ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI AEROB PENDEGRADASI SELULOSA DARI SERASAH DAUN RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schaum)
Kurniawan Sarju Ambriyanto Pembimbing : Dr. rer. nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si., Nengah Dwianita Kuswytasari S.Si., M.Si. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2010
Abstrak Selulosa adalah polimer yang tersusun dari rantai monomer glukosa melalui ikatan β(1→4). Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schaum) mengandung 22% selulosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, purifikasi dan karakterisasi bakteri aerob pendegradasi serasah selulosa dari daun rumput gajah dengan mengikuti kunci Determinasi Bergeys Manual. Pada penelitian ini diperoleh 5 isolat yang cenderung masuk ke 3 Genus yaitu Flavobacterium (PP 127A dan PP 141-A), Lampropedia (PP 146-A), dan Halomonas (PP 79-D dan PP 91-A). Dari uji Hidrolysis Capacity (HC) dan degradsi in vivo (penurunan berat kering) maka diketahui bahwa isolat PP127-A adalah isolat yang memiliki ratio HC tertinggi dan penurunsn berat kering terbanyak, kemudian diikuti oleh isolat bakteri yang lain. Kata kunci : bakteri pendegradasi selulosa, rumput gajah
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sellulosa adalah polimer karbohidrat yang terbanyak yang terdapat di alam (Han and Chen, 2007). Diperkirakan 50% dari biomassa adalah selulosa. Dipekirakan jumlahnya sekitar 50 milyar ton (Claassen, et al. 1999). Polimer alami seperti selulosa belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan jumlahnya di alam melimpah.
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schaum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah dengan minimal nutrisi. Rumput gajah membutuhkan minimal atau tanpa tambahan nutrient. Sehingga tanaman ini dapat memperbaiki kondisi tanah yang rusak akibat erosi. Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson and Paul, 2008). Produktifitas rumput gajah adalah 40 ton
per hektar berat kering pada daerah beriklim subtropis dan 80 ton per hektar pada daerah beriklim tropis (Woodard and Prine, 1993). Total karbohidrat dan serat kasar termasuk selulosa jumlahnya masing-masing adalah 30,91% dan 9,09% ( Okaraonye and Ikewuchi, 2009). Mikroorganisme memiliki peran yang cukup besar dalam siklus berbagai unsur seperti siklus karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur yang lain. Siklus selulosa merupakan bagian dari siklus karbon (Schlegel, 1994), karena selulosa adalah polimer terbanyak di tanaman, maka hidrolisis selulosa adalah hal yang sangat penting dalam siklus karbon (Zhang and Lynd, 2004). Selulosa yang dihasilkan oleh tanaman ada yang mengalami degradasi oleh mikroorganisme menjadi humus dan ada yang didegradasi oleh hewan. Akhirnya
selulosa diubah menjadi CO2 dan masuk ke jalur fiksasi CO2 (Brock, 1994). Peran mikroorganisme menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan unsur-unsur yang ada di alam (Schlegel, 1994). Bakteri selulotik ditemukan di berbagai ekosistem. Contoh bakteri selulotik adalah Cellumonas sp, celvibrio sp., Microbispora bispora, Thermomonospora sp., Acentivibrio cellulolyticus, Bacteriodes cellulosolvent, Bacteriodes succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens dan Clostridium termocellum . Enzim selulosa dapat dihasilkan oleh berbagai bakteri dan fungi, aerob dan anerob, mesofil dan termofil. (Bhat and Bhat, 1997). 1.2 Rumusan Masalah Rumput gajah sebagain besar dimanfaatkan sebagian bahan makanan ternak. Rumput gajah mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku bioenergi. Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku bioenergi, polisakarida yang terdapat pada rumput gajah harus dihidrolisis. Untuk menghidrolisis polisakarida diperlukan bantuan mikroorganisme. Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apakah bakteri selulosa dapat diisolasi dan dipurifikasi dari seresah rumput gajah (Pennisetum purpureum Schaum)? 1.3 Batasan Masalah
Isolasi dan purifikasi dilakukan secara aerobik sehingga bakteri pendegradasi selulosa yang diharapkan adalah bakteri aerob. Karakterisasi yang dilakukan sampai tingkat genus dengan menggunakan Bergeys Manual Of Determinative Bacteriology 9th (Holt et al., 1994). 1.4 Tujuan Penelitian Tujuannya adalah untuk mengisolasi, purifikasi dan mengkarakterisasi bakteri aerob pendegradasi sellulosa dari rumput gajah.
1.5 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat murni dan mengetahui seberapa besar bakteri tersebut dapat mendegradasi selulosa. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis (Hatami et al., 2008). Bimassa tersusun secara unik yang membedakan antara satu spesies dengan spesies yang lain. Secara umum ada tiga kelompok besar penyusun biomassa pada tanaman yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiga kelompok senyawa ini biasanya ditemukan secara bersama-sama dengan perbandingan tertentu yang unik yang didasarkan atas spesies, umur tanaman atau bagian tanaman dan keadaan lingkungan tempat tanaman itu hidup (Glazer and Nikaido, 2007). Karena selulosa tidak ditemukan dalam keadaan murni maka komplek yang antara selulosa dengan hemiselulosa dan lignin disebut dengan cellulosan. Cellulosan relatif lebih larut dibandingkan dengan selulosa (Hatami, et al., 2008). Karena dalam keadaan alami tidaka ada dari tiga senyawa itu yang berada dalam keaadan murni, hal ini yang menyebabkan proses degradasi biomassa menjadi lambat (Varnaite et al., 2008) Dinding sel merupakan sel jaringan vaskuler pada tanaman tingkat tinggi (Glazer and Nikaido, 2007).Dinding sel tanaman adalah suatu struktur yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan subtrat pektin, lignin dan protein struktural (Hatfield, 1993). Struktur ini berkaitan antara polimer yang satu dengan polimer yang lain dengan ikatan kovalen cross-link,, sehingga memberikan kekuatan fisik (Chesson and Forsberg, 1988 dalam Matsui et al, 1988; Glazer and Nikaido, 2007). Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan lignoselulosa. Berat keringnya mencapai 90% dari sel tanaman. Hemiselulosa dan lignin saling terikat melalui ikatan ester pada residu arabinosa dari hemiselulosa dengan p-coumaric acid atau ferulic acid pada lignin. Ada banyak perbedaan komposisi secara struktural polisakarida terutama komposisi hemiselulosa antara monokotil dan dikotil (Chesson and Forsberg, 1988 dalam H.
Matsui et al, 1988). Arabinosa adalah hemiselulosa yang terbanyak yang terdapat pada dinding sel monokotil, sedangkan xylan adalah hemiselulosa yang terbanyak pada dikotil (Miron and Ben-Ghedalia, 1993 dalam H. Matsui et al, 1998). Degredasi dari senyawa organik komplek alami (hemiselulisa dan selulosa) adalah masalah yang sangat penting. Jumlahnya yang berlimpah di alam mengakibatkan polimer ini menyimpan sebagian besar energi hasil fotosintesis yang disimpan dalam bentuk ikatan kimia. Ada sekitar 60% energi yang diperoleh dari fotosintesis berada dalam bentuk senyawa hemiselulosa dan selulosa (Varnaite et al., 2008)
Gambar 2.1 Struktur dinding sel tanaman (http://www.astbury.leeds.ac.uk/history/astbu ry18.htm) 2.1.1 Sellulosa Selulosa adalah komponen struktural yang banyak ditemukan pada dinding sel tanaman terrestrial dan laut, juga diproduksi oleh beberapa tanaman laut dan bakteri. (Linder dan Teeri, 1997). Sellulosa adalah polisakarida yang mempunyai fungsi sebagai unsur struktural pada dinding sel tumbuhan tingkat tinggi. Sellulosa berbentuk serabut, liat, tidak larut di dalam air, dan ditemukan terutama pada bagian berkayu pada tumbuhan. Sellulosa adalah polisakarida terbanyak yang ditemukan pada tanaman. tanaman dan umur tanaman) (Atalla, 1993 dalam Linder dan Teeri, 1997). Diperkirakan bahwa jumlah karbon terbanyak terdapat dalam bentuk selulosa dan mayoritas terdapat di lingkungan teresrial (Levin et al., 2009). Karena itu material
Sellulosa tersusun atas D-glukosa yang terikat melalui ikatan β(1→4) (gambar 2.1a). Sellulosa adalah polimer yang tidak bercabang yang terdiri dari 100-14.000 monosakarida atau lebih (Beguin and Aubert, 1994 : Lehninger, 1982). Ikatan β(1→4) tidak dapat diputuskan oleh enzim α-amilase (Lehninger, 1982). Molekul-molekul sellulosa seluruhnya berbentuk linier, dimana setiap molekul glukosa sebagai penyusun polimer dapat berotasi hingga 180° (Brown, 1996) dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hydrogen intra dan intermolekul. Ikatan antar fibril ini yuang kemudian membentuk selulosa crystalline (Brown et al., 1996). Jadi berkas-berkas molekul sellulosa membentuk agregat bersama-sama dalam bentuk mikrofibril. Mikrofibril mimiliki dimensi antara 3-4 nm pada tanaman tingkat tinggi hingga 20 nm pada Valonia macrophysa, dimana setiap mikrofibril terdiri dari beberapa rantai selulosa. Mikrofibril ini memiliki oritentasi yang sangat besar untuk tersusun secara pararel (Beguin and Aubert, 1994). Mikrofibril ini pada tempat-tempat tertentu memiliki struktur yang teratur (crystalline) (gambar 2.1b) dan pada tempat-tempat tertentu memiliki struktur yang kurang teratur (amorphous) (gambar 2.1b). Struktur amorphous terjadi karena prose kristalisasi yang tidak berlangsung sempurna pada semua mikrofibril yang terbentuk (Hon, 1994 dalam Linder dan Teeri, 1997). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat sellulosa. Struktur sellulosa yang berserat dan terdapat ikatanikatan hidrogen yang kuat mengakibatkan dapat tahan terhadap tarikan tinggi (Sjostrom, 1995 ; Beguin and Aubert, 1994). Jumlah selulosa amorphous dan crystalline di alam sama banyak. Selulosa terakumulasi di alam karena relatif resisten di dalam proses degradasi (proses degrdasi di alam berjalan lambat). Dimensi serat selulosa dan proporsi dari bagian kristalin dan amorphous sangat tergantung kepada keadaannya alami (jenis selulotik berbeda menunjukkan property yang berbeda tergantung kepada sumber yang digunakan dan metode ekstrasi yang dilakukan, dan jumlah subtrat berbeda yang digunakan dan jenis enzim selulotik yang digunakan (Linder dan Teeri, 1997).
Bentuk selulosa kristalin yang sering ditemukan di alam adalah selulosa tipe I, dimana termasuk metastabil (i.e. it is not the most thermodynamically favorable form), dimana secara alami tidak dapat diubah menjadi selulosa kristalin tipe yang lain. Selulosa tipe I dapat diubah menjadi selulosa tipe II dengan treatment dengan menggunakan alkali (Beguin and Aubert, 1994). Selulosa kristalin tipe II adalah selulosa yang paling stabil yang diketahui. Selulosa tipe I mempunyai ikatan glukosida paralel dan mempunyai ikatan hidrogen intramolekul yang kuat. Di alam ada dua tipe selulosa tipe I sebagai selulosa kristalin
suballomorphs yaitu tipe Iα dan Iβ. Perbedaan atara tipe Iα dan Iβ terletak pada perbedaan ikatan hidrogen antar rantai selulosa, proporsi ikatan hidrogen dan tergantung kepada sumbernya di alam (Beguin and Aubert, 1994).Selulosa tipe II jarang ditemukan di alam, secara umum dapat dikatakan bahwa sebagai hasil represifitasi setelah proses swelling dan pelarutan kembali selulosa tipe I. selain selulosa tipe I dan II juga terdapat selulosa tipe III dan IV yang sangat jarang ditemukan di alam (Brown et al, 1996). Selain tanaman bakteri juga menghasilkan selulosa. menjadi energi dapat dikembangkan menjadi sektor komersial (Walker and Wilson, 1991).
Gambar (2.2a) struktur serat selulosa, (2.2b) struktur selulosa teratur (kristalin) dan kurang teratur (amorphous) (Beguin and Aubert, 1994). Berdasarkan pada sumber alami selulosa dan pretreatment yang dilakukan maka ratio kristalisasi dari selulosa berkisar antara 0% pada selulosa amorphous hingga mendekati 100% pada selulosa yang diisolasi dari Valonia macrophysa (Beguin and Aubert, 1994). Sellulosa adalah polimer karbohidrat yang terbanyak yang terdapat di alam (Han and Chen, 2007). Diperkirakan 50% dari biomassa adalah selulosa. Diperkirakan jumlahnya sekitar 50 milyar ton (Claassen, et al. 1999). Dari limbah padat yang dihasilkan dunia 40 % (w/w) adalah salah satu sumber sellulosa. Penelitian difokuskan bagaimana memanfaatkan limbah organik (terutama sellulosa) menjadi energi. Penelitian-penelitian yang dilakukan di seluruh dunia tentang konversi selulosa
Secara umum biomassa berbasiskan selulosa yang digunakan dalam produksi etanol dapat dibagi menjadi enam kelompok yaitu : 1. Residu atau limbah pertanian. Contoh: cane bagase, corn stover, wheat straw, rice straw, rice hulls, barley straw, sweet sorgum bagase, olive stone and pulp. 2. Kayu keras. Contohnya: aspen dan poplar. 3. Kayu lunak. Contohnya: pine dan spruce. 4. Limbah selulosa. Contohnya: kertas bekas, koran. 5. Biomassa herba. Contohnya: alfalfa hay, switchgrass, reed canary grass, coastal Bermuda grass, thimoty grass. 6. Municipal solid waste (MSM) (Sun and Cheng, 2002). Konversi selulosa menjadi glukosa relatif membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan konversi pati. Hal ini disebatkan karena struktur sekulosa lebih komplek dibadingkan dengan struktur pati, sehingga dibutuhkan beberapa enzim untuk dapat mendegradasi selulosa. Selain itu enzim pendegradasi selulosa membutuhkan membutuhkan medium yang mengandung selulosa murni untuk mengoktimalkan produksi enzim. Selain itu diketahui bahwa selulosa memiliki struktur yang beragam baik dilihat dari tingkat struktural atau supramelekulnya. Untuk meminimalkan biaya produksi diperlukan pengembangan metode konversi sellulosa menjadi glukosa.
Salah satu bidang yang sering dijadikan studi dalam konversi sellulosa adalah mencari mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim yang lebih aktif dan efisien dalam mengkonversi selulosa (Walker and Wilson, 1991). Hal ini disebabkan karena adanya keanekaragaman yang besar pada selulosa yang terdapat di alam, sehingga ditemukan banyak enzim selulase yang ditemukan. Hal ini berkaitan dengan kecocokan antara struktur substrat dengan struktur enzim (Beguin and Aubert, 1994). Setiap molekul selulosa mengandung tiga tipe unit glukosa yaitu glukosa dengan ujung yang tereduksi (reducing end), glukosa yang ujungnya tidak tereduksi (nonreducing end) dan anhydroglucopyranose.. Unit monomer anhydroglucopyranose adalah molekul selulosa yang mengandung 3 gugus hidroksil primer dan dua gugus hidroksil sekunder. Monomer nonreducing end mengandung empat gugus hidroksil dan monomer reducing end mengandung gugus hemiacetal pada penambahan tiga gugus hidriksil (Palonen, 2004). 2.1.2 Lignin Lignin adalah material organik penyusun matrik dinding sel tanaman tingkat tinggi (Spermatophyta), predominan pada jaringan pengangkut (Glazer and Nikaido, 2007). Lignin adalah termasuk penyusun sebagian besar biomassa atau yang lebih dikenal dengan lignoselulosa. Lignin adalah polimer aromatik terbanyak di bumi dan merupakan penyebab utama degradasi lignoselulosa menjadi lambat (Ahmed et al., 2001). Struktur lignin tidak seragam, lignin juga terdapat bagian yang crystalline dan amorphous. Lignin pada tanaman tingkat tinggi tidak berbentuk crystalline (Palonen, 2004). Struktur kimia pada lignin yang terdapat di alam dapat berubah pada kondisi suhu tinggi dan asam, seperti saat dilakukan perlakuan dengan menggunakan uap air. Pada saat dilakukan perlakuan dengan menggunakan suhu di atas 200°C, maka lignin akan mengalami degradasi menjadi senyawa partikel dengan ukuran yang kecil dan lepasnya ikatan dengan selulosa (Tanahashi et al., 1983 dalam Palonen, 2004).
Untuk mempermudah dalam mendegradasi lignoselulosa maka diperlukan delignifikasi. Delegnifikasi adalah suatu proses dalam menghilangkan lignin yang dilakukan dengan menggunakan bahan kimia (Ahmed et al., 2001). Namun kerena sudah ditemukan mikroorganisme yang dapat mendegradasi lignin dengan cepat dan telah disadari bahwa menggunakan bahan kimia dalam proses penghilangan lignin akan mengakibatkan limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan (Glazer and Nikaido, 2007). Lignin tersusun oleh unit yang disebut dengan lignol, yang terdiri dari aryl propanol yang tersusun pada senyawa aromatik dan tiga karbon rantai karbon. Lignol secara struktural sangat berhubungan dengan asam amino phenylalanine dan tyrosin. Lignol adalah derivat dari asam amino phenylalanine dan tyrosin. Lignin lebih bersifat hidrofobik dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa (Ahmed et al., 2001). 2.1.3 Hemiselulosa Hemiselulosa secara umum diklasifikasikan berdasarkan residu gula pada backbone. Hemiselulosa dapat dikelompokkan menjadi xylan, mannans, galactans dan glucans. Hemiselulosa seringkali dilaporkan memiliki hubungan secara kimia atau cross-linked dengan polisakarida , protein atau lignin. Xylan memiliki merupakan senyawa yang mempunyai hubungan terbanyak dengan polisakarida yang lain. Hemiselulosa lebih larut dibandingkan dengan selulosa, dapat diisolasi dengan melakukan ekstraksi dengan menggunakan alkali (Palonen, 2004), Softwood hemisellulosa mengandung glucomannan, galactoglucomannan, glucuronoxylan, dan arabinoglucunoxylan sedangkan pada hardwood hemiselulosa sebagian besar merupakan glucuronoxylan. Gambar di bawah ini adalah menjelaskan struktur dari hemiselulosa (Glazer and Nikaido, 2007). Hemiselulosa adalah material yang berbeda dengan selulosa. Hemiselulosa adalah molekul bercabang yang hanya memiliki 150-200 monomer (Mulcahy, 1996). Hemiselulosa adalah polimer yang mirip dengan selulosa. Backbone (rangka utama) dari hemiselulosa adalah terbentuk
dari ikatan β 1,4-D-pyranosyl dari unit penyususnnya. Jadi hemiselulosa secara struktural homologenus dengan selulosa. Dimana selulosa adalah polimer homolinear dengan sedikit modifikasi antara molekul yang satu dengan yang lain. Hemiselulosa mempunyai banyak cabang, secara umum dapat dikatakan bahwa hemiseluloasa merupakan polimer noncrystalline heteropolysaccharides. Komponen yang menyusun hemiselulosa adalah gula pentosa ( D-xylose, L-arabinose ), gula hekosa ( Dgalactose, L-galactose, D-mannose, Lrhamnose, L-fucose ) dan asam uronik (Lglucomonic acid ) (Glazer and Nikaido, 2007). Hemiselulosa adalah polimer polisakarida yang komplek, komposisi dan frekuensinya tergantung kepada jenis jaringan tanaman, jenis spesies dan tahapan pertumbuhan pada tanaman. Hemiselulosa juga merupakan penyusun utama dinding sel tanaman. Hemiselulosa ditemukan dengan proporsi yang berbeda-beda pada lemela tengah, dan dinding sel sekunder tanaman. Hemiselulosa tidak hanya ditemukan berupa xylan, namun juga ditemukan dalam jumlah yang banyak berupa glucomannans, galactomannans, arabinogalactans dan senyawa yang lain (Mulcahy, 1996). Kerena secara struktural hemiselulosa dan selulosa homologenus ditambah dengan adanya kemiripan nama, maka seringkali hemiselulosa diangggap sebagai produk intermediet dalam biosintesis dari selulosa. Namun sekarang jalur biosintesis dari hemiselulosa telah diketahui. Dan diketahui bahwa jalur biosintesis hemiselulosa berbeda dengan selulosa. Dan juga telah diketahui bahwa penyusun hemiselulosa berbeda dengan selulosa (Mulcahy, 1996). 2.2 Metode Menghitung Kadar Selulosa Berikut ini adalah metode untuk mengukur kandungan selulosa dan lignin berdasarkan metode Chesson yang dikemukakan oleh Datta (1981): 1. Satu g sampel kering (berat a) ditambahkan 150 mL H2O atau alkoholbenzene dan direfluk pada suhu 100°C dengan water bath selama 1 jam. 2. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas 300 mL.
3. Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai beratnya konstan dan kemudian ditimbang (berat b). 4. Residu ditambah 150 mL H2SO4 1 N, kemudian direfluk dengan water bath selama 1 jam pada suhu 100°C. 5. Hasilnya disaring dan dicuci sampai netral (300 mL) dan residunya dikeringkan hingga beratnya konstan. Berat ditimbang (berat c). 6. Residu kering ditambahkan 100 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu kamar selama 4 jam. 7. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N dan direfluk pada suhu 100oC dengan water bath selama 1 jam pada pendingin balik. 8. Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 mL). 9. Residu kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 105oC sampai beratnya konstant dan ditimbang (berat d). 10. Selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (berat e) Perhitungan kadar selulosa dan kadar lignin menggunakan rumus berikut ini: Kadar selulosa = (c-d)/a x 100% Kadar lignin = (d-e)/a x 100% http://www.biomassmagazine.com/images/up load/20080403103622.jpg 2.3 Degradasi Biomassa Dalam mendegradasi biomassa melalui mekanisme biologis, dalam hal ini konteknya adalah mendegradasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Degradasi melalui enzimatis menjadi sesuatu yang sangat penting. Enzim menjadi alat yang sangat penting dalam proses degradasi, hal ini terjadi karena enzim dapat mengkatalisis reaksi pada kondisi yang normal (Ahmed et al., 2001). Laju degradasi juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan pada saat proses degradasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah kandungan zat yang dibutuhkan oleh mikroorganisme terutama yang esensial yang digunakan baik pada saat pertumbuhan mikroorganisme atau pembentukan enzim. Faktor lain yang mempengaruhi adalah pH dan suhu optimum yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan aktifitas enzim selulase. Adanya produk metabolit baik primer atau
sekunder yang dapat mempengaruhi kerja enzim dalam mendegradasi selulosa. Adanya selobiosa dalam jumlah banyak juga mempengruhi kerja enzim. Hal ini karena selobiosa adalah inhibitor terkuat dalam proses degradasi (Ahmed et al., 2001). 2.3.1 Degradasi Selulosa Pada degradasi material lignoselulosa dengan kadar selulosa yang tinggi sehingga bisa dikatakan selulosa murni (dihasilkan oleh tanaman kapuk), dengan kadar lignin yang sangat sedikit saja proses degradasi tidak dapat dilakukan dengan memasukkan selulosa ke dalam sel mikroorganisme. Hal ini terjadi kerena ukuran selulosa yang cukup besar. Sehingga strategi yang dilakukan oleh mikroorganisme adalah dengan mengsekresikan enzim selulase. Hal ini dapat dilihat ketika melakukan isolasi protein yang terdapat pada tanah dan proses pengomposan, enzim selulase adalah komponen utama dari protein yang ditemukan (Ahmed et al., 2001). Untuk mengopimalkan metabolisme bakteri pendegradasi selulosa pada keadaan minimal nutrient, setiap bakteri mempunyai strategi yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik bakteri tersebut (Jescu, 1995). Besar hasil akhir yang diperoleh pada proses degradasi tergantung kepada beberapa faktor yaitu pH, akses terhadap karbon (kecocokan konformasi enzim dengan subtrat), reaksi redok yang terjadi, konsentrasi produk. Dan untuk mengoktimalkan hasil yang diperoleh maka diperlukan pengetahun tentang genetika mikroorganisme yang digunakan, enzimatik, dan termodinamika dalam mekanisme aliran karbon (carbon flow). Detail pengetahuan mengenai hubungan antara genome content, gen dan produk ekpresi gen, pathway utilization, dan hasil akhir yang diperoleh akan sangat penting untuk diketahui dalam degradasi selulosa (Levin et al, 2009). Karena selulosa di alam yang bersifat berukuran besar dan tidak larut maka enzim selulase memerlukan perlakuan yang khusus dalam mendegradsi selulosa. Karena substrat yang tidak dapat terdifusi ke dalam enzim, maka enzim selulase harus menjadi lebih aktif dan mendefusi ke dalam substrat (Mattinen, 1998).
Bakteri selulotik dapat bekerja pada variasi keadaan lingkungan yang berbedabeda dalam mendegradasi seresah daun pada tanah (Beguin and Aubert, 1994; Denman et al., 1996 dalam Linder dan Teeri, 1997). Mikroba ini dapat mendegradasi melekul komplek, keadaan dimana subtrat tidak larut dalam air dengan menggunakan berbagai enzim melalui berbagai cara didalam memutuskan bagian yang berbeda di dalam substrat. Efisiensi degradasi kayu dengan menggunakan mikorganisme sepeti fungi filamentus, merupakan tipe yang mengsekresikan dan mengsinergikan aksi enzim selulase dimana bakteri menggunakan komplek enzim (cellulosome) yang bekerja pada permukaan substrat (Tomme et al., 1995; Bayer et al., 1996 dalam Linder dan Teeri, 1997). Hal ini juga terjadi pada fungi anaerob dimana memiliki komplek seperti cellulosome dengan ukuran yang lebih besar (Fanutti et al., 1995; Denman et al., 1996; Dijkerman et al., 1996 dalam Linder dan Teeri, 1997). Kedua tipe enzim dapat melepaskan ikatan β-1,4-glukosida dengan menggunakan enzim endo atau exoglukonase yang spesifik yang didasarkan atas topologi dari sisi aktif. Keberadaan nitrogen sangat mempengaruhi laju degradasi yang terjadi. Umumnya degradasi selulosa terjadi pada pH normal (Hatami et al., 2008). Pada degradasi selulosa yang dilakukan oleh fungi, fungi melepaskan sistem enzim selulase yang terdiri dari beberapa exo- dan endoselulase, dan satu atau dua β-glukosidase. Banyaknya komponen sistem enzim yang dilepaskan tergantung kepada fungi itu sendiri. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh Trichoderma reesei yang melepaskan enzim komplit saat mendegradasi crystalline selulosa. Sistem enzim selulotik mengandung dua cellobiohydrolases (CBH I dan CBH II), setidaknya empat endoglukanase (EG I, EG II, EG III dan EG IV) dan satu β-glukosidase (Mattinen, 1998). Sistem enzim selulase adalah lebih sulit dibandingkan dengan sistem enzim selulase fungi dan hanya sedikit yang baru diketahui dari sistem enzim selulase bakteri. Enzim selulase yang dihasilkan oleh Cellulomonas fimi adalah yang paling sering dilakukan studi. Beberapa bekteri terutama bakteri anaerob menghasilkan komplek multi
enzim yang berukuran besar yang dikenal dengan cellulosome. Contoh bakteri yang memiliki cellulosome adalah Clostridium thermocellum (Mattinen, 1998). Pada degradasi selulosa murni laju degradasi terjadi penurunan yang sangat besar. Penurunan ini disebabkan kerena adanya inhibitor yang sangat banyak jika dibandingkan pada degradasi lignoselulosa. Selobiosa adalah inhibitor utama dalam degradasi selulosa, oleh karena itu kehadiran enzim β-glukosidase menjadi sangat penting dalam degradasi selulosa. Hal ini karena setelah selobiosa diubah menjadi glulosa Tabel 2.1 Struktural selulosa yang berpotensi menghambat pada hidrolisis dari serat selulosa pada beberapa level struktural (Mansfields et al., 1999 dalam Palonen, 2004) Level struktur Faktor substrat Degree of polymerization (DP) Microfibril Crystallinity Cellulose lattice structure (I, II, III, atau IV) Komposisi struktural (kandungan lignin, hemiselulosa dan Fibril persebarannya) Particle size (fibril dimension ) Luas permukaan Fiber Degree of fibrer swelling Struktur pori dan distribusi Akses enzim selulase terhadap selulosa pada lignoselulosa menjadi yang penting dalam degradasi selulosa. Selulosa memiliki akses baik eksternal (dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran paticle) dan internal (struktur kapiler pada fibers). Pada lignoselulosa yang tidak dilakukan pretreatment hanya sedikit pori yang dapat digunakan sebagai akses enzim selulase terhadap sustrat (Palonen, 2004). Pada pretreatment yang dilakuan untuk menghilangkan hemiselulosa menunjukan terjadi peningkatan pori dan terdapat permukaan spesifik. Hasil hidrolisis berkaitan dengan volume pori yang digunakan dalam akses enzim selulase (Grethlein, 1985 dalam Palonen, 2004). Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pengeringan lignoselulosa menurunkan
maka laju degradasi menjadi jauh lebih cepat. Hasil akhir pada degradasi lignoselulosa tergantung kepada tipe bahan mentah yang digunakan. Pada berbagai penelitian yang dilakukan secra intensif dilakukan maka diketahui bahwa tidak ada faktor yang paling signifikan pada laju hidrolisis pada material lignoselulosa yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor pembatas degradasi selulosa dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu struktur dari substrat (Tabel 2.1), dan mekanisme dan interkasi enzim selulase. kapileritas sel dan menurunkan pori sehingga menurunkan efektifitas enzim selulase (Esteghlalian et al., 2001 dalam Palonen, 2004). Kandungan lignin dalam lignoselulosa dan persebarannya mempengaruhi degradasi selulosa (Palonen, 2004) Kemampuan degradasi selulosa oleh bakteri berbeda dengan kemampuan degradasi fungi dalam mendegradasi selulosa. Bakteri memiliki kecenderungan untuk mendegradasi selulosa crystalline dibandingkan dengan sisi a amorphous, dan kemampuan ini dimiliki oleh hampir semua bakteri pendegradasi selulosa baik secara aerob atau anaerob. Namun karena selulosa crystalline tidak dapat didegradasi oleh enzim selulase tunggal karena sifat selulosa crystalline yang rigrid, maka diduga degradasi selulosa crystalline dilakukan lebih dari satu enzim (Mulcahy, 1996). Sedangkan fungi memiliki kecenderungan untuk mendegrdasi selulosa pada sisi amorphous dibandingkan dengan sisi crystalline. Ektrasellular endo- dan exoglucanase diproduksi oleh berbagai bakteri. Secara umum struktur enzim selulase bakteri memiliki kesamaaan dengan yang dhasilkan fungi. Bakteri mensekresikan enzim selulase sebagai enzim ekstraselluler yang bersifat soluble atau pada keadaan anaerobik membentuk komplek yang disebut dengan cellulosome yang menempel dengan permukaan sel bakteri . Cellulosome nampaknya mampu mendegradasi tidak hanya selulosa saja, namun semua jenis polisakarida termasuk berbagai jenis hemisellulosa seperti xylanases, mannanases, arabinofuranosides, and pectin lyases (Glazer and Nikaido, 2007).
2.3.2 Degradasi Lignin Bakteri hanya dapat sedikit mengdegradasi lignin saat terdapat oksigen dan tidak ada satu pun bakteri yang dapat mendegradasi lignin dalam keadaan anaerob (Glazer and Nikaido, 2007). Degradasi lignin memerlukan adanya oksigen. Degradasi lignin adalah proses yang sederhana namun tidak terjadi pada pada beberapa lingkungan alami. Sebagai contoh bahwa tanaman yang telah mati ratusan tahun yang lalu masih sering ditemukan dalam timbunan tanah. Hal ini utamanya terjadi karena tidak terdapat oksigen. Pada lingkungan dengan keadaan asam maka proses degradasi tidak terjadi. Belum diketahui bahwa jika pH lingkungan sedikit asam dan keaadaannya anaerobik apakah proses degradasi akan terjadi, namun diduga bahwa degradasi jika terjadi akan berlangsung sangat lama (Kirk and Farrell, 1987 dalam Ahamed et al., 2001). Degradasi lignin mungkin saja terjadi dan dilakukan oleh bakteri, namun tidak ada satupun yang dapat diisolasi dan ditumbuhkan pada laboratorium. Banyak filamentous bakteri (Actinomycetes) dapat mendegradasi lignin. Actinomycetes tidak dapat mengubah lignin menjadi CO2, tidak dapat melakukan mineralisasi terhadap lignin. Hanya Basidiomycetes (white rot fungi) yang dapat melakukan meniralisasi terhadap lignin. Pada saat terjadi mineralisasi terhadap lignin yang terdapat pada kayu atau daun maka terjadi bleaching (perubahan warna menjadi putih pucat) (Ahamed et al., 2001). Degradasi lignin hanya dapat dilakukan oleh white rot fungus. Kemampuan fungi ini untuk mendegradasi lignin adalah cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan Phanerochaete chrysospirum hingga 3 gram lignin setiap hari. Degradasi ini terjadi optimum pada suhu 40°C dengan triggernya adalah pembatasan nitrogen. Proses degradasi ini dilakukan dengan melepaskan lignin peroxidase. Selain itu P. chrysosporium juga dapat mendegradasi lignin dengan melepaskan manganesedependent peroxidase. Sampai saat ini dapat diisolasi 10 isoenzim dari lignin peroxidase dan lima manganese-dependent peroxidase. Jadi ini bisa memberikan bukti bahwa ada keragaman biokimia yang memungkinkan
adanya keberagaman kondisi optimum tumbuh dengan berbagai kondisi lingkungan seperti temperature, pH, dan kekuatan ionik. Enzim ini mirip tetapi tidak identik dimana tiap enzim dapat mendegradasi suatu struktur polimer yang berbeda dalam satu tanaman, dimana hal ini tergantung kepada struktur kimia, keadaan fisik atau akses (Glazer and Nikaido, 2007). Degradasi lignin memerlukan hidrogenperoksidase. Hidrogen peroksidase diproduksi oleh white rot fungus dan disekresikan untuk mengaktifkan lignin peroxidase dan manganese-dependent peroxidase dalam proses mendegradasi lignin. Pada proses degradasi melalui lignin peroksidase diperlukan kondisi asam untuk menciptakan kondisi yang optimum pada proses degradasi dengan menggunakan reaksi oksidasi. Lignin peroksidase mengkatalisis pembukaan ikatan pada sisi arylpropane, ikatan pada ether, pembukaan ikatan siklik aromatik dan hydroxylation. Kesuksesan degradasi lignin tergantung kepada penyerangan komponen nonfenol dan fenollignin. Ektraselluler Mn (II)-dependent peroxidase dalam mengoksidasi komponen fenol lignin. Fenol lignin tidak dapat didegradsi oleh lignin peroxsidase, seperti veratryl alcohol, atau model nonfenol yang merupakan subtruktur dari lignin. Mn (II)dependent peroxidase dan H2O2 diperlukan untuk mengaktifkan isoenzim yang digunakan dalam degradasi lignin. Quinon merupakan produk yang dihasilkan dari proses degradasi melalui peroksidase. Sehingga diperlukan adanya quinon reduktase baik intraselluler dan extraselluler. Ektraselluler cellobiosa-quinon oksidureduktase hanya akan aktif jika terdapat selulosa. Enzim ini menggunakan cellobiosa sebagai donor hydrogen untuk mereduksi quinon menjadi hidroquinon. Intraselluler quinon reduktase menggunakan NAD(P)H sebagai kofaktor. Fungi dapat menggunakan hidroquinon dalam metabolismenya. Jadi dapat dikatakan bahwa fungsi dari quinon reduktase adalah mengubah produk dari degradasi lignin sehingga dapat digunakan dalam repolimerasi.Berikut merupakan skema proses degradasi lignin (Glazer and Nikaido, 2007).
Lignifikasi dan struktur selulosa yang tersusun dengan baik pada polisakarida, termasuk kristalisasi pada selulosa yang terdapat pada dinding sel tanaman mengakibatkan proses degradassi menjadi terhambat (Chesson and Fosberg, 1988 dalam Matsui et al., 1998). Lignifikasi adalah proses yang mana penambahan melekul lignin memenuhi ruang kosong pada fibril selulosa dan hemiselulosa serta membentuk ikatan diantaranya pada dinding sel (Glazer and Nikaido, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Benoit et al., (1992), diketahui bahwa bakteri yang mampu mendegradasi berbagai macam jenis selulosa murni (sumber selulosa) termasuk selulosa dengan tingkat kristalisasi yang tinggi (high cristalin) hingga 60-80% hanya dapat mendegradasi lignoselulosa seperti koran sebesar 15% dan majalah sebesar 35 %. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sharma and Hobson (1986) dalam Cailliez et al., (1993) diketahui bahwa proses degradasi lignoselulosa lebih tergantung kepada kandungan lignin yang terdapat pada material selulotik tersebut dibandingkan dengan kristalitas suatu material selulotik. Softwood mengandung lignin yang lebih banyak dibandingkan dengan hardwood. Hemiselulosa tertinggi terdapat pada rumput-rumputan. Perbandingan kandungan dari selulosa, lignin dan hemiselulosa pada softwood, hardwood dan rumput terdapat pada Tabel 2.2. Karena kadar hemiselulosa yang besar maka proses degradasi selulosa pada rumput-rumputan relatif menjadi lebih sulit. Tabel 2.2 Persentase perbandingan lignoselulosa (Glazer and Nikaido, 2007)
Jenis tanaman Rumputrumputan Softwood Hardwood
Lignin Selulosa Hemiselulosa 10-30
25-40
25-50
25-35 18-25
45-50 45-55
25-35 24-50
2.3.3 Degradasi Hemiselulosa Seperti selulosa, hemiselulosa juga merupaka bagian dari penyusun sebagian besar biomassa dan juga diperlukan enzim hidrolitik untuk memutuskan ikatan. Namun diperlukan 24 enzim untuk mendegradasi seluruh hemiselulosa (Srinivasan, 1992). Namun enzim yang paling dikenal adalah
xylanase yang terdiri dari endoxylanases (1,4-β-D-xylan xylanohydrolases, EC 3.2.1.8) dan xylosidases yang merupakan enzim pendegradasi xylan (senyawa hemiselulosa yang terbanyak) (Moracci et al., 2000). Selain enzim pendegradasi xylan adalah enzim yang juga penting dalam degradasi hemiselulosa adalah endomannanases (1,4-β-D-mannan mannanohydrolase, EC 3.2.1.78) yang mendegradasi glucomannan. Enzim yang digunakan dalam mendegradasi oligomer berantai pendek yang dihasilkan oleh enzim endo pada degradasi hemiselulosa adalah βxylosidase (1,4-β-D-xyloside xylohydrolase EC 3.2.1.37), β-mannoside (1,4-β-Dmanoside mannohydrolase EC 3.1.1.25) dan β-glukosidase (EC 3.2.21), enzim ini akan memutuskan ikatan oligosakarida pada sisi β pada xylan dan mannans. Sedangkan untuk ikatan α pada sisi α oligomer maka ikatan akan diputus dengan menggunakn enzim diantaranya adalah α-glucoronidase (EC 3.2.1.139), α-arabinosidase (α-Larabinofuranoside arabinofuranohydrolase, EC 3.2.1.55) dan α-D-galactosidase (α-Dgalactoside galactohydrolase, EC 3.2.1.22). Gugus acetyl pada hemiselulase akan dipindahkan melalui enzim esterase (EC 3.1.1.72) (Palonen, 2004).. Degradasi hemiselulosa adalah proses yang komplek karena tipe enzim yang dihasilkan adalah multiple isoenzymes (enzim yang mempunyai fungsi katalitik yang sama namun memiliki lebih dari satu karakteristik physical yang membendakan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain seperti pH optimum), beberapa mempunyai Cellulose Binding Domain (CBD), beberapa menghasilkan multi domain protein yang salah satu domainya dapat mendegradasi selulosa. Produksi enzim xylanase lebih dipengaruhi oleh adanya selulosa dibandingkan dengan xylan. Penjelasan mengenai hal ini belum diketahui sampai saat ini (Ahmed et al., 2001). Dalam menghidrolisis hemiselulosa diperlukan sinergi dari banyak untuk memutuskan ikatan glikosida pada poly- atau oligosakarida. Tiap-tiap enzim akan bekerja secara spesifik memustuskan ikatan kimia dalam mendegradasi hemiselulosa Cazemier et al., (1997) dalam Zverlova et al. (2003)
enzim pendegradasi lignin tidak ditemukan dalam keadaan anaerob Guo et al., (2001) dalam Zverlova et al. (2003). 2.4 Derivat Selulosa Selulosa memiliki banyak derivat yang dimanfaatkan di berbagai bidang kehidupan. Derivat selulosa dilakukan dengan melakukan modifikasi selulosa murni yang diisolasi. Derivat selulos yang sering digunakan dalam isolasi bakteri pendegradasi selulosa adalah Hydroxyethylcellulose (HE cellulose) dan Carboxymethylcellulose (CMC) (Klemm et al., 1998). Carboxymethylation polisakarida adalah suatu bidang penelitian yang diminati dan banyak dilakukan. Hal ini kerena metode ini adalah metode yang mudah dilakukan dan hasil yang diperoleh banyak digunakan untuk berbagai bidang kehidupan. Secara umum dapat dikatakan bahwa metode yang
dilakukan adalah dengan menggunakan larutan alkali hydroxide (umunya adalah NaCl) pada polisakarida sehingga ada penggantian gugus hidroksi yang terdapat pada polisarida. Jadi Carboxymethylation tidak terjadi hanya pada selulosa dan pati namun pada polisakarida yang lain (Heinze, 2005). Carboxymethylcellulose (CMC) pertama kali ditemukan pada tahun 1918 dan diproduksi secara masal pertama kali pada awal 1920 oleh IG Farbenindustrie AG di Jerman. Namun hingga sekarang peningkatan teknologi yang digunakan dalam produksi masih diperbaiki, peningkatan kualitas produk, dan efisiensi dalam melakukan produksi (Heinze, 2005). Saat ini terdapat berbagai jenis kualitas CMC yang digolongkan berdasarkan kandungan pada CMC seperti yang tersaji pada Tabel 2. 3.
Tabel 2.3 Pembagian CMC berdasarkan kualitas dan pemanfaatannya (Heinze, 2005) Kelompok kualitas Contoh penggunaan Kandungan CMC (%) Kandungan garam (%) dari CMC Ditergents, mining Technical < 75 > 25 flotation Oil and gas drilling Semi-purifed 75-85 15-25 muds Paper coating, textile sizing and printing, Purired > 98 <2 ceramic glazing, oil drilling muds Food, toothpate, Extra purified > 99,5 < 0.5 pharmaceuticals Pada CMC ada 2 istilah yang sering digunakan yaitu Degree of Polimeritation (DP) dan Degree of Substitution (DS). DP menunjukkan seberapa panjang atau berapa monomer penyusun suatu rantai CMC. Sedangkan DS menunjukkan seberapa banyak gugus hidroksi pada selulosa yang diganti dengan gugus lainya setiap 100 AGU (anhydroglucopyranose unit(s)), range dari DS adalah 0-3. Semakin rendah DS maka akan semakin mudah mikroorganisme mendegradasi CMC tersebut. Sehingga semakin tinggi DS maka aktifitas enzim hidrolisis seperti enzim selulase akan menunjukkan hasil yang semakin rendah. Hal ini karena semakin tinggi DS maka terjadi resistensi CMC terhadap enzim selulase.Namun DS yang terlalu rendah (0,4
dan 0,7) tidak efektif digunakan sebagai CMC, sehingga disarankan menggunakan CMC dengan DS 0,9 terutama pada pengukuran aktifitas enzim selulase pada bakteri (Hankin and Anagnostakis, 1977). Disarankan untuk menggunakan CMC dengan DS 1,2 untuk mendeteksi enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang diisolasi dari tanah dan air selokan (Hankin et al., 1974; Hankin and Sands, 1974 dalam Hankin and Anagnostakis, 1977). CMC dengan DS 0,4 baik digunakan untuk mendeteksi enzim selulase pada beberapa fungi yang tidak dapat efektif mendegradasi CMC dengan DS 0,9. CMC dengan DS 0,9 dapat digunkan untuk mendeteksi secara efektif enzim selulase pada semua mikroorganisme. Tidak
ada perbedaan yang nyata antara laju degradasi CMC pada media padat dengan media cair (Hankin and Anagnostakis, 1977). Hal ini dapat diduga karena enzim selulase disekresikan pada lingkungan sekitar yang mengandung selulosa. 2.5 Mikroorganisme Pendegradasi Selulosa (Bakteri Selulotik) Bakteri pendegradasi karbohidrat sering diisolasi dari tanah yang mengandung seresah daun. Hal ini disebabkan karena tanah mengandung bahan organik yang relatif kaya dan terdapat seresah daun mengandung polisakarida yang relatif komplek. Kondisi tersebut menyebabkan tanah dan seresah daun menjadi habitat yang baik untuk berbagai mikroorganisme (William and Govind, 2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hatami et al., (2008) diketahui bahwa jumlah bakteri yang berhasil diisolasi pada tanah hutan lebih banyak dibandingkan dengan yang berhasil diisolasi pada lahan pertanian. Dari total bakteri yang berhasil diisolasi juga diketahui bahwa jumlah total isolat bakteri pendegradasi selulosa lebih banyak dibandingkan dengan yang diisolasi dari lahan pertanian. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan material organik yang terdapat pada hutan dan lahan pertanian. Hutan memiliki keanekaragaman material organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hatami et al., (2008) diketahui bahwa rata-rata pada ratio Hydrolisys Capacity (HC) isolat yang diisolasi pada lahan pertanian lebih besar dibandingkan dengan ratio HC yang diisolat pada hutan. Ratio HC yang diperoleh pada hutan adalah 1,6 sedangkan pada lahan pertanian ratio HCnya adalah 2.1. Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri pendegradasi selulosa pada lahan pertanian memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan dengan isolat bakteri yang diperoleh pada hutan untuk digunakan dalam mendegradasi material selulosa. Sellulosa adalah polimer karbohidrat yang terbanyak yang terdapat di alam (Han and Chen, 2007). Oleh karena itu mikroorganisme pendegradasi selulosa ditemukan di berbagai ekosistem. Enzim selulosa dapat dihasilkan oleh berbagai bakteri dan fungi, aerob dan anerob, mesofil
dan termofil. Fungi aerob yang dapat mendegradasi selulosa diantaranya adalah Trichoderma viride, Trichoderma reesi, Penicillium pinophilum, Sporotrichum pulvelentum, Fusarium solani, Tolaromyces emersonii, dan Trichoderma koningii. Hanya sedikit mikroorganisme yang digolongkan ke dalam kelompok seperti fungi termofilik aerobik ( Sporotrichum thermophile, Thermoascus aurantiacus, Chetomium thermophile, Humicola insolens), fungi mesofil anaerobik (Neocallimastix frontalis, Piromonas communis, Sphaeromonas communis), bakteri mesofilik dan termofilik aerobik (Cellumonas sp, celvibrio sp, Microbispora bispora, Thermomonospora sp),bakteri mesofilik dan termofilik anaerobik (Acentivibrio cellulolyticus, Bacteriodes cellulosolvent, Bacteriodes succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens dan Clostridium termocellum). Bakteri pendegradasi selulosa termofil dapat menghasilkan enzim selulase yang relatif stabil (tahan pada kondisi asam atau basa dan pada suhu tinggi hingga 90°C) (Bhat, and Bhat, 1997). Organisme dapat mendegradasi selulosa dan menjadikan selulosa sebagai sumber karbon tunggal yang secara ekologi menjadi sangat penting, dan sebagian besar proses degradasi selulosa terjadi dalam keadaan aerob. Hanya 5-10% degrdasi yang berlansung secara anaerob. Bakteri selulotik yang ditemukan terdapat pada filum Thermotogae, Proteobacteria, Actinobacteria, Spirochaetes, Firmicutes, Fibrobacteres and Bacteroides. Diperkirakan 80% isolat yang diperoleh ditemukan pada filum Firmicutes dan Actinobacteria dan mayoritas bakteri pendegradasi selulotik Gram positif masuk ke dalam kelas Clostridia dan genus Clostridium yang termasuk ke dalam Filum Firmicutes (Levin et al., 2009). Simbiosis antara hewan (ruminansia) dan mikroorganisme adalah hubungan yang saling menguntungkan. Polimer karbohidrat tidak dapat dicerna oleh kebanyakan hewan tetapi dapat dihidrolisis dan difermentasi oleh mikroorganisme yang terdapat di rumen. Hasil akhir yang diperoleh adalah asam lemak yang digunakan dalam metabolisme rumennansia. Mikroorganisme pendegradasi selulosa yang terdapat pada
rumennasia antara lain adalah Butyrivibrio fibrisolvens, Fibrobacter succinogenes, Neocallimastix frontalis, Neocallimastix patriciarum, Orpinomyces jayanii, Orpinomyces sp, Piromyces equi, Piromyces Untuk mengokimalkan metabolisme bakteri pendegradasi selulosa pada keadaan minimal nutrient, setiap bakteri mempunyai strategi yang berbeda-beda. Besar hasil akhir yang diperoleh pada proses degradasi tergantung kepada beberapa faktor yaitu pH, akses terhadap karbon (kecocokan konformasi enzim dengan subtrat), reaksi redok yang terjadi, konsentrasi produk. Dan untuk mengoktimalkan hasil yang diperoleh maka diperlukan pengetahun tentang genetika mikroorganisme yang digunakan, enzimatik, dan termodinamika dalam mekanisme aliran karbon (karbon flow). Detail pengetahuan mengenai hubungan antara genome content, gen dan produk ekpresi gen, pathway utilization, dan hasil akhir yang diperoleh akan sangat penting untuk diketahui dalam degradasi selulosa (Levin et al., 2009). 2.6 Enzim Selulase Di alam, enzim selulase ditemukan di berbagai ekosistem, terutama ditemukan pada dekomposisi serasah daun pada tabah, hingga keadaan anaerobik pada rumenansia (Denman et al., 1996). Sistem enzim sellulosa sangat penting karena berperan dalam mengubah sellulosa menjadi gula sederhana. Sellulosa relatif sulit diubah menjadi gula sederhana, namun jumlah sellulosa yang melimpah menjadikan sellulosa menjadi bahan yang potensial untuk digunakan dalam produksi bioetanol (Himmel et al.,1997 dalam William and Govind, 2003). Enzim sellulase terdiri dari enzim Endosellulase , Eksosellulase, dan βglukosidase (tabel 2.1). Enzim selulase adalah enzim yang dapat mengkatalisis dan menghidrolisis ikatan glukosidik pada sellulosa (ikatan yang paling banyak di sellulosa) (Bhat, 2000). Enzim endosellulase (EC 3.2.1.4) terdiri dari satu jenis enzim yaitu 1,4-D-glucan-4-glucanohydrolases (Bhat dan Bhat, 1997 ; Wood, 1985). Endoglucanases atau yang sering disebut dengan CM-cellulases (carboxymethylcellulose) atau Cx enzim,
sp. E2, Piromyces rhizinflata, Prevotella ruminocola, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, dan Prevotella albensis (Krause, et al. 2003). menghidrolisis secara acak ikatan pada serat selulosa (Wood, 1985). Hal ini mengakibatkan rantai polisakarida yang telah terpotong (oligosakarida) mempunyai panjang rantai yang berbeda-beda (Bhat, 2000). Hasil dari hidrolisis serat sellulosa adalah glukosa, cellobiose, cellotriose, dan oligosakarida yang lebih tinggi (Wood, 1985). Enzim endoselulase sangat aktif pada degradasi derivat selulosa seperti carboxymethylcellulose dan hydroxyethylcellulose, dalam degradasi ini endoselulase bekerja sama dengan exoselulase (Mattinen, 1998). Enzim eksoselllulase (EC 3.2.1.91) terdiri dari 1,4D-glucan glucanohydrolases (lebih dikenal dengan cellodextrinases) dan1,4-D-glucan cellobiohydrolases (cellobiohydrolases). Enzim eksoselulase adalah enzim yang aktif pada sisi crystalline selulosa (Mattinen, 1998). β-glucoside glucohydrolases lebih dikenal sebagai β-glukosidase. Cellobiohydrolyase, yang seing disebut dengan exoglucanse, adalah enzim pendegradasi selulosa yang ditemukan pada mayoritas fungi yang dapat mendegradasi selulosa (Wood, 1985). Cellobiohydrolyase dapat menghidrolisis microcrystalline namun tidak dapat menghidrolisis CMC (carboxymethylcellulose) (Kim and Kim, 1995). β-glukosidase adalah enzim yang digunakan untuk menghidrolisis cellobiose dan pada beberapa kasus dapat menghidrolisis cello-oligosakarida menjadi glukosa. Enzim endogluconases dan βglukosidase dapat menghirolisis selulosa menjadi glukosa. β-glukosidase di butuhkan untuk menghidrolisis inhibitor cellobiose (Wood, 1985).
Tabel 2.4 Jenis-jenis enzim selulase (Bhat dan Bhat, 1997)
Jenis enzim Kode EC Endo-(1EC 4)-β-D3.2.1.4 selulase
Sinonim Endoselulase atau endoglukanase
Ekso-(1-4)β-Dselulase
EC Selobiohidrolas 3.2.1.91 e atau eksoselulase
Ekso-(1-4)β-Dselulase
EC Eksoglukanase 3.2.1.74 atau glukohidrolase
βEC Selobiose glukosidase 3.2.1.21
Mekanisme reaksi -G-G-G-G-
Memutuskan ikatan secara acak G-G-G-GMelepaskan selobiosa baik yang reducing atau nonreducing end G-G-G-G Melepaskan glukosa dari non-reducing end G-G, G-G-GMelepaskan glukosa dari selobiosa atau rantai cellooligosakarida pendek
Luas permukaan adalah faktor yang berprngaruh dalam proses degadasi serbuk selulosa crystalline. Hal ini dapat dilihat bahwa luas permuaan mempengaruhi kontak enzim selulase dengan permukaan selulosa (Weimer et al., 1993 dalam Rodrigues et al., 2003). Degradasi selulosa dengan menggunakan meadow hay (rumput-rumputan) menunjukkan bahwa dalam degradasi selulosa perlekatan dari bakteri memainkan peran yang penting dalam mendegradasi selulosa (Sequeira and Sequiera, 1993) Enzim selulase dapat menghidrolisis subtrat selulosa melalui sistem reaksi komplek yang terdiri dari beberapa tahapan (Lee and Fan, 1982). Tahapan reaksi tersebut adalah : 1. Transfer enzim dari bulk aqueous phase ke permukaan substrat selulosa 2. Adsopsi enzim dan pembentukan komplek enzim-substrat
3. Hidrolisis sellulosa 4. Transfer sellodextrins, glukosa dan sellobiosa ke bulk aqueous phase 5. Hidrolisis sellodextrins dan sellobiosa menjadi glukosa Fase adsopsi dan pembentukan komplek enzim-substrat adalah fase kritis di dalam hidrolisis selulosa (Bledman et al, 1988). Tahapan hidrolisis selulosa tergantung kepada struktur selulosa, interaksi anatara enzim selulase dan serat selulosa, mekanisme hidrolisis enzim tersebut di alam dan inhibitor yang terbentuk (Coughlan, 1985). Glukosa dan sellobiose adalah inhibitor enzim dalam menghidrolisis selulosa. Sellobiosa menghambat enzim sellobiohidrolase pada komplek enzim selulase dan glukosa menghambat enzim penghidrolisis sellobiosa . Sellobiose mempunyai potensi menjadi inhibitor yang lebih kuat dibandingkan dengan glukosa pada mekanime hidrolisis selulosa (Marsden and Gray, 1986). Dua mekanisme inhibibisi yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor non kompetitif (Lee and Fan, 1982). Laju hidrolisis enzim selulase ditentukan oleh struktur enzim dan struktur substrat (Mandels, 1985), dimana struktur Kristal dari selulosa relatif lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur amorf ( Coughlan, 1985). Karena struktur kristal lebih sulit didegradasi dibandingkan dengan struktur amorf, maka enzim selulase (enzim endosellulase) menghidrolisis struktur amorf. Mekanisme skematis kerja enzim selulase seperti pada Gambar 2.3.
memiliki komplek seperti cellulosome dengan ukuran yang lebih besar (Fanutti et al., 1995; Denman et al., 1996; Dijkerman et al., 1996). Kedua tipe enzim dapat melepaskan ikatan β1,4-glukosida dengan menggunakan enzim endo atau exoglukonase yang spesifik yang didasarkan atas topologi dari sisi aktif.
Gambar 2.3 Skematis mekanisme degradasi selulasa (Beguin and Aubert, 1994)
Bakteri selulotik dapat bekerja pada variasi keadaan lingkungan yang berbeda-beda dalam mendegradasi seresah daun pada tanah (Beguin and Aubert, 1994; Denman et al., 1996 dalam Linder dan Teeri, 1997). Mikroba ini dapat mendegradasi melekul komplek, keadaan dimana subtrat tidak larut dalam air dengan menggunakan berbagai enzim melalui berbagai cara didalam memutuskan bagian yang berbeda di dalam substrat. Efisiensi degradasi kayu dengan menggunakan mikorganisme sepeti fungi filamentus, merupakan tipe yang mengsekresikan dan mengsinergikan aksi enzim selulase dimana bakteri menggunakan komplek enzim (cellulosome) yang bekerja pada permukaan substrat (Tomme et al., 1995; Bayer et al., 1996 dalam Linder dan Teeri, 1997). Hal ini juga terjadi pada fungi anaerob dimana Enzim ada yang mempunyai singgel Binding Domain dan ada yang mempunyai dua atau lebih Binding Domain. Namun hampir semua enzim selulase memiliki multidomain. Berdasarkan perbedaan enzim selulase beberapa lebih memilih mendegradasi substrat selulosa pada bagian amorphous dibandingkan bagian yang lain yaitu bagian kristalin. Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap enzim
2.7 Cellulose Binding Domain (CBD) CBD pertama kali ditemukan pada Trichoderma reesei. Sekarang telah behasil diidentifikasi 120 CBD dan diklasifikasikan menjadi 10 families (I-X). Ada dua families (II dan III) yang memiliki anggota yang banyak sehingga dibagi menjadi subfamilies (IIa, IIb, IIIa dan IIIb). Sebagian besar CBD termasuk ke dalam families I, II dan III, pada beberapa families hanya mengandung beberapa anggota dan pada families yang lain hanya memiliki satu anggota. Families I hanya mengandung CBD yang berasal dari fungi dan semua CBD yang termasuk ke dalam families II-V, IX-X semuanya merupakan CBD yang berasal dari bakteri (Mattinen, 1998). CBD yang termasuk ke dalam families I adalah CBD yang berukuran kecil dan tersusun oleh peptide yang kompak, mengandung 32-36 asam amino. CBD fungi memiliki kemiripan yang sangat tinggi antara yang satu dengan yang lain. Contoh terbaik CBD families I adalah yang terdapat pada Trichoderma reesei. CBD bakteri yang termasuk ke dalam families II tersusun dari asam amino yang lebih banyak yaitu 95-108. CBD yang termasuk ke dalam families III adalah dihasilkan oleh bakteri yang dapat menghasilkan cellulosome (Mattinen, 1998). Klasifikasi dari CBD dari organisme yang berbeda disajikan pada Lampiran 12.
selulase yang berbeda dapat digunakan untuk mengidentifikasi enzim mana yang kemungkinan pada masa yang akan datang digunakan untuk mendegradsi selulosa pada bagian kristalin (Wilson and Mertens, 1995; Davies and Henrissat, 1995; Teeri, 1997 dalam Linder dan Teeri, 1997). Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah mengenai adsopsi yang berhubungan dengan aktifitas
katalitik pada substrat padat (Klyosov, 1990 dalam Linder dan Teeri, 1997). Karasteristik struktural dari berbagai enzim selulase didasarkan pada pengetahuan mengenai melekuler yang merupakan bagian terpenting dalam memahami degradsi selulosa. Kebanyakan, namun tidak semua enzim selulase efektif mendegradasi selulosa berdasarkan model struktur penyusun sehingga tempat perlekatan sisi katalitik berkaitan dengan cellulose-binding domain (CBD) (Tomme et al., 1995). Mirip dengan enzim selulase, pemindahan substrat binding domain aktifitasnya meningkat pada subtrat yang tidak larut namun tidak pada substrat yang larut (Blaak and Schrempf, 1995 dalam Linder dan Teeri, 1997). Hal ini menunjukan bahwa struktur modular domain memiliki keuntungan yang signifikan dalam mengdegradasi substrat yang tidak larut (Linder dan Teeri, 1997). 2.8 Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schum) Rumput gajah adalah tanaman yang termasuk ke dalam kelompok tanaman rumputrumputan. Rumput gajah banyak dimanfaatkan pada bidang peternakan yaitu sebagai makanan hewan ternak seperti sapi, kambing dan kuda. Umumnya rumput gajah yang digunakan diindonesia adalah rumput yang tumbuh secara liar. Namun untuk peternakan yang relatif besar maka rumput yang digunakan adalah rumput yang sengaja ditanaman atau dipelihara secara khusus. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Rumput-rumputan dipilih karena merupakan tanaman yang produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat yang dapat memperbaiki kondisi tanah (Gonggo et al., 2005). Rumput-rumputan yang ditanam pada suatu lahan dapat memperbaiki kondisi tanah. Tanaman tumput-rumputan membuat tanah menjadi lebih gembur. (Gonggo et al., 2005). Hal ini dapat meningkatkan porositas, yang menyebabkan terjadi aerasi yang lebih baik terhadap lahan yang ditanami oleh rumputrumputan (Handayani, 2002). Banyaknya pori juga membantu terjadinya degradasi oleh mikroorganisme dari guguran daun. Potensi untuk mendapatkan isolat bakteri pendegradasi
selulosa menjadi cukup besar . Lahan yang ditanami rumput juga tahan terhadap kekeringan, hal ini terjadi karena perakaranya yang dalam (Rismunandar, 1989 dalam Gonggo et al., 2005). Tanaman penutup tanah dari jenis rumput-rumputan dapat juga berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah dari daya disperse dan daya penghancur oleh butiran-butir air hujan, memperlambat aliran permukaan (Kartasapoetra et al., 2000 dalam Gonggo et al., 2005). Sumber energi yang ramah lingkungan dan ekonomis menjadi perhatian utama pengembangan teknologi dalam bidang energi. Pada saat ini biomassa adalah menjadi perhatian utama dalam pengembangan energi terbarukan. Fokus utama yang menjadi pertimbangan dalam memilih biomassa adalah bahan tersebut mudah diperbaharui dan energi yang dapat diperoleh. Biomassa adalah sumber energi terbarukan yang melimpah dan dapat diperoleh dari berbagai industri sebagai sampah/limbah seperti pertanian, industri gula, limbah industri yang menggunakan kayu, dan industri makanan. Selain menggunakan bahan yang merupakan limbah dari industri lain energi terbarukan dapat berasal dari tanaman yang ditanam sebagai sumber energi (sumber karbon) (Strezos et al., 2008). Salah satu tanaman yang mempunyai potensi dijadikan sumber biomassa pada energi terbarukan adalah rumput gajah (Pennisetum Purpureum Schum). Berikut adalah klasifikasi dari Pennisetum purpureum Schum. Kingdom Phlum Class Ordo Family Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Monokotil : Poales : Poaceae : Pennisetum : Pennisetum purpureum Schum
(Tjitrosoepomoe, 2004) Rumput gajah (Pennisetum purpureum Shaum) berasal dari afrika tropik, tumbuh berumpun dan tingginya dapat mencapai 3 m lebih. Permukaan buluhnya licin dan pada buluh yang masih muda bisanya ditutupi oleh sejenis zat lilin tipis. Pelepahnya licin atau berbulu pada waktu muda dan kemudian berbulu-bulu tersebut gugur. Daunnya berbentuk garis, pangkalnya
lebar dan ujungnya lancip sekali. Tepi daun kasar. Perbungaan berupa tandan tegak yang panjangnya sampai 25 cm. gagang-gagangnya berbulu. Bulir-bulirnya berkelompok, terdiri dari 3-4 buliran tiap kelompoknya dan bergagang pendek sekali. Pangkal bulirnya bulirannya berbulu panjang dan halus. Perbanyakan dapat dilakukan dengan pemecahan rumpun dan potongan-potongan buluhnya. Dapat tumbuh hingga pada ketinggian 1500 m dpl (www.flickr.com).
45 ton per hektar berat kering pada daerah subtropis dan 80 ton per hektar berat kering pada daerah tropis (Woodard and Prine, 1993). Rumput gajah dapat hidup pada daerah dengan kandungan nutrisi yang minimal. Dalam satu tahun rumput gajah dapat dipanen hingga empat kali. Menurut Okaraonye dan Ikewuchi (2009) analisis kandungan kimia dari rumput gajah ada pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Analisisa kandungan kimia rumput gajah (Pennisetum purpureum Shaum)
Parameter Kandungan air Jumlah abu Protein kasar Lemak kasar Jumlah total karbohidrat Serat kasar
Berat basah 89,0 2,00 2,97 1,63
Berat kering 18,18 27.00 14.82
3,40
30,91
1,00
9,09
Sedangkan menurut Strevoz (2008) kandungan mineral pada rumput gajah ada pada Tabel 2.6. Table 2.6 Analisis kandungan mineral pada rumput gajah
Gambar 2.4 Rumput gajah (Pennisetum purpureum Shaum) (www.flickr.com)
Penamaman tanaman seperti rumput gajah mengalami kompetisi perebutan lahan dengan tanaman pangan seperti jagung. Oleh karena itu, untuk meminimalkan kompetisi penggunaan lahan kritis perlu ditingkatkan. Lahan kritis umumnya tidak banyak digunakan sebagai lahan pertanian. Di dunia terdapat 2 Gha lahan kritis yang tidak dapat ditanami tanaman pangan. Lahan kritis yang tidak digunakan memiliki kecenderungan mengalami kerusakan yang lebih parah seperti erosi. Penanaman tanaman penghasil energi dapat memperbaiki kualitas tanah (Strezos et al, 2008). Rumput gajah adalah tanaman yang berasal dari afrika yang dapat mencapai hingga
Analisis kandungan mineral pada abu
Mineral yang dianalisis dalam bentuk senyawa
Silikon Almunium Besi Kalsium Magnesium Natrium Kalium Titanium Mangan Fosfor Belerang Strontium Barium Zink Vanadium
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2O TiO2 Mn5O4 P2O5 SO3 SrO BaO ZnO V2O5
Jumlah senyawa dari total berat abu yang dianalisis 43 <0,1 1,4 1,9 9,9 <0,01 30,5 0,03 0,17 7,2 5,7 0,03 0,08 0,08 0,01
Softwood mengandung lignin yang lebih banyak dibandingkan dengan hardwood. Hemiselulosa tertinggi terdapat pada rumput-
rumputan. Perbandingan kandungan dari selulosa, lignin dan hemiselulosa pada softwood, hardwood dan rumput terdapat pada Tabel 2.7 (Glazer and Nikaido, 2007). Karena kadar hemiselulosa yang besar maka proses degradasi selulosa pada rumput-rumputan relatif menjadi lebih sulit. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2009 sampai April 2010 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi ITS Surabaya. 3.2 Pengambilan Sampel Sedimen dan Serasah Daun Lokasi pengambilan sampel di Wana Wisata Air Panas Padusan Wisata Perum Perhutani Unit II Pacet Mojokerto. Sampel berupa sedimen, serasah daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dan daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) segar. Sampel diambil pada hari Kamis, 5 Februari 2009 pada pukul 00.00 WIB. Sampel diambil di 5 titik. Sampel serasah daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) diambil dengan menggunakan paralon dan sekop kecil. Sampel serasah diambil mulai dari permukaan hingga kedalaman ±15 cm. Sebelum diambil, terlebih dahulu serasah dicampurkan agar homogen. Sampel dari kelima titik dicampur menjadi satu dan kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan di dalam ice box yang berisi dry ice. Sampel dibawa ke laboratorium dan langsung dilakukan perlakuan sesuai dengan prosedur isolasi bakteri. 3.3
Pengayaan Kultur Bakteri Pendegradasi Selulosa Perlakuan pengayaan kultur bakteri dilakukan pada medium cair PCS. Medium ini dibuat dengan memodifikasi metodologi dari penelitian Haruta et al., 2002. Pembuatan medium ini dengan mencampurkan 1 g ekstrak yeast, 5 g pepton, 5 g CaCO3, 5 g NaCl ke dalam gelas Erlenmeyer kemudian ditambahkan 800 ml akuades. Material selulotik adalah 20 g daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) segar yang sebelumnya diblender terlebih dahulu dengan akuades 200 ml dan kemudian disaring. Filtrat
daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer yang telah berisi medium PCS tersebut diatas sehingga total volume menjadi 1 L. Medium disterilisasi ke dalam autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Sumber inokulum untuk pengayaan kultur bakteri pendegradasi selulosa adalah sedimen dan serasah daun rumput gajah (P. purpureum Shaum). Serasah daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) sebanyak 5 g dicampurkan secara aseptik ke dalam gelas Erlenmeyer 500 ml yang berisi 250 ml medium PCS (1:50 gr/vol). Kemudian kultur bakteri diinkubasi di atas rotary shaker (Health/H-MSR) dengan kecepatan 100 rpm selama 2 minggu pada suhu ruangan. Pada hari ke-5, ke-7 dan ke15 dilakukan perhitungan jumlah konsentrasi sel bakteri yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bakteri. Setelah 15 hari masa inkubasi kultur pengayaan dipindahkan ke medium PCS baru dengan perbandingan 1:10. 3.4
Isolasi Bakteri Pendegradasi Selulosa Untuk mengisolasi bakteri pendegradasi selulosa digunakan medium Cellulose Congo Red Agar (CCRA) (Hendricks et al., 1995). Medium CCRA dibuat dengan dengan komposisi K2HPO4 sebanyak 0,5 gr, MgSO4 0,25 gr, Congo red 0,2 gr, agar 7,5 gr, gelatin 2 gr, CMC 1,88 gr, 100 ml filtrat serbuk daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dan 900 ml akuades steril. Bahan-bahan tersebut dicampurkan kecuali agar dan gelatin. Keasaman medium adalah pH 7,0. Agar dan gelatin kemudian dilarutkan dalam medium dengan pemanasan menggunakan hot plate. Medium kemudian diautoklaf selama 15 menit pada suhu 121°C dengan tekanan 1,5 atm, didinginkan lalu dituangkan ke cawan Petri steril dan disimpan pada suhu 4°C. Pengenceran bertingkat dilakukan untuk memudahkan isolasi. Kultur pengayaan yang berusia 15 hari tersebut diatas (metode 3.3 ) diambil sebanyak 1ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades steril lalu di vorteks agar homogen. Ini merupakan pengenceran tingkat 10-1. Pengenceran bertingkat dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-10 (Lampiran 1). Dari setiap tingkat pengenceran diteteskan sebanyak 0,1 ml ke
permukaan medium padat (CCRA) dan kemudian diratakan dengan menggunakan spatula. Metode isolasi bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Spread Plate Methode. Biakan bakteri di inkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 1-7 hari. Koloni yang tumbuh diamati zona beningnya. Zona bening menunjukkan bahwa koloni bakteri tersebut menghasilkan enzim selulolitik dan mendegradasi selulosa yang ada disekitarnya. Koloni dengan dengan rasio HC tertinggi atau diameter dari zona bening yang terbesar dipilih dan akan digunakan untuk langkah selanjutnya. Koloni yang terpilih diberikan kode PP. Huruf “PP” merupakan singkatan dari Pennisetum purpureum Shaum. 3.5
Pemurnian Kultur Setelah inkubasi selama 7 hari akan tampak zona bening pada tiap koloni yang terbentuk. Setiap koloni terpisah yang memunculkan zona bening dimurnikan dengan metode 16 goresan pada medium CCRA seperti pada Lampiran 2. Pemurnian ini dilakukan sebanyak lima kali tahap pemurnian. Setelah 3 kali proses pemurnian, isolat kultur diamati secara mikroskopik. Jika telah ditemukan kultur murni maka perlakuan pemurnian dihentikan. Kultur murni adalah kultur yang terdiri dari sel yang sama bentuk dan ukurannya. Dari hasil pemurnian, isolat yang didapat disimpan pada medium CCRA miring untuk dilakukan pengamatan selanjutnya. Untuk uji biokimia, digunakan isolat yang disimpan pada medium Nutrient Agar (NA). Pembuatan medium NA dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan melakukan metode pewarnaan sederhana. Akuades steril diteteskan sebanyak satu tetes pada bagian ujung dari kaca obyek. Satu ose bakteri kemudian digoreskan pada tetesan akuades dan diratakan. Preparat kemudian difiksasi dengan melewatkan di atas api bunsen hingga akuades mengering. Penyediaan preparat dengan mengikuti langkahlangkah tersebut di atas selanjutnya disebut sebagai preparat ulas. Preparat ulas yang telah dibuat kemudian diwarnai dengan methylen blue (Merck®, Jerman). Sebanyak 2-3 tetes methylen blue diteteskan diatas sediaan dan ditunggu selama ± 3 menit. Setelah itu dibilas sisa
methylen blue pada preparat dengan menggunakan akuades. Pengamatan sel bakteri dilakukan dibawah mikroskop (Olympus, CX21FSI®, Jepang) dengan perbesaran 1000X. Untuk memperjelas pengamatan di berikan bantuan dengan meneteskan satu tetes minyak imersi pada permukaan atas gelas penutup. 3.6
Karakterisasi Bakteri Isolat bakteri murni kemudian dikarakterisasi dan diidentifikasi yang dilakukan secara biokimia yang mengacu pada Bergey Manual of Determinative Bacteriology 9th yang merupakan bagan alir hasil modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 4 sampai dengan 7, karakterisasi yang dilakukan meliputi: 1. Pengamatan makroskopik Karakteristik koloni bakteri hasil inokulasi pada media CCRA datar yaitu berdasarkan: a. Bentuk koloni (dilihat dari atas) : berupa titik-titik, bulat, berbenang, tak teratur, serupa akar, serupa kumparan. b. Permukaan koloni (dilihat dari samping) : rata, timbul-datar, melengkung, membukit, serupa kawah. c. Tepi koloni (dilihat dari atas) : utuh, berombak, berbelah, bergerigi, berbenang, keriting. d. Warna koloni : keputih-putihan, kelabu, kekuning-kuningan atau hampir bening. (Dwijoseputro,2005) 2. Pengamatan mikroskopik Pengamatan mikroskopik dilakukan untuk melihat bentuk sel bakteri dan untuk melihat kemurnian dari isolat. 3. Uji biokimia Uji biokimia yang dilakukan merupakan hasil modifikasi metode dari Collins and Lyne (1985), Lay (1994), Cappucino and Sherman (2001), Harley and Prescott (2002), Noviani dan Gusrizal (2002). Uji biokimia yang dilakukan terdiri dari pewarnaan Gram, kebutuhan oksigen, kemampuan tumbuh pada
medium NA+20% NaCl dan motilitas. Uji biokimia mengikuti bagan alir dikotomi (Lampiran 4-7) berdasarkan buku panduan standar Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Untuk melakukan pengujian tersebut, digunakan isolat bakteri sebelumnya yang diremajakan dalam media padat NA, hingga diperoleh isolat bakteri yang berumur 24 jam. Pewarnaan Gram Preparat ulas ditetesi larutan kristal violet sebanyak 2-3 tetes dan didiamkan selama 20 detik, selanjutnya dicuci preparat di bawah air mengalir dan dikeringanginkan. Selanjutnya larutan iodin (Merck, Jerman) diteteskan sebanyak 2-3 tetes di atas permukaan preparat dan didiamkan selama 1 menit, kemudian dicuci di bawah air mengalir dan dikeringanginkan. Larutan etil alkohol (Merck, Jerman) 95% diteteskan setetes demi setetes di atas permukaan lapisan preparat sampai kristal violet tercuci dan kemudian dicuci di bawah air mengalir dan dikeringanginkan. Larutan safranin diteteskan di atas permukaan kaca obyek dan didiamkan selama 20 detik, dicuci di bawah air mengalir dan dikeringanginkan. Setelah kering, preparat ditutup dengan gelap penutup untuk diamati dibawah mikroskop pada perbesaran 1000X dengan bantuan minyak imersi (Lay, 1994). Kebutuhan Oksigen Sebanyak 3 gram agar dan 29.5 gram media thioglycollate (Oxoid, CMO173®, Inggris) (Lampiran) dilarutkan ke dalam 1 liter akuades dan dipanaskan diatas pemanas sampai agar larut dan homogen. Kemudian media dipindahkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 7 ml dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan tekanan 1,5 atm. Setelah dikeluarkan dari autoklaf, tabung reaksi yang berisi media langsung dimasukkan ke dalam bak yang berisi air yang telah diatur suhunya setinggi 50°C untuk mencegah terjadinya pemadatan agar. Setelah suhu media teradaptasi pada suhu 50°C yang ditandai
dengan media terasa hangat-hangat kuku, kemudian sebanyak satu ose isolat bakteri berumur 24 jam di inokulasikan ke dalam media tersebut secara aseptis. Tabung reaksi kemudian diputar dengan bantuan telapak tangan, agar bakteri terdistribusi merata di dalam agar. Setelah masa inkubasi selama 48 jam pada suhu 37°C, pola pertumbuhan dari isolat bakteri diamati. Apabila isolat bakteri hanya tumbuh di permukaan media, maka isolat tersebut adalah aerob obligat. Apabila isolat bakteri tumbuh sepanjang kolom tabung reaksi, tetapi pertumbuhan terpekat pada permukaan agar, maka isolat adalah anaerob fakultatif. Apabila isolat bakteri tumbuh merata sepanjang kolom tabung reaksi, maka isolat adalah anaerob aerotoleran. Apabila isolat bakteri hanya tumbuh di bawah permukaan agar, tetapi tidak sampai sepanjang kolom tabung reaksi, maka isolat adalah mikroaeroflik. Sedangkan apabila hanya tumbuh pada dasar tabung reaksi, maka isolat adalah anaerob obligat (Cappuccino and Sherman, 2001; Harley and Prescott, 2002). 3.7
Uji Hydrolisys Capacity (HC) Uji HC ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari isolat untuk mendegradasi selulosa di lingkungan sekitarnya. Rasio HC (hydrolysis capacity / HC value) adalah rasio antara diameter zona bening dengan diameter koloni yang menghasilkan zona bening (Lu et al., 2005). Medium CCRA padat digunakan pada pengujian ini. Biakan dari isolat murni diambil dengan menggunakan jarum ose tanam tajam kemudian disentuhkan bagian ujung jarum yang mengandung biakan pada bagian tengah medium CCRA. Biakan dinkubasikan di dalam inkubator pada suhu 37º C. Pengukuran rasio HC dilakukan setiap hari selama 1 minggu. 3.8 Uji Kemampuan Degradasi Selulosa dari Isolat Uji kemampuan degradasi selulosa dilakukan dengan memodifikasi metodologi penelitian yang digunakan Lu et al., 2005. Pada uji ini digunakan medium minimal (Lampiran 3) yang didapatkan pada penelitian Widdel et al.(1992). Medium sebanyak 88 ml dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 5 potong daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dengan ukuran 2x2 cm.
Kelima potong daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) tersebut telah diketahui total berat kering awal. Medium kemudian disterilisasi di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121º C dengan tekanan 1,5 atm. Kedalam larutan yang telah disterilisasi, dimasukkan isolat dengan konsentrasi 105 sel/ml. Konsentrasi sel bakteri tersebut didapatkan dengan cara memasukkan 1 ose isolat murni bakteri pendegradasi selulosa ke dalam 2 ml medium minimal steril dan dihomogenkan dengan menggunakan vorteks (Lampiran 8). Larutan isolat dinokulasikan ke dalam medium minimal steril secara aseptik sehingga volumenya menjadi 90 ml. Kemudian larutan diinkubasikan pada suhu ± 45oC di atas rotary shaker (Health, H-M-SR®) dengan kecepatan 100 rpm. Kemampuan isolat untuk mendegradasi selulosa diamati berdasarkan total berat kering daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) setelah 7 hari masa inkubasi dan menghitung konsentrasi sel dengan menggunakan Haemacyometer. Perlakuan dilakukan secara duplo. Berat kering daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dicari dengan cara menimbang berat awal (basah) daun sebelum dimasukkan ke dalam oven (Lampiran 9). Setelah itu dibungkus daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) dengan menggunakan aluminium foil dan dioven pada temperatur 80º C selama 1-3 hari. Setiap hari dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat kering yang konstan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Karakterisasi Pada penelitian ini berhasil diisolasi dan dipurifikasi 5 isolat bakteri yang berpotensi sebagai bakteri pendegradasi selulosa. Material selulosa yang diambil adalah berasal dari daun rumput gajah segar baik yang masih muda atau sudah tua yang diambil secara acak dari daerah wisita pemandian air panas yaitu Wana Wisata Air Panas Padusan wisata perum Perhutani unit II Pacet Mojokerto. Rumput gajah dapat tumbuh di daerah pantai hingga daerah dengan ketinggian 1500 dpl (di atas
permukaan air laut). Kelima isolat itu dikode dengan nama PP 127-A, PP 141-A, PP 146A, PP 79-D, dan PP 91-A. Huruf PP pada kode isolat adalah kependekan dari Penesetum purpureum (nama ilmiah dari rumput gajah). Tabel 4.1. menunjukkan karakter koloni isolat tersebut. Selanjutnya kelima isolat dikarakterisasi secara biokimia dengan mengikuti dikotomi berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 9th edition ( Holt, et al., 1994). Karakter hasil uji biokimia dari kelima isolat bakteri tersebut terdapat pada Tabel 4.2. Berdasarkan karakter biokimia tersebut isolat bakteri PP 127-A dan PP 141-A cenderung masuk ke genus Flavobacterium, isolat bakteri PP 146-A cenderung masuk ke genus Lampropedia dan isolat bakteri PP 79-D dan PP 91-A cenderung masuk ke genus Halomonas. Menurut Holt et al. (1994) karakter dari koloni Flavobacerium adalah sebagai berikut. Sel berbentuk batang dengan sisi yang sejajar dan ujung bulat, berukuran 0,5x1,0-3,0 µm. endospora tidak terbentuk. Sel bersifat Gram negatif, non motil, aerobik, dan oksidase positif, serta dapat tumbuh di lingkungan dengan suhu 37°C. Flavobacterium terdapat di tanah, air, juga ditemukan pula pada daging, susu dan makanan yang lainnya, serta dapat ditemukan di lingkungan rumah sakit dan material klinis manusia. Genus Flavobacterium adalah salah satu genus yang penting dalam degradasi polisakarida (Yang et al., 1985). Dari penelitian yang dilakukan oleh Ishigaki et al. (2000) untuk mengisolasi bakteri pendegradasi selulosa asetat diketahui bahwa 3 dari 35 strain yang berhasil diisolasi adalah dari genus Flavobacterium. Genus Halomonas menurut Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 9th edition ( Holt, et al., 1994), memiliki
karakter berbentuk batang, berukuran 1-2,5 sebagai aseptor elektron terminal, katalase µm, Gram negatif, endospora negatif dan oksidase positif, anaerobic fakultatif, aerobik obligat, tidak motil dan mempunyai dan halotoleran (0,05-20 ‰) . Dari hasil flagella, koloni yang terbentuk sangat tipis yang didapat, dua isolat memiliki karakter dan tampak kering, kemoorganotrof, tidak genus Halomonas yaitu dengan kode PP 79mempunyai karetenoid dan pigmen D dan PP 91-A. fotosintesis, tidak mempunyai vakuola gas, tidak menyimpan sulfur dalam tubuhnya metabolismenya memerlukan oksigen Tabel 4.1 Morfologi koloni bakteri Kode No. Bentuk Permukaan Pinggiran Warna Isolat 1 PP 127-A Bulat Mencembung basah Utuh Merah 2 PP 141-A Bulat Mencembung basah Utuh Merah 3 PP 146-A Titik-titik Utuh Putih susu 4 PP 79-D Rizoid Melengkung basah Utuh Putih susu 5 PP 91-A Bulat Mencembung basah Utuh Putih susu Tabel 4.2 Karakteristik isolat pada uji biokimia Kecenderungan Genus No.
Kode isolat
Gram
Bentuk
1 2 3 4 5
PP 127-A PP 141-A PP 146-A PP 79-D PP 91-A
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Batang Batang Kokus Batang Batang
AO AO AO AF AF
* * * + +
* -
Flavobacterium Flavobacterium Lampropedia Halomonas Halomonas
Keterangan : AO=Aerob Obligat AF=Anaerob Fakultatif *=Uji tidak dilakukan
Genus Halomonas dapat diisolasi dari berbagai habitat laut termasuk garam hasil dari evaporasi air laut (Vreeland et al., 1980 dalam Gandbhir et al., 1995 ). Genus ini termasuk ke dalam Gram negatif proteobacteria, yang tersebar luas di habitat laut (Gauthier et al., 1992; dalam Gandbhir et al., 1995). Pada penelitian yang dilakukan oleh Gandbhir et al., 1995 diketahui bahwa Halomonas elongata dapat tumbuh hingga salinitas 30 %. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa H. elongate dapat
hidup pada lingkungan halofil. Genus Halomonas tidak hanya dapat beradaptasi terhadap daerah dengan kadar garam yang tinggi tetapi juga dapat cocok hidup pada habitat laut dengan range dari air tawar, payau hingga air laut dengan kadar garam yang tinggi. Halomonas bahkan ditemukan di pH hingga 11 ( Yang et al., 2010). 4.2 Uji degradasi Uji degradasi adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan isolat bakteri untuk mendegradasi selulosa. Uji degradasi
dilakukan dengan dua uji dan berbeda yang dilakukan secara terpisah, yaitu uji Hidrolisis Capacity (HC) dan uji degradasi material selulotik dari daun rumput gajah secara in vivo. Uji HC dilakukan dengan menggunakan medium padat Cellulose Congo Red Agar (CCRA) yang mengandung 2 macam material selulotik yaitu Carboxymethylcellulose (CMC) dan filtrat dari serbuk daun rumput gajah. Ratio HC menunjukkan kemampuan isolat bakteri yang diperoleh dalam mendegradasi selulosa yang diindikasikan dengan terbentuknya zona bening. Ratio HC adalah perbandingan antara diameter zona bening dengan diameter koloni.
(Sudiana et al., 2002) Menurut Zverlova et al.,., (2003), uji degradasi dengan menggunakan metode zona bening adalah uji semi semi-quantitatif, karena data hanya berupa perbandingan antara diameter zona bening dan dengan diameter koloni. Kesulitan metode ini adalah apabila bentuk koloni atau zona bening yang dihasilkan tidak benar-benar benar berbentuk bulat, atau bahkan tidak bulat sama sekali. Zverlova et al.,., (2003) juga menyebutkan zona bening yang terbentuk terkait dengan
kelarutan dari enzim selulase. Semakin tinggi tingkat kelarutan suatu enzim maka akan semakin emakin besar zona bening yang terbentuk. Diameter zona bening umumnya berukuran lebih besar dibandingkan dengan diameter koloni, karena enzim selulase disekresikan ke lingkungan sekitarnya oleh bakteri pendegradasi selulosa. Bakteri tidak dapat memasukkan molekul selulosa, karena ukuran selulosa lebih besar daripada ukuran sel bakteri. Luas zona bening tergantung pada konsentrasi CMC dan/atau agar yang digunakan. Semakin banyak CMC dan/atau agar yang digunakan semakin tinggi kepadatan medium. Semakin tinggi konsentrasi agar, semakin kecil pori-pori pori medium sehingga enzim selulase yang disekresikan lebih sulit melewati pori-pori pori tersebut dan mengakibatkan terhambatnya proses degradasi. Demikian pula sebaliknya. Namun penggunaan agar pada medium yang digunakan juga tidak boleh terlalu sedikit, penggunaan agar dibawah 0,8% menyulitkan proses isolasi bakteri (Hankin and Anagnostakis, 1997), medium menjadi terlalu lunak sehingga sulit untuk isolasi dan inokulasi. Pada awal penelitian ini agar yang semula digunakan adalah 0,5 %, namun karena medium yang dihasilkan terlalu lunak maka agar ditingkatkan menjadi 1,5%.
Tabel 4.3 Ratio HC hari ke-1 hingga ke-7 masa inkubasi Kode PP 127-A PP 141-A Isolat
Waktu (Hari) 1 2 3 4 5 6 7
PP 146-A
PP 79-D
PP 91-A
DZB (cm)
DK (cm)
HC
DZB (cm)
DK (cm)
HC
DZB (cm)
DK (cm)
HC
DZB (cm)
DK (cm)
HC
DZB (cm)
DK (cm)
HC
2,5 2,8 2,8 3,3 3,5 3,5 5,2
0,9 1 1 1,1 1,2 1,2 1,4
2,8 2,8 2,8 3 2,9 2,9 3,7
4,3 4,7 5 5,1 5,3 5,5 6
1,2 1,3 1,5 1,5 1,6 1,7 1,9
3,6 3,6 3,3 3,4 3,3 3,2 3,2
3,4 3,7 4,1 4,2 4,3 4,6 6,1
1,5 1,9 2 2,1 2,1 2,2 2,5
2,3 1,9 2 2 2 2 2,4
9 9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8 8
1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
2,0 2,0 2,4 2,6 2,7 2,9 4,5
0,6 0,8 0,8 0,9 1,1 1,2 1,5
3,3 2,5 3 2,9 2,5 2,4 3
Keterangan : DZB = Diameter Zona bening DK = Diameter Koloni HC = Hidrolysis Capacity
Tabel 4.4 Hasil uji kemampuan bakteri selulotik melakukan degradasi material selulotik dari daun rumput gajah setelah 7 hari inkubasi Rata-rata penurunan berat kering No. Kode isolat dalam (%) 1 PP 127-A 25 2 PP 79-D 22 3 PP 146-A 21 4 PP 141-A 19 5 PP 91-A 17 6 Kontrol 14 Berdasarkan ratio HC pada hari ke7 masa inkubasi, isolat PP 127-A adalah yang mempunyai kemampuan tertinggi dalam mendegradasi CMC dan filtrat serbuk daun rumput gajah yang kemudian diikuti oleh isolat PP 141-A, PP 91-A, dan PP 146-A (Tabel 4.3). Sedangkan untuk isolat PP 79-D, ratio HC stabil dan lebih kecil daripada isolat yang lain. Hal ini mungkin karena dari hasil pengamatan koloni, diketahui bahwa sejak hari ke-1 isolat PP 79-D sudah memenuhi cawan Petri sehingga tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk pertumbuhan bakteri sampai akhir masa inkubasi. Hal ini mengakibatkan hasil pengukuran diameter zona bening dan koloni adalah tetap. Ratio HC menjadi stabil dan lebih kecil dibandingkan dengan isolat yang lain. Morfologi koloni bakteri PP 79-D adalah rizoid (menyerupai akar). Selanjutnya uji yang kedua adalah uji kemampuan bakteri isolat mendegradasi material selulotik dari daun rumput gajah (P. purpureum Shaum) secara in vivo selama 7 hari. Hasil dari uji ini ada di Tabel 4.4 dan Lampiran 10. Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa isolat PP 79-D yang berberbentuk rizoid dan tidak terdeteksi kemampuan uji HC mampu mendegradasi selulosa secara in vivo. Kemampuan isolat PP 79-D setara dengan isolat PP 127-A. Isolat PP 127-A menunjukkan hasil yang setara antar uji HC dan uji in vivo. Hal ini diduga bahwa isolat PP 127-A mampu menghasilkan enzim selulase sama banyak dan aktif pada pengujian di medium padat dan cair.
Tidak semua isolat bakteri yang ratio HC-nya tinggi juga menunjukkan uji in vivo yang tinggi seperti PP 141-A dan PP 91-A. Hal ini diduga bahwa isolat tersebut hanya dapat mendegradasi material selulotik sederhana, seperti CMC. CMC adalah molekul selulotik sederhana bila dibandingkan dengan daun rumput gajah. Pada medium yang digunakan untuk uji HC, kandungan CMC lebih banyak dari pada serbuk rumput gajah (2:1). Perbedaan hasil yang diperoleh bukan hanya disebabkan oleh perbedaan panjang polimer selulosa saja tetapi lebih dipengaruhi oleh struktur selulosa tersebut (Hankin dan Anagnostakis, 1997). Material selulotik alami merupakan struktur komplek yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa kelompok senyawa lain yang bukan merupakan penyususun yang predominan. Sanchez (2009) menyebutkan rumput gajah (P. purpureum Schaum) mengandung 23,9% lignin, 24% hemiselulosa, 22% selulosa dan 6% abu (ash). Dari Tabel 4.4 ternyata pada kontrol juga terjadi penurunan berat kering. Klemm et al., 1998 menyebutkan bahwa degradasi selulosa dapat terjadi secara mekanik, kimia, panas dan radiasi. Akumulasi dari mekanisme tersebut diduga merupakan faktor adanya degradasi yang cukup besar pada kontrol. Mekanisme mekanik diduga terjadi karena inkubasi dilakukan di shaking incubator pada kecepatan 100 rpm. Mekanisme degradasi kimiawi pada kontrol diduga melalui hidrolisis dengan menggunakan
alkalin, karena Minimal Media (MM) yang digunakan banyak mengandung garam dari golongan tersebut diantaranya adalah NaCl, MgCl.6H2O, CaCl2.2H2O, Na2SO4, KH2PO4 dan KCl. Sedangkan penggunaan MM sangatlah penting untuk pengujian degradasi selulosa in vivo, karena diharapkan sumber karbon dan energi hanya berasal dari selulosa tersebut (Ljungdahl and Eriksson, 1985).Pada penelitian ini inkubasi dilakukan pada suhu 45°C untuk memicu ekpresi enzim selulase. Untuk menciptakan kondisi suhu 45°C tersebut shaker ditutup rapat dengan kardus. Penggunaan lampu dop tersebut diduga dapat memberikan efek radiasi, walaupun gelas Erlenmeyer tempat proses degradasi sudah ditutup dengan kertas karbon. PENUTUP
5.1 Kesimpulan 1. Pada penelitian ini diperoleh 5 isolat yaitu PP 127-A, PP 141-A, PP 146-A, PP 79-D dan PP 91-A yang cenderung masuk ke dalam genus Flavobacterium (PP 127-A dan PP 141-A), Lampropedia (PP 146-A), dan Halomonas (PP 79-D dan PP 91-A). 2. Berdasarkan uji HC, isolat PP127-A adalah isolat yang memiliki ratio HC tertinggi kemudian berturut-turut diikuti oleh isolat PP 141-A, PP 91-A, dan PP 146-A. 3. Isolat PP 127-A juga menunjukkan penurunan berat kering terbanyak pada uji in vivo, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh isolat PP 79-D, PP 146-A, PP 141-A,dan PP 91-A.
5.2 Saran Pada penelitian ini masih banyak aspek yang masih bisa dijadikan bahan kajian pada penelitian yang lain. Aspek yang dapat dijadikan bahan kajian antara lain: 1. Seberapa besar isolat bakteri dapat mendegradasi selulosa crystalline (serbuk selulosa, contoh avicel, sigmacel). 2. Apakah isolat yang diperoleh dapat mendegradasi selobiosa, selotriosa dan oligoselulosa yang lain.
3. Bagaimana kemampuan isolat dalam mendegradasi selulosa pada daun rumput gajah setelah dilakukan delignifikasi. 4. Apakah isolat bakteri yang diperoleh dapat mendegradasi lignin dan hemiselulosa
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Z., Banu, H., Rahman, M. M., Akhter F., and Haque M. S. 2001. Microbial activity on the degradation of lignocellulosic polysaccharides. Journal of biological sciences. 1(10):993997. Beguin, P. and Aubert, J. P. 1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiology Reviews, 13, 25-58. Benoit, L., Cailliez, C., Petitdemange, E. & Gitton, J. (1992).Isolation of cellulolytic mesophilic clostridia from a municipal solid waste digestor. Microbia. Ecology., 23, 117-25. Bhat, M. K. (2000). Cellulose and releted enzymes in biotechnology. Biotecnology advanteces, 18, 355-358. Bhat, M.K. and S., Bhat. 1997. Cellulose degrading enzymes and their potensial industrial applications. Biotechnology Advances, Vol. 15, Nos. 3/4, pp. 583~20, 1997. Brock, T. D., Madigan, M. T., Martinko, J. M., Parker, J. 1994. Biology of microorganisms. Prantice Hall, Englewood Cliffs. Brown, M. R. Jr. 1996. The biosynthesis of cellulose. Journal macromol science-pure applied chemistry. A33:1345-1373. C. Cailliez, C., Benoit, L., Gelhaye, E., Petitdemange, H., and Raval, G. 1993. Solubilization of cellulose by mesophilic cellulolytic clostridia isolated from a municipal solid-waste digester. Bioresource Technology, 43:7783
Cappuccino, J,G. dan Sherman, N. 2001. Microbiology A Laboratory Manual. San Fransisco, Benjamin Cummings. Claassen, P. A. M., et al. 1999. Utilisation of biomassa for the supply of energy carrier. Applied microbiology and biotechnology, 52, 741-755. Colombatto, D. Mould, F. L., Bhat, M. K., Morgavi, D. P., Beauchemin, K. A., and Owen, E. 2004. Influence of fibrolytic enzymes on the hydrolysis and fermentation of pure cellulose and xylan by mixed ruminal microorganisms in vitro. Ameciran society of animal science. 81:1040-1050. Coughlan, M. P. 1985. The properties of fungal and bacterial cellulases with comment on their production and application. Biotechnology Genetic Engginering. Review, 3, 39-109. Davies, G., and Henrissat. 1995. Structures and mechanism of glycosyl hydrolases. Structure. 3:853859. Denman, S., Xue, G., and Patel, B. 1996. Characterisation of Neocallomastix patriciarum cellulose cDNA (CelA) homologus to Tricoderma reesei cellobiohydrolase II. Applied. Environ. Microbiol, 62:18891896. Dijkerman, R., Vervurem, M., Camp, H., and Drif, C. van der. 1996. Adsorption characteristics of cellulolytic enzymes from the anaerobic fungus Piromyces sp. Strain E2 on microcrystalline cellulose. Applied. Environ. Microbiol, 62:20-25 Dunca, S., Nimitan, E., Ailiesei, O., Stefan, M., Olteanu, Z. 2000. Reports of University Iasi, Iasi, Romania.
Dwijoseputro. (2005). Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan : Malang Eynde, H. A. D., Peer, Y. V. D. Perry, J., and Wachter, R. D. 1990. 5s rRNA sequences of representatives of the genera Chlorobium,Prosthecochloris, Thermomicrobium, Cytophaga, Flavobacterium, Flexibacter and Saprospira and a discussion of the evolution of eubacteria in general. Journal of General Microbiology.136: 11-18. Fanutti, C., Ponyi, T., Black, G., Hazlewood, G., and Gilbert, H. 1995. The conserved noncatalytic 40-residue sequence in celluloses and hemicelluloses from anaerobic fungi functions as a protein docking domain. Journal Biology Chemistry. 270:2931429322. Ferrera, I.R., Massana, R., Casamayor, E.O., Balague´ , V., Pedro´ sAlio´ , C., Mas, J., 2004. High diversity biofilm for the oxidation of sulfidecontaining effluents. Applied Microbiology and Biotechnology.64:726–734. Glazer, A. N., and Nikaido, H. 2007. Microbial biotechnology: fundamentals of applied microbiology, second edition. Cambridge:USA Gonggo, B. M., Hermawan, B., and Anggraeni, D. 2005. Pengaruh jenis tanaman penutup dan pengolakan tanah terhadap sifat fisika tanah pada lahan alangalang. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia. 7(1):44-55. Han, Ye Jun and H. Z., Chen. 2007. Synergism between corn stover protein and cellulose. Enzyme and microbial technology, 41,638-645. Handayani, I. P. 2002. Laporan penelitian pendayagunaan vegetasi invasi
dalam proses agradasi tanah untuk percepatan restorasi lahan kritis. Lembaga penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Hankin, L., and Anagnostakis, S. L. 1997. Solid media containing carboxymethylcellulose to detect Cx cellulase activity of microorganisms. Journal of general microbiology. 98:109115. Hankin, L., Sands, D. C., and Hill, D. E. (1974). Relation of land use to some degradative enzymatic activities of soil bacteria. Soil Science:118: 38-44. Harley dan Prescott. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology. McGraw-Hill Company. Haruta, S., Cui, Z., Huang Z., Li, M., Ishii, M. and Igarashi, Y. 2002. Construction of a stable microbial community with high cellulosedegradation ability. Applied Microbiol Biotechnol, 59:529– 534 Hatami, S., Alikhani, H. A., Besharati, H., Salehrastin, N., Afrousheh, M., and Jahromi, Y. Z. 2008. Investigation on aerobic cellulolytic bacteria in some of north forest and farming soils. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 3 (5): 713-716 Hatfield, R. D. 1993. Cell wall polysaccharide interactions and degradability. Pages 285-314 in forage cell wall structure and degesbility. H. G. Jung, D. R. Buxton, R. D. Hatfield, and J. Ralph, (ed).ASA-CSSASSSA,Madison, WI. Heinze, T. 2005. Carboxymethyl ethers of cellulose and starch-a review. Center of excellence for polysaccharide research, Friedrich Schiller University, Germany.
Hendricks, C.W., J.D. Doyle and B. Hugley, 1995. A new solid media for enumerating cellulose-utilizing Bacteria in soil. Environmental research laboratory, u.s. Environmental protection agency,1 and mantech environmental technology, inc.,2 corvallis: Oregon Hengstmann, U., Chin, K-J., Janssen, P.H., Liesack, W., 1999. Comparative phylogenetic assignment of environmental sequences of genes encoding 16S rRNA and numerically abundant culturable bacteria from an anoxic rice paddy soil. Applied and Environmental Microbiology. 65:5050–5058. Holt, J.G. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology ninth ed. Williams and Wilkins: USA Jeschu, L. 1995. Celulaze de origine microbiana. St. cerc. Biochim. 38:65-78. Kim, C. H., and Kim, D. S., 1995. Purification and specificity of a specific endo-β-D-glucanase (Avicelase II) resembling exocellobiohydrolase from Bacillus circulans. Enzyme and Microbial Technology, 17: 248254. Klemm, D., Philipp, B., Heinze, T., Heinze, U., Wagesknecht. 1998. Comprehensive cellulose chemistry, volume 1: fundamentals and analytical methods. Germany:Wiley-VCH. Krause, D. O., Denman S. E., Mackie R. I., Morrison, M., Rae, A. L., Attwood, G. T., and MacSweeney, S. C. 2003. Opportunities to improve fiber degradation in rumen: microbiology, ecology, and genomics. FEMS Microbiology Reviews 27:663-696.
Landy, E. T., Mitchella, J. I., Hotchkissa, S., and Eatona, R. A. 2008. Bacterial diversity associated with archaeological waterlogged wood: Ribosomal RNA clone libraries and denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE). International Biodeterioration & Biodegradation.61:106–116. Lay, B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lee, Y.H., and L.T., Fan. 1982. Kinetic studies of enzymatic hydrolysis of insoluble cellulose : (II). Analysis of extended hydrolysis time. Biotechnology Bioengginering, 25,939-66. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar biokimia jilid 1. Jakarta: Erlangga. Levin, D. B., Carere C. R., Cicek R., and Sparling R. 2009. Challenges for biohydrogen production via direct lignocellulose fermentation. International journal of hydrogen energy, 34:7390–7403. Linder, M., and Teeri, T. 1997. The role and fungtion of cellulosebinding domains. Journal Biotechnology, 57:15-28. Ljungdahl, L. G. and Eriksson, K. E. 1985. Ecology of microbial cellulose degradation. In: Marshall (Ed). Advances in microbial ecology vol 8. Llobet-Brossa, E., Rosello´ -Mora, R., Amann, R., 1998. Microbial community composition of Wadden sea sediments as revealed by fluorescence in situ hybridisation. Applied and Environmental Microbiology.64:2691–2696. Lo, Y. C., Saralate, G. D., Chen, W. M., Bai, M. D., and Chang, J. S. 2009. Isolation of cellulosehydrolytic bacteria and applications of the cellulolytic
enzymes for cellulosic biohydrogen production. Enzyme and microbial tehnology, 44:417–425 Lu, W.J., Wang, H., Yang, S., Wang, Z. and Nie, Y. 2005. Isolation and Characterization of Mesophilic Cellulose-Degrading Bacteria From Flower Stalks- Vegetable Waste Co-Composting System. J.Gen.Appl.Microbiol. 51: 353360 Mandels, M. 1985. Aplication of cellulases. Biochem Society Trans., 13, 414-16. Matsui, H., Ushida, K., Miyazaki, K., and Kojima, Y. 1998. Use of ratio of digested xylan to digested cellulose (X/C) as an index of fiber digestion in plant cell-wall material by ruminal microorganisms. Animal feed science technology, 71:207–215. Mattinen, M. L. 1998. Structural and functional studies of fungal cellulose binding domain by NMR spectroscopy. Academic dissertation from University of Helsinki, Finland. McCammon, S.A., and Bowman, J.P., 2000. Taxonomy of Antarctic Flavobacterium species: description of Flavobacterium gillisae sp. nov., Flavobacterium tegetincola sp. nov. and Flavobacterium xanthum sp. nov. mon. rev. and re-classification of [Flavobacterium] salengens as Salegentibacter salegens gen. nov., comb. nov. International Journal of Systematic Bacteriology.50:1055–1063. Moracci, M., Ponzano, B. C., Trincone, A., Fusco S., De Rosa, M., Van der Oost, J., Sense C. W., Carlobois R. L., and Rossi, M. 2000. Identification and molekuler characterization of the first alpha –Xylosidase from
an Archaeon. J. Biol. Chem. 275:22082-22089. Mulcahy. 1996. An investigation of cellulose Binding Domain in non-celululose binding domains in non-cellulolytic enzymes. Final year project university of Limerick. O’Sullivan, L.A., Weightman, A.J., Fry, J.C., 2002. New degenerate Cytophaga–FlexibacterBacteroides-specific 16S ribosomal DNA-targeted oligonucleotide probes reveal high bacterial diversity in river Taff epilithon. Applied and Environmental Microbiology.68:201–210. Okaraonye, C. C., and Ikewuchi, J. C. 2009. Nutritional and antinutritional components of Pennisetum purpureum Schumach. Pakistan journal of nutritional 8(1): 32-34. Palonen, H. 2004. Role of lignin in the enzymatic hydrolysis of lignocelluloses. Disertation at University of Technology.Helsinki Finland. Rodrigues, M. A. M., Cone, J. W., van Gelder, A. H., Sequieria, J. C., and Fonseca, A. M. 2003. The effect of cellulose crystallinity on the in vitro digestibility and fermentation kinetics of meadow hay and barley, wheat and rice straws. Journal of the science of food and agriculture,83:652-657. Sanderson, M. A. and R. A., Paul. 2008. Perennial forages as second generation bioenergy crops. International Journal of Molecular Sciences, 9, 768-788. Schlegel, H. G. 1994. Mikrobiologi Umum edisi keenam. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Sequeira, C. A., and Sequeira, J. C. 1993. Bacterial adhesion to fibre during in vitro degradations
under varying osmotic pressure. Anim feed science technology,41:65-72. Sjostrom, E. 1995. Kimia kayu, dasardasar dan penggunaan. edisi kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Srinivasan, M. C., 1992. Lignocelluloses biotechnology: Recent advance and technology prospects. In:New trends abiotechnology. R. N. S. Subba, C. Balagopalan and S. V. Ramakrishna (Ed). Pp 315-320. Oxford and IBH publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi, India. Strezos, V., J. E. Tim, H., Cris. 2008. Thermal conversion of elephant grass (Pennisetum Purpureum Schum) to bio-gas, bio-oil and charcoal. Bioresource Technology, 99 (2008) 8394– 8399. Sudiana, I. M., Kanti, A., Rahmansyah, M., Widawati, S., Suliasih, Rahayu R. W., and Imanuddin, H. 2002. Populasi dan karakterisasi bakteri selulotik yang diisolasi berbegai ketinggian lokasi di taman nasional gunung Halimun. Laporan teknik proyek inventarisasi dan karakterisasi sumberdaya hayati, Puslit biologi-LIPI, Indonesia. Sun, Y., and J., Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocelluloses material for ethanol production: a review. Bioresource technology, 83, 111. Tjitrosoepomo, G. 2004. Taksonomi tumbuhan (spermatophyta). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Tomme, P., Waren, R., Miller, R., Kilburn, D., and Gilkes, N. 1995. Cellulose binding domains: Clasification and properties. In: Saddler. J., and Penner M. (Ed). Enzymatic degradation of
insoluble carbohydrates. American chemical society, Washington DC, 618:143-163. Varnaite, R., Paskevicius, A., and Raudoniene, V. 2008. Cellulose degradation in rye straw by micromycetes and their complexes. Ekologija 54 (1): 29-31. Walker, L. P., and D.B. Wilson. 1991. Enzymatic hydrolysis of cellulose: an overview. Bioresource Technology, 36 (1991) 3-14. Widdel, F., and F. Bak. 1992. Gramnegative mesophilic sulfatereducing bacteria, p. 3352-3378. In A. Balows, H. G. Truper, M. Dworkin, and K.-H. Schleifer (ed.), The prokaryotes, 2nd ed., vol. IV. SpringerVerlag, New York. William R. and N. S., Govind. 2003. Identification of carbohydrate degrading bacteria in sub-tropical regions. Rev. Biol. Trop., 51, Supl. 4: 205-210. Wilson, J. R. and Mertens, D. R. 1995. Cell wall accessibility and cell structure limitations to microbial digestion of forage. Crop sci. 35:251-259. Wood, T. M. 1985. Properties of cellulolytic enzyme systems. Biochem Society Trans, 13, 40710. Woodard, K.R., and G.M., Prine, 1993. Dry matter accumulation of elephantgrass, energycane and elephantmillet in a subtropical climate. Crop Science, 33, 818– 824. www. flickr.com Diakses pada tanggal 5 Januari 2009 pukul 21.13 WIB www.astbury.leeds.ac.uk/history/astbury1 8.htm diakses pada 10 Juni 2010 pada pukul 18.15 WIB www.biomassmagazine.com/images/uploa d/20080403103622.jpg diakses
pada 10 Juni 2010 pada pikul 19.09 WIB Yang, C., Niu, Y., Su, H., Wang, Z., Tao, F., Wang, X., Tang, H., Ma, C., and Xu, P. 2010. A novel microbial habitat of alkaline black liquor with very high pollution load: microbial diversity and the key members in application potentials. Bioresaouce technology. 101:1737-1744. Yang, V. C., Linhardt, R. J., Bernstein, H., Cooney, C. L. and Langer, R. (1985) Purification and characterization of heparinase from Flavobacterium heparinum. J. Biol. Chem.260, 1849-1857. Zhang Y. H. P., and Lynd, R. L. 2004. Kinetics and relative importance of posphorylytic and hydrolytic cleave of cellodextrins and cellobiose in cell extracts of Clostridium thermocellum. Appl. Environ. Microbiol. 70: 1563-1569. Zverlova, V. V., Holl, W., and Schwarz, H. 2003. Enzymes for digestion of cellulose and other polysaccharides in the gut of longhorn beetle larvae, Rhagium inquisitor L. (Col., Cerambycidae). International biodeterioration & biodegradation. 51:175–179.