Sitepu
Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase, Kolesterol Low Density
KADAR ENZIM 11 β-HYDROXYLASE, KOLESTEROL LOW DENSITY LIPOPROTEIN DAN KOLESTEROL HIGH DENSITY LIPOPROTEIN PADA OBESITAS DAN OVERWEIGHT Jenny Novina Sitepu
Background: The previous studies show that obesity associated with high LDL and low HDL. Hipercortisolism has been assumed to be involved in obesity-associated lipid profile disorders.Cortisol is synthesized by 11β-Hydroxylaseenzyme. The aim of this study was to investigate the11 β-Hydroxylase, LDL, and HDLlevel in obese and overweight young adult men. Method:This cross-sectional study followed by 52 young adult men (18-24 years old), which 26 subjects with obese and 26 with overweight. The 11 β-Hydroxylase, LDL, and HDL level was evaluated in blood sample after 10 hours fasting. Result: The 11 β-Hydroxylase level was approximately 52.15 in obese subjects and 71.63 in overweight subjects. LDL cholesterol level was approximately 126.04 mg/dl in obese subjects and 105.88 mg/dl in overweight subjects. HDL cholesterol level was approximately 38.46 mg/dl in obese subjects and 43.15 mg/dl in overweight subjects. Conclusions:The 11 β-Hydroxylase and LDL cholesterol level was high in obese and overweight subjects. On the contrary, The HDL cholesterol level was low in obese and overweight subjects. Keywords:11 β-Hydroxylase, kolesterol, LDL, obesitas, overweight
Pendahuluan Prevalensi obesitas dan overweight semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.1,2,3Peningkatan prevalensi obesitas dan overweight merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan angka kematian akibat penyakit tidak menular. 1 Obesitas merupakan faktor risiko untuk berbagai penyakit seperti penyakit kardiovaskuler dan stroke, diabetes mellitus tipe 2, hiperkolesterolemia, dan penyakit keganasan.4,5,6,7,8,9Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan gangguan profil lipid.7, 8,9 Penelitian di Amerika Serikat dan Italia menunjukkan bahwa peningkatan cortisolberhubungan dengan gangguan profil lipid.10,11 Namun, bagaimana gambarankadar enzim 11 β-hydroxylase (enzim yang berperan dalam sintesis cortisol), kolesterol LDL, dan HDL pada laki-laki dewasa muda belum pernah diteliti di Indonesia.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
1
Sitepu
Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase, Kolesterol Low Density
Metode Desain dan Sampel Penelitian Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional terhadap 52orang yang termasuk dalam kategori obesitas danoverweight. Kelompok obesitas adalah laki-laki dengan IMT≥25kg/m2 dan lingkar pinggang >90cm)dan kelompok overweight adalah laki-laki dengan IMT 23–24,9kg/m2 dan lingkar pinggang 8090cm). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Kriteria eksklusi adalah subyek yang memiliki riwayat hipertensi, menderita Cushing syndrome (berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis), menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme lemak dan fungsi adrenal selama 6 bulan terakhir, dan memiliki kadar trigliserida serum > 400 mg/dl. Pengukuran Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh dihitung dengan membagi berat badan (Kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2) dan dicatat 1 angka di belakang koma. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital merek Kris. Subyek penelitian ditimbang dengan menggunakan baju kaos tipis dengan celana pendek untuk mengurangi bias berat badan.Pengukuran berat badan dilakukan sebanyak tiga kali kemudian diambil nilai rata-rata untuk tiga pengukuran tersebut dan dicatat nilainya 1 angka di belakang koma. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan stature meter pada menarik nafas (inspirasi) panjang. Pengukuran tinggi badan dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian diambil nilai rata-ratanya dan dicatat nilainya 1 angka di belakang koma. Pemeriksaan Sampel Darah Sampel darah diambil pada pagi hari (jam 08.00 – 09.00) setelah subyek penelitian puasa selama 10-12 jam. Darah sebanyak 3 ml diambil di vena cubiti, kemudian dimasukkan ke dalam tabung tanpaethylenediaminetetraacetic acid (EDTA). Serum darah disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -20°C dan akan stabil sampai 4 bulan. Pemeriksaan kadar 11-β hydroxylase serum dilakukan dengan teknik quantitative sandwich enzyme immunoassay.Pengukuran kadar kolesterol HDL dilakukan dengan teknik presipitasi yang dilanjutkan dengan pemeriksaan human cholesterol liquicolor. Selanjutnya, kadar kolesterol LDL ditentukan rumus Friedewald. Hasil Gambaran IMT, 11 β-Hydroxylase,Kolesterol LDL, dan HDL Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek obesitas dan overweight memiliki ratarata kadar enzim 11 β-Hydroxylase yang cenderung tinggi. Rata-rata kadar LDL juga cukup tinggimeskipun masih dalam batas normal. Sebaliknya, rata-rata kadar kolesterol HDL cenderung rendah (tabel 1).
2
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Sitepu
Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase, Kolesterol Low Density
Tabel 1. Gambaran IMT, 11 β-Hydroxylase, LDL, dan HDL Variabel
n
Nilai Min.
Nilai Maks.
Mean
Standar deviasi
IMT (kg/m2) - Obesitas - Overweight
52 26 26
23,0 25,8 23,0
38,2 38,2 24,9
27,63 31,03 24,24
4,32 3,68 0,67
11 βHydroxylase - Obesitas - Overweight
52 26 26
6,9 6,9 17,0
199,4 149,3 199,4
61,89 52,15 71,63
45,63 43,49 46,49
0,200*
52 26 26
71 73 71
182 182 175
115,96 126,04 105,88
29,89 26,81 29,89
0,200
52 26 26
22 22 26
69 52 69
40,81 38,46 43,15
9,19 7,45 10,27
0,200
LDL (mg/dl) - Obesitas - Overweight
HDL - Obesitas - Overweight * ( ) nilai p-value setelah dilakukan transformasi data
Uji Normalit as (pvalue) 0,000
Pembahasan Rata-rata kadar kolesterol LDL pada sampel penelitian cukup tinggi meskipun masih dalam batas normal. Rata-rata kadar kolesterol LDL sampel tergolong tidak optimal. Kadar kolesterol LDL optimal menurut The National Cholesterol Education Program Adult Panel III adalah <100 mg/dl.12Hal tersebut menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar kolesterol LDL pada obesitas dan overweight. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan kadar kolesterol LDL (p= 0,043)7. Sebaliknya, rata-rata kadar kolesterol HDL cenderung rendah. Kadar kolesterol HDL <40 mg/dl menurut The National Cholesterol Education Program Adult Panel III termasuk kategori rendah.12Hasil ini sesuai dengan beberapa pebelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa obesitas berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol HDL9. Tingginya rata-rata kadar LDL dan rendahnya rata-rata kadar HDL menunjukkan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada sampel. Hal tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada usia muda yang tampak sehat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saat ini gangguan profil lipid sudah mulai terlihat pada usia muda bahkan pada anak-anak usia sekolah7,8.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
3
Sitepu
Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase, Kolesterol Low Density
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar enzim 11 β-hydroxyla sepada obesitas dan overweight cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa obesitas berkaitan erat dengan hiperaktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang menyebabkan hiperkortisolisme13. Enzim 11 β-hydroxylase berperan dalam sintesis cortisol. Enzim 11 βhydroxylasemenghidroksilasi molekul 11-deoxycortisol pada karbon 11 menjadi cortisol di dalam mitokondria sel korteks adrenal14. Tingginya kadar kolesterol LDL dan rendahnya kadar kolesterol HDL pada subyek penelitian sejalan dengan tingginya kadar enzim 11 β-hydroxylase. Teori menyebutkan bahwa cortisol dalam jangka waktu lama menyebabkan abnormalitas lipid 15. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungancortisol dan kadar enzim 11 β-hydroxylase dengan kadar kolesterol LDL dan HDL. Kesimpulan Sebagai kesimpulan, kadar enzim 11β-Hydroxylasedan kolesterol LDL cenderung tinggi pada laki-laki usia muda yang mengalami obesitas dan overweight. Sebaliknya, kadar kolesetrol HDL cenderung rendah. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan gangguan profil lipid pada laki-laki usia muda yang mengalami obesitas dan overweight.Penelitian lebih lanjut pada perempuan atau kelompok obesitas dan overweight yang menderita dislipidemia diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih luas dan bahan perbandingan mengenai gambaran kadar 11 β-Hydroxylase, kolesterol LDL dan HDL. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan ketiga variabel tersebut.
Daftar Pustaka 1. World Health Organization. (2011). Noncommunicable Diseases. Country Profiles 2011. Geneva: World Health Organization. 2. World Health Organization. (2013). Glogal Health Statistic 2013 Part III. Global Health Indicators. Geneva: World Health Organization. 3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 4. Obregon, M-J. (2010). Maternal Obesity Results in Offspring Prone to Metabolic Syndrome. Journal of Endocrinology 151(8): 3475-3476. 5. Tirosh, A., Shai, I., Afek, A., Dubnov-Raz, G., Ayalon, N., Gordon, B., … Rudich, A. (2011). Adolescent BMI Trajectory and Risk of Diabetes Versus Coronary Disease. N Engl J Med 364: 1315-25. 6. Schmidt, M., Johannesdottir, S., A., Lemeshow, S., A., Lash, T,. L., Ulrichsen, S., P., Botker, H., E., Sorensen, H., T. (2013). Obesity in Young Men, and Individual and Combined Risks of Type 2 Diabetes, Cardiovascular Morbidity and Death Before 55 Years of Age: Danish 33-Years Follow-up Study.
4
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Sitepu
Kadar Enzim 11 β-Hydroxylase, Kolesterol Low Density
7. Ramzan, M., Ali, I., Ramzan, F., Ramzan, F., Ramzan, M., H. (2011). Waist Circumference and Lipid Profile Among Primary School Children. JPMI Vol 25 No. 03: 222-226 8. Rizk, N., M., Yousef, M. (2012). Association of Lipid Profile and Waist Circumference as Cardiovascular Risk Factors for Overweight and Obesity Among School Children in Qatar. Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy 2012:5 425-432. 9. Thakur, J. S., Bisht, S. (2010). Comparative Study of Blood Lipid Profile of Obese and Non-obese Sedentary College Men. VSRD-TNTJ. Vol. I (1), 2010, 26-29 10. Russel, M., Bredella, M., Tsai, P., Miller, K., K., Klibanski, A., Misra, M. (2009). Relative Growth Hormone And Excess are Associated with Increased Cardiovascular Risk Markers in Obese Adolescents Girls. J Clin Endocrinol Metab 94:2864–2871. 11. Mungreiphy, N. K., Kapoor S., Sinha R. (2011). Association between BMI, Blood Pressure, and Age: Study among Tangkhui Naga Tribal Males of Northest India. Journal of Anthropology. Doi: 10. 1155/2011/748147. 12. Adam J. M. F. Dislipidemia dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III. Jakarta: Interna Publishing, 2010: 1984-92. 13. Anagnostis, P., Athyros, V., G., Tziomalos, K., Karagiannis, A., Mikhailids, D., P. (Agustus 2009). The Pathogenetic Role of Cortisol in Metabolic Syndrome: A Hypothesis. J. Clin Endocrinol Metab. 94(8):2692-2701. 14. Barret, K., Brooks, H., Boitano, S., Barman, S. (2010). Ganong’s Review of Medical Physiology 23th Edition. USA: The McGraw Hill Companies, 337-90. 15. Arnaldi, G., Scandali, V., M., Trementino, L., Cardinaletti, M., Appolloni, G., Boscaro, M. (2010). Pathophysiology of Dyslipidemia in Cushing’s Syndrome. Neuroendocrinology; 92(Suppl 1):86-90.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
5
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides dengan Status Nutrisi pada Anak Sekolah Dasar Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan 1
Novreka Pratiwi Sipayung 1 Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Email:
[email protected]
Abstrak Pendahuluan : Kecacingan merupakan suatu penyakit kronik dan endemik yang diakibatkan oleh parasit cacing. Ascaris lumbricoides merupakan salah satu parasit cacing dengan tingkat prevalensi paling tinggi di Indonesia termasuk Sumatera Utara dan sering menginfeksi anak usia sekolah. Keberadaan Ascaris lumbricoides dalam lumen usus halus manusia, akan mengambil asupan nutrisi dari penderita yang akan mengganggu status nutrisi anak. Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik cross sectional. Subjek penelitian adalah siswa – siswi SD Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung yang menderita askariasis tunggal maupun campuran. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dan didapatkan sampel sebanyak 201 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak lalu dibandingkan dengan kurva tinggi badan dan berat badan berdasarkan umur NCHS CDC 2000 untuk menilai status nutrisi anak, sedangkan pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato Katz untuk medeteksi adanya telur cacing dalam tinja. Hasil : Hasil uji Chi-Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara infeksi Ascaris lumbricoides terhadap status nutrisi anak Sekolah Dasar Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung (p = 0.451) Kesimpulan : Prevalensi anak yang menderita kecacingan pada penelitian ini dijumpai sebesar 67,7% (256/378). Status nutrisi anak baik pada kelompok askariasis tunggal maupun campuran sebagian besar merupakan kategori baik. Tidak terdapat hubungan antara infeksi Ascaris lumbricoides terhadap status nutrisi anak Sekolah Dasar Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan (p =0.451)
Kata kunci : Ascaris lumbricoides, askariasis, kecacingan, status nutrisi.
6
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
Pendahuluan Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Kecacingan dianggap suatu masalah karena kondisi sosial dan ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang berhubungan dengan faktor ekonomi.1 WHO mencatat bahwa sekitar 2 miliar orang di dunia menderita kecacingan. 2 Untuk infeksi jenis cacing gelang Ascaris lumbricoides berada pada urutan teratas sekitar 1,2 miliar orang, cacing cambuk Trichuris trichiura 795 juta, cacing tambang Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sekitar 740 juta orang di dunia.3 Di Indonesia diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita suatu infeksi cacing.4 Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sekitar 32% penduduk Sumatera Utara menderita cacingan, dari data tersebut didapatkan sekitar 60-70% anak-anak di Medan menderita cacingan.5 Telah dijelaskan bahwa mutu sanitasi dan faktor ekonomi yang rendah menjadi penyebabnya, ternyata status nutrisi juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. 6 Keberadaan Ascaris lumbricoides dalam usus manusia akan mengambil asupan nutrisi dari hospesnya, selain itu pada infeksi berat dapat menyebabkan malabsorbsi dengan memblok area absorbsi mukosa usus halus. Pada infeksi kronis A. lumbricoides akan menyebabkan masalahyang serius seperti nutrisi buruk, pertumbuhan yang terganggu, anemia bahkandapat menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan anak akibat defisiensimikronutrien seperti besi, vitamin dan asam folat.7 Penentuan status nutrisi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau (BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. 8 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara infeksi A.lumbricoides dengan status nutrisi padasiswa Sekolah Dasar Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh siswa/siswi SD Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan. Pemilihan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dimana sampel yang digunakan adalah siswa-siswi kelas 1-6 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, didapati sebanyak 201 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu semua siswa/i kelas 1 sampai 6 SDN 067240 Kecamatan Medan Tembung yang menderita askariasis tunggal dan askariasis campuran. Kriteria eksklusinya adalah siswa/i yang tidak mengumpulkan feses, tidak mendapat izin orang tua, tidak hadir dan sakit. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak lalu dibandingkan dengan kurva tinggi badan dan berat badan berdasarkan umur NCHS CDC(Centers for Disease Control and Prevention) 2000 untuk menilai status nutrisi, sedangkan pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato Katz untuk medeteksi adanya telur cacing dalam tinja. Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
7
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahuidistribusi frekuensi darimasingmasingvariabel.Analisabivariat dilakukan untuk menguji hipotesis hubungan antara variabelbebas (infeksi A.lumbricoides) dengan variabel tergantung (status nutrisi). Ujiyang digunakan adalah uji statistik berupa Chi-Square. Hasil dan Pembahasan Pot dibagikan kepada 504 anak untuk pengambilan feses, diantaranya 126 anak tidak mengembalikan pot, 378 anak yang mengembalikan pot dan akan diperiksa terhadap adanya infeksi A.lumbricoides. Dari hasil pemeriksaan feses didapatkan 256 anak (67,7%) yang menderita kecacingan, diantaranya 124 anak positif menderita infeksi A. lumbricoides tunggal, 51 anak positif menderita infeksi T. trichiura tunggal, 75 anak positif A.lumbricoides dan T. trichiura, 2 anak positif A.lumbricoides dan cacing tambang, 4 anak positif T. trichiura dan cacing tambang. Yang menjadi sampel penelitian adalah anak yang menderita infeksi tunggal dan infeksi campuran dari A.lumbricoides, sehingga didapati 201 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi cacing usus siswa/i SDN 067240 Kecamatan Medan Tembung disajikan pada tabel 1, karakteristik sampel penelitian disajikan pada tabel 2, dan hubungan infeksi A.lumbricoides dengan status nutrisi disajikan dalam tabel 3. Tabel 1. Prevalensi penderita cacing usus siswa/i SDN 067240 Jenis cacing Jumlah sampel n ( % ) Ascaris lumbricoides tunggal 124 (48,4%) A. lumbricoides + T. trichiura 75 (29,3%) A. lumbricoides + 2 (0.8%) Ancylostomatidae T. trichiura tunggal 51 (19.9%) T. trichiura dan cacing tambang 4 (1.6%) Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa prevalensi anak yang menderita kecacingan pada penelitian ini dijumpai sebesar 67,7% (256/378), hal ini sudah berkurang dibandingkan penelitian pada tahun 2008 oleh Yunus di lokasi yang sama yaitu sebesar 73%. Prevalensi cacing A.lumbricoides tunggal sebesar 48,4 %, hampir sama dengan yang didapatkan Yunus pada tahun 2008 sebesar 46,52%. Untuk infeksi cacing A. lumbricoides campurandidapatkan sebesar 30,1%, lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh Yunus pada tahun 2008 sebesar 50,1%. Secara garis besar peneliti mendapatkan prevalensi kecacingan usus yang lebih rendah dibandingkan peneliti sebelumnya oleh Yunus pada tahun 2008, hal ini dimungkinkan oleh karena dari waktu ke waktu bertambahnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan serta adanya program pengobatan kecacingan pada anak sekolah.9 Namun meskipun terdapat penurunan prevalensi dari tahun 2008-2015, angka kejadian masih diatas 50%. Masih tingginya prevalensi infeksi kecacingan pada anak usia sekolah kemungkinan disebabkan rendahnya standar kesehatan dan tingginya aktivitas luar yang membuat mereka rentan terhadap penularan kecacingan. Anak-anak SDN 067240 Kecamatan Medan Tembung sering tidak memakai sepatu ketika berada 8
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
di dalam kelas bahkan saat melakukan aktivitas di luar kelas seperti bermain di halaman sekolah tanpa alas kaki. Lingkungan sekitar sekolah yang kebanyakan tanah dan pasir menjadi tempat berkembangnya cacing-cacing usus yang dapat menyebabkan infeksi. Kurangnya kesadaran anak-anak untuk mencuci tangan sebelum makan juga menjadi salah satu cara masuknya cacing-cacing tersebut.
Karakteristik
Umur (tahun) 6–7 7–8 8–9 9 – 10 10 – 11 >11 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status Nutrisi Baik Kurang Intensitas Infeksi Ringan Sedang Berat
Tabel 2. Karakteristik sampel penelitian A.lumbricoides A.lumbricoides campuran tunggal (n= 77) (n= 124) 9 (7.3) 17 (13.7) 18 (14.5) 8 (6.5) 26 (20.9) 46 (37.1)
8 (10.4) 7 (9.1) 21(27.3) 3 (3.9) 20 (25.9) 18 (23.4)
55 (44.4) 69 (55.6)
48 (62.3) 29 (37.7)
103 (83.1) 21 (16.9)
67 (87.1) 10 (12.9)
106 (85.5) 18 (14.5) 0 (0)
53 (68.8) 24 (31.2) 0 (0)
Berdasarkan tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menderita askariasis tunggal sebanyak 124 orang (61.7%), sedangkan askariasis campuran sebanyak 77 orang (38.3%). . Smith dkk (2001) mendapatkan prevalensi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura masing-masing 45% dan 38% dalam penelitiannya. Sekitar seperempat dari jumlah peserta penelitiannya (25,8%) merupakan infeksi gabungan antara Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif diantara infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura., dimana jalur penularan yang sama terhadap manusia yaitu melalui feses dan oral.10 Karakteristik umur responden berkisar diantara 6-12 tahun yang merupakan usia sekolah, dimana pada usia tersebut anak-anak masih memiliki aktivitas bermain dan kegiatan yang tinggi, sedangkan tingkat kebersihan serta daya tahan tubuh masih rendah sehingga anak mudah terinfeksi kecacingan. Pada tabel 2 juga terlihat bahwa penderita askariasis tunggal lebih banyak perempuan, sedangkan pada askariasis campuran lebih banyak laki-laki. Hal tersebut tidak begitu banyak berbeda pada anak dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dikarenakan kebiasaan dan cara hidup yang secara umum sama.11 Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
9
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
Pada tabel 2 dapat juga dilihat bahwa status nutrisi anak yang menderita askariasis tunggal maupun campuran sebagian besar termasuk kategori baik (>80%), begitu juga tingkat keparahan infeksi sebagian besar masih kategori ringan. Tabel 3. Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides dengan Status Nutrisi pada anak SDN 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Jenis Infeksi Status Nutrisi kecacingan P Baik Kurang N % N % A.lumbricoides tunggal 103 83.1 21 16.9 A.lumbricoides 0.451 67 87.1 10 12.9 campuran Total 170 84.6 31 15.4 Pada tabel 3 didapatkan dari uji chi square bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara infeksi Ascaris lumbricoides dengan status nutrisi pada anak SDN 067240 Kecamatan Medan Tembung (p= 0.451). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hehy pada tahun 2013 di Manado yang menunjukkan tidak ada hubungan antara infeksi askariasis dengan status nutrisi berdasarkan BB/TB.10 Penelitian oleh Fatimah pada tahun 2012 juga menunjukkan tidak ada hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth dengan status nutrisi berdasarkan BB/TB.13 Dari hasil penelitian ini dapat dilihat tidak selalu seorang anak yang menderita askariasis campuran memiliki status nutrisi yang kurang, tetapi ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi status nutrisi tersebut. Masalah nutrisi kurang bisa disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang nutrisi. 14 Kesimpulan Prevalensi anak yang menderita kecacingan pada penelitian ini dijumpai sebesar 67,7% (256/378). Status nutrisi anak pada penderita askariasis tunggal maupun campuran sebagian besar merupakan kategori baik, sedangkan intensitas infeksi sebagian besar termasuk kategori infeksi ringan. Hasil uji Chi-Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara infeksi Ascaris lumbricoides terhadap status nutrisi anak Sekolah Dasar Negeri 067240 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan (p = 0.451) Daftar Pustaka 1. Zulkoni A. Parasitologi. Cetakan 1. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.p.71-82 2. Tekeste Z, Belyhun Y, Gebrehiwot A, Moges B, Workineh M, Ayalew G. Epidemiology of intestinal schistosomiasis and soil transmitted helminthiasis among primary school children in Gorgora, Northwest Ethiopia Asian Pac J Trop Dis. 2013; 3(1): 61-64.
10
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Sipayung
Hubungan infeksi Ascaris
3. Kirwan P, Asaolu SO, Abiona TC, Jackson AL, Smith HV and Holland CV. Soil transmitted helminth infections in Nigerian children aged 0-25 months. Journal of Helminthology. 2009; 00:1–6. 4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Cetakan 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.p. 6-24. 5. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2013. 6. Fida and Maya. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan 1. Yogyakarta : DMEDIKA; 2012.p.280-283. 7. Supali, T. Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N. Nematoda Usus. Dalam : Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009, 6-20 8. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, Asuhan Nutrisi Pediatrik, Jakarta, 2011, cetakan I 9. Yunus R. Keefektifan Albendazole Pemberian Sekali Sehari Selama 1,2 Dan 3 Hari Dalam Menanggulangi Infeksi Trichuris trichura pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Tembung. Medan. 2008. Available from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6244, diakses Juli 2015 10. Smith HM, De Kaminsky RG, Niwas S, Soto RJ, Jolly PE. Prevalence and intensity of infections of Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura and associated sociodemographic variables in four rural Honduran communities. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 2001; 96:303-14 11. Elmi, Sembiring T, Dewiyani BS, Hamid ED, Pasaribu S, Lubis CP. Status nutrisi dan infestasi cacing usus pada anak sekolah dasar. Diunduh dari: www.repository.usu.ac.id, diiakses Juli 2015 12. Hehy G A, Basuki A. Hubungan antara kecacingan dengan status nutrisi pada anak sekolah dasar di Kelurahan Bunaken Kecamatan Bunaken Kota Manado[serial online 2013 (diunduh 29 Desember 2014). Tersedia dari: www.fkm.unsrat.ac.id. 13. Fatimah F. Derajat keparahan infeksi STH terhadap status nutrisi dan anemia pada anak sekolah dasar [serial online] 2012 (diunduh 30 Desember 2014). tersedia dari: URL: HYPERLINK www.i-lib.ugm.ac.id. 14. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu nutrisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2001.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
11
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
HUBUNGAN MELANOSIS RONGGA MULUT DENGAN MEROKOK
1
2
Yolanda A.A.S , Okto P. E. Marpaung , Christine Verawaty Sibuea
3
1
Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email :
[email protected] 2
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email :
[email protected] 3
Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email :
[email protected]
ABSTRAK
Pendahuluan : Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Menurut World Health Organisation (WHO) tahun 2008, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai jumlah perokok terbesar di dunia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi perokok di Indonesia sebanyak 29,2 % dan pada tahun 2012 menjadi 34,7%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok di Indonesia. Salah satu akibat dari kebiasaan merokok yang terjadi di rongga mulut adalah melanosis rongga mulut. Melanosis rongga mulut merupakan pigmentasi pada mukosa mulut yang secara langsung dihubungkan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, lamanya merokok dan kebiasaan merokok tembakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara terjadinya melanosis rongga mulut dengan kebiasaan merokok pada siswa SMA Negeri 1 Tanah Pinem Kabupaten Dairi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik yang menggunakan desain crosssectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa laki-laki SMA Negeri 1 Tanah Pinem Kabupaten Dairi yang berumur 15-17 tahun yang mempunyai riwayat kebiasaan merokok. Data diperoleh dari hasil wawancara dan siswa yang bersedia menjadi subjek dilakukan pemeriksaan klinis rongga mulut. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 76 orang. Hasil : Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara terjadinya melanosis rongga mulut dengan kebiasaan merokok pada siswa SMA Negeri 1 Tanah Pinem Kabupaten Dairi, dengan nilai p = 0,00 atau ( p< 0,05 ). Diperoleh hasil mayoritas perokok mengunakan jenis rokok filter (57,9%), dengan lama merokok <3 tahun (42,1%), dengan jumlah rokok 1-4 batang/hari (56,6%) dan cara mengisap dengan paru mulut sebesar (63,2%) Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara terjadinya melanosis rongga mulut dengan kebiasaan merokok pada siswa SMA Negeri 1 Tanah Pinem Kabupaten Dairi.
Kata kunci : Merokok, dan Kejadian Melanosis Rongga Mulut. 12
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok ABSTRACT
Background: Smoking is burn tobacco and then smoked using either cigarette smoke or use plumbing. According to the World Health Organisation (WHO) in 2008, Indonesia was ranked as the third largest number of smokers in the world. According to data from the Health Research in 2007, the prevalence of smokers in Indonesia as much as 29.2% and in 2012 to 34.7%. This shows an increase in the prevalence of smokers in Indonesia. One of the consequences of smoking that occurs in the oral cavity is melanosis oral cavity. Oral melanosis is the pigmentation of the oral mucosa which is directly linked to the amount of cigarettes smoked for day, duration of smoking and tobacco smoking habit. The aim of this study was to know the association between oral melanosis and smoking habits on male students of SMAN 1 Tanah Pinem Dairi. Methods: This research is analytic survey using cross-sectional design, population in this study were all male students of SMAN 1 Tanah Pinem Dairi 15-17 years old who have a history of smoking. Data obtained from interviews and students who are willing to be the subject of a clinical examination of the oral cavity. From amount of samples in this study were 76 people. Results: This study showed that there was a significant association between oral melanosis and smoking , with p value= 0.00 or (p <0.05). This study found that the majority of smokers use the type of filter cigarettes (57.9%), with long smoke <3 years (42.1%), from amount of smoking 1-4 cigarettes / day (56.6%) and by sucking the mouth of the lung (63.2%) Conclusion:There was an association between the oral melanosis and smoking habits on male students of SMAN 1 Tanah Pinem Dairi.
Keywords: Smoking, Incidence Oral melanosis 1. Pendahuluan Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi di masyarakat saat ini.1Merokok merupakan kebiasaan yang sering dijumpai setiap hari dan sudah menjadi masalah yang kompleks secara sosial. Kebiasaan merokok sulit untuk dihilangkan dan jarang diakui oleh sebagian orang sebagai kebiasaan yang buruk terutama bila tujuan merokok untuk mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi. 2
Merokok dapat merusak kehidupan pribadi bahkan menurunkan kualitas kehidupan pada masa akan datang. Rangsangan asap rokok yang lama pada saat mengisap rokok dengan berbagai cara dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang bersifat merusak bagian mukosa mulut yang terkena asap rokok. Meskipun kebiasaan merokok berdampak buruk pada kesehatan, tetapi prevalensi perokok terus meningkat. Meningkatnya prevalensi merokok di negara berkembang termasuk Indonesia menyebabkan masalah rokok menjadi semakin serius. Sebagian perokok di Indonesia telah menganggap bahwa merokok adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan sehingga merokok dianggap hal yang biasa.3
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
13
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
Menurut World Health Organisation (WHO) tahun 2008, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai jumlah perokok terbesar di dunia.4 Menurut data Riset Kesehatan Dasar2007, prevalensi perokok di Indonesia sebanyak 29,2 % dan pada tahun 2012 menjadi 34,7%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok di Indonesia.5 Salah satu akibat dari kebiasaan merokok yang terjadi di rongga mulut adalah melanosis rongga mulut, menunjukkan prevalensi sekitar 31% yang terdapat pada gingiva cekat mandibula di bagian labial. Ciri-cirinya adalah makula berwarna kecoklatan, disebabkan karena meningkatnya produksi melanin oleh melanosit dan letaknya dengan lapisan sel basal dan lamina propria, pigmentasinya bersifat reversibel walaupun biasanya hilang setelah betahun-tahun atau setelah berhenti kebiasaan merokok. Gambaran klinik pada melanosis menunjukkan sama dengan pigmentasi dan makula melanotik.6,7 Menurut penelitian M. Nadeem dkk (2010) menyimpulkan bahwa terdapat 40 orang (38,8%) mengalami perubahan pigmentasi dan 26 orang (9.5%) yang tidak merokok mengalami perubahan pigmentasi.8 Merokok tidak hanya menimbulkan efek secara sistemik , tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya kondisi patologis di rongga mulut. Ronggga mulut merupakan bagian tubuh yang pertama kali terpapar asap rokok sehingga sangat mudah terpapar efek rokok karena merupakan tempat terjadinya penyerapan zat hasil pembakaran rokok yang utama. Salah satu penyakit yang paling sering dikaitkan dengan merokok adalah melanosis rongga mulut.9 Melanosis rongga mulut merupakan pigmentasi pada mukosa mulut yang secara langsung dihubungkan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, lamanya meokok dan kebiasaan merokok tembakau.10 Melanosis rongga mulut dapat mempengaruhi permukaan mukosa manapun namun pada umumnya terjadi pada gingiva anterior labial mandibula, khusunya pada labial gigi anterior perokok.11 Siswa SMA Negri 1 Tanah Pinem yang berada pada masa remajanya lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok sebaya daripada norma-norma orang dewasa. Dalam hal ini remaja menggangap merokok sebagai lambang pergaulanya. Khususnya siswa laki-laki bahwa merokok sebagai suatu tuntutan pergaulan bagi mereka dan lambang kematangan. Berdasarkan survey yang telah dilakukan di SMA Negri 1 Tanah Pinem banyak siswa yang telah merokok karena sudah memiliki penghasilan sendiri dan mengikuti pergaulan sebayanya. Oleh karena peningkatan konsumsi rokok mengakibatkan peningkatan kejadian melanosis, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara terjadinya melanosis rongga mulut dengan kebiasaan merokok pada Siswa SMA Negri 1 Tanah Pinem.
2. Metode Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik case control untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok terhadap terjadinya melanosis rongga mulut. Jumlah subjek penelitian adalah 76 orang merokok yang diambil dari Siswa SMA Negri 1 Tanah Pinem dengan kebiasaan merokok sekitar 1 batang per hari selama sekurang-kurangnya 14
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
1 tahun sampai pada saat penelitian dilakukan (perokok rutin). Data dianalisa secara bivariate dengan menggunakan uji statistik chi-square dengan tabel 2x2.
3. Hasil Subjek Penelitian terdiri dari 152 siswa laki laki yang berumur 15-17 tahun yang terdaftar aktif di SMA Negeri 1 Tanah Pinem pada tahun 2013-2015 tahun. Berdasarkan tabel 4.1. dapat dilihat dari 76 responden terdapat perokok yang mengalami melanosis rongga mulut berjumlah 44 orang (57,9%) dan perokok yang tidak melanosis rongga mulut berjumlah 32 responden (42,1%). Dengan demikian, mayoritas responden perokok mengalami melanosis. Responden tidak perokok (tabel 4.2) yang mengalami melanosis rongga mulut berjumlah 4 orang (5,3%) dan responden tidak perokok yang tidak melanosis rongga mulut berjumlah 72 orang (94,7%).
Tabel 4.1.Persentase Responden Perokok Berdasarkan Melanosis Rongga Mulut No 1 2
Perokok Melanosis Tidak melanosis Total
N % 44 57,9 32 42,1 76 100,0
No Tidak N % Merokok 1 Melanosis 4 5,3 2 Tidak 72 94,7 melanosis Total 76 100,0 Tabel 4.2. Persentase Responden Tidak Perokok Berdasarkan Melanosis Rongga Mulut
3 5 Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa persentasi tertinggi perokok berdasarkan usia awal merokok kurang dari 12 tahun berjumlah (47,4%), dan persentasi terendah perokok berdasarkan usia awal merokok 12-15 tahun berjumlah (17,1%). Persentasi tertinggi perokok menggunakan jenis rokok putih (57,9%) dan jenis rokok terendah yaitu kretek (17,1%). (tabel 4.4)
Tabel 4.3.Persentase Responden Perokok Berdasarkan Usia Awal Merokok
No
1
Usia N Awal Merokok <12 36 tahun
%
47,4
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
15
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
2 3
Tabel 4.4
12-15 tahun 15-17 tahun Total
13
17,1
27
35,5
76 100,0
Persentase Antara Jenis Rokok dan Terjadinya Melanosis No Jenis Rokok 1 Kretek 2 Putih 3 Campura n Total
N
%
13 44 19
17,1 57,9 25,0
76
100,0
Persentasi tertinggi perokok berdasarkan lama merokok <3 tahun berjumlah (42,1%), dan persentasi terendah dengan lama merokok 3-5 tahun berjumlah (25,0%). (tabel 4.5) Persentasi tertinggi perokok berdasarkan jumlah rokok 1-4 batang/hari berjumlah (56,6%) dan persentasi terendah dengan jumlah >15 batang/hari berjumlah (3,9%). (tabel 4.6)
Tabel 4.5 Persentase Lama Merokok dan Terjadinya Melanosis No 1 2 3
Tabel 4.6
Lama Merokok <3 tahun 3-5 tahun >5 tahun Total
N
% 42,1 25,0 32,9 100,0
32 19 25 76
Persentase Jumlah Rokok dan Terjadinya Melanosis No 1 2 3
Jumlah Rokok 1-4 batang/hari 5-14 batang/hari >15 batang/hari Total
N
%
4 3 3 0 3 7 6
56,6 39, 3,9 100,0
Pada tabel 4.7 terlihat bahwa dari 76 responden yang merokok terdapat 44 responden (57,9%) mengalami melanosis rongga mulut dan 32 responen (42,1%) yang tidak mengalami melanosis rongga mulut. Dari 76 responden yang tidak merokok terdapat 4 responden (5,3%) mengalami melanosis rongga mulut dan 72 responden (94,7%) tidak 16
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
mengalami melanosis rongga mulut. Hal ini menunjukkan bahwa merokok lebih sering menimbulkan melanosis rongga mulut dibandingkan dengan tidak merokok. Hasil uji statistik menggunakan Chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 0.00 (p <0.05).
Tabel 4.7 Hubungan Merokok dengan Terjadinya Melanosis Rongga Mulut Perilak u Meroko k Meroko k Tidak Meroko k Total
Insiden Perokok Melanos Tidak Total is Melanosis N % N % N % 44 57, 32 42, 76 10 9 1 0 4 5,3 72 94, 76 10 7 0 48
31, 6
104
68, 4
15 2
Nilai p
0,00 0
10 0
4. Pembahasan Pada penelitian ini, diproleh bahwa subjek yang merokok dengan menggunakan filter lebih banyak yang menggalami melanosis dibandingkan dengan tidak menggunakan filter (non-filter). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perokok non filter lebih banyak mengalami melanosis dibandingkan perokok filter (Nadeem 2011). 8 Hedin C A (1982) bahwa tipe rokok kretek menimbulkan asap rokok yang lebih besar dibandingkan rokok filter atau rokok putih, sehingga, rokok kretek lebih berpotensi menimbulkan terjadinya melanosis rongga mulut. 56 Axell (1999) menjelaskan bahwa melanosis rongga mulut berhubungan erat dengan dosis yang terkandung di dalam rokok dimana jenis rokok kretek mengandung dosis lebih tinggi dari rokok lainnya. Merokok dapat merangsang melanosit mukosa oral untuk memproduksi melanin secara eksesif, sehingga menciptakan patch pigmentasi coklat di atas mukosa gingival atau bukal diantara 5-22% perokok. Jumlah dan intensitas melanosis pada rongga mulut bergantung kepada dosis, dan penghentian merokok tampaknya menghilangkan kondisi ini sepenuhnya. Penelitian in vitro membuktikan bahwa nikotin mengaktivasi produksi melanin. Pigmentasi dalam mulut adalah akibat asap rokok yang menyebabkan stimulasi produksi melanin (pigmen coklat pada kulit dan mulut) atau ikatan melanin dengan senyawa-senyawa asap rokok. Pendapat tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang didapat bahwa rokok putih (57,9%) dan rokok campuran (25,0%) yang dapat menyebabkan melanosis, diduga hal tersebut karena semakin lama merokok, semakin tinggi kandungan melanin dalam jaringan konektif maka semakin besar kemungkinan terjadinya melanosis rongga mulut.57 Pada penelitian ini, diperoleh bahwa subjek yang merokok >5 tahun lebih banyak menggalami melanosis rongga mulut dibandingkan dengan perokok yang Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
17
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
merokok <3 tahun dan 3-5 tahun. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama merokok dengan melanosis rongga mulut (Nadeem 2011).8 Sapp LR Eversole (1997) menyatakan bahwa semakin lama merokok, semakin tinggi kandungan melanin dalam jaringan konektif, semakin besar kemungkinan terjadinya merokok, semakin tinggi kandungan melanin dalam jaringan konektif maka semakin besar kemungkinan terjadinya melanosis rongga mulut.57 Pada penelitian ini, diperoleh bahwa subjek yang merokok >5 tahun lebih banyak menggalami melanosis rongga mulut dibandingkan dengan perokok yang merokok <3 tahun dan 3-5 tahun. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama merokok dengan melanosis rongga mulut (Nadeem 2011).8 Sapp LR Eversole (1997) menyatakan bahwa semakin lama merokok, semakin tinggi kandungan melanin dalam jaringan konektif, semakin besar kemungkinan terjadinya melanosis rongga mulut.47 Melanosis rongga mulut ditandai oleh hiperpigmentasi tidak teratur pada jaringan konektif yang mendasari mukosa rongga mulut akibat dari merokok tembakau. Sel-sel basal dan makrofage pada jaringan konektif mengandung jumlah melanin yang tidak terhingga, yang menciptakan pigmentasi gelap.57 Pada hasil penelitian yang didapati bahwa subjek yang lebih banyak mengalami melanosis rongga mulut adalah pada prokok dengan jumlah rokok 514 batang per hari (39,0%). Penelitian ini sejalan denagn penelitian sebelumnya yang menunjukkan persentase jumlah rokok lebih dari 10 batang per hari (perokok berat) sebesar 82,5 % lebih banyak yang mengalami melanosis rongga mult dibandingkan pada perokok ringan.8 Rokok yang dihisap sampai rongga mulut saja, sampai ke dalam paru-paru, dan menahan napas sebentar kemudian menghembuskannya keluar akan mempengaruhi banyaknya asap rokok yang dihasilkan sehingga dapat mempengaruhi kesehatan dan selain itu dapat memberikan kenikamatan sendiri pada saat rokok dihisap.15 Pada penelitian ini perokok paru mulut merupakan persentase yang paling tinggi sebesar (63,2%) Pada hasil penelitian yang didapat bahwa perokok yang menghisap rokok dengan cara paru mulut (63,2%) yang paling tinggi menyebabkan melanosis. Hal ini sesuai dengan Sham AS (2003), yang mengatakan bahwa melanosis adalah bentuk pigmentasi yang berhubungan dengan meningkatnya melanin. Meningkatnya melanin berhubungan dengan erat dengan cara merokok dan lamanya merokok.58
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan tentang hubungan kebiasaan merokok dengan terjadinya melanosis rongga mulut pada siswa laki-laki SMA Negeri 1 Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa: 18
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
1. Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok terhadap terjadinya melanosis rongga mulut. 2. Pada hasil penelitian mayoritas responden mengunakan jenis rokok putih (filter) dengan jumlah (57,9%) 3. Pada hasil penelitian mayoritas responden dengan lama merokok <3 tahun (42,1%) 4. Pada hasil penelitian mayoritas responden mengunakan jumlah rokok 1-4 batang/hari dengan jumlah (56,6%) DAFTAR PUSTAKA
1. Sitepoe M. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,2000 2. Anymous. Rokok dan Kesehatan Rongga Mulut. (http://www.pdgionline.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=30Itemid=1). Diakses tanggal 17 November 2014. 3. Fawzani N, Triratnawati A. Terapi berhenti merokok (studi kasus 3 perokok berat). Makara Kesehatan. 2005. Diakses tanggal 8 November 2014. 4. Fikriyah S, Febrijanto Y. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki di asrama putra. Jurnal Stikes. 2012;5(1):99109.Availablefromhttp://www.academia.edu/4313571/Jurnal_faktor_yg_mempengar ui_perilaku_merokok_remaja_putra. Diakses tanggal 8 November 2014. 5. Djokja RM, Lampus BS, Mintjelungan C. Gambaran perokok dan angka kejadian lesi mukosa muludi desa mosongan kecamatan abanggai tengah. http://journal.unissula.ac.id/majalahilmiahsultanagung/article/view/20. Jurnal e-gigi. 2013. Diakses tanggal 8 Desember 2014. 6. Anymous. Smoking and Oral Health.(http://www.adelaide.edulau/scoprevdent/dperu). 2002. Diakses tanggal 8 Desember 2014. 7. Mirbod S,Ahing S. Tobacco Associated Lesions of The Oral Cavity: Part I Nonmaligmant Lesions. Journal of Canadian Dental Association 2000; 66(5): 252256. 8. Nadeem M, Shafique R, Yaldram A, López R. Intraoral distribution of oral melanosis and cigarette smoking in a Pakistan population. 2011;3(1):25–8. 9. Kusuma ARP. Pengaruh rokok terhadap terhadap kesehatan gigi dan rongga mulut. Majalah ilmiah sultan agung. Diakses tanggal 8 Desember 2014. 10. Saraf Sanjay. Textbook of Oral Pathology. India: jaypee brothers medical publishers.2006, Hal. 9-10. 11. Pindborg JJ. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang : Binapura Aksara Publishing; 2009, Hal. 214. 12. Santoso SS. Perilaku Remaja yang Berkaitan dengan Kebiasaan Merokok.Cermin Dunia Kedokteran 1993; Hal. 84: 41-47. 2013. 13. Lestari R, Purwandari E. Perilaku Merokok Pada Remaja SMA/SMK di Kota dan Luar Kota. Prosceeding temu ilmiah nasional VIII IPPI.2012. from http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/Perilaku-Merokok-PadaRemaja-SMA-SMK-di-Kota-dan-Luar-Kota.pdf. Diakses tanggal 15 November 2014. Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
19
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
14. Mulya Y, Ramdani SH. Analisis Perilaku Konsumen Rokok di Kalangan Mahasiswa di Pakuan. 2012. 15. Gondodiputro S. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau Bandung: FK UNPAD; 2007. Available from:http://www.pascaunpak.ac.id/ejournal/index.php/MM/article/view/20/15. 16. Proverawati A, Rahmawati E. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). 1st ed. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012. 17. Basyir AU. Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok. Jakarta: Pustaka At- Tazkia; 2005. 18. What Is In A Cigarette Chemicals and Ingredient List Confirm How Dangerous Smoking Really Is. National Drug Prevention Alliance. 2014.http://drugprevent.org.uk/ppp/category/research/drug-use-various-effects/. Diakses tanggal 17 November 2014. 19. Kusuma AD, Yuwono SS, Wulan SN. Studi kadar nikotin dan tar Sembilan merk rokok kretek filter yang beredar di wilayah kabupaten nganjuk J.Tek.Pert. 2009 ; 5 (3) : 152. http://jtp.ub.ac.id/index.php/jtp/article/view/178. Diakses tangal 17 November 2014. 20. Sukendro S. Filosofi Rokok. Yogyakarta : Pinus Book Publisher, 2007: Hal. 31-41, 80-84. 21. BBKPMB. Sejarah Rokok. http://www. bbkpm bandung.org/artikel.com. 2007. Diakses tanggal 10 Desember 2014. 22. Sitepoe M. Usaha Mencegah Bahaya Rokok. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana,1997. 23. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a Glance Sistem Respirasi. 2nd ed. Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga; 2007. 24. Aditama TY. Rokok dan Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: UI; 2011. 25. Amin Z. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Sudoyo AW, Sotiyohadi B, Idrus A, K MS, Setiati S, editors. Jakarta: FK-UI; 2006. 26. Abu-Baker NN, Hadded L, Mayyas O. Smoking Behavior among Coronary Heart Disease Patients in Jordan: A Model from a developing Country. International Journal of Environmental Research and Public Health. 2010; 7.Available from:http://www.mdpi.com/1660-4601/7/3/751. Diakses tanggal 20 November 2014. 27. Carleton PF, Boldt MA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Wijaya C, editor. Jakarta: EGC; 2006. 28. Abrams GD. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 5th ed. Wijaya C, editor. Jakarta: EGC; 2006. 29. Bambang, Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Jakarta: FK-UI; 2006. 30. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a Glance Sistem Respirasi. 2nd ed. Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga; 2007. 31. Rosdiana I. The Correlation Between The Obstruktif Pulmononary and VO 2maks in Patient With Chronic Obstructive Pulmanory diseas (COPD) In 6 min-walk Test. Sains Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2010 January-Juny; 2. 32. Akil HAM. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Mei: FK-UI; 2007. 33. Lombardo MC. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Wijaya C, editor. Jakarta: EGC; 2006. 20
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
34. Martono H, Kuswardani RT. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Jakarta: FK-UI; 2007. 35. Amin M, Alsagaff H, Saleh WBMT. Pengantar Ilmu Penyakit Paru Yogyakarta: Airlangga University Press; 2006. 36. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar: Respirologi Anak Rahajoe NN, Suoriyatno B, Setyanto DB, editors. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. 37. Ruslan G. Efek Merokok terhadap Rongga Mulut. Jurnal Cermin Kedokteran 1996; 113: 41-43. 38. Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Bahaya Merokok. 15 Februari 2007. http:// www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id= 310&Itemid=1. Diakses tanggal 14 November 2014. 39. Aditama TY. Proses Berhenti Merokok. Cermin Dunia Kedokteran 1995; Hal. 102: 37- 40. 40. Smet B. Psikologis Kesehatan. Semarang: PT Gramedia. 41. Anymous. Rokok dan Kesehatan Rongga Mulut. http://www.pdgionline.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=30Itemid=1. Diakses pada 16 November 2014. 42. Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Bahaya Merokok.(http:// www.pdgionline.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=310&Itemid=1). Diakses tanggal 7 Oktober 2014. 43. Ruslan G. Efek Merokok terhadap Rongga Mulut. Jurnal Cermin Kedokteran 1996; 113: Hal. 41-43. 44. Johson W, Bain CA. Tobacco and Oral Disease. British Dental Journal 2000; 189 (4): Hal. 200-206. 45. Bouquot J, Schroeder K. Oral Effect of Tobacco Abuse. Journal of the American Dental Institute for Continuing Education 1992; 43:Hal. 3-17. 46. Langlais RP, Miller CS. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Alih Bahasa : Budi Susetyo. Jakarta: Hipokrates. 1998: Hal. 70 47. Yerger VB, Malone RE. Melanin and nicotine : A Review of Literatur. Nicotine and Tobacco Research 2006; 8 (4): Hal. 487-98. 48. Carpenter WS. Smoker’s Melanosis. http://emedicine.medscape.com /article/1077501-overview. Diakses tanggal 12 Oktober 2014. 49. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE, Oral Maxillofacial Pathology ed 2. Saunders ; Philadelphia : 2004: Hal. 274-5. 50. Diana D. Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Mukosa Mulut. Dentika J Dent 2005; 10(2): Hal. 5-132. 51. Bouquot J, Schroeder K. Oral Effect of Tobacco Abuse. Journal of the American Dental Institute for Continuing Education 1992; Hal. 43:3-17. 52. Machuca G, Rosales I, Lacalle JR, Machuca C, Bullon P. Effect of cigarette smoking on periodontal status of healthy young adults. J Periodontal. 2000; 71(1): Hal. 8-73. 53. Laskaris G. Pocket Atlas of Oral Diseases. Oral lesion due to smoking, heat and Elekticity. 2003. Hal. 76–82. 54. Sham AS, Cheung LK, Jin LJ, Corbet EF. The Effects Of Tobacco Use On 55. Langlais RP, Miller CS. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Alih Bahasa : Budi Susetyo. Jakarta: Hipokrates. 1998: Hal. 70 Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
21
Yolanda, et al.
Hubungan Melanosis Rongga Mulut dengan merokok
56. Hedin CA, Axell T. Oral Melanin Pigmentation In 467 Thai and Malaysian people with special emphasis on smoker’s melanosis. J Oral PatholMed 1991:20(1): Hal. 812. 57. Axell T. Disappearance Of Smoker’s Melanosis After Reducing Smoking. J Oral Pathol Med 1993; 22: Hal. 30-228. 58. Alamsyah RM, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan Hubungannya dengan Status Penyakit Periodontal Remaja di Kota Medan tahun 2007. USU Repository; Medan: 2009.
22
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
PERSEPSI MAHASISWA MENGENAI PELAKSANAAN OBJECTIVE STRUCTURED CLINICAL EXAMINATION (OSCE) DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBPNOMMENSEN Saharnauli Janna Verawaty Simorangkir Divisi Skills Lab, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Email :
[email protected]
ABSTRAK Latar belakang : Objective Structured Clinical Examination (OSCE) merupakan metode asesmen yang berbasis pada performa mahasiswa, dan dapat digunakan untuk menilai clinical skills baik pada tahap sarjana kedokteran maupun residensi. Fakultas Kedokteran UHKBPN telah melaksanakan OSCE sejak angkatan pertama. Akantetapi sejak pelaksanaannya selama 5 tahun ini, belum pernah dilakukan penilaian feedback dari mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN. Sementara konsep penilaian mahasiswa ini sangatlah penting untuk diketahui dalam implementasi OSCE yang merupakan salah satu alat untuk mengukur kemampuan klinis dalam sistem pendidikan kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran UHKBPN angkatan 2012 dan 2013. Hasil : Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 96 orang, laki-laki sebanyak 33 orang (34,4%) dan perempuan sebanyak 65 orang (65,6%). Rentang usia antara 19-26 tahun dengan usia terbanyak yaitu 20 tahun sebanyak 46 orang (47,9%). Persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE, alokasi waktu untuk setiap station masih dirasakan kurang oleh 44% mahasiswa, seluruh instruksi dan tugas-tugas yang diberikan sudah cukup jelas. Sekitar 57% mahasiswa menilai soal-soal OSCE sudah bersifat komprehensif, 86,5% mahasiswa mahasiswa setuju bahwa OSCE lebih menimbulkan stres, 44% mahasiswa menilai pelaksanaan OSCE sudah terorganisir dengan baik, 53% setuju bahwa soal-soal OSCE sesuai dengan kurikulum yang sedang berjalan, 54% berpendapat bahwa pasien standard belum memainkan perannya sesuai dengan kasus, sekitar 48% mahasiswa menilai masih ada perbedaan persepsi penialain antar penguji. Sekitar 41% mahasiswa setuju bahwa kelulusan OSCE dapat menggambarkan tingkat kemampuan klinis yang sebenarnya, 35% mahasiswa memilih berpartisipasi dalam OSCE dibandingkan ujian tertulis, dan 60% mahasiswa sangat setuju bahwa OSCE memberikan pengalaman medis yang praktikal dan berguna. Kesimpulan : Validitas dan reliabilitas OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN dinilai masih rendah, faktor utamanya adalah ketidaksamaan persepsi antar penguji dan pasien yang tidak terstandard Kata kunci : OSCE, persepsi mahasiswa, validitas dan reliabilitas Pendahuluan Asesmen atau ujian merupakan suatu metode untuk mengevaluasi proses pembelajaran dan menilai kemampuan seorang mahasiswa terhadap suatu bidang. Kelulusan dan kegagalan mahasiswa dalam ujian akan berpengaruh pada karir mereka Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
23
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
ke depan.(1) Dahulu metode asesmen di fakultas kedokteran hanya berupa ujian tertulis, seperti Multiple Choice Question (MCQ), essay, Bed Side Teaching (BST) dan presentasi kasus. Berbagai kekurangan dari metode ujian tertulis antara lain hanya mampu menilai hasil akhir dan tidak menilai proses, tidak dapat menilai clinical skills dan kemampuan berkomunikasi, subjektifitasnya cukup tinggi, validitasnya masih diragukan, tidak berbasis kompetensi dan hanya cocok diterapkan pada tahap awal pendidikan kedokteran.(2) Objective Structured Clinical Examination (OSCE) merupakan metode asesmen yang dapat menjawab segala kelemahan dari metode ujian tertulis. OSCE dengan sistem penilaiannya yang berbasis pada performa mahasiswa, merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menilai clinical skills baik pada tahap sarjana kedokteran maupun residensi. OSCE telah diverifikasi sebagai alat pengukur kompetensi klinis yang paling sesuai dan valid (3), dapat membantu mahasiswa bukan hanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan medis tetapi juga dalam hal profesionalisme sebagai seorang calon dokter.(4) Fakultas Kedokteran UHKBPN telah melaksanakan OSCE sejak angkatan pertama. Pada awalnya OSCE dilaksanakan setiap akhir blok, akan tetapi sejak angkatan 2010, OSCE dilaksanakan setiap akhir semester atau dengan kata lain setiap 3 blok berakhir. Sejak pelaksanaannya selama 5 tahun ini, belum pernah dilakukan penilaian feedback dari mahasiswa maupun penguji mengenai pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN. Penilaian mahasiswa mengenai penerapan OSCE sering kali diabaikan, terutama di era perkembangan saat ini dimana analisis statistik dan pendapat para expert sering kali lebih diutamakan di dalam menguji validitas suatu metode penilaian. Padahal sesungguhnya konsep penilaian mahasiswa ini sangatlah penting untuk diketahui dalam implementasi OSCE yang merupakan salah satu alat untuk mengukur kemampuan klinis dalam sistem pendidikan kedokteran. Berbagai perbedaan persepsi mahasiswa dan ekspektasi pada expert dapat menghasilkan penilaian yang tidak valid.(3) Di Amerika Serikat, mahasiswa ikut dilibatkan dalam proses validasi setiap metode asesmen yang diterapkan dengan cara menilai persepsi mahasiswa mengenai metode tersebut. Hal ini sangat diperlukan karena persepsi mahasiswa pada setiap pelaksananan pendidikan itu sangat beragam dan sering kali berbeda bila merujuk pada hasil penelitian-penelitian di tempat lain. Sementara persepsi mahasiswa mengenai suatu metode asesmen akan sangat mempengaruhi penerimaan mereka terhadap metode tersebut (5), selain itu juga dengan mengetahui pandangan mahasiswa akan suatu metode dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pengembangan selanjutnya.(6) Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran UHKBPN angkatan 2012 dan 2013 yang aktif 24
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
menjalani perkuliahan. Metode OSCE yang dilaksanakan selama ini adalah sama untuk semua angkatan. OSCE dilaksanakan setiap akhir semester atau dengan kata lain setiap 3 blok berakhir. Pada setiap pelaksanaan OSCE jumlah station yang dibuka berkisar antara 10-12 station dengan 2 station istirahat diantaranya. Alokasi waktu untuk setiap station adalah 13 menit. Tata cara pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN menyesuaikan dengan tata cara pelaksanaan OSCE pada Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD). Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner hasil modifikasi dari penelitian Labaf, dkk (2014). Kuesioner ini terdiri dari 14 pertanyaan yang dibagi dalam 2 bagian pertanyaan, yaitu bagian pertama untuk pertanyaan nomor 1-4 menilai persepsi mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE dan bagian kedua untuk pertanyaan no.5-14 menilai persepsi mahasiswa mengenai validitas dan reliabilitas dari pelaksanaan OSCE. Pada kuesioner tidak dicantumkan identitas responden. Kuesioner ini menggunakan 5 skala Likert untuk menggambarkan jawaban dari responden. Uji validitas dan reliabilitas sudah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UHKBPN angkatan 2014 sebanyak 30 orang. Pengisian kuesioner dilakukan setelah minggu ujian OSCE selesai. Hasil Penelitian Total mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 96 orang, dimana jumlah mahasiswa laki-laki sebanyak 33 orang (34,4%) dan perempuan sebanyak 63 orang (65,6%). Rentang usia mahasiswa dalam penelitian ini adalah antara 19 sampai 26 tahun, dengan umur mediannya adalah 20 tahun. Berdasarkan hasil yang tertera pada tabel 1,sebanyak 44 orang (45,8%) berpendapat bahwa alokasi waktu untuk setiap station dalam pelaksanaan OSCE dirasakan tidak cukup. Sebanyak 41 orang (42,7%) mahasiswa berpendapat bahwa instruksi yang diberikan pada setiap station jelas dan tidak ambigu. Mengenai tugas dan pertanyaan yang diajukan pada setiap station dinilai wajar dan masuk akal oleh 54 orang (56,3%) mahasiswa. Sebanyak 57 orang (59,4%) mahasiswa setuju bahwa soalsoal OSCE selama ini sudah bersifat komprehensif. Tabel 1. Persepsi Mahasiswa mengenai Pelaksanaan OSCE No Pertanyaan (n(%)) SS S CS TS 1 Alokasi waktu untuk setiap 7(7,3) 19(19,8) 11(11,5) 44(45,8) station sudah cukup 2 Instruksi yang diberikan pada 10(10,4) 41(42,7) 25(26) 18(18,8) setiap station sudah jelas dan tidak ambigu (bermakna ganda) 3 Seluruh tugas atau 8(8,3) 54(56,3) 19(19,8) 14(14,6) pertanyaan yang diajukan dinilai wajar dan masuk akal 4 Soal-soal OSCE selama ini 19(19,8) 57(59,4) 12(12,5) 8(8,3) sudah bersifat komprehensif
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
STS 28(29,2) 2(2,1)
1(1)
-
25
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
Hasil pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 83 orang (86,5%) mahasiswa berpendapat bahwa OSCE lebih menimbulkan stres dibandingkan dengan metode ujian yang lainnya. Pelaksanaan OSCE dinilai sudah terorganisir dengan baik oleh 44 orang (45,8%) mahasiswa. Seluruh pertanyaan dan tugas yang diajukan pada pelaksanaan OSCE dinilai sudah sesuai dengan kurikulum yang sedang berjalan oleh 53 orang (55,2%) mahasiswa. Sebanyak 54 orang (56,3%) mahasiswa berpendapat bahwa pasien simulasi belum memainkan perannya sesuai dengan kasus. Sebanyak 36 orang (37,5%) mahasiswa berpendapat bahwa penguji OSCE sudah cukup objektif dalam memberikan penilaian. Sebanyak 58 orang (60,4%) mahasiswa berpendapat bahwa penilaian OSCE tidak dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin dan agama. Perbedaan pasien standar dianggap oleh sebanyak 45 (46,9%) mahasiswa dapat mempengaruhi nilai yang diperoleh. Sebanyak 48 orang (50%) mahasiswa berpendapat bahwa masih terdapat perbedaan penilaian antar penguji. Menurut 41 orang (42,7%) mahasiswa bahwa kelulusan dan kegagalan dalam OSCE dapat memberikan gambaran tingkat kemampuan klinis yang sebenarnya. Masing-masing sebanyak 35 orang (36,5%) mahasiswa lebih memilih mengikuti OSCE dibandingkan ujian tertulis ataupun sebaliknya. Sebanyak 60 orang (62,5%) mahasiswa berpendapat bahwa pelaksanaan OSCE memberikan pengalaman medis yang praktikal dan berguna.
No 1
2
3
4
5
6
7
26
Tabel 2. Persepsi Mahasiswa mengenai Validitas dan reliabilitas Pertanyaan SS S CS TS OSCE lebih 83(86,5) 11(11,5) 1(1) menimbulkan stres dibandingkan dengan ujian tertulis (cthnya ujian formatif, ujian sumatif) Pelaksanaan OSCE 11(11,5) 44(45,8) 18(18,8) 23(24) sudah terorganisir dengan baik Seluruh tugas atau 8(8,3) 53(55,2) 23(24) 11(11,5) pertanyaan yang diajukan sudah sesuai dengan kurikulum yang diajarkan selama proses pembelajaran di kelas Pasien standard sudah 17(17,7) 17(17,7) 54(56,3) memainkan perannya sesuai dengan kasus Penguji bersifat objektif 5(5,2) 36(37,5) 22(22,9) 30(31,3) dalam memberi penilaian Penilaian OSCE tidak 32(33,3) 58(60,4) 5(5,2) 1(1) dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin dan agama Perbedaan pasien 29(30,2) 45(46,9) 3(3,1) 16(16,7) standar akan mempengaruhi nilai Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
OSCE STS 1(1)
-
1(1)
8(8,3)
3(3,1)
-
3(3,1)
Simorangkir
8 9
10
11
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
yang diperoleh Terdapat perbedaan penilaian antar penguji Kelulusan dan kegagalan dalam OSCE dapat memberikan gambaran tingkat kemampuan klinis yang sebenarnya Saya lebih memilih berpartisipasi dalam OSCE dibandingkan ujian tertulis OSCE memberikan pengalaman medis yang praktikal dan berguna
48(50)
38(39,6) 2(2,1)
8(8,3)
-
28(29,2) 41(42,7) 10(10,4) 14(14,6) 3(3,1)
3(3,1)
35(36,5) 15(15,6) 35(36,5) 8(8,3)
60(62,5) 27(28,1) 9(9,4)
-
-
Pada bagian akhir kuesioner, mahasiswa diminta untuk mengisi kolom saran mengenai pelaksanaan OSCE, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Sebagian besar mahasiswa yaitu sebanyak 36 orang (37,5%) berpendapat bahwa perlu adanya persamaan persepsi antar penguji dalam memberikan penilaian. Menurut 20 orang (20,8%) mahasiswa ketersediaan manekin serta alat dan bahan perlu dilengkapi. Sekitar 17 orang (17,7%) mahasiswa merasa alokasi waktu untuk setiap station dalam OSCE masih kurang. Dan sebanyak 11orang (11,5%) mahasiswa merasa perlu adanya pelatihan khusus pagi pasien standard agar dapat berperan sesuai dengan kasus. Tabel 3. Saran dari Mahasiswa mengenai Pelaksanaan OSCE No Saran Jumlah (n(%)) 1 Diharapkan terdapat kesamaan persepsi antar 36(37,5) penguji dalam memberikan penilaian 2 Ketersediaan manekin beserta alat dan bahan 20(20,8) lebih dilengkapi Alokasi waktu untuk setiap station ditambah 3 17(17,7) 4 Pasien standar mendapat pelatihan khusus agar 11(11,5) dapat berperan sesuai dengan kasus 5 Selama pelaksanaan OSCE diharapkan penguji 3(3,1) tidak mempersulit atau menekan mahasiswa 6 Waktu peminjaman alat untuk pelaksanaan latihan 3(3,1) OSCE ditambah 7 Soal OSCE dibuat sesuai standard dokter umum 3(3,1) dan tidak terlalu rumit 6 Soal OSCE disesuaikan dengan bahan tutorial 1(1) Penguji dalam setiap station disesuaikan dengan 1(1) 7 bidang kekhususannya masing-masing 8 Mahasiswa dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok 1(1) untuk pelaksanaan latihan sebelum OSCE
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
27
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
Pembahasan Dahulu metode asesmen di fakultas kedokteran hanya berupa ujian tertulis (MCQ, essay), bed side teaching dan presentasi kasus. Metode-metode ini hanya dapat menilai sampai tahap ‘knows’ dan ‘knows how’ sesuai dengan piramid Miller. Metode ini mendapat kritikan selama bertahun-tahun karena ketidakmampuannya dalam menilai kompetensi yang paling tinggi menurut piramida Miller yaitu ‘show how’ dan ‘does’. Berbagai kekurangan dari metode ujian tertulis adalah hanya menilai hasil akhir dan tidak menilai proses, tidak dapat menilai clinical skills dan kemampuan berkomunikasi mahasiswa, subjektifitas cukup tinggi, validitasnya masih diragukan, tidak berbasis kompetensi dan hanya cocok diterapkan pada tahap awal pendidikan kedokteran. Berbeda dengan OSCE dimana kemampuan mahasiswa diuji sampai tahap ‘show how’, proses penilaian bukan hanya pada bagian akhir tetapi juga pada seluruh proses yang dilakukan (2). OSCE dengan sistem penilaiannya yang berbasis pada performa mahasiswa, merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan klinis baik pada tahap sarjana kedokteran maupun residensi. Tambahan lagi, OSCE telah diverifikasi sebagai alat pengukur kompetensi klinis yang paling sesuai dan valid (3). Penelitian membuktikan bahwa dengan perencanaan yang benar, OSCE dapat menjadi alat penilaian yang memiliki reliabilitas dan validitas yang baik. Tantangan yang dihadapi saat ini dalah bagaimana membuat sistem penilaian yang digunakan saat ini menjadi suatu sistem penilaian yang berbasis kompetensi dan kurikulum dan sekaligus dapat menjadi alat untuk menilai kurikulum itu sendiri (7). Fakultas Kedokteran UHKBPN telah melaksanakan OSCE sejak angkatan pertama, akan tetapi masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan dalam pelaksanaan OSCE. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana penilaian mahasiswa mengenai pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN yang dapat digunakan untuk bahan pengembangan ke depannya. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa (45,8%) berpendapat bahwa alokasi waktu sebanyak 15 menit untuk setiap station masih dirasakan kurang. Hal ini dapat disebabkan oleh stres yang meningkat dan kurangnya persiapan, khususnya untuk kompetensi-kompetensi yang tidak pernah atau jarang dinilai pada metode pembelajaran lain (3). Cukup atau tidaknya waktu dalam satu station sangat bergantung pada managemen waktu dan kemampuan mengontrol stres pada mahasiswa (6). Sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa soal-soal OSCE selama ini sudah bersifat komprehensif. Komunikasi, interpersonal skills, dan pengenalan dan penerapan etika kedokteran dapat dinilai melalui pelaksanaan OSCE (3). OSCE merupakan suatu metode asesmen yang dapat membantu mahasiswa bukan hanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan medis tetapi juga dalam hal profesionalisme sebagai seorang calon dokter. OSCE telah diterima sebagai suatu metode yang layak dan sahih bukan hanya untuk menilai kemampuan akademik mahasiswa, melainkan juga proses pembelajaran dan penerapan kurikulum di fakultas. Melalui ujian ini, berbagai kemampuan dasar dan klinis dapat dievaluasi (4). Sebanyak 83 orang (86,5%) mahasiswa pada penelitian ini berpendapat bahwa OSCE lebih menimbulkan stres dibandingkan dengan ujian tertulis lainnya, dan sebanyak 35 orang (36,5%) lebih memilih berpartisipasi dalam ujian tertulis 28
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
dibandingkan dengan OSCE. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan di sekolah kebidanan Universitas Babol dimana sekitar 40% dari 52 sampel penelitian menyatakan bahwa OSCE lebih memicu timbulnya stress pada mahasiswa dibandingkan dengan metode ujian yang lain (8). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Jalili, dkk, dimana sekitar 63,3% mahasiswa kedokteran di Universitas Kerman tidak setuju dengan anggapan bahwa OSCE menimbulkan stres yang cukup tinggi pada mahasiswa kedokteran. Hasil yang sama juga disampaikan oleh Hoesini, dkk. (4). Penyebab timbulnya kecemasan pada saat pelaksanaan OSCE adalah karena adanya batasan waktu untuk setiap station, penyebab lainnya kemungkinan karena mahasiswa sudah mengenal ujian tertulis sejak di bangku sekolah, sedangkan metode ujian seperti OSCE baru diiperkenalkan pada saat kuliah. Tingkat kecemasan didapatkan lebih tinggi pada mahasiswa yang melaksanakan ujian dengan batasan waktu tertentu dibandingkan tanpa batasan waktu. Tingginya tingkat kecemasan pada metode ujian tertentu perlu mendapat perhatian khusus dari pelaksana pendidikan, karena berdasarkan penelitian di beberapa tempat tingginya tingkat kecemasan ini dapat sampai menimbulkan gangguan mental pada anak didik (1). Beberapa penelitian membuktikan bahwa pada pelaksanaan OSCE, perasaan cemas pada mahasiswa dapat berkurang seiring dengan semakin seringnya mahasiswa terpapar dengan OSCE (9). Bertolak belakang dengan pendapat ini, pada penelitian yang dilakukan di fakultas kedokteran gigi di Belanda, pengalaman yang lebih dari satu kali melaksanakan OSCE tidak mengurangi tingkat kecemasan pada mahasiswa-mahasiswa. Menurut hasil penelitian ini materi yang diujikan ternyata lebih memicu stres dibandingkan dengan metode ujian yang digunakan. Menurut penelitian ini juga tingkat kecemasan tidak mempengaruhi perolehan nilai mahasiswa yang diuji (1). Sebanyak 44 orang (45,8%) mahasiswa pada penelitian ini berpendapat bahwa pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN sudah terorganisir dengan baik. Pelaksanaan OSCE yang terorganisir dengan baik dan sesuai dengan kurikulum yang sedang dilaksanakan memberikan dampak yang positif bagi mahasiswa, mengubah pola belajar menjadi lebih aktif dan kritis juga menyadarkan mahasiswa bahwa sebagai calon dokter mereka bukan hanya harus menguasai ilmu kedokteran tetapi juga clinical skills(6). Sebagian besar mahasiswa (56,3%) pada penelitian ini berpendapat bahwa pasien standard belum memainkan perannya sesuai dengan kasus dan sekitar 46,9% mahasiswa berpendapat bahwa perbedaan pasien standard akan mempengaruhi nilai yang diperoleh. Bagi mahasiswa, variabilitas pasien standard dan penguji dalam memberi penilaian, merupakan sumber utama terjadinya bias dalam pelaksanaan OSCE. Hal ini juga dapat dianggap sebagai penyebab kurangnya penerimaan mahasiswa terhadap pelaksanaan OSCE (3). Untuk mengatasi hal ini, fakultas dapat mengadakan pelatihan khusus untuk seluruh pasien standard dan merekam serta mereview setiap pasien standard selama ujian berlangsung (6). Sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa objektifitas penguji dalam memberikan penilaian dirasakan masih kurang, terlihat juga pada bagian saran tabel 3 bahwa sekitar 37,5% mahasiswa menyarankan adanya persamaan persepsi penilaian oleh penguji. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joseph, dkk, perbedaan Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
29
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
kapasitas penguji dan perbedaan bidang ilmu yang dikuasai oleh masing-masing penguji dapat menimbulkan variabilitas antar penguji. Berdasarkan hasil penelitian Awaisu, dkk sumber utama penyebab terjadinya bias dalam proses penilaian OSCE adalah subjektifitas dari penguji. Checklist yang terstandarisasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya bias. Menurut McLaughlin, dkk, cara lain untuk mengurangi bias ini adalah dengan mengikutsertakan PS sebagai penguji (6). Untuk meningkatkan reliabilitas antar penguji dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan secara intensif untuk meyakinkan bahwa seluruh penguji memiliki pemahaman yang sama mengenai poin-poin penilaian dan memiliki standard yang sama dalam menilai performa mahasiswa. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa melalui pelatihan yang intensif bagi para penguji sangat besar pengaruhnya terhadap konsistensi penguji dalam memberikan nilai (10). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi angka reliabilitas dan validitas OSCE antara lain jumlah station yang tidak optimal untuk mencapai angka reliabilitas dan validitas, waktu yang tidak mencukupi, pasien standard yang tidak terstandarisasi, poin penilaian yang hanya difokuskan pada 1 jenis penilaian, metode analisis pelaksanaan OSCE yang hanya mengandalkan pada 1 metode dan pembuat checklist yang belum terlatih. Tugas atau pertanyaan yang terlalu spesifik dalam setiap station juga dapat menyebabkan rendahnya angka validitas (2). Sebanyak 41 orang (42,7%) mahasiswa pada penelitian ini setuju bahwa kelulusan dan kegagalan dalam OSCE dapat memberikan gambaran tingkat kemampuan klinis yang sebenarnya. Menurut hasil penelitian Wanstall, hasil penilaian OSCE pada saat kuliah akan mempengaruhi performa mahasiswa saat di lapangan. Mahasiswa dari fakultas gizi yang memiliki skor yang rendah saat pelaksanaan OSCE menunjukkan performa yang kurang pada saat bekerja di lapangan. Akan tetapi hasil berbeda dikemukakan oleh Tolley, dkk dimana hasil yang diperoleh saat OSCE tidak berpengaruh terhadap performa mahasiswa saat masuk dalam dunia kerja (11). Meskipun dinilai sebagai ujian yang paling sering menimbulkan rasa cemas, sebanyak 60 orang (62,5%) mahasiswa pada penelitian ini sangat setuju bahwa pelaksanaan OSCE memberikan pengalaman yang praktikal dan berguna. Mahasiswa memperoleh pengalaman belajar yang positif melalui pelaksanaan OSCE, karena hanya melalui metode ujian ini mahasiswa dapat menjalani ujian lebih sebagai seorang dokter daripada mahasiswa, dan dapat belajar menghadapi permasalah-permasalah klinis melalui skenario-skenario yang diberikan (3). Berdasarkan hasil survey pada 122 orang mahasiswa di Universitas Jimma, 60% diantaranya setuju bahwa OSCE memberikan kesempatan dan pengalaman belajar yang baik bagi mahasiswa. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Abdulrasheed, dkk dimana dari 187 orang mahasiswa yang menjadi sampel penelitian, 55% diantaranya berpendapat bahwa OSCE memberikan pengalaman belajar yang baik (6). Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa menerima OSCE sebagai salah satu metode ujian yang praktikal dan berguna, akan tetapi masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki terutama mengenai persepsi antar penguji dan pasien yang tidak terstandard. 30
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Simorangkir
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
Saran Penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan, untuk dapat mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas pelaksanaan OSCE di Fakultas Kedokteran UHKBPN perlu diadakan penelitian dengan menganalisis sistem skoring yang telah dilaksanakan selama ini. Daftar Pustaka 1.
Brand HS, Schoonheim-kleim M. Is the OSCE more stressful ? Examination anxiety and its consequences in different assessment methods in dental education. Eur J Dent Educ. 2009;13:147–53.
2.
Gupta P, Dewan P, Singh T. Objective Structured Clinical Examination (OSCE) Revisited. Indian Pediatr. 2010;47:911–20.
3.
Labaf A, Eftekhar H, Majlesi F, Anvari P. Students ’ Concerns about the Pre internship Objective Structured Clinical Examination in Medical Education. Educ Heal. 2014;27(2):188–92.
4.
Khorashad AK, Salari S, Baharvahdat H, Hejazi S, Lari SM, Salari M, et al. The Assessment of Undergraduate Medical Students ’ Satisfaction Levels With the Objective Structured Clinical Examination. Iran Red Crescent Med J. 2014;16(8):1–4.
5.
Duffield KE, Spencer JA. A survey of medical students ’ views about the purposes and fairness of assessment. Med Educ. 2002;36:879–86.
6.
Nasir AA, Yusuf AS, Abdur-rahman LO, Babalola OM, Adeyeye AA, Popoola AA, et al. Medical Students ’ Perception of Objective Structured Clinical Examination : A Feedback for Process Improvement. J Surg Educ [Internet]. Elsevier; 2014;71(5):701–6. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jsurg.2014.02.010
7.
Carraccio C, Englander R. The Objective Structured Clinical Examination. Arch Pediatr Adolesc Med. 2000;154:736–41.
8.
MA D, Salmalian H, Faramarzi M, Pasha H. Using the objective structured clinical examinations in undergraduate midwifery students. J Med Life. 2013;6(1):4–7.
9.
Pierre RB, Wierenga A, Barton M, Branday JM, Christie CDC, Barton M, et al. Student evaluation of an OSCE in paediatrics at the University of the West Indies , Jamaica. BMC Med Educ. 2004;4(22):1–7.
10.
Malau-aduli BS, Mulcahy S, Warnecke E, Otahal P, Teague P, Turner R, et al. Inter-Rater Reliability : Comparison of Checklist and Global Scoring for OSCEs. Sci Res. 2012;3:937–42.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
31
Simorangkir
11.
32
Persepsi Mahasiswa Mengenai Pelaksanaan OSCE
Rush S, Ooms A, Marks-maran D, Firth T. Students ’ perceptions of practice assessment in the skills laboratory : An evaluation study of OSCAs with immediate feedback. Nurse Educ Pract [Internet]. Elsevier Ltd; 2014;14(6):627– 34. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.nepr.2014.06.008
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
HUBUNGAN JENIS KEMOTERAPI DENGAN MIELOSUPRESI PADA KANKER PAYUDARA DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
1
2
Rimbun Anita Romasni Purba , Henny Erina Saurmauli Ompusunggu , Joice Sonya Gani 3 Panjaitan 1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email:
[email protected] 2
Departemen Bilogi Sel dan Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email:
[email protected] 3
Departemen Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Email:
[email protected]
Abstrak Pendahuluan: Kanker payudara merupakan masalah utama kesehatan wanita di dunia, karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi diperlukan pengobatan yang tepat salah satunya kemoterapi. Kemoterapi ini bekerja pada sel-sel kanker payudara dan sel-sel sehat yang aktif membelah, sehingga kemoterapi sering menimbulkan efek samping seperti mielosupresi. Mielosuporesi adalah penurunan salah satu sel-sel darah seperti hemoglobin, leukosit, trombosit dan neutrofil. Penurunan sel-sel darah tersebut dapat menimbulkan terjadinya anemia, leukositopenia, trombositopenia, dan neutropenia. Hal ini akan memeperburuk keadaaan pasien dan memberi dampak negatif terhadap pengobatan sehingga menurunkan kemampuan fungsional dan mengancam kelangsungan hidup pasien kanker payudara.
Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Teknik pemilihan sampel menggunakan purporsive sampling, didapati sampel sebanyak 77 orang pasien kanker payudara yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Pengumpulan data menggunakan data sekunder yaitu didapatkan dari data rekam medik pasien.
Hasil: Hasil uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan mielosupresi pada pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan (p = 0,032). Terdapat hubungan antara jenis kemoterapi dengan anemia (p = 0,004) dan neutropenia (p = 0,040) pada pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan, tetapi tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan leukositopenia (p = 0,069) dan trombositopenia (p = 0,356).
Kata kunci: kanker payudara, kemoterapi, mielosupresi. Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
33
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
Pendahuluan Kanker payudara merupakan salah satu masalah utama kesehatan wanita di dunia. Di Amerika Serikat, pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 232.670 kasus baru kanker payudara invasif yang didiagnosa pada wanita, 62.570 kasus kanker payudara insitu dan 40.000 dari yang terdiagnosa meninggal dunia.1 Di Eropa, 85 kasus baru per 100.000 wanita.2 Di Indonesia, tahun 2014 kanker payudara telah menjadi tumor ganas tertinggi diikuti tumor ganas leher rahim. Insiden kanker payudara sebesar 100 per 100.000 perempuan. Oleh karena itu, kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk menghancurkan atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker payudara. Sampai saat ini belum ada kemoterapi yang dapat menghancurkan sel kanker payudara tuntas 100%. Pada umumnya kemoterapi sering dikombinasi yang disebut kemoterapi kombinasi (sitostatika atau hormonal) berfungsi mencegah dan menghambat perkembangan sel kanker payudara yang disebabkan mutasi gen ataupun dipengaruhi hormon. Pemberian kemoterapi kombinasi ini menyebabkan kejadian efek samping juga bertambah.3 Beberapa penelitian sebelumnya, mengemukakan didapati efek samping kemoterapi hormonal menghambat produksi dan kerja hormon estrogen/progesteron dan kemoterapi sitostatika tidak hanya menghancurkan sel-sel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat. Berdasarkan National Cancer Institute (2007), efek samping yang dapat terjadi akibat kemoterapi berbasis hormonal mengakibatkan trombositopenia, diare, gangguan pada kelenjar tiroid, dan kemoterapi sitostatika (adriamisin/doksorubisin) menimbulkan mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, rentan terinfeksi, neuropati, myalgia, dan efek samping yang paling sering adalah mielosupresi.4 Mielosupresi adalah penurunan jumlah hemoglobin, trombosit, neutrofil dan leukosit dari normal, yang menimbulkan anemia, trombositopenia, neutropenia, dan leukositopenia.5 Berdasarkan penelitian Zhijun (2008) ditemukan efek samping kemoterapi pada 65 pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi sitostatika seperti methotrexate, didapatkan 36 pasien mengalami neutropenia, 29 pasien mengalami anemia dan 61 kontrol ditemukan 38 anemia. Berdasarkan penelitian Partridge, kombinasi kemoterapi hormonal didapati pasien kanker payudara mengalami trombositopenia.6 Penurunan jumlah salah satu sel darah ini menimbulkan gejala lemas, mudah letih, infeksi (mata, pencernaan, mulut), demam, dan perdarahan. Gejala akan memperburuk keadaan pasien dan memberi dampak negatif terhadap pengobatan bahkan memperburuk prognosis penyakit pasien kanker payudara. Keadaan ini juga dapat menurunkan kemampuan fungsional dan kualitas hidup pasien bahkan mengancam kelangsungan hidup (kematian) pasien kanker payudara.7,8 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jenis kemoterapi dengan efek mielosupresi pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan.
Metode
34
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah pasien kanker payudara yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan sampel menggunakan tehnik purporsive sampling, dimana sampel yang digunakan adalah pasien kanker payudara yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, didapati sebanyak 77 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu pasien kanker payudara berjenis kelamin perempuan, hanya mendapat kemoterapi sitostatika atau hormonal dan maksimal menderita anemia derajat I, neutropenia derajat I, leukositopenia derajat I dan trombositopenia derajat I sebelum dikemoterapi. Kriteria eksklusinya yaitu pasien kanker payudara yang mendapat pengobatan lain seperti radioterapi dan/ atau memiliki penyakit kronis lain seperti leukemia, HIV/AIDS, infeksi kronis. Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis pasien yaitu data usia, pekerjaan, pendidikan, stadium, nilai hemoglobin, leukosit, neutrofil, trombosit sebelum mendapat kemoterapi dan sesudah mendapat kemoterapi. Analisa data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan didapati distribusi data normal. Kemudian, untuk mengetahui hubungan jenis kemoterapi dengan mielosupresi pada pasien kanker payudara digunakan uji Chi-Square.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik sampel penelitian disajikan pada tabel 1, distribusi sampel berdasarkan derajat mielosupresi (anemia, leukositopenia, neutropenia¸ trombositopenia) sebelum dan sesudah dikemoterapi disajikan pada tabel 2, sedangkan hubungan jenis kemoterapi dengan efek mielosupresi disajikan pada tabel 3 dan tabel 4. Tabel 1. Distribusi pasien kanker payudara di RSUP Adam Malik Medan
Karakteristik pasien N
Pasien
(%)
77
100
6 71
7,8 92,2
6 3 23 2 6 24 4 9
7.8 3.9 29.9 2.6 7.8 31.2 5.2 11.7
Umur < 40 > 40 Stadium II IIa Iib III IIIa IIIb IIIc IV Pendidikan
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
35
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Guru IRT Pedagang Pensiunan PNS Wiraswasta
7 11 43 16
9.1 14.3 55.8 20.8
2 48 3 3 18 3
2.6 62.3 3.9 3.9 23.4 3.9
Pada penelitian ini, pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas berumur > 40 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Anjali pada tahun 2009 yang menilai kejadian kanker payudara berdasarkan usia dan stadium, didapati pasien kanker payudara paling banyak berusia > 40 tahun.9 Penelitian ini juga sejalan dengan American Cancer Society yang menyatakan bahwa pasien kanker payudara lebih banyak berusia > 40 tahun dibandingkan < 40 tahun.1 Sedangkan hasil penelitian Apreliasari, tentang risiko riwayat pemakaian kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker payudara di RUSD Dr. Moewardi Surakarta, pasien kanker payudara mayoritas terdiagnosa berusia 36-50 tahun.10 Berdasarkan stadium dapat dilihat bahwa pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas terdiagnosa pada stadium IIIb. Menurut Tiolena, yang meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pada wanita pasien kanker payudara RSUP H. Adam Malik Medan mengatakan kurangnya informasi teknologi dan pengetahuan pasien untuk dapat mendeteksi secara dini sehingga terlambat memeriksakan diri. Pada survey yang dilakukan oleh Heitty tentang permasalahan deteksi dini dan pengobatan kanker payudara di Indonesia, didapati lebih dari 70% pasien datang ke fasilitas kesehatan sudah pada stadium lanjut. 1,9,11 Berdasarkan pendidikan, dapat dilihat bahwa pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas memiliki pendidikan terakhir SMA. Hal yang sama juga dijumpai di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 81,08% pasien kanker payudara memiliki pendidikan terakhir mayoritas SMA dan sederajat.10 Berdasarkan pekerjaan, dapat dilihat bahwa pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Tabel 2. Distribusi pasien kanker payudara berdasarkan derajat mielosuprei (anemia, leukositopenia, neutropenia¸ rombositopenia) sebelum dan sesudah dikemoterapi pada di RSUP Adam Malik Medan
Mielosupresi
Anemia 36
Sebelum dikemoterapi Derajat
Pasien (N=77)
%
Normal Derajat I
64 13
83.1 16.9
Sesudah Kemoterapi Derajat
Normal Derajat I
Pasien (N = 77)
%
41 29
53.2 37.7
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
Leukositopenia Trombositopeni a Neutropenia
Normal Derajat I Normal
Normal Derajat I
73 4 77
15 62
94.8 5.2 100.0
19.5 80.5
Derajat II Normal Derajat I Normal
7 50 27 72
Derajat I Normal Derajat I Derajat II
5 59 17 1
9.1 64.9 35.1 93.5 6.5 76.6 22.1 1.4
Tabel 3. Hubungan jenis kemoterapi dengan efek anemia, leukositopenia, neutropenia¸ trombositopenia sesudah kemoterapi pada pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan
Tabel 4. Hubungan jenis kemoterapi dengan efek mielosupresi sesudah kemoterapi pada pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan
Jenis kemoterapi
Mielosupresi p Tidak
Sitostatika Hormonal Total
Ya
N
%
N
%
28 2 30
44.5 14.3 39.0
35 12 47
55.6 85.7 61.0
0,032
Pada penelitian ini, dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan kejadian anemia pada kanker payudara (p = 0.004). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhijun di China tentang efek samping anemia setelah terapi awal dimulai, didapati 29 dari 65 orang (44,6%) mengalami anemia pada pasien kanker payudara.6 Hal yang sama juga didapati oleh Melia pada penelitiannya tentang hubungan antara frekuensi kemoterapi dengan status fungsional pasien kanker yang menjalani kemoterapi di RSUP Sanglah Denpasar, didapati 90% pasien mengalami anemia sesudah kemoterapi. Selain
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
37
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
anemia, penelitian tersebut juga menemukan pasien kanker mengalami trombositopenia, dan leukopenia sesudah kemoterapi.14 Didapati hubungan jenis kemoterapi dengan angka kejadian neutropenia pada pasien kanker payudara (p < 0,040). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhijun di China yang menemukan efek samping neutropenia setelah terapi awal dimulai, didapati 36 dari 65 orang (55,4%) mengalami neutropenia pada pasien kanker payudara.6 Sejalan dengan penelitian Faisel tentang gambaran efek samping kemoterapi jenis sitostatika berbasis antrasiklin pada pasien kanker payudara di RSUD Dokter Soedarso Pontianak, didapati hasil bahwa kemoterapi menyebabkan pasien menjadi rentan mengalami neutropenia, dari 13 pasien yang mengalami efek samping ini, 8 pasien (61,5%) mulai mengalami gejala neutropenia segera setelah kemoterapi dan berlanjut selama 3 hari.4 Tidak didapati hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan kejadian leukositopenia pada pasien kanker payudara (p = 0,059). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suryawan tentang jumlah leukosit pada pasien kanker payudara yang sudah dikemoterapi di Semarang, didapati bahwa kemoterapi menimbulkan efek samping leukositopenia dan neutropenia.12 Tidak didapati hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan kejadian trombositopenia pada pasien kanker payudara (p > 0,356). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Faisel tentang gambaran efek samping kemoterapi berbasis antrasiklin pada pasien kanker payudara di RSUD Dokter Soedarso Pontianak, didapati trombositopenia merupakan efek samping paling jarang dialami, pasien mulai mengalami gejala trombositopenia setelah >1 minggu mendapat kemoterapi.4 Sejalan dengan penelitian Westbrook tentang farmakogenomik terapi kanker payudara di Durham, didapati farmakodinamik kemoterapi jenis sitostatika (anti metabolik) seperti Vincristin tidak memberi efek trombositopenia.13 Pada penelitian ini didapati jenis kemoterapi sitostatika lebih memberikan efek mielosupresi dibandingkan jenis kemoterapi hormonal. Menurut American Cancer Society kemoterapi jenis sitostatistika bekerja bukan hanya pada sel kanker melainkan sel sehat dan sel aktif membelah sehingga menimbulkan gejala anemia, neutropenia, leukositopenia, trombositopenia, alopesia, letargi, stomatitis, dan muntah. Sedangkan jenis hormonal bekerja pada sistem hormonal seperti menghambat kerja hormon estrogen, androgen dan pembentukan hormon estrogen, yang menimbulkan gejala diare, perdarahan, penurunan koadar hormon tiroid dan demam.15 Didapati hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi dengan kejadian mielosupresi pada pasien kanker payudara di RSUP H.Adam Malik (p = 0,032). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mayer tentang analisis prognosis kemoterapi adjuvant pada kanker payudara di Kanada, didapati kemoterapi kanker payudara dengan menggunakan jenis sitostatika memberikan efek mielosupresi.16 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Melia tentang hubungan antara frekuensi kemoterapi dengan status fungsional pasien kanker yang menjalani kemoterapi di RSUP Sanglah Denpasar, ditemukan bahwa salah satu efek kemoterapi pasien kanker payudara adalah supresi sumsum tulang.14
Kesimpulan
Terdapat hubungan antara jenis kemoterapi dengan mielosupresi pada pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan. Terdapat hubungan antara jenis 38
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
kemoterapi dengan anemia dan neutropenia pada pasien kanker payudara di RSUP H. Adam Malik Medan, sedangkan antara jenis kemoterapi dengan leukositopenia dan trombositopenia tidak dijumpai hubungan yang bermakna. Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. 14.
Dna A. Breast Cancer. American Cancer Society. Amerika; 2014. p. 1–141. Deparment of Cancer. Early and locally advanced breast cancer. National Institute for health and Clinical Excellence. London; 2009. p. 12–37. Santoso C. Keberhasilan Kemoterapi Neoajuvan Cisplatin-Vincristine-Bleomycin dan Paclitaxel-. Maj Obstet dan Ginekol. 2011;19(3). Faisel C. Gambaran Efek Samping Kemoterapi Berbasis Antrasiklin pada Pasien Kanker Payudara di RSUD Dokter Soedarso Pontianak. Tanjung Pura; 2012. s Crawford J, Dale DC, Lyman GH, Crawford CN. Chemotherapy-Induced Neutropenia. :228–37. Zhijun D, Xijing W, Huafeng K, Zongzheng J, Lei L. Clinical Effects of Shenqi Fuzheng Injection in the Neoadjuvant Chemotherapy for Local Advanced Breast Cancer and the Effects on T - lymphocyte Subsets. 2008;28(January 2000):34–8. Loi S, Sirtaine N, Piette F, Salgado R, Viale G, Rouas G, et al. Prognostic and Predictive Value of Tumor-Infiltrating Lymphocytes in a Phase III Randomized Adjuvant Breast Cancer Trial in Node-Positive Breast Cancer Comparing the Addition of Docetaxel to Doxorubicin With Doxorubicin-Based Chemotherapy : BIG 02-98. Clin Oncol. 2013;31(7). Qinghong Q, Fangfang G, Wei J, Qixing T, Qinguo M, Changyuan W. Effect of neoadjuvant chemotherapy on expressions of estrogen. Chinese Med. 2014;127(2010079):3272–7. Deshpande AD, Jeffe DB, Gnerlich J, Iqbal AZ, Thummalakunta A, Margenthaler J a. Racial disparities in breast cancer survival: an analysis by age and stage. J Surg Res [Internet]. Elsevier Inc.; 2009 May 1 [cited 2015 Feb 10];153(1):105–13. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3240670&tool=pmcentr ez&rendertype=abstract Apreliasari H. Risiko Riwayat Pemakaian Kontrasepsi Hormonal terhadap Kejadian Kanker Payudara di RUSD Dr. Moewardi Surakarta. Universita sebelas Maret; 2009. p. 25–55. Heitty. Pengaruh Jus Kacang Hijau Terhadap Kadar Hemoglobin dan Jumlah Sel Darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien Kanker dengan Kemoterapi. 2008;(2006). Suryawan E. Perbandinga Pengaruh Buah BIT dengan Ikan Belanak terhadap Jumlah Leukosit Darah pada penderita Leukositopenia Akibat Kemoterapi. UNDIP; 2006. p. 1–48. Westbrook K. Pharmacogenomics of Breast cancer Therapy. NIH Public Access. 2014;139(1):1–11. Melia E. Hubungan antara Frekuensi Kemoterapi dengan Status Fungsional Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Sanglah Denpasar. 2008; Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
39
Purba, et al
Hubungan Jenis Kemotrapi dengan Meilosupresi
15. Kemoterapi. Menejemen Modern dan Kesehatan Masyarakat [Internet]. Jakarta: Medicastore; 2011. p. 1–3. Available from: www.itokindo.org 16. Mayers C, Sc BN, Panzarella T, Sc M, Tannock IF, Ph D. Analysis of the Prognostic Effects of Inclusion in a Clinical Trial and of Myelosuppression on Survival after Adjuvant Chemotherapy for Breast Carcinoma. 2001;2246–57.
40
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Depari, et al
Gambaran Dermatofita pada penderita Tinea Krusis
GAMBARAN DERMATOFITA SUPERFISIALIS PADA PENDERITA TINEA KRURIS DI KOTA MEDAN DAN DESA NAMU TRASI 1
2
Jeremia Ian Hans Depari , Henny Erina Saurmauli Ompusunggu , Rudyn Reymond Panjaitan 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Email:
[email protected] 2 Departemen Bilogi Sel dan Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Email:
[email protected] 3 Departemen Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Email:
[email protected]
3
Abstrak Pendahuluan : Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita superfisial pada jaringan yang mengandung zat tanduk. Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis dermatofitosis dengan lokasi pada lipat paha, daerah perineum, ketiak dan sekitar anus yang dapat me;uas ke bokong dan perut bagian bawah. Di Indonesia, tinea kruris merupakan salah satu dermatofitosis yang paling sering dijumpai. Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Populasinya adalah seluruh penderita tinea kruris yang datang berobat ke praktek dokter spesialis kulit dan kelamin serta puskesmas Namu Trasi. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dan didapatkan sampel sebanyak 12 orang. Sampel dibiakkan selama 1-2 minggu dengan menggunakan Agar Dekstrose Saboraud yang sebelumnya telah dilakukan tes KOH 10%, kemudian diidentifikasi secara makroskopis. Hasil : Dari seluruh sampel dengan jamur dermatofitosis superfisialis, dijumpai 3 spesies yaitu Trichophyton rubrum (50%), Trichophyton mentagrophytes (48%) dan Trichophyton schoenleinii (8%). Kesimpulan :Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes merupakan spesies yang paling banyak ditemukan. Seluruh spesies yang ditemukan termasuk golongan jamur antropofilik. Kata kunci : Tinea kruris, Trichopyton
Pendahuluan Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita superfisial pada jaringan yang mengandung zat tanduk seperti stratum korneum, stratum basalis, rambut dan kuku.1 Dermatofita merupakan golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis dengan kemampuannya melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai nutrisi untuk berkembang biak.2 Istilah Dermatofita berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanaman kulit (skin plants).3 Golongan jamur Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
41
Depari, et al
Gambaran Dermatofita pada penderita Tinea Krusis
dermatofita dibagi atas tiga genus, yaitu Epidermophyton, Trichophyton, Microsporum.4 Infeksi dermatofita terjadi akibat tiga langkah utama, yaitu diawali dengan perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan diantara sel, serta terbentuknya respon penjamu.Padapenyakit kulit karena infeksi jamur dermatofit, seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena kontak langsung dengan jamur tersebut, atau bendabenda yang sudah terkontaminasi oleh jamur, atau pun kontak langsung dengan penderita.3 Insidens mikosis superfisialiscukup tinggi di Indonesia, salah satunya dikarenakan kondisi geografisIndonesia yang beriklim tropis dan memiliki kelembaban yang tinggi, apalagi bila higiene juga kurang sempurna.5 Kondisi tersebut sangattepat bagi jamur untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga dapat dengan mudah ditemukan di semua tempat.6 Di dunia, infeksi jamur superfisial merupakan salah satu infeksi kulit yang paling banyak dijumpai dan mempengaruhi lebih dari 20-25% dari populasi.2 Di Indonesia kasus dermatofitosis merupakan 52% dari kasus dermatomikosis. Di Jakarta, golongan penyakit jamur mendapat urutan ke-2 setelah dermatitis.2 Di daerah lain seperti Bandung, Semarang, Menado dan Medan, keadaannya sama yakni menduduki posisi ke-2 dan sedikitnya posisi ke-4 setelah golongan penyakit kulit lainnya.5 Tinea krurismerupakansalah satu bentuk klinis berdasarkan lokalisasi yang terdapat pada infeksi dermatofitosis.7 Di Indonesia, tinea kruris merupakan salah satu dermatofitosis yang sering dijumpai. Di Padang, berdasarkan rekam medik di RS dr. M. Djamil, selama tahun 2010 ditemukan 288 orang penderita baru dematofitosis dengan 207 penderitatinea kuris.2 Lokalisasinya pada lipat paha, daerah perineum, ketiak dan sekitar anus, yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun.8 Infeksi ini lebih sering menyerang laki-laki dan disertai rasa gatal yang hebat. Khususnya pada penderita tinea kruris, yaitu berawal dari bercak eritematosa dan gatal, yang lama kelamaan akan meluas. Meskipun persisten dan bersifat mengganggu, infeksi ini tidaklah menimbulkan kelemahan ataupun mengancam jiwa, namun tetap saja, jutaan dolar dihabiskan tiap tahun untuk mengobatinya.3 Selain itu, tinea kruris juga memiliki tingkat kekambuhan yang cukup tinggi yaitu sekitar 20-25%.2 Untuk mengetahui golongan atau jenis jamur dilakukan pembiakan selama dua 1-2 minggu dengan medium agar Saboraud. BerdasarkanMadani AF dan Siregar RS,penyebab tersering dari tinea kruris adalah golongan Epidermophyton.5,7 Berbeda denganAugustine R dan Fitzpatrick yang menyatakan golongan Trichophyton menjadi penyebab utama.2,3 Di Medan, belum pernah diadakan penelitian mengenai jamur dermatofita yang paling sering menyebabkan tinea kruris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dermatofita superfisialis pada penderita tinea kruris di kota medan dan desa namu trasi. Metode Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran dari jamur dermatofita superfisialis pada penderita tinea kruris. Populasi penelitian adalah Penderita tinea kruris yang terdapat di kota medan dan desa Namu Trasi. Pengambilan sampel menggunakan total sampling, dimana sampel yang digunakan adalah para penderita tinea kruris yang berobat ke praktek dokter Spesialis 42
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Depari, et al
Gambaran Dermatofita pada penderita Tinea Krusis
Kulit dan Kelamin di kota Medan dan Puskesmas Namu Trasi pada bulan Februari hingga Maret 2015. Sampel diambil dari kerokan kulit pada lesi kulit penderita tinea kruris, kemudian hasil kerokan kulit penderita kemudian disimpan dalam amplop dan ditutup. Amplop yang berisi sampel kemudian dibawa ke laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dilakukan pembiakkan selama 1-2 minggu dengan menggunakan Agar Dekstrose Saboraud yang sebelumnya telah dilakukan tes KOH 10%, kemudian diidentifikasi secara makroskopis. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, dengan menghitung persentase jawaban responden berdasarkan soal pertanyaan yang diajukan.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik sampel penelitian disajikan pada tabel 1, sedangkan gambaran dermatofitosis superfisialis berdasarkan spesies disajikan pada tabel 2.
N
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian Karakteristik Jumlah 20
(%) 100
Umur 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Pelajar/mahasiswa Pedagang Karyawan Wiraswasta Petani Pensiunan
3 7 3 3 1 3
15 35 15 15 5 15
14 6
70 30
2 5 3 4 5 1
10 25 15 20 25 5
Berdasarkan tabel 1 diatas, dapat dilihat usia dewasa cenderung lebih sering menderita tinea kruris dari pada usia anak-anak.3 Usia dewasa yang mayoritas memiliki aktivitas yang lebih padat serta aktif berolahraga menimbulkan timbulnya keringat yang berlebih. Hal tersebut mengakibatkan kelembaban yang tinggi dan merupakansuatu keadaan yang mendukung jamur untuk berkembang.7 Menurunnya status imun seseorang seperti menderita penyakit diabetes melitus juga memiliki pengaruh timbulnya dermatofitosis superfisialis.9
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
43
Depari, et al
Gambaran Dermatofita pada penderita Tinea Krusis
Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat bahwa sebagian besar penderita tinea kruris adalah laki-laki. Laki-laki dinilai lebih aktif dalam beraktivitas dan cenderung kurang memperhatikan kebersihan, sehingga memudahkan jamur untuk tumbuh dan berkembang. Kurniati (2008) menyatakan bahwa prevalensi dermatofitosis superfisialis pada laki-laki lima kali lebih banyak dari pada wanita.3,9 Berdasarkan pekerjaan, mayoritas penderita tinea kruris bekerja sebagai pedagang dan petani. Pekerjaan tersebut dikaitkan dengan tingkat higienitas yang kurang dan keringat yang berlebih. Hal tersebut memudahkan jamur untuk tumbuh, terutama didaerah lipatan yang cenderung menjadi lembab.7,10 Tabel 2. Dermatofitosis superfisialis berdasarkan spesies Spesies (%) Trichophyton rubrum 50 Trichophyton mentagrophytes 42 Trichophyton schoenleinii 8 Berdasarkan tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa spesies terbanyak yang menyebabkan tinea kruris adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes. Di Amerika Serikat, Trichophyton rubrum adalah spesies yang paling banyak menyebabkan tinea kruris, sama halnya seperti di Indonesia3,10 Terdapat kesesuaian berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Augustine R (2012) dan di Amerika Serikat oleh itzpatrick (2013), yang menyatakan bahwa Trichopyhton rubrum sebagai penyebab utama tinea kruris, namun berbedadengan penelitian yang juga dilakukan di Indonesia oleh Madani AF dan Siregar RS (2013) yang menyebutkan bahwa spesies Epidermophyton flocossum adalah spesies yang paling sering menyebabkan tinea kruris.2,3,5,7 Dapatdisimpulkan bahwa spesies penyebab tinea kuris yang bervariasi disetiap tempat diakibatkan oleh faktor distribusi, kebersihan lingkungan , sosal ekonomi serta budaya.2 Keseluruhan spesies tersebut tergolong antropofilik yang artinya jamur yang menyebar dari manusia ke manusia, ditularkan melalui kontak langsungdari kulit manusia atau rambut yang terinfeksi. Spora yang terlepas dan menempel pada pakaian, sisir, topi, handuk menjadi sebuah jembatan bagi jamur untuk menular ke manusia lain.3 Kesimpulan Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes adalah jenis jamur dermatofitosis superfisialis yang paling banyak ditemukan pada penderita tinea kruris yang berobat ke praktek dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Medan dan puskesmas Namu Trasi. Seluruh spesies penyebab tinea kruris adalah jamur antropofilik.
44
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Depari, et al
Gambaran Dermatofita pada penderita Tinea Krusis
Daftar Pustaka 1. Siregar. RS. Penyakit Jamur Kulit: Mikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2004. h. 8-43 2. Augustine, R. Perbandingan Sensitivitas dan Spesifitas Pemeriksaan Sediaan Langsung KOH 20% Dengan Sentrifugasi dan Tanpa Sentrifugasi pada Tinea kruris; [Tesis]. Padang: Universitas Andalas: 2012 3. Schieke MS, Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor. Fitzpattrick’s Dermatology In General Medicine. Edisi Ke-8.New York. Mc Graw Hill; 2013. H. 2276-97 4. Hitendra KB, Dhara JM, Nidhi KS, Hetal SS. A Study Of Superficial Mycoses With Clinical Mycological Profile In Tertiary Care Hospital In Ahmedabad Gujarat. Nate J Med. 2012;2(2):160-3 5. Madani AF. Infeksi Jamur Kulit. Dalam: Harahap M, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2013. h. 120-5 6. Hidayati AN, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. Mikosis Superfisialis Di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Dan Kelamin RSUD Dr Soetomo Surabaya. Hidayati AN. 2009;1(21): h. 1-7 7. Siregar RS. Penyakit Jamur. Dalam: Hartanto H, Editor. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2013. h. 11-31 8. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h. 89-100 9. Kurniati, Rosita C. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin: Etiopatogenesis Dermatofitosis. BIK. 2008;3(2) h. 244-49 10. Mitchel TG. Mikologi. Dalam: Brooks. FG, Caroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA, editor. Jawetz, Melnick, & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Ke-25. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; h. 652-56
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
45
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Kadar Soluble Fms Like Tyrosine Kinase-1 pada Preeklampsia Disusun Oleh: Rebecca Rumesty Lamtiar
Abstrak Latar Belakang:Patogenesis preeklampsia sebagai salah satu penyebab kematian ibu masih belum jelas. Diduga adanya peran faktor-faktor angiogenik dalam perjalanan penyakit preeklampsia, diantaranya adalah Soluble Fms Like Tyrosine Kinase-1 (SFLT1) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kadar SFLT-1 pada ibu hamil dengan preeklampsia berat. Metode: Penelitian dengan disain cross sectional dilakukan terhadap 30 wanita hamil trimester tiga dengan preeklampsia berat/eklampsia yang berobat di RSUP. Haji Adam Malik Medan, RS.dr.Pirngadi Medan dan RS. Sundari Medan dari bulan September sampai bulan Desember tahun 2014.Pengukuran kadar SFLT-1 diperiksa dari serum darah ibu hamil dengan metode ELISA. Hasil: Ibu hamil dengan preeklampsia berat di ketiga rumah sakit di medan terbanyak berusia kisaran 20-35 tahun dengan usia kehamilan pada rentang 37-38 minggu (50%) dan status paritas ibu nulipara(46,7%). Nilai medium kadar SFLT-1 pada kelompok ibu hamil normal sebesar 1901,935 pg/ml Kesimpulan: Nilai medium Kadar SFLT-1 pada Ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia sebesar 1901,935 pg/ml Kata kunci: SFLT-, preeklampsia berat, PEB Abstrac Background: Pathogenesis of preeclampsia as one of the cause of maternal mortlity is unclear. It was Suggested that angiogenic factors play a role in mechanism of preeclampsia such as soluble fms like tyrosine kinase-1 (SFLT-1) This study is aimed to determine sfl-1 level in preeclampsia Methods: This cross sectional study of 30 3rd trimester pregnancy women with severe preclampsia in Haji Adam malik Hospital, Pirngadi Hospital and Sundari Hospital Medan from September until December 2014 . Level of SFLT-1 was measured from serum women with ELISA method. Results: The women with severe preeclampsia at three hospitalsin medan was at range 20-35 year olds, at 37-38 weeks gestation and nullipara. Medium value of sflt-1 level was 1901,935 pg/ml Conclusions:Medium value of sflt-1 level was 1901,935 pg/ml Keywords:SFLT-1, PLGF, Preeclampsia
46
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Pendahuluan Preeklampsia sebagai salah satu komplikasi persalinan memiliki kontribusi dalam menyebabkan tingginya angka kematian ibu. WHO (2011) mencatat sebesar 81% kasus komplikasi kehamilan menyebabkan kematian ibu dan 24% diantara kasus penyebab kematian ibu adalah disebabkan oleh preeklampsia atau eklampsia (Kemenkes, 2010) Sekitar 10% kehamilan di dunia disertai dengan preeklampsia (WHO, 2011). Pada Negara berkembang, setiap 1000 kelahiran terjadi 13 kasus preeklampsia, sedangkan pada negara maju diantara 10000 persalinan hanya terjadi 23 kasus preeklampsia (Jido dan Yakasai,2013). Di Indonesia, kasus preeklampsia terjadi 5-10 % dari jumlah kehamilan (Kemenkes, 2011) Sampai saat ini patogenesa preeklampsia belum jelas. Banyak teori yang menyatakan adanya hubungan preeklampsia dengan proses pseudovaskulogenesis. Sel sitotrofoblas yang gagal menginvasi arteri spiralis ibu menyebabkan terjadinya trophoblast injury dan iskemia plasenta. Terjadinya iskemia pada plasenta diduga menyebabkan sekresi suatu faktor anti-angiogenik soluble fms Like Tyrosine Kinase-1 (sFLT-1), dan selanjutnya menghambat endotel pembuluh darah dalam melakukan angiogenesis. Hal ini masih menjadi dilema, apakah sFLT-1 hadir karena iskemia plasenta atau sebaliknya. Disfungsi endotel bermanifestasi dalam bentuk kerusakan jaringan dan kerusakan multiorgan pada ibu dan janin yang sifatnya progresif (Karumanchi et al, 2005; Wang et al, 2009; Murphy et al, 2013). Eiland (2012) menyatakan bahwa kadar sFLT-1 tinggi pada sirkulasi ibu preeklampsia. Peningkatan kadar ini diduga sudah dimulai sebelum manifestasi klinis preeklampsia muncul pada ibu, dan mungkin berkaitan juga dengan beratnya gejala yang muncul. Banyak penelitian yang sedang berkembang tentang bagaimana hubungan faktor-faktor angiogenesis terhadap kejadian preeklampsia. Ketidakseimbangan antara faktor angiogenik dan antiangiogenik pada sirkulasi maternal dianggap berperan dalam patofisiologi preeklampsia berat. Dibandingkan dengan kehamilan normal, kadar sFLT1 lebih tinggi dan dalam serum ibu dengan preeklampsia (Levine, 2004; Verlohren, 2012) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuibagaimana kadarsFLT-1pada ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia
Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional.Penelitian dilakukan di bagian kebidanan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan, dan Rumah Sakit Umum Sundari Medan . Pemeriksaan elisa utuk mengetahui kadar SFLT-1 diambil dari serum darah sampel dan diperiksa di laboratorium Spektrum Internasional Medan. Penelitian ini telah mendapatkan izin dari komite etik dan setiap subyek penelitian telah memberikan persetujuan setelah mendapatkan penjelasan (informed consent). Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
47
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Penelitian ini dilakukan pada 30 wanita hamil trimester III yang terdiagnosa dengan atau tanpa preeklampsia berat/eklampsia oleh Dokter Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Rumah Sakit dr. Pirngadi Medan dan Rumah Sakit Umum Sundari Medan yang tercatat di kartu status pasien. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah Kehamilan intrauterin, janin hidup dan tunggal. Sampel penelitian yang memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, kelainan ginjal, riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit dengan kelainan imunitas dan disertai dengan kelainan kongenital pada janin dieksklusikan Pengukuran kadar SFLT-1 dalam serum darah sampel dilakukan dengan metode Metode quantitative sandwich enzyme immuno assay. Data yang diperoleh akan diedit, dikoding kemudian dientri ke dalam komputer. Dilakukan uji normalitas terlebih dahulu pada data numerik dengan uji normalitas Shapiro wilk dan dilanjutkan dengan analisis univariat ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil Usia responden terbanyak pada kelompok ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia diantaranya adalah sampel dengan rentang usia 20-35 tahun (83,3%), dengan usia kehamilan terbanyak pada rentang 37-38 minggu (50%). Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa status paritas ibu dengan preeklampsia berat / eklampsia terbanyak adalah ibu nulipara(46,7%). Data kadar SFLT-1 merupakan data yang terdistribusi tidak normal berdasarkan uji normalitas Shapiro wilk sehingga ditampilkan nilai medium kadar SFLT-1. Pada Gambar 1 dilihat bahwa nilai medium kadar SFLT-1 pada kelompok ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia adalah 1901,935 pg/ml dengan nilai minimum 181,840 pg/ml dan nilai maksimum 2077,600pg/ml Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik Subyek Kelompok PEB Penelitian /Eklampsia F % Usia Sampel 25 83,3 20-35 tahun 5 16,7 > 35 tahun Usia Kehamilan 28-32 minggu 33-34 minggu 35-36 minggu 37-38 minggu Status paritas Nulipara Primipara 48
Kelompok Kehamilan Normal F % 25 5
83,3 16,7
2 2 11 15
6,7 6,7 36,7 50,0
2 2 11 15
6,7 6,7 36,7 50,0
14 6 10
46,7 20,0 33,3
14 6 10
46,7 20,0 33,3
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Multipara
Gambar 1. Diagram Kadar SFLT pada Kelompok Ibu Hamil dengan Preeklampsia Berat/Eklampsia dan Ibu Hamil Normal Pembahasan Pada penelitin ini karakteristik ibu hamil preeklampsia berat / eklampsia terbanyak pada kelompok usia 20-35 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kashanian et al (2011) di Iran. Kashanian et al menyatakan bahwa karakteristik ibu hamil preeklampsia terbanyak adalah pada usia 20-30 tahun. Kashanian et al menyatakan bahwa ibu hamil dengan usia lebih dari 30 tahun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki usia lebih muda. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia, maka semakin tinggi risiko terjadi komplikasi pada persalinan, salah satunya adalah preeklampsia (Jacobbson, 2004). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel merupakan nulipara. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa salah satu faktor risiko terjadinya peeklampsia adalah status nulipara pada ibu (Odegard, 2000) Pada penelitian ini didapat nilai medium kadar SFLT-1 pada kelompok ibu hamil trimester tiga dengan preeklampsia berat / eklampsia adalah 1901,935 pg/ml. Levine et al menyatakan bahwa rata-rata peningkatan kadar SFLT-1 pada ibu preeklampsia mencapai tiga kali dibandingkan dengan nilainya pada ibu hamil normal. Peningkatan ini terjadi setelah minggu ke-25 usia kehamilan (Widmer et al, 2007). Kadar SFLT-1 pada ibu hamil normal akan meningkat dimulai pada 20-30 usia kehamilan, dan selanjutnya meningkat dengan cepat pada 35-39 minggu usia kehamilan. Akan tetapi peningkatan SFLT-1 pada kelompok ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia terjadi lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil normal (Levine, 2004). SFLT-1 sebagai faktor antiangiogenik ditemukan lebih banyak pada plasenta dan serum ibu hamil dengan preeklampsia (Maynard, 2003). Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
49
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Pada ibu hamil dengan preeklampsia ditemukan plasenta yang mengalami iskemia. Plasenta yang iskemia menghasilkan lebih banyak SFLT-1 (Smith and Wear, 2009). Masabumi (2012) menyatakan bahwa kondisi hipoksia yang ditemukan pada plasenta preeklampsia memiliki pengaruh besar dalam regulasi SFLT-1. Penurunan aliran darah uteroplasenta menyebabkan peningkatan ekspresi SFLT-1. Diduga adanya peran HIF1α dalam peningkatan SFLT-1. Keadaan hipoksia pada plasenta merangsang aktivitas HIF-1α, dan selanjutnya HIF-1α meningkatkan ekspresi dan sekresi SFLT-1 (Zhou et al, 2011) Disfungsi endotel ditemukan dalam patomekanisme penyakit preeklampsia. Keadaan disfungsi endotel berakhir pada munculnya manifestasi klinik seperti hipertensi, gangguan koagulasi dan proteinuria. Hal ini mungkin dapat menjelaskan patofisiologi manifestasi klinis yang muncul pada preeklampsia berat / eklampsia (Matsubara, 2009) Kadar SFLT-1 yang tinggi pada sirkulasi akan menghambat kerja faktor proangiogenesis (Levine, 2004; Matsubara, 2009). Ketidakseimbangan angiogenesis menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Keadaan ini menyebabkan munculnya manifestasi klinik seperti hipertensi, gangguan koagulasi dan proteinuria. Hal ini mungkin dapat menjelaskan patofisiologi manifestasi klinis yang muncul pada preeklampsia berat / eklampsia. Kesimpulan Sebagai kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah bahwa kadar SFLT-1 pada kelompok ibu hamil dengan preeklampsia berat / eklampsia adalah 1901,935 pg/ml dengan nilai minimum 181,840 pg/ml dan nilai maksimum 2077,600 pg/ml. Saran Dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari nilai kadar SFLT-1 pada kelompok ibu hamil pada trimester pertama sehingga dapat dipakai sebagai acuan screening preeklampsia pada ibu hamil. Daftar Pustaka Agida ET, Adeka BI, Jibril KA. ., 2010. Pregnancy Outcome in Preeclamptic at The University of Abuja Teaching Hospital, Gwagwalada, Abuja: A 3 Year Review. Nigerian Journal of Clinical Practice..; Vol. 13; 4: 394-398 Ahmad Shakil, and Ahmed Asif. 2004. Elevated Placental Soluble Vascular Endothelial Growth Factor receptor-1 Inhibits Angiogenesis in Preeclampsia. Circulation Research. Journal of The American Heart Association. : 95: 884-891 Ananth Cande V, Keyes Katherine M, Wapner Ronald J., 2013. Preeclampsia rates in the United States, 1980-2010: age Period Cohort Analysis. BMJ.; 347: 1-9 Anderson UD, Olsson MG, Kristensen KH, Akerstrom B, Hansson SR. Review: Biochemical Markers to Predict Preeclampsia. 2012. PLACENTA33, Supplement A, Trophoblast Research.; vol. 26: s42-s47 Andraweera P H, Dekker G A, Roberts C T. 2012. The Vascular Endothelial Growth Factor Family in Adverse Pregnancy Outcomes. Human Reproduction Update.; vol. 18: 436-457 50
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Barton J R and Sibai B M. 2008. Prediction and Prevention of Recurrent Preeclampsia. Obstet Gynecol. ; 112(2): 359-72 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012 dalam Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia. 2013. Jakarta; Indonesia; hal 213 Chappell Lucy C, Duckworth Suzy, Seed Paul T, Griffin Melanie, Myers Jenny, Mackillop Lucy, Simpson Ngel, Waugh Jason, Anumba Dilly et al. 2013. Diagnostic Accuracy of Placental Growth Factor in Women with Suspected Preeclampsia: A Prospective Multicenter Study. Circulation Research. Journal of The American Heart Association.; 128: 2121-2131 Chen Yu. 2009. Novel Angiogenic Factor for Predicting Preeclampsia: sFlt-1, PlGF and Soluble Endoglin. The Open Clinical Chemistry Journal.; 2: 1-6 Costa F S, Murthi P, Keogh R, Woodrow N. . 2011. Early Screening for Preeclampsia. Rev Bras Ginecol Obstet; 33 (11): 367-75 Cunningham FG, et al. 2010. Pregnancy hypertension. In Williams Obstetrics, 23nd ed., pp. 706–755. New York: McGraw-Hill Eiland Elosha, Nzerue Chuke, Faulkner Marquetta. 2012. Review Article Preeclampsia 2012. Journal of Pregnancy.: 1-7 Gilbert J S, Ryan m J, Lamarca B B, Sedeek M, Murphy S R and Granger J P. 2008. Pathophysiology of Hypertension During Preeclampsia: Linking Placental Ischemia with Endothelial Dysfunction. Am. J Physiol Heart Circ Physiol; (294): H541-H550 Grill S, Rusterholz C, Dallenbach RZ, Tercanli S, Holzgreve W, Hahn S, and Lapaire O. 2009. Potential Markers of Preeclampsia- A Review. Reproductive Bilogy and Endocrinology.; 7 (70): 1-14 Gu Y, Lewis D F and Wang y. 2008. Placental Productions and Expressions of Soluble Endoglin, Soluble fms-Like Tyrosine Kinase Receptor-1 and Placental Growth Factor in Normal and Preeclamptic Pregnancies. J Clin Endocrin ol Metab.; 93(1): 260-266 Hagmann Henning, Thadhani Ravi, Benzing Thomas, Karumanchi S Ananth, Stephan Holger. 2012. The Promise of Angiogenic Markers for the Early Diagnosis and Prediction of Preeclampsia. Clinical Chemistry.; 58: 5. 837-845 Hanita O, Alia N N, Zaleha A M, Azlin M N. 2014. Serum Soluble FMS-Like Tyrosine Kinase 1 and Placental Growth Factor Concentration as Predictors of Preeclampsia in High Risk Pregnant Women. Malaysian J. Pathol.; 36: 19-26 Harris L K. 2011. Transformation of The Spiral Arteries in Human Pregnancy: Key Event in The Remodelling Timeline. J. Placenta; Vol 25; (32): s154-s158 Hassan Mahmoud Fathy, Rund Nancy Mohamed Ali and Salama Ahmed Husseiny. 2013. An Elevated maternal Plasma Soluble fms Like Tyrosine Kinase-1 to Plaental Growth Factor Ratio at Midtrimester is a Useful Predictor for Preeclampsia. Obstetrics and Gynecology International.; 1-8 Hernawati, Ina. 2011. Analisis Kematian Ibu di Indonesia. Dalam Paparan Direktur pada Pertemuan teknis Kesehatan ibu. 6 April 2011. Hirashima, C.; Ohkuchi, A.; Arai, F.; Takahashi, K.; Suzuki, H.; Watanabe, T.; Kario, K.; Matsubara, S.; Suzuki, M. 2005. Establishing reference values for both total soluble Fms-like tyrosine kinase 1 and free placental growth factor in pregnant women. Hypertens. Res. 28(9), 727-732. Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
51
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Hui Dini, Okun Nan, Murphy Kellie, Kingdom John, Uleryk Elizabeth, Shah Prakesh S. . 2012. Combination of Maternal Serum Markers to Predict Preeclampsia, Small for Gestational Age and Stillbirth: A Systematic Review. Journal Obstetric Gynecology Canada; 34(2): 142-153 Hunter Alyson, Aitkenhead Mark, Caldwell Carolyn, McCracken Geoffrey, Wilson David and McClure Neil. 2000. Serum Levels of Vascular Endothelial Growth Factor in Preeclamptic and Normotensive Pregnancy. Hypertension. American Heart Association Journals.; 36: 965-969 Jacobs Marni, Nassar Natasha, Roberts Christine L, Hadfield Ruth, Morris Jonathan M and Ashton Anthony W. 2011. Levels of Soluble fms-lik Tyrosine Kinase One in First Trimester and Outcomes of Pregnancy: a Systematic Review. Reproductive Biology and Endrocinology. ; 9:1-8 Jido T A, Yakasai I A. 2013. Preeclampsia: a Review of The Evidence. Annals of African Medicine.; vol 12: 75-86 Kapiteijn Catharina Johanna. 2006. Angiogenesis and The Inception of Pregnancy. Karumanchi SA, Epstein F H. 2007. Placental Ischemia and Soluble fms-Like Tyrosine Kinase 1: Cause or Consequence of Preeclampsia ? Kidney International.; 71: 959-961 Kemenkes. 2008. Angka Kematian Ibu Melahirkan. Diunduh dari : http://menegpp.go.id/v2/index.php/datadaninformasi/kesehatan?download=23% 3Aangka-kematian-ibu-melahirkan-akiWHO Kemenkes, 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011. Diunduh dari http://www.depkes.go.id Kemenkes. 2012. Tren Angka Kematian Ibu sejak 1992 sampai tahun 2012 dalam SDKI 2012. Ki Shin Young, Lim J H, Yang J H, Kima M Y, Han J Y, Ahn H K, Choi J S, Park S Y, Kim M J and Ryu H M. 2008. Dinucleotide Repeat Polymorphism in Fms Like Tyrosine Kinase I (Flt-I) Gene Is Not Associated with Preeclampsia. BMC Medical Genetics. ; 9(68): 1-6 Kim Shin Young, Ryu Hyun Mee, Yang Jae Hyug, Kim Moon Young, Han Jung Yeol, Kim Joo Oh, Chung Jin Hoon, Park So Yeon, Lee Moon Hee, Kim Do Jin. 2007. Increased sFlt-1 to PlGF Ratio in Women Who Subsequently Develop Preeclampsia. Journal Korean Med Science.; 22: 873-7 Knofler M, Pollheimer J. 2012. Molecular Regulation of Human Trophoblast Invasion. Placenta 33, Supp A Trophoblast Reseaerch. . Vol 26: s55-s62 Lapaire O, Grill Simon, Lalevee S, Kolla V, Hosl I, Hahn S. 2012. Microarray Screening for Novel Preeclampsia Biomarker Candidates. Fetal Diagnosis Therapy. ; 31: 147-153 Leif Matthiesen, Berg Goran, Ernerudh Jan, Ekerfelt Christina, Jonsson Yvonne, Sharma Surendra. 2005. Immunology of Preeclampsia. Chem Immunology Allergy. Basel, Karger.; vol. 89: 49-61 Levine, R.J.; Maynard, S.E.; Qian, C.; Lim, K.H.; England, L.J.; Yu, K.F.; Schisterman, E.F.; Thadhani, R.; Sachs, B.P.; Epstein, F.H.; Sibai, B.M.; Sukhatme, V.P.; Karumanchi, S.A., 2004. Circulating angiogenic factors and the risk of preeclampsia. N. Engl. J. Med., , 350(7), 672-683. 52
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Levine R J, Lam C, Qian C, Yu K F, Maynard S E, Sachs B P, Sibai B M, Epstein F H, Romero Roberto, Thadhani Ravi, Karumanchi S A. 2006. Soluble Endoglin and Other Circulating Antiangiogenic Factors in Preeclampsia. The New England Journal of Medicine. ; 355: 992-1005 Lim Ji Hyae, Kim Shin Young, Park So Yeon, Yang Jae Hyug, Ki Moon Young, Ryu Hyun Mee. 2008. Effective Prediction of Preeclampsia by a Combined Ratio of Angiogenesis-Related Factors. Obstetric and Gynecology.; vol. 111: 1403-1409 Lindheimer M D, Taler S J, Cunningham F G. 2010. Hypertension in Pregnancy. Journal of The American Society of Hypertension. ; 4(2): 68-78 Liu Linda Y, Yang T, Ji, J, Wen Q, Morgan A A, Jin B, Chen G, Lyell D J, Stevenson D K, Ling Xuefeng B, Butte A J. 2013. Integrting Multiple ‘Omic’ Analyses Identifies Serological Protein Biomarkers for Preeclampsia. BMC Medicine.; 11 (236): 1-12 Makris A, Thomton C, Thompson J, Thomson S, Martin R, Ogle R, Waugh R, McKenzie P, Kirwan P and Hennessy A. 2007. Uteroplacental Ischemia Results in Proteinuric Hypertension and Elevated sFLT-1. Kidney International.; 71: 977984 Matsubara keiichi, Matsubara Yuko, Ito M. 2009. The Utility of Vascular Dysfunction Studies in The Prediction and Prevention of Preeclampsia: a Historical Review. Vascular Disease Prevention.; 6: 163-169 Maynard S E, Min J Y, Merchan J, Lim Kee Hak, Li Jianyi, Mondal S, Libermann T A, Morgan J P, Sellke F W, Stillman I E, Epstein F H, Sukhatme V P, and Karumanchi S A. 2003. Excess Placental Soluble fms-Like Tyrosine Kinase 1 (sFlt-1) may Contribute to Endothelial Dysfunction, Hypertension and Proteinuria in Preeclampsia. J. Clin. Invest.; 111: 649-658 Maynard S E, Venkatesha S, Thadhani R, and Karumanchi S A. 2005. Soluble FmsLike Tyrosine Kinase 1 and Endothelial Dysfunction in the Pathogenesis of Preeclampsia. Pediatric Research.; Vol. 57: 1-7 Mcelrath t F, Lim K H, Pare E, Edwards J R, Pucci D, Troisi R, Parry S. 2012. Longitudinal Evaluation of Predictive Value for Preeclampsia of Circulating Angiogenic Factors Through Pregnancy. Am j Obstet Gynecol.; 207: 1-7 Mihalceanu Elena, Crauciuc Eduard, Toma Ovidiu, Ungureanu Eugen, Crauciuc Dragos, Onofriescu Mircea. 2013. Angiogenic Protein Ratio sFlt-1 / PlGF The Predictive Value for Preeclampsia. Analele Ştiinţifice ale Universităţii „Alexandru Ioan Cuza”, Secţiunea Genetică şi Biologie Moleculară, TOM XIV, Mikat B, Gellhaus A, Wagner N, Birdir C, Kimmig R, and Koninger A. 2012. Review Article Early Detection of Maternal Risk for Preeclampsia. ISRN Obstetrics and Gynecology. ; 1-7 Moghadam A D, Khosravi A, Sayehmiri K. 2012. Predictive Factors for Preeclampsia in Pregnant Women: an Unvariate and Multivariate Logistic Regression Analysis. ACTABP.; Vol 59, No. 4: 673-677 Moore Simas, T.A.; Crawford, S.L.; Solitro, M.J.; Frost, S.C.; Meyer, B.A.; Maynard, S.E. 2007. Angiogenic factors for the prediction of preeclampsia in high-risk women. Am. J. Obstet. Gynecol., 197(3), 244.el-8. Murphy S R, Lamarca B B D, Parrish M, Cockrell K, Granger J P. 2012. Control of Sluble Fms Like Tyrosine -1 (sFlt-1) Production Response to Placental Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
53
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Ischemia / Hypoxia: Role of Tumor Necrosis Factor –α. American Journal Physiol Regul Integr Comp Physiol.; 304: R130-R135 Mutter W P, Karumanchi S A. 2008. Molecular Mechanisms of Preeclampsia. Microvascular Research.; 75: 1-8 Myatt L, Clifton R G, Roberts J M, Spong C Y, Hauth J C, Varner M W, Thorp j M, Mercer B M, Peaceman a M, Ramin S M, Carpenter M W, Iams J D, Sciscione A, Harper M, Tolosa J E, Saade G, Sorokin Y, Anderson D G. 2012. First Trimester Prediction of Preeclampsia in Low Risk Nulliparous Women. Journal of Obstet and Gynecology.; 119: 1234-1242 Myers J E, Kenny L C, McCowan L M E, Chan E H Y, Dekker G A, Poston , Simpson n A B, North R . 2013. Angiogenic Factors Combined with Clinical Risk Factors to Predict Preterm Pre-Eclampsia in Nulliparous Women : a Predictive Test Accuracy Study. International Journal of Obstetric and Gynecology. ; 1-9 Nelson S M and Greer I A. 2006. Hypertensive Disorders of Pregnancy: Preventative, Immediate and Long Term Management. Expert Rev. Pharmacoeconomics Outcomes Res. ; 6: 541-554 Neufeld G, Cohen T, Gengrinovitch Stela, and Poltorak Z. 1999. Vascular Endothelial Growth Factor and Its Receptors. The FASEB Journal.; Vol. 13: 1-14 Noori Muna, Donald Ann E, Angelakopoulou Aspasia, Hingorani Aroon D, Williams David J. 2010. Prospective Study of Placental Angiogenic Factors and Maternal Vascular Function Before and After Preeclampsia and Gestationl Hypertension. Circulation Research. Journal of The American Heart Association. ; 122: 478-487 Noris M, Perico N, and Giuseppe R. 2005. Review: Mechanisms of Disease: PreEclampsia.Nature Clinical Practice Nephrology.; Vol 1(2): 98-114 Odegård RA, Vatten LJ, Nilsen ST, Salvesen KA, 2000. Austgulen R. Risk factors and clinical manifestations of pre-eclampsia. BJOG; 107: 1410-6 Ohkuchi A, Hirashima C, Matsubara S, Takahashi K, Matsuda Y and Suzuki M. 2011. Threshold of Sluble Fms-Like Tyrosine Kinase 1/ Placental Growth Factor Ratio for The Imminent Onset of Preeclampsia. Hypertension Journal of The American Heart Association. ; 58: 859-866 Pennington kathleen A, Schlitt jessica M, Jackson Daniel L, Schulz Laura C, Schust Danny J. 2012. Preeclampsia : Multiple Approaches for a Multifactorial Disease. Disease Models and Mechanisms. ; 5: 9-18 Petla L T, Chikkala R, Ratnakar K S, Kodati V, Sritharan V. 2013. Biomarkers for The management of Preeclampsia of Preeclampsia in Pregnant Women. Indian J Med Res.; 138: 60-7 Powe Camille E, Levine Richard J, Karumanchi S Ananth. 2011. Preeclampsia, a Disease of the Maternal Endothelium: The Role of Antiangiogenic Factors and Implications for Later Cardiovascular Disease. Circulation Research. Journal of The American Heart Association.; 123: 2856-2869 Powers Rober W, Jeyabalan Arun, Clifton Rebecca G, Dorsten PV, Hauth J C, Klebanoff MA, Lindheimer M D, Sibai Baha, Landon Mark, Miodovnik Menachem. 2010. Soluble fms-Like Tyrosine Kinase 1 (sFlt1), Endoglin and Placental Growth Factor (PlGF) in Preeclampsia among High Risk Pregnancies. PLoS ONE.; 5:1-12 54
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Redman C W and Sargent I L. 2009. Placental Stress and Preeclampsia: a Revised View. Placenta.; 30: 38-42 Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Unicef Indonesia. Oktober 2012 Roberts J M and Escudero C. 2012. The Placenta in Preeclampsia. Pregnancy Hypertens. ; 2: 72-83 Roberts J M and Hubel. 2008. The Two Stage Model of Preeclampsia: Variations on The Theme. Placenta. : 1-6 Robert J M and Rajakumar A. 2009. Preeclampsia and Soluble Fms Like Tyrosine Kinase 1. J Clin Endocrinol Metab. ; 94: 2252-2254 Rogers M S, 2007. Prediction of Preeclampsia in Early Pregnancy.. Women’s Health.; 3: 571-583 Rolfo A, Giuffrida D, Nuzzo A M, Pierobon D, Cardaropoli S, Piccoli E, Giovarelli M, Todros T. 2013. Pro Inflammatory Profile of Preeclamptic Placental Mesenchymal Stromal Cells: New Insights into The Etiopathogenesis of Preeclampsia. PLoS One.; Vol. 8: 1-13 Romero R, Nien JK, Espinoza J, Todem David, Fu Wenjiang, Chung Hwan, Kusanovic Juan Pedro, Gotsch Francesca, Erez Offer, Mazaki-tovi Shali, Gomez Ricardo, Edwin Sam, Chaiworapongsa T, Levine R J, Karumanchi A. 2008. A longitudinal study of angiogenic (placental growth factor) and anti-angiogenic (soluble endoglin and soluble vascular endothelial growth factor receptor-1) factors in normal pregnancy and patients destined to develop preeclampsia and deliver a small for gestational age neonate. J Matern Fetal Neonatal Med. 21: 9–23 Romero Roberto and Chaiworapongsa T. 2013. Preeclampsia: a Link Between Trophoblast Dysregulation and an Antiangiogenic State. The Journal of Clinical Investigation. ; 123: 1- 4 Rozhikan. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat Di Rumah Sakit dr. H. Soewondo Kendal. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang; Sado T, Naruse K, Noguchi T, Haruta S, Yoshida S, Tanase Y, Kitanaka T, Oi H, Kobayashi H. 2011. Inflammatory Pattern Recognition Receptors and Their Ligands: Factors Contributing to Th Pathogenesis of Preeclampsia. ; 1-13 Savaj Shokoufeh and Vaziri N D. 2012. An Overview of Recent Advances in Pathogenesis and Diagnosis of Preeclampsia. IJKD.: 334-8 Savvidou MD, Akolekar R, Zaragoza E, Poon L C, Nicolaides K H. 2009. First Trimester Urinary Placental Growth factor and Development of Preeclampsia. BJOG.; 116: 643-647 Schmidt Markus, Dogan Canan, Birdir Canan, Kuhn Ulrich, Gllhaus Alexandra, Kimmig Rainer, Bauer Sabine Kasimir. 2009. Placental Growth Factor: A Predictive Marker for Preeclampsia? . Gynakol Geburtshilfliche Rundsch.; 49: 94-99 Selim M E, Elshmry N G, and Rashed E H. 2013. The Role of Novel Biomarker in Early Predicton of Preeclampsia in Pregnant Rats. J. Blood Disorders and Transfusion.; 4: 1-5
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
55
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Shibuya M. 2006. Differential Roles of Vascular Endothelial Growth Factor Receptor-1 and Receptor-2 in Angiogenesis. Journal of Biochemistry and Molecular Biology. ; Vol 39 (5): 469-478. Shibuya M. 2011. Review Involvement of Flt-1 (VEGF receptor-1) in Cancer and Preeclampsia. Proceedings of The Japan Academy, Series B Physical and Biological Scieces.; 87 (4): P. 167-179 Shibuya M. 2013. Vascular Endothelial Growth Factor and Its Receptor System: Physiological Functions in Angiogenesis and Pathological Roles in Various Diseases. Journal of Biochemistry.; 153: 13-19 Sibai B, Dekker G, Kupferminc M. 2005. Preeclampsia. The Lancet.. Vol. 365, Issue 9461: 785-799 Sibiude jeanne, guibourdenche Jean, Dionne M D, Ray C L, Anselem O, Serreau R, Goffinet F, Tsatsaris V. 2012. Placental Growth Factor for the Prediction of Adverse Outcomes in Patients with Suspected Preeclampsia or Intrauterine Growth Restriction. PLoS One.; 7: 1-8 Soto E, Romero R, Kusanovic J P, Ogge G, Hussein Y, Yeo L, Hassan S S, Kim C J, Chaiworapongsa T. 2012. Late Onset Preeclampsia is Associated with an Imbalance of Angiogenic and Anti Angiogenic Factors in Patients With and Without Placental Lesions Consistent With Maternal Underperfusion. J Matern Fetal Neonatal Med.; 25: 498-507 Tjoa ML, van Vugt JM, Mulders MA,Schutgens RB, Oudeians CB, Van Wijk IJ. 2001. Plasma placenta growth factor levels in midtrimester pregnancies. Obstet Gynecol ; 98: 600-7. Torry, D.S.; Mukherjea, D.; Arroyo, J.; Torry, R.J. Expression and function of placenta growth factor: implications for abnormal placentation. 2003. J. Soc. Gynecol. Investig.; 10(4), 178-188. Unicef, 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: 1-6 Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi J M. 2011. Preeclampsia: Pathophysiology, Diagnosis and Management. Vascular Health and Risk Management;: 467-474 Verdonk Koen, Visser Willy, Russcher Henk, Danser A H Jan, Steegers Eric A P and Meiracker Anton H van den. 2012. Differential Diagnosis of Preeclampsia: Remember the Soluble FMs-Like Tyrosine Kinase 1/Placental Growth Factor Ratio. Hypertension. American Heart Association Journals.; 60: 884-890 Verlohren S, Herraiz I, Lapaire O, Schlembach D, Moertl M, Zeisler Harald, Calda P, Holzgreve W, Galindo A, Engels T, Denk B, Stepan H. 2011. The sFlt-1/PlGF Ratio in Different Types of Hypertensive Pregnancy Disorders and Its Prognostic Potential in Preeclamptic Patients. American Journal of Obstetric and Gynecology. ; 206: 1-8 Wagner L K. 2004. Diagnosis and Management of Preeclampsia. American Family Physician. ; Vol 70, Number 12: 2317-2324 Wang Alice, Rana Sarosh, Karumanchi S Ananth. 2009. Preeclampsia: The Role of Angiogenic Factors in Its Pathogenesis. Physiology. : 24: 147-158 WHO ,2012..........
56
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Lamtiar
Kadar Soluble Fms Like tyrosine pada Preeklampsia
Wu F T H, Stefanini M O, Gabhann F M, Kontos C D, Annex B H, Popoel A S. A . 2010. Systems Biology Perspective on sVEGFR1: Its Biological Function, Patogenic Role and Therapeutic Use. J Cell Mol Med.; 14: 528-552 Yamamoto Tatsuo, Chishima Fumihisa, Matsuura Masahiko. 2013. Prediction of Preeclampsia Using Angiogenic and Antiangiogenic Factors. Hypertension Research in Pregnancy. ; 1: 66-70 Zhong Yan. Tuuli M, and Odibo A O. 2010. First Trimester Assessment of Placenta Function and The Prediction of Preeclampsia and Intrauterine Growth Restriction. Prenatal Diagnosis.; 30: 293-308 Zhou Qiong, Qiao Fu-Yuan, Zhao Chang, Liu Hai-Yi. 2011. Hypoxic Trophoblastderived sFlt-1 May Contribute to Endothelial Dysfunction: Implication for the Mechanism of Trophoblast-Endothelial Dysfunction in Preeclampsia. Cell Biology International.; 35: 61-66 Zibaeenezhad MJ, Ghodsi M, Arab P, Gholzom. 2010. Prevalence of Hypertensive Disorders of Pregnancy in Shiraz, Southern Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal. ; vol 4: 169-172
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
57
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME ( SIRS ) dr.Sisca Silvana, M.ked (Ped), Sp.A
PENDAHULUAN Inflamasi adalah suatu proses pertahanan tubuh terhadap stimuli yang menyebabkan kerusakan jaringan. Stimuli ini dapat berupa invasi mikroorganisma, bahan kimia yang berbahaya atau faktor fisik.1,2 Ada 3 komponen utama pada proses inflamasi akut, yaitu: 1. Perubahan pada diameter vaskuler yang menyebabkan peningkatan aliran darah. 2. Perubahan struktural mikrovaskuler yang menyebabkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi. 3. Emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi ke tempat terjadinya kerusakan jaringan. Inflamasi akut dapat terjadi hanya pada daerah lokal saja tetapi dapat juga meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Manifestasi klinis berupa inflamasi sistemik disebut systemic inflammatory response syndrome (SIRS).1 Menurut American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine Consensus Conference tahun 1991, istilah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) menggambarkan suatu respon inflamasi sistemik terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak, seperti trauma, luka bakar, pankreatitis dan infeksi. Respon inflamasi sistemik yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab tersebut adalah sama.3,4 Dikatakan SIRS jika terdapat lebih dari 1 manifestasi di bawah ini, yaitu : 3,5,6 1. Suhu tubuh > 38 oC atau < 36 oC 2. Frekuensi Jantung > 90 x / menit 3. Frekuensi Pernafasan > 20 x / menit 4. Jumlah Leukosit < 4000 / mm3 atau > 12000 / mm3 atau ditemukan > 10% neutrofil muda
58
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
Manifestasi klinik ini biasanya menggambarkan perubahan akut yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. SIRS ini sangat berhubungan erat dengan sepsis, dimana sepsis merupakan bagian dari SIRS. Pada defenisi SIRS sebelumnya telah dikatakan bahwa SIRS merupakan respon terhadap suatu keadaan klinis yang merusak baik berupa infeksi maupun non infeksi. Sedangkan sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi.1,3,4,7
(WE.Timothy et al,BMJ 1999;318:1606-09)
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk membahas tentang etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi.
EPIDEMIOLOGI SIRS merupakan kondisi yang umum terjadi dan jika terdapat disfungsi multipel organ yang diakibatkan oleh SIRS maka hal ini merupakan penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif (ICU).3 Insiden SIRS lebih banyak pada pasien-pasien yang dirawat di ruang ICU dibandingkan dengan ruang rawat biasa.8
Di Amerika Serikat, insiden sepsis diperkirakan sekitar 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian sekitar 35%. Sepsis tercatat sebagai penyebab ke-13 kematian di Amerika Serikat (1995). Insiden ini meningkat begitu juga dengan meningkatnya pengertian tentang patofisiologi SIRS. Namun meskipun terdapat peningkatan dalam hal pengertian tentang patofisologi SIRS , angka kematian tidak juga menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh karena meningkatnya Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
59
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
kewaspadaan akan kondisi seseorang, resistensi dari organisma dan jumlah yang besar dari pasien-pasien yang imunokompremais atau yang sudah tua yang berhubungan dengan penyakit yang kronik.3,4 Pada suatu survei prospektif dari 3708 pasien yang datang ke rumah sakit tipe C, 68% terdapat kriteria SIRS dengan distribusi hampir sama antara pasien biasa dan pasien bedah. 21% pasien dengan SIRS akan menjadi sepsis, 18% menjadi sepsis yang berat dan 4% menjadi syok sepsis. Akhir-akhir ini ada pendapat tentang meningkatnya disfungsi multipel organ dan kematian dari SIRS ke sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Pasien yang diklasifikasikan sebagai syok sepsis, 46% akan meninggal.3
ETIOLOGI Infeksi merupakan penyebab utama dari SIRS, biasanya disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang teridentifikasi bisa merupakan gram positif maupun gram negatif, terutama Staphylococcus aureus dan enterococci. Endotoksin dihasilkan oleh bakteri gram negatif yang merupakan pemicu penting terjadinya inflamasi. Meskipun infeksi merupakan penyebab utama penyebab SIRS , namun organisma penyebabnya jarang teridentifikasi. PATOFISIOLOGI Patofisiologi dari SIRS ini berawal dengan adanya respon terhadap inflamasi yang terjadi. Biasanya yang merupakan penyebab utama dari inflamasi ini adalah adanya endotoksin yang beredar di pembuluh darah. Endotoksin merupakan bagian dari dinding sel bakteri gram negatif yang juga disebut lipopolysaccharide (LPS). LPS ini berikatan dengan protein sehingga disebut LPS binding protein (LPB) yang kemudian berikatan dengan reseptor permukaan sel termasuk CD14. Setelah itu, molekul CD14 berikatan lagi dengan kelompok molekul yang disebut Toll like receptors (TLR). Kini telah diketahui bahwa molekul TLR2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri gram positif dan TLR4 untuk pengenalan bakteri gram negatif. Setelah pengenalan ikatan tersebut, akan terjadi aktivasi produksi sitokin. Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) ά, Interleukin
(IL) 1β, 6, 8, 12 dan
interferon (INF) γ. Sitokin ini disebut proinflamasi atau sitokin alarm karena muncul pertama kali. 1,3,4,8,9
60
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
Munculnya sitokin-sitokin ini akan mengaktifkan jalur klasik dan alternatif sistem komplemen dan sistem koagulasi yang akhirnya menimbulkan kerusakan sel endotel jaringan dimana jika dibiarkan berlarut-larut akan timbul kegagalan sistem dari berbagai organ tubuh atau multiple organ dysfunction system (MODS)
Sebagai respon terhadap munculnya mediator proinflamasi, terjadi produksi sitokin anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi adalah IL-4, IL-10, Tranforming Growth Factor-β (TGF- β) yang disintesa dari monosit dan limfosit dimana anti inflamasi ini akan menghambat produksi proinflamasi.2,4,6
KERUSAKAN JARINGAN Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan merupakan suatu proses yang progresif yang akhirnya menimbulkan gangguan fungsi organ. Leukosit polimorfonuklear (PMN) adalah salah satu mediator selular utama pada kerusakan jaringan. PMN ini menumpuk di jaringan sebagai respon terhadap adanya endotoksin dan IL-8. Kerusakan jaringan terjadi akibat degranulasi leukosit yang menghasilkan protease (yang dapat memecah struktur protein) dan Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
61
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
reactive oxygen species (ROS) yang selanjutnya akan menghasilkan radikal bebas dimana hal inilah yang dihubungkan dengan terjadinya kerusakan jaringan.3,4,6
Paterson RL et al, J.R.Coll.Surg.Edinb.2000;45:178-82
MANIFESTASI KLINIK Gambaran klinis SIRS adalah sesuai dengan kriteria SIRS yang sudah ditetapkan oleh American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine Consensus Conference 1991 yaitu : gangguan dari suhu tubuh, takikardi, hiperventilasi dan peningkatan atau penurunan dari jumlah sel darah putih. Keadaan ini bukan merupakan suatu keadaan yang statis namun dapat berkelanjutan dari SIRS menjadi sepsis kemudian terjadi sepsis berat dan syok septik yang ditandai dengan terjadinya kegagalan multi organ dan kemudian terjadi kematian.3,4,7
Tabel : Defenisi SIRS dan Sepsis
SIRS
Terdapat lebih dari 1 gejala di bawah ini :
Sepsis
Suhu tubuh > 38°C atau <36°C Frekuensi Jantung > 90 x / menit Frekuensi Pernafasan > 20 x / menit atau PaCO2 < 4.3 kPa. Jumlah Leukosit > 12000 / mm3 atau < 4000 / mm3 atau >10% neutrofil muda SIRS yang diakibatkan oleh infeksi 1. 2. 3. 4.
62
Sepsis Berat
Sepsis yang dihubungkan dengan terjadinya hipotensi atau disfungsi organ yang tunggal
Syok Septik
Sepsis berat dengan hipotensi (tekanan sistol < 90mmHg) meskipun telah diberikan dukungan terapi yang adekuat.
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Biasanya pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah jumlah leukosit, namun seiring dengan perkembangan teknologi, dilakukan juga pemeriksaan yang lainnya terutama jika telah terjadi komplikasi dari SIRS. Pemeriksaannya adalah : 1. Jumlah leukosit < 4000/mm3 atau > 12000/mm3 dan > 10% neutrofil muda. 2. Faal hati dan Faal ginjal 3. Skrining perdarahan (PT, aPTT, TT ) 4. D-dimer 5. Kultur darah, dimana hasil yang positif menunjukkan seorang pasien dari SIRS menjadi sepsis. 6. C-reactive protein (CRP) > 10 mg/dl 4 7. Procalcitonin (PCR), yang biasanya muncul pada saat awal timbulnya SIRS. PCR ini lebih sensitif dibandingkan dengan CRP dan dapat membedakan antara SIRS dan sepsis. Nilai absolut PCR untuk SIRS 0,5-2 ng/ml, Sepsis > 2 ng/ml dan MODS > 10 dan sering > 100 ng/ml. 8,11-13
PENATALAKSANAAN SIRS 1. PERAWATAN SUPORTIF Aspek yang paling utama adalah mengetahui penyebab utama penyakit dan pengobatannya. Tanpa adanya pengobatan secara medis yang tepat waktu dan sesuai, usaha untuk menyembuhkan inflamasi sistemik tidak akan berhasil. Perawatan suportif ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi organ dan mencegah terjadinya infeksi yang lebih jauh lagi. 3 2. VENTILASI MEKANIK Beberapa pasien dengan SIRS tidak membutuhkan tambahan oksigen selain dengan menggunakan face mask. Namun banyak juga pasien, termasuk mereka yang sudah terjadi infeksi paru akut dan sindrom distres pernafasan akut, membutuhkan ventilasi mekanik untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat.3,8 3. PENANGANAN KARDIOVASKULAR & TERAPI CAIRAN Untuk melindungi jalan nafas dan memastikan oksigenasi yang sukup, sangatlah penting untuk menyimpan cadangan volume sirkulasi pada SIRS. Hipovolemi dapat diobati dengan pemberian kristaloid atau koloid. Meskipun kristaloid aman dan murah, namun pemberiannya dapat mencapai 4-6 kali pemberian oleh karena waktu paruhnya yang cepat di dalam pembuluh darah. Pasien dengan SIRS, jaringannya mengalami pembengkakan atau edema dan untuk alasan ini maka banyak klinisi yang Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
63
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome mempergunakan koloid. Pasien yang dapat bertahan dari SIRS adalah mereka yang mampu mempertahankan peningkatan cardiac output (CO) dan oxygen delivery (DO2) ke nilai normal. Mempertahankan Hb 7,0-9,0 g/dl sangat perlu untuk keselamatan pasien yang tanpa penyakit jantung iskemik. 3,8,9
4. DUKUNGAN NUTRISI Yang termasuk ke dalam dukungan nutrisi ini adalah mempertahankan struktur dan fungsi dari usus, meningkatkan pertahanan terhadap bakteri dan menurunkan angka infeksi yang terjadi. Pada saat pemberian makan melalui oral maupun NGT tidak dapat dilakukan lagi maka pemberian makan secara parenteral sangatlah dianjurkan.3 5. KONTROL & PENGOBATAN INFEKSI Kebersihan yang baik merupakan kunci utama dalam mengurangi infeksi nosokomial. Penggunaan antibiotik yang
tidak
perlu dapat
mematikan flora normal dan
mengakibatkan resistensi dari organisma. Untuk membantu membedakan antara pasien dengan SIRS yang telah menderita sepsis dengan yang belum terinfeksi, dilakukan pemeriksaan C-reaktive protein dan procalcitonin, dimana keduanya meningkat pada keadaan sepsis.3 6. PENGOBATAN SPESIFIK. Efek anti inflamasi dari steroid membuat steroid dipergunakan dalam penanganan sepsis dan ARDS selama bertahun-tahun. Penggunaan steroid pada SIRS diindikasikan jika terjadi syok septik dan insufisiensi adrenal. 3,9 7. ACTIVATED PROTEIN C Human activated protein C rekombinan, merupakan antikoagulan yang merupakan agen antiinflamatori yang terbukti efektif dalam penanganan sepsis. Activated protein C membuat faktor Va dan VIIIa pada jalur koagulasi menjadi tidak aktif. Cara kerja activated protein C ini adalah lansung menghambat agen proinflamasi termasuk menghambat produksi sitokin dari monosit dan menghambat terjadinya adhesi dari sel. 9,14
KESIMPULAN Defenisi SIRS sangatlah sensitif dimana terdapat berbagai etiologi dan beberapa penyakit yang berat sebagai penyebabnya. Sangat penting bagi para dokter untuk memahami SIRS dan berbagai komplikasinya. Perawatan pasien termasuk pengobatan terhadap penyakit utama penyebab SIRS, resusitasi dan perawatan suportif lainnya untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih jauh lagi.
64
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
Silvana
Systemic Inflammatory Response Syndrome DAFTAR PUSTAKA
1.
Setiati ES. Disfungsi endotel pada sepsis. Dalam: Lubis M, Evalina R, Irsa L, Erniwati, Putra DS, Siregar C, penyunting. Makalah Lengkap Simposium Nasional Pediatri Gawat Darurat VI, Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2003.h.1-17
2.
Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Edisi ke-4. Jakarta: BP FK UI; 2000. h.259-74
3.
Meeran H, Messent M. The systemic inflammatory response syndrome. Trauma 2001;3:89100
4.
Amir I, Rundjan L. Patofisiologi Sepsis Neonatorum: Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Dalam: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB, penyunting. Update in Neonatal Infection.Jakarta; 2005.h 17-31
5.
Janota J. Systemic inflammatory response syndrome-SIRS and Multiple organ dysfunction syndrome-MODS. Diunduh dari: http://www.lfl.cuni.cz/patf
6.
Paterson RL, Webster NR. Sepsis and the systemic inflammatory response syndrome. J.R.Coll.Surg.Edinb 2000;45:178-82
7.
Evans TW, Smithies M. Organ dysfunction.BMJ 1999;318:1606-09
8.
Kaplan
LJ.
Systemic
inflammatory
response
syndrome.
Diunduh
dari:
http://www.emedicine.com 9.
Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med 2003;384:138-50
10. Balk RA. ARDS: Pathophysiology of Systemic Inflammatory Response Syndrome and Multiple Organ Dysfunction Syndrome. Poststudy Qestions. Lesson 24;12:1-12 11. Arkader R, Troster EJ, Lopes MR, Junior RR, Carcillo JA, Leone C, Okay TS. Procalcitonin does discriminate between sepsis and systemic inflammatory response syndrome. Arch Dis Child 2006;91:117-20 12. Castelli GP, Pognani C, Meisner M, Stuani A, Bellomi D, Sgarbi L. Procalcitonin and Creactive protein during systemic inflammatory response syndrome, sepsis and organ dysfunction. Critical Care 2004;8:R234-42 13. Reinhart K, Karzai W. Procalcitonin-a new marker of the systemic inflammatory response to infection. ESA 2000;12;124-8 14. Hinds CJ.Treatment of sepsis with activated protein C. BMJ 2001;323:881-2
Nommensen Journal Of Medicine Volume 2 *Desember 2015
65