JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI
Volume 1, Nomor 1 Maret 2014
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106 Volume 1, Nomor 1 Maret 2014 Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti
PENGARAH Prof. Dr. I Wayan Koyan, M.Pd (Ketua STKIP Citra Bakti) Dek Ngurah Laba Laksana, S.Pd.,M.Pd (WK I STKIP Citra Bakti) PENANGGUNG JAWAB Dimas Qondias, S.Pd.,M.Pd (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti)
PENYUNTING BAHASA INDONESIA Ely Firdaus, M.Pd Dra Veronika Ulle Bogha, M.Si PENYUNTING BAHASA INGGRIS Ferdinandus Samri, SS.,M.Pd Indra Kusuma, M.Pd EDITING Konstantinus Dhua Dhiu, SH, M.Pd Bernardus Keo Siga, S.Kom
KETUA PELAKSANA HARIAN Melkior Wewe, M.Pd SEKRETARIS PELAKSANA HARIAN Pt Agus Wawan Kurniawan DEWAN REDAKSI Ketua Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd Anggota Maria Patrisia Wau, SE., M.Pd Yohanes Vianey Sayangan, S.Pd,SS, M.Si
BENDAHARA Natalia Rosalina Rawa, S.Pd Regina Natalia Fono Nawa, SE
TATA USAHA DAN SIRKULASI Siswanto, M.Pd David Agus Priyanto, M.Pd Ekolodang Januarisca, M.Pd Yohanes Bayo Ola Tapo, S.Pd Robertus Lili Bile, S.Pd
JIP terbit sekali dalam setahun (Maret) Alamat Redaksi : JLN. Bajawa-Ende, Malanuza, Kec, Golewa, Kab. Ngada-Flores-NTT E-Mail:
[email protected]
WACANA
Pembaca yang budiman, edisi ini adalah penerbitan perdana Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STKIP Citra Bakti Ngada. Kehadiran jurnal ini diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, khususnya dalam upaya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan ilmu pendidikan melalui publikasi ilmiah secara berkala. Penerbitan Jurnal ini dilaksanakan setahun sekali yaitu pada bulan maret. Pada penerbitan perdana ini menyajikan 10 artikel sebagai berikut: (1) Pengembangan Alat Ukur Pendidikan Karakter dan Kepekaan Moral Para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada (Penulis I Wayan Koyan); (2) Analisis Pendidikan Multikultur Berbasis Budaya Lokal Pada Sekolah dasar di Kecamatan Bajawa (Penulis Dimas Qondias); (3) Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-guru Kelas Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada (Dek Ngurah laba Laksana); (4) Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel di Kelas VIII SMP N 4 Bajawa Tahun Ajaran 2013/2014 (Penulis Melkior Wewe); (5) Peningkatan Prestasi dan Motivasi Belajar IPS Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif STAD Berbantuan Kartu Bergambar Pada Siswa Kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada (Penulis Dimas Qondias, Maria Magdalena Detu); (6) Kajian Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Oleh Guru-guru di Kecamatan Jerebuu (Penulis Veronika Ulle Bogha); (7) Analisis Keterampilan Dasar Mengajar Guru-Guru Non Sarjana Sekolah dasar Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana); (8) Penerapan Model Pembelajaran Generatif Dengan Setting Kelas Kooperatif STAD (Student Team Achievement Division) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kinerja Ilmiah Siswa Kelas V Sd Inpres Nirmala Tahun Ajaran 2013/2014 (Penulis Putu Agus Wawan Kurniawan, Frederikus Mawo); (9) Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana, Natalia Rosalina Rawa); (10) Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sdk Regina Pacis Tahun Pelajaran 2012/2013 (Penulis Putu Agus Wawan Kurniawan, Dimas Qondias) Demikian wacana ini dikemukakan untuk dapat digunakan sebagai bahan renungan ilmiah bagi para pembaca.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106 Volume 1, Nomor 1 Maret 2014 Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti DAFTAR ISI Halaman I Wayan Koyan. Pengembangan Alat Ukur Pendidikan Karakter dan Kepekaan Moral Para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada
1
Dimas Qondias. Analisis Pendidikan Multikultur Berbasis Budaya Lokal Pada Sekolah dasar di Kecamatan Bajawa
9
Dek Ngurah Laba Laksana. Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-guru Kelas Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada
15
Melkior Wewe. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel di Kelas VIII SMP N 4 Bajawa Tahun Ajaran 2013/2014
27
Dimas Qondias, Maria Magdalena Detu. Peningkatan Prestasi dan Motivasi Belajar IPS Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif STAD Berbantuan Kartu Bergambar Pada Siswa Kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada
33
Veronika Ulle Bogha. Kajian Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Oleh Guruguru di Kecamatan Jerebuu
41
Dek Ngurah Laba Laksana. Analisis Keterampilan Dasar Mengajar Guru-Guru Non Sarjana Sekolah Dasar Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada
51
Putu Agus Wawan Kurniawan, Frederikus Mawo. Penerapan Model Pembelajaran Generatif Dengan Setting Kelas Kooperatif STAD (Student Team Achievement Division) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kinerja Ilmiah Siswa Kelas V Sd Inpres Nirmala Tahun Ajaran 2013/2014
59
Dek Ngurah Laba Laksana, Natalia Rosalina Rawa. Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada
70
Putu Agus Wawan Kurniawan, Dimas Qondias. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sdk Regina Pacis Tahun Pelajaran 2012/2013
78
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENGEMBANGKAN ALAT UKUR PENDIDIKAN KARAKTER DAN KEPEKAAN MORAL PARA MAHASISWA STKIP CITRA BAKTI NGADA I Wayan Koyan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:(1) proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter, dan (2) tingkat kepekaan moral para mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada tahun 2013. Penelitian ini tergolong penelitian pengembangan dan deskriptif. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada tahun 2013. Tehnik sampling yang digunakan adalah simple random sampling.Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 84 orang yang ditentukan dengan menggunakan tabel Krejcie dan Morgan. Untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa, digunakan kuesioner tentang “Moral sensitivity or interpreting the situation. Proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dilakukan melalui tahapan penyusunan kisi-kisi, penyusunan instrumen, uji coba, dan validasi instrumen. Kepekaan moral mahasiswa dikumpulkan dengan alat ukur yang telah dikembangkan dan divalidasi. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian berupa (1) langkah-langkah pengembangan alat ukur pendidikan karakter komponen kepekaan moral yang telah divalidasi dan siap digunakan untuk mengumpulkan data kepekaan moral mahasiswa, dan (2) kepekaan moral mahasiswa tergolong pada kategori sangat tinggi. Kata kunci: pengembangan alat ukur dan kepekaan moral
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |1
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
THE DEVELOPMENT OF MEASUREMENT TOOLS OF CHARACTERS EDUCATION AND MORAL SENSITIVITY OF THE STUDENTS OF STKIP CITRA BAKTI NGADA Abstract The purposes of this study were (1) to investigate the process of developing Characters education’s measurement tools and (2) to investigate the level of moral sensitivity of the students of STKIP Citra Bakti Ngada in the academic year of 2013. This research belonged to development and descriptive research. The population of this study was the entire students of STKIP Citra Bakti Ngada in the academic year of 2013. The sampling technique used was simple random sampling. The sample was 84 students which were chosen by using Krejcie and Morgan table. To measure the students’ moral sensitivity, questionnaires about Moral sensitivity or interpreting the situation were used. The process of developing the measurement tools of characters education started from constructing blueprint, instrument arrangement, tryout, and instruments validation. The sensitivity of students’ moral was measured by using tools which were developed and validated. The data was analyzed descriptively. The results of the study are (1) the steps of developing measurement tools of characters education and moral sensitivity which have been validated and are ready to be used to collect data about students’ moral sensitivity, and (2) the students’ moral sensitivity was categorized as excellent. Keywords: developing measurement tools and moral sensitivity PENDAHULUAN Pelaksanaan pendidikan karakter sangat penting karena hampir seluruh masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, kini sedang mengalami bermacam-macam masalah moral atau krisis moral, seperti (1) meningkatnya perkelahian remaja, (2) meningkatnya ketidakjujuran, seperti suka nyontek, bolos dari sekolah dan suka mencuri, (3) berkurangnya rasa hormat, (4) meningkatnya kelompok teman sebaya yang kejam, (5) munculnya kejahatan, (6) merosotnya kesopanan, (7) meningkatnya sifat-sifat egois, (8)penyimpangan seksual, (9) perilaku bunuh diri, dan (10) adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan dan hukum, serta perilaku menyimpang lainnya (Lickona, 1992). Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, telah mendorong minat untuk melaksanakan pendidikan karakter di berbagai negara dan
makin terorganisasi melalui
organisasi seperti: ”The Character Education Partnership, The Character Counts Coalition, and the Communication Network” (Lickona, 1996: 94). Untuk melaksanakan pendidikan karakter yang efektif, paling sedikit terdapat sebelas prinsip yang perlu diperhatikan. (1) Pndidikan karakter hendaknya mengembangkan ”Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter yang baik. Dasar pelaksanaan pendidikan karakter berawal dari prinsip-prinsip filosofi, yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti, seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang baik. (2) Karakter, harus didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |2
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pendidikan karakter yang umumnya menyentuh ranah afektif, karakter mengandung makna yang lebih luas, meliputi aspek-aspek kognitif, emosi, dan aspek perilaku dalam kehidupan moral. Karakter yang baik terdiri atas pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar, dan tindakan atas dasar
nilai-nilai etika yang inti. (3) Pendidikan karakter yang efektif
menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter, perhatikanlah karakter itu melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekoah dan karakter para peserta didik. (4) Sekolah harus sebagai ”a caring community”. Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif.Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bias menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain. (5) Untuk mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berprilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari. (6) Pendidikan karakter yang efektif harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan karakter dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. (7) Pendidikan karakter hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar. Sekolah, khususnya
dalam
menggunakan
pendekatan
disiplin,
harus
berusaha
untuk
mengembangkan kemauan intrinsik terhadap nilai-nilai inti.(8) Staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan karakter dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat membimbing pendidikan pada para peserta didik. Memperhatikan adanya gejala-gejala negatif tersebut, nilai-nilai apakah yang perlu diajarkan? Dua buah nilai moral utama adalah ”respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang diajarkan, antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterkuaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), selfdiscipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu), JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |3
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona, 1991:43-45). Apakah syarat-syarat karakter yang baik? Karakter, berkaitan dengan pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan berbuat kebaikan, atau kebiasaan pikiran, kebiasaan perasaan dalam hati, dan kebiasaan berperilaku yang baik. Ketiga hal inilah yang menentukan kehidupan bermoral. Komponen-komponen karakter yang baik adalah seperti tercantum pada bagan berikut (Lickona, 1991: 53). COMPONENTS OF GOOD CHARACTER MORAL KNOWING 1. Moral awareness 2. Knowing moral values 3. Perspective-taking 4. Moral Reasoning 5. Decision-making 6. Self-knowledge
MORAL FEELING 1. Conscience 2. Self- esteem 3. Empathy 4. Loving the good 5. Self-control 6.Humility
MORAL ACTION 1. Competence 2. Will 3. Habit Gambar 01. Komponen Pendidikan Karakter Dalam komponen “moral knowing” (pengetahuan moral) terdapat enam aspek, yaitu (1) kesadaran moral (kesadaran hati nurani). (2) Knowing moral values (pengetahuan nilainilai moral), terdiri atas rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) Perspective- taking (kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi seperti apa adanya, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan). (4) Moral reasoning (pertimbangan moral) adalah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) Decision-making (pengambilan keputusan) adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. (6) Selfknowledge (kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri), dan hal ini paling sulit untuk dicapai, tetapi hal ini perlu untuk pengembangan moral. Dalam komponen ”moral feeling” (perasaan moral), terdapat enam aspek penting, yaitu (1) conscience (kata hati atau hati nurani), yang memiliki dua sisi, yakni sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi (perasaan wajib berbuat kebenaran). (2) Self-esteem (harga diri), dan jika kita mengukur harga diri sendiri berarti menilai diri sendiri; jika menilaia diri sendiri berarti merasa hormat terhadap diri sendiri. (3) Empathy (kemampuan untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain, atau seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain dan dilakukan orang lain). (4) Loving the good (cinta pada kebaikan); ini merupakan bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |4
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
dengan kebaikan yang sejati. Jika orang cinta pada kebaikan, maka mereka akan berbuat baik dan memiliki moralitas. (5) Self-control (kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri), dan berfungsi untuk mengekang kesenangan diri sendiri. (6) Humility (kerendahan hati), yaitu kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik. Dalam komponen ”moral action” (perilaku moral), terdapat tiga aspek penting, (1) competence (kompetensi moral), yaitu kemampuan untuk menggunakan pertimbanganpertimbangan moral dalam berperilaku moral yang efektif; (2) will (kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya merupakan hal yang sulit; (3) habit (kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar. Mengenai model pengukuran pendidikan karakter, dari kajian terhadap literaturliteratur, dapat diungkapkan bahwa keberadaan dan atau perangkat pendidikan moral atau pendidikan karakter dilabel dengan berbagai istilah, antara lain: “moral choice” (Nisan & Kariat, 1989), “moral reasoning” (Rest, 1979; Walker, 1989), “moral behavior, moral development, moral judgement” (Piaget, 1965; Kohlberg, 1987), “moral socialization” (Hoffman, 1983), “moral orientation” (Gilligan, 1982), “moral conflict, moral context, moral content” (Johnstone et al.,1990) dan “ascribed source of morality” (Henry, 1983). Masingmasing istilah tersebut mengandung makna yang spesifik dan memberi tekanan khusus pada konsep moralitas yang begitu kompleks. Berdasarkan penelitian-penelitian dalam bidang perkembangan moral yang pernah dilakukan, ditemui adanya beberapa model pengukuran dalam perkembangan moral, antara lain: (1) Moral Judgement Interview (M J I), yang dikembangkan oleh Piaget dan Kohlberg; (2) “Defining Issues Test” (DIT), yang dikembangkan oleh Rest (1978); dan (3) “Moral Authority Scale”, yang dikembangkan oleh Henry. Dalam penelitian ini, model alat ukur pendidikan karakter yang dikembangkan adalah model Defining Issue Test (DIT) yang dikembangkan oleh James Rest (1978) dari Universitas Minnesota. Model pengukuran ini menggunakan test bentuk pilihan ganda, dengan menggunakan tema atau ceritera-ceritera yang mengandung dilemma moral. Selanjutnya J. Rest (1994) mengembangkan model tersebut menjadi “Four Component Model”, yaitu empat komponen pokok yang mempengaruhi perilaku moral. Keempat komponen pokok yang diukur adalah: “(1) Moral sensitivity or interpreting the situation; (2) Moral judgement or judging which action is morality right/wrong; (3) Moral motivation or prioritizing moral values relative to other values; (4) Moral character or having, courage, persisting, overcoming distrastions, implementing skills” (J.Rest & D. Narvaez, 1994, p.23). Dalam penelitian ini digunakan komponen Moral sensitivity or interpreting the situation. Dengan demikian, timbul pertanyaan: (1) bagaimanakah proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dan validasinya sehingga dapat digunakan untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada; dan (2)
bagaimanakah
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |5
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
kecenderungan kepekaan moral para mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada terhadap perilaku moral yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan tentang “Moral sensitivity or interpreting the situation”. Tahapan pengembangan model alat ukur pendidikan karakter, meliputi kegiatan sebagai berikut. (1) Menentukan definisi operasional tentang Moral sensitivity or interpreting the situation, (2) membuat kisi-kisi instrument, (3) menyusun draf instrument, (4) uji pakar untuk menentukan validitas isi, (5) uji coba lapangan, (6) uji validitas butir dengan teknik korelasi Pearson, (7) menghitung reliabilitas instrument dengan Alpha-Cronbach, (8) merevisi butir-butir instrument, dan (9) merakit butir-butir instrument dan pengadministrasiannya. Populasi penelitian ini adalah para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada dan sampel penelitiannya menggunakan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana terhadap populasi dengan menggunakan teknik undian. Untuk menentukan besarnya sampel yang diperlukan digunakan tabel Morgan dan Krejcie dengan taraf signifikansi 5%. Untuk mengumpulkan data mengenai kepekaan moral, digunakan kuesioner tentang moralitas dengan menggunakan model DIT bagian
Moral
sensitivity or interpreting the situation, yang dikenakan terhadap mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Selanjutnya, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Untuk menguji validitas butir kuesioner kepekaan moral, digunakan rums korelasi product moment dari Pearson, sedangkan untuk menghitung reliabilitas kuesioner, digunakan formula Alpha Cronbach. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis hasil uji coba kuesioner kepekaan moral terhadap 42 orang rsponden mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada, ternyata semua butir kuesioner berada pada kategori valid dan kuesioner kepekaan moral memiliki reliabilitas yang tinggi, yaitu 0,706. Dengan demikian, kuesioner kepekaan moral dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang kecenderungan kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Rekapitulasi validitas butir kuesioner kepekaan moral adalah sebagai Tabel 4.2 berikut. Tabel 01. Validitas Butir Kuesioner Kepekaan Moral No. butir 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
r hitung 0,625 0,356 0,614 0,509 0,411 0,524 0,625 0,650 0,668 0,528
r tabel 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304 0,304
Keputusan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |6
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Kecenderungan kepekaan moral mahasiswa secara deskriptif dengan menggunakan skala lima teoretik kurve normal sebagai berikut. Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut ini. (1) Menghitung skor maksimal ideal kuesioner: 10 * 3 = 30; (2) Menghitung skor minimal ideal: 1 * 10 = 10; (3) Menghitung Mean Ideal: ½ (skor maksimal ideal + skor minimal ideal) = ½ (30 + 10) = 20; (4) Menghitung SD ideal: 1/6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal) = 1/6 (30-10) = 3,33; (5) Membuat kategori skala lima teoretik dengan menggunakan Mean ideal dan SD ideal dengan formula sebagai Tabel 02 berikut. Tabel 02. Kategori Kepekaan Moral Mahasiswa Formula Rentangan Kategori Mi +1,5 SDi ke atas
( 25 – 30 )
Sangat Tinggi
Mi +0,5 SDi - > Mi +1,5 SDi
( 21 – 24)
Tinggi
Mi - 0,5 SDi - > Mi +0,5 SDi
( 18 – 20 )
Cukup/ Sedang
Mi - 1,5 SDi - > Mi - 0,5 SDi
( 15 – 17 )
Rendah
Mi - 3 SDi - > Mi - 1,5 SDi
(10 – 14 )
Sangat Rendah
Berdasarkan Tabel 02 di atas, kemudian dikonversi dengan skor rata-rata yang diperoleh. Skor total yang diperoleh = 2277. Rata-rata yang diperoleh = 2277/84 = 27,11. Dengan demikian kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada berada pada kategori sangat tinggi. Penelitian ini telah menemukan dua hal penting, yakni proses pengembangan alat ukur kepekaan moral mahasiswa yang telah divalidasi sehingga dapat digunakan dalam penelitian untuk mengukur kecenderungan kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Berdasarkan temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain untuk mengadakan penelitian sejenis dengan sampel yang lebih luas dan dengan metodologi yang lebih akurat. Misalnya, dengan mengadakan studi eksperimen dengan analisis kovariansi sehingga variabel lain diluar variabel yang diteliti yang diduga memiliki pengaruh besar terhadap pengembangan karakter mahasiswa dapat dikendalikan secara statistik. Di samping itu, teori-teori yang digunakan sebagai dasar pijak membangun konstruk teori dalam penelitian ini telah cukup lama, yakni sebelum tahun 2000. Jika dalam penelitian menggunakan teori-teori baru, seperti teori tahun 2010 ke atas, mungkin akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Namun demikian, hasil penelitian ini telah memberikan gambaran singkat tentang proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dan gambaran singkat juga mengenai kondisi kepekaan moral mahasiswa dewasa ini. Masalahnya, adalah bahwa perlu diamati dalam kehidupan sehari-hari apakah perilaku mahasiswa telah menunjukkan kepekaan moral dan menunjukkan perilaku moral yang positif
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |7
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
dalam proses interaksi mereka dengan teman sejawat, dengan orang tua, dan dengan masyarakat sekitar. SIMPULAN DAN SARAN Langkah-langkah pengembangan kuesioner kepekaan moral adalah sebagai berikut: (1) Sintesis dari teori-teori yang dikaji, dirumuskan
konstruk dari variabel yang hendak
diukur dan dikembangkan indikator dari variabel yang akan diukur.(2) Membuat kisi-kisi instrument yang indicator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan indikator. (3) Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi, dari positif ke negatif, dari otoriter ke demokratik. (4) Menulis butir-butir instrument yang dapat berbentuk pernyataan atau pertanyaan. (5)Tahap
uji-coba instrumen. (6) Uji-coba instrumen di
lapangan.(7) Analisis data hasil uji-coba untuk menguji validitas. (8) Perakitan butir-butir instrumen yang valid untuk dijadikan instrumen final. Berdasarkan hasil analisis uji validitas butir dan perhitungan reliabilitas kuesioner kepekaan moral, ternyata semua butir kuesioner memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi sehingga kuesioner kepekaan moral mahasiswa dapat digunakan untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Berdasarkan analisis data secara deskriptif
terhadap jawaban 84 responden,
kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada berada pada kategori sangat tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anglada, D. (2007). ”An introduction to Instructional Design: Utilizing a Basic Design Model”. Tersedia pada http://www.pace.edu/ctlt/newsletter (diakses tgl. 17 September 2007 Bennett, William J. (Ed., 1997). The Book of Virtues for Young People: A Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster. CIFTCI ARIDAG, Nermin & Asuman YUKSEL. (2010). Analysis of the Relationship between Moral Judgment Competences and Empathic Skill of University Students. Tersedia pada http://www.eric.gov.ed (diakses tgl. 5 Maret 2011). Koyan, I Wayan. (2012). Statistik Pendidikan. Teknik Analisis Data Kuantitatif. Singaraja: Penerbit Universitas Pendidikan Ganesha Press. Lickona, T. (1996). Eleven Principles of Effective Character Education. Journal of Moral Education.1, 1996, pp.93-94. Noble, Karen & Robyn Henderson. (2011). The Promotion of “Character” and its Relationship to Retention in Higher Education. Australian Journal of Teacher Education Vol.36:Iss.3, Article 4. Tersedia pada http://ro.ecu.edu.au/ajte/vol36/iss3/4 (diakses tgl 6 Maret 2011). Patariya Ngammuk. (2011). A Study of 8 Fundamental Moral Characteristics among Thai Undergrduate Students. Hawaii International Conference on Education 9th Annual Conference January 4-7, 2011 Honolulu Hawaii. Tersedia pada http://www.eric.gov.ed (diakses tgl. 5 Maret 2011). Rest, J.R. (1994). Moral Development in Professions: Psychology and Applied Ethics. New Jersey: Lawrense Erlbaum Associates Publishers. Sugiyono. (2002). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV. Alfabeta. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |8
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
ANALISIS KEBUTUHAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR BERBASIS BUDAYA LOKAL PADA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BAJAWA Dimas Qondias Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat guru tentang perlunya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar kecamatan bajawa. Penelitian ini melihat apakah pembelajaran disekolah dasar perlu adanya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive random sampling untuk menentukan sekolah yang memiliki siswa multikultur dan simple random sampling untuk menentukan subyek yang akan diberikan pendapat tentang pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 73 orang yang ditentukan dengan menggunakan table Krejcie dan Morgan. Untuk mengukur besaran kesetujuan pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal digunakan kuesioner pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Data dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada skala teoretik. Hasil penelitian yang diperoleh dari 73 responden menunjukan pada rata-rata 122 (sangat setuju), ini berarti bahwa pendidikan multikultur berbasis budaya lokal sangat setuju dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah dasar. Kata-kata kunci: analisis kebutuhan, pendidikan multikultur, berbasis budaya lokal
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |9
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
THE NEED ANALYSIS OF LOCAL CULTURE-BASED MULTI-CULTURE EDUCATION IN ELEMENTARY SCHOOLS IN BEJAWA SUB-DISTRICT Abstract This study aims at investigating the teachers’ opinions about the necessaries of developing local culture-based multi-culture education in elementary schools in Bejawa subdistrict. This study also investigates whether instructions in elementary schools need a development of local culture-based multi-culture education or not. This study belonged to descriptive qualitative study. The sampling technique used was purposive random sampling technique to determine the schools which students were having multi-culture. Simple random sampling was used to determine the subject who would be asked the opinion about local culture-based multi-culture education. The amount of the sample was 73 respondents which were chosen by using Krejcie and Morgan table. To determine the agreement of the development of local culture-based multi-culture education, questionnaires about local culture-based multi-culture education were used. The data was analyzed descriptively which the purpose were about theoretic scale. The results gathered from 73 respondents show that the mean score is 122 (Strongly Agree), it means that the respondents agree with the development of local culture-based multi-culture education in the instructions in elementary schools. Keywords: need analysis, multi-culture education, local culture-based PENDAHULUAN Globalisasi membawa kemajuan zaman yang begitu pesat dan memicu masyarakat untuk bersaing di segi ekonomi, untuk meningkatkan taraf hidup manusia dewasa ini manusia melakukan perpindahan yang dimana sering disebut imigrasi. Fenomena tersebut sudah lumrah kita jumpai di kota-kota besar yang dimana memberikan kesempatan setiap manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hal tersebut tidak lepas peran pendidikan seorang manusia yang harus meningkatkan taraf hidupnya. Pendidikan di gadang-gadang sebagai masalah pemicu utama meningkatkan kehidupan manusia Tanpa kita sadari perkembangan pendidikan tidak terlepas dari adanya globalisasi di bidang IPTEK dan ekonomi yang membawa determinasi yang cukup besar. Pada umumnya tujuan dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kehidupan manusia. Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tantangan pendidikan di Indonesia sangat kompleks bersifat makro dan mikro. Apabila kita lihat bahwa guru banyak mengalami masalah terutama dalam mengelola kelas dan menghadapi siswa yang heterogen. Keberagaman siswa tidak terlepas dari meledaknya penduduk yang disuatu daerah. Di pertengahan tahun 1997 kekisruhan etnik terjadi di banyak tempat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dimana bangsa Indonesia pada saat itu menghadapii krisis multi dimensi. Kekisruhan etnik tersebut telah menggugah kesadaran baru diantara JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |10
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
komponen bangsa Indonesia bahwa kebanggaan akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan adalah sebuah angan-angan belaka. Ini membuktikan bahwa kekokohan bangunan supra-struktur Negara kebangsaan sangat rapuh. Apabila kita menelisik system pendidikan nasional dimasa lalu, pendidikan lebih cenderung berseragam budaya nasional yang berdiri di atas puncak-puncak budaya daerah. Dapat dikatakan pendidikan diselenggarakan secara monokultur yang dimana rentan terhadap konflik SARA. SARA merupakan konflik yang berlatar belakang suku, agama,ras (Purwasito 2002). Prasangka dan diskriminasi merupakan dua hal yang saling berkaitan. Apabila kita lihat bahwa prasangka ini dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan dan bahkan integrasi masyarakat. Menurut Soelaeman (2000) bahwa prasangka dapat diartikan sebagai suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi. Prasangka itu akan muncul apabila karena minimnya pendidikan seseorang, sehingga kurangnya pengetahuan, fakta dari kejadian dan dominasi kepentingan golongan maupun kelompok. Keadaan seperti inilah yang sering menyebabkan kesenjangan dan menghasilkan suatu konflik, karena kurangnya pemahaman kelompok masyarakat terhadap budaya yang berbeda di suatu daerah. Menurut Mulyana 2003, budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna,, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi-generasi melalui usaha individu atau kelompok (Mulyana dan rakhmat,2003). Menurut Rian (2013) Budaya memiliki banyak arti, budaya berarti budi atau akal budi atau pikiran. Kebudayaan berasal dari kata budayah yang dapat kita artikan sebagai hasil rasa, cipta, dan karsa manusia. Untuk lebih optimalkan pendidikan yang menekankan keberagaman budaya diperlukan pendidikan multikultur yang diiringi dengan budaya local disuatu daerah sebagai salah satu alat untuk menekan dan meminimalisir potensi konflik antar etnik, agama dan ras. Intinya, pada dasarnya peran
dari orang tua, sekolah, organisasi keagamaan dan
sebagainya, bertanggung jawab menjadikan anak-anak untuk memahami multikultur, akan tetapi peran yang paling penting untuk mengajarkan pendidikan multikultur ini adalah dari pihak sekolah. Oleh karena itu melalui program pendidikan multikultur yang di konsepsi dengan baik dan dilaksanakan secara berkesinambungan agar terbentuk sebuah masyarakat terhadap keragaman budaya yang dibutuhkan bagi masa kini dan masa depan bangsa Indonesia dan dunia. Menurut Hafizh (2012) Pendidikan multikultur adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan dari manapun datangnya (secara JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |11
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara). Pendidikan multikultural secara inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini. Sedangkan Menurut (Tilaar dalam Hafizh 2012) pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural (Anzis 2013). Menurut Suparlan (2006), berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme adalah demokratis, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, keyakinan, keagaman ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas dan konsep lainnya. Pendidikan berbasis budaya lokal merupakan upaya untuk mengintegrasikan budaya lokal dalam proses pendidikan yang mana proses pendidikan tidak hanya fokus terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan juga dengan mempelajari budaya lokal. Setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda. Keunggulan dari potensi daerah itu sangatlah beragam. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu diperhatikan sehingga pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa tidak asing dengan daerahnya sendiri dan memahami potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah diatas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah pendidikan multikultur berbasis budaya lokal perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah dasar? Dengan tujuan untuk mengetahui pendapat guru tentang perlunya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuatitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap yang menjadi masalah dalam penelitian ini. Sugiyono 2012 menyatakan penelitian kuantitatif digunakan pada realitas/gejala/fenomena yang dapat teramati dan terukur. Penelitian yang dilakukan ini ingin mengungkap fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan yang terkait dengan usaha dalam rangka terpenuhinya kebutuhan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Penelitian ini dilakukan di kecamatan bajawa kabupaten ngada yang dimana di kecamatan bajawa ini terdapat banyak keragaman etnik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SD di kecamatan Bajawa yang ada sebanyak 27 sekolah dasar di kecamatan Bajawa. Sampel penelitian diambil dengan teknik purposive random sampling untuk mencari JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |12
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
sekolah yang memiliki siswa multikultur. dari 27 sekolah dasar yang ada di bajawa di ambil 7 sekolah yang memiliki keragaman etnis. Setelah di tentukan sekolah dasar yang dimana siswanya memiliki multikultur dilanjutkan dengan pengambilan sampel dengan
simple
random sampling untuk menentukan subjek yang akan di berikan pendapat tentang pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Tabel 1 Data Sekolah Dasar di Kecamatan Bajawa. No
Nama Sekolah
Jumlah Guru
Penentuan Subjek
1
SDI Bobou
12
11
2
SDI Bajawa
15
11
3
SDI Lebijaga
16
11
4
SDK Regina Pacis
13
10
5
SDK Tanalodu
11
10
6
SDK Ngedukelu
10
10
7
SDK Kisanata
11
10
88
73
Sumber : Dinas Pendidikan dan kebudayaan kab Ngada Setelah ditentukan subjek dalam penelitian ini akan dilanjutkan dengan pemberian kuisioner yang telah disediakan
dengan menggunakan model skala likert yang telah
ditetapkan. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan skala 5 teoritik, untuk menetukan kesetujuan atau kesesuaian
pendidikan multikultur berbasis budaya lokal
disekolah dasar dapat ditentukan sebagai berikut: Tabel 2 Skala Penilaian atau kategori/ Klasifikasi pada skala lima Teoritis RENTANG SKOR
KLASIFIKASI
120 - 150
Sangat Setuju
100 - 119
Setuju
80 - 99
Ragu-Ragu
60 - 79
Tidak Setuju
30 - 59
Sangat Tidak Setuju
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tanggapan dari 73 responden dari 7 sekolah yang berada di kabupaten ngada diperoleh rata-rata 122, hal ini menjawab bahwa pendidikan
multikultur
berbasis
budaya
lokal
setuju
untuk
dikembangkan
dalam
pembelajaran di sekolah dasar. Bila dilihat secara terperinci dari 73 responden, bahwa terdapat 49 responden atau sebesar 67% yang menyatakan sangat setuju apabila pembelajaran disekolah dasar dikembangkan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Terdapat 24 responden atau sebesar 34% yang menyatakan setuju apabila pembelajaran disekolah dasar dikembangkan pendidikan multikultur. Hasil ini menjawab bahwa pendidikan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |13
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar sangat perlu diberikan oleh siswa SD di kecamatan bajawa, perlunya pengembangan ini di karenakan di kecamatan bajawa ini banyak memiliki ragam budaya/ etnik. Selain penduduk asli kecamatan bajawa banyak juga pendatang dari jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali yang menetap di Bajawa, oleh karena itu ragam budaya di daerah bajawa ini sangat banyak dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan kekisruhan diantara etnik yang berbeda. SIMPULAN DAN SARAN Pendidikan multikultur dapat ditekankan pada tema multikultur dan di integrasikan dalam pembelajaran di sekolah dasar. Terlihat bahwa dari 73 responden guru sekolah dasar dibajawa menyatakan kata sepakat bahwa pendidikan multikultur berbasis budaya lokal sangat perlu di kembangkan kedalam pembelajaran di sekolah dasar. Hal ini dipertegas dengan rata-rata yang diperoleh secara keseluruhan sebesar 122 (sangat setuju). Berdasarkan hasil temuan penelitian dianjurkan saran atau rekomendasi sebagai berikut. 1) dalam kegiatan belajar mengajar disekolah, guru sebagai orang yang paling dekat dengan siswa disarankan untuk mempelajari dan memahami unsur-unsur pendidikan multikultur berbasis budaya lokal, sehingga nantinya dapat bersikap dan berprilaku yang mencerminkan nilai-nilai multikulturalisme, yang dimana adanya pengakuan perbedaan siswa, adil dalam memberikan penilaian. 2) Kepada pengambil kebijakan dalam pendidikan disarankan untuk menjalankan program pendidikan multikultur berbasis budaya lokal ini hendaknya disediakan kebijakan paying hukum dalam pelaksanaannya sehingga guru tidak bimbang dalam mengimplementasikannya. 3) Dengan adanya penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan waktu dan peneliti oleh sebab itu peneliti berharap akan ada penelitian lain yang mengambil wilayah yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Anzis. 2013. Pendidikan Multikultur. http://anzisarna.blogspot.com. Diakses 10 Juli 2013 Purwasito. 2003. Komunikasi multikultur. Surakarta Muhamadiyah Universiti: Press. Soelaeman, M. 2000. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama Mulyana, D. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hafizh, M.
2012. Pengertian multikultur. http://www.referensi makalah.com/pengertian-
pendidikan-multikultural. Diakses pada 10 Juli 2013. Suparlan.
2006.
Menuju
Masyarakat
Indonesia
yang
Multikultur.
http://www.sercpps.ohion.edu/news/ciud/artikel. Diakses 10 juli 2013. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Koyan, 2012. Statistik Pendidikan Teknik Analisis Data Kuantitatif. Undiksha JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |14
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PROFIL PEMAHAMAN KONSEP IPA GURU-GURU KELAS SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN NGADA Dek Ngurah Laba Laksana Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Baki Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan pemahaman konsep tentang materi IPA SD pada guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan pada guru-guru sekolah dasar dengan jumlah responden 50 orang.. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi. wawancara dan tes diagnostik. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2013 dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan agar pengumpulan data yang diperoleh dari sumber pendukung penelitian ini lebih akurat. Data kemudian dianalisis secara deskriptif melalui empat tahapan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil pemahaman konsep guru sekolah dasar pada konsep-konsep dalam materi IPA sekolah dasar sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki beragam konsepsi terhadap suatu konsep yang telah dipelajari. Rata-rata pemahaman konsep ilmiah adalah sebesar 25% sedangkan 75% adalah miskonsepsi dan bukan miskonsepsi (hanya mengulang soal sebagai alasan). Konsep-konsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%). Kata-kata kunci : miskonsepsi, materi IPA SD
THE PROFILE OF CONCEPTION IN SCIENCE SUBJECT AT ELEMENTARY SCHOOL BY TEACHER OF ELEMENTARY SCHOOL IN NGADA REGENCY Abstract This study aimed at describing and identifying the misconception of student in Elementary School Teacher on science subject in Ngada Regency. This study was a quallitative descriptive research conducted at elementary school teacher by involving some informants which consisted of 50 people. Observation, interview and study documentation of diagnostic test was used in this study as the methods of data collection. The research was conducted on March 2013 and the implementation adapted based on the needs and the condition in the field to ascertain data more accurate from the supporting sources. The results were the teacher’s conception were varied. The average scientific concept is 25% while about 75% is a misconception or unmiconception (just a repeatly anwers from the question). Almost misconception was percentage above 50%. They are such as the concept of element were needed to photosynthesis (60%), the concept of photosynthesis that occured in the night (50%), the concept of density of matter (68%), and the concept of free falling out movement (78%). Key words: misconception, science concept at elementary school JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |15
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENDAHULUAN Menterjadikan pendidikan yang merata dengan wilayah cakupan yang luas memang dirasa sulit. Seperti yang tertulis dalam halaman www.dpr.go.id pendidikan di wilayah timur masih jauh panggang dari api. Kondisi yang serba kekuarangan dan keterbatasan serta tanpa alat laboratorium dan perpustakaan yang layak, bagaimana bisa kualitas pendidikan ini disandingkan dengan wilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Bali dan Sumatera. Lebih miris lagi, masih banyak sekolah yang gurunya mengajar sampai enam kelas dalam waktu yang bersamaan. Kondisi ini diperkuat oleh fakta bahwa wilayah timur seperti NTT masuk ke dalam peringkat bawah hasil Ujian Nasioanl tahun 2012 (www.kupang.tribunnews.com). Mata pelajaran IPA menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari hasil yang diperoleh tersebut. Mata pelajaran IPA saat ini diasuh oleh guru kelas yang berasal dari tenaga pendidikan yang sebagian besar masih berkualifikasi bukan sarjana. Fakta ini dipertegas lagi oleh hasil Uji Kompetensi guru untuk tingkat sekolah dasar, rata-rata nilai adalah 36,86 (www.kupang.tribunnews.com). IPA di sekolah dasar menjadi penting karena mampu melahirkan pemikiran kritis jika mampu dilakukan dalam pembelajaran yang bermakna. IPA memiliki tujuan untuk memahami berbagai gejala alam, konsep, dan prinsip IPA
yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; mengembangkan pemahaman dan kemampuan IPA untuk menunjang kompetensi produktif; meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam (BSNP, 2006). Pembelajaran bermakna (meaningful learning) mendapatkan tempat utama dalam pembelajaran IPA (Amien, 1990). Menurut Ausubel seperti dikutip Dahar (1988) belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep yang relevan yang menyebabkan tidak terjadinya proses asimilasi pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif maka informasi baru tersebut akan dipelajari secara hafalan. Hiller seperti dikutip Hewindati (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas penjelasan dan pengetahuan guru dengan pencapaian belajar siswa. Kurangnya pengetahuan guru akan menyebabkan tidak jelasnya penyajian pelajaran yang dapat menimbulkan pemahaman yang kurang bahkan pemahaman yang bersifat miskonsepsi. Sementara Winkel (1991) menyatakan penguasaan guru tentang bidang studi merupakan hal yang sangat mendasar dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru yang menjadi salah satu komponen pembelajaran tidak seharusnya menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi peserta didik. Beberapa survei dan penelitian yang ada, tampak komponen guru sebagai pengajar menjadi titik awal terjadinya miskonsepsi pada siswa. Hal ini ditunjukkan dari fakta bahwa JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |16
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pemahaman guru terhadap materi IPA masih rendah. Jayono (dalam Suryanto, 1997) menyatakan bahwa rata-rata guru SD hanya mampu menguasai 45% dari keseluruhan materi yang seharusnya mereka kuasai. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryanto terhadap guru IPA SD di Yogyakarta yang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman guru terhadap materi IPA masih rendah. Kurangnya pemahaman guru terhadap materi IPA juga dikemukakan oleh Simamora dan Redhana (2007) yang menyatakan bahwa guru-guru yang mengajarkan sains banyak mengalami masalah pembelajaran yang berkaitan dengan model pengubahan konseptual ditinjau dari karakteristik suatu konsep baru. Masalah-masalah yang terjadi antara lain guru menyajikan masalah-masalah yang tidak sesuai, mempresentasikan penjelasan yang tidak perlu, menjelaskan konsepsi secara prematur, menggunakan istilah-istilah yang membingungkan, kurang menekan pentingnya konteks, mengabaikan pengetahuan awal siswa, sedikit membahas aplikasi konsep dan terlalu banyak menggunakan persamaan matematis. Melihat fakta dan kondisi ini, perlu kiranya melakukan upaya awal untuk menggali pemahaman IPA guru-guru sekolah dasar. Untuk itu akan dilakukan sebuah kajian di wilayah Kabupaten Ngada yang menjadi salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengetahui profil pemahaman konsep pada materi IPA guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah profil pemahaman konsep IPA guru-guru kelas di sekolah dasar di Kabupaten Ngada? Dengan tujuan dari untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan pemahaman konsep tentang materi IPA SD pada guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif karena menggambarkan secara alamiah tentang pola konsepsi guru-guru SD dalam materi IPA di Sekolah Dasar. Rancangan penelitian kualitatif dapat diwujudkan dengan tahap-tahap penelitian kualitatif. Tahap penelitian kualitatif memiliki ciri pokok yang berbeda dengan penelitian kuantitatif, yaitu peneliti berperan sebagai alat penelitian. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni (1) tahap pralapangan, tahap ini merupakan tahap penyusunan, perencanaan, dan penyiapan segala bentuk materi yang dibutuhkan sebagai bahan dasar tahap berikutnya. (2) tahap lapangan, pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data, peneliti menggunakan alat-alat penelitian yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Alat penelitian yang penting digunakan adalah catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan yang dibuat oleh peneliti pada saat mengadakan pengamatan, pemberian tes diagnostik, dan wawancara. Kemudian, data digolongkan menjadi; data pemahaman konsep, profil JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |17
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
miskonsepsi serta penyebab/sumber miskonsepsi yang dialami mahasiswa. (3) tahap pasca lapangan adalah melakukan analisis data lanjutan, pengambilan simpulan akhir, konfirmasi dan penyusunan laporan. Kegiatan analisis data lanjutan dilakukan setelah keseluruhan data terkumpul dan setelah kegiatan pengumpulan data di lapangan terakhir. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ngada, Provinsi NTT. Penentuan tempat penelitian ini dilakukan dengan teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Sumber data peneliti adalah guru-guru SD se-Kabupaten Ngada. Jumlah guru yang diteliti adalah 32 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2013. Analisis data dilakukan secara induktif. Analisis secara induktif dilakukan untuk menemukan simpulan akhir terhadap data yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Analisis yang dilakukan yaitu jawaban informan pada saat wawancara tentang sumber informasi konsep-konsep IPA yang mereka pelajari dan petikan-petikan hasil tes diagnostik dan wawancara. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis, memperlihatkan persentase pemahaman konsep IPA guru-guru pada materi IPA di sekolah dasar adalah 25,4%. Sementara, 74,6% guru-guru tidak memahami konsep IPA dengan baik yang perinciannya 31% adalah miskonsepsi dan 43,6% termasuk kategori bukan miskonsepsi. Adapun hasil analisis pemahaman konsep IPA guruguru seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Uji Tes Diagnostik guru-guru SD di Kabupaten Ngada pada Materi IPA Jawaban Guru (%) No. soal 1
2 3 4 5
6 7 8 9 10 11
Konsep Tes Diagnostik Memahami konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau Memahami konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya Memahami konsep zat-zat yang dihasilkan dari proses fotosintesis Memahami proses pernafasan pada tumbuhan Memahami bahwa tumbuhan hijau mendapatkan makanan dari proses fotosintesis Memahami konsep air dalam wujud gas Memahami konsep perbedaan berat dan massa suatu benda padat Memahami konsep massa jenis zat Memahami konsep tekanan pada benda cair Memahami konsep pemuaian udara Memahami konsep benda diam mengalami gaya
Konsepsi ilmiah 16
Bukan Miskonmiskonsep sepsi si 60 24
26
50
24
32
18
50
66
16
18
22
38
40
14 12
28 16
58 72
8 36
68 8
24 56
18 30
44 44
38 26
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |18
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
12 13
Memahami konsep gaya gravitasi di bulan Memahami konsep kuat arus listrik
14 16
48 34
38 50
14 15
Memahami konsep gerak jatuh bebas Memahami konsep besarnya gaya tarik suatu benda Memahami konsep rotasi bumi
12 24
78 4
10 72
50
18
32
Memahami konsep benda-benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri Memahami konsep revolusi bumi Memahami konsep gerhana bulan Memahami konsep gerhana matahari
58
12
30
42 10 2
10 10 16
48 80 82
25,4
31,0
43,6
16 17 18 19 20
Persentase rata-rata (%)
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa terdapat 4 konsep yang paling banyak mengalami miskonsepsi. Konsep-konsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%). Sementara itu, dari hasil tes diagnostik dan wawancara pada informan menunjukkan bahwa dalam setiap item tes diagnostik terdapat miskonsepsi. Berdasarkan hasil kajian peneliti, umumnya miskonsepsi yang terjadi menyangkut kesalahan informan dalam memahami hubungan antar konsep-konsep dalam materi IPA di sekolah dasar. Profil pemahaman konsep guru tentang materi IPA sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Profil Pemahaman Konsep Guru-guru SD di Kabupaten Ngada pada Materi IPA No
Butir jawaban responden
1
Air diperlukan oleh tumbuhan hijau dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan karbohidrat (glukosa/zat gula) Air merupakan unsur penting bagi tumbuhan untuk mengangkut zat-zat makanan ke seluruh bagian tumbuhan Air diperlukan untuk proses pertumbuhan oleh semua makhluk hidup Proses fotosintesis membutuhkan oksigen dan karbondioksida Dalam air terdapat zat hara yang diperlukan dalam proses fotosintesis Air diperlukan dalam proses penguapan Uap air merupakan salah satu zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Proses fotosintesis dapat terjadi jika ada cahaya, cahaya matahari maupun cahaya lain seperti cahaya lampu yang
2
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Konsepsi ilmiah
16%
Miskonsepsi
18%
Miskonsepsi
16%
Miskonsepsi
4%
Miskonsepsi
8%
Miskonsepsi Miskonsepsi
2% 12%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
24% 26%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |19
ISSN: 2355-5106
No
Vol 1, No 1
Butir jawaban responden memiliki energi tertentu dapat memicu terjadinya proses fotosintesis Proses fotosintesis dapat terjadi di malam hari karena fotosintesis terjadi di daun dengan sari-sari makanan yang diserap melalui akar Fotosintesis tidak dapat terjadi di malam hari karena proses fotosintesis hanya terjadi jika ada cahaya matahari Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
3
4
5
6
Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau saat ada cahaya matahari adalah oksigen karena gas ini dihasilkan saat terjadi fotosintesis sedangkan gas karbondioksida adalah gas yang dibutuhkan dalam proses tersebut Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau saat ada cahaya matahari adalah karbondioksida karena gas oksigen diperlukan dalam proses tersebut Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau ketika ada cahaya matahari adalah karbondioksida karena gas tersebut digunakan dalam proses pernafasan tumbuhan Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Tumbuhan bernafas di siang hari karena semua makhluk hidup harus bernafas untuk mendapatkan energi untuk kelangsungan hidupnya Tumbuhan bernafas di siang hari karena tumbuhan sedang melakukan proses fotosintesis Tumbuhan bernafas di siang hari karena terdapat udara seperti karbondioksida di lingkungan sekitarnya Tumbuhan bernafas di siang hari dengan cara menghirup karbondioksida, sedangkan pada malam hari menghirup oksigen Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Tumbuhan hijau memperoleh makanan dengan cara melakukan proses fotosintesis Tumbuhan hijau memperoleh makanan dari zat hara di dalam tanah kemudian menggunakannya dalam proses fotosintesis Tumbuhan hijau memperoleh makanan dari air di dalam tanah karena air adalah sumber makanan untama tumbuhan hijau Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah uap air karena ketika air didihkan maka akan terjadi perubahan wujud dari cair menjadi gas Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah udara yang terdapat di dasar air yang mengalir ke
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Miskonsepsi
8%
Miskonsepsi
44%
Bukan miskonsepsi
22%
Konsepsi ilmiah
32%
Miskonsepsi
8%
Miskonsepsi
10%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
50%
Miskonsepsi
6%
Miskonsepsi
6%
Miskonsepsi
4%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah Miskonsepsi
18%
Miskonsepsi
4%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
40%
Miskonsepsi
12%
66%
22% 34%
14%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |20
ISSN: 2355-5106
No
Vol 1, No 1
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Miskonsepsi
16%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah massa denagn satuan kilogram sedangkan berat dipengaruhi oleh gravitasi bumi Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah berat karena memiliki satuan kilogram Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah berat karena massa dengan berat adalah sama Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan terapung jika dimasukkan ke dalam air karena kedua buah benda tersebut akan memiliki massa jenis yang sama Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan ada yang terapung dan tenggelam karena kedua benda tersebut memiliki massa jenis yang berbeda tergantung besar kecilnya suatu benda Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan terapung jika dimasukkan ke dalam air laut karena tempat memepengaruhi terapung atau tidaknya suatu benda Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan ada yang terapung dan tenggelam karena kedua buah benda tersebut memiliki tekanan yang berbeda Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan gambar, titik yang tekanannya terbesar adalah titik T karena semakin dalam benda dalam zat cair maka tekanan yang dialaminya semakin besar Berdasarkan gambar, titik yang tekanannya terbesar adalah titik P karena benda yang terdapat paling atas mendapatkan tekanan yang besar dari zat cair Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Balon-balon udara jika terus bergerak ke atas, lama kelamaan balon tersebut akan pecah karena udara yang terdapat di dalam balon akan mengalami peristiwa pemuaian
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
58%
Miskonsepsi
8%
Miskonsepsi
8%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
72%
Miskonsepsi
56%
Miskonsepsi
6%
Miskonsepsi
6%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
24%
Miskonsepsi
8%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
56%
Balon-balon udara jika terus bergerak ke atas, lama
Miskonsepsi
44%
Butir jawaban responden bagian atas permukaan air Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah gas oksigen karena gas tersebut akan menguap ketika air didihkan
7
8
9
10
12%
8%
36%
18%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |21
ISSN: 2355-5106
No
11
12
13
14
15
Vol 1, No 1
Butir jawaban responden kelamaan balon tersebut akan pecah karena tekanan udara semakin tinggi sehingga terdapat perbedaan besarnya tekanan udara di dalam balon Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan ilustrasi, benda yang diam akan mengalami gaya yaitu gaya gesekan dengan lantai serta gaya berat yang dipengaruhi oleh massa benda dan gaya gravitasi bumi Berdasarkan ilustrasi, benda yang diam tidak mengalami gaya karena benda yang diam tidak mengalami perpindahan/bergerak Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan akan terjatuh ke bawah karena di bulan terdapat gaya gravitasi bulan Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan tidak akan terjatuh ke bawah karena di bulan tidak terdapat gaya gravitasi Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan tidak akan terjatuh ke bawah karena di bulan tidak terdapat udara Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan gambar, kuat arus listrik yang masuk ke lampu sama besar dengan kuat arus yang keluar dari lampu karena arus listrik tidak dipengaruhi oleh hambatan lampu Berdasarkan gambar, kuat arus listrik yang masuk ke lampu sama besar dengan kuat arus yang keluar dari lampu karena memiliki rangkaian seri Berdasarkan gambar, kuat arus listrik setelah keluar dari lampu akan berkurang karena arus listrik sudah digunakan oleh lampu Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Dua buah bola yang terbuat dari bahan yang berbeda jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama maka kedua bola akan sampai ke lantai secara bersamaan hal ini dikarenakan kedua benda tersebut memiliki percepatan dan waktu tempuh yang sama sehingga menyentuh lantaipun bersamaan Dua buah bola yang terbuat dari bahan yang berbeda jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama maka bola yang lebih berat akan menyentuh lantai terlebih dahulu Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan gambar, besarnya gaya tarik yang dimiliki oleh benda (i) sama dengan gaya tarik yang dimiliki oleh benda (ii) hal ini disebabkan karena besarnya gaya tarik tidak dipengaruhi oleh luas permukaan sentuhnya
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
38%
Miskonsepsi
44%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
26%
Miskonsepsi
34%
Miskonsepsi
14%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
38%
Miskonsepsi
4%
Miskonsepsi
30%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
50%
Miskonsepsi
78%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
10%
30%
14%
16%
12%
24%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |22
ISSN: 2355-5106
No
16
17
18
19
Vol 1, No 1
Butir jawaban responden Berdasarkan gambar, besarnya gaya tarik yang dimiliki oleh benda (i) lebih besar daripada benda (ii) hal ini disebabkan karena gaya gesekan yang terjadi pada benda (i) lebih besar daripada yang terjadi pada benda (ii) Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Peristiwa matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat terjadi karena gerak perputaran bumi pada porosnya (rotasi bumi) dimana saat berotasi ada bagian bumi yang tidak terkena cahaya matahari yang mengakibatkan terjadinya malam (matahari tenggelam), dan bagian bumi yang terang yang mengakibatkan terjadinya siang (matahari terbit) Peristiwa matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat terjadi karena gerakan bumi mengelilingi matahari dimana setiap planet berputar mengelilingi pusat tata surya yaitu matahari Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Bulan adalah benda langit yang tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri karena cahaya bulan yang terlihat dari bumi merupakan cahaya pantulan sinar matahari oleh permukaan bulan Bulan adalah benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri karena bulan termasuk bintang Bulan adalah benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri karena bulan termasuk satelit yang bercahaya Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Semua planet di dalam tata surya termasuk bulan beredar mengelilingi matahari karena matahari sebagai pusat dalam sistem tata surya sehingga semua benda angkasa yang ada dalam sistem ini yang beredar mengelilingi matahari Semua planet di dalam tata surya termasuk bulan beredar mengelilingi bumi karena adanya peristiwa revolusi Semua planet beredar mengelilingi matahari tetapi bulan hanya beredar mengelilingi bumi Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Berdasarkan gambar, tidak ada pilihan yang benar mengenai peristiwa terjadinya gerhana bulan karena gerhana bulan terjadi jika cahaya bulan (hasil pantulan cahaya matahari) terhalangi menuju bagian bumi yang tidak terkena cahaya matahari Berdasarkan gambar, gerhana matahari terjadi jika posisi bulan berada diantara bumi dan matahari Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Miskonsepsi
4%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
72%
Miskonsepsi
18%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
32%
Miskonsepsi
6%
Miskonsepsi
6%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
30%
Miskonsepsi
4%
Miskonsepsi
6%
Bukan Miskonsepsi Konsepsi ilmiah
48%
Miskonsepsi
10%
Bukan Miskonsepsi
80%
50%
58%
42%
10%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |23
ISSN: 2355-5106
No
Vol 1, No 1
Butir jawaban responden
20
Berdasarkan gambar, gerhana matahari terjadi jika posisi bulan berada diantara bumi dan matahari hal ini disebabkan karena cahaya matahari terhalangi menuju bagian bumi yang mengalami siang hari Berdasarkan gambar, gerhana matahari terjadi jika posisi bumi berada diantara bulan dan matahari Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban Rata-rata 1. Konsepsi Ilmiah 2. Miskonsepsi 3. Tidak menjawab atau bukan miskonsepsi
Jenis Pemahama n Konsep
Dalam persen (%)
Konsepsi ilmiah
2%
Miskonsepsi
16%
Bukan Miskonsepsi
82%
25% 16% 58%
Dari Tabel 2 di atas, memperlihatkan bahwa pemahaman konsep pada materi IPA sekolah dasar guru-guru SD se-Kabupaten Ngada sangat bervariasi. Di mana persentase guru yang tidak mengetahui konsep IPA (tidak menjawab atau bukan miskonsepsi) sebesar 58%. Sedangkan persentase miskonsepsi adalah 16% dan pemahaman yang merupakan konsepsi ilmiah hanya 25%. Ini berarti bahwa sebagian besar guru belum atau salah memahami konsep-konsep IPA di sekolah dasar. Konsep-konsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%). Pada konsep zat-zat yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis, sebanyak 60% guru mengalami miskonsepsi. Hal ini berarti sebagian besar guru masih belum memahami dengan baik bahwa dalam proses fotosintesis, air yang digunakan adalah air dalam wujud cairnya bukan air dalam wujud gas (uap air). Dalam penelitian ini, konsep yang terkonstruksi di pikiran guru yang menjadi sebuah miskonsepsi adalah zat yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis tersebut berfungsi untuk melarutkan zat hara dalam tanah dan mempercepat terjadinya fotosintesis. Pemahaman guru juga sangat kurang untuk konsep fotosintesis terjadi jika ada cahaya. Guru cenderung memahami bahwa cahaya yang diperlukan dalam proses tersebut haruslah cahaya matahari. Hal ini ditandai dengan persentase miskonsepsi pada konsep ini sebesar 50%. Dalam hal ini kemungkinan guru belum memahami fungsi dari cahaya dalam proses tersebut. Cahaya dalam proses fotosintesis berfungsi sebagai energi yang digunakan agar terjadi reaksi antara CO2 dengan H2O menjadi C6H12O6. Sebagian besar guru (68%) juga mengalami miskonsepsi pada konsep pengaruh bahan yang sama terhadap terjadinya peristiwa tenggelam dan terapung (konsep massa JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |24
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
jenis). Konsep yang terbentuk dalam diri guru adalah benda yang memiliki massa yang lebih besar akan tenggelam. Padahal peristiwa tenggelam dan terapung dipengaruhi oleh gaya tekan benda terhadap zat cair yang dikenal dengan Hukum Archimedes. Miskonsepsi tertinggi terjadi dalam konsep gerak jatuh benda. Di mana guru beranggapan bahwa benda yang memiliki massa lebih besar akan jatuh lebih cepat. Sebanyak 78% guru mempunyai konsep yang keliru seperti ini. Pendapat ini jelas tidak sesuai dengan konsepsi ilmiah yang menyatakan bahwa benda jika dijatuhkan pada ketinggian yang sama tanpa diberikan gaya awal dan tidak ada gaya lain yang bekerja pada benda tersebut, maka benda akan mempunyai kecepatan yang sama. SIMPULAN DAN SARAN Rata-rata pemahaman konsep ilmiah adalah sebesar 25% sedangkan 75% adalah miskonsepsi dan bukan miskonsepsi (hanya mengulang soal sebagai alasan). Dari 20 konsep yang diberikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda beralasan, seluruh konsep tersebut terjadi miskonsepsi dengan persentase yang bervariasi. Konsepkonsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%). Berdasarkan temuan penelitian ini, maka dapat diajukan saran atau rekomendasi sebagai berikut. 1) Perlu dilakukan pengkajian miskonsepsi terhadap buku-buku ajar yang mengandung materi IPA sekolah dasar yang digunakan oleh siswa di sekolah dasar. Hal ini perlu dilakukan sebab melalui penelitian ditemukan miskonsepsi yang berasal dari buku ajar yang digunakan di sekolah dasar seperti buku paket dan buku LKS IPA. Upaya untuk menggali miskonsepsi juga dapat dilakukan oleh dosen atau staf pengajar di Program Studi PGSD STKIP Citra Bakti. Beberapa alternatif upaya yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut; (1) melakukan identifikasi pengetahuan awal atau prior knowledge sebelum memberikan materi perkuliahan, kemudian menjadikan miskonsepsi yang dibawa guru sebagai acuan mengajar, (2) menggunakan berbagai macam model dan strategi pembelajaran konflik kognitif yang membuat guru lebih kritis dan mengharuskan mereka mengolah bahan ajar secara lebih mendalam, dan (3) memasukkan hasil penelusuran miskonsepsi dalam bahan ajar mata kuliah untuk mereduksi miskonsepsi yang dapat terjadi pada calon guru SD DAFTAR PUSTAKA Amien. 1990. Pemetaan Konsep: Suatu Tehnik untuk Meningkatkan Belajar yang Bermakna. Mimbar Pendidikan Tahun IX, 55-69. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: BSNP. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |25
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fowler dan Jaoude. 1987. Using hierarchichal concept/proposition maps to plan instruction that addresses existing and potential student misunderstanding in science. New York: Cornell University. Hewindati, Yuni Tri. 2001. Pemahaman Murid Sekolah Dasar terhadap Konsep IPA Berbasis Biologi: Suatu Diagnosis Adanya Miskonsepsi. Laporan Penelitian. Fakultas MIPA: Universitas Terbuka. Novak. 1987. Proceeding of the second international seminar misconcepsition and educational strategies in Science and Mathematics. New York: Cornell University. Sadia, I Wayan, dkk. 2001. Pengembangan Buku Ajar IPA Pendidikan Dasar Berwawasan Sains-Teknologi-Masyarakat (Studi Pembelajaran IPA Menuju Siswa Yang Literasi Sains dan Teknologi). Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Singaraja: STKIP Singaraja. Setiawati, Gusti Ayu Dewi. 2011. Kajian Miskonsepsi dalam Materi Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Ganesha Tahun Pelajaran 2010/2011. Tesis (tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Simamora, Maruli dan I Wayan Redhana. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Laporan Penelitian. Universitas Pendidikan Ganesha. Suastra, I Wayan. 1996. Efektivitas Model Belajar Heuristik Vee dengan Peta Konsep dalam Pembelajaran Fisika (Studi Eksperimental dalam Pandangan Konstruktivisme di SMP Negeri I Singaraja Bali). Tesis (tidak diterbitkan). Bandung: IKIP Bandung. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R. D. Bandung: CV Alfabeta. Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: PT Grasindo. Suryanto, 1997. Pemahaman guru Sekolah Dasar (SD) terhadap Konsep konsep Ilmu Pengetahuan Alam (IPA): Suatu diagnosis adanya miskonsepsi. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka. Yuliati, Lia. 2007. Miskonsepsi dan Remediasi Pembelajaran IPA. Buku Ajar. Jakarta: Universitas Terbuka
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |26
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL DI KELAS VIII SMP NEGERI 4 BAJAWA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Melkior Wewe Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada – Ntt Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran yang objektif tentang pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar Matematika pada siswa kelas VIII SMP IV Bajawa Tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini merupakan penelitian eksperiman semu dengan rancangan post-test only controll group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMP Negeri 4 Bajawa yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 70 orang. Sampel penelitian terdiri dari 2 kelas dengan jumlah siswa 50 orang yang ditentukan dengan cara cluster random sampling. Data hasil belajar siswa dalam penelitian ini dikumpulkan dengan tes hasil belajar. Teknik analisis data digunakan adalah t -test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari skor hasil belajar matematika siswa diperoleh rata-rata pada kelompok eksperimen adalah 7,44 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 4,40. Hal ini berarti bahwa hasil belajar matematika pada siswa yang belajar dengan menggunakan model STAD lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar metematika yang menggunakan model konvensional. Tingginya skor rata-rata pada kelompok eksperimen berpengaruh positif terhadap pengujian hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan uji t. Kata – kata kunci : model pembelajaran kooperatif tipe STAD, hasil belajar.
THE EFFECT OF STAD TYPE COOPERATIVE LEARNING TO THE LEARNING ACHIEVEMENT OF MATH ON THE TOPIC LINEAR EQUATION SYSTEM WITH TWO VARIABLES AT THE EIGHTH GRADE STUDENTS OF STATE JUNIOR HIGH SCHOOL IV BAJAWA SCHOOL YEAR 2013/2014 Abstract This study aimed to get the objective description of the effect of STAD type cooperative learning model on learning achievement in Math at the eighth grade students ofstate junior high school IV Bajawa school year 2013/2014. This study was a quasiexperimental design with a post-test only control group design. The study population was all students of state junior high school 4 Bajawa which consisted of three classes with a total enrollment of 70 students. A sample of 50 students which was from 2 classes determined using cluster random sampling. The data of student learning outcomes were collected using achievement test. t - test was used for analysing data. The result of the study shows that from the scores of students’ learning achievement on math obtained by an average which in the experimental group was 7.44 whereas in the control group was 4.40. This means that the students learning achievement on math using STAD model are better than using conventional model. The high average scores in the experimental group gives a positive effect on hypothesis testing which is done using t test. Keywords: STAD type cooperative learning model, learning achievement. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |27
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENDAHULUAN Menurut Soedjadi (2001) untuk menghadapi abad 21 yang diperkirakan akan diwarnai persaingan , maka Indonesia mutlak perlu memiliki warga negara yang bermutu dan berkualitas tinggi. Karenanya diperlukan sumber daya manusia yang bermutu tinggi yang mampu menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta dapat memanfaatkannya untuk kesejahteraan bangsa. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Diantaranya adalah guru dan metode pembelajaran yang digunakannya. Sampai saat ini masih banyak guru dalam pembelajaran hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, sedangkan anak didik hanya menerima apa yang disampaikan guru itu sendiri. Kondisi yang seperti ini harus diupayakan untuk diperbaiki. Upaya tersebut dapat dilakukan diantaranya melalui perbaikan kegiatan pembelajaran. menurut Slavin (1995:2) dalam belajar kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam tujuan bersama. Dengan belajar dalam kelompok kecil maka siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya dan dapat menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. Salah satu pembelajaran kooperatif yang digunakan bagi guru-guru yang baru mulai menggunakan model pembelajaran kooperatif adalah tipe STAD (Student Team Achievement Division). Pembelajaran tipe STAD dalam pelaksanaannya meliputi empat komponen pokok yaitu : (1) presentasi kelas, (2) kerja kelompok, (3) kuis atau tes, dan (4) penilaian kelompok. Menurut Slavin (1997:124) pembelajaran kooperatif tipe STAD bercirikan materi pelajaran yang disampaikan adalah sederhana dan tugas utama siswa adalah menyelesaikan lembar kerja secara berkelompok. Dalam pembelajaran matematika SMP kelas VIII, salah satu pokok bahasannya adalah sistem persamaan linier dua variabel. Dalam sistem persamaan linier dua variabel siswa juga diperkenalkan dengan contoh soal dalam kehidupan sehari-hari yang dalam penyelesaiannya membutuhkan penguasaan siswa terhadap sistem persamaan linier dua variabel. berdasarkan pengelaman
peneliti dan diskusi Peneliti dengan beberapa guru
ternyata masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan sistem persamaan linier dua variabel. Salah satu penyebabnya adalah siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, karena itu guru diharapkan tidak hanya menggunakan metode pembelajaran yang selama ini digunakan tetapi diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang dapat membuat siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan tidak secara drastis mengubah kebiasaan-kebiasaan belajar yang sudah melekat pada diri siswa. Berdasarkan uraian di atas maka Peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif Tipe STAD terhadap hasil belajar belajar pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel di SMP kelas VIII. Permasalahan yang di ajukan dalam penelitian ini adalah :”Apakah ada perbedaan yang JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |28
ISSN: 2355-5106
signifikan hasil belajar
Vol 1, No 1
matematika antara kelompok siswa yang mengikuti
model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajaran konvensional pada pokok bahasan sistem persamaan linear”?. Tujuan dari penelitian Untuk membandingkan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel. METODE PENELITIAN Penelitian ini di lakukan di SMP Negeri 4 Bajawa, Desa Bei Wali, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada dengan waktu pelaksanaan pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 tepat pada bulan Oktober tahun 2013. Untuk menentukan sampel penelitian dengan menggunakan teknik Cluster Random Sampling. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasi satu atau lebih variabel pada satu atau lebih kelompok eksperimental. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengukur hasil belajar siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Post test only Control Group desaign. Masing – masing kelompk dipilih ssecara random ( acak). Kelompok pertama di beri perlakuaan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran tipe STAD dan kelompok yang lain tidak diberi perlakuan ( pemeblajaran konvensional). Menghindari penyusunan Instrumen penelitian yang menyimpang dari dimensi dan indikator yang sudah ditetapkan, maka sangat diperlukan dibuatkan kisi – kisi instrumen. Untuk itu, perlu dibuat kisi – kisi instrumen sehingga dapat mengukur hasil belajar dengan baik. Insrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar adalah Tes Essay . Tes hasil belajar disusun berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar
dan indikator yang
terdapat dalam silabus mata pelajaran matematika yangsudah ditentukan dlam kurikullum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sebelum digunakan tes terlebih dahulu akan dilakukan validasi dengan uji validitas dan reliabilitas. Uji Validitas butir soal dengan menggunakan rumus korelasi produk moment sedangkan untuk menguji menguji Reabilitas tes digunkan rumus Alpa Cronbach. Hasil perhitungan dengan menggunakan Ekcell 2010 dari 10 soal yang diujicobakan ada 7 soal dinyatakan valid. Dari 7 soal yang valid dilanjutkan uji Reabilitas soal. Rancangan penelitian Post test only Control Group desaign. Variabel terikat adalah hasil belajar siswa setelah diberi perlakuan. Hasil belajar siswa adalah skor tes yang diperoleh dari posttes. Sedangkan variabel bebasnya adalah Model pemebelajaran Tipe STAD. Data yang diperoleh melalui hasil penelitian, yakni data tentang hasil belajar metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dianalisis secara Deskriptif kuantitatif, yakni mencari harga rerata, modus, median, Standar Deviasi, dan simpangan baku dari setiap variabel
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |29
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
yang diteliti, mencari varians, mencari uji persyaratan analisis, dan menguji hipotesis dengan menggunakan T- test. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis uji coba intrumen tes hasil belajar terhadap 20 orang siswa SMP Negeri 4 Bajawa, dari 10 soal tes yang diuji cobakan ternyata ada 7 soal yang valid dan intstrumen soal memiliki reliabilitas yang sedang yaitu 0,58. Dengan demikian, instrumen tes hasil belajar dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa/i SMP Negeri 4 Bajawa. Tabel 1 Validitas Butir instrumen Tes Hasil Belajar Siswa No R hitung rtabel Keputusan butir 1 0,43 0,304 Valid 2 0,09 0,304 Gugur 3 0,67 0,304 Valid 4 0,47 0,304 Valid 5 0,63 0,304 Valid 6 0,301 0,304 Gugur 7 0,07 0,304 Gugur 8 0,37 0,304 Valid 9 0,51 0,304 Valid 10 0,46 0,304 Valid Kecendurangan hasil tes hasil belajar siswa/i secara deskriptif dengan menggunakan skala lima teoritikkurve normal sebagai berikut. Langkah – langka perhitungan adalah sebagaii berikut ini. (1) Menghitung skor maksimal ideal kuisioner: Tabel 2. Rentangan skor No 1
Rentang Skor
2
Mi + 0,5 Sdi £ x < Mi + 1,5 20, 42 26,24 SD i Mi - 0,5 Sdi £ x < Mi + 1,5 14,59 20,42 SD i Mi - 0,5 Sdi £ x < Mi - 1,5 8,755 14,59 SD i 0 x < Mi - 1,5 SD i 8,755
3 4 5
x ≥ Mi + 1,5 SD i
Rentangan 26,25 - 35
Kategori Sangat baik – Baik – Cukup – Kurang - Sangat Kurang
Skor rata – rata hasil belajar matematika siswa kelompok eksperimen adalah 26,04. Berdasarkan hasil konversi, dapat dinyatakan bahwa rata – rata hasil belajar matematika kelompok eksperimen termasuk dalam kategori Tinggi. Dari hasil analisis untuk menguji hipotesisi dengan menggunaka uji t diperoleh t hitung = 10,975 dan t tabel dengan db= n1+ n2 – 2 = 48 debgan taraf signifikan 5%, ( α = 0,05) = 1,684, maka t hitung > t tabel atau 10,975 > 1,684, sehingga Ho di tolak dan Ha diterima. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |30
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Berdasarkan skor rata – rata kelompok eksperimen =7,44 dan kelompok kontrol = 4,40 perhitungan uji – t dapat di intreprestasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan hasil belajar siswa yang belajar dengan menggunakan Model konvensional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran koperatif tipe STAD berpengaruh positif terhadap hasil belajar matematika siswa. Penelitian ini telah menemukan dua hal penting, yakni instrumen tes hasil belajar telah divalidasi sehingga dapat digunakan dalam penelitian untuk mengukur hasil belajar siswa pada pokok bahasan Sistem persamaan linear dua variabel. Selanjutnya bahwa Model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat efektif diperoleh dari hasi uji t. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan
Hasil
analisis
terhadap
skor
hasil
belajar
matematika
siswa
menunjukkan bahwa rata – rata skor yang dicapai pada kelompok eksperimen = 7,44 sedangkan pada kelompok kontrol = 4,40 serta hasil uji t = 10,975. Nilai uji t tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar pada siswa yang belajar dengan menggunakan model STAD lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan model konvensional. Dengan kata lain ada pengaruh yang positif pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Tipe STAD terhadap hasil belajar matematika kelas VIII SMP. Dengan demikian dapat diinterprestasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang belajar menggunakan model koperatif Tipe STAD. Sehingga dapat disimpulkan “Ada pengaruh pemberian model pembelajaran koperatif Tipe STAD terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas VIII semester III di SMP Negeri 4 Bajawa. Dari hasil penelitian tersebut disarankan (1) kepada siswa untuk dapat menciptkan rasa kebersamaan dalam proses pembelajaran agar mampu meningkatkan hasil belajar (2) Bagi guru di sekolah menengah pertama hendaknya lebih inovatif dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunkan model pembelajaran tang berpusat pada siswa, serta didukung media pembelajaran yang relevan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa.(3) Bagi Sekolah menengah pertama yang mengalami rendahnya hasil belajar matematika, disarankan untuk menerapkan model pembelajaran koperatif Tipe STAD. (4) Bagi yang berminat melakukan penelitian hendaknya menggunakan model pembelajaran yang sesuai degan permasalahan yang ditemukan di dalam kelas. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. 1994. Kurikulum Sekolah Menengah Umum (Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar). Jakarta: Depdikbud. Hudojo, H., 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |31
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Ibrahim, Muslimin. dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Unesa- University Press. Johnson, R. dan D. Jhonson. 1994. Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning (fourth edition). Massachusets: Allyn & Bacon. Koyan, I Wayan, 2012 . Statistik Pendidikan . Universitas Pendidikan Ganesha Press. Slavin, R. E. 1990. Student Team Learning in Mathematics. Dalam Cooperative Learning in Soedjadi, R. 1995. Mis-Konsepsi Dalam Pengajaran Matematika. (Pokok-Pokok Tinjauan Dikaitkan Dengan Konstruktivisme). Surabaya : Media Pendidikan IKIP Surabaya. Sugiyono, 2012 Metodologi Penelitian Pendidikan. Alfa Beta, Bandung
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |32
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENINGKATAN PRESTASI DAN MOTIVASI BELAJAR IPS MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD BERBANTUAN KARTU BERGAMBAR PADA SISWA KELAS VA SDI BOBOU KABUPATEN NGADA Dimas Qondias
Maria Magdalena Detu Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar IPS melalui penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPS siswa kelas VA SDI Bobou dengan menerapkan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada dengan jumlah siswa 24 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan tes prestasi belajar IPS. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan februari sampai april 2013. Data dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan prestasi dan motivasi belajar IPS siswa. Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) Rata-rata prestasi belajar IPS pada siklus I 74,16 dengan kategori cukup tinggi, daya serap siswa 74%, dan ketuntasan klasikal 83,33%. Pada tindakan siklus kedua rerata siswa adalah 82,55 dengan kategori tinggi, daya serap siswa 82%, dan ketuntasan klasikal 100%. (2) Rata-rata motivasi belajar pada siklus pertama yaitu 29,58 dengan kategori cukup tinggi, dan rata-rata motivasi pada siklus kedua yaitu 32,79 dengan kategori tinggi. Kata-kata kunci: kooperatif STAD, kartu bergambar, prestasi belajar IPS, motivasi belajar.
IMPROVING LEARNING ACHIEVEMENT AND MOTIVATION OF SOCIAL STUDY THROUGH THE IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE METHOD TYPE STAD HELPED BY FLASHCARDS ON THE FIFTH GRADE STUDENTS OF ELEMENTARY SCHOOL CLASS A AT SDI BOBOU NGADA REGENCY Abstract This study aims at improving learning achievement and motivation of social study through the implementation of cooperative method type STAD helped by flashcards. Specifically, the aims of this study is to improve the motivation of social study on the fifth grade students of elementary school class A at SDI Bobou by implementing cooperative method type STAD helped by flashcards. This study belongs to an action-based research which has been conducted in class VA at SDI Bobou, Ngada regency where the amount of the students was 24 students. Mtehods of data collection used in this study were observation and administering social study achievement test. The results show that (1) the mean score of the students at cycle I is 74,16 where it is categorized as good, the students’ understanding ability is 74%, and the classical achivement is 83.33%. then, at cycle II the mean score of the students is 82.55 showed by excellent category, the students’ understanding ability is 82%, and classical achievement is 100%. (2) the mean score of students’ motivation at cycle I is 29.58 showed by good category, and at cycle II it is 32.79 showed by excellent category. Keywords: coperative method type STAD, flashcards, learning achievement in social study, learning motivation. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |33
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan suatu proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah prilaku siswa ke arah yang lebih positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa untuk dapat mencapai tujuan yang dirumuskan (Sanjaya, 2008). Untuk mencapai tujuan yang dirumuskan tersebut, maka seorang guru harus mempersiapkan diri dengan merancang pengembangan materi pembelajaran dalam silabus, kemudian dikembangkan menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berdasarkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tersebut guru melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Guru harus bisa menemukan cara terbaik untuk bisa meneransfer materi-materi yang sudah disiapkan. Untuk dapat mentransfer materi dengan baik guru harus bisa berkomunikasi secara efektif, memotivasi siswa juga perlu dilakukan oleh guru. Dwijandono (2004) mengatakan bahwa masalah besar bagi guru dan siswa di kelas adalah motivasi, motivasi yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah motivasi. Motivasi adalah suatu dorongan untuk berprestasi dari seseorang baik yang datangnya dari dalam dirinya maupun dari luar. Menurut Sardiman (2005:24), belajar akan lebih mantap dan efektif apabila didorong dengan motivasi terutama motivasi dari dalam, siswa sebagai subjek pembelajaran sangat perlu memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat menjalani proses belajar dengan sebaik-baiknya. Dengan motivasi yang tinggi maka siswa akan menjadi tekun dalam pembelajaran di kelas dan berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Harus diakui bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan. Kelengkapan dan kecanggihan fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan adalah sebagai tambahan penunjang keberhasilan pembelajaran. Guru merupakan tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan luar biasa, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lemahnya kualitas pendidikan tidak dapat kita salahkan karena kegagalan guru sebagai salah satu peran penting
yang
mengarahkan
mutu
pendidikan.
Peran
dari
pemerintahpun
sangat
berpengaruh, Namun, kurang optimalnya proses pembelajaran mungkin menjadi salah satu problema yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Terkadang proses pembelajaran di dalam kelas hanya mendorong anak untuk menghafal dan lebih meningkatkan pada pengembangan ingatan siswa. Anak selalu dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa memperhitungkan proses terlebih dahulu. Proses seperti ini salah satu penyebab anak kurang memiliki kemampuan berpikir. Kronologi ini hampir terjadi pada setiap mata pelajaran tidak terlepas pada mata pelajaran IPS. Terkadang strategi pembelajaran tidak digunakan secara baik dalam pembelajaran di kelas sehingga pembelajaran IPS tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir . Kejadian semacam ini sering kita jumpai pada saat pembelajaran di sekolah. Pembelajaran disekolah selalu membebani para siswa untuk JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |34
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
menghafal dan menghafal sehingga para siswa merasa jenuh pada saat pembelajaran itu berlangsung. Pembelajaran IPS tidak hanya diarahkan pada pengembangan kompetensi yang berkaitan dengan aspek intelektual saja tetapi keterampilan sosial menjadi salah satu faktor yang dikembangkan sebagai kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dalam pendidikan
IPS
(muchtar:
2008)
Keterampilan
mencari,
memilih,
mengolah
dan
menggunakan informasi untuk memberdayakan diri serta keterampilan bekerjasama dengan kelompok yang majemuk nampaknya merupakan aspek yang sangat penting dimiliki oleh peserta didik yang kelak akan menjadi warga negara dewasa dan berpartisipasi aktif di era global. Setelah dilakukan wawancara oleh guru mata pelajaran IPS kelas 5 yang dilaksanakan pada tanggal 16 Januari 2013 diketahui bahwa pembelajaran IPS di SDI Bobou masih mengalami masalah yang memerlukan penanganan, baik dalam hal proses pembelajarannya maupun dalam hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Guru tersebut mengungkapkan bahwa kesulitan yang biasa dialami pada saat melaksanakan proses pembelajaran antara lain. Pertama adalah kesulitan dalam memusatkan perhatian siswa dan membangkitkan minat siswa dalam belajar. Sebagian besar siswa kurang memperhatikan pada saat guru menyampaikan materi pembelajaran. Perhatian mereka lebih banyak tertuju pada hal-hal di luar pelajaran. Sikap siswa tersebut yaitu mengobrol dengan temannya. Kedua, siswa kurang aktif dalam diskusi kelompok sehingga proses pembelajaran menjadi kurang kondusif. Semangat siswa untuk belajar pun masih terlihat rendah Ketiga, siswa kurang aktif untuk bertanya jika terdapat hal yang belum difahaminya terkait dengan materi pembelajaran yang dibahas, sehingga banyak siswa yang merasa kebingungan pada saat mengerjakan soal-soal yang ditugaskan oleh guru. Dengan masalah seperti itu maka perlu diusahakan perlu formulasi dan praktek pembelajaran meggunakan pembelajaran STAD berbantuan media kartu bergambar untuk lebih meningkatkan prestasi belajar dan motivasi siswa dalam proses pembelajaran. Mengingat model pembelajaran tipe STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif serta adanya penilai dalam bentuk kuis yang akan memberikan penghargaan pada individu maupun kelompok secara seimbang (Slavin, 1995: 143). Model
pembelajaran
kooperatif
ini
menekankan
bagaimana
dalam
proses
pembelajaran, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok secara heterogen, terjadi saling kerjasama antara yang satu dengan lain, dapat saling bertukar pikiran, berbagi tangungjawab, bisa saling memahami antara yang satu dengan yang lain, sehingga bisa dilihat motivasi yang dimilikinya. Pembelajaran kooperatif tipe STAD, dengan ciri utama berupa penilaian dalam bentuk kuis yang berefek pada penghargaan terhadap individu dan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |35
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
kelompok, karena nilai individu diakumulasikan menjadi nilai kelompok (Slavin, 1995). Melalui kuis akan terlihat prestasi belajar dalam hal ini kemampuan kognitif siswa dalam pembelajaran IPS. Sedangkan motivasi siswa akan mampu dilihat dari observasi yang dilakukan terhadap kerja kelompok. Dengan demikian, maka dapat diformulasikan peningkatan prestasi dan motivasi belajar IPS melalui penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar siswa Kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) apakah pembelajaran STAD berbantuan kartu bergambar dapat meningkatkan prestasi belajar IPS kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada?, (2) apakah pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) peningkatan prestasi belajar IPS siswa kelas VA pada saat diterapkan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan media kartu bergambar. (2) peningkatan motivasi belajar IPS siswa kelas 5A semester genap di SDI bobou pada saat diterapkan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan media kartu bergambar. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagi siswa, diharapkan mampu bisa termotivasi dalam belajar dengan diterapkannya penbelajaran STAD berbantuan media kartu bergambar, (2) Bagi guru penerapan model pembelajaran kooperatif STAD berbantuan media kartu bergambar dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk dapat meningkatkan mutu pembelajaran, (3) Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengalaman menulis khususnya penelitian tindakan. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan melaksanakan refleksi awal yang dilanjutkan dengan melaksanakan penelitian. Pelaksanaan penelitian dirancang dalam bentuk siklus dan masing-masing siklus terdiri atas empat tahapan: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, serta (4) refleksi. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDI Bobou kecamatan bajawa kabupaten ngada Tahun ajaran 2012/2013. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VA tahun ajaran 2012/2013 yang dimana jumlah siswa laki-laki 17 dan perempuan 7. Bentuk keterlibatan peneliti dalam penelitian ini adalah bentuk kolaborasi antara peneliti dengan guru bidang studi IPS terpadu kelas V. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah prestasi dan motivasi belajar dalam mata pelajaran IPS pada siswa kelas VA semester Genap SDI Bobou Tahun ajaran 2012/2013. Secara umum pelaksanaan penelitian tiap siklus dibagi dalam empat tahap yaitu: (1) perencanaan, dalam tahap perencanaan ini hal yang dirancangkan berupa menyamakan persepsi dengan guru, menyiapkan RPP dan menyiapkan media gambar yang akan digunakan, (2) pelaksanaan, dalam tahap ini pelaksanaan pembelajaran mengikuti langkah-langkah model kooperatif STAD dan dalam JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |36
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pelaksanaan pembelajaran di bantu dengan media kartu bergambar. (3) Observasi, pada tahap observasi ini peneliti mencatat perubahan-perubahan yang muncul karena adanya penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar. (4) Refleksi, dalam tahap yang terakhir ini peneliti dan guru berkolaborasi untuk merumuskan kekurangan yang terjadi dalam siklus, masalah-masalah apa yang terjadi selama pembelajaran berlangsung dipecahkan bersama-sama untuk memperbaiki ke pembelajaran selanjutnya. Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data dianalisis dengan analisis statistik deskriptif. yaitu ”bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data sehingga mudah dipahami” (Hasan, 2008:6). Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data tentang motivasi dan prestasi belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran IPS dengan menerapkan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar. Penelitian ini dikatakan berhasil apabila prestasi belajar IPS berada di atas kkm 70 daya serap 75 dan semua siswa dikatakan tuntas. HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Siklus I Materi pelajaran yang akan diteliti pada siklus pertama adalah tentang perjuangan
melawan penjajah jepang dan belanda. Hal-hal yang dilakukan adalah menyusun silabus, RPP, kartu bergambar, instrumen prestasi belajar IPS yang berupa tes prestasi belajar dan lembar observasi motivasi belajar siswa, jurnal harian untuk mencatat kendala-kendala dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada siklus pertama terdiri dari empat kali pertemuan. Adapun yang dibahas pada pertemuan pertama sampai pertemuan keempat secara berturut-turut adalah menceritakan sebab jatuhnya daerah nusantara ke kuasaan belanda, system kerja, perjuangan mengusir penjajah, masuknya jepang ke Indonesia, sebab akibat romusa, pergerakan nasional, peristiwa sumpah pemuda. Pada pertemuan kelima akan dilaksanakan tes prestasi belajar IPS. Sedangkan observasi motivasi belajar dilakukan disetiap pertemuan dengan mengisi rubrik penskoran motivasi belajar. Pelaksanaan tindakan siklus pertama dimulai pada minggu pertama bulan Februari sampai minggu pertama bulan maret 2013. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VA SDI Bobou dengan jumlah siswa 24 orang. Alokasi waktu setiap pertemuan adalah satu jam pelajaran (1×40 menit). Penelitian dalam siklus ini di SDI Bobou diikuti oleh 24 siswa yang dimana 7 siswa perempuan dan 17 siswa laki-laki.
Berdasarkan data yang didapat bahwa penerapan
pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar belum efektif dijalankan sesuai dengan rencana dan hipotesis penelitian ini. Pada siklus pertama penilaian hasil belajar siswa berupa tes prestasi belajar dengan menggunakan tes pilihan ganda. Pada siklus pertama, rata-rata nilai tes prestasi belajar IPS adalah 74,16 dengan kategori cukup tinggi. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |37
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Dengan rincian tiga orang kategori kurang, enam orang karegori cukup tinggi, sebelas orang kategori tinggi, empat orang kategori sangat tinggi. Terdapat lima siswa yang belum memenuhi KKM yang telah ditentukan di kelas VS SDI Bobou yakni ≥ 70. Daya serap siswa 74% dan ketuntasan siswa secara klasikal mencapai 83% dari 100% yang ditetapkan. Standar deviasi nilai pemahaman konsep menunjukkan 16,65. Dengan demikian,
daya
serap dan ketuntasan klasikal belum terpenuhi. Sedangkan
analisis terhadap motivasi belajar
siswa pada siklus pertama
menunjukkan bahwa rata-rata motivasi siswa mencapai 29,58 dengan kategori cukup tinggi. Dengan rincian 23 siswa mencapai kategori cukup tinggi dan 1 siswa dengan kategori tinggi. Standar deviasi skor motivasi menunjukkan 1,71. Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan kartu bergambar sebagai berikut: (a) penerapan model pembelajaran kooperatif STAD pada siklus pertama secara umum masih belum terlaksana secara optimal. Hal ini jelas terlihat pada awal pembelajaran yaitu ketika siswa kesulitan menyajikan atau mempresentasikan hasil kajian kelompok di depan kelas. Jadi siswa masih perlu bimbingan yang sangat intensif pada setiap tahap model kooperatif STAD, (b) siswa masih terkesan individual pada saat bekerja dalam kelompoknya. (c) beberapa siswa tampak sibuk mengobrol dan bercanda sehingga menggangu kegiatan di dalam kelompok sendiri maupun kelompok yang lainnya. (d) beberapa siswa yang memiliki kemampuan rendah masih kurang aktif dalam proses pembelajaran, mereka masih menyerahkan sepenuhnya kepada siswa yang mempunyai kemampuan lebih dalam kelompoknya. b.
Siklus II Materi pelajaran yang akan diteliti pada siklus kedua adalah tentang usaha-usaha
tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan, perumusan dasar Negara dan sikap menghargai para tokoh. Sama halnya dengan siklus pertama, yang perlu dipersiapkan adalah dilakukan adalah menyusun silabus, RPP, kartu bergambar, instrumen prestasi belajar IPS, prestasi belajar yang berupa tes prestasi belajar dan lembar observasi motivasi belajar siswa, jurnal harian untuk mencatat kendala-kendala yang mucul dalam penerapan model pembelajaran kooperatif STAD. Pada siklus kedua terdiri dari tiga kali pertemuan. Pada pertemuan keempat akan dilaksanakan tes yang berupa tes prestasi belajar IPS dan melaksanakan penilaian motivasi belajar di setiap pertemuan. Pelaksanaan tindakan siklus kedua dimulai pada minggu kedua Maret sampai minggu pertama bulan April 2013. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VA SDI Bobou dengan jumlah siswa 24 orang. Alokasi waktu setiap pertemuan adalah satu jam pelajaran (1×40 menit). Pada siklus kedua, rata-rata nilai tes prestasi belajar adalah 82,5 dengan kategori tinggi dan daya serap siswa adalah 82%. Terdapat 6 siswa kategori cukup tinggi, 10 siswa kategori tinggi dan 8 siswa kategori sangat tinggi. Semua siswa atau 100% siswa telah memenuhi KKM yang telah ditetapkan di kelas VA SDI Bobou yakni ≥70. Jadi ketuntasan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |38
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
siswa secara klasikal telah mencapai 100% dari 100% yang ditetapkan. Standar devisiasi nilai prestasi belajar siswa menunjukkan 10,3. Peningkatan motivasi siswa pada siklus kedua ini terlihat pada setiap pembelajaran. Siswa yang ikut serta berbagi pendapat pada saat menyajikan hasil kerja kelompok semakin banyak dibandingkan dengan siklus pertama. Begitu pula keterlibatan siswa pada kegiatan diskusi semakin meningkat. Motivasi belajar siswa juga dapat dilihat di setiap akhir pembelajaran siklus kedua, siswa selalu bertanya kepada guru tentang materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Peningkatan motivasi belajar siswa tinggi terjadi pada siklus kedua. Analisis terhadap motivasi siswa pada siklus kedua menunjukkan bahwa ratarata motivasi siswa mencapai 32,79 dengan kategori aktif. Dengan rincian 24 siswa kategori aktif. Standar deviasi skor motivasi menunjukkan 0,72. Berdasarkan jurnal harian, kendala-kendala yang dihadapi pada siklus kedua terkait dengan proses penilaian dan pembelajaran adalah sebagai berikut, pada siklus kedua, sifat individu dalam kerja kelompok masih terjadi pada beberapa siswa. Hal ini terjadi karena mental dan ego siswa masih tinggi. Selain hal tersebut di atas, tidak ditemukan kendala yang berarti dalam penerapan model pembelajaran kooperatif STAD. Kalaupun ada, masih bisa ditanggulangi saat itu juga. Siswa juga telah mulai terbiasa dengan tahapan-tahapan penerapan pembelajaran kooperatif STAD. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat disajikan simpulan sebagai berikut: (1) Penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan gambar berhasil meningkatkan motivasi belajar IPS pada siswa kelas VA SDI Bobou. Pada tindakan siklus pertama dengan rerata motivasi belajar siswa adalah 29,58 dengan kategori cukup tinggi. Pada tindakan siklus kedua dengan rerata motivasi belajar siswa adalah 32,79 dengan kategori tinggi. (2) Penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan gambar berhasil meningkatkan prestasi belajar IPS pada siswa kelas VA SDI Bobou. Pada tindakan siklus pertama dengan rerata prestasi belajar siswa adalah 74,16 dengan kategori cukup tinggi, daya serap siswa 74%, dan ketuntasan klasikal 83,33%. Pada tindakan siklus kedua dengan rerata siswa adalah 82,55 dengan kategori tinggi, daya serap siswa 82%, dan ketuntasan klasikal 100%. Berdasarkan hasil refleksi dan temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian, maka dapat diajukan beberapa saran guna meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di SD yaitu sebagai berikut, (1) bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan umpan balik dalam mendidik siswa, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan prestasi belajar IPS siswa. (2) bagi sekolah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya dalam pelajaran IPS. (3) bagi pemerintah khususnya dinas pendidikan diharapkan dapat memberikan seminar atau workshop tentang penerapan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |39
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pembelajaran kooperatif STAD berbantuan gamabar bagi tenaga pendidik dan guru yang memberikan pelajaran IPS, sehingga dapat menambah pengalaman mengajar pendidik. DAFTAR PUSTAKA Dwijandono. W. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia. Hasan, M. Iqbal. 2008. Pokok- Pokok Materi Statistik 1. Jakarta: Bumi Aksara. Muchtar. Suwarma. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI. Sanjaya, Wina, 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |40
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
KAJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS OLEH GURU-GURU SD DI KECAMATAN JEREBUU Veronika Ulle Bhoga Program Studi Pendidikan Guru Sekolah dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] Abstrak Penelitian dengan judul Kajian Pelaksanaan PTK oleh Guru-Guru SD di Kecamatan Jerebuu ini dilaksanakan untuk mengkaji bagaimana pelaksanaan PTK oleh guru-guru SD yang sudah melaksanakan PTK di Kecamatan Jerebuu. Instrumen penelitiannya adalah Kuesioner, wawancara, dan pengamatan dokumen PTK. Analisis data menggunakan analisis normative yaitu norma prosedur/pelaksanaan PTK. Data-data hasil penelitian adalah guru memperoleh pengetahuan PTK dari Perguruan tinggi. Hanya 8% guru SD di Jerebuu yang telah melaksanakan PTK. Guru-guru yang melaksanakan PTK adalah guru yang berstatus sebagai mahasiswa. Mereka belum melaksanakan PTK untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan. Prosedur pelaksanaan PTK menggunakan siklus dengan tahapan: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Kesimpulan penelitian ini: sekolah belum responsif mengembangkan PTK demi peningkatan mutu. Animo guru SD terhadap pelaksanaan PTK rendah. Guru masih membutuhkan bimbingan, akibatnya guru belum dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui PTK. Kata Kunci: PTK, deskriptif kualitatif, siklus PTK, animo rendah THE IMPLEMENTATION STUDY OF CLASS ACTION RESEARCH CONDUCTED BY ELEMENTARY SCHOOL TEACHERS IN JEREBUU SUBDISTRICT Abstract This research aimed to study the implemantation of class action research conducted by elementary school teachers who had done the research in Jerebuu subdistrict. The research instruments used were a questionnaire, interviews, and observation on class action research documentation. The data were analyzed using normative analysis. Normative analysis was the norm of the class action research implementation. The data of research result shows that the teachers obtained the knowlegde about class action reseach in the university. The elementary school teachers in Jerebuu that have done the class action research is just 8 %. The class action research conducted by the teachers who have been studying in a university. They have not done the class action research yet for the improvement of educational quality. The procedure on doing the class action research using cycles and stages namely planning, action, observation and reflection. The conclusion of this research is the school has not been responsive to proceed the class action research for the quality improvement. The interest of elementary school teachers to the implementation of class action research is low. The teachers still need a guidance. As the result of that the teachers are not be able to increase educational quality through class action research. Keywords: class action research, descriptive qualitative, class action research cycles, low interest
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |41
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENDAHULUAN Dalam Undang-Undang no 14 th 2005 tentang guru dan dosen, pada pasal 10 dikemukakan bahwa Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Lebih lanjut dijelaskan yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi social adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Salah satu wujud komitmen guru yang profesional adalah mencermati setiap tindakan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan menyelidik seperti, apakah penggunaan metode, strategi, pemilihan media, sarana, serta pengelolaan kelas efektif mempercepat pencapaian kompetensi? Jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan di atas dan upaya untuk
memperbaikinya
merupakan
komitmen
seorang
guru
yang
professional.
Pengembangan profesi guru dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penulisan karya tulis ilmiah, penciptaan alat peraga, pengembangan kurikulum, media, dan karya seni. Berkaitan dengan karya tulis ilmiah, guru dapat menulis karya tulis ilmiah non penelitian seperti bahan ajar, diktat, atau pun karya tulis ilmiah hasil penelitian seperti Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Kelas sangat sesuai bagi guru untuk melakukan penelitian terhadap masalah praktis yang dialami guru dalam tugasnya sehari-hari sebagai pengelola pembelajaran di kelas. Suyanto (dalam Asrori:2007) menegaskan agar guru dapat menerapkan penelitian tindakan kelas untuk memperbaiki atau meningkatkan layanan pembelajaran secara lebih professional, guru dituntut keberaniannya untuk mengatakan secara jujur kepada dirinya sendiri mengenai sisi lemah yang dimiliki dalam proses pembelajaran di kelas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa guru harus mampu merefleksi, merenung, berpikir balik terhadap apa saja yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran dalam rangka mengidentifikasi sisi-sisi lemah yang mungkin ada. Kusumah (2010:14) mengemukakan manfaat PTK bagi guru di antaranya, membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran, meningkatkan profesionalitas guru, meningkatkan rasa percaya diri guru, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru. Sampai sejauh ini masalah kemampuan menulis para guru masih rendah. Data dari Badan Kepegawaian Nasional, 2005 (dalam Kunandar 2009) menunjukkan bahwa banyak guru yang kenaikan pangkatnya tertahan di golongan IVA karena untuk naik ke golongan IVB para guru harus memenuhi unsure pengembangan profesi, termasuk menyusun karya tulis ilmiah (KTI). JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |42
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Mutu pendidikan pada hakikatnya adalah bagaimana proses belajar mengajar yang dilakukan guru di dalam kelas berlangsung dengan baik dan bermutu. Salah satu upaya peningkatan mutu proses belajar mengajar di kelas, adalah dengan melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) oleh guru. Melalui PTK guru dapat memperbaiki
proses belajar
mengajar menjadi lebih efektif dan efisien. Proses belajar mengajar yang efektif, efisien mengindikasikan bahwa proses belajar mengajar tersebut bermutu. Dalam kaitan dengan upaya peningkatan mutu melalui PTK, peneliti tertarik
untuk melakukan kajian tentang
pelaksanaan PTK oleh guru- guru sekolah dasar di wilayah Kecamatan Jerebuu. Penelitian merupakan proses ilmiah yang mencakup sifat formal dan intensif. Karakter formal dan intensif karena terikat dengan aturan, urutan, maupun cara penyajiannya agar memperoleh hasil yang diakui dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Intensif dengan menerapkan ketelitian dan ketepatan dalam melakukan proses penelitian agar memperoleh hasil yang dapat dipetanggungjawabkan, memecahkan problem melalui hubungan sebab dan akibat, dapat diulang kembali dengan cara yang sama dan hasil sama (Sukardi, 2010). Mengenai karakteristik penelitian dikemukakan bahwa karakteristik penelitian adalah: Mempunyai tujuan penelitian, Mencakup kegiatan pengumpulan data baru, Mencakup kegiatan yang terencana dan sistematis, Menggunakan analisis logis, Mempertimbangkan aspek pengembangan teori, Mengandung unsur observasi, Memerlukan pencatatan terhadap gejala yang muncul, Melakukan control, Memerlukan validasi instrumen, Memerlukan keberanian, Dicatat secara tepat kepada instansi yang berkepentingan sebagai laporan. Suharsimi (dalam Asrori:2007) mengemukakan pengertian Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu suatu hal menarik minat dan penting bagi peneliti. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Sukardi (2010) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian dalam bidang social, ekonomi, dan pendidikan, untuk menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara jelas dan sistematis. Dalam penelitian deskriptif, peneliti melakukan eksplorasi, menggambarkan, dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh di lapangan. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelum para peneliti terjun ke lapangan dan tidak menggunakan hipotesis sebagai petunjuk arah atau guide dalam penelitian. Stephen Kemmis (dalam Hopkins 2011) mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan merupakan salah satu bentuk penyelidikan refleksi diri yang dilaksanakan oleh para partisipan dalam situasi-situasi social (termasuk pendidikan) untuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan dalam (a) praktik-praktik social dan pendidikan mereka sendiri, (b) pemahaman JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |43
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
mereka tentang praktik-praktik ini, dan (c) situasi-siatuasi yang melingkupi pelaksanaan praktik-praktik tersebut. Dalam pendidikan, penelitian tindakan dilaksanakan sebagai usaha pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan profesional, program-program pengembangan sekolah, pengembangan kebijakan dan perencanaan system. Hopkins 1993 (dalam Muslich 2009) mengemukakan bahwa PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakannya dalam melaksanakan tugas dan memperdalam pemahaman terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran Menurut Kemmis dan Mc.Taggart (1998) (dalam Muslich 2009), PTK adalah studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja sendiri, yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan dengan sikap mawas diri. Suyanto (1997) dalam Muslich (2009) mengemukakan, PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat rekletif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan / atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara professional. Kunandar (2008) mengemukakan bahwa PTK berbeda dengan penelitian formal (konvensional) pada umumnya. Adapun karakteristik PTK sebagai berikut: 1. On-the job problem oriented: Masalah yang diteliti adalah masalah riil atau nyata yang muncul dari dunia kerja peneliti atau yang ada dalam kewenangan atau tanggung jawab peneliti. 2. Problem-solving oriented: PTK yang dilakukan oleh guru sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh guru dalam PBM di kelasnya melalui suatu tindakan (treatment) tertentu sebagai upaya menyempurnakan proses pembelajaran di kelasnya. 3. Improvementoriented: Berorientasi pada peningkatan mutu. PTK dilaksanakan dalam kerangka untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu PBM yang dilakukan oleh guru di kelasnya. 4. Ciclic (siklus): Konsep tindakan (action) dalam PTK diterapkan melalui urutan yang terdiri atas beberapa tahap berdaur ulang (cyclical). Siklus dalam PTK terdiri atas empat tahapan , yakni Perencanaan tindakan, Melakukan tindakan, Pengamatan atau observasi dan Refleksi atau analisis. 5. Action oriented: PTK selalu didasarkan pada adanya tindakan (treatment) tertentu untuk memperbaiki PBM di kelas. 6. Pengkajian terhadap tindakan: Dampak tindakan yang dilakukan harus dikaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberikan dampak positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan dampak negative yang merugikan peserta didik. 7. Specifics contextual: Aktivitas PTK dipicu oleh permasalahan praktis yang dihadapi oleh guru dalam PBM di kelas. Permasalahan dalam PTK adalah permasalahan yang sifatnya spesifik kontekstual dan situasional sesuai dengan karakteristik siswa dalam kelas tersebut. 8. Partisipatory (collaborative): PTK dilaksanakan secara kolaboratif dan bermitra dengan pihak lain, seperti teman sejawat. Dalam PTK perlu ada partisipasi dari pihak lain yang berperan sebagai pengamat untuk mendukung objektivitas dari hasil PTK. 9. Peneliti sekali gus praktisi yang melakukan refleksi. 10. Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus di mana dalam satu siklus terdiri atas tahapan perencanaan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |44
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
(planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection) dan selanjutnya diulang kembali dalam beberapa siklus. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan, Bagaimana pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas oleh GuruGuru Sekolah Dasar di Wilayah Kecamatan Jerebuu? Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas di kalangan guru-guru sekolah dasar di wilayah Kecamatan Jerebuu. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
menggunakan
metode
penelitian
deskriptif.
Sukardi
(2010)
mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian dalam bidang social, ekonomi, dan pendidikan, untuk menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara jelas dan sistematis. Dalam penelitian deskriptif, peneliti melakukan eksplorasi, menggambarkan, dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh di lapangan. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelum para peneliti terjun ke lapangan dan tidak menggunakan hipotesis sebagai petunjuk arah atau guide dalam penelitian. Di samping itu penelitian ini juga menggunakan metode survey, artinya data dicari melalui kuesioner, dengan menggunakan sampel untuk mewakili populasi, kemudian mempelajari hubungan antar variabel. Variabel penelitian ini adalah animo guru terhadap PTK, pemahaman guru tentang PTK, serta proses pelaksanaan PTK. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu dimulai pada bulan Oktober 2013 s.d. bulan Desember 2013. Lokasi penelitian: Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan Jerebuu. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru SD di sekolah-sekolah dasar wilayah Kecamatan Jerebuu. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan Multi State Random Sampling atau penentuan sampel bertahap Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuesioner yang harus diisi oleh responden, dan wawancara. Sedangkan data sekunder berupa dokumen laporan hasil PTK yang telah disusun oleh guru di sekolah tersebut. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yakni berdasarkan norma pelaksanaan prosedur/pelaksanaan PTK yang langkah-langkahnya terdiri atas siklus dan setiap siklus terdiri atas tahapan-tahapan perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi/analisis. Data dari hasil kuesioner, dianalisis secara deskriptif, dihitung jumlah per item pertanyaan di dalam kuesioner kemudian dibuat kategorisasi jawabannya, lalu dibuat rata-rata dan porsentasenya.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |45
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah peneliti melaksanakan penelitian selama lebih kurang 3 bulan sesuai dengan prosedur penelitian, maka peneliti dapat melaporkan hasil penelitian. Data hasil kuesioner dapat ditabulasikan sebagai berikut. Tabel 1 Hasil Kuesioner No
Pernyataan
1
Penjelasan PTK diketahui dari dosen mata kuliah dan
Seminar
Jml Responden
PTK
HUT
PGRI
Ket.
10
100%
7
70%
kecamatan
Jerebuu serta KKG 2
Sekolah belum pernah mendapat sosialisasi PTK Sekolah pernah dapat sosialisasi namun belum
30%
dimengerti betul 3
Tidak ditindaklanjuti melaksanakan PTK
10
100%
4
Jumlah guru yg sudah melaksanakan PTK dari
10
100%
no 3 yaitu hasil sosialisasi tidak ada karena tidak pernah ada sosialisasi kalaupun ada belum paham betul 5
Sudah melaksanakan PTK
10
100%
6
Melaksanakan PTK karena berstatus mahasiswa
10
100%
7
Melaksanakan PTK karena kesadaran, jawaban
10
100%
tidak 8
Bisa memberi penjelasan tentang konsep PTK
10
100%
9
Kendala guru belum melaksanakan PTK: Belum
10
100%
10
100%
10
90%
memahami betul tentang PTK, belum berani, masih menganggap PTK tidak penting, belum ada kemauan, buku sumber kurang 10
Solusi kendala no 9: sosialisasi dan motivasi dari instansi terkait di sekolah, diklat dan bimbingan khusus dari para pakar atau Perguruan Tinggi, serta pengadaan buku sumber atau referensi
11
Upaya sekolah memacu guru melaksanakan PTK: tidak ada Ada upaya sekolah: memberi kesempatan guru
10%
mencoba mengatasi kesulitan belajar 12
Ada kesulitan menyusun instrumen penelitian: ya
10
100%
Pengetahuan tentang penelitian penyusunan instrument, metode, kurang JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |46
ISSN: 2355-5106
13
Vol 1, No 1
Dinas Pendidikan belum memberi perhatian yang
10
100%
10
100%
10
100%
10
70%
serius tentang PTK 14
Respon teman guru thd pelaksanaan PTK: baik, positif, antusias berdampak pada terbukanya wawasan tentang PTK
15
Kesulitan menyusun proposal PTK: kajian teori, latar belakang, metode penelitian
16
Ada kesulitan dalam melaksanakan Penelitian di kelas
30%
Tidak ada kesulitan 17
Kesulitannya:
penentuan
mengumpul
data,
metode
penelitian,
menganalisis
7
70%
10
100%
data,
menginterpretasi data, kemampuan berbahasa dan intelektual siswa rendah 18
Kolaborator pelaksanaan PTK: Teman sejawat dan kepala sekolah
19
Kolaborator bertugas mengamati dan merefleksi
10
100%
20
Kesulitan no 19 kolaborator belum mengerti
10
50%
tentang PTK Tidak ada kesulitan 21
50%
Jumlah siklus yang dilaksanakan 1 Jumlah siklus lebih dari satu
10
karena siklus 1
10% 90%
belum tuntas secara klasikal 22
Pertemuan setiap siklus lebih dari 1 agar
10
80%
penelitian valid Pertemuan setiap siklus 1
20%
23
Ada kesulitan menemukan sumber referensi
10
100%
24
Ada kesulitan menulis laporan PTK yaitu belum
10
100%
biasa
menulis
deskripsi
langkah-langkah
kegiatan khususnya bab IV, belum paham isi setiap bab
Item no 1 100% responden menyatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan tentang PTK dari dosen matakuliah PTK di Lembaga Perguruan Tinggi tempat mereka belajar / kuliah dan lewat seminar PTK dalam menyongsong HUT PGRI tahun 2012 dan 2013 Item no 2, 70% sekolah belum pernah mendapat informasi atau sosialisasi khusus di sekolahnya tentang PTK, 30% sudah mendapat informasi khusus di sekolahnya namun belum dipahami betul secara baik. Item no 3, 100% guru tidak menindaklanjuti JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |47
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
melaksanakan PTK setelah mendapat informasi tentang PTK di sekolahnya. Item no 4, 0% jumlah guru yang melaksanakan PTK sebagai tindak lanjut item no 2 Item no 5 100% responden sudah melaksanakan PTK.
Item no 6, 100% responden melaksanakan PTK
berkaitan dengan tugas akhir sebagai mahasiswa. Item no 7, 0% responden melaksanakan PTK karena kesadaran sebagai guru untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Item no 8, 100% responden dapat menjelaskan konsep PTK yaitu pengertian, karakteristik, tujuan, manfaat, dan pentingnya PTK bagi guru Item no 9, kendala utama bagi guru-guru di sekolah belum melaksanakan PTK, a.l. pemahaman tentang PTK masih rendah, belum berani melaksanakan PTK, belum ada kemauan, belum menyadari pentingnya PTK, merasa sulit melaksanakan PTK, buku referensi kurang. Item no 10, cara mengatasi kendala no 9: Perlu sosialisasi secara teus menerus dan motivasi baik dari instansi terkait ke sekolah, maupun diklat dan bimbingan khusus dari para pakar atau Perguruan Tinggi, serta pengadaan buku sumber atau referensi. Item no 11, 90% mengatakan bahwa belum ada upaya dari sekolah untuk mendorong atau memacu para guru melaksanakan PTK. Item no 12, 100% responden menyatakan ada kesulitan dalam menyusun instrumen penelitian, karena kurangnya pengetahuan tentang penelitian, penyusunan instrument, dan
metode 100% responden menyatakan Dinas
Pendidikan belum memberi perhatian yang serius tentang PTK untuk sekolah-sekolah. 100% responden menyatakan teman guru lain merespon positif, terhadap pelaksanaan PTK dan antusias karena terbuka wawasan tentang PTK Item no 15, 100% responden menyatakan ada kesulitan dalam penyusunan proposal PTK pada penentuan masalah, latar belakang, penentuan hipotesis, kajian teori, serta meotde penelitian. Item no 16, 70% responden menyatakan ada kesulitan dalam tindakan pelaksanaan PTK di dalam kelas. Item no 17, Kesulitan yang berkaitan dengan item no 16 yaitu penerapan metode penelitian, mengumpul data, menganalisis data, menginterpretasi data, kesulian komunikasi akibat kemampuan berbahasa dan intelektual siswa rendah. Item no 18, 100% responden berkolaborasi dengan teman sejawat dan kepala sekolah. Item no 19, kolaborator bertugas mengamati dan merefleksi. Item no 20, 50% menyatakan bahwa kolaborator sudah berperan sesuai dengan tupoksinya, namun 50% menyatakan kolaborator tidak bertugas secara efektif karena masih rendahnya pemahaman tentang PTK. Item no 21, 90% melaksanakan PTK lebih dari satu siklus. Item no 22, 80% melaksanakan PTK dengan jumlah pertemuan lebih dari satu pada setiap siklus agar lebih valid Item no 23, 100% menyatakan ada kesulitan berkaitan dengan sumber pustaka karena jumlah buku di sekolah sangat sedikit. Item no 24, 100% menyatakan ada kesulitan dalam menulis laporan PTK karena belum terbiasa menulis KTI, belum paham akan isi setiap bab, terlebih dalam menulis hasil dan pembahasan pada bab IV.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |48
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Sekolah belum responsif dalam mengembangkan kegiatan penelitian khususnya PTK bagi
guru-guru
di
sekolahnya.
Demikian
pun
pemerintah
belum
berperan
bagi
perkembangan PTK di sekolah-sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Rata-rata guru memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang konsep PTK, namun dalam
praktik melaksanakan PTK di dalam kelas mereka mengakui masih
memerlukan bimbingan yang intensif dari para pakar atau dosen Perguruan Tinggi. Demikian pun dalam menuliskan laporan hasil PTK masih perlu dibimbing secara intensif. Guru masih membutuhkan penguatan-penguatan dalam melaksanakan sendiri PTK di sekolahnya. Para guru mengakui masih ada kelemahan yang berkaitan dengan pengetahuan tentang penelitian pada umumnya, tentang metode penelitian, penyusunan instrument, serta penyusunan laporan hasil pelaksanaan PTK. Hasil pengamatan atas dokumen laporan PTK serta wawancara dapat dideskripsikan hal-hal sebagai berikut. Relevansi antara judul, latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian baik. Kajian teori pada bab II masih sederhana dalam arti teori tentang suatu aspek penelitian hanya didasarkan pada satu pendapat saja. Hal ini disebabkan karena sumber pustaka di sekolah sangat terbatas. Rancangan penelitian sudah mengikuti tahapan-tahapan siklus dalam PTK. Pemahaman tentang metode penelitian masih lemah, karena ketika diminta untuk menjelaskan
kembali, guru tidak paham akan apa yang sudah ditulis, seperti tentang
variable, analisis data, validasi data.
Berdasarkan uraian bab IV yaitu Hasil dan
Pembahasan mengindikasikan bahwa 80% guru belum melaksanakan penelitian secara efektif di dalam kelas. Hal ini tergambar dari deskripsi tindakan yang ditulis di dalam laporan belum menggambarkan secara rinci langkah-langkah penerapan hipotesis tindakan yang runut dan sistematis. Deskripsi pelaksanaan tindakan hanya mengemukakan secara umum tentang jalannya proses pembelajaran, sedangkan deskripsi penerapan hipotesis tindakan yang menjadi focus penelitian belum digambarkan secara rinci di dalam laporan. Berdasarkan model analisis normatif maka dapat dikatakan bahwa 100% guru pelaksana PTK telah melaksanakan PTK sesuai dengan prosedur PTK berdasarkan langkah-langkah Kemmis & Mc Taggart yaitu terdiri atas siklus dengan empat tahapan perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi/analisis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah 1) Sekolah sekolah di kecamatan Jerebuu belum responsif dalam mengembangkan kegiatan penelitian khususnya PTK bagi guru-guru di sekolahnya. Demikian pun pemerintah belum berperan secara aktif bagi perkembangan PTK di sekolah-sekolah. 2) Animo guru SD di Jerebuu untuk melaksanakan PTK sangat rendah. 3) Delapan persen guru yang telah melaksanakan PTK memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang PTK serta dapat melaksanakan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |49
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PTK sesuai dengan prosedur pelaksanaan PTK yang terdiri atas siklus dengan tahapantahapan perencanaan, tindakan, observasi, refleksi/analisis. 4) Pelaksanaan PTK secara procedural baik sekali namun perlu pemahaman lebih dalam lagi tentang metode penelitian dan keterampilan menulis laporan hasil PTK. 5) Guru masih membutuhkan bimbingan yang intensif dari para pakar dalam melaksanakan PTK di sekolahnya. 6) Peningkatan mutu pendidikan di SD Jerebuu belum dapat dikembangkan melalui PTK. Saran yang bisa diberikan adalah 1) Dinas Pendidikan diharapkan lebih gencar melaksanakan sosialisasi atau diklat PTK bagi sekolah-sekolah 2) Sekolah-sekolah diharapkan lebih fokus memotivasi dan mendorong guru-gurunya melaksanakan PTK demi peningkatan mutu pendidikan. 3) Sekolah-sekolah dapat bermitra dengan lembaga pendidikan tinggi setempat untuk melakukan diklat atau bimbingan kepada guru untuk melaksanakan PTK di sekolahnya. DAFTAR PUSTAKA Asrori Mohammad. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Wacana Prima Hopkins David. 2011. Panduan Guru, Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kunandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Pers Kusumah Wijaya dkk. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT.Indeks Muslich Masnur. 2009. Melaksanakan PTK itu Mudah. Jakarta: Bumi Aksara Sukardi. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas RI UU RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |50
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
ANALISIS KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU-GURU NON SARJANA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BAJAWA KABUPATEN NGADA Dek Ngurah Laba Laksana Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Baki Ngada-NTT Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan tingkat keterampilan dasar mengajar guru non sarjana di Kabupaten Ngada. Guru yang diamati sebagai sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling berdasarkan tingkat pendidikannya. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif, untuk menggambarkan tingkat keterampilan dasar guru dalam mengajar. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat keterampilan dasar mengajar guru-guru non sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada ada pada kategori cukup terampil. Empat aspek ada pada kategori terampil yaitu aspek keterampilan membuka dan menutup, memberi penguatan, mengadakan variasi dan mengajar perseorangan dan kelompok kecil. Sedangkan empat aspek ada pada kategori cukup terampil yaitu aspek keterampilan menjelaskan, mengelola kelas, bertanya dan membimbing diskusi. Kata kunci: keterampilan dasar mengajar, guru non-sarjana ANALYSIS OF THE BASIC TEACHING SKILL ON NONBACHELOR ELEMENTARY SCHOOL TEACHERS IN BAJAWA SUBDISTRICT NGADA REGENCY Abstract The qualitative descriptive was used in this study. This study aimed to describe the level of basic teaching skill on nonbachelor teachers in Ngada regency. Teachers were observed as the samples determined by purposive sampling technique based on the level of their education. The data were collected using observation and interview and analyzed using quantitative descriptive to describe the level of teachers basic skill in teaching. The result of the study shows that the level of teachers basic skill in teaching in this case nongraduate teachers in Bajawa subdistrict, Ngada regency is on quite qualified category. There are four aspects on qualified category. They are aspects of opening and closing skill, aspects of providing reinforcement, aspects of doing variations and aspects of teaching individuals and small groups whereas the four aspects to the quite skilled category are the explaining skill aspects, the class management, the asking questions and the guiding discussions. Keywords: teaching basic skill, nongraduate teacher PENDAHULUAN Kabupaten Ngada telah menempatkan pendidikan sebagai bidang strategis dan lokomotif pembangunan. Pemerintah Kabupaten Ngada berupaya untuk mengejar ketertinggalan mutu Sumber Daya Manusia di Daerah. Pendidikan Dasar sebagai peletak JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |51
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
dasar pendidikan selanjutnya, sangat penting untuk segera memperhatikan mutu Sumber Daya Manusia pendidiknya. Upaya untuk meningkatkan mutu guru SD dan pemenuhan akan tenaga guru SD di Kabupaten Ngada terus diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Ngada. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuka kelas guru dalam jabatan yang bekerja sama dengan STKIP Ruteng yang tempat perkuliahannya dilakukan di STKIP Citra Bakti Ngada dan kerja sama dengan Undana dalam kelas percepatan. Ada banyak hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, salah satu diantaranya adalah rendahnya kemampuan profesional dan kompetensi guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Diantara sekian banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru adalah adanya kesenjangan antara spesifikasi pendidikan guru yang dibutuhkan dan yang ada di lapangan, yang lebih banyak terjadi pada tingkat pendidikan SD. Dari 932 guru SD/SDLB/MI yang ada, terdapat 408 orang berijazah SLTA , 420 orang berijazah PGSLA/D2 PGSD, 104 orang berijazah Sarjana/S1 keguruan (Data Dinas PKPO Kabupaten Ngada, 2013). Sebagai seorang guru, keterampilan dasar dalam melaksanakan pembelajaran sangatlah penting untuk dikuasi. Guru non sarjana baik yang setara SPG maupun diploma sudah memperoleh mata kuliah pembelajaran mikro yang di dalamnya dilatih ketreampilan dasar mengajar. Dalam kenyataannya, hasil belajar siswa di Kabupaten Ngada belumlah menggembirakan. Hasil pelaksanaan kompetisi lima mata pelajaran yang diadakan di STKIP Citra Bakti memperlihatkan hasil rata-rata penguasaan materi IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan PKn hanya 54% untuk siswa kelas 4 dan 5 dan 61,5% untuk siswa kelas 2 dan 3 (Diolah dari Data Laporan Kegiatan HMPS PGSD, 2013). Padahal siswa yang mengikuti kegiatan ini adalah siswa pilihan dari sekolah-sekolah yang tersebar di Kabupaten Ngada. Dari permasalahan yang muncul, dapat dianalisis bahwa ada hubungan antara kualifikasi pendidikan guru dengan prestasi belajar siswa SD di Kabupaten Ngada. Prestasi belajar siswa sangat ditentukan oleh kualitas guru dalam mengelola pembelajaran. Sehingga dalam penelitian ini akan dikaji mengenai keterampilan dasar guru dalam melaksanakan pembelajaran. Penelitian difokuskan di wilayah Kecamatan Bajawa. Hal ini dikarenakan Kecamatan Bajawa yang merupakan kota kabupaten menjadi barometer profil tenaga guru di Kabupaten Ngada. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 dan PP No. 19/2005 dinyatakan bahwa kompetensi
guru meliputi kompetensi kepribadian,
pedagogik,
profesional, dan sosial. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi Pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, dan pelaksanaaan pembelajaran, JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |52
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang
dimilikinya.
Kompetensi
Profesional
merupakan
penguasaan
materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Keterampilan dasar mengajar merupakan suatu karakteristik umum dari seseorang yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diwujudkan melalui tindakan. Keterampilan dasar mengajar pada dasarnya adalah berupa bentuk-bentuk perilaku bersifat mendasar dan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai modal awal untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajarannya secara terencana dan profesional (Rusman, 2011:80). Ada delapan keterampilan dasar mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran diantaranya keterampilan bertanya, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan (Usman, 2010:74). Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat keterampilan dasar mengajar guru non sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada? Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tingkat keterampilan dasar mengajar guru non sarjana di Kabupaten Ngada. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) Bagi guru sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan keterampilan dasar mengajar, (2) Bagi lembaga pendidikans ebagai bahan evaluasi secara kontekstual dan konseptual operasional dalam merumuskan pola pengembangan uji kompetensi guru, (3) Bagi peneliti sebagai temuan awal untuk melakukan analisis terhadap keterampilan dasar mengajar guru sehingga dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan model pembelajaran calon guru. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Pada penelitian ini peneliti ingin memperlihatkan indikator-indikator kemampuan pelaksanaan keterampilan dasar mengajar pada guru-guru non sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru-guru non sarjana yang bertugas di sekolah dasar yang ada di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Sampel penelitian diambil dengan cara teknik sampling. Dari jumlah sekolah yang di Kecamatan Bajawa yaitu 28 JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |53
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
sekolah dasar, sebanyak 15 sekolah sebagai tempat pengambilan sampel dan setiap sekolah, guru yang diamati sebagai sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling berdasarkan tingkat pendidikannya. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara. Teknik wawancara dilakukan kepada Kepala sekolah dan guru sejawat dari subjek yang diteliti untuk membantu memberikan analisis terhadap temuan yang diperoleh. Sedangkan teknik
observasi
dilakukan
dengan
menggunakan
lembar
pengamatan
penilaian
keterampilan dasar mengajar. Pada penelitian ini peneliti menggunakan instrumen observasi nonpartisipan dan terstruktur untuk mendukung menganalisis kemampuan pelaksanaan keterampilan dasar mengajar pada guru-guru non sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Instrumen dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati delapan keterampilan dasar mengajar. Aspek yang diamati adalah aspek keterampilan membuka dan menutup, keterampilan bertanya, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan mengajar perseorangan, keterampilan mengelola kelas, dan keterampilan membimbing kelompok. Kedelapan aspek ini dituangkan dalam beberapa indikator penilaian. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif, untuk menggambarkan tingkat keterampilan dasar guru dalam mengajar. Skor rata-rata setiap subjek penelitian diperoleh dari hasil pemberian skor pada masing-masing butir pengamatan keterampilan dasar mengajar. Hasil persentase akhir tersebut ditafsirkan menggunakan kriteria aspek kualitas menurut Riduwan (2011) sebagai berikut. Tabel 1 Kategori Keterampilan Dasar Mengajar No 1 2 3 4 5
Persentase (%) 85-100 70-84 55-69 40-54 0-39
Kategori Sangat terampil Terampil Cukup terampil Tidak terampil Sangat tidak terampil
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat keterampilan dasar mengajar guru-guru non-sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada untuk masing-masing aspek adalah sebagai berikut. 1) Aspek keterampilan membuka pelajaran dengan kategori terampil. 2) Aspek keterampilan menjelaskan dengan kategori cukup terampil. 3) Aspek keterampilan memberi penguatan dengan kategori terampil. 4) Aspek keterampilan mengadakan variasi dengan kategori terampil.
5) Aspek keterampilan mengelola kelas dengan kategori cukup
terampil. 6)Aspek keterampilan bertanya dengan kategori cukup terampil. 7) Aspek keterampilan membimbing diskusi. 8) Aspek keterampilan mengajar perseorangan dan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |54
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
kelompok dengan kategori terampil. Tingkat keterampilan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Tingkat Keterampilan Dasar Mengajar Guru-guru Non-Sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aspek Keterampilan Keterampilan membuka dan menutup pelajaran Keterampilan menjelaskan Keterampilan memberi penguatan Keterampilan mengadakan variasi Keterampilan mengelola kelas
Rata-rata skor 72
Keterampilan bertanya Keterampilan membimbing diskusi Keterampilan mengajar perseorangan dan kelompok kecil Rata-rata
Kategori Terampil
68 73 71 67
Cukup terampil Terampil Terampil Cukup terampil
65 68 71
Cukup terampil Cukup terampil Terampil
69
Cukup Terampil
Penelitian menunjukkan bahwa tingkat keterampilan dasar mengajar guru-guru nonsarjana di Kecamatan Bajawa ada pada ketegori cukup terampil. Hasil ini mendeskripsikan bahwa sebagian besar guru-guru non sarjana di Kecamatan Bajawa belum menguasai dengan baik keterampilan dasar dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah dasar. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa tingkat penguasaan keterampilan yang dikuasai dengan baik untuk guru adalah keterampilan membuka dan menutup, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi dan keterampilan mengajar perseorangan. Keempat keterampilan ini ada pada kategori terampil. Keterampilan dasar mengajar merukan keterampilan utama yang harus dikuasai dengan baik oleh guru. Bagaimanapun juga, semua proses pembelajaran yang terjadi di kelas, dapat berjalan dengan baik untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran jika guru dapat melaksanakan semua keterampilan dasar dengan baik. Dalam proses belajar mengajar di dalam kelas yang diperhatikan guru pertama kali adalah siswa yang memiliki tujuan, bagaimana keadaan dan kemampuannya. Guru harus mengetahui keadaan dan kemampuan siswa, guru pun dapat menempatkan dirinya sesuai keadaan siswa tersebut dalam mengajar, sehingga siswa dapat menerima pembelajaran dari guru dengan baik. Menurut Rusman dalam bukunya model-model pembelajaran, bahwa Keterampilan Dasar Guru Dalam Mengajar (Teaching Skills), Merupakan suatu karakteristik umum dari seseorang yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diwujudkam melalui tindakan. Keterampilan dasar mengajar pada dasarnya adalah berupa bentukbentuk perilaku yang bersifat mendasar dan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai modal awal untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajarannya secara terencana dan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |55
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
profesional dalam mengajar merupakan salah satu jenis keterampilan yang harus dikuasai oleh guru. Keterampilan dasar mengajar bagi guru diperlukan agar guru dapt melaksanakan perannya dalam pengelolaan proses pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien. Disamping itu keterampilan dasar merupakan syarat mutlak agar guru bisa mengimplementasikan berbagai starategi pembelajaran. Guru yang memiliki keterampilan guru dalam mengajar akan dapat mencapai tujuan dalam pencapaian belajar, sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya dengan guru yang memiliki keterampilan yang kurang baik akan memiliki keterbatasan dalam mencapai hasil belajar. Dari uraian di atas mengenai keterampilan dasar guru dalam mengajar harus dimiliki dan dikembangkan oleh guru. Karena kemampuan tersebut secara operasional akan mencerminkan fungsi dan peranan guru dalam membelajarkan anak didik atau siswa dalam proses belajar dan mengajar. Eratnya kaitan antara keterampilan dasar mengajar dengan hasil belajar dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Atikah (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara keterampilan dasar guru dalam mengajar dengan hasil belajar PKn siswa kelas X di MAN 3 Jakarta. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat keterampilan dasar guru dalam mengajar akan diikuti oleh hasil belajar menjadi lebih baik. Penelitian lain menujukkan hasil yang sama, seperti yang dilakukan oleh Widoyoko (2005) yang menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kompetensi mengajar guru adalah latar belakang pendidikan (11%), pengalaman mengajar (6%) dan etos kerja (17%). Dari penelitian ini diketahui bahwa, pengalaman dan latar belakang pendidikan menjadi factor penentu dalam penguasaan kompetensi mengajar guru. Hasil penelitian ini sesuai dengan kajian teori yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu bahwa penguasaan dan penyampaian materi yang dimiliki oleh guru akan menyebabkan seseorang tersebut akan lebih berhasil dalam mengajar. Hal ini karena bila guru memiliki Penguasaan dan Penyampaian yang Terampil akan menimbulkan kejelasan dalam penyampaian materi
dalam
belajar pada
siswa, yang akan menimbulkan
peningkatkan daya serap keilmuan serta kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik. Daya serap keilmuan dan kompetensi ini yang akan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran. Sementara itu interaksi dan skenario pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru akan menyebabkan guru tersebut memiliki keterampilan dalam merencanakan serta mengelola kegiatan pembelajaran serta menjalin hubungan yang hangat dengan peserta didik. Interaksi dengan pserta didik yang terampil akan menimbulkan suasana belajar yang menyenangkan karena pembelajaran akan berlangsung dua arah, dimana peserta didik akan senantian aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran karena adanya interaksi yang terampil
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |56
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
dari pendidik. Sedangkan skenario yang terampil akan dapat menimbulkan pembelajaran terarah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dari aspek penggunaan bahasa dan penampilan gerak yang dimiliki oleh guru akan menyebabkan seseorang tersebut akan lebih berhasil dalam mengajar. Hal ini dikarenakan pemilihan bahasa yang sesuai dengan pemahaman peserta didik akan menghilangkan keraguan pemahaman yang dimiliki peserta didik. Penampilan seorang guru yang terampil atau meyakinkan dan percaya diri akan mendorong keseriusan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Pengalokasian waktu yang memadai dan terampil akan memberikan rasa nyaman bagi peserta didik untuk mengikuti dan memahami setiap kompetensi yang diajarkan. Apabila penggunaan bahasa dan penampilan gerak yang Terampil dikuasai oleh pendidik maka dimungkinkan kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan terampil pula. Terampil melakukan penilaian, guru akan dapat mengetahui ketercapaian kegiatan yang dilakukan. Selain itu dengan keterampilan melakukan penilaian maka hasil pembelajaran akan memiliki nilai dan makna dengan sejumlah data yang dapat dipercaya. Dengan kata lain terampil melakukan penilaian maka data yang diperoleh dalam kegiatan pembelajaran (nilai peserta didik) akan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Keterampilan menutup pelajaran, guru akan dapat menyimpulkan dan membual evaluasi ketercapaian kegiatan yang dilakukan untuk digunakan sebagai bahan perbaikan di kemudian hari. Dengan penguasaan keterampilan dalam kegiatan menutup pelajaran maka peserta didik akan dapat mengetahui kesimpulan berbagai materi yang telah diajarkan dan mengetahui materi selanjutnya yang akan diajarkan sehingga dapat melakukan persiapan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa tingkat keterampilan dasar mengajar guru-guru non sarjana di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada ada pada kategori cukup terampil. Empat aspek ada pada kategori terampil yaitu aspek keterampilan membuka dan menutup, memberi penguatan, mengadakan variasi dan mengajar perseorangan dan kelompok kecil. Sedangkan empat aspek ada pada kategori cukup terampil yaitu aspek keterampilan menjelaskan, mengelola kelas, bertanya dan membimbing diskusi. Saran yang dapat penulis berikan melihat hasil penelitian dan temuan di lapangan adalah (1) guru selalu melakukan refleksi setelah selesai melaksanakan pembelajaran. Masukan dari siswa dan teman sejawat dapat dijadikan pengalaman untuk perbaikan penguasaan keterampilan mengajar, (2) keterampilan bertanya menjadi aspek yang ditemukan sebagai keterampilan yang paling tidak dikuasai oleh guru. Untuk itu ketika melaksanakan supervisi, kepala sekolah dapat menekankan pada aspek ini dalam JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |57
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
memberikan bimbingan, (3) Lembaga pendidikan yang membuka kelas alih kredit dari D-2 ke S-1 diharapkan untuk tetap memberikan mata kuliah Praktek Pengalaman Lapangan kepada mahasiswa
untuk
meningkatkan
penguasaan
calon
guru
dalam
melaksanakan
pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Atikah, Nur, Etin Solihatin, dan Agus Martono. 2013. Hubungan Antara Keterampilan Dasar Guru dalam Mengajar dengan Hasil Belajar PKn Siswa ( Studi Korelasional di MAN 3 Jakarta Pusat ). Jurnal PKn UNJ Online Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013. Jakarta: Program Studi PPKN , Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fakultas Ilmu Riduwan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Bumi Aksara. Widoyoko, S. Eko Putro. 2005. Kompetensi Mengajar Guru IPS SMA Kabupaten Purworejo. Laporan Penelitian. Jakarta: Dikti Rusman. 2010. Panduan Praktik Pembelajaran Micro. UPPL UNY.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |58
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DENGAN SETTING KELAS KOOPERATIF STAD (STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KINERJA ILMIAH SISWA KELAS V SD INPRES NIRMALA TAHUN AJARAN 2013/2014 Putu Agus Wawan Kurniawan
Frederikus Mawo
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected] [email protected] Abstrak Secara operasional tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan peningkatkan pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa kelas V SD Inpres Nirmala tahun ajaran 2013/2014 melalui penerapan model pemebelajaran generatif dengan setting kelas STAD dalam pembelajaran sains, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan di SD Inpres Nirmala yang berjumlah 19 orang. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi, wawancara dan tes. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 69,68 %, 2). Kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah cukup aktif, 3). Persentase pemahaman konsep siswa pada siklus I adalah 67 % berada pada interval 65% 79% atau berada dalam kategori “sedang”, 4). persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 94,72 %, 5). kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus II adalah sangat aktif, 6). Persentase rata-rata pemahaman konsep siswa pada siklus II mencapai 82,6 % kategori “tinggi” dan ketuntasan secara klasikal mencapai 100 %. Kesimpulan umum yang diperoleh dari penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran generatif dapat meningkatkan kinerja ilmiah dan pemahaman konsep IPA pada materi perubahan sifat benda bagi siswa kelas V SDI Nirmala tahun ajaran 2013/ 2014. Kata-kata kunci: model pembelajaran generatif, pembelajaran kooperatif STAD, perubahan sifat benda, pemahaman konsep, kinerja ilmiah siswa
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |59
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
THE APPLICATION OF THE GENERATIVE LEARNING MODEL WITH STAD (STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION) COOPERATIVE CLASS SETTING ON IMPROVING THE UNDERSTANDING TO SCIENTIFIC CONCEPTS AND PERFORMANCE OF FIFTH GRADE ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS, NIRMALA ELEMENTARY SCHOOL, SCHOOL YEAR 2013/2014 Abstract Operationally this study aimed to describe the improvement of understanding on scientific concepts and performance of the fifth grade elementary school students, school year 2013/2014 through the application of generative learning model with STAD class setting in science learning. This study was qualitative descriptive study conducted in Nirmala elementary school with 19 respondents. Data collection methods used were observation, interviews and tests. The results of the study are: 1) based on the score percentage of students scientific performance on the first and second meeting results that the average percentage of students scientific performance in the first cycle is 69.68%; 2) the students scientific performance in science learning in the fifth grade Nirmala elementary school, subdistrict of South Golewa, Ngada Regency in the cycle I is quite active; 3) the percentage of students' understanding of the concept in the cycle I is 67% at intervals of 65% -79% or is in the category of "medium", 4) the score percentage of students scientific performance on the first and second meeting results that the average percentage of students scientific performance in the cycle I is 94.72%, 5) The scientific performance of students in science learning in the fifth grade Nirmala elementary school students, subdistrict of South Golewa, Ngada regency in the second cycle is very active, 6) the average percentage of students' understanding of concepts in the second cycle reaches 82.6% as the "high" category and the classical completeness reaches 100%. The general conclusion obtained from this study is the use of generative learning model can improve students' scientific performance and understanding of scientific concepts in material about change the nature of objects for students of the fifth grade Nirmala elementary school, school year 2013/2014. Keywords: generative learning model, STAD cooperative learning, change the nature of object, understanding concepts, student scientific performance PENDAHULUAN Pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara. Memasuki era global seperti sekarang ini, perubahan besar telah terjadi di dunia, hal ini dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dengan kemajuan dalam IPTEK tersebut, maka pendidikan memegang peranan penting baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat bersaing dalam dunia global, maka pendidikan yang memegang peranan penting tersebut, mutunya haruslah ditingkatkan. Ada begitu banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu suatu pendidikan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah melalui peningkatan kualitas
pembelajaran
yang
sebagian
besar
ditentukan
oleh
pembelajaran
yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh para pengajar. Selain itu, tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar juga sangat ditentukan oleh faktor guru sebagai pengajar, JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |60
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
masukkan dalam hal ini adalah murid, sarana dan prasarana belajar yang tersedia, keadaan kelas, hingga metode pembelajaran yang digunakan. Di Indonesia banyak langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, misalnya dalam revisi kurikulum secara berkesinambungan, program musyawarah guru berdasarkan hasil observasi langsung ke SD Inpres Nirmala, didapatkan bahwa pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa khususnya kelas V belum mencapai standar yang ditetapkan. Siswa dikatakan tuntas secara individu apabila memperoleh nilai ³ 65, sedangkan untuk kelas dikatakan tuntas apabila mencapai ketuntasan klasikal (KK) ³ 85%. Tabel berikut menunjukkan nilai rata-rata pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa Kelas V SD Inpres Nirmala Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu tipe dari model pembelajaran inovatif yang dianggap bisa diterapkan adalah model pembelajaran generatif. Model pembelajaran generatif ini merupakan salah satu model pembelajaran sains inovatif yang bertolak dari filosofi belajar kontruktivisme, yaitu pandangan yang berpedoman pada asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pebelajar. Terdapat enam langkah dalam pembelajaran kooperatif STAD (Triatno, 2007) yaitu: (1) menyiapkan tujuan dan memotivasi siswa, (2) menyajikan/menyampaikan informasi, (3) mengorganisasi siswa dalam kelompok-kelompok belajar, (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) evaluasi, dan (6) memberikan penghargaan. Permasalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah Apakah penerapan model pembelajaran generatif dengan setting kelas kooperatif STAD dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa siswa kelas V SD Inpres Nirmala tahun 2013/2014? Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian adalah untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa kelas V SD Inpres Nirmala tahun ajaran 2013/2014 melalui penerapan model pemebelajaran generatif dengan setting kelas STAD dalam pembelajaran sains. Penerapan model pembelajaran generatif diharapkan dapat memberikan siswa kesempatan yang lebih luas untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran agar dapat membangun pengetahuan yang dapat mengkaitkan antara dunia nyata dengan materi pelajaran, sehingga pelajaran dirasakan akan lebih bermakna, sebagai alternatif penggunaan model belajar inovatif, sehingga guru dapat memposisikan dirinya sebagai fasilitator dan juga mediator dalam proses belajar mengajar dan jenis penilaian yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan penilaian yang mampu mengukur secara keseluruhan keberhasilan yang dicapai siswa, dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam
pembelajaran
sains,
dapat
menggugah
para
pengambil
kebijakan
untuk
mempertimbangkan dalam merancang dan mengembangkan program pengajaran.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |61
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong dalam penelitian tindakan kelas (PTK) dalam 4 tahapan yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi/evaluasi, dan (4) refleksi. Adapun desain dari prosedur penelitian tindakan kelas ini adalah seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Siklus II
Siklus I Perencanaan Tindakan I
Perencanaan Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi/Evaluasi I
Observasi/Evaluasi II
Refleksi I
Refleksi II
Laporan
Gambar Skema Desain Penelitian Tindakan Subjek dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V SD Inpres Nirmala tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 19 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
Data pemahaman konsep siswa dikumpulkan dengan tes
pemahaman konsep, laporan praktikum, lembar kerja siswa (LKS) dan pekerjaan rumah (PR). Tes pemahaman konsep yang diberikan pada setiap akhir pokok bahasan (akhir siklus) adalah berupa pilihan ganda diprluas. Sebelum tes pemahaan konsep digunakan, maka terlebih dahulu dikonsultasikan dengan para ahli (expert judgement). Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tes pemahaman konsep yang digunakan sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator pembelajaran yang dikembangkan. Data aspek kinerja ilmiah siswa dikumpulkan dengan menggunakan lembar penilaian kinerja
ilmiah. Sebelum lembar
penilaian kinerja digunakan, maka terlebih dahulu dikonsultasikan dengan para ahli (expert judgement). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: soal tes pemahaman konsep, laporan praktikum, lembar kerja siswa (LKS), Rubrik penilaian tes pemahaman konsep siswa. Data mengenai pemahaman konsep IPA diperoleh dari pengadaan tes hasil belajar, data tersebut dianalisis secara deskriptif. Data mengenai kinerja ilmiah siswa diperoleh melalui kegiatan observasi; data tersebut dianalisis secara deskriptif Menentukan persentase tingkat kinerja ilmiah siswa menggunakan rumus berikut JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |62
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
X 100 % (Agung,1997: 78) Kriteria Keberhasilan Tabel 1 Tingkat Kentutasan Kinerja Ilmiah dan Pemahaman Konsep Berdasarakan PAP Skala 5. Persentase
Kriteria Kinerja Kriteria Ilmiah IPA
Pemahaman Konsep IPA
90-100
Sangat aktif
Sangat tinggi
80-89
Aktif
Tinggi
65-79
Cukup aktif
Sedang
55-64
Kurang aktif
Rendah
0-54
Sangat
kurang Sangat rendah
aktif Kriteria keberhasilan penilaian kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran mengacu pada kriteria penilaian seperti pada tabel 9 nilai rata-rata
klasikal 80,00≤
aktiv.˂
89,00
(kategori aktif). Kriteria keberhasilan penilaian pemahaman konsep siswa adalah nilai ratarata dengan kategori minimal sedang (65,00<
) dan ketuntasan klasikal sebesar
75 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data penelitian, maka diperoleh rata-rata kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus I adalah dihitung sebagai berikut: Diketahui: ∑X = 304, N = 19 Maka: Jadi, rata-rata skor kinerja ilmiah pertemuan pertama siklus I adalah 16. Rata-rata skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan kedua siklus I adalah sebagai berikut: Diketahui: ∑X = 358, N = 19 Maka: Berdasarkan rata-rata skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan pertemuan kedua pada siklus I, maka rata-rata skor kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah sebagai berikut, Diketahui: ∑X = 331 N = 19 Maka:
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |63
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Setelah rata-rata (M) skor kinerja ilmiah siswa pada siklus I diketahui, selanjutnya analisis data yang dilakukan adalah menentukkan tingkat persentase skor kinerja ilmiah siswa dengan cara membandingkan persentase rata-rata (M %) dengan criteria PAP skala 5. Persentase rata-rata (M%) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: X 100 % Persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus I adalah sebagai berikut
X 100 % = 64 %
Sedangkan persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada pertemuan kedua siklus I adalah sebagai berikut: Diketahui
:M
Maka
:
= 18,84, SMI = 25 X 100 % = 75,36 %
Berdasarkan persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua pada siklus I, maka persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah sebagai berikut: Diketahui
:M
Maka
:
=
, SMI = 25 X 100 % = 69,68 %
Persentase rata-rata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus I adalah 64 % berada pada kategori “kurang aktif”, persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan kedua siklus I adalah 75,36 % berada pada kategori “cukup aktif”. Berdasarkan persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 69,68 %. Hasil ini dibandingkan dengan criteria PAP skala 5 berada pada interval 65% - 79% atau berada pada criteria cukup aktif. Jadi kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah cukup aktif. Berdasarkan hasil penellitian diketahui bahwa skor pemahaman konsep siswa pada tes awal mencapai 216, dan jumlah skor yang diperoleh siswa setelah pemberian tes pemahaman konsep pada akhir siklus I mencapai 255. Data hasil pemahaman konsep siswa yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis denganmenggunakan analisis data deskriptif. Data yang terlebih dahulu dianalisis adalah menentukan rata-rata (M) skor pemahaman konsep siswa pada pembelajaran siklus I. Ratarata pemahaman konsep siswa detentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: M= Berdasarkan rumus mencari rata-rata pemahaman konsep siswa, maka rata-rata skor pemahaman konsep siswa pada siklus I dihitung sebagai berikut: JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |64
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Diketahui: ∑X = 255, N = 19 Maka: Setelah rata-rata (M) skor kinerja ilmiah siswa pada siklus I diketahui, selanjutnya analisis data yang dilakukan adalah menentukkan tingkat persentase skor pemahaman konsep siswa dengan cara membandingkan persentase rata-rata (M %) dengan criteria PAP skala 5. Persentase rata-rata (M%) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: X 100 % Persentase rata-rata pemahaman konsep siswa pada pertemuan pertama siklus I adalah sebagai berikut: Diketahui: M = 13,42, SMI = 20 Maka : Persentase
X 100 % = 67 % rata-rata
pemahaman
konsep
siswa
pada
siklus
I
kemudian
dibandingkan dengan pedoman criteria penilaian acuan patokan (PAP). Persentase ratarata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 67 % berada pada interval 65 %79%. Jadi pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah “sedang”. Sehingga ketuntasan belajar yang dicapai pada siklus I adalah sebagai berikut: KB =
X 100 % =
X 100 % = 63,15 %
Berdasarkan data tersebut, maka ketuntasan belajar siswa pada siklus I belum mencapai criteria ketuntasan belajar yang telah ditetapkan yaitu 75 %, sehingga pembelajaran IPA pada siklus I dinyatakan belum berhasil dan dapat dilanjutkan pada pembelajaran siklus II. Berdasarkan data diketahui bahwa jumlah skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama mencapai 384, kemudian pada pertemuan kedua jumlah skor kinerja ilmiah siswa mencapai 416. Maka, jumlah skor rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus II adalah 592. Rata-rata kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus II adalah sebagai berikut: Diketahui: ∑X = 384, N = 19 Maka: Rata-rata skor hasil belajar siswa pada pertemuan kedua siklus II adalah sebagai berikut: Diketahui: ∑X = 416, N = 19 Maka:
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |65
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Berdasarkan persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua pada siklus II, maka persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus II adalah sebagai berikut: Diketahui
:M
= 592, SMI
= 25
Maka: Persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus II adalah Diketahui
:M
Maka
:
= 20,21, SMI = 25 X 100 % = 80,84 %
Persentase rata-rata aktivitas belajar siswa pada pertemuan kedua siklus II adalah Diketahui
:M
Maka
:
= 21,89, SMI = 25 X 100 % = 87,56 %
Berdasarkan persentase rata-rata
kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan
kedua pada siklus II, maka persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus II adalah sebagai berikut: Diketahui
:M
Maka
:
= 23,68, SMI = 25 X 100 % = 94,72 %
Persentase rata-rata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus II adalah 80,84 % % atau berada pada kategori “aktif”, persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan kedua siklus II adalah 87,56 % berada pada kategori “aktif”. Berdasarkan persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 94,72 %. Hasil ini dibandingkan dengan kriteria PAP skala 5 berada pada interval 90% - 100% atau berada pada criteria sangat aktif. Jadi kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah sangat aktif. Berdasarkan data diketahui bahwa jumlah skor pemahaman konsep siswa pada siklus I mencapai 255, dan jumlah skor yang diperoleh siswa setelah pemberian tes pemahaman konsep pada akhir siklus II mencapai 314. Data hasil pemahaman konsep siswa yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis denganmenggunakan analisis data deskriptif. Data yang terlebih dahulu dianalisis adalah menentukan rata-rata (M) skor pemahaman konsep siswa pada pembelajaran siklus II. Rata-rata pemahaman konsep siswa detentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: M= Berdasarkan rumus mencari rata-rata pemahaman konsep siswa, maka rata-rata skor pemahaman konsep siswa pada siklus II dihitung sebagai berikut: Diketahui: ∑X = 314, N = 19 JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |66
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Maka: Persentase rata-rata (M%) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: X 100 % Persentase rata-rata pemahaman konsep siswa pada siklus II adalah sebagaii berikut: Diketahui: M = 16,52, SMI = 20 Maka :
X 100 % = 82,6 %
Persentase rata-rata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada siklus II dibandingkan dengan criteria PAP skala 5 berada pada interval 80 % - 89%. Jadi pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah “tinggi”. Ketuntasan belajar yang dicapai pada siklus I adalah sebagai berikut: KB =
X 100 % =
X 100 % = 100 %
Berdasarkan data tersebut, maka ketuntasan belajar siswa pada siklus II telah tercapai criteria ketuntasan belajar yang telah ditetapkan yaitu 75 %. Melalui hasil penelitian dengan persentase rata-rata pemahaman konsep siswa pada siklus II mencapai 82,6 % dengan kategori “tinggi” dan ketuntasan secara klasikal mencapai 100 %. PEMBAHASAN Persentase rata-rata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus I adalah 64 % berada pada kategori “kurang aktif”, persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan kedua siklus I adalah 75,36 % berada pada kategori “cukup aktif”. Berdasarkan persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 69,68 %. Hasil ini dibandingkan dengan criteria PAP skala 5 berada pada interval 65% - 79% atau berada pada criteria cukup aktif. Jadi kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah cukup aktif. Persentase
rata-rata
pemahaman
konsep
siswa
pada
siklus
I
kemudian
dibandingkan dengan pedoman criteria penilaian acuan patokan (PAP). Persentase ratarata (M %) skor pemahaman konsep siswa pada siklus I adalah 67 % berada pada interval 65% - 79% atau berada dalam kategori “sedang”. Jadi pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah “sedang”. Persentase rata-rata (M %) skor kinerja ilmiah siswa pada pertemuan pertama siklus II adalah 80,84 % % atau berada pada kategori “aktif”, persentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pertemuan kedua siklus II adalah 87,56 % berada pada kategori “aktif”. Berdasarkan persentase skor kinerja ilmiah siswa pertemuan pertama dan kedua diperoleh hasil bahwa JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |67
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pesentase rata-rata kinerja ilmiah siswa pada siklus I adalah 94,72 %. Hasil ini dibandingkan dengan criteria PAP skala 5 berada pada interval 90% - 100% atau berada pada criteria sangat aktif. Jadi kinerja ilmiah siswa dalam pembelajaran IPA kelas V SDI Nirmala, kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada pada siklus I adalah sangat aktif. Melalui hasil penelitian dengan persentase rata-rata pemahaman konsep siswa pada siklus II mencapai 82,6 % dengan kategori “tinggi” dan ketuntasan secara klasikal mencapai 100 %. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Penggunakan model pembelajaran generatif dapat meningkatkan kinerja ilmiah siswa dan pemahaman konsep IPA pada materi perubahan sifat benda bagi siswa kelas V SDI Nirmala tahun ajaran 2013/ 2014. Peneliti dapat memberikas sara yaitu Hendaknya menggunakan metode pembelajaran inovatif agar dapat meningkatkan hasil belajar IPA, Sekolah yang mampu mendorong dan membudayakan guru menggunakan model pembelajaran generatif khususnya pada pembelajaran IPA. Sekolah juga hendaknya menyediakan sarana dan prasarana, alat peraga IPA sehingga penerapan pembelajaran menjadi lebih efektif, penelitian ini dapat membantu memotivasi siswa untuk memahami materi IPA khususnya tentang perubahan sifat benda, Hendaknya bahan atau penelitian ini menjadi salah satu acuan bagi penelitian berikutnya. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, S. I P. 1999. Penerapan strategi konflik kognitif dalam pembelajaran listrik arus searah sebagai upaya mengubah miskonsepsi siswa kelas II.6 Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Singaraja tahun pelajaran 1998/1999. Tugas akhir (tidak diterbitkan). Program Studi Fisika. STKIP Singaraja. Anonim. 2005. Model Pembelajaran inovatif dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Makalah. Disampaikan dalam Diklat Guru SMP, SMA, dan SMK SeKabupaten Jembrana Juni-Juli 2005. Ardhana, W., Purwanto., Kaluge, L., & Santyasa, I W. 2004. Implementasi pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar fisika di SMU. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 11. Nomor 2. 152-168. Arikunto. 2003. Management Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Baser, M. 2006. Fostering conceptual change by cognitive conflict based instruction on students’ understanding of heat and temperature concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. 2(2). 96-114. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2007. Dari http://www.ejmste.com/022006/d6.pdf. Dahar, R. W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |68
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Dantes, N., Sadia, I W., & Subagia, W. 2006. Pengembangan perangkat evaluasi proses dan hasil belajar kurikulum berbasis kompetensi (KBK) rumpun pelajaran sains. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Undiksha Singaraja. Harahap, M. B. 2001. Model pengajaran konstruktivis dalam pembelajaran rangkaian listrik. Pelangi Pendidikan. Volume 8 (2). 70-76. Iskandar, S. M. 2001. Penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran kimia di SMU. Media Komunikasi Kimia. Nomor 2. Tahun ke-5. 1-12. Mardana, I B., Suastra, I W., & Artuti, N. 2001. Implementasi model pembelajaran generatif pada pembelajaran IPA yang berwawasan STM di SLTP se kota Singaraja. Laporan Penelitian Dosen Muda. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja. Mariawan, I M. 2002. Strategi konflik kognitif sebagai strategi perubahan konseptual dalam pembelajaran konsep usaha dan energi di SLTP Negeri 2 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Nomor 4. Tahun XXXV. 56-63. Mitchell, R., & Nicholas, S. 2006. Knowledge creation in groups: the value of cognitive diversity, transactive memory and open-mindedness norms. The Electronic Journal of Knowledge Mangement. Volume 4. Issue 1(67-74). Diakses pada tanggal 29 november 2007 dari www.ejkm.com. Nurkancana, W., & Sunartana, P P.N. 1990. Evaluasi Hasil Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Sadia, I W. 2004. Efektifitas model konflik kognitif dan model siklus belajar untuk memperbaiki miskonsepsi siswa dalam pembelajaran fisika. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Nomor 3. Tahun XXXVII. 40–58. Santyasa, I W. 2003. Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi. Makalah. Disampaikan dalam seminar akademik Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, tanggal 27 Februari 2003 di Singaraja. Santyasa, I W. 2004. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remidiasi miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika siswa SMU. Disertasi (tidak diterbitkan).
Program
Studi
Teknologi
Pembelajaran,
Program
Pascasarjana
Universitas Negeri Malang. Suastra, I W. 2002. Strategi belajar mengajar sains. Buku Ajar. Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja. Suastra, I W. 2006. Belajar dan pembelajaran sains. Buku Ajar. Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |69
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
TINGKAT PENGUASAAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD DI KECAMATAN BAJAWA KABUPATEN NGADA Dek Ngurah Laba Laksana
Natalia Rosalina Rawa
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Penelitian ini mendeskripsikan sejauh mana tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah guru SD di kecamatan Bajawa dan sampel diambil dengan cara random dimana setiap guru berhak untuk dijadikan sampel. Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 114 orang. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD digunakan kuesioner penguasaan kompetensi pedagogik. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan kriteria penentuan kategori. Penentuan kategori yang digunakan adalah sangat baik, baik, cukup, tidak baik dan sangat tidak baik. Dari 114 responden menunjukkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD berada pada kriteria “Sangat Baik” dengan ratarata 472,3 atau 82,86%. Namun dari kesepuluh kompetensi pedagogik tersebut ditemukan adanya indikasi bahwa rendahnya penguasaan kompetensi dalam bidang penelitian pendidikan. Hal ini terlihat dari penguasaan kompetensi memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan berada pada kriteria “Tidak Baik” dengan rata-rata 298,25 atau 52,32%. Kata kunci: kompetensi pedagogik, guru SD
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |70
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
THE LEVEL OF PEDAGOGICAL COMPETENCE MASTERY OF ELEMENTARY SCHOOL TEACHER IN BAJAWA SUBDISTRICT NGADA REGENCY Abstract This study aimed to reveal and to describe the level of pedagogical competency mastery on elementary school teacher in Bajawa subdistrict, Ngada regency. The qualitative descriptive was used in this research. The subject of this study was the elementary school teachers in Bajawa subdistrict and samples taken using a random sampling in which every teacher had her or his right to be a sample. There were 114 respondents in this study. The data were collected using a questionnaire. Data analysis was done descriptively using the criteria of category determination. The determination of the categories used were very good, good, fair, bad and very bad. From 114 respondents shows that the level of pedagogical competence mastery of the elemantary school teachers are on the criterion of "very good" with an average of 472.3 or 82.86%. But from the tenth pedagogical competencies found that there is an indication that elementary school teachers have low level of competency mastery in the field of educational research. This can be seen from the mastery of competency to understand the principles and to interpret the results of educational research are on the criteria of "bad" with an average of 298.25 or 52.32%. Keywords: pedagogical competency, elementary school teacher PENDAHULUAN Peran pendidik yang profesional sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Guru SD sebagai salah satu subkomponen dalam sistem pendidikan dasar dituntut untuk peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan, pembaruan serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Seiring perkembangan teknologi masa kini, pendidikan di kabupaten Ngada saat ini juga terseret dalam arus globalisasi dari waktu ke waktu. Pendidikan yang terdahulunya hanya menggunakan metode konvensional kini telah dikembangkan model-model pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif. Pendidikan diarahkan untuk dapat menunjukkan peningkatan, namun minimnya kajian-kajian tentang perkembangan pendidikan di kabupaten Ngada membawa dampak kurangnya motivasi yang terarah dalam memajukan bidang pendidikan. Kabupaten Ngada adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Profil pendidikan di Kabupaten Ngada memperlihatkan jumlah guru masih belum memadai, sarana dan prasarana pembelajaran yang terbatas, akses informasi yang terbatas. Selain itu, sebagian besar guru SD di Kabupaten Ngada masih berkualifikasi pendidikan diploma (D-2). Kualifikasi ini tentunya berpengaruh terhadap kompetensi dasar sebagai seorang guru, khususnya kompetensi pedagogik. Hasil Uji Kompetensi Guru beberapa waktu ini, hanya diikuti sebagian guru sekolah dasar di kabupaten Ngada. Hal ini JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |71
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
menunjukkan bahwa kurangnya partisipasi guru dalam kegiatan UKG tersebut dan tentunya membawa dampak penurunan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Ngada. Berkaitan dengan itu perlu dipahami terlebuh dahulu tentang makna guru. Guru selalu dikaitkan dengan profesi yang terkait dengan pendidikan anak di sekolah, di lembaga pendidikan dan mereka yang harus menguasai bahan ajar yang terdapat di dalam kurikulum. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39(2) menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan
proses
pembelajaran,
menilai
hasil
pembelajaran,
melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Berdasarkan pengertian guru yang dideskripsikan di atas, dapat dikatakan bahwa guru adalah tenaga profesional terkait dalam bidang kependidikan yang berperan sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediator, fasilitator dan evaluator sehingga siswa dapat mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal sesuai dengan kurikulum, melalui lembaga pendidikan sekolah. Guru memiliki banyak tugas baik yang terikat oleh dinas maupun yang di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, membimbing dan melatih. Dari sisi lain, guru sering dicitrakan memiliki peran ganda yang dikenal sebagai EMASLIMDEF (educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator, dinamisator, evaluator dan fasilitator). Dalam UU Guru dan Dosen No. 14/2005 dan PP No. 19/2005 dinyatakan bahwa kompetensi
guru meliputi kompetensi kepribadian,
pedagogik, profesional, dan sosial.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi Pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, dan pelaksanaaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ada sepuluh kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu (1) menguasai bahan ajar, (2) mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media atau sumber, (5) mengusai landasan-landasan pendidikan, (6) mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai prestasi siswa untuk pendidikan dan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program layanan bimbingan serta penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (10) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Kompetensi Profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |72
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Menyadari betapa pentingnya guru dan kompetensinya di kabupaten Ngada dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, ada beberapa hal yang perlu menjadi sorotan untuk dikaji lebih lanjut. Salah satunya adalah keikutsertaan guru SD dalam Uji Kompetensi Guru (UKG). Uji Kompetensi Guru tahun 2013 hanya diikuti 491 orang atau 52,68% dari 932 orang guru SD di kabupaten Ngada. Data ini memperlihatkan bahwa kurangnya partisipasi guru dalam kegiatan UKG tersebut. Hal ini jelas membawa dampak penurunan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Ngada. Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
permasalahan
yang
diteliti
adalah
“Bagaimanakah tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada. Manfaat penelitian ini sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk meningkatkan penguasaan kompetensi pedagogiknya, sebagai bahan evaluasi secara kontekstual dan konseptual operasional dalam merumuskan pola pengembangan kinerja guru yang akan datang, ssebagai temuan awal bagi peneliti untuk melakukan penelitian lanjut tentang model pengembangan kompetensi guru pada institusi pendidikan lainnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan tentang tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Ada tiga tahapan dalam penelitian ini, yakni tahap persiapan, tahap pelakasanaan dan tahap akhir. Pada tahap persiapan, peneliti menyiapkan sumber buku yang relevan, instrumen penelitian, langkah-langkah penelitian dan menyusun soal kuesioner. Kemudian pada tahap pelaksanaan, peneliti membagikan lembaran kuisioner ke masing-masing sampel dengan menggunakan metode kuesioner. Dan pada tahap akhir, peneliti melakukan analisis data. Subyek dalam penelitian ini adalah guru SD se-Kecamatan Bajawa yang meliputi SDK Tanalodu, SDK Kisanata, SDK Ngedukelu, SDK Regina Pacis, SDI Bobou, SDN Watutura, dan SDI Bajawa dan sampel diambil dengan cara random dimana setiap guru berhak untuk dijadikan sampel. Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 114 orang. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan angket/kuesioner tingkat penguasaan kompetensi pedagogik.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |73
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan kriteria penentuan kategori. Penentuan kategori yang digunakan adalah sangat baik, baik, cukup, tidak baik dan sangat tidak baik. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan terhadap 114 responden, yang terdiri dari guru-guru SD yang berkualifikasi akademik SLTA, D-2, dan S-1 baik PNS maupun Non PNS di kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Tabel 1. Sebaran Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Bajawa Kategori SLTA D-2 S-1 Jumlah Persentase (%) PNS 22 30 26 78 68,42 NON PNS 0 20 16 36 31,58 Total 22 50 42 114 100 Sumber data: Dokumentasi di lapangan Dari tabel 1 di atas dapat diamati bahwa frekuensi guru SD terbanyak untuk komponen guru dengan kualifikasi akademik D-2 PNS dengan frekuensi 50 atau sebesar 43,86%. Untuk lebih memudahkan dalam membaca tabel di atas, berikut ini disajikan diagramsebaran guru SD di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Diagram Sebaran Guru Sekolah Dasar Kecamatan Bajawa Untuk menenentukan klasifikasi dari rata-rata hasil kompetensi pedagogik per reseponden maka dilakukan analisis terhadap perolehan nilai dengan kriteria tingkat penguasaan kompetensi pedagogik dengan aspek kualitas sangat baik, baik, cukup, tidak baik atau sangat tidak baik. Data kompetensi pedagogik guru sekolah dasar dilihat dari tingkat kualifikasi akademik SLTA, D-2, dan S-1. Berikut ini disajikan data mengenai tingkat pemahaman kompetensi pedagogik berdasarkan kualifikasi akademik guru SD di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |74
ISSN: 2355-5106
No
Vol 1, No 1
Tabel 2. Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD Berdasarkan Kualifikasi Akademiknya Kualifikasi Kriteria Jumlah Akademik SB B C TB STB
1
SLTA PNS
17
5
-
-
-
22
2
D-2 PNS
14
15
1
-
-
30
3
S-1 PNS
20
6
-
-
-
26
4
D-2 Non PNS
14
6
-
-
-
20
5
S-1 Non PNS
13
2
1
-
-
16
Jumlah
78
34
2
-
-
114
68,42
29,82
1,75
-
-
Persentase (%)
Keterangan: SB = Sangat Baik, B = Baik, C = Cukup, TB = Tidak Baik, STB= Sangat Tidak Baik Dari tabel 2 di atas dapat diamati bahwa guru SD berkualifikasi SLTA PNS berada pada kriteria “sangat baik” dengan frekuensi sebesar 17 atau 77,27%, guru SD berkualifikasi D-2 PNS berada pada kriteria “baik” dengan frekuensi sebesar 15 atau 50%, guru SD berkualifikasi S-1 PNS berada pada kriteria “sangat baik” dengan frekuensi sebesar 20 atau 76,92%, guru SD berkualifikasi D-2 Non PNS berada pada kriteria “sangat baik” dengan frekuensi sebesar 14 atau 70%, guru SD berkualifikasi S-1 Non PNS berada pada kriteria “sangat baik” dengan frekuensi sebesar 13 atau 81,25%. Untuk menenntukan klasifikasi dari rata-rata hasil kompetensi pedagogik per kompetensi pedagogik juga dilakukan analisis terhadap perolehan nilai dengan kriteria tingkat penguasaan kompetensi pedagogik. Berikut ini disajikan data
penguasaan
kesepuluh kompetensi pedagogik guru SD di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada. Tabel 3. Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD untuk Setiap Komponen Kompetensi NO Kompetensi Pedagogik Rata-rata Persentase (%) Skor 1 2 3 4 5 6 7 8
Menguasai bahan Mengelola program belajar mengajar Mengelola kelas Menggunakan media sumber Mengusasi landasan kependidikan Pengelola interaksi belajar mengajar Menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
Kriteria
515.33 532.6
90.41 93.44
Sangat Baik Sangat Baik
461 472 466 547.5 486
80.88 82.81 81.75 96.05 85.26
Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik
486
85.26
Sangat Baik
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |75
ISSN: 2355-5106
9 10
Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran Jumlah Rata-rata
Vol 1, No 1
512.5
89.91
Sangat Baik
298.25
52.32
Tidak Baik
14169
Sangat Baik 82.86
Dari tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa dari kesepuluh kompetensi pedagogik, ada sembilan kompetensi pedagogik yang termasuk dalam kategori “sangat baik”. Aspek kompetensi memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran, memiliki frekuensi terkecil dengan rata-rata skor 298,25 atau 55,32% termasuk kategori “tidak baik”. Berkaitan dengan hal itu, dapat dikatakan bahwa mayoritas guru SD di kecamatan Bajawa sudah sepenuhnya dikuasai dengan sangat baik. Guru mampu menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media sumber, mengusasi landasan kependidikan,mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. Namun ada satu komponen yang masih sangat kurang dikuasai guru SD yakni memahami prinsipprinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yasin (2011) tentang pengembangan kompetensi pedagogik dengan cara melaksanakan kegiatan pelatihan, workshop, seminar, diskusi, lokakarya, mendatangkan ahli, pertemuan rutin antar guru yang berkaitan dengan tema dan aspek pengelolaan pembelajaran, aktif melakukan penelitian guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa perlunya perhatian khusus terhadap masing-masing komponen kompetensii pedagogik guru terutama dalam bidang penelitian. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada berada pada kriteria “Sangat Baik” dengan perolehan rata-rata secara keseluruhan sebesar 472,3 atau 82,86%. Adapun saran dari hasil penelitian ini adalah (1) guru harus senantiasa berupaya mengembangkan kompetensi pedagogiknya, khususnya dalam bidang penelitian; (2) sekolah perlu memberikan perhatian dan motivasi yang besar baik secara moril, spiritual dan materil terhadap pengembangan kompetensi pedagogik guru; (3) dinas pendidikan perlu melakukan pengawasan berkelanjutan terhadap pengembangan dan peningkatan komptensi pedagogik guru; dan (4) LPTK harus lebih memperhatikan pengembangan kompetensi JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |76
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pedagogik guru dengan mengadakan pelatihan, trainning, workshop, seminar dan pengayaan di bidang pembelajaran dan penelitian pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Cetakan ke Empat. Bandung: Alfabeta. 2012. Emzir. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru. Bandung: PT Bumi Aksara. 2002. Komarudin,Ukim, dkk. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Sukaetini, Ety. Pengaruh Kompetensi Pedagogik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Cetakan ke Delapan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2012 Suparlan. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing. 2005. Yasin, Ahmad Fatah. Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Agama Islam di Madrasah. Jurnal el-Qudwah-Volume 1 Nomor 5. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2011
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |77
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SDK REGINA PACIS TAHUN 2012/2013 Putu Agus Wawan Kurniawan
Dimas Qondias
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti Ngada-NTT
[email protected]
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan rancangan the posttest-only control group design, dengan melibatkan satu kelas eksperimen. Sampel diambil dengan cara random sampling. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah skor Pemahaman Konsep IPA. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan ANAVA satu jalur. Sebagai tindak lanjut Anava, digunakan least significant difference (LSD) untuk menguji komparasi pasangan nilai rata-rata tiap kelompok perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (F = 23,90 ; p < 0,05). Kata kunci: model pembelajaran, berbasis masalah, pemahaman konsep. Abstract The aims of this research are to analyze the different understanding of natural science concepts between the group of the students using problem based learning model and group of students using conventional learning model This research is a quasi-experimental using post-test only control group design involving one class as experimental group and another class as a control group. The sample was chosen using random sampling technique. The total number of the sample analyzed in this research was 60 students. The data collected for this research was the score for critical thinking and the score for students’ concepts understanding. The data was analyzed using descriptive statistics and anava. As the following up of ANAVA, the least significant different (LSD) was used in order to test the comparison of clusters of the average marks for every treatment. The result of the research showed that (1) there was a difference of the students’ critical thinking between the group of the students using problem based learning model and group of students using conventional model (F=0.05 dengan p>0.05), (2) there was a significant difference between of the understanding of natural science concepts between the group of the students using problem based learning model and group of students using conventional model (F = 23.90 dengan p < 0.05), and (3) there was a difference between the achievement of the students’ understanding of Natural Science and the students’ skill in critical thinking between the group of the students using problem-based teaching-learning model and group of students using conventional model (F = 12.46 dengan p<0.05). Keywords: problem-based learning model, understanding concept, skill of critical thinking
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |78
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
PENDAHULUAN Perkembangan globalisasi membawa pengaruh bagi perkembangan suatu Negara termasuk Indonesia. Pengaruh yang diberikan oleh perkembangan globalisasi dapat memberikan dampak positif maupun memberikan dampak negatif. Untuk menyaring pengaruh perkembangan globalisasi dibutuhkan sumber daya manusia. Dengan sumber daya manusia yang baik, suatu Negara akan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Perkembangan IPTEK suatu Negara akan memberikan daya saing dalam persaingan global. Untuk mengembangkan sumber daya manusia agar mampu mengembangkan IPTEK dibutuhkan dukungan dari dunia pendidikan (Lasmawan, 2010). Salah satu dukungan dunia pendidikan dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk meningkatkan IPTEKS direalisasikan dengan pendidikan IPA disekolah. Suastra (2009) menyatakan IPA merupakan bagian kehidupan manusia dari sejak manusia mengenal diri dan alam sekitarnya. Pembelajaran IPA merupakan cara ideal untuk memperoleh
kompetensi
(keterampilan-keterampilan,
memelihara
sikap-sikap,
dan
mengambangkan pemahaman yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari). Pemahaman konsep siswa merupakan kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam pendidikan IPA disekolah. Dengan memahami konsep yang dipelajari siswa akan dapat menggunakan pemahamannya dalam kehidupan sehari-hari serta terbentuk literasi sains. Diperlukan inovasi pembelajaran. Inovasi pembelajaran beranjak dari pandangan konstruktifistik. Konstruktivistik adalah filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi orang tersebut. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pembelajaran dengan mengacu pada paham konstruktifisme. Pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dari konsep yang esensial dari pembelajaran dan meningkatkan pemahaman konsep siswa (Sudarman, 2005). Model pembelajaran berbasis masalah beranjak dari perspektif konstruktifistik dimana masalah kontekstual yang disajikan dalam pembelajaran akan memunculkan konflik kognitif yang memicu siswa untuk mengkontruksi pemahamannya sendiri. Teori yang dikembangkan dalam model pembelajaran berbasis masalah mengandung dua prinsip penting dari makna belajar, yaitu: (1) belajar adalah proses konstruktif bukan proses menerima (receptive process) dan (2) belajar dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial dan sifat kontekstual dari materi pelajaran (Gijselaers dalam Sutawa, 2007). Dalam pembelajaran berbasis masalah guru berperan penting dalam menyajikan permasalahan, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatakan intelektual peserta didik. Savoi & Andrew (dalam Yasa, 2007) menyatakan bahwa struktur pembelajaran PBM dirancang dengan; (1) mulai dengan masalah semua siswa maupun kelompok dihadapkan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |79
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
pada suatu masalah yang kontekstual sesuai dengan bidang yang akan dibelajarkan, (2) masalah berhubungan dengan dunia siswa, masalah yang dikonfrontasikan pada awal pembelajaran kepada siswa diambil sedekat mungkin dengan dunia siswa sehari-hari, sehingga masalah tersebut tidak asing bagi siswa, karena hal ini akan dapat memotifasi siswa untuk mencari pemecahannya, (3) organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah, guru hendaknya sebagai fasilitator dapat menyiapkan materi pembelajaran yang dapat menuntun siswa untuk bisa menuju pada pemecahan masalah, (4) memberikan siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajaran sendiri, (5) menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran, dan (6) menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari melalui hasil ataupun penampilan. Berdasarkan uraian tersebut pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh terhadap Pemahaman konsep IPA siswa. Namun, seberapa jauh pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap keterampilan berpikir kritis maupun pemahaman konsep IPA khususnya siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 belum dapat diungkapkan. Untuk itu, peneliti ingin mengangkat masalah ini melalui suatu penelitian yang berjudul ”Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Pemahaman konsep IPA Siswa V SDK Regina Pacis Tahun Pelajaran 2012/2013”. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional, METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian semu atau kuasi eksperimen. Rancangan dalam penelitian ini adalah rancangan The posttest-only Control Group Design. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2005). Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Regina Pacis yang terdiri dari 2 kelas dan tersebar dari kelas VA hingga V B. Dalam pemilihan sampel sebelumnya dilakukan uji-t untuk menentukan kesetaraan kelas. Uji-t dilakukan terhadap seluruh kelas V SDK Regina Pacis yang berjumlah 8 kelas yang terdiri dari kelas VA dan VB menggunakan nilai akhir smestrer ganjil. Kemudian diperoleh anggota populsi yakni kelas VB yang berjumlah 30 orang sebagai kelompok Eksperimen dan kelas VA yang berjumlah 30 sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen memperoleh perlakuan model pembelajaran berbasis masalah sedangkan kelompok kontrol memperoleh perlakuan model pembelajaran konvensional. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan ANAVA satu jalur. Sebagai tindak lanjut ANAVA, digunakan least significant difference (LSD) untuk menguji komparasi pasangan nilai ratarata tiap kelompok perlakuan.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |80
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil hipotesis, ditemukan bahwa: terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional Adanya perbedaan pemahaman konsep kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan pemahaman konsep siswa yang belajar dengan model belajar konvensional mengidentifikasikan adanya pengaruh yang lebih baik dari model pembelajaran berbasis masalah. Pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap pemahaman konsep juga diperkuat dengan rata-rata pemahaman konsep kelompok siswa yang belajar dengan model belajar berbasis masalah yakni 72,67 lebih tinggi dari pada ratarata kelompok belajar konvensional yakni 64,37. Dengan demikian dapat dikatakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada model pembelajaran konvensional. Keunggulan model pembelajaran berbasis masalah terlihat pada masalah yang disajikan mampu menciptakan konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis dan ill-structured atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Permasalahan yang disajikan pada pembelajaran berbasis masalah akan menciptakan motifasi bagi siswa untuk menemukan permasalahan serta memecahkan permasalahan karena masalah yang diambil bersifat kontekstual dan sedekat mungkin dengan kehidupan siswa. Kelompok-kelompok kecil dalam model pembelajaran berbasis masalah akan membantu mereka untuk mendapatkan informasi lebih banyak sehingga membantu mereka dalam proses pemecahan masalah. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan simpulan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran bebasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (F = 23,901, dengan signifikansi 0,000 yang berarti p < 0,05). Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap penelitian, maka implikasi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut (1) guru sebagai fasilitator harus memahami model pembelajaran yang tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran. Model pembelajaran yang dipilih harus memberikan pengalaman belajar bagi siswa untuk mengkontruksi pemikirannya sendiri. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang tepat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA pada pembahasan getaran dan gelombang serta bunyi, namun penggunaan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran maupun pada kompetensi dasar yang lain perlu dikaji kembali, (2) masalah yang digunakan JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |81
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
hendaknya kontektual dan dipilih berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik sehingga siswa lebih mudah menginternalisasi permasalahan. (3) Untuk melatih keterampilan berpikir kritis maupun pemahaman konsep siswa diperlukan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi siswa mengkonstruksi pemikirannya sendiri. Agar siswa mampu mengkontruksi pemikirannya sendiri diperlukan stimulus dalam pembelajaran berupa masalah kontekstual yang ill- struktured. Perlu dilakukan pemilihan masalah yang paling menarik agar siswa merasa tertantang untuk menggali informasi dalam pemecahan masalah. Informasi yang diperoleh baik dari buku sumber, internet, maupun informasi yang diperoleh melalui diskusi kelompok kecil. Semakin banyak informasi yang mereka peroleh maka akan semakin banyak juga pengalaman yang diperoleh siswa dalam menilai informasi dan mengkaitkan hubungan antar informasi. Dengan demikian sangat penting diperhatikan karakteristik masalah yang digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis maupun pemahaman konsep siswa, (4) sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan perlu dilakukan persiapan yang matang. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila guru memahami karakteristik maupun sintaks dalam pembelajaran berbasis masalah. Guru juga harus mempersiapkan diri dengan informasi-informasi yang berhubungan dengan masalah, sehingga guru dapat membimbing proses pembelajaran siswa dengan baik. Dengan persiapan yang baik berimplikasi pada terbentuknya keterampilan berpikir dan pemahaman konsep siswa, (5) dalam penelitian ini terdapat kekurangan, hal tersebut akan mengimplikasi bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan menganalisis, memperbaiki, dan menyempurnakan keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatan kualitas pembelajaran IPA, Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA siswa antara siswa yang belajar dengan model belajar berbasis masalah dengan siswa yang belajar dengan model belajar konvensional. Siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan memperoleh pemahaman konsep IPA yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Oleh karena itu disarankan para guru IPA hendaknya menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran di sekolah untuk meningkatkan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Lasmawan, W. 2010. Menelitik Pendidikan IPS dalam Perspektif Kontekstual Empiris. Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali. Sudarman.
2005. Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengajaran. hal. 68-73. http://JurnalJPI.fils.wordpress.com/2007/09/04sudarman.pdf. Diakses pada tanggal 5 september 2007. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |82
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini Mendekatkan Siswa Dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budaya. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha. Sutawa, I. W. 2007. Efektifitas Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Mata Kuliah Kimia Dasar II. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Vol. 2. No.2. Hal. 212-394 Yasa, I. P. 2007. Inovasi Model Belajar Sains Sesuai Tuntutan Standar Proses Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Makalah. Disampaikan pada Seminar dengan Tema “Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif dan assemen sebagai antisipasi pelaksanaan KTSP di SMP/SMA, Tanggal 24 s.d 25 September 2007.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |83
ISSN: 2355-5106
Vol 1, No 1
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |84