JURNAL STUDI KOMUNIKASI Volume 1
Ed 1, March 2017
Page 19 - 30
Komodifikasi Pariwisata Halal NTB dalam Promosi Destinasi Wisata Islami di Indonesia Hafizah Awalia Universitas Airlangga, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Destinasi wisata halal menjadi brand baru bagi provinsi NTB. Daerah yang kuat akan pluralitas suku dan agamanya memperoleh label wisata halal. Hal ini penting dikaji jika melihat wacana pemerintah melakukan dominasi terhadap objek kuasanya melalui sektor ekonomi dan pariwisata. Karenanya, wacana wisata halal ini dapat ditinjau dengan menggunakan perspektif teori sosial post-modern Michael Foucault tentang diskursus dan kekuasaan: elite kuasa yang mampu menciptakan sebuah diskursus baru (wisata halal) untuk memperkuat dominasi politiknya. Kemudian dengan menggunakan perspektif Teori Baudrillard terhadap munculnya masyarakat konsumtif di NTB sebagai akibat komodifikasi modal dan dominasi dari para kapitalis. Kata Kunci: Komodifikasi, Wacana, Wisata, Halal ABSTRACT Halal tourism destination becomes the new brand for West Nusa Tenggara. Strong local ethnic and religious plurality obtain halal tourism label. It is important to assess if the government saw the domination of the discourse object of power through the economic and tourism sectors. Therefore, this discourse halal tourism can be evaluated using the perspective of post-modern social theory Michael Foucault discourse and power: the power elite that is capable of creating a new discourse (halal tourism) to strengthen its political dominance. Then, using the perspective of Baudrillard's theory of the emergence of consumerist society in NTB as a result of capital commodification and domination of the capitalists. Keywords: Commodification, Discourse, Tourism, Halal
19
Lombok yang pada saat ini semakin
PENDAHULUAN Wacana wisata halal, tampaknya telah
menjadi
trend
dalam
membentangkan sayapnya di dunia
ajang
pariwisata dunia.
promosi sektor pariwisata di Indonesia.
Hal
yang
kemudian
menjadi
Nusa Tenggara Barat yang sangat
kerisauan ialah: apa yang kemudian
terkenal
dan
menjadi substansi gelar destinasi halal
keindahan alamnya yang sangat eksotis
bagi Provinsi NTB. Apakah benar
tentu menarik para pelancong domestik
pemerintah akan berkomitmen untuk
bahkan luar negeri untuk menikmati
menciptakan lingkungan wisata yang
sensasi liburan di daerah yang terkenal
agamis dan halal atau hanya sebuah
dengan julukan daerah seribu mesjid.
jargon
dengan
kekayaan
Sebut saja pulau Lombok, yang menawarkan
keindahan
alam
atau
sebuah
dikomodifikasi
yang
kelompok
istilah
oleh
yang
kelompok-
kepentingan.
Selain
itu,
terbentang dari ujung timur hingga
counter wacana terhadap istilah wisata
ujung utara dengan destinasi wisata
halal di tengah pluralitas suku dan
yang
agama di NTB.
tidak
ada
habis-habisnya.
Memanjakan mata dengan pantai yang tak
berujung,
membawa
Seperti
kesejukan
kita
ketahui
bahwa
kelompok kepentingan, bahkan elite-
dengan bermain di bawah air terjun, dan
elite
memanjakan diri dengan berjemur atau
sebuah wacana atau diskursus baru
bersantai di pulau terkenal, yakni gili
untuk
matra (gili trawangan, gili meno, dan
(masyarakat) untuk memperkuat dan
gili air). Tentu tidak ada habis-habisnya
mempertahankan kekuasaan (Foucault,
jika membahas satu-persatu kekayaan
2000: 17). Selain itu, dunia yang serba
alam di Pulau Lombok ini. Tak
modern
ini
disangka dan tak diduga, NTB menjadi
realitas
semu
salah salah satu ikon pariwisata halal di
dalam label pariwisata. Pemerintah
Indonesia
(www.disbudparntb.com).
sebagai kalangan elite menawarkan
Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri
sensasi liburan bagi para pelancong luar
dari
Lombok agar mereka dengan senang
masyarakat
NTB,
terutama
20
politik
mampu
menggiring
memunculkan para
mencoba yang
non-elite
menyajikan
dikomodifikasi
hati dan tanpa sadar menghabiskan modal
mereka
demi
Struktur
mengonsumsi
“wisata
bahasa
halal”
dalam
dalam
frasa kajian
sensasi liburan yang tak terbayarkan di
strukturalisme bahasa dapat ditelisik
tempat lain, hanya ada di Pulau
lebih dalam dalam segi pemaknaannya.
Lombok. Ini merupakan hiperrealitas,
Dalam kajian strukturalisme milik De
realitas semu yang sengaja dibuat oleh
Saussure, selau tidak lepas dengan
kaum
mengeruk
terminologi signifier dan signified yang
sebesar-besarnya.
diartikan sebagai penanda dan petanda
Mengumpulkan pundi-pundi uang dan
(Pilliang, 2010: 47). Sebuah kata hanya
menjebak
dunia
dapat dimaknai jika telah menyatu
konsumsi, manipulasi tanda dan simbol
dengan realitas yang ada. Makna akan
yang tiada akhir (Baudrillard, 2012: 16).
terjalin jika bahasa telah bergabung
kapital
untuk
keuntungan
masyarakat
dalam
dalam sebuah relasi yang struktural dan tidak sejajar. Dalam konteks “tourism”, PEMBAHASAN
di satu sisi, kata “wisata” merupakan
Komodifikasi Wacana Wisata Halal
arena/tempat
untuk
menghabiskan
Makna wisata halal mungkin akan
waktu senggang, berlibur atau hanya
berbeda-beda bagi setiap orang. Ada
ingin menikmati keindahan alam. Selain
yang mengartikan sebagai penyajian
itu, kata “halal” adalah istilah yang
makanan dari bahan-bahan yang halal
sangat erat dengan relasi kehidupan
atau aturan perwisataan yang mengikuti
orang-orang Islam, selalu dikultuskan
tata
Islam
dan dikaitkan dengan ajaran agama dan
(Salehudin dan Luthfi, 2010). Makna
dalam kitab suci umat Islam. Relasi kata
dari frase ”wisata halal” ini sebenarnya
“halal”, memiliki makna yang sangat
sangat ambigu, tidak baku, bahkan
beragam, diantaraya konotas dalam hal
sangat membingungkan, karena tidak
makanan, mencari nafkah, dan lain
ada itnterpretasi makna yang bisa
sebagainya.
dijadikan
Semua
kedua kata tersebut berada pada relasi
orang bisa mengartikannya berbeda-
yang sangat timpang secara struktur
beda
pemaknaan, tetapi jika disandingkan
cara
dalam
pegangan
sesuai
syari’at
utama.
dengan
pemahaman
masing-masing.
Secara
struktur
bahasa
menjadi bentuk padanan frasa yang
21
baru, maka terminology “wisata halal”
diperkuat oleh bahasa. Bahasa mampu
bisa menjadi makna yang yang berbeda
menggambarkan
dari sebelumnya.
(Ritzer, 2012: 1035) Tentu saja jika kita
Wisata halal bermakna industri pariwisata
yang
ditujukan
wisatawan
muslim
realitas
sebenarnya
menyebut “wisata halal”, maka pikiran
untuk
kita akan langsung tertuju pada NTB
pelayanan
atau Pulau Lombok. Selanjutnya, siapa
merujuk pada aturan Islam. Artinya,
saja yang mampu menciptakan bahasa
pemerintah akan melarang aktor-aktor
atau wacana “wisata halal”, ia adalah
pariwisata menjajakan minuman yang
pihak yang memiliki dominasi kuasa
mengandung genre-genre yang berbau
atas rakyat, yakni pemerintah (Foucault,
non-islam, menyediakan fasilitas yang
2000: 13). Dalam kajian ilmu sosial,
terpisah antara laki-laki atau perempuan
realitas semacam ini merupakan sebuah
yang non-muhrim (bukan suami-isteri).
bentuk
dan
Ini adalah bentuk pertarungan
kontrol
penguasa
terhadap
masyarakat.
kuasa yang kabur dan melebur dalam
Pemerintah yang mengeluarkan
sebuah diskursus baru. Pihak kuasa
wacana tersebut, tentu tidak lepas dari
(pemerintah) sebagai kaum aristocrat
kepentingan politik. Secara kasat mata
masa ini mulai melancarkan bom-bom
mungkin tidak terlihat, tetapi diskursus
penghancur kebudayaan. Masyarakat
“wisata
akan terlena dan tenggelam dalam janji-
bentuk komodifikasi terhadap bahasa.
janji politis demi kesejahteraan rakyat.
Pemerintah
ingin
Oleh karenanya, untuk kesekian kalinya
nama
dengan
pemerintah telah berhasil memperkuat
halalnya, agar wisatawan domestik dan
jargon daerah “seribu mesjid” yang
mancanegara tertarik untuk berwisata
merupakan titik populer Pulau Lombok
dan menghabiskan capital di NTB.
sebagai corong pariwisata Indonesia .
Dengan tujuan tersebut, maka semakin
Namun,
banyak
perspektif
ilmu
sosial
halal”
NTB
merupakan
keuntungan
sebuah
memperkenalkan jargon
sosial,
wisata
politik,
menganalisis dengan cara yang berbeda.
bahkan ekonomi yang diraih hanya
Levi
dengan brand wacana “wisata halal”.
Strauss
strukturalisme struktur
dalam
seorang
ahli
mengamati masyarakat
teori bahwa dapat
22
Dalam perspektifnya, ia mencoba menarik relasi antara bahasa sebagai
Kuasa Kapitalis dalam Diskursus wisata Halal
wacana dan kekuasaan. Pihak penguasa yang
Nusa Tenggara Barat sebagai
memiliki
pengetahuan
salah satu corong pariwisata Indonesia,
mudah
bahkan kini telah menarik dan menjadi
terhadap masyarakat. Dunia pariwisata
magnet tersendiri bagi ikon pariwisata
memiliki aktor-aktor atau pemain yang
dunia. Dengan segala keindahan dan
sebagian besar adalah masyarakat yang
kenyamanan yang ditawarkan membuat
tidak memiliki pengetahuan yang tinggi,
semua orang akan terlena begitu saja.
dan dengan mudahnya teks-teks kuasa
Pemerintah dalam hal ini sebagai
tersebut didengungkan oleh pemerintah
penguasa tertinggi di daerah memegang
dengan
kuasa
Masyarakat dalam konteks kuasa dapat
penuh
akan
pengetahuan
melakukan
kontrol
akan
janji-janji
penuh
politisnya.
Mencoba
dikatakan sebagai kaum marginal atau
berbagai cara untuk menaikkan pamor
terpinggirkan. Secara politis, mereka
dan ikon populer daerah dengan cara
akan tunduk terhadap penguasa dengan
yang tidak biasa. Foucault, salah satu
segala
teoritisi
Wacana
kepariwisataan
daerahnya.
post-strulturalisme,
bahkan
instrumen yang
kekuasaannya.
dikeluarkan
dengan pemikiran yang sangat ekstrem
pemerintah
melihat kuasa bukan lagi menjadi milik
yang tak terbantahkan. Itulah realita
subjektif
kemampuan
yang terjadi dalam relasi kuasa. Relasi
mempengaruhi orang lain, seperti yang
kuasa akan selalu memproduksi dan
didefinikan oleh kaum weberian dan
mereproduksi hubungan yang timpang
Marxian. Ia telah melampaui dua narasi
secara
besar
kesejajaran dalam kuasa. Yang ada
atau
tersebut
dengan
analisisnya
merupakan
oleh
terus-menerus.
pembenaran
Tidak
ada
dan
hanyalah yang berkuasa akan terus
pengetahuan yang dapat melebur dan
berkuasa dan akan terus melakukan
berpencar dalam segala lini kehidupan,
hegemoni dan berwajah palsu ketika
baik ekonomi, sosial maupun budaya
berhadapan dengan masyarakat.
mengenai
kuasa
bahasa
Wisata halal kembali menjadi
(Foucault, 2002: 50).
panopticon gaya baru dalam dunia
23
postmodern ini. Panopticon merupakan
merugikan penguasa. Penguasa akan
kerangkeng kuasa atas relasi yang
selalu diuntungkan dalam setiap akting
timpang dalam setiap wacana yang
politiknya hingga pengetahuan yang
didengungkan oleh penguasa sebagai
memiliki makna real akan menguap
pembenaran aktifitasnya (Lubis, 2014:
menjadi
69).
2010: 79).
Dalam
dominasi
konteks
mulai
ini,
kepalsuan
(Ritzer,
oleh
Di balik kuasa pemerintah, tidak
pemerintah dengan alas an diskursif
lain berdiri kokoh para kapitalis yang
mengenai wisata halal. Kata-kata manis
merupakan pemilik modal sejati. Kuasa
tentang kesejahteraan dan kenyamanan
akan modal tidak lain merupakan
hidup masyarakat merupakan bentuk
manifestasi pengetahuan akan kontrol
matinya
yang
ekonomi. Investasi jangka menengah
oleh
dan jangka panjang menjadi lahan
pemerintah tidak lain ialah bentuk
empuk untuk mengeruk benefit sebesar-
negasi
besarnya. Hal ini bermakna bahwa
makna
sebenarnya.
Teks
(pernyataan
dilakukan
praktik
sebuah
bahasa pidato yang
tidak
sebenarnya) dari realitas yang ada.
kuasa
Dalam dunia diskursus, manusia tidak
menerus dengan relasi pengetahuan
lain adalah objek dominasi yang empuk.
sebagai panopticon tanpa suara (Ritzer,
Sudah bukan zamannya lagi penjajahan
2010:
dilakukan melalui kontak fisik maupun
memenjarakan
perang biologis. Kita berada pada ranah
wacana dan bahasa teks sebagai mimpi
perang psikologis, wacana, dan bahasa,
yang seolah nyata, dan ketika terbangun
dimana siapapun yang menguasai teks
masyarakat
telah
berubah
menjadi
kehidupan akan memiliki relasi yang
masyarakat
yang
sejahtera
walfare
besar dan tak terbatas untuk menguasai
state. Sama sekali tidak, kuasa akan
dunia. Wacana wisata halal di Nusa
terus menerus diproduksi sebagai janji
Tenggara Barat akan terus menjadi
belaka dan para kapitalis akan siap
wacana tanpa adanya tindak lanjut
membantu dan memikul rencana politis
terhadap kesejahteraan rakyat marginal.
para penguasa.
Tidak ada satupun konteks kepemilikan pengetahuan di dunia ini yang akan
24
akan
bergerak
103).
secara
Penguasa masyarakat
terus
akan dengan
memperdulikan keindahan asli dari
Hiperrealitas Konsumsi dalam Perkembangan Wisata di NTB
pantai yang mengelilingi sebagai besar
yang
wilayah Nusa Tenggara Barat. Kini,
dulunya tidak populer seperti saat ini
wisata-wisata tersebut telah berubah
merupakan daerah yang yang sangat
menjadi
sepi
bahkan
bahkan homestay yang seharusnya tidak
wisatawan asing. Keindahan alamnya
ada dalam lingkungan wisata. Keasrian
yang
dan
Nusa
Tenggara
akan sangat
Barat
pengunjung asri
hanya
menjadi
hotel-hotel,
keindahannya
penginapan,
sekarang
sudah
konsumsi sehari-hari masyarakat asli
tercemar
dan
tergantikan
dengan
daerah tersebut. Hingga suatu saat
gedung-gedung
bertingkat
yang
investor asing mulai melirik panorama
memanjakan tourist dan wisatawan
dan keindahan pariwisata yang sangat
domestik yang sekedar ingin berlibur
memikat dan akan mengalahkan pamor
dan memanjakan diri.
Bali sebagai ikon utama pariwisata
Realitas telah melebur menjadi
Indonesia. Kaum kapitalis yang mulai
realitas semu. Kegiatan wisata tidak lain
tertarik akan tanah Nusa Tenggara Barat
merupakan sebuah bentuk simulasi
mulai merasakan adanya potensi besar
tanda yang mengaburkan antara realitas
bagi
sebenarnya, hingga menjadi citra, tanda,
keuntungan
modal
investor.
Mereka mulai memilih dan menjadikan
dan
wisata
Wisatawan
ekologi
tersebut
sebagai
simbol
(Lubis, kini
telah
2014:
174).
dimanjakan
komoditas baru, yang dengannya akan
dengan aktifitas, yang pada hakikatnya
meraup benefit yang tak terkira.
ialah konsumsi tanda. Kegiatan wisata
Ini adalah realita yang disebutkan
bukan lagi menjadi kegiatan sekedar
Baudrillard sebagai realitas semu dan
berlibur, rileks, bahkan melepas penat.
bentuk
ekstasi
Lebih daripada itu, ia menjadi arena
konsumerisme (Pilliang, 1998: 249).
konsumsi dan reproduksi tanda sebagai
Makna keindahan alam yang harusnya
cerminan identitas dan simbol status
alami dan tanpa permainan uang kini
(Hidayat, 2012: 63). Tidak heran jika
telah menjadi
para wisatawan rela menghabiskan gaji
alienasi
dalam
asing dari alam dan wisata
bahkan uang tabungannya hanya untuk
besar-besaran. Para investor tidak lagi
bersantai dan menikmati liburan di
berubah
menjadi
komoditas
25
pulau terpencil. Apa yang igin mereka
dengan tipu muslihat tanda, citra, dan
tunjukkan? Tidak lain ialah pemilik
makna yang menyisakan kehampaan
modal
ekonomi
makna dan realitas semu belaka. Dalam
dominan, dengan uang yang mereka
dunia simulacra, realitas semu terus
miliki mereka akan memanjakan tubuh
diproduksi,
dan terhindar dari kepenatan dunia.
menguap realitas
Masyarakat
yang
Sebut saja media, iklan, bahkan televisi
menjadikan wisata sebagai life style
yang menjanjikan dan menayangkan
baru, tidak lain merupakan bentuk trend
ekstasi tak terkira berlibur di pulau-
dari dunia simulacra yang disebut
pulau tak berpenghuni. Hingga kini
sebagai dunia silang-sengkerut tanda
kebiasaan tersebut
dan simbol. Melakukan kegiatan liburan
masyarakat postmodern saat ini. Paket
bukan lagi hanya sekedar kebutuhan
wisata lengkap, beserta guide dan
yang diasosialikan oleh Karl Marx
tawaran-tawaran
sebagai nilai guna, tetapi telah berubah
timbulnya
hasrat
untuk
makna menjadi nilai tanda dan simbol
konsumsi
yang
sebenarnya
berdasarkan
Baudrillard
dibutuhkan. Kita kini telah terlena
(Hidayat, 2012: 60). Ia menolak dengan
dengan bujuk rayu media dan iklan.
keras pola pikir Marx yang hanya
Dalam kondisi seperti ini teknologi
mengagung-agungkan aktifitas produksi
(cyberspace) telah menjadi obsesi yang
di kala zaman feodal berlangsung.
lebih nyata dibandingkan kesadaran itu
oleh
kelompok
pada
zaman
kajian
ini
Kini dalam dunia postmodern,
sehingga
kabur
dan
yang sebenarnya.
menjadi
lain
habitus
membuat melakukan tidak
sendiri (Pilliang, 2004: 13).
simbol dan status sosial bukan hanya
Kini,
masyarakat
konsumsi
melekat pada uang dan modal, bahkan
sedang berada pada pusaran realitas
telah
tidak sebenarnya, yakni hiperrealitas.
melebur
masyarakat
menjadi
konsumsi
identitas
dewasa
ini.
Hiperrealitas
ialah
sebuah
kondisi
Masyarakat telah terjun lebih dalam
realitas yang merupakan timbal-balik
pada dunia ekstasi yang kehilangan
yang dihasilkan oleh era simulasi dan
makna
dunia
dan
fungsi
komoditas
simulacra.
era
simulasi
sebenarnya. Mereka terjun pada dunia
merupakan
simulacra, yakni dunia yang penuh
tanda dan simbol hingga tak ada definisi
26
sebuah
Jika
meleburnya
yang jelas antara realitas dan realitas
NTB di Tengah Pluralitas Suku dan
buatan, sedangkan simulacra merupakan
Agama
dunia pertarungan tanda dan simbol.
Keragaman suku, budaya, dan
Simulacra dapat terjadi dalam arena
agama
yang
keunikan
bermacam-macam,
seperti
di
NTB
memang
tersendiri
di
menjadi
daerah
ini.
kegiatan konsumsi yang dapat membaur
Pasalnya, semua jenis suku dan agama
dalam dunia pariwisata. Padahal dalam
hidup berdampingan satu sama lain.
konteks Karl Marx, kegiatan konsumsi
Daerah NTB dapat dikatakan sebagai
hanya dapat berbentuk relasi antara
daerah yang sangat jarang adanya
komoditas
Tetapi,
konflik agama ataupun suku. Walaupun
komoditas
beberapa waktu lalu terdengar konflik
kehilangan bentuk objeknya. Ia dapat
antar-agama ataupun suku yang terjadi
berupa sesuatu yang abstrak bahkan tak
akibat adanya gesekan kepentingan
dapat tersentuh sekalipun. Hiperrealitas
individu yang berujung pada konflik
yang merupakan bentukan simulasi dan
sosial. Secara keseluruhan, daerah ini
simulacra mengakibatkan terhapusnya
termasuk kawasan yang tentram dan
antara yang nyata dan bercampur-baur
damai. Hal ini dibuktikan semakin
dengan sesuatu yang semu dan imajiner
banyaknya
wisatawan
(Lubis, 2014: 178). Ia dalam kondisi
menyempatkan
diri
yang sudah tidak mampu melakukan
bahkan
definisi terhadap realitas. Hanya mampu
senggangnya.
melakukan representasi yang tidak logis
“Wisata
dalam
terhadap
dan
dunia
kebutuhan. simulacra,
Perilaku
untuk
menghabiskan halal”
berlibur waktu
yang
menjadi
dalam
brand baru-baru ini bagi Provinsi NTB
merupakan
ialah angin segar bagi pemerintah
akumulasi dari konsumsi tanda dan
maupun masyarakatnya. Namun, tidak
simbol yang melekat pada terminologi
dapat dipungkiri akan menimbulkan
pariwisata. Padahal hakikatnya, hanya
konflik sosial dalam masyarakat. Sebut
berupa
status,
saja Pulau Lombok yang selalu menjadi
prestige, dan kepuasan akan bujuk rayu
primadona wisata akhir-akhir ini sangat
kapitalis dalam ikon-ikon pariwisata.
disanjung
oleh
berbagai
capaiannya.
kegiatan
realitas.
yang
konsumtif
perwujudan
simbol
27
pemerintah
dengan
Penyediaan
infrastruktur dan sarana lainnya tentu
terjadinya
semakin
eksternal suku dan agama di NTB.
membuat
Pulau
Lombok
konflik
internal
maupun
bersinar di dunia pariwisata. Sementara, Pulau Sumbawa yang tidak kalah
KESIMPULAN
fantastis dan indah pariwisatanya tidak
“Wisata halal” menjadi angin segar bagi
begitu dilirik oleh wisatawan, karena
masyarakat
masih minimnya informasi, promosi,
mempromosikan wisata NTB di mata
bahkan infastruktur atau sarana wisata
dunia memang patut untuk diacungi
yang belum memadai.
Ini artinya
jempol. Namun, wacana tersebut juga
adanya kesenjangan yang sangat lebar
dapat berupa kepentingan politis bagi
antara
Pulau
pemerintah untuk mengontrol modal di
Sumbawa. Seolah-olah Pulau Sumbawa
daerah. Hal ini merupakan bentuk
tidak begitu menarik bagi investasi
dominasi penguasa terhadap rakyat,
daerah jangka panjang.
yakni siapa yang mampu melakukan
Pulau
Lombok
dan
NTB.
Kiat
pemerintah
Secara tersirat, deskriminasi suku
komodifikasi terhadap wacana, maka ia
juga terlihat, jika kita mengkajinya
akan mendapat kontrol penuh terhadap
dalam perspektif ilmu sosial. Daerah
objek kuasanya. Selain itu, pluralitas
NTB yang didiami oleh mayoritas suku
agama dan suku di NTB tidak dapat
sasak tentu menjadi pertimbangan bagi
diabaikan begitu saja. Kepentingan
pemerintah untuk akan lebih berpihak
politis
pada kelompok mayoritas. Begitu juga
komunitas tertentu akan menimbulkan
dari sisi agama, mayoritas pemeluk
kecemburuan dan konflik sosial yang
agama Islam yang mendiami daerah
akan
NTB
kesatuan daerah.
menyebabkan
pemerintah
mengeluarkan wacana “wisata halal”. Beberapa keberpihakan pemerintah ini pasti akan menimbulkan kecemburuan sosial terhadap agama ataupun suku yang lain. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah
lebih
netral
dan
adil
terhadap pluralitas untuk menghindari
28
dan
keberpihakan
mengancam
terhadap
keutuhan
dan
Pilliang, Yasraf Amir. (1998). Sebuah
REFERENSI Author. (2016). Wisata Halal Aktivitas
Dunia yang Dilipat: Realitas
Berketuhanan dan Berkelanjutan
Kebudayaan Menjelang Milenium
[Online].
Ketiga
Tersedia
di
dan
http://ww.w.disbudpar.ntbprov
Postmodernisme.
.go.id/wisata-halal-aktivitas-
Mizan.
berketuhanan-dan berkelanjutan. Baudrillard,
J.
(2015).
_________________.
Masyarakat
Tuhan
Wahyunto.
Grasindo.
Kreasi
Wacana. Foucault,
Bandung: (2004).
Dunia
yang Berlari: Mencari Tuhan-
Konsumsi. Diterjemahkan oleh Bantul:
Matinya
Digital.
Jakarta:
PT.
_________________. (2010). Semiotika
M.
(2000).
Seks
dan
dan Hipersemiotika: Kode Gaya,
Kekuasaan. Diterjemahkan oleh
dan Matinya Makna. Jakarta:
Rahayu S. Hidayat. Jakarta: PT
Matahari.
Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer,
__________.(2002). Wacana
Diterjemahkan
Oleh
Yudi
_______. (2012). Teori Sosiologi: Dari
Bentang
Klasik
Budaya. Aginta.
(2012).
Rentang
Salehudin
Pemikira
Baudrillard.
Yusuf.
Postmodernisme:
Teori
dan
Marketing Labeling
Yogyakarta: Jalasurta. Akhyar
Perkembangan Postmodern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Modernisme:
Postmodernisme Lubis,
Sampai
Terakhir
Menggugat Mengenali
Sosial
Kreasi Wacana.
Yogyakarta:
Medhy
Teori
Muhammad Taufik. Yogyakarta:
Kuasa/Pengetahuan.
Hidayat,
(2010).
Postmodern. Diterjemahkan oleh
Power/Knowlwdge:
Santosa.
G.
Luthfi. Impact toward
(2010). of
Halal
Indonesian
Muslim Consumer’s Behavioral (2014).
Intention
Based
on
Ajzen’s
dan
Planned Behavior. Proceeding of
Metode. Depok: PT. Rajagrafindo
5th International Conference on
Persada.
Business
29
and
Management
Research (ICBMR), Presented 4th August 2010, Depok‐Indonesia.
Tentang Penulis: Hafizah Awalia adalah Mahasiswa Magister Sosiologi di Universitas Airlangga. Gadis asal Sumbawa ini menyukai kajian Perilaku Konsumsi Masyarakat dan kajian – kajian Postmodernisme
30