Isolat Sponge-6.1, Kandidat Obat Penghambat Bakteri ’Streptococcus’ Pebabkan ’Pneumonia’ UNAIR NEWS – Indonesia sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh perairan sangat luas, hampir 70%, dikenal memiliki biodiversitas yang tinggi karena terdapat berbagai jenis hewan, tumbuhan, dan terumbu karang yang tumbuh di wilayah perairan Indonesia. Kekayaan alam inilah yang menggugah semangat anggota tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga melakukan penelitian mengenai sponge. Isolat yang diberi nama Sponge-6.1 ini diharapkan dapat menjadi salah satu kandidat obat yang dapat berguna bagi bidang kesehatan Indonesia. Isolat Sponge-6.1 yang mengandung berbagai jenis zat aktif, seperti flavonoid dan senyawa lainnya diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen misalnya Streptococcus pneumoniae. Menurut Dina Lutfiana, Ketua Tim PKMPE ini, isolat Sponge-6.1 diyakini dapat dijadikan kandidat obat untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus pneumoniae yang menyebabkan penyakit pneumonia. “Kami berhipotesis bahwa isolat ini dapat menghambat Streptococcus pneumoniae, karena saat Praktik Kerja Lapangan (PKL), saya meneliti bahwa isolat Sponge-6.1 dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus sp., Staphilococcus sp., dan beberapa bakteri lain. Berawal dari hal inilah tim kami mengajukan proposal dan berhasil lolos untuk mendapat pendanaan dari Kemenristekdikti, dan penelitian bisa
dilanjutkan,” katanya. Selain Dina Lutfiana, tim ini juga beranggotakan Jefpry Supryanto Sianturi, William Khodry, Denika Liyan Nor Wibowo, dan Dwi Yulian Fahruddin.
Mereka melakukan penelitian bekerja sama dengan LIPI, dan dilakukan sekitar dua minggu di Laboratorium LIPI Bandung. Tahapan awal yang dilakukan dengan mengisolasi sponge, yang kebetulan sponge yang akan digunakan ada di lab LIPI itu, sehingga lebih memudahkan pengerjaan. Setelah mengisolasi Sponge-6.1, penelitian dilanjutkan dengan menguji aktivitas bakteri Streptococcus pneumoniae yang diberi perlakuan dengan isolat. Dari penelitian panjang itu diperoleh hasil, yaitu isolat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus pneumoniae dengan pemberian pada konsentrasi tertentu. Sebagai ketua kelompok PKM, Dina berharap isolat Sponge-6.1 itu dapat digunakan sebagai salah satu kandidat obat yang kelak dapat diproduksi, sehingga bisa memberikan manfaat pada dunia kesehatan. “Sejauh ini penelitian kami telah sampai pada tahap pengujian kandungan metabolit sekunder dari isolat Sponge-6.1,” imbuh Dina, Jika kandungan metabolit sekunder yang ada pada isolat tersebut dapat diidentifikasi, maka dimungkinkan untuk melakukan sintesis senyawa sejenis untuk dijadikan obat pneumoniae, sehingga tidak perlu mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. (*) Editor: Bambang Bes
Budidaya Bandeng Menanam Sayur Hidroponik
Sekaligus Secara
UNAIR NEWS: Wilayah Kelurahan Kalijudan, Kota Surabaya, merupakan wilayah yang memiliki lahan tambak relatif banyak, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara baik dalam melakukan budidaya ikan. Pengolahan tambak masih tradisional jadi boros pada pembiayaan operasionalnya yang tidak sesuai dengan hasilnya. Selain itu banyak sumberdaya manusia, terutama ibu rumah tangga yang menganggur yang bisa didayagunakan. Berangkat dari permasalahan itulah lima mahasiswa Universitas Airlangga, yaitu Ulfa Ulfiani (ketua tim), Rizka Ayu Marheni Putri, Iqyu Widya Kandi, Umi Hafidloh, dan Abdul Muntholib, menawarkan teknologi budidaya sekaligus bertaman yang disebut “AKANGTAPE” yaitu budidaya ikan bandeng beserta pemanfaatannya. Teknologi yang ditawarkan, dengan melakukan budidaya bandeng di kolam fiber yang di atasnya terdapat tanaman hidroponik, dalam hal ini tanaman bayam. Pada saat dibudidayakan ikan hasil budidaya dan tanaman bayam dapat tumbuh baik dan dapat dipanen bersamaan. Proses bertanamnya tidak menggunakan tanah sebagai media tumbuh, budidaya ikan bandeng.
tetapi
memanfaatkan
hasil
limbah
Dijelaskan oleh Ulfa Ulfiani, ketua kelompok PKMM, inovasi ini dipilih karena ikan merupakan sumber makanan dengan unsur protein tergolong berkualitas tinggi, karena tersusun dari asam-asam amino dengan komposisi paling lengkap yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan sel. Selain itu, protein ikan mudah dicerna dan diserap tubuh, kaya Omega-3, sarat vitamin dan mineral misalnya vitamin A, D, B6 dan B12. Salah
satu zat gizi yang terkandung pada ikan yang berperan penting untuk meningkatkan kecerdasan yaitu DHA. Tim PKMM Unair ingin hasil pengabdian ini, yang pertama, bisa menyampaikan misi kepada masyarakat tentang pengetahuan dan potensi perikanan di Indonesia. Kedua, membantu masyarakat sekitar untuk meningkatkan perekonomian melalui budidaya, bertani sayur, dan pengolahan aneka makanan berbahan dasar ikan bandeng. Sasaran ketiga, memperkenalkan teknik budidaya ikan dan cara bertani dalam satu ruang lingkup yang dinamakan aquaponik. Kemudian terbentuknya kader kewirausahaan Posyandu PKK Kalijudan. “Yang selanjutnya agar terlaksananya program ’Pelatihan AKANGTAPE di Posyandu PKK Kalijudan secara berkelanjutan, dan kegiatan ini menjadi program pioneer bagi masyarakat sekitar,” kata Ulfa Ulfiani.
MODEL tempat pembudidayaan ikan bandeng dan tanaman bayam itu terbuat dari pipa paralon. (Foto: Dok PKMM) Selain itu juga membantu pemerintah meningkatkan tingkat konsumsi ikan di masyarakat, dimana tahun 2009 di Indonesia baru mencapai 29,08 kg/kapita dan tahun 2010 meningkat menjadi 30,48 kg/kapita. Sedangkan rata-rata konsumsi ikan per kapita
nasional tahun 2011 mencapai 31,64 kg, mengalami peningkatan rata-rata 3,81% dibandingkan konsumsi pada 2010. Meskipun tingkat konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia secara nasional meningkat, namun angkanya masih dibawah Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 31,40 kg/kap/tahun, dan antardaerah belum merata. Di Pulau Jawa misalnya rata-rata konsumsi ikan masih jauh dari PPH. “Diantara wadah sebagai tempat penyuluhan yaitu di Posyandu merupakan langkah strategis dalam rangka pengembangan kualitas SDM. Ditunjang fasilitas Posyandu PKK diharapkan akan membantu proses sosialisasi manfaat ikan dalam kehidupan manusia. Apalagi program ini dapat dilaksanakan di Balai Kelurahan/Dusun/RW, maupun tempat- tempat lain yang mudah didatangi masyarakat di wilayah kerja Puskesmah. Jadi sangat mudah,” tambah Ulfa Ulfiani. (*) Editor: Bambang Bes
Tani Bule Farm, Budidaya Lele dan Hidroponik
Solusi Tanaman
UNAIR NEWS – Keilmuan yang didapat selama berkuliah berhasil dimanfaatkan oleh lima mahasiwa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Dengan ilmunya, mereka menawarkan solusi budidaya tanaman hidroponik dan budidaya lele. Gagasan tersebut dituangkan dalam proposal program kreativitas mahasiswa–kewirausahaan (PKM–K) berjudul “Tani Bule Farm
(Tanaman Hidroponik dan Budidaya Lele), Solusi Budidaya MultiKomoditas dengan Sistem Akuaponik untuk Efisiensi Lahan”. Gagasan kelima mahasiswa yang beranggotakan M. Rijal Amiruddin, Nanang Ardianto, Muhamad Maslikhan, Heni Putriani, dan Irene Sugiarto tersebut berhasil lolos seleksi pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2017. Menurut Nanang, timnya berhasil mengembangkan dan menjual produk berupa konstruksi akuaponik yang disesuaikan kebutuhan pelanggan. Selain itu, tim PKM–K Tani Bule Farm juga memberikan jasa konsultan demi pengembangan potensi perikanan. Mengapa akuaponik? Nanang mengatakan, akuaponik merupakan solusi usaha alternatif bagi masyarakat perkotaan yang dihadapkan pada keterbatasan lahan. “Konstruksi kolam dapat berupa terpal karet bulat berangka besi, kemudian kerangka konstruksi untuk peletakan tanaman hidroponik terbuat dari kayu yang dirangkai sesuai kebutuhan. Selain itu, tanaman diletakkan pada media pipa berlubang yang tersambung secara seri diposisikan sesuai keinginan dengan pertimbangan faktor teknis budidaya sehingga akan terhubung antarmedia dua komoditas yang berbeda,” tutur Nanang. Produk akuaponik Tani Bule Farm tersebut dijual mulai harga Rp 3 juta. Keunggulan produk Tani Bule Farm lebih fleksibel karena disesuaikan permintaan pelanggan dan lebih terkontrol dibandingkan produk akuaponik sejenis. “Pelanggan mendapatkan benefit berupa pendampingan dan konsultasi rutin selama satu siklus panen,” imbuh Nanang. Selain itu, budidaya multikomoditas dengan sistem akuaponik dapat memberikan efisiensi produksi dari segi waktu dan biaya. Sebab, dalam satu siklus panen, pembudidaya dapat memproduksi dua komoditas tanaman dan ikan, hemat lahan dan air, serta tidak membutuhkan keahlian khusus.
“Jadi, masyarakat urban lebih tertarik pada alternatif usaha yang mudah dan murah, namun memiliki keuntungan yang prospektif. Selain itu, pendampingan rutin atas pembelian produk Kami sebagai bagian dari tanggungjawab moral atas socialpreneur yang dikembangkan,” terang Nanang. Meski usaha Tani Bule Farm baru berjalan selama tiga bulan, para mahasiswa ini sudah kebanjiran pemesanan. Pelanggan berasal dari berbagai wilayah Jawa yang didominasi Jawa Timur yakni Sumenep, Surabaya, dan Lamongan. Editor: Defrina Sukma S
Kertas Gedog asal Ponorogo yang Mulai Dilirik Bangsa Asing UNAIR NEWS – Melestarikan budaya dan menjaga agar tetap menjadi identitas Nusantara adalah tugas bangsa Indonesia. Terlebih, bagi pemuda yang masih memiliki semangat serta jiwa patriotisme yang tinggi. Tidak mau kalah dengan pemuda lainnya, mahasisiwa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, peminatan Filologi, Minggu (21/5), mengadakan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Mereka mempelajari khasanah budaya yang masih nampak di Jawa Timur yakni pembuatan kertas gedog. Di Desa Tegalsari, tradisi pebuatan kertas gedog masih dengan sistem swadaya. Dalam artian, tidak ada lembaga yang menaungi. Menurut penuturan dari Cipto, selaku pihak yang masih melestarikan kebudayaan dari eyangnya, pembuatan kertas gedog
sudah dimulai sejak tahun 1900-an. Eyangnya, Kyai Jaelani asal Tegalsari, ialah orang pertama yang mencetuskan ide pembuatan kertas daluang (gedog) dengan bahan dasar kulit pohon glugu. “Pembuatan kertas gedog ini cukup mudah, yaitu hanya dengan mengambil kulit pohon glugu dengan ukuran lebar sesuai keinginan, lalu direndam semalaman. Setelah itu, kulit pohon ditumbuk pakai alat sampai benar-benar pipih. Penjemuran diletakkan di atas gedebog pisang agar hasilnya halus,” tutur Cipto menjelaskan proses pembuatan kertas gedog. PKL ini telah menjadi agenda tahunan mahasiswa Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah Preservasi Naskah. Menurut Dr. Trisna Kumala Satya Dewi, M.S sebagai pengampu mata kuliah, kegiatan semacam ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki peran aktif menjaga kelestarian budaya di Nusantara. Pihak Asing Kepada UNAIR NEWS Trisna menuturkan, telah ada pihak asing yang mencoba merayu Cipto sebagai pewaris kertas gedog untuk menyerahkan beberapa naskah kuno peninggalan Kyai Jaelani yang kini di rawat di Tegalsari. Berbagai bujukan dengan imbalan besar sudah dilakukan. Cipto membenarkan bahwa salah satu yayasan pencinta manuskrip asal Jepang telah mengirimkan utusan untuk mendatangi Cipto di kediamannya. Bahkan, beberapa manuskrip miliknya sempat ingin diganti dengan sebuah mobil. “Saya pernah dirayu sama utusan Jepang. Katanya saya mau dibelikan mobil dengan menukar satu naskah ini,” tandas Cipto. Melihat fenomena ini, maka sangat penting bagi mahasiswa untuk mengetahui bahwa Jawa Timur memiliki tradisi pembuatan kertas daluang, dan tradisi itu merupakan asli Indonesia. Trisna juga sangat menyayangkan jika pembuatan kertas saat ini
masih dengan cara swadaya. Padahal jika pembuatan ini dinaungi oleh sebuah instansi, tentu kekuatan untuk menjaga tradisi akan lebih besar jika dibandingkan dengan sistem swadaya. Terlebih, alat pemukul pembuatan kertas gedog yang dimiliki Cipto hanya terdapat satu set saja. Ditambah, Cipto kurang memahami proses administrasi untuk mengajukan bantuan kepada instansi kebudayaan terkait sumbangan alat pemukul pembuatan kertas itu. “Saya mengharapkan proses pembuatan kertas ini dapat dibantu serta dilindungi oleh pemerintah, agar generasi kita lebih mudah dalam mempelajari tradisi ini,” tutur Trisna. Ada keterkaitan antara penuturan Cipto dengan pihak Museum Radya Pustaka, Surakarta. Selain mendatangi Cipto secara personal, pihak asing telah mendatangi museum bagian penyimpanan manuskrip. Keahliannya dalam memperkirakan umur naskah tidak dapat diragukan lagi. Pimpinan Yayasan Pecinta Manuskrip Jepang, Prof. Sakamoto, dapat membaca umur naskah hanya dengan meraba dan melihat garis kertas naskah. “Apabila dibiarkan seperti ini, kita sebagai pemilik asli kertas daluang akan ketinggalan jauh dan bisa-bisa daluang dikuasai oleh Jepang,” tandas Trisna. Kegiatan PKL ini diharapan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam jiwa mahasiswa Sastra Indonesia, bahwa kertas daluang harus dilestarikan dan dapat dipatenkan sebagai warisan Nusantara. (*) Penulis : Ainul Fitriyah Editor
: Binti Q. Masruroh
Paguyuban Karyawan Purna Bakti UNAIR Kirim Bantuan Bencana Ponorogo UNAIR NEWS – Kendatipun belum diresmikan, juga belum membentuk pengurus definitif, tetapi Paguyuban Karyawan Purna Bakti Universitas Airlangga (PKPB UNAIR) sudah membuktikan aksi sosialnya. Hari Jumat (28/4) pagi ini mereka mengirim bantuan untuk korban bencana tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. ”Jangan dilihat dari jumlah bantuannya, tetapi ini niat tulus kami untuk ikut membantu meringankan beban saudara yang tertimpa musibah di Ponorogo,” kata Yitno Ramli, anggota PKPB UNAIR yang ikut mengantar bantuan berupa uang Rp 9 juta dan pakaian layak pakai sebanyak tiga dus besar itu. Bantuan diterima langsung oleh petugas piket di posko tersebut. Bantuan yang dihimpun secara suka rela dari anggota paguyuban (PKPB) itu diserahkan langsung ke Posko Bencana yang resmi dibentuk oleh Pemkab Ponorogo di Desa Banaran, Kec. Pulung. Mereka yang turut mengantar bantuan itu antara lain Hadi Gunawan, Masugeng Sunaryo, Bambang Dwi Tunggal (mantan Kabag Pendidikan UNAIR), Aisyar Halim, dan Sumadi. Menurut Yitno, lokasi bencana memang berada di dataran yang tinggi dan relatif curam. Akan tetapi jalan untuk menuju posko dan tempat penampungan sementara korban, juga di sekitar posko, relatif mudah dan keras. Artinya tidak ada lumpur yang tercecer di jalanan, sehingga mudah dilalui oleh mobil keluarga (roda empat). Inisiator Paguyuban Karyawan Purna Bakti Universitas Airlangga, Dra. Kusmawati, yang juga koordinator pengumpulan bantuan kepada News mengatakan terima kasih kepada donatur yang mempercayakan bantuan kepada korban bencana di Ponorogo
itu lewat paguyuban ini. Dengan dua buah mobil, mereka berangkat dari Surabaya Kamis (28/4) dini hari, sehingga sampai di TKP masih pagi. ”Semoga amal dan sodakoh para donatur ini dicatat oleh Allah SWT sebagai pemberat timbangan kebaikan kita di akherat nanti. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua atas dukungan dan kepercayaannya kepada paguyuban. Mohon maaf kalau ada salahnya, dan semoga baksos pertama ini akan diikuti baksos-baksos yang lain,” kata Kusmawati. (*) Penulis: Bambang Bes
Literasi Digital sebagai Strategi Merespons Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial Media Sosial dan Intensitas Ujaran kebencian Dalam beberapa tahun terakhir terjadi revolusi dalam proses komunikasi antar manusia. Kehadiran internet sebagai bentuk media baru (new media) membentuk pola baru komunikasi antar masyarakat. Dennis Mcquail, ilmuwan komunikasi terkemuka, menyebut satu perubahan yang paling penting ialah meningkatnya interaktifitas dan konektifitas[1]. Kondisi ini dijelaskan lebih lanjut oleh Ilmuwan Lain, Martin Lister dkk. Menurutnya media baru menawarkan keaktifan yang tidak bisa diberikan oleh media tradisional (pasif). Aspek interaktifitas ini menjadi karakter utama bagi media baru[2].
Media sosial (Social Network) sebagai salah satu bentuk media baru menjadi fenomena di dunia termasuk indonesia dengan peningkatan jumlah pengguna yang sangat drastis. Data Asosiasi Pengguna Jaringan Internet Indonesia (APJII) per Januari 2016 menyebut ada 79 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan makin beragamnya fitur media sosial yang bisa dimanfaatkan penggunanya. Beragam penelitian tentang motif penggunaan media sosial menunjukkan berbagai keleluasaan yang diperoleh pengguna seperti dalam mencari informasi alternatif, berkomunikasi dengan rekan jauh, atau sebagai ruang eksistensi diri. Secara
konsep,
peran
dasar
media
sosial
untuk
berbagi
informasi, komunitas virtual, dan forum diskusi. Peran tersebut dapat dicapai karena sifatnya yang partisipatif, terbuka, mendorong percakapan, komunitas, dan keterhubungan antar pengguna. Media sosial memungkinkan semua pengguna menjadi produsen informasi, menyajikan ruang terbuka untuk merespon informasi, pada akhirnya dapat membangun komunitas virtual yang diwarnai diskusi di ruang maya. Penelitian menunjukkan adanya peningkatan intensitas diskusi di berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Permasalahannya, keleluasaan berdiskusi di media sosial ini menyiratkan beberapa dampak negatif. Salah satu yang dipotret ialah hadir dan meningkatnya intensitas ujaran kebencian (hate speech). Secara sederhana, Komunitas Uni Eropa mendefinisikan konsep ini merujuk pada ekspresi yang menghasut, menyebarkan, membenarkan kebencian yang biasanya berkaitan dengan Suku Ras dan Agama. Ujaran kebencian adalah bentuk dari sikap intoleran pada kelompok masyarakat lain. Pandangan lain melihat dampak lanjutnya yang menganggap ujaran kebencian sebagai ungkapan yang menyerang dan mendorong terjadi kekerasan. Wacana ujaran kebencian ini semakin serius manakala banyak kasus kekerasan yang terjadi akibat provokasi via media sosial. Sebagai contoh kasus pembakaran masjid Tolikara di
Papua menimbulkan keriuhan yang meluas karena simpang siurnya informasi di media sosial. Kalimat bersifat SARA yang menyerang leluasa ditemukan. Bentuk lain, ialah provokasi yang dilakukan pendukung Persija Jakarta saat pertandingan antara Sriwijaya lawan Persib Bandung. Hasutan melalui media sosial mendorong aksi pengrusakan dan penyerangan aparat. Merespon banyakya kasus yang diakibatkan oleh ujaran kebencian, Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan Surat edaran yang mengatur tentang hate speech, atau ujaran kebencian. Terbitnya surat edaran ini mendapat respon beragam. Sebagian mendukung dengan alasan intensitas ujaran kebencian yang makin mengkhawatirkan. Di satu sisi, ada juga yang memperingatkan kejelasan Surat tersebut agar tidak menjadi instrumen aparat untuk membatasi kebebasan berpendapat. Esensi
Kehidupan
demokratis
dicirikan
oleh
penghormatan
kebebasan berekspresi sekaligus melarang penyerangan terhadap hak individu. Kondisi dilematis ini mendorong pertanyaan klasik namun urgen, Bagaimana upaya menjaga kondisi kebebasan berpendapat tanpa menimbulkan ekspresi kebencian yang menyerang hak orang lain? Mendudukkan Kebebasan Berekspresi, Mengatur Ujaran Kebencian Pertanyaan terakhir mendorong diskusi penting tentang kebebasan berpendapat. Dalam masyarakat yang pluralistik, dicirikan dengan keberagaman agama dan budaya, kadang penting untuk mendudukkan kebebasan berpendapat dengan hak asasi lain seperti berpikir atau beragama. Anne Weber dalam risetnya mengusulkan upaya menyeimbangkan dua kepentingan[3]. Di satu sisi hak untuk mengkomunikasikan gagasan tentang keyakinan berkomunikasi gagasannya tentang keyakinan agama kepada masyarakat dan di sisi lain, hak untuk menghormati kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Anne menekankan keseimbangan tersebut karena menurutnya dalam beberapa keadaan, kebebasan berekspresi juga bisa menjadi ancaman ke hak untuk menghormati privasi. Ada pula risiko konflik antara
kebebasan berekspresi dan larangan dari segala bentuk kebebasan ekspresi yang mengandung unsur kebencian / hate speech. Mengantisipasi posisi dilematis tersebut, berbagai negara mengatur wacana ujaran kebencian secara eksplisit. Isu ini dinilai sangat serius sehingga mendapat perhatian penuh pula dari negara bahkan sebelum boomingnya media sosial. Uni Eropa misalnya, memberikan batas pada kebebasan berekspresi terhadap penghormatan hak orang lain dan moralitas. Komite Menteri Eropa memberi ruang lingkup ujaran kebencian sebagai setiap ekspresi yang menyebarkan, menghasut, mempromosikan dan menjustifikasi kebencian berbasis rasial, xenofobia, antisemitisme (diskriminasi pada Yahudi) atau bentuk lain kebencian berbasis intoleransi, termasuk nasionalisme agresif, etnosentrisme, diskriminasi dan permusuhan pada minoritas, imigran. Sementara itu, Amerika yang mengagungkan kebebasan berekspresi secara tegas menyatakannya tidak absolut. Perundang-undangan mengatur secara rigid ihwal ujaran kebencian dengan beragam pengaturan tentang : (1) melarang penyerangan yang bertujuan mengintimidasi, kekerasan, atau mempermalukan korban, (2) aturan tentang intimidasi etnis atau rasial, (3) undang-undang yang melarang tindakan-tindakan kebencian seperti seperti pembakaran salib atau gambar swastika (Nazi); (4) undangundang yang melarang menutupi sengaja identitas seseorang; (5) undang-undang atau umum larangan hukum terhadapujaran kebencian yang mengganggu perdamaian (6) hukum atau umum larangan hukum terhadap kalimat yang menyerang/ujaran kebencian yang mengganggu perdamaian; (7) tindakan sipil untuk pencemaran nama baik; (8) pemulihan sipil individu karena dampak ujaran kebencian yang mencederai (9) tindak pidana pencemaran nama baik kelompok; (10) undang-undang membatasi kebencian di lingkungan terbatas tertentu seperti tempat kerja atau universitas (11) penggunaan ijin publik untuk menolak demonstrasi yang berkaitan dengan ujaran kebencian[4].
Begitu pula di Afrika selatan yang pernah punya cerita panjang dengan rasisme. Konstitusi Negara menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidak bisa berujung ekpresi tentang : a. Propaganda perang b. Hasutan yang memicu kekerasan c. Advokasi kebencian yang berdasarkan ras, etnis, gender dan agama yang memicu penghasutan dan menyebabkan kerusakan[5].Puncaknya, selain negara, PBB melalui International Committee on the Elimination of Racial Discrimination mengatur secara jelas tentang ujaran kebencian dalam kerangka penghormatan pada Hak Asasi Manusia tentang martabat dan kesetaraan. Media Baru, Demokrasi, dan Tatanan Masyarakat Baru Media baru tak sekadar mengubah pola komunikasi antar warga. Lebih dari itu ia membangun sistem baru yang kerap disebut cyberdemocracy atau demokasi siber. Model demokrasi ini mengisyarakatkan proses kebebasan, partisipasi, maupun kontestasi tak hanya berlangsung secara offline atau face to face tetapi juga secara online. Martin Hilbert mencirikan demokrasi siber ini sebagai meningkatnya kebebasan pribadi dalam pengambilan keputusan[6]. Kebebasan mendapatkan informasi membuat setiap orang mampu mengambil keputusan secara pribadi. Sementara, Joanah Gadzikwa menekankan konsep interaktivitas dalam cyber democracy, lebih dari kebebasan akses informasi dan transparansi Menurut Mark Poster, Pusat konsep demokrasi siber ini adalah konsep ruang publik[7]. Habermas menggambarkan konsep ideal demokrasi dalam konsep ruang publik yaitu ruang bebas dimana setiap warga mampu mengkomunikasikan pendapatnya dan berdialog secara logis tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Beberapa ahli pernah memikirkan media massa sebagai pengejawantahan konsep ruang publik tersebut. Namun, kian kuatnya kepentingan ekonomi politik kapitalis besar membuat media kan jauh dari posisinya menyediakan ruang berdiskusi yang penuh kesetaraan. Dalam titik ini, mulai banyak yang menyebut media baru sebagai wujud ruang publik tersebut.
Anggapan bahwa internet adalah ruang publik baru muncul berdasarkan kecenderungan kesesuaian kriteria munculnya ruang publik. Habermas menyebut tiga syarat munculnya ruang publik, yaitu: ketiadaan status, kepentingan bersama, dan inklusivitas[8]. Kriteria pertama, yaitu ketiadaan status, ditandai dengan tidak adanya pembatasan bagi individu yang ingin masuk dan berdiskusi di internet. Ketiadaan status di internet juga terlihat dari tidak adanya pembagian atau klasifikasi nasyarakat berdasarkan kelas sosial karena semua individu yang berada di dalam internet tergabung menjadi pengguna internet. Kriteria kedua, yaitu aspek kepentingan bersama, ditandai dengan banyaknya isu yang didiskusikan oleh masyarakat di dalam internet. Isu-isu yang dibahas pada diskusi yang terdapat di internet umumnya adalah berbagai masalah yang menyangkut kepentingan berbagai golongan masyarakat di dunia nyata. Sedangkan untuk kriteria ketiga, yaitu inklusivitas, kriteria ini terdapat dalam internet karena internet sangat inklusif dan terbuka bagi setiap orang. Dengan adanya penghilangan batasan di dalam internet menyebabkan jumlah masyarakat internet menjadi tidak terbatas.
yang
berdiskusi
di
dalam
Dalam perspektif yang lebih luas dari sekadar politik, internet membangun tatanan baru yang kerap disebut masyarakat digital (digital society). Masyarakat digital dicirikan oleh kebebasan, partisipasi, dan berjejaring (komunitas). Mereka melakukan semua hal di kehidupan nyata di layar komputer; berbincang, berdiskusi intelektual, berbagi pengetahuan, saling memberi dukungan, membuat rencana, mencari teman, kekasih, musuh, bermain, dll[9]. Perbincangan mengenai tatanan masyarakat digital ini membawa pada dua kelompok masyarakat digital yaitu digital native dan digital immigrat. Digital Immigrant, mereka yang dilahirkan sebelum teknologi digital ditemukan sehingga harus belajar atau bermigrasi. Sementara digital natives ialah mereka yang lahir ketika teknologi digital sudah ditemukan. Digital native
melihat dunia horizontal, mereka melihat semua orang egaliter. Dengan kesetaraan itu memudahkan mereka berinteraksi untuk berbagi ide dan gagasan dengan orang lain. Cara pandang ini berbeda dengan digital immigrant ataupun generasi analog yang sangat hierarkhis. Rekomendasi : Mencerdaskan Masyarakat Digital Dalam konteks masyarakat digital ini, kita membayangkan ke depan potensi ujaran kebencian dengan melihat aktifnya diskusi di media sosial. Menyusun regulasi yang lebih konkret menjadi salah satu cara tetapi juga perlu dilengkapi dengan kecerdasan masyarakat digital. Konsep ini sering disebut sebagai Literasi digital. Literasi digital lebih kompleks. Merujuk Allan Martin, literasi digital merupakan gabungan dari beberapa bentuk literasi yaitu: komputer, informasi, teknologi, visual, media dan komunikasi. Ini berarti literasi digital membutuhkan kemampuan penguasaan teknologi, kompetensi menganalisa informasi, kemampuan berkomunikasi efektif, menikmati karya visual[10]. Literasi digital membuat masyarakat dapat mengakses, memilah dan memahami berbagai jenis informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup. Selain itu mereka dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpolitik dengan menyampaikan aspirasinya di kanal-kanal tertentu. Melalui media digital, masyarakat dapat menyuarakan perspektif dan opininya demi keadilan tanpa merugikan pihak lain. literasi digital membuat seseorang dapat mengawasandi lingkungannya dengan baik. Sehingga ia dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial dengan lebih baik[11]. Dalam konteks melawan ujaran kebencian, Unesco telah menyusun beberapa langkah penting dalam menciptakan kecerdasan masyarakat digital ini[12], yaitu : Kampanye Literasi Digital Pendidikan kewarganegaraan menyiapkan seseorang untuk terdidik
dan bertanggung jawab sebagai warga negara. Tujuan meningkatkan kesadaran akan hak sosial budaya dan politik individu dan kelompok, termasuk tentang kebebasan berpendapat beserta konsekuensi yang didapatkan. Dalam merespon ujaran kebencian, pendidikan kewarganegaraan meliputi pengetahuan untuk mengindentifikasi dan kemampuan menanganinya. Dengan perubahan konsep masyarakat digital maka pendidikan kewarganegaraan mesti menambahkan pengajaran tentang literasi digital tersebut. Masyarakat kini bukan sekadar konsumen tetapi menjadi produsen informasi sehingga tak hanya perlu kemampuan memproduksi pesan tetapi juga pengetahuan tentang etika. Maka dalam hal ini, inisiatif berbagai pihak dalam menyelanggaarakan kampanye literasi digital meski digalakkan di berbagai kalangan masyarakat. Pendidikan, Langkah Terstruktur melawan Ujaran Kebencian Selama ini kampanye literasi media, dijalankan secara sporadis, bergantung pada inisiatif. Padahal melihat potensi ujaran kebencian yang masif ke depannya diperlukan langkah yang lebih terstruktur. Institusi pendidikan seperti sekolah atau kampus, mungkin harus memikirkan untuk memperkenalkan literasi digital ke dalam materi pembelajarannya. Usulan ini juga menjadi langkah proyeksi mengingat siswa yang kebanyakan pengguna media baru sehingga ke depan kita bisa menyiapkan masyarakat digital yang cakap dan toleran. (*) Catatan: [1] Lihat Dennis Mcquail, Mcquail’s Mass Communication Theory. 2011 [2] Lihat Martin Introduction, 2009 [3]Lihat
Lister
dkk,
New
Media,
Critical
Anne Weber, Manual on Hate Speech.2009
[4] Lihat Ronna Greff Schneider, hate Speech in United Speech : recent Legal Development
[5] Lihat Freedom Expression Institute, Hate Speech and Freedom of Expression in South Africa.2013 [6] Lihat Martin Hilbert, Digital Processes and Democratic Theories.2007 [7] Lihat Mark Poster, Cyberdemocracy : Internet and Public Sphere.1995. [8] Lihat F Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif.2009 [9] Lihat Erhan Akyzazi. Cyberculture and Interactivity. 2005 [10] Lihat Allan Martin, Digital Natives and digital literacy. 2008 [11] Lihat Dyah Herlina, Membangun Karakter Bangsa lewat Literasi digital [12] Lihat Unesco Publishing, Countering hate speech.
Paguyuban Karyawan Purna Bakti UNAIR Himpun Bantuan Bencana Ponorogo UNAIR NEWS – Harapan Rektor akan terbentuknya wadah bagi para tenaga kependidikan (tendik) yang sudah purna tugas di Universitas Airlangga, dalam waktu dekat akan segera terbentuk. Nama organisasinya sudah disepakati, lahir 1 April 2017, dengan nama Paguyuban Karyawan Purna Bakti UNAIR (PKPB UNAIR). Namun, meski organisasinya sudah dilahirkan, tetapi personil pengurusnya belum dibentuk, karena pada pertemuan saat itu masih dihadiri sebagian kecil anggota.
Dijelaskan oleh Dra. Kusmawati, inisiator pembentukan wadahsilaturahim para purna bakti karyawan UNAIR ini, sesuai informasi dari universitas, di UNAIR terdapat 2.525 tenaga kependidikan yang sudah purnatugas yang tinggal di berbagai daerah di Indonesia. Namun inventarisasi personil secara riil dan pastinya, belum diketahui. “Ada usulan dari beberapa teman, diantaranya dari Pak Hadi Gunawan, agar dibentuk dulu panitia kecil untuk merumuskan susunan pengurus, agar nanti ketika dibahas dalam pertemuan lebih besar menjadi lebih cepat,” kata Bu Wati, panggilan akrab purna staf FKH UNAIR ini kepada UNAIR NEWS. Disampaikan juga bahwa visi-misi paguyuban (organisasi) ini sudah disiapkan, tinggal disempurnakan nanti dalam pertemuan berikutnya. Model pertemuannya pun, sementara ini disepakati di kediaman beberapa anggota PKPB yang memungkinkan. Misalnya bulan Mei nanti dilaksanakan di rumah Masugeng Sunaryo, dan setelah Hari Raya di rumah Hadi Gunawan sekaligus halalbihalal. Bantuan Korban Ponorogo Sambil menunggu dibentuknya susunan pengurus PPKB UNAIR, senyampang ada peristiwa bencana besar tanah longsor di Kabupaten Ponorogo, para anggota PPKB UNAIR sepakat untuk berpartisipasi dan berempati membantu meringankan beban penderitaan para korban tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. ”Untuk mengatasi korban bencana itu pastinya butuh biaya besar. Tetapi bantuan barang kok sepertinya sudah melimpah, maka kami sepakat mengumpulkan dalam bentuk uang saja. Kalau nanti dapat banyak maka ada perwakilan yang mengantarkan ke Ponorogo, tetapi jika jumlahnya tak terlalu besar maka kita kirimkan saja ke Pemkab, yang resmi,” kata Dra. Kusmawati. Dalam penghimpunan bantuan duka bencana Ponorogo ini, anggota PPKB sepakat memakai rekening Kusmawati, inisiator paguyuban
PPKB UNAIR. Tetapi dikatakan, sumbangan ini tidak terbatas hanya untuk yang sudah purna (pensiun), tetapi siapapun yang iklas dan berminat membantu korban bisa disalurkan melalui rekeningnya di nomor: 0086-01-027803-53-0, di BRI Cabang Sidoarjo atas nama Drs. Kusmawati. (*) Penulis: Bambang Bes
Raih Medali di PON, Tommy Wisudawan Berprestasi Fakultas Vokasi UNAIR NEWS – Keberhasilannya dalam menyabet medali perunggu pada Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XIX di Jawa Barat adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi Tommy Arif Nugroho. Atas prestasi itulah, ia dinobatkan sebagai wisudawan berprestasi Fakultas Vokasi periode wisuda Maret 2017. “Awalnya saya tidak tertarik untuk mengikuti PON, karena saya bingung bagaimana mengatur jadwal kuliah. Ternyata, saya diberikan kesempatan pelatih PON untuk seleksi, dan masuk dalam skuat team PON,” ujar Tommy. Tommy mengaku bersyukur dan bangga atas segala prestasi yang ia dapat semasa menempuh studi D-3 Perpajakan, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga. Meskipun ia aktif di cabang olahraga futsal ini, ia mampu membuktikan bahwa kuliah adalah tanggung jawab yang paling utama. Ia lulus dengan indeks prestasi kumulatif sebesar 3,16. Lelaki kelahiran Surabaya ini menyadari, ia cukup sulit membagi waktu kuliah sekaligus aktif menekuni passion. Ia
harus pandai mengatur jadwal antara keduanya. Apalagi, kesibukannya sebagai atlet membuat Tommy seringkali harus ke luar kota. “Yang jelas saya memprioritaskan akademik dan sambil menjalankan passion atau hobi. Memang sulit untuk mengatur keduanya. Saat ada pertandingan luar kota, pastinya kuliah saya terbengkalai. Tapi saat selesai pertandingan baru saya mencari teman untuk mentutori matakuliah yang saya tertinggal,” imbuh lelaki kelahiran 28 Agustus 1994. Pengorbanan waktunya berbuah manis. Sederet prestasi yang pernah diraih Tommy semasa kuliah antara lain juara III Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional Jawa Timur tahun 2014, juara III Liga Mahasiswa Nasional tahun 2014, juara III PON Jatim tahun 2016, Best Player Liga Mahasiswa Nusantara tahun 2016, Juara I Liga Mahasiswa Nusantara tahun 2016, Juara III Piala Emas Futsal Indonesia tahun 2016, dan masih banyak lagi. Tommy bersyukur, meskipun aktivitasnya padat sebagai atlet, namun ia tak kesulitan meminta izin tidak masuk kuliah. “Alhamdulillah pihak UNAIR juga memperlancar urusan perizinan,” tambahnya. Ibu, keluarga, dan teman-teman adalah orang-orang yang berjasa dalam segala prestasi yang diraih Tommy. Ia mengatakan, dukungan kerabat dan doa yang senantiasa ia panjatkan merupakan kekuatan untuk meraih segala cita dan harapan. “Tetap jalani saja apa yang ada di depan. Yakin dan selalu libatkan Allah dalam segala hal. Melalui restu orangtua, insya Allah di mudahkan semuanya,” pesan Tommy yang juga menggawangi Unit Kegiatan Mahasiswa Futsal UNAIR. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina S. Satiti
Alumni FIB Turut Ringankan Bencana Longsor Ponorogo UNAIR NEWS – Akibat bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo pada Sabtu (1/4) lalu, Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, tergerak untuk turut memberikan bantuan. IKA FIB memberikan bantuan dengan datang langsung ke lokasi bencana pada Senin (3/4). Noer Sidik, S.S, M.Hum., selaku koordinator IKA FIB menuturkan, bantuan yang diberikan IKA FIB dilatarbelakangi rasa empati terhadap musibah yang menimpa warga Banaran. Ia mengatakan, kegiatan ini diinisiasi oleh Ketua Alumni Program Studi S-2 Kajian Sastra dan Budaya, Nyoman Suwarta, M.Hum. “Bantuan mulai dibuka sejak adanya kabar bencana di Ponorogo. Kami menerima dalam bentuk uang maupun barang,” ungkap Noer Sidik. Nyoman Suwarta, M.Hum mengatakan agar bantuan sesegera mungkin disalurkan. Mengingat, korban longsor sangat membutuhkan persediaan makanan. Bantuan yang diberikan antara lain biskuit, air mineral, mie instan, dan sejumlah uang tunai. Bantuan tersebut mereka salurkan lewat Program Keluarga Harapan (PKH) yang dibentuk oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo di posko Desa Wagir yang merupakan posko bencana longsor. Seperti yang diketahui, kondisi korban longsor sangat memprihatinkan, terutama trauma psikis karena kehilangan anggota keluarga. Untuk itu, usai pemberian bantuan ini, IKA FIB memiliki rencana untuk bekerja sama dengan IKA UNAIR dari
berbagai disiplin ilmu agar dapat turut serta membantu para korban. “Banyak disiplin ilmu dari IKA UNAIR yang dapat berperan aktif dalam penanganan bencana. Diantaranya trauma healing yang bisa ditangani oleh IKA FPsi, kesehatan masyarakat bisa ditangani IKA FKM, dan sanitasi serta pengobatan dapat ditangani para dokter alumni Fakultas Kedokteran,” tandas Koordinator IKA FIB tersebut. Peluang IKA UNAIR dan instansi pendidikan lain untuk berperan aktif membantu korban masih terbuka lebar. Sebab ada beberapa tahapan penanganan bencana di sana. IKA FIB masih membuka kesempatan bagi para donatur yang ingin turut serta urun bantuan. Jika bantuan telah terkumpul kembali, IKA FIB akan menyalurkan bantuan secepatnya, mengingat kebutuhan korban yang harus terpenuhi. (*) Penulis : Ainul Fitriyah Editor
: Binti Q. Masruroh
Terinspirasi dari Ponpes Al-Qodir Berkembang Modern
UNAIR, Sleman
UNAIR NEWS – Pengabdian masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR) mampu menginspirasi dan menggerakkan prospek kemajuan di bidang pendidikan, diakui dan dirasakan oleh KH Masrur Ahmad MZ, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Qodir, Dusun Tanjung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Ini benar-benar luar biasa. Ngomongnya sedikit, tetapi banyak memotivasi santri-santri saya. Nggak tahu kenapa Allah membuka hati saya kok pintunya dari UNAIR. Apa karena orang-orang UNAIR ini dekat dengan Allah? Padahal di Yogyakarta ini kami juga dekat dengan UGM, juga Universitas Islam Negeri (UIN) yang anak-anaknya sering kesini. Tapi nggak tahu, pikiran saya mbukak setelah diampiri (disinggahi) UNAIR pasca-erupsi Merapi itu,” kata KH Masrur Ahmad MZ. Pengakuan itu ia sampaikan ketika menerima tim Pengmas UNAIR 2016 di Ponpesnya, Sabtu (29/10). Sejak pasca-erupsi Merapi tahun 2011, sivitas UNAIR ikut meringankan beban akibat bencana. Setiap menjelang dies natalis UNAIR, Tim Pengmas berkunjung ke sasaran pengmas, yaitu bantuan sapi perah untuk masyarakat Dusun Tanjung Desa Wukirsari, dan ke Ponpes AlQodir di alamat sama. Tim Pengmas 2016 ini dipimpin Dr. Ir. Sri Hidanah, MS., Sekretaris LP4M UNAIR. Turut hadir juga Prof. Dr. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si (mantan Ketua LPPM, kini Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan UNAIR), Prof. Romziah Sidik, drh., Ph.D (mantan Dekan FKH/perintis pengmas Yogya), Drs. Ec. Mashariono, MBA (IKA-UA/perintis), Dra. Widarmami (IKA-UA), Drh. Trilas Sardjito, MS (dosen FKH, pakar ternak domba), staf LP4M dan UNAIR NEWS. Sebagai orang Nahdlatul Ulama (NU), KH Masrur Ahmad mengaku malas dengan sekolahan yang ikut pemerintah. Ia ingin pondoknya hanya ngaji seperti era Walisanga. Itu dulu. Tetapi begitu kenal dengan visi dan misi UNAIR, ia mengaku terinspirasi. ”Orang UNAIR yang sama-sama seperti ini bisa jadi professor, masak saya tidak. Inilah inspirasi yang luar biasa, membuat kami mudah berjalan menjalani kehidupan dan akhirnya mendapat ridha dari Tuhan YME. Saya yakin masih banyak yang harus dijalani dan dikerjakan UNAIR untuk lebih maju lagi,” kata penulis buku “Islam Hijau, Refleksi Keagaman dan Kebangsaan
Nahdlatul Ulama” (2014) ini. Sekarang di Ponpes Al-qodir itu telah berkembang sekolah modern, Madrasah Ibtidaiyah (MI) sudah sampai kelas IV, yang Tsanawiyah (MTs) sudah kelas II, dan yang Aliyah (MA) sudah buka kelas I. Sudah juga mengembangkan perkoperasian dan memiliki produk air kemasan, mengembangkan ternak kambing dan pertanian. KH Masrur Ahmad juga sudah menghasilkan tiga buah buku.
USAI penyuluhan dan pelatihan tentang ternak domba, Pimpinan dan santri Ponpes Al-Qodir berfoto bersama tim Pengmas UNAIR 2016. (Foto: Bambang Bes) ”Saya pikir UNAIR ini lebih besar dalam membentuk saya dari pada Gus Mustofa Bisri. Dulu Gus Mus sudah mbisiki saya; ‘Kowe ki nek muleh, nuliso.’ (kamu kalau pulang, menulislah-Red). Tapi saya tidak nurut. Setiap ketemu selalu bilang begitu. Tetapi begitu ketemu Prof. Romziah dan Prof. Djoko, saya kok berpikir: iki aku kudu melu-melu (ini saya harus ikut-ikut). Inilah yang luar biasa, yang dulunya saya malas bikin sekolah modern karena mesti repot ini-itu, tapi begitu ada inspirasi dari UNAIR, maka luar biasa perubahan di pondok ini, jadi ini berkah UNAIR,” katanya.
Menurut Drs. Ec. Mashariono, MBA., penasihat IKA-UA yang juga perintis pengmas ini, awalnya UNAIR menyumbang buku-buku. Kemudian dalam kunjungan setiap tahun selalu “mampir” dan memberi sekadar bantuan, seperti, ternak domba, komputer, laptop dan LCD, pembelajaran tertentu misalnya manajemen perpustakaan, kesehatan remaja, dan tahun 2016 ini “Cara beternak domba” yang disampaikan oleh Drh. Trilas Sardjito, MS, ahli ternak domba FKH UNAIR. Kini domba yang dipelihara di Ponpes itu mencapai 15 ekor, dimana sebelumnya juga sudah banyak yang dimanfaatkan baik untuk keperluan pondok misalnya hajatan dan atau untuk kurban. (*) Penulis: Bambang Bes