KANDUNGAN AGAMA ISLAM DALAM MATA PELAJARAN IPA DI MADRASAH Mohammad Kosim Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan E-mail:
[email protected]
Abstrak: Artikel hasil penelitian ini berupaya mendeskripsikan kandungan agama Islam dalam bahan ajar IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi ) di madrasah. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis dokumen terhadap bahan ajar IPA di Madrasah Aliyah, diperoleh kesimpulan bahwa kandungan agama Islam dalam bahan ajar IPA di madrasah jumlahnya sangat terbatas dan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek bahan ajar, semangat Kementerian Agama untuk melakukan integrasi ilmu melalui islamisasi sains di madrasah belum terbukti. Karena itu, menjadi sangat penting untuk menyusun ulang bahan ajar IPA di madrasah berbasis Islam. Dan tak kalah pentingnya juga menyiapkan tenaga pengajar IPA di madrasah yang mampu menyampaikan pelajaran IPA bernuansa islami. Kata kunci: Islam, IPA, madrasah, islamisasi ilmu, iman-takwa Abstract: This research article describes the mount of Islamic materials found in natural science subject (Physics, Chemistry, and Biology) in madrasah. Using a qualitative design and document analysis to natural science materials used in Madrasah Aliyah, it is concluded that the number content materials of Islam is very limited and insignificant in natural science materials taught in madrasah. This fact shows that the spirit of the Ministry of Religious Affairs to integrate science through science islamization in Madrasah is unproven. Therefore, it is important to restructure the Islamicbased teaching materials for natural science for madrasah. Also, preparing the natural science teachers in madrasah to convey the nuances of Islam in natural science subject. Keywords: Islam, natural science, madrasah, science islamization, iman-takwa.
Pendahuluan Pasca keluarnya Undang-Undang RI Nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diikuti sejumlah peraturan terkait di bawahnya,1 telah terjadi perubahan signifikan terkait posisi madrasah dalam sistem pendidikan nasional; madrasah tidak lagi dipandang sekedar sebagai lembaga pendidikan keagamaan, melainkan diakui sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam. Pergeseran makna madrasah menjadi sekolah umum berciri khas Islam, berimplikasi pada muatan kurikulum yang harus dikembangkan madrasah. Dengan kedudukan sebagai sekolah umum, kurikulum madrasah sama persis dengan kurikulum sekolah pada jenjang yang sama. Selanjutnya, untuk mewujudkan ciri khas agama Islam, maka dalam kurikulum madrasah ditambah sejumlah mata pelajaran agama Islam yang meliputi Qur’an-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Banyak pihak menilai bahwa perubahan posisi madrasah tersebut merupakan langkah maju pemerintah dalam mengapresiasi lembaga pendidikan Islam. A. Malik Fadjar, misalnya, menilai kebijakan tersebut merupakan wujud budaya simpatik jati diri budaya bangsa yang berakar pada peradaban “Bhinneka Tunggal Ika”.2 Menurut Azyumardi Azra, pengakuan tersebut menunjukkan bahwa secara perlahan namun pasti, dikotomi antarmadrasah dan sekolah umum mulai pudar.3 Sedangkan menurut Maksum, pengakuan tersebut dapat ditafsirkan sebagai upaya pemerintah dalam melakukan “integrasi” pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi berikut; pertama, pendidikan agama menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jenjang, jalur pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dimasukkan ke dalam katagori pendidikan jalur sekolah. Jika sebelumnya terdapat dualisme antara sekolah dan madrasah, maka melalui kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa madrasah adalah 1Peraturan
tersebut antara lain; PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar; PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah; dan SK Mendikbud No. 489/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum. 2A. Malik Fadjar, Madarsah dan Tantangan Modernitas (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 15. 3Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta : Kompas, 2002), hlm. 71.
230
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
sekolah umum berciri khas agama Islam. Ketiga, kendati madrasah termasuk ke dalam jalur pendidikan sekolah, pemerintah masih memberikan peluang untuk mengembangkan madrasah dengan jurusan khas keagamaan.4 Terlepas dari penilaian positif di atas, yang jelas setelah kebijakan tersebut diterapkan, siswa madrasah lebih disibukkan dengan kajian materi-materi umum sebagaimana dilakukan siswa sekolah. Sementara kajian keislaman menjadi kian terbatas. Apalagi materi agama Islam tidak termasuk dalam mata pelajaran yang di-UNAS-kan, sehingga kedudukan materi keislaman semakin tersingkir. Padahal gagasan awal pendirian madrasah adalah untuk membekali dan memperkuat siswa dengan materi keislaman menuju terbentuknya pribadi muslim paripurna. Fenomena kian tersingkirnya materi keislaman tersebut direspon oleh pejabat Kementerian Agama dengan menggagas integrasi mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum di madrasah melalui tiga upaya, yaitu; (1) program mafikib bernuansa Islam; (2) program pelajaran agama bernuansa iptek; dan (3) program penciptaan suasana keagamaan.5 Untuk melaksanakan gagasan integrasi ilmu di madrasah dengan model-model di atas, dibutuhkan sejumlah komponen pendukung, terutama bahan ajar dan tenaga pendidik. Bahan ajar untuk mata pelajaran umum di madrasah harus sudah diintegrasikan dengan materi keislaman agar guru dan murid memiliki panduan baku. Demikian pula tenaga pendidik mata pelajaran umum di madrasah, harus disiapkan guru-guru yang memiliki kemampuan lebih, yakni mampu mengintegrasikan materi umum dengan ajaran-ajaran Islam. Jika kedua hal di atas tidak disiapkan, maka gagasan integrasi ilmu hanya sekedar menjadi impian. Hingga kini, perubahan status madrasah menjadi sekolah umum berciri khas agama Islam telah berlangsung sekitar 22 tahun. Menjadi penting untuk dikaji upaya-upaya madrasah selama ini dalam melakukan integrasi ilmu, khususnya dalam penyiapan bahan ajar pada
4Maksum, 5Husni
Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 159-160. Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam (Jakarta : Logos, 2005), hlm. 140-143.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
231
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Apalagi sepengetahuan peneliti, permasalahan di atas belum ada yang meneliti. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan adakah kandungan ajaran Islam dalam mata pelajaran IPA di Madrasah Aliyah?, dan sejauhmana kandungan ajaran Islam dalam mata pelajaran IPA di Madrasah Aliyah? Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat ganda, teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasilnya diharapkan bisa memperkaya kajian tentang sains dalam perspektif Islam. Sedangkan secara praktis, hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi pengembang kurikulum dan penulis buku teks pelajaran IPA di madrasah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi pustaka (library research). Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (ucapan), tulisan, dan perilaku dari orang-orang yang dapat diamati.6 Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti hendak mendeskripsikan secara utuh dan mendalam tentang fenomena di balik teks. Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku teks mata pelajaran IPA di Madrasah Aliyah kelas X, yang meliputi mata pelajaran Biologi, Kimia, dan Fisika. Buku teks yang dikaji adalah; Biologi 1 untuk SMA/MA karya Ari Sulistyorini; Praktis Belajar Fisika untuk Kelas X SMA/MA karya Aip Saripudin, Dede Rustiawan dan Dede Suganda; dan buku Praktis Belajar Kimia untuk Kelas X SMA/MA karya Iman Rahayu. Ketiga buku tersebut diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009. Ketiga buku ini dipilih karena oleh Badan Standar Nasional Pendidikan telah ditetapkan sebagai buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran berdasar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2007.7
6Robert
Bogdan dan Steven J. Taylor, Metoda Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 21-22. 7Perlu diketahui, bahwa sampai penelitian ini dilakukan belum ditemukan buku teks pelajaran IPA yang beredar di masyarakat yang berlaku khusus untuk Madrasah Aliyah, semua tertulis “untuk SMA/MA”. Karena itu, penelitian ini menggunakan teks yang berlaku umum tersebut.
232
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Sesuai dengan jenis sumber data yang bertumpu pada data dokumenter, maka pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dengan instrumen penelitian berupa pedoman dokumentasi. Analisis data dilakukan selama dan setelah penelitian berlangsung dengan menggunakan metode analisis dokumen (document analysis). Dalam melakukan analisis dokumen, digunakan proses berpikir aduktif (adductive reasoning), yakni pola pikir dengan cara mengemukakan jawaban pada pertanyaan tertentu sehingga diperoleh “kecocokan” penjelasan yang memuaskan.8 Kajian Pustaka Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam adalah agama samawi yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Sebagai agama, Islam menjadi petunjuk bagi pemeluknya dalam menjalankan seluruh aktivitas hidup, "Kitab (al-Qur’ān) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa."9 Termasuk di dalamnya adalah petunjuk dalam aktivitas dan pengembangan ilmu pengetahuan. Islam memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah dan pengembangan sains. Kata ‘ilmu’ yang telah resmi menjadi bahasa Indonesia, bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’an. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali),’ i’lâm (31 kali), yu’lamu (1 kali), ‘alîm (18 kali), ma’lûm (13 kali), ‘âlamîn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘âlim atau ‘ulamâ’ (163 kali), ‘allâm (4x), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allam (1 kali), dan ta’allama (2 kali).10 Selain kata ‘ilmu’ dalam al-Qur’an juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan aql (akal) dalam al8Jalaluddin
Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 74. 9 QS. al-Baqarah : 2 10M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, dalam Ulumul Qur’ān, (Vol.1, No. 4, 1990), hlm. 58.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
233
Qur’an disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Di samping al-Qur’an, dalam Hadits Nabi pun banyak membicarakan tentang pentingnya aktivitas ilmiah dan keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, antara lain; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah”(HR. Bukhari-Muslim).11 “Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, malaikat akan melindungi dengan kedua sayapnya” (HR. Turmudzi).12 “Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, maka ia selalu dalam jalan Allah sampai ia kembali” (HR. Muslim).13 “Barang siapa menuntut ilmu untuk tujuan menjaga jarak dari orang-orang bodoh, atau untuk tujuan menyombongkan diri dari para ilmuwan, atau agar dihargai oleh manusia, maka Allah akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka” (HR. Turmudzi).14 Penjelasan-penjelasan al-Qur’an dan Hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan antara ilmu dan agama (dalam hal ini agama Islam) memperlihatkan relasi yang harmonis. Islam memberikan posisi yang istimewa terhadap ilmuwan dan aktivitas ilmiah. Hal ini sangat berbeda dengan agama lain, semisal agama Kristen, yang dalam sejarahnya memperlihatkan hubungan kelam antara ilmu dan agama. Hubungan disharmonis tersebut ditunjukkan dengan diterapkannya hukuman mati bagi para ilmuwan yang temuan ilmiahnya berseberangan dengan “fatwa” gereja. Misalnya, Nicolaus Copernicus mati di penjara pada tahun 1543 M, Michael Servet mati dibakar tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan Galileo Galilei mati di penjara tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama dan ilmu di Barat tidak harmonis, maka para ilmuwan—dalam melakukan aktivitas ilmiahnya—pergi jauh meninggalkan agama. Akibatnya perkembangan ilmu di Barat menjadi sekuler terpisah dari agama. Sedangkan dalam Islam, ilmu 11Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta; Logos, 1999), hlm. 13. 12Sayid Alawi ibn Abbas al-Maliki, Fath al- Qarīb al-Mujīb ‘ala Tahdzīb al-Targhīb wa alTarhīb, (Mekah; t.p, t.t), hlm. 40. 13Abi Zakaria Yahya ibn Syarf al-Nawawi, Riyād al- Sālihīn, (Kairo; al-Maktabah alSalafiyah, 2001), hlm. 710. 14Al-Maliki, Fath al-Qarīb, hlm. 42.
234
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
tumbuh dan berkembang berjalan seiring dengan agama. Karena itu, dalam sejarah peradaban Islam, ulama hidup rukun berdampingan dengan para ilmuwan. Bahkan banyak ditemukan para ilmuwan dalam Islam sekaligus sebagai ulama. Seperti Ibn Rusyd, di samping sebagai ahli hukum Islam (faqih) pengarang kitab Bidâyah al-Mujtahid, juga seorang ahli kedokteran penyusun kitab al-Kulliyât fî al-Thibb. Antara Sains Barat dan Sains Islami Untuk memahami perbedaan antara sains barat dan sains islami, ada dua pertanyaan yang hendak dijelaskan, yaitu; apa itu pengetahuan?, dan bagaimana cara memperoleh suatu pengetahuan? Yang pertama terkait dengan teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi. Terkait dengan pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan?, epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya dalam Islam sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jika dalam Islam ilmu pengetahuan bersumber dari alam fisik dan non-fisik, tidak demikian halnya dengan epistemologi Barat. Mereka hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah.15 Berkenaan dengan problema epistemologi yang kedua, bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya—berturut-turut—diterapkan dengan metode berbeda; indra untuk metode observasi (bayânî), akal untuk metode logis atau demonstratif (burhânî), dan hati untuk metode
15Mulyadhi
Kertanegara, Menembus Batas Panorama Filsafat Islam, (Bandung; Mizan, 2002), hlm. 58.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
235
intuitif (‘irfânî).16 Dengan panca indra, manusia mampu menangkap objek-objek indrawi melalui observasi, dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap objek-objek spiritual (ma’qûlât) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrâqiyah), hati akan mampu menangkap objek-objek spiritual dan metafisik. Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama mampu menangkap objek-objek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara metodologis dalam menangkap objek-objek tersebut. Sebab sementara akal menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap objek-objek spiritual secara langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subjek dan objek.17 Apabila dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal budi. Dalam sejarah keilmuan Barat, penggunaan indra dan akal sebagai alat atau sumber pengetahuan, pernah mengalami konflik tajam yang saling berseberangan selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme.18 Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (15961650) berpandangan bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu Empirisme berpendapat 16Ibid.,
hlm. 61. Kertanegara, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis Terhadap Epistemologi Barat”, dalam Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Vol.1 No. 3, Juni-Agustus 1999), hlm. 64. 18Pembahasan lebih lanjut tentang kedua aliran tersebut bisa dibaca dalam: Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta; Kanisius,1980), hlm. 18-46; A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta; Kanisius, 2001), hlm. 33-39. 17Mulyadhi
236
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra. Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau pengalaman.19 Konflik antara pendukung rasionalisme dan empirisme akhirnya bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau rasionalisme kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut melahirkan pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi. Semua pengetahuan manusia tentang dunia bersumber dari pengalaman indrawi. Namun akal budi ikut menentukan bagaimana manusia menangkap fenomena di sekitarnya, karena dalam akal budi sudah ada “kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan manusia menangkap dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip dengan kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai objek di sekitarnya. Kacamata itu sangat memengaruhi pengetahuan orang tersebut tentang objek yang dilihat.20 Berdasarkan penjelasan tentang sumber dan alat dalam ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an (Islam) di atas, ternyata ilmu dalam Islam sangat luas, meliputi ilmu yang bersifat fisik material yang terbentang luas di jagad raya, dan ilmu non-fisik in-material yang bisa dijangkau sejauh kemampuan manusia. Luasnya ilmu pengetahuan dalam Islam secara umum dikelompokkan ke dalam tiga bagian yang secara hirarkis meliputi; metafisika menempati posisi tertinggi, disusul kemudian oleh matematika, dan terakhir ilmu-ilmu fisik. Melalui tiga kelompok ilmu tersebut, lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya; dalam ilmu-ilmu metafisika (ontologi, teologi, kosmologi, angelologi, dan eskatologi), dalam ilmu-ilmu matematika (geometri, aljabar, aritmatika, musik, dan trigonometri), dan 19A.
Sony Keraf dan Mikhael, Ilmu Pengetahuan, hlm. 49-50 hlm. 58-61.
20Ibid.,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
237
dalam ilmu-ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optika).21 Pembagian di atas tentu saja berbeda dengan pembagian sains Barat yang hanya membatasi pada objek fisik. Hasil Penelitian Kedudukan Mata Pelajaran IPA di Madrasah Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat (5) PP Nomor 19/2005 dinyatakan bahwa “Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/ kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.” Pada bagian penjelasan PP Nomor 19/2005 terhadap pasal 7 ayat (5) menyatakan bahwa “Ilmu pengetahuan alam sekurang-kurangnya terdiri atas fisika, kimia, dan biologi.” Berdasar bunyi pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa mata pelajaran IPA di Madrasah Aliyah, yang mewujud dalam mata pelajaran Fisika, Kimia dan Biologi, merupakan kelompok mata pelajaran inti. Mata pelajaran tersebut termasuk ke dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kandungan Agama Islam dalam Mata Pelajaran IPA Penjelasan berikut akan menguraikan kandungan agama Islam dalam mata pelajaran IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi) di Madrasah Aliyah kelas X. Kandungan agama Islam yang dimaksud dalam penelitian ini, adanya keterkaitan bahan ajar IPA dengan ajaran Islam. Hal ini tampak, misalnya, dalam bentuk penyebutan ayat al-Qur’an atau 21Mulyadi,
238
Panorama Filsafat Islam, hlm. 59.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Hadits yang terkait dengan materi IPA, atau dengan menghubungkan pembahasan materi IPA dengan Allah swt. sebagai pencipta alam semesta. Berikut uraian masing-masing: 1. Mata Pelajaran Fisika Bahan ajar Fisika yang dikaji adalah buku ‘Praktis Belajar Fisika 1’ untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah karya Aip Saripudin, Dede Rustiawan K, dan Adit Suganda. Buku ini terdiri atas 9 bab (bab 1 sampai bab 6 untuk semester 1, dan bab 7 sampai 9 untuk semester 2) dengan tebal buku 194 halaman. Sepanjang pembahasan buku ini, peneliti tidak menemukan pembahasan/teks yang berisi kandungan ajaran Islam, kecuali di bab 6 yang membahas tentang alat-alat optik. Itu pun hanya satu kalimat yang berbunyi “Mata merupakan alat optik alamiah, ciptaan Tuhan yang sangat berharga.”22 2. Mata Pelajaran Biologi Bahan ajar Biologi yang dikaji adalah buku ‘Biologi 1’ untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah karya Ari Sulistyorini. Buku ini terdiri atas 11 bab ((bab 1 sampai bab 6 untuk semester 1, dan bab 7 sampai 11 untuk semester 2) dengan ketebalan buku mencapai 271 halaman. Sepanjang pembahasan buku ini peneliti menemukan sejumlah pembahasan yang dihubungkan dengan ajaran agama, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut : Bab
Hlm
1
20
2
21
Kalimat Sebagai manusia ciptaan Tuhan, kita harus menyadari bahwa kita harus menggunakan ilmu secara benar untuk kebaikan semua makhluk yang ada dan untuk kelestarian bumi. Demikian pula halnya dengan mempelajari biologi yang sangat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan. Pengetahuan biologi menyadarkan kita tentang adanya berbagai makhluk ciptahan Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai harganya. Hal ini dapat membuat kita sadar akan kelestarian lingkungan dan diharapkan kita selalu dapat hidup
22Aip
Saripudin, Dede Rustiawan K, dan Adit Suganda, Praktis Belajar Fisika 1 (Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 90.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
239
3
30
4
143
5
145
6
208
berdampingan secara damai dengan alam. Namun, dengan pengetahuan biologi, sifat manusia yang serakah dapat mengganggu kelestarian alam, misalnya, penebangan liar, penggunaan pestisida yang berlebihan, dan penggunaan senjata biologi yang menyebabkan manusia terkena penyakit yang mematikan. Semuanya itu termasuk bahaya mempelajari biologi. Oleh karena itu, dalam mempelajari sesuatu, termasuk biologi, mesti selalu dilandasi dengan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan menciptakan makhluk hidup di muka bumi ini dalam bentuk yang beraneka ragam. Masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang membedakannya antara satu dengan yang lain. Coba kalian perhatikan, adakah makhluk ciptaan Tuhan yang sama persis tanpa adanya sedikit pun perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya? Begitu beragamnya makhluk hidup ciptaan Tuhan tersebut sehingga perlu adanya suatu sistem untuk mengenal dan mempelajarinya. Keanekaragaman hayati dalam lingkungan perlu dilestarikan untuk mempertahankan beberapa nilai yang terkandung di dalamnya, antara lain, sebagai berikut Nilai mental spiritual. Alam yang serasi dan seimbang adalah alam yang indah dambaan setiap manusia. Kekaguman terhadap alam dapat meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalian mungkin sudah tahu bahwa hutan adalah ciptaan Tuhan yang merupakan sumber keanekaragaman hayati yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Lihatlah Gambar 10.1 (tampak gambar sawah dan petani yang sedang bekerja). Betapa indahnya anugerah Tuhan ini
3. Mata Pelajaran Kimia Bahan ajar Kimia yang dikaji adalah buku ‘Kimia 1’ untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah karya Poppy K. Dewi, Siti Kalsum, Masmiani, dan Hasmiati Syahrul. Buku ini terdiri atas 11 bab ((bab 1 sampai bab 5 untuk semester 1, dan bab 6 sampai 11 untuk se_mester 2) dengan ketebalan buku mencapai 253 halaman. Sepanjang pembahasan buku ini, tak satu pun ditemukan pembahasan yang dihubungkan dengan ajaran agama Islam.
240
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Berdasar paparan data di atas dapat dinyatakan bahwa dari tiga buku teks pelajaran IPA di Madrasah Aliyah kelas X, ditemukan kandungan agama Islam dengan jumlah sangat terbatas, bersifat umum, dan tak signifikan. Sangat terbatas, karena pada teks pelajaran Biologi hanya ditemukan satu teks kandungan agama Islam. Pada teks pelajaran Fisika ditemukan enam teks kandungan agama Islam, sedangkan pada teks pelajaran Kimia tidak ditemukan sama sekali teks kandungan agama Islam. Bersifat umum, karena kandungan Islam hanya menjadi pengantar dalam suatu pembahasan. Misalnya, dalam teks pelajaran Fisika, ketika membahas tentang optik, hanya diawali dengan ungkapan “Mata merupakan alat optik alamiah, ciptaan Tuhan yang sangat berharga.” Karena itu, kandungan Islam tidak sampai menyentuh pada substansi pembahasan. Dengan demikian, kandungan agama dalam teks pelajaran IPA di Madrasah Aliyah sangat tidak signifikan sebagaimana diharapkan. Sebab di samping jumlahnya sangat terbatas, substansi pembahasannya juga sangat dangkal, hanya menyentuh kulit luarnya saja. Diskusi Temuan penelitian yang menunjukkan tidak signifikannya kandungan agama Islam dalam mata pelajaran IPA di Madrasah Aliyah menggambarkan bahwa : Pertama, teks bahan ajar IPA selama ini kurang sesuai dengan tujuan umum mata pelajaran IPA di sekolah/madrasah. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa di antara tujuan pembelajaran Fisika, Kimia dan Biologi adalah “Membentuk sikap positif terhadap kimia/biologi/fisika dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.” Jika merujuk pada tujuan di atas, mestinya bahan ajar IPA di sekolah lebih-lebih di madrasah selalu dihubungkan dengan ajaran agama. Dengan tidak ada upaya menghubungkan materi IPA dengan ajaran agama sebagaimana ditunjukkan dalam pembahasan materi fisika, kimia dan biologi di atas, maka tujuan agar siswa menyadari
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
241
keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa melalui pembelajaran IPA sulit tercapai. Kedua, upaya pemerintah dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik, jika dilihat dari aspek bahan ajar di atas, belum optimal. Padahal dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 7 dinyatakan bahwa “Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.” Untuk mewujudkan ketentuan di atas, mestinya penyusunan bahan ajar Fisika/Kimia/Biologi (sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi) selalu dihubungkan dengan ajaran agama sebagai upaya peningkatan iman dan takwa peserta didik. Dalam kenyataan, sebagaimana temuan penelitian, langkah ini tidak dilakukan. Pembahasan mata pelajaran IPA cenderung sekuler dan terputus dari nilainilai agama. Ketentuan di atas juga menunjukkan bahwa upaya peningkatan iman dan takwa di sekolah/madrasah bukan hanya menjadi tugas guru agama, melainkan menjadi tugas dan tanggungjawab bersama semua guru. Namun, dalam kenyataan, ketentuan tersebut belum dilaksanakan. Guru agama tetap saja dipandang sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap keberagamaan siswa. Ketiga, gagasan integrasi ilmu agama-umum di madrasah yang telah digagas Kementerian Agama pasca perubahan status madrasah menjadi sekolah umum berciri khas Islam jika dilihat dari aspek bahan ajar belum terbukti. Hal ini terlihat dari penyusunan bahan ajar IPA di madrasah yang hampir tidak dihubungkan sama sekali dengan kandungan Islam. Padahal dalam bagian penjelasan terhadap PP Nomor19/2005, khususnya terhadap pasal 6 Ayat (1) butir a dinyatakan bahwa; “Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia untuk MA atau bentuk lain yang sederajat, dapat dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.”
242
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Ketentuan di atas memberikan peluang besar bagi pengelola madrasah untuk melakukan integrasi ilmu (ilmu agama-ilmu umum) melalui pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi bernuansa Islam, dan melalui pembelajaran agama dan akhlak mulia dengan perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika langkah ini dilakukan maka kesenjangan antara mata pelajaran umum (yang semakin dominan di madrasah) dan mata pelajaran agama (yang semakin terkikis di madrasah) dapat teratasi. Demikian pula, jika upaya integrasi tersebut dilakukan akan bisa menghapus kesan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan integrasi ilmu di madrasah, di antaranya adalah; Pertama, menyiapkan guru mata pelajaran IPA yang memahami ajaran Islam. Upaya ini dilakukan agar para guru mata pelajaran IPA di madrasah cakap mengajar materi IPA bernuansa Islam. Upaya ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh Kementerian Agama, yaitu dengan membuka Program Studi Tadris di IAIN/STAIN yang telah digagas sejak tahun 1960. Selain melalui pembukaan Program Studi Tadris di IAIN/STAIN, upaya menyiapkan guru umum bernuansa Islam di madrasah juga dilakukan melalui pendirian sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) sejak tahun 2002. Sebagaimana diketahui bahwa pendirian UIN dilatarbelakangi sejumlah alasan, antara lain sebagai salah satu upaya untuk mengatasi problema dikotomi ilmu, ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tercipta ilmu yang integratif berbasis Islam. Dalam konteks historis-ideologis, fenomena dikotomi ilmu tidak berasal dari tradisi Islam. Ajaran Islam tidak mengenal dikotomi keilmuan. Semua ilmu berasal dari sumber yang sama, Allah Yang Maha Pencipta, yang diwujudkan ke dalam ayat-ayat qaulīyah (al-Qur’an dan Sunnah) dan ayat kaunīyah (alam semesta dan isinya). Perubahan paradigma ilmu dalam Islam, dari integrasi menjadi dikotomi, tidak bisa dipisahkan dari peradaban Barat modern yang, terutama, ditandai oleh pandangan hidup (way of life) yang sekuler.23 23Akh.
Minhaji, “Masa Depan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia; Perspektif Sejarah-Sosial”, Tadris Jurnal Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan (Volume 2, Nomor 2, 2007), hlm. 154.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
243
Pandangan ini berawal dari hubungan disharmonis antara agamawan gereja dengan ilmuwan di Eropa Barat, yang ditunjukkan dengan hukuman mati bagi para ilmuwan yang temuan ilmiahnya berseberangan dengan “fatwa” gereja. Misalnya, Nicolaus Copernicus mati di penjara pada tahun 1543 M, Michael Servet mati dibakar tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan Galileo Galilei mati di penjara tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama dan ilmu di Barat tidak harmonis, maka para ilmuwan—dalam melakukan aktivitas ilmiahnya—pergi jauh meninggalkan agama. Akibatnya, ilmu di Barat berkembang dengan paradigma antroposentris dan menafikan paradigma teosentris.24 Dampak yang lebih serius, perkembangan ilmu menjadi sekuler terpisah dari agama yang pada akhirnya menimbulkan problema teologis yang sangat krusial. Banyak ilmuwan Barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka Tuhan telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta. Pandangan sekuler tersebut kemudian berimbas ke hampir semua belahan dunia, termasuk dunia Islam. Akhirnya, semua aspek kehidupan manusia; pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial-budaya telah dicemari paradigma sekuler. Untuk mengakhiri paradigma dikotomi ilmu dan beragam dampak negatifnya, sejumlah ilmuwan muslim telah berinisiatif melakukan beragam upaya reintegrasi ilmu, misalnya melalui gerakan islamisasi sains25 atau sejenisnya yang mulai ramai dikampanyekan 24Paradigma
teosentris (dari kata theo; tuhan, dan centre; pusat) mengandung dua jenis nilai kebenaran, kebenaran absolut (berupa wahyu Tuhan) dan kebenaran relatif (berupa penafsiran manusia atas wahyu). Hubungan kedua jenis nilai tersebut bersifat hirarkis, nilai kebenaran absolut terhadap kebenaan relatif, dan kebenaran relatif tidak boleh bertentangan dengan kebenaran absolut. Dalam paradigma teosentris, semua yang ada adalah ciptaan Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya, dan kembali pada kebenaran-Nya. Sedangkan paradigma anthroposentris (dari kata anthropoid; menyerupai manusia, dan centre; pusat) hanya mendasarkan ajarannya pada hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam kehidupan duniawi. Baca lebih lanjut dalam Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 16-17. 25Istilah tersebut dikenalkan pertama kali oleh Ismail Raji al-Faruqi, ketika pada tahun 1982 menerbitkan buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work-
244
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
sejak tahun 1980-an. Pendirian UIN juga dalam kerangka upaya tersebut, atau dalam bahasa Amin Abdullah, konversi IAIN menjadi UIN merupakan ikhtiar untuk membenahi dan menyembuhkan “lukaluka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari kian menyakitkan.26 Tentu, sejarah yang akan membuktikan sejauh mana upaya yang baru dirintis tersebut membuahkan hasil. Selain itu, pendirian UIN juga sebagai respon atas perubahan status madrasah dari, yang semula, sekolah agama menjadi sekolah umum (berciri khas agama Islam). Sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam, kurikulum madrasah—dalam semua jenjang—minimal setara dengan mata pelajaran sekolah umum ditambah mata pelajaran agama. Dengan kurikulum yang didominasi mata pelajaran umum, lulusan madrasah lebih menguasai materi umum dibanding agama. Akibatnya, lulusan madrasah akan lebih tertarik melanjutkan ke perguruan tinggi umum dibanding perguruan tinggi agama (IAIN/STAIN) karena di perguruan tinggi agama hanya terfokus pada kajian Islam. Jika kondisi ini dibiarkan, lama kelamaan IAIN/STAIN bisa gulung tikar karena lulusan Madrasah Aliyah, yang selama ini menjadi input terbesar IAIN/STAIN, akan beralih ke perguruan tinggi umum. Bagi Fakultas Tarbiyah, perubahan paradigma madrasah menjadi tantangan tersendiri karena lembaga ini merupakan satu-satunya institusi penyedia calon guru agama di madrasah sekaligus sebagai penerima lulusan madrasah. Setelah perubahan tersebut, madrasah tidak lagi membutuhkan guru agama dalam jumlah besar, tetapi lebih membutuhkan guru-guru bidang studi umum seperti biologi, kimia, fisika, matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Itulah sebabnya Kementerian Agama, meskipun terlambat, berupaya mengembangkan status sebagian IAIN dan STAIN menjadi UIN, plan. Istilah lain yang memiliki substansi sama dengan islamisasi sains adalah dewesternisasi pengetahuan yang dikenalkan Muhammad Naquib al-Attas, desekularisasi sains, atau naturalisasi ilmu yang digagas beberapa sarjana keislamana semisal I. Sabra. Diskusi lebih lanjut tentang islamisasi sains dapat dibaca, antara lain, dalam Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung : Pustaka, 1995) ; Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu (Bandung : Mizan-UIN Press, 2006). 26Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 399.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
245
karena melalui lembaga ini upaya untuk menjawab kebutuhan madrasah memiliki landasan yuridis yang kokoh. Selain melalui pembukaan program studi Tadris di IAIN/STAIN dan pendirian UIN, upaya menyiapkan guru-guru sains berbasis islam di madrasah juga dilakukan melalui program inservice training dengan cara mendidik/mengirim guru-guru umum untuk mengikuti program terkait semisal diklat dan seminar. Akan tetapi, upaya-upaya di atas hingga saat ini belum mampu menjawab kebutuhan guru-guru umum berbasis Islam di madrasah, yang setiap tahun terus bertambah seiring dengan semakin luasnya partisipasi masyarakat muslim dalam mendirikan madrasah. Karena itu, selayaknya Kementerian Agama memperluas pendirian UIN dan pembukaan program studi Tadris agar pada saatnya kebutuhan tersebut bisa terpenuhi. Kedua, untuk melakukan integrasi ilmu di madrasah, penyiapan bahan ajar IPA di madrasah harus dibuat terpisah dari sekolah agar lebih leluasa mengembangkan nuansa Islam dalam pembahasannya. Sebagaimana dijelaskan bahwa hingga saat ini teks bahan ajar IPA di madrasah selalu dibuat sama dengan bahan ajar di sekolah di semua level. Padahal misi sekolah dan madrasah tidak selalu sama. Madrasah adalah sekolah umum berciri khas agama Islam. Maka untuk menunjukan ciri khas keislaman, semua bahan ajar IPA harus diwarnai ajaran Islam agar pembahasannya tidak cenderung sekuler seperti yang terlihat pada bahan ajar yang ada saat ini. Karena itu, pengembangkan bahan ajar IPA di madrasah sangat mendesak untuk didesain secara khusus agar pembahasannya lebih leluasa memasukkan materi keislaman di dalamnya. Apalagi hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Bahkan madrasah diberi kewenangan untuk mengembangkan bahan ajar umum bernuansa islam, sebagai bunyi PP No.19/2005, khususnya terhadap pasal 6 Ayat (1) butir a dinyatakan bahwa : “Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia untuk MA atau bentuk lain yang sederajat, dapat dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.”
246
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Penutup Berdasar paparan dan dan temuan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahan ajar IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi ) di Madrasah Aliyah kelas X, ditemukan kandungan agama Islam dengan jumlah sangat terbatas, yaitu enam teks dalam pelajaran Biologi, satu teks dalam pelajaran Fisika, sedangkan pada teks pelajaran Kimia tidak ditemukan sama sekali teks kandungan agama Islam. Kandungan agama Islam yang terdapat dalam teks tersebut bersifat umum dan tidak signifikan. Karena hanya menjadi pengantar dalam suatu pembahasan. Misalnya, dalam teks pelajaran Fisika, ketika membahas tentang optik, diawali dengan ungkapan “Mata merupakan alat optik alamiah, ciptaan Tuhan yang sangat berharga.” Dengan demikian, kandungan agama dalam teks pelajaran IPA di Madrasah Aliyah sangat tidak signifikan sebagaimana diharapkan, sebab di samping jumlahnya sangat terbatas, substansi pembahasannya juga sangat dangkal, hanya menyentuh kulit luarnya saja. Dengan kandungan agama Islam yang sangat terbatas, sulit rasanya melakukan misi integrasi ilmu di madrasah dan untuk membekali peserta didik dengan ajaran Islam yang memadai melalui pelajaran IPA. Karena itu, Kementerian Agama sebagai penanggungjawab penyelenggaraan madrasah sudah waktunya membuat kebijakan agar semua bahan ajar materi umum di madrasah dirancang/disusun secara khusus, tidak seperti saat ini yang sama dengan buku ajar di sekolah, agar lebih leluasa mengembangkan bahan ajar yang bernuansa islami. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah menyiapkan para guru bidang studi umum yang memiliki kemampuan agama memadai sehingga mampu menyampaikan mata pelajaran umum bernuansa islami. Perlu dipahami bahwa studi ini hanya mengambil satu persoalan tentang kandungan agama Islam dalam bahan ajar IPA di Madrasah Aliyah. Tentu akan semakin lengkap kajiannya apabila melibatkan semua mata pelajaran umum lainnya yang diajarkan di madrasah. Demikian pula akan lebih “sempurna” jika kajiannya sampai pada aspek pembelajaran di kelas; apakah guru-guru bidang studi umum di madrasah dalam mengajar mengintegrasikan dengan ajaran Islam?
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
247
Dengan demikian, masih tersedia “ruang kosong” bagi peneliti lain yang akan meneliti masalah serupa. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.* Daftar Pustaka Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin. Bandung : Pustaka, 1995. Ali, Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar. Jakarta: Pusataka Firdaus, 1996. Al-Maliki, Sayid Alawi ibn Abbas. Fath al- Qarīb al-Mujīb ‘ala Tahdzīb al-Targhīb wa al-Tarhīb. Mekah; t.p, t.t. Al-Nawawi, Abi Zakaria Yahya ibn Syarf. Riyād al- Sālihīn. Kairo: alMaktabah al-Salafiyah, 2001. Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1991. Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas, 2002. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos, 1999. Bastaman, Hanna Djumhana. “Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi”, dalam Ulumul Qur’an. Vol.II, No. 8, 1991. Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional, 1992. Dua, Mikhael dan A. Sony Keraf. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999. Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta; Kanisius,1980. 248
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Keputusan Menteri Agama Nomor 370/1993 tentang Madrasah Aliyah Kertanegara, Mulyadhi. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis Terhadap Epistemologi Barat”, dalam Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Vol.1 No. 3, Juni-Agustus 1999. Kertanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu. Bandung: Mizan-UIN Press, 2006. Kertanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2002. Maksum. Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos, 1999. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS, 1994. Minhaji, Akh. “Masa Depan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia; Perspektif Sejarah-Sosial”, Tadris Jurnal Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan. Volume 2, Nomor 2, 2007. Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta; P3M, 1986. Rahardjo, M. Dawam. “Ensiklopedi al-Qur’an: Ilmu”, dalam Ulumul Qur’ān. Vol.1, No. 4, 1990. Rahayu, Iman. Praktis Belajar Kimia untuk Kelas X SMA/MA. Jakarta: Penerbit Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Logos, 2005. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Saefudin, A. M. Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1990. Saripudin, Aip, et.al. Praktis Belajar Fisika 1. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Sulistyorini, Ari. Biologi 1 untuk SMA/MA. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
249