JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL Januari - Juni Tahun 9 No. 1 Daftar Isi DAFTAR ISI
i
SUSUNAN REDAKSI
ii
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Perang Russia-Georgia 2008 Muhammad Ahalla Tsauro
Rusia pada
........................................ 1-14
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta Nadia Farabi
........................................ 15-30
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 Reza Akbar Felayati
........................................ 31-48
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013 Alfionita Rizky P. et al
........................................ 49-66
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Rohingya Radicalization Naufal Armia Arifin
........................................ 67-80
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer Probo Darono Yakti
........................................ 81-98
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia Taruna Rastra Sakti
........................................ 99-114
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon Kartika Yustika Mandala Putri
........................................ 115-136
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia Cintya Aryadevi S.
........................................ 137-152
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014) Andraina Ary Fericandra
........................................153-172
PARA PENULIS
173-174
PEDOMAN PENULISAN
176-180
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
i
Jurnal Hubungan Internasional Diterbitkan Oleh Cakra Studi Global Strategis (CSGS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Pemimpin Redaksi Citra Hennida Sekretaris Redaksi Moch Arief Setiawan Redaksi Pelaksana Alfionita Rizky Perdana Anggresti Firlianita Gusti Ayu Meisa Kurnia D. S. Karlina Wahyu Kristiani Maghfira Chairani Tata Letak dan Desain Mayka Risyayatul Asnawiyah Widya Septiyaningrum Sirkulasi Atika Wardah Putri Aini Zahra Alamat Redaksi Gedung B FISIP Unair Jl. Dharmawangsa Dalam Surabaya 60286 Jawa Timur - Indonesia Telp. +62 31 61016125 Faks. +62 31 5012442 Email
[email protected] Website www.journal.unair.ac.id/ medphp?med=131
ii
Jurnal Hubungan Internasional (JHI) adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Cakra Studi Global Strategis (CSGS), pusat studi yang mengkaji isu-isu hubungan internasional dan bernaung dibawah Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga. JHI diterbitkan dua kali setahun setiap Januari dan Juli. JHI mengundang diskusi, tinjauan, dan analisis kontemporer terhadap empat tema utama yaitu perdamaian dan keamanan internasional; ekonomi dan politik internasional; organisasi dan bisnis internasional; serta globalisasi dan strategi. Tema besar perdamaian dan keamanan internasional mengkaji permasalahan terkait problematika persoalan perang, diplomasi, pengelolaan perdamaian, dan penyelesaian konflik kontemporer. Tema besar ekonomi dan politik internasional mengkaji permasalahan terkait persoalan ekonomi politik internasional, pengelolaan pembangunan internasional, persoalan filantropi dan bantuan luar negeri. Tema besar organisasi dan bisnis internasional mengkaji permasalahan terkait tata kelola korporasi global dan tata kelola organisasi kemasyarakatan lintas nasional. Tema terakhir, globalisasi dan strategis, mengkaji permasalahan terkait globalisasi dan problematika kompleknya secara politik, ekonomi, maupun kultural; serta kemungkinankemungkinan konsekuensinya bagi tata kelola pemerintahan, organisasi, dan korporasi di berbagai tingkat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008 Muhammad Ahalla Tsauro ABSTRACT This article discusses the influence of the media and public opinion in policy formation of the Russian military operation in the Russian-Georgian war in 2008. Policy of Russian military operations was formed through a public joint agreement in Moscow a few days before the military operation executed in South Ossetia. Through this level of analysis (LoA) media and public opinion the author will analyze the Russian policy in the case of the Russian-Georgian war in 2008 in the region of South Ossetia. Focusing on the analysis of media and public opinion writer viewed from two perspectives, namely top down and bottom up. Media has the role of being the voice of the people to the government so that public opinion can be taken into consideration in the formation of foreign policy Keywords: Russian military policy, media, public opinion, top down, bottom up Artikel ini membahas mengenai pengaruh media dan opini publik dalam pembentukan kebijakan operasi militer Rusia pada Perang Rusia-Georgia di tahun 2008. Kebijakan operasi militer Rusia terbentuk melalui kesepakatan bersama publik di Moskow beberapa hari sebelum melakukan operasi militer untuk perdamaian di Ossetia Selatan. Melalui level analisis (LoA) media dan opini publik penulis akan menganalisis kebijakan Rusia dalam kasus Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008 di wilayah Ossetia Selatan. Berfokus pada perangkat analisis media dan opini publik penulis melihat dari dua sudut pandang yaitu top down dan bottom up. Media berperan menjadi penyalur aspirasi masyarakat pada pemerintah sehingga mampu menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan luar negeri. Kata-Kata Kunci: Kebijakan militer Rusia, media, opini publik, top down, bottom up
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
1
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Perang Rusia-Georgia atau Perang Ossetia Selatan merupakan perang yang diawali oleh operasi militer dari Rusia terhadap Georgia akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Georgia. Pelanggaran HAM tersebut berupa gerakan separatis Ossetia Selatan yang diskriminatif terhadap etnis Rusia pada daerah yang beribukota di Tskhinval. Daerah tersebut juga diakui secara formal oleh Rusia bersama dengan wilayah Abkhazia, wilayah yang juga berada di daerah perbatasan dengan Rusia. Ossetia Selatan sendiri mendeklarasikan kemerdekaan pada 1991 dan hanya diakui oleh Rusia pada tahun 2008. Sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada 1991, Georgia sama sekali tidak menghiraukan keinginan dari Ossetia Selatan. Puncaknya pada 8 Agustus 2008 terjadi perang antara Georgia dan kelompok separatis Ossetia Selatan. Menurut Charles King (2010) perang terjadi begitu cepat, masyarakat sipil yang tinggal di daerah konflik tersebut bahkan tidak percaya akan terjadi perang yang melibatkan ribuan tentara Georgia dan Rusia serta menelan korban jiwa sebanyak ratusan ribu jiwa. Tindakan ini dilakukan oleh Rusia atas nama operasi militer untuk perdamaian dan keamanan. Sebagai negara besar di kawasan Eropa Timur sudah sepatutnya Rusia yang menjadi staiblisator di wilayah yang dekat dengan Kaukasia tersebut. Selain itu, faktor sejarah juga dapat dijadikan acuan bagi Rusia yang merupakan penerus Uni Soviet, penantang Amerika Serikat pada era Cold War. Tetapi Georgia juga merespon secara militer dengan meminta bantuan kepada NATO dan Uni Eropa. Hal ini semakin memperkeruh keadaan sehingga terjadilah perang lima hari di Tskhinval, ibukota Ossetia Selatan. Beberapa pihak melihat apa yang sudah dilakukan oleh Rusia sendiri merupakan tindakan yang melanggar kedaulatan negara Georgia sebagai negara yang berdaulat. Ditambah lagi, wilayah Ossetia selatan yang ada di Georgia memiliki faktor kedekatan historis dengan wilayah Ossetia Utara yang ada di Rusia, sehingga terdapat pula etnis Rusia yang diperlakukan dengan cara yang berbeda dari warga Georgia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari adanya rivalitas dan konflik antara kedua negara sejak tahun 1992 hingga 1993 serta kasus persengketaan yang melibatkan kedua negara hingga terjadi perang di tahun 2008.
2
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Pertanyaan yang muncul kemudian berkaitan dengan dasar dari kebijakan politik luar negeri Rusia dalam melakukan operasi militer terhadap Georgia di wilayah Ossetia Selatan. Dari sini kemudian penulis berfokus pada kebijakan Rusia, terkait penyerangan yang dilakukan terhadap Georgia. Kebijakan operasi militer Rusia terbentuk melalui kesepakatan bersama publik di Moskow beberapa hari sebelum melakukan operasi militer untuk perdamaian di Ossetia Selatan. Makadari itu penulis akan menganalisis kasus Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008 melalui level analisis (LoA) media dan opini publik terkait dengan kebijakan Rusia melakukan operasi militer di wilayah Ossetia Selatan. Media dan opini publik di era perkembangan teknologi dan informasi memiliki peran tersendiri dalam percaturan politik baik nasional maupun internasional. Menurut Laura Neack (2008) media massa merupakan salah satu alat yang memiliki peranan penting dalam pembentukan opini-opini publik terutama terkait kebijakan-kebijakan yang akan atau telah dibentuk oleh pemerintah di dalam suatu negara. Dewasa ini, peranan media massa semakin didukung oleh kemajuan teknologi sehingga setiap individu dapat dengan mudah menerima pemberitaan baik berupa cetak maupun elektronik. Dalam tulisan ini, LoA melibatkan hubungan yang bisa dibilang rumit, lantaran mencakup pemerintah, kaum elit, media, dan publik (Neack 2008). Peringkat Analisis Media dan Opini Publik Laura Neack (2008) dalam artikelnya yang berjudul The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era, mengemukakan bahwa terdapat dua pendekatan terkait hubungan opini publik dengan penerapan kebijakan publik yaitu bottom-up approach dan top-down approach. Bottom-up approach memandang hubungan tercipta melalui model perumusan kebijakan pluralis. Kebijakan luar negeri berasal dari kebutuhan rakyat sehingga opini publiklah yang menciptakan kebijakan luar negeri. Sementara itu top-down approach merupakan pandangan yang didasari oleh asas Conventional Wisdom. Dalam hal ini kaum elit yang mengerti kebutuhan masyarakat sehingga setelah melalui konsensus kebijakan luar negeri barulah terlahir opini publik.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
3
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Gabriel Almond (dalam Neack 2008) pada tahun 1950 menyatakan bahwa warga negara Amerika Serikat tidak memiliki karakter acuh terhadap kebijakan luar negerinya dan memiliki pandangan yang koheren serta terstruktur dalam menyikapinya. Lebih jauh lagi Ulf Bjereld dan Ann Marie Ekengren (dalam Neack 2008) melihat adanya keterkaitan logis antara sekumpulan kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat dengan penerapan kebijakan luar negeri. Neack (2008) juga mengklasifikasikan opini publik dari masyarakat dalam tiga kategori. Pertama, poorly informed yaitu masyarakat yang tidak tertarik mengenai kebijakan luar negeri. Kedua, informed well about world affair, yaitu masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap isu-isu seputar kebijakan luar negeri. Ketiga, adalah masyarakat yang tidak hanya tertarik terhadap kebijakan luar negeri saja tetapi juga memiliki peran dengan memberikan opininya terhadap suatu kebijakan, biasanya kategori ini terdiri dari elitis dan kelompok epistemik. Pada dasarnya terdapat tiga saluran utama yang dapat mewadahi opini publik dalam perannya untuk mempengaruhi perumusan kebijakan publik yaitu melalui kongres, media, dan kelompok– kelompok kepentingan. Melalui kongres pengaruh opini publik terjadi sebagai hasil dari interaksi antara konstituen politik dengan anggota kongres. Opini publik yang direfleksikan melalui media dapat memunculkan urgensi terhadap suatu isu agar dibahas dan kemudian dilakukan untuk mengontrol pengambilan keputusan. Sementara itu pengaruh kelompok kepentingan bergantung tidak hanya pada komposisi keanggotaannya tetapi juga berdasarkan struktur organisasi, jangkauan institusional, dan para pesaing mereka (Larson & Tolay 2007). Namun ketika dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri, pihak eksekutif masih memegang peranan utama dalam pengambilan keputusan terutama terkait dengan keputusan untuk perang. Kemampuan media untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri terutama bergantung pada kemampuan mereka untuk menghasilkan sumber–sumber independen dari pemerintah atau presiden untuk dirilis ke publik. Jika media mampu mengumpulkan informasi, maka media dapat berperan dalam membentuk pandangan kritis serta alternatif kebijakan yang dapat memobilisasi opini publik bahkan menciptakan tekanan kepada presiden.
4
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Namun hal ini sulit dilakukan mengingat keterbatasan akses informasi yang dimiliki oleh media. Media tidak memiliki perwakilan ataupun agen yang dapat meliput kejadian di setiap negara. Lebih jauh media tidak memiliki akses terhadap informasi rahasia, sedangkan pemerintah memiliki jaringan informasi melalui badan intelijen negara (Western 2005). Sentralitas eksekutif dalam pembuatan kebijakan luar negeri merupakan indikasi dari lemahnya pengaruh opini publik terhadap proses pengambilan kebijakan luar negeri. Kelompok kepentingan memiliki pengaruh yang lebih lemah jika dibandingkan dengan kekuatan kongres untuk melakukan lobi dan mempengaruhi keputusan presiden. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Wahyu Wicaksana (2014), bahwa media massa dan opini publik hanya dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah apabila pemerintah yang berkuasa memiliki legitimasi yang lemah. Lemahnya legitimasi terlihat dari kekuasaan pemerintah bukanlah satu-satunya kekuasaan tunggal yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Tetapi sebaliknya, media massa dan opini publik tidak akan memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan apabila pemerintah memiliki legitimasi yang tinggi. Pentingnya dukungan opini publik terkait dengan kebijakan luar negeri dapat dipahami sebagai alat untuk membentuk atau memanipulasi opini publik, daripada untuk bertindak sesuai dengan opini publik (Western 2005). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa opini publik dalam hal ini hanya dijadikan sebagai instrumen legitimasi dan pembenaran bagi langkah yang diambil oleh pemerintah. Pemerintah berusaha untuk memobilisasi opini publik untuk mengikuti arah kebijakan pemerintah, bukan sebaliknya. Analisis Kebijakan Operasi Militer Rusia Kasus Operasi Militer Rusia pada kasus Perang Georgia 2008, setidaknya menghasilkan tiga hasil bagi Rusia; pengusiran etnis Georgia dari Ossetia Selatan dan Kodori, pengakuan kedaulatan Ossetia Selatan dan Abkhazia oleh Rusia, dan beroperasinya Pangkalan militer Rusia di Ossetia Selatan dan Abkhazia. Menurut Sabrina Tavernise dan Matt Siegel (2008) dalam Perang Rusia-Georgia terdapat bukti yang kuat akan kasus ethnic cleansing di kota-kota yang merupakan area konflik keduanya.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
5
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Oleh masyarakat sekitar, kekerasan yang dilakukan para tentara Georgia tersebut, dilaporkan oleh warga dan juga kelompok pejuang hak asasi manusia bahwa mereka benar-benar melihat perbuatan kriminal yang dilakukan oleh tentara Georgia. Mulai dari pencurian, penggeledahan, pembakaran rumah, dan pembunuhan. Salah satu motivasi utamanya adalah sentimen etnis negara. Daerah yang paling banyak menelan korban diantaranya adalah Eredvi, Ditsi, Tirdznisi, dan Kuraleti. Sementara itu keputusan dari Rusia untuk mengakui Ossetia Selatan dan Abkhazia tidak lain karena desakan publik yang disuarakan hingga kaum elit. Hal ini berkorelasi dengan statement Presiden Rusia, Dmitry Medvedev yang diputuskan dalam pidatonya: A decision needs to be taken based on the situation on the ground. Considering the freely expressed will of the Ossetian and Abkhaz peoples and being guided by the provisions of the UN Charter, the 1970 Declaration on the Principles of International Law Governing Friendly Relations Between States, the CSCE Helsinki Final Act of 1975 and other fundamental international instruments, I signed Decrees on the recognition by the Russian Federation of South Ossetia’s and Abkhazia’s independence.
Sementara itu, sikap Rusia yang telah menduduki Ossetia Selatan dan Abkhazia, sebagai keputusan bahwa keduanya benar-benar independen diputuskan di Jenewa pada bulan Oktober 2008. Keputusan ini, didukung oleh Nicolas Sarkozy selaku Presiden Uni Eropa untuk mengeluarkan kedua wilayah tersebut dari Georgia. Menurut surat kabar Rusia Kommersant, Moskow akan langsung turun dan aktif dalam membangun relasi diplomatik terhadap Abkhazia dan Ossetia Selatan (The Guardian 2008). Setelah melihat hasil dari Perang Georgia 2008, penulis memberikan pandangan top down dan bottom up mengenai kebijakan operasi militer Rusia ke Georgia. Dalam kacamata top bottom yang memandang opini elit lebih dominan dari pada opini publik (Neack 2008), dapat dilihat dari proses pengambilan kebijakan yang sifatnya mengutamakan opini publik dari masyarakat dengan kelas elit, dalam hal ini pemerintah. Terdapat dua aspek penting yang mempengaruhi cara pandang top bottom terhadap suatu kebijakan, pertama, keputusan pemerintah memerangi ethnic cleansing.
6
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Dalam hal ini, para elit Rusia, mempengaruhi opini publik secara umum dengan menghadirkan solusi yang langsung diberikan kepada masyakarat bahwa keputusan penyerangan tersebut bertujuan untuk mereduksi diskriminasi etnis. Kemudian menolong para korban, memfasilitasinya, serta menjaga para korban dari area konflik, baik dari kekhawatiran kehilangan harta maupun nyawa (Nichol 2009). Kedua, legitimasi Rusia terhadap Ossetia dan Abkhazia dan juga dukungan terhadap keduanya menjadikan opini publik terhadap keputusan para elit didukung oleh banyak masyarakat (The Guardian 2008). Sementara itu, apabila dilihat dari pandangan bottom up yang lebih menekankan pada opini publik terhadap kebijakan pemerintah, maka terdapat sebuah polling yang membuat opini publik semakin kuat dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Charles King (2008) dalam artikelnya berjudul The Five-Day War memberikan hasil penelitian dari Moscow-based Levada Center yang menyebutkan bahwa 80 persen responden dari masyarakat Rusia mendukung operasi militer di Georgia. Tingginya dukungan masyarakat Rusia didasari oleh campur tangan Amerika Serikat terhadap Georgia yang memiliki kepentingan tertentu sebagaimana Georgia meminta bantuan NATO dalam Perang Georgia. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi yang menyebutkan bahwa Abkhazia dan Ossetia Selatan berpihak pada Rusia (King 2008). Levada Center juga menekankan pada keinginan masyarakat dalam memberikan respon terhadap suatu kasus. Masyarakat pada umumnya tidak memahami secara jelas bagaimana suatu kasus terungkap, tetapi apa yang mereka butuhkan atau apa yang tidak masyarakat Rusia butuhkan dan akan diputuskan pada waktu pula sesuai dengan peaceful solution melalui logika berfikir yang berbeda-beda. Surat kabar Washington Post memberikan gambaran melalui polling terhadap tiga wilayah penting di Georgia (Abkhazia, South Ossetia and Transdnistria) tentang keruntuhan Uni Soviet yang dianggap oleh masyoritas ketiga wilayah tersebut kurang tepat. Abkhazia, 65% memilih bahwa keruntuhan Uni Soviet merupakan langkah yang salah. Sedangkan Ossetia Selatan 75% dan Transdnistria 78%. Opini publik masyarakat Rusia bukanlah faktor utama yang menetukan kebijakan Rusia di Wilayah Kaukasus, oleh karenanya perang dan konflik antara Rusia dengan negara tetangga yang bersengketa menjadi opsi yang digemari oleh pemerintah Rusia.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
7
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Akan tetapi dari jumlah masyarakat Rusia yang ada, secara mayoritas, semua penduduk yang tinggal dan menetap di Rusia mendukung dan setuju dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Rusia. Masyarakat Georgia yang ada di Ossetia berasumsi bahwa dengan keikutsertaan mereka dengan Rusia, maka mereka dapat mendapatkan kehidupan yang layak sebagaimana masyarakat Rusia rasakan. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadi faktor utama masyarkat di Ossetia maupun di Abkhazia keluar dari keterikatan dengan Georgia yaitu masalah kesejahteraan dan kemiskinan. Kedua hal ini menjadi sumber konflik, perlawanan, dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang ada. Gambar 1.1
(The Wasington Post 2014) Sementara itu, terdapat pula media-media di Rusia yang mendorong dan mendukung kebijakan Rusia dalam operasi militer di Georgia, salah satunya The Moscow Times. Dalam surat kabar yang bermarkas di Moskow tersebut disebutkan bahwa operasi militer yang dilakukan Rusia merupakan usaha yang tepat untuk tidak memperpanjang perang yang terjadi. Salah satu kutipan menyebutkan bahwa Rusia meminta Georgia untuk mengungkap kebenaran yang terjadi pada serangan 7 Agustus di ibukota Ossetia Selatan, yakni Tskhinvali. Dibalik serangan Georgia tersebut, dikutip pula Valdimir Putin, Dmitry Peskov menyatakan bahwa ada anti-Rusia yang masih muncul akan tetapi bias. Untuk itu, serangan terhadap Georgia merupakan salah satu cara untuk bertahan bagi Rusia (The Moscow Times 2008). Ditambah lagi, media ini juga mendorong Rusia selama perang berlangsung, dengan memberikan klaim akan kemenangan Rusia di Perang Georgia. Dengan kata lain, The Moscow Times menjadi salah satu contoh media yang mampu memberikan andil dalam kebijakan luar negeri suatu negara.
8
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Selain itu, terdapat pula sudut pandang dari media yang berbeda. Kali ini penulis menghadirkan Aljazeera, dalam pemberitaanya Aljazeera menganggap bahwa perang yang terjadi di Georgia adalah kesalahan Georgia itu sendiri. Mikheil Saakashvili, Presiden Georgia dianggap sebagai orang nomor satu yang patut bertanggung jawab atas kejahatan kriminal yang terjadi di Georgia (Aljazeera 2008). Pada waktu itu pula, media ini memberikan pernyataan akan sikap yang salah dari Georgia. Kemudian, media menjadi ranah perang tersendiri dari Perang Rusia-Georgia di tahun 2008. Keputusan operasi militer yang dilakukan oleh Rusia merupakan kebijakan yang mutlak dan didukung oleh masyarakat Rusia. Sedangkan publik Georgia sedang dalam keadaan tidak stabil lantaran kondisi internal yang tidak tentu dihadapkan oleh situasi genting akan perang itu sendiri. Georgia seakan menanggung akibat dari apa yang telah mereka perbuat terhadap wilayah mereka itu sendiri. Media ini juga mencatat, bahwa Presiden Georgia, menyebut bahwa secara militer, politik dan diplomasi tanggal 7 Agustus merupakan waktu berperang melawan Rusia. Hal ini mendapat respon dari media yang menyatakan bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Georgia terhadap Rusia yang pada dasarnya ingin membantu Ossetia Selatan malah menjadi bumerang tersendiri bagi Georgia (Aljazeera 2008). Operasi militer yang dilakukan oleh Rusia pada dasarnya merupakan suatu bentuk peace enforcement terhadap kasus kekerasan di Ossetia Selatan. Namun, publik Georgia khususnya para tentara Georgia malah menyiapkan serangan untuk menghancurkan pasukan perdamaian Rusia yang melakukan operasi militer. Operasi militer tersebut berkaitan dengan cyberwar antara Georgia dan Rusia yang sama-sama melakukan perang melaui cyber yang mampu membentuk opini publik sesuai keinginan masing-masing. Perkembangan teknologi menyebabkan cyberwar yang melibatkan media sebagai alat dalam proses mempengaruhi satu sama lain. Dari sini pula, media mampu menjadi ujung tombak dimulainya suatu perang. Media selama ini mampu menjadi agenda setting suatu kasus yang terjadi, bahkan tidak jarang pergeseran dan perubahan cara pandang dapat diatur oleh media. Apalagi suatu kemenangan instan yang ingin diraih juga dapat dilakukan melalui spending of media. Opini publik dan media merupakan pilar demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan berpendapat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
9
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Media memiliki publik sebagai sarana objek dan subjek dari suatu isu yang akan dibahas. Yang perlu dicatat disini adalah media dan opini publik tidak selamanya memberikan sumbangsih besar dalam sebuah permusuhan kebijakan. Akan tetapi hanya memberikan kontribusi dari sudut yang berbeda. Sama halnya dengan penggunaan level analisis media dan opini publik. Dalam melihat suatu fenomena, LoA ini hanya menjelaskan suatu kasus dan mengontrol bagaimana kasus dilihat dari sudut pandang tertentu, tidak sampai menentukan bagaimana kebijakan ditentukan oleh decision maker (Dugis 2014). Simpulan Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dilihat bahwa penggunaan peringkat analisis dalam memahami suatu kasus sangatlah penting. Dengan menggunakan satu peringkat analisis dapat membuat analisa menjadi lebih fokus dan dan komprehensif, begitu pula pada kasus Perang Rusia dan Georgia di tahun 2008. Dalam hal ini, peringkat analisis ini menjelaskan bagaimana memfokuskan analisa kebijakan Rusia untuk melakukan operasi militer terhadap Georgia. Fokus yang dihadapkan adalah melihat bagaimana kebijakan yang sedemikian rupa dibuat dan diputuskan. Kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dilakukan oleh Georgia terhadap Ossetia selatan menjadi bukti tersendiri yang menjadikan penyerangan Rusia diwujudkan. Selain itu, peran media-media yang ada di Rusia juga menjadi acuan tersendiri. Dukungan masyarakat terhadap keputusan pemerintah juga sangat berkontribusi bagi perumusan kebijakan. Hal ini tidak lain karenaopini publik yang dihadirkan menjadi sebuah syarat sebuah legitimasi yang menjadi faktor penting dalam dunia politik, terlebih dalam proses pengambilan keputusan. Dalam melihat situasi ini penulis memfokuskan pada dua hal perangkat analisis media dan opini publik yaitu melihat top down dan bottom up. Dari kedua sudut pandang ini, penulis melihat dari bagaimana tiga aspek penting dari opini publik yakni, masyarakat biasa, masyarakat yang peduli, dan para elit melihat kasus ini dengan jelas. Ethnic cleansing dan kasus legitimasi Rusia terhadap pengakuan kedaulatan dua wilayah di Georgia seakan menekankan bahwa opini para elit mempengaruhi opini masyarakat secara umum.
10
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
Begitu juga sebaliknya dalam pandangan bottom up, yang bergerak adalah media yang berusaha mengumpulkan opini melalui berbagai varian seperti jajak pendapat atau kekuatan media cetak. Koran paling berpengaruh di Rusia sehingga memunculkan suatu gagasan dan juga keputusan grassroot yang mampu diangkat ke arah yang lebih tinggi Di sini media berperan menjadi penyalur aspirasi masyarakat sehingga pemerintah dapat menjadikan opini publik sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan. Perangkat analisis merupakan suatu hal yang diperlukan oleh seorang penstudi untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut yang jelas. Dalam menjelaskan kasus kebijakan operasi militer Rusia ke Georgia, perangkat analisis ini mampu memberikan penjelasan bagaimana proses kebijakan luar negeri suatu negara dilihat dari perangkat analisis media dan opini publik. Perangkat ini dalam analisisnya melibatkan masyarakat, atensi publik, dan juga para elit. Dalam hal ini terjadi tarik ulur antara siapa yang mempengaruhi, dapat dipengaruhi, atau tidak dapat dipengaruhi. Perangkat analisis ini tentu saja dapat menjelaskan kasus dari sudut tertentu, yang mampu konsisten terhadap posisi dalam menjelaskan kasus. Akan tetapi dalam penjelasannya, opini publik dapat di setting oleh media, tergantung seberapa besar power yang dimiliki media tersebut untuk mempengaruhi opini orang lain. Perangkat analisis ini juga mampu melihat seberapa jauh pengaruh suatu isu yang diangkat terhadap perkembangan pengetahuan masyarakat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
11
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008
Daftar Pustaka Aljazeera, 2008. Media War Flares Over South Ossetia. [daring]. dalam http://www.aljazeera.com/foc us/2008/11/20081122163930714458.html [diakses 12 Januari 2015]. Charles King, 2010. The Five-Day War. Dugis, Vinsensio, 2014. Public Opinion in Foreign Policy, dalam Kuliah Perbandingan Politik Luar Negeri, 6 November 2014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen Hubungan Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga. Larson, Jared, & Juliette Tolay, 2007. Public Opinion and Media on the War in Iraq: A Check on the Executive? . Northeastern Political Science Association. Session Public Opinion & the Rhetorical Arts of Leadership. Medvedev, Dimitry, 2008. Statement on Major Issues. [daring]. dalam http://archive.kremlin.ru/eng/ speeches/2008/08/26/1543_type82912_205752.shtml [diakses 11 Januari 2015]. Neack, Laura, 2008. Chapter 7: Public and Media, dalam The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers. _________, 2008. Public Opinion and Media, dalam The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era. (2nd ed.). United States of America : Rowman & Littlefield Publishers, Inc., pp. 111 – 28. Tavernise, Sabrina, & Matt Siegel, 2008. Looting and ‘Ethnic Cleansing’ in South Ossetia as Soldiers Look On. [daring]. dalam http://www.theage.com.au/world/looting-andethnic-cleansing-in-south-ossetia-as-soldiers-look-on20080815-3wf7.html [diakses 11 Januari 2015]. The Guardian, 2008. Russian Troops to Stay in Abkhazia and South Ossetia. [daring]. dalam http://www.theguardian.com/ world/2008/sep/09/georgia.russia [diakses 11 Januari 2015].
12
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Muhammad Ahalla Tsauro
The Moscow Times, 2008. Moscow Claims Media War Win. [daring]. dalam http://web.archive.org/web/20120523210654/ http://www.themoscowtimes.com/news/article/moscowclaims-media-war-win/372391.html [diakses 11 Januari 2015]. The Washington Post, 2014. How People in South Ossetia, Abkhazia, and Transnistria Feel About Annexation by Russia. [daring]. dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/monkeycage/wp/2014/03/20/how-people-in-south-ossetiaabkhazia-and-transnistria-feel-about-annexation-by-russia/ [diakses 11 Januari 2015]. Western, Jon, 2005. Selling Intervention and War: The Presidency, the Media, and the American Public. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Wicaksana, Gede Wahyu, 2014. Public Opinion in Foreign Policy, dalam Kuliah Perbandingan Politik Luar Negeri, 6 November 2014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen Hubungan Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
13
14
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta Nadia Farabi ABSTRACT Yogyakarta earthquake in 2006 caused losses in various aspects, especially housing. This prompted the entry of humanitarian assistance, both from within and outside Indonesia. Domes For The World (DFTW) is a non-governmental organization from United States that provide assistance to the victims of Yogyakarta earthquake. In 2006, DFTW offer assistance in the form of earthquake resistant houses, shaped like dome. This study aims to determine the entry process of DFTW aid, until finally managed to get permission to build dome houses in Nglepen Baru. The result showed that the construction of dome houses in Nglepen Baru is with the permission of Regent of Sleman, as well as based on the agreement between the citizens. Keywords: humanitarian aid, DFTW, dome houses, humanitarian diplomacy, negotiation Gempa Yogyakarta tahun 2006 silam menyebabkan kerugian dalam berbagai aspek, utamanya aspek perumahan. Hal ini menyebabkan masuknya bantuan kemanusiaan baik dari dalam maupun luar Indonesia tidak dapat dihindari. Domes for The World (DFTW) adalah organisasi non-pemerintah dari Amerika Serikat yang menawarkan bantuan terhadap korban gempa Yogyakarta. Di tahun 2006, DFTW menawarkan bantuan dalam hal perumahan berbentuk layaknya dome. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses masuknya bantuan DFTW, sampai mendapatkan perijinan dan berhasil membangun rumah dome di Nglepen Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi rumah dome didasari persetujuan antara Kabupaten Sleman dan masyarakat. Kata-kata Kunci: bantuan kemanusiaan, DFTW, rumah dome, diplomasi kemanusiaan, negosiasi
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
15
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Bencana Yogyakarta Tahun 2006 dan Dampaknya terhadap Aspek Perumahan Letak Provinsi DI Yogyakarta yang berada di antara dua lempeng aktif, yakni Indo-Australia dan Eurasia, mengakibatkannya sering mengalami gempa berkekuatan kecil maupun besar. Berdasarkan catatan United States Geological Survey’s (USGS) Earthquake Hazards Program, pusat gempa berada pada 7,97o LS dan 110,458o BT, dengan kedalaman 10 km, dan momen magnitudo 6,3 (earthquake. usgs.gov, 2006) sehingga tergolong sebagai gempa kuat. Berbeda dengan USGS, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa pusat gempa berada pada 8,00 o LS dan 110,31o BT, atau 37,2 km selatan Yogyakarta, dengan kedalaman 33 km, dan 5,9 skala Richter (BMKG, 2006). Dengan data tersebut, maka gempa Yogyakarta tahun 2006 tergolong sebagai gempa berkekuatan sedang. Tulisan ini mengkaji proses masuknya bantuan DFTW dengan terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas dampak gempa Yogyakarta tahun 2006 terhadap aspek perumahan. Memahami dampak gempa menjadi penting karena bertujuan untuk mengantarkan pada bagian kedua yang secara rinci membahas tentang bantuan kemanusiaan berupa rumah dome dari DFTW. Selain berisi prinsip-prinsip kemanusiaan DFTW, bagian kedua juga menjelaskan proses diplomasi kemanusiaan yang dilakukan oleh DFTW, sehingga berhasil membangun rumah dome untuk warga Nglepen Baru di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terakhir, adalah kesimpulan dari tulisan ini. Berdasarkan hasil laporan BAPPENAS dan Tim pada tahun 2006, jumlah total kerusakan dan kerugian akibat gempa Yogyakarta tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp 29,1 triliun. Kerusakan dan kerugian di sektor perumahan di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah mencapai Rp 15,3 triliun. Hal tersebut menunjukkan jumlah tersebut lebih dari setengah jumlah total kerusakan dan kerugian. Dengan kata lain, sektor perumahan mengalami kerusakan dan kerugian terparah dibandingkan sektor lain yang terkena dampak. Sedikitnya 157.000 rumah hancur dan 202.000 lainnya rusak di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah akibat gempa. Perkiraan kerusakan unit perumahan di Provinsi DI Yogyakarta dapat dilihat pada tabel berikut:
16
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Tabel 1 Perkiraan Kerusakan Fisik (Unit Perumahan) Kota/Kabupaten Bantul Sleman Yogyakarta Kulon Progo Gunung Kidul Total
Hancur Total 46.753 14.801 4.831 6.793 15.071 88.249
Rusak 33.137 34.231 17.967 3.591 9.417 98.342
Sumber: diolah dari Perkiraan Tim Penilai Gabungan dalam Laporan Bersama BAPPENAS, Pemerintahan Provinsi dan Daerah DI Yogyakarta, Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan Mitra Internasional, 2006 Mengacu pada data di atas, banyaknya rumah yang hancur dan rusak menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal. Mayoritas penduduk yang tinggal di daerah yang terkena dampak gempa adalah penduduk yang dapat dikategorikan miskin (BAPPENAS & Tim, 2006). Seperti halnya kabupaten miskin lainnya di Indonesia, kawasan-kawasan tersebut bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Dengan pendapatan tersebut, penduduk sulit untuk bisa memiliki rumah yang tahan gempa. Sebagian penduduk hanya mampu membangun rumah dengan material kayu, sementara sebagian lainnya memiliki rumah dengan material batu bata namun tanpa rangka beton bertulang. Tumpukan bata yang lemah menyebabkan bangunan mudah runtuh ketika terjadi gempa; membuktikan bahwa penduduk tidak mampu membantu dirinya sendiri dalam merespon gempa. Gambar 1 Hunian di Desa Sengir Hancur Akibat Gempa
Sumber: Elnashai dkk, 2006
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
17
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Bantuan Domes For The World (DFTW): Negosiasi Diplomasi Kemanusiaan Bagi Korban Gempa Yogyakarta 2006 Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta tahun 2006 membangkitkan keinginan banyak negara untuk menjadi donor. Program rekonstruksi rumah-rumah penduduk yang hancur menjadi salah satu bagian yang krusial. Departemen Pekerjaan Umum mencatat jumlah rumah yang rusak di kawasan Provinsi DI Yogyakarta ada 370.776 rumah (ciptakarya.pu.go.id, 2006). Selain membutuhkan dana yang besar, para stakeholders harus mempertimbangkan struktur dan bahan bangunan agar tahan gempa. Pada waktu itu, DFTW datang dengan tawaran bantuan rumah tahan gempa berbentuk setengah lingkaran. Bantuan kemanusiaan harus diberikan berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Menurut United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut adalah humanity (kemanusiaan), neutrality (netralitas), impartiality (ketidakberpihakan), dan independence (kemandirian). Prinsip kemanusiaan, netralitas, imparsialitas, dan kemandirian ini menjadi fondasi yang mengatur gerak aktor kemanusiaan dalam memberikan bantuan kepada korban bencana, baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia, seperti perang. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, seluruh bantuan kemanusiaan tidak boleh membeda-bedakan kebangsaan, agama, jenis kelamin, etnis, ataupun afiliasi politik. Keseluruhan prinsip menjadi elemen penting yang memengaruhi proses koordinasi bantuan kemanusiaan (Walzer, 2011). Prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan di atas secara resmi ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa melalui dua resolusi Majelis Umum. Tiga prinsip yang pertama, yakni kemanusiaan, netralitas, dan ketidakberpihakan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 46/182 yang diadopsi tahun 1991. Tahun 2004, melalui Resolusi Majelis Umum Nomor 58/114, prinsip kemandirian ditambahkan (Walzer, 2011). Kedua resolusi disusun sebagai respon atas berbagai bencana yang terjadi.
18
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Dibutuhkan prinsip-prinsip kerja kemanusiaan agar bantuan yang diberikan adalah bantuan yang berkualitas, dapat dipertanggungjawabkan, serta memberikan sistem perlindungan yang baik bagi masyarakat yang didampingi maupun bagi pekerja kemanusiaan selama melaksanakan proses pendampingan. Karena, bagaimana pun baiknya niat bantuan kemanusiaan, apabila tidak memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan, maka memiliki risiko yang justru dapat mengakibatkan dampak atau bencana lanjutan (second disaster) bagi masyarakat setempat, dan ancaman keselamatan bagi para pekerja kemanusiaan. Prinsip-prinsip di atas dapat diamati di DFTW. DFTW adalah sebuah organisasi non-profit yang bertujuan membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan berupa pelatihan, peralatan, dan metode pembangunan tempat tinggal, baik di perkotaan mapun di pedesaan, dengan konsep bangunan Monolithic EcoShells dan Monolithic Domes (dftw.org, 2007), seperti gambar berikut: Gambar 2 Skema Rumah Dome
Sumber: monolithic.org, 2015
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
19
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
DFTW merupakan salah satu anggota perkumpulan World Association of Non-governmental Organizations (WANGO). WANGO adalah organisasi internasional yang mewadahi berkumpulnya seluruh NGO di dunia (wango.org, 2015). DFTW sebagai organisasi non-profit mengumpulkan donasi dari berbagai pihak, termasuk individu. Donatur dapat memberikan kepada DFTW donasi senilai minimal 10 dolar dan maksimal 3.000 dolar (shop.dftw.org, 2015). Selain dari individu, sumbangan juga berasal dari pendonor tetap seperti Emaar Properties, Ekker Design Build, Semnani Foundation, Friends of the United Nations, Village of Hope, dan Profiles of Caring (dftw.org, 2007). Sumbangan yang masuk dari lembaga-lembaga independen dan individu ini menghindarkan DFTW dari kepentingan lain selain misi kemanusiaan. Bantuan diberikan untuk membantu korban bencana alam, tanpa membedakan bangsa, ras, agama, dan kelas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ir. Ikaputra, salah satu dosen Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada yang terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi korban bencana gempa Yogyakarta 2006, DFTW hanya mengajukan satu syarat, yakni agar dibantu mencari sekelompok warga yang paling membutuhkan bantuan. DFTW menyadari bahwa organisasi ini akan membawa kebudayaan baru melalui bangunan berbentuk dome. Satu kelompok dipilih agar relokasi lebih efektif dan efisien, dan dapat menjadi desa percontohan. Berangkat dari empat prinsip bantuan kemanusiaan, DFTW menawarkan bantuan berupa pembangunan rumah dome bagi masyarakat yang membutuhkan. Suatu aksi kemanusiaan harus diawali dengan diplomasi yang berkaitan dengan upaya memengaruhi para pengambil kebijakan agar memberi izin kepada para aktor kemanusiaan menjalankan misi kemanusiaan. Oleh sebab itu, hal pertama yang diperhatikan oleh aktor kemanusiaan adalah mengidentifikasi siapa pengambil kebijakan yang relevan. Sebagai contoh, apabila pemberi bantuan fokus pada infrastruktur dan hendak memberikan bantuan berupa tempat tinggal, maka terlebih dahulu harus mencari aktor yang menangani rekonstruksi dan rehabilitasi di wilayah yang hendak dibantu tersebut. Setelah diketahui, maka yang perlu dilakukan adalah memahami proses pengambilan kebijakannya.
20
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Diplomasi meliputi persuasi, negosiasi, dan kompromi untuk mencapai tujuan (Minear & Smith, 2007). Diplomasi kemanusiaan merupakan upaya memengaruhi para pengambil kebijakan untuk bertindak, demi kepentingan masyarakat rentan, dengan menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah disepakati bersama. Aktor kemanusiaan yang berhasil melakukan diplomasi kemanusiaan dengan baik, ke depannya lebih sering dijadikan pertimbangan oleh para pembuat keputusan ketika berkaitan dengan penanganan kelompok rentan. Aktor kemanusiaan tersebut memiliki akses yang lebih besar lagi untuk memengaruhi para pengambil kebijakan. Karena, keputusan untuk terlibat dalam diplomasi kemanusiaan bukan merupakan pilihan, tetapi lebih kepada bentuk tanggung jawab. Rasa tanggung jawab aktor-aktor non-negara dalam membantu negara menangani kelompok rentan yang terkena bencana selalu dibutuhkan, mengingat negara tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi hak-hak warga negaranya. Penanganan bencana di Provinsi DI Yogyakarta memanfaatkan social capital. Seluruh aktor terkait dilibatkan, mulai dari pemerintah, LSM lokal dan internasional, donor, akademisi, dan masyarakat. Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta merupakan salah satu universitas yang paling banyak dilibatkan pemerintah daerah dalam menangani bencana, karena perguruan tinggi seperti UGM dinilai tidak memiliki motif apapun kecuali membantu. UGM pada waktu itu secara khusus membentuk Posko UGM Yogyakarta Peduli Bencana DIY dan Jawa Tengah yang terdiri dari berbagai perwakilan fakultas di dalamnya. (Domes for The World, 2007). DFTW datang ke Posko UGM dengan menawarkan skema model rumah yang ingin dibangun. Bersama dengan WANGO, DFTW pada awalnya menghubungi Wakil Rektor UGM. Tawaran DFTW dan WANGO kemudian diarahkan ke Posko Fakultas Teknik, karena yang menguasai aspek infrastruktur setelah gempa ada di Posko Fakultas Teknik, yakni Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. dan Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D. Posko Fakultas Teknik antara lain terdiri dari Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Jurusan Teknik Geodesi, Jurusan Teknik Geologi, serta Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, dan bertanggung jawab terhadap geo-hazards mapping dan building damage assessment.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
21
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Ketika itu, DFTW bukan satu-satunya organisasi yang menawarkan bantuan berupa tempat tinggal bagi para korban bencana gempa Yogyakarta tahun 2006. Namun, sejak awal berdiri, Posko Fakultas Teknik UGM (JJAR) ini berkomitmen bahwa rumah yang akan dibangun harus tahan gempa dan fungsional. Sehingga, desain rumah dome yang ditawarkan oleh DFTW lebih unggul dari tawarantawaran lain. JJAR terdiri dari akademisi arsitektur dan sipil. Dari segi desain, fungsi, maupun metode-metode yang akan digunakan pada tahap pembangunan, rumah dome menarik perhatian JJAR (Domes for The World, 2007). Awalnya, banyak pihak masih ragu dengan desain yang ditawarkan, karena rumah berbentuk setengah lingkaran di Indonesia hanya dapat ditemukan di Irian Jaya, atau yang dikenal dengan rumah Honai. Rumah dan pemiliknya memiliki keterikatan yang dalam, seperti ungkapan “a house is not always a home”. Siapa pun bisa memiliki rumah dome, tetapi tidak semuanya bisa merasakannya sebagai tempat tinggal. Dengan kultur rumah berbentuk persegi maupun persegi panjang, tentu tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima langsung desain rumah dome. Selain berkaitan dengan kultur, keraguan juga ditinjau dari segi kecocokan struktur bangunan dengan iklim di Indonesia. Menanggapi dua permasalahan tersebut, DFTW (diwakili oleh arsitekturnya) dan JJAR melakukan improvisasi desain, sehingga lebih bisa diterima masyarakat, dari segi kultur. DFTW juga menyatakan bahwa warga yang nantinya menerima bantuan diperbolehkan untuk melakukan improvisasi di masa depan (Domes for The World, 2007). JJAR juga mempertanyakan tentang dana dan sumber daya manusia (SDM): apakah secara finansial terjangkau dan memungkinkan adanya transfer pengetahuan. Untuk persoalan dana, DFTW menerima hibah sebesar 1 juta dolar dari Emaar Properties (changemakers.com, 2015). Pemerintah dan masyarakat penerima bantuan tidak perlu mengeluarkan dana untuk pembangunan rumah dome. DFTW yang membangun perumahan dome dengan menggandeng Monolithic Inc. lebih lanjut memastikan bahwa terdapat transfer pengetahuan selama pembangunan rumah dome. Konsep rumah dome sudah lama ada, karena Monolithic Inc. sudah membangun bangunan berbentuk dome sejak tahun 1970an.
22
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Tetapi, tidak semua orang menguasai teknik pembangunan rumah tahan bencana ini, termasuk masyarakat Indonesia. Transfer pengetahuan dilakukan antara lain dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pembangunan seperti misalnya, pengadaan bahan bangunan dan pelaksanaan pembangunan (Handayani, 2011: 37). Pendekatan yang dilakukan DFTW bersifat semi-partisipasi. Setelah pertimbangan hal-hal di atas, tim JJAR mulai menghubungi pemerintah daerah, untuk realisasi, setelah sebelumnya menentukan wilayah mana yang hendak direlokasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DFTW meminta satu kelompok warga saja untuk direlokasi. Tim JJAR dalam hal ini memilih warga dari Desa Sengir. Akibat gempa, banyak rumah warga di Desa Sengir yang hancur dan tidak dapat digunakan lagi. Ir. Ikaputra menjelaskan bahwa Desa Sengir juga ditetapkan sebagai daerah yang tidak layak dihuni karena rawan bencana. Oleh karena itu, JJAR diwakili Ir. Ikaputra menghubungi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman, serta Bupati Kabupaten Sleman, Ibnu Subiyanto. Audiensi dengan Bupati Ibnu Subiyanto dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh izin dan menemukan lahan untuk pembangunan perumahan dome (Domes for The World, 2007). Pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan bantuan yang masuk ke wilayahnya. Peran dan kewajiban negara dalam kaitannya dengan bantuan kemanusian sedikitnya dapat dilihat dalam empat hal: negara memiliki kewenangan untuk mendeklarasikan adanya krisis dan mengundang bantuan kemanusiaan berskala internasional; negara menyediakan pendampingan dan memberikan perlindungan dengan kemampuannya sendiri; negara bertanggung jawab dalam mengawasi dan mengkoordinasi bantuan atau pendampingan asing; serta negara memiliki kewenangan menyusun regulasi ataupun kerangka hukum terkait bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayahnya (Harvey, 2009). Jika dilihat dari empat poin tersebut, maka dapat dimaknai bahwa pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur bantuan yang turun ke lapangan. Pengaturan tersebut bertujuan agar bantuan yang masuk memberikan manfaat yang optimal bagi mereka yang dilanda bencana, dan tidak justru menimbulkan bencana baru.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
23
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Sebelum kebijakan-kebijakan tersebut ada, penanganan bencana dilaksanakan berdasarkan keputusankeputusan presiden. Sewaktu gempa Yogyakarta terjadi pada tahun 2006, pedoman yang digunakan adalah Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Berawal dari keputusan presiden tersebut, disusun kebijakan-kebijakan lain, sampai di tingkat daerah. Berbagai keputusan pemerintah, dan surat pernyataan resmi terkait bencana alam dan gempa bumi, mendorong masuknya berbagai bantuan kemanusiaan. Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, Tim Koordinasi dapat mengundang atau meminta bantuan, dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Seluruh bantuan yang masuk, terutama dari asing, harus di bawah pengawasan pemerintah (BAPPENAS, 2006). Rekonstruksi dan rehabilitasi memang telah menjadi prioritas pemerintah, termasuk Bupati Ibnu Subiyanto. Banyaknya kerusakan dan kerugiaan yang dialami akibat gempa membuat jutaan orang terpaksa kehilangan tempat tinggal tetapnya.Ketika DFTW datang dengan tawaran bantuan, hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan berkah, karena pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan dana sama sekali. Di sisi lain, rumah dome tahan gempa; sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2006 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi di Wilayah Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, yang menegaskan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi harus memperhatikan aspek tahan gempa (ciptakarya.pu.go.id, 2006). Sehingga, di masa yang akan datang, kerusakan rumah dan bangunan akibat gempa bumi dapat diminimalisir. Lebih lanjut, rekonstruksi dan rehabilitasi harus memprioritaskan warga miskin. Setelah mendapat dukungan dari pemerintah daerah, DFTW beserta tim JJAR dan perwakilan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman segera berkunjung ke Desa Sengir dan bertemu lurah setempat. Bentuk dome yang merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia kembali menjadi poin yang dipertanyakan.
24
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Tanpa ada paksaan, Lurah Desa Sengir menyarankan untuk diadakan pertemuan dengan warga terlebih dahulu. Pertemuan ini dihadiri oleh DFTW, perwakilan JJAR, perwakilan pemerintah daerah, dan warga Desa Sengir yang akan diberi bantuan. DFTW mengadakan presentasi di hadapan tim UGM, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan warga yang akan menjadi target bantuan. Terjadi beberapa perdebatan sebelum akhirnya warga setuju untuk menerima bantuan dari DFTW. Aktor kemanusiaan memang harus memiliki kemampuan untuk memengaruhi, melalui diplomasi. Aktivitas aktor kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari negosiasi, meski tidak semua aktor menyadari hal tersebut (Regnier, 2011). Negosiasi berjalan lancar apabila aktor kemanusiaan dapat meyakinkan keunggulan bantuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami fokus keilmuan dan keahliannya. Aktor kemanusiaan lebih mudah memengaruhi para pengambil kebijakan dan aktor-aktor lain yang menjadi sasaran apabila fokus pada bidang tertentu, dan menguasai bidang tersebut. Diplomasi kemanusiaan harus dilakukan dengan menghormati budaya lokal, dan tidak harus dengan pertemuan antar aktor yang terlibat. Sebaliknya, diplomasi kemanusiaan dapat dilakukan melalui aksi seperti pelatihan, penelitian, atau pun melalui transfer ilmu, seperti yang diajukan oleh DFTW dengan transfer ilmu mengenai struktur bangunan yang dibuat oleh Monolithic Inc demi menanggulangi bencana. Presentasi DFTW mengundang beberapa pertanyaan. Pertama, berkaitan dengan kecocokan struktur bangunan dengan iklim Yogyakarta yang tropis. Dalam hal ini, DFTW memberikan contoh bahwa Monolithic, Inc. pernah mendirikan bangunan serupa di Hawai, yang juga beriklim tropis, dan tidak ada masalah. DFTW menjelaskan bahwa bangunan dome memiliki struktur bangunan yang sangat baik, dan bisa dibangun di segala iklim. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembangunan rumah dome membuat bangunan ini bisa berdiri di daerah panas atau pun dingin. Lebih lanjut, pembangunan rumah dome dilakukan dengan menggunakan teknologi yang unik (Domes for The World, 2007). Kedua, aspek ekonomi. Muncul ketakutan pembangunan rumah dome akan membutuhkan biaya yang besar.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
25
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Tetapi, pembangunan rumah dome berdiameter 7 meter, atau sebanding dengan 35 m2, diperkirakan hanya membutuhkan sekitar 800 dolar, dan seluruh biaya ditanggung oleh DFTW. Selain memanfaatkan hibah dari Emaar Properties, DFTW sebagai organisasi non-profit juga mengumpulkan donasi dari berbagai pihak, termasuk individu. Proses pembangunan juga tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga warga dapat segera direlokasi (Domes for The World, 2007). Ketiga, ketakutan akan terjadinya ketergantungan penerima bantuan terhadap DFTW, mengingat pembangunan rumah dome membutuhkan teknologi yang unik. DFTW juga berhasil meyakinkan JJAR bahwa warga yang menerima bantuan tidak akan bergantung pada DFTW. Pada proses pembangunan rumah dome, DFTW berjanji akan berbagi pengetahun dengan warga penerima bantuan, serta meninggalkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan, sehingga tidak ada yang bergantung pada DFTW. Pemeliharaan rumah dome juga mudah, tidak perlu perawatan khusus (Domes for The World, 2007). Terakhir, terkait budaya. Pertanyaan seperti ini sudah sering diterima oleh DFTW, terutama di negara yang nilai-nilai budayanya masih kental. Konstruksi bangunan setengah lingkaran berbentuk dome pada kenyataannya sudah terbukti mampu melindungi penghuninya dari gempa, angin kencang, atau kebakaran. Namun, keunggulan-keunggulan masih sering ditentang hanya karena bentuknya yang secara budaya tidak sejalan dengan wilayah tersebut. Sementara, kebudayaan baru yang banyak ditentang ini tahan terhadap bencana. Paparan DFTW mengenai keunggulan bantuannya mulai menarik perhatian masyarakat. Di masa yang akan datang, warga penerima bantuan juga diperbolehkan untuk melakukan improvisasi terhadap rumah dome, dengan dana pribadi masing-masing penghuni rumah (Domes for The World, 2007). Meski sejak awal telah memiliki desain sendiri, DFTW bersedia mendesain kembali rumah dome agar secara budaya dapat diterima. Dari bentuk luar, bangunan harus tetap berbentuk dome, atau setengah lingkaran. Tanpa mengubah grand design, DFTW mengajukan desain seperti berikut:
26
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Gambar 3 Improvisasi Rumah Dome oleh DFTW
Sumber: dokumentasi Pengelola Desa Wisata Rumah Dome Desain tersebut diajukan berdasarkan pengamatan DFTW terhadap lingkungan sekitar. Tetapi, karena permasalahan utama rumah dome bukan berkaitan dengan bentuknya yang setengah lingkaran, maka desain itu tidak dilanjutkan. Permasalahan utama ada pada letak dapur dan ruang tamu berdekatan, seperti budaya barat. Di Indonesia, ruang tamu adalah tempat untuk menghormati tamu, sehingga harus diletakkan di depan, dan dipisahkan dengan ruangan-ruangan lain yang bersifat pribadi. Lebih lanjut, dapur identik dengan hal kotor, sehingga seringkali terletak di bagian belakang rumah. Oleh sebab itu, DFTW membentuk desain baru yang sesuai dengan kebudayaan lokal, dibantu JJAR (Domes for The World, 2007). Mengenai rekonstruksi dome ini, penduduk lokal juga banyak dilibatkan, terutama dalam proses pembangunan rumah dome. Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah cash-for-work (CfW) yang dapat dimaknai sebagai aktivitas warga untuk mendapat uang tunai dari hasil bekerja dalam rekonstruksi bantuan kemanusiaan (Mercy Corps, 2007). CfW adalah istilah yang dirancang oleh aktor kemanusiaan untuk memberi korban bencana pendapatan, sekaligus melibatkan mereka dalam membangun kembali infrastruktur mereka yang hancur akibat bencana.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
27
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan Sulasmono, pengelola Desa Wisata Rumah Dome Nglepen Baru, proses pembangunan tidak pernah lepas dari pengawasan pemerintah daerah. Pada proses ini, DFTW juga melakukan transfer ilmu ke warga setempat. Pembangunan rumah dome membutuhkan waktu enam bulan, dengan melibatkan 370 pekerja lokal (dftw.org, 2007). Pada bulan April 2007, 80 unit bangunan dome diresmikan dilengkapi dengan ruang tamu, dua kamar, dan dapur. MCK disediakan di luar rumah dome dan digunakan secara bersama-sama. Setiap MCK terdiri dari enam kamar mandi, yang dapat dimanfaatkan 12 keluarga. Saat ini, Nglepen Baru menjadi salah satu desa wisata di Provinsi DI Yogyakarta, yang setiap harinya selalu kedatangan pengunjung. Simpulan Tawaran bantuan DFTW berupa perumahan dome datang di saat Provinsi DI Yogyakarta membutuhkan bangunan tahan gempa untuk korban gempa Yogyakarta tahun 2006. Bantuan internasional seperti yang ditawarkan DFTW adalah bentuk solidaritas internasional, dan bangunan rumah dome adalah contoh imported culture yang merupakan bagian dari solidaritas internasional dalam konteks bencana. Keterbatasan kapabilitas negara merespon bencana menjadikan tawaran bantuan DFTW harus dipertimbangkan. Diplomasi kemanusiaan dilakukan DFTW dengan tujuan untuk membuka jalan bagi masuknya bantuan, tanpa unsur pemaksaan. Berbagai improvisasi desain dilakukan, agar secara budaya dapat lebih diterima masyarakat, tanpa mengubah grand design rumah dome. Kompromi adalah inti dari negosiasi. Di satu sisi, DFTW ingin membawa kebudayaan baru yang dapat melindungi penghuninya dari bencana, di sisi lain, warga Desa Sengir harus segera direlokasi. Pada akhirnya, pemerintah daerah, warga, dan aktor-aktor lokal lain yang terlibat bersedia menerima budaya baru yang dibawa DFTW, karena bangunan seperti itu yang dapat membantu mengurangi risiko bencana di masa yang akan datang. Sementara itu, DFTW dengan bantuan JJAR bersedia mendesain ulang bagian dalam rumah dome agar sesuai dengan budaya Indonesia.
28
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi
Daftar Pustaka Ashoka Changemakers, t.t. Domes For The World (DFTW) Constructs Durable Housing and Complete Community Systems For The World’s Needy [daring] dalam www.changemakers.com/ sustainableurbanhousing/entries/domes-for-the-worlddftw-constructs-durable-housing [diakses pada 25 Juni 2015]. BAPPENAS, Pemerintahan Provinsi dan Daerah D.I. Yogyakarta, Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan Mitra Internasional, 2006. Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian: Bencana Alam di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Domes for the World, 2007. Final Report: Nglepen Baru Yogyakarta [daring] dalam www.dftw.org/indonesia/final-report-newngelepen-yogyakarta-indonesia [diakses pada 18 Mei 2015]. Domes for the World, 2015. Donations [daring] dalam www.dftw. org/donors [diakses pada 18 Mei 2015]. Domes for the World, 2015. About Us Domes For The World [daring] dalam www.dftw.org/about-us [diakses pada 18 Mei 2015]. Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2006. Program Rehabilitasi Gempa DI. Yogyakarta & Jawa Tengah [daring] dalam ciptakarya.pu.go. id/dok/gempa/main.htm [diakses pada 13 Juni 2015]. Handayani, T, 2011. Model Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Di Yogyakarta Dan Klaten. Harvey, P, 2009. Towards Good Humanitarian Government: The Role of the Affected State in Disaster Response. London: Overseas Development Institute. Hehir, A, 2010. Humanitarian Intervention: An Introduction. New York: Palgrave Macmillan. Ikaputra, I, 2008. People Response to Localize the Imported Culture, Study Case: the Dome House in the Rural Culture Post Javanese Earthquake 2006 [daring] dalam www.iitk.ac.in/nicee/wcee/ article/14_10-0019.PDF [diakses pada 29 Mei 2015]. MercyCorps, 2007. Guide to Cash-for-Work Programming. Minear, L dan H Smith, 2007. Humanitarian Diplomacy: Practitioners and Their Craft. New York: United Nations University Press.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
29
Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta
Monolithic, t.t. The Monolithic Dome. [daring] dalam www. monolithic.org/domes [diakses pada 4 Agustus 2015]. Saraswati, T, 2007. “Kontroversi Rumah Dome di Nglepen, Prambanan, D.I. Yogyakarta”, Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 2, Desember 2007: 136-142. United States Geological Survey, 2006. Magnitude 6.3 – Java, Indonesia [daring] dalam earthquake.usgs.gov/earthquakes/ eqinthenews/2006/usneb6/ [diakses pada 3 Juni 2015]. Walzer, M, 2011. “On Humanitarianism: Is Helping Others Charity, or Duty, or Both?”, Foreign Affairs, Vol. 90, No. 4 (Juli/Agustus 2011): 69-80.
30
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 Reza Akbar Felayati ABSTRACT The effectiveness of foreign aid from one party to another until today still raises a lot of debate. Departing from the concept of foreign aid aimed at promoting economic development and prosperity of developing countries, both in the long term and short term, many studies analyzing the distribution of foreign aid to the effectiveness and efficiency in order to achieve the intended objectives. One foreign aid given at the time of the country experienced a natural disaster, and it is experienced by Aceh in 2004 in the event of an earthquake and tsunami. In connection with this, the author in this paper will analyze the effectiveness of foreign aid that has been given to the development of Aceh after the 2004 tsunami, in the timeframe of 2004 to 2010. Keywords: foreign aid, Aceh, effectiveness, development Keefektifan bantuan luar negeri dari satu pihak ke pihak lain hingga saat ini masih memunculkan banyak perdebatan. Berangkat dari konsep bantuan luar negeri yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan negara – negara berkembang, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, banyak kajian – kajian yang menganalisa distribusi bantuan luar negeri terhadap efektivitas dan efisiensi guna mencapai tujuan yang dimaksud tersebut. Salah satu pemberian bantuan luar negeri diberikan kepada Aceh di tahun 2004 dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menganalisa keefektifan bantuan luar negeri yang telah diberikan tersebut terhadap pembangunan Aceh setelah Tsunami tahun 2004, dalam rentang waktu dari tahun 2004 hingga 2010. Kata-Kata Kunci: bantuan luar negeri, Aceh, efektivitas, pembangunan
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
31
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Bantuan luar negeri atau foreign aid memiliki beberapa definisi yang berbeda, David Sogge (2002) mendefinisikannya sebagai bentuk pengiriman komoditas, bantuan teknis, serta arus keuangan dari satu pihak ke pihak lain, baik dari pemerintah suatu negara ataupun dari institusi lain. Tujuan dari bantuan luar negeri adalah promosi pembangunan ekonomi terhadap satu negara dalam rangka menciptakan kesejahteraan, dan dapat berupa hibah ataupun pinjaman dalam bentuk teknologi, uang, tenaga manusia, makanan dan ide. Promosi pembangunan ekonomi dalam hal ini dapat dilakukan dalam jangka panjang ataupun jangka pendek, yang mana bantuan untuk pembangunan jangka pendek banyak dilakukan oleh suatu negara terhadap negara yang mengalami bencana alam ataupun perang. Sedangkan Carol Lancaster (2007) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai transfer sukarela sumber dari satu negara ke negara lain, dan dapat melayani satu atau lebih fungsi, seperti sebagai bentuk hubungan diplomatik, aliansi militer, memperluas pengaruh budaya negara pendonor, menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan oleh donor untuk ekstraksi sumber daya dari negara penerima, atau untuk mendapatkan jenis lain akses komersial. Bantuan dapat diberikan oleh individu, organisasi swasta, atau pemerintah. Komite Bantuan Pembangunan dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau The Development Assistance Committee of the Organisation for Economic Co-operation and Development mendefinisikan bantuan sebagai arus ke negaranegara berkembang dan lembaga multilateral yang disediakan oleh lembaga resmi, termasuk pemerintah negara bagian dan lokal, atau oleh lembaga eksekutif mereka, setiap transaksi yang memenuhi persyaratan berupa: a) bertujuan promosi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan negara b) dalam bentuk bantuan lunak dan mengandung hibah unsur minimal 25% (Development Assistance Committe 2011). Perdebatan dalam Efektivitas Bantuan Luar Negeri Meskipun sejumlah besar penelitian bantuan asing dilakukan selama beberapa dekade terakhir, tidak ada konsensus mengenai apakah bantuan pembangunan benar-benar mendorong pertumbuhan di negara-negara penerima. Interaksi kompleks kekuatan politik, dan ekonomi di negara-negara penerima bantuan mengaburkan analisa dampak dari bantuan tersebut, dan membuat pemahaman mengenai efektivitas proyek bantuan luar negeri terpecah.
32
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Beberapa studi menunjukkan bahwa bantuan berdampak pada pertumbuhan yang tepat, sementara yang lain memberikan bukti kuat bahwa itu adalah sia-sia, bahkan merugikan pertumbuhan politik dan ekonomi negara-negara penerima. Roger C. Riddell (2008) berpendapat bahwa bantuan luar negeri seringkali tidak efektif karena beberapa faktor; yang pertama adalah inefiensi birokrasi negara penerima. Bantuan luar negeri yang masuk ke dalam negara penerima yang memiliki kualitas birokrasi dan politik yang tidak efisien dan buruk dianggap tidak efektif karena rentan akan korupsi dan penyelewengan dana, sehingga bantuan yang sampai di lapangan tidak akan mencukupi bagi mereka yang membutuhkan. Yang kedua adalah persoalan ketidakcukupan data di lapangan yang seringkali membuat bantuan yang dikirim tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang ketiga terkait dengan masalah internal negara tersebut, hal tersebut seperti yang dikatakan Bauer (1972), bahwa pembangunan ekonomi tidak lepas dari faktor kultural, sosial, politik, dan personal; sehingga bantuan luar negeri tidak bisa menjadi satu – satunya sumber pendanaan pembangunan negara. Bantuan luar negeri juga dianggap efektif sebagai alat untuk mengatasi kesenjangan antara negara maju dan berkembang. Berdasarkan asumsi bahwa negara menjadi miskin karena tidak memiliki modal yang diperlukan untuk menghasilkan pendapatan, banyak yang melihat bahwa bantuan dapat membantu negara berkembang dengan menutup kesenjangan membuat mereka terjebak dalam poverty trap. Teori Big Push menggambarkan bantuan sebagai katalis yang diperlukan untuk investasi agar masuk dan mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pandangan bantuan yang mungkin paling terkenal dikemas oleh ekonom Jeffrey Sachs, yang melihat bahwa pengelolaan terhadap bantuan besar-besaran dan reformasi luas yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan ekonomi dengan cepat dan secara bersamaan merupakan solusi untuk mencapai kesejahteraan. Sachs (dalam Riddell 2008) melihat bahwa bantuan luar negeri secara intensif kepada negara miskin serta negara yang mengalami bencana alam dapat mengakhiri kemiskinan ekstrim untuk dunia pada tahun 2025. Berangkat dari perdebatan tersebut, maka beberapa institusi dan organisasi mulai membentuk dan mendesain aid effectiveness indicator atau indikator efektivitas bantuan luar negeri.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
33
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Indikator – indikator tersebut dijadikan acuan dalam melihat apakah bantuan yang telah diberikan tepat sasaran atau tidak dalam mencapai tujuannya, yang mana adalah pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menggunakan indikator efektivitas bantuan luar negeri dari Bank Dunia yang terdiri dari: persentase penyerapan dan pengalokasian bantuan resmi negara kepada yang membutuhkan (Bank Dunia 2008). Bantuan resmi mengacu pada arus bantuan dari donor resmi yang berasal dari negara-negara maju ke negara-negara dan wilayah berkembang; keakuratan informasi yang tersedia terkait dengan bantuan yang dibutuhkan, yang berarti bahwa dengan adanya penyaluran informasi yang akurat, bantuan yang diberikan dapat lebih tepat sasaran; kecepatan persebaran dan penyerapan bantuan luar negeri yang diberikan; diversivitas sumber dana bantuan, dengan semakin bervariasinya sumber dana bantuan akan mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber dana sekaligus memungkinkan pergerakan dana bantuan yang lebih fleksibel di lapisan masyarakat yang berbeda; dan yang terakhir adalah koordinasi pihak donor dan pemerintah, adanya koordinasi dan kerjasama yang baik akan menentukan terserapnya dan pembangunan yang tepat sasaran (Masyrafah dan Jock 2008). Digunakannya indikator keefektifan dari Bank Dunia tersebut tidak lepas dari fakta bahwa Bank Dunia adalah salah satu organisasi terbesar yang mengatur proyek restrukturisasi Aceh setelah Tsunami tahun 2004 dengan pemerintah Indonesia, melalui Aceh Economic Development Financing Facility Project yang merupakan proyek untuk mempromosikan pemulihan ekonomi pasca-tsunami dan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan di Aceh yang sejalan kebijakan pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh. Bantuan Luar Negeri dalam Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 2004 Salah satu bencana yang menjaring banyak bantuan luar negeri dari berbagai negara di belahan dunia adalah bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 silam.
34
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Korban meninggal yang dipastikan oleh UNOCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) mencapai 130.736 jiwa dan lebih dari 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Total perkiraan kerusakan dan kerugian dari bencana ini bagi Indonesia sendiri mencapai USD 4,45 miliar atau sekitar Rp 41,4 triliun. Dunia internasional menjanjikan bantuan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar US $ 7,2 miliar. Pada akhir 2007, proyek dan program senilai US $ 6,4 miliar telah dialokasikan oleh 463 organisasi atau 65 persen dari yang total bantuan seluruhnya (Masyrafah dan Jock 2008). Ekonomi lokal hancur dan banyak masalah lanjutan yang terjadi, seperti kelangkaan air bersih, serta timbulnya banyak penyakit seperti tifus, TBC, demam berdarah, dan infeksi kulit (Jayasuriya dan McCawley 2010). Bantuan luar negeri pun mengalir dari berbagai negara menuju Indonesia. Australia menjanjikan US$819,9 juta, Jerman memberikan US$660 juta, Jepang US$500 juta, Kanada US$343 juta, Norwegia dan Belanda masing-masing US$183 juta, Amerika Serikat mengirim US$350 juta, dan Bank Dunia memberikan US$250 juta. Italia juga menjanjikan US$95 juta, kemudian dinaikkan menjadi US$113 juta; $42 juta di antaranya disumbangkan oleh penduduk Italia menggunakan sistem SMS, sedangkan World Food Programme (WFP) memberi bantuan makanan kepada 9000 warga di Aceh dalam satu bulan (Jayasuriya dan McCawley 2010). Dukungan awal untuk rehabilitasi mata pencaharian direalisasikan dalam bentuk aset, seperti perahu kecil dan jaring pancing, serta uang tunai untuk bekerja. Kebutuhan pemukiman darurat direalisasikan melalui penyediaan tenda dan barak, serta memulai pembangunan perumahan permanen (Masyrafah dan Jock 2008). Merujuk pada tabel 1.1 dari Bank Dunia tahun 2007, sebesar US$6,4 milyar atau sekitar 83 persen dari total komitmen sudah dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu dan program. sisa komitmen dana US$1,3 miliar belum dialokasikan oleh para donor dan LSM; Jika melihat tabel tersebut, dapat dilihat bagaimana dana bantuan yang telah diberikan oleh luar negeri telah menutupi jumlah minimum yang harus dipenuhi untuk rekonstruksi Aceh, yang berjumlah US$6.2 milyar.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
35
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Tabel 1.1: Alokasi dana rekonstruksi Aceh setelah Tsunami
Sumber: Bank Dunia (2007, dalam Masyrafah, H & Jock MJA McKeon, 2007)
Efektivitas Bantuan Luar Negeri dalam Rekonstruksi Aceh Permasalahan pertama dalam efektivitas bantuan luar negeri Aceh terletak pada penyerapan dana bantuan luar negeri yang dianggap tidak efektif. Joe Leitman, manajer dana internasional Bank Dunia menyatakan bahwa bantuan luar negeri yang dikirimkan kepada Indonesia oleh beberapa negara hanya terserap seperdelapan dari jumlah total yang diperkirakan mencapai US$ 12.8 triliun (Fengler dan Ihsan 2006). Kendala dalam penyerapan dana juga terjadi pada dana bantuan Jerman yang dikirimkan ke Indonesia. Pejabat kementrian Georg Witschel menyatakan bahwa birokrasi yang buruk dan masalah korupsi membuat dana bantuan dari Jerman banyak mengalami penyusutan dalam proses penyerapannya (Fengler dan Ihsan 2006). Penyerapan yang bermasalah tersebut juga tidak lepas dari kurangnya informasi terhadap bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh. Georg Witschel juga mengkritik bahwa banyak proyek bantuan yang mengabaikan pengetahuan dan pengalaman masyarakat lokal. Akibatnya, banyak proyek itu yang salah konsep. Hal itu juga tidak lepas dari beberapa dana sumbangan yang oleh donornya ditujukan khusus untuk isu-isu tertentu, seperti anakanak, sekolah, dan rumah yatim; yang mana ternyata tidak diterima dengan baik oleh masyarakat korban. Akibatnya, banyak proyek tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk lokal (Phillips dan Budhiman. 2005).
36
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Selain itu, bantuan yang dikirim oleh beberapa negara juga tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Bantuan makanan berupa roti dan kacang merah, serta bantuan untuk anak – anak dalam bentuk mainan dan boneka dinilai tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh pada saat itu. Christoplos berargumen bahwa hal ini dikarenakan keterbatasan informasi tentang Aceh, sehingga banyak bantuan yang dinilai tidak tepat sasaran (Christoplos 2006). Christoplos (2006) juga melihat badan-badan bantuan yang bergerak lambat dan gagal untuk memenuhi komitmen, serta gagal untuk memastikan tingkat kualitas yang tinggi dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan yang lambat membuat sebagian besar korban masih tinggal di tenda-tenda lebih dari satu tahun setelah bencana. Namun dalam hal diversifikasi bantuan, Aceh memiliki banyak sumber dana bantuan yang membuat dana bantuan terhindar dari isu volatilitas dana. Pasokan bantuan yang dijanjikan lebih stabil di negara-negara teridentifi kasi sebagai memiliki lembaga-lembaga politik yang lemah dan kebijakan makroekonomi historis miskin (Dollar dan Levine 2005). Ketika ada sejumlah besar donor, seperti di Aceh, volatilitas bantuan cenderung lebih rendah. Sementara upaya diversifikasi rekonstruksi di Aceh sendiri berjalan dengan lancar dan dapat dilihat dalam tabel 2, yang mana dalam jangka waktu tiga tahun setelah tsunami, 83 persen atau sekitar US$ 6,4 miliar bantuan telah dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu. Tabel 2: Penyebaran dan alokasi dana dari berbagai sumber dana bantuan
Sumber: Masyrafah, H & Jock MJA McKeon, 2007
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
37
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Dari data tersebut dapat dilihat bagaimana diversifikasi dana bantuan di Aceh berdampak positif, dan lebih baik dari penyerapan dana bantuan di negara lain dalam bencana serupa. Menurut Jayasuriya dan McCawley, Sri Lanka dalam rentang waktu yang sama baru menerima US$ 17 miliar dari total US$1 triliunyang dikirim (Jayasuriya dan McCawley (2010). Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah Indonesia yang lebih sigap dalam hal pengaturan diversifikasi dana bantuan luar negeri. Koordinasi dalam rekonstruksi Aceh setelah tsunami mendapat perhatian dari beberapa kalangan, karena dianggap tidak efektif, lantaran jumlah lembaga atau NGO yang beroperasi di Aceh. Dengan sekitar 120 lembaga pelaksana program 266 rekonstruksi perumahan, ada banyak mekanisme yang berbeda, metode dan pendekatan. Banyak lembaga pelaksana yang memiliki dana namun tidak memiliki pengalaman, dan diperparah dengan institusi lokal yang disfungsional serta masalah tenaga kerja dan bahan yang seringkali mengalami kekurangan dan berkualitas rendah. Tantangannya lainnya adalah akses ke beberapa daerah yang sulit dan mahal (Dercon 2008). Koordinasi menjadi penting karena bagi negara penerima, pemerintahan merupakan pusat sistem koordinasi yang kuat dengan gambaran lengkap dari proses pengiriman bantuan. Mengingat skala rekonstruksi Aceh, koordinasi sangat penting. Berbagai mekanisme koordinasi didirikan masing-masing dengan tujuan yang berbeda dan keberhasilan (Cassen, Robert, dan asosiasi 1993). Sementara telah ada kemajuan luar biasa dalam mengkoordinasikan dan melaksanakan lebih dari 2.000 proyek di semua sektor hanya dalam waktu tiga tahun, ada beberapa bukti dari buruknya koordinasi menyebabkan kesenjangan, duplikasi, ketidakefisienan, dan akhirnya hubungan yang lemah antara kebutuhan dan program pemulihan (BRR dan Internasional Partners 2006). Di lapangan juga terdapat indikasi adanya persaingan antara lembaga, yang menyebabkan keengganan untuk berbagi rencana dan studi (BRR dan Internasional Partners 2006). Di Aceh, tiga badan utama menyediakan kerangka koordinasi yang luas untuk program rekonstruksi tahun 2004.
38
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Pertama, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) menjadi badan pusat untuk kegiatan pemerintah. Kedua, Multi Donor Fund (MDF) telah dibuat untuk memungkinkan donor bilateral dan multilateral untuk mengkoordinasikan dana. MDF juga bertindak sebagai forum untuk mempertemukan lembaga pendanaan untuk memungkinkan dialog terbuka. Ketiga, PBB menciptakan United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNODC) terutama untuk mengkoordinasikan badan-badan PBB dan menyediakan access point untuk BRR dan PBB (Bakornas 2005). NGO di sisi lain mengumpulkan dana mereka sendiri, sehingga tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengkoordinasikan kegiatan NGO–NGO tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia juga terbantu oleh proyek revitalisasi ekonomi dan restrukturisasi setelah Tsunami Aceh melalui proyek Aceh Economic Development Financing Facility atau EDFF. Komponen pertama dari proyek ini mendukung kegiatan-kegiatan khusus yang dirancang untuk mempromosikan pemulihan ekonomi dan pembangunan melalui mendukung sub-proyek yang mempengaruhi pembangunan ekonomi di Aceh dengan memberikan kontribusi untuk membangun kembali lingkungan bisnis yang lebih kompetitif dan mendukung. EDFF mendukung sub-proyek yang berdasarkan visi pembangunan ekonomi eksplisit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, dalam bidang peningkatan lingkungan bisnis; dukungan sektor swasta; dan infrastruktur publik. Komponen kedua dari proyek ini akan mendanai pengelolaan proyek dan pembangunan kapasitas termasuk konsultasi internasional untuk membantu Pemerintah Aceh dalam pembentukan dan pengelolaan Unit Manajemen Proyek atau UMP dan Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal atau KPDT dalam pelaksanaan proyek di tingkat pemerintah pusat. Jika ditilik dari indikator keefektifan bantuan luar negeri dari Bank Dunia, Indonesia telah menunjukkan keefektifannya dalam aspek koordinasi dan diversifikasi bantuan. Adanya fakta bahwa 83 persen bantuan Aceh telah terserap dan dialokasikan untuk proyek - proyek spesifik dari tahun 2005, serta pembentukaan koordinasi di Aceh melalui BRR, MDF dan UNODC dalam hal rekonstruksi Aceh merupakan bentuk keefektifan penggunaan dana bantuan luar negeri.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
39
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Namun di sisi lain, tidak terpenuhinya indikator lainnya seperti penyerapan dana yang tidak maksimal akibat birokrasi dan instabilitas domestik serta ketidakakuratan informasi di lapangan membuat keefektifan bantuan luar negeri tersebut juga ikut berkurang. Adanya permasalahan seperti kurangnya kerjasama antara NGO akibat informasi yang kurang dan bantuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal merupakan bukti kurangnya informasi dari pihak pemerintah terkait kondisi di lapangan. Masalah sosial seperti korupsi dan birokrasi juga menjadi isu tersendiri, dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, adanya kasus bantuan luar negeri yang hanya terserap seperdelapan dari jumlah total yang diperkirakan mencapai US$ 12.8 triliun menjadi bukti bahwa perlu ada pembenahan terkait peningkatan efektivitas bantuan luar negeri untuk kedepannya. Berangkat dari fakta tersebut, maka yang dapat dilihat adalah dari beberapa poin indikator keefektifan bantuan luar negeri, bantuan luar negeri di Aceh telah menunjukkan keefektifannya. Namun, masih ada poin – poin keefektifan yang masih gagal dicapai karena situasi di lapangan yang tidak memungkinkan, seperti dalam poin persebaran informasi terkait bantuan yang dibutuhkan masyarakat. Kondisi Aceh setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 Pembangunan dan rekonstruksi yang dikebut oleh banyak pihak setelah tsunami tahun 2004 telah membawa banyak perubahan di Aceh. Pembangunan infrastruktur baru digenjot dan didanai oleh bantuan luar negeri dan menghasilkan dampak yang signifikan bagi Aceh. Menurut data BRR, sudah berhasil dibangun lebih dari 140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan dengan dana bantuan luar negeri tersebut (Saturi 2014). Sarwo Edhi Wibowo melihat ketika masa rehabilitasi-rekonstruksi tahun 2005-2008, ratusan ruko dan gedung dibangun, dan berhasil membangkitkan geliat ekonomi Aceh. Namun tidak berarti bahwa tidak ada dampak negatif dari pembangunan–pembangunan tersebut. Sarwo Edhi melihat pembangunan yang dilakukan menjadi excess built atau melebihi kebutuhan, dan terbukti dari banyaknya ruko yang kosong, puluhan hotel yang dibangun dan hanya digunakan untuk acara pemerintahan. Begitu pula yang terjadi dengan rumah – rumah yang dibangun oleh NGO dan BRR di masa rekonstruksi dan rehabilitasi, banyak yang kosong dan tidak ditempati (Saturi 2014).
40
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Kondisi lainnya terlihat dari PDB Aceh sepuluh tahun setelah bencana tsunami. Angka Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2010 masih Rp 38,01 triliun, lebih kecil daripada PDB di tahun sebelum tsunami, 2003, yang mencapai Rp 44,68 triliun, menunjukkan ekonomi Aceh belum sepenuhnya pulih. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh data dari Pemkab Aceh Besar, yang merekam perkembangan nilai PDRB Aceh dalam lima tahun terakhir secara berturut-turut, sebesar 36.29 triliun rupiah (2005), 36.85 triliun rupiah (2006), 35.98 triliun rupiah (2007), 34.09 triliun rupiah (2008) dan 32.18 triliun rupiah (2009) (Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar 2012). Kuntoro Mangkusubroto sebagai pimpinan BRR yang memimpin proyek rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah Tsunami membenarkan dampak negatif tersebut. Mangkusubroto melihat bahwa hingga akhir tahun 2010, belum ada investasi besar di Aceh yang masuk. Di sisi lain, terjadi ketidaksinambungan antara rekonstruksi masa tsunami dengan pembangunan di Aceh. Mangkusubroto melihat bahwa selama lima tahun setelah tsunami, warga Aceh termanjakan dengan bantuan luar negeri yang diberikan (Savitri 2014). Kondisi inipun berlaku di level pemerintah, yang nyatanya tidak berfungsi sebagai fasilitator. Media asing asal Inggris, The Independent juga menyoroti isu yang sama terkait keefektifan bantuan luar negeri, yang mana hingga tahun 2010, pembangunan Aceh dinilai masih tak merata, terlepas dari dana bantuan miliaran dolar yang dikeluarkan Inggris untuk rehabilitasi Aceh. The Independent menilai Banda Aceh menjadi daerah yang dianggap lambat dalam membangun kembali usai tragedi tsunami. Direktur United Nations Development Programme Indonesia, Beate Trankmann, mengatakan Banda Aceh menjadi daerah yang hampir tak ada bedanya dengan peristiwa tsunami saat itu (Priliawito 2014). Merujuk pada data–data dan informasi terkait kondisi Aceh setelah Tsunami tahun 2004, dapat dilihat bagaimana bantuan luar negeri yang digelontorkan memberi dampak yang signifikan, namun hanya pada tahap awal rekonstruksi. Ketiadaan pengelolaan yang baik terhadap bantuan–bantuan serta proyek rekonstruksi dan rehabillitasi dalam jangka panjang malah menimbulkan dampak negatif di Aceh. Isu – isu seperti instabilitas ekonomi dan ketidaksinambungan proyek rehabilitasi dan realitas di lapangan menjadi bukti kurang efektifnya bantuan luar negeri untuk pembangunan jangka panjang di Aceh.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
41
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Hal ini sekaligus menjadi backlash terhadap teori Big Push. Bantuan luar negeri yang dikirim ke Aceh sebagai dorongan ekonomi kenyataannya hanya berlaku untuk melepaskan masyarakat dari poverty trap jangka pendek, dan dalam realitas jangka panjang pembangunan ekonomi di Aceh masih tersendat. PDB yang lebih rendah dari Aceh sebelum tsunami membuktikan kurang efektifnya pengelolaan bantuan luar negeri di Aceh, sehingga muncul isu – isu baru dalam pembangunan ekonomi Aceh setelah Tsunami. Farah Abuzeid (2009) juga menunjukkan bahwa bantuan tidak langsung merugikan pemerintahan dengan menginduksi peningkatan ukuran sektor pemerintah, yang pada gilirannya meningkatkan peluang untuk korupsi. Bantuan memang meningkatkan konsumsi pemerintah, namun kebanyakan tidak tepat sasaran bagi mereka yang membutuhkan karena uang yang terbuang pada White Elephant project, pengadaan fiktif, dan pengeluaran lainnya yang memberikan kesempatan untuk korupsi, tetapi tidak menghasilkan dampak untuk mendorong pertumbuhan. Perbandingan dengan Sri Lanka dalam Rekonstruksi dan Bantuan Luar Negeri Dalam melihat efektivitas bantuan luar negeri, perbandingan penanganan bantuan di negara lain dapat juga menjadi acuan. Sri Lanka merupakan negara yang juga terkena dampak Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 dan diperkirakan sekitar 35.000 orang tewas atau hilang, 15.000 luka-luka dan 500.000 mengungsi. Dalam penanganan bantuan luar negeri, Sri Lanka mendapati pengalaman yang berbeda. Adanya instabilitas internal berupa konflik sipil, ditambah dengan skala bencana yang besar membuat pemerintah Sri Lanka kewalahan. Jika merujuk pada indikator keefektifan bantuan luar negeri, Sri Lanka memiliki banyak kekurangan daripada penangangan dana bantuan di Indonesia. Tahun 2005, bantuan yang dikirim dari ibukota Sri Lanka Colombo ke beberapa wilayah di Sri Lanka ternyata tidak memiliki petunjuk distribusi sama sekali (United Nations and the Government of Sri Lanka 2005). Selain itu, pemerintah Sri Lanka tidak aktif mengelola upaya bantuan, dan membuat personel dan sumber daya mengalami ketimpangan distribusi. Di sisi lain, ada beberapa kesamaan antara Sri Lanka dan Indonesia dalam hal bantuan luar negeri yang didistribusikan melalui NGO.
42
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Salah satu kelemahan dari bantuan NGO dan organisasi kemanusiaan yang berbeda adalah menciptakan persaingan yang tinggi antar NGO dan menghambat efektivitas bantuan, karena saling mengklaim bertanggung jawab atas proyek – proyek rehabilitasi (Fernando dan Hilhorst 2006). Isu lain yang diangkat oleh banyaknya responden adalah prevalensi NGO kecil dengan sedikit pengalaman. Selain menciptakan kompetisi, NGO tersebut tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk menangani besarnya bencana. Dalam kaitannya dengan koordinasi, Sri Lanka tidak memiliki sistem distribusi dan organisasi yang terpusat pada pemerintah Sri Lanka. Kurangnya kapasitas struktural pada bagian dari pemerintah untuk secara efektif mendistribusikan bantuan, sehingga sistem distribusi untuk masuknya bantuan kemanusiaan terbukti tidak tepat sasaran. Selain itu, dari kecepatan waktu penyerapan bantuan yang masuk, Sri Lanka tidak lebih efektif dari Aceh karena dalam jangka waktu lima tahun, bantuan yang yang telah dialokasikan ke Sri Lanka hanya terserap 60 persen (Fernando dan Hilhorst 2006). Jika membandingkan antara Sri Lanka dan Indonesia, ada beberapa isu terkait keefektifan bantuan luar negeri yang serupa. Salah satu yang patut digarisbawahi adalah kerjasama antar NGO di wilayah bencana. Adanya kompetisi antar NGO, baik di Indonesia maupun Sri Lanka, tidak lepas dari sistem bantuan luar negeri yang dikirim dari negara – negara lain. Menurut Jock Stirrat (2006), banyak negara – negara dan perusahaan yang mengirimkan bantuan melalui NGO internasional dalam jumlah yang besar, bahkan mencapai jutaan dolar. Hasilnya adalah NGO tidak lagi sekedar terlibat dalam kegiatan penyaluran bantuan sejumlah besar uang dan sumber daya lainnya, tetapi juga menghadapi sejumlah besar stakeholder yang memiliki rasa ‘kepemilikan’ dalam bantuan tersebut dan harus dapat memasukkan kepentingan stakeholder dalam bantuan tersebut. Pada saat yang sama ada juga tekanan terhadap NGO yang masuk untuk menemukan ‘mitra lokal’ dengan siapa dan melalui siapa mereka bisa bekerja. Banyak NGO besar menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan atau kapasitas untuk memulai kegiatan di Sri Lanka dan menyadari perlunya bekerjasama dengan pihak lokal yang memiliki keterampilan dan pengalaman yang diperlukan (Stirrat 2006).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
43
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Di sisi lain, Indonesia juga terlihat lebih efektif dalam penyebaran bantuan lur negerinya jika dilihat dari indikator kecepatan persebaran dan penyerapan dana bantuan luar negeri. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, Fernando dan Hillhorst mencatat bahwa dalam jangka waktu lima tahun, bantuan luar negeri di Sri Lanka baru terserap 60 persen dari seluruh bantuan yang dikirim. Sedangkan di Aceh, dalam jangka waktu tiga tahun, atau di tahun 2007, telah terserap 83 persen dari total seluruh bantuan. Melihat dari fakta tersebut, dapat dilihat bahwa dari perbandingan penyerapan dana di dua negara yang berbeda dalam satu bencana yang sama, Indonesia dapat dikatakan lebih efektif dalam menyerap dan mengalokasikan dana bantuan luar negeri. Simpulan Berdasarkan penjelasan – penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa terdapat dua hasil terkait keefektifan bantuan luar negeri dalam tsunami Aceh dari tahun 2004 hingga 2007. Di satu sisi, masih banyak masalah yang terjadi dalam persebaran bantuan tersebut, yang seringkali membuat bantuan menjadi tidak tepat sasaran. Permasalahan seperti birokrasi, korupsi dan kurangnya informasi membuat bantuan luar negeri tidak efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu mempromosikan pembangunan kepada masyarkaat korban bencana tsunami Aceh. Namun di sisi lain, Aceh memiliki kelebihan di bidang diversifikasi dana bantuan serta koordinasi antara pemerintah dan pihak swasta dalam hal persebaran bantuan luar negeri tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan pembentukan BRR serta adanya sistem koordinasi tiga badan utama (pemerintah, PBB dan NGO) dalam penyebaran bantuan luar negeri. Hal tersebut juga menjadi poin plus dalam keefektifan bantuan luar negeri jika dibandingkan dengan Sri Lanka yang juga mengalami tsunami yang sama di tahun 2004. Sri Lanka memiliki banyak kekurangan dalam hal persebaran bantuan akibat instabilitas domestik serta keterbatasan kapanilitas pemerintah Sri Lanka, yang berdampak pada ketimpangan penyerapan dana bantuan di masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa aspek bantuan luar negeri yang dikirim ke Aceh terbilang efektif, seperti adanya fakta bahwa 83 persen bantuan Aceh telah dialokasikan untuk proyekproyek spesifik dari tahun 2005.
44
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Pengiriman bantuan seperti yang dijanjikan didukung oleh manajemen pemerintah melalui stabiltas ekonomi makro, mekanisme pendanaan yang dikelola dengan baik, dan bukti yang jelas bahwa korban bencana mendapatkan manfaat dari bantuan. Namun di sisi lain, keefektifan bantuan luar negeri di Aceh dapat lebih ditingkatkan melalui pembuatan sistem informasi yang komprehensif dalam kaitannya dengan pemberian bantuan luar negeri. Selain itu, stabilitas pemerintah pusat juga menjadi faktor penting karena pemerintah memegang peran vital dalam kapabilitas persebaran bantuan luar negeri. Kebijakan yang sehat dan manajemen ekonomi yang baik juga merupakan faktor penting dalam pembangunan jangka panjang daripada bantuan luar negeri untuk negara-negara berkembang. Catatan menunjukkan, tanpa lembaga yang baik, bantuan mungkin memiliki dampak merugikan pada kualitas pemerintahan di negara penerima berkembang. Dengan tidak adanya lembaga-lembaga ini kuat, upaya bantuan harus didedikasikan untuk meningkatkan kualitas tata kelola sebelum mereka dapat secara efektif ditujukan untuk upaya pembangunan ekonomi. Mengingat belum adanya metode pendistribusian yang efektif, aktor global harus setidaknya mengambil segala upaya untuk tidak membuat kondisi negara – negara berkembang lebih buruk. Jika bantuan asing ternyata lebih merugikan daripada menguntungkan, maka perlu ada restrukturisasi dalam prosedur bantuan luar negeri, sehingga kebijakan dan insentif dapat lebih baik terkoordinir untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
45
Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
Daftar Pusaka Abuzeid, F. 2009. Foreign Aid and the “Big Push” Theory. Stanford Journal of International Relations. XI (1), 19. Bauer, P. T. 2007. Dissent on Development. Boston: Harvard University Press. Bakornas. 2005. Aceh Tsunami Report, Bakornas: Indonesia. Bank Dunia, 2008. Kajian Kemiskinan di Aceh 2008. Sekretariat Bank Dunia. BRR and Partners. 2005. Rebuilding a Better Aceh and Nias; Stocktaking of the Reconstruction Effort, Jakarta/Banda Aceh. BRR and Partners. 2006. Aceh and Nias – Two Years after the Tsunami, Progress Report, Jakarta/Banda Aceh. Cassen, Robert and Associates. 1993. Does Aid Work?,Oxford: Oxford University Press. Dercon, B. 2008. Post-Disaster Housing Reconstruction in Asia; A Brief Review of Recent Experiences, UNHABITAT. Development Assistance Committee, 2011. The DAC in Dates [daring]. dalam: http://www.oecd.org/dataoecd/3/38/1896808.pdf [diakses 20 Juni 2015]. Dollar and Levine. 2005. The Forgotten States; Aid Volumes & Volatility in Difficult Partnership Countries, Organisation for Economic Cooperation and Development. New York: Bantam Fengler, W. and Ihsan, A. 2006. Hopes High for Acehnese to Emerge from Poverty, The Jakarta Post, Indonesia. Fernando, Udan and Dorothea Hilhorst. 2006 Everyday Practices of Humanitarian Aid: Tsunami Response in Sri Lanka.” Development in Practice. 16(3/4). Jayasuriya, S. 2005. The Asian Tsunami: Aid and Reconstruction after a Disaster. Cheltenham UK and Northampton MA USA: Edward Elgar. Lancaster, C 2007. Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics. Chicago: University of Chicago Press.
46
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Reza Akbar Felayati
Masyrafah, H dan Jock MJA McKeon 2008. Post-Tsunami and Aid Effectiveness in Aceh. Wolfesohn Center for Development Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar. 2012. Kondisi Ekonomi. Available: http://www.acehbesarkab.go.id/page/ProfilAceh-Besar/ids/13. Last accessed 20 Juni 2015. Phillips dan Budhiman. 2005. An Assessment of The Impact of the 26th Dec 2004 Earthquake and Tsunami on Aquaculture in the Provinces of Aceh and North Sumatera, UN Food and Agriculture Organization, Indonesia Priliawito, E. 2014. Setelah Tsunami 2004, Pembangunan di Aceh Masih Lambat. Available: http://dunia.news.viva.co.id/ news/read/570705-setelah-tsunami-2004--pembangunan-diaceh-masih-lambat. Last accessed 20 Juni 2015. Riddell, Roger C. 2008. Does Foreign Aid Work?. Oxford: Oxford University Press Savitri, N. 2014. Satu Dekade Tsunami, Pembangunan Ekonomi di Aceh Masih Lambat. [daring]. dalam: http://www. radioaustralia.net.au/indonesian/2014-12-12/satudekade-tsunami-pembangunan-ekonomi-di-aceh-masihlambat/1398407. [diakses 20 Juni 2015.] Sogge, D. 2002. Give and Take: What’s the Matter with Foreign Aid?. New York: Zed Books Stirrat, J. 2006. Competitive humanitarianism: Relief and the tsunami in Sri Lanka. Anthropology Today. 22 (5), 13. United Nations and the Government of Sri Lanka, 2005. National Post-Tsunami Lessons Learned and Best Practices Workshop Report.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
47
48
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013 Yesaya Anggia Alfionita Rizky P. Putu Eka Yanti W. Retno Anggraeni ABSTRACT This paper aims to explain the asymmetric relations between China and North Korea in nuclear issue in 2013. North Korea had been conducting the third nuclear test in Pyongyang, North Korea in 2013 and it generated protests from many countries. After the third nuclear test, the trade relationship from China to North Korea slowed down. But in 2014, their trade relationship raised up and reached stability as usual. This condition draws that even though Chinese and North Korea relations is asymmetric, but that relations do not disturb the strategic industry and nuclear issue in North Korea. Their relationship remains normal and the issue of ending their bilateral relations is not true. The asymmetric relations is the reason why their relations is occurred as usual. Keywords : 2013’s North Korea nuclear test, asymmetric relations, North Korea, China, trade relationship. Tulisan ini membahas hubungan asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013. Korea Utara telah melakukan uji coba nuklir ketiga di Pyongyang, Korea Utara tahun 2013 dan tindakannya ini menimbulkan protes dari beberapa negara. Setelah dilakukan uji coba nuklir tersebut, hubungan perdagangan Tiongkok ke Korea Utara sempat menurun. Akan tetapi, di tahun 2014 mulai terjadi hubungan perdagangan yang stabil dan normal antara Tiongkok dan Korea Utara. Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun hubungan Tiongkok dan Korea Utara bersifat asimetris, namun hubungan tersebut tidak mengganggu industri strategis dan isu nuklir di Korea Utara. Hubungan keduanya berjalan normal dan isu pemutusan hubungan tidak terjadi. Adanya hubungan asimetris ini yang menjadi alasan hubungan keduanya tetap berjalan. Kata-Kata Kunci: Uji coba nuklir Korea Utara 2013, hubungan asimetris, Korea Utara, Tiongkok, hubungan perdagangan.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
49
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Tiongkok dan Korea Utara dikenal sebagai sekutu dekat. Hubungan bilateral keduanya terbilang dekat meskipun sebenarnya jika dilihat kembali posisi Korea Utara tidak terlalu menguntungkan bagi Tiongkok. Akan tetapi, hingga saat ini, hubungan bilateralnya tetap dipertahankan. Tiongkok selama ini telah banyak membantu Korea Utara. Memberi bantuan pangan pada masyarakat di Korea Utara, menjaga stabilitas rezim di sana, hingga menjadi negara yang melindungi Korea Utara dari pemberian sanksi atas uji coba nuklirnya. Ada dua motif utama Tiongkok melakukan tindakantindakan tersebut, termasuk dengan tetap mempertahankan hubungan bilateralnya. Pertama, mencegah terjadinya instabilitas di Korea Utara (Xu & Bajoria 2014). Jika terjadi instabilitas domestik terjadi di Korea Utara, maka Tiongkok yang akan menanggung beban dari adanya potensi migrasi pengungsi dari Korea Utara ke Tiongkok. Padahal, jumlah penduduk di Tiongkok sendiri sudah begitu besar sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menampung pengungsi. Kedua, untuk mencegah terjadinya instabilitas, tindakan Tiongkok yang tetap mempertahankan hubungan bilateralnya dengan Korea Utara dilandasi atas motif mencegah bersatunya Korea Utara dan Korea Selatan. Bersatunya Korea Utara dan Korea Selatan tidak diinginkan oleh Tiongkok salah satunya disebabkan karena di Korea Utara ada perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di Korea Utara (Thompson 2011, 5). Jika terjadi penyatuan, maka investasi perusahaan-perusahaan ini akan terganggu dan ikut mengganggu pemerintah Tiongkok pula. Selain itu, jika Korea Utara dan Korea Selatan bersatu, maka Tiongkok tidak akan lagi memiliki buffer state terhadap Amerika Serikat (AS) yang pangkalan militernya ada di kawasan Asia Timur (Xu & Bajoria 2014). Sementara itu, Korea Utara kembali melakukan uji coba yang ketiga di tahun 2013. Sebelumnya, Korea Utara sendiri telah melakukan uji coba sebanyak dua kali di tahun 2006 dan 2009. Uji coba nuklir ketiga Korea Utara ini mengundang beragam asumsi dari media massa dan publik yang menyatakan bahwa Tiongkok tengah berencana untuk menghentikan hubungan perdagangannya dengan Korea Utara.
50
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Salah satunya adalah pernyataan mantan jenderal di elit militer Tiongkok dalam The Global Times yang menyatakan bahwa Korea Utara telah banyak berhutang budi pada Tiongkok dan sudah seharusnya Tiongkok mempertimbangkan kembali hubungan perdagangannya dengan Korea Utara (Perlez 2014). Pernyataan ini kemudian menggiring asumsi publik bahwa Tiongkok akan mengakhiri hubungan perdagangannya dengan Korea Utara dan bertujuan untuk menertibkan sekutunya ini. Asumsi yang beredar di kalangan masyarakat jika Tiongkok akan mengakhiri hubungan bilateralnya dengan Korea Utara sebagai akibat uji coba nuklir tersebut benar terjadi ketika di tahun 2014 tercatat ekspor minyak Tiongkok ke Korea Utara sebesar 0% (Yonhap News 2015). Tidak hanya itu, pasokan komoditas ekspor bahan-bahan kimia dari Tiongkok ke Korea Utara juga mulai dibatasi. Akan tetapi, ada fakta lain yang menunjukkan terjadinya peningkatan kembali hubungan perdagangan Tiongkok dan Korea Utara seperti dalam perdagangan batu bara (Yonhap News 2014). Kondisi ini berjalan hingga tahun 2014 dan paruh waktu 2015. Ini lantas membenarkan keyakinan bahwa Tiongkok tidak akan pernah memutus hubungan perdagangannya dengan Korea Utara. Ini membuktikan bahwa hubungan asimetris tidak lantas menghentikan suatu negara untuk mengembangkan industri strategisnya, dalam hal ini adalah industri nuklir. Seperti yang dikatakan dalam Teori Asimetris bahwa ada dua negara yang berbeda kekuatannya. Negara A merupakan negara kuat dari segi ekonomi, politik, militer, dan ada negara B yang kekuatannya berada di bawah negara A. Meskipun posisi keduanya tidak simetris atau seimbang, namun keduanya masih bisa bekerjasama. Hubungan dengan negara B bagi negara A meskipun tidak menguntungkan, namun tetap dipertahankan karena motif-motif tertentu. Sementara bagi negara B, hubungan dengan negara A merupakan hal yang menguntungkan dan akan terus dipertahankan. Uji Coba Nuklir Korea Utara Tahun 2013 Uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara pada 12 Desember 2013 merupakan sebuah shock yang cukup memukul dunia internasional.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
51
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Hal mengejutkan tersebut terjadi sesudah terjadi negosiasi-negosiasi yang melibatkan negara-negara lain seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan dalam menanggapi isu nuklir Korea Utara. Mediasi six party talks yang melibatkan Amerika Serikat, Korea Selatan, Korea Utara, Rusia, Tiongkok, dan Jepang diadakan pada tahun 2003 yang mencoba untuk mengurangi potensi ancaman nuklir Korea Utara. Roehrig (2013, 1-2) berpendapat bahwa Korea Utara memiliki rencana untuk meningkatkan kekuatan nuklir yang mampu mencapai Amerika Serikat dan bahkan mungkin memiliki maksud untuk memulai perang dengan Amerika Serikat. Tentu saja ancaman-ancaman terkait nuklir Korea Utara menimbulkan kekhawatiran, khususnya di regional Asia Timur. Tidak hanya dari kawasan, dari dunia internasional yang lebih luas, tindakan nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik keras dan peringatan. Ancaman embargo dan isolasi yang diberlakukan pada Korea Utara akan semakin mendalam bila Korea Utara tidak benarbenar secara penuh menghentikan uji coba nuklirnya. Melalui six party talks sendiri hal-hal terkait ancaman dan negosiasi akan Korea Utara telah dibicarakan. Namun demikian, terjadi sedikit kesusahan pada masa-masa awal pembicaraan tersebut dimulai karena Korea Utara benar-benar tidak memiliki keinginan untuk menghentikan uji coba nuklirnya dan terus meningkatkan kemampuan highly-enriched uranium serta kemampuan nuklir jarak jauh (Thielmann & Fellow 2013, 3-4). Meski pembicaraan ini menemui titik terang pada tahun 2005 saat Korea Utara bersedia untuk menghentikan program nuklir dan peningkatan senjata nuklir mereka, namun pada kenyataannya, Korea Utara masih meningkatkan kekuatan nuklir mereka dan pada tahun 2012 mereka melakukan uji coba nuklir ketiga. Terdapat berbagai spekulasi yang melihat bahwa tindakan uji coba nuklir Korea Utara merupakan tindakan memprovokasi Amerika Serikat dan khususnya Korea Selatan. Hal ini juga didasari pada sentimen-sentimen yang datang dari Korea Utara mengenai antiAmerika. Tindakan peningkatan uji coba nuklir akan terus diadakan mengikuti pernyataan dari Korea Utara pada Januari 2013 yang mengatakan bahwa Korea Utara tidak akan melakukan denuklirisasi dan pemberhentian program nuklir bila negara-negara lain yang memiliki kekuatan nuklir tidak melakukan hal serupa.
52
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Hal ini juga disusul dengan program negara mereka yang bertujuan untuk memperbesar kemampuan nuklir dan meningkatkan aktivitas serta rencana program pengembangan nuklir mereka di tahun yang sama (Nikitin 2013, 1-3). Uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara mengundang rasa cemas pada Korea Selatan. Provokasi ataupun tidak, meski tidak dilakukan secara sengaja, uji coba tersebut memaksa Amerika Serikat dan Korea Selatan untuk menempatkan pertahanan rudal di daerah perbatasan untuk melakukan nuclear deterrence. Thielman dan Fellow (2013, 1-2) mengungkapkan bahwa Korea Utara terlalu sering mengabaikan peraturan yang diberikan, seperti Resolusi 1718 yang diberlakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Korea Utara untuk meninggalkan seluruh program nuklir mereka pada tahun 2006. Meski komitmen yang diberikan oleh Korea Utara pada tahun 2007 mengatakan bahwa mereka bersedia untuk menghentikan dan memberikan informasi mengenai kekuatan nuklir mereka, namun pada kenyataannya, mereka tidak meninggalkan program tersebut dan justru melakukan uji coba nuklir pada tahun 2012 yang dikhawatirkan memiliki kekuatan daya ledak lebih besar dibandingkan uji coba yang sebelumnya. Dalam melakukan uji coba nuklirnya, Korea Utara tentu memiliki motivasi tersendiri. Nikitin (2013, 17-8) mengatakan bahwa motivasi utama Korea Utara adalah menciptakan rudal jarak jauh yang tentu saja akan memenuhi tujuan utama Korea Utara sebelumnya, membuat rudal untuk mencapai Amerika Serikat dan memenuhi konstitusi negaranya. Motivasi kedua adalah sebagai respon negatif Korea Utara atas tindakan Amerika Serikat yang memasukkan Korea Utara ke dalam terrorism list. Motivasi ketiga adalah sebagai leverage atau alat diplomasi dalam berbagai negosiasi. Nuklir dianggap sebagai charming point dari Korea Utara dan bisa digunakan untuk memperkuat posisi Korea Utara di dunia internasional. Melalui motivasi-motivasi tersebut, dapat ditarik bahwa Korea Utara benar-benar memiliki rencana dan niatan untuk meningkatkan kemampuan senjata nuklir mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Tidak hanya itu, tindakan agresif dari Korea Utara juga mengundang ancaman bahwa Korea Utara akan mengadakan perang dengan Amerika Serikat dan bila hal itu terjadi, akan terjadi ketidakstabilan dengan negara-negara yang menjalin hubungan dengan kedua pihak.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
53
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Teori Hubungan Asimetris Hubungan bilateral antara Tiongkok dan Korea Utara dapat dijelaskan salah satunya lewat Teori Hubungan Asimetris. Teori Hubungan Asimeteris menjelaskan bahwa di dalam hubungan internasional selalu terdapat hubungan bilateral yang asimetris. Hubungan bilateral yang asimetris ini menggambarkan ada sebuah negara yang lebih kuat dari segi kekuatan ekonomi, militer, politik, teritori, dan sebagainya, sementara di pihak lain ada negara yang tergolong lemah (Womack 2004, 359). Hubungan bilateral keduanya meskipun asimetris, namun tidak sampai akan menyebabkan instabilitas dalam sistem internasional. Ini disebabkan oleh salah satunya adalah hubungan kedua negara tersebut satu sama lain memiliki persepsi yang mampu membuat kondisi tetap stabil. Pertama, bagi negara yang kuat, dengan kekuatan nasional yang dimilikinya, hubungan bilateral dengan negara kedua yang lebih lemah dengannya pada dasarnya tidak memiliki keuntungan apapun (Womack 2004, 360). Akan tetapi, negara pertama (negara kuat) ini menyadari bahwa hubungan dengan negara kedua (yang lebih lemah) dipertahankan atas dasar alasan-alasan tertentu (Womack 2004, 360). Alasan-alasan tertentu ini salah satunya adalah menjaga stabilitas domestik negara tersebut maupun sekitarnya. Negara kuat lebih mampu dalam mengontrol perilaku negara yang lebih lemah. Kemampuan mengontrol ini perlu untuk dipertahankan agar negara yang lebih lemah tidak bertindak di luar batas normanorma yang ada. Kedua, bagi negara yang lemah, hubungan bilateral dengan negara yang kuat tentunya menguntungkan dan penting (Womack 2004, 360). Negara yang lemah cenderung akan memanfaatkan dan mempertahankan hubungan bilateralnya karena ada insetif maupun bantuan yang diberikan dari negara kuat ke negara lemah. Hal-hal semacam ini diperlukan untuk survival negara lemah tersebut. Jika suatu waktu negara lemah bertindak menyimpang dari normanorma internasional, seringkali negara kuat akan “masuk” dan mengontrol negara lemah. Dengan mekanisme semacam ini, negara lemah dan instabilitas yang mungkin terjadi akibat tindakannya ini dapat dicegah oleh negara yang lebih kuat.
54
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Meski hubungan keduanya bisa menjadi damai, namun pada waktu-waktu tertentu, hubungan keduanya dapat menimbulkan mispersepsi (Womack 2004, 362). Mispersepsi yang timbul dapat disebabkan karena adanya tindakan dari salah satu negara yang dianggap tidak sejalan dengan apa yang diekspektasikan. Untuk menangani mispersepsi ini, setidaknya dapat dilakukan dua cara yaitu minimalisasi isu tinggi dan mengontrol eskalasi mispersepsi. Cara pertama yaitu minimalisasi isu tinggi dilakukan dengan misalnya membuat retorika yang menekankan pada kesamaan kepentingan, sementara pada cara kedua yaitu kontrol terhadap eskalasi mispersepsi akan dilakukan melalui cara membuat komisi ahli untuk memanajemen area masalah yang spesifik (Womack 2004, 362). Pada cara kedua ini seringkali dilakukan manajemen masalah melalui pelibatan negara lemah dalam pembangunan domestik seperti mengirim bantuan yang diperlukan oleh masyarakat maupun eksistensinya dalam hubungan internasional missal ikut dalam forum-forum internasional dan sebagainya. Dengan caracara seperti ini, maka mispersepsi dapat direda. Hubungan Bilateral Tiongkok dan Korea Utara Korea Utara dan Tiongkok memiliki hubungan yang tidak hanya berfokus pada keamanan tetapi juga perekonomian. Korea Utara mendapat banyak bantuan dari Tiongkok dalam hal perekonomian, terutama pada masalah perdagangan. Tidak hanya itu, Korea Utara juga mendapatkan bantuan seperti minyak dalam jumlah besar dan makanan tiap tahunnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa Korea Utara bertahan hidup dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh Tiongkok. Meskipun Korea Utara merupakan negara kecil yang tidak banyak menguntungkan bagi Tiongkok, namun hubungan bilateral dengan negara ini tetap dipertahankan. Bahkan meskipun Korea Utara telah melakukan tindakan melanggar norma-norma internasional terkait nuklir, namun Tiongkok tidak pernah memutus hubungan bilateralnya ini. Tiongkok juga tidak jarang melobi AS agar sanksi yang diberikan kepada Korut dapat dilonggarkan. Terkait uji coba nuklir, Korea Utara setidaknya telah melakukan uji coba nuklir sebanyak 3 kali. Pada tahun 2006 dan 2009, negara ini sempat melakukan uji coba nuklir dan menuai protes dari Amerika Serikat (AS) (BBC 2013).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
55
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Protes yang selalu ditujukan pada Korea Utara ini di satu sisi membuat posisi Tiongkok menjadi dilematis. Tiongkok di satu sisi tengah menggalang kepercayaan internasional (Holland 2012, 7). Uji coba nuklir Korea Utara jika diabaikan akan semakin membuat Tiongkok tidak dipercaya di mata internasional. Namun di sisi lain, Tiongkok juga harus menjaga hubungan bilateralnya dengan menyelamatkan Korea Utara dari ancaman pemberian sanksi atas uji coba nuklirnya. Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklirnya di tanggal 12 Februari 2013. Uji coba nuklir Korea Utara ini terdeteksi dari adanya aktivitas seismik yang kemudian mengundang kecurigaan negaranegara di dunia (BBC 2013). Ini kemudian menjadi kontroversi karena pada uji coba ini Pyongyang dicurigai tengah mengembangkan peralat baru berbasis nuklir yang alatnya berukuran kecil namun menimbulkan efek yang besar (BBC 2013). Uji coba nuklir Korea Utara ini berikutnya dibahas dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB agar Korea Utara dijatuhi sanksi atas upayanya tersebut. Salah satunya adalah dengan memberi hukuman dengan memerintahkan penghentian pasokan bantuan dan perdagangan minyak serta kebutuhan lainnya dari Tiongkok ke Korea Utara (Sanger & SangHun 2013). Menanggapi uji coba nuklir Korea Utara di tahun 2013, seorang mantan elit militer di Tiongkok yakni Jenderal Wang Hongguang dalam tulisannya di The Global Times menyatakan bahwa Korea Utara sudah terlalu banyak tergantung pada Tiongkok dan telah membuat berantakan Tiongkok (Perlez 2014). Dari data yang ada, Korea Utara di dalam neraca perdagangannya sepannjang 1990 hingga 2002 tercatat lebih besar angka defisitnya dengan impor dari Tiongkok sebesar $6,1 juta sementara untuk ekspor ke Tiongkok hanya sebesar $1,7 juta (Kim 2003, 13). Ini menunjukkan bahwa Korea Utara sebenarnya tidak terlalu menguntungkan bagi Tiongkok. Sementara itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak jauh berbeda dari pendahulunya yakni Hu Jintao yang menentang uji coba nuklir Korea Utara (Lorenz 2013). Tiongkok menyatakan bahwa mereka mematuhi kesepakatan internasional terkait nuklir.
56
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian adalah dilema yang harus dihadapi oleh Tiongkok jika skenario reduksi atau pemutusan hubungan perdagangan dengan Korea Utara benar dilakukan. Jika skenario pemutusan hubungan bilateral dengan Korea Utara dilakukan, Tiongkok khawatir akan terjadi instabilitas di Semenanjung Korea. Kondisi semacam ini tidak diinginkan oleh Tiongkok karena penyebab utamanya adalah keengganan Tiongkok menanggung kejatuhan Korea Utara dan migrasi pengungsi Korea Utara ke Tiongkok. Sehingga dengan perhitungan yang dilakukannya, Tiongkok kemudian lebih memilih untuk mempertahankan hubungan bilateralnya dengan Korea Utara. Sementara itu, Korea Utara sendiri terlepas dari motivasinya melakukan uji coba nuklir sebenarnya tidak berpikir untuk kemudian bertindak menentang Tiongkok. Korea Utara melihat kondisi domestiknya yang tidak terlalu baik. Negara ini menyadari bahwa sebagai sebuah negara yang masih tergolong kecil, hubungan dengan Tiongkok adalah sebuah hal yang strategis dan penting. Selain sebagai negara yang mendonasikan banyak bantuan pada domestiknya, Tiongkok juga menjadi negara yang mengusahakan agar rezim di Korea Utara tetap terus berjalan. Dengan keadaan seperti ini, bagi Korea Utara, hubungan asimetris dengan Tiongkok tidak akan menghentikan industri nuklirnya. Karena konsiderasi pemerintah Tiongkok yang berusaha untuk terus mempertahankan hubungannya dengan Korea Utara. Fluktuasi Hubungan Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara Sesudah Uji Coba Nuklir 2013 Akibat dari uji coba nuklir tahun 2013 yang dilakukan oleh Korea Utara, Tiongkok mulai mengurangi pasokan minyak yang diekspor ke Korea Utara. Menurut situs berita Korea KBS News (2014), tercatat volume perdagangan pada tahun 2014 antara kedua negara tersebut mulai berkurang sebesar 2,83% dibandingkan tahun 2013 saat uji coba nuklir dilakukan. Hal ini dilakukan oleh Tiongkok sebagai bentuk tekanan bagi Korea Utara yang terus mengancam uji coba nuklir. Penurunan tersebut juga mengindikasikan pada publik bahwa hubungan perdagangan antara Korea Utara dan Tiongkok mulai terjalin kurang baik.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
57
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Penurunan juga terjadi pada ekspor minyak yang dilakukan oleh Tiongkok. Menurut data yang diberikan kantor bea cukai Tiongkok kepada surat kabar Korea Selatan, The Hankyoreh, tahun 2014 Tiongkok tidak mengekspor minyak sama sekali ke Korea Utara (Algama 2014). Tiongkok menekan adanya ekspor bahan material dan teknologi yang sekiranya dapat digunakan oleh Korea Utara untuk mengembangkan nuklirnya dan mencegah adanya uji coba nuklir di masa depan. Pada September tahun 2013, Tiongkok mulai menerapkan larangan terhadap kegiatan ekspor ke Korea Utara (BBC 2013) Hal yang dilakukan oleh Tiongkok tersebut juga merupakan tindakan yang berdasarkan sanksi yang diberikan oleh PBB kepada Korea Utara. Langkah untuk membatasi perdagangan dengan Korea Utara ini dilakukan di bawah resolusi baru yang dikeluarkan oleh DK PBB. Meskipun Tiongkok berpikiran untuk menjauh, namun tidak untuk memutuskan hubungan antara keduanya. Selama ini, perdagangan lintas Tiongkok-Korea Utara melewati wilayah Dandong. Kawasan tersebut berdekatan dengan salah satu zona ekonomi khusus Korea Utara di Pulau Hwanggumpyong. Setelah adanya uji coba nuklir tersebut, Tiongkok lebih memperketat pengiriman apa pun yang berasal dari Korea Utara maupun yang dikirim ke Korea Utara (Warta Ekonomi 2013). Tahun 2015 ini Tiongkok membuka jalur kereta cepat menuju Korea Utara. Pembangunan jalur ini telah berjalan sejak 2010, tiga tahun sebelum Korea Utara melakukan uji coba nuklirnya yang ketiga. Hal ini dilakukan Tiongkok untuk dapat meningkatkan hubungan perdagangan dan ekonominya dengan Korea Utara meskipun Tiongkok menentang program nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara (Deutsche Welle 2014). Adanya jalur kereta ini membuat perjalanan yang ditempuh dari Shenyang ke Dandong, Korea Utara menjadi lebih cepat, karena seperti yang telah diketahui, Dandong merupakan kawasan zona ekonomi Korea Utara. Meskipun perdagangan sempat turun akibat adanya uji coba nuklir namun masalah ekpor batu bara tetap berjalan di tahun 2013, hal ini membuktikan bahwa hubungan keduanya masih baik (Snyder 2014). Meningkatnya permintaan energi yang ada di Tiongkok telah menjadi peluang ekonomi bagi Korea Utara untuk melakukan ekspor.
58
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Krisis energi yang dialami oleh Tiongkok mengharuskannya untuk melakukan impor energi dari negara lain. Korea Utara sebagai negara yang memiliki pasokan batu bara akhirnya memanfaatkan sumber dayanya tersebut untuk memperbaiki hubungannya dengan Tiongkok sesudah uji nuklir. Hal ini menjadi bukti bahwa hubungan perdangan Tiongkok dan Korea Utara tidak benar-benar putus akibat uji nuklir. Kelanjutan Hubungan Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara Sesudah Uji Coba Nuklir 2013 Hubungan perdagangan antara Korea Utara dan Tiongkok masih terus berlanjut hingga saat ini, meskipun sempat terjadi pasang surut akibat adanya percobaan nuklir Korea Utara. Beberapa faktor menjadi penyebab tindakan Tiongkok untuk terus menjaga hubungannya dengan Korea Utara. Adanya faktor geopolitikal dan geoekonomi yang membuat keduanya tidak dapat melepaskan hubungan baik yang telah lama dibina. Hal ini membuat Tiongkok tidak lantas dapat memutuskan hubungannya dengan Korea Utara. Perenggangan hubungan keduanya memang sempat terjadi, namun hal tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi hubungan kerjasama ekonomi keduanya. Melihat dari sisi Tiongkok, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tindakan Tiongkok untuk merenggangkan hubungannya dengan Korea Utara setelah percobaan nuklir Korea Utara tahun 2013. Pertama, Tiongkok menganggap bahwa percobaan nuklir Korea Utara dapat mengancam kepentingan keamanan di wilayah sekitar Tiongkok (Jong-Ho 2015, 2). Ekspansi dagang Tiongkok yang menyebar ke seluruh wilayah dunia, membutuhkan area distrubusi yang aman. Untuk itulah keamanan dan stabilitas kawasan sekitar Tiongkok perlu dijaga. Percobaan nuklir Korea Utara dapat memunculkan kecemasan dan kekhawatiran terkait isu keamanan di sekitar wilayah Asia Timur dan akan berdampak negatif terhadap jalur perdagangan Tiongkok. Kedua, dilatarbelakangi atas transfromasi identitas Tiongkok sebagai Great Power (Jong-Ho 2015, 3). Dalam upayanya menjadi negara Great Power, presiden Xi Jinping telah mengumumkan konsep Chinese Dream, yang digunakan pula untuk mendorong
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
59
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
aktivitas kebijakan luar negerinya dan sebagai korespondensi terhadap statusnya sebagai Great Power di dunia internasional. Dalam Chinese Dream, terdapat empat kunci utama yaitu Friendship, Sincerity, Reciprocity, and Inclusiveness. Untuk itulah kebangkitan Tiongkok dalam menjadi salah satu Great Powers adalah dengan cara mengemban tanggung jawab dan tugas internasional pada level global. Isu nuklir Korea Utara merupakan salah satu isu sensitif keamanan pada tingkatan internasional. Untuk itulah Tiongkok tidak dapat mendukung tindakan Korea Utara yang mengancam stabilitas keamanan internasional. Jika Tiongkok tidak mengecam aksi nuklir Korea Utara, maka kepercayaan dunia internasional terhadap Tiongkok akan melemah dan akan memperburuk citra Tiongkok. Meski demikian, melihat fakta peningkatan kembali hubungan perdagangan keduanya, hubungan kerjasama perdagangan Korea Utara dengan Tiongkok tidak dapat diputus begitu saja. Terdapat kepentingan-kepentingan Tiongkok terhadap Korea Utara yang sangat vital. Tiongkok bahkan disebut tengah gencar mencari keuntungan ekonomi dari Korea Utara. Upaya meningkatkan keuntungan ekonomi ini terlihat dari digunakannya pelabuhanpelabuhan di Korea Utara sebagai basis transportasi logistik Tiongkok. Changjitu Project yang berdasarkan pada tiga lokasi utama di wilayah Timur Laut Tiongkok yaitu Changchun City, Jilin City, dan area sungai Tumen, merupakan area strategis bagi perdagangan Tiongkok. Wilayah Timur Laut Tiongkok merupakan wilayah yang kaya akan raw materials seperti gas alam, crude oil, bahan tambang, hasil laut, dan hasil kehutanan (Ho Lee dan Kang 2011, 6). Untuk itulah Tiongkok perlu mendistribusikan sumberdaya alam wilayah Timur Lautnya melalui koneksi pelabuhan Korea Utara. Dengan menggunakan pelabuhan Korea Utara, maka waktu yang diperlukan untuk mengirim barang dari Tiongkok ke Jepang dapat ditempuh selama satu hari. Sedangkan waktu tempuh sebelumnya dapat mencapai dua belas hari. Tidak hanya untuk distribusi perdagangannya ke Jepang, namun Tiongkok juga memiliki target untuk menghubungkan beberapa negara di wilayah sekitarnya seperti Korea Selatan, Russia, Korea Utara dan Mongolia.
60
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Dan jalur perdagangan jangka panjang, Tiongkok berkeinginan untuk membuat jalur transportasi cross Sino-Mongolian land, sekaligus mengkoneksikan Asia Timur, Eropa dan Amerika. Tiongkok juga memiliki kepentingan politico-security terhadap Korea Utara. Kepentingan utama Tiongkok dalam hal politico-security adalah untuk mencegah runtuhnya rezim di Korea Utara. Tiongkok mengkhawatirkan beberapa hal jikalau Korea Utara runtuh. Kemungkinan buruk yang akan menimpa domestik Tiongkok, jika Korea Utara runtuh adalah pertama, akan membahayakan keamanan nasional Tiongkok. Kedua, selain membahayakan keamanan nasional Tiongkok, pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga akan terganggu (Ho Lee dan Kang 2011, 13). Ketiga, akan menimbulkan permasalahan ledakan penduduk yang ditimbulkan dari pengungsi Korea Utara yang datang ke Tiongkok. Pada level Internasional, runtuhnya Korea Utara akan membuat kominitas internasional memiliki keraguan atas sistem sosialis, yang dianut kedua negara. Melalui kesamaan pandangan atau ideologi yaitu sistem sosialis, maka Tiongkok menginginkan Korea Utara untuk dapat menjadi bagian dari komunitas internasional, dengan merubah sikapnya seperti Tiongkok. Tiongkok menginginkan agar Korea Utara dapat diterima di dunia internasional, namun masih dengan wajah yang sama sebagai negara sosialis. Jika Korea Utara runtuh, kemungkinan yang akan terjadi adalah bergesernya paham sosialis menjadi demokratis. Mengutip dari pernyataan David Volodzko (2015) bahwa Beijing and Pyongyang are too important to each other to end their relationship anytime soon. Dari pernyataan tersebut David, menganggap bahwa meskipun Korea Utara khawatir terhadap sikap dan kebijakan luar negeri Tiongkok seperti dalam mempromosikan The China Dream sekaligus dalam hal memperbaiki hubungan Tiongkok dengan dunia luar. Namun, hubungan Korea Utara dan Tiongkok tidak lantas dapat berpisah. Rodger Baker (dalam Volodzko 2015) menyebutkan bahwa hubungan Korea Utara dan Tiongkok pada dasarnya adalah berdasarkan security calculation. Korea Utara merupakan buffer yang sangat penting bagi Tiongkok karana digunakan sebagai perisai Tiongkok dalam menghalau pengaruh dari Barat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
61
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Di lain sisi, agresifitas Korea Utara juga memicu ketidakstabilan keamanan di wilayah Asia Timur yang memicu perilaku Tiongkok yang seakan-akan menjauhi Korea Utara. Meskipun demikian, keanggotaan Tiongkok dalam Six Party Talks masih memungkinkan untuk menekan dan meredam keagresifitasan Korea Utara. Bagi Korea Utara, Tiongkok tetap menjadi partner dan aliansi utama yang dimiliki. Dengan adanya tingkat dependensi yang tinggi pada Tiongkok, membuat Korea Utara tidak akan mau melepas hubungannya dengan Tiongkok. Perjanjian Sino-North Korean Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty pada tahun 1961, nyatanya telah diperpanjang pada tahun 2001 dan berlaku hingga tahun 2021. Perjanjian tersebut menjanjikan bantuan militer bagi Korea Utara oleh Tiongkok. Selain itu terkait dengan kepentingan ekonomi Korea Utara terhadap Tiongkok, yang mana tercatat bahwa Tiongkok merupakan partner dagang terbesar Korea Utara dengan 57% impor dan 42% ekspor dengan Tiongkok (Volodzko 2015). Selain itu Korea Utara juga mendapatkan sebagian besar supply minyak dan gas dari Tiongkok. Bantuan luar negeri dan investasi terhadap Korea Utara juga paling banyak mengalir dari Tiongkok. Sehingga kecil kemungkinan bahwa Korea Utara akan menjauhi Tiongkok, meskipun Tiongkok dalam beberapa hal khususnya dalam masalah nuklir, tidak mendukung Korea Utara. Tiongkok dalam berbagai hal memiliki bargaining power yang lebih tinggi dari Korea Utara, hal ini kemudian menimbulkan adanya hubungan asimetris antara Korea Utara dan Tiongkok. Hubungan asimetris inilah yang membuat Korea Utara dan Tiongkok akan tetap memiliki kedekatan, terlepas dari program nuklir Korea Utara. Simpulan Usai Korea Utara melangsungkan uji coba nuklir ketiga di tahun 2013, sejumlah media massa mulai berpandangan bahwa akan terjadi penurunan hubungan perdagangan antara Tiongkok dan Korea Utara. Ini terjadi setelah seorang mantan jenderal militer di Tiongkok yakni Jenderal Wang Hongguang menyatakan bahwa Tiongkok sudah terlalu baik pada Korea Utara dan sudah sepantasnya Tiongkok mulai mengurangi hubungan perdagangannya dengan Korea Utara.
62
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Pandangan ini sempat terjadi ketika jumlah ekspor Tiongkok ke Korea Utara menurun bahkan di tahun 2014 sempat mencapai 0% untuk ekspor minyak dari Tiongkok ke Korea Utara. Akan tetapi, pada faktanya, hubungan perdagangan Tiongkok dan Korea Utara kembali membaik dan stabil seperti biasa. Sikap Tiongkok yang demikian disebabkan oleh kepentingan-kepentingannya dalam menjaga hubungan bilateralnya dengan Korea Utara yaitu pertama adalah kepentingan Tiongkok untuk mencegah instabilitas di Korea Utara. Jika terjadi instabilitas di Korea Utara, maka Tiongkok sendiri yang akan menerima risikonya dengan kedatangan migran dari Korea Utara. Kedua, ada faktor untuk menjaga agar Korea Utara tetap berada dalam status quo dengan Korea Selatan yang jika ada reunifikasi keduanya, maka Tiongkok tidak akan lagi memiliki buffer state terhadap AS. Dari sini, dapat dikatakan bahwa hubungan Tiongkok dan Korea Utara meskipun asimetris namun akan tetap terus dipertahankan. Sehingga, berkaitan dengan adanya uji coba nuklir Korea Utara tahun 2013, hubungan yang asimetris tidak akan mengganggu industri strategis yakni nuklir di Korea Utara.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
63
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Daftar Pustaka BBC, 2013. Cina Larang Ekspor Teknologi Senjata ke Korea Utara [daring]. dalam : http://www.bbc.co.uk/indonesia/ dunia/2013/09/130924_cina_korut_senjata_nuklir [diakses 16 Mei 2015] _________, 2013. North Korea’s Nuclear Tests [daring]. dalam : http:// www.bbc.com/news/world-asia-17823706 [diakses 17 Mei 2015]. Deutsche Welle, 2014. 2015 Cina Buka Jalur Kereta Cepat ke Korut [daring]. dalam : http://www.dw.de/2015-cina-buka-jalurkereta-cepat-ke-korut/a-17338198 [diakses 16 Mei 2015] Ho Lee, Yeon, & Kang, Jeong Shim, 2011. “The Changjitu Project and China-North Korea Economic Cooperation: Beijing’s and Pyongyang’s Intentions”. South Korea: BISA Annual Conference April 2011, Session 1.8. Holland, Christopher, 2012. “Chinese Attitudes to International Law : China, the Security Council, Sovereignty, and Intervention”, NYU Journal of International Law & Politics Online Forum, pp : 1-44. Jong-Ho, Shin, 2015. Analysis of Recent DPRK-PRC Relations and Prospects for 2015. Seoul: Korea Institute for National Unification. Kim, Samuel S., 2003. “China and North Korea in a Changing World”, Uneasy Allies : Fifty Years of China-North Korea Relations, Asia Program Special Report No. 115. Korea KBS News, 2014. Jumlah Ekspor Minyak Mentah di Cina terhadap Korea Utara tercatat ‘0’ [daring]. dalam : http:// world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_newsthema_detail. htm?No=1001615 [diakses 16 Mei 2015] Lorenz, Andreas, 2013. Nuclear Detonation : Test Shows North Korea Prefers Bomb over Aid [daring]. dalam : http://www.spiegel. de/international/world/nuclear-test-in-north-korea-solicitsangry-responses-in-europe-and-us-a-882909.html [diakses 17 Mei 2015] Nikitin, Mary B., 2013. “North Korea’s Nuclear Weapons: Technical Issues”, Congressional Research Service CRS Report for Congress, pp. 1-32.
64
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P., Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni
Perlez, Jane, 2014. Chinese Annoyance with North Korea Bubbles to the Surface [daring]. dalam : http://www.nytimes. com/2014/12/21/world/asia/chinese-annoyance-withnorth-korea-bubbles-to-the-surface.html?_r=0 [diakses 17 Mei 2015] Roehrig, Terence, 2013. “North Korea’s Nuclear Weapons: Future Strategy and Doctrine”, Project on Managing the Atom, pp. 1-4. Harvard Kennedy School: Berfer Center. Sanger, David E., & Choe Sang-Hun, 2013. North Korea Confirms It Conducted 3rd Nuclear Test [daring]. dalam : http://www. nytimes.com/2013/02/12/world/asia/north-korea-nucleartest.html [diakses 17 Mei 2015]. Snyder, Scott, 2014. China-North Korea Trade in 2013 : Business as Usual [daring]. dalam : http://www.forbes.com/sites/ scottasnyder/2014/03/27/44/ [diakses 11 Juni 2015]. Snyder, Scott, & See-Won Byun, 2015. “China-Korea Relations:Beijing Ties Uneven with Seoul, Stalled with Pyongyang”, Comparative Connection: A Triannual E-Journal on East Asian Bilateral Relation. Thielmann, Greg. & Senior Fellow, 2013. “Sorting Out the Nuclear and Missile Threats From North Korea”, Threat Assessment Brief: Analysis on Effective Policy Responses to Weapons-Related Security Threats, pp. 1-9. Thompson, D., 2011 Silent Partners: Chinese Joint Ventures in North Korea. USA: U.S.-Korea Institute. Volodzko, David, 2015. No, China Isn’t Abandoning North Korea [daring]. dalam: http://thediplomat.com/2015/03/no-chinaisnt-abandoning-north-korea/ [diakses pada 27 Oktober 2015] Warta Ekonomi, 2014. China Segera Operasikan KA Cepat ke Korea Utara [daring]. dalam : http://wartaekonomi.co.id/berita22260/ china-segera-operasikan-ka-cepat-ke-korea-utara.html [diakses 16 Mei 2015] Womack, Brantly, 2004. “Asymmetry Theory and China’s Concept of Multipolarity”, Journal of Contemporary China, 13 (39) : 351366. Xu, Beina, & Jayshree Bajoria, 2014. The China-North Korea Relationship [daring]. dalam : http://www.cfr.org/china/china-northkorea-relationship/p11097 [diakses 17 Mei 2015]
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
65
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013
Yonhap News, 2015. China Sold No Crude Oil to North Korea in 2014 [daring]. dalam : http://english.yonhapnews.co.kr/full/2 015/01/29/29/1200000000AEN20150129003300315F.html [diakses 8 Juni 2015] _________, 2014. Trade between North Korea, China Hits Record $6.45 bln in 2013 [daring]. dalam : http://english.yonhapnews. co.kr/northkorea/2014/02/01/4/0401000000AEN20140201 000800315F.html [diakses 11 Juni 2015]
66
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Rohingya Radicalization Naufal Armia Arifin ABSTRACT Sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling menderita di dunia, etnis Rohingya mengalami perlakuan diskriminasi dari pemerintah Myanmar dan juga mengalami konflik kekerasan dengan penduduk Rakhine yang beragama Buddha. Negara-negara ASEAN menerima arus pengungsi Rohingya yang konstan sebagai tantangan utama yang harus dihadapi, tapi ancaman tersembunyi juga muncul dimana Rohingya dapat teradikalisasi oleh kelompok ekstremis Islam dan juga memengaruhi kelompok-kelompok radikal di berbagai negara ASEAN untuk bertindak. Berdasarkan permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk mencari tahu sumber masalah yang menjadi dasar konflik Rohingya dengan menggunakan teori Protracted Social Conflict oleh Edward Azar, kemudian menjelaskan kemungkinan terjadinya radikalisasi dan dampaknya terhadap keamanan regional, kemudian pada akhirnya diharapkan ASEAN mendapatkan solusi untuk digunakan khususnya disaat akhir 2015 dimana ASEAN harus mengimplementasikan tiga pilar yang menjadi dasar dari ASEAN Community. Kata-kata kunci: Rohingya, Myanmar, ASEAN, Pengungsi, Konflik religius-sosial, fundamentalisme As one of the most persecuted minority group in the world, the Rohingyas faced discriminatory acts from the government of Myanmar and experienced violent clashes with Rakhine Buddhists. Constant flows of Rohingyas refugees to ASEAN countries are the challenge that must be faced now, but underlying threats of radicalization also appears as Rohingyas are influenced by Islamic extremism and at the same time influencing radical groups throughout ASEAN countries to act. This article aims to explore the root causes of Rohingyas conflict with the Protracted Social Conflict theory by Edward Azar, explains possible radicalization and its impact to regional security, while coming up with solutions that ASEAN could utilize especially nearing the end of 2015 where ASEAN must implement all its three pillars for the ASEAN Community. Keywords: Rohingya, Myanmar, ASEAN, Refugees, Socio-religious conflicts, fundamentalism
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
67
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
The Crisis of Rohingya from the Perspective of Edward Azar Recognized as one of the most persecuted minority group by the United Nations, the Rohingyas are part of the Muslim population in the largely Buddhist inhabited Myanmar. Their history can be traced back to the fifteenth century where they originated as Muslims migrating to the Arakan Kingdom known in present day as Rakhine state, a part of Myanmar. Muslims from Bangladesh also migrated to Myanmar as both country was once a British colony. The Rohingyas have a legitimate claim of history in Myanmar. But as we hear in the news, Rohingyas have been persecuted by the Government and Buddhist population back in the country, constant flow of refugees spreading out from Rakhine state, and most recently violent clashes that erupted between Rohingyas and Rakhine Buddhists. Where relations between Rohingyas and Rakhine Buddhists have been hostile since the ancient times of Arakan Kingdom and erupted into visible discrimination after Myanmar’s Independence in 1948. The international community have been trying to provide solutions for the Rohingyas refugee crisis, while pressuring Myanmar to address the issue. But beneath the evident, crisis also lurks underlying threats of radicalization of Rohingyas that can impact regional security. ASEAN as the main Southeast Asian organization should provide a viable long term solution that tackles the root causes of the refugee crisis and potential radicalization. The Rohingya crisis can be seen as a socio-religious conflict that has many factors affecting it. Therefore, Edward Azar’s Protracted Social Conflict theory shall be used as the analytical tool. The theory emphasize four key factors in investigating social conflicts; communal content, deprivation of basic human needs, government and states role, dan international linkage(Ramsbotham et al. 2011). The communal content consider the identity group as the most useful unit of analysis. The identity group is defined through their race, religion, culture, ethnics and other related aspects. Furthermore, the relations between the identity group and the state involved are observed because it created social fragmentations where most case a dominant ethnic group that ruled in the form of government discriminate minority groups.
68
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
Such is the case of Rohingyas where first we can identify two main actors of Rohingyas and Rakhine Buddhists. The two ethnic groups that reside in Rakhine state have been in a long dispute about their history and identity. The Rohingyas claim they are descendant of migrating Muslims from Arabs long since the 7th century and they have vocally refused to be considered Bengali descendants. They also claim that Arakan was once a Muslim kingdom thus they have legitimate status as a citizen of Myanmar by birth-right. On the other hand, the Rakhines are considered by Myanmar government as one of the ethnic majority. They share similar Buddhist culture with ethnics of Bamar, which the government once enforced it to be the only ethnic group that is allowed in the country in 1962 (Roberts 2010). The Rakhines considered themselves as proud Buddhist protectors that stopped Islam’s expansion to South Asia. Combined with current political tension, the Rakhines furthermore embraced the role as protectors from fearof Bangladesh’s territorial advancement to Rakhine state with Islamization and Rohingyas. The second factor explains that basic human needs are nonnegotiable and conflicts that arise from deprivations of such will be violent. Basic needs are identifed as security, developmental, political access, and identity needs that can be related to what the Rohingyas are experiencing in Myanmar. The government is denying the existence of Rohingyas as part of their ethinicity where in 1982, they established the Burmese Citizenship Act that classified people inhabiting the country. Rohingyas are not included in the ethnic list and they are also unable to prove their liniage and historical presence in Myanmar due to their disputed history with Rakhines as mentioned before.The only identification that Rohingya people have right now is temporary “white cards” that the government gave in the 1990s to the muslim population. By doing so, the government then proceed to restrict important basic human needs to be given to Rohingyas, such as restrictions to freedom of movements, freedom of religion, marriage, education, employment and economic livelihood, land and property ownership, and other basic facets of everyday life (Ramsbotham 2011).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
69
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
This leads to the third factor, where Azar mentioned that government and states play an important role in the satisfaction or frustration of its identity group’s needs (Ramsbotham 2011). As mentioned previously Myanmar’s government have issued a discriminatory policy that denounced Rohingyas identity and severely restricts their access to basic human needs. Correspondingly, Azar argued developing countries with colonial rule legacy tends to have a PSC due to rigid political authority and weak participatory capacity by its people. The relations between Rohingyas and the government have long been in a fragile state since British colonial rules where Islamic-descendants from neighboring Bengal was allowed to enter Myanmar because it was under the same administration. The event fuelled resentment by Buddhist counterparts in the country that erupted when Japanese forces invaded and fought against Muslim locals backed by British authority in World War II. The resentment continued under the leadership of General Ne Win in 1978 where he dissolved Rohingya political organizations and conducted the Dragon King Operation. A massive attempt to crackdown Rohingyas under the guise of documenting citizens and to suppress the Muslim insurgency in the country that resulted in 200.000 people fleeing to Bangladesh. Even until now the government backed NaSaKa organization that is comprised of military, police, immigration, continue to enforce discriminatory acts against the Rohingyas (Human Rights Watch 2000). International linkage as the last factor is explained by Azar where weak states are greatly affected by the political-economy relations between each other (Ramsbotham 2011). In this case, in the form of international institutions such as ASEAN also affects the way states behave in addressing domestic or international issues. If such external forces can affect social conflicts happening in a country like the active role of ISIS in the conflict of Syria, then ASEAN as the main international force that should be addressing the conflict in Myanmar plays a passive role and made no visible efforts in alleviating the plight of Rohingyas. These four factors are the root causes that ASEAN should analyze and put effort further, because the crisis is not only about treating flows of refugees but underlying threats of radicalization that can affect regional security as well.
70
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
The Radicalization of Rohingyas and Its Impact to Regional Security In the modern context of terrorism, minority groups that are heavily discriminated by their own government are taken advantages by terrorist groups to join their cause. Although in the case of Rohingyas, terrorist groups does not whole-heartedly support Rohingyas struggle but to further their broader strategic goals (Singh 2013). Bilveer Singh explains in his book the causes of Rohingyas radicalization with the following factors; poor living conditions where as explained before Rohingyas are restricted to basic human needs especially proper education. The Rohingyas are exposed to local madrasa which have mushroomed in neighbouring Bangladesh in the 1990s, those madrasa have strong indications of Islamic extremism and ties to radical groups from the Middle East.The next factor is effect of Islamic Charities. Much like how Arab countries plant the seed of radicalization through education, shady aid agencies also plays part in providing monetary aids that are misused to arm militant groups. For example the Rabitat-al-Alam-al-Islami NGO is said to be closely linked to the Rohingya Solidarity Organization (RSO), the militant organization that appeared in retaliation to the government’s act in the 1980s (Human Rights Watch 2010). Such radicalization process are evident in countries that is a popular destination for Rohingyas refugees and the potential is already recognized by the United Nations (UN).
The UNHCR (2013) reports that clashes between Rohingyas and Rakhine Buddhist in 2012 have attracted attention of the Lashkare-Toiba (LeT) fundamentalist group from Pakistan, with the help of India’s Intelligence Service, the said group have plans on extending their footprints in Bangladesh and Myanmar. Another terror group from Pakistan, the Jama’at ul Mujahedeen Bangladesh (JMB) is said to have interest in exploiting the crisis of Rohingyas and are already allying with RSO. Many extremist groups in Bangladesh have connection to Afghanistan’s Taliban, including JMB that have created training camps for Rohingyas to join the jihad and their military trainers are said to have Afghani origins (Singh 2013). Where Rohingyas are trained to fight for their extremist cause in Afghanistan or sent to fight for RSO.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
71
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
Subtler security impacts occurred in ASEAN countries that are the main hosts for Rohingyas refugees such as Indonesia and Malaysia. In Indonesia, groups that are considered fundamentalists such as the Hizbut-Tahrir and Jemaat Anshorut Tauhid (JAT) have expressed their cries of Jihad to help their fellow brethren following 2013’s anti-Muslim rallies in Myanmar. The cries of Jihad manifested into real dangers when Indonesia’s national security foiled a planned bombing to the Myanmar Embassy in Jakarta. Closely following the event, on 4th August 2015 two bombs exploded in the Ekayana Buddhist temple in Jakarta when 300 worshippers where gathering for a sermon, but only three people were injured.Found in the ruins after was a note that stated ‘we respond to the screams of Rohingyas’ that is strong evident to link the bombing with Rohingyas issue. Muslim radicals in Indonesia will use any possible issue as reason to conduct such acts, this is because radical extremists group in the country consider no such thing as nationality or status that differentiates their fellow Muslim brethrens (Jakarta Globe 2015). In Malaysia, an incident occured where frenzy attacks by Rohingyas nationality left four people dead in April 2013. Although they targeted Buddhist Myanmars, Malaysian nationalities are also seriously injured even though they are not Buddhists. Between those incidents, there are news of two Rohingyas leaders visiting Indonesia to gain support for more fighters, guns, cashs, and instructors. Analysts commented that Rohingyas radical group leaders are re-strengthening regional links because of less support they gained back home (The Wall Street Journal 2013). In the short run, academicians agreed that the radicalization process will not impact other countries or even Myanmar’s national security compared to the Morro Islamic Liberation Front in Philippines. But ASEAN should heed warnings from occuring incidents that sparked by constant flow of Rohingyas refugees to countries such as Indonesia and Malaysia. As ethnic-religious conflicts have rooted problems that requires long-term solutions, ASEAN should not only focus on coming up with solutions on how to deal with the growing flows of refugees but attend the underlying threats of radicalization and its impact to regional security as well. The next paragraph will discuss what ASEAN should do by incorporting the four factors of PSC and creating solutions based on those four factors.
72
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
The ASEAN Community 2015 as the Solution Rather than addressing the issue of refugess flows with quick and short-terms solutions, ASEAN members should unite together to disccuss Rohingyas crisis comprehensively. Especially nearing the end of 2015 where ASEAN must commit to the ASEAN Community goals they have made. By addressing this issue itself ASEAN can prove its commitment in two of its pillar, the Socio-cultural and Political-security blueprints. One of the primary goals in the socio-cultural pillar is “Human Development” where the focus of advancing and priotizing education is included. In it one of the actions that ASEAN want to undertake is to “Achieve universal access to primary education across ASEAN by 2015 through advocating for equal opportunity in education regardless of social class, geography ethnicity, background or physical disabilities (ASCC Blueprint 2009). As mentioned before, Rohingyas are deprived of basic human needs through restrictions from the government and its NaSaKa enforcers. Most importantly, Rohingyas are deprived of basic education thus they retorted to madrasa schools that promotes religious radicalism. While attempts of pressuring Myanmar to be more concerned with Rohingyas issue proves little success, ASEAN can concentrate its effort for human development in Rakhine state through education and employment. It is not enough to provide aids in the form of food rations or health assistances only, ASEAN must prioritize on giving equal education to Rohingyas, where ASEAN-sponsored educational institutions can mitigate the risk of radicalization and give hopes to Rohingyas on employment opportunities in the future. Those educational institutions can exist independently by fundings from ASEAN or in a form of teaching development program for staffs based on Rohingyas ethnicity. Thus it will give a sense of purpose for Rohingyas under ASEAN while also giving them employment opportunities. The education program does not need to include higher educations but provide primary, secondary, and technical skills as a start. By providing education, ASEAN can also include history lessons and promote tolerance between ethnicity that will help future generations of Rohingyas from becoming radicalized. ASEAN can also play role in sponsoring secular charities that can incorporate education and employment fundings (Singh 2013).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
73
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
Second is addressing the communal hate between Rohingyas and Rakhines that roots from dispute of history and identity. The Buddhist community feel that they need to protect Rakhine state that have a long history of Buddhism and fear of Islamization by Bangladesh, while Rohingyas also feel they have a legitimate history thus belonging as full citizens of Myanmar. The resentment have been rooted since Myanmar’s independence and even gained support from the government through the “Dragon King” operation and the Burmese Citizenship Act. In a country where Buddhism is the major religion and have support from its government, Rohingyas can be considered on a losing side and in the long run will see extremism as the way to voice their concerns. The solution for this issue must focus on how to form an identity for Rohingyas that can be tolerated with their fellow Buddhist citizens and also be recognized officially by the government as well. The International Crisis Group (ICG) proposed Rohingyas to change the term of identification and come up with an alternate identity marker that can be proposed to the government, but ICG and Rohingyas leaders are pessimistic if the proposal will be accepted.Even if the Rohingyas were granted naturalized citizenship under the Burmese Citizenship Act, they fear the government might revoke their citizenship at anytime. ASEAN can play a part in building awareness and a sense of one identity, that is the identity of ASEAN (International Crisis Group 2014). The forming of ASEAN identity is important because it is stated in the Socio-cultural Community blueprint that ASEAN will take action to“encourage the deepening of understanding and tolerance among the peoples of ASEAN through interfaith dialogue” (ASCC Blueprint 2009). The concrete actions that ASEAN can do is to facilitate as an arena between both Rohingyas and Rakhine, in the forms of forum between Rohingyas and Buddhist prominent leaders. ASEAN must carefully mediate both sides to achieve cultural understanding that despite historical differences Rohingyas and Rakhines can live peacefully without resentment to each others. ASEAN’s role can be paralel with effort of other international aids in appealing Myanmar’s government to grant citizenship for Rohingyas.
74
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
If ASEAN can mediate mutual understanding between Rohingyas and Buddhist communities, then the government might be persuaded more easily because Buddhist communities plays an important role in affecting Myanmar’s government, just like how Muslim communities plays an important role to the politics of Indonesia and Malaysia. ASEAN’s role in the fourth factor can be reversed from passive to active contribution of positive effects to Rohingyas issue. From ensuring education and promoting understanding between Rohingyas and Buddhist Rakhines. One of the Security-Political community blueprint goals is the promotion and protection of human rights. Therefore ASEAN can utilize both of its organs that focus on humanitarian issues; the ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre) and the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) (Antara News 2015). The AICHR, since its birth in 2009 had not made any significant contribution for the Rohingyas issue. Due to the non-interference policy that ASEAN mandates, providing solutions to the third PSC factor of governmental roles will be difficult. To directly pressure Myanmar’s role in the Rohingyas issue will require ASEAN to re-define the non-interference policy that ASEAN members use to avoid human rights issue in their country. On 2014, Myanmar was elected as the Chairman of ASEAN and stated the Rohingya issue was a “...domestic Myanmar affair and that Myanmar was fully capable of handling the situation by itself” (The New York Times 2015). Other ASEAN members then responded the statement by respecting Myanmar’s decision to handle the issue with the UN and other human rights organization and will stand ready to play a role whenever Myanmar’s needed ASEAN to do so (ASEAN Secretariat 2015). So far the AICHR have not touched the issue of Rohingya and instead focused on environmental rights issue by conducting seminars in Myanmar.Instead of confidence-building measures between AICHR and Myanmar that takes unnecessary time, AICHR should become the main IGO in coordinating efforts of providing education and employment opportunities to Rohingyas in the Rakhine state.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
75
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
Furthermore, ASEAN should delegate to AICHR the role of facilitating forums and interfaith dialogues between Rohingyas and Rakhines, in the hopes of achieving mutual understanding between both sides from the perspectives of human rights and promoting the ASEAN identity as well (AICHR 2015). ASEAN should expand the scope of disaster managements on responding to flows of refugees like the Rohingyas crisis. Rather than each ASEAN countries coordinating extra efforts like the Indonesia, Malaysia, and Thailand’s trilateral meeting in 2015, only to result in Indonesia & Malaysia to provide temporary shelters and Thailand to provide assistance in the sea until further solutions can come up. By expanding the scope of AHA Centre to deal with the Rohingyas crisis, ASEAN will have the chance to bring positive image to the international community while putting greater efforts to deal with the refugees flows. Conclusion ASEAN as the main international organization in Southeast Asia should take a bigger role in responding to the Rohingyas refugee crisis. Not just to provide temporary short solutions to handle the constant flows of Rohingyas taking shelter in Indonesia, Malaysia, and Thailand but to provide solutions to the underlying threats of Rohingyas radicalization that can impact regional security in the long run. Through Edward Azar’s Protracted Social Conflict Theory, four factors are identified as the underlying cause of Rohingyas refugee crisis. First is the communal content between Rohingyas and Rakhine Buddhists, second is Rohingyas deprivation of basic needs that creates the danger of radicalization by Islamic extremist groups. third is Myanmar governmental role that supports Buddhist violent act against Rohingyas while at the same time discriminates Rohingyas through its Citizenship Act, and international linkage as the fourth factor where so far ASEAN had been passive in treating the issue and not effectively putting its internal organizations to maximize efforts. Nearing the end of 2015, ASEAN should uphold its promise in implementing the Socio-Cultural and Political-Security Community blueprints. By providing education needs and employment opportunities to Rohingyas ASEAN can mitigate the risk of radicalization while upholding the socio-cultural community value in prioritizing education and create a mutual understanding.
76
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
Utilizing both the AICHR and AHA Centre, ASEAN can also uphold its political-security community values of promotion and protecting human rights. If ASEAN could treat this issue using the ASEAN way, it will not only mitigate regional security risks but will be ablecreating a positive image for the organization as well.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
77
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization
Bibliography Antara News, 2015. Waiting for AICHR`s optimal performance [online]. in : http://www.antaranews.com/en/ news/1281435057/waiting-for-aichrs-optimal-performance [accessed 31th October 2015] ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), 2015. Archive for the ‘Myanmar’ Category [online]. in : http://aichr.org/category/activities/myanmar/ [accessed 31th October 2015] ASEAN Secretariat, 2015. ASEAN Chairman Statement on Myanmar [online]. in : http://www.asean.org/news/item/aseanchairman-statement-on-myanmar [accessed 31th October 2015] Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), 2009. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Blueprint. [online]. in : http://www.asean.org/archive/5187-19.pdf [accessed 30th October 2015] Human Rights Watch (HRW), 2000. Burma / Bangladesh Burmese Refugees in Bangladesh: Still no Solution. [online]. in : https://www.hrw.org/reports/2000/burma/index.htm [accessed 11 October 2015] Human Rights Watch (HRW), 2013. All You Can Do is Pray. [online]. in : https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/ burma0413webwcover_0.pdf [accessed 11 October 2015] International Crisis Group (ICG), 2014. Myanmar: the Politics of Rakhine State. [online]. in : http://www.crisisgroup.org/~/ media/Files/asia/south-east-asia/burma-myanmar/261myanmar-the-politics-of-rakhine-state.pdf [accessed 30th October 2015] Jakarta Globe, 2015. Explosion at Indonesian Buddhist Temple Injures Three: Police [online]. in : http://jakartaglobe.beritasatu.com/ news/explosion-at-indonesian-buddhist-temple-injures-onepolice/ [accessed 29th October 2015] Ramsbotham, Oliver, et al., 2011. Contemporary Conflict Resolution.
78
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Naufal Armia Arifin
Cambridge, UK: Polity Press. Roberts, Christopher, 2010. ASEAN’s Myanmar Crisis: Challenges to the Pursuit of a Security Community. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Singh Bilveer, 2013.Myanmar’s Rohingyas: Challenges Confronting a Persecuted Minority and Implications for Natoinal and Regional Security. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. The New York Times, 2015. Myanmar to Bar Rohingya From Fleeing, but Won’t Address Their Plight [online]. in : http://www. nytimes.com/2015/06/13/world/asia/myanmar-to-barrohingya-from-fleeing-but-wont-address-their-plight.html?_ r=0 [accessed 30th October 2015] The Wall Street Journal, 2013. Malaysia Fears Spillover From Myanmar Violence After 4 Killed [online]. in : http://blogs. wsj.com/indonesiarealtime/2013/06/06/malaysia-fearsspillover-from-myanmar-violence-after-4-killed/ [accessed 29th October 2015] United Nations High Commissioner on Refugees, 2013. Emerging Threat [online]. in : http://www.unhcr.org/cgi-bin/texis/ vtx/refdaily?pass=52fc6fbd5&id=51f8a8895 [accessed 28th October 2015]
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
79
80
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer Probo Darono Yakti ABSTRACT The European Union does not have the capability and authority in bringing stability and peace in Europe alone. Instead, the European Union relying on NATO as a security regionalism that formed before the European Union was formed. NATO and the European Union have agreed on a deal that called ESDP. Both of these regional organizations agree to make Europe realize that advanced both in terms of economic and social (welfare) and the stability and peace. Commitment to complement each other will not be found in other areas in other parts of the world as well. However, the author refers to the question: why EU still need the presence of NATO as the security institution in the Europe? The argument of this paper is, EU never had security aspect at their institution framework when the threats still remains in this contemporary world. Keywords: NATO, European Union, security and stability, peace, regionalism, welfare Uni Eropa tidak memiliki kapabilitas dan kewenangan dalam mewujudkan stabilitas keamanan dan perdamaian di Eropa sendiri. Uni Eropa mengandalkan NATO sebagai regionalisme keamanan yang terbentuk dahulu sebelum Uni Eropa terbentuk. NATO dan Uni Eropa telah sepakat dalam perjanjian yang disebut ESDP. Kedua organisasi regional ini saling bersepakat untuk mewujudkan Eropa yang maju baik dalam aspek ekonomi dan sosial (kesejahteraan) dan stabilitas keamanan dan perdamaian. Komitmen untuk saling melengkapi ini tidak dijumpai pada kawasan lain. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kemudian Uni Eropa masih membutuhkan NATO sebagai institusi keamanan di kawasan Eropa? Argumen yang dibangun adalah bahwa sebagai institusi regional, Uni Eropa masih tidak memiliki aspek keamanan di dalam kerangka institusinya ketika ancaman keamanan di era kontemporer masih ada. Kata-Kata kunci: NATO, Uni Eropa, stabilitas keamanan, perdamaian, regionalisme
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
81
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Ketergantungan Uni Eropa terhadap NATO: Penjelasan Neorealisme North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan sebuah elemen keamanan esensial yang dimiliki oleh Eropa, berbentuk pakta pertahanan yang dibentuk pada saat Era Perang Dingin berlangsung. Setidaknya ada tiga tujuan utama dibentuknya pakta pertahanan ini: menghalangi ekspansionisme Soviet, melarang kebangkitan militerisme nasionalis di Eropa melalui kehadiran Amerika Utara, dan mendorong integrasi politik Eropa (NATO, t.t). Lebih lanjut, NATO dalam laman situsnya menjelaskan lebih detil mengenai tujuan utamanya: The Alliance is committed to protecting its members through political and military means. It promotes democratic values and is dedicated to the peaceful resolution of disputes. If diplomatic efforts fail, it has the military capability needed to undertake collective defence and crisis-management operations alone or in cooperation with partner countries and international organizations. (Nato.int, 2015). Anggota traktat ini tidak hanya negara yang berada di regional Eropa saja, melainkan juga negara di kawasan Amerika Utara seperti Kanada dan juga Amerika Serikat, karena pada dasarnya NATO mengusung Atlantik Utara, bukan Eropa secara eksklusif. Pembentukannya pun tidak dapat dilepaskan dari sejarah dunia yang memberatkan pada persaingan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menjadi polar karena tergolong sebagai dua negara yang dikatakan superpower pada era itu. NATO bertransformasi menjadi sebuah alat untuk mencegah pengaruh Uni Soviet yang menyebarkan paham komunisme ke seluruh penjuru Eropa tak terkecuali. Dan karena sifatnya yang merupakan organisasi keamanan, NATO berhak memiliki militer yang dibangun bersama-sama antar anggotanya. Dalam setiap aksinya NATO mengutamakan keamanan bersama anggotanya sehingga dalam menjalankan aksinya peacekeeping merupakan agenda utama NATO (Rockwood, 1995).
82
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Negara-negara Blok Barat, khususnya Belgia, Belanda, Luksemburg, Prancis dan Inggris memutuskan untuk menandatangani Traktat Brussel pada tanggal 17 Maret 1948 yang bertujuan untuk mencegah serangan komunis dengan membentuk organisasi pertahanan bagi Negara-negara Eropa Barat. Negara-negara ini sepakat untuk mendirikan organisasi militer yang digunakan untuk menangkal kekuatan Jerman yang kemudian beralih menjadi menangkal kekuatan Uni Soviet dengan membentuk Western Union Defense Organization (WUDO). WUDO ini dibentuk pada September 1948 di masa krisis Berlin dan pada tahun 1949 WUDO melakukan pelatihan angkatan laut di Teluk Biscay yang mana di dalamnya terdapat 60 Kapal Perang milik Perancis, Inggris, dan Belanda. Sebagai Negara hegemon, sangat penting peranan Amerika Serikat di dalam pencegahan adanya potensi perang lanjutan mengingat masa-masa itu berselang dua tahun setelah Perang Dunia II berakhir (NATO, t.t). Maka negara-negara yang telah tergabung di dalam traktat Brussel memutuskan untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat agar turut bergabung. Amerika Serikat akhirnya menandatangani traktat tersebut pada 4 April 1949 dan dengan demikian telah resmi bergabungnya Amerika Serikat beserta dengan lima Negara lainnya ke dalam traktat yang merupakan traktat lanjutan dari traktat Dunkrik ini; Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, serta Islandia, dan dengan demikian WUDO resmi berakhir dan berganti menjadi North Atlantic Treaty Organization atau NATO. Hingga kini, anggota NATO telah mencapai jumlah 28 negara (NATO, t.t). Gambar 1: Eropa terbelah menjadi Blok Barat (NATO) dan Blok Timur (Pakta Warsawa)
Sumber: fs.huntingdon.edu, 2015
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
83
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Sejarah berlanjut ketika NATO berhasil menangkal keberadaan komunisme di negara-negara yang tergolong dalam Blok Barat. Sisanya, Eropa Timur dalam kondisi yang sangat seimbang dan setimbang dengan adanya Iron Curtain yakni istilah yang digunakan dalam menyebut sekat ideologis di Eropa. Meski hanya beranggotakan atas Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, Romania, Uni Soviet, dan Albania, NATO yang beranggotakan 15 negara seperti ditahan imbang dengan keberadaan Uni Soviet yang terus melakukan hubungan erat dengan aliansinya. Hingga akhirnya Uni Soviet runtuh pada 1991, NATO langsung terlibat intervensi dalam perang sipil yang terjadi di Yugoslavia. NATO mengirimkan pasukan perdamaiannya untuk membela Slovenia dan Kroasia yang meminta referendum dan merdeka menjadi negara yang independen. NATO juga menjadi satu-satunya organisasi keamanan regional yang masih berdiri setelah peristiwa tersebut. Organisasi ini kemudian pengembangan atau perluasan saat beberapa negara eks komunis di Eropa Timur bergabung dalam aliansi ini seperti Hungaria, Polandia dan Ceko pada tahun 1997 dan menjadi anggota tetap NATO hingga saat ini. Dalam era kontemporer ini, NATO kemudian melibatkan diri pada konflik yang terjadi pada Kosovo, yang nantinya pecah dari negara Yugoslavia. Krisis politik yang terjadi adalah dampak yang ada dari konflik etnis. Selama isu-isu yang berkaitan dengan keamanan terjadi, NATO memiliki hak yang legal untuk intervensi. NATO akhirnya kembali masuk pada topik besar di Eropa mengenai keamanan regional. Pada masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, NATO terus didorong untuk memperluas keanggotaannya. Upaya itu berhasil dengan bergabungnya Republik Ceko, Hongaria dan Polandia pada 1999. Sedangkan Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Rumania, Slowakia, dan Slovenia pada 2004. Albania dan Kroasia memasuki aliansi itu pada 2009 (Encyclopædia Britannica Online, 2015). Begitu pula dengan kehadiran terorisme sebagai isu yang dapat membuat keamanan antarnegara rentan ancaman. Serangan 11 September di Gedung WTC mengubah paradigma yang selama ini ada, bahwa aktor non-negara dapat mengancam keselamatan aktor negara. Hal ini pada akhirnya menjadi salah satu fokus dari NATO untuk bersama-sama negara di Eropa meningkatkan kewaspadaan terhadap terorisme. Kehadiran NATO di Libya menunjukkan bahwa NATO menunjukkan sikap tegasnya terhadap terorisme.
84
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Hal-hal yang disebutkan penulis di atas adalah alasan-alasan yang ada mengapa NATO masih dibutuhkan di Eropa. Dan mengapa Uni Eropa menggantungkan keselamatan negara-negara anggotanya pada NATO adalah karena ada sebuah deklarasi kebijakan antara dua organisasi regional ini. EU-NATO Declaration on European Security and Defence Policy (ESDP) ditandatangani di Brussel, 16 Desember 2002. Dalam Eur-lex (2007) disebutkan bahwa ada tiga tujuan dalam kemitraan Uni Eropa dengan NATO: (1) Uni Eropa akan memastikan kemungkinan keterlibatan penuh dari para anggota non-Uni Eropa Eropa NATO dalam ESDP; (2) NATO akan mendukung ESDP dan memberikan Uni Eropa yakin akses ke kemampuan perencanaan NATO; dan (3) kedua organisasi akan mengadopsi pengaturan untuk memastikan pengembangan koheren, transparan dan saling memperkuat persyaratan kemampuan bersama mereka. Hal ini diperkuat dengan traktat perjanjian Berlin Plus. Perjanjian Berlin Plus pada tanggal 17 Maret 2003 sepakat untuk meletakkan dasardasar bagi kerja sama NATO - Uni Eropa di bidang manajemen krisis. Yang mana memungkinkan aliansi untuk mendukung operasi Uni Eropa yang dipimpin NATO di mana nantinya tidak semua negara anggota berkomitmen (Eur-lex, 2007). Hubungan antara NATO dengan Uni Eropa sejatinya bisa dilihat melalui perspektif Neorealisme Neorealisme berpendapat bahwa negara-negara yang cenderung ke arah konflik dan persaingan dan sering gagal untuk bekerja sama bahkan ketika mereka memiliki kepentingan bersama karena swadaya sistem membuat kerjasama pihak sulit. Waltz (1979 dalam Jakobsen 2013) mengungkapkan bahwa sejatinya perspektif ini merupakan turunan dari realisme klasik sendiri. Yang menjadikan perbedaan adalah ketika realisme klasik melihat bahwa aktor paling utama di dalam hubungan internasional adalah negara, neorealisme tidak. Walaupun tidak mengabaikan peran negara sebagai aktor, menurut neorealisme sistem internasional tidak bisa diabaikan di dalam konstelasi hubungan internasional. Aspek penting lainnya di dalam neorealisme adalah keanggotaan negara di dalam organisasi internasional. Hal ini dapat digambarkan kemudian di dalam konteks NATO, bahwa keterlibatan negara-negara Eropa dan Amerika Utara di dalamnya dalah hal yang tidak bisa dihindarkan, apalagi kemudian pusat kekuatan masih berada di konteks militer dan keamanan yang belum disediakan oleh Uni Eropa.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
85
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Demikian pula apabila NATO ini disangkutpautkan dengan Uni Eropa, maka di sana terlihat sebuah ikatan yang tidak dapat dipisahkan dari kedua organisasi regional yang telah berdiri pada masa setelah Perang Dunia II usai. Yang perlu dikurangi adalah ketika negara menghadapi fenomena interdependensi, maka seharusnya negara tidak benar-benar menaruh segala kepercayaan pada organisasi regional, karena pada dasarnya hubungan antarnegara yang merupakan sebuah fenomena anarki seperti yang diasumsikan oleh mahzab realisme masih berlaku hingga era kontemporer ini. Hubungan Kuat NATO dengan Amerika Serikat dan Ancaman Keamanan dari Rusia Jika menggunakan kacamata level analisis sistem internasional, penulis dapat melihat begitu banyak permasalahan yang terjadi di Eropa sehingga mendorong Eropa masih bergantung pada NATO sebagai sebuah organisasi yang menaungi negara-negara di dalamnya. Di dalam struktur regional terdapat sebuah sistem yang mendasari mengapa negara-negara yang berada di dalamnya dapat bergabung dan terintegrasi secara penuh. Uni Eropa pun bukanlah merupakan regionalisme yang didesain untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik dan keamanan negara-negara anggotanya. Berawal dari latar belakang sejarah, Uni Eropa berawal dari organisasi regional European Coal and Steel Community. Organisasi ini berawal dari beberapa negara yang memiliki inisiatif yang sama dalam mewujudkan aturan-aturan dan saling bekerja sama dalam kaitannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan baja dan batubara. Setelah mengalami perkembangan, ECSC mengembangkan sayap yang dinamakan European Community, yang sudah jelas arah tujuannya yakni mewujudkan kesejahteraan ekonomi negara-negara anggotanya. Dari sejarah pun juga telah dipelajari bahwa pembentukan NATO jauh lebih awal daripada terbentuknya Uni Eropa yang baru kukuh berdiri pada tahun 2000an sebagai satu kesatuan utuh Economic Union. Hal inilah yang tidak dapat dipungkiri, menjadi salah satu penyebab mengapa kepentingan di Uni Eropa tidak dapat dicampur adukkan antara keamanan dan ekonomi: siapa yang lebih dahulu berdiri.
86
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Kendati demikian selanjutnya berdiri organisasi organisasi lain yang menaungi bidang militer seperti Western European Union (WEU), namun pada kenyataannya NATO mendominasi di antara regionalisme keamanan yang lain. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Amerika Serikat yang terus meberikan dukungan secara moril maupun materiil terhadap NATO. Meski dalam sebuah artikel yang dilansir Martin Erdmann (2013), menyebutkan bahwa: From a purely military perspective, the United States does not need its European allies. America is the only remaining superpower in the world, with military capabilities that are second to none. The United States is not, and will not be, dependent on anyone else’s military capacities. Allied military support, like that provided in Afghanistan or the Balkans in the 1990s, may be considered helpful, but has never been decisive. A superpower by definition has to be capable of independent military action. This consideration does not belittle European defense capabilities or fuel the burden-sharing debate. It is a sheer fact of life. But there are plenty of other benefits of NATO as well. (Erdmann, 2013) Lebih lanjut pula Erdmann (2013), juga menyebutkan bahwa ada tiga fungsi utama Amerika Serikat beraliansi dengan NATO. Yang pertama adalah kondisi yang ada pada masa Perang Dingin, yang mengukuhkan ke-28 anggota NATO bukan hanya aliansi sementara saja, namun aliansi yang dapat bertahan di dalam segala macam situasi. Yang kedua adalah NATO bereperan penting dalam mengukuhkan legitimasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Porsi yang besar terhadap NATO dapat memperkuat legitimasi Amerika Serikat dalam melakukan serangkaian intervensi militer pada negara-negara yang sedang dirundung konflik pada kawasan manapun di dunia. Dan yang terakhir adalah NATO yang mana negara-negaranya merupakan penyumbang besar Gross Domestic Product (GDP) dunia yang mana apabila dikalkulasikan dapat mencapai hampir lima puluh persen dari keseluruhan GDP dunia.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
87
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Pada sisi lain, militer Amerika Serikat memiliki beberapa prosedur yang berkesinambungan dengan NATO. Komitmen AS untuk NATO mencakup pasukan penempatan di Eropa dan melakukan pasukan tambahan yang ditempatkan di Amerika Serikat dan di tempat lain untuk pertahanan NATO. Hal ini juga termasuk memberikan atau mengatur logistik dukungan dari kekuatan-kekuatan ini, melakukan pangsa normal dari beban menjaga keamanan semua anggota NATO, dan menjaga setiap informasi yang lengkap (Report to The Congress, 1977). Ini artinya militer Amerika Serikat juga menjadi salah satu faktor yang membuat mengapa hingga saat ini Un Eropa membutuhkan NATO. Keterkaitan Amerika Serikat inilah yang membuat Uni Eropa dalam dilema besar, yang mana secara ekonomi Uni Eropa mampu menjadi ‘pesaing’ dari Amerika Serikat. Namun kekuatan militer yang dimiliki NATO mayoritas masih didominasi oleh Amerika Serikat, disertai dengan legitimasi negara adidaya dunia tersebut dalam percaturan organisasi kemanan regional itu. Wall Street Journal (2013) berdasarkan data dari NATO sendiri, menyebutkan bahwa Amerika Serikat masih berada di tingkatan teratas pada kepemilikan militer dan juga GDP yang digunakan untuk anggaran pertahanannya. Seperti yang disebutkan pada grafik di bawah ini: Grafik 1: Aset Militer yang dimiliki oleh negara-negara yang tergabung dalam NATO
Sumber: Wall Street Journal, 2013
88
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Dari data yang disajikan di atas, maka tak dapat dipungkiri bahwa Uni Eropa masih membutuhkan NATO sebagai komponen utama pertahanan dan keamanan regionalnya. Belum lagi ancaman lain seperti Rusia yang memang sejak awal tidak ada ketertarikan untuk bersinggungan langsung dengan Uni Eropa dan NATO kecuali pada kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya seperti perdagangan gas alam melalui perusahaan milik negara Rusia Gazprom yang distribusinya ke seluruh Eropa. Namun di bidang militer, hal inilah yang terus dibangun kewaspadaannya pada negara-negara Eropa mengingat bukan berarti pasca Perang Dingin Rusia dapat dikatakan tunduk sepenuhnya pada tatanan yang dibangun di Eropa. Rusia, masih berjalan di atas sebuah idealisme negaranya yang menekankan pada era keemasan Rusia di masa Tzar. Di era yang diperintah oleh Presiden Vladimir Putin saat ini Rusia pun berkembang menjadi negara yang seakan-akan kembali meraih posisi hegemoni dan berencana melakukan strategi balancing terhadap Amerika Serikat, meneruskan Boris Yeltsin pada periode sebelumnya. Peran-peran yang dimainkan Yeltsin adalah membuat Rusia sebagai negara yang lebih demokratis yakni negara yang dapat dikatakan bebas, terbuka, dan damai. Terbuka pada aspirasi dan ide rakyat. Dengan konstitusi baru yang ramah terhadap hak asasi manusia (Putin, 2007). Rusia juga memiliki pengaruh yang besar terhadap negara-negara bekas pecahan negara Uni Soviet. Meskipun satu persatu dari negaranegara Balkan, Visegrad, Baltik, dan Eropa Timur itu satu persatu menyatakan diri untuk bergabung, peran Rusia dalam hal ini tetap melakukan kebijakan menarik ulur posisi negara-negara di Uni Eropa (Wicaksana, 2015). Dengan bergabung dalam konstelasi Uni Eropa, negara-negara ini sudah mengerti sanksi yang ditimbulkan oleh Rusia yang mana sesungguhnya negara-negara ini belum dapat lepas seratus persen dari peran Rusia dalam kawasan. Meskipun Uni Eropa memiliki kewenangan untuk melepaskan sanksi pada Rusia atas tindakan agresifnya pada Ukraina di tahun 2014, Uni Eropa memiliki tantangan keamanan serius tanpa dukungan dari NATO. Di balik itu, Rusia sendiri ngalami kerugian besar karena didepak sementara dari G7, penutupan sementara akses terhadap ekonomi dan perbankan serta blokade dari NATO atas Krimea. Beberapa perusahaan energi dan pertahanan pun dihentikan operasionalnya pada wilayah Eropa dalam kaitannya dengan sanksi tersebut (European Union Newsroom, 2014).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
89
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Sehingga analisis penulis berkutat pada peran Amerika Serikat yang terlalu besar terhadap Uni Eropa yang belum dapat membentuk regionalisme keamanannya sendiri dan tekanan besar Rusia sebagai salah satu ancaman dalam regional yang dapat menghancurkan sendi-sendi vital perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi fokus utama pembangunan Uni Eropa di abad ke21. Banyak segi yang harus dibangun oleh Uni Eropa sebagai satu kesatuan negara yang memiliki visi dalam mewujudkan keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan untuk membangun sebuah rancangan besar untuk menitikberatkan keamanan di samping ekonomi yang menjadi sebuah ciri khas regionalisme di benua Eropa yang berdiri pada era kekinian. Regionalisme Kemananan Potensial yang Lain: OSCE Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) merupakan regionalisme keamanan lain yang dijumpai pada Eropa. Uniknya, OSCE melibatkan semua negara-negara yang secara geografis terletak pada Uni Eropa dan juga didalamnya melibatkan negara yang terus diwaspadai negara-negara lain di Eropa: Federasi Rusia, dan juga beberapa negara yang tergolong dalam kawasan Asia Tengah. Kehadiran OSCE di Eropa sempat diperhitungkan sebagai regionalisme yang netral dan tidak tertekan terhadap tendensi manapun yang membuat OSCE seakan-akan berpihak seperti yang terjadi pada interbvensi-intervensi yang dilakukan NATO yang baru saja dijelaskan pada paragraf sebelumnya. OSCE merupakan pendekatan komprehensif untuk keamanan yang mencakup politik-militer, ekonomi dan lingkungan, dan aspek manusia (OSCE, t.t). Oleh karena itu membahas berbagai masalah keamanan, termasuk pengawasan senjata, tindakan keamanan pembangunan, hak asasi manusia, minoritas nasional, demokratisasi, strategi kepolisian, kontra-terorisme dan kegiatan ekonomi dan lingkungan. Ke-57 negara peserta menikmati status yang sama, dan keputusan diambil dengan konsensus pada politik, tapi tidak mengikat pada dasar hukum. Lebih lanjut, organisasi ini terdiri atas 57 negara yakni Albania, Amerika Serikat, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belanda, Belarusia, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Republik Ceko, Denmark, Eslandia, Estonia, Finlandia, Georgia, Hongaria.
90
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Lalu Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Kanada, Kazakhstan, Kirgizstan, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg, Malta, Republik Masedonia, Moldova, Monako, Montenegro, Mongolia, Norwegia, Prancis, Polandia, Portugal, Romania, Rusia, San Marino, Serbia, Siprus, Slovenia, Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Tajikistan, Turki, Turkmenistan, Ukraina, Uzbekistan, Kota Vatikan,dan Yunani (OSCE, t.t). OSCE berawal dari fase détente dari awal 1970-an, ketika Konferensi Keamanan dan Kerja sama di Eropa (CSCE) diciptakan untuk melayani sebagai forum multilateral untuk dialog dan negosiasi antara Timur dan Barat (OSCE, t.t). Pertemuan selama dua tahun di Helsinki dan Jenewa, CSCE mencapai kesepakatan dari Helsinki Final Act, yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 1975. Dokumen ini berisi sejumlah komitmen kunci pada isu-isu hak Politik-militer, ekonomi dan lingkungan dan manusia yang menjadi pusat ‘proses Helsinki’. Kemudian didirikan sepuluh prinsipprinsip dasar yang mengatur perilaku berserikat terhadap negaranegara anggota, serta terhadap satu sama lain (OSCE, t.t). Sampai tahun 1990, CSCE berfungsi terutama sebagai serangkaian pertemuan dan konferensi yang dibangun di atas dan memperpanjang yang berpartisipasi ‘komitmen, sementara berkala meninjau pelaksanaannya. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin, Paris Summit of November 1990 menetapkan CSCE pada program baru. Dalam Piagam Paris untuk Eropa Baru, CSCE dipanggil untuk memainkan perannya dalam mengelola perubahan bersejarah yang terjadi di Eropa dan menjawab tantangan-tantangan baru dari periode pasca-Perang Dingin, yang menyebabkan mengakuisisi lembaga permanen dan kemampuan operasional (OSCE, t.t). Sebagai bagian dari proses pelembagaan ini, nama diubah dari CSCE untuk OSCE oleh keputusan Budapest KTT Kepala Negara atau Pemerintah pada Desember 1994 (OSCE, t.t). Dalam kelanjutannya, OSCE tidak jauh lebih baik daripada NATO dan Uni Eropa. Karena memiliki fokus yang begitu spesifik. OSCE pada akhirnya hanya menjadi forum diskusi informal yang tidak memiliki kapabilitas untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan kawasan di Eropa. Karena keanggotaannya yang sangat fleksibel dan tidak terpusat pada lingkaran konsentrasi yakni Eropa sebagai benua yang terletak pada poros dunia.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
91
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
OSCE juga pada akhirnya diprediksi akan bernasib sama dengan WEU yang dinyatakan bubar pada tahun 2011 dan menyerahkan segala atributnya pada Uni Eropa. Sekali lagi, hal ini membuktikan eksistensi NATO yang memiliki peran kunci dalam perwujudan perdamaian dan keamanan di Eropa. Uni Eropa juga masih belum dapat memanfaatkan secara penuh OSCE karena OSCE hanya diikuti oleh negara-negara anggota saja. Mengkalkulasi Kemungkinan Uni Eropa Membangun Keamanan Regional secara Independen Dari pemaparan sebelumnya, dapat dilihat bagaimana peran Amerika Serikat yang besar dalam menekan NATO melalui intervensinya dalam traktat keamanan regional tersebut. Selain itu, ancaman juga datang dari luar Eropa meski masih satu benua dengan Eropa yaitu Rusia. Rusia dapat dikatakan menjadi alasan mengapa NATO masih dibutuhkan dalam menopang Uni Eropa yang ‘cacat kapabilitas’, dan tidak didesain untuk menghadapi masalah-masalah keamanan dan perdamaian. Jika menilik kembali intervensi-intervensi Amerika Serikat apa saja yang diperbuat dalam NATO, maka didapatkan beberapa contoh terkini yang dapat dijadikan acuan dalam melihat sikap Amerika Serikat terhadap NATO. Misalnya seperti sikap Amerika Serikat pada krisis kemanan di Libya yang memantik kerja sama NATO untuk turut andil dalam skema penanganan konflik di daerah yang bahkan bukan termasuk dalam Atlantik Utara. Bahkan tindakan yang dilakukan Amerika Serikat dan NATO ini membuat citra mereka di samping akan terpandang sebagai ‘pahlawan’ mereka juga didakwa bertanggung jawab terhadap terjadinya sebuah genosida baru akibat penjatuhan bom di Libya, dengan menimbulkan efek samping seperti pengungsi yang sudah mencapai ‘puncak gunung es’ (Kelly, 2015). Beberapa tahun sebelum itu Amerika Serikat juga melibatkan NATO dalam pusaran konflik di Irak dan Afghanistan. Hal ini semakin membuat ketidakjelasan NATO yang seharusnya lingkup kerjangya difokuskan dalam penanganan keamanan di wilayah Atlantik Utara saja. Perlakuan Amerika Serikat inilah yang menunjukkan bahwa semakin terlibatnya Amerika Serikat dalam sebuah konflik akan memperkeruh konflik itu sendiri.
92
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Oleh karena itu, Uni Eropa memerlukan regionalisme keamanan yang jauh lebih independen, sarat dengan kepentingan Uni Eropa yang memiliki cita-cita mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian pada masyarakatnya. Sebuah komunike harus disusun berdasarkan kesepakatan bersama ke-29 negara Uni Eropa yang diratifikasi dalam memperluas wewenang Uni Eropa untuk membuat pemerintahan supranasional yang tak hanya terfokus pada bidang ekonomi saja, namun juga perlu untuk menyentuh bidang keamanan dan pertahanan. Jika ditanyakan apa urgensinya, maka jawabannya adalah faktor-faktor ancaman keamanan baru. Hal ini tidak bisa sesuai dengan motif lama yang digunakan NATO. NATO hanya berbicara mengenai militer pada permukaan yang bersifat hard saja. Di sana tidak ada kesinambungan yang baik antara pencegahan sosial dan pendekatan keamanan. Misalnya dalam kasus yang baru saja terjadi, yakni masuknya jutaan imigran yang berasal dari Suriah. Negara para pengungsi ini sudah tak aman lagi untuk menjadi tempat mereka bernaung dan hidup dengan layak. Jika tidak ada kesinambungan yang baik di dalam ESDP, maka yang akan terjadi adalah ancaman keamanan baru terkit para migran. Pelanggaran hukum lebih lanjut meningkat, tingkat ketegangan sosial jauh lebih kuat, peningkatan besar dalam biaya pelayanan sosial dan perumahan rakyat meningkat, dan tidak memberikan kontribusi apa-apa yang bernilai terhadap bangsa-bangsa dari Uni Eropa. Para migran juga akan merusak status quo dalam keamanan Uni Eropa sebagai ratusan ribu pendatang dicampur dengan sejumlah lumayan ISIS dan al-Qaeda penyelenggara, perekrut, pejuang, dan penyerang bunuh diri yang akan membuat pekerjaan keamanan dan intelijen Uni Eropa bahkan lebih riskan lagi (Scheuer, 2015). Perjanjian-perjanjian tentang keamanan dengan NATO yang tak sempurna (belum disempurnakan) juga membuat Uni Eropa dalam posisi terdesak ketika tidak ada jalan selain mensinkronkan kebijakan dengan NATO. Jika salah sedikit koordinasi, maka akan mengacaukan tatanan ekonomi yang ada di Eropa. Hal semacam ini yang dihindari oleh Uni Eropa, secara khusus organisasi regional ini terpaut dengan NATO. Sehingga secara realistis kehadiran NATO dalam Eropa tidak bisa dipisahkan dalam waktu dekat, namun ada kiranya Uni Eropa dapat memasukkan kebijakan ini sebagai langkah jangka panjang yang dapat ditempuh.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
93
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Sehingga nantinya Uni Eropa tidak lagi menggantungkan keamanannya pada organisasi regional yang lain, sebaliknya Uni Eropa semakin kuat dengan dikukuhkannnya keamanan sebagai isu strategis yang menjadi fokus utama pengembangan Uni Eropa ke depan. Simpulan Penulis dapat menyimpulkan bahwa Uni Eropa dengan NATO merupakan dua organisasi regional yang saling terikat dalam kerja sama ESDP. Keduanya berperan besar dalam mekanisme pembentukan regional Eropa yang menjamin kesejahteraan dalam ekonomi dan stabilitas keamanan. Sejarah kedua regionalisme yang berbeda dan tidak saling bersinggungan ini membuat kedua organisasi ini berdiri sesuai dengan fokus masing-masing. Sedangkan NATO, yang penulis tekankan kembali sebagai organisasi regional yang menaungi negara-negara Atlantik Utara, telah melakukan beragam tindakan intervensi sebagaimana yang dilakukannya dalam Uni Eropa (bidang keamanan). Tentu saja kembali pada fungsi NATO dalam melindungi negara-negara anggotanya, namun penulis lebih menyetujui Eropa memiliki regionalisme keamanan tersendiri yang tentu saja menjamin keberlangsungan stabilitas keamanan regional yang lebih independen, dan memastikan tidak ada negara yang memiliki kepentingan berlebih untuk melakukan intervensi yang berlebihan pula. Dalam kerangka ini penulis menggunakan pendekatan neorealisme. Neorealisme membahas mengenai peran sebuah organisasi regional dalam membahas collective security yang tidak dapat diwujudkan dengan kerja sama antar negara dalam mekanisme sebuah rezim internasional. Dalam hal ini berlaku aturan-aturan internasional yang diterbitkan oleh lembaga yang memiliki supervisi dalam mengawasi dan menjaga perdamaian internasional. Contohnya tentu saja Dewan Keamanan PBB, NATO, SEATO, dll. Penggunaan perspektif ini juga berdasarkan asumsi penulis bahwa organisasiorganisasi internasional ini memiliki kemampuan yang lebih untuk mengembangkan kerangka perdamaian internasional yang terus mengikuti dinamika konstelasi politik dan keamanan yang ada.
94
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Meski pada awalnya NATO didirikan untuk menangkal pengaruh negara-negara anggota Pakta Warsawa dengan ideologi komunisnya agar tidak menjalar ke negara-negara Eropa, namun fokus itu saat ini mengalami pergeseran yang hebat. NATO ternyata dapat disalahgunakan untuk alasan negara adidaya seperti Amerika Serikat di era kontemporer ini untuk sama-sama berperang melawan terorisme, meski tidak semua kepentingan Amerika Serikat ini murni untuk melawan dampak yang ditimbulkan dari kelompok teroris secara umum. Alasan-alasan Amerika Serikat untuk menyerang negara di luar Eropa dapat diperkuat dengan dukungan NATO terhadap kebijakan Amerika Serikat dalam mengagresi negara lain. NATO di sini terlihat terus berpihak pada negara yang haus akan power berlebih. Eropa dalam kebimbangan besar akibat tidak memiliki organisasi regional yang secara tepat menyelesaikan konflik dengan langkah yang tidak berat sebelah dan terkesan memihak. Opini penulis adalah di masa yang akan datang Uni Eropa didesak agar terus memperluas cakupan regionalismenya menuju ke bidang keamanan, sehingga dapat meniru regional-regional lain yang memiliki kewenangan di tiga bidang sekaligus yakni keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Sebut saja ASEAN yang ke depannya akan membangun Masyarakat ASEAN dalam tiga pilar sekaligus: diawali dengan ekonomi, dilanjutkan dengan politik dan kemananan, dan diakhiri dengan pembangunasn sosial budaya yang komprehensif.Tentu saja dengan ketiganya ASEAN akan semakin terintegrasi dan mengambil langkah-langkah strategis berikutnya untuk masa depan prospek kawasan yang semakin menarik kawasan lain untuk meniru corak yang sama. Sekaligus meningkatkan pergaulan di mata dunia internasional. Jawaban penulis atas pertanyaan terkait dengan urgensi, maka penulis mampu memberikan jawaban yaitu: Uni Eropa jauh lebih terintegrasi dari ASEAN. Namun dengan meniru cara yang dilakukan ASEAN yang memang sejarah pembentukannya diawali dengan keamanan, Uni Eropa dapat berbuat lebih banyak dan lepas dari kekangan NATO yang kerap kali melancarkan sikap ‘keterlaluan’ dan terlihat memihak pada negara-negara yang memiliki tendensi besar terhadap anggota terkuat dalam tubuh NATO sendiri, Amerika Serikat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
95
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Jika diterapkan lebih lanjut, tentu saja Eropa akan mengalami integrasi luar biasa yang tidak dapat dikalahkan kawasan-kawasan lain yang memiliki regionalisme tersendiri di belahan dunia yang lain. Dan desakan itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kehadiran Rusia sebagai ‘ancaman lama’ yang masih eksis di dalam kawasan, juga pergeseran paradigma ekonomi yang menganggap kawasan Samudera Pasifik jauh berprospek dan lebih menguntungkan daripada kawasan Samudera Atlantik. Terutama di abad-21 yang sedang gencarnya arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan di seluruh dunia. Tentu saja penciptaan keamanan dan perdamaian memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan ekonomi sebuah kawasan.
96
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti
Daftar Pustaka Dunne, Tim & Schimdt, Brian C. 2005. “Realism”, dalam John Baylis and Steve Smith The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (Third Edition). New York: Oxford University Press. Hal. 162-181 Encyclopædia Britannica Online, 2015. “North Atlantic Treaty Organization (NATO)”. [daring]. dalam: http://www. britannica.com/topic/North-Atlantic-Treaty-Organization [diakses 12 Desember 2015]. Eur-lex. 2007. “Cooperation with NATO”. [daring]. dalam: http://eurlex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=URISERV:l33243 [diakses 12 Desember 2015]. European Union Newsroom. 2014. “EU sanctions against Russia over Ukraine crisis”, dalam: http://europa.eu/newsroom/ highlights/special-coverage/eu_sanctions/ index_en.htm [diakses 12 Desember 2015]. Gunther, Hellmann, and Reinhard Wolf, 1993. “Neorealism, Neoliberal Institutionalism, and the Future of NATO.” Security Studies Vol.3. pp. 3-43. Jakobsen, Jo. 2013. “Neorealism in International Realtions - Kenneth Waltz” [daring]. dalam http://www.popularsocialscience. com/2013/11/06/neorealism-in-international-relationskenneth-waltz/ [diakses pada 8 Oktober 2016] Kelly, Kieran, 2015. “The Refugee Crisis and the Genocidal Nature of US-NATO Interventions”, dalam Global Research, September 07, 2015. [daring]. Tersedia dalam: http://www. globalresearch.ca/the-refugee-crisis-and-the-genocidalnature-of-us-nato-interventions/5474296 [diakses pada 12 Desember 2015]. North Atlantic Treaty Organization (NATO), 2015. “A short history of NATO”, dalam History Homepage. [daring]. dalam: http://www.nato.int/history/nato-history.html [diakses 12 Desember 2015].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
97
Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer
Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). t.t. “Participating States”. [daring]. dalam: http://www.osce. org/states [diakses 24 September 2015]. Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). t.t. “Who we are”. [daring]. dalam: http://www.osce.org/ whatistheosce [diakses 24 September 2015]. Putin, Vladimir. 2007. Vladimir Putin’s Address on the Occasion of Boris Yelstin’s Passing Kremlin, 23 April 2007. [daring]. dalam: http://president.kremlin.ru/eng/ speeches/2007/04/23/2207_type82912_125079.shtml [diakses pada 12 Desember 2015]. Report to The Congress by The Comptroller General of The United States. 1977. Relationships Between U.S. And NATO Military Command Structures-Need For Closer Integration. [PDF]. dalam: http://www.gao.gov/assets/130/120115.pdf [diakses 12 Desember 2015]. Rockwood, Irving. 1995. “The Role of International Organization”. Dubuque: Brown & Benchmark Publishers Scheuer, Michael, 2015. U.S.-NATO military interventions caused Europe’s migrant disaster. [online]. dalam: http://nonintervention.com/1801/u-s-nato-military-interventionscaused-europes-migrant-disaster/ [diakses pada 12 Desember 2015]. Wicaksana, I Gede Wahyu. 2015. MBP Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah SOH321 : Understanding Russia II : Russia’s Foreign Policy. Universitas Airlangga, FISIP Universitas Airlangga pada 10 April.
98
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia Taruna Rastra Sakti ABSTRACT Lombok Treaty is a form of security cooperation that based on the concept of cooperative security. Lombok Treaty was initiated by Indonesia and Australia in 2006 to address security issues faced by both countries. Back in the beginning of its formation in 2006, until this study was conducted in 2015, the problems and disputes in the field of security between Indonesia and Australia are still going on. This article shows three causes of the agreement ineffectiveness: the differences in interests, lack of trust and strategic asymmetry that affect the effectiveness of Lombok Treaty. Those circumstances made cooperative security between Indonesia dan Australia in Lombok Treaty become ineffective to accomplish their objective. Keywords: cooperative security, Lombok Treaty, strategic asymmetri Traktat Lombok merupakan salah satu bentuk kerjasama keamanan dengan dasar-dasar kerjasama keamanan yang dijalin oleh Indonesia dan Australia pada tahun 2006 dalam mengatasi masalah keamanan kedua negara. Namun, sejak awal pembentukannya di tahun 2006 hingga penelitian ini dilakukan di tahun 2015, permasalahan dan perselisihan dalam bidang keamanan antara Indonesia dengan Australia masih tetap terjadi. Tulisan ini menunjukkan tiga penyebab kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak berjalan efektif, yaitu adanya perbedaan kepentingan, ada rasa saling tidak percaya antara kedua negara dan terdapat strategi asimetri yang berpengaruh terhadap efektivitas Traktat Lombok. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kerjasama keamanan antara Indonesia dan Australia dalam bentuk Traktat Lombok tidak efektif mencapai tujuan awalnya. Kata-Kata Kunci: kerjasama keamanan, Traktat Lombok, strategi asimetri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
99
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Pada tanggal 13 November 2006 di Mataram, Lombok, pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani sebuah perjanjian kerangka kerjasama keamanan yang dikenal dengan sebutan Traktat Lombok. Kerjasama itu kemudian diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 2007. Namun, perselisihan antara Indonesia dengan Australia dalam bidang keamanan tetap saja terjadi. Kasus yang telah terjadi di antaranya ialah peristiwa penyadapan alat komunikasi oleh lembaga intelijen Australia terhadap presiden Republik Indonesia pada tahun 2009 yang lalu diketahui oleh publik pada tahun 2013. Selain itu, terdapat kasus lain ketika pemerintahan Tony Abbot yang beberapa kali menindak imigran gelap yang menuju ke Australia dengan memanfaatkan wilayah kedaulatan Indonesia. Ini seperti yang terjadi pada 15 Januari 2014 ketika sebuah perahu berwarna oranye berisi 60 orang imigran berlabuh di Jawa Barat yang kemudian diikuti oleh perahu kedua dengan penumpang sebanyak 34 orang pada tanggal 5 Februari (Toohey, 2014). Oleh karena itu timbullah pertanyaan mengenai efektivitas Traktat Lombok dalam mencegah perselisihan keamanan antara Indonesia dengan Australia. Setidaknya terdapat tiga variabel yang menyebabkan Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia tidak efektif. Pertama, terlihat bahwa ada perbedaan kepentingan antara Indonesia dan Australia ketika menyusun poin-poin yang disepakati dalam kerjasama keamanan ini. Selain perbedaan kepentingan, penulis juga melihat ada rasa saling tidak percaya antara kedua negara. Rasa saling tidak percaya itu merupakan akibat dari adanya persepsi yang berbeda pada masyarakat kedua negara. Variabel terakhir adalah adanya strategic asymmetry dalam hubungan antara Indonesia dan Australia. Penulis melihat ada kecenderungan Australia sebagai negara yang lebih kuat secara teknologi dan persenjataan militer untuk tidak berkomitmen penuh terhadap poin-poin kerjasama keamanan yang telah disepakati oleh kedua negara. Dari hal-hal tersebut, maka penulis dapat menyatakan bahwa kerjasama keamanan antara Indonesia dan Australia dalam bentuk Traktat Lombok tidak efektif dalam menghilangkan perselisihan dalam bidang keamanan. Tulisan ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama menguraikan kronologi dan dasar di balik pembentukan dan perumusan kerjasama keamanan Traktat Lombok serta adanya perbedaan kepentingan Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok.
100
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Bagian kedua berisikan tentang perbedaan persepsi yang terjadi antara Indonesia dan Australia. Perbedaan persepsi ini merupakan variabel kedua yang menyebabkan Traktat Lombok tidak efektif. Bagian ketiga menunjukkan penyebab lain berupa strategic asymmetry antara Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok. Bagian terakhir adalah kesimpulan dari keseluruhan tulisan ini. Kepentingan Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok Sebelum dilakukan penandatanganan perjanjian keamanan antara Indonesia dengan Australia pada tahun 2006, wacana pembicaraan tentang perlunya kedua negara melakukan kerjasama keamanan sudah terlihat sejak tahun 2003. Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) pada saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Australia setahun setelah peristiwa Bom Bali I (Hakim, 2010). Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu menyatakan bahwa untuk dapat memberantas ancaman keamanan baik yang bersifat tradisional maupun non-tradisional maka kedua negara perlu meningkatkan kemampuannya. Pada masa pemerintahannya selaku presiden Republik Indonesia, kemudian digagas Joint Declaration on Comprehensive Partnership between The Republic of Indonesia and Australia. Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kedua negara sama-sama memiliki komitmen untuk memperkuat kerjasama di bidang ekonomi dan teknis, kerjasama keamanan, serta meningkatkan interaksi antar masyarakat. Deklarasi ini juga menyebutkan pentingnya kerjasama dalam menumpas terorisme yang menjadi perhatian bersama, terutama paska terjadinya Bom Bali I tahun 2002. Untuk itu, kedua negara sepakat untuk melakukan kerjasama dalam hal peningkatan kapabilitas polisi, pertukaran informasi intelijen, serta kerjasama imigrasi dan bea cukai. Selain itu, komitmen untuk melakukan kerjasama di bidang maritim dan penjagaan keamanan laut juga menjadi prioritas utama dalam merespon ancaman kejahatan transnasional yang saat itu banyak melalui jalur laut (Hakim, 2010). Terdapat jeda waktu selama kurang lebih tiga tahun dalam melakukan berbagai pembicaraan dan perundingan antara kedua negara sebelum kedua negara menghasilkan kesepakatan. Dua perundingan secara formal mengenai naskah perjanjian yang ketika itu akan disepakati dilakukan pada bulan Agustus 2006 di Jakarta dan September 2006 di Canberra.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
101
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Setelah itu, dilangsungkan pertemuan tingkat menteri luar negeri di New York di sela sidang Majelis Umum di PBB untuk membahas dan menyepakati naskah final Agreement between The Government of The Republic Indonesia and The Government of Australia on the Framework for Security Cooperation. Perjanjian keamanan antara Indonesia-Australia secara resmi ditandatangani oleh menteri luar negeri masing-masing negara pada tanggal 13 November 2006 di Mataram, Lombok (Hakim, 2010). Mengingat lokasi penandatanganan tersebut, maka perjanjian keamanan ini juga dikenal dengan Traktat Lombok. Dilihat dari naskah perjanjian ini, ada beberapa tujuan utama dari perjanjian ini. Pertama, menciptakan suatu kerangka guna memperdalam dan memperluas kerjasama, serta untuk meningkatkan kerjasama dan konsultasi antara para pihak dalam bidang yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama mengenai permasalahan yang memengaruhi keamanan bersama dan keamanan nasional masing-masing. Kedua, membentuk suatu mekanisme konsultasi bilateral dengan tujuan untuk memajukan dialog dan pertukaran intensif serta penerapan kegiatan kerjasama dan sekaligus juga memperkuat hubungan antar-lembaga sesuai dengan perjanjian ini. Dalam pasal 2, ayat yang diangkat sebagai bagian krusial dari perjanjian ini adalah ayat 2 yang berbunyi: “Saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam negeri masing-masing” (News Letter Edisi III, 2008). Berdasarkan pasal tersebut, dengan adanya perjanjian ini, Australia tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan begitu juga sebaliknya. Pada satu pihak, poin ini menguntungkan Indonesia karena dengan demikian ada pembatasan untuk Australia dalam mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, sebagaimana yang terjadi selama ini. Pengalaman Indonesia dalam kasus lepasnya Timor Timur (Timor Leste) dan juga sikap Australia terhadap Papua membuat pasal ini sangat penting bagi Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia memiliki potensi separatisme yang besar. Dengan mereduksi peluang negara lain untuk intervensi, maka Indonesia lebih mudah untuk menyelesaikan masalah separatisme yang sedang dihadapi. Masalah separatisme ini bisa dikatakan tidak berpeluang untuk terjadi di negara Australia. Dengan kondisi yang demikian, maka Australia tidak memiliki kepentingan apapun dengan adanya pasal ini dalam Traktat Lombok.
102
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi: “Pemajuan pengembangan dan pembangunan kapasitas lembaga-lembaga pertahanan dan angkatan bersenjata kedua negara. Bentuk nyata dari kerjasama yang tertulis dalam pasal ini termasuk dalam bentuk pendidikan dan pelatihan militer, latihan, kunjungan dan pertukaran pendidikan, penerapan metode ilmiah untuk mendukung pembangunan kapasitas dan manajemen serta kegiatan terkait lain yang saling menguntungkan” (News Letter Edisi III, 2008). Kerjasama dalam bentuk ini saling menguntungkan jika kedua negara memiliki keunggulan kompetitif, tetapi hanya menguntungkan salah satu pihak saja jika pihak lain cenderung lebih kuat dibandingkan pihak lain. Australia secara profesionalitas dan persenjataan dapat dikatakan lebih maju bila dibandingkan dengan Indonesia, tetapi negara kangguru ini mau menjalin kerjasama untuk meningkatkan profesionalitas Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dari hal ini terlihat jelas bahwa Australia turut membantu memperkuat pertahanan Indonesia. Salah satu hal yang bisa menjadi keuntungan bagi Australia adalah bahwa keamanan internal Indonesia juga berpengaruh terhadap keamanan internalnya Pasal 3 ayat 18 berbunyi: “Kerjasama, apabila diperlukan dan diminta, dalam memfasilitasi koordinasi yang efektif dan cepat dalam langkah-langkah tanggap darurat dan pemulihan bencana alam atau keadaan darurat yang serupa. Pihak yang meminta bantuan memiliki tanggung jawab utama dalam menentukan arah kebijakan secara keseluruhan operasi tanggap darurat dan pemulihan kondisi darurat” (News Letter Edisi III, 2008). Beberapa peristiwa telah membuktikan bagaimana Indonesia mendapatkan banyak manfaat dari bantuan yang diberikan oleh Australia. Bencana tsunami di Aceh merupakan salah satu bukti nyata bagaimana militer Australia memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia. Perjanjian keamanan Indonesia dengan Australia dalam Traktat Lombok memuat beberapa prinsip. Pertama, prinsip pernyataan atas kedaulatan, kesatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah masing-masing. Kedua, pengakuan atas prinsip bertetangga yang baik serta tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Ketiga, pengakuan adanya tantangan global seperti terorisme internasional, serta ancaman keamanan baik yang bersifat militer maupun nirmiliter.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
103
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Berdasarkan beberapa prinsip diatas, maka Indonesia berkepentingan terhadap Australia, khususnya dalam menjaga integritas NKRI. Pernyataan diatas tercantum dalam artikel 2 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi:”Saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik masing-masing; dan juga non- intervensi terhadap urusan dalam negeri satu sama lain” dan ”Kedua belah pihak, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban internasional yang berlaku, tidak akan mendukung dan berpartisipasi dengan cara apapun dalam kegiatan yang dilakukan baik oleh perorangan atau kelompok tertentu yang bisa mengancam stabilitas, kedaulatan, atau integritas politik pihak lainnya, termasuk menggunakan wilayah pihak lainnya untuk melakukan separatisme” (News Letter Edisi III, 2008). Kepentingan Australia dalam Traktat Lombok juga menjadi salah satu latar belakang yang penting dalam melaksanakan penelitian ini. Australia sebagai negara yang lebih maju dalam beberapa bidang dapat dipastikan mempunyai sebuah kepentingan dalam perjanjian. Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dilihat dalam pemaknaan beberapa pasal dalam Traktat Lombok itu sendiri. Pertama, pasal 3 ayat 5 berbunyi: “Kerjasama untuk membangun kapasitas para penegak hukum untuk mencegah, menangani, dan menyelidiki kejahatan transnasional” (News Letter Edisi III, 2008). Pasal ini ditujukan untuk mendorong adanya kerjasama untuk menangani masalah kejahatan transnasional yang mengancam kedua negara. Akan tetapi, dapat terlihat bahwa kepentingan Australia dalam pasal ini lebih dominan jika dibandingkan kepentingan Indonesia. Seperti diketahui bahwa Australia menghadapi ancaman terhadap penyelundupan manusia dari Indonesia dan Pasifik. Pasalnya, pendatang gelap yang banyak berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan ini masuk melalui kepulauan bagian barat, terutama kepulauan Christmas yang berdekatan dengan kepulauan Indonesia. Indonesia dijadikan tempat transit dan persinggahan alternatif bagi para pendatang gelap yang bertujuan ke Australia (Hakim, 2010). Kedua, pasal 3 ayat 12 berbunyi: “Kerjasama dan pertukaran informasi dan intelijen dalam masalah keamanan antara lembaga dan badan terkait dengan menaati peraturan nasional dan dalam batasan tanggung jawab masing-masing.” (News Letter Edisi III, 2008).
104
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Kesepakatan kedua negara menjadikan pertukaran informasi dan intelijen menjadi lebih mudah yang menjadi keuntungan besar untuk Australia. Dengan adanya pertukaran informasi dan intelijen, maka Australia dapat dengan mudah mengukur kekuatan pertahanan Indonesia dan mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi Indonesia yang notabene dianggap sebagai kunci dari keamanan kawasan Asia Tenggara. Ketiga, pasal 3 ayat 18 yang telah disebutkan bahwa menguntungkan bagi Indonesia dalam mendapatkan manfaat dan bantuan pada saat terjadi situasi-situasi darurat. Namun, ayat ini ternyata juga bisa dijadikan peluang bagi Australia untuk masuk ke urusan dalam negeri Indonesia. Hal ini terutama karena Indonesia merupakan daerah yang rawan konflik dan bencana. Dengan demikian, masuknya pengaruh Australia di Indonesia menjadi semakin lebih mudah. Perbedaan Persepsi antara Indonesia dan Australia Hambatan yang kedua adalah perbedaan persepsi antara pihakpihak yang melakukan kerjasama keamanan. Sebagaimana yang terjadi pada saat Perang Dingin, banyak kawasan yang mempersepsikan ancaman dari berbagai sumber. Sebagai contoh, tindakan Korea Utara yang melakukan uji coba peluru kendali dipersepsikan sebagai ancaman tidak hanya oleh Korea Selatan, tetapi juga oleh Jepang dan juga Amerika Serikat. Demikian juga sebaliknya, suatu negara merasa terancam oleh tindakan-tindakan negara lain yang belum tentu dimaksudkan untuk mengancam. Persepsi yang menganggap bahwa ancaman muncul dari banyak sumber menghambat negara-negara untuk melakukan kerjasama keamanan. Dapat dilihat bahwa Indonesia dan Australia berbeda dalam banyak hal (Evans dan Grant 1992). Perbedaan dalam bahasa; budaya; agama; sejarah; populasi; demografi; serta sistem politik, ekonomi, dan hukum. Umumnya negara yang bertetangga memiliki banyak persamaan setidaknya dalam beberapa karakteristik, tetapi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan Australia yang negara kontinental memiliki perbedaan yang sangat banyak. Kadang kala, perbedaan budaya sering dijadikan sebagai justifikasi untuk masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam hubungan luar negeri (Zai’nuddin 1986).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
105
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Richard Woolcott (2005) mengatakan bahwa perbedaan yang besar dengan negara tetangga bukanlah alasan untuk rasa takut tetapi sebagai tantangan dalam membangun jembatan kebudayaan. Bagaimanapun juga, ada satu kesamaan aspek dalam persepsi ancaman. Survei yang dilakukan terhadap opini masyarakat Indonesia dan Australia menunjukkan bahwa setidaknya setengah penduduk dari masing-masing negara memiliki persepsi yang negatif terhadap negara yang lainnya. The Lowy Institute mengadakan survei opini publik di Australia setidaknya satu tahun sekali sejak tahun 2006 dengan menanyakan pandangan masyarakat terhadap negara yang lain dari skala 0 (tidak suka) hingga 100 (suka). Hasilnya, Indonesia memiliki rating 50 menurut masyarakat Australia. Pada tahun 2009, 54 persen masyarakat Australia tidak mempercayai Indonesia untuk bersikap baik. Pada tahun 2006, Australia mendapatkan rating 51 dari masyarakat Indonesia yang di survey (Hanson, 2010). Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa kedua negara memiliki rasa saling tidak percaya antara satu terhadap yang lainnya. Persepsi berpengaruh besar terhadap keberhasilan sebuah kerjasama, dalam bidang apapun dan tidak hanya berlaku dalam bidang keamanan. Persepsi menentukan sikap dan tindakan yang diambil terhadap pihak lain. Dalam konteks hubungan Indonesia dengan Australia, persepsi yang tidak sama dan bahkan berbeda menyulitkan keberhasilan kerjasama yang terjalin. Kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak dapat efektif dan berhasil mencapai tujuannya jika Indonesia memiliki persepsi yang negatif terhadap Australia dan juga sebaliknya. Bahkan Traktat Lombok juga tidak efektif meskipun satu pihak memiliki persepsi yang positif, tetapi pihak yang lain memiliki persepsi yang negatif terhadap terhadap mitra kerjasamanya. Strategic Asymmetry dalam Traktat Lombok Hambatan yang ketiga adalah adanya strategic asymmetry. Strategic asymmetry juga membuat kerjasama antar negara dalam bidang keamanan semakin sulit terjadi karena membuat pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh negara-negara sulit untuk ditentukan. Beberapa contoh dari strategic asymmetry yang terjadi adalah seperti perbedaan secara demografi dan militer.
106
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Perbedaan pada tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, dan juga homogenitas maupun heterogenitas penduduk juga merupakan faktor yang memengaruhi keberlangsungan kerjasama suatu negara dengan negara lain (Singh, 2002). Dimensi strategi asimetri dapat berbentuk positif dan negatif (Metz, 2001). Ketika Australia meggunakan keunggulan, kemampuan, dan teknologinya untuk menegaskan keunggulannya atas Indonesia, maka strategi asimetri antara Indonesia dan Australia berdimensi positif. Akan tetapi, ketika Australia menggunakan keunggulannya untuk memberikan ancaman dan untuk membuat Indonesia takut, maka strategi asimetri memiliki dimensi yang negatif. Kerjasama pelatihan militer Australia terhadap personil militer Indonesia merupakan keunggulan yang berdimensi positif. Namun, apa yang dilakukan Australia dalam beberapa hal seperti kebijakan turn-back boat ke perairan dan melanggar batas wilayah Indonesia adalah strategi asimetri yang berdimensi negatif. Selain dimensi positifnegatif, strategi asimetri bisa juga memiliki dimensi lain seperti meteril-psikologis (Metz, 2001). Ada beberapa bentuk strategi asimetri yakni metode, teknologi, keinginan, organisasi, dan waktu (Metz, 2001). Kesenjangan dalam aspek metode berkaitan dengan perbedaan cara jika terjadi perang. Aspek teknologi berkaitan dengan teknologi peralatan militer yang digunakan untuk menghadapi musuh. Aspek ketiga yaitu keinginan berkaitan dengan motif dan moral dalam berperang. Aspek organisasi lebih mengacu kepada manajemen dan pengorganisasian ketika berhadapan di medan perang. Sedangkan, aspek waktu seringkali dikaitkan dengan aspek keinginan, tetapi aspek ini lebih mengacu kepada keinginan pihak untuk berperang dalam jangka waktu yang lama atau jangka waktu pendek. Dari dimensi dan bentuk strategi asimetri yang disebutkan di atas, penulis melihat strategi asimetri yang terjadi antara Indonesia dan Australia memiliki kedua dimensi baik positif dan negatif. Dalam bagian ini, peneliti lebih melihat pada dimensi materil daripada psikologis. Hal ini karena dimensi materil lebih bisa diukur jika dibandingkan dengan dimensi psikologis. Terdapat beberapa dimensi materil dalam strategi asimetri. Pertama, kesenjangan strategis dalam geografi.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
107
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Dalam konteks ini, Indonesia sebenarnya memiliki posisi yang strategis jika dibandingkan dengan Australia. Letak geografis Australia seolah-olah terisolasi oleh dunia sebelah utara dan sangat banyak bergantung kepada sikap Indonesia jika ingin melakukan hubungan dengan negara lain di sebelah utara. Letak Indonesia bisa menjadi ‘benteng’ bagi Australia, atau justru menjadi musuh yang terdekat baginya. Kedua, dimensi kesenjangan dalam kepemilikan kekuatan militer yang dimiliki oleh negara lain merupakan salah satu bentuk hambatan dalam kerjasama (Moodie, 2000). Perbedaan yang lebar dalam kekuatan militer adalah memang menjadi masalah, tetapi bukan menjadi satu-satunya hambatan dalam membentuk kerjasama. Terkadang, penguasaan suatu negara dalam teknologi militer tertentu menjadi masalah dan dianggap berbahaya bagi negara lain yang bekerjasama. Menghilangkan kesenjangan dalam kepemilikan dan kemampuan militer adalah sesuatu yang sangat sulit karena berkaitan dengan persepsi ancaman yang muncul. Pada tataran strategis, Australia terbukti mampu melakukan hal-hal yang dipraktikkan oleh negara-negara maju. Ketika menerima permintaan bantuan dari pemerintah Timor Leste pada tanggal 25 Mei 2006, hanya dalam waktu 24 jam Australia mampu mengirimkan satuan militer dalam jumlah besar. Satuan militer tersebut melibatkan berbagai jenis kapal perang sekaligus yang semuanya tiba secara terjadwal. Hingga akhir tahun 2007 pun, Australia masih menempatkan kekuatan militernya di Irak, Afghanistan, dan Kepulauan Solomon (Ali, 2006). Di sisi lain, sampai tahun 2005, anggaran pertahanan Indonesia hanya sebesar 0,68% dari produk domestik bruto (PDB), atau sedikit diatas Laos (0,42%) yang tergolong negara paling miskin di Asia Tenggara. Sebaliknya, anggota ASEAN yang lain memiliki persentase anggaran pertahanan yang lebih tinggi seperti Vietnam (6,35%), Brunei Darussalam (6,00%), Myanmar (5,60%), Singapura (2,59%), Malaysia (2,16%), Thailand (1,91%), Kamboja (1,36%), dan Filipina (1,09%) (Djalal, 2006). Australia mengalokasikan 26,9 miliar dolar Amerika, sedangkan Indonesia mengalokasikan anggaran pertahanannya sekitar 8.01 miliar dolar Amerika (Nation Master, 2014). Itu berarti Australia memiliki anggaran pertahanan tiga kali lebih besar dari Indonesia.
108
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Untuk pesawat tempur, Australia memiliki 96 unit, sedangkan Indonesia memiliki 69 unit. Australia secara kuantitas memiliki keunggulan 39% dibandingkan dengan Indonesia. Australia memiliki 6 kapal selam, sedangkan Indonesia hanya memiliki 2 kapal selam. Jumlah kapal frigate yang dimiliki oleh Australia juga lebih banyak daripada Indonesia. Meskipun begitu, Indonesia memiliki keunggulan kepemilikan jumlah kapal corvette dengan jumlah 22 unit, sedangkan Australia tidak memiliki satupun kapal corvette. Ketiga, dimensi penguasaan wilayah juga menjadi poin strategi asimetri tersendiri (Rezasyah, 2009). Sebagai negara maritim, Indonesia belum bisa sepenuhnya berdaulat dalam mempertahankan wilayah di darat, laut, dan udara. Padahal perairan Indonesia memiliki setidaknya empat dari sembilan chokepoints (perairan strategis yang sempit) yang ada di dunia yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat OmbaiWetar. Indonesia juga memiliki tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yakni perairan yurisdiksi yang digunakan bagi kepentingan navigasi internasional. Dengan posisi yang yang sangat vital ini, perairan Indonesia merupakan penghubung antara kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dengan kawasan Asia Timur yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi. Simpulan Tratktat Lombok tidak berjalan efektif karena ada banyak faktor yang menjadi hambatan. Faktor pertama yang menyebabkan Traktat Lombok tidak efektif adalah karena adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia dengan Australia. Dari sepuluh poin yang disepakati oleh kedua negara dalam Traktat Lombok, tidak semua poin itu yang merupakan kepentingan tiap negara. Indonesia memiliki kepentingan pada beberapa poin kesepakatan, sedangkan Australia juga memiliki kepentingan tersendiri di beberapa poin kesepakatan yang lainnya. Akibat dari perbedaan kepentingan tersebut, maka fokus perhatian masing-masing negara dalam mengimplementasikan perjanjian kerjasama keamanan tersebut menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, tidak semua poin-poin kesepakatan itu berjalan secara efektif karena perbedaan kepentingan tersebut.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
109
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Faktor kedua yang juga menyebabkan Traktat Lombok tidak berjalan efektif adalah karena adanya persepsi yang bertentangan antara Indonesia dengan Australia. Suatu kerjasama berhasil jika pihakpihak yang terlibat dalam suatu kerjasama itu memiliki satu persepsi yang sama. Dalam konteks hubungan Indonesia dengan Australia, ada perbedaan persepsi yang terjadi antara keduanya. Bahkan dapat dikatakan bahwa persepsi antar keduanya saling bertentangan. Sebagian masyarakat dan elit Indonesia memiliki persepsi yang positif terhadap Australia dan sebagian yang lain memiliki persepsi yang negatif. Secara garis besar, jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki persepsi positif dan yang memiliki persepsi negatif hampir memiliki angka yang sama. Sekitar separuh dari masyarakat Indonesia yang memiliki persepsi positif terhadap Australia dan separuh yang lain menganggap Australia negatif karena memiliki tujuan yang tidak baik terhadap Indonesia. Jika persepsi masyarakat Indonesia terhadap Australia antara yang positif dan negatif memiliki perbandingan yang seimbang, maka jumlah tersebut tidak berlaku di Australia. Sebagian besar masyarakat Australia memiliki persepsi yang negatif terhadap Indonesia, sedangkan sebagian kecil masyarakat Australia memiliki persepsi yang positif terhadap Indonesia. Sebagian besar masyarakat Australia menganggap bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi ancaman keamanan nasional Australia. Dengan adanya persepsi seperti itu, maka sebenarnya tidak ada rasa saling percaya antara Indonesia dengan Australia. Walaupun sebenarnya rasa saling percaya adalah salah satu hal fundamental dalam membangun sebuah kerjasama. Dengan tidak adanya rasa saling percaya antara Indonesia dengan Australia, maka hal tersebut turut menjadi penyebab kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak berjalan efektif. Penyebab ketiga yang membuat kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak berjalan efektif adalah karena adanya asimetri dalam kekuatan strategis. Ada kesenjangan antara kekuatan strategis Indonesia dengan kekuatan strategis Australia. Hasil penelitian dengan mengumpulkan banyak data menunjukkan bahwa kekuatan strategis Australia lebih unggul dan lebih kuat jika dibandingkan kekuatan strategis yang dimiliki oleh Indonesia.
110
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Negara dengan kekuatan strategis yang lebih kuat akan cenderung meremehkan komitmen kerjasama dengan negara lain yang lebih rendah kekuatannya. Negara yang memiliki kekuatan strategis lebih kuat akan cenderung lebih berani untuk melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan kerjasama daripada negara yang memiliki kekuatan strategis yang lebih rendah. Dalam konteks ini, Australia cenderung lebih berani untuk melakukan pelanggaran terhadap komitmen kerjasama Traktat Lombok seperti dengan melakukan penyadapan, pelanggaran terhadap batas wilayah, dan mengenai masalah penanganan imigran tanpa dokumen. Dalam efektifitas Traktat Lombok, kesenjangan kekuatan bukan menjadi penyebab langsung, tetapi menjadi penyebab tidak langsung perjanjian kerjasama Traktat Lombok tidak berjalan efektif.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
111
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia
Daftar Pustaka Ali, Alman Helvas, 2006. “Operation Astute di Timor Timur: Lesson Learned Bagi Indonesia”, Quarter Deck, Juni, 6 (1). Djalal, Hasyim, 2006. “ Maritime Security in South East Asia: Addressing the Concerns”, Indodefence Conference 2006. Maritime Security: Challenges and Prospects for Regional Cooperation. Jakarta, 23-24 November. Evans, Gareth, dan Bruce Grant, 1992. Australian Foreign Policy in the World of the 1990s. Melbourne University Press. Hakim, Fathoni, 2010. Perjanjian Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hanson, Fergus, 2010. “Australia and Indonesia: Knowing Me, Knowing You” [online]. dalam http://www.lowyinstitute. org/files/pubfiles/ Hanson%2CAustraliaandIndonesia.pdf [diakses pada 19 Maret 2016]. Metz, Steven, 2001. “Strategic Asymmetry”, Military Review, JuliAgustus. Moodie, Michael, 2000. “Cooperative Security: Implications for National Security and International Relations”, Cooperative Monitoring Center Occasional Paper/14, SAND98-0505/14 Unlimited Release, Januari. Nation Master, 2014. “Military Comparison: Indonesia and Australia” [online]. dalam http://www.nationmaster.com/ country-info/compare/Australia/ Indonesia/Military#2014 [diakses pada 18 Maret 2016]. News Letter Edisi III, 2008. “Lombok Treaty”, dalam News Letter Media dan Reformasi Sektor Keamanan Edisi III/06/2008. Jakarta: Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS). Rezasyah, Teuku, 2009. Setahun Perjanjian Lombok: Sekedar Kesepakatan atau Dokumen Strategis?, Bandung: Universitas Padjadjaran.
112
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Singh, Bilveer, 2002. Defence Relations between Australia and Indonesia in the Post-Cold War Era. Praeger Toohey, Paul, 2014. “Inside the Sovereign Borders Turn-back Lifeboat” [online]. dalam http://www. news.com.au [diakses tanggal 12 September 2015]. Woolcott, Richard AC, 2005, Indonesia Update 2005, in Different societies, shared futures: Australia, Indonesia and the region. John Monfries. Zai’nuddin, Ailsa Thomson (ed.), 1986. Nearest Southern Neighbour: some Indonesian views of Australia and Australians. Clayton: Monash University Centre for Soutwest Asian Studies.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
113
114
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon Kartika Yustika Mandala Putri
ABSTRACT Amazon is the largest tropical forest in the world where most of its area is in Brazil. However, Amazon has deforestated lately due to the rise of soy demand. In order to overcome Amazon deforestation, Greenpeace is working with many actors including private companies. Soy Moratorium is the most effective mechanism for mitigation. Research aims to analyze Greenpeace influence in soy moratorium in Brazil in order to minimize Amazon’s deforestation. By using ecocentrism view, research finds that structural change and mechanism are needed so as to fix the environment. Research does two stages hypothesis testing. First is by using NGO diplomacy to analyze Greenpeace’s role. Second is by using the level of NGO influence to find how far Greenpeace influences soy moratorium. Keywords: Greenpeace, soy moratorium, NGO diplomacy, Brazil Amazon merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan sebagian besar wilayahnya berada di teritorial negara Brazil. Amazon banyak mengalami deforestasi. Laju deforestasi semakin besar ketika angka permintaan kedelai terus meningkat. Menghadapi hal tersebut, Greenpeace mengandeng perusahaan multinasional untuk memberikan komitmennya dalam menjaga kelestarian Amazon. Moratorium Kedelai merupakan salah satu mekanisme yang banyak disebut sebagai mekanisme yang efektif dan dapat menjadi contoh upaya mitigasi terhadap deforestasi Amazon. Penelitian ini menganalisis pengaruh Greenpeace dalam komitmen Moratorium Kedelai di Brazil dalam upaya penurunan angka deforestasi hutan Amazon. Pandangan yang digunakan dalam penelitian adalah pandangan ekosentrisme, yang meyakini adanya kebutuhan perubahan struktur dan mekanisme untuk memperbaiki lingkungan. Penulis melakukan pengujian hipotesis dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan teori Diplomasi NGO untuk menganalisis peran Greenpeace. Tahap kedua menganalisis tingkat pengaruh dari Greenpeace untuk mengetahui tinggi rendahnya pengaruh Greenpeace dalam Moratorium Kedelai. Kata-Kata Kunci: Greenpeace, moratorium Kedelai, diplomasi NGO, Brazil
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
115
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Brazil merupakan salah satu dari tiga negara eksportir kedelai terbesar di dunia termasuk Amerika Serikat dan Argentina, dan ketiganya menguasai 80% produksi kedelai dunia (WWF, 2014). Agrobisnis kedelai mulai melahirkan permasalahan di Brazil ketika perkebunan kedelai dilakukan dengan mengambil area hutan Amazon yang merupakan hutan hujan terbesar di dunia. Amazon tidak hanya sebagai penadah hujan dan habitat bagi biodiversitas, tetapi juga memproduksi 20% oksigen bumi (Corwin, 2007), sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi Amazon penting bagi bumi. Brazil merupakan negara yang memiliki bagian hutan Amazon yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara Amerika Selatan lainnya. Hal ini menyebabkan lahirnya tanggung jawab secara tidak langsung oleh Brazil terhadap pelestarian paru-paru dunia. Hingga tahun 2012, tercatat luas lahan digunakan sebagai ladang kedelai seluas 24 juta hektar dan 2,1 juta hektar dari total tersebut mengambil wilayah Amazon (Greenpeace, 2012). Pada periode tahun 2001 dan 2004, penelitian telah berhasil menguraikan adanya keterkaitan antara pertanian yang melakukan deforestasi, peningkatan harga kedelai, dan pembersihan hutan. Tingginya kesadaran mengenai masalah lingkungan menuntut pelaksanaan konferensi dan negosiasi lingkungan yang bertujuan untuk membahas solusi dari isu tersebut. Merespon permasalahan mengenai deforestasi, pada 24 Juni 2006, Moratorium Kedelai disepakati sebagai sebuah komitmen sukarela yang ditandatangani oleh industri dan para anggota eksportir Brazilian Vegetable Oil Industries Association (ABIOVE) dan National Grain Exporters Association (ANEC). Tidak hanya disetujui secara sukarela oleh sektor-sektor swasta, inisiatif ini juga didukung oleh Pemerintah Brazil dan kelompok masyarakat sipil (FAO, t.t). Semenjak disepakatinya Moratorium Kedelai, perusahaan multinasional memberikan klaim bahwa rantai produksi dan suplai mereka telah menjadi “hijau”, atau ramah lingkungan. Sebelum moratorium disepakati, 30% dari perluasan kebun kedelai terjadi melalui deforestasi, sementara setelah moratorium dilaksanakan, hampir tidak ada pembukaan lahan baru (Butler, 2015).
116
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Grafik 1 Deforestasi dan Produksi Kedelai di Brazil (Butler, 2015)
Grafik di atas menjelaskan bahwa semenjak tahun 2006 hingga tahun 2013 angka pembukaan lahan yang baru semakin menurun, dan lahan yang sudah terbuka sebelumnya semakin dimaksimalkan pemanfaatannya (Gibbs et. al., 2015). Moratorium Kedelai tidak hanya memberikan dampak terhadap komitmen pemboikotan dalam industri kedelai hasil deforestasi Amazon, tetapi juga sebagai pondasi terhadap strategi pemberantasan deforestasi Amazon lainnya. Hasil dari komitmen ini menjadi pondasi kebijakan dan komitmen lainnya, dan salah satunya berkembang sebagai cetak biru Perjanjian Peternakan yang menerapkan mekanisme komitmen yang sama seperti Moratorium Kedelai (Butler, 2015). Menurunnya deforestasi Amazon mendapatkan sanjungan dari Pemerintah Brazil yang menyatakan bahwa perubahan drastis dari Moratorium Kedelai berkat adanya inspeksi, denda terhadap penggundulan hutan ilegal, dan juga berkat perusahaan multinasional yang memiliki inisiatif self-governance (Fearnside, 2000). Salah satu aktor yang menarik untuk diteliti dalam studi kasus Moratorium Kedelai di Brazil adalah NGO lingkungan Greenpeace. Greenpeace disebut sebagai aktor yang berhasil menyetir perusahaan-perusahaan multinasional agar dapat menyepakati komitmen moratorium.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
117
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Danglade (2015) menegaskan bahwa kunci dari Moratorium Kedelai adalah memahami bahwa Greenpeace merupakan agen perubahan yang sangat kuat dengan mempengaruhi konsumen umum dan perusahaan yang kemudian menjadi efek sekunder. Peneliti lain juga menjelaskan bahwa Greenpeace membangun atau membentuk “sayap” bagi gerakan global, karena dengan adanya Greenpeace isu deforestasi akibat kedelai menjadi terangkat (Wilkinson, 2010). Meskipun NGO jelas dapat mempengaruhi perdebatan, hubungan internasional masih kekurangan model yang dapat memperjelas kondisi dan faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghambat pengaruh tersebut (Mitchell, 2004). Penelitian ini lebih lanjut menjabarkan peran yang dijalankan dan pemetaan pergerakan dari Greenpeace agar dapat memahami tujuan dan pengaruh dari Greenpeace. Penelitian ini juga melibatkan kajian proses pengaruh yang terjadi dengan menggunakan acuan peran dan pengaruh Greenpeace. Peran Greenpeace dalam Moratorium Kedelai di Brazil Meskipun pada umumnya setiap NGO memiliki peran yang pasti jika dilihat melalui visi dan misi dari organisasinya, namun perlu diperhatikan bahwa dalam setiap studi kasus memiliki ciri-ciri yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya penulis menilai setiap studi kasus berpengaruh terhadap peran yang dijalankan oleh sebuah NGO. Dalam studi kasus Komitmen Moratorium Kedelai, penulis menjabarkan mengenai tiga peran utama yang dimainkan oleh Greenpeace, yaitu sebagai Kompetitor Pemerintah, Mobilisasi Opini Masyarakat serta Pengawas dan Penilai. Peran pertama Greenpeace adalah sebagai kompetitor intelektual bagi pemerintah Brazil. Semangat Greenpeace untuk menyuarakan permasalahan deforestasi di hutan Amazon bukan berarti pemerintah Brazil tidak melakukan kebijakan terkait deforestasi. Pada tahun 2004 diluncurkan sebuah kebijakan oleh Pemerintah Brazil, yaitu Rencana Tindakan untuk Pencegahan dan Pengendalian Penebangan Hutan di Legal Amazon (PPCDAm) (Assuncão et. al., 2012). Kebijakan Pemerintah Brazil tersebut lebih berfokus pada kekuatan yang berpusat dari negara, tanpa adanya kerjasama dengan pihak-pihak lain yang bersangkutan terhadap permasalahan deforestasi yang menimpa Amazon di Brazil.
118
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Berangkat dari permasalahan deforestasi dan adanya kekuatan yang terkonsentrasi pada pemerintah domestik, peran Greenpeace sebagai NGO mulai lahir. Greenpeace muncul dengan tujuan menjadi pihak yang bersifat menyaingi kemampuan intelektual pemerintah dengan pendekatan yang berbeda. Terdapat dua hal yang dilakukan oleh Greenpeace yang kemudian dikategorikan dalam peran kompetitor pemerintah, yaitu dalam analisis dan respon yang diberikan terkait kasus deforestasi Amazon. Greenpeace telah melakukan investigasi mengenai hutan Amazon semenjak tahun 1998 dengan melakukan kerjasama dengan beberapa komunitas lokal di Amazon. Kerjasama yang dimiliki oleh Greenpeace juga didorong dengan adanya fasilitas dengan tujuan untuk meningkatkan fasilitas dan efektivitas dari penelitian. Agar dapat meningkatkan efektivitas dan hasil penelitian, Greenpeace membagi anggotanya menjadi beberapa tim pemetaan satelit di Amazon. Tim-tim tersebut dilengkapi dengan fasilitas on the ground dan aerial surveillance agar dapat melakukan investigasi secara terperinci (Greenpeace, 2006). Greenpeace menjelaskan mengenai proses-proses pelacakan dan analisis yang melibatkan beberapa aktor yang di antaranya adalah masyarakat-masyarakat yang ikut mendapatkan dampak dari deforestasi, aktor-aktor politik dan industri, data analisis dari Satelit Pemerintah Brazil, hingga data mengenai ekspor-impor Brazil. Gabungan dari data-data tersebut kemudian dicocokkan dengan kondisi yang terjadi di lapangan sehingga dapat memiliki hasil penelitian yang lebih reliabel. Berbeda dengan Greenpeace yang melakukan berbagai cara pelacakan di lapangan, Pemerintah Brazil—dan pemerintah negara lain pada umumnya—lebih cenderung mendapatkan informasi berdasarkan laporan sebuah kasus tertentu (EMBRAPA. t.t). Respon yang dikeluarkan oleh Greenpeace tidak berbentuk protes, melainkan berbentuk laporan investigasi. Greenpeace melihat urgensi pelestarian Amazon agar mendapatkan perhatian melalui fakta-fakta bahwa Amazon sedang dalam keadaan yang berbahaya. Hasil investigasi Greenpeace terhadap perdagangan kedelai hasil deforestasi dikemas menjadi sebuah laporan terdiri 60 halaman yang berjudul Eating Up Amazon. Greenpeace menjelaskan mengapa diperlukan sebuah mekanisme tertentu untuk menangani permasalahan perkebunan kedelai meskipun telah ada PPCDAm sebagai kebijakan pemerintah.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
119
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Greenpeace menganggap bahwa komitmen Pemerintah Brazil untuk melindungi 10% luas Amazon yang telah mengalami deforestasi tidaklah cukup agar dapat menyelamatkan hutan Amazon (Greenpeace, 2006). Kedua, Greenpeace melakukan mobilisasi opini publik. Greenpeace merupakan salah satu NGO yang aktif melakukan kampanye. Melalui media rilisnya, Greenpeace menyampaikan untuk terus memperjuangkan Zero Deforestation agar dapat mencegah perubahan iklim katastropik (Buttler, 2010). Greenpeace merupakan salah satu NGO yang cukup menarik dengan menunjukkan aksi kampanyenya yang kemudian menjadi starting point pelaksanaan Moratorium Kedelai (Pontes, 2013). Selain kampanye, Greenpeace menghabiskan waktu lebih dari satu tahun untuk menyelidiki rantai permintaan kedelai, mulai dari ladang di bagian Selatan Amazon, hingga sampai pada daerah peternakan unggas di Inggris dan Irlandia. Eating Up Amazon menjelaskan bahwa McDonald dan sejumlah ritel makanan Eropa terlibat dalam perdagangan kedelai hasil deforestasi (Greenpeace, 2006). Greenpeace juga memanggil sejumlah perusahaan dengan daya beli yang besar seperti Cargill, ADM, Bunge, Dreyfus dan Amaggi untuk ikut datang dan bernegosiasi bersama mengenai ancaman terhadap kelangsungan hutan hujan Amazon. Perusahaan-perusahaan tersebut bertanggung jawab terhadap 90% sirkulasi perdagangan kacang kedelai di Brazil. Pada awal kampanyenya, Greenpeace mengajukan ide untuk membentuk kelompok kerja yang terdiri dari para pedagang kedelai, produser, NGOs dan pemerintah untuk membentuk sebuah aksi bersama. Advokasi Greenpeace dalam rangka mobilisasi opini publik bersifat komprehensif karena tidak hanya melibatkan dukungan dari masyarakat dan konsumen tetapi juga dari produsen lokal. Mobilisasi opini publik yang dilakukan oleh Greenpeace merupakan perpanjangan dari aksi protes NGO lokal yang tidak dapat menyampaikan kepentingannya. Peran Greenpeace yang ketiga adalah sebagai pengawas negosiasi moratorium kedelai dan kepatuhan pemerintah dalam pelestarian hutan Amazon. Hal-hal yang dilakukan adalah dengan mengawasi luas hutan dan melibatkan masyarakat lokal yang digerakkan oleh Greenpeace berdasarkan asas self-belonging. Sebelumnya telah menjelaskan bahwa PPCDAm di Brazil lebih mengkonsentrasikan pada kekuatan unsur-unsur dalam negara untuk melakukan penegakan hukum.
120
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Ketika Moratorium Kedelai disepakati pada bulan Juli 2006, Greenpeace juga melakukan pengawasan on the ground dan melibatkan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan Amazon. Greenpeace melengkapi teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk melakukan pengawasan daerah hutan Amazon. Upaya Greenpeace ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa Moratorium Kedelai memang benar dilaksanakan dan terdapat kerjasama antar aktor yang saling mengawasi. Greenpeace melakukan pelatihan kepada lima puluh penduduk dari total 28 kelompok masyarakat yang ada di daerah Santarem dan Balterra. Lima puluh penduduk tersebut dilatih untuk menggunakan peralatan global positioning systems (GPS) dan menginterpretasikan gambar-gambar satelit (Greenpeace, 2009). Rasionalitas Greenpeace dengan adanya keterlibatan penduduk lokal sangat sederhana, yaitu anggota-anggota masyarakat tersebut lebih memahami area tempat tinggal mereka, dan tentunya mereka lebih memiliki keinginan untuk mempertahankan tanah dan hutan hujan tempat mereka hidup. Upaya Greenpeace untuk mengawasi Moratorium Kedelai juga berfokus pada kepatuhan Pemerintah Brazil dalam proses berikutnya. Komitmen Moratorium Kedelai yang telah disepakati antara NGO dan perusahaan multinasional, tentunya juga memerlukan dukungan dari pemerintah. Kebijakan yang selaras antara pemerintah dan komitmen bersama meningkatkan efektivitas dari Moratorium Kedelai itu sendiri. Dukungan dari Pemerintah Brazil disahkan pada tahun 2008 yang ditandatangani oleh Carlos Minc, selaku Menteri Lingkungan Brazil (Leão, 2009). Pengaruh Greenpeace terhadap Pelaksanaan Moratorium Kedelai Brazil Berdasarkan pembuktian aktivitas NGO dalam tipologi pengaruh yang diajukan oleh Betsill (2008), maka diperlukan adanya perbandingan sikap atau perilaku dari aktor-aktor lain sebelum dan sesudah NGO melakukan aktivitas, baik berupa kampanye, layanan masyarakat, maupun bentuk komunikasi lainnya. Sebelum melakukan penjabaran data, penulis memberikan kronologi mengenai momen-momen terpenting lahirnya komitmen Moratorium Kedelai. Hal ini dilakukan oleh penulis dengan tujuan untuk mempermudah
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
121
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
pemahaman dalam studi kasus Moratorium Kedelai. Tabel 1 Kronologi Moratorium Kedelai 6 April 2006
Penerbitan laporan Eating Up Amazon
Mei 2006
Penerbitan laporan We’re Trashin’ It
24 Juli 2006
Kesepakatan Moratorium Kedelai
Oktober 2006
Terbentuknya Kelompok Kerja Kedelai
2008
Peran Pemerintah Brazil pada Moratorium Kedelai
Penelitian mengenai perkebunan kedelai sebagai faktor berpengaruh bagi deforestasi Amazon telah muncul pada akhir abad ke-20, yang berarti bahwa hipotesis mengenai budi daya kedelai sebagai faktor pendorong terjadinya deforestasi Amazon telah berlangsung sebelum penelitian Greenpeace mulai dijalankan. Nyatanya, telah ada penelitian rantai perdagangan kedelai sebelum penelitian yang dilakukan Greenpeace, namun hasil penelitian tersebut hanya sebatas saran kebijakan dan tidak ada tindak lanjut kebijakan maupun regulasi dan komitmen bersama. Dalam laporan investigasinya pada 6 April 2006 yang berjudul Eating Up the Amazon, Greenpeace menuding Cargil sebagai salah satu perusahaan komoditas makanan dan agrikultur internasional tersebut sebagai penyebab kerusakan Amazon. Pada awalnya Greenpeace memberikan perhatian pada data ekspor kedelai dari pelabuhan Santarém, Brazil, untuk Liverpool pada tahun 2005 yang mencapai angka 340.000 ton, tidak termasuk dari pelabuhanpelabuhan Brazil lainnya (Greenpeace, 2006). Greenpeace kemudian melakukan penelusuran mengenai ekspor kedelai tersebut, hingga kemudian mendapatkan hasil dokumentasi bahwa tidak hanya Liverpool, tetapi juga Amsterdam sebagai dua kota pengimpor kedelai terbesar. Kedelai ini sendiri digunakan sebagai pangan ternak murah namun memiliki nutrisi yang mencukupi. Meningkatnya aktivitas ekspor kedelai melalui Santarém melahirkan kesimpulan dari Greenpeace bahwa kedatangan perusahaan Cargill di Santarém dan petani-petani dari daerah sekitar berkaitan erat dengan produksi kedelai dan deforestasi hutan Amazon.
122
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Eropa sangat bergantung pada impor kedelai demi kepentingan produksi ternaknya, sehingga hal ini menjadikan Eropa sebagai importer kedelai, baik kacang kedelai maupun ampas kedelai. Brazil menggantikan peran Amerika Serikat sebagai pengekspor kedelai terbesar di dunia pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 Brazil telah memenuhi 63% total impor negara-negara Uni Eropa (Hospes dan Hadiprayitno, 2010). Berdasarkan laporan Eating Up Amazon, terdapat tiga tahapan dalam perdagangan kedelai mulai dari Brazil hingga ke Eropa (Greenpeace, 2006). Tahap pertama, melibatkan tempat perkebunan kedelai di Amazon hingga tahap ekspor. Di dalam tahap pertama melibatkan poin utama, yaitu; (1) criminal soya production seperti Membeca Farm, Võ Gercy Farm dan Lavras Farm; (2) trader / crusher seperti Cargill; (3) Transhipment yang dimulai dari Porto Velho hingga Santarem; (3) Export pelabuhan ekspor yang berperan adalah Santarem dan Santos. Tahap kedua, melibatkan proses dari pelabuhan hingga ke peternak. Impor terjadi di pelabuhan Amsterdam dan Liverpool, kemudian melakukan distribusi internal Eropa. Kemudian diterima kembali oleh Cargill dan kemudian dijual kepada produsen pakan dan daging, seperti Sun Valley. Tahap ketiga, melibatkan produsen makanan ke outlet makanan dan supermarket. Pada awalnya Moratorium Kedelai dilakukan melalui kampanye publik oleh Greenpeace sehingga isu ini dapat terangkat. Kampanye publik yang dilakukan oleh Greenpeace menargetkan perhatian masyarakat Eropa, sebagai importir terbesar produk kedelai. Pada 6 April 2006, di hari yang sama pada penerbitan laporan Eating Up the Amazon, beberapa kelompok orang berdandan dengan menggunakan kostum ayam besar dan memasuki restoran cepat saji McDonald di tujuh kota besar di Inggris (Eisenberg, 2013). Kostumkostum ayam tersebut merupakan sebuah aksi protes terhadap produsen makanan, yang melambangkan ayam sebagai ternak pengkonsumsi kedelai hasil deforestasi. Berbeda dengan upaya negosiasi yang pernah diupayakan oleh NGO lingkungan sebelumnya, Greenpeace lebih mendahulukan pengumpulan informasi on the ground dan melakukan pendekatan yang lebih konfrontasional. Greenpeace tidak langsung mengundang para pihak yang terlibat untuk bertemu dalam negosiasi, melainkan mencari kekuatan melalui bukti-bukti.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
123
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Greenpeace melakukan kampanye pada beberapa gerai McDonald di kota London, Edinburgh, Leeds, Birmingham, Bristol dan Southampton (BBC, 2006). Strategi Greenpeace menargetkan kotakota besar di Inggris terbukti mendapatkan perhatian, tidak hanya memicu perhatian warga karena adanya kekhawatiran vandalisme, tetapi juga mendapatkan perhatian media dengan adanya penertiban dari kepolisian. Tidak hanya karena pusat produsen makanan ada di Eropa, karena pasar terbesar dari produk kedelai ini sendiri ada di Eropa, sehingga pelaksanaan aksi protes di Eropa menjadi sebuah langkah yang strategis. Melalui aksi protesnya, para protestan berkesempatan menyampaikan melalui BBC mengenai alasan aksi mereka. Tabel 3 Pengaruh Greenpeace pada Pembentukan Isu Indikator Pengaruh I s s u e Framing
Bukti Perilaku aktor-aktor lain… • Perusahaan dan masyarakat menyadari bahwa kegiatan rantai perdagangan kedelai tidak aman bagi biodiversitas Amazon dengan adanya laporan dari Greenpeace • Perusahaan menyadari rantai proyek perdagangan ternyata bersumber dari penanaman kedelai hasil deforestasi.
…karena disebabkan komunikasi NGO • Greenpeace menerbitkan laporan investigasi deforestasi Amazon yang berjudul Eating Up Amazon dan melaksanakan kampanya menggunakan kostum ayam.
Pengaruh NGO? (Iya/ Tidak)
Iya
Melalui tabel di atas didapatkan bukti bahwa Greenpeace sebagai NGO memiliki pengaruh dalam pembentukan isu dengan cara memanggil dan mendesak para perusahaan multinasional seperti perdagangan kedelai (supplier atau trader) dan juga perusahaan industri makanan (retailer) untuk merespon terkait keterlibatan perusahaan dengan terjadinya deforestasi di Amazon Brazil. Pada awalnya aktor-aktor lain tidak memiliki aktivitas tertentu terkait dengan lingkungan, dan tidak ada gerakan yang mengarah pada pelestarian.
124
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Namun kemudian, setelah Greenpeace menerbitkan laporan investigasi dan juga disertai adanya tekanan respon, para perusahaan multinasional langsung bergerak untuk memastikan kebenaran dari laporan yang disampaikan oleh Greenpeace. Setelah kebenaran tersebut dipastikan oleh perusahaan, kemudian dapat dilihat kesediaan perusahaan untuk berkumpul dalam satu meja dan melakukan diskusi merupakan sebuah perubahan perilaku aktor. Menurut David Humphreys dalam artikelnya yang berjudul “NGO Influence on International Policy on Forest Conservation and the Trade in Forest Products” (Betsill, 2008), kepentingan NGO dalam konservasi hutan ada di dalam dua perangkat nilai, yaitu nilainilai lingkungan dan nilai-nilai HAM. Beberapa tuntutan yang diajukan oleh NGO lingkungan pada umumnya adalah dengan melakukan reformasi dan transformasi sistem yang berlaku, namun tidak semua NGO melakukan hal yang sama dalam melakukan pendekatan untuk dapat mencapai tujuannya. Beberapa NGO dapat langsung menarget institusi-institusi melalui kampanyenya namun tidak jarang juga melakukan pendekatan melalui internal. Oleh karenanya, perbedaan-perbedaan yang muncul pada kampanye NGO tidak dapat membentuk pola pengaruh dan model kebijakan yang koheren. Terdapat dua hal yang perlu dibahas dalam proses negosiasi, yaitu pembentukan agenda dan posisi dari aktor-aktor kunci. Pertama, pembentukan agenda yang diupayakan oleh Greenpeace pada awalnya mengalami penolakan. Pada poin sebelumnya telah dijelaskan bahwa Greenpeace menyusun strategi kampanye pada perusahaan produsen makanan McDonald’s yang memiliki kontak langsung dengan konsumen untuk meraih perhatian masyarakat dan juga McDonald’s itu sendiri. Sementara Greenpeace memiliki tujuan untuk menyatukan perusahaan-perusahaan supplier anggota ABIOVE dan ANEC untuk berkumpul dan melakukan diskusi. Greenpeace menarget Cargill sebagai perusahaan dengan total perdagangan terbesar, yang dianggap sebagai kunci utama terlaksananya negosiasi. Greenpeace tidak secara langsung menekan Cargill, melainkan menargetkan McDonald’s lagi sebagai titik utama diplomasi Greenpeace.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
125
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Oleh karenanya, selain menerbitkan Eating Up Amazon, Greenpeace juga menerbitkan laporan yang berjudul We’re Trashing It; How McDonald’s is Eating Up the Amazon (Greenpeace, 2006) yang secara langsung menargetkan McDonald’s sebagai salah satu pelaku deforestasi. Melalui We’re Trashing It; How McDonald’s is Eating Up the Amazon, Greenpeace juga mengajukan beberapa tuntutan yang seharusnya dicapai melalui kerjasama dengan perusahaan produsen makanan di Eropa dan perusahaan perdagangan kedelai yang berada di Brazil. Tuntutan yang diajukan Greenpeace tersebut juga sekaligus menjadi agenda negosiasi yang diharapkan untuk terwujud oleh Greenpeace. Gambar 1 Agenda yang diajukan Greenpeace dalam Eating Up Amazon
Merespon desakan yang diberikan oleh Greenpeace, para perusahaan perdagangan kedelai menyetujui untuk bertemu dan membahas kesepakatan terkait Moratorium Kedelai. Salah satu respon positif yang didapatkan Greenpeace adalah penyampaian secara langsung Karen Van Bergen, Wakil Presiden McDonald Eropa: When we were first alerted to this issue by Greenpeace, we immediately reached out to our suppliers, other NGOs and other companies to resolve this issue and take action. We are determined to do the right thing together with our suppliers and the Brazilian government, to protect the Amazon from further destruction (Greenpeace, 2008).
126
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa McDonalds memberikan respon dengan cara mencari tahu apakah rantai perdagangan kedelai hasil deforestasi berkaitan dengan produknya. McDonalds juga menyampaikan bahwa mereka melakukan koordinasi dengan perusahaan penyedia untuk membahas kasus keterlibatan mereka beserta pembahasan mengenai solusi atas permasalahan tersebut. Respon yang disampaikan oleh McDonald’s bukanlah respon secara langsung semenjak laporan Eating Up Amazon yang dikeluarkan oleh Greenpeace. Respon yang disampaikan tersebut berkaitan dengan laporan Greenpeace yang spesifik menjelaskan rantai perdagangan kedelai yang digunakan oleh McDonald’s, yaitu laporan We’re Trashing It; How McDonald’s is Eating Up the Amazon yang memojokkan posisi McDonald’s sehingga McDonald’s perlu untuk melakukan penelusuran dan investigasi lebih lanjut terkait klaim terlibatnya McDonald’s dalam deforestasi. Kedua, posisi dari aktor-aktor kunci mengalami perubahan semenjak adanya aktivitas dari Greenpeace. Pada saat Greenpeace mengeluarkan laporan Eating Up Amazon, kesepakatan untuk berkumpul dan mendiskusikan hal tersebut tidak langsung terwujud. Penolakan terhadap laporan tersebut terjadi seperti juga yang terjadi pada RTRS di Belanda. Respon penolakan paling terlihat pada perusahaan Cargill dengan mengeluarkan pernyataan pres bahwa “Economic development is the long-term solution to protecting both the Amazon’s peoples and the environment” (Hospes dan Hadiprayitno, 2010). Cargill lebih memandang perusahaannya sebagai pahlawan, atas nama HAM dan perkembangan ekonomi, dibandingkan sebagai pihak antagonis yang mengancam kelestarian lingkungan. Beberapa perusahaan lainnya juga mengajukan kritik terhadap Greenpeace. Para MNC yang menolak laporan Greenpeace memberikan klaim bahwa mereka bertanggung jawab atas terjadinya deforestasi, tidak seperti penggambaran yang diutarakan oleh Greenpeace melalui kampanyenya yang terkesan berlebihan dan memiliki bias informasi (Hospes dan Hadiprayitno, 2010). Greenpeace mengajak beberapa perusahaan produsen makanan dan perusahaan ritel seperti McDonald, Elcorte Ingles, Waitrose, Asdao, Ritter-sport dan Tegut untuk membentuk aliansi dengan kesamaan pandangan mengenai permintaan responsible soy dari para penyuplai.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
127
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Ketersediaan McDonald’s untuk bekerja sama dengan Greenpeace menjadi sebuah katalisator lahirnya dukungan besar untuk melakukan negosiasi mengenai Moratorium Kedelai (Goodwin, 2014). Aliansi yang dibentuk oleh Greenpeace bertujuan untuk menekan ADM, Cargill, Bungee (USA), Dreyfus (French), Amaggi (Brazilian) agar menyetujui moratorium, mengingat perusahaan perdagangan kedelai tersebut memiliki posisi menolak laporan Greenpeace. Strategi ini berhasil dan pada akhirnya bulan Juli 2006 Cargill, bahkan ABIOVE dan ANEC, juga ikut menyetujui pelaksanaan komitmen bersama untuk melakukan moratorium pada kedelai hasil deforestasi. Moratorium Kedelai menunjukkan kinerjanya sebagai sebuah komitmen sukarela, yaitu dengan terjadinya penurunan angka deforestasi sebesar 40% pada sepuluh bulan terakhir (Leão, 2009). Pada titik tersebut, Pemerintah Brazil menyadari pentingnya komitmen antar aktor yang ada di dalam rantai produksi kedelai, mengingat faktor penyebab deforestasi terbesar di Amazon berasal dari industri dan perkebunan. Pemerintah Brazil kemudian terlibat dalam komitmen Moratorium Kedelai pada tahun 2008 ketika Kementerian Lingkungan Brazil (MMA) yang diwakili oleh Menteri Carlos Minc secara resmi bergabung pada Kelompok Kerja Kedelai (Leão, 2009). Selain itu, Pemerintah Brazil juga menggandeng Brazilian Institute for Space Research (INPE) untuk ikut bergabung dalam melakukan pengawasan melalui satelit dan mengidentifikasikan lokasi-lokasi deforestasi pasca Moratorium Kedelai. Pada akhirnya, komitmen Moratorium Kedelai mendapatkan dukungan penuh baik dari kalangan industri, NGO dan Pemerintah Brazil, dibuktikan dengan masuknya mereka sebagai anggota Kelompok Kerja Kedelai (Gibbs et.al., 2015).
128
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Tabel 4 Pengaruh Greenpeace pada Proses Negosiasi Moratorium Kedelai Indikator Pengaruh
Bukti Perilaku aktoraktor lain… • Diawali dengan terpojoknya posisi McDonald’s sebaga salah satu perusahaan produsen makanan.
Agenda Setting
Positions of Key Actors
• Agenda yang dibahas mengenai (1) Akhir dari kerusakan hutan; (2) adanya rantai perdagangan kedelai yang jelas dan mekanisme yang tidak menyalahi hukum; (3) Mendukung solusi dengan cara mengembangkan model suplai pangan yang bertanggung jawab. • Pada awalnya perusahaan menolak mengenai laporan Greenpeace. Selain itu, pemerintah pada awalnya tidak ikut terlibat pada pembentukan moratorium • Perusahaan kemudian menyetujui terlaksananya moratorium kedelai dan Pemerintah Brazil juga ikut bergabung dalam pelaksanaan pengawasan.
…karena disebabkan komunikasi NGO • Greenpeace memojokkan perusahaan produsen makanan melalui laporan yang menjelaskan keterlibatan produsen makanan dengan deforestasi Amazon.
Pengaruh NGO? (Iya/ Tidak)
Iya
• Greenpeace meyakinkan bahwa tidak adanya green image mempengaruhi nilai saham perusahaan. • Greenpeace melakukan desakan terhadap pemerintah melalui lobi.
Iya
Laporan yang dikeluarkan oleh Greenpeace melalui Eating Up Amazon menargetkan adanya moratorium selama lima tahun dengan harapan dapat mengembalikan kondisi vegetasi alami, dan agar dapat melihat pengaruh dari moratorium secara pasti.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
129
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Hasilnya, sebagian besar perusahaan menyetujui untuk ikut berkomitmen dalam Moratorium Kedelai. Termasuk raksasa makanan cepat saji McDonald’s menyampaikan kesediaannya untuk bergabung dalam komitmen. Lahirnya komitmen kemudian juga membawa dampak positif dengan berkurangnya angka deforestasi. Selama tahun 2006 hingga 2012 terjadi tren penurunan angka deforestasi yang awalnya 14. 285 km2 per tahun dan terus turun hingga menjadi 4.571 km2 per tahun di tahun 2012 (Mongabay, t.t). Kelompok Kerja Kedelai pada bulan Oktober 2006 berhasil membangun kerjasama yang terdiri dari sektor perwakilan produsen kedelai (ABIOVE, ANEC, ADM, Algar Agro, Amaggi, Baldo, Bunge, Cargill, IMCOPA, Louis Dreyfus dan Óleos Menu) dan dari sektor masyarakat sipil (Greenpeace, International Conservation, IPAM, The Nature Conservancy dan WWF Brasil). Kelompok Kerja Kedelai tidak hanya sebagai lembaga pengawasan berjalannya operasional Moratorium Kedelai, tetapi juga merepresentasikan hasil kesepakatan (Rudorff et. al., 2012). Kelompok Kerja Kedelai memiliki tiga kelompok cabang utama, yaitu (1) Education, information and Forest Code; (2) Institutional Relations; (3) Mapping and Monitoring. Setelah Kelompok Kerja Kedelai disepakati pada bulan Oktober 2006, maka mekanisme pengawasan lingkungan mulai terwujud. Pengawasan tersebut dilakukan dari berbagai macam cara, baik melalui darat maupun udara. Pada dua tahun pertama berjalannya Kelompok Kerja Kedelai, ditemukan fakta bahwa tidak hanya deforestasi yang menurun, tetapi juga proses regenerasi hutan secara alami mulai terjadi karena area deforestasi tidak ditanami oleh kedelai. Keberhasilan Moratorium Kedelai dalam mengurangi angka deforestasi secara signifikan mendapatkan respon positif dari Menteri Lingkungan Carlos Minc. Carlos Minc mengatakan bahwa Moratorium Kedelai merupakan sebuah contoh yang baik untuk diikuti karena adanya keberhasilan dialog antara sektor swasta dan masyarakat sipil (UNFCCC, 2009). Pujian yang bermunculan menanggapi keberhasilan Moratorium Kedelai menjadi bahan pertimbangan setelahnya. Greenpeace dan NGO lainnya dapat merasa lega dengan adanya kesepakatan perpanjangan komitmen Moratorium Kedelai. Hingga tahun 2014, Moratorium Kedelai telah diperpanjang sebanyak delapan kali.
130
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Melalui perbandingan antara keinginan Greenpeace dengan dua hasil kesepakatan Moratorium Kedelai dan juga Kelompok Kerja Kedelai, maka dapat dilakukan analisis bahwa Greenpeace memiliki pengaruh terhadap hasil negosiasi. Rangkuman mengenai kepentingan Greenpeace sebelum dan sesudah dilaksanakannya Moratorium Kedelai dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5 Pengaruh Greenpeace pada Hasil Moratorium Kedelai Indikator Pengaruh
Final Agreement/ Procedural Issues
Final Agreement/ Substantive Issues
Bukti Perilaku aktoraktor lain… • Kesepakatan berhasil membentuk komitmen bersama dalam membentuk sistem monitoring dan pencegahan. • Moratorium Kedelai hanya dapat disepakati selama dua tahun, tidak lima tahun seperti target Greenpeace pada awalnya. • Kesepakatan • Kesepakatan tersebut merefleksikan kepentingan Greenpeace, yaitu untuk menekan angka deforestasi di Amazon.
…karena disebabkan komunikasi NGO • Setelah kesepakatan Moratorium Kedelai tercapai, Greenpeace mengusung sebuah sistem Kerja Kelompok Kedelai.
Pengaruh NGO? (Iya/ Tidak)
Iya
• Apa yang telah dilakukan NGO untuk mempromosikan isu-isu substantif tersebut?
Iya
Melalui tabel di atas dapat dilihat bahwa Greenpeace memiliki pengaruh dalam membentuk hasil kebijakan, dikarenakan hasil kebijakan mendekati pada kepentingan Greenpeace yang menarget pada Zero Deforestation. Namun, dengan disepakatinya perpanjangan komitmen, maka Moratorium Kedelai semakin memiliki substantif yang sesuai dengan target-target Greenpeace. Selain itu, Greenpeace berhasil membentuk sebuah mekanisme baru, yaitu Kelompok Kerja Kedelai yang belum dapat mencapai objektivitas Greenpeace.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
131
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Simpulan Pertama, dalam perannya sebagai kompetitor pemerintah, Greenpeace memiliki daya saing dengan pemerintah dalam hal intelektual, namun perlu dipertegas bahwa peran ini bukan merupakan tujuan ataupun bagian dari strategi Greenpeace. Peran Greenpeace sebagai kompetitor pemerintah muncul karena kondisi yang secara tidak langsung menjelaskan posisi Greenpeace. Kemampuan Greenpeace dalam meneliti dan mengajukan solusi lebih cepat daripada pemerintah, sehingga kondisi ini menjadikan Greenpeace sebagai pemegang peran kompetitor pemerintah. Kedua, Greenpeace berperan sebagai mobilisator opini publik merupakan peran yang umum ditemukan dalam setiap NGO, karena setiap melakukan kampanye maka tujuan yang ditergetkan oleh NGO adalah dukungan dari masyarakat. Mobilisasi opini publik yang dijalankan oleh Greenpeace bersifat bottom-up, di mana target pertama Greenpeace merupakan konsumen, kemudian beranjak pada perusahaan retailers makanan atau produk jadi (yang berhubungan langsung dari konsumen), lalu menarget perusahaan pengolahan kedelai hingga kemudian perusahaan multinasional Cargill sebagai perusahaan terbesar. Ketiga, peran Greenpeace sebagai pengawas dan penilai, yaitu ketika Greenpeace berdasarkan objektifnya dengan sukarela memastikan bahwa Moratorium Kedelai berjalan sesuai dengan mekanisme, yaitu dengan melakukan penerjunan langsung di lapangan. Kepatuhan pemerintah merupakan efek sekunder yang dapat muncul apabila mekanisme Moratorium Kedelai telah berhasil membawa hasil sesuai yang ditargetkan. Dalam analisis tingkat pengaruh yang dimiliki Greenpeace, Greenpeace memiliki pengaruh dalam Moratorium Kedelai di Brazil. Dengan menggunakan teori tingkat pengaruh dari Betsill, terbukti terjadi perubahan kondisi dalam setiap indikator pembentukan isu dan agenda, indikator proses negosiasi, dan indikator hasil. Adanya perubahan perilaku aktor lain akibat aktivitas Greenpeace, menandakan bahwa Greenpeace berpengaruh. Oleh karenanya untuk dapat menganalisis tingkat pengaruh dari Greenpeace, maka penulis perlu untuk memetakan peran yang dijalankan dan meneliti strategi yang dilakukan oleh Greenpeace agar dapat melihat pengaruh Greenpeace melalui perbandingan.
132
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Daftar Pustaka: Assunção, Juliano, et. al., 2012. “Menurunnya Penebangan Hutan di Amazon Brasil: Harga atau Kebijakan?” Rio de Janeiro: Climate Policy Initiative. BBC, 2006. Arrest at Fast Food Store Demo. [daring] tersedia dalam http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/england/ manchester/4882444.stm [diakses pada 8 April 2015]. Betsill, Michelle M. dan Corell, Elisabeth, 2008. NGO Diplomacy. Massacussets: MIT Press. Butler, Rhett A., 2010. How Greenpeace Changes Big Business. [online daring] tersedia dalam http://news.mongabay. com/2010/0722-greenpeace_skar_interview.html#sthash. bCIEVIiY.dpbs [diakses pada 25 November 2014]. Butler, Rhett A., 2015. “Brazil’s Soy Moratorium Dramatically Reduced Amazon Deforestation”. [daring] tersedia dalam http://news.mongabay.com/2015/0123-brazil-deforestationsoy-amazon-cerrado.html [diakses pada 10 Juni 2015]. Corwin, Jeff, 2007. “Hope, Despair for Amazon Rainforest’s Future”. [online] tersedia dalam http://edition.cnn.com/ CNN/Programs/anderson.cooper.360/blog/2007/02/ hope-despair-for-amazon-rainforests.html [diakses pada 25 November 2014]. Danglade, Raphael, 2015. “Soy Moratorium Brazil”. raphael.
[email protected] (diakses pada tanggal I Mei 2015). Eisenberg, Aileen, 2013. “Greenpeace Defends Amazon Rainforest Against McDonald’s”. [daring] tersedia dalam nvdatabase. swarthmore.edu/content/greenpeace-defends-amazonrainforest-against-mcdonalds-others-2006 [diakses pada 25 Maret 2015]. EMBRAPA, t.t. “About Us”. [daring] tersedia dalam https://www. embrapa.br/en/quem-somos [diakses pada 11 Juni 2015]. FAO, t.t., Oilseeds, Oils & Meals Monthly Price and Policy Update,. [daring] tersedia dalam http://www.fao.org/fileadmin/ templates/est/COMM_MARKETS_MONITORING/ Oilcrops/Documents/MPPU_Dec_12.pdf [diakses pada 26 November 2014].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
133
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Fearnside, Philip M., 2000. “Soybean Cultivation as a Threat to the Environment in Brazil” dalam Environmental Conservation. Foundation for Environmental Conservation, hlm. 23-38. Gibbs, H.K. et. al., 2015. “Brazil’s Soy Moratorium; Supply Chain Governance is Needed to Avoid Deforestation”. [daring] tersedia dalam http://www.sciencemag.org/ (diakses pada 10 Februari 2015) Goodwin, Stephanie, 2014. Forest Solutions. Toronto: Greenpeace Canada, hlm. 14. Greenpeace, 2006. Eating Up Amazon. Greenpeace Publications. ___, 2006b. We’re Trashin’ It; How McDonald’s is Eating Up Amazon. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace. org/international/Global/international/planet-2/ report/2006/4/amazon-soya-crime-file.pdf [diakses pada 31 Maret 2015]. ___, 2006c. “Victory as Fast Food Giant Pledges to Help Protect the Amazon”. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace. org/international/en/news/features/McVictory-200706/ [diakses pada 17 Maret 2015]. Greenpeace, 2008. “Statement on Moratorium and Work of the Amazon Working Group (GTS)”. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace.org/international/en/ publications/reports/statement-on-moratorium-amazonwg/ [diakses pada 18 Maret 2015]. Greenpeace, 2009. “The Community Mapping in the Amazon”. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace.org/usa/ en/media-center/reports/community-mapping-in-theamazo/ [diakses pada 13 Juni 2015]. Greenpeace, 2012. Soy Moratorium: Mapping and Monitoring Soybean in the Amazon Biome – 5th year. [pdf] tersedia dalam http://www.greenpeace.org/brasil/Global/ brasil/documentos/2012/Monitoring%20report_Soya%20 Moratorium%202012.pdf [diakses pada 24 November 2014]. Hospes, Otto dan Hadiprayitno, Irene, 2010. “Governing Food Security”. Wageningen Academic Publishers.
134
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Leão, Lucia, 2009. “Soy Moratorium Reduces Plantings on New Deforestations to less than 1%”. ASCOM, Ministry of Environment. Mitchell, Ronald B., 2004. “International Environmental Politics”. Dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A Simmons (ed.), 2004. Handbook of International Relations. London: SAGE Publications. Mongabay, t.t. Calculating Deforestation Figures for the Amazon [daring] tersedia dalam http://rainforests.mongabay.com/ amazon/deforestation_calculations.html [diakses pada 25 November 2014]. Pontes, Nadia, 2013. Brazil to Take Soy Lead with Respect for Rainforest. [daring] tersedia dalam http://www.dw.de/brazilto-take-soy-lead-with-respect-for-rainforest/a-16547231 [diakses pada 23 November 2014]. Rudorff, Bernardo F.T. et. al., 2012 “Remote Sending Images to Detect Soy Plantations in the Amazon Biome—The Soy Moratorium Initiative”. [pdf] tersedia dalam [www.mdpi.com/journal/ sustainability hlm. 1074-1088]. UNFCCC., 2009. “Soy Moratorium in the Brazilian Amazon Biome”. Copenhagen. Wilkinson, John., 2010. “From Fair Trade to Responsible Soy: Social Movements and the Qualification of Agrofood Markets” dalam Environment and Planning. Vol. 3 Rio de Janeiro: Rural Federal University, hlm. 2012-2026. WWF, 2014. Sustainable Agriculture: Overview. [daring] tersedia dalam http://www.worldwildlife.org/industries/soy [diakses pada 25 November 2014].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
135
136
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia Cintya Aryadevi S. ABSTRACT One of the United States policies regarding war on drugs in Southern America is Plan Kolombia. Plan Kolombia is a foreign aid that given by United States to Kolombia with aim to decreased cocaine production in Kolombia. Unfortunately, Plan Kolombia failed to meet its target. Article explains the reason why Plan Kolombia has failed to fulfill its aim. To make it easy to understanding, article is divided into four sections: the problem of foreign aid, the problem about organized crime, the weakness of Kolombian law enforcement that emerge narcotics problems; and violent approaches on its programs. Article argues that the United Staes had misdiagnosed on designing strategy and on implementations. Plan Kolombia was designed with violent approaches rather than law and security approaches. Keywords: Plan Kolombia, War on Drugs, foreign aid Salah satu kebijakan war on drugs Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin adalah Plan Kolombia. Plan Kolombia merupakan bantuan luar negeri Amerika Serikat kepada Kolombia dengan tujuan mereduksi produksi narkoba jenis kokain di Kolombia. Sayangnya, program Plan Kolombia gagal dalam mencapai tujuannya tersebut. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan Plan Columbia. Untuk mempermudah penjelasan, penulis akan membahasnya ke dalam empat pembahasan; bantuan luar negeri sebagai konsep, faktor kegagalan bantuan luar negeri, organisasi kriminal transnasional. Argumen yang dibangun adalah kegagalan Plan Columbia disebabkan oleh misdiagnosa dalam strategi dan pengimplementasiannya. Sehingga alih-alih menggunakan pendekatanpendekatan hukum dan keamanan, Plan Kolombia justru di desain menjadi sarat akan pendekatan perang. Kata-Kata Kunci: Plan Kolombia, War on Drugs, bantuan Luar Negeri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
137
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Kolombia dan narkoba menjadi dua hal yang melekat satu sama lain. Bukan hal yang berlebihan karena memang Kolombia merupakan negara dengan perdagangan narkoba jenis kokain yang sangat marak dan terbesar di dunia (McCarthy, 2011). Permasalahan kokain di Kolombia ini telah menjadi isu utama sejak tahun 1980-an ketika penggunaan kokain sedang menjadi tren di kalangan pekerja seni hingga politisi Amerika Serikat, terutama Hollywood. Merebaknya penggunaan kokain inilah yang menyebabkan pemerintah Amerika Serikat mulai melarang penggunaan dan peredaran obatobatan terlarang bagi konsumsi masyarakat umum. Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat melegalkan penggunaan obatobatan terlarang jenis apapun untuk dikonsumsi masyarakatnya (McCarthy, 2011). Bersamaan dengan pelarangan obat-obatan terlarang inilah yang kemudian membuat harga narkoba menjadi melambung tinggi. Hal ini dilakukan karena halangan yang ditemui oleh para bandar narkoba seperti penyuapan ke para penegak hukum dan pembunuhan. Hal inilah yang membuat perdagangan narkoba menjadi sarat akan kekerasan. Pembunuhan, penculikan, dan pembantaian merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam aktivitas perdagangan narkoba. Meningkatnya harga narkoba jenis kokain menguntungkan bagi Kolombia. Daun koka sebagai bahan baku kokain mudah ditemui, terutama di wilayah Andes (McCarthy, 2011). Daun koka juga kerap digunakan oleh masyarakat Andes sebagai bagian dari ritualritual keagamaan. Melihat melimpahnya daun koka di wilayah Andes, terutama Peru dan Bolivia yang merupakan negara tetangga Kolombia, Pablo Escobar mulai menjadikan produksi kokain sebagai bisnis yang menjanjikan (McCarthy, 2011). Lewat Escobar inilah kemudian fenomena kartel narkoba bermunculan di Kolombia. Semula hanya kartel Medellin yang dipimpin oleh Escobar yang beraktivitas, kemudian bermunculan kartel-kartel sejenis seperti Kartel Cali dan Kartel Notre de Valle (McCarthy, 2011). Untuk melakukan setiap aksi kekerasan, kelompok-kelompok kartel ini membayar kelompok-kelompok pemberontak seperti FARC agar mau bekerjasama dengan kelompok kartel (McCarthy, 2011). Keberadaan kelompok pemberontak ini juga merupakan permasalahan tersendiri bagi Kolombia.
138
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Menjamurnya kelompok-kelompok gerilya dan kelompok paramiliter ini banyak menyebabkan jatuhnya korban jiwa akibat pembunuhan hingga pembantaian yang dilakukan oleh kelompokkelompok bersenjata ini. Perdamaian seperti tak pernah terjadi di Kolombia. Peperangan yang terjadi antara kelompok kartel dengan kelompok gerilya, kelompok gerilya dengan paramiliter, kelompok gerilya dengan kelompok militer Kolombia. Melihat situasi ini pada tahun 1998 Andres Pastrana, Presiden Kolombia kala itu, memutuskan untuk membentuk rencana jangka enam tahun yang disebutnya sebagai Marshal Plan para Kolombia – Marshal Plan untuk Kolombia. Ide utama Marshal Plan para Kolombia ini adalah untuk merekonstruksi situasi dan kondisi Kolombia lewat pendekatan sosial dan ekonomi untuk mendapatkan perdamaian di dalam Kolombia (Meija, 2012). Salah satu sumber dana untuk mendanai program tersebut didapatkan dari Amerika Serikat melalui kebijakan war on drugs. Bantuan asing ini diubah oleh Presiden Bill Clinton pada tahun 2000 menjadi Plan Kolombia (Meija, 2012). Perubahan Marshal Plan para Kolombia menjadi Plan Kolombia ini dilakukan karena strategi sebelumnya dianggap terlalu lunak. Amerika Serikat lantas menggunakan pendekatan-pendekatan militer untuk peningkatan keamanan Kolombia (Fajardo, 2008). Ternyata Plan Kolombia tidak mampu mencapai tujuannya. Angka produksi dan ladang koka di Kolombia tidak mengalami penurunan secara signifikan, bahkan mengalami peningkatan hingga 15% (Meija, 2008). Ladang kokain pun kini meluas tidak hanya di Putumayo saja tetapi hingga keluar Kolombia (Meija, 2008). Bukan hanya itu, alihalih mendapatkan perdamaian, kelompok paramiliter dan gerilya pun semakin menjamur. Argumen yang dibangun adalah kegagalan Plan Kolombia disebabkan oleh ketidakmampuan kedua belah pihak. Pertama pada pihak Kolombia selaku negara penerima. Di dalam Kolombia adanya permasalahan dalam penegakan hukum merupakan kunci pertama dari alasan mengapa Plan Kolombia mengalami kegagalan. Adanya keterlibatan pemerintah dan pihak-pihak penegakan hukum dalam aktivitas penyelundupan narkoba menyebabkan lemahnya penegakan hukum di Kolombia. Kemudian, pada pihak Amerika Serikat selaku negara pendonor.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
139
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Adanya misdiagnosa dalam strategi dan implementasi program bantuan menjadi kunci kedua dari alasan kegagalan Plan Kolombia. Masalah Kegagalan Bantuan Luar Negeri Sejatinya, Plan Kolombia merupakan kebijakan milik Presiden Pastrana untuk mengembalikan kondisi dan situasi di Kolombia, namun di dalam tulisan ini penulis memandang Plan Kolombia dalam sisi bantuan luar negeri yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Kolombia sebagai strategi war on drugs. Bantuan luar negeri ini merupakan salah satu instrumen kebijakan yang telah digunakan dalam hubungan luar negeri selama berabadabad lamanya (Holsti, 1998). Hal ini dapat dilakukan oleh negaranegara di dunia berupa pengiriman uang, barang atau nasihat teknis dari sebuah donor kepada negara penerima. Di dalam pemberian dan penerimaan program bantuan, tentu terdapat kepentingan tertentu dari kedua belah pihak. Plan Kolombia merupakan bantuan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Kolombia. Terkait dengan bantuan militer, Holsti (1998) menyatakan bahwa bantuan jenis ini merupakan bantuan yang tertua yang dilakukan. Bantuan militer ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keamanan donor dengan cara memperkuat militer sekutu (negara donor) dengan pengendalian secara tetap oleh negara donor (Holsti, 1998). Pengendalian secara tetap disini maksudnya adalah adanya rasa ketergantungan dari negara penerima kepada negara pendonor (Holsti, 1998). Mayoritas penstudi menyatakan faktor kegagalan bantuan luar negeri terletak pada kualitas pemerintahan negara pendonor. Dollar dan Easterly (1997) misalnya menyatakan bahwa sebagai akibat buruknya kebijakan yang ditetapkan negara penerima; buruknya kualitas pelayanan publik, rezim perdagangan yang tertutup, represi finansial, kesalahan manajemen ekonomi, serta kemampuan pemerintah untuk mengklaim wilayah teritori dan yudisial. Menambahkan hal tersebut Williamson (2006) menyatakan bahwa adanya alokasi bantuan luar negeri yang menjadi sumber daya yang didasarkan hanya kepentingan pemerintah saja.
140
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Berkaitan dengan apa yang dikatakan Williamson, Nielsen et al (2010) menyatakan bahwa situasi dan kondisi dari negara penerima yang membuat kesulitan untuk beradaptasi dengan programprogram yang diberikan dan mampu menyebabkan munculnya konflik. Ditambahkan oleh Goldsmith ( 2001), lemahnya sistem pemerintah negara penerima; karena adanya klientelisme, lemahnya akuntabilitas dan kapabilitas dalam tata kelola di berbagai bidang dan aspek, ketergantungan kepada bantuan asing berkontribusi besar menyebabkan kegagalan. Namun tak sedikit pula penstudi yang menyoroti faktor-faktor kegagalan dari pihak negara donor. Buss dan Gardner (2006) misalnya menyatakan bahwa adanya miskalkulasi program struktur yang ada seperti; prioritas bantuan, strategi pemberian bantuan, desain program, syarat-syarat yang diberikan, kompleksitas administrasi bantuan, hingga pembangunan kapasitas. Hal ini diakibatkan terlalu memprioritaskan kepentingan negara donor saja tanpa mempedulikan situasi dan kondisi negara penerima sehingga memicu kurangnya pemahaman karena hanya ingin mengetahui apa yang menjadi kepentingannya saja. Nielsen (2010) selain menyoroti negara penerima juga menyoroti negara pendonor dengan menyatakan bahwa apabila bantuan yang diberikan (terutama dalam bentuk pendanaan) dilakukan terlalu cepat dengan jumlah bantuan yang cukup besar, tanpa persiapan yang lebih matang sehingga negara penerima mengalami Aid Shock. Terkait dengan hal ini, hipotesis awal yang dapat penulis himpun berdasarkan pemikiran-pemikiran dari pada penstudi ini adalah Plan Kolombia mengalami kegagalan sebagai akibat dari adanya miskalkulasi strategi, karena Amerika Serikat hanya mementingkan kepentingannya saja yakni war on drugs sehingga Amerika Serikat mengubah seluruh strategi, tujuan, dan implementasi program Plan Kolombia. Bersamaan dengan hal tersebut diimbangi dengan situasi dan kondisi Kolombia yang menjadi permasalahan laten sehingga kesulitan untuk beradaptasi dan mengimbangi program-program milik Amerika Serikat. Permasalahan Organisasi Kriminal Argumentasi kedua menyatakan bahwa adanya permasalahan laten yang dimiliki oleh Kolombia sebagai negara penerima bantuan.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
141
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Permasalahan utama yang dimiliki oleh Kolombia ini terkait dengan adanya organisasi kriminal; kartel narkoba dan kelompok pemberontak. Terkait dengan kemunculan organisasi kriminal Ruggerio (dalam Armao, 2003) menjelaskannya lewat teori Defisit Paradigma, bahwa semakin meluasnya tindakan kriminal disebabkan oleh tradisi, absennya negara, patologi dan kurangnya pengawasan, serta kemiskinan. Senada dengan hal tersebut Gambetta (dalam Armao, 2003) menyatakan bahwa ketika pemerintah tidak mampu menciptakan situasi politik yang stabil dan aman, organisasi kriminal seperti mafia akan sangat mudah untuk merajalela di dalam sebuah negara tersebut. Cloward dan Ohlin (dalam Allum dan Siebert, 2003) menambahkan bahwa tindakan kriminal merupakan akibat dari keinginan individu untuk mendapatkan kesuksesan dalam ekonomi. Sukses tidaknya organisasi kriminal ini pun terletak pada keterkaitan organisasi kriminal dengan pemerintah. Armao (2003) menyatakan bahwa hal ini tergantung pada bagaimana organisasi kriminal tersebut berhubungan dengan situasi serta sub sistem (politik, yurisdiksi, dan ekonomi) yang mana interaksi yang terjadi antara kriminal dengan negara ini disebut dengan grey zone. Grey zone ini mampu dilakukan oleh kelompok kriminal ketika pemerintah tidak memiliki stabilitas politik yang kuat dan diimbangi dengan lemahnya penegakan hukum, maka organisasi kriminal akan memanfaatkan celah tersebut untuk membuat negara berada di dalam situasi mau tidak mau bekerja sama dengannya. Dengan demikian pemerintah akan menggantungkan beberapa hal (mayoritas ekonomi dan politik) kepada kelompok kriminal ini. Seperti mayoritas negara Amerika Latin lainnya, negara Kolombia memiliki ancaman yang bersifat hibrid dimana organisasi kriminal beroperasi di bawah perlindungan negara. Aktivitas kartel narkoba pada umumnya adalah perdagangan obat terlarang, pencucian uang, penyelundupan senjata atau manusia (Douglas, 2012). Permasalahan lain yang dimiliki Kolombia adalah permasalahan pemberontakan. Memandang hal tersebut, Weinstein (2007) membaginya ke dalam dua pendekatan sebagai pergerakan sosial serta sebagai bentukan negara. Bila memandang pemberontak dalam pandangan pergerakan sosial, kelompok ini terbentuk karena adanya perubahan di dalam struktur sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat.
142
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Sedangkan bila memandanganya sebagai bentukan negara, kelompok pemberontak ini terbentuk karena lemahnya atau runtuhnya otoritas pemerintah pusat terhadap masyarakatnya. Kelemahan akuntabilitas pemerintah ini memaksa masyarakat untuk membentuk kelompok guna mendapatkan kebutuhan dan tujuantujuan yang tidak mampu diberikan oleh pemerintah (Weinsten, 2007). Kelompok-kelompok pemberontak ini akan melakukan klaim kekuasaan atas suatu wilayah tertentu dan akan menjaganya sekalipun dengan melakukan kekerasan tak hanya kepada masyarakat sipil, tetapi juga kepada pemerintah yang dianggap menghalangi dan membahayakan posisinya (Weinstein, 2007). Dengan melakukan aksi militer kepada kelompok pemberontak justru akan memperburuk keadaan karena pemberontak ini justru akan semakin intens melakukan aksi-aksi kriminal. Ironisnya, militer negara pun menggunakan cara yang sama untuk menanggulangi penyebaran pemberontakan; memberikan ancaman kepada masyarakat sipil agar tidak memiliki hubungan atau tidak dapat memberikan dukungan dalam bentuk apapun kepada pemberontak (Weinstein, 2007). Ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat sipil ini kemudian membuat masyarakat sipil mencari perlindungan ke kelompok yang lainnya, dengan bergabung ke dalam kelompok pemberontak misalnya. Sehingga akan meningkatkan jumlah pemberontakan.Pemikiran para penstudi tentang permasalahan organisasi kriminal ini kemudian membawa hipotesis awal dalam tulisan ini, bahwa kegagalan bantuan luar negeri disebabkan oleh adanya permasalahan penegakan hukum di Kolombia. Lemahnya Penegakan Hukum di Kolombia sebagai Akar Masalah Perdagangan Narkoba di Kolombia Permasalahan yang paling krusial yang dimiliki oleh Kolombia adalah permasalahan subordinasi penegakan hukum. Penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan masalah ini merupakan salah satu indikasi dari permasalahan tersubordinasinya hukum. Budaya kekerasan di dalam Kolombia ini telah tercetak sejak era kolonialisme, dan salah satu sektor yang paling rentan penggunaan kekerasannya adalah sektor politik. Kekerasan politik ini dipicu oleh adanya perpecahan yang terjadi di Kolombia tidak hanya antar wilayah, tetapi perpecahan itu sendiri juga terjadi di dalam tubuh pemerintahan.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
143
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Kolombia mengalami situasi yang penuh akan kekerasan yang terjadi antar pendukung fraksi politik yang berbeda, yakni antara fraksi Partai Liberal (Partido Conservador Kolombiano - PCC / Las Golgotas) dan Partai Konservatif (Partido Liberal Kolombiano – PLC /Los Draconianos) (Watkins, t.t). Konflik yang kerap kali terjadi antar kedua partai (baik anggota fraksi maupun pendukung) ini memicu aksi anarkis seperti penculikan, pembunuhan, bahkan hingga pembantaian seperti yang terjadi pada tragedi La Violencia yang terjadi pada tahun 1948 hingga 1966 yang menewaskan kurang lebih dua ratus ribu jiwa (Novellis, 2009). Salah satu indikasi lemahnya penegakan hukum di Kolombia adalah adanya kelompok paramiliter. Kelompok paramiliter ini merupakan kelompok pertahanan diri (autodefensas) yang dibentuk oleh pemerintah secara resmi sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Pemerintah Kolombia membentuk paramiliter dengan tujuan untuk membantu tentara Kolombia melawan pemberontakan semasa perang sipil masih berkecamuk (Rabasa dan Chalk, 2001). Semula pemerintah membentuk autodefensas ini sebagai cara untuk melibatkan masyarakat di dalam melawan organisasi kriminal dan pemberontakan tanpa membentuk masyarakat tersebut menjadi militan, karena di dalamnya masyarakat dilarang untuk menggunakan senjata-senjata berat seperti senapan, hanya diperbolehkan memakai senjata sampingan yang ringan. Mengingat posisi kelompok ini yang berfungsi sebagai intel bagi pasukan tentara Kolombia dan tidak berada di garis depan. Seperti layaknya kelompok gerilya yang mulai berubah haluan, kelompok paramiliter pun mulai mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok kriminal, termasuk jaringan penyelundupan narkoba (Rabasa & Chalk, 2001). Maka sejak saat inilah baik kelompok gerilya maupun kelompok paramiliter menjadi organisasi kriminal. Selain kekerasan yang dilakukan oleh kelompok paramiliter, gerilya, serta militer Kolombia, tentu saja kekerasan juga dilakukan oleh kelompok-kelompok kartel narkoba. Aktivitas kartel narkoba yang ilegal inilah yang membuat aksi kekerasan dan mempersenjatai diri menjadi solusi terbaik bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh kelompok kartel. Pembunuhan aparat negara, pesaing-pesaingnya, hingga masyarakat
144
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
sipil merupakan hal yang lumrah di lakukan oleh kartel narkoba. Aparat hukum merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh kartel narkoba. Dengan melakukan kekerasan dan mempersenjatai diri dengan senjata-senjata termutakhir yang membuat aparat hukum tidak berkutik merupakan cara untuk memuluskan industri kokainnya tetap berjalan (Ousey dan Lee, 2002). Aparat penegak hukum Kolombia, Kepolisian Kolombia, dan kelompok kartel merupakan lawan sejak bertahun-tahun yang lalu. Kedua belah pihak saling melakukan aksi balas dendam atas pihak lawannya tersebut. Untuk menutupi aksi balas dendamnya, kepolisian menutupi aksinya tersebut menjadi operasi pemberantasan kartel narkoba. Namun operasi ini justru lebih terealisasi setelah terdapat anggotanya yang tewas terbunuh oleh kartel, terutama apabila yang menjadi korban adalah petinggi kepolisian Kolombia (De la Torre, 2008). Aksi balas dendam sangat kentara karena operasi ini sarat akan kekerasan dan jauh dari aksi penegakan hukum. Penegakan hukum di Kolombia bukanlah murni penegakan hukum, aktivitas aparatnya cerminan dari aksi saling membalas dendam (Weinstein, 2007).Indikator lainnya yang menunjukkan lemahnya penegakkan hukum di Kolombia adalah adanya korupsi dan klientelisme, dan kenyataannya kedua hal ini sudah menjadi budaya di dalam dunia perpolitikan Kolombia. Selain memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga, bagi para “un hombre de respeto” (orang yang terhormat), seperti jenderal atau pengusaha, dengan leluasa dapat terjun ke dalam dunia politik sekalipun orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang dunia politik (Archer, 1990). Terkait dengan hal tersebut, hal ini menjadi keuntungan bagi para anggota kartel mengingat kemudahan akses untuk melebarkan bisnis. Sistem politik di Kolombia dijalankan tak ubahnya dunia bisnis, saling tawar menawar komoditas yang dianggapnya penting. Komoditas disini tentu saja jabatan dan suara. Tak hanya di dalam perpolitikan, korupsi juga terjadi di dalam tubuh penegakan hukum, kepolisian salah satunya. Terlibatnya kepolisian ke dalam aktivitas organisasi kriminal ini dilakukan lewat beberapa cara; (1) Melakukan penggeledahan dan perampasan properti terhadap warga sipil secara ilegal, (2) mencuri uang atau/ dan narkoba dari pengedar narkoba, (3) menjual narkoba curian, (4) melindungi operasi transaksi narkoba, (5) memberikan laporan kriminal palsu.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
145
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Penggunaan Pendekatan Kekerasan dalam Plan Kolombia Pada tahun 2000 Plan Kolombia menggantikan Marshall Plan untuk Kolombia. Plan Kolombia menggabungkan beberapa hal yang menjadi fokus Amerika Serikat tanpa harus meninggalkan tujuan dasar dari pembentukan Plan Kolombia itu sendiri (Nagle, 2002). Amerika Serikat memberikan persyaratan seperti: mampu menjamin stabilitas pemerintahan Kolombia, mampu menjamin keberlangsungan perekonomian Kolombia, serta memastikan bahwa program dipusatkan pada pemberantasan narkoba dan peningkatan keamanan di Kolombia (Nagle, 2002). Namun dalam implementasinya, Plan Kolombia dijalankan secara tidak komprehensif, baik dari negara donor maupun negara penerima bantuan. Program-program yang dijalankan di dalam Plan Kolombia berjalan dengan timpang dan hanya berfokus pada satu program tertentu. Fokus program pun berubah-ubah seiring dengan terjadinya pergantian pemimpin negara. Walaupun tujuan, strategi, dan sasaran operasi dari program Plan Kolombia ini telah disepakati sebelumnya, namun dalam pengimplementasiannya terjadi tumpang tindih dan perbedaan yang cukup signifikan. Perubahan yang cukup signifikan ini terjadi sejak pasca tragedi pengeboman gedung kembar WTC dan gedung Pentagon di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Sejak tragedi tersebut, Plan Kolombia yang awalnya memiliki fokus pada war on drugs kemudian berubah haluan menjadi war on terror dan meninggalkan tujuan awal yang telah terbentuk sebelumnya (Nagle, 2002). Perubahan ini terjadi tak terkecuali pada strategi pengimplementasiannya. Amerika Serikat lebih banyak memberikan bantuan pada sektor kemiliteran. Penggunaan pendekatan kekerasan ini semakin kental sejak pergantian presiden Kolombia dari Pastrana kepada Uribe pada tahun 2002, dan pada saat itu pula Plan Kolombia kembali mengalami pergeseran. Di bawah pimpinan Uribe, Plan Kolombia berubah haluan menjadi program war on terror karena tujuan utama Plan Kolombia bukan lagi mereduksi jumlah produksi narkoba, tetapi untuk mengatasi terorisme di Kolombia. Terorisme disini tentu saja adalah kelompok pemberontak. Namun yang menjadi sorotan disini adalah Uribe hanya memprioritaskan targetnya pada FARC saja. Setelah dianalisa, ternyata hal ini merupakan sebentuk aksi balas dendam yang dilakukan oleh Uribe atas pembunuhan ayah dan beberapa anggota keluarganya yang dilakukan oleh FARC.
146
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Ketika strategi dan tujuan yang tidak konsisten, maka sasaran operasi Plan Kolombia tentu akan menjadi tidak konsisten dan saling tumpang tindih. Saling tumpang tindihnya penentuan sasaran operasi dalam sebuah aspek program ini terjadi bila berkaitan dengan pemberantasan narkoba dan pemberantasan pemberontak, terutama dalam proposal milik Uribe (Gomez, 2000). Tumpang tindih ini terjadi disebabkan oleh terjalinnya keterikatan hubungan antara kelompok pemberontak dengan kelompok penyelundup narkoba. Kelompok penyelundup narkoba membutuhkan kelompok pemberontak untuk melindungi asetnya tersebut dan membantunya menyelundupkan narkoba ke negara lain, serta untuk mengakhiri konflik antara kelompok penyelundup dan pemberontak yang seringkali terjadi (Gomez, 2000). Begitu pula bagi kelompok pemberontak yang membutuhkan kelompok penyelundup narkoba untuk mendanai, memberikan pelatihan, dan persenjataan bagi kelompok pemberontak (Gomez, 2000). Dengan demikian Amerika Serikat menggunakan strategi militerisasi untuk memberantas narkoba yang dilekatkan dengan melawan pemberontakan. Simpulan Melihat apa yang telah diuraikan di atas, bantuan luar negeri yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Kolombia dalam Plan Kolombia ini mengalami kegagalan diakibatkan oleh dua hal. Hal pertama, adanya permasalahan laten yang dimiliki oleh negara penerima, yang dalam kasus Kolombia ini berarti adanya permasalahan penegakan hukum di Kolombia yang disebabkan oleh adanya subordinasi hukum atau lemahnya penegakan hukum. Faktor kedua adalah adanya misdiagnosa strategi yang dialami oleh Amerika Serikat selama pembentukan strategi program Plan Kolombia. Misdiagnosa ini untuk menunjukkan situasi dimana pembuat keputusan melakukan kesalahan dalam melakukan kesalahan tindakan terhadap permasalahan-permasalahan yang telah diketahui. Pada kasus misdiagnosa pembuat keputusan telah memahami gejala-gejala atas permasalahan yang sedang dihadapi, hanya saja dalam upaya penindak lanjutannya pembuat keputusan melakukan kesalahan tindakan. Tumpang tindih penentuan prioritas target sasaran operasi dari war on drugs menjadi war on terror ini juga didasari dengan adanya saling keterkaitannya antara kelompok penyelundup narkoba dengan kelompok pemberontak.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
147
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Kelompok pemberontak yang selalu menggunakan aksi kekerasan inilah yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat menggunakan aksi-aksi kekerasan pula. Padahal hal itulah yang mampu membuat aksi pemberontakan semakin marak.
148
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Daftar Pustaka: Allum, Felia, and Renart Siebert. “Organized Crime: a Threat to Democracy?” In Organized Crime and the Challenge to Democracy., edited by Felia Allum and Renart Siebert. Routledge: Taylor & Francis Group, 2003. Archer, Ronald P. “The Transitions from Traditional to Broker Clientelism in Kolombia: Political Stability and Social Unrest.” Working Paper #140 (Kellog Institute), 1990. Armao, Fabio. “Why is Organized Crime so Successful?” In Organized Crime and the Challenge to Democracy, edited by Fellia Allum and Renart Siebert. New York: Routledge, 2003. Buss, Terry F., and Adam Gardner. “Why Foreign Aid in Haiti Failed.” Academy International Affairs Working Paper Series (National Academy of Public Administration), 2006. De la Torre, Luis V. “Drug-Trafficking and Police Corruption: a Comparison of Kolombia and Mexico.” (Naval Postgraduate School) 2008. Dollar, David, and William Easterly. “The Search for the Key: Aid, Investment, and Policies in Africa.” Development Research Group World Bank, 1997. Fajardo, Luis Eduardo. “From the Alliance For Progress to the Plan Kolombia: a Retrospective Look at U.S Aid to Kolombia.” Crisis States Programme Working Paper (LSE), no. 28 (2003). Goldsmith, Arthur. Foreign Aid and Statehood in Africa. The MITT Press, 2001. Gomez, Gonzalo Sánchez. “Challenges Faced by Contemporary Kolombia.” In Kolombia from the Inside, edited by Michiel Baud and Donny Meertens. Amsterdam: Cuadernos del Cedla, 2004. Holsti, K.J. “Instrumen Kebijakan Ekonomi.” In Politik Internasional: Kerangka Untuk Analitis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1998.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
149
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Human Rights Watch. “Smoke and Mirrors: Kolombia’s Demobilization of Paramilitary Groups.” Edited by Joanne Mariner. (Human Rights Watch) 17 (2005). McCarthy, Dennis. “The Kolombian Drug Cartel.” In The Economic History of Organized Crime, by Dennis McCarthy. New York: Routledge, 2011. Meija, Daniel. “The War on Drugs under Plan Kolombia.” In Rethinking the “War on Drugs” Through US-Mexico Prism, edited by Ernesto Zedillo and Haynie Wheeler. USA: Yale Center for Study of Globalizations, 2012. Nagle, Luz E. “Plan Kolombia: Reality of the Kolombian Crisis and Implication for Hemispheric Security.” The Strategic Studies Institute., 2002. Nielsen, Richard A, Michael G Findley, Zachary S Davis, Tara Canland, and Daniel L Nielson. “Foreign Aid Shocks as a Cause of Violent Armed Conflict.” AmericanJournal of Political Science (Wiley Online Library) 55, no. 2 (2011): 219232. 2011. Ousey, Graham C. & Lee, Mathew R. “Examining the Conditional Nature of the Illicit Drug Market-Homicide Relationship: a Partial Test of the Theory of Contigent Causation.” Criminology 12, no. 40 (2002). Rabasa, Angel M, and Peter Chalk. Kolombian Labyrinth: the Synergy of Drugs and Insurgency and Its Implication for Regional Stability. RAND, 2001. Weinstein, Jeremy M. “The Industrial Organization of Rebellion.” In Inside Rebellion: The Politics of Insurgent Violence, by Jeremy M Weinstein. Cambridge, 2007. Williamson, Claudia. “Exploring the Failure of Foreign Aid: The Role of Incentives and Information.” Austrian Economic (Springer Science + Business Media.), 2009. Watkins, Thayer. Political and Economical History of Kolombia. http://www.sjsu.edu/faculty/watkins/Kolombia.htm.
150
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
WOLA (Washington Office on Latin America). Clear and Present Dangers: The U.S Military and the War on Drugs in the Andes. Washington DC: WOLA, 1991.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
151
152
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014) Andraina Ary Fericandra ABSTRACT
Neo-Ottomanism is the cultural factor constructing Turkey’s foreign policy to support Palestine and be critical against Israel. At the same time, Turkey tries to maintain its bilateral relation with Israel. Turkey becomes inconsistent with Neo-Ottomanism. Neo-Ottomanism has limited space. The limitation of NeoOttomanism is described using the theoretical framework based on the criticism of Constructivist approach in International Relations that explain that material interest becomes the limit of culture in foreign policy. Israel has significant role for Turkey’s foreign economic relation in three vital sectors: trade, investment, and tourism. Turkey’s support to Palestine and its criticism against Israel have negative impacts on Turkey-Israel economic relation. Keywords: Neo-Ottomanism, Constructivism, Culture, and Foreign Policy Neo-Ottomanisme menjadi faktor kultural yang mengkonstruksi kebijakan luar negeri Turki untuk mendukung kedaulatan Palestina dan bersikap kritis terhadap Israel. Namun di sisi lain, terdapat upaya Turki untuk mempertahankan hubungan bilateral dengan Israel. Akibatnya, sikap Turki pada Neo-Ottomanisme menjadi tidak konsisten, sehingga bisa dikatakan bahwa Neo-Ottomanisme mengalami keterbatasan ruang gerak. Keterbatasan implementasi Neo-Ottomanisme ini dijelaskan menggunakan kerangka pemikiran berdasarkan kritik terhadap pendekatan konstruktivisme dalam Hubungan Internasional yang menunjukkan bahwa kepentingan material menjadi faktor yang membatasi implementasi kultur dalam kebijakan luar negeri. Israel memiliki arti penting bagi hubungan ekonomi luar negeri Turki di tiga sektor vital, yakni perdagangan, investasi, dan pariwisata. Dukungan Turki terhadap Palestina dan sikap keras terhadap Israel menimbulkan konsekuensi negatif pada hubungan kerja sama ekonomi Turki dengan Israel. Kata-kata Kunci: Neo-Ottomanisme, Konstruktivisme, Kultur, dan Kebijakan Luar Negeri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
153
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Berbagai literatur akademis mengasosiasikan Neo-Ottomanisme pemikiran dan doktrin kebijakan luar negeri Ahmet Davutolu yang tertulis dalam buku “Strategic Depth”. Davutolu memiliki gagasan bahwa Turki memiliki posisi geografis yang strategis dan kekayaan warisan historis Kekaisaran Ottoman, sehingga Turki seharusnya meningkatkan peran dan pengaruh di kancah internasional, terutama dengan negara-negara bekas wilayah Kekaisaran Ottoman, seperti Timur Tengah, Balkan, dan Asia Tengah (Gullo 2012). Davutolu juga menyatakan bahwa Turki memiliki potensi untuk kembali menjadi “Muslim super power” sebagaimana Kekaisaran Ottoman (Gullo 2012). Dengan pemikiran Neo-Ottomanisme, Davutolu yang menjadi Menteri Luar Negeri Turki sejak tahun 2009 mengkonstruksi kebijakan luar negeri Turki dengan membentuk visi dan menyediakan kerangka implementasi kebijakan luar negeri, salah satunya kebijakan luar negeri Turki di Timur Tengah (Aras 2009). Salah satu fokus utama kebijakan luar negeri Neo-Ottomanisme Turki di Timur Tengah adalah posisi Turki pada konflik Israel-Palestina. Secara historis, Palestina merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, sehingga Turki melihat Palestina sebagai salah satu warisan Kekaisaran Ottoman. Untuk itu, sebagai implementasi Neo-Ottomanisme, Pemerintah Turki menempatkan isu Palestina sebagai bagian dari tanggung jawab utama dalam kebijakan luar negeri Turki di Timur Tengah (Stein 2014). Dengan menempatkan isu Palestina sebagai tanggung jawab utama, Pemerintah Turki aktif dalam mendukung perjuangan Palestina untuk memperoleh pengakuan sebagai negara berdaulat di PBB, membangun hubungan diplomatik dan aktif melakukan dialog dengan Hamas, serta mengkritisi aksi-aksi Israel di Palestina. Hal ini terlihat dari beberapa kritik, seperti pada tahun 2009 dalam Davos World Economic Forum yang mana Erdogan menyebut operasi Israel di Gaza sebagai kejahatan kemanusiaan (Slot 2013). Sikap kritis Turki terhadap Israel mencapai titik terburuk setelah terjadi insiden Mavi Marmara, kapal Turki yang mengangkut bantuan kemanusiaan untuk Gaza pada 31 Mei 2010. Insiden ini pun mengakibatkan penarikan duta besar Turki dari Israel dan penurunan hubungan bilateral kedua negara hampir di semua sektor, termasuk pembatalan kerja sama ekonomi dan pertahanan (Slot 2013).
154
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Pemerintah Turki mengajukan tiga tuntutan terhadap Israel sebagai prasyarat untuk menormalisasi hubungan, yang disampaikan Erdogan dalam Majelis Umum PBB 2011: “Israel must apologize and compensate for the deaths of our martyrs and lift the economic blockade on Gaza” (Slot 2013). Kemudian pada tahun 2013 terdapat upaya normalisasi hubungan kedua negara, yang diawali oleh permintaan maaf Israel kepada Turki. Pemerintah Turki memberi respon positif dengan secara resmi menerima permintaan maaf Israel dan menyayangkan hubungan kedua negara yang memburuk (CNN News 2013). Respon Erdogan terhadap Israel pasca insiden Mavi Marmara mengindikasikan suatu ambivalensi. Di satu sisi, Turki menunjukkan identitas yang pro-Dunia Islam melalui sikap kritis tehadap aksi Israel. Namun di sisi lain, ada upaya untuk membina kembali relasi dengan Israel. Aplikasi Neo-Ottomanisme yang ambivalen dan bisa dikatakan terbatas terhadap hubungan Turki dan Israel menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor spesifik yang membatasi ruang gerak implementasi Neo-Ottomanisme. Tulisan ini membahas faktor apa yang membatasi implementasi Neo-Ottomanisme dalam hubungan Turki dengan Israel pada era Erdogan 2009-2014. Identitas dan Kebijakan Luar Negeri, Kritik terhadap Konstruktivisme, serta Tinjauan Kasus Empiris Sejak abad ke-20, faktor-faktor kultural menjadi variabel penting untuk menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara (Shaffer 2006; Ehin dan Berg 2009). Hal ini dikarenakan kultur tidak dapat terlepas dari manusia sebagai aktor utama dalam proses pembuatan kebijakan yang mewakili seluruh rakyat dari suatu negara. Dalam buku yang berjudul “The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy”, Shaffer (2006) mendefinisikan kultur sebagai faktor yang membentuk identitas rakyat suatu negara secara kolektif, yang meliputi faktor-faktor kepentingan non-materi, seperti agama, etnis, sejarah, peradaban, dan ideologi. Sedangkan menurut Fischer (t.t., dalam Shaffer 2006), para ilmuwan hubungan internasional mendefinsikan kultur sebagai segala bentuk pola pikir yang mengkonstruksi realitas sosial-politik, termasuk identitas dan ideologi.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
155
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Klaim terkait pengaruh faktor kultur dan identitas baik dalam proses perumusan maupun implementasi kebijakan luar negeri berangkat dari pendekatan konstruktivisme yang muncul pada awal tahun 1990-an setelah Perang Dingin berakhir. Konstruktivisme menegaskan bahwa seluruh aktivitas dan interaksi manusia tidak hanya dibentuk oleh faktor material, namun juga faktor kultural bersama yang kemudian mengkonstruksi kepentingan dan kebijakan negara (Finnemore dan Sikkink 2001). Kemudian Hopf (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi identitas adalah untuk membedakan antara “Self” dan “Other” yang menunjukkan preferensi dan kepentingan negara, serta mendasari perilaku negara untuk mencapai kepentingan. Pandangan Konstruktivisme terkait klaim peran kultur dalam kebijakan luar negeri pun menuai kritik. Sekalipun kultur dan identitas berpengaruh dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan luar negeri, namun dibatasi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor material. Menurut Shaffer (2006), kultur dan kepentingan material merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan, namun juga tidak selalu dalam hubungan yang konvergen. Dalam beberapa kasus, kepentingan kultural justru seringkali berbenturan dengan kepentingan material, sehingga negara mengalami dilema kebijakan dan harus menentukan apakah kepentingan kultural atau material yang menjadi prioritas utama (Shaffer 2006). Apabila kultur merupakan faktor utama dalam kebijakan luar negeri suatu negara, pembuat kebijakan akan lebih memprioritaskan kepentingan kultural meskipun merugikan negara secara material. Sebaliknya, pengaruh kultur dalam kebijakan luar negeri dikatakan terbatas oleh faktor kepentingan material ketika negara mengesampingkan aspek kultural demi mengejar kepentingan material (Altoraifi 2012). Oleh karena itu, faktor kepentingan material mengakibatkan batasan seperti kontradiksi antara pilihan kebijakan dan aliansi politik dengan kultur resmi negara, serta batasan peran kultur sebagai alat atau cara (culture as means) bagi negara untuk mencapai kepentingan material (Fischer t.t., dalam Shaffer 2006). Kedua, faktor historis. Faktor historis membatasi pengaruh kultur dalam kebijakan luar negeri mengakibatkan negara mendefinisikan “Self” dan “Other” berdasarkan pada persamaan pengalaman historis.
156
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Dengan kata lain, negara menempatkan faktor historis sebagai landasan utama untuk membentuk pilihan aliansi kerja sama dan persepsi ancaman terhadap negara lain, terlepas dari faktor persamaan kultur maupun agama (Shaffer 2006). Ketiga, faktor sistemik atau eksternal. Menurut Blum (t.t., dalam Shaffer 2006), faktor eksternal, seperti fenomena globalisasi atau institusi internasional, mengakibatkan negara melakukan penyesuaian kebijakan berdasarkan pada norma internasional. Pengaruh kultur dan identitas dalam kebijakan luar negeri terbatas oleh tekanan eksternal terutama jika negara mengejar keanggotaan suatu institusi internasional, karena negara harus patuh pada persyaratan dan norma yang ada dalam institusi. Aplikasi identitas negara pun terbatas apabila kontradiktif terhadap konstruksi identitas dan praktik sosial yang lebih fundamental dalam level internasional. Pertumbuhan Ekonomi Turki dan Arti Penting Israel bagi Hubungan Ekonomi Luar Negeri Turki Sejak Turki melakukan liberalisasi ekonomi berorientasi ekspor pada tahun 1980-an, perekonomian Turki mengalami pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun. Kebijakan orientasi ekspor membuat Turki tidak hanya mandiri, tetapi juga ekspansif. Setengah dari nilai ekspor Turki memang masih mengandalkan negara-negara Eropa, namun nilai perdagangan Turki dengan negara-negara Timur Tengah juga tumbuh pesat (Alfian 2015). Meskipun sempat mengalami krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an, perekonomian Turki kembali bangkit secara drastis di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Erdogan dan Pemerintah AKP. Sepanjang tahun 2002-2007, perekonomian Turki kembali meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 6-7% per tahun, nilai eskpor pun melonjak tinggi yakni dari 32 milyar dolar AS pada tahun 2002 menjadi 102 milyar dolar pada tahun 2009 (Alfian 2015). Bahkan pada tahun 2014, menurut World Bank (t.t.), pertumbuhan ekonomi yang tinggi menempatkan Turki sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-17 dunia dengan GDP mencapai 799,54 milyar dolar AS dan pendapatan per kapita sebesar 10.500 dolar AS. Pertumbuhan ekonomi ini tidak terlepas dari pendapatan yang diperoleh Turki dari kegiatan perdagangan luar negeri, investasi, dan pariwisata. Oleh karena itu, ketiga sektor vital ini berperan penting untuk kelangsungan perekonomian nasional Turki.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
157
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Di sektor perdagangan, perdagangan luar negeri Turki di era Erdogan, yakni ekspor dan impor, meningkat secara cepat dan angka pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekspor sangat tinggi. Berdasarkan data dari Investment Support and Promotion Agency of The Republic of Turkey Prime Ministry (t.t.), nilai ekspor Turki pada kurun waktu antara 2009-2014 di era Erdogan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama 2012 mencapai lebih dari 152 milyar dolar AS dan terus meningkat mencapai titik tertinggi pada tahun 2014 dengan total ekspor sebesar lebih dari 157 milyar dolar AS. Nilai ekspor yang tinggi ini berkontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi Turki. Pertumbuhan ekonomi Turki tidak terlepas dari perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh Turki dengan Israel. Secara historis, sejak tahun 1990-an Israel merupakan salah satu negara mitra yang penting bagi Turki dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti dari pembentukan Turkey-Israel Business Council pada tahun 1993. Bahkan Israel dan Turki menandatangani kerja sama perdagangan bebas sejak 14 Maret 1996 dan berlaku sampai sekarang (Bozdaglioglu, 2003). Turki dan Israel juga menandatangi perjanjianperjanjian lain untuk meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara selama tahun 1990-an, antara lain Commercial, Economic, Industrial, Technical, and Scientific Cooperation Agreement, Custom Agreement, Double-Taxation Prevention Treaty, dan Bilateral Investment Treaty, Standardization and Harmonization Agreement serta berbagai perjanjian dan pertemuan lainnya yang mendukung kerja sama perdagangan kedua negara (Uiportal 2013). Kemudian di era kepemimpinan Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki di periode kedua (2009-2014), Israel tetap menjadi salah satu target pasar yang strategis bagi perdagangan luar negeri Turki. Menurut data yang dirilis oleh Turkiye Istatistik Kurumu atau Institusi Statistik Turki (2015), angka pendapatan ekspor Turki ke Israel selama tahun 2009-2014 sangat tinggi, sehingga Israel selalu masuk dalam daftar 20 besar negara tujuan ekspor utama yang memberi pendapatan ekspor tertinggi bagi Turki. Posisi ini juga menempatkan Israel dalam enam besar negara di kawasan Timur Tengah yang memberi pendapatan ekspor tertinggi bagi Turki. Adapun komoditas ekspor utama dari Turki ke Israel antara lain besi dan baja kendaraan bermotor peralatan elektronik, dan biji-bijian (Trade Map 2015). Selain mengekspor komoditas ke Israel, Turki
158
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
juga mengimpor beberapa komoditas dari Israel. Adapun komoditas yang diimpor Turki dari Israel didominasi oleh komoditas bahan bakar dan manufaktur (Trade Map 2015). Komoditas bahan bakar dan manufaktur ini memiliki peran penting bagi proses produksi Turki, mengingat pertumbuhan ekonomi Turki yang berorientasi ekspor. Nilai ekspor dan impor yang tinggi menyebabkan volume perdagangan bilateral Turki dan Israel yang tinggi pula selama periode 2009-2014. Bahkan volume perdagangan Turki dan Israel meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu lima tahun, yakni dari 2,59 milyar dolar AS pada tahun 2009 menjadi 5,83 milyar dolar AS pada tahun 2014 (TurkStat 2015c). Secara kualitatif, Israel juga memiliki arti penting dan strategis bagi perdagangan Turki. Berbeda dengan negara-negara mitra dagang Turki di Timur Tengah, komoditas ekspor Turki ke Israel memiliki diversifikasi yang tinggi dan letak geografis kedua negara yang berdekatan memudahkan para produsen Turki memasok komoditas ke Israel (Punsmann 2011). Turki juga diuntungkan dari kebijakan perdagangan Israel untuk mengurangi bea masuk yang berasal dari negara ketiga dalam perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan NAFTA. Menurut Turkey-Israel Business Council, saat ini terdapat sekitar 900 perusahaan Israel yang beroperasi di Turki maupun bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Turki, yang mana kerja sama ini dimanfaatkan Turki sebagai celah untuk memudahkan komoditas Turki masuk ke pasar Eropa dan Amerika Serikat, karena Israel memiliki kerja sama perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan NAFTA. Tercatat sekitar 35% komoditas integrasi Israel dan Turki bisa masuk ke pasar Amerika Serikat tanpa pajak (Punsmann 2011). Lebih lanjut, kapasitas inovasi dan teknologi Israel juga berperan penting bagi perekonomian Turki. Menurut data yang dirilis TurkStat, pada tahun 2009-2014 struktur impor jasa Turki dari Israel didominasi oleh sektor layanan di bidang komputer, informasi, dan komunikasi, yakni dengan nilai rata-rata 46,7% dari total nilai impor jasa Turki dari Israel (TurkStat 2015c). Banyak perusahaan Israel yang memiliki spesialisasi tinggi di bidang riset dan pembangunan menjadikan Turki sebagai mitra untuk mengembangkan produk baru dan teknologi terkini. Israel pun menyediakan akses teknologi bagi perekonomian Turki, mulai dari perangkat lunak komputer dan telepon selular, sistem irigasi air, teknologi informasi, hingga peralatan medis (Punsmann 2011).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
159
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Di sektor investasi, selama era Erdogan nilai investasi asing langsung yang masuk ke Turki per tahun menunjukkan angka yang tinggi. Terbukti menurut Kementerian Ekonomi Turki (2014), pada tahun 2014 Turki menerima FDI inflows sebesar 12,1 milyar dolar AS, sehingga menempatkan Turki sebagai negara penerima FDI tertinggi ke-22 dunia, serta sebagai negara penerima FDI tertinggi dibanding negara-negara di kawasan Asia Barat lainnya. Hal ini tidak terlepas dari upaya Pemerintah Turki untuk menarik para investor asing dari berbagai negara melalui penandatanganan perjanjian investasi bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs). Tujuan utama dari BITs adalah untuk menstimulasi aliran kapital dan teknologi dengan pihak-pihak yang meratifikasi BITs, yakni dengan menyediakan dan menjamin lingkungan yang stabil dan kondusif bagi para investor yang berinvestasi di dalam negeri, serta menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi di antara pihak investor dan negara penerima. Hingga tahun 2014, tercatat bahwa Turki telah menandatangani dan meratifikasi BITs dengan 75 negara, salah satunya adalah Israel. Israel telah meratifikasi BITs dengan Turki sejak 27 Agustus 1998 (Kementerian Ekonomi Turki 2014). Dengan meratifikasi BITs, kerja sama investasi antara Turki dan Israel mulai diimplementasikan, antara lain dengan penanaman investasi yang dilakukan Israel di Turki sejak tahun 2000-an. Sementara itu, selama tahun 2009-2014 tercatat nilai investasi Israel di Turki cukup tinggi, sehingga menempatkan Israel di posisi ke-6 sebagai investor tertinggi bagi Turki dibandingkan negara-negara di seluruh Asia, yakni setelah Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Jepang, Kuwait, dan Korea Selatan, atau di posisi ke-4 tertinggi dibandingkan negaranegara di kawasan Timur Tengah (TurkStat 2015e). Investasi Israel di Turki ditanamkan di berbagai sektor industri, antara lain sektor energi, perbankan, dan manufaktur. Terlebih Israel juga memiliki arti penting terkait aliran modal asing ke perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Turki. Berdasarkan data dari Kementerian Ekonomi Turki (2015), hingga tahun 2014 tercatat lebih dari 39.100 perusahaan dengan modal asing beroperasi di Turki, yang mana 322 perusahaan di antaranya memperoleh aliran modal asing dari Israel. Mayoritas perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan grosir dan sektor manufaktur strategis yang berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi Turki, seperti manufaktur kimia, peralatan mesin, dan pertambangan (Central Bank of Turkey 2015).
160
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Sektor-sektor manufaktur ini menjadi basis dari proses produksi Turki, sehingga berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Turki yang berorientasi ekspor. Sedangkan investasi Turki di Israel, salah satunya dilakukan oleh perusahaan energi Turki, Zorlu Group. Zorlu Group merupakan investor terbesar dalam proyek gas alam di Israel dengan nilai investasi 1,3 milyar dolar AS di proyek gas alam Ashkelon sejak tahun 2003 (Zorlu t.t.). Di sektor pariwisata, pariwisata merupakan salah satu sektor penting bagi pertumbuhan ekonomi Turki karena berkontribusi besar bagi peningkatan GDP dan lapangan kerja. Hal ini terbukti dari data yang dipublikasikan oleh Investment Support and Promotion Agency Turki (2014) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2012 pendapatan dari sektor pariwisata (sekitar 30 milyar dolar AS) memberi kontribusi GDP tertinggi kedua setelah sektor pelayanan keuangan, dan lebih tinggi daripada sektor-sektor industri lain, seperti manufaktur otomotif, pelayanan komunikasi, pertambangan, pendidikan, dan manufaktur kimia. Sektor pariwisata juga menciptakan sekitar 510.000 lapangan kerja atau 9% dari total lapangan kerja yang ada di Turki. Menurut data yang dirilis oleh TurkStat (2015d), total pendapatan yang diperoleh Turki dari sektor pariwisata terus mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2009-2014, yakni dari 19,6 milyar dolar AS pada tahun 2009 menjadi 25,3 milyar dolar AS pada tahun 2014. Rata-rata 74% dari total pendapatan tahun 2009-2014 ini diperoleh dari wisatawan asing, sehingga peran wisatawan asing sangat penting bagi pendapatan sektor pariwisata Turki. Untuk itu, Turki menjalin kerja sama pariwisata dengan berbagai negara, termasuk dengan Israel. Kerja sama pariwisata antara Turki dan Israel telah ada sejak tahun 1992 (Bozdaglioglu 2003) dan terus berlanjut hingga di era Erdogan. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Turki (t.t.), Israel menjadi satu dari 66 negara yang diberi kebebasan visa kunjungan selama 90 hari oleh Pemerintah Turki. Pendapatan pariwisata Turki dari wisatawan Israel selama tahun 2009 hingga 2014 pun tinggi. TurkStat (2015d) mencatat bahwa pada tahun 2014 jumlah wisatawan Israel meningkat drastis sejak penurunan yang terjadi pada tahun 2010, sehingga pendapatan yang diperoleh Turki dari wisatawan Israel di tahun 2014 pun meningkat sekitar empat kali lipat dari pendapatan tahun 2011, yakni dengan angka lebih dari 250 juta dolar AS.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
161
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Selain itu, jumlah wisatawan Israel yang kembali meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penerbangan dengan rute dari Tel Aviv menuju beberapa kota tujuan wisata di Turki, yakni dari 1.677 penerbangan di tahun 2012 menjadi 2.253 di tahun 2013 (TurkStat 2015b), yang mana angka ini juga berdampak positif bagi industri penerbangan Turki. Neo-Ottomanisme dan Konsekuensinya terhadap Hubungan Ekonomi Turki-Israel Neo-Ottomanisme yang mendasari kebijakan Pemerintah Turki untuk mendukung Palestina berdampak pada penurunan hubungan bilateral Turki-Israel, terutama setelah terjadi insiden Mavi Marmara pada tahun 2010 yang menyebabkan Turki menarik duta besar dari Tel Aviv. Sikap kritis Turki terhadap Israel dan insiden Mavi Marmara juga berdampak pada penurunan kerja sama ekonomi luar negeri antara Turki dan Israel. Penurunan kerja sama ekonomi luar negeri kedua negara terbukti dari data statistik yang dirilis oleh TurkStat, yakni terjadi pada sektor perdagangan, investasi, dan pariwisata. Di sektor perdagangan, meskipun pasca insiden Mavi Marmara 2010 angka perdagangan kedua negara tidak terdampak secara langsung, namun volume perdagangan luar negeri Turki dan Israel mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan sikap kritis Turki terhadap Israel terus berlanjut sehingga menyebabkan eskalasi tensi hubungan kedua negara. Pada tahun 2011, Pemerintah Turki memulangkan duta besar Israel di Ankara, Gabby Levy, menurunkan tingkat perwakilan diplomatik sampai tingkat sekretaris dua, serta membatalkan secara total kerja sama dengan Israel di bidang ekonomi dan militer (BBC News 2011; VOA News 2011). Akibatnya, volume perdagangan kedua negara menurun hingga 400 juta dolar AS dalam kurun satu tahun, yakni dari 4,44 milyar dolar AS pada tahun 2011 menjadi 4,03 milyar dolar AS pada tahun 2012, yang mana penurunan angka ini mayoritas terjadi di sektor industri bahan-bahan kimia (TurkStat 2015c).
162
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Di sektor investasi, akibat sikap kritis Turki terhadap Israel dan insiden Mavi Marmara pada tahun 2010, nilai investasi Israel di Turki menurun drastis dari 997 juta dolar AS pada tahun 2010 menjadi hanya sebesar 427 juta dolar AS pada tahun 2011. Penurunan investasi Israel ini antara lain terjadi di sektor pertambangan minyak sebesar 13% dan sektor perbankan sebesar 11% (Bryant dan Peker 2011). Menashe Carmon, ketua Turkish-Israeli Business Council, mengatakan bahwa krisis hubungan diplomatik Turki dan Israel menyebabkan para investor Israel berpikir ulang atau bahkan menunda keputusan untuk berinvestasi dan mendirikan usaha bersama jangka panjang di Turki (Setrakian 2011). Selain itu, investasi Turki di Israel juga terdampak oleh insiden Mavi Marmara. Misalnya, Zorlu Group yang mengurangi aktivitas dan operasi dalam proyek gas alam di Israel karena tekanan dan sensitivitas masyarakat sipil, kemudian Yilmazlar Construction Group, perusahaan Turki yang bergerak dalam bidang konstruksi di Israel sejak tahun 1993 dan telah mempekerjakan 700 tenaga kerja Israel, mengklaim bahwa aset-aset perusahaan sebesar jutaan dolar AS dibekukan oleh pengadilan Israel sebagai dampak dari tensi politik kedua negara (Cagaptay dan Evans 2012). Di sektor pariwisata, industri pariwisata menjadi sektor ekonomi yang paling rentan terdampak oleh krisis hubungan diplomatik Turki dan Israel. Hal ini terbukti dari sikap kritis Pemerintah Turki terhadap Israel sejak tahun 2009 yang memunculkan sentimen negatif berupa penurunan kunjungan wisatawan Israel ke Turki, yakni dari angka 558.183 wisatawan pada tahun 2008, berkurang menjadi 316.466 wisatawan pada tahun 2009 (TurkStat 2015d). Kemudian saat terjadi krisis hubungan diplomatik antara Turki dan Israel, yakni setelah insiden Mavi Marmara 2010, Kementerian Luar Negeri Israel mengumumkan travel warning yang mengakibatkan jumlah wisatawan Israel yang berkunjung ke Turki semakin berkurang, yakni dari 110.322 wisatawan pada tahun 2010 menjadi 79.420 wisatawan pada tahun 2011. Kunjungan wisatawan Israel ke Turki yang berkurang pun berdampak pada penurunan pendapatan wisata yang diperoleh Turki dari wisatawan Israel, yakni dari 120 juta dolar AS pada tahun 2009 menjadi hanya 61 juta dolar AS pada tahun 2011 (TurkStat 2015d).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
163
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Respon Kelompok Bisnis, Investor, dan Industri Pariwisata di Turki Sejak terjadi insiden Mavi Marmara, para pelaku bisnis melalui Turkish-Israeli Business Council berusaha melobi Pemerintah Turki untuk melakukan rekonsiliasi dengan Israel. Hal ini dikarenakan potensi penurunan kerja sama ekonomi kedua negara dalam jangka panjang, merujuk pada keputusan para investor Israel yang membatalkan rencana investasi di Turki (Setrakian 2011). Respon dan protes terhadap Pemerintah Turki juga muncul dari beberapa perusahaan yang terdampak oleh krisis hubungan Turki dan Israel, seperti Yilmazlar Construction Group di Israel yang menyalahkan dan menuntut Pemerintah Turki akibat kerugian bisnis yang dialami (Cagaptay dan Evans 2012). Kemudian pada tahun 2012, kelompok investor dari Asosiasi Industri dan Bisnis Turki (TUSIAD) merespon kebijakan Turki terhadap Israel dengan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan rencana investasi strategis Turki ke depan, mengingat nilai investasi dari Israel pada tahun 2011 merosot drastis, serta menyatakan bahwa Israel merupakan mitra investasi prioritas bagi para investor Turki (Yinanc 2012). Protes juga muncul dari agen-agen perjalanan dan industri perhotelan yang menyalahkan Pemerintah Turki terkait penurunan jumlah kunjungan wisatawan Israel ke Turki sebagai dampak dari sikap keras Turki terhadap Israel, yang menyebabkan beberapa agen perjalanan dan hotel mengalami kebangkrutan. Misalnya, Levantin Tour mengklaim telah rugi hingga 1,1 juta dolar AS karena hampir 17.000 wisatawan Israel membatalkan reservasi hotel dan perjalanan ke Turki setelah insiden Mavi Marmara (Gokce 2010). Kondisi ini juga merugikan maskapai penerbangan Turki, Turkish Airlines, yang membatalkan seluruh penerbangan dengan rute Tel Aviv-Antalya karena tidak ada permintaan dari wisatawan Israel selama musim panas 2011 (Cagaptay dan Evans 2012). Dilema Kebijakan dan Inkonsistensi Pemerintah Turki pada Neo-Ottomanisme Profil yang mendemonstrasikan konsekuensi ekonomi yang terjadi di saat mengejar kepentingan kultural membuat Pemerintah Turki mengalami dilema kebijakan, yakni harus menentukan prioritas apakah kepentingan ekonomi atau kepentingan kultural.
164
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Dilema kebijakan ini kemudian menyebabkan sikap dan pilihan kebijakan Pemerintah Turki menjadi tidak konsisten pada Neo-Ottomanisme. Inkonsistensi Pemerintah Turki pada NeoOttomanisme secara jelas terlihat dalam hubungan kerja sama ekonomi dengan Israel. Sejak terjadi penurunan nilai investasi secara drastis pada tahun 2011 dan protes dari berbagai kelompok pelaku ekonomi di Turki, Pemerintah Turki melakukan upayaupaya verbal untuk mempertahankan dan meningkatkan kembali hubungan ekonomi dengan Israel, yakni dengan menegaskan arti penting Israel bagi Perekonomian Turki, serta bahwa Pemerintah Turki tidak memutuskan kerja sama ekonomi dengan Israel. Upaya verbal itu disampaikan ketika pihak Pemerintah Turki mengoreksi pernyataan Erdogan untuk membekukan kerja sama ekonomi dan militer dengan Israel pada tahun 2011, dengan mengumumkan bahwa sanksi Turki terhadap Israel hanya merujuk pada perdagangan yang berhubungan dengan militer dan pertahanan, sedangkan kerja sama perdagangan lainnya tidak dibekukan (Ravid 2011). Selain itu, Menteri Ekonomi Turki Zafer Çaglayan menyatakan bahwa Israel adalah mitra dagang yang penting bagi Turki, sehingga Pemerintah Turki tidak membatalkan kerja sama ekonomi dengan Israel (Bryant dan Peker 2011). Di sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata Turki berupaya untuk meningkatkan kembali angka kunjungan wisatawan Israel ke Turki, yang disampaikan langsung oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Turki Ertugrul Günay dengan menyatakan bahwa wisatawan Israel akan tetap disambut di Turki (AK Parti t.t.). Kemudian Wakil Menteri Pariwisata Turki Özgür Özaslan juga menyampaikan bahwa Turki berharap para wisatawan Israel akan kembali berkunjung ke Turki (Eichner 2012). Kendatipun upaya-upaya verbal telah dilakukan oleh para pejabat tinggi Pemerintah Turki, namun upaya ini belum menghasilkan peningkatan yang signifikan pada kerja sama ekonomi Turki dengan Israel. Pada tahun 2012, volume perdagangan luar negeri Turki dengan Israel justru merosot hingga 400 juta dolar AS. Akhirnya, sikap keras Turki terhadap Israel semakin melunak pada tahun 2013 yang terlihat dalam upaya normalisasi hubungan kedua negara.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
165
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Upaya normalisasi ini berawal pada 22 Maret 2013 ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara resmi meminta maaf kepada Perdana Menteri Erdogan atas insiden Mavi Marmara serta menyetujui untuk segera menyelesaikan pembayaran kompensasi sebagai pemenuhan syarat normalisasi pertama dan kedua yang diajukan oleh Turki. Permintaan maaf Israel pun memperoleh respon positif dari Pemerintah Turki, yang mana Erdogan secara resmi menerima permintaan maaf Israel dan menyayangkan hubungan kedua negara yang memburuk. Erdogan menegaskan arti penting persahabatan dan kerja sama yang kuat selama berabad-abad antara rakyat Turki dan Israel (Prime Ministry Press Center of the Republic of Turkey 2013). Pemerintah Turki pun telah menyetujui untuk bekerja sama dengan Israel dalam memperbaiki situasi kemanusiaan di wilayah Palestina sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan normalisasi ketiga. Pemerintah Turki juga sepakat untuk segera menormalisasi hubungan dengan Israel secara penuh, serta membatalkan tuntutan hukum terhadap para tentara Israel dan semua pihak pejabat Israel yang terlibat dalam serangan Mavi Marmara (Cohen, 2014). Padahal sejak 2010, melalui Palmer Report di PBB, Turki bersikeras menuntut Israel untuk bertanggung jawab secara hukum atas serangan Mavi Marmara. Sikap kompromi Turki terhadap Israel dan kesepakatan kedua negara untuk segera melakukan normalisasi secara penuh mengindikasikan bahwa sikap Turki yang pro-Palestina melunak. Faktor ekonomi bisa dikatakan sebagai faktor yang melatar belakangi kebijakan Turki untuk mengurangi sikap keras terhadap Israel. Terbukti upaya normalisasi yang dilakukan oleh Turki dan Israel akhirnya menuai hasil yang signifikan bagi hubungan ekonomi kedua negara. Keberhasilan upaya kedua negara ini terindikasi dari kontinuitas eksistensi dan peningkatan kembali kerja sama ekonomi luar negeri antara Turki dan Israel. Pada tahun 2013 tercatat volume perdagangan Turki dan Israel, nilai investasi Israel di Turki, dan angka wisatawan Israel yang berkunjung ke Turki kembali melonjak tinggi, masing-masing meningkat hingga 100% (TurkStat 2015c).
166
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Simpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kepentingan material Turki terhadap Israel dalam konteks ekonomi membatasi implementasi Neo-Ottomanisme sebagai faktor kultural dalam kebijakan luar negeri Turki di era Erdogan periode 20092014. Faktor ekonomi membatasi implementasi Neo-Ottomanisme ketika Pemerintah Turki dihadapkan pada pilihan dilematis antara kepentingan ekonomi dan kepentingan kultural, yang mana pada akhirnya Pemerintah Turki mengesampingkan aspek kultural demi mempertahankan kepentingan ekonomi. Kondisi ini menjadi alasan Turki bersikap tidak konsisten pada Neo-Ottomanisme. Inkonsistensi Turki pada Neo-Ottomanisme ini dikarenakan Turki mengkalkulasi keuntungan material dari kerja sama ekonomi dengan Israel lebih besar dibandingkan mengejar kepentingan kultural berupa sikap pro-Palestina. Oleh karena itu, Turki mengambil pilihan kebijakan yang kontradiktif terhadap Neo-Ottomanisme, yakni dengan tetap mempertahankan hubungan bilateral dengan Israel dalam bidang kerja sama ekonomi di sektor perdagangan luar negeri, investasi, dan pariwisata. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa terjadi keterbatasan implementasi Neo-Ottomanisme dalam kebijakan luar negeri Turki karena faktor kepentingan ekonomi Turki terhadap Israel.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
167
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Daftar Pustaka
AK Parti, 2011. Tourism is a Peace Project. [daring]. dalam https:// www.akparti.org.tr/english/haberler/tourism-is-a-peaceproject/12712#1 [diakses pada 23 Maret 2016]. Altoraifi, Adel, 2012. Understanding the Role of State Identity in Foreign Policy Decision Making: The Rise and Demise of Saudi-Iranian Rapproachment (1997-2009). Ph.D. London: London School of Economics and Political Science. Aras, Bulent, 2009. “Davutoglu Era in Turkish Foreign Policy”, SETA Policy Brief, No. 32, hal 1-16. BBC News, 2011. “Turkey Expels Israeli Ambassador over Gaza Flotilla Row”, BBC News, 2 September 2011. [onlinedaring] dalam http://www.bbc.com/news/world-europe-14762475 [diakses pada 18 Maret 2016]. Blum, Douglas W., t.t. “Beyond Blood and Belief: Culture and Foreign Policy Conduct”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press. Ch.3. Bozdaglioglu, Yucel, 2003. Turkish Foreign Policy and Turkish Identity. London: Routledge. Bryant, Steve dan Peker, Emre, 2011. Turkey-Israel Booming Trade Obscured in Erdogan Political Rants. [daring]. dalam http:// www.bloomberg.com/news/articles/2011-09-22/turkeyisrael-business-boom-obscured-in-erdogan-rant-againsttrade-partner [diakses pada 19 Maret 2016]. Bulukbasi, Suha, 1999. “Behind the Turkish-Israeli Alliance: A Turkish View”, Journal of Palestine Studies, 29 (1): 21-35. Cagaptay, Soner dan Evans, Tyler, 2012. “The Unexpected Vitality of Turkish-Israeli Trade”, The Washington Institute for Near East Policy, No.16, hal 1-8. Cohen, Matthew S., 2014. “Breakdown and Possible Restart: TurkishIsraeli Relations under AKP”, Israel Journal of Foreign Affairs VIII: 1, hal 39-55.
168
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Cornel, Svante E., t.t. “Pakistan’s Foreign Policy: Islamic or Pragmatic?” dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press. Ch.11. Ehin, Piret dan Berg, Eiki, 2009. Identity and Foreign Policy: BalticRussian Relation and European Integration. Cornwall: MPG Books Ltd. Eichner, Itamar, 2012. Turkish Tourism Official Invites Israeli Tourists to Come Back [daring]. dalam http://www.al-monitor.com/ pulse/iw/business/2012/03/turkey-misses-israeli-tourists. html#ixzz43dQDL6Ja [diakses pada 23 Maret 2016]. Finnemore, Martha dan Sikkink, Kathryn, 2001. “Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics”, Annual Reviews, 4: 391-416. Fischer, Markus, t.t. “Culture and Foreign Politics”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press. Ch.2. Gokce, Dincer, 2010. “Turkish Tourism Agency Incurs Losses with Israeli Cancellations”, Hurriyet Daily News, 28 Juni 2010. [daring]. dalam http://www.hurriyetdailynews.com/ default.aspx?pageid=438&n=tourism-agencies-in-loss-dueto-israeli-reaction-2010-06-28 [diakses pada 15 Februari 2016]. Gullo, Matthew T., 2012. Turkish Foreign Policy: Neo-Ottomanism 2.0 and the Future of Turkey’s Relations with the West. MA. Duke University. Hopf, Ted, 1998. “The Promise of Constructivism in International Relations Theory”, International Security, 23 (1): 171-200. Investment Support and Promotion Agency of The Republic of Turkey Prime Ministry, t.t. Foreign Trade. [daring]. dalam www.invest.gov.tr [diakses pada 3 Desember 2015]. , 2014. Turkish Tourism Revenue Hits 32 Billion. [daring]. dalam http://www.invest.gov.tr/en-US/infocenter/news/ Pages/310114-turkey-tourism-revenue-in-2013.aspx [diakses pada 9 Desember 2015].
__________
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
169
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Kangas, Roger, t.t. “Domestic Politics, Bureaucratic Strategies, and Culture in Central Asia”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press. Ch.7. Prime Ministry Press Center of the Republic of Turkey, 2013. Press Statement: Statements concerning the phone call between Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdoğan and Israeli Prime Minister Netanyahu as agreed upon by the two sides. [daring]. dalam http://www.bbm.gov.tr/Forms/ pgNewsDetail.aspx?Type=1&Id=4543[diakses pada 12 Februari 2016]. Punsmann, Burcu Gultekin, 2011. “Turkey-Israel: Towards a Decoupling between Economics and Politics”, Economic Policy Research Foundation of Turkey, N201148, hal 1-4. Ravid, Barak, 2011. “Turkey Clarifies: Trade Sanctions against Israel Include Only Defense Industry”, Haaretz, 6 September 2011. [daring]. dalam http://www.haaretz.com/israel-news/ turkey-clarifies-trade-sanctions-against-israel-include-onlydefense-industry-1.382917 [diakses pada 16 Februari 2016]. Setrakian, Lara, 2011. Did Turkey Turn On Israel to Boost Business from the Arab World? [daring]. dalam http://www. businessinsider.com/did-turkey-turn-on-israel-to-boostbusiness-from-the-arab-world-2011-9?IR=T&r=US&IR=T [diakses pada 20 Maret 2016]. Shaffer, Brenda, 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press. Slot, Rune, 2013. Turkey’s Foreign Policy. [daring] dalam: http:// rudar.ruc.dk/handle/1800/10620 [diakses pada 18 Maret 2016]. Stein, Aaron, 2014. “Turkish New Foreign Policy: Davutoglu, the AKP, and the Pursuit of Regional Order”, Royal United Services for Defence and Security Studies, Whitehall Paper No. 83. TurkStat, 2015a. Export by Country and Year: Top 20 Country in Exports. [daring]. dalam www.turkstat.gov.tr [diakses pada 4
170
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Desember 2015]. Uiportal, 2013. Disintegration of Diplomatic Relations and economic Relations between Turkey and Israel. [daring]. dalam http://www.uiportal.net/disintegration-of-diplomaticrelations-and-economic-relations-between-turkey-and-israel. html[diakses pada 3 Desember 2015]. VOA News, 2011. “Turkey Suspends Trade, Defense Ties with Israel”, VOA News, 5 September 2011. [daring]. dalam http:// www.voanews.com/a/turkey-suspends-trade-defense-tieswith-israel--129290663/144833.html [diakses pada 16 Februari 2016]. World Bank, t.t. Turkey Overview. [daring]. dalam www.worldbank. org/en/ country/turkey/overview [diakses pada 3 Desember 2015]. Yinanc, Barcin, 2012. “Top Bosses Eye Smart Investments”, Hurriyet Daily News, 21 Maret 2013. [daring]. dalam http://www. hurriyetdailynews.com/top-bosses-eye-smart-investments.as px?pageID=238&nID=16499&NewsCatID=345[diakses pada 22 Maret 2016]. Zorlu, t.t. Energy. [daring]. dalam http://www.zorlu.com.tr/en/ fields-of-operation/energy [diakses pada 20 Maret 2016].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
171
172
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
PARA PENULIS Alfionita Rizky P. adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Andraina Ary Fericandra adalah alumni dari Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel 2009-2014”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Cintya Aryadevi S. adalah alumni dari Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia”. Penulis dapat dihubungi melalui: cynthrydvsrswt@ gmail.com Kartika Yustina Mandala Putri adalah alumni dari Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Muhammad Ahalla Tsauro adalah alumni dari Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia dalam Perang Rusia-Georgia 2008”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Nadia Farabi adalah staf pengajar di Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro. Menyelesaikan S1 dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga dan S2 dari Program Studi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected]
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VI, No.2, Juli-Desember 2013
173
Naufal Armia Arifin adalah alumni Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katholik Parahyangan Bandung. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Rohingya Radicalization”. Penulis dapat dihubingi melalui:
[email protected] Probo Darono Yakti adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Kebutuhan Uni Eropa dalam Institusi Keamanan: Peran NATO di Era Kontemporer”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Putu Eka Yanti W. adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Retno Anggraeni adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Reza Akbar Felayati adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 20042010 setelah Tsunami Samudera Hindia tahun 2004”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected] Taruna Rastra Sakti adalah mahasiswa Program Studi S2 Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Australia”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected]
Yesaya Anggia adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
[email protected]
Pedoman Penulisan 1. Artikel harus orisinil dan belum pernah dimuat di media penerbitan lain (termasuk blog), dan tidak dikirim secara bersamaan ke media atau penerbitan lain. 2. Panjang artikel: 4.000-4.400 kata (dalam bahasa Indonesia) atau 3.000-3.300 kata (dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya). 3. Judul artikel harus spesifik dan efektif, terdiri dari 9-14 kata (dalam bahasa Indonesia) atau 7-10 kata (dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya). 4. Abstrak terdiri dari 150-200 kata yang ditulis dalam satu paragraf, dilanjutkan dengan kata kunci (keywords); dan terdiri dari dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya). 5. Isi artikel harus: (1) mempunyai relevansi dengan kebutuhan proses belajar-mengajar di bidang ilmu hubungan internasional; (2) berhubungan dengan persoalan-persoalan global dan strategis seperti diplomasi dan hubungan luar negeri, perdamaian dan keamanan internasional, ekonomi dan politik internasional, organisasi dan bisnis internasional, globalisasi dan strategi; (3) berkaitan erat dan/atau sesuai dengan bidang keilmuan yang selama ini dikuasai penulis, baik yang berupa tulisan teoritis, metodologis, ringkasan hasil penelitian maupun resensi buku ilmiah; dan (4) memperhatikan obyektifitas substansi dan kaidah-kaidah keilmuan 6. Penulisan artikel: • Di dalam penulisan artikel, hindari penggunaan dot points, pengabjadan, atau penomoran seperti ini: 1. .... 2. .... tetapi lebih baik ditulis sebagai berikut: (1) ..., (2) .... • Artikel ditulis dalam bentuk essay, sehingga tidak ada format numerik (atau abjad) yang memisahkan antarbab/bagian, ataupun untuk menandai bab/bagian baru. • Bila ada tabel dan gambar/grafik, harus diacu dalam pembahasan. • Kesimpulan tidak dirinci dalam poin-poin, tetapi berupa paragraf. 7. Metode kutipan menggunakan ketentuan sebagai berikut: • Gunakan running note, bukan footnote atau endnote. • Apabila nama pengarang dikutip dalam essay dan meupakan bagian dari kalimat, cantumkan nama pengarang diikuti dengan tahun publikasi dalam kurung. Wade (2007) berpendapat bahwa.... Seperti yang diungkapkan oleh Wade (2007), .... • Apabila nama pengarang tidak dikutip secara langsung
176
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
•
•
•
•
•
•
• •
•
dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun dalam kurung, dan letakkan di akhir kalimat. .... (Kaldor 2006). Apabila lebih dari satu pengarang dalam essay dan referensi berasal dari lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dengan memasukkan tahun dalam kurung. Martin (2006) dan Johnson (2008) memiliki pandangan sama. Keduanya menganggap…. Apabila mengutip pendapat lebih dari satu orang secara tidak langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun terbit secara berurutan dengan dipisahkan tanda titik koma, masukkan dalam kurung. .... (Martin 2006; Johnson 2008). Apabila mengutip sebuah pendapat yang disampaikan lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dan diikuti tahun terbit yang dimasukkan dalam kurung. Falola dan Genova (2005) menyatakan.... .... (Falola dan Genova 2005). Apabila mengutip sebuah pendapat lebih dari dua pengarang, cantumkan hanya pengarang pertama dan diikuti ”et al.”. Eizenstat et al. (2005) berargumen bahwa…. …. (Eizenstat et al. 2005). Apabila nama pengarangnya tidak diketahui, cantumkan judul artikel dan tahun terbit. Judul artikel diapit tanda kutip. Dalam artikel “Weak States and Global Threats: Fact or Fiction” (2006), dinyatakan bahwa…. Apabila tahun terbit tidak diketahui, cantumkan “t.t.” yang berarti “tanpa tahun”. Sieuw (t.t.) menuliskan…. …. (Sieuw t.t.). Apabila mencantumkan nomor halaman Acharya (2004, 58) mengatakan…. …. (Acharya 2004, 58). Apabila mengutip pendapat dari satu pengarang dan diterbitkan pada tahun yang berbeda, cantumkan nama pengarang disertai tahun ketika dipublikasikan pertama kali. Laquer (1987 & 1999) mengajukan tesis bahwa …. …. (Laquer, 1987 & 1999). Apabila seorang pengarang mengajukan sejumlah pendapat pada tahun yang sama, bedakan dengan mencantumkan huruf kecil setelah tahun publikasi. Penelitian awal Martin (2006a) menemukan bahwa… tetapi penelitian berikutnya oleh Martin (2006b) tampak
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
177
bahwa…. • Apabila mengutip pendapat seseorang (sumber pertama) yang tercantum dalam artikel yang ditulis oleh orang yang lain (sumber kedua), sumber pertama dituliskan terlebih dahulu. …. (Sageman 2004 dalam Dempsey 2006). Dalam penelitiannya, Sageman (2004 dalam Dempsey 2006) menemukan bukti bahwa…. Sageman (2004), seperti dikutip oleh Dempsey (2006), menyarankan…. 8. Metode penulisan daftar pustaka menggunakan ketentuan sebagai berikut: • Daftar pustaka harus sudah dituliskan sesuai dengan urutan abjad family name (nama belakang). • Buku dengan satu pengarang Mubah, A. Safril, 2007. Menguak Ulah Neokons: Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. • Buku dengan dua pengarang Falola, Toyin, dan Ann Genova, 2005. The Politics of the Global Oil Industry: An Introduction. London: Praeger. • Buku dengan lebih dari dua pengarang Grace, Bruno, et al., 1988. A History of the World. Princeton, NJ: Princeton University Press. • Buku hasil editan Rotberg, Robert I. (ed.), 2003. State Failure and State Weakness in a Time of Terror. Washington D.C.: Brookings Institution Press. Thomas, Caroline, dan Peter Wilkin (eds.), 1999. Globalization, Human Security and the African Experience. Boulder, Colo: Lynne Rienner Baylis, John et al. (eds.), 2007. Strategy in the Contemporary World. Oxford: Oxford University Press. • Artikel dalam buku Parsa, Misagh, 2003. “Will Democratization and Globalization Make Revolutions Obsolete?”, dalam Foran, John (ed.), 2003. The Future of Revolutions: Rethinking Radical Change in the Age of Globalization. London: Zed Book. • E-book Fishman, Robert., 2005. The Rise and Fall of Suburbia. [ebook]. Chester: Castle Press. dalam libweb.anglia.ac.uk / E-books [diakses 24 Juli 2006]. Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London: Gee. dalam libweb.anglia.ac.uk/ E-books [diakses 1 Agustus 2007]. • Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip
178
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Martin, Gus, 2006a. Understanding Terrorism. California: Sage Publications. _____, 2006b. “Globalization and International Terrorism”, dalam Ritzer, George, (ed). 2006. The Blackwell Companion to Globalization. Malden, MA: Blackwell. • Artikel dalam jurnal Wardhani, Baiq, 2007. “Diplomasi dan Intervensi: Keterlibatan Pihak Ketiga dalam Konflik Etnis Pemisahan Diri”, Global & Strategis, 1 (1): 1-11. • Artikel dalam media massa Susilo, I. Basis, 2008. “Antara Hillary dan Obama”, Kompas, 31 Januari, hlm 6. • Artikel Online International Monetary Fund, 2007a. World Economic Outlook [online]. dalam http://www.imf.org/external/ Pubs/FT/WEO/2007/01/index. htm [diakses 20 Februari 2008]. • Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, 2002. Jakarta: DPR RI. • Publikasi resmi lembaga pemerintah Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2008. Jakarta: Departemen Pertahanan RI. • Laporan tahunan United Nations Development Program (UNDP), 1994. Human Development Report 1994. • DVD/VCD The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004. [VCD]. Jakarta: The Habibie Center. • Video (Film) Pilger, John. 2001. The New Ruler of the World. [video]. Jakarta: Indy Cinema. • Skripsi/Tesis/Disertasi Wahyudi, Fendy Eko, 2008. Pengaruh Kausalitas Tingkat Fertilitas Total (TFR) Penduduk terhadap Tingkat Demokrasi: Tinjauan Demokrasi Gelombang Ke-4 (19912000). Skripsi Sarjana. Surabaya: Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. 9. Penulis harus menyertakan curriculum vitae (CV) yang berisi nama lengkap, tempat & tanggal lahir, alamat lembaga atau alamat pribadi untuk berkorespondensi (nama jalan, kota, kode pos, email, telepon, dan faksimili), pengalaman kerja, riwayat pendidikan, dan judul skripsi/tesis/disertasi. 10. Tulisan dikirim via email ke
[email protected] Tulisan yang dikirim ke redaksi harus sudah sesuai dengan pedoman penulisan jurnal ini.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
179
11. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah substansi dan pokok pikiran penulisnya. Redaksi juga tidak akan mengembalikan artikel yang tidak layak muat.
180
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016