RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 57/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak I. PEMOHON Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia; Kuasa Hukum Sugeng Teguh Santoso, S.H., Gregorius Djako., S.H., M. Daud Berueh, S.H., Paskaria Maria Tombi, S.H., M.H., dan Fatiatulo lazira, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 9 Juli 2016 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian
Materiil
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2016
tentang
Pengampunan Pajak (UU 11/2016) III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah lembaga swadaya masyarakat yang menyebut dirinya sebagai wadah perjuangan hak-hak rakyat miskin di Indonesia. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: 1
1. Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. 3. Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 (1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. 4. Pasal 4 UU 11/2016 (1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar: a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
2
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. 5. Pasal 5 UU 11/2016 (1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. (2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang. 6. Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 11 ayat (5) UU 11/2016 ... (2) Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan: a. pemeriksaan; b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, 3
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir. (3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan: a. pemeriksaan;
tanda
terima
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dimaksud ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan. ... (5) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa: a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3),
4
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). 7. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 (1) Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak 8. Pasal 20 UU 11/2016 Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. 9. Pasal 21 ayat (2) UU 11/2016 (2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. 10. Pasal 22 UU 11/2016 Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 11. Pasal 23 UU 11/2016 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. 5
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pasal 24 ayat (1) (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 27 ayat (1) (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Dampak dari lahirnya UU Pengampunan Pajak tersebut adalah bergesernya sistem perpajakan yang semula secara filosofis memiliki sifat “memaksa” menjadi
sistem
perpajakan
yang
kompromis
melalui
pemberian
“pengampunan”; 2. Bahwa pengertian frase “memaksa” dalam Pasal 23A UUD 1945 menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa sedangkan pengertian frase “Pengampunan” pada UndangUndang Pengampunan Pajak adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan; 6
3. Negara telah melakukan tindakan pembiaran atas kejahatan pajak yang telah dilakukan oleh penggelap pajak. 4. UU Pengampunan Pajak telah memberikan Hak Khusus yang diberlakukan secara eksklusif kepada Pihak yang tidak taat pajak, berupa Pembebasan Sanksi Administrasi, Proses Pemeriksaan, dan Sanksi Pidana; 5. Pemberian hak khusus yang bersifat ekslusif melalui frase “tidak dilakukan” dalam Pasal 11 ayat (2), frase “ditangguhkan” dalam Pasal 11 ayat (3) dan frase “Pengampunan Pajak” dalam Pasal 11 ayat (5) dalam Undang-Undang a quo telah bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan; 6. Pembatasan sengketa dari pelaksanaan UU Pengampunan Pajak yang hanya dapat diselesaikan melalui Peradilan Pajak, merupakan bentuk dekonstruksi hukum dan pengingkaran terhadap berlakunya aspek hukum lain yaitu hukum pidana dan hukum administrasi sehingga menutup akses pencarian keadilan; 7. Frase “Dilarang” pada Pasal 21 ayat (2) dan frase “tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan/penuntutan pidana” pada Pasal 20 UU Pengampunan Pajak telah membuat penghalangan secara langsung terhadap hak asasi warga negara dan hak dari lembaga negara lainnya untuk memperoleh informasi; 8. Pemaknaan pada kalimat “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas” memiliki makna “imunitas” yaitu keadaan Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak memiliki kekebalan hukum yang tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun secara perdata; VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2. Menyatakan Frase “Penghapusan Pajak” dalam Pasal 1 ayat (1) serta Pasal 3 ayat (1), Pasal 1 ayat (7), Pasal 4, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A 7
UUD 1945, sepanjang dimaknai pengahapusan pajak ialah Pengampunan Pajak yang seharunya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan; 3. Menyatakan Frase “Uang tebusan” dalam Pasal 1 ayat (7), Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak; 4. Menyatakan Frase “Pengampunan Pajak” dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Pasal 1 angka (7), Pasal 4, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai pengahapusan pajak ialah Pengampunan Pajak yang seharunya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan; 5. Menyatakan Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5) , Pasal 20 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; 6. Menyatakan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sepanjang dimaknai bahwa sengketa yang lahir sehubungan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak; 7. Menyatakan Pasal 21 ayat (2) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
8