KAJIAN KAPASITAS ASIMILASI PERAIRAN MARINA TELUK JAKARTA
MEZUAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh sumber manapun. Sumber informasi yang terdapat atau dikutip telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2007
Mezuan NIM: P052040271
ABSTRAK
MEZUAN. Kajian Kapasitas Asimilasi di Perairan Marina Teluk Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Ir. ETTY RIANI, M.S. dan Dr. Ir. SUPRIHATIN, Dipl.-Ing. Perairan Marina adalah bagian dari Teluk Jakarta dan merupakan kawasan penerima berbagai buangan berupa limbah domestik, industri dan pertanian. Limbah yang masuk ke Perairan Marina terutama berasal dari Sungai Ciliwung. Buangan yang masuk ke Perairan Marina meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut berimplikasi pada keterbatasan kemampuan Perairan Marina dalam memulihkan diri (kapasitas asimilasi) terhadap beban pencemar yang masuk. Indikasi telah terlampauinya kapasitas asimilasi Perairan Marina adalah terjadinya kematian ribuan ikan pada tahun 2004 dan 2005. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi kualitas Perairan Marina, mengestimasi beban pencemaran Perairan Marina, dan mengkaji kapasitas asimilasi Perairan Marina. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September 2005 hingga Mei 2006 di Perairan Marina Jakarta Utara, dengan metode survey di tiga stasiun pengamatan yaitu di 50 m, 500 m dan 1000 m dari garis pantai. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air seperti kecerahan, kekeruhan, COD, NH3, NO3-, PO43-, logam Pb dan Cd telah melampaui baku mutu Kep.Men LH. No.51 tahun 2004 dan UNESCO/WHO/UNEP tahun 1992 tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik. Beban pencemar tertinggi yang masuk ke Perairan Marina adalah bahan organik (COD) yaitu sebesar 4582.176 ton/bulan, kemudian diikuti parameter TSS yaitu 297.929 ton/bulan. Kapasitas asimilasi Perairan Marina untuk 500 dan 1000 m dari garis pantai adalah sebagai berikut parameter COD yaitu 2711.48 ton/bulan dan 2776.22 ton/bulan, NH3 sebesar 4.47 ton/bulan dan 4.59 ton/bulan, NO3sebesar 0.34 ton/bulan dan -1.23 ton/bulan, PO43- sebesar 7.50 ton/bulan dan 9.91 ton/bulan, Pb sebesar 0.05 ton/bulan dan 0.09 ton/bulan, serta Cd sebesar 0.01 ton/bulan dan 0.03 ton/bulan. Uraian di atas menunjukkan bahwa kapasitas asimilasi di Perairan Marina umumnya dalam keadaan telah terlampaui, berdasarkan baku mutu tersebut di atas.
ABSTRACT MEZUAN. Study of Assimilation Capacity in Marina Coastal Jakarta Bay. Under the supervision of Dr. Ir. ETTY RIANI, M.S. and Dr. Ir. SUPRIHATIN Dipl.-Ing. Marina Coastal is a part of Jakarta bay that currently receives a variety of wastes, including urban, industrial, and agriculture wastes. The wastes enter to the Marina Coastal especially through Ciliwung River. The wastes discharged into coastal waters increase continously from year to year. Those conditions degrade water quality and needs to be evaluated its assimilation capacity. The objective of this research were to study assimilation capacity of the Marina Coastal. The experiment was conducted in the Marina Coastal, Jakarta Bay from September 2005 until May 2006. The observations were conducted at three stations, namely 50 m, 500 m and 1000 m from the land. The laboratory analysis was conducted in the laboratory of Aquacultural Environment, Bogor Agricultural University. The result showed that quality of Marina Coastal had been polluted (based on quality standards of Kep.Men LH. No.51, (2004) and UNESCO/WHO/UNEP, (1992) in the terms of following parameters: water color, turbidity, COD, NO3-, NH3, PO43-, Pb, and Cd. The highest pollutant load was COD of 4582.176 t/month and followed by TSS load of 297.929 t/month. The assimilation capacity of Marina Coastal at 500 and 1000 in from the land was estimated as follows: COD 2711.48 t/month and 2776.22 t/month, NH3 4.47 t/month and 4.59 t/month, NO3- 0.34 t/month and 0.05 t/month, PO43- 7.50 t/month and 9.91 t/month, Pb 0.10 t/month and 0.09 t/month, and Cd 0.01 t/month and 0.03 t/month. The study result showed that the assimilation capacity of Marina Coastal was considered as over loaded, based on the above mentioned standards.
© Hak cipta milik Mezuan, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KAJIAN KAPASITAS ASIMILASI PERAIRAN MARINA TELUK JAKARTA
MEZUAN
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta : Mezuan : P052040271
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Ketua
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.-Ing. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Tanggal Ujian: 11 Januari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan rahmatNYA, sehingga tesis berjudul ” Kajian Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta”, ini dapat diselesaikan. Tema pencemaran laut dalam karya ilmiah ini merupakan sumbangsih penulis sebagai bagian kepedulian kita selaku anak bangsa dalam merespon realita yang terjadi berupa kemunduran kualitas lingkungan yang kian memprihatinkan akhir-akhir ini. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Etty Riani, M.S. dan Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.-Ing., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing, yang selama ini telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk, arahan, motivasi, ide, fasilitas dan bahan penelitian, koreksi dalam penulisan proposal dan penyusunan tesis. 2. Dr. Ir. Yusli, M. Sc. selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran demi perbaikan tesis ini. 3. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4. Teman-teman yang tergabung dalam tim penelitian di kawasan Teluk Jakarta Pak Irwan, Dhona, Yeni, Uni Farida, Sunarwan atas segala bentuk kerjasama kita selama ini dalam memperlancar jalannya penelitian hingga penyusunan tesis. 5. Para sahabat, Alik, Kak Lora, Didi, Bu Linda, Tere dan rekan PSL secara keseluruhan khususnya angkatan 2004 yang begitu kompak selama ini, semoga kekuatan silaturahmi akan tetap terjalin meski hanya dalam doa, Amin. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Bogor, Januari 2007
Mezuan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1978 di Kabupaten Curup Propinsi Bengkulu dari pasangan Bapak Zaharin (Alm.) dan Ibu Hj. Zikra sebagai anak bungsu dari 9 bersaudara. Tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan SMU di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Talo Bengkulu Selatan dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan S1 melalui jalur penelusuran potensi akademik di Universitas Bengkulu (UNIB) Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi). Berbagai prestasi pernah diraih penulis selama menempuh pendidikan S1 diantaranya ditetapkan sebagai nominator mahasiswa teladan Fakultas Pertanian UNIB tahun 2000, juara pertama lomba skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu tahun 2002, yang selanjutnya menjadi penyemangat bagi penulis untuk melanjutkan studi S2. Dalam keseharian penulis memiliki kegemaran menulis dan kerap karyanya dimuat di surat kabar harian lokal di Bengkulu dan salah satu tulisannya juga pernah dimuat di Jurnal Ilmiah Universitas Bengkulu dengan judul karya ”pemanfaatan pupuk hayati lokal Bengkulu untuk mendukung pertumbuhan dan hasil padi gogo”. Tulisan tersebut merupakan hasil penelitian orisinil penulis ketika menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana. Tahun 2004 penulis diterima sebagai Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSL).
PERSEMBAHAN Kupersembahkan tesis ini Kepada semua yang telah memberi Arti dan warna dalam hidupku. 9 Kedua orang tuaku, atas doa dan motivasinya 9 Kakakkku atas dukungannya selama ini 9 Ponakan-ponakanku tersayang 9 Guru dan almamaterku 9 I.D, atas kesabarannya 9 Sahabat-sahabatku; Alik, Kak Lora, Pak Irwan, Dhona, Yeni, Uni Farida, Sunarwan, Bu Linda, Tere dan semua rekan PSL angkatan 2004 yang begitu kompak selama ini, semoga kekuatan silaturahmi akan tetap terjalin meski hanya dalam doa, Amin.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... i DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1.2. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 1.3. Perumusan Masalah .................................................................................. 1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 1 3 4 6 7
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 8 2.1. Pencemaran Air......................................................................................... 8 2.2. Pencemaran Laut....................................................................................... 9 2.3. Sumber Pencemaran Teluk Jakarta ........................................................... 11 2.4. Kualitas Air ............................................................................................... 13 2.5. Hidrodinamika Perairan Estuari................................................................ 13 2.6. Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi ............................................ 14 III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 16 3.1. Waktu dan Lokasi ..................................................................................... 16 3.2. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 16 3.2.1. Rancangan Penelitian ...................................................................... 16 3.2.2. Pelaksanaan Penelitian .................................................................... 16 3.2.3. Variabel yang diamati ..................................................................... 18 3.3. Analisis Data ............................................................................................. 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 4.1. Keadaan Umum Lokasi penelitian ............................................................ 4.2. Gambaran Umum Hasil Penelitian ........................................................... 4.3. Kondisi Fisik Perairan Marina .................................................................. 4.3.1. Suhu Perairan .................................................................................. 4.3.2. Kecerahan dan Kekeruhan .............................................................. 4.3.3. Total Padatan Tersuspensi............................................................... 4.4. Kualitas Kimia Perairan Marina................................................................ 4.4.1. pH dan Alkalinitas .......................................................................... 4.4.2. Oksigen Terlarut (DO) .................................................................... 4.4.3. BOD5 ............................................................................................... 4.4.4. COD ................................................................................................ 4.4.5. NH3 dan NO3- .................................................................................. 4.4.6. PO43- ................................................................................................ 4.4.7. Logam Pb dan Cd............................................................................ 4.5. Kualitas Biologi Perairan Marina.............................................................. 4.5.1. Komposisi Jenis dan Kepadatan Makrozoobenthos........................
21 21 23 23 23 24 26 28 28 29 30 31 31 32 33 34 34
ii
Halaman 4.5.2. Kelimpahan Fitoplankton................................................................ 4.6. Kualitas Sedimen Perairan Marina............................................................ 4.6.1. Kandungan Logam Sedimen ........................................................... 4.6.2. Tekstur Sedimen.............................................................................. 4.7. Beban Pencemaran Perairan Marina ......................................................... 4.8. Kapasitas Asimilasi Perairan Marina ........................................................ 4.8.1. TSS dan BOD5 ................................................................................ 4.8.2. COD ................................................................................................ 4.8.3. NH3, NO3- dan PO43- ....................................................................... 4.8.4. Logam Berat Pb dan Cd ..................................................................
36 38 38 40 42 44 45 47 49 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 54 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 54 5.2. Saran..................................................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 55 LAMPIRAN.................................................................................................... 59
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Parameter-parameter kualitas air dan sedimen yang diukur .............. 19 Tabel 2. Data keadaan umum lokasi penelitian. .............................................. 21 Tabel 3. Nilai rata-rata parameter fisika dan kimia Perairan Marina............... 23 Tabel 4. Klasifikasi lahan berdasarkan erosi atau sediment yield.................... 27 Tabel 5. Nilai rata-rata kandungan Pb dan Cd sedimen Perairan Marina........ 38 Tabel 6. Nilai rata-rata persentase tekstur sedimen ......................................... 40 Tabel 7. Nilai beban pencemar beberapa parameter yang masuk ke Muara Marina melalui Sungai Ciliwung ....................................................... 44 Tabel 8. Kondisi kapasitas asimilasi Perairan Marina ..................................... 45
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran kajian kapasitas asimilasi di Perairan Marina .......................................................................................... 4 Gambar 2. Hunian di pinggiran Sungai Ciliwung di kawasan Manggarai DKI Jakarta .................................................................................. 6 Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemar dan konsentrasi polutan.......................................................................................... 20 Gambar 4. Komposisi makrozoobenthos stasiun 1 Perairan Marina ............. 34 Gambar 5. Komposisi makrozoobenthos stasiun 2 Perairan Marina ............. 35 Gambar 6. Komposisi makrozoobenthos stasiun 3 Perairan Marina ............. 35 Gambar 7. Kelimpahan fitoplankton stasiun 1 Perairan Marina.................... 37 Gambar 8. Kelimpahan fitoplankton stasiun 2 Perairan Marina.................... 37 Gambar 9. Kelimpahan fitoplankton stasiun 3 Perairan Marina.................... 37 Gambar 10. Analisis regresi antara beban pencemar TSS di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina .................................. 46 Gambar 11. Analisis regresi antara beban pencemar BOD5 di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina....................... 47 Gambar 12. Analisis regresi antara beban pencemar COD di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ................................... 48 Gambar 13. Analisis regresi antara beban pencemar NH3 di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ................................... 49 Gambar 14. Analisis regresi antara beban pencemar NO3- di muara Sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ...................... 49 Gambar 15. Analisis regresi antara beban pencemar PO43- di muara Sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ...................... 50 Gambar 16. Analisis regresi antara beban pencemar Pb di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ................................... 52 Gambar 17. Analisis regresi antara beban pencemar Cd di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina ................................... 53
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Peta Perairan Marina dan sekitarnya (Anonim, 2001). ............... 60 Lampiran 2. Nilai parameter kualitas fisika dan kimia Perairan Marina ......... 61 Lampiran 3. Data kualitas Perairan Marina per waktu pengamatan ................ 62 Lampiran 4. Perhitungan beban pencemaran (BP) dari Sungai Ciliwung ....... 64 Lampiran 5. Data komposisi dan kepadatan makrozoobenthos Perairan Marina ......................................................................................... 66 Lampiran 6. Data kelimpahan fitoplankton Perairan Marina........................... 67 Lampiran 7. Gambar beberapa jenis makrozoobenthos yang terdapat di Perairan Marina....................................................................... 68 Lampiran 8. Gambar beberapa jenis fitoplankton yang terdapat di Perairan Marina....................................................................... 69
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan
17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km (Soekmadi, 2004). Suharsono (2005) menyebutkan bahwa sebagian besar ibukota propinsi di Indonesia terletak di tepi pantai dan biasanya merupakan tempat bermuaranya sungai besar, termasuk kota Jakarta yang dianggap sebagai salah satu kota pantai di dunia. Kondisi tersebut menjadikan kawasan pesisir Jakarta menempati posisi strategis bagi pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Hal ini ditandai dengan ekpresi fisik kawasan pesisir berupa berkembangnya pemukiman, transportasi, perikanan, industri dan pariwisata. Kepentingan-kepentingan yang mencakup kegiatan perikanan, wisata, pertambangan/industri dan perhubungan secara integral menambah kompleksnya permasalahan yang timbul. Dampak dari fenomena tersebut akan merusak saat beban pencemaran telah melewati daya dukung kawasan teluk. Benturan antara dua kepentingan yaitu kepentingan pembangunan (ekonomi) dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan mesti mendapatkan porsi lebih dari perhatian yang tercurah saat ini. Pemikiran ini dilandasi fakta bahwa kawasan pesisir Jakarta (Teluk Jakarta) telah mengalami tekanan lingkungan berupa pencemaran, karena Teluk Jakarta selain merupakan pintu gerbang Jakarta dari arah laut, juga sebagai penampung limbah atau buangan berasal dari beragam aktivitas warga masyarakat yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya Indikator yang menunjukkan bahwa kawasan Teluk Jakarta telah tercemar pernah dilaporkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Mulyono (2000) yang menyatakan bahwa dari hasil kajiannya ditemukan jenis ikan seperti tongkol, kakap, bawal dan baronang mengandung timbal yang melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Suharsono (2005) menemukan kandungan logam Pb pada sedimen Teluk Jakarta mencapai 27.6 – 70 mg/kg. Bahkan Waluyo (2005) melaporkan indikasi terjadinya pencemaran di Teluk Jakarta dapat dilihat dari produksi ikan tangkap yang turun dari 28.526 ton pada tahun 1999, menjadi 17.829 ton pada tahun 2002. 1
2
Perairan Marina termasuk bagian dari Teluk Jakarta yang tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal (di luar) kawasan pesisir, sehingga berbagai aktivitas di daratan baik langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dampaknya terhadap perairan laut, terutama dalam kaitannya dengan tingkat pencemaran. Bukti terbaru adalah matinya ribuan ikan di pantai Marina/Ancol beberapa waktu lalu, tepatnya 13 April 2005. Bahkan sebelumnya kasus kematian ikan di Perairan Marina telah terjadi yakni pada bulan Mei dan Oktober 2004. Penyebab kematian hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Sejumlah kalangan menilai kematian tersebut disebabkan oleh penurunan oksigen akibat terjadinya pengadukan massa air. Sementara pihak lain menyebutkan bahwa kematian ikan massal tersebut disebabkan oleh fenomena blooming. Apapun pendapat yang mengemuka, harus tetap berlandaskan pada pemikiran bahwa telah terjadi ketidakseimbangan lingkungan di kawasan perairan khususnya Perairan Marina. Kemungkinan lain yang semestinya juga diagendakan untuk dianalisis oleh para pakar/peneliti lingkungan adalah kemungkinan telah terlampauinya kemampuan perairan (Marina) dalam memulihkan diri terhadap beban pencemar (kapasitas asimilasi). Hal senada disampaikan oleh Suharsono (2005) yang menyatakan akibat pertumbuhan yang sangat pesat dari industri, pertambahan penduduk, perkembangan infrastruktur, aktivitas pelabuhan dan pesatnya perkembangan transportasi menjadikan lingkungan Teluk Jakarta tidak lagi dapat menanggung segala hasil buangan dari aktivitas tersebut. Ironisnya limbah yang masuk tidak hanya berasal dari kawasan Perairan Laut namun juga dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Upaya untuk memastikan penyebab pencemaran di Perairan Marina perlu didukung data yang memadai, karena dalam konteks ilmiah untuk menduga penyebab pencemaran dibutuhkan data kualitas perairan, agar langkah penyelesaiannya lebih tepat sasaran. Langkah awal untuk mendeteksi kondisi kapasitas asimilasi adalah inventarisasi data berupa parameter-parameter kualitas air. Kondisi kapasitas asimilasi Perairan Marina penting untuk diketahui, karena hingga saat ini belum pernah dilakukan kajian secara spesifik di kawasan tersebut, khususnya menyangkut matinya ribuan ikan beberapa waktu lalu.
3
1.2. Kerangka Pemikiran Aktivitas manusia dalam pembangunan berupa industri, domestik, pertanian, perikanan serta pariwisata selain mendatangkan keuntungan secara ekonomi, juga berdampak negatif yaitu sebagai penghasil limbah. Kenyataan ini diperparah dengan masih berkembangnya anggapan buang limbah ke badan perairan merupakan cara paling praktis dan murah. Sumber limbah di perairan laut secara umum berasal dari tiga sumber yaitu daratan, lautan itu sendiri dan udara. Limbah atau buangan yang bersumber dari daratan masuk melalui sungai. Sungai yang langsung masuk ke Perairan Marina adalah Sungai Ciliwung. Beban pencemaran yang masuk semakin tinggi dan kawasan konservasi di sepanjang daerah aliran sungai makin berkurang karena terjadi pemanfaatan lahan di sepanjang bantaran sungai khususnya untuk pemukiman yang terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan penduduk (Kusriyanto, 2002). Kondisi pencemaran akibat buangan limbah bila berlangsung tak terkendali sampai pada taraf dimana beban pencemar lebih besar dari kapasitas asimilasi, maka akan berakibat fatal bagi sistem kehidupan. Kapasitas asimilasi berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi di perairan ketika suatu bahan pencemar memasuki badan perairan. Nemerow (1991) memaparkan bahwa polutan yang masuk ke perairan laut akan mengalami dispersi/penyebaran, pengenceran dan pengendapan sebagai mekanisme alamiah dalam merespon bahan asing yang masuk atau memulihkan diri terhadap pencemar. Proses penyebaran, pengenceran atau pencampuran (mixing) dan pengendapan dipengaruhi sejumlah faktor seperti angin, morfologi perairan, arus, kandungan oksigen dan faktor lainnya. Namun bila beban pencemar yang masuk berlangsung dengan jumlah dan intensitas tinggi maka kapasitas asimilasi perairan akan terlampaui (Benoit, 1971). Indikator untuk mengetahui kondisi kapasitas asimilasi suatu perairan terhadap beban pencemar, apakah telah terlampaui atau masih berada pada tahap daya asimilasinya diperlukan data parameter kualitas perairan sebagai dasar untuk menilai tingkat daya asimilasi suatu perairan (Santika, 1984 dan Nemerow, 1991), untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Sumber Pencemar
Jenis Bahan Pencemar
Jumlah Bahan Pencemar
Dinamika Perairan Marina
Beban Pencemar
Morfologi Perairan Marina
Kualitas Perairan (Konsentrasi/Beban Pencemar)
Baku Mutu yang Berlaku
Kapasitas Asimilasi Perairan Marina
Status Pencemaran Perairan Marina
tidak BP>BM
ya Dampak yang Terjadi Ekologi Ekonomi Sosial
Penyusunan Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan Marina Keterangan: BP: Beban Pencemar BM: Baku mutu
Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran kajian kapasitas asimilasi di Perairan Marina. 1.3. Perumusan Masalah Perairan Teluk Jakarta merupakan ekosistem semi tertutup yang berada di utara kota Jakarta dan berbatasan dengan Laut Jawa. Teluk ini menerima bahan
5
buangan yang berasal dari 13 sungai yang melewati kota Jakarta yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Badan pengendalian dampak lingkungan (BAPEDAL) menyatakan bahwa sekitar 50 % industri di Jabotabek masih membuang limbahnya secara langsung ke sungai (KLH, 2001). Khusus untuk limbah padat yang berasal dari DKI Jakarta saja, diperkirakan mencapai jumlah 24.500 m3/hari, dari jumlah tersebut sebanyak kurang lebih 1.400 m3/hari tidak tertangani dan terbuang masuk dalam aliran sungai dan akhirnya bermuara di perairan laut (Mulyono, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Japan International Cooperation Agency (JICA), sebagaimana dikutip Mulyono (2000) menyatakan bahwa diperkirakan pada tahun 2010 jumlah limbah cair industri yang khusus berasal dari DKI Jakarta akan mencapai 256.631 m3/hari Melihat perkembangan jumlah industri DKI Jakarta dan sekitarnya yang begitu pesat dan upaya untuk mengatasi pencemaran masih belum dilakukan secara efektif, maka dikhawatirkan dalam waktu mendatang akan terjadi pencemaran yang terus meningkat secara berlipat. Perubahan yang terjadi secara dinamis seperti perkembangan daerah pemukiman maupun industri yang membuang limbahnya ke sungai, akan sangat mempengaruhi kualitas air laut khususnya di kawasan Marina sebagai bagian dari perairan laut di Jakarta. Limbah atau buangan yang masuk ke Perairan Marina tidak hanya berasal dari kawasan pesisir namun juga dari bagian hulu sungai yang mengalir ke Muara Marina. Sungai yang langsung mengalir ke Perairan Marina adalah Sungai Ciliwung sebelum sampai ke Muara Marina di Sungai Ciliwung akan menyatu sungai lainnya, yaitu Sungai Ancol, Sungai Banjir Kanal, Sungai Sentiong, Sungai Sunter Satu dan Dua (Anonim, 2001). Sungai Ciliwung melintasi kawasan padat penduduk (pemukiman, perkantoran, dan industri), salah satu contoh hunian di pinggiran Sungai Ciliwung adalah kawasan Manggarai Jakarta (Gambar 2).
6
Sumber: www.flickr.com
Gambar 2. Hunian di pinggiran Sungai Ciliwung di kawasan Manggarai DKI Jakarta. Perairan Marina secara visual tercemar oleh sampah plastik, kertas, kemasan makanan dan sampah anorganik lain yang mengapung. Selain itu kondisi bau perairan yang tidak sedap turut menyertai keadaan perairan yang semestinya mengundang keprihatinan dan kepedulian kita. Pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) melalui penggunaan lahan baik di hulu, tengah maupun hilir pada banyak kasus telah membawa dampak negatif yang nyata berupa gangguan keseimbangan dan kualitas sumber daya air. Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan utama yang muncul adalah bagaimanakah kondisi perairan Marina saat ini? Secara lebih detil pertanyaan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas Perairan Marina mencakup parameter fisik, kimia dan biologi? 2. Seberapa besar beban pencemaran yang masuk ke Perairan Marina? 3. Seberapa besar kapasitas asimilasi di Perairan Marina?
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempeloreh gambaran kondisi Perairan Marina saat ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji kondisi kualitas Perairan Marina mencakup parameter fisik, kimia dan biologi. 2. Mengestimasi beban pencemaran Perairan Marina, dan 3. Mengkaji kapasitas asimilasi Perairan Marina.
7
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu upaya inventarisasi karakteristik kualitas air Perairan Marina dan dapat menjadi masukan bagi pihak yang terkait atau yang berkepentingan. Data yang diperoleh juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk pengelolaan perairan tersebut.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Air Air merupakan materi yang paling berlimpah, sekitar 71 % komposisi bumi terdiri dari air, selain itu 50 % hingga 97 % dari seluruh berat tanaman dan hewan terdiri dari air, bahkan untuk tubuh kita manusia, air menempati sekitar 70 % dari berat tubuh (KLH, 2001). Air seperti halnya energi adalah elemen esensial bagi beragam kegiatan meliputi pertanian, industri dan rumah tangga serta kegiatan produktif lainnya, dengan kata lain air menjadi kebutuhan hampir semua sisi kehidupan terutama manusia. Pertanyaannya adalah apakah air akan hadir pada tempat yang sesuai sepanjang waktu dengan jumlah dan kualitas yang memadai? Gejala penurunan kualitas air perlu menjadi sentral perhatian demi menjamin kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Permasalahan pencemaran air telah lama dibicarakan, sekitar sepuluh tahun lalu, tetapi masih terbatas dalam wacana kalangan tertentu, seperti perguruan tinggi dan jajaran pemerintah. Namun istilah pencemaran air cenderung semakin mengemuka saat ini dan tidak menutup kemungkinan meningkat dimasa mendatang, mengingat persoalan menurunnya kualitas air semakin jelas dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat secara keseluruhan. Pengertian ”pencemaran air” didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah adalah ”masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya” (Kep.Men.LH. No.51 tahun 2004)”. Pencemaran air disebabkan oleh banyak faktor, yang secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni sumber langsung (direct contaminant sources) dan sumber tak langsung (indirect contaminant sources). Sumber langsung didefinisikan sebagai buangan (effluent) yang berasal dari sumber pencemarnya yaitu limbah hasil pabrik industri serta limbah domestik baik cair, tinja serta sampah. Pada pencemaran kategori ini, buangan langsung mengalir ke dalam badan air seperti sungai atau laut. Sedangkan yang dimaksud sumber tak langsung adalah kontaminan yang masuk melalui air tanah akibat adanya 8
9
pencemaran pada air permukaan baik dari limbah industri maupun sumber kegiatan lainnya (KLH, 2001). Sumber pencemaran secara garis besar berasal dari 3 kegiatan utama yang menjadi sumber pencemaran yaitu rumah tangga (domestik), industri dan pertanian. Sumber domestik berasal dari perumahan, perdagangan, perkantoran, hotel, rumah sakit, rekreasi dan aktivitas lainnya. Limbah jenis ini sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD5 dan COD. Penentuan BOD5 dan COD digunakan untuk menduga pencemaran yang disebabkan oleh limbah organik, untuk BOD5 diinkubasi selama 5 hari karena dianggap pada hari kelima dekomposisi bahan organik telah berlangsung 70 - 80 %. Limbah industri terutama akan mempengaruhi kandungan logam berat perairan, sedangkan limbah pertanian berasal dari sedimen akibat erosi lahan dan unsur kimia pestisida (KLH, 2001). Masalah akibat pencemaran air tidak hanya membahayakan makhluk hidup, namun terdapat masalah lain yang berkaitan dengan kualitas air yaitu terjadinya eutrofikasi seperti yang pernah terjadi di Teluk Jakarta. Menurut Mulyono (2000) eutrofikasi dapat terjadi karena adanya dua hal utama yaitu a) Beban (load) zat-zat pencemar dibawa oleh sungai-sungai yang langsung masuk ke perairan laut maupun melalui saluran-saluran pembuangan (outfall) dan b) Proses fisik, kimia dan biolois perairan.
2.2. Pencemaran Laut Menurut Nybakken (1992) secara umum pencemar di Perairan Laut berupa minyak, bahan-bahan kimia, limbah dan sampah. Pencemaran oleh minyak akan melapisi permukaan laut yang dapat mengganggu kehidupan biota laut. Polutan dari bahan-bahan kimia meliputi logam-logam berat serta pestisida, kemudian limbah dan sampah umumnya berasal dari aktivitas domestik dan industri. Pencemaran laut yang seringkali terjadi baik fisika, kimiawi maupun biologis, pada umumnya banyak menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Sebagai contoh racun-racun dari limbah industri misalnya logam berat, zat-zat organik minyak bumi, zat-zat petrokimia dan pestisida (Palar, 1994), dengan kondisi demikian maka sumberdaya perikanan sangat terancam keberadaannya dengan masuknya zat-zat tersebut ke laut.
10
Pencemaran laut di kawasan DKI Jakarta telah menjadi berita yang sangat gencar akhir-akhir ini, bahkan pencemaran di Teluk Jakarta akibat limbah organik dan logam berat telah melampaui ambang batas sejak tahun 1972. Bukti terbaru adalah fenomena matinya ribuan ikan di Teluk Jakarta belum lama ini. Soekmadi (2004) memaparkan bahwa pencemaran laut yang berasal dari daratan sebagai akibat mengalirnya 13 sungai ke Teluk Jakarta, selain itu terbawa pula sedimen yang masuk Teluk Jakarta. Sungai-sungai dimaksud antara lain Sungai Citarum, Sungai Cikarang, Sungai Bekasi, Sungai Cakung, Sungai Sunter, Sungai Ciliwung, Sungai Angke, Sungai Krukut dan Sungai Cisadane. Sedangkan dalam lingkup lebih spesifik untuk Perairan Marina sungai yang langsung mengalir ke perairan tersebut adalah Sungai Ciliwung. Bahan atau material yang masuk ke badan perairan laut bila ditinjau dari asalnya dibagi menjadi dua bagian (Sumadhiharga, 1995) yaitu pertama, berasal dari laut itu sendiri misalnya pembuangan sampah dari kapal-kapal, lumpur kegiatan pertambangan di laut dan tumpahan minyak kapal tanki serta dari transportasi laut. Kedua, berasal dari kegiatan-kegiatan di darat, bahkan pencemar dapat masuk melalui udara. Pencemaran laut mulai mendapat perhatian sejak tahun 1953 tepatnya pada saat terjadi kasus Minamata yaitu pencemaran laut yang disebabkan oleh logam berat. Pada periode tahun 1953 hingga 1960 terjadi kasus Minamata di Jepang yang merenggut 146 orang nelayan meninggal dan cacat tubuh akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan yang mengandung Hg. Hingga kini kasus pencemaran logam berat telah menyebar luas termasuk di Indonesia dan kasus di negeri ini yang paling banyak menyedot perhatian adalah kasus pencemaran di Teluk Buyat yang perairannya didominasi kandungan merkuri dan arsen. Said (1997) menyatakan bahwa pencemaran air yang terjadi di Jakarta juga disebabkan oleh limbah dari rumah tangga dan industri yang tidak hanya berasal dari lingkungan sekitar perairan namun juga berasal dari bagian hulunya, yang dapat digolongkan menjadi tiga sumber yaitu a) industri, b) domestik (rumah tangga) dan c) pertanian. Persoalan semakin komplek, karena pada saat bersamaan kegiatan pembangunan terus berlangsung dengan menomorduakan aspek
11
kelestarian lingkungan. Kondisi yang terjadi di kawasan Marina mengarah pada gejala demikian.
3.3. Sumber Pencemaran Teluk Jakarta Sumber pencemar secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian besar. Pertama sumber pencemar tertentu (point source), kedua sumber pencemar tak tentu/tersebar (non point source). Sumber pencemar dari kelompok point source misalnya cerobong asap pabrik, saluran limbah industri, knalpot kendaraan dan contoh lainnya. Sedangkan pencemar dari kelompok non point source merupakan gabungan dari point source, sebagai contoh daerah limpasan pertanian yang menggelontorkan nutrien melalui pupuk, limpasan daerah pemukiman dan sebagainya (Kennish, 1997). Dahuri (2005) memaparkan bahwa sumber pencemaran perairan Teluk Jakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1) sumber dari darat (land-based pollution), 2) sumber dari kegiatan di laut (marinebased pollution) dan 3) sumber dari udara (atmospheric deposition). Lebih lanjut disebutkan bahwa sumber pencemaran dari darat merupakan sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di darat seperti kegiatan rumah tangga (domestik), kegiatan industri dan kegiatan pertanian. Kegiatan rumah tangga berasal dari perumahan, perkantoran, hotel, rumah sakit dan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan limbah yang sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, kandungan oksigen serta kandungan bahan organik. Menurut Aboejowono (2000) pencemaran di sepanjang Teluk Jakarta terutama diakibatkan oleh buruknya kualitas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, setidaknya terdapat 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Sungaisungai tersebut adalah Sungai Kamal, Sungai Angke, Sungai Sekretaris, Sungai Grogol, Sungai Ciliwung, Sungai Ancol, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Sunter, Sungai Baru, Sungai Bekasi, Sungai Kramat dan Sungai Citarum/Muara Gembong. Limbah yang berasal dari kegiatan industri tidak hanya mempengaruhi tingkat kekeruhan, kandungan oksigen dan kandungan bahan organik saja tetapi juga mengubah struktur kimia air yang disebabkan masuknya zat-zat anorganik. Kegiatan pertanian juga merupakan salah satu sumber pencemaran yang berasal
12
dari darat, limbah pertanian ini berasal dari sedimen akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewani atau pupuk (nitrogen dan fosfor) dan unsur kimia dari pestisida yang digunakan (Kennish, 1992). Beragam kegiatan yang dilakukan di laut juga merupakan sumber pencemaran, salah satu kegiatan di laut yang merupakan sumber pencemaran di Teluk Jakarta adalah kegiatan transportasi laut. Kegiatan ini menyebabkan pencemaran minyak di perairan Teluk Jakarta, terlebih lagi di perairan Teluk Jakarta terdapat pelabuhan internasional dengan frekuensi lalu-lintas perhubungan laut yang tinggi. Sumber pencemaran dari udara disebabkan asap hasil pembakaran kegiatan industri atau kendaraan bermotor. Polutan dari udara sangat berbahaya karena bersifat toksik, misalnya logam berat timbal yang berasal dari hasil pembakaran kendaraan bermotor. Contoh lainnya adalah peristiwa revolusi industri di Inggris yang menyebakan pencemaran bukan hanya dari limbah cair yang dihasilkan akan tetapi juga dari asap hasil pembakaran kegiatan industri. Hal ini mengakibatkan pencemaran pada sungai-sungai di Inggris. Sumber pencemaran dari laut antara lain dari kegiatan pertambangan (offshore), perikanan (terutama menggunakan bahan peledak), kegiatan perkapalan dan pembuangan limbah ke laut, sedangkan sumber dari udara akibat pencemaran udara yang mengakibatkan hujan asam (Aboejowono, 2000). Beberapa fakta mengenai kondisi lingkungan perairan Teluk Jakarta telah dilaporkan Waluyo (2005), diantaranya:
Polutan dari limbah anorganik sudah berada pada tingkat yang tinggi khususnya Pb dan Cu.
Solid waste+/- 1400 m3/hari (2002) naik 2 kali dalam sepuluh tahun terakhir.
Kandungan hara naik 10 kali lipat (1982-2002), posfat dan nitrat tinggi pada perairan < 5 km.
Produksi ikan tangkap turun dalam lima tahun terakhir yaitu 28.526 ton pada tahun 1999, turun hingga 17.829 ton di tahun 2002.
Meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi.
13
Pencemaran/tumpahan minyak terjadi berulang yaitu pada Desember 2003 dan April/Mei/Oktober/ Nopember 2004.
2.4. Kualitas Air Menurut Effendi (2003) kualitas air didefinisikan sebagai sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Dahuri (2005) menyatakan kondisi kualitas air di suatu perairan dapat menggambarkan apakah perairan tersebut tercemar atau tidak, pengukuran konsentrasi berbagai bahan pencemar merupakan cara untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter kualitas air yang meliputi parameter fisika seperti suhu, kekeruhan, kecerahan. Parameter kimia mencakup pH, DO, BOD5, COD, kadar logam-logam dan lainnya. Sedangkan parameter biologi meliputi keberadaan plankton, benthos atau bakteri. Pemahaman yang baik tentang parameter-parameter kualitas air menjadi penting sebagai bagian dari pemantauan lingkungan perairan untuk melihat perubahan yang terjadi khususnya perairan laut. Pemantauan kualitas air itu sendiri dimaksudkan untuk 1) mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia dan biologi, 2) membandingkan nilai kualitas air yang diperoleh dengan baku mutu yang berlaku sesuai peruntukannya, 3) menilai kelayakan sumber daya air untuk keperluan tertentu. Penanganan kualitas air memerlukan pemahaman mengenai karakteristik dasar dari badan air. Pemahaman tersebut akan memberikan gambaran mengenai akibat-akibat perlakuan manusia terhadap air (Siregar, 2005).
2.5. Hidrodinamika Perairan Estuari Estuari adalah zona pertemuan atau peralihan antara air laut dan air tawar. Pergerakan air di sepanjang estuari dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan aliran air sungai. Pasang surut merupakan gaya eksternal utama yang membangkitkan pergerakan massa air serta pola perubahan tinggi muka air secara dinamis. Arus pasang surut dapat mempengaruhi pergeseran salinitas dan kekeruhan di sepanjang daerah estuari. Kondisi pada saat pasang akan menyebabkan salinitas dan bahan tersuspensi bergerak ke hulu dan saat surut
14
menuju hilir. Hidrodinamika perairan secara umum berperan dalam proses-proses seperti pencampuran (mixing) penyebaran dan proses sedimentasi (Benoit, 1971). Pasang surut dapat menyebabkan terjadinya arus pasang surut yang menimbulkan turbulensi. Proses pengadukan akan semakin besar bila perairan tidak terlalu luas. Pencampuran akan terjadi ke semua arah dan lapisan. Interaksi air laut dan air tawar akan mempengaruhi sirkulasi massa air dan pencampuran yang dibangkitkan oleh perbedaan densitas. Pasang surut mempengaruhi proses pencampuran melalui gesekan (friction) ketika pasang surut mengalir melewati dasar perairan. Gesekan tersebut menimbulkan turbulensi yang pada akhirnya akan menimbulkan proses pencampuran. Menurut Nybakken (1992) kawasan estuari diliputi daratan pada tiga sisi. Hal ini berarti bahwa luas perairan yang di atasnya memungkinkan angin dapat bertiup untuk menciptakan ombak. Kedalaman estuari akan mempengaruhi terbentuknya ombak. Perairan estuari yang dangkal dengan mulut estuari yang sempit akan memperkecil atau menghilangkan ombak, sehingga estuari menjadi kawasan yang tenang.
2.5. Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilasi Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan dalam hal ini perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono, 2005). Kuantitas beban pencemar selain ditentukan oleh aktivitas manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi pasang surut wilayah pantai. Beban masukan limbah sangat kecil saat terjadinya pasang karena sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air pantai (Hadi, 2005). Kondisi sebaliknya terjadi yaitu beban limbah ke kawasan pantai akan lebih besar pada saat surut tiba. Hal ini karena aliran dapat menembus masuk tanpa terhalang oleh massa air laut. Perhitungan beban pencemar dapat dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan debit aliran sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat
15
diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai. Menurut Nemerow (1991) kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Suatu bahan pencemar misalnya logam berat ketika memasuki perairan akan mengalami tiga macam fenomena, yaitu penyebaran, pengenceran dan pengendapan. Perhitungan kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya dengan menggunakan hubungan antara
kualitas air dan beban
pencemar limbah. Kapasitas asimilasi dapat ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya ke dalam grafik. Tahap selanjutnya adalah mereferensikan dengan nilai baku mutu yang diperuntukkan bagi biota laut (Rajab, 2005). Nilai yang diperoleh dari titik perpotongan pada grafik inilah yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi.
16
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September 2005 hingga Mei 2006 bertempat di Perairan Marina Jakarta Utara terutama untuk pengambilan sampel air, sedimen, fitoplankton dan makrozoobentos. Analisis sampel air, sedimen, fitoplankton dan makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.2. Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey melalui pengambilan sampel di tiga titik (50 m, 500 m dan 1000 m) dari garis pantai (Lampiran 1). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali.
3.2.2. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian diawali dengan penentuan lokasi pengambilan sampel yang dilakukan dengan pertimbangan diperkirakan dapat mewakili kondisi Perairan Marina yaitu pada 50 m, 500 m, dan 1000 m dari daratan. Tahapan selanjutnya pengambilan data primer yang dimulai dengan pengambilan sampel air dan sedimen sebanyak tiga kali. Data-data primer yang dilakukan secara in situ atau di lapangan meliputi parameter suhu air, kecerahan, pH dan oksigen terlarut. Nilai suhu air dilakukan dengan mencelupkan termometer Hg ke dalam perairan dan pencatatan suhu dilakukan saat posisi termometer masih tercelup dalam perairan. Pengukuran kecerahan dilakukan menggunakan secchi disc dengan cara menurunkannya sampai hampir tidak tampak, lalu mencatat kedalamannya, kemudian diturunkan kembali hingga tidak tampak, yang selanjutnya angkat secara perlahan, begitu tampak catat kedalamannya. Rata-rata pencatatan kedalaman tersebut merupakan nilai kecerahan, dinyatakan dalam satuan meter. Pengukuran pH menggunakan kertas lakmus dengan cara mencelupkan kertas pH, lalu mencocokkan warna kertas tercelup dengan daftar warna pada kotak lakmus. Penentuan oksigen 16
17
terlarut menggunakan DO-meter dengan cara memasukkan probe atau sensor dari alat yang dihubungkan dengan kabel ke dalam perairan dan kadar oksigen dalam mg/L dapat langsung terbaca pada skala meter alat atau layar tampilan digital alat. Prinsip pengukuran dengan DO-meter adalah tekanan oksigen dalam air akan ditangkap sensor alat berupa suatu elektroda, sehingga menghasilkan arus, selanjutnya alat akan mengkonversikan besar aliran arus tersebut pada tampilan atau digital berupa konsentrasi oksigen terlarut dalam mg/L. Beberapa data pendukung juga dilakukan pada tahapan ini yaitu suhu udara, cuaca, kedalaman, waktu serta warna air. Pengukuran suhu udara menggunakan termometer, dengan mencatat suhu yang tertera pada termometer di setiap stasiun. Data kedalaman diperoleh dengan mencelupkan tali bersakala yang diberi pemberat hingga menyentuh dasar perairan dan mencatat kedalamannya. Pencatatan kedalaman ini akan menentukan titik kedalaman pengambilan sampel (permukaan, tengah dan dasar perairan). Penetapan warna perairan dilakukan secara visual. Pengambilan contoh air dilakukan di setiap stasiun secara komposit yaitu percampuran dari contoh air yang berasal dari lapisan permukaan, tengah dan lapisan pada kedalaman 1 m dari permukaan sedimen. Contoh air diambil dengan menggunakan alat van dorn sampler bervolume 3 liter. Contoh air dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 250 ml dan diawetkan dengan menggunakan H2SO4 pekat 0.3 ml untuk analisa parameter COD, nitrat dan amoniak, HgCL sebanyak 0.2 ml untuk parameter PO43-, sedangkan untuk parameter logam berat diberi pengawet HNO3 sebanyak 0.3 ml. Tahap selanjutnya adalah pemberian label nama, kemudian sampel air dimasukkan ke dalam ice box bersuhu ± 4oC menggunkan batu es, untuk dibawa ke laboratorium guna keperluan analisis. Contoh sedimen untuk penentuan kandungan logam Cd, Pb, tekstur sedimen dan makrozoobenthos diambil menggunakan petersen grab dengan luas bukaan 20 cm x 20 cm. pengambilan sedimen dilakukan di setiap stasiun sebanyak 3 kali. Pengambilan sedimen dengan cara menjatuhkan petersen grab dari atas perahu dengan kondisi terbuka, setelah grab mencapai dasar perairan tarik tali grab ke atas. Sedimen yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik, dibedakan setiap stasiun pengamatan dan pengulangan. Pengambilan
18
makrozoobenthos diawali dengan pemisahan atau pembersihan sedimen dari lumpur dan pasir menggunakan saringan yang memiliki meshsize ± 1 mm. makrozoobenthos yang terambil dari penyaringan disimpan dalam kantong plastik dan diawetkan dengan formalin 4%, selanjutmya dianalisis di laboratorium. Analisis pada makrozoobenthos adalah kepadatan yang dihitung menggunakan persamaan: K= (10000 x a)/b Keterangan: K
= kepadatan makrozoobenthos (ind/m2)
A
= jumlah fitoplankton yang tercacah (ind)
B
= luas bukaan mulut petersen grab (20 cm x 20 cm)
Contoh fitoplankton diperoleh dengan cara menyaring air sebanyak 100 liter dengan menggunakan plankton net berukuran pori-pori 45 µm. Contoh fitoplankton yang diperoleh kemudian disimpan dalam botol dan diawetkan dengan lugol 1%. Identifikasi plankton dilakukan menggunakan buku identifikasi Illustration of the Marine Plankton of Japan (Yamaji, 1966). Kelimpahan fitoplankton ditentukan dengan persamaan: N= (100 x n xV1) / (0.25π x VT) Keterangan: N
= kelimpahan jenis fitoplankton (ind/L)
N
= jumlah fitoplankton yang tercacah (ind)
V1
= volume air yang tersaring (liter)
VT
= volume air yang disaring (100 liter)
π
= 3.14
3.2.3. Variabel yang diamati Analisis yang dilakukan meliputi parameter fisik, kimia, dan biologi, sedangkan pada sedimen dilakukan pengukuran terhadap kandungan Cd, Pb dan tekstur. Parameter kualitas air dan sedimen yang diukur serta alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
19
Tabel 1. Parameter-parameter kualitas air dan sedimen yang diukur. No
1. 2. 3. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22 23. 24. 25. 26. 27.
Parameter Air Suhu Kecerahan pH Cd Pb DO BOD5 Kekeruhan Salinitas NH3 PO43TSS NO3COD Fitoplankton Sedimen Cd Pb pH Tekstur Makrozoobenthos Pendukung Cuaca Waktu Kedalaman Suhu Udara Warna
Satuan
Peralatan
Keterangan
o C m mg/L mg/L mg/L mg/L NTU ‰ mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Termometer Secchi disc Kertas lakmus AAS AAS DO meter Titrimetri Turbiditymeter Refraktometer Spectrofotometer Spektrofotometer Gravimetrik Spectrofotometer Titrimetri Plankton net
In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium In situ Laboratorium Laboratotium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
mg/kg mg/kg % Individu/m2
AAS AAS pH meter Saringan bertingkat Petersen grab
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Tali berskala Termometer Visual
In situ. In situ In situ In situ In situ
m C
o
3.3. Analisis Data Analisis data utama yang dilakukan adalah penentuan beban pencemar dan kapasitas asimilasi. Penentuan beban pencemar dihitung berdasarkan pengukuran langsung debit sungai dan konsentrasi parameter yang diukur, berdasarkan model berikut: BP
= Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10-6
Keterangan: BP
= Beban pencemar yang masuk dari sungai (ton/bulan)
Q
= Debit sungai (m3/detik)
C
= Konsentrasi limbah (mg/L).
Nilai debit sungai diperoleh dengan perhitungan luas penampang sungai dikalikan kecepatan aliran sungai.
20
Nilai kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi parameter limbah dengan beban pencemar dan selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu yang diperuntukkan bagi biota berdasarkan Kep.Men.LH No. 51/Men-KLH/2004 dan baku mutu dari UNESCO/WHO/UNEP (1992). Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan dengan nilai baku mutu untuk parameter yang diuji
Konsentrasi Polutan
(Gambar 3).
Baku Mutu Nilai kapasitas asimilasi
Beban Pencemaran
Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan.
Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan dengan nilai baku mutu untuk parameter yang diuji. Selanjutnya dianalisis seberapa besar peran masingmasing parameter terhadap beban pencemarannya. Kajian kapasitas asimilasi dalam penelitian ini secara tidak langsung memberikan informasi apakah terdapat pengaruh jarak lokasi pengambilan sampel terhadap parameter kimia, fisika dan biologi yang diukur. Secara umum persamaan regresi dinyatakan dengan rumus berikut: Y = a + bx Keterangan: a = koefisien yang mernyatakan nilai Y pada perpotongan antara garis linier dengan sumbu vertikal. x = nilai variabel independent, yaitu beban pencemaran b = slope yang berhubungan dengan variabel x. Y variabel tak bebas (dependent) yaitu konsentrasi polutan, sedangkan x variabel bebas (independent).
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kondisi umum lokasi penelitian merupakan informasi yang penting untuk dilaporkan demi membatasi lingkup spesifikasi data yang diperoleh. Data mengenai kondisi umum kawasan penelitian ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Data keadaan umum lokasi penelitian Parameter
Stasiun
I
Ulangan II
III
Satu Dua Tiga
Cerah
Cerah
Cerah
Suhu udara (oC)
Satu Dua Tiga
32 32 31
31 30 31
30 30 30
Warna
Satu Dua Tiga
Hijau kehitaman
Hijau kehitaman
Hijau kecoklatan
Kedalaman (m)
Satu Dua Tiga
3 4.5 5.5
3 6 7.5
3.5 6.5 7
Cuaca
Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa keadaan cuaca Perairan Marina selama pengambilan sampel dan pengukuran dalam kondisi cerah yang ditandai dengan pancaran sinar matahari optimal. Effendi (2003) menyatakan bahwa jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian permukaan laut (altitute), letak geografis dan musim. Cahaya matahari yang mencapai permukaan perairan sebagian diserap dan sebagian direfleksikan kembali. Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air dan bahan-bahan yang terlarut dan tersuspensi di dalam air (Boyd, 1998). Sudut datang tepat pada 90oC (terjadi pada sekitar pukul 12.00 WIB) intensitas cahaya yang dipantulkan sekitar 1.5 - 2.0 %, sementara saat penelitian ini berlangsung yaitu pada pukul 11.00 WIB, sehingga
21
22
penetrasi cahaya ke badan perairan relatif besar. Kondisi cuaca tersebut akan mempengaruhi suhu udara di sekitarnya. Suhu udara yang terdeteksi melalui termometer saat penelitian berlangsung berada pada kisaran normal yaitu 30 - 32oC (Tabel 2). Suhu udara akan menentukan suhu badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika dan kimia perairan. Parameter berikutnya adalah warna air. Warna Perairan Marina secara visual selama berlangsungnya penelitian, berwarna hijau gelap tepatnya hijau kecoklatan hingga hijau kehitaman. Ekpresi warna Perairan Marina diduga berasal dari limbah yang masuk terutama limbah organik. Kehadiran bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus hasil dekomposisi makhluk hidup yang telah mati dapat menimbulkan warna kecoklatan (Effendi, 2003). Warna perairan berpengaruh pada terganggunya proses fotosintesis, karena dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Sejumlah logam seperti oksida besi, mangan dan kadmium diketahui dapat menyebabkan air berwarna kecoklatan hingga kehitaman (Effendi, 2003). Parameter batimetri atau kedalaman Perairan Marina memiliki kedalaman berkisar antara 3 - 7.5 m, dengan kecenderungan semakin jauh dari garis pantai kedalaman semakin bertambah. Kedalaman Perairan Marina dipengaruhi oleh pasokan sedimen dari daratan dan pola arus yang selalu bergerak sepanjang tahun, sehingga menyebabkan perairan mengalami akresi atau pendangkalan. Menurut Suharsono (2005) secara umum besaran pendangkalan di sepanjang Teluk Jakarta, termasuk kawasan Marina dipengaruhi oleh musim yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat terjadi pada musim penghujan, sedangkan musim timur pada saat musim kemarau. Musim barat ditandai dengan bergeraknya arus dari barat ke timur disertai dengan curah hujan yang tinggi, diikuti sungai membawa banyak sedimen, kemudian terbawa arus dan mengendap di pantai timur. Sedangkan pada musim timur arus bergerak dari barat ke timur, yang terjadi saat musim kemarau, sungai tidak banyak membawa sedimen, sehingga yang diendapkan di pantai barat relatif sedikit daripada di pantai timur (Suharsono, 2005). Kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi kepekatan bahan pencemar, semakin dalam perairan, maka semakin banyak volume air yang terkandung sehingga
23
kemungkinan bahan pencemar mengalami proses pengenceran lebih besar daripada perairan yang lebih dangkal.
4.2. Gambaran Umum Hasil Penelitian Perairan Marina memainkan peranan sangat penting bagi penduduk di sekitarnya dan masyarakat Jakarta umumnya, namun karena pertumbuhan yang sangat pesat dari industri, pertambahan penduduk, perkembangan infrastruktur, aktivitas pelabuhan dan perkembangan transportasi menjadikan lingkungan Perairan Marina tidak lagi dapat menanggung segala hasil buangan dari aktivitasaktivitas tersebut. Tabel 3 berikut ini menampilkan kondisi terkini Perairan Marina berdasarkan hasil pengukuran terhadap parameter fisika dan kimia. Tabel 3. Nilai rata-rata parameter fisika dan kimia Perairan Marina Parameter o
Suhu air ( C) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/L) Salinitas (‰) pH Alkalinitas (mg/L) DO (mg/L) BOD5 (mg/L) COD (mg/L) NH3 (mg/L) NO3- (mg/L) PO43- (mg/L) Pb (mg/L) Cd (mg/L)
Satu 29.83 0.82 6.57 19.63 30.67 7.56 121.03 5.04 4.15 302.71 0.263 0.146 0.202 0.092 0.027
Stasiun Dua 33.50 2.32 5.91 18.10 30.89 7.80 118.59 5.29 4.49 303.93 0.269 0.168 0.098 0.108 0.028
Tiga 30.50 2.25 3.62 11.16 30.67 8.16 124.45 5.94 4.65 309.32 0.270 0.211 0.090 0.129 0.019
Baku mutu 28-32* >3* <5* 25** 33-34* 6.0-9.0** 5.6-9.0** 3-6** 200* 0.005-0.025** 0.008* 0.015* 0.008* 0.001*
Keterangan: *; Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. **;UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik.
4.3. Kondisi Fisik Perairan Marina 4.3.1. Suhu Perairan Suhu Perairan Marina selama penelitian di tiga titik pengamatan berkisar antara 29 - 31oC (Lampiran 2), sedangkan pengelompokkan data berdasarkan waktu pengambilan disajikan pada Lampiran 3. Kisaran suhu tersebut masih berada pada level normal, sebagaimana baku mutu Kep.Men.LH. No. 51 tahun
24
2004 untuk biota laut yaitu antara 28 - 32oC, dengan kondisi bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). Hal ini berarti bahwa suhu badan air masih mendukung kehidupan organisme yang ada di dalamnya dan kisaran tersebut juga memperlihatkan bahwa tidak ada lonjakan yang berarti dari suhu. Menurut Effendi (2003) perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi. Setiap organisme akuatik menginginkan kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang sesuai dengan pertumbuhannya. Aktivitas biologis – fisiologis di dalam ekosistem perairan sangat dipengaruhi oleh suhu. Benoit (1971) menyatakan kenaikan suhu akan meningkatkan laju metabolisme pada organisme. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat dan selanjutnya akan menurunkan kelarutan oksigen perairan. Pola temperatur ekosistem perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara perairan dengan udara sekitarnya dan ketinggian geografis (Wetzel, 1975). Selain itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogenik (faktor yang diakibatkan oleh aktivitas manusia), seperti limbah panas yang berasal dari pendingin pabrik dan penggundulan DAS, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.
4.3.2. Kecerahan dan Kekeruhan Hasil pengukuran di Perairan Marina memberikan indikasi kecerahan ratarata antar stasiun memiliki variasi relatif kecil yaitu pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 0.82 m, 2.32 m dan 2.25 m dengan status telah melampaui baku mutu yang diperkenankan yaitu > 3 m. Kondisi ini berarti bahwa Perairan Marina ditinjau dari parameter kecerahan telah tercemar hingga jarak 1000 m dari garis pantai dan kawasan yang paling rendah nilai kecerahannya adalah pada stasiun 1 yang mewakili muara. Hal ini disebabkan stasiun 1 adalah kawasan yang paling besar menerima masukan limbah dari daratan dan merupakan muara tempat bertemunya massa air laut dengan salinitas tinggi dengan air tawar sehingga terjadi perbedaan densitas yang dapat mengakibatkan terjadinya turbulensi yang menyebabkan
partikel-partikel
mengendap
teraduk
kembali,
sehingga
menurunkan nilai kecerahan. Sedangkan pada stasiun 2 dan 3 karena jarak stasiun yang semakin jauh dari sumber pencemar dan diduga limbah yang masuk telah
25
mengalami proses penyebaran terangkut ke laut lepas dan terencerkan, sehingga nilai kecerahan relatif lebih baik dari nilai kecerahan di stasiun 1. Terjadinya penyebaran dan pengenceran di laut didominasi oleh faktor arus, angin dan pasang surut khususnya pada lapisan permukaan (Benoit, 1971). Nilai kecerahan yang rendah
berbanding
terbalik
dengan
nilai
kekeruhan,
hasil
pengukuran
menunjukkan level relatif tinggi dengan status telah melampaui baku mutu, khususnya di stasiun 1 dan 2 (Tabel 3). Baku mutu nilai kekeruhan yang dipersyaratkan adalah < 5 NTU (Kep Men LH. No. 51 tahun 2004), sedangkan nilai kekeruhan rata-rata pada stasiun 1 dan stasiun 2 sebesar 6.57 NTU dan 5.91 NTU. Fenomena ini diduga karena masuknya bahan-bahan tererosi berupa lumpur dan hasil buangan masyarakat di bagian hulu Sungai Ciliwung yang mengalir langsung ke Muara Marina. Tingginya bahan-bahan yang masuk ke Perairan Marina melalui Sungai Ciliwung karena dua hal utama. Pertama karena hunian di sepanjang bantaran Sungai yang mencapai 71.56 % dari luas keseluruhan sepanjang sungai (Kusriyanto, 2002). Peningkatan jumlah penduduk setiap tahun memerlukan ruang untuk tempat tinggal dan usaha. Akibat keterbatasan lahan yang tersedia menyebabkan masyarakat menempati wilayah bantaran sungai sehingga mengakibatkan daerah aliran sungai yang berfungsi mengatur tata air menjadi semakin sempit (Anonim, 2004). Frekuensi masuknya buangan juga diperparah dengan tingginya erosi, hal ini tidak lepas dari karakteristik jenis tanah di sepanjang Sungai Ciliwung yang bertipe peka terhadap erosi yaitu jenis litosol, regosol dan andosol. Ketiga jenis tanah tersebut memiliki kestabilan agregat rendah sehingga rentan tergerus aliran air dan hujan (Harijogjo, 2002). Gambaran lain yang dapat ditangkap dari hasil pengukuran kekeruhan adalah tingkat kekeruhan menurun dengan semakin jauhnya jarak perairan dari garis pantai. Kecenderungan ini dapat disebabkan faktor volume pengencer dan kedalaman yang semakin bertambah ke arah lepas pantai. Bertambahnya kedalaman suatu perairan akan memberikan ruang relatif lebih besar bagi badan perairan untuk mendispersikan dan mengencerkan bahan-bahan padatan tersuspensi (Hamilton, 1994). Sedangkan pada perairan yang lebih dangkal, selain volume pengencer relatif lebih terbatas juga kemungkinan faktor pengadukan
26
(turbulensi) padatan tersuspensi di dasar perairan oleh gerakan air relatif lebih tinggi, sehingga menyebabkan tingginya nilai kekeruhan (turbidity) (Benoit, 1971; Triyanto, et al., 2005).
4.3.3. Total Padatan Tersuspensi Nilai padatan tersuspensi pada setiap stasiun berkisar antara 5.30 - 25.00 mg/L (Lampiran 2). Nilai tersebut masih jauh berada di bawah standar maksimal yang diperkenankan bila mengacu pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004
yaitu
80
mg/L.
Namun
berdasarkan
baku
mutu
badan
dunia
UNESCO/WHO/UNEP (1992) nilai TSS yang diperbolehkan tidak boleh melebihi 22 mg/L, dengan demikian kadar TSS di salah satu titik pengamatan telah menyentuh garis baku mutu yang diperbolehkan (Lampiran 2). Total padatan tersuspensi diduga berasal dari daratan berupa bahan-bahan yang terbawa oleh sungai terutama Kali Ciliwung yang langsung menuju ke Perairan Marina. Penduduk di daerah hulu sungai masih menganggap bahwa sungai merupakan tempat pembuangan sampah terpanjang di dunia, sedangkan penduduk kota dan wilayah pesisir Laut Marina menganggap laut sebagai tempat sampah terbesar di dunia. Bahan-bahan buangan yang masuk ke sungai bersumber dari aktivitas industri, domestik dan pertanian. Limbah yang berasal dari daerah bagian hulu Sungai Ciliwung lebih didominasi oleh limbah pertanian, di bagian hilir didominasi limbah domestik dan industri dan di daerah pesisir beban limbah pelabuhan serta industri menjadi lebih dominan (Soeharsono, 2005). Kontribusi limbah domestik saja diperkirakan mencapai 150.000 ton/hari (Anonim, 2004). Akumulasi limbah industri, domestik dan pertanian inilah yang mempengaruhi nilai total padatan tersuspensi Perairan Marina, bahkan diperkirakan >100.000 ton/tahun lumpur dari Sungai Ciliwung masuk ke Perairan Marina. Perubahan fisik yang terjadi di bagian hulu Sungai Ciliwung berupa bertambahnya kawasan pemukiman dan pertanian turut memicu besarnya masukan limbah ke Perairan Marina (Fakhrudin dan Wibowo, 1998). Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung di bagian hulu memiliki curah hujan sangat tinggi berkisar antara
4000 - 4500 mm/tahun, sehingga bila terjadi hujan dengan
intensitas tinggi maka peluang masuknya berbagai limbah dan bahan-bahan
27
tererosi ke Perairan Marina makin besar, yang dikenal dengan banjir kiriman (Bogor). Hal ini menunjukkan bahwa daerah hulu Sungai Ciliwung memiliki andil cukup besar terhadap masuknya limbah ke Perairan Teluk Jakarta khususnya Marina. Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya tingkat erosi di bantaran Sungai Ciliwung. Fakta mengenai erosi ini pernah dilaporkan oleh Fakhrudin dan Wibowo (1998), yang menyebutkan bahwa daerah hulu Sungai Ciliwung berdasarkan metode sediment yield dikategorikan sebagai kawasan dengan tingkat erosi kerusakan cepat. Data klasifikasi lahan berdasarkan tingkat erosi ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi lahan berdasarkan erosi atau sediment yield No. 1. 2. 3. 4.
Kondisi Lahan Baik Sedang Kerusakan cepat Kerusakan sangat cepat
Sediment yield (mm/tahun) < 0.60 0.60-1.50 1.50-4.00 >4.00
Erosi (Ton/ha/tahun) < 65 65-150 150-330 >330
Sumber. Fakhrudin dan Wibowo, 1998.
Nilai parameter TSS rata-rata stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing adalah 19.63 mg/L, 18.10 mg/L dan 11.16 mg/L. Data tersebut mengindikasikan kecenderungan bahwa nilai TSS menurun dengan bertambahnya jarak dari garis pantai (semakin ke arah laut). Hasil tersebut bermakna bahwa kandungan TSS dipengaruhi oleh jarak, dengan stasiun 1 sebagai kawasan bernilai TSS tertinggi. Stasiun 1 sebagai kawasan yang mewakili muara secara langsung sebagai tempat penampungan bahan-bahan yang masuk melalui sungai, sehingga kandungannya relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan yang lebih jauh dari garis pantai. Hal ini diduga karena pada stasiun 2 dan stasiun 3, jarak sumber limbahnya semakin jauh serta berlangsungnya proses pencucian
sehingga bahan pencemar segera
terdispersi dan mengalami pengenceran (Barnabe dan Quet, 1997). Menurut Benoit (1971) proses dispersi di perairan laut terjadi karena adanya pengaruh pergerakan angin. Penurunan kualitas air, terutama TSS dapat menghambat laju fotosintesis tumbuhan air, sedangkan di dasar perairan akan mengakibatkan sedimentasi yang dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya termasuk
28
menutupi karang dan dampak jangka panjang mempercepat terjadinya pendangkalan.
4.4. Kualitas Kimia Perairan Marina 4.4.1. pH dan Alkalinitas Perairan Marina memiliki nilai pH antara 7 - 8.57. Kisaran tersebut masih berada pada kategori yang layak untuk kegiatan sektor perikanan. Berdasarkan kriteria UNESCO/WHO/UNEP (1992) tentang parameter kualitas air untuk menopang kehidupan organisme perairan, rentang pH yang diperbolehkan adalah 6.0 - 9.0, dengan demikian nilai pH Perairan Marina belum melampaui batas toleransi yang dianjurkan. Hasil pengukuran pH yang relatif tidak bervariasi ini kemungkinan disebabkan karena adanya sistem penyangga (buffering capacity) yang tergambar dari nilai alkalinitas. Nilai alkalinitas pada penelitian ini berkisar antara 144.710 - 130.781 mg/L (Lampiran 2). Hariyadi (2002) menyatakan bahwa nilai alkalinitas >100 dikategorikan relatif tinggi. Nilai alkalinitas menunjukkan daya atau kapasitas buffer perairan, yakni sifat perairan terhadap perubahan pH, sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas penyangga Perairan Marina relatif tinggi, yang berarti pH perairan tidak mudah berubah. Namun demikian bukan berarti pH di perairan laut tidak dapat berubah secara drastis, karena apabila terjadi pembebanan limbah perairan terus menerus baik berasal dari limbah domestik maupun industri, maka akan terjadi perubahan pH secara signifikan. Perubahan pH dengan rentang yang sangat jauh akan membahayakan kelangsungan hidup organisme. Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama aluminium yang bersifat toksik semakin tinggi. Kondisi tersebut akan membahayakan bagi kelangsungan hidup biota air, sedangkan pH yang tinggi, akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam perairan akan terganggu (Wetzel, 1975). Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang bersifat toksik bagi organisme.
29
4.4.2. Oksigen Terlarut (DO) Nilai rata-rata oksigen terlarut Perairan Marina pada stasiun 1, 2 dan 3, masing-masing sebesar 5.04 mg/L, 5.30 mg/L dan 5.94 mg/L, sehingga dapat disimpulkan nilai oksigen terlarut pada ketiga stasiun relatif merata dengan kondisi belum melampaui baku mutu yang berlaku yaitu > 5 mg/L (Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004). Menurut Kennish (1992) tetap terjaganya konsentrasi oksigen terlarut perairan laut karena faktor angin dan arus. Lebih lanjut dinyatakan kuatnya angin dan arus akan mempengaruhi kelarutan oksigen perairan, karena salah satu sumber oksigen berasal dari atmosfer. Tiupan angin akan menekan udara ke permukaan laut, sehingga difusi udara dari atmosfer ke permukaan laut berlangsung maksimal dan pada gilirannya dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut terutama pada lapisan permukaan. Konsentrasi oksigen perairan berasal dari dua sumber yaitu dari difusi udara dan proses fotosintesis tumbuhan air. Proses fotosintesis selain menghasilkan karbohidrat juga memproduksi oksigen. Meskipun demikian konsentrasi DO Perairan Marina tetap harus diwaspadai karena nilai hasil pengamatan di atas telah berada pada level menghawatirkan, dengan kata lain hampir mendekati baku mutu, bahkan bila mengacu kepada baku mutu badan dunia UNESCO/WHO/UNEP (1992) yaitu 5.6 - 9.0 mg/L, maka DO pada stasiun 1 dan 2 telah dikategorikan tercemar. Kondisi tersebut menggambarkan minimnya kandungan oksigen terlarut di Perairan Marina. Faktor yang mempengaruhi rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di Perairan Marina diduga ada kaitannya dengan melimpahnya limbah organik, terutama yang berasal dari masukan Sungai Ciliwung. Dugaan ini sejalan dengan temuan Michael, et al. (1993) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa konsentrasi oksigen di Chesapeake Bay < 1 mg/L sebagai dampak tingginya kandungan bahan organik perairan. Oksigen terlarut perairan dipengaruhi bahan organik
yang
terdapat
di
dalamnya
karena
mikroorganisme
pengurai
membutuhkan oksigen untuk perombakannya, sehingga ketersediaan oksigen perairan menjadi rendah. Kandungan limbah organik di Perairan Marina berasal dari aktivitas di sepanjang Kali Ciliwung, baik hulu maupun hilir sebagai sungai yang langsung mengalir ke Muara Marina. Buangan tanpa pengolahan terlebih dahulu akan menyumbangkan limbah dalam bentuk padatan tersuspensi dan bahan
30
buangan yang memerlukan oksigen. Hal ini menyebabkan terhambatnya regenerasi oksigen karena terjadi konsumsi oksigen oleh mikroorganisme untuk merombak bahan buangan yang memerlukan oksigen. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya nilai oksigen terlarut adalah suhu rata-rata Perairan Marina yang relatif tinggi yaitu pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 29.83oC, 33.50oC dan 30.50oC. Tingginya suhu di Perairan Marina, tidak lepas dari pengaruh pemanasan global. Barnabe dan Quet (1997) menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu rata-rata tahunan laut global sebesar 0.75oC/tahun dengan peningkatan maksimum sebesar 2.2oC/tahun. Peningkatan tersebut bersumber dari sejumlah aktivitas manusia yang menghasilkan emisi-emisi seperti CO2 dengan peningkatan 30% dalam kurun waktu 10 tahun, chlorofluoro carbon (CFC) 25%, bahkan methana mencapai 100%. Data-data tersebut dicatat pada periode tahun 1983-1993.
4.4.3. BOD5 Nilai BOD5 rata-rata Perairan Marina di stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 4.15 mg/L, 4.49 mg/L dan 4.65 mg/L, dengan demikian nilai BOD5 pada Perairan Marina masih memenuhi kriteria baku mutu untuk kehidupan biota laut, bahkan jauh di bawah ambang batas yang ditentukan yaitu 20 mg/L (Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004). Meskipun demikian tetap harus diwaspadai karena sesungguhnya nilai-nilai BOD5 yang diperoleh telah mendekati ambang tercemar, bila mengacu pada baku mutu UNESCO/WHO/UNEP (1992) yaitu tidak lebih dari 6.0 mg/L. Hasil ini juga dapat bermakna adanya kemungkinan dominasi bahan-bahan pencemar toksik di Perairan Marina yang dapat menghambat aktivitas mikroba perombak bahan organik. Menurut Effendi (2003) pada perairan yang banyak mengandung bahan-bahan toksik dapat mengakibatkan nilai BOD5 yang diperoleh kurang akurat karena bahan-bahan toksik yang terdapat dalam sampel air dapat menghambat bahkan mematikan mikroorganisme perombak bahan organik.
31
4.4.4. COD Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan nilai COD rata-rata Perairan Marina di stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 302.71 mg/L, 303.93 mg/L dan 309.32 mg/L. Nilai-nilai tersebut tidak saja telah melampaui baku mutu yaitu 200 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992), namun juga jauh lebih besar dari nilai COD hasil pemantauan kualitas Perairan Teluk Jakarta secara umum yang berkisar antara 28.88 - 38.46 mg/L (Aboejowono, 2000), kemudian pada tahun 2004 nilai COD Teluk Jakarta berkisar antara 60.19 - 114.56 mg/L, dan untuk Marina sebesar 66.02 mg/L (BPLHD, 2004). Hasil ini memberikan gambaran bahwa Perairan Marina telah tercemar khususnya oleh limbah organik dengan kecenderungan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa bahan pencemar di Perairan Marina diduga didominasi oleh bahan organik yang sifatnya sulit terdegradasi seperti selulosa, fenol, polisakarida, lignin, benzene dan bahan-bahan lainnya. 4.4.5. NH3 dan NO3Konsentrasi amoniak (NH3) di Perairan Marina berkisar antara 0.143 0.478 mg/L. Kisaran nilai tersebut pada beberapa titik pengamatan (Lampiran 2) belum melampaui baku mutu bila mengacu kepada Kep.Men.LH No. 51 tahun 2004 yaitu 0.3 mg/L, namun tetap harus diwaspadai karena bila mengacu pada ketentuan badan dunia UNESCO/WHO/UNEP, (1992) yaitu 0.005 - 0.025 mg/L, maka nilai NH3 Perairan Marina telah jauh melampaui baku mutu. Kandungan amoniak di Perairan Marina diduga berasal dari sejumlah aktivitas antropogenik seperti industri, domestik serta kegiatan pertanian. Goldman & Horne (1983) menyatakan bahwa sumber NH3 di perairan berasal dari proses difusi udara atmosfer limbah industri, domestik dan pertanian yang masuk ke badan perairan melalui erosi tanah. Sedangkan Kennish (1997) menambahkan bahwa selain dari kegiatan domestik dan pertanian sumber amoniak juga berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air hasil dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota air yang mati). Selain itu limbah aktivitas metabolisme biota akuatik berupa tinja juga mengeluarkan amonia. BPLHD
32
(2004) menyebutkan bahwa kadar NH3 di sepanjang Teluk Jakarta berasal dari daratan melalui pupuk limbah pertanian maupun berasal dari limbah domestik berupa sampah organik yang mengalami proses pembusukan. Kandungan nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-) pada stasiun 1, 2 dan 3 adalah 0.146 mg/L, 0.168 mg/L dan 0.211 mg/L. Hasil pengukuran di ketiga stasiun tersebut telah melampaui baku mutu menurut Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004 yaitu 0.008 mg/L. Nilai konsentrasi nitrat pada penelitian ini juga relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil pemantauan BPLHD (2004) yaitu kandungan nitrat di Muara Marina sebesar 0.100 mg/L. Hasil tersebut menggambarkan bahwa Perairan Marina telah tercemar oleh nitrat, meskipun nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan dan sebagai nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga, namun kadar nitrat yang tinggi (>0.2 mg/L) berpotensi mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan (Effendi, 2003). Goldmen dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik, namun konsumsi air yang mengandung kadar nitrat yang tinggi akan menurunkan kapasitas darah untuk mengikat oksigen. 4.4.6. PO43Konsentrasi posfat rata-rata pada stasiun 1, 2 dan 3 Perairan Marina masing-masing sebesar 0.202 mg/L, 0.098 mg/L dan 0.09 mg/L. Kadar PO43- pada ketiga
stasiun
tersebut
bila
dibandingkan
dengan
baku
mutu
UNESCO/WHO/UNEP (1992) yaitu 0.005 - 0.020 mg/L dan Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004 (≤ 0.015), maka kadar PO43- pada setiap titik pengamatan telah melampaui batas toleransi untuk kehidupan biota laut, dengan kata lain Perairan Marina telah tercemar fosfat. Keberadaan posfat di perairan biasanya relatif kecil, bahkan lebih sedikit daripada kadar nitrogen, karena sumber posfat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan (Effendi, 2003). Meskipun demikian, kandungan posfat akan meningkat bila mendapatkan masukan dari luar (antropogenik) (Kennish, 1992). Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tingginya kandungan posfor di Perairan Marina. Kennish (1992) melaporkan bahwa sumber antropogenik Posfor berasal dari limbah industri dan domestik (khususnya detergen). Limpasan air dari daerah pertanian yang menggunakan
33
pupuk saat terjadi erosi juga memberikan kontribusi cukup besar bagi keberadaan posfor di perairan.
4.4.7. Logam Pb dan Cd Kandungan logam berat dalam air laut secara alami umumnya kecil, tetapi apabila dijumpai kadar logam yang tinggi, berarti telah terjadi pencemaran. Pencemaran kadar logam berat di perairan pantai lebih banyak disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan sekitarnya dan biasanya berasal dari limbah industri. Kandungan logam berat yang diamati pada Perairan Marina adalah timbal (Pb) dan kadmium (Cd). Nilai rata-rata konsentrasi timbal pada stasiun 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah 0.92 mg/L, 0.108 mg/L dan 0.129 mg/L. Nilai tersebut telah jauh melampaui baku mutu yang diperkenankan. Batas maksimal kandungan logam Pb untuk biota laut yang tertuang dalam Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004 yaitu 0.01 mg/L, dengan demikian Perairan Marina telah tercemar oleh timbal. Tingginya konsentrasi Pb di Perairan Marina diduga kuat berasal dari air buangan industri. Konsentrasi unsur Pb yang masuk ke perairan bersumber dari aktivitas manusia, terutama dari limbah industri, perkotaan dan pertanian (Sumadhiharga, 1995). Mulyono (2000) melaporkan hasil penelitiannya bahwa Pb merupakan logam berat dengan konsentarsi paling tinggi yang terdapat pada ikan di Teluk Jakarta. Hal ini terjadi karena Pb tidak hanya berasal dari daratan, namun juga dari udara melalui hasil pembakaran kendaraan bermotor. Emisi Pb terutama berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping dari pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan. Timbal sebagai hasil samping dari pembakaran ini berasal dari senyawa tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor dan berfungsi sebagai anti ketuk (antiknock) pada mesin-mesin kendaraan. Timbal pada lapisan udara dalam bentuk tetraetil-Pb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb dan monoetil-Pb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut sulit larut dalam minyak, namun dapat larut dengan baik dalam air dan Pb dari udara dapat masuk ke badan perairan terutama melalui bantuan air hujan (Palar, 2004).
34
Logam berat kadmium (Cd) yang terdeteksi di Perairan Marina di stasiun 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah 0.057 mg/L, 0.001 mg/L dan 0.017 mg/L, seperti halnya logam timbal, maka konsentrasi kadmium juga telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk mendukung kehidupan biota laut yaitu antara 0.001 mg/L (Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004). Kondisi ini memperlihatkan bahwa Perairan Marina telah tercemar oleh logam Cd, terutama pada muara yang terindikasi dari nilai Cd di stasiun 1 tertinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan muara merupakan pintu dari aliran sungai yang menuju ke laut sebagai pembawa pencemar Cd. Sumber pencemar Cd ini diduga berasal dari limbah domestik yang mengalir melalui sungai terutama Kali Ciliwung. Logam Cd sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti sebagai bahan pewarna dalam industri plastik, elektroplanting, fotografi dan penggunaan lainnya.
4.5. Kualitas Biologi Perairan Marina 4.5.1. Komposisi Jenis dan Kepadatan Makrozoobenthos Makrozoobenthos yang dapat dikumpulkan pada penelitian ini berjumlah 1638 individu dari 9 genus. Bila dilihat dari jumlah jenis pada setiap stasiun pengamatan, maka genus Mactra sp. menduduki urutan tertinggi (Gambar 4, 5 dan 6). Komposisi Makrozoobenthos di Pantai Marina Komposisi makrozoobenthos di Perairan Marina stasiun 1 Ancol Stasiun 1 1%
1% 0%
Venerupis deccusata Chione undotella Tellina Mactra
98%
Gambar 4. Komposisi makrozoobenthos stasiun 1 Perairan Marina
35
Komposisi Makrozoobenthos di Pantai Marina Komposisi makrozoobenthos di Perairan Marina stasiun 2 Ancol Stasiun 2 1%
0%
3%
1% 1%
Chione undotella Mactra Lucina muricata Divaricella divaricata Barbatia 94%
Chamelea gallina
Gambar 5. Komposisi makrozoobenthos stasiun 2 Perairan Marina
Komposisi makrozoobenthos di Perairan Marina stasiun 3 Komposisi MAkrozoobenthos di Pantai Marina Stasiun 3 0% 0%
2%
0% Venerupis deccusata Chione undotella Tellina Mactra Lucina muricata
98%
Gambar 6. Komposisi makrozoobenthos stasiun 3 Perairan Marina Dominasi Jenis Mactra sp. dengan interval jumlah kepadatan sangat jauh dibandingkan jenis lain ini mengindikasikan bahwa pada Perairan Marina telah tercemar karena dijumpainya spesies dominan di Perairan Marina yaitu Mactra sp bentuk-bentuk makrozoobenthos yang ditemukan di Perairan Marina ditampilkan di Lampiran 6. Data tersebut juga memberikan gambaran bahwa jenis benthos yang mampu bertahan di Perairan Marina adalah jenis-jenis tertentu, dan kondisi ini mengakibatkan munculnya dominasi jenis tertentu. Hasil tersebut juga memberikan gambaran bahwa keragaman jenis makrozoobenthos sangat sedikit
36
yaitu
hanya
9
jenis
yang
dijumpai.
Data
komposisi
dan
kepadatan
makrozoobenthos secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
4.5.2. Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan fitoplankton pada Perairan Marina di setiap stasiun secara umum didominasi oleh jenis Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp (Gambar 7, 8 dan 9). Gambaran ini bermakna bahwa dari aspek kelimpahan fitoplankton di lingkungan Perairan Marina, telah terjadi ketidakseimbangan lingkungan karena munculnya dominasi jenis tertentu. Ketidakseimbangan tersebut diduga menyangkut keadaan fisik dan kimia lingkungan yang membuat sebagian besar organisme tertekan. Perubahan lingkungan fisik dan kimia dalam, tempo cepat akan berdampak pada kelimpahan jenis masing-masing fitoplankton. Hal ini karena fitoplankton memiliki umur yang sangat singkat. Faktor fisik dan kimia yang dimaksud antara lain intensitas cahaya matahari, suhu, nutrien, konsentrasi logam berat dan struktur komunitas fitoplankton. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa struktur komunitas fitoplankton selain ditentukan oleh kondisi fisika dan kimia perairan juga dipengaruhi faktor internal fitoplankton bersangkutan. Spesies Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. merupakan fitoplankton dari kelompok diatom yang bersifat non toxic, namun berpotensi menimbulkan blooming (Wood, 1987). Menurut Arinardi, et al. (1997) Skeletonema dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengestimasi pencemaran dari unsur hara, karena Skeletonema sp. akan melimpah di perairan dengan kadar nutrien tinggi. Fitoplankton jenis Chaetoceros sp.
memiliki kelebihan yaitu kemampuannya
mensintesis zat hara yang tinggi, sehingga populasinya di suatu perairan lebih dominan dan melimpah (Sahubawa, 2001). Sahubawa (2001) sebagaimana mengutip Miyata dan Hatori (1986) menyatakan bahwa fitoplankton kelompok diatom memiliki kemampuan konsumsi nutrisi yang besar serta dapat menyimpan senyawa nitrat dan fosfat sebagai cadangan makanan dalam sel. Hasil ini juga memberikan indikasi kemungkinan bahwa dominasi Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. karena keduanya merupakan spesies “endemik” artinya bukan berasal dari tempat lain sehingga memiliki daya toleransi tinggi terhadap
37
lingkungannya. Dugaan tersebut setidaknya berdasarkan fakta bahwa hasil pemantauan yang dilakukan BPLHD DKI (2004) di sepanjang Teluk Jakarta menunjukkan jenis Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. juga dominan. Data kelimpahan fitoplankton Perairan Marina di setiap stasiun dapat dilihat pada Lampiran 6. Kelimpahan fitoplankton stasiun1.
32%
2%
Coscinodiscus
1%
Peridinium
0%
Thallassionema Ceratium
1% 0%
64%
Nitzchia Skeletonema Chaetoceros
Gambar 7. Kelimpahan fitoplankton stasiun 1 Perairan Marina
Kelimpahan fitoplankton stasiun 2 0% 0%
43%
0%
Coscinodiscus
0%
Peridinium
0%
Thallassionema Ceratium Nitzchia Skeletonema
57%
Chaetoceros
Gambar 8. Kelimpahan fitoplankton stasiun 2 Perairan Marina
Kelimpahan fitoplankton stasiun 3 0% 0%
45%
0%
Coscinodiscus
0%
Peridinium
0%
Thallassionema Ceratium Nitzchia
55%
Skeletonema Chaetoceros
Gambar 9. Kelimpahan fitoplankton stasiun 3 Perairan Marina
38
Rendahnya kelimpahan fitoplankton pada penelitian ini kemungkinan juga disebabkan oleh besarnya bahan-bahan berupa limbah yang masuk ke Perairan Marina, sehingga menurunkan kecerahan perairan dan meningkatkan kekeruhan. Kekeruhan yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya dan mengganggu sistem pernapasan dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh biota air termasuk fitoplankton,
bahkan
tingkat
kekeruhan
yang
terlampaui
tinggi
dapat
menyebabkan kematian golongan fitoplankton tertentu seperti copepods (Uriarte and Villate, 2005). Kelimpahan fitoplankton dari waktu ke waktu dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan perairan. Satu spesies dapat lebih dominan dari spesies lainnya pada interval waktu yang relatif pendek sepanjang tahun (Marshall, 2005).
4.6. Kualitas Sedimen Perairan Marina Kualitas sedimen yang berada di dasar perairan akan mempengaruhi kualitas air di sekitarnya, disamping itu kualitas sedimen juga dapat menunjukkan adanya proses sedimentasi dari limbah yang terbawa dari darat maupun akibat kegiatan di perairan. Pengamatan kualitas sedimen pada penelitian ini yaitu kandungan logam Pb dan Cd serta tekstur.
4.6.1. Kandungan Logam Sedimen Kandungan logam berat sedimen yang diteliti adalah Pb dan Cd. Konsentrasi Pb dan Cd pada sedimen penting untuk diketahui karena sedimen merupakan salah satu sumber pencemar, terutama bila terjadi akumulasi dalam waktu yang lama. Nilai rata-rata kandungan Pb dan Cd ditampilkan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai rata-rata kandungan Pb dan Cd sedimen Marina Logam Pb Cd
Kandungan logam (mg/kg) pada stasiun Satu Dua Tiga 0.973 0.834 0.826 0.217 0.282 0.319
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa kandungan logam Pb dan Cd pada masing-masing stasiun relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan
39
kandungan logam berat yang terlarut dalam air, dengan sebaran relatif merata. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proses akumulasi logam berat dalam sedimen telah berlangsung dalam periode relatif lama. Unsur logam berat terlarut dalam air akan dipengaruhi proses hidrodinamika seperti pasang surut, ombak, gelombang, arus dan sebagainya. Kemudian lambat laun logam berat akan mengendap ke dasar perairan. Posisi Perairan Marina persis berhadapan dengan daratan (Pantai Ancol), sehingga proses pencemaran relatif lebih besar dan penyebaran bahan pencemar, khususnya logam berat akan lebih merata. Meskipun demikian dalam periode relatif lama, kandungan logam berat dalam air akan mengendap dan terakumulasi pada sedimen. Data untuk logam Pb pada sedimen Perairan Marina (Tabel 5) bila dibandingkan dengan Penelitian di Teluk Jakarta secara umum yang dilaporkan oleh Suharsono (2005) jauh lebih rendah yaitu 27.6 - 70.1 mg/kg. Hal ini diduga berkaitan dengan komposisi tekstur sedimen Perairan Marina yang relatif kasar yaitu pasir (Riani, et al., 2005). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) terdapat hubungan antara kandungan bahan pencemar dengan ukuran partikel sedimen. Sedimen dengan fraksi halus seperti lumpur dan liat memiliki persentase kandungan bahan pencemar relatif lebih tinggi daripada sedimen kasar. Hal tersebut disebabkan adanya gaya tarik menarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. Penyebaran konsentrasi yang relatif merata juga terlihat pada parameter kadmium (Cd) dan sebagaimana data Pb, logam Cd juga menunjukkan konsentrasi yang relatif tinggi, setidaknya bila dibandingkan dengan kandungan Cd pada perairan (Tabel 5). Data hasil pengukuran kedua logam tersebut menunjukkan bahwa proses akumulasi logam berat dalam sedimen telah berlansung dalam periode yang relatif lama. Kandungan logam berat yang masuk ke Perairan Marina umumnya berasal dari aktivitas industri yang masuk melalui sungai terutama Sungai Ciliwung, selain itu kedua logam juga dapat berasal dari kawasan sekitar pantai dan laut melalui sarana transportasi khususnya logam Pb yang digunakan dalam bahan bakar transportasi untuk menaikkan nilai oktan pada kendaraan.
40
4.6.2. Tekstur Sedimen Sedimen perairan laut dangkal merupakan lingkungan
yang sangat
komplek, karena berasal dari beberapa sumber seperti sedimen dari daratan yang dibawa air sungai dan sedimen dari laut. Sedimen di dalam perairan akan terbawa oleh gerakan arus dan gelombang, sesuai dengan ukuran dan densitasnya. Kondisi tekstur sedimen Perairan Marina di ketiga stasiun didominasi oleh kandungan pasir dengan komposisi pasir pada stasiun 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 67.375 %, 85.655 % dan 68.560 %. Fraksi kedua tertinggi adalah debu dan terakhir fraksi liat. Fraksi sedimen Perairan Marina sesuai ukuran partikel ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai rata-rata persentase tekstur sedimen Stasiun Satu Dua Tiga
Pasir 67.375 85.655 68.560
Fraksi sedimen (%) Debu 23.566 8.575 17.340
Liat 9.065 5.765 6.39
Kondisi dominan fraksi pasir di Perairan Marina diduga karena oleh posisi Perairan Marina yang terletak persis di depan daratan (Pantai Ancol) yang merupakan kawasan gelombang atau ombak pecah, sehingga menimbulkan kondisi dinamis. Kawasan dengan kondisi demikian, dapat menyebabkan fraksi yang berukuran besar dan berat seperti pasir dapat lebih mengendap dibandingkan fraksi halus, dengan kata lain partikel yang berukuran lebih besar akan lebih cepat mengendap di dasar perairan sedangkan partikel yang lebih kecil akan terbawa jauh ke lautan dan akhirnya mengendap di daerah yang relatif tenang, dan kemungkinan inilah yang menjadi penyebab tingginya fraksi pasir di Perairan Marina.
Dugaan tersebut diperkuat oleh penyataan Syamsudin dan Kardana
(1996) bahwa pengendapan sedimen ke arah laut dipengaruhi oleh ombak, arus laut dan pasang surut. Nybakken (1992) menyatakan partikel yang lebih besar mengendap lebih cepat daripada partikel yang lebih kecil dan arus yang kuat mempertahankan partikel dalam suspensi lebih lama daripada arus yang lemah. Oleh karena itu, substrat pada tempat yang arusnya kuat akan dominan partikel
41
kasarnya (pasir atau kerikil), karena hanya partikel besar yang akan mengendap, sedangkan jika perairan tenang dan arus lemah, lumpur halus akan mengendap. Fraksi sedimen erat hubungannya dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Sedimen yang didominasi fraksi pasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen berstruktur halus. Hal ini karena sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif, tetapi sedimen dominan pasir relatif rendah kandungan nutrien. Kondisi sebaliknya terdapat pada sedimen dengan fraksi substrat lebih halus, walaupun oksigen relatif terbatas namun cukup tersedia nutrien dalam jumlah lebih besar (Wood, 1987). Jenis sedimen yang disukai oleh mikroorganisme benthos adalah kombinasi dari ketiga fraksi pasir, debu dan liat. Menurut Wood (1987) terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran pertikel sedimen. Sedimen dengan dominasi fraksi halus memiliki persentase bahan organik lebih tinggi daripada sedimen kasar. Fraksi sedimen tertinggi kedua adalah debu atau lumpur, yang dapat menunjukkan bahwa tingkat sedimentasi Perairan Marina relatif tinggi. Material sedimen Perairan Marina diduga berasal dari daratan yang dibawa melalui sungai terutama Kali Ciliwung. Suharsono (2005) menyebutkan bahwa material yang mengendap di Teluk Jakarta berasal dari sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, termasuk Perairan Marina sebagai bagian dari kawasan Teluk Jakarta. Khusus untuk Sungai Ciliwung bersama dengan dua sungai besar lainnya yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Citarum diperkirakan dapat mengangkut lumpur hingga 4 - 7 juta m3/tahun (Suharsono, 2005). Pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi di sekitar Pantai Marina dan di sepanjang Sungai Ciliwung menuntut untuk membangun infrastruktur dan fasilitas seperti perumahan, hotel, industri, jalan, sarana rekreasi dan sebagainya. Perubahan lahan fasilitas-fasilitas tersebut menyebabkan menyusutnya lahan bervegetasi sehingga memacu terjadinya erosi dan sedimentasi. Sedimen merupakan hasil proses alam sebagai hasil dari erosi di daratan dan terbawa ke laut melalui sungai. Sedimen dapat juga berasal dari pengadukan kembali (upwelling) dari sedimen yang sebelumnya telah mengendap di dasar laut (Hamilton, 1989).
42
Kontributor sedimen utama Perairan Marina berasal dari Sungai Ciliwung. Sungai tersebut tidak hanya langsung bermuara ke Perairan Marina, namun juga melalui kawasan-kawasan pemukiman. Daerah hulu DAS Ciliwung terbentang mulai dari lereng bagian utara Gunung Pangrango, Gunung Gede dan Puncak, kemudian lereng selatan Gunung Mega Mendung, lalu menyempit di daratan Ciawi. Menurut Fakhrudin dan Wibowo (1998) karakteristik jenis tanah di aliran Sungai Ciliwung turut memicu tingginya sedimentasi Sungai tersebut yaitu jenis tanah andosol dan latosol. Andosol merupakan jenis tanah yang peka terhadap erosi karena karakteristiknya sebagai tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut, struktur remah, konsistensi gembur dan bersifat licin. Sedangkan tanah latosol memiliki karakteristik diantaranya berkembang lanjut, tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal. Kondisi keduanya mudah tercuci oleh air hujan dan aliran air yang melaluinya, sehingga sungai yang melaluinya banyak mengandung lumpur, bahkan pada satu musim penghujan di saat banjir, Sungai Ciliwung dapat mengangkut lebih dari 100.000 ton lumpur (Suharsono, 2005).
4.7. Beban Pencemaran Perairan Marina Tingkat pencemaran yang terjadi di Perairan Marina dari waktu ke waktu semakin tinggi, hal ini disebabkan beban pencemaran yang masuk ke dalam Perairan Marina kian meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas di sekitar perairan serta di bagian hulu sungai yang mengalir ke Muara Marina. Beban pencemaran Perairan Marina dari limbah berbagai kegiatan di luar kawasan Marina yang masuk melalui Sungai Ciliwung didekati berdasarkan nilai beberapa parameter indikator pencemaran dan debit sungai. Hasil analisis beban pencemaran pada beberapa parameter ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa bahan pencemar yang memberikan kontribusi pencemaran tertinggi adalah COD sebesar 4582.176 ton/bulan. Nilai tersebut jauh lebih besar (± >50 kali lebih besar) dibandingkan BOD5. Metcalf and Eddy (1991) menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi COD dan BOD5 biasanya terjadi pada perairan tercemar berat karena bahan organik yang diuraikan secara kimia lebih besar dibandingkan secara biologi. Nilai COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang dapat
43
didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun sukar didegradasi (non biodegradable) (Benoit, 1971). Sedangkan BOD5 menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk mendekomposisi bahan organik. Hasil penentuan COD dan BOD5 dapat memberikan gambaran keberadaan/kandungan pencemar dari golongan bahan organik, dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan pencemar organik yang masuk ke Perairan Marina relatif dominan. Pasokan bahan organik diduga berasal dari penduduk sekitar pelabuhan seperti pemukiman dan buangan dari kegiatan pelabuhan/pariwisata, serta yang tidak kalah penting adalah beragam aktivitas di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang menuju ke muara. Setelah COD, TSS memberikan kontribusi pencemar tertinggi kedua yaitu 297.929 ton/bulan. Besarnya sumbangan TSS dapat menimbulkan sedimentasi di daerah muara yang pada akhirnya menyebabkan pendangkalan. Dampak lainnya akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari ke dalam badan air, khususnya di kawasan estuari. Tingginya nilai TSS akan diikuti dengan peningkatan kekeruhan, sehingga menimbulkan permasalahan di kawasan estuari, karena fungsinya sebagai daerah peralihan dan pertemuan antara dua massa air yang berbeda. Massa air laut dengan salinitas lebih tinggi bertemu dengan air tawar, sehingga terjadi perbedaan densitas yang dapat mengakibatkan terjadinya turbulensi yang berdampak pada partikel-partikel mengendap teraduk kembali. Tingginya pasokan TSS dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jumlah dan aktivitas penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung, kondisi tanah, kelerengan dan curah hujan (Harijogjo, et al., 2002). Tingkat hunian di pinggir Sungai Ciliwung terus bertambah setiap tahun. Hal ini ditandai dengan penyempitan Sungai Ciliwung yang semestinya memiliki lebar 60 meter, menjadi hanya 15 meter. Persentase penggunaan lahan di sepanjang Sungai Ciliwung mencapai 71.56 % yaitu untuk penggunaan lahan pertanian, pemukiman serta industri (Harijogjo, 2002). Sedangkan dari aspek fisik, bantaran Sungai Ciliwung didominasi jenis tanah andosol dan latosol coklat serta latosol coklat kemerahan yang mencapai luas 32.89% luas wilayah. Kedua jenis tanah ini diketahui rentan terhadap erosi, terutama bila terjadi hujan. Curah hujan rata-rata di daerah hulu DAS Ciliwung sangat tinggi berkisar antara 40004500 mm/tahun (Fakhrudin dan Wibowo, 1998). Kondisi tersebut diperparah
44
dengan tingkat kelerengan relatif tinggi yaitu > 40% di sekitar 40.20% luas wilayah DAS Ciliwung. Tabel 7. Nilai beban pencemar beberapa parameter yang masuk ke Muara Marina melalui Sungai Ciliwung Beban pencemar (ton/bulan) Parameter Satuan Rerata I II III 297.929 149.859 378.962 364.967 mg/L TSS 62.819 56.311 74.475 57.673 mg/L BOD 2291.481 4582.176 5336.436 6118.610 mg/L COD 3.973 2.158 7.236 2.524 mg/L NH3 2.214 5.548 0.849 0.244 mg/L NO332.064 2.250 0.229 3.712 mg/L PO4 1.392 0.045 0.015 4.117 mg/L Pb 0.410 0.005 0.954 0.272 mg/L Cd Beban limbah yang mewakili pencemar dari golongan nutrien yaitu NH3, NO3-, dan PO43- masing-masing sebesar 3.973 ton/bulan, 2.214 ton/bulan dan 2.064 ton/bulan. Pasokan limbah NH3, NO3- dan PO43- diduga tidak hanya berasal dari kegiatan pertanian melalui pemupukan, namun juga dapat berasal dari aktivitas perkotaan. Konsentrasi amoniak dan nitrat dapat berasal dari aktivitas domestik, karena kandungan limbah domestik pada umumnya terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein. Penguraian zat nutrisi lemak dan protein akan menghasilkan amoniak dan nitrat. Kandungan fosfat selain berasal dari kegiatan pemupukan dan industri kimia, juga dari detergen yang digunakan masyarakat luas, bahkan detergen diperkirakan memberikan kontribusi unsur posfat di perairan Sungai Ciliwung mencapai 50 %. Hal ini karena di dalam detergen mengandung poliphosphat yang terdapat pada surfaktan linier alkylbenzene (Anonim, 2006).
4.8. Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Suatu perairan alamiah memiliki sistem pemulihan diri dalam mengatasi kondisi lingkungan yang fluktuatif terutama dengan masuknya bahan pencemar. Bahan pencemar ketika memasuki badan perairan akan mengalami proses-proses secara fisika, kimia dan biologi melaui pengendapan, pemekatan serta pengenceran dan penyebaran oleh volume air (Nemerow, 1991). Fenomena inilah
45
yang dihubungkan dengan istilah kapasitas asimilasi yaitu kemampuan perairan dalam memulihkan diri secara alamiah terhadap bahan asing (Kennish, 1991). Indikasi telah terlampauinya kapasitas asimilasi yang terjadi di Perairan Marina ditunjukkan oleh sejumlah data fisik perairan seperti warna perairan keruh dan bercorak gelap, kandungan logam berat tinggi, juga didukung fakta terjadinya kasus kematian massal ikan di Perairan Marina pada tahun 2004 hingga tahun 2005 lalu, bahkan kasus kematian ikan di kawasan Teluk Jakarta secara umum telah terjadi sejak tahun 1970-an. Sebelumnya BAPELDA DKI Jakarta telah melakukan pemantauan di kawasan Teluk Jakarta secara umum, namun belum pernah dilakukan kajian khusus di kawasan Marina, sehingga melalui hasil penelitian ini dapat diketahui kondisi Perairan Marina secara lebih detil. Hasil analisis kapasitas asimilasi beberapa parameter Perairan Marina disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Kondisi kapasitas asimilasi Perairan Marina Parameter TSS BOD5 COD NH3 NO3PO43Pb Cd
Fungsi y1
Fungsi y2
R12
R22
-0.0426x+30.794 -0.0599x+8.2588 0.0573x+44.632 0.0622x+0.0222 0.2539x+0.0807 0.0188x+0.156 0.0777x+0.0002 0.0638x+0.0015
0.0396x-0.6645 -0.0863x+10.074 0.0625x+26.486 0.0639x+0.0069 0.22354x+0.0196 -0.0107x+0.121 0.0938x-0.013 0.0495x-0.0005
0.90 0.25 0.99 0.99 0.94 0.28 1.00 0.99
0.99 0.51 0.98 0.99 0.95 0.34 1.00 0.99
Kapasitas asimilasi (ton/bulan) x1 x2 (jarak 500 m) (jarak 1000 m) 572.336 206.432 47.207 37.709 2776.22 2711.48 4.59 4.47 0.05 0.34 9.91 7.50 0.09 0.10 0.03 0.01
Keterangan: Fungsi y1: kualitas perairan stasiun 2 Fungsi y2: kualitas perairan stasiun 3
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa kapasitas asimilasi Perairan Marina umumnya telah terlampaui, dari sejumlah parameter yang diuji hanya parameter TSS dan BOD5 yang kondisi kapasitas asimilasinya belum terlampaui.
4.8.1. TSS dan BOD5 Penentuan kapasitas asimilasi untuk parameter TSS melalui fungsi y1 = 0.0426x+30.794 dengan R2 = 0.90, dari fungsi ini didapatkan garis perpotogan hubungan beban pencemaran dan kualitas perairan dengan baku mutu, sehingga didapat nilai kapasitas asimilasi sebesar 206.432 ton/bulan. Berikutnya fungsi y2 = 0.0396x-0.6645 (R2 = 0.99) diperoleh kapasitas asimilasi sebesar 572.336
46
ton/bulan. Hasil penentuan kapasitas asimilasi disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan bahwa parameter TSS di Perairan Marina masih berada di bawah kapasitas asimilasi. Hal ini berarti perairan masih mampu memulihkan diri terhadap limbah yang masuk ditinjau dari parameter TSS.
Konsentrasi TSS (ppm)
TSS 30
Baku Mutu = 25 ppm
25 20 500 m
15
1000 m
10 5 0 0
100
200
300
400
Beban TSS (Ton/Bulan)
Gambar 10. Analisis regresi antara beban pencemar TSS di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Total suspended solid (TSS) dapat berasal dari buangan domestik masyarakat, industri serta pertanian khususnya yang berada di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Perubahan fisik yang terjadi di daerah hulu Sungai Ciliwung dengan bertambahnya kawasan pemukiman maupun pertanian dan menurunnya tutupan hutan, juga ikut mempengaruhi besarnya penggelontoran limbah ke Perairan Marina. Namun demikian belum terlampauinya kapasitas asimilasi di Perairan Marina kemungkinan disebabkan oleh hidrodinamika perairan, terutama proses penyebaran dan pengenceran. Bahan pencemar ketika memasuki perairan pesisir dan laut, akan menyebabkan polutan terdispersi, sedangkan pengenceran (dilution) akan terjadi segera setelah limbah masuk ke perairan dan akan berakhir dengan pergerakan vertikal dalam badan air hingga mengendap di dasar laut (Benoit, 1971). Proses penyebaran di Perairan Marina diduga akan membawa bahan pencemar TSS menjauh dari kawasan masuknya limbah dan mempengaruhi kualitas perairan (khususnya parameter TSS). Dugaan ini didukung fakta bahwa hasil perhitungan nilai rata-rata TSS pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3 (Tabel 3) menunjukkan kecenderungan penurunan dengan semakin ke arah laut. Parameter lainnya yang menunjukkan belum terlampauinya kapasitas asimilasi adalah BOD5 (Gambar 11). Persamaan regresi untuk BOD5 yaitu y1 = -
47
0.0599x+8.2588 (R2 = 0.25) dengan nilai kapasitas asimilasi sebesar 37.709 ton/bulan, y2 = -0.0863x+10.074 (R2 = 0.51) dengan nilai kapasitas asimilasi sebesar 47.207 ton/bulan.
Sampel BOD
Konsentrasi BO D55(ppm)
Konsentrasi BOD (ppm)
Baku Mutu = 6 ppm 7 6 5 4
500 m
3
1000 m
2 1 0 0
20
40
60
80
Beban BODBOD Beban (Ton/Bulan) 5 (ton/bulan)
Gambar 11. Analisis regresi antara beban pencemar BOD5 di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Berdasarkan Gambar 11 menunjukkan bahwa beban pencemar BOD5 masih berada di bawah baku mutu. Hal ini diduga karena kemampuan metode penentuan BOD5 yang hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable) saja, seperti lemak, protein, glukosa, ester dan lain sebagainya, sementara di Perairan Marina diduga terdapat banyak bahan organik yang sifatnya resisten terhadap degradasi biologis. UNESCO/WHO/UNEP (1992) menyebutkan bahwa penentuan konsumsi oksigen oleh mikroba melalui parameter BOD5 tidak dapat mendeteksi keberdaan bahan organik yang sifatnya resisten (non biodegradable) seperti selulosa, tanin, lignin, fenol, polisakarida, benzena dan bahan lainnya. Metode yang cocok untuk mendeteksi pencemaran oleh bahan non biodegradable adalah COD, yang akan diulas pada Sub Bab 4.8.2 berikut.
4.8.2. COD Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi kualitas Perairan Marina dari parameter COD, yang telah melampaui
48
kapasitas asimilasi. Fakta ini menunjukkan bahwa Perairan Marina telah tercemar oleh bahan organik. COD
Konsentrasi COD (ppm)
Baku Mutu = 20 ppm 500 400 300 200
500 m
100
1000 m
0 0
2000
4000
6000
8000
Beban COD (Ton/Bulan)
Gambar 12. Analisis regresi antara beban pencemar COD di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Hasil
pengukuran
parameter
COD
membentuk
fungsi
y1
=
2
0.0573x+44.632 (R = 0.99), dengan nilai kapasitas asimilasi sebesar 2711.483 ton/bulan. Fungsi y2 = 0.0625x+26.486 (R2 = 0.98), nilai kapasitas asimilasinya sebesar 2776.224 ton/bulan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Perairan yang tercemar biasanya memiliki COD > 200 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992). Penentuan COD dinilai paling baik untuk memperoleh gambaran pencemaran oleh bahan organik karena dapat mengoksidasi berbagai jenis bahan organik. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa bahan pencemar di Perairan Marina lebih didominasi oleh bahan organik yang sifatnya sulit terdegradasi seperti selulosa, fenol, polisakarida, lignin, benzena dan bahan lainnya. Dugaan ini didasarkan pada hasil penentuan BOD5 yang dalam penelitian ini belum melampaui baku mutu. Namun untuk memastikan dugaan tersebut, perlu adanya upaya kajian atau penelitian lanjutan. Hasil analisis kapasitas asimilasi Perairan Marina untuk parameter COD ini, juga memberikan gambaran bahwa kandungan limbah bahan organik antar stasiun yaitu di stasiun 2 (500 m) dan stasiun 3 (1000 m) relatif sama, dengan kata lain penyebarannya merata hingga jarak 1000 m dari garis pantai.
49
4.8.3. NH3, NO3- dan PO43Hasil analisis regresi antara beban pencemar dan konsentrasi nitrogen dan posfor menunjukkan bahwa ketiga parameter yaitu NH3, NO3- dan PO43- telah melampaui kapasitas asimilasi, sebagaimana disajikan pada Gambar 13, 14 dan 15. NH3
Konsentrasi NH3 (ppm)
Konsentrasi NH3 PM (ppm)
NH3
0.5 0.4
Baku Mutu = 0.3 ppm
0.3 500 m
0.2
1000 m
0.1 0 0
2
4
6
8
Beban 3 ((ton/bulan) BebanNH NH3 (Ton/Bulan)
Gambar 13. Analisis regresi antara beban pencemar NH33- di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina.
0.5 0.4
-
Konsentrasi KonsentrasiNO3 NOPM (ppm) 3 (ppm)
NO NO33
0.3
500 m
0.2
1000 m
0.1 Baku Mutu = 0.008 ppm
0 0
2
4
6
-
BebanNO NO3(Ton/Bulan) Beban 3 ((ton/bulan)
Gambar 14. Analisis regresi antara beban pencemar NO3- di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina.
50
PO4
Konsentrasi PO43-(ppm)
Konsentrasi PO4 PM (ppm)
PO43-
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 Baku Mutu = 0.015 ppm 0 0 1 2
500 m 1000 m 3
4
3-
BebanPO4 PO4(Ton/Bulan) (ton/bulan) Beban
Gambar 15. Analisis regresi antara beban pencemar PO43- di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Berdasarkan Gambar 13 diperoleh fungsi persamaan untuk parameter NH3 yaitu y1 = 0.0622x+0.0222 (R2 = 0.99) dan y2 = 0.0639x+0.0069 (R2 = 0.99) dengan kapasitas asimilasi masing-masing sebesar 4.47 ton/bulan dan 4.59 ton/bulan dengan kondisi telah melampaui kapasitas asimilasi. Hal yang sama juga terjadi pada parameter NO3- yang keberadaanya di Perairan Marina telah melampaui batas kemampuannya dalam memulihkan diri secara alami (Gambar 14). Hubungan beban limbah dari sungai terhadap kualitas Perairan Marina untuk parameter NO3- dibentuk oleh fungsi y1 = 0.2539x+0.0807 (R2 = 0.99), dengan nilai kapasitas asimilasi adalah 0.34 ton/bulan dan y2 = 0.22354x+0.0196 (R2 = 0.98), dengan nilai kapasitas asimilasi adalah 0.05 ton/bulan. Kandungan nitrogen di Perairan Marina yang telah melampaui kapasitas asimilasi ini diduga berasal dari daratan terutama masuk melalui aliran Sungai Ciliwung. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa suplai nitrogen ke perairan laut dalam bentuk NH3 dan NO3- berkaitan erat dengan penggunaan lahan di aliran sungai yang mengarah ke perairan tersebut. Perubahan tata guna lahan dari kawasan bervegetasi menjadi lahan pemukiman termasuk tegalan akan berdampak pada peningkatan konsentrasi nitrogen yang terbawa ke perairan. Lebih jauh dijelaskan bahwa nitrogen bersifat mobile, sehingga sangat mudah tercuci dan terbawa arus. Kandungan nitrogen di Perairan Marina juga berasal dari sedimen karena masukan limbah dari daratan telah berlangsung lama, sehingga terjadi akumulasi polutan di Perairan Marina. Pendapat ini sejalan dengan
51
pernyataan Kennish (1992) yang menyebutkan bahwa sedimen dapat menjadi sumber nitrogen perairan karena nitrogen yang terakumulasi dalam waktu lama dapat kembali lepas ke perairan, sebagai akibat adanya dinamika yang berlangsung di perairan melalui proses yang disebut upwelling. Sebenarnya nitrogen di ekosistem aquatik cukup melimpah dalam bentuk gas, namun sangat sedikit konsentrasinya dalam bentuk NH4, NH3 dan NO3-. meskipun demikian kandungan NH3 dan NO3- akan berada pada konsentrasi tinggi bila terjadi masukan dari luar. Nitrogen dianggap sebagai nutrisi pembatas biota laut, karena nitrogen merupakan sumber
energi bagi biota, sehingga
ketersediannya akan berpengaruh pada keragaman dan kelimpahan tumbuhan dan hewan perairan (Goldman dan Horne, 1983). Nitrogen merupakan elemen terbesar keempat penyusun tubuh biota laut setelah karbon, hidrogen dan oksigen, dengan porsi bervariasi antara 1 - 10% penyusun berat kering tubuh biota. Hubungan regresi untuk parameter PO43- dibentuk oleh persamaan y1 = 0.0188x+0.156 (R2 = 0.28) dan y2 = -0.0107x+0.121 (R2 = 0.34) dengan nilai kapasitas asimilasi masing-masing sebesar 7.50 ton/bulan dan 9.91 ton/bulan. Berdasarkan Gambar 15 sebagaimana parameter NH3 dan NO3-, konsentrasi PO43juga telah melampaui kapasitas asimilasi. Keadaan tersebut dapat dipicu oleh masukan limbah yang tidak tertangani sebelum dibuang ke badan air. Sumber posfat di perairan berasal dari aktivitas pertanian, limbah domestik terutama dari detergen dan industri kimia serta industri pembuatan pupuk. Masukan inilah yang menyebabkan kadar PO43- di Perairan Marina relatif tinggi, karena menurut Kennish (1992) kandungan posfat di perairan alami umumnya tidak lebih dari 0.1 mg/L kecuali pada perairan yang menerima limbah antropogenik seperti limbah rumah tangga, industri serta erosi dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan posfat.
4.8.4. Logam Berat Pb dan Cd Persamaan regresi yang dibentuk oleh timbal (Pb) pada Perairan Marina adalah y1 = 0.0777x+0.0002 (R2 = 1) dengan nilai kapasitas asimilasi sebesar 0.10 ton/bulan dan y2 = 0.0938x-0.0013 (R2 = 1), dengan nilai kapasitas asimilasi 0.09 ton/bulan. Gambar 16 memperlihatkan bahwa logam Pb di Perairan Marina telah
52
melampaui kemampuan asimilasi, yang ditandai dengan beban Pb yang telah melampaui baku mutu yang diperbolehkan yaitu 0.05 mg/L (Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004). Kondisi ini diduga berasal dari limbah yang masuk ke Perairan Marina berlangsung intensif baik dari kegiatan pemukiman maupun industri. Dahuri (2005) menyebutkan bahwa beban pencemar yang masuk di sepanjang Teluk Jakarta termasuk kawasan Marina berasal dari akumulasi limbah dari daratan yaitu sebesar 80 - 85%. Sumber lainnya adalah dari sedimen, sebagaimana pembahasan pada Sub Bab 4.6.1 tentang kandungan logam sedimen yang menunjukkan bahwa kandungan Pb sangat tinggi.
Pb
Konsentrasi Pb (ppm)
0.5 0.4 0.3 0.2
500 m 1000 m
0.1 Baku Mutu = 0.008 ppm 0 0
1
2
3
4
5
Beban Pb (Ton/Bulan)
Gambar 16. Analisis regresi antara beban pencemar Pb di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Menurut Manan (1998) sedimen merupakan sumber polutan, karena polutan sejenis logam berat yang masuk ke perairan akan mengalami pengendapan karena sifatnya dan terakumulasi dalam jangka waktu lama. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sewaktu-waktu logam tersebut akan lepas dari sedimen dan kembali mencemari perairan. Logam Pb tidak hanya berasal dari kegiatan industri dan pemukiman namun juga dari kendaraan, karena timbal dari kendaraan melalui pembakaran akan lepas ke udara dan sebagian akan masuk ke laut, dengan kata lain sumber Pb juga berasal dari udara.
53
Cd
Konsentrasi Pb (ppm)
0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02
500 m
Baku Mutu = 0.001 ppm
1000 m
0.01 0 -0.01 0
0.5
1
1.5
Beban Pb (Ton/Bulan)
Gambar 17. Analisis regresi antara beban pencemar Cd di muara sungai dengan konsentrasinya di Perairan Marina. Logam kadmium (Cd) mempunyai persamaan fungsi y1 = 0.0638x+0.0015 (R2 = 0.99) dan y2 = 0.0495x-0.0005 (R2 = 99), dengan nilai kapasitas asimilasi masing-masing sebesar 0.01 ton/bulan dan 0.03 ton/bulan. Gambar 17 menunjukkan bahwa beban logam Cd telah berada jauh melampaui kapasitas asimilasi Perairan Marina. Selain itu, konsentrasi logam Cd di Perairan Marina pada jarak 500 m dan 1000 m dari daratan telah melampaui baku mutu dengan kondisi spesifik pada jarak 500 m konsentrasi Cd lebih tinggi bila dibandingkan pada jarak 1000 m. Kondisi tersebut kemungkinan berkaitan dengan jarak 500 m lebih dekat dengan sumber datangnya limbah yaitu muara yang menerima langsung buangan yang masuk melalui sungai.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Beberapa parameter kualitas Perairan Marina telah melampaui baku mutu Kep.Men LH. No.51 tahun 2004 dan UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik, seperti parameter kecerahan, kekeruhan, COD, NH3, NO3-, PO43-, logam berat Pb dan Cd. Parameter biologi menunjukkan dominasi jenis tertentu di Perairan Marina yaitu jenis Mactra sp. pada makrozoobenthos, kemudian Skeletonema sp. dan chaetoceros sp. pada fitoplankton. 2. Beban pencemar tertinggi
yang masuk ke Perairan Marina mencapai
4582.176 ton/bulan untuk parameter COD dan 297.929 ton/bulan untuk parameter TSS. 3. Parameter kualitas Perairan Marina yang telah melampaui kapasitas asimilasi adalah parameter pencemaran bahan organik dan logam berat, yang ditunjukkan oleh parameter COD, NH3, NO3-, PO43-, Pb dan Cd.
5.2. Saran 1. Perlu dilakukan kajian lanjutan dengan jarak pengambilan sampel lebih jauh dari jarak 1000 meter dari garis pantai untuk mengetahui sudah sejauh mana akumulasi bahan pencemar di Perairan Marina dan untuk mengetahui bahan pencemar yang sifatnya sulit terdegradasi seperti selulosa, lignin dan lainnya. 2. Diperlukan upaya untuk menyadarkan masyarakat dalam rangka mengurangi masuknya limbah ke badan perairan, karena terindikasi bahan-bahan pencemar yang masuk ke Perairan Marina pada umumnya berasal dari kegiatan manusia, terutama untuk mereduksi beban pencemaran yang telah melampaui kapasitas asimilasi.
54
55
DAFTAR PUSTAKA Arinardi, O. H., A. B. Sutomo, S. A. Yusup, Trianingsih, E. Asnaryanti dan S. H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitan dan Pengembangan Oceanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Aboejowono, H. 2000. Pengendalian pencemaran pantai dan sungai. Jurnal himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Vol.(2): 56-66. Anonim. 2006. Distribusi spatial nitrat, fosfat, dan ratio N/P di Perairan Teluk Jakarta. Jurnal teknik lingkungan hidup.[serial online]. http://www.tlitb.org/edisi_khusus_2006/Buku%202/melati20ferianitaabst.pdf. Anonim. 2004. Pencemaran Limbah di Jakarta, Luar Biasa, Beban Limbah Domestik 150.000 ton/hari.[serial online] http://air.bappenas.go.id/doc/pdf. Anonim. 2001. Peta Digital Rupabumi Jakarta. Bakosurtanal. Jakarta. Barnabe, G., and Q. B. Regina. 1997. Ecology and Management of Coastal Water the aquatic Environtment. Springer Prixis Publishing. New York. Benoit, R. J. 1971. Self-Purification in Natural Water In L. L. Ciaccio. Water and Water Pollution Handbook,Volume 1. Marcel Dekker, Inc. New York. Boyd, C. E. 1998. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Print-ing. Auburn University Agriculture Experiment Station. Alabama. BPLHD. 2004. Laporan Pemantauan Kualitas Teluk Jakarta di Propinsi DKI Jakarta Tahun 2004. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta. Jakarta. Dahuri, R. 2005. Akar permasalahan pencemaran Teluk Jakarta dan strategi penaggulangannya. Prosiding diskusi panel, penanganan dan pengelolaan pencemaran wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB. Bogor. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air, bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Fakhrudin, M., dan H. Wibowo. 1998. Perubahan lahan terhadap Banjir di DAS Ciliwung bagian hulu. Jurnal Limnotek. Vol. 5(1): 85-96.
55
56
Goldman, C. R., and A. J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw-Hill International Book Company. Tokyo. Hamilton, L. J. 1989. Turbidity in the Northern Great Barrier reef lagoon in the wet season. Australian journal of marine and freshwater research. Vol. 45(4): 585-615. Hariyadi, S. 2002. Metode analisis parameter kimia. Jurnal himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Vol. 1(1): 52-60. Harijogjo, Y., Sulaeman, D. Djaenudin, dan H. Suhardjo. 2002. Meningkatkan mutu wilayah tangkapan Sungai Ciliwung untuk mengurangi dampak banjir di dataran Jakarta. Prosiding seminar nasional limnologi. LIPI. Jakarta. Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oceanography. UI Press. Jakarta. Kennish, M. J. 1992. Ecology of Estuaries: Anthropogenic Effects. Marine Science Series. Florida. KLH. 2001. Pengendalian Pencemaran Air. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kusriyanto, T. 2002. Menelusuri masalah air di Jakarta. Jurnal Daur. Vol 2(4): 810. Manan, A. 1998. Dampak pendangkalan ekosistem Perairan Teluk Kendari. Jurnal lingkungan dan pembangun. Vol. 18(2): 139-144. Marshall, M., L. Burchardt, and R. Lacouture. 2005. A Review of phytoplankton composition within Chesapeake Bay and its tidal estuaries. Journal of plankton research. Vol. 27(11): 1083-1102. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering: Collection, Treatment, Disposal. Mc. Graw-Hill, Inc. New Delhi. Michael, R. Ronan, L. Anne, Gauzens,W. K., Rhinehart, and J. R. White. 1993. Effects of low oxygen water on Chesapeake Bay zooplankton. Limnology and oceanography. Vol. 38(8): 1603-1614. Mulyono, D. 2000. Teluk Jakarta dan kualitas hasil perikanan. Jurnal lingkungan dan pembangunan. Vol. 20(2): 117-123. Nemerow, N. L. 1991. Stream, Lake, Estuari, and Ocean Pollution. Van Nostrand Remhold. New York.
57
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, suatu Pendekatan Ekologis. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo [Penerjemah]. Terjemahan dari: Marine Biologi: An Ecological Approach. Gramedia. Jakarta. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Rajab, L. O. A. 2005. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi serta Penyusunan Strategi Pengelolaan Perairan Teluk Kendari [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riani, E. S. H. Sutjahjo dan A. Ridwan. 2005. Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. LPPM-IPB. Bogor. Sahubawa, L. 2001. Dampak pembuangan limbah terhadap perubahan kualitas oseanografi biofisik-kimia dan produksi ikan Teri (Stolephorus spp.) di perairan laut Teluk Ambon. Jurnal manusia dan lingkungan. Vol 8(1): 1529. Said, N. I. 1997. Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga, Tangki septik dengan Up Flow Filter. Deputi Bidang analisis Sistem, BPP Teknologi. Jakarta. Santika, S. S. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Siregar, A. S. 2005. Instalasi Pengolahan Limbah, Menuntaskan Pengenalan alatalat dan Sistem Pengolahan Air Limbah. Kanisius. Yogyakarta. Soekmadi, B. 2004. Manfaat pantai bersih laut lestari bagi dunia usaha. Buletin Jakarta kota pantai, edisi 2004. Jakarta. Suharsono. 2005. Status Pencemaran di Teluk Jakarta dan Saran Pengelolaannya dalam Anonim. Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta. Sumadhiharga, K. 1995. Zat-zat yang menyebabkan pencemaran di laut. Jurnal lingkungan dan pembangunan. Vol. 15(4): 376-387. Syamsudin dan Kardana. 1996. Sedimentasi sungai yang masuk Teluk Jakarta dan permasalahannya. Jurnal lingkungan dan pembangunan. Vol. 16(1): 1-11. Triyanto, M. Badjoeri, Rosidah, dan B. T. Sudiyono. 2005. Studi tentang Kondisi kualitas air di Perairan Tambak Udang Windu (Penaus monodon) di Serang, Banten dalam Anonim Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta. Undang-undang Lingkungan Hidup Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Kelembagaan Lingkunan Hidup. Jakarta.
58
UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Assessments. Chapman and Hall Ltd. London. Uriarte, I., and F. Villate. 2005. Differences in the abudance and distribution of copepods in two estuaries of the Basque coast (Bay of Biscay) in relation to pollution. Journal of plankton research. Vol. 27(9): 863-874. Waluyo, H. 2005. Kebijakan dan penanganan dan pengelolaan pencemaran wilayah pesisir. Prosiding diskusi panel, penganganan dan pengelolaan pencemaran wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Pusat Penelitian lingkungan hidup IPB. Bogor. Wetzel, R. G. 1975. Limnology. W. B. Saunders Co. Philadelphia. Wood, E. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold. London.
60
Lampiran 1. Peta Perairan Marina dan Sekitarnya (Anonim, 2001)
U
S MUARA MARINA
SUNGAI CILIWUNG
61
Lampiran 2. Nilai parameter kualitas fisika dan kimia Perairan Marina Parameter o
Suhu air ( C)
Kecerahan (m)
Kekeruhan (NTU) TSS (mg/L)
Salinitas (‰)
pH
Alkalinitas (mg/L) DO (mg/L)
COD (mg/L)
NH3 (mg/L) NO3- (mg/L) PO43- (mg/L)
BOD5 (mg/L Pb (mg/L)
Cd (mg/L)
Stasiun Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga Satu Dua Tiga
I 30.5 31 30.5 0.65 1.10 1.70 8.04 5.71 4.74 24.00 17.10 14.23 30.00 30.00 30.00 7.50 7.50 8.40 121.02 119.07 130.78 4.98 5.19 5.76 404.21 389.77 394.58 0.167 0.169 0.199 0.016 0.018 0.007 0.245 0.069 0.063 3.81 3.72 4.21 0.272 0.320 0.385 0.018 0.020 0.012
Ulangan II 29 30 31 1.25 2.25 2.75 8.49 4.33 4.60 25.00 12.91 13.96 30.67 31.67 31.33 7 7.5 7.5 122.06 114.71 118.58 4.89 6.59 5.91 352.54 357.30 377.94 0.478 0.473 0.469 0.056 0.075 0.229 0.213 0.121 0.139 4.92 3.88 3.71 0.001 0.0001 0.0001 0.063 0.062 0.047
III 30 30 30 0.55 3.60 2.30 3.17 7.70 1.53 9.90 24.30 5.30 31.33 31.00 30.67 8.18 8.41 8.57 121.00 122.00 124.00 5.24 4.09 6.14 151.38 164.72 155.44 0.143 0.166 0.143 0.366 0.411 0.396 0.148 0.105 0.068 3.72 5.89 6.03 0.003 0.005 0.003 0.0004 0.001 0.0005
Rerata
Baku mutu
29.83 33.50 30.50 0.82 2.32 2.25 6.57 5.91 3.62 19.63 18.10 11.16 30.67 30.89 30.67 7.56 7.80 8.16 121.03 118.59 124.45 5.04 5.29 5.94 302.71 303.93 309.32 0.263 0.269 0.270 0.146 0.168 0.211 0.202 0.098 0.090 4.15 4.49 4.65 0.092 0.108 0.129 0.027 0.028 0.019
28-32*
>3*
<5*
25**
33-34*
6.0-9.0**
-
5.6-9.0**
200*
0.005-0.025**
0.008*
0.015*
20*
0.008*
0.001*
Keterangan: *; Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. **;UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik.
62
Lampiran 3. Data kualitas Perairan Marina per waktu pengamatan Kualitas Perairan Marina, sampling tanggal 04-09-2005 Perairan Marina No. Parameter Sta.1 Sta. 2 Sta. 3 o 31 30 Suhu air ( C) 29 1. 2.75 2.25 1.25 2. Kecerahan (m) 4.60 4.33 8.49 3. Kekeruhan (NTU) 13.96 12.91 25.00 4. TSS (mg/L) 31.33 31.67 30.67 5. Salinitas (‰) 7.50 7.50 7.00 6. pH 5.91 6.59 4.89 7. DO (mg/L) 3.71 3.88 4.92 8. BOD5 (mg/L) 377.94 357.30 352.54 9. COD (mg/L) 0.469 0.473 0.478 10. NH3 (mg/L) 0.229 0.075 0.056 11. NO3- (mg/L) 0.139 0.121 0.213 12. PO43- (mg/L) 0.0001 0.0001 0.001 13. Pb air (mg/L) 0.047 0.062 0.063 14. Cd air (mg/L) 0.467 0.412 0.712 15. Pb sedimen (mg/L) 0.295 0.295 0.282 16. Cd sedimen (mg/L)
Baku mutu 28-32* >3* <5* 25** 33-34* 6.0-9.0** 5.6-9.0** 20* 200* 0.005-0.025** 0.008* 0.015* 0.008* 0.001* -
Keterangan: *; Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. **;UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik.
Kualitas Perairan Marina, sampling tanggal 25-09-2005 23-04-2005 Perairan Marina No. Parameter Sta.1 Sta. 2 Sta. 3 o 30 29.5 Suhu air ( C) 30 1. 2.30 3.60 0.55 2. Kecerahan (m) 1.53 7.70 3.17 3. Kekeruhan (NTU) 5.30 24.30 9.90 4. TSS (mg/L) 30.67 31.00 31.33 5. Salinitas (‰) 8.50 8.41 8.18 6. pH 6.14 4.09 5.24 7. DO (mg/L) 6.03 5.89 3.72 8. BOD5 (mg/L) 155.44 164.72 151.38 9. COD (mg/L) 0.143 0.166 0.143 10. NH3 (mg/L) 0.396 0.411 0.366 11. NO3- (mg/L) 30.068 0.105 0.149 12. PO4 (mg/L) 0.003 0.005 0.003 13. Pb air (mg/L) 0.0005 0.001 0.0004 14. Cd air (mg/L) 15. Pb sedimen (mg/L) 0.500 0.400 0.200 16. Cd sedimen (mg/L)
Baku mutu 28-32* >3* <5* 25** 33-34* 6.0-9.0** 5.6-9.0** 20* 200* 0.005-0.025** 0.008* 0.015* 0.008* 0.001* -
Keterangan: *; Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. **;UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik.
63
Lampiran 3 (Lanjutan) Kualitas Perairan Marina, sampling tanggal 23-04-2006 Perairan Marina No. Parameter Sta.1 Sta. 2 Sta. 3 o 30.5 31 Suhu air ( C) 30.5 1. 1.70 1.10 0.65 2. Kecerahan (m) 4.74 5.71 8.04 3. Kekeruhan (NTU) 14.23 17.10 24.00 4. TSS (mg/L) 30.00 30.00 30.00 5. Salinitas (‰) 8.40 7.50 7.50 6. pH 5.76 5.19 4.98 7. DO (mg/L) 4.21 3.72 3.81 8. BOD5 (mg/L) 394.58 389.77 404.21 9. COD (mg/L) 0.199 0.169 0.167 10. NH3 (mg/L) 0.007 0.018 0.016 11. NO3- (mg/L) 0.063 0.069 0.245 12. PO43- (mg/L) 0.385 0.320 0.272 13. Pb air (mg/L) 0.012 0.020 0.018 14. Cd air (mg/L) 1.186 1.257 1.234 15. Pb sedimen (mg/L) 0.162 0.151 0.168 16. Cd sedimen (mg/L)
Baku mutu 28-32* >3* <5* 25** 33-34* 6.0-9.0** 5.6-9.0** 20* 200* 0.005-0.025** 0.008* 0.015* 0.008* 0.001* -
Keterangan: *; Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. **;UNESCO/WHO/UNEP, (1992) tentang baku mutu air laut untuk organisme aquatik.
64
Lampiran 4. Perhitungan beban pencemaran (BP) dari Sungai Ciliwung
Beban Pencemaran muara Sungai Ciliwung sampling tanggal 04-09-2005 Beban pencemar muara Sungai Ciliwung (Q = 5.84 m3/dtk) No. Parameter Konsentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 364.967 TSS 24.11 1. 57.673 BOD5 3.81 2. 6118.612 404.208 3. COD 2.524 0.1667 4. NH3 0.244 0.0161 5. NO33.712 0.2452 6. PO434.117 0.272 7. Pb 0.272 0.018 8. Cd Keterangan: Q; debit (m3/dtk)
Beban Pencemaran muara Sungai Ciliwung sampling tanggal 25-09-2005 Beban pencemar uara Sungai Ciliwung (Q = 5.84 m3/dtk) No. Parameter BP Konsentrasi (mg/L) (ton/bulan) TSS 378.962 1. 25.035 BOD5 74.475 2. 4.92 5336.436 3. 352.536 COD 7.236 4. 0.478 NH3 0.849 5. 0.0561 NO3 3.229 6. 0.2133 PO430.015 7. 0.001 Pb 0.954 8. 0.063 Cd Keterangan: Q; debit (m3/dtk)
65
Lampiran 4 (Lanjutan) Beban Pencemaran muara Sungai Ciliwung sampling tanggal 23-04-2005 Beban pencemar uara Sungai Ciliwung (Q = 5.84 m3/dtk) No. Parameter Konsentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 149.859 TSS 9.90 1. 56.311 BOD5 3.72 2. 2291.481 151.3800 COD 3. 2.158 0.1426 NH3 4. 5.548 0.3670 5. NO32.250 0.1486 6. PO430.045 0.003 7. Pb 0.005 0.0004 8. Cd Keterangan: Q; debit (m3/dtk)
66
Lampiran 5. Data komposisi dan kepadatan makrozoobenthos Perairan Marina Komposisi dan kepadatan makrozoobenthos Perairan Marina stasiun 1. Nama organisme
Jumlah(individu)
Venerupis deccusata Chione undotella Tellina sp. Mactra sp.
5 3 1 375
Komposisi (%) 1.33 0.78 0.26 97.66
Kepadatan (ind/m2) 125 75 25 9375
Komposisi dan kepadatan makrozoobenthos Perairan Marina stasiun 2. Nama organisme
Jumlah(individu)
Lucina muricata Divaricella divaricata Barbatia sp. Chione undotella Chamelea gallina Mactra sp.
5 5 2 15 4 515
Komposisi (%) 0.91 0.91 0.37 2.75 0.73 94.32
Kepadatan (ind/m2) 125 125 50 375 100 12875
Komposisi dan kepadatan makrozoobenthos Perairan Marina stasiun 3. Nama organisme Chamelea gallina Gafrarium tumidium Chione undotella Paphia sp. Mactra sp.
Jumlah(individu) 2 2 10 2 602
Komposisi (%) 0.28 0.28 1.41 0.28 85.87
Kepadatan (ind/m2) 50 50 250 50 15050
67
Lampiran 6. Data kelimpahan fitoplankton Perairan Marina Kelimpahan fitoplankton Perairan Marina stasiun 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama organisme Coscinodiscus sp. Peridinium sp. Thallassionema sp. Ceratium sp. Nitzchia sp. Skeletonema sp. Chaetocheros sp.
Kelimpahan (ind/m3) 21.0 12.9 2.7 14.7 4.7 874.2 437.1
Kelimpahan fitoplankton Perairan Marina stasiun 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama organisme Coscinodiscus sp. Peridinium sp. Thallassionema sp. Ceratium sp. Nitzchia sp. Skeletonema sp. Chaetocheros sp.
Kelimpahan (ind/m3) 16.5 11.4 0.3 4.5 2.4 2355 1839.6
Kelimpahan fitoplankton Perairan Marina stasiun 3 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama organisme Coscinodiscus sp. Peridinium sp. Thallassionema sp. Ceratium sp. Nitzchia sp. Skeletonema sp. Chaetocheros sp.
Kelimpahan (ind/m3) 24.3 5.1 0.6 9.6 28.5 3276 2727
68
Lampiran 7. Gambar beberapa jenis makrozoobenthos yang terdapat di Perairan Marina
Mactra, sp.
Chione, sp
Barbatia, sp.
Lucina, sp.
Venerupis, sp.
Tellina, sp
69
Lampiran 8. Gambar beberapa jenis fitoplankton yang terdapat di Perairan Marina
Skeletonema, sp.
Ceratium, sp.
Coscinosiscus, sp.
Peridinium, sp.
Thallassionema, sp.
70
Lampiran 5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. No. Parameter Fisika Kecerahan 1. Kebauan 2. Kekeruhan 3. Padatan tersuspensi total 4. Sampah 5. Suhu 6. Lapisan minyak 7. Kimia pH 8. Salinitas 9. 10. Oksigen terlarut (DO) 11. BOD5 12. Amoniak (NH3) 13. Posfat (PO43-) 14. Nitrat (NO3-) 15. Sianida (CN) 16. Sulfida (H2S) 17. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) 18. Senyawa fenol total 19. PCB total (poliklor bifenil) 20. Surfaktan (deterjen) 21. Minyak dan lemak 22. Pestisda 23. TBT (tributil tin) 24. Logam terlarut: 25. Raksa (Hg) 26. Kromium heksavalen 27. Arsen (As) 28. Kadmium (Cd) 29. Tembaga (Cu) 30. Timbal (Pb) 31. Seng (Zn) 32. Nikel (Ni) BIOLOGI 33. Coliform (total) 34. Patogen 35. Plankton RADIO NUKLIDA 36. Komposisi yang tidak diketahui
Satuan
Baku mutu
m NTU mg/L oC -
>5 alami
‰ mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml Bq/l
71
No. Parameter Satuan Baku mutu FISIKA 1. Kecerahana m coral: >5 mangrove: lamun: >3 2. Kebauan - alami3 3. Kekeruhana NTU <5 4. Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 5. Sampah - nihil 1(4) 6. Suhuc oC alami3( c) coral: 28-30( c) mangrove: 28-32 ( c) lamun: 28-30( c) 7. Lapisan minyak 5 - nihil 1(5) KIMIA 1. pHd - 7 - 8,5( d) 2. Salinitase %o alami3( e) coral: 33-34( e) mangrove: s/d 34 ( e) lamun: 33-34( e) 3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5 4. BOD5 mg/l 20 5 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3 6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015 7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008 8. Sianida (CN-) mg/l 0,5 9. Sulfida (H2S) mg/l 0,01 10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003 11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002 12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01 13. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1 14 Minyak & lemak mg/l 1 15. Pestisidaf µg/l 0,01 16. TBT (tributil tin)7 µg/l 0,01 Logam terlarut: 17. Raksa (Hg) mg/l 0,001 18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005 19. Arsen (As) mg/l 0,012 No. Parameter Satuan Baku mutu 20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001 21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008 22. Timbal (Pb) mg/l 0,008 23. Seng (Zn) mg/l 0,05 24. Nikel (Ni) mg/l 0,05 BIOLOGI 1. Coliform (total)g MPN/100 ml 1000( g) 2. Patogen sel/100 ml nihil1 3. Plankton sel/100 ml tidak bloom6 RADIO NUKLIDA 1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4 Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
72
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup, Hoetomo, MPA. <10% perubahan euphotic depth <10% perubahan konsentrasi rata2 musiman <0,2 satuan perubahan pH >6 (>80-90% kejenuhan) 0.002 0.05 Pestisida (acrolein) = 0.0002 0.001 0.05 0.05 0.002 0.005 0.005 0.015
Penerapan golongan badan air di DKI Jakarta didasarkan pada
73
rencana peruntukkan wilayah dalam RUTR 2005. Kondisi penggunaan air sungai dan penggolongan air sungai di DKI Jakarta adalah sebagai berikut : TABEL : IV.22 PERUNTUKAN AIR SUNGAI SESUAI DENGAN GOLONGAN AIR DI WILAYAH DKI JAKARTA Sumber : Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 582/1995
4.3.2.1. Kualitas dan Kuantitas Air Sungai Gambaran kuantitas dan kualitas air sungai di DKI Jakarta, berdasarkan pengamatan terhadap seluruh badan air dengan jumlah lokasi pemantauan sebanyak 65 (enam puluh lima) lokasi. Peta lokasi dan nama lokasi, dapat dilihat pada lampiran. Sesuai dengan kondisi alami, di DKI Jakarta tidak ada sungai/badan air yang diperuntukan bagi golongan A atau air yang langsung diminum. Dengan mengacu pada Baku Mutu sungai/badan air di DKI Jakarta, hasil pemantaun kualitas air sungai di wilayah DKI Jakarta untuk periode 1998 sebagai berikut : a.
Peruntukan air baku air minum (Golongan B)
Sistem aliran S.Ciliwung meliputi S.Ciliwung-banjir Kanal, S. Ciliwung-Gunung Sahari, S.Ciliwung – Gajah Mada, S. Krukut dan S. Kali Barat. Peruntukan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Ciliwung, khususnya untuk segmen sungai sejak dari hulu sampai hilir diperuntukan untuk air baku air minum atau golongan B, sedangkan pada segmen sungai di muara peruntukannya adalah untuk pertanian dan usaha perkotaan atau golongan D. Hulu S. Ciliwung yang berbatasan dengan Jawa Barat yaitu lokasi di Kelurahan Kelapa Dua debitnya sebesar 17,16 m3/detik. Di daerah Manggarai S. Ciliwung terbagi 2 (dua) menjadi S. Ciliwung - Gunung Sahari dan S. Ciliwung – Gajah Mada dan debitnya sebelum terbagi dua 22,81 m3/detik. Kondisi debit S. Ciliwung setelah terbagi dua yang terukur di daerah Tanah Abang (Jembatan KH Mansyur) sebesar 6,624 m3/detik, sedangkan debit S. Ciliwung pada lokasi Muara Angke adalah 23,96 m3/detik. Sungai Ciliwung yang mengalir kearah Utara di daerah Kwitang debitnya 2,73 m3/detik dan debit muara Sungai Ciliwung – Gunung Sahari (Ancol/Marina) dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga tidak dapat diukur, debit pada muara Sungai Ciliwung – Gajah Mada yang terukur di Waduk Pluit adalah sebesar 6,85 m3/detik. Sungai lainnya yang akan bergabung dengan Sungai Ciliwung adalah Sungai Kali Baru Barat dengan debit 1,957 m3/detik dan Sungai Krukut dengan debit 2,76 m3/detik. Gambaran kualitas saluran Tarum Barat khususnya yang digunakan
74
sebagai baku air minum oleh Instalasi Air Minum PAM Jaya ditinjau dari parameter COD, BOD pada daerah hulu nilai COD : 23,05 mg/L dan BOD: 14,20 mg/L dan terlihat bahwa kualitasnya sudah tidak memenuhi baku mutu (baku mutu BOD : 10,0 mg/L dan COD : 20,0 mg/L), kualitas S. Ciliwung di daerah hulu COD : 28,81 mg/L dan BOD : 20,48 mg/L, juga sudah tidak memenuhi baku mutu. Kualitas ini cenderung memburuk ke arah hilir dan muara. Sungai lainnya yang dimanfaatkan sebagai air baku air minum adalah S. Krukut (Instalasi Cilandak) dan kualitasnya sejak dari hulu sudah tidak memenuhi baku mutu, hal ini terlihat dari nilai rata COD-nya : 40,0 mg/L , BOD : 29,0 mg/L dan pada daerah hilir COD : 35,0 mg/L, BOD : 28,0 mg/L. b. Peruntukan Perikanan (golongan C) Sungai/badan air yang diperuntukan bagi perikanan antara lain sungai Mookervart yang merupakan bagian dari sistem aliran Sungai Angke – S. Pesanggrahan. Sungai Mookervart ini berasal dari sodetan Sungai Cisadane di daerah tanggerang. S. Mookervart masuk ke wilayah DKI Jakarta di daerah Semanan (Bir Bintang), kondisi debit sungai ini sangat dipengaruhi oleh operasi pintu air di Tangerang. Debit pada muara Cengkareng Drain dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga debit maksimum yang terukur adalah sebesar 41,520 m3/detik. Sungai pesanggrahan bergabung dengan S. Mookervart sebelum pintu air Cengkareng Drain, debit S. Pesanggrahan di hulu 22,34 m3/detik dan debit di hilir 2,613 m3/detik. Sungai lainnya yang diperuntukan bagi perikanan adalah S. Angke dan S. Grogol dengan debit di hulu S. Angke 14,720 m3/detik, S. Grogol : 2,51 m3/detik sedangkan pada daerah hilir debitnya 2,30 m3/detik (S. Angke) dan 2,23 m3/detik (S. Grogol). Hasil pengamatan pada bulan Nopember 1999 memperlihatkan gambaran kualitas badan air golongan C adalah sebagai berikut : KANDUNGAN COD, BOD BADAN AIR GOLONGAN C DI DKI JAKARTA TAHUN 1999 Nama Sungai
Hulu (mg/L)
Hilir (mg/L)
COD
BOD
COD
BOD
S. Mookervart
41,92
28
60,77
45,0
S. Pesanggrahan
41,54
30,50
45,0
20,20
S. Grogol
33,46
22,20
33,85
16,40
S. Angke
40,96
26,0
-
-
Keterangan : Bakumutu COD : 30,0 mg/L; BOD : 20,0 mg/L Dari tabel diatas dilihat dari hasil pengamatan kualitas hulu sungai untuk parameter COD dan BOD secara umum sudah tidak memenuhi baku mutu. Kondisi setiap sungai ini menurun ke arah hilir yang ditandai dengan meningkatnya COD dan BOD. Untuk memperbaiki kondisi Sungai Mookervart; Pemda DKI Jakarta telah melakukan upaya-upaya perbaikan fisik sungai antara lain dengan melakukan pembebasan bantaran sungai dari kegiatankegiatan maupun rumah tinggal.
75
c. Peruntukan Pertanian dan Usaha Perkotaan (golongan D) Sungai yang diperuntukkan bagi golongan D, umumnya terletak pada segmen sungai hilir sampai muara kecuali sistem aliran sungai Sunter dan sistem aliran Cakung, seluruh segmen sejak dari hulu sampai muara diperuntukkan bagi pertanian. Sungai Cipinang merupakan bagian dari sungai Sunter dimana kedua sungai ini bergabung menjadi satu di Pulogadung (Jl. Bekasi Timur) dengan nama Sungai Sunter. Sungai Cipinang di bagian hulu menerima aliran debit dari sungai Kali Baru Timur (di lokasi daerah Pintu Hek Taman Mini), kondisi debit di hulu sungai Cipinang sebesar 0,42 m3/detik, setelah pertemuan dengan sungai Sunter debitnya 4,58 m3/detik. Kualitas sungai Sunter setelah bercampur dengan sungai Cipinang sudah tidak memenuhi baku mutu yaitu kandungan COD rata-rata : 37,75 mg/L dan BOD rata-rata : 18,80 mg/L, (baku mutu COD : 30,0 mg/L dan BOD : 20,0 mg/L). sedangkan pada daerah muara COD : 43,21 mg/L dan BOD : 23,21 mg/L, hal ini pun menunjukkan bahwa kualitas tidak memenuhi baku mutu. Sesuai dengan SK Gubernur KDKI Jakarta termasuk dalam golongan D atau peruntukkan Usaha Perkotaan. Gambaran kualitas Muara-muara tersebut adalah sebagai berikut : Sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, akan memberikan kontribusi terhadap kualitas Teluk Jakarta. Gambaran kualitas muara adalah sebagai
berikut : KANDUNGAN KIMIAWI PADA MUARA-MUARA SUNGAI DI DKI JAKARTA (mg/L) PERIODE 1999 Lokasi
COD
BOD
106,54
62,80
2. Muara Cengkareng Drain (22)
45,0
33,6
3. Muara Ciliwung (6)
21,54
11,05
4. PLTU Pluit (S. Grogol) (27)
86,41
58,55
5. Pompa Pluit (32)
153,85
88,20
6. PT. Bogasari (S. Sunter)
43,08
24,40
7. Sungai Cakung 38 (Pos Polisi)
31,15
20,15
8. Jembatan Simanis (34)
192,31
81,80
9. Pantai Marunda (38A)
153,85
95,92
10. Ancol Marina (30)
48,08
20,20
1. Muara Kamal (42)
Sumber Keterangan
: Bapedalda DKI Jakarta, 1999 : Bakumutu COD : 30,0 mg/L Bakumutu BOD : 20,0 mg/L
Berdasarkan tabel tersebut diatas terlihat bahwa secara umum kualitas muara sudah tidak memenuhi baku mutu untuk peruntukan Usaha Perkotaan, khususnya dilihat dari parameter COD dan BOD. Dari gambaran kualitas air sungai di DKI Jakarta terlihat secara umum kualitasnya sudah tidak memenuhi baku mutu. Kondisi ini menunjukkan bahwa beban pencemaran yang dibuang ke sungai sudah melebihi daya dukung sungai. Sumber pencemaran limbah cair yang potensial (berdasarkan
76
Buku Pedoman Penyusunan NKLD dari Meneg. Lingkungan Hidup), terdiri dari : 1. Iffluent industri pengolahan 2. Sumber domestik dan, diperkirakan dari limbah “toilet”, tidak termasuk dari kegiatan mandi dan cuci. Hasil estimasi Tim NKLD Propinsi DKI Jakarta, menunjukkan bahwa beban pencemaran dari kegiatan industri pengolahan sangat potensial sebagai sumber pencemaran yaitu untuk parameter COD (77,25 persen); SS (62,83 persen); TDS (68,45 persen) dan Minyak (100 persen). Sedangkan untuk parameter BOD dan Ammonia (N), limbah domestik juga berpotensi menambah beban pencemaran (BOD : 46,60 persen dan N : 89,96 persen). Hasil estimasi tersebut, belum menggambarkan beban pencemaran secara lengkap mengingat faktor pencemaran yang dipakai dalam perhitungan belum mencakup seluruh kegiatan. Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan keadaan perairan sungai telah dilakukan melalui Prokasih. Tahap pertama dalam kegiatan ini adalah melancarkan aliran sungai. Diharapkan dengan lancarnya aliran sungai akan dapat memperbaiki kualitas airnya sehingga meningkat pula kegunaan maupun jumlah dan jenis organisme yang hidup di sungai-sungai tersebut. Disamping upaya perbaikan fisik sungai, juga dilakukan pengembangan kebijaksanaan dan pengawasan air limbah. http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/1999/Docs/Buku-II/docs/4.htm
4.3.3.1. Kondisi Fisik Teluk Jakarta Gambaran kondisi fisik Teluk Jakarta pada bulan Agustus 1999 adalah sebagai berikut : A.
Suhu Air
Diperairan laut, suhu permukaan berkisar antara 28,10-29,160 C atau dengan rata-rata 28,620 C dan dekat dasar (8-29 m) antara 27,90-28,870 C. Suhu yang lebih tinggi ditemukan di perairan pantai bagian Barat dan Timur. Suhu ke arah laut umumnya menurun. Di perairan muara suhu permukaan berkisar antara 28,80-30,500 C atau dengan rata-rata 29,350 C (keadaan surut) dan antara 28,79-33,200 C atau dengan rata-rata 30,480 C (keadaan pasang). B. Salinitas Di perairan laut salinitas permukaan berkisar antara 31,72-32,59 ppt atau dengan rata-rata 32,15 ppt. Berbeda dengan suhu, di perairan pantai salinitas terlihat lebih rendah dan ke arah laut salinitas lebih tinggi. Salinitas dekat dasar berkisar antara 32,10-32,53 ppt. Di perairan muara salinitas berkisar antara 16,40-30,50 ppt pada keadaan surut dan antara 27,80-31,70 ppt pada keadaan pasang.
C.
Arus Kecepatan dan arah arus di 23 stasiun pengamatan bervariasi.
77
Kecepatan berkisar antara 0.20 - 1,2 knot dengan arah antara Barat (3320) s.d Tenggara (1440) Namun arah yang dominan adalah timur laut. Arus hasil pengamatan merupakan resultan dari beberapa jenis arus seperti arus angin, arus pantai dan arus pasang surut. D.
Kecerahan Air
Kecerahan air di perairan laut berkisar antara 2,10 - 5,25 meter. Kecerahan yang rendah didapatkan di perairan pantai, terutama perairan pantai yang disekitarnya terdapat muara atau perairan yang dasarnya berlumpur. Kecerahan air umumnya menjadi lebih tinggi ke arah laut. Kecerahan air yang lebih rendah lagi ditemukan di muara sungai yaitu antara 0,10 - 1,50 meter pada keadaan surut dan antara 0,10 - 2,50 meter pada keadaan pasang. Muara Kamal dan Muara Kali Blencong mempunyai kecerahan air yang paling rendah baik pada saat air pasang maupun air surut yaitu 0,10 meter. Sedangkan Muara Kali Bekasi adalah muara yang mempunyai kecerahan lebih dari 1,00 meter baik pada saat air pasang yaitu 2,50 meter maupun pada saat air surut yaitu 1,50 meter. M. Kamal, M. Cengkareng Drain, M. Kali Angke, M. Karang, M. Kali Ancol, M. Sunter, M. Kali Cakung, dan M. Kali Blencong mempunyai kecerahan di bawah dari 1,00 Meter. E.
Kedalaman
Kedalaman perairan laut berkisar antara 4.00 - 29,0 meter, dan kedalaman terendah terdapat di Zona C yaitu titik C4, dan kedalaman tertinggi terdapat di Zona A yaitu titik A4. Kedalaman muara berkisar antara 0,50 - 3,00 meter pada saat pasang, dan 0,50 - 2,00 meter pada saat surut. Kedalaman yang terendah terdapat pada M. Kali Blencong baik pada saat pasang maupun surut yaitu 0,50 meter. 4.3.3.2. Kondisi Kualitas Kimiawi Perairan Teluk Jakarta Parameter kimia yang mempengaruhi kondisi kualitas perairan Teluk Jakarta, yaitu pH, Oksigen Terlarut, Ammonia, Nitrit, Nitrat, Fosfat, BOD, Fenol, Logam Berat. A.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam air, dan berpengaruh dalam proses kimia dan biologi yang terjadi di dalam air. Perairan laut mempunyai kisaran pH yaitu 7,87 - 8,34 dan Muara mempunyai kisaran pH antara 7,33 - 8,00 pada saat pasang dan 6,90 - 8,00 pada saat surut.
DATA PARAMETER PH (MG/L) PERAIRAN TELUK JAKARTA PERIODE 1
78
TAHUN 1999/2000 Zona
1
2
3
4
5
6
7
A
8.12
8.21
8.25
8.23
8.05
7.87
7.90
B
8.16
8.33
8.25
8.25
7.98
7.96
7.92
C
-
8.33
8.29
8.06
7.96
7.97
-
D
-
-
8.34
7.97
7.96
8.10
-
Keterangan : A,B,C.D c Zona 1,2,3,4,5,6, dan 7 = Titik Lokasi DATA PARAMETER PH MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
Pasang
7.33
8.00
7.83
7.84
7.50
7.34
7.45
7.42
7.97
Surut
7.40
7.75
6.90
7.48
7.58
7.37
7.66
7.16
8.00
Keterangan : M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. Kali Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. Kali Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi. B.
Ammonia, Nitrit, dan Nitrat
Ammonia merupakan hasil dekomposisi dari bahan organik dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic decomposition). Kisaran ammonia dalam air bisa mencapai 0 - 2 mg/L (Reeve, 1994). Konsentrasi yang berlebihan dapat menimbulkan masalah penurunan kualitas perairan karena pada pH netral dan asam ammonia bersifat racun. Karena ammonia banyak dihasilkan melalui penguraian limbah organik Nitrogen, maka keberadaan ammonia bisa dipakai sebagai indikator limbah (Manahan, 1993). Perairan laut mempunyai kisaran Ammonia dari Tidak Terdeteksi sampai 0,38 mg/L. Pada zona A, hanya titik lokasi A1 yang terdeteksi ammonianya yaitu 0,04 mg/L, pada zona B hanya titik lokasi B1 dan B6 yaitu 0,09 mg/L- dan 0,38 mg/L, dan pada zona D semua titik lokasi terdeteksi ammonianya yaitu berkisar antara 0,09 - 0,26 mg/L, sedangkan pada zona C tidak ada satupun yang terdeteksi ammonianya. DATA PARAMETER AMMONIA (MG/L) PERAIRAN TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Zona
1
A
0.04
B
0.09
2
3
4
5
6
0.38
C D
8.34
7.97
7.96
Keterangan : A,B,C,D = Zona , 1,2,3,4,5,6, dan 7 = Titik Lokasi
8.10
7
79
DATA PARAMETER AMMONIA (MG/L) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
Pasang
0.16
0.44
0.41
0.97
1.15
8.31
0.07
7.42
7.97
Surut
7,40
7.75
6.90
7.48
7.58
7.37
7.66
7.16
8.00
Keterangan : M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. Kali Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. Kali Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi. Pada perairan muara kisaran ammonianya pada saat pasang yaitu 0,04 - 8,31 mg/L, dan pada saat surut yaitu berkisar antara 0,15 - 4,91 mg/L, Ammonia tertinggi pada saat pasang terdapat pada titik lokasi M. Sunter yaitu 8,31 mg/L, dan pada saat surut terdapat pada titik lokasi M. Kali Angke. Nitrit adalah unsur antara dari proses Nitrifikasi, yaitu dari ammonia menjadi nitrat atau proses denitrifikasi dari nitrat menjadi ammonia. Di perairan laut tidak ada satupun dari titik pemantauan yang mendeteksi adanya nitrit diperairan laut. Tetapi pada perairan muara ada beberapa yang mengandung Nitrit pada saat pasang yaitu M. Karang, M. Kali Ancol, M. Kali Blencong yaitu, 0,08 mg/L, dan 0,02 mg/L, sedangkan pada saat surut ada di M. Kali Ancol dan M. Kali Blencong yaitu 0,02 mg/L. DATA PARAMETER NITRAT DAN NITRIT (MG/L) PERAIRAN TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 NITRAT
NITRIT
Zona
1
2
3
4
5
A
0,14
0.12
0.14
0,35
0.1
B
0.18
0.31
1.35
0.13
0.12
C
-
3.15
3.05
1.21
1.11
-
0.32
0.22
0.11
-
D
Keterangan :
6
7
1
2
3
4
5
6
7
A,B,C,D = Zona, 1,2,3,4,5,6, dan 7=Titik Lokasi * = Tidak Terdeteksi
DATA PAREMETER NITRIAT (MG/L) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
Pasang
0.28
0.31
0.28
0.19
0.11
0.13
0.12
0.30
0.25
Surut
0.30
0.28
0.28
0.11
0.21
0.10
0.21
018
0.21
Keterangan : M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. Kali Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. Kali Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi.
80
DATA PARAMETER NITRIT (MG/L) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
M2
M3
Pasang
M4
MS
0.03
0.08
0.02
0.02
0.02
Surut
M6
M7
M8
M9
Keterangan : M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. Kali Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. Kali Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi. Nitrat merupakan sumber atau unsur mikronutrien yang dibutuhkan oleh organisme phytoplankton, dan phytoplankton itu sendiri mempunyai peranan penting pada produktifitas perairan tersebut, Nitrat dapat berasal dari proses nitrifikasi atau dekomposisi bahan organik pada keadaan cukup oksigen (anoxic decomposition). Kisaran Nitrat di perairan laut yaitu dari Tidak Terdeteksi - 3,15 mg/L. Tetapi pada titik lokasi A6, A7, dan B7 kandungan nitrat di titik tersebut tidak terdeteksi. Sedangkan di perairan muara kisaran kandungan Nitrat pada saat pasang yaitu : 0,11 - 0,31 mg/L dan pada saat surut yaitu : 0,10 - 0,30 rng/L. C.
Fosfat
Fosfat juga merupakan mikronutrien yang penting di dalam suatu perairan. Fosfat diperlukan dalam proses fotosintesa dalam bentuk Ofthofosfat (HP042). Kandungan fosfat pada zona A hanya terdapat pada titik A6 dan A7 yaitu 0,11 dan 0,61. Pada zona B hanya titik B3, B5 dan B6. Zona C mempunyai kisaran Tidak terdeteksi - 0.14 mg/L dan zona D dari Tidak terdeteksi - 0.70 mg/L. Sedangkan perairan Muara pada saat pasang mempunyai kisaran dari Tidak terdeteksi - 1,17 mg/L dan pada saat surut mempunyai kisaran Tidak terdeteksi - 2,10 mg/L, Terlihat dari hasil analisa laboratorium bahwa konsentrasi fosfat di perairan laut Lebih rendah dari konsentrasi di perairan muara. DATA PARAMETER FOSFAT (MG/L) PERAIRAN TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Zona
1
2
3
4
5
A B
0.12
0.02
C
0.14
0.75
D
-
0.03
6
7
0.11
0.61
1.13 0.04
0.70
Keterangan: A,B,C,D = Zona,1,2,3,4,5,6, dan 7 = Titik Lokasi DATA PARAMETER FOSFAT (MG/L) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
Pasang Surut
1.85
M2
M3
M4
M5
M6
0.1
0.04
0.30
0.43
1.17
2.1
M7
M8 0.26
mg
81
Keterangan : M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. Kali Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. Kali Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi. D.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen dibutuhkan dalam proses metabolisme, baik mikroorganisme maupun makroorganisme dengan mengkonsumsi bahan organik dari hasil fotosintesa atau dari limbah. Rendahnya kandungan oksigen di suatu perairan akan mengakibatkan rusaknya lingkungan perairan yaitu dengan kematian berbagai organisme sehingga menurunkan kualitas perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut di permukaan perairan laut mempunyai kisaran 5,48 - 7,69 mg/l, sedangkan di bawah permukaan mempunyai kisaran oksigen terlarutnya yaitu 5,98 - 7,75 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut di permukaan mempunyai kecenderungan lebih rendah konsentrasinya dibandingkan di bawah permukaan. Kandungan oksigen terlarut di permukaan perairan muara mempunyai kisaran Tidak terdeteksi - 8,59 mg/L. Umumnya mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibandingkan di bawah permukaan dengan kisaran yaitu 0,12 - 7,27 mg/L. Terlihat bahwa pola konsentrasi kandungan oksigen terlarut di permukaan dan di bawah permukaan perairan baik perairan laut menunjukkan pola yang berbeda yaitu untuk perairan laut menunjukkan pola kecenderungan konsentrasi lebih tinggi di bawah permukaan dibandingkan di permukaan perairan laut. Sedangkan perairan muara menunjukkan kecenderungan bahwa permukaan mempunyai konsentrasi lebih tinggi dibandingkan di bawah permukaan. E.
BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD merupakan indikator untuk menentukan oksigen dalam proses metabolisme perairan dan juga dapat mendeteksi jumlah bahan organik. Makin banyak bahan organik yang mudah terurai dalam perairan, maka semakin tinggi konsentrasi yang dibutuhkan dalam proses metabolisme. Kandungan BOD di perairan laut Teluk Jakarta menunjukkan kisaran yaitu 7 - 15,8 mg/L. Perairan muara pada saat pasang mempunyai kandungan BOD berkisar antara 15,30 - 25,30 mg/L, dan pada saat surut mempunyai kandungan BOD berkisar antara 13,30 - 21,10 mg/L. Terlihat kandungan BOD di perairan laut pada saat pasang lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan saat surut. 4.3.3.3. Kualitas Biologis Perairan Teluk Jakarta Pemantauan secara biologis pada bulan Agustus 1999 meliputi indentifikasi Bentos, Plankton dan jumlah bakteri (Coliform dan Fecal Coli). Parameter biologi yang diamati terdiri dari plankton, benthos. Data
82
masing-masing parameter tersebut dapat di lihat pada tabel 3a, 3b (Fitoplankton laut dan muara), 4a, 4b (Zooplankton laut dan muara), 5a, 5b (benthos laut dan muara). A.
Plankton
Pengamatan plankton meliputi fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani). Fitoplankton yang teramati terdiri dari 2 kelompok besar yaitu Diatome dan Dinoflagellata. Dari perairan laut didapatkan 21 genus dari kelompok Diatome dan 7 genus dari kelompok Dinoflagellata. Jenis yang dominan Chaetoceros dan Rhizosolenia dari kelompok Diatome. Pada muara Teluk Kelompok Dinoflagellata. Dari perhitungan nilai indeks Diversitas, nilai indeks berkisar antara 0,15 - 2,30. Nilai terendah diperoleh di Muara Cengkareng Drain pada pengamatan waktu surut, sedangkan nilai tertinggi diperoleh di perairan laut pada stasiun yang lokasinya terjauh dari pantai Teluk Jakarta. Kondisi indeks diversitas yang demikian (0,15 - 2,30) menunjukkan bahwa komunitas fitoplankton baik di perairan laut maupun muara Teluk Jakarta mengalami gangguan faktor lingkungan (tidak stabil) sampai dengan kondisi moderat (sedang) yaitu kondisi komunitas yang mudah berubah hanya dengan mengalami pengaruh lingkungan yang relatif kecil. INDEKS DIVERSITAS MAKROZOOBENTHOS (IND./M2) PERAIRAN TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Zona
1
2
3
4
5
6
7
A
1.05
1.17
0,52
1.68
0.30
0.92
2.26
B
1.73
0.26
0.50
0.93
1.21
0.66
0.93
C
-
0.70
0.85
0.90
1.03
0.95
0.88
-
0.88
1.81
1.54
0.54
-
D
Keterangan: A,B,C,D = Zona,1,2,3,4,5,6, dan 7 = Titik Lokasi INDEKS DIVERSITAS MAKROZOOBENTHOS (IND./M2) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999R2000 Muara
M1
Pasang Surut
1.85
M2
M3
M4
M5
M6
0.1
0.04
0.30
0.43
1.17
M7
M8 0.26
21
Ket. :M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. K. Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. K. Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi. Hasil pengamatan zooplankton Teluk Jakarta ditemukan 14 genus, yang didominasi oleh Nauplius dan Oithona. Nilai indeks diversitas antara 0,35 - 1,92. Seperti halnya komunitas fitoplankton, komunitas zooplankton juga dalam kondisi tidak stabil sampai moderat (sedang).
M9
83
Dari hasil analisis fitoplankton dan zooplankton perairan laut dan muara Teluk Jakarta dapat disimpulkan sementara bahwa komunitas plankton perairan Teluk Jakarta dalam kondisi mudah berubah hanya dengan mengalami perubahan lingkungan yang relatif kecil sampai dengan komunitas yang bersangkutan sedang mengalami gangguan. B.
Benthos
Hasil pengamatan benthos pada perairan Teluk Jakarta didapatkan 41 genus, yang meliputi kelas Mollusca, Annelida, Arthropoda dan Echinodermata, yang didominasi oleh jenis kerang, yaitu Donax (kelas Mollusca). Dari perhitungan nilai indeks diversitas diperoleh nilai indeks antara 0,20 - 3,60. Dengan demikian kondisi komunitas benthos untuk masing-masing stasiun sangat bervariasi. Beberapa stasiun mempunyai komunitas benthos tidak stabil, moderat dan beberapa stasiun mempunyai komunitas benthos stabil. Nilai indeks diversitas terendah dijumpai pada stasiun D4 dan M7 (muara Cakung), dimana kedua stasiun tersebut terletak di pinggiran pantai. Komunitas benthos stabil ditemukan pada stasiun A1 dan A2 dimana stasiun tersebut terletak jauh dari berbagai aktivitas/kegiatan manusia. Dari hasil analisis benthos dapat disimpulkan sementara bahwa komunitas benthos terganggu pada perairan pantai (banyak aktivitas manusia) dan komunitas benthos kondisinya stabil pada perairan yang relatif jauh dari pantai. INDEKS DIVERSITAS MAKROZOOBENTHOS (IND./M2) PERAIRAN TELUK JAKARTA, PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Zona
1
2
3
4
5
6
7
A
1.05
1.17
0.52
1.68
0.30
0.92
2.26
B
1.73
0.26
0.50
0.93
1.21
0.66
0.93
0.70
0.85
0.90
1.03
0.95
0.88
0.88
1.81
1.54
0.54
C D
Keterangan : A,B,C,D = Zona, 1,2,3,4,5,6,dan 7 = Titik Lokasi INDEKS DIVERSITAS MAKROZOOBENTHOS (IND./M2) MUARA TELUK JAKARTA PERIODE 1 TAHUN 1999/2000 Muara
M1
Pasang Surut
1.85
M2
M3
M4
MS
M6
0.1
0.04
0.30
0.43
1.17
M7
M8
M9
0.26
7.1
Ket. :M1 = M. Kamal, M2 = M. Cengkareng Drain, M3 = M. Angke, M4 = M. Karang, M5 = M. K. Ancol, M6 = M. Sunter, M7 = M. K. Cakung M8 = M. Kali Blencong, M9 = M. Kali Bekasi.
84
Analisis struktur komunitas fitoplankton dan makrozoobentos dilakukan dengan menentukan komposisi, kelimpahan, keanekaragaman (H), keseragaman(E) dan dominansi (D). Komposisi pada setiap stasiun pengamatan dinyatakan dalam persen (%) dan ditentukan dengan persamaan; N = (100 x n x Vl) / (0.25π x VT Keterangan: N
= kelimpahan jenis fitoplankton (ind/l)
n
= jumlah fitoplankton yang tercacah (ind)
Vl
= volume air yang tersaring (32 ml)
VT
= volume air yang disaring (30 l)
π
= 3.14 Kepadatan makrozoobentos dihitung menggunakan persamaan : K = (10000 x a) / (b x n)
Keterangan: K
= kepadatan makrozoobentos (ind/m2)
a
= jumlah makrozoobentos yang dihitung (ind)
b
= luas bukaan mulut Petersen Grap (m2)
n
= banyaknya ulangan pengambilan contoh Keanekaragaman fitoplankton dihitung menggunakan persamaan : n H’ = - ∑
(pi log2 pi)
i=1 Keterangan: H’
= indeks keanekaragaman
P
= perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i dan jumlah total individu (n/N)
i
= jumlah individu spesies ke-i
N
= jumlah total individu Hasil indeks keanekaragaman akan diklasifikasikan menjadi:
H’<3.32
= keanekaragaman rendah
3.32
9.97
= keanekaragaman tinggi
Keseragaman fitoplankton dihitung menggunakan persamaan: E = H’ / H’ max Keterangan: E
= indeks keseragaman
H’
= indeks keanekaragaman
85
H’ max = keanekaragaman maksimum (log2s) s
= jumlah spesies Indeks keseragaman fitoplankton dikelasifikasikan menjadi:
E< 0.4
= keseragaman jenis rendah
0.4<E<0.6
= keseragaman jenis sedang
E>0.6
= keseragaman jenis tinggi
Dominansi dari suatu spesies tertentu dihitung dengan persamaan Indeks Dominansi Simpson yaitu : s C = ∑ (ni/N) i=1 Keterangan: C
= indeks dominansi
ni
= jumlah individu spesies ke-I
N
= jumlah total individu setiap spesies
s
= jumlah spesies
Untuk mengetahui distribusi kelimpahan fitoplankton dan kepadatan makrozoobentos dalam hubungannya dengan strategi adaptasi terhadap lingkungannya digunakan suksesi Frontier. Untuk mengetahui kondisi lingkungan dilakukan dengan membuat kurva ABC yaitu dengan menganalisis jumlah total individu persatuan luas dan berat persatuan luas dari komunitas makrozoobentos (Warwick, 1986). Sumber: LAPORAN AKHIR PENELITIAN BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI PERAIRAN TELUK JAKARTA
60
Lampiran 1. Peta Perairan Marina dan sekitarnya (Anonim, 2001) U
1000 m
500 m
MUARA MARINA
S
50 m
SUNGAI CILIWUNG