KANDUNGAN LOGAM BERAT KROMIUM (Cr) DALAM AIR, SEDIMEN, DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SERTA KARAKTERISTIK BIOMETRIK DAN KONDISI HISTOLOGISNYA DI SUNGAI CIMANUK LAMA, KABUPATEN INDRAMAYU
SILVIATUN NURKHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA * Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan Logam Berat Kromium (Cr) dalam Air, Sedimen, dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) serta Karakteristik Biometrik dan Kondisi Histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015 Silviatun Nurkhasanah NRP C251120151
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN SILVIATUN NURKHASANAH. Kandungan Logam Berat Kromium (Cr) dalam Air, Sedimen, dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) serta Karakteristik Biometrik dan Kondisi Histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh DJAMAR T.F. LUMBAN BATU dan RIDWAN AFFANDI. Logam berat kromium yang terkandung dalam limbah cair batik apabila dibuang tanpa adanya pengolahan akan mengakibatkan pencemaran Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu, hal ini dikarenakan logam berat kromium akan terlarut, terendap di dalam sedimen, dan terakumulasi di dalam tubuh ikan. Dampak negatif logam berat kromium terhadap ikan adalah stress, terganggunya proses fisiologis, mempengaruhi kesehatannya, dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Selain itu juga terjadi bioakumulasi logam berat kromium di dalam tubuhnya, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi karena membahayakan kesehatan manusia. Ikan yang banyak ditemukan di Sungai Cimanuk Lama adalah ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila tersebut sangat berpeluang mengakumulasi logam berat kromium di dalam tubuhnya dan mengakibatkan kerusakan jaringan serta pertumbuhannya akan terganggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kandungan logam berat kromium dalam air, sedimen, dan ikan nila (O. niloticus) serta karakteristik biometrik dan kondisi histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi ikan nila dan dapat dijadikan dasar untuk pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan April 2012. Pengambilan sampel air dan ikan nila dilakukan setiap bulan di tiga stasiun pengamatan yaitu stasiun 1 merupakan wilayah sungai yang tidak ada kegiatan industri batik dan terdapat pemukiman, stasiun 2 merupakan wilayah sungai yang disekitarnya terdapat kegiatan industri batik dan pemukiman, dan stasiun 3 merupakan wilayah sungai bagian hilir setelah kegiatan industri batik dan terdapat pemukiman serta kegiatan pertanian. Pengambilan sampel ikan nila menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 1,5 inci. Ikan nila yang digunakan pada penelitian ini berasal dari hasil tangkapan di sungai dan yang dibudidayakan di Karamba Jaring Apung (KJA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium di dalam air berkisar 0,85–0,91 mg l-1, sedimen 27,39–37,12 mg kg-1, tubuh ikan nila 18,01–91,76 mg kg-1. Pola pertumbuhan ikan nila yang diperoleh adalah isometrik, allometrik negatif, dan allometrik positif. Faktor kondisi (1,618–2,587), indeks kematangan gonad (0,086–2,318 %), fekunditas (568–1192 butir/ individu), diameter telur (0,358–0,467 µm), hepato somatik index (0,621–2,063 %), dan berat insang relatif (4,022-6,102 %). Kerusakan organ insang dan hati ikan nila tergolong kerusakan ringan hingga berat. Kegiatan industri batik disekitar Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu terbukti mencemari perairan sungai. Kata kunci: Ikan nila, logam berat kromium, karakteristik biometrik, kondisi histologis, Sungai Cimanuk Lama
SUMMARY SILVIATUN NURKHASANAH. The Content of Heavy Metal Chromium in Water, Sediment, and Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) and Biometric Characteristic and their Histological Condition in the Cimanuk Lama River, Indramayu District. Supervised by DJAMAR T.F. LUMBAN BATU dan RIDWAN AFFANDI. The heavy metal chromium which contained in batik wastewater will cause the water gets polluted if it is discharged directly to the Cimanuk Lama River, Indramayu District without any treatment. This is happened because the heavy metal chromium dissolved in the water, settled in sediment, and accumulated in fish body. The negative impact of chromium heavy metal to fish is lead to stress, disruption of physiological processes, affecting the health, and lead to death. There will also accumulate chromium heavy metal in the body so it is not feasible consumed by the humans because endangering the health. The fish that are found in the Cimanuk Lama River was Nile Tilapia. The Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) will accumulate chromium heavy metal in the body and cause tissue damage and impaired growth. The objectives of the study were to review the content of the heavy metal chromium in water, sediment, nile tilapia fish (O. niloticus), and biometric characteristic and their histological condition in the Cimanuk Lama River, Indramayu District. This information can be used as a reference to consume Nile Tilapia and to manage the Cimanuk Lama River, Indramayu District by the community. This study was conducted from February to April 2014. Sampling for the water and the content of chromium heavy metal every month at three observation stations. Station 1 is the area of the river there is no industrial activity and residential areas, Station 2 is located around the batik industry area and residential areas, and station 3 is downstream of the basin after the batik industry activities, residential areas, and agricultural activities. Sampling of Nile Tilapia using gill net with mesh size of 1,5 inch. Nile Tilapia which is used in this study come from the catch and which are cultivated in floating cage by the fisherman. The result showed that content of chromium in the water was range from 0,85– 0,91 mg L-1, in sediment was 27,39–37,12 mg kg-1 and in body fish was 18,01–91,76 mg kg-1. There patterns isometric, allometric negative, and allometric positive. Condition factor (1,618–2,587), gonado somatic index (0,086–2,318 %), fecundity (568–1192 grains/ individual), egg diameter (0,358–0,467 µm), hepato somatic index (0,621–2,063 %) and relative weight gill (4,022–6,102 %). Gills and liver damage of nile tilapia fish classified as low to high level. Batik industry activity arround the Cimanuk Lama River, Indramayu District of contributed significantly to chromium heavy metal pollution. Keywords: Nile Tilapia fish, chromium heavy metal, biometric characteristic, histological condition, Cimanuk Lama River
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingann pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KANDUNGAN LOGAM BERAT KROMIUM (Cr) DALAM AIR, SEDIMEN, DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SERTA KARAKTERISTIK BIOMETRIK DAN KONDISI HISTOLOGISNYA DI SUNGAI CIMANUK LAMA, KABUPATEN INDRAMAYU
SILVIATUN NURKHASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
Judul Tesis : Kandungan Logam Berat Kromium (Cr) dalam Air, Sedimen, dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) serta Karakteristik Biometrik dan Kondisi Histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Nama : Silviatun Nurkhasanah NIM : C251120151 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Djamar T.F. Lumban Batu, MAgr Ketua
Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Juni 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014 ini adalah Pencemaran Lingkungan, dengan judul Kandungan Logam Berat Kromium (Cr) dalam Air, Sedimen, dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) serta Karakteristik Biometrik dan Kondisi Histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascarasarjana IPB 2. Beasiswa Unggulan DIKTI yang telah menjadi sponsor dana pendidikan dalam studi di Sekolah Pascarasarjana IPB 3. Bapak Prof Dr Ir Djamar T.F. Lumban Batu, MAgr dan Bapak Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA selaku pembimbing, atas bantuan dan arahan yang diberikan selama penelitian dan penyusunan tesis ini 4. Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku dosen penguji atas masukkan yang diberikan dalam tesis ini 5. Seluruh dosen dan staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB 6. Staf di Laboratorium Produktivitas Perairan, Bio Mikro, dan Bio Makro, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB serta Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, FKH, IPB yang telah membantu pelaksanaan penelitian 7. drh Mawar Subangkit MSi APVet atas bantuan arahan dalam pembacaan preparat histologis 8. Ayahanda Dulkalim, Ibunda Ropiah, Kakak Udi Tarsudi, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dan perhatiannya selama ini 9. Nelayan, pemilik KJA, dan teman-teman yang telah membantu di lapangan 10. Teman-teman SDP 2012 dan teman-teman satu bimbingan atas dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Silviatun Nurkhasanah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Logam Berat Kromium (Cr) Toksisitas Logam Berat Kromium (Cr) Insang Hati Pengelolaan Sungai 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Rancangan Penelitian Prosedur Penelitian Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan logam berat kromium di dalam sedimen dan ikan nila Kualitas air Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Biometrik ikan nila Kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila Konsumsi maksimum mingguan daging ikan nila Pembahasan Kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila Kualitas air Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Karakteristik biometrik ikan nila Kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila Konsumsi maksimum mingguan daging ikan nila Pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
vi vi vi 1 1 2 4 4 5 5 6 8 9 10 11 12 12 12 13 17 21 21 21 22 22 24 27 28 28 30 30 32 33 33 35 35 35 36
DAFTAR TABEL 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad ikan nila (berdasarkan modifikasi Cassei pada Effendie 2002) 2 Baku mutu logam berat kromium 3 Penilaian kerusakan jaringan dari organ insang dan hati ikan nila 4 Kandungan logam berat kromium di dalam sedimen 5 Kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila hasil tangkapan di sungai dan yang dibudidayakan di KJA 6 Data kualitas perairan di masing-masing stasiun selama penelitian 7 Data biometrik ikan nila di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu 8 Data hasil penilaian kerusakan jaringan dari organ insang ikan nila 9 Data hasil penilaian kerusakan jaringan dari organ hati ikan nila 10 Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI)
15 17 19 21 21 22 23 24 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Skema pendekatan masalah 2 Ikan nila (O. niloticus) (Linnaeus 1758) 3 Penggunaan logam berat kromium (Cr) dan senyawanya (Bielicka et al. 2005) 4 Siklus logam kromium (Cr) dalam lingkungan perairan tercemar (Bielicka et al. 2005) 5 Peta wilayah studi di Sungai Cimanuk Lama 6 Perubahan struktur organ insang ikan nila 7 Perubahan struktur organ hati ikan nila
3 5 7 7 12 25 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Stasiun penelitian Prosedur kerja pengukuran logam berat kromium Pengukuran karakteristik biometrik ikan nila Prosedur kerja pembuatan preparat histologis Perhitungan batas maksimum konsentrasi logam berat kromium dalam daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Weekly Intake/ MWI) 6 Perhitungan batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI)
41 42 44 45
47 48
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai banyak dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu sebagai sumber air minum dan untuk berbagai kegiatan seperti pertanian, perikanan, dan industri. Hal ini dikarenakan wilayah yang dekat dengan aliran sungai sangat mendukung untuk berbagai kegiatan tersebut. Pada perkembangannya banyak kegiatan manusia yang memberikan dampak negatif terhadap perairan sungai, salah satunya adalah adanya pembuangan limbah ke sungai, sehingga menurunkan kualitas perairan dan membahayakan kehidupan organisme perairan yang hidup di dalamnya. Sungai Cimanuk Lama yang terletak di Kabupaten Indramayu berpotensi tercemar oleh limbah industri. Aliran Sungai Cimanuk yang berhulu dari Kabupaten Garut akan bermuara di Kabupaten Indramayu. Pada saat ini sungai tersebut dimanfaatkan untuk air baku air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi pertanian, kegiatan perikanan, dan industri. Aliran Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu melintasi kawasan industri batik rumahan yang pada saat ini sedang berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Industri batik rumahan di Kabupaten Indramayu tersebar di beberapa kelurahan, salah satunya di Kelurahan Paoman yang terdapat 17 unit industri (400 kain batik/unit industri/minggu) (Diskoperindag Kabupaten Indramayu 2014). Industri batik tersebut dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah cair batik. Limbah cair batik mengandung bahan-bahan tersuspensi, fenol, minyak/lemak, dan pewarna yang mengandung logam berat kromium (Keputusan Gubernur DIY No. 28 Tahun 1998). Limbah cair batik yang mengandung logam berat kromium tersebut apabila dibuang langsung ke sungai tanpa adanya pengolahan, maka dapat mencemari perairan sungai dan membahayakan organisme perairan. Logam berat kromium apabila telah melampaui nilai ambang batas maka dapat bersifat toksik. Rahman et al. (2012) menyatakan bahwa logam berat kromium (IV) di perairan akan bersifat toksik, korosif, karsinogenik, dan memiliki kelarutan yang sangat tinggi. Velma dan Tchounwou (2010) menyatakan bahwa logam berat kromium dapat menyebabkan stress oksidatif pada ikan, mengganggu proses-proses fisiologis, dan mempengaruhi kesehatannya. Logam berat kromium yang masuk ke badan sungai akan terlarut, kemudian mengendap di dasar perairan bersatu dengan sedimen, dan sebagian masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang ketika terjadi proses respirasi dan osmoregulasi, melalui saluran pencernaan pada saat pengambilan makanan (fitoplankton dan zooplankton), dan melalui permukaan tubuh ikan (kulit) (Jardine 1993). Toksisitas logam berat terhadap ikan dapat menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada organ yang peka seperti insang dan usus, kemudian ke jaringan bagian dalam seperti hati dan ginjal tempat logam tersebut terakumulasi (Darmono 2001). Mishra dan Mohanty (2008) melakukan penelitian mengenai logam berat kromium pada Channa punctatus, hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kerusakan pada jaringan insang dan hati. Kerusakan yang terjadi berupa edema dan nekrosis. Hal ini dikarenakan insang merupakan organ pertama yang berhubungan langsung dengan bahan toksik di dalam perairan. Wong dan Wong (2000) menyatakan bahwa permukaan insang yang luas dan terbuka mengakibatkan insang menerima efek pertama dari bahan toksik yang
2
ada di dalam perairan. Hati merupakan organ yang sangat peka terhadap pengaruh bahan kimia yang bersifat toksik sehingga sering mengalami kerusakan (Lu 1995). Ikan yang banyak ditemukan di Sungai Cimanuk Lama adalah ikan nila (Oreochromis niloticus), selain itu juga banyak dibudidayakan di karamba jaring apung (KJA). Ikan nila merupakan ikan herbivora dan konsumer pertama pemakan plankton, sedangkan makanan pendukungnya adalah alga, tumbuhan air, dan cacing Annelida (Mohammad et al. 2012). Akan tetapi, ada juga yang menyatakan bahwa ikan nila adalah ikan omnivora dengan makanan alaminya adalah detritus, fitoplankton, dan zooplankton (Abdel-Tawwab et al. 2008). Offem et al. (2007) menyatakan bahwa ikan nila memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai bahan makanan yang ditemukan di lingkungannya, sehingga banyaknya ikan nila di sungai mengindikasikan bahwa banyak makanan yang terdapat di perairan. Selain itu juga ikan nila merupakan jenis ikan yang toleran terhadap rendahnya kualitas perairan. Ikan nila pada dasarnya mempunyai kemampuan menghindarkan diri dari pengaruh bahan pencemar yang terdapat di lingkungan perairan (Roberts 2001). Namun, ikan nila yang hidup di habitat terbatas (sungai, danau, dan teluk) akan sulit menghindarkan diri dari pengaruh pencemaran tersebut. Akibatnya unsur-unsur pencemar yang terkandung dalam badan perairan akan masuk dan terakumulasi di dalam tubuh (Dinata 2004). Ciftci et al. (2010) melakukan penelitian mengenai akumulasi logam berat kromium di dalam hati, insang, dan daging ikan nila pada skala laboratorium. Hasilnya menunjukkan bahwa akumulasi logam berat kromium di dalam organ insang dan hati meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan logam berat kromium di dalam media. Studi lain mengenai toksisitas logam berat kromium terhadap kehidupan organisme perairan juga telah dilakukan oleh EPA (1985), Eisler (1986), dan Irwin et al. (1997). Studi ini dilakukan karena logam berat kromium di dalam perairan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme perairan (termasuk populasi ikan). Oleh karenanya kondisi Sungai Cimanuk Lama yang tercemar logam berat kromium dari limbah cair batik tersebut dapat berpotensi mengganggu biometrik ikan nila. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila (O. niloticus) serta karakteristik biometrik dan kondisi histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi ikan nila dan dijadikan dasar pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Rumusan Masalah Kegiatan industri batik rumahan di dekat kawasan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu akan menghasilkan limbah cair batik yang mengandung bahanbahan kimia berbahaya dan logam berat kromium. Apabila limbah tersebut dibuang langsung ke dalam sungai tanpa adanya pengolahan, maka dapat berpotensi mencemari perairan sungai dan mengganggu kehidupan organisme perairan. Hal ini dikarenakan logam berat kromium akan terlarut, terendap di dalam sedimen, dan terakumulasi di dalam tubuh organisme perairan (seperti ikan). Ikan yang banyak ditemukan di Sungai Cimanuk Lama adalah ikan nila (O. niloticus). Ikan nila (O. niloticus) sebagai organisme yang hidup di perairan sungai dapat mengakumulasi logam berat kromium dalam tubuhnya. Hal ini dikarenakan lingkungan
3
perairan sebagai tempat hidupnya dan makanan yang tersedia diperairan mengandung logam berat kromium. Logam berat kromium tersebut dapat mengakibatkan kerusakan jaringan serta akan mengganggu pertumbuhan ikan nila. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila (O. niloticus) serta karakteristik biometrik dan kondisi histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Gambar 1 akan menjelaskan alur dari perumusan masalah dalam penelitian ini.
Pemanfaatan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu
Ikan nila hasil tangkapan dan dari KJA
Kandungan Cr, biometrik, dan kondisi histologis ikan nila
Limbah cair yang mengandung Cr dari industri batik
Pencemaran Sungai
Input
Kondisi Sungai Cimanuk Lama
Kualitas Perairan Proses
Rekomendasi pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu
Gambar 1 Skema pendekatan masalah
Output
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila (O. niloticus) serta karakteristik biometrik dan kondisi histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila (O. niloticus) serta karakteristik biometrik dan kondisi histologisnya di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi ikan nila dan dapat dijadikan dasar pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Klasifikasi ikan nila (O. niloticus) (Linnaeus 1758) menurut Trewavas (1982): Filum: Chordata Subfilum: Vertebrata Kelas: Osteichtyes Subkelas: Acanthoptherygii Ordo: Percomophi Subordo: Percoidea Famili: Cichlidae Genus: Oreochromis Spesies: Oreochromis niloticus (Linnaeus 1758)
Gambar 2 Ikan nila (O. niloticus) (Linnaeus 1758) Ikan nila (O. niloticus) merupakan ikan asli Afrika (Trewavas 1982). Bentuk tubuh ikan nila memanjang dan ramping, dengan sisik berbentuk lingkaran. Sisiknya berwarna abu-abu kehitaman (Picker & Griffiths 2011), dengan beberapa pita hitam belang yang semakin memudar atau samar-samar pada saat ikan nila sudah dewasa (Hasni 2008). Ukuran maksimal panjang total ikan nila adalah 20 cm (Bwanika et al. 2004). Panjang tubuhnya dua kali lebih tinggi dari pada tingginya. Memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip ekor. Sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil, sirip anal yang panjang, dan sirip ekor yang membundar (Trewavas 1982).
6
Berdasarkan makanan yang dikonsumsinya, ikan nila tergolong ikan omnivora, dengan mengkonsumsi fitoplankton, zooplankton, dan detritus (Abdel-Tawwab 2008). Makanan lainnya berupa alga dan tumbuhan air. Konsumsi makanan tersebut berdasarkan bukaan mulut dan kemampuan pencernaan di dalam usus. Ikan nila ukuran kecil dan besar umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton. Selain itu juga ikan nila ukuran besar memakan tumbuhan dan serangga air (Otieno et al. 2014). Ikan nila dapat berkembang biak di semua habitat, kecuali sungai yang berarus deras. Selain itu juga mempunyai toleransi terhadap kualitas perairan yang buruk (seperti suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, dan intensitas cahaya) (El-Sayed et al. 2003). Pertumbuhan ikan nila yang cepat, tingginya kesuksesan dalam reproduksi, mudah dalam menyerap makanan, dan sumber protein (Peterson et al. 2005), hal ini yang menyebabkan ikan nila banyak dibudidayakan. Ikan nila jantan memiliki alat kelamin yang bentuknya memanjang dan menonjol terletak pada bagian ventral tubuhnya. Ikan nila betina memiliki dua lubang kelamin di dekat anal, berbentuk seperti bulan sabit dan berfungsi sebagai tempat keluarnya telur. Ikan nila mencapai kematangan seksual pada usia 5–6 bulan (FAO 2012). Sedangkan Morales (1991) menyatakan bahwa ikan nila mencapai kematangan seksual pada usia tiga bulan dengan panjang total 8–16 cm. Ukuran bobot tubuh ikan nila pertama kali matang seksual berkisar 30–50 g (De Graff et al. 1999). Pemijahan ikan nila dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di perairan, suhu, penyinaran matahari, dan lingkungan perairan yang mendukung (Babiker & Ibrahim 1979). Ikan nila betina yang siap memijah akan bertelur di dalam sarang yang telah dibuat, kemudian telur tersebut akan dibuahi oleh ikan nila jantan dan ikan nila betina mengumpulkan dan menyimpan telur yang sudah dibuahi di dalam mulutnya (mouth brooding). Telur tersebut akan disimpan dan dierami di dalam mulutnya sampai kuning telur tersebut habis terserap (kurang lebih dua minggu) kemudian menjadi larva. Jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan nila betina tergantung pada ukuran tubuhnya dan jumlahnya berkisar 100–1500 butir telur/individu. Ikan nila betina tidak akan makan selama mengerami telurnya (FAO 2012). Logam Berat Kromium (Cr) Logam berat merupakan unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Logam berat biasanya termasuk dalam elemen metalik dengan berat atom lebih dari 40, akan tetapi logam alkalin bumi, logam alkali, lanthanides, dan actinides tidak termasuk ke dalamnya. Logam berat paling penting untuk melihat polusi perairan adalah seng, timbal, kadmium, merkuri, nikel dan kromium. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) adalah merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan cobalt (Co) (Sutamihardja et al. 1982 in Marganof 2003). Kromium merupakan logam yang keras, tahan panas, elektropositif, dan penghantar panas yang baik. Keberadaannya sangat melimpah di kerak bumi, biasanya dalam bentuk trivalent (Cr3+) dan hexavalent (Cr6+). Sumber Cr6+ berasal dari industri pelapisan logam dan produksi pigmen, sedangkan Cr3+ banyak terdapat dalam limbah industri tekstil, penyamakan kulit, dan gelas keramik (Bielicka et al. 2005).
7
Penghambat korosi logam Katalis
Bahan obat
Pewarna
Kromium & Senyawanya
Bahan kimia
Bahan untuk perawatan kayu
Paduan dalam pembuatan besi Bahan untuk penyamakan kulit
Gambar 3 Penggunaan logam berat kromium (Cr) dan senyawanya (Bielicka et al. 2005) Sumber logam berat kromium yang berasal dari alam jumlahnya 30–40 % (seperti dari pelapukan batuan, air hujan dan dari atmosfer) dan dari limbah antropogenik jumlahnya 60–70 % (seperti limbah rumah tangga dan industri). Pembuangan limbah industri yang mengandung logam berat kromium ke perairan akan meningkatkan konsentrasi kromium dalam perairan dan dapat mencemari air tanah. Cr6+ merupakan bentuk kromium paling mudah larut dalam air, sedangkan Cr3+ kelarutannya rendah dan cenderung teradsorpsi pada partikel padat dengan kisaran pH yang sesuai. atmospher
tumbuhan
perairan
tanah
tanah sedimen
Gambar 4 Siklus logam kromium (Cr) dalam lingkungan perairan tercemar (Bielicka et al. 2005)
8
Peningkatan konsentrasi kromium di sungai disebabkan oleh pembuangan limbah industri. Jumlah kromium yang terkandung dalam limbah akan bergantung pada banyak kromium yang digunakan dalam kegiatan industri. Limbah yang mengandung logam berat kromium dan dibuang ke sungai tanpa adanya pengolahan, maka dapat membahayakan lingkungan perairan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme perairan (seperti ikan). Logam berat kromium dapat terakumulasi dalam organ-organ yang aktif secara metabolik (seperti insang, hati, dan ginjal). Efek pertama logam berat kromium yang dapat dilihat adalah stress pada ikan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku seperti ikan yang berenang tidak seimbang, gerakan opercullum yang tidak selaras, dan kematian (Mishra & Mohanty 2008). Toksisitas Logam Berat Kromium (Cr) Toksisitas adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia dalam menimbulkan kerusakan pada bagian yang peka di bagian dalam maupun di bagian luar tubuh makhluk hidup (Tandjung 1995). Toksisitas setiap logam berat di perairan berbeda-beda tergantung jenis logam dan jumlahnya. Toksisitas logam berat secara umum terhadap makhluk hidup di perairan dipengaruhi oleh bentuk logam dalam air, keberadaan logam-logam lain, pengaruh lingkungan, dan kemampuan organisme beraklimatisasi terhadap bahan toksik dari logam (Lu 1995). Sedangkan toksisitas kromium sendiri dipengaruhi oleh bentuk oksidasi kromium, suhu, dan pH (Effendi 2003). Logam berat kromium yang masuk ke dalam tubuh ikan akan masuk dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Interaksi yang terjadi antara logam berat kromium dengan unsur biologi tubuh dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme, hal ini dikarenakan kromium yang masuk ke dalam sel akan terlarut dalam darah dan mempengaruhi kerja enzim (Palar 2004). Kromium melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transport dengan perantaraan carrier, dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Lu 1995). Cr6+ yang masuk melalui insang dapat mudah menembus membran sel karena insang langsung bersentuhan dengan air, hal ini terkait dengan sifat dari senyawa Cr6+ yang mudah menembus membran sel melalui sistem transportasi anion dan memiliki kemampuan meminjam atau mengurangi elektron pada Cr3+. Cr6+ lebih aktif 1000 kali dibanding dengan Cr3+ dalam menembus membran sel, sehingga sel tersebut akan rusak. Logam Cr6+ akan menembus membran sel epitel insang, masuk ke dalam kapiler darah, kemudian dibawah oleh cairan darah menuju organ tertentu (seperti hati dan ginjal). Pada daerah yang berdekatan dengan organ tertentu (seperti hati dan ginjal) tersebut, logam Cr6+ akan menembus endothelium darah sehingga logam Cr6+ akan masuk ke dalam organ tersebut. Pada organ tertentu (seperti hati dan ginjal) logam Cr6+ akan difiksasi oleh protein yang berperan sebagai enzim, sehingga akan menghambat kerja enzim tersebut, dan pada akhirnya akan mengganggu metabolisme sel (Connell & Miller 1995). Perairan yang tercemar logam berat kromium akan membahayakan organisme perairan yang hidup di dalamnya, hal ini dikarenakan logam berat kromium tersebut akan terakumulasi dalam tubuh ikan, sehingga apabila ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia maka dapat terakumulasi dalam tubuh manusia. Akumulasi logam berat kromium di dalam tubuh manusia akan menimbulkan toksisitas akut dan kronis. Toksisitas akut akibat logam berat kromium adalah muntah, diare berdarah dan
9
gangguan saluran pencernaan. Efek lain yang muncul adalah nekrosis hati, nekrosis ginjal, dan keracunan. Sedangkan toksisitas kronis logam berat kromium (Cr3+ dan Cr6+) dilaporkan meliputi iritasi kulit, gangguan pada hati, gangguan syaraf pada anak-anak sehingga dapat menurunkan IQ, dan kanker paru-paru (Environmental Health Criteria 61 1988). Insang Insang merupakan organ respirasi, osmoregulasi, dan organ ekskresi (Mishra & Mohanty 2008). Struktur histologis insang terdiri dari filamen-filamen insang (lamella primer) masing-masing filamen (lamella primer) tersusun oleh lamella sekunder. Ephitelium pada lamella primer terdiri dari beberapa lapis sel. Terdapat tiga bentuk sel pada lamella ini yaitu sel monocyte, sel mucocyte, dan sel yang sedikit mengalami perubahan yang hampir menyerupai sel ephitelium bagian dalam dari lamella sekunder. Tiap lamella primer memiliki lamella sekunder yang memiliki dinding yang tipis, epithelium terdiri dari dua lapis sel inner dan outer ephitelium, dan sel tonggak (pillar cell) (Affandi & Tang 2002). Insang merupakan organ pertama yang mengalami kontak langsung dengan perairan. Insang sangat peka terhadap pengaruh logam berat. Insang bukan saja menyerap oksigen dengan cepat, namun juga akan menyaring air, sehingga logamlogam yang terlarut dalam air termasuk kromium, dapat masuk ke dalam tubuh melalui insang (Clark 1986). Hal ini membuat lapisan epitel insang yang tipis mudah mengalami kerusakan (Roberts 2001). Ciftci et al. (2010) menyatakan bahwa logam berat kromium dapat menyebabkan kerusakan insang berupa peradangan dengan adanya limfosit, kongesti, edema, hemoragi dan nekrosis. Peradangan merupakan terlihatnya sel-sel darah putih (limfosit) pada insang. Peradangan pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan, namun reaksinya kadang-kadang dapat merupakan awal dari suatu penyakit gawat di suatu tempat tertentu. Fungsi peradangan adalah untuk membantu meminimalkan efek dari zat iritan atau patogen pada jaringan yang terluka. Kongesti dapat ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah. Edema adalah akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga lamella insang yang dapat mengakibatkan pembengkakkan. Edema akan diikuti oleh lepasnya epitel dari lamella sekunder yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi epitel sebagai tempat didifusikannya gas terlarut (Saputra et al. 2013). Hemoragi adalah keluarnya eritrosit dari darah yang berada di jaringan insang. Hal ini diakibatkan menurunnya permeabilitas pembuluh kapiler dan membran insang akibat iritasi karena cairan di luar tubuh lebih rendah daripada cairan di dalam tubuh ikan mengakibatkan sebagian besar plasma keluar dari tubuh ikan, sehingga ikan mengalami dehidrasi dan pendarahan di bagian insang (Camargo & Martinez 2007). Nekrosis merupakan kematian jaringan yang terjadi secara cepat pada bagian terbatas pada saat masih hidup, seperti diakibatkan rontoknya lamella insang. Rontoknya lamella insang menyebabkan jaringan yang berada di sekitarnya menjadi rentan terhadap zat toksik (Kamal & Graham 2005). Kerusakan jaringan pada organ insang menyebabkan terganggunya proses respirasi, hal ini akan menghambat difusi oksigen ke dalam sel insang.
10
Hati Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses pencernaan, organ ini umumnya merupakan suatu kelenjar yang kompak, berwarna merah kecoklatan. Secara umum posisi hati terletak pada rongga bawah tubuh, dibelakang jantung dan disekitar usus depan. Disekitar hati terdapat organ berbentuk kantung bulat kecil, oval atau memanjang dan berwarna hijau ke biru-biruan, organ ini dinamakan kantung empedu yang berfungsi untuk menampung cairan empedu. Organ hati tersusun oleh sel-sel hati (hepatosit), dan diantara sel-sel tersebut banyak dijumpai kapiler-kapiler darah limpe sinusoid. Saluran darah darah yang masuk ke organ hati terdiri atas arteri yang berasal dari aorta dorsalis dan vena portal yang berasal dari saluran pencernaan. Saluran darah yang keluar dari organ hati adalah vena hepaticus, vena ini kemudian menuju jantung. Secara umum, hati berfungsi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein serta tempat memproduksi cairan empedu (Affandi & Tang 2002). Logam berat memberikan dampak kronis pada ikan yang menyebabkan adanya peningkatan aktivitas enzim di dalam hati (Darmono 2001). Klaassen et al. (1986) menyatakan bahwa hati merupakan organ yang selalu mengalami gangguan oleh pengaruh logam berat, karena hati sangat peka terhadap bahan beracun atau toksik. Hal ini dikarenakan logam berat yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. Kerusakan jaringan hati akibat logam berat disebabkan aktifitas logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim, hal ini sesuai pendapat Connell dan Miller (1995) yang menyatakan bahwa salah satu mekanisme toksisitas ion logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang essensial dalam biomolekul, misalnya protein dan enzim. Logam berat yang sudah terikat pada enzim bersifat irreversible, maka ikan tidak dapat mengeluarkannya (Klaassen et al. 1986). Oleh karenanya konsentrasi logam berat kromium dalam jaringan akan meningkat terus sejalan dengan umur ikan. Mishra dan Mohanty (2008) menyatakan bahwa paparan logam berat kromium dapat mengakibatkan kerusakan pada hati ikan berupa degenerasi hidrofis dan degenerasi inti sel (nekrosis). Sedangkan Triadayani et al. 2010 menyatakan bahwa paparan logam berat terhadap hati ikan akan mengakibatkan kerusakan berupa degenerasi lemak, degenerasi hidrofis, hemoragi, dan nekrosis. Degenerasi lemak terjadi karena adanya logam berat yang memicu kerusakan inti sel, sehingga mengakibatkan mengecilnya sel hati (Panigoro et al. 2007). Degenerasi lemak ditandai dengan penampakan sitoplasma yang bolong sehingga terlihat seperti vakuola-vakuola pada sel hati. Sitoplasma yang bolong tersebut kemudian terisi dengan lemak dari tubuh, hal ini lah yang mengakibatkan vakuola-vakulola di dalam sel hati. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel hati stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma, hal ini dikarenakan sitoplasma tersebut bolong-bolong dan lama kelamaan akan habis, sehingga inti sel (nukleus) menuju ketepi sel. Degenerasi inti sel (nekrosis) adalah terjadinya kematian sel hati (Lu 1995). Kematian sel hati tersebut diakibatkan inti sel terganggu dan mengalami kerusakan akibat paparan logam berat. Hal ini akan mengganggu proses detoksifikasi.
11
Pengelolaan Sungai Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu pada saat ini pemanfataannya sudah tidak sesuai dengan fungsinya. Padatnya pemukiman penduduk dan adanya industri disekitar kawasan sungai dapat menghasilkan limbah yang mencemari sungai. Limbah tersebut apabila dibuang ke sungai tanpa adanya pengolahan akan mencemari perairan sungai dan mengancam keberadaan organisme perairan yang hidup di dalamnya. Oleh karenanya untuk menghindari pemanfaatan sungai yang tidak sesuai dengan peruntukkannya perlu dilakukan pengelolaan dan pembatasan dalam pemanfaatan sungai. Hal ini dimaksudkan agar sumber daya perairan sungai dan perikanan tetap lestari.
12
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai April 2014 di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu (Gambar 1). Analisis logam berat kromium dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Bio Mikro, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kerusakan jaringan insang dan hati ikan nila dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 5 Peta wilayah studi di Sungai Cimanuk Lama Rancangan Penelitian Stasiun penelitian ditentukan secara purposive sampling dan terbagi menjadi tiga yaitu stasiun 1 merupakan wilayah sungai yang tidak ada kegiatan industri batik dan terdapat pemukiman, stasiun 2 merupakan wilayah sungai yang disekitarnya terdapat kegiatan industri batik dan pemukiman, dan stasiun 3 merupakan wilayah sungai bagian hilir setelah kegiatan industri batik dan terdapat pemukiman serta kegiatan pertanian (terlampir di Lampiran 1).
13
Prosedur Penelitian Prosedur Kerja di Lapangan Pengambilan sampel air untuk analisis logam berat kromium dilakukan bersamasama dengan pengukuran kualitas air, yaitu dilakukan setiap bulan selama tiga bulan penelitian di tiga stasiun penelitian. Sampel air tersebut diambil dari lapisan permukaan dengan menggunakan ember berukuran 10 L kemudian dimasukkan ke dalam botol berbahan polyethylene bervolume 500 mL dan disimpan dalam cool box, untuk dianalisis di laboratorium. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan van veen grab. Titik pengambilan sampel sedimen sama dengan untuk pengambilan sampel air. Sedimen dasar diambil sebanyak ± 200 g dari setiap stasiun dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam cool box, untuk dianalisis di laboratorium. Pengambilan sampel ikan nila dilakukan dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 1,5 inci, yang di pasang pada pagi hari (pukul 09.00) dan diangkat pada sore hari (pukul 16.00). Ikan nila yang terjerat di jaring insang kemudian dipisahkan berdasarkan ukurannya 30–90 g dan 100–250 g. Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel ikan nila yang dibudidayakan di Karamba Jaring Apung (KJA) dengan ukuran 100–250 g (ukuran konsumsi). Kemudian ikan nila tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda dan disimpan dalam cool box. Analisis kandungan logam berat kromium dalam tubuh (daging, hati, dan ginjal) ikan nila dilakukan di laboratorium. Prosedur Kerja di Laboratorium Prosedur kerja di laboratorium terdiri atas tiga prosedur, yaitu pengukuran logam berat kromium (tersaji pada Lampiran 2), pengukuran biometrik ikan nila (tersaji pada Lampiran 3), serta pembuatan preparat histologis organ insang dan hati ikan nila untuk mengetahui kerusakan jaringan yang terjadi (tersaji pada Lampiran 4). 1. Pengukuran Logam Berat Kromium Sampel air yang diperoleh dari lapangan kemudian disaring dengan peralatan penyaring yang steril, sebelumnya direndam dengan HCl 0,5 N atau HNO3 1 N selama 1 jam kemudian dibilas dengan akuades. Hasil penyaringan tersebut kemudian diawetkan dengan HNO3 pekat sampai pH larutan < 2 dan kemudian diukur menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) pada panjang gelombang 357,9 nm (Rice et al. 2012). Pengukuran kandungan logam berat kromium dalam sedimen dilakukan dengan memasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam gelas beker secara merata dan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 °C selama 8 jam. Setelah sampel uji dikeringkan selanjutnya sampel uji tersebut digerus sampai halus menggunakan mortar dan alu. Sampel sedimen kemudian ditimbang sebanyak ± 0,5 g, dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian ditambahkan 25 mL larutan akuades dan didestruksi dengan 5 mL HNO3 pekat. Sampel sedimen dipanaskan pada hot plate hingga tersisa 15 mL. larutan sampel yang tersisa didinginkan dan disaring, kemudian diencerkan hingga volumenya tepat 50 mL. Setelah itu sampel sedimen siap untuk diukur kandungan logam berat kromiumnya dengan AAS pada panjang gelombang 357,9 nm (Rice et al. 2012). Ikan nila yang tertangkap di sungai dikelompokkan ke dalam ukuran kecil (30–90 g) dan besar (100–250 g), sedangkan ikan nila yang dibudidayakan di KJA hanya
14
diambil ukuran 100–250 g. Ikan nila tersebut kemudian dibedah untuk mendapatkan organ-organ dalamnya (daging, hati, dan ginjal). Pengukuran logam berat kromium dalam daging ikan nila dikarenakan daging merupakan bagian tubuh yang dikonsumsi oleh manusia, sedangkan untuk organ hati dan ginjal merupakan organ yang berperan dalam proses metabolisme di dalam tubuh ikan nila, selain itu juga organ hati dan ginjal sangat rentan terkena bahan toksik. Sampel daging, hati, dan ginjal yang akan di uji ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas beker. Kemudian sampel uji dikeringkan dalam oven pada suhu 110 °C selama 8 jam. Setelah sampel uji dikeringkan selanjutnya sampel uji tersebut ditanur pada suhu 600 °C selama 3 jam, kemudian digerus dengan menggunakan mortar dan alu hingga halus. Sampel uji kemudian ditimbang sebanyak ±0,5 g, dimasukkan dalam gelas beker, kemudian didestruksi dengan menambahkan 1 mL HNO3 pekat. Suspensi dipanaskan pada hot plate hingga kering. Setelah itu ditambahkan 5 mL HCl pekat dan campuran dipanaskan kembali. Larutan sampel yang tersisa didinginkan dan disaring, kemudian diencerkan dengan akuades hingga volumenya tepat 50 mL. Setelah itu sampel uji diukur menggunakan AAS pada panjang gelombang 357,9 nm (Rice et al. 2012). 2. Pengukuran Biometrik Ikan Nila Ikan nila yang tertangkap diukur panjang totalnya dengan menggunakan penggaris sampai ketelitian 0,1 cm dan bobot tubuhnya dengan menggunakan timbangan digital sampai ketelitian 0,1 g. Ikan nila kemudian dibedah menggunakan peralatan bedah, diambil bagian dalam tubuhnya (gonad, insang, dan hati), dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Penentuan tingkat kematangan gonad berdasarkan morfologinya mengacu pada perkembangan dan kematangan gonad ikan (Tabel 1). Pada ikan jantan dipakai tanda-tanda seperti bentuk testes, sedangkan pada ikan betina didasarkan pada bentuk ovarium, besarnya ovarium, warna ovarium, halus tidaknya permukaan ovarium, dan ukuran telur di dalam ovarium. Indeks kematangan gonad (IKG) diperoleh dengan cara menimbang bobot gonad dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan dibagi dengan bobot tubuh ikan. Penghitungan fekunditas dan pengukuran diameter telur dilakukan pada gonad ikan betina yang mempunyai TKG IV. Diameter telur diambil dari gonad ikan betina yang mempunyai TKG IV dari tiga bagian gonad yang kesemuanya berjumlah 100 butir, yaitu bagian posterior, median, dan anterior. Kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi mikrometer okuler dan sudah ditera dengan mikrometer objektif terlebih dahulu. Hepato somatic index (HSI) diperoleh dengan menimbang berat hati ikan nila dengan menggunakan timbangan digital sampai ketelitian 0,01 g dan dibagi dengan bobot tubuh ikan. Berat insang relatif (BIR) diperoleh dengan menimbang berat insang ikan nila dengan menggunakan timbangan digital yang mempunyai ketelitian 0,01 g dan dibagi dengan bobot tubuh ikan.
15
Tabel 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG) ikan nila (berdasarkan modifikasi Cassei pada Effendie 2002) TKG I
Struktur Morfologis Gonad Jantan Testes seperti benang, lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih
II
Ukuran testes lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari pada TKG I
III
Permukaan testes pejal, warna mulai putih dan ukuran semakin besar
IV
Seperti TKG III tampak lebih jelas, testes semakin pejal
Betina Ovarium seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, permukaan licin, dan butiran telur tidak terlihat dengan mata biasa Ovarium lebih besar dari TKG I, warna agak keruh kekuning-kuningan, permukaan halus, dan butiran telur tidak terlihat jelas dengan mata biasa Ovarium lebih besar dari TKG II, berwarna kuning, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata biasa namun masih sulit untuk dipisahkan Ovarium semakin besar (lebih besar dari TKG III), telur berwarna kuning, mudah dipisahkan, butir minyak tidak tampak
3. Pembuatan Preparat Histologis Organ Insang dan Hati Ikan Nila Pembuatan preparat histologis organ insang dan hati ikan nila dilakukan untuk mengetahui kerusakan jaringan yang terjadi pada organ tersebut di tiga stasiun. Selain itu juga, dilakukan pembuatan preparat histologis organ insang dan hati ikan nila yang berasal dari kolam budidaya FPIK, IPB untuk mengetahui organ yang normal. Pembuatan preparat histologis dilakukan melalui Metode Histoteknik dengan embedding parafin, tahapannya adalah sebagai berikut (Kiernan 1990): 3.1. Pengambilan Sampel Pengambilan organ insang dan hati ikan nila dilakukan dengan menggunakan alat bedah yang selanjutnya dilakukan untuk pembedahan preparat histologis. Potongan tersebut diawetkan dengan larutan BNF dalam wadah sampel (Kiernan 1990). 3.2. Pengawetan (Fiksasi) Proses pengawetan dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan postmortem (pasca mati) pada jaringan, yaitu agar bagian padat dan bagian cair (protoplasma sel) tetap terpisah, merubah bagian-bagian sel agar menjadi bahan-bahan yang tidak larut pada proses berikutnya. Melindungi sel dari proses pengerutan saat dimasukkan ke dalam alkohol atau parafin panas, serta meningkatkan kemampuan dari tiap-tiap bagian jaringan agar dapat diwarnai dan meningkatkan indeks retraksi jaringan sehingga visibilitasnya naik. Larutan fiksasi yang baik dapat melakukan penetrasi secara cepat untuk mencegah terjadinya penurunan pasca mati, mengkoagualsi substansi-substansi sel menjadi substansi yang tidak larut, melindungi jaringan dari pengerutan dan kerusakan baik pada saat dehidrasi, embedding, maupun pada saat pemotongan serta memudahkan pewarnaan bagian-bagian sel. Pada penelitian ini larutan pengawet yang digunakan adalah larutan BNF.
16
Organ yang difiksasi selama 24 jam dalam larutan BNF selanjutnya dicuci dalam alkohol 70% selama 1 jam. Pencucian ini dimaksudkan untuk menghilangkan sisa bahan pengawet yang terdapat di dalam jaringan, yang dapat mengganggu proses mikroteknik selanjutnya. Organ yang dicuci kemudian disimpan dalam alkohol 70% sebelum proses selanjutnya. 3.3. Proses Penghilangan Air (Dehidrasi) Proses ini merupakan proses penarikan air dari jaringan yang dilakukan dengan cara merendam jaringan ke dalam alkohol secara bertingkat mulai dari alkohol 80%, 90%, 95% sampai ke alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat ditujukan selain untuk menarik air, juga dapat mencegah terjadinya pengerutan. 3.4. Proses Penjernihan (Clearing) Pengaruh alkohol yang terdapat di dalam jaringan dihilangkan dengan cara direndam dalam xylol. Setelah dilakukan proses penjernihan maka jaringan akan lebih transparan dan berwarna lebih tua. 3.5. Proses Infiltrasi (Infiltring) Jaringan yang telah mengalami proses penjernihan selanjutnya direndam ke dalam parafin secara bertingkat pada suhu 60 °C (parafin keras). Penggunaan parafin keras agar dapat dilakukan pemotongan yang tipis. 3.6. Proses Penanaman (Embedding) Proses ini adalah kelanjutan dari proses infiltrasi, yaitu penanaman organ ke dalam parafin. Proses ini harus dilakukan di dekat bunsen dimana seluruh alat-alat yang dilakukan harus dalam keadaan hangat untuk mencegah agar parafin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Peletakan jaringan di dalam wadah harus sedemikian rupa sehingga memudahkan pada saat pemotongan dan pengenalan kembali jaringan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur parafin didinginkan untuk mengeraskan parafinnya. Blok yang sudah mengeras kemudian diletakkan pada blok kayu, untuk disimpan dalam kulkas minimal 6 jam sebelum dipotong. 3.7. Proses Pemotongan Blok Jaringan Blok jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40 °C), lalu diletakkan diatas gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek diletakkan diatas hotplate selama 10 sampai 15 menit sampai seluruh air yang berada diantara jaringan dan gelas obyek menguap. Gelas obyek harus disimpan di dalam inkubator (37–40 °C) selama satu malam sebelum digunakan pada proses selanjutnya. 3.8. Proses Pewarnaan Hematoksillin-Eosin Sebelum dilakukan pewarnaan, permukaan gelas obyek dimana terdapat sayatan jaringan terlebih dahulu diberi tanda. Hal ini dilakukan agar pada saat gelas obyek dibersihkan dari sisa-sisa larutan, maka bagian yang dibersihkan adalah permukaan yang tidak bertanda. Proses pewarnaan ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Deparafinasi dengan xylol dilakukan untuk menghilangkan parafin, yaitu dengan cara merendam gelas obyek berisi jaringan ke dalam larutan xylol secara bertahap mulai dari xylol III, II, dan I.
17
2.
Rehidrasi, dilakukan untuk memasukkan air ke dalam jaringan, yaitu dengan cara merendam gelas obyek ke dalam alkohol secara menurun, mulai dari alkohol absolut III sampai ke alkohol 70%. Kemudian perendaman dilanjutkan ke dalam air mengalir dan akuades. 3. Pewarnaan hematoksillin. 4. Perendaman ke dalam air mengalir. Perlu diketahui bahwa semakin lama berada di dalam air mengalir maka warna biru yang timbul akan semakin menyolok. 5. Perendaman ke dalam akuades. Perendaman ini dilakukan untuk menghilangkan proses pewarnaan biru. 6. Pengecekan di bawah mikroskop, jika warna yang timbul terlalu tua, maka dapat dipucatkan dengan cara mencelup secara cepat ke dalam larutan HCl 1 N, sebaliknya jika warna terlalu pucat maka dapat diencerkan lagi ke dalam hematoksillin. 7. Pewarnaan eosin. 8. Dehidrasi dalam alkohol bertingkat secara cepat, mulai dari alkohol 70% sampai dengan 95%. Kemudian dilanjutkan perendaman ke dalam alkohol absolut I selama 1-2 menit. Dilakukan pengecekan di bawah mikroskop untuk melihat kontras warna biru dan merah. Jika warna merah kurang kontras maka dilakukan kembali pewarnaan eosin, sebaliknya jika warna tersebut kontras maka perendaman dilanjutkan sampai pada alkohol absolut III. 9. Clearing dengan xylol secara bertingkat mulai dari xylol I sampai III. 10. Mounting, preparat diberi perekat dengan menggunakan kanada balsam, lalu ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop. Preparat selanjutnya diberi label sesuai dengan stasiun. 3.9. Pemotretan Preparat Histologis Pemotreran preparat histologis organ insang dan hati ikan nila dilakukan dengan menggunakan mikroskop Eyepiece Camera MD130 dengan perbesaran sampai 400x. Analisis Data 1. Logam berat kromium (Cr) Kandungan logam berat kromium dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan hasil pengukuran yang diperoleh dari pengukuran menggunakan AAS dan baku mutu yang telah ditetapkan (Tabel 2). Analisis statistika untuk mengetahui perbedaan nyata antar stasiunnya menggunakan ANOVA satu arah pada tingkat kepercayaan 95%. Apabila hasilnya berbeda nyata maka dilakukan uji BNT pada taraf nyata 5%. Tabel 2 Baku mutu logam berat kromium Logam Air 0,05 mg L-1*
Baku Mutu Sedimen 80,00 mg kg-1**
Ikan Cr 1,00 mg kg-1*** 2,00 mg kg-1**** Keterangan: *PPRI No. 82 Tahun 2001 untuk kegiatan perikanan; **ANZECC (2000); *** FAO (1983); ****Uni Eropa in Hidayah et al. (2012)
18
2. Biometrik ikan nila Parameter biometrik ikan nila yang diukur adalah hubungan panjang bobot, faktor kondisi (FK), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas, diameter telur, hepato somatic index (HSI), dan berat insang relatif (BIR). Analisis statistika untuk mengetahui perbedaan nyata antar stasiunnya menggunakan ANOVA satu arah pada tingkat kepercayaan 95%. Apabila hasilnya berbeda nyata maka dilakukan uji BNT pada taraf nyata 5%. Hubungan panjang-bobot dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 2002): W = aLb Keterangan: W : bobot ikan (g) L : panjang total ikan (cm) a, b : konstanta Faktor kondisi (FK) ikan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 2002): FK =
100W L3
Keterangan: FK : faktor kondisi W : berat ikan (g) L : panjang total ikan (cm) Indeks kematangan gonad (IKG) atau Gonado Somatic Index (GSI) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Marishka & Abdulgani 2012): IKG =
Bg x 100 Bt
Keterangan: IKG : indeks kematangan gonad (%) Bg : berat gonad (g) Bt : berat tubuh (g) Fekunditas ikan dihitung menggunakan rumus gravimetrik sebagai berikut (Effendie 2002): F=
G xN Q
Keterangan: F G Q N
: : : :
fekunditas (butir) berat gonad total (g) berat sub gonad (g) jumlah telur pada sub gonad contoh (g)
19
Indek hepato somatik (IHS) atau Hepato Somatic Index (HSI) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Htun-han 1978): HSI =
Bh x 100 Bt
Keterangan: HSI : hepato somatic index (%) Bh : berat hati (g) Bt : berat tubuh (g) Berat insang relatif (BIR) ikan dihitung dengan menggunakan dengan rumus sebagai berikut: BIR =
Bi x 100 Bt
Keterangan: BIR : berat insang relatif (%) Bi : berat insang (g) Bt : berat tubuh (g) 3. Penilaian kerusakan jaringan dari organ insang dan hati ikan nila Preparat histologis organ insang dan hati ikan nila yang berasal dari Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu dan kolam budidaya FPIK IPB (sebagai kontrol) diamati dibawah mikroskop cahaya Leitz Leica Laborluxs dengan perbesaran sampai 400x. Kemudian dilakukan penilaian berdasarkan jenis-jenis kerusakan yang terjadi (Tabel 3). Sedangkan untuk pemotreran preparat histologis dilakukan dengan menggunakan mikroskop Eyepiece Camera MD130 dengan perbesaran sampai 400x. Tabel 3 Penilaian kerusakan jaringan dari organ insang dan hati ikan nila Jenis Kerusakan Nilai Tingkat Kerusakan Insang Tidak ada kerusakan 0 Normal Peradangan dengan adanya limfosit, 1 atau 2 Ringan atau sedang kongesti, hemoragi, dan edema Nekrosis 3 Berat Hati Tidak ada kerusakan 0 Normal Peradangan dengan adanya limfosit, 1 atau 2 Ringan atau sedang kongesti, hemoragi, dan edema Degenerasi lemak 2 Sedang Degenerasi inti sel dan degenerasi hidropis 3 Berat Keterangan: Apabila pada nilai 1 dalam satu preparat histologis organ insang dan hati memiliki ≥ 3 jenis kerusakan, maka diberi nilai 2 dan tergolong kerusakan sedang
20
4. Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) Batas maksimum konsentrasi logam berat kromium dalam daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Weekly Intake/ MWI) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Turkmen et al. 2008) (perhitungan terlampir di Lampiran 5): MWI = Berat badana) x PTWIb) Keterangan: a) : Rata-rata berat badan orang dewasa Indonesia 50 kg (Kemenkes RI 2010) dan anak-anak adalah 15 kg b) : Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) berdasarkan WHO yaitu 0,023 mg Cr kg-1 bb (Azhar et al. 2012) Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Turkmen et al. 2008) (perhitungan terlampir di Lampiran 6): 𝑀𝑇𝐼 =
𝑀𝑊𝐼 𝐶𝑡
Keterangan: MWI : Maximum Weekly Intake (mg Cr minggu-1) Ct : Kandungan logam berat kromium dalam daging ikan nila (mg kg-1)
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Kandungan logam berat kromium di dalam sedimen dan ikan nila Data hasil pengukuran kandungan logam berat kromium di dalam sedimen di Sungai Cimanuk Lama disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan logam berat kromium di dalam sedimen Parameter
Satuan
Stasiun 1 2 3 -1 a a Sedimen mg kg 27,39 ±9,51 29,67 ±3,29 37,12a±2,60 Keterangan: atidak berbeda nyata (p>0,05); jumlah pengambilan sampel (n) sebanyak 3 kali Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium di dalam sedimen di tiga stasiun meningkat dari stasiun 1 sampai 3. Kandungannya masih dibawah ambang batas yang telah ditentukan oleh ANZECC (2000) yaitu 80,00 mg kg-1. Berdasarkan analisis statistika, kandungan logam berat kromium di dalam sedimen antar stasiunnya tidak berbeda nyata (p>0,05). Data hasil pengukuran kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di Sungai Cimanuk Lama dan ikan nila (100– 250 g) yang dibudidayakan di KJA disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila hasil tangkapan di sungai dan yang dibudidayakan di KJA Sumber dan Ukuran
Bagian Satuan Stasiun Tubuh 1 2 3 Ikan Sungai Daging 35,33a ±20,20 29,89a±12,49 30,67a±15,95 30–90 g Hati 49,52a±22,60 32,90a±2,13 21,95a±13,64 Ginjal 57,49a±20,88 71,53a±47,71 43,94a±3,67 Sungai Daging 32,86a±29,77 59,05a±4,96 40,19a±18,60 -1 100–250 g Hati mg kg 32,87a±22,68 59,62a±6,53 22,20a±7,37 Ginjal 47,10a±45,07 91,76a±23,61 24,22a±7,45 KJA Daging 63,51a±26,01 30,89a±9,78 63,94a±38,12 100–250 g Hati 18,01a±7,33 27,24a±7,45 57,66a±72,34 a Ginjal 47,35 ±19,71 22,84a±9,35 35,91a±17,68 Keterangan: atidak berbeda nyata (p>0,05); feeding management ikan nila di KJA (stasiun 1 dan 3 yaitu pelet dan kangkung dan stasiun 2 yaitu pelet); jumlah pengambilan sampel (n) sebanyak 3 kali Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium di dalam tubuh (daging, hati, dan ginjal) ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai dan ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA telah melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh FAO dan Uni Eropa yaitu 1,00 mg kg-1 dan 2,00 mg kg-1.
22
Kandungan logam berat kromium yang terkandung di dalam tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai secara umum meningkat dari stasiun 1 ke stasiun 2 dan menurun di stasiun 3. Sedangkan kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA menurun di stasiun 2 dan meningkat di stasiun 3. Kandungan logam berat kromium tertinggi pada bagian tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai terdapat di stasiun 2 yang terkandung pada organ ginjal. Sedangkan pada ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA kandungan tertinggi terdapat di stasiun 3 pada organ daging. Berdasarkan analisis statistika, kandungan logam berat kromium dalam tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai dan ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA antar stasiunnya tidak berbeda nyata (p>0,05). 2. Kualitas air Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Data kualitas perairan di Sungai Cimanuk Lama selama penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Data kualitas perairan di masing-masing stasiun selama penelitian Parameter dan Satuan Suhu (°C) DO (mg L-1) pH BOD (mg L-1) COD (mg L-1) Logam Cr di air
Stasiun 1 2 30,50–31,00 27,00–31,00 6,68–9,60 5,94–9,60 6,50–8,00 6,00–8,00 1,20–4,40 0,50–8,60 13,45–86,04 9,48–69,50 0,002–1,324 0,002–1,359 0,85±0,66a 0,90±0,63a 10.322–722.667 13.348–28.556
3 30,50–31,00 5,94–9,60 7,00 1,90–7,60 17,54–66,20 0,002–1,354 0,91±0,62a 24.114–35.790
Baku Mutu 25–30* 5–7* 6–8,5** 3*** 25*** 0,05***
– Kelimpahan -1 fitoplankton (sel L ) – Indek keragaman 0,46–1,33 0,67–2,23 0,96–1,39 fitoplankton Keterangan: atidak berbeda nyata (p>0,05); *Monalisa dan Minggawati (2010); ** Cahyono (2000); ***PPRI No. 82 Tahun 2001 untuk kegiatan perikanan; jumlah pengambilan sampel (n) sebanyak 3 kali
Tabel 6 menunjukkan bahwa parameter suhu, oksigen terlarut, dan pH berada pada kisaran yang optimal untuk petumbuhan ikan nila. Sedangkan parameter BOD, COD, dan logam berat kromium di dalam air kisarannya jauh melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh PPRI No. 82 Tahun 2001 untuk kegiatan perikanan. Berdasarkan analisis statistika, kandungan logam berat kromium di dalam air antar stasiunnya tidak berbeda nyata (p>0,05). Kelimpahan fitoplankton di stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan yang terdapat di stasiun 2 dan 3, sedangkan untuk indeks keragaman fitoplankton di tiga stasiun menunjukkan bahwa stasiun 2 lebih tinggi dari pada stasiun 1 dan 3. Keberadaan fitoplankton tersebut berkontribusi dalam menyediakan pakan alami ikan nila di sungai. 3. Biometrik ikan nila Data biometrik ikan nila di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 7.
23
Tabel 7 Data biometrik ikan nila di Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Parameter dan Satuan
TKG
Stasiun 1 2 3 Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Pola I Iso Iso Allo(-) Iso Iso Allo(+) pertumbuhan II Iso Iso Allo(+) Iso Allo(-) Iso III Allo(+) Allo(-) Iso Allo(+) Iso Iso IV Iso Iso Iso Iso Iso Iso a a b a a Faktor kondisi I 2,280 1,819 1,720 1,658 2,174 2,059a ±0,326 ±0,330 ±0,440 ±0,202 ±0,335 ±0,385 a a b a a II 1,897 1,917 1,680 1,799 1,965 1,969a ±0,128 ±0,401 ±0,220 ±0,400 ±0,187 ±0,286 III 2,422a 2,587a 2,362a 1,703b 1,975b 2,410a ±0,649 ±1,101 ±0,378 ±0,234 ±0,152 ±0,450 IV 1,966a 2,133a 2,039a 1,618b 2,021a 2,026a ±0,234 ±0,608 ±0,029 ±0,166 ±0,321 ±0,399 IKG (%) I 0,098a 0,104a 0,133a 0,095a 0,144b 0,086a ±0,022 ±0,024 ±0,060 ±0,041 ±0,070 ±0,037 II 0,216a 0,209a 0,393a 0,200a 0,385a 0,757b ±0,474 ±0,147 ±0,688 ±0,110 ±0,456 ±1,184 III 0,110a 0,543a 0,222a 1,413a 0,549b 0,668a ±0,086 ±0,441 ±0,267 ±1,422 ±0,660 ±0,293 IV 0,144a 1,674a 0,158a 2,318a 0,437ab 1,972a ±0,077 ±1,054 ±0,062 ±1,233 ±0,476 ±1,610 Fekunditas IV 1098a 568b 1192a (butir/individu) ±463 ±383 ±453 Diameter telur IV 0,438a 0,467b 0,358c (µm) ±0,177 ±0,144 ±0,168 3 modus 2 modus 2 modus HSI (%) I 0,621a 1,097a 1,317a 1,283a 0,936a 1,380a ±0,747 ±1,041 ±0,771 ±0,494 ±0,361 ±0,880 b a a a a II 0,911 1,526 1,897 1,325 1,622 2,063a ±0,532 ±0,926 ±0,647 ±0,669 ±0,851 ±0,961 III 0,986a 1,206a 1,195a 1,885a 1,531ab 1,096ab ±0,361 ±0,586 ±0,327 ±0,649 ±0,951 ±0,593 IV 1,022a 1,286a 1,448a 1,693a 1,585a 1,763a ±0,632 ±0,691 ±0,433 ±0,591 ±1,000 ±0,849 BIR (%) I 4,843a 4,744a 5,396a 5,925b 5,047a 4,574a ±1,106 ±0,794 ±0,960 ±0,834 ±0,876 ±1,181 II 5,715a 5,153a 6,031a 4,512a 4,572b 4,022ab ±0,905 ±1,052 ±1,389 ±1,420 ±1,211 ±0,948 III 4,314a 4,430a 4,322a 5,793b 4,851a 4,059a ±1,015 ±1,457 ±0,751 ±1,221 ±0,933 ±0,953 IV 5,600a 5,219a 4,756a 6,102b 4,887a 4,472a ±1,369 ±1,304 ±0,905 ±1,074 ±0,913 ±1,213 Keterangan: atidak berbeda nyata (p>0,05); bcberbeda nyata (p<0,05); Iso artinya isometrik, Allo (-) artinya allometrik negatif, Allo (+) artinya allometrik
24
positif; jumlah ikan (n) TKG IV untuk fekunditas adalah 11 ekor di stasiun 1, 33 ekor di stasiun 2, 13 ekor di stasiun 3 dengan asumsi berat dan panjang ikan seukuran Tabel 7 menunjukkan pola pertumbuhan ikan nila yang berbeda pada setiap TKG di tiga stasiun, ada tiga pola pertumbuhan yang diperoleh yaitu isometrik, allometrik negatif, dan allometrik positif. Pola pertumbuhan ikan nila pada TKG IV memiliki pola pertumbuhan yang sama di tiga stasiun. Nilai faktor kondisi ikan nila di tiga stasiun menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Beberapa nilai faktor kondisi yang diperoleh terjadi penurunan di stasiun 2 dan mengalami peningkatan di stasiun 3. Nilai IKG ikan nila di tiga stasiun menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 3, selain itu juga nilai IKG yang diperoleh mengalami peningkatan di stasiun 2. Fekunditas ikan nila di tiga stasiun menujukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan nilai fekunditas terendahnya terdapat di stasiun 2. Diameter telur ikan nila berbeda nyata (p<0,05) di tiga stasiun dan diameter telur tertingginya terdapat di stasiun 2. Nilai HSI ikan nila di tiga stasiun menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3 pada TKG III. Nilai HSI ini umumnya mengalami peningkatan dari stasiun 1 sampai 3. Nilai BIR ikan nila di tiga stasiun menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Nilai BIR umumnya mengalami peningkatan dari stasiun 1 ke 2 dan menurun dari stasiun 2 ke 3. 4. Kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila Data penilaian kerusakan jaringan dari organ insang ikan nila hasil tangkapan di sungai dan yang dibudidayakan di KJA disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Data hasil penilaian kerusakan jaringan pada organ insang ikan nila Jenis Kerusakan 1 B +
Stasiun 2 A B ++ +
3 B +
A C C A C Peradangan dengan + + + + + adanya limfosit Kongesti + + + Hemoragi + + + Edema + + + + Nekrosis + + Nilai 1 1 1 1 3 1 1 3 1 Tingkat kerusakan R R R R B R R B R Keterangan: A (ikan nila 30–90 g dari sungai), B (ikan nila 100–250 g dari sungai), C (ikan nila 100–250 g dari KJA); - (tidak ada kerusakan), + (ada kerusakan), ++ (ada kerusakan dan berat); R (ringan), B (berat) Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa organ insang ikan nila di stasiun 1 sampai 3 mengalami kerusakan ringan hingga berat. Kerusakan berat dapat dilihat di stasiun 2 dan 3 pada ikan nila (100–250 g) dari hasil tangkapan di sungai. Gambaran perubahan struktur organ insang ikan nila di tiga stasiun disajikan pada Gambar 6.
25
L
L
L
H K 100 µm
100 µm
100 µm
1A
K
1B
*E E
100 µm
K
*
N L
100 µm
100 µm
2A
2C
K
H
N
H
100 µm
3A
100 µm
2B
L 100 µm
1C
K
*E
K
100 µm
100 µm
3B
100 µm
3C
Gambar 6 Perubahan struktur organ insang ikan nila. K (kontrol), 1 (stasiun 1), 2 (stasiun 2), 3 (stasiun 3); A (ikan nila 30–90 g dari sungai), B (ikan nila 100–250 g dari sungai), C (ikan nila 100–250 g dari KJA); L (peradangan dengan adanya limfosit), K (kongesti), H (hemoragi), E (edema), N (nekrosis); perbesaran 400x Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi kerusakan jaringan dari organ insang ikan nila di stasiun 1 berupa peradangan dengan adanya limfosit, kongesti, dan hemoragi. Jenis kerusakan tersebut termasuk tingkat kerusakan ringan. Pada stasiun 2 dan 3 terjadi peningkatan kerusakan menjadi kerusakan berat, ditunjukkan dengan peradangan berupa munculnya limfosit, kongesti, edema, hemoragi, dan nekrosis. Data penilaian kerusakan jaringan dari organ hati ikan nila yang berasal dari hasil tangkapan di sungai dan yang dibudidayakan di KJA disajikan pada Tabel 9.
26
Tabel 9 Data hasil penilaian kerusakan jaringan pada organ hati ikan nila Jenis Kerusakan 1 B +
A +
C +
Stasiun 2 A B + +
C +
A -
3 B +
C +
Peradangan dengan adanya limfosit Kongesti ++ Hemoragi + Edema + + + Degenerasi lemak + ++ ++ Degenerasi inti sel ++ Degenerasi hidropis ++ + ++ Nilai 1 1 2 3 1 1 3 3 1 Tingkat kerusakan R R S B R R B B R Keterangan: A (ikan nila 30–90 g dari sungai), B (ikan nila 100–250 g dari sungai), C (ikan nila 100–250 g dari KJA); - (tidak ada kerusakan), + (ada kerusakan), ++ (ada kerusakan dan berat); R (ringan), B (berat) Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa organ hati ikan nila di stasiun 1 sampai 3 mengalami kerusakan ringan hingga berat. Kerusakan berat dapat dilihat di stasiun 2 dan 3 pada ikan nila (30–90 g) dari hasil tangkapan di sungai, selain itu juga kerusakan berat terjadi pada ikan nila (100–250 g) di stasiun 3 dari hasil tangkapan di sungai. Gambaran perubahan struktur organ hati ikan nila di tiga stasiun disajikan pada Gambar 7.
*E
L
L
DL 100 µm
100 µm
K
1A
100 µm
1B
1C L
DL DI
L
L
100 µm
100 µm
K
100 µm
2A
100 µm
100 µm
2B
2C
27
L
DH
*E
100 µm
K
100 µm
100 µm
100 µm
3B
3A
3C
Gambar 7 Perubahan struktur organ hati ikan nila. K (kontrol), 1 (stasiun 1), 2 (stasiun 2), 3 (stasiun 3); A (ikan nila 30–90 g dari sungai), B (ikan nila 100–250 g dari sungai), C (ikan nila 100–250 g dari KJA); L (peradangan dengan adanya limfosit), K (kongesti), H (hemoragi), E (edema), DL (degenerasi lemak), DI (degenerasi inti sel), DH (degenerasi hidropis); perbesaran 400x Gambar 7 menunjukkan bahwa terjadi kerusakan ringan, ditunjukkan dengan peradangan yang berupa munculnya limfosit dan adanya edema (1A dan 1B). Kerusakan yang terjadi termasuk tingkat kerusakan sedang ditandai dengan adanya degenerasi lemak (1C). Pada stasiun 2 terjadi kerusakan berat yang ditunjukkan dengan adanya degenerasi lemak dan inti sel (2A) dan stasiun 3 terjadi kerusakan berat yang ditunjukkan dengan adanya degenerasi hidropis (3A). 5. Konsumsi maksimum mingguan daging ikan nila Data hasil perhitungan batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) Sumber (Ukuran)
Satuan
Stasiun 1
D A D Sungai 32,5 9,7 38,4 (30–90 g) Sungai g daging minggu-1 34,9 10,4 19,4 (100–250 g) KJA 18,1 5,4 37,2 (100–250 g) Keterangan: D (Dewasa 50 kg bb), A (Anak-anak 15 kg bb)
2
3 A 11,5
D 37,4
A 11,2
5,8
28,6
8,5
11,1
17,9
5,4
Berdasarkan hasil perhitungan batas maksimum konsentrasi logam berat kromium dalam daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Weekly Intake/ MWI) untuk orang dewasa (50 kg bb) sebesar 1,15 mg Cr minggu-1 dan anak-anak (15 kg bb) sebesar 0,34 mg Cr minggu-1 (perhitungan tersaji pada Lampiran 5). Nilai tersebut setara dengan batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) untuk orang dewasa (50 kg bb) sebesar 17,9–38,4 g daging minggu-1 dan anak-
28
anak (15 kg bb) sebesar 5,3–11,2 g daging minggu-1 (Tabel 10 dan perhitungan tersaji pada Lampiran 6).
Pembahasan 1. Kandungan logam berat kromium di dalam air, sedimen, dan ikan nila Berdasarkan kriteria kualitas air yang telah ditentukan oleh PPRI No. 82 Tahun 2001 untuk kegiatan perikanan maka kandungan logam berat kromium di dalam air di tiga stasiun melampaui ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 0,05 mg L-1. Kandungan logam berat kromium di dalam air dan sedimen meningkat dari stasiun 1 sampai 3 artinya pada wilayah sungai sebelum stasiun 1 sudah mengandung logam berat kromium. Adanya industri penyamakan kulit dan industri tekstil di Kabupaten Garut yang limbahnya masuk ke dalam Sungai Cimanuk hulu menyebabkan kandungan logam berat kromium pada hulu Sungai Cimanuk terdistribusi menuju hilir Sungai Cimanuk. Kurnia et al. (2004) menyatakan bahwa banyak pelaku industri biasanya membuang limbah ke badan air atau sungai dengan atau tanpa melalui proses pengelolaan terlebih dahulu. Selain itu juga, adanya pembuangan limbah rumah tangga di stasiun 1 dan bengkel-bengkel motor disekitarnya memberikan masukkan logam berat kromium di stasiun 1. Taftazani (2007) menyatakan bahwa sumber-sumber logam berat kromium pada perairan yang berkaitan dengan aktivitas manusia dapat berupa limbah industri sampai limbah rumah tangga, salah satunya terdapat dalam formula deterjen (Connell & Miller 1995). Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium yang tinggi di dalam perairan yang diukur di tiga stasiun (Cr berkisar 0,283– 0,426 mg L-1). Logam lain yang diukur pada penelitian pendahuluan adalah kadmium (Cd<0,001 mg L-1), tembaga (Cu berkisar 0,007–0,008 mg L-1), timah hitam (Pb berkisar 0,054–0,127 mg L-1), dan mangan (Mn berkisar 0,148–0,335 mg L-1). Meningkatnya kandungan logam berat kromium di dalam air di stasiun 2 dikarenakan adanya pembuangan limbah batik ke dalam sungai berkontribusi meningkatkan kandungan logam berat kromium dalam perairan. Kandungan logam berat kromium di dalam air tertinggi terdapat di stasiun 3, yang sumber airnya berasal dari stasiun 1 dan 2, hal ini memungkinkan membawa logam berat kromium ke stasiun 3. Selain itu juga, adanya kegiatan pertanian di stasiun 3 berkontribusi meningkatkan kandungan logam berat kromium di dalam perairan. Doelsch et al. (2006) menyatakan bahwa keberadaan logam berat kromium di perairan dapat disebabkan karena adanya kegiatan pertanian seperti pemakaian pupuk dan pestisida. Kandungan logam berat kromium di dalam sedimen yang diperoleh di tiga stasiun meningkat dari stasiun 1 sampai 3, tetapi kandungannya belum melampaui nilai ambang batas yang telah ditentukan ANZECC (2000) yaitu 80 mg kg-1. Meskipun kandungan logam berat kromium di dalam sedimen belum melampaui nilai ambang batas, tetapi kandungannya tetap berpotensi terus meningkat apabila pembuangan limbah industri batik dan limbah rumah tangga dibuang secara terus-menerus ke dalam sungai. Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat kromium di dalam air dan sedimen diketahui bahwa kandungan logam berat kromium di dalam air lebih kecil dibandingkan di dalam sedimen. Hal ini terjadi karena sifat dari bahan logam tersebut. Hutagalung (1984) in Erlangga (2007) menyatakan bahwa logam berat mempunyai sifat
29
yang mudah mengikat bahan organik yang kemudian akan mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat di dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di dalam air. Menurut Wilson (1988) in Erlangga (2007) logam berat yang terlarut di dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Logam berat kromium yang terlarut di dalam air dan yang terendap di dalam sedimen akan masuk ke dalam tubuh biota perairan (seperti ikan), kemudian logam berat kromium tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh ikan. Kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila yang tertangkap di tiga stasiun dan yang dibudidayakan di KJA telah melampaui nilai ambang batas yang ditentukan FAO (Cr<1,00 mg kg-1) dan Uni Eropa (Cr<2,00 mg kg-1). Kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai secara umum meningkat dari stasiun 1 ke stasiun 2 dan menurun di stasiun 3. Adanya buangan limbah cair batik di stasiun 2 berkontribusi dalam meningkatnya kandungan logam berat kromium di stasiun 2. Sedangkan kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA kandungannya menurun dari stasiun 1 ke stasiun 2 dan meningkat di stasiun 3. Tingginya kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila tersebut dikarenakan sifat akumulatif dari organisme perairan. Organisme perairan mengambil logam berat kromium dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuhnya hingga 100–1000 kali lebih besar dari lingkungan (Rahman et al. 2012). Kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan di sungai di tiga stasiun tertinggi pada organ ginjal. Besarnya kandungan logam berat kromium pada ginjal dapat terjadi karena ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk logam berat sehingga banyak logam berat yang terdapat di dalam ginjal (Dinata 2004). Logam berat kromium yang masuk ke dalam ginjal akan mengganggu proses fisiologi ikan, hal ini dikarenakan fungsi ginjal akan terganggu dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan ginjal. Akibatnya ginjal tidak optimal dalam mengekskresikan bahan-bahan beracun. Ikan nila (100–250 g) yang dibudidayakan di KJA di tiga stasiun menunjukkan kandungan logam berat kromium tertingginya terdapat pada daging. Tingginya kandungan logam berat kromium pada daging dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi logam berat kromium dalam air dan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Logam berat kromium yang masuk dalam sel dan ikut didistribusikan oleh darah keseluruh jaringan tubuh sehingga dapat terakumulasi pada organ tubuh. Sirkulasi darah menyebabkan logam berat terakumulasi di dalam dinding pembuluh darah dan jaringan ikat yang terdapat di sekitar otot ikan (Harteman & Aunurafik 2013). Pembuluh darah yang menempel pada otot ikan membuat kandungan logam berat kromium yang tinggi pada daging. Selain itu juga, KJA yang terpasang lama diperairan dapat dimanfaatkan oleh perifiton (fitoplankton yang hidup di perairan dan hidupnya melekat) sebagai tempat untuk melekat. Perifiton tersebut dapat mengakumulasi logam berat kromium di dalam tubuhnya. Pada permukaan sel mikroorganisme mengandung polisakarida, protein dan lipid yang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan ion logam (Yan & Viraraghayan 2003 in Susanti & Novdianto 2010). Ikan nila di dalam KJA dapat mengkonsumsi perifiton tersebut, hal ini tentu saja dapat meningkatkan kandungan logam berat dalam daging ikan nila yang hidup di dalam KJA.
30
Berdasarkan ukuran ikan nila menunjukkan secara umum ikan nila (100–250 g) hasil tangkapan di sungai kandungan logam berat kromiumnya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila (30–90 g) hasil tangkapan di sungai dan ikan nila (100– 250 g) yang dibudidayakan di KJA. Bioakumulasi logam berat kromium dalam tubuh organisme perairan dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat organisme (jenis, umur, dan ukuran) dan lamanya pemaparan (Rahman et al. 2012). 2. Kualitas air Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Suhu perairan selama penelitian berada pada kisaran suhu perairan normal dan optimal untuk pertumbuhan ikan nila. Suhu perairan dapat mempengaruhi keberadaan dan sifat logam berat. Peningkatan suhu perairan cenderung meningkatkan akumulasi dan toksisitas logam berat. Hal ini terjadi karena suhu tinggi akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme perairan (Sorensen 1991). Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berada pada kisaran yang optimal untuk kehidupan ikan nila. Kandungan oksigen yang rendah menyebabkan ikan akan bernafas dengan cepat, sehingga menyebabkan insang membuka dan menutup lebih cepat dan mengakibatkan masuknya ion logam melalui insang (Kordi 2004). Derajat keasaman (pH) selama penelitian berada pada kisaran yang optimal untuk pertumbuhan ikan nila. Tinggi rendahnya pH sangat berpengaruh terhadap kadar kandungan logam yang ada di dalam daging ikan nila. Apabila pH asam maka akan meningkatkan kadar kandungan logam berat yang ada di perairan yang kemudian diserap oleh ikan, sehingga kandungan logam berat dalam tubuh ikan akan tinggi (Kordi 2004). Nilai BOD di tiga stasiun berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 di tiga stasiun telah melampaui ambang batas yang ditentukan untuk kegiatan perikanan. Tingginya bahan organik diperairan akan membahayakan kehidupan ikan nila, karena akan menyebabkan defisit oksigen di dalam perairan. Selain itu juga, logam berat kromium di dalam perairan akan berikatan dengan bahan organik yang kemudian akan terendap dan bercampur dengan sedimen. Hal ini yang mengakibatkan logam berat kromium banyak terdapat di dalam sedimen. Nilai COD di tiga stasiun berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 di tiga stasiun telah melampaui ambang batas yang telah ditentukan untuk kegiatan perikanan. Masuknya limbah rumah tangga dan limbah industri ke dalam sungai secara terusmenerus dapat meningkatkan bahan organik di dalam perairan. Selain itu juga adanya bengkel-bengkel motor yang membuang limbahnya disekitar stasiun 1 berkontribusi meningkatkan bahan organik di dalam perairan. Berkaitan dengan masuknya limbah ke dalam perairan maka kondisi komunitas fitoplankton akan mengalami perubahan tergantung dari besar kecilnya limbah yang masuk ke dalam perairan. Kelimpahan fitoplankton di stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3. Hal ini diduga adanya masukan limbah cair industri batik di stasiun 2 mengakibatkan rendahnya kelimpahan fitoplankton di stasiun 2 dan 3. Indeks keragaman fitoplankton yang diperoleh di tiga stasiun termasuk dalam kategori komunitas sedang. Hal ini mengacu pada Stirn (1981) in Basmi (2000) yang menyatakan bahwa kondisi komunitas fitoplankton yang ada di perairan dalam kestabilan komunitas sedang apabila 1
31
3. Karakteristik biometrik ikan nila Pola pertumbuhan ikan nila jantan dan betina di tiga stasiun terlihat sama pada TKG IV yaitu isometrik, sedangkan pada TKG I sampai III pola pertumbuhan tersebut tidak sama. Pola pertumbuhan dapat saja berubah dari allometrik menjadi isometrik diakibatkan oleh lingkungan perairan yang berbeda (Tresnati 2001). Pada ikan nila TKG IV pola pertumbuhannya sama diduga ikan nila tersebut dapat memaksimalkan ketersedian makanan di alam dan dapat menentukan tempat yang sesuai untuk hidupnya. Nilai faktor kondisi ikan nila yang diperoleh umumnya menurun di stasiun 2 dan meningkat di stasiun 3. Berdasarkan analisis statistika nilai faktor kondisi ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Perbedaan nilai faktor kondisi tersebut dapat mengindikasikan kegemukan, kesesuaian lingkungan hidupnya, dan perkembangan gonad ikan (Suwarni 2009). Kandungan logam berat di dalam perairan dan di dalam tubuh ikan akan mengakibatkan rendahnya IKG ikan. Jalius et al. (2008) menjelaskan bahwa adanya senyawa pencemar terutama logam berat Pb, Cd, Cr, dan Hg mempengaruhi perkembangan sel-sel kelamin tahap awal dan akhir. Keadaan ini diduga terjadi pada tahap penggandaan sel-sel yang mempengaruhi proses pembelahan mitosis terutama pada fase metaphase yang sangat sensitif terhadap perubahan kimia, suhu, dan lingkungan. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian IKG ikan nila hasilnya justru meningkat dari stasiun 1 ke 3. Berdasarkan analisis statistika nilai IKG ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ukuran kisaran panjang dan berat yang sama tidak mempunyai TKG yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan dimana ikan tersebut hidup, ada tidaknya ketersediaan makanan, suhu, salinitas, dan kecepatan pertumbuhan ikan itu sendiri (Yustina & Arnetis 2001). Fekunditas di stasiun 2 merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Berdasarkan analisis statistik fekunditas ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2. Rendahnya fekunditas di stasiun 2 tersebut dikarenakan perbedaan ikan nila dalam beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga akan mempengaruhi strategi reproduksinya. Royce (1984) menyatakan bahwa fekunditas ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik, ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan. Ikan nila betina TKG IV di stasiun 2 juga memiliki nilai faktor kondisi yang rendah, hal ini berkorelasi positif dengan fekunditas yang rendah di stasiun 2, karena menurut Baltz dan Moyle (1982) ikan yang mempunyai nilai faktor kondisi yang rendah akan menghasilkan fekunditas yang rendah. Rendahnya fekunditas di stasiun 2 justru meningkatkan diameter telur ikan nila di stasiun 2. Berdasarkan analisis statistika diameter telur ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di tiga stasiun. Hasil pengamatan diameter telur ikan nila di stasiun 2 lebih besar dibandingkan dengan di stasiun 1 dan 3, sehingga besarnya diameter telur ikan tersebut membuat telur ikan yang dihasilkan sedikit. Hasil rata-rata diameter telur ikan nila tertinggi terdapat di stasiun 2, akan tetapi modus/puncak yang dimiliki setiap stasiun terbanyak pada stasiun 1 yang memiliki tiga modus/puncak sedangkan stasiun 2 dan 3 hanya dua modus/puncak. Adanya beberapa modus/puncak diameter telur di tiga stasiun pada setiap tahapan pematangan gonad menunjukkan bahwa ikan nila di Sungai Cimanuk Lama memiliki tipe pemijahan
32
sebagian-sebagian (partial spawning), artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian-sebagian dalam satu musim pemijahan. Hepato somatic index (HSI) ikan nila cenderung meningkat dari stasiun 1 sampai 3. Berdasarkan analisis statistika HSI antar stasiunnya menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di tiga stasiun. Meningkatnya HSI tersebut didukung dengan histologis organ hati di stasiun 2 dan 3 yang menunjukkan adanya degenerasi lemak. Pada Gambar 4 terlihat adanya vakuola-vakuola yang membesar pada organ hati di stasiun 2 dan 3. Pembesaran vakuola tersebut akan menyebabkan nilai HSI menjadi meningkat. Berat insang relatif (BIR) ikan nila cenderung meningkat ke stasiun 2 dan menurun ke stasiun 3. Berdasarkan analisis statistik BIR antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Meningkatnya BIR pada stasiun 2 didukung dengan hasil histologis ikan nila di stasiun 2 yang mengalami edema. Edema merupakan timbunan cairan yang berlebihan pada ruang intraselluler insang (Lu 1995), sehingga akan menyebabkan perluasan jaringan antara pembuluh darah dengan lapisan epitel lamella primer. 4. Kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila Logam berat kromium mengakibatkan kerusakan jaringan insang ikan nila semua ukuran di tiga stasiun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6 yang menunjukkan tingkat kerusakan dari ringan sampai berat. Kerusakan tersebut ditandai dengan peradangan dengan adanya limfosit, kongesti, edema, hemoragi, dan nekrosis. Mishra dan Mohanty (2008) mengatakan paparan logam berat kromium dapat mengakibatkan kerusakan organ insang ikan. Logam berat kromium tersebut akan merusak sel epitel insang, sehingga sel epitel tersebut dapat mengalami nekrosis. Selain itu juga, logam berat kromium dapat mengakibatkan pembengkakkan pembuluh darah dan lamella sekunder (dapat dilihat dengan adanya edema). Insang ikan nila yang tertangkap di stasiun 1 menunjukkan kerusakan yang terjadi tergolong ringan, kemudian kerusakan tersebut terlihat berat pada ikan nila (100–250 g) hasil tangkapan di sungai yang tertangkap di stasiun 2 dan 3 dengan adanya nekrosis. Kerusakan jaringan pada organ insang ikan nila akibat logam berat kromium dapat mengurangi konsumsi oksigen dan mengganggu proses osmoregulasi (Mishra & Mohanty 2008). Hal ini tentu saja dapat mengganggu proses respirasi, kemudian akan mengganggu proses penguraian energi (katabolisme) di dalam tubuh ikan nila. Pada proses katabolisme ikan nila membutuhkan oksigen yang cukup di dalam tubuhnya, hal ini dikarenakan akan terjadi proses penguraian makanan, sehingga akan terjadi deposit energi dan menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Akan tetapi, jika proses tersebut terganggu maka pertumbuhan ikan nila akan terganggu. Kerusakan organ hati ikan nila di tiga stasiun menunjukkan tingkat kerusakan ringan hingga berat. Kerusakan tersebut ditandai dengan peradangan berupa munculnya limfosit, kongesti, hemoragi, edema, degenerasi lemak, degenerasi inti sel, dan degenerasi hidropis. Mishra dan Mohanty mengatakan perubahan pada organ hati yang disebabkan oleh logam berat kromium adalah sel hepatosit hati yang mengalami vakuolisasi, nekrosis, dan degenerasi. Hal ini dikarenakan logam berat kromium (IV) sangat larut dalam air, sehingga mudah menembus membran sel, dan mengakibatkan kerusakan sel. Hati ikan nila yang tertangkap di stasiun 1 mengalami kerusakan ringan hingga sedang, sedangkan di stasiun 2 dan 3 kerusakan yang terjadi sudah menunjukkan kerusakan berat yang terjadi pada ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan
33
dari sungai. Kerusakan jaringan pada organ hati ikan nila akan mengganggu proses detoksifikasi. Terganggunya proses detoksifikasi tersebut, akan mempengaruhi proses vitalogenesis. Jumlah vitalogenin ikan nila akan menurun sehingga deposit material di oocit terhambat atau tidak berkembang dan mengakibatkan degenerasi oocit (Medina 2012). 5. Konsumsi maksimum mingguan daging ikan nila Akumulasi logam berat kromium dalam tubuh manusia dapat menggangu dan membahayakan kesehatan manusia. Badan internasional untuk penelitian kanker (IARC) telah menetapkan bahwa logam berat kromium (VI) adalah karsinogenik bagi manusia. Hal ini ditandai dengan adanya paparan logam berat kromium yang dapat mengakibatkan kematian. Selain itu juga logam berat kromium (IV) mengakibatkan iritasi kulit pada kulit yang sensitif. Oleh karenanya organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan rekomendasi maksimum konsentrasi yang diijinkan untuk logam berat kromium (IV). Rekomendasi tersebut dibuat dikarenakan adanya efek yang dilaporkan akibat manusia mengkonsumsi air minum yang mengandung logam berat kromium berupa diare, sakit perut, gangguan pencernaan, dan muntah (Tepe 2014). WHO membatasi kandungan kromium untuk air minum sebesar 0,05 mg L-1 (RomeroGonzalez et al. 2005) Salah satu cara untuk menghindari resiko keracunan logam berat kromium adalah dengan menentukan berat maksimal daging ikan nila yang dapat ditolerir dengan menghitung Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI). Menurut WHO, PTWI merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mengukur kontaminan, seperti logam berat pada makanan yang sifatnya kumulatif. Ikan nila merupakan salah satu organisme perairan yang mampu mengakumulasi logam berat kromium di dalam tubuhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium dalam tubuh ikan nila telah melampaui ambang batas yang telah ditentukan. Oleh karenanya konsumsi daging ikan nila tersebut harus sesuai dengan batasan yang dapat dikonsumsi. Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) untuk orang dewasa (50 kg bb) sebesar 17,9–38,4 g daging minggu-1 dan anak-anak (15 kg bb) sebesar 5,3–11,2 g daging minggu-1. Apabila logam berat kromium yang masuk dalam tubuh orang dewasa dan anak-anak melebihi nilai MTI tersebut, maka logam berat kromium akan bersifat toksik di dalam tubuhnya. Palar (2004) menyatakan bahwa akumulasi logam berat kromium dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kerusakan pada organ respirasi dan menyebabkan kanker. 6. Pengelolaan Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi bioakumulasi logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Pada saat ini ikan nila merupakan komoditas sektor perikanan yang memiliki manfaat ekonomis penting di Kabupaten Indramayu. Keberadaannya di dalam perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Sungai Cimanuk Lama diketahui tercemar limbah rumah tangga dan industri batik rumahan. Upaya agar perairan sungai tidak tercemar dan populasi ikan nila tetap lestari serta dapat dikonsumsi oleh masyarakat maka perlu dilakukan pengelolaan sungai. Bentuk pengelolaan sungai tersebut terdiri atas pengaturan pemanfaatan sungai dan pembuangan limbah (rumah tangga dan industri batik rumahan). Sungai tersebut harus dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Hal ini terkait dengan air sungai
34
yang dimanfaatkan sebagai air baku air minum oleh PDAM Kabupaten Indramayu, kegiatan perikanan, dan irigasi pertanian. Hasil pengukuran logam berat kromium dan beberapa paramater kualitas perairan menunjukkan hasil yang melampaui ambang batas yang telah ditentukan untuk kegiatan perikanan. Hal ini tentu saja mengakibatkan air dan hasil perikanan yang berasal dari sungai tersebut tidak layak untuk dikonsumsi karena membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Berdasarkan kandungan logam berat kromium di dalam air dan ikan nila yang berasal dari Sungai Cimanuk Lama maka perlu dilakukan pengaturan pemanfaatan sungai. Sungai tersebut hendaknya hanya untuk kegiatan rekreasi atau pariwisata karena kegiatan tersebut tidak mengkonsumsi air dan ikan nila yang berasal dari sungai. Hal ini juga tidak akan menimbulkan bioakumulasi logam berat kromium di dalam tubuh manusia, sehingga tidak akan terjadi toksisitas akut dan kronis akibat paparan logam berat kromium yang dapat dialami oleh manusia. Selain itu juga perlu dilakukan pelarangan dalam membuang limbah rumah tangga dan limbah batik rumahan ke dalam sungai. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak terdapat selokan-selokan limbah rumah tangga yang menuju ke sungai. Hal ini tentu saja akan menyebabkan pencemaran perairan. Data Diskoperindag Kabupaten Indramayu Tahun 2014 menunjukkan bahwa tidak semua pelaku industri batik rumahan memiliki pengolahan limbah. Pengolahan limbah yang dilakukan oleh pelaku industri hanya sebatas penandonan air limbah pada bak tandon, kemudian setelah bak tandon tersebut penuh, limbah akan digelontorkan ke sungai. Dengan demikian, pelaku industri batik rumahan tersebut harus memiliki instalasi pengolahan limbah batik atau sebelum dibuang ke sungai hendaknya dilakukan penanganan awal. Pengelolaan sungai tersebut dalam pelaksanaannya diperlukan kesadaran dan kerja sama yang tinggi dari masyarakat, pelaku industri batik rumahan, dan pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah berkewajiban dalam menjaga dan mengawasi keberhasilan pengelolaan sungai yang disarankan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman melalui sosialisasi kepada pelaku industri dan masyarakat setempat tentang bahaya dari limbah rumah tangga dan industri batik rumahan apabila dibuang ke sungai.
35
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kandungan logam berat kromium di dalam air dan ikan nila telah melampaui nilai ambang batas, sedangkan dalam sedimen belum melampaui nilai ambang batas yang telah ditentukan. Kandungan logam berat kromium tersebut mempengaruhi beberapa karakteristik biometrik dan kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila. Adanya industri batik rumahan di sekitar sungai terbukti berkontribusi terhadap pencemaran perairan Sungai Cimanuk Lama. Saran Sungai Cimanuk Lama, Kabupaten Indramayu telah tercemar logam berat kromium, sehingga air dan ikan nila yang berasal dari sungai tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh karenanya perlu dilakukan pengelolaan sungai, diantaranya pemilik industri batik harus memiliki instalasi pengolahan limbah dan adanya pengaturan dalam pemanfaatan sungai. Sebaiknya Sungai Cimanuk Lama digunakan hanya untuk kegiatan rekreasi, karena kegiatan tersebut tidak mengkonsumsi air dan ikan nila dari sungai.
36
DAFTAR PUSTAKA Abdel-Tawwab M, Abdel-Rahman AM, Ismael NEM. 2008. Evaluation of commercial live bakers yeast, Saccharomyces cereviciae as a growth and immunity promoter for fry Nile Tilapia, Oreochromis niloticus (L) challenged in situ with Aeromonas hydrophila. Journal of Aquatic. 280: 185-189. Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi hewan air. UNRI Press. Riau. 215 hlm. [ANZECC] Australian and New Zealand Environment and Conservation Council. 2000. ANZECC interim sediment quality guidelines. Report for the environmental research institute of the supervising scientist. Sydney. Australia. 314 pp. Azhar H, Widowati I, Suprijanto J. 2012. Studi kandungan logam berat Pb, Cu, Cd, Cr pada Kerang Simping (Amusium pleuronectes), air dan sedimen di Perairan Wedung, Demak serta analisis maximum tolerable intake pada manusia. Journal of Marine Research. 1 (2): 35-44. Babiker MM, H Ibrahim. 1979. Studies on the biology of reproduction in the cichlid Tilapia nilotica (L): Gonadal maturation and fecundity. Journal Fish Biology. 14: 437-447. Baltz OM, PB Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch (Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Journal Environmental Biology of Fish. 7: 227-242. Basmi J. 2000. Planktonologi sebagai indikator pencemaran perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bielicka A, I Bojanowska, A Wisniewski. 2005. Two faces of chromium-pollutant and bioelement. Journal of Environmental Studies. 14 (1): 5-10. Bwanika GN, Makanga B, Kizito Y, Chapman LJ, Balirwa J. 2004. Observations on the biology of Nile Tilapia, Oreochromis niloticus, L., in two Ugandan Crater Lakes. African Journal of Ecology. 42: 93-101. Cahyono B. 2000. Budidaya ikan air tawar. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 113 hlm. Camargo MMP, Martinez CBR. 2007. Histopatology of gills, kidney and liver of a Neotropical Fish Caged in an Urban Stream. Journal Neotropical Ichthyology. 5 (3): 327-336. Ciftci N, Cicik B, Erdem C, Ay O, Gunalp C. 2010. Accumulation of chromium in liver, gill, and muscle tissue of Oreochromis niloticus. Journal of Animal and Veterinary Advances. 9 (14): 1958-1960. Clark RB. 1986. Marine pollution. New York: Oxford University Press. 394 hlm. Connell DW, GJ Miller. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. UI Press. Jakarta. 520 p. Darmono. 2001. Lingkungan hidup dan pencemaran: hubungan dengan toksikologi senyawa logam berat. UI Press. Jakarta. 179 hlm. De Graaf GJ, F Galemoni, EA Huisman. 1999. Reproductive biology of pond reared Nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture Res. 30: 25-33. Dinas Koperasi dan Perdagangan Kabupaten Indramayu. 2014. Laporan tahunan. Indramayu. Jawa Barat. Dinata A. 2004. Sifat, faktor, dan mekanisme efek toksik. (diunduh 29 Agustus 2012). Tersedia pada http://www.pikiran_rakyat.com/cetal/0704/23/0106.htm. Doelsch E, V Van De Kerchove, HS Macary. 2006. Heavy metal content in soils of Reunion (Indian Ocean). Journal Geoderma. 134 (1-2): 119-134
37
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Effendie MI. 2002. Metode biologi perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 112 hlm. Eisler R. 1986. Chromium hazards to fish, wildlife and invertebrates: a synoptic review. US Fish and Wildlife Service Biological Report 85. Laurel. MD. El-Sayed AM, Mansour CR, Ezzat AA. 2003. Effects of dietary protein levels on spawning performance of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) proodstock reared at different water salinities. Journal of Aquaculture Research. 220: 619-632. Erlangga. 2007. Efek pencemaran perairan Sungai Kampar di Propinsi Riau terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). [Thesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1983. Compilation of Legal Limits for Hazardous Substances in Fish and Fishery Products. FAO Fisheries Circular No. 464: 5-100. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2005-2012. Oreochromis niloticus. Cultured Aquatic Species Information Programme. Text by Rakocy, J. E. In: FAO Fisheries and Aquaculture Department. Rome. Updated 18 February 2005. Cited 11 September 2012. Harteman E, Aunurafik. 2013. Deteksi timbal (Pb), kadmium (Cd) dalam Ikan Kelabau (Osteochilus melanopleura Bleeker), Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia Bleeker) dan Ikan Baung (Mystus nemurus C&V) dari Pasar Induk Kota Palangka Raya, Indonesia. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2 (2): 83-89 Hasni. 2008. Biologi umum. Surabaya : Gramedia. Hidayah AM, Purwanto, Soeprobowati TR. 2012. Kandungan logam berat pada air, sedimen dan ikan nila (Oreochromis niloticus Linn.) di karamba Danau Rawapening. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Semarang, 11 September 2012. Htun-han M. 1978. The reproductive biology of the dab Limanda limanda (L) in the North Sea; gonadosomatic index; hepatosomatic index and condition factor. Journal Fish Biology. 13: 369-378. Irwin RJ, Van MM, Stevens L, Seese MD, Basham W. 1997. ChromiumVI (Hexavalent chromium). Environmental Contaminants Encyclopedia. National Park Service. Water Resources Division. Fort Collins. Colorado. Jalius, DD Setiyanto, K Sumantadinata, E Riani, Y Ernawati. 2008. Akumulasi logam berat dan pengaruhnya terhadap spermatogenesis kerang hijau (Perna viridis). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 5 (1): 77-83. Jardine CG. 1993. Effect of pollutant at the ecosystem level. Environmental Toxicology Seminar. October 20th 1993. Universitas Diponegoro. Semarang. Jawa Tengah. 15 hlm. Kamal AHM, Graham CM. 2005. Salinity tolerance in superior genotypes of Tilapia, Oreochromis niloticus, Oreochromis mossambicus and their hybrids. Journal Aquaculture. 247: 189-201. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (ID) (Kemenkes RI). 2010. Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidem I. Keputusan Gubenur DIY Nomor 28. 1998. Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil. (diunduh 20 April 2014). Tersedia pada http://bapedalda.go.id. Kiernan JA. 1990. Histological and histochemical methods, theory and practice. Second Edition. Pergamon Press. New York.
38
Klaassen CD, J Doul, MO Amdur. 1986. Toxicology. The basic science of poisons. Thrid Edition. Macmillan Publishing Company. New York. 976 hlm. Kordi K. 2004. Penanggulangan hama dan penyakit ikan. Rineka Cipta Bina Adiaksara. Jakarta. Kurnia U, H Suganda, R Saraswati, Nurjana. 2004. Teknologi pengendalian pencemaran lahan sawah. Pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat. Bogor. 251-281 hlm. Lu CF. 1995. Toksikologi dasar. UI Press. Jakarta. Marganof. 2003. Potesi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, Dan Tembaga) Di Perairan. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mariskha PR, Abdulgani N. 2012. Aspek reproduksi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus sexfasciatus) di Perairan Glondonggede Tuban. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1 (1) : 27-31. Medina MF, Aldo C, Susana C, Claudia AC, Ines R, Ana LIV, Silvia NF. 2012. Histopathological and biological studies of the effect of cadmium on Rhinella arenarum gonads. Journal Tissue and cell. (44): 418-426. Mishra AK, Mohanty B. 2008. Acute toxicity impacts of hexavalent kromium on behavior and histopathology of gill, kidney and liver of the freshwater fish, Channa punctatus (Bloch). Journal Environmental Toxicology and Pharmacology. 26: 136–141. Mohammad MN, Authman N, Wafaa TA, Alkhateib YG. 2012. Metals concentrations in Nile tilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) from illegal fish farm in Al-Minufiya Province, Egypt, and their effects on some tissues structures. Journal Ecotoxicology and Environmental Safety. 84: 163-172. Monalisa SS, Minggawati I. 2010. Kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan ikan nila (Oreochromis sp.) di kolam beton dan terpal. Journal of Tropical Fisheries. 5 (2): 526-530. Morales DA. 1991. La Tilapia en Mexico. Biologia, Cultivo y Pesquerias. AG Mexico DF. 190 pag. Offem BO, Samsons YA, Omoniyi IT. 2007. Biological assessment of Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae; Linne, 1958) in a tropical floodplain river. Journal of Biotechnology African. 6 (16): 1966-1971. Otieno ON, Kitaka N, Njiru JM. 2014. Some aspects of the feeding ecology of Nile tilapia, Oreochromis niloticus in Lake Naivasha, Kenya. Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 2 (2): 01-08. Palar. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 152 hlm. Panigoro N, Indri A, Meliya B, Salifira, Prayudha DC, Kunika W. 2007. Teknik dasar histologi dan atlas dasar - dasar histopatologi ikan. Balai Budidaya Air Tawar dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Jambi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Deputi Sekretariat Bidang Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia. Jakarta. 45 hlm. Peterson J. 2007. Cooking : Fish. Ten Speed Press. London. Picker MD, Griffiths CL. 2011. Alien and invasive animals a South African perspective. Randomhouse/Struik. Cape Town. South Africa. 240 pp.
39
Rahman A, Fina S, Utami I. 2012. Kandungan kromium (Cr) pada Gondang (Pila scutata) di Perairan Sungai Riam Kanan Kabupaten Banjar. Jurnal Bioscientiae. 9 (2): 26-39. Rice EW, Baird RB, Eaton AD, Clesceri LS. 2012. APHA (American Public Health Association): Standard Method for The Examination of Water and Wastewater 22th ed. Washington DC (US): AWWA (American Water Works Association) and WEF (Water Environment Federation). Roberts RJ. 2001. Fish pathology. Thrid Edition. W.B. Saunders. London. Romero-Gonzalez J, Gardea-Torresdey JL, Peralta-Videa JR, Rodriguez E. 2005. Determination of equilibrium and kinetic parameter of the adsorption of Cr(III) and Cr(IV) from aqueous solution to Agave Lechuguilla Biomass. Bioinorganic Chemistry and Aplication Journal. 3 (1-2): 55-68. Royce W. 1984. Introduction to the practice of fishery science. Akademic Press. Sorensen EM. 1991. Metal poisoning in fish. CRC Press. New York. 95 – 109 pp. Saputra HM, Marusini N, Santoso P. 2013. Struktur histologis insang dan kadar hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2 (2): 138-144 Susanti E, Nofdianto. 2010. Pseudo second order kinetic model for the biosorption of Cr6+ ion from aqueous solution to periphyton biomass. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V. 731-738. Suwarni. 2009. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi ikan butana Acanthus mata (Cuvier, 1982) yang tertangkap di sekitar Perairan Pantai Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Torani (Jurnal ilmu kelautan dan perikanan). 19 (3): 160-165. Taftazani A. 2007. Distribusi konsentrasi logam berat Hg dan Cr pada sampel lingkungan Perairan Surabaya. Prosiding PPI-PDIPTN Pustek Akselerator dan Proses Bahan-BATAN. Yogyakarta. 10 Juli 2007. Tandjung SD. 1995. Toksikologi lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tepe AY. 2014. Toxic metals: trace metals – chromium, nikel, copper, and aluminum. Encyclopedia of food safety. 2: 356-362. Tresnati J. 2001. Kajian aspek biologi Ikan Sebelah Langkau (Psettodes arumei) di Perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Disertasi. Universitas Hassanudin. Makassar. Trewavas F. 1982. Tilapias : Taxonomy and Spesification. P 3-13. In The Biology and Cukture of Tilapia (R.S.V; Polin and R.H Lowe M Canel ed.). ICLARM Conference Proceedings 7. International Center of Living Aquatic Resource Management : Manila, Piliphina. Triadayani AE, Aryawati R, Diansyah G. 2010. Pengaruh logam timbal (Pb) terhadap jaringan hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Maspari Journal. 01: 4247. Turkmen M, Turkmen A, Tepe Y. 2008. Metal contaminations in five fish species from Black, Marmara, Aegean, and Mediterranean Sea, Turkey. Journal Chil Chem Soc. 53(1): 1435–1439. [EPA] Environmental Protection Agency. 1985. Ambient water quality criteria for chromium-1984. EPA-440/5-84-029. Office of water regulations and standards.Washington.
40
Velma V, Tchounwou PB. 2010. Chromium induced biochemical, genotoxic and histopathologic effects in liver and kidney of goldfish Carassius auratus. Journal Mutation Research. 698: 43-51. Wong CK, Wong MH. 2000. Morphological and biochemical changes in the gills of Tilapia. (Oreochromis mossambicus) to Ambient Cadmium Exposure. Journal of Aquatic Toxicology. 48: 517-527. [WHO] World Health Organisation. 1988. Chromium. In: Environmental Health Criteria, 61. World Health Organization, Geneva. pp. 1-197. Yustina dan Arnentis. 2001. Aspek reproduksi Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di Sungai Rangau Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains. 7 (1) : 5-14.
41
LAMPIRAN Lampiran 1. Stasiun penelitian
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
42
Lampiran 2. Prosedur kerja pengukuran logam berat kromium Air
Air sampel yang sudah di saring
HNO3 pekat hingga pH larutan < 2
AAS pada panjang gelombang 357,9 nm
Sedimen Sampel sedimen dikeringkan (suhu 110 °C selama 8 jam)
Digerus dan ditimbang ± 0,5 g
Ditambahkan 25 mL larutan akuades dan didestruksi dengan 5 mL HNO3 pekat
Sampel uji dipanaskan (hingga tersisa 15 mL), didinginkan, disaring, dan diencerkan hingga volumenya 50 mL
AAS pada panjang gelombang 357,9 nm
43
Lampiran 2. (Lanjutan) Ikan nila
Ikan dibedah dan diambil daging, hati, dan ginjalnya
Sampel uji dikeringkan (sampel uji dikeringkan)
Ditanur pada suhu 600 °C selama 3 jam
Digerus dan ditimbang ±0,5 g
Didestruksi dengan menambahkan 1 mL HNO3 pekat
Suspensi dipanaskan (hingga kering)
Ditambahkan 5 mL HCl pekat, dipanaskan, didinginkan, disaring, dan diencerkan dengan akuades (hingga volume 50 mL)
AAS pada panjang gelombang 357,9 nm
44
Lampiran 3. Pengukuran karakteristik biometrik ikan nila
a. Alat tangkap (Jaring insang dan seser)
c. Penimbangan bobot tubuh
e. Penimbangan insang
b. Pengukuran panjang
d. Penimbangan gonad
f. Penimbangan hati
45
Lampiran 4. Prosedur kerja pembuatan preparat histologis Skema pemrosesan jaringan untuk preparat histologis Larutan
Waktu
BNF
24 jam
Alkohol 70 %
24 jam
Alkohol 80 %
24 jam
Alkohol 90 %
24 jam
Alkohol Absolut
masing-masing 30 menit
Xylol I, II, dan III
masing-masing 30 menit
Parafin I dan II
masing-masing 30 menit
Parafin III
60 menit
Penanaman dalam blok parafin
24 jam
Pemotongan dengan mikrotom (5 mikron)
46
Lampiran 4. (Lanjutan) Skema pewarnaan preparat histologis Larutan
Waktu
Xylol III dan II
masing-masing 3 menit
Xylol I
3 menit lalu ditiriskan
Alkohol Absolut III, II, dan I
masing-masing 2-3 menit
Alkohol 95 %, 90 %, 80 %, dan 70 %
masing-masing 2-3 menit
Air Keran
5 menit
Aquades
5-10 menit
Pewarnaan Hemotoksillin
40 detik
Air Keran
Sekitar 5 menit
Akuades
5 menit
Pewarnaan Eosin
5 menit
Alkohol 70 %, 80 %, 90 %, dan 95 %
masing-masing maksimal 30 menit
Alkohol Absolut I, II, dan III
masing-masing maksimal 30 detik
Xylol I dan II
Xylol III
Penutup dengan gelas objek
masing-masing 5 menit
10 menit
47
Lampiran 5. Perhitungan batas maksimum konsentrasi logam berat kromium dalam daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Weekly Intake/ MWI) Batas maksimum konsentrasi logam berat kromium dalam daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Weekly Intake/ MWI) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: MWI = Berat badana) x PTWIb) Keterangan: a) : Rata-rata berat badan orang dewasa Indonesia 50 kg (Kemenkes RI 2010) dan anak-anak adalah 15 kg b) : Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) berdasarkan WHO yaitu 0,023 mg Cr kg-1 bb (Azhar et al. 2012) MWI dewasa = 50 kg bb x 0,023 mg Cr kg-1 bb minggu-1 = 1,15 mg Cr minggu-1 MWI anak-anak
= 15 kg bb x 0,023 mg Cr kg-1 bb minggu-1 = 0,345 mg Cr minggu-1
48
Lampiran 6. Perhitungan batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/ MTI) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: 𝑀𝑇𝐼 =
𝑀𝑊𝐼 𝐶𝑡
Keterangan: MWI : Maximum Weekly Intake (mg Cr minggu-1) Ct : Kandungan logam berat kromium dalam daging (mg kg-1) Dewasa (50 kg bb) Ikan nila (30-90 g) hasil tangkapan di sungai 𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0325 kg daging minggu −1 35,33 mg kg −1 = 32,5 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0384 kg daging minggu −1 29,89 mg kg −1 = 38,4 g daging minggu-1
1,15 mg Cr minggu−1 𝑀𝑇𝐼 = = 0,0374 kg daging minggu −1 −1 30,69 mg kg = 37,4 g daging minggu-1 Ikan nila (100-250 g) hasil tangkapan di sungai 𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0349 kg daging minggu −1 32,86 mg kg −1 = 34,9 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0194 kg daging minggu −1 59,05 mg kg −1 = 19,4 g daging minggu-1
49
Lampiran 6. (Lanjutan) 1,15 mg Cr minggu−1 𝑀𝑇𝐼 = = 0,0286 kg daging minggu −1 40,19 mg kg −1 = 28,6 g daging minggu-1 Ikan nila (100-250 g) yang dibudidaykan di KJA 𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0181 kg daging minggu −1 63,51 mg kg −1 = 18,1 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
1,15 mg Cr minggu−1 = 0,0372 kg daging minggu −1 30,89 mg kg −1 = 37,2 g daging minggu-1
1,15 mg Cr minggu−1 𝑀𝑇𝐼 = = 0,0179 kg daging minggu −1 −1 63,94 mg kg = 17,9 g daging minggu-1 Anak-anak (15 kg bb) Ikan nila (30-90 g) hasil tangkapan di sungai 0,34 mg Cr minggu−1 𝑀𝑇𝐼 = = 0,0097 kg daging minggu −1 35,33 mg kg −1 = 9,7 g daging minggu-1 𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0115 kg daging minggu −1 29,89 mg kg −1 = 11,5 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0112 kg daging minggu −1 30,69 mg kg −1 = 11,2 g daging minggu-1
50
Lampiran 6. (Lanjutan) Ikan nila (100-250 g) hasil tangkapan di sungai 𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0104 kg daging minggu −1 32,86 mg kg −1 = 10,4 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0058 kg daging minggu −1 59,05 mg kg −1 = 5,8 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0085 kg daging minggu −1 40,19 mg kg −1 = 8,5 g daging minggu-1
Ikan nila (100-250 g) yang dibudidayakan di KJA 0,34 mg Cr minggu−1 𝑀𝑇𝐼 = = 0,0054 kg daging minggu −1 63,51 mg kg −1 = 5,4 g daging minggu-1 𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0111 kg daging minggu −1 30,89 mg kg −1 = 11,1 g daging minggu-1
𝑀𝑇𝐼 =
0,34 mg Cr minggu−1 = 0,0053 kg daging minggu −1 63,94 mg kg −1 = 5,3 g daging minggu-1
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu, Jawa Barat, pada tanggal 19 September 1989 sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Dulkalim dan Ibu Ropiah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajamen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman, lulus pada tahun 2012. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan IPB diperoleh pada tahun 2012. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI.