JEMBATAN NASIONAL SURAMADU, KONSTRUKSI APPROACH BRIDGE Eko Prasetyo
1 PENDAHULUAN Approach bridge yang konstruksinya merupakan continuous prestressed box girder adalah bagian dari jembatan Suramadu sebagai penghubung antara cause-way dengan jembatan cable ( main span ), dan terdiri dari dua bagian yaitu sisi Surabaya dan sisi Madura yang masing-masing mempunyai geometri yang sama ( simetris ). Dalam urut-urutan pelaksanaannya sisi Surabaya sedikit berbeda dengan sisi Madura, dimana sisi Madura masih mengacu kepada disain awal sedangkan sisi Surabaya ada sedikit perubahan dengan maksud untuk mempercepat waktu pelaksanaan. Ada dua hal yang akan terpengaruh dengan adanya perubahan ini yaitu, yang pertama adalah presetting dari bearing dan yang kedua adalah control elevasi pada setiap stage pelaksanaan, yang keduanya memerlukan penghitungan kembali. Pada prinsipnya perubahan ini tidak mempengaruhi kekuatan, durabilitas dan keamanan konstruksi, hanya terbatas pada masalah waktu pelaksanaan. 2 METODA PELAKSANAAN ( CONSTRUCTION METHOD ) 2.1 Balanced Cantilever Kedua approach bridge ( sisi Surabaya dan Madura ) terdiri dari 2 bagian, yang pertama adalah continuous box girder dengan bentang tepi 2 x 40.00 dan bentang tengah adalah 7x 80.00m, yang kedua adalah V-pier dengan bentang 32.00 m. Metoda pelaksanaan yang diterapkan untuk continuous girder adalah balance cantilever dengan sistim dicor ditempat untuk setiap segment ( gambar-1 ), sedangkan bagian Vpier dikerjakan me masang perancah dan merupakan satu kesatuan dengan pilar-V.
Gambar 1 Metode balanced cantilever dikembangkan untuk meminimalkan acuan perancah atau scaffolding yang diperlukan untuk pelaksaaan pengecoran secara in-situ. Tumpuan sementara (temporary shoring) terlalu mahal khususnya untuk kasus jembatan berelevasi tinggi dan denggunaan scaffolding yang melintasi sungai sangat beresiko, sehingga diatas jalan air yang padat, lalu lintas jalan atau jalan kereta api, penggunaan
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
1
scaffolding sudah tidak ekonomis lagi. Metode konstruksi secara balanced cantilever diterapkan untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti ini. Metode cast in place segmental ialah metode pelaksanaan yang masih menggunakan metode konstruksi segmental dan balanced cantilever akan tetapi setiap segmen dicor secara in-situ. Bekisting traveler yang tergantung pada segmen sebelumnya digunakan untuk membentuk segmen. Setelah segmen dicor, setelah umur beton 4 hari, stressing dilakukan untuk menahan segmen agar tetap berada di tempatnya. Bekisting traveler atau disebut traveler saja kemudian didorong maju ke segmen berikutnya dan proses yang sama diulangi sampai tengah bentang dari arah pier yang lain, membentuk sebuah struktur kantilever.
Gambar 2 Pelaksanaan jembatan box girder segmental dengan metode balanced cantilever cast in place Gambar 2 di atas mengilustrasikan sebuah pelaksanaan jembatan box girder dengan metode balanced cantilever menggunakan traveler. Untuk memfasilitasi pelaksanaan secara kantilever, sebuah pelat berpenampang pendek dengan pemberat (counterweight) di sisi yang lain dicorkan pada bekisting yang di-support dari tanah masing-masing pier. Ikatan sementara disiapkan untuk menyeimbangkan sisi yang lain untuk memastikan adanya kesetimbangan. Harus dipastikan pengontrolan counterweight dalam setiap urutan pelaksanaan kantilever. Ada banyak variasi metode yang digambarkan di atas. Pada kasus jembatan yang berelevasi rendah mungkin lebih ekonomis untuk mengecor ujung bentang di atas scaffolding. Ketika lantai jembatan menyatu monolit dengan pilar, ikatan atau strut pada counterweight dapat dilepas. Bekisting untuk mengecor kantilever ditahan oleh gantry traveler. Gantry ini didorong bergerak maju dengan rel yang terikat pada lantai jembatan yang telah selesai ke segmen berikutnya Ketika gantry terletak di tempat yang tepat, segmen baru dibentuk, dicor dan di-stressing pada segmen yang telah selesai sebelumnya. Dan proses yang sama diulangi sampai tengah bentang dari arah pier yang lain, membentuk sebuah struktur kantilever. Urutan metode konstruksi kantilever adalah sebagai berikut: a) Install dan atur gantry b) Install dan letakkan bekisting menurut elevasi yang tepat c) Tempatkan penulangan dan saluran duck dari tendon d) Pengecoran segmen e) Install tendon penarikan dan lakukan stressing f) Lepaskan bekisting g) Majukan gantry pada posisi selanjutnya dan mulailah cycle yang baru.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
2
Gambar 3 Layout tendon untuk stressing longitudinal secara segmental Untuk proyek-proyek yang ada di Indonesia, sistem bekisting modular termasuk yang paling populer. Sistem ini fleksibel untuk berbagai penampang yang berbeda dan panjang pengecoran yang berbeda. Dalam traveler ini terdapat sistem mekanis dan hidrolis yang ringan sehingga tidak menyulitkan assembly dari crane sehingga dapat mencapai cycle time yang dikehendaki. Langkah-langkah stressing: a) Tendon dimasukkan ke dalam pipa selongsong yang sudah disiapkan ke dalam beton. b) Tendon ditarik dengan menggunakan jack dikedua ujung dimana untuk arah longitudinal anker yang digunakan kedua-duanya adalah anker hidup. Sesaat setelah penarikan tendon, sudah terjadi kehilangan gaya prategang berupa : c) Perpendekan elastis, kehilangan tegangan akibat gesekan, dan sebagian momen beban mati sudah bekerja sebagai dampak dari posisi lengkung tendon. Dengan demikian gaya dongkrak harus sudah memperhitungkan hal-hal yang menyangkut kehilangan tegangan tersebut. Pembatasan tegangan-tegangan ijin pada tahaptahap pelimpahan dan pelayanan diambil sama dengan yang diberikan untuk cara pra-penarikan. d) Apabila digunakan tendon bonded, terutama untuk lingkungan yang korosif, ruang kosong di dalam pipa mengelilingi tendon diisi penuh pasta semen dengan cara disuntikkan (grouting) setelah tendon ditarik dan sebelum beban hidup bekerja. Apabila demikian halnya, maka tegangan akibat beban hidup dihitung berdasarkan penampang transformasi seperti yang dilakukan pada cara pra- penarikan. e) Pada umumnya jangkar ujung setelah dikunci (dimatikan) perlu ditutup atau dilindungi dengan lapis pelindung.
Gambar 4 a). Tempatkan kepala angker dan baji, b). Posisikan dan masukkan strand pada jack, c) Lakukan penarikan, d) Kunci dudukan baji e).inzet: jacking ,Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya unbalance moment pada setiap step pelaksanaan, disini digunakan perletakan sementara ( temporary bearing ) untuk menahan gaya tekan sedangkan gaya tarik ditahan oleh temporary anchor. Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
3
Di lapangan unbalance moment ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : (i). adanya tekanan angin yang tidak seimbangan (ii). berat form traveler yang tidak seimbang terutama pada waktu manouver (iii). berat sendiri beton yang tidak sama (iv). beban-beban pelaksanaan Pada kondisi dimana unbalance load masih kecil, disini unbalance moment masih dipikul oleh sistim perletakan dimana kedua perletakan masih dalam keadaan tertekan, untuk lebih jelasnya hal ini bias dilihat dalam perhitungan berikut : Perhitungan unbalance moment :
Perlawanan terhadap unbalance moment (1). Akibat berat box girder : Berat bangunan atas pada posisi full cantilever : Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
164.9 51.9 48.7 45.9 48.8 44.9 41.7 40.7 44
26 26 26 26 26 26 26 26 26
2143.7 1349.4 1266.2 1193.4 1268.8 1167.4 1084.2 1058.2 1144 11675.3
kN kN kN kN kN kN kN kN kN kN
Reaksi temporary bearing : Temporary anker mulai tertarik apabila ada unbalance moment lebih besar atau sama dengan : M1 = R1 * 2.8 = 32690.84 kNm (2). Kapasitas anker : Sisa tegangan anker setelah ditarik = 0.9*fy – 373 =333.5 Mpa
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
4
Kapasitas anker 16 buah
= 16*333.5*803 =4284.808 kN
M ank
= 4284.808*2.8 =11997.46 kNm
M perlawanan total
= M1 + M ank = 44688.3
kNm
Unbalance moment (1). Perbedaan tekanan angin dengan : Untuk kecepatan angin 30 m/dt qa = 14.7 kN/m' Ma = 1/2*qa*40^2 = 11760
kNm
(2). Kemungkinan adanya perbedaan berat sebesar 4% dari berat sendiri : Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
1.75 5.5 9.5 13.5 17.75 22.5 26.75 31.25 35.75
164.9 51.9 48.7 45.9 48.8 44.9 41.7 40.7 44
26 26 26 26 26 26 26 26 26
2143.7 1349.4 1266.2 1193.4 1268.8 1167.4 1084.2 1058.2 1144
85.748 53.976 50.648 47.736 50.752 46.696 43.368 42.328 45.76 Mb
150.059 296.868 481.156 644.436 900.848 1050.66 1160.094 1322.75 1635.92 7642.791
(3). Kemungkinan adanya perbedaan berat traveler : P = 144 kN Mc = P*40 = 5760 kNm (4). Perbedaan beban kerja : Qd = 7.35 kN/m Md = 1/2*qd*40^2 = 5880 Ma + Mb + Mc + Md = 31042.79 kNm Total kapasitas unbalance moment yang masih tersedia : M = M perlawanan - ( Ma + Mb ) = 13645.51 kNm Dengan cara yang sama untuk jumlah anker 20, diperoleh : M = 28284.88 kNm Note : Jika ada anker yang tidak berfungsi kapasitas diatas harus dikoreksi sesuai dengan jumlah anker yang ada ( yang berfungsi )
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
5
2.2 Closure Apabila unbalance moment yang terjadi melampaui kapasitas perletakan maka temporary anchor mulai bekerja, yaitu disatu sisi dalam kondisi tertarik dipikul anker dan sisi lainnya yang tertekan dipikul perletakan. Sebaiknya dalam prakteknya, apasitas anker tidak digunakan sepenuhnya, mengingat adanya kemungkinan lain yang tidak terduga. Apabila step-step pelaksanaan segment udah selesai untuk setiap pilar ( full cantilever ), tahap berikutnya adalah closure yaitu penyambungan ujung cantilever yang satu dengan ujung cantilever diseberangnya. Ada beberapa metoda closure bisa diterapkan, dimana pada prinsipnya semua metoda harus mengacu kepada persyaratan, yaitu beban yang akan dipakai tidak terlalu besar ( sebaiknya dibuat sama dengan reaksi closure pada ujung cantilever ) dan penempatan beban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan deformasi pada closure. Contoh penempatan beban yang dilaksanakan di jembatan Suramadu adalah seperti terlihat dalam gambar-5, disini besarnya beban Pft1, Pft2, Pw1 dan Pw2 adalah sama yaitu sebesar berat closur dibagi dua.
Pft-1
Pw1 Pw2
Pft-2
(a). Form traveler digeser dan diturunkan
Pft-1
Pw1 Pw2
Pft-2
(b). Pembebanan sebelum closure
Pft-1
Pw1' Pw2'
Pft-2
(c). Formwork & locking device dipasang
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
6
Pft-1
Pw1'' Pw2''
Pft-2
(d). Pengecoran beton & air dikeluarkan
Pft-2 Pft-1
(e). Pengecoran beton selesai & air kosong Gambar-5 Tahap-tahap pengerjaan closure Kondisi ini adalah seimbang baik sebelum pengecoran closure ataupun closure sudah selesai dikerjakan. Untuk menjaga keseimbangan dan tidak terjadi deformasi pada closure pada waktu pengecoran maka Pw1 dan Pw2 sebaiknya terdiri dari beban air dan tangkinya, sehingga pada waktu pelaksanaan disini beton dicorkan seiringan dengan air dikeluarkan dengan berat yang sama. Apabila pengecoran ini dilakukan secara bertahap, maka keseimbangan akan tetap terpelihara baik sebelum, sedang dan sesudah pengecoran. Sebagai pemberat P1 dan P2 bisa menggunakan form traveler dengan membongkar bagian inner form-work untuk mengurangi berat agar seimbang dengan Pw1 dan Pw2. Untuk selengkapnya step-step pelaksanaan bisa dilihat dalam gambar-3, yaitu uruturutan pembuatan segment yang berlaku untuk setiap pilar. Disini setiap pembuatan segment terdiri dari 4 step, yaitu pemindahan form-traveler, pembuatan form-work dan penulangan, pengecoran dan stressing kabel pratekan. Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pembuatan satu segment normalnya adalah : Untuk segment A0 adalah 36 hari, A1 = 17 hari dan A2 - A8 adalah 9 hari termasuk curing beton selama 4 hari. Khusus untuk segment A0, pelaksanaan pembuatan segment ini dilakukan dengan cara dibuatkan perancah. Perancah ini bisa dilakukan dengan cara didudukkan pada pier head atau dengan membuat penopang yang dianker pada bagian atas pilar, cara yang kedua adalah lebih ekonomis mengingat jarak antara pier head dengan lantai jembatan yang cukup tinggi. Pada pelaksanaan pembuatan segment A1, disini form=work digantung dengan steel bar diameter 32 mm dengan mutu yang relatif tinggi yaitu fy = 7800 Mpa. Sebagai emegang gantungan ini adalah steel truss ( Bailley ) yang panjangnya mencakup kedua segment A1 ( arah Surabaya dan arah Madura ). Selanjutnya, untuk pelaksanaan pembuatan A2, A3, A4, A5 . . . . dan seterusnya adalah dengan mengganti steel truss-bailley dengan form-traveler.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
7
Perubahan urut-urutan closure Untuk memperpendek waktu pelaksanaan pada approach sisi Surabaya, disini dilakukan perubahan urut-urutan closure. Yaitu dengan menyusun kembali urut-urutan sedemikian rupa sehingga ada beberapa closure yang dikerjakan secara bersamaan tanpa mengurangi kekuatan struktur yang ditetapkan dalam disain awal ( lihat gambar-4 ). Akibat perubahan ini tentu saja ada pengaruh terhadap bearing yang sudah disetting terlebih dahulu dan pra-camber yang sudah dihitung berdasarkan uruturutan dalam disain awal. Pengecekan apakah prasetting yang sudah ada masih bisa digunakan, perhitungannya bias dilihat dalam bentuk tabulasi seperti bias dilihat dalam tabel-1 dan tabel-13 adalah urut-urutan closure untuk sisi Madura dan sisi Surabaya. Tabel-1 : Pengecekan prasetting dari Bearing First closure 1. Shrinkage strain, rr(t) Segment
kb
c
ke1
kp
r(t)
r
r r(t)
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
0.63 0.60 0.55 0.52 0.50 0.47 0.45 0.42 0.35 0.24
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000069 0.000066 0.000061 0.000057 0.000055 0.000052 0.000050 0.000046 0.000039 0.000026
2. Creep strain, f Segment
kb
kc
kd
ke2
r(t)
fc'
Ec
cc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
0.83 0.80 0.73 0.70 0.66 0.62 0.59 0.55 0.42 0.24
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.63 0.60 0.55 0.52 0.50 0.47 0.45 0.42 0.35 0.24
7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0
34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500
0.0001367 0.0001254 0.0001049 0.0000951 0.0000862 0.0000762 0.0000694 0.0000604 0.0000384 0.0000151
3. Deformation due to shrinkage and creep, ls and lc Segment
L
r r(t)
cc
ls
lc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
3.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50
0.000069 0.000066 0.000061 0.000057 0.000055 0.000052 0.000050 0.000046 0.000039
0.0001367 0.0001254 0.0001049 0.0000951 0.0000862 0.0000762 0.0000694 0.0000604 0.0000384
0.24 0.26 0.24 0.23 0.25 0.23 0.22 0.21 0.17
0.48 0.50 0.42 0.38 0.39 0.34 0.31 0.27 0.17
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
8
A9
2.00
0.000026
0.0000151
0.05 2.11
0.03 3.30
Closure : 17-4-2009, 18-4-2009, 21-4-2009 1. Shrinkage strain, rr(t) Segment
kb
c
ke1
kp
r(t)
r
r r(t)
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
0.64 0.61 0.58 0.55 0.53 0.50 0.47 0.45 0.42 0.36
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000070 0.000067 0.000064 0.000061 0.000058 0.000055 0.000052 0.000050 0.000046 0.000040
2. Creep strain, f Segment
kb
kc
kd
ke2
r(t)
fc'
Ec
cc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
0.70 0.73 0.78 0.81 0.85 0.89 0.92 0.96 1.00 1.13
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.64 0.61 0.58 0.55 0.53 0.50 0.47 0.45 0.42 0.36
6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500
0.0001004 0.0000997 0.0001013 0.0000998 0.0001009 0.0000997 0.0000969 0.0000968 0.0000941 0.0000911
3. Deformation due to shrinkage and creep, ls and lc Segment
L
r r(t)
cc
ls
lc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
3.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 2.00
0.000070 0.000067 0.000064 0.000061 0.000058 0.000055 0.000052 0.000050 0.000046 0.000040
0.0001004 0.0000997 0.0001013 0.0000998 0.0001009 0.0000997 0.0000969 0.0000968 0.0000941 0.0000911
0.25 0.27 0.26 0.24 0.26 0.25 0.23 0.22 0.21 0.08 2.26
0.35 0.40 0.41 0.40 0.45 0.45 0.44 0.44 0.42 0.18 3.93
Closure : 22-4-2009, 24-4-2009, 25-4-2009, 27-4-2009 1. Shrinkage strain, rr(t) Segment
kb
c
ke1
kp
r(t)
r
r r(t)
Ao A1 A2 A3 A4 A5
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
0.65 0.63 0.60 0.58 0.56 0.54
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000072 0.000069 0.000066 0.000064 0.000062 0.000059
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
9
A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0
0.51 0.49 0.46 0.44
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000056 0.000054 0.000051 0.000048
2. Creep strain, f Segment
kb
kc
kd
ke2
r(t)
fc'
Ec
cc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
0.68 0.72 0.75 0.77 0.81 0.85 0.88 0.92 0.96 0.99
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.65 0.63 0.60 0.58 0.56 0.54 0.51 0.49 0.46 0.44
6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500
0.0000990 0.0001016 0.0001008 0.0001000 0.0001016 0.0001028 0.0001005 0.0001010 0.0000989 0.0000976
3. Deformation due to shrinkage and creep, ls and lc Segment
L
r r(t)
cc
ls
lc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
3.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 2.00
0.000072 0.000069 0.000066 0.000064 0.000062 0.000059 0.000056 0.000054 0.000051 0.000048
0.0000990 0.0001016 0.0001008 0.0001000 0.0001016 0.0001028 0.0001005 0.0001010 0.0000989 0.0000976
0.25 0.28 0.26 0.26 0.28 0.27 0.25 0.24 0.23 0.10 2.41
0.35 0.41 0.40 0.40 0.46 0.46 0.45 0.45 0.45 0.20 4.02
Closure : 28-4-2009, 30-4-2009 1. Shrinkage strain, rr(t) Segment
kb
c
ke1
kp
r(t)
r
r r(t)
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
0.67 0.64 0.62 0.60 0.59 0.56 0.53 0.51 0.48 0.46
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000074 0.000070 0.000068 0.000066 0.000065 0.000062 0.000058 0.000056 0.000053 0.000051
2. Creep strain, f Segment
kb
kc
kd
ke2
r(t)
fc'
Ec
cc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
0.88 0.85 0.82 0.81 0.78 0.74 0.71 0.67
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.67 0.64 0.62 0.60 0.59 0.56 0.53 0.51
6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500
0.0001321 0.0001219 0.0001139 0.0001089 0.0001031 0.0000928 0.0000843 0.0000765
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
10
A8 A9
0.8 0.8
2.3 2.3
0.64 0.60
0.7 0.7
0.48 0.46
6.0 6.0
34500 34500
0.0000688 0.0000618
3. Deformation due to shrinkage and creep, ls and lc Segment
L
r r(t)
cc
ls
lc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
3.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 2.00
0.000074 0.000070 0.000068 0.000066 0.000065 0.000062 0.000058 0.000056 0.000053 0.000051
0.0001321 0.0001219 0.0001139 0.0001089 0.0001031 0.0000928 0.0000843 0.0000765 0.0000688 0.0000618
0.26 0.28 0.27 0.26 0.29 0.28 0.26 0.25 0.24 0.10
0.46 0.49 0.46 0.44 0.46 0.42 0.38 0.34 0.31 0.12
2.50
3.88
After 5 years 1. Shrinkage strain, rr(t) Segment
kb
c
ke1
kp
r(t)
r
r r(t)
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011 0.00011
0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110
2. Creep strain, f Segment
kb
kc
kd
ke2
r(t)
fc'
Ec
cc
Ao A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500 34500
0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352
3. Deformation due to shrinkage and creep, ls and lc Segment
L
r r(t)
cc
ls
lc
Ao A1 A2 A3 A4 A5
3.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.50
0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110 0.000110
0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352
0.39 0.44 0.44 0.44 0.50 0.50
0.82 0.94 0.94 0.94 1.06 1.06
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
11
A6 A7 A8 A9
4.50 4.50 4.50 2.00
0.000110 0.000110 0.000110 0.000110
0.0002352 0.0002352 0.0002352 0.0002352
0.50 0.50 0.50 0.22 4.40
1.06 1.06 1.06 0.47 9.41
Movement of bearing due to concrete shrinkage and creep Based on new sequences Pier No. P36 P37 P38 P39 P40 P43 P44 P45
shrink
During cons. stage creep shrinkage
3.94 3.50 2.63 1.75 0.88 0.88 1.75 2.19
5.50 4.89 3.67 2.45 1.22 1.22 2.45 3.06
21.05 18.71 14.03 9.35 4.68 4.68 9.35 11.69
After 5 years creep
Resultant shrinkage
55.26 49.12 36.84 24.56 12.28 12.28 24.56 30.70
24.99 22.21 16.66 11.11 5.55 5.55 11.11 13.88
Sum up creep
mm
60.77 54.01 40.51 27.01 13.50 13.50 27.01 33.76
85.8 76.2 57.2 38.1 19.1 19.1 38.1 47.6
Movement of bearing due to temperature Pier No.
P36 P37 P38 P39 P40 P43 P44 P45
Distance to 41 or 42 m 360.0 320.0
240.0 160.0 80.0 80.0 160.0 200.0
Movement per 1oC mm 3.6 3.2 2.4 1.6 0.8 0.8 1.6 2.0
Movement per 5oC mm 18 16 12 8 4 4 8 10
Pre-offset at 25oC 103.8 92.2 69.2 46.1 23.1 23.1 46.1 57.6
Difference between existing and new sequence of construction Pier No.
P36 P37 P38 P39 P40 P43 P44 P45
Existing pre-offseting mm 62.0 44.0
28.0 2.0 -24.0 6.0 32.0 40.0
New bearing movement mm 103.8 92.2 69.2 46.1 23.1 23.1 46.1 57.6
Longitudinal movement capacity ( mm ) (+)(-)150 (+)(-)100 (+)(-)100 (+)(-)100 (+)(-)100 (+)(-)100 (+)(-)100 (+)(-)150
Berdasarkan hasil perhitungan, perubahan sequence tidak mempengaruhi pre offseting yang sudah diterapkan dilapangan karena kapasitas movement masih cukup.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
12
Tabel-2 : Urut-urutan closure Approach sisi Madura : Madura
Sisi Pilar no. P48-P49 P49-P50 P50-P51 P51-P52 P52-P53 P53-P54 P54-P55 P55-P56 Barat Urutan 1 2 3 6 5 4 3 2
P56-P57
1
Sisi Pilar no. P48-P49 P49-P50 P50-P51 P51-P52 P52-P53 P53-P54 P54-P55 P55-P56 P56-P57 Timur Urutan 1 2 3 6 5 4 3 2 1
Approach sisi Surabaya: Madura
Sisi Pilar no. P36-P37 P37-P38 P38-P39 P39-P40 P40-P41 P41-P42 P42-P43 P43-P44 P44-P45 Barat Urutan 1 2 3 4 3 5 3 2 1 Sisi Pilar no. P36-P37 P37-P38 P38-P39 P39-P40 P40-P41 P41-P42 P42-P43 P43-P44 P44-P45 Timur Urutan 4 3 1 2 1 5 2 3 1
Urut-urutan closure sisi Madura pelaksanaannya adalah masih sesuai dengan disain awal, jadi disini tidak ada perubahan. Sedangkan untuk sisi Surabaya ada perubahan baik untuk sisi Barat ataupun sisi Timur, secara teoritis perubahan ini akan menghemat waktu kurang lebih 10 hari yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untu menyelesaikan 1 closure. Dalam penomoran urutan closure terlihat ada nomor yang sama, ini berarti bahwa closure tersebut bisa dikerjakan secara bersamaan. Sedangkan untuk sebelah kiri & kanan P51-P52 dan P41-P42 menunjukkan pelaksanaan pengerjaan closure bisa dilakukan secara independen. Pada kenyataannya dilapangan pemasangan formwork dan penulangan dikerjakan secara bersamaan jadi tidak saling menunggu, dengan catatan bahwa locking device tidak dikunci terlebih dulu. 3 KONTROL PELAKSANAAN ( CONSTRUCTION CONTROL ) 3.1 Data Jembatan Approach Suramadu Optimasi terakhir jembatan Approach Suramadu ialah dengan bentang 80 m antar pier dengan kemiringan longitudinal 4%, dengan bentuk box girder single cell yang akan mempercepat pelaksanaan dan mengurangi kuantitas pekerjaan dan mempunyai pilar berbentuk hollow.
Gambar 6 Elevasi box girder approach Jembatan Nasional Suramadu dari pier 36 sampai dengan pier 45 Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
13
Gambar 7 Dimensi segmen A0 sepanjang 7m, A1-A3 sepanjang 4 m, A4-A8 sepanjang 4.5 m
Adapun layout tendon longitudinal W 1-W 7 serta TC, T0-T8 serta B4-B14 dari tampak samping seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 8 berikut:
Gambar 8 Layout prestressing tendon W, T dan B dari tampak samping
Adapun layout tendon longitudinal W 1-W 7 serta TC, T0-T8 serta B4-B14 dari tampak atas seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9 berikut:
Gambar 9 Layout prestressing tendon W, T dan B dari atas
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
14
3.2 Analisis Lendutan Akibat Posisi Traveler Metode analisis menggunakan software STAAD Pro V8i 2007 elemen cangkang dengan propertis yang sesuai dalam drawing dan kriteria desain, sedangkan tendon prestressing dimodelkan sebagai beban titik nodal. Struktur dianalisis terhadap beban mati, beban tendon W, B dan T serta beban traveler untuk mengetahui lendutan untuk memastikan apakah perbedaan elevasinya masih dalam batas yang diperbolehkan. 3.2.1
Pemodelan Alternatif 1
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di belakang jembatan (elevasi terendah) dan temporary support di belakang (elevasi terendah) dilepas.
3.2.2
Pemodelan Alternatif 2
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di depan jembatan (elevasi tertinggi) dan temporary support di belakang (elevasi terendah) dilepas.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
15
3.2.3
Pemodelan Alternatif 3
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di belakang jembatan (elevasi terendah) dan temporary support di depan (elevasi tertinggi) dilepas.
3.2.4
Pemodelan Alternatif 4
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di depan jembatan (elevasi tertinggi) dan temporary support di depan (elevasi tertinggi) dilepas.
3.3 Kontrol Elevasi Analisis menggunakan metode dan software yang sama yaitu STAAD Pro V8i 2007 kemudian beda elevasi aktual akibat error pengukuran yang masih dapat ditoleransi dengan elevasi dari koordinat STAAD Pro untuk mendapatnya vertical alignment yang smooth. Baris pertama adalah panjang segmen horisontal kumulatif sebelum midclosure A9, sedangkan baris kedua adalah laporan elevasi ujung segmen dari kontrol survei lapangan. Baris ketiga menunjukkan nilai lendutan dari software STAAD Pro v8i 2007 akibat berat sendiri dan traveler, dan baris keempat menunjukkan elevasi STAAD Pro v8i 2007.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
16
Gambar berikut menunjukkan elevasi permukaan yang harus di-fill dengan flexible pavement agar memperoleh vertical alignment yang smooth dan nyaman.
SUMMARY Semua defleksi terpantau dan masih berada di dalam toleransi camber design dari konsultan perencana. Pengaturan elevasi dapat dikontrol dari besarnya beban counterweight yang dapat di-adjust kembali di lapangan dengan survey elevasi. Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI. Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
17