Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis pemikiran Foucault dalam kajian sastra Ikwan Setiawan Peneliti di MATATIMOER Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ
e-mail:
[email protected] Melampaui teks: Pendahuluan Meskipun Michel Foucault dalam banyak karya akademisnya tidak secara spesifik mengarahkan perhatian pada dunia sastra, bukan berarti bahwa pemikiranpemikirannya yang kemudian dilabeli pascastruktural—meskipun ia sendiri tidak pernah membuat label atau mempedulikan label—mengabaikan karya sastra sebagai titik rujukan dalam berpendapat. Dalam banyak karyanya, seperti Madness and Civilization, The Birth of Clinic, dan The Order of Things, Foucault tidak jarang menggunakan karya sastra sebagai salah satu rujukan untuk memperkuat argumenargumen yang ia kembangkan (Machado, 2012: 227). Dalam membincang tentang wacana ―kegilaan‖, misalnya, Foucault tidak segan-segan menggunakan kisah King Lear dan Don Quixote sebagai berikut: ...King Lear, tanpa ragu...sebuah penggambaran yang sangat soliter dari sebuah ekspresi kegilaan yang benar-benar utuh. Tidak ada yang menyamai, apalagi dalam budaya kita (Perancis, penulis) karena budaya kita selalu menjaga kegilaan agar selalu berjarak dan menimbangnya dari sebuah tempat yang sangat terpencil, serta selalu menjustifikasinya, atau terkadang malah sering menganggapnya sebagai komedi...Tragedi Don Quixote tidak berada dalam kegilaan tokohnya atau kekuatan mendalam bahasanya. Tragedi Don Quixote terletak dalam sebuah ruang kosong kecil, yang dalam jarak itu, sesuatu tidak bisa dikenali, yang memungkinkan tidak hanya pembacanya tetapi juga tokoh-tokoh lain, termasuk Sancho dan Quixote sendiri para akhirnya menyadari kegilaan ini. Juga, cahaya pucat yang menggangu ini, yang menawarkan Quixote cara pandang terhadap kegilaannya yang pada saat bersamaan mendorongnya pergi menjauh, tidak sama dengan penderitaan Lear, yang, dari kedalaman kegilaannya, tahu bahwa ia akan jatuh dan terus jatuh sampai tiba saat kematiannya. Don Quixote, sebaliknya, akan selalu bisa kembali, dia selalu dekat dengan jalan kembali dari kegilaannya. (2015a: 10-11)
Melalui pendapat tersebut, Foucault memberikan gambaran masyarakat Perancis, khususnya, bahwa untuk membincang wacana ―kegilaan‖ bisa dimulai dari aspek kebahasaan, khususnya yang digunakan dalam karya sastra. Bahwa wacana dalam karya sastra seperti King Lear dan Don Quixote bisa menjadi pintu masuk untuk membincang
konstruksi
kegilaan
dalam
masyarakat
Perancis
yang
sangat
mengedepankan keningratan di masa kerajaan serta rasionalitas dalam tradisi filsafat di masa demokrasi. Foucault membuat satu simpulan awal yang menarik, betapa King Lear mewakili sebuah tradisi dan masyarakat yang sangat menyadari 1
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kegilaan sehingga tanpa ragu-ragu mengekspresikan dalam ungkapan yang paling terbuka. Sementara, Quixote mewakili sebuah budaya yang menganggap kegilaan sebagai tabu yang harus dijadikan berjarak dan kalau perlu dihilangkan dari atmosfer Paris. Tentu saja, untuk sampai pada kesimpulan tersebut, Foucault menghadirkan
pula
―dokumen-dokumen
historis
berdebu‖
yang
luput
dari
penelusuran kaum sejarahwan arus utama. Berangkat dari fakta tersebut, mengkaji karya sastra dengan menggunakan pemikiran-pemikiran
Foucauldian
untuk
kerangka
teoretis
dan
metodologis
bukanlah sesuatu yang mustahil, meskipun sampai sekarang masih diperdebatkan. Titik hubung yang memungkinkan untuk menggunakan pemikiran-pemikiran Foucauldian dalam kajian sastra adalah konsep wacana (discourse) yang melaluinya kita untuk mengungkap sebuah topik, objek, ataupun permasalahan. Dalam cara pandang demikian, sastra memang harus dipahami secara khusus. Foucault (2015b: 48-49) memosisikan sastra sebagai berikut. Sastra tidak semuanya dibuat dari sesuatu yang sulit dijelaskan, ia dibuat dari sesuatu yang bukan tidak bisa didefinisikan, dari sesuatu yang kita terkadang merujuknya, dalam makna kaku dan asli terma tersebut, sebagai ‗fabel‘. Jadi, dengan demikian, ia dibuat dari fabel, dari sesuatu yang harus dikatakan sehingga bisa dikatakan, tetapi fabel ini dikatakan dalam bahasa yang tidak hadir, yang mati, yang diulang-ulang, yang simulakrum. Itulah mengapa, menurut saya, bahwa sebuah wacana dalam sastra sangatlah mungkin, sebuah wacana yang akan menjadi sesuatu ketimbang alusi-alusi yang diperdengarkan di telinga kita selama ratusan tahun, alusi-alusi kepada kesenyapan, kepada kemisteriusan, kepada yang tak terkatakan, kepada detakan jantung, dan akhirnya kepada semua atraksi individualitas, di mana kritik, sampai saat ini, menutupi ketidakjelasannya.
Bahwa semua peristiwa dalam karya sastra—baik itu drama, prosa, maupun puisi— bukanlah sekedar simbol, metafor, personifikasi, atau apalah yang memosisikan sebuah topik sebagai subjek tersembunyi di mana hanya seorang kritikus yang boleh menafsirnya. Alih-alih, semua deksripsi, dialog, atau diksi yang meskipun menyerupai dongeng, pada dasarnya, menyampaikan wacana-wacana partikular karena kita bisa merujuk kepada peristiwa, topik, atau permasalahan tertentu. Pemikiran ini, tentu saja, mendobrak pemahaman formalis maupun strukturalis yang menempatkan karya sastra sebagai sebuah entitas independen yang dinilai dari aspek keindahan dan keanehan linguistik atau dari makna-makna dalam yang secara utuh dirangkai dalam gugusan simulakra kata. Simulakra meskipun melebihi apa yang asli dalam kehidupan nyata, tetap mengusung topik-topik yang bisa diungkap dengan nalar. Meskipun seorang tokoh lelaki mengekspresikan cinta dengan ribuan tangkai anggrek, tetap saja ia mengutarakan cinta yang sekaligus menaklukkan dan mensubordinasi subjek perempuan dalam kuasanya. Untuk bisa menemukan wacana dalam karya sastra, tentu saja, kita harus melakukan pembacaan secara detil terhadap struktur prosaik, dramatik, ataupun 2
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
puitik. Namun, bukan berarti bahwa Foucault bersepakat dengan strukturalisme yang meyakini bahwa keutuhan makna dalam sebuah karya hanya bisa didapatkan dari bangunan tekstual prosaik, puitik, ataupun dramatik. Sebaliknya, makna yang sudah dianggap mapan dalam sebuah karya merupakan konstruksi yang tidak berdiri sendiri dan terbebas dari jejaring kepentingan dalam masyarakat. Wacana, dengan demikian, bukan lagi diposisikan sebagai entitas netral atau nirkepentingan.
Pada
pemaknaan
inilah,
pemikiran-pemikiran
pascastruktural
beranjak meninggalkan strukturalisme yang dianggap tidak mumpuni lagi menyediakan kerangka berpikir dan metodologis dalam merespons permasalahanpermasalahan kontemporer dalam jagat filsafat dan humaniora. Mengenai posisinya terhadap strukturalisme, Foucault (1984a: 56) dengan tegas menjabarkan: Orang bisa bersepakat bahwa strukturalisme telah membentuk usaha paling sistematik untuk mengevakuasi konsep peristiwa, tidak hanya dari etnologi tetapi dari seluruh rangkaian ilmu-ilmu lain, dalam kasus ekstrim, sejarah. Dalam pemahaman tersebut, saya tidak melihat siapapun yang menjadi lebih anti-strukturalis dibandingkan diri saya. Namun, hal yang penting adalah menghindari usaha untuk memposisikan peristiwa seperti yang telah dilakukan sebelumnya dengan konsep struktur.
Tidak bisa dipungkiri bahwa strukturalisme sebagai sebuah teori yang berangkat dari dalil penandaan relasional Saussurean, paling tidak, sampai era 70-an masih menjadi kerangka akademis paling populer, khususnya di ranah linguistik, sastra, antropologi, sosiologi, dan, bahkan, sampai serajah. Hegemoni strukturalisme— dengan dalil bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki struktur—dalam ilmuilmu humaniora dengan demikian merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Semua peristiwa dalam kehidupan ini bisa dibingkai dalam struktur. Maka apapun makna yang ada dalam sebuah peristiwa, itu semua tidak bisa dilepaskan dari keterhubungan antara satu elemen dengan elemen lain dalam struktur. Inilah yang menjadikan Foucault mengatakan dirinya pemikir yang paling anti-strukturalis. Tentu Foucault bukan sekedar mendongeng atau membual ketika menganggap dirinya orang yang paling anti-strukturalis. Sebagai intelektual yang besar dalam tradisi filsafat Perancis, Foucault memiliki landasan ontologis dan epistemologis untuk mengkritisi strukturalisme. Sebuah peristiwa terlalu sederhana untuk dikerangkai hanya dalam sebuah struktur tekstual karena ia tidak hanya berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lain yang perlu dihubungkan dalam sebuah analisis. Pernyataan-pernyataan pemahaman awal, tetapi
tekstual
memang
penting
dalam
memberikan
itu saja tidak cukup karena mereka sebenarnya
memproduksi wacana yang lebih mendalam dan kritis terkait sebuah objek atau permasalahan. Itulah mengapa Foucault mengajak untuk beranjak dari cara berpikir yang melampaui strukturalisme. ...muncul penolakan terhadap analisis yang dituliskan dalam terma simbolik atau ranah struktur penandaan, serta mengambil jalan lain untuk analisis-analisis dalam
3
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
terma genealogis terkait relasi kuasa, perkembangan strategis, dan taktik. Di sini saya percaya titik rujukan tidak harus diarahkan pada model umum bahasa dan tanda, tetapi model perang. Sejarah yang membawa dan menentukan kita adalah bentuk perang bukannya bahasa: relasi kuasa, bukan relasi makna. Sejarah tidak punya ‗makna‘, meski ini tidak untuk mengatakannya absurd atau tidak koheren. Sebaliknya, ia sangat jelas dan seharusnya mudah untuk dianalisis ke dalam detil-detil terkecil— namun ini menurut kejelasan pertarungan, strategi, dan taktik. Bukanlah dialektika, sebagai logika dari kontradiksi-kontradiksi, ataupun semiotika, sebagai struktur komunikasi, yang bisa melihat kejelasan konflik-konflik yang ada. (Ibid)
Mengikuti pemikiran di atas, makna yang menghadirkan wacana dalam sebuah karya sastra bukanlah entitas yang independen, tetapi berjalin-kelindan dengan peristiwa-peristiwa lain dari banyak teks atau kehidupan sehari-hari yang juga memproduksi wacana serupa. Keterhubungan wacana dalam karya sastra dan wacana-wacana di luar karya sastra itulah yang membentuk sebuah formasi di mana kehadirannya ikut mempengaruhi pembentukan subjek-subjek tertentu di masamasa tertentu pula. Inilah yang menjadikan pemikiran Foucauldian ‗mengganggu‘ kemapanan teori-teori terdahulu dalam filsafat, sastra, sosiologi, linguistik, sejarah, dan lain-lain. Ada usaha kreatif-kritis untuk menerobos atau melampaui kemapanan makna strutkural karena fakta keberjalin-kelindanan antarwacana tersebut. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa konsep-konsep simbolik ataupun penandaan sebagaimana digunakan dalam strukturalisme tidak cukup untuk bisa mengungkap apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh sebuah teks. Mengapa? Karena konsep-konsep tersebut melupakan kepentingan kuasa yang bisa hadir di dalam formasi wacana dalam latar historis dan masyarakat partikular. Itulah mnegapa Foucault lebih memilih model ―perang‖ karena bisa digunakan untuk melihat bagaimana ―siasat‖ atau ―stategi‖ untuk memenangkan relasi kuasa. Perang merupakan metafor yang menjelaskan bagaimana kekuatan-kekuatan dalam masyarakat saling berkontestasi dalam membuat wacana untuk kemudian mempengaruhi orientasi masyarakat sebagai subjek. Pemenang dari kontestasi ini tentu saja bisa menggerakkan relasi kuasa karena ia bisa menggunakan wacana dan pengetahuan untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dalam pandangan demikian, karya sastra bukanlah sekedar gugusan naratif, puitik, atau dramatik yang memberikan keindahan, hiburan, atau bahkan tangisan kepada para pembacanya. Lebih dari itu, dalam perspektif Foucauldian, karya sastra bisa diposisikan sebagai dokumen tulis yang terlibat dalam proses historis di mana sebuah formasi wacana dikonstruksi. Melalui teknik dan strategi narativisasi, puitisasi, dan dramatisasi dalam bentuk pernyataan tulis, seorang penulis mengkonstruksi wacana yang terhubung dengan wacana-wacana lain dalam masyarakat. Berangkat dari pemahaman tersebut, tulisan ini akan memaparkan gagasan tentang penerapan pemikiran-pemikiran Foucauldian dalam kajian sastra. Pertama-tama, saya akan menjelaskan konsep-konsep signifikan dalam karya-karya 4
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
akademis Foucault dan implikasi teorestisnya terhadap kajian sastra. Kedua, saya akan memaparkan bagaimana mentransformasi pemikiran-pemikiran tersebut ke dalam kerangka metodologis kajian sastra yang tentu membutuhkan modifikasi tertentu. Ketika Foucault memahami sastra Meskipun pada akhirnya mengenyam guru besar pada bidang Sejarah Pemikiran yang banyak mengupas persoalan wacana seksualitas, kegilaan, penjara, rumah sakit, dan politik (neo-)liberalisme, Foucault kecil dan muda sangatlah dekat dengan dunia sastra. Bahkan pada era 1950-1960-an, Foucault sangat intens dalam membaca
karya-karya
besar
Eropa
sembari
mengajarkannya
kepada
para
mahasiswanya. Artinya, sejak awal, Foucault sudah terbiasa dengan jagat sastra yang penuh gugusan kata dan konstruksi makna. Kalaupun pada akhirnya ia tidak memusatkan perhatian pada trend strukturalisme yang sangat populer di Perancis pada era 1960-an, itu lebih karena ia melihat sesuatu yang lebih kritis dibanding sekedar membincang makna dalam struktur. Pilihannya untuk menggeluti dunia arsip, dunia penjara, dunia pengadilan, serta dunia rumah sakit denga selukbeluknya,
akhirnya
memang
membawanya
ke
dalam
pergulatan
wacana,
pengetahuan, dan kuasa yang tidak disadari oleh para peneliti sastra, sosiologi, maupun sejarah pada masa itu. Apa yang menarik adalah, Foucault juga sempat intens menuliskan atau menyampaikan pendapatnya secara lisan—baik dalam perkuliahaan maupun siaran radio—terkait dunia sastra dan perkembangannya. Pendapat-pendapatnya tentang sastra, menarik untuk diungkap lebih jauh karena belum banyak pakar—bahkan guru besar—di Indonesia yang mengungkap pandangan Foucault tentang sastra. ―Kapan sebuah karya berada dalam makna sastra?‖ Begitulah pertanyaan Foucault yang seolah menantang pemahaman baku terkait pemaknaan sastra. Menjawab pertanyaan tersebut, ia tidak serta-merta mengutip pendapat yang sudah mapan, tetapi menelusuri jejak historis wacana-wacana tentang definisi sastra yang pernah dicatat oleh para pakar sebelumnya. Paradoks sebuah karya tepatnya terletak pada fakta bahwa ia hanya menjadi sastra pada momen permulaanya [dengan kalimat pertamanya, dengan halaman kosong. Tak ragu lagi, ia benar-benar sastra hanya pada saat itu..., dalam ritual pendahuluan yang menyediakan kata-kata dengan ruang penyucian]. Konsekuensinya, segera sesudah halaman kosong ini diisi, segera sesudah kata-kata mulai dituliskan di atas permukaan yang masih perawan, pada saat itu, setiap kata dalam beberapa makna secara mutlak mengecewakan dalam terma sastra, karena tidak ada kata yang secara esensial menjadi milik sastra...Setiap kata berada dalam sebuah cara pelanggaran, yang melanggar dengan respek pada esensi sastra yang murni, kosong, suci dan putih, yang menjadikan setiap karya bukan sebuah pemenuhan sastra tetapi keterpecahannya, kejatuhannya, kekerasannya. Setiap kata tanpa status atau prestis sastrawi adalah sebuah kekerasan, setiap kata prosaik atau sehari-hari adalah sebuah kekerasan,
5
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
tetapi setiap kata segera setelah ia ditulis juga merupakan sebuah kekerasan. (2015b: 49, cetak miring saya)
Tentu, bagi kita yang terbiasa dengan definisi sastra secara pakem, seperti ―sastra adalah refleksi kehidupan‖ dan ―sastra adalah hiburan sekaligus ajaran moral‖, penjelasan Foucault di atas bisa menghadirkan kebingungan tersendiri. Bagaimana mungkin dunia sastra yang selama ini kita kenal sebagai dunia kata-kata imajinatif yang dirangkai ke dalam bentuk prosa, drama, dan puisi benar-benar menjadi sastra pada kalimat pertama ketika halaman masih kosong? Berarti, novel tebal Da Vinci Code dan Demon and Angel bukanlah sastra? Bagaimana mungkin sebuah karya sastra dianggap pelanggaran (transgression) ketika ia disusun dari kata-kata indah sekaligus romantis? Bagaimana mungkin sebuah kata yang ditulis dalam terma sastra dilabeli kekerasan? Tentu saja, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus apa yang dimaksudkan Foucault tentang sastra atau kualitas sastrawi sebuah karya, kita mesti sabar mengurai gugusan kata yang saling mengikat dalam definisi di atas untuk kemudian membawanya ke dalam aspek historisitas. Kita bisa mulai memahami pendapat di atas dari pertanyaan, mengapa Foucault menganggap esensi sastra sebagai sesuatu yang putih, murni, kosong, dan suci? Tentu saja, pemahaman ini berasal dari satu anggapan klasik bahwa yang dikatakan sastra adalah gugusan kata atau kalimat yang dipersepsikan sebagai simbol ataupun alusi yang tidak semua orang bisa memahaminya. Ia adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa dan boleh menafsirnya. Sejak abad ke-19, sastra sudah beranjak dari makna-makna tersebut, sehingga untuk menemukan makna sastra tidak lebih dari kertas di halaman pertama tersebut. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa karya sastra merupakan bentuk pelanggaran dan kekerasan dari hakekatnya sebelum terjadi perubahan cara pandang di abad ke-19 (Foucault, 2015b: 51). Semenjak itulah, karya sastra tidak lagi menjadi kekuatan ‗adikodrati‘ yang selalu diidentikkan dengan ketidakterjangkauan oleh manusia awam. Bahwa, sastra adalah eskpresi dari suara-suara yang melanggar batas-batas keagungan sebuah karya dari masa-masa sebelumnya. Dalam perkembangannya, menurut Foucault, terdapat dua figur paradigmatik dalam sastra, yang saling mengasingkan sekaligus saling memiliki satu sama lain (2015b: 52). Pertama, figur pelanggaran yang berasal dari tuturan penulis dalam kondisi serba dibatasi, dalam artian aturan-aturan yang begitu mengekang dan dianggap sebagai kesucian, sehingga ia atau mereka menulis karya yang beranjak dari batasan. Kedua, figur pengulangan dari perpustakaan yang merupakan tumpukan dari figur, informasi, pengetahauan, pemikiran filsafat, dan lainl-lain yang
disusun
sebagai
sebuah
tumpukan
tulisan,
sehingga
ketebalannya
mengalahkan karya sastra yang lain. Foucault mencontohkan bagaimana karya 6
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Sade, pada akhir abad ke-18 memasuki abad ke-19, mengartikulasikan dua figur terseut sekaligus. Sangat jelas bahwa Sade, pada akhir abad ke-18, mengartikulasikan yang pertama, bahasa pelanggaran. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa karyanya merupakan titik yang secara simultan mengumpulkan dan menjadikan mungkin semua tuturan transgresif. Karya Sade, tanpa ragu lagi, merupakan ambang historis sastra. Dalam beberapa hal, karya Sade adalah pastiche raksasa. Tidak ada sebuah kalimat tunggal dalam karya Sade yang tidak sepenuhnya berbalik arah terhadap sesuatu yang dikatakan sebelum dia oleh filosof dari abad ke-18, oleh Rousseu. Tidak ada episode tunggal, bukan seseuatu yang tunggal dari adegan-adegan tak tertahankan bahwa Sade menarasikan yang tidak dalam kenyataan, ejekan, benar-benar asusila, pastiche sebuah adegan dalam sebuah novel abad ke-18. Kita semata-mata harus melacak nama-nama tokoh untuk menemukan mereka yang ingin diprofankan oleh Sade. (Foucault, 2015b: 53)
Apa yang menarik dicatat dari contoh di atas adalah, sekali lagi, keterhubungan sebuah teks sastra dengan teks-teks lain yang pernah ditulis oleh para penulis lain dari zaman yang sama atau yang berbeda. Itulah mengapa Faoucault mengatakan karya Sade sebagai pastiche raksasa, karena keterhubungan peristiwa-peristiwa yang tidak realistis—penuh ejekan, asusila—yang dia konstruksi dalam struktur naratif
dengan
pemikiran
atau
tokoh-tokoh
tertentu
yang
bisa
dilacak
keberadaannya. Artinya, dari pendapat ini kita bisa melihat bahwa sebuah karya merupakan sebuah respons yang sekaligus menjadi bagian dari sebuah peristiwa, pengetahuan, ataupun permasalahan yang eksis dalam masa dan masyarakat tertentu. Seasusila atau sekonyol apapun karya Sade atau karya sastrawansastrawan lainnya, mereka tetaplah karya fiksional yang menyampaikan gugusan makna dan wacana yang sekaligus ikut membentuk dinamika masyarakat pada masanya. Wacana dan tatanannya Dalam pandangan Foucault (2013: 162-163), wacana merupakan (1)
sekelompok
pernyataan yang berkaitan erat dengan formulasi tunggal sebuah objek bermakna, semisal wacana klinis, wacana ekonomi, wacana tentang sejarah alamiah, dan wacana psikiatris dan (2) sekelompok pernyataan terbatas yang berkaitan dengan formasi diskursif yang sama, meskipun tidak membentuk satu kesatuan retorik atau formal. Sebelum membedah lebih lanjut implikasi dari pengertian wacana tersebut, ada baiknya kita memahami apa itu pernyataan. Pernyataan bukanlah semata-mata proposisi, kalimat, ataupun tindak-tutur, sehingga aturan yang mengarahkan pernyataan bukan bersifat logis ataupun gramatikal. Pernyataan adalah apa-apa yang menjadikan kalimat dan proposisi ‗bermakna‘—makna di sini dipahami lebih dari persoalan apakah proposisi atau kalimat sudah tersusun dengan baik dan benar, karena bahkan proposisi yang tidak koheren atau kalimat yang secara gramatikal salah bisa tetap membuat makna. Pernyataan juga selalu merujuk pada pernyataan 7
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
lain, maknanya ditentukan bukan oleh rangkaian aturan eskternal, tetapi oleh konteks relasional yang dimilikinya. Foucault (2013: 35-37) menjelaskan formasi diskursif sebagai pernyataan-pernyataan yang berbeda dalam bentuk, menyebar dalam waktu (tertentu), dan membentuk suatu kelompok jika mereka mengacu pada objek yang sama. Pernyataan-pernyataan itu kemudian membentuk sekelompok hubungan,
yakni
bentuk
dan
tipe
koneksi
mereka,
sehingga
terdapat
kesalinghubungan di antara mereka serta terdapat kesatuan yang diwakili identitas dan persistensi dalam banyak tema (Hall, 1997a: 44). Apa yang bisa dipahami lebih lanjut adalah bahwa wacana bisa mengarah pada kesamaan pernyataan dalam beragam bentuk dan medianya. Selain itu, wacana juga bisa muncul dalam keberagamannya—persamaan dan perbedaan—tetapi masih terhubung dalam kesamaan objek/topik. Keberagaman wacana tentang topik tertentu dalam formasi diskursif juga membutuhkan person-person yang mampu membicarakan mereka—dalam artian menamai, mengklasifikasi, menganalisis, dan memecahkan persoalan yang muncul—dan keberadaan institusi sebagai medan penyemaian (Foucault, 2013: 55-57). Itulah mengapa untuk memahami wacana, kita perlu, pertama-tama memahami tatanan atau aturan tentang pembentukan wacana (order of discourse). Prosedur-prosedur Wacana membutuhkan praktik diskursif yang merupakan seperangkat prosedur atau sistem dalam proses pembentukan wacana yang terhubung dengan kuasa dalam masyarakat. Young (1981: 48-49) menjelaskan praktik diskursif atau aturan wacana sebagai ranah konseptual tempat diproduksinya sebuah pengetahuan tertentu. Dalam pemahaman ini,
aturan dan kategori
berkontribusi penting dalam
pembentukan wacana dan pengetahuan, sehingga dibutuhkan pembatasan medan objek, definisi terhadap perspektif yang sah bagi agen pengetahuan, dan penetapan norma-norma bagi elaborasi konsep dan teori. Efek yang diharapkan pembatasan keliaran pemikiran di luar wacana yang diproduksi. Berpikir diluar wacana dan pengetahuan yang ada berarti menjadi gila. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana aturan diskursif terhubung dengan kuasa; dalam artian bagaimana bentuk-bentuk wacana dibentuk oleh maupun memastikan reproduksi dari sistem sosial, melalui bentuk seleksi, eksklusi, dan dominasi. Dalam setiap masyarakat, seperti dikatakan Foucault, produksi wacana dikontrol, diorganisir, dan diredistribusikan melalui sejumlah prosedur yang perannya adalah untuk melokalisasi kuasa dan bahayanya, untuk meraih penguasaan terhadap peristiwa-peristiwa yang memungkinkan, untuk menghindarkan materialitasnya.‖ Foucault memuncukan dua prosedur dalam praktik diskursif, yakni eksterior dan interior.
8
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Prosedur eksklusi menjadi bentuk prosedur eksterior yang salah satu wujud dominannya berupa ―larangan‖ dengan tiga bentuk yang saling terkait dan menguatkan: (1) orang tidak boleh atau memiliki hak untuk berbicara segala hal, mewujud dalam objek yang dibicarakan—tabu; (2) orang tidak boleh membicarakan semua hal dalam semua tempat dan kesempatan, mewujud dalam ritual dengan lingkungan dan kondisi ucapan yang sangat ketat; (3) tidak setiap orang mempunyai hak berbicara setiap hal, berkaitan dengan hak istimewa yang dipunyai oleh subjek yang berbicara—individu-individu tertentu (Foucault, 1981: 52). Ketiga bentuk larangan tersebut menunjukkan bahwa meskipun wacana muncul sebagai sesuatu yang kecil, larangan-larangan yang melingkupinya mengkaitkannya dengan hasrat dan kuasa. Wacana tidak sekedar mengungkapkan (atau menyembunyikan) hasrat, tetapi ia menjadi objek hasrat itu sendiri. Wacana tidak sekedar apa-apa yang menerjemahkan pertarungan-pertarungan ataupun sistem-sistem dominasi, tetapi hal yang untuknya dan dengannya muncul pertarungan, wacana adalah kuasa yang harus direbut (Foucault, 1981: 52-53). Prosedur eksklusi yang kedua adalah ―pemisahan‖ dan ―penolakan‖. Contoh menarik yang diberikan Foucault adalah oposisi antara akal dan kegilaan (1981: 53). Orang gila adalah orang yang wacananya diposisikan tidak sama seperti wacana yang dimunculkan orang waras; kata-katanya dianggap kosong dan tidak penting karena tidak mengandung kebenaran. Maka, semua omongan dan kesaksiannya, sampai sekarang, ditolak dalam institusi hukum, seperti pengadilan. Pemisahan yang didasarkan pada kewarasan akal dan ketidakwarasan akal—kegilaan— menjadikan wacana yang pertama diterima dan yang kedua ditolak karena dianggap hanya sebagai kegaduhan, meskipun dikenali dan diakui untuk memperkuat alasan pemisahan tersebut. Hanya dalam karya-karya seni, seperti teater—atau bisa diperluas pada film, orang-orang gila secara simbolis diizinkan berbicara, karena di panggung mereka akan memerankan kebenaran dengan topeng—berpura-pura. Prosedur eksklusi yang ketiga adalah oposisi antara ―yang benar‖ dan ―yang salah‖. Penetapan oposisi ini memiliki risiko, apalagi berlangsung dalam masyarakat yang di dalamnya berlangsung pemisahan dan penolakan (Foucault, 1981: 54). Ketika dilihat dari level proposisi, pada bagian dalam wacana, pemisahan antara yang benar dan yang salah tidaklah manasuka, tidak bisa dimodifikasi, tidak bersifat institusional, maupun tidak melibatkan kekerasan. Namun, dalam skala berbeda, ketika kita mempertanyakan soal kehendak kebenaran yang secara konstan melintasi wacana-wacana kita—yang melintasi berabad-abad lamanya dalam sejarah kita; dalam bentuk-bentuk umum, tipe-tipe pemisahan apa yang mengarahkan kehendak untuk mengetahui, maka kita akan melihat bentuk keberlangsungan yang mungkin
menyerupai
sistem
eksklusi,
sistem
yang
bersifat
historis,
bisa
dimodifikasi, dan secara institusional memaksa. 9
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Sebagai gambaran singkat, Foucault (1981: 54) menjelaskan bahwa bagi para penyair Yunani abad ke-6 SM, wacana yang benar (dalam artian kata-kata yang kuat dan bernilai tinggi)—wacana yang memunculkan rasa hormat dan teror serta yang kepadanya
seseorang
tunduk
karena ia memerintah—adalah wacana yang
diutarakan oleh manusia yang berbicara dengan benar sesuai dengan ritual yang dipersyaratkan. Wacana yang demikian adalah wacana yang memberikan keadilan dan membaginya pada setiap orang, wacana yang meramalkan masa depan, tidak hanya mengumandangkan apa yang akan terjadi tetapi juga membantu mereka untuk menjadikannya terjadi—membawa pikiran mereka bersama wacana tersebut, sehingga menyatukan mereka ke dalam takdir. Dari ketiga sistem eksklusi tersebut, menurut Foucault (1981: 55-56), kehendak untuk kebenaran merupakan faktor penentu keberlangsungan kedua sistem yang lain selama beradab-abad. Sistem ketiga terus-menerus mengasimilasi kedua sistem yang lain, baik untuk memodifikasi maupun memberikan mereka fondasi. Kedua sistem pertama dari waktu ke waktu menjadi rentan dan tidak menentu, dalam artian bahwa mereka saat ini diinvasi oleh kehendak untuk kebenaran, di mana bagiannya secara konstan berkembang, semakin dalam, dan mengeras. Kehendak untuk kebenaran, sama seperti sistem yang lain, membutuhkan dukungan institusional, baik untuk memperkuat atau memperbaikinya melalui semua tingkatan praktik (Foucault, 1981: 55). Sebagai contoh, melalui pendidikan, sistem perbukuan, penerbitan, maupun perpustakaan. Ia juga diperbarui dengan cara yang di dalamnya pengetahuan dijadikan beroperasi, ditinggikan nilainya, didistribusikan, dan diatribusikan ke dalam masyarakat. Proses itulah yang menjadikan apa-apa yang terlihat oleh mata kita sebagai kebenaran yang dikonsepsikan sebagai kekayaan, produktivitas, dan kekuatan universal yang gagah, sehingga kita tidak sadar terhadap kehendak untuk kebenaran yang pada dasarnya didesain untuk mengeksklusi—penuh kuasa (Foucault, 1981: 56). Selain prosedur eksternal, praktik diskursif juga mengenal prosedur internal dalam artian wacana-wacana menjalankan kontrol mereka sendiri melalui prosedurprosedur yang berfungsi lebih sebagai prinsip-prinsip klasifikasi, pengaturan, distribusi, seolah-olah ada dimensi lain dari wacana yang harus dikuasai: peristiwa dan kemungkinan. Salah satu prosedur internal adalah komentar. Menurut Foucault, sangat jarang ada masyarakat yang tidak mempunyai narasi-narasi utama yang bisa diceritakan-kembali, diulang, dan divariasikan (1981: 56-57). Biasanya berupa formula-formula, teks-teks, seperangkat wacana yang diritualkan yang bisa diceritakan-kembali dalam kondisi dan lingkungan yang sudah ditentukan dengan alasan di balik mereka terdapat sebuah rahasia atau harta yang tak ternilai harganya. Memang terjadi gradasi di antara wacana-wacana yang ada, tetapi akan selalu muncul wacana-wacana baru mengungkapkan dan mentransformasikan 10
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
mereka; dikatakan dan dikatakan lagi. Meskipun pembedaan dan perubahan terus berlangsung dalam proses komentar, namun fungsi utama wacana-wacana yang ada bersifat tetap [dominasi], karena berlangsung solidaritas di antara wacana utama dan wacana komentar—sekunder. Foucault (1981: 57-58) mengatakan bahwa pembedaan antara wacana awal dan wacana yang mentransformasikannya bersifat tidak stabil, tidak konstan, dan tidak mutlak. Di satu sisi, tidak ada kategori wacana fundamental atau kreatif yang tetap sepanjang masa, dan, di sisi lain, terdapat massa wacana yang mengulangi, menghaluskan, dan mengkomentari atas wacana awal. Akibatnya, banyak teks utama yang menjadi kabur dan musnah, dan terkadang apa yang semula sekedar komentar bisa menempati posisi utama. Meskipun, titik penerapannya berubah, fungsinya tetap dan pembedaan terus berlanjut, di mana hirarki di antara teks utama dan teks sekunder memainkan dua peran yang saling mendukung satu sama lain. Teks sekunder memungkinkan konstruksi [tanpa akhir] wacana-wacana baru, namun teks utama tetap dominan karena ke-permanenan-nya, selalu bisa diaktualisasikan-kembali, maknanya beragam dan tersembunyi, kemisteriusan dan kekayaan yang dialamatkan kepadanya; semua itu menjadi dasar munculnya kemungkinan terbuka untuk berbicara. Namun, di sisi lain, peran komentar, apapun teknik yang digunakan, adalah untuk mengatakan apa yang ‗sebenarnya‘ dikatakan secara
diam
di
dalam
teks
itu.‖
Komentar
membebaskan
elemen
yang
memungkinkan dari wacana dengan memberikannya hak: yang memungkinkan kita mengatakan sesuatu yang lain di luar teks, tetapi dalam kondisi bahwa teks itu sendiri yang dikatakan. Kelipatgandaan yang terbuka ditransfer melalui prinsip komentar, dari apa yang bisa menjadi risiko untuk dikatakan, terkait angka, bentuk, topeng, dan lingkungan pengulangan. Hal baru bukan lagi terletak dalam apa yang dikatakan, tetapi pada peristiwa kembalinya wacana tersebut (Foucault, 1981: 58). Contoh sederhana dari prosedur komentar adalah berkembangnya cerita-cerita yang berasal dari kisah Cinderella. Meskipun banyak memunculkan cerita-cerita baru dengan bermacam nama tokoh dan peristiwa, dari era klasik sampai dengan era kontemporer,
banyak teks—tulis,
visual, maupun audio-visual—masih terus
membicarakan topik kisah cinta ala Cinderella di mana seorang perempuan yang dihina, disakiti, disia-siakan dalam keluarga besarnya akan mengalami kebahagiaan karena kehadiran lelaki yang memiliki ketajaman cara pandang, baik hati, bijak, dan kaya. Semakin banyak wacana perempuan muda, cantik, dan baik hati dalam teksteks yang semakin beragam, semakin memperkuat kebenaran wacana Cinderella yang ditransformasikan dari masa lalu ke masa kini. Meskipun bentuk ceritanya berbeda ataupun bertentangan dengan plot Cinderella, itu tidak menjadikan wacana Cinderella kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya, itu menegaskan bahwa ia mampu mempengaruhi secara produktif bagi lahirnya teks-teks baru. 11
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Prosedur internal berikutnya berupa prinsip lain penjernihan wacana untuk melengkapi prinsip komentar, yakni pengarang. Apa yang perlu dipahami di sini adalah pengarang oleh Foucault tidak dimaknai sebagai individu yang berbicara, yang mengungkapkan atau menulis sebuah teks, tetapi dimaknai sebagai prinsip pengelompokan wacana-wacana, dikonsepsikan sebagai kesatuan dan asal-usul makna-makna mereka, fokus bagi koherensi mereka (Foucault, 1982: 58). Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai wacana-wacana yang tidak perlu dialamatkan pada seorang pengarang, sebagai individu, seperti percakapan ataupun tuturan, dekrit atau kontrak yang membutuhkan tanda tangan, tetapi tidak membutuhkan nama pengarang, serta instruksi-instruksi teknis anonim. Meskipun demikian,
dalam
ranah
tertentu,
seperti
kesusastraan,
filsafat,
dan
ilmu
pengetahuan, atribusi kepada nama pengarang menjadi penting. Pentingnya atribusi kepada pengarang tidak meniadakan fakta
tentang fungsi-pengarang yang
menegaskan moda eksistensi, sirkulasi, dan pemfungsian wacana-wacana tertentu di dalam masyarakat. Foucault (1984b: 107-108) menjelaskan bahwa nama pengarang bukanlah sekedar elemen dalam wacana yang merujuk pada orang, tetapi menghadirkan peran dan fungsi tertentu di dalam wacana naratif—―fungsi-pengarang‖. Pertama, memastikan fungsi klasifikatori: memungkinkan untuk mengelompokkan jumlah tertentu
teks,
mendefinisikan
mereka,
membedakan
mereka
dari
dan
mengkontraskan mereka terhadap teks-teks lain, dan memapankan hubungan antara teks. Kedua, nama pengarang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi moda tertentu bagaimana wacana mengada. Wacana bukanlah tuturan sehari-hari yang datang dan pergi, bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati secara langsung, sebaliknya, ia adalah tuturan yang harus diterima sebagai moda tertentu dan harus menerima status tertentu pula. Nama tersebut selalu hadir menandai batas-batas teks, memunculkan atau paling tidak mencirikan moda untuk mengada. Ia mewujudkan kehadiran seperangkat diskursif tertentu dan mengindikasikan status wacana tersebut di dalam budaya dan masyarakat. Ketiga, pengarang memberikan dasar untuk menjelaskan bukan hanya kehadiran peristiwa-peristiwa tertentu dalam sebuah karya, tetapi juga transformasi, distorsi, dan modifikasi yang beragam dari peristiwa-peristiwa tersebut [melalui biografi, determinasi perspektif individualnya, analisis posisi sosialnya, dan pengungkapan desain dasarnya]. Keempat, pengarang merupakan prinsip-prinsip kesatuan tulisan tertentu, dalam artian semua perbedaan mesti diselesaikan melalui prinsip evolusi, pendewasaan, atau pengaruh. Kelima, pengarang juga bisa menetralisasi kontradiksi-kontradiksi yang bisa saja muncul dalam rangkaian teks. Pasti ada—dalam level tertentu pemikiran atau hasratnya, kesadaran
ataupun
ketidaksadarannya—sebuah
titik
di
mana
kontradiksi-
kontradiksi diselesaikan di mana elemen-elemen yang tidak sesuai pada akhirnya 12
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
diikatkan bersama-sama atau diorganisir pada seputar kontradiksi fundamental atau asal. Keenam, pengarang merupakan sumber ekspresi yang mewujud sama dan validitas serupa dalam karya, sketsa, surat, fragmen, dan lain-lain. Prinsip terakhir dalam prosedur internal praktik diskursif adalah disiplin, yakni sebuah prinsip yang bersifat relatif dan mobile, yang memungkinkan konstruksi, tetapi dalam batasan-batasan yang sempit (Foucault, 1981: 59). Disiplin beroposisi dengan komentar dan pengarang. Ia beroposisi dengan prinsip pengarang karena disiplin didefinisikan oleh ranah objek, seperangkat metode, korpus dalil yang dianggap benar, permainan aturan dan definisi, teknik, dan instrumen. Semua itu membentuk sistem tak bernama yang tersedia bagi siapa saja yang ingin atau yang dapat menggunakannya, tanpa keterikatan makna atau validitas dengan seseorang yang menjadi penemunya. Disiplin juga beroposisi dengan komentar karena apa yang dianggap berada di luaran wacana tidak memiliki makna, sehingga harus ditemukan-ulang. Bukanlah identitas yang harus diulang, tetapi keharusan untuk menggangit pernyataan baru. Di mana ada disiplin, di situ pasti ada kemungkinan untuk memformulasikan dalil-dalil baru, ad infinitum. Namun, ada syarat-syarat tertentu yang memungkinkan dalil-dalil menjadi bagian dari disiplin, yakni mereka harus dituliskan dalam tipe tertentu dari cakrawala teoretis; sebuah persyaratan yang kompleks dan sulit. Keberlangsungan
semua
prosedur
di
atas
dalam
praktik
diskursif
membutuhkan apa yang oleh Foucault disebut kondisi penerapan, sebuah usaha untuk menentukan sejumlah aturan terkait individu-individu yang bisa menguasai wacana, sehingga tidak megizinkan setiap orang memiliki akses terhadap mereka (1981: 61-62). Ada konsep penjernian terhadap subjek yang berbicara, dalam artian tidak ada orang yang boleh memasuki tatanan wacana jika ia tidak memenuhi aturan-aturan tertentu atau tidak memiliki kualifikasi. Atau, lebih tepatnya, tidak semua ranah wacana terbuka dan bisa dimasuki, beberapa di antara mereka terlarang (dibedakan dan membedakan), sementara yang lain tampak terbuka bagi siapa saja yang mau masuk dan tersedia bagi setiap subjek yang berbicara, tanpa batasan-batasan. Artinya, tetap ada batasan dan aturan dalam konteks wacanawacana partikular. Batasan dan aturan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual, doktrin, masyarakat wacana, dan apropriasi sosial terhadap wacana (Foucault, 1981: 62-64). Ritual merupakan bentuk kualifikasi yang harus dimiliki oleh individu-individu yang berbicara [dan yang menempati posisi tertentu dan memformulasikan tipe statemen tertentu pula, dalam permainan dialog, interogasi, atau hafalan]. Ritual juga mendifinisikan bahasa tubuh, kebiasaan, lingkungan, dan seluruh perangkat tanda yang harus melengkapi wacana serta memastikan kemujaraban kata-kata, efeknya terhadap mereka yang dituju, serta batasan-batasan nilai-nilai mereka yang 13
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
memaksa. Wacana religius, hukum, terapetik, dan politik merupakan bentuk ritual yang menentukan baik properti-properti partikular maupun peran-peran tetap dari subjek-subjek yang berbicara. Masyarakat wacana berfungsi untuk melestarikan atau memproduksi wacana-wacana dengan tujuan membuat mereka menyebar dalam ruang tertutup dan mendistribusikan dalam aturan-aturan ketat. Dalam model arkaik, bisa ditemukan, misalnya, dalam kelompok rapsodis yang memiliki pengetahuan tentang puisi untuk dibaca atau berpotensi untuk dijadikan beragam dan ditransformasikan. Namun, objek pengetahuan ini merupakan penghafalan ritual, pengetahuan itu diproteksi, dipertahankan, dan dilestarikan di dalam sebuah kelompok dengan latihan-latihan memori yang sangat njlimet. Meskipun saat ini susah menemukan masyarakat wacana yang demikian, bukan berarti hilang, tetapi bertransformasi. Bahkan, dalam tatanan wacana yang diterbitkan dan terbebas dari segala bentuk ritual, masih terdapat bentuk apropriasi terhadap kerahasiaan dan peran-peran yang tidak bisa dipertukarkan. Doktrin (relijius, politik, filsafat) cenderung disebar-luaskan, dengan secara umum menggunakan ensembel diskursif di mana individu-individu mendefinisikan kesetiaan resiprokal mereka. Syarat utamanya adalah pengakuan terhadap kebenaran yang sama dan penerimaan aturan tertentu terkait konformitas terhadap wacana-wacana yang tervalidasi. Apropriasi sosial terhadap wacana merupakan bentuk apa-apa yang boleh dan apa yang dicegah dari penyebaran wacana yang ditandai oleh jarak sosial, oposisi, dan pertarungan. Semua sistem pendidikan merupakan sebuah cara politis untuk menjalankan atau memodifikasi apropriasi wacana, sejalan dengan pengetahuan dan kuasa-kuasa yang mereka bawa. Keempat aturan tersebut terhubung satu sama lain untuk memastikan distribusi subjek berbicara ke dalam tipe-tipe berbeda dari wacana dan apropriasi wacana-wacana terhadap kategori-kategori subjek—dalam hal ini objek, topik, permasalahan, ataupun individu-individu. Kuasa/Pengetahuan Paparan-paparan di atas menunjukkan bahwa wacana bukan semata-mata terma linguistik sebagaimana dipahami oleh kaum strukturalis. Adanya tatanan wacana berupa formasi diskursif yang mensyaratkan seperangkat prosedur, individuindividu partikular (yang boleh berbicara ataupun yang menulis), institusi-institusi, serta mekanisme penyebarannya akan mengarahkan kita kepada keberadaan episteme. Mengikuti pemikiran Foucault, Danaher, Schirato, dan Webb (2000: 17) menjelaskan episteme sebagai ―produk dari prinsip-prinsip perorganisasian yang menghubungkan
hal-hal
satu
sama
lain
(dengan
mengklasifikasi
dan
mengalokasikan mereka makna dan nilai) dan, sebagai akibatnya, menentukan bagaimana kita memaknai mereka, apa yang bisa kita ketahui dan apa yang bisa kita katakan‖. Episteme-episteme yang berasal dari rangkaian wacana yang saling 14
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
terkait satu sama lain dalam sebuah praktik diskursif pada rentang historis partikular akan membentuk pengetahuan. Pengetahuan yang terus disebarkan dalam praktik-praktik diskursif akan membentuk subjek-subjek diskursif yang selalu berada dalam lingkaran dan operasi diskursif (Hall, 1997: 55-56). Perilaku dan orientasi subjek akan mengikuti apa-apa yang sudah ada dalam formasi diskursif. Foucault (1980: 194-196) menjelaskan bahwa aparatus dan teknik yang terhubung dengan koordinat pengetahuan tertentu berguna untuk mengatur subjek liyan yang dianggap bertentangan dengan regulasi yang ada. Aparatus melibatkan strategi relasi dari kekuatan yang mendukung dan didukung pengetahuan tertentu. Dengan demikian, pengetahuan merupakan sebuah bentuk kuasa. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kuasa tidak ikut menentukan pengetahuan. Kuasa juga mempunyai peran yang sangat kuat untuk menentukan dalam kondisi apa sebuah pengetahuan bisa diaplikasikan atau tidak; kuasa dan pengetahuan saling berhubungan serta tidak dapat dipisahkan—kuasa/pengetahuan. Bagi Foucault, hal yang lebih penting adalah memahami bagaimana penerapan dan keefektifan dari kuasa/pengetahuan, ketimbang masalah kebenaran itu sendiri, karena kebenaran selalu berada dalam konteks dan sejarah tertentu. Menurutnya, pengetahuan berhubungan dengan kuasa, bukan hanya mengasumsikan kekuasaan dari ‗kebenaran‘ tetapi mempunyai kuasa untuk menjadikan dirinya benar. Semua pengetahuan yang pada satu kesempatan diterapkan dalam jagat riil, mempunyai pengaruh yang riil, dalam pengertian paling tidak ‗menjadi benar‘. Pengetahuan, yang pada satu kesempatan digunakan untuk meregulasikan aturan bagi liyan, diikuti batasan, regulasi, dan pendisiplinan praktik. Jadi, tidak ada relasi kuasa tanpa pembentukan korelatif medan pengetahuan, atau tidak ada pula pengetahuan yang pada saat bersamaan tidak mengasumsikan dan membentuk relasi kuasa (Hall, 1997: 49; McHoul & Grace, 1993: 59). Bisa
dikatakan,
operasi
pengetahuan—berlangsung
dan
dalam
relasi
pola
kuasa—dalam
menyebar
karena
kaitannya memiliki
dengan beragam
mekanisme yang mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang normal dalam periode dan masyarakat partikular. Kuasa, menurut Foucault (1998: 94-95), memiliki spesifikasi-spesifikasi berikut: (1) kuasa kuasa dijalankan dari poin-poin tak terhingga—beragam wacana, praktik diskursif, dan institusi; (2) relasi-relasi kuasa tidak berada dalam posisi eksterioritas (di luaran) dalam kaitannya dengan tipe-tipe lain relasi (proses ekonomi, relasi-relasi pengetahuan, relasi seksual), tetapi bersifat immanen di dalam semua itu; (3) relasi-relasi kuasa tidaklah berada dalam posisi suprastruktural, secara langsung mempunyai peran produktif, di manapun mereka berada dalam permainan; dan, (4) kuasa berasal dari bawah. Dalam hal kuasa, Foucault memang tidak tertarik untuk membicarakan kekuatan eksternal deterministik—kekuatan ekonomi, misalnya—yang menentukan 15
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
wacana, tetapi lebih pada bagaimana mekanisme kuasa—teknik dan taktik— berlangsung dalam praktik diskursif: Apa yang menjadikan kuasa berlangsung secara baik, apa yang membuatkanya diterima, secara sederhana adalah fakta bahwa ia tidak memenuhi kita dengan kekuatan yang mengatakan tidak, tetapi ia bisa melintasi dan memproduksi banyak hal, ia membujuk dengan kesenangan, membentuk pengetahuan, dan memproduksi wacana. Ia perlu dipertimbangkan sebagai jejaring produktif yang berlangsung dalam keseluruhan tubuh sosial, lebih dari praktik negatif yang berfungsi sebagai represi. Dalam Discipline and Punish, apa yang ingin saya tunjukkan adalah bagaimana, sejak abad ke-17 dan ke-18 sampai abad-abad berikutnya, terdapat keberangkatan teknologikal yang benar-benar dalam hal produktivitas kuasa. Bukan hanya monarkimonarki pada periode klasik mengembangkan aparatus negara yang luar biasa [tentara, administrasi ketertiban dan fiskal], namun melebihi itu semua, terdapat sesuatu yang dimapankan pada periode tersebut, apa yang bisa disebut ―ekonomi‖ kuasa, yakni prosedur-prosedur yang memungkinkan efek-efek kuasa menyebar dalam tindakan yang bersifat ajeg, tak terinterupsi, bisa diadaptasi, dan ―di-individualisasikan‖ melalui keseluruhan tubuh sosial. Teknik-teknik baru ini lebih efisien dan tidak begitu merugikan [tidak membutuhkan biaya ekonomi yang terlalu banyak, tidak begitu berisiko, tidak begitu terbuka bagi celah dan resistensi] di bandingkan dengan teknik-teknik yang dikerjakan pada periode sebelumnya. (1984b: 61)
Dengan mekanisme yang demikian, kuasa tidak lagi dipahami sebagai tekanan karena subjek masyarakat mendapatkan wacana dan pengetahuan yang bersifat menjelaskan dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang masuk akal, sehingga mereka akan memposisikannya sebagai kebenaran dan kebutuhan. Dengan kata lain, kuasa dibangun melalui mekanisme ―pendisiplinan‖ dengan rujuan-rujukan wacana dan pengetahuan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang ada dalam masyarakat pada periode historis partikular (Wickman, 2008; Widder 2004: 412). Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, diciptakan sebagai subjek-subjek manusia yang berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas (Foucault, 1998: 38). Apa yang menarik untuk diperbincangkan lebih jauh lagi adalah apakah ketika tidak ada subjek yang bisa terlepas dari kuasa melalui praktik diskursif dan pendisiplinan tidak akan terjadi resistensi? Menurut Foucault (1998: 95), resistensi adalah kemutlakan yang setiap saat bisa terjadi ketika ada relasi dan operasi kuasa, ―di mana ada kuasa, di situ pula muncul resistensi, tetapi sebagai konsekuensinya, resistensi tersebut tidak pernah berada di luar relasi terhadap kuasa tersebut‖. Penjabaran soal kemungkinan resistensi, mengikuti pendapat Foucault (1998: 95-96), bisa dielaborasi ke dalam beberapa deskripsi berikut. Pertama, bahwa resistensi pada dasarnya selalu muncul ketika berlangsung sebuah kuasa. Kedua, samahalnya dengan beroperasinya kuasa yang menggunakan beragam poin, resistensi juga bisa berasal dari beragam poin. Ketiga, resistensi bersifat plural. Pluaritas ini bisa menjadi keunggulan karena bisa mewujudkan resistensi tidak dalam ketunggalan yang mudah dideteksi, tetapi juga bisa merugikan ketika tidak bisa diorganisir dan 16
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
diolah kembali. Ketiga, resistensi hanya bisa berjalan efektif atau menghasilkan perubahan ketika ia berlangsung dalam medan strategis relasi kuasa. Artinya, untuk melawan kuasa, subjek-subjek yang sadar dan kritis tidak harus sepenuhnya membuat poin maupun terma baru yang bertentangan dengan relasi kuasa, tetapi dengan memaknai kembali relasi yang ada dan kemudian digunakan untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digunakan menyerang balik. Keempat, dalam resistensi dibutuhkan poin resistensi yang bersifat mobile dan cepat berubah sehingga bisa memecah relasi yang sudah mapan dalam masyarakat untuk kemudian dilakukan reorganisasi dan re-grouping terhadap mereka-mereka yang punya kesadaran kritis sehingga mampu memunculkan wacana dan pengetahuan baru yang bisa memberikan penyadaran dan melampaui stratifikasi sosial yang ada. Kelima, perlu dilakukan kodifikasi atau semacam pengaturan yang bersifat strategis terhadap poin-poin resistensi yang bersifat plural sehingga revolusi menjadi mungkin terjadi. Memang pikiran Foucault mengenai resistensi bersifat sangat ideal, dan mungkin akan sulit diwujudkan dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Namun, pikiran-pikiran ideal itu bukan tidak mungkin diwujudkan ketika kesadaran kritis dan resisteni bisa disebarkan terus-menerus, baik dalam pola maupun strategi yang beragam dan terorganisir. Struktur sastrawi, wacana, dan kuasa Pemikiran-pemikiran Foucauldian menunjukkan bahwa analisis tentang wacana tidak bisa untuk tidak menimbang kehadiran mekanisme kuasa melalui praktik diskursif. Dengan perspektif demikian, Foucault memposisikan diri di luar tradisi strukturalisme terkait makna dalam relasi penanda-petanda, tetapi bukan berarti mengabaikan pembacaan persoalan struktur karena yang ia utamakan adalah pembacaan
terhadap
relasi
kuasa
yang
berlangsung
di
dalamnya
serta
perkembangannya dari masa ke masa. Meskipun demikian, bukan berarti kedua kutub tersebut tidak bisa disandingkan. Paling tidak, terdapat dua argumen untuk menyandingkan mereka. Pertama, strukturalisme dan wacana Focauldian samasama memproduksi subjek (Faruk, 2012: 264-265), tetapi dalam pemaknaan berbeda. Yang pertama memposisikan subjek sebagai makna denotatif—terbebas dari pengaruh dunia luar—dan subjek individu yang eksistensinya hanya berada dalam oposisi-oposisi biner dengan subjek lainnya dalam sebuah struktur linguistik. Yang kedua memaknai subjek sebagai makna atau topik yang kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan kepentingan kuasa untuk mendisiplinkan subjeksubjek manusia pada periode-periode historis partikular. Kedua, kedua pemikiran tersebut sama-sama menggunakan teks—dalam artian luas, dari teks tulis ilmiah, sastra, maupun visual—sebagai basis analisis, tentunya, dengan pemaknaan yang berbeda pula. Strukturalisme menggunakan teks untuk menemukan keutuhan 17
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
struktur dalam oposisi biner guna menemukan makna utama dalam praktik penandaan. Wacana Foucauldian menggunakan teks untuk melihat perkembangan wacana, teknologi dan mekanisme kuasa, serta pengaruhnya dalam pembentukan subjek-subjek manusia yang berada dalam atau terpengaruh oleh praktik diskursif yang ada dalam rentang historis partikular. Struktur naratif, puitik, dan dramatik dalam sebuah karya selalu memproduksi peristiwa-peristiwa yang memproduksi wacana-wacana partikular. Artinya, di dalam karya fiksional berlangsung praktik diskursif yang menjadikan wacana-wacana dominan terterima sebagai kebenaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Semua kepentingan kuasa yang hadir dalam makna-makna fiksional bertransformasi sebagai rasionalisasi-rasionalisasi yang berlangsung dalam wacana-wacana terkait permasalahan-permasalahan
yang
berkembang
dalam
masyarakat.
Foucault
memang tidak mau menyebut pemikirannya tentang kuasa dalam konteks ideologi Marxian yang deterministik, tetapi bukan berarti meniadakan persoalan kelas dan ideologi itu sendiri. Foucault (1984a: 60) memiliki beberapa alasan mengapa ideologi susah dioperasikan dalam analisisnya. Pertama, suka atau tidak suka, ideologi selalu berada dalam oposisi virtual terhadap sesuatu yang lain yang diposisikan sebagai kebenaran.
Foucault
meyakini
bahwa
persoalannya
bukan
berada
untuk
menggambarkan garis antara yang ada dalam wacana yang masuk ke dalam kategori keilmiahan atau kebenaran, serta bukan pula yang masuk dalam beberapa kategori lainnya. Yang penting adalah melihat secara historis bagaimana efek-efek kebenaran diproduksi dalam wacana, bukan lagi persoalan benar atau salah. Kedua, konsep ideologi merujuk pada sesuatu yang dalam pemahaman Foucault disebut tatanan sebuah subjek. Ketiga, ideologi berada dalam posisi sekunder yang bersifat relatif terhadap sesuatu yang berfungsi sebagai infrastruktur, seperti materialnya, detemninan ekonomi, dan lain-lain. Prosedur-prosedur diskursif yang menentukan subjek-subjek—baik
dalam
artian
topik
maupun
manusia—menunjukkan
berlangsungnya mekanisme dan relasi kuasa yang menjadi tujuan dari penyebaran ideologi. Karya sastra menjadi situs untuk mengkomunikasikan dan menyebarluaskan wacana dan pengetahuan sehingga ikut memperluas pula pembentukan subjek di dalam masyarakat. Bersama-sama dengan produk representasional lainnya, selain mengkonstruksi
wacana,
karya
sastra
juga
ikut
membentuk
subjek
dan
kecenderungan kultural dalam masyarakat. Dalam permainan struktur fiksional produk-produk reprentasional yang diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi secara luas (sirkuit komunikasi) berlangsung akumulasi dan pemusatan pengetahuan yang juga mendefinisikan kemapanan kuasa. Proses itulah yang ikut menciptakan individu-individu
sebagai
subjek
diskursif
dalam
sebuah
sirkulasi
kuasa/pengetahuan. Dengan demikian, wacana-wacana dan pengetahuan dalam 18
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
produk-produk representasional selalu berjalin-kelindan dengan persebaran ideologiideologi dominan dan kepentingan kuasa yang berlangsung dalam masyarakat. Mengikuti pemikiran di atas, struktur dunia karya sastra memproduksi makna-makna dalam praktik penandaan yang menghasilkan wacana-wacana tentang subjek partikular. Dalam makna-makna naratif persoalan-persoalan dalam masyarakat dikerangkai sebagai wacana dan pengetahuan yang dinaturalisasi sebagai kebenaran; kebenaran yang mampu menjadi arahan bagi subjek-subjek manusia
untuk
memahami
persoalan-persoalan
hidup.
Besley
(1990:
5-6)
menjelaskan bahwa ideologi dituliskan dalam wacana-wacana spesifik. Wacana merupakan ranah penggunaan bahasa, sebuah cara partikular untuk berbicara (dan menulis serta berpikir). Wacana melibatkan asumsi-asumsi tertentu yang disebarkan yang muncul dalam formulasi-formulasi yang mencirikannya. Wacana common sense, misalnya, akan berbeda dengan wacana fisika modern. Ideologi dituliskan dalam wacana dengan pengertian bahwa ia dituliskan secara literer atau dibicarakan di dalamnya. Ideologi bukanlah elemen terpisah yang eksis secara independen dalam beberapa wilayah yang mengambang bebas dari ide-ide dan mewujud dalam katakata, tetapi sebuah cara untuk berpikir, berbicara, dan mengalami. Namun, semua proses tersebut tetap berhubungan dengan penyebaran ideologi dominan dan kepentingan dalam masyarakat. Praktik diskursif dalam karya sastra yang dijabarkan melalui prosedur-prosedur diskursif memungkinkan berlangsungnya inkorporasi
terhadap
pengetahuan-pengetahuan
subordinat
untuk
semakin
mendekatkan karya dengan realitas kehidupan, sehingga persoalan ideologis dalam wacana dan pengetahuan yang ada menjadi semakin natural dan wajar. Mengikuti alur pemikiran Foucauldian, karya sastra bisa didefinisikan sebagai struktur dunia naratif, dramatik, atau puitik yang di dalamnya berlangsung praktik diskursif yang memproduksi wacana dan pengetahuan tentang permasalahanpermasalahan partikular yang berjalin-kelindan sebagai pengetahuan dominan dan permasalahan-permasalahan dalam masyarakat pada setting historis partikular, sekaligus sebagai bentuk mekanisme penyebaran ideologi dan relasi kuasa. Dengan kerangka
pikir
demikian,
untuk
membaca
karya
sastra
dengan
wacana
Foucauldian—yang menekankan praktik diskursif dalam pembentukan subjek dan mekanisme
kuasa
dalam
rentang
historis
partikular—perlu
pula
dibaca
permasalahan-permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang menjadi sumbersumber material bagi para penulis dalam memproduksi karya fiksional mereka.
19
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Membawa metode analisis Foucauldian ke dalam kajian sastra 1. Prasyarat metodologis Penjabaran teoretis di atas mengimplikasikan bahwa terdapat prasyarat metodologis yang harus dipahami terlebih dahulu sebemum membincang metode analisis. Menurut Foucault (1981: 67) terdapat 4 prasyarat, yakni (1) prinsip pembalikan, (2) prinsip diskontinuitas, (3) prinsip kekhususan, dan (4) prinsip eksterioritas. Yang dimaksudkan dengan prinsip pembalikan adalah peneliti harus mengungkap ―tindakan negatif‖ berupa pemangkasan dan penjernihan wacana, meskipun nalar awam akan memandang sumber wacana—khususnya terkait kemelimpahan dan kontinyuitasnya—sebagai figur yang memainkan peran positif seperti terkait konsep pengarang, disiplin, dan kehendak akan kebenaran. Kita harus
mengembangkan
sikap
curiga
terkait
wacana-wacana
yang
sengaja
dihilangkan atau dipermak sedemikian rupa sehingga hanya wacana-wacana partikular yang hadir. Contoh sederhananya adalah berkembangnya wacana-wacana kehidupan islami kaum muda tanpa menegasikan kehadiran budaya pop di era 2000an di mana wacana-wacana lain terkait dengan kenakalan—seperti seks bebas dan narkotika—dipangkas atau tidak dijadikan wacana dominan. Sebagai pengkaji wacana, kita harus mengembangkan sikap kritis mengapa hal itu bisa terjadi. Prinsip diskontinyuitas menegaskan bahwa fakta adanya sistem penjernihan wacana tidak berarti menjadikan wacana-wacana lain yang bertentangan bisa musnah. Kita wajib juga memunculkan wacana-wacana itu, karena mereka juga berhubungan
dengan
wacana-wacana
dominan,
meskipun
tidak
selamanya
mendukung. Wacana harus diperlakukan sebagai tindakan diskontinyu, yang saling melintasi satu sama lain, terkadang disandingkan satu dengan yang lain, tapi juga bisa mengeksklusi atau tidak sadar akan keberadaan yang lain.
Prinsip
diskontinyuitas, dengan demikian, menjelaskan bahwa wacana-wacana partikular tidak berdiri sendiri, tetapi bisa jadi mendapatkan respons atau berkaitan dengan wacana-wacana lain. Wacana-wacana tentang kaum remaja Muslim/ah yang suka memakmurkan masjid bisa jadi mendapatkan tentangan dari wacana tentang kaum remaja Muslim/ah yang tidak sering ke masjid tetapi mereka melakukan kerja-kerja sosial bersama-sama masyarakat miskin, anak-anak putus sekolah, dan lain-lain. Atau, ada pula wacana tentang kaum remaja yang jarang atau tidak pernah sholat lima waktu, tetapi mereka sibuk bekerja untuk membantu orang tua mereka yang sakit-sakitan. Seorang pengkaji harus mampu memperlihatkan bagaimana wacanawacana dikonstruksi dalam beragam karya representasional, tetapi masih merespons satu wacana utama tentang kaum remaja Muslim/ah. Prinsip kekhususan menegaskan bahwa dalam melakukan penelitian diskursif kita harus sadar bahwa wacana bukanlah sesuatu yang sudah diberikan kepada kita dalam bentuk jadi. Gugusan jagat tekstual dari bermacam genre 20
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
merupakan belantara yang harus kita perlakukan secara khusus, dalam artian kita uraikan bagaimana regularitas pembentukan wacana, mekanisme seperti apa yang berlangsung, dan mengusung wacana dominan apa kiranya. Kita tidak boleh raguragu untuk mengungkapkan agar bisa memformulasi konstruksi-konstruksi yang memang dimunculkan melalui teks-teks filsafat, sastra, hukum, kesehatan, ekonomi, politik, dan lain-lain. Prinsip ekstereoritas mengharuskan kita untuk tidak pernah pergi dari wacana menuju, misalnya, pada penandaan simbolik penuh makna atau pemikiran mendalam yang dianggap mewujud di dalamnya—seperti yang sering dilakukan kaum strukturalis. Sebaliknya, dengan tetap mendasarkan pada tampilan wacana dan regularitasnya, kita boleh beranjak kepada kondisi-kondisi eksternal terkait kemungkinan, kepada apa yang menumbuhkan rangkaian-rangkaian tak sengaja dari peristiwa-peristiwa tersebut, dan memastikan batasan-batasannya. Artinya, kita tetap harus mengungkap wacana-wacana yang ada di dalam teks, tetapi kita juga harus beranjak menuju wacana-wacana lain dalam teks atau di luar teks untuk kemudian memastikan bagaimana keterhubungan mereka. Misalnya, membicarakan wacana maskulinitas dalam sebuah teks drama bisa kita lakukan dengan menemukan keterhubungan antara satu wacana dengan wacana lain, meskipun terdapat kondisi-kondisi partikular terkait lata budaya, ekonomi, maupun politik yang ada di dalam teks. Kita bisa menentukan bagaimana maskulinitas dikonstruksi ketika berkaitan dengan kondisi ekonomi seorang lelaki. Demikian pula ketika berkaitan dengan persoalan politik ataupun budaya. Dari pemahaman itu kita bisa memformulasi keterhubungan antarwacana dalam teks. Selain itu, karena sifat wacana itu tidak hanya berhenti pada satu teks drama itu, kita bisa mulai menghubungkan formasi diskursif dalam teks drama dengan teksteks lain yang memiliki wacana maskulinitas. Menemukan keterhubungan di antara wacana dalam teks sastrawi dengan teks non-sastrawi merupakan usaha untuk mengungkapkan bagaimana sebenarnya terdapat partikularitas diskursif dan faktorfaktor yang menghubungkan mereka—kondisi konstekstual berupa formasi budaya, ekonomi, politik dalam masyarakat—sekaligus memunculkan batasan-batasan spesifik tanpa harus memutuskan keterhubungan tersebut. Batasan-batasan spesifik dari wacana dalam teks dramatik dengan teks-teks lain, alih-alih, menunjukkan betapa keberbedaan ruang dan bentuk tidak menghilangkan fakta bahwa wacana maskulinitas tetap ada. Keempat prinsip berupa peristiwa, rangkaian, regularitas, dan kondisi kemungkinan itulah yang akan memandu kita dalam regularitas analisis. Keempat prinsip itu juga bertentangan dengan model analisis dalam sejarah pemikiran tradisional yang mengedepankan penandaan, orisinalitas, kesatuan, dan ciptaan; sebuah pengaruh strukturalisme. Wacana sebagai peristiwa bertentangan dengan 21
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
konsep ciptaan yang tidak bisa diganggu-gugat. Wacana sebagai rangkaian bertentangan dengan kasatuan mendalam. Regularitas wacana yang menuntut kerja keras pengkaji agar bisa menentukan pembentukan wacana bertentangan dengan konsep orisinalitas. Yang menegaskan bahwa sebuah teks memang sudah sejak awal mengusung wacana yang kembali pada dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan wacana-wacana lain. Adapun kondisi kemungkinan berkebalikan dengan proses penandaan yang diasumsikan sudah pasti membawa makna mendalam di dalam struktur.
Yang
ada
adalah
kemungkinan-kemungkinan
keterhubungan,
pertentangan, atau ketersandingan wacana-wacana dalam teks dengan wacanawacana di luar teks. Keempat prinsip metodologis inilah yang harus dikerjakan oleh dalam bentuk metode-metode analisis. Dari paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa analisis kritis dan genealogis harus saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain (Foucault, 1981: 73). Porsi kritis dalam analisis akan diterapkan pada sistem-sistem yang menutupi wacana, serta mencoba untuk mengidentifikasi dan mengungkap prinsipprinsip pemberian sanksi, eksklusi, dan penjarangan/pelangkaan wacana. Porsi genealogis, di sisi lain, diterapkan untuk membaca rangkaian-rangkaian di mana wacana dibentuk secara efektif, mencoba untuk mengungkapkan kuasa afirmasi yang di dalamnya. Maksudnya adalah kuasa untuk membentuk ranah objek, dalam artian bahwa seseorang bisa memperkuat ataupun menolak dalil salah atau benar. 2. Metode analisis kritis dan genealogis: Saling mendukung dan melengkapi Dari keempat prasyarat tersebut, Foucault lalu memformulasi dua metode analisis, yakni metode analisis kritis dan metode analisis genealogi (1981: 70). Kedua metode ini terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan ketika membincang produksi wacana partikular di zaman tertentu. Analisis kritis akan bersandar pada prinsip
pembalikan,
seperti
mengungkap
bentuk-bentuk
eksklusi,
batasan,
apropriasi terkait bagaimana wacana dibentuk, merespons kebutuhan apa, bagaimana mereka dimodifikasi dan digantikan, batasan apa yang mereka gunakan secara efektif, serta dalam hal apa mereka dihindari. Sementara, metode geneaologis menjalankan keempat prinsip dalam prasyarat metodologis, seperti bagaimana rangkaian wacana dibentuk, melintasi banyak wacana dengan bantuan sistemsistem batasan; apa norma spesifik dari masing-masing rangkaian dan apa kondisi bagi pemunculan, pertumbuhan, dan variasi mereka. Dengan kata lain, analisis geneaologi memungkinkan kita untuk menguraikan dan menemukan rangkaian wacana partikular, kertehubungan mereka dengan wacana-wacana lainnya. Dengan demikian, analisis kritis akan memfokuskan pada bagaimana keberlangsungan
kendali
diskursif.
Sementara,
analisis
genealogis
akan
memfokuskan kepada formasi efektif wacana, baik itu berada dalam batas-batas 22
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kendali itu, atau berada di luar mereka, atau lebih sering berada pada kedua sisi batas sekaligus. Sederhanaya, analisis kritis akan membahas proses penjernihan, tetapi juga pengelompokan-ulang dan penyatuan wacana, sedangkan analisis genealogi akan mengkaji formasi wacana, secara bersamaan baik yang tampak tercerai-berai, diskontinyu, maupun teratur. Dengan kata lain, kedua analisis ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Formasi reguler wacana bisa menginkorporasi prosedur-prosedur kendali, dalam kondisi tertentu dan dalam tingkatan tertentu (apa yang terjadi, misalnya, ketika sebuah disiplin mengambil bentuk dan status sebagai wacana saintifik). Sebaliknya, figur kendali bisa juga mengambil bentuk di dalam formasi diskursif (sepertihalnya yang dalam kasus kritik sastra sebagai wacana yang membentuk pengarang). Jadi, tugas analisis kritis untuk mempermasalahan tindakan kendali, harus pada saat yang bersamaan menganalisis regularitas wacana yang melaluinya tindakan itu dibentuk, dan setiap deskripsi genealogis harus menekankan pada batasan-batasan yang berlangsung dalam formasi riil. Bisa dikatakan bahwa perbedaan antara analisis kritis dan genealogi bukanlah dalam hal objek atau ranah, tetapi pada poin serangan/tekanan, perspektif, dan pembatasan. Sebagai contoh, persoalan tabu yang mempengaruhi wacana seksualitas. Menurut Foucault (1981: 72) akan sangat sulit melakukan kajian itu tanpa menganalisis secara bersamaan rangkaian-rangkaian wacana—sastrawi, religius atau etis, medis atau biologis, yuridis juga—tempat di mana seksualitas didiskusikan, diberi nama, dideskripsikan, dimetaforiskan, dijelaskan, di-judged. Sangat sulit untuk membentuk wacana seksualitas yang tunggal dan teratur. Tabu dalam wacana sastrawi dan wacana medis tentu tidak memiliki bentuk dan fungsi yang sama, sepertihalnya di bidang-bidang lain. Sebaliknya, regularitas diskursif yang berbeda ini tidak memiliki cara yang sama untuk memperkuat, dihindari, ataupun menggantikan tabu. Jadi, kajian bisa dilakukan hanya berdasarkan pluralitas rangkaian yang di dalamnya terdapat tabu-tabu di tempat kerja yang paling tidak berbeda sebagian pada masing-masing tabu. Foucault melakukan riset mendalam terkait sejarah pemikiran, sehingga ia harus membuka banyak arsip. Tentu tidak hanya teks sastra, tetapi juga teks-teks lain dari bermacam disiplin ilmu pengetahuan. Lalu, kalau memang demikian, apakah kita tidak boleh menggunakan teori Foucauldian untuk menganalisis karya sastra atau karya-karya representasional lainnya? Tentu saja boleh karena karyakarya representasional juga memproduksi wacana. Dalam analisis sastra, tentu metode ini harus bisa dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa operasikan. Karena materialnya adalah teks sastra yang diproduksi pada era tertentu, maka yang harus kita lakukan pertama-tama adalah mengungkapkan bagaimana sebuah wacana dikonstruksi sedemikian rupa melalui peristiwa-peristiwa naratif, baris-baris puitik, 23
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
dan dialog-dialog dramatik yang melibatkan tokoh atau subjek sastrawi, misalnya. Teks sastra yang akan dianalisis bisa hanya berupa sebuah karya atau lebih. Misalnya, kita menganalisis sebuh novel, sebut saja ABCD karya Anthony atau beberapa karya Anthony yang bercerita kehidupan orang-orang miskin di era Revolusi Industri. Atau, kita bisa juga menganalisis ABCD dan satu atau lebih karya penulis lain yang memiliki kesamaan topik. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa wacana dalam teks sastra hanyalah sebuah formasi diskursif yang terhubung dengan wacana-wacana lain dalam teks-teks sastrawi lainnya atau non-sastrawi. Untuk itulah kita bisa mengadopsi metode kritis dan genealogis agar kita bisa mengungkap bagaimana pembentukan wacana-wacana partikular dalam sebuah teks dan keterhubungannya dengan wacana-wacana dalam teks lainnya, dengan tujuan melihat episteme dan pengetahuan seperti apa yang berpengaruh kepada subjek masyarakat pada rentang historis partikular. a. Menguraikan beroperasinya fungsi-fungsi eksklusi Menurut (Foucault, 1981: 70), pertama-tama, analisis diarahkan kepada bagaimana pemisahan antara dua hal yang berlangsung dalam teks-teks yang sedang dikaji atau beroperasinya sistem larangan melalui bahasa terkait topik tertentu. Contoh yang sangat gamblang dari proses ini adalah bagaimana Foucault menganalisis pemisahan antara ―kegilaan‖ dan ―kebernalaran‖ dalam epos-epos klasik. Selain itu ia juga menguraikan bagaimana sistem larangan terkait seksualitas terjadi di Eropa sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Apa yang harus diingat adalah bahwa tujuan dari metode ini bukanlah untuk memahami bagaimana larangan itu secara progresif dihapus, tetapi untuk melihat bagaimana larangan itu digantikan dan reartikulasikan dari praktik pengakuan doa yang di dalamnya kebiasaan terlarang diberi nama, diklasifikasi, di-hirarki-kan dengan begitu kentara berganti menjadi kemunculan tema-tema seksual yang malu-malu dan sangat terlambat dalam pengobatan dan praktik psikiatri abad ke-19. Artinya, ada proses transformasi wacana terkait seksualitas yang berlangsung dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Misalnya, kita bisa menemukan konstruksi ―kedermawanan‖ (philanthropism) yang dikontraskan dengan ―kerakusan‖ (greedy) dalam ABCD. Kedermawanan dilekatkan dengan tuntutan yang harus dilakoni oleh orang-orang kaya di tengahtengah kemiskinan warga kota-kota besar di Inggris. Sementara, kerakusan berkaitan erat dengan hasrat membuncah orang-orang kaya untuk menumpuk keuntungan finansial dan ketidakmauan mereka untuk berbagi sedikit rezeki kepada orang-orang miskin di pemukiman-pemukiman kumuh. Kedermawanan akan menjadi jalan bagi orang-orang kaya agar selamat dan kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak; sebuah pelekatan kepada wacana religiusitas. Tentu saja, kederwanan itu akan muncul dalam banyak peristiwa atau pernyataan yang bisa 24
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
jadi berbeda satu sama lain dalam memaknai wacana itu. Adapun kerakusan hanya akan mengakibatkan celaka bagi orang-orang kaya. Pembedaan di antara kedua wacana ini sangat kentara di mana yang pertawa didukung oleh wacana-wacana keagamaan dan yang terakhir bertentangan dengan ajaran agama, meskipun bisa menjadikan orang-orang kaya semakin kaya. Memang, novella ini tidak secara eksplisit memasukkan sistem larangan, tetapi dengan pembedaan secara kontras yang berhubungan dengan hukum-hukum Kristiani juga akibat-akibat buruk yang menakutkan, kedermawanan jelas dinegosiasikan sebagai wacana dominan yang sebaiknya dilakoni dan dikembangkan orang-orang kaya. Mengetahui formasi diskursif dalam satu teks sastrawi tentu tidak cukup karena kita juga perlu mengetahui keterhubungan wacana ―kedermawanan‖ dan ―kerakusan‖ dengan wacana-wacana serupa ataupun yang berbeda terkait kedua wacana tersebut. Juga yang perlu diungkap adalah keberadaan dan konstruksi kedua wacana itu di teks-teks lainnya, termasuk teks ekonomi, politik, hukum, sosiologi, hukum, psikologi, dan lain-lain. Keperluannya adalah untuk melihat kesamaan, titik-temu, dan, atau bahkan, perbedaan di antara mereka. Ini penting untuk menempatkan wacana dalam teks sastrawi yang dianalisis dengan wacanawacana dari teks lain, sehingga bisa melihat praktik diskursif pada masa partikular. Kepentingan lain dari model geneaologis ini adalah untuk melihat bagaimana proses munculnya wacana-wacana dominan kedermawanan dan keterhubungan di antara mereka yang mempengaruhi publik serta kekuatannya di tengah-tengah gerak cepat industrial masyarakat Inggris. Analisis berikutnya diarahkan masih pada bentuk eksklusi, yakni pilihan akan kebenaran (Foucault, 1980: 70-71). Arahnya adalah untuk menemukan bagaimana pilihan akan kebenaran—yang di dalamnya kita ‗ditangkap‘ tapi kita tanpa lelah memperbaruhinya—dibuat, tetapi juga bagaimana ia diulang, diperbarui, atau diganti. Dalam tahapan ini kita membaca transformasi wacana-wacana yang dikonstruksi terkait kehendak untuk kebenaran dari masa ke masa. Misalnya, dari abad
Yunani,
Foucault
bisa
membaca
bagaimana
beragam
wacana
yang
berpengaruh, wacana ritual, dan wacana yang sarat kuasa dan bahaya secara gradual muncul untuk melegitimasi pembagian antara wacana yang benar dan salah. Kemudian beranjak kepada abad ke-16, di mana wacana-wacana partikular mulai menjadi bagian dari ilmu pengetahuan berbasis tatapan, observasi, dan fakta mapan serta bagian dari filsafat natural tertentu. Tidak diragukan lagi, kondisi diskursif ini tidak bisa dilepaskan dari pengaturan struktur politik baru dan dari ideologi agama. Maka, tidak diragukan lagi, perkembangan wacana dalam kondisi kontekstual demikian membentuk sebuah kehendak untuk mengetahui. Analisis pada abad ke-19 di mana ilmu pengetahuan modern sudah berkembang, terjadinya revolusi industri, dan ideologi positivis yang menemaninya. Analisis tiga tahapan pembentukan 25
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
wacana dan pengetahuan itu menjadi bentuk tiga-seksi-yang melintasi dalam morfologi dari kehendak kita untuk mengetahui. Model analisis sebelumnya sangat membantu kita dengan memunculkan wacana-wacana dominan ―kedermawanan‖ dan ―kerakusan‖ pada periode Revolusi Industri Inggris dan Eropa. Katakanlah dari analisis keterhubungan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa kedermawanan merupakan ―pilihan akan kebenaran‖ di tengah-tengah kemajuan pesat ekonomi, perubahan sosial-politik, pergeseran kultural di tengah-tengah kapitalisme industrial. Pilihan ini memang perlu dipertanyakan, apakah tiba-tiba muncul pada masa ini ataukah sudah ada pada masa-masa sebelumnya. Kalau memang sudah ada pada masa-masa sebelumnya, bagaimana bentuk dominannya dalam teks-teks yang diproduksi. Dari sini kita bisa membandingkannya dengan masa Revolusi Industri untuk menemukan fakta perubahan atau transformasi ―pilihan akan kebenaran‖ dari masa-sama sebelumnya. Tentu, kita bisa menemukan partikularitas-partikularitas kondisi sosial, ekonomi, politik yang menjadi medan diskursif kelahiran wacana-wacana yang memformulasi masing-masing ―kehendak untuk mengetahui‖ dan ―pilihan akan kebenaran‖. b. Analisis pengaruh wacana dengan klaim-klaim spesifik Yang tidak boleh begitu saja dilupakan adalah analisis pengaruh wacana dengan klaim-klaim spesifik—wacana medis, psikiatrik, dan sosiologis, misalnya— terhadap rangkaian tindakan dan wacana-wacana menentukan yang dibentuk oleh sistem hukuman (Foucault, 1981: 71). Titik berangkat dan material dasar analisis ini akan menjadi kajian terhadap keahlian psikiatrik dan perannya dalam sistem hukuman. Dalam analisis sastra, tentu metode ini bisa dikatakan gampang-gampang susah. Namun, kalau kembali pada kenyataan bahwa setiap wacana akan mempengaruhi subjek, maka, kita bisa melihat pengaruh wacana tersebut subjeksubjek diskursif dalam narasi—subjek naratif atau tokoh dalam cerita. Baik tokoh utama (main character) ataupun para tokoh pendukung (supporting characters) tentu akan berada dalam rangkaian cerita yang memformulasi wacana-wacana tertentu. Dan dengan bermacam klaim, semisal klaim religi, mereka yang tidak mau berbagi rezeki dengan subjek-subjek miskin akan mendapatkan hukuman dari Tuhan, misalnya. Selain itu, sangat mungkin ada alasan sosiologis yang mengatakan bahwa kedermawanan akan membawa subjek kaya ke dalam relasi sosial yang tidak dimusuhi oleh subjek miskin. Nah, bagi mereka yang melawan, akan mendapatkan hukuman dari Tuhan maupun hukuman sosial, sehingga secara psikologis akan merasa terganggu. Tentu, seperti analisis sebelumnya, kita perlu melihat juga dalam teks-teks non-sastrawi terkait analisis terhadap persoalan pertumbuhan kelas menengah dan 26
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kelas kaya/elit berbasis industri di Inggris pada era Revolusi Industri serta semakin meningkatnya jumlah kaum miskin. Kepentingannya adalah untuk menemukan gagasan-gagasan terkait kedermawanan di tengah-tengah kerakusan kelas kapitalis yang ditawarkan kepada publik Inggris, khususnya kelas menengah dan atas sebagai kekuatan utama dalam kapitalismei industri. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah melihat pengaruh ulasan-ulasan dari aspek ekonomi, sosiologis, politik, hukum, maupun psikologis terkait kedermawanan dan kerakusan serta implikasinya kepada munculnya aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan publik terkait kontribusi orang-orang berduit terhadap permasalahan sosial. Analisis ini menjadi penting untuk melihat efektifitas praktik diskursif terkait kedermawanan di dalam kehidupan masyarakat dan kebijakan negara, termasuk hubungannya dengan konteks industrial yang lebih luas di mana kapitalisme industrial menjadi tertuduh bagi banyak permasalahan sosial. c. Analisis prosedur pembatasan wacana Analisis berikutnya adalah membaca prosedur pembatasan wacana, meliputi prinsip pengarang, prinsip komentar, dan prinsip disiplin. Foucault (1981: 71) memberikan contoh bagaimana sejarah ilmu pengobatan dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Tujuannya tidak melulu berurusan dengan usaha untuk menunjukkan dengan tepat temuan-temuan yang diciptakan atau konsep-konsep yang bisa dioperasionalkan, tetapi untuk menangkap bagaimana di dalam konstruksi wacana medis dan keseluruhan institusi yang mendukung, menyebarluaskan, dan memperkuatnya, prinsip pengarang, komentar, dan disiplin digunakan. Analisis ini berusaha keras untuk menemukan bagaimana prinsip pengarang besar dioperasikan dan bagaimana praktik aphorism (kebenaran umum) dan komentar dijalankan; khususnya pada bagaimana prinisip-prinsip itu memberikan tempat bagi praktik kasus, praktik koleksi kasus, dan praktik magang klinik menggunakan kasus nyata. Analisis ini juga berusaha untuk menemukan berdasarkan model apa wacana pengobatan mencoba untuk membentuk dirinya sebagai sebuah disiplin, yang awalnya condong ke sejarah alam, lalu ke anatomi dan biologi. Dalam konteks sastra hal itu bisa dilihat, misalnya, pada bagaimana kritik sastra dan sejarah sastra di abad ke-18 dan abad ke-19 membentuk person pengarang dan figur oeuvre—seniman yang bisa melukis, menciptakan komposisi lagu, dan menulis, seperti Mozart—dengan menggunakan, memodifikasi, dan menggantikan prosedur penafsiran religius, kritik Injili, hagiograpfi (kajian tentang kehidupan santo), ‗kisah hidup‘ yang bersifat historis dan melegenda, otobiografi, dan memoar (Foucault, 1981: 71). Para penulis kritik dan sejarah sastra memiliki aturanaturan diskrusif yang membatasi kriteria untuk menunjukkan pengarang dengan karya-karyanya ataupun para seniman yang serba bisa. 27
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Dari contoh di atas, kita bisa memulai analisis ini dari wacana-wacana yang dikonstruksi oleh Anthony terkait kedermawanan dan kerakusan sebenarnya terikat oleh wacana-wacana lain serupa karena sebagai pengarang ia terikat oleh formula atau bentuk-bentuk yang sedang berkembang di masyarakat, meskipun dalam bentuk karya sastrawi. Perlu juga kita melihat bagaimana komentar para kritikus sastra—dengan standard-standard akademis tertentu—terhadap ABCD dan novellanovella sejenis, khususnya terkait isu-isu kedermawanan dan kerakusan atau isu-isu sosial, sehingga terbentuk otoritas sastrawi di universitas-universitas terkemuka di Inggris atau negara-negara lain yang dianggap memiliki kapabilitas. Komentar para kritikus dari universitas-universitas tersebut, baik yang mendukung ataupun menentangnya, pada akhirnya, bisa menjadi batasan-batasan yang membatasi cara pandang pembaca terhadap teks novella itu sendiri. Akibatnya, muncul otoritasotoritas sastrawi yang akan menjadikan formula yang dibuat Anthony sebagai rezim kebenaran yang menjadikannya seorang pengarang yang patut dicontoh oleh para pengarang lain yang ingin mendapatan penerimaan publik; kepentingan ekonomi dan industrial dalam hal penerbitan. Ketika semakin banyak pengarang yang meniru formula diskursif Anthony dan semakin banyak kritikus yang membicarakannya, maka batasan-batasan wacana yang ada akan menjadi otoritas yang sulit diganggu, sebuah rezim kebenaran. d. Menemukan kuasa dan kepentingan Dari analisis-analisis di atas ini sebenarnya kita sudah bisa menemukan fakta terkait beroperasinya kuasa yang dimainkan melalui wacana kedermawanan dan kerakusan. Mengapa? Karena kita bisa mengetahuai bagaimana subjek-subjek naratif dan subjek-subjek diskursif dibentuk di dalam teks sastrawi maupun teksteks yang lain di mana mereka terikat terhadap wacana besar kapitalisme industrial, meskipun berada dalam dua konstruksi yang berbeda. Ketika mereka menyepakati, menolak, ataupun menerima dengan syarat-syarat tertentu itu menunjukkan bahwa mereka sudah berada dalam medan wacana. Ketika kedermawanan yang lebih ditonjolkan memang meminggirkan atau memarjinalkan kerakusan sebagai sang liyan dalam konfigurasi masyarakat industrial. Sekilas, memang ini menjadi bentuk resistensi terhadap akumulasi modal kelas kapitalis. Subjek-subjek naratif dalam teks mengikuti kebenaran wacana kedermawanan dan bukannya melanggengkan kerakusan kapitalisme.
Artinya,
kedermawanan
menjadi
pengetahuan
yang
terhubung dengan teks-teks non-sastrawi yang juga menjadi semacam konsensus di antara kelas elit Inggris, misalnya. Subjek-subjek naratif dalam teks yang dianalisis dan subjek-subjek diskursif dalam teks-teks lain menyepakati pengetahuan tentang kedermawanan dalam bermacam bentuknya sebagai ―mekanisme sosial‖ yang bisa sedikit mengatasi permasalahan rakyat miskin dan jelata. 28
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Kita harus melihat lagi, rangkaian diskursif yang dikonstruksi dalam teks sastrawi dan teks-teks non-sastrawi yang mengusung kedermawanan sebagai rezim kebenaran di tengah-tengah masyarakat industrial. Kita harus menghubungkan kembali alasan-alasan kontekstual yang mendasarinya. Bahwa dalam kehidupan kapitalis yang diwarnai ketidakadilan ekonomi di mana si miskin sengsara dan si kaya makmur-sejahtera, kedermawanan bisa menjadi oase kecil yang akan menghadirkan ‗suasana menyegarkan‘ sehingga orang-orang miskin bisa merasakan sedikit kebahagiaan. Dan, bagi orang-orang kaya, memberikan sedikit rezeki mereka ke panti-panti asuhan dan panti sosial atau melalui aktivitas-aktivitas kemanusiaan seperti pemberian makan gratis dan membangun fasilitas bermain, tentu tidak akan mengurangi banyak rezeki mereka. Efeknya diskursif dan politisnya, mereka akan mendapatkan persepsi positif dari warga miskin, sehingga aktivitas-aktivitas industrial mereka tidak akan dipermasalahkan. Lebih jauh lagi, mereka bisa terus melakukan
aktivitas
produksi
untuk
menumpuk
kekayaan
tanpa
direcoki
perlawanan dari orang-orang miskin yang kelaparan. Dengan demikian, wacana dan pengetahuan kedermawanan merupakan sebuah formasi dan praktik diskursif yang menjadi bagian dan mendukung dari kapitalisme industri berkembang pesat di Inggris ketika Anthony menulis novella tersebut. Simpulan Memang, Foucault menulis semua karya akademisnya dengan kalimat-kalimat majemuk bertingkat yang sangat kompleks; banyak koma dan titik-koma. Tentu dibutuhkan kejelihan dan kecakapan dalam memahami kompleksitas tersebut. Maka, saya pribadi menganggap bahwa tulisan ini bukanlah karya metodologis final yang
berangkat
dari
kompleksitas
pemikiran
Foucault
terkait
wacana,
kuasa/pengetahuan. Selama ini, teori representasi yang digawangi oleh Hall memang menjadi pintu masuk yang sangat sederhana untuk menggunakan teori-teori Foucault. Namun, kalau kita mau memahami, memodifikasi, dan menerapkan teoriteori tersebut, tentu teori representasi sangatlah kurang. Menurut saya, yang terpenting dari usaha metodologis ini adalah bagaimana membawa semangat dan kegairahan Foucault dalam membincang wacana yang tidak pernah netral dan tidak cukup hanya dimaknai dalam terma linguistik struktural. Dan, meskipun Foucault sangat alergi untuk menamai kelas ataupun ideologi— sesuai dengan logika Marxian—dalam karya-karyanya, tulisan ini membuktikan bahwa wacana, pengetahuan/kuasa, tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi politik dan ideologi yang berlangsung dalam masyarakat, di mana tetap saja ada sekelompok orang atau kelas yang merasakan keuntungan dari formasi dan praktik diskursif. Dan, menemukan itu semua melalui analisis karya sastra sungguh sangat menantang karena kita bisa berselancar ke dalam banyak teks dan konteks, teks 29
Teks, wacana, dan kuasa: Implikasi teoretis dan metodologis Pemikiran Foucault dalam kajian sastra IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
sastrawi dan non sastrawi, serta memformulasi relasi dan operasi kuasa yang menguntungkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pustaka acuan Belsey, Catherine. 1990. Critical Practice. London: Routledge. Danaher, Geoff, Tony Schirato, & Jen Webb. 2000. Understanding Foucault. London: Allen & Uwin. Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foucault, Michel. 2015a. ―The Silence of Mad‖, in Language, Madness, and Desire: On Literature. (English trans. by Robert Bannono). Minneapolis: University of Minnesota Press: 1-24. Foucault, Michel. 2015b. ―What is Literature?‖, in Language, Madness, and Desire: On Literature. (English trans. by Robert Bannono). Minneapolis: University of Minnesota Press: 45-65. Foucault, Michel. 2013. Archaeology of Knowledge. London: Routledge. Foucault,. 1998. The Will to Knowledge, The History of Sexualities Volume 1 (English trans. Robert Hurley). London: Penguin Books. Foucault, Michel. 1984a. ―Truth and Power‖. Dalam Paul Rainbow (ed). Foucault Reader. New York: Panthean Books. Foucault, Michel. 1984b. ―The Author‖. Dalam Paul Rainbow (ed). Foucault Reader. New York: Panthean Books. Foucault, Michel. 1981. ―The Order of Discourse‖, Inaugural Lecture at the College de France, 2 Desember 1976, dipublikasikan kembali dalam Robert Young (ed). Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd. Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester. Hall, Stuart. 1997. ―The Work of Representation‖, dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University. Machado, Roberto. 2012. ―Foucault, Philosophy, and Literature‖, in Contemporary French and Francophone Studies, Vol. 16, No. 2: 227–234.
Young, Robert J.C. 1981. “Introduction to The Order of Discourse”. Dalam Robert Young (ed). Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd. McHoul, Alec & Wendy Grace.1993. A Foucault Primer: Discourse, Power, and the Subject. London: Routledge. Wickham, Gary, 2008. ―The social must be limited: Some problems with Foucault's approach to modern positive power‖, dalam Jurnal Sociology, Vol. 44, No.1. Widder, Nathan. 2005. ―Foucault and Power Revisited‖. Dalam European Journal of Political Theory, Vol. 3, No. 4, 2004. 30