ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 10 No. 2 Tahun 2012
Redaksi : Pembina Pengarah
: Kepala LAN : Deputi Bidang Kajian KLB dan SDA
Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi Penyunting
: Dr. Adi Suryanto, M.Si : Dra. Elly Fatimah, M.Si : Suryanto, S.Sos, M.Si Pujiatmo Subarkah, SE, MA Meita Ahadiyati K, S.Si, MPP
Mitra Bestari
: Prof. M. Ryass Rasyid Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc Dr. Adi Suryanto, M.Si Dr. Syarif Hidayat
Pimpinan Pelaksana Harian : Samiaji, S.Sos Sekretariat : Renny Savitri, S.IP Widya Puspitaayu Sutisna, SE Endang Purwati Revianeza Aziz Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (Center For Local Autonomy Performance Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Tlp. (021) 3868201-06 Ext. 119, 120, Fax (021) 3865102 Website : www.pkkod.lan.go.id Email :
[email protected]
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
Daftar Isi iii 1-6
Editorial Serambi
KONFLIK HUBUNGAN PUSAT-DAERAH antara PEMERINTAH PUSAT DAN KABUPATEN BLORA TERKAIT dengan DANA BAGI HASIL BLOK CEPU Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES KEBIJAKAN DAERAH Abdullah Manshur MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN PURBALINGGA : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri PENYUSUNAN SISTEM ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN Pujiatmo Subarkah LAUTAN DALAM PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Konsep, Indikator-Indikator serta Model Pengukurannya Hardi Warsono PENINGKATAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS KKN DAN INDIKATOR-INDIKATOR HASILNYA Andy Fefta Wijaya PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI DAN INDIKATOR-INDIKATOR SERTA MODEL PENGUKURANNYA H.A. Kartiwa REFORMASI BIROKRASI DAN REMUNERASI Agustinus Sulistyo TP SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Dian Eka Rahayu Sawitri
Info PKKOD
147-161 163-177
179-191
193-204
205-218
219-230
231-240
241-250 251-265 267-284 285-296
Petunjuk Penulisan
ii
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Editorial Dengan penuh semangat, Redaksi Jurnal Desentralisasi kembali merampungkan Volume 10 Nomor 2 Tahun 2012, dengan harapan kami dapat memenuhi harapan para pembaca sekalian. Seperti biasanya, dalam edisi kali ini Jurnal Desentralisasi senantiasa menghadirkan isu-isu menarik masih seputar kebijakan dan best practices dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah dengan berbagai macam dinamikanya. Dalam edisi kali ini akan dihadirkan penulis-penulis profesional dan para penulis muda yang akan mengulas berbagai isu-isu menarik. Yang pertama adalah mengenai konflik hubungan pusat-daerah antara pemerintah pusat dan kabupaten Blora terkait dengan dana bagi hasil blok Cepu, yang merupakan kolaborasi pemikiran Budi Set iyon o, Dio Satr io Jati dan Teten Jamaludin. Tulisan selanjutnya adalah terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, yaitu Abdullah Manshur m en g an g kat i tu t en t an g p ar ti si p a si masyarakat dalam proses kebijakan daerah. Penulis berikutnya adalah Renny Savitri yang mengulas isu model pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga. Pujiatmo Subarkah dalam edisi kali ini mengulas tentang penyusunan sistem anggaran berbasis kinerja pada Kabupaten Pendeglang. Isu berikutnya adalah tekait dengan kebijakan pemerintah dalam bidang p engelolaan kelautan, d imana Meita Ahadiyati Kartikaningsih mengulas tentang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
pergeseran paradigma menuju kesejahteraan masyarakat lokal berbasis kelautan. Nampaknya isu terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi masih menjadi kajian yang menarik untuk di ulas. Hardi Warsono pada kesempatan ini mengulas tentang peningkatan kualitas pelayanan publik : konsep, indikator-indikator serta model pengukurannya. Penulis selanjutnya adalah Andy Fefta Wijaya yang mengulas tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dan indikator-indikator hasilnya. Selanjutnya tentang peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi dan indikatorindikator serta model pengukurannya merupakan buah pemikiran dari H.A. Kartiwa. Reformasi birokrasi masih menjadi isu menarik dalam berbagai forum, dimana reformasi birokrasi merupakan agenda pemerintah yang saat ini tengah digalakkan. Terkait dengan reformasi birokrasi, Agustinus Sulistyo TP, akan mengulan tentang reformasi birokrasi vs remunerasi. Penulis terakhir adalah Dian Eka Rahayu Sawitri yang mengulas sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apa yang kami suguhkan dalam edisi kali ini tentunya disertai harapan semoga berkenan dihati pembaca yang budiman. Akhirnya redaksi mengucapkan selamat membaca dan semoga dapat membawa manfaat.
iii
Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris Ratri Istania dan Dedi Junaedi
iv
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
KONFLIK HUBUNGAN PUSAT-DAERAH antara PEMERINTAH PUSAT DAN KABUPATEN BLORA TERKAIT dengan DANA BAGI HASIL BLOK CEPU Oleh: Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin Dosen FISIP Universitas Diponegoro
Abstract: Cepu Block located between Centre Jawa and Easth Java. Its known as a rich block because it has a source of oil and gas. Block Cepu, where geograficaly located between three districs, Blora (Centre Java), Bojonegoro and Tuban (East Java) has given contribution to national budget (APBN) and respected local government budget (APBD). About 33 percent of land of Cepu Block is owned by Blora, 67 percen onwned by Bojonegoro and the rest is owned by Tuban. Ironically, however, although 33 percent of the Block belongs to Blora, the district does not receive any financial income from the oil exploration. There is no resources share fund from Cepu Block. Moreover, the distric has to deal with the negative impacts of exploration activities at the Block Cepu such as damaging of infrastructure, environmental pollution, and social disturbance. Blora Distric have protested to Centre Government, but so far there is no outcomes. Centre Government asked that this problem should be studied first. The central government argue that if it is approved, then there will be domino impact: other districts will do same like Blora. Blora district is struggling to get equality in resources share fund (dana bagi hasil). Efforts have done, seminars and workshops, lobby to DPD (Upper House) to find solution. Now the district government is proposing judicial review to constitution court. This reseach examines the history of Block Cepu. It reveals the history of the block from colonial era up to reformation era. Further, the research aims to know how the tension between local government (Blora Government) and central government regarding Blok Cepu oil exploration. The research suggests that, there is injustice in the distribution of revenue from the exploration and it is understandable if Blora district government struggle to get proportional revenue sharing (*) Keyword: Natural Resource Conflict, Local and Central Government Relations, Resources Share Fund
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
147
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
Intisari Blok Cepu terletak antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cepu dikenal sebagai blok yang kaya karena memiliki sumber minyak dan gas. Blok Cepu, yang secara geografi terletak antara tiga Kabupaten, Blora (Pusat Java), Bojonegoro, dan Tuban (Jawa Timur) telah memberikan kontribusi terhadap anggaran nasional (APBN) dan diperhitungkan dalam anggaran pemerintah daerah (APBD). Sekitar 33 persen dari tanah Blok Cepu dimiliki oleh Blora, 67 percen dimiliki oleh Bojonegoro dan sisanya dimiliki oleh Tuban. Ironisnya, meskipun 33 persen dari Blok milik Blora, kabupaten ini tidak menerima pendapatan keuangan dari eksplorasi minyak. Tidak ada dana bagi hasil dari Blok Cepu. Selain itu, kabupaten ini juga harus berurusan dengan dampak negatif dari kegiatan eksplorasi di Blok Cepu seperti kerusakan infrastruktur, pencemaran lingkungan, dan gangguan sosial. Kabupaten Blora telah mengajukan protes kepada Pemerintah Pusat, namun sejauh ini tidak ada hasil. Pemerintah Pusat meminta agar masalah ini harus dipelajari terlebih dahulu. Pemerintah Pusat berpendapat bahwa jika disetujui, maka akan ada dampak domino: kabupaten lain akan melakukan yang sama seperti Blora. Kabupaten Blora sedang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dalam dana bagi sumber daya (dana bagi hasil). Upaya telah dilakukan, seminar dan lokakarya, lobi kepada DPD (Majelis Tinggi) untuk mencari solusi. Sekarang pemerintah kabupaten mengusulkan judicial review ke pengadilan konstitusi. Penelitian ini meneliti sejarah Blok Cepu. Penelitian ini mengungkapkan sejarah blok dari era kolonial hingga era reformasi. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketegangan antara pemerintah daerah (Pemerintah Blora) dan pemerintah pusat mengenai Blok eksplorasi minyak Cepu. Penelitian menunjukkan bahwa, ada ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dari eksplorasi dan maklum bila pemerintah kabupaten Blora berjuang untuk mendapatkan bagi hasil proporsional. Kata Kunci : Konflik Sumber Daya Alam, Hubungan Pemerintah Daerah dan Pusat, Dana Bagi Hasil
PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dari Sabang hingga Merauke. Beraneka ragam sumber daya hayati maupun non hayati. Kekayaan itu terpapar luas di setiap daerah, termasuk kekayaan minyak bumi dan gas. Salah satu daerah yang terkenal kaya minyak adalah Kabupaten Blora di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu kecamatan di kabupaten ini, 148
yakni Kecamatan Cepu memiliki deposit sumber minyak yang melimpah. Kecamatan ini lebih dikenal dengan Blok Cepu. Kecamatan yang ini memiliki luas 48,97 Ha, terdiri dari 11 desa dan enam kelurahan. Blok Cepu juga dikenal merupakan ladang minyak tertua di dunia. Ekploitasi wilayah itu mulai dilakukan oleh Belanda saat masih menjajah Indonesia pada tahun 1870.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Menurut Prof Dr Koesoemadinata (dalam Marwan Batubara dkk, 2011:3) di daerah Cepu ini ditemukan 30 ladang minyak. Perusahaan minyak Royal Dutch/Shell Dordtsche Petroleum Maatschappij (setelah dinasionalisasi setelah kemerdekaan, perusahaan itu namanya menjadi PTMRI) kali pertama mengekploitasi di daerah Panolan sebelum Perang Dunia Kedua. Sumur Ledok-1 merupakan sumur pertama yang dibor kali di daerah Cepu pada Juli 1893. Pada tahun 2001 ditemukan sumber minyak dan gas baru di Blok Cepu yang berbatasan dengan Bojonegoro dan Tuban Provinsi Jawa Timur. Wilayah ini memiliki sumber minyak mentah dengan kandungan 1,4 miliar barel dan gas mencapai 8,14 miliar kaki kubik. Pemerintah Kabupaten Blora pun menyambut antusias terhadap temuan itu. Mereka berharap dengan ditemukannya sumber minyak baru yang bisa menghasilkan jutaan barel tiap harinya itu bisa mendongkrak APBD. Namun sejak tahun 2009 area E yang menjadi sumber minyak bumi dan gas itu diekspolitasi, Kabupaten Blora tidak mendapatkan dana bagi hasil. Padahal, Kabupaten Blora masih termasuk dalam daerah miskin di Jawa Tengah.1 Bupati Blora D j o k o N u g r o h o m e ng a k u i b a h w a separohnya dari 340 ribu rumah yang ada di kabupatennya termasuk katogori tidak layak huni. Ketidaklayakan itu diantaranya, berlantaikan tanah, berdinding gedeg
(anyaman bambu) dan beratapkan rumbia.2 Tingkat pendapatannya perekonomiannya juga masih tertinggal. Misalkan, tunggakan beras miskin untuk tahun 2010 mencapai 1,2 miliar.3 Tiadanya kontribusi dana bagi hasil dari eksplorasi Blok C tentu saja m e n y e ba b k a n k e k e ce w a a n y a n g berkepanjangan bagi masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Blora. Penelitian yang kami lakukan ingin menjawab pertanyaan mengapa Kabupaten Blora tidak mendapatkan dana bagi hasil dari eksplorasi Blok Cepu dan bagaimana pola hubungan antara daerah dengan pusat dalam konteks masalah ini? KAJIAN TEORI Untuk membuat bahan pijakan dalam pembahasan penelitian, perlu kiranya dibahas beberapa teori yang berkaitan. 1. Desentralisasi Dalam glossary World Bank (dalam Ratnawati, 2010) dikemukan bahwa desentralisasi adalah “a process of transfering responsibility, authority and accountabitity for spesific or broad managment functions to lower levels within an organization, system or program”. Artinya, sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan dan akuntabilitas untuk hal yang bersifat spesifik atau fungsi manajemen besar kepada level yang lebih kecil dalam sebuah organisasi atau sistem. Jadi berdasarkan pada makna definisi di atas, desentralisasi tidak hanya bisa diterapkan di dalam
1
Menurut Plt Kepala Badan Koordinator Wilayah I Jawa Tengah Suroso, selain Blora, daerah miskin lainnya adalah Grobogan, Demak, Brebes, Tegal, Pekalongan, Purwakarta, Banjarnegara dan Kebumen. Sumber http://www.bisnis-jateng.com/ index.php/2011/11/bakorwil-i-jateng-kembangkanperekonomian-daerah-miskin/.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
2
http://www.suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2012/07/03/123072/120-RibuRumah-di-Blora-Tidak-Layak-Huni 3 http://m.suaramerdeka.com/ index.php/ read/ news/2010/12/21/73527
149
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
sebuah organisasi namun juga dalam konteks negara. Pandangan tersebut dikuatkan Litvack & Sedon (1999:2) desentralisasi merupakan transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasiindependent goverment organization or private sector. Desentralisasi dipahami sebagai pemindahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi publik dari pusat kepada subordinat baik dalam kontek organisasi pemerintah maupun swasta. Dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, C h e e m a d a n R o n d i n e ll i ( 1 9 8 3 : 1 8 ) mengartikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada daerah atau organisasi kepada suborganisasi.
harfiah berasal dari dua penggalan kata bahasa latin yakni de berarti lepas dan centruk berarti pusat.6 Makna harfiah dari desentralissi adalah melepaskan diri dari pusat. Dalam makna ketatanegaraan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah. Sedangkan dekonsentrasi, Amrah Muslimin menjelaskan, sebagai pelimpahan sebagian dari kewenangan p e m e r i n t a h p u s a t p ad a a l a t - a l a t pemerintah pusat yang ada di daerah. Irwan Seotijo berpendapat, dekonstrasi adalah pelimapahan kewenangan penguasa kepada pejabat bahwannnya sendiri. Adapun Joeniarto memiliki pandangan, dekonsentrasi merupakan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat (atau pemerintahan atasannya) kepada alat-alat perlengkapan bawah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya yang terdapat di daerah. 7
Dalam pelaksanaan desentralisasi pada dasarnya dapat dibedakan menurut tingkat peralihannya. Kewenangan untuk merencanakan kewenangan, memutuskan dan mengatur dari pemerintahan pusat ke lembaga-lembaga yang lain.4 Ada empat bentuk utama desentralisasi; pertama dekonsentrasi. Kedua, delegasi ke lembagalembaga semi-otonomi atau antar daerah (parastatal), ketiga pelimpahan kewenangan (devolusi) ke pemerintah daerah. Terakhir, peralihan fungsi dari lembaga-lembaga negara ke lembaga swadaya masyarakat (LSM).5
Otonomi daerah merupakan esensi daerah pemerintahan desentralisasi. Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (auto = sendiri; nomos = pemerintahan). Dalam bahasa Yunani, istilah otonomi berasal dari kata autos = sendiri, nemein = menyerahkan atau memberikan, yang berarti kekuatan mengatur sendiri. Sehingga secara harfiah, otonomi mengandung pengertian kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus sendiri.
Di Indonesia, desentralisasi diartikan secara beragam. RDH Koesoemahatmadja menjelaskan bahwa desentralisasi secara
Menurut Astawa (2009:52), pemerintahan sendiri (self goverment) menunjukan satu pengertian keterikatan hubungan dengan satuan pemerintah yang lain yang lebih besar atau yang mempunyai
4
Ni’matul Huda SH M Hum, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, 2010, hal.62. 5 Ibid. Hal. 62
150
6 7
Ibid.64 Ibid. 65
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
wewenang menentukan isi dan batas-batas wewenang satuan pemerintahan sendiri yang tingkatannya lebih rendah atau yang menjalankan fungsi khusus tertentu. Masih menurut Astawa, otonomi dapat ditentukan berdasarkan teritorial (otonomi teritorial) ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional), sehingga keduanya lazim disebut masing-masing dengan desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Berdasarkan otonomi teritorial, negara sebagai satu kesatuan teritorial, dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan pemerintahan teritorial yang lebih rendah (kecil) yang dinamakan daerah otonom. Karena daerah otonom dibentuk dari dan oleh satuan pemerintah yang lebih besar (pemerintahan nasional), otonomi merupakan sub sistem dari negara-negara kesatuan seperti halnya NKRI. CW Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai pemerintahan yang menjalankan rumah tangganya sendiri8. Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikan rupa, sehingga daerah 8
M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Rumah Hukum, Buku Kesatu, Edisi Revisi Cetakan Kedua, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasn kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah. 2. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam akar sejarahnya di Indonesia, hubungan pusat dan daerah kerap kali terjadi ketegangan (Haris, 2005: 67-68). Sebut saja, di era Parlementer terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Lalu pemberontakan ini melebar hingga ke Aceh yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureuh. Di Maluku, ada RMS yang di proklamirkan oleh Soumokil. Kejadian ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap proses kembalinya ke NKRI dalam Konferensi Meja Bundar di Deen Haag. Belum usai pergolakan di Maluku, di tempat terpisah juga terjadi pergolakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Pergolakan daerah ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pusat yang kurang menguntungkan daerah. Seperti k e t i m p a n g a n p e m b an g u n a n d a n ketimpangan struktur ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Selain itu, kebijakan sentralisasi pusat yang terlalu berlebihan juga menjadi faktor pemicu gejolak di daerah. Di Era Orde Baru juga tidak lepas dari kebijakan sentralitik. Hal ini dicerminkan melalui UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah masih ditafsirkan secara sempit. Kebijakan ini cenderung melestarikan sentralistik politik secara berlebihan melalui kebijakan 151
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
penyeragaman di hampir semua bidang kehidupan. Akibatnya, daerah menjadi tergantung terhadap pusat. Sebetulnya, konstitusi kita mengatur tentang hubungan keuangan pusat dan daerah. Dalam pasal 18 A ayat (2) UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, agar hubungan keuangan, pelayanan umum serta pemanfaatan sumber daya dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU. Mekanisme hubungan antara pusat dan daerah tampak dalam di bidang ekonomi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, susunan organisasi keuangan dan pengawasan (Hanif, 121124). Mekanisme di bidang tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau yang diminta dalam rangka tugas pembantuan. Dengan demikian, tugas pembantuan hanya berhubungan dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk pertanggung-jawaban. Cara melaksanakan dan tanggung jawabnya tetap berada pada pemerintah daerah yang bersangkutan. A d a p u n me k a n i s m e d i b i d a n g pengawasan, merupakan keharusan sebagai akibat dari otonomi. Tujuannya agar pelaksanaan otonomi tidak melenceng jauh sehingga terlepas dari negara kesatuan. Di sini harus ada kesimbangan dalam regangannya. Jika terlalu kendor, daerah bisa lepas tapi jika terlalu kencang daerah tidak bisa bernafas. Pengawasan terdiri dari atas: 152
a. Pengawasan Represif Melalui pengawasan ini, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menangguhkan atau menunda atau juga membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat d a e r a h . Pe r a t u r a n p e r u n d a n g undangan baik yang berupa peraturan daerah (perda), peraturan kepala daerah, surat keputusan kepala daerah dan lain-lain bisa ditangguhkan, ditunda atau dibatalkan oleh pemerintah pusat jika dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Untuk peraturan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat dan mahkamah agung. Untuk surat keputusan kepala daerah oleh peradilan tata usaha negara. b. Pengawasan Preventif Pengawasan ini adalah pengawasan yang bersifat pencegahan agar peraturan daerah yang dibuat tidak boleh menyimpang dari koridor dan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jadi dalam pengawasan preventif adalah upaya pemerintah pusat agar daerah tidak membuat peraturan perundangundangan yang tidak sejalan dengan koridor dan rambu-rambunya yaitu peraturan perundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. 3. P e r i m b a n g a n K e u a n g an a n t a r a Pemerintah Pusat dan Daerah Pola hubungan keuangan antara Pusat – Daerah merupakan hal yang menentukan dalam penyelenggaraan desentralisasi. Pada intinya penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
oleh APBD sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN (Supriady 2005: 172). Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan desa dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban APBN. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada bupati atau walikota diikuti dengan pembiayaan. Penyerahanan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur atau bupati atau walikota dapat dilakukan dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia dan saran serta pengalokasian anggaran yang diiperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sementara itu, penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantua n diserta i pengalokasian anggaran. S u m b e r - s u m b e r Pe ne r i m a a n Pelaksanaan Desentralisasi 1. Sumber-sumber penerimaan daerah a. Pendapatan asli daerah, yaitu penerimaan yang diperoleh daerah d a r i s u m b e r - s u m be r d a l a m wilayahnya sendiri yang dipungut JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ber-dasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dana perimbangan c. Pinjaman daerah d. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain bagian laba, dividen atau penjualan saham milik daerah e. Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sumber Pendapatan Asli Daerah Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah antara lain hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa giro. Bagi daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam merupakan sumber p e n e r i ma a n y a n g p ad a d a s a r n y a memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
153
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan kebutuhan khusus daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam, kepada daerah dapat dialokasikan dana darurat. Dengan demikian UU ini selain memberikan landasan pengakuan bagi pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga memberikan landasan bagi perimbangan keuangan antar-daerah. Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan dearah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal, agama, serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintah pusat. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Di Kecamatan Cepu terdapat lima area tambang, sehingga dikenal dengan Blok Cepu. Area Blok Cepu A dengan luas 95,15 sq KM, B 35,27 sq km, C dengan luas 12, 39 sq km, D dengan luas 12, 57 sq km. Semuanya berada di Kabupaten Blora. Sementara yang teranyar adalah Blok E dengan luas 762, 8 sq km (sumber: DJ Migas 2007). Area kawasan E ini merupakan terbaru kawasan tambang yang baru ditemukan pada tahun 2001. Diperkirakan sumber minyak mentah dengan kandungan 1,4 miliar barel dan gas mencapai 8,14 miliar kaki kubik (www.wikipedia.or.id). Kawasan Area E berada di kabupaten yang berbeda provinsi dengan luas total 919 km persegi. Area itu meliputi 30 persen atau 255,60 km persegi berada di wilayah Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, seluas 624,64 km persegi atau 60 persen masuk ke wilayah Kabupaten Bojonegoro 154
dan sisanya Kabupaten Tuban. Keduanya masuk dalam provinsi Jawa Timur. Blok Cepu Area E mulai berproduksi sejak akhir Agustus 2009 (Batubara, 2010: 354). Daerah-daerah penghasil pun telah menikmati penerimaan dana bagi hasil tambang minyak tersebut. Kabupaten Bojonegoro saja telah menikmati dana bagi hasil migas lebih dari Rp 140 miliar dalam setahun (Hidayati & Mustofa, 2011). Selain pemasukannya kepada APBD tiap tahun dari dana bagi hasil (DBH), sejumlah wilayah yang berada di dekat pertambangan minyak juga mengalir bantuan dari Mobil Cepu Limited, grup Exxon Mobile yang dipercaya sebagai pengelola pertambangan Blok Cepu di Area E. Sebut saja Desa Bonorejo Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegaro Jawa Timur. Sebagian desa seluas 1100 meter persegi wilayahnya masuk dalam blok Cepu. Menurut Rachmat Aksan, mantan Kepala Desa Bonorejo periode 1990-2008, di bidang kesehatan, selama ia menjabat pernah dua kali menggelar kesehatan massal dengan dana yang berasal dari MCL. D a l a m b i d a n g p e n d id i k a n , M C L memberikan bantuan renovasi sekolah dasar yang ada di wilayahnya. Salah satunya adalah SD Negeri Bonorejo. Tahun 2008, menggelontorkan bantuan perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling ini tidak hanya kendaraan mobil saja, namun juga dilengkapi dengan buku-buku pelajaran. Tak hanya itu, beasiswa disalurkan kepada warganya baik itu pelajar sekolah dasar, SMP hingga SMA. Bidang Pemuda dan Olahraga, MCL memberikan pelatihanpelatihan vokasional seperti teknik mengelas atau welder, elektronik selama tiga bulan. “Pelatihan ini diberikan kepada
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
para pemuda kami sebanyak 15 orang,” ujarnya. Kemudian, pemuda juga diberikan bantuan sarana prasarana olahraga seperti bola, net bola voli. Agar lebih produktif lagi, pada tahun 2004, para pemuda diberikan bantuan tenda plus kursi. “Peralatan ini nantinya oleh pemuda disewakan kepada warga yang akan menggelar tasyakuran. Bagi warga yang menyewa peralatan ini, uangnya digunakan untuk kegiatan karang taruna,” akunya. Infrastruktur, jalan-jalan dipaving blok. Ada 12 desa yang ada di Bojonegoro yang mendapatkan bantuan ini. Salah satunya Bonorejo. Desa mendapatkan bantuan paving blok sepanjang 1,4 kilometer. Selanjutnya, tembok penahan atau talut setinggi 1,5 meter. Bantuanbantuan itu mengalir sampai sekarang. Hal ini dirasakan juga oleh Kepala Desa Bonorejo periode 2009-2014, Siti Rokayah. Dia menjelaskan, pada tahun 2012 ini ada pengerukan lapangan desa seluas satu hektar. Pengerukan ini rencananya untuk menyediakan lapangan sepak bola sebagai sarana prasarana olahraga. Untuk kesehatan, pada tahun 2009 ada bantuan tandon air bersih untuk 200 warga. Bantuan ini terdiri dari dua dusun di Bonorejo yaitu RT 01—RT 07 dan RW 01RW 02. Ada juga jambanisasi pada tahun 2010. Ada 460 jamban diberikan kepada warga. Dulu sebelum adanya jamban umum, warga buang air besar di selokan atau di sungai, di sawah sementara setelah adanya bantuan ini warganya lebih tertib. Guna menjaga kelestarian lingkungan, tahun ini MCL melakukan penghijauan sebanyak 1000 pohon matoa. Dalam bidang agama, menggelontorkan bantuan berupa meja Al Quran, sound sistem untuk 8 mushola. JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Ironisnya, sementara Kabupaten Bojonegoro mendapatkan limpahan dana yang menggiurkan, Kabupaten Blora tidak mendapatkan hal yang serupa. Tentu saja, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Blora memandang hal ini sebagai sebuah ketidakadilan. Untuk itu, mendapatkan dana bagi hasil adalah harapan yang besar bagi pemerintah Kabupaten Blora. Dari dana itu diharapkan bisa meningkatkan pembangunan baik infrastruktur maupun suprastruktur. PENAFSIRAN Kabupaten Blora tidak menerima dana bagi hasil minyak bumi dan gas hasil eksploitasi di Area E atau lapangan Banyuurip. Padahal daerah ini telah turut serta memberikan hak dan kewajiban dalam pengusahaan hulu migas atau participating interest (PI) sebesar 2,18 persen senilai ratusan miliaran rupiah. Hal ini tidak lepas dari penerjemahanan pemerintah pusat terhadap Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dana bagi hasil hanya diberikan kepada daerah di mana minyak itu diproduksi.9 Pasal yang dianggap bermasalah adalah pasal 19 UU No 33 tahun 2004. Pada poin 1 menyebutkan bahwa penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Poin 2 (dua), dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah 9
Hasil wawancara dengan Dirut BPH Patragas Hulu Christian Prasetya SE, Selasa (08/05/12).
155
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundanganundangan dibagi dengan perimbangan 84,5 % untuk pemerintah pusat dan sebesar 15,5% untuk daerah (merujuk pada pasal 14 huruf e angka 2). Angka 15, % dibagi dengan rincian; provinsi sebesar 3 persen, kabupaten atau kota penghasil sebesar 6 persen dan 6 persen lagi dibagikan untuk kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 20 menerangkan bahwa poin (1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Poin (2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut: a. 0 , 1 % ( s a t u p e r s e p u l uh p e r s e n) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 156
b. 0 , 2 % ( d u a pe r se p u l uh p e r se n ) dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil; dan c. 0 , 2 % ( d u a pe r se p u l uh p e r se n ) dibagikan untuk kabupaten/ kota l a i n n y a d a l a m p r o v in s i y a n g bersangkutan. Poin (3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal-pasal tersebut mencerminkan ketidakadilan, apalagi dalam kasus Kabupaten Blora.10 Pasalnya, pembagian dana bagi hasil masih berdasarkan wilayah administratif dan b e r d a s a r k a n m u l u t su m u r b u k a n berdasarkan wilayah kerja pertambangan. Sehingga wajarlah Kabupaten Blora tidak mendapatkan dana bagi hasil sementara, Bojonegoro, Tuban dan daerah sekitarnya yang ada di Provinsi Jawa Timur kebagian. Berdasarkan penafsiran UU nomor 33 tahun 2004 tersebut didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan daerah penghasil adalah kabupaten/kota di mana kepala sumur minyak/gas tersebut berada. Untuk kasus Blok Cepu maka daerah penghasil adalah kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Blora, namun karena saat ini yang sudah berproduksi hanya ladangladang minyak yang kepala sumurnya berada di daerah Bojonegoro, maka kabupaten Blora tidak masuk yang dikategorikan sebagai daerah penghasil. Bupati Blora Djoko Nugroho mengatakan, persoalan dana bagi hasil ini harus dimengerti pemerintah pusat. Selama 10
Wawancara dengan Hamdun, ketua Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana, Rabu (9/5/2012).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
ini, Pemkab Blora hanya mempunyai PI, namun dana bagi hasil yang sudah dibagikan tidak diterimanya. “Eksploitasi Blok Cepu ini belum memberikan apa-apa, kita anggap ini sesuatu yang tidak adil. Karena merupakan satu kesatuan dalam blok Cepu, kita semestinya bisa mendapatkan dana bagi hasil walaupun nantinya presentasenya kecil.”11 Memang luasan areal wilayah di Kabupaten Blora memang hanya 33 persen, sedangkan sisanya atau yang terbesar ada di Bojonegoro, Jatim. Dengan demikian, bila ada dana bagi hasil ekploitasi Blok Cepu seharusnya Kabupaten Blora bisa merasakannya. Sesuai ketentuan, dana bagi hasil tersebut 15 persen di antaranya untuk daerah, sedangkan 85 persen pemerintahan pusat. Namun, kenyataannya 15 persen DBH eksploitasi minyak ini di antaranya justru diberikan kepada Provinsi Jatim tiga persen dan enam persen Bojonegoro. DAMPAK Pemerintah Blora hanya mendapatkan dampak negatif dari proyek Blok Cepu. Bidang infrastruktur, jalan mengalami kerusakan. Dari total 797.690 kilometer jalan yang ada di Blora, yang mengalami rusak biasa 214.660 km, rusak sedang 234.850 km dan rusak berat 189.930 km. Setiap harinya, kendaraan-kendaraan besar melebihi tonase lalu lalang keluar masuk blok cepu. Selain itu, terjadi kerusakankerusakan seperti jembatan. “Contoh yang p a l i n g k e n t a r a a d a l a h, K e c am a t a n Kesuman, Kedewan Kabupaten Bojonegaro 11
Pernyataan Djoko Nugroho dalam dialog Interaktif Tvku Jawa Tengah yang dimuat dalam CyberNews Suara Merdeka. Pembagian DBH Blok Cepu Tak Adil. www.suaramerdeka.com diakses pada 1 Mei 2012
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
bagus-bagus. Sementara Kecamatan Jiken Kabupaten Blora rusaknya parah,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral Setyo Edy SH MHum.12 Mantan Menteri Dalam Negeri yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengatakan, pihaknya bersama DPD telah mengupayakan agar yang mendapatkan dana bagi hasil itu bukan hanya berdasarkan mulut sumur tapi berdasarkan wilayah kawasan pertambangan (WKP) dan masalah ini sudah disetujui. Adapun Blora masih belum mendapatkan dana bagi hasil, sebaiknya permasalahan ini dibicarakan dengan pemerintah pusat. 13 UPAYA YANG DITEMPUH Kabupaten Blora berniat melakukan yudicial review terkait UU nomor 33 tahun 2004. Namun karena faktor biaya, sehingga niat itu diurungkan. Sehingga upaya-upaya untuk meminta keadilan hanya melalui sosialisasi dan audiensi. Audiensi kepada sejumlah Pejabat di Kalangan Kementerian Dalam Negeri dan BP Migas Jakarta14. 12
Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral Setyo Edy SH MHum, Rabu (9/5/2012). 13 Wawancara saat memberikan materi kuliah umum Permasalahan Otonomi Daerah dan Solusinya di Kampus Magister Ilmu Politik Undip. Namun sayangnya, Mardiyanto kurang memahami detail mengenai permasalahan yang ada di Blok Cepu. “Saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya,” tutup dia. 14 “Kita melakukan Audiensi kepada Pejabat Kemdag dan BP Migas di Jakarta dan melakukan berbagai sosialisasi kepada masyarakat untuk mendapatkan perubahan Undang-undang terkait dengan dana bagi hasil Blok Cepu,” kata Seno Margo Utomo, anggota Komisi B yang juga sekretaris II Tim Transparansi Pendapatan Daerah Sektor Minyak dan gas Bumi di Kabupaten Blora
157
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
Pemerintah bukannya tidak mau mengupayakan untuk yudicial review khusus soal permasalahan dana bagi hasil Blok Cepu kepada Mahkamah Konstitusi. Namun terbentur anggaran. Untuk yudicial review ke Mahkamah Agung membutuhkan biaya yang sangat besar, Rp 1 miliar. “Dana itu dialokasikan untuk menyewa pengacara, saksi ahli, membiayai pengacara,” jelas Kepala Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral Setyo Edy SH MHum. Untuk itu, pemerintah menempuh jalur-jalur yang dianggapnya lebih murah. Baik secara informal seperti membicarakan masalah ini ketika ada pertemuanpertemuan dengan pemerintah pusat dan menyampaikan permasalahan ini kepada Dewan Pertimbangan Daerah. “Saya juga mendampingi Pak Bupati di salah satu acara talk show televisi swasta membicarakan ini bersama Bu Poppy Darsono,” ucapnya. 15 Dana bagi hasil juga pernah menjadi perhatian masyarakat. Mereka melakukan aksi unjukrasa yang ditujukan kepada pemerintah pusat. Masyarakat menuntut keadilan terhadap pelaksanaan ekploitasi migas yang ada di Banyu Urip. Seperti diutarakan oleh Kasnawi, warga Jenar Kecamatan Blora Kota Kabupaten Blora, yang juga demonstran. Ia menilai, pemerintah pusat telah melakukan ketidakadilan dalam pelaksanaan penambangan migas Blok Cepu. Padahal, bila Pemerintah Daerah Blora sangat membutuhkan biaya untuk pembangunan khususnya untuk kesejahteraan masyarakat.16 Hal senada juga diutarakan Ketua LSM LPAW Hamdun bahwa UU Migas
mencerminkan ketidakadilan. Disamping tidak mendapatkan dana bagi hasil tapi juga kena dampak secara langsung.17 Peninjauan kembali Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 memang dirasa mendesak untuk Kabupaten Blora dan dirasa harus segera diganti karena permasalahan Blok Cepu ini dinilai melibatkan seluruh aspek lapisan masyarakat. Selain itu dengan adanya dana bagi hasil Migas di Blok Cepu diharapkan terciptanya keadilan dan pembangunan di Kabupaten Blora mengingat minyak bumi dan gas bisa menjadi pendapatan asli d a e r a h . T u j ua n n y a da l a m r a n g k a meningkatkan pembangunan di daerahnya. Pembangunan meliputi peningkatan sarana pendidikan, infrastruktur dan juga saranaprasarana lain. Dana yang dihasilkan juga bisa digunakan untuk recovery. Seno Margo Utomo mengemukakan usaha untuk memperjuangkan dana bagi hasil Blok Cepu biasanya dilakukan pertemuan-pertemuan, antara lain adalah Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), talkshow di berbagai media termasuk televisi lokal yang juga dimuat didalam harian lokal maupun nasional, internet dan juga Kabupaten Blora membentuk suatu Tim Transparansi Pendapatan Daerah Sektor Minyak dan gas Bumi di Kabupaten Blora18. PENUTUP Mempertimbangkan prosentasi luas lahan pertambangan blok Cepu, Kabupaten Blora seharusnya mendapatkan dana bagi 17
Wawancara Rabu (9/5/12). Wawancara dengan Seno Margo Utomo Tim Transparansi Pendapatan Daerah Sektor Minyak dan gas Bumi di Kabupaten Blora 18
15 16
Wawancara Rabu (9/5/12). Wawancara Rabu (9/5/12).
158
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
hasil sebesar 12 persen dari eksplorasi blok Cepu. Pasalnya, daerah tersebut merupakan daerah kabupaten penghasil. Kawasan Banyu Urip meski daerah tersebut seba gian besar berada di wilayah Bojonegoro Provinsi Jawa Timur, tapi sebesar 33 persen dari kawasan tersebut berada di Kabupaten Blora. Terlebih lagi, s e j u m l a h i n f r a s t r u k t ur k h u s u s n y a pembangunan jalan masih rusak terutama jalur-jalur yang dilintasi oleh kendaraan pengangkut minyak dan gas. Harapan besar dari dana bagi hasil ini adalah untuk pembangunan daerah. Akan tetapi, daerah tersebut belum bisa menikmati hasil dari eksploitasi kekayaan alamnya itu. UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah tidak “menghendaki” pembagian tersebut. Jatah dana bagi hasil diserahkan kepada daerah berdasarkan wilayah administratif. Sejumlah kalangan baik dari warga, politisi, budayawan dan birokrat menilai bahwa implementasi dari UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tidak mencerminkan keadilan. Untuk itu perlu diajukan Judicial Review. Sayangnya, di tengah keinginan kuat untuk merevisi UU No 33 tahun 2004, ada ketidakberdaya an da r i pemerintah Kabupaten Blora dalam masalah dana. Keterbatasan anggaran menjadi hambatan mendasar. Pasalnya, untuk mengajukan yudisial review membutuhkan dana operasional yang cukup besar. Melihat persoalan ini, pemerintah pusat dan provinsi hendaknya dapat memiliki inisiatif untuk memecahkan persoalan secara transparan, sehingga rakyat Kabupaten Blora tidak terus dirugikan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA -------------------, Satu Dasawarsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah? Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010 Adisasmita, Rahardjo, 2011. Manajemen Pemerintah Daerah. Yogjakarta: Graha Ilmu. Astawa, Prof Dr I Gde Pantja, SH,MH, 2008. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung: PT Alumni Batubara, Marwan, dkk.2011. Tragedi dan Ironi Blok Cepu (Nasionalisme yang Tergadai). Jakarta Selatan: IPRESS Bratakusumah, Deddy Supriady & Dadang Solihin. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bratakusumah, Dedi Supriady dan Dadang Solihin. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Dede Mariana dan Caroline Paskarina. 2 0 08 . De m ok rasi dan Polit ik Desentralisasi. Graha Ilmu Dr Panji Santosa MSi, (2008). Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: Refika Aditama. H a m i d , E dy S u a n d i , e t . a l . 2 0 0 4 . Memperkokoh Otonomi Daerah. Yogyakarta: UII Press. Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & LIPI Haris, Syamsuddin. 2009. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Huda, Ni’matul. 2010. Hukum Pemerintahan Daerah. Nusamedia
159
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
Joe Fernandez, dkk, 2002. Otonomi Daerah di Indonesia Masa Reformasi: Antara Ilusi dan Fakta. Jakarta: Institute for Polcy and Comunity Depelovment Studies. M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Rumah Hukum, Buku Kesatu, Edisi Revisi Cetakan Kedua, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006 Ni’matul Huda SH M Hum (2010), Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia. Nurkholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Prof Dr Sugiyono (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta Ratnawati, Tri, 2009. Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terpilih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Septiawan Santana K (2007). Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Yayasan Obor Indonesia Suparto, Diryo. 2012. Konflik Identitas Sosial Masyarakat Temanggung. Tesis Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang (tidak dipublikasikan) Tim Penulis Yappika. 2008. Gerakan Ekstra Parlementer Baru Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal. Penerbit Yappika Tim Suara Pembaruan, 1995. Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno, Budi. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sumber Peraturan : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
160
Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-undang No 22 Tahun 2001 Tentang M i n y a k d a n G a s B um i g u n a menyelenggarakan penambangan migas di Indonesia Internet http://asian.or.id/wp-content/uploads/ 2011/07/otonomi-hanif.pdf http://distambenblora.blogspot.com/ http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik http://id.wikipedia.org/wiki/otonomidaera h. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12 012010/article/view/110. http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/ 04/manajemen-konflik-definisi-cirisumber.html. diposting 11.53 http://khibran.wordpress.com/2009/05/04 /%E2%80%9Cmenciptakanhubungan-ideal-pemerintah-pusatdan-daerah-dengan-asasdesentralisasi-proporsional-danpengawasan%E2%80%9D/ http://km.itb.ac.id http://koranpenelusurankasus.com http://koranpenelusurankasus.com/index.p hp?option=com_content&view=articl e&id=629:daerah-potensialpenghasil-devisanegara&catid=43:footdrink&Itemid=402 http://m.suaramerdeka.com/index.php/rea d/news/2010/12/21/73527 http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co m/2011/10/mencari-design-hukumyang-tepat.html http://www.bisnisjateng.com/index.php/2011/11/bako rwil-i-jateng-kembangkanperekonomian-daerah-miskin/. http://www.bisnisjateng.com/index.php/2011/11/bako
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
rwil-i-jateng-kembangkanperekonomian-daerah-miskin/. Khozanah Hidayati. Satu Lagi Menyoal Ketidakadilan DBH Migas. Di Postkan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
oleh Yogiswara Januari 2012. http://yogiswaracr09.blogspot.com/2 012/01/khozanah-hidayati-sekretarisfpkb-dprd.html
161
Konflik Hubungan Pusat-Daerah antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten Blora Terkait dengan Dana Bagi Hasil Blok Cepu Budi Setiyono, Dio Satrio Jati, Teten Jamaludin
162
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES KEBIJAKAN DAERAH Oleh: Abdullah Manshur Peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 e-mail :
[email protected]
Abstract Public policy is a decision to deal with a particular problem situation, that identifies the objectives, principles, ways and means to achieve them. Ability and understanding of policy makers to the policy-making process is very important for the realization of public policy of rapid, accurate and adequate. The product to suit the needs of the public policy, the public participation in the policy process is needed in the policy cycle, from policy formulation to policy evaluation. This paper attempts to review the importance of community participation and other forms of public participation in the policy process, in particular policy areas. Key Word: policy process, public participation, policy cycle Intisari Kebijakan Publik merupakan suatu keputusan yang diambil untuk menghadapi situasi permasalahan tertentu, yang memuat ketentuan tentang tujuan, prinsip, cara dan sarana untuk mencapainya. Kemampuan dan pemahaman yang memadai bagi pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Agar produk kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan sangat dibutuhkan dalam siklus kebijakan, dari perumusan kebijakan sampai dengan evaluasi kebijakan. Tulisan ini mencoba untuk mengulas urgensi partisipasi masyarakat serta bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan, khususnya kebijakan daerah. Kata Kunci: proses kebijakan, partisipasi masyarakat, siklus kebijakan
PENDAHULUAN Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik merupakan hak masyarakat yang dapat dilakukan dalam setiap tahapan kebijakan, mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan evaluasi kebijakan. Adanya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
hak pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan menimbulkan kewajiban pada pemerintah. Dengan demikian harus ada pengaturan yang jelas mengenai kewajiban Pemerintahan atau Pemerintah Daerah untuk memenuhi hak atas
163
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk Undang-Undang sampai dengan Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pada era demokratisasi yang tengah berjalan di negeri ini masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu pilar penting untuk membangun dan mempertahankan demokrasi di seluruh dunia. Hal ini menciptakan sebuah perangkat keterlibatan kritis antara peranan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta sebagai komponenkomponen dalam suatu proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan. Dengan kecenderungan seperti ini, masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya. Nilai-nilai kedaulatan dalam masyarakat ini selayaknya dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat yang bebas dari kepentingan individu dan/atau golongan tertentu. Dalam proses kebijakan publik, partisipasi masyarakat dapat diwujudkan di setiap tahapan proses kebijakan, antara lain: 1) Tahap Pengidentifikasian dan Pengagendaan Masalah; masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara menyampaikan kebutuhan dan masalah-masalah yang sedang dihadapinya kepada pemerintah. 2) Tahap Perumusan atau Formulasi Rancangan Kebijakan; masyarakat dapat memberikan opini, masukan, atau mengkritik rancangan kebijakan tersebut. 3) Tahap Pembahasan Rancangan Kebijakan; masyarakat dapat memberikan informasi
164
yang relevan, terlibat dan/atau dilibatkan secara langsung dalam rangkaian pembahasan rancangan kebijakan tersebut, serta berhak memberi dukungan atau penolakan melalui berbagai media yang disediakan. 4) T a h a p P e l a k s a n a a n K e b i j a k a n ; masyarakat mendukung dan melaksanakan kebijakan dengan konsekuen dan sepenuh hati. 5) Tahap Evaluasi Kebijakan; masyarakat memberikan masukan atau kritik terhadap kebijakan yang sudah dilaksanakan. DASAR PENGATURAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES KEBIJAKAN Beberapa undang-undang mengamanatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan diatur mengenai partisipasi masyarakat sebagai bagian dalam proses kebijakan yaitu pada Bab XI Partisipasi Masyarakat. Pada bab ini, dalam Pasal 96 Ayat (1) disebutkan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Selanjutnya pada Ayat (2) disebutkan bahwa masukan secara lisan dan/atau tertulis ini dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar/lokakarya/ diskusi. Masyarakat yang dimaksud disini adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundangundangan. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Partisipasi Masyarakat dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan juga telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan Menyampaian Pendapat di Muka Umum Pasal 2 Ayat (1) ; Setiap warga Negara secara perorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan ber masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dalam Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih; 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bagian Kedelapan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. Pasal 43, Setip orang baik sendiri maupun bersama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien dengan lisan maupun tulisan sesuai dengan peraturan perundangundangan; 4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 139 Ayat (1), Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Peraturan Daerah; 5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 3 menyatakan bahwa, menjamin
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; dan lain sebagainya. Peraturan -peraturan perundang undangan tersebut jelas mengamanatkan adanya pasrtisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Dalam proses kebijakan tersebut peran masyarakat tentu sangat penting terutama untuk mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat sebagai dampak dari kebijakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Namun demikian, dalam prakteknya berbagai kebijakan publik yang telah ditetapkan seringkali menuai kritik dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat bahkan cenderung kontra produktif bagi masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut. Kenyataan yang demikian ini muncul karena dalam proses perumusan kebijakan partisipasi masyarakat tidak dilaksanakan secara utuh dan mekanismenya cenderung hanya bersifat formal sehingga akomodasi stakeholders belum mewakili kepentingan masyarakat secara umum. Selama ini masyarakat biasanya hanya bisa menerima kebijakan pemerintah tanpa mengetahui alasannya. Suara mereka seolah-olah tidak didengar dalam proses perumusan kebijakan publik. Dengan demikian, masyarakat selalu menjadi objek dari sebuah kebijakan publik yang seringkali kurang berpihak pada kepentingan mereka. Permasalahan tersebut muncul karena masyarakat tidak mempunyai akses yang cukup untuk mendengarkan, mempertimbangkan dan menyuarakan aspirasi mereka ketika formulasi sebuah kebijakan dibuat.
165
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT Partisipasi masyarakat menurut Fagence (1977) tidak terbatas pada pengambilan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, melainkan juga berbagai peran yang dapat dilakukan, antara lain: a. Insiator, menentukan isu-isu dalam pengambilan kebijakan; b. Pemandu, mengarahkan pengambilan kebijakan; c. Peneliti, memperhatikan seluruh aspekaspek yang mempengaruhi isu-isu pengambilan kebijakan; d. Pemberitahu, memperlihatkan informasiinformasi di seputar isu tersebut; e. Penguji, yang fungsinya menilai kompetensi paara pengambil kebijakan; f. Pemandu suara, mengurus proses penilaian kompetensi pengambil
g. h. i.
kebijakan dan mengumpulkan suara pengambilan kebijakan; Perencana, mereview kebutuhan pengambilan kebijakan; Hakim, memperhatikan rambu-rambu hukum yang berlaku, dan Administrator, mengatur sistem sampai pelaksanaan kebijakan.
Gaventa & Valderama (dalam Suhirman, 2006) membuat pemetaan yang lebih luas tentang bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam kerangka pembangunan. Dalam pemetaan ini ada tiga kategori tradisi partisipasi terkait dengan praktek pembangunan masyarakat yang demokratis, yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga. Penjabaran lebih luas dari bentuk-bentuk partisipasi ini diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Jenis Partisipasi Partisipasi Politik
Wahana
Bentuk
Partai politik, perwakilan daerah / sektoral
Advokasi legislasi intuk reformasi yang progresif Kerja-kerja lobby untuk tujuan terukur Pendidikan pemilih, kampanye pemilih, pemilihan langsung, pengawas perhitungan suara Mobilisasi masa, rally/demonstrasi Aksi diam, pendudukan, pemogokan dan demonstrasi Mogok makan Perwakilan dalam lembagalembaga khusus di tingkat lokal Partisipasi rakyat langsung dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat lokal
Gerakan Massa
Gerakan Sosial Serikat Buruh Organisasi sektoral Fokus isu
Partisipasi Demokratis dalam Pemerintahan
Organisasi komunitas untuk PDP Partisipasi perencanaan, penganggaran, dan Monitoring & evaluasi Partisipasi mobilisasi sumber daya
Partisipasi
Organisasi rakyat yang
166
Karakter
Mandat untuk melakukan
Kerja-kerja koalisi, aliansi taktis dengan elit modern dan pejabat negara yang reformis Term jangka panjang, transformasi masyarakat
“Keterkaitan kritis” dengan negara Tekanan publik Media, publikasi isu/kebutuhan
Partisipasi yang diberi mandat Hubungan strategis dengan pemerintahan lokal untuk jangka pendek, menengah, dan panjang dalam perumusan agenda pembangunan Keuntungan spesifik terukur yang berdampak pada kehidupan keseharian warga Menjalankan aksi untuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Jenis Partisipasi Komunis
Lainnya
Wahana berkelanjutan, mandiri, dan beraksi atas kemauan sendiri Aksi warga yang spontan (contoh: kampanye anti narkotika, anti penebangan liar) Hak masyarakat indigenous untuk menentukan nasib sendiri Otonomi untuk kelompok minoritas
Bentuk
Karakter
dengar pendapat publik dan konsultasi Pengawasan warga untuk anti suap Perlindungan saksi/Anti kriminalisasi
pemenuhan hak-hak sebagai warga Mendapatkan hak melalui aksi
Pengakuan terhadap hukum dan budaya indigenous Promosi pengetahuan dan budaya lokal
Partisipasi di luar mainstream masyarakat Hukum khusus mengenai otonomi lokal
Sumber : Villarin (dalam Suhirman, 2006) Berbeda dengan pendapat Gaventa & Valderama, Fagence (1977) menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi publik sebagai berikut: (1) In-actives, yang hampir tidak aktivitas; (2) Voting specialist, sedikit berinisiatif tetapi mampu membentuk perlawanan partisipasi; (3) Parochial participations, yang bertindak dengan inisiatif, walaupun dengan sedikit terbatas kepentingannya; (4) Communalities, yang bertindak dengan inisiatif dan lebih luas kepentingan serta komitmen kewarganegaraan yang digunakan; (5) Campaigners, yang bertindak dengan inisiatif yang moderate, komitmen dan kepentingan yang lebih luas; (6) Complete activities, yang tinggi komitmennya di hampir semua aktivitas pengambilan kebijakan.
menurut kedua pakar tersebut terdengarnya suara publik.
adalah
Menurut Davidson (1998), tiap jenjang partisipasi masyarakat itu membutuhkan metode dan strategi pendekatan yang berbeda. Karena itu Davidson memodifikasi metode dan strategi pendekatan yang digunakan dalam tiap jenjang partisipasi, sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
Pendapat lainnya, Antoft dan Novack (1998) mengartikan partisipasi masyarakat sebagai keterlibatan secara terus-menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhinya. Dalam pikiran kedua pakar tersebut, tidak mungkin seluruh warga memiliki akses terhadap pengambilan keputusan di setiap bidang, yang ada adalah sekelompok orang/warga terhadap bidangbidang tertentu yang dianggap dapat mempengaruhinya. Dan yang paling penting
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
167
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
Gambar 1. Roda Partisipasi Masyarakat Menurut Davidson Entrusted control
Minimal communication
Limited information
Independe ntcontrol
Empower
Inform High-quality information
Delegated control Limited decentralized decision-making
Participate
Limited consultatio Consultn Customer care
Partnership Effective advisory body
Arnstein (1969) membuat tangga partisipasi yang terdiri dari: citizen control, delegated power, partnership untuk kelompok pertama (citizen power); placation, consultation, information, untuk kelompok kedua (tokenism); therapy, dan manipulation untuk kelompok ketiga/ paling bawah (nonparticipation). Sherry Arnstein merupakan perumus perrtama yang mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Menurut Arnstein, partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda berdasarkan pada distribusi kekuasaan.
168
Genuine consultatio n
Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian diikuti dengan tangga (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) peredaman (placation). Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control) pada urutan tangga tertinggi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Kotak 1 Deskripsi Tangga Partisipasi Arnstein Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun masih terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah atau pembuat kebijakan dan hanya terjadi satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan masih memiliki derajat tokenisme yang tinggi, masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat mereka akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah, tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan memberikan tanggapan balik (feedback). Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. Peredaman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
169
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
Gambar 2. Model Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein (Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein)
Sumber : Arnstein (1969) PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES KEBIJAKAN DAERAH Penyediaan ruang bagi keterlibatan warga sudah mulai dilembagakan dalam proses kebijakan. Proses pelembagaan ini bisa dalam bentuk legalisasi pelibatan publik. Proses legalisasi ini biasa muncul dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang partisipasi publik, transparansi maupun konsultasi publik. Bentuk peraturan daerah yang sudah ada saat ini misalnya Peraturan Walikota Tangerang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Daerah, dan Peraturan Walikota Tangerang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Tangerang. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan berada pada urutan yang sangat tinggi dalam agenda
170
desentralisasi, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah ke dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Ini berarti bahwa undang-undang harus menjamin partisipasi masyarakat. Dengan partisipasi masyarakat diharapkan: 1) Kebijakan daerah didasarkan terutama pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai kebijakan atau peraturan akan lebih sesuai dengan kenyataan dan lebih mungkin memenuhi harapan-harapan masyarakat lokal. 2) Mendorong masyarakat lokal untuk lebih mematuhi kebijakan atau peraturan dan bertanggung jawab secara sosial. Masyarakat akan cenderung lebih patuh
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
terhadap peraturan yang pembuatannya melibatkan mereka secara aktif. 3) Memberdayakan pemerintah daerah untuk mendemokratisasikan proses pembuatan kebijakan dan lebih bertanggung gugat kepada pemilih mereka. Konsultasi terbuka dengan para pemangku kepentingan, seperti universitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat umum, memungkinkan “pengawasan dan keseimbangan” menjadi bagian dalam proses. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan di daerah semakin mengemuka setelah era reformasi. Reformasi bidang politik dan pemerintahan yang berjalan seiring dengan semangat otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat daerah untuk membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas yang lebih besar bagi aparatur pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya. Semangat otonomi daerah ini jelas membuat pemerintah daerah menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah tersebut tanpa harus didikte oleh kepentingan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi masyarakat yang disampaikan dalam proses Musrenbang yang berasal dari kesatuan masyarakat hukum yang terkecil (desa) seringkali kalah dengan kepentingan pemerintah daerah baik dari eksekutif maupun legislatif, dengan alasan bukan merupakan program / kegiatan prioritas, alasan pemerataan dan keterbatasan anggaran.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Desa merupakan suatu entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena paling tepat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna mengakomodasi kebutuhan kolektif masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 206 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup: 1) Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. 3) Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. 4) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa. Dari hasil Musrenbang di tingkat desa ini selanjutnya bisa dibawa ke pembahasan pada Musrenbang di tingkat yang lebih tinggi, sampai dengan Musrenbang di Kabupaten / Kota. Musrenbang ini sebenarnya merupakan bentuk riil dari penyerapan aspirasi masyarakan dan wahana bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses p eren canaan p embangu nan . Namun demikian, partisipasi publik ini seringkali hanya sebatas pada proses perencanaan pembangunan itu saja. Pada proses implementasi program / kegiatan
171
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
pembangunan di daerah, proses partisipasi masyarakat semakin menghilang, terlebih pada tahap evaluasi. Pada saat proses perencanaan itu pun, bentuk partisipasi yang diberikan jika merujuk pada tangga partisipasi Arnstein (1969) masih cenderung bersifat tokenisme. Merujuk pada model Arnstein tersebut, level partisipasi dalam Musrenbang hanya sebatas pada level Peredaman (placation), artinya komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah, kemudian masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan, namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Dengan telah tersedianya wahana yang cukup baik dalam bentuk Musrenbang ini, maka diharapkan mekanisme partisipasinya juga perlu disempurnakan. Level partisipasi masyarakat setidaknya juga perlu ditingkatkan ke level kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan masyarakat. Kemitraan (partnership) pada tangga partisipasi Arnstein (1969) berarti bahwa pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan dengan pemerintah daerah. Pola p ar ti sip a si ma sy ar akat in i selanjutnya juga perlu dikembangkan tidak hanya terbatas pada perencanaan pembangunan seperti pada pelaksanaan Musrenbang saja, tetapi juga dalam proses perumusan sampai dengan evaluasi kebijakan yang dituangkan dalam peraturan daerah.
172
Dalam rangkaian proses pembuatan kebijakan daerah, pengelolaan partisipasi masyarakat dapat dilaksanakan melalui tahapan antara lain pengidentifikasian dan pengagendaan masalah, perumusan atau formulasi rancangan kebijakan, pembahasan rancangan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Secara umum dapat dirumuskan bahwa dalam proses kebijakan daerah bentuk partisipasi masyarakat dapat diberikan dalam setiap proses kebijakan yang meliputi: 1) T a h a p P e n g i d e n t i f i k a s i a n d a n Pengagendaan Masalah; masyarakat berpartisipasi dengan menyampaikan kebutuhan dan masalah-masalah yang sedang dihadapi kepada pemerintah. 2) Tahap Perumusan atau Formulasi Rancangan Kebijakan; masyarakat dapat memberikan opini, masukan, atau mengkritik rancangan kebijakan tersebut. 3) Tahap Pembahasan Rancangan Kebijakan; masyarakat dapat memberikan informasi yang relevan, terlibat dan/atau dilibatkan secara langsung dalam rangkaian pembahasan rancangan kebijakan, serta berhak memberi dukungan atau penolakan melalui berbagai media yang disediakan. 4) T a h a p P e l a k s a n a a n K e b i j a k a n ; masyarakat mendukung dan melaksanakan kebijakan dengan konsekuen dan sepenuh hati. 5) Tahap Evaluasi Kebijakan; masyarakat memberikan masukan atau kritik terhadap kebijakan yang sudah dilaksanakan. Dalam proses kebijakan daerah, ada berbagai aktor yang terlibat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Almond (2007) mengidentifikasikan aktor dan fungsi masingmasing sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Tabel. 2 Aktor dan Fungsinya dalam Proses Kebijakan Daerah Fungsi Rekruitmen politik & sosialisasi
Komunikasi politik
Definisi Memungkinkan masyarakat untuk memberikan peran dalam sistem politik dari menjadi pemilih sampai menjadi pemimpin; mengubah perilaku positif, nilai, norma dan opini yang menjamin berjalannya sistem politik Meneruskan informasi yang relevan dengan kebijakan kepada masyarakat
Artikulasi kepentingan
Mengemukakan/membuat usulan ke dalam sistem politik Memilah usulan dan Agregasi menggabungkannya menjadi sejumlah kepentingan alternatif dalam pembuatan kebijakan Pembuat Mengambil usulan dan menjadikannya kebijakan keputusan otoritatif dari sistem politik Pelaksana Mengelola dan melaksanakan kebijakan keputusan; implementasi kebijakan Membuat keputusan otoritatif apakah Pengadilan ada pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku dalam kasus tertentu Diadaptasikan dari Almond (2007)
Aktor yang terlibat Keluarga/sekolah/ partai politik/media
Partai politik/ kelompok kepentingan / media Partai politik / kelompok kepentingan Partai politik / birokrasi Dewan perwakilan Eksekutif Lembaga yudikatif
SALURAN PENGELOLAAN PARTISIPASI DAN DISEMINASI KEBIJAKAN DAERAH Dalam proses kebijakan, bentuk partisipasi dari perumusan kebijakan, sosialisasi kebijakan sampai dengan evaluasi kebijakan disampaikan melalui saluransaluran yang merupakan forum atau wadah dalam mengakomodasi dan mengelola aspirasi masyarakat menjadi sebuah masukan dan rekomendasi dalam formulasi rancangan kebijakan, pembahasan dan pelaksanaan kebijakan.
sarana intermediasi yang disepakati bersama dapat digunakan oleh pemerintah untuk menyaring berbagai opini dan isu publik. Saluran komunikasi ini sekaligus juga digunakan sebagai sarana diseminasi untuk keperluan sosialisasi berbagai kebijakan baik itu rancangan maupun produk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat secara efektif sehingga masyarakat dapat mengetahui, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan tersebut apakah sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Partisipasi publik dalam proses kebijakan akan berhasil menciptakan pola komunikasi politik yang baik antara pemerintah dengan masyarakat. Berbagai
Hal ini juga sejalan dengan semangat keterbukaan informasi publik sebagai perwujudan pemerintahan yang baik (good governance). Setiap lembaga pemerintahan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
173
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
menyediakan sistem dan wadah komunikasi bagi masyarakat yang memungkinkan masyarakat dapat mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan. Begitu pula, secara otomatis dan tanpa diminta, lembaga pemerintah/ p ublik ju ga meny eb arkan in formasi kebijakannya bagi masyarakat. Saluran diseminasi kebijakan yang baik harus didukung pengelolaan aspirasi dan informasi dari masyarakat. Hal ini merupakan proses dan prosedur dalam mengumpulkan, mengelola, dan menyebarluaskan informasi yang diambil dari dan perlu diketahui masyarakat. Strategi diseminasi dilakukan melalui berbagai media dan sarana baik dalam bentuk formal dan non formal. Strategi ini dapat dilaksanakan melalui (Asikin: 2001) : 1) Jaringan Kelembagaan, yang merupakan diseminasi dan informasi kebijakan dengan menggunakan jaringan mitramitra strategis, semisal LSM, organisasi masyarakat (ormas); organisasi profesi; kelembagaan struktural baik instansi vertikal maupun horizontal; ataupun lembaga media lainnya. 2) M e d i a M a s s a , a d a l a h s a r a n a penyampaian diseminasi dan informasi kebijakan kepada masyarakat dengan menggunakan audio maupun visual atau gabungan keduanya. Sebagai contoh, bentuk media massa cetak adalah radio, televisi, surat kabar, majalah, buletin, tabloid, jumpa pers, dialog interaktif, dan dialog. 3) Media baru/online, adalah sarana diseminasi dan informasi kebijakan yang bersifat digital, konvergensi (multimedia) dengan karakteristik interaktif yang bersifat jaringan dengan menggunakan komputer, gadget, perangkat penyiaran dan internet prototype protocol. Bentuk
174
dari media ini adalah website, portal, blog, jejaring sosial, dan forum online. 4) Media pertunjukan rakyat, adalah sarana diseminasi dan informasi kebijakan melalui pergelaran kelompok pertunjukan rakyat atau kelompok sejenis lainnya yang bersifat komunikatif semisal sandiwara, pertunjukan wayang, campur sari, lawak, madihin, mamanda, rakyong, lenong, reog, calung, randai, petapuang, berbalas pantun, bonres, ketoprak, dan lain-lain. 5) Media tatap muka/interpersonal, adalah sarana d is eminasi dan informasi kebijakan yang dilakukan secara langsung kepada sasaran khalayak. Komunikasi dalam media ini dalam bentuk wawancara, konsultasi, negosiasi, diskusi, seminar, lokakarya (workshop), forum komunikasi, sarasehan, dan ceramah. 6) Media luar ruang, adalah sarana diseminasi dan informasi kebijakan, yang singkat, padat, dan jelas, yang ditempatkan di area publik sehingga mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat. Bentuk media luar ruang merupakan pilihan dari spanduk, umbulumbul, baliho, billboard, videotron, dan poster. Untuk menghasilkan proses akomodasi kepentingan publik yang bersifat aspiratif dan partisipatif yang bermakna, maka pembuat kebijakan atau pengambil keputusan atau pemrakarsa dapat menempatkan dirinya sebagai bagian dari keseluruhan stakeholder pengambilan keputusan. Setiap stakeholder memerlukan klasifikasi dan mekanisme partisipasi yang bervariasi. Klasifikasi partisipasi ini dapat disajikan dalam tabel berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Tabel 3. Klasifikasi Partisipasi dan Pengertiannya Klasifikasi Partisipasi
Pengertian
Diseminasi
Merupakan aliran informasi satu arah kepada publik
Konsultasi
Merupakan pertukaran informasi dua arah antara kordinator pelaksana proses konsultasi dan publik atau sebaliknya.
Kolaborasi
Merupakan pembagian hak dan kerjasama di dalam penetapan keputusan
Delegasi
Merupakan pemberian kewenangan bagi pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya pada stakeholder
Sumber : Asikin, 2001 (diolah) Selanjutnya, mekanisme pengelolaan partisipasi masyarakat yang dibentuk berdasarkan klasifikasi diatas dapat dilakukan
melalui mekanisme formal dan non formal, sebagai contoh yang terdapat pada tabel berikut:
Tabel 4. Mekanisme Partisipasi Formal dan Non Formal Klasifikasi Partisipasi Diseminasi
Mekanisme Formal Siaran radio / Siaran pers Penyebaran brosur Diskusi Radio/televisi Pembagian poster Konsultasi Debat Publik / temu wicara • Forum Kota Seminar/ Pertemuan / Konsultasi Tinjauan & wawancara lapangan Kolaborasi Dengar Pendapat Umum (SKPD & DPRD) Pembentukan Pokja / Pansus Komite Bersama / Satuan Tugas Delegasi Sertifikasi Mediasi Akreditasi Ombudsman Sumber : Asikin, 2001 (diolah)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Mekanisme Non Formal Pengajian Arisan Pembagian brosur
Rembug Desa Ngobrol-Ngobrol Temu Informal Upacara Adat
Forum Adat
175
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
PENUTUP Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat disini merupakan keterlibatan masyarakat bukan hanya kepada proses pelaksanaan kegiatan saja, tetapi sebagai beneficiary dalam hal pengambilan keputusan pada setiap tahapan perumusan kebijakan untuk mendapatkan kepastian atau jaminan setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu dalam masyarakat, akan tetapi memberi manfaat bagi masyarakat secara umum. Dalam konteks governance, partisipasi masyarakat merupakan hubungan antara negara (pemerintah) dan rakyat secara timbal balik. Negara adalah pusat kekuasaan kewenangan dan kebijakan yang mengatur atau mengelola alokasi baik barang-barang maupun sumber daya yang bersifat publik terhadap masyarakat. Sedangkan pada masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kebutuhan hidup, dan lain sebagainya. Dengan demikian partisipasi dapat dikatakan merupakan suatu jembatan penghubung antara negara dan masyarakat supaya pengelolaan barang-barang publik yang diatur dalam suatu kebijakan dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat berupa kesejahteraan secara umum dan luas. Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tidak adanya praktek partisipasi dapat menimbulkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi dapat dikatakan merupakan kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberkan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal,
176
mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat yang semuanya dapat diakomodir melalui kebijakan yang efektif dan efisien. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, partisipasi masyarakat juga dibutuhkan dalam proses kebijakan publik daerah. Mekanisme yang ada saat ini dalam proses perencanaan pembangunan daerah dalam bentuk Musrenbang merupakan wahana yang baik u ntuk akomodasi aspirasi masyarakat. Namun dalam proses implementasi program / kegiatan p emban gu nan , inten sitas p artisip asi masyarakat semakin berkurang. Selain dalam perencanaan pembangunan, pelembagaan partisipasi masyarakat juga perlu dikembangkan dalam proses kebijakan daerah yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Proses kebijakan ini meliputi tahapan p engid en tifikasian d an p engad en daan masalah, perumusan atau formulasi rancangan kebijakan, pembahasan rancangan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, sampai dengan evaluasi kebijakan. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan Menyampaian Pendapat di Muka Umum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Buku dan Jurnal Antoft, K. And Novak, J. (1998). Grassroots Democracy, Local Government in the Maritimes. Halifax: Henson College Dalhousie University Almond, G., et.al (2007). Comparative Politics th Today. 9 edition. New York: Pearson Longman Arnstein, S.R. (1969). “A Ladder of Citizen Participation”. Journal of the American Institute of Planners, Volume 35 No. 4. Washington: American Institute of Planners. Asikin, M. (2001). “Stakeholder Participation in SME Policy Design and Implementation”. Background Report
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ADB SME Development Technical Assistance. Jakarta: State Ministry of Cooperative & SME. Davidson, S. (1998) “Spinning the Wheel of Empowerment”. Planning, vol 1262, 3 April, pp. 14-15 Fagence, M. (1977). Citizen Participation in Planning. New york: Pergamon Press Islamy, M. Irfan. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. 2002. Suhirman. (2006). Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga di Indonesia. Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
177
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Daerah Abdullah Manshur
178
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN PURBALINGGA: DINAMIKA PROGRAM DAN REORIENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN1 Oleh: Renny Savitri Peneliti Pertama Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat, e-mail :
[email protected]
Abstract: The decentralization policy has long been implemented in Indonesia, but issues related to community development was still a serious problem. Hence the concept of community-based development became the most attentive development concept in the mean time. This study was conducted in 2010 in Purbalingga Regency. This study used descriptive and exploratory research method. Data collection was done by indepth interviews, discussions, field trips, and literature study. Data obtained were analyzed using qualitative research methods. Result shows that implementation of regional autonomy increased empowerment practice both in quantity and quality. Developing empowerment models are Program PNPM Mandiri Pedesaan, TMMD, PKP, Puspahastama, and Desa Sehat Mandiri. Implementation of community development programs generate positive impact on society both physical and nonphysical. Many problems encountered in community development programs, for instance in terms of policy, planning, implementation, financial, human resources, and coordination. Amongst all those problem, we expected that in the future there will be a national policy which able to integrate and synergize all government levels and units, and also stakeholders in the implementation of community development programs. Keywords : community development, program dynamic, implementation and impact, development policy reorientation Intisari Kebijakan desentralisasi sudah lama diimplementasikan di Indonesia, namun isu-isu pembangunan masyarakat ternyata masih menjadi persoalan serius. Karena itu konsep pembangunan berbasis masyarakat menjadi salah satu konsep pembangunan yang mendapat banyak perhatian saat ini. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2010 di Kabupaten Purbalingga. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, diskusi, kunjungan lapangan, dan studi kepustakaan. Dari data-data yang diperoleh tersebut dilakukan analisis data secara kualitatif. Dari hasil
1
Tulisan ini merupakan bagian dari Hasil Kajian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Tahun 2010 tentang Model Community Development di Daerah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
179
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
penelitian diketahui bahwa sejak otonomi daerah terjadi peningkatan pelaksanaan praktek pemberdayaan masyarakat baik secara kuantitas maupun kualitas. Modelmodel pemberdayaan yang berkembang seperti misalnya Program PNPM Mandiri Pedesaan, TMMD, PKP, Puspahastama, dan Desa Sehat Mandiri. Implementasi dari program pemberdayaan masyarakat ini telah memberikan dampak positif bagi masyarakat baik secara fisik maupun non fisik. Banyak permasalahan yang ditemui dalam program pemberdayaan masyarakat ini misalnya dari segi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, finansial, SDM, dan koordinasi. Dari berbagai permasalahan tersebut maka ke depan diharapkan ada sebuah kebijakan nasional yang dapat mengintegrasikan dan mensinergikan semua level dan unit pemerintahan serta pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Kata Kunci : pemberdayaan masyarakat, dinamika program, implementasi dan dampak, reorientasi kebijakan pengembangan.
PENDAHULUAN Kebijakan desentralisasi sudah cukup lama diimplementasikan di Indonesia. UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU 12 tahun 2008, pada hakekatnya memberikan keleluasaan kepada daerah otonom untuk mengatur dan membangun daerahnya secara mandiri sesuai prinsipprinsip otonomi daerah. Keberhasilan pembangunan di suatu daerah dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya, misalnya dalam hal pemenuhan kebutuhan kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Indicator-indikator tersebut dipakai karena pembangunan sekarang tidak hanya berfokus pada sekedar pembangunan fisik, tapi lebih pada pembangunan manusia. Seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tersebut, ternyata isu-isu tentang pembangunan masyarakat di daerah masih menjadi persoalan serius. Sejumlah data yang diterbitkan oleh berbagai instansi mengindikasikan adanya persoalan dalam pembangunan masyarakat. Misalnya dalam Human Development Report 2010 yang
180
dikeluarkan oleh UNDP, ternyata secara global peringkat Indonesia berada pada ranking ke 108 dari 169 negara yang dihitung (UNDP, 2010). Di tahun 2007 Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat 11 kabupaten berada pada kategori sangat parah, 50 kabupaten sangat tertinggal, 53 kabupaten tertinggal, 57 kabupaten agak tertinggal. Dalam RPJMN 2010-2014 juga tercantum bahwa ada 183 daerah tertinggal di Indonesia. Kondisi ini menyiratkan bahwa selama ini pembangunan masyarakat belum menyentuh setiap elemen masyarakat dengan berbagai problematika yang dihadapinya. Untuk itu upaya untuk memperkuat kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok perlu mendapat perhatian. Hal ini mendorong konsep pembangunan berbasis masyarakat menjadi salah satu pilihan konsep pembangunan masyarakat sampai pada level terkecil. Community Development (comdev) yang dipahami sebagai pemberdayaan masyarakat banyak mendapat perhatian sebagai konsep pembangunan utamanya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
karena ide partisipasi bersama yang melekat di dalamnya. Sebelum sampai pada pemahaman tentang community development, diperlukan pemahaman akan konsep community. Secara leksikal, diambil dari istilah bahasa Inggris, community sering diartikan sebagai masyarakat. Sebagaimana disimpulkan oleh Hasim dan Remiswal (2009) salah satu ciri dari masyarakat adalah adanya interaksi. Disebutkan pula bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama manusia yang pada prinsipnya bercirikan: jumlah manusia yang hidup lebih dari dua, adanya kesadaran bahwa setiap manusia merupakan bagian dari suatu kesatuan, adanya nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi patokan bagi perilaku yang dianggap pantas, serta menghasilkan kebudayaan dan mengembangkan kebudayaan tersebut. Pemberdayaan masyarakat (comdev) dianggap sebagai proses di mana upaya-upaya masyarakat disinergikan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, mengintegrasikan kelompok -kelompok masyarakat tersebut dalam kehidupan berbangsa dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Adapun sasarannya dapat menjangkau kelompok-kelompok terkecil. Frank and Smith (1999) menyebutkan pemberdayaan masyarakat dapat menjadi proses pada tataran “akar rumput” sehingga masyarakat menjadi lebih memiliki rasa tanggung jawab, memiliki perencanaan dan terorganisir dengan lebih baik, mampu mengembangkan pilihan -pilihan bagi masyarakat, memberdayakan diri, meningkatkan kesadaran, menurunkan kemiskinan, mengembangkan kesempatan kerja dan usaha, serta mencapai tujuantujuan pembangunan antara lain dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
bidang sosial, lingkungan.
ekonomi,
budaya,
dan
Menarik untuk melihat sejauh mana dinamika model pemberdayaan masyarakat yang berkembang di daerah khususnya Kabupaten Purbalingga, bagaimana implementasi, serta dampaknya. Mengingat upaya-upaya pembangunan secara inklusif masih diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, hasil penelitian ini penting sebagai pelajaran untuk pembangunan masyarakat di masa mendatang. PERUMUSAN MASALAH 1. B a g a i m a n a d i n a m i k a m o d e l pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga semenjak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004? 2. Bagaimana implementasi dan dampak program pemberdayaan masyarakat? 3. Kendala dan permasalahan apa yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat? 4. B a g a i m a n a r e o r i e n t a s i k e b i j a k a n pengembangan yang tepat dalam pencapaian sasaran pemberdayaan masyarakat? TUJUAN PENELITIAN 1. Mengkaji dinamika model pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga semenjak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 2. Menganalisis implementasi dan dampak program pemberdayaan masyarakat 3. M e n g i d e n t i f i k a s i k e n d a l a d a n permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat 4. Merumuskan reorientasi kebijakan pengembangan dalam pencapaian sasaran pemberdayaan masyarakat
181
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
METODE PENELITIAN 1. Kerangka Fikir dan Pendekatan Penelitian Alur kerangka fikir dari penelitian ini dimulai dari dinamika program pemberdayaan masyarakat yang berkembang di Kabupaten Purbalingga. Ada 5 program dianggap best practices disana yaitu PNPM Man diri Pedesaan, Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD), Progarm Padat Karya Pangan, Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Utama, dan Desa Sehat Mandiri. Implementasi ke lima program pemberdayaan masyarakat tersebut telah menghasilkan dampak positif dimana hasil fisik dan non fisiknya telah dirasakan oleh masyarakat Purbalingga itu sendiri. Dalam perkembangannya program Dinamika Program Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri Pedesaan TMMD Program Padat Karya Pangan Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Utama (Puspahastama) Desa Sehat Mandiri
pemberdayaan masyarakat ini menemui kendala dan permasalahan misalnya dari segi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, financial, SDM, dan koordinasi. Identifikasi masalah dan kendala dalam implementasi program pemberdayaan masyarakat ini mengingatkan bahwa ke depan perlu dilakukan reorientasi kebijakan pengembangan dimana kebijakan tersebut fokus pada koordinasi dan sinergi lintas sektoral serta sinergi dan integrasi kebijakan program pemberdayaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya alur kerangka fikir dan pendekatan penelitian ini ditampilkan pada Gambar berikut ini.
Implementasi dan Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat Hasil Fisik jalan, jembatan, gorong-gorong, talud; peningkatan pendapatan asli daerah; peningkatan ketahanan pangan Hasil Non Fisik Meningkatkan partisipasi masyarakat Pemanfaatan material lokal Meningkatkan kesejahteraan petani Membuka lapangan kerja bagi masyarakat (sementara) Menumbuhkan kembali semangat gotong royong dalam masyarakat Peningkatan kualitas kesehatan
Identifikasi kendala dan masalah Kebijakan Financial dan SDM Perencanaan Koordinasi Pelaksanaan
Reorientasi Kebijakan Pengembangan Koordinasi dan sinergi antar instansi/lintas sektoral Sinergi dan integrasi kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat
182
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Peneliti memilih lokus ini karena Kabupaten Purbalingga dianggap memiliki model pemberdayaan masyarakat yang cukup beragam dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut. 3. Kebutuhan dan Teknik Pengumpulan Data Kebutuhan data untuk penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Untuk data primer pengumpulan dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik yaitu dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), diskusi dan kunjungan lapangan (field visit). Data primer meliputi transkrip hasil wawancara dan hasil diskusi, dan laporan perkembangan kegiatan. Pengumpulan data sekunder yang mencakup buku, laporan studi terkait, artikel primer dan sekunder, dan sumber informasi terkait lainnya diperoleh dari instansi terkait di tempat penelitian dan akses melalui media yang relevan. 4. Metode Analisis Data Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, yaitu suatu model kajian yang berusaha untuk memberikan gambaran/paparan dan menggali secara cermat serta mendalam tentang fenomena sosial tertentu. Berdasarkan karakteristik data yang digunakan, data penelitian bersifat kualitatif sehingga penelitian ini lebih dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Untuk data hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan analisis data telah dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut. Analisis data kualitatif adalah proses mencari serta menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
lapangan, dan bahan-bahan lainnya sehingga mudah dipahami agar dapat diinformasikan kepada orang lain. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sejak sebelum peneliti memasuki lapangan lalu dilanjutkan pada saat peneliti berada di lapangan sampai peneliti menyelesaikan kegiatan di lapangan. Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, peneliti menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus menyertakan sumber yang dikutip secara lengkap. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. D i n a m i k a M o d e l P e m b e r d a y a a n Masyarakat Kabupaten Purbalingga termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah bagian barat daya yang memiliki jarak 191 km dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah yak ni Semarang. Kab. Purbalingga pada sebelah utara berbatasan dengan Kab. Pemalang, sebelah timur berbatasan dengan Kab. Banjarnegara, di sebelah barat berbatasan dengan Kab. Banyumas, dan disebelah selatan berbatasan dengan Kab. Banjarnegara dan Banyumas. Kabupaten Purbalingga memiliki luas wilayah 77.764,122 Ha, secara administratif terbagi dalam 18 kecamatan, 224 desa dan 15 kelurahan. Jumlah penduduk sebanyak 849.831 jiwa, dengan ragam agama dan budaya. Praktek pemberdayaan masyarakat yang ada di Kabupat en Purbalingga diprakarsai oleh berbagai pihak. Misalnya ada yang diprakarsai oleh Pemerintah, LSM, Perusahaan swasta, maupun oleh masyarakat Kabupaten Purbalingga itu sendiri. Namun penelitian ini dibatasi hanya sampai praktek pemberdayaan masyarakat yang diprakarsai oleh pemerintah saja, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut akan dideskripsikan masing-masing program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten
183
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
Purbalingga yang diprakarsai oleh pemerintah. a.
PNPM Mandiri Perdesaan PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Secara umum program ini ditujukan untuk meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Pengelolaan PNPM Mandiri di tingkat masyarakat terdiri dari serangkaian kegiatan sebagai berikut : Persiapan, Perencanaan Partisipatif, Pelaksanaan Kegiatan, Pengendalian, Pengelolaan Pengaduan dan Masalah, Evaluasi, Pelaporan, dan Sosialisasi. b. TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Program Bhakti TMMD merupakan salah satu bentuk kepedulian TNI beserta seluruh komponen masyarakat secara bersama-sama ikut mensukseskan pembangunan di daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. TMMD merupakan program lintas sektoral yang melibatkan TNI, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah serta segenap lapisan masyarakat. Melalui program TMMD, diharapkan mewadahi dan mewujudkan aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah pedesaan, mengingat proses perencanaannya yang melibatkan berbagai instansi dan masyarakat, disusun dengan perpaduan bottom up dan top down
184
planning system serta dengan pendekatan partisipatif. Dalam perspektif TNI dan pertahanan Negara, TMMD didedikasikan untuk memberdayakan dan mewujudkan ketahanan wilayah, dalam rangka ketahanan nasional yang kuat dan tangguh. Di sinilah terjadi hubungan yang bersifat “simbiosis mutualisme” antara pembangunan dan ketahanan nasional, dan sebaliknya , ketahanan nasional yang tangguh akan memastikan kesinambungan pembangunan nasional. c.
Program Padat Karya Pangan /PKP Program Padat Karya Pangan (PKP) adalah kegiatan pembangunan sarana dan prasarana fisik pedesaan yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan bahan pangan berupa beras sebagai kompensasi upah kerja, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan memenuhi azaz pemberdayaan, partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan kelestarian lingkungan. Program PKP dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberdayakan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan terlibat aktif dalam pemanfaatan potensi dan sumber daya alam lokal serta pelaksanaan pembangunan dan pelestariannya. Sedangkan tujuannya adalah mengembangkan budaya dan semangat gotong royong, mengambangkan lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan/ kelurahan, mengembangkan pemenfaatan material lokal, meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana fisik pedesaan secara berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui upaya pengamanan harga dasar gabah. d. Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Utama/ Puspahastama Puspahastama adalah komplek bangunan sarana pengolahan hasil pertanian
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
memfasilitasi para petani di dalam kegiatan pengelolaan pasca panen. Melalui Puspahastama Pemerintah Kabupaten Purbalingga mengembangkan kebijakan pembelian padi/gabah petani sebagai bentuk intervensi yang dimaksudkan untuk ikut mengamankan harga dasar padi/gabah di tingkat petani yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pembelian padi/gabah oleh pemerintah kabupaten ini selanjutnya diproses di Puspahastama yang hasilnya berupa beras berkualitas baik digunakan untuk mencukupi: beras proyek padat karya pangan/PKP, beras PNS, beras untuk programprogram pembangunan lainnya, beras untuk memasok sub dolog wilayah Banyumas, dan beras untuk konsumen umum/ memasok pasaran. e.
Desa Sehat Mandiri Desa sehat mandiri adalah desa yang secara mand iri mampu memb erikan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas kepada masyarakatnya, serta antisipatif dan responsive terhadap kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan dampak pada gangguan kesehatan masyarakat. Salah satu indicator keberhasilan perwujudan desa sehat mandiri adalah nantinya Poliklinik Kesehatan Desa/ PKD tidak hanya berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan, tapi juga sekaligus sebagai pusat informasi kesehatan. Program Desa Sehat Mandiri mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Pencapaian Visi Purbalingga sehat 2010 perlu dukungan berjenjang dari bawah dari kecamatan dan desa maka , 2. Memberdayakan masyarakat melalui perwujudan desa sehat mandiri yang diorientasikan agar setiap desa mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
dasar, merumuskan pokok permasalahan kesehatan, dan sekaligus mampu merencanakan alternatif pemecahan permasalahan; serta sikap yang responsif dan antisipatif terhadap adanya wabah, kejadian luar biasa, serta bencana alam. Sedangkan sasaran perwujudan Desa Sehat Mandiri dapat dilihat pada beberapa ind ikator yaitu meningka tkan statu s kesehatan masyarakat, menurunkan angka kematian bayi (infant mortality rate), menurunkan angka kematian anak balita (AKB), dan menurunkan angka kematian ibu bersalin (AKI). Pelajaran yang dapat kita petik dari kelima program yang dipaparkan diatas adalah sebagian besar penanganan program pemberdayaan saat ini masih bersifat parsial. Belum ada bentuk kebijakan yang mengatur tentang program pemberdayaan masyarakat secara komprehensif. Begitu juga dengan belum adanya sinergi dan koordinasi yang intensif antar instansi pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Dilihat dari tujuannya, program pemberdayaan masyarakat secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga pengentasan kemiskinan. Namun dalam pelaksanaannya terkadang beberapa masalah dan kendala menghambat tercapainya tujuan tersebut. 2. Implementasi dan Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat Ke lima program yang telah dijabarkan tersebut telah diimplementasikan pada masyarakat Purbalingga. Program-program ini juga mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah masyarakat yang turut berpartisipasi dalam program tersebut. Untuk program PNPM Mandiri tahun 2009 di Kabupaten Purbalingga dialokasikan untuk 15 kecamatan, yaitu kecamatan Karanganyar, Bojongsari,
185
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
Karangmoncol, Karangreja, Mrebet, Rembang, Pan gad egan, Kejobong, Kaligondang, Bukateja, Kemangkon, Kutasari, Bobotsari, Kertanegara, dan Karangjambu. Sumber dana PNPM-MP berasal dari Cost Sharing yang bersumber dari APBD 20% dan APBN yang bersumber dari Pinjaman Luar Negeri dan rupiah murni sebesar 80%. Partisipasi masyarakat dalam PNPM Mandiri Perdesaan sampai dengan akhir bulan Desember 2009 berjalan cukup baik, bahkan di beberapa desa terjadi peningkatan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Partisipasi masyarakat mengalami peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini dapat dilihat pada tingkat kehadiran dan peran aktif masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan PNPM MP baik di tingkat dusun, desa, maupun di tingkat kecamatan. Jumlah masyarakat yang ikut berpartisipasi pada kegiatan PNPM MP tahun anggaran 2009 adalah 74.881 orang yang terdiri dari laki-laki 40.664 orang (54,30%), perempuan 34.217 orang (45,69%), dan keterlibatan rumah tangga miskin mencapai 33.032 orang (44,11%). Selanjutnya untuk program TMMD, dari hasil analisa diketahui bahwa masyarakat Kabupaten Purbalingga sangat mendukung diselenggarakannya kegiatan ini, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat setiap harinya ikut bekerja dalam TMMD, seperti di desa Bandingan Kec. Kejobong ada ±50 orang yang ikut setiap harinya. Untuk implementasi program PKP dibiayai dari APBD Kab. Purbalingga dan didukung penuh oleh swadaya masyarakat. Pada tahun 2009, dianggarkan sebesar Rp. 733.000.000,- yang digunakan untuk pembelian beras sebesar Rp. 500.000.000,- atau setara dengan 83.820 kg beras, dan dana Project Material Support/ PMS yang digunakan untuk pembelian material yang tidak tersedia di lokasi PKP sebesar Rp. 233.000.000,. setelah semua
186
pekerjaan fisik selesai, total dari 30 desa penerima PKP mampu memberikan swadaya tenaga sebesar Rp. 121.233.000,-, swadaya uang sebesar Rp. 125.433.400,- dan swadaya lahan sebesar Rp. 181.037.000,-. Ini berarti total swadaya adalah Rp. 246.676.000,- atau 33,65% (diluar swadaya lahan). Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah Kabupaten Purbalingga membentuk sebuah usaha yaitu Puspahastama. Pemantapan ketahanan pangan daerah di Kabupaten Purbalingga diarahkan pada peningkatan kemandirian masyarakat/petani untuk membangun ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal dalam rangka pemantapan ketahanan pangan rumah tangga wilayah secara berkelanjutan. Ketahanan pangan nasional diwujudkan melalui upaya peningkatan produksi beras 2 juta ton pada tahun 2007 (gerakan nasional P2BN) dan untuk Propinsi Jawa Tengah menyumbang peningkatan produksi beras sebanyak 500 ribu ton, selanjutnya Kabupaten Purbalingga tahun 2007 menyumbang peningkatan produksi beras sebanyak 178.849 ton/gkg (produktivitas 55.81 dengan LP : 32.046). Dalam bidang kesehatan, untuk mendukung perwujudan Desa Sehat Mandiri, dilakukan melalui 5 (lima) agenda/strategi yang digulirkan, yaitu : a. A g e n d a p e n i n g k a t a n p r a s a r a n a kesehatan. Seluruh Desa/Kelurahan (239 Desa/ Kelurahan) yang ada di Purbalingga telah memiliki prasarana kesehatan, yaitu 22 Puskesmas, 49 Puskesmas Pembantu, dan 168 Poliklinik Kesehatan Desa/PKD yang dilengkapi dengan sarana kesehatan yang memadai.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
b.
Agenda peningkatan SDM tenaga kesehatan. Agenda ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan yang secara riil masih kekurangan jika dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
Berikut akan dipaparkan beberapa hasil yang diperoleh dari implementasi semua program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga, baik hasil yang bersifat fisik, maupun hasil yang bersifat non fisik.
c.
Agenda peningkatan Kompetensi tenaga kesehatan. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan sangat diperlukan guna menunjang profesionalitas tenaga ke s eh at an d a la m m e l aks an ak an pelayanan kesehatan.
a.
d.
Agenda peningkatan Kesejahteraan tenaga kesehatan. Peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan adalah salah satu reward dari Pemerintah Purbalingga atas kinerja para tenaga kesehatan. Pemberian reward bisa berupa pemberian insentif/ tunjangan kesejahteraan khususnya bagi tenaga kesehatan yang bekerja di desa/ PKD yang belum menjadi PNS.
e.
Agenda pembiayaan kesehatan. Men gup ayakan p emb iayaan yan g mencukupi sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang kesehatan.
Implementasi berbagai program pemberdayaan masyarakat yang ada di Kabupaten Purbalingga ini telah memberikan dampak positif dan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Purbalingga. Salah satu program unggulan yang memberikan dampak yang cukup signifikan adalah Program PKP, dimana program tersebut telah memberikan hasil misalnya pengerasan jalan, irigasi sederhana, meningkatkan partisipasi masyarakat, pemanfaatan material local, meningkatkan kesejahteraan petani, dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat (sementara).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Hasil Fisik Program-program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di Kabupaten Purbalingga telah menghasilkan beberapa hasil fisik yang bisa dinikmati masyarakat seperti sarana dan prasarana fisik seperti jalan, jembatan, gorong-gorong, talud, irigasi, peningkatan pendapatan asli daerah, peningkatan kelestarian lingkungan, peningkatan ketahanan pangan.
b. Hasil Non Fisik Secara non fisik, praktek pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga telah menghasilkan beberapa hasil yang mungkin tidak bisa diukur nilainya, namun memiliki manfaat yang cukup signifikan misalnya telah meningkatkan meningkatkan partisipasi masyarakat, pemanfaatan material lokal, meningkatkan kesejahteraan petani, membuka lapangan kerja bagi masyarakat (sementara), menumbuhkan kembali semangat gotong royong dalam masyarakat serta peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Adanya variasi dalam tingkat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor pendukung berhasilnya suatu program pemberdayaan masyarakat. Kita lihat dari sisi kebijakan, kebijakan yang jelas dan tidak tumpang tindih akan lebih mudah mencapai keberhasilan daripada kebijakan yang bersifat parsial dan tidak jelas. Berikutnya kerjasama dan sinergitas antar stakeholder, dengan kerjasama yang bagus
187
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
maka suatu program pemberdayaan masyarakat akan berjalan dengan baik pula. Dukungan dan keterlibatan Pemerintah daerah juga berperan dalam menentukan keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat. Kemampuan pemerintah daerah dalam memasukkan anggaran program pemberdayaan masyarakat dalam struktur anggaran sudah barang tentu akan menaikkan derajat diskresi pemerintah dalam mengimplementasikan pemberdayaan masyarakat.
keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya permasalahan terlihat dalam proses perencanaan suatu program pemberdayaan masyarakat. Misalnya dalam proses perencanaan PNPM Mandiri Pedesaan. Menurut narasumber (Sekcam Bojongsari), proses perencanaannya dirasakan terlalu panjang dan tidak imbang dengan pelaksanaannya. Hal ini diatur dalam PTO (petunjuk teknis operasional) PNPM Mandiri, sehingga pelaku PNPM Mandiri Perdesaan harus tetap mengikuti aturan tersebut.
Selanjutnya pengelolaan atau manajemen suatu program pemberdayaan masyarakat juga menjadi faktor kunci penentu keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat. Manajemen ini misalnya kita lihat dari dukungan dana, SDM, strategi implementasi yang tepat, akun tab ilitas, partisipasi, p en erimaan masyarakat, serta monitoring dan evaluasi. Selain itu keberadaan katalisator (agen perubahan) dengan metode pendampingan yang tepat juga menentukan keberhasilan suatu program pemberdayaan
Dalam proses pelaksanaan juga ditemui kendala berupa kendala birokrasi. Kelambanan dan kekakuan dalam birokrasi menjadi penghambat dalam mencapai keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat. Kesulitan dalam birokrasi ini juga dirasakan di Kabupaten Purbalingga. Pelaku yang mengelola program pemberdayaan masyarakat itu bekerja sangat normatif, sehingga tidak bisa melampaui kewenangannya. Selain itu juga ada kendala yang menyangkut penerimaan masyarakat terhadap suatu program.
3. Kendala dan Permasalahan Implementasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam perjalanan implementasi program pemberdayaan masyarakat, masalah dan kendala terkadang tidak bisa dielakkan. Berikut akan dipaparkan beberapa masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu program pemberdayaan masyarakat, dimana ke depannya mungkin paparan ini bisa menjadi perhatian untuk p erb aikan program pemb erd ayaan masyarakat yang lebih baik.
Dukungan finansial dan SDM yang kurang juga mempengaruhi keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat. Kemampuan pemerintah dari segi penganggaran sangat terbatas karena PAD yang kecil. Selain itu dukungan anggaran ini juga berkaitan dengan komitmen pemerintah terhadap suatu program.
Kendala pertama berkaitan dengan kebijakan . Bany ak keb ijakan tentan g pemberdayaan ini yang tidak jelas, dan terkadang tumpang tindih dengan kebijakan lainnya. Ini akan menghambat tercapainya
188
Misalnya untuk program TMMD, terkesan komitmen pemerintah daerah semakin menurun, ini terlihat dari besaran anggaran yang dialokasikan dalam APBD untuk program ini setiap tahunnya semakin mengecil. Sedangkan dari sisi SDM, hambatan karena kurangnya kuantitas maupun kualitas SDM dalam mengelola program
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
pemberdayaan masyarakat juga dirasakan oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
program pemberdayaan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Koordinasi antara masing-masing SKPD di Purbalingga dalam mengelola program pemberdayaan masyarakat masih sangat kurang. Hal ini secara tidak langsung juga menghambat pencapaian tujuan program pemberdayaan masyarakat. Di daerah biasa kita temui ketika kepala daerahnya berganti, maka program-program dari kepala daerah terdahulu akan terbengkalai dan tidak dilanjutkan lagi oleh kepala daerah yang baru. Begitu juga program pemberdayaan masyarakatnya, tidak adanya kontiniuitas program pemberdayaan membuat kesuksesan suatu program tidak dapat dipertahankan.
Selanjutnya reorientasi kebijakan pengembangannya terkait dengan kebijakan program pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Selama ini program yang diluncurkan pemerintah masih bersifat parsial, dan program-program tersebut belum menyentuh semua aspek di masyarakat. Ke depan diharapkan muncul suatu grand design kebijakan nasional yang dapat mengintegrasikan dan mensinergikan semua level dan unit pemerintahan serta pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya dukungan dalam bentuk UU maka akan ada jaminan keberlanjutan program dan pendanaan.
4. Reorientasi Kebijakan Pengembangan Berdasarkan analisis permasalahan yang dihadapi dalam praktek pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga, maka ke depan diharapkan ada reorientasi kebijakan pengembangan yang lebih mendukung tercapainya sasaran program pemberdayaan masyarakat. Reorientasi kebijakan pengembangan yang pertama adalah berkaitan dengan koordinasi dan sinergi antar instansi / lintas sektoral.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Kesimpulan a. Sejak otonomi daerah, terjadi peningkatan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat baik secara kuantitas maupun kualitas, yakni penekanan pembangunan pada pendekatan bottom up dan partisipatoris. b.
Jika pada pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat sekarang terlihat masih tingginya ego sektoral, dimana masingmasing SKPD punya dan menjalankan program masing-masing, maka untuk ke depan diharapkan koordinasi antar SKPD dapat semakin ditingkatkan. Kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti LSM, Perguruan Tinggi, Swasta, dan masyarakat perlu lebih diperkuat. Perlu dilakukan penguatan kelembagaan pemberdayaan masyarakat, sehingga nantinya berbagai pihak dapat duduk bersama dan sejalan dalam pelaksanaan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Pelajaran yang dapat kita petik dari pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di Kab. Purbalingga adalah sebagian besar penanganan program pemberdayaannya masih bersifat parsial. Belum ada bentuk kebijakan yang mengatur tentang program pemberdayaan masyarakat secara komprehensif. Begitu juga dengan belum adanya sinergi dan koordinasi yang intensif antar instansi pemerintah maupun pemangku kepentingan lainya.
189
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
c.
d.
Implementasi dari semua model pemberdayaan masyarakat tersebut memiliki variasi dalam pencapaian sasarannya. Namun secara garis besar implementasi program pemberdayaan ini telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dampak positif tersebut dapat dilihat dari hasil-hasil fisik maupun hasil non fisik. Kendala dan permasalahan yang ditemui dalam program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Purbalingga seperti dalam hal kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, finansial dan SDM, serta koordinasi yang secara tidak langsung menghambat pencapaian tujuan program itu sendiri.
2. Implikasi Kebijakan a. D i b u t u h k a n p e n y e m p u r n a a n perencanaan program pem-berdayaan yang dapat meng-integrasikan dan mensinergikan semua level dalam pemerintahan dalam pelaksanaan program pem-berdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat, koordinasi dan sinergi antar instansi dan lintas sektoral, dukungan kebijakan pusat dan daerah terkait dengan kegiatan produktif yang dilakukan masyarakat. b.
Program pemberdayaan (khususnya bagi kelompok miskin) perlu dikomplemen dengan program penumbuhan ekonomi pedesaan dan integrasi ekonomi desa-kota, sehingga akan lebih mempercepat peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purbalingga. 2009. Kilas Potensi dan Derap Pemberdayaan Masyarakat Desa
190
Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga. Purbalingga: BPM-Pemkab Purbalingga. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purbalingga. 2009. Pedoman Umum dan Petunjuk Pelaksanaan Padat Karya Pangan (PKP) Kabupaten Purbalingga Tahun 2009.Purbalingga: BPM-Pemkab Purbalingga. Departemen Dalam Negeri RI, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, PNPM Perdesaan. 2009. Laporan Bulanan Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Pedesaan, Desember 2009. Purbalingga. Frank, F. and A. Smith. 1999. The Community Development Handbook: A Tool to Build Community Capacity. Canada: Minister of Public Works and Government Services Hasim and Remiswal. 2009. Ecosystem-based Community Development, Jakarta: Diadit Media. Human Development Report 2010. 20 Anniversary Edition.
th
Komando Resor Militer 071/ Wijayakusuma Komando Distrik Militer 0702. 2009. Laporan Pelaksanaan Program Kegiatan TMMD Sengkuyung Tahap II Kodim 0702/ Purbalingga TA.2009. Purbalingga: Kodim 0702. Lembaga Administrasi Negara RI. 2010. Model Community Development di Daerah : Laporan Kajian. Jakarta: Pusat KKOD-LAN. Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2007. Best Practices- Kebijakan Pembangunan Purbalingga. Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
http://defender-news.blogspot.com/2008/ 11/tmmd-menjadi-model-gerakanpembangunan.html (diakses pada tanggal 13 Juni 2010) http://bapermaspbg.blogspot.com/2010/10/p rogram-unggulan-daerah-dalam_3402. html (diakses pada tanggal 16 Mei 2010)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
191
Model Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga : Dinamika Program dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Renny Savitri
192
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
PENYUSUNAN SISTEM ANGGARAN BERBASIS KINERJA pada KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Pujiatmo Subarkah Peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110
Abstract: This study reviews the concept of performance- based budgeting and how it has been applied. The research method used for this research isqualitativemethod which givesan analytic meaning by studying and collecting data based on relevance theory. This study shows that Performance- based budgeting has achieve significant. It can be said that most of the implementation has refer to the theory. Finally, the local governance of Pandeglang, Banten Provinces made strong efforts to improve the implementation although in the practice still constrained technical issues. Key words: Pandeglang, Performance based budgeting, qualitative method, implementation intisari Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem anggaran berbasis kinerja pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Metode penelitian yang digunakan ini adalah metode kualitatif dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan informasi hasil dari wawancara/diskusi berdasarkan teori-teori yang dikembangkan dalam kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pengganggaran berbasis kinerja pada Kabupaten Pandeglang dapat dikatakan sangat memadai dimana penyusunannya telah mengacu kepada teori dan ketentuan peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Pemerintah Kabupaten Pandeglang telah berusaha dalam mengimplementasikannya walaupun memang masih terkendala dengan bagaimana menyusun analisa standar belanja sesuai dengan prasyarat dari anggaran berbasis kinerja Kata kunci : Pandeglang, anggaran berbasis kinerja, metode kualitatif, implementasi PENDAHULUAN Dengan telah terbitnya paket undangundang di bidang Pengelolaan Keuangan Negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang- Undang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, merupakan bentuk dalam reformasi di bidang keuangan adalah penerapan anggaran berbasis kinerja sebagai wujud terciptanya transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam pengelolaan anggaran.
193
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
Berlakunya kedua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga memberikan implikasi bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pertanggungjawaban anggarannya lebih efektif dan efisien, hal ini dapat diwujudkan dengan membangun sistem penganggaran yang menghubungkan keterkaitan antara p eren canaan kin erja d engan an ggaran tahunannya, atau sistem penganggaran berbasis kinerja (BPKP 2005). Sementara, Kewajiban untuk menyusun anggaran berbasis kinerja bagi pemerintah daerah dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta perubahannya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penyusunan APBD harus diawali dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Dalam menyusun anggaran berbasis kinerja (ABK), Pemerintah daerah terlebih dahulu harus mempunyai perencanaan stratejik (Renstra) yang mencakup pernyataan visi dan misi, rumusan tentang tujuan dan sasaran, serta uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kemudian diikuti dengan rencana kinerja yang merupakan petunjuk operasional pelaksanaan renstra. Bagian terpenting dari penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah adanya indikator kinerja yang dijadikan dasar atau kriteria penilaian kinerja. Indikator kinerja memberikan penjelasan tentang apa yang akan diukur untuk menentukan apakah tujuan sudah tercapai. Sebelum sistem anggaran berbasis kinerja diperkenalkan, penyusunan anggaran menggunakan pendekatan tradisional dengan
194
menggunakan orientasi input, bukan output. Penyusunan anggaran dengan pendekatan tradisional disebut juga Incremental Budgeting dimana melalui pendekatan ini setiap periode penganggaran berikutnya, jumlah anggaran suatu unit kerja bertambah atau berkurang sesuai dengan kenaikan inflasi atau perubahan harga. Proses penyusunan anggaran dengan pendekatan tradisional mendekatkan kebutuhan anggaran periode berikutnya dengan mengurangi atau menambah jumlah besaran item – item anggaran yang ada dengan berpatokan anggaran periode sebelumnya tanpa kajian mendalam mengenai tingkat kebutuhan pada saat ini, karenanya pendekatan penganggaran ini jauh akan konsep value for money yang terkesan lebih berorientasi pada input daripada output. Pendekatan anggaran berbasis kinerja hadir sebagai suatu konsep yang mengatasi berbagai kelemahan pada angga ran tradisional. Anggaran berbasis kinerja dirancang untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan anggaran belanja publik dengan output dan outcome yang jelas sesuai dengan prioritas dengan tujuan semua anggaran yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Kabupaten Pandeglang secara formal telah diterapkan sejak Tahun 2003, dengan telah dikeluarkannya Perda Kabupaten Pandeglang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pokok – Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, namun dalam pelaksanaannya belumlah sepenuhnya mengadopsi dikarenakan sistem anggaran tradisional/line item budget masih menjadi pola yang sangat mengakar di kalangan birokrasi dimana penerimaan maupun belanja masih direncanakan dengan pendekatan incremental.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Hal lainnya juga penggunaaan analisa standar belanja belum digunakan secara optimal sebagai standar yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam satu tahun anggaran sehingga keadaan di lapangan menjadi menentukan anggaran menjadi subjektif dengan dua atau lebih kegiatan yang sama mendapat alokasi yang berbeda. Harus diakui memang penerapan anggaran berbasis kinerja memang tidaklah mudah.Webb dan Candreva (2009) dalam studi kasusnya terhadap U.S. Navy menemukan bahwa penghambat keberhasilan implementasi penganggaran berbasis kinerja adalah sistem akuntansi yang tidak memadai serta kurangnya pengetahuan mengenai metode akuntansi biaya. Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam p en elitian in i adalah sebagai b erikut : pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pandeglang, apa yang menjadi faktor keberhasilan dalam penerapan anggaran pendapatan dan belanja daerah b erb asis kin erja dan ken dala dalam pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pendeglang. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah mengetahui penerapan TINJAUAN LITERATUR Anggaran berdasarkan makna bahasanya berasal dari kata bougette (perancis) yang berarti tas kecil, atau mencerminkan adanya unsur keterbatasan. Oleh karena keterbatasannya, maka diperlukan alokasi anggaran tersebut sesuai dengan prioritas dan dalam kurun waktu yang ditentukan. Wildavsky (1975) menyatakan bahwa anggaran meliputi rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja; gambaran strategi pemerintah dalam p engalokasian su mb er d aya u ntuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
pembangunan; alat pengendalian; instrumen politik; dan disusun dalam periode tertentu. Anggaran dapat dikatakan merupakan rencana tindakan manajerial dalam mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya, pernyataan senada diungkapkan oleh Sabeni dan Ghozali (1997) yang menyebutkan bahwa Anggaran adalah pedoman bagi segala tindakan yang akan dilaksanakan dan di dalam anggaran disajikan rencana-rencana penerimaan dan pengeluaran dalam satuan rupiah yang disusun menurut klasifikasinya secara sistematis. Dalam organisasi sektor publik adanya anggaran sebagai managerial plan for action sangat penting untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Anggaran adalah suatu rencana yang disusun sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan lembaga, yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter, dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang Menurut Warsito (2005 : 2) dan menurut Mardiasmo (2002:61) anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial.Sedangkan Bastian (2006 : 163) anggaran dapat diinterprestasikan sebagai paket pertanyaan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode yang akan datang. Penerapan Penganggaran Kinerja sendiri berdasarkan (Trisacti Wahyuni, 2006 dalam Bambang Sancoko,2008) dimulai dari Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an diikuti oleh Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Cara yang digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara
195
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
tersebut ternyata berbeda-beda.Amerika Serikat dan beberapa negara mengembangkan perencanaan stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Negara lain seperti Kanada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract) antara menteri dengan instansi di bawahnya. Dalam upaya mengaitkan kinerja dengan anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama anggarannya. Perancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran. Sementara Kanada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen kinerja yang terpisah dengan dokumen anggaran. Australia dapat dikatakan merupakan negara yang terbilang maju dalam penerapan anggaran berbasis kinerja karena telah mengintegrasikan sistem akuntansi dengan sistem penganggarannya dan merestuktrukrisasi keduanya dengan berorientasi kepada outcome. Dalam merencanakan kinerjanya, Australia mengembangkan outcomes outputs approach di mana pemerintah menetapkan prioritas dan platform kebijakannya, yang selanjutnya menjadi rujukan bagi menteri untuk merumuskan outcome dan bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung outcome tersebut. Di Indonesia, untuk pemerintah daerah melalui keputusan Menteri dalam negeri nomor 29 tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Permendagi Nomor 13 Tahun 2006 anggaran pendapatan belanja daerah (ABPD) dalam era otonomi daerah disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistim anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau keluaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam pengelolaan keuangan daerah sejak diterbitkanya PP Nomor 105 tahun 2000 yang
196
dalam pasal 8 dinyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Kemudian, pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa anggaran dengan pendekatan kinerja atau prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari kegiatan dan program termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut. Hal ini menjadikan penganggaran berbasis kinerja menjadi suatu jawaban atas pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas.Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan keuangan daerah, sistem dan prosedur serta kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang piñatausahaan, akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 Pasal 20 (1) menjelaskan bahwa APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja haruslah memuat hal – hal berikut :Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; dan bagian Pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
serta belanja modal/pembangunan. Pada ayat berikutnya, dalam rangka melakukan pengukuran terhadap anggaran berbasis kinerja tersebut harus dikembangkan standar analisis belanja (SAB) yaitu Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap kegiatan, tolok ukur kinerja yaitu ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit organisasi perangkat daerah dan standar biaya yaitu harga satuan unit biaya yang berlaku bagi tiap-tiap daerah. Hal yang diperkuat dalam petunjuk teknisnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 93 ayat 1 menjelaskan bahwa anggaran berbasis kinerja haruslah memperhatikan Indikator Kinerja, Capaian target kinerja, Standar analisis belanja, Standar satuan harga dan Standar pelayanan minimal. Indikator Kinerja sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2008 tentang pedoman evaluasi Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif yang terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan. Setelah indikator kinerja ditentukan, mulailah disusun target kinerja untuk setiap indikator kinerja yang telah ditentukan.Target kinerja adalah tingkat kinerja yang diharapkan dicapai terhadap suatu indikator kinerja dalam satu tahun anggaran tertentu dan jumlah pendanaan yang telah ditetapkan. Target kinerja harus mempertimbangkan sumber daya yang ada dan juga kendalakendala yang mungkin timbul dalam pelaksanaannya. Analisa Standar Belanja (ASB) merupakan salah satu instrumen anggaran kinerja untuk menilai kewajaran besaran anggaran suatu kegiatan dengan beban kerjanya.Standar biaya adalah harga
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
satuan unit biaya yang berlaku. Penerapan standar biaya ini membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau kegiatan bagi setiap satuan kerja perangkat daerah yang ada agar kebutuhan atas suatu kegiatan yang sama tidak berbeda biayanya. Berdasarkan Petunjuk teknis Penyusunan standar biaya khusus yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, standar biaya adalah satuan biaya atau harga tertinggi dari suatu barang dan jasa baik secara mandiri maupun gabungan yang diperlukan untuk memperoleh keluaran tertentu dalam rangka penyusunan anggaran berbasis kinerja. Terakhir, Standar Pelayanan Minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan pencapaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ditegaskan bahwa SPM berisi ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh masyarakat secara minimal. METODE PENELITIAN Ditinjau dari tujuannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan, yaitu untuk menerapkan, menguji dan mengevaluasi kemampuan teori yang diterapkan dalam memecahkan masalahmasalah praktis (Sugiyono, 2001). Penelitian d ilaksan akan Pemerintah Kabup aten Pandeglang, Provinsi Banten. Data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder.Data sekunder dikeluarkan oleh dinas/intansi terkait yang ada di Kabupaten pandeglang, visi, misi, struktur organisasi, sumberdaya manusia, kondisi sarana dan prasarana, serta gambaran perencanaan dan penganggaran.Data pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Pandeglang khususnya perencanaan dan penganggaran yang
197
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
meliputi, Rencana Kerja Jangka Panjang (RPJP), Rencana Kerja Jangka Menengah (RPJM), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Standar Pelayanan Minimal (SPM), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA). Untuk data-data yang tidak didapatkan dalam data sekunder, maka dikumpulkan data primer melalui metode wawancara dengan beberapa informan untuk hal-hal yang dianggap perlu.Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah orang-orang yang dianggap memiliki informasi kunci (key informan) yang dibutuhkan di wilayah penelitian. Adapun yang menjadi key informan dalam penelitian ini adalah diupayakan adalah pejabat atau pegawai yang berperan dalam proses penganggaran. Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis dengan pendekatan analisis interpretif, artinya memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan informasi hasil dari wawancara/diskusi berdasarkan peraturan yang berlaku atau teori-teori yang dikembangkan dalam kajian.Sedangkan datadata sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber dianalisis dan digunakan sebagai data pendukung. Dalam melakukan analisis interpretif ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant maupun hasil pengamatan serta dari sumbersumber lain. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu bagian wilayah administratif Provinsi Banten, dengan Ibukotanya adalah Pandeglang memiliki luas wilayah 2.747 Km2 (274.689,91 ha) atau sebesar 29,98% dari luas Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang yang berada di Bagian Ujung Barat dari Propinsi Banten secara administrative berbatasan dengan Kabupaten Serang di sebelah utara,
198
Kabupaten Lebak di sebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah Selatan dan Selat Sunda di sebelah barat. Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan dan peluang yang ada di Kabupaten Pandeglang serta mempertimbangkan budaya yang hidup dalam masyarakat, maka visi Pemerintah Daerah pada tahun 2011-2016 ditetapkan adalah : ”Kabupaten Pandeglang sebagai daerah mandiri dan berkembang di bidang agribisnis dan pariwisata berbasis pembangunan perdesaan”. Untuk mendukung pencapaian visi tersebut, Kabupaten Pandeglang telah menyusun struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Pandeglang.Organisasi perangkat daerah tersebut disusun sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Pandeglang yang spesifik.Sehingga sesuai dengan kebutuhan daerah dan diharapkan mampu melaksanakan tugas dengan baik dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat Pandeglang. Dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanannya, saat ini pemerintah Kabupaten Pandeglang didukung oleh pegawai yang seluruhnya berjumlah 13.916 orang (data per Juni 2011). Dari total jumlah itu, 7.690 orang (55,26%) berjenis kelamin laki-laki dan 6.226 orang (44,74%) berjenis kelamin wanita. Apabila dilihat dari golongannya, mayoritas pegawai Kabupaten Pandeglang berada di golongan III, yaitu sebanyak 4.727 orang (33,97%). Selanjutnya yang berada di golongan II sebanyak 4.535 orang (32,59%), golongan IV sebanyak 4.348 orang (31,24%) dan yang paling sedikit ada di golongan I, yaitu sebanyak 308 orang (2,2%). Untuk Gambaran pengelolaan keuangan, pada dasarnya Kabupaten Pandeglang telah mengelola berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
diantaranya Undang – undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta peraturan perundang – undangan lain yang terkait. Secara spesifik pengelolaah keuangan daerah Kabupaten Pandeglang di atur dalam Peraturan Darah Kabupaten Pandeglang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pokok – Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah. Sementara untuk penyusunan dan penetapan perencanaan penganggaran, Pemerintah Kabupaten Pandeglang seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No. 7 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah dimulai dari Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJPD Kabupaten yang akan menjadi bahan utama pelaksanaan Musrenbang Jangka Panjang Daerah dengan mengacu kepada RPJP Provinsi Banten dan RPJP Nasional dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Propinsi Banten dan RTRW Kabupaten. Berpedoman RPJPD Kabupaten tersebut dan dengan memperhatikan RPJM Nasional dan RPJMD Provinsi Kepala Bappeda selanjutnya menyiapkan rancangan awal RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra SKPD yang dipersiapkan oleh Kepala SKPD.Rancangan RPJMD tersebut selanjutnya menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah Daerah yang hasilnya menjadi rancangan akhir RPJMD.Selanjutnya, setelah ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati disusun Renstra – SKPD dengan ditetapkan dengan Peraturan Kepala SKPD setelah diverifikasi BAPPEDA.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Renstra – SKPD kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yaitu dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun yang nantinya bersama Renstra – SKPD menjadi acuan bagi rencana kerja (Renja) SKPD.Setelah disahkan oleh Bupati, Renja – SKPD selanjutnya ditetapkan menjadi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD yang merupakan dokumen perencanaan dan anggaran yang berisi rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBN). Dengan terlebih dahulu melalui pembahasan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Kepala Bappeda menyusun Rancangan Kebijakan Umum APBN (KUA) dan rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan RKPD. Setelah disahkan oleh Bupati Pandeglang, kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan oleh TAPD dan Badan Anggaran DPRD sebelum menjadi KUA dan PPAS yang menjadi pedoman penyusunan RAPBN. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data wawancara, data dokumentasi dan observasi langsung yang diperoleh dilakukan untuk mengetahui pemahaman pegawai mengenai pengganggaran berbasis kinerja. Dapat diketahui bahwa Secara umum pegawai pada Pemerintah Kabupaten Pandeglang sudah mengerti makna Penganggaran Berbasis Kinerja.Pemerintah Kabupaten Pandeglang telah melakukan sosialisasi peraturan tersebut dengan berbentuk diklat atau lainnya bagi pegawai – pegawai yang berhubungan langsung dengan perencanaan dan keuangan. Pemerintah Kabupaten Pandeglang menyadari pentingnya sosialisasi sebagai transfer of knowledge, dengan mengikutkan pegawai dalam pendidikan dan
199
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
pelatihan diharapkan juga pegawai tersebut dapat memahami sekaligus dapat mengaplikasikan penyusunan anggaran berbasis kinerja pada instansinya atau Satuan Kerja Perangkat Daerah-nya. Terkait dengan Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus tentang penerapan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Kabupaten Pandeglang sendiri telah mempunyai Peraturan Daerah tersebut dimulai dari Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No. 15 Tahun 2003 tentang Pokok – Pokok Keuangan Daerah terutama Pasal 27 ayat (1) bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan dan bagian pendapatan APBD yang membiayai administrasi Umum, belanja operasi, sarana dan prasarana dan belanja modal. Hal ini menandakan berdasarkan peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten Pandeglang telah melaksanakan anggaran berbasis kinerja pada pengelolaaan keuangan daerahnya. Terakhir Peraturan Daerah tersebut, mengalami perubahan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No 10 Tahun 2007 juga tentang Pokok – Pokok Keuangan Daerah. Penyusunan APBD di lingkup Kabupaten Pandeglang telah diarahkan kepada pencapaian anggaran berbasis kinerja.Namun demikian, ternyata belum seluruh sistem mendukung pencapaian tersebut. Minimnya pegawai berbasis pendidikan akuntansi di Kabupaten Pandeglang dirasakan sebagai salah satu kendala dalam proses pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Hal ini kiranya menjadi salah satu pertimbangan dalam rekrutmen PNS di masa mendatang. Kendatipun demikian, pengelola kepegawaian tidak menyerah dengan kondisi
200
yang terjadi. Dalam berbagai kesempatan, BKD berupaya mengirimkan dan mengikutsertakan para pegawai dalam kegiatan diklat/bimbingan teknis terkait dengan pengelolaan keuangan daerah c.q penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Seperti, mengenai peraturan penyusunan Renstra, sebagaimana prinsip anggaran berbasis kinerja yang berorientasi pada hasil. Pemerintah Kabupaten Pandeglang melalui Bappeda senantiasa melaksanakan bimbingan teknis penyusunan rencana strategis satuan kerja perangkat daerah, diharapkan melalui bimtek tersebut membantu penyusunan renstra SKPD yang selaras dengan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan Kabupaten Pandeglang yang ditetapkan dalam RPJMD. Tuntutan akan kompetensi pengelolaan keuangan daerah khususnya dalam hal penyusunan APBD sangat tinggi, mengingat demikian pentingnya peran APBD dalam pembangunan daerah. Ibarat kendaraan bermotor, APBD merupakan bahan bakar yang menggerakkan kendaraan tersebut sehingga dapat melaju mencapai tujuannya (destination). Begitu pun APBD, ia menggerakkan program dan kegiatan sehingga dapat terlaksana dan terwujud apa yang menjadi tujuan dan sasarannya. Implementasi anggaran berbasis kinerja di daerah termasuk di Kabupaten Pandeglang memang belum dapat dikatakan berhasil, namun upaya-upaya dan dukungan ke arah sana senantiasa menjadi milestone Pemkab Pandeglang dengan telah berupaya maksimal untuk mewujudkan prinsip-prinsip ABK sesuai dengan kemampuan dan sarana pendukung yang tersedia. Setiap hal besar selalu diawali dari sesuatu yang kecil, dan hal itulah yang sedang dan terus dilakukan oleh Pemkab Pandeglang belakangan ini.Hal kecil itu
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
misalnya ditunjukkan melalui penyusunan indikator kinerja. Indikator Kinerja ditetapkan sebagai acuan ukuran kinerja yang dipergunakan oleh Pemerintah Kabupaten dan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Daerah. Indikator Kinerja digunakan sebagai dasar dalam menetapkan Rencana Kinerja Tahunan, menyusun Rencana Kerja dan Anggaran, menyusun dokumen Penetapan Kinerja, menyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) serta melakukan evaluasi penyampaian kinerja sesuai dengan dokumen Rencana Pembangunan. Sementara, dengan standar biaya satuan, Pemerintah Kabupaten Pandeglang juga telah mengembangkan Standarisasi Harga Barang dan jasa Kabupaten Pandeglang untuk satu tahun anggaran, untuk empat kategori yaitu : (1) Standar harga sarana kerja; (2) Standar harga jasa; (3)Standar harga konstruksi dan (4) Standar bahan konstruksi. Standar harga tersebut telah dimanfaatkan oleh SKPD sebagai acuan dalam menentukan besarnya anggaran yang akan diajukan dalam rencana anggaran satuan kerja. Selanjutnya, standar harga tersebut menjadi faktor pengali untuk sejumlah sumber daya masukan yang akan dimanfaatkan dalam melaksanakan kegiatan. Namun memang, hambatan atau kendala masih terjadi, salah satunya kendala dalam hal penyusunan standar satuan harga.Penyusunan standar satuan harga masih menjadi polemik karena terdapat perbedaan antara harga yang ada di Kota Pandeglang sendiri dengan tempat yang lokasinya jauh dari Kota atau terpencil misalnya saja harga semen pasti akan berbeda jauh antara daerah yang dapat dijangkau dengan yang terpencil dan tidak dapat dijangkau . Kendala pelaksanaan anggaran berbasis kinerja juga dapat terjadi disebabkan kendala teknis operasional dalam penyusunan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
analisis standard biaya yang tepat. Hal ini yang mungkin disebabkan dengan kondisi geografis yang ada. Penyusunan rencana anggaran satuan kerja (RASK) atau rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD) harus berpedoman pada hasil proses kalkulasi biaya (cost accounting process). Proses kalkulasi biaya secara utuh memerlukan beberapa data masukan berupa jumlah sumber daya langsung dan tidak langsung yang akan dimanfaatkan dalam proses pelaksanaan kegiatan yang diperoleh dari standar operating procedure (SOP) dan data mengenai standar biaya/harga yang berlaku untuk masing – masing sumber daya yang dibutuhkan. Dari hasil kalkulasi biaya tersebut diperoleh rincian biaya tetap dan biaya variable atas setiap jenis keluaran dari suatu kegiatan. Rincian biaya variable dan biaya tetap hasil proses kalkulasi biaya akan digunakan oleh SKPD untuk menentukan harga per unit satuan keluaran/kegiatan (unit cost) sebagai dasar dari perhitungan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang telah ditargetkan dalam Renja – SKPD. Pemerintah Kabupaten Pandeglang sendiri telah mengembangkan standar analisis belanja walaupun sampai saat pelaksanaan penelitian ini belum memiliki SOP. Namun demikian, implementasi di lapangan masih terkendala oleh sering minimnya data yang tersedia sehingga menghambat melakukan pemisahan antara biaya tetap dengan biaya variable. Untungnya beberapa pemerintah daerah maju seperti Provinsi Yogyakarta telah menerbitkan Perda tentang Analisis Standar Biaya sehingga dapat menjadi patok banding atau benchmark bagi daerah lainnya termasuk Pandeglang. Akan tetapi, ternyata dalam pelaksanaannya tidaklah sesederhana itu. Setiap daerah memiliki dinamika -
201
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
problematika yang berbeda satu dengan lainnya.
satuan kerja (RASK)/rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD).
Kemudian, Pemerintah Kabupaten Pandeglang, sampai dengan saat pelaksanaan penelitian ini, belum memiliki peraturan perundangan mengenai penetapan standar pelayanan minimal (SPM) yang merupakan acuan kualitas pelayanan jasa dan penyediaan barang public serta akuntabilitas public. Kebijakan ini berdampak kepada belum disusunnya Standar Operating Procedure (SOP) untuk setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Pengukuran kinerja akan lebih mudah dilakukan jika standar pelayanannya tersedia. Sehingga SPM baik untuk urusan wajib maupun urusan pilihan perlu disusun. Ada anggapan bahwa untuk SPM urusan pilihan tidaklah diperlukan seperti halnya urusan wajib, dikarenakan tidak langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Urusan pilihan pada dasarnya merupakan urusan kewenangan daerah yang didasarkan kekhasan daerah berpotensi juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terakhir, walaupun penyusunan ABK pada prinsipnya sederhana, pada tataran teknis tidak banyak staf di kabupaten yang memahami secara mendalam proses dan mekanisme pelaksanaannya. Hal ini antara lain disebabkan banyaknya perubahan peraturan yang terkait dengan penerapan ABK dalam beberapa tahun terakhir, serta kesulitan untuk memahami peraturan pelaksanaan tentang ABK yang berlakusaat ini. Berubah – ubahnya peraturan menjadikan sosialisasi yang akan dilaksanakan akan tersendat, sehingga dampaknya pelaksana hanya mendapatkan informasi yang minim terkait pelaksanaan anggaran berbasis kinerja tersebut. Hal ini juga mengindikasikan kurangnya koordinasi yang dilakukan pemerintah pusat sehingga seringkali aturan yang dibuat pemerintah pusat tidak berlandaskan kepada masukan dari pemerintah daerah.
Lebih lanjut, Penyusunan anggaran harus memenuhi tahapan prosedur penganggaran yang terdiri dari penyusunan standar pelayanan minimal (SPM) yang kemudian dijabarkan dalam bentuk standar operating procedure (SOP), penerapan tolok ukur kinerja yang dihasilkan dari suatu sistem pengukuran kinerja yang handal, penetapan standar biaya/standar harga sebagai patokan harga satuan sumber daya yang akan dimanfaatkan dan standar analisa belanja yang dapat mengambarkan biaya langsung dan biaya tidak langsung yang akan dianggarkan untuk setiap keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Setelah tahapan tersebut terpenuhi maka pemerintah daerah dapat menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja (RAPBD) yang dimulai dari penyusunan rencana anggaran
202
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pandeglang telah berjalan dengan baik, dimulai sejak tahun 2003 dengan dikeluarkannya peraturan daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pokok – Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menyatakan bahwa pengelolaan anggaran didasarkan kepada prestasi kerja. Penerapan pengganggaran berbasis kinerja juga terbilang sangat memadai dimana penyusunan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah juga telah mengacu kepada teori dan ketentuan peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan penyusunan anggaran berbasis kinerja seperti telah tersusun Rencana Kinerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja – SKPD), telah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
mengembangkan sistem pengukuran kinerja dan analisis standar belanja. Walaupun sampai dengan saat pelaksanaan penelitian ini, belum memiliki peraturan perundangan mengenai penetapan standar pelayanan minimal (SPM). Dari pembahasan juga diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang masih mengalami permasalah terkait implementasi ASB tersebut, dimana kemungkinan data yang masih belum memadai sehingga pengolahan data terkait ASB belum dapat sesuai dengan yang diharapkan. Faktor keberhasilan implementasi anggaran berbasis kinerja pada Kabupaten Pandeglang tentunya adalah Komitmen Pimpinan yang senantiasa mendukung pelaksanaan anggaran berbasis kinerja ini terbukti dengan telah keluarnya atau disahkannya peraturan – peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah yang mengatur tentang anggaran berbasis kinerja ini. Pimpinan juga selalu membuka kesempatan kepada bawahan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait dengan anggaran berbasis kinerja ini. Selain itu, Sosialisasi yang berkesinambungan terhadap peraturan – peraturan yang terkait dengan anggaran berbasis kinerja juga menjadi faktor keberhasilan. Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan sumber daya manusia yang tangguh dalam pelaksanaannya. Namun demikian, sumber daya manusia di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pandeglang belum seluruhnya memiliki kompetensi yang memadai. Kompetensi SDM merupakan kunci penting keberhasilan penerapan dan pengembangan anggaran berbasis kinerja. Dari kesimpulan hasil kajian tersebut, dapat direkomendasikan hal – hal sebagai berikut :
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
1.
2.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang segera menetapkan dan mengembangkan standar pelayanan minimal yang mampu memberikan acuan dalam menentukan jaminan kualitas pelayanan kepada stakeholders, serta menjabarkan standar pelayanan minimal (SPM) tersebut kedalam standar operating procedure (SOP) sehingga dapat memberikan acuan kuantitas dan kualitas sumber daya input yang dibutuhkan oleh satuan kerja perangkat daerah dalam menghasilkan suatu keluaran atau melaksanakan suatu kegiatan Pemerintah Kabupaten Pandeglang dapat mengambil kebijakan yang mampu meningkatkan kompetensi sumber daya manusia secara merata di setiap SKPD terutama yang berhubungan dengan penerapan anggaran berbasis kinerja.
DAFTAR PUSTAKA APKASI, GTZ, and PSEKP UGM. "Penyusunan Analisis Standar Belanja, Pengalaman Praktis di Pemerintah Daerah." 2009. Bamban g Sup rasto H. "Pelu an g d an Tantangan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja." BULETIN STUDI EKONOMI, 2006. Bastian, Indra, and Soepriyanto. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat, 2002. BPKP. "Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi)." 2005. BPPK. Kajian terhadap Penerapan penganggaran berbasis Kinerja di Indonesia. Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2008. Departemen Keuangan. "Modul Overview Keuangan Negara." 2008. Departemen Keuangan, Bappenas. Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). Jakarta, 2009. Due, John Fitzgerald. Government finance and economic analysis . 2000.
203
Penyusunan Sistem Anggaran Berbasi Kinerja Pada Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Pujiatmo Subarkah
Kartiwa, H.A. "Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Arah Kebijakan Umum." n.d. Mardiasmo. Akuntansi Sektot Publik. Andi: Yogyakarta, 2004. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, 2004.
204
Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi . Bandung: CV Alfabeta, 2003. Wildavsky, Aaron. The Politics of the Budgetary Process. Boston: Little, Brown, 1985.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
LAUTAN DALAM PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI : PERGESERAN PARADIGMA MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LOKAL BERBASIS KELAUTAN Oleh: Meita Ahadiyati Kartikaningsih Mahasiswa Pascasarjana Bidang Kebijakan Publik Universitas Brunei Darussalam, Fakultas Bisnis, Ekonomi dan Studi Kebijakan e-mail :
[email protected]
Abstract Local government has an important role to optimize the potential of marine regions, as this has been among decentralized affairs. However, with the drawback in the decentralization policies and capacity issues of local goverments in carrying out business in the maritime field, the vast potential of the oceans have not become a basis for increasing social welfare. Moreover, local government policies tend to be oriented to promote local own revenue and the scope of activities need to be diversified beyond fishery economy. With the dimishing resources in the mainland, sea potential can be a beacon of hope for development, especially in the regions. However, to ‘shift’ the development paradigm towards the development of marine, strong commitment of the government is required. This paper attempts to offer a variety of ideas that can be taken from perspective of local government to optimize the utilization of potential of marine for the welfare of society within the principles of blue economy. Keywords : Desentralization, Maritime, Local Welfare, Blue Economy Intisari Selama ini lautan cenderung belum menjadi basis peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu urusan yang didesentralisasikan, pemerintah daerah memiliki peran penting untuk mengoptimalkan potensi bahari di daerahnya. Namun dengan adanya kelemahan dalam kebijakan desentralisasi dan permasalahan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan di bidang kelautan ini, lautan belum menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerintah daerah pun cenderung masih mengedepankan peningkatan PAD dan berfokus pada aktivitas perikanan. Dengan semakin menipisnya sumber daya yang terdapat di daratan, potensi laut menjadi tumpuan harapan bagi pembangunan, khususnya di daerah. Namun hal ini membutuhkan komitmen untuk ‘menggeser’ paradigm pembangunan menuju pembangunan berbasis kelautan. Tulisan ini mencoba mendorong paradigm kelautan dan berbagai gagasan yang dapat ditemput dari perspektif pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
205
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
potensi kelautan bagi kesejahteraan masyarakat melalui penerapan prinsip-prinsip ekonomi biru (blue economy). Katakunci : Desentralisasi, Kelautan, Kesejahteraan masyarakat lokal
PENGANTAR Lautan menjanjikan keunggulan komparatif bagi Indonesia sebagai negara maritime yang tidak dimiliki negara lain. Bangsa Indonesia seja tiny a Negara kepulauan, dengan lautan yang dimiliki dan potensinya yang luar biasa banyak hal yang dapat dilakukan selain bertumpu pada produksi perikanan dan hasil-hasil lautan. Indonesia memiliki keunggulan geoekonomi yang tidak dimiliki Negara lain. Namun alihalih mengoptimalkan keuntungan dari karunia-Nya atas lautan tersebut, ada k e c e n de r u n g a n b a n g s a i n i l e b i h menganggap kondisi geografis ini sebagai penghambat kemajuan pembangunan. Hal ini tercermin dari kebijakan pemerintah yang cenderung lebih berbasis pada daratan, dan ‘membe la kangi’ lautan (Djamil, 2004). Kesadaran akan pentingnya lautan bukan hal yang baru. Namun dalam kenyataannya, selama ini lautan cenderung masih dipandang sebagai penghalang dan belum menjadi basis peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu urusan pilihan, yang menyesuaikan dengan keberadaan laut dalam area suatu daerah, bidang kelautan sesungguhnya merupakan urusan pemerintah yang potensial memberikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal. Pemerintah Pusat sudah menyerahkan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sesuai potensi lokal dan aspirasi masyarakatnya. 206
Sehingga pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengoptimalkan potensi kelautan. Pemerintah Pusat pun s e m e s t i n y a m e m be r i k a n d u k u n g a n kebijakan yang tepat. Namun, apa yang terealisasi tampaknya masih jauh dari harapan. Tulisan ini mencoba mengulas berbagai kelemahan cara pandang tentang lautan dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dan mencoba mendorong pergeseran menuju paradigma berbasis kelautan. Di samping itu, tulisan ini m e n j a w a b be b e r a p a p e r t a n y aa n , diantaranya adalah (i) bagaimana format penguatan desentralisasi penyelenggaraan urusan di bidang kelautan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat? (ii) Bagaimana strategi optimalisasi potensi kelautan dalam mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat lokal. IRONI PEMBANGUNAN NEGARA MARITIM DALAM PROSES DESENTRALISASI Dalam lebih dari satu dekade p e n y e le n g g a r a a n o t o no m i d a e r a h , ‘kelebihan’ bangsa Indonesia dengan lautnya belum mendapat perhatian yang baik. Bahkan, cenderung menampilkan ironi yang cukup memprihatinkan. Pembangunan sangat berpusat pada potensi daratan dan hal ini ada berbagai implikasinya. Salah satu implikasi dari hal ini adalah kecenderungan terus berkurangnya luas hutan bagi kegiatan ekonomi. Meski diupayakan bahwa pembangunan tetap JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
mempertimbangkan sustainabilitas dengan memperhatikan aspek lingkungan (Green economy), namun dampak negatif dari pembangunan yang terlalu berfokus pada daratan sangat dirasakan. Paradigma ekonomi berbasis kelautan , di sisi lain belum terimplementasi dengan baik. Aktivitas ekonomi yang berbasis lautan ini sebetulnya mampu meminimalisir dampak lingkungan. Selain itu, dengan menipisnya sumber daya alam di daratan, sumber daya alam laut menjadi tumpuan harapan bagi pembangunan ekonomi daerah, dan nasional pada umumnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di berbagai daerah yang memiliki wilayah laut juga memperlihatkan kondisi yang kurang menggembirakan. Sebagian besar daerah yang berpotensi kelautan memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Lebih-lebih pada kawasan pesisir, perkampungan nelayan yang kumuh adalah kondisi yang lazim dijumpai di area semacam itu. Memang kondisi pelayanan publik di daerah yang memiliki wilayah lautan justru memperlihatkan kecenderungan yang memprihatinkan. Pembangunan fisik dan prasarana jauh tertinggal. Banyak terjadi adanya ketimpangan yang besar antara pulau-pulau hinterland dan daratan di sekitarnya1. Kondisi pelayanan publik di pulau-pulau terluar juga menghadapi masalah yang kompleks. Pada umumnya, pulau-pulau terluar dihuni penduduk dengan jumlah yang lebih sedikit. Akibatnya pembangunan sarana dan prasarana pun dapat mengalami dilema antara efisiensi dalam penyediaan layanan dan skala
pelayanan yang terbatas. Di sisi lain adanya keterbatasan dana menyebabkan prioritas lebih diarahkan pada wilayah yang membutuhkan lebih banyak layanan karena jumlah penduduk yang lebih banyak. Sebagai contoh yang terjadi di kepulauan Natuna. Sementara dukungan dari Pusat untuk meningkatkan layanan di wilayahwilayah ini seringkali kurang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat (lihat, Kartikaningsih (2009). Keterbatasa n infrastruktur perhubungan berimplikasi pada sulitnya akses pada sejumlah daerah u n t u k m e n u j u k e l au t . H a l i n i mengakibatkan biaya yang tinggi untuk menjangkau area tersebut sehingga dapat menghambat aktivitas ekonomi dan mengurangi daya tarik wisata. P e m b a n g u n a n p r a s a r an a f i s i k kelautan juga disebut-sebut oleh banyak pihak masih mengedepankan paradigma d a r a t a n . H a l i n i d i t an d a i d e n g a n pembangunan jembatan antara Surabaya dan Madura, serta rencana pembangunan jembatan di Selat Sunda yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatra. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis yang dikelilingi lautan, juga mempunyai tantangan tersendiri. Kondisi cuaca menyebabkan sulitnya transportasi yang berimbas pada berbagai aktivitas ekonomi dan pelayanan publik. Hal lain yang perlu mendapat perhatian penting adalah kenyataan bahwa Indonesia berada pada area yang rawan bencana. Kawasan pesisir, merupakan area yang banyak mengalami bencana, baik tsunami, gempa bumi, angin, dan sebagainya. Namun kesiapan untuk menghadapi hal ini masih belum optimal.
1
Syamsul Bahrum, Indigenous People in a Dependant Economy, 2008
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
207
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
Fenomena yang marak dijumpai, khususnya pada awal diberlakukannya otonomi daerah adalah eksploitasi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup. Salah satu kasusnya adalah penambangan pasir pantai yang k e m u d i a n me n y e b a b k a n k e r u s a k a n lingkungan, misalnya terjadi pada Pulau Nipah yang ‘hampir’ tenggelam. Sejumlah konflik kewenangan terjadi dalam pengelolaan kepelabuhan. Konflik terjadi antara sejumlah daerah seperti Kota Cilegon, Kabupaten Gresik, Kabupaten Cilacap, dan berbagai daerah lainnya dengan Pemerintah. Sejumlah pemerintah daerah tersebut menerbitkan kebijakan pengelolaan k e pe l a bu h a n yang ‘bertabrakan’ dengan kebijakan Pusat. Terdapat kecenderungan dari upaya yang ditempuh ini pada penguasaan sumbersumber ekonomi di daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (lihat Fernanda, 2004). Selain itu banyak dijumpai konflik di bidang kelautan, yang menyangkut penguasaan sumber daya. Konflik bisa terjadi baik antar masyarakat dengan pemerintah, maupun antara masyarakat dengan dengan swasta. Salah satunya seperti yang terjadi antara masyarakat petani lahan pantai dan pemerintah daerah serta perusahaan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon progo. Konflik antar nelayan dari provinsi maupun kabupaten/ kota yang berbeda pun dapat dijumpai. Isu lain adalah adanya tumpang t i n d i h a n t a r p e m e r i nt a h a n d a l a m pengelolaan wilayah laut. Antara lain antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam mengelola wilayah perbatasan, khususnya 208
yang memiliki lautan. Dengan posisinya yang strategis sebagai pintu depan negara, maka Pemerintah Pusat memiliki peran yang penting dalam pengelolaannyannya. Di sisi lain, pemerintah daerah juga memiliki peran, khususnya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat yang ada di wilayah tersebut dan masalah-masalah yang dihadapi. Sayangnya, upaya yang ditempuh tidak jarang tumpang tindih. Jika tidak, maka yang dijumpai justru adanya keterabaian yang diakibatkan oleh ‘saling lempar’ tanggung jawab. Misalnya saja yang terjadi di wilayah perbatasan di Kepulauan Riau (lihat, Kartikaningsih (2009). Masalah tumpang tindih atau ketidak sinergisan kebijakan pemerintah juga dapat ditemui dalam penataan ruang. Kebijakan penataaan ruang nasional tidak bisa diterapkan hanya sebagai kumpulan kebijakan penataan ruang daerah, namun kebijakan ini menghendaki adanya koherensi kebijakan-kebijakan tersebut. Di samping itu, perlu pula memperhatikan kebijakan penataan ruang lainnya yang terkait, seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-. Pulau Kecil. Namun pada prakteknya ini bukan hal yang mudah. Sehingga masalah yang ada pun berimplikasi pada upaya pengelolaan laut di daerah. Ada pula permasalahan yang timbul di antara pemerintah daerah dan Kementrian Kelautan dan Perikanan, khususnya dengan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan pelabuhan perikanan, seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Perum Prasarana Perikanan Samudera. Permasalahan tersebut antara lain tumpang tindih terkait Tambat Labuh
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
maupun Pengelolaan aset-aset UPT Pelabuhan Perikanan. Kasus lain adalah terbitnya sejumlah Peraturan Daerah yang terkait Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). Pemberian HP3 ini dapat mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sementara bagi masyarakat nelayan tradisional, HP3 ini mengancam tersingkirnya mereka yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir. Namun pemerintah daerah tidak sepenuhnya salah dalam hal ini jika merujuk pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang membolehkan hal t e r s e b u t . H P3 s i f a t ny a m e m be r i kesempatan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Ini dapat mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Untungnya, kemudian sidang putusan uji materi UU Nomor 27/2007 yang digelar di Gedung MK menyatakan bahwa hak penguasahaan perairan pesisir (HP3) dinyatakan inkonstitusional, sehingga perda-perda yang berhubungan dengan HP3 mesti dibatalkan atau direvisi. Tercatat setidaknya ada 33 perda yang berkenaan dengan HP3 tersebut. Adanya HP3 tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kurang berpihak pada masyarakat kecil. Dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan k e l a u t a n , t e r d a p a t be n t u k - b e n t u k penguasaan sumberdaya oleh pihak yang JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
kuat yang pada akhirnya membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir di satu sisi dan pengelolaan tradisional. Meskipun telah dinyatakan inkonstitutional, namun masih ada kebijakan pemerintah daerah yang menyebutkan tentang HP3 ini. Sebagai contoh dalam Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 yang masih memuat klausul mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (tercantum di dalam Pasal 180). Sehingga perda ini pun menuai gugatan dari masyarakat. LAUTAN DALAM KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DI INDONESIA Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 18 menegaskan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selanjutnya kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dapat meliputi: a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan h u k u m t e r h a da p p e r a t u r a n y a n g dikeluarkan oleh daerah atau yang d i l i m p a h k a n k e w e na ng a n n y a o l e h Pemerintah. Kebijakan desentralisasi m e m u n g k i n k a n k e be r a d a a n D i n a s Perikanan dan Kelautan di daerah kabupaten/kota untuk tidak lagi mengandalkan kebijakan pemerintah provinsi dan Pusat. Sehingga paradigma pembangunan kelautan dan perikanan tidak 209
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
lagi bersifat top-down, daerah lebih memiliki keleluasaan untuk mengelola potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Namun sayangnya kewenangan ini belum didukung dengan kebijakan yang sesuai terkait pendanaannya. Dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal, perimbangan keuangan antara Pusat dan daerah kurang mengakomodir masalah kelautan. Perhitungan dana alokasi umum berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai dana perimbangan salah satunya adalah menggunakan variabel luas wilayah, disamping gaji pegawai negeri sipil daerah, jumlah penduduk, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan produk domestik regional bruto per kapita. Adapun variabel luas wilayah dalam perhitungan dana alokasi umum berdasarkan PP Dana Perimbangan hanya mengacu pada luas wilayah darat dan tidak memperhitungkan luas wilayah laut2. Hal ini juga dapat dilihat pada penjelasan PP 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, dimana pada Pasal 40 ayat (3) dijelaksan bahwa luas wilayah yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan DAU adalah luas wilayah daratan. Padahal untuk mengelola daerah yang memiliki laut diperlukan biaya dan tenaga yang lebih, karena kondisi geografisnya. Se me nta r a D A K me sk i se car a normatif ditujukan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah di bidang kelautan dan perikanan didaerah belum me nj a min te r pe nuhiny a k e butuhan 2
Salah satu buktinya terkuak dalam penelitian Andri Widianto tentang Perhitungan Dana Alokasi Umum Bagi Pengelolaan Sumber Daya Laut di Kabupaten Sumenep)
210
pendanaan tersbeut. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pun wajib menyediakan dana pendamping dari sumber anggaran pendapatan dan belanja daerah sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari besaran alokasi DAK bidang kelautan dan perikanan. Rencana kegiatan DAK bidang kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten/kota harus disesuaikan dengan prioritas nasional di bidang kelautan dan perikanan. Banyak dijumpai pemanfaatan DAK ini justru kurang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan masyarakat. Salah satu kelemahan lain penataan pengelolaan wilayah laut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang masih menjadi sorotan adalah pada pasal 3 dan 10 (c) yang menyatakan bahwa pengelolaan wilayah laut sejauh empat mil laut dikelola pemerintah kabupaten/ kota pesisir, sementara wilayah laut sejauh 12 mil dikelola pemerintah provinsi. Pembagian ini terlihat sebagai ‘pengkaplingan’ wilayah dan menyebabkan laut terbagi-bagi sesuai jumlah kabupaten/kota di pesisir maupun provinsi yang ada. Namun pada kenyataannya laut tidak mempunyai garis batas yang kasat mata, hanya dapat terlihat pada peta. Oleh karenanya pembagian wilayah kewenangan ini mestinya tidak dipahami sebagai pembagian kepemilikan atas wilayah perairan laut dalam jarak yang telah disebutkan di atas, namun ada implikasi pada pembagian otoritas dalam pengelolaan urusan di bidang kelautan dan perikanan. Akan tetapi, pembagian kewenangan berdasarkan jarak ini, pada prakteknya kurang efektif akibat kondisi ekologis lautan yang sulit terbagi-bagi seperti layaknya daratan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Beberapa kelemahan di atas mengindikasikan bahwa penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia masih berparadigma daratan. Sementara terkait dengan pembagian urusan, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, telah diatur pembagian urusan pemerintahan bidang kelautan dan perikanan. Urusan yang diatur terdiri dari sub bidang kelautan, umum, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, penyuluhan dan pendidikan. Bagi pemerintah daerah, banyak dirasakan bahwa di Bidang kelautan dan perikanan, sub bidang yang diserahkan kepada Pemerintahan Daerah otonom Kabupaten/ Kota masih merupakan bagian kecil dari semua kewenangan Bidang yang harus diurus oleh Pemerintahan atas nama Negara sebagai Hak Menguasai dari Negara. P E N G U AT A N K E B I J A K A N D A L A M PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI URUSAN DI BIDANG KELAUTAN Dalam wacana perubahan UndangUndang Pemerintahan Daerah, isu kelautan sudah ditangkap dalam substansi yang diusulkan. Dalam keterangan Pemerintah atas RUU Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa dari sisi substansi perubahan, salah satu isu strategis yang ter-identifikasi yang memerlukan pemikiran yang mendalam baik Pemerintah dan DPR untuk mendiskusikan penyempurnaannya dalam rangka revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah menyangkut daerahdaerah berciri kepulauan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Di samping itu, disadari pula perlunya ditempuh upaya pendekatan-pendekatan secara ekologis dalam penyelenggaraan urusan bidang kelautan. Hal ini tentu memberikan angin segar bagi pembangunan daerah tersebut, namun bagaimana substansi nyata kebijakan ini nantinya masih menjadi pertanyaan. Isu yang perlu mendapat perhatian adalah pembagian urusan dalam pengelolaan laut dan sumber daya yang ada di dalamnya. Dalam hal ini pendekatan dengan memakai kriteria eksternalitas dan efisiensi dalam pembagian urus an pemerintahan lebih cocok diterapkan dalam pembagian urusan kelautan dan mengedepankan sinergi antar pemerintahan. Perlu adanya perbaikan hubungan fiskal yang mengakomodir kebutuhan khusus wilayah yang memiliki lautan. Komponen luas wilayah lautan dan pertimbangan lain terkait masalah kelautan p e r l u d i m a s u k k a n d al a m f o r m u l a perhitungan dana perimbangan.Di samping isu di atas, dibutuhkan pula adanya manajemen konflik dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Wilayah pesisir dan l a u t a n m e r u p a k a n k aw a s a n y a n g menyimpan banyak kekayaan dan cenderung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sehingga menarik banyak pihak dan sangat berpotensi menimbulkan konflik. Konflik dalam pengelolaan laut dan isinya masih akan selalu muncul dalam prakteknya. Hal ini seperti halnya dalam penataan ruang, di mana banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda akan muncul dan mempertahankan kepentingan masing-masing. Kriteria optimasi diperlu211
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
kan dalam mengatasi konflik yang ada. Untuk itu diperlukan mekanisme dan media untuk mewujudkan optimasi pemanfaatan sumberdaya kelautan tersebut. PERMASALAHAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM DESENTR ALISASI PENYELENGGARAAN URUSAN DI BIDANG KELAUTAN Terdapat beberapa bentuk program kegiatan yang umum dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan di bidang perikanan dan kelautan. Untuk kelompok perikanan antara lain perikanan tangkap, pembenihan bibit unggul ikan, pengembangan budidaya ikan air payau, dan sebagainya. Untuk kelompok p e n g e m b a n g a n k a w a sa n , m i s a l n y a Pengembangan kawasan budidaya laut, budidaya air payau, budidaya air tawar, minapolitan, sentra budidaya laut, pengembangan minapolitan , taman kawasan. Sementara untuk kelompok program pengadaan sarana prasarana misalnya pembuatan tanda batas zona , pembuatan tugu pada pulau yang belum berpenghuni, jalan setapak antar kampung, pembangunan menara pengawas, dan sebagainya. Untuk kelompok peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) misalnya, pelatihan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) bidang pengolahan, pembinaan mutu olahan hasil perikanan, teknik penangkapan ikan dan baha n/ a la t pe r ik a na n , pe r k apalan, permesinan, dan sebagainya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tampak ada pula program/kegiatan yang berkaitan dengan kebencana alaman. Menilik berbagai bentuk program kegiatan yang ada, dapat dikatakan ada 212
kecenderungan muatan program/kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah masih berkutat pada potensi perikanan dan sumber daya sejenis dan belum mengoptimalkan berbagai potensi lainnya. Oleh karena itu terdapat kelemahan yang berkaitan dengan kemampuan diversifikasi pemanfaatan sumber daya kelautan. Berbicara tentang pemanfaatan potensi laut, upaya yang banyak dilakukan saat ini masih cenderung mengedepankan potensi perikanan dan sumber daya sejenisnya. Padahal kandungan lautan bukan hanya ikan, sangat beragam yang belum terkelola dengan baik di daerah. Misalnya saja, pemanfaatan laut untuk sumber-sumber energi, pemanfaatan biota laut untuk produk kesehatan, dan sebagainya (Djamil, 2012). Salah satu masalah dalam pengelolaan potensi kelautan di daerah adalah kemampuan pengelolaan sumber daya kelautan yang belum memadai. Masalah yang dihadapi di sektor ini, antara lain 1) belum optimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan dan rendahnya keberlanjutan hasil produksi; (2) Belum berkembangnya sentra produksi komoditas unggulan; (3) Kurangnya sarana dan prasarana penunjang peningkatan produksi kelautan dan perikanan, jaringan transportasi, listrik, dan komunikasi.; (4) Rendahnya pemanfaatan dan produktifitas hasil laut non ikan; (5) Terbatasnya penanganan pasca panen dan pemasaran bagi produk-produk, kelautan dan perikanan; dan (6) Kurangnya ketersediaan kapasitas tenaga penyuluh bidang kelautan dan perikanan; (7) Persoalan pemodalan, khususnya bagi pengusaha yang berskala mikro dan kecil. Masalah semacam ini dapat diidentifikasi dari Rencana Pembangunan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Jangka Menengah di berbagai daerah yang memiliki wilayah laut. Kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola suatu kawasan pesisir juga masih rendah dan belum menunjukkan profesionalisme yang baik. Sebagai contoh perbedaan pengelolaan kawasan pantai (resort) yang dikelola Pemerintah Daerah di suatu kabupaten di Sulawesi dibandingkan kawasan pantai di wilayah Bintan yang dikelola pihak swasta. Kawasan yang dikelola pemerintah daerah ini, tampak tidak terawat dengan baik dan tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Strategi pemasaran yang dilakukan pemerintah daerah pun kurang efektif untu menjadikan kawasan tersebut menjadi tempat kunjungan yang dilirik banyak orang. Namun di sisi lain, pengelolaan oleh pihak swasta yang terjadi di Bintan, hasilnya kurang memberikan dampak yang signfiikan bagi masyarakat dan lebih menguntungkan bagi pihak pemodal. Masyarakat cenderung menjadi penonton atau ‘pekerja’ pada level bawah, dan kurang ada rasa memiliki dari masyarakat setempat. Perhatian Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya kelautan masih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan kurang optimal dalam u p a y a - u p a y a y a n g d i tu j u k a n u n t u k memajukan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Persoalan lain adalah kemampuan pemerintah daerah dalam perencanaan tata ruang laut dan kemampuan pembangunan infrastruktur kelautan. Rencana tata ruang laut belum terakomodir dengan baik dalam rencana tata ruang daerah dan belum terintegrasikan dengan perencanaan aspatial dalam RPJMD. Hal ini akan JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
berimplikasi pada penyediaan infrastruktur kelautan. Persoalan klasik pendanaan d a l a m p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t ur kelautan juga masih menjadi masalah. STRATEGI OPTIMALISAS I POTENSI K E L A U T A N D A L A M M E N DO R O N G PERCEPATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LOKAL Dengan memperhatikan berbagai isu yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas, tulisan ini mencoba menawarkan berbagai gagasan yang dapat ditempuh dari perspektif pemerintah daerah, tentu dengan mensinergikan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, maka perhatian perlu diarahkan pada perbaikan konsep ekonomi biru oleh pemerintah pusat, daerah telah memiliki arahan yang tepat untuk mengoptimalkan potensi kelautan yang dimiliki. Daerah pun menjadi ujung tombak dalam aplikasinya. Untuk itu diperlukan pemahaman akan konsep tersebut dan prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan untuk keberhasilannya. Dalam konsep ekonomi biru, terdapat 13 prinsip yang perlu diterapkan (Rokhim Dahuri, dikutip dalam www.thejakartapost. com). Pertama, perlunya dibangun suatu perencanaan tata ruang terpadu untuk daerah lahan kering-pesisir-laut dari setiap wilayah tertentu. Kedua, pelu perhatian atas kapasitas sumberdaya laut dalam memperbaharui jumlahnya. Oleh karena itu peningkatan pemanfaatan sumberdaya laut terbarukan tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan mereka. Ketiga, perlunya kegiatan ekonomi yang dengan cara yang ramah lingkungan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian eksploitasi sumber daya tak terbarukan (minyak dan gas, pertambangan 213
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
dan sumber daya mineral lain) harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan, dan keuntungan mereka harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir, untuk mengembangkan bahan pengganti dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Keempat, peningkatan produktivitas dan efisiensi sector ekonomi dilakukan secara berkelanjutan. Kelima, setiap sector ekonomi serta aktivitas manusia harus menghasilkan emisi karbon dan limbah yang rendah atau jika mungkin nol. Keenam, meminimalkan penggunaan b a h a n b a k a r f o s i l da n s e k a l i g u s menggunakan energy terbarukan termasuk energy surya, tenaga angin, energy gelombang, energy pasang surut, ocean thermal energy conversion dan biofuel dari ganggang laut. Ketujuh, melestarikan keanekaragaman hayati ditingkat genetic, spesies dan ekosistem. Kedelapan, p e n g e n d a l i a n pe n c e ma r a n de n g a n me ne r a pk a n te k nolo gi z e r o - w aste , teknologi reduce, rause dan recycle atau pengolahan air limbah. Kesembilan, desain dan konstruksi kegiatan di pesisir dan wilayah laut harus sesuai dengan struktur, karakteristik dan dinamika setiap unit tertentu dari zona pesisir dan laut. Kesepuluh, menerapkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, badai dan bencana alam lainnya. Kesebelas, memastikan bahwa semua orang dapat memenuhi kebutuhan dasar
214
manusia, yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan transportasi. Keduabelas, meningkatkan akses masyarakat local untuk teknologi, infrastruktur, modal, pasar, informasi dan asset produktif ekonomi lainnya. Ketigabelas, membangun kapasitas bagi masyarakat setempat dan memperkuat kelembagaan. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip atau acuan tersebut, dapat diharapkan bahwa pemanfaatan potensi laut melalui konsep blue economy akan dapat meningkatkan produktivitas hasil laut, sekaligus memunculkan lapangan pekerjaan yang dapat mengurangi tingkat pengangguran. Di samping itu, kesejahteraan masyarakat, kebutuhan dasar manusia serta upaya perlidungan alam dan kesadaran akan bencana, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi kelautan, hal memerlukan ruang dan pendanaan. Oleh karena itu aspek kelautan perlu diintegrasikan dalam berbagai produk perencanaan. Diperlukan integrasi antara RPJMD, RTRW, RT kawasan pesisir dan pulau-pulau serta RTR Kawasan Strategis dan penerapannya dalam rencana aksi maupun rencana kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai produk perencanaan tersebut ke dalam rencana kerja SKPD sebagaimana diilustrasikan dalam gambar 1 berikut.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Gambar1. Integrasi Aspek kelautan dalam berbagai produk perencanaan
Perencanaan tataruang memperhatikan RPJMD dan selanjutnya diperlukan suatu rencana aksi untuk memetakan kebijakan yang perlu dilakukan yang memerlukan ruang terkait dengan urusan di bidang kelautan. Untuk dapat diimplementasikan dalam program dan kegiatan rencana ini diintegrasikan dengan rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh SKPD. Upaya peningkatan optimalisasi potensi kelautan perlu diletakkan pada kerangka percepa ta n k esejahteraan masyarakat lokal, bukan hanya mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Untuk itu, selanjutnya terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh antara lain diulas dalam bagian ini. Community Development Berbasis Kelautan. Konsep Community Development (Comdev) berbasis pada nilai-nilai pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian dalam masyarakat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
sangat dibutuhkan masyarakat (PKKOD 2009). Penerapan Comdev dapat diterapkan pada masyarakat pesisir untuk mengembangkan kapasitas warga masyarakat. Masyarakat dalam upaya ini diberi kekuatan/sarana dan lingkungan yang kondusif untuk dapat mengembangkan kualitas hidupnya. Community development ini perlu disinergikan dengan pengembangan kawasan bahari terpadu.
Ekonomi Berbasis Kelautan Pergeseran paradigma menuju ekonomi berbasis kelautan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan keterbatasan potensi yang terdapat di daratan yang semakin menipis, hal ini menjadi keharusan, khususnya bagi daerah yang memiliki potensi kelautan. Dalam hal ini pemerintah daerah memerlukan strategi pemasaran yang tepat. Daerah perlu memiliki sentra-sentra ekonomi laut. Di samping itu diperlukan kreatifitas untuk
215
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
menciptakan bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya laut. Sejauh ini, pariwisata memegang peran penting. Namun di luar bidang pariwisata, masih banyak yang dapat dilakukan. Penataan Ruang Pesisir dan Lautan yang terintegrasi dengan pembangunan infrastruktur dan akses Perhubungan. Wilayah lautan yang ada di daerah memerlukan penataan ruang lautan yang mendorong pada upaya perwujudan ekonomi berbasis kelautan. Perencanaan ini, tidak saja diperlukan untuk menata wilayah tersebut, namun juga menjadi basis pembangunan infrastruktur dan perhubungan, serta pemetaan potensi ekonomi yang memerlukan ruang. Hal lain yang penting untuk tersedianya perencanaan ini adalah upaya untuk meminimalisir terjadinya bencana sekaligus sebagai upaya memetaka potensi bencana dan antisipasinya. Pengembangan Institusi Pendidikan Kelautan di Daerah Keberadaan sumber daya manusia memegang peranan kunci dalam keberhasilan optimalisasi sumber daya kelautan. Namun institusi pendidikan kelautan saat ini lebih banyak berupa lembaga pendidikan dengan disiplin ilmu terkait pelayaran dan perikanan. Bukan tidak penting, namun ke depan perlu dipersiapkan institusi pendidikan dengan disiplin ilmu kelautan yang lebih luas. Dalam konteks kapasitas pemerintah daerah, hal ini dapat diwujudkan dalam muatan lokal yang membawa kesadaran dan kemampuan siswa untuk mengembangkan potensi kelautan. Pendirian sekolah kejuruan di
216
daerah dengan disiplin kelautan perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelautan Pemerintah daerah perlu mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengeksplorasi potensi kelautan yang ada di wilayahnya. Untuk itu kerjasama dengan berbagai pihak perlu ditingkatkan. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja d i a r a h k a n u n t u k m e ni n g k a t k a n produktivitas perekonomian masyarakat, namun juga perlu diupayakan untuk kebutuhan dasar masyarakat, khususnya yang berada di area pesisir itu sendiri. Sebagai contoh, adalah pemanfaatan energi matahari, tenaga angin, energy gelombang, energy pasang surut untuk memenuhi k e b u t u h a n e n e r g y ma s y a r a k a t setempat. Pemanfaatan teknologi pengolahan air laut untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi juga diarahkan bagi upaya melestarikan keanekaragaman hayati, pengendalian p e n c e m ar a n , m a u p u n a n t i s i p a s i bencana. Di samping di arahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat, pemanfaatan ilmu pengetahuan juga diarahkan untuk menunjang kebutuhan yang lebih luas dan perekonomian yang lebih produktif. PENUTUP Pergeseran paradigma penyelenggaraan desentralisasi ke laut, tidak berarti mengesampingkan pembangunan daratan, namun memberikan upaya dan fokus yang ekstra untuk meraup keuntungan dari potensi kelautan yang belum termanfaatkan dengan baik. Tulisan ini JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
masih jauh dari kedalaman masalah pada penyelenggaraan urusan di bidang kelautan, maupun strategi yang ditawarkan. Namun penulis mengharapkan dapat berkontribusi dalam menggugah kembali kesadaran akan potensi kelautan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan proses desentralisasi yang mampu diimplementasikan dengan baik, semakin terbuka lebar manfaat laut bagi kejayaan dan kesejahteraan bangsa maritim Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Antara, MK : Hak Pengusahaan Perairan Pesisir inkonstitusional, http:// www.antaranews.com/ berita/ 263376/mk-hak-pengusahaanperairan-pesisir-inkonstutional, (diakses pada tanggal 26 Desember 2012). Bahrum, Syamsul, Indigenous People in a Dependent Economy, Batam Link Publisher, 2008 Bawono Putro, R. Okta Dasananta, dkk, Pelaksanaan Urusan Bidang K e l a u t a n d a n P e r i k a na n d i Kabupaten Kendal, Diponegoro Law Review, Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 Djamil, Agus, Al -Qur’a n dan Lautan, Penerbit Mizan, 2004 Djamil, Agus, Pergeseran Paradigma Ke Laut, Penerbit Mizan, 2012 Dahuri, Rokhim, Blue Economy for Suistanable Coastal Development, the Jakarta post, 14 Agustus 2012, http://www.thejakartapost.com/ne ws/2012/08/14/blue-economysuistanable-coastal-developmentpart-2-2-html (diakses pada tanggal 26 Desember 2012). Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, http://lomboktimur
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
kab.go.id/?pilih- hal&id-69 (diakses pada tanggal 26 Desember 2012. D i n a s K e l a u t a n K a b u pa t e n M a l a n g , Pertemuan Akses Permodalan, http://kelautan.malangkab.go.id/n ewsdetail.php?id=45 (diakses pada tanggal 26 Desember 2012. Fernanda, Desi, Konflik Kewenangan Pengelolaan Kepelabuhan dalam Perspektif Sistem Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah di Indonesia, LIPI, http://isjd,lipi. go.id/ admin/jurnal/13053256 18 58-0300.pdf. (diakses pada tanggal….) Kartikaningsih, Meita. A, Enchancing Human Development in Border Area (Case of Riau Island Province), Policy Analysis Exercise, Lee Kuan Yew School of Public Policy. Kementerian Dalam Negeri, Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, http:// www.depdagri.go.id/news/2012/0 4/03 ( diakses pada tanggal 26 Desember 2012. Salim, Much, Dinamika Kebijakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang pada Masa Reformasi dan Otonomi Daerah Tahun 1998-2008, Master Tesis Bidang Sejarah, Universitas Diponegoro, 2010. PKKOD-LAN, Model Community Development, Jakarta, 2009 Rujak, Permohonan Uji Materil Perda RTRW Jakarta 2030 oleh Koalisi Pulihkan Jakarta, http://rujak.org/2012/08/permoho nan-uji-materil-perda-rtrw-jakarta2030-oleh- masyarakat-pulihkanjakarta/ (diakses pada tanggal 26 Desember 2012.
217
Lautan dalam Penyelenggaraan Desentralisasi : Pergeseran Paradigma Menuju Kesejahteraan Masyarakat Lokal Berbasis Kelautan Meita Ahadiyati Kartikaningsih
Widianto, Andri, Perhitungan Dana Alokasi Umum Bagi Pengelolaan Sumber Daya Laut (Studi Kasus di
218
Kabupaten Sumenep), Thesis Master Jurusan Hukum, Undip
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
217
ARTIKEL
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : KONSEP, INDIKATORINDIKATOR SERTA MODEL PENGUKURANNYA1 Oleh: Hardi Warsono Pengajar Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Abstract The paradigm of public service reform direct public services quality improvement efforts on strengthening civil society, good governance, which looks at strengthening of the market mechanism and the greater community role in the formulation and implementation of public service policies. This is in line with the spirit of public service law that gives considerable space in the community's participation. Therefore, improving the quality indicators should also be reflected in the charge. Until now the government to assess the quality of public services by giving trophies to the two levels of service, ie, on a macro scale by giving Citra Bhakti Abdi Negara known by the acronym CBAN, and at the micro scale by awarding trophies Citra Pelayanan Prima (CPP). Macro associated with the assessment of the district / city governments in the provision of services to the community, while the micro is an assessment on service delivery in the unit of service providers. Kata Kunci : civil society, good governance, unit of service providers Intisari Paradigma reformasi pelayanan public mengarahkan upaya peningkatan kualitas pelayanan public pada penguatan civil society, good governance, yang terlihat pda menguatnya mekanisme pasar dan peranan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik.Hal ini sejalan dengan semangat Undang-undang pelayanan Publik yang memberikan ruang yang cukup besar pada partsipasi masyarakat. Oleh karenanya indikator peningkatan kualitas hendaknya juga dicerminkan dengan muatan tersebut. Sampai saat ini pemerintah melakukan penilaian kualitas pelayanan publk dengan memberikan piala pada dua tingkatan layanan, yakni makro dengan pemberian Piala Citra Bhakti Abdi Negara yang terkenal dengan singkatan CBAN, dan pada skala mikro dengan pemberian piala Citra Pelayanan Prima (CPP). Makro terkait dengan penilaian terhadap pemerintah kabupaten/kota dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, sedangkan mikro merupakan penilaian pada pemberian layanan di Unit Penyelenggara Pelayanan (UPP).
1
Tulisan ini merupakan bahan paparan yang disajikan pada diskusi terbatas tentang penyusunan indicator pembangunan bidang aparatur pada tanggal 19-20 September Juni 2012 di Semarang, Jawa Tengah.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
219
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
Kata Kunci : civil society, good governance, unit penyelenggara pelayanan
PENDAHULUAN Kualitas selalu menjadi topik menarik dalam membahas pelayanan publik.Ketika banyak kelompok rentan tidak dapat mengakses pelayanan publik, dikatakan kualitas pelayanannya rendah. Ketika kelompok tertentu dapat memperoleh layanan cepat sementara kelompok lain lambat penanganan, dikatakan pelayanan tidak berkualitas. Ketika suatu pengurusan sebuah dokumen tidak jelas selesainya, d ikatakan pu la pelayan annya tid ak berkualitas.Konsep kualitas pelayanan publik menjadi begitu luas. Pada umumnya ada dua domain dalam pelayanan publik, yakni : pelayanan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pelayanan administratif. Aktivis gerakan peningkatan kualitas pelayanan publik antara lain LSM yang tergabung dalam jaringan MP3 / Masyarakat Peduli Pelayanan Publik lebih berorientasi pada domain yang pertama, meski kadang turut mencermati pelayanan administrative. Ada standar tertentu yang harus dipenuhi dalam pemberian pelayanan, sehingga kualitas dapat dinilai baik buruknya. Standar nilai tersebut mestinya juga berada didua domain / level penyelenggaraan, yakni : level urusan yang dilakukan oleh kementerian, lembaga pusat dan pemda (terutama kabu paten/ kota) b eru pa pemenuhan kebutuhan dasar dan level layanan publikyang diberikan oleh masingmasing unit penyelenggara pelayanan (UPP) yang bersifat administratif. Terkait peningkatan kualitas pelayanan publik, pemerintah telah memperkuat dengan berbagai kebijakan dan regulasi. Satu kebijakan yang cukup membutuhkan waktu cukup lama proses penetapannya (4 tahun sejak diajukan pemerinah dan kurang lebih 7
220
tahun sejak penyusunan draft) adalah undang-undang pelayanan publik. Undang-Undang tentang Pelayanan Publik (UU no 25 Tahun 2009) mempunyai karakter lain dibandingkan dengan UndangUndang pada umumnya yang mengatur bagaimana sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Undangundang ini lebih sebagai undang-undang “rakyat”, karena undang-undang ini lebih banyak mengatur bagaimana memberdayakan dan melayani rakyat dalam menikmati dan memanfaatkan pelayanan publik. Undang-undang ini lebih banyak menuntut penyelenggara pelayanan Publik, termasuk pemerintah di dalamnya untuk lebih berdisiplin dan profesional dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan Publik bukan hanya pemerintah atau penyelenggara negara saja, tetapi juga korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang, dan organisasi masyarakat yang berbadan hukum yang dibentuk sematamata untuk kegiatan penyelenggaraan pelayanan Publik.Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang dan jasa publik serta administrasi yang tidak hanya terbatas pada dana yang bersumber APBN/APBD baik sebagian atau seluruhnya, tetapi juga juga pelayanan yang tidak menggunakan sumber APBN/APBD namun pelayanan tersebut merupakan misi negara atau pemerintah. Dengan demikian ruang lingkup ini akan memperluas kewenangan Ombudsman Republik Indonesia. Pengaturan mengenai instrumen penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik, meliputi : standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
pelayanan publik, pengelolaan sarana dan prasarana, biaya/tarif pelayanan, perilaku pelaksana, pengawasan, pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja. Pengaturan ini merupakan jiwa atau ruh dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu dalam penyusunan peraturan pelaksanaannya dan /atau dalam pelaksanaan nya perlu dikawal olehs emua pihak agar berjalan dengan baik. Beberapa isu utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkait terbitnya undang-undang pelayanan public (Nomor 25 Tahun 2009) tersebutantara lain adalah : 1) Peranserta masyarakat dan penyelesaian pengaduan merupakan bagian penting dalam memberikan warn adan jaminan kualitas pelayanan, 2) Masyarakat diberikan kesempatan luas berperanserta mulai dari penyusunan stándars ampai dengan tahap evaluasi. 3) Pengaduan masyarakat merupakan bagian dari penilaian kinerja pelayanan publik (pasal 39 ayat 2, pasal 40). Penyeles aian pengaduan merupakan hal wajib dan mutlak diperhatikan karena hal tersebut menyentuh rasa keadilan bagi masyarakat. Sebanyak 19 pasal dari 62 pasal (30 %) UU pelayanan publik mengatur pengaduan masyarakat. 4) Penilaian kinerja pelayanan publik (pasal 39 ayat 2‐3, pasal 40) memberikan dorongan praktek pelayanan publik yang baik. Untuk keperluan evaluasi untuk peningkatan kualitas pelayanan public diperlukan rumusan indikator yang mempertimbangkan kriteria specific, measurable, achievable, relevan, dan timely (dapat dimanfaatkan pada waktunya). Berdasarkan pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam undang-undang pelayanan publik tersebut, konsep, indikator dan model
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
pengukuran kualitas pelayanan publik menjadi focus makalah ini akan dibahas. PEMBAHASAN 1. Konseptualisasi a. Pelayanan Publik Adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan/ atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Undang-undang 25 tahun 2009) b. Paradigma dalam pelayanan publik Menurut Lijan Poltak Sinambela, dkk (2006:15) ada tiga paradigma terkait besar kecilnya peran pemerintah dalam pelayanan publik. Ketiga paradigma tersebut adalah : 1) Paradigma Negara Kuat, yakni kekuatan sosial politik termasuk kekuatan pasar, kecil pengaruhnya dalam kebijakan publik bahkan dalam pelaksanaannya, 2) Paradigma Deregulasi Setengah Hati, yakni pemerintah memilih sector tertentu untuk diregulasi yang pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis pemerintah (termasuk pejabat dan pengusaha besar), 3) Paradigma Reformasi Pelayanan Publik, yakni pemerintah mengkaji ulang perannya dan mendefinisikan lagi sesuai konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society, good governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik.
221
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
Dengan landasan paradigma reformasi pelayanan publik inilah mestinya arah peningkatan kualitas pelayanan publik dilakukan. c.
Upaya Reformasi pelayanan publik
Secara lebih terperinci produk hukum yang dihasilkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi BIrokrasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik antara lain terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Produk Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik NO. 1 2
63/KEP/M.PAN/7/2003 KEP/25/M.PAN/2/2004
3
KEP/26/M.PAN/2/2004
4
222
Nomor Ketetapan
KEP/118/M.PAN/8/2004
5
UU No. 65 Tahun 2005
6 7 8
PER/20/M.PAN/04/2006 Per/25/M.PAN/05/2006 PER/26/M.PAN/05/2006
9
PER/31/M.PAN/08/2006
10
PER/32/M.PAN/09/2006
11
UU No. 12 Tahun 2009
12
UU No. 13 tahun 2009
13 14
UU No. 25 tahun 2009 UU No. 27 tahun 2009
15
Permenpan No. 12 Tahun 2009
Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Unit Pelayanan Instansi Pemerintah Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dlm Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat bagiInstansi Pemerintah PedomanPenyusunandanPenerapanStandarPelayana n Minimal Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik Dalam Rangka Pelaksanaan Kompetisi Antar Kabupaten/Kota Perubahan Peraturan Menteri Negara PAN Nomor PER/26/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Pelayanan Publik dalam rangka Pelaksanaan Kompetisi Antar Kabupaten/ kota Pedoman Penilaian Kinerja Pelayanan Publik dalam rangka Pelaksanaan Kompetisi Antar Kotamadya / Kabupaten Administrasi di Provinsi DKI Jakarta Pedoman Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Kabupaten / Kota Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi Masyarakat PelayananPublik Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidangPenanaman Modal Pedoman Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Kabupaten/ Kota
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
NO. 16
Nomor Ketetapan UU No. 07 tahun 2010
Meskipun serangkaian produk hukum dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik sudah dihasilkan oleh kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun dalam realitasnya masih banyak dijumpai praktek-praktek pelayanan publik yang tidak berkualitas. Hal ini diduga karena pedoman saja tidak cukup, diperlukan perangkat evaluasi dan juga penegakan hukum yang berkonsekuensi pada sanksi tegas. 2.
Indikator Pengukuran a. Indikator teoritis kualitas pelayanan publik Kualitas biasanya memiliki kedekatan makna dengan beberapa kata lain, yakni : kinerja (performance), keandalan (realibility), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dll. Dalam ilmu administrasi publik, pelayanan publik adalah kualitas pelayanan birokrasi yang diberikan kepada masyarakat. Secara teoritik kualitas pelayanan publik adalah kondisi dari pelayanan yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer). Oleh karenanya tujuan pelayanan publik adalah memuaskan masyarakat pengguna layanan. Poltak Sinambela (2006) mengemukakan bahwa cerminan bahwa pelayanan masyarakat sudah berkualitas dapat dilhat dari kualitas pelayanan prima berikut :
Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik 1) Transparan, yakni : pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengert 2) Akuntabel, yakni : pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-unangan, 3) Kondisional, yakni : pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektvitas 4) Partisipatif, yakni : pelayanan yang dapat mendorong peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat, 5) Kesamaan hak, yakni :pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dll., 6) K e s e i m b a n g a n h a k d a n kewajiban, yakni : pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima layanan public. Gaspersz (dalam Lukman, 2000) mengerucutkan pengertian kualitas pelayanan pada dua makna yakni : 1) Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 16
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk, dan 2) Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan Fitzsimmons dan Fitzsimmons (dalam Budiman, 2004) selanjutnya menyebutkan 5 indikator pelayanan public, yakni : 1) Reability, yang ditandai dengan pemberian pelayanan yang tepat dan benar, 2) Tangibles, yang ditandai dengan penyediaan SDM dan sumberdaya lainnya yang memadai 1.
Indikator kualitas pelayanan pada penilaian kinerja pelayanan publik Ada dua tingkatan dalam penilaian kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB, yakni :(i) Penilaian pada penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemda dan (ii) Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Penilaian pada penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemda
NO A. 1
2
3
4
224
3) Responsiveness, yakni keinginan melayani konsumen dengan cepat, 4) A s s u r a n c e , y a k n i t i n g k a t perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan 5) Empaty, yakni tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan yang dilayani.
INDIKATOR
b.
PENJELASAN
INDIKATOR PENILAIAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KINERJA PEMKAB/KOTA KEBIJAKAN DEREGULASI DAN (penyederhanaan peraturan perundang DEBIROKRATISASI PELAYANAN undangan serta penataan PUBLIK kelembagaandan tatalaksana dlm upaya peningkatan PP) KEBIJAKAN PENINGKATAN (kebijakan pemda dlm mendorong dan PARTISIPASI RAKYAT mempelopori partisipasi masy dlm peningkatan kualitas pelayanan publik) KEBIJAKAN PEMBERIAN (kebijakan Pemda dlm memberikan PENGHARGAAN DAN PENEGAKAN penghargaan kpd pegawai dan atau unit DISIPLIN layanan publik yang berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik dan penegakan disiplin kpd para pgw atau unit penyelenggara layanan publik sesuai dng ketentuan peraturan perundangundangan) PEMBINAAN TEKNIS TERHADAP ( upaya pemda dlm pembinaan scr terus UNIT PP menerus dan berkesinambungan kpd unit penyelenggara dlm rangka peningkatan kinerjanya)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
NO
INDIKATOR
5
KEBIJAKAN KORPORATISASI UNIT PP
6
PENGEMBANGAN MANAJEMEN PELAYANAN
7
KEBIJAKAN PENINGKATAN PROFESIONALISME PEJABAT ATAU PEGAWAI DI BIDANG PELAYANAN PUBLIK PENGHARGAAN DI BIDANG PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEMASYARAKATAN DAN KESEJAHTERAAN
8
9
10
11
KEBIJAKAN DALAM MENDORONG PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN E-GOVERNMENT
PENJELASAN (kebijakan Pemda dalam upaya melakukan perubahan bentuk dan cara pengelolaan pelayanan publik menjadi lebih professional) (upaya penyempurnaan system dan prosedur terhadap proses bisnis internal pada unit pelayanan) (kebijakan Pemda dalam meningkatkan kualitas pejabat atau pegawai yang langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik) (apresiasi yang diberikan kepada lembaga atau perorangan yang berhasil dalam peningkatan kualitas pelayanan publik) (kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang kemasyarakatan dan kesejahteraan) (kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda dalam mendorong pembangunan ekonomi daerah) (kebijakan Pemda dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai upaya peningkatan kualias pelayanan publik) (yaitu penerapan manajemen mutu standar ISO 9001-2000 terhadap penyelenggaraan pelayanan)
12
PENERAPAN STANDAR ISO 9001 – 2000 DALAM PELAYANAN PUBLIK
B.
INDIKATOR PENILAIAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK BERDASAR PENDAPAT MASYARAKAT KEPEMIMPINAN/leadership, (kemampuan Bupati/Walikota dalam menggerakkan aparatur dan masyarakat di lingkungannya dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik) KETERSEDIAAN SARANA FISIK (penyediaan fasilitas yang diperlukan oleh PELAYANAN PUBLIK masyarakat, baik sebaik prasarana dasar KABUPATEN/KOTA maupun penunjang guna kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik) PENDAPAT PEMUKA MASYARAKAT (pandangan, penilaian, dan persepsi TERHADAP KINERJA pemuka masyarakat yang terdiri dari wakil BUPATI/WALIKOTA pemuka agama, cendekiawan, pemuda,
1
2
3
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
225
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
NO
INDIKATOR
PENJELASAN wanita dan kelompok masyarakat rentan terhadap itinerja Bupat/Walikota dalam penyelenggaraan pelayanan publik)
Sumber :Permenpan No. 12 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penilaian penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Kabupaten/ Kota
2.
Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik NO
INDIKATOR
1
Visi, Misi, Moto Pelayanan
2
Sistem dan Prosedur Pelayanan
3
Sumber Daya Manusia (SDM) Pelayanan
4
Sarana dan Prasarana
PENJELASAN Visi dan/ atau misi serta motto pelayanan yang memotivasi pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik System dan prosedur baku yang dibentuk baik secara internal untuk mendukung pengelolaan pelayanan yang efektif dan efisien maupun secara eksternal untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat pengguna layanan. System dan prosedur baku internal, yang meliputi : SOP, pengelolaan berkas/ dokumen, pengelolaan pegawai, pengelolaan pengaduan/ keluhan, dan pngelolaan mutu pelayanan. Sedangkan system dan prosedur baku eksternal meliputi : standar pelayanan (prosedur pelayanan, persyaratan, biaya/ tariff, waktu pelayanan, mutu pelayanan dan mekanisme pengaduan/ keluhan). Profesionalisme pegawai yang meliputi : sikap dan perilaku, ketrampilan, kepekaan dan kedisiplinan Dayaguna sarana dan prasarana yang dimiliki
Sumber :Permenpan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik
c.
226
Implikasi regulasi dalam indikator penilaian kualitas pelayananpublik Dari isu yang mengemuka dalam pengaturan pelayanan publik melalui undang-undang pelayanan publik,
paling tidak dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1) Masyarakatdiberikankesempata nluasberperansertamulaidaripen yusunanstándarsampaidenganta hapevaluasi.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
2) Pengaduan masyarakat merupak an bagian integral dari penilaian kinerja pelayanan publik (pasal 3 9 ayat 2 3, pasal 40). 3) Penyelesaianpengaduanmerupa kanhalwajibdanmutlakdiperhatik ankarenahaltersebutmenyentuh rasa keadilanbagimasyarakat. 4) Sejumlah 19 pasaldari 62 pasal (30 %) UU pelayanan publik mengatur pengaduan masyarakat. 5) Penyelenggara berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala (pasal 38 ayat 1) dan penilaian kinerja dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan (pasal 2). Bila dicermati, dari indikator yang dibangun pemerintah, ada dua point yang ditinggalkan, yakni : 1) point a yakni keterlibatan masyarakat mulai dari penyusunan standar pelayanan sampai evaluasi tidak termasuk indikator yang dinilai. 2) Point e yakni penilaian terhadap pelaksanaan penilaian internal secara berkala berdasarkan standar pelayanan. 3.
Model Pengukuran Sampai saat ini pemerintah melakukan penilaian kualitas pelayanan publk dengan memberikan piala pada dua tingkatan layanan, yakni makro dengan pemberian Piala Citra Bhakti Abdi Negara yang terkenal dengan singkatan CBAN, dan pada skala mikro dengan pemberian piala Citra Pelayanan Prima (CPP). Makro terkait dengan penilaian terhadap pemerintah kabupaten/ kota dalam pemberian pelayanan kepada
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
masyarakat, sedangkan mikro merupakan penilaian pada pemberian layanan di Unit Penyelenggara Pelayanan (UPP). Sorotan publik pada skala makro lebih pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama pada: pendidikan dan kesehatan disamping pelayanan yang bersifat administrative yang diberikan unit-unit pelayanan. Untuk mengakomodir kedua kepentingan tersebutke depan diperlukan evaluasi berkala untuk mengukur ketercapaian SPM (standar pelayanan minimal) dan model pengukuran berkala untuk mengukur ketercapaian SPP (standar Pelayanan Publik), pada setiap Unit Penyelenggara Pelayanan. PENUTUP Paradigma reformasi pelayanan public mengarahkan upaya peningkatan kualitas pelayanan public padapenguatan civil society, good governance, yang terlihat pda menguatnya mekanisme pasar dan peranan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik.Hal ini sejalan dengan semangat Undang-undang pelayanan Publik yang memberikan ruang yang cukup besar pada partsipasi masyarakat. Oleh karenanya indikator peningkatan kualitas hendaknya juga dicerminkan dengan muatan tersebut. DAFTAR BACAAN Sinambela, Lijan Poltak, dkk., 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta Lukman, Sampara, 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan, STIA LAN PRESS, Jakarta Rusli, Budiman, 2004. Pelayanan Publik di Era Reformasi, www.pikiran-rakyat.com. 15 September 2012
227
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
MP3, 2012. Studi Stock Taking : Praktekpraktek Baik dalam Pelayanan Publik, Jakarta
LAMPIRAN : RINCIAN INDIKATOR PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK OLEH PEMDA NO.
INDIKATOR
SUB INDIKATOR
A.
INDIKATOR PENILAIAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KINERJA PEMKAB/KOTA 1. KEBIJAKAN DEREGULASI a. Jenis pelayanan yang mekanismenya DAN DEBIROKRATISASI disederhanakan PELAYANAN PUBLIK b. Dinas yang ditetapkan (berdasar PP 41/2007) (pentederhanaan peraturan c. Penetapan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) perundang undangan serta d. Jenis pelayanan yang ada pd semua unit penataan kelembagaan. Dan pelayanan terpadu (UPT) tata laksana dlm upaya e. Unit pelayanan publik yang ditetapkan untuk peningkatan PP) mengelola keuangan sendiri f. Penetapan maklumat atau janji pelayanan oleh unit pelayanan atau satker g. Penyusunan dan penetapan standar pelayanan publik (SPP) 2. KEBIJAKAN PENINGKATAN a. Pengaturan mengenai partisipasi masy dlm PARTISIPASI RAKYAT penyelenggaraan pelayanan publik (kebijakan pemda dlm b. Pembentukan ombudsman atau lembaga mendorong dan sejenis oleh pemda mempelopori partisipasi c. Kegiatan pertemuan dan forum kom atau masy dlm peningkatan sejenisnya antara bupati/ walkot dng pemuka kualitas pelayanan publik) masy dlm rangka peningkatan pelayanan 3. KEBJK PEMBERIAN a. Pengaturan pemberian penghargaan dlm PENGHARGAAN DAN rangka mendorong peningkatan kinerja PENEGAKAN DISIPLIN penyelenggara layanan publik (kebijakan Pemda dlm b. Penghargaan yang diberikan kpd pgw unit memberikan penghargaan pelayanan publik yang menunjukkan prestasi kpd pegawai dan atau unit kerja yang baik layanan publik yang berhasil c. Penghargaan berupa piala atau sertifikat yang meningkatkan kualitas diberikan kpd unit pelayanan publik yng pelayanan publik dan menunjukkan prestasi kerja yang baik
228
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
NO.
INDIKATOR d.
Penegakan disiplin kpd para pgw atau unit penyelenggara PP sesuai dng ketentuan peraturan perundang-undangan
4.
penegakan disiplin kpd para pgw atau unit penyelenggara layanan publik sesuai dng ketentuan peraturan perundangundangan PEMBINAAN TEKNIS TERHADAP UNIT PP ( upaya pemda dlm pembinaan scr terus menerus dan berkesinambungan kpd unit penyelenggara dlm rangka peningkatan kinerjanya)
a.
PENGHARGAAN DI BIDANG PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (apresiasi yang diberikan kepada lembaga atau perorangan yang berhasil dalam peningkatan kualitas pelayanan publik) KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEMASYARAKATAN DAN KESEJAHTERAAN (kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang kemasyarakatan dan kesejahteraan)
a. b. c.
Pelaksanaan sosialisasi kebjkn pelayanan publik kpd unit layanan publik Monev pelaksanaan kbjk oleh Pembina PP thd unit pelayanan Unit pelayanan yang menidaklanjuti hasil monev pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pembina PP berupa penyempurnaan mekanisme penyelenggaraan pelayanan Penghargaan dari lembaga resmi internasional Penghargaan dari Pemerintah Pusat Penghargaan dari Pemerintah Provinsi
5.
6.
SUB INDIKATOR
b. c.
a. b. c. d. e. f. g. h.
7.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN EGOVERNMENT (kebijakan Pemda dalam mengembangkan dan
a.
b. c.
Pembebasan SPP bagi siswa Jumlah rata-rata siswa per tahun yang menerima beasiswa yang bersumber dari APBD Prosentase rata-rata alokasi anggaran bidang pendidikan dalam APBD Pengembangan sekolah unggulan daerah berstandar nasional Pengembangan sekolah unggulan daerah berstandar internasional Penetapan kebijakan daerah dalam pembebasan biaya berobat di luar Askes Prosentase rata-rata alokasi anggaran untuk berobat di luar Askes Prosentase rata-rata peningkatan keluarga sejahtera (KS) ke KS – 3 Penetapan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan e-government di Kabupaten/Kota Penetapan jenis pelayanan yang metode kerjanya diubah dari cara manual ke elektronik Penetapan, penerapan, dan pengembangan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 228
ARTIKEL
NO.
INDIKATOR
SUB INDIKATOR
memanfaatkan teknologi system informasi pelayanan pada unit informasi dalam pelayanan publik penyelenggaraan d. Penetapan pembangunan homepage atau situs pemerintahan sebagai Kabupaten/Kota upaya peningkatan kualias pelayanan publik) 8. PENERAPAN STANDAR ISO a. Unit pelayanan dalam pembinaan konsultan 9001 – 2000 DALAM ISO PELAYANAN PUBLIK (yaitu b. Unit pelayanan dalam proses sertifikasi ISO penerapan manajemen c. Unit pelayanan yang telah mendapatkan mutu standar ISO 9001-2000 sertifikat ISO terhadap penyelenggaraan pelayanan) B. INDIKATOR PENILAIAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK BERDASAR PENDAPAT MASYARAKAT 1. KEPEMIMPINAN/leadership, a. Melakukan pertemuan baik formal maupun (kemampuan non formal dengan pemuka masyarakat, LSM, Bupati/Walikota dalam dan / atau kelompok-kelompok masyarakat menggerakkan aparatur dan b. Mengembangkan semangat entrepreneurship masyarakat di (kewirausahaan) dalam rangka pembinaan lingkungannya dalam upaya penyelenggaraan pelayanan publik meningkatkan kualitas c. Melakukan kunjungan kerja dan pembinaan pelayanan publik) pada unit-unit pelayanan publik 2. KETERSEDIAAN SARANA a. Keberadaan infrastruktur perhubungan (jalan, FISIK PELAYANAN PUBLIK jembatan, dan penyeberangan KABUPATEN/KOTA sungai/danau/laut serta perhubungan udara) (penyediaan fasilitas yang b. Keberadaan penerangan di lingkungan diperlukan oleh masyarakat, Kabupaten/Kota baik sebaik prasarana dasar c. Penyediaan fasilitas air minum di lingkungan maupun penunjang guna Kabupaten/Kota kelancaran penyelenggaraan d. Penyediaan sarana transportasi dan pelayanan publik) kelengkapannya e. Penyediaan sarana pendidikan f. Penyediaan sarana kesehatan g. Penyediaan taman dan fasilitas umum lainnya h. Penyediaan papan layanan informasi masyarakat 3. PENDAPAT PEMUKA a. Dukungan pemuka masyarakat terhadap MASYARAKAT TERHADAP pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh KINERJA BUPATI/WALIKOTA Bupati/Walikota (pandangan, penilaian, dan b. Pendapat pemuka masyarakat terhadap persepsi pemuka penyelenggaraan pelayanan publik masyarakat yang terdiri dari
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 229
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik : Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya Hardi Warsono
NO.
INDIKATOR
SUB INDIKATOR
wakil pemuka agama, cendekiawan, pemuda, wanita dan kelompok masyarakat rentan terhadap itinerja Bupat/Walikota dalam penyelenggaraan pelayanan publik)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 230
ARTIKEL
1
PENINGKATAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH dan BEBAS KKN DAN INDIKATOR-INDIKATOR HASILNYA Oleh: Andy Fefta Wijaya Ketua Program Studi MAP Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya e-mail :
[email protected]
Abstract This paper presents this new perspective of public management (NPM) and governance in administrative sciences and explains the differences between of them. NPM risk leaving the public service function for the poor and marginalized, therefore improving governance perspective NPM movement's weakness. New Public Management Paradigm with no accountability (accountability) would risk leaving the public interest. Accountability as a fundamental pillar of good governance paradigm can improve the weaknesses found in the paradigm previously thought. A major component to the success of public accountability is a system of information transparency. Transparency of information is authorized to be used for public sector performance evaluation measures and for evaluating public sector executive accountability for all decisions and actions, ie to what extent the results / outcomes and impacts resulting from beneficial to the public. Keyword : New Public Management, Public Accountability, Good Governance Intisari Paper ini mengulas perspektif new public management (NPM) and governance dalam ilmu administrasi dan menjelaskan perbedaan diantara keduanya. NPM beresiko meninggalkan fungsi pelayanan publik untuk masyarakat miskin dan termarginalkan, oleh karenanya perspektif governance memperbaiki kelemahan pada gerakan NPM ini. Paradigma New Public Management tanpa tanggung gugat (akuntabilitas) akan beresiko meninggalkan kepentingan publik. Akuntabilitas sebagai pilar dasar paradigma Good Governance dapat menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada paradigma pemikiran sebelumnya. Komponen utama untuk mensukseskan akuntabilitas publik adalah adanya sistem transparansi informasi. Transparansi informasi ini modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk upaya2 penilaian kinerja sektor publik dan untuk mengevaluasi pertanggungjawaban pelaksana sektor publik atas segala keputusan dan
1
Tulisan ini merupakan bahan paparan yang disajikan pada diskusi terbatas tentang penyusunan indicator pembangunan bidang aparatur pada tanggal 26-27 Juni 2012 di Malang, Jawa Timur.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
231
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
tindakannya, yaitu sampai sejauhmana hasil/outcome dan dampak yang diakibatkan bermanfaat untuk publik. Kata Kunci : New Public Management, Akuntabilitas Publik Good Governance PENDAHULUAN: TUMPAH TINDIH MEMPERSEPSIKAN NPM & GOVERNANCE Ilmu administrasi abad 21 ini tidak terlepas dari perkembangan dua perspektif yang sangat menonjol yaitu New Public Management (NPM) dan Governance. Perspektif tersebut memberikan warna baru terhadap perspektif weberian birokrasi yang telah bertahan cukup lama. Perubahanperubahan dan tuntutan-tuntutan sosial, ekonomi, politik dan lingkungan sektor publik yang semakin berkembang dan bervariasi telah memberikan tekanan-tekanan terhadap upaya mereformasi administrasi pubik melalui gerakan new public management dan governance itu. Perspektif governance bukan sesuatu yg baru dan telah mengalami proses pengulasan dan penajaman yang cukup lama. Problem awalnya adalah kesapakatan tentang konsepsi governance belum ‘wungkul’ (utuh) diantara para ilmuwan. Apabila kita lihat beberapa literatur di tahun 1990 - an interpretasi tentang governance bervariasi. Beberapa ilmuwan bahkan menyamakan perspektif new public management dan governance, padahal mereka mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Sebagai contoh Frederickson dalam bukunya ‘the Spirit of Public Administration’ yang ditulis pada tahun 1997 masih menyamakan perspektif new public management dan governance (lihat hal 78 – 83). Ilmuwan ini menyebutkan: ‘The single most interesting facet of the osborne and gaebler perspective is its essential similirity to the governance perspective that is now broadly influential in the “new public management”
232
described and advocated by many leading public administration scholars’ (p. 83). Tumpah tindih mempersepsikan konsep governance dan NPM tersebut bisa dimaklumi berhubung sekitar tahun 1990 - an tersebut gerakan NPM yang lebih menonjol dan mendapatkan porsi lebih sering dibahas oleh pemerhati ilmu administrasi. Sedangkan pembahasan konsepsi governance sering diangkat dalam rangka menjelaskan NPM tersebut. PERBEDAAN PERSPEKTIF ‘NEW PUBLIC MANAGEMENT’ DAN ‘GOVERNANCE’ Frederickson bersama Smith ditahun 2003 (lihat hal 217-211) telah memberikan penjelasan tentang perbedaan yang esensial antara new public management dan governance. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian makna tentang governance terus berkembang, termasuk dalam diri ilmuwan seperti Frederickson (bandingkan dengan pendapatnya di tahun 1997 diatas). Perbedaan pertama adalah yang disebutkan adalah NPM sebagai sebuah usaha menginjeksi nilai-nilai corporate dalam sektor publik. Padahal penerapan sektor manajemen bisnis ke sektor publik belum tentu mengindahkan makna ‘publik’ seperti kebutuhan pelayanan publik yang merata dan adil. Dalam perspektif governance, publik sektor adalah unik dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari prinsip-prinsip demokrasi. Kebutuhan publik (bukan ‘keinginan publik’ seperti kebanyakan dalam spirit pelayanan NPM) dan Lingkungan sektor publik berbeda dengan bisnis, tidak semua hal bisa dikompetisikan dan hanya sedikit yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
bisa dikonteskan. Kedua, governance berhubungan dengan upaya untuk memahami proses yang mana kebijakan publik dibuat, diimplementasikan dan dikelola. Sedangkan NPM lebih terfokus pada outcomes/ hasilhasil yaitu lebih pada pertanyaan tentang berapa banyak hasil yang diperoleh daripada bagaimana kebijakan dikelola. Ketiga, filosofi pemikiran NPM berasal dari teori organisasi dan public choice theory/ teori pilihan publik, sedangkan governance lebih pada teori politik untuk menjelaskan kenapa pemerintah melakukan seperti yang mereka lakukan dan bagaimana hal tersebut bisa dilakukan lebih baik lagi. Keempat, NPM berupaya mengantikan manajemen publik menjadi manajemen bisnis, sedangkan governance ingin mempertahankan penyediaan layanan publik dibawah kontrol pemerintah, walaupun yg memberikan layanan tidak harus pemerintah. Sehingga ada garis yg tegas tanggung jawab dan akuntabilitas antara yang melayani dan yang dilayani. Kelima, governance tidak seperti NPM yang berlandaskan pada ‘market based institutional reform’, governance lebih pada upaya partnership datau jaringan kemitraan bersama non sektor pemerintah. Kelima hal diatas memperlihatkan perbedaan antara perspektif governance dan new public management. Hal ini senada dengan Rhodes dalam Pierre (2000, p 54) menyebutkan: Governance is part of fight back. It is a description of the unintended consequences of corporate management and marketization. Also, marketization fragmanted service delivery systems by drawing in actors and organizations from the public, private, and voluntary sectors. The networks so central to the analysis of governance are a response to this pluralization of policy making.
Sesuai dengan opini Rhodes diatas governance adalah sebuah perlawanan kembali terhadap konsekuensi tidak diinginkan dari penerapan corporate management dan marketisasi disektor publik. Marketisasi sistem pelayanan publik membuat analisis jaringan menjadi hal yang utama dalam perspektif governance. Peters and Pierre dalam Frederickson & Smith (2003) juga menyebutkan dominasi jaringan merupakan satu dari 4 elemen dasar dalam diskursus governance. Ketiga lainnya adalah: kepasitas pemerintah yg semakin menurun untuk melakukan kontrol langsung, bersatunya pemanfaatan sumber daya publik dan privat, dan penggunaan instrumen yang bermacam-macam. Perspektif governance mempunyai visi dan misi mewujudkan ‘good public governance, good corporate governance dan good community governance. ‘Networks’ adalah unit analisis governance yang menyeimbangkan jaringan antar sektor publik, privat dan masyarakat. Analisis governance bukanlah sektoral, maksudnya ini hanya permasalahan publik, atau permasalahan privat atau permasalahan masyarakat. Hal yang dipetakan tidak melulu yang terstruktur dan formal namun juga suprastruktur dan informal. Pendekatan governance dalam melihat permasalahan publik berusaha memetakan jaringan problem tersebut dalam interaksi yang bisa jadi kompleks diantara ketiga sektor tersebut. Problem publik dilihat dalam konteks yang lebih luas pembangunan filosofi, visi, misi, karakter dan mentalitas bangsa kedepan. Pencarian upaya memanajemi problem publik juga dengan mensinergikan pola interaksi yang maksimal diketiga sektor tersebut. Problem publik akan selalu timbul dan orientasi pada pemecahan problem bukanlah
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
233
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
jawaban satu-satunya, walaupun itu juga perlu. Birokrat dan politisi kadang beorientasi singkat pada ‘problem oriented approach’ dalam ‘day to day public management’. Isu isu kebijakan publik di Indonesia mulai dari pengangguran, korupsi, bencana alam, inefisiensi, kemiskinan dan sebagainya datang silih berganti. Hal yang perlu dikritisi dari awal adalah apakah kita menempatkan problemproblem ini sebagai ‘the end’ atau tujuan akhir sebagai target penyelesaian atau sebenarnya problem itu hanyalah sarana (‘means’) untuk menjadi tujuan tertentu. Ilustrasi yang cukup sederhana untuk mengkritisi ‘problem oriented approach’ yang dalam ilmu kebijakan publik dikenal istilah 2 filosofis ‘garbage cans’ (tong sampah). Sampah yang dimasukkan kedalam tong akan dikeluarkan lagi oleh petugas sampah ditempat penampungan dalam bentuk sampah juga. Istilahnya ‘carbage in’ and ‘garbage out’ atau sampah yang masuk maka sampah juga yang akan keluar. Solusi singkat menjawab problem sampah adalah menyediakan tempat penampungan. Namun masalah baru yang akan timbul adalah bagaimana dengan bau yang dihirup masyarakat sekitar tempat penampungan, kondisi air bawah tanah apabila sampah tidak segera dikelola, kemungkinan berkembangnya penyakit disekitar wilayah tersebut dsb. Walaupun tidak menutup kemungkinan sampah tersebut juga membawa rezki bagi para pemulung. Padahal problem seyogyanya dikelola dalam rangka mensukseskan suatu ‘value’ tertentu yang ingin dicapai. Values atau nilai2 ini biasa dibungkus dalam bentuk falsafah, visi, misi, strategi, program dsb (Lihat ‘Unlocking Public Value’ oleh Cole and Parston 2006). Sehingga setiap upaya pengatasan problem merupakan suatu langkah untuk 2
Dalam buku Frederickson and Smith (2003) judul ’The Public Administration Theory Primer’ hal 85 – 88 dijelaskan tentang ‘garbage cans theory’
234
mewujudkan visi dan misi tertentu bagi pemerintah dan masyarakat setempat. Oleh karena itu karakter kepemimpinan yang kuat dengan visi dan misi yang jelas akan menjadi modal utama mengarahkan semua kekuatan dan kelemahan (problem-problem) serta peluang dan tantangan untuk mencapai ‘values’ yang telah dipatok tersebut. Pemecahan problem merupakan salah satu komponen saja dalam pencapaian nilai-nilai yang ingin dibangun. NPM: PROBLEM PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN DAN TERMARGINALKAN Kesepuluh prinsip ‘ reinventing government’ dalam bukunya Osborne and 3 Gaebler (1992) banyak dirujuk oleh ilmuwan sebagai prinsip-prinsip dasar pengembangan perspektif NPM. Seperti spirit untu k mengutamakan fungsi ‘steering rather than rowing’, maksudnya pemerintah berperan sebagai pengatur dan pengontrol daripada pelaksana langsung. Si pelaksana layanan publik bisa diberikan kepada sektor privat. Privatisasi dan marketisasi fungsi-fungsi pemerintah merupakan pilihan strategi kebijakan dalam era ‘New Public 3
Kesepuluh prinsip ‘reinventing government’ dari Osborne dan Gaebler dikategorikan masuk dalam era ‘new public management’: Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh, Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani, Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan kedalam pemberian pelayanan, Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan, Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan, Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi, Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan, Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati, Pemerintahan desentralisasi, Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Management’. Pierre (2000) menyebutkan perspektif ini mempromosikan marketisasi (‘marketization’) sektor publik, penggunaan manajemen kontrak, privatisasi, membuka alternatif2 pelayanan sehingga konsumen mempunyai pilihan. Fun gsi p emerin tah an men galami pencekungan atau dalam istilah Rhodes pada saat presentasi bersama penulis di konferensi tahunan APSA (Australasian Political Science Association) tahun 2004 di Adelaide 4 Australia, menyebutnya sebagai ‘hollowing’ , yaitu penyusutan fungsi – fungsi pemerintah dalam aktifitas-aktifitas langsung yang berhubungan dengan publik (lihat juga Rhodes – 1997 dalam understanding governance). Fungsi-fungsi birokrasi pemerintah disamping telah dilimpahkan kesektor nonpemerintah juga mengalami pergeseran p arad ig ma k e ma sa - ma sa d i man a penggunakan teknik-teknik manajemen sektor privat dipergunakan disektor pemerintahan. Pada halaman pembuka buku berjudul ‘New Public Management’ karya Lane (2000) ditulis: “New public management is a topical phrase to describe how management techniques from the private sector are now being applied to public services”. Perspektif ini mereformasi pendekatan manajemen pelayanan publik sebelumnya yang menggunakan pendekatan birokrasi weberian. Sebagai contoh bentuk-bentuk pengaturan yang melibatkan sektor non pemerintah dalam manajemen ‘public utility’, King and Maddock (1996, p. 9) membagi tiga model dasar untuk public utility yang bercirikan bisnis infrastruktur. Model pertama, perusahaan yang beroperasi adalah dibawah pemerintahan dan dibawah kontrol 4
Paper2 konferensi ini bisa didownload di www.adelaide.edu.au/apsa/paper
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
politik, disebut sebagai Perusahan Negara/publik. Model Kedua, perusahaan privat diijinkan mengoperasikan perusahaan publik milik pemerintah namun mereka diatur dengan regulasi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dikarenakan mempunyai hak-hak monopoli pengelolaan bisnis. Model Ketiga, perusahaan-perusahaan privat diijinkan berkompetisi untuk mendapatkan hak monopoli mengelola suatu wilayah. Teknik-teknik manajemen yang biasa digunakan disektor bisnis telah digunakan disektor pemerintahan, seperti penyusunan renstra dan pengukuran kinerja untuk 5 pemerintahan lokal, BUMN dan BUMD . Inefisiensi unsur-unsur sektor pemerintah seperti unit-unit pemerintah, BUMN dan BUMD menyebabkan pendekatan ini mendapatkan tempat, apalagi didukung realita anggaran pemerintah yang mengalami defisit dan keharusan membayar hutang luar negeri. Sehingga BUMN dan BUMD serta bentuk-bentuk unit-unit pemerintahan lainnya yang menguras anggaran pemerintah diprivatisasi ke pihak swasta. Problem yang timbul kemudian adalah fungsi ‘serving’ dari pelayanan publik yang telah diprivatisasikan tersebut terutama terhadap masyarakat miskin dan marginal yang secara struktutal dan kultural berada pada posisi yg kurang menguntungkan untuk bersaing dan berkompetensi mendapatkan akses-akses pelayanan (lihat Denhardt and Denhardt, 2003 dalam bukunya ‘The New Public Service’). Kritik terhadap NPM mencakup kesangsian tentang pelayanan publik yang masih menjunjung prinsip-prinsip 5
Jones (2001, p. 124) menyebutkan ‘Public sector organisations are called upon to produce mission statements, strategic plans, statements of objectives and performance indicators-the basic components of performance management’
235
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
keadilan, pemerataan dan kepantasan terutama bagi masyarakat miskin dan termarginalkan. GOVERNANCE: KEBUTUHAN ATAU HANYA MODE Urgensinya ‘good governance’ dalam konteks ini ingin mengembalikan lagi spirit pelayanan publik terhadap masyarakat miskin dan termarginalkan, walaupun dalam situasi sektor pelayanan publik telah dikelola oleh sektor privat. Dalam konteks ini Rhodes (2000) menyebutkan 'good governance marries the new public management to the advocacy of liberal democracy'. Governance yang baik mengawinkan antara ‘new public management’ dan advokasi demokrasi liberal. Walaupun penulis lebih memilih ‘participative democracy’ dibanding ‘liberal democracy’ untuk konteks Indonesia. Karena demokrasi liberal yang berkarakteristik individualistik belum tentu cocok dengan tipologi kebersamaan masyarakat Indonesia, sedangkan ‘participative democracy’ masih membuka ruang untuk memasukkan kearifan lokal. Good governance menyangkut pemberdayaan hak-hak masyarakat. Menyeimbangkan kesinambungan antara tujuan ekonomi dengan tujuan-tujuan social dan lingkungan merupakan visi dan misi yang dianjurkan dalam dukumen-dokumen national (UUD’45 dan UU) dan international (Agenda 6 21-PBB ). Untuk menguatkan visi dan misi sosial dan lingkungan tersebut perlu pemberdayaan hak-hak masyarakat. Masyarakat (secara individu dan kelompok) diberi hak-hak untuk berpartisipasi, khususnya dalam mengawasi dan
6
Dokumen Agenda 21 bisa di akses di website PBB: http://www.un.org/esa/sustdev/documents/agend a21/english/agenda21toc.htm
236
mengevaluasi publik.
kinerja
lembaga-lembaga
Tiga sektor dalam ‘Good Governance’ yaitu sektor Pemerintah, sektor Privat, dan sektor Masyarakat seharusnya mempunyai pembagian hak dan tanggungjawab bersama yang jelas yang biasanya diatur dalam kontrak-kontrak (legal-formal, sosial, ekonomi dan politik), dimana kontrak-kontrak ini merupakan hasil produk pengaturan bersama yang melibatkan ketiga sektor tersebut. Kontrak-kontrak berisi norma-norma yang mengatur pola hubungan antar pelaku-pelaku dari ketiga sektor tersebut dan menjadi acuan untuk pelaksanaan akuntabilitas (tanggung gugat) mereka. Fungsi pemerintah sebagai pengatur regulasi dan mengamankan hasil-hasil regulasi berdasarkan kesepakatan bersama ketiga sektor tadi seyogyanya lebih diutamakan. Masyarakat mempunyai hak-hak dan peran langsung seperti akses informasi (kebebasan informasi) dalam mengawasi kinerja lembaga pemerintahan dan mitra kerjanya yang dijamin oleh sistem legal-formal. Sistem ini yang dapat memberi implikasi yuridis apabila lembaga-lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi informasi dan akuntabilitas publik. Keterlibatan masyarakat langsung untuk berpartisipasi dan atau mengawasi kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pelayanan publik merupakan salah satu fondasi terlaksananya ‘Good Governance’. Sektor masyarakat berbagi tanggung jawab dan tanggung gugat (akuntabilitas) dengan sektor pemerintah dan privat dalam fungsifungsi pengawasan pelayanan publik. ‘Good governance’ tidaklah hanya semata-mata permasalahan manajemen pelayanan publik seperti melakukan efisiensi, melakukan privatisasi dan kontrak-kontrak manajemen, mengurangi pegawai. Namun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
‘good governance’ juga memasuki arena kebijakan publik, dimana masyarakat pemberi mandat demokrasi kewenangan dan legitimasi politik perlu diberikan hak-hak yang nyata diatur dalam produk-produk kebijakan publik (seperti Undang-Undang) untuk mengawasi proses kegiatan pelayanan publik, seperti Rancangan Undang-Undang RI tentang Kebebasan Publik memperoleh Informasi Publik merupakan suatu produk kebijakan publik untuk memberdayakan sektor masyarakat. RUU ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak masyarakat berpartisipasi langsung mengawasi kegiatan pelayanan publik. Merujuk beberapa analisis diatas kiranya cukup tepat menampilkan pendefinisian konsep governance berdasarkan Kooiman (2003) yang mengutamakan sisi sosial dan politiknya yaitu sebagai “arrangements in which public as well as private actors aim at solving societal problems or create societal opportunities, and aim at the care for the societal institutions within which these governing activities take place” (Kooiman, 2003, p. 139). Governance bukanlah semata-mata majalah ‘day to day management’ dan permasalahan teknis belaka, namun memasuki arena ‘societal opportunities’ dimana ‘trust’ memainkan peranan yang sangat penting. Kepercayaan merupakan ‘glue’ yang selama ini menjadi social capital yang sangat berharga dimasyarakat. Keberhasilan M Yunus dgn Greemen Bank nya di Bangladesh dengan memberikan pinjaman modal tanpa agunan dan hanya bermodal kepercayaan masyarakat miskin yang menjadi nasabahnya merupakan bukti kepercayaan masyarakat bisa menjadi modal sosial yang bermanfaat. Karena sebagian peminjam tetap mengembalikan pinjamannya.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Beberapa prinsip-prinsip good governance lainnya yang belum sempat diulas dalam paper singkat ini sebagaimana disebutkan oleh Bank Dunia (The World Bank 1992) bahwa pelaksanaan ‘Good Governance’ dilakukan melalui upaya-upaya pengaturan bersama manajemen pelayanan publik dengan prinsip-prinsip transparansi informasi, akuntabilitas publik, kerangka legal yang pro pembangunan untuk masyarakat, dan manajemen yang efisien-efektif dalam merespon pelayanan publik. Bappenas (2005) menyebutkan 14 prinsip tata keperintahan yang baik (‘good governance’): wawasan kedepan (visionary), keterbukaan dan transparansi (openness and transparancy), /partisipasi masyarakat (participation), tanggung gugat (akuntabilitas atau accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi (democracy), profesionalisme dan kompetensi (profesionalism and competency), daya tanggap (responsiveness), keefisienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness), desentralisasi (decentralization), kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private and civil society partnership), komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality), komitmen pada lingkungan hidup (commitment to environmental protection) dan komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market). Disamping prinsip demokrasi dan orientasi pada visi dan misi yang telah diulas diatas, maka akuntabilitas publik, transparansi informasi dan partisipasi masyarakat akan mendapatkan kajian yang tersendiri dalam sub bab berikutnya ini.
237
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
AKUNTABILITAS PUBLIK, TRANSPARANSI 7 INFORMASI & PARTISIPASI MASYARAKAT Konsepsi governance mempunyai beberapa pilar utama untuk merealisasikannya diantaranya adalah akuntabilitas publik dan transparansi informasi. Komentar seperti ini sering ditemui bahwa ‘sistem pengawasan dan akuntabilitas saat ini sudah baik, namun implementasinya yang tidak baik dan menyimpang’. Baik menurut mereka karena sudah ada yang melaksanakan fungsi pengawasan seperti internal auditor dari dirjen terkait, Badan Pengawas Daerah, BPKP. Juga sudah ada sistem Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Hasil informasi tersebut juga sudah dilaporkan ke Dewan. Namun hanya melibatkan unsur- unsur dari sektor pemerintahan saja saat ini dipandang kurang cukup. Tuntutan saat ini lebih luas lagi untuk melibatkan partisipasi masyarakat umum baik perorangan maupun kelompok seperti pengamat sosial, aktifis LSM, dosen, mahasiswa, pers dan lain-lain unsur masyarakat yang ingin mengakses informasi publik, utamanya kinerja sektor publik. Walaupun kadang tuntutan akses informasi semakin dalam termasuk informasi kategori sensitif seperti laporan keuangan, SDM, partner usaha pemerintah dll. Sistem formal dan legal membuat para birokrat pemerintahan tersebut harus memberikan informasi-informasi tersebut terhadap publik, baik diminta taupun tidak diminta. Partisipasi publik meminta adanya akuntabilitas publik yang merupakan faktor utama untuk mewujudkan good governance. Akuntabilitas publik memerlukan adanya transparansi informasi untuk menjalankan fungsi akuntabilitas tersebut. Akuntabilitas 7
Penjelasan tentang ini bisa dibaca dalam artikel Andy Fefta Wijaya di Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol VIII, No 2, tahun 2007, hal 540-543
238
dan transparansi adalah norma utama untuk mewujudkan good governance. Pollitt secara sederhana mengatakan akuntabilitas adalah sebuah hubungan dimana sebuah pihak tertentu diharuskan untuk melaporkan tindakan-tindakannya terhadap pihak lain (Pollit, Birchall & Putman 1988). Oleh karena itu dalam akuntabilitas terdapat i) pihak yang bertanggungjawab melaksanakan akuntabilitas, ii) pihak-pihak mempunyai kewenangan dan hak menanggung gugatkan pihak-pihak yang bertanggungjawab tersebut, iii) ukuranukuran yang dijadikan patokan penilaian akuntabilitas tersebut, dan iv) norma atau nilai yang menjadi moral spirit dari sistem akuntabilitas tersebut. Jenis akuntabilitas dibedakan oleh Paul dalam Modul 1 AKIP LAN & BPKP (2000), menjadi i) akuntabilitas demokrasi (democracy accountability) yang merupakan perpaduan antara akuntabilitas administratif dan politik, dimana para penyelenggara layanan publik bertanggung jawab kepada menteri-mentri dan kepala pemerintahan kemudian secara berjenjang mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemimpin-pemimpin politik misal dilembagalembaga legislatif; ii) akuntabilitas profesional (‘professional acc ountability’ ) yaitu akuntabilitas para profesional sesuai dengan standar keprofesiannya, dan iii) akuntabilitas legal (‘legal accountability’) yaitu akuntabilitas hukum dan regulasi yang ada sudahkah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan publik dalam pelayanan barang-barang dan jasa publik. Berdasarkan penyelenggaran pemerintahan, Yango dalam Modul 1 AKIP LAN & BPKP (2000) membedakannya menjadi i) akuntabilitas tradisional atau regular (‘traditional atau regularity accountability’) yang memfokuskan pada transaksi-transaksi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
reguler atau fiskal, ii) akuntabilitas manajerial (‘managerial accountability’ ) yang mengutamakan pada penghematan dan efisiensi penggunaan sumber dana dan daya, iii) akuntabilitas program (‘program accountability’) yang memfokuskan pada pencapaian hasil usaha pemerintah, iv) akuntabilitas proses (‘process accountability’) yan g m em fo ku s kan k e p ad a p ro s e s pelaksanaan dan aktifitas organisasi itu sesuai dengan koridor moral dan etika publik, dan yang terakhir bisa dimasukkan dalam kategori ini (dari Bappenas 2005) adalah v) akuntabilitas hasil dan dampak (‘outcome accountability’) yang memfokuskan pada hasil dan dampak kegiatan dan akitifitas organisasi publik pada masyarakat. Konsepsi akuntabilitas (Koppell 2005) mengandung lima dimensi utama, yaitu mencakup: transparansi (sudahkan organisasi terbuka dengan fakta-fakta kinerjanya?), liabiliti (sudahkah organisasi memperhatikan konsekuensi dari kinerjanya?), pengontrolan (sudahkah organisasi melaksanakan prinsipprinsip yang dianjurkan?), tanggungjawab (sudahkah organisasi mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan?), responsif (sudahkah organisasi memenuhi tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat?). Beberapa analisis diatas memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip good governance bukan merupakan sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri, tapi mereka merupakan elemen-elemen yang terkait satu dengan lainnya untuk mewujudkan good governance tersebut. Hal yang cukup mudah untuk dibicarakan namun akan terasa sulit diimplementasikan terutama pada konteks lingkungan sektor publik yang kurang kondusif terhadap perubahan-perubahan, yang seringkali perlawanan tersebut malah timbul dari para birokrat sendiri dengan ‘mindset’ yang lama dan tetap menginginkan ‘status quo’.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Hikmah kedua yang bisa diambil adalah perspektif governance masih memerlukan kaki-kaki yang menginjak bumi sehingga ideide baik tersebut bisa bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat (‘public need’), akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat merupakan elemen penghubung dengan kaki-kaki yang menancap dibumi tersebut. Seperti yang disimpulkan dalam disertasi doktor Andy Fefta Wijaya (2005) bahwa studi governance saat ini masih memerlukan alat dan model praktis untuk membumikan ide-ide governance tersebut. Wijaya (2005) menyimpulkan bahwa: ‘governance studies such as Kooiman (2003), Rhodes (2003), (Fredercikson and Smith, 2003), Bevir and Rhodes (2003); and Kettl (2002) has been being developed, but a practical means as this outcome performance measurement web model is less developed for evaluating performances in the three governance sectors. Dengan demikian studi governance menawarkan peluang yang sangat besar bagi para ilmuwan untuk mengadakan studi dan penelitian dibidang ini. Tantangan bagi perkembangan ilmu administrasi di abad 21 ini. KESIMPULAN Beberapa implikasi teoritis dan praktis terhadap tata kelola dan perilaku individu dan in stitu si p emerintahan saat in i jelas memeperlihatkan signifikansi akibat berkembangnya perspektif NPM dan governance. Suka atau tidak suka NPM dan governance telah mereformasi sektor publik baik secara sedikit demi sedikit ataupun fulgar, ataupun baik secara langsung ataupun tidak langsung. Birokrasi weberian walaupun telah dipandang ‘out of date’ oleh banyak ilmuwan namun masih mendominasi tata kelola disektor publik terutama dinegaranegara berkembang. Hal ini juga merupakan tantangan terbesar untuk ekperimentasi
239
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
perspektif NPM dan governance dalam abad 21 ini. DAFTAR PUSTAKA Bap p en a s, 2 00 5. P r in si p -P r in sip T ata Kepemerintahan Yang Baik, Bappenas, Jakarta Bevir, M., & Rhodes, R. A. W. (2003). Interpreting British Governance. London: Routledge. Cole, M., and Parston, G., 2006. Unlocking Public Value, John Wiley and Sons, New Jersey. Denhardt, J. V., and Denhardt, R. B., 2003. The New Public Service: serving not steering, M. E. Sharpe, Armonk. Jones, G., 2001. Performance Management, in C. Aulich, J. Halligan, S. Nutley, Australian handbook of Public Sector Management, Allen and Unwin, NSW. Frederickson, H. G., 1997. The Spirit of Public Administration, Frederickson, H. G., dan Smith, K. B., 2003. The Public Administration Theory Primer, Westview Press, Colorado. King, S. dan R. Maddock, 1996. Unlocking the Infrastructure: the reform of public utilities in Australia, Allen dan Unwin, NSW Kettl, D. F. (2002). The Trasformation of Governance. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Kooiman, J. (2003). Governing as Governance. London: Sage Publications. Koppell, J. G., 2005. Pathologies of Accountability: ICANN and the Challenge of “Multiple Accountabilities disorder”, Public Administration Review, 65/1: 94-108 LAN dan BPKP, 2000. Akuntabilitas dan Good Governance, LAN, Jakarta Lane, J. E., 2000. New Public Management, Routledge, London. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government How the Entrepreneurial
240
Spirit Is Transforming the Public Sector. New York: The Penguin Books. Pierre, J., 2000. Debating Governance, Oxford University Press, Oxford. Pollitt, C., Birchall, J., & Putman, K. (1998). Decentralising Public Service Management. London: Macmillan. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Rhodes, R. A. W., 1997. Understanding Governance, Open University Press, Berkshire. The World Bank, 1992. Governance and Development, the World Bank, Washington. UN. (2004). Agenda 21. Retrieved 25 March, 2005, from United Nations (UN) website: http://www.un.org/esa/sustdev/docu ments/agenda21/english/agenda21cha pter18.htm Wijaya, A. F., 2007. Akuntabilitas Aparatur Pemda Dalam Era Good Governance dan Otonomi Daerah, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol VIII No 2 Wijaya, A. F., 2005. Water as A Public Good in Indonesia: an evaluation of water supply service performance in an Indonesian water supply enterprise as a means to address social and environmental justice concerns, Disertasi Doktor di Flinders University, Australia Wijaya, A. F., 2004. Evaluating Outcome Performance in An Indonesian Public Water Company:The Implications of Cost Inefficiency and Price Policy for the Poor, refereed paper presented to the Australasian Political Studies Association Conference, University of Adelaide, 29 September – 1 October 2004
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN : Dan Indikator-Indikator Hasilnya Andy Fefta Wijaya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 16
ARTIKEL
PENINGKATAN KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI DAN INDIKATOR SERTA MODEL PENGUKURANNYA1 Oleh: H.A. Kartiwa Guru Besar Administrasi Publik FISIP Universitas Padjajaran
Abstract Accountability is an obligation embodiment of a government institutions to take responsibility for the success and failure of its mission. Implementation of accountability through a strategic approach, which will accommodate the rapid changes occurring in the organization and quickly adapt to changes as the demands anticipatory stakeholders concerned. Implementation of accountability and external examination itself is needed as one of the pillars for the creation of good governance and clean government. Democratic climate in public bureaucracies inspire trust and mutual trust between the government and the public. A clear division of powers and balance between the state create an conducive atmosphere to the built of the nation and the state. Keyword : accountability, good governance, clean government
Intisari Akuntabilitas merupakan suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang terjadi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut sebagai antisipatif atas tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan. Implementasi akuntabilitas dan pemeriksaan eksternal itu sendiri sangat dibutuhkan sebagai salah satu pilar bagi terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Iklim demokratis dalam birokrasi publik menumbuhkan kepercayaan dan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat. Pembagian kekuasaan yang jelas dan seimbang antara lembaga negara menciptakan suasana kondusif dalam membangun bangsa dan negara. Kata Kunci : akuntabilitas, good governance, clean government 1
Tulisan ini merupakan bahan paparan yang disajikan pada diskusi terbatas tentang penyusunan indicator pembangunan bidang aparatur pada tanggal 21-22 Juni 2012 di Bandung.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
241
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
PENDAHULUAN Untuk memenuhi tuntutan akan pelayanan publik yang baik, cepat, murah, serta sederhana, maka negara harus mereformasi a dministr asi publiknya menjadi lebih demokratis, efisien dan m e n c i p t a k a n p e me r in t a h a n y a n g berorientasi pada kepentingan masyarakat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu melibatkan masyarakat, swasta dan kelompok kepentingan lainnya untuk berperan aktif dan menjadi aktor yang sejajar dalam meningkatkan pelayanan publik. Menurut Hunter dan Shah (1998) dala m T j ipt ono ( 2 0 0 9 : 3 11 ) , te lah mengembangkan kualitas tata pemerintahan yang baik (good governance index) berdasarkan atas sub indeks, antara lain : 1. Indeks partisipasi masyarakat ; penilaian kolektif yang menggambarkan indeks kebebasan dan stabilitas politik. 2. Indeks orientasi pemerintahan; penilaian kolektif yang menggunakan indeks efisiensi lembaga peradilan. 3. Indeks pertumbuhan sosial; penilaian kolektif yang menggunakan indeks pembangunan manusia dan distribusi pendapatan secara seimbang. 4. Indeks manajemen ekonomi; penilaian kolektif yang menggunakan indeks orientasi keluar, kemandirian bank sentral dan rasio penurunan utang serta peningkatan gross domestik (gross domestic product). Indeks kualitas tata pemerintahan dinilai dalam tiga kategori ; baik, sedang dan buruk. Akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang diberikan sesuai dengan norma dan nilai yang dianut 242
masyarakat serta mampu mengakomodasikan kekuatan rakyat sesungguhnya. Dengan demikian pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akuntabilitas birokrasi publik merupakan prasyarat pembangunan bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Bank dunia, membuat indeks efektivitas kinerja pemerintah yang bertujuan untuk membandingkan kualitas birokrasi publik, pembuatan kebijakan, dan pelayanan publik. Hasilnya didapat bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingginya efektivitas kinerja pemerintah dengan peningkatan pendapatan nasional. T a t a p e m e r i n t a h a n y an g b a i k merupakan jaminan penting dari pemerintah untuk memastikan bahwa aktivitas politik dan ekonomi dapat menguntungkan seluruh komponen masyarakat, tidak saja menguntungkan kelompok, individu atau institusi tertentu. Ketiadaan tata pemerintahan yang baik maka akan berujung pada tidak terciptanya pelayanan publik yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini karena birokrasi tidak dapat diandalkan dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang berbasis pada nilai good governance seperti: efektivitas, efisiensi, transparansi, responsivitas dan akuntabilitas. Untuk itu akuntabilitas birokrasi publik tidak mungkin hanya dapat diperoleh dengan sikap menunggu. Akuntabilitas adalah hak masyarakat dan merupakan sesuatu yang harus dituntut oleh masyarakat. KAPASITAS DAN AKUNTABILITAS KINERJA BIROKRASI Menurut Stewart, konsep akuntabilitas dibagi menjadi lima tingkatan, JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
yaitu 1) accountability for probity and legality, 2) process accountability, 3) performance accountability, 4) programme accountability and 5) policy accountability. Akuntabilitas merupakan suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang terjadi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut sebagai antisipatif atas tuntutan p i h a k - p i h a k y a n g be r k e p e n t i n g a n . Implementasi akuntabilitas dan pemeriksaan eksternal itu sendiri sangat dibutuhkan sebagai salah satu pilar bagi terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance mulai banyak dibicarakan. Hampir semua birokrat dan pejabat negara ramai membicarakannya, dengan kata lain bahwa Good Governance telah menjadi wacana yang kian populer di tengah masyarakat. Adapun definisi dari Good Governance menurut World Bank adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (http:/www.transparansi. or.id). Namun banyak kalangan JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Untuk memahami Good Governance kunci utamanya adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya. Adapun prinsipprinsip Good Governance adalah sebagai berikut (http://www.transparansi.or.id) : 1. Partisipasi masyarakat Partisipasi tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan m e n g e l u a r k a n p e n d a pa t , s e r t a kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif; 2. Tegaknya supremasi hukum Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia; 3. Transparansi Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau; 4. Peduli pada stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan; 5. Berorientasi pada konsensus Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus dalam hal kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur; 6. Kesetaraan Semua warga negara mempunyai k e s e m p a t a n m e m p e r ba i k i a t a u me mpe r tahank an k e se j ahte r a a n mereka;
243
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
7. Efektivitas dan efisiensi Proses pemerintahan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin; 8. Akuntabilitas Pemerintah bertanggung jawab kepada masyarakat dan lembaga-lembaga yang berkepentingan; 9. Visi strategis Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik. S e m a n g a t r e f or m a s i t e l a h mewarnai upaya pendayagunaan aparatur pemerintah dengan tuntutan untuk mewujudkan sistem administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip Good Governance. Terselenggaranya pemerintahan yang baik menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan bangsa dan negara. Karenanya tidak berlebihan jika penyelenggara pemerintahan yang baik menjadi salah satu indikasi terwujudnya demokratisasi sebagai upaya mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem akuntabilitas yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih, bertanggung jawab serta bebas KKN. S u p a y a p e me r i n t a h m a m p u melaksanakan fungsinya dengan bercirikan good governance, maka perlu diciptakan suatu kerangka administrasi publik yang mengandung unsur-unsur terciptanya suatu 244
sistem kooperasi serta pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan bagi masyarakat. Perkembangan global mendorong insitusi public untuk lebih akuntabel dan transparan dalam setiap penyusunan kebijakan, tindakan dan kinerja yang dihasilkan. Walau terdapat perbedaan penerapannya di masing-masing Negara, akuntabilitas pemerintahan kepada public pada umumnya lebih difokuskan kepada masalah efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas public didasari pemikiran bahwa masyarakat tidak hanya berhak mengetahui pada pelaporan pertanggung-jawaban keuangan saja, tetapi juga non keuangan atau lebih dikenal dengan akuntabilitas kinerja. Bahwa dengan akuntabilitas, maka pemerintah berkewajiban mem pertanggung jawabkan amanah rakya yang disandangnya secara berkala melalui mekanisme media yang disetujui bersama oleh pemberi amanah yaitu rakyat melalui w a k i l n y a . De n g a n de m i k i a n s u a t u pemerintah yang akuntabel adalah pemerintah yang mampu menyajikan informasi secara terbuka mengenai keputusan-keputusan yang telah diambil sehingga pihak luar mereview informasi tersebut. Dengan demikian penggunaan istilah akuntabilitas public mengandung makna bahwa keputusan dan kebijakan yang telah diambil harus dapat di pertanggung-jawabkan kepada public dan masyarakat dapat mengakses informasi tersebut. Menurut Institute on Governance ( 1 9 9 6 ) , u n t u k me n c i pt a k a n “ g o o d JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
governance” perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut : 1. Kerangka kerja tim (team work) antar organisasi, departemen dan duta wilayah. 2. H u b u n g a n k e m i t r a a n a n t a r a pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan. 3. Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerja sama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan. 4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong t e r c i p t a n y a k e ma m pu a n d a n keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan. 5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilainilai etika dan moralitas yang diakui dan disanjung secara bersama-sama oleh masyarakat yang dilayani. 6. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi kepada masyarakat, adanya publik yang mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan pemerataan dan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional dan bersikap tidak memihak (non partisan). Pada sektor publik, dimana negara dan sistem pemerintah menjadi tumpuan pelayanan atas warga negara yang harus memperoleh jaminan atas hak-haknya, penataan manajemen kelembagaan sektor ini bukanlah persoalan sederhana. Sistem politik, berbagai regulasi yang menjadi JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
bagian sistem birokrasi penataan suatu negara, budaya organisasi birokrasi yang memberi tempat pada kewenangan yang b e r l e b i h ( o ve r a u t h or i t y ) s e k t o r pemerintahan atas swasta atau negara atas rakyatnya dapat menjadi urusan penghambat munculnya sistem pelayanan prima dalam sektor publik. Dalam hal ini r e v i t a l i s a s i b i r o k r a s i da n c a r a - c a r a menemukan kembali penataan sistem manajemen publik dalam mengantisipasi tuntutan untuk melayani sektor swasta serta rakyat pada umumnya menjadi crucial. Kebutuhan mendesak ini menemukan momentumnya manakala globalisasi pasar bebas memacu tingkat kompetisi yang sangat tinggi dari seluruh elemen k e l e m b a g a a n ne g a r a , k h u s u s n y a Pemerintah maupun sektor swasta pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka, dorongan untuk mengurangi biaya (cost reduction drive), dorongan untuk memenangkan segmen jasa yang tersedia (market drive) manajemen mutu pelayanan semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini, oleh karenanya, selain secara internal setiap organisasi, perusahaan maupun birokrasi pemeritahan daerah dihadapkan kepada keharusan memenuhi perubahan apresiasi atas kemampuan organisasi memenuhi tujuan mereka, juga secara eksternal akan dihadapkan pada kenyataan yang menghendaki keharusan untuk melakukan adaptasi. Langkah-langkah inovatif kemudian menjadi salah satu pilihan yang harus diambil agar setiap elemen internal maupun eksternal secara sinergis membangun kemampuan memenangkan persaingan dan memberi jaminan 245
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
pelayanan internal atas tuntutan mendasar yang terus berubah. Dinamika pasar, dinamika global, serta tarikan-tarikan kekuatan eksternal, karenanya harus secara taktis diantisipasi secara pro-active bukan bahkan secara relatif. Persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana Birokrasi Pemerintah mampu menciptakan suatu nilai dan moral untuk melayani bukan dilayani. Bukan jalan yang mudah untuk menciptakan sistem manajemen pelayanan prima, tetapi jalan pikiran yang sedang mengarah secara terencana ke arah upayaupaya meningkatkan kemampuan manajemen sektor publik maupun swasta untuk mencapai pelayanan yang tinggi seperti ketepatan waktu, (delivery on time), keunggulan mutu produk (high quality of products), penunjang biaya untuk memperoleh pelayanan (cost reduction), serta perlakuan yang semakin menempatkan konsumen atau rakyat sebagai pihak yang memiliki martabat dan kedaulatan, semakin menemukan bentuknya. Modal yang paling mendasar adalah memenangkan kompetisi jasa masa depan, sebuah perlakuan yang menempatkan masyarakat pada tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan yang penting. Upaya untuk membuat masyarakat dapat dilakukan dengan mendesain fungsi dan peranan pelayanan masyarakat yang lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini, peranan teknologi modern merupakan faktor penunjang utama. Berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik, Denhardt (1998 : 18), menyatakan bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas menyebut pentingnya kualitas subjektif, berupa tanggung jawab para 246
pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggunjawaban tersebut. Untuk itu perlu dibuka ruang publik yang mempertemukan antara kepentingan masyarakat dan pemerintah sehingga menjadi sinergis, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Dengan demikian diharapkan bahwa akan lebih terbuka ruang bagi aparat pemerintah untuk memikirkan dan melaksanakan kebijakan -kebijakan pembangunan berdasarkan kebutuhan yang senyatanya. Mengingat belum banyak terdapat perubahan di dalam latar belakang budaya, pola berpikir dan pola bertindak birokrat sistem akuntabilitas kinerja belum dapat diimplementasikan secara baik. Adanya ruang ruang publik dan adanya keterbukaan menjadikan akuntabilitas kinerja pemerintah dapat terbangun dan terkontrol dengan baik. Akuntabilitas merupakan prinsip yang m e n j a m i n b a h w a s e t ia p k e g i a t a n p e n y e le n g g a r a a n p e me r i n t a h a n d i pertangungjawabkan secara terbuka oleh penyelenggara negara kepada pihak yang terkena keputusan. Akuntabilitas pada hakikatnya menciptakan suatu kondisi di mana keputusan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan aspirasi masyarakat. Akuntabilitas harus menjadi “profesional” daripada “birokratis”, pergantian dari akuntabilitas “upward” ke pejabat-pejabat terpilih menjadi akuntabilitas “downward” ke masyarakat. Untuk itu budaya demokratis harus masuk ke tubuh birokrasi publik sehingga birokrasi menjadi transparan, responsif, akuntabel dan memberikan ruang untuk adanya partisipasi masyarakat. JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
INDIKATOR DAN MODEL PENGUKURANNYA. Ferlie (1997 : 202 – 216) membedakan beberapa model akuntabilitas, yakni : akuntabilitas ke atas (accountability up-wards), akuntabilitas kepada staff (accountability to staff), akuntabilitas ke bawah (accountability downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri ( self accountability). Dua model akuntabilitas yang pertama sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan konsep-konsep tentang kontrol, pengawasan atau pengendalian di dalam birokrasi publik. Kemudian konsep accountabilitv downwards terkait dengan konsep demokrasi partisipatif, bahwa aktivitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan yang erat dengan proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat lokal.
Sedangkan konsep market-based forms of accountability mengutamakan adanya kompetisi dan mekanisme pasar yang memungkinkan rakyat memiliki pilihan lebih banyak terhadap kualitas pelayanan yang dikehendakinya. Pemerintah harus mampu memperluas alternatif penyedia pelayanan publik serta menunjang informasi atau menerapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik di dalam pelayanan publik. Kemudian juga terdapat konsep self-accountabilty yang pada dasarnya merupakan proses akuntabilitas internal yang sangat tergantung kepada penghayatan mengenai nilai-nilai moral atau etika para pejabat birokrat yang melaksanakan tugas pelayanan publik. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan akuntabilitas birokrasi publik di Indonesia kiranya penting untuk memahami cara-cara yang secara umum pernah dikemukan oleh Haylar seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan antara tujuan dan sarana untuk menjamin akuntabilitas NO
Tujuan
1.
Legitimasi pembuat kebijakan
2.
Peri –laku moral
3.
Responsivitas
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Sarana Konstitusi Sistem pemilu daerah dan lembaga lembaga perumus kebijakan Sistem perwakilan dalam birokrasi Legislasi Delegasi kewenangan formal Peraturan-peraturan teknis Nilai-nilai sosial Konsep keadilan sosial dan kepentingan umum Nilai-nilai profesional Program-program pelatihan Partisipasi dan konsultasi publik
247
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
NO
Tujuan
Sarana
Debat publik Lembaga-lembaga advokasi Pertemuan umum Kebebasan berpendapat. 4. Keterbukaan Pembahasan di parlemen Layanan informasi umum Kebebasan memperoleh informasi Dengar pendapat umum Laporan tahunan 5. Penggunaan sumberdaya Anggaran secara optimal Prosedur keuangan Peraturan dan petunjuk teknis Pemeriksaan (auditing) Pertanyaan dan partisipasi publik Sistem perencanaan formal. 6. Perbaikan efisiensi dan Sistem informasi efektivitas Pemeriksaan penggunaan uang (value for money) Penetapan tujuan dan standar Petunjuk pelaksanaan program Hasil penilaian (apprasial) Umpan balik dari masyarakat Sumber : Wahyudi Kumorotomo, (2005 : 8)
Akuntabilitas yang secara luas digunakan dalam literatur administrasi publik secara umum menunjuk pada kewajiban administrator publik (public administrator) atau pemegang jabatan birokratis (holders of bureaucratic office fice) untuk menjawab dan menjelaskan pekerjaan dan kelakuan resmi mereka kepada publik berdasarkan responsibilitas yang mereka terima. Definisi ini menperlihatkan satu perbedaan yang jelas antara, dua pertanyaan fundamental dalam pembuatan keputusan publik: "To whom (in the hierarchical change of command) are public or nonprofit organizati ons accountable-'-,, dan for what?" (Dicke. 2002:456).
248
Dalam satu kerangka atau model yang lebih analitis dari akuntabilitas dikembangkan beberapa dimensi dalam konsep akuntabilitas: (1) who is accountable, (2) for what, (3) to whom, (4) in what respect, (5) how is the accountability asessed (Virtanen. 1997). Hakekat akuntabilitas adalah bahwa administrator harus menjelaskan dan atau memberi jawaban kepada publik berbagai tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh birokrat dan administrator publik yang menyangkut kepentingan rakyat sebagai stakeholders. Akuntabilitas adalah derajat sejauhmana pemerintah menjelaskan (to
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
explain), menjawab (to answers) dan menjastifikasi (to justify) tindakan-tindakan spesifik (atau tidak bertindak) atau apa yang telah mereka kerjakan atau gagal mereka kerjakan, termasuk kesediaan untuk menerima konsekuensinya, baik atau jelek. Akuntabilitas menentukan alasan, motif dan pentingnya membuat keputusan dan tindakan di mata manajer publik dan warga. Dengan demikian pejabat-pejabat publik tidak hanya akuntabel kepada institusi-institusi administratif (administrative accountability), institusi politik (political acountability) dan institusi hukum (legal accountability) tetapi juga akuntabel kepada publik (public accountability) dalam berbagai cara (proses akuntabilitas ) seperti halnya konsultasi, dengar pendapat dan meminta keterangan publik, organisasi konsumen, kompensasi, pers, kelompok social dan kepentingan, dsb. Selain sarana untuk mengungkapkan informasi kepada publik tentang apa yang telah pemerintah putuskan dan kebijakan, akuntabilitas juga menjadi satu proses bagi warga untuk mengungkapkan perhatian dan harapan mereka kepada pemerintah. Interaksi, membantu administrasi untuk mengidentifikasi, menilai, dan kemudian memuaskan kebutuhan publik lebih baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kriteria untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi dapat dilihat dari 3 (tiga) hal, yaitu : 1. Apa yang akan dikerjakan pemerintah dengan indikator persyaratan, tata cara, biaya, waktu, aturan, respon, dan sebagainya. 2. Mengapa pekerjaan di kerjakan dengan indikator alasan motif, pentingnya, akurat, objektif, dan sebagainya. 3. Bagaimana mempertanggungjawabkannya dengan JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
indikator aturan yang jelas, hak dan kewajiban, memuaskan berb agai kepentingan masyarakat, dan sebagainya. Dari perspektif publik, akuntabilitas selain mencakup aspek legal dan tindakantindakan administratif, juga mencakup aspek lainnya, yaitu perilaku organisasi sosial dan profesional, elemen politik dan moral. Selain itu yang tidak kalah penting adalah menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah, sehingga mengurangi p e n u m p u k a n k e k u a s aa n s e k a l i g u s menciptakan kondisi yang saling mengawasi ( check and balances). Fungsi penyeimbang tersebut adalah badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setiap kebijakan yang dilakukan lembaga yang satu mendapat pengawasan dan penyeimbang dari lembaga lain sehubungan dengan suatu kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat akan mendapat respon dari lembaga atau badan lain yang memiliki kewenangannya masing-masing sehingga jelas pembatasan tugasnya dilaksanakan secara efisien oleh birokrasi yang melaksanakan. Pengambilan keputusan di dalam organisasi publik melibatkan banyak pakar oleh sebab itu, wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (contutuency), para pimpinan politik, teknokrat atau administrator serta para pelaksana di lapangan. PENUTUP. Iklim demokratis dalam birokrasi publik menumbuhkan kepercayaan dan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat. Pembagian kekuasaan yang jelas dan seimbang antara lembaga negara menciptakan suasana kondusif dalam 249
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
membangun bangsa dan negara. Akuntabilitas kinerja birokrasi merupakan konsep yang komprehensif dan harus sinergis dalam implementasinya. DAFTAR PUSTAKA Denhardt, Janet V & Robert B. Enhardt. 2003. The New Public Service. Armonk : M.E. Sharpe. Priyono Tjiptoheriyanto. 2009. Meningkatkan Kepercayaan Pada Lembaga Pemerintah, dalam buku Governance Reform di Indonesia. Editor: Agus Promusinto dan Wahyudi Kumorotomo. Wahyudi Kumorotomo. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa Transisi. Diterbitkan atas kerjsama antara Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar. Virtanen, Turo. 1997. Financial Autonomy and Accountability of Public Managers. European Group of Public Administration Leuven, Belgium, 1013 September 1997. Permanent Study Group 4 : Quality and Productivity in The Public Sector.
250
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
251
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas KInerja Birokrasi Dan indikator dan Model Pengukurannya H.A. Kartiwa
16
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
REFORMASI BIROKRASI vs REMUNERASI Oleh: Agustinus Sulistyo Peneliti Muda Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur-LAN Email :
Abstract Bureaucracy reform became the government commitment with the aim of improving the performance of the government organization. Bureaucracy reform was carried out by improving the structure of the organization, improved business process, and improved the management of human resources. By running the bureaucracy reform, the government official will get remuneration that is taking the form of giving of the achievement allowance. But in fact, the condition that happened was the reverse. Organization carried out bureaucracy reform to receive remuneration. So bureaucracy reform that was carried out did not touch his root, but just met the condition for the documentation of bureaucracy reform and get the remuneration. Keywords : bureaucracy reform, remuneration. Intisari Reformasi birokrasi menjadi komitmen pemerintah dengan tujuan meningkatkan kinerja organisasi pemerintah. Reformasi birokrasi dilakukan dengan meningkatkan struktur organisasi, proses bisnis ditingkatkan, dan meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia. Dengan menjalankan reformasi birokrasi, pejabat pemerintah akan mendapatkan remunerasi yang mengambil bentuk pemberian tunjangan prestasi. Namun pada kenyataannya, kondisi yang terjadi adalah sebaliknya. Organisasi melakukan reformasi birokrasi untuk menerima remunerasi. Reformasi birokrasi sehingga yang dilakukan tidak menyentuh akar nya, tetapi hanya bertemu kondisi untuk dokumentasi reformasi birokrasi dan mendapatkan remunerasi. Kata Kunci : PNS, reformasi birokrasi, gaji, tunjangan, remunerasi.
REFORMASI DI INDONESIA Reformasi di Indonesia yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan dibawah Presiden Soeharto menjadi tonggak perubahan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Diawali dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang akhirnya
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
berkembang menjadi krisis multi dimensi pada tahun 1998 telah mendorong terjadinya reformasi di Indonesia. Krisis multi dimensi tersebut telah mendorong semua lapisan masyarakat untuk menuntut pemerintah melakukan perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Para
251
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
mahasiswa sebagai motor penggerak reformasi bergerak menduduki gedung DPR dan istana presiden serta memenuhi jalanjalan ibukota dan akhirnya mendesak Presiden Soeharto untuk menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie pada bulan Mei 1998. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan reformasi tersebut. Penerbitan TAP MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN. Kemudian penerbitan TAP MPR-RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR-RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN, TAP MPR-RI Nomor II/MPR/2002 yang mengamanatkan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional termasuk reformasi birokrasi dan membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih, serta TAP MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 yang mengamanatkan pemberantasan KKN, penegakan dan kepastian hukum, serta reformasi birokrasi dengan penekanan pada kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggungjawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Perjalanan reformasi setelah satu dasa warsa terlihat banyak sekali perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut mencakup semua bidang, baik bidang sosial, politik, hukum, ekonomi termasuk pemerintahan. Sebagaimana diketahui dan dirasakan, reformasi di bidang politik telah berjalan
252
dengan sangat cepat, ditandai dengan berlangsungnya PEMILU yang demokratis dan menghasilkan wakil-wakil rakyat, baik di tingkat DPR (pusat) maupun DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) serta pembentukan DPD (dewan perwakilan daerah yang merupakan representasi wakil dari masing-masing daerah) serta pemilihan presiden dan wakil presiden maupun kepala daerah baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota secara langsung oleh rakyat. Dengan kondisi ini keterlibatan rakyat dalam memberikan aspirasi, khususnya dalam menentukan pemimpinnya lebih dihargai dan lebih didengar. Sementara itu di bidang pemerintahan khususnya pemerintahan daerah juga terjadi perubahan yang cukup signifikan. Sistem pemerintahan yang pada masa orde baru cenderung menerapkan sentralisasi kekuasaan saat ini telah berubah dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang saat ini sedang dalam proses revisi). Demikian pula di bidang hukum, upaya penegakan hukum dirasakan semakin keras dilakukan oleh aparatur penegak hukum baik polisi, hakim maupun jaksa. Pembentukan institusi KPK (komisi pemberantasan korupsi) dan penerbitan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (tipikor) telah banyak memberi angin segar pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sementara dalam upaya mengurangi sengketa dalam pelaksanaan peraturan atau kebijakan telah dibentuk MK (mahkamah konstitusi). Setelah satu dasa warsa, atau bisa disebut sebagai reformasi jilid kedua perubahan-perubahan tersebut ada yang menunjukkan perbaikan tetapi ada juga yang menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Di bidang politik terlihat
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
semakin menguatnya posisi legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada jaman dulu, legislatif seringkali diposisikan sebagai tukang stempel saja dalam penyusunan kebijakan. Hampir semua kebijakan berasal dari pemerintah (legislatif), tetapi saat ini inisiatif suatu kebijakan ada yang berasal dari legislatif. Kondisi ini menunjukkan adanya p erb aikan p erimbangan p osisi an tara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi penguatan posisi legislatif ini juga menimbulkan tersendatnya penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya perseteruan yang terjadi antara KPK dengan Komisi III DPR terkait penolakan kehadiran Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dalam rapat dengan DPR. Kondisi ini telah menyebabkan tersendatnya upaya penuntasan kasus Bank Century yang sudah berjalan sekian lama. Demikian pula dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi, yaitu terjadinya peningkatan pemekaran daerah, khususnya kabupaten dan kota. Data terakhir yang direlease di http://id.wikipedia.org/ (diunduh tanggal 31 Januari 2011), jumlah kabupaten/ kota di Indonesia adalah sebanyak 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 1 kabupaten administrasi dan 5 kota administrasi di Indonesia. Kabupaten administrasi dan kota administrasi adalah daerah yang tidak mempunyai DPRD. Padahal pada awal tahun 1998, jumlah provinsi hanya 27, kabupaten/kota sebanyak 293. Pada akhir tahun 1998, jumlah kabupaten/kota meningkat menjadi 314 (http://www.cdt31.org/, diunduh tanggal 4 Pebruari 2011). Satu peningkatan yang peningkatan jumlah yang cukup signifikan. Data ini menguatkan pendapat bahwa kebijakan desentralisasi yang diambil pemerintah cenderung meningkatkan jumlah pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota). Apakah dengan peningkatan jumlah kabupaten/kota, kesejahteraan masyarakat meningkat?
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Selanjutnya dibidang hukum, pembongkaran kasus mafia pajak mantan pegawai Kementerian Keuangan Gayus Tambunan, pengungkapan suap anggota DPR dalam pemilihan Gubernur Senior BI, kasus politisasi pimpinan KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah dan banyak kasus korupsi oleh kepala daerah merupakan contohcontoh kasus yang sudah terbongkar. Bahkan terkait dengan korupsi di daerah, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, 17 diantaranya dipimpin oleh kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (http://nasional.kompas.com/, diunduh 1 Pebruari 2011). Ini baru ditingkat provinsi, bagaimana dengan kabupaten/kota? Berdasarkan data yang di-release oleh Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Januari 2011 disebutkan bahwa pada tahun 2010 ada 174 kasus korupsi yang terjadi di Jawa Tengah, lebih banyak apabila dibandingkan kasus pada tahun 2009 (39 kasus) dan tahun 2008 (29 kasus) atau ada kenaikan hingga empat kali lipat. Dari 174 kasus itu, kabupaten terkorup adalah Kota Semarang (11 kasus), disusul Kabupaten Temanggung (9 kasus) dan Kendal (8 kasus) dan daerah lainnya bervariasi jumlah kasusnya, antara 2-7 kasus (http://www.pikiran-rakyat.com/, diunduh 4 Pebruari 2011). Gambaran yang hampir sama juga terjadi di Provinsi Bengkulu dimana terjadi 68 kasus korupsi dengan total kerugian keuangan negara mencapai Rp 16 Milyar yang terjadi di Provinsi Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten Muko-muko, Kabupaten Lebong dan Kota Bengkulu (http://bataviase.co.id/, diunduh 4 Pebruari 2011). Berbagai kasus yang terbongkar ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam pemberantasan kejahatan, khususnya dalam kejahatan korupsi menunjukkan hasil yang membaik.
253
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
REFORMASI BIROKRASI Sementara itu reformasi di pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan istilah reformasi birokrasi sudah dimulai sejak tahun 2007. Perubahan dalam tata kelola internal pemerintahan ini diawali dengan adanya pilot project untuk tiga instansi, yaitu Kementerian Keuangan, MA dan BPK. Perubahan yang dilakukan meliputi perampingan struktur kelembagaan sehingga bisa mendukung efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dilakukannya standarisasi terhadap business process atau tata kerja dalam bentuk penyusunan standard operating procedure (SOP) yang baku, dan penilaian kinerja pegawai yang dilakukan dengan menggunakan instrument yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai dan mengkaitkannya dengan pemberian insentif yang memadai (remunerasi). Tujuan perbaikan dalam tata kelola khususnya di tiga instansi ini adalah untuk meningkatkan kinerja instansi tersebut dan pada tahap awal bisa menjadi contoh bagi instansi lainnya. Dalam praktiknya, meskipun masih ada kendala dan hambatan, pelaksanaan reformasi birokrasi di tiga instansi ini dianggap cukup berhasil dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Kebijakan reformasi birokrasi dilanjutkan oleh Kementerian PAN, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, dengan mengeluarkan Keputusan Menteri PAN Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Biro krasi. Pedoman ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi kementerian/lembaga/ pemerintah daerah lainnya dalam melakukan reformasi birokrasi di instansinya masing-masing. Untuk lebih mempermudah kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi, maka pada tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri PAN Nomor PER/04/M.PAN/4/2009
254
tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Tujuan dikeluarkannya peraturan ini adalah supaya ada kesamaan bentuk dokumen usulan rencana reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah. Pada tahun 2010, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Dalam grand design ini dimuat mengenai tujuan dari grand design reformasi birokrasi, yaitu untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025 agar reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi visi pembangunan nasional, arah kebijakan reformasi birokrasi, visi, misi, tujuan dan sasaran reformasi birokrasi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa visi pembangunan nasional adalah : Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa arah kebijakan reformasi birokrasi, mencakup dua hal, yaitu : 1. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun didaerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. (UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
2. Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. (Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014). Visi reformasi birokrasi sendiri adalah menjadi pemerintahan kelas dunia, yaitu dengan mewujudkan birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat, menghadapi kompleksitas permasalahan di abad 21 melalui tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Visi reformasi birokrasi tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam tiga misi, yaitu: 1. Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; 2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan dan akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set; 3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Tujuan dilakukannya reformasi birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berikinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilainilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dengan reformasi birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang berorientasi pada hasil melalui perubahan secara terencana,
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
bertahap, berkelanjutan dan terintegrasi dari berbagai aspek strategis birokrasi. Area perubahan yang menjadi target reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, yaitu : a. Organisasi, hasil yang diharapkan adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), b. Tatalaksana, hasil yang diharapkan adalah sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, c. Peraturan perundang-undangan, hasil yang diharapkan adalah regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif, d. Sumber daya aparatur, hasil yang diharapkan adalah SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berikinerja tinggi d a n sejahtera, e. Pengawasan, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, f. Akuntabilitas, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, g. Pelayanan publik, hasil yang diharapkan adalah pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat, h. Budaya kerja aparatur, hasil yang diharapkan adalah birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Untuk bisa melaksanakan semua tujuan dan sasaran reformasi birokrasi tersebut perlu adanya suatu peta jalan atau road map. Road map reformasi birokrasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010, disusun dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Tujuan ditetapkannya road map reformasi birokrasi adalah untuk mengawal/menjaga agar pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah berjalan secara
255
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Berikut ini diberikan gambaran mengenai keterkaitan antara grand design reformasi birokrasi dengan road map reformasi birokrasi. Grand design reformasi birokrasi 2010-2025 memuat rancangan umum reformasi birokrasi untuk periode 2010-2025 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, road map reformasi birokrasi 20102014 memuat rencana rinci reformasi birokrasi untuk periode 2010-2014 yang lebih bersifat living document dan ditetapkan dengan PermenPAN dan RB, road map reformasi birokrasi 2015-2019 dan road map reformasi birokrasi 2020-2024 memuat rencana rinci reformasi birokrasi yang akan disusun sesuai dengan hasil pelaksanaan RPJMN dan road map reformasi birokrasi sebelumnya serta dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan, dan masa transisi 2024-2025 merupakan masa transisi perubahan dari RPJMN yang akan didasarkan pada RPJPN periode berikutnya. KONDISI EMPIRIS Uraian diatas adalah gambaran yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi birokrasi. Banyak kebijakan yang sudah dihasilkan dan menjadi dasar dalam menjalankan reformasi birokrasi. Pada tahun 2011 ini ada sembilan instansi lain yang segera memperoleh remunerasi, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian PPN/Bappenas, POLRI, Kementerian Pertahanan, Kementerian PAN dan RB, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan dan TNI (http://remunerasipns. wordpress.com/). Kesembilan instansi tersebut menyusul melakukan reformasi birokrasi dan segera memperoleh remunerasi.
256
Setelah sekian tahun melakukan reformasi, sangat menarik untuk melihat apakah memang ada perubahan yang terjadi dengan birokrasi Indonesia. Satu penelitian yang patut dicatat adalah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Jin Park dari KDI School of Public Policy and Management, Seoul, Korea Selatan. Dalam bukunya Governance Reform in Indonesia and Korea: a Comparative Perspective (2010), Prof. Jin Park menyebutkan adanya berbagai kesamaan yang ditemukan antara birokrasi yang dijalankan di Indonesia dengan birokrasi di Korea. Paling tidak ada empat kesamaan yang potensial menjadi permasalahan yang dicatat oleh Prof. Jin Park, yaitu : 1. Closed, rank-based system; lacking in specialization and competition, 2. Cronyism and a respect for a bureaucratic procedure, 3. Presidential system of 5 year term, 4. System of written law. Adanya persamaan permasalahan tersebut membuat lebih mudah dalam memberikan solusi dalam upaya perbaikan karena pada prinsipnya kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini pernah terjadi di Korea Selatan. Pemerintah Indonesia bisa belajar dari pengalaman pemerintah Korea Selatan dalam menangani permasalahan permasalahan yang muncul dalam birokrasinya. Beberapa masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Prof. Jin Park dalam penelitiannya terkait dengan pengelolaan kepegawaian. Beberapa masalah disebutkan berikut ini : - Karier pegawai pada awalnya ditetapkan berdasarkan pada tingkat pendidikannya, misalnya pegawai golongan II/a untuk pegawai dengan pendidikan SLTA, golongan III/a untuk pegawai dengan pendidikan S1 dan golongan III/c untuk
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
-
-
-
-
pegawai dengan pendidikan S2. Ujian yang diberikan untuk golongan II dan III relatif sama padahal tingkat p endidikan nya b erb eda. Catatan pentingnya adalah bahwa tingkat pendidikan pegawai tidak berhubungan langsung dengan kompetensinya. Kenaikan pangkat/golongan reguler setiap empat tahun sekali tanpa memperhatikan kompetensinya. Kenaikan pangkat/golongan juga bisa dilakukan dengan menempuh pendidikan formal, misalnya melanjutkan dari jenjang SLTA ke jenjang S1. Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa pegawai hanya sekedar mendapat ijasah tanda lulus saja tanpa memperhatikan peningkatan kompetensinya. Mutasi dan rotasi tidak dilakukan secara rutin, ada pegawai yang seringkali berpindah tempat tugas tetapi ada juga pegawai yang sangat lama di tempat tugas yang sama. Dua jenis jabatan, yaitu pejabat struktural dan pejabat fungsional belum mempunyai job specification dan job description yang jelas. Sistem penggajian didasarkan pada pangkat/golongan dan masa kerja belum didasarkan pada kinerja pegawai.
Dari permasalahan tersebut Prof. Jin Park memberikan solusi sebagai berikut : - Perlunya ada pembedaan tes masuk untuk PNS golongan II dan III, tes untuk golongan III harus lebih sulit dan komplek sesuai dengan posisi yang akan dimasukinya dan kemampuan yang diharapkan, - Calon pegawai yang lolos tes golongan III masuk ke tingkat/level yang berbedabeda sesuai dengan latar belakang pendidikannya, - Menghilangkan kenaikan pangkat secara otomatis (kenaikan reguler empat tahun
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
-
-
-
-
sekali) dan digantikan dengan kenaikan berbasiskan kompetensi dan kinerja, Adanya sistem mutasi dan rotasi yang rutin dilakukan, ini berlaku untuk jabatan struktural maupun fungsional dengan pertimbangan yang tepat, Adanya job specification yang jelas diantara pegawai, baik struktural maupun fungsional, Adanya penilaian kinerja yang jelas dan dikaitkan dengan pemberian reward and punishment, Perlunya lembaga yang kuat untuk mengawal reformasi.
Solusi yang diberikan oleh Prof. Jin Park tersebut rasanya bukan hal baru bagi pemerintah Indonesia karena sudah sering disampaikan oleh para ahli dari dalam negeri dalam berbagai kesempatan. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2010, Kajian Grand Design Reformasi PNS. Dalam kajiannya tersebut, LAN menyarankan untuk : (1) segera dilakukan penyusunan dan penetapan kebijakan atau peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian (PNS) dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan pelaksanaannya, (2) segera dilakukan penguatan dan reposisi terhadap in stan si -in stan si yang terlibat dalam pengelolaan PNS, yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), (3) penerapan manajemen yang ideal dalam pengelolaan PNS, dan (4) Melaksanakan grand design reformasi PNS sesuai dengan road map yang ditetapkan. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah mengapa hal tersebut belum/tidak bisa dijalankan oleh pemerintah. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi oleh pemerintah?
257
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
Dengan kondisi tersebut maka tidaklah mengherankan apabila dalam acara seminar launching buku Governance Reform in Ind on esi a and Korea: a Comparative Perspective (2010) di Jakarta, 20 Januari 2011 Prof. Jin Park memberikan kesimpulan yang “sangat keras” terkait pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Dalam makalahnya Prof. Jin Park menyebutkan adanya empat masalah utama dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Keempat masalah tersebut adalah : 1. No Action : especially for fundamental reform, 2. No Coordination : Only organizational level reform is pursued, 3. No Impact : Each ministry pretends to do reform for remuneration, 4. No Sustainability : How to drive reform after remuneration? Kesimpulan penelitian dengan empat masalah yang dicatat oleh Prof. Jin Park tersebut tentunya cukup mengejutkan. Reformasi birokrasi yang diharapkan bisa berjalan lancar, right on the track dengan adanya berbagai peraturan yang bisa dijadikan pedoman ternyata “telah salah arah” sehingga menghasilkan empat kesimpulan tersebut. Bisa dikatakan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi telah “gatot alias gagal total”. Tulisan ini mencoba membahas point ketiga saja dari empat masalah utama yang disampaikan oleh Prof. Jin Park, yaitu terkait remunerasi dan tindak lanjutnya. Hal ini sangat penting karena kondisi dilapangan menunjukkan adanya kesenjangan atau gap yang cukup besar dalam penerimaan take home pay antara pegawai yang instansinya sudah memperoleh remunerasi dengan pegawai yang instansinya belum memperoleh remunerasi. kesenjangan atau gap yang terjadi tersebut bisa memicu kecemburuan
258
dan bisa berdampak menurunnya semangat kerja pegawai apabila tidak segera diatasi. Dan kondisi inilah yang mendasari instansiinstansi dalam melakukan reformasi, yaitu untuk memperoleh remunerasi sehingga pegawainya bisa menerima take home pay yang tidak berbeda jauh. Dan fenomena inilah yang dilihat oleh Prof. Jin Park sehingga menghasilkan kesimpulan ketiga, yaitu instansi berpura-pura dalam melakukan reformasi untuk memperoleh remunerasi. Melihat instansi yang sudah memperoleh remunerasi dengan jumlah yang cukup besar maka tidak mengherankan apabila muncul kecemburuan instansi lain yang belum memperoleh remunerasi. Instansi salin g b erlomba untuk b isa meng implementasikan reformasi birokrasi dengan harapan memperoleh remunerasi. Remunerasi menjadi salah satu upaya peningkatan kesejahteraan pegawai dan reformasi birokrasi menjadi jalan untuk mencapainya. Dalam konteks ini telah terjadi “salah-kaprah”. Seharusnya instansi melakukan reformasi birokrasi sehingga bisa memperbaiki kinerjanya dan layak memperoleh remunerasi, tetapi yang terjadi adalah melakukan reformasi birokrasi untuk memperoleh remunerasi. Maka tidak salah apabila yang terjadi adalah instansi berlombalomba memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diminta dalam Peraturan Menteri PAN Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, tetapi justeru melupakan esensi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi hanya berhenti pada penyediaan dokumen-dokumen saja tetapi implementasinya tidak ada. REFORMASI VS REMUNERASI Upaya peningkatan kesejahteraan pegawai memang menjadi konsentrasi dari
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
pemerintah. Peningkatan ini tentu saja bukan hanya dengan menambah jumlah gaji semata tetapi harus dengan berbagai ukuran yang jelas. Kondisi selama ini menunjukkan bahwa hampir setiap tahun dilakukan penyesuaian atau perubahan gaji oleh pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini masih saja dikatakan kurang karena gaji yang diterima tidak mampu mencukupi kebutuhan. Padahal didalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 7 ayat (1) disebutkan PNS berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai beban kerja dan tanggung jawabnya. Gaji yang adil dan layak artinya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Sesuai beban kerja dan tanggung jawab berarti masing-masing pegawai menerima gaji yang berbeda sesuai beban kerja dan tanggung jawab masingmasing. Pengaturan mengenai gaji PNS tersebut selanjutnya diatur secara teknis dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Sistem Penggajian PNS sebagaimana telah disesuaikan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010. Didalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa pemberian gaji PNS didasarkan pada dua aspek, yaitu golongan/ruang dan masa kerja. Golongan/ruang PNS dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu : Golongan I terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; Golongan II terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; Golongan III terdiri dari 4 (empat) ruang : a, b, c, d; dan Golongan IV terdiri dari 5 (lima) ruang : a, b, c, d, e. Sementara masa kerja pegawai dihitung dalam tahunan dan setiap dua tahun sekali diberikan kenaikan gaji berkala. Hampir setiap tahun dilakukan penyesuaian terhadap nilai nominal gaji pokok PNS. Penyesuaian ini bertujuan supaya PNS bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan adanya peningkatan hargaharga kebutuhan. Berikut ini disajikan daftar gaji pokok PNS sejak sepuluh tahun terakhir.
Table. 1 Gaji Pokok PNS (Tahun 2000-2010) Tahun
Gaji Terendah (Rp)
Gaji Tertinggi (Rp)
2000 135.000 722.500 2001 150.000 1.500.000 2002 500.000 1.500.000 2003 575.000 1.800.000 2004 575.000 1.800.000 2005 575.000 1.800.000 2006 661.300 2.070.000 2007 760.500 2.405.400 2008 1.040.000 2.910.000 2009 1.095.000 3.400.000 2010 1.204.500 3.580.000 Sumber : http//remunerasipns.wordpress.com/ Dari data tersebut terlihat bahwa kenaikan tertinggi gaji pokok PNS terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar kurang lebih 270%.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Perbandingan 1:5 1:3 1:3 1 : 3.1 1 : 3.1 1 : 3.1 1 : 3.1 1 : 3.1 1 : 3.2 1 : 3.3 1 : 3.3
Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sementara pada periode tahun 2003 sampai
259
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
tahun 2005 tidak ada kenaikan gaji PNS, yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati dan pada awal pemerintahan Pr e sid en Su si lo B a mb a n g Yu d oyo n o. Sementara itu, apabila dilihat dari perbandingan antara gaji tertinggi dan terendah dalam tabel tersebut, rata-rata adalah sebesar 1 : 3 dengan perbedaan masa kerja selama 32 tahun. Pada tahun 2004, PNS diberikan gaji ketiga belas yang dibayarkan pada bulan Juni/Juli. Kebijakan ini terus berlangsung sampai saat ini. Tujuan pemberian gaji ketiga belas adalah untuk membantu PNS khususnya dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Selain menerima gaji p okok sebagaimana dijelaskan didepan, PNS juga menerima berbagai tunjangan. Tunjangantunjangan yang diberikan kepada PNS antara lain : 1. Tunjangan keluarga, yang besarnya untuk suami/istri adalah 10% dari gaji pokok, untuk anak sebesar 2% dari gaji pokok
dan diberikan maksimal untuk dua orang anak. 2. Tunjangan pangan atau uang makan diberikan paling banyak 22 hari kerja dalan satu bulan. Pada tahun 2010 besaran uang makan adalah sebesar Rp 20.000 per hari. 3. Tunjangan jabatan yang diberikan kepada PNS yang menduduki jabatan tertentu, yaitu jabatan struktural (terakhir diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2007) dan jabatan fungsional tertentu yang sudah diatur dalam Peraturan Presiden sesuai dengan jabatan fungsionalnya. 4. Tunjangan umum yang diberikan bagi PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu (staf pelaksana umum). Berikut ini disajikan besaran tunjangan jabatan struktural yang diterima oleh PNS periode tahun 2006 sampai dengan 2007 dan masih berlaku sampai sekarang.
Table. 2 Besaran Tunjangan Jabatan Struktural PNS Tujangan Jabatan (Rp) Perpres No. 3/2006 Perpres No. 26/2007 1. Eselon IA 4.500.000 5.500.000 2. Eselon IB 3.500.000 4.375.000 3. Eselon IIA 2.500.000 3.250.000 4. Eselon IIB 1.500.000 2.025.000 5. Eselon IIIA 900.000 1.260.000 6. Eselon IIIB 675.000 980.000 7. Eselon IVA 360.000 540.000 8. Eselon IVB 315.000 490.000 9. Eselon VA 225.000 360.000 Sumber : Perpres No. 3 Tahun 2006 dan Perpres No. 26 Tahun 2007 No.
Jabatan
Sedangkan besaran tunjangan umum PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan
260
Presiden Nomor 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum PNS adalah sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Table. 3 Besaran Tunjangan Umum PNS No.
Golongan
Tunjangan (Rp)
1. IV 190.000 2. III 185.000 3. II 180.000 4. I 175.000 Sumber : Perpres Nomor 12 Tahun 2006 Sementara untuk tunjangan jabatan fungsional tertentu diatur dalam Peraturan
Presiden yang berbeda-beda tergantung pada masing-masing jabatan fungsional.
Table. 4 Besaran Tunjangan Fungsional PNS Tunjangan Jabatan Fungsional Tertentu (Rp) Peneliti Widyaiswara Dosen 1. Utama 1.230.000 1.230.000 990.000 2. Madya 1.094.000 958.000 709.000 3. Muda 660.000 660.000 552.200 4. Pertama 278.000 278.000 297.000 Sumber : Perpres Nomor 24 Tahun 2006, Perpres Nomor 52 Tahun 2006 dan Perpres Nomor 59 Tahun 2006 No.
Jabatan
Semua data yang disajikan tersebut adalah pendapatan (take home pay yang terdiri dari gaji pokok dan tunjangan) yang diperoleh oleh seorang PNS. Meskipun secara nominal cukup besar, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak y ang menyatakan bahwa gaji tersebut masih kurang. Total pendapatan PNS tersebut dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Agustinus Sulistyo (2010) menyebutkan bahwa dilihat dari besarannya gaji PNS dirasakan masih kurang, karena besaran gaji pokok PNS terendah masih lebih rendah daripada UMR (upah minimum regional) dan UMP (upah minimum provinsi) dari beberapa daerah. Sulistyo menjelaskan bahwa UMP atau UMR ditetapkan untuk bisa memenuhi kebutuhan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
hidup layak (KHL) seorang pegawai yang besarannya ditetapkan berdasarkan pada hasil survei harga berbagai kebutuhan yang meliputi makanan, minuman, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Sehingga besaran UMP/UMR ini dikatakan lebih memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup karena berbeda untuk masing-masing Provinsi atau Kabupaten. Ini berarti bagi PNS yang tinggal di daerah yang tingkat UMP/UMR-nya tinggi bisa dikatakan tidak sejahtera karena gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini mempertegas bahwa gaji PNS yang diberikan sama untuk semua pegawai, dimanapun si PNS bertugas dan hanya dibedakan oleh masa kerja dan
261
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
pangkat/golongan ternyata tidak tepat. Karena kebutuhan hidup pegawai di daerah Jawa tentu berbeda dengan pegawai yang ada di daerah Papua. Kondisi lingkungan geografis di Papua yang sulit transportasinya berdampak pada tingginya harga-harga kebutuhan hidup. Sementara di daerah Jawa yang cenderung lebih baik jalur transportasinya maka harga kebutuhan hidup bisa lebih murah. Jadi dengan nominal gaji yang sama tentu saja mempunyai nilai yang berbeda untuk daerah yang berbeda. Itu adalah gambaran umum yang ada dalam sistem penggajian PNS. Saat ini dengan
bergulirnya reformasi birokrasi yang diikuti dengan adanya sistem remunerasi, kondisi yang terjadi lebih “parah”. Mengapa lebih parah? Karena dengan adanya remunerasi, gap yang terjadi dalam pendapatan (take home pay) pegawai semakin lebar. Berikut ini disajikan tambahan yang diperoleh oleh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan atau disebut dengan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) yang diberikan setelah dilakukannya reformasi birokrasi. TKPKN disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007.
Tabel. 5 Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) Kementerian Keuangan Grade 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5
262
Tunjangan (Rp) 46.950.000 41.550.000 36.770.000 32.540.000 24.100.000 21.330.000 18.880.000 16.700.000 12.370.000 10.760.000 9.360.000 6.930.000 6.030.000 5.240.000 4.370.000 3.800.000 3.450.000 3.140.000 2.850.000 2.550.000 2.360.000 2.140.000 1.950.000
Gol/Ruang
Eselon
IV/e
Eselon I
IV/d
Eselon II
IV/b
Eselon III
III/d
Eselon IV
III/b III/b
Eselon V Pelaksana
II/c
Pelaksana
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Grade
Tunjangan (Rp)
Gol/Ruang
4 1.770.000 3 1.610.000 I/c 2 1.460.000 1 1.330.000 I/a Sumber : http://remunerasipns.wordpress.com/ Data dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa TKPKN untuk pegawai dengan golongan/pangkat terendah di Kementerian Keuangan ternyata lebih besar dari tunjangan seorang pejabat Peneliti Utama dan Widyaiswara Utama. Seorang PNS dengan golongan ruang I/a, jabatan pelaksana dan tidak menduduki jabatan apapun (grade 1) menerima tunjangan sebesar Rp 1.330.000, sementara pegawai lainnya yang menduduki jabatan fungsional peneliti utama dengan golongan ruang IV/d atau IV/e hanya menerima tunjangan sebesar Rp 1.230.000. Untuk bisa menjadi peneliti utama harus mengumpulkan angka kredit yang tidak sedikit dan sulit serta harus dinilai oleh Tim
Eselon Pelaksana Pelaksana
Penilai Akhir LIPI. Sungguh suatu kondisi yang patut mendapat perhatian. Kondisi yang sama juga terlihat dari remunerasi yang diberikan kepada pegawai di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian PAN dan RB yang sudah disetujui pada tahun 2010 dan diikuti dengan persetujuan pemberian remunerasinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB. Berikut disajikan rincian remunerasi yang diberikan kepada pegawai di lingkungan Kementerian PAN dan RB.
Tabel .6 Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB Kelas Jabatan 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Tunjangan Kinerja (Rp) 19.360.000 14.131.000 10.315.000 7.529.000 6.023.000 4.819.000 3.855.000 3.352.000 2.915.000 2.535.000 2.304.000 2.095.000 1.905.000 1.814.000
263
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
Kelas Jabatan
Tunjangan Kinerja (Rp)
3 1.727.000 2 1.645.000 1 1.563.000 Sumber : http://remunerasipns.wordpress.com/ Dari tabel tersebut terlihat bahwa pegawai pada kelas jabatan paling bawah menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 1.563.000 jauh lebih besar dengan tunjangan jabatan seorang pejabat fungsional peneliti utama atau widyaiswara utama. Gambaran pelaksanaan reformasi birokrasi dan pemberian remunerasi di dua kementerian tersebut sudah memberikan fakta jelas mengapa sekarang ini banyak instansi yang mengejar untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Mengapa? Karena dengan adanya remunerasi maka pendapatan pegawai akan naik secara signifikan sehingga tingkat kesejahteraannya pun akan meningkat. Maka tidak mengherankan apabila Prof. Jin Park menemukan fakta bahwa kebanyakan instansi hanya berpura-pura melakukan reformasi, tetapi tujuan utamanya adalah memperoleh remunerasi. Memang untuk memperoleh itu, instansi harus memenuhi persyaratan tertentu, tetapi hal itu hanyalah pemenuhan syarat administrasi saja. Peningkatan kinerja yang ingin diraih rasanya masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan karena belum adanya instrumen-instrumen pendukung untuk pelaksanaannya. Misalnya, terkait kinerja pegawai yang baru diukur dari tingkat disiplin masuk kerja yang dilihat dari rekap absensi. Kinerja nyata pegawai tentu tidak dapat dipotret dari disiplinnya saja. Bisa saja pegawai datang pagi pulang sore tetapi bagaimana dengan kinerja di jam kerjanya. Apakah mereka melaksanakan tugas mereka, atau mereka hanya membaca koran, mengobrol? Kondisi ini tentunya perlu diukur dengan instrumen yang jelas, transparan dan mampu mengukur kinerja nyata pegawai.
264
Sehingga reformasi tidak sekedar mengejar remunerasi. KESIMPULAN Reformasi birokrasi adalah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan dalam struktur organisasi dan business process dengan mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas. Selain itu juga dengan melakukan pengelolaan pegawai diantaranya dengan melakukan penilaian kinerja nyata pegawai yang dikaitkan dengan pemberian reward and punishment (remunerasi). Sehingga pegawai yang kinerjanya tinggi akan menerima reward yang lebih tinggi, dan pegawai yang kinerjanya rendah maka akan menerima punishment. Punishment bukan hanya dipahami sebagai pemberian sanksi atau hukuman tetapi juga berarti pengembangan kemampuan, misalnya dengan diikutkan diklat atau dimutasi di unit yang lebih sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah gambaran ideal dari reformasi birokrasi yang diharapkan. Akan tetapi saat ini, di lapangan muncul kecenderungan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperoleh remunerasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pegawai. Hal ini tentu bukanlah langkah yang tepat. Remunerasi merupakan dampak dari dilaksanakannya reformasi birokrasi bukan menjadi tujuan reformasi birokrasi. Reformasi seperti ini hanya akan berhenti pada perubahan di tataran praktis saja bukan perubahan di tataran filosofis. Tentunya kondisi ini harus dikoreksi dan diperbaiki.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Instrumen penilaian kinerja yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai menjadi sangat penting supaya bisa membedakan mana pegawai yang berkinerja tinggi sehingga layak menerima remunerasi yang lebih besar dari pegawai lainnya. DAFTAR PUSTAKA http://bataviase.co.id/ http://id.wikipedia.org/ http://nasional.kompas.com/ http://remunerasipns.wordpress.com/ http://www.cdt31.org/ http://www.pikiran-rakyat.com/ Lembaga Administrasi Negara : Kajian Grand Design Reformasi PNS, Jakarta, 2010. Park, Jin,. Prof. : Governance Reform in Indonesia and Korea: a Comparative Perspective, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010. Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi. Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1977 tentang Sistem Penggajian PNS sebagaimana telah disesuaikan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum PNS. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti. Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Struktural PNS. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Widyaiswara. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Dosen. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian PAN dan RB. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Sulistyo, Agustinus, : Sistem Penggajian PNS Berdasarkan Kinerja Instansi dan Individu, Indonesian Public Administration Review (IPAR), Volume 5 Nomor 2, Edisi April-Juni 2010, Jakarta, 2010. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007 tentang Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN). Surat Keputusan Menteri PAN dan RB Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
265
Reformasi Birokrasi VS Remunerasi Agustinus Sulistyo
266
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Oleh: Dian Eka Rahayu Sawitri Peneliti Pertama pada Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara-LAN e-mail :
abstrak Dalam praktek penyelenggaraan negara, hubungan antarlembaga negara dapat saling bersinggungan satu sama lain. Namun sungguh di luar perkiraan bahwasanya antarlembaga negara dapat timbul sengketa kewenangan konstitusional satu sama lain hingga memerlukan suatu proses peradilan hukum untuk menyelesaikannya. Biasanya apabila muncul perselisihan antarlembaga negara, pihak-pihak yang bersengketa akan menyelesaikannya melalui proses politik dan kultural atau diselesaikan oleh lembaga atau instansi atasan yang berkedudukan lebih tinggi dari lembaga yang bersengketa. Dalam rangka memberikan jalan penyelesaian atas sengketa yang terjadi diperlukan suatu lembaga peradilan khusus yang berwewenang memutus masalah antarlembaga negara tersebut. Tindak lanjutnya adalah dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Keyword : amandemen, sengketa kewenangan antarlembaga
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masa reformasi berdemokrasi di Indonesia ditandai dengan munculnya perubahan dalam struktur dan sist em kekuasaan negara, termasuk didalamnya perubahan fungsi lembaga-lembaga negara. Berbagai macam perubahan dalam struktur dan sistem kekuasaan negara sangat jelas terlihat dari Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan sebanyak 4 kali sejak tahun 1999 hingga 2002, yakni: a. Perubahan Pertama pada tanggal 19 Oktober 1999; b. Perubahan Kedua pada tanggal 18 Agustus 2000;
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
c. d.
Perubahan Ketiga pada tanggal 10 November 2001; Perubahan Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.
Sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, mekanisme hubungan antarlembaga negara mengarah pada hubungan horisontal, tidak lagi vertikal. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan paham kekuasaan negara dimana sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, paham kekuasaan negara yang dianut adalah paham pembagian kekuasaan (distribution of power), sementara sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, paham
267
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
kekuasaan negara yang dianut adalah paham 1 pemisahan kekuasaan (separation of power). Menurut paham distribution of power, mekanisme hubungan antarlembaga negara yang bersifat vertikal artinya adalah kekuasaan itu didistribusikan berjenjang dari atas ke bawah, dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Sedangkan menurut paham separation of power, mekanisme hubungan antarlembaga negara bersifat horisontal artinya adalah kekuasaan itu dipisahkan ke dalam masing-masing fungsi lembaga negara yang sederajat antara satu dengan yang lainnya. Akibat dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang turut mengubah paham kekuasaan negara adalah restrukturisasi kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jika sebelumnya dikenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, maka saat ini tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara. Saat ini hanya dikenal lembaga tinggi negara. M ajelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi lembaga yang berkedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
2
negara. Selain itu, sebagai akibat adanya mekanisme hubungan antarlembaga yang sederajat dan saling mengimbangi, maka dapat muncul kemungkinan perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar (different interpretation of constitution) dalam melaksanakan kewenangan masingmasing terdapat Apabila muncul persengketaan pendapat semacam itu, maka diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Dasar 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan 3 nama Mahkamah Konstitusi. Pembentukan lembaga tersendiri sebagai salah satu lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang bernama Mahkamah Konstitusi, merupakan amanat dari ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Sebagai hubungan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya, maka hubungan antarlembaga negara diikat oleh prinsip pengawasan dan perimbangan (checks and balances). Prinsip tersebut dimaksudkan untuk saling mengendalikan antarlembaga
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang merupakan lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
1
2
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: BIP, 2008) hlm. 166.
268
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 2. 3 Ibid, hlm. 3.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
menyelenggarakan peradilan menegakkan hukum dan keadilan.
guna
Lebih lanjut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UndangUndang Dasar 1945, bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban, yaitu: 1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan 5. Berkewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dari kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, jelas terlihat bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan proses hukum untuk menyelesaikan masalah yang terjadi antarlembaga negara. Eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara memang diperlukan untuk mencegah agar sengketa tersebut tidak menjadi sengketa politik yang bersifat adversarial (keras dan berhadap-hadapan). Sebab jika sengketa terjadi akan berdampak buruk terhadap mekanisme hubungan kelembagaan antarlembaga negara dan pelaksanaan fungsi dari 4 lembaga negara yang bersengketa. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak dijelaskan mengenai apa yang 4
dimaksud dengan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara dan juga apa yang dimaksud dengan lembaga negara. Hal tersebut dikarenakan Undang-Undang Dasar 1945 memang hanya berisikan norma dasar fundamental negara (staatfundamentalnorm). Terlebih lagi setelah Undang-Undang Dasar 1945 diAmendemen, tidak ditemukan lagi bagian penjelasan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dijelaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun apabila melihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan secara implisit apa yang dimaksudkan dengan lembaga negara. Dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kewenangannya ada di dalam UndangUndang Dasar 1945 dan terkait langsung dengan perkara sengketa tersebut. Namun ketentuan Pasal 61 tersebut belum mendeskripsikan secara jelas siapa-siapa saja lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi tersebut. Masalah ketidakjelasan semacam ini perlu dibahas dan diatur agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang ingin menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara di Mahkamah Konstitusi.
Ibid., hlm. 3.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
269
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini, yaitu: a. Bagaimana konsep lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang 1945 beserta Amendemen? b. Apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan lembaga negara dan bagaimana kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945 kepada Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara? c. Bagaimana perkembangan putusan sengketa kewenangan lembaga negara di Indonesia? SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA 1. Konsep Lembaga Negara Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah di Amendemen sebanyak 4 kali sejak tahun 1999 hingga 2002. Setiap perubahan konstitusi pasti juga membawa perubahan pada struktur kelembagaan negara. Pascaperubahan konstitusi, perubahan yang mendasar terlihat pada struktur Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Begitu pula dengan tidak dikenal lagi apa yang diistilahkan sebagai lembaga tinggi negara. Setelah Perang Dunia II berkembang pengertian bahwa kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan secara horisontal (horizontal separation of power) dan satu sama lain bersifat mengendalikan yang biasa disebut 5 prinsip checks and balances. Sayangnya, dalam perubahan konstitusi tersebut sama
5
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 31.
270
sekali belum menjelaskan secara lebih jelas apa yang dimaksud dengan lembaga negara. Yang dimaksud dengan lembaga negara adalah badan atau organisasi yang diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Pada awalnya, konsepsi pembagian kekuasaan ke dalam 3 fungsi kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam Trias Politica yang diajarkan oleh Montesquieu, dapat diterima dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Namun menurut Jimly Asshiddiqie, konsepsi Montesquieu dianggap sudah tidak relevan lagi mengingat kenyataan yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa hubungan antarcabang kekuasaan saling bersentuhan, sederajat, dan saling mengendalikan dengan 6 prinsip checks and balances. Dengan dilatarbelakangi oleh semangat reformasi, maka struktur lembaga negara yang dikehendaki adalah yang mampu memb erikan p elayanan p ublik secara responsif, efektif, dan efisien guna ter cap ain y a tu ju an p e n yel en gg ara an pemerintahan. Oleh sebab itu, pascareformasi banyak ditemukan lembaga-lembaga negara baru yang merupakan konsekuensi dari perubahan konstitusi. Gerry Stoker mengelompokkannya menjadi 6 tipe 7 organisasi, yaitu: a. Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency; b. Tipe kedua adalah organ yang merupakan local authority implementation agency;
6
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. vii. 7 Gerry Stoker dalam Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 6.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
c.
d. e.
f.
Tipe ketiga adalah organ atau institusi sebagai public/private partnership organisation; Tipe keempat adalah organ sebagai userorganisation; Tipe kelima adalah organ yang merupakan intergovernmental forum; dan Tipe keenam adalah organ yang merupakan joint boards.
Eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) juga dialami oleh negara Indonesia pada masa transisi demokrasi yang ditandai dengan perubahan konstitusi. Berkembangnya banyak lembaga negara baru mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari kekuasaan yang sebelumnya terkonsentrasi pada satu lembaga negara. Akibatnya, fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dialihkan menjadi fungsi tersendiri yang bersifat independen. Ada lembaga negara baru yang berfungsi menjalankan gabungan dari ketiga kekuasaan tersebut dan ada pula lembaga negara baru 8 yang bersifat independen. Di berbagai negara di dunia dewasa ini banyak tumbuh variasi bentuk atau kel e mb aga an n e ga ra y an g b er si fa t deconsentrated dan decentralized, yang dianggap R. Rhodes sebagai intermediate 9 institutions yang memiliki 3 peran, yaitu: a. Mengelola tugas yang diberikan pemerintah pusat dengan mengkoordinasikan kegiatan lembaga-lembaga lainnya; b. Melakukan pemantauan dan memfasilitasi pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat; dan
8 9
Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 23. R. Rhodes dalam Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 7.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
c.
Mewakili kepentingan daerah dalam berhadapan dengan pusat.
Sejak perubahan konstitusi, banyak lembaga, badan, dan komisi independen yang dibentuk. Jimly Asshiddiqie mengelompokkan 10 hal tersebut menjadi 6 bagian, yaitu: a. Lembaga tinggi negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan. b. Lembaga negara dan komisi negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi, seperti Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. c. Lembaga independen lainnya yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. d. Lembaga dan komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya yang bersifat khusus dalam pemerintahan, seperti Konsil Kedokteran Indonesia, Lembaga Pertahanan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Pertanahan Negara, Lembaga Administrasi Negara, Lembaga Informasi Nasional, dan Badan Kepegawaian Negara. e. Lembaga dan komisi di lingkungan pemerintah lainnya, seperti Kementerian, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Hukum Nasional, Ombudsman Republik
10
Ibid., hlm. 24-27.
271
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
Indonesia, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan. Lembaga, korporasi, dan badan hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara dan kepentingan umum, seperti Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA, Komite Olahraga Nasional Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia, dan sebagainya.
f.
Hans Kelsen dalam bukunya Allgemeine Staatslehre menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh tata hukum (legal order) adalah organ negara, baik yang bersifat menciptakan norma (norm-creating) ataupun yang sifatnya melaksanakan norma (norm11 applying). Hal itu berarti organ negara dapat saja tidak berbentuk lembaga organik, tetapi dapat saja diartikan pada setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum asalkan fungsinya bersifat menciptakan norma dan melaksanakan norma dalam kehidupan bernegara. Cara sederhana untuk menentukan apakah suatu organ atau institusi itu lembaga negara atau bukan adalah dengan cara melihat domain keberadaannya sebagai subyek hukum kelembagaan. Sepanjang organ atau institusi tersebut bukan merupakan domain masyarakat dan dunia usaha, maka dapat ditentukan bahwa organ atau institusi tersebut merupakan organ atau institusi negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat disebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu berada dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif 12 maupun yang bersifat campuran. Berdasarkan teori tentang norma sumber legitimasi, maka di tingkat pusat dan
di daerah dapat ditentukan apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu berkaitan dengan siapa yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan. Kelembagaan di tingkat pusat 13 dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu: a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden; b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden; c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; dan d. Lembaga yang dibentuk berdasarkab Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah Menteri. Kelembagaan di tingkat daerah dapat 14 dibedakan menjadi 6 bentuk, yaitu: a. Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar, UndangUndang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden yang pengangkatan anggotanya dilakukan dengan Keputusan Presiden; b. Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan peraturan tingkat pusat atau Peraturan Daerah Provinsi dan pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden atau pejabat pusat; 13
ibid., hlm. 49. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, op. cit., hlm. 52. 14
11 12
Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 30. ibid., hlm. 31.
272
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
c.
d.
e.
f.
g.
Lembaga daerah yang kewenangannya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi dan pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur; Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur yang pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur; Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur yang pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota; Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota; dan Lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati/Walikota yang pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati/ Walikota. Dalam penggunaan sehari-hari, istilah lembaga negara sering tertukar dengan lembaga pemerintah. Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, lambat laun mulai dipahami adanya pergeseran pembentukan undangundang dari eksekutif ke legislatif. Oleh sebab itu, maka istilah yang tepat untuk dipergunakan saat ini adalah lembaga negara.
2.
Hubungan Antarlembaga Negara Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa dengan diamendemennya Undang-Undang Dasar 1945, maka terjadi juga perubahan mendasar pada kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, khususnya terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang hubungan antarlembaga negara. Empat kali perubahan konstitusi tersebut telah menyebabkan materi substansi berubah yang berimplikasi pada penambahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Saat ini jumlah pasal dalam UndangUndang Dasar 1945 berjumlah 37 pasal dalam
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Batang Tubuh, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa sesudah perubahan konstitusi, ada 3 prinsip yang menentukan hubungan antarlembaga negara, yaitu prinsip supremasi konstitusi, prinsip sistem pemerintahan presidensil, dan prinsip pemisahan kekuasaan berdasarkan checks 15 and balances. Salah satu perubahan mendasar dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945. Perubahan ketentuan pasal tersebut berimplikasi pada berubahnya paradigma terhadap konsep kedaulatan rakyat, dari masa Orde Baru yang masih berdasarkan pada konsep kedaulatan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga kekuasaan tertinggi negara, beralih kepada konsep kedaulatan rakyat yang dilakukan sepenuhnya menurut ketentuan UndangUndang Dasar 1945. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jika sebelumnya pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka saat ini pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan secara langsung oleh lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan dalam peraturan perundangundangan. Kemudian dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945, juga disinggung 15
Jimly Asshiddiqie, “Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”, 25 Maret 2008, sumber: http://www.setneg.go.id, diakses pada tanggal 11 November 2010.
273
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
mengenai sistem pemerintahan yang berlaku. Sebelum perubahan Undang-Undang 1945, sistem pemerintahan presidensil tidak dilakukan sepenuhnya karena Presiden masih memiliki tanggung jawab sekaligus diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dapat dikatakan berlakunya sistem pemerintahan parlementer. Akan tetapi dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Perubahan Pertama UndangUndang Dasar 1945 disepakati bersama bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tetap dan tidak dapat diubah, yakni sistem pemerintahan presidensil. Hal ini diperlukan untuk menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), dikarenakan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu lembaga negara semakin menguat, yang ditandai dengan beralihnya kewenangan mengajukan rancangan undang16 undang. Selain itu, format kelembagaan negara dalam penyelenggaraan negara beralih dari prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) menuju prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Dalam praktek penyelenggaraan negara, hubungan antarlembaga negara dapat saling bersinggungan satu sama lain. Namun sungguh di luar perkiraan bahwasanya antarlembaga negara dapat timbul sengketa kewenangan konstitusional satu sama lain hingga memerlukan suatu proses peradilan hukum untuk menyelesaikannya. Biasanya apabila muncul perselisihan antarlembaga negara, pihak-pihak yang bersengketa akan menyelesaikannya melalui proses politik dan kultural atau diselesaikan oleh lembaga atau
instansi atasan yang berkedudukan lebih 17 tinggi dari lembaga yang bersengketa. Dengan kata lain, cara kekeluargaan merupakan satu-satunya upaya penyelesaian yang dapat ditempuh. Namun, - lagi-lagi setelah perubahan konstitusi - upaya penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga tersebut bukan lagi kewenangan lembaga atau instansi atasan yang berkedudukan lebih tinggi. Dengan dihapuskannya lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara, maka lembaga negara dengan lembaga negara lainnya memiliki kesetaraan kewenangan sebagaimana diatur dalam konstitusi. Oleh sebab itu, dalam rangka memberikan jalan penyelesaian atas sengketa yang terjadi diperlukan suatu lembaga peradilan khusus yang berwewenang memutus masalah antarlembaga negara tersebut. Tindak lanjutnya adalah dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Posisi Mahkamah Konstitusi sangat sentral dan strategis dalam tataran penyelesaian sengketa kewenangan kon sti tu sion al an ta rl e m b aga n e ga ra. Komposisi hakim konsitusi yang berjumlah 9 orang terdiri dari 3 orang pilihan DPR, 3 orang pilihan Presiden, dan 3 orang pilihan Mahkamah Agung, menandakan bahwa hakim konstitusi haruslah benar-benar berada pada posisi yang netral, berada di tengah-tengah dalam dinamika hubungan antarlembaga negara.
16
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam Undang-Undang 1945, Jakarta: FH UII Press, 2005, hlm. 182-189.
274
17
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, op. cit., hlm. 9.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
3.
Subyek dan Obyek dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara a. Subyek Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Dalam hal menyebut tentang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang, belum ada satupun peraturan yang memberi batasan secara tegas mengenai lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain, belum ada satupun definisi tentang ini yang dapat 18 memuaskan orang. Pasal 61 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.” Menurut Ahmad Roestandi, “Dalam UUD 1945 pasca amandemen, tidak dirinci secara tegas, apa saja yang dimaksud lembaga Negara. Satu-satunya petunjuk yang diberikan UUD 1945 pasca amandemen terdapat dalamPasal 24C ayat (1) yang menyebutkan salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang 19 kewenangannya diberikan UUD” Karena ketidakjelasan mengenai siapa lembaga Negara yang dimaksud dalam SKLN kemudian menimbulkan penafsiran. Abdul Mukhti Fadjar mengelompokkan penafsiranpenafsiran tersebut menjadi Pertama, penafsiran luas, mencakup semua lembaga negara yang nama dan kewenangannya
disebut/tercantum dalam UUD 1945, termasuk di dalamnya MPR, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemilihan Umum, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua, penafsiran moderat, yakni hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tinggi dan tertinggi negara, termasuk didalamnya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketiga, penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implicit dari ketentuan Pasal 67 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, maka hanya Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden. Ahmad Roestandi berpendapat bahwa ada kurang lebih 30 20 lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945. Melihat perkembangan yang terjadi saat ini, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa ada lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit dan implisit yang disebut dalam UUD 1945. 21 Lembaga-lembaga negara tersebut adalah: Presiden; Wakil Presiden; Dewan Pertimbangan Presiden; Kementerian Negara; Duta; Konsul; Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur; DPRD Provinsi; Pemerintah Daerah Kabupaten; Bupati; DPRD Kabupaten; Pemerintah Daerah Kota; Walikota; DPRD Kota; MPR;
18
Chairul Anwar, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 1999, hlm. 21. 19 Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2005, hlm. 6.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
20
Abdul Mukhti Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 120 21 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, op.cit, hlm. 27.
275
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
DPR; DPD; Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang; Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang-undang; Badan Pemeriksa Keuangan; Mahkamah Agung; Mahkamah Konstitusi; Komisi Yudisial; Tentara Nasional Indonesia; Kepolisian Negara Republik Indonesia; Satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa; dan Kesatuan masyarakat hukum adat.
Jumlah itu oleh Jimly kemudian ditambah dan diperluas dengan menambahkan ketiga angkatan bersenjata yang disebutkan dalam UUD 1945, yaitu TNI AU, TNI AD, dan TNI AL serta badan-badan lain yang fungsinya terkait dalam fungsi 22 kehakiman. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menegaskan bahwa “Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Pemerintahan Daerah, atau lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.”
22
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, 2008) hlm. 403-407
276
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tersebut memang sudah secara lebih implisit mengategorikan subyek lembaga negara yang berkepentingan dalam sengketa antarlembaga negara dibandingkan dengan ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Namun dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi itu pun masih belum spesifik menggambarkan secara jelas apa yang dimaksud dengan “lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.” Pada putusan 005/PUU-IV/2006 mengenai permohonan Pengujian Undangundang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar disana MK menyatakan pendapatnya tentang prinsip separation of power yang ada dalam UUD 1945 yaitu "Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi pemisahan kekuasaan di antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi, dan merupakan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah pun, di mana ajaran pemisahan kekuasaan tidak dianut, prinsip pemisahan dan independensi kekuasaan kehakiman sudah ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin dalam Pasal 24 dan 23 Penjelasan Pasal 24 tersebut. Selain itu pada putusan tersebut Mahkamah Konstitusi juga menyebutkan istilah tentang organ utama (main organ) dan organ penunjang (auxiliary organ) yang menganggap Mahkamah Agung sebagai organ utama dan Komisi Yudisial berfungsi sebagai organ penunjang. Menurut pendapat 23
Putusan MKRI No.005.PUU-IV/2006, hlm. 189
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
Mahkamah Konstitusi dalam putusan itu “....maka mekanisme pengawasan ekternal yang terpisah dari pengawasan internal tidak akan dapat diterapkan di antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial, sepanjang didasarkan pada konsepsi checks and balances, karena checks and balances tidak dapat diterapkan oleh organ penunjang (auxiliary organ) terhadap organ utama (main 24 organ)-nya sendiri.” . Terkait organ penunjang ini, Margarito Kamis berpendapat bahwa pada saat ini diperlukan penataan kembali struktur organisasi pemerintahan, termasuk didalamnya lembaga-lembaga pemerintah nonkementerian, agar urusan pemerintahan dapat terjangkau dalam upaya membentuk kesejahteraan dan keadilan bagi 25 masyarakat. b. Obyek Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara Yang menjadi obyek sengketa kewenangan antarlembaga negara dalam jurisdiksi Mahkamah Konstitusi adalah persengketaan (dispute) mengenai kewenangan konstitusional antarlembaga negara. Jimly menekankan bahwa isu soal sengketa kewenangan antarlembaga Negara bukan terletak pada kelembagaan negaranya (aspek subyektifnya) melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran satu sama lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan tersebut 26 adalah Mahkamah Konstitusi.
24
Putusan MKRI No.005/PUU-IV/2006 hlm. 194. Margarito Kamis, “Evolusi Demokratis Pengorganisasian Urusan Pemerintahan dan Lembaga-Lembaga Non-Kementerian”, Jakarta: Jurnal Negarawan Sekretariat Negara RI, hlm. 87101. 26 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, op.cit, hlm. 12-13. 25
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Dalam konteks ini, untuk melakukan pendekatan dari segi obyek sengketa kewenangan lembaga negara adalah kewenangan konstitusional yang dipersengketakan antaralembaga negara yang bersangkutan. Yang dipersoalkan dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara adalah apakah suatu kewenangan yang sudah ditentukan dalam konstitusi terhambat atau terganggu pelaksanaannya karena adanya keputusan tertentu dari lembaga lain. Jika pertanyaan itu bisa dijawab kemudian yang harus dibuktikan adalah apakah lembaga yang dimaksudkan memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang Dasar dan apakah keputusan dari lembaga lain telah 27 merugikan lembaga negara tersebut. Dalam preseden Putusan Nomor 28 004/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Juli 2006 dinyatakan bahwa “Dalam menentukan isi dan batas kewenangan yang menjadi objectum litis suatu sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi tidak hanya semata-mata menafsirkan secara tekstual bunyi ketentuan dari Undang-Undang Dasar yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu tetapi juga melihat adanya kemungkinan adanya kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut, kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang.” PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA 1. Pengelompokan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Selama periode 2003 hingga Agustus 2012 saat ini baru ada 21 permohonan SKLN 27 Ibid, hlm. 14 28 Putusan No. 004/SKLN-IV/2006
277
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Dari ke18 permohonan SKLN yang diterima Mahkamah Konstitusi, 19 diantaranya telah diputus. Ada 2 hal yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan suatu perkara, yaitu : a. Apakah baik pemohon ataupun termohon merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Pasal 24 (1) UUD 1945 jo. Pasal 61 (1) UU tentang Mahkamah Konstitusi (merupakan subjectum litis dari SKLN). b. Apakah sengketa yang dimohonkan merupakan sengketa konstitusional menurut Pasal 24 (1) UUD 1945 jo. Pasal 62 (2) UU tentang Mahkamah Konstitusi (merupakan objectum litis dari SKLN). Untuk melihat sejauh mana putusanputusan Mahkamah Konstitusi mengenai SKLN, berikut adalah ringkasan putusan SKLN yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi. a. Menolak Gugatan Pemohon Satu-satunya gugatan SKLN dimana subjectum litis dan objectum litis-nya dianggap memenuhi ketentuan sebagai lembaga negara dan sengketa antarlembaga negara menurut UUD adalah Putusan MK No. 068/SKLN-II/2004 terhadap permohonan SKLN antara Dewan Perwakilan Daerah dengan Presiden cq. Menteri Sekretaris Negara mengenai Keputusan Presiden Nomor 185/M Tahun 2004 tertanggal 19 oktober 2004 tentang Pemberhentian Anggota BPK Periode 1999/2004 dan Pengangkatan Anggota BPK Periode 2004/2009. Dalam permohonan SKLN ini DPD menganggap Presiden telah mengabaikan kewenangan konstitusional DPD untuk didengar pendapatnya dalam pengangkatan anggota BPK. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa karena UU tentang BPK berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang baru belum ada sehingga pengangkatan dan pemberhentian
278
anggota BPK masih digunakan UU No 5 Tahun 1973. b.
Gugatan tidak dapat diterima karena: 1) Baik subjectum litis maupun objectum litis-nya bukan merupakan SKLN, contohnya: a)
Putusan MK No. 002/SKLNIII/2005 terhadap permohonan SKLN antara pasangan calon walikota dan wakil walikota Depok dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah Depok; b) Putusan MK No.030/SKLNIV/2006 terhadap permohonan SKLN antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden RI cq Menteri Komunikasi dan Informasi; c) Putusan MK No.26/SKLN-V/2007 terhadap permohonan SKLN antara Komisi Independen Pemilihan Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara dengan Komisi Independen Pemilihan Tingkat Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD), Gubernur Provinsi NAD dan Presiden RI cq. Menteri Dalam Negeri; d) Putusan MK No.1/SKLN-VI/2008 terhadap permohonan SKLN antara Panitia Pengawas Bupati dan Wakil Bupati Morowali dengan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Morowali; dan e) Putusan MK No.27/SKLNVI/2008 terhadap permohonan SKLN antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Presiden RI.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
2) Objectum litis-nya bukan merupakan SKLN, contohnya a) Putusan MK No.004/SKLNIV/2006 terhadap permohonan SKLN antara Bupati dan Wakil Bupati Bekasi dengan Presiden RI cq. Menteri Dalam Negeri; b) Putusan MK No. 027/SKLN/2006 terhadap permohonan SKLN antara DPRD Kabupaten Poso dengan Gubernur Sulawesi Tengah dan Presiden RI cq Menteri Dalam Negeri;
2.
3) Gugatan ditarik kembali, contohnya a) Putusan MK No.025/SKLNIII/2005 terhadap permohonan SKLN antara Gubernur Lampung terhadap DPRD Lampung dicabut dengan alasan “kondisi terkini yang mulai membaik”; b) Putusan MK No.7/SKLN-VI/2008 terhadap permohonan SKLN antara Bank Indonesia terhadap KPK dengan alasan mepertimbangkan pilihan yang diberikan oleh majelis hakim.
Berbagai Perdebatan terhadap Putusan SKLN oleh Mahkamah Konstitusi a. Mengenai Subjectum Litis SKLN: Perdebatan Mengenai KomisiKomisi Independen Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa tidak ada definisi dan pembatasan yang jelas mengenai siapa lembaga yang dapat berperkara dalam SKLN. Dari beberapa putusan SKLN mengenai lembaga negara yang ditolak beperkara dalam SKLN ada beberapa hal mendasar dari pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai lembaga mana yang bisa dikatakan sebagai subjek SKLN: Lembaga Independen Sebagai Subjek Sengketa Lembaga Negara Semua sengketa kewenangan dimana salah satu pihaknya adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Komisi Independen Pemilu Tingkat Daerah (KIPD) dinyatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut bukanlah subjectum litis SKLN dan Mahkamah Konstitusi secara konsisten menyatakan pendapatnya tentang hal ini dalam berbagai keputusannya. Salah satu alasan MK untuk tidak memasukkan KPUD dan KIPD dalam lembaga yang bisa bersengketa di SKLN adalah bahwa kewenangan lembaga-lembaga ini bukan atas perintah UUD 1945 melainkan 29 diberikan oleh UUD 1945.
Belum ada satu permohonan SKLN yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi, karena kebanyakan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima baik karena subjectum litis atau objectum litis-nya tidak masuk dalam SKLN seperti yang ditetapkan dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari daftar putusan di atas kemudian dapat ditarik beberapa analisa yang menarik mengenai SKLN, terutama karena terdapat perdebatan mengenai subjectum litis dan objectum litis dari SKLN.
Maruarar Siahaan memberikan dissenting opinion mengenai kedudukan KPUD dan KPID mengemukakan ”...bahwa seolah-olah sengketa SKLN tersebut harus “antara” lembaga negara yang secara tegas disebut dalam 29
Lihat Putusan Nomor 02/SKLN-IV/2006 (hlm. 24), Putusan Nomor 27/SKLN-V/2007 (hlm. 156), Putusan Nomor 1/SKLN-VI/2008 (hlm. 28).
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
279
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
konstitusi, sehingga pasal 24C ayat (1) seolah-olah berbunyi ‘sengketa lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari UUD 1945’. Padahal tidak ada satu kalimatpun dalam UUD 1945 pasal 24C ayat (1) yang menyebut lembaga yang bersengketa harus diantara lembaga negara yang setara yang disebut dalam 30 UUD 1945.” Dalam perkara Nomor 30/SKLN-IV/2006 tentang permohonan SKLN antara Komisi Penyiaran Indonesia terhadap Presiden RI cq. Menteri Komunikasi dan Informatika, Deni Indrayana berpendapat bahwa lembaga independen semacam KPI adalah fenomena ketatanegaraan modern yang harus diberikan posisi konstitusional, agar lebih jelas perannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masa depan. Tidak kalah pentingya, Mahkamah Konstitusi sebaiknya mengisi kekosongan hukum terkait maraknya sengketa kewenangan antarlembaga independen lainnya dengan banyak lembaga negara 31 lainnya. Luthfie Widagdo berpendapat bahwa seharusnya dalam konteks Indonesia, menurut penulis, pembagian lembaga/organ negara sebaiknya dapat didasarkan pada bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut. Pertama, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara 32 atribusi (oleh UUD 1945), yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, 30
Putusan Nomor 027/SKLN-VI/2008, hlm. 155. Putusan MKRI No.30/SKLN-IV/2006 hlm. 36. 32 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, “Jurnal Konstitusi” (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hlm. 36-37. 31
280
Menteri Dalam Negeri/Menteri Luar Negeri/Menteri Pertahanan sebagai triumvirat, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara. Kedua, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundangundangan, termasuk komisi/lembaga independen (independent regulatory agencies) yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun, yaitu: KPU (termasuk KPUD), Bawaslu (termasuk Bawaslu di daerah), BI, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPPU, Ombudsaman RI, KPI, Dewan Pers, Dewan pendidikan, PPATK, KPAI, dan lain-lain. Ketiga, lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundangundangan, termasuk komisi negara eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab kepada presiden atau menteri dan merupakan bagian dari eksekutif. Luthfie berpendapat bahwa, lembaga/organ negara kategori pertama dan kedua dapat berperkara di Mahkamah konstitusi, sedangkan organ negara kategori ketiga bukan merupakan objectum litis dan subjectum litis untuk beperkara di Mahkamah Konstitusi. Abdul Rasyid berpendapat, bahwa terdapat pembagian mengenai lembaga negara, yaitu ada lembaga negara dan ada lembaga UUD 1945 bagi lembaga negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Lembaga yang ada dalam UUD 1945, ada yang kewenangannya bersifat atribusi ada yang kewenangannya didelegasikan kepada undang-undang pembentuknya. Semua lembaga UUD
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
1945 yang memiliki kewenangan atribusi dari UUD 1945 dapat dipastikan bisa menjadi subyek SKLN, kecuali Mahkamah Konstitusi sendiri. Tidak semua lembaga negara UUD 1945 bisa beperkara dalam SKLN. Abdul Rasyid mencontohkan BI di dalamnya. Sebaliknya ada lembaga yang tidak masuk dalam UUD 1945, namun bisa mengajukan permohonan SKLN, 33 misalnya KPUD.
negara semata. Hal ini cukup menjadi perdebatan ketika Bupati Bekasi Saleh Manaf dan Wakil Bupati Solihin menggugat keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan pengangkatan keduanya sebagai Bupati dan Wakil bupati Bekasi dengan mencabut Surat Keputusan Mendagri tentang Pengangkatan, Pengesahan dan Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Bekasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan agar Mendagri mencabut kedua surat keputusan tersebut karena menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, gugatan tersebut merupakan obyek dari gugatan PTUN, bukan sengketa antarlembaga negara yang wewenangnya 34 masuk dalam wilayah yurisdiksi MK.
Mengenai perdebatan tersebut menurut penulis, memang perlu dijelaskan dalam UU Mahkamah Konstitusi mengenai: pertama, definisi lembaga negara dalam SKLN; kedua, siapa saja lembaga negara yang bisa beperkara dalam SKLN, dan ketiga, lembaga mana yang akan menyelesaikan sengketa lembaga negara yang tidak masuk dalam wewenang SKLN. Hal ini akan mengefektifkan penanganan sengketa kewenangan yang muncul akibat dari diaturnya berbagai kewenangan lembaga negara dalam bermacam-macam undang-undang yang terkadang dalam pelaksanaannya ternyata mengganggu kewenangan lembaga negara lainnya.
Yang menarik adalah dalam kasus ini ada dua hakim yang mengeluarkan dissenting opinion mengenai kasus ini, yaitu Prof. H.A. Mukhtie Fajar dan Maruarar Siah aan . Dissenting opinon yang dikemukakan Maruarar Siahaan mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau jabatan TUN yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang aatu badan perdata”, masih memiliki syarat lain dan mengenal perkecualian tertentu. Karena dalam Pasal 40 UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 109 (2), Presiden “hanya” mengesahkan hasil suatu mekanisme demokrasi yang telah dilakukan, sehingga tidak ada
b. Mengenai Objectum Litis SKLN: Keputusan Tata Usaha Negara oleh Suatu Lembaga yang Mengganggu Wewenang Lembaga Negara lain Lembaga negara yang diberikan kewenangannya oleh undang-undang, perlu benar-benar memahami apakah obyek sengketa benar-benar merupakan sengketa kewenangan antarlembaga negara ataukah harusnya dimasukkan dalam gugatan di pengadilan tata usaha 33
Abdul Thlm.ib Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Raditya Bakti, 2006) hlm. 413-414
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
34
Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006, hlm. 101102
281
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
kebebasan diskresi bagi Presiden atau Mendagri untuk mengeluarkan 35 penetapan bagi orang lain. Selanjutnya, Maruarar menekankan kembali mengenai definisi SKLN sebagai “sengketa yang timbul akibat satu negara menjalankan kewenangannya yang diberikan UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau menggangu kewenangan lembaga negara lain”. Mukhtie Fajar menyatakan bahwa tidak seharusnya kewenangan bupati/wakil bupati dicabut oleh bupati dan wakil Bupati telah dipilih secara demokratis oleh DPRD, maka pemberhentiannya juga harus melalui mekanisme yang dilakukan oleh DPRD. Mukhtie Fadjar menegaskan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi adalah “untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil” dan tindakan termohon (Mendagri) jelas-jelas mengganggu stabilitas Pemerintahan Deerah Kabupaten Bekasi. Dua prinsip di atas harus dijadikan pertimbangan dalam menganalis apakah suatu permohonan memenuhi objectum litis dari SKLN. Hal ini penting, untuk menentukan apakah suatu putusan merupakan obyek sengketa SKLN dimana suatu keputusan suatu lembaga negara telah mengganggu kewenangan lembaga lainnya ataukah sengketa PTUN yang dikarenakan putusan yang bersifat beschikking yang merupakan kewenangan seorang pejabat berdasarkan suatu Undang-Undang. 3.
35
Hakim Sebagai Mediator Dalam menyelesaikan perkara yang masuk ke MK, hakim konstitusi bersifat pasif dan korektif. Hakim dapat Putusan MK No.004/SKLN-IV/2006 hlm.. 106
282
bertindak setelah ada permohonan yang diajukan kepada MK. Hakim tidak boleh mencari-cari perkara ataupun menganjurkan orang atau pihak-pihak tertentu untuk berpekara, selain itu ia 36 juga tidak boleh menolak perkara. Menurut Jimly Asshiddiqie, sengketa lembaga negara sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis 37 politis. Obyek yang dipersengketakan dan pilihan-pilihan alternatif penyelesaiannya sangat ditentukan oleh pribadi-pribadi para pejabat yang mengambil keputusan atas nama 38 lembaga-lembaga yang bersangkutan. Hal ini sangat subyektif sekali, oleh karena itu perlu kiranya suatu lembaga yang mampu menjadi penengah dalam masalah sengketa yang bersifat subyektif tersebut. Oleh karena itu Jimly Asshiddiqie memberi ide untuk mengembangkan mekanisme mediasi antarlembaga negara yang memungkinkan MK bertindak proaktif untuk mencegah timbulnya persengketaan hukum yang tidak perlu dan justru akan 39 merugikan. Peran hakim sebagai penegah/mediator sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 maupun dalam PMK No.08/PMK/2006. Oleh karena itu, ia berharap agar ada kesepakatan oleh semua pihak agar proses mediasi ini dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah sengketa antarlembaga negara. PENUTUP 1. Simpulan a. Sampai saat ini definisi lembaga negara yang bisa beperkara di 36
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, op.cit, hlm. 43. 37 Ibid, hlm..44 38 Ibid 39 Ibid, hlm..45
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
b.
Mahkamah Konstitusi (subjectum litis) masih multitafsir, dikarenakan baik UUD 1945 maupun UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi belum dapat memberikan secara tegas definisi dan batasan yang dimaksud dengan lembaga negara tersebut. Ketidakjelasan ini yang kemudian menimbulkan permasalahan ketika Komisi Independen dan KPU Daerah mengajukan gugatan permohonan SKLN di MK. Mereka dianggap bukan merupakan subjectum litis SKLN, sedangkan di sisi lain tidak jelas pula definisi dari “lembaga lain yang kewenangannya diatur dalam UU” seperti yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kekosongan hukum bagi lembaga-lembaga negara independen yang tidak disebutkan kewenangannya dalam UUD 1945, tetapi eksis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Obyek sengketa kewenangan lembaga negara adalah apakah suatu kewenangan yang sudah ditentukan dalam konstitusi terhambat atau terganggu pelaksanaannya karena adanya keputusan tertentu dari lembaga lain (bukan apakah lembaga tersebut lembaga negara atau tidak). Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia yang menerapkan otonami daerah, kemudian menjadi perdebatan apakah keputusan TUN Pemerintah Pusat telah mengganggu wewenang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, ada dua hal yang dikatakan dua hakim Mahkamah Konstitusi dalam hal ini yang
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
menurut perlu dipertimbangkan, yaitu apakah sengketa yang timbul akibat satu negara menjalankan kewenangannya yang diberikan UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga negara lain dan perlunya mengingat tujuan Mahkamah Konstitusi untuk menjaga pemerintahan yang stabil. 2.
Saran a. Adanya perubahan dalam peraturan perundang-undangan, bisa dilakukan pada Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi ataupun pada peraturan PMK tentang SKLN yang menjelaskan lebih jelas definisi lembaga negara yang bisa berperkara di SKLN. Perubahan ini tentunya harus mempertimbangkan kapasitas MK dalam melakukan persidangan, mengingat perluasan kewenangan MK di perkara lainnya, seperti pada permohonan memutus sengketa pilkada daerah. b. Mempertimbangkan untuk tidak semata-mata menolak kasus-kasus TUN, karena dalam beberapa kasus yang menyangkut pelaksanaan demokrasi di daerah hal tersebut bisa menggangu kestabilan pemerintahan daerah. c. Diperlukan suatu agenda untuk melakukan penataan kelembagaan secara tepat, terkait dengan pemberian kewenangan kepada lembaga negara ataupun kepada lembaga-lembaga pemerintah nonkementerian sehingga dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tidak saling tumpang tindih dengan kewenangan lembaga/organ negara lainnya, terlebih lagi untuk menjaga keharmonisan antarlembaga negara dan menjaga
283
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Dian Eka Rahayu Sawitri
stabilitas dan wibawa lembaga negara tersebut di mata masyarakat. Sebab organisasi negara merupakan hubungan kemasyarakatan dan penuh dinamika yang harus selalu diikuti oleh penciptaan pranata dan lembaga baru guna menjaga tujuan dan kelanggengan organisasi demi tercapainya tujuan organisasi 40 tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri. Asshiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam Undang-Undang 1945, Jakarta: FH UII Press. _______________. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta: Konstitusi Press. _______________. 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Jakarta, Konstitusi Press. _______________. 2006. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. _______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. _______________. 2008. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Fajar, Abdul Mukhti. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.
Kamis, Margarito: 2008. Jurnal Negarawan: Evolusi Demokratis Pengorganisasian Urusan Pemerintahan dan LembagaLembaga Non-Kementerian, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Rasyid, Abdul Thalib. 2006 Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT Raditya Bakti. Roestandi, Ahmad. 2005. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2010. Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Siahaan, Iskandar. 1984. Politik dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Ind-Hill. Co. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia. Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Negarawan, November 2008, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara http://www.setneg.go.id/ http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
40
Iskandar Siahaan, Politik dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Ind-Hill. Co., 1984, hlm. 128.
284
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
15
Info PKKOD PERINGKAT KINERJA DA ERAH OTONOM BARU HASIL PEMEKARAN : (Ber d asar kan E val uasi Daer ah Otonom Baru Hasil Pemekaran Tahun 1999-2009)1
PENDAHULUAN Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. penambahan jumlah daerah otonom di Indonesia selama decade trerakhir ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan apakah pembentukan daerah otonom baru itu benar-benar member manfaat bagi daerah, Negara dan warganya. Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang lebih dipermudah. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 T a h u n 2 0 0 0 te n t a n g P e r s y ar a t a n Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang bagi terbentuknya daerah baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan “… Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”. 1
Sumber : hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran yang dilaksanakan pada tahun 2010.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Hal senada juga diatur dalam Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 3 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) menyebutkan pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) d i s e b u t k a n : ’ Pe m b e n tu k a n d a e r a h sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”. Pengaturan tentang persyaratan pembentukan untuk sementara masih didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000, yang sampai saat ini belum d i c a b u t , k a r e n a b e lu m a d a P P penggantinya. Menurut Pasal 3 PP No. 129 Tahun 2000 dinyatakan bahwa, Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a) kemampuan ekonomi; b) potensi daerah; c) sosial budaya; d) sosial politik; e) jumlah penduduk; f) luas daerah; dan g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Sejak PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah telah membuka keran bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan daerah otonom baru, sampai dengan tahun 2009 telah terbentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7 Provinsi, 163 Kabupaten dan 34 Kota sebagaimana table dibawah ini :
285
Info PKKOD Table. 1 Penambahan jumlah DOHP 1999-2009 Tahun
Provinsi
Sebelum Tahun 1999 26 1999 2 2000 3 2001 2002 1 2003 2004 1 2005 2006 2007 2008 2009 DOHP Pasca UU No. 22/1999 7 Total Pemda (2009) 33 Sumber : Permendagri No. 21 Tahun 2010
Pembentukan DOHP yang relatif massif dalam dekade terakhir ini dan banyaknya usulan untuk pembentukan DOHP baru telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi, praktisi dan para politisi. Pro dan kontra tentang fragmentasi daerah melalui pembentukan daerah otonom baru dan pemecahan satu daerah kedalam dua atau lebih DOB menjadi keniscayaan. Masing-masing pihak memiliki argumentasinya sendiri untuk mendukung posisinya terhadap pembentukan DOHP. Oleh sebab itu, perlu kiranya kajian yang komprehensif untuk mengklar ifikasi argumen-argumen dari masing-masing pihak dan mengumpulkan fakta-fakta untuk memperjelas klaim dari pembentukan DOHP selama ini, terutama terkait dengan implikasinya terhadap kesejahteraan rakyat, perbaikan kualitas governance, perbaikan pelayanan public dan peningkatan daya saing daerah.
286
Kabupaten
Kota
Total
234 34 33 47 21 27 2 164 398
59 9 12 4 2 4 3 34 93
319 45 3 12 38 49 1 25 30 2 205 524
Dalam kurun waktu 10 Tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan pemberlakukan PP tentang Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah belum pernah dilakukan evaluasi terhadap daerah otonom baru hasil pemekaran (EDOHP). Evaluasi daerah otonom hasil pemekaran dilaksanakan untuk melengkapi evaluasi-evaluasi pemerintahan yang sudah ada sebelumnya seperti EKPPD, EKPOD dan lain-lain. Pada bulan April 2011, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan Evaluasi Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran (EDOBHP), dimana hasil evaluasi menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh DOHP untuk dapat menunjukkan kinerja daerah yang baik sehingga dapat mencapai tujuan otonomi daerah yang secara
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD normative menjadi alasan pembentukan daerah-daerah tersebut. EVALUASI DAERAH OTONOM BARU HASIL PEMEKARAN (EDOBHP) Sejak disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang membuka keran bagi pembentukan daerah otonom baru telah terjadi penambahan daerah secara signifikan di Indonesia. Lonjakan drastic jumlah daerah otonom baru ditambah dengan masih banyaknya usulan pembentukan daerah otonom telah memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar mengenai urgensi dan manfaat dari pemekaran daerah. Pemerintah telah melakukan upaya pengendalian atas tingginya tuntutan pemekaran yang cenderung kurang memperhitungkan prasyarat kelayakan dan kesiapan daerah untuk dimekarkan. Pembentukan daerah otonom baru dilakukan umumnya untuk meningkatkan k e se j a hte r a a n r a k y a t, me mpe baik i pelayanan public, meningkatkan daya saing daerah dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Keempat hal tersebut menjadi argumentasi yang sering diucapkan oleh para penggagas pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang marak selama satu decade ini telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah pembentukan daerah otonom baru benar-benar membawa daerah kepada pencapaian tujuan otonomi daerah ?, apakah proses yang selama ini terjadi justru menghasilkan DOHP yang kurang mampu mewujudkan janji dan tujuan pembentukannya ?, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjamin pembentukan DOHP benar-benar mampu memenuhi janjinya untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, meningkatkan JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
pelayanan public, meningkatkan daya saing daerah dan meningkatkan kualitas tata pemerintahan yang baik. Evaluasi Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran terkait dengan kebijakan e v a l u a s i pe m e r i n t a h an d a e r a h d a n kebijakan penghapusan/penggabungan daerah. Dasar hukum EDOBHP Tahun 2010 adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2010, dimana Peraturan ini merujuk pada kebijakan diatasnya, yaitu PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu EDOBHP juga merujuk pada PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Untuk evaluasi DOB, pemerintah melakukan Evaluasi Penyelenggaraan Daerah Otonom Baru (EPDOB) yang secara khusus dirancang untuk mengevaluasi kesiapan DOB, yaitu daerah otonom hasil pemekaran yang usianya 3 tahun dan yang kurang 3 tahun. EPDOB memusatkan perhatiannya pada evaluasi kesiapan DOB dalam menyiapkan kelembagaan daerah seperti DPRD dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD dan rekruitmen pegawai dan sebagainya. Tujuan EDOBHP adalah a) untuk memetakan kinerja pemerintahan daerah di DOBHP, b) mengembangkan program dan strategi yang tepat untuk pembinaan dan perbaikan kinerja daerah otonom baru dan c) menjadi bahan masukan bagi revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan kebijakan pemerintahan 287
Info PKKOD l a i n n y a y a n g be r k a it a n d e n g a n pemerintahan daerah. Sedangkan maksud dari dilaksanakannya EDOBHP ini adalah untuk a) memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, b) mengukur kinerja DOBHP, c) merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah di masa mendatang be na r - be na r ma mpu me ningk atk an kesejahteraan rakyat didaerah bersangkutan.
E v aluasi Dae r ah Oton o m H a sil Pemekaran melipuai 205 daerah otonom hasil pemekaran, yang terdiri dari 7 Provinsi, 164 Kabupaten dan 34 Kota. Tabel berikut menunjukkan 10 DOBHP Kabupaten dengan skor tertinggi. Dari table tersebut juga terlihat adanya kecenderungan bahwa factor usia DOHP (kesepuluh daerah berusia lebih dari 3 tahun) mempengaruhi capaian tersebut. Sebanyak 7 dari 10 DOHP tersebut berada di Sumatera.
Tabel. 2 DOHP Kabupaten dengan Skor Tertinggi Proses Pembentukan Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR Samosir Sumut Inisiatif DPR Boalemo Gorontalo Inisiatif Pemerintah Serdang Bedagai Sumut Inisiatif DPR Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR Malinau Kaltim Inisiatif Pemerintah Muaro Jambi Jambi Inisiatif Pemerintah Bangka Barat Babel Inisiatif DPR Sumbawa Barat NTB Inisiatif DPR sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri Daerah
Provinsi
Seperti halnya dengan Kabupaten, factor usia juga berpengaruh terhadap kinerja DOHP Kota. Tabel berikut ini memperlihatkan kesepuluh daerah Kota dengan peringkat tertinggi berusia lebih
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Skor 59,43 59,18 58,52 56,42 55,35 55,20 54,68 54,43 53,66 53,36
Total Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
dari 3 tahun, dimana sebanyak 7 dari 10 Kota terbaik tersebut dibentuk melalui proses transformasi menjadi daerah otonom dan 3 diantaranya berasal dari Provinsi Jawa Barat.
Tabel. 3 DOHP Kota dengan Skor Tertinggi Daerah Banjarbaru Cimahi SIngkawang
288
Provinsi Kalsel Jabar Kalbar
Proses Pembentukan Transformasi Inisiatif DPR Transformasi
Usia >3 >3 >3
Skor 64,61 60,43 58,12
Total Peringkat 1 2 3
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD Tasikmalaya Jabar Transformasi Palopo Sulsel Transformasi Cilegon Banten Transformasi Banjar Jabar Transformasi Batam Kepri Inisiatif Pemerintah Tanjung Pinang Kepri Transformasi Tomohon Sulut Inisiatif Pemerintah sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
FAKTOR KESEJAHTERAAN RAKYAT Didalam penjelasan UU No 32 tahun 2004 disebutkan bahwa " ..penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat". Suatu pemerintahan yang terdesentralisir dianggap lebih mampu mendorong proses pemberdayaan dan perbaikan kesejahteraan. Pembuat keputusan di tingkat lokal dituntut untuk lebih bertanggung jawab kepada para masyarakat pemilihnya. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi menjadi sarana utama untuk menjadikan negara lebih tanggap dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, desentralisasi akan membuka akses partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam perumusan kebijakan pemerintahan. Para penggagas pembentukan daerah otnom baru seringkali berargumen bahwa pembentukan daerah otonom baru akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa teori menjustifikasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa fragmentasi daerah akan dapat mendorong kompetisi antar daerah. Daerah akan memperebutkan investasi dan modal yang terbatas dan mendorong mereka untuk lebih efisien. Pembentukan daerah juga diharapkan dapat memperbaiki rasa keadilan karena adanya daerah otonom baru memungkin-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
>3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
57,40 57,20 56,62 56,36 55,77 55,36 53,64
4 5 6 7 8 9 10
kan pemerintah daerah baru tersebut untuk memperhatikan kepentingan kelompokkelompok yang selama ini terpinggirkan. Banyak daerah baru dibentuk karena sekelompok pemangku kepentingan merasa kepentingannya kurang diperhatikan oleh pemerintah induknya. Karena itu ketika mereka berhasil membentuk daerah otonom baru diharapkan pemerintah DOHP lebih peduli kepada kepentingan mereka. Tabel dibawah ini menggambarkan capaian peringkat dari Kabupaten hasil evaluasi daerah otonom baru hasil pemekaran. DOBHP yang masuk 10 daerah dengan skor tertinggi untuk factor kesejahteraan rakyat berusia lebih dari 3 tahun. Hanya ada satu DOBHP berusia 0-3 tahun yang masuk pada peringkat ini, yaitu Kabupaten Padang Lawas di Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 6 dari 10 Daerah tersebut berasal dari Sumatera dan kesepuluh daerah tersebut dibentuk atas inisiatif pemerintah atau DPR. Tabel tersebut juga menggambarkan capaian kinerja dan peringkat daerah-daerah tersebut bila dilihat dari evaluasi secara menyeluruh daerah kabupaten untuk keempat factor. Serdang Bedagai untuk factor kesejahteraan masyarakat masuk peringkat teratas dengan skor 76,80, akan tetapi begitu disandingkan dengan perolehan skor untuk secara menyeluruh, Serdang Bedagai hanya menempati urutan
289
Info PKKOD ke 5 (lima) dari total 164 daerah Kabupaten
yang dinilai dengan perolehan skor 55,35.
Tabel. 4 Peringkat 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahateraan Masyarakat Daerah Serdang Bedagai Bangka Barat Muaro Jambi Minahasa Sel. Seruyan Padang Lawas Minahasa Utara Pasaman Barat Siak Luwu Utara
Provinsi
Proses Pembentukan
Usia
Sumut Babel Jambi Sulut Kalteng Sumut Sulut Sumbar Riau Sulsel
Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif Pem. Inisiatif DPR
>3 >3 >3 >3 >3 0-3 >3 >3 >3 >3
Factor Kesejahteraan Masyarakat Skor Peringkat 76,80 1 71,80 2 71,74 3 71,57 4 70,23 5 70,20 6 69,80 7 69,76 8 69,63 9 69,46 10
Total Skor 55,35 53,66 54,43 50,14 48,34 39,83 40,05 46,02 43.76 49,28
Peringkat 5 9 8 20 24 65 63 31 41 23
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
Selanjutnya untuk Kota dengan kinerja tertinggi pada factor kesejahteraan rakyat sebagaimana tertera pada table d i b a w a h i n i . T a be l d i b a w a h i n i menggambarkan bahwa DOHP Kota di Jawa pada umumnya kinerjanya lebih baik disbanding dengan kota-kota lainnya. Temuan evaluasi menunjukkan bahwa DOHP Kota di Jawa menunjukkan kinerja
yang menonjol. Peringkat 1 sampai 3 ditempati oleh Kota Banjar, Kota Depok dan Kota Cilegon. Rata-rat a usia DOHP tersebut adalah lebih dari 3 tahun, namun yang menarik adalah bahwa ada satu daerah yang usianya kurang dari tiga tahun tetapi masuk dalam peringkat sepuluh besar pada factor kesejahteraan rakyat, yaitu Kotamobagu di Provinsi Sulawesi Utara.
Tabel. 5 Peringkat 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahateraan Masyarakat Daerah Banjar Depok Cilegon Banjarbaru Tomohon Singkawang Dumai Batam
290
Provinsi
Proses Pembentukan
Jabar Jabar Banten Kalsel Sulut Kalbar Riau Kepri
Transformasi Transformasi Transformasi Transformasi Inisiatif Pem. Transformasi Transformasi Inisiatif Pem.
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Kesejahteraan Masyarakat Skor Peringkat 74,50 1 74,31 2 73,83 3 72,65 4 72,19 5 71,39 6 70,21 7 70,10 8
Total Skor 56,36 48,52 56,62 64,61 53,64 58,12 47,20 40,77
Peringkat 7 14 6 1 10 3 16 8
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD Daerah Kotamobagu Palopo
Provinsi
Proses Pembentukan
Usia
Sulut Sulsel
Inisiatif Pem. Transformasi
0-3 >3
Factor Kesejahteraan Masyarakat Skor Peringkat 70,04 9 69,21 10
Total Skor 40,57 57,20
Peringkat 21 5
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
FAKTOR PEMERINTAHAN YANG BAIK Untuk menilai kinerja DOHP dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, evaluasi DOHP menggunakan skor indeks yang merupakan komposit dari 10 indikator, yaitu a) ketepatan APBD, b) penyerapan anggaran, c) produk hukum transparansi, d) publikasi APBD dan procurement, e) pelembagaan penanganan pengaduan, f) pakta integritas, g) publikasi pertanggungjawaban APBD, h) persentase anggaran DPRD dan Kepala Daerah, i)
konsultasi public dan j) jumlah Perda yang dibuat atas inisiatif DPRD. Tabel berikut memperlihatkan hasil evaluasi terhadap factor pemerintahan yang baik. Dari 10 daerah yang memperoleh kinerja tertinggi 7 diantaranya adalah daerah yang berasal dari Sumatera. Apabila dilihat dari usia daerah, rata-rata daerah tersebut berusia lebih dari 3 tahun. Dan pembentukan daerah-daerah ini adalah atas inisiatif DPR dan inisiatif pemerintah.
Tabel. 6 Peringkat 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan Yang Baik Daerah
Provinsi
Proses Pembentukan
Usia
Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR Boalemo Gorontalo Inisiatif Pem. Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR Malinau Kaltim Inisiatif Pem. Karimun Kepri Inisiatif Pem. Muaro Jambi Jambi Inisiatif Pem. Pidie Jaya NAD Inisiatif DPR Kepahiang Bengkulu Inisiatif Pem. Parigi Moutong Sulteng Inisiatif Pem. sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
Selanjutnya table 7 dibawah ini memperlihatkan DOHP Kota hasil transformasi daerah otonom mendominasi 10 DOHP Kota berperingkat teratas pada factor tata pemerintahan yang baik. Kesepuluh daerah tersebut berusia diatas 3
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
>3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Tata Pemerintahan Yang Baik Skor Peringkat 77,87 1 77,12 2 70,27 3 68,55 4 66,77 5 65,94 6 64,86 7 63,84 8 63,81 9 63,69 10
Total Skor 59,18 59,43 56,42 55,20 54,68 52,15 54,43 46,50 49,53 45,51
Peringkat 2 1 4 6 7 15 8 28 22 34
tahun. Temuan menarik adalah masuknya Kota Sorong di Provinsi Papua Barat sebagai salah satu dari 10 daerah tersebut yang bahkan mampu berada pada peringkat ketiga.
291
Info PKKOD Tabel. 7 Peringkat 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan Yang Baik Daerah
Provinsi
Banjarbaru Batam Sorong Cimahi Singkawang Cilegon Tasikmalaya Lubuk Linggau Tanjung Pinang Tidore Kep.
Kalsel Kepri Papua Barat Jabar Kalbar Banten Jabar Sumsel Kepri Malut
Proses Pembentukan Transformasi Inisiatif Pem. Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Transformasi Transformasi Transformasi Transformasi Transformasi Inisiatif DPR
Usia
>3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Tata Pemerintahan Yang Baik Skor Peringkat 83,08 1 72,64 2 66,05 3 63,37 4 61,76 5 61,20 6 59,78 7 57,30 8 54,22 9 54,03 10
Total Skor 64,61 55,77 47,33 60,43 58,12 56,62 57,40 53,49 55,36 51,07
Peringkat 1 8 15 2 3 6 4 11 9 13
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri FAKTOR PELAYANAN PUBLIK
Sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat". Dari penegasan tersebut dapat dipahami bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan ultimate goal dari pemberian otonomi. Sementara itu pelayanan kepada dan pemberdayaan masyarakat adala h instrumental/intermediate goal yang menjadi sarana dan kondisi utama bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, pelayanan yang wajib diberikan pemerintah daerah sebagaimana termaktub didalam pasal 22 UU No 32 Tahun 2004 tentang
292
Pemerintahan Daerah dapat dikelompokkan ke dalam pelayanan yang bersifat langsung dan tidak langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan yang bersifat langsung tersebut dapat dibedakan lagi menjadi jenis pelayanan administratif dan pelayanan sosial. Pelayanan minimal yang harus disediakan oleh pemerintah adalah jenis pelayanan yang menjamin proses reproduksi sistem sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Pelayanan minimal dalam hal ini terkait langsung dengan sarana masyarakat sebagai suatu social entity untuk mempertahankan (means of survival) dan mengembangkan daya hidupnya. D a r i s e r a n g k a i an k e w a j i b a n pemerintah daerah menurut pasal 22 UU Nomor 32 tahun 2004, yang dimaksud pelayanan minimal adalah pelayanan keamanan, pendidikan, kesehatan dan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Untuk jenis pelayanan terakhir ini
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD secara minimal diartikan sebagai fasilitas yang mendukung kemampuan interaksional dan komunikasional para anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan diri melalui berbagai kegiatan transaksi sosial dalam rangka memperkuat solidaritas kultural dan ekonomi. Salah satu factor yang menjadi focus penilaian dalam evaluasi ini adalah factor pelayanan public yang mencakup pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan sarana dan prasarana umum dan pelayanan administrasi kependudukan. Keempat jenis pelayanan ini dapat
mewujdkan kesejahteraan social dan ekonominya. Table 8 dibawah ini menunjukkan bahwa untuk daerah-daerah di wilayah timur Indonesia seperti Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat dan Lembaga di Nusa Tenggara Timur serta Sarmi di Provinsi Papua justru dapat ‘bersaing’ dengan daerah-daerah lain. Usia daerah yang dievaluasi adalah rata-rata diatas 3 tahun dan pembentukan daerah adalah atas inisiatif DPR dan inisiatif Pemerintah, tidak satupun daerah hasil transformasi yang masuk dalam peringkat ini.
Tabel. 8 Peringkat 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Pelayanan Publik Daerah Bangka Barat Samosir Sumbawa Barat Luwu Utara Minahasa Selatan Lembata Bangka Tengah Boalemo Sarmi Rokan Hulu
Provinsi Babel Sumut NTB Sulsel Sulut NTT Babel Gorontalo Papua Riau
Proses Pembentukan Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif Pem. Inisiatif Pem.
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Pelayanan Publik Skor Peringkat 63,10 1 62,23 2 61,72 3 61,04 4 60,11 5 57,93 6 57,60 7 56,28 8 55,66 9 55,13 10
Total Skor 53,66 58,52 53,36 50,86 50,14 40,92 59,18 56,42 41,06 45,44
Peringkat 9 3 10 17 20 56 2 4 55 35
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
Selanjutnya untuk melihat bagaimana hasil evaluasi terhadap daerah Kota, Tabel 9 berikut ini. DOHP Kota di Jawa dan yang dibentuk melalui proses transformasi paling banyak masuk dalam peringkat terbaik, yaitu 4 DOHP (Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kota Banjar dan Kota Cilegon)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
293
Info PKKOD Tabel. 9 Peringkat 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Pelayanan Publik Daerah Tomohon Tasikmalaya Singkawang Cimahi Banjar Langsa Palopo Cilegon Metro Lhokseumawe
Provinsi Sulut jabar Kalbar jabar Jabar NAD Sulsel Banten Lampung NAD
Proses Pembentukan Inisiatif Pem. transformasi Transformasi Inisiatif DPR transformasi Transformasi Transformasi Transformasi Inisiatif Pem. Transformasi
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Pelayanan Publik Skor Peringkat 72,91 1 65,06 2 64,31 3 64,30 4 64,02 5 61,51 6 58,69 7 56,14 8 55,97 9 54,50 10
Total Skor 53,64 57,40 58,12 60,43 56,36 46,85 57,20 56,62 46,68 45,22
Peringkat 10 4 3 2 7 17 5 6 18 19
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
FAKTOR DAYA SAING DAERAH Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan batasan tentang daya saing. Dalam penjelasan pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa daya saing daerah merupakan kombinasi antara faktor kondisi ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik daerah, sumber daya manusia, dan teknologi yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain. Namun penjelasan terbatas ini belum memuaskan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya daerah bersaing dengan daerah lain. Porter (1998), salah seorang penggagas Global Competitiveness Report, menyampaikan gagasan mengenai berbagai sumber daya saing daerah. Disebutkan bahwa daya saing dan standar hidup (kesejahteraan) suatu daerah ditentukan oleh produktivitas yang dicapai dengan memberdayakan sumber daya manusia, modal (capital), dan sumber daya alam. Dari terminologi daya saing tersebut perlu
294
ditegaskan siapa yang bersaing dan apa yang dipersaingkan. Porter lebih lanjut menjelaskan bahwa daerah bersaing dalam menawarkan lingkungan bisnis yang paling produktif bagi kegiatan usaha. Sektor publik dan sektor swasta memainkan peran yang berbeda namun saling terkait dalam usaha menciptakan perekonomian yang produktif. Pendeknya, dalam konteks daerah, persaingan diperlukan untuk menarik atau menjaga agar para pelaku usaha tetap melakukan kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Dari berbagai studi yang mengukur daya saing disimpulkan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam mengukur daya saing terutama ditekankan pada faktor-faktor yang membentuk daya saing dan output dari kemampuan ekonomi suatu daerah. Berdasarkan penjelasan UU 32 Tahun 2004 mengenai daya saing daerah tersebut, terdapat kelompok besar indikator daya saing yakni perekonomian daerah, kelembagaan publik, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dapat dikatakan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD bahwa faktor-faktor pembentuk daya saing adalah indikator input dari daya saing suatu daerah dan sebagai outputnya adalah produktivitas. Kualitas kelembagaan publik, infrastruktur yang memadai dan sumber daya manusia yang terdapat di daerah berpengaruh terhadap pilihan-pilihan untuk melakukan aktivitas ekonomi di daerah karena dapat berdampak pada efisiensi produksi.
menjadi bagian dari hasil tersebut. Ketiga aspek tersebut adalah faktor penjelas mengapa hasil yang diperoleh mencapai tingkat tertentu. Adapun hasilnya adalah meningkatnya perekonomian daerah. Dan sebagai hasil akhir atau outcomes dari daya saing daerah adalah meningkatnya standar hidup atau kesejahteraan masyarakat.
Pilihan-pilihan untuk melakukan aktivitas ekonomi dapat terpengaruh oleh kualitas kelembagaan publik daerah. Ketidakprofesionalan aparatur publik daerah ditambah rantai birokrasi yang panjang pada akhirnya berujung pada inefisiensi dan berakibat pada biaya ekonomi yang semakin tinggi.
Peringkat daya saing daerah yang diuraikan disini merupakan perbandingan relative antar DOHP, dimana indek yang dihasilkan merupakan komposit dari 4 (empat) aspek yang terdiri dari 7 (tujuh) indicator daya saing. Sebagai suatu perbandingan relative antar daerah, maka daerah yang berada di peringkat atas dinilai lebih baik kinerjanya dari daerah yang berada di peringkat bawahnya.
Dengan kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas kelembagaan publik daerah. Pendelegasian kewenangan diyakini dapat membuat birokrat daerah semakin efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya. Infrastruktur, sumber daya manusia, dan kualitas kelembagaan mungkin menentukan atau mempengaruhi hasil, tetapi bukan
Tabel 10 berikut ini menunjukkan hawa usia daerah yang menjadi objek evaluasi adalah diatas 3 tahun, kecuali untuk Kabupaten Kubur Raya di Kalimantan Barat dan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat yang berusaha kurang dari 3 tahun tetapi mampu masuk dalam peringkat 10 daerah kabupaten dengan skor tertinggi.
Tabel. 10 Peringkat 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Daya Saing Daerah Belitung Timur Lamandau Buru Dharmas Raya Samosir Malinau Rore Ndao Kubu Raya Katingan
Provinsi Babel Kalteng Maluku Sumbar Sumut Kaltim NTT Kalbar Kalteng
Proses Pembentukan Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Inisiatif DPR Inisiatif Pem. Inisiatif Pem. Inisiatif DPR Inisiatif Pem.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 0-3 >3
Factor Daya Saing Skor Peringkat 58,34 1 57,87 2 54,75 3 49,59 4 48,22 5 46,69 6 46,22 7 44,00 8 43,52 9
Skor 49,88 52,15 45,12 59,43 58,52 54,68 53,04 33,36 52,28
Total Peringkat 21 14 37 1 3 7 11 101 13
295
Info PKKOD Daerah Bandung Barat
Provinsi Jabar
Proses Pembentukan Inisiatif DPR
Usia 0-3
Factor Daya Saing Skor Peringkat 43,17 10
Skor 44,08
Total Peringkat 39
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri
Sementara untuk evaluasi terhadap daerah Kota sebagaimana terlihat pada table 11 dibawah ini. Dalam table terlihat bahwa usia dari daerah-daerah tersebut adalah lebih dari 3 tahun dan rata-rata d a e r a h t e r se b u t m e r u p a k a n h a s i l
transformasi daerah otonom. Hasil evaluasi ini juga menujukkan bahwa DOHP yang masuk dalam daftar ini relative cukup merata, kecuali dari Nusa Tenggara, Maluku, Papua.
Tabel. 11 Peringkat 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Daya Saing Daerah Lubuk Linggau Banjarbaru Palopo Cimahi Tanjung Pinang Banjar Lhokseumawe Dumai Depok Bontang
Provinsi Sumsel Kalsel Sulsel Jabar Kepri Jabar NAD Riau Jabar Kaltim
Proses Pembentukan Transformasi Transformasi Transformasi inisiatif DPR Transformasi Transformasi Transformasi Transformasi Transformasi inisiatif Pem.
Usia >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Factor Daya Saing Skor Peringkat 42,89 1 42,82 2 42,33 3 38,95 4 37,97 5 37,54 6 37,45 7 34,99 8 32,89 9 32,81 10
Skor 53,49 64,61 57,20 60,43 55,36 56,36 45,22 47,20 48,52 51,62
Total Peringkat 11 1 5 2 9 7 19 16 14 12
sumber : Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri Melihat hasil evaluasi daerah otonom baru hasil pemekaran (EDOHP) yang telah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa janji dan ekspektasi dari pembentukan daerah otonom baru ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Pada setiap tujuan yang mendasari pembentukan daerah otonom baru, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan kualitas
296
pelayanan publik, perbaikan tata pemerintahan dan peningkatan daya saing, DOHP Provinsi dan Kabupaten/Kota masih memiliki banyak kendala dalam mewujudkannya. Harapan masyarakat dan stakeholders untuk memiliki nasib yang lebih baik melalui pembentukan daerah otonom nampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras lagi. (samiaji)
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012
Info PKKOD
JURNAL DESENTRALISASI Volume 10 No. 2, 2012 16
Petunjuk Penulisan Jurnal Desentralisasi merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi DaerahLembaga Administrasi Negara dengan kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah, atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikirian kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Topik Jurnal Desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dan dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut : 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/insitasi dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabael dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm 3. Setiap table dan gambar diberi judul. Posisi judul table berada di atas table, sedangkan posisi judul gambar berada dibawah gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas : a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisasi ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topic tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari
internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut : Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes : a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York : Routledge. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta table yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat : Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 119-120 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di review oleh Dewan Penyunting, dan atas setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang pantas kepada penulis. ***