“Kamu adalah alasan untuk setiap waktu yang berputar dari tempat ini.”
Bab 1
Surat bakti Adinda, Untuk Volonyia Adere di kota seberang. Kamu lihat bunga kita, yang sama-sama kita tanam di depan rumah. Dia telah mengeluarkan anak mahkotanya. Begitu cantik dan anggun. Warnanya ungu muda berkelir merah, dia selalu menunjukkan rona senyumnya padaku. Dia rindu kamu Volonyia.
2
Bunda dan Ayah juga menitipkan salam melalui surat yang aku tulis ini. Kemarin, kucing manis kita memberi salam hangat untuk Volonyia berupa tanda suara. Ya, suara kecilnya yang mendayu dan serasa dekat dengan hati. Ada begitu banyak kehilangan yang aku rasakan tanpa kehadiranmu di sini Volonyia. Aku merasa pekerjaan yang biasa kita lakukan bersama-sama, kini sudah tidak semenarik dulu. Waktu kita bersama Pepet kucing coklat itu, di atas ayunan sambil menggerakkan udara di sekitar sangatlah terasa hambar. Sekarang aku sudah tidak melakukannya lagi. Karena kamu Volonyia, karena kamu.
Sudah setahun kamu meninggalkan rumah. Dan setiap bulannya aku selalu memberikan kabar kepadamu. Karena adikmu ini tak akan pernah bisa hidup tanpa kakak perempuannya, Volonyia. Aku rasanya begitu sebal dan marah terhadapmu. Kamu pergi tanpa pamit ketika itu, dan seterusnya sampai
3
saat ini pun tak ada balasan surat yang kamu antarkan untukku.
Kamu tahu Volonyia, sahabat malammu Genesha telah mendapat laki-lakinya. Tepatnya kemarin pada saat Hari Bunga. Seperti biasa para laki-laki berbondong-bondong mencari bunga di taman tengah kota. Mereka seperti para pemburu hutan yang bersiap merengkuh bunga terbaiknya. Setelah itu mereka berlari menuju tempat hiburan malam, di batas lingkaran bawah lampu merah. Para laki-laki bersiap untuk saling menunjukkan aksi merangkai bunganya. Salah satu dari mereka memberikannya kepada Genesha.
Volonyia, adikmu ini sudah mulai beranjak dewasa. Aku sudah tidak lagi bertindak semauku. Setiap lakuku, akan aku pikirkan dengan matang. Aku bersyukur memiliki kakak perempuan sepertimu. Semua yang pernah kamu katakan padaku adalah
4
anugerah terindah dari Tuhan. Volonyia, tak berniatkah dirimu mengunjungi rumahmu ini. Adikmu yang akan setia menunggu dengan banyak surat di tangannya. Venenia Adere. Aku membaca setiap bait yang tertulis. Di atas sandaran kain beludru hijau muda. Dengan kasur kapuk yang semakin lama terlihat semakin cekung. Nampaknya, kapuk yang terdapat di dalamnya hilang satu demi satu. Mungkin karena sudah terlalu lama aku tumpuk dengan buku-buku tua. Tak tahu seberapa berat tumpukan buku itu, mungkin juga serupa kumpulan karung beras yang akan dijual di pasar kota.
Tempat tinggal apik dan asri ini adalah hasil dari kerjakeras ku memasarkan bait syair dan cerita untuk para laki-laki yang akan memberikan rangkaian bunga pada Hari Bunga, menjualnya kepada penerbit atau menjual cerita-cerita tersebut bagi para laki-laki yang malas untuk mendapatkannya sendiri. Segala usaha aku lakukan, agar kelak aku dapat hidup 5
mandiri. Sejauh ini aku berhasil memisahkan diriku dari keluargaku. Dorongan kuat yang keluar dari hati memberikan semangat padaku untuk terus berjuang.
Setahun lalu adalah hari terberat dari kedamaian hidup yang aku rasakan. Selama dua puluh tahun hidup di tengah keluarga yang harmonis. Bermanja dan segala hal yang diinginkan oleh anak-anak mereka selalu dituruti tanpa pengecualian. Tapi, aku justru ingin keluar dari segala hal tersebut. Aku telah dewasa dan aku akan mencari kehidupanku sendiri. Venenia Adere adalah salah satu rintangan terbesar ketika aku membuat keputusan ini.
Aku ingat ketika malam, dimana aku beranjak pergi dari rumah. Suasana rerumputan dan aroma pohon pinus menyengat melewati hidungku. Pakaian yang aku kenakan hanya selembar kain kuno berwarna merah marun, selendang bercorak bunga dan setelan rok pelipit di atas lutut. Semuanya aku tutup dengan jaket tebal berwana gelap. Sebuah tas jinjing dan topi 6
yang
aku
bawa
adalah
barang-barang
untuk
kepergianku. “Nyia, kamu yakin dengan hal ini, setidaknya kamu bisa dua minggu sekali pulang pergi dari tempat tinggal barumu ke rumah ini.” Venenia berusaha menjaga agar aku dapat bertahan terus di sampingnya. Dia adalah adik perempuanku satusatunya. Umurnya tiga tahun di bawahku. “Kamu paling tahu aku Ven, aku adalah orang yang tak bisa menjilat ludah sendiri. Ini keputusanku dan aku tak bisa mengubahnya. Semoga kamu juga mengerti.” Aku berpaling dari pandangannya, titiktitik air yang keluar dari mata tak boleh dilihat oleh Venenia. Pikirku kala itu, jikalau dia melihatku menangis maka seketika itu pula Venenia akan menarikku masuk dan melaporkannya pada Ayah, Bunda.
Segera aku melangkah keluar tanpa melihat wajah Venenia. Setahun berlangsung hanya berlembarlembar surat yang dikirimkan Venenia padaku, 7
sebagai monitor peristiwa yang terjadi di rumah. Tak satupun dari surat-surat itu yang aku balas. Aku hanya membacanya, seperti kali ini. Membaca berulang kali hingga tak terasa aku sudah membasahi sekotak tisu di depanku.
Kamar kecil berdinding bambu ini adalah tempat istirahat paling ampuh bagiku. Walaupun tak ada fasilitas selengkap dulu, aku merasa nyaman berada di sini. Hanya ada kasur kecil dengan kain tipis berwarna hijau muda sebagai penutupnya dan bantal yang terlapisi warna serupa. Di kamar ini pula beragam syair aku ciptakan. Entah, permintaan dari penerbit atau karena memang aku tak tahu lagi harus mengerjakan apa. Hanya ini keahlianku.
Dengan hidup sederhana seperti ini, aku merasa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan. Dulu segala sesuatunya telah dipersiapkan hingga aku lupa bahwa manusia-manusia di luar sana memiliki usaha untuk mendapatkan hal yang diinginkan oleh mereka. Aku 8
ingin merasakan perjalanan hidup seperti itu. Inilah upayaku. Aku bersyukur terlahir di kota yang penuh dengan sukacita. Segala makhluk ciptaan Tuhan mendapatkan
perlakuan
yang
sama.
Manusia,
tumbuhan, binatang, bebatuan, bukit sampai udara adalah teman yang saling memerlukan. “Volonyia .... Volonyia ....!!!” Teriakan lantang dari luar rumah. “Tidak bisakah kamu berbicara pelan, aku sudah muak mendengar keluahanmu seharian ini.” “Sebentar
saja,
Volonyia.”
Dia
mulai
memohon memperlihatkan jurus andalan rayuannya. Aku mulai jengah, namun tak bisa. Bagaimanapun dia adalah temanku selama setahun ini. “Berlakulah dengan baik, maka aku akan berlaku baik pula padamu.” “Maafkan aku selama ini.” “Sudahlah, ini adalah permintaan maaf ke seratus darimu.” Aku membuang muka darinya. Dia tahu saat ini aku pasti telah membaca surat dari 9
Venenia. Perubahan tingkahlaku ku telah terbaca olehnya. “Venenia, mengirimkannya lagi?” Aku tahu itu bukan pertanyaan yang harus dijawab. Tanpa jawaban pun dia tahu bahwa aku mendapatkan surat dari Venenia. “Apakah itu penting bagimu?” “Setidaknya untuk saat ini, adalah iya.” Aku hanya berharap dia segera pergi dan menjauh dari pikiranku. Perkenalanku dengan dirinya dimulai setahun lalu, tepatnya setelah aku menemukan pondok ini. Pada saat itu aku menyadari suatu hal. Ada mata yang mengintip dari bawah. Dialah bunga samping pondok.
10
“Karya ini khusus dipersembahkan untuk laki-laki di sana.”
11