Kandungan Nutrisi dan Senyawa Bioaktif Rebung Bambu Tabah yang dibudidayakan di Desa Pupuan-Tabanan Oleh : Diah Kencana Wayan Widia Nyoman Semadi Antara
DISCLAIMER. This research is made possible by the generous support of the American people through the United States Agency for International Development (USAID). The contents are the responsibility of Texas A&M University and Udayana University as the USAID Tropical Plant Curriculum Project partners and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government.
PENDAHULUAN
Bambu tabah dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai di tempat-tempat pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut. Bambu tabah dapat tumbuh pada daerah tropis yang lembab di sepanjang sungai dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Bambu ini juga dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah latosol dengan curah hujan hingga 3,000 mm (Kencana, 2009). Pelepah rebung bambu tabah berwarna coklat muda sampai hijau ke abuabuan, tertutup miang berwarna hitam tersebar tidak merata. pelepah buluh
Warna daun
pada ujung rebung berwarna coklat muda sampai hijau.
Perbedaan warna pelepah tersebut tergantung dari pertumbuhan dan panen rebung tersebut.
cara
Apabila rebung dipanen pada saat masih di dalam
tanah, warna pelepah coklat muda, serta daging rebung berwarna putih. Menurut Shi and Yang, rasanya
(1992), rebung sangat digemari
enak, mengandung nilai nutrisi yang baik untuk
di samping
untuk kesehatan.
Namun demikian tidak semua jenis rebung aman untuk dikonsumsi. Rebung sebagai sayuran segar tidak jauh berbeda dengan sayur-sayuran lainnya, yaitu mempunyai sifat mudah rusak. Kerusakan-kerusakan yang terjadi terutama dimulai dari kerusakan mekanis baik sewaktu di panen maupun dalam transportasi. Menurut Kleinhenz and Midmore (2002) hasil penelitian yang dilakukan pada rebung bambu jenis Bambusa
oldhamii,
ada
empat
poin
utama
masalah-masalah
yang
menyebabkan menurunnya kualitas rebung bambu segar setelah dipanen yaitu, terjadinya kerusakan fisiologis, fisik, kimia dan mikrobiologis. Kerusakan karena fisiologis seperti terjadinya respirasi dan transpirasi sehingga salah satunya terjadi penurunan bobot. Kerusakan fisik pada rebung bambu terjadi pada saat panen yaitu luka karena pemotongan dan pengupasan. Kerusakan karena kimia yang dapat terjadi pada rebung bambu adalah reaksi pencoklatan karena browning enzimatis, serta kerusakan karena mikrobiologis adanya pertumbuhan mikroba dan diikuti oleh pelunakan serta bau menyengat. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kandungan
nutrisi
dan
senyawa
bioaktif
rebung
bambu
dibudidayakan oleh kelompok tani di Desa Pupuan-Tabanan.
2
tabah
yang
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Tanaman Bambu Bambu merupakan tanaman berumpun, termasuk dalam suku Gramineae. Tanaman ini tumbuh tersebar di daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Menurut Othman dan Maler (2003), bambu dapat tumbuh pada iklim kering sampai tropika basah, pada kondisi tanah subur dan kurang subur serta dari dataran rendah sampai 4000 m diatas permukaan laut, dan dari tempat datar sampai lereng-lereng gunung atau tebing-tebing sungai. Berdasarkan sistem percabangan rimpang, secara garis besar bambu dibedakan menjadi dua tipe yaitu, rimpang berbentuk simpodial dan rimpang monopodial.
Tipe rimpang monopodial, banyak tumbuh di daerah beriklim
sedang, dengan bentuk rimpang panjang, ramping dan tumbuh horizontal, bercabang secara lateral untuk menghasilkan rumpun dengan letak batang tersebar. Contoh yang tergolong ke dalam tipe ini adalah marga Phyllostachys dan Arundinaria. Tipe kedua berakar rimpang yang tumbuh secara simpodial, tumbuh secara berkelompok berbentuk rumpun, banyak berkembang di daerah Asia Tropik, termasuk Indonesia. Contoh marga yang tergolong ke dalam tipe ini adalah Bambusa, Gigantochloa, Dendrocalamus dan Schizostachyum (Anon., 1996). Menurut Widjaja (2001), bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan yang lain karena tumbuhannya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai, namun dalam mengenal
bambu orang sering mengalami kesulitan, karena
kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Buluh bambu bersekat-sekat. Umumnya buluh berbentuk silinder dan berongga, berdinding keras, tebal atau tipis dan terdapat tunas. Sifat mekanis tersebut membuat buluh bambu menjadi sangat kuat. Diameter buluh bambu bervariasi antara 0,5 – 20 cm, tergantung dari jenis dan lingkungannya.
3
Di dunia diketahui sekitar lebih kurang 1300 jenis bambu (Kleinhenz et al., 2000; Widjaja, 2001). Jenis-jenis bambu tersebut sekitar 145 merupakan asli Indonesia dan beberapa dari rebungnya dikonsumsi dan bernilai ekonomis yang tinggi yaitu, bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu legi (Gigantochloa atter), bambu mayan (Gigantochloa robusta) yang banyak di jumpai di Sumatera dan bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata) banyak dijumpai di Pupuan, Bali dan beberapa tumbuh di Sukabumi Jawa Barat. Klasifikasi dan Morfologi Bambu Tabah Menurut
klasifikasi
Monocotyledoneae,
ordo
botani Graminales,
bambu famili
tabah
termasuk
Gramineae,
sub
kelas famili
Bambusoideae, genus Gigantochloa, spesies Gigantochloa nigrociliata (Buese) Kurz (Cronquist, 1988; dalam American Bamboo Society, 2004). Bambu yang tergolong genera Gigantochloa
ini berasal dari Asia tropis, sebagian besar
terbatas pada kawasan dari Burma, Indocina sampai semenanjung Malaya dan Indonesia.
Jenis bambu ini pula umumnya sudah tumbuh liar dan banyak
terdapat di daerah tepi sungai dan lereng gunung di Pupuan Bali. Perawakan bambu tabah disajikan pada Gambar 1. Menurut Widjaja (2001) bambu tabah mempunyai batang yang sifatnya simpodial atau berumpun. Panjang buluh dapat mencapai sekitar 10 m
dan
ujungnya melengkung, dengan garis tengahnya sekitar 3 – 6 cm. Tebal buluhnya mencapai 6 mm, dengan warna buluh hijau sampai hijau tua, ruas batang mencapai 30 – 50 cm dengan pelepah buluh panjangnya 11 – 18 cm yang tetap melekat pada buluhnya, pelepah buluh bagian luar ditumbuhi oleh miang (bulubulu halus) yang melekat berwarna coklat hitam, pelepah mudah luruh.
4
Gambar 1. Perawakan bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata Kurz) Bambu tabah dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai di tempat-tempat pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut (Sastrapradja et al., 1977), sedangkan
Widjaja (2001) berpendapat bahwa bambu tabah dapat
tumbuh pada daerah tropis yang lembap disepanjang sungai dengan ketinggian ± 1000 m diatas permukaan laut. Bambu ini juga dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah latosol dengan curah hujan hingga 3,000 mm. Di Indonesia nama jenis bambu ini tergantung dari daerah tempat tumbuhnya, di Jawa disebut dengan bambu lengka, dan beberapa tumbuh di daerah Sukabumi sedangkan di Bali disebut bambu tabah.
Masyarakat Bali
menyebut tabah karena rebungnya rasa hambar tidak pahit, tidak seperti rebung jenis lainnya terutama betung yang rasanya pahit dengan kadar HCN cukup tinggi (Kencana, 1992). Rebung dipanen pada saat musim hujan, maksud dari pemanenan rebung disamping dapat digunakan untuk konsumsi, juga bermaksud untuk penjarangan rumpun, agar rumpun bambu
dapat dijaga, sehingga
kualitas buluhnya
maksimal (Widjaja, 1998). Menurut Othman (2003) panen rebung dilakukan setelah rumpun berumur 3 th, kemudian dilakukan pemanenan 2 x seminggu pada saat musim hujan. Rebung dipanen 3 hari setelah ujung rebung muncul diatas permukaan tanah atau rebung mencapai tinggi 30 – 50 cm, untuk jenis Dendrocalamus asper.
5
Menurut Widjaja (1998) rebung yang dipanen pada rumpun bambu yang telah berumur 2 – 3 tahun, yaitu rebung yang tumbuh melebihi 10 rebung setiap musim.
Shi (1992) menyatakan rebung dipanen pada umur 12 – 14 hari setelah
muncul diatas permukaan tanah. Sementara itu menurut Maoyi (1993) rebung dipanen pada umur 7 - 10 hari, sedangkan menurut Lien (1995) tinggi rebung dipanen biasanya 20 – 30 cm dari atas tanah. Menurut Linton (2000) rebung dipanen ketika mencapai tinggi 15 cm. Rebung yang dipanen diatas permukaan tanah akan berbeda apabila di panen pada saat masih di dalam tanah. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Rebung Fresh-cut Respirasi Respirasi pada umumnya merupakan kegiatan metabolisme yang penting, karena selama proses respirasi terjadi perubahan fisik, kimia pada produk segar yang disimpan. Menurut Reed (2004) respirasi merupakan proses metabolisme utama pada jaringan tanaman. Pada proses tersebut terjadi pemecahan karbohidrat dalam tiga tingkatan reaksi utama yaitu glikolisis, daur asam trikarboksilat dan sistem transport elektron, dalam hal ini glukosa diuraikan menjadi CO 2 dan H 2 O dengan menghasilkan ATP (Adenosin Tripospat).
Besarnya laju respirasi ini
merupakan petunjuk dari aktivitas jaringan dan juga dapat dipakai sebagai petunjuk daya simpan, karena laju respirasi yang tinggi akan memperpendek daya simpannya (Wills et al., 1998). Menurut Brecht (1995) respirasi merupakan perombakan molekul yang komplek (makro molekul) seperti pati, gula dan asam organik dengan bantuan oksigen
(oksidatif)
menjadi
molekul
yang
lebih
sederhana,
seperti
karbondioksida, air dan sekaligus dihasilkan energi. Energi yang dihasilkan digunakan untuk metabolisme dalam jaringan seperti; memelihara bagian-bagian sel, menyalurkan metabolit keseluruh bagian jaringan dan memelihara permeabilitas membran, sehingga integritas membran dalam sel terpelihara. Secara umum pada kondisi lingkungan udara yang mengandung cukup oksigen, respirasi berjalan secara aerobik. Sedangkan pada kondisi lingkungan udara yang mengandung oksigen rendah akan mendorong respirasi anaerobik yang menghasilkan aroma menyimpang (off flavor) (Camile, 2000 dalam Baeza, 2007).
6
Respirasi
pada
buah
dan
sayuran
dapat
diperlambat
dengan
pengurangan laju konsentrasi oksigen atau dengan meningkatkan konsentrasi karbondioksida dengan pengendalian yang tepat. Laju respirasi pada tiap jenis komoditi dapat berbeda-beda tergantung dari varietasnya. Perubahan laju respirasi dapat dipengaruhi dengan berkurangnya komposisi O 2 , tergantung pada kondisi fisiologis buah dan suhu penyimpanan (Kays, 1991; Reed, 2004).
Pencoklatan Enzimatis Salah satu faktor pembatas pada rebung setelah dipanen adalah warna coklat pada bagian yang dipotong (Kleinhenz, 2002). Perubahan warna coklat yang terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel jaringan dan adanya oksigen selama pengupasan dan pengirisan terutama apabila tidak dilakukan usaha pencegahan. Menurut O’Beirne (1998) reaksi pencoklatan enzimatik terjadi pada permukaan buah dan sayuran yang terpotong bila dibiarkan di udara pada jaringan tanaman, fenolase adalah enzim yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan dan sebagian besar kasus pencoklatan karena enzim adalah reaksi yang tidak diharapkan. Kerusakan jaringan merupakan kerusakan pada protoplasma sel, sehingga fenolase terlepas dari organellanya dan menjadi aktif. Apabila fenolase kontak dengan udara, reaksi pencoklatan secara enzimatis akan terjadi. Menurut Irtwange (2006) pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada sel tumbuhan yang utuh, karena pada saat itu senyawa-senyawa fenolik di dalam vakuola sel masih terpisah dari enzim PPO (di dalam sitoplasma).
Ketika jaringan mengalami
kerusakan, enzim dan senyawa-senyawa fenolik bereaksi sehingga melanin terbentuk.
Laju pencoklatan enzimatis ditentukan oleh kandungan PPO aktif
dalam jaringan, kandungan senyawa fenolik, pH, temperatur dan ketersediaan oksigen di dalam jaringan. Untuk mengendalikan aktivitas enzim PPO, dikembangkanlah langkah-langkah untuk menghilangkan satu atau lebih komponen penting bagi terjadinya reaksi pencoklatan (oksigen, enzim atau substrat). Tirosin salah satu dari golongan fenol adalah penyebab dari terbentuknya melanin pada tanaman. Untuk terbentuknya melanin, diperlukan suatu enzim yang dapat mengkatalis terbentuknya melanin yaitu enzim tirosinas (Marshall et al.,
2000).
7
Tirosinase
akan
mengkatalis
oksidase
tirosin
menjadi
dihidroksifenilalanin (dopa) dan dopa-kuinon,
terjadi oksidasi cepat terbentuk
dopakrom, kemudian teroksidasi lebih lambat
terbentuk 5,6-dihidroksiindol.
Oksidasi lanjutan lebih cepat lagi terbentuklah indol 5,6-kuinon, melanin akan terbentuk secara spontan dari indol 5,6-kuinon. Pada umumnya pencegahan reaksi pencoklatan tersebut dilakukan dengan cara inaktivasi enzim, baik dengan menggunakan panas (blanching) atau dengan menggunakan bahan kimia misalnya sulfur dioksidasi atau sulfit, asam askorbat dan garam.
METODELOGI PENELITIAN Analisa kandungan nutrisi rebung bambu tabah Analisa kandungan nutirisi rebung bambu tabah meliputi kadar air, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar vitamin C dan kandungan HCN.
Prosedur analisa menggunakan prosedur AOAC dan
dilakukan di Laboratorium Analisa Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana bulan November 2011. Analisa kandungan senyawa bioaktif rebung bambu tabah Analisa kandungan senyawa bioaktif yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah meliputi komponen pembentuk aroma. Penentuan komponen pembentuk aroma dilakukan dengan menggunakan peralatan GC-MS (Whetstine et al., 2003). Prosedur analisa diawali dengan melakukan preparasi sample. Preparasi sampel dilakukan dengan cara rebung ditimbang 50 g, kemudian dihancurkan dan ditambah kloroform, dihomogenkan dengan ultrasonik, disaring. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan nitrogen. Sampel diambil sebanyak 1 µl, diinjeksikan dalam GC-MS (QP2010S Shimadzu), dengan kolom RTX-5MS (5 % difenil-95% dimetil polisiloksan), panjang 30 meter, diameter dalam 0,25 mm dengan kondisi operasional sebagai berikut: suhu kolom awal 60 0C, suhu akhir 280 0C dengan kenaikan 10 0C/menit, suhu injektor 300 0C, gas pembawa
8
Helium, jenis pengion Electron Impack, volume sample yang diinjeksikan 0,1 µL. Identifikasi senyawa dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak (Wiley 229, NIST 12, dan NIST 62 Library). Penentuan senyawa bioaktif rebung bambu tabah dilkukan terhadap rebung bambu fresh-cut yang diberikan beberapa alternatif variasi perlakuan yaitu meliputi rebung segar (tanpa perlakuan), rebung fresh-cut perlakuan pemberian oksigen 7 % dalam penyimpanan 3 hari pada suhu kamar, dan rebung fresh-cut dalam klorin 200 ppm yang divakum dalam penyimpanan 4 minggu pada suhu rendah (5 0C). Analisa kandungan bioaktif rebung bambu tabah yang dibudidayakan di Desa Tabanan ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, FMIPA, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta sejak bulan Agustus-Oktober 2011.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan nutrisi rebung bambu tabah Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
rebung
bambu
tabah
yang
dibudidayakan di Desa Pupuan-Tabanan memiliki nutrisi yang cukup baik. Adapun hasil selengkapnya adalah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Nutrisi Rebung Bambu Tabah Gigantochloa nigrociliata (100 g rebung segar) No
9
Parameter
Komposisi
1
Kadar air
(%)
92,38
2
Karbohidrat (%)
1,53
3
Lemak
0,22
4
Protein (%)
2,29
5
Serat kasar (%)
3,14
6
Vitamin C (mg)
4,65
7
HCN (mg)
0,073
(%)
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa, keunggulan dari rebung tabah adalah memiliki kandungan protein, serat lebih tinggi dari pada rebung bambu jenis Dendrocalamus asper dan kandungan HCN lebih rendah. Kandungan senyawa bioaktif rebung bambu tabah Hasil analisis ekstrak rebung fresh-cut menggunakan kromatografi gas adalah kromatogram. Jumlah puncak kromatogram menunjukkan banyaknya senyawa penyusun ekstrak aroma, sedangkan luas masing-masing puncak menunjukkan persentase relatif
terhadap luas
semua
puncak
dalam
kromatogram. Kromatogram hasil analisis GC-MS terhadap ekstrak flavor rebung freshcut yaitu: rebung segar (tanpa perlakuan), rebung fresh-cut perlakuan pemberian oksigen 7 % dalam penyimpanan 3 hari pada suhu kamar, rebung fresh-cut dalam klorin 200 ppm yang divakum dalam penyimpanan 4 minggu pada suhu rendah (5 0C). Berdasarkan kromatogram dalam Gambar 2, 3 dan 4, diperoleh informasi tentang
nama
komponen
pembentuk
aroma
rebung
fresh-cut
dengan
pembanding acuan WILLEY7-Library. Hasil analisis komponen pembentuk aroma rebung fresh-cut terdapat dalam Tabel 2, 3 dan 4.
10
Kondisi oprasional GC: Jenis kolom : Rtx-5MS Suhu kolom : 60 0C – 280 0C Suhu detektor : 280 0C Suhu injektor : 300 0C Gas pembawa : Helium Gambar 2. Profil senyawa ekstrak aroma rebung tabah segar. Angka diatas puncak adalah nomor puncak yang menunjukkan jenis senyawa seperti yang ditampilkan pada Tabel 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil kromatogram dari kromatografi gas didapatkan hasil bahwa pada ekstraksi rebung tabah segar terdapat 92 puncak kromatogram. Dari hasil kromatogram didapatkan puncak tertinggi pada waktu retensi menit ke 36,69 dengan persen area sebesar 20,12 termasuk senyawa Hexadecanoic acid dan tertinggi kedua pada waktu retensi menit ke
40,09
dengan persen area sebesar 19,81 termasuk senyawa 9,12- Octadecadienoic acid (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil identifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak rebung tabah segar menggunakan GC-MS No puncak
Formula
Senyawa
1 2 5 7 8 9 11 35 38 39 51 55
Waktu retensi (menit) 3,183 3,308 4,142 4,633 10,073 20,599 22,867 36,692 40,092 40,525 46,792 48,625
C4H8O2 C 6 H 12 O 2 C 4 H 10 O 2 C 5 H 12 O C 7 H 10 O 4 C 12 H 24 O 4 Si 2 C 7 HR6 O 2 C 16 H 32 O 2 C 18 H 32 O 2 C 23 H 46 C 24 H 38 O 4 C 27 H 56 O 4 Si 2
62 85 88
51,075 62,261 65,825
C 30 H 50 C 19 H 30 O 3 C 28 HR45 ClO 2
Acetoin (2-Butanone,3-hydroxy) 2,4,5-Trimethyl-1,3-dioxolane 2,3-Butanediol Ether, ethyl isopropyl 2-Propene-1,1-diol, diacetate Trans-3-Hexenedioic acid 4-hydroxy-Benzaldehyde Hexadecanoic acid 9,12- Octadecadienoic acid 1-Tricosene 1,2-Benzenedicarboxylic acid 2-Monooleoylglycerol trimethylsilyl ether Squalene 2-Phenanthrenecarboxaldehyde Cholesterol chloroformate
Persen area (%) 0,05 0,02 0,10 0,22 0,05 0,04 3,91 20,12 19,81 1,86 1,78 2,57 1,84 3,60 11,14
Data yang ditampilkan dalam Tabel 2 adalah komponen pembentuk aroma rebung segar yang memiliki puncak tinggi lainnya yaitu dalam lama retensi menit
11
ke 65,82 dengan persen area sebesar 11,14 yaitu senyawa Cholesterol cloroformat, pada waktu retensi menit ke 22,87 persen area sebesar 3,91 yaitu Benzaldehyde, 4-hydroxy-, pada waktu retensi menit ke 48,62 dengan persen area sebesar 2,57 yaitu 2-Monooleoylglycerol trimethylsilyl ether, pada waktu retensi menit ke 51,07 dengan persen area 1,84 yaitu senyawa Squalene, pada waktu retensi menit ke 46,79 persen area sebesar 1,78
yaitu senyawa 1,2-
Benzenedicarboxylic acid.
Kondisi oprasional GC: Jenis kolom : Rtx-5MS Suhu kolom : 60 0C – 280 0C Suhu detektor : 280 0C Suhu injektor : 300 0C Gas pembawa : Helium Gambar 3. Profil senyawa ekstrak aroma rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % penyimpanan 3 hari suhu kamar. Angka diatas puncak adalah nomor puncak yang menunjukkan jenis senyawa seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Gambar 3 menunjukkan hasil kromatogram dari kromatografi gas didapatkan hasil bahwa pada ekstraksi rebung fresh-cut pada perlakuan konsentrasi oksigen 7 % dalam penyimpanan selama 3 hari pada suhu kamar terdapat 105 puncak kromatogram. Dari hasil kromatogram didapatkan puncak tertinggi pada waktu retensi menit ke 40,29 dengan persen area sebesar 19,54 termasuk senyawa 9,12-octadecadienoic acid dan tertinggi kedua pada waktu
12
retensi menit ke 36,72 dengan persen area sebesar 12,53 termasuk senyawa Hexadecanoic acid (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil identifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % dan lama penyimpanan 3 hari dalam suhu kamar menggunakan GC-MS
Formula
Senyawa
1 2 3 5
Lama retensi (menit) 2,196 2,252 2,313 2,518
C2H4O C 4 H 10 O C 4 H 10 O C 2 HR4 O
Acetaldehyde Ethanol Ethyl ether Acetic acid
6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 18 19 23 24 25 28 31 32 36 40
2,599 2,840 3,051 3,199 3,320 3,410 3,770 4,467 4,683 5,889 7,173 7,608 9,933 10,175 11,050 13,243 19,483 19,720 23,049 26,135
C4H8O2 C 4 HR10 O C3H6O2 C4H8O2 C 6 H 12 O 2 C 5 H 12 O C4H8O2 C4H8O2 C4H8O2 C 5 H 10 O 2 C 5 H 10 O 2 C 7 H 14 O 2 C6H6O5 C 8 H 16 O 2 C 6 H 12 O 2 C7H8O C8H8O2 C 9 H 12 O 2 C9H9N C 15 H 24 O
Ethyl acetate 1-Butanol Propanoic acid Acetoin (2-Butanone,3-hydroxy) 2,4,5-Trimethyl-1,3-dioxolane Isopentanol Isobutyric acid Butanoic acid 3-Nitropropionic acid Isovaleric acid Pentanoic acid Methyl caproate Phenol Ethyl hexanoate Hexanoic acid p-Cresol/phenol, 4-methylBenzeneacetic acid 2,5-Dimethoxytoluena 3-Methylindole
56
36,717
C 16 H 32 O
Hexadecanoic acid
12,53
9,12-octadecadienoic acid
19,54
Ethyl linoleate
5,00
No puncak
Persen area (%) 0,05 0,34 4,67 0,14
2
Phenol, methyl-
2,6-bis(1,1-dimethylethyl)-4-
0,13 0,11 0,03 0,02 0,03 0,02 0,14 0,63 0,70 0,54 0,33 0,01 0,56 0,34 1,86 0,61 0,15 0,64 0,33 0,17
2
59
40,292
C 18 H 32 O
61
41,183
C 20 H 36 O
2
2
13
95 99
62,413 66,092
C4H8O2 C 29 HR50 O
Butyric acid Stigmost-5-en-3-ol
Data yang ditampilkan dalam Tabel 3
2,55 5,26
adalah komponen pembentuk
aroma rebung fresh-cut pada perlakuan konsentrasi oksigen 7 % yang memiliki puncak tinggi lainnya yaitu pada waktu retensi menit ke 66,09 dengan persen area sebesar 5,26 yaitu senyawa, Stigmost-5-en-3-ol, pada waktu retensi menit ke 41,18 persen area sebesar 5,00 yaitu Ethyllinoleate, pada waktu retensi menit ke 11,05 dengan persen area sebesar 1,86 yaitu Hexanoic acid, pada waktu retensi menit ke 4,47 dengan persen area 0,63 yaitu senyawa Butanoic acid , 2methyl- , pada waktu retensi menit ke 9,93 dengan persen area sebesar 0,56 yaitu senyawa Phenol, pada waktu retensi menit ke 2,52 dengan persen area 0,14 yaitu senyawa Acetic acid dan pada waktu retensi menit ke 3,32 dengan persen area sebesar 0,03 yaitu senyawa 2,4,5-Trimethyl-1,3-dioxolane.
Kondisi oprasional GC: Jenis kolom : Rtx-5MS Suhu kolom : 60 0C – 280 0C Suhu detektor : 280 0C Suhu injektor : 300 0C Gas pembawa : Helium Gambar 4.
14
Profil senyawa ekstrak aroma rebung fresh-cut dalam konsentrasi klorin 200 ppm kondisi vakum dalam penyimpanan 4 minggu suhu rendah (5 0C)
Gambar 4. menunjukkan hasil kromatogram dari kromatografi gas didapatkan hasil bahwa pada ekstraksi rebung fresh-cut pada perlakuan pemberian klorin 200 ppm yang divakum dan disimpan pada suhu rendah (5 0C) yang disimpan selama 4 minggu terdapat 36 puncak kromatogram. Dari hasil kromatogram didapatkan puncak tertinggi pada waktu retensi menit ke
2,55
dengan persen area sebesar 32,87 termasuk senyawa Acetic acid dan tertinggi kedua pada waktu retensi menit ke 47,05 dengan persen area sebesar 15,14 termasuk senyawa Phosphin oxide,triphenyl- (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil identifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak rebung fresh-cut dalam konsentrasi klorin 200 ppm kondisi vakum dan lama penyimpanan suhu rendah dengan menggunakan GC-MS No puncak 1
Waktu retensi (menit) 2,55
2
Formula
Senyawa
Persen relatif
C2H4O2
Acetic acid
32,87
3.34
C 4 H 10 O 2
1,3-Butanediol
3,24
3
3,64
C 6 H 12 O 2
2,4,5-Trimethyl-1,3-dioxolane
0,93
4
5,58
C 5 H 10 O 2
2-methyl-asam Butanoat
0,25
5
10,26
C6H6O
Phenol
2,24
6
22,660
C14H28
3-Tetradecene
0,36
10
27.27
C7H6N2O4
Benzene,1-methyl-2,4-dinitro
2,92
11
27,89
C 16 H 32
1-Hexadecene
1,90
15
36,37
C 16 H 32 O 2
Hexadecanoic acid
4,38
16
5,89
C 5 H 10 O 2
Butanoic acid
0,54
19
40,12
C 20 H 36 O 2
Ethyl linoleate
7,26
27
47,05
C 18 H 15 OP
Phosphin oxide,triphenyl-
15,14
34
54.17
C 19 H 28 O 2
Testosterone
3,68
Data yang ditampilkan dalam Tabel
4 adalah komponen pembentuk
aroma rebung segar yang memiliki puncak tinggi lainnya yaitu pada waktu retensi menit ke 40,12 dengan persen area sebesar 7,26 yaitu senyawa Ethyl linoleate , pada waktu retensi menit ke 36,37 dengan
persen area sebesar 4,38 yaitu
senyawa Hexadecanoic acid, pada waktu retensi menit ke 54,17 dengan persen
15
area sebesar 3,68 yaitu Testosterone, pada waktu retensi menit ke 10,26 dengan persen area 2,24 yaitu senyawa fenol, dan dalam lama retensi menit ke 3,64 persen area sebesar 0,93 yaitu senyawa 2,4,5-Trimethyl-1,3-dioxolane. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa komposisi penyusun aroma dari ekstrak rebung segar, rebung fresh-cut dengan perlakuan pemberian 7 % oksigen yang disimpan pada suhu kamar dan perlakuan pemberian 200 ppm klorin yang divakum dan disimpan pada suhu rendah (5 0C) setelah 4 minggu penyimpanan, memiliki perbedaan intensitas beberapa senyawa dengan persentase relatif cukup besar. Ada beberapa jumlah senyawa penyusun aroma tertinggi pada masing-masing ekstrak rebung fres-cut tersebut, mengalami perubahan persen area yang cukup signifikan. Seperti senyawa Hexadecanoic acid (palmitic acid) pada ekstrak rebung segar persen area 20,12 (Tabel 2), mengalami penurunan menjadi 12,53 pada perlakuan rebung fresh-cut dengan konsentrasi oksigen 7 % pada penyimpanan suhu kamar dan kembali persen area menurun menjadi 4,38 pada perlakuan dengan klorin vakum. Perbedaan jumlah senyawa ekstrak flavor yang dihasilkan kemungkinan terjadi kerusakan senyawa flavor selama penyimpanan rebung fresh-cut pada pemberian oksigen dan klorin dengan kondisi vakum dan penyimpanan suhu rendah. Ekstrak flavor yang dihasilkan pada pemberian 200 ppm klorin yang divakum dan disimpan pada suhu rendah (5 0C) dihasilkan puncak yang paling sedikit yaitu 36 puncak dibandingkan pada rebung fresh-cut dengan perlakuan pemberian 7 % oksigen yang disimpan pada suhu kamar, menunjukkan jumlah 105 puncak
dan ekstrak aroma
rebung fresh-cut segar (tanpa perlakuan)
dihasilkan 96 puncak (Gambar 2,3,dan 4). Hal ini disebabkan fresh-cut pada pemberian 200 ppm klorin yang divakum dan disimpan pada suhu rendah (5 0C), ketersediaan oksigen sangat kecil karena vakum dan pemberian klorin 200 ppm sebagai antiseptik mampu untuk menekan pertumbuhan mikroba dan menekan respirasi. Senyawa aroma tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat rebung di fresh-cut yang diberi perlakuan konsentrasi oksigen 7 % dan disimpan dalam toples suhu kamar, terjadi perubahan sejumlah 9 senyawa yang memiliki puncak yang menimbulkan aroma tidak sedap.
Berdasarkan hasil uji GC-MS ke 14
senyawa tersebut yang dimungkinkan berasal dari akibat proses kontaminasi mikroorganisme.
16
Pada Tabel 5, dapat dilihat perbandingan komposisi senyawa kimia pada ekstrak aroma rebung fresh-cut pada rebung segar, rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % dalam penyimpanan 3 hari pada suhu kamar dan rebung fresh-cut yang direndam pada konsentrasi klorin 200 ppm dalam kemasan vakum dan disimpan selama 4 minggu pada kondisi suhu rendah (5 o
C). Data dalam Tabel 5, menunjukkan bahwa senyawa 2,4,5-Trimethyl-1,3-
dioxolane muncul pada rebung segar dengan persen area 0,02, kemudian meningkat pada ekstrak aroma rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % yang disimpan 3 hari dalam kondisi suhu kamar yaitu menunjukkan persen area 0,03 selanjutnya meningkat kembali pada ekstrak aroma rebung fresh-cut pada perendaman konsentrasi klorin dalam kemasan vakum yang disimpan selama 4 minggu dalam kondisi suhu rendah (5 0C) yaitu menunjukkan persen area 0,93. Senyawa fenol pada ekstrak aroma rebung segar belum muncul, kemudian muncul setelah perlakuan rebung freh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % sebesar 0,06 dan meningkat pada rebung fresh-cut dalam konsentrasi klorin 200 ppm yang dikemas vakum dan disimpan selama 4 minggu pada suhu 5 oC yaitu sebesar 2,24. Sementara itu asam asetat pada ekstrak rebung segar terlihat belum muncul, kemudian muncul pada rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % yaitu menunjukkan pada persen area sebesar 0,14, meningkat tajam pada perlakuan rebung fresh-cut dalam konsentrasi klorin 200 ppm pada kemasan vakum dan disimpan selama 4 minggu dalam kondisi penyimpanan suhu rendah (5 oC) yaitu menunjukkan persen area 32,87.
Tabel 5. Komposisi perbandingan ekstrak aroma rebung fresh-cut segar, konsentrasi oksigen 7 % dalam suhu kamar dan rebung fresh-cut klorin vakum dalam konsentrasi klorin 200 ppm suhu rendah Rebung segar
Persen relatif
2,4,5-Trimethyl1,3-dioxolane
0,02
-
-
17
Rebung freshcut 7 % oksigen suhu kamar
Persen relatif
Rebung fresh-cut klorin vakum suhu rendah
Persen relatif
Acetic acid 2,4,5Trimethyl-1,3dioxolane
0,14 0,03
32,87 0,93
Phenol Butanoic acid
0,056 0,63
Acetic acid 2,4,5Trimethyl1,3dioxolane Phenol Butanoic acid
2,24 0,54
Hexadecanoic acid/palmitic acid
20,12
Hexadecanoic acid/palmitic acid
9,12Octadecadienoi c acid -
19,81
9,12octadecadienoi c acid Ethyl linoleate
-
12,53
Hexadecan oic Acid/palmiti c acid -
4,38
Ethyl linoleate
7,26
-
19,54 5,00
Keterangan: - tidak terdeteksi
KESIMPULAN
1) Senyawa yang dominan paling tinggi terdapat pada ekstrak rebung segar adalah diduga senyawa asam hexadecanoate (20,12 %) dan 9,12-asam Octadecadienoate (19,81 %). 2) Senyawa dominan yang terdapat pada ekstrak rebung fresh-cut dalam konsentrasi oksigen 7 % dalam toples suhu kamar dan penyimpanan
3
hari
adalah
diduga
senyawa
9,12
selama -
asam
Octadecadienoate dengan persentase relatif 19,54 % dan asam hexadecanoate dengan persentase relatif 12,53 %. 3) Senyawa dominan paling tinggi terdapat pada ekstrak rebung fresh-cut yang direndam dalam konsentrasi klorin 200 ppm pada kemasan vakum yang disimpan selama 4 minggu adalah diduga senyawa asam asetat dengan persentase relatif 32,87 % dan phosphin oxide triphenil dengan persentase relatif 15,14 %. 4) Senyawa asam asetat pada ekstrak rebung segar tidak muncul, kemudian muncul pada penyimpanan rebung fresh-cut selama 3 hari dalam konsentrasi oksigen 7 % sebesar 0,14 %, meningkat sebesar 32, 87 % pada rebung fresh-cut dalam perendaman konsentrasi klorin 200 ppm selama penyimpanan 4 minggu pada suhu rendah.
Senyawa 2,4,5-
trimethyl-1,3-dioxolane muncul pada ekstrak aroma rebung segar sebesar 0,02 %, meningkat pada rebung fresh-cut pada penyimpanan selama 3 hari dalam konsentrasi oksigen 7 % sebesar 0,03 %, meningkat pada
18
rebung fresh-cut dalam perendaman konsentrasi klorin 200 ppm dalam kemasan vakum pada penyimpanan suhu rendah sebesar 0,93 %. Senyawa asam hexadecanoate muncul pada rebung segar sebesar 20,12 % menurun pada rebung fresh-cut
penyimpanan
3 hari dalam
konsentrasi oksigen 7 % sebesar 12,53 %, menurun pada rebung freshcut dalam perendaman konsentrasi klorin 200 ppm dalam kemasan vakum pada penyimpanan suhu rendah sebesar 4,38 %. Senyawa ethyl linoleate muncul pada rebung fresh-cut
pada penyimpanan
selama 3
hari dalam konsentrasi oksigen 7 % sebesar 5,00 %, meningkat pada rebung fresh-cut dalam perendaman konsentrasi klorin 200 ppm dalam kemasan vakum pada penyimpanan suhu rendah sebesar 7,26 %.
DAFTAR PUSTAKA Aguayo, E., Escalona, V. and Artes, E. 2004. Metabolic behavior and quality changes of whole and fresh processed melon. J. Food Sci., 64: 432440. Alzamora, S., Tapia, M. and Lopez-Malo, A. 2000. Minimally processed fruits and vegetable, fundamental aspects and applications. Aspen, Maryland. Baeza, R. 2007. Comparison of Technologies to Control the Physiological, Biochemical and Nutritional Changes of Fresh-cut Fruit. Thesis. Food Science Graduate Program College of Agriculture. Kansas State University, Manhattan, Kansas. Barta, J., Cano., Gusek, T. and Y.H. Hui. 2006. Handbook of Fruits and Fruit Processing. Blackwell Pub. Limited, California, USA. Brummell, D.A, and Toivonen, P.M.A. 2008. Biochemical bases of appearance and texture changes in fresh-cut fruit and vegetables, J. Postharvest Biology and Technology, 48(1): 1-14. Creswell, C. J. 2005. Spectrum Analysis of Organic Compound. An Introductory Programmed Text. Burgess Publishing Company. Kosasih Padmawinata (penterjemah). 2005. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Edisi ketiga. Penerbit ITB. Bandung. Ezapski, J. 2006. The Effect of Preliminary Processing of Shredded Celeriac (Apium graveoleus) Using a Sodium hypochlorite Solution on the Quality of this Minimally Processed product, J. Food Sci., 9(2): 12-16. Garcia, E., and Diane M. Barret. 2006. Preservative Teratments for Fresh-cut Fruits and Vegetables. Dep. Of Food Science and Technology University of California, Davis. p. 11-17. Gardjito, M. 2003. Hortikultura Teknik Analisis Pascapanen. Transmedia Global wacana. Graha Institut Pertanian, Magelang. h. 55-57. Girell, A. M. and E. Mattei. 2004 Inhibition of Polyphenol Oxidases Activity by Various Dipeptides, J. Food Chem., 52: 2741-2745. Huang, L.C., Ya-Lin Lee, Bau-Lian Huang and Ching-I Kuo. 2000. High Polyphenol Oxidase Activity and Low Titratable Acidity in Browning Bamboo Tissue Culture, J. Agriculture, 38(4): 358-365.
19
Hwang, T.Y., S.M. Son, C.Y. Lee and K.D. Moon. 2008. The relationship among fles browning, polyphenol oxidase activity, and total phenolic contents in minimally processed potato (Solanum tuberosum var. Romano). Dept. of Food science & Technology, Cornell Univ., W. North St., Geneva. IFPA (International Fresh-cut Produce Association). 2001. Food Safety Guidelines for the Fresh-cut Produce Industry. 4th (ed). Alexandria, VA: IFPA. Irtwange, S.V. 2006. Keeping Freshness in Fresh-cut Horticultural Produce Agricultural Engineering International, CIGR Ejournal, 8(6): 6-10. Kader, A. 2002. Postharvest Technology of Horticultural Crops. University of California. California. Kader, A.A., Gorny, J.R. and Hess-Pierce, B. 2006. Quality Changes in Freshcut Peach and Nectarine Slice as Affected by Cultivar, Storage Atmosphere and Chemical Treatments, J. Food Sci., 64(3): 429-432. Kosar, M., E. Kafkas, and S. Paydas. 2004. Phenolic Composition of Strawberry Genotypes at Different Maturation Stages, J. Food Chem., 52: 1586-1589. Lyall, T.W., V. Kleinhenz, M. Gosbee, S. Elsmore, T.W., K. Blackburn, D.J. 2000. Studies on storage methods for extending shelf life of fresh, edible bamboo shoot (Bambusa oldhamii(Munro). Research Centre, Central Queensland University, Bruce Highway, North Rockhampton, Australia. Lu, S.M., and Ya G. Xu. 2004. Physiological and biochemical change of freshcut bamboo shoot (Phyllostachys heterocycla var pubescens) during cold storage. College of Food Science and Nutrition Engineering, China Agricultural University, Beijing, 100083. Midmore, D.J. 2002. Improved Management Practices for Culinary Bamboo Shoots. Rural Industries Research and Development Corporation. Min, D.B. 2002. Chemistry and Reaction of Singlet Oxygen in Foods, J. Food sci. and Food Safety, 1: 58-61. Miyaki, M. 2006. Control of Polyphenol Oxidase and Pectin Methylesterase Activities by Ultra High Pressure. Thesis. Department of Food Science and Human Nutrition. Washington State University. Washington. Watada, A. and Qi, L. 1999. Quality of Fresh-cut Produce, Biol. Technol., 15: 201-205. Zhu, X., H. Zhang, and R., Lo. 2004. Phenolic Compounds from the Extract of Artichoke (Cynara scolymus L.) and their Antimicrobial Activities, J. Food Chem., 52: 7272-7278.
20