KAJIAN PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL DAN PERBENIHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merrill)
WAHYU WIDYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Perkembangan Varietas Unggul dan Perbenihan Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2008 Wahyu Widyawati NRP. A351030051
ABSTRACT WAHYU WIDYAWATI. Studies on Development of Improved Variety and Seed System of Soybean. Under supervisor of ASEP SETIAWAN, TATI BUDIARTI and SETIA HADI. Harvested soybean area nationaly in the last decade tends to decline. Such condition should be seriously taken into consideration. In this study we evaluated some aspects : (1). The development of soybean improved varieties and its economic value; (2). The response of farmer on soybean improved varieties which has been released; (3). Factors which influence the farmer in the ulitization of soybean improved seed. In this study we used survey methods through direct interview to the farmer in Cianjur and Subang districts, West Java. Other supporting data were gathered by planting seven (7) varieties of soybean. The study revealed that some characteristics of soybean improved varieties have achieved well improvement of to now, i.e. relatively moderate harvest time, bigger seed size, better yield potential and relatively good in pest and diseases resistence. Wilis variety, based on the economic value, could be regarded as the most commercial variety due to its wide distribution and its continuous planting periodes from year to year. This variety has been grown in more than 20 provinces, with the planting area more than 25.000 ha. In addition, Anjasmoro and Mahameru as new varieties have good potensial to develop because both varieties has been grown in area more than 1.000 ha and distributed in 5 provinces. Key word : Soybean, varieties, commercialitation, seed
RINGKASAN WAHYU WIDYAWATI. Kajian Perkembangan Varietas Unggul dan Perbenihan Kedelai (Glycine max (L) Merrill). Dibimbing oleh ASEP SETIAWAN, TATI BUDIARTI dan SETIA HADI. Luas panen kedelai nasional dalam dekade terakhir cenderung menurun. Hal ini memerlukan perhatian dan pengkajian untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan varietas unggul kedelai dan komersialisasi benihnya, mengetahui respon petani terhadap varietas unggul kedelai yang telah dilepas oleh pemerintah dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Mei hingga Oktober 2007 di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Subang, Jawa Barat serta di kebun percobaan Bagian Ilmu dan Teknologi Benih Leuwikopo, Kampus Darmaga IPB. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan data sekunder mengenai perkembangan varietas-varietas unggul kedelai dan perbenihan kedelai meliputi luas areal, produktivitas dan produksi kedelai yang diperoleh dari instansi terkait yaitu Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Direktorat Perbenihan dan PT. Sang Hyang Seri. Selanjutnya metode survey untuk pengambilan data primer yang didapat melalui wawancara langsung dengan petani di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sebagai data pendukung melakukan penanaman 7 varietas kedelai. Metode pengambilan contoh untuk faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan varietas unggul kedelai dilakukan dengan metode simple random sampling yaitu pengambilan contoh acak sederhana dengan petani sebagai responden diambil masing-masing tiap daerah 30 petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir, luas panen dan produksi kedelai cenderung menurun, lebih dari 50 %. Hal ini tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan, yang berakibat pada peningkatan secara tajam impor kedelai. Jumlah varietas unggul kedelai nasional yang dilepas pemerintah dari tahun 1918 hingga 2006 sebanyak 66 varietas. Berdasarkan karakteristik varietas unggul kedelai yang telah dilepas oleh pemerintah menunjukkan bahwa pada awal perkembangannya, tahun 1918 varietas kedelai memiliki umur dalam, ukuran biji kecil, potensi hasil rendah dan rentan terhadap hama penyakit. Kemudian antara tahun 1924 sampai 1981 umumnya varietas yang dilepas memiliki umur sedang, ukuran biji sedang dan potensi hasil sedang. Tahun 1982 sampai 2006 mengalami perkembangan yaitu berhasil dilepas varietas-varietas yang memiliki umur tanaman relatif sedang, ukuran biji semakin besar, potensi hasil yang meningkat dan ketahanan hama penyakit relatif baik. Penelitian terhadap tingkat komersialisasi varietas unggul kedelai dilihat dengan beberapa tolok ukur yaitu luas pertanaman suatu varietas, umur varietas dan sebaran varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Wilis dapat digolongkan sebagai varietas yang paling komersial karena penyebarannya lebih
di 20 propinsi, luas pertanamannya lebih dari 25.000 ha dan lama penggunaannya, selalu ada ditanam dari tahun ke tahun. Anjasmoro dan Mahameru merupakan varietas-varietas baru yang potensial berkembang. Saat ini telah ditanam lebih dari 1000 ha dan menyebar di 5 propinsi. Hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani di Kabupaten Cianjur dan Subang dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai diperoleh bahwa faktor utama yang menjadi alasan petani yaitu faktor produktivitas, ukuran biji, umur tanaman dan ketahanan terhadap hama penyakit. Selain itu varietas kedelai yang banyak digunakan petani di Kabupaten Cianjur yaitu varietas Anjasmoro dan Davros. Berbeda dengan petani di Kabupaten Subang yang banyak menggunakan varietas Lokon dan Wilis. Hasil analisis regresi linier berganda dengan 10 variabel yaitu harga beli benih, pengalaman berusahatani, umur petani, tingkat pengetahuan petani, ketersediaan benih di pasaran, status pengairan, tingkat pendidikan terakhir petani, luas lahan garapan, jenis pekerjaan dan penyuluhan perbenihan, terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi petani dalam memilih varietas unggul kedelai menunjukkan bahwa di Kabupaten Cianjur, untuk tingkat pengetahuan petani berpengaruh nyata terhadap preferensi petani dalam memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai. Selanjutnya di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa variabel harga beli benih, tingkat pengetahuan petani dan penyuluhan perbenihan yang berpengaruh nyata terhadap preferensi petani dalam memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai. Kata kunci : Kedelai, varietas, tingkat komersialisasi, benih.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL DAN PERBENIHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merrill)
WAHYU WIDYAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Kajian Perkembangan Varietas Unggul dan Perbenihan Kedelai (Glycine max (L) Merrill) Nama : Wahyu Widyawati NRP : A 351030051 Program Studi : Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Asep Setiawan, MS Ketua
Dr. Ir. Tati Budiarti, MS Anggota
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 31 Januari 2008
Tanggal Lulus : …………………..
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, penelitian dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis berjudul ”Kajian Perkembangan Varietas Unggul dan Perbenihan Kedelai (Glycine max (L) Merrill)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan penulisan Tesis ini dapat diselesaikan atas pengarahan dan bimbingan dari Tim Komisi Pembimbing. Penulis menyampaikan terima kasih dengan tulus dan penuh rasa hormat kepada Dr. Ir. Asep Setiawan, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Tati Budiarti, MS dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS, masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Rektor IPB dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan mengikuti Studi Program Magister Sains. Kepada rektor Universitas Palangkaraya (UNPAR) dan Dekan Fakultas Pertanian UNPAR serta Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, penulis sampaikan terima kasih atas ijin melanjutkan Studi Program Magister Sains. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Pengurus Program DUE-Like Universitas Palangkaraya yang telah membiayai studi penulis. Kepada Ayahnda, Ibunda tercinta dan Mertua, serta Kakak dan Adik yang berada di Kalimatan Tengah dan Lampung, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas pengorbanan dan do’a restunya. Khusus kepada suami tercinta Maulana Zamhur dan Anaknda tersayang Muhammad Aziz Arrahman, tetap setia mendampingi penulis dengan penuh kesabaran dan keceriaan, penulis sampaikan ucapan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Bogor,
Februari 2008
Wahyu Widyawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 27 Agustus 1972, merupakan putri ke empat dari enam bersaudara, dari Ayahnda Drs. R. Siswoyo Prawirodinoto dan Ibunda Roeskiah. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1984 di SD Inpres Patih Rumbih Palangkaraya. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1987 di SMP Negeri 1 Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1990 di SMA Negeri 1 Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun 1990, penulis diterima sebagai Mahasiswa jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Berpotensi. Penulis adalah penerima beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari Universitas Palangkaraya dan lulus tahun 1995. Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1997 sebagai Tenaga Pengajar pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya dari program DUE-Like Universitas Palangkaraya.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR DAN LAMPIRAN ....................................................... xi PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5 Karakteristik Tanaman Kedelai ................................................................ 5 Pengertian Benih Bermutu ....................................................................... 7 Varietas Unggul ....................................................................................... 8 Tingkat Komersialisasi Benih .................................................................. 9 Sistem Pengadaan Benih .......................................................................... 10 Kebijakan Perbenihan .............................................................................. 12 METODOLOGI .............................................................................................. 16 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 16 Metode Penelitian .................................................................................... 16 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 21 Perkembangan Varietas Unggul Kedelai ................................................. 21 Komersialisasi Varietas Unggul Kedelai ................................................. 27 Kajian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Petani Dalam Penggunaan Benih Bermutu Dari Varietas Ungggul Kedelai .......... 36 Faktor-faktor Yang Berperan Dalam Pemilihan Dan Penggunaan Varietas Unggul Kedelai ............................................. 38 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 46 Kesimpulan .............................................................................................. 46 Saran ......................................................................................................... 47 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas Pertanaman per Varietas Musim Tanam 2001-2006 ........................ 29 2. Lokasi Persebaran per Varietas Musim Tanam 2001-2006 ...................... 30 3. Persentase Varietas Kedeai Yang Digunakan Oleh Responden di Kabupaten Cianjur dan Subang ............................................................. 36 4. Faktor-faktor Yang Menjadi Alasan Petani di Kabupaten Cianjur Dan Subang Dalam memilih Varietas Unggul Kedelai ............................ 37 5. Harga Benih di Tingkat Petani .................................................................. 38 6. Pengalaman Berusahatani ......................................................................... 39 7. Tingkat Umur Petani ................................................................................. 39 8. Tingkat Pengetahuan Petani ...................................................................... 40 9. Tingkat Kemudahan Petani Memperoleh Benih ....................................... 41 10. Status Pengairan ........................................................................................ 41 11. Tingkat Pendidikan Terakhir Petani .......................................................... 42 12. Luas Lahan Garapan Petani ...................................................................... 42 13. Jenis Pekerjaan Petani ............................................................................... 43 14. Penyuluhan Perbenihan ............................................................................. 43 15. Rekapitulasi Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Preferensi Petani Dalam Memilih Varietas Unggul Kedelai di Kab. Cianjur ............ 44 16. Rekapitulasi Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Preferensi Petani Dalam Memilih Varietas Unggul Kedelai di Kab. Subang ............ 45
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai Tahun 1990-2007 ...................................................................................... 21 2. Tinggi Tanaman Varietas Kedelai Yang Dilepas Tahun 1918-2006 ........ 23 3. Umur Tanaman Varietas Kedelai Yang Dilepas Tahun 1918-2006 ........ 24 4. Ukuran Biji Varietas Kedelai Yang Dilepas Tahun 1918-2006 ................ 25 5. Produktivitas Varietas Kedelai Yang Dilepas Tahun 1918-2006 ............. 26 6. Luas Pertanaman Varietas Wilis di Seluruh Indonesia ............................. 32 7. Luas Pertanaman Varietas Tidar di Seluruh Indonesia ............................. 33 8. Luas Pertanaman Varietas Slamet di Seluruh Indonesia .......................... 33 9. Luas Pertanaman Varietas Anjasmoro di Seluruh Indonesia .................... 34 10. Luas Pertanaman Varietas Mahameru di Seluruh Indonesia .................... 35
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perkembangan Areal, Produktivitas, Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia, 1990 – 2007 ............................................................ 52 2. Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Pangan s/d Tahun 2006 ................. 53 3. Standar Pengujian Laboratorium Benih Kedelai Bersertifikat .................. 53 4. Nilai Rataan Tinggi Tanaman, Umur Berbunga, dan Umur Panen Tujuh Varietas Kedelai ............................................................................. 54 5. Nilai Rataan Polong per Tanaman, Jumlah Polong Isi per Tanaman, Bobot 100 Butir dan Hasil Biji Kering Tujuh Varietas Kedelai ............... 54 6. Daftar Varietas-varietas Kedelai Yang Telah Dilepas .............................. 55
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu tanaman palawija yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai komoditas pangan yang penting setelah padi dan jagung. Kedelai oleh pemerintah dimasukkan dalam program pangan nasional sejak Pelita IV karena kandungan proteinnya tinggi (34,9%), disamping kandungan lemak yang cukup tinggi (18%), mengandung vitamin dan mineral yang penting bagi masyarakat. Konsumsi kedelai baik dalam bentuk segar maupun olahan dapat meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. Disamping itu kedelai juga merupakan bahan baku bagi berbagai industri pangan dan pakan ternak. Pada beberapa tahun terakhir, permintaan kedelai cukup tinggi disebabkan meningkatnya konsumsi rumah tangga baik untuk bahan baku pangan olahan maupun sebagai bahan baku industri pangan dan pakan ternak. Hal ini berdampak pada naiknya impor kedelai. Kebutuhan kedelai pada tahun 2007 sebesar 1.80 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0.59 juta ton dan kekurangannya di impor sebesar 1.20 juta ton (Departemen Pertanian, 2007). Hanya sekitar 35% dari total kebutuhan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sendiri (Tabel Lampiran 1). Penurunan luas areal kedelai dan produksi kedelai nasional disebabkan harga kedelai impor yang lebih rendah sehingga petani kedelai tidak dapat bersaing. Upaya untuk menekan laju impor tersebut dapat ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur serta pengaturan tata niaga dan insentif usaha (Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2004). Produktivitas kedelai rata-rata nasional masih rendah, terutama bila dibandingkan dengan hasil penelitian, pengujian/demonstrasi yang telah dilaksanakan. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas, antara lain belum optimalnya penerapan anjuran paket teknologi oleh petani. Menurut
Marwoto, Swastika dan Simatupang (2005), dalam rangka pengembangan kedelai, maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Sumbangan inovasi teknologi hasil penelitian berupa varietas unggul baru spesifik lokasi dan pengelolaan lahan, air, tanaman dan organisme pengganggu (LATO) yang merupakan andalan untuk meningkatkan produksi baik melalui program peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Kendala peningkatan produksi kedelai dewasa ini semakin beragam. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian misalnya akan mempengaruhi luas areal pertanaman kedelai secara nasional. Upaya peningkatan luas areal tanaman kedelai masih dimungkinkan, yaitu selain di lahan-lahan sawah irigasi setelah padi, dapat pula diupayakan di lahan-lahan tadah hujan dan di lahan-lahan kering (kebun dan ladang). Menurut BPS (2002), potensi areal lahan sawah tadah hujan seluas 2.014.349 ha dan lahan kering seluas
13.363.991 ha.
Lahan kering ini pada umumnya kurang subur karena didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning yang mengandung unsur hara dan bahan organik rendah, kandungan Aluminium tinggi, pH rendah (4.5–5.5), lapisan olah tanah tipis (10– 15 cm) dan peka terhadap erosi. Untuk peningkatan produktivitas tanaman pada kondisi lahan demikian, diperlukan upaya penggunaan
varietas unggul,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pengaturan pola tanam. Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar dan industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat, maka komoditas kedelai perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan. Dari sisi ekonomi, pengembangan kedelai dapat meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Harga kedelai impor tahun 2008 mencapai
Rp.
7.500,-/kg, meningkat pesat di banding tahun sebelumnya yaitu berkisar antara Rp. 3.500,-/kg – Rp. 4.000,-/kg. Hal ini dapat digunakan sebagai momentum untuk pengembangan kedelai kembali. Upaya penelitian dan pengembangan kedelai di Indonesia telah dilakukan dari hulu hingga hilir, yaitu dari penanganan plasma nutfah, pemuliaan dan pelepasan varietas, perbenihan, teknologi produksi, pascapanen dan pemasaran. Untuk meningkatkan produktivitas pertanaman kedelai perlu didukung dan ditunjang antara lain oleh ketersedian benih bermutu dari varietas unggul.
Perakitan varietas kedelai telah dimulai sejak tahun 1918, yang dimulai dengan kegiatan seleksi terhadap varietas introduksi dan varietas lokal. Pada perkembangan selanjutnya pembentukan varietas kedelai di Indonesia mulai diselaraskan dengan permintaan pengguna/konsumen. Karakteristik yang di inginkan petani kedelai antara lain warna kulit biji kekuningan, ukuran biji sedang hingga besar dan tampilan biji mengkilat serta produktivitas yang tinggi (Heriyanto
dan
Sutrisno,
2005).
Sedangkan
pengguna
kedelai
dalam
menggunakan bahan baku kedelai menginginkan ciri-ciri yaitu biji kedelai yang berukuran besar dan kulit biji kedelai yang tipis (Krisdiana, 2005). Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan produksi kedelai. Sejarah pembangunan pertanian menunjukkan bahwa teknologi esensial untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian adalah varietas unggul. Teknologi ini akan efektif meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian hanya bila benih dari varietas unggul tersebut tersedia bagi petani untuk ditanam dalam skala luas. Salah satu permasalahan penting dalam produksi kedelai di Indonesia adalah dalam penyediaan benih kedelai yang bermutu. Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu kunci utama dalam peningkatan produksi. Jumlah varietas unggul kedelai yang telah dilepas pemerintah Indonesia sejak kurun waktu 1918 sampai tahun 2006 sebanyak 66 varietas kedelai. Jumlah varietas unggul kedelai menempati urutan ketiga setelah padi dan jagung
(Tabel
Lampiran 2). Varietas-varietas unggul yang telah dilepas pemerintah mempunyai tingkat penerimaan yang berbeda oleh petani. Varietas yang diterima baik akan ditanam dalam areal yang luas dan bertahan dalam kurun waktu yang panjang, namun varietas yang kurang diminati tidak berkembang. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan varietas unggul oleh petani perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang sangat berguna bagi program pemuliaan dan perbenihan. Beberapa permasalahan untuk pengembangan kedelai perlu diteliti dalam rangka meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor kedelai. Dalam penelitian ini di kaji perkembangan perbenihan kedelai dan perkembangan varietas unggul yang telah dilepas pemerintah, mencakup :
1. Tingkat perkembangan/komersialisasi varietas unggul kedelai. 2. Respon petani terhadap varietas unggul kedelai yang telah dilepas pemerintah 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih varietas unggul kedelai untuk dibudidayakan.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui perkembangan varietas unggul kedelai dan komersialisasi benihnya. 2. Mengetahui respon petani terhadap varietas unggul kedelai yang telah di lepas oleh pemerintah. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Leguminaceae, sub–famili Papilionidae dan digolongkan dalam kelas Angiospermae. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina, kemudian menyebar ke daerah tropika dan subtropika melalui perdagangan antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19. Kedelai mulai dikenal di Indonesia abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan
sejak
kedelai yaitu
di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara dan pulau-pulau lainnya. Masuknya kedelai ke Indonesia diduga dibawa oleh imigran Cina yang mengenalkan beberapa jenis masakan yang berbahan baku biji kedelai (Adisarwanto, 2005). Kedelai merupakan tanaman semusim yang dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan drainase tanah cukup baik dan air tersedia selama masa pertumbuhan. Pada jenis tanah Aluvial, Regosol, Grumosol atau Latosol, kedelai dapat tumbuh dengan baik (Sumarno dan Hartono, 1983). Menurut Hidayat (1985), bentuk daun kedelai adalah daun bertiga (trifoliate) dan letak daun berselang-seling. Kedelai berakar tunggang, akar kedelai memiliki bintil akar yang merupakan koloni bakteri Rhizobium javanicum (berfungsi mengikat nitrogen dari udara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman) dan pada tanah yang gembur, tinggi tanaman kedelai dapat mencapai 150 cm. Pembungaan kedelai dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu. Kedelai merupakan tanaman hari pendek, sehingga apabila terjadi kondisi dimana lama penyinaran melebihi 15 jam/hari maka tanaman tidak akan berbunga. Lama penyinaran juga akan mempengaruhi tinggi tanaman dan jumlah cabang (Sumarno dan Hartono, 1983). Secara umum tahapan pertumbuhan kedelai digolongkan kedalam dua tahap yaitu pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan reproduktif. Penggolongan ini memudahkan komunikasi antar pihak yang berurusan dengan kedelai (misalnya petani, penyuluh dan pedagang pestisida) dimana pertumbuhan vegetatif dikaitkan dengan tahap pembentukan daun, sedangkan pertumbuhan
reproduktif dikaitkan dengan pembentukan bunga, perkembangan polong dan pengisian biji (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Salah satu unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kedelai adalah curah hujan. Menurut Kasno dan Yusuf (1994), tanaman kedelai pada fase vegetatif membutuhkan air sebanyak 9,11 mm/hari, sedangkan pada fase generatif membutuhkan air sebanyak 2,38 mm/hari. Fase vegetatif dan pembentukan polong serta pengisian buah merupakan fase yang sangat peka terhadap kekeringan. Cekaman kekeringan pada periode pengisian biji atau saat berbunga dan pengisian polong dapat menyebabkan bunga dan polong gugur, cekaman pada saat pengisian biji menyebabkan biji berukuran kecil yang menyebabkan produksi lebih rendah serta mutu dan ukuran biji yang kurang baik. Selain curah hujan, radiasi matahari adalah salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai, baik melalui pasokan energi untuk fotosintesis maupun interaksinya langsung dengan faktor iklim yang lain. Baharsjah, Suardi dan Las (1985) menyatakan bahwa radiasi surya akan mengontrol laju transpirasi sehingga berpengaruh terhadap serapan hara dan klorofil daun juga menyerap radiasi pada kisaran panjang gelombang PAR (0,38 – 0,68 μm). Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari atau lama penyinaran sinar matahari karena kedelai termasuk tanaman hari pendek. Artinya, tanaman kedelai tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis, yaitu 15 jam per hari. Oleh karena itu, bila varietas yang berproduksi tinggi dari daerah subtropik dengan panjang
hari
14 – 16 jam ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena masa berbunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50 – 60 hari menjadi 35 – 40 hari setelah tanam. Selain itu, batang tanaman pun menjadi lebih pendek dengan ukuran buku subur juga lebih pendek (Adisarwanto, 2005). Suhu merupakan unsur iklim yang paling penting dalam perkembangan tanaman. Adisarwanto (2005), menyatakan bahwa suhu perkecambahan optimal berkisar pada suhu 300C dan pertumbuhan terbaik berkisar pada suhu 29,40C. Pada suhu optimal kedelai berkecambah setelah 4 hari setelah tanam sedangkan
pada suhu 100C kedelai akan berkecambah setelah 2 minggu. Sedangkan fase pembungaan akan lebih cepat pada kisaran suhu 26 - 320C. Pengertian Benih Bermutu Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi kebersihan benih dari kotoran dan campuran lain, penampilan benih dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan benih untuk berproduksi dengan normal dalam kondisi yang serba normal pula. Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya. Wirawan dan Wahyuni (2002) menambahkan bahwa secara fisik, benih bermutu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Benih bersih dan terbebas dari kotoran, seperti potongan tangkai, biji-bijian lain, debu dan kerikil. 2. Benih murni, tidak tercampur dengan varietas lain. 3. Warna benih terang dan tidak kusam. 4. Benih mulus, tidak berbercak, kulit tidak terkelupas. 5. Sehat, bernas, tidak keriput, ukurannya normal dan seragam. Selain itu benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya berkecambah) lebih dari 80 % (tergantung jenis dan kelas benih) dan nilai kadar air di bawah 13 % (tergantung jenis benih). Dalam industri benih, pengendalian mutu memiliki tiga aspek
penting
yaitu : 1. Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima (Tabel Lampiran 3). 2. Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai standar mutu yang telah ditetapkan dan memeliharanya. 3. Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab adanya masalah dalam mutu dan cara memecahkannya. Aspek pertama merupakan kewajiban dari lembaga pengawas benih, yang di Indonesia secara operasional dilakukan oleh Badan Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) dan disebut sebagai Badan Pengendalian Mutu Eksternal.
Sedangkan aspek kedua dan ketiga merupakan kewajiban produsen benih yang disebut dengan Pengendalian Mutu Internal (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Benih dalam pelaksanaannya memiliki kelas-kelas yang dimaksudkan supaya alur penyebaran benih dari pemulia, penangkar benih sampai petani sebagai konsumen dapat berjalan dengan baik dan benih pun dapat tersedia dalam jumlah yang sesuai. Kelas-kelas benih tersebut adalah sebagai berikut : 1. Benih Penjenis, BS (Breeder Seed, BS) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi oleh pemulia tanaman dan atau oleh instansi yang menanganinya sebagai sumber untuk perbanyakan Benih Dasar. 2. Benih Dasar, BD (Foundation Seed, FS) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih (terutama BBI) dan proses produksinya diawasi dan disertifikasi oleh BPSB. 3. Benih Pokok, BP (Stock Seed, SS) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih atau pihak swasta yang telah terdaftar dan di awasi oleh BPSB. 4. Benih Sebar, BR (Extension Seed, ES) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih dan penangkar benih dengan bimbingan, pengawasan dan sertifikasi dari BPSB. Untuk mendapatkan benih bermutu perlu diadakan sertifikasi benih, yaitu dengan memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih tersebut dengan pemberian standar di lapangan dan standar di laboratorium (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Varietas Unggul Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
pemuliaan
merupakan
rangkaian
pekerjaan
yang
meliputi
mempertahankan keunggulan mutu varietas yang telah didapat dan dapat menciptakan varietas baru yang lebih unggul. Atas dasar pengertian tersebut, pemulia tanaman harus mempunyai orientasi agar varietas unggul yang dihasilkan dapat menjadi varietas yang dapat di komersialisasikan. Varietas-varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah tidak semuanya diterima oleh petani. Varietas unggul yang diterima oleh petani ditandai
dengan penyebaran yang luas dan merata. Penyebaran suatu varietas sangat baik apabila ditanam dalam luasan yang besar dan merata disetiap propinsi. Varietas unggul merupakan varietas yang telah dilepas oleh pemerintah dan memiliki sifat-sifat unggul dibandingkan varietas lain yang sudah ada. Menurut Kasim dan Djunainah (1993), varietas unggul memegang peranan penting dalam kontribusinya untuk peningkatan hasil per satuan luas maupun sebagai salah satu komponen utama dalam pengendalian hama dan penyakit, seperti penyakit karat pada kedelai, penyakit bulai pada jagung, dan hama wereng coklat pada padi. Peranan varietas unggul sangat menentukan minimal dapat menekan penggunaan pestisida. Kelebihan yang dimiliki varietas unggul dibandingkan varietas lokal antara lain berproduksi tinggi, umur pendek serta tahan terhadap hama dan penyakit. Untuk dapat menghasilkan suatu varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan ditempuh prosedur yang sistematik. Koleksi plasma nutfah dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting. Koleksi tersebut meliputi varietas lokal dengan sifat-sifat spesifik (rasa enak dan tahan terhadap hama penyakit tertentu), varietas/galur introduksi dari negara lain, serta varietas unggul dan galur harapan nasional. Setelah mendapat varietas baru, varietas tersebut harus dilepas terlebih dahulu oleh pemerintah, sebelum diedarkan ke pasaran sebagai varietas unggul baru (Kasim dan Djunainah, 1993). Perencanaan yang matang sangat diperlukan
dalam
menghasilkan
varietas
unggul,
antara
lain
dengan
memperhitungkan keadaan pasar dan kebutuhan petani akan benih. Tingkat Komersialisasi Benih Keberhasilan suatu varietas dapat dilihat dari diterima atau tidaknya varietas tersebut dengan baik oleh petani. Maksud dari komersialisasi suatu varietas benih adalah dengan tujuan agar varietas tersebut dapat digunakan oleh petani secara luas. Varietas unggul komersial mempunyai daya jual tinggi dan dipakai oleh petani dalam waktu yang lama dan luasan yang besar pula. Banyak faktor yang mempengaruhi suatu varietas menjadi memiliki nilai jual tinggi, misalnya keunggulan dari varietas tersebut sehingga diminati oleh petani, faktor harga dari benih tersebut dan promosi atau penyuluhan benih
tersebut kepada petani. Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan benih antara lain adalah mudah tidaknya petani dapat menghasilkan benih sendiri, program pemerintah dalam peningkatan produksi dan tingkat penerimaan petani terhadap benih. Tingkat komersialisasi benih dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu antara lain : “umur varietas”, “luas pertanaman setiap tahun” dan “sebaran varietas tersebut”(1). Asumsi untuk mendapatkan umur varietas pada padi adalah suatu varietas dapat dikatakan mati jika ditanam kurang dari 100.000 ha dalam dua tahun berturut-turut. Varietas unggul padi IR 64 merupakan varietas yang terus dipakai sejak dilepas hingga sekarang dan ditanam dalam luasan yang besar pula. Sebaran varietas digunakan untuk mengukur seberapa besar varietas-varietas unggul yang ditanam menyebar di setiap propinsi di Indonesia, semakin menyebar merata, varietas tersebut semakin baik. Varietas yang menyebar nasional merupakan varietas yang cocok ditanam di berbagai wilayah di Indonesia. Varietas yang menyebar merata menjadikan varietas tersebut banyak dipakai dan ditanam dalam sebaran yang luas. Varietas Ayung merupakan varietas yang mempunyai sebaran yang kecil, varietas Cisadane, PB 36 dan PB 42 merupakan varietas-varietas padi yang menyebar sangat luas dan varietas IR 64 merupakan varietas yang mempunyai sebaran paling luas diantara varietas-varietas yang lain. Hampir di setiap propinsi di Indonesia menanam jenis varietas ini. Selain itu varietas IR 64 juga terus mengalami peningkatan dalam sebaran luasnya sejak dilepas hingga 1999 (Haryadi, 2004). Sistem Pengadaan Benih Pengadaan benih kedelai yang bermutu secara kontinyu merupakan salah satu permasalahan dalam produksi kedelai. Hal ini disebabkan benih kedelai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Tidak mempunyai masa dormansi setelah panen, sehingga benih yang disimpan selama 6 bulan mempunyai daya tumbuh yang lebih rendah dari benih yang diperoleh setelah panen. 2. Bersifat higroskopis akibatnya kadar air mudah terpengaruh dengan kelembaban udara lingkungan. (1)
Setia Hadi. Dalam Bahan Kuliah Produksi Benih Makro
3. Daya tumbuh cepat menurun karena sering terjadi respirasi dalam benih saat kondisi suhu dan kelembaban tinggi. 4. Kulit benih kedelai amat tipis sehingga mudah terinfeksi oleh cendawan, bakteri dan virus, serta rentan terhadap kerusakan fisik dan mekanik. Benih kedelai akan memiliki daya berkecambah dan vigor tinggi apabila dipanen tepat pada saat matang fisiologis. Namun kadar air dalam benih masih sekitar 20-40% sehingga akan cepat membusuk jika terlambat dalam pengeringan sebagai akibat dari serangan hama. Oleh sebab itu benih kedelai dipanen tidak pada saat matang fisiologis karena akan menyulitkan dalam pengeringan, akibatnya daya berkecambah benih pun menurun (Sumarno, 1995). Benih bermutu dihasilkan melalui prosedur produksi benih yang berawal dari persiapan lahan yang bebas dari kontaminasi genetik, penyediaan benih yang terjamin sumber mutunya, pengolahan benih setelah panen dan penanganannya sampai ke konsumen. Pengadaan benih kedelai yang bermutu masih sulit dalam memperoleh benih bermutu yang memadai karena benih kedelai yang beredar pada umumnya benih label merah jambu yang mutunya rendah. Menurut Wirawan dan Wahyuni (2002), permasalahan pengadaan benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan beberapa alasan sebagai berikut : 1. Produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usaha tani kurang menguntungkan. 2. Harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya. 3. Masa edar (waktu pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat singkat. 4. Harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin mengecilkan minat petani dan penangkar benih kedelai. Sebelum dilakukan pemasaran, benih kedelai harus melalui tahapan sertifikasi benih yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih tersebut, seperti : kadar air maksimum 11 %, daya berkecambah lebih dari 80 %, memiliki kemurnian minimal 97 %, kotoran benih maksimal 3 %, benih varietas lain
maksimal 0.5 % - 0.7 %, memiliki sifat yang unggul dan seragam, memiliki vigor tinggi, sehat tidak terinfeksi cendawan dan tidak terinfeksi virus. Selain dilakukan pengujian viabilitas benih, juga dilakukan uji adaptasi dan uji observasi untuk menilai keunggulan varietas yang akan dilepas antara lain meliputi : daya hasil yang tinggi, ketahanan terhadap organisme pengganggu tumbuhan utama, umur genjah atau kecepatan berproduksi, mutu hasil tinggi dan tahan simpan, ketahanan terhadap cekaman lingkungan, benih toleran terhadap kerusakan mekanis, bentuk tanaman ideal dan mempunyai nilai ekonomis tinggi (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Kebijakan sistem pengadaan benih di Indonesia dibagi menjadi tiga sistem (1)
yaitu :
1. Pengadaan benih secara formal yang menekankan kepada sertifikasi benih dan standar mutu yang telah ditetapkan untuk tujuan komersil. 2. Pengadaan benih secara tradisional dengan ruang lingkup skala kecil, tidak melalui sertifikasi benih dan tidak bersifat komersil. 3. Pengadaan benih secara terpadu merupakan gabungan dari kedua sistem yang telah ada yaitu sistem pengadaan benih secara tradisional yang secara bertahap menuju sistem pengadaan benih secara formal. Kebijakan Perbenihan Legislasi pengembangan perbenihan tidak terlepas dari UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman. Menurut Sadjad (1997), UU merupakan tonggak arahan yang oleh semua industri benih harus dituju. UU tersebut bersifat mendorong dan melindungi. Perlindungan ini diwujudkan bagi para konsumen benih berupa persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi oleh industri benih, bahkan pelanggaran karena kelalaian apalagi kesengajaan dalam mengedarkan benih yang mutunya
tidak
sesuai dengan label
dapat di pidana dengan ancaman
hukuman penjara dan atau denda yang sangat berat. Dengan UU tersebut benih seharusnya merupakan komoditas yang bernilai tinggi mengingat sanksi hukum atas pelanggarannya yang sangat berat. UU tersebut juga memberi perlindungan pada produsen benih yang benar. (1)
Setia Hadi. Dalam Bahan Kuliah Produksi Benih Makro
Dalam UU No. 12 tahun 1992 terdapat pasal-pasal yang bersifat melindungi misalnya pasal 8 yang berbunyi : “Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan / atau introduksi dari luar negeri“. Menurut Sadjad (1997), dengan adanya pasal 8 tersebut maka yang dikatakan sebagai produsen benih bermutu adalah produsen yang menghasilkan benih melalui penemuan varietas unggul atau introduksi dari luar negeri dan konsumen benih hanya akan mendapatkan benih yang bermutu. Pasal ini merupakan perlindungan terhadap produsen dan konsumen benih. Pada pasal 9 ayat 1 ada patokan untuk penemuan varietas unggul yang harus dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pasal ini berbunyi : “Penemuan varietas unggul dilakukan melalui pemuliaan tanaman”. Perundangan ini secara spesifik lebih membatasi pengertian benih bermutu yang lebih menekankan pada batasan mutu genetik. Untuk itu pemerintah harus terus menerus mendorong agar industri benih meningkatkan teknologinya sehingga produksinya dapat digolongkan benih bermutu. Perkembangan awal pembangunan Kelembagaan Perbenihan pada periode Orde Baru dimulai tahun 1971. Pada tahun tersebut pemerintah membuat berbagai keputusan yang berkaitan langsung dengan pembangunan bidang perbenihan seperti : 1. Pendirian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi untuk bidang penelitian dan pengembangan, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan varietas unggul dan benih sumber. 2. Pendirian Perum Sang Hyang Seri untuk perbanyakan benih agar tersedia bagi petani. 3. Pembentukan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) untuk mengawasi produksi dan pemasaran benih. Selain itu, berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1971, dibentuk Badan Benih Nasional (BBN), dan lima bulan kemudian yaitu pada bulan Oktober 1971 dikeluarkan Kepres No. 72 tahun 1971 tentang Pembinaan, Pengawasan Pemasaran dan Sertifikasi Benih (Anonim, 1996).
Sistem pengadaan benih nasional didukung oleh kelembagaan perbenihan, mulai dari penciptaan varietas, seleksi varietas sampai dengan perbanyakan dan penyaluran benih. Keterlibatan pemerintah dalam sistem produksi benih adalah mendukung petani dengan tidak sepenuhnya menyerahkan produksi benih pada produsen benih swasta. Dengan demikian, produksi Benih Penjenis dan Benih Dasar merupakan tanggungjawab pemerintah. Lembaga Perbenihan yang ada di daerah diklasifikasi dalam 3 level yang berbeda yaitu Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu (BBP). a). BBI dibentuk berdasarkan SK Dirjen Tanaman Pangan No. SK.I.A5.82.6 yang tugas utamanya adalah : i). Memperbanyak Benih Dasar dan Benih Pokok dan; ii). Memberikan informasi, latihan dan melakukan pertemuan dengan penyuluh pertanian, penangkar benih, petugas serta ahli benih. b). BBU dan BBP tugasnya memproduksi Benih Pokok dan Benih Sebar. Benih Pokok yang dihasilkan akan disebarkan kepada penangkar benih untuk diperbanyak menjadi Benih Sebar. Pada kondisi tertentu BBU hanya memproduksi Benih Sebar. c). Perusahaan Umum (Perum) Nasional Sang Hyang Seri. Dalam rangka menunjang program peningkatan produksi pangan, khususnya melalui penyediaan dan penggunaan benih varietas unggul bermutu tinggi, maka Pemerintah melalui PP No. 22 Tahun 1971 mendirikan Perum Sang Hyang Seri, yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 44 Tahun 1985. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha perbenihan pertanian, Perum Sang Hyang Seri diubah statusnya menjadi perusahaan Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan PP No. 18 Tahun 1995. Kegiatan produksi benih Sang Hyang Seri dilakukan dalam tiga cara pengelolaan yaitu : 1). Produksi Swakelola yaitu produksi benih dilakukan sepenuhnya oleh PT. Sang Hyang Seri (Persero) dari mulai pengolahan tanah sampai dengan panen pada lahan milik sendiri di bawah pangawasan BPSB. Cara ini hanya dilakukan oleh PT. Sang Hyang Seri (Persero) Cabang khusus Jawa Barat di Sukamandi; 2). Produksi Kerjasama, terdapat dua jenis kerjasama yaitu a). Produksi benih yang dilakukan kerjasama petani penangkar benih di lahan
milik PT. Sang Hyang Seri Cabang khusus Jawa Barat, b). Produksi benih dilakukan melalui kerjasama dengan petani penangkar benih di sekitar unit pengolahan benih. Produksi benih dilakukan di lahan milik petani dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh PT. Sang Hyang Seri;
3).
Penguasaan, yaitu hasil penangkaran benih yang dilaksanakan oleh petani / kelompok tani yang telah dinyatakan lulus pemeriksaan lapangan oleh BPSB. Hal ini hanya dilakukan dalam keadaan darurat menghadapi kelangkaan benih (Rachmadi, 1998). PT. Sang Hyang Seri berperan dalam memproduksi Benih Sebar dan telah mendasarkan kegiatannya pada prinsip ekonomi dengan memperhatikan unsur-unsur produksi, prosesing, penyimpanan, pengemasan, distribusi dan pemasaran benih.
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Data-data sekunder tentang perkembangan varietas unggul kedelai dan komersialisasinya diperoleh dari instansi terkait (Ditjen Tanaman Pangan, Balitkabi dan pustaka lain) pada bulan Mei 2007 sampai Oktober 2007. Penelitian berupa survey di daerah/sentra kedelai Jawa Barat (Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Subang) dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai Oktober 2007. Sebagai data pendukung dilakukan penanaman 7 (tujuh) varietas kedelai untuk mendapatkan perbandingan pertumbuhan dan komponen hasil beberapa varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah mulai varietas unggul lama sampai varietas unggul baru (tahun 1980 s/d tahun 2003) yaitu benih kedelai varietas Wilis, Tidar, Burangrang, Slamet, Anjasmoro, Mahameru dan Panderman. Metode Penelitian A. Survey Varietas Unggul dan Komersialisasi Kedelai 1. Mengidentifikasi varietas-varietas unggul kedelai yang telah dilepas Pemerintah. Data ini diperoleh dari literatur dan laporan dari instansi terkait yaitu Balai Penelitian dan Pengembangan Kacang-kacangan Umbi-umbian, Ditjen Perbenihan Tanaman Pangan dan PT. Sang
dan Hyang
Seri. 2. Mengetahui tingkat perkembangan/komersialisasi benih varietas unggul kedelai yang diukur dengan membuat beberapa variabel tolok ukur sebagai berikut : -
Luas pertanaman satu varietas, apabila ditanam lebih dari 25.000 ha dalam dua tahun berturut-turut maka dapat dinyatakan bahwa varietas tersebut berkembang.
-
Umur varietas, yaitu periode waktu umur dimana varietas dapat bertahan di pasaran. Asumsi yang digunakan untuk menentukan umur varietas yaitu suatu varietas dikatakan mati jika ditanam kurang dari 1000 ha dalam dua tahun berturut-turut.
-
Sebaran varietas 1. Menyebar sangat luas jika ditanam lebih dari 10 propinsi. 2. Menyebar luas jika ditanam di 5 – 9 propinsi. 3. Menyebar kurang luas jika ditanam kurang dari 5 propinsi.
Variabel tolok ukur ini didapat dengan mengolah data dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian,
Ditjen
Perbenihan Tanaman Pangan dan PT. Sang Hyang Seri. 3. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai. Pengambilan responden petani dilakukan dengan metode simple random sampling yaitu pengambilan contoh acak sederhana. Responden adalah petani kedelai di Kabupaten Cianjur dan Subang, Propinsi Jawa Barat. Pengambilan data survey dilakukan melalui wawancara dengan petani kedelai secara langsung ke lahan yang berpedoman pada quesioner, responden tiap daerah diambil masing-masing 30 orang. Parameter yang digunakan dalam survey ini adalah harga beli benih, pengalaman berusaha tani, umur responden, tingkat pengetahuan petani, ketersediaan benih di pasaran, status pengairan, tingkat pendidikan terakhir petani, luas lahan garapan, jenis pekerjaan petani dan penyuluhan perbenihan. Data diolah menggunakan analisis Regresi Linier Berganda : Y = a + b1X1+b2X2+b3X3+.....+bnXn Keterangan : Y = Indek penggunaan benih unggul bersertifikat dinyatakan dalam dummy (benih bersertifikat dari varietas unggul D=3, benih tidak bersertifikat dari varietas unggul D=2, dan benih tidak bersertifikat bukan varietas unggul D=1). a
= Nilai Y pada perpotongan antara garis linier dengan sumbu
vertikal
Y. b1,b2,b3 ....bn = Slope yang berhubungan dengan nilai X (koefisien regresi) X = Variabel-variabel yang terdapat dalam analisis. 1. Harga beli benih (X1) adalah harga beli dipasaran pada tingkat petani, dinyatakan dalam rupiah per kilogram.
2. Pengalaman berusahatani (X2) adalah lamanya responden dalam berusahatani (tahun) untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap kesadaran pentingnya penggunaan benih bermutu. 3. Umur responden (X3) yang dinyatakan dalam angka. 4. Tingkat pengetahuan (X4) adalah pengetahuan yang dimiliki petani tentang benih, dinyatakan dengan dummy. Nilai D yang digunakan adalah D=1 untuk tingkat pengetahuan terhadap benih bermutu rendah, D=2 bila tingkat pengetahuannya tergolong sedang dan D=3 bila pengetahuannya tentang benih bermutu tergolong baik. 5. Ketersediaan benih di pasaran (X5) dihitung dalam bentuk skoring dari mudah atau sulitnya untuk mendapatkan benih bermutu, D=1 apabila mengalami kesulitan dalam memperoleh benih, D=2 bila tidak terlalu sulit untuk memperoleh benih dan D=3 jika mudah memperoleh benih. 6. Status pengairan (X6) yaitu jenis pengairan yang terdapat dilahan petani, dinyatakan dalam dummy. D=1 irigasi teknis, D=2 irigasi sederhana dan D=3 sawah tadah hujan. 7. Tingkat pendidikan terakhir petani (X7) dihitung dari kurun waktu responden bersekolah dalam satuan tahun. 8. Luas lahan garapan total adalah jumlah satuan luas lahan yang dikuasai atau digarap petani dalam hektar (X8). 9. Jenis pekerjaan petani
(X9) adalah pekerjaan yang digeluti
responden (D=2 murni petani dan D=1 sebagai sampingan). 10. Penyuluhan perbenihan (X10) di ikuti oleh petani responden sebagai perwakilan anggota kelompok tani (pernah mengikuti =2, belum pernah mengikuti =1) B. Evaluasi pertumbuhan dan komponen hasil beberapa varietas kedelai. Sebagai data pendukung dari survey, dilakukan
pengamatan dan
penanaman tanaman kedelai pada lahan percobaan Bagian Ilmu dan Teknologi Benih di Leuwikopo, Kampus Darmaga IPB. Tujuh varietas yang mewakili varietas dengan tahun pelepasan lama hingga tahun pelepasan baru, dengan
kriteria biji besar, biji sedang dan biji kecil, yaitu varietas Wilis, Tidar, Burangrang, Slamet, Anjasmoro, Mahameru dan Panderman. Pada setiap petak ditentukan sepuluh tanaman contoh dan diberi label. Tanaman yang diberi label tersebut dijadikan sampel untuk pengukuran pertumbuhan dan komponen hasil dari varietas-varietas yang diuji. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan satu faktor yang terdiri dari tujuh varietas kedelai dan tiga ulangan. Luas setiap satuan percobaan 5 m x 3 m. Setiap varietas per petak ulangan diambil 10 tanaman contoh. Model rancangan percobaan yang digunakan sesuai dengan Gomez dan Gomez (1995) : Yij = µ + αi + βj + εij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan dari kelompok tanaman ke-j yang memperoleh kombinasi perlakuan ke-i dari varietas.
µ
= Nilai rata-rata.
αi
= Pengaruh perlakuan varietas ke-i (1,2,3,4,5,6,7)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j (1,2,3)
εij
= Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-j yang mendapat kombinasi perlakuan varietas ke-i.
Parameter Pengamatan : 1. Tinggi tanaman (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman masing-masing varietas. 2. Umur berbunga. Pengamatan dilakukan pada saat muncul bunga pertama pada masing-masing varietas. 3. Umur panen (HST). Panen dilakukan jika tanaman yang diamati memperlihatkan perubahan warna polong menjadi kecoklatan disertai dengan daun yang menguning dan gugur. 4. Jumlah polong per tanaman pada tanaman contoh. Perhitungan dilakukan setelah panen dengan menghitung semua polong yang terdapat pada satu batang utama.
5. Jumlah polong isi per tanaman pada tanaman contoh. Penghitungan dilakukan setelah panen dengan menghitung jumlah polong isi yang terdapat pada satu tanaman. 6. Bobot 100 biji (gram) 7. Hasil biji kering (tonha-1). Pelaksanaan penelitian yaitu dengan melakukan pengolahan tanah 3 minggu sebelum tanam. Setelah diolah, lahan dibagi menjadi 21 petak dengan masing-masing ukuran petak 5 m x 3 m dengan jarak antar petak 50 cm. Setelah itu lahan diberi pupuk kotoran ayam sebanyak 2 kg/petak. Penanaman dilakukan dengan 2 butir benih dalam tiap lubang tanam dengan jarak tanam 40 x 25 cm. Setiap lubang diberi Furadan dan sekaligus dibuat lubang baru disekitar lubang tanam untuk pemberian pupuk yaitu Urea 100 kg/ha, SP-36 200 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pengendalian gulma dilakukan secara manual setiap minggu. Panen dilakukan pada tanaman kedelai yang polongnya tampak berwarna coklat, daun menguning dan gugur. Tanaman dicabut lalu dikumpulkan sesuai varietas. Setelah dipanen brangkasan tanaman dijemur sampai kering dengan bantuan sinar matahari. Polong dipisahkan dari brangkasan, setelah kering dan polong pecah, biji yang telah rontok dipilah antara benih yang bagus dan yang rusak kemudian dijemur kembali sebelum dilakukan penyimpanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Varietas Unggul Kedelai Tanaman kedelai bukan tanaman asli Indonesia, tetapi telah lama dikembangkan di Indonesia. Komoditas ini mempunyai peran yang cukup penting dalam perekonomian masyarakat. Kedelai umumnya di tanam setelah padi, pada lahan sawah atau tegalan. Areal pertanaman kedelai 60% terdapat di lahan sawah dan 40% lainnya di lahan tegalan/kering. Data FAO menunjukkan bahwa produksi kedelai nasional tahun 2007 sebesar 598.029 ton, sedangkan untuk kebutuhan kedelai konsumsi sebesar 1.803.000 ton, sehingga untuk menutupi kebutuhan konsumsi tersebut dilakukan impor sebesar 1.204.971 ton. Gambar 1 menunjukan bahwa luas areal tanam mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu 1.67 juta hektar. Sejak tahun 2000 areal tanam terus mengalami penurunan dan pada tahun 2007 luas areal tanam kedelai hanya 0.45 juta hektar. Penurunan areal tanam ada kaitannya dengan masuknya kedelai impor, sehingga nilai kompetitif tanaman kedelai merosot. 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Produktivitas (kg/ha)
Produksi (kg) Luas Panen (ha) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Gambar 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai Tahun 1990-2007 Perkembangan luas panen, tingkat produktivitas dan produksi kedelai selama periode 1990–1995 adalah; areal panen kedelai terjadi peningkatan dari 1.33 juta ha pada tahun 1990,
menjadi 1.48 juta ha pada tahun 1995, atau
meningkat rata-rata 2.06 persen per tahun. Sejak tahun 1995, terjadi penurunan
areal panen dari 1.48 juta ha menjadi sekitar 0.83 juta ha pada tahun 2000, atau menurun rata-rata 11.00 persen per tahun. Selama periode 2000-2007, areal panen kedelai masih terus menurun. Secara keseluruhan, selama periode 1990-2007 luas areal kedelai di Indonesia menurun tajam dari sekitar 1.33 juta ha pada tahun 1990 menjadi 0.45 juta ha pada tahun 2007. Perkembangan produksi kedelai nasional selama 18 tahun terakhir
(1990
– 2007), tertinggi pada tahun 1992 (1.870.000 ton) dan terendah pada tahun 2007 (598.029 ton). Terjadi kecenderungan yang menurun dalam kurun waktu 18 tahun terakhir. Apabila dikaji dari sisi tingkat produktivitas, tingkat pertumbuhannya cenderung melandai. Selama kurun waktu 18 tahun (1990-2007) tingkat produktivitas yang dicapai berkisar antara 1.11 ton/ha – 1.30 ton/ha, sedangkan beberapa varietas unggul kedelai yang telah dilepas mampu menghasilkan > 2 ton/ha. Diduga bahwa selama 18 tahun terakhir (1990-2007) terjadi hal-hal berikut dalam perkedelaian nasional, yaitu : (1). Penurunan areal tanam kedelai; (2). Pergeseran tanaman kedelai ke tanaman non kedelai; dan (3). Perbenihan kedelai tidak berkembang, sehingga petani tidak memperoleh benih bermutu dalam pertanamannya. Dibandingkan dengan komoditi tanaman pangan lainnya, pembentukan varietas kedelai telah dimulai sejak tahun 1918, yang dimulai dengan kegiatan seleksi terhadap varietas introduksi dan varietas lokal. Pada perkembangan selanjutnya pembentukan varietas kedelai di Indonesia mulai diselaraskan dengan permintaan pengguna/konsumen. Varietas unggul kedelai yang dikehendaki oleh pengguna mempunyai sifat berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, mutu biji baik, tahan disimpan, adaptif terhadap lingkungan bermasalah, respon terhadap perbaikan teknologi, tahan rebah, tahan naungan, berumur genjah, mutu olahan bagus, serta bentuk dan warna kulit biji baik sesuai dengan kegunaannya (Allard, 1960; Sumarno, 1995). Berbagai varietas unggul kedelai yang dilepas di Indonesia pada kurun waktu 1918-2006, sebagian telah memiliki kesesuaian dengan sifat-sifat diatas. Namun demikian, di masa yang akan datang prioritas pengembangannya dapat diarahkan pada perbaikan kualitas nutrisi, tahan hama penyakit, toleran
kekeringan dan adaptif lahan marginal. Dengan demikian sumbangan varietas unggul kedelai terhadap pembangunan pertanian akan semakin besar. Selama kurun waktu 1918 hingga 2006, Pemerintah Indonesia telah berhasil melepas sebanyak 66 varietas kedelai. Upaya-upaya pengembangan varietas unggul kedelai sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1916 dengan cara memasukkan varietas kedelai dari luar negeri, antara lain Cina, Taiwan, Manzhuria dan Amerika Serikat. Sedangkan, kegiatan perbaikan varietas kedelai melalui hibridisasi baru dimulai pada awal tahun 1930-an. Karakteristik tinggi tanaman, umur tanaman, ukuran biji dan potensi hasil varietas-varietas unggul kedelai yang dilepas antara tahun 1918 hingga 2006 memiliki keragaman cukup besar (Gambar 2,3,4,5). Tinggi Tanaman
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1910
1920
1930
1940
1950
1960
Tahun
1970
1980
1990
2000
2010
Gambar 2. Tinggi Tanaman Varietas Kedelai yang dilepas Tahun 1918 – 2006. Varietas kedelai yang telah dilepas saat ini memiliki tinggi tanaman yang beragam yaitu antara 40-90 cm. Pada awal pelepasan varietas unggul oleh Pemerintah, tinggi tanaman tidak terlalu menjadi perhatian sehingga tinggi tanaman kedelai dari tahun ke tahun cenderung naik turun dan tidak menunjukan perkembangan. Pada tahun 1987 muncul varietas Tidar dengan tinggi tanaman yang cukup rendah yaitu sekitar 40-50 cm, kemudian varietas Petek pada tahun 1988 dan varietas Argomulyo pada tahun 1998 yang memiliki tinggi tanaman hanya 40 cm. Hasil percobaan oleh peneliti di Kebun Percobaan Leuwikopo pada penanaman 7 varietas kedelai tahun 2007, untuk karakteristik tinggi tanaman 7
varietas yang diuji berkisar antara 40.70 cm sampai 57.70 cm dengan rataan 51.10 cm. Pada karakteristik tinggi tanaman, varietas Tidar memiliki tinggi terendah yaitu 40.70 cm dan varietas Anjasmoro memiliki tinggi yaitu 57.70 cm (Tabel Lampiran 4). Perbandingan hasil percobaan dilapangan dengan deskripsi tidak menunjukan perbedaan. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman merupakan proses kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman. Tinggi tanaman dapat menggambarkan keadaan pertumbuhan vegetatif tanaman tersebut. Umumnya tinggi tanaman digunakan sebagai ukuran pertumbuhan, karena mudah diamati. Umur Tanaman
120 100 80 60 40 20 0 1910
1920
1930
1940
1950
1960
1970
Tahun
1980
1990
2000
2010
Gambar 3. Umur Tanaman Varietas Kedelai yang dilepas Tahun 1918 – 2006. Salah satu pertimbangan petani dalam memilih varietas yaitu umur tanaman.
Berdasarkan
umur
tanaman,
varietas-varietas
unggul
kedelai
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Varietas yang berumur kurang dari 75 hari (Genjah). 2. Varietas yang berumur antara 75 – 90 hari (Sedang). 3. Varietas yang berumur lebih dari 90 hari (Dalam). Varietas unggul kedelai yang telah dilepas pemerintah umumnya merupakan varietas berumur sedang. Varietas unggul yang berumur pendek masih jarang dihasilkan oleh pemulia. Petani sendiri lebih mengharapkan varietas kedelai yang memiliki umur pendek agar mempermudah penanganan dan pertimbangan ketepatan cuaca. Biasanya petani mulai menanam kedelai antara bulan Maret-April sehingga waktu panen diharapkan tidak bertepatan dengan musim hujan.
Pada awal perkembangannya sebagian besar varietas-varietas kedelai memiliki umur dalam yaitu antara 90-110 hari. Setelah tahun 1935 muncul varietas-varietas kedelai hasil persilangan dengan umur genjah antara 80-95 hari, dimulai dengan dihasilkannya varietas Ringgit. Pada tahun 1982 muncul varietas yang berumur sedang yaitu varietas Lokon dengan umur 75 hari dan setelah itu perkembangan umur varietas-varietas kedelai berubah-ubah antara 70-100 hari dan pada tahun 1992 dilepas varietas Malabar yang memiliki umur paling genjah yaitu 70 hari. Ukuran Biji
20 15 10 5 0 1900
1920
1940
1960 Tahun 1980
2000
2020
Gambar 4. Ukuran Biji Tanaman Varietas Kedelai yang dilepas 1918 – 2006. Salah satu pertimbangan petani dalam memilih varietas yaitu ukuran biji tanaman. Berdasarkan ukuran biji tanaman, varietas-varietas unggul kedelai diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan ukuran biji, yaitu : 1. Kedelai biji kecil, yaitu varietas kedelai yang memiliki bobot 100 butir benihnya kurang dari 10 g. Contohnya varietas Otan yang memiliki bobot 100 butir 7-8 g. 2. Kedelai biji sedang, yaitu varietas kedelai yang memiliki bobot 100 butirnya antara 10-14 g. Contoh kedelai biji sedang adalah varietas Shakti yang memiliki bobot 100 butir 13-14 g. 3. Kedelai biji besar, yaitu varietas kedelai yang memiliki bobot 100 butirnya lebih dari 14 g. Contoh kedelai tipe ini adalah varietas TK-5 yang memiliki bobot 100 butir 17.8 g. Pada awal perkembangannya varietas-varietas unggul kedelai di Indonesia umumnya masih mempunyai ukuran biji yang kecil. Pada tahun 1965, varietas
kedelai yang dihasilkan mengalami peningkatan yaitu dengan dihasilkannya varietas-varietas biji sedang (varietas Shakti, varietas Davros dan varietas Taichung) dan varietas berbiji besar seperti TK-5. Sejak tahun 1965 varietas yang dihasilkan terus mengalami perkembangan dengan terus dihasilkannya varietas berbiji sedang dan berbiji besar. Hasil percobaan penanaman 7 varietas kedelai di Kebun Percobaan Leuwikopo diperoleh bahwa varietas Tidar mempunyai ukuran biji kecil sebesar 6.00 g/100 butir dibandingkan varietas yang lain, sedangkan varietas Panderman memiliki ukuran biji besar yaitu 18.86 g/100 butir (Tabel Lampiran 5). Pandey dan Torrie (1973) menyatakan bahwa produksi biji pada kedelai di pengaruhi beberapa komponen hasil yaitu jumlah tanaman dalam luasan, jumlah polong tiap tanaman dan berat biji. Besarnya nilai berat 100 butir pada benih tiap varietas mencerminkan ukuran benih. Varietas Panderman memiliki nilai bobot tertinggi karena termasuk dalam kategori benih berbiji besar, sedangkan varietas Tidar memiliki bobot terendah karena tergolong kategori benih berbiji kecil. Potensi Hasil (Produktivitas)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1910
1920
1930
1940
1950
1960
Tahun
1970
1980
1990
2000
2010
Gambar 5. Produktivitas Tanaman Varietas Kedelai yang dilepas 1918 – 2006. Varietas-varietas unggul kedelai diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan potensi hasil yang dimiliki, yaitu : 1. Varietas Potensi Tinggi (VPT), yaitu varietas-varietas kedelai yang memiliki potensi menghasilkan lebih dari 1.5 ton/ha, diantaranya adalah varietas Lokon dengan potensi hasil 1.75 ton/ha, Wilis yang memiliki potensi hasil 1.6 ton/ha dan varietas-varietas baru yang dilepas tahun 2000an yaitu Mahameru, Anjasmoro, Panderman dan Argopuro.
2. Varietas Potensi Sedang (VPS), yaitu varietas-varietas kedelai yang memiliki potensi menghasilkan antara 1.2-1.5 ton/ha, diantaranya adalah varietas Orba dengan potensi hasil 1.5 ton/ha dan varietas Tidar yang memiliki potensi hasil 1.4 ton/ha. 3. Varietas Potensi Rendah (VPR), yaitu varietas-varietas kedelai yang memiliki potensi menghasilkan kurang dari 1.2 ton/ha, contohnya adalah varietas Otan dengan potensi hasil 1.1-1.2 ton/ha. Varietas-varietas yang dilepas sebelum tahun 1930 tergolong kedalam Varietas Potensi Rendah (VPR). Produktivitas dari varietas-varietas tersebut ratarata 1.1 ton/ha. Varietas-varietas tersebut adalah varietas Otan dan No. 27. Selama periode 1930 – 1965, varietas-varietas yang dilepas mempunyai tingkat hasil yang lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu rata-rata 1.3 ton/ha. Varietas-varietas yang termasuk kedalam varietas potensi sedang tersebut antara lain Ringgit, Sumbing, Merapi, Shakti, Davros dan lain-lain. Periode setelah 1984, varietas-varietas yang dilepas pada umumnya memiliki daya hasil yang tinggi (> 1.6 ton/ha) bahkan ada beberapa varietas yang potensi hasilnya antara
2.0 – 3.5
ton/ha contohnya varietas Slamet, Anjasmoro dan Baluran dan lain-lain. Hasil percobaan penanaman 7 varietas kedelai di Kebun Percobaan Leuwikopo diperoleh bahwa varietas Anjasmoro menghasilkan biji kering tertinggi dibandingkan 6 varietas kedelai lainnya (Tabel Lampiran 5). Komersialisasi Varietas Unggul Kedelai Varietas unggul kedelai yang dihasilkan dalam kegiatan pemuliaan mempunyai peran penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman kedelai bila benih dari varietas unggul tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat. Benih Penjenis yang dihasilkan pemulia jumlahnya sangat terbatas sehingga perlu diperbanyak dengan sistem produksi benih yang baik untuk menjadi Benih Dasar, kemudian Benih Dasar diperbanyak lagi menjadi Benih Pokok dan akhirnya Benih Pokok di perbanyak lagi menjadi Benih Sebar yang akan digunakan oleh petani untuk memproduksi kedelai konsumsi. Alur perbanyakan tersebut berkaitan dengan institusi perbenihan yang berperan memperbanyak dan mempertahankan mutu benih agar Benih Sebar yang
dihasilkan berkualitas tinggi yang menyandang mutu genetik, fisik dan fisiologis yang memenuhi syarat. Untuk menjamin kebenaran mutu dilakukan produksi benih bersertifikat dengan pengawasan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH). Program sertifikasi sebaiknya dilakukan dalam produksi benih dari varietas unggul yang telah dilepas. Hingga saat ini pengelolaan perbenihan kedelai masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya dalam produksi dan distribusi Benih Sumber (Benih Dasar, Benih Pokok dan Benih Sebar). Insitusi yang memproduksi Benih Sumber adalah Balai Benih Induk, Balai Benih Utama yang saat ini umumnya menjadi UPT daerah sehingga kebijakannya diatur oleh daerah masing-masing. Sampai saat ini produsen benih swasta umumnya tidak tertarik memproduksi benih kedelai karena kelipatan hasilnya rendah, pengolahannya relatif sulit, daya simpannya rendah dan masa edarnya sangat singkat. Namun demikian secara tradisional, kegiatan produksi benih berjalan di masyarakat di berbagai tempat dengan penerapan sistem JABALSIM (Jalinan Arus Benih Antar Lapangan dan Musim). Di beberapa sentra produksi kedelai, terdapat penangkar yang menghasilkan benih, namun belum bersertifikat (disebut berlabel merah jambu). Salah satu kendala dalam kegiatan sertifikasi adalah : pembeli benih kedelai segera membeli setelah selesai pengolahan, karena dikejar keserempakan tanam. Sehingga produsenpun tidak dapat menunggu waktu pengujian laboratoris apabila kegiatan tersebut adalah sebagian yang harus dilewati dalam produksi benih bersertifikat. Selain itu petani kedelai sebagai konsumen belum merasakan perbedaan mutu yang signifikan antara benih bersertifikat dengan benih non sertifikat, sehingga konsumen benih kedelai lebih mempercayai kepada siapa produsennya dibanding dengan sertifikat yang semestinya sebagai jaminan benih kedelai bermutu. Penyebaran Varietas Varietas unggul kedelai merupakan varietas yang telah dilepas oleh pemerintah dan memiliki sifat-sifat yang lebih khusus dibandingkan varietas lain yang sudah ada. Walaupun memiliki kelebihan-kelebihan, varietas unggul yang
telah dilepas pemerintah belum tentu dapat diterima dengan baik oleh petani, sehingga setiap varietas memiliki tingkat komersialisasi yang berbeda. Indikator suatu varietas komersial dapat diukur dari luas penyebaran varietas tersebut sejak dilepas. Dengan menggunakan tolok ukur luas pertanaman mencapai 25.000 ha dalam dua tahun berturut-turut dan sebaran varietas apabila ditanam lebih di 10 propinsi, maka benih suatu varietas unggul bisa dikatakan memiliki tingkat komersialisasi yang tinggi. Pada Tabel 1 disajikan persebaran varietas-varietas kedelai berdasarkan luas pertanaman sejak musim tanam 2001. Tabel 1. Luas pertanaman per Varietas Musim Tanam 2001 – 2006. Varietas
Tahun Pelepasan
Musim Tanam (Ha) 2001
2001/02
2002
2002/03
2003
2003/04
2004
2006
2006/07
Galunggung
1981
1680
1655
1164
5524
13832
2396
6287
4934
4199
Lokon
1982
8370
8098
4311
5185
2371
662
2664
4209
5565
Wilis
1983
84551
88070
84965
99538
78278
33254
56825
64903
35456
Kipas Putih
1992
9838
3416
3722
3928
2008
1378
1387
757
867
Slamet
1995
262
129
153
194
486
78
124
245
54
30
1977
17655
6756
3947
56
1081
666
453
1016
10446
8806
Bromo
1998
Burangrang
1999
-
-
-
Anjasmoro
2001
Tt
Tt
Tt
Mahameru
2001
Tt
Tt
47
Baluran
2002
Tt
Tt
100
Tt
Panderman
2003
-
-
-
-
-
-
17767
Lokal
43178
-
27487
118
-
622
2488
3171
60
355
6028
424
1588
407
264
1337
5198
2926
6
17
31204
15934
9
26254
93
-
33083
24070
-
42817
Sumber : Dirjen Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, 2007. Tt = Tidak tercatat
Data persebaran varietas berdasarkan lokasi (propinsi) dari setiap varietas unggul di atas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi Persebaran per Varietas Musim Tanam 2001 – 2006. Varietas
Tahun Pelepasan
Lokasi Persebaran (Jumlah Propinsi) 2001
2001/02
2002
2002/03
2003
2003/04
2004
2006
Galunggung
1981
9
9
7
7
7
3
7
6
3
Lokon
1982
9
9
11
12
13
7
10
10
11
Wilis
1983
19
20
22
21
24
21
23
27
25
Kipas Putih
1992
1
1
3
4
4
1
1
3
2
Slamet
1995
5
3
2
3
4
1
6
4
1
Bromo
1998
1
3
5
4
4
5
4
3
5
Burangrang
1999
-
-
-
-
-
-
-
2
3
Anjasmoro
2001
Tt
Tt
Tt
2
7
7
8
15
15
Mahameru
2001
Tt
Tt
1
2
6
3
6
5
4
Baluran
2002
Tt
Tt
1
Tt
2
4
5
10
8
Panderman
2003
Lokal
-
2006/07
-
-
-
-
-
-
-
3
4
14
18
15
18
23
19
22
23
23
Sumber : Dirjen Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, 2007. Tt = Tidak tercatat
Dari dua indikator di atas tampak jelas bahwa Wilis adalah varietas yang paling komersial, karena ditanam lebih dari 25.000 ha dan juga tersebar lebih dari 20 propinsi di Indonesia. Beberapa varietas yang juga tergolong komersial adalah Lokon. Dalam perkembangannya penggunaan varietas lokal masih cukup dominan. Varietas ini tersebar hampir di 20 propinsi pada tahun 2004 dan 2006. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab, yaitu : (1). Ketersediaan benih varietas unggul masih kurang, (2). Kesadaran petani untuk penggunaan varietas unggul masih rendah, dan (3). Belum terdapat perbedaan yang nyata antara hasil dari varietas lokal dengan varietas unggul dari teknologi budidaya yang ada, menyebabkan keunggulan dari varietas baru tidak tampak. Beberapa varietas unggul kedelai yang dilepas tahun 2001 seperti varietas Anjasmoro dan Mahameru merupakan varietas-varietas baru yang sangat potensial untuk berkembang menjadi varietas yang komersial. Demikian pula dengan varietas Baluran yang dilepas tahun 2002 sangat potensial untuk berkembang menjadi varietas komersial, karena ditanam lebih dari 1.000 ha. Indikator lain yang menunjukkan tingkat komersialisasi suatu varietas adalah lama penggunaan varietas atau umur varietas. Belum ada indikator yang disepakati bagaimana kriteria untuk menentukan umur suatu varietas kedelai.
Dalam penelitian ini ditetapkan suatu varietas dinyatakan telah mati apabila secara berturut-turut selama 2 tahun ditanam di bawah 1000 ha, maka bisa ditentukan varietas-varietas apa saja yang mati. Dari data luas areal tanam beberapa varietas kedelai (Tabel 1), maka varietas Wilis, Lokon, Galunggung dan Kipas Putih adalah varietas-varietas yang berkembang dan mempunyai lama penggunaan yang panjang. Banyak varietas yang tidak berkembang dan hanya 20% dari total 66 varietas kedelai yang dilepas bisa digolongkan sebagai varietas-varietas kedelai yang mempunyai lama penggunaan yang cukup untuk masuk ke dalam kriteria varietas berkembang. Penyebaran Varietas Unggul Kedelai Berdasarkan Luasannya (ha) Suatu varietas bisa dikatakan berhasil apabila dapat diterima dengan baik oleh petani. Penyebaran suatu varietas sangat baik dan berkembang apabila ditanam dalam luasan yang besar dan merata. Selanjutnya akan dibahas luas pertanaman varietas unggul kedelai dari 6 (enam) varietas yang telah dilepas oleh pemerintah mulai dari varietas unggul lama sampai varietas unggul baru yang mewakili varietas dengan biji kecil, biji sedang dan biji besar yaitu varietas Wilis, Tidar, Slamet, Anjasmoro, Mahameru dan Panderman. 1. Luas Pertanaman Varietas Wilis Varietas Wilis merupakan hasil persilangan varietas Orba dengan varietas No. 1682 yang dilepas tahun 1985. Varietas ini termasuk varietas berumur sedang yaitu dipanen pada umur 88 hari dan dapat menghasilkan produksi kedelai 1.62 ton/ha dengan ukuran biji sedang. Keunggulan yang dimiliki antara lain tahan rebah, tahan penyakit karat dan virus. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa varietas Wilis memiliki luas pertanaman yang tinggi. Pada tahun 1995 menunjukkan luas pertanaman tertinggi yaitu 871.281 ha. Kecuali tahun 2000, sejak awal perkembangannya sampai sekarang varietas Wilis memiliki luas areal pertanaman diatas 25.000 ha.
900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Gambar 6. Luas Pertanaman Varietas Wilis di Seluruh Indonesia. Keterangan : Data Tahun 1997 dan 1998 tidak tercatat.
Berdasarkan pada kemampuan varietas Wilis yang mampu bertahan dengan luas areal pertanaman di atas 25.000 ha selama kurun waktu lebih dari dua tahun, dapat dikatakan bahwa varietas Wilis merupakan varietas yang berkembang di pasar dan diterima oleh petani karena mempunyai sifat dan keunggulan yang lebih baik. Varietas Wilis banyak ditanam di Propinsi NAD, Sulawesi Tengah, Bali, Sumatera Utara, NTB dan sebagian besar pulau Jawa. 2. Luas Pertanaman Varietas Tidar Varietas Tidar merupakan hasil seleksi galur mutan B-1682 dan introduksi dari AVRDC Taiwan yang dilepas tahun 1987. Varietas ini termasuk varietas berumur genjah yaitu 75 hari dan menghasilkan produksi 1.4 ton/ha dengan ukuran biji kecil. Keunggulan yang dimiliki adalah tahan rebah, tahan penyakit karat dan tahan terhadap lalat benih. Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa varietas Tidar hanya sedikit ditanam. Data tahun 1995 menunjukkan luas areal pertanamannya hanya
7.126
ha dan tahun selanjutnya menurun. Bahkan pada tahun 2001 varietas ini tidak ditanam lagi oleh petani. Keadaan ini berlangsung hingga sekarang. Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa varietas Tidar tidak dapat bertahan dipasaran, dikarenakan karekteristik varietas Tidar tidak terlalu disukai oleh petani. Selain hasilnya yang tidak tinggi, varietas ini memiliki ukuran biji yang kecil, sedangkan petani cenderung lebih menyukai varietas kedelai berbiji besar.
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 7. Luas Pertanaman Varietas Tidar di Seluruh Indonesia Keterangan : Data Tahun 1997 dan 1998 tidak tercatat
3. Luas Pertanaman Varietas Slamet Varietas Slamet merupakan varietas unggul kedelai hasil persilangan varietas Dempo dengan varietas Wilis yang dilepas tahun 1995. Varietas ini termasuk berumur sedang yaitu 87 hari dan menghasilkan produksi 2.26 ton/ha dengan ukuran biji sedang. Keunggulan yang dimiliki adalah tahan penyakit karat daun dan cocok ditanam pada tanah masam. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat
bahwa varietas Slamet belum
memperlihatkan perkembangan sejak dilepas pada tahun 1995. Pada tahun 1999 varietas ini hanya ditanam seluas 928 ha di propinsi Bengkulu dan propinsi Kalimantan Selatan. Tahun berikutnya luas pertanamannya mulai menurun, dengan demikian dapat dikatakan bahwa varietas Slamet tidak mampu bertahan di pasaran. Hal ini diduga karena varietas ini tidak memiliki keunggulan yang mencolok dibandingkan varietas lainnya.
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 8. Luas Pertanaman Varietas Slamet di Seluruh Indonesia Keterangan : Data Tahun 1997 dan 1998 tidak tercatat.
4. Luas Pertanaman Varietas Anjasmoro Selain menghasilkan varietas Mahameru, pada tahun 2001 pemerintah juga melakukan seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria dengan nomor galur Mansuria 395-49-4 dan menghasilkan varietas Anjarmoro. Varietas ini merupakan varietas unggul kedelai dengan potensi tinggi yang memiliki produktivitas sebesar 2.030-2.250 kg/ha dan memiliki ukuran biji besar. Varietas ini merupakan varietas berumur sedang dan dipanen pada umur 82 - 92 hari. Keunggulan dan karakteristik yang dimiliki varietas ini adalah tahan rebah, agak tahan terhadap karat daun dan tahan pecah polong. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa sejak dilepas pada tahun 2001, varietas Anjasmoro mulai ditanam petani pada tahun 2002 di propinsi Jawa Timur, NTB dan Irian Jaya. Luas pertanamannya menunjukan peningkatan dan dapat dikatakan bahwa perkembangan varietas Anjasmoro cukup bertahan. Hal tersebut terbukti dengan luas pertanaman yang mencapai 25.000 ha pada tahun 2004. Bertahannya varietas Anjasmoro menandakan varietas ini cukup diterima oleh petani dikarenakan potensinya yang tinggi, ukuran biji besar, umur tanaman sedang, serta tahan rebah dan karat daun. Varietas Anjasmoro diperkirakan akan menjadi varietas yang dapat berkembang dengan baik. Saat ini varietas Anjasmoro banyak ditanam di Propinsi Jawa Timur, Jambi, Sulawesi Tengah dan NTB.
25000 20000 15000 10000 5000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 9. Luas Pertanaman Varietas Anjasmoro di Seluruh Indonesia Keterangan : Data Tahun 1997 dan 1998 tidak tercatat.
5. Luas Pertanaman Varietas Mahameru Varietas Mahameru merupakan hasil seleksi masa dari populasi galur murni Mansuria dengan nomor galur Mansuria 204-19-1, yang dilepas pada tahun 2001. Varietas Mahameru memiliki produktivitas sebesar 2.040-2.160 kg/ha, tergolong kategori varietas potensi tinggi dengan ukuran biji besar dan umur tanaman sedang yaitu 84-95 hari. Varietas ini memiliki keunggulan dan karakteristik seperti, umur tanaman tidak terlalu lama, tahan rebah, agak tahan terhadap karat daun dan tahan pecah polong serta ukuran biji yang besar. Varietas Mahameru mulai ditanam oleh petani pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 mengalami peningkatan luas pertanaman yang cukup tinggi yaitu diatas 16.000 ha (Gambar 10). Varietas ini banyak ditanam di Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan NTB.
18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 10. Luas Pertanaman Varietas Mahameru di Seluruh Indonesia Keterangan : Data Tahun 1997 dan 1998 tidak tercatat.
6. Luas Pertanaman Varietas Panderman Varietas Panderman merupakan salah satu varietas unggul kedelai hasil introduksi dari Taiwan dan dilepas oleh Pemerintah pada tahun 2003. Varietas ini termasuk kedalam kategori varietas potensi tinggi dengan tingkat produktivitas sebesar 2.370 kg/ha dan memiliki umur tanaman sedang yaitu 85 hari dengan tipe tumbuh determinat. Keunggulan dan karakteristik yang dimiliki varietas ini adalah tahan rebah dan memiliki biji yang besar dengan bobot 100 butirnya sekitar 18.2 gram.
Sejak dilepas oleh Pemerintah hingga sekarang, varietas Panderman belum menunjukan perkembangan. Terbukti dengan tidak adanya laporan yang menyatakan bahwa terdapat areal pertanaman kedelai menggunakan varietas Panderman di kalangan petani. Hal ini diduga dikarenakan varietas ini tergolong masih baru sehingga masih belum banyak dikenal oleh kalangan petani. Selain itu juga kurangnya informasi pengenalan varietas dan promosi kepada para petani kedelai oleh instansi terkait. Kajian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Petani Dalam Penggunaan Benih Bermutu Dari Varietas Unggul Kedelai Hasil pengamatan dan wawancara langsung di lapangan terhadap petani responden (30 orang) masing-masing di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Subang, diperoleh data bahwa varietas-varietas yang digunakan oleh para petani kedua daerah tersebut merupakan varietas-varietas unggul yang termasuk kedalam varietas dengan potensi hasil tinggi. Varietas yang banyak digunakan petani di Kabupaten Cianjur adalah varietas Anjasmoro dan Varietas Davros, sedangkan di Kabupaten Subang, varietas yang paling banyak digunakan adalah varietas Lokon dan Wilis (Tabel 3). Tabel 3.
Persentase Varietas Kedelai yang digunakan oleh Petani di Kabupaten Cianjur dan Subang
Varietas Anjasmoro Lokon Davros Wilis Lumajang
Jumlah Petani Kab. Cianjur (%) Kab. Subang (%) 50.00 13.33 33.33 3.33 -
63.33 33.33 3.33
Pemilihan varietas yang digunakan oleh masing-masing petani di kedua daerah tersebut mempunyai kaitan dengan beberapa alasan petani dalam memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai ( Tabel 4).
Tabel 4. Faktor-faktor yang Menjadi Alasan Petani di Kabupaten Cianjur dan Subang Dalam Memilih Varietas Unggul Kedelai Alasan Memilih Varietas
Produktivitas Ukuran Biji Umur Tanaman Ketahanan Terhadap Hama Penyakit
Jumlah Petani Kab. Cianjur Kab. Subang (%) (%) 86.67 86.67 83.33 86.67 46.67 80.00 26.67 30.00
Produktivitas suatu varietas kedelai merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan petani baik di Kabupaten Cianjur (86.67%) maupun
Subang
(86.67%) dalam memilih varietas unggul kedelai. Varietas yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan panen yang tinggi dan tentunya akan mendatangkan keuntungan yang lebih banyak bagi petani tersebut. Ukuran
biji,
menjadi
pertimbangan
yang
utama
setelah
faktor
produktivitas dari varietas kedelai. Petani di Kabupaten Cianjur (83.33%) lebih menyukai biji berukuran besar (seperti varietas Anjasmoro) dan sebagian biji berukuran sedang. Dengan ukuran biji kedelai yang besar memudahkan petani dalam hal penanaman. Berbeda dengan petani di Kabupaten Subang (86.67%), lebih menyukai biji dengan kriteria sedang. Selain produktivitas dan ukuran biji, umur tanaman juga merupakan faktor yang cukup menjadi pertimbangan bagi petani di Kabupaten Cianjur (46.67%) dan Subang (80.00%) dalam memilih suatu varietas, karena berkaitan dengan pengaturan pola tanam yang akan diterapkan petani pada setiap tahunnya. Dengan mengetahui umur tanaman tersebut petani dapat menentukan kapan saat yang tepat untuk melakukan penanaman agar petani pun dapat melakukan panen tepat pada waktunya. Petani di Kabupaten Cianjur dan Subang, lebih banyak menanam varietas yang berumur sedang yaitu antara 75 – 90 hari. Ketahanan suatu varietas terhadap serangan hama dan penyakit juga menjadi pertimbangan petani di Kabupaten Cianjur (26.67%) dan Subang (30.00%) dalam memilih varietas, walaupun persentasenya kecil. Ketahanan suatu varietas terhadap hama dan penyakit berpengaruh terhadap produktivitas, semakin tahan suatu varietas terhadap hama dan penyakit maka produktivitas dari varietas tersebut akan semakin tinggi.
Faktor-faktor Yang Berperan Dalam Pemilihan Dan Penggunaan Varietas Unggul Kedelai Penggunaan varietas unggul kedelai oleh petani dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari sisi petani maupun dari faktor diluar petani. Hasil quesioner di lapangan yang digunakan sebagai data primer untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai terhadap petani di Kabupaten Cianjur dan Subang adalah
sebagai berikut
: 1). Harga Benih Kedelai (X1) Tabel 5 menampilkan kisaran harga benih kedelai di Kabupaten Cianjur dan Subang. Petani kedelai di Kabupaten Cianjur memperoleh benih dengan harga yang bervariasi antara Rp. 6.000/kg hingga Rp. 10.500/kg yaitu petani (43%) memperoleh benih seharga Rp. 6.000/kg – Rp. 7.500/kg dan petani (57%) memperoleh benih dengan kisaran harga Rp. 8.000/kg – Rp. 10.500/kg. Berbeda dengan petani di Kabupaten Subang, petani (90%) memperoleh benih dengan harga Rp. 4.000/kg – Rp. 4.500/kg, sedangkan petani (10%) memperoleh benih dengan harga Rp. 5.000/kg – Rp. 5.500/kg. Benih kedelai biasa didapat langsung dari sesama petani maupun membeli benih di kios pertanian. Perbedaan harga benih kedelai tidak menjadi masalah bagi petani di Kabupaten Cianjur, walaupun harganya ada yang mahal, namun benih tersebut dapat memberikan hasil yang tinggi. Ketersediaan benih dirasa sangat penting oleh petani di daerah tersebut. Tabel 5. Harga Benih Kedelai Yang Dibeli Petani (X1) Harga Benih (Rp/Kg) 4.000-4.500 5.000-5.500 6.000-6.500 7.000-7.500 8.000-8.500 9.000-9.500 10.000-10.500 Jumlah
Jumlah Petani Yang Membeli Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 27 (90,00%) 3 (10,00%) 2 (6,67%) 11 (36,66%) 8 (26,67%) 2 (6,67%) 7 (23,33%) 30 (100%) 30 (100%)
2). Pengalaman Berusahatani (X2) Pengalaman berusahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Subang (Tabel 6) menunjukkan bahwa yang berusahatani 1-10 tahun sebanyak 40% dan 30%. Petani yang berusahatani 10-20 tahun sebanyak 30% di kedua kabupaten. Sedangkan petani yang berusahatani lebih dari 20 tahun di Kabupaten Cianjur sebanyak 30% dan Subang sebanyak 40%. Tabel 6. Pengalaman Berusahatani (X2) Lama Usahatani (Tahun) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 > 50 Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 12 (40,00%) 9 (30,00%) 9 (30,00%) 9 (30,00%) 2 (6,67%) 5 (16,67%) 4 (13,33%) 5 (16,67%) 1 (3,33%) 2 (6,66%) 2 (6,67) 30 (100%) 30 (100%)
3). Tingkat Umur Petani (X3) Petani di Kabupaten Cianjur dan Subang lebih banyak yang berusia diatas 40 tahun, yaitu sebesar 73% dan 60%. Sementara petani yang berusia 21-40 tahun hanya 27% di Kabupaten Cianjur dan 40% di Kabupaten Subang. Tabel 7. Tingkat Umur Petani (X3) Umur Petani (Tahun) 10 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 61 – 70 > 71 Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 1 (3,33%) 3 (10,00%) 7 (23,33%) 9 (30,00%) 8 (26,67%) 9 (30,00%) 7 (23,33%) 4 (13,33%) 5 (16,67%) 4 (13,33%) 2 (6,67%) 1 (3,33%) 30 (100%) 30 (99,99%)
4). Tingkat Pengetahuan Petani (X4) Pengetahuan petani dapat menunjukkan bagaimana pemilihan petani terhadap varietas yang ada di pasaran. Pada Tabel 8, menunjukkan pengetahuan
petani yang dibedakan dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penilaian ini berdasarkan jawaban quesioner yang diberikan petani. Tingkat pengetahuan petani di Kabupaten Cianjur dengan kategori tinggi sebesar 46,67% dan rendah sebesar 33.33%. Sedangkan untuk petani di Kabupaten Subang mempunyai tingkat pengetahuan tentang benih bermutu kategori tinggi sebesar 40% dan sedang sebesar 50%, perhitungan data tersebut diperoleh dari 30 petani responden pada tiap-tiap Kabupaten. Tabel 8. Tingkat Pengetahuan Petani (X4) Tingkat Pengetahuan Petani Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 10 (33,33%) 3 (10,00%) 6 (20,00%) 15 (50,00%) 14 (46,67%) 12 (40,00%) 30 (100%) 30 (100%)
5). Kemudahan Petani Memperoleh Benih (X5) Pemilihan benih oleh petani salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan benih di pasaran. Walaupun benih itu mempunyai kualitas yang baik tetapi tidak tersedia maka petani akan memilih benih yang lain. Kemudahan memperoleh benih dapat dilihat dari jarak yang ditempuh oleh petani untuk mendapatkan benih. Dikategorikan mudah mendapatkan benih apabila jarak yang ditempuh pendek atau dilingkungan tempat tinggalnya dan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi serta terdapat varietas yang dikehendaki. Kategori sedang apabila petani mendapatkan benih tersebut dengan mengeluarkan biaya tambahan tetapi jaraknya tidak terlalu jauh, sedangkan kategori sulit apabila petani harus menempuh jarak yang cukup jauh dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan Tabel 9, bahwa di Kabupaten Cianjur benih dapat diperoleh petani dengan tingkat memperoleh benih yang mudah dan sedang yaitu sebesar 76.67% dan 23.33%. Sedangkan di Kabupaten Subang benih dapat diperoleh petani dengan tingkat sangat mudah sebesar 100%. Kemudahan memperoleh benih karena petani membeli benih di kabupaten masing-masing dengan jarak
yang cukup dekat dari tempat tinggal petani dan tanpa mengeluarkan biaya untuk transportasi. Tabel 9. Tingkat Kemudahan Petani Memperoleh Benih (X5) Tingkat Kemudahan Memperoleh Benih Sulit Sedang Mudah Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 7 (23,33%) 23 (76,67%) 30 (100%) 30 (100%) 30 (100%)
6). Status Pengairan (X6) Petani menggunakan pengairan dengan sistem irigasi teknis dan irigasi sederhana. Di Kabupaten Cianjur petani pengguna irigasi teknis sebesar 53.33% dan pengguna irigasi sederhana sebesar 33.33%. Sedangkan di Kabupaten Subang hampir seluruh petani mengunakan irigasi teknis dengan persentase sebesar 86.67% dan yang menggunakan irigasi sederhana sebesar 13.33%. Tabel 10. Status Pengairan (X6) Status Pengairan Irigasi Teknis Irigasi Sederhana Sawah Tadah Hujan Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 16 (53,33%) 26 (86,67%) 10 (33,33%) 4 (13,33%) 4 (13,33%) 30 (99,99%) 30 (100%)
7). Tingkat Pendidikan Pendidikan yang diperhatikan adalah pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal di hitung dari lama pendidikan di tempuh di bangku sekolah, sedangkan pendidikan non formal dihitung dari keikutsertaan dalam kursus maupun pelatihan. Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani di Kabupaten Cianjur memiliki persentase tinggi yaitu terdapat pada lama pendidikan 0-6 tahun yaitu sebesar 73% dan lama pendidikan lebih dari 7 tahun sebesar 27%. Berbeda
dengan petani di Kabupaten Subang yang memiliki persentase tinggi yaitu dengan lama pendidikan lebih dari 7 tahun sebesar 53% dan sebagian petani menempuh lama pendidikan 0-6 tahun sebesar 47%. Tabel 11. Tingkat Pendidikan Terakhir Petani (X7) Lama Pendidikan (Tahun) 0–6 7–9 >9 Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 22 (73,33%) 14 (46,67%) 4 (13,33%) 7 (23,33%) 4 (13,33%) 9 (30,00%) 30 (99,99%) 30 (100%)
8). Luas Lahan Garapan (X8) Tingkat penguasaan lahan petani menyebar merata pada luasan kurang dari 0,25 – 1.00 ha. Luas lahan yang dikuasai oleh petani meliputi lahan yang dimiliki sendiri dan lahan yang didapat melalui sistem sewa. Pada Tabel 12, ditampilkan
bahwa
di
Kabupaten
Cianjur
mayoritas
petani
(90.00%)
menggunakan lahan seluas 0.25 -0.50 ha untuk digarap. Di Kabupaten Subang sebagian petani (50.00%) menggunakan lahan seluas 0.25 – 0.50 ha dan petani (36.66%) menggunakan lahan seluas 0.50 – 1.00 ha. Tabel 12. Luas Lahan Garapan Petani (X8) Luas Lahan (Ha) < 0,25 0,25 - 0,50 0,50 - 1.00 > 1.00 Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 1 (3,33%) 2 (6,67%) 27 (90,00%) 15 (50,00%) 2 (6,67%) 11 (36,66%) 2 (6,67%) 30 (100%) 30 (100%)
9). Jenis Pekerjaan Petani (X9) Penelitian mengenai jenis pekerjaan yang di tekuni petani dititikberatkan pada status petani menekuni pekerjaan bertani sebagai pekerjaan utama atau sebagai pekerjaan sampingan. Pada Tabel 13 menunjukkan bahwa petani yang
menjadikan usaha di bidang pertanian palawija baik di Kabupaten Cianjur maupun Subang sebagai pekerjaan utama memperlihatkan jumlah yang besar yaitu masing-masing 86.67% dan 70.00%, sedangkan sebagai pekerjaan sampingan sebesar 13,33% dan 30,00%. Petani yang menjadikan bertani sebagai pekerjaan sampingan, mempunyai pekerjaan utama sebagai pedagang baik itu petani di Kabupaten Cianjur maupun Subang. Tabel 13. Jenis Pekerjaan Petani (X9) Jenis Pekerjaan
Jumlah Petani
Petani
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Subang
Petani Murni
26 (86,67%)
21 (70,00%)
Sampingan
4 (13,33%)
9 (30,00%)
Jumlah
30 (100%)
30 (100%)
!0). Penyuluhan Perbenihan (X10) Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu sarana bagi petani untuk menambah wawasan petani terhadap dunia pertanian. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan oleh PPL yang ada di Kabupaten Cianjur dan Subang. Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Cianjur yang pernah mengikuti penyuluhan sebesar 76,67% dan yang tidak pernah mengikuti penyuluhan sebesar 23.33%. Sedangkan petani di Kabupaten Subang yang mengikuti penyuluhan sebesar 83,33% dan yang tidak pernah mengikuti penyuluhan sebesar 16,67%. Tabel 14. Penyuluhan Perbenihan (X10) Kegiatan Penyuluhan Pernah Mengikuti Tidak Pernah Jumlah
Jumlah Petani Kabupaten Cianjur Kabupaten Subang 23 (76,67%) 25 (83.33%) 7 (23,33%) 5 (16,67%) 30 (100%) 30 (100%)
Hasil pengambilan data X1 sampai X10 yang diperoleh, dianalisis dengan regresi linier berganda yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih varietas unggul kedelai. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel dependent (X) yaitu X1 = harga
beli benih, X2 = pengalaman berusahatani, X3 = umur petani, X4 = tingkat pengetahuan petani, X5 = ketersediaan benih dipasaran, X6 = status pengairan, X7 = tingkat pendidikan terakhir petani, X8 = luas lahan garapan, X9 = jenis pekerjaan dan X10 = penyuluhan perbenihan, terhadap variabel independent (Y) yaitu penggunaan benih bermutu dari varietas unggul. Model persamaan regresi linier berganda (Kabupaten Cianjur), sebagai berikut : Y = 0,7367 - 0,00000447 X1 + 0,003950 X2 + 0,000187 X3 + 0,44246 X4 – 0,1892 X5 – 0,0115 X6 + 0,12333 X7 – 0,0066 X8 + 0,0806 X9 – 0,1047 X10. Tabel 15. Rekapitulasi Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Preferensi Petani Dalam Memilih Varietas Unggul Kedelai di Kab. Cianjur Variabel Konstant X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Koefisien 0.7367 -0.00000447 0.003950 0.000187 0.44246 -0.1892 -0.0115 0.12333 0.0066 0.0806 0.1047
SE Koefisien 0.6729 0.00000582 0.007384 0.006864 0.07410** 0.1708 0.1032 0.08435 0.3087 0.2515 0.2098
T 1.09 -0.77 0.53 0.03 5.97 -1.11 -0.11 1.46 -0.02 0.32 0.50
P 0.287 0.452 0.599 0.979 0.000 0.282 0.912 0.160 0.983 0.752 0.623
Keterangan : R2 = 76,9% ** berbeda sangat nyata pada taraf 1%.
Analisis regresi berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih varietas unggul kedelai didapatkan hasil bahwa pada variabel X4 (tingkat pengetahuan petani) yang memberikan nilai beda nyata dengan F hitung 1%. Pengujian parameter model diperoleh bahwa hanya variabel tingkat pengetahuan petani yang berpengaruh nyata terhadap preferensi petani dalam memilih varietas unggul kedelai. Hasil analisis menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka semakin banyak petani yang memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai.
Model persamaan regresi linier berganda (Kabupaten Subang), sebagai berikut : Y = - 2,347 + 0,0005574 X1 + 0,002068 X2 - 0,005017 X3 + 0,28143 X4 0,2093X5 + 0,0057 X6 + 0,05716 X7 + 0,4558 X8 + 0,0499 X9 + 0,7395 X10. Tabel 16. Rekapitulasi Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Preferensi Petani Dalam Memilih Varietas Unggul Kedelai di Kab. Subang Variabel Konstant X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Koefisien -2.347 -0.0005574 0.002068 -0.005017 0.28143 -0.2093 0.0057 0.05716 0.4558 0.0499 0.7395
SE Koefisien 1.050 0.0001825* 0.009976 0.009310 0.08929* 0.1866 0.1486 0.07997 0.2115 0.1206 0.1921*
T -2.24 3.05 0.21 -0.54 3.15 -1.12 0.04 0.71 2.15 0.41 3.85
P 0.038 0.007 0.838 0.596 0.005 0.276 0.970 0.483 0.044 0.684 0.001
Keterangan : R2 = 74,2% * berbeda nyata pada taraf 1%
Pengujian parameter model diperoleh bahwa variabel harga beli benih (X1), tingkat pengetahuan petani (X4) dan variabel penyuluhan perbenihan (X10) yang berpengaruh nyata terhadap preferensi petani dalam memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai. Hasil analisis menggambarkan bahwa semakin murah harga beli benih, maka semakin banyak petani yang memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai. Untuk variabel tingkat pengetahuan, bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani tentang perbenihan, maka semakin besar peluang petani dalam memilih dan menggunakan varietas unggul kedelai. Karena tingkat pengetahuan petani dan kesempatan
mendapatkan penyuluhan perbenihan akan membuat
petani benar-benar mengerti apa yang dimaksud benih bermutu dari varietas unggul.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perkembangan produksi kedelai nasional cenderung menurun dalam kurun waktu 18 tahun terakhir. Kondisi ini secara tidak langsung terjadi akibat penurunan areal tanam, pergeseran tanaman kedelai ke tanaman non kedelai dan disebabkan perbenihan kedelai tidak berkembang. 2. Sampai saat ini telah dilepas 66 varietas unggul kedelai, dimana perkembangan varietas-varietas tersebut dari tahun ke tahun memiliki karakteristik tinggi tanaman yang cenderung naik turun, umur tanaman yang relatif sedang (75-90 hari), ukuran biji yang semakin besar dan potensi hasil yang semakin meningkat. 3. Varietas unggul kedelai yang telah dilepas dari analisis komersialisasinya hanya
20%
yang
digolongkan
varietas
berkembang
dan
memiliki
komersialisasi tinggi seperti Wilis, Lokon, Galunggung dan Kipas putih. Misalnya, Wilis merupakan varietas yang paling komersial karena selama perkembangannya dari tahun ke tahun luas pertanaman varietas Wilis lebih dari 25.000 ha, penyebarannya juga lebih di 20 propinsi dan berdasarkan lama penggunaannya, varietas Wilis selalu ada di tanam dari tahun ke tahun. 4. Varietas-varietas baru yang potensial berkembang adalah varietas Anjasmoro dan Mahameru yang dirilis tahun 2001 karena saat ini telah ditanam lebih dari 1.000 ha dan menyebar di 5 propinsi. 5. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi petani di daerah penelitian dalam penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai. Diantaranya faktor produktivitas, ukuran biji, umur tanaman dan ketahanan terhadap hama penyakit.
Saran Untuk memperbaiki perbenihan kedelai dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : a). Penyebarluasan varietas unggul baru yang berpotensi tinggi dan tahan hama penyakit dengan penyediaan benih yang berkualitas yang memadai, b). Perbaikan sistem produksi benih sumber hingga benih komersial dan distribusinya dan c). Insentif bagi produsen yang memproduksi benih kedelai bermutu.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2005. Kedelai . Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Allard, R.W. 1960. Principle of Plant Breeding. John and Willey Sons. New York. 485 p. Anonim, 1996. Strategi Pengembangan Industri Benih Hortikultura Nasional. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Peningkatan Peran Swasta Dalam Pengembangan Industri Benih Hortikultura Nasional, 10 Desember 1996. Jakarta, 22 hal. Antarlina, S.S., E. Ginting dan J.S. Utomo. 1998. Perbaikan Mutu Tepung Kedelai. Hlm 1-26. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun 1997/1998. Buku 3. Bidang Pasca Panen. Balitkabi. Baharsjah, J.S., D. Suardi dan I. Las. 1985. Hubungan Iklim dan Pertumbuhan Kedelai. Dalam Soamaatmaja. et.al. (Ed). Kedelai. Balitbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2004. Komoditas Kedelai. 9 Hlm. Departemen Pertanian. Jakarta.
Roadmap
Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2005c. Renstra Balitkabi 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta. BPS. 2002. Statistik Indonesia. Penerbit Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2005. Statistik Indonesia. Penerbit Badan Pusat Statistik. Jakarta. Budiarti, T., dan S. Hadi. 2005. Komersialisasi Varietas Unggul Dan Perbenihan Kedelai di Indonesia. Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacangkacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Departemen Pertanian, 2007. Jakarta.
Basis Data Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2004. Profil Kedelai max). Buku 1 dan 2. Departemen Pertanian. Jakarta.
(Glycine
Direktorat Perbenihan, 2007. Buku Penyebaran Varietas Palawija MK 2006 dan MH 2006/2007. Ditjen Tanaman Pangan. Jakarta.
Ditjentan Pangan, Petunjuk Pelaksanaan dan Teknis Perbanyakan Benih oleh Swasta / Penangkar (Jakarta: Sub-Direktorat Produksi Benih, Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan, 1986). FAO. 2000. Agriculture Statistic. Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Penerbit Tarsito. Bandung. Harnowo, D., E. Ginting dan Gatot S.A.F. 1998. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Biji Kedelai dari berbagi Teknik Pra dan Pasca Panen. Hal 27-40. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Tahun 1997/1998. Buku 3. Bidang Pasca Panen. Balitkabi. Malang. Haryadi, 2004. Studi Identifikasi dan Komersialisasi Varietas Unggul Padi Sawah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Heriyanto dan I. Sutrisno. 2005. Preferensi Petani dan Penyebaran Varietas Kedelai di Jawa Tengah. Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacangkacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hidayat, O.O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai. Hal 73-86. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Eds). Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Inkopti. 2000. Kemampuan Daya Serap Kopti dan Mutu serta Permasalahan Pengadaan Kedelai. 9 hlm. Seminar Pengembangan Kedelai di Indonesia. Jakarta, 14 Februari 2000. Kasim, H., dan Djunainah (penyusun). 1993. Deskripsi Varietas Unggul Palawija 1918 – 1992. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. 155 hal. Kasno, A dan Jusuf, M. 1994. Evaluasi Plasma Nutfah untuk Daya Adaptasi terhadap Kekeringan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 4:12:15 Krisdiana, R. 2005. Preferensi Industri Tahu dan Tempe Terhadap Permintaan Komoditas Kedelai di Jawa Tengah. Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Limbong, W.H. dan Sitorus. 1987. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Departemen Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Marwoto, K.K., S. Swastika dan P. Simatupang, 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 1995. Produksi Benih. Bumi Aksara. Jakarta.130 hal. Nikkuni, S., T. Goto, S.S. Antarlina, E. Ginting dan J.S. Utomo. 2000. Evaluation of Indonesian Soybean Varietas for The Processing and Improvement of Fermented Foods .24 p. Workshop of Soybean Research. 28 September 2000. RILET. Malang. Nugraha, U.S. 1996. Produksi Benih Kedelai Bermutu Melalui Sistem JABAL dan Partisipasi Petani. XV (2): 27-35. Pandey, J. P. and J. H. Torrie. 1973. Path Coeffisient Analysis of Seed Yield Components in Soybean (Glycine max (L.) Merr). Crop. Sci. 13 : 505-507. Rachmadi, B. 1998. Produksi dan Pemasaran Benih Padi dalam Menunjang Produksi Pangan Nasional. Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peningkatan Produksi Padi Nasional. Lampung 9-10 Desember 1998. 13 hal. Sadjad. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT. Grasindo. Jakarta. 144 hal. ______1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 164 hal.
PT.
Samsudin, U. dan D.S. Jakamiharja. 1985. Kedelai. Sari Keterampilan Pertanian. Pustaka Buana. Jakarta. 169 hal. Sibuea, L.H. 2002. Penilaian Kesesuaian Agroklimat untuk Tanaman Kedelai. Laporan Penelitian. Bogor. Balitklimat. Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajahmada University Press, Yogyakarta. 412 hal. Somaatmadja, S. 1980. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Penelitian Varietas. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Eds). Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Suhartina. 2003. Perkembangan dan Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 19182002 (Penyunting: M.M. Ade, N. Saleh dan A. Winarto). Balitkabi. Malang. Sumarno dan Hartono. 1983. Kedelai dan Cara Bercocok Tanam. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
Sumarno. 1995. Pemuliaan Tanaman Kacang-kacangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Tampubolon, T. Wiroadmodjo. Baharsjah, J dan Soedarsono. 1989. Pengaruh Penggenangan pada berbagai Fase Pertumbuhan Kedelai terhadap Pertumbuhan dan Produksi. Forum Pascasarjana 12:17-25. Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat : Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Perkembangan Areal, Produktivitas, Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia, Tahun 1990-2007. Areal
Produktivitas
Produksi
Konsumsi
Penduduk
Kons/kap
Defisit
Income/cap
(000 ha)
(t/ha)
(000 ton)
(ton)
(000 jiwa)
(kg/kap)
(000 ton)
(Rp 000/th)
1990
1.334
1.11
1.487
2.028
178170
11.38
541
616.44
1991
1.368
1.14
1.555
2.228
181094
12.30
673
670.57
1992
1.665
1.12
1.870
2.560
184491
13.87
690
715.16
1993
1.470
1.16
1.709
2.431
187589
11.96
723
858.93
1994
1.407
1.11
1.565
2.365
190676
12.40
800
93.96
1995
1.477
1.14
1.680
2.287
193486
11.82
607
979.93
1996
1.273
1.19
1.517
2.263
196807
11.50
746
1046.46
1997
1.119
1.21
1.357
1.973
199837
9.87
616
771.96
1998
1.095
1.19
1.306
1.649
202873
8.13
343
654.97
1999
1.151
1.20
1.383
2.684
205915
13.03
1.301
719.11
2000
825
1.23
1.018
2.294
210033
10.92
1.276
849.11
2001
679
1.22
827
1.960
214234
9.15
1.133
845.48
2002
545
1.24
673
2.017
217747
9.26
1.344
tad
2003
527
1.28
672
2.016
221231
9.11
1.343
tad
2004
550
1.29
707
2.015
224660
8.97
1.307
tad
2005
621
1.30
808
-
-
-
-
-
2006
580
1.28
747
-
-
-
-
-
2007
456
1.30
598
-
-
-
-
-
1990-95
2.06
0.39
2.46
2.43
1.66
0.75
2.33
9.71
1995-00
-11.00
1.65
-9.53
0.06
1.65
-1.57
16.02
-2.83
2000-04
-9.66
1.06
-8.70
-3.19
1.70
-4.81
0.61
0.43
Rata-rata Pertmbuhan (%)
-6.14
1.03
-5.17
-0.05
1.67
-1.69
6.51
2.91
Tahun
Pertmbuhan
Sumber : BPS, 2005 dan Deptan
Tabel Lampiran 2. Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Pangan s/d Tahun 2006. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditi Padi Hibrida Non Hibrida Jagung Hibrida Non Hibrida Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Sorghum Gandum
s/d 2004 17 190 86 43 62 31 19 15 23 18 4
Tahun 2005 3 3 -
Jumlah 2006 12 4 2 1 1 3 -
32 194 88 44 66 31 19 15 26 18 4
Sumber : Direktorat Jenderal Perbenihan Tanaman Pangan.
Tabel Lampiran 3. Standar Pengujian Laboratorium Benih Kedelai Bersertifikat Kelas Benih Benih Dasar Benih Pokok Benih Sebar Label Biru Benih Sebar Label Hijau
Kadar air Benih Kotoran Benih Daya Maks (%) Murni Min Benih Maks Varietas Lain Tumbuh Min (%) %) Maks (%) (%) 11
98
2
0.1
80
11
98
2
0.2
80
11
97
3
0.5
80
11
97
3
0.7
70
Sumber : Ditjentan Pangan, 1986.
Tabel Lampiran 4. Nilai Rataan Tinggi Tanaman, Umur Berbunga Dan Umur Panen Tujuh Varietas Kedelai. Varietas Wilis Tidar Burangrang Slamet Anjasmoro Mahameru Panderman
Tinggi Tanaman (cm) 44e 40.7f 56.7ab 55.3abc 57.7a 52.7abcd 50.6abcd
Umur Berbunga (HST) 37.9a 36c 35.9c 37.2ab 35.4c 36.3bc 35.8c
Umur Panen (HST) 93.6ab 75.9c 81.2ab 87.3ab 91.9ab 88.7ab 86.5ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Tabel Lampiran 5. Nilai Rataan Jumlah Polong per Tanaman, Jumlah Polong Isi Per Tanaman, Bobot 100 Butir dan Hasil Biji Kering Tujuh Varietas Unggul Kedelai. Varietas Wilis Tidar Burangrang Slamet Anjasmoro Mahameru Panderman
Jumlah Polong Per Tanaman 207ab 305.3a 92.3bd 142.7ab 112.4bc 173.5ab 133.7ab
Jumlah Polong Isi per Tanaman 83.5a 126.2a 48.9b 73.6a 75.6a 65.7b 70.8a
Bobot 100 Butir (gram) 10.06bcde 6.02df 13.35abcd 11.51ac 14.77abc 16.13ab 18.86a
Hasil Biji Kering (gram) 545.62abcde 582.65abc 582.64abcd 617.99ab 646.71a 438.46abcdef 251.17cdef
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Tabel Lampiran 6. Daftar Varietas-Varietas Kedelai Yang Telah Dilepas Tahun
Asal
Lepas
Varietas
1918
Otan
Sel Galur Introduksi
Umur Persilangan
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
-
90-100
7,0-8,0
Hasil (Ton/Ha) 1,1-1,2
Taiwan
Klasifikasi Sifat Khusus Mudah rontok, polong tua
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Kecil
VPR
65
Sedang
Kecil
VPR
80
Dalam
Kecil
VPS
90
Dalam
Kecil
VPS
57
Dalam
Kecil
VPS
60
Sedang
Kecil
VPS
60
Sedang
Sedang
VPS
65
Sedang
Sedang
VPT
50-55
tidak mudah pecah, agak netral terhadap panjang hari.
1919
No. 27
seleksi dari
-
90-110
7,0-8,0
1,0-1,2
varietas Otan
Polong tua tidak mudah pecah, polong banyak, tanaman tegak, netral terhadap panjang air.
1924
No. 29
Seleksi galur
-
110
7,0
1,0-1,5
Tahan penyakit karat,
dari No. 17
Polong tua tidak mudah
asal Taiwan
pecah, polong lebat, agak netral dengan panjang hari.
1935
Ringgit
-
(No. 317)
No. 27 x
85-95
8,0
1,0-1,5
No. 69
Peka penyakit karat, Polong tua tidak mudah pecah, agak netral terhadap panjang hari.
1937
Sumbing
-
No. 87 x
80-85
8,0
1,0-1,5
No. 69
Mudah rontok, polong tua mudah pecah, agak peka terhadap panjang hari, Peka penyakit karat,
1938
Merapi
Seleksi varietas
-
85
8,0
1,0
lokal Jatim
Polong tua mudah pecah, agak peka terhadap panjang hari.
1965
Shakti
Seleksi massa
-
80-85
13,0-14,0
1,0-1,5
Cocok pada dataran
varietas
tinggi, polong tidak
Wakashima
mudah pecah, agak peka panjang hari, peka penyakit karat.
1965
Davros
Garut
-
85
12,0
1,5
Untuk dataran tinggi, Peka penyakit karat.
55
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun Lepas 1965
Asal Varietas Taichung
Umur
Sel Galur
Persilangan
(hari)
Introduksi Taiwan
-
80
Bobot 100 Butir (gram) 10,5
Hasil
Klasifikasi Sifat Khusus
(Ton/Ha) 1,3-1,5
Tahan rebah, polong tua
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Sedang
VPS
-
Sedang
Besar
VPT
-
Sedang
Besar
VPT
50-60
Sedang
Sedang
VPT
50
Genjah
Sedang
VPT
60
Sedang
Sedang
VPT
60
Sedang
Sedang
VPT
50
Dalam
Sedang
VPT
45-60
Sedang
Kecil
VPT
60
Sedang
Sedang
VPT
50-60
Sedang
Sedang
VPT
50-60
Sedang
Sedang
VPT
50
mudah pecah, buah banyak. 1965
TK-5
Introduksi Taiwan
-
80-85
17,8
1,5
Peka penyakit karat, polong tua mudah pecah buah banyak.
1974
Orba
-
Davros x
90
14,0
1,5
Shakti 1981
Galunggung
-
Davros x
Tahan penyakit karat, polong tua mudah pecah
80-90
12,5
1,5
Shakti
Polong tidak mudah pecah, agak peka penyakit karat.
1982
1982
1983
Lokon
Guntur
Wilis
-
-
-
TK-5 x Genjah Slawi
75
TK-5 x Genjah Slawi
79
No. 1682 x
88
10,6
1,75
virus. 10,5
1,85
Dempo
Introduksi USA
-
Agak peka karat dan virus.
10,0
1,62
Orba 1984
Agak peka karat dan
Tahan rebah, penyakit karat dan virus.
90-95
12,5
1,5
Tahan karat, cocok utk lahan kering yang berdrainase baik di luar Jawa, tahan rebah.
1985
Kerinci
-
Davros x
87
9,3
1,67
No. 1682 1986
Merbabu
-
1986
Raung
-
Orba x
85
10,0
1,6
85
13,0
1,6
Sinyonya Davros x
Muria
Radiasi Orba
-
Tahan rebah, cukup tahan karat.
Shakti 1987
Tahan rebah,agak tahan penyakit karat dan lalat.
Toleran penyakit karat, agak tahan rebah.
83-88
12,5
1,8
Cukup tahan karat daun, polong tidak mudah pecah, fiksasi N simbiotik dengan legin efektif.
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun Lepas
Asal Varietas
1987
Tidar
1989
Lompobatang
Umur
Sel Galur
Persilangan
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
Seleksi Galur
-
75
7,0
1,4
Sinyonya x
85-87
10,0
1,67
(Ton/Ha)
Mutan B-1682 -
Klasifikasi
Hasil Sifat Khusus Tahan rebah, agak tahan
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Genjah
Kecil
VPS
40-50
Sedang
Sedang
VPT
60-75
Sedang
Sedang
VPT
60
Sedang
Besar
VPT
60-70
Sedang
Kecil
VPT
40-56
karat dan lalat benih. No. 1682
Tahan rebah, cukup tahan karat daun, tumbuh baik pada lahan salinitas.
1989
Rinjani
-
Shakti x
86-90
10,0
1,72
No. 1682
Tahan rebah, cukup tahan karat, baik untuk tahan sedikit masam.
1989
Tambora
Introduksi
1989
Lumajang
Lokal Lumajang,
Bewok
Jatim
-
87
14,0
1,5
-
75-80
9,6
1,52
Tahan penyakit karat.
Philipina Agak tahan karat daun dan lalat kacang, tahan rebah, polong tua mudah pecah. 1988
Petek
1991
Lawu
Lokal Kudus -
-
80-83
8,4
1,2
Lokon x
74-78
11,0-13,0
1,2-1,8
Gm 2834 Si
* Tahan rebah, tahan
Sedang
Kecil
VPS
40
Sedang
Sedang
VPT
70
Sedang
Kecil
VPT
47-57
Sedang
Sedang
VPS
50-55
Sedang
Kecil
VPT
57
ham daun, agak tahan karat, cocok di lahan irigasi.
1991
Dieng
-
Manalagi x
74-78
7,5
1,7
Orba
Tahan rebah, agak tahan karat daun, dapat beradaptasi di daerah dg iklim basah sampai kering dan daerah dg musim hujan pendek.
1991
Tengger
Iradiasi Orba
-
73-79
11,5
1,4
Pada tanah subur cenderung rebah, cukup tahan lalat putih dan karat daun, polong tua tidak mudah pecah.
1991
Jayawijaya
Varietas Lokal Madiun
-
84-87
8,0-9,0
1,8
Tahan rebah,agak tahan karat dan virus.
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun Lepas 1992
Asal Varietas Kipas Putih
Sel Galur Lokal Aceh
Umur Persilangan
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
-
85-90
12,0
Klasifikasi
Hasil (Ton/Ha) 1,69
Sifat Khusus Tahan rebah, toleran
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Sedang
VPT
50-60
Genjah
Sedang
VPS
57
Sedang
Sedang
VPT
50-55
Sedang
Sedang
VPT
60-65
Sedang
Sedang
VPT
65
Sedang
Kecil
VPT
55-60
Sedang
Sedang
VPT
65
Sedang
Sedang
VPT
59
tahan karat daun.
Sedang
Sedang
VPT
65
Toleran karat daun.
Sedang
-
VPT
60-70
karat daun. 1992
Malabar
-
No. 1592 x
70
12,0
1,27
Wilis 1992
Singgalang
IITA Nigeria
-
Tahan rebah, toleran karat daun.
80-85
10,0
1,65
Tahan rebah, toleran Penyakit karat, cocok untuk lahan kering masam dan sawah tadah hujan.
1992
Cikuray
-
No. 630 x
82-85
11,0-12,0
1,7
No. 1343
Toleran karat daun, tahan rebah, polong tua
(Orba)
tidak mudah pecah, beradaptasi baik di dataran rendah & tinggi
1992
Tampomas
Introduksi Taiwan
-
84
11,0
1,9
Tahan rebah, agak tahan karat daun dan virus CMMV.
1992
Krakatau
Introduksi Taiwan
-
82-85
8,0
1,9
Tahan rebah, toleran karat daun dan virus CMMV, cocok untuk lahan tegal dan sawah
1995
Slamet
-
Dempo x
1995
Sindoro
-
Dempo x
87
12,5
2,26
Agak tahan penyakit
86
12,0
2,03
Agak tahan penyakit
Wilis
karat.
Wilis 1995
Pangrango
-
Lokal
karat. 88
10,0
1,4
85
-
1,68-2,5
Lampung x Davros 1998
Bromo
Introduksi Philipina
-
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun Lepas 1998
Asal Varietas Kawi
Sel Galur
Umur Persilangan
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
-
88
10,0
AVRDC Taiwan
Hasil (Ton/Ha) 2,04
Klasifikasi Sifat Khusus Agak tahan penyakit
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Sedang
VPT
60-70
Sedang
Sedang
VPT
60
karat, sesuai utk tanah aluvial, grumusol, regosol dan latosol. 1998
Lauser
AVRDC Taiwan
Lokal
78-80
10,6
1,87
Pasuruan
tahan rebah dan polong
MLG 2621 x Mutan B 1682 1998
Argo Mulyo
Introduksi Taiwan
1998
Meratus
Iradiasi Sinar Y
1999
Burangrang
1999
Manglayang
-
tidak mudah pecah.
-
80-82
-
1,5-2,0
Silang Dalam Lokal Jember
73-77
9,0-10,0
1,4
80-82
17,0
1,6-2,5
-
92
-
1,73
Radiasi Orba x
Lawit
Toleran karat daun.
Sedang
-
VPT
40
Tahan penyakit karat.
Genjah
Kecil
VPS
40-45
Toleran karat daun,
Sedang
Besar
VPT
60-70
Dalam
-
VPT
60
Sedang
Sedang
VPT
58
Sedang
Kecil
VPT
64
Sedang
Besar
VPT
62-64
Sedang
Besar
VPT
64-68
Sedang
Sedang
-
67
tahan rebah.
No. 106 2001
Agak tahan karat daun,
Agak tahan karat daun, tahan genangan.
-
B3034 x
84
10,5
1,93-2,07
Adaptasi pada lahan
Lokal
pasang surut tipe B
Lampung
(terluap olah pasang besar) dan C (tidak terluapi)
2001
Menyapa
-
B3034 x
85
9,1
1,9-2,03
Adaptasi pada lahan
Lokal
pasang surut tipe B
Lampung
(terluap olah pasang besar) dan C (tidak terluapi)
2001
Mahameru
Mansuria
-
204-19-1
82,5-
16,5-17
2,04-2,2
94,8
Agak tahan karat daun, tahan rebah, tahan pecah polong.
2001
Anjasmoro
Mansuria
-
395-49-4
82,5-
14,8-15,3
2,03-2,3
92,5
Tahan rebah, agak tahan karat daun, tahan pecah polong.
2001
Tanggamus
-
Kerinci x No. 3911
88
11
1,22
Moderat karat daun, tahan rebah, tahan pecah polong.
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun Lepas 2001
Asal Varietas
Sel Galur
Sibayak
-
Umur Persilangan Dempo x
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
Hasil (Ton/Ha)
89
12,5
1,41
No. 3577
Klasifikasi Sifat Khusus Moderat karat daun,
Umur Panen
Ukuran Biji
Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Sedang
VPS
74
Dalam
Sedang
VPS
73
Sedang
Sedang
VPT
66
Sedang
Sedang
VPT
64
tahan rebah, tahan pecah polong.
2001
Nanti
-
Dempo x
91
11,5
1,24
No. 3623 2001
Sinambung
-
Silang ganda
88
10,7
2,16
16 tetua 2001
Kaba
-
Silang ganda
2002 2003
Baluran Merubetiri
GC 88025-3-2
Persilangan
(YN-IS)
AVRDC
GC 88022-9-2
Persilangan
(YN-I)
AVRDC
Ijen
-
2003
Panderman
Introduksi Taiwan
2004
Seulawah
W3898-14-2
Silang Balik
Agak tahak penyakit karat daun.
85
10,4
2,13
16 tetua 2002
Tahan penyakit karat, tahan rebah.
Agak tahan penyakit karat daun.
80
15,0-17,0
2,5-3,5
-
Sedang
Besar
VPT
60-80
95
13,0-14,0
2,5-3,5
-
Dalam
Sedang
VPT
80-100
83
11,2
2,49
Sedang
Sedang
VPT
-
Tahan rebah, biji besar.
Sedang
Besar
VPT
-
Tahan karat daun,
Dalam
Kecil
VPT
-
Sedang
Sedang
VPT
-
Sedang
Besar
VPT
-
Sedang
Besar
VPT
-
Agak toleran ulat grayak
Wilis dengan
adaptif dilahan sawah
Mahameru
setelah tanam padi.
-
85
18,2
2,37
Wilis x
93
9,5
1,6-2,5
No. 3898
adaptif pd lahan kering masam.
2004
Ratai
W3465-27-2
Wilis x
90
10,5
2,7
No. 3465
Daya hasil tinggi pada lahan kering masam dan agak tanah karat daun.
2004
Rajabasa
GH-7/BATAN
Galur Mutan No. 124x23 D
82-85
15
2,05-3,9
Tahan karat dan agak toleran cekaman
Iridiasi Sinar
masam, produksi tinggi,
Y Varietas
berumur sedang, berbiji
Guntur dosis
besar.
150 GY. 2005
Gumitir
Introduksi Taiwan
-
81
15,8
2,08-2,4
Tahan lalat kacang peka
(GC 86019-
ulat grayak,tahan peng-
190-IN)
hisap polong dan peka virus daun CMMV.
Lanjutan Tabel Lampiran 6 Tahun
Asal
Lepas
Varietas
2005
Argopuro
Sel Galur Introduksi Taiwan
Umur Persilangan
(hari)
Bobot 100 Butir (gram)
-
84
17,8
Hasil (Ton/Ha) 2,31-3,05
(GC 89029-19-1)
Sifat Khusus Agak tahan lalat kacang
Umur Panen
Klasifikasi Ukuran Biji Potensi Hasil
Tinggi (cm)
Sedang
Besar
VPT
-
Dalam
Besar
VPT
-
agak tanah ulat grayak, agak tahan penghisap polong dan virus daun CMMV.
2005
Arjasari
-
BT55B x Tainung
98100
19,2
2,33
Responsif pemupukan, rendemen tahu 324%, rendemen tempe 187,5% moderat toleran terhadap genangan.
Keterangan : -
= Tidak Ada
VPR = Varietas Potensi Rendah. VPS = Varietas Potensi Sedang. VPT = Varietas Potensi Tinggi.