8
KAJIAN TEORETIS 2.1
Pengertian Karakter Samani dan Hariyanto (2011:43) menjelaskan pengertian karakter dapat
dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakan dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain Winton (dalam Samani dan Hariyanto, 2011:43) mengemukakan pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya dasar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain. Majid dan Andayani (2011:8) menyatakan tujuan pendidkan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dan sikap hidup yang dimilikinya. Selanjutnya
9
Ryan dan Bohlian (dalam Majid dan Andayani, 2011:11) menguraikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet nilainilai baik. Dengan demikian, maka pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Thomas Lickona (dalam Wibowo dan Hamrin, 2012:42) menjelaskan karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral. Sifat alami ini dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, bertanggung jawab menghormati dan menghargai orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara (dalam Wibowo dan Hamrin, 2012:42) menguraikan karakter sebagai watak atau budi pekerti. Budi pekerti adalah bersatunya antara gerak, pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas, karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah sebagai sifatnya jiwa manusia mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian karakter yang dikemukakan para ahli, dapat ditarik kesimpulan pengertian karakter, merupakan sikap yang perlu dibentuk pada
10
anak sejak berusia dini, yang berhubungan dengan nilai-nilai, norma-norma kebaikan yang akan berpengaruh pada kehidupan seseorang kelak.
2.2 Prinsip Pendidikan Karakter Karakter itu tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instant), tetapi harus melewati suatu proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Berdasarkan perspektif yang berkembang dalam sejarah pemikiran manusia, pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak sejak usia dini sampai dewasa. Terdapat empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu: a) tahap “pembiasaan” sebagai awal perkembangan karakter anak; b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa; c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari, dan d) tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang mereka fahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan kemanfaatannya dalam kehidupan baik bagi dirinya maupun orang lain. Jika seluruh tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter peserta didik akan berdampak secara berkelanjutan (sustainable). Selanjutnya Character Education Quality Standars (dalam Majid dan Andayani, 2011:100) merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut: 1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika
11
sebagai basis karakter; 2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku; 3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter; 4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian; 5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik; 6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses; 7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa; 8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang sama; 9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter; 10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter; 11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa. Prinsip pendidikan karakter, pada dasarnya mengacu pada bagaimana peran pendidik ataupun orang tua dalam mewujudkan pendidikan karakter. Megawangi (dalam Wibowo dan Hamrin, 2012:69) menjelaskan pendidikan karakter terhadap anak, sebaiknya disesuaikan dengan fase umurnya:
12
1. Fase usia 0-3 tahun. Pada fase ini, peranan orang tua harus lebih besar karena landasan moral baru dibentuk pada umur ini. Selain itu, cinta dan kasih sayang dari orang tua sangat dibutuhkan oleh anak sepanjang fase ini. 2. Fase usia 2-3 tahun. Pada fase ini anak sebaiknya sudah diperkenalkan pada sopan-santun, serta perbuatan baik dan buruk. Pada umumnya anak pada usia ini sudah mencoba-coba melanggar aturan dan agak sulit diatur, sehingga memerlukan kesabaran orang tua. 3. Fase 0 (usia 4 tahun). Pada fase ini anak mengalami fase egosentris, di mana ia senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan memaksakan keinginannya. Namun anak mudah didorong untuk berbuat baik, karena ia mengharapkan hadiah (pujian), dan menghindari hukuman. Ia sudah memiliki kemampuan berempati. Contoh pendidikan karakter pada fase ini misalnya memberikan pujian agar anak berperilaku baik dan anda sebaiknya memberikan arahan yang jelas seperti: “Anak yang baik, tidak akan memukul temannya”. Selain itu, anda juga harus memberikan aturan atau sanksi yang jelas, misalnya: “Anak yang berteriak tidak sopan, tidak akan mendapat kesempatan menggambar di papan tulis”. 4. Fase 1 (umur 4, 5 – 6) tahun). Pada fase ini anak-anak lebih penurut dan bisa diajak kerja sama, agar terhindar dari hukuman orang tua. Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa; bisa menghormati otoritas orang tua/guru; mengganggap orang dewasa serba tahu; senang
13
mengadukan teman-temannya yang nakal. Perlu diperhatikan jika pada fase ini perilaku anak masih seperti fase 0, maka itu artinya karakter anak yang bersangkutan tidak optimal. Pada fase ini anak-anak juga sangat mempercayai orang tua/guru, sehingga penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif. Namun pendidikan karakter pada fase ini harus memberi peluang pada anak untuk memahami alasan-alasannya. Orang tua tidak cukup hanya mengatakan, misalnya: “Mencuri itu tidak baik”. Namun juga perlu memberikan perspektif: “Bagaimana kalau kawanmu mencuri mainan kesukaanmu?”. 5. Fase 2 (usia 6,5 – 8 tahun). Pada fase ini, akan merasa memiliki hak sebagaimana orang dewasa, tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anakanak; mempunyai potensi bertindak kasar akibat menurunnya otoritas orang tua/guru dalam pikiran mereka; mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas, misalnya kalau si A berbuat baik pada saya, maka saya juga akan baik pada dia”. Anak juga sudah memahami perlunya berperilaku baik agar disenangi orang lain; sering membanding-bandingkan dan minta perlakuan adil.
2.3 Pendidikan Karakter Efektif Schwartz (dalam Samani dan Hariyanto, 2011:168) mengemukakan beberapa prinsip pendidikan karakter yang efektif, antara lain: 1. Pendidikan karakter harus mempromosikan nilai-nilai etik inti sebagai landasan bagi pembentukan karakter yang baik
14
Pendidikan karakter berpegang pada nilai-nilai yang disebarkan secara meluas, yang amat penting, dan berlandaskan karakter mulia, yang disebut nilai inti, misalnya: kepedulian, kejujuran, pertanggungjawaban, penghormatan pada diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter juga mempromosikan nilai-nilai kinerja yang positif seperti kerajinan, etos kerja yang kuat dan keuletan serta kegigihan. Pendidikan
karakter
di
sekolah
harus
dilandasi
komitmen
untuk
mempertahankan nilai-nilai tersebut, mendefinisikannya dalam perilaku yang harus dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah, mengamati penerapannya dalam kehidupan sekolah, serta ada model bagi nilai-nilai tersebut misalnya guru, kepala sekolah, guru BK, dan lain-lain, mengkaji serta mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar relasi antarmanusia di sekolah, serta mewajibkan seluruh warga sekolah bertanggung jawab dalam mewujudkan nilai-nilai tersebut sebagai standar perilakunya. 2. Karakter harus dipahami secara komprehensif termasuk dalam pemikiran, perasaan dan perilaku Implementasi karakter yang baik meliputi pemahaman, kepedulian, dan tindakan yang dilandasi nilai-nilai etik ini. Pendekatan holistik dalam pembangunan karakter dengan demikian terkait pada pengembangan aspek-aspek kognitif, emosional dan perilaku dari kehidupan moral. Peserta didik tumbuh dan memahami nilai-nilai inti tersebut dengan cara mempelajarinya dan mendiskusikannya, mengamati model perilaku dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan nilai-
15
nilai. Para siswa belajar untuk peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan kecakapan berempati, membangun hubungan saling peduli, membantu menciptakan komunitas peduli, mendengarkan kisah-kisah yang menarik dan memberikan ilham, serta merefleksikannya dalam pengalaman kehidupannya. Mereka juga bertindak berlandaskan nilai inti dengan mengembangkan perilaku pro-sosial (misalnya mengkomunikasikan perasaan, mendengarkan secara aktif, dan kecakapan-kecakapan dalam membantu orang yang memerlukan). 3. Menyediakan peluang bagi para siswa untuk melakukan tindakan bermoral Dalam ranah etik maupun dalam ranah intelektual, para siswa adalah pembelajar yang konstruktif, mereka belajar baik dengan melakukan sesuatu. Untuk mengembangkan karakter yang baik, mereka memerlukan kesempatan yang banyak dan bermacam-macam dalam menerapkan berbagai nilai seperti rasa iba, pertanggungjawaban, dan kejujuran serta keadilan dalam interaksi dan diskusi setiap hari. Dengan dihadapkan pada tantangan nyata (misalnya membagi tugas-tugas dalam pembelajaran kooperatif, bagaimana mencapai mufakat dalam rapat kelas, bagaimana cara mengurangi pertengkaran di lapangan bermain, bagaimana menjalankan projek pembelajaran
melayani
(service
learning)
dan
merefleksikannya
dalam
pengalamannya, para siswa dapat mengembangkan pemahaman praktis tentang perlunya kerjasama dengan orang lain dan memberikan sumbangan pribadinya, baik berupa pemikiran maupun tindakan.
16
4. Sekolah harus merekrut orang tua dan anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembangunan karakter. Selanjutnya Muhammad Amin (2011:39) menjelaskan sifat-sifat individu yang kreatif, identik dengan individu yang berkarakter. Sifat-sifat tersebut meliputi: a) tanggap/berinisiatif terhadap perkembangan perubahan lingkungan yang bermuatan peluang untuk berusaha atau membuka lapangan kerja; b) pantang putus asa (gagal coba lagi, gagal coba lagi); c) mampu memecahkan masalah, selalu ada jalan keluarnya, berbagai alternatif dimunculkan dan dipilihlah alternatif yang tepat; d) kerja keras (orang yang bekerja keras selalu gigih, tekun, tidak kenal lelah, berkarakter unggul, disiplin); e) percaya diri (punya prinsip dalam bekerja, tidak mudah terpengaruh oleh provokasi/hasutan, selalu ingin bukti yang nyata); f) kemampuan bersaing (bersaing sehat merupakan prinsip); g) tidak tergantung dengan orang lain (berpegang pada prinsip bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah); h) ada saja yang dibuat oleh orang yang kreatif (seperti limbah-limbah kayu dapat dibuat sesuatu hasil kerajinan tangan atau hand craft, contoh masyarakat Yogyakarta yang kaya dengan hasil kerajinan tangannya berupa aneka ragam sovenir; i) suka menjalin kerja sama dengan orang lain (terutama dalam rangka bertukar ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk memperkaya
ilmu pengetahuan dan
keterampilan sendiri untuk menghasilkan temuan karya baru.
17
Sekolah yang mampu menjalin hubungan dengan orang tua untuk mau terlibat dalam pendidikan karakter terbukti memiliki kesanggupan yang besar dalam meningkatkan peluangnya untuk berhasil bersama siswanya membangun karakter. Sekolah semacam ini biasanya mau bersusah payah pada setiap tahap pendidikan karakter untuk berkomunikasi dengan keluarga siswa, misalnya melalui surat, e-mail, rapat orang tua dan sebagainya, serta berbicara tentang tujuan dan aktivitas terkait pendidikan karakter. Untuk membangun saling percaya yang besar antara sekolah dan rumah, orang tua harus terwakili dalam Komite Pendidikan Karakter. Selain sekolah, keluarga adalah organisasi kemasyarakatan yang terkecil, yang paling tua dan paling dekat dalam kerangka pembentukan karakter. Keluargalah yang lebih memberi corak/warna paling pertama yang paling besar peranannya dalam pembentukan karakter anak. Amin (2011:48) mengemukakan pendidikan karakter adalah tanggung jawab keluarga, yakni: 1) mendidik anak dengan sebaik-baiknya karena adanya naluri keturunan (anak cenderung ikut pada orang tua); 2) memberi contoh (teladan) yang baik adalah wajib bagi orang tua; 3) mendidik anak dengan cinta, kasih sayang yang mendalam merupakan akar pembentukan karakter/budi pekerti; 4) mengusahakan supaya anak betah di rumah, tentram di rumah, tenang di rumah; 5) mengusahakan agar anak tidak frustasi, kesepian di rumah karena kesibukan orang tua; 6) pendidikan
18
agama yang merupakan landasan kokoh bagi kelanjutan perkembangan anak ditanamkan sejak kecil.
2.4 Butir-butir Nilai / Karakter Menurut Richard (dalam Majid dan Andayani, 2011:42) mengemukakan nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu perilaku dan perilaku itu berdampak positif baik bagi yang menjalankan maupun orang lain. Lebih lanjut Richard (masih dalam Majid dan Andayani, 2011:42) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu kualitas yang dibedakan menurut: a) kemampuannya untuk berlipat ganda atau bertambah meskipun sering diberikan kepada orang lain; b) kenyataan atau (hukum) bahwa makin banyak nilai diberikan kepada orang lain, makin banyak pula nilai serupa yang dikembalikan dan diterima dari orang lain. Kejujuran didefinisikan sebagai sebuah nilai karena perilaku menguntungkan baik bagi yang mempraktekkan maupun bagi orang lain yang terkena akibatnya. Begitu pula halnya dengan kasih sayang, keramahan, keadilan dan sebagainya. Kualitas-kualitas ini juga memenuhi kriteria untuk nilai karena meskipun kita memberikannya kepada orang lain, persediaan di perbendaharaan kita tetap banyak, dan karena makin banyak kita berikan kepada orang lain, makin banyak juga yang kita terima dari orang lain.
19
Indonesia Heritage Foundation (dalam Majid dan Andayani, 2011:42) merumuskan sembilan karakteristik dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah: 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; 3) jujur; 4) hormat dan santun; 5) kasih sayang; 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi, cinta damai dan persatuan. Sementara Character Counts di Amerika mengidentifikasikan bahwa karakterkarakter yang menjadi pilar, yaitu: 1) dapat dipercaya (trustworthiness); 2) rasa hormat dan perhatian (respect); 3) tanggung jawab (responsibility); 4) jujur (fairness); 5) peduli (caring); 6) kewarganegaraan (citizenship); 7) ketulusan (honesty); 8) berani (courage); 9) tekun (diligence). Selanjutnya Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ (dalam Majid dan Andayani, 2011:43) menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al-Asma al-Husna. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari nama-nama Allah itu, Ari merangkumnya dalam 7 karakter dasar, yaitu: 1) jujur; 2) tanggung jawab; 3) disiplin; 4) visioner; 5) adil; 6) peduli; 7) kerja sama. Selanjutnya Muslich (2011:204) mengemukakan sembilan pilar karakteristik, yakni: 1) cinta Tuhan dan segenap ciptaannya (love Allah, trust, reverence, loyaty); 2)
20
tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); 3) kejujuran/amanah dan arif (trustworthiness, honesty, and tactfull); 4) hormat dan santun (respect, courtesy, obefience); 5) dermawan, sukan menolong dan gotong-royonh/kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); 6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); 7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); 8) Baik dan rendah hati (kindness, friendlines, humility, modesty); 9) toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity). Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Karakter bangsa sangat tergantung pada kualitas karakter sumber daya manusianya (SDM). Karenanya karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Erikson (dalam Muslich, 2011:201) menegaskan kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.
2.5 Upaya Pembinaan Karakter Pada Anak PAUD Seefeldt dan Wasik (2008:89) mengemukakan lingkungan ruang kelas bisa menopang perkembangan yang sehat dan positif atas konsep diri anak. Mazhar
21
(2011:11) menyatakan selain sebagai masa peka, usia balita juga disebut sebagai “periode kritis”, karena dalam masa ini diletakkan dasar untuk perkembangan struktur kepribadian individu. Selanjutnya Patmonodewo (2004:20) menyatakan apabila anak berinteraksi dengan lingkungan berarti sekaligus anak dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan. Dengan demikian hubungan anak dengan lingkungan, bersifat timbalbalik, baik yang bersifat perkembangan psikologis maupun pertumbuhan dan perkembangan anak. Membangun karakter anak usia dini menurut Prasetya (2011:10) menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter, yaitu bawaan dari dalam diri anak dan pandangan anak terhadap dunia yang dimilikinya, seperti pengetahuan, pengalaman, prinsip-prinsip moral yang diterima, bimbingan, pengarahan, dan interaksi (hubungan) orang tua anak. Selanjutnya dikemukakan pula karakter berhubungan dengan perilaku positif yang berkaitan dengan moral yang berlaku, seperti kejujuran, percaya diri, bertanggung jawab, penolong, dapat
dipercaya, menghargai, menghormati,
menyayangi dan sebagainya. Pada dasarnya, setiap anak memiliki semua perilaku positif tersebut, sebagaimana telah ditanamkan oleh sang pencipta di dalam kodratnya.
22
Menurut Muslich (2011:175) menjelaskan penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah: a) pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari; b) pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan. 1. Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari Pelaksanaan strategi ini dapat dilakukan melalui cara berikut: a) Keteladanan/contoh. Kegiatan pemberian contoh/teladan ini bisa dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi pesrta didik. b) Kegiatan spontan. Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding. c) Teguran. Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka. d) Pengkondisian lingkungan. Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa dengan penyediaan sarana fisik. Contoh: penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta
23
didik, aturan/tata tertib sekolah yang ditempatkan pada tempat yang strategis sehingga setiap peserta didik mudah membacanya. e) Kegiatan rutin. Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemua dengan orang lain, membersihkan kelas/belajar. 2. Pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan Strategi ini dilaksanakan setelah terlebih dahulu guru membuat perencanaan atas nilai-nilai yang akan diintegrasikan dalam kegiatan tertentu. Hal ini dilakukan jika guru menganggap perlu memberikan pemahaman atau prinsip-prinsip moral yang diperlukan. Perhatikan contoh pada tabel berikut: Nilai yang diintegrasikan Taat kepada ajaran agama
Kegiatan sasaran integrasi Diintegrasikan pada kegiatan peringatan hari-hari besar keagamaan
Toleransi
Diintegrasikan pada saat kegiatan yang menggunakan metode tanya jawab, diskusi kelompok
Disiplin
Diintegrasikan pada saat kegiatan olahraga, upacara bendera, dan menyelesaikan tugas yang diberikan guru.
24
Tanggung jawab
Diintegrasikan
pada
saat
tugas
piket
kebersihan kelas dan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Kasih sayang
Diintegrasikan
pada
saat
melakukan
kegiatan sosial dan kegiatan melestarikan lingkungan Gotong royong
Diintegrasikan
pada
saat
kegiatan
bercerita/diskusi tentang gotong royong, menyelesaikan tugas-tugas keterampilan Kesetiakawanan
Diintegrasikan pada saat kegiatan bercerita/ diskusi
misalnya
mengenai
kegiatan
koperasi, pemberian sumbangan Hormat menghormati
Diintegrasikan pada saat menyanyikan lagulagu tentang hormat menghormati, saat kegiatan bermain drama.
Sopan santun
Diintegrasikan
pada
kegiatan
bermain
drama, berlatih membuat surat Jujur
Diintegrasikan percobaan, bertanding.
pada
saat
melakukan
menghitung,
bermain,
25
Adapun tabel di atas menjelaskan strategi guru melalui perencanaan pembelajaran, sehubungan dengan penanaman nilai ataupun pemahaman moral kepada anak didik. Khusus untuk anak PAUD mengacu pada tema pembelajaran yakni: pembiasaan, disiplin, maupun mengenal lingkungan. Pembiasaan dalam berbuat baik, menyenangkan orang lain dalam proses pembelajaran dalam kelas maupun di luar kelas perlu ditumbuh-kembangkan secara berkelanjutan. Kebiasaan menghormati dan taat kepada orang tua/guru, ringan tangan (suka menolong), rajin membersihkan ruangan merupakan bagian dari pendidikan karakter. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dimaknai bahwa upaya pembinaan karakter pada anak dapat dilaksanakan, karena anak memiliki kesiapan untuk menerima proses pembinaan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pembinaan karakter yang dimaksud meliputi pembiasaan pada hal-hal yang baik, pembentukan perilaku positif. Faktor pendukung penyelesaian tugas perkembangan pada anak usia dini antara lain, dikemukakan oleh Nuryanti (2008:53) yakni kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan tersebut dengan arahan dan bimbingan yang tepat. Pembinaan karakter pada anak usia dini berorientasi pada tema-tema pembelajaran, sambil terus memberikan contoh melalui peran langsung dari anak didik.