25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Pemberian k-Karagenan dengan Dosis Berbeda dalam Pakan terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila
Pemberian k-karagenan sebagai imunostimulan dalam pakan yang diberikan pada ikan lele dumbo selama satu bulan pemeliharaan dan untuk pengaruh pemberian k-karagenan dapat dilihat dari tingkat kelangsungan hidup setelah dilakukan uji tantang dengan bakteri A.hydrophila. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian k-karagenan dapat dilihat dari parameter sistem imun ikan lele yaitu : hemaglobin, hematokrit, eritrosit total, leukosit total, differensial leukosit dan aktivitas fagositik. 4.1.1 Gambaran Darah Ikan Lele Kadar Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit dan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah. Hemoglobin berfungsi mengikat oksigen yang kemudian akan digunakan untuk proses katabolisme sehingga dihasilkan energi (Lagler et al. 1977). Berdasarkan pengamatan selama penelitian terhadap kadar hemoglobin didalam darah ikan lele cukup bervariasi, dapat disajikan pada Gambar 1 dan Lampiran 1. Hasil pengamatan kadar hemoglobin selama penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, kadar rata-rata hemoglobin masing-masing perlakuan sama yaitu sebesar 8,17±0,29 (g%). Pada minggu ke-1 kadar hemoglobin mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B (10 g kg-1 pakan) yaitu sebesar 9,83±0,29 (g%) selanjutnya perlakuan C (20 g kg-1 pakan) yaitu sebesar 9,17±0,76 (g%), perlakuan A (5 g kg-1 pakan) sebesar 8,67± 0,58 (g%) dan perlakuan K (kontrol) sebesar 8,47± 0,81 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan A dan C tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B.
26
12,00 Hemoglobin(%)
10,00
b a a a a
a ab
8,00
b b
ab a
ab
a
ab
b a
b a
6,00
a
a
K A
4,00
B
2,00
C
0,00 0
1
2
3
4
Minggu Ke-
Gambar 1. Hemoglobin ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan
Pada minggu ke-2 hemoglobin mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 9,87±1,21 (g%) selanjutnya untuk perlakuan A sebesar 7,47±0,50 (g%), perlakuan C sebesar 8,53±0,92 (g%), dan K sebesar 9,53±0,50 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh nyata terhadap kadar hemoglobin. Pada minggu ke-3 kadar hemoglobin untuk semua perlakuan mengalami kenaikan kecuali perlakuan K dan C. Kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 10,40±1,25 (g%) selanjutnya perlakuan K sebesar 8,67±0,61 (g%), perlakuan A sebesar 9,33±0,42 (g%), dan perlakuan C sebesar 8,83±0,29 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K dan C tidak berbeda nyata terhadap hemoglobin akan tetapi perlakuan A dan B memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin. Nilai hemoglobin yang berada pada kisaran normal (baik) mengindikasikan bahwa terdapat cukup oksigen yang terikat dalam darah sehingga menggambarkan kesehatan ikan berada pada kondisi yang baik pula (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Pada minggu ke-4, hemoglobin pada semua perlakuan mengalami penurunan. Perlakuan K sebesar 6,07±0,93 (g%), perlakuan A sebesar 6,60±0,53 (g%), perlakuan B sebesar 8,60±1,44 (g%) dan perlakuan C sebesar 6,17 ± 0,29 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K, A dan C tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B. Blaxhall (1973) mengatakan bahwa kadar hemoglobin yang rendah merupakan indikator bahwa ikan terkena anemia. Ikan yang mengalami anemia tidak mampu menyerap besi dalam jumlah yang cukup untuk membentuk hemoglobin. Pada kondisi ini maka akan terbentuk sel darah merah yang mengandung hemoglobin dalam jumlah yang sedikit.
27
Menurut Fujaya (2004), ada korelasi yang kuat antara hemoglobin, sel darah merah dan hematokrit, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemaglobin dalam darah.
Kadar Hematokrit (He)
Kadar Hematokrit (g%)
Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah dan berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan dan keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al., 2004 dalam Marthen, 2005). Persentase hematokrit berguna untuk melihat kondisi kesehatan ikan yaitu dengan melihat persentase volume eritrosit. Hasil pengukuran hematokrit selama penelitian dapat disajikan pada Gambar 2 dan Lampiran 2. 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
c a a a a
a ab
b
a
c
b
a
c
b
a
b
a
b
a
a K A B C
0
1
2
3
4
Minggu Ke-
Gambar 2. Hematokrit ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan
Hasil pengamatan hematokrit menunjukkan bahwa pada minggu ke-0 semua perlakuan mempunyai nilai hematokrit yang sama yaitu sebesar 21,79±1,57(%), hal ini disebabkan karena pada minggu ke-0 belum diberi perlakuan karagenan. Pada minggu ke-1, perlakuan K sebesar 20,95±0,91(%), perlakuan A sebesar 22,58±1,61 (%), perlakuan B sebesar 27,37±1,24(%) dan perlakuan C sebesar 23,72±0,41(%). Data ini menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan K (P>0,05). Selama penelitian nilai kadar hematokrit cukup berfluktuasi. Angka et al. (1990) menyatakan bahwa hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Kisaran kadar hematokrit ikan adalah 20-30% (Bond 1979).
28
Hematokrit tertinggi selama penelitian terdapat pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan B sebesar 33,47±1,47(%). Dari hasil pengukuran hematokrit selama empat minggu menunjukkan bahwa perlakuan B memiliki kadar hematokrit tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan K (P>0,05). Hasil uji lanjut duncan juga menunjukkan bahwa nilai hematokrit pada perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan K, A dan C. Namun perlakuan A dan C berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Menurut Angka et al. (1985) bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30,845,5%. Kadar hematokrit ikan lele selama penelitian berada pada kisaran yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian k- karagenan dalam pakan memberikan pengaruh yang baik terhadap hematokrit darah ikan lele dumbo.
Eritrosit Total (Sel Darah Merah) Eritrosit ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al. 1991). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, eritrosit total pada semua perlakuan sama yaitu 1,04±0,55 (106 sel/mm3), disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 3. Dari Gambar 3, terlihat bahwa pada minggu ke-1 terjadi peningkatan jumlah eritrosit total yaitu pada perlakuan K sebesar 1,08±0,76(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 1,22±0,54(106 sel/mm3), perlakuan B sebesar 1,32±0,15(106 sel/mm3), dan perlakuan C sebesar 1,23±0,12(106 sel/mm3). Dari uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan K berbeda nyata dengan perlakuan B dan C namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (P>0,05). Menurut Takashima & Hibiya (1995) menyatakan bahwa ikan normal umumnya memiliki jumlah total eritrosit sebesar 1-3 x 106 sel/mm3. Penurunan jumlah eritrosit menunjukkan terjadinya infeksi ginjal, serta rendahnya nilai eritrosit menandakan ikan menderita anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit (diatas normal) menandakan ikan dalam keadaan strees (Wademeyer dan Yasutake 1977).
Total Eritrosit (106 sel/mm3
29
c
2,50 b
2,00 1,50 a a a a
a
ab b b
b
a a
a
b
a a ab
b
a
K
1,00
A
0,50
B C
0,00 0
1
2
3
4
Minggu Ke-
Gambar 3. Eritrosit total ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan Pada minggu ke-2 jumlah eritrosit total mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 1,48±0,06(106 sel/mm3), selanjutnya perlakuan C sebesar 1,35±0,04(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 1,32±0,09(106 sel/mm3), dan perlakuan K sebesar 1,22±0,04(106 sel/mm3). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K, A dan C tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit akan tetapi perlakuan B memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit ikan lele dumbo. Pada minggu ke-3 jumlah eritrosit terus mengalami peningkatan dimana rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 2,19±0,06 (106 sel/mm3). Dari hasil uji lanjut duncan, perlakuan B berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya. Selanjutnya perlakuan A dan C berbeda nyata dengan perlakuan K(P<0,05). Pada minggu ke-4 semua perlakuan mengalami penurunan dimana kontrol sebesar 1,13±0,05(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 6 3 6 3 1,21±0,01(10 sel/mm ), perlakuan B sebesar 1,36±0,08(10 sel/mm ), dan perlakuan C sebesar 1,16±0,06(106 sel/mm3). Dari uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan A dan B memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit sedangkan perlakuan K dan D tidak berbeda nyata (P >0,05). Jumlah eritrosit total selama pemberian k-karagenan dalam pakan masih berada pada kisaran normal. Ketika nilai eritrosit berada dalam kisaran normal, hal ini menunjukan bahwa pemberian k-karagenan pada perlakuan tidak mengganggu kesehatan ikan namun diduga dapat meningkatkan status kesehatan ikan lele dumbo. Leukosit Total (Sel Darah Putih) Leukosit ikan terdiri dari granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari limfosit, monosit dan trombosit sedangkan agranulosit terdiri dari basofil, netrofil dan eiosinofil (Lagler et al. 1979). Leukosit ikan merupakan bagian dari sistem
30
Total Leukosit (105 sel/mm3
pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik. Hasil pengamatan leukosit total dapat disajikan pada Gambar 4 dan Lampian 4. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
b
a a a a
a ab
b
ab
b
a a
a
c
b
b a
a
a
a
K A B C
0
1
2
3
4
Minggu Ke-
Gambar 4. Leukosit total ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan
Berdasarkan Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, leukosit total untuk semua perlakuan sama yaitu 8,16±0,26(105sel/mm3). Pada minggu ke-1 semua perlakuan mengalami peningkatan jumlah leukosit, dimana rata-rata perlakuan A, B dan C berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K (kontrol). Jumlah leukosit total terus meningkat pada minggu ke-2 sampai pada minggu ke-3. Dari hasil uji statistik pada minggu ke-3 menunjukkan bahwa perlakuan A sebesar 12,95±0,82(105 sel/mm3), B sebesar 14,47±0,96 (105 sel/mm3) dan perlakuan C sebesar 11,84±0,75(105 sel/mm3) memberikan pengaruh nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan K sebesar 10,37(105 sel/mm3). Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh misal virus dan bakteri. Pada minggu ke-4 terjadi penurunan jumlah leukosit total, namun dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah leukosit pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3, mengindikasikan bahwa k-karagenan yang diberikan melalui pakan mampu meningkatkan jumlah leukosit yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh ikan lele sehingga sistem kekebalan tubuh ikan lele dumbo juga dapat meningkat.
31
Diferensial Leukosit Differensial leukosit merupakan suatu nilai yang menggambarkan perbandingan jumlah sel leukosit (limfosit, netrofil, monosit dan trombosit) dengan jumlah seluruh sel darah putih. Hasil perhitungan differensial leukosit selama penelitian disajikan pada Tabel 2. a. Limfosit Limfosit merupakan proporsi sel darah putih terbanyak (Takashima & Hibiya 1995). Secara morfologi, limfosit berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar (menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991). Berdasarkan hasil presentase jumlah limfosit yang teramati selama penelitian seperti disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase jumlah limfosit pada minggu ke-0 untuk semua perlakuan yaitu sebesar 66,45 ± 0,58%. Persentase jumlah limfosit ini terus meningkat pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 untuk semua perlakuan. Limfosit merupakan sel-sel respon pertahanan tubuh yang penting dan diklasifikasikan dalam 2 subklas : Sel B (respon imun spesifik humoral) dan Sel T(respon imun spesifik seluler). Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel plasma yaitu sel yang memproduksi antibodi. Menurut Baratawidjaja (2006), bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler atau bakteri serta menetralisir oksidannya. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan, salah satunya adalah sel Th1 yang berfungsi mengaktifkan makrofag (monosit) untuk menghancurkan mikroba patogen serta memusnahkan sel yang terinfeksi. Persentase jumlah limfosit tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan B dengan persentase jumlah limfosit tertinggi yaitu sebesar 68,42 ± 1,00% pada minggu ke-3. Baratawidjaja (2006) menyatakan peningkatan limfosit berperan cukup besar terhadap peningkatan respon imun atau ketahanan tubuh ikan terhadap infeksi.
32
Tabel 2. Persentase jumlah limfosit, monosit, netrofil dan trombosit ikan lele selama penelitian Perlakuan
M0
M1
M2
M3
M4
K
66,45
67,18
67,35
67,72
66,96
A
66,45
67,40
67,35
68,15
67,05
B
66,45
67,50
67,56
68,42
67,59
C
66,45
67,43
67,21
67,30
66,88
K
8,39
8,40
8,84
9,49
8,47
A
8,39
8,84
9,69
10,08
9,39
B
8,39
10,00
10,22
10,88
9,05
C
8,39
9,71
9,29
9,95
9,38
K
10,32
9,16
9,52
10,13
10,17
A
10,32
8,84
9,69
10,48
10,50
B
10,32
9,50
10,67
11,58
11,31
C
10,32
9,14
10,38
10,90
10,00
K
14,84
15,27
14,29
12,66
13,56
A
14,84
14,92
13,27
11,29
12,15
B
14,84
13,00
11,56
9,12
11,31
C
14,84
13,71
13,11
11,85
12,50
Limfosit
Monosit
Netrofil
Trombosit
b. Monosit Monosit ikan berbentuk bulat atau oval, intinya terletak di tengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima & Hibia 1995). Monosit mampu masuk ke jaringan dan berdeferensiasi menjadi makrofag. Peran monosit
33
sangat penting sebagai sel fagosit utama dalam menghancurkan berbagai patogen yang menyerang dan berperan pula sebagai antigen presenting cells (APC) yang berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno, 2001 ; Kollner et al. 2002). Persentase jumlah monosit yang teramati selama penelitian untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Fujaya (2004), monosit merupakan sel yang lebih kuat dalam memfagosit partikel atau antigen dibandingkan dengan neutrofil. Monosit yang berdiferensiasi menjadi makrofag di jaringan bahkan mampu memfagosit partikel yang berukuran besar dalam jumlah yang banyak hingga 100 bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase jumlah monosit pada minggu ke-0, untuk semua perlakuan sama yaitu sebesar 8,39 ±0,58%. Pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3 persentase jumlah monosit terus meningkat dengan persentase tertinggi yaitu pada perlakuan B sebesar 10,88 ± 0,58% dan pada minggu ke-4 terjadi penurunan. Ketika terjadi infeksi, terjadi alih fungsi yaitu respon imun yang bekerja terlebih dahulu adalah respon imun non spesifik berupa aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh monosit dan neutrofil (Iwama 1996).
c. Netrofil Netrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang sitoplasma dan terdapat granula dalam sitiplasmanya (Chinabut et al. 1991). Selain neutrofil terkadang dapat pula ditemukan granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil (Ferguson, 1989). Seperti halnya monosit, sel neutrofil berperan pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme patogen yang menyerang (Kresno, 2001 ; Kollner et al. 2002). Hasil pengamatan persentase jumlah netrofil selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase jumlah netrofil pada minggu ke-0, untuk semua perlakuan sama yaitu sebesar 10,32 ± 0,58%. Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan untuk semua perlakuan. Baratawidjaja (2006) menyatakan, sel neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi dan berpindah sangat cepat ke daerah infeksi. Dibawah kondisi normal populasi neutrofil disimpan untuk keadaan darurat di dalam jaringan limfoid dari ginjal. Ketika terjadi rangsangan sebagai akibat peradangan atau inflamasi, sel akan bermigrasi ke dalam aliran darah dan kemudian masuk ke dalam luka inflamsi. Kemudian bakteri patogen akan difagosit oleh sel tersebut lalu dimasukan dalam fagosom yang didalamnya terdapat enzim hidrolase asam, mieloperoksidase dan lisozim yang akan melisis dan mencerna sel bakteri patogen.
34
Pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 terjadi peningkatan jumlah netrofil dan cenderung tetap. Iwama (1996), menyatakan bahwa ketika awal terjadi serangan bakteri patogen, sel yang pertama kali sampai pada daerah infeksi adalah neutrofil. Neutrofil bergerak lebih cepat dibandingkan dengan monosit dan dapat sampai di daerah infeksi dalam waktu 2-4 jam.
d. Trombosit Peran trombosit yang banyak diketahui ialah hemostasis melalui pembentukan agregasi pada dinding vaskular yang rusak. Jumlah trombosit yang menurun disertai dengan perdarahan. Trombosit mempunyai peranan yang penting dalam inflamasi (Baratawidjaja 2006). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah trombosit selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah trombosit sangat bervariasi pada semua perlakuan. Trombosit tidak umum berada dalam komponen darah pada kondisi yang normal namun apabila terjadi respon akibat perlakuan, maka jumlah trombosit dapat meningkat tajam (Fujaya 2004).
Aktivitas Fagositik Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas fagositosis selama penelitian dapat disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 6. Proses fagositosis ini umumnya dilakukan oleh sel-sel fagositosis yaitu monosit (mononuclear) dan neutrofil (polimofonuclear) (Iwama, 1996). Menurut Secombes (1996), proses fagositosis dapat terjadi dalam beberapa tahap yaitu pergerakan (kemotaksis), pelekatan partikel (antigen) pada permukaan sel, penelanan yang kemudian terjadi pembentukan fagosom, pemusnahan dan pencernaan. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ke tempat terjadinya infeksi sebagai respon terhadap berbagai faktor virulensi bakteri patogen. Sel polimofonuklear bergerak cepat dan sudah berada di lokasi infeksi/lokasi keberadaan bakteri patogen dalam waktu 2-4 jam, sedangkan monosit bergerak lebih lamban yaitu diperlukan waktu sekitar 7-8 jam. Partikel atau antigen yang terpapar akan dikenali oleh sel fagositik, kemudian ditangkap dan ditelan dengan bantuan reseptor pada membran sel. Pada proses penagkapan di bantu oleh komplemen yang menyebabkan terjadinya opsonisasi. Opsonin merupakan molekul besar yang mengikat permukaan mikroba sehingga pergerakan mikroba patogen menjadi lebih lambat dan dapat dikenal oleh reseptor permukaan monosit dan neutrofil sehingga mampu meningkatkan efisiensi proses fagositisis.
35
Dalam sel fagosit ini, antigen atau bakteri patogen akan didegradasi oleh fagolisosom. Fagolisosom merupakan enzim lisosom yang bersatu dengan fagosom. Selain lisosom penghancuran mikroba intraselular dalam hal ini bakteri patogen dapat pula terjadi karena di dalam sel fagosit (monosit dan neutrofil) terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan mieloperoksidase. Tingkat akhir fagositosis adalah pencernaan protein, polisakarida dan lipid serta asam nukleat di dalam sel oleh enzim lisosom (Baratawidjaja 2006).
Aktivitas Fagositik (%)
Gambar 5 menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, aktivitas fagositik pada semua perlakuan sama yaitu sebesar 5,20±0,34 %. Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan aktivitas fagositik sampai pada minggu ke-3 dan pada minggu ke-4 terjadi penurunan aktivitas fagositik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai indeks fagositik pada perlakuan A, B dan C berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Aktivitas fagositik tertinggi terdapat pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan B sebesar 16,35 ±1,10%.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
c
bb a
b
a
b
b
c ab
b K
b
a
aa
aaaa
a
A B C
0
1
2
3
4
Minggu ke-
Gambar 5. Aktivitas fagositik ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan
36
Menurut Anderson (1990) menyatakan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas fagositik mengidikasikan terjadinya peningkatan respon imun berupa peningkatan aktivitas leukosit dalam melawan serangan patogen. Peningkatan indeks fagositik ini menunjukkan bahwa pemberian k-karagenan mampu meningkatkan respon imun dan memiliki kemampuan memproduksi sel-sel fagosit dalam darah sehingga ketika terjadi paparan mikroorganisme patogen, sel darah siap melakukan proses fagositosis.
4.1.2 Kelangsungan Hidup Ikan lele Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi selama empat belas hari disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele tertinggi dicapai pada perlakuan control negatif (K-) sebesar 100%, hal ini dikarenakan bahwa pada kontrol negatif ikan disuntik dengan PBS tanpa diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila. Kelangsungan hidup terendah terjadi pada kontrol positif (K+) yaitu sebesar 53,33% disebabkan karena pada kontrol positif diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tanpa diberikan k-karagenan. Pada perlakuan A, B dan C kelangsungan hidup ikan lele berturut-turut sebesar 91,67%, 95,83% dan 83,33%. Kelangsunan hidup ikan lele pada perlakuan k-karagenan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol positif, hal ini disebabkan karena pemberian k-karagenan dapat menghambat infeksi bakteri A.hydrophila sehingga dapat mempertahankan kelangsunan hidup ikan lele.
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
37
100 90 80 70 60
K (+)
50
K (-)
40
A
30
B
20
C
10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Waktu (Hari Ke-)
Gambar 6. Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophilla Kontrol positif (K+), Kontrol negatif (K-), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan Kematian ikan lele di tandai dengan adanya radang, hemoragi dan tukak. Menurut Angka et al. (2000) bahwa A.hydrophila menghasilkan produk yang bersifat toksin sehingga menyebabkan darah mengalami hemolisis yang menyebabkan ikan lele mengalami kematian.
4.2 Perubahan Parameter Makroskopis dan Mikroskopis Ikan Lele Pasca Infeksi Bakteri A.hydrophila
4.2.1 Gejala Klinis Pengamatan parameter makroskopis pasca infeksi bakteri A.hydrophila terjadi perubahan pada anatomi organ luar dan organ dalam ikan lele. Pada anatomi organ luar terjadi perubahan yaitu tampak terjadi radang (Gambar 7) di bekas suntikan pada jam ke-6 sampai jam ke-12 kemudian pada jam 12-24 berkembang menjadi hemoragi (Gambar 8) selanjutnya menjadi tukak (gambar 9) dan sampai pada kematian. Menurut Snieszko dan Alexrod (1971) bahwa bakteri A.hydrophila berkumpul pada pembulu darah, kemudian keluar ke jaringan urat daging, berkembangbiak membentuk suatu pembengkakan yang berisi bakteri, darah dan jaringan yang mengalami nekrosis. Kematian lokal jaringan pada daerah sekitar suntikan terlihat mempunyai batas yang jelas dari daerah sekitarnya dan nampak mengalami pembengkakan, biasanya berwarna putih keabu-abuan, kuning atau
38
jingga, dikelilingi zona berwarna merah yang merupakan reaksi radang serta yang mati lebih rapuh. Menurut Roberts (1993) dalam Angka (2005) A. hydrophila yang bersifat virulen menghasilkan β-hemolisin, elastase dan mempunyai lapisan S dipermukaan sel. Hemolisin yang terlarut menyebabkan hemoragi dan merangsang terjadinya tukak kulit di ikan. Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas system kardiovaskular dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fauzan 1997). Hemoragi terjadi karena bakteri dapat masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah serta merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar (Runnels et al. 1965)
a
Gambar 7 :
b
a. Ikan lele dumbo kontrol b. Ikan lele dumbo yang mengalami radang
Menurut Cahlill (1990), Tukak yang terbentuk diakibatkan oleh aktivitas proteolitik bakteri. Keadaan ini dimungkinkan oleh adanya substansi produk ekstraseluler bakteri seperti protease dan sitotoksin yang menghidrolisa dan melisis jaringan inang. Terbentuknya tukak tersebut melalui tahapan hiperemia, peradangan, nekrosis dan tukak (Plumb 1994).
a
Gambar 8 : a.b. Ikan lele yang mengalami hemoragi
b
39
a
b
Gambar 9 : a.b. Ikan lele yang mengalami tukak
Skoring Gejala Klinis
Berdasarkan hasil pengukuran diameter gejala klinis dan skoring gejala klinis (Lampiran 7-10) pasca infeksi bakteri A. hydrophila gejala yang ditimbulkan meliputi radang, hemoragi, tukak dan selanjutnya ikan mengalami kematian. Skoring gejala klinis ikan lele pada perlakuan kontrol positif pada hari ke-1 skor rata-rata 5,60 dan pada hari ke-3 mengalami kenaikan kerusakan tukak dengan skor rata-rata 9,00 selanjutnya pada hari ke-5 sampai hari ke-6 terjadi kematian sebanyak 6 ekor ikan. Pada akhir perlakuan yaitu pada hari ke-14 terlihat ikan masih mengalami tukak dengan skor rata-rata 5,67. Menurut Bullock et al. (1971) dan Meyer (1979) dalam Angka (2005), masa inkubasi penyakit ini antara 10-14 hari. Pada perlakuan dosis terbaik (10 g kg-1 pakan) pada hari ke-1 skor rata-rata 4,13 dan pada hari ke-3 mengalami kenaikan kerusakan tukak skornya mencapai 9,00 dan terdapat 1 ekor ikan mengalami kematian. Selanjutnya pada hari ke-9 mengalami penurunan kerusakan tukak dengan skor rata-rata 7,07. Pada akhir perlakuan yaitu pada hari ke-14 terlihat ikan masih mengalami tukak akan tetapi mempunyai skor rata-rata terendah yaitu 3,43. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
KK+ PDT
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14
Waktu (hari ke-)
Gambar 10. Skoring rata-rata gejala klinis ikan lele dumbo pasca infeksi A.hydrophila. K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), PDT (dosis terbaik 10 g kg-1)
40
Pada Gambar 14 diatas terlihat bahwa skor rata-rata gejala klinis menunjukkan bahwa perlakuan dosis terbaik (10g kg-1 pakan) k-karagenan dalam pakan diduga dapat meningkatkan sistem imun tubuh dan menghambat pertumbuhan bakteri. Angka (2005), bahwa pertahanan spesifik ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Enzim dan toksin yang dihasilkan oleh A.hydrophila sebagai produk ekstraseluler merupakan racun bagi ikan yang dapat menyebabkan perubahan warna dan struktur organ dalam (Lallier et al. 1984). Pengamatan terhadap parameter organ dalam ikan lele menunjukkan perubahan organ dalam pada perlakuan Kontrol negatif (K-) terlihat warna organnya dalam keadaan normal yaitu ginjal berwarna merah kecoklatan, hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna hijau kebiruan dan limpa berwarna merah tua. Perlakuan K+ (kontrol positif) terlihat ginjal berwarna merah dan agak pucat sedikit membengkak, hati berwarna merah tua sedikit membengkak, empedu berwarna hijau kekuningan dan limpa berwarna merah tua agak kehitaman. Sedangkan perlakuan PDT (10 g kg1 pakan) terlihat ginjal berwarna merah kecoklatan dan agak tua, hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna hijau kekuningan dan limpa berwarna merah tua dan pada perlakuan ini tidak terdapat pembengkakan pada organ dalam tersebut. Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), bakteri A.hydrophila menyebabkan rusaknya jaringan ginjal dan hati sehingga membengkak, nampak pucat berwarna hijau sedangkan ginjal membengkak berwarna merah muda. Perbaikan organ yang rusak akan berlangsung lambat apabila ikan yang terinfeksi tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik sehingga kerusakan organ biasanya akan berakhir dengan kematian.
4.2.2 Histopatologi Histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada jaringan organisme, dengan indikator histologik dapat diketahui perubahan yang terjadi pada ikan sebagai akibat dari perubahan kualitas air, penanganan ataupun karena infeksi patogen (Hinton dan Lauren 1990). Pengamatan perubahan histopatologi merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat adanya gangguan pada ikan akibat serangan patogen. Hasil pengamatan histopatologi pada organ kulit, ginjal dan hati pada akhir penelitian menunjukkan adanya kerusakan sel dan jaringan pada ikan lele dumbo dapat dilihat, sebagai berikut:
41
1. Kulit Kulit digambarkan sebagai tempat pertarungan imunologik tubuh. Reaksi imunologik cenderung terjadi di kulit dibanding di organ lain misalnya vaskulitis akut meskipun reaksi serupa juga terjadi di ginjal. Kulit merupakan alat tubuh terluas yang berperan sebagai sawar fisik terhadap lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan respon imun sudah diawali di kulit (Baratawidjaja 2006). Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi, pada kontrol positif ditemukan bahwa pada kulit ikan lele yang disuntikan bakteri A.hydrophila, terjadi kerusakan multifokal berupa nekrose sel dan jaringan epidermis sampai dermis dan degenerasi sel, dapat disajikan pada Gambar 11.
a
b
c
D A
N
D
N
Gambar 11 : a. Histologi kulit ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi kulit ikan lele dumbo perlakuan PDT (10 g kg-1 pakan) c. Histologi kulit ikan lele dumbo kontrol positif (D = Degenerasi, N = Nekrosis, A = Atropi) 2. Hati Angka (2005), A.hydrophila mampu mengeluarkan toksin yang menyebabkan kerusakan pada organ target yaitu hati, dan ginjal serta akan menimbulkan perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil pengamatan histopatologi terhadap jaringan hati, menunjukkan adanya kerusakan berupa degenerasi lemak, nekrosis dan hemoragi pada kontrol positif dengan tingkat
42
kerusakan yang berat sedangkan pada perlakuan dosis terbaik (PDT 10 gkg1 pakan) juga ditemukan degenerasi lemak, nekrosis dan hemoragi pada sel dan jaringan namun memiliki tingkat kerusakan yang lebih ringan. Pada kontrol negatif terlihat sel dan jaringan dalam keadaan normal, disajikan pada Gambar 12.
a
b
c
d
N D
Gambar 12 :
H
a. Histologi organ hati ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi organ hati ikan lele dumbo dosis terbaik c, d. Histologi organ hati ikan lele kontrol positif (D = Degenerasi, N = Nekrosis, H = hemoragi)
Angka (1990) menyatakan bahwa pada ikan yang disuntik dosis 108 cfu/ml A.hydrophila, terjadi nekrosis fokal di hati, ginjal dan usus setelah 2 hari pasca suntik dan makin parah sampai hari ke-7. Degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola dalam sel hati menunjukkan bahwa dalam tubuh ikan terdapat ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat gangguan metabolisme. Adanya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati dapat terjadi akibat toksin yang merusak proses metabolisme lemak dengan menghambat kerja enzim sehingga mengakibatkan akumulasi lemak (Cheville 1990).
43
3. Ginjal Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang menyaring bahan limbah yang tidak bermanfaat dalam darah. Menurut Roumbout et al. (2005) ginjal pada ikan teleostei, berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit dan granulosit (netrofil, basofil, eosinofil). Serangan bakteri patogen dengan intensitas tinggi menyebabkan ginjal harus menjalankan fungsinya lebih berat sehingga terjadi kerusakan sel. Ginjal merupakan salah satu organ yang aktif dalam melakuan perlawanan terhadap masuknya mikroorganisme asing (patogen) melalui mekanisme makrofag dan sel limfosit di ginjal. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal, ditemukan pada kontrol negatif menunjukkan sel dan jaringan organ ginjal dalam keadaan normal sedangkan pada kontrol positif dan perlakuan dosis terbaik terlihat sel dan jaringan mengalami degenerasi dan hemoragi, disajikan pada Gambar 13.
a
c
b
H
A
Gambar 13 : a. Histologi organ ginjal ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi organ ginjal ikan lele dumbo dosis terbaik c. Histologi organ ginjal ikan lele kontrol positif (D = Degenerasi H = hemoragi)
44
Hasil pengamatan histopatologi pada organ kulit, hati dan ginjal menunjukkan bahwa pada kontrol positif terjadi kerusakan sel dan jaringan yang berat jika dibandingkan dengan perlakuan dosis terbaik. Hal ini diduga karena kkaragenan yang diberikan mampu menghambat infeksi bakteri A.hydrophila dan dapat meningkatkan sistem imun ikan lele dumbo.
4.3 Durasi Pemberian K-Karagenan yang Efektif untuk Ketahanan Ikan Lele terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila
4.3.1 Kelangsungan Hidup Ikan Lele Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan lele dengan durasi pemberian k-karagenan selama 37 hari setelah di uji tantang bakteri A.hydrophila dapat disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 12.
Tingkat Kelangsungan Hdup (%)
100 90 80 70
K+
60
K-
50
PB1
40 30
PB7
20
PB14
10
PB21
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14
Waktu (Hari Ke-)
Gambar 14: Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophila
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele selama pemeliharaan perlakuan pemberian k-karagenan dengan durasi yang berbeda, menunjukkan bahwa semua perlakuan PB1, PB7, PB14 dan PB21 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol (K positif). Perlakuan K negatif memberikan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi yaitu sebesar 100%. Hal ini disebabkan karena perlakuan ini tidak disuntik dengan
45
bakteri A.hydrophila akan tetapi disuntik dengan PBS. Perlakuan PB21 memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,67%, perlakuan PB7 sebesar 71,00%, perlakuan PB1 sebesar 67,00% dan K (positif) sebesar 50,00%.
4.3.2 Pertumbuhan Ikan Lele Pertumbuhan merupakan pertambahan panjang, berat dan volume dalam satuan waktu tertentu. Berdasarkan hasil pengukuran pertambahan bobot mutlak pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 13.
Tabel 3. Pertambahan bobot mutlak ikan lele pada perlakuan durasi pemberian k-karagenan Perlakuan
Bobot Awal (g)
K PB1 PB7 PB14 PB21
18 17 17 18 17
Bobot Akhir (g) 30 33 37 46 34
Bobot Mutlak (g) 12 16 21 28 18
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kkaragenan memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan jika dibandingkan dengan kontrol. Menurut Vilela-silva et al. (2008), polisakarida sulfat diketahui memiliki fungsi sebagai faktor pertumbuhan, faktor koagulasi dan selectin binding partners dan juga berfungsi dalam fertiisasi. ketika energi nonprotein dalam pakan mampu dimanfaatkan dengan baik, maka protein pakan akan digunakan untuk pertumbuhan secara optimal (Halver dan Hardy 2002). Penggunaan k-karagenan sebagai perekat pada pakan larva Channa striatus memberikan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik (Nakagawa et al. 2007). Pertambahan bobot mutlak tertinggi yaitu pada perlakuan pemberian k-karagenan empat belas hari (PB14) sebesar 28g, selanjutnya berturut-turut perlakuan PB7 sebesar 21g, perlakuan PB21 sebesar 18g, perlakuan PB1 sebesar 16g dan kontrol (K) sebesar 12g.