Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
KAJIAN FILOLOGI AJARAN MORAL DALAM LONTAR TUTUR RING SISYA Ida Bagus Heri Juniawan Dosen Tetap Jurusan Dharma Duta Prodi Penerangan Agama Hindu STAH Negeri Gde Pudja Mataram
Abstract This research entitled "Study of Moral Teachings Philology In Lontar Tutur Ring Sisya" based on a premise that this palm is one of the heritage in the form of written cultural heritage in the form of a script which contains teachings or pitutur is loaded with educational values. This research aimed to describe Lontar Tutur Ring sisya, to change into the Latin alphabet and translated freely into the Indonesian language so that the reader more easy to understand, especially those readers who do not understand the language of Bali and the ancient Javanese language, because the study of the works literary past can reveal any information about the various facets of life so that the core teachings that exist in the literature it can be understood by readers. In addition, this research reveal educational values, especially moral teaching, namely: the physical body as a road, teaching tapa, triguna, binding and freed in order to achieve these objectives, the method of philological, method of translation, and content analysis method used in this research. This study is a review of the literature with the object Lontar Tutur Ring sisya, found researchers from the private collection of storage and society in Lombok. There are three reasons why the manuscript Lontar Tutur Ring sisya interesting and worth considering for edited and reviewed its contents, the reasons are as follows: (1) The text in Lontar Tutur Ring sisya contains moral teachings are still relevant to today's life, (2) Throughout knowledge of researchers, text Lontar Tutur Ring sisya have never studied philosophy, namely the description, transliteration and translated text, (3) The translation or translation manuscript Lontar Tutur Ring Sisya has not been translated by other researchers. The results obtained in this study is a description of the text, the text transliteration, translation of texts in the Indonesian language and the values of moral teachings contained therein. Keywords: values, moral teachings
447
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
A. PENDAHULUAN Seiring dengan proses pembangunan menuju masyarakat yang maju dalam menguasai teknologi dan sain saat itu juga bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan. Hambatan dan tantangan tersebut adalah perkembangan perilaku masyarakat dalam kehidupan semakin jauh dari idealnya, yaitu moral manusia yang semakin memudar. Secara spesifik dapat dilihat pada masyarakat terutama yang berada diperkotaan, telah berada dalam keadaan mencemaskan, antara lain dengan telah meningkatnya perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji seperti perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, kecanduan dan peredaran
narkotika,
perjudian,
penjarahan,
perampokan,
pembunuhan,
pembegalan, pengrusakan tempat-tempat ibadah, perjinahan, bunuh diri, dan sebagainya yang semakin merajalela. Semua itu pertanda bahwa keadaan moral warga telah berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan di seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan kenyataan kondisi masyarakat sebagaimana di atas, Gde Pudja, (1985 : 12) dalam Pengantar Agama Hindu Jilid I Untuk Perguruan Tinggi mengatakan ada beberapa tantangan dan hambatan yang dihadapi khususnya dalam masyarakat Hindu Indonesia adalah sebagai berikut ; 1) Sebagian besar umat Hindu dari segi ekonomi masih berada dalam garis kemiskinan. 2) Tingkat pendidikan umat Hindu masih relatif rendah, sedangkan Agama Hindu itu sendiri sudah merupakan satu ilmu tersendiri yang harus dipahami terlebih dahulu agar supaya dapat diterapkan secara tepat guna, sehingga pemahaman doktrin-doktrin ajaran agama Hindu perlu mendapat perhatian secara khusus dan mendalam. 3) Sifat kepekaan agama itu perlu asal terarah karena apabila tidak terarah, setiap kemajuan yang timbul dalam agama Hindu akan ditentang sendiri oleh umatnya. 4) Kemajuan teknologi dan sain yang dihadapi oleh manusia, sehingga tidak jarang manusia yang kurang menyadari penting artinya agama lebih meremehkan agama daripada ilmu teknologi. Karena itu, timbul anggapan seakan-akan yang paling penting dalam pembangunan adalah sain dan teknologi itu saja.Timbulnya anggapan seperti pada mulanya bersumber pada satu pengertian bahwa agama
448
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
hanya bersifat mistik yang hanya mendidik orang untuk hal-hal yang tidak praktis, hanya untuk melakukan ritual, berdoa dan lain sebagainya.
5) Dalam abad
perkembangan sain dan teknologi ini, sudah selayaknya kalau pendalaman ajaran agama sudah diarahkan pada pola berpikir kearah pada reorientasi penghayatan ajaran agama Hindu itu sendiri dan melihat ajaran agama Hindu sebagai Ilmu kebijakan yang dapat menuntun umat manusia menuju pada kehidupan jagadhita dan moksa. Ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab suci Weda : Sruti, Smrti, Sila, Acara, Atmanastusti dan ribuan lontar, telah menyediakan berbagai kebutuhankebutuhan dari aspek yang bermacam-macam dari sifat manusia. Secara tradisi masyarakat Hindu di Bali maupun di Lombok dalam memahami ajaran Weda melalui media lontar. Saat ini minat generasi muda Hindu untuk mambaca lontar masih belum dikatakan menggembirakan, apalagi untuk mengkaji dan meneliti nilai-nilai ajarannya. Nilai-nilai ajaran yang terdapat dalam naskah lontar sangat banyak mengandung ajaran tentang moral, alam semesta, sifat alam pikiran, masalah hidup dan mati serta hidup setelah mati, cara kerja, pengetahuan tentang politik dan ekonomi, pengendalian pikiran dan badan jasmani dan sebagainya. Semua ajaran tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan pedoman kehidupan pada era globalisasi ini, sehingga salah satu peninggalan warisan leluhur yaitu “Lontar Tutur Ring Sisya” yang disingkat TRS. Perlu untuk dikaji.
Teori Penelitian terhadap sebuah karya sastra membutuhkan seperangkat teori, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori filologi. Teori filologi yaitu teori yang berguna untuk melakukan inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi naskah, dan terjemahan naskah, serta sejauh mana isi naskah tersebut yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk memilih naskah yang baik untuk dapat dianalisis lebih lanjut (Djamaris,1977:25). Dengan kata lain bahwa penelitian filologi harus dilakukan terhadap karya sastra dengan menggunakan langkah kerja filologi yaitu : menginventarisasi naskah, mendeskripsikan naskah,
449
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
transliterasi naskah, translasi naskah. teori hermeneutik, tujuan hermeneutik adalah untuk mencapai dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia melalui suatu pemahaman dan interpretasi ( Irmayanti, 2002 : 70 ). Bila berkecimpung dengan interpretasi, maka sebuah teks baik, dari aspek luar maupun dari aspek di dalamya dengan maksud untuk sampai pada makna yang terkandung di dalamnya.
B. MODEL PENELITIAN Penelitian ini mengunakan model Descriptive Research Model yaitu penggambaran model dalam batasan minimum model yang menggambarkan pertanyaan penelitian dan mendaftarkan variasi variabel terikat dan tidak terikat tanpa menspesifikasikan hubungan diantaran variable-variabel tersebut. Untuk lebih jelasnya model penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Struktu r Teori
Naskah lontar Tutur Ring Úiûya Struktur Substansi Lontar Tutur Ring Úiûya
Langkah-langkah
1. Inventarisasi naskah 2. Deskripsi naskah 3. Transliterasi naskah 4. Terjemahan naskah Analisis
Konten Temuan/Rekomend asi
450
Masalah Penelitian Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam
Lontar Tutur Ring Úiûya
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
Keterangan : Naskah lontar Tutur Ring Úiûya kemudian disingkat TRS merupakan salah satu lontar tutur yang penulis temukan di Lombok. Untuk mengetahui isi ajaran TRS diperlukan beberapa struktur teori, dan selanjutnya struktur substansi lontar TRS. Setelah mengetahui struktur TRS diambil langkah-langkah penelitian. Dari langkah-langkah penelitian melahirkan beberapa
masalah penelitian.
Masalah penelitian selanjutkan menentukan Judul Penelitian : “ Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar Tutur Ring Úiûya” Selanjutnya untuk mengungkap ajaran moral dalam TRS, langkah berikutnya adalah inventarisasi naskah. Setelah langkah pertama selesai, berikutnya deskripsi naskah sebagai langkah kedua yaitu menguraikan tentang keadaan naskah atau informasi mengenai seluk-beluk naskah. Langkah ketiga adalah transliterasi naskah artinya pergantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, dalam hal ini dari huruf Bali ke huruf latin dengan penggunaan tanda baca (tanda diakritik) sebagai standarisasi ejaan yang digunakan pedoman sesuai dengan kamus Jawa Kuna Indonesia karangan Zoetmulder. Langkah keempat adalah terjemahan, dalam penelitian ini digunakan metode penerjemahan literal (literal translation) atau disebut juga penerjemahan lurus. Setelah langkah 1 (satu) sampai dengan langkah 4 (empat) selesai kemudian melakukan analisis konten yaitu bertujuan mengungkap, memahami dan menangkap isi lontar TRS. Dengan analisis konten ini ditemukan beberapa ajaran moral dalam lontar TRS.
C. METODE PENELITIAN Adapun sumber data yang dipersiapkan dalam penelitian terdiri dari dua kategori, yaitu berupa naskah Lontar Tutur Ring Úiûya sebagai data primer, sedangkan sumber data sekunder penelitian ini berupa kepustakaan penunjang
451
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
yang lainnya. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis isi, hal ini untuk memperoleh data literer atau data tertulis. Pengkajian isi lontar TRS ini ditujukan untuk mengungkap makna kesusastraan secara utuh. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif. Prosedur yang dipergunakan dalam analisis mencakup tahapan-tahapan klasifikasi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Pengkajian dan analisis isi difokuskan pada pengungkapan dan mendeskripsikan ajaran moral dalam lontar TRS. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Artinya, bahwa sumber bahan dan data penelitian berupa bahan pustaka (sumber tertulis). Penelitian ini adalah kajian secara filologis terhadap teks TRS, yang terdiri dari inventarisasi naskah, mendeskripsikan naskah, transliterasi teks ke dalam huruf latin, dan translasi teks secara bebas sesuai dengan konteks ceritanya ke dalam bahasa Indonesia Penyajian hasil penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni melalui penyampaian dalam bentuk verbal dengan menggunakan bahasa ragam ilmiah, yakni ragam bahasa yang antara lain memiliki ciri-ciri reproduktif objektif, jelas dan lugas, tidak emotif, antiseptik, dan simbolik. Penyajian verbal merupakan cara untuk mengkomunikasikan hasil penelitian dalam bentuk uraian kalimat yang mudah dipahami pembaca.
D. PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Deskripsi Naskah Tutur Ring Sisya. Informasi mengenai seluk-beluk naskah lontar dalam penelitian Filologi
sangat penting, karena dari informasi tersebut kita mendapatkan keterangan yang jelas mengenai keadaan naskah bersangkutan. Mengenai deskripsi naskah ada bebrapa yang berpendapat atau memberikan definisi. Menurut Jamaris (1977 : 25) dalam Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi mengatakan bahwa Deskripsi naskah adalah uraian tentang keadaan naskah, kertas, catatan lain mengenai isi naskah. Selanjutnya Herman Soemantri dalam Dasuki, 1992 : 1, berpendapat bahwa para peneliti naskah, baik yang memiliki tujuan mempublikasikan maupun dalam rangka penyusunan karya ilmiah, hendaknya secara lengkap dan cermat mendeskripsikan naskah yang akan diteliti atau digarapnya.
452
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa deskripsi naskah adalah suatu upaya para peneliti naskah lontar maupun kertas, untuk menginformasikan asal usul naskah, berasal dari mana, koleksi siapa, judul naskah dan sebagainya. Pada penelitian ini, naskah yang dijadikan sebagai sumber data primer adalah Lontar Tutur Ring Sisya. Untuk lebih lengkap deskripsi naskah seperti di bawah ini : 1. 2. 3.
Judul naskah Nomor Katalog naskah Tempat Penyimpanan Naskah
4. 5. 6.
Asal Naskah Penerbit Naskah Keadaan Naskah
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Ukuran Naskah Ukuran Aksara Tebal Teks Jenis Huruf Bentuk Huruf Bahan Naskah Bahasa Naskah Bentuk Teks Kolofon
: Tutur Ring Sisya :: Banjar Intaran, Jalan : RM. Anom, Gang Bhima, No. 04, Pagutan Timur. : Griya Pendem, Karangasem Bali. :: Lengkap, halaman berurutan dari halaman 1b – halaman 23b. : Panjang 32 Cm, Lebar 2,5 Cm : 0,5 mm x 0,8 mm. : 1b – 23a lempir : Huruf Bali : Ngetumbar : Daun Lontar : Jawa Kuno : Prosa :-
2. Ajaran Moral Lontar Tutur Ring Sisya a. Badan Jasmani Sebagai Sebuah Jalan Sebagai ajaran moral, lontar Tutur Ring Sisya banyak mengandung wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat dari orang yang dianggap telah menemukan kesejatian dirinya. Seseorang yang telah menemukan jati dirinya adalah para guru rohani yang tidak lagi ada keterikatan dengan kehidupan keduniawiaan. Hanya satu tujuan hidupnya adalah mencari kehampaan alam kekosongan dari ketiadaan (Shunyataya). Pada awal halaman [lempir 1a] lontar Tutur Ring Sisya menyebutkan ; Nihan hanà huwus sira sanghyang Dharmà, pamêkas sira ring úaûìúyanak dharma kabéh, sira sang mangulahakên krêtha paramarthà, matawi sira sang tapajar guruloka sira kabéh, awya
453
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
tan prayatnéng hayu, si tunggalakna bwaóà lawan sarira, katatwaniréng nguni saking sunyataya, kamulaniréng nguni, padha ambêking bwaóà kabéh, ka, norana bwaóà rong têlu, matawi noranà sanghyang prêmaóà rong têlu, norana prêmaóà kwéh, tunggal sanghyang prêmaóà, sanimittaning tunggal bwaóà lawan sarira, matawi sanghyang prêmaóà, hanà ring ringgitaning úarira, kadyangganing sanghyang prêmaóà, mangkanà sanghyang aditya. Ini adalah pamungkas beliau Sang Hyang Dharma, ajaran-ajaran beliau kepada semua anak-murid Dharma. Orang-orang yang dengan tekun berusaha mencapai tujuan terakhir, atau orang-orang yang dengan tekun membelajarkan diri bagaikan sedang bertapa pada semua guru jagat, janganlah hendaknya sampai tidak dengan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Satukanlah jagat-buana itu dengan badan jasmani ini. Kesejatian dari asal mulanya adalah dari alam tingkatan Shunyataya („yaitu kehampaan alam kekosongan dari ketiadaan‟). Pada awal mulanya sejak dahulu kala, tidaklah berbeda-beda jiwa-jiwa dari seluruh jagat buana ini. Inti kesimpulannya, yaitu tidaklah ada jagat buana yang memiliki rong telu („yaitu memiliki tiga buah lubang‟, atau „memiliki tiga buah ruang‟). Atau, tidaklah ada Sang Hyang Pramana („yaitu jiwa dari kehidupan‟) yang memiliki tiga buah lubang. Tidaklah ada jiwa dari kehidupan yang jumlahnya banyak. Sang Hyang Pramana (yaitu jiwa dari kehidupan) itu adalah satu juga adanya, sebagaimana bersatupadunya antara jagat buana ini dengan jagat badan jasmani ini. Atau, yang disebut sebagai Sang Hyang Pramana itu sesungguhnya terdapat di dalam setiap gerak-gerik dari badan-badan jasmani ini. Tidaklah berbeda dengan bentuk-bentuk perwujudan dari Sang Hyang Pramana („yaitu jiwa dari kehidupan‟) itu, maka seperti itu pulalah keadaan dari Sang Aditya („yaitu matahari‟) itu. Kutipan di atas mengandung beberapa pengertian yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Peran sebagai guru rohani disini adalah Sang Hyang Dharma yang menyampaikan ajaran-ajarannya kepada murid-murid dharma. Ajaran guru Dharma hanya dapat diterima dengan baik oleh pikiran-pikiran para murid yang dipenuhi oleh dharma, pikiran murid yang telah terkendali. Ajaran guru Dharma sangat sulit didengar dan dipahami oleh pikiran murid awam yang keduniawian. Kedua, tekun berusaha artinya seorang murid spiritual tidak akan pernah merasa lelah dan putus asa dalam kehidupan spiritualnya, mereka memiliki ketetapan hati dan harus berhasil dalam misi spiritual. Ketiga, Badan jasmani sebagai alat untuk mencapai kesejatian, artinya tubuh kasar yang terbentuk dari
454
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
unsur-unsur Panca Mahabhuta (akasa, bayu, teja, apah, pertiwi), walaupun keberadaanya tidak kekal dan akan hancur tetapi memiliki peran strategis dalam pencapaian kemanunggalan dengan Sang Hyang Pramana (jiwa dari kehidupan) yang sesungguhnya hanya satu, tapi bagi orang awam Sang Hyang Pramana itu sangat banyak. Ibarat melihat sinar matahari pada siang hari di beberapa periuk yang berisi air jernih. Badan jasmani yang terbentuk dari panca mahabhuta adalah sebagai sebuah jalan bagi segala macam kebaikan-kebaikan dan segala macam keburukankeburukan, sebagaimana lontar Tutur Ring Siswa lempir 4b menegaskan ; ... úarira juga patêmpuhaning hala hayu, ya ta úarira juga patunggalaning hala hayu tuwa pati...artinya ; badan jasmani itu adalah tidak ubahnya sebagai sebuah jalan, yang ditempuh secara bersama-sama oleh yang baik dan oleh yang buruk dan sebagai tempat bersatunya ketuaan dan kematian. Kutipan ini kiranya tidak jauh berbeda dengan Kakawin Ramayana bait 4 ; Ragàdi musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak, yéka tan hana ri sira, prawira wihikan sirén niti. Artinya ; gemar dll. musuh dekat, di hatilah tempatnya tak jauh dari badan, yaitu tidak ada pada beliau, perwira (dan) pandai beliau akan politik ( Poerbotjoroko, 1982 : 3). Apabila disimak ajaran Kakawin Ramayana dengan Tutur Ring Sisya, ada benang merah ajaran yang menyatakan bahwa badan jasmani sebagai alat dan sekaligus sebagai jalan bagi pikiran untuk melakukan segala perbuatan-perbuatan yang mengandung sifat-sifat Triguna (sattwam, rajah, tamah). Kitab Suci Bhagawadgita Bab II. Sloka 14, 22, lebih tegas menjelaskan tentang keberadaan badan jasmani sebagai berikut : Màtrà-sparúas tu kaunteya úitoûóa-sukha-duákha-dàh, àgamàpàyino‟nityàs tàý titikûasva bhàrata. Vàsàýsi jìrnani yathà vihàya, navàni gåhnait naro‟paràói, tathà sarirani vihàya jìrnany,
455
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
ànyani samyati navàni dehi, Sesungguhnya, hubungannya dengan benda-benda jasmaniah, wahai Arjuna, menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar, wahai Arjuna. Seperti halnya orang menanggalkan pakaian yang telah usang dipakai dan menggantikannya dengan yang baru. Demikian pula halnya jivàtman meninggalkan badan lamanya dan memasuki jasmani yang baru (G. Pudja, 2003 : 44, 44). Sabda Tuhan melalui Bhagawadgita di atas menyatakan bahwa badan jasmani adalah tempat bagi jiwa untuk merasakan gelombang pasang surut kehidupan di dunia, saat menikmati kebahagiaan dan kesenangan yang diakibatkan oleh benda-benda duniawi, ketika itu juga kedukaan pasti menanti, terus berganti berputar mengikuti roda kehidupan. Badan jasmani keberadaannya bersifat sementara, ia akan lapuk, rusak, keberadaannya bersifat sementara, ia akan lapuk, rusak, usang dan mati. Ibaratnya badan jasmani itu seperti pakaian, seseorang mengganti baju yang baru dan meninggalkan atau membuang baju yang sobek, usang. Akan tetapi jiwa tetap kekal abadi. Secara lebih spisifik lontar Tutur Ring Sisya lempir 12b-13a menjelaskan tentang keberadaan dari badan jasmani sebagai berikut ; ...úarira juga angêmasi lara pati, drêmba moha mùr-/-kha angkara papati janma, tan adoh úaking úarira, úarira magawé kawah, úarira magawé úwarga, úarira magawé kalêpasan.... ....sebagai akibat dari kebingungan-kebingungan, kemarahan-kemarahan,-/keakuan, maka akan matilah para manusia itu. Tidaklah jauh tempat keberadaannya dari badan jasmani ini. Sekujur badan jasmani inilah yang sesungguhnya menjadi sebab adanya kawah (penderitaan). Badan jasmani inilah yang sesungguhnya menjadi sebab adanya sorga (kebahagiaan). Badan jasmani inilah yang sesungguhnya menjadi sebab adanya kelepasan (kebebasan terakhir)... Pada hakekatnya setiap yang lahir dan hidup akhirnya semuanya akan mati meninggalkan badan kasarnya, apapun latar belakang kelahiran, kondisi biologis, spikologis maupun sifat-sifatnya kematian adalah yang pasti. Badan kasar (jasmani) sebagai jalan untuk menentukan apakah setelah kematian, atmanya akan memperoleh penderitaan, kebahagiaan bahkan kelepasan (kebebasan terakhir).
456
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
Badan jasmani inilah sesungguhnya menjadi sebab masa depan kehidupan yang lebih baik atau bahkan lebih buruk. Oleh karena itu, pemeliharaan badan jasmani agar tetap sehat sangat penting dilakukan. Pemeliharaan badan jasmani agar tetap sehat tidak hanya dilakukan dengan berbagai kegiatan fisik seperti mengkonsumsi, makan makanan yang empat sehat lima sempurna, olah raga yang teratur, melainkan diimbangi juga dengan pemeliharaan badan jasmani secara mental. Pemeliharan badan jasmani secara mental menurut Tutur Ring Sisya adalah dengan melakukan Tapa. b. Ajaran Tapa Bagi para penekun spiritual terlebih umat Hindu istilah “tapa” tidak asing lagi dibicarakan bahkan dilakoni. Namun belum semua orang mengerti dan memahami apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “tapa” itu ? Untuk tidak terjadi salah pengertian dan pemahaman, maka penulis kutipkan pengertian tapa itu dari beberapa sumber sastra Hindu sebagai berikut ; Wrehaspati Tatwa bait 25, menegaskan bahwa Tapa merupakan salah satu dari Dharma, petikan lengkapnya sebegai berikut ; Úila ngaraning mangrangkûacara rahayu, yajñà ngaraning manghanakên homa, tapa ngaraning umatìndriyanya, tan winéh ring wisayanya, dana ngaraning wéwéh, prawrajya ngaraning wiku anaúaka, bhikûu ngaraning dikûita, yoga ngaraning magawé samadhi, nahan pratyeka ning dharmanya. Artinya ; úila adalah perbuatan yang baik dan mulia, yajña adalah melakûanakan pemujaan api, tapa adalah mematikan indriya, tidak diberikan menikmati kesenangan (pengendalian), dana adalah memberikan dana punia, prawrajya adalah menjadi pendeta, bhiksu artinya orang yang didiksa, yoga adalah melakukan meditasi, itulah beberapa ciri dharma ( Sadia, dkk, 1988 : 22-23). Unsur-unsur dari dharma menurut Wrehaspati Tatwa adalah, úila, yajña, tapa, dana, prawrajya dan yoga. Tapa dalam petikan di atas adalah merupakan salah satu dharma yang artinya mematikan indriya atau mengendalian segenap nafsu yang ada di dalam tubuh manusia. Kamus Sanskerta Indonesia mengartikan “tapa” adalah terbakar, pengekangan, pemanasan, menyusahkan, matahari, musim yang panas, penebusan dosa (Surada, 2007 :142). Kamus Kecil Bahasa
457
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
Sanskerta Indonesia menjelaskan kata tapa berasal dari kata benda maskulin “tàpa” artinya panas (Pemda Tk. I Bali, 1982/1983 : 97). Selanjutnya Kamus Jawa Kuna Indonesia kata “tapa” berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya, mati raga, pengendalian indera atau nafsu, yoga (Zoetmulder, 2006 : 1210). Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia (1985 : 585) “tapa” berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “tapas” yang arti sebenarnya adalah api, panas, sinar, siksaan diri. Atharwa Weda XII,1.1 sebagaimana dikutip oleh G. Pudja dalam Buku Pengantar Agama Hindu Jilid I Untuk Perguruan Tinggi (1985 : 93), Tapa adalah merupakan unsur keimanan dalam agama Hindu” dipertegas lagi dalam kitab Manawadharma X. 42. Tapo bija prabhawaistu té gacchanti yuge-yuge, utkarsam capakarsam ca manusyeswiha janmatah Artinya ; dengan kekuatan tapanya dan benih dari asal lahirnya, semua golongan ini menjadi naik atau turun tingkatnya dikelahiran berikutnya ( G.Pudja dan Rai Sudharta, 2003 : 627). Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa “tapa” adalah pengendalian dan
penguasaan atas indera-indera dan pikiran.
Pengendalian dan penguasaan itu sangat penting agar seseorang dapat melakukan hidup suci. Sebaliknya bila manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu negatif, maka dengan mudah manusia dijatuhkan ke lembah penderitaan. Tapa sebagai unsur sradha untuk meningkatkan kesucian maka merupakan kewajiban bagi pemeluk Hindu untuk melaksanakannya, karena dengan kekuatan tapa tersebut adalah sebagai penentu kehidupan pada kelahiran mendatang. Disamping itu kehidupan beragama bertujuan untuk meningkatkan moral, agar manusia selama hidupnya dapat saling menghargai, saling tolong menolong sesama ciptaan Tuhan dalam suasana damai, rukun dan bahagia. Kesadaran akan dosa yang diakibatkan oleh pikiran, ucapan dan perbuatan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Semua itu mampu menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir dan batin, dan menjadi penghalang utama bagi manusia untuk mendekatkan
458
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
dirinya kepada Tuhan. Kesadaran akan dosa inilah mendorong manusia untuk melakukan sesuatu yang baik dan mulia. Tuhan Yang Maha Suci hanya dapat didekati melalui kesucian, untuk itu badan dan batin manusia harus suci. Ajaran tapa dalam lontar Tutur Ring Sisya dijelaskan pada lempir 6a sebagai berikut : ....kunang pajara mami ri sira, sang andadiha manuûà, tapa kaparamarthan gawayakna, narapwan sidha rahayu sira mêné, nora papa wighna katêmu déning úarira, nora mala pataka katêmu, nora doûa katêmu ring úarira, apan cipþa rahayu budi nira ring samanira tumuwuh, kadi tirthaning mala buddhi nira tan patalutuh, wulat ta nira ulah arum, ruruh sabda nira, mangkanà karma nira sang mahyun dadiha manuûa jati..... Artinya : .... Adapun ajaran-ajaran diriku ini adalah kepada yang menjadi manusia, yaitu tentang tapa kaparamarthan („yaitu pelaksanaan tapa untuk mencapai tujuan terakhir, atau tujuan tertinggi‟) hendaknyalah dengan benarbenar dilaksanakan. Sehingga dirimu akan berhasil menjadi selamat baik pada saat sekarang ini, maupun untuk waktu-waktu yang akan datang. Tidak terdapat hambatan-hambatan dan tidak ada penderitaan-penderitaan yang akan didapatkan oleh badan-badan jasmani ini. Tidak terdapat berbagai macam mala petaka yang akan dijumpai. Tidak ada dosa-dosa yang akan didapatkan di dalam badan-badan jasmani ini. Karena kualitas budinya adalah berupa pikiran-pikiran yang baik terhadap sesama makhluk hidup. Tidak ubahnya seperti tirtha yang bersifat suci, seperti itulah sifat-sifat dari budinya yang tidak terkena oleh noda-noda. Hendaknya diperhatikan dengan seksama oleh dirimu perilaku-perilaku yang manis. Temukanlah makna dari ucapan-ucapannya. Demikianlah cara-caranya, yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kerinduan-kerinduan untuk bisa menjadi seorang manusia yang memiliki sifat-sifat kesejatian.... Manusia yang ingin memiliki sifat-sifat kesejatian, maka laksanakanlah dengan sungguh-sungguh ajaran tapa, bulatkan tekad dan semangat serta pusatkan pikiran hanya pada pencapaian tujuan akhir dan tertinggi. Kendalikan sifat-sifat dari budi yang negatif, kembangkan prilaku santun, kasih sayang dan welas asih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Satukan pikiran, perbuatan dan ucapan yang didasari kesucian. Pelaksanaan tapa yang didasari dengan menyatunya pikiran, perbuatan dan ucapan yang suci ibarat seperti air suci (tirtha) yang dapat menyembuhkan badan dari segala macam penyakit, segala rintangan, mala petaka akan menjauh, dicintai oleh sesama makhluk ciptaan Tuhan.
459
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
Selanjutnya Sang Hyang Dharma memberikan jalan bagi manusia yang ingin memiliki sifat-sifat sejati sebagai berikut ; Kunang kang ulahàkna ring arêp dadia manuûà jathi, krêtha paràmartha kang ulahakna, dé sang tumaki-taki kapaóditan, satya wirati, santosà kawêlas arêp, amangan sira tan pangan, anga-/-nggo sira tan panganggo, tan surud buddhi nira, hégar tan kênéng dukha runtik, sugih tan sumuddhikarà, sukha sira tan pamukti, bungah sira tan panganggo, langgêng sira krêtha rahayu, tanàna pinahé nira, buddhi nira sama rahayu, ajùr arok ambêkanira, lwirnya bañu mahêning, mangkanà ta ulahanira sang satwa, katula danà dé sang tumaki-taki ngarêp dadi ya wong (Lontar Tutur Ring Sisya, lempir 7b-8a) Artinya : Ada pun yang semestinya dilakukan, apabila menginginkan menjadi seorang manusia yang bersifat sejati, adalah tercapainya tujuan terakhir atau tujuan tertinggi itulah yang hendaknya diusahakan oleh orang-orang yang berusaha dengan tekun untuk menjadi seorang pendeta : setia pada tekad, bebas dari nafsu, merasa berkecukupan, memakan terasa seperti tidak makan, -/memakai tanpa merasa memakai. Tidak merosot kebaikan Budinya. Besar hati tidak terkena oleh kesedihan. Kaya tanpa kelihatan. Bahagia tanpa memakan. Puas hati tanpa memakai. Selamanya ia ada dalam keadaan baik. Tidak ada yang diperasnya. Budhinya sama-sama baik. Luluh lebur pikirannya. Seperti air yang ada dalam keadaannya hening dan jernih, maka seperti itulah hendaknya perilakuperilaku dari Sang Satwa, yang dijadikan sebagai teladan oleh orang-orang yang dengan tekun membelajarkan dirinya untuk bisa menjadi seorang manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tapa merupakan sradha bagi umat Hindu dalam usahanya mencapai tujuan tertinggi dan menjadi manusia sejati. Dalam melaksanakan tapa dan menemukan jati diri akan banyak menjumpai halangan dan godaan, karena manusia dibelenggu dan dikuasai oleh nafsu atau indera (satatanuwuki sakaseneng indriya). Kekalahan seseorang dalam melawan nafsu negatif dinyatakan sebagai orang yang tidur (aturu) atau tidur papa. Sebaliknya kemenangan melawan nafsu atau indriya dikatakan sebagai orang yang sadar (jagra), dan telah mampu menemukan kesadaran sang diri (matutur
460
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
ikang atma ri jatinya). Inilah kata kunci ajaran Tapa, tidak akan merasa senang ketika datang kesenangan, tidak merasa sedih ketika datang kedukaan, jiwanya telah seimbang dan dipenuhi oleh sifat-sifat budhi satwam. Selanjutnya lontar Tutur Ring Sisya
menjelaskan bahwa pahala dari
seseorang yang melaksanakan tapa adalah sebagai berikut ; ....Yan arêp pwa sira luputa ring papa pàtakà mala, tan kalêbu sira ring kawah, tan dadhi hêndêp-êndêp namu-namu tanpa rah, prayatna sira ring wulah rahayu, ataki-taki sira ambêk kaparamarthan, krêtha rahayu wulahakna ring samaning tumuwuh.... (lempir 9a) .....apabila dirimu berharap tidak mendapatkan kesengsaraan, tidak mendapatkan malapetaka, tidak mendapatkan bencana, tidak tenggelam di dalam kawah, tidak menjadi makhluk kecil sebesar debu yang menyelam di air dangkal dan tidak memiliki darah, maka bersiap-siaplah dirimu untuk melakukan perbuatanperbuatan yang baik. berusahalah dengan keras dirimu untuk mengarahkan pikiran, agar tercapainya tujuan terakhir atau tujuan tertinggi perbuatan-perbuatan yang bersifat baik lakukanlah kepada sesama makhluk hidup.... Petikan di atas menegaskan bahwa untuk tercapainya tujuan tertinggi dan terakhir serta terhindar dari segala rintangan dan godaan kuncinya adalah berusaha keras dengan segenap jiwa raga mengarahkan pikiran untuk melaksanakan perbuatan baik, menghormati dan melindungi sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Musuhmusuh yang menggoda dan merintangi di dalam pertapaan menurut lontar Tutur Ring Sisya lempir 12a ada lima (lima) yaitu, Danawa, Detya, Sang Shika dan Durga. Menghormati sesama makhluk hidup karena jiwa manusia sesungguhnya adalah satu dengan mahkluk hidup lainnya. Sebagai pahalanya manusia akan kelihatan berusia muda, memiliki umur yang panjang. Ketika manusia meninggalkan badan jasmani (mati), tidak urung jiwanya akan mengungsi ke alam sunya yang indah. Pada penjelmaan berikutnya akan merasakan kebahagiaan, oleh karena itu pusatkan pikiran kepada Sang Hyang Ayu, sebagai sosok dewa yang bentuk perwujudannya adalah manusia. Kata kunci ajaran “tapa” dalam lontar Tutur Ring Sisya terdapat pada lempir 9a sebagai berikut ;
461
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
...Hayo punggung, haywa cikara, hayo ngaku wani, haywa ngaku úakti, hayo ngaku kasidén, haywa ngaku wruh, hayo ngaku wiku, haywa ngaku yén putusing tapa brata, hayo ngucap yan tanàna lakûaóà né... ....jangan bersikap bodoh, janganlah memaksa-maksa, janganlah mengaku berani, janganlah mengaku sakti, janganlah mengaku mampu, janganlah mengaku tahu, janganlah mengaku menjadi seorang wiku, janganlah mengaku putus dalam hal tapa dan brata, janganlah mengatakan sesuatu yang tidak ada pelaksanaannya... Petikan ini merupakan dasar disiplin yang harus dipegang oleh seseorang yang menekuni kerohanian. Terlebih bagi seorang dwijati atau sulinggih dituntut untuk senantiasa belajar meningkatkan kualitas ilmu spiritual maupun ilmu duniawinya. Seorang dwijati tidak diperkenankan menyebut dirinya sebagai dwijati kepada orang lain (hayo ngaku wiku). Tidak diperbolehkan banyak berbicara tentang halhal yang belum terbukti dan jelas diketahui dalam praktek spiritual. Mengakungaku berani, mahir dalam olah kanuragan, dan menyebut dirinya telah menguasai ajaran tapa brata yoga samadhi. Ini sangat dilarang untuk disampaikan kepada orang-orang awam. Karena semua pikiran, ucapan dan perbuatan ini adalah sifatsifat rajas dan tamas. c. Tri Guóa Yang Mengikat dan Membebaskan. Ada tiga prinsip yang merupakan unsur dalam mewarnai dan mengikat seluruh jiwa manusia ini. Ketiga unsur itu disebut Tri Guóa adalah tiga sifat dari Prakåti yaitu sifat universal yang ada pada alam makrokosmos-bhuwana agung, dan juga makhluk hidup terutama manusia (mikrokosmos-bhuwana alit. jadi guna atau sifat yang mempengaruhi manusia ada tiga macam atau Tri Guna (sattwam, rajah, dan tamah). Penjelasan secara jelas rinci tentang triguóa kita jumpai dalam kitab suci Bhagawadgita Bab XVII. Sloka 2 sampai dengan sloka 13. Pada lontar Tutur Ring Sisya dibatasi pada penjelasan tentang triguóa yang mengikat dan triguóa yang membebaskan. Penjelasan triguóa pada tulisan ini ada unsur-unsur guóa domain yang menyebabkan kecendrungan perbuatan yang bersifat mengikat (adharma) dan kecendrungan perbuatan yang bersifat membebaskan (dharma). Konsepsi yang lebih murni dan lebih spiritual yang dimiliki manusia tentang dewa-dewa,
462
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
timbul sebagai keunggulan dari sattwa guóa. Segala pandangan yang menunjukkan kemarahan, nafsu dan emosional timbul dari rajas guóa. Karakter yang tidak baik seperti malas, bodoh Triguóa Yang Mengikat : ....lêwih yan pramada pracalé mùrka angkara, agêng sukha, agêng krodha, agêng sugiha dawak, tan pamalaréng wong kawêlas arêp, pramadha, pracalé ring muda tiwas, agung dénya papa né wong, kêdêh kudu paripakûané amamati ring halà, sumikarayan sugih dawak, -/tan wruh amawa ring kasugihané, tanàsih ring kawêlas arêp, tan pangupamaha ring wong kasihan, tan pangampuràha ring mudda, tan pangampuraha ring tiwas, kêdêh kudu pramadha ring kasihan, adênggi riúya ring kawêlas arêp, anênda wang tanpa doûa, akriya-kriya rabining arabi, bahudpapatigagap gagapin, tan wruh kadang wong sanaknya, tanpa suluh rahióà wêngi, tan wruh yénàna raditya ulan...(lempir 6b-7a) artinya :...lengah, tidak tetap pendirian, marah, kesenangan yang besar, kemarahan yang besar, kekayaan yang banyak, tidak merasa sedih pada orang yang menderita, tidak waspada, membingungkan orang bodoh dan miskin. Membuat besar kesengsaraan orang. Terbiasa melakukan kekerasan membunuh. Memaksakan keinginan karena kaya.-/-Tidak tahu membawa kekayaannya. Tidak merasa kasihan kepada yang meminta tolong. Tidak memberikan contoh kepada orang yang menderita. Tidak memaafkan orang yang bodoh. Tidak memaafkan orang yang miskin. Terbiasa membingungkan orang yang kasihan. Bersifat dengki terhadap orang yang meminta tolong. Menghukum orang yang tanpa dosa. Berbuat buruk pada isteri orang. Kurang ajar, meraba-raba yang tak pantas diraba. Tidak mengetahui keluarga dan keturunannya. Siang malam tidak memakai suluh. Tidak ingat kalau ada matahari dan bulan.... Kutipan lontar Tutur Ring Sisya di atas menjelaskan bahwa dalam diri seseorang pengaruh sifat rajas dan tamas muncul sebagai penguasa sifat budhi satwa. Berkumpulnya sifat-sifat negatif dari rajas dan tamas tidak hanya menyengsarakan sesama manusia dan alam sekitarnya, tetapi sesungguhnya orang-orang yang kualitas seperti itulah, segala jenis penderitaan akan berkumpul. Semua jenis perbuatan yang
kotor dipandangnya indah dan sebagai tujuan
hidupnya. Pikiran yang diselimuti oleh sifat-sifat rajas dan tamas, sejatinya adalah sebuah kawah dan kerak-kerak yang ada di dasar kawah. Meraka yang melaksanakan sifat-sifat tersebut tidak mengharapkan akan kembali lagi menjelma manjadi seorang manusia. Selanjutnya lontar Tutur Ring Sisya lempir (11a-11b)
463
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
lebih tegas merinci manifestasi perilaku dari sifat-sifat rajas dan tamas sebagai berikut : ...Nihan tingkahing rajah tamah, dênggi kriya-kriyanya, winaíê sira ring dênggi kriyà, awéh sira sangsaya pati, winaíê sira ring sangsaya pati, angalap sira uriping wang lyan, urip ira ing ngalap, amét sira drêwéning wang sadhu, ilang drêwé nira ingamét déning hyang tanpa sangkan, angalap rabining ngàrabi, anglilacarà, nga, ika ta dalu dénya ngêmasi papa patakà, ika tan wurung maka sukrê -/- tha... Artinya : ... Seperti berikut inilah perilaku dari sifat-sifat Rajah, dan perilaku dari sifat-sifat Tamah itu. - Yang dilakukan oleh sifat-sifat Rajah dan sifat-sifat Tamah itu adalah selalu kedengkian-kedengkian. Akan kembali dirimu pada sifat-sifat kedengkian, maka kedengkian-kedengkian itulah yang kemudian akan memberikan perasaan-perasaan cemas terhadap kematian. - Apabila dirimu kembali lagi pada perasaan-perasaan cemas terhadap kematian itu, maka dengan demikian kecemasan-kecemasan itu akan menjadi sebab dirimu bertindak seperti mencabut nyawa orang lain misalnya. Nyawanyalah yang mencabut. - Apabila ia mengambil milik dari orang-orang yang bersifat suci, maka dengan demikian akan menjadi hilanglah segala miliknya diambil oleh Hyang (Dewa) yang tanpa asal. - Mengambil isteri atau mengambil suami milik orang-orang yang lain, itu adalah Anglilacara namanya. Karena perbuatan seperti itulah, maka kemudian ia akan mendapatkan kesengsaraan-kesengsaraan dan mengalami berbagai macam bencana. Keadaan sengsara dan bencana-bencana itu tidaklah urung sebagai sebuah janji. -/Apabila disimak petikan di atas menjelaskan bahwa tidak ada setitik sifat sattwam yang ada dalam pikirannya. Nafsu rajas dan tamas begitu melekat pada pikiran, ucapan dan perbuatannya, itulah merupakan tali pengikat utama, hanya itu saja, tanpa duanya yang menyebabkan terikat dan terbelenggu. Melenyapkan dharma artha dan moksa. Bagaikan api dalam rongga pohon kayu, membakar habis kayu itu tidak tersisa, hangus seluruhnya sampai kepada dahan-dahannya, batangnya dan sampai akar-akarnya. Sebagai kesimpulannya, bahwa apabila badan jasmani ini terus-menerus merasa betah dengan keburukan-keburukan, maka ia itu tidak ubahnya adalah sosok dari kawah yang sedang berjalan. Ia itu tidak ubahnya adalah sosok penderitaan-penderitaan yang berjalan. Ia itu tidak ubahnya adalah sosok dari
464
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
makhluk tiryak ( binatang yang berjalan mendatar ; paúu; ternak, lembu, sapi. Måga ; binatang hutan, kijang. Pakûi ; burung. Mióa ; ikan) yang berjalan. Keterikatan akan sifat-sifat rajas dan tamas serta badan jasmani tidak akan pernah terpuaskan dengan cara memenuhinya terus menerus. Oleh karena itu Lontar Tutur Ring Sisya lempir 14a-14b sebagai berikut : ...sira ring añét puruúya wuyuh, trêsóaha ring pangan anggo, rakêt ta ring kasugihan, lulut ta ring anak laki, maturu balubuh,..., dahat sira yan tumon ring bhoga, sukha trêsóa yén tumon ring raja drêwé akwéh, amangan anginum ngawuwuron, sukha ambêknya lamun katuhukan rabi akwéh, asanggamà rahinà wêngi, sumikara sugih anom, pramadha pracalé ring wang kaúyasih, dén sêngguhà -/- waké tan halà, tan arûà ring dharma pitutur rahayu, kêdêh kudu ring ambêk hala, sahaúa capala, péstapédà ring kasihan, tan padanà tanpa punya maring wang lyan, atakut yan ilang drêwénya,.... Artinya : - Ia bahkan tidak akan menyadari kalau kemaluannya tiba-tiba mengeluarkan air seni. - Yang menjadi kesenangan-kesenangannya adalah semata-mata pada makanan dan pada pakaian, melekat ada kekayaan-kekayaan, terbelenggu hatinya pada anak dan isteri, dan tidur secara berlebihan. - Menjadi besar nafsu-nafsunya apabila mendapatkan berbagai makanan. - Senang hatinya apabila melihat harta benda yang banyak. - Selalu makan dan minum tanpa memiliki batas. - Senang perasaannya apabila memiliki isteri banyak. - Siang dan malam pekerjaannya adalah bersenggama. - Senang bercampur dengan yang kaya dan yang muda. - Tidak perduli dan menghina orang-orang yang menderita. - Dikiranya -/- dirinya dalam keadaan baik-baik saja. - Tidak ada minatnya pada ajaran dharma yang baik. - Terus menerus merasakan betah dengan pikiran buruk serta gelisah, - Bersikap keras kepada orang-orang yang lemah, - Tidak pernah berdana punia kepada orang lain, - Merasa takut apabila hilang harta miliknya. Petikan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut ; ketertarikan manusia terhadap gemerlapnya benda-benda duniawi, karena ia menjanjikan kesenangankesenangan sesaat. Seperti ikan memakan umpan dari pancing, demikianlah kesenangan telah menyeret seseorang menjadi korban kemelekatan. Kemelekatan memacu keinginan untuk terus mengejar aneka ragam kenikmatan duniawi. Kemelekatan ini identik dengan orang mabuk, yang tidak pernah merasa puas
465
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
menikmati kesenangan. Cudamani (1989 : 25) dalam buku Mengatasi Stress Menurut Pandangan Agama Hindu mengatakan “ kita berpikir, bahwa diri kitalah yang menikmati kesenangan itu, tetapi sesungguhnya kesenanganlah yang menikmati diri kita”. Wujud lain dari kemelekatan adalah kasih sayang dan cinta (tresna), orangorang yang pikirannya dikuasai oleh kasih sayang dan cinta akan memunculkan segala macam bencana, yang menyebabkan kebencian dan ketakutan akan kehilangan sesuatu yang dicintai. Hal-hal seperti itulah yang akan dibawa pada saatnya mati. Karena apa yang dimilikinya adalah semata-mata berasal dari mengambil. Karena yang namanya mati itu tidak akan membawa jiwa. Matinya orang-orang yang bersenang-senang, tidak akan membawa segala kesenangankesenangannya. Kasih sayang dan cinta itu, ibarat seekor kambing yang didekatkan dengan makanan berupa segenggam rumput segar yang sekedar dapat dilihat. Kemudian muncullah keinginan yang tidak henti-hentinya, menyebabkan ia mau menurut ke utara maupun ke selatan. Demikian kasih sayang dan cinta sesungguhnya bukanlah kebahagiaan bagi manusia sejati. Tetapi sesungguhnya adalah penderitaan dan halangan untuk mencapai tujuan akhir dan tertinggi. Triguóa Yang Membebaskan : Sarasamuscaya sloka 6 mengingatkan umat manusia “ pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia, suatu kesempatan yang sangat sulit diperoleh, kelahiran menjadi manusia adalah merupakan tangga untuk pergi ke tujuan tertinggi yaitu yang menyebabkan tidak jatuh lagi menjadi manusia, inilah yang semestinya dilakukan”. Bhagawan Wararuci sebagai arsitek penulis
kitab
ini
mengumpulkan
mustika-mustika
ajaran
Mahabharata
mengingatkan manusia untuk senantiasa melakukan perbuatan “gumawe sukhaning wwang len” berbuat untuk kebahagiaan sesama makhluk hidup (sesama). Perbuatan
untuk
kebahagiaan
sesama
makhluk
ciptaan
Tuhan
sesungguhnya adalah menolong dirinya sendiri untuk bebas dari segala penderitaan penjelmaan. Hanya dengan dominasi budhi sattwamlah yang akan
466
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
mendatangkan pembebasan dari jerat belenggu benda-benda duniawi. Adapun ciri-ciri manusia yang memiliki budhi sattwam menurut Lontar Tutur Ring Sisya adalah ; ...kunêng sangàmbêk sa-/-twa ya gama agawé hayu, cakûu rikang paramarthan, widagdha wicakûaóà wruh hala hayuning bwaóà jagat, wruh patunggalaning jagat bhùwaóà kabéh, wruh sangkan paraning andadi wong, énak dénira mangawruhi, mawak bhaþara ring sakala lawan ring niskala, kapasuk sira ring cipþa rahayu, ya ta tunggalàkna raûàning hala kalawan apêkik, abêcikà ménê budi nira sang satwa, hênang hêning cipþa nira nirmalà, mangkanà ambêk nira sang satwa... (lempir 4b-5a) Artinya : ....adapun pikiran yang memiliki sifat-sifat Satwa-/-memberikan peluang-peluang untuk berbuat kebaikan-kebaikan. Sifat-sifat dari Satwa itu adalah sebagai sepasang mata bagi tercapainya tujuan utama. Sifat-sifat Satwa itu ciri-cirinya adalah : memiliki pengetahuan-pengetahuan, memiliki sifat-sifat yang bijaksana, mengetahui baik buruknya semua jagat, mengetahui penyatuan dari semua jagat-buana, mengetahui asal dan tujuan menjadi seorang manusia, tidak akan sulit untuk memahami sesuatu, berwujud Bhatara di alam sakala, yaitu alam yang terkena oleh hukum Waktu, maupun di alam niskala, yaitu alam yang tidak terkena, atau bebas dari hukum Waktu, sudah menyatu rasa buruk dan baik, senantiasa berbudi satwa, pikiran selalu suci, demikianlah sifat-sifat orang satwam... Ketika seseorang telah memiliki sifat-sifat budhi sattwam adalah merupakan jalan mulus untuk berbuat kebajikan, karena bagi sifat sattwa tercapainya tujuan utama itulah sebagai sasaran pokoknya. Adapun ciri-ciri yang digambarkan di atas adalah ibarat sebagai sebuah cermin yang putih bersih, segalanya diketahui dengan sangat jelas, apa yang ada di dalam hatinya demikianlah keadaan di luarnya. Oleh karena itu dijelaskan lagi tentang orangorang yang menginginkan menjadi manusia sejati : ...Kunang kang ulahàkna ring arêp dadia manuûà jathi, krêtha paràmartha kang ulahakna, dé sang tumaki-taki kapaóditan, satya wirati, santosà kawêlas arêp, amangan sira tan pangan, anga-/-nggo sira tan panganggo, tan surud buddhi nira, hégar tan kênéng dukha runtik, sugih tan sumuddhikarà, sukha sira tan pamukti, bungah sira tan panganggo, langgêng sira krêtha rahayu, tanàna pinahé nira, buddhi nira sama rahayu, ajùr arok ambêkanira, lwirnya bañu mahêning, mangkanà ta ulahanira sang satwa....(lempir 7b-8a)
467
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
Artinya : ....Ada pun yang semestinya dilakukan, apabila menginginkan menjadi seorang manusia yang bersifat sejati, adalah tercapainya tujuan terakhir atau tujuan tertinggi itulah yang hendaknya diusahakan oleh orang-orang yang berusaha dengan tekun untuk menjadi seorang pendeta : setia pada tekad, bebas dari nafsu, merasa berkecukupan, memakan terasa seperti tidak makan,-/-memakai tanpa merasa memakai. Tidak merosot kebaikan Budinya. Besar hati tidak terkena oleh kesedihan. Kaya tanpa kelihatan. Bahagia tanpa memakan. Puas hati tanpa memakai. Selamanya ia ada dalam keadaan baik. Tidak ada yang diperasnya. Budhinya sama-sama baik. Luluh lebur pikirannya.Seperti air yang ada dalam keadaannya hening dan jernih, maka seperti itulah hendaknya perilaku-perilaku dari Sang Satwa,... Ketekunan untuk mencapai tujuan terakhir dan tertinggi menjadi kata kunci. Sikap dan perilaku yang menunjukkan kesungguhan yang penuh daya tahan dan terus menerus serta tetap semangat dalam melakukan sesuatu. Hal ini diwujudkan dalam perilaku yang tidak mengenal putus asa apabila terdapat hambatan yang menggangu. Petikan ini hampir sama dijumpai dalam Kitab Suci Ågveda Mandala VII. Sukta 32. Mantra 9 : Mà sredhata somino dakûatà mahé kåóudhvaý ràya àtuje, taraóir ij jayati kûeti puûyati na devàsaá kavatnave. (Maswinara, 2004 : 541) Artinya ; wahai pengucap doa pujian, janganlah ragu-ragu, aktiflah, beri penghormatan pada penolong agung guna mendapatkan kekayaan, hanya penakluk yang aktif tinggal dalam kedamaian dan berhasil. Kekuataan ilahi tidak mendukung yang malas. Tuhan dan para Dewa tidak merestui orang-orang yang malas, hanya bagi yang tekun dan tekad yang keras untuk mencapai tujuan tertinggi itulah Tuhan akan
memberikan
anugerah
berupa
hidup
berbahagia
dan
menikmati
kemakmuran. Sikap dan perilaku yang suka berbuat hal-hal yang positif, tidak suka berpangku tangan, selalu gigih dan sungguh-sungguh melakukan perbuatan mulia. Kerja keras dan ketekunan untuk dapat berguna dalam penjelmaan sebagai manusia adalah yang terpenting. Kualitas budi berupa pikiran-pikiran yang baik terhadap sesama makhluk hidup tidak ubahnya seperti tirtha yang suci tidak terkena noda-noda. Pikiran, perbuatan dan ucapan yang suci bagaikan amertha tersebut memberikan kehidupan bagi sesama makhluk. Usaha tekun pada kerja mencari kama, artha dan moksa, dapat terjadi ada kalanya tidak berhasil, akan
468
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
tetapi usaha tekun pada pelaksanaan dharma, tidak tersangsikan lagi, pasti berhasil. Adapun manfaat positif secara pribadi tentang perilaku yang didominasi oleh sifat-sifat sattwam, sebagaimana lontar Tutur Ring Sisya lempir (3a-3b) menjelaskan ; .....tan panangsarahà janma mangké, tan pawéha lara la-/-wan kriya, ring sama-samaning tumuwuh, tan pamaténàna wang sadu, tan pamihutangà wiring, tan pamihutangà rah daging ring samaning maurip, tan pawéha kroda runtik, ring sama nira wong, tan panujuwa, tan pandéstiha, ring sama nira manuûà, apan ika awak ira kabéh tunggal sangkan paranira, apan tunggal sanghyang urip, ..... Niscaya tidaklah akan menjadi sengsara orang-orang yang memiliki perilakuperilaku seperti berikut ini ; Orang-orang yang tidak menjadi sebab adanya penderitaan-penderitaan -/- pada sesama makhluk hidup. Orang-orang yang tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang-orang suci. Orang-orang yang tidak menyimpan atau memiliki hutang wiring (wiring, „dendam‟?). Orang-orang yang tidak memiliki hutang darah dan hutang daging pada sesama makhluk hidup. Orang-orang yang tidak menjadi sebab dari bangkitnya kemarahan-kemarahan pada sesama manusia. Orang-orang yang tidak menjalankan ilmu-ilmu hitam seperti tuju dan desti kepada sesama manusia. Karena semua itu adalah dirimu sendiri, yang sama-sama satu asal-muasalnya, serta sama-sama satu tujuannya. Karena Sang Hyang Hurip, yaitu jiwa dari kehidupan ini, adalah satu adanya. Dari petikan di atas dapat dijelaskan bahwa orang-orang yang memiliki budhi sattwam di dalam pikirannya tidak ada sama sekali terbersit sifat-sifat dendam. Ia tidak menghiraukan segala usaha-usaha jahat dan tipu muslihat musuhnya untuk menjatuhkan dirinya. Membalas dendam harus dihindari sedangkan memaafkan kesalahan orag lain itu adalah sifat yang agung. Inilah sesungguhnya ajaran tentang “Tat twam Asi” melakukan perbuatan baik kepada orang lain sesungguhnya adalah melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri, demikian pula sebaliknya melakukan perbuata jahat kepada orang lain sesungguhnya dirinya sendirilah yang menanggung segala dosanya. Karena jiwa yang ada pada semua makhluk adalah tunggal adanya. Manusia yang budhinya dominan sifat-sifat sattwam, jiwanya dipenuhi oleh kedamaian dan segala perilakunya membawa kebahagiaan bagi semua
469
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
makhluk hidup. Dalam lontar Tutur Ring Sisya lempir 13b-14a, manusia seperti itu diwujudkan sebagai sorga yang berjalan di dunia. ...mangkanà manih manuûà, yan kêdêh kudu ring krêtha rahayu, iya úwarga lumaku, iya déwa lumaku, iya hyang lumaku, tan urung tibéng úwarga, yan sira wruh ring tutur kaparamartha, tan urung sira dadhi manuûa -/-jathi, tan urung tibéng kayogyan... Artinya : .... Demikian juga halnya dengan para manusia, apabila secara terus menerus merasakan betah dalam kebaikan-kebaikan, maka dengan demikian : Ia itu tidak ubahnya adalah sosok sorga (kebahagiaan) yang sedang berjalan. Ia itu tidak ubahnya adalah sosok Dewa yang sedang berjalan. Ia itu tidak ubahnya adalah sosok Hyang yang sedang berjalan. Maka tidak urung lagi, ia akan sampai juga di alam tingkatan sorga, apabila ia telah memahami ajaran-ajaran tentang kaparamarthan, yaitu tujuan terakhir atau tujuan tertinggi. Maka dengan demikian, tidak urung ia akan menjadi seorang manusia yang memiliki sifat-sifat /-yang sejati. Maka tidak urung lagi, ia akan sampai pada sifat-sifat ke-yogi-an, yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang telah berhasil dalam praktek pelaksanaan dari ajaran-ajaran yoga. Petikan di atas menggambarkan keadaan jiwa manusia dan segala perilakunya sebagai cerminan sifat-sifat dewa dan makhluk penghuni sorga di dunia, ia tidak akan pernah merasa takut dan gentar menghadapi musuh dari luar, karena musuh yang ada di dalam dirinya telah dikuasai dan dikendalikan. Ia telah memahami dan mempraktekkan ajaran yoga dan jñana yaitu ajaran tentang cara menghubungkan diri dengan Tuhan dan ajaran tentang kelepasan untuk mencapai tujuan yang tertinggi dan terakhir. Sebagai kata kunci ajaran Tutur Ring Sisya 14b-15a yang menyatakan Triguóa yang membebaskan kutipannya sebagai berikut ; ...yénàna ginawé hayu, andéwa yajña, maître yajña, angrêsi yajña, amanuûà yajña, ika ta paranané, pawéh-/-bhaþara iki, sukha hyang déwa åêsi, tumoning sira, awét sira maurip, rinakûa sira ring hayu, anutugàkên sira amùkti sukhà, mati pwa sira, atma nira pinapag déning widyadhara-widyadharì, rinumrum sira déning widyadharì suprabhà sira dé bhaþara mawulun, lininggihàkên ring palangkan maóik mas, si karûà déning déwa bhaþara, ingidhêp déa manuûà, punika polihing manuûà, wruh kramaning ngandadi wong, agung pakolih ipun ring sakalà niskala, adangan agampang katêmu, ya ta sira amanggih úwarga siddha rahayu aódungkap kalêpasên, ....
470
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
Artinya : ... apabila ada perbuatan-perbuatannya yang bernilai baik, misalnya mengadakan upacara : persembahan kepada para dewa, persembahan kepada para leluhur, persembahan kepada para resi, persembahan kepada para manusia. Persembahan-persembahan itulah sebagai tujuan dari pemberian-/-oleh Bhatara berupa harta kekayaan itu. Maka dengan demikian, akan menjadi senanglah perasaan-perasaan para Dewa Resi menyaksikannya. Maka akan menjadi panjanglah umurnya. Maka ia akan menikmati kebahagiaan-kebahagiaan. Maka dengan demikian, akan secara berkesinambunganlah ia akan menikmati perasaanperasaan kebahagiaan-kebahagiaan itu. Pada saatnya ia itu kemudian mati, maka atma-nya akan dijemput oleh para widyadara-widyadari, yaitu makhlukmakhluk indah penghuni Sorga. Maka akan dibuat menjadi senanglah ia oleh bidadari Supraba (nama dari salah satu bidadari) yang mengabdi kepada Bhatara. Didudukkannyalah ia itu di atas tempat duduk yang terbuat dari batu permata bertatahkan dengan emas. Ia akan mendapatkan restu dari para Dewa Bhatara. Ia akan menjadi dipercaya oleh para manusia. Keadaan seperti itulah yang akan ditemukan oleh para manusia yang telah tahu bagaimana cara-caranya menjadi seorang manusia. Akan menjadi besarlah pahala-pahalanya baik di alam yang bersifat sakala (yaitu alam yang ada di luar hukum Waktu) maupun di alam yang bersifat niskala (yaitu alam yang ada di luar atau terbebas dari hukum Waktu).Tidaklah banyak jumlahnya orang-orang yang bisa mendapatkan keadaankeadaan seperti ini dengan cara yang gampang. Orang-orang yang keadaannya seperti itu akan mendapatkan sorga kebahagiaan. Karena orang-orang itu telah berhasil dengan baik dan dengan benar membuka pintu gerbang alam kelepasan, yaitu alam kebebasan terakhir. Kutipan di atas adalah penjelasan beberapa pahala sakala niskala yang didapat oleh
orang-orang yang telah berhasil melaksanakan melaksanakan
perbuatan yang budhi sattwam. Adapun ciri-ciri manusia yang dominan budhi sattwam dalam dirinya adalah melaksanakan upacara dewa yajña. Manusia yakin dan percaya bahwa hidupnya dan alam berserta dengan segala isinya bersumber dari Tuhan. Inilah yang disebut dengan Dewa Rna yaitu hutang kepada Tuhan yang wajib hukumnya bagi manusia untuk membayar dengan pemujaan dan bhakti yang tulus. Hutang jenis kedua disebut Pitra Rna, yaitu hutang kepada para leluhur, oleh karena itu manusia wajib juga membayar hutang kepada leluhur dengan cara menjaga orang tua, mengadakan upacara ngaben ketika orang tua sudah meninggal. Berkat jasa para maha resi yang telah dipercaya oleh Tuhan menerima wahyu Weda, selanjutnya para resi yang meneruskan pengetahuan suci itu kepada
471
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
umat manusia, sehingga umat manusia sadar akan kesejatian dirinya, hutang jasa dengan cara menghormati, memberikan punia, menjaga kesuciannya adalah sebagai bentuk membayar hutang kepada orang-orang suci. Sebagai pahala pada masa hidupnya dari semua perbuatannya itu adalah menikmati kebahagiaan, panjang umur, dipercaya oleh sesama manusia. Adapun pahala yang didapat ketika saat kematiaannya adalah atmanya dijemput oleh bidadari penghuni sorga, dan pada akhirnya dapat membuka pintu gerbang alam kelepasan dan mencapai tujuan tertinggi. Demikian penjelasan Triguna yang memberbaskan dari segala belenggu keterikatan duniawi.
E. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan pemaparan dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a.
Penelitian ini adalah pendekatan kajian Filologi yaitu mendeskripsikan naskah lontar Tutur Ring Sisya sebagai sebuah teks yang sarat dengan nilainilai moral. Menginformasikan keadaan fisik lontar yang masih sangat utuh baik bahan lontarnya, maupun tulisannya sangat jelas.
b.
Pedoman transliterasi naskah Tutur Ring Sisya mengikuti sistem sanskerta dengan penggunaan tanda-tanda diakritik dan alih bahasa yang dipergunakan adalah dengan terjemahan bebas, dengan tidak mengurangi bahasa sumber.
c.
Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam lontar Tutur Ring Sisya sarat ajaranajaran moral yaitu meliputi ; badan jasmani sebagai sebuah jalan, ajaran tentang tapa dan ajaran triguna yang mengikat dan membebaskan.
d.
Badan jasmani adalah tempat jalan bagi semua perbuatan baik dan buruk, oleh karena itu badan jasmani harus dijaga, dipelihara baik secara fisik maupun mental. Apabila badan jasmani tidak sehat secara fisik dan mental, maka tujuan tertinggi tidak akan tercapai.
e.
Ketika manusia lupa akan kesejatian dirinya sebagai penjelmaan yang paling sempurna diantara penjelmaan makhluk hidup lainnya, maka ia akan dinikmati oleh kesenangan itu sendiri dan pada akhirnya ia akan terikat oleh
472
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
trigunas yaitu rajas dan tamas. Keadaan manusia seperti itu diibaratkan seperti perwujudan kawah naraka yang berjalan, yang senantiasa menderita dan menebar maut bagi sesama makhluk hidup. f.
Manusia yang sadar dan senantiasa berbuat baik kepada sesama dan makhluk hidup lainnya merupakan perwujudan penjelamaan sorga. Sifat-sifat budhi sattwam
menonjolkan
karakter
yang
bijaksana,
keluhuran
budhi,
pengendalian diri yang sempurna (tapa). Melalui jalan tapa, sesungguhnya merupakan penguasaan rajas tamas oleh budhi sattwam, sehingga inilah yang membebaskan manusia dari belenggu keterikatan terhadap benda-benda material duniawi.
2. Saran 1.
Langkah-langkah penelitian Filologi perlu ditingkatkan oleh para peneliti, karena sangat banyak nilai-nilai agama dan budaya yang terpendam dalam naskah warisan leluhur. Nilai-nilai agama, etika, moral dan budaya masih sangat relevan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun bermasyarakat.
2.
Naskah-naskah berupa lontar yang tersimpan di Musium, koleksi pribadi yang terdapat di Griya, Puri dan Jero khususnya masyarakat Hindu Lombok masih banyak yang belum diteliti.
3.
Perhatian pemerintah terhadap peninggalan budaya warisan leluhur perlu ditingkatkan melalui seminar-seminar budaya, pengkajian-pengajian naskah lontar. Hasil-hasil penelitian atau seminar perlu disebar luaskan melalui berbagai media. Sehingga masyarakat luas dapat mengerti dan memahami bahwa nilai-nilai dalam naskah lontar tersebut sangat mulia dan adi luhung.
4.
Keterbukaan Pemerintah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para peneliti untuk mengkaji naskah lontar secara ilmiah dan obyektif.
5.
Perlu adanya forum komunikasi antara lembaga terkait dengan warga masyarakat yang menyimpan, mengkoleksi naskah lontar dalam rangka melestarikan, pengembangan dan pengkajian.
473
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
DAFTAR PUSTAKA Anandakusuma, Sri Reshi, 1986. Kamus Bahasa Bali. Bali-Indonesia. IndonesiaBali. Penerbit CV. Kayumas, Denpasar. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta. Badan Pembinaan dan Publikasi Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. _____________.1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Basuki, Anhari dkk. 2004. Pengantar Filologi. Semarang : BP Undip. Cudamani, 1989. Mengatasi Stress Menurut Pandangan Agama Hindu. Penerbit Dharma Sararthi. Djamaris, Edwar. 1990. Metode Penelitian Filologi. Jakarta. Pusat Pengembangan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ______________. 1977. Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi. Bahasa dan Sastra, Tahun III, Nomor 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______________. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta. CV Manasco. Endraswara. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta. PT. Hanindita Graha Widya. Griffith, R.T.H. 2006. Yajurveda Samhita, Penerbit Paramita Surabaya. Ikram, Achdiati.
1994. Filologia Nusantara. Jakarta. Pustaka Jaya
______________.1980. Perlunya Memelihara Sastra Lama. Analisis Kebudayaan No.3 (Th.1) Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Heri, Juniawan IB, 2014. Nilai-Nilai Ajaran Gurupadesa Dalam Pawarah Mpu Tutur. Mataram. ______________. 2014. Konsep Wiku Ideal Dalam Kidung Cowak. Mataram Jusuf Siut, Almasdi, 2006. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia Penerbit Ghalia Indonesia.
474
Ida Bagus Heri Juniawan (Kajian Filologi Ajaran Moral Dalam Lontar ....................)
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 2003. Sarasamuccaya, Dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna, Penerbit Paramita Surabaya. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Yakarta. Gramedia ____________. 1983. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka. Moleong, J Lexy, 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya. Mulyani, Hesti. 2008. Cara Kerja Filologi dalam Menganalisis Manuskrip. Diksi: Majalah Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Seni. Edisi: 12, Th. IV, Des. 1996. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta. Maswinara, I Wayan, 2004. Veda Sruti Ågveda Samhita Mandala IV, V, VI, VII, Resensi Sakala, Penerbit Paramita Surabaya. Novaeni, GA dkk, 2010. Lontar Kakawin Siwalatri Sumber Inspirasi Dalam Pembuatan Puzzele dan Kartu Bergambar dalam Industri Kreatif. IPTEKMA Volume 2 No.1, 01-04. 2010. Denpasar. Univ Udayana. Pudja, I Gde. 1985. Pengantar Agama Hindu Jilid I Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta. Penerbit Mayasari. ___________. 1994. Bhagawadgita ( Pancama Veda ), Penerbit Paramita Surabaya. Poerwadarminta, 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Edisi Ketiga ). Jakarta. Balai Pustaka. Prakerti, Anugrah, dkk. 1988. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan, dicetak oleh PT. Sinar Agape Press. Jakarta. Rinda Suardika, I Wayan. Geguritan Sebun Bangkung, Kajian Bentuk Fungsi Dan Makna. Denpasar. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta. Gramedia. Sudharta, Tjok Rai, 2007. Ajaran Moral Dalam Bhagawadgita, Penerbit Paramita Surabaya. Sabirin, 1938. Kekajaan Basa Dan Pengetahoean Oemoem. Bandoeng 1938.
475
PADMA SARI - ISSN : 972337366005 - Volume 3 ( 447 – 476 )
Sapariani, Ni Ketut, dkk. 2004. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi Pekerti. Penerbit Paramita Surabaya. Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Penerbit Widya Dharma Denpasar. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya. _______ . 1991. Membaca dan Menilai Karya Sastra. Jakarta. Gramedia. _______ . 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya. Zoetmulder. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta:Penerbit Djambatan. __________ . 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Jilid 1 dan 2 ), Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
476