II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1.
Peternakan Sapi Potong Skala Rumah Tangga Usaha peternakan Sapi Potong skala rumah tangga adalah usaha
peternakan yang dilakukan secara tradisional dan ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga di daearah pedesaan. Beberapa ciri dari usaha seperti ini adalah skala usaha kecil, modal kecil, bibit lokal, pengetahuan teknis beternak rendah, usaha bersifat sampingan, pemanfaatan waktu luang, tenaga kerja keluarga, sebagai tabungan dan pelengkap kegiatan usahatani. Usaha ternak sapi telah banyak dikembangkan di Indonesia, tetapi pada usaha peternakan rakyat umumnya menjalankan usaha peternakan sebagai usaha sambilan yang bertujuan sebagai tabungan masa depan (Ketut, 2005; Rusnan 2015). Usaha pembibitan sapi potong skala rumah tangga sebagai pemasok utama sapi bakalan dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan daging daging sapi potong nasional yang setiap tahun meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat. Laju permintaan daging sapi potong yang melebihi kemampuan produksinya akan menguras populasi dan produktivitas sapi potong, serta sumber bibit untuk dijadikan sebagai penghasil daging (Soetanto 2008; Rasyid,dkk, 2013).
2.2.
Standarisasi Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan sapi hasil persilangan sapi lokal
dengan sapi Ongole dari India yang memiliki ciri-ciri khusus, warna bulu putih, abu-abu, kipas ekor dan bulu sekitar mata berwarna hitam, berbadan besar, gelambir longgar bergantung, berpunuk besar, leher pendek dan tanduk yang pendek rendah (Aryogi, 2005).
Sapi PO dikenal sebagai sapi pedaging dan
pekerja, mempunyai aktivitas reproduksinya cukup efisien serta mampu bertahan pada suhu tinggi dengan kondisi pakan yang berkualitas rendah. Sarwono dan Arianto (2003) menambahkan bahwa ciri-ciri sapi PO yaitu, berwarna kecoklatan
12
saat lahir, berwarna putih abu-abu dengan campuran hitam dan merah saat dewasa, moncong dan kuku berwarna hitam, tanduk pada sapi betina berukuran lebih panjang dan menggantung dibandingkan tanduk sapi jantan. Standar tentang kualitas Bibit Sapi Peranakan Ongole (PO) dirumuskan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No 7651 Bagian 5 Tahun 2015. Standar ini bertujuan untuk memberikan jaminan kepada komsumen dan produsen akan mutu bibit sapi Peranakan Ongole (PO), meningkatkan produktivitas sapi PO di Indonesia dan meningkatkan kualitas genetik sapi PO. Berikut adalah persyaratan kuantitatif ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan sapi bibit PO betina dan jantan sesuai dengan SNI 7651.5:2015 ;
No
Tabel 1. Persyaratan Kuantitatif Sapi Bibit PO Jantan dan Betina Umur Parameter Kelas I Kelas II Kelas III ♂
1
Lingkar Dada 152 minimum Tinggi pundak 128 minimum Panjang badan 134 minimum 2 ≥ 24 bulan Lingkar Dada 175 minimum Tinggi pundak 133 minimum Panjang badan 139 minimum Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2015)
2.3.
18- < 24 bulan
♀
♂
♀
♂
♀
138
148
134
144
130
119
125
116
122
113
120
127
118
124
117
161
160
156
149
139
121
130
125
127
121
132
133
129
129
127
Aspek-aspek Good Breeding Practice Good Breeding Practice merupakan suatu pedoman bagi pelaku usaha
dalam melakukan pembibitan sapi potong dengan tujuan agar diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi standar. Pedoman ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan 2014 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik yang diatur dalam Permentan No. 101/2014 dan merupakan acuan bagi pembibit sapi
13
potong dalam menghasilkan bibit sapi potong bermutu baik. Selain itu, pedoman ini juga berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong untuk instansi atau dinas peternakan. Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi prasarana dan sarana, cara pembibitan, kesehatan hewan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, sumber daya manusia, serta pembinaan dan pengawasan.
2.3.1. Aspek Sarana dan Prasarana Pengembangan ternak sapi potong memerlukan sarana dan prasaran untuk yang memadai untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas. Prasarana peternakan sapi potong diantaranya mengenai kondisi wilayah, kesesuaian wilayah dengan usaha peternakan perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan usaha.
Menurut Santosa (2005), dalam hal pemilihan lokasi perlu
perlu memperhatikan letak topografi dan geografi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan bahan pakan, sumber air, transpotasi dan ketersediaan pedet bakalan untuk menunjang keberlangsungan usaha ternak. Seperti yang telah diatur dalam pedoman pembibitan sapi potong prasarana yang dimaksud meliputi; lahan dan lokasi pembibitan sapi potong harus memenuhi persyaratan sesuai dengan (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten/ Kota dan Daerah; (2) letak dan ketinggian lahan dari wilayah sekitarnya memperhatikan topografi dan fungsi lingkungan, untuk menghindari kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan; (3) tidak ditemukan agen penyakit hewan menular strategis terutama yang berhubungan dengan reproduksi dan produksi ternak; (4) mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi potong; (5) mudah diakses atau terjangkau alat transportasi; (6) tersedia cukup air bersih sesuai dengan baku mutu dan sumber energi yang cukup sesuai kebutuhan dan peruntukannya, seperti listrik sebagai alat penerangan (Ditjenak, 2014).
14
Sarana untuk pembibitan sapi potong yang perlu diperhatikan seperti yangtercantum
pada
GBP
meliputi,
bangunan
perkandangan,
peralatan,
penggunaan bibit, pakan dan obat hewan. Fungsi kandang pada dasarnya untuk melindungi ternak, agar fungsi kandang terpenuhi perlu diperhatikan beberapa persyaratan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternaknya, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisiensi dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan keamanan kecurian (5) serta tidak berdampak terhadap lingkungan sekitarnya. Konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti memberi pakan, pembersihan, pemeriksaan birahi dan penanganan kesehatan (Deptan, 2007). Bentuk kandang yang digunakan sebagai kandang pembibitan adalah kandang individu dan luas kandang disesuaikan dengan ukuran tubuh sapi yaitu 1.5x2.5 meter (Rasyid dan Hartati 2007). Menurut Siregar (2003) bahwa dalam penentuan lokasi kandang syaratnya tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk dan sekurang-kurangnya berjarak 10 meter dari pemukiman, pembuangan limbah tersalurkan, persediaan air cukup dan jauh dari keramaian. Selain itu, dibutuhkan sarana dan peralatan penunjang lain seperti; tempat pakan, tempat minum, sapu lidi dan sekop; alat pemotong rumput; pita ukur, tongkat ukur, buku recording dan formulir pencatatan; eartag dan kalung (Ditjennak, 2014).
2.3.2. Aspek Cara Pembibitan Pembibitan sapi potong bertujuan untuk meningkatkan kualitas bibit yang dihasilkan,sehingga seleksi pada induk dan pejantan sangat diperlukan. Beberapa faktor yang perlu di pahami dalam melakukan seleksi adalah karakteristik bangsa, karakteristik produksi, ternak pengganti, kelompok pejantan dan bakalan. Langkah manajemen yang perlu dilakukan dalam seleksi betina pengganti diantaranya, pilih sapi betina yang berasal dari induk dan bapak yang baik, pilih
15
yang cepat melahirkan dan bobot badannya berat, terbebas dari penyakit dan cacat fisik (Santosa, 2006). Selain seleksi, sistem perkawinan juga dapat menentukan kualitas bibit yang dihasilkan. Umumnya masyarakat mengenal dua metode perkawinan yaitu kawin alam dan Inseminasi Buatan (IB). Pada kawin alam rasio jantan betina diusahakan 1:15–20, perkawinan dengan IB memakai semen beku sesuai SNI atau semen cair dari pejantan yang sudah teruji kualitasnya (Ditjenak, 2014). Selain itu, menurut Wiyatna (2002) mengatakan bahwa dalam sistem perkawinan perlu diperhatikan terkait aspek reproduksinya yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu (1) lama bunting, (2) panjang interval dari lahir sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi rendah, (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Pemeliharaan pembibitan sapi potong dapat dilakukan dengan sistem ekstensif, intensif dan semi intensif. Menurut Hadi dan Ilham (2002), pemeliharaan di daerah intensif sapi dipelahara dalam kandang permanen, namun adapun yang masih menggunakan kandang sederhana, sedangkan di daerah ekstensif ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena adanya potensi lapang penggembalaan di wilayah tersebut, setiap tempat memiliki caranya sendiri yang optimal untuk diterapkan. Aturan pemeliharaan berdasarkan kelompok umur telah dirumuskan dalam Direktotar Perbibitan Ternak (2014) diantaranya, pemeliharaan terhadap pedet yang baru lahir sebaiknya memeberikan penanganan seperti, membersihkan lendir dari mulut, lubang hdung dan bagian lainnya, pedet dibiarkan bersama induk sampai umur lepas sapih, diberikan kolostrum, susu atau bahan cair lain sebanyak 10% dari bobot badan, dilakukan penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi gumba, lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pinggul dilakukan pada saat lahir dan disapih.
Pemeliharaan pada sapi dara dan muda diantaranya, sapi
ditempatkan di paddock atau kandang berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, diberikan pakan sesuai standar kebutuhan. Pemeliharaan terhadap calon induk dan induk, sebaiknya perkawinan pertama dilakukan pada birahi kedua
16
dengan rasio kawin alam ideal 1:15, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap induk bunting, memberikan pakan tambahan dan vitamin terhadap sapi bunting seiring bertambahnya usia kebuntingan. Penanganan kelahiran dilakukan oleh petugas medis bila terjadi kesulitan beranak serta dilakukan pencatatan kondisi induk dan anak saat lahir. Selain itu, manajemen pencatatan peternakan sangat diperlukan yang berguna untuk menentukan kebijaksanaan dan tata laksana yang harus dikerjakan selanjunya, selain itu memudahkan unutk menelusuru latar belakang atau silsilah ternak yang dipelihara. Catatan yang perlu dibuat mengenai kesehatan ternak, perkawinan/birahi, penyapihan, kebutuhan pakan, pemotongan kuku, nomor identitas (eartag), penjualan, silsilah sapi dan data produksi sapi (Santosa, 2008). Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serta kasar yang relatif banyak dari pada berat keringnya, yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne 1993).
Tingkat konsumsi ransum sapi
berbeda-beda tergantung pada status fisiologisnya.
Sapi dewasa dapat
mengkonsumsi bahan kering mnimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Menurut Natasasmita dan Mudikjo (1985), bahan pakan dikelompokan menjadi dua, yaitu pertama menurut asalnya pakan terdiri dari hijauan alami (rumput lapangan); hijauan tanaman (rumput gajah); hasil limbah pertanian (jerami); hasil limbah industri (bungkil); hasil pengawetan (silase, selai). Kedua menurut kandungan zat makanan dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan ternak terdiri dari hijauan kering; hijauan segar; silase; sumber energi; sumber protein; sumber mineral; sumber vitamin dan makanan tambahan.
17
Kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak dalam jumlah besar, berkadar protein tinggi, mudah dibudidayakan, daya adaptasi tinggi, dan produksi tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama pada musim kemarau (Suharlina, 2010). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan hijauan lokal (Saragi, 2014). Bahan baku pakan lokal adalah setiap bahan yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sukria dan Krisnan 2009).
Manajemen
pemberian pakan yaitu pemanfaatan sumberdaya dalam proses pemberian pakan untuk mengoptimalkan bahan pakan dalam memperoleh hasil ternak yang baik. Hal ini meliputi penyediaan bahan pakan, penyimpanan bahan pakan, macam dan kualitas bahan, jumlah dan frekuensi pemberian, kebutuhan dan konsumsi nutrient, pemberian air minum serta PBB (Wardoyo, dkk, 2011). Pemberian pakan dengan pemeliharaan ekstensif rata-rata sapi di gembalakan 5-7 jam dan sapi akan memakan hijauan dengan jumlah yang tidak terbatas (ad libitum) hingga merasa kenyang sedangkan, dengan pemeliharaan intensif atau semi intensif pakan diberikan akan dibatasi, rata-rata 10% dari bobot badan dan pakan tambahan 1-2% dari bobot badan dan pemberian air minum sebaiknya diberikan secara ad libitum sehingga, bak air minum sebaiknya di tempatkan dekat dengan ternak (Ditjenak, 2014).
Suwandyastuti (1988)
menambahkan pemberian hijauan sekitar 10% dari bobot badan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok sehingga diperlukan pakan tambahan lain.
2.3.3. Aspek Kesehatan Ternak Kesehatan hewan adalah suatu kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi ssecara normal (Akoso, 1996). Kerusakan sel mungkin saja terjadi secara normal akibat proses pertumbuhan yang dinamis demi kelangsungan hidup, sehingga terjadi penggantian sel tubuh yang rusak atau mati bagi hewan yang sehat. Kegiatan manusia dan perubahan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya
18
penyakit, penularan penyakit-penyakit baru serta dinamika dan pola baru pertukaran penyakit. Bagi negara yang beriklim tropis seperti Indonesia, keadaan cuaca yang panas, sangat kering dan lembab akan mempengaruhi status kesehatan hewan.
Menurut Pribadi (1991) menyatakan bahwa penyebab penyakit
diantaranya mikroorganisme, parasit, kecelakaan, cacat bawaan dan kekurangan nutrisi selain itu, beberapa agen penyakit dapat menular melalui kontak langsung dengan hewan yang sakit, oral dan aerogen. Penanganan masalah kesehatan ternak merupakan mata rantai kegiatan yang menjamn keberhasilan perkembangbiakan dan peningkatan produksi ternak. Vaksinasi dan Deworming adalah pelayanan kesehatan yang harus dilakukan secara teratur kepada sapi potong. Kegiatan deworming atau pengibatan cacinng juga harus dlakukan secara teratur untuk membunuh cacing yang berada di tubuh sapi. Kejadian kecacingan pada seekor sapi potong akan menyebabkan penurunan terhadap kondisi gizi sap potong (Akoso, 1996). Herrick (1993) melaporkan bahwa pemakaian obat yang dilakukan oleh peternak telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak lebih dari 60, sekitar 50% disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat. Pemberian pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitas dapat menunjang program kesehatan sapi potong. Penggunaan bahan kimia terhadap tanaman pangan yang digunakan perlu diperhatikan karena, residu antibiotik dalam pangan asal ternak dapat mengakibatkan reaksi alergi, resistensi, dan kemungkinan keracunan (Bahri, 2008).
Program kesehatan seperti upaya
pencegahan, pengobatan dan pengendalian penyakit disebut Biosecurity. Biosecurity merupakan salah satu tindakan penting dan strategis untuk memutuskan rantai masuk atau keluarnya agen penyakit ke induk semang. Elemen dasar biosecurity antara lain isolasi, pembersihan, desinfeksi dan pengaturan lalu lintas. Keselamatan dan kenyamanan ternak perlu terjamin dan menjadi tanggungjawab peternak.
Kesejahteraan ternak adalah kondisi ternak yang
19
dipelihara dalam lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan fisik dan fisiologis. Penerapan
kesejahteraan
ternak
pada
peternakan
sapi
potong
harus
memperhatikan pekerja, pakan dan air, kandang dan peralatan, manajemen peternakan, dan manajemen kesehatan. Kesejahteraan ternak atau yang lebih dikenal dengan istilah animal welfare adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peternakan sapi potong. Prinsip dasar kesejahteraan ternak disebut dengan five freedoms, diantaranya : 1)
Bebas dari rasa lapar dan haus, pastikan cukup tersedia pakan dan air yang mampu memenuhi kebutuhan.
2)
Bebas dari rasa tidak nyaman. Temperatur dan kelembaban sesuai untuk hidup, terlindung dan secara fisik nyaman untuk bergerak dan beristirahat.
3)
Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit. Program pencegahan penyakit baik infeksi ataupun non infeksi, pengamatan dini terhadap tingkah laku tidak normal, dan melakukan diagnosis yang cepat untuk mengatasi cedera dan sakit.
4)
Bebas dari rasa takut dan stres, ternak harus terjamin kenyamanannya dari cekaman dan ketakutan yang menimbulkan penderitaan psikologis.
5)
Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiah.
2.3.4. Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Menurut Herawati (2012), aspek yang mempengaruhi besar kecilnya emisi gas adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian pakan, sanitasi dan pemanfaatan kotoran. Emisi dari CO2 yang merupakan penyumbang gas rumah kaca terbesar di atmosfir kurang lebih 55% dari emisi global. Gas ini dapat berada di atmosfir selama 50 hingga 200 tahun. Produksi ternak berkontribusi 12% emisi GRK dalam bentuk CH4, N2O dan CO2.
Ternak monogastrik
menyumbangkan dalam bentuk CH4 dan CO2, sedangkan ternak ruminansia dalam bentuk CH4 (Maryono, (2010); Herawati (2012)).
20
Pemanfaatan limbah ternak diperlukan selain dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Umumnya peternak telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang, walaupun demikian masih ada juga peternak yang tidak memanfaatkan sendiri maupun menjualnya. Kesadaran akan perlunya perlunya pembuangan ke tempat khusus perlu disosialisasikan berkenaan dengan adanya global warming dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut (Herawati, 2012). Pemanfataan limbah pertanian sebagai pakan ternak pun perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan hijauan sepanjang tahun terutama pada musim kemarau atau disaat produksi hijauan menurun. Permasalahan yang dihadapi dalam menggunakan pakan limbah pertanian dan perkebunan antara lain faktor pengetahuan peternak, kualitas limbah pertanian dan perkebunan serta faktor pencemaran, untuk mengatasi masalah tersebut diperlukannya dukungan teknologi dan soaialisasi tentang pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak secara berkesinambungan (Indraningsih dkk, 2010). Menurut hasil penelitian Balitnak (2011), jenis pakan akan menentukan besar kecilnya gas metana yang dihasilkan ternak terdapat beberapa jenis tanaman yang rendah emisi sehingga metana yang di produksi akan berkurang, diantaranya daun jambu biji mempunyai kemampuan antibakteri, gunakan hingga 5% dalam campuran hijauan, daun papaya gunakan 1-5%, daun singkong kandungan protein 20% gunakan hingga 30%, lamtoro, kaliandra, dan gamal yang tinggi protein 2224% 20 untuk meningkatkan efisiensi pakan gunakan hingga 30% dalam campuran hijauan.
2.3.5. Aspek Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pembangunan karena pada akhirnya manusia yang menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan suatu wilayah (Mirah, dkk (2015); Rusnan, dkk (2015). Sumberdaya manusia yang berpengaruh dalam hal ini adalah Peternak dan
21
Inseminator (Rusnan, 2015). Pemeliharaan sapi oleh peternak sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan budaya dalam pemeliharaannya. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan peternak berpengaruh pada cara berpikir dan cara mengatasi masalah. Menurut Hoda (2002), pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir. Faktor budaya akan mempengaruhi cara beternak yang dilakukan peternak. Peternakan rakyat cenderung menerapkan cara beternak dengan sistem tradusional dikarenakan kebiasaan yang telah dilakukannya secara turun
temurun.
Selain
SDM
peternak,
SDM
inseminator
juga
dapat
mempengaruhi kualitas bibit Sapi Potong yang dihasilkan. Sumber daya manusia dari Inseminator yang ada di Indonesia tidak seragam jenjang pendidikannya. Syarat dari inseminator saat ini adalah pernah mengikuti kursus Inseminator. Ketidakseragaman pendidikan ini nantinya akan berpengaruh terhadap keberhasilan IB. Inseminator sangat berperan terhadap keberhasilan IB, yaitu saat thawing, teknik IB dan juga ketepatan waktunya. Oleh sebab itu para Inseminator perlu dibekali pengetahuan tentang 1) manajemen semen beku agar kualitasnya tetap baik, 2) teknik IB yang benar, 3) waktu IB yang tepat, juga pengetahuan tentang fertilitas dan manajemen pemeliharaan sapi betina agar IB yang dilakukannya sekali saja bisa berhasil.
2.3.6. Aspek Pembinaan dan Pengawasan Faktor kelembagaan peternak berpengaruh dalam usaha ternak seperti terbentuknya kelompok tani ternak. Elly dkk (2003) menyatakan pengembangan ternak sapi potong tidak terlepas dari peranan kelompok tani ternak. Selain itu, ketersediaan petugas penyuluh juga memiliki peranan penting yang diharapkan dapat menjadi pendampingan terhadap peternak (Rusnan, dkk., 2015). Untuk melindungi kesejahteraan hewan, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat serta lingkungan tidak terlepas dari peranan dokter hewan dan petugas paramedis
22
dengan demikian, petugas keswan harus memberikan pelayanan baik dalam mengimplementasikan Kode Etik dan Praktek Baik Veteriner (GVP) yang berlaku.
Rekapitulasi mengenai rincian aspek-aspek Good Breeding Practice
yang telah diatur oleh Kementrian Pertanian dan berdasarkan sumber lain dapat dilihat pada Tabel 5.
2.4.
Produktivitas Sapi Peranakan Ongole Produktvitas ternak diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam
periode waktu tertentu (umumnya satu tahun). Wiyatna (2002) mengemukakan bahwa produktivitas ternak sapi dapat dinilai dari dua indikator pertama, peforman produksi diantaranya penampilan bobot tubuh dan perubahan ukuranukuran tubuh; kedua, performan reproduksi diantaranya usia kawin pertama, lama bunting, kawin pertama setelah beranak, calving interval dan service per conception (S/C).
2.4.1. Karakteristik Produksi Karakteristik produksi ternak ditandai dengan pertambahan bobot tubuh per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran urat daging, tulang dan organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologis lingkungan (Soeparno, 1998). Selain itu, sifat produksi dicerminkan oleh bobot hidup berdasarkan umur diantaranya bobot lahir, bobot sapih dan bobot dewasa. Bobot lahir merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan selanjutnya, anak sapi yang bobot lahirnya berat akan lebih mampu mempertahankan hidupnya.
Paturochman
(1976) berdasarkan penelitian di Situraja memperoleh bobot lahir sapi Peranakan Ongole antara 19-27 kg dengan rata-rata 22,01 kg.
Wijono, Hartatik dan
Mariyono (2006) juga melaporkan hasil loka penelitian sapi potong, bobot lahir sapi PO rata-rata 22,34 kg, bobot hidup 205 hari rata-rata 84,14 kg dan bobot hidup 365 hari rata-rata 120,97 kg. Sedangkan hasil penelitian Aryogi, Prihandini
23
dan Wijono (2006), melaporkan bahwa bobot lahir sapi PO memiliki 24,5 kg dan bobot badan sapi PO umur 205 hari adalah 109 kg. Sapi Ongole Jantan dewasa memiliki bobot maksimal 600 kg dan sapi Betina 400 kg (Sarwono dan Arianto 2003). Adapun menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1985), bobot badan sapi Jantan dewasa 350-450, Betina dewasa 300400 kg; panjang badan pada sapi Jantan 133 cm dan Betina 132 cm, lingkar dada pada sapi Jantan 172 cm dan Betina 163 cm, dan produksi karkas 45% pada sapi Jantan dan Betina.
Bobot hidup umumnya digunakan sebagai indikator
pertumbuhan seekor ternak. Bobot hidup sapi PO menurut jenis kelamin dan berbagai tingkat umur dari laporan penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bobot Hidup Sapi PO Menurut Umur dan Jenis Kelamin (kg) Bobot Hidup (kg) No Uraian Jantan Betina 1 Bobot lahir 20 20 2 Bobot 1 tahun 120 90 3 Bobot umur 2 tahun 230 180 4 Bobot umur 3 tahun 330 250 5 Dewasa 400-550 300-408 Sumber : Hutsoit, 1974.
Pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal. Hardjosubroto (1994) menyebutkan bahwa karakteristik eksterior merupakan sifat kualitatif dari individu yang dikendalikan satu atau beberapa pasang gen. Warwick, Astuti dan Hardjosubroto (1990), menyatakan bahwa sifat yang secara genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh pejantannya.
Aryogi, Prihandini dan Wijono (2006) menyatakan bahwa
perbedaan ukuran statistik vital pedet lepas sapih dapat diduga karena pengaruh nutrisi induknya selama menyusui pedet. Ditambahkan oleh Hartati dan Dicky (2008), yang menyatakan bahwa pertumbuhan pedet prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan). Mothering ability yang
24
bagus akan mampu memproduksi susu yang banyak dan bagus dalam melindungi pedetnya. Rata-rata ukuran statistika vital pedet sapi PO baru lahir dan lepas sapih berdasarkan perbedaan kelompok paritas disajikan pada Tabel 3;
Tabel 3. Hasil Rata-Rata Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO Bau Lahir dan Lepas Sapih Uraian Kelompok Paritas I Kelompok Paritas II Baru Lahir Lepas Sapih Baru Lahir Lepas Sapih Panjang 58,85 ± 5,98 87,67 ± 6,99 56,17 ± 4,78 85,90 ± 12,09 Badan (cm) Tinggi Badan 75,38 ± 3,62 98,27 ± 9,52 72,99 ± 3,57 98,37 ± 9,35 (cm) Lingkar Dada 76,31 ± 5,86 110,70 ± 7,70 77,33 ± 5,26 112,80 ± 11,03 (cm) Sumber : Ferdianto, Bambang dan Sucik (2013)
2.4.2. Karakteristik Reproduksi Perkawinan pertama pada sapi dara umumnya dilakukan kawin pertama pada umur 18-24 bulan saat awal berahi atau 12-20 jam setelah awal berahi. Astuti (2004) menambahkan umur pertama kali sapi PO dapat dikawinkan adalah umur 21 bulan dengan umur pertama beranak yaitu 32 bulan dan kawin pertama setelah beranak adalah 97 hari. Tanda-tanda berahi yang lazim muncul adalah ternak terlihat gelisah, nafsu makan berkurang, vulva merah, bengkak dan berlendir, sering menaiki ternak lain, serta frekuensi pengeluaran urine meningkat (Santosa, 2006).
Rata-rata siklus berahi pada sapi adalah 21 hari yang
berlangsung selama 12-18 jam.
Lama bunting sapi dara sekitar 283 hari,
tergantung bangsa dan lingkungan (santosa, 2006). Menurut Toelihere (1981) periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan 285 hari. Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Ditambahkan oleh Astuti (2004) bahwa Caliving Interval terpendek pada sapi PO adalah 13,75 bulan dan terpanjang 20,30 bulan. Faktor -faktor yang mempengaruhi jarak
25
beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi, dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan kembali setelah beranak. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-2,0 (Toelihere, 1979). Astuti (2004) menambahkan S/C pada sapi PO adalah 1,2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Nilai S/C menunjukkan tingkat kesuburan ternak. Semakin besar nilai S/C semakin rendah tingkat kesuburannya. Tingginya nilai S/C disebabkan karena keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta waktu yang tidak tepat untuk di IB.
Keterlambatan IB menyebabkan kegagalan
kebuntingan. Selain faktor manusia faktor kesuburan ternak juga sangat berpengaruh (Santosa, 2006). Berikut adalah karakteristik reproduksi sapi PO yang dilaporkan beberapa penelitian;
Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Sapi PO No 1 2 3 4 5 6
Uraian Fertlitas Umur pubertas (bln) Umur beranak pertama (th) Service per Conception (S/C) Lama bunting (hari) Jarak beranak (hari)
Sumber:(a) (b) (c) (d)
2.5.
Hasil
Direktorat Jenderal Peternakan, 1977 Astuti et al., 1983 Hardjosoebroto, 1980 Gunawan, 1983
Pendapatan Peternak Sapi Potong Besarnya pertumbuhan penduduk dan akibat pembangunan menyebabkan
kepemilikan lahan pertanian menjadi kecil. Todaro (1998) menyatakan bahwa penduduk pedesaan di negara berkembang hanya bekerja di sektor pertanian dan
26
memiliki lahan yang relatif sempit. Mulyadi dan Levin (1987) menyatakan bahwa dengan menghitung pendapatan dari rumah tangga peternak, maka kontribusi pendapatan usaha ternak berkisar 8-42% dengan rata-rata 22,2% di Jawa Timur. Hal ini menunjukkan ternak dapat memberi sumbangan terhadap pendapatan bagi rumah tangga peternak. Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil atau tidaknya suatu kegiatan usaha, menentukan komponen utama pendapatan dan apakah komponen itu masih dapat ditingkatkan atau tidak. Pendapatan merupakan selisih penerimaan dengan pengeluaran selama pemeliharaan ternak sapi potong dalam kurun waktu tertentu (misalnya 1 tahun).
Kegiatan usaha dikatakan berhasil
apabila pendapatannya memenuhi syarat cukup untuk memenuhi semua sarana produksi. Analisis usaha tersebut merupakan keterangan rinci tentang penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu tertentu (Aritonang, 1993). Usaha peternakan, khususnya peternakan sapi potong di Indonesia umumnya masih dikelola secara tradisional yang bercirikan dengan usaha yang hanya sebagai usaha keluarga atau sebagai usaha sampingan. Menurut Santosa (2012), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternakan di klasifikasikan kedalam kelompok berikut : 1) Peternakan sebagai usaha sambilan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsistency), dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak < 30%. 2) Peternakan sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30 – 70% (semi komersial atau usaha terpadu). 3) Peternakan sebagai usaha pokok (single komodity), dengan tingkat pendapatan 70 – 100%. 4) Peternakan sebagai usaha industri (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha ternak 100% (komoditas pilihan).