KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN KESEJAHTERAAN UMUM (Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: AHMAD NURALIF NIM: 106045201520
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan. Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Islam Tentang Peranan Pemerintah Desa Dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan Dan Kesejahteraan Umum (Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
i
1. Bapak Prof. Dr. K.H.M. Amin Suma, SH., MH., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas waktu dan solusinya selama ini. 3. Bapak Iding Rasyidin S.Ag., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Heldi, M.P.d., sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berate bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal Politics (Siyasah Wal Qanun). 6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan referensi buku-bukunya. 7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah Tahun Akademik 2006-2007, Ade, Apri, Asriyah, Bangkit, Deni, Dinda, Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Yudha, Atiqoh, Naziah, Lina, Imran, Dian, ii
Lutfi, Supardi, Bowo, Rifqo, terima kasih penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat semua baik yang disebutkan namanya maupun tidak yang telah berbagi ilmu ketika belajar di kampus tercinta ini. 8. Kakakku Husna Nurafiah S.P.d.I dan Abdul Mutaqien AMd., adikku Robiatun Nurasyiyyah, terima kasih atas segalanya. Last but not least, penulis memohonkan ampunan kepada Allah Robbil Izzati terkhhusus untuk orang tua Penulis Ahmad Sulthoni (alm) semoga Allah senantiasa melimpahkan magfirahNya di alam sana dan menjadikan kuburnya Raudhah min riyadhil jinan terlebih ibunda tercinta Emay Sumarni terima kasih atas kasih sayang dan ketabahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien.
Jakarta, 20 Juni 2010 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR......................................................................................... i DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7 D. Kerangka Teoritis ........................................................................... 8 E. Kerangka Konsepsional ................................................................. 9 F. Metode Penelitian ........................................................................... 12 G. Review Studi Terdahulu ................................................................. 15 H. Sistematika Penulisan .................................................................... 18
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya .................. 20 B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa ............................. 29 C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa ..................... 35 D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan.......................... 39
BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor........................... 44 B. Hubungan Pemerintahan Desa sebagai Unit Ulil Amri yang terkecil Dalam Al-Qur’an ................................................................ 54 C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan....................................... 56
iv
BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA PEMAGARSARI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum Islam Dan Peraturan Perundang-undangan...................................... 73 B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan....................................... 84 C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor .............................................. 92
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 99 B. Saran-saran .................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 102 LAMPIRAN......................................................................................................... 105
v
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada hakikatnya adalah usaha peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman, lebih enak dan lebih tentram serta lebih menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan di masa yang akan datang. Dengan demikian usaha pembangunan mempunyai arti humanisasi atau usaha memanusiakan manusia.1 Pembangunan dari dan untuk manusia seutuhnya, berarti manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan, berusaha menciptakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, dimulai dari lembaga tinggi Negara seperti Presiden sampai ke tingkat Daerah dan Desa. Pembangunan sebagai usaha memanusiakan manusia pada hakikatnya juga merupakan usaha yang mempunyai makna etik, hukum, serta nilai ajaran agama baik dalam tujuan yang ingin dicapai maupun dalam cara pelaksanaan usaha mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, bukan hanya tujuan pembangunan yang harus sesuai dengan nilai-nilai etik dan ajaran agama. Akan tetapi juga cara mencapai tujuan pembangunan itu, jika nilai-nilai etik dan ajaran agama tidak melekat dalam proses pembangunan maka pada gilirannya akan mengakibatkan
1
Machnun Husein, Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam di Indonesia, (Rajawali Pers. Jakarta. 1986). h.1.
2
lahirnya tindakan yang bersifat dehumanistik, atau merusak kemanusiaan. Oleh sebab itu, disinilah pentingnya peran Pemerintah dari tingkat yang paling atas yaitu Presiden, Menteri-Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum. Penyelenggaraan
pemerintahan
desa
merupakan
subsistem
dari
sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan saat ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pula tentang desa. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas
3
kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya.2 Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi.3 Para Pendiri Negara telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia yang tujuannya jelas tercantum pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.4 Untuk mencapai maksud itu para pejabat di daerah-daerah membantu penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
dan
Kesejahteraan
Sosial
melalui
pembangunan daerah, karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi.
2
HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers. Jakarta. 2003). h. 16. 3
Trianto, & Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan. (Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. 2007). h.140. 4
Amandemen I, II, III, IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (Penerbit Pustaka Agung Harapan . Surabaya. 2004). h. 2
4
Dalam perkembangannya tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur secara garis besarnya saja, seperti ditegaskan dalam penjelasannya, bahwa: ..........Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggaraan Negara. Lebih-lebih hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.5 Penjelasan tersebut diatas cukup bijaksana, karena Undang-Undang Dasar 1945 memang menghendaki hal-hal yang diatur didalamnya hanya memuat aturan-aturan pokok saja, sedangkan hal-hal yang memerlukan pengaturan lebih rinci diserahkan kepada Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, sehingga prakteknya di desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa, Kepala Desa melaksanakan kewenangan hak dan kewajiban selaku Pimpinan Pemerintahan Desa yaitu Menyelenggarakan Rumah Tangga sendiri dan merupakan tanggung jawab utama dibidang Pemerintahan Umum termasuk didalamnya Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan umum sesuai dengan
5
Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah. (Pustaka Bani Quraisy.
Bandung. 2005). h. 116.
5
peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menumbuhkan jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Dusun/Unsur Wilayah, Unsur Pelaksana Teknis dan bermitra secara sejajar dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Legislatif di tingkat Desa. Namun pada implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan belum dapat direalisasikan secara utuh, hal ini misalnya yang terjadi di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung yang sampai saat ini pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan pembangunannya, sehingga dalam hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis menemui jawaban atas permasalahan tersebut dengan meneliti tentang Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum kemudian ditinjau dari aspek hukum Islam, dan ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA DAN
BPD
DALAM
KESEJAHTERAAN
PELAKSANAAN
UMUM
(STUDI
PEMBANGUNAN
KASUS
KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR)”.
DESA
DAN
PEMAGARSARI
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada peraturan perundang-undangan serta kajian Hukum Islam mengenai peranan Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum (Studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor). 2. Perumusan Masalah Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai diatas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari? 2. Apa Sajakah Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari? 3. Bagaimanakah Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas sosial, agama serta pertumbuhan ekonomi khususnya dalam ruang lingkup desa setelah diberlakukannya otonomi daerah dengan seluas-luasnya serta tinjauan hukum Islam terhadap Pemerintahan Desa. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari. 2. Mengetahui
Faktor
Penghambat
Pelaksanaan
Pembangunan
dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari. 3. Mengetahui Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan. 2. Manfaat Penelitian Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kajian Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan mengenai proses berjalannya kinerja Pemerintah Desa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur serta kesejahteraan umum setelah diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan asas tugas pembantuan (medebewind). Di samping itu
8
penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai pertimbangan dan kebijakan serta langkah-langkah yang diambil oleh penyelenggara Pemerintahan Desa dalam proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.Adapun
manfaat
yang
ingin dicapai penulis yaitu: 1. Mendapatkan pengetahuan tentang ilmu pemerintahan yang secara spesifik membahas tentang desa sehingga penulis dapat mengetahui program-program yang
dilakukan
oleh
desa
untuk
melaksanakan
pembangunan
dan
kesejahteraan masyarakatnya. 2. Dan mudah-mudahan hasil dari penelitian ini juga dapat menambah khazanah keilmuan Ketatanegaraan yang secara spesifik membahas tentang tinjauan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa. D. Kerangka Teoritis Secara teoritis etika pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila, yang dibangun atas realitas Keindonesiaan yang sudah sekian abad lamanya bersemayam dalam dada bangsa Indonesia, yaitu realitas kemajemukan sosial, budaya dan agama. Adapun sumber nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya adalah agama. Oleh karena itu, dalam menghadapi proses pembangunan yang senantiasa mengalami perubahan terus menerus ini, etika agama diharapkan dapat memberikan sumbangan amat berharga dalam rangka memelihara dan menjaga keseimbangan dalam etos pembangunan.
9
Dalam kaitan ini tampak bahwa etika agama sesungguhnya merupakan pendukung etika Pancasila itu. Dan didalam hubungannya dengan pembangunan manusia seutuhnya panggilan etika agama dalam rangka memperkuat etika Pancasila terasa sangat penting. Tanpa bermaksud memitoskan mayoritas, tentunya etika Islam mempunyai kedudukan dan peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memperkokoh etika Pancasila, yang sekaligus merupakan dasar dan filsafat pembangunan. Pada saat kita menghadapi pembangunan, yang digambarkan sebagai awal perwujudan yaitu masyarakat makmur, adil dan sejahtera yang mana dengan ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya serta ketaatan Kepada Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa Ayat 59 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan (pemimpin, guru) diantaramu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan), kembalikanlah ia pada (kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya. (Q.S. al-Nisa: 59)
10
Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengomentari ayat ini sebagai berikut: ”Taatilah Allah dan beramalah dengan berpedoman kitab Allah; dan taatilah Rasul, karena sesungguhnya Dialah yang menerangkan kepada manusia tentang apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Sesungguhnya telah berlaku ketentuan Allah itu, bahwa para Rasul itu bertugas untuk menjalankan syari’at Allah untuk mereka yang beriman, dan juga para Rasul itu bertanggungjawab menjaga orang-orang yang beriman. Karena itu, Allah mewajibkan atas kaum Muslimin untuk menaati Rasul. Pengertian taatilah Ulil Amri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama, panglima-panglima, para pemimpin dan para zu’ama. Mereka ini mampu mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila Ulil Amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya, yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (Ulil Amri) adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan kesepakatan mereka.6 Dalam realitasnya, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum tidak terlepas oleh kinerja pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang dibantu pelaksanaannya dengan asas tugas pembantuan 6
92.
Abdul Qodir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995). h.
11
pemerintah pusat kepada daerah dan desa, sehingga pembangunan di tingkat nasional banyak dipengaruhi oleh faktor kinerja pemerintahan daerah dan desa. Oleh karena itu, perkembangan dan pertumbuhan pembangunan terutama di desa sangat besar pengaruhnya oleh etos kerja aparatur pemerintah desa itu sendiri. E. KERANGKA KONSEPSIONAL Untuk mengupayakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam hal mengartikan konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, maka penelitian ini ditentukan bahwa: 1. Yang dimaksud dengan “Hukum Islam” adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang secara universal relevan pada setiap zaman (waktu) dan makan (ruang) manusia.7 2. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Desa” adalah Aparatur/pejabat desa diantaranya yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Staf desa lainnya. 3. Yang dimaksud “Badan Permusyawaratan Desa” selanjutnya disebut BPD adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yang
7
h. 6.
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas sosial, (Penamadina, Jakarta 2004).
12
berfungsi menetapkan peraturan desa, bersama Kepala Desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.8 F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Dalam Penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Pemerintahan Desa dan beberapa lembaga yang ada di dalam struktur organisasi pemerintahan desa dalam menjalankan otonomi daerah dengan tujuan pembangunan dan kesejahteraan sosial yang kemudian dianalisis dengan Hukum Islam (Ketatanegaraan Islam). Maka mengingat begitu pentingnya kedalaman empiris yang harus dapat dijangkau maka cara kerja atau metode yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini akan menampilkan beberapa metode penelitian. Pada garis besarnya hanya ada dua macam metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif didalamnya akan dikombinasikan dengan metode komparatif, pengamatan, survey dan observasi serta studi kasus. Metode Komparatif orientasi bahasannya lebih pada perbandingan berbagai macam hal dengan tujuan mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang dilakukan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan 8
Rozali Abdullah,
Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h. 170.
13
umum. Serta metode pengamatan untuk menangkap "what people do" atau apa yang dilakukan oleh seseorang atau aparatur pemerintah serta observasi dengan tujuan untuk mendeskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan pembangunan dan juga kesejahteraan umum. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan juga pendekatan secara empiris, yakni dengan menekankan pada sumber hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pendekataan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kinerja pemerintahan desa setelah diberlakukannya otonomi daerah yang terkait dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur desa serta kesejahteraan umum. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder. a. Data Primer Didapatkan dari Kantor Pemerintahan Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum serta keputusan-keputusan desa berdasarkan otonomi daerah kabupaten Bogor.
14
Selain itu
juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara)
kepada aparatur pemerintahan desa kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits, kitabkitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter. yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian yang penting yang nantinya ada titik benang merah
15
tentang
pemerintahan
desa
dalam
mewujudkan
pembangunan
dan
kesejahteraan umum dalam perspektif hukum Islam. b. Interview atau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu aparatur pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat setempat. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap untuk kesempurnaan skripsi ini. 4.
Teknik Analisis Data Di Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) yaitu analisis data kualitatif terhadap data kuantitatif.9 Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Sementara untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1996). h.153
16
G. Review Studi Terdahulu Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut : 1. Judul : “Pelaksanaan Hak Interpelasi DPRD Kota Medan Dalam Rangka Mengawasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004”. Penulis : Muhammad Rinaldi/SS/SJS/2007. Skripsi ini membahas seputar pelaksanaan hak interpelasi DPRD dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu DPRD berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat daerahnya, sehingga kepadanya diberikan seperangkat hak: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak meminta
keterangan,
hak
mengadakan
perubahan,
pernyataan pendapat dan hak angket (penyelidikan).
hak
mengajukan
17
Juga hak-hak lainnya yang hanya diatur melalui tata tertib DPRD, Khusus mengenai hak penyelidikan diatur dalam undang-undang karena penggunaan hak interpelasi mempunyai konsekuensi yang luas, baik konsekuensi politis, yuridis, maupun sosiologis. 2. Judul:"Rukun Negara Malaysia Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam". Penulis: Norhalimah Ahmad SS/SJS/2009. Skripsi ini membahas tentang Rukun Negara yang ada di Malaysia yaitu menjelaskan tentang keberadaannya yang tidak bertentangan dengan prinsip negara dalam Islam, yaitu dengan adanya bukti bahwa Rukun Negara mengakui Islam sebagai agama yang utama di Malaysia tetapi tetap menghormati dan mengharuskan rakyat Malaysia nonMuslim berpegang teguh kepada agama masing-masing, kemudian dijelaskan juga Pemerintahan Malaysia yang tidak zalim, yaitu rakyat Malaysia harus taat kepada pemerintah dan negara seperti yang terdapat dalam prinsip kedua Rukun Negara, maka dengan berjalannya Rukun Negara di Malaysia diharapkan masyarakat warga Negara Malaysia dapat hidup secara damai dan senantiasa mengutamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. 3. Judul: "Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang" Penulis: Jaenal Abidin/SS/SJS/2009
18
Berdasarkan pada perumusan yang diangkat dalam judul skripsi ini, berikut akan dijawab beberapa permasalahan tentang konsep partisipasi politik menurut demokrasi modern, serta realitasnya dalam masyarakat muslim kecamatan Cikupa. Pertama, konsep partisipasi politik mengalami perkembangan seiring dengan beerkembangnya konsep demokrasi. Tidak hanya berhubungan dengan perilaku, dan juga sikap atau persepsi warga negara secara konvensional, tetapi lebih luas mencakup segala tahapan pembuatan kebijakan. Agama sebagai suatu fenomena sosial yang diekspresikan dalam kolektivitas sosial anggotanya menunjukan identitas bersama, pola interaksi sosial yang teratur, atau harapan yang sama (norma-norma agama) menyangkut keyakinan dan perilaku. Dimensi kebudayaan sangat penting untuk menganalisa fenomena masyarakat yang mempunyai landasan organisasi modern. Unsur agama Islam berkolerasi positif dan signifikan dalam hampir semua aspek sampai dimensi partisipasi politik.
19
H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: Bab Pertama, pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka konsepsional, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab Kedua adalah Ketentuan umum tentang pemerintahan desa yang mencakup Pengertian pemerintahan desa dan dasar hukumnya, Macam-macam Pemerintahan desa, Alasan-alasan diberlakukannya pemerintahan desa dan Perbedaan pemerintahan desa dengan kelurahan. Bab Ketiga adalah Kedudukan Pemerintah Desa dan BPD menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup sekilas tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor, Kedudukan Kepala Desa Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan dan Kedudukan BPD menurut Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Bab
Keempat
adalah
Analisis
Terhadap
Pelaksanaan
Pembangunan
dan
kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor yang mencakup Sumber-sumber Pendapatan Desa menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Kajian Hukum Islam tentang Pembangunan di Desa
20
Pemagarsari, Tinjauan Hukum Islam terhadap aspek kesejahteraan umum di Desa Pemagarsari dan analisis hasil penelitian di desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Bab Kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
21
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang yang
berkaitan
dengan
pemerintahan
desa
yang mengatur
tentang
pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal. Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda. Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche Gemeente Ordonantie
(IGO)
dan
Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara yuridis undang-undang
22
tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang mengatur Pemerintahan Desa.1 Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah Desa diatur dengan: a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatblad
1936
No.
83)
Inlandsche
Gemeente
Ordonnantie
Buitengewesten yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Staatblad 1938 No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81) b. Indische Staatsregeling (IS) pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat. c. Herzein Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia Baru (RIB) isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura. d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Rembuk Desa dan sebagainya.2
1
HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,( Rajawali Pers. Jakarta 1993). h. 11. 2
Ibid h. 11.
23
Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan. Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem Pemerintahan Daerah. 1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan
memandang
dan
pemerintahannya mengingat
dasar
ditetapkan
dengan
permusyawaratan
undang-undang dalam
system
pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: I.
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga, Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
24
Di
daerah-daerah
yang
rechtsgemeenschappen)
bersifat
atau
bersifat
otonom daerah
(Streek
dan
locale
administrasi
belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. II.
Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemenschappen (daerah dan kelompok masyarakat adat) seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka dalam undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom
25
dan Wilayah Administratif.3 Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.4 Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah yang dalam undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.5
3
M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). (Bayu Media Publishing. Malang 2007). h. 3 4
Ibid. hal.3
. 5
11.
Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta. 1991). h.
26
Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan a. Umum Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam Garis-Garis melaksanakan
Besar asas
Haluan
Negara,
desentralisasi
Pemerintah
dan
diwajibkan
dekosentrasi
dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga memberikan
dasar-dasar
penyelenggaraan
berbagai
urusan
pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan. 6 b. Desentralisasi Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik yang
menyangkut
penentuan
kebijaksanaan,
perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.
6
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dalam Al-Qur’an, (Bumi Aksara, Jakarta). h. 287.
27
Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.7 c. Dekosentrasi Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada pejabatpejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.8 d. Tugas Pembantuan Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan 7
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005). h. 207. 8
Ibid h. 207.
28
Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbanganpertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuannya. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 a. Pasal 2, Desa 1) Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
29
2) Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. 3) Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. 4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam undangundang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk adat-istiadat. b) Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan antara organisasi luas wilayah dan pelayanan. b. Pasal 22, Kelurahan 1) Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b.
30
2) Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. 3) Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. 4) Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. 5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa Kewenangan pemerintahan dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Akan tetapi dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Apabila dicermati dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah dilakukan dengan cara open end arrangement atau general competence (Hanif Nurcholis, 2005: 76). Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan
31
kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan prakarsanya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.9 Penyerahan jenis kewenangan yang sifatnya luas kepada daerah (kabupaten/kota), menurut Dede Rosyada dilandasi oleh sejumlah pemikiran sebagai berikut: Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut. Pemerintah daerah sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal.
[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the Kedua, penyerahan formatting kewenangan luas daerah of the pullkepada quote text box.]dapat membuka
peluang bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan melakukan
inovasi
karena
kewenangan
merencanakan,
membahas,
memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai jenis kewenangan luas tersebut berada pada aktor politik lokal dan sumber daya manusia lokal yang berkualitas.
9
Diani Budiarto, dkk, Perspektif Pemerintahan Daerah Otonomi, Birokrasi, dan Pelayanan Publik, (FISIP Universitas Djuanda, Bogor. 2005). h. 14.
32
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di pusat dan kota-kota besar lainnya, maka penyerahan jenis kewenangan luas tersebut juga dimaksudkan agar sumber daya manusia yang berkualitas di pusat dan kota-kota besar diredistribusikan ke daerah. Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya penyerahan kewenangan tersebut diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal dari otonomi daerah. Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah seperti itu dinamakan penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan dalam kerangka prinsip desentralisasi. Rondinelli dan Nellis memaknai desentralisasi sebagai the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, areawide, regional or functional authorities, or nongovernmental private or voluntary organizations.
33
Desentralisasi, dari makna tersebut memiliki empat bentuk, yaitu: 1. Devolution, yaitu penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah lebih atasnya kepada pemerintah di bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah; 2. Deconcentration, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau atasannya kepada para pejabat mereka di daerah; 3. Delegation, yaitu penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada pemerintah atasannya; 4. Privatization, yaitu pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun nonprofit. Prinsip devolution biasanya mengacu pada desentralisasi politik, deconcentration pada desentralisasi administrasi, dan delegation maupun privatization sebagai tugas sub-contracting. Penerapan prinsip-prinsip desentralisasi tersebut dapat melahirkan fungsi dan peran pemerintah daerah yang berbeda. Dalam konteks ini terdapat setidaknya dua
34
model/perspektif untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh pemerintah daerah.10 Pertama, autonomus model (model otonom), menggambarkan bahwa pemerintah daerah secara relatif terpisah (separated) dari pemerintah pusat. Terlepas dari seberapa besar cakupan pemerintah daerah, dalam perspektif ini peran Negara sebatas memonitor aktivitas pemerintah daerah. Kemudian terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah. Model otonom tersebut berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan yang disebarkan oleh Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah ciptaan pemerintah pusat walaupun keberadaannya terintegrasi dalam sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut Alderfer, karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya. Adapun Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pada Bab III Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan desa mencakup:
10
Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Prenada Media, Jakarta. 2003). h. 151.
35
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/kota; dan d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Pasal 8 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan
yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Pasal 9 (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri. (2). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pembiayaannya.
36
Pasal 10 (1). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. (2). Penyelenggaraan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (3). Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia. 11 C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat istiadat, bahasa, pakaian, budaya dan sebagainya. Dan itu pulalah sebabnya, [Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah umpamanya Desa di Jawa dan document. Use the Text Box Tools tab to change formatting of the pull text Madura, Gampong di Aceh, Huta ditheBatak, Nagari di quote Minangkabau, box.]
dalam kenyataan terdapat keanekaragaman dalam kesatuan masyarakat yang
Dusun/Marga di Sumatera Selatan, Suku di beberapa daerah Kalimantan, dan sebagainya. Istilah “desa”, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam makna Hukum Tata Negara, tidaklah dipakai untuk menunjuk bahwa terdapat keseragaman, atau kesatuan pendapat, bahwa pengertian desa di Jawa dan Madura 11
Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri. Jakarta. 2008). h. 13.
37
adalah sama dengan luar Jawa dan Madura. Istilah “desa” dipakai, karena untuk kesatuan masyarakat yang terendah istilah “desa” telah menjadi istilah umum. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Adapun Hazairin berpendapat, bahwa: “Desa di Jawa dan Madura, Nagari di Minangkabau sebagai masyarakat adat, yaitu masyarakat hukum adat adalah, kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya”. 12 Kesatuan masyarakat, desa, huta, nagari, marga ataupun lainnya, pada dasarnya berdasarkan pada dua hal yaitu asas territorial dan asas genekologis. Desa di Jawa dan Madura, berasaskan territorial, sedangkan kesatuan masyarakat di Luar Jawa dan Madura berasaskan genekologis. Perbedaan asas tersebut menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, membawa dampak pada perbedaan kedudukan diantara keduanya: Pertama, di Jawa Kepala Desa dipilih oleh warga desa secara langsung, sedangkan di Tapanuli dan Minangkabau Raja Hutau dan Wali Nagari tidak langsung dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh sekelompok orang sebagai tertua dalam kesatuan masyarakat tersebut. 12
Trianto & Titik Triwulan Tutik, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, (Prestasi Pustaka, Jakarta. 2007). h. 317.
38
Kedua, hubungan antar warga desa, antara warga desa dengan pimpinan desa. Ketiga, status sosial-ekonomi kepala desa. Adanya tanah bengkok bagi kepala desa di Jawa dan Madura, dapat dianggap sebagai suatu segi ekonomis, sedangkan segi sosial kepala desa adalah kedudukan terhormat di desa. Di luar Jawa, Raja Huta di Tapanuli dan Wali Nagari di Minangkabau, kedudukannya semata-mata kehormatan saja. Sama sekali tidak ada unsur ekonomis. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 huruf a, menyatakan yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Adapun Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (Pasal 1 huruf o) maupun Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 12) memberikan definisi yang sama mengenai “Desa”, yaitu: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam
sistem
Pemerintahan
Nasional
dan
berada
di
kabupaten/kota,
39
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan
pemikiran
dalam
pengaturan
mengenai
desa
adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaran Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang
40
berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Wali Kota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap halhal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah. D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan a. Pemerintahan Desa Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan
41
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun
yang dimaksud
Pemerintahan
Desa berdasarkan
Peraturan
Pemerintah Tentang Desa Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas asas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.13
13
Dr. Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta, Tahun 1991). Hal. 91.
42
Adapun pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, maka harus memenuhi syarat pembentukan desa yaitu: a. Jumlah penduduk; b. Luas wilayah; c. Bagian wilayah kerja; d. Perangkat; dan e. Sarana dan prasarana pemerintahan.14 Adapun Struktur Administratif Pemerintahan Desa seabagai berikut: Camat LMD /BPD
Kepala Desa Sekretaris Desa K. Urusan K. Urusan K. Urusan
Pamong Desa
Pamong Desa
Kepala Dusun
Kepala Dusun Masyarakat
14
Ibid. h.91.
Pamong Desa Kepala Dusun
Pamong Desa Kepala Dusun
43
b. Kelurahan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. Pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan, kemudian pada pasal 1 ayat 6 yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra lurah dalam memberdayakan masyarakat. Berbeda dengan Pemerintahan Desa, Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan namun pembentukannya berbeda dengan desa, berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Pembentukan Kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih. Kemudian pembentukan kelurahan sebagaimana ayat 1 harus sekurang-kurangnya memenuhi syarat; a. Jumlah penduduk; b. Luas wilayah; c. Bagian wilayah kerja;
44
d. Sarana dan prasarana pemerintahan. Adapun Struktur Organisasi Kelurahan sebagai berikut:
Camat
Lurah
Sekretaris
U1
U2
U3
RW RT
RT
RT
RT
RT
U4 U5
45
BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERUNDANG-UNDANGAN A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor I.
Sejarah Singkat Desa Pemagarsari Desa Pemagarsari berasal dari kampung yang bernama Pemagarsari, Sebelum
pemekaran pada tahun 1982 masuk
ke wilayah Desa Parung. Wilayah yang
dimekarkan yaitu bagian Selatan dari Desa Parung terdiri
dari 3 (tiga) nama
kampung diantaranya : 1.
Kampung Lebak wangi
2.
Kampung Tajur dan
3.
Kampung Sawah
Berdasarkan saran yang telah masuk hingga sampai saat ini, pemekaran Desa Parung bagian Selatan menjadi Desa PEMAGARSARI.1 Desa Pemagarsari sampai saat ini
memasuki Periode ke 4 dari 3 orang
Pemimpin i.
1
Priode I Dipimpin oleh Bapak E. Sulaeman pada Tahun 1982–1992.
Laporan Data Potensi Desa Pemagarsari, (Parung: Kantor Desa Pemagarsari 2009).
46
ii.
Priode II dan III Dipimpin oleh Bapak H. Mamad selama 2 Priode pada Tahun 1992- 2007.
iii.
Priode IV Dipimpin oleh Bapak Achmad Djamaludin pada tahun 2007 sampai dengan saat ini.
II.
Landasan Dasar Pemerintahan Desa Guna mengatur jalannya Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) Pemagarsari bersama-sama dengan Perangkat Desa membuat berbagai peraturan Desa sebagai dasar operasional pelaksanaan kegiatan, yang selanjutnya dijabarkan dan dilaksanakan oleh Kepala Desa selaku Pemerintahan Desa bersama dengan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu LPM, MUD, BKM, PKK Karang Taruna, Ketua Rt dan Rw serta Komponen Masyarakat. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1950 tentang Pemerintahan
Daerah
Kabupaten dalam lingkungan Jawa Barat ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 8 ). 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan Lembaga
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2006
Nomor
4437).
Sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4548 ).
47
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438). 4. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian Desa Dari Hasil Penerimaan Pendapatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2002 Nomor 53). 5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006 Nomor 254). III.
Gambaran Umum Desa Pemagarsari Desa Pemagarsari merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, yang secara geografis berada pada ketinggian 125m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 298,1 mm dan suhu udara berkisar antara 22-14 oC, dan memiliki Luas wilayah seluas 266,068 ha.Yang terdiri dari : 1. Pemukiman
: 147 Ha.
4. Pertanian
: 11 Ha.
5. Ladang
: 70 Ha.
6. Pemakaman
: 6 Ha.
48
7. lain-lain
: 32.068 Ha
Dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial sebagai berikut : -Sebelah Utara
: Desa Parung
-Sebelah Timur
: Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang.
-Sebelah Selatan
: Desa Jabon Mekar
-Sebelah Barat
: Desa Waru Jaya
Peta Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:
49
Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk Desa Pemagarsari pada tahun 2006 berjumlah 11.265 Jiwa Laki-laki
: 5.729 Jiwa
Perempuan
: 5.536 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.411 KK Sedangkan jumlah Penduduk pada tahun 2007 sebanyak 11.305 jiwa. Laki – laki
: 5.751 Jiwa
Perempuan
: 5.554 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.510 KK.2 Karena, letak geografis dan batas-batas wilayah teritorial tersebut, Desa Pemagarsari memiliki daerah yang setrategis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan, pemerintahan, dan pemukiman. IV.
Potensi Desa Pemagarsari a.
Sumber Daya Mansusia Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi yang sangat berpengaruh
terhadap gerak Pembangunan baik Pembangunan Fisik maupun Non Fisik baik sebagai objek maupun sebagai subjek pembangunan. 2
Kantor Desa Pemagarsari Kec. Parung, Kab. Bogor, Tgl 03/04/10.
50
Adapun jumlah mata Pencaharian Anggota Keluarga sebagai berikut :
b.
1.
PNS
:
210
orang
2.
TNI/PORLI
:
3
orang
3.
Karyawan
:
183
orang
4.
Wiraswasta
:
315
orang
5.
Petani/Peternak
:
34
orang
6.
Jasa/ Buruh
:
726
orang
7.
Lainnya
:
4.134 orang
Potensi Pendidikan Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah Desa Pemagarsari memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut : 1. TK / TPA
:
3
buah
2. SD / MI
:
7
buah
3. SLTP
:
2
buah
4. SMA
:
2
buah
51
berdasarkan data tingkat pendidikan masyarakat adalah :
c.
- Tidak Tamat SD
:
283
orang
- Tamat SD
:
290
orang
- Tamat SLTP
:
308
orang
- Tamat SLTA
:
296
orang
- Tamat D.1
:
81
orang
- Tamat D.2
:
54
orang
- Tamat D.3
:
27
orang
- Tamat S.1/Sarjana
:
50
orang
Kesehatan Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sarana dan prasarana
kesehatan yang ada di Desa Pemagarsari adalah : 1. Pos Yandu
:
8
buah
2. Kader Pos Yandu
:
33
orang
3. Bidan Desa
:
2
orang
4. Dukun Beranak
:
5
orang
52
d.
5. Klinik
:
2
buah
6. Rumah Sakit
:
1
buah
Perekonomian Potensi perekonomian di Desa Pemagarsari sebagian besar masyarakat
mempunyai usaha ekonomi yang mampu menggerakan perekonomian, dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jenis Usaha masyarakat diantaranya : 1. Usaha agrobisnis tanaman
:
100
orang
2. Usaha kerajinan Bordir/mute
:
5
kelompok
3. Usaha kerajinan anyaman
:
2
kelompok
4. Usaha aneka makanan ringan
:
4
orang
5. Usaha Menjahit pakaian
:
4
orang
6. Usaha pembudidayaan lele
:
2
Kelompok
7. Usaha kerajinan Pot Bunga
:
1
orang
8. Usaha pedagang buah-buahan
:
15
orang
9. Usaha warung/rumah makan/toko
:
200
orang
53
V.
10. Usaha Sablon pakaian
:
4
kelompok
11. Usaha Jahit dan Bordir
:
6
kelompok
12. Usaha kerajinan rotan
:
1
orang
13. Usaha Pembuatan Roti
:
1
orang
14. Usaha Peternakan Ayam Potong
:
5
orang
15. Usaha Counter HP
:
20
orang
Bidang
Pemerintahan,
Pembangunan
dan
Kesejahteraan
Sosial
Masyarakat Pemerintahan Desa Pemagarsari menganut struktur Organisasi Pola Maksimal yaitu terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Kaur Perekonomian, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan, Kaur Kesra, Kaur umum dan Bendaharawan Desa Dengan jumlah perangkat desa seluruhnya sebanyak 11 orang. Dalam pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan telah dilaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Pelayanan administrasi Kependudukan Kepemilikan KTP, KK, dan Akta kelahiran. 2. Pelayanan pertanahan berupa penerbitan surat keterangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan.
54
3. Penagihan Pajak Bumi dan Bangun (PBB) 4. Pembinaan administrasi Rt dan Rw.dan 5. Kegiatan administrasi dibidang Pemerintahan Adapun Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pemagarsari Sebagai Berikut: BPD
KEPALA DESA
SEKRETARIS
KAUR
KAUR
KAUR
PELAKSANA TEKNIS LAPANGAN AMIL
IA.
II
III
IV
V
KAUR
KAUR
KAUR
UNSUR WILAYAH
KADUS I
KADUS II
55
B. Hubungan Pemerintahan Desa Sebagai Unit Ulil Amri Yang Terkecil Dalam al-Qur’an Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan terkecil yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan memiliki hak dan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Sebagai Unit Pemerintahan dalam skala yang lebih kecil, Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, begitu pula dalam perspektif Hukum Islam, Pemerintahan Desa mempunyai tugas sebagai pemegang amanat kekuasaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya di dalam rumah tangganya
sendiri
demi
tercapainya
pelaksanaan
pembangunan
dan
kesejahteraan umum yang merata bagi warga masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai pelaksana amanat yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintahan Desa mempunyai wewenang untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat: 58 yang berbunyi:
56
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (Q.S. al-Nisa: 58). Sebagai pelaksana amanat dari Pemerintahan pusat dan Daerah, Pemerintahan Desa mempunyai kewenangan dan hak-hak di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dalam hal ini yang menjadi hak-hak Pemerintahan Desa adalah sebagai Ulil Amri dimana warga masyarakat mempunyai kewajiban menaati Ulil Amri agar terealisasinya pelaksanaan tugas-tugas yang menjadi kewenangannya di segala bidang dalam unit lingkup pemerintahan desa. Sebagaimana dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang kewajiban menta’ati Ulil Amri dalam Surat al-nisa ayat 59 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya dan Ulil Amri diantara kalian. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan), kembalikanlah ia pada (kitab) Allah dan (sunnah) Rasul, jika kamu benarbenar beriman terhadap Allah dan hari kemudian, itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”. (Q.S. al-Nisa: 59) Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Shalih Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
57
،
، ،
،
Artinya: “Sepeninggalanku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan mereka, dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian dan mereka, dan jika berbuat jahat, maka kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.” 3 C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Ajaran Islam telah banyak dijelaskan tentang pentingnya masalah Pemerintahan baik yang menyangkut urusan duniawi maupun urusan ukhrawi, hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, didalamnya terdapat sistem ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Namun dalam skripsi ini lebih menerangkan tentang pandangan Hukum Islam mengenai Kedudukan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang prinsip kepemimpinan yaitu dalam Surat Ali Imran ayat 118 yang berbunyi: 3
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara
Dalam Syari’at Islam), (Darul Falah, Jakarta. 2007). hal.2.
58
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dimulut mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya”. (Q.S. Ali Imran: 118). Dengan demikian jelaslah pentingnya Pemerintahan baik Pusat maupun Daerah, maka dengan adanya tugas pembantuan yang diemban oleh Pemerintahan
Desa
diharapkan
warga
masyarakat
dapat
langsung
menyalurkan aspirasinya melalui orang-orang yang dipercayainya di tingkat pemerintahan desa, karena dalam al-Qur’anpun pada Surat Ali Imran ayat 118, Allah memerintahkan ummatNya untuk mengambil dan menjadikan orang-orang yang dipercaya di dalam menjalankan roda pemerintahan pusat maupun desa yaitu orang-orang berasal dari golongannya, karena dianggap lebih dapat dipercaya dan lebih mengetahui asal usul dan adat kebiasaan masyarakat sehingga dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan dipilihnya kepala pemerintahan dari golongan sendiri maka
59
lembaga imamah (pemerintah) mempunyai tugas dan tujuan umum sebagaimana telah dikemukakan Imam Al-Mawardi yaitu: Pertama, mempertahankan dan memelihara agama dan prinsipprinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ oleh salaf (generasi pertama umat Islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum diantara pihakpihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta. Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan. Kelima, membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam, jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. Kesembilan, meminta nasehat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala Negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.4 Menurut Al-Ghazali, tugas dan tujuan lembaga pemerintahan adalah lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at, mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan 4
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (PT. Rajawali Pers, Jakarta). Hal. 260.
60
urusan agama. Ia juga berfungsi sebagai lambing kesatuan umat Islam demi kelangsungan sejarah umat Islam.5 Di Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maka, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi pergantian Undang-Undang namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai desa tetap. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Bab IV Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Bagian Kesatu Pasal 11 disebutkan bahwa yang dimaksud Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan BPD. Kemudian dijelaskan kembali pada bagian kedua Tentang Pemerintahan Desa paragraf Pasal 12 disebutkan; 1) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. 2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.
5
Ibid h. 260.
61
3) Perangkat Desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas a. Sekretariat Desa; b. Pelaksana Teknis Lapangan; c. Unsur Kewilayahan. 4) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. 5) Susunan Organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa. Adapun Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa diatur dalam Pasal 14 yaitu: 1) Kepala
Desa
mempunyai
tugas
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.6 2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD; b. Mengajukan rancangan peraturan desa; 6
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h.279.
62
c. Menetapkan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD; d. Membina kehidupan masyarakat desa; e. Membina kehidupan masyarakat desa; f. Membina perekonomian desa; g. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif; h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan i. Melakukan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.7 Dalam Pasal 15 dijelaskan sebagai berikut: 1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Kepala Desa mempunyai kewajiban: a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 7
Ronal Siahaan, dkk. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan dan Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta Indonesia). h. 21.
63
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. Melaksanakan kehidupan demokrasi; e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme; f. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa; g. Menaati dan menegakan seluruh peraturan perundang-undangan; h. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik; i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa; j. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa; k. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; l. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa; m. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;8 n. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
8
Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum, (Madyan Press Yogyakarta, Yogyakarta).
2002. h. 242.
64
2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai
kewajiban
untuk
memberikan
laporan
penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada
BPD,
serta
menginformasikan
laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. 3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun. 4) Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun musyawarah BPD. 5) Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya. 6) Laporan
sebagaimana
Bupati/Walikota
sebagai
dimaksud
pada
ayat
dasar
melakukan
(3)
digunakan
evaluasi
oleh
penyelenggaraan
pemerintahan desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut. 7) Laporan
akhir
masa
jabatan
Kepala
Desa
disampaikan
kepada
Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada BPD. Adapun Prinsip yang diajarkan dalam Islam yaitu Musyawarah sebagaimana Allah telah memerintahkan umatNya untuk selalu menyelesaikan dan mengatur
65
usrusan pemerintahan dengan cara musyawarah (syura), dalam Surat Ali Imran ayat 159 dan Surat Al-Syura ayat 38 Allah berfirman:
Artinya: Maka disebakan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya. (Q.S. Ali Imran :159)
Artinya: Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan Shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. al-Syura : 38) Dalam kajian Fiqh Siyasah dikenal istilah Ahl al-hall wa al-‘aqd yang artinya “Orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat” istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya
66
antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung. Karena itu ahl al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh Imam Al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantara ahl al-imamat (golongan yang berhak dipilih) untuk menjadi khalifah. 9 Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah ahl al-hall wa al-‘aqd didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fiqih diklaim sebagai ahl al-hall wa al-‘aqd yang bertindak sebagai wakil umat.10 Walaupun sesungguhnya pemilihan itu, khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama. Namun kemudian kedua tokoh itu mendapat pengakuan dari umat. Dalam hubungan ini tepat definisi yang dikemukakan oleh Dr. Abdul Karim Zaidan. “Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpungan langsung kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, taqwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.”
9
Muhammad Tahir Azhariy, Negara Hukum (Suatu Studi Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Kencana, Jakarta. 2004). h. 112. 10
Taufiq al-Syawi, Syuro Bukan Demokrasi, (Gema Insani Press, Jakarta). 1997. h. 279.
67
Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd merupakan suatu lembaga pemilih. Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakilwakil rakyat, dan salah satu tugasnya memilih khalifah atau kepala Negara. Ini menunjukkan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam pemikiran ulama fiqih, dan kecendrungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan. Ini dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat Daerah dan sampai unit pemerintahan terendah di Indonesia yaitu di tingkat Desa dikenal adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagaimana telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan pada bagian ketiga Pasal 29 disebutkan bahwa BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, Pasal 30 berisi sebagai berikut: 1) Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. 2) Anggota BPD sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari ketua dari Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. 3) Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
68
Pasal 31 Jumlah Anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk dan kemampuan keuangan desa. Pasal 32 1) Peresmian anggota BPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. 2) Anggota BPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama
di
hadapan
masyarakat
dan
dipandu
oleh
Bupati/Walikota. Pasal 33 1) Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang Ketua, 1 (orang) orang Wakil Ketua, dan 1 (satu) orang Sekretaris. 2) Pimpinan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus. 3) Rapat pemilihan Pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Pasal 34 BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pasal 35 BPD mempunyai wewenang:
69
a. Membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa; b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa; c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa; e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; menyusun tata tertib BPD. Pasal 36 BPD mempunyai hak : a. Meminta keterangan kepada Pemerintah Desa; b. Menyatakan pendapat. Pasal 37 (1) Anggota BPD mempunyai hak : a. Mengajukan rancangan peraturan desa; b. Mengajukan pertanyaan; c. Menyampaikan usul dan pendapat; d. Memilih dan dipilih; dan e. Memperoleh tunjangan. (2) Anggota BPD mempunyai kewajiban : a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundangundangan; b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;
70
c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Menyerap,
menampung,
menghimpun,
dan
menindaklanjuti
aspirasi
masyarakat; e. Memproses pemilihan kepala desa; f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompk dan golongan; g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan. Pasal 38 1) Rapat BPD dipimpin oleh Pimpinan BPD. 2) Rapat BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota BPD, dan keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.11 3) Dalam hal tertentu Rapat BPD dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD, dan keputusan ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya ½ (satu per dua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota BPD yang hadir. 11
http//www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10.
71
4) Hasil Rapat BPD ditetapkan dengan Keputusan BPD dan dilengkapi dengan notulen rapat yang dibuat oleh Sekretaris Desa. Pasal 39 1) Pimpinan dan anggota BPD menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. 2) Tunjangan pimpinan dan anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam APD Desa. Pasal 40 1) Untuk kegiatan BPD disediakan biaya operasional sesuai kemampuan keuangan desa yang dikelola oleh Sekretaris BPD. 2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam APD Desa. Pasal 41 1) Pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. 2) Pimpinan dan Anggota BPD dilarang : a. Sebagai pelaksana proyek desa; b. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;
72
c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; d. Menyalahgunakan wewenang; dan e. Melanggar sumpah/janji jabatan. Pasal 42 1) Ketentuan lebih lanjut mengenai BPD, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat : a. Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; b. Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota; c. Pengesahan penetapan anggota; d. Fungsi, dan wewenang; e. Hak, kewajiban, dan larangan; f. Pemberhentian dan masa keanggotaan; g. Penggantian anggota dan pimpinan; h. Tata cara pengucapan sumpah/janji; i. Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja; j. Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; k. Hubungan kerja dengan kepala desa dan lembaga kemasyarakatan;
73
l. Keuangan dan administratif. Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya. Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. 12
12
http://www.thamrin.wordpress.com/kewenangan-desa-antara-mimpi-dan-kenyataan., Diakses Tgl 3/04/10.
74
BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA PEMAGARSARI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum Islam Dan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pada Bagian Kedua disebutkan tentang Sumber Pendapatan Desa, yaitu pada Pasal 68: 1) Sumber pendapatan desa terdiri atas : a. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;1 b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus),
1
http//www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10.
75
yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; d. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; e. Hibah atau sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. 2 2) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d disalurkan melalui kas desa. 3) Sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pasal 69 Kekayaan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. Tanah kas desa; b. Pasar desa; c. Pasar hewan; d. Tambatan perahu; e. Bangunan desa; f. Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan 2
Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan dan Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta Indonesia). h. 34.
76
g. Lain-lain kekayaan milik desa. Pasal 70 1) Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. 2) Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah Kabupaten/Kota. 3) Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pasal 71 1) Pemberian hibah atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada desa. 2) Sumbangan yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APD Desa. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Bagian Kelima dijelaskan tentang Badan Usaha Milik Desa
77
Pasal 78 1) Dalam menigkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa.3 2) Pembentukan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundangundangan. 3) Bentuk Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan hukum. Pasal 79 1) Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) adalah usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. 2) Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari : a. Pemerintah Desa; b. Tabungan Masyarakat; c. Bantuan
Pemerintah,
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota; d. Pinjaman; dan/atau e. Penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.
3
Ibid. hal.35.
78
3) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan masyarakat. Sumber pendapatan Desa dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD). Kepala Desa dan BPD menetapkan APBD setiap tahun dengan Peraturan Desa. Pedoman penyusunan APBD ditetapkan oleh Bupati. Tata cara dan pungutan objek pendapatan dan belanja desa ditetapkan bersama antara kepala desa dan Badan Perwakilan Desa.4 Adapun sumber-sumber pendapatan masyarakat Desa Pemagarsari cukup bervariatif, yaitu dibidang perekonomian juga telah dilaksanakan pembinaan usaha ekonomi masyarakat seperti Tanaman hias, Home industri, kerajinan rakyat yaitu berupa bimbingan keterammpilan, manajemen usaha serta pemasarannya
Desa
Pemagarsari dapat dikatagorikan sebagai daerah sentra produk diantaranya: kerajinan tangan (beading), Industri Pembuatan Obat Tradisional, agro bisnis tanaman hias dan pertanian perikanan lele jumbo, saat ini dari ke empat produk diatas merupakan produk unggulan desa pemagarsai. Selain dari ke empat produk tersebut, sebagian masyarakat juga membuka usaha kerajinan anyaman, aneka makanan ringan, usaha bordir, usaha sablon, usaha rumah makan, usaha warung sembako /lansam, peternak ayam broiler, bengkel sepeda motor dan lain-lain.5
4
HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers. Jakarta. 2003). h. 131. 5
2009.
Hasil Ekspos Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM) Desa Pemagarsari. Tahun
79
Adapun rincian usaha yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM) Desa Pemagarsari untuk memberdayakan dan memberikan dukungan kepada masyarakat, yaitu: 1. Bidang industri kecil /industri rumah tangga a. Beading (pemasangan manik-manik) b. Bordir pakaian dan kerudung c. Sablon pakaian dan kerudung d. Keripik pisang/singkong e. Rias pengantin atau salon f. Pembuatan kue pengantin atau catering g. Pelatihan perbengkelan h. Pengrajin sepatu 2. Bidang petanian dan perikanan a. Mengembangkan tanaman hias b. Budi daya ikan lele c. Peternak ayam broiler 3. Perdagangan umum a. Warung lansam /sembako b.
Rumah makan
c. Konter HP.
80
`
Adapun Dalam Ajaran Islam yang menjadi sumber-sumber pendapatan
pemerintah yaitu Ghanimah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. ketika Daulah Khilafah Islamiyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal dari pos ini. Kemudian sumber-sumber pendapatan pemerintah dalam Islam juga berasal dari Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah. ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-ekonomi. Potensi zakat di Indonesia saat ini dengan asumsi yang minimalis diperkirakan sekitar Rp 103.5 triliun.6
Kepemilikan Negara (State Ownership) Yaitu hukum-hukum syara’ yang menetapkan pengelolaannya didasarkan kepada pandangan khallifah, seperti harta pajak, kharaj dan jizyah. Berdasarkan hal ini maka harta fa’i, pajak, kharaj, jizyah dan sebagainya merupakan harta milik Negara, karena Rasulullah saw mengelola semua jenis harta itu berdasarkan pendapatnya. Allah Swt berfirman :
6
http://www.mit-itb.blogspot.com/syariat-islam-dalam-pengelolaan
tanggal 02/04/10.
sumber.html.diakses
81
Artinya: Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (QS. al-Hasyr (59): 7). Secara ringkas, politik ekonomi dalam Islam bisa dipaparkan sebagai berikut:
1. Wajib memenuhi seluruh kebutuhan primer (pokok) bagi setiap individu rakyat, seluruhnya, dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier semaksimal mungkin. Allah swt berfirman :
Artinya: Dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).
82
Artinya: 272. Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). 273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 272-273).
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.(Q.S. al-Taubah :60).
83
Jelaslah bahwa Islam memperhatikan berbagai permasalahan ekonomi, baik mengenai kefakiran, alokasi dan distribusi yang buruk, tidak adanya produktifitas, atau tidak adanya harta kekayaan. Islam mendorong kaum Muslim untuk membahagiakan orang-orang fakir dan miskin, agar memungkinkan mereka bisa memenuhi seluruh kebutuhan primernya, dan Islam mewajibkan Negara untuk memenuhi hal itu.7 2. Memandang semua orang yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai manusia, sebelum memandang dari sisi lain, baik itu dari segi agama ataupun suku. Saat yang sama juga memandang setiap manusia sebagai individu, bukan sebagai kumpulan individu dalam masyarakat. Islam mendorong manusia untuk berusaha dalam mencari rizkinya. Allah swt berfirman:
Artinya: Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk [67]: 15). Nabi Muhammad saw bersabda:
ﻂﱡ 7
Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat, (Pustaka Thariqul Izzah, Penyunting; Dede Koswara, Jakarta. 2004). h. 246.
84
artinya: Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari makan makanan kecuali hasil jerih payahnya sendiri.
:
ﻔﱢ
:
ﻔﱢ
) (
artinya: Sesungguhnya dari berbagai dosa itu ada dosa yang tidak bisa terhapus oleh puasa dan juga tidak oleh shalat. kemudian ada yang bertanya: ‘Apakah yang bisa menghapusnya wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: ‘kesungguhan dalam mencari rezeki’.
(
)
artinya: Imam (khalifah) itu adalah seorang pemimpin. bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya.
dan
dia
Inilah paparan singkat seputar sistem ekonomi Islam. Apabila kita pelajari sejarah, kita akan menemukan bahwa Negara Islam benarbenar telah menerapkan sistem ekonomi ini terhadap rakyatnya. Negara telah memungut harta dari sumbernya, seperti zakat, kharaj, dan
jizyah,
lalu
mengembalikan
harta
tersebut
dan
mendistribusikannya kepada mereka yang berhak. Negara Islam juga mengambil cukai di sepanjang perbatasan dan dari pedagang nonMuslim.
85
B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan Pada
dasarnya
Pembangunan
Desa
adalah
seluruh
kegiatan
pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong royong. Pembangunan desa diarahkan untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas hidup, keterampilan dan prakarsa dengan mendapat bimbingan dan bantuan dari aparatur pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing.8 Mengacu
pada
pengertian
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembangunan desa ditunjukkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan demikian rakyat pulalah yang harus melaksanakan dan memelihara hasilnya serta meneruskan langkah pembangunan selanjutnya. Pembangunan desa secara operasional dimaksudkan sebagai proses dimana usaha-usaha masyarakat desa dipadukan dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengintegrasikan kehidupan bangsa dan memungkinkan mereka memberikan sumbangan sepenuhnya kepada kemajuan nasional.
8
Syamsir Salam & Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2008). h. 48.
86
Pembangunan
masyarakat
desa
(Community
Development)
mengandung makna pembangunan dengan pendekatan kemasyarakatan, dan pengorganisasian
masyarakat.
Sedangkan
pembangunan
desa
(rural
development) pengertiannya lebih luas, karena di dalamnya mencakup pembangunan masyarakat desa, dimana terintegrasi usaha-usaha pemerintah dan masyarakat dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Dengan
demikian
untuk
mewujudkan
desa-desa
yang
terus
berkembang, yakni dari desa swadaya, desa swakarsa menjadi desa swasembada, perlu adanya sistem yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan pemerintah dan masyarakat antara lain dalam bentuk program pembangunan secara terpadu.9 Secara garis besar yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pembangunan desa adalah: (1). Di tingkat pusat adalah Menteri Dalam Negeri yang
mempunyai
tanggungjawab
mengadakan
kerjasama
di
bidang
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa dengan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait. (2). Di tingkat daerah adalah Gubernur, Bupati, Camat, dan Kepala Desa/Kelurahan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala wilayah.
9
Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, (Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 1996). h. 136.
87
Pembangunan desa sebagai bagian dari pembangunan nasional tentu memiliki tujuan yang tidak lepas dari pembangunan secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tujuan pokok dari pembangunan desa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, Tujuan jangka pendek, yaitu: menaikkan taraf hidup rakyat khususnya rakyat pedesaan yang berarti menciptakan situasi dan kondisi kekuatan dan kemampuan desa dan masyarakat desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyata untuk tahap-tahap pembangunan selanjutnya. Kedua, Tujuan jangka panjang, yaitu tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam hubungannya dengan sasaran pembangunan desa ditujukan untuk menaikan produksi yang potensial yang dimiliki masyarakat desa dan meningkatkan kesejahteraan dalam rangka pembangunan ekonomi. Islam merupakan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) di dalam ajarannya berisikan tentang banyak hal, masalah pembangunan dan kesejahteraan merupakan masalah yang sangat penting karena dengannya kehidupan akan berjalan dengan baik. Manusia di muka bumi ini yang berkedudukan sebagai khalifah mempunyai amanat dari RabbNya untuk senantiasa menjalankan kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya. Bahwa segala
hal
yang
diperbuat
di
dunia
ini
kelak
akan
dimintai
pertanggungjawabannya, terlebih dalam Islam diajarkan bahwa perbuatan yang paling baik ialah pekerjaan yang dilakukan oleh jerih payah usaha
88
sendiri baik di bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan, karena semua itu merupakan sumber mata pencaharian yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di pedesaan meskipun untuk saat ini mata pencaharian masyarakat desa bukan hanya sekadar di bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan saja. dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman:
artinya: lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian dari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. al-Jumu’ah; 10) Untuk menghilangkan kesan bahwa perintah shalat dilakukan seharian penuh, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang Yahudi pada hari Sabtu, ayat diatas melanjutkan dengan menegaskan; Lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka jika kamu mau, maka bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan apapun yang dibenarkan Allah dan carilah dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia Allah, karena Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya, dan ingatlah Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya itu melengahkan kamu. Berdzikirlah dari saat ke saat dan setiap
89
tempat dengan hati atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu dambakan.10
artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qashash [28]: 77). Muhammad Asad dalam ayat ini mengatakan bahwa dalam ungkapan “dan janganlah kamu melupakan” terkandung suatu himbauan untuk menjadi dermawan sekaligus untuk bersifat pertengahan. Kedua himbauan itu sesungguhnya sejalan dengan pesan keadilan dalam term al-wasath yang merupakan karakteristik masyarakat yang dibangun oleh Al-Qur’an. Dengan kata lain, ummah wasath yang menjadi ciri masyarakat beriman, ditandai oleh keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dengan pemenuhan kebutuhan ukhrawi, sebagai umat penengah antara rasul dan manusia yang menerjemahkan keteladanan rasul bagi segenap manusia. Tindakan ekstrem materialistik yang terlalu cenderung bersifat duniawi,
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14, (Lentera Hati. Jakarta. 2002). h. 229.
90
sebagaimana yang disimbolkan dengan Qarun jelas merupakan peringatan Al-Qur’an yang paling keras.11 Sejarah mencatat bahwa kondisi masyarakat kota Madinah yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW, dimana kehidupan masyarakat Madinah pada saat itu sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society. Islam sebagai agama universal dalam pandangan Abdurrahman Wahid tidak mengatur bentuk Negara yang terkait dengan konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan sebagai kepala Negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan Negara. Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. Selain itu Nabi Muhammad juga terbuka terhadap peradaban lain, di samping sifat universalisme Islam. Dalam Islam sendiri terdapat lima jaminan dasar dalam pengembangan peradaban, yaitu: 1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum;
11
Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. Keadilan Dalam Al-Qur’an, (Hijri Pustaka Utama. Jakarta. 2008). h. 163.
91
2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama; 3. Keselamatan keluarga dan keturunan; 4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; 5. Keselamatan profesi. Oleh Karena itu Reformasi pertanahan, kendatipun suatu keharusan dalam rangka mengurangi konsentrasi kekayaan, tidak sendirinya menjadikan NegaraNegara Muslim lebih dekat kepada realisasi maqhasid (pencapaian tujuan-tujuan), kecuali ada upaya-upaya serentak untuk menghapuskan kelemahan yang diderita oleh sektor pertanian. Kelemahan-kelemahan yang telah mengurangi efisiensi hasil panen di sektor ini, memperburuk yang pengangguran di desa, menekankan pendapatan mereka, dan memperlama kesenjangan. Hambatan yang paling serius adalah ketiadaan infrastruktur yang efisien, seperti jalan-jalan, sekolah, listrik dan fasilitas kesehatan, disebabkan oleh minimnya anggaran pemerintah untuk sektor pertanian. Tidak seperti Negara-Negara Industri kaya, yang mendorong para petaninya melalui berbagai intensif, seperti proteksi dari impor, mayoritas Negara-negara berkembang melakukan diskriminasi terhadap sektor pertanian. Mereka mencoba menggantikan dampak inflasioner yang disebabkan oleh defisit anggaran pemerintah dengan menaikan nilai tukarnya terlalu tinggi dan mengontrol harga bahan makanan.
92
Kebijakan-kebijakan
demikian
berdampak
buruk
pada
pertanian,
meningkatkan ketergantungan pada impor, mengurangi volume ekspor, dan menekankan pendapatan penduduk pedesaan. Penekanan pendapatan penduduk pedesaan diikuti sistem penguasaan tanah yang tidak adil, tidak mampu menghasilkan surplus yang cukup bagi petani penggarap sehingga mereka pada akhirnya tidak dapat melakukan investasi di pertanian dan industri-industri mikro. Hal ini juga memperburuk pengangguran di desa. Dengan demikian, kita melihat adanya lingkaran kemiskinan, kecilnya nilai inventasi menurunkan hasil panen dan menambah pengangguran. Tekanan penduduk di wilayah-wilayah perkotaan dengan sendirinya meningkat, yang menyebabkan penurunan pada upah di perkotaan menimbulkan wilayah-wilayah kumuh dengan kondisi lingkungan yang teramat susah. Karena itu, akar persoalan di wilayah pedesaan adalah distribusi pendapatan dan bukan teknik pertanian. Hambatan serius lainnya yang dihadapi oleh sektor pertanian adalah kurangnya ketersediaan pembiayaan bagi petani kecil dan industri-industri mikro. “Meminjam modal yang konstan kepada para pedagang dan para rentener atau keluarga yang telah memperpanjang kemiskinan”. Akibatnya adalah bahwa para petani kecil tidak memiliki biaya untuk membeli faktor-faktor produksi yang berkualitas unggul dan juga tidak mampu menjalankan roda industri kecil untuk meningkatkan pendapatan mereka dalam memberdayakan dirinya secara penuh.
93
Karena itu, suatu distribusi kepemilikan tanah yang merata tidak dengan mudah dicapai kecuali sejumlah persiapan yang matang dibuat untuk menyediakan pembiayaan yang memadai, bukan saja bagi pembiayaan pertanian, tetapi juga bagi industri-industri mikro di wilayah pedesaan sehingga para petani mempunyai sumber pendapatan dan pekerjaan tambahan agar kondisi kehidupannya membaik. Hal itu harus dilakukan secara alamiah dalam kerangka kerja alternatif dari sistem yang berbasis bunga dan dapat dikembangkan sehingga sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Reformasi
pertanahan
yang didukung oleh
tindakan-tindakan
untuk
membebaskan petani miskin dari ketidakadilan dan defisiensi yang mereka derita, diharapkan tidak hanya membantu memperluas produktivitas sektor pertanian, tetapi juga diharapkan tidak hanya membantu memperluas produktivitas sektor pertanian, tetapi juga diharapkan mampu mengurangi daya tarik kota yang mempesona sehingga membantu, membalik arus perpindahan penduduk dari desa ke kota dan mengurangi kepadatan kota dan kejahatan. Demikian juga perlu adanya suatu perubahan dalam sikap dan kebiasaan-kebiasaan kerja di wilayah pedesaan. Hal ini bisa dicapai lebih cepat dan efektif jika perubahan sosial diinspirasi oleh Islam. Masjid-masjid yang sudah berperan penting dalam kehidupan desa dan penggunaannya yang tepat dapat membuka jalan yang efektif dalam memainkan karakteristik yang diinginkan di kalangan penduduk pedesaan. Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-A’raaf ayat 96 Allah SWT berfirman:
94
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (al-A’raaf: 96.) C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Dari pemaparan bab demi bab, maka penulis beranggapan bahwa persoalan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa dianggap sebagai hal yang sangat signifikan, hal ini dikarenakan pembangunan di tingkat nasional banyak dipengaruhi oleh perkembangan di daerah terutama di tingkat pedesaan. Dan hal ini memungkinkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat dibenarkan.
Ruang lingkup tanggung jawab dari birokrasi bukan hanya melakukan pelayanan publik secara universal dan optimal, melainkan birokrasi tentu harus mengupayakan pemerataan dalam kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan (dalam arti luas) kepada masyarakat. Akselerasi pembangunan memang telah dirasakan semenjak terselenggaranya reformasi di berbagai sektor.
Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah banyak dilakukan sejak dari dahulu hingga sekarang, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan
95
kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat sebagai :
1. Upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat; 2. Upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh.
Pembangunan pedesaan bersifat multiaspek oleh karena itu, perlu keterkaitan dengan bidang sektor, dan aspek di luar pedesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosial dan budaya).
Menurut Rahardjo Adisasmita tujuan pembangunan pedesaan jangka panjang adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sehingga harus disadari bahwa hakekat dari pembangunan nasional secara komprehensif adalah dengan meletakkan pondasi atau penopang yang kokoh pada pembangunan di tingkat desa. 12
Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala Desa diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang terdapat dalam satu koin, yang
12
http//www. uzumaki86.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 04/05/10.
96
berarti bahwa BPD dengan Kepala Desa merupakan mitra kerja yang bersifat sejajar dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan aspek pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara Kepala Desa dengan BPD bersifat sangat dinamis. BPD sebagai wakil rakyat dengan segala hak yang dimilikinya dapat menjadi alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam pengertian Checks and Balances System dalam sistem pembagian kekuasaan yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.13
Dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Desa (khususnya di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) terdapat kebijakan yang dilakukan oleh Kepala Desa selaku eksekutif di tingkat desa bersama BPD yaitu membuat peraturan desa (PERDES) serta musyawarah pembangunan desa sebagai bentuk kebijakan yang dapat membangun dan mensejahterakan kehidupan masyarakat desa.14 Namun dalam praktiknya di lapangan terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Penerapan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang 13
Pemerintah
Daerah
seharusnya
menghasilkan
penyelelenggaraan
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Rajawali Pers. Jakarta. 2009). h.
290. 14
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h.279.
97
pemerintahan yang lebih baik, lebih praktis dan lebih nyata pada Pemerintahan Daerah ditambah lagi dengan peraturan pelaksananya di tingkat desa yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, seharusnya sektor pembangunan dan kesejahteraan masyarakat terutama di tingkat desa meningkat dan terjamin oleh Negara, namun berdasarkan penelitian yang penulis temukan di lapangan bahwa masih terdapat kendala untuk merealisasikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat terutama di tingkat desa, diantaranya lambannya bantuan yang turun dari Pemerintah Pusat ke daerah dan desa sehingga menghambat proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan, diantaranya pembangunan infrastruktur seperti jalan-jalan protokol yang biasa dipergunakan sarana transportasi masyarakat setempat yang tersendat pembangunan dan perbaikannya sehingga menyulitkan warga ketika melakukan aktifitas karena jalannya rusak, di samping itu faktor internal yang menjadi hambatan pembangunan di desa yaitu minimnya informasi dan juga masih kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tentang pentingnya pembangunan. Selain faktor-faktor penghambat diatas, berdasarkan pengamatan penulis di lapangan bahwa masih banyak terjadi kesalahan di dalam pendataan tentang warga masyarakat yang berhak menerima bantuan, seperti terjadinya pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kurang tepat sasaran, dan juga kurangnya sosialisasi jaminan kesehatan daerah (JAMKESDA) kepada warga masyarakat sehingga
98
pelayanan kesehatan yang murah bahkan gratis yang semestinya diperoleh oleh warga yang kurang mampu tidak dapat terealisasikan dengan baik. Atas dasar hal tersebut, pihak tokoh masyarakat mengupayakan agar BPD seharusnya lebih jeli lagi di dalam mengawasi roda pemerintahan di desa sehingga berjalan dengan baik. Selain itu, berdasarkan Penelitian yang penulis lakukan di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Bahwa pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Desa Pemagarsari banyak dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat setempat, untuk saat ini dari hasil penelitian yang penulis dapatkan di lapangan bahwa pembangunan di Desa Pemagarsari bersumber dari swadaya masyarakat setempat dan juga bantuan dari Pemerintah Daerah, retribusi daerah serta dana lain yang berasal dari para pihak ketiga atau donatur. Sebagaimana dalam ajaran Islam yaitu adanya konsep saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan yaitu dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat: 2:
99
Artinya: 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang qalaaid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Sebagai contoh swadaya yang berasal dari masyarakat yaitu dengan adanya sistem keamanan lingkungan atau ronda yang dilaksanakan masyarakat di setiap Rukun Tetangga (RT) membuahkan hasil yang cukup signifikan yaitu dengan mewajibkan warga masyarakat di lingkungannya, dimana setiap warga diwajibkan untuk menaruh uang sebesar Rp. 1000,00 atau beras satu gelas di setiap rumah, yang nantinya akan diambil oleh petugas ronda. Maka jika dikalkulasikan dari jumlah pendapatan ronda yang dilakukan setiap malam dapat mengumpulkan dana untuk program pembangunan jalan/infrastruktur desa dan juga dapat membantu Program Pemerintah yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, selain itu dari hasil pendapatan ronda itu juga sebagian dialokasikan sebagai dana sosial untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Adapun faktor lain yang penulis temukan di lapangan bahwa faktor Agama dalam aspek pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sangat erat kaitannya bahkan merupakan salah satu sumber kesejahteraan masyarakat Desa Pemagarsari, hal ini terbukti dengan banyak lembagalembaga pendidikan keagamaan dari tingkat anak-anak, dewasa sampai orang tua.
100
Dengan adanya pengajian-pengajian misalnya di kalangan ibu-ibu yang dilakukan di setiap Majlis Ta’lim yang ada di Desa Pemagarsari, setiap kali pertemuan selain untuk silaturrahmi dan menuntut ilmu, ibu-ibu pengajianpun rutin menggalangkan dana sosial untuk kesejahteraan yang ditujukan untuk kaum dhua’fa dan anak-anak yatim, selain dari ibu-ibu pengajian, kaum bapakpun demikian melakukan penggalangan dana untuk dua’fa, lansia (lanjut usia) dan yatim. Dimana setelah dana terkumpul, semua dana tersebut akan disalurkan kepada yang berhak menerimanya yaitu melalui Yayasan Darul Aitam, yaitu yayasan yang ada di Desa Pemagarsari, biasanya penyaluran dana bantuan/swadaya masyarakat tersebut disalurkan pada setiap Perayaan Hari Raya Besar Islam (PHBI) seperti dilakukannya santunan untuk dua’fa, lanjut usia (LANSIA) dan yatim yang dilaksanakan pada tanggal 1 alSyura/Tahun baru Islam dan juga menjelang hari Raya Idhul Fitri. Berdasarkan realitas diatas, maka menuju arus globalisasi peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa seharusnya ditingkatkan, karena bagaimanapun majunya suatu negara ditentukan pula oleh perkembangan pembangunan dan kesejahteraan di tingkat yang terendah yaitu pedesaan. Pada akhirnya, keberadaan Pemerintah Desa dan BPD diharapkan dapat menjembatani asas tugas pembantuan (medebewind) yang diamanatkan dari Pemerintah Pusat ke Daerah demi terlaksananya pembangunan dan kesejahteraan umum yang meningkat dan merata.
101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan datadata yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang menyangkut masalah proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum di tingkat desa, maka kesimpulannya sebagai berikut: I.
Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya. Dalam pembangunan di desa setelah adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa semakin meningkat
102
karena di desa diberikan keluasan di dalam mengatur warga masyarakatnya sesuai adat atau kebiasaan yang berlaku. Selain itu saat ini di dalam struktur pemerintahan desa, adanya lembaga yang dibentuk sebagai fungsi kontrol terhadap roda pemerintahan desa dalam hal ini yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku legislatif desa yang beranggotakan para tokoh masyarakat menjadikan pemerintahan desa lebih lengkap karena adanya BPD maka cheks and balances terhadap kepala desa selaku eksekutif berjalan dengan baik, karena dengan adanya BPD di tingkat desa maka segala keputusan desa atau peraturan desa tidak dapat dibuat secara sewenang-wenang karena di dalam membuat kebijakan Badan Pemrmusyawaratan Desa (BPD) diikutsertakan. II.
Adapun Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dan juga masih minimnya sarana informasi bagi masyarakat sehingga sosialisasi dalam aspek pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat belum berjalan efektif.
III.
Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam Perspektif
Hukum
Islam
dan
Peraturan
Perundang-undangan
sudah
bersesuaian dengan ajaran Islam dan peraturan yang ada namun masih ada beberapa yang harus ditingkatkan kembali demi tercapainya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata.
103
B. Saran-Saran Menyikapi
kemungkinan
terjadinya
hambatan
di
dalam
pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat di Masa Depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk dipahami bahwa kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ada di daerah karena saat ini otonomi daerah diberlakukan seluas-luasnya dari pemerintah pusat kepada daerah, jadi khusus bagi para pemerintah desa dan staff-staff desa beserta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dituntut untuk benar-benar menjalankan amanat yang telah diberikan pemerintahan kabupaten, terutama dalam pendataan warga masyarakat dalam hal pembangunan yaitu dalam menghidupkan kembali budaya gotong royong yang ada ada di pedesaan selain itu untuk lebih sesering mungkin melekukan sosialisasi tentang aspek kesejahteraan masyarakat seperti sosialisasi pentingnya jaminan kesehatan daerah (JAMKESDA) bagi warga masyarakat agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Itulah kiranya dari beberapa saran atau kritik dari penulis, semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua, khususnya bagi pelaksana Pemerintahan di tingkat desa.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim. Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Rajawali Pers. Jakarta. 2005. Aliyah, Samir, Sistem Pemerintahan Islam,Khalifa,Jakarta. 2004.
Peradilan
dan
Adat
dalam
Al-Zarqa, Ahmad, Mushthafa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Riora Cipta, Bandung. 2000. Amos, H.F. Abraham, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2005. Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. 1996. As-Sy-Syawi, Taufiq, Jakarta.1997.
Syuro
Bukan
Demokrasi,
Gema
Insani
Press,
Al-Mawardi,Imam, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam), Darul Falah, Jakarta. 2007. Al-Munawar, Said Agil Husin Penamadani, Jakarta. 2004.
Hukum
Islam
dan
Pluralitas
Sosial,
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta. 2009. Azhariy, Tahir, Muhammad., Negara Hukum (Suatu Studi Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta. 2004. Dirdjosisworo, Soedjono , Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta. 1983. Huda, Ni'matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2005. Kansil, C.S.T. & Kansil, Christine S.T.. Pemerintahan Daerah Di Indonesia; Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Sinar Grafika. Jakarta. 2002. Marzuki, Mahmud Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta. 2008.
104
Muluk, M.R. Khairul, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu Media Publishing. Malang 2007. Nata, Abuddin, Metode Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta. 1998. Ndraha, Taliziduhu Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta. 1991. Prasadja, Budy, Pembangunan Desa Dan Masalah Kepemimipinannya, Rajawali Pers, Jakarta. 1986. Pudjiwati, Sajogyo & Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Yogyakarta. 1996. Pulungan, Suyuthi. J, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Pers, Jakarta. 1993.
Rajawali
Purdjosewojo, Kusuma , Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2004. Syafi’ie, Kencana Inu, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Refika Aditama, Bandung. 2003. Syarifin, Pipin,. Dan Jubaedah, Dedah, Hukum Pemerintahan Daerah. Bani Quraisy. Bandung. 2005.
Pustaka
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005. Thontowi, Jawahir, Islam, Politik, dan Hukum, Madyan Press Yogyakarta, Yogyakarta. 2002. Thoha, Miftah Birokrasi dan Politik Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2003. Widjaja,. HAW., Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta, 2003. ---------, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Jakarta Rajawali Pers. 2002. ---------,Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta.1992. ---------, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Rajawali Pers. Jakarta. 2005. 105
Wibawa, Samodra Negara-Negara Di Nusantara Dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa Dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2001. Sumber dari internet: http://www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10. http://www.mit-itb.blogspot.com/syariat-islam-dalam-pengelolaan http://sumber.html.diakses tanggal 02/04/10. http://www.bkn.go.id/peraturanisi.diakses tanggal 02/04/10. http://www.bapeda-jabar.go.id/docs/perundangan/ diakeses tanggal 05/04/10. http://www. uzumaki86.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 04/05/10. Sumber Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasca Amandemen I, II, III, dan IV. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Usaha Milik Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
106