DAFTAR ISI Definisi Pengampunan. . . 3 Pola Pengampunan . . . . . 4 Harga Pengampunan. . . 15 Prasyarat untuk Menjalani Hidup yang Rela Mengampuni . . . . . . . . . 15 Kesalahpahaman Tentang Pengampunan . . . . . . . . 20 Contoh Kasus Tentang Pengampunan. . . . . . . . . 24 Perumpamaan Tentang Pengampunan . . . . . . . . 26 Paradoks dari Kasih yang Mengampuni. . . . . . . . . . . . 29
Penerbit: RBC Ministries Penulis: Tim Jackson Editor Pelaksana: David Sper Penerjemah: Tim Gloria Editor Terjemahan: Dwiyanto, Natalia Endah Penyelaras Bahasa: Bungaran, Juni Liem Penata Letak: Mary Chang Desain Sampul: Mary Chang Foto Sampul: Shutterstock, Inc. Diterjemahkan dari: Discovery Series: When Forgiveness Seems Impossible Bacaan Alkitab merupakan kutipan dari ALKITAB versi Terjemahan Baru © LAI Cetakan ke-23 tahun 2003 Copyright © 2013 RBC Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia.
Kala Pengampunan Terasa Mustahil
B
aru-baru ini ini saya menerima sebuah surat yang sangat mengusik saya. Penulisnya berkata, “Iblis terus merasukiku dengan pikiran jahat untuk membalas dendam kepada keluargaku. Aku pernah menderita siksaan emosional selama bertahun-tahun sejak masa kecil hingga dewasa dan baru berhenti saat aku menikah. Ada kalanya saat-saat itu begitu mengerikan. Aku memikul aib dari kebencian dan kecemburuan orangtuaku. Aku terus-menerus dikritik dalam segala hal yang kulakukan. Aku tak pernah mendapat dukungan. Sampai hari ini aku masih dihantui mimpi buruk yang dipenuhi niat membalas dendam. Jika aku seorang Kristen yang baik, bukankah seharusnya aku mampu mengampuni orangtuaku setelah sekian lama, dan aku pun terlepas dari luka yang menyakitkan ini? Bagaimana aku dapat belajar mengampuni supaya aku tidak lagi merasakan kemarahan ini setiap kali berada di dekat mereka? Tolong aku!” Tidak hanya penulis surat ini yang bergumul dengan pengampunan. Saya juga mengenal seorang pria yang mendapati istrinya berselingkuh. Ia tidak sanggup mengampuni sang istri yang telah mengkhianati kepercayaannya itu.
Pria ini berusaha menyelamatkan keretakan hubungan mereka, tetapi ketakutan, ketidakpercayaan, dan amarah berulang kali menggagalkan usahanya.
Awalnya Anda merasa sakit hati, lalu merasa dikhianati, dan akhirnya marah. Kemudian ada orang yang menggosipkan Anda. Masalah pribadi yang Anda percayakan kepadanya sekarang menjadi topik hangat yang dibicarakan di lingkungan rumah Anda dan di antara rekan sekantor Anda. Awalnya Anda merasa sakit hati, lalu merasa dikhianati, dan akhirnya marah. Lukanya terasa sepedih sebuah tikaman. Anda pun merasa ingin balas dendam. Orang yang Anda percayai telah melukai Anda, dan sekarang Anda mencari cara untuk membalas perbuatannya. Pengampunan menjadi hal terakhir yang terpikirkan oleh Anda. Jadi, Apa Artinya Mengampuni? Apa yang muncul di benak Anda ketika 2
mendengar kata pengampunan? Melupakan? Tiada lagi luka? Tiada lagi amarah? Yang lalu biarlah berlalu? Melepaskan begitu saja orang yang telah menyakiti Anda? Ketidakadilan? Perkenankan saya mengatakannya sejak awal: Menurut saya, pengampunan adalah sebuah doktrin yang paling sering disalah mengerti dalam kehidupan Kristen. Banyak orang meyakini pengampunan berarti pembebasan bagi seseorang tanpa syarat dari kesalahannya di masa lampau. Mereka beranggapan bahwa kita harus mengampuni agar dapat mengasihi. Sementara yang lain menganut sikap “aku mengampunimu demi kebaikanku” yang memandang pengampunan sebagai sarana untuk melepaskan diri sendiri dari kepahitan dan api kemarahan. Dari berbagai aspek, pengampunan kemudian dilihat sebagai tawaran ampun tak bersyarat yang menyatakan, “Apa pun yang telah kaulakukan padaku, aku mengampunimu.” Namun, tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, hasil dari pengampunan tak bersyarat ini tidak selalu bernilai positif.
Betapa ngerinya membayangkan bagaimana seorang istri dapat mengampuni suaminya yang belum bertobat dari perilakunya yang suka mabuk, sering memukul dan mempermalukan istrinya di depan umum lewat perselingkuhannya. Apakah pengampunan merupakan bentuk kasih yang dibutuhkan oleh suami semacam ini? Patutkah si istri melepaskan suaminya dari tanggung jawab setelah ia melanggar janji pernikahan mereka dengan terang-terangan? Saya yakin Kitab Suci mengajarkan bahwa tindakan pengampunan yang kita berikan itu tergantung pada jawaban kita terhadap pertanyaan, “Apa yang harus kita lakukan untuk dapat mengasihi seperti Kristus?” Jawabannya tergantung pada keadaan ketika kita mengajukan pertanyaan itu. Terkadang, kasih mengharuskan kita berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Terkadang kasih menuntut kita untuk mengampuni berkali-kali (Mat. 18:21-22). Dan terkadang kasih mendorong kita untuk menunda pengampunan demi kebaikan orang yang telah melukai kita.
DEFINISI PENGAMPUNAN
D
i sepanjang Alkitab, pengampunan mengandung arti “membebaskan”, “menyingkirkan jauh-jauh”, atau “melepaskan”. Kata dalam bahasa Yunani yang sering diterjemahkan sebagai “pengampunan” biasanya digunakan untuk menunjukkan pembebasan atau pemberhentian dari suatu pekerjaan, pernikahan, kewajiban, utang, atau hukuman. Konsep tentang utang atau sesuatu yang diutangi terkait erat dengan konsep pengampunan ini. Oleh karena itu, menurut Alkitab, pengampunan diartikan sebagai pembatalan utang secara sukarela karena kasih. Inilah pembebasan yang dikatakan Yesus dalam pembelajaran yang diberikan-Nya di rumah Simon orang Farisi. Dia menghubungkan pengampunan dengan pembatalan kewajiban untuk membayar utang (Luk. 7:36-47). Ketika bersantap di sana, Yesus dikunjungi oleh seorang pelacur yang begitu hancur hati dan telah bertobat. Ia tak dapat menahan ungkapan perasaannya. Untuk mengungkapkan kasihnya yang mendalam kepada Tuhan, wanita 3
ini membasuh kaki Yesus dengan airmatanya, mengeringkannya dengan rambutnya, menciumi, dan menuangkan minyak wangi yang mahal ke atasnya (ay.37-38). Simon pun menjadi gusar dan berpikir dalam hati bahwa jika Yesus benar-benar seorang nabi, Dia akan tahu wanita macam apa yang sedang menyentuh-Nya. Menanggapi sikap Simon, Yesus menuturkan kisah berikut. “Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar [upah kerja selama satu setengah tahun], yang lain lima puluh [upah dua bulan]. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?” Jawab Simon: “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya.” Kata Yesus kepadanya: “Betul pendapatmu itu” (ay.41-43). Inti kisah tersebut adalah bahwa dosa menjadi suatu utang yang harus dibatalkan atau dihapuskan. Semakin kita menyadari betapa besarnya kita telah diampuni, semakin besar pula kasih kita kepada pribadi yang telah menghapuskan utang kita tersebut. 4
POLA PENGAMPUNAN
D
alam Lukas 17:3-4, Yesus memberi para murid-Nya suatu pola untuk mengampuni orang yang berdosa terhadap mereka. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (ay.3-4). Mari kita perhatikan lima bagian dari pola pengampunan yang Yesus berikan.
SATU: Pelanggaran Menurut Yesus, apa sajakah pelanggaran atau dosa terhadap kita yang harus kita tanggapi? Dia tidak menyebutkannya secara terperinci, tetapi kita harus ingat bahwa dosa dapat diartikan sebagai tiap-tiap kegagalan kita untuk mengasihi. Pada suatu kesempatan, Yesus merangkum seluruh kewajiban kita terhadap Allah dan sesama sebagai utang kasih (Mat. 22:37-40). Paulus melakukan hal yang sama ketika ia berkata, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada
siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi” (Rm. 13:8). Namun jika kita mengartikan dosa dalam Lukas 17:3-4 sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap kasih, ada banyak pertanyaan yang akan muncul. Apakah Yesus mengajar kita untuk menegur satu sama lain atas setiap kegagalan kita dalam mengasihi? Ataukah Dia mengajar kita untuk menuntaskan setiap pelanggaran terhadap kasih, yang jika tidak diselesaikan akan merusak hubungan tersebut dan membuat kita bersikap tak peduli terhadap kepentingan pihak yang dilukai? Jika kita memandang kasih yang sabar seperti yang Yesus ajarkan dengan pemahaman bahwa Yesus sedang berbicara tentang pelanggaran-pelanggaran yang berarti, kita perlu wawas diri dan tidak menutup mata terhadap dosa-dosa yang kadarnya lebih serius daripada yang kita yakini. Pada dasarnya kita semua suka membenarkan diri sendiri. Kita semua cenderung mengecilkan dampak menyakitkan yang diakibatkan oleh pelanggaran kita sehari-hari, baik terhadap diri kita
sendiri maupun terhadap sesama kita. Mengingkari rasa sakit merupakan bentuk umum dari penipuan terhadap diri sendiri. Kita berpura-pura bahwa apa yang dialami tidaklah terlalu menyakitkan, atau kita berkata kepada diri sendiri bahwa kita telah bersikap terlalu sensitif. Keretakan kecil dalam suatu hubungan mulai muncul dan terus-menerus melebar sampai benar-benar tak ada lagi kedekatan dalam hubungan itu. Dalam keadaan yang sudah parah seperti itu dengan ringan kita hanya berujar, “Apa mau dikata, manusia memang bisa berubah.” Kita pun kehilangan suatu kesempatan untuk mengalami sukacita dari hadirnya kasih yang jujur, pengampunan, dan rekonsiliasi. Dosa adalah masalah yang terus hadir, dan dosa mengikis kepercayaan dan keintiman yang dimaksudkan Allah pada saat Dia menciptakan kita. Oleh karena itu, pengampunan merupakan kebutuhan yang terus diperlukan untuk menyelesaikan dosa kita satu terhadap yang lain. Kita bukan saja perlu mengampuni, 5
tetapi kita sendiri juga perlu diampuni oleh mereka yang telah kita sakiti.
DUA: Teguran Setelah merasakan sakitnya suatu pelanggaran, orang yang terluka itu mempunyai tanggung jawab untuk bertindak. Yesus berkata, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia” (Luk. 17:3). Walaupun kata menegur terdengar keras, kita perlu ingat bahwa setiap hal yang diajarkan Yesus haruslah dimengerti menurut prinsip dan motivasi yang didasarkan pada kasih ilahi. Oleh karena itu, teguran yang dimaksudkan-Nya haruslah dilakukan demi kebaikan orang yang telah menyakiti kita. Salah satu arti dari kata dalam bahasa Yunani yang Yesus gunakan untuk menegur adalah “menghormati” atau “memberikan bobot atau nilai yang pantas atas sesuatu”. Melihat penggunaannya di atas, kita dapat memahami mengapa kata yang sama dapat juga digunakan dalam pengertian untuk “memarahi, menegur, memperingatkan, atau mengecam dengan keras”. Meminta seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya adalah satu cara untuk menghormati orang 6
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa diri mereka bernilai penting bagi kita sehingga mereka perlu memperhatikan tindakan mereka dengan sungguh-sungguh. Namun, dari awal kita harus selalu mengingat bahwa pertanyaan utamanya haruslah, “Apa yang perlu dilakukan untuk mengasihi seperti Yesus?” Sering kali, tidak perlu kita memberikan teguran langsung. Terkadang kita perlu berdoa seperti yang dilakukan Sang Juruselamat di atas kayu salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34, lihat juga Kis. 7:60).
Apa yang perlu dilakukan untuk mengasihi seperti Yesus? Kasih seperti itu dapat “menutupi banyak sekali dosa” (1Ptr. 4:8) dan tidak akan dapat dimengerti oleh orang yang melukai kita pada saat itu. Hal ini sering terbukti nyata apabila yang menyakiti kita adalah anak-anak kecil, mereka yang belum dewasa secara rohani, atau orang-orang
yang tak memiliki Roh Kristus dalam hati mereka. Meskipun demikian, sekali lagi, kita harus berhati-hati agar belas kasihan yang kita tunjukkan itu benar-benar ditujukan demi kebaikan orang yang melukai kita, dan bukan sekadar suatu upaya menipu diri agar kita terhindar dari keharusan untuk menegur. Jika memang diperlukan teguran yang penuh kasih, Anda dapat melakukannya dengan lembut. Ada kalanya teguran yang dimaksud Yesus ini cukup berupa suatu pandangan yang penuh pengertian atau sebuah sentuhan tanda kasih. Pada kesempatan lain, mungkin yang diperlukan hanyalah teguran ringan seperti sebuah pertanyaan sederhana, “Sadarkah kamu bagaimana perasaanku terhadap hal itu?” atau kalimat seperti, “Aku sangat menghargaimu, karena itu aku tak bisa menutup mata pada apa yang telah kaulakukan”. Namun terkadang kita perlu menanggapi pelanggaran dan sikap orang yang melukai kita itu dengan lebih keras, seperti, “Aku ingin kamu tahu bahwa perbuatanmu telah menyakiti hatiku. Kau harus tahu akibatnya
bagi hubungan kita. Aku merasa kamu telah mengkhianati kepercayaanku.” Terkadang teguran tersebut dapat berujung pada tuntutan hukum, bahkan ancaman penjara. Namun tidak ada yang lebih buruk daripada membiarkan orang yang telah melukai kita itu terus hidup dalam dosanya, tanpa ada yang mengingatkan dan menegurnya sampai kelak ia menghadapi penghakiman Allah.
Teguran yang penuh kasih jelas dibutuhkan. Kitab Suci memberikan teladan tentang beragam teguran yang diperlukan. Ada teladan dari Natan yang menemukan cara kreatif untuk menegur Raja Daud yang telah berdosa dalam percabulan dan pembunuhan (2Sam. 12:1-14). Lalu ada pula teladan dari Yesus yang menegur sahabatnya, Marta, dengan lembut karena ia terlalu sibuk berusaha menjadi tuan rumah yang baik sampai-sampai tak punya waktu untuk mendengarkan-Nya. Kita dapat merasakan kasih lembut 7
yang ditunjukkan sang Guru ketika Dia berkata, “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara” (Luk. 10:41-42). Teguran yang penuh kasih jelas dibutuhkan. Masalahmasalah yang tak terselesaikan dalam suatu hubungan dapat mengakibatkan timbulnya jarak dan sikap acuh tak acuh yang tak terjelaskan. Masalah-masalah ini menghancurkan kepercayaan dari kedua belah pihak, menimbulkan ketakutan, dan sikap saling menghindar. Masalah yang tidak diselesaikan akan membuat pihak yang melukai merasa tidak perlu merasa bertanggung jawab. Perlakuan yang dibiarkan lalu begitu saja justru akan mendorong pelaku untuk berani mengulangi sikapnya yang bermasalah itu. Hal yang kita bahas ini antara lain berlaku untuk para pelaku pelecehan seksual, pencuri, pembohong, tukang gosip, atau orang yang sering mengingkari janji. Mereka akan terus bersikap demikian sampai ada seseorang yang dengan penuh perhatian mendesak mereka untuk berhenti melakukan hal-hal tersebut. Baik teguran itu diberikan dengan lembut atau keras, kita harus tetap berhati-hati. Teguran 8
yang penuh kasih tidak diberikan dengan gampang dan tergesagesa. Ada orang yang gemar meluruskan sikap orang lain dengan cara memaksa. Yesus tidak mendukung cara tersebut. Teguran yang penuh perhatian harus diberikan pada waktu yang tepat dan sesuai kebutuhan orang yang menerimanya. Orang yang bijaksana haruslah dapat menerima teguran itu sebagai tanda kasih yang dimaksudkan untuk membangun dan bukan untuk menghancurkan dirinya (Ef. 4:29). Idealnya, koreksi tersebut sepatutnya diberikan oleh seseorang yang mempunyai hubungan yang terpercaya dengan pelaku. Teguran akan lebih didengar jika teguran itu berasal dari seorang sahabat daripada dari musuh (Ams. 27:6). Maksud dari pemberian teguran yang penuh kasih itu perlu dipikirkan dengan matang. Teguran itu harus disampaikan dengan hasrat untuk membuat orang yang melukai tersebut menyadari dosanya. Dengan demikian, mereka dapat memahami secara jelas apa yang telah mereka lakukan, bertanggung jawab atasnya, dan mengubah kebiasaan mereka dengan menyadari sendiri alasan-
alasan yang telah membuat mereka berperilaku seperti itu. Diperlukan hikmat dan keberanian untuk memiliki kemauan bersikap jujur terhadap orang yang bersalah kepada kita. Kita memerlukan hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berbicara dan kapan harus berdiam diri. Kita membutuhkan keberanian karena kita tidak tahu apa dampak dari teguran itu. Terkadang usaha yang sungguh-sungguh dari kita untuk menunjukkan kasih justru dibalas dengan ungkapan kemarahan, penyangkalan, dan sikap menjauhkan diri yang memperburuk masalah. Oleh karena itu, kita harus siap menerima risiko yang terburuk ataupun hasil yang terbaik. Tujuan kita bukanlah hanya untuk menyembuhkan luka yang telah tertoreh dalam suatu hubungan, tetapi juga untuk melakukan apa saja yang memang perlu agar kita dapat mengasihi seperti Yesus. Karena tak ada yang bisa menjamin dampak dari suatu teguran, ketidakberanian kita dapat menghalangi kita untuk taat kepada Kristus. Namun di Lukas 17, Yesus juga berbicara tentang ketakutan kita. Dia meyakinkan kita bahwa Allah sendiri akan
memampukan kita untuk taat sekiranya kita percaya kepadaNya, sekecil apa pun iman kita.
Kita memerlukan hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berbicara dan kapan harus berdiam diri. Yesus meyakinkan para pengikut-Nya akan kuasa Allah ini dengan cara yang unik. Ketika mereka terheran-heran pada perkataan-Nya tentang teguran dan pengampunan, Dia berbicara kepada mereka tentang “kondisi supernatural”. Menunjuk ke arah pohon ara, Dia mengatakan kepada mereka bahwa cukup dengan iman sebesar biji sesawi, mereka dapat berkata pada pohon ara itu agar tercabut dari tanah (17:6). Kemudian Dia juga berkata bahwa tugas seorang hamba adalah melakukan apa yang disuruhkan kepada mereka (Luk. 17:7-10). Penafsiran kita terhadap firman Tuhan bergantung pada pengertian kita tentang iman. Memiliki iman seperti Kristus tidaklah berarti mempercayai apa saja yang ingin kita percayai, 9
melainkan mempercayai yang telah Allah firmankan. Jika Allah berkata bahwa Dia menghendaki sebatang pohon untuk tercabut dari tanah, hanya perlu sedikit iman dari kita untuk melihat hal itu terjadi. Kuasa Allah yang akan menggenapinya. Namun dalam Lukas 17:110, Yesus tidak bermaksud mengatakan kepada kita bahwa kuasa Allah mendukung kita hanya untuk memindahkan pohon. Dia hendak mengatakan bahwa Allah mendukung kita untuk memampukan kita menjalani proses sulit dan menakutkan yang kita lalui saat menegur dan mengampuni orang yang melukai kita secara pribadi. Marilah kita membahasnya perlahan-lahan. Memang kita perlu mengingatkan satu sama lain bahwa Allah dapat memampukan kita untuk melakukan apa saja yang diperlukan agar kita dapat memberikan teguran dan mengampuni sesama. Meski demikian, penting juga bagi kita untuk memahami bahwa Yesus menuntut adanya pertobatan sebagai syarat yang mendahului pengampunan. 10
TIGA: Pertobatan Yesus tidak mengajarkan pengampunan tak bersyarat di Lukas 17. Dia berkata, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (ay.3-4). Bertobat artinya “mengalami perubahan dalam pikiran.” Oleh karena itu, pertobatan bukan berarti mengalahkan dosa, lalu menguburnya begitu saja. Secara khusus, pertobatan berarti perubahan pada hati dan pikiran seseorang yang diperlukan agar sungguh-sungguh terjadi suatu perubahan sikap. Pertobatan semacam ini merupakan unsur penting dalam pola pengampunan yang diajarkan Kristus. Dengan jelas Dia mengatakan bahwa mereka yang bersalah kepada kita harus dibimbing sedemikian rupa sehingga mereka mengakui kegagalan mereka untuk mengasihi. Orang yang terlanjur melukai kita memang tidak dapat
membatalkan apa yang telah terjadi. Akan tetapi, mereka dapat menolong untuk membereskan masalah yang telah mereka timbulkan. Mereka dapat mengakui kesalahan mereka, lalu menunjukkan bukti bahwa mereka telah sungguh-sungguh bertobat. Ketika kita melukai orang lain, kita dapat mengakui kesalahan kita dan berusaha semampu kita untuk memperbaikinya. Kita dapat menolong orang-orang yang kita lukai dengan meyakinkan mereka bahwa kita tidak mengelak dari kesalahan yang telah kita perbuat. Memang terkadang mustahil untuk mengetahui apakah seseorang telah sungguhsungguh bertobat, tetapi kita dapat mencari tahu bukti-bukti pertobatan itu. Orang yang benar-benar bertobat pasti mau mengakui kesalahannya, tidak membela diri atas dosa yang telah dilakukannya, dengan rendah hati memohon pengampunan, dan menerima konsekuensi dari perbuatannya itu dengan lapang dada. Itulah sikap Raja Daud, seorang yang berkenan di hati Allah, yang menerima pengampunan dari Allah tetapi harus membayar harga yang mahal dengan kematian putranya, perpecahan dalam keluarganya,
dan bencana atas bangsanya (2Sam. 12:13-23). Terkadang pertobatan mustahil dilakukan. Orang yang melukai kita mungkin sudah meninggal. Jika memang demikian kenyataannya, kita hanya bisa berdoa dalam kasih untuk “menyerahkan” orang itu ke dalam tangan Allah.
EMPAT: Pengampunan Ingatlah definisi: Pengampunan adalah pembatalan utang secara sukarela karena kasih. Mengampuni satu sama lain membuka jalan bagi kita untuk memiliki hubungan yang penuh kasih, jujur, dan bertumbuh. Pengampunan menghapuskan alasan untuk menjauhkan diri, membuat jarak, dan bersikap acuh tak acuh. Ketika suatu pelanggaran telah ditangani, orang yang hatinya penuh pengampunan dapat berkata dengan mantap, “Aku takkan lagi menyalahkan dirimu. Aku bisa melihat engkau sadar bahwa engkau telah menyakitiku dan yang kaulakukan itu salah.” Di sisi lain, terkadang kita perlu menahan pengampunan demi kasih, ketika kita tidak melihat adanya bukti pertobatan. Dalam suatu ibadah, 11
gereja dapat menolak untuk melayani perjamuan kudus bagi orang semacam ini. Dalam suatu pernikahan, menahan pengampunan bisa saja berupa penolakan untuk bersikap seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi. Dalam suatu persahabatan, masalah yang secara sadar belum diselesaikan bersama dapat membuat pihak-pihak yang bermasalah menghentikan komunikasi atas dasar kasih, atau tindakan lainnya yang perlu dilakukan agar pihak yang telah melukai itu sadar bahwa kesalahannya telah mengkhianati hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan. Dalam suatu hubungan kerja, kegagalan yang tidak dapat dimaafkan dapat berakibat pada penundaan kenaikan pangkat atau gaji agar sang pegawai yang melanggar itu menyadari konsekuensinya. Tidak benar jika seseorang beranggapan bahwa orang yang menahan pengampunan itu patut dipersalahkan atas masalah yang terdapat dalam suatu hubungan. Anggapan itu memang dapat dibenarkan apabila orang yang bersalah telah menunjukkan 12
bukti pertobatannya. Selama itu belum terjadi, tanggung jawab tetap berada pada bahu orang yang menolak untuk mengakui kesalahannya. Namun pada saat yang sama, kita juga harus ingat bahwa orang yang terluka tidak patut menahan pengampunan hanya karena mereka tidak rela memberikan teguran yang diwarnai kasih dan kejujuran seperti yang Kristus kehendaki. Pengampunan hanya patut ditahan apabila hal itu digerakkan oleh kasih Kristus, yaitu kasih seseorang yang terwujud dalam kerelaan untuk memperingatkan pihak yang telah menyakitinya tentang suatu masalah yang mengancam keberlangsungan hubungan mereka. Namun pengampunan tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan konsekuensi dari dosa yang telah diampuni. Kasih yang kita tunjukkan kepada seorang penganiaya anak, pencuri, pemabuk, atau pengguna obat terlarang yang telah bertobat juga mencakup kewaspadaan dengan bersikap bijak untuk tidak menempatkan mereka dalam situasi yang akan
menggoda kelemahan mereka atau membahayakan orang lain.
Allah mengampuni supaya kita dapat menikmati kasih-Nya yang menerima kembali diri kita. Dalam mengampuni kita, Allah sendiri tidak melanggar hukum alam tentang “prinsip tabur-tuai.” Dalam Galatia 6, Paulus menulis, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (ay.7-8). Allah tidak mengampuni supaya semua konsekuensi dari dosa kita dapat terhapuskan. Dia mengampuni supaya kita dapat menikmati kasih-Nya yang menerima kembali diri kita. Dia mengampuni dengan maksud menawarkan suatu hubungan, meskipun dosa kita telah merenggut banyak dari diri kita.
Dia menghapus dosa dan rasa malu kita untuk selamanya, tetapi tidak menghapus semua luka dan konsekuensi yang harus kita tanggung dalam hidup ini.
LIMA: Pemulihan Ketika perpecahan dalam suatu hubungan telah diperbaiki melalui pertobatan dan pengampunan, akan terdapat kelepasan yang indah, yang tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Sebagian besar dari kita tentu pernah mengalami masa-masa ketegangan dalam hubungan dengan seorang teman atau anggota keluarga. Betapa tidak menyenangkannya masa-masa sulit tersebut. Dalam banyak kasus, yang menjadi masalah bukanlah sesuatu yang akan kita anggap sebagai dosa yang tak terampuni. Namun bahkan dalam kepedihan dan masalah yang dijumpai seharihari dalam hubungan dengan sesama, pembaruan dan sukacita yang indah dapat kita alami dengan hadirnya pengakuan, pengampunan, dan pemulihan. Saya mengingat dengan jelas bagaimana pada suatu pagi yang cerah saya telah menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan istri saya. Waktu itu saya 13
berusaha menyelesaikan tahun terakhir dari studi lanjut saya dan sedang dibebani dengan salah satu proyek penelitian yang harus segera dirampungkan. Di sisi lain, jadwal kerja saya pada tengah malam telah membuat saya harus bekerja lembur selama beberapa minggu terakhir. Jadi saya merasa perlu untuk berusaha menyelesaikan proyek penelitian tersebut dengan sedikitnya waktu yang tersisa. Pada suatu Minggu pagi, saya memutuskan untuk tinggal di rumah saja. Hari Minggu tersebut bertepatan dengan perayaan Hari Ibu yang pertama bagi istri saya. Kami telah menantikan kehadiran anak pertama kami delapan tahun lamanya. Dan hari Minggu ini merupakan hari yang penting bagi istri saya. Di gereja, para ibu mendapat penghargaan, diminta berdiri, dan diberi bunga. Namun saya tidak hadir di gereja untuk menyampaikan penghargaan itu. Saya begitu terfokus pada proyek penelitian saya. Saya tidak akan pernah melupakan perpaduan rasa sakit hati, malu, dan amarah yang terpancar di mata istri saya ketika 14
ia tiba di rumah. Sambil berlinang airmata, ia mencabik-cabik bunga yang diterimanya dan membuangnya. Saya tertegun dan terdiam. Saya telah melukainya, bukan dengan perlakuan kasar tetapi lewat sikap saya yang tidak peka terhadap kebutuhannya. Saya telah kehilangan kesempatan untuk memberinya penghargaan. Perayaan Hari Ibu yang pertama baginya itu takkan terulang lagi. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya lakukan. Dengan berlinang airmata, saya menemuinya dan meminta maaf. Saya tidak bisa membela diri, karena saya jelas-jelas bersalah. Saya memohon pengampunannya. Kami berbicara, berpelukan, dan menangis bersama. Laporan penelitian saya tidak lagi terlihat penting. Istri saya telah memberikan anugerah pengampunan yang sangat indah dan ini membuka kesempatan bagi kami untuk membangun kembali keintiman yang kami rindukan bersama. Pemulihan hubungan dengan sesama membuat kita dapat sedikit merasakan sukacita yang
dirasakan Allah ketika kita datang kepada-Nya untuk bertobat dan mengakui dosa kita. Lagipula, Allah senang mengampuni. Kasihlah yang membuat-Nya rindu untuk mengampuni, serta membuat-Nya bersedia untuk mengatasi dosa. Kasih seperti inilah yang dimaksud Nehemia ketika ia berdoa:
Mereka menolak untuk patuh dan tidak mengingat perbuatan-perbuatan yang ajaib yang telah Kaubuat di antara mereka. Mereka bersitegang leher malah berkeras kepala untuk kembali ke perbudakan di Mesir. Tetapi Engkaulah Allah yang sudi mengampuni, yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya. Engkau tidak meninggalkan mereka (Neh. 9:17). Inti pesan Injil adalah pengampunan yang membawa pada rekonsiliasi—suatu pemulihan atas hubungan yang rusak antara Allah dan manusia. Kita yang dahulu jauh dari Allah dan hidup melawan Dia telah dibawa mendekat untuk menikmati hubungan yang dipulihkan dengan-Nya (Rm. 5:811; Kol. 2:12-19).
HARGA PENGAMPUNAN
K
edua belah pihak yang terlibat dalam proses pengampunan harus mau membayar harga yang mahal. Contoh utama dari mahalnya harga pengampunan adalah harga yang Allah bayarkan untuk memberikan pengampunan bagi kita, yakni Dia harus menghukum Anak-Nya karena pelanggaran kita. Dia yang Benar telah dihukum mati bagi orang-orang yang tidak benar (1Ptr. 3:18). Bagi orang yang terluka, harga yang harus dibayar adalah kerelaan untuk tidak membalas dendam saat ini (Rm. 12:17-21), membatalkan utang yang belum terbayar, dan mengusahakan pemulihan dengan orang yang telah bertobat. Bagi orang yang telah melukai sesamanya, harga yang harus dibayar antara lain berupa pengakuan yang disertai kerendahan hati dan pertobatan, kesediaan untuk tidak menyembunyikan perbuatannya, menyadari betul apa yang telah terjadi, bertanggung jawab penuh atas tindakan serta konsekuensinya, mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan, 15
tidak membela diri, dan dengan hati yang hancur memohon belas kasihan, serta menerima anugerah pengampunan dengan penuh syukur. Meski harga suatu pengampunan harus dibayar mahal baik oleh pihak yang dilukai maupun yang melukai, hal itu layak dilakukan demi memperoleh kembali sukacita pemulihan dan kelegaan yang datang dari diperbaruinya suatu hubungan.
PRASYARAT UNTUK Menjalani HIDUP YANG RELA MENGAMPUNI
A
pa yang harus kita lakukan untuk menjadikan pengampunan sebagai gaya hidup kita? Saran-saran berikut dapat dipakai sebagai langkah awal untuk memiliki semangat hidup yang suka mengampuni.
Saat Anda harus mengampuni, pikirkanlah itu sebagai suatu proses seumur hidup. Pengampunan itu bukanlah peristiwa sekali untuk selamanya. Pengampunan merupakan proses pembatalan utang yang terus-menerus 16
dilakukan dari mereka yang terusmenerus menyakiti kita. Ingat Lukas 17? Di pasal tersebut, Yesus memberi tahu para muridNya bahwa jika seorang saudara berdosa terhadap mereka tujuh kali dalam satu hari, dan tujuh kali pula ia bertobat dalam satu hari itu, mereka tetap harus mengampuninya. Sebagian mungkin berpikir bahwa inti pasal tersebut adalah penetapan angka tujuh oleh Yesus sebagai batasan tertinggi bagi kita untuk mengampuni dalam satu hari. Padahal bukan itu maksudnya. Yesus bermaksud mengajarkan prinsip pengampunan yang tak terbatas. Ketika pada suatu kesempatan Petrus bertanya, “‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ Yesus berkata kepadanya: ‘Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali’” (Mat. 18:21-22). Proses ini tak pernah berakhir.
Jika Anda telah melukai orang lain, berhati-hatilah untuk tak menuntut pengampunan. Berhati-hatilah ketika Anda
meminta pengampunan. Yang menjadi masalah bukanlah soal ucapan maaf itu sendiri, tetapi lebih pada motivasi hati dari orang yang meminta pengampunan itu. Banyak orang meminta pengampunan hanya sekadar untuk menghindari kepedihan dari kesalahan dan kerusakan yang dilakukannya.
Pertobatan sejati menunjukkan hati yang hancur dan tidak menuntut apa-apa. Kebenaran sering kali muncul jika pengampunan tidak langsung diberikan untuk sementara waktu. Apabila orang yang telah bersalah itu justru berusaha membalikkan situasi dan mempermalukan orang yang dilukainya supaya ia dapat lepas tangan, maka permintaan pengampunannya itu jelas bukan permohonan yang jujur. Orang yang sungguh bertobat tidak akan menuntut apa-apa sembari memohon pengampunan atas kesalahan yang dilakukannya. Pertobatan sejati menunjukkan hati yang hancur dan tidak menuntut apa-apa (Mzm. 51:19).
Untuk menghadapi kemungkinan mengalami luka hati di masa mendatang, mulailah memupuk hati yang rela mengampuni. Setidaknya ada empat kualitas karakter yang akan membantu kita untuk memupuk hati yang rela mengampuni mereka yang menyakiti kita. 1. Kerinduan akan sesuatu yang bernilai lebih daripada yang kita terima pada masa kini. Kepuasan yang segera dirasakan setelah membalas dendam hanyalah bersifat sementara. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengajar kita untuk merindukan sesuatu yang pada waktunya kelak akan terbukti lebih memuaskan. Dia berkata, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat. 5:6). Dalam ayat ini, Yesus berkenan atas kerinduan akan jalan-jalan Allah, karena pada waktu yang ditetapkan-Nya, Dia akan memuaskan kerinduan mereka yang mempercayakan kesejahteraan mereka ke dalam tangan-Nya. Salah satu “kebenaran” yang patut dirindukan adalah kasih seperti Kristus bagi mereka yang sekarang ini masih menyakiti 17
kita (Mat. 5:39-42, Luk. 6:32-36). Bagi mereka yang hidup menurut hukum dunia ini, kebaikan semacam ini mungkin tampaknya tak masuk akal dan bahkan seperti menjerumuskan diri sendiri. Namun inilah kasih yang menjadi ciri khas kita sebagai pengikut Kristus dan sebagai anggota kerajaan Surga yang tahu mengucap syukur. Hidup dalam dunia yang telah dikutuk karena dosa dan penuh dengan musuh dapat mendesak kita untuk berlutut dan berdoa, “Amin, datanglah, Tuhan Yesus!” (Why. 22:20). Bagi orang yang hatinya penuh kasih, ini bukanlah sikap yang mau menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Ini justru menjadi dasar kerinduan kita supaya Allah bekerja dalam hidup para musuh kita, supaya mereka bertobat dan siap menyambut kedatangan Kristus kedua kalinya yang dapat terjadi kapan saja. 2. Hati yang hancur karena dukacita dan kepedihan. Semakin kita menyadari betapa besarnya kebutuhan kita akan belas kasihan dan pengampunan Allah, semakin besar kerelaan kita untuk meneruskan pengampunan kepada mereka yang telah mengakui dan bertobat dari dosa18
dosa yang telah mereka lakukan terhadap kita. Paulus berbicara tentang suatu dukacita ilahi yang menghasilkan pertobatan (2Kor. 7:10). Sebagaimana kita sendiri telah mengalami dukacita ilahi atas dosa-dosa kita, dan telah menikmati berkat pengampunan Allah, kita dapat membimbing dan mendorong orang lain untuk mengalami pertobatan sehingga mereka pun menerima kelegaan dari belas kasihan Allah. 3. Penolakan untuk membalas dendam. Bayangkan, Anda diberi pilihan untuk: (a) menyiksa selama-lamanya orang yang paling menyakiti Anda (mereka yang melakukan pelecehan seksual terhadap Anda, pasangan Anda yang tidak setia, pemerkosa, pengemudi mabuk yang membunuh anak Anda, orangtua yang kejam), atau (b) melihat mereka mengalami hati yang hancur dan mau bertelut di hadapan Allah yang telah menunjukkan kebaikan-Nya pada Anda. Mana yang Anda pilih? Jawaban Anda akan menunjukkan isi dan pilihan hati Anda. Membalas dendam itu sudah umum. Namun kebaikan hati yang tak selayaknya diterima itu adalah lain daripada yang lain.
Mereka yang hidup tanpa kasih karunia akan terus mengalami beragam kepahitan, rasa bersalah, kemarahan, ketakutan, pemisahan, dan kesepian. Racun yang keluar dari hati yang tak mau mengampuni tidak saja meracuni pihak lawan, tetapi justru terlebih dahulu ditelan oleh si pemilik hati itu sendiri. Menyerahkan pembalasan ke dalam tangan Allah bukan berarti mengingkari keadilan atas mereka yang menyakiti kita. Menyerahkan keluhan yang memang pantas kita ajukan itu kepada Allah tidak serta-merta berarti bahwa kita berkata kepada pihak yang melukai kita, “Tenang saja, sudah tak ada masalah. Semuanya baikbaik saja. Aku tak peduli apa pun yang kau lakukan terhadapku.” Namun sebaliknya, kita justru sedang mengatakan, “Aku tak akan membalaskan dendamku kepadamu. Aku percaya Allah yang akan berurusan dengan-Mu pada waktu-Nya dan sesuai caraNya.” Menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan dapat mengejutkan orang yang tahu bahwa ia layak mendapatkan pembalasan. Ia tidak akan menduga hal itu sebelumnya. Kita hanya perlu membuat orang yang
menyakiti kita terheran-heran dengan kebaikan tak terduga yang memberi mereka kesempatan untuk bertobat dan menerima pengampunan yang telah Allah berikan kepada kita.
Pembalasan adalah urusan Allah. Pembalasan adalah urusan Allah. Kita ditantang untuk secara total mempercayai Dia yang bersabda, “Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan” (Rm. 12:19) dan untuk memohonkan belas kasihan atas orang-orang yang menyakiti kita. 4. Keberanian untuk mengasihi sesama seperti Allah telah mengasihi kita. Ciri khas seseorang yang mengenal Allah terlihat ketika ia mengasihi sesama dengan kerinduan yang besar agar mereka menerima pengampunan seperti yang telah diberikan Allah kepadanya. Tak ada alasan yang lebih kuat untuk mengasihi dan mengampuni sesama daripada kesadaran akan betapa baik dan murah hatinya Allah selama ini kepada kita. Yesus mengajarkan dengan jelas bahwa semakin besar 19
pengampunan yang diterima seseorang, semakin besar pula kasihnya (Luk. 7:40-48). Seseorang yang menolak untuk mengampuni kesalahan “kecil” orang lain, setelah kesalahannya sendiri yang “tak terhitung” diampuni, pantas mendapat hukuman berat (Mat. 18:23-35). Mengasihi seperti ini tidaklah wajar. Tugas kita memang bukan untuk melakukan hal-hal yang mudah, tetapi berusaha mengasihi dan mengampuni dengan rela karena Allah telah begitu rela mengasihi dan mengampuni kita dengan limpahnya. Tindakan kita sudah sepatutnya mencerminkan tindakan Bapa surgawi kita dalam memulihkan hubungan-Nya yang sudah rusak dengan kita. Kasih yang kita miliki haruslah mendorong dan membentuk kita untuk rela mengampuni, sama seperti kasih Allah telah mendorong-Nya berbuat sesuatu untuk menghapuskan dosa kita yang telah memisahkan kita dariNya selamanya.
Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah 20
mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami (2Kor. 5:18-19).
KESALAHPAHAMAN TENTANG PENGAMPUNAN 1. Mengecilkan Masalah. Dalam menghadapi situasi menyakitkan yang tidak dapat kita ubah, kita sering bersikap seolaholah hal itu tidak pernah terjadi, hal itu tidak begitu penting, atau hal itu tidak seburuk seperti pada saat peristiwa itu terjadi. Kita berkata, “Itu bukan masalah besar, jadi tak ada yang perlu dimaafkan.” Saya pernah bertemu dengan seorang wanita yang dianiaya secara brutal dan terus-menerus oleh ayahnya. Ketika saya bertanya tentang pengalaman selama masa pertumbuhannya, ia mengatakan, “Masa kecil saya cukup normal. Masa-masa yang indah. Ada liburan keluarga. Semuanya wajar-wajar saja.” Namun beberapa bulan kemudian barulah ia mulai menceritakan kenangan buruknya tentang
penganiayaan yang terus-menerus menghantuinya di malam hari dan yang membuatnya sulit bergaul dengan pria selama 40 tahun ini. Mengecilkan masalah hanya akan menghambat langkah wanita ini untuk menghadapi dahsyatnya kenyataan mengerikan yang telah mengiringi pertumbuhannya. Baru setelah ia berani menghadapi kenyataan dari perbuatan buruk yang menimpanya, ia merasa terlepas dari beban yang membelenggunya. Sejak itulah ia dapat melangkah maju dalam iman dan mendapatkan kembali harkatnya yang indah sebagai seorang wanita. Ada banyak cara yang dilakukan orang untuk mengecilkan masalah. “Perangai Om Bill memang seperti itu, tetapi ia tak sungguh-sungguh bermaksud menyakitimu. Kamu tak perlu memaafkannya untuk hal itu. Terima saja dirinya apa adanya.” “Jangan terlalu serius menanggapinya. Kamu cuma terlalu sensitif.” “Jangan berharap terlalu banyak dari orang lain.” Ketika pengharapan diciutkan sedemikian rupa, pengampunan lalu dipandang sebagai perangkat gawat darurat yang dipergunakan oleh seorang Kristen hanya pada peristiwa-peristiwa yang serius,
dan bukan untuk peristiwa biasa yang terjadi sehari-hari. Memang harus diakui, di pihak lain, banyak orang yang bersikap terlalu jauh. Mereka tampaknya tidak dapat mengampuni kesalahan orang lain yang paling ringan sekalipun. Mereka merasa harus selalu memberikan teguran atas segala sesuatu. Hal ini juga menghalangi kita untuk memandang pengampunan dengan benar. Kita harus berusaha menjaga keseimbangan dari dua sikap ekstrem yang merusak, yaitu senantiasa di satu sisi dan tidak pernah menegur dosa di sisi yang lain. Dasar dari kedua ekstrem tersebut adalah sikap yang mendahulukan kenyamanan diri sendiri. 2. Mengampuni dan Melupakan. Banyak orang meyakini bahwa mengampuni itu berarti melupakan. Mereka biasanya mengutip Yeremia 31:34, dimana Allah berfirman, “Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka.” Kesimpulan yang dihasilkan dari pernyataan itu adalah, “Ketika Allah mengampuni kita, Dia benarbenar menghapus dosa-dosa kita dari ingatan-Nya.” Dengan dasar itulah orang-orang lalu 21
berpikir, “Kita juga harus saling mengampuni sebagaimana Allah telah mengampuni kita. Karena Dia telah melupakan dosa-dosa kita, kita juga harus melupakan kesalahan orang jika kita benarbenar telah mengampuninya.” Namun sesungguhnya, Allah tidak melupakan dosa ketika Dia mengampuni dosa itu. Dari kekekalan sampai kekekalan Dialah Allah yang Mahatahu. Dialah Penulis utama dari Kitab Suci, dan Dia yang menginspirasikan dituliskannya dalam Alkitab catatan tentang dosa Daud setelah ia diampuni, juga kisah Adam, Abraham, Musa, Paulus, Petrus, dan semua orang di Alkitab yang diampuni-Nya. Kita mengakui Allah itu maha pengasih bukan karena Dia memilih untuk melupakan dosa yang telah diampuni, tetapi karena Dia tidak mengungkit-ungkit dosa itu kembali untuk menjatuhkan kita. Inilah kerinduan sang pemazmur ketika mengatakan, “Janganlah perhitungkan kepada kami kesalahan nenek moyang kami; kiranya rahmat-Mu segera menyongsong kami, sebab sudah sangat lemah kami” (Mzm. 79:8). Allah ingat bahwa Rahab adalah seorang wanita sundal, Daud pernah berzina, Musa 22
pernah membunuh, Abraham pernah menipu, Paulus pernah membunuh orang Kristen, dan Petrus pernah menyangkal Juruselamatnya dan ada kalanya mengucapkan perkataan yang sesat daripada perkataan yang benar. Allah ingat semua dosa mereka—bukan untuk mempermalukan mereka, tetapi untuk menyatakan kepada kita kebenaran tentang kerelaanNya untuk mengampuni dan memulihkan mereka kembali. Pendekatan “mengampuni dan melupakan” ini sebenarnya merupakan usaha untuk melarikan diri dari rasa sakit hati di masa lalu. Akan tetapi cara itu didasarkan pada asumsi yang salah. Allah tak mengajar kita untuk melupakan dosa, melainkan untuk tidak mengungkit-ungkit dosa orang lain dengan maksud menjatuhkannya. Dengan teladanNya, dan oleh pertolongan RohNya, Dia memampukan kita untuk mengampuni kesalahan orang lain dengan penuh kasih meski kita masih mengingatnya. 3. Mengampuni Demi Kebaikan Diri Sendiri. Pendekatan semacam ini merupakan perkembangan dari prinsip “kasihilah dirimu terlebih dahulu.” Dalam bukunya yang
berjudul Forgiveness: A Bold Choice for a Peaceful Heart (Pengampunan: Pilihan yang Berani untuk Memperoleh Kedamaian Hati), Robin Casarjian, seorang psikoterapis sekuler, mendukung pandangan tentang pengampunan sebagai sarana yang menolong orang terbebas dari amarah dan kebencian yang terpendam. Kedengarannya baik. Namun apa arti pengampunan baginya? Dalam suatu wawancara, ia berkata, “Sering kali jika orang berpikir tentang pengampunan, mereka memikirkan tentang dampak yang akan dihasilkannya bagi orang lain. . . . Yang tidak mereka sadari, sebenarnya mengampuni adalah tindakan yang dilakukan demi kepentingan diri sendiri. Kita sedang menolong diri sendiri karena kita akan menjadi bebas untuk menjalani kehidupan yang lebih damai— membebaskan diri dari keadaan sebagai korban emosi orang lain” (New Age Journal, Sept/Oct 1993, hal.78). Banyak orang di masa kini telah memuaskan kerinduan mereka yang wajar untuk mendapatkan kedamaian dengan menerapkan pendekatan tak bersyarat ini dalam mengampuni. Mengampuni demi kebaikan
diri sendiri memang meredakan kemarahan dan kepahitan. Hal ini juga membantu kita melepaskan diri dari emosi yang membara untuk membalas dendam. Dengan demikian kita dimampukan untuk memperlakukan orang-orang yang melukai kita dengan cara yang seakan-akan sesuai dengan kasih Kristus. Namun jika diamati lebih cermat, tindakan ini justru diamdiam berpotensi merendahkan nilai pengampunan penuh kasih yang diajarkan dalam Alkitab. Bahayanya, hal ini mengubah pengampunan yang seharusnya merupakan ungkapan kasih menjadi suatu tindakan egois guna melindungi diri sendiri. Akan tetapi, bukankah Allah juga mengampuni kita tanpa syarat? Tidak. Ketika Allah memberikan pengampunan yang menyelamatkan jiwa kita, Dia melakukannya berdasarkan pertobatan kita. Dia mengampuni kita ketika kita tidak lagi percaya bahwa kita dapat menyelamatkan diri sendiri, dan ketika kita mulai percaya bahwa hanya Yesus yang dapat menyelamatkan kita melalui hidup dan pengorbanan-Nya. Hal yang sama juga berlaku bagi pengampunan dalam keluarga Allah, yakni ketika kita menjadi anak-anak Allah. Yohanes 23
dengan jelas mengajarkan bahwa Allah tidak begitu saja membebaskan anak-anak-Nya yang berbuat dosa dari tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang mereka buat. Ia menulis, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1Yoh. 1:9). Memang kita harus mempunyai kasih untuk mengasihi agar dapat menunjukkan pengampunan seperti yang Kristus tunjukkan, pengampunan bukanlah syarat mutlak untuk menunjukkan kasih Kristus. Yang penting bukanlah memberikan pengampunan tanpa syarat, tetapi mengajukan pertanyaan, “Apakah yang perlu dilakukan untuk mengasihi?”— mengasihi Allah dan mengasihi mereka yang menyakiti kita.
CONTOH KASUS TENTANG PENGAMPUNAN (Kejadian 37–50)
Y
usuf dilahirkan ketika ayahnya sudah lanjut usia. Ia dibesarkan bersama 10 orang kakak laki-laki tiri, seorang 24
adik laki-laki, dan beberapa orang saudara perempuan. Masa kecilnya penuh dengan masalah. Semua kakak laki-laki Yusuf membencinya karena ayah mereka mengasihi Yusuf secara istimewa. Ketika Yusuf berusia 17 tahun, mereka bersepakat untuk membunuhnya. Namun mereka memilih untuk melemparkannya ke sebuah sumur kosong dan mengacuhkan permintaan tolongnya. Akhirnya, mereka menjual Yusuf pada saudagar yang sedang dalam perjalanan menuju Mesir dan memberi tahu ayah mereka bahwa Yusuf telah dibunuh seekor binatang buas. Yusuf pun dibawa secara paksa melintasi perbatasan negara dan dijual kembali sebagai budak kepada kepala pengawal istana Mesir. Saat itulah hidupnya menjadi lebih buruk. Ia difitnah telah melecehkan istri tuannya, dijatuhi hukuman penjara yang tak seharusnya ia terima, dan dilupakan di dalam penjara oleh orang yang dapat membelanya di hadapan para pejabat. Bila ada seseorang yang punya alasan kuat untuk merasakan pahit, amarah, dan keinginan balas dendam, orang itu adalah Yusuf. Yang luar biasa dari kisah Yusuf adalah bahwa setelah
semua tragedi yang menimpa dirinya, pada usianya yang ke-30 tahun, ia diangkat menjadi penguasa atas Mesir oleh Raja Firaun. Yang lebih hebat lagi, Yusuf merupakan salah satu teladan terbaik di Alkitab tentang pengampunan. Pada akhirnya, ia mengampuni semua saudaranya, dan bersama mereka menjadi salah satu nenek moyang dari ke-12 suku Israel. Kisah Yusuf juga memberi kita suatu pemahaman tentang proses mengampuni. Yang lebih penting dari itu, kisah tersebut menunjukkan bahwa kita dapat mengampuni orang lain apabila kita sadar bahwa kesejahteraan diri kita tidaklah ditentukan oleh mereka yang telah menyakiti kita. Proses pengampunan yang dialami Yusuf sungguh baik untuk dipelajari secara saksama. Kejadian 42–50 menggambarkan serangkaian panjang peristiwa tentang cara Yusuf dan saudarasaudaranya menyelesaikan masalah dosa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Pengampunan tersebut tidak terjadi dalam semalam. Perbuatan jahat yang dilakukan saudara-saudara tiri Yusuf telah menimbulkan rasa bersalah yang mendalam di dalam jiwa mereka
dan meninggalkan kenangan pahit bagi Yusuf.
Pengampunan itu tidak terjadi dalam semalam. Proses rekonsiliasi itu dimulai oleh Allah. Kelaparan yang hebat menyebabkan Yakub mengutus para putranya ke Mesir untuk mencari makanan. Mereka tidak menaruh curiga sedikit pun ketika akhirnya mereka berhadapan langsung dengan sang penguasa Mesir. Mereka tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan saudara mereka sendiri. Yusuf mengenali mereka, tetapi ia tidak menyingkap identitas dirinya. Sebaliknya, Yusuf menuduh mereka sebagai matamata, memenjarakan mereka, lalu merekayasa suatu rencana yang pada prosesnya membuat saudara-saudaranya tertekan. Pada suatu ketika, secara tidak sengaja Yusuf mendengar saudara-saudaranya berpendapat bahwa mereka sedang diganjar Allah akibat dosa yang telah mereka lakukan bertahuntahun sebelumnya. Ketika Yusuf mendengar pengakuan mereka, ia menjauh dari mereka dan menangis (42:21-24). 25
Mengatasi kepahitan masa lalu tidak dapat terjadi dengan cepat. Yusuf pun berusaha menghindari pahitnya kebenaran yang sesungguhnya. Ketika akhirnya Yusuf menyingkapkan diri kepada para saudaranya yang ketakutan, ia berusaha mengecilkan dampak kepahitan dari perbuatan yang telah mereka lakukan terhadapnya. Katanya, “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (45:5). Namun jaminan yang belum sempurna itu tidak dapat menyembuhkan luka masa lalu. Beberapa waktu kemudian ketika ayah mereka meninggal, saudarasaudaranya khawatir kalaukalau Yusuf akan menggunakan situasi tersebut untuk membalas dendam. Oleh karena itu, sekali lagi mereka memohon agar Yusuf mengampuni mereka. Pada akhirnya, Yusuf benar-benar menerima sepenuhnya kesalahan mereka. Katanya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi 26
sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (50:20). Lalu ayat berikutnya menjelaskan bahwa Yusuf menghibur dan menenangkan hati saudara-saudaranya. Proses pengampunan tersebut akhirnya benar-benar sempurna. Pemulihan suatu hubungan memang indah rasanya. Yusuf dapat benar-benar mengampuni kesalahan yang sudah diakui sepenuhnya. Ia dapat mengampuni karena telah sepenuhnya menyadari bahwa kesejahteraan dan kehidupannya tidaklah bergantung pada saudarasaudaranya, tetapi pada tangan Allah yang sanggup menyediakan segala sesuatu.
PERUMPAMAAN TENTANG PENGAMPUNAN (Lukas 15:11-31)
P
erspektif indah lainnya tentang pengampunan diberikan kepada kita dalam kisah terkenal yang dibawakan Yesus tentang anak yang hilang. Dalam perumpamaan tersebut, kita melihat bukti dari adanya:
Hati yang Bertobat. Anak yang hilang itu menunjukkan kehancuran hati yang mau bertobat ketika ia sadar diri dan memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya. Pertobatan adalah kehancuran hati dan perubahan arah hidup yang ditandai dengan: • Kerinduan untuk dipulihkan. Anak yang hilang itu merindukan sesuatu yang lebih berharga daripada yang telah ia nikmati dalam keadaannya yang berdosa. Ia rindu untuk pulang (ay.16). • Pengakuan yang rendah hati. Ia rela mengakui bahwa keegoisannya telah merusak hubungan kasihnya dengan Allah dan juga dengan sesama (ay.18-19). • Permohonan untuk menerima belas kasihan. Ia menyadari bahwa dirinya tidak layak memperoleh apa pun. Oleh karena itu, ia memohon belas kasihan agar diizinkan menjadi seorang budak, tanpa meminta kembali kedudukannya yang semula dalam keluarga (ay.21).
Hati yang Mengampuni.
Sang ayah dalam kisah tersebut
menggambarkan hati Allah yang maha pengampun dalam menerima pertobatan sejati, dan hal itu ditandai dengan: • Penantian yang penuh harap. Sang ayah tak pernah berhenti berharap untuk anaknya agar bertobat dan pulang untuk berkumpul bersamanya lagi. Ia setia berdoa dan menanti-nanti, ketika pada suatu hari sang putra itu sudah terlihat olehnya dari kejauhan (ay.20). Kerinduan penuh harapan akan pemulihan ini tak pernah padam dari hati sang ayah. • Pernyataan kasih yang berani. Sang ayah rela merendahkan diri dan tidak tunduk pada tradisi masa itu yang menuntutnya untuk membiarkan anaknya berkubang dalam kehinaan. Sebaliknya, dalam tindakan kasih yang spontan dan penuh sukacita, ia berlari menyongsong anaknya (ay.20). • Belas kasihan yang besar. Pengampunan lalu dianugerahkan dengan sukacita karena sang ayah merasakan pertobatan dalam hati putranya. Ia pun mengembalikan kedudukan 27
putranya sebagai anak, suatu tindakan yang tak terbayangkan sama sekali pada masa itu (ay.22). • Merayakan pertobatan. Sang ayah merencanakan sebuah pesta untuk merayakan kembalinya si anak hilang. Putra bungsunya ini pernah menempuh jalan yang membuat hubungan ayah dan anak itu terpisah dan mati, tetapi sekarang ia hidup dan dipersatukan kembali dengan ayahnya (ay.23-24).
Hati yang Tak Dapat Mengampuni. Si putra sulung (mewakili kaum Farisi yang mendengarkan perumpamaan ini) menjadi contoh dari sikap yang menolak mentah-mentah untuk mengampuni. Ciri-ciri sikap ini antara lain: • Kerasnya hati. Ia merasa tidak rela untuk menerima kembali adiknya yang telah berlaku bodoh. Ia tidak merasa bersalah telah menolak mengacuhkan adiknya. Dan ia marah besar karena ayahnya masih mau menerima sang putra yang telah menyakitinya begitu dalam (ay.28). 28
• Menuntut pembalasan. Ia hanya berniat untuk segera menghukum adiknya atas apa yang telah dilakukannya dan tidak peduli pada perubahan hati sang adik. Ia menuntut adiknya untuk membayar segala kerugian yang telah ditimbulkannya. Ia tak punya belas kasihan maupun keinginan untuk kembali berdamai (ay.28). • Menolak dengan angkuh untuk ikut dalam perayaan. Si putra sulung menjauhkan diri dari adiknya dan juga dari ayahnya (ay.28). Ia kehilangan kesempatan untuk bersukacita dan merayakan peristiwa itu karena ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia tidak mempedulikan kerinduan hati ayahnya yang penuh kasih untuk mengalami pemulihan. Sebaliknya, dalam kemarahan ia menarik diri sambil membenarkan perbuatannya dan berbangga diri. Ia pun tidak mau menyadari kenyataan bahwa perbuatannya itu sebenarnya menimbulkan luka dan pemisahan antara dirinya dan ayahnya, sama seperti yang diperbuat sang adik sebelumnya.
Penolakan untuk mengampuni menunjukkan keadaan hati yang keras dan memberontak, yang belum dipuaskan oleh curahan anugerah dan belas kasihan dari pengampunan Allah yang berlimpah (Luk. 7:47). Ketidakrelaan kita untuk mengasihi mereka yang telah menyakiti kita mencerminkan kegagalan kita sendiri untuk memahami betapa besarnya Allah telah mengasihi kita. Rasul Petrus mengingatkan kita akan hal ini pada pasal pertama dari suratnya yang kedua dalam Perjanjian Baru. Ia memulai dengan menggambarkan ketujuh sifat-sifat dasar yang berkembang secara bertahap dan berpuncak pada sifat kesalehan, kasih akan saudara-saudara, dan kasih akan semua orang (2Ptr. 1:5-7). Setelah itu ia menambahkan, “Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpahlimpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan” (ay.8-9).
PARADOKS DARI KASIH YANG MENGAMPUNI
K
onsep Allah tentang kasih sangatlah jauh berbeda dengan konsep kita. Kita cenderung mengasihi yang kita sukai. Allah mengasihi apa yang terbaik bagi kita. Kita cenderung mau mengampuni, jika kita berpikir hal itu menguntungkan kita. Allah ingin kita mengampuni sesama apabila itu memang yang terbaik bagi orang tersebut. Kita cenderung menerima apa yang menyenangkan dan menghindari segala sesuatu yang menyakitkan. Sebaliknya, Allah bersabda, “Hendaklah kasih itu jangan purapura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik” (Rm. 12:9). Mengasihi orang lain mengharuskan kita untuk rela mengampuni. Mengampuni orang lain mengharuskan kita untuk rela mengasihi. Kedua sikap ini menuntut kita untuk punya hubungan yang semakin mendalam dengan Allah sehingga kita dapat mencerminkan kebaikan hati-Nya kepada orangorang yang berhubungan dengan kita. Hanya dengan demikian barulah dapat dikatakan, “kasih Allah sempurna di dalam kita, 29
yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini” (1Yoh. 4:17). Kita akan dapat mengasihi dan mengampuni apabila kita terlebih dahulu diampuni Allah. Sudahkah Anda mengambil langkah pertama ini? Sudahkah Anda mengalami sukacita karena hubungan Anda dengan Allah telah dipulihkan oleh pengampunan dosa yang ditawarkan-Nya melalui iman di dalam Anak-Nya? Jika Anda belum melakukannya, rendahkanlah diri Anda, akuilah ketidakmampuan Anda untuk membayar utang dosa Anda, mintalah Dia untuk mengampuni Anda, dan terimalah anugerah pengampunan-Nya. Utang Anda telah dibayar lunas. Tawaran itu masih berlaku hingga saat ini. Terimalah Kristus pada hari ini dan mulailah mengalami kemerdekaan untuk mengampuni orang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni Anda. Tim Jackson adalah seorang konselor berlisensi yang tinggal di Michigan dan bekerja sebagai konselor senior di bagian korespondensi Alkitab dari RBC Ministries.
Buklet Seri Terang Ilahi (STI) berjudul “Kala Pengampunan Terasa Mustahil” diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia (DHD) yang merupakan anggota keluarga RBC Ministries. Selama 70 tahun terakhir ini, RBC Ministries telah mengajarkan firman Allah dengan maksud untuk membawa orang-orang dari segala bangsa agar dapat memiliki iman dan kedewasaan di dalam Kristus. Landasan inilah yang menopang kerinduan DHD untuk menjadi saluran berkat di Indonesia dengan cara menyediakan literatur rohani yang dapat menguatkan dan memperlengkapi para pembaca agar semakin mengenal Allah dan memperoleh penghiburan, wawasan, dan penguatan iman melalui firman-Nya. Adapun buku-buku yang dapat diperoleh melalui PT. Duta Harapan Dunia: • Santapan Rohani Tahunan (SR) Buku renungan tahunan yang dirancang untuk digunakan sebagai makanan rohani sehari-hari. • Seri Kehidupan Kristen— Pedoman Dasar Hidup Kristen Buku pedoman yang membuat Anda mengerti siapakah Allah itu dan memperluas pengetahuan Anda tentang iman Kristen. • Seri Hikmat Ilahi (SHI) Bahan Pendalaman Alkitab untuk pribadi maupun kelompok. • Seri Terang Ilahi (STI) Buklet yang mengulas beragam topik yang membuka wawasan rohani orang Kristen. Informasi lebih lanjut, hubungi: PT. Duta Harapan Dunia PO Box 3500 Jakarta Barat 11035 Tel.: (021) 7111-1430; 2902-8955 Fax.: (021) 5435-1975 E-mail:
[email protected] Situs: www.dhdindonesia.com
30 Indonesian Discovery Series ‘When Forgiveness Seems Impossible’
Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.
DONASI