secara resmi oleh penguasa di tanah Arab. Mereka, bukanlah pedagang atau kaum Sufi. Dalam catatan-catatan otoritatif sejarah, memang telah ditulis bahwa habaib dari nenek moyang mereka di Hadramaut sampai sekarang di Indonesia mayoritas justru antiSyiah. Organisasi al-Rabithah al-Alawiyyah Indonesia (organisasi yang menghimpun keturunan bani Sadah Alawiyah keturunan Sayyidina Husein bin Ali) pernah mengeluarkan maklumat bahwa Rabithah bermadzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menolak ajaran caci maki Sahabat (Syiah). Kaum Alawiyyin adalah anak keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Ali bin Abi Thalib RA dengan Fathimah RA. Mereka biasa disebut sayyid, asyraf, atau di Indonesia dipanggil habaib. Leluhur bani ‘Alawi yang bernama Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir berasal dari Irak merupakan leluhur yang sangat masyhur dalam sejarah keturunan bani Alawi. Sayyid al-Muhajir berjasa menyelamatkan keturunannya dari serangan isu dan fitnah pengikut Syiah di Irak, dengan cara berhijrah ke Hadramaut, Yaman. Dalam buku Jalan Lurus Sekilas Pandang Tariqah Bani Alawi, Novel Alaydrus mengutip buku al-Barqah menulis alasan Sayyid al-Muhajir hijrah ke Yaman: “Berkat hijrah beliau (al-Muhajir ke Hadramaut) kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid’ah, (Ahlussunnah) dan pengikutnya. Berkat hijrah kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan itu melanda sebagian asyraf yang berada di Irak”
selamatlah anak cucu beliau dari penentangan terhadap Sunnah tersebut, mereka selamat dari Syiah yang sangat buruk yang saat
Fitnah pengikut Syiah terhadap keturunan Alawiyyin di Irak yang terjadi pada pertengahan abad ke-10 M mendorong kaum Alawyyin hijrah agar anak keturunannya tidak tersangkut fitnah Syiah, yang memakai ‘topeng’ madzhab Ahlul Bait. Kaum Alawiyyin dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaannya. Maka, apapun rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan. Mereka kaum pemberani dalam menghadapi tantangan, tapi lembut dan low profile terhadap sesama saudara dan ikhwan seagama. Sikap pura-pura (taqiyah) bukan karakter pribadi kaum Alawiyyin. Sayyid al-Muhajir hingga akhir hayatnya di Hadramaut mendidik keturunannya dengan akidah Ahlussunnah dengan madzhab Syafi’i. Sejumlah data-data sejarah yang ditulis sendiri oleh para pendahulu Alawyyin menunjukkan secara tegas bahwa mereka berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ali bin Abu Bakar al-Sakran, tokoh terkemuka dari Bani Alawiyyin, menulis: “Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim adalah asyraf Sunni” (al-Barqah al-Masyiqah, hal. 133). Seorang ulama’ terkemukannya bernama Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Tasbitul Fuad I/227 cukup tegas lugas menolak akidah Syiah. Ia menyebut Syiah sebagai golongan orang-orang ahli batil. Dalam segala hal pendapat-pendapat mereka (Syiah) tidak dapat diambil. Habib al-Haddad di kalangan bani Alawiyyin dan Nadhliyyin sangat terkenal dengan dzikirnya yang disebut dzikir ratib al-Haddad. Dzikir ini memiliki sejarah penting dalam pembentengan kaum Alawiyyin dari dakwah Syiah. Syekh Abdullah Ba Saudan menerangkan latar belakang disusunnya dzikir ratib ini: “Ketahuilah bahwa penyusun ratib al-Haddad ini dimulai pada tahun 1971 H dan disusun disebabkan setelah para pemuka-pemuka Hadramaut mendengar berita bahwa banyak dari pengikut Syiah Zaidiyah masuk Hadramaut. Mendengar hal itu, para pemuka Hadramaut meminta kepada Habib Abdullah al-Haddad agar mengumpulkan dzikir-dzikir dari Rasulullah (SAW) sebagai benteng bagi masyarakat Hadramaut agar tidak terpengaruh akidah Syiah tersebut, lebih-lebih bagi masyarakt awam”. Jadi, terhadap Syiah Zaidiyah-pun bani Alawiyyin sangat mewaspadai. Dan data ini menyodorkan bukti bahwa Bani Alawiyyin berseberangan dengan golongan Syiah manapun, baik Zaidiyah maupun Imamiyah. Dari para asyraf Hadramaut inilah yang menurunkan para dai-dai yang menyebarkan agama Islam ke rantau Melayu-Indonesia. Mereka membawa tradisi-tradisi keagamaan yang diajarkan di negeri Yaman untuk disebarkan kepada masyarakat melayu. Maka, hingga kinipun dijumpai dzikir-dzikir dan ritual yang memiliki kemiripan dengan tradisi di Hadramaut Yaman. Tradisi dan ritual ini murni tradisi kaum Alawiyyin Sunni. Tidak ditemukan data-data sejarah yang valid bahwa mereka yang hijrah ke Melayu adalah Syiah. Adapun teori-teori dari sejarawan Syiah, sifatnya baru spekulatif. Sejumlah ritus yang diklaim seperti tahlilan, membaca yasin, membaca shalawat dan peringatan asyuro, secara geneologis dan ideologis tidak memiliki ketersambungan dengan tradisi kaum Syiah di manapun, baik Zaidiyah di Yaman atapun Imamiyah di
Iran dan n Irak. Justru sebaliknya, ritus-ritus ritus ritus tersebut adalah tradisi turun-temurun turun para anak cucu Sayyid al-Muhajir Muhajir yang Sunni bermadzhab Syafi’i. Para leluhur Ahlul Bait Sayyid al-Muhajir, al Muhajir, seperti Ali Zainal Abidin, Ja’far al-Shodiq, al Muhammad al-Baqir –yang yang ketiganya ketiganya diklaim Syiah sebagai imamnya– imamnya ternyata sangat kuat memegang akidah Ahlussunnah. Serta mencerca kaum Syiah yang menodai kehormatan sahabat Nabi Saw. Ali Zainal Abidin pernah didatangi orang-orang orang orang Syiah. Kaum Syiah tersebut mencela Sahabat Abu Bakar,, Umar dan Usman. Sontak, Ali Zainal Abidin mengusir mereka dan bersumpah bahwa mereka bukan dari golongan yang benar. Muhammad al-Baqir al juga pernah didatangi kaum Syiah seraya mengejek Abu Bakar. Lantas al-Baqir al marah dan mengatakan bahwa mereka tidak akan akan dibenarkan oleh Allah. Ja’far al-Shadiq al pernah mengatakan bahwa orang-orang orang yang tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah tidak akan mendapat syafaat Nabi Muhammad Saw. (Jalan nan Lurus Sekilas Pandan Tariqah bani Alawi, 46). Data-data ini juga ga menjadi bukti bahwa Ahlul Bait Nabi menghormati Sahabat-Sahabat Sahabat Nabi Saw dan mencerca orang-orang orang orang yang mengkiritik apalagi menodai kehormatan mereka. Sehingga, kita dapat membuat kesimpulan bahwa siapakah sesungguhnya pengikut setia dan pecinta Ahlul Bait Bait Nabi Saw dan siapa pula yang mengkhianati keturunan Nabi Saw tersebut? []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Madzhab Ahlul Bait? Tauhid Syiah dan n Ahlussunnah Berbeda Jauh Taqiyah dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah Islamia-Republika Republika Bahas Konsep Ahlul Kitab
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/syiah-kultural-ataukah-sunnah-kultural/
Syi’ah Kultural Ataukah Sunnah Kultural? 30/12/2011 | By admin | Reply Oleh Prof. Dr. Mohammad Baharun, S.H. M.A.* Isu keumatan yang kian marak mengenai kontroversi Sunnah-Syi’ah agaknya masih tetap menarik untuk dibahas. Pro-kontra terhadap isu adanya ‘Syi’ah kultural’ pun ikut menyemarakkan media, menambah khazanah ke perpustakaan umat. Membahas soal Syi’ah dengan mengenyampingkan litelatur mereka (terutama rujukan utamanya), jelas tidaklah proporsional. Terlebih jika didasarkan pengamatan yang parsial, tak jarang akan menghasilkan hipotesis yang menyimpang. Upaya seperti itu (klaim Syi’ah kultural dengan tidak mempertautkan ajaran asalnya) akan menghasilkan simpulan yang gegabah dan spekulatif. Hingga tidak mustahil dapat mengaburkan inti permasalahannya secara substansial. Pertama, perlu ada penegasan terlebih dahulu mengenai definisi Syi’ah dalam konteks ini, agar tidak mengaburkan pemahaman terhadap topik yang dibidik. Secara etimologis, Syi’ah memang bermakna pengikut. Dalam isu yang sudah meluas, Syi’ah yang dimaksud tentu saja bukan Syi’ah yang lain, kecuali Syiah Itsna Asyariyah (Dua belas imam) – sekte yang berkembang saat ini di Iran. Syi’ah ini termasuk yang mudah didekati kepustakaannya dibanding Syi’ah Sab’iyah (Tujuh imam) atau Syi’ah Isma’iliyah, misalnya. Yang disebut terakhir malah tampak begitu eksklusif (berkembang di India). Menurut kitab Mukhtashar at-Tuhfah Itsna ‘Asyariyah (ad-Dahlawi), Syi’ah Itsna Asyariyah termasuk kategori Syi’ah Ghulat (ekstrim). Karena dalam litelatur mereka mengenyampingkan otentisitas al-Qur’an, mendiskualifikasi semua sahabat dan para istri Nabi SAW (dengan memurtadkannya), dan meyakini imamah adalah hak mutlak Ahlul Bait berdasarkan nash Ilahi dan wasiat Nabi SAW. Barangsiapa tidak mengimaninya, maka mereka telah kafir. Inilah antara lain pokok-pokok prinsipil doktrin Syi’ah Imamiyah yang dianut mayoritas penduduk Iran sekarang ini. Di Indonesia, pengaruh Syi’ah yang dibawa dari Iran melalui suplai informasi secara besar-besaran, jelas berpengaruh pada kemapanan Ahlussunnah. Dengan membonceng sukses Revolusi, distribusi buku-buku Syi’ah yang diterjemahkan secara sistematis dan intensif sulit dihindari. Sebelum itu sangat terbatas litelatur mengenai Syi’ah yang dapat dikaji di kepustakaan kita. Dengan semangat propaganda yang optimal, buku-buku memang mudah tersebar. Kecenderungan buku-buku yang menarik itu merongrong keyakinan prinsip Ahlussunnah dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan musykil sekitar teologi kita – yang siapapun tahu, bahwa keyakinan itu dipeluk mayoritas umat di negeri ini. Dan begitu lama reaksi yang muncul atas berbagai rongrongan terhadap keyakinan teologi Ahlussunnah ini, memang terasa sekali seperti mewakili sifat spesifik rata-rata penganut teologi dan manhaj fikri tersebut, yakni menampakkan sikap moderat dan penuh toleransi. Namun setelah rongrongan dan hujatan itu dipandang telah menukik jauh dan melampau batas kesopanan dan etika Islam, maka sikap reaktif pun kian menampakkan diri di mana-mana, dipelopori oleh santri pondok. Dan polemik sekitar dikotomi Sunnah-Syi’ah seperti memasuki babak baru. Kritik atas Syi’ah melalui litelatur dan referensi standar sendiri mulai disemarakkan. Terutama sekarang dilakukan oleh para kiai muda NU di pondokpondok yang sudah memiliki litelatur standar mereka seperti al-Kafi, al-Istibshar, at-Tahdzib dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih (Kitab empat) dan buku-buku teologi dan fiki karya ulama’ Syi’ah sendiri yang didapat dari Iran. Oleh karena itu, ungkapan KH. Abdurrahman Wahid bahwa “NU itu lebih Syi’ah dari Syi’ah di Iran”, haruslah diartikan bahwa memang keduanya sama-sama menghormat Ahlul Bait Nabi. Bahkan Nahdhiyin tidak pernah membeda-bedakan para imam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah: ada yang meyakini 7 dan ada pula yang 12 imam. Menurut hemat saya, Ahlussunnah yang jadi akar keyakinan NU, sejak awal amat apresiatif
terhadap seluruh imam Ahlul Bait (keluarga besar Rasulullah SAW) tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya. Sementara itu di sisi lain, adalah kenyataan yang tak mungkin bisa dimungkiri bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah ini adalah bukan perbedaan furu’ (incidental) belaka. Oleh karena itu kritik terhadap Syi’ah lantas jangan secara gegabah langsung diputus secara apriori. Justru sebaliknya, Ahlussunnah-lah yang selama ini mula-mula dikritik Syi’ah dari berbagai sudut, sementara kita tidak pernah merasa alergi atas kritik gencar yang dilontarkan secara bertubi-tubi. Malah sebagaian merasa terangsang untuk ambil bagian dalam polemik kontroversial Sunnah versus Syi’ah ini. Maka jelas hal itu harus diartikan sebagai fenomena yang manarik dalam umat: adanya dinamika dalam mencari kebenaran ilmiah. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dijelaskan 1.
Harap dibedakan antara pengaruh Persia dengan pengaruh Syi’ah. Sebab Persia tidaklah selalu identik dengan Syi’ah. Karena itu asumsi yang menyebutkan bahwa ada pengaruh tulisan Persia (Farisi) dalam kitab-kitab pelajaran agama di Pesantren adalah spekulatif. Dalam seni khat Islam memang dikenal tulisan model Farisi (Persia), tapi itu tidak identik dengan Syi’ah. Berkembangnya kesenian ini di zaman Abbasiyah, sedang Iran kala itu di bawah perlindungan Abbasiyah (notabene mayoritas Sunni. Sama seperti kalau ada di antara muslim Indonesia yang menggunakan sajadah produksi Iran, apakah secara kultural muslim Indonesia dapat diklaim sebagai termasuk Syi’ah? Tentu tidak.
2.
Disebut pula, bahwa berkembangnya cara orang mengaji yang menggunakan bahasa Persia untuk menyebut tanda-tanda harakat. Katakanlah asumsi itu akurat, tapi sekali lagi Persia tidak identik dengan Syi’ah. Syi’ah mulai mutlak dipeluk warga Iran sejak berkuasanya Dinasti Shafawi. Jadi hipotesis yang mengaitkan pertautan kultural ini dengan Syi’ah harus dipertanyakan kesahihannya.
3.
Peringatan Tabut Hasan-Husein dan Rabu Wekasan bukanlah tradisi yang ada di dalam ajaran yang bersumber dari Islam. Upacara Hasan-Husein, misalnya, ini adalah belasungkawa yang dilembagakan untuk mengenang (haul) wafatnya cucunda kinasih Nabi SAW. Upacara yang ada di Indonesia dengan yang (asli) di Iran (setelah Syi’ah dominan) jelas berbeda. Tabut Hasan-Husein di Indonesia diselenggarakan semacam kenduri biasa, bahkan jadi objek wisata. Sementara upacara di Iran tampak amat berbeda. Para pemuda memukul-mukulkan senjata tajam ke tubuhnya sendiri sampai tidak sadarkan diri (sesuatu yang tidak pernah dijumpai di Indonesia, bahkan bertentangan secara diametral dengan upacara di sini). Kalau sumbernya sama, mestinya ada kesamaan dalam penjiwaan upacaranya.
4.
Digunakannya beragam kitab Syi’ah (Zaidiyah) seperti Nail al-Authar dan lain-lain itu di pesantren-pesantren di sini sejak awal sampai kini, karena kitab-kitab tersebut memang relevan dan tidak bertentangan dengan kitabkitab Ahlussunnah. Dan tradisi tahlil, talqin serta haul yang berkembang, sebenarnya bersumber dari para habaib atau Alawiyyin dari Hadramaut yang berpaham Sunni. Menurut Adwar al-Tarikh al-Hadhrami (kitab referensi sejarah yang paling standar) oleh Habib Ahmad al-Syatiri, disebutkan bahwa cikal-bakal habaib (jamak dari habib) di Hadhramaut adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, seorang pemeluk Sunni. Mengapa alMuhajir (yang berhijrah)? Karena ia menghindar dari chaos politik di Kufah yang diakibatkan fitnah Syi’ah. Tradisi tahlil, talqin, haul dan lain-lain itu bersumber dari ulama’ habaib Hadhramaut.
5.
Mengenai wayang krucil yang melukiskan tokoh Omar Madi dan Omar Dhani sebagai gambaran dalam bentuk sangat jelek, barangkali ini pengaruh sastra Persia pasca Syi’ah. Sebab Syi’ah Itsna Asyariyah ini memang telah mendiskualifikasi Sayyidinia Umar bin al-Khattab sebagai tokoh buruk. Ini bertentangan dengan tradisi umat Islam di mana-mana yang suka memberi nama putra-putranya dengan nama Umar atau Omar, karena mereka mengidolakannya, tentu nama-nama itu tidak membumi di nusantara ini. Bahkan tokoh-tokoh tasawwuf Hadhramaut (asal cikal-bakal pelopor Islam ke Indonesia) banyak sekali yang bernama Umar, juga Abu Bakar dan Utsman – nama-nama yang dikafirkan oleh Syi’ah. Tetapi mereka menjadi idola umat Islam, terutama strata arus bawah.
6.
Menghormati Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah tradisi Ahlussunnah yang sudah berakar. Karena itu, maka pembacaan mauled diba’ hanya populer di kalangan Ahlussunnah. Diba’ di Iran tidak dibaca seperti di sini. Menghormati Ahlul Bait, sekali lagi, tidak identik dengan Syi’ah. Maka apresiasi sebagaimana ghalibnya kepada Ahlul Bait bukanlah Syi’ah kultural, melainkan tradisi di kalangan Ahlussunnah.
7.
Kebiasaan penghormatan kepada habaib (Alawiyyin) adalah tradisi yang berasal dari Hadhramaut. Akidah dan Madzhab para habaib Hadhramaut adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Asumsi yang menyimpulkan tradisi-tradisi yang di Indonesia ini terpengaruh Syi’ah adalah putusan yang gegabah dan ahistoris. Hemat saya, kita jangan mengenyampingkan litelatur Hadhramaut jika membahas masalah habaib yang berakar kuat dan punya peran soisal besar dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Klaim adanya Syi’ah kultural sebenarnya bukanlah masalah serius yang menyangkut masalah substansi sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Sebab klaim itu sesungguhnya tidak berdasarkan sejarah. Pengakuan adanya kesultanan Syi’ah juga dibantah sejarawan (baca; jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI 1995). Tak ada bukti-bukti kuat yang mendukung hipotesis itu kecuali mitos dan tradisi masyarakat yang tak bersendi syara’, sementara Syi’ah adalah sebuah akidah dan madzhab – yang andai itu dipengaruhinya, niscaya akan terwarnai pula secara teologis maupun fikih-sosialnya. Oleh karenaa itu, mengangkat tradisitradisi tadi sebagai indikator adanya pengaruh Syi’ah, selain merupakan simpulan yang spekulatif, juga dapat mengaburkan dan bahkan mendistorsi informasi yang sebenarnya. Justru sebaliknya, menurut hemat saya, tradisi-tradisi masyarakat itu dipengaruhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak dibenarkan adanya klaim yang mengatakan bahwa bila mengeritik Syi’ah itu berarti apriori, sepanjang yang diketengahkannya itu adalah bukti-bukti referensial yang diyakini akidah dan madzhab yang dikritiknya. Justru sikap reaktif yang terkondisi selama ini untuk mengeritik Syi’ah dalam polemik kontroversi Syi’ahSunnah itu merupakan awal yang baik untuk membangun keterbukaan ilmiah kedua belah pihak. Oleh karena itu, isu Syi’ah kultural haruslah ditafsirkan secara kontekstual, merupakan picu untuk kerja besar Ahlussunnah dalam menyuplai informasi mengenai Syi’ah guna menjawab tuduhan yang dilontarkan ke alamat dirinya. Mengingat NU sejak permulaan merupakan salah satu motor Ahlussunnah yang amat berakar. Hemat saya, keberadaan Syi’ah merupakan tantangan buat umat. Siapa tahu, setelah permasalahan ini tuntas, dapat digalang Ukhuwah Islamiyah yang tidak semu? Minimal ukhuwah dalam tauhid. [] *Penulis adalah peneliti Syi’ah, saat ini menjabat Ketua Bidang Komisi Hukum MUI Pusat
Category: Pemikiran Islam
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Ukhuwah Syi’ah–Sunnah dalam Timbangan ‘Siapa’ Naik, Intoleransi ataukah Kebebasan Menista? Apa Akar Persoalan Sunnah Kontra Syiah? Identifikasi Ahlus Sunnah
http://inpasonline.com/new/syiah-di-mata-ulama-salaf/
Syiah di Mata Ulama Salaf 03/03/2014 | By admin | 2 Replies
Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com– “Mazhab Islam Syiah telah dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari tubuh umat Islam dalam berbagai deklarasi ulama Muslim dunia, seperti Deklarasi Amman, Deklarasi Makkah, dan Fatwa al-Azhar alSyarif,” demikian kutipan penulis Syiah yang dimuat dalam salah satu webnya. ‘Hujjah’ ini juga menjadi semacam iklan bahwa Syiah adalah ‘madzhab’ yang tidak memiliki persoalan. Meski begitu, ‘hujjah’ tersebut tidak pernah menyebutkan landasan epistemologisnya. Memang, kita tidak akan temukan landasan dasarnya, sebab deklarasi itu hanya sebuah pernyataan yang bersifat politis. Dalil-dalil sharih-nya pun tak akan dijumpai di atas lember kertas deklarasi itu. Dari konteks dan substansinya, kita lebih mudah memahami bahwa deklarasi tersebut bersifat politis. Meningkatnya suhu politik negera-negara Arab, dan terjadinya peperangan merupakan konteks yang melatari diadakannya deklarasi. Upayanya lebih disemangati oleh saling toleransi, bukan konsensus pengesahan Syiah sebagai akidah yang selamat dari persoalan. Terlepas dari itu, jika pun deklarasi tersebut mengesahkan aliran Syiah, maka keputusan tersebut tidak dapat membatalkan fatwa-fatwa para ulama generasi terdahulu dari kalangan salafuna shalih. Mereka lah generasi yang mendapat garansi. Dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya” (HR. Bukhari-Muslim). Isu aliran Syiah bukanlah hal yang baru dibahas. Sejak lama menjadi kajian para ulamaulama terdahulu. Karena penyimpanganya sudah mengemuka sejak lama. Imam al-Ghazali menceritakan dalam kitabnya: “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar r.a, maka berarti dia telah menentang dan merusak ijma’ kaum Muslimin. Padahal tentang diri mereka (para Sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang
menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”(Imam al-Ghazali,Fadhaih al-Batiniyah, hal. 149). Syaikh Abdul Qodir al-Jailani memasukkan Syiah Rafidhah ke dalam lingkarang kelompok sesat. Sebab, mengagungkan saidina Ali bin Abi Thalib secara berlebihan. Kelompok ekstrim itu dijelaskan oleh Syaikh al-Jailani ada yang sampai ‘menuhankan’ saidina Ali. Adapula yang menganggap bahwa saidina ’Ali berkedudukan seperti nabi karena Malaikat Jibril salah ketika menyampaikan wahyu (Abdul Qodir al-Jailani, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi alHaqqi ‘Azza wa Jalla, hal. 180-181). Para ulama dahulu telah menentukan sikapnya dengan jelas tentang Syiah. Mereka menegaskan penolakannya terhadap aliran bentukan Abdullah bin Saba’ ini dalam karyakaryanya. Imam al-Syafi’i tidak sekedar mengeluarkan fatwa kewaspadaan, namun juga memutuskan larangan shalat di belakang Syiah Rafidhah. Ideologi taqiyah, merupakan salah satu yang hal yang paling diwaspadai. Ia mengatakan: “Saya tidak pernah melihat seorangpun dari para pengikut hawa nafsu yang paling banyak berdusta dalam dakwaannya dan yang paling banyak bersaksi palsu dari pada Syiah Rafidhah” (Imam al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i I/hal.468). Kelompok ini, menurut imam al-Syafi’i harus dijauhi, termasuk dalam shalat. “Janganlah shalat di belakang orang Syiah Rafidhah, Qadariyah dan Murji’ah” (Imam al-Dzahabi,Siyar A’lam al-Nubala’ 10/31). Sejalan dengan itu, imam Malik mengingatkan bahaya mencaci Sahabat Nabi Saw. Guru imam al-Syafi’i ini bahkan menilai, orang yang mencaci Sahabat diragukan keimanannya. Ia mengatakan: “Orang yang mencaci-maki para Sahabat Nabi Saw, mereka tidak memiliki bagian dalam agama Islam” (al-Ibanah al-Sughra, hal. 162). Bagaimana dengan pendapat imam al-Bukhari, imam besar ahli hadis? Imam Bukhari yang mengikuti madzhab Syafi’i, tentu tidak jauh fatwanya dengan imam Syafi’i. Beliau menilai Rafidhah masuk dalam ‘ring kekufuran’. Sehingga dikeluarkan larangan shalat di belakang mereka, menikahi mereka, mengantar jenazah dan mengucapkan salam kepada mereka. Beliau mengatakan: “Saya tidak akan shalat di belakangan orang Jahmiyah dan Rafidhah, sama seperti saya tidak shalat di belakang Yahudi dan Nasrani. Tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, menikah dengan mereka, menjenguk mereka, mengantar jenazahnya dan tidak memakan sembelihannya” (imam al-Bukhari, Af’al al-Ibad, I/hal.148). Fatwa Imam Nawawi menegaskan fatwa-fatwa para ulama sebelumnya. Ia menerangkan, barang siapa yang menjatuhkan vonis kafir kepada para Sahabat Nabi Saw, maka ia telah menjadi kafir (Imam al-Nawawi,Raudhah al-Thalibin 7 hal. 290). Qadhi Iyadh, ulama dari madzhab Maliki berkata, “Barang siapa yang mencaci Nabi Saw, maka hukumannya adalah mati. Barangsiap yang mencaci salah satu Sahabat Nabi Saw, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Mu’awiyah, atau Amr bin Ash, maka hukumannya juga mati” (Qadhi Iyadh, al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa 2 hal. 1108).
Imam al-Subki mengharamkan sembelihan Rafidhah. Ia berfatwa: “Sembelihan mereka tidak boleh dimakan, sebab mereka keluar dari lingkaran Islam. Demikian juga yang dikemukakan oleh Abdullah bin Idris salah seorang imam di Kufah. Ia berkata, ‘Orang-orang Rafidhah tidak berhak mendapatkan syafa’at karena syafa’at tidaklah diberikan melainkan kepada seorang muslim. ” (Fatawa al-Subki 2 hal 580). Fatwa-fatwa ini diikuti terus oleh para ulama pada generasi setelahnya. Diwariskan secara turun-temurun kepada para muridnya. Imam al-Syaukani, yang dikatakan pernah menganut aliran Syiah Zaidiyah, ternyata mengecam Rafidhah. Baginya, kejahatan Rafidhah dan bid’ah yang buruk menyebabkan akibat yang paling jelek dan kecelakaan yang paling buruk (Quthr al-wali fi Hadis al-wali, hal. 305). Dalam sebuah web, Syiah mengklaim bahwa imam al-Syaukani adalah ulama Syiah. Ditulis dalam web tersebut, “Di pesantren-pesantren Indonesia, beberapa buku ulama Syiah, seperti Nayl al-Awthar karya al-Syau-kani, dan Subul al-Salam karya al-Syaukani dan al-Shan’ani juga diajarkan”. Imam al-Syaukani bukanlah seorang Rafidhah, tapi seorang Zaidiyah. Konon ia telah keluar dari Zaidiyah dan menjadi Ahlussunnah. Terlepas dari itu, ia terang menyatakan Rafidah adalah golongan buruk dan membuat celaka. Jadi, para ulama sebetulnya satu suara dalam memandang aliran Syiah. Tidak satu pun di antara mereka melegalkan akidah Rafidi ini. Kecuali dalam menyikapi Syiah Zaidiyah, Syiah yang tidak mencaci Sahabat, tidak memakai kitab induk Rafidhah. Zaidiyah menerima Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah, hanya saja mereka mendahulukan Ali daripada Abu Bakar, Umar dan Utsman. Zaidiyah bisa diterima di kalangan ulama Ahlussunnah. Namun, Syaikh Hasyim ‘Asya’ari menolak dan menyatakan sebagai madzhab yang tidak sah untuk diikuti. Sikap Kiai Hasyim dapat dipahami sebagai sikap kehati-hatian beliau dalam memagari akidah umat Islam Indonesia. Artinya, jangan dekati bentuk apapun dari Syiah. Apalagi kerap kali ‘topeng’ taqiyah menjadi pelindungnya. Mengikuti ulama terdahulu lebih dijamin garansinya. Lebih otoritatif dan telah diikuti mayoritas ulama. Kata Rasulullah Saw, “Umatku (ulama) tidak akan bersepakat dalam kesesatan” (HR. Tabrani dan Ibnu Majah). [] Tags: featured, syiah di mata ulama salaf Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Din, Syiah, dan Muhammadiyah Tentang Prinsip Toleransi Ahlussunnah-Syiah Antara Tradisi-Kultur Sunni dan Adu Domba Syiah Tauhid Syiah: Antara Kemutlakan Imamah dan Ideologi Takfiri
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/antara-tradisi-kultur-sunni-dan-adu-domba-syiah/
Antara Tradisi-Kultur Sunni dan Adu Domba Syiah 14/02/2014 | By admin | Reply
Oleh: Kholili Hasib
Strategi dakwah Syiah saat ini yang perlu diperhatikan adalah, klaim-klaim Syiah terhadap tradisi sebagian penganut Ahlussunnah dan indikasi adu domba antar kelompok. Isu tentang tradisi atau kultur yang berlaku di kalangan NU, misalnya menjadi semakin marak, ketika Syiah mengklaim sebagian tradisi diamalkan. Tradisi-tradisi yang menjadi isu di antaranya; pembacaan maulid Nabi Saw, diba’an, metode membaca harakat tulisan arab di kalangan orang Jawa dan lain sebagainya. Selain itu, Syiah juga ‘bermain’ dengan memunculkan wacana seoalah-olah keturunan ahlul bait (Alawiyyin) itu representasi Syiah. Polemik makin serius, sebab pada satu sisi, sebagian tradisi tersebut dipersoalkan oleh satu kelompok dari kalangan Sunni, dan pada sisi lain Syiah tampil seakan-akan membela keabsahan tradisi tersebut. Pada 19 Maret 1996, budayawan Agus Sunyoto, memunculkan isu tersebut di harian Jawa Pos. Waktu itu, mucul istilah ‘Syiah kultural’ untuk menyebut kaum nahdliyyin yang mengamalkan tradisi-tradisi yang ia katakana mirip dengan Syiah. Namun, tulisan Agus Sunyoto tersebut baru sebatas spekulasi. Bahkan lebih mengedepankan mitos-mitos. Beberapa waktu lalu, di sejumlah kota, seorang tokoh Syiah mengadakan peringatan maulid Nabi Saw sembari mengklaim bahwa tradisi tersebut dari Syiah. Dikatakan, mula-mula dipelopori Dinasti Fatimiyah. Lagi-lagi, klaim ini spekulatif dan ahistoris. Sejarawan Muslim Alwi Alattas membantah klaim tersebut dalam tulisannya “Mencari Asal-Usul Maulid Nabi” dengan data-data ilmiah. Ia menulis: “Di antara informasi awal yang menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578 H (April 1183) dan Rabiul
Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satusatunya peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair (2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah” (baca Alwi Alattas,Mencari Asal-Usul Maulid Nabi di inpasonline.com). Klaim Syiah terhadap tradisi membaca diba’ dan barzanji juga tidak tepat. Sebab, di Iran pusat Syiah, tidak pernah ditemukan diba’ . Klaim Syiah makin lemah, sebab di dalam kitab diba’ terdapat syair-syari pujian kepada Sahabat Nabi. Syair tersebut misalnya berbunyi: “Ya Rabbi wardha ‘ani al-Shahabah ya Rabbi wardha ‘ani al-Sulalah” (Ya Allah semoga ridha atas para Sahabat, Ya Allah semoga ridha atas keturunan Nabi). Padahal, dotkrin utama Syiah mencaci Sahabat. Justru, tradisi membaca sejarah Nabi melalui berbagai macam maulid lebih tepat untuk membetengi Ahlussunnah. Kitab-kitab maulid yang selalu bertaburan pujan kepada Nabi dan Sahabatnya sesungguhnya merupakan edukasi kepada umat untuk mencintai nabi dan Sahabatnya. Pembentenganpembentengan hampir sama juga dilakukan para ulama-ulama di tanah Jawa. Sejak dahulu di surau-surau kampung, sebelum di adakan shalat berjamah, para jamaah membaca puji-pujian kepada Saidina Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ini merupakan strategi kultural ulama’ Jawa untuk membentengi dari pengaruh kaum Syiah. Disebarkan pula isu, bahwa berkembangnya cara mengaji dengan mengeja fathah, kasrah dan dhammah, diklaim dari Persia. Kalau Persia pasti Syiah. Ini juga kesimpulan gegabah dan terburu-buru. Persi tidaklah selalu identik dengan Syiah. Syiah mulai dipeluk mayoritas warga Iran setelah Dinasti Shafawi, yang berakidah Syiah, berkuasaa di daerah Persia dan sekitarnya pada sekitar abad ke-16. Sebelum itu, Persi di bawah kekuasaan raja-raja Sunni. Memang dikenal beberapa seni Islam yang berkultur Persi sejak dahulu. Contoh misalnya model khat Farisi. Namun, harap dicatat, seni-seni Islam yang berasal dari Persi tersebut sudah lama berkembang pada masa kekuasaan Abbasiyah. Pada waktu itu, Persi di bawah kendali pemerintahan Abbasiyah yang Sunni (M. Baharun,Tantangan Syiah terhadap Ahlussunnah, hal. 120). Maka, tidak heran, dahulu banyak ulama-ulama Sunni lahir dari Persi, seperti Imam al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Jadi, Persia ter-Syiah-kan bisa dibilang masih ‘baru’ yakni abad ke-16. Ada pun kaum Alawiyyin (keturunan ahlul bait) juga memiliki strategi pembentengan terhadap akidah Syiah, yaitu dengan mentradisikan pembacaan wirid ratib al-haddad. Wirid ini ditulis oleh Habib Abdullah al-Haddad, tokoh besar kaum Alawiyyin dan menjadi amalan yang terus dibaca hingga kini oleh para keturunan habaib di Nusantara dan kaum nadhliyyin. Habib Alwi al-Haddad dalam Syarh ratib al-haddad menulis: ‘Ratib yang mulia ini disusun Habib Abdullah al-Haddad ketika beliau mendengar masuknya paham Syiah Zaidiyah ke Hadramaut. Beliau khawatir Syiah Zaidiyah ini akam merubah akidah kaum awam. Maka, pada malam 17 Ramadhan 107 H beliau susun ratib ini. Dalam ratib ini penulis menyebutkan “al-Khairu wa al-Syarru bi Masyiatillah” (Kebaikan dan keburukan itu terjadi atas kehendak Allah). Kalimat ini sengaja beliau cantumkan untuk menolak paham Qadariyah dan kaum Syiah Zaidiyah” (Novel bin Muhammad Alaydrus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarikat Bani ‘Alawi, hal. 49).
Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus, seorang tokoh besar para habaib yang berjuluk ‘arif billah, mengatakan: “Diberitakan kepada kami, bahwa di India telah banyak tersebar berbagai fitnah sehingga berdampak berbagai bencana dan cobaan. Penduduknya pun saling berselisih pendapat beraneka ragam tiada kesatuan. Ini adalah bencana besar! Bahkan lebih jelek dari itu, lebih buruk, dan lebih berbahaya. Sebagaimana diberitakan kepada kami, telah muncul sikap secara terang-terangan membenci al-Shiddiq dan al-Faruq (Abu Bakar dan Umar). Mereka berakidah rafidhah yang tercela. Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun. Ini adalah kedurhakaan yang serius dan kelalaian yang kronis” (Terjemah ‘Uqudul Ilmas, hal. 216). Kaum Alawiyin ini memang sejak dahulu nenek moyang merek kuat memegang tradisi Sunni. Mereka bermadzhab Syafii dan berakidah Asy’ari. Mereka cukup waspada menghadap fitnah orang Rafidhah. Dalam Adwar al-Tarikh al-Hadrami, dikatakan bahwa cikal-bakal habaib di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, seorang Sunni dari Irak. Ia hijrah dari Irak karena menghindar dari huru-hara politik di Kufah yang diakibatkan oleh fitnah Syiah. Mereka hijrah ke negeri Hadramaut Yaman. Meski tandus, namun Hadramaut Yaman kondusif. Penduduknya berhati halus dan relatif aman dari fitnah. Maka, tidaklah heran, tradisi-tradisi yang dikembangkan berakar dari ajaran Sunni, yang tidak ada sangkut pautnya dengan Syiah. Kaum Alawiyin di Hadramaut ini, memang dikenal sangat kuat memegang tradisi nenek moyangnya. Sehingga, klaim-klaim Syiah sebetulnya tidak ada artinya. Ada dugaan, Syiah ‘mendompleng’ tradisi-tradisi Sunni Nusantara untuk membenturkan antar jama’ah Sunni. Syiah memanfaatkan isu pro-kontra tradisi tersebut untuk memecah konsentrasi Sunni menjadi dua kutub yang saling berpolemik. Karena itu, Ahlussunnah harus bijak dan hati-hati menyikapi isu-isu seputar tradisi dan kultur kaum Syafiiyah ini. Perlu pemahman, bahwa tradisi tersebut bukanlah perkara ushul tapi furu’. Syiah diduga mengambil manfaat dalam polemik masalah furu’ ini. Jangan sampai gara-gara konsentrasi pada isu kecil, sampai menghabiskan energi menghadapi fitnah yang lebih besar. Ukhuwah Sunni harus dikedepankan, daripada perselisihan di bidang furu’. Tags: featured, tradisi kultur sunni dan adu domba syiah Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Kritik Sunni terhadap Syiah “Sunni-Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Tauhid Syiah: Antara Kemutlakan Imamah dan Ideologi Takfiri Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah
http://inpasonline.com/new/cinta-ahlul-bait-kepada-sahabat-nabi-saw/
Cinta Ahlul Bait kepada Sahabat Nabi Saw 22/02/2014 | By admin | Reply
Oleh: Kholili Hasib
Dalam pandangan Syiah Imamiyah, Sahabat Nabi Saw dan Ahlul Bait digambarkan sebagai dua faksi yang bertentangan. Pada pemilihan Khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah Saw misalnya, keterlambatan Ali bin Abi Thalib dalam membai’at Abu Bakar r.a ditafsirkan secara gegabah sebagai bentuk penolakan Ali, mewakili Ahlul Bait, terhadap Abu Bakar r.a. Ahlussunnah wal Jama’ah menilai secara adil dan proporsional. Keterlambatan Ali itu karena Ali r.a masih sibuk mengurus jenazah Rasulullah Saw. Tidak ada penolakan, justru mendukung penuh. Buktinya, Ali bin Abi Thalib r.a bersedia menjadi penasihat Khalifah. Hubungan antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib sangat erat. Setelah Abu Bakar meninggal dunia. Istrinya yang bernama Asma’ binti Umais dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib dan dikaruniai dua putra yaitu Yahya bin Ali dan Muhammad al-Ash’hor bin Ali. Perkawinan itu dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Putra Abu Bakar yang bernama Muhammad menjadi anak asuh Ali bin Abi Thalib setelah Abu Bakar wafat dan Ali meminang Asma’ binti Umais. Hubungan erat ini berlanjut dengan pernikahan Husein bin Ali, putra Ali yang kedua, dengan Hafshoh binti Abdul Karim. Hafshoh adalah cucu dari Abu Bakar. Ketika sekelompok Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba’, (pencetus Syiah) menemui Ali seraya mencaci Abu Bakar, Ali berkata kepada mereka, “Aku tidak senang kalian menjadi tukang laknat dan pencaci” (Mustadrak al-Wasa’il, juz 12, hal. 306).
Dalam kitab Nahjul Balaghah, kitab yang diyakini kumpulan pidato Ali, dikatakan bahwa Ali memuji Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah. Beliau mengatakan, “Orang-orang Islam telah memilih setelah Rasulullah saw seorang dari mereka (Abu Bakar), lalu dia bersahaja dan dia berusaha sekuat tenaga dan semangat yang tinggi. Kemudian orang-orang Islam mengangkat seorang pemimpin, yaitu Umar, lalu dia pun berbuat adil dan istiqamah” (Ibnu Abi al-Hadid,Syarah Nahj al-Balaghah, juz 4, hal. 82). Demikian juga hubungan Ali dengan Umar bin Khattab. Ali merupakan penasihat utama Khalifah Umar selama Umar menjabat sebagai Khalifah. Bahkan, Umar diambil menantu oleh Ali. Yakni Ali menikahkan putrinya bernama Ummu Kultsum (hasil pernikahan denggan Fatimah) dengan Umar bin Khattab. Keturuan-keturunan Ahlul Bait pun juga mewarisi Ali dalam mencintai dan penghormatannya kepada para Sahabat Nabi Saw. Sahabat Nabi Saw merupakan mitra dakwah Ahlul Bait yang paling intim dalam meneruskan perjuangan Nabi Muhammad Saw. Siapa saja yang menghina sahabat, sama saja mencederai Ahlul Bait. Dalam sebuah riwayat dari Imam Daruqutni diceritakan bahwa Ja’far al-Shadiq, keturunan Ali keempat, menunjukkan amarahnya kepada pencaci Abu Bakar. Ia mengatakan, “Ali berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Jika sekiranya aku berkuasa, maka aku akan mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan memerangi orang yang membenci keduanya (Abu Bakar dan Umar)” (Al-Masyru’ al-Rawi, I hal. 86). Dalam suatu doanya, Ja’far al-Shadiq, menegaskan pengaduannya kepada Allah bahwa beliau mencintai Abu Bakar dan Umar. Ia berdoa, “Ya Allah, aku mengakui Abu Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan aku mencintai keduanya. Ya Allah, apabila yang ada dalam hatiku bukan demikian, biarlah aku tidak mendapat syafa’at dari nabi Muhammad Saw” (diriwayatkan oleh Imam Daruqutni). Zuhair bin Mu’awiyah menceritakan kisah keteladanan Ja’far al-Shadiq. Diceritakan bahwa ayah Zuhair yaitu Mu’awiyah pernah berkata kepada Ja’far, “Tetanggaku mengatakan bahwa engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar benarkah itu?” Ja’far lantas menjawab: “Allah berlepas diri dari tetanggamu. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatanku dengan Abu Bakar” (Syaikh bin Abullah bin Abu Bakar al-‘Aidarus,al-Iqdun Nabawiy,I/230/Novel al-‘Aidarus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarikat Bani Alawi,45). Muhammad al-Baqir mengatakan bahwa barangsiapa yang tidak mau menyebut Abu Bakar dengan gelar al-Shiddiq, dia tidak akan dibenarkan oleh Allah. Hal ini menyiratkan bahwa menyebut Abu Bakar harus dengan penuh penghormatan dan tawadhu’. Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat sekaligus kerabat dekat Rasulullah yang bersikap tawadhu dengan pembesar-pembesar sahabat. Diriwayatkan oleh al-Bukahri bahwa Ali pernah berkata, “Orang yang paling baik dari umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar” (HR. Bukhari). Para Ahlul Bait mencintai para Sahabat karena Rasulullah Saw pernah berpesan agar jangan sampai menista kehormatan Sahabat-Sahabatanya itu. Rasulullah Saw bersabda sebagai pengingat kepada umatnya bahwa umat setelah Sahabat tidak ada tandingannya dengan kedudukan iman para sahabat. Beliau bersabda, “Janganlah kailah mencaci maki sahabat-
sahabatku. Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, andaikata seseorang dari kamu membelanjakan emas sebesar gunung Uhud, tentunya ia tidak mencapai satu mud maupun setengahnya yang dibelanjakan oleh seorang dari mereka (HR. Bukhari Muslim). Muslim Jadi, hubungan antara Sahabat dan Ahlul Bait layaknya hubungan kekerabatan dekat yang saling mencintai. Mereka merasa menjadi bagian dari keluarga besar Rasulullah Saw. Mereka intim, harmonis dan saling menghormati.
Tags: cinta ahlul bait kepada sahabat nabi, nabi featured Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Madzhab Ahlul Bait? Ahlul Bait, Syiah atau Ahlussunnah? Membela Nabi, Ekspresi esi Cinta Nabi! Syaikh al-Shobuni: Shobuni: “Melaknat Sahabat Nabi Bukan Ciri Akidah Akida Islam”
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/tauhid-syiah-antara-kemutlakan-imamah-dan-ideologi-takfiri/
Tauhid Syiah: Antara Kemutlakan Imamah dan Ideologi Takfiri 29/12/2013 | By admin | Reply
Oleh: Kholili Hasib
Sebelum membahas konsep tauhid imamah, pertama-tama yang harus dipahmkan adalah, bahwa pada konteks sekarang, ketika berbicara tentang penyimpangan Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah Imamiyah alias Rafidhah. Sebab, Imamiyah merupakan jenis Syiah mayoritas di dunia. Negara Syiah Iran, dikendalikan oleh ideologi Imamah ini. Hal juga yang perlu diluruskan dalam pemikiran Syiah adalah, tentang penggunaan istilah ‘syiah-moderat’ (mu’tadil). Dalam litelatur manapun tidak ada istilah ‘syiah-moderat’. Jika hendak dimunculkan istilah tersebut, haruslah didasari dari hasi kajian ilmiah dan penelitian mendalam. Jika belum ada kajian ilmiah tentang term tersebut, maka kita tidak boleh terburuburu menggunakan term tersebut. Dari segi makna, juga rancu. Di lihar dari sisi ajaran, akidah Syiah ternyata tidak ada yang moderat. Jika yang dimaksud adalah Syiah Zaidiyah, juga kurang tepat. Dalam litelatur, Zaidiyah tidak pernah disebut ‘moderat’. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari bahkan berfatwa, Zaidiyah bukan madzhab yang sah (baca Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya Hasyim Asyari). Zaidiyah memang dekat dengan Ahlussunnah. Mereka tidak merujuk al-Kafi, Bihar al-Anwar, dan lain-lain. Rujukan Zaidiyah bahkan Bukhari-Muslim. Meski begitu Hasyim Asy’ari tidak mengakuinya sebagai madzhab sah dalam Ahlussunnah. Ketika penulis mengkaji Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah yang menjadikan al-Kafi, Bihar al-Anwar, al-Istibshar dan lain-lain sebagai rujukannya. Kenyataannya, Syiah saat ini tidak membuang kitab-kitab tersebut. Termasuk pengikut Syiah Indonesia.
Jika menelaah kitab-kitab induk Syiah, maka akan ditemui kejanggalan-kejanggalan ideologis. Dari segi konsep tauhid, Syiah sangat ekstrim, bahkan mengandung ideologi takfiri. Berikut, penulis bedah secara singkat konsep tuhid Syiah. Kajian ini bukan dalam tujuan memecah Islam, namun berupaya mengumpulkan kaum Muslimin dalam satu shaf Ahlussunnah. Sebab, sejak awal kelahirannya Syiah diasaskan oleh orang-orang yang hendak memecah Islam. Hal ini sesuai dengan julukan yang diberikan oleh Imam Ali Zainal Abidin, yaitu “rafidhah”, yang artinya berlepas diri. Tauhid dalam keyakinan Syiah dan Ahlussunnah memiliki sejumlah titik pembeda. Dalam keyakinan Syiah, tauhid yang murni dikonsepsikan satu paket dengan imamah. Imamah sendiri merupakan kepercayaan paling sentral. Kepercayaan terhadap imamah menjadi syarat mutlak untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Syiah membatalkan tauhid seseorang karena ingkar terhdap imamah. Tidak sah keimanan seseorang – meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul–Nya jika tidak ditopang oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Al-Majlisi, seorang ulama Syiah kenamaan mengatakan, “Ketauhilah bahwa kalimat syirik dan kufur itu ditujukan — sebagaimana termaktub dalam teks-teks Syiah — terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau yang terdiri dari keturunan beliau, dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orang-orang itu kafir dan kekal di neraka” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 23/390). Dalam Ahlussunnah, khalifah dan imam tidak menjadi syarat sah keimanan seorang mu’min. Ia merupakan jabatan kepala Negara yang dipilih melalui syuro. Sama sekali tidak terkait dengan tauhid. Justru, tauhid seorang muslim bisa rusak jika ia mengkultuskan secara membabi buta seorang manusia melebihi Nabi dan Malaikat. Namun, keyakinan Syiah, kultus pada imam justru menjadi pondasi keimanan. Dalam tafsir al-Qummi – kitab tafsir Syiah dikatakan bahwa apabila seseorang mengakui keimamahan selain imam Ali dan keturunannya, maka semua amal ibadahnya digugurkan Allah (Tafsir alQummi 2/251). Dalam akidah Syiah, mengakui kepemimpinan orang lain selain Ali dan keturunannya dicap sebagai musyrik. Di sinilah letak perbedaan tauhid yang sangat tajam ditemukan, dan saling bertoak belakang antara Syiah dan Ahlussunnah. Konsep keimanan dan syirik berbeda. Ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil oleh ulama’ Syiah dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para imam Syiah. Istilah al-Syirku dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak dimaknai sebagaimana mufassir Ahlussunnah, bahwa artinya menyekutukan Allah, menjadikan selain Allah sebagai Tuhan. Mufassir Syiah memaknai dengan arti “menyekutukan para iman”, bukan menyekutukan Allah sebagaimana akidah Ahlussunnah. Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65. Terjemahan ayat tersebut adalah: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang
dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan imam Ali dengan kepemimpinan orang lain. Surat al-Baqarah ayat 36 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah diselewengkan menjadi keimanan terhadap imam dan Ahlul Bait. Terjemahan ayat tersebut adalah, “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini bahwa yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para imam setelah mereka. Namun, pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidak pernah diajarkan oleh Ali dan para imam keturunannya. Hasan putra Ali, justru mengecam orang-orang yang mengkultuskan Ali r.a secara berlebihan. Hasan r.a menyebut orang-orang Syiah yang berkeyakinan bahwa Ali akan hidup kembali sebelum hari Kiamat sebagai orang-orang pembohong (Siyar a’lam alNubala’ 3/263). Ali Zainal Abidin, cucu Ali r.a, melarang keras kelompok yang ‘menyembah’ Ahlul Bait bak seperti berhala. Ia berkata, “Wahai penduduk Irak, cintailah kami seperti mencintai Islam. Jangan cintai kami seperti orang jahiliyah mencintai berhala. Sebab, cinta yang telah kalian tunjukkan kepada kami hanya menjadi cela bagi kami” (Siyar a’lam an-Nubala’ 4/302). Dengan demikian, bisa menyimpulkan bahwa konsep syirik dibongkar dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Ahlussunnah adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan imam Ali. Konsep syirik tidak sekedar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada imam yang notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak mirip dengan paham ‘antroposentrisme’ –yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat. Akan tetapi, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan menjadikan para imam sebagai asasnya, dapat dikatakan memiliki unsur-unsur paham antroposentrisme. Konsep tauhid kepada Allah, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam Syiah. Tauhid Syiah ternyata perlu ditopang dengan kepercayaan kepada para imam. Dengan demikian, kita bisa katakana bahwa konsep imamah menjadi pandangan hidup syiah, termasuk menjadi elemen mendasar dalam konsep tauhid. Perbedaan mendasar dalam ketuhanan ini makin memerkuat pendapat ulama’ Syiah, al-Jaza’iri yang pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib/golongan di luar Syiah) dalam memahami tentang Tuhan, iman dan Nabi”. Jadi, perbedaan Sunnah-Syiah, bukan sekedar perbedaan madzhab, tapi secara teologis memiliki garis demarkasi yang cukup jauh. [] Tags: featured, tauhid syiah kemutlakan imamah ideologi takfiri Category: Pemikiran Islam
Related posts: 1. Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh 2. Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah 3. “Sunni-Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil”
4. Tentang Prinsip Toleransi Ahlussunnah-Syiah Ahlussunnah
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/sunni-syiah-miliki-sejumlah-perbedaan-prinsipil/
“Sunni-Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” 15/09/2012 | By admin | Reply
Dalam kesempatan diskusi kali ini, alumnus Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor ini membawakan makalah berjudul “Telaah atas Konsep Tauhid Syiah”.
Acara dihadiri tiga puluhan peserta, rata-rata adalah mahasiswa -baik S1 maupun Pascasarjana-. Para peserta tidak saja berasal dari kampus Unair, namun ada yang datang dari kampus lain seperti, IAIN Sunan Ampel, UPN, dan STIT Uluwiyyah Mojokerto. Kholili menjelaskan, bahwa Syiah memiliki akidah berbeda dengan umat muslim pada umumnya. Hal ini terlihat dari konsep tauhidnya. Dalam konsep tauhid, Syiah meyakini bahwa Allah tidak mengetahui baik dan buruk makhluknya atau yang disebut dengan akidah bada’. Hal ini berbeda dengan keyakinan umat Islam pada umumnya yaitu bahwa Allah Maha Mengetahui. “Selain akidah bada’, Syiah juga memiliki konsep imamah yang merancukan konsep tauhidnya,” jelas Kholili. Yang paling ekstrim dalam akidah imamah ini, Syiah berkeyakinan bahwa para Imam mereka memiliki kekuasaan seperti Allah. Para Imam juga memiliki sifat kenabian seperti ma’shum dan sifat ketuhanan seperti tidak lupa dan mengantuk. Alam dapat diatur oleh Allah dan para imam Syiah. “Selain keyakinan atas dua konsep tauhid (akidah bada’ dan akidah imamah), Syiah juga memiliki keyakinan bahwa syirik tidak saja menyekutukan Allah tapi juga jika menyekutukan Imam Ali dengan kepemimpinan orang lain,” tegas Kholili. Kesimpulannya, konsep syirik dalam Islam telah dibongkar sedemikian rupa dengan memasukkan doktrin Imamah di dalamnya. Konsekwensinya, bahwa meyakini Abu Bakar, Umar, dan Usman sebagai Khalifah adalah syirik karena hal itu menyekutukan kepemimpinan Ali. Menurut Syiah, Abu Bakar, Umar dan Usman adalah perampok hak Ali. Maka, bagi Syiah, mereka adalah kafir. Di bagian akhir, acara yang dimulai pukul 09.30 itu menyediakan sekitar empat puluh lima menit untuk sesi diskusi. (rep: Saad)
Category: Nasional
Related posts: 1. Kritik Sunni terhadap Syiah 2. Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab 3. Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh
4. Radikalisme Syiah iah dan Dilema Solusi Damai
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/kritik-sunni-terhadap-syiah/
Kritik Sunni terhadap Syiah 03/02/2012 | By admin | Reply Data Ilmiah Ulama’ Sunni selama ini mengkritik dengan membeber data-data pustaka Syiah sekaligus pengalaman di lapangan. Di kalangan Sunni, referensi-referensi pokok Syiah saat ini memang sudah tidak asing lagi. Kitab-kitab pokok seperti al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan al-Istibshar sudah di tangan mereka. Beberapa pengkaji ternyata tidak mencukupkan diri dengan data pustaka itu. Mohammad Baharun, misalnya, lebih dari dua puluh tahunan memiliki pengalaman berinteraksi dengan penganut Syiah. Disertasinya di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2006 yang berjudul Tipologi Syiah di Jawa Timur merupakan hasil rekam pengamatan beliau. Saya sendiri waktu itu ikut membantu mencari data di lapangan. Ada banyak hal yang dapat diperoleh di lapangan, setidaknya untuk meng-‘kroscek’ data pustaka dengan pengamalan Syiah di lapangan. Saya sempat bertemu dengan seorang tokoh Syiah di Pasuruan. Diksusi panjang tentang isu tahrif al-Qur’an terjadi waktu itu. Saya mendapatkan poin penting di sini. Dengan jujur, dikatakan bahwa memang sesungguhnya tahrif itu ada. Bahkan ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat al-Qur’an yang ia katakana hilang. Namun ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya. Dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut. Di sini artinya, tudingan bahwa Syiah meyakini al-Qur’an mushaf Ustmani tidak orisinil bukanlah tudingan yang mengada-ada. Baik secara faktual di lapangan maupun data pustaka Syiah, isu tahrif al-Qur’an tersebut memang fakta yang tidak bisa ditutupi kalangan Syiah. Kritikus dari kalangan Sunni merujuk kepada kitab al-Kafi -kitab rujukan Syiah paling otoritatif – untuk membuktikan Syiah meyakini ada tahrif dalam al-Qur’an. Di antaranya ditulis dalam al-Kafi; “Dari Abi Abdillah as, beliau berkata: Sesungguhnya ayat-ayat alQur’an yang dibawa oleh Jibril as kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebanyak 17000 ayat” (al-Kafi, Juz II halaman 634). Dalam penelitian tim penulis Pesantren Sidogiri, keyakinan ini dianut oleh mayoritas (ijma’) ulama Syiah bahkan menjadi perkara yang aksiomatis. Sedangkan kalangan Syiah kontemporer biasanya menampik isu tersebut. Namun dengan menyodorkan fakta di lapangan bahwa di kalangan Syiah, keyakinan tahrif itu tetap ada tidak dapat ditolak, seperti yang saya tulis di atas. Maknya cukup wajar bila Sunni menuding Syiah kontemporer sedang memasang topeng taqiyah. Apa lagi ditemukan di dalam kitab al-Kafi petunjuk anjuran untuk bertaqiyah dalam soal isu tahrif al-Qur’an ini. Dalam kitab tersebut juz dua dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syiah, ditanya pengikutnya, “Wahai Aba Abdillah, saya mendengar bacaan al-Qur’an orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan al-Quran kaum muslimin), tetap dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa al-Qur’an yang asli.
Dengan demikian, apa yang terjadi di dalam Syiah kontemporer, yang mengelak adanya isu tahrif al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai metode taqiyah belaka. Baik bukti pustaka Syiah maupun bukti faktual di lapangan menunjukkan mereka memang meyakini adanya tahrif. Hanya saja, hal itu ditutupi dengan metode taqiyah. Dua pendekatan ini memang penting untuk dipakai, sebab terkadang orang tidak langsung percaya dengan pustaka Syiah. Maklum, pustaka Syiah tidak mudah ditemui di kalangan awam. Kalangan Syiah kontemporer pun bisa mengelak, bahwa Sunni menyalah-tafsirkan teks-teks klasik Syiah. Jujur Terbuka Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Sunni sudah cukup proporsional. Kritikus Sunni kenyatannya lebih terbuka dalam berdiskusi. Argumen-argumen antagonistik tidak menjadi selera peneliti Sunni. Pada tahun 2007, enam santri senior Sidogiri yang dikomandani ustadz Ahmad Qusyairi menyusun buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?). Buku ini menjawab buku Quraish dengan membeber literatur-litelatur pokok Syiah. Tim penulis tersebut sempat menulis surat ajakan kepada Quraish untuk berdiskusi. Sayangnya surat itu tak direspon. Jawaban-jawaban Ustadz Fahmi Salim di eramuslim pada 21/01/2012 terhadap tulisan Haidar Bagir berjudul Syiah dan Kerukunan Umat di Republika pada 20/01/2012 juga sudah ilmiah. Fahmi Salim mengukip kitab-kitab Syiah dan Ahlus Sunnah lengkap dengan halamannya. Cara ini memang harus dilakukan, agar tidak dianggap asbun (asal bunyi). Karena ini perdebatan akidah maka harus terbuka, agar tidak menimbulkan kerancuankerancuan. Kejujuran wajib dikedepankan. Jika dimungkinkan, referensi-referensi kedua pihak, Sunnah dan Syiah, dibawa ke meja diskusi. Jikapun ada tuduhan Sunni keliru menafsirkan teks-teks klasik Syiah, maka di meja diskusi Syiah bisa berkesempatan menjelaskan secara jujur. Sekali lagi, di meja disksusi diharapkan Syiah melepaskan dulu taqiyahnya, agar semua menjadi jelas. Kejujuran dan keterbukaan adalah cara yang ilmiah. Diharapkan dua hal itu –jujur dan terbuka- dikedepankan dalam budaya kritik di kalangan Sunni maupun Syi’i. Penulis adalah peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya, alumnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor
Category: Pemikiran Islam
Related posts: 1. 2. 3. 4.
“Sunni-Syiah Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun Di Iran, Yahudi Hidup Bebas Tapi Sunni Tertekan Kritik terhadap Orientalisme: Review Buku Dr. Syamsuddin Arief
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/syiah-adalah-persoalan-akidah-bukan-madzhab/
Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab 21/02/2012 | By admin | Reply Bahrul menyatakan, mengkaji Syiah dari sisi akidah sangat penting. Sebab selama ini ternyata tidak banyak yang mengetahui akidah Syiah. Persoalan Syiah itu adalah pada akidah, bukan madzhab. “Jika akidah salah, maka agamanya salah”, ungkapnya. Oleh karena itu, mengawali presentasinya, Bahrul membuka diskusi dengan pemaparan tentang akidah dan unsur-unsur penopang akidah Syiah. “Setiap Muslim punya tugas dan tanggung jawab menjaga akidah yang lurus. Sebab pada faktanya terdapat beberapa kelompok atau kaum yang memiliki akidah yang dianggap menyimpang oleh jumhur ulama seperti aqidah kaum Syiah,” tulis Bahrul dalam makalahnya. Bahrul menyebut lima pilar akidah Syiah. Yaitu imamah, kema’suman imam, bada’, raj’ah dan taqiyyah. Eksistensi para imam diyakini oleh Syiah dari Allah. Jabatan imamah seperti kenabian. Apalagi, tambah Bahrul, para imam Syiah dianggap ma’sum (bebas dari kesalahan). Peneliti InPAS ini lantas mengutip al-Kafi (kitab hadis rujukan Syiah) untuk membuktikan bahwa akidah Imamah Syiah berlebihan, “Dari Jafar ia berkata: “Sesungguhnya Imam jika ia berkehendak mengetahui, maka ia pasti mengetahui, dan sesungguhnya para imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali dengan pilihan mereka sendiri.” Sedangkan akidah bada’ adalah keyakinan bahwa ilmu Allah itu akan berubah dan menyesuaikan dengan fenomena yang terjadi. Allah akan berubah kehendak-Nya terhadap suatu perkara sesuai dengan kondisi yang berlaku. Akidah ini tentu bertolak belakang dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. “Keyakinan ini mirip akidah dalam mu’tazilah,” simpul Bahrul. Berikutnya akidah raj’ah. Yaitu bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim (Imam keduabelas) pada akhir zaman. Ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuhnya. Keyakinan-keyakinan seperti itulah yang membedakan dengan Ahlus Sunnah. Sebab itu, perbedaan Syiah dan Sunnah (Ahlus Sunnah) bukan madzhab tapi akidah. Menyikapi penjelasan tersebut, -di sesi diskusi- Muhim menanggapi bahwa kenapa orang-orang Syiah tidak banyak yang tobat kembali ke Ahlus Sunnah? Ternyata, jelas Bahrul, sesungguhnya telah banyak orang Syiah yang bertobat. Contohnya mantan tokoh kenamaan Syiah, Husein al-Musawi, yang kembali kepada ajaran Islam, dan menulis buku mengupas kekeliruan Syiah.
Bahrul menjelaskan, tidak dipungkiri dipungkiri dakwah Syiah memang gencar. ”Syiah memang pandai dalam mengajak kelompok lain untuk masuk Syiah,” jelasnya. Mereka bisanya berdakwah dengan kedok cinta Ahlul Bait, padahal sebenarnya tidak tepat. ”Kita (baca:Ahlus Sunnah) juga mencintai Ahlul Bait, tapi tidak berlebihan,” terang pria asal Lumajang tersebut. Satu lagi yang perlu diperhatikan, Syiah itu memiliki semangat Persia. Meski Persi itu bukan Syiah. Kholili dalam diskusi tersebut menambahkan, bahwa menurut Valli Nasr, seorang Syiah moderat, Syiah iah ingin menghidupkan imperium Syiah dengan berencana menguasai tiga negara Arab, yaitu Irak, Bahrain dan Uni Emirat Arab. Ada indikasi membangun imperium Syiah memiliki semangat kesukuan membangkitan bangsa Persi. M. Saad yang ikut diskusi menanyakan tentang tentang Syiah Ghulat (Syiah ekstrim). Dalam pandangan Bahrul, Syiah saat ini dapat dikategorikan Ghulat. Ia memberi contoh, ”Dalam kitab mereka al-Kafi, Kafi, disebutkan bahwa Imam Ali dan Imam lainnya memiliki ilmu yang tak terbatas. Bahkan mereka mengetahui waktu kapan akan mati”. Dengan akidah yang seperti itu, Bahrul menyarankan agar kita selalu menjelaskan secara ilmiah tentang penyimpangan akidah Syiah, agar umat kita mengerti. Catatan: Makalah ”Telaah Telaah Kritis Aqidah Syiah” yang dipresentasikan pada diskusi tersebut ersebut dapat dibaca di rubrik artikel situs ini. (kho)
Category: Nasional
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Apa Akar Persoalan Sunnah Kontra Syiah? “Sunni-Syiah Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Syaikh al-Shobuni: Shobuni: “Melaknat Sahabat Nabi Bukan Ciri Akidah Islam” Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/apa-akar-persoalan-sunnah-kontra-syiah/
Apa Akar Persoalan Sunnah Kontra Syiah? 29/08/2012 | By admin | Reply Pascakerusuhan Sampang Madura pada Ahad 26/8/2012, ragam pernyataan bermunculan di media cetak maupun elektronik. Namun, dari sekian pernyataan yang sering beredar, mayoritas bukan pernyataan lugas mengulas akar persoalan yang sesungguhnya. Kebanyakan berkomentar sederhana, bahwa hal itu cuma karena konflik keluarga, kemiskinan, kultur lokal masyarakat Madura, dan kegagalan intelijen. Patut pula disayangkan, bahwa pihak-pihak yang tidak berkompeten memahami penyebab bentrok Sunnah-Syiah ikut berkomentar. Persoalan antara Sunnah-Syiah adalah problem akidah Islam. Sehingga yang paling tepat menjelaskan solusi damai Sunnah-Syiah adalah para ulama’, bukan pengamat sosial-kebudayaan dan aktivis LSM Liberal. Pengamat sosial-kebudayaan dan aktivis LSM lebih cenderung meninggalkan solusi normatif. Komentar-komentar seperti tersebut di atas itu justru membuat keruh di masyarakat akar rumput. Padahal, isu Sunnah-Syiah menyangkut nilai-nilai normatif dan teologis. Karena kisruh ini merupakan problem keagamaan, maka penyelesaiannya pun tidak boleh meninggalkan prinsip keagamaan masyarakat. Sehingga, lebih baik pihakpihak yang tidak memahami akar persoalan tidak bersuara. Serahkan kepada para ulama’, umara dan pihak berwajib untuk menuntaskan persoalan. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil -Ketua Umum MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia)- menilai bahwa konflik Sunnah-Syiah di Sampang disebabkan perbedaan aliran. Sejak berkembangnya Syiah di Indonesia, umat mayoritas terusik dengan ajaran-ajaran ‘radikalnya’, seperti cacian terhadap Sahabat dan istri Nabi (‘Aisyah radliallahu anha). Keresahan meluas ketika praktik penistaan itu dilakukan dengan terang-terangan, bukan sembunyi-sembunyi. Dari data pengalaman di lapangan sering ditemukan masyarakat yang berkonversi ke Syiah, mereka menjadi ‘fasih’ mencaci para Sahabat Nabi SAW. Keanehan inilah yang memicu masyarakat tidak tahan bertindak. Dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunnah), penghormatan terhadap Sahabat Nabi SAW dan apalagi istri beliau merupakan bagian dari ajaran prinsip. Di kalangan jama’ah NU, penghormatan terhadap Sahabat Nabi SAW dan istrinya adalah ajaran penting. Di pesantren-pesantren tradisional, para santri sejak dini diingatkan jika menulis atau menyebut Sahabat Nabi SAW, jangan lupa diikuti kalimat radliallahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka). Ini merupakan akhlak luhur terhadap para Sahabat yang berjasa kepada Islam. KH. Hasyim ‘Asy’ari -pendiri NU- mendiskualifikasi orang-orang yang menghina para Sahabat dari madzhab Ahlus Sunnah. Bahwa, kelompok penista Sahabat bukan
bagian dari madzhab yang sah untuk diikuti (baca karya beliau Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah). Makin meluasnya problem Syiah di daerah Jawa Timur juga dipicu mencuatnya ‘syiahisasi’ terhadap jama’ah NU. Beberapa tahun lalu, sekitar awal tahun 2000-an, di daerah Jember dan Bondowoso dilaporkan puluhan orang NU awam yang eksodus dari NU dan masuk Syiah karena propaganda alumnus Iran. Kabarnya, waktu itu ada sekitar 50 KK orang NU yang masuk Syiah. Jama’ah awam ini setelah masuk Syiah berani meninggalkan tradisi. Tidak segan-segan menista Sahabat Nabi SAW dan ‘Aisyah radliallahu anha. Meski telah lama ada indikasi dan kini telah terjadi bentrok fisik, sampai sejauh ini belum ada penyelesaian dari pihak berwenang secara memadai, untuk mencari akar permasalahannya. Peraturan Gubernur Jawa Timur memang telah diterbitkan, namun implementasinya belum maksimal. Sosialisasi juga belum berjalan baik di masyarakat bawah. Maka pihak-pihak terkait harusnya gencar melakukan sosialisasi secara baik. Menghukum pelaku -baik dari pihak Sunnah maupun Syiah- bukanlah satusatunya solusi penyelesaian. Pelaku pengrusakan dan penganiyaan tetap diproses sesuai hukum. Begitu pula para penista ditindak sesuai peraturan. Akan tetapi, memenjarakan terdakwa bukan akhir penyelesaian. Sebab, bentrok Sunnah-Syiah di Sampang bukan kriminal murni. Pihak berwenang sebaiknya memahami hal ini, dan mengkaji bersama para ulama’ mencari apa penyebab sebenarnya kekisruhan ini. Karena tidak ada arahan dari atas tentang akar kekisruhan, maka aparat keamanan bertugas seperti pemadam ‘kebakaran’. Menunggu api terbakar baru bergerak menyiram dan meredam. Padahal, persoalan Sunnah kontra Syiah bukanlah sekedar ‘kebakaran’. Bukan sekedar kriminal biasa. Bentrok fisik merupakan salah satu akibat dari penyebab-penyebab yang hingga kini belum diselesaikan. Jika ada sinergi pengarahan menyangkut akar persoalan, maka aparat bisa menyelidiki pemicu timbulnya konflik. Pihak berwenang, baik aparat maupun pemerintah harusnya berkonsultasi dengan para ulama’ -khususnya ulama’ setempat- yang lebih memahami isu yang sesungguhnya. Jika diserahkan kepada aktivis LSM, pengamat sosial-kebudayaan dan politisi sekuler, arah penyelesaian makin rancu. Komentar-komentar mereka cenderung parsial, membalik mengecam mayoritas. Aktivis LSM dan HAM umumnya langsung memvonis pihak mayoritas. Umat mayoritas, misalnya, dituduh tidak toleran. Harusnya –kata mereka- umat mayoritas mengayomi minoritas. Pertanyaannya, apakah benar intoleransi yang terjadi di Sampang? Semua pihak harus jeli. Sebab, yang harus dipahami di sini, sebenarnya kekisruhan ini bukan
sekedar lagi isu perbedaan tapi lebih cenderung kasus penistaan agama. Pelaku penganiyaan tetap harus dihukum, namun penistaan agama harus diusut dan dicari solusinya. Selama ini, pihak berwenang berwenang hanya berkonsentrasi kepada isu kriminil terhadap kaum minoritas. Sementara umat mayoritas terus-menerus terus menerus dikecam sembari melupakan kasus penistaan agama yang sudah nyata. Jelas, sikap ini menambah api yang sudah membara di jama’ah awam. Jika semua pihak ak berwenang mau adil, objektif dan berkomitmen menyelesaikan secara komprehensif, maka sebaiknya ada peraturan pemerintah atau perda yang melindungi umat mayoritas dari penistaan. Karena memang semua bentrok dipicu oleh adanya penistaan terhadap ajaran-ajaran ajaran aran suci kaum Sunni. Sebelum ada ‘dakwah’ menista Sahabat Nabi SAW, umat Sunni di Indonesia tidak terusik. Maka, pihak berwenang harusnya tidak enggan membahas isu ini dengan melibatkan ulama’ dan para pakar di bidangnya. Jika tidak, kita hanya akan menanti menanti kekisruhan yang lain. []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab Menyudahi Konflik NU dan Syiah Identifikasi Ahlus Sunnah Pengingkar Sunnah Itu Sesat Menyesatkan
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/radikalisme-syiah-dan-dilema-solusi-damai/
Radikalisme Syiah dan Dilema Solusi Damai 08/04/2013 | By anwar | Reply
Oleh Kholili Hasib
Dalam buku Buku Putih Madzhab Syiah yang diterbitkan oleh ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia) pada Agustus 2012, Syiah yang dipresentasikan ormas ABI melayangkan tawaran untuk merakit persatuan umat. Dikemukakan dalam pengantarnya: “Buku putih ini, dan upaya merakit persatuan umat, adalah dua hal yang menyatu. Buku Putih Mazhab Syiah ini memuat uraian-uraian untuk kesefahaman demi kerukunan umat Islam. Tidak akan ada persatuan dan kerukunan, kalau tidak ada kesefahaman,” tulis Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam pengantarnya. Ajakan berdamai antara Ahlussunnah dan Syiah seperti tertulis dalam buku tersebut diharapkan diungkapkan sepenuh hati, bukan sekedar retorika taqiyah. Kata kunci tawaran damai itu adalah “kesefahaman antara Sunni-Syiah”. Persoalannya, bagaimana dengan bukubuku Syiah yang berisi doktrin radikalisme, fitnah, laknat dan cacian terhadap Sahabat dan kaum Muslimin? Syiah Indonesia berapologi bahwa ajaran itu tidak mewakili mayoritas dan jumhur Syiah. Pada rentang tahun 1984 sampai 1985, publik Indonesia ramai dengan berita pengeboman gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan Candi Borobudur Megelang Jawa Tengah. Pelakunya adalah pemuda Syiah, yaitu Jawad dan Husein al-Habsyi. Keduanya ditangkap dan diadili. Dalam pengakuanya, Husein mengatakan ingin menjadi imam di Indonesia seperti Khomeini di Iran. Pada ceramah-cerahmahnya terekam, Husein kerap meniru ucapan Khomeini: “ … tidak Timur dan tidak Barat, tidak Sunni dan tidak Syiah, tetapi pemerintahan Islami …”. Radikalisme pemuda tersebut disulut oleh gerakan Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini. Apalagi Khomeini pernah menulis dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah bahwa penegakan pemerintahan Islam (pemerintah berdasarkan Imamah Syiah) menjadi keharusan hingga saat ini (baca Ayatullah al-Khumainy, al-Hukumah al-Islamiyah, hal. 26). Ayatullah Khomeini merupakan tokoh Syiah kontemporer yang menjadi rujukan Iran dan Syiah Imamah di dunia hingga kini. Kenyataannya, radikalisme ajaran Khomeini tidak memiliki perubahan signifikan dengan para pendahulu Syiah. Khomeini dalam bukunya Tahrir al-Washilah mengatakan, “Dan pendapat yang kuat bahwa al-nasibi (Sunni) didudukkan sebagai musuh dalam peperangan. Harta bendanya halal diambil sebagai ghanimah dengan menyisihkan seperlimanya. Bahkan jelas sangat dibolehkan mengambil hartanya di manapun berada dengan cara apapun serta kewajiban mengeluarkan seperlimanya” (Ayatullah al-Khomeini, Tahrir al-Washilah, I/hal. 352).
Henry Shalahuddin dalam Jurnal ISLAMIA Vol. VIII No. 1 tahun 2013 menulis artikel berjudul “Syiah, Gerakan Takfiri”. Diulas oleh Henry bahwa fitnah keji dilemparkan oleh Khomeini kepada para Sahabat Rasulullah saw. Khomeini berpendapat bahwa Aisyah, Talhah, Zubair dan Mu’awiyah serta orang-orang sejenis yang menjadi pengikutnya secara lahiriyah tidak najis, tapi mereka menurut Khomeini lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi. Ia mengatakan, “wa inkanu akhbas min al-kilab wa al-khanazir”. (Ayatullah Khomeini, Kitab al-Thaharah, III/hal. 457). Sedangkan ulama’ Ahlussunnah disebut telah keluar dari jalur al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh Syiah bernama Muhammad al-Tijani mengatakan, “Anna a’immatal madzahibi alarba’ah min ahlis sunnah hum aidhan khalafu kitaballahi wa sunnatinnabiy” (sesungguhnya empat imam madzhab Ahlussnnah juga telah menyalahi al-Qur’an dan hadis). Lebih keji lagi imam Abu Hanifah dan Imam Malik telah berbuat bid’ah dalam madzhabnya dan meninggalkan imam pada zamannya (Muhammad al-Tijani,al-Syiah hum Ahlussunnah, hal. 88). Fakta-fakta pustaka Syiah yang berbau radikal dan takfir seperti tersebut di atas cukup melimpah. Apalagi jika kita menelaah karya tokoh-tokoh klasiknya yang cenderung lugas dan blak-blakan daripada yang kontemporer yang cenderung bersiasat dengan taqiyah. Meskipun agak tertutup, tokoh kontemporer pada akhirnya tidak bisa menyembunyikan ajaran aslinya, seperti Ayatullah Khomeini. Kampanye Khomeini untuk mengekspor revolusi Syiahnya kabarnya disambut oleh sejumlah pemuda Syiah Indonesia dengan berupaya membangun jaringan militansi. Laporan As’ad Said Ali -Wakil Ketua Umum PBNU- di web resmi NU www.nu.or.id pada 30 Mei 2005 dalam bentuk artikel berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia” menulis bahwa Syiah Indonesia sedang membangun lembaga Marja’iyyat Taqlid seperti di Iran. Dalam laporannya, As’ad menyatakan bahwa jaringan militansi Syiah yang mengusung kemutlakan kekuasaan politik Imamah meluas dalam bentuk pengkaderan. Para alumni Qom Iran mendirikan yayasan, melakukan mobilisasi opini, dan penyebaran kader ke sejumlah parpol. “Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut marjaiyyad al-taqlidi, sebuah institutsi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan konstitusi Islam,” tulis As’ad. Sehingga dengan data-data seperti ini, patut ditanyakan kesefahaman seperti apa yang dimaksud Syiah Indonesia? Jika ingin membangun kesefahaman untuk berdamai dengan Ahlussunnah, maka Syiah harus terlebih dahulu menyelesaikan keanehan dan radikalisme ajaran para tokoh-tokoh mereka. Jika menolak dan apalagi membela para ulamanya tersebut, maka cukup rasional dikatakan bahwa tawaran untuk saling memahami dan berdamai tidak lebih dari retorika taqiyah belaka. Tawaran damai dan saling membangun kesefahaman harus dimulai dari Syiah dulu, dengan membuang ajaran-ajaran penistaan, fitnah terhadap para Sahabat Nabi saw dan ulama’ yang termaktub dalam kitab induk mereka, baik yang klasik maupun kontemporer. Selain itu, persoalan Syiah (termasuk di Indonesia) tidak bisa disederhanakan, misalnya Syiah ini perbedaan madzhab fikih. Di samping adanya perbedaan akidah, konsep imamah (kekuasaan mutlak baik secara politis maupun keagamaan harus di bawah para imam) di Syiah sangat rentan menjadi pemicu terjadinya benturan dalam kerangka Negara kesatuan
Indonesia. Sebab, konsep imamah yang mutlak ini memiliki cita-cita cita cita untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan Syiah. Sehingga, tawaran damai dan upaya membangun kesefahaman oleh Syiah makin sulit dinalar. []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Taqiyah dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah Din, Syiah, dan Muhammadiyah Menyudahi Konflik NU dan Syiah Skandal al-Qur’an Qur’an Syiah dan Orientalis
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/menyudahi-konflik-nu-dan-syiah/
Menyudahi Konflik NU dan Syiah 03/06/2012 | By admin | Reply Kali ini Syiah yang menyerang warga NU. Rabu sore 30 Mei 2012 rumah ustadz Fauzi didatangi tujuh orang — yang menurut keterangan diindikasi sebagai pengikut Syiah. Ustadz Fauzi adalah pengurus Syuriyah Ranting NU Desa Puger, Kencong Jember. Maksud sekawanan pengikut Syiah itu untuk menekan agar pelaksanaan pengajian di Kencong yang rencananya akan dihadiri Habib Muhdlar al-Hamid — da’i yang terkenal vokal dan tegas terhadap kekeliruan Syiah. Ketika ust Fauzi menolak, kawanan Syiah menyerang dengan golok melukai seorang murid ustadz Fauzi. Tidak ada balasan penyerangan dari warga NU setempat. Warga dan jajaran pengurus PCNU Jember menyerahkan kepada aparat keamanan. Bukan berarti persoalan selesai. Warga NU Jember kecewa sebab kelima orang pelaku penganiyaan warga NU yang telah ditangkap polisi dilepas kembali (www.nukencong.or.id 02/06/2012). Di sini, ada dua hal penting yang harus segera diperhatikan. Pertama, aspirasi warga nahdliyyin Jawa Timur agar Syiah dibekukan tampaknya belum direspon oleh pemerintah. Kedua, praktik merendahkan sahabat Nabi SAW masih dilakukan oleh Syiah dalam tulisan-tulisan dan pengajian. Untuk poin pertama, dikuatkan dengan sikap pendiri NU — KH.Hasyim Asy’ari — yang menolak paham Syiah. Dalam kitab Qonun Asasi li Jam’iyyati Nadlah al-Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syiah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Dalam kitab itu Kyai Hasyim mengecam golongan Syi’ah karena mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW. Oleh sebab itu, beliau menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat. Sebenarnya, informasi adanya penodaan Syiah terhadap sahabat Nabi SAW bukanlah hal baru. Sudah jamak diketahui Syiah sulit menghilangkan ajaran itu. Di Jember, pihak PCNU mengaku telah mengantongi bukti-bukti berupa rekaman ceramah pemimpin Syiah yang merendahkan kedudukan sahabat Abu Bakar, Umar dan Ustman. Di dalam kitab al-Kafi – kitab rujukan Syiah — juz 8 halaman 245 ditulis:” Dari Abu Ja’far ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang manjadi murtad semua, kecuali tiga. “Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin alAswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi”. Data-data ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab Syiah, juga dalam buku-buku mereka. Dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah — akidah yang dianut NU — ajaranajaran Syiah tersebut dikategorikan sebagai penodaan terhadap agama. Apapun bentuk penodaan terhadap sakralitas agama, pasti akan memantik konflik. Dakwah pengikut Ahlus Sunnah sudah berkali-kali mengingatkan agar Syiah menyudahi penodaan terhadap sahabat. Jikapun ajaran penodaan itu sulit dihilangkan oleh pihak Syiah, kalangan Sunni menghimbau agar mereka tidak menggelar aktifitas secara publik, sebab akan menyinggung kalangan Sunni.
Terkait itu, PCNU Jember secara resmi meminta pemerintah agar Syiah dibekukan. Di antara butir-butir himbauan yang ditujukan kepada pemerintah baru-baru ini adalah: “Kepada pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar tidak memberikan peluang penyebaran faham Syiah di Indonesia yang penduduknya berfaham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sangat berpeluang menimbulkan ketidakstabilan yang dapat mengancam keutuhan NKRI”. Ketegangan demi ketegangan yang telah terjadi memang akan menimbulkan ketidakstabilan Negara. Oleh sebab itu, faktor mendasarnya jangan sampai diabaikan para tokoh masyarakat dan pemerintah. Persoalan mendasarnya adalah, ajaran-ajaran yang menodai agama harus dihentikan aktifitas publiknya. MUI Jawa Timur pada januari lalu telah memberi rekomendasi agar aktifitas publik Syiah segera dibekukan. PWNU Jawa Timur juga sepakat dengan MUI Jawa Timur. Bahwa kelompok Syiah juga menghina sahabat Nabi, serta menyatakan orang yang tak turut dalam kelompok mereka bukanlah orang Islam. Bagi PWNU Jawa Timur Syiah telah melakukan kekeliruan akidah (metrotvnews.com 9 Januari 2012). Apalagi pihak Syiah telah mulai ‘pasang dada’ di hadapan warga NU. Ustadz Idrus Romli — salah satu pengurus PCNU Jember — cukup prihatin dengan perkembangan Syiah. Menurutnya, baru sedikit saja sudah berani anarkis, bagaimana nanti jika sudah besar. Keprihatinan Gus Idrus sesungguhnya mewakili keprihatinan mayoritas kyai NU di Jawa Timur. Almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin -kyai sepuh yang disegani kalangan NU- pada tahun 1985 telah memberi himbauan. Menurutnya, Syiah Imamiyah di Jawa Timur itu ekstrim yang harus dihentikan di Indonesia. Peringatan Kyai As’ad ini juga demi menjaga stabilitas warga Jawa Timur. Maka, pihak kepolisian dan pemerintah sebaiknya tidak menganggap remeh konflik ini. Jika tidak ada keadilan, bisa jadi insiden lebih besar akan terjadi lagi, tidak hanya di Jember tapi juga di daerah-daerah Jawa Timur lainnya. Ketegangan antara mayoritas Sunni (pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan pengikut Syiah sudah lama terjadi di Jawa Timur. Di beberapa kantong-kantong NU lainnya — seperti Pasuruan, Malang, dan Bondowoso — ‘insiden-insiden’ kecil kerap terjadi. Walaupun masih dalam taraf adu mulut, tapi bisa saja dari situ memantik konflik sosial. Apalagi ada kasus kelompok Syiah yang menyerang warga NU di Jember tempo hari. Emosi warga bisa naik, bila aparat mendiamkan dan tidak berbuat apa-apa terhadap Syiah di Jawa Timur. Yang mesti dilakukan bukan berusaha membungkam warga NU agar tidak menyalahkan Syiah. Alasan ini tidak rasional, sebab harga diri agama dan sakralitas ajaran Islam menjadi hak tiap warga termasuk warga NU yang harus dilindungi. Mestinya hal-hal yang memancing konflik itu diselesaikan. [] *Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Apa Akar Persoalan Sunnah Kontra Syiah? Radikalisme Syiah dan Dilema Solusi Damai Din, Syiah, dan Muhammadiyah Syiah dan Perkara Kedamaian Sosial
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/syiah-dan-perkara-kedamaian-sosial/
Syiah dan Perkara Kedamaian Sosial 25/05/2013 | By anwar | Reply Oleh Kholili Hasib, Peneliti InPAS Kasus Syiah di Sampang Madura masih berbuntut panjang. Pihak Syiah, yang dalam hal ini diwakili ormas ABI (Ahlul Bait Indonesia), melaporkan upaya relokasi pengungsi Syiah di Sampang kepada DPR pada Selasa 14/5/2013. Sebagaimana yang telah berjalan, pemerintah setempat merelokasi sementara para penganut Syiah karena dikhawatirkan terjadi lagi bentrok dengan umat setempat, seperti yang sudah terjadi hingga dua kali. Kasus Syiah ini menyeret Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang, ke meja pengadilan. Ia dihukum dua tahun penjara karena telah terbukti melakukan penodaan agama. Sehingga menyebabkan terjadinya bentrok antara warga yang mayoritas Nahdhliyyin dengan penganut Syiah. Upaya-upaya penyelesaian telah diupayakan oleh para ulama’ dan pemerintah Provinsi Jawa Timur. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKFMUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antarsesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Pemerintah bertanggung jawab dalam pembinaan penganut agama. Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang-pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk dikirim ke pondok pesantren Ahlussunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak. Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.
Karena itu, gugatan terhadap fatwa MUI Jatim justru kontra-produktif. Teguh Sugiharto, sang penggugat asal Jakarta, baru-baru ini menggugat lima hal terkait dengan kasus Sampang. Di antaranya, mendesak memulangkan kembali seluruh pengungsi Sampang ke kampung halamannya kembali. Kedua, penuntut meminta mencabut Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Ketiga, penuntut juga meminta mencabut Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Terakhir juga meminta pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) (hidayatullah.com 15/5). Jika saja fatwa dan Pergub dicabut, maka sama saja menyulut api konflik lagi di Sampang. Akar kedamaian makin sulit diurai. Gerakan Syiahisasi bisa merajalela, tidak hanya di Madura tapi juga di Jawa Timur. Fatwa dan Pergub tersebut sesuai prosedur, bersifat edukatif dan konstruktif. Penerbitannya telah melalui proses yang tidak gegabah. Sebelumnya, diadakan penelitian mendalam, baik observasi lapangan, tabayyun kepada penganutnya, maupun studi pustaka induk Syiah. Semuanya menyimpulkan, terdapat ajaran penodaan agama oleh aliran Syiah. Fatwa dan Pergub ini mengedukasi masyarakat, agar menjadi warga Negara yang taat beragama. Menjunjung tinggi adab. Ketua MUI Jatim, Abusshomad Buchori, menghimbau agar pelaku tindak kekerasan, baik dari Syiah maupun Ahlussunnah harus dihukum. Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran takfir dan dakwah politik Syiah patut jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan lebih dalam lagi. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”, di nuonline.com pada 30/5/2011, As’ad berpendapat bahwa terdapat jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran. Pemicunya adalah doktrin kemutlakan imamah berdasarkan politik. Karena itu, penanganan secara edukatif sangat diperlukan. Fatwa dan Pergub perlu di-breakdown dalam bentuk sosialisasi penguatan akidah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) di pesantren. Wawasan Aswaja di lembaga pendidikan Islam mungkin saja masih lemah. Pesantren yang lebih cenderung fiqih oriented akan menjadi integratif konsepnya jika konten kurikulumnya ditambah dengan pengenalan akidah serta tantangannya secara mendalam. Semangat meneliti ajaran-ajaran menyimpang bukan secara emosional bertujuan ‘berperang’ menghabisi penganutnya. Namun, bermotivasi mengentas penganut aliran sesat atau masyarakat awam secara luas dari keterlibatan dengan ajaran-ajaran yang menodai kesucian agama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan umat, maka dia bukan golonganku”. Urusan umat ini adalah kerusakan akidah, dan begitu bebasnya orang melakukan penodaan agama secara publik. Kedamaian takkan terwujud selama kelompok yang menodai agama bebas menyebarkan fitnahnya di tengah-tengah umat yang religius. []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Siapa Menolakk Fatwa Syiah Sesat? Din, Syiah, dan Muhammadiyah Ajaran Penistaan Agama Picu Problem Sosial Menyudahi Konflik NU dan Syiah
Subscribe If you enjoyed this article,, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/ajaran-penistaan-agama-picu-problem-sosial/
Ajaran Penistaan Agama Picu Problem Sosial 18/12/2012 | By admin | Reply
Buku tersebut diterbitkan oleh IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), ormas resmi Syiah Indonesia. Emilia adalah istri Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura IJABI. Ia juga menjabat sebagai ketua OASE, ormas berpaham Syiah.
Bedah buku ini patut disayangkan. Sama saja Balitbang Depag menyakiti umat mayoritas (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dan tidak peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi Muslim Indonesia. Fahmi Salim, membongkar kekeliruan buku “40 Masalah Syiah”. Menurutnya, buku ini mengandung masalah besar. Pada halaman 90, penulis buku (Emilia) menyatakan bahwa Syiah melaknat orang-orang yang dilaknat Fatimah. Dalam ajaran Syiah, yang dimaksud orang-orang yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar, Umar, Ustman dan orang-orang yang mengikuti mereka. Jalaluddin Rakhmat sendiri pernah menulis dalam bukunya “Meraih Cinta Ilahi” bahwa yang dilaknat itu adalah tiga Kholifah tersebut. Imam Khomeini dalam “Kasyfu al-Asrar” menilai, Fatimah melaknat Abu Bakar karena Abu Bakar menolak memberikan hak waris tanah fadak kepada Fatimah (hal.132). Pelaknatan terhadap Sahabat oleh buku “40 Masalah Syiah” tidak bisa ditutupi. Pada halaman 82, Emilia mengemukakan alasan. Bahwa para sahabat sering menentang pada saat Rasulullah saw masih hidup. Ustman bin Affan dinilai bermental rendah karena bersama para Sahabat melarikan diri pada Perang Uhud, meninggalkan perintah Rasulullah saw. Penilaian itu rupanya meng-copy dari buku Khomeini berjudul “Kasyfu al-Asrar”. Buku ini cukup keji mengecam Abu Bakar dan Umar. Khomeini menulis dengan kata-kata yang tidak beradab. Disebut oleh dia, keduanya adalah orang bodoh dan dungu yang suka melanggar perintah Allah swt (hal. 127). Selain itu, Sahabat Abu Sufyan dinilai sebagai sahabat yang tidak percaya adanya surga, neraka, hari perhitungan dan siksaan. Khalid bin Walid dikatakan membunuh Malik bin Nuwairah dengan tujuan keji yaitu untuk menikahi istrinya pada malam hari (hal. 84). Bagi Syiah, Imam itu mutlak. Maka ia menjadi ukuran keimanan. Emilia menulis bahwa orang yang meninggal tidak mengenal Imam, maka ia mati jahiliah (hal. 98). Mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan tidak membawa Islam. Buku ini terang-terangan menodai Sahabat yang dicintai oleh kaum Muslimin. Harusnya buku ini bukan dibedah oleh Depag, tapi diadili, sebab mengandung ajaran penodaan agama. Kasus
Sampang Madura meledak, dipicu oleh ajaran penodaan agama oleh Tajul Muluk. Begitupula di Jember, Situbondo dan Bangil. Apakah Balitbang Depag berupaya melebarkan kasus Sampang kepada daerah-daerah lainnya? Pada tahun 1997, PBNU menerbitkan Surat Edaran tentang kewaspadaan terhadap aliran Syiah. Surat edaran bernomor 724/A.II.03/10/ 1997 menyeru kepada kaum Muslimin untuk memahami secara jelas perbedaan prinsipil antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan aliran Syiah. Sebelumnya pada April 1993 para ulama’ dari Negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura) berkumpul di Brunei Darussalam membicarakan tentang paham Syiah dalam satu forum bertajuk “Seminar Akidah”. Dari Indonesia diwakili KH. Ilyas Ruhyat (Rais Amm PBNU), KH. Azhar Basyir (Ketua Umum Muhammadiyah), dan KH. Hasan Basri (Ketua MUI Pusat). Ijtima’ Ulama Asia Tenggara tersebut memutuskan dua hal penting. Pertama: Umat Islam di empat negara ini adalah Sunni. Baik Malaysia, Indonesai, Singapura, Brunei adalah Sunni dan bukan Syi’i. Kedua: Semua sepakat pada waktu itu, madzhab mereka adalah madzhab Syafi’i, namun diizinkan untuk pindah dari madzhab Syafi’i, tetapi tidak keluar dari salah satu madzhab yang empat. Aliran Syiah dilarang. Pada 21 September 1997, diadakan Seminar Nasional tentang Syiah di Masjid Istiqlal. Seminar merekomendasikan beberapa hal: Pertama, mendesak Pemerintah Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, agar melarang faham Syiah di seluruh wilayah Indonesia, karena selain telah meresahkan masyarakat, juga merupakan suatu sumber destablisiasi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia, karena tidak mungkin Syiah bersikap loyal pada pemerintah Indonesia karena dalam ajaran Syiah tidak ada konsep musyawarah melainkan keputusan mutlak dari Imam. Kedua, memohon kepada Kejaksaan Agung RI dan seluruh jajaran pemerintah terkait agar bekerja sama dengan MUI dan Balitbang Depag RI untuk meneliti buku-buku yang berisi faham Syiah dan melarang peredarannya di seluruh Indonesia. Ketiga, mendesak kepada pemerintah Indonesia, menteri Kehakiman RI agar segera mencabut izin semua yayasan Syiah atau yang mengembangkan ajaran Syiah di Indonesia. Keempat, meminta kepada pemerintah, Menteri Penerangan RI agar mewajibkan pada semua penerbit untuk melaporkan/menyerahkan contoh dari semua buku-buku terbitannya kepada MUI Pusat untuk selanjutnya diteliti. Kelima, mengingatkan kepada seluruh organisasi Islam, lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia agar mewaspadai faham Syiah yang dapat mempengaruhi warganya. Keenam, mengajak kepada seluruh masyarakat Islam Indonesia agar senantiasa waspada terhadap aliran Syiah, karena faham Syiah, kufur sesat dan menyesatkan.
Ketujuh, menghimbau kepada segenap kaum wanita agar menghindarkan diri dari praktek nikah mut’ah yang dilakukan dan dipropagandakan oleh pengikut Syiah. Kedelapan, menghimbau semua media massa dan penerbit buku untuk tidak menyebarkan faham Syiah di Indonesia. Kesembilan, menghimbau kepada pemerintah RI untuk melarang kegiatan penyebaran Syiah di Indonesia oleh kedutaan Iran. Kesepuluh, secara khusus mengharapkan kepada LPPI agar segera bekerja sama dengan MUI dan Departemen Agama untuk menerbitkan buku panduang ringkas tentang kesesatan Syiah dan perbedaan-perbedaan pokoknya dengan Ahlussunnah. Seminar tersebut mendapat sambutan baik dari Depag. Drs. H. Subagjo, direktur Direktorat Penerangan Agama Islam Departemen Agama yang hadir dalam seminar tersebut menyambut baik materi-materi dan rekomendasi yang disampaikan narasumber. Menurutnya, kedua kubu -Syiah dan Ahlussunnah- sebaiknya saling terbuka, tidak ada taqiyyah demi tercipta suasana kondusif. Secara pribadi ia mengaku bahwa Departemen Agama lebih cenderung jika Syiah dilarang. Karena itu, bedah buku “40 Masalah Syiah” ini akan semakin membuat keruh perselisihan Sunnah-Syiah, dimana suasananya belum benar-benar stabil. Yang harus dipahami di sini, sebenarnya kekisruhan-kekisruhan yang melibatkan umat Sunni dan Syiah ini bukan sekedar lagi isu perbedaan, tapi lebih cenderung kasus penistaan agama. Pelaku penganiyaan tetap harus dihukum. Namun, penistaan agama juga harus diusut, dicari solusinya. Selama ini, pihak berwenang hanya berkonsentrasi kepada isu kriminil terhadap kaum minoritas. Sementara, umat mayoritas terus-menerus dikecam sembari melupakan kasus penistaan agama yang sudah nyata. Jelas, sikap ini menambah api yang sudah membara. Di manapun, ajaran penistaan pasti memicu perlawanan. [] *Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
Category: Opini
Related posts: 1. Pluralisme Agama Bisa Picu Problem Sosial 2. Berbeda, antara Penafsiran dan Penistaan Agama 3. Kerancuan JIL Memandang Intervensi Negara terhadap Agama dalam Konteks Penistaan Agama dan Nikah Sirri 4. Dampak Sosial Pluralisme Agama
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/siapa-menolak-fatwa-syiah-sesat/
Siapa Menolak Fatwa Syiah Sesat? 20/09/2012 | By admin | Reply
Mengapa Berbeda? Kita baca ulang suasana ketika fatwa itu baru saja dilahirkan. Ternyata, fatwa tentang kesesatan Syiah itu mendapat respon positif para alim-ulama di Jawa Timur. Dalam pertemuan bertajuk “Silaturrahmi Ulama-Umara, Menyikapi Berbagai Faham Keagamaan di Jawa Timur” yang dihadiri sekitar 50 ulama Jatim pada 06/03/2012, para ulama (termasuk wakil PWNU dan PW Muhammadiyah) tak menunjukkan perbedaan pendapat tentang kesesatan Syiah. Di acara itu, NU Jatim dan Muhammadiyah Jatim bahkan mendesak Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo segera menindak-lanjuti rekomendasi para ulama. “Akhir-akhir ini di Jawa Timur terjadi keresahan sosial. Jika ini tidak dicegah, akan berimplikasi timbulnya perbuatan-perbuatan anarkis, yang pada gilirannya mengancam stabilitas nasional. Untuk itu, kami dari Pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur mendukung keputusan MUI Jatim tentang berbagai aliran sesat di Jatim dan mendorong pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah dan bersinergi dengan pemerintah pusat serta mengambil langkah-langkah lanjutan sebagai fungsi mencegah terjadinya (tindak) anarkis,” kata Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Prof. Dr. Tohir Luth. Sementara, menurut KH Agoes Ali Masyhuri yang mewakili PWNU Jatim, Jawa Timur adalah barometer nasional. Jika stabilitasnya terganggu, dampaknya juga akan merembet ke wilayah lain. “Saya atas nama PWNU Jawa Timur merespon positif langkahlangkah cerdas yang diambil oleh MUI Jawa Timur untuk menyikapi berbagai aliran sesat yang ada di Jawa Timur, karena Jatim adalah barometer nasional,” ujarnya (www.hidayatullah.com 07/03/2012). Tetapi, bagaimana sikap sejumlah elit di Jakarta dari ormas keagamaan yang sama? Jika pada Maret 2012 ulama NU Jatim sependapat bahwa Syiah itu sesat, maka itu berbeda dengan Ketua Umum PBNU -Said Aqil Siradj- yang berkata: “Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita.” (www.tempo.co 29/08/2012). Jika pada Maret 2012, ulama Muhammadiyah Jatim sependapat bahwa Syiah itu sesat, maka itu berbeda dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Situs www.kompas.com 07/09/2012 menurunkan judul: “Din: Muhammadiyah Keberatan Fatwa Sesat Syiah”. Lebih jauh, situs itu mengutip Din: ”Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syiah adalah sama-sama Muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apapun mazhabnya.” Ia pun berharap fatwa tersebut dapat dicabut. Jika benar Din Syamsuddin menggugat keberadaan Fatwa MUI Jatim tentang “Kesesatan Ajaran Syiah”, maka kepada dia patut disoal: Sudah membaca lengkapkah fatwa yang dimaksud? Sikap Din itu aneh, sebab Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 (1) tegas mengatur bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah”.
Alhasil, jika kemunkaran Syiah telah terang-benderang disingkap MUI Jatim (lewat fatwanya) maka mengapa Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap fatwa itu dicabut? Memang, secara umum -terutama belakangan ini- terasakan bahwa ulama kerap dilawan. Indikasinya, fatwa ulama sering diremehkan dan otoritas ulama sering digugat. Misal, jika di sebuah kesempatan ulama memfatwakan sesat sebuah aliran maka dengan tak ragu-ragu sejumlah orang menanggapinya dengan sinis. Misalnya, dengan malah menyesatkan kriteria sesat yang dibuat ulama. Bisa juga fatwa ulama itu direlatifkan dengan bersandar kepada induk ajaran liberalisme pemikiran yaitu relativisme. “Tak ada yang mutlak di dunia ini,” demikian biasanya mereka menyergah. Intinya, sejumlah penentang itu bersikap merelatifkan fatwa MUI. Kaum liberal berusaha mengerdilkan otoritas ulama. Padahal, siapapun tahu, bahwa di lapangan hidup apa saja mesti ada otoritas dalam menilai sesuatu. Misalnya, di bidang kesehatan hanya dokterlah yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit atau tidak. Begitu juga, di aspek keagamaan. Untuk Islam, yang memiliki otoritas menentukan fatwa (tentu saja termasuk menetapkan sebuah aliran itu sesat atau tidak) adalah ulama, yaitu ulama yang shalih dan bukan ulamaus-su’/ulama jahat. Sebab, “Ulama adalah ahli waris para Nabi” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dengan posisi itu, ulama menjalankan fungsi kenabian seperti mendampingi umat menuju kehidupan yang Islami. Terkait itu, salah satu peran ulama adalah memberikan fatwa, baik diminta ataupun tidak. Sikap Kita? Sungguh, Allah mewajibkan setiap orang yang beriman untuk berdakwah beramarma’ruf dan bernahi-munkar. Perintah itu disampaikan-Nya dalam “satu tarikan nafas” dengan perintah shalat dan zakat. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS AtTaubah [9]: 71). Dengan dasar itu, kita harus bernahi munkar atas berbagai kemunkaran yang ada di sekitar kita. Jika kita abai terhadap aktivitas beramar ma’ruf nahi munkar maka sanksinya sangat berat, yaitu bencana (baca: azab Allah) akan turun. Jika di sekitar kita ada kemaksiatan / kemunkaran dan itu kita biarkan maka azab Allah bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Semua orang (seperti ulama, cendekiawan, pemimpin, bahkan termasuk rakyat awam) akan merasakan siksa-Nya. “Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksaNya secara umum” (HR Abu Dawud). Jadi, sudah tepatkah sikap kita selama ini? [] Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Din, Syiah, dan Muhammadiyah Gaga dan ‘Siapa Mencintai Siapa’ ‘Siapa’ Naik, Intoleransi ataukah Kebebasan Menista? Syiah dan Perkara Kedamaian Sosial
Subscribe
If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/skandal-al-quran-syiah-dan-orientalis/
Skandal al-Qur’an Syiah dan Orientalis 24/09/2012 | By admin | Reply
Pada April 2012, Pesantren Sidogiri Pasuruan menerbitkan buku terkait isu tahrif al-Qur’an berjudul “Skandal al-Qur’an Syiah”, ditulis oleh A. Qusyari Ismail dan Moh. Achyat Ahmad. Buku ini merupakan buku kedua dari Pesantren Sidogiri yang mengkaji Syiah. Sebelumnya, pada tahun 2007 pesantren bercorak tradisional ini meluncurkan buku berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah?”
Buku “Skandal al-Qur’an Syiah” menjelaskan simpang-siurnya wacana al-Qur’an versi Syiah. Kajian ini merujuk langsung dari riwayat dan fatwa kitab-kitab standar Syiah. Salah satu kajian yang perlu ditelisik secara mendalam dari buku ini adalah kajian kritis terhadap Mitos Syiah tentang al-Qur’an. Qusyari Ismail dan Achyat menulis bahwa fenomena kajian sejarah al-Qur’an di lingkungan Syiah lebih serasi dengan tradisi keilmuan orientalis tentang al-Qur’an, ketimbang dengan metodologi dalam tradisi Ahlussunnah. Salah satu temuan dalam kajian buku ini adalah, tradisi Syiah yang meyakini isu tahrif al-Qur’an memiliki kemiripan dengan orientalis. Yakni keduanya sama-sama mengajukan kritik terhadap orisinalitas al-Qur’an. Kritik yang mereka ajukan seputar isu adanya penambahan dan pengurangan atau kesalahan penempatan, dan sama-sama bermaksud memunculkan al-Qur’an tandingan yang mereka anggap masih orisinil. Riwayat tentang keyakinan bahwa al-Qur’an telah berubah dalam kitab-kitab Syiah sesungguhnya cukup melimpah. Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini yang menulis kitab hadis al-Kafi, yang populer di kalangan Syiah, termasuk tokoh yang mengusung tahrif al-Qur’an. Salah satu kitab tafsir Syiah menulis, “Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata bahwa beliau berkeyakinan telah terjadi penambahan dan pengurangan dalam al-Qur’an. Sebab beliau menulis beberapa riwayat akan masalah ini dalam al-Kafi dan sedikitpun beliau tidak menyanggahnya, di samping beliau telah berikrar di awal kitabnya akan ke-tsiqah-an seluruh riwayat yang ditulisnya. Begitu pula gurunya, Ali bin Ibrahim al-Qummi” (Skandal al-Qur’an Syiah hal.110). Dalam buku sebelumnya, “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah”?, tim penulis Sidogiri mengutip temuan Prof. Dr. Ahmad bin Sa’ad Hamdan al-Ghamidi bahwa ada sekitar 30 ulama’ Syiah kenamaan yang mengusung kepercayaan tahrif al-Qur’an. Literaltur lain menyebut angka 40 ulama’ Syiah klasik yang meyakini tahrif al-Qur’an. Jumlah ini, diyakini telah memenuhi konsensus/ijma’ ulama klasik Syiah. Menurut kepercayaan mereka, ayat-ayat al-Qur’an yang asli jauh lebih banyak daripada mushaf Ustmani. Al-Kulaini berkata, “Dari Abi Abdillah, beliau berkata; Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril as, kepada Nabi Muhammad Saw adalah sebanyak 17.000 ayat” (al-Kafi II/634). Dalam sejumlah riwayat melaporkan, ada sejumlah ayat yang didistorsi oleh para Sahabat.
Seperti an-Nu’mani meriwayatkan; “Dari Jabir, dari al-Shadiq, dari Amirul Mu’minin ketika memberikan contoh ayat al-Qur’an yang didistorsi. Amirul Mukimini berkata, ‘contohnya adalah surah Amma (an-Naba’): “Orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku adalah pengikut Abu Thurab”. Lalu mereka mengubah kalimat “thurabiyyan” menjadi “thuraba” (debu). Namun yang benar adalah “thurabiyyan, karena Rasul sering memanggilku dengan panggilan Abu Thurab”. Selain itu, Syiah melemparkan tuduhan kepada Ahlussunnah bahwa ayat-ayat yang dinasakh –dalam keyakinan Ahlussunnah– dinilai sebagai men-tahrif al-Qur’an. Seperti kata al-Khu’i, “Karena itu maka bisa kita katakan bahwa pendapat yang menyatakan telah terjadi distorsi dalam al-Qur’an merupakan pendapat kebanyakan ulama Ahlussunnah, karena mereka menyatakan bolehnya nasakh tilawah dalam al-Qur’an” (al-Bayan, 244).
Tampak di sini Syiah tidak memiliki pemahaman konsep nasakh, seperti diyakini Ahlussunnah. Nasakh dianggap sama dengan tahrif. Sedang, Ahlussunnah membedakannya. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayat-ayat yang dimansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushhaf al-Qur’an, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan al-Qur’an, melalui Nabi-Nya, Muhammad Saw. Jadi yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah. Sedangkan Tahrif berarti adanya perubahan terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia, sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Riwayat yang sama banyak terdapat dalam kitab-kitab Syiah. Buku terbitan Sidogiri menyebut di antaranya; Tafsir al-Qummi, Tafsir al-Ayyasyi, Furat al-Kufi, al-Kafi, dan Fashul Khitab. Kritik yang hampir sama diajukan oleh sejumlah orientalis. John Wansbrough dalam bukunya “Quranic Studies” berpendapat bahwa al-Qur’an yang sekarang merupakan produk perkembangan tradisi dalam periode periwayatan panjang. Ia telah mengalami distorsi oleh para perawi. Bahkan dinilai kitab fiksi hasil rekayasa kaum Muslimin generasi awal. Christoph Luxenberg dengan menggunakan metode filologis menyimpulkan al-Qur’an sekarang telah mengalami kesalahankesalahan bahasa. Karena bahasa asli, katanya, adalah Syiriak bukan Arab (baca Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an karya Adnin Armas). Kalangan orientalis juga menggunakan riwayat nasikhmansukh sebagai dalil bahwa al-Qur’an telah mengalami distorsi sejak lama. Selain itu, dalam persoalan pengurangan dan kekeliruan sejumlah ayat, Syiah dan orientalis juga bermaksud memunculkan al-Qur’an tandingan. Dalam akidah Syiah, al-Qur’an yang orisinil disebut Mushaf Fathimah. Selain Mushaf Fathimah, Syiah juga meyakini, riwayat-riwayat asli al-Qur’an pernah terkumpul dalam Mushaf Ali bin Abi Thalib. Sedang di kalangan orientalis, terdapat nama Arthur Jeffery dan penerusnya Otto Pretzl dari Jerman yang pernah berusaha menyusun Al-Qur’an Edisi Kritis (a Critical Edition of the Qur’an). Al-Qur’an tandingan itu hingga kini tidak pernah ada. Mushaf yang konon dikumpulkan Fathimah dan Ali tidak pernah muncul ke permukaan. Menurut keyakinan Syiah, al-Qur’an versi Syiah itu akan dibawa oleh Imam al-Mahdi versi mereka menjelang hari Kiamat. Sedang, al-Qur’an edisi kritis yang berusaha disusun Jeffery dan Pretzl pun gagal total. Karena musnah ketika perang Dunia II.
Lantas bagaimana dengan kalangan Syiah yang menolak adanya distorsi atau tahrif al-Qur’an? al Di antara nama-nama nama kondang di kalangan Syiah yang mengingkari tahrif, adalah; Ibnu Babawaih, Muhammad bin Hasan at-Thusi, Thusi, at-Thabrasi, at Ni’matullah al-Jaza’iri, dan lain-lain. lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, sederet ulama’-ulama’ ulama’ ulama’ tersebut mengagumi pembesar-pembesar pembesar klasik Syiah, seperti al-Kulaini, Kulaini, dan al-Majlisi al – yang keduanya terang-terangan terangan meyakini distorsi alal Qur’an. Bahkan kitab-kitabnya kitabnya menjadi rujukan primer, dan disebut sebagai kitab yang bisa dijadikan referensi. Ada semacam kontradiksi di sini. Dalam simpang-siur siur seperti ini perlu kiranya pendapat Ni’matullah al-Jazairi al Jazairi dalam dala kitab Anwar alNu’maniyyah diperhatikan, “Yang jelas bahwa pendapat tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an al digulirkan oleh sebagian tokoh Syiah karena terdapat banyak kemaslahatan. Di antaranya untuk menutup rapat-rapat rapat pintu celaan yang akan dilancarkan kepada kepada mereka bahwa jika tahrif ini terjadi dalam al-Qur’an, Qur’an, maka bagaimana bisa ia dijadikan pijakan untuk kaidah dan hukum-hukumnya”. hukum Ahmad Sulton, ulama Syiah lainnya, berpendapat bahwa pengingkaran tokohtokoh-tokoh Syiah tentang tahrif hanyalah taqiyyah belakaa (Skandal ( al-Qur’an Syiah hal. 149). Dengan data-data data seperti itu, maka banyak peneliti di kalangan Ahlussunnah menyimpulkan bahwa pengingkaran Syiah terhadap distorsi al-Qur’an al Qur’an hanyalah topeng taqiyah yang digunakan ulama’ kontemporer Syiah. Perkara apakah ah benar mereka taqiyah atau tidak, bahwa ada Syiah yang mengingkari tahrif itu adalah fakta. Tapi, yang jelas, mestinya jika Syiah menolak tahrif al-Qur’an, al Qur’an, maka mereka seharusnya berlepas diri dari pendapat-pendapat pendapat ulama’ klasik Syiah dan menolak kitab-kitab kitab kitab standarnya. Jika tidak, tetap saja, isu ini lebih menguat kepada penilaian taqiyah belaka, seperti yang disimpulkan dalam buku terbitan Sidogiri tersebut. Pertanyaan berikutnya yang perlu dicamkan adalah, bagaimana Syiah menggunakan mushaf Ustmani sekarang karang ini, sedangkan Ustman bin Affan, yang mengodifikasi mushaf itu dicerca dan dinista? Apakah ini juga bagian dari praktik taqiyah? Maka, kita tunggu Syiah melepaskan sikap eksklusifnya. []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Kritik Sunni terhadap Syiah Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh Din, Syiah, dan Muhammadiyah Radikalisme Syiah dan Dilema Solusi Damai
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/din-syiah-dan-muhammadiyah/
Din, Syiah, dan Muhammadiyah 09/09/2012 | By admin | Reply
Kemunkaran Syiah Pada 21/01/2012 Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) menerbitkan fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang “Kesesatan Ajaran Syiah”. Fatwa itu ditetapkan setelah membaca 12 hal. Satu di antaranya, “Rekomendasi Hasil Musyawarah Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA) -03/01/2012yang salah satu isinya meminta agar MUI-Jatim mengeluarkan fatwa tentang ajaran Syiah”. Fatwa itu ditetapkan setelah menimbang 9 hal. Dua di antaranya, pertama, “Bahwa konflik-konflik yang melibatkan pengikut faham Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (dan/atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait dan semisalnya) sudah sering terjadi dan telah berjalan cukup lama sehingga dibutuhkan adanya upaya pemecahan yang mendasar dengan memotong sumber masalahnya. Tanpa upaya pemecahan yang mendasar sangat dimungkinkan konflik akan muncul kembali di kemudian hari dan bahkan berpotensi menjadi lebih besar. Kedua, “Bahwa diperlukan adanya pedoman untuk membentengi aqidah umat dari aliran yang menyimpang dari faham ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (dalam pengertian luas). Fatwa itu ditetapkan setelah memerhatikan 23 hal. Tiga di antaranya, pertama, “Keputusan Fatwa MUI 07/03/1984 tentang Faham Syiah yang menyatakan bahwa faham Syiah memunyai perbedaan pokok dengan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah yang dianut oleh umat Islam di Indonesia sehingga umat Islam dihimbau untuk meningkatkan kewaspadaannya. Kedua, “Telaah terhadap kitab yang menjadi rujukan dari faham Syiah, seperti Al-Kafi, Tahdzib al-Ahkam, Man La Yadluruhu al-Faqih,” dan lain-lainnya. Berdasar telaah itu, dapat diketahui adanya perbedaan yang mendasar dengan ahlu al-sunnah wa aljama’ah (dalam pengertian luas), tidak saja pada masalah furu’iyah tetapi juga pada masalah ushuliyah (masalah pokok dalam ajaran Islam), di antaranya: a).Hadits menurut faham Syiah berbeda dengan pengertian ahlu al-sunnah. Menurut Syiah, hadits meliputi af’al, aqwal, dan taqrir yang disandarkan tidak hanya kepada Nabi Muhammad Saw tetapi juga para imam yang diklaim sebagai imam-imam Syiah. b).Syiah meyakini bahwa imam-imam adalah ma’shum seperti para Nabi. c).Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (Imamah) termasuk masalah aqidah dalam agama. d).Syiah mengingkari otentisitas Al-Qur’an dengan mengimani adanya tahrif Al-Qur’an. e).Syiah meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an yakni yang disebut mushaf Fatimah. f).Syiah banyak melakukan penafsiran Al-Qur’an yang mendukung faham mereka antara lain melecehkan Sahabat Nabi Saw. g).Syiah meyakini bahwa kebanyakan para Sahabat Rasulullah Saw telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kecuali tiga orang saja (Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salaman Al-Farisi). h).Syiah meyakini bahwa orang yang tidak mengimani imam-imam Syiah adalah syirik dan kafir. i).Syiah melecehkan Sahabat Nabi Saw, termasuk Abu Bakar ra dan Umar ra. j).Syiah meyakini bahwa orang yang selain Syiah adalah keturunan pelacur. k).Syiah membolehkan dan bahkan menganjurkan praktik nikah mut’ah. l).Syiah menghalalkan darah ahlu alsunnah. m).Syiah melecehkan Nabi Saw dan Ummul Mu’minin. n).Syiah punya doktrin Thinah (thinat al-mu’min wa al-kafir) yaitu doktrin yang menyatakan bahwa dalam penciptaan manusia ada unsur tanah putih dan tanah hitam. Pengikut Syiah tercipta dari unsure tanah putih, sedangkan ahlu al-sunnah berasal dari tanah hitam. Para pengikut Syiah yang tersusun dari tanah putih jika melakukan perbuatan maksiat dosanya akan
ditimpakan kepada pengikut ahlu al-sunnah al sunnah (yang tersusun dari tanah hitam). Sebaliknya, pahala yang dimiliki pengikut ahlu al-sunnah al sunnah akan diberikan kepada para pengikut Syiah. Ketiga,, Surat Edaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama No:724/A.II.03/10/1997 No:724/A.II.03/10/1997 tentang seruan agar kaum Muslimin memahami secara jelas perbedaan prinsipil antara ahlu al-sunnah wa al-jama’ah jama’ah dengan Syiah. Fatwa itu ditetapkan setelah mengingat sejumlah hal, seperti antara lain, pertama, QS Al-Baqarah Baqarah [2]: 177, QS Al-Qamar [54]: 49, QS Al-Hijr Hijr [15]: 9, QS Al-Fath Al [48]: 29, dan QS At-Taubah Taubah [9]: 100. Kedua, hadits-hadits marfu. Ketiga, Ketiga hadits mauquf kepada Ali ra. Keempat,, pendapat para ulama (Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, dan KH Hasyim Asy’ari). Untuk pendapat KH Hasyim Asy’ari –Rois Rois Akbar PBNUPBNU bisa dibaca pada Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama: Sampaikan secara terangterang terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah bid’ah bid’ah terberantas dari semua orang. Rasulullah Saw bersabda, “Apabila fitnah dan d bid’ah-bid’ah bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku dicaci-maki, maki, maka hendaklah orang-orang orang orang alim menampilkan ilmunya. Barang-siapa siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang. Berdasarkan hal-hal hal itu, MUI Jatim pada 21/01/2012 memutuskan tiga hal, satu di antaranya “Mengukuhkan dan menetapkan keputusan MUI-MUI MUI MUI daerah yang menyatakan bahwa ajaran Syiah (khususnya Imamiyah Itsna Asyariyah dan/atau yang menggunakan nama samaran Ahlul Bait dan semisalnya) serta ajaran-ajaran ajaran yang mempunyai kesamaan dengan faham Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah adalah SESAT DAN MENYESATKAN. Din dan Muhammadiyah Aneh jika Din Syamsuddin mengatakan bahwa fatwa MUI Jatim tersebut justru akan memicu tindakan intoleransi yang tak sesuai dengan semangat semangat Islam. ”Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syiah adalah sama-sama sama Muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apapun mazhabnya,” ujar Din. Ia pun berharap berha fatwa tersebut dapat dicabut (www.kompas.com www.kompas.com 07/09/2012). Aneh, sebab Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 (1) tegas mengatur bahwa “Muhammadiyah Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an Qur`an dan As-Sunnah”. As Alhasil, jika kemunkaran Syiah telah terang-benderang terang benderang disingkap MUI Jatim, mengapa Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap fatwa fa itu dicabut? []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Siapa Menolak Fatwa Syiah Sesat? Radikalisme Syiah dan Dilema Solusi Damai Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab Menyudahi Konflik NU dan d Syiah
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/taqiyah-dalam-pandangan-syiah-dan-ahlussunnah/
Taqiyah dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah 08/04/2013 | By anwar | Reply
Oleh Kholili Hasib*
Pada Kamis 14/02/2013, Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran menyelenggarakan diskusi bertema “Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan”. bertempat di Universitas Imam Khomeini, kota Qum Iran. Salah satu pembicara, Hendar Yusuf, menyampaikan makalah berjudul “Konsep Taqiyah dalam Islam” (hidayatullah.com 19/02/2013).
Menurut pemakalah, ajaran taqiyah memiliki landasan al-Qur’an dan hadis. Ia menyitir surat al-Nahl ayat 106: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” Bahkan, tambah dia, taqiyah tidak sekedar boleh, tapi itu penting dalam berdakwah. Karena dapat mendukung dalam penyebaran dakwah. Melindungi jiwa raga, agama dari marabahaya.
Taqiyah Syiah: Rukun Agama
Taqiyah adalah merahasiakan keyakinan dari para lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya. Ali Muhammad al-Syalabi menerangkan, dalam Syiah ada empat unsur pokok ajaran taqiyah; Pertama, menampilkan hal yang berbeda dari apa yang ada dalam hatinya. Kedua, taqiyah digunakan dalam berinteraksi dengan lawanlawan Syiah. Ketiga, taqiyah berhubungan dengan perkara agama atau keyakinan yang dianut lawan-lawan. Keempat, digunakan di saat berada dalam kondisi mencemaskan (Ali Muhammad al-Syalabi, Fikr al-Khawarij wa al-Syiah fi Mizan Ahlissunnah wal Jama’ah, hal. 311). Posisi ajaran taqiyah dalam Syiah sangat esensial. Seperti kata al-Kulaini, penulis al-Kafi: ال دين لمن ال تقية له “Tidak beragama orang yang tidak menggunakan konsep taqiyah” (alKulaini, Ushul al-Kafi, jilid II, hal. 217). Karena itu, Ibnu Babawaih, tokoh besar Syiah klasik, berfatwa bahwa hukum menerapkan taqiyah itu wajib, seperti kewajiban menjalankan shalat. Ia mengatakan; “Keyakinan kita tentang hukum taqiyah adalah wajib, barang siapa yang meninggalkan taqiyah sama halnya dengan meninggalkan shalat” (Ibnu Babawaihi, al-I’tiqadat, hal. 114). Dalam keyakinan Syiah, taqiyah merupakan pilar-pilar utama agama. Taqiyah diserupakan dengan sembilan persepuluh dari agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban dalam Islam lainnya hanya sepadan dengan satu persepuluh. Ini artinya, taqiyah lebih utama daripada rukun Islam (lihat al-Kafi, juz II hal. 217, Badzlul Majhud juz II hal. 637).
Taqiyah Menurut Ahlussunnah Berbeda dengan Syiah, Islam (Ahlussunnah) memberlakukan taqiyah terhadap orang-orang kafir. Dalam paradigma Islam, menyembunyikan keyakinan di hadapan orang kafir dibenarkan jika dalam kondisi darurat. Hukumnya boleh, tidak wajib. Seperti dalam firman Allah swt: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” (QS. Al-Nahl 106).
Dari ayat ini jelas terlihat perbedaannya dengan konsep Syiah. Seperti diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, bahwa menyembunyikan keyakinan di hadapan orang kafir berlaku saat awal-awal Islam, sebelum umat Islam kuat. Adapun sekarang, Allah memberikan kemenangan kepada umat Islam. Sehingga hendaknya mereka tidak merasa takut lagi (Imam alQurtubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, jilid IV hal. 57). Dalam Islam (Ahlussunnah), taqiyah merupakan rukhshoh (dispensasi) ketika dalam kondisi darurat. Parameter darurat itu seperti digambarkan oleh Ibnu Mundzir; “Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa kafir, saat keselamatan jiwanya terancam, kemudian mengucapkan kata-kata kufur, tapi hatinya tetap teguh keimannnya, demi menyelamatkan nyawa adalah diperbolehkan” (Ibn Hajar, Fathul Bari, 12 hal. 314). Jadi, ada perbedaan mendasar antara taqiyah dalam Ahlussunnah dan Syiah. Ahlussunnah mensyaratkan dalam kondisi darurat. Darurat ini ukurannya seperti ukuran dalam fikih. Yakni nyawa terancam. Sedangkan Syiah, tidak ada syarat seperti itu. Bahkan merupakan kewajiban agama di tengah mayoritas golongan lain. Taqiyah dalam Syiah bukan dispensasi, tapi kewajiban asasi. Kaum Sunni, meskipun hidup di tengah mayoritas orang kafir, selama tidak dalam kondisi terancam nyawa mereka, tidak boleh menyembunyikan identitas. Tidak ada anjuran berdakwah dengan taqiyah, sebagaimana Syiah. Syiah bahkan menjadikannya kewajiban kolektif. Justru Islam mengajarkan keberanian. Seperti dikatakan oleh Ibn Bathal, bahwa para ulama’ Ahlussunnah yang mendasarkan konsep taqiyah berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, bersepakat bahwa jika seorang Muslim dipaksa kafir, kemudian si Muslim tetap teguh menampakkan keimannnya, sehingga mengakibatkan ia dibunuh orang kafir. Maka baginya pahala yang besar di sisi Allah swt (Ali Muhammad al-Syalabi, Fikr al-Khawarij wa al-Syiah fi Mizan Ahlissunnah wal Jama’ah, hal. 319). Dengan demikian, konsep taqiyah di dalam Syiah lebih cenderung kepada ajaran kemunafikan. Sebab, diajarkan untuk menjadi karakter pribadi, tanpa ada rukhshoh. Karena itulah, Syiah dinilai sangat eksklusif dan tertutup.
Mengancam Ukhuwah Menurut Prof. Dr. Mohammad Baharun, topeng taqiyah Syiah menjadi masalah dalam interaksi dengan Ahlussunnah. Dakwah Syiah yang menggunakan taqiyah kerap mengelabui umat. Menurut Baharun, banyak pengikut Syiah tidak mengaku Syi’i secara konsekuen dan terang-
terangan. Mereka Syi’i biwajhin Sunni (Syiah berwajah Sunni). Pengelabuan ini memiliki target khusus. Setelah mereka menguasai, baru menampakkan wujud aslinya (Mohammad Baharun, Tantangan Syiah terhadap Ahlussunnah, hal 108). Faktor inilah yang menjadi sebab buntunya dialog Sunnah-Syiah. Sunnah Syiah. Selama ada pengelabuh dalam bentuk taqiyah, pasti pasti konflik akan terus terjadi. Ketika duduk di meja dialog, mereka bertaqiyah, memakai wajah Sunni. Namun di saat yang lain, melakukan Syiahisasi secara massif. Jelas, caracara cara eksklusif tersebut menyulut ‘api’. Di tengah meluasnya konflik Sunnah-Syiah, Sunnah saran yang paling baik adalah kejujuran dan keterbukaan. Tidak perlu lagi memakai topeng taqiyah. Cara-cara cara taqiyah seperti diajarkan Syiah akan bisa mengkristal dalam bentuk amaliyah kolektif yang berpotensi memecah-belah memecah belah umat. Tidak akan tercipta ukhuwah, h, jika berpura-pura berpura pura menjadi Sunni, tapi kerjaannya di belakang mengkritik Sunni. *Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh Ahlul Bait, Syiah atau Ahlussunnah? Skandal al-Qur’an Qur’an Syiah dan Orientalis Radikalisme Syiah dan Dilema Solusi Damai
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/tauhid-syiah-dan-ahlussunnah-berbeda-jauh/
Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh 03/09/2012 | By admin | Reply
Syiah membatalkan tauhid seseorang karena ingkar terhadap imamah. Tidak sah keimanan seseorang –meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul–Nya- jika tidak ditopang oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Al-Majlisi, seorang ulama Syiah kenamaan mengatakan, “Ketauhilah bahwa kalimat syirik dan kufur itu ditujukan sebagaimana termaktub dalam teks-teks Syiah- terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau yang terdiri dari keturunan beliau, dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orangorang itu kafir dan kekal di neraka” (Bihar al-Anwar, 23/390). Dalam Ahlussunnah, khalifah dan Imam tidak menjadi syarat sah keimanan seorang mu’min. Ia merupakan jabatan kepala negara yang dipilih melalui syuro. Sama sekali tidak terkait dengan tauhid. Justru, tauhid seorang muslim bisa rusak jika ia mengkultuskan secara membabi buta seorang manusia melebihi Nabi dan Malaikat. Namun, keyakinan Syiah, kultus pada Imam justru menjadi pondasi keimanan. Dalam tafsir al-Qummi –kitab tafsir Syiah- dikatakan bahwa apabila seseorang mengakui keimamahan selain Imam Ali dan keturunannya, maka semua amal ibadahnya digugurkan Allah (Tafsir al-Qummi 2/251). Dalam akidah Syiah, mengakui kepemimpinan orang lain selain Ali dan keturunannya dicap sebagai musyrik. Di sinilah letak perbedaan tauhid yang sangat tajam ditemukan, dan saling bertolak belakang antara Syiah dan Ahlussunnah. Konsep keimanan dan syirik keduanya berbeda. Ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil oleh ulama’ Syiah dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para Imam Syiah. Istilah al-Syirku dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak dimaknai sebagaimana mufassir Ahlussunnah, bahwa artinya menyekutukan Allah, menjadikan selain Allah sebagai Tuhan. Mufassir Syiah memaknai dengan arti “menyekutukan para Imam”, bukan menyekutukan Allah sebagaimana akidah Ahlussunnah. Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65. Terjemahan ayat tersebut adalah: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan Imam Ali dengan kepemimpinan orang lain.
Surat al-Baqarah ayat 36 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah SAW diselewengkan menjadi keimanan terhadap Imam dan Ahlul Bait. Terjemahan ayat tersebut adalah, “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’.” Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini bahwa yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para Imam setelah mereka. Namun, pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidak pernah diajarkan oleh Ali r.a. dan para Imam keturunannya. Hasan, putra Ali r.a., justru mengecam orang-orang yang mengkultuskan Ali r.a secara berlebihan. Hasan r.a menyebut orang-orang Syiah yang berkeyakinan bahwa Ali r.a. akan hidup kembali sebelum hari Kiamat sebagai orangorang pembohong (Siyar a’lam al-Nubala’ 3/263). Ali Zainal Abidin, cucu Ali r.a, melarang keras kelompok yang ‘menyembah’ Ahlul Bait bak seperti berhala. Ia berkata, “Wahai penduduk Irak, cintailah kami seperti mencintai Islam. Jangan cintai kami seperti orang jahiliyah mencintai berhala. Sebab, cinta yang telah kalian tunjukkan kepada kami hanya menjadi cela bagi kami” (Siyar a’lam an-Nubala’ 4/302). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa konsep syirik dibongkar dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Ahlussunnah adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan Imam Ali. Konsep syirik tidak sekadar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada Imam yang notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak mirip dengan paham ‘antroposentrisme’ yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan menjadikan para imam sebagai asasnya dapat dikatakan memiliki unsur-unsur paham antroposentrisme. Konsep tauhid kepada Allah, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam Syiah. Tauhid Syiah ternyata perlu ditopang dengan kepercayaan kepada para Imam. Dengan demikian, kita bisa katakana bahwa konsep imamah menjadi pandangan hidup Syiah, termasuk menjadi elemen mendasar dalam konsep tauhid. Perbedaan mendasar dalam ketuhanan ini makin memerkuat pendapat ulama’ Syiah, al-Jaza’iri yang pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib/golongan di luar Syiah) dalam memahami tentang Tuhan, iman dan Nabi”. Jadi, perbedaan Ahlussunnah dengan Syiah bukan sekadar perbedaan madzhab, tapi secara teologis memiliki garis demarkasi yang jauh. []
Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Taqiyah dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah “Sunni-Syiah miliki sejumlah perbedaan prinsipil” Ahlul Bait, Syiah atau Ahlussunnah? Berbeda, antara Penafsiran dan Penistaan Agama
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/tentang-prinsip-toleransi-ahlussunnah-syiah/
Tentang Prinsip Toleransi AhlussunnahSyiah 27/09/2013 | By admin | Reply
Oleh: Kholili Hasib
Syaikh Mustafa al-Siba’i, pakar hadis kontemporer, pernah memenuhi seruan ulama Syiah untuk mendamaikan antara Sunnah (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan Syiah. Syaikh al-Siba’i menyambutnya dengan baik. Beliau menyampaikan pentingnya ukhuwah dalam kuliah-kuliah, seminar maupun pada kesempatan diskusi akademik. Namun, Syaikh al-Siba’i, kecewa berat. Ulama kenamaan Syiah, Abdul Husein, paska seruan, justru menulis kitab berisi caci maki Shahabat dan ‘Aisyah. Beliau pun memprotes keras kampanye ukhuwah Sunnah-Syiah pada saat itu. Abdul Husein, jelas al-Syiba’i, tidak beri’tikad baik untuk berdamai dengan Ahlussunnah. Beliau pun memutuskan untuk keluar dari seruan palsu tersebut. Kisah tersebut ditulis dalam mukaddimah kitabnya, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’. Dalam kasus tersebut, Syaikh Mustafa al-Siba’i dikhianati oleh orang-orang Syiah. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa ajakan Syiah sebetulnya bukan ber-ukhwah dengan Ahlussunnah, namun sejatinya mengajak Sunni untuk menjadi Syiah. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, juga pernah mengalami hal yang sama. Beliau salah satu ulama yang menandatangani Risalah Amman. Syaikh al-Qaradhawi akhirnya menarik diri dari Risalah perdamaian Sunnah-Syiah tersebut. Alasannya, Syiah tidak memenuhi janjinya untuk tidak melakukan ekspansi ke negeri-negeri Sunni dan berhenti melaknat Shahabat Nabi saw. Beliau mengatakan: “Kami melihat mereka bersikap masa bodoh. Mereka menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah di bidang politik dan militer. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat propaganda”. Sejatinya, masalah Syiah ini sebenarnya bukan saja karena perbedaannya prinsipil (karena menyangkut fondasi akidah). Namun juga lantaran ketika keyakinan Syiah ini harus
diekspresikan dalam bentuk-bentuk ritual melalui buku dan ceramah yang bermuatan pelaknatan terhadap para Shahabat dan isteri Nabi Muhammad saw. Maka sudah pasti mencela Shahabat dan istri Nabi, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab induk Syiah, akan menimbulkan benturan bagi umat lain, yakni Sunni yang mendengarnya. Sehingga cita-cita untuk menciptakan toleransi yang harmonis jadi semacam ilusi. Ayatullah Khemeneini, pemimpin spiritual Syiah sedunia, sampai pernah berfatwa untuk menghentikan caci maki terhadap Shahabat. Hal ini berarti, tradisi mencela Shahabat telah mendarah daging dalam Syiah. Jadi, bagaimana mungkin Syiah dengan Sunnah bisa bersatu, sementara Syiah melaknat istriistri Nabi dan sahabat, sendangkan Sunnah menghormatinya bahkan mendoakan dengan ungkapan “radhiallahu anhum” sesuai petunjuk al-Quran, sedangkan mereka mengatakannya dengan kutukan “laknatullah alayhim”. Bagaimana mungkin kedua liran yang bertolak belakang dan diametral ini bisa kompromi dalam ukhuwah. Setiap orang yang naik haji ataupun umarh dapat menyaksikan, bagaimana orang Syiah tidak mau shalat berjama’ah di belakang imam-imam Sunni di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ini merupakan suatu bukti, bahwa mereka masih sulit disatukan dalam shaf, karena perbedaan yang tajam di ranah ushul yang berimplikasi pada dinding-dinding furu’-nya dalam fiqh juga. Ukhuwah dengan caci maki adalah ilusi. Karena itu, Syiah harus terlebih dahulu melunturkan ajaran caci maki secara jujur. Persoalan Syiah di Indonesia tidak bisa disederhanakan, misalnya ini urusan pribadi ataupun sekedar madzhab seperti madzhab lain. Justru lebih dari itu, karena kosep “imamah” (kekuasaan mutlak harus dibawah para imam) sangat rentan terjadinya benturan dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sudah pasti punya cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan model imamah yang absolute itu, seperti kasus di Iran ketika populasi Syiah jadi mayoritas. Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran takfir dan dakwah politik Syiah patut jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan lebih dalam lagi. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”, di nuonline.com pada 30/5/2011, As’ad berpendapat bahwa terdapat jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran. Pemicunya adalah, doktrin kemutlakan imamah berdasarkan politik. Harusnya, aparat pemerintah menindak lanjuti informasi seperti ini. Di Jawa Timur, pemerintah bersama ulama telah berupaya menemukan solusi. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat
yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lainlain lain. Pemerintah bertanggung jawab dalam pembinaan penganut agama. Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Prof. Dr. Mohammad Mohammad Baharun, menyatakan tawaran untuk mengurangi ketegangan menghadapi masalah Syiah ini, kiranya perlu diupayakan lebih dulu untuk peredaan ketegangan dengan prinsip-prinsip prinsip sebagai berikut: Pertama, diimbau agar Syiah tidak melakukan syiahisasi melalui ceramah dan buku-buku buku kepada umat yang sudah menganut akidah Aswaja, apalagi isinya dapat melukai keyakinan Sunni. Kedua, mereka yang melakukan penistaan/penodaan terhadap agama dengan melaknat Shahabat dan istri Nabi saw berupa buku-buku buku dan ceramah maupun un yang merespon-nya merespon dengan kekerasan harus diselesaikan secara hukum. Ketiga, karena perbedaannya pada wilayah ushul,, maka agar direkomendasikan mereka hanya bekerjasama di bidang mu’amalah saja, bukan di bidang aqidah, ‘ubudiyah dan siyasiyah (Majalah AULA Desember 2012). Sementara, untuk internal Ahlussunnah sendiri harus dimulai tumbuh kesadaran untuk bersatu dan menyatukan shaf dalam ukhuwah.. Ketegangan di dalam wilayah furu’ hanya akan membesarkan kelompok yang menyerang prinsip ushul. Tags: featured, toleransi ukhuwah sunnah-syiah sunnah Category: Opini
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Taqiyah dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah Ahlul Bait, Syiah atau Ahlussunnah? Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh Beberapa Nasihat KH. Hasyim Asy’ari As Tentang Kekeliruan Pemikiran
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
http://inpasonline.com/new/memahami-dan-menyikapi-paham-sesat/
Memahami dan Menyikapi Paham Sesat 28/02/2014 | By admin | 1 Reply
Oleh Adian Husaini
Inpasonline.com–Pada akhir tahun 2013 lalu, saya mendapatkan undangan untuk memberikan paparan tentang masalah aliran dan paham sesat di depan ratusan peserta Mukernas Persistri, di Bandung. Persistri adalah oragnisasi sayap perempuan dari Ormas Persatuan Islam (Persis), seperti Muslimat NU, Muslimat Dewan Dakwah, atau Aisyiyah Muhammadiyah. Dalam dialog, para peserta mengungkapkan tentang keresahan mereka tentang merebaknya berbagai aliran dan paham sesat di tengah-tengah masyarakat dan bagaimana cara menanggulanginya. Acara semacam itu, saya pandang penting, sebab bagi kaum Muslim, memahami yang sesat termasuk hal yang pokok dalam masalah agama. Setiap hari, dalam shalat, mereka wajib berdoa untuk dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan juga jalan orang-orang yang sesat (al-dhaallin). Jalan yang sesat adalah jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah saw dikabarkan pernah menggambar sebuah garis lurus di hadapan pada sahabat beliau. Nabi berkata bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” (haadzaa shiraathullaahi mustaqiimaa). Lalu, pada garis lurus itu, beliau menggambar garis yang menyimpang ke kiri dan ke kanan. Beliau katakan: “haadzihis subul mutafarriqatun; ‘alaa kulli sabiilin minhaa syaithaanun yad’uw ilaihi.” Lalu, beliau membaca ayat al-Quran: “wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabi’uuhu wa laa tattabi’u as-subula fatafarraqa bikum ‘an sabiilihi.” Jadi, setiap Muslim wajib memahami, mana jalan yang lurus (shirathal mustaqim) dan mana jalan yang sesat. Di jalan sesat itulah, kata Nabi saw, ada setan yang selalu berusaha menyeret orang Muslim ke jalan setan, atau jalan sesat itu. Orang yang sesat ada dua jenis, yakni yang sesat secara sengaja dan yang sesat karena bodoh. “Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat; lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jalan hidup bapak-bapak mereka itu.” (QS ash-Shaffat: 69-70). Ada juga orang-orang yang di akhirat dijebloskan ke neraka, karena tersesat hidunya di dunia. Mereka hanya ikut-ikutan secara membabi buta kepada para pemimpin mereka yang sesat. Apapun yang dikatakan dan dikerjakan pemimpinnya diikuti, tanpa mau berpikir dan mencari kebenaran. Penghuni neraka itu berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami
dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” (QS al-Ahzab: 67-68). Jadi, ada orang-orang bodoh dan tidak mau menuntut ilmu yang kemudian tersesat, karena hanya ikut-ikutan pada tradisi nenek moyangnya yang juga tersesat. (Lihat, QS az-Zukhruf: 21-23). Mereka tidak mau berpikir dan mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Padahal, mereka dikaruniai akal untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia-manusia seperti ini pun tak lepas dari azab Allah SWT. Ayat al-Quran itu menggambarkan, betapa menyesalnya orang-orang bodoh atau orang yang membodohkan dirinya sendiri; hanya ikut-ikutan paham sesat yang dianut pemimpinnya, tanpa mau melakukan kajian kritis. “Dan mereka (penghuni neraka) itu berkata, andaikan kami dulu mau mendengar dan mau berpikir, maka kami tidak akan menjadi penghuni neraka Sa’ir.” (QS al-Mulk: 10). Di era globalisasi, kita masih saja menyaksikan banyaknya orang pintar dan terkadang juga penguasa, ikut-ikutan suatu paham atau pemikiran seseorang tokoh tanpa membaca dan menelaah pemikirannya. Mereka hanya ikut arus opini. Mereka takut untuk melawan opini yang dikembangkan media massa. Atau mereka justru mungkin sengaja memanfaatkan arus opini untuk kepentingan peningkatan citra di tengah masyarakat. Mereka tidak mau menelaah karya-karya si tokoh dengan serius dan mencermati kelemahan-kelemahan serta kekeliruannya. Kadangkala kebencian sudah ditanamkan terhadap para pemikir yang mengkritisi paham sesat yang dianut tokoh pujaannya. Jenis kesesatan yang kedua, adalah manusia yang tahu jalan yang benar, tetapi karena godaan hawa nafsu dan kecanggihan tipu daya setan, maka mereka menolak jalan yang benar. Contoh yang jelas adalah kasus Iblis yang menolak perintah Allah karena kesombongan. Iblis adalah contoh utama dalam hal ini. Iblis tahu benar bahwa yang dilakukannya – membangkang perintah Allah SWT – adalah salah. Tapi, karena api kedengkian membakar dirinya, maka ia memilih jalan sesat dengan sadar. Ia berani membangkang perintah Allah karena kesombohan dan kedengkian. “Fenomena Iblis” ini bisa dengan mudah kita jumpai di era kini. Dan Iblis paham betul, bagaimana cara menyesatkan manusia melalui jalan ini. Mungkin karena merasa lebih senior, merasa lebih kuasa, merasa lebih kaya, atau merasa lebih pintar, maka seseorang bisa menolak kebenaran yang disampaian padanya. Begitu banyak jerat-jerat ditabur setan untuk menjerat manusia ke jalan sesat. Karena itu, kiat sederhana untuk selamat dari jalan sesat adalah mengikuti petunjuk Allah SWT. “Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS Thaha: 123). Kriteria Sesat Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal dengan rumusannya: “Islam is the only genuine revealed religion.” Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni. Agamaagama selain Islam sudah menjadi agama budaya (cultural religion). Sebagai agama wahyu yang murni, Islam memiliki konsep-konsep yang tetap (tsawabit) yang dirumuskan berdasarkan wahyu, dan bukan oleh budaya atau konsensus umat Islam. Islam juga satusatunya agama yang memiliki “model yang abadi” yang disebut sebagai “uswatun hasanah”. Karena adanya konsep-konsep yang tsawabit dan dipandu dengan uswatun hasanah yang abadi, maka Islam tetap terjaga keabadiannya sebagai agama wahyu.
Dengan kondisinya seperti itu, maka umat Islam secara umum sangat mudah menentukan mana yang “lurus” dan mana yang “sesat”. Umat Islam paham mana bagian ajaran shalat yang wajib dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin, tanpa khilafiyah di dalamnya. Misalnya, rukun shalat takbiratul ihram, keharusan ruku’, sujud, i’tidal, dan sebagainya. Hal-hal yang “tsawabit” seperti itu adaah merupakan perkara unik dan khas yang hanya ada dalam konsep ritual Islam. Dengan konsep seperti itu, maka Islam merupakan satu-satunya agama yang diakui keabsahannya oleh Allah SWT. (QS ali Imran:19). Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di akhirat termasuk orang-orang yang ragu. (QS Ali Imran:85). Konsep Islam sebagai agama wahyu juga mempermudah untuk mementukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, kriteria sesat atau tidak ditentukan oleh wahyu, dan bukan oleh budaya. Tanpa dekrit kekuasaan, kaum muslim bisa memahami, bahwa orang yang mengerjakan shalat tanpa sujud, pasti termasuk sesat. Orang yang mengerjakan puasa tiga hari tiga malam berendam dalam air comberan untuk meraih kesaktian bisa dikategorikan melaksanakan ajaran sesat. Sebab hal itu melanggar perkara yang termasuk kategori “ma’luumun minad diin bidh-dharury”. Bagaimana cara menentukan paham atau aliran sesat? Untuk kaum Muslim di Indonesia, 10 kriteria paham/aliran sesat yang dirumuskan Majlis Ulama Indonesia sudah memadai untuk dijadikan pegangan: (1) Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam (2) Meyakini/mengikuti aqidah yg tidak sesuai dg adalli syar’i (Al Qur’an & As Sunnah) (3) Meyakini turunnya wahyu sesudah AlQur’an (4) Mengingkari autentitas dan kebenaran Al Qur’an (5) Menafsirkan Al Qur’an yg tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir (6) Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam (7) Menghina, melecehkan/ atau merendahkan Nabi dan Rosul (8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terkahir (9) Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at (10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i. Tantangan Pluralisme Di tengah serbuan paham liberalisme, kaum Muslim Indonesia kini diguyur dan dicekoki dengan aneka rupa pemahaman yang memuja pluralisme tanpa memandang penting perbedaan antara Tauhid dan syirik, antara haq dan bathil, antara iman dan kufur. Kaum Muslim diharuskan berpikir, bahwa semua warga negara punya hak yang sama untuk menyebarkan paham atau aliran apa pun. Negara pun diminta bersikap netral terhadap semua agama atau aliran. Pejabat diminta “cuek”, dan tidak peduli, apakah rakyatnya menyembah Tuhan atau menyembah Tuyul. Kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2010 lalu, ada sejumlah tokoh dan lembaga menggugat keabsahan UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Gugatan itu – jika dikabulkan – akan berdampak pada “penyamaan” kedudukan semua agama dan aliran keagamaan atau pemikiran, dengan alasan “kebebasan beragama” dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18. Kata mereka, negara tidak boleh memihak, menganakemaskan atau menganaktirikan suatu kelompok masyarakat atas dasar keyakinannya. Negara tidak boleh terlibat dalam satu Tafsir keagamaan tertentu. Bahkan, sejumlah buku secara terbuka menuntut agar – demi Kebebasan Beragama — Indonesia juga memberikan kebebasan untuk semua agama, semua paham keagamaan, termasuk propaganda Ateisme. Seorang saksi ahli di Mahkamah Konstitusi, pada 17 Februari 2010, menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.” Cara pandang “negara yang netral agama” seperti itu jelas tidak sesuai dengan UUD 1945 dan juga fakta yang terjadi di berbagai negara di dunia. Setiap agama atau paham, pasti menganggap bahwa agama atau pahamnya yang benar. Jika ada yang bertentangan dengan pahamnya, maka paham itu akan ditolaknya. Komunisme lahir sebagai sikap protes terhadap Kapitalisme. Sekularisme di Eropa lahir karena penolakan masyarakat Barat terhadap konsep teokrasi. Islam diturunkan Allah sebagai koreksi atas praktik kemusyrikan dan kezaliman yang terjadi di tengah umat manusia. Bahkan, seringkali kita membaca, kaum liberal pun menempatkan liberalisme sebagai koreksi terhadap fundamentalisme. Dalam acara Mukernas Persistri tersebut, sejumlah peserta mengemukakan kekhawatiran mereka tentang merebaknya aliran Syiah di Indonesia. Kekhawatiran mereka itu bisa dimengerti. Sebab, Indonesia adalah negeri Muslim Sunni. Sudah banyak contoh, negeri Muslim yang terkoyak oleh konflik Sunni-Syii; bahkan akhirnya terjadi saling bunuh yang tiada berkesudahan. Seyogyanya, dalam era seperti ini, pihak Syiah menyadari dan tidak memaksakan diri untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia. Sebab, cepat atau lambat, akan terjadi konflik yang melelahkan, seperti di Syiria, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan sebagainya. Harusnya para pemimpin Muslim Sunni di Indonesia juga menyadari hal ini. Sikap sebagian pemimpin Muslim Sunni yang mendukung atau melegalkan pengembangan paham Syiah di Indonesia dan berbagai paham sesat, sejatinya laksana menumbuhkembangkan sel-sel kanker ganas, yang makin lama akan menggerogoti sel-sel tubuh yang sehat. Jika mereka cinta pada negeri Muslim terbesar ini, bukan seperti itu caranya. Mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Mengobati penyakit sedini mungkin jauh lebih bijak ketimbang membiarkan penyakit berkembang biak dengan semena-mena. Dalam istilah tokoh Islam Indonesia, Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar. Hingga kini, terbukti kaum Syiah di Indonesia masih tetap konsisten dengan kebencian dan laknatnya terhadap Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a. Berbagai buku dan situs-situs internet dengan gamblang menunjukkan perbedaan yang sangat fundamental antara ajaran-ajaran pokok kaum Syiah dengan kaum Muslim pada umumnya. Pada tahun 2013 lalu, MUI Pusat telah menerbitkan buku berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” yang dengan mudah dapat dinduh dari berbagai situs online. Selain aliran-aliran sesat yang terstruktur, ada juga paham sesat yang merebak luas di tengah masyarakat, bahkan di kalangan cendekiawan. Salah satu contoh adalah paham “relativisme” kebenaran. Di awal-awal Januari 2014, dalam beberapa acara dialog dengan guru-guru di sekolah Islam dan pesantren, masih ada saja pertanyaan seputar paham relativisme ini. Masih ada guru yang bertanya, “Bukankah manusia itu itu relatif pemikiranya. Yang mutlak hanya Tuhan. Maka, hanya Tuhan saja yang paham kebenaran, sehingga manusia tidak boleh merasa benar sendiri dengan pendapatnya, dengan menyesatkan atau menyalahkan pendapat orang lain.” Kita sudah beberapa kali menjawab secara logis, kekeliruan paham relativisme kebenaran seperti itu. Cara berpikir relativisme sebenarnya paradoks dengan ucapannya sendiri. Orang
yang mengatakan, bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran, sejatinya ia juga menvonis dirinya sendiri, bahwa ia tidak tahu yang benar. Sebab, dia bukan Tuhan. Ia manusia juga. Maka, mengapa ia merasa bahwa yang diucapkannya itu benar? Setidaknya, ia percaya bahwa huruf-huruf huruf yang dikeluarkannya itu ia yakini kebenarannya. Ia yakin dengan ucapannya, tetapi orang lain dilarang untuk meyakini kebenaran yang diyakininya. Itu sikap yang paradoks. Inkonsisten antara cara cara berpikir dan ucapannya sendiri. Jika konsisten dengan jalan pikiran relativismenya, harusnya ia berucap, “Hanya Tuhan dan saya yang tahu kebenaran!” Di tengah hiruk pikuknya manusia-manusia manusia manusia yang memuja dan membela paham dan aliran sesat saat ini, maka sebagai Muslim, setiap hari kita diperintahkan senantiasa berdoa kepada Allah, semoga kita selamat dari jalan yang sesat; agar kita senantiasa dibimbing oleh Allah untuk senantiasa mampu mengenali dan mengikuti jalan kebenaran dan tidak terjebak di jalan kesesatan yang tak lain adalah jalan setan. Amin Ya Rabbal Alamin. (Cengkareng, 18 Januari 2014). Sumber: www.hidayatullah.com Tags: Memahami dan Menyikapi Paham Sesat Category: Ghazwul Fikri
Related posts: 1. 2. 3. 4.
Dr Moh Abdul Kholiq Hasan: Memahami Al-Qur’an, Al Qur’an, Mutlak Paham Bahasa Arab Pengingkar Sunnah Itu Sesat Menyesatkan Jangan Tergiur Aliran Sesat! Gemmar Mengaji, Antisipasi Aliran Sesat
Subscribe If you enjoyed this article, subscribe to receive more just like it.
-=-=-=-=- NU -=-=-=-= http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic m,dinamic-s,detail-ids,4-id,32380-lang,id-c,kolom-t,Gerakan+Syiah+di+Indonesia-.phpx .phpx
ISLAMISME (4)
Gerakan Syiah di Indonesia Print Download Send Tweet Senin, 30/05/2011 11:11 Berita Terkait
• • •
Hizbut Tahrir Islam non-Mainstream Gerakan-Gerakan Sosial--Politik dalam Tinjauan Ideologis Space Iklan 300 x 80 Pixel
Oleh H. As’ad Said Ali
Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik, dan Syi’ah non-politik. politik. Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita cita politik untuk membentuk negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik non mencita-citakan citakan membentuk masyarakat Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan menekankan pada penyebaran ide-ide ide politik dan pembentukan lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik non politik menekankan pada pengembangan ide-ide ide fikih Syi’ah. Syi’ah non-politik politik atau Syi’ah fikih masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama ulama ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya yang membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, Al Jufri, mantan panglima perang Syarif Husen, kakek dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul Aziz, bapak pak dari Raja Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia pada gelombang ini adalah Syi’ah Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya dilakukan secara individu-individu, individu, kemudian, sejak kemerdekaan beberapa tokoh dari mereka membentuk pesantren, salah alah satunya adalah Husen Al-Habsyi, Al Habsyi, mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur. Sementara itu, Syi’ah politik masuk Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi
Iran tahun 1979. Jika Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak revolusi Iran, Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah. Strategi dakwah Syi’ah politik pada awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa kampus yang menjadi basisnya adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada tahun 1990-an strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian sejumlah yayasan dan membentuk ormas bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian mengkhususkan pada kegiatan penerbitan buku, sebagian lainnya membangun kelompok-kelompok intelektual dengan program beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. Sejauh yang dapat diketahui, generasi program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah Umar Shahab dan Husein Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia tahun 1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada awal 1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI misalnya, diantaranya adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan dari ITB muncul Haidar Bagir. Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah. Namun seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman mahasiswa ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan menjadi pelopor gerakan Syi’ah di Indonesia. Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council (SCRC) Iran. Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan dibidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, pertama, gerakan kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua, gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini mengkhusukan bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik parlementer yang mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik. Mengenai IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak yang aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah IJABI memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing daerah.
Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut Marja alTaqlid, sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam. Di beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu telah berdiri kokoh dan memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya, lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani. Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi Islam, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja al Taqlid ini belum terbentuk maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum sistematis dan terstruktur. (bersambung) *Wakil ketua umum PBNU
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic m,dinamic-s,detail-ids,44-id,44352-lang,id-c,nasional c,nasionalt,Nahdliyin+Diimbau+Tak+Memvonis+Sesat+Kelompok+Lain t,Nahdliyin+Diimbau+Tak+Memvonis+Sesat+Kelompok+Lain-.phpx BAHTSUL MASAIL
Nahdliyin Diimbau Tak Memvonis Sesat Kelompok Lain L Print Download Send Tweet Jumat, 10/05/2013 19:03
Berita Terkait
• • • • •
Mantan JI: Kelompok Keras Terus Berupaya Rebut NKRI Minoritas Juga Hamba Allah Habib Syekh: Ikutlah Kiai..! Beginilah Modus Upaya Perebutan Masjid NU Beginilah lah Modus Upaya Perebutan Masjid NU Space Iklan 300 x 80 Pixel
Cilacap, NU Online Sebagai organisasi Islam yang memegang teguh prinsip tasammuh,, NU tak diperkenankan melabeli kata ”sesat” atau ”kafir” kepada kelompok berbeda. Sikap ini sekaligus untuk menghindari hindari kekerasan fisik akibat perselisihan paham. Pandangan ini muncul dalam Bahtsul Masail Nasional yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) di Pondok Pesantren al-Ihya’ al Ihya’ Ulumaddin Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, 8-9 Mei 2013.
Katib Aam PBNU KH Malik Madani menegaskan, istilah sesat dan menyesatkan (dlallun mudlill) sah secara agama. Tapi warga NU harus berhati-hati menyematkannya kepada sejumlah kelompok agama di Indonesia. ”Karena ketika label itu dilekatkan kepada sebuah kelompok seakan-akan kita telah memberikan lampu hijau kepada kelompok-kelompok penggemar tindakan anarkis untuk menghakimi kelompok yang diberi label dlallun mudlill,” ujarnya saat membuka forum Bahtsul Masail. Kiai Malik lalu bercerita tentang kedatangan sejumlah warga NU ke kantor PBNU. Mereka meminta PBNU mengeluarkan vonis sesat kepada kelompok-kelompok yang selama ini menyudutkan NU. Kiai Malik didampingi kiai lainnya tidak mengabulkan permintaan ini karena khawatir justru akan menimbulkan mudarat. ”Maka PBNU menghindari hal ini. Paling banter adalah bahwa paham yang tadi disinggung (penyudut paham NU, red) adalah paham yang tidak sejalan dengan akidah Ahlusunnah wal Jamaah,” tuturnya. Di kesempatan yang sama, Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin menjelaskan, konsekuensi vonis sesat dan kafir adalah penghalalan darah (ibahatud dam). Karena, menurut Imam al-Ghazali, status ini menjadi urusan syari’at yang menghakimi seseorang berada di neraka Jahannam selama-lamanya. ”Artinya, orang yang mengikuti paham Ahlussunah wal Jamaah itu tidak boleh saling mengkafirkan. Ahlussunah wal Jamaah tidak diperkenankan membalas pengkafiran itu dengan mengkafirkan mereka yang berbeda dengan kita semua,” pintanya.
Penulis: Mahbib Khoiron