JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI
Volume 1, Nomor 2 Maret 2015
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106 Volume 1, Nomor 2 Maret 2015 Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti PENGARAH Prof. Dr. I Wayan Koyan, M.Pd Dr. Yohanes Vianey Sayangan, M.Si
PENYUNTING BAHASA INDONESIA Ely Firdaus, M.Pd Dra Veronika Ulle Bogha, M.Si
PENANGGUNG JAWAB Dimas Qondias, S.Pd.,M.Pd
PENYUNTING BAHASA INGGRIS Ferdinandus Samri, SS.,M.Pd Maria Desidaria Noge, M.Pd
KETUA PELAKSANA HARIAN Melkior Wewe, M.Pd SEKRETARIS PELAKSANA HARIAN Marsianus Meka, S.Pd.,M.Pd DEWAN REDAKSI Ketua Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd Anggota Ermelinda Yosefa Awe, S.Sos, M.Pd Maria Patrisia Wau, SE., M.Pd
EDITING Konstantinus Dhua Dhiu, SH, M.Pd Bernardus Keo Siga, S.Kom BENDAHARA Yosefina Uge Lawe, S.Si, M.Pd Maria Inviolata K.M Nau, M.Pd TATA USAHA DAN SIRKULASI Siswanto, M.Pd Regina Sesilia Noy, S.Pd.,M.Fis Ekolodang Januarisca, M.Pd Philipus Wunggo Kaka, M.Pd Wili Baldus Bhoke, S.Pd.,M.Pd
JIP terbit sekali dalam setahun (Maret) Alamat Redaksi : JLN. Bajawa-Ende, Malanuza, Kec, Golewa, Kab. Ngada-Flores-NTT E-Mail:
[email protected]
WACANA
Pembaca yang budiman, edisi ini adalah penerbitan kedua Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STKIP Citra Bakti Ngada. Pada terbitan kedua ini diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, khususnya dalam upaya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan ilmu pendidikan melalui publikasi ilmiah secara berkala. Penerbitan Jurnal ini dilaksanakan setahun sekali yaitu pada bulan maret. Pada penerbitan kedua ini menyajikan 10 artikel sebagai berikut: (1) Pengembangan Model Pelatihan Moral Politik Bagi Mahasiswa PMKRI Berbasiskan Refleksi (Penulis Yohanes Vianey Sayangan); (2) Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar IPS Pada Siswa Kelas IV SDI Dolumolo Tahun Pelajaran 2013/2014 (Penulis Maria Patrisia Wa’u); (3) Pemetaan Tingkat Kecintaan Generasi Muda Suku Ngada Pada Pesta Adat Reba di Era Globalisasi (Penulis Dimas Qondias, Florentianus Dopo); (4) Penggunaan Media Berbasis Budaya Lokal Dalam Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Pemahaman Konsep IPA Siswa Sekolah Dasar (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana, Fransiska Wawe); (5) Representasi Lesbian, Gay dan Transgender Dalam Antologi Cerpen Penjara: Sebuah Tinjauan Sosiopragmatik (Penulis Nyoman Deni Wahyudi, Luh Ketut Sri Widhiasih); (6) Strategi Penyampaian Tuturan Direktif Siswa Dalam Pembelajaran di Kelas (Penulis Ni Wayan Eminda Sari, Ida Ayu Made Wedasuari); (7) Pemetaan Masalah Mahasiswa Dengan Kemampuan Berbicara (Penulis Luh Ketut Sri Widhiasih, Nyoman Deni Wahyudi); (8) Interferensi Struktur Kalimat Luas Berunsur Keterangan Bahasa Laura Dalam Bahasa Indonesia Tulis Siswa Kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya (Penulis Pelipus Wunggo Kaka); (9) Pembelajaran Kontekstual Berbantuan LKS Dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep IPA dan Aktivitas Belajar SIswa SD (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana, Katarina Rabu). Demikian wacana ini dikemukakan untuk dapat digunakan sebagai bahan renungan ilmiah bagi para pembaca.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106 Volume 1, Nomor 2 Maret 2015 Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti DAFTAR ISI Halaman Yohanes Vianey Sayangan. Pengembangan Model Pelatihan Moral Politik Bagi Mahasiswa PMKRI Berbasiskan Refleksi
1
Maria Patrisia Wa’u. Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar IPS Pada Siswa Kelas IV SDI Dolumolo Tahun Pelajaran 2013/2014
13
Dimas Qondias, Florentianus Dopo. Pemetaan Tingkat Kecintaan Generasi Muda Suku Ngada Pada Pesta Adat Reba di Era Globalisasi
22
Dek Ngurah Laba Laksana, Fransiska Wawe. Penggunaan Media Berbasis Budaya Lokal Dalam Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Pemahaman Konsep IPA Siswa Sekolah Dasar
27
Nyoman Deni Wahyudi, Luh Ketut Sri Widhiasih. Representasi Lesbian, Gay dan Transgender Dalam Antologi Cerpen Penjara: Sebuah Tinjauan Sosiopragmatik
38
Ni Wayan Eminda Sari, Ida Ayu Made Wedasuari. Strategi Penyampaian Tuturan Direktif Siswa Dalam Pembelajaran di Kelas
50
Luh Ketut Sri Widhiasih, Nyoman Deni Wahyudi. Pemetaan Masalah Mahasiswa Dengan Kemampuan Berbicara
59
Pelipus Wunggo Kaka. Interferensi Struktur Kalimat Luas Berunsur Keterangan Bahasa Laura Dalam Bahasa Indonesia Tulis Siswa Kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya
65
Dek Ngurah Laba Laksana, Katarina Rabu. Pembelajaran Kontekstual Berbantuan LKS Dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep IPA dan Aktivitas Belajar SIswa SD
79
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN MORAL POLITIK BAGI MAHASISWA PMKRI BERBASISKAN REFLEKSI Yohanes Vianey Sayangan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebutuhan pelatihan moral politik. Pelatihan moral politik dirancang sebagai pendekatan penelitian dan pengembangan bagi mahasiswa dalam Ormas PMKRI yang merupakan calon pemimpin bangsa. Kegiatan pelatihan moral politik menggunakan model Borg dan Gall yang dikombinasikan dengan model refleksi Gibs. Ciri khas dari kombinasi kedua model tersebut terletak pada penggunaan model refleksi dalam penelitian ini. Adapun tahapan pengembangan dalam penelitian ini menggunakan steps of system approach models of educational Research and development. Kegiatan evaluasi formatif difokuskan pada pendekatan refleksi sebagaimana yang di disain dalam strategi pelatihan dan dikembangkan dalam bahan pelatihan. Bahan pelatihan merupakan produk akhir dari model ini. Hasil penelitian menunjukkan adanya kemerosostan dan hancurnya praktek politik di negeri ini yang dilakoni oleh para politisi, birokrat pemerintah. Publik tidak percaya dengan para politikus yang berada di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kepercayaan publik menurun seiring dengan banyaknya perilaku elit politik yang menyimpang. Kata kunci: moral politik, penelitian dan pengembangan, refleksi, pelatihan
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 1
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
THE DEVELOPMENT MODELS OF MORAL POLITICS FOR PMKRI ORGANISATION BASED REFLECTION Abstract This Research and Development (R and D) study is designed to develop the suitable model for the needs of the moral political training. This moral political training is indeed created for the university students who join the PMKRI mass organization. As a matter of fact, they are the leader candidates of our nation. For that reason, this research is very important for them. In addition, this moral political training activities use the combination of Borg and Gall Model and Gibs’ Reflection Model. The prominent characteristic of this combined model lies on the usage of reflection model of the study. On the other hand, the development stages of this research requires what so called steps of system approach models of educational Research and Development. Also, the formative evaluation activities put emphasis on the reflective approach designed in the training strategy and developed in the training material. In the end, this sort of material plays as the final result of the model. The outcomes of this study leads to the political practice degradation in Indonesia by politicians and bureaucracy government. People felt distrust with performance of official in legislative, executive and yudicative organization. Public have a low trust to the politician where they too do deviation in political attitude. Keywords: moral political, research and development, reflection, training PENDAHULUAN Idealnya (das sollen), konsep moral politik sudah merupakan bagian integral dalam program pelatihan dan pendidikan moral politik bagi mahasiswa dalam Ormas PMKRI sebagai satu bentuk impertaif kategoris. Pendidikan politik yang telah dilaksanakan dalam Ormas PMKRI sifatnya lebih pada aspek pengetahuan umum yang berkaitan dengan sistem dan tatanan politik kenegaraan yang sudah baku dan umum (taken for granted). Sedangkan, pendidikan politik yang bersifat spesifik untuk menjawab persoalan dekadensi moral di bidang politik, belum mendapat perhatian khusus dalam Ormas PMKRI. Konsep moral politik itu penting untuk diketahui melalui program pendidikan dan pelatihan, sebagai pisau analisis untuk mendalami persoalan degradasi moral politik bangsa ini. Praktek politik awalnya diartikan sebagai estetis sekaligus etika, dalam artian politik itu seni mengelola kekuasaan dan mengarahkan kekuasaan untuk kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune). Moral dan politik tidak dapat dipisahkan dalam praktek politik dan pemerintahan. Politik berkaitan dengan urusan publik. Dalam konteks itulah, baik politik maupun moralitas memiliki hubungan dengan urusan manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Dalam
kebersamaan,
manusia
sebagai
individu
menemukan
jati
diri
kesosialitasan, dan peran moral dituntut sebagai panduan, dan dalam kesosialitasan politik itu tumbuh dan berkembang dan saling mempengaruhi manusia. (Finbrarr, 20102:1)
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 2
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Moral dan politik memiliki hubungan keterkaitan yang utuh dan tak terpisahkan. Terdapat kaitan erat antara keduanya. Hubungan antara politik dan moral dapat ditemukan dalam pernyataan berikut ini: The individual acts according to his morals, and through his actions, he affects others and is thus political. Politics belongs to the public. The public’s collective opinions determine policies, and through these policies, the individual is affected. (Lipson, 2012 :3). Dari pernyataan di atas, nampak jelas, bahwa individu bertindak berdasarkan moral. Politik memiliki katannya dengan urusan publik. Moral dan politik berkaitan erat dalam mempengaruhi tindakan manusia. Politik mengandaikan moral dalam menentukan kebijakan yang mempengaruhi individu manusia. Moralitas politik dapat dibangun dan disosialisasikan sebagai bagian integral dalam diri mahasiswa Ormas PMKRI melalui program pendidikan dan pelatihan. Pelatihan merupakan bentuk program pendidikan androgogi. Androgogi menekankan partisipasi para peserta dalam menetapkan tujuan pembelajaran dan menentukan kebutuhan belajar (instructional objectives and defining their own learning needs). Pelatihan moral politik diarahkan untuk membentuk dan mengembangkan pola sikap yang berkarakter melalui pendekatan refleksi. Refleksi merupakan aspek fundamental dalam kegiatan pelatihan moral politik. John Dewey menawarkan fundasi filosofis bagi peran refleksi dalam proses pembelajaran sebagai jembatan antara pengalaman dan teori. (Bringle dan Hatcher, 2006:114). Dijelaskan bahwa pengalaman personal, sebagaimana yang diperoleh melalui pelayanan komunitas, memberikan ruang bagi teori untuk melakukan pengartian (meaning) jika refleksi mendukungnya dengan satu analisis terhadap satu pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman merupakan hal yang penting sebagai teori. Peran refleksi dalam proses belajar dilihat sebagai jembatan antara pengalaman dan teori. Pengalaman personal, yang diperoleh melalui pelayanan komunitas,memungkinkan teori untuk mengambil pengertian ketika refleksi mendukung suatu analisis dan uji kritis atas pengalaman. Dewey berpendapat bahwa pengalaman itu penting seagai teori. Keseluruhan uraian konsep, data, informasi dan permasalahan pada latar belakng tersebut itulah yang menjadi dasar pemikiran penulis, untuk melakukan penelitian dalam rangka mengembangkan model pelatihan moral politik bagi Generasi Muda Ormas PMKRI. Model pelatihan moral politik yang dirancang merupakan model kombinasi antara model Borg dan Gall dengan model refleksi Gibs. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai model yang dihasilkan untuk pendidikan dan pelatihan moral politik yang berbasiskan refleksi. dalam rangka membangun karakter generasi muda pada Ormas PMKRI.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 3
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Sedangkan tujuan khusus dari peneltian ini adalah untuk: (1) Mendeskripsikan fenomena moral politik yang sedang berlangsung dalam kalangan generasi muda Ormas PMKRI dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. (2) Menemukan model pengembangan pelatihan moral politik yang tepat dan relevan dengan konsep moral politik yang dapat diterapkan bagi generasi muda Ormas PMKRI. METODOLOGI Penelitian ini merupakan bentuk penelitian dan pengembangan
pendidikan
(Educational Research and Development (R&D) atau Research-Based Development) khususnya berupa produk program pelatihan. Penelitian dan pengembangan dalam penelitian ini di adaptasi dari Borg, Walter R. dan Gall. (1983:772) Research and development is an industry – based development model in which the findings of research are used to design new products and procedures, which the are systematically field- tested, evaluated and refined until they meet specified criteria of effectiveness, quality, or similar standars. Borg dan Gall (1983:772) juga mendefinisikan Research and development is the process of researching consumer needs and then developing products to
fulfill those needs. The
products : Training materials, learning materials, media aterials, management systems. Langkah-langkah proses penelitian dan pengembangan menunjukkan suatu siklus, yang diawali dengan adanya analisis kebutuhan yang membutuhkan pemecahan dengan mengunakan produk tertentu. Dalam pengembangan model, terdapat 10 langkah, berdasarkan steps of system approach model of educational research and development oleh Borg dan Gall dalam membuat langkah-langkah pengembangan model sebagimana dalam Gambar 1. CONDUCT INSTRUCTIONAL ANALYSI
ASSESS NEEDS TO INDETIFY GOAL (S)
\
WRITE PERFORMANCE OBJECTIVES
CONDUCT INSTRUCTIONAL ANALYSIS
REVISE INSTRUCTION
DEVELOP ASSESSMENT INSTRUMENT
DEVELOP INSTRUCTIONAL STRATEGY
DEVELOP AND SELECT INSTRUCTIONAL MATERIALS
DESIGN AND CONDUCT FORMATIF EVALUATION OF INSTRUCTION DESIGN AND CONDUCT SUMMATIVE EVALUATION
Gambar 1. Langkah-langkah Pengembangan Model Dalam prosedur pengumpulan data, Creswell (2012:212) berpendapat bawa penelitian kualitatif terbagi dalam 4 tipe dasar yaitu observations, interviews, documents dan visual images. Prosedur pengumpulan data menggunakan teknik wawancara bebas tak berstruktur, pengamatan berperanserta dan telaahan dokumen berdasarkan data yang
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 4
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
bersumber dari kata-kata dan tindakan nara sumber, sumber tertulis, field notes, peta dan data dari sumber lain. Analisis data adalah teknik membuat data itu dapat dimengerti sehingga apa yang dihasilkan bisa dikomuikasikan kepada orang lain. Creswell (2012:212) mengemukakan 6 (enam) tahapan proses penanalisis data yang menjadi acuan dalam proposal penelitian ini yaitu: (1) mengorganisasi dan mempersiapkan data untuk di analisa. (2) pillih satu dokumen (misal: satu hasil wawancara), yang menarik dan singkat. (3) membuat daftar untuk semua topik-topik, kumpulan topik-topik serupa. (4) buat daftar dan kembali kedata. (5) cari kata yang lebih deskriptif untuk topik tersebut dan gunakan dengan katagori. 6) tahap akhir dalam analisis data termasuk membuat analisis dan penafsiran data yang dilakukan secara terpadu HASIL DAN PEMBAHASAN Ada tiga tahapan penelitian dalam menerapkan langkah-langkah model Borg dan Gall, yakni pertama, tahapan identifikasi. Tahap ini mencakup identifikasi kebutuhan dan tujuan pelatihan, analisis pelatihan, serta mengidentifikasi perilaku dan karakterisitik awal pelatihan. Kesimpulan yang diperoleh dari analisis kebutuhan adalah bahwa pendidikan politik yang dilaksanakan dalam Ormas PMKRI sifatnya lebih pada aspek pengetahuan umum yang berkaitan dengan sistem dan tatanan politik kenegaraan yang sudah baku dan umum (taken for granted).
Sementara, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dalam
pergerakan dan praktek serta praksis perpolitikan dan berpemerintah yang penuh dengan intrik negatif seperti pencurian dan perampokan uang rakyat atau praktek korupsi, penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, suap menyuap yang telah menjadi sebuah habitus dalam diri politisi, birokrat pemerintah dilukiskan sebagai dekadensi moral, moralitas politik bangsa belum mendapat perhatian Ormas PMKRI. Jadi, aspek pendidikan moral politik sebagai upaya untuk pembangunan karakter generasi muda untuk Ormas PMKRI belum dijalankan secara spesifik. Dari langkah mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta pelatihan moral politik ditemukan fakta bahwa generasi muda yang berorganisasi dalam Ormas PMKRI memiliki minat di bidang politik. Mahasiswa dalam Ormas PMKRI selalu concern dengan berbagai persoalan politik di tanah air. Salah satu persoalan yang sedang menjadi perhatian dan prihatin adalah masalah kemerosoton moral di bidang politik yang ditandai dengan kasus kejahatan dan penyelewengan perilaku tidak bermoral seperti korupsi, suap dan lain-lain. Kedua, tahap pengembangan. Tahap ini terdiri dari langkah merancang strategi pelatihan dan mengembangkan bahan pelatihan. Strategi pelatihan merupakan fokus dari pelatihan moral politik yang berbasiskan refleksi. Pelatihan moral politik adalah bentuk pelatihan androgogi (androgogy). Pelatihan yang diarahkan untuk perubahan sikap orang dewasa. Oleh karena itu, peserta pelatihan moral politik adalah mahasiswa PMKRI yang memenuhi kriteria sebagai orang dewasa.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 5
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Metode yang digunakan dalam mata diklat moral politik, berangkat dari hal-hal umum, yakni bertitik tolak dari pemikiran dan teori. Teori akan diperkuat dan diterang secara konkret dengan bergerak menuju fakta atau figure dan prototype ketokohan. Maka metode deduktif yang menjadi titik bergeraknya. Tidak menutup kemungkinan bahwa metode induktif dengan teknik naratif eksperiensial, contoh, fakta yang dapat digunakan dalam program pelatihan moral politik untuk dapat menjelaskan prinsip-prinsip moral dalam politik yang abstarak sifatnya. Faktor media juga memegang peran penting dalam upaya mempermudah pelaksanaan program pelatihan moral politik. Media dan alat digunakan untuk meluncurkan pesan atau informasi berupa pengetahuan, pengalaman dari pengirim kepada penerima pesan. Pengirim dan penerima pesan itu bisa berupa manusia yaitu fasilitator dan peserta pelatihan moral politik. Sedangkan media yang digunakan dapat berupa alat elektronik, gambar, buku, dan lainnya. Dalam pelatihan moral politik, aspek penting yang menjadi fokus dalam kegiatan pelatihan moral politik adalah refleksi dalam tahap latihan. Refleksi menjadi kunci kegiatan refleksi. Refleksi dijalankan dalam bentuk diskusi kelompok dan dalam bentuk individu. Selain metode deduktif, karena titik tolaknya mulai dengan pemikiran kritis, teoritis dan diperkuat dengan pengalaman, contoh keteladanan hidup, metode dalam pelatihan ini juga menggunakan sharing
pengalaman, fakta dan kenyataan mengenai peristiwa konkret
kehidupan perpolitikan tanah air sebagai basisnya. Tujuannya, adalah menggali pengalaman nyata dan mengungkapkan pengalaman tersebut sebagai fenomenologi yang akan direfleksikan. Metode diskusi juga mendapat tempat strategis dalam pelatihan moral politik. Tujuannnya, agar ada interaksi dari para peserta pelatihan untuk menggali, menganalisis atau memperdebatkan topik yang akan disajikan dalam pelatihan melalui pendekatan refleksi. Adapun tahapan refleksi dalam kegiatan pelatihan moral politik dapat dikonstruksi, sebagai mana pada gambar 2. Memba ca petunju k diskusi kelomp ok Menyusun Laporan Hasil Refleksi Diri: penghayat an sikap, pembentuka n diri
Menyimak daftar pertanyaan
Mela ksana kan disku si kelo mpok
Menyusun
Mela kuka n
refle
laporan hasil diskusi kelompok
ksi diri
Gambar 2. Tahapan Refleksi JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 6
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Strategi pelatihan yang dirancang atas dasar pendekatan refleksi, menjadi dasar untuk menyusun bahan pelatihan. Bahan pelatihan yang disusun untuk kebutuhan pelatihan bagi para peserta pelatihan, merupakan tahapan terakhir untuk melakukan evaluasi formatif. Ketiga, tahap Evaluasi : Berbasiskan Refleksi. Tahap evaluasi formatif dimulai dengan mereview bahan pelatihan dalam tahap one – to – one oleh para pakar di bidang konten, di bidang desain pembelajaran dan media. Hasil penilaian para pakar yang telah direvisi kemudian dinilai oleh one – to – one leaners, yaitu 3 mahasiswa dari PMKRI. Hasil penilian oleh one – to – one leaners yang telah direvisi akan dilakukan uji coba kepada kelompok kecil (small group). Kegiatan refleksi dalam evaluasi formatif terdapat dalam tahapan evaluasi small group dan tahapan uji lapangan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam dua kegiatan, yaitu kegiatan diskusi kelompok dan kegiatan refleksi secara pribadi. Membaca petunjuk diskusi kelompok
Menyusun Laporan Hasil Refleksi Diri: penghayatan sikap, pembentukan diri
Menyimak daftar pertanyaan
Melaku kan refleksi diri
Melaksan akan diskusi kelompok
Menyusun laporan hasil diskusi
kelomp ok
Gambar 3. Tahapan Diskusi Kelompok Diskusi kelompok menunjukkan dinamika dan proses dialektika yang mengemukakan adanya argumentasi solutif. Dalam artian, setiap anggota kelompok begitu aktif menanggapi pertanyaan pendalaman akan masalah yang disodorkan. Diskusi dan pembahasan kelompok mengenai pertanyaan yang diajukan oleh instruktur menimbulkan keragaman jawaban dari setiap kelompok. Dalam diskusi kelompok, muncul dinamika dialektika yang sifatnya argumentif - solutif. Jawaban anggota kelompok dapat ditanggapi berbeda, ada yang mendukung, tetapi kebanyakan disanggah dan ada yang mampu menyimpulkan (terjadi proses tesis, antitesis, dan sintesis). Itulah proses diskusi yang diidentikan sebagai dialektika yang sifatnya argumentif - solutif. Dari hasil pengamatan terhadap proses diskusi kelompok, hampir nampak kemiripan dinamika diskusi untuk setiap kelompok. Jawaban atas pertanyaan ditanggapi beragam dan berbeda bahkan ada yang saling menyanggah dengan dasar argumentasi yang logis dan rasional, sehingga jawaban anggota kelompok saling memperkaya melalui koreksi oleh
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 7
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
teman diskusi dalam kelompok. Bahkan yang terjadi adalah apa yang disebut dengan corectio fraternal. Dari hasil pengamatan terhadap diskusi kelompok, diperoleh ha-hal baru yang digali dari refleksi diri, berdasarkan aspek keaktifan, kerja sama, kontribusi pendapat dan kedalaman pembahasan. Soal kedalaman pembahasan, menjadi hal khusus. Pertanyaan yang diajukan sifatnya beraliran filsafat dan moral. Para peserta tidak semua memahami filsafat politik dan filsafat moral atau berlatar belakangan ilmu politik. Namun demikian, persoalan politik dan persoalan moral dapat dipahami oleh semua peserta. Hal inilah yang terjadi dalam diskusi kelompok, sharing pengalaman bersama sebagai hasil refleksi pribadi dan refleksi bersama. Dari segi waktu, perkiraan alokasi waktu yang dirancang dalam strategi pelatihan mengalami perubahan. Diskusi yang semualnya dialokasikan 90 menit untuk kegiatan diskusi kelompok, mengalami perubahan menjadi 180 menit. Itu berarti, waktu untuk diskusi dan pendalaman persoalan moral politik dalam upaya pembangunan karakter politik untuk generasi muda bagi mahasiswa/mahasiswi PMKRI membutuhkan alokasi waktu yang banyak.
Membaca petunjuk diskusi kelompo k
Menyimak daftar pertanyaan
Menyusun Laporan Hasil Refleksi Diri: penghayatan sikap, pembentukan diri
Melaku kan refleksi diri
Melaksan akan diskusi kelompo k
Menyusun laporan hasil diskusi kelompok
Gambar 4. Tahapan Refleksi Diri Refleskis pribadi merupakan langkah lanjut dari diskusi kelompok. Setiap peserta melakukan permenungan pribadi mengenai permasalahan, pengalaman dan kasus yang berkaitan dengan penyimpangan dan pelanggaran moral politik oleh para politisi berdasarkan panduan pertanyaan reflektif yang telah disiapkan, kemudian menjawab pertanyaan secara tertulis. Refleksi pribadi dilakukan di luar dari kegiatan diklat moral politik. Pada tahap ini peserta tetap di bawa ke dalam proses kegiatan diklat moral politik, dengan konteks dan
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 8
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
situasi yang berbeda. Hal yang penting dari kegiatan diklat moral politik adalah menciptakan ruang dan kesempatan bagi para peserta untuk membawa pulang persoalan moral politik ke tempat yang lain dalam situasi berbeda, peserta tidak membatasi diri pada penerimaan materi saat dalam ruangan atau forum. Hal yang lain yang dapat mengahntar peserta melanjutkan membahas persoalan dan mendalaminya serta berupaya memikirkan dan menindaklanjuti permenungan melalui niat atau tindakan nyata adalah melalui refleksi pribadi. Refleksi pribadi berupaya untuk menjawabi persoalan secara akal, tetapi jawban itu diperoleh berdasarkan hasil olah cipta, karsa dan rasa yang mendalam. Sehingga jawaban atas persoalan moral politik dilakukan dengan segenap hati, segenap pikiran dan segenap perasaan. Persoalan moral politik dijawab atas dasar pertimbangan rasio dan pengalaman nyata, yang diolah atas dasar pengalaman dan pengetahuan diri setiap peserta pendidikan dan pelataihan moral politik. Oleh karena itu, hasil permenungan itu dituangkan dalam bentuk tulisan. Jawaban hasil permenungan mendalam dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi porto folio, sebagai bentuk tanggapan dan buah pemikiran yang memuat makna pengungkapan sikap serta niat untuk perubahan sikap bagi setiap peserta diklat. Jawaban hasil refleksi pribadi jelas menggambarkan peristiwa atau keajdian pelanggaran moral politik seperti: masalah korupsi, suap dan lain-lain. Selain pengalaman, refleksi juga melibatkan perasaan (feelling) apa yang dipikirkan dan dirasakan berkaitan dengan kasu-kasus pelanggaran moral oleh pejabat publik dan politisi. Peristiwa atau kejadian yang ada di evaluasi (evaluation) hal apa saja yang masih dinilai baik dari perilaku atau hal buruk apa saja yang dilakukan. Peristiwa yang sudah dinilai lalu dianalisis (analyisis) mengapa hal itu bisa terjadi dan dilakukan terus menerus oleh para politisi. Langkah berikut adalah, membuat kesimpulan, terhadap berbagai persoalan yang ada. Atas dasar itu, dilakukan tindak lanjut, apa yang akan dilakukan (action Plan). Dari hasil kajian sebelumnya mengenai moral politik dan hasil temuan peneliti sendiri mengenai moral politik sebagai upaya pembangunan karakter generasi muda Ormas PMKRI, disimpulkan beberapa aspek penting yang berkaitan dengan masalah moral politik yang sedang terjadi dalam pratek dan praksis politik oleh para politisi dan birokrat pemerintahan di Indonesia. Secara lebih rinci hasil pembahasan ini dapat dikembangkan sebagai berikut: Pertama, Ada masalah serius yang berkaitan dengan kemerosostan dan hancurnya praktek politik di negeri ini yang dilakoni oleh para politisi, birokrat pemerintah. Praktek politik sudah jauh melencng dari alamnya sebagaimana poltitik itu dirumuskan Plato bahwa politik tujuannya adalah untuk mewujdukan kebaikan bersama (bonum commune). Praktek politik akhir-akhir ini telah terjerumus jaruh dalam dalam pemerosotan moralitas politik yang sangat serius. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 9
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Masyarakat ragu akan moral elit politik di Indonesia. Fakta ini didasarkan atas hasil penelitian dari Rully Akbar dari Peneliti Lingkaran Survey Indonesia, yang menyatakan bahwa sebanyak 51% publik tidak percaya dengan dengan para politikus yang berada di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kepercayaan publik menurun seiring dengan banyaknya perilaku elit politik yang menyimpang. Kenyataan di atas, dilukiskan dengan ketat dan padat oleh Thompson (2000:1) dalam kalimat “tangan-tangan kotor demokratik”. Para pejabat pemerintah melakukan perbuatanperbuatan immoral karena rakus, haus akan kekuasaan, dan loyal pada penguasa. Yang paling mengejutkan yaitu tindakan immoral para pejabat pemerintahan dengan dalil dilakukan untuk pelayanan kebaikan publik. Kedua, masalah pendidikan politik terutama pendidikan yang diarahkan untuk menanamkan nilai, prinsip dasar moral tidak mendapat perhatian utama oleh lembaga dan intitusi politik seperti partai politik atau ormas-ormas yang menghasilkan para politisi. Pengalaman menunjukkan bahwa para politisi sekarang yang tersandung kasus pelanggaran moral politik, seperti tindakan korupsi dan habitus pemupukan kekayaan melalui jalur politik adalah kader-kader yang tidak dididik dan ditempah dari ormas atau institusi politik tertentu secara kuat. Orientasi politik yang menjadi tujuan adalah politik ekonomi: mencari kekayaan dan kekuasaan daari politik. Ketiga, moralitas tak berperan dalam politik. Politik bukannya menjadi ajang pengabdian, tetapi menjadi lahan mencari kerja. Politik sudah menjadi mesin dan industri pencarian harta dan kekuasaan. Tidak ada batas antara hal yang baik dan buruk, antara benar dan salah dalam konteks pemilihan skala nilai moral. Dekandensi moral sudah jadi fenomena politik kita, semuanya karena uang sudah menjadi raja dalam politik. Tak ada lagi nilai-nilai moral dalam diri politisi pusat-daerah. Buktinya, politisi di senayan ramai-ramai mencari fee dari anggaran untuk daerah. Insitutusi DPR juga sudah menjadi sarang penyamun dan lembaga terkorup di republik ini. Keempat, dalam konteks Indonesia, keberlakuan moral dan etika masih merupakan dikotomi antara urusan keagamaan dan urusan publik. Persoalan moral masih merupakan urusan keagamaan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ambiguitas persoalan moral dalam penerapannya yang menjadi faktor longgarnya pegawasan publik terhadap pola, perilaku dan sikap serta tindakan moral yang salah bagi pejabat publik, para politisi dan pengambil kebijakan yang berdampak pada pelanggaran moral politik dalam praktek tatanan kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Fakta dan data pelanggaran moral pejabat publik, para politisi dan pengambil kebijakan dapat dlilihat dari berbagai fakta dekadensi moral para politisi dan pejabat publikdalam ruang publik. KESIMPULAN DAN SARAN Pertama, Fenomena moral politik dalam kalangan generasi muda Ormas PMKRI pada 5 tahun terakhir menunjukkan (1) fenomena moral politik belum sepenuhnya menjadi JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 10
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
fokus perhatian dalam pendidikan politik bagi mahasiswa PMKRI sebagai generasi muda calon politisi dan pemimpin bangsa; (2) mahasiswa dalam ormas PMKRI belum merespons dan menunjukkan sikap kritis serta tindakan aksi sebagai sebuah gerakan profetis untuk menentang praktek kemerosotan moral politik bangsa yang diperbuat politisi dan pejabat publik dalam penyelenggaraan kekuasaan baik dari aspek pengkajian, aspek penyadaran melalui pendidikan dan pelatihan maupun dari aspek gerakan moral; (3) bahkan mahasiswa cenderung melihat persoalan pemerosotan moral politik sebagai gejala umum yang sudah ada dan biasa (taken for the granted). Sehingga, fenomena moral politik itu merupakan sebuah fakta eksistensial yang menggejala dalam kehidupan sosio-politik. Kedua, model moral politik menghasilkan bahan pelatihan (training materials) yang terdiri dari dua macam bahan, yaitu, (1) bahan yang berisikan pokok-pokok mata diklat yang terintegrasi dengan panduan belajar bagi peserta pelatihan moral politik. Buku moral politik memuat 8 mata diklat yang dirancang sesui urut-urutan dalam strategi palatihan dan; (2) bahan yang berisikan pedoman bagi instrukutr. Bahan pelatihan moral politik digunakan pada saat kegiatan pelatihan moral politik bagi para peserta. Model yang didesain dan dikembangkan untuk program pelatihan moral politik adalah model Borg and Gall yang dikombinasikan dengan model refleksi Gibs; (3) Model pelatihan moral politik berorientasi pada pembentukan perilaku peserta. Oleh karena itu model pelatihan moral politik didesain sebagai upaya konsientisasi yang mengarahkan peserta pada perubahan sikap yang mewuduj dalam sauatu rencana aksi untuk menyata pada suatu praksis nyata; (4) salah satu aspek dari model moral politik adalah refleksi sebagai upaya untuk mendalami masalah baik secara kelompok dan secara pribadi; (5) model penelitian yang berbasiskan refleksi memberi ruang lebih banyak kepada para peserta pelatihan di luar ruangan kegiatan pelatihan untuk mengeksplorasi pengalaman, masalah lalu mengkronfrontasinya dengan teori untuk kemudian menemukan sendiri jawaban atas persoalan yang terjadi. Model pelatihan ini mengubah paradigma instructor centred menjadi trainee centred. DAFTAR PUSTAKA Borg, Walter R., dan Gall. Meredith Darmein Educational Research : An Introduction. 4th ed. New York: Longman, 1983. Carey W. Dick, and Carey, L & Carey, J. O.. The System Design of Instruction, New Jersey: Pearson Education, 2009 Creswell l, John W.. Educational research . Upper sadle River, NJ: Pearson, 2012. --------------------------., Research design, Qualitative and Quantitative Aproaches, Sage Publications, Thousand Oaks, London, 1994, Devin Finbar, The Fondations of Poilitical Morality, http://intellectual-detox.com/thefoundations-of-political-morality/ (diakses10 September, 2012) Leslie Lipson Essay Contest 2005 Yanpei Chen, MoralityAndPoliticalDiscourse.pdf http://www.eecs.berkeley.edu/~ychen2/professional/ , (diakses 12 September 2012) Nedler, Leonard, Designing Training Programs, California: Addison-Wesley, 1982, JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 11
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
------------------ The Handbook of Human Resource Development. New York: John Wiley & Sons, (1984). dalam http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/isd/definitions.html, 14 september 2012, Robert, G. Bringle., Julie A. Hatcher, , Reflection in Service – Learning: Making meaning of Experience, Journal of Educational Horizon, 1999 Suparman, Atwi, Desain Instruksional Jakarta: Universitas Terbuka, 2011 ----------------------, Desain Instruksional Modern, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012. Thompson, Dennis F Etika Politik Pejabat Negara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000,
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 12
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
PENGARUH MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS IV SDI DOLUMOLO TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Maria Patrisia Wa’u Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model Cooperative Learning tipe Jigsaw terhadap hasil belajar IPS siswa kelas IV SDI Dolumolo, Kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan posttest only control group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SDI Dolumo, sedangkan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode tes. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensial dengan t test. Terkait dengan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini maka dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Normalitas sebaran data mengunakan statistik Kolmogrov Test dan Shapiro-Wilks Tes. Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s test of Equality of Error Variance. Sedangkan untuk menguji hipotesis dilakukan dengan t-test. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara kelompok siswa yang belajar dengan model Cooperative Learning Tipe Jigsaw dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh kelompok siswa yang belajar dengan model Cooperative Learning Tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (t = 2,339 dengan signifikansi 0,023 yang berarti p < 0,05). Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, Hasil Belajar
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 13
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
THE EFFECT OF LEARNING COOPERATIVE MODEL USING JIGSAW TYPE TOWARDS SOCIAL SCIENCE LEARNING OUTCOMES AT THE FOURTH GRADE STUDENTS OF DOLUMOLO ELEMENTARY SCHOOL ACADEMIC YEAR 2013/2014
Abstract This study aimed to reveal the effect of learning cooperative model using jigsaw type towards social science learning outcomes at the fourth grade students of Dolumolo elementary school, Bajawa subdistrict, Ngada regency. This study was an experimental study using a posttest only control group design. The study population was all students at the fourth grade of Dolumo elementary school whereas the sampling technique conducted using the purposive sampling. The method of data collection in this study was the test method. The inferential statistical analysis technique with t test was used in this study. Relating with the data analysis used in this study, accordingly normality and homogeneity tests done as the prerequisite test. The normality of data distribution statistics using Kolmogrov test and Shapiro-Wilks test. The test of homogeneity of variance between groups using Levene's test of Equality of Error Variance whereas the hypothesis test was done by t-test. The result shows that there are differences in social science students outcomes between the group of the students who has learned using learning cooperative model with jigsaw type and group of students learned with conventional learning model. The average grade of learning outcomes are achieved by the group of the students who learned with the model of cooperative learning using jigsaw type is better than the group of the students who learned with conventional learning model (t = 2.339 with a significance of 0.023, which means p <0.05). Keywords: Learning Cooperative Model Using Jigsaw, Learning Outcomes PENDAHULUAN IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang menyangkut segala aspek hubungan dalam kehidupan manusia. Pembelajaran IPS pada hakekatnya adalah membina mental yang sadar akan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan kewajiban kepada masyarakat, bangsa dan negara. Hakekat pembelajaran IPS bersifat holistik. Hal ini disebabkan oleh materi pelajarannya yang selalu berkaitan dengan hubungan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran IPS adalah pembelajaran terpadu. National Council for the Social Studies (NCSS) mendefinisikan IPS atau Social Studies sebagai berikut: Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote the civic competence. Within the school program, social studies rovides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics and natural sciences (Savage & Amstrong, 1997: 9). IPS di tingkat sekolah dasar pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 14
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2009: 12). Mata pelajaran IPS berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat mata pelajaran ini memiliki tujuan berkaitan dengan pembentukan kepribadian warga negara yang baik. Pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai tersebut akan tertanam dalam diri siswa apabila IPS diajarkan secara powerful dan berbasis pada pengalaman. Keberhasilan setiap proses pembelajaran diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Demikian juga dengan pembelajaran IPS pada jenjang SD. Hasil belajar siswa SD yang tinggi pada mata pelajaran IPS mengindikasikan keberhasilan proses belajar mengajar IPS. Namun sebaliknya, hasil belajar siswa yang rendah pada mata pelajaran IPS mengindikasikan ketidakberhasilan proses pembelajaran IPS. Wina Sanjaya
(2009: 13)
mengatakan bahwa “Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan”. Sedangkan Soedijarto (Purwanto, 2009: 46) mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan Menurut Proitz (2010: 129), definisi hasil belajar dapat dilihat dari dua hal yaitu dari definisi tetap dan definisi alternatif. Dari definisi yang tetap, Proitz menyatakan bahwa “ a learning outcomes is a written statement of what the successful student/learner is expected to be able to do the and of the module/course unit, or qualification”. Sedangkan definisi alternatif, Gagne (Proitz: 2010: 4) menyatakan bahwa “learning outcomes represent what is formally assessed and accredited to the student and they offer a starting. Ketidakberhasilan proses pembelajaran IPS dapat berdampak pada kegagalan dalam menanamkan sikap mental yang baik sebagaimana tujuan mata pelajaran IPS. Pencapaian hasil belajar yang sebaik-baiknya oleh siswa merupakan harapan semua pihak. Tetapi pada kenyataannya tidak semua siswa mencapai hasil seperti yang diharapkan. Tingkat penguasaan belajar dalam mempelajari IPS dapat dilihat dari prestasi belajar yang umumnya dinyatakan dalam bentuk nilai. Penguasaan konsep IPS yang kurang, mengakibatkan nilai yang diperoleh siswa rendah. Rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, salah satu diantaranya adalah proses pemahaman terhadap materi pelajaran. Selain itu, model pembelajaran yang dipakai selama ini digunakan adalah konvensional dan belum menggunakan variasi model pembelajaran yang lain. Kondisi seperti yang dipaparkan tersebut terjadi juga di SDI Dolumolo, Kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada. Proses pembelajaran IPS guru lebih bersifat aktif sedangkan peserta didik cenderung pasif menunggu penyajian materi dari guru. Siswa tidak bertanya meskipun belum memahami materi yang disampikan guru. Kondisi pembelajaran yang demikian menyebabkan siswa merasa sangat jenuh dengan kegiatan yang sama dari hari ke hari, yang terbukti dengan sikap yang nampak pada peserta didik, misalnya cenderung pasif, mengeluh apabila diberi tugas, dan merasa terbebani oleh pelajaran. Kondisi semacam ini JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 15
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
semakin memperkuat perlunya diterapkan model pembelajaran yang lebih variatif mengingat di SDI Dolumolo sebagian besar guru belum menerapkan model pembelajaran inovatif, padahal ada banyak model pembelajaran inovatif yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran IPS yang dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS adalah model Cooperative Learning Tipe Jigsaw. Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai model Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang secara heterogen, bekerja sama, saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997). Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian terdapat saling ketergantungan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, A., 1994). Pada model Cooperative Learning
tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan
kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Dengan demikian model Cooperative Learning tipe Jigsaw mempunyai kelebihan, salah satunya adalah dapat meningkatkan hasil belajar IPS. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang diteliti adalah “Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti model Cooperative JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 16
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Learning Tipe Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional?”. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti model Cooperative Learning Tipe Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Desain eksperimen ini menggunakan posttest only control group design. Peneliti memberikan perlakuan secara langsung kepada sampel penelitian berupa pengajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada kelas eksperimen dan pengajaran menggunakan model ceramah pada kelas kontrol. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV di SDI Dolumo, sedangkan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, sehingga diperoleh kelas IVA sebagai kelas eksperimen dan kelas IVB sebagai kelas kontrol. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode tes. Penelitian ini menggunakan tes objektif yang berupa pilihan ganda dengan menggunakan pemberian skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensial dengan t-test. Data yang diperoleh dari penelitian dideskripsikan menurut masing-masing variable yakni: (a) hasil belajar siswa yang belajar menggunakan model Kooperatif tipe Jigsaw, dan (b) hasil belajar kelompok siswa yang belajar menggunakan model belajar konvensional. Masing-masing kelompok data akan dicari harga rata-rata (M), standar deviasi (SD), modus (Mo), dan median (Me) kelompok yang diteliti. Terkait dengan statistik yang digunakan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini maka uji prasyarat yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Normalitas sebaran data mengunakan statistik Kolmogrov Test dan Shapiro-Wilks Tes. Data memiliki sebaran distribusi normal jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain sebaran tidak berdistribusi normal. Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s test of Equality of Error Variance. Kriteria pengujiannya adalah data memiliki varians yang sama jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain varians data tidak homogen. Sedangkan untuk menguji hipotesis dilakukan dengan t-tes.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 17
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut disajikan distribusi frekwensi hasil belajar IPS yang belajar dengan model Cooperative Learning tipe Jigsaw. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Data Hasil belajar IPS Siswa Yang Mengikuti Model Pembelajaran Cooperatif Tipe Jigsaw Nilai Frekuensi Frekuensi relatif Frekuensi Tengah absolute (%) komulatif Interval 18 -20
19
2
6.7
2
15-17
16
6
20.0
8
12-14
13
13
43.3
21
9-11
10
6
20.0
27
6-8
7
2
6.7
29
3-5
4
1
3.3
30
30
100
Jumlah
Dari tabel 1 menunjukkan sebanyak 43,3 % siswa memperoleh skor disekitar ratarata, sebanyak 30 % siswa berada dibawah rata-rata, dan sebanyak 26,7 % siswa berada diatas rata-rata. Distribusi frekuensi data hasil belajar IPS siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Hasil belajar IPS Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Konvensional Nilai Frekuensi Frekuensi relatif Frekuensi Interval Tengah absolute (%) komulatif 18-20 19 2 6.67 1 15-17
16
3
10.00
4
12-14
13
10
33.33
14
9 -11
10
9
30.00
23
6-8
7
5
16.67
28
3 -5
4
1
3.33
29
30
100
Jumlah
Tabel 2 menunjukkan sebanyak 33,3 % siswa memperoleh skor disekitar rata-rata, sebanyak 50 % siswa berada dibawah rata-rata, dan sebanyak 16,67% siswa berada diatas rata-rata. Selanjutnya dilakukan pengujian prasyarat analisis untuk mengetahui apakah data yang tersedia dapat dianalisis dengan statistik parametrik atau tidak. Terkait dengan statistik yang digunakan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini maka uji prasyarat yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji homogenitas
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 18
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Uji normalitas dilakukan terhadap kelompok data hasil belajar IPS siswa, yang belajar melalui model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dan model pembelajaran konvensional. Normalitas sebaran data mengunakan statistik Kolmogrov Test dan Shapiro-Wilks Tes. Data memiliki sebaran distribusi normal jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Teknik analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows, ringkasan hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 3. Ringkasan Uji Normalitas Data. Unit Analisis
Statistik KolmogorovSmirnov
Df
Sig.
Statistik Shapiro-Wilk
Df
Sig.
Keterangan
A1Y1
0,14
30
0,13
0,97
30
0,47
Normal
A2Y1
0,13
30
.0,20
0,96
30
0,30
Normal
Keterangan: A1Y1 : Hasil belajar siswa yang mengikuti model belajar cooperative tipe jigsaw. A2Y1 : Hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Berdasarkan table 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengujian normalitas hasil belajar siswa siswa yang mengikuti model cooperative learning tipe jigsaw menunjukkan nilai statistik Kolmogorov-Smirnov yakni 0,13 (signifikansi adalah 0,20) dan nilai statistik ShapiroWilk 0,96 (signifikansi adalah 0,30). Angka signifikansi dari pengujian statistik statistik Kolmogorov-Smirnov maupun pengujian statistik Shapiro-Wilk lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw berdistribusi normal, sedangkan pengujian normalitas hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional menunjukkan nilai statistik Kolmogorov-Smirnov yakni 0,14 (signifikansi adalah 0,13) dan nilai statistik Shapiro-Wilk 0,97 (signifikansi adalah 0,47). Angka signifikansi dari pengujian statistik statistik Kolmogorov-Smirnov maupun pengujian statistik Shapiro-Wilk lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional berdistribusi normal. Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s test of Equality of Error Variance. Kriteria pengujian: data memiliki varians yang sama jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Teknik analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows, ringkasan hasil uji homogenitas varian untuk hasil belajar disajikan pada Tabel 4
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 19
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians Untuk Hasil belajar Unit Analisis
F
df1
df2
Sig.
HHB
0,003
1
58
0,955
Keterangan: HHB
= Uji homogenitas varians hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Dari Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa Pengujian homogenitas varians hasil belajar
IPS antara siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional menunjukan nilai F sebesar 0,003 dengan nilai signifikansi 0,955. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa varians kelompok data hasil belajar antara siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang mengikuti model konvensional adalah sama atau homogeny Hipotesis dari penelitian ini yakni terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan uji t. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil t-Test for Equality of Means Hasil belajar IPS Variabel Bebas Model Pembelajaran
Variabel Terikat Hasil belajar IPS
T
Sig.
2,339
0,023
Berdasarkan tabel 5, hasil analisis perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti model Pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional diperoleh nilai statistik t = 2,339 dengan angka signifikansi 0,023. Angka signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis nol ditolak dan menerima hipotesis penelitian. Dari pengujian hipotesis tersebut, disimpulkan terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti model pembelajaran cooperative tipe jigsaw dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut: terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara kelompok siswa yang belajar dengan model Cooperative Learning Tipe Jigsaw dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh kelompok siswa yang belajar dengan model Cooperative Learning Tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 20
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (t = 2,339 dengan signifikansi 0,023 yang berarti p < 0,05). Dengan terdapatnya perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti model pembelajaran Cooperative Learning tipe Jigsaw dengan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional mengidentifikasikan terdapat pengaruh yang signifikan model Cooperative Learning Tipe Jigsaw terhadap hasil belajar IPS siswa kelas IV SDI Dolumolo Adapun saran dari hasil penelitian ini adalah (1) guru di sekolah dasar hendaknya lebih inovatif dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa, serta didukung media pembelajaran yang relevan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa, dan (2) melihat keterbatasan waktu dan pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian ini, maka disarankan penelitian lain agar melaksanakan penelitian sejenis dengan pemilihan materi yang berbeda dan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan gambaran yang lebih meyakinkan mengenai pengaruh model Cooperative Learning tipe Jigsaw terhadap hasil belajar IPS. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W.,& Krathwohl D.R. (2010) Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen. (Terjemahan Anton Prihantoro).New York: David McKay Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 2001) Joyce, B., Weill, M., & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching. New York: Person Education Nana Sudjana. (1999). Penilaian Hasil Belajar dan Proses Belajar mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya. PrØitz, T.S. (2010) Learning Outcomes: What are they? Who Defines them? When and Where Are They Defined?. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 22: 119-137. Sapriya. (2011). Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Savage, V.T. & Amstrong, G.D. (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies (Third Edition). United States of America: Prentice-Hall, inc Supratiknya. (2012). Penilaian Hasil Belajar dengan Teknik Non Tes. Yogyakarta: Sanata Dharma. Toto Ruhimat, Ibrahim, Wina Sanjaya, dkk,. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Grafindo Perkasa Trianto. (2010). Model pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara Wina Sanjaya. (2009). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 21
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
PEMETAAN TINGKAT KECINTAAN GENERASI MUDA SUKU NGADA PADA PESTA ADAT REBA di ERA GLOBALISASI (Simbolisme dan Pergulatan Adat Istiadat) Dimas Qondias
Florentianus Dopo Program Studi Pendidikan Guru Sekolah dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kecintaan dan pemahaman generasi muda masyarakat Ngada secara umum dan masyarakat Jerebu’u khususnya terhadap pesta Reba, yaitu pesta budaya lokal masyarakat Ngada. Penelitian ini melihat sejauh mana kecintaan generasi muda masyarakat Jerebu,u yang merupakan bagian dari suku Ngada Pada pesta adat Reba di era globalisasi saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling dimana pengambilan sampel berdasarkan keinginan atau kesepakatan peneliti sendiri. Dalam penelitian ini ada 2 kampung yang digunakan sebagai sampel yang memiliki tradisi pesta reba dengan prosesi yang khas dan menarik yaitu kampung Nage dan kampung Deru. Untuk mengukur besaran tingkat kesetujuan/ kecintaan para pemuda terhadap pesta adat reba digunakan kuesioner kecintaan pada pesta adat reba. Data dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada skala teoretik. Hasil penelitian yang diperoleh dari para pemuda yang tersebar di 2 (dua) kampung yaitu kampung Nage dan kampung Deru, kecamatan Jerebu’u, kabupaten Ngada menunjukkan pada rata-rata 84. Ini berarti bahwa para pemuda di kampung Nage dan Deru sangat cinta terhadap pesta adat reba. Kata Kunci : Tingkat kecintaan, Pesta adat reba
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 22
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
THE LOVE LEVEL MAPPING OF NGADA TRIBE YOUNG GENERATION TOWARDS REBA AS THE TRADITIONAL PARTY IN GLOBALIZATION ERA (Symbolism and Customs Struggle)
Abstract This study aimed to know the love and understanding of the young generation in Ngada society in General and especially for the community of Jerebuu towards Reba as local cultural party. This study also looked at the extent to which the love of young generation of Jerebuu society as the part of Ngada tribe relating to Reba in the current era of globalization. This study was qualitative study. The sampling technique used was convenience sampling in which the sampling based on the researcher's own desire or agreement. In this study, there were two villages used as the samples that had the tradition of Reba party with its special and interesting procession namely Nage village and Deru village. The data were collected using a questionnaire. Data were analyzed descriptively with reference to the theoretical scale. The result of the study shows that in two villages namely Nage village and Deru village in Jerebuu subdistrict, Ngada regency, the young people really love Reba as the traditional party which obtained on average 84. Keywords: love level, Reba as the traditional party Pendahuluan Negara Indonesia sangat terkenal dengan banyaknya kebudayaan yang dimiliki, apabila kita menelisik lebih dalam lagi bahwa kebudayaan di Indonesia ini sangat beragam. Hal ini terlihat dari upacara-upacara yang dilakukan pada waktu tertentu oleh sekelompok masyarakat. Budaya berasal dari kata budayah yang dapat diartikan sebagai hasil rasa, cipta dan karsa manusia (Purwasito 2003). Tidak dapat dipungkiri sesungguhnya budaya itu merupakan kegiatan hasil peninggalan nenek moyang yang terus-menerus dilakukan, sehingga budaya menjadi suatu tradisi yang harus dilakukan. Seperti halnya suku-suku bangsa yang lain, suku Ngada adalah salah satu kelompok masyarakat budaya yang memiliki beraneka ragam warisan budaya. Salah satu warisan budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Ngada adalah pesta adat Reba. Pesta adat
Reba menjadi identitas budaya masyarakat Ngada yang sudah diwariskan dari
generasi ke generasi. Pesta Reba yang biasanya dirayahkan setiap tahun oleh masyarakat Ngada, merupakan kesempatan penting bagi setiap orang Ngada untuk kembali ke rumah induk (sa’o Meze), merayahkan tahun baru bersama. Pesta Reba memiliki makna yang sangat penting pula sebagai momentum untuk berkumpul bersama anggota keluarga yang sudah terpisah selama setahun. Pesta adat Reba kini menjadi salah satu warisan budaya masyarakat Ngada yang sedang ditantang untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran arus globalisasi. Penting untuk disadari bahwa globalisasi serta nila-nilai baru yang ditawarkan saat ini, semakin kuat masuk berbaur dengan nilai-nilai lokal. Secara sederhana, nilai-nilai baru itu masuk melalui hal-hal sederhana seperti melalui sarana komunikasi (hp, Televisi,dll). JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 23
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Masuknya nilai-nilai baru akan turut mengubah pola dan sistem yang sudah lama berlaku dalam masyarakat budaya. Jika tidak disadari dan disikapi secara bijaksana, tidak mustahil bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang melekat dalam berbagai ritus-ritus budaya akan ikut dibawa hanyut bersama arus globalisasi yang anonim. Semua itu dapat bermuara pada pengabaian budaya-budaya lokal. Perlahan namun pasti, kebudayaan-kebudayaan lokal mendapat tantangan yang sangat luar biasa. Jika berkaca pada realitas, kita menemukan sebuah fenomena yang cukup ironis. Di satu sisi banyak generasi muda apatis dan hilang daya tariknya untuk belajar warisanwarisan budaya seperti pesta Reba, sementara pada sisi yang lain kita menyaksikan ribuan wisatawan mancanegara yang datang sampai ke kampung-kampung terpencil hanya untuk mengikuti ritual-ritual budaya seperti pesta Reba. Para wisatawan mancanegara itu bahkan sangat berantusias dan menikmati jalannya ritus Reba sambil mempelajari nilai-nilai kearifan yang melekat didalamnya. Fenomena ini penting untuk disadari oleh semua generasi muda agar warisan budaya tetap menjadi kebanggaan yang patut dipegang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana kecintaan generasi muda masyarakat Jerebu,u yang merupakan bagian dari suku Ngada Pada pesta adat Reba di era globalisasi saat ini?. Dengan tujuan untuk untuk mengetahui sejauh mana kecintaan dan pemahaman generasi muda masyarakat Ngada secara umum dan masyarakat Jerebu’u khususnya terhadap pesta Reba, yaitu pesta budaya lokal masyarakat Ngada. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sugiyono 2012 menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian naturalistic karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah, penelitian ini menggunakan metode etnografi karena mengkaji di bidang antropologi budaya. Tahap rancangan dalam penelitian (1) Menentukan objek sebagai kajian penelitian. (2) Membuat instrument yang telah di uji oleh pakar. (3) Menganalisis hasil penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah adat jerebu’u yang dimana di wilayah tersebut memiliki tradisi pesta reba. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh generasi muda masyarakat Jerebuu. Tehknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan convenience sampling yaitu tehknik pengambilan sampel yang berdasarkan keinginan atau kesepakatan peneliti sendiri. Dari 10 kampung yang ada di wilayah kecamatan Jerebuu, peneliti memilih 2 kampung saja sebagai sampel yang menurut peneliti kedua kampung ini memiliki tradisi pesta reba dengan prosesi yang khas dan menarik yaitu kampung Nage dan kampung Deru. Untuk mengumpulkan data mengenai kecintaan pesta adat reba ini dengan memberikan kuesioner yang telah disediakan
kepada pemuda
dikecamatan jerebuu yang sebelumnya subjeknya telah ditentukan. Dalam kuesioner yang JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 24
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
akan diberikan pemilihan pernyataan akan menggunakan skala Likert yang dimana terdiri dari 5 grasi. SS (Sangat tinggi) skor 5, S (Tinggi) skor 4, RG (Cukup) skor 3, TS (Rendah) skor 2, STS (Sangat rendah) skor 1 (Sugiyono 2012). untuk menetukan kecintaan pesta adat reba dapat ditentukan sebagai berikut: Tabel 1 Skala Penilaian atau kategori/ Klasifikasi pada skala lima Teoritis RENTANG SKOR 80-100 67-79 54-66 41-53 20-40 Koyan, 2012
KLASIFIKASI Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukan bahwa tanggapan dari 20 pemuda yang menjadi responden di kampung Nage dan Kampung Deru, kecamatan Jerebu’u, kabupaten Ngada terkait dengan kecintaan terhadap tradisi pesta reba memperoleh rata-rata 84. Terkait kecintaan pemuda pada pesta reba ini dikatakan sangat tinggi. Jika setiap responden memberikan jawaban dengan skor maksimal yaitu 5 (lima) untuk setiap pernyataan maka setiap responden akan berhasil mengumpulkan 100 point untuk jumlah keseluruhan pernyataan (20) pernyataan). Akan tetapi, berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan bahwa dari 20 responden yang mengisi kuisioner tidak ada satu responden pun memperoleh total point 100 sebagai point maksimal. Data menunjukan point maksimal yang diperoleh responden adalah 92. Ini berarti tidak semua pernyataan yang diberikan kepada responden mendapat respon dengan skor yang maksimal. Dari skor yang demikian memberikan gambaran bahwa tidak semua generasi muda memiliki tingkat kecintaan kecintaan terhadap tradisi pesta reba yang menjadi tradisi pesta budaya masyarakat suku Ngada. Meskipun demikian hal ini tidak lalu berarti bahwa tingkat kecintaan generasi muda terhadap tradisi pesta reba saat ini sudah berada pada level yang mengkhwatirkan. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata skor yang masih berada pada level 84 dari skor maksimal yang ditetapkan yaitu 100. secara umum generasi muda masih benar-benar tertarik dan mencintai tradisi pesta reba. Akan tetapi, pada pernyataan-pernyataan yang terkait dengan arti dan makna pesta reba, atau pun keterlibatan secara langsung dalam menari atau ikut terlibat dalam rentetan acara (misalnya O uwi, sedo O Luka, atau pun Zo Wuwu mai) selama pesta reba berlangsung, kebanyakan responden menjawab ragu-ragu, jarang bahkan tidak tahu/tidak pernah. Hal itu dapat terlihat pada skor maksimal kelima pernyataan tersebut di atas. Misalnya skor maksimal yang diperoleh pada pernyataan 5 hanya mencapai 53. Kemudian pernyataan 8 hanya memperoleh skor maksimal sebesar 53 juga. Selanjutnya pada pernyataan 10, skor maksimal yang diperoleh hanya mencapai 68 saja. Pernyataan 13, skor JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 25
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
maksimal yang diperoleh 56. Sedangkan skor maksimal yang di capai responden pada pernyataan 18 hanya mencapai 61. Ini berarti, hampir mencapai 50 % dari total responden yang kurang mengerti atau memahami arti dan makna pesta reba. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa tanggapan dari 20 pemuda yang menjadi responden di kampung Nage dan Kampung Deru, kecamatan Jerebu’u, kabupaten Ngada terkait dengan kecintaan terhadap tradisi pesta reba memperoleh rata-rata 84. Terkait kecintaan pemuda pada pesta reba ini dikatakan sangat tinggi. Ini berarti bahwa pemuda di kabupaten ngada sangat berperan aktif saat adanya perayaan pesta reba di kampungnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan tentang kecintaan terhadap tradisi reba di kabupaten ngada, maka dikemukakan saran sebagai berikut 1) Para pemuda masyarakat ngada, diharapkan untuk melestarikan tradisi reba. Sehingga tradisi reba ini dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia pada khususnya dan wilayah belahan dunia pada umumnya. 2) Kepada pengambil kebijakan dalam pendidikan disarankan untuk menyisipkan tradisi reba ini kedalam bidang studi di sekolah. Hal ini berpengaruh terhadap pelestarian reba, karena di daerah ngada ini terdapat beberapa macam etnik sehingga dengan menyisipkan
tradisi
reba
ini
kedalam
bidang
studi
di
sekolah
sekaligus
akan
memperkenalkan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat ngada. DAFTAR PUSTAKA Purwasito. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya Koyan. 2012. Statistik Pendidikan Teknik Analisis Data Kuantitatif. Undiksha Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 26
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
PENGGUNAAN MEDIA BERBASIS BUDAYA LOKAL DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA SEKOLAH DASAR Dek Ngurah Laba Laksana
Fransiska Wawe
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran IPA dengan menggunakan media berbasis budaya lokal untuk meningkatkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep siswa sekolah dasar. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di Kelas IV SD Ngoramawo Kabupaten Ngada. Jumlah subjek yang digunakan 32 orang siswa, yang terdiri atas 14 siswa laki-laki dan 20 siswa perempuan. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi dan tes pemahaman konsep IPA. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Juni 2013. Data kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA siswa. Dari hasil temuan pembelajaran IPA dengan bantuan media terutama media berbasis budaya lokal memperlihatkan hasil yang memuaskan. Aktivitas belajar meningkat yang diertai dengan penguatan pemahaman konsep IPA siswa. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman konsep IPA, diperoleh rata-rata pemahaman konsep IPA siklus I mencapai adalah 70,44 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 70,59%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus I dengan rata-rata skor 74,82. Skor ini ada pada kategori kurang aktif. Sedangkan perolehan rata-rata pemahaman konsep IPA siklus II mencapai adalah 80,59 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 88,24%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus II dengan rata-rata skor 82,23. Skor ini ada pada kategori aktif. Kata kunci: media, budaya lokal, aktivitas belajar, pemahaman konsep IPA
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 27
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
USING MEDIA BASED LOCAL GENIUS IN SCIENCE LEARNING TO IMPROVE LEARNING ACTIVITY AND UNDERSTANDING CONCEPT OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS Abstract This study aims to improve science learning using media based local genius to improve the activity of learning and understanding the concept of elementary school students. This a class action research, performed in Class grade 4 elementary school Ngoramawo Ngada. The number of subjects are 32 students, which consisted of 14 male students and 20 female students. Data collected used observation and test of understanding science concepts. The research was conducted in June 2013. Data analyzed by descriptively to describe the activity of learning and students' understanding of science concepts. Research findings of science learning with the help of the media, especially the local genius media showed satisfactory results. Accompanied learning activity increased by strengthening students' understanding of science concepts. Based on observation of student learning activities and understanding of science concepts, gained an average understanding of science concepts cycle I reached was 70.44 with a percentage of 70.59% classical completeness. While the observation of student learning activities first cycle with an average score of 74.82. This score is in the category of less active. While the average achieved understanding of science concepts cycle II reached was 80.59 with a percentage of 88.24% classical completeness. While the observation of student learning activities first cycle with an average score of 82.23. This score is in the active category. Keywords: media, local genius, learning activities, understanding of science concepts PENDAHULUAN Dalam standar isi Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengisyaratkan dalam proses pembelajaran, guru harus menyusun bahan ajar yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan masyarakat setempat (Depdiknas, 2003). Apalagi pembelajaran yang dilakukan di sekolah dasar, sesuai dengan teori perkembangan Piaget, bahwa anak usia 7-10 tahun (masa operasional konkret) harus belajar dari pengalaman yang bersifat nyata untuk bisa dipahamai dan dimengerti dengan baik oleh siswa (Bredekamp & Copple, 1997). Penguatan dari teori belajar ini dituangkan kembali oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan uji publik sebagai pijakan lanjutan dalam mengimplementasikan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013. Esensi kurikulum ini pada pendidikan dasar adalah penerapan pembelajaran dengan pendekatan tematik integratif (pembelajaran terintegrasi) untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna (Bafadal, 2013). Pembelajaran bermakna akan dapat diperoleh jika anak belajar sesuai dengan lingkungan sosialnya. Sehingga unsur budaya tidak bisa direduksi dalam merancang sebuah pembelajaran di sekolah. Selain itu, dalam kerangka kurikulum 2013 juga disebutkan bahwa dalam menyusun dan mengembangkan kegiatan pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan dan pengembangan sesuai dengan kondisi di satuan pendidikan baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 28
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik (Kemendikbud, 2013). Pembelajaran
terintegrasi
merupakan
pendekatan
pembelajaran
yang
mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran. Pengintegrasian tersebut dilakukan dalam 2 (dua) hal, yaitu integrasi sikap, kemampuan/keterampilan dan pengetahuan dalam proses pembelajaran serta pengintegrasian berbagai konsep dasar yang berkaitan. Tema memberikan makna kepada konsep dasar tersebut sehingga peserta didik tidak mempelajari konsep dasar tanpa terkait dengan kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran memberikan makna nyata kepada peserta didik.Tema yang dipilih berkenaan dengan alam dan kehidupan manusia. Keduanya adalah pemberi makna yang substansial terhadap bahasa, PPKn, matematika dan seni budaya karena keduanya adalah lingkungan nyata dimana peserta didik dan masyarakat hidup (Fogarty, 1991). Namun pada prakteknya di lapangan, pembelajaran yang terjadi di Kabupaten Ngada lebih umumnya di wilayah NTT masih banyak mengedepankan fungsi guru sebagai nakhoda utama dan satu-satunya dalam kelas. Apalagi pada sekolah-sekolah yang berada di daerah pinggiran. Sarana dan prasarana yang tersedia sangat minim. Selain itu, kegiatan pembelajaran belum memanfaatkan teknologi
informasi
sebagai media
pengantar
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum 2013. Siswa yang bersekolah rata-rata berasal dari keluarga menengah ke bawah. Sehingga guru hanya memanfaatkan buku sebagai media dalam pembelajaran (Laksana, 2014). Realitanya masih banyak guru yang menggunakan bahan ajar yang sudah jadi seperti Buku Elektronik yang telah disediakan oleh pemerintah atau LKS yang merupakan hasil dari suatu penerbit
yang mungkin tidak sesuai dengan lingkungan di mana siswa
tersebut belajar. Kondisi ini tentunya dapat mempersulit siswa dalam memahami materi yang seharusnya mereka kuasai. Bahan ajar cetak kurang mengedepankan unsur lingkungan dan budaya lokal masyarakat setempat (Laksana, 2014). Sehingga guru sebagai pendidik yang profesional harus menyiapkan media ajar. Media ajar tersebut harus memperhatikan kondisi lingkungan dan budaya masyarakat setempat dan mengakomodasi teknologi pembelajaran. Selain itu hasil temuan Laksana (2013) memperlihatkan pemahaman konsep IPA guru-guru di Ngada masih rendah. Rata-rata pemahaman konsep ada pada kategori sedang. Bahkan ditemukan, konsep-konsep IPA diajarkan dengan keliru sehingga menimbulkan miskonsepsi pada siswa. Selain itu, penggunaan bahan ajar jadi ini, tidak mengedepankan unsur budaya lokal. Padahal unsur ini sangat penting untuk dimasukkan ke dalam proses pembelajaran melalui penyusunan bahan ajar yang memiliki konten budaya lokal. Beberapa kearifan lokal yang bisa masuk dalam konten pembelajaran antara lain: 1) Reba, yaitu rumah adat sebagai bahan pembelajaran menjaga keseimbangan makluk hidup dan lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam. 2) Nalo-nalo, yaitu: konsep gotong royong. 3) Kasa’o, yaitu: tari ja’i JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 29
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
sebagai bahan gerakan dasar melompat, berputar, gerak. 4) Moke, yaitu: pembelajaran perubahan wujud zat (menguap, mengembun, konsep volumen, debit). 5) Hui Wu’u, yaitu: sistem pengawetan daging dengan cara khas ngada (Laksana, 2014). Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan inovasi dengan cara memperbaiki pola pembelajaran agar dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Salah satu inovasi tersebut adalah dengan memanfaatkan media ajar berbasis budaya lokal. Media tersebut dapat berupa lembar kerja siswa berbasis budaya lokal. Lembar Kerja Siswa merupakan lembaran kerja bagi siswa baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler untuk mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang didapat Azhar (2006). Dalam lembar kerja siswa akan mendapatkan uraian materi, tugas, dan latihan yang berkaitan dengan materi yang diberikan. Di samping itu, penggunaan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal adalah untuk membantu siswa memahami makna materi ajar dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari yang ada dilingkungan terdekat siswa. METODE PENELITIAN Penelitian dirancang dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA siswa pada kelas yang mempunyai permasalahan dalam pembelajaran. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus di mana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, serta refleksi (Kemmis & Taggart, 1990). Penelitian dilaksanakan di SDI Ngoramawo, di mana siswa kelas IV dipilih untuk menjadi subjeknya. Subjek yang digunakan sebanyak 34 siswa dengan rincian 14 siswa lakilaki dan 20 siswa perempuan. Bentuk keterlibatan peneliti dalam penelitian ini adalah bentuk kolaborasi antara peneliti dengan guru kelas yang mengajar mata pelajaran IPA kelas IV. Objek dalam penelitian ini adalah, 1) objek tindakan yaitu pembelajaran dengan menggunakan media berbasis budaya lokal, 2) objek dampak yaitu pemahaman konsep IPA dan aktivitas belajar siswa. Pembelajara IPA dilakukan pada materi sumber daya alam. Pada tahap Pelaksanaan Tindakan guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun dan disepakati pada tahap perencanaan. Kemudian peneliti melakukan observasi yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai aktivitas belajar selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan memberikan tes pemahaman konsep IPA. Langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan sintaks pembelajaran langsung dengan menggunakan media LKS berbasis budaya lokal. Pelaksanaan pembelajaran pada tiap siklus diawali dengan menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa. Pada kegiatan inti dilakukan, 1) pembagian kelompok secara heterogen dan pembagian LKS berbasis budaya lokal, 2) observasi yaitu beberapa orang murid menyebutkan contoh sumber daya alam yang dapat diperbarui yang berada di lingkungan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 30
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
sekolah siswa, 3) presentasi yaitu memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengamatan yang telah dilakukan, dan 4) diskusi secara klasikal. Langkah terakhir setelah dilaksanakan pembelajaran yaitu mengerjakan soal tes bagian akhir yang berupa pilihan ganda dan isian berstruktur untuk mengetahui seberapa besar aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA setelah menggunakan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal sebagai sumber belajar. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menperolah data aktivitas belajar dan pemahaman konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 1 Instrumen Penelitian No
Data yang diteliti
1.
Aktivitas belajar
2.
Pemahaman konsep IPA
Bentuk Instrumen Lembar observasi Tes pemahaman konsep
Waktu Pelaksanaan Setiap pertemuan Akhir siklus
Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Kemudian data aktivitas dan pemahaman konsep yang didapat dianalisis secara deskriptif. Pembelajaran IPA yang dilakukan dengan menggunakan media berbasis budaya lokal dikatakan berhasil apabila aktivitas belajar siswa ada pada kategori cukup aktif dan pemahaman konsep IPA siswa minimal berada di atas nilai yaitu 60. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek yang di amati dalam setiap siklus adalah kegiatan atau aktivitas belajar siswa dan pemahaman konsep IPA saat proses belajar mengajar berlangsung pada mata pelajaran IPA. Dalam hal ini guru dapat melihat tingkah laku siswa, mengetahui kemajuan tingkat belajar yang akan berpengaruh terhadap hasil belajar dengan alat pengumpulan data yang sudah disebutkan di atas. Berdasarkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan pada tahap awal diperoleh data nilai rata-rata tes awal pemahaman konsep IPA adalah 58,38. Kegiatan Pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan pada siklus I disesuaikan dengan rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun sebelumnya pada tahap perencanaan. Selain itu, proses pembelajaran yang berlangsung juga disesuaikan dengan pembelajaran yang akan diterapkan yaitu pemanfaatan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal. Deskripsi pembelajaran siklus I Berdasarkan pembelajaran dengan menggunakan media lembar kerja siswa berbasis budaya lokal pada materi sumber daya alam. Pada siklus I, materi yang digunakan adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Kegiatan pembelajaran diawali dengan menyampaikan
indicator
dan
tujuan
pembelajaran.
Kemudian
dilanjutkan
dengan
memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 31
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Pada kegiatan inti pembelajaran, siswa diminta untuk menunjukkan jenis tumbuhan (jagung, ubi-ubian, enau) dan jenis hewan (ayam, babi, kerbau) berbasis budaya lokal yang ada dilingkungan siswa. Dengan demikian, siswa dapat aktif dalam menemukan konsep IPA dan memahami materi tentang sumber daya alam dari media berbasis budaya lokal dan melihat secara nyata dan langsung sehingga diperoleh pemahaman yang relevan. Kegiatan yang dilakukan siswa untuk mengetahui secara nyata tentang sumber daya alam dengan memilih berbagai jenis tumbuhan dan hewan di lingkungan siswa yang sering digunakan pada acara reba setempat khususnya di wilayah Ngada. Melalui kegiatan mengamati berbagai jenis tumbuhan dan hewan tersebut siswa akan menemukan konsep mengenai jenis tumbuhan dan hewan yang berbeda. Jadi, selain memahami materi ajar tentang berbagai sumber daya alam, siswa memiliki keaktifan belajar dan dapat memahami konsep dengan baik. Siswa dapat memberikan contoh sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan makanan dan hewan kurban dalam acara reba. Guru berperan mengarahkan siswa melaksanakan tugas belajar untuk memahami konsep IPA dan mengetahui tentang sumber daya alam dengan memberikan pemahaman kepada siswa melalui lembar kerja siswa berbasis budaya lokal yang ada dilingkungan siswa. Jadi selain berperan dalam membentuk pemahaman terhadap materi ajar, guru juga dapat menjelaskan manfaat tumbuhan dan hewan dalam acara pesta adat (reba), menghubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa dalam kehidupan
keseharian
mereka. Untuk melakukan kegiatan pembelajaran selanjutnya, siswa dibagi menjadi 4 (empat) kelompok dan masing-masing kelompok beranggotakan 5-6 orang. Siswa yang telah terbagi kedalam beberapa kelompok memulai kegiatan belajar dengan memanfaatkan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal sebagai acuan kegiatan belajar yang akan dikerjakan. Selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk menunjukan beberapa jenis tanaman dan hewan yang berada dilingkungan sekolah sebagai bahan acuan untuk dipelajari. Siswa kemudian berdiskusi dalam kelompoknya. Siswa menunjukan secara langsung manfaat dari tumbuhan dan hewan yang digunakan pada setiap acara pesta adat (reba). Setelah mengerjakan tugas dalam kelompok dengan bimbingan guru, perwakilan kelompok melaporkan hasil kerja kelompok didepan kelas dan ditanggapi oleh kelompok lain dan guru memberikan penilaian. Selanjutnya dengan bimbingan guru pula siswa memajangkan hasil kerja kelompoknya di dinding kelas. Tugas yang dikerjakan oleh siswa akan mengarahkan siswa untuk mengetahui sumber daya alam. Pelaksanaan aktivitas belajar siswa dan tes pemahaman konsep IPA akhir siklus I yang dijawab oleh siswa digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran. Tes akhir siklus I terdiri dari 10 (sepuluh) soal pilihan ganda dan 5 (lima) soal isian.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 32
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman konsep IPA, diperoleh rata-rata pemahaman konsep IPA siklus I mencapai adalah 70,44 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 70,59%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus I dengan rata-rata skor 74,82. Skor ini ada pada kategori kurang aktif. Hasil refleksi siklus I menemukan beberapa hambatan dalam pembelajaran sehingga belum mendapatkan hasil sesuai dengan indicator pencapaian penelitian. Hambatanhambatan yang dihadapi dalam proses pembelajaran siklus I antara lain. 1) Pemanfaatan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal dalam proses pembelajaran belum optimal. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan lembar kerja siswa yang berbasis budaya lokal dalam kegiatan pembelajaran. Ini terlihat ketika siswa diberikan kebebasan untuk belajar secara nyata dilingkungan sekolah, siswa masih terlihat bingung dan ragu untuk melakukan kegiatan belajar di lingkungan sekolah. 2) Kegiatan diskusi kelompok yang masih didominasi oleh beberapa siswa yaitu siswa yang pandai. Interaksi dalam karya kelompok baru terlihat ketika siswa dalam kelompok belum mengerti tugas kelompok yang diberikan. Sehingga siswa cenderung terlihat bekerja sendiri-sendiri dengan sedikit interaksi untuk membahas tugas kerja kelompok yang diberikan. 3) Kurang adanya kemauan siswa untuk mengajukan atau menjawab pertanyaan. 4) Siswa masih kurang mampu menyampaikan simpulan materi yang telah dipelajari dengan bahasa yang baik dan benar. Deskripsi pembelajaran siklus II Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan dengan materi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan dengan memperhatikan hambatan-hambatan yang terjadi pada pembelajaran sebelumnya. Perbaikan yang dilakukan pada siklus II adalah sebagai berikut. 1) Memberikan penjelasan kepada siswa mengenai kegiatan pembelajaran yang dilakukan sebelum pembelajaran berlangsung. Berdasarkan kegiatan tersebut siswa memiliki kesiapan dalam mengikuti pembelajaran dengan pemanfaatan media LKS berbasis budaya lokal. 2) Agar kegiatan pembelajaran tidak dominasi oleh siswa yang pandai dalam kerja kelompok siswa dikelompokan secara merata. Setiap anggota kelompok diarahkan untuk mengerti hasil dari kerja kelompok yang telah mereka kerjakan secara bersama-sama. 3) Guru membimbing siswa dalam menjawab pertanyaan ataupun mengajukan pertanyaan. Hal ini dilakukan adalah dengan mengaitkan kembali penjelasan yang telah disampaikan dan memberikan kesempatan kepada siswa yang kurang aktif untuk menjawab pertanyaan dan mengulang kembali jawaban yang telah disampaikan oleh temannya. 4) Guru memberikan contoh nyata dalam menyimpulkan materi yang telah dipelajari dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Kegiatan pembelajaran pada siklus II diawali dengan menjelaskan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Kegiatan apersepsi diberikan melalui kegiatan siswa membaca materi dibantu dengan menunjukan pasir naru (pasir asli daerah Ngada) sebagai contoh sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Siswa diarahkan untuk melaksanakan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 33
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
tugas belajar dengan didahului memberikan penjelasan dan tujuan dari kegiatan yang siswa lakukan. Berdasarkan penjelasan guru mengenai tugas belajar yang diberikan, siswa diarahkan untuk menemukan konsep secara mandiri dengan cara membaca konsep dan menghubungkannya dengan media (pasir naru) yang dapat diamati secara langsung. Pelaksanaan tindakan pada siklus II juga memberikan peran terhadap budaya lokal dalam pembelajaran. Selain memperoleh pemahaman akan materi yang dipelajari melalui hewan dan tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat Bajawa dalam acara Reba, siswa juga akan memperoleh pemahaman tentang pasir naru sebagai salah satu contoh sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Untuk melakukan kegiatan pembelajaran selanjutnya, keseluruhan siswa yang berjumlah 34 siswa dibagi menjadi lima (5) kelompok. Kegiatan pembelajaran pada siklus II adalah kegiatan diskusi kelompok dengan dibantu lembar kerja siswa berbasis budaya lokal yang dijadikan acuan siswa dalam mengerjakan kegiatan belajar dalam proses pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan siswa untuk mengetahui menjelaskan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah dengan memilih pasir naru sebagai contoh dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sebelum diskusi dilakukan guru memberikan penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilakukan siswa serta menjelaskan hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh siswa selama diskusi berlangsung. Kegiatan diskusi selanjutnya adalah pemanfaatan pasir naru dalam kehidupan sehari-hari. Siswa mengerjakan hasil diskusi pada lembar kerja siswa lembar kerja siswa yang telah dibagikan dan melaporkan hasil diskusi didepan kelas oleh perwakilan kelompok. Pada kegiatan penutup siklus II dilaksanakan pemberian tes akhir siklus II. Tes hasil belajar yang dijawab oleh siswa digunakan untuk mengetahui tingkat hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan memanfaatkan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal pada materi sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Tes akhir siklus II terdiri dari 10 soal pilihan ganda dan 5 soal isian. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman konsep IPA, diperoleh rata-rata pemahaman konsep IPA siklus II mencapai adalah 80,59 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 88,24%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus II dengan rata-rata skor 82,23. Skor ini ada pada kategori aktif. Dari hasil temuan pembelajaran IPA dengan bantuan media terutama media berbasis budaya lokal memperlihatkan hasil yang memuaskan. Aktivitas belajar meningkat yang disertai dengan penguatan pemahaman konsep IPA siswa. Melalui pemanfaatan media berbasis budaya lokal ini terlihat hubungan siswa dengan guru sangat signifikan karena guru tidak dianggap sosok yang menakutkan, tetapi sebagai fasilitator dan mitra untuk berbagi pengalaman. Guru hanya mengarahkan strategi yang efektif dan efisien yaitu bagaimana cara belajar dalam hal ini guru hanya sebagai pemberi arah/petunjuk untuk membantu siswa JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 34
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan lembar kerja siswa yang berbasis budaya lokal. Studi para ahli yang telah menghasilkan temuan bagaimana memperkuat pembelajaran sains melalui budaya lokal pada kehidupan tematik dan lingkungan. Untuk hidup dalam komunitas mereka, belajar IPA harus mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah, berpikir global bertindak lokal, dan membawa ilmu pengetahuan untuk melayani hidup (Hadzigeorgiou & Konsolas, 2001). Hal ini didukung pula oleh temuan Nuangchalerm (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan belajar IPA berdasarkan budaya lokal dapat melayani siswa dalam membangun pengetahuan ilmiah. Siswa dapat mengkombinasikan pengetahuan ilmiah dari budaya mereka sendiri dengan penyelidikan yang mereka lakukan. Belajar harus memiliki keseimbangan antara pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah modern. Siswa dapat belajar dan memahami hal-hal penting untuk melayani kebutuhan riil mereka. Mereka dapat melestarikan lingkungan dan hidup bersama dengan alam melalui budaya lokal mereka masing-masing (Na Thalang, 1991). Studi yang terkait bagaimana penguatan belajar IPA melalui budaya lokal. Ini memberikan cara untuk mengenalkan pembelajaran IPA dan studi budaya lokal. Guru dapat membawa suasana tersebut ke dalam kelas dengan menciptakan kurikulum pendidikan berdasarkan sekolah dan konteks budaya masyarakat setempat. Peserta didik akan membangun pengetahuan tentang dunia alam dan fisik. Budaya lokal dan IPA tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini seiring dengan cara berkomunikasi, berlatih, dan berpikir mereka (Kawagley et al., 1998). Melalui pembelajaran berbasis budaya lokal, siswa bukan sekedar meniru atau menerima saja informasi yang disampaikan tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan pengetahuan. Dimana proses pembelajaran berbasis budaya lokal bukan sekedar mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi menggunakan budaya lokal untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata pelajaran yang dipelajarinya. Dalam pelaksanaan pembelajaran, terlihat adanya perubahan pembejaran yang awalnya berpusat pada guru menjadi lebih memberikan kebebasan siswa belajar, bertanya dan mengemukakan pendapat dalam pembelajaran. Siswa mampu mempelajari konsep baru melalui budaya sehari-hari. Pembelajaran IPA dapat memanfaatkan media LSK berbasis budaya lokal sebagai salah satu alternatif strategi penyampaian materi di sekolah dasar. Melalui memanfaatkan lembar kerja siswa berbasis budaya lokal guru dapat dengan mudah merespon potensi siswa. Dengan demikian guru dapat lebih efektif dan efisien dalam melakukan kegiatan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 35
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
proses belajar, serta dengan mudah dapat merespons perbedaan-perbedaan potensi yang dimiliki peserta didiknya. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil temuan pembelajaran IPA dengan bantuan media terutama media berbasis budaya lokal memperlihatkan hasil yang memuaskan. Aktivitas belajar meningkat yang diertai dengan penguatan pemahaman konsep IPA siswa. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman konsep IPA, diperoleh rata-rata pemahaman konsep IPA siklus I mencapai adalah 70,44 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 70,59%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus I dengan ratarata skor 74,82. Skor ini ada pada kategori kurang aktif. Sedangkan perolehan rata-rata pemahaman konsep IPA siklus II mencapai adalah 80,59 dengan persentase ketuntasan klasikalnya 88,24%. Sedangkan hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus II dengan ratarata skor 82,23. Skor ini ada pada kategori aktif. Pelaku pendidikan hendaknya dapat
menggunakan hasil penelitian ini sebagai
masukan. Masukan ini terutama sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pemanfaatan media berbasis budaya lokal. Dengan pemanfaatan ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA pada materi yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Bafadal, I. (2013). Panduan Teknis Pembelajaran Tematik Terpadu dengan Pendekatan Saintifik di Sekolah Dasar. Jakarta: Kemendikbud. Bredekamp, S.,& Copple, C. (1997). Developmentally appropriate practice in early childhood program (Rev. Ed.) Washinton, DC: National Association for the Education of Young Children Fogarty, R. (1991). Ten ways to integrated curriculum. Educational Leadership, Oktober 1991 , 61-65. Hadzigeorgiou, Y. and Konsolas, M. (2001). Global Problems and the Curriculum: Toward a Humanistic and Constructivist Science Education. Curriculum and Teaching. 16(2): 3949. Kawagley, A.O., Norris-Tull, D. and Norris-Tull, R.A. (1998). The Indigenous Worldview of Yupiaq Culture: Its Scientific Nature and Relevance to the Practice and Teaching of Science. Journal of Research in Science Teaching. 35(2): 133-144. Kemmis, S. & Taggart, R. (1990). The Action Research Planner. Melbourne: Deakin University. Laksana, D.N.L. (2013). Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-Guru Kelas Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, 1(1), 15-26. Laksana, D.N.L. (2014). Identifikasi Konten dan Konteks Kearifan Lokal Masyarakat Ngada untuk Diintegrasikan dalam Bahan Ajar Tematik SD Kelas IV. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Program Studi PGSD, STKIP Citra Bakti Ngada. Na Thalang, E. Education and Culture. In Na Thalang, E. (1991). Cultural Understanding. Bangkok : Amarint Printing Group. (in Thai) JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 36
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Nuangchalerm, P. (2008). Reinforcement of Science Learning through Lokal Culture: A Delphi Study. [online]. http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED501192.pdf diunduh tanggal 18 Pebruari 2015. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Indonesia. Jakarta: Lembaran Negara.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 37
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
REPRESENTASI LESBIAN, GAY, DAN TRANSGENDER DALAM ANTOLOGI CERPEN PENJARA: SEBUAH TINJAUAN SOSIOPRAGMATIK
Nyoman Deni Wahyudi
Luh Ketut Sri Widhiasih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected]
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi (1) representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata, (2) represetasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan, dan (3) representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang. Sumber data dalam penelitian ini adalah antologi cerpen Penjara yang ditinjau dari sudut pandang sosiopragmatik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi dokumentasi. Pengolahan atau analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan serta verifikasi data penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) lesbian direpresentasikan sebagai perempuan atau wanita yang cerdas, kritis, idealis, keras kepala, berpikir modern, global, matriarki, menjaga privasi, posesif, pencemburu, kejam, dan sekaligus pendendam, (2) gay direpresentasikan sebagai laki-laki yang takut akan sosial masyarakat sekitarnya, memiliki ketertarikan fisik pada sesama laki-laki, memiliki ketertarikan emosi pada sesama laki-laki, sangat menjaga privasi hubungan sesama jenisnya, perasaan gay muncul karena kenyamanan di tengah kegagalan asmara saat bersama lawan jenis, hubungan yang aneh, terlarang, dan salah menurut sosial, agama, dan budaya namun gay beranggapan sebaliknya (kontradiktif), serta (3) transgender direpresentasikan memiliki watak layaknya perempuan sejati, melakukan hal-hal yang dilakukan perempuan sejati, memiliki pemikiran bila dirinya adalah wanita seutuhnya (secara fisik dan psikis), menikmati hubungan seksual dengan laki-laki, posesif terhadap pasangan, menjaga privasi, kejam, putus asa, dan hubungan transgender tidak memiliki kekuasaan atas sosial budaya yang dianut. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, penikmat sastra, dan dunia pendidikan. Peneliti lain diharapkan melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam. Kata kunci: representasi, lesbian, gay, transgender, cerpen, sosiopragmatik
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 38
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
REPRESENTATION OF LESBIAN, GAY, AND TRANSGENDER IN PENJARA ANTHOLOGY OF SHORT STORY: A SOCIOPRAGMATIC OBSERVATION Abstract This research is descriptive qualitative research which aimed to identify (1) representation of lesbian in Sebuah Cerita tentang Anakku dan Temanku short story written by Ardy Kresna Crenata, (2) representation of gay in Aib short story written by Aries Pidrawan, and (3) representation of transgender in Bayi short story written by Moch Satrio Welang. Data in this research were taken from Penjara anthology of short story identified by sociopragmatic point of view. Research method used is documentation study method. Data analysis is conducted through data reduction, data presentation, conclusion, and data verification. Results of this research show that (1) lesbian is presented as smart, critical, idealistic, stubborn, modern, global, matriarchy, introvert, possesive, cruel, and grudger women, (2) gay is represented as a man who is affraid of society, likes other man physically and emotionally, saves their relationship privacy, gay’s feeling happens because of comfortable with the same sex in the middle of love failure, strange relationship, forbidden and wrong based on social, religion, and culture point of view although gay argues vice versa (contradictive), and (3) transgender is represented having real women characters, doing things done by real women, thinking that he is real women physically and psychologically, intimating with man, possesive, saving privacy, cruel, desperate, and transgender relationship does not have authorization toward sociocultural believed. This results of this research are significant for university students, lecturers, linguists, and education. Further deeper researches are expected. Key words: representation, lesbian, gay, transgender, short story, sociopragmatic
PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi yang dibentuk dan digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial. Sebagai fenomena budaya, bahasa merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya (Brown, 1987). Bahasa adalah media untuk berekspresi sekaligus media penggambaran situasi yang ada di tengah masyarakat. Sastra merupakan pengejawantahan imajinasi pengarang dan didasari oleh fakta sosial. Sastra dibangun dengan bahasa yang memiliki ciri khas tersendiri. Karya sastra merupakan hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstraksi kehidupan (Suwondo, 2003:5). Karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kehidupan sosial dan budaya yang diamati oleh pengarang. Latar belakang sosial budaya dan pribadi setiap pengarang mendasari proses kreatif bersastra dan termasuk penggunaan bahasanya. Bahasa merupakan faktor penting dalam sastra. Salah satu jenis karya sastra yang banyak diproduksi sekaligus diminati oleh masyarakat adalah cerpen. Cerpen adalah salah satu jenis sastra prosa selain puisi dan drama. Cerpen merupakan karangan fiktif yang berisi sepenggal atau sebagian kisah kehidupan seseorang dalam suatu masyarakat sosial. Berbagai ragam tema sosial dan budaya bisa diangkat untuk dijadikan cerpen.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 39
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Kehidupan sosial manusia menjadi menarik untuk dicermati. Norma-norma atau adat istiadat yang dianut oleh golongan masyarakat tertentu pun sangat menarik untuk dibahas dari aspek sosiologi, ekonomi, budaya, maupun bahasa. Salah satu komunitas sosial “gelap” yang kini makin muncul ke permukaan dan turut bersosialisasi dengan masyarakat umum adalah kaum lesbian, gay, transgender, dan biseksual atau yang sering disingkat LGTB. Representasi (KBBI, 2008:1200) memiliki makna perbuatan mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, dan perwakilan. Representasi juga bisa diartikan sebagai gambaran atau penggambaran. Representasi sosial manusia bisa dimaknai sebagai keadaan fisik dan nonfisik yang bisa mewakili pemahaman, sikap, dan ide-ide yang dianut oleh segolongan masyarakat sosial tertentu. Salah satu penelitian tentang representasi sosial adalah penelitian yang dilakukan oleh Krishnan dan Dighe pada 1990 yakni penelitian tentang representasi perempuan di televisi India. Krishnan dan Dighe menyatakan representasi perempuan ideal di televisi India berasal dari teks-teks Mahabharata dan Ramayana yang menyediakan moral ideal dan struktur ideologis bagi serangkaian film-film populer India yang diproduksi di Mumbay yang mentransformasikan dan mengerjakan ulang sejumlah sistem narasi dan sistem nilai mereka. Sosiopragmatik merupakan sebuah tinjauan kebahasaan yang didasarkan pada ranah
sosiolinguistik
dan
pragmatik.
Sumarsono
(2009:112)
menyatakan
bahwa
sosiopragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi oleh kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat yang berbeda. Sosiopragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa oleh kelompok masyarakat untuk menyampaikan maksud tertentu. Oleh karena itu, representasi dalam pandangan sosiolinguistik melibatkan persoalan, siapa penutur dan mitra tuturnya, tujuan bertutur, suasana tuturan, budaya atau adat istiadat, serta di mana dan kapan tuturan itu terjadi. Penjara merupakan judul antologi cerpen yang berisi empat belas cerita pendek yang mengangkat tema lesbian, gay, biseksual, dan transgender oleh empat belas penulis cerpen dari seluruh Indonesia. Cerpen-cerpen yang dimuat dalam antologi tersebut antara lain Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata (Bogor), Aib karya Aries Pidrawan (Karangasem), Dandelion karya Ayu Riesky (Denpasar), Penari Ular karya DG Kumarsana (Mataram), Simfoni Dua Dunia karya Diajeng Veronica Rivi Raviantina (Semarang), Pulang karya Dwi S Wibowo (Yogyakarta), Bayi karya Moch Satrio Welang (Denpasar), Poolside karya Nana Sastrawan (Jakarta), Sang Mantan karya Nenny Makmun (Jakarta), Mas Boy karya Nurjanah Abdul Syukur (Tangerang), Tirai Pelangi karya Nyimas Hilmiyati (Depok), Titik di Kala Senja karya Putu Sri Indra Wahyuni (Denpasar), Aku Bukan Homo karya Ratna Dewi Barrie (Lampung), dan Sesemburitan karya Rio Johan (Sumatera Selatan). Kumpulan cerpen ini mengusung tema yang menarik untuk diteliti dengan tinjauan sosiopragmatik khususnya seputar identifikasi representasi lesbian, gay, dan transgender. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 40
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Beranjak dari uraian latar belakang di atas maka penulis melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Representasi Lesbian, Gay, dan Transgender dalam Antologi Cerpen Penjara: Sebuah Tinjauan Sosiopragmatik”. Sosiopragmatik merupakan kajian bahasa berdasarkan tinjauan sosiolinguistik dan pragmatik. Karya sastra khususnya cerpen menggunakan bahasa sebagai media penyampaian gagasan dan ide kreatif penulisnya. Antologi cerpen Penjara memuat beragam cerpen yang mengusung tema lesbian, gay, dan transgender. Representasi merupakan perwakilan deskripsi (khususnya karakter dan tingkah laku) sebuah objek atau manusia. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini antara lain (1) Bagaimanakah representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata?; (2) Bagaimanakah represetasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan?; dan (3) Bagaimanakah representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang? Representasi (KBBI, 2008:1200) memiliki makna perbuatan mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, dan perwakilan. Representasi juga bisa diartikan sebagai gambaran atau penggambaran. Representasi sosial manusia bisa dimaknai sebagai keadaan fisik dan nonfisik yang bisa mewakili pemahaman, sikap, dan ide-ide yang dianut oleh segolongan masyarakat sosial tertentu. Bahasa adalah media komunikasi. Dalam KBBI (2008:137) bahasa merupakan sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Bahasa juga merupakan perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dan sebagainya). Bahasa juga bisa diartikan sebagai percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun; tingkah laku yang baik. Bahasa adalah kunci pokok bagi manusia karena dengan bahasa maka manusia bisa berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa merupakan salah satu produk budaya manusia yang merupakan media penyampaian ide atau gagasan. Sebagai produk budaya, bahasa tumbuh dan berkembang pada masyarakat pengguna bahasa itu sendiri dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sastra adalah bahasa khusus dalam kitab dan bukan bahasa sehari-hari. Sastra atau kesusastraan adalah karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (gubahan puisi dan prosa yang indah-indah). Kesusastraan yaitu karya tulis yang memiliki keunggulan (asli, artistik, indah), seperti roman, cerpen, drama, dan epik. Cerpen sebagai salah satu karya sastra berbentuk prosa pun memiliki unsur sosial dan budaya yang kental. Cerita pendek (cerpen) merupakan jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk beluknya melalui tulisan pendek (Faurazi, 2014). Cerpen memiliki struktur isi yang khas, antara lain judul, pengenalan tokoh, komplikasi atau penyebab konflik, konflik, klimaks, dan antiklimaks serta penyelesaian. Melalui imajinasi interpretative literature membawa
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 41
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
pembaca lebih dalam ke dunia nyata, membuat orang mampu memahami masalahmasalahnya, lebih memahami kehidupan dan eksistensi manusia. Lesbian merupakan ketertarikan secara fisik dan mental seorang perempuan terhadap sejenisnya atau perempuan lain. Gay merupakan ketertarikan secara fisik maupun mental seorang laki-laki terhadap sejenisnya atau dengan sesama laki-laki. Transgender merupakan perubahan fisik dan mental yang dialami atau dilakukan oleh seseorang dengan mengubah fisiknya (dan bahkan alat kelamin). Biseksual adalah ketertarikan seseorang secara fisik dan mental terhadap kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Teori sosiopragmatik merupakan perpaduan antara teori sosiolinguistik dan pragmatik. Merdhana dan Sumarsono (2009) menyatakan bahwa sosiopragmatik mengkaji pragmatik dalam hubungannya dengan sosiologi. Dengan kata lain, pragmatik harus dikaitkan dengan kondisi sosial tertentu. Sosiopragmatik juga bisa diartikan sebagai kajian pragmatik dalam dimensi sosial. Sosiopragmatik adalah titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik. Sosiopragmatik (dalam Leech, 1982:15) didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun beroperasi secara berbeda dalam kebudayaankebudayaan dan masyarakat yang berbeda, dalam kelas sosial yang berbeda, dan sebagainya. Pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, penggunaan bahasa berdasarkan konteks, baik konteks verbal maupun konteks situasi. Pragmatik melibatkan hubungan bahasa dengan pengguna bahasa. Sosiolinguistik mikro pun mengkaji hubungan bahasa dengan konteks serta hubungan antara bahasa dan manusia pengguna bahasa. Salah satu penelitian tentang representasi sosial adalah penelitian yang dilakukan oleh Krishnan dan Dighe pada 1990 yakni penelitian tentang representasi perempuan di televisi India. Dalam penelitiannya itu, mereka menemukan karakter perempuan dalam film fiksi India yaitu rela berkorban, tergantung, ragu untuk bersenang-senang, mendefinisikan dunia melalui hubungan keluarga, emosional, sentimental, tersubordinasi, dan maternal. Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori gender, representasi, dan budaya. Teori lesbian atau gay melakukan dekonstruksi atas kemapanan konsep-konsep keteroseksual. Dengan demikian, teori ini menolak usaha pemerintah atau agama yang ingin melanggengkan masyarakat yang normal (heteroseksual) karena pada kenyataannya homoseksual memang selalu ada dalam masyarakat (Barry, 2010:169). Barry menjelaskan bahwa teori ini berusaha melawan gerakan antigay/antilesbian. Dalam pengajaran sastra yang dapat dijadikan materi diskusi adalah munculnya persoalan homoseks di dalam karya sastra. Bisa pula mengidentifikasi bagaimana deskripsi kecantikan laki-laki dalam novel Lelaki Terindah (Andrei Aksana, 2005). Bisa pula mendiskusikan lesbianisme dalam Tarian Bumi (Oka Rusmini); lesbianisme adalah jalan bagi seorang perempuan untuk menolak kuasa laki-laki dalam budaya patriarkhi di Bali. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 42
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Penelitian sebelumnya juga pernah dilakukan terkait dengan kajian Sosiopragmatik oleh Ni Kadek Juliantari (2011) yang berjudul “Multilingualisme dalam Novel Kenanga Karya Oka Rusmini (Suatu Kajian Sosiopragmatik)”. Penelitian ini mengidentifikasi adanya penggunaan pilihan bahasa yang beraneka ragam dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini. Penggunaan multilingual bertujuan untuk menyampaikan nilai-nilai budaya (khususnya budaya Bali). Kesantunan multilingual (aneka bahasa) antarpenutur umumnya terjadi di lingkungan griya dan menguntungkan mitra tutur. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan penelitian dengan deskriptif kualitatif dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang terjadi secara alamiah. Model penelitian ini mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel, gejala, atau keadaan yang diteliti untuk kemudian dimaknai atau diapresiasi. penelitian ini ingin mendeskripsikan dan menginterpretasikan representasi lesbian, gay, dan transgender yang tampak pada cakapan-cakapan yang disajikan penulis pada setiap tokoh yang ada dalam tiga cerita pendek pada antologi Penjara yang ditinjau dari kajian sosiopragmatik. Sumber data dalam penelitian ini adalah cuplikan tuturan yang digunakan oleh tokohtokoh serta ilustrasi yang terdapat pada tiga cerpen dalam antologi Penjara yang mengandung representasi lesbian, gay, dan transgender. Tuturan yang digunakan sebagai sumber data pada penelitian ini diambil dari tiga cerpen dalam antologi Penjara didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain cerpen-cerpen tersebut memiliki penggambaran masalah yang dihadapi oleh kaum lesbian, gay, dan transgender baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan sosialnya. Ketiga cerpen yang diteliti juga menggambarkan penggunaan bahasa yang mengandung kesan makna dan bisa dianalisis dengan kajian sosiopragmatik. Objek penelitian adalah hal yang dikaji dalam penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah representasi lesbian, gay, dan transgender dalam tiga cerpen yang terdapat dalam antologi cerpen Penjara. Secara lebih rinci, objek penelitian ini antara lain (1) representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata, (2) represetasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan, dan (3) representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang. Data yang didapatkan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini adalah pencatatan dokumen. Metode studi dokumentasi adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data mengenai suatu variabel yang diteliti dari catatan atau naskah tertulis. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kartu-kartu data. Kartu data yang digunakan berisi garis-garis besar kategori data yang bersangkutan.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 43
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Karena peneliti bertindak sebagai instrumen utama atau instrumen kunci, ada kemungkinan unsur subjektivitas peneliti membiaskan data penelitian ini. Untuk menekan hal tersebut, bahkan meniadakan subjektivitas tersebut sehingga bias tersebut dapat diminimalkan, peneliti perlu memeriksa keabsahan data yang dikumpulkan. Teknik pengujian keabsahan data yang peneliti gunakan antara lain ketekunan pengamatan dan pengecekan melalui teman sejawat. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis nonstatistik. Analisis data dilakukan secara induktif. Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti dalam pengolahan atau analisis data yang diperoleh antara lain reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan serta verifikasi data penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini, peneliti memaparkan data yang berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Masalah-masalah tersebut antara lain representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata, represetasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan, dan representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang. Dalam setiap sajian data, data tersebut secara langsung dianalis dan dimaknai. Setelah data pada setiap masalah tersebut dianalisis dan dimaknai, penulis menarik simpulan sementara yang nantinya dibahas pada bagian pembahasan. Karena dalam penelitian ini ditemukan bahwa penulis cerpen merepresentasikan lesbian, gay, dan transgender dalam wujud karakter yang beraneka ragam maka pengodean data yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya dikembangkan lebih lanjut. Data yang berkaitan dengan representasi lesbian diberikan kode RL. Data yang berkaitan dengan representasi gay diberikan kode RG. Data yang berkaitan dengan representasi transgender diberikan kode RT. Dari analisis data, peneliti memperoleh data RL sebanyak 12 data. Representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata dapat diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan tinjauan sosiopragmatik. Peneliti memperoleh data RG sebanyak 10 data. Representasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan dapat diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan tinjauan sosiopragmatik. Peneliti memperoleh data RT sebanyak 10 data. Representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang dapat diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan tinjauan sosiopragmatik. Penelitian ini didasarkan atas pemikiran adanya fenomena penggunaan isu-isu sosial yang tabu sebagai latar penulisan karya sastra khususnya cerpen. Karya sastra (cerpen) selalu berpijak pada kenyataan sosial yang tumbuh dan hidup di masyarakat – di kota maupun di desa. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan rancangan penelitian tersebut di atas, penulis memaparkan dan menginterpretasikan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 44
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
temuan-temuan yang terkait dengan (1) representasi lesbian dalam cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku karya Ardy Kresna Crenata, (2) represetasi gay dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan, dan (3) representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, terdapat beberapa temuan penting dalam penelitian ini yang sejalan dengan rumusan masalah penelitian. Temuan-temuan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, lesbian direpresentasikan oleh penulis (Ardy Kresna Crenata) melalui cerpen Sebuah Cerita Tentang Anakku dan Temanku dengan menggunakan karakter tiga wanita yakni tokoh utama yang merupakan seorang ibu yang memiliki seorang anak perempuan, tokoh sampingan yang merupakan seorang wanita dewasa yang menjadikan anak perempuan tokoh utama sebagai kekasih, dan anak perempuan yang menyukai wanita dewasa yang merupakan teman sekaligus mantan kekasih sang ibu. Tokoh utama direpresentasikan sebagai sosok ibu yang dulunya pernah terlibat hubungan sesama jenis (lesbian) dengan temannya. Dia adalah sosok yang penyayang bagi keluarganya namun tidak bisa menerima kenyataan bila sang anak perempuannya memiliki hubungan asmara sejenis dengan perempuan. Tokoh utama direpresentasikan sebagai sosok wanita dewasa yang matang dan cerdas. Selain itu, tokoh utama adalah wanita yang pemberani. Anak perempuan dari tokoh utama direpresentasikan sebagai sosok remaja putri yang sedang kuliah di luar kota. Dia adalah sosok remaja cerdas dan kritis. Dia pun tidak segan berdebat dengan sang ibu, termasuk tentang hubungan sesama jenisnya dengan teman ibunya. Dia pun direpresentasikan sebagai lesbian pemberani dan pemberontak serta tak ambil peduli pada sikap sang ibu. Tokoh yang terakhir adalah teman tokoh utama yang merupakan mantan kekasih tokoh utama sekaligus kini menjadi pasangan lesbian dari anak perempuan tokoh utama. Sosok teman tokoh utama direpresentasikan sebagai wanita dewasa yang cerdas, keras, idealis, dan penuh dendam. Dalam komunitas lesbian nampak adanya dorongan kuat untuk menjaga rahasia hubungan sesama jenis serta tidak mengumbar privasi mereka ke orang di luar komunitas mereka dan ingin tetap menjaga keintiman hubungan mereka tanpa diketahui orang lain. Tuturan sang anak dari tokoh utama juga memiliki implikasi pemertahanan hubungan dengan pasangan sesama jenisnya karena rasa saling memiliki yang tinggi (posesif). Lebian juga direpresentasikan sebagai sosok pendukung paham matriarki yang kuat serta berpikir modern. Kedua, gay direpresentasikan dalam cerpen Aib karya Aries Pidrawan. Dalam cerpen ini, tokoh utama adalah Nyoman. Nyoman adalah seorang remaja laki-laki yang hidup di sebuah desa di Bali. Dia kemudian bertemu dengan Made yang merupakan remaja laki-laki yang tinggal di desa yang sama. Mereka kemudian menjalin hubungan sesama jenis (gay) dengan sembunyi-sembunyi. Tokoh utama direpresentasikan sebagai laki-laki desa yang JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 45
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
awalnya mengalami kegagalan hubungan asmara dengan perempuan namun kemudian merasakan kenyamanan di tengah kebersamaannya bersama teman laki-lakinya. Dalam cerpen ini, gay direpresentasikan sebagai sosok penyuka sesama jenis yang masih terikat sosial budaya Bali yang kuat. Gay juga direpresentasikan sebagai laki-laki yang memiliki ketertarikan kepada laki-laki secara fisik dan emosional, termasuk dalam berhubungan seksual. Gay direpresentasikan sebagai sosok yang menerima kenyataan hubungan terlarang tersebut dan tidak bisa melakukan hal-hal yang dianggap normal bagi kebanyakan orang. Mereka pun bisa merasakan cinta dan berkorban demi pasangan sesama jenisnya yang dicintainya. Secara sosiopragmatik, di desa tersebut (terletak di Bali), hubungan sesama jenis (gay) merupakan hal yang melanggar adat dan aib bagi keluarga dan seluruh warga desa. Hal itu juga tampak pada penggunaan kata leteh yang memiliki makna ‘kotor’. Perbuatan tokoh utama (laki-laki) dan kekasihnya (laki-laki) dianggap perbuatan yang kotor, melanggar hukum adat dan penghakiman sosial oleh seluruh warga desa. Hubungan sesama jenis mereka dianggap aneh, terlarang, dan menyalahi adat. Namun, tokoh utama merasa bila tidak ada yang aneh, terlarang, dan salah dari hubungan sejenisnya dengan kekasihnya. Hal ini mengindikasikan adanya kontradiksi antara masyarakat desa di Bali dan pemikiran pasangan gay. Percintaan mereka pun dianggap leteh atau kotor sehingga mereka berdua diusir dari desa dan dipisahkan dengan cara diasingkan ke dua hutan berbeda di luar wilayah desa. Perbuatan mereka berhubungan sesama jenis (gay) dianggap akan mendatangkan bencana dan kutukan. Hal itu juga dipercaya oleh warga desa akan mendatangkan blabar (banjir bandang), gering (wabah penyakit), dan bencana lainnya. Namun, mereka tetap berjuang demi hubungan asmara mereka berdua. Ketiga, representasi transgender dalam cerpen Bayi karya Moch Satrio Welang disajikan agak berbeda karena implikasi tuturan yang memberikan pemahaman tentang transgender terletak pada bagian akhir cerpen. Dikisahkan seorang warga desa bernama Sabarudin yang mengubah identitasnya menjadi Gayatri (transgender). Tokoh utama merupakan sosok transgender yang direpresentasikan sebagai transgender yang tengah kesepian karena ditinggal sang kekasih (laki-laki) yang dia sebut dengan Arjuna. Dalam cerpen ini, tokoh utama (transgender) direpresentasikan sebagai laki-laki yang mengubah jati dirinya sebagai perempuan. Tokoh utama (transgender) memiliki sifat layaknya perempuan sejati dan transgender direpresentaskan mampu menikmati pergantian peran dari laki-laki menjadi perempuan dan berhubungan seksual dengan laki-laki lain. Tokoh utama (transgender) dideskripsikan sebagai transseksual yang memiliki pemikiran bila dirinya adalah wanita seutuhnya (secara fisik dan psikis). Tokoh utama juga melakukan hal-hal yang dilakukan perempuan lain seperti mempercantik diri. Tokoh utama memiliki sifat posesif atau sifat memiliki yang tinggi terhadap pasangannya (laki-laki). Hubungan seksual merupakan salah satu wujud hubungan yang JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 46
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
sangat diminati transgender. Transgender sering membandingkan diri dengan perempuan lain karena merasa dirinya kurang sempurna. Tokoh utama (transgender) dan kekasihnya (laki-laki) menyembunyikan hubungan asmara mereka karena menyalahi sosial budaya di desa mereka. Selain hubungan sesama jenis, hubungan mereka juga dikaitkan dengan hal lain yakni adanya perbedaan strata atau status sosial yang ada di desa tersebut. Tokoh utama (transgender) benar-benar merasa dirinya adalah perempuan seutuhnya dan memiliki harga diri serta keyakinan diri. Hubungan transgender tidak memiliki kekuasaan atas sosial budaya yang dianut oleh warga desa setempat. Selain itu, sosok tokoh utama juga direpresentasikan sebagai transgender yang kejam karena melakukan pembunuhan. Transgender juga direpresentasikan memiliki kelemahan dan keputusasaan layaknya perempuan. Bagian akhir cerpen ini mengkonfirmasi seluruh representasi tokoh utama yang merupakan seorang transgender. Berdasarkan pembahasan temuan-temuan dalam penelitian ini, secara analitis tinjauan sosiopragmatik, lesbian, gay, dan transgender direpresentasikan secara langsung (eksplisit) maupun secara tidak langsung (implisit) berdasarkan konteks tuturan dan konteks sosial budaya yang membangun ketiga cerpen tersebut. Implikasi dalam tuturan berdasarkan konteks sosial budaya menghasilkan beberapa temuan penting. Lesbian direpresentasikan dalam tiga tokoh (ibu, anak perempuan, dan teman perempuannya). Secara umum, lesbian direpresentasikan sebagai perempuan atau wanita yang cerdas, kritis, idealis, keras kepala, berpikir modern, global, matriarki, menjaga privasi, posesif, pencemburu, kejam, dan sekaligus pendendam. Gay direpresentasikan dalam dua tokoh utama yakni Nyoman dan Made yang merupakan dua pemuda desa di Bali yang menjalin hubungan sesama jenis. Gay direpresentasikan sebagai laki-laki yang takut akan sosial masyarakat sekitarnya, memiliki ketertarikan fisik pada sesama laki-laki, memiliki ketertarikan emosi pada sesama laki-laki, sangat menjaga privasi hubungan sesama jenisnya, dan perasaan gay muncul karena kenyamanan di tengah kegagalan asmara saat bersama lawan jenis. Selain itu, gay juga direpresentasikan sebagai hubungan yang aneh, terlarang, dan salah menurut sosial, agama, dan budaya namun gay beranggapan sebaliknya (kontradiktif). Gay dianggap pembawa bencana namun gay tetap berjuang menjaga hubungan asmara sesama jenis mereka. Transgender direpresentasikan melalui tokoh Sabarudin yang mengubah identitas dirinya sebagai Gayatri. Representasi transgender dideskripsikan sebagai transseksual yang mengalami keputusasaan dan penantian akan kekasihnya (laki-laki). Transgender direpresentasikan memiliki watak layaknya perempuan sejati, melakukan hal-hal yang dilakukan perempuan sejati, memiliki pemikiran bila dirinya adalah wanita seutuhnya (secara fisik dan psikis), menikmati hubungan seksual dengan laki-laki, posesif terhadap pasangan, menjaga privasi, kejam, putus asa, dan hubungan transgender tidak memiliki kekuasaan atas sosial budaya yang dianut.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 47
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya maka penulis dapat menarik simpulan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut. (1) Lesbian direpresentasikan dalam tiga tokoh (ibu, anak perempuan, dan teman perempuannya). Secara umum, lesbian direpresentasikan sebagai perempuan atau wanita yang cerdas, kritis, idealis, keras kepala, berpikir modern, global, matriarki, menjaga privasi, posesif, pencemburu, kejam, dan sekaligus pendendam. (2) Gay direpresentasikan dalam dua tokoh utama yakni Nyoman dan Made yang merupakan dua pemuda desa di Bali yang menjalin hubungan sesama jenis. Gay direpresentasikan sebagai laki-laki yang takut akan sosial masyarakat sekitarnya, memiliki ketertarikan fisik pada sesama laki-laki, memiliki ketertarikan emosi pada sesama laki-laki, sangat menjaga privasi hubungan sesama jenisnya, dan perasaan gay muncul karena kenyamanan di tengah kegagalan asmara saat bersama lawan jenis. Selain itu, gay juga direpresentasikan sebagai hubungan yang aneh, terlarang, dan salah menurut sosial, agama, dan budaya namun gay beranggapan sebaliknya (kontradiktif). Gay dianggap pembawa bencana namun gay tetap berjuang menjaga hubungan asmara sesama jenis mereka. (3) Transgender direpresentasikan melalui tokoh Sabarudin yang mengubah identitas dirinya sebagai Gayatri. Representasi transgender dideskripsikan sebagai transseksual yang mengalami keputusasaan dan penantian akan kekasihnya (laki-laki). Transgender direpresentasikan memiliki watak layaknya perempuan sejati, melakukan halhal yang dilakukan perempuan sejati, memiliki pemikiran bila dirinya adalah wanita seutuhnya (secara fisik dan psikis), menikmati hubungan seksual dengan laki-laki, posesif terhadap pasangan, menjaga privasi, kejam, putus asa, dan hubungan transgender tidak memiliki kekuasaan atas sosial budaya yang dianut. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran tentang penggunaan bahasa dalam karya sastra, khususnya bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Para pengajar bisa memilih karya-karya sastra khususnya sastra cerpen yang mampu merepresentasikan suatu hal yang dikaitkan dengan konteks sosial dan dianalisis berdasarkan implikasi pragmatisnya karena pada dasarnya sastra merupakan refleksi keadaan masyarakat dan bahasa yang digunakan sesuai dengan bahasa yang digunakan di masyarakat. Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan dasar pertimbangan dalam pengajaran sastra atau model analisis sastra dengan penggunaan cerpen bagi dosen Bahasa dan Sastra Indonesia terutama dalam pembelajaran Sosiolinguistik, Pragmatik, Teori Sastra, Prosa Fiksi, Kritik Sastra, Analisis Wacana, Drama, dan sebagainya. Pembaca khususnya peneliti lain diharapkan mampu melakukan penelitian lanjutan mengenai permasalahan yang serupa dengan penelitian ini yakni representasi biseksual dalam sastra, multilingualisme dalam sastra, serta hal-hal lain yang bisa dikaji melalui teori sosiolinguistik, pragmatik, atau sosiopragmatik.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 48
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
DAFTAR PUSTAKA Aksana, Andrei. 2005. Lelaki Terindah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barry, Peter. 2010. Beginning Theory:Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya (Harviyah Widyawati dan Evy Setyarini, pentj.). Yogyakarta: Jalasutra. Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. San Fransisco: San Fransisco State University. Faurazi, Akbar. 2014. Cerpen (Pengertian, Unsur, Struktur Isi, dan Ciri-cirinya). Diakses pada laman http://akbarfaurazi.blogspot.com pada 12 Agustus 2014. Juliantari, 2011. Multilingualisme dalam Novel Kenanga Karya Oka Rusmini (Suatu Kajian Sosiopragmatik). Tesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana Undiksha Singaraja. Merdhana, Nyoman dan Sumarsono. 2009. Kearifan Lokal di Balik Bahasa Bali. Laporan Penelitian Fundamental (tidak diterbitkan). FBS Undiksha Singaraja. Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Tim Penulis. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 49
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
STRATEGI PENYAMPAIAN TUTURAN DIREKTIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS Ni Wayan Eminda Sari
Ida Ayu Made Wedasuwari
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected] [email protected]
Abstrak Diskusi dapat diartikan sebagai aktivitas bertukar pikiran yang dilakukan oleh beberapa orang. Dalam bidang pembelajaran, diskusi sebagai sebuah metode yang ditempuh guru dalam melaksanakan interaksi belajar mengajar. Berdasarkan hal tersebut, kajian terhadap strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas di SMA (SLUA) 1 Saraswati Denpasar menarik dan perlu dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas dan mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan penyampaian tuturan direktif siswa terhadap pembelajaran di kelas.Data penelitian ini adalah tuturan siswa yang berbentuk lisan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rekaman, observasi, dan wawancara. Analisis data melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan dan verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas disampaikan secara langsung dan tidak langsung dengan fungsi yang bervariasi. Strategi penyampaian tuturan siswa yang dominan muncul adalah strategi bertanya secara langsung. (2) Dampak yang ditimbulkan terhadap pembelajaran adalah situasi pembelajaran di kelas menjadi nyaman dan kondusif, aktivitas siswa berkembang, pembelajaran berlangsung dengan baik, tidak terhambat, dan tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Berdasarkan temuan tersebut, hendaknya guru dan siswa memperhatikan strategi penyampaian tuturan dalam pembelajaran di kelas terutama dalam bertanya sehingga terjadi interaksi aktif yang harmonis antar siswa dengan guru dan siswa dengan siswa. Kata Kunci: strategi, tuturan, direktif, pembelajaran.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 50
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
THE STRATEGY OF DELIVERING DIRECTIVE SPEECH OF STUDENTS IN THE CLASSROOM Abstract Discussion can be defined as an activity to share ideas and thought which is done by some people. In learning, discussion is a method which is applied by teachers in teaching and learning process. According to the prior matters, a study on a strategy in uttering directive speech by students at SMA (SLUA)1 Saraswati Denpasar within the teaching and learning process was interesting to be conducted. This study is a qualitative descriptive study which aimed at describing the strategy in uttering directive speech by students at the classroom and describing the effects occurred from directive speech by students towards the learning process in the class. The research data were the students’ utterance in the oral form. The methods used were recording, observing, and interviewing methods. The garnered data were analyzed following the threefold steps, namely: 1) data reduction, 2) data presentation and 3) conclusion and data verification. The research findings revealed that 1) the strategy in delivering the students’ directive speech was in direct and indirect forms with varied functions. The dominant strategy done by the students was direct questioning strategy. 2) The effects towards the teaching and learning process were the comfortable and conducive learning situation, the developed students’ activities, the effective classroom, and the achieved learning goals. In accordance with these findings, the teachers and the students are expected to consider the speech uttering strategy in teaching and learning process, especially in asking to create a harmonious active interaction between the students and the teachers and amongst the students. Key words: strategy, speech, directive, learning PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari, tiap anggota masyarakat selalu melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut, pada umumnya mereka menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, penggunaan bahasa tersebut dapat berupa wacana ataupun percakapan yang diwujudkan dengan menggunakan satu, beberapa, atau banyak
tuturan. Tiap tuturan (dalam wacana atau
percakapan) yang disampaikan oleh penutur atau penulis kepada mitra tutur atau pembaca mempunyai maksud tertentu. Makna atau maksud tuturan itu (dapat dikatakan) menyatakan tindakan. Makna atau maksud yang menyatakan tindakan yang dinyatakan dengan tuturan itu disebut dengan tindak tutur. Tindak tutur yang digunakan partisipan tutur mempunyai fungsi. Fungsi tindak tutur tercermin dari maksud tuturan. Fungsi tindak tutur antara lain seperti yang dinyatakan Searle (dalam Soemarsono: 2007) bahwa berdasarkan fungsinya, tindak tutur dapat digolongkan dam tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. (1) Asertif (Assertives): bermaksud, bertujuan, atau berfungsi menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang diungkap, misalnya, menyatakan menerima atau menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan. (2) Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan meminta lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 51
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
terhadap tindakan yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif (Commissives): ilokusi bertujuan untuk menyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif (Expressive): fungsi ilokusi ini adalah mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih,
mengucapkan
selamat,
memberi
maaf,
mengecam,
memuji,
mengucapkan
belasungkawa, dan sebagainya. (5) Deklarasi (Declaration): fungsi ilokusi ini adalah untuk mengungkapkan pernyataannya yang keberhasilan pelaksananya tampak pada adanya kesesuaiannya dengan realitas tindakan, misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya. Fungsi tindak tutur tersebut disampaikan dengan strategi penyampaian yang berbeda agar maksud dan tujuan tuturan dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara. Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak atau fungsi tindak tutur menggunakan tuturan tertentu. Dalam kaitan ini, Wijana (1996) mengisyaratkan bahwa strategi penyampaian tindak tutur atau fungsi tindak tutur dapat diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif (bermakna literal atau nonliteral, langsung dan tidak langsung). Dengan mengadaptasi teori-teori tersebut, strategi tindak tutur dapat dibedakan atas strategi langsung dan tidak langsung. Strategi langsung, yaitu strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna sama (atau mirip) dengan maksud pengutaraannya. Strategi tidak langsung adalah strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna yang tidak sama dengan maksud pengutaraannya. Strategi penyampaian tuturan direktif sangat penting dalam diskusi. Interaksi dengan konsep yang sama terhadap pesan dalam tuturan tampak dalam diskusi pada saat pembelajaran berlangsung, terutama diskusi yang terjadi antara guru dan siswa pada saat pembelajaran di kelas. Dalam diskusi sebagai salah satu aktivitas pembelajaran di kelas, guru dan siswa dituntut untuk saling berbagi pendapat. Dalam hal ini, baik guru maupun siswa menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan dan ada pula menyanggah, bertanya, dan sebagainya. Dalam konteks itu, guru atau siswa sebagai penutur dituntut untuk menggunakan bahasa yang sopan agar tidak menyinggung perasaan mitra tutur. Diskusi adalah sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau lebih/kelompok. Selain itu diskusi juga merupakan salah satu bentuk kegiatan untuk saling tukar bertukar pikiran yang dilakukan secara lisan dan merupakan salah satu bentuk pembicaraan secara teratur dan terarah. Biasanya komunikasi antara mereka/kelompok tersebut berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya akan memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar. Diskusi bisa berupa apa saja yang awalnya disebut topik. Dari topik inilah diskusi berkembang dan diperbincangkan yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 52
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
pemahaman dari topik tersebut. Menurut Sudiana (2006:114) menyatakan, bahwa diskusi juga dapat diartikan sebagai aktivitas bertukar pikiran yang dilakukan oleh beberapa orang. Dalam bidang pembelajaran, diskusi sebagai sebuah metode yang ditempuh guru dalam melaksanakan interaksi belajar mengajar. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Elik Sastrawan dengan judul “Tindak Tutur Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas IX SMP Negeri 1 Pupuan.” Dalam penelitian ini dibahas tentang jenis tindak tutur, ilokusi, dan fungsi tindak tutur. Selain itu, penelitian mengenai tindak tutur juga telah dilakukan oleh Made Ellinawati dengan judul “Retorika Pragmatik Penggunaan Tindak Tutur dalam Diskusi Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Singaraja”. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai fungsi retorika pragmatik penggunaan tindak tutur dan komposisi retorika pragmatik penggunaan tindak tutur dalam diskusi siswa. Kedua penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis laksanakan, baik dari segi objek maupun subjek penelitian, walaupun memiliki persamaan dari segi pengkajian tuturan. Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Strategi Penyampaian Tuturan Direktif Siswa dalam Pembelajaran Di Kelas”, menarik dan perlu untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas dan mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan penyampaian tuturan direktif siswa terhadap pembelajaran di kelas. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengkaji strategi penyampaian tuturan direktif
siswa
dalam
pembelajaran di kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Rancangan ini dipilih karena cocok dengan karakteristik masalah penelitian yakni strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas dan dampak yang ditimbulkan dari strategi penyampaian tuturan direktif siswa terhadap pembelajaran di kelas. Lokasi penelitian ini adalah di SMA (SLUA) 1 Saraswati Denpasar, khususnya di kelas XI IPA. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA
SMA (SLUA) 1
Saraswati Denpasar. Selanjutnya, objek dalam penelitian ini strategi penyampaian tuturan direktif siswa dalam pembelajaran di kelas di SMA (SLUA) 1 Saraswati Denpasar. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah 1) rekaman, melalui teknik perekaman ini, peneliti berusaha semaksimal mungkin mendapatkan rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam pembelajaran. 2) observasi, untuk melengkapi data yang tidak terekam, peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas komunikasi dalam pembelajaran, dan 3) wawancara, teknik ini dilakukan lebih banyak berupa pengajuan pertanyaan konfirmasi secara tidak terstruktur. Analisis data yang digunakan
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 53
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
dalam penelitian ini adalah melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi Penyampaian Tuturan Direktif Siswa dalam Pembelajaran di Kelas Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak atau fungsi tindak tutur menggunakan tuturan tertentu. Strategi penyampaian tindak tutur dapat diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif, imperatif, dan interogatif. Strategi penyampaian tuturan direktif siswa dapat diwujudkan dengan strategi langsung dan tak langsung. Strategi langsung digunakan dalam menyampaikan fungsi tindak tutur oleh penutur terhadap mitra tutur menggunakan tuturan dengan makna yang jelas atau yang merealisasikan makna dengan memfungsikan tuturan secara konvensional. Selanjutnya dalam penggunaan strategi tidak langsung, penutur mengekspresikan tindak tutur dengan cara memfungsikan tuturan secara tidak konvensional dan umumnya motivasi dan tujuan pengutaraannya adalah kesantunan. Strategi penyampaian tuturan siswa tampak pada cara siswa menyampaikan fungsi tuturan yang meliputi fungsi memerintah, meminta, bertanya, melarang, dan sebagainya. Strategi penyampaian tersebut dinyatakan dengan bentuk berupa tuturan dengan karakteristik tersendiri. Berdasarkan uraian di atas, strategi yang digunakan siswa dalam pembelajaran meliputi strategi langsung dan tidak langsung. Strategi tersebut digunakan siswa untuk mengaktifkan pembelajaran, memaparkan materi pelajaran, menjalin hubungan yang harmonis serta keakraban antara siswa dengan siswa, dan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Strategi Direktif Langsung Strategi direktif langsung merupakan strategi yang digunakan penutur terhadap mitra tutur dalam menyampaikan fungsi tindak tutur untuk menghendaki agar lawan tutur melakukan sesuatu. Strategi langsung diwujudkan dengan tuturan dalam berbagai modus (deklaratif, imperatif, dan interogatif) atau tuturan dalam berbagai modus yang secara konvensional disampaikan dengan makna yang jelas atau makna sebenarnya. Strategi direktif langsung yang diwujudkan dalam berbagai modus tersebut menggunakan bahasa dengan pilihan kata yang terkesan halus dan santun. Sejalan dengan uraian di atas, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam percakapan di kelas, strategi direktif langsung secara operasional digunakan siswa terhadap siswa untuk bertanya, meminta, dan mengizinkan. Dalam menyatakan fungsi itu, strategi langsung yang dinyatakan siswa pada umumnya berorientasi pada kesantunan. Hal tersebut tampak seperti di bawah ini. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 54
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Strategi Bertanya Secara Langsung Strategi bertanya secara langsung terdapat pada contoh percakapan di bawah ini. : “Aku kangen banget tau ma dia. Ardi, gimana ya caranya biar kita bisa ketemu Nita?”(a) S2 : “Ah gampang itu Jon. Kita pura-pura sebagai penjual bunga yang mengantarkan bunga untuk Nita. Sekarang kita beli bunga dulu ke toko bunga. Setelah itu kita langsung ke rumah Nita mengantarkan bunga itu. Siapa tahu aja nanti ga ada ortunya di rumah jadi kita langsung dapat ngajak Nita main ke taman. (b) (Konteks: Percakapan tersebut terjadi dalam situasi tidak terlalu formal. Siswa menggunakan kata-kata tidak terlalu formal dan akrab dalam pementasan drama kelas).
S1
Tuturan di atas tergolong strategi bertanya secara langsung yang diwujudkan dengan tuturan bermodus interogatif. Dalam hal ini, siswa meminta temannya secara langsung agar menjelaskan dengan baik dan benar tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menemui si Nita yang sesuai dengan skenario drama tersebut. Dengan demikian, pembelajaran menjadi nyaman dan kondusif. Tuturan tersebut tergolong santun. Dalam konteks ini, tuturan tersebut terkesan akrab, santai, tidak ada jarak sosial dan disampaikan secara langsung. Dengan penggunaan strategi penyampaian tuturan direktif siswa seperti itu, dapat terjalin hubungan interpersonal yang baik antara siswa dan siswa. Strategi Mengizinkan Secara Langsung Tuturan direktif mengizinkan diwujudkan dengan bentuk deklaratif. Tuturan tersebut menekankan prinsip kesantunan. Hal itu terkait dengan penggunaan bahasa yang efektif, dapat menarik perhatian, meyakinkan, dan mempengaruhi mitra tutur sesuai dengan konteks interaksi yang berlangsung. Hal tersebut tampak pada contoh percakapan di bawah ini. S1 : “Kesempatan pertama saya berikan Suryani untuk menjawabnya.”(a) S2 : “Terima kasih saudara untuk kesempatannya. Saya pikir drama itu menggunakan alur maju.”(b) (Konteks: Disampaikan siswa pada saat memberikan kesempatan siswa lain dalam menjawab pertanyaan.) Tuturan di atas tergolong strategi mengizinkan secara langsung yang diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif. Dalam hal ini, siswa mengizinkan siswa lain secara langsung agar menanggapi pertanyaan yang disampaikan dalam diskusi. Siswa (S1) menjalankan tugas sesuai dengan kewajiban moderator dalam diskusi. Pengizinan pada tuturan (b) tidak disertai dengan modalitas silakan tetapi disertai dengan penggunaan kata berikan, namun maksud dari tuturan di atas adalah mengizinkan siswa lain untuk menanggapi permasalahan dalam diskusi tersebut. Strategi Direktif Tidak Langsung Strategi tidak langsung, siswa mengekspresikan tindak tutur dengan cara memfungsikan tuturan secara tidak konvensional dan umumnya motivasi dan tujuan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 55
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
pengutaraannya adalah kesantunan. Sejalan dengan hal itu, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas, strategi tidak langsung secara operasional digunakan untuk meminta dan mengizinkan yang berorientasi pada kesantunan. Hal tersebut tampak seperti di bawah ini. Strategi Meminta Secara Tidak Langsung Strategi direktif siswa secara tidak langsung dapat berupa tuturan deklaratif yang berfungsi meminta. Sebagai Strategi direktif, tuturan tersebut menggunakan bahasa yang santun secara retorik yaitu; efektif, menarik, meyakinkan, dan dapat mempengaruhi mitr a tutur. Strategi direktif meminta secara tidak langsung juga terdapat pada tuturan siswa di bawah ini. : “Apa yang anda maksud dengan konversi lahan dan paceklik?” : “Konversi lahan adalah pengalihan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan perumahan. Paceklik itu musim kering atau musim yang tidak mendukung dalam pertanian sehingga petani mengalami kerugian.” (b) (Konteks: Disampaikan siswa dalam pemaparan hasil penelitian dengan situasi tidak terlalu formal) Tuturan di atas tergolong strategi meminta secara tidak langsung yang diwujudkan S1 S2
dengan tuturan bermodus interogatif. Dalam hal ini, siswa meminta temannya secara tidak langsung agar menjelaskan pengertian tentang konversi lahan dan musim paceklik. Tuturan tersebut tergolong santun. Dalam konteks ini, tuturan terkesan akrab, menguntungkan siswa, dan menunjukkan kesekawanan. Dengan pnggunaan strategi seperti itu, dapat terjalin hubungan interpersonal yang baik antara siswa dan siswa yang lain. Hal itu tampak pada dampak tuturan siswa yaitu adanya respons positif siswa seperti pada (b). Secara retorik, tuturan siswa di atas berfungsi untuk memberikan informasi kepada siswa terkait dengan pertanyaan yang diajukan. Strategi Mengizinkan Secara Tidak Langsung Strategi mengizinkan secara tidak langsung dinyatakan dengan tuturan interogatif seperti di bawah ini. : “Bagaimana kalau kesempatan pertama yang menanggapi dari kelompok Deni?” (a) S2 : “ Setuju…(b) (Konteks: Disampaikan siswa selaku moderator pada saat diskusi)
S1
Tuturan di atas tergolong strategi mengizinkan secara tidak langsung yang diwujudkan dengan tuturan bermodus interogatif. Dalam hal ini, siswa mengizinkan temannya secara tidak langsung agar menanggapi permasalahan yang disampaikan kelompok lain. Tuturan tersebut tergolong santun. Dalam konteks ini, tuturan tersebut terkesan ramah, akrab, dan memberikan alternatif pilihan. Dampak Strategi Penyampaian Tuturan Direktif Siswa terhadap Situasi Pembelajaran di Kelas
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 56
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Dampak penyampaian tuturan direktif siswa terhadap situasi pembelajaran di kelas yaitu
(1) situasi pembelajaran di kelas menjadi kondusif, (2) keaktifan siswa menjadi
berkembang, (3) pembelajaran di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif. Hal itu menunjukkan bahwa strategi penyampaian tuturan direktif siswa berdampak positif terhadap pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan berikut. G : Baiklah ada yang kurang jelas? Kalau kalian tidak ada yang Bertanya, biar ibu saja yang bertanya. Tadi, ada metode wawancara. Apa saja jenis wawancara yang bisa digunakan dalam mencari data? (a) S : wawancara terstruktur dan tidak terstruktur (b) (Konteks: Percakapan tersebut terjadi dalam situasi formal. Siswa terkesan menjawab seperlunya dan terkesan menjaga jarak dengan guru). Berdasarkan tuturan di atas, maka dampak yang juga ditimbulkan adalah aktif atau tidaknya siswa dalam pembelajaran. Dengan adanya tuturan siswa pada (b) dapat diketahui bahwa siswa tersebut menggunakan tuturan deklaratif berusaha menjawab atau menanggapi apa yang dituturkan gurunya. Hal itu juga disebabkan guru yang selalu membangkitkan aktivitas siswanya di dalam kelas. Dengan demikian, dapat dilihat siswa sangat aktif saat pembelajaran di kelas, sehingga kelas menjadi nyaman dan kondusif. Selain itu, siswa juga harus membuat terobosan dalam pembelajaran. Terobosan yang dimaksud adalah aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dapat membangkitkan suasana kelas. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut. G : Apa manfaat teori dalam laporan penelitian?(b) S :Teori itu nantinya digunakan sebagai acuan dalam analisis hasil penelitian yang dilakukan, Bu. (c) (Konteks:Percakapan tersebut terjadi dalam situasi formal. Guru menunjukkan sikap serius dalam menanggapi pertanyaan siswa dan menggunakan kata-kata yang informatif) Tuturan siswa dalam percakapan di atas dapat menimbulkan dampak positif terhadap pembelajaran di kelas. Tindak tutur tersebut terjadi saat membahas materi pelajaran di kelas. Situasi saat itu masih cukup kondusif karena keadaan siswa masih serius mendengarkan penjelasan guru. Maka dari itu, sudah sepantasnya antara guru dan siswa selalu menciptakan situasi yang nyaman di dalam kelas sehingga baik guru maupun siswa tidak merasa terganggu dengan situasi kelas yang kurang nyaman. Selanjutnya dari pertanyaan yang dilontarkan guru, siswa pun menjawab dengan penuh semangat dan tidak perlu panjang lebar selama tuturan tersebut tidak diperlukan. Artinya, dengan adanya tindak tutur siswa menyatakan bahwa siswa sudah dapat menerima tuturan tersebut dan mengerti apa yang dimaksud dari tuturan tersebut sehingga pembelajaran di kelas menjadi efektif dan adanya pemahaman bersama serta tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dengan demikian, strategi penyampaian tuturan direktif siswa disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Dampak strategi penyampaian tuturan direktif siswa pada umumya berupa dampak positif bagi proses belajar mengajar di kelas.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 57
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1.
Strategi penyampaian tuturan direktif siswa disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Strategi penyampaian direktif siswa yang disampaikan secara langsung berupa tuturan yang berfungsi untuk bertanya, mengizinkan, dan meminta. Sedangkan, strategi penyampaian direktif siswa yang disampaikan secara tidak langsung berupa tuturan yang berfungsi untuk meminta dan mengizinkan. Strategi penyampaian direktif yang dominan muncul adalah strategi bertanya secara langsung.
2.
Dampak yang ditimbulkan terhadap pembelajaran adalah situasi pembelajaran di kelas menjadi nyaman dan kondusif, aktivitas siswa berkembang, pembelajaran berlangsung dengan baik, tidak terhambat, dan tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Berdasarkan temuan tersebut, hendaknya guru dan siswa memperhatikan strategi
penyampaian tuturan dalam pembelajaran di kelas terutama dalam bertanya sehingga terjadi interaksi aktif yang harmonis antar siswa dengan guru dan siswa dengan siswa. Selain itu, situasi pembelajaran di kelas menjadi nyaman dan kondusif serta tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. DAFTAR PUSTAKA Ellinawati, Made. 2011. “Retorika Pragmatik Penggunaan Tindak Tutur dalam Diskusi Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Singaraja”. Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja: Undiksha Leech Geoffry.1996. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh MDD Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Miles, M. B. dan Huberman, A.M. 1984. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi. 1992. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sastrawan, Ellik. 2011. Tindak Tutur Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas IX SMP Negeri 1 Pupuan. Tesis (tidak diterbitkan). Singaraja: Undiksha Sudiana, I Nyoman. 2007. Retorika Bertutur Efektif. Sidoarjo: AP Asri Press. Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Wijana, I Dewa Pt. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 58
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
PEMETAAN MASALAH MAHASISWA DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA Luh Ketut Sri Widhiasih
Nyoman Deni Wahyudi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected]
[email protected]
Abstrak Penelitian yang menggunakan rancangan deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang dialami mahasiswa dengan kemampuan berbicara. Mahasiswa adalah mereka yang mengambil mata kuliah Speaking 1 di Program Studi Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar Semester 1. Data yang diperoleh pada penelitian ini berjenis data kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari observasi dan wawancara. Data diperoleh dengan menggunakan peneliti sebagai instrument kunci dan beberapa instrumen penelitian lain seperti catatan peneliti dan daftar pertanyaan wawancara. Hasil observasi dan wawancara akan dianalisis secara deskriptif menggunakan Model Interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa masih memiliki masalah dengan pelafalan, kosa kata, tata bahasa, kelancaran, pemahaman, kecemasan dan percaya diri. Kata kunci : masalah mahasiswa, kemampuan berbicara
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 59
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
MAPING STUDENTS PROBLEMS IN ABILITY OF SPEAKING Abstract This research that used descriptive qualitative design aim at identifying problems faced by university students toward speaking ability. University students are they who took Speaking 1 class at first semester of English Education Department, Faculty of Teaching Training, Mahasaraswati Denpasar University. Data collected in this research are collected by observation and interview. Data are collected by using researcher as the key instrument and some research instruments such as, researcher’s diary and list of interview questions. The result of observation and interview are analyzed descriptively using Interactive Model. The result of this research showed that almost all of the university students has problems in pronunciation, vocabulary, grammar, fluency, comprehension, anxiety, and self-confidence. Key words: university students’ problems, speaking ability PENDAHULUAN Menurut Silabus Speaking 1 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, menyatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini harus mencapai sebuah standar kompetensi yaitu memiliki kemampuan membawakan percakapan berbahasa Inggris dengan topik sehari-hari dan membangun hubungan dengan orang lain dengan mudah dan dengan tata cara yang berterima menggunakan Bahasa Inggris lisan. Pencapaian standar kompetensi ini dijabarkan lebih spesifik dalam sebuah kompetensi dasar bahwa mahasiswa harus menampilkan beragam tipe fungsi berbicara yang relevan pada pertukaran ide. Kemampuan berbicara mahasiswa diharapkan menunjukkan sebuah performance dalam bahasa Inggris yang bisa menggambarkan penggunaan Bahasa Inggris sehari-hari yang dapat mempermudah komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berbicara tentang keterampilan berkomunikasi yang digunakan sehari-hari, selayaknya pembicara dalam hal ini mahasiswa mampu menampilkan komunikasi dengan ekspresi yang sesuai dengan kebutuhan topic itu. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu isi dari hal yang diperbincangkan, dimana isi harus sesuai dengan topic. Struktur dari materi yang dibawakan pastinya harus mengandung tiga komponen, pembuka, inti dan penutup. Setelah materi yang dibawakan memiliki isi dan struktur yang baik, mahasiswa juga diharapkan menyampaiakannya dengan lancer dan
melafalkan setiap kata dengan
sempurna. Dengan standard kompetensi dan kompetensi dasar seperti tersebut, kompetensi mahasiswa diukur. Tetapi menampilkan sebuah monolog, dialog, atau percakapan dalam bahasa Inggris bukanlah suatu pekerjaan yang gampang bagi mahasiswa semester awal. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 60
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Oleh sebab itu, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan masalah-masalah yang yang dihadapi oleh mahasiswa dalam mengekspresikan ide dalam bahasa Inggris atau singkatnya kemampuan berbicara. Berbicara memiliki makna ‘berkata’, ‘bercakap’, ‘berbahasa’, atau ‘melahirkan pendapat’ (dengan perkataan, tulisan, dan sebagainya) (KBBI, 2003:148). Berbicara juga dapat diasumsikan sebagai keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan (Tarigan dkk., 1997/1998:80). Tarigan (dalam Wendra, 2006:3) menyatakan pengertian berbicara sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Menurut Syakir (2009), berbicara membutuhkan dua aspek yaitu aspek linguistic dan aspek non-linguistik. Aspek linguistic adalah syarat utama yang harus dimiliki peserta didik dalam berbahasa khususnya berbicara. Aspek linguistic yaitu pengertian, pelafalan, tata bahasa dan susunan kata, kosa kata, kecepatan berbicara, panjang kalimat, dan sebagainya. Non-linguistik aspek adalah aspek yang mendukung peserta didik untuk memiliki kemampuan berbicara yang baik. Aspek ini meliputi dimensi personal, seperti penghargaan diri dan keterbukaan. Untuk memiliki kemampuan berbicara yang baik, seorang peserta didik harus menguasai dua aspek ini. Kedua aspek ini berkaitan satu sama lain. Peserta didik tidak bisa hanya focus pada satu aspek saja untuk memiliki kemampuan berbicara yang baik. Mereka harus mengkombinasikan kedua aspek tersebut untuk mencapai kompetensi yang baik dalam berbicara. Kemampuan berbicara adalah sebuah kemampuan utama yang dibutuhkan dalam pergaulan internasional sekarang ini. Saat kemampuan ini menjadi sangat penting, banyak orang menggampangkan prosesnya, sehingga dihasilkan kualitas berbicara yang kurang. Anggapan bahwa setiap orang dengan sendirinya dapat berbicara telah menyebabkan pembinaan kemampuan dan keterampilan berbicara sering diabaikan (Arsjad dan Mukti, 1993:23). Dalam konteks perkuliahan Speaking 1, mahasiswa yang telah memiliki dasar berbahasa inggris pada roses sekolah sebelumnya juga masih mengalami masalah dengan kemampuan berbicara. Jadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara dalam aspek linguistic dan non-linguistik. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksakan di salah satu universitas swasta di Denpasar yaitu Universitas Mahasaraswati Denpasar. Universitas ini berlokasi di kota Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan di empat kelas semester 1 yang sedang mendapatkan mata kuliah Speaking 1, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Fokus dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di kelas 1A, 1B, 1G, dan 1H yang mengambil mata kuliah Speaking 1 yang berjumlah 120 orang. yang dipilih dengan teknik sampel acak.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 61
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kulititatif digunakan untuk mengidentifikasi masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara. Data tentang masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara tersebut didapatkan melalui observasi yang kemudian dikonfirmasi dengan wawancara terstruktur. Observasi dilakukan terhadap performance mahasiswa, setelah itu disusul dengan mengkonfirmasi permasalahan yang disimpulkan melalui proses observasi melalu wawancara untuk mengetahui masalah mahasiswa dengan kemampuan mahasiswa secara spesifik. Observasi dan wawancara dianalisis secara kualitatif untuk melihat masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara. Data observasi didapat melalui catatan peneliti. Sedangkan, data wawancara didapat melalui daftar pertanyaan yang
diajukan kepada
mahasiswa. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan Model Interaktif. Model ini terdiri dari empat langkah yaitu pengumpulan data, penyaringan data, penyajian data, dan pembuatan kesimpulan/verivikasi (Miles dan Huberman, 1994). Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk menemukan pola yang diharapkan sehingga dapat disimpulkan. Sebelumnya peneliti telah melakukan triangulasi data. Peneliti juga telah memverifikasi data dengan membandingkan data dari berbagai instrument penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Berbicara dinyatakan adalah kemampuan yang alami yang akan dikuasai oleh setiap individu. Berdasarkan fakta itu sering terjadi penggampangan terhadap proses pembelajaran berbicara, sehingga sering terdapat masalah dalam pengaplikasiannya. Sejalan dengan itu, masalah juga terjadi pada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Speaking 1 di Program Studi Bahasa Inggris, Pakultas Keguruan dan Ilmu Pendidiikan, Universitas Mahasarasawati Denpasar. Masalah yang dihadapi mahasiswa dengan kemampuan berbicara dapat digolongkan menjadi dua menurut aspeknya, yaitu masalah yang berhubungan dengan aspek linguistic dan non linguistic. Pada aspek linguistic, mahasiswa cenderung memiliki masalah yang berhubungan dengan pelafalan, kosa kata, tata bahasa, kelancaran dan pemahaman. Seperti dinyatakan bahwa pelafalan adalah bukan hanya kemampuan untuk melafalkan kata perkata tetapi juga bahasa itu sendiri sehingga memiliki arti yang diinginkan untuk dinyatakan. Mahasiswa sering mengesampingkan aspek ini karena dianggap adalah wajar seorang penutur bahasa kedua tidak memiliki pelafalan persis seperti pembicara pertama bahasanya. Tetapi yang diharapkan disini adalah bukan memiliki lafal yang persis sama seperti penutur aslinya tetapi yang seperti penutur aslinya, sehingga makna yang sampai ke pendengar adalah sesuai dengan yang diharapkan pembicaranya. Kosa kata yang digunakan oleh mahasiswa juga cenderung miskin karena variasinya hanya terbatas pada beberapa kata saja. Hal ini adalah dampak pada kurangnya minat baca mahasiswa. Mahasiswa merasa cukup hanya menguasai beberapa kata saja, sehingga JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 62
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 2
motivasi untuk memperkaya kosa katanya berhenti sampai disitu saja. Masalah lain juga terjadi pada tata bahasa yang menyusun kalimat-kalimat yang diucapkan mahasiswa. Mahasiswa cenderung menggunakan bahasa Inggris Indonesia, dimana kalimat bahasa inggris yang diproduksi adalah hasil alih bahasa dari kalimat berbahasa Indonesia yang sama sekali tidak disesuaikan dengan tata bahasa Bahasa Inggris. Fakta itu menyebabkan mahasiswa banyak mengalami masalah pada tata bahasa. Masalah juga muncul pada aspek kelancaran. Kurangnya persiapan dan buruknya strategi belajar mahasiswa menjadi factor utama penyebab masalah kelancaran. Mahasiswa yang kerap kali mempersiapkan segalanya hanya dengan waktu beberapa jam sebelum presentasi membuat mereka gagal memahami bahan mereka dengan utuh dan akhirnya memilih strategi menghafal sebagai strategi mereka mempelajari bahan yang akan dibawakan. Hal ini menyebabkan masalah besar bagi mahasiswa, dimana mahasiswa sering gagal membawakan bahannya secara utuh akibat melupakan beberapa bagian hafalannya dari teks yang ingin disampaikan. Setelah ditelusuri lebih dalam, mahasiswa juga gagal memahami bahannya karena stategi menghafalkan ini. Mereka hanya berusaha mengingat kata perkata tanpa mengerti inti atau bahkan arti kata yang mereka ucapkan. Aspek non-linguistik juga menjadi factor pendukung masalah linguistic yang dihadapi mahasiswa dengan kemampuan berbicara. Kecemasan berlebih yang disebabkan oleh persiapan yang kurang matang adalah salah satu masalah mahasiswa. Kecemasan ini tak hayal memperburuk kondisi psikis mahasiswa saat membawakan bahan mereka. Semua hal yang dipersiapkan menjadi tidak sesuai rencana. Ketakutan disalahkan juga muncul saat presentasi tidak sesuai dengan rencana. Kepercayaan diri akhirnya menjadi kunci dari segala masalah yang sedang dihadapi. Tetapi faktanya mahasiswa juga memiliki masalah dengan kepercayaan diri yang ditunjukkan dengan bahasa tubuh yang tidak bersahabat dengan pendengar, seperti menunduk, gerakan tangan terselip ke saku celana, dan lain-lain. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa aspek linguistic dan non-linguistik saling berhubungan satu dengan yang lain dan mempengaruhi kemampuan berbicara mahasiswa. Saat mahasiswa lemah atau bermasalah dengan salah satu dari aspek tersebut, maka aspek lain yang dimiliki mahasiswa akan melemah. Perlu adanya penguatan pada semua aspek tersebut, sehingga dapat meminimalisir masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara. SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara berdasarkan aspek linguistik adalah berhubungan dengan pelafalan, kosa kata, tata bahasa, kelancaran dan pemahaman. Sedangkan, masalah mahasiswa dengan kemampuan berbicara berdasarkan aspek non-linguistik adalah berhubungan dengan kecemasan dan percaya diri. Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil dari penelitian ini adalah:
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 63
ISSN: 2355-5106
1.
Vol 1, No 2
Kepada peneliti lain diharapkan bisa menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang meneliti kasus serupa dan dapat melanjutkan penelitian ini pada fase penemuan solusi atas masalah-masalah yang ditemui dalam penelitian ini.
2.
Kepada mahasiswa diharapkan dapat merefleksikan masalahnya yang mungkin sebelumnya tidak disadari untuk kemudian dicari solusinya bersama-sama sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara.
3.
Kepada pengajar diharapkan dapat membantu mahasiswa menemukan solusi atas masalahnya. Pengajar juga diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai
pedoman untuk menentukan metode pengajaran yang sesuai dengan
masalah mahasiwanya. 4.
Kepada universitas terkait diharapkan dapat memfaislitasi mahasiswa dan pengajar untuk berdiskusi memecahkan masalah yang dialami sehingga kemudian dapat diaplikasikan pada kelas-kelas berbicara berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Arsjad, G. Maidar dan Mukti U. S. 1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Dokumen Silabus Program Studi Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1994. Qualitative Data Analysis, Second Edition .London: Sage Publications Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka Syakir, Andi. 2009. The Correlation between Self-Concept and English Speaking Ability of the Learners of Primagama English Course Samarinda. Samarinda: Published research in internet. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-bahasainggris/correlation-between-self-concept-and-english-speaking-abili-0 Tarigan, Djago dkk. 1997/1998. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Depdikbud Wendra, Drs. I Wayan, M.Pd. 2006. Keterampilan Berbicara. Singaraja: Undiksha Singaraja
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 64
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
INTERFERENSI STRUKTUR KALIMAT LUAS BERUNSUR KETERANGAN BAHASA LAURA DALAM BAHASA INDONESIA TULIS SISWA KELAS IV SDK MARSUDIRINI KECAMATAN LAURA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA Pelipus Wungo Kaka Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis jenis dan tingkat interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis siswa kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. Subjek penulisan ini adalah siswa kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. Objek penulisan ini adalah interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis siswa kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Hasil penulisan menunjukkan bahwa jenis interferensi ada tiga, yaitu interferensi dalam ranah morfologi, sintaksis dan semantik. Pada ranah morfologi adalah interferensi pengingkaran tata bahasa target, dalam bahasa Indonesia bentuk verba transitif atau intransitif yang seharusnya berimbuhan, sedangkan dalam bahasa tulis murid tidak ditemukan berimbuhan karena pengaruhnya bahasa donor atau kebiasaan pemakaian bahasa Laura yang tidak memiliki imbuhan transitif dan intransitif. Pada ranah sintaksis ada dua jenis interferensi yaitu interferensi substitusi, dan interferensi pengingkaran ketatabahasaan target. Kedua jenis interferensi ini terjadi pada frase pengisi fungsi keterangan. Pada keterangan lokatif keberadaan dan lokatif tujuan terjadi substitusi pada unsur direktor, yang seharusnya diisi oleh preposisi, tetapi dalam bahasa tulis siswa diisi oleh pronomina penunjuk. Hal ini terjadi sebagai akibat pengaruhnya bahasa Laura, karena frase lokatif bahasa Laura berdirektor pronomina penunjuk atau tanpa dimarkahi direktof. Interferensi dalam ranah semantik adalah interferensi substitusi, terjadi karena konsepsi makna bahasa Laura berbeda dalam makna bahasa Indonesia. Proses interferensi dalam ranah morfologi, sintaksis dan semantik adalah proses aktif produktif karena bahasa donor secara aktif digunakan oleh subjek. Tingkat interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis siswa dapat diklasifikasikan dalam kategori tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia terdapat dalam karangan siswa. Kegunaan artikel ini adalah untuk memberikan masukan kepada guru-guru SD bahwa salah satu penyebab kesulitan murid dalam belajar bahasa Indonesia karena masih begitu kuatnya ketergantungan mereka kepada struktur bahasa Laura. Guru sebaiknya menerapkan pembelajaran dengan pendekatan analisis kontrastif dan teori belajar bahasa dalam mengatasi penyebab terjadinya interferensi. Kata kunci: Interferensi sruktur bahasa Laura, bahasa Indonesia
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 65
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
THE INTERFERENSI OF WIDE SENTENCE STRUCTURE CONTRAINING ADVERBS OF LAURA LANGUAGE IN WRITING INDONESIAN LANGUAGE STUDENTS GRADE IV OF SDK MARSUDIRINI LAURA SUBDISTRICT SUMBA BARAT DAYA REGENCY Abstract This qualitative descriptive study aims to describe and analyze (1) the interference type of Laura language to Indonesian language of students writing, and (2) the interference level of Laura language to Indonesian language of students writing on class IV SDK Laura District West Sumba Regency. The subjects were students of class IV SDK Marsudirini. Object of this study is the interference of Laura language to Indonesian language of students writing on class IV SDK Marsudirini Laura District West Sumba Regency. Data collection method used is the method of documentation. The data were analyzed through three steps, namely data reduction, data presentation, and conclusions. The results showed that the interference type of, Morpology, Semantyc, and Syntaxes domain is interference of denial targets grammatical. The interference type of Syntaxes domain there are two types that contain in Laura language, namely substitution interference and denial interference targets grammatical. This interference types occurs in the phrases that fill adverbial function. On the adverbial of existence locative and purposes locative occurs substitution on director elements, which should be filled by a preposition, but on the students writing language as research subjects filled by pointer pronouns. The interference levels of Laura language to Indonesian language of students writing on class IV SDK Marsudirini were very high. The usefulness of this study is to provide input to the primary teachers that one of the causes of student difficulties in learning Indonesian because it is still so strong dependence on the structure of their first language (language Laura). The teachers should apply the learning to the contrastive analysis approach to overcome the cause of the interference. Key Words: interference, Laura language structure, Indonesian language. PENDAHULUAN Setiap komunitas mempunyai sistem nilai dan organisasi yang berbeda, keragaman ini mendasari adanya beragam pola hidup dan sikap berbahasa yang berbeda satu sama lain. Salah satu contoh adanya keberagaman ini adalah adanya bermacam-macam gaya berkomnikasi yang diartikan sebagai sikap yang digunakan seseorang dalam proses komunikasi antar sesama manusia. Perbedaan bahasa dalam satu negara tidak terlepas dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat penutur bahasa tersebut. Interferensi merupakan salah satu faktor penyebab kesalahan berbahasa. “Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, baik dalam ucapan maupun tulisan terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua” (Alwasilah, 1993:114). Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi. Proses komunikasi melalui penggunaan kedua bahasa tersebut kadang-kadang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling memengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemaian bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosakata bahasa daerah atau sebaliknya. Menurut Bonvilian (2003), bahasa merupakan bagian integral dari perilaku manusia. Ini berarti bahwa bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia,
karena
merupakan
sarana
dasar
dalam
berkomunikasi.
Budasi
(2011)
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 66
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
menyebutkan bahwa setiap bahasa di bumi adalah unik. Dua bahasa yang digunakan di dua tempat yang berbeda juga memiliki perbedaan satu sama lain. Namun, ada kemungkinan bahwa struktur kalimat dua bahasa memiliki perbedaan maupun dalam beberapa aspek (Lado, 1955). Perbedaan dan persamaan struktur kalimat bahasa yang signifikan tersebut dapat digunakan untuk menentukan strategi dalam pengajaran bahasa. Menurut Kartawinata (2010), perbedaan dan persamaan struktur gramatikal bahasa yang signifikan dapat digunakan untuk menentukan strategi dalam pengajaran bahasa. Bahasa Laura adalah salah satu bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur yang digunakan oleh kelompok suku Laura di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan bentengan wilayah yang cukup luas yang dihuni beberapa kelompok masyarakat suku Kodi, Wewewa, dan Laura. Tiap-tiap suku ini meyakini memiliki budaya dan bahasa yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam upacara adat, seperti upacara kematian, perkawinan,panenan, dan upacara lainnya yang menandai siklus kehidupan masyarakat itu sendiri. Mereka menggunakan bahasa secara saksama yang mereka namai bahasa tinggi. Bahasa Laura termasuk salah satu bahasa yang memiliki keunikan struktur tersendiri,baik tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sebagai contoh, perubahan bentuk verba bahasa Laura ditentukan dalam hubungan pemakaiannya dalam kalimat. Makna verba yang sama akan mempunyai bentuk yang berbeda-beda karena perbedaan subjek kalimatnya, seperti terlihat berikut ini. Yauwa kukako ‘saya saya pergi’ (‘Saya pergi’) Wo’u mukako ‘kau kau pergi’ (‘Kau pergi’) Nya nakako ‘ia ia pergi’ (‘Ia pergi’). Keunikan inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian
tentang interferensi bahasa Laura
dalam bahasa Indonesia tulis siswa. Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam komunikasi formal, itupun mereka mencampurkan kedua bahasa tersebut. Bahkan masih banyak pula yang tidak mampu berbahasa Indonesia. Anak-anak usia sekolah dasar juga masih sulit dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia karena mereka masih terpengaruh dengan bahasa ibu. Masih begitu kuatnya pemakaian bahasa pertama atau bahasa daerah ini merupakan kendala yang mempersulit pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah terutama di Sekolah Dasar (SD). Adanya interferensi dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang mengakibatkan transfer negatif dalam pemerolehan bahasa, mengingat bahwa struktur bahasa Laura memiliki perbedaan yang sangat menyolok dengan struktur bahasa Indonesia terutama tentang kata tugas dalam ranah sintaksis. Bahasa Laura memiliki kata tugas yang sangat terbatas. Bahasa Laura memiliki struktur kalimat yang berbeda. Masyarakat Laura tergolong dwibahasawan karena dalam kegiatan komunikasi harian, mereka menggunakan dua bahasa sekaligus yaitu bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2). Kondisi seperti ini, memengaruhi mereka dalam berbicara pada saat menggunakan satu bahasa. Sengaja atau tidak, sering terjadi kesalahan dalam menggunakan bahasa tertentu karena kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Suwito JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 67
ISSN: 2355-5106
(1983:26-27)
Vol 2, No 1
menyatakan
“Adanya
penyimpangan-penyimpangan
bukan
berarti
pengrusakan terhadap bahasa”. Interferensi merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983:54) berpendapat bahwa interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu. Interferensi menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaankebiasaan ujaran bahasa daerah atau dialek kedalam bahasa atau dialek kedua. Siswa SDK di Kecamatan Laura adalah dwibahasawan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Laura sebagai bahasa pertama. Di sekolah mereka baru mulai mempelajari bahasa Indonesia sehingga di kelas-kelas rendah bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa pertama. Dalam kondisi semacam ini, tentu saja pengaruh bahasa pertama sangat kuat dalam mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Dalam bahasa Indonesia, di depan subjek tidak boleh ada kata depan atau preposisi, karena subjek tersebut haruslah sebuah kata benda atau frase benda. Namun, hal itu kemungkinan akan berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain, khususnya dalam bahasa Laura. Bahasa Laura sangat berbeda struktur kalimat dengan bahasa Indonesia. Kesulitan dalam belajar B2 serta kesalahan dalam berbahasa yang umum dialami oleh siswa yang mempelajari B2 atau B1 menyebabkan adanya tuntutan perbaikan pengajaran bahasa pertama tersebut. Oleh karena itu, sangat tepat apabila studi interferensi ini dilakukan sebagai jawaban terhadap tuntutan perbaikan pengajaran B2. Secara gramatikal dan praktisnya bahasa Laura sangat jarang digunakan dibandingkan dalam bentuk tertulis dengan bahasa Indonesia. Bahasa ini banyak digunakan sebagai alat komunikasi antara orang-orang, baik di kota-kota serta desa-desa kecil di Laura. Berdasarkan hal tersebut. Ini memberikan petunjuk untuk guru ketika kesalahan siswa disebabkan oleh gangguan bahasa pertama mereka (Kartawinata, 2010). Richard (dalam Kartawinata, 2010) menekankan bahwa hasil studi banding antara satu bahasa dan bahasa yang lain dapat menjadi media penting dalam mempelajari bahasa. Sesuai dengan pemaparan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan suatu penelitian terkait dengan kekacauan antara dua bahasa, yaitu antara bahasa Laura terhadap bahasa Indonesia yang ditinjau dari segi pemakaian struktur kata, leksikal, dan kalimat. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan adalah jenis dan tingkat interferensi dalam struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis murid kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan jenis dan tingkat interferensi apa sajakah dalam struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis murid kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 68
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Kontak bahasa bagi dwibahasawan sulit untuk dihindari, apalagi jika bahasa keduanya belum dikuasai secara baik. Orang yang sudah menguasai kedua bahasa dengan sama-sama baikpun tidak jarang terjadinya kontak bahasa tersebut. Salah satu penyebab terjadinya kontakbahasa ini adalah orang yang berbahasa tersebut mengalami kesulitan, dan dalam kesulitan ini ada kemudahan yang dapat menolongnya yaitu bahasa lain yang dikuasainya lebih baik dalam hal tertentu. Hal ini tidak selalu bahasa pertama yang menjadi bahasa donor/ sumber, tetapi juga sangat dimungkinkan bahasa kedua atau bahkan bahasa asing. Para ilmuwan yang banyak berbicara dalam bahasa Inggris, atau berkomunikasi dalam bahasa Inggris sekalipun orang itu adalah pemakaian bahasa Indonesia, kita akan dihujani dengan istilah-istilah bahasa Inggris. Mereka lebih merasa mantapdengan kata-kata bahasa Inggris. Pengalihan pengetahuan bahasa pertama kedalam bahasa kedua dalam memberikan kemudahan dalam belajar bahasa, dapat pula menimbulkan kesulitan atau menjadi kendala dalam belajat bahasa kedua. Jika yang dialihkan / transfer dari bahasa pertama memiliki persamaan dengan bahasa kedua, merupakan suatu hal yang menguntungkan, tetapi sebaliknya jika yang ditransfer adalah ciri-ciri yang berbeda dengan bahasa kedua dengan bahasa kedua, tentu akan merusak atau bahasa target yang dipelajarinya menghasilkan struktur yang kacau. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006:27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968:1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain. Weinreich (1968:1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Didalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi. Dalam proses interferensi, terdapat tiga
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 69
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap suatu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa. Pemilihan teori dan pendekatan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa subjek penulisan adalah murid sekolah dasar kelas IV yang berarti masih dalam kelompok usia anak-anak yang merupakan masa potensial dalam belajar bahasa serta pemerolehan bahasa yang cenderung digolak dengan pembawaan bahasa ibu. Pertimbangan kedua, perbedaan ciri-ciri struktur antara bahasa pertama dengan bahasa kedua, akan memberikan kemungkinan besar menjadi penghalang dalam belajar bahasa kedua apabila bahasa pertama yaitu bahasa Laura merupakan bahasa yang mendominasi dalam kehidupan anak. Dalam kondisi kehidupan berbahasa dan berbudaya seperti yang terjadi di Laura tersebut, dalam belajar bahasa kedua, anak berkecendrungan mempunyai perilaku ketergantungan pada bahasa pertamanya. Peristiwa ini biasa disebut kontak bahasa. Kontak bahasa ini terjadi dalam individu pemakaiannya karena adanya sifat ketergantungan kepada bahasa lain biasanya bahasa pertama (Suwito,1983:39). Weinreich (1975:3) mengatakan, “ In the present study, two or more language will be said to be in contact if the languages are used alternately by the persons same. The using individuals are this the licus of the contact”. Interferensi bagi seseorang menggunakan dua bahasa sulit untuk dihindari, apalagi jika bahasa keduanya belum dikuasai secara baik. Salah satu penyebab terjadinya kontak bahasa ini adalah orang yang berbahasa tersebut mengalami kesulitan, dan dalam kesulitan ini ada kemudahan yang dapat menolongnya yaitu bahasa lain yang dikuasainya lebih baik dalam hal tertentu. Hal ini tidak selalu bahasa pertama yang menjadi bahasa donor atau bahasa sumber, tetapi juga sangat dimungkinkan bahasa kedua atau bahkan bahasa asing. Perkembangan suatu bahasa juga menyebabkan faktor lingkungan, jika daerah tersebut masih terpencil ataupun primitif, kurangnya aset informasi yang bersifat nasional/ JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 70
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
modern teristimewa dalam kehidupan berbahasa. Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Weinreich (1968:1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Interferensi dapat dilihat dari beberapa sudut yakni asal usul serapan, arah unsur serapan, pelakunya, dan bidang unsur serapan. Dengan unsur-unsur tersebut akan menimbulkan benteng kekacauan dalam berbahasa bagi penutur. Brown (1980: 148) dengan mengutip pendapat Randal Whitman, menganjurkan dalam analisis kontrastif sebaiknya dilakukan melalui empat prosedur, seperti terkutip berikut. Randal Whitman (1970) noted that contrastive analysis involed four difernt procedure. That first of these is description: the linguist or language teacer, using the tool grammer, explicity descibes two languages in question. Second, a seletion is made of certain form –linguistic items, rules, structure –for contrast, since it is virtually impossible to contrast every possible faced of two languages. The third procedure is the contrast itself. The mapping of one linguistic system onto other, and specipication of the relationship of one system to the other which, like selection, “rest on the validy of one’s refent point’. Finally, on formuled prediction of error or diffculty on the basis of the first procedures. That prediction can be arrived and thoutgh the formulation of hierachy of difficulty or thought more subjective applications of psychological and linguistic theory. Proses belajar bahasa kedua, dalam kondisi terdesak, besar kemungkinannya terjadi transfer negatif, yaitu pengalihan kebiasaan bahasa pertama ke dalam bahasa kedua yang sedang dipelajarinya. Merusaknya sistem bahasa pertama ke dalam bahasa kedua inilah yang disebut interferensi. Interferensi akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa target atau resipiennya. Weinreich menjelaskan: Those instances of the deviation from norms of either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one languege as a result of language contact will be referred to as interference phenomena. Interferensi hanya mungkin terjadi pada profil bilingualitas majemuk, sedangkan profil bilingualitas sejajar dan ambilingualitas/ bilingualitas sejajar tidak terjadi interferensi. Rusyana (1981: 27), interferensi dibedakan sebagai berikut. (1) Interferensi importasi, yaitu interferensi yang terjadi karena adanya proses peminjaman unsur dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dalam peminjaman tersebut ada aspek yang dipindahkan. Hubungan bahasa yang dipinjam dan yang meminjam adalah hubungan bahasa sumber dan bahasa penerima. (2) Interferensi substitusi, yaitu terjadi karena penggantian unsurr dari satu bahasa oleh padanannya di dalam tuturan bahasa lain. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 71
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Dalam penggantian itu ada aspek dalam bahasa pertama disalin ke dalam bahasa kedua. Aspek yang disalin itulah yang disebut substitusi. (3) Interferensi ini terjadi karena penerapan hubungan ketatabahasaan pertama ke dalam bahasa kedua atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa kedua yang tidak ada modelnya dalam bahasa pertama. (4) Interferensi yang keempat adalah terjadi karena perubahan fungsi morfem melalui identifikasi antara satu morfem tertentu dari bahasa kedua yang menimbulkan perubahan baik perluasan maupun perorangan berdasarkan tata bahasa pertama. Ranah interferensi meliputi interferensi sistem fonemis, morfologi, sintaksis, dan semantik. Weinreich dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: The interference implies the arrangement of patterns that result from the introduction of foreign elements in to more highly structure domain of language such as bulk of the phonemics system, large part of the morphology and syntax and some areas of the vocabulary: (1976 : 2). Bahasa Laura adalah salah satu bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur yang digunakan oleh kelompok suku Laura di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan bentengan wilayah yang cukup luas yang dihuni beberapa kelompok masyarakat suku Kodi, Wewewa, dan Laura. Tiap-tiap suku ini meyakini memiliki budaya dan bahasa yang diwariskan secara turuntemurun. Budaya dan bahasa yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat itu terasa sangat penting kedudukan dan peranannya dalam mempertahankan jati diri kesukuannya. METODE PENELITIAN Dengan metode ini penulis memusatkan diri pada pemecahan masalah yang aktual. Dan diperoleh dari lapangan yang ada pada saat melakukan penulisan dan dikumpulkan sebagaimana adanya untuk dideskripsikan tentang pemakaian bahasa Indonesia dengan bahasa Laura yang menimbulkan atau mewujudkan adanya interferensi antara dua bahasa yaitu bahasa Laura (bahasa ibu) dengan bahasa Indonesia. Subjek penulisan ini adalah siswa kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya. Data yang akan dianalisis adalah interferensi bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis siswa, berdasarkan karangan siswa. Penulis mengumpulkan data karangan siswa kelas IV SDK Marsudirini Laura baik yang kemudian akan dianalisis hasil karangan siswa. Objek penulisan ini adalah interferensi bahasa Laura terhadap bahasa Indonesia tulis siswa berdasarkan dokumentasi (karangan) siswa. Pada bagian ini, peneliti menentukan metode yang akan digunakan dalam penelitian. Penentuan metode pengumpulan data harus relevan dengan masalah penelitian dan karakteristik sumber data sesuai dengan masalah yang dikaji. Untuk dapat memperoleh data yang berupa interferensi morfologi, semantik, dan sintaksis dalam bahasa Indonesia tulis siswa yang sahih tidaklah mudah, mengingat kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia masih sangat sederhana. Oleh karena itu, agar dapat memperoleh data yang memadai, penulis gunakan penjaringan pengumpulan data yakni penulis menyiapkan bahan dan lembaran karangan. Untuk merangsang
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 72
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
kemampuan siswa, penulis secara lisan memberikan yang terkait dengan karangan tersebut secara lisan. Topik karangan diupayakan menarik minat siswa untuk menceritakan dengan senang. Siswa diberikan kebebasan untuk menyampaikan pikiran sesuai dengan instruksi yang diarahkan oleh peneliti. Instrumen dibuat dengan memprediksi akan munculnya kalimat berunsur keterangan yang mengakibatkan interferensi. Metode dokumentasi adalah suatu cara
atau
sistem
pemberian/pengumpulan,
pemilihan,
dan
pengolahan
informasi
berdasarkan keterangan-keteranngan atau kutipan atau referensi lain (dari bahan-bahan dokumentasi tertulis) yang dapat disajikan terhadap berbagai hal dalam penelitian. Untuk selanjutnya, data yang sudah terkumpulkan atau teridentifikasi dapat dianalisis sesuai dengan metode analisis yang digunakan. Karangan inilah yang nantinya yany akan dianalisis untuk memperoleh pembahasan dan jawaban tentang jenis dan tingkat interferensi bahasa Laura dalam bahasa Indonesia. Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan dibawahnya mengenai jenis interferensi dan tingkat interferensi dan dianalisis sumber data tersebut. Analisis data dilakukan setelah pengumpulan data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sugiyono (2006: 336) menyatakan bahwa analisis data merupakan proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil karangan (dokumentasi) dalam hal ini lembar karangan siswa yang sudah disiapkan oleh penulis, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam pola, memilih data yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah untuk dipahami oleh penulis sendiri dan pembaca. Penyimpulan yang dilakukan harus dapat menjawab semua masalah yang diangkat dalam permasalahan tersebut, sehingga hasil akhirnya nanti akan diperoleh informasi mengenai interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia tulis siswa. PEMBAHASAN Tingkat kemampuan menulis murid kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya masih sangat terbatas. Untuk mengetahui bentuk interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura dalam bahasa Indonesia dapat dilihat data berikut : Saya masak nasi untuk mama dan papa dan adik-adik yang tinggal sini rumah. Ibu beli baju untuk anaknya sini toko yang jual baju. Saya. bersama kawan-kawan belajar bersama
sini rumah kawan saya. Saya sudah sampai sini sekolah dan saya
belajar bersama-sama kawan saya. Saya jarang-jarang belanja beras bersama adik sini pasar. Kalimat - kalimat di atas terasa janggal, karena terdapat penyimpangan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku. Bagian yang dicetak tebal adalah keterangan lokatif keberadaan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku karena interferensi. Penyimpangan lainnya meliputi : Tidak digunakan imbuhan, kata penghubung, tanda baca dan pemilihan kata yang tidak sesuai dengan makna kalimat. Dengan kalimat (1) Terlihat kata masak tidak dibubuhi imbuhan. Dalam bahasa baku kata tersebut seharusnya JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 73
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
berimbuhan me- sehingga menjadi memasak. Dalam data (1) itu juga terdapat kesalahan penggunaan kata dan selaku pemarkah hubungan frasa koordinatif. Kaidah baku untuk frasa koordinatif yang unsur langsung lebih dari dua seharusnya hanya menempatkan koordinatornya sebelum unsur langsung yang terakhir (EYD, Bab V, B.1) dan sebelumnya cukup dimarkahi tanda baca koma (,). Kejanggalan kalimat (1) juga disebabkan pilihan kata, yaitu pemakaian kata tinggal tidak sesuai dengan makna kalimat secara keseluruhannya. Kata itu menjadi serasi hubungan maknanya jika diganti oleh kata ada. Penghilangan imbuhan terjadi pula pada data (2), yaitu pada kata beli kata itu akan menjadi tepat jika dibubuhi imbuhan me- sehingga menjadi membeli. Begitu juga kata yang jual seharusnya tempat menjual, atau tempat berjualan. Pada kalimat (3) selain kesalahan pada keterangan lokatif, juga terdapat kesalahan karena pemborosan, kata bersama setelah belajari tidak perlu dinyatakan lagi, sehingga menjadi Saya bersama kawan-kawan belajar di rumah kawan saya atau Saya dengan kawan-kawan belajar bersama di rumah kawan saya atau Saya dan kawan-kawan belajar bersama di rumah kawan saya. Data (4) selain kesalahan struktur keterangan tempat juga kesalahan pemilihan konjungsi. Kalimat majemuk bertingkat dengan klausa penjelas keterangan waktu, sehingga memerlukan konjungsi setelah, sesudah dan bukanya sudah. Data (5) selain kesalahan struktur keterangan lokatif, juga pilihan katanya. Kata jarang-jarang sesuai isi karangan itu dimaksudkan sedikit-sedikit. Berdasarkan pembahasan di atas, kalimat kalimat murid itu menjadi yang gramatikal jika diperbaiki sebagai berikut : (1) Saya memasak nasi untuk ayah, ibu dan adik-adik yang ada di rumah, (2) Ibu membelikan anaknya baju di Toko, tempat menjual baju, (3) Saya dan kawan-kawan belajar bersama di rumah kawan saya, (4) Setelah tiba di sekolah, saya belajar bersama kawan saya, (5) Saya bersama adik membeli beras di pasar sedikit-sedikit. Bagian yang dicetak tebal merupakan unsur kalimat yang berperan semantik menunjukkan tempat keberadaan suatu benda, atau tempat terjadinya peristiwa/tindakan, yang biasa disebut keterangan tempat. Dalam bahasa Indonesia tulis murid SD terdapat kesalahan. Murid SDK Marsudirini ini menggunakan pronomina penunjuk sini sebagai direktor frasa lokatif keberadaan itu, jelas hal ini menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku, seharusnya direktornya preposisi di. Kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan murid SD tersebut dipengaruhi bahasa pertamanya, yaitu bahasa Laura. Untuk lebih jelasnya kelima kalimat di atas dalam bahasa Laura sebagai berikut (bagian yang dicetak tebal adalah keterangan lokatif keberadaan yang dimaksudkan). Yauwa pati’ina nga’anda ina mono ama mono allinggu a danggi ne’e uma. Saya masak ia nasi mereka ibu dan ayah dan adikku yang tinggal sini rumah. Inanggu nawoi kalambe yai anana ne’e Toko dana a mbata na. Ibuku ia beli baju untuk anaknya sini Toko dalam yang jualnya. Yauwa ba dukki ne’e sekola dana, yauwa balaja bama olenggu. Saya bersama temanku kami belajar bersama sini rumahnya temanku. Yauwa sadeka-sadeka mawa’i wiasa bama
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 74
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
allinggu ne’e parengga dana. Saya jarang-jarang membeli beras bersama adikku sini pasar dalam. Dalam bahasa Laura seperti yang dapat dilihat dalam data di atas, keterangan lokatif keberadaan dimarkahi oleh direktor ne’e (sini). Dalam kalimat (1) keterangan lokatif keberadaan diisi oleh frasa ne’e uma (sini rumah). Kalimat (2) keterangan lokatif keberadaannya diduduki oleh frasa ne’e toko dana (sini toko dalam), kalimat (3) keterangan lokatifnya diduduki oleh ne’e uma olenggu (sini rumah temanku), kalimat keterangan lokatifnya adalah (4) ne’e sekola dana (sini sekolah dalam) dan kalimat keterangan lokatifnya ne’e parengga dana (sini pasar dalam). Oleh karena dalam kehidupan sehari-harinya murid SD tersebut berbahasa daerah dan kemampuan bahasa Indonesianya masih rendah, tentu saja mereka mempunyai ketergantungan kepada bahasa pertamanya. Akibatnya bahasa pertama (Laura) menjadi bahasa donor, dan secara tidak terkontrol struktur bahasa pertama (Laura) itu telah masuk ke dalam bahasa Indonesia yang sedang digunakannya. Mereka menerjemahkan secara harafiah bahasa Wewewa itu ke dalam bahasa Indoneisa. Jenis interfensi semacam ini disebut dengan cara substitusi, yaitu menggantikan pola struktur bahasa target dengan pola struktur bahasa donor. Pelaku yang menyebabkan kontras adalah pribadi yang secara aktif menguasai bahasa donor, oleh karena itu, proses kontras ini dikategorikan ke dalam kontras aktif. Murid kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura, Kabupaten Sumba Barat Daya juga masih banyak melakukan kesalahan dalam menuliskan kalimat-kalimat yang berketerangan lokatif tujuan, seperti yang terlihat dalam data berikut ini : Tugas saya jaga adik karena mama mempunyai pekerjaan pergi pasar, jual barang untuk pakai beli kami punya buku dan pakaian, Kami jarang-jarang sudah pergi sekolah dan kami tinggal jaga rumah, Saya perhatikan kerbau agar jangan sampai masuk sana orang punya kebun, Saya ambil rumput untuk bawa pulang rumah supaya kuda makan malam-malam, Saya meninggalkan kebun dan pulang rumah. Kesalahan murid dalam menuliskan frasa pengisi keterangan lokatif tujuan, terbukti merupakan hasil transfer dan struktur bahasa Laura. Bagian yang dicetak tebal dalam data di atas adalah frasa pengisi keterangan lokatif tujuan. Berdasakran contoh di atas ada dua pola pengisi keterangan lokatif tujuan tersebut, yaitu (1) diisi oleh frasa nominal tanpa disertai pemarkah direktorat lokatif, seperti yang terlihat dalam kalimat (6b), (7), (9) dan (10). Dalam kalimat (8) peran lokatif dimarkahi oleh direktorat pronomina naka ….. dana (ke). Perilaku kehadiran pronomina naka (sana) ini bersifat manasuka, maksudnya boleh ada boleh juga tidak ada jika verba telah terimplisit makna “menuju”. Oleh karena itu kata kako (pergi) tidak menuntut kehadiran direktor pemarkah keterangan lokatif yang mengikutinya. Namun, bukan berarti tidak dibenarkan jika penutur bahasa Laura memberikan pemarkah lokatif itu menjadi ; Kako naka parengga dana artinya pergi sana pasar dalam (pergi ke pasar). Sebaliknya kalimat yang bermarkahkan direktor lokatif tujuan, dapat pula dihilangkan tanpa mengurangi perubahan maknanya. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 75
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Kalimat itu dapat dinyatakan menjadi : Yauwa kuperseradi karambo, gai kadatama omanda ata eka artinya saya kuperhatikan kerbau, agar jangan masuk kebun mereka orang lain. Berdasarkan fakta ini jelaslah bahwa kesalahan murid dalam menuliskan unsur kalimat keterangan lokatif di atas dipengaruhi kebiasaan pemakaian bahasa Laura. Kesalahan tersebut merupakan transfer pola-pola bahasa Laura sebagai bahasa yang secara aktif digunakan murid dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena transfer ini membawa akibat yang merugikan struktur bahasa target, dapat dikategorikan sebagai kontras, dan karena kontras ini terjadi sebagai akibat pemindahan kebiasaan bahasa yang secara aktif digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kontras ini disebut interferensi aktif (Soepomo, 1979:35). Untuk membahas terjadi interferensi struktur keterangan lokatif asal ini dapat dilihat melalui contoh kalimat bahasa Indonesia tulis murid di bawah ini : Saya pulang timba air saya siap pergi sekolah , Setiap hari libur kami pergi rumah nenek yang jauh meninggalkan rumah kami , Rumah nenek tempatnya cukup jauh meninggalkan kota dan kami pakai jalan kaki karena kendaraan tidak ada. Ketiga kalimat ini terasal janggal untuk dapat dipahami maknanya terutama bagi orang lain yang bukan penutur bahasa Laura atau yang dapat berbahasa Laura. Bagi penutur asli bahasa Laura, makna kalimat-kalimat di atas dapat dimengerti. Pola kalimat-kalimat di atas sejalan dengan pola-pola kalimat bahasa Laura, seperti yang terlihat berikut ini : Yauwa kuwali deke we’e yauwa siap yai kukako naka sakola dana, artinya saya ku kembali timba air saya siap untuk ku jalan sana sekolah dalam, Ne loddo libura yamme makako umana makaweda a maro walina umana yamme artinya ini hari libur kami kami pergi rumahnya nenek yang jauh kembalinya rumahnya kami. Umana inakaweda podouna maro walina kota dana mono yamme makoka waina wai, orona daiki oto a kako artinya rumahnya nenek tempat jauh kembalinya kota dalam dan kami kami jalan pakai ia kaki karena tidak ada oto yang pergi. Berdasarkan perbandingan ini, terlihat dengan jelas bahwa bahasa murid subjek penelitian, dipengaruhi oleh struktur bahasa Laura. Bahkan dapat dikatakan murid berkecenderungan menerjemahkan secara harafiah bahasa pertamanya ke dalam bahasa target. Selain interferensi struktur frasa pengisi keterangan lokatif asal, juga terjadi beberapa kesalahan lainnya yang disebabkan oleh keterbatasan pola pikir anak yang dikendalikan dengan pola bahasa Laura. Untuk membahasnya perlu kiranya dibahas pula kesalahan lain, supaya menjadi jelas bagaimana proses interferensi keterangan lokatif asal itu terjadi. Sebagaimana kalimat lainnya yang telah dibahas sebelumnya kesalahan terjadi pula kurangnya imbuhan. Dalam kalimat (3) kata timba mestinya menimba. Berdasarkan konteks tulisan itu sebaiknya diganti dengan kata mengambil karena sebenarnya bukan hanya menimba air saja, tetapi air itu dibawa pulang. Kata siap dalam kalimat (11) itu juga kurang imbuhan memepersiapkan diri. Kalimat itu berisi rangkaian persitiwa yang dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat majemuk setara. Hubungan antar kalusanya seharusnya dimarkahi dengan koma (,) dan menjadi lebih tepat jika disertai koordinator kronologis (lalu, kemudian). JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 76
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Kalimat itu dapat pula disusun sebagai kalimat majemuk subordinatif temporal dengan dimarkahi subordinator setelah, sesudah, selesainya, sehabis dan sebagainya. Kesalahan lain terjadi sebagai akibat struktur bahasa pertamanya yang mempengaruhi pola pikir murid, yaitu struktur frasa keterangan lokatif asal. Dalam kalimat itu pemarkah dari tidak dinyatakan. Berdasarkan bentuk kalimat bahasa Laura ini, terlihat jelas bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukan murid adalah sebagai akibat menerapkan kaidah-kaidah bahasa Laura sebagai bahasa I, yang dalam kegiatan sehari-harinya dipakai. Jadi kesalahan tersebut merupakan transfer pola bahasa pertama ke dalam bahasa kedua, atau merupakan kontras aktif produktif. Interferensi struktur satuan gramatikal pengisi keterangan keterangan alat bahasa Laura terhadap bahasa Indonesia tulis murid SD, juga cukup tinggi, seperti yang terlihat berikut ini : Saya bantu mama potong rumput pakai parang, Setelah potong kayu kami angkat pakai gerobak, Kami potong batu pakai kapak yang tajam, Nita iris sayur pakai pisau, Saya masak nasi pakai periuk bersih, Saya pergi sekolah pakai sepeda. Bagian yang dicetak tebal adalah satuan gramatikal yang mengisi fungsi keterangan alat. Satuan gramatikal tersebut tergolong klausa. Dalam bahasa Indonesia baku keterangan alat dalam kalimat di atas dapat dinyatakan dengan frasa preposisional, berdirektor dengan, sehingga kata pakai selaku bahasa murid tersebut dapat diperbaiki dengan kata dengan. Kesalahan yang dilakukan murid SD ini kemungkinan besar dipengaruhi bahasa Laura sebagai bahan yang dipakainya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Laura keterangan alat tersebut biasa dimarkahi direktor verba waina (pakai). Interferensi struktur bahasa Laura ke dalam bahasa Indonesia murid SD (sebagaimana yang terjadi dalam data yang telah dibahas sebelumnya) yaitu ketatabahasaaan verba, atau inteferensi ranah morfologi. Bentuk verba dalam kalimat (19) hingga (24) seharusnya berimbuhan me-, oleh karena itu, bentuk yang baku mestinya membantu, menolong, mengiris, memasak. Dalam data (24) terjadi pula interferensi keterangan asal bahasa Laura terhadap bahasa murid SD, yaitu tidak dinyatakannya preposisi dari (pulang sekolah, mestinya pulang dari sekolah). SIMPULAN Berdasarkan data yang terkumpul dalam bahasa Indonesia tulis murid kelas IV SDK Marsudirini Kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Daya, didapatkan empat macam bentuk kalimat berketerangan lokatif, waktu, alat dan penyerta. Setelah dibahas berdasarkan prisip-prinsip teori kedwibahasaan dan kontrastif bahasa Laura terhadap empat bentuk kalimat tersebut berikut ini : Interferensi struktur kalimat luas berunsur keterangan bahasa Laura terhadap bahasa Indonesia tulis murid yang meliputi morfologi, sintaksis, dan semantik. Interferensi terjadi karena bentuk yang ada dalam bahasa donor (Laura) disalin atau diterjemahkan secara harafiah kedalam bahasa target (bahasa Indonesia). Interferensi ini ditemukan dua macam yaitu penggantian preposisi dengan pronomina penunjuk , dan penggantian preposisi dengan verbal. Dari sebagian besar tulis murid, preposisi diganti JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 77
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
dengan pronomina sini dalam frase pengisi keterangan lokatif keberadaan, yang kedua penggantian atau substitusi ke dengan pronomina penunjuk tempat tujuan sana, yang ketiga penggantian preposisi dari dengan verba meninggalkan dalam frase atau klausa pengisi keterangan asal, dan yang keempat penggantian preposisi dengan menjadi verba bersama atau sama dalam frase preposional pengisi keterangan alat. Penggantian ini dipengaruhi oleh bentuk kebahasaan bahasa donor (bahasa Laura). Frasa preposional lokatif keberadaan bahasa Laura berdirektor pronomina penunjuk ne’e (sini), frase preposional lokatif keberdaan naka (sana), frase preposional alat berdirektor verba waina (pakai), Interferensi pengingkaran ketatabahasaan target terjadi pada frase preposisional tujuan yaitu tidak digunakannya preposisi pemerkah hubungan antara verba dengan keterangan tujuan. Hal ini terjadi karena verba yang mengandung makna tujuan dalam bahasa Laura secara manasuka tidak dimarkahi. DAFTAR PUSTAKA Altis, James S. 1970. Bilingualism and Language contract. Washington D.C.; Georgetown University Press. Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Bonvilain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication: The meaning of messages, fourth edition. New Jersey, Prentice Hall Budasi, I Gede. 2011. Contrastive Analysis Of Verb Phrases In Indonesian And Russian Language Basic Sentences. Jurnal (tidak diterbitkan). Singaraja: Undiksha. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Denes, I Made. 1994. “ Interferensi Bahasa Indonesia dalam Pemakaian Bahasa Bali di Media Massa”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana. Lado, R.. Linguistics Across Cultures: Applied Linguistics for Language Teachers. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1955. 123p. Puspitasari, Yunita Dewi. 2010. A Contrastive Analysis Between English and Indonesian Adverbs of Time. Tesis (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Negeri Semarang. Putrayasa, Ida Bagus. 2012. Tata Kalimat Bahasa Indonesia (Edisi Revisi) Bandung: PT. Refika Aditama. Rusyana, Yus.1976.” Masalah Kedwibahasaan dalam Masyarakat Indonesia” (Makalah). Penataran Penyuluhan bahasa Indonesia Bogor: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Warsiman, 2007. Kaidah Bahasa Indonesia Yang Benar. Bandung: Dewa Ruchi. Wendra, I Wayan. 2007. Penulisan Karya Ilmiah. diterbitkan).Singaraja:Universitas Pendidikan Ganesha.
Buku
Ajar
(tidak
Yuwono, U. 2001. “Ejaan dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah (populer)”, Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dan Karya Ilmiah Populer. Jakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Bahasa, Lembaga Penelitian UI.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 78
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBANTUAN LKS DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA SD Dek Ngurah Laba Laksana
Katarina Rabu
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran IPA dengan menerapkan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Secara operasional tujuan penelitian tindakan ini untuk meningkatkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep siswa kelas IV SD dengan menerapkan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di Kelas IV SDI Bobou Kabupaten Ngada dengan jumlah siswa adalah 37 orang. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi dan tes pemahaman konsep IPA. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Pebruari 2013 sampai April 2013. Data kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA siswa. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut. (1) Rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus I dengan materi energi panas dan energi bunyi yaitu 18,92 dengan kategori cukup aktif dan standar deviasi 2,15 sedangkan rata-rata aktivitas belajar siklus II dengan materi energi alternatif dan perubahan energi gerak adalah 21,95 dengan kategori tinggi dan standar deviasi 1,25. 2) Rata-rata pemahaman konsep IPA pada siklus I yaitu 48,89 dengan kategori sangat rendah dan standar deviasi 14,93 serta ketuntasan 38% sedangkan pada siklus II pemahaman konsep siswa yaitu 76,29 dengan kategori sangat tinggi dan standar deviasi 7,77 serta ketuntasan 100%. Kesimpulan umum yang diperoleh dari penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS berhasil meningkatkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA pada siswa kelas IV SD. Pada akhir siklus aktivitas siswa ada pada kategori aktif dan pemahaman konsep ada pada kategori tinggi.
Kata-kata kunci : pembelajaran kontekstual, LKS, aktivitas belajar, pemahaman konsep IPA
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 79
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
CONTEXTUAL LEARNING HELPED BY STUDENTS WORKSHEET TO IMPROVE THE COMPREHENSION TOWARD THE CONCEPT OF SCIENCE AND STUDENTS’ LEARNING ACTIVITY OF ELEMENTARY SCHOOLS STUDENTS Abstract This study aims at revising the science learning by implementing contextual learning helped by students’ worksheet. Operationally, the aim of this research is to improve the learning activity and the comprehension toward the science concept of the fourth grade students of elementary schools by implementing contextual learning helped by students’ worksheet. This study belonged to an action-based research which was conducted in the fourth grade students at SD I Bobou, Ngada regency as much as 37 students. The methods of data collection used were observation, and comprehension test of science. The research was conducted from February 2013 to April 2013. Then, the data was analyzed descriptively to draw the learning activity and students’ comprehension toward science concept. The results show that (1) the mean score of students’ learning activity on cycle I about solar energy and sound energy is 18.92 where it is categorized as active enough and the standard deviation is 2.15. Meanwhile, the mean score on cycle II about alternative energy and the change of move energy is 21.95 by high category and the standard deviation is 1.25, (2) the meanscore on cycle I about the comprehension toward the science concept on cycle I is 48.89 where the category is poor and standard deviation is 14.93 and the students’ achievement is 38%. However, on cycle II the students’ comprehension is 76.29 where it is categorized as excellent and standard deviation is 7.77 and the students achievement is 100%. The major conclusion can be drawn from the above results is the implementation of contextual learning helped by students’ worksheet is success to improve the students’ learning activity and comprehension toward science concept on the fourth grade students of elementary schools. At the end of the cycle, the students’ activity is in active category and students’ comprehension is in excellent category. Keywords: Contextual Learning, Worksheet, Learning Activity, comprehension toward science concept.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 80
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Banyak upaya yang telah ditempuh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk meningkatkan SDM melalui peningkatan mutu pendidikan, diantaranya meningkatkan kualitas tenaga pendidikan melalui pendidikan dan pelatihan (PLPG), pembentukan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan membuka kesempatan untuk penyetaraan jenjang pendidikan guru serta uji kompetensi guru yang baru saja dilaksanakan. Seiring dengan perbaikan mutu pendidikan, masih dirasakan guru sebagai nakhoda yang mengarahkan mutu pendidikan belum maksimal menjadi garda utama membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Lemahnya kualitas pendidikan tidak serta merta kita justifikasi karena kegagalan guru semata. Namun, kurang optimalnya proses pembelajaran mungkin menjadi salah satu problema yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini. Menurut Sanjaya (2006) proses pembelajaran di dalam kelas hanya mendorong anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Proses seperti ini menyebabkan anak kurang termotivasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Akibatnya ketika
anak didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar
secara teoritis, tetapi miskin aplikasi. Realita ini berlaku untuk semua mata pelajaran tidak terkecuali pada mata pelajaran IPA. Pembelajaran IPA kurang mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan sistematis karena stategi pembelajaran tidak digunakan secara baik dalam setiap pembelajaran di kelas. Gejala-gejala semacam ini merupakan hasil umum dari proses pembelajaran yang terjadi. Pendidikan di sekolah terlalu menjejali otak siswa dengan bahan ajar yang harus dihafal, pendidikan tidak dikembangkan untuk mengembangkan karakter serta potensi yang dimiliki. Dengan kata lain, proses pendidikan belum mengarahkan untuk pembentukan manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta belum mengarahkan pembelajaran untuk membentuk manusia yang kreatif dan inovatif. Indikasi umum bahwa pembelajaran belum berjalan maksimal dapat dilihat dari hasil pemetaan pendidikan baik melalui ujian nasial maupun uji kompetensi guru. Indonesia timur khususnya wilayah nusa tenggara timur masih menduduki peringkat terakhir terkait hasil UN (www.dpr.go.id). Pendukung dalam proses pembelajaran juga belum tersebar secara merata, bahkan sekolah yang mempunyai lab dan perpus hanya 10% saja. Selain itu kualifikasi guru yang 52% adalah bukan sarjana memperkuat bahwa pendidikan secara nasional di wilayah timur belum maksimal (www.poskupang.com). Potret di SDI Bobou juga terjadi permasalahan yang sama pada mata pelajaran IPA terutama di kelas IV. Hasil observasi yang penulis lakukan bersama dengan guru kelas di SD JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 81
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
tersebut memperlihatkan bahwa proses pembelajaran di kelas masih dilakukan secara konvensional, dimana pembelajaran masih didominasi oleh guru. Selama ini siswa belajar IPA hanya berdasarkan materi yang ada dibuku paket saja dan sangat jauh dari kehidupan nyata peserta didik. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang merupakan bahan ajar wajib seorang guru belum dapat dibuat dengan baik. Pemahaman siswa terkait materi IPA masih rendah. Ini tampak ketika dilontarkan pertanyaan-pertanyaan pemahaman konsep yang berkaitan antara materi pelajaran dengan kehidupan peserta didik, mereka sangat kebingungan. Hal ini didukung oleh prestasi belajar siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013 sebagian besar mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hasil tes menunjukkan nilai rata-rata ulangan akhir semester (UAS) murni yaitu 70. Sedangkan nilai Ulangan Tengah Semester siswa rata-rata 69. Selain itu, proses pembelajaran yang selama ini sudah dilakukan di kelas IV ternyata kurang membuat siswa bergairah mengikuti pembelajaran. Realita ini dapat dilihat dari kekurangaktifan siswa dalam pembelajaran. Guru berulang-ulang kali mencoba untuk membuat suasana kelas menjadi aktif dengan melempari sebuah pertanyaan kepada siswa, namun siswa lebih banyak diam, kalaupun menjawab, jawaban mereka masih menyimpang dari apa yang diharapkan. Tentunya penulis dan guru di kelas tersebut tidak bisa berdiam diri melihat pembelajaran yang seperti ini. Usaha yang akan penulis coba lakukan yaitu dengan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar serta dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Dengan karakteristik seperti itu penulis akan menggunakan pembelajaran induktif kontekstual (berbasis lingkungan) sehingga memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan yang diperoleh agar lebih memaknai dan menguasai konsep-konsep IPA khususnya pada materi bahan kimia dalam kehidupan. Dengan melihat permasalahan yang seperti itu pembelajaran kontekstual berbantuan LKS mungkin menjadi solusinya. Pembelajaran ini dapat menciptakan lingkungan alamiah, yaitu anak melakukan dan mengalami langsung apa yang dipelajarinya, sehingga mendapatkan bekal kemampuan dalam memecahkan suatu persoalan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dapat mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga hasil belajar siswa berupa pengalaman yang bermakna, bukan sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis dan dalam kehidupan jangka panjangnya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Apakah pembelajaran kontekstual berbantuan LKS dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA siswa di kelas IV SDI Bobou semester genap tahun ajaran 2012/2013? 2) Apakah pembelajaran kontekstual berbantuan LKS dapat JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 82
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
meningkatkan aktivitas belajar siswa di kelas IV SDI Bobou semester genap tahun ajaran 2012/2013? METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA siswa pada kelas yang mempunyai permasalahan dalam pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus di mana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, serta refleksi. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDI Bobou, di mana siswa kelas IV dipilih untuk menjadi subjeknya sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Bentuk keterlibatan peneliti dalam penelitian ini adalah bentuk kolaborasi antara peneliti dengan guru kelas yang mengajar mata pelajaran IPA kelas IV. Objek dalam penelitian ini adalah, 1) objek tindakan yaitu implementasi pembelajaran kontekstual berbantuan LKS, 2) objek dampak yaitu pemahaman konsep IPA dan aktivitas belajar siswa kelas IV SDI Bobou. Pelaksanaan penelitian dirancang dalam bentuk siklus dan masing-masing siklus terdiri atas empat tahapan: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, serta (4) refleksi. Pada tahap Pelaksanaan Tindakan guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun dan disepakati pada tahap perencanaan. Kemudian peneliti melakukan observasi yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai
aktivitas
belajar
selama
kegiatan
pembelajaran
berlangsung dan memberikan tes pemahaman konsep IPA. Langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan komponen atau sintaks dari Pembelajaran Kontekstual berbantuan LKS yaitu sebagai berikut. a) Penerapan komponen Bertanya dilaksanakan dalam kegiatan apersepsi, yaitu degan cara guru menga-jukan pertanyaan untuk menggali pengetahuan awal siswa. b) Penerapan komponen Pemodelan dilaksanakan
dengan
cara
guru
menggunakan
media
LKS
tentang
energi
dan
perubahannya, siswa mengajukan contoh yang ada di lingkungannya. c) Penerapan komponen Bertanya dilaksanakan melalui tanya jawab tentang energi dan perubahannya. d) Penerapan komponen Konstruktivisme dilaksanakan dengan siswa menjelaskan konsep energi dan perubahannya. e) Penerapan komponen Masyarakat Belajar dilaksanakan dengan mengarahkan siswa untuk membentuk kelompok. f) Penerapan komponen Masyarakat Belajar dan Menemukan dilaksanakan dengan cara siswa melakukan kegiatan diskusi untuk membuat pertanyaan yang akan diajukan kepada masyarakat sekitar. g) Penerapan komponen Masyarakat Belajar (Learning Community) dan Konstruktivisme () dilaksanakan dengan cara guru menugaskan siswa untuk melakukan diskusi kelompok. h) Penerapan
komponen
Pemodelan
dilaksanakan
dengan
masing-masing
kelompok
mempresentasikan hasil kerja Lembar Kerja Siswa (LKS). i) Penerapan komponen Refleksi JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 83
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
dilaksanakan dengan guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksi hasil belajarnya. j) Penerapan komponen Bertanya dilaksanakan dengan cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila ada hal yang belum dipahaminya tentang materi
pelajaran
yang
telah
dibahas.
k)
Penerapan
komponen
Konstrukstivisme
dilaksanakan dengan cara guru bersama dengan siswa merangkum materi pelajaran yang telah dibahas. l) Penerapan komponen Penilaian yang Sebenarnya dilaksanakan dengan cara guru mengadakan penilaian pemahaman konsep dan aktivitas dengan menggunakan LKS pemahaman konsep. m) Penerapan komponen Penilaian yang Sebenarnya dilaksanakan dengan cara guru memberikan tindak lanjut berupa pekerjaan rumah yang tercantum dalam LKS. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menperolah data aktivitas belajar dan pemahaman konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 1 Instrumen Penelitian No
Data yang diteliti
1.
Aktivitas belajar
2.
Pemahaman konsep IPA
Bentuk Instrumen Lembar observasi Tes pemahaman konsep
Waktu Pelaksanaan Setiap pertemuan Akhir siklus
Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Kemudian data aktivitas dan pemahaman konsep yang didapat dianalisis secara deskriptif. Penerapan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS dikatakan berhasil apabila pemahaman konsep IPA siswa minimal dalam kategori sedang dan berada di atas nilai KKM yaitu 65, daya serap siswa 70% dan ketuntasan klasikal 85%. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Pelaksnaan Tindakan Hasil penelitian ini meliputi deskripsi proses pembelajaran, hasil belajar siswa yang meliputi aspek pemahaman konsep siswa dan aktivitas belajar siswa terhadap penerapan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS pada siswa kelas IV SDI Bobou. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas IV SDI Bobou pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Jumlah siswa kelas IV adalah sebanyak 37 orang yang terdiri dari 21 orang siswa laki-laki dan 16 orang siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan dengan materi energi panas dan energi bunyi serta energi alternatif yang dikemas dalam dua siklus tindakan. Siklus pertama mencakup materi energi panas dan energi bunyi yang dikemas dalam tiga rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dilaksanakan dalam
4 kali pertemuan, di mana 3 kali pertemuan untuk kegiatan
pembelajaran, 1 kali tes pemahaman konsep. Siklus kedua meliputi materi energi alternatif yang dikemas dalam tiga RPP yang dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan, di mana 3 kali pertemuan untuk kegiatan pembelajaran dan 1 kali untuk tes pemahaman konsep. Sesuai
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 84
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
dengan kurikulum yang berlaku di SDI Bobou, mata pelajaran IPA dilaksanakan sebanyak dua kali dalam seminggu yaitu selama 2 jam pelajaran yaitu 80 menit. Pelaksanaan Siklus I Kegiatan pembelajaran di setiap pertemuan pada siklus I diawali dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdoa. Setelah itu menyampaikan tujuan pembelajaran dan materi pokok pada pertemuan tersebut. Guru juga mempertegas agar siswa selalu termotivasi dalam pembelajaran karena akan dilakukan penilaian terhadap aktivitas mereka. Pada awal kegiatan, peneliti yang bertindak sebagai observer dibantu oleh guru kelas IV menyampaikan kepada siswa bahwa kegiatan pembelajaran IPA untuk pokok bahasan Energi akan dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Pada kesempatan ini, peneliti juga menyampaikan bahwa dalam setiap pembelajaran akan diberikan tugas mandiri, LKS, maupun tes pemahaman konsep di akhir pembelajaran serta pengamatan aktivitas belajar pada setiap pertemuan. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang dan ada salah dua kelompok terdiri 5 orang. Selain itu, peneliti juga menjelaskan tentang teknik penilaian yang akan digunakan. Penilaian akan dilakukan dengan tiga cara yaitu 1) observasi yang mengacu pada rubrik penilaian aktivitas belajar siswa yang dilakukan selama proses pembelajaran, misalnya saat melakukan diskusi, presentasi, dan keaktifan siswa, 2) tes akhir siklus berupa tes uraian, dan 3) menggunakan tugas mandiri dan LKS. Peneliti juga menyampaikan dan membahas rubrik yang akan digunakan dalam setiap proses penskoran. Berdasarkan ketiga cara penilaian yang dilakukan tersebut akan diperoleh hasil berupa nilai aktivitas belajar, nilai tugas, nilai LKS, dan nilai tes akhir siklus untuk masing-masing siswa. Nilai-nilai tersebut kemudian digolongkan menjadi nilai aktivitas siswa dan nilai aspek pemahaman konsep IPA. Hasil pembelajaran siklus I meliputi pemahaman konsep dan aspek aktivitas belajar siswa, yaitu dapat dipaparkan sebagi berikut. Analisis terhadap aktivitas belajar siswa pada siklus pertama menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa mencapai 18,92 dengan kategori cukup aktif. Dengan rincian: 9 siswa ada pada kategori kurang aktif, 19 siswa mencapai kategori cukup aktif, dan 12 siswa dengan kategori aktif. Standar deviasi skor aktivitas menunjukkan 2,15. Pada siklus pertama, materi IPA yang dibahas adalah energi panas dan energi bunyi. Penilaian hasil belajar siswa berupa tes pemahaman konsep dengan menggunakan tes uraian. Pada siklus pertama, rata-rata nilai tes pemahaman konsep adalah 49,89 dengan kategori sangat rendah. Dengan rincian, 23 siswa kategori sangat rendah, 13 siswa kategori sedang, dan 1 siswa kategori sangat tinggi. Terdapat lima siswa yang belum memenuhi KKM yang telah ditentukan di kelas IV SDI Bobou yakni lebih dari atau sama dengan (≥) 65. Daya serap siswa 55,44% dan ketuntasan siswa secara klasikal mencapai 38% dari 100% yang ditetapkan. Standar deviasi nilai pemahaman konsep menunjukkan 14,93. Dengan demikian, ketuntasan klasikal belum terpenuhi. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 85
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Berdasarkan temuan dari kegiatan observasi yang dilakukan selama pelaksanaan tindakan I, maka diadakan upaya untuk memperbaiki proses tindakan pada siklus berikutnya sehingga diharapkan kendala-kendala yang ditemukan selama proses pelaksanaan tindakan I dapat diatasi. Adapun upaya-upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Sebelum melaksanakan tindakan siklus II, peneliti memberikan penekanan terhadap siswa mengenai pembelajaran yang digunakan dan penilaian yang akan dilakukan. Peneliti menyampaikan bahwa selain dilakukan penilaian terhadap pemahaman konsep, juga akan diadakan penilaian aktivitas belajar siswa yang salah satunya meliputi sikap dan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran. Makin aktif siswa di kelas maka makin besar nilai yang akan diperoleh. Selain itu, peneliti memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa untuk bertanya dan mengajukan pendapat mengenai materi yang dibahas selama proses pembelajaran berlangsung. 2) Menunjuk siswa-siswa yang kurang aktif dalam berpendapat untuk mencoba mengajukan pendapat sesuai dengan pengetahuannya. Tujuannya, agar siswa tersebut menjadi lebih berani dalam mengungkapkan pendapatnya selama proses pembelajaran berlangsung. 3) Membimbing dan memantau siswa secara lebih intensif, agar kegiatan diskusi kelas tidak didominasi oleh siswa-siswa tertentu saja. 4) Pada kegiatan diskusi maupun penilaian aktivitas belajar siswa, peneliti meminta bantuan kepada rekan peneliti yang lain untuk membantu memberikan penilaian aktivitas belajar pada siswa sehingga proses pembelajaran berjalan lancar dan tidak membutuhkan waktu yang cukup banyak. 5) Sebelum kegiatan diskusi berlangsung, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tentang cara menggunakan alat dan bahan, melakukan pengamatan, membuat hasil pengamatan secara tertulis, melakukan diskusi, dan presentasi. Hal ini dilakukan agar siswa tidak bingung dan lebih memahaminya sehingga siswa lebih mudah dalam kegiatan diskusi. 6) Sebelum melakukan kegiatan percobaan, siswa diminta untuk mencermati kembali LKS yang dibagikan sehingga kegiatan percobaan tidak memerlukan waktu yang lama. 7) Memberikan latihan soal-soal yang lebih banyak dan bervariasi melalui LKS kepada siswa agar kemampuan penerapan konsep yang dimiliki lebih baik dan mendalam daripada sebelumnya.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 86
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Pelaksanaan Siklus II Pelaksanaan tindakan siklus II disesuaikan dengan hasil refleksi pada siklus I, dengan melakukan beberapa tindakan perbaikan seperti yang telah diuraikan pada hasil refleksi siklus I di atas. Proses pembelajaran pada siklus II berlangsung dalam 4 kali pertemuan, yang terdiri atas 3 kali pertemuan untuk kegiatan pembelajaran, dan 1 kali pertemuan untuk tes akhir siklus (tes pemahaman konsep IPA). Materi yang dibahas pada siklus II adalah perubahan energi. Hasil pembelajaran siklus II meliputi pemahaman konsep dan aspek aktivitas belajar siswa, yaitu dapat dipaparkan sebagi berikut. Analisis terhadap aktivitas belajar siswa pada siklus pertama menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa mencapai 21,95 dengan kategori aktif. Dengan rincian: 24 siswa mencapai kategori aktif, dan 13 siswa dengan kategori sangat aktif. Standar deviasi skor aktivitas menunjukkan 1,25. Pada siklus pertama, materi IPA yang dibahas adalah energi panas dan energi bunyi. Penilaian hasil belajar siswa berupa tes pemahaman konsep dengan menggunakan tes uraian. Pada siklus kedua, rata-rata nilai tes pemahaman konsep adalah 76,29 dengan kategori tinggi. Dengan rincian, 15 siswa kategori sedang, 19 siswa dalam kategori tinggi dan 4 siswa kategori sangat tinggi. Seluruh siswa sudah memenuhi KKM yang telah ditentukan di kelas IV SDI Bobou yakni lebih dari atau sama dengan (≥) 65. Daya serap siswa 84,76% dan ketuntasan siswa secara klasikal mencapai 100%. Standar deviasi nilai pemahaman konsep menunjukkan 7,77. Melalui perbaikan proses pembelajaran pada pelaksanakan siklus I, maka pelaksanakan proses pembelajaran pada siklus II telah nampak adanya suatu peningkatan proses pembelajaran pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa. Berdasarkan hasil kegiatan observasi dan evaluasi tindakan siklus II dapat dipaparkan hasil refleksi secara keseluruhan sebagai berikut. Pertama, kondisi dan situasi belajar siswa pada setiap pertemuan menunjukkan situasi belajar yang lebih kondusif, jika dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya pada siklus pertama. Siswa sudah mulai terbiasa dengan penerapan model pembelajaran yang menuntut aktivitas tinggi seperti mau mencoba
untuk mengajukan
pendapat. Kedua, siswa-siswa yang kurang aktif dan percaya diri dalam berpendapat perlu diberikan lebih banyak kesempatan. Hal tersebut dapat memacu siswa menjadi lebih berani untuk mengajukan pendapatnya sehingga guru dapat mengetahui miskonsepsi yang masih melekat pada diri siswa. Ketiga, penilaian terhadap aktivitas belajar siswa sudah berjalan dengan optimal dengan
melakukan penilaian aktivitas secara bergantian pada setiap
kelompok dalam setiap pertemuan agar semua komponen aktivitas siswa dapat dinilai. Keempat, dilakukannya pemberitahuan mengenai hasil tugas dan LKS yang diperoleh siswa di depan kelas dapat meningkatkan kegairahan siswa dalam beraktivitas. Hal ini karena setiap nilai yang diperoleh siswa yang bersumber dari LKS maupun tugas mandiri JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 87
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
dipertimbangkan untuk menentukan nilai siswa. Kelima, terjadinya peningkatan pemahaman konsep dan aktivitas pada siklus II. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai pemahaman konsep dan kinerja ilmiah pada siklus I dan siklus II.
Selain itu juga dapat dilihat dari
banyaknya siswa yang tuntas. Keenam, adanya tanggapan positif dari siswa terkait dengan penerapan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Hal ini terlihat dari keantusiasan siswa dalam mengikuti pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan pada siklus II yang merupakan perbaikan dari tindakan pada siklus I, pemahaman konsep IPA siswa ada pada kategori tinggi dengan ketuntasan mencapai 100%. Jika dibandingkan dengan Nilai KKM maka nilai yang diperoleh pada siklus II sudah memenuhi ketentuan. Peningkatan peningkatan pemahaman konsep siswa seiring dengan meningkatnya aktivitas siswa dalam pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus II ada pada kategori aktif. Secara umum, dalam pelaksanaan tindakan pada siklus II tidak lagi muncul kendalakendala seperti halnya yang terjadi dalam pelaknaan tindakan pada siklus I. Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus II, siswa telah terbiasa dan terlatih belajar mengikuti proses pembelajaran kontekstual berbantuan LKS. Hal ini terlihat dari aktivitas yang dilaksanakan oleh siswa telah menunjukkan keantusiasan. Aktivitas siswa yang muncul antara lain: 1) Sebagian besar siswa sudah berani mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapatnya dan menanggapi pertanyaan dari guru atau temannya. 2) Siswa terlihat lebih aktif dan saling membantu dalam kegiatan diskusi kelompok, saling bertukar informasi dan membentuk kelompok belajar yang heterogen. 3) Siswa sudah mampu untuk mengaitkan pengalamannya dengan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungannya. 4) Siswa antusias dalam memperagakan hasil kerja dan hasil diskusi kelompok serta dalam mendemonstrasikan soal yang diujicobakan. Pembelajaran kontekstual menuntut siswa agar tidak hanya menerima materi pelajaran yang dipelajari tetapi agar siswa menemukan sendiri konsep dari materi tersebut. Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa terbentuk berdasarkan pengalaman. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan secara aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri makna dari materi pelajaran yang dipelajari, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi serta saling menerima dan memberi. Materi pembelajaran dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata secara riil dan kemampuan didasarkan atas pengalaman. Tindakan atau prilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, pengetahuan yang dimiliki oleh setiap siswa selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya, siswa bertanggungjawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing serta pembelajaran dapat terjadi dimana saja dalam konteks dan setting
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 88
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu hal yang dipelajari oleh siswa menjadi lebih bermakna bagi kehidupannya (Komalasari dalam Suarmajaya, 2010). Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa siswa dapat menjadi lebih aktif untuk menggali pengetahuannya sendiri, sehingga pemahaman konsep, kemampuan penalaran dan komunikasi serta kemampuan pemecahan masalah pada diri siswa dapat ditingkatkan dan nantinya berimbas pada peningkatan pemahaman konsep IPA siswa. Selama proses pembelajaran, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dari halhal yang disampaikan guru. Siswa harus membangun pengetahuan sendiri dalam pikirannya. Dalam hal ini, guru hanya membantu agar informasi yang dimiliki siswa menjadi lebih bermakna bagi siswa. Dalam pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide yang dimiliki serta mendorong siswa untuk menggunakan strategi-strategi yang dimilikinya untuk belajar. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat disajikan simpulan sebagai berikut.
1) Penerapan pembelajaran kontekstual berbantuan LKS berhasil meningkatkan aktivitas belajar IPA pada siswa kelas IV SDI Bobou tahun ajaran 2012/2013. Pada tindakan siklus pertama dengan materi energi panas dan energi bunyi, rerata aktivitas siswa adalah 18,92 dengan kategori cukup aktif. Pada tindakan siklus kedua dengan materi energi alternatif dan perubahan energui gerak, rerata aktivitas siswa adalah 21,95 dengan kategori aktif.
2) Penerapan
pembelajaran
kontekstual
berbantuan
LKS
berhasil
meningkatkan
pemahaman konsep IPA pada siswa kelas IV SDI Bobou tahun ajaran 2012/2013. Pada tindakan siklus pertama dengan materi energi panas dan energi bunyi, rerata pemahaman konsep siswa adalah 49,89 dengan kategori pemahaman sangat rendah; daya serap siswa 55,44%; dan ketuntasan klasikal 38%. Pada tindakan siklus kedua dengan materi energi alternatif dan perubahan energi gerak, rerata pemahaman konsep IPA siswa adalah 76,29 dengan kategori tinggi; daya serap siswa 84,76%, dan ketuntasan klasikal 100%. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad H. 1993. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Bina Budaya.Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontextual (CTL). Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional. Anonim. 2012. Dunia Pendidikan di NTT Sangat Memprihatinkan, diunduh melalui www.dpr.go.id pada tanggal 20 januari 2013. Depdiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: BSNP. Iskandar, Srini. 1997. Pendidikan IPA di SD. Jakarta: Depdikbud JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 89
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
Nurhadi dan Garrard, S. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Puskur. 2007. Gagasan Kurikulum Masa Depan. Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Sardiman. 2001. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Siddiq, M. Djauhar. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Suastra, I W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI). Susanto, P. 2002. Keterampilan Mengajar IPA Berbasis Konstruktivisme. Malang: Universitas Negeri Malang. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berbasis Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Yamin, M. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Bumi Aksara.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 90
ISSN: 2355-5106
Vol 2, No 1
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 91