LANDASAN ETIS HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Ismail Jurusan Ushuluddin STAIN Bengkulu (Alamat: Jalan Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu) Abstract: Nowadays, the religious people all over the world encounter a lot of conflicts and clashes among them. And the potency of conflict will emerge on the surface of idea and thought along with the people who living in the objectivity and subjectivity of civilization. Samuel P. Huntington’s thesis concludes that the confining elements of objectivity are language, history, religion, tradition, and institutions, whereas the confining element of subjectivity is a point of view of human being, promptly how they identify the case. This diversity is clear and being a core of crux. That’s why, It can not be denied when some of people with their developed civilization are becoming a various clusters with their respective specific and unique identity. Meanwhile, in the perspective of Islam, there are many verses of al-Qur’an which call Muslim and non-Muslim to look for the true and noble value (Kalimah Sawâ’) as the start line to create the harmony among them beyond the theology aspects. It can be realized by holding the continuous and constructive dialogue between the various religious scholars. There are many cases to be discussed in the dialogue, but in the view of the writer, to behave on the noble ethic in daily life is a main idea to eliminate the conflict and clashes between the religious and civilized society. To respect one another, and not to show the ego and superiority of the religion will be determining component to maintain the collective sentiment and objective. Key words: konflik, titik temu, agama, teologis I. PENDAHULUAN Ada pendapat yang mengatakan bahwa semua agama itu sama. Meskipun pendapat itu dilontarkan oleh sebagian kecil pendapat masyarakat yang ada di sekitar kita. Dikatakan sama, karena tujuan-tujuan agama itu sama yaitu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik serta menghindari perbuatan yang jahat, serta selalu membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya saja cara yang digunakan oleh tiaptiap agama dalam mendekati Tuhan berbeda-beda. Misalnya, umat Islam pada hari Jum’at pergi ke Masjid, orang Kristen pada hari Ahad pergi ke Gereja, orang Yahudi ke Sinagog, sedangkan orang Hindu atau Budha memuja disuatu Candi atau di tempat yang sunyi untuk melakukan meditasi. Dalam konteks sejarah agama-agama yang bersifat ilmiah seperti, Max Muller (1823-1900) seorang sarjana bahasa dan sejarah dalam bukunya “Vorlesungen Uber 246
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
247
Religionswissenschaft” mengemukakan pendapat mengenai titik persamaan hakiki yang ada pada agama-agama itu. Menurutnya, tiap-tiap agama adalah benar, bahkan agamaagama suku1 sekalipun. Setelah Max Muller mengemukakan pendapat tersebut, kemudian banyak sarjaan berikutnya yang mengikuti jejaknya dalam mengkaji persoalaan agama dan kemunculannya di dunia, meskipun masih terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Dalam hal ini, mereka sependapat dengan Max Muller bahwa tiap-tiap agama yang ada di dunia ini -berdasarkan ciri-ciri pokoknya- bahwa setiap agama memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu adanya kepatuhan kepada Tuhan. Kalau ada orang bertanya, “Apakah intisari dari agama-agama dunia itu?” Merka menjawab; intisarinya adalah bila seseorang hidup baik dengan orang lain, maka Tuhan akan memberikan pahala kepadanya dengan memberikan kehidupan yang kekal. Tiap-tiap agama menafsirkan intisari itu dengan cara yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya intisari agama itu tetap sama yaitu mengajak kepada kebaikan. Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturanbenturan atau konflik di antara umat beragama. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting. Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya. Disinilah letak pentingnya kita mengkaji dan memahami ajaran-ajaran dasar suatu agama agar dapat menemukan nilai-nilai persamaan dan nilai-nilai perbedaan dalam agama-agama yang ada. Dengan harapan toleransi beragama dapat tumbuh menjadi lebih baik. II. PEMBAHASAN A. Urgensi Penelitian Agama Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan. Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, 1 Rasyidi, Empat Mata kuliah di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), p. 30.
248
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
seperti di Poso,Sampit, Ambon, bahkan di Bekasi adalah satu contoh yang masih hangat di telinga. Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralistik menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalanpersoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti faktafakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan: “Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandang “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”2 Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat 2 M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, p. 21.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
249
beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di masa depan. Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya Islam. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agamaagama lain. Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi. Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala.3 Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis, Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.4 Kontak telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal. Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah. Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara sepupunya (anak pamannya) Waraqa 3 Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, p. 28. 4 A. Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam, (Djakarta : Djajamurni, 1970), p. 45.
250
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
bin Naufal5 perihal apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan Muhammad.6 Kemudian ketika Nabi Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah menerima Namus besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa tantangan Muhammad sangat berat.7 Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.8 Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.9 Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya, bersih, tidak berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi pertumpahan darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia berkata, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”10 Selama di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan tenteram. Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama, terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan (tauhid). Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan moralitas dan etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati, saling menghargai dan lain-lain. Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah, hubungan umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara 5 Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. 6 Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970), p. 111-116. Lihat juga Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984), p. 93-94. Lihat juga Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), p. 21. 7 Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah…, p 21. Lihat juga Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam, (Yogyakarta: Ideal Offset, 1978), p. 1. 8 Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad., p. 146-148. A.Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam., p. 65. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), p. 22. 9 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., p. 118. 10 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, p. 122.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
251
kota Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.11 Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti pengakuan atas agama mereka masing-masing dan harta benda mereka. Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik dunia waktu itu. Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah.12 Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.13 Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, lintas agama dan lintas suku. Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud. 11 Lihat W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press, 1956), p. 195-204. 12 A. Guillaume, The Muhammad Life, p. 231-233. Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), p. 84. 13 Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, p. 93-94.
252
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Upaya manusia untuk mencapai kesejukan yang bersifat rohani dapat memncapainya dalam bentuk yang beragam dan plural sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Karena keimanan itu bersifat inheren yang melekat dalam jiwa manusia, apapun bentuk agama dan keyakinannya. Sebagaimana ungkapan yang dilontrkan oleh Ibn Al-‘Arabi bahwa “Tuhan akan hadir dan menyapa hambanya sesuai dengan persepsi hambanya terhadap Tuhan yang mereka sembah”. Ungkapan tersebut hendaknya dijadikan renungan bagi kita yang hidup di tempat yang banyak keyakinan yang beragam dan pluralis. Dan yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap pemeluk agama harus bisa mencapai titik substansi dari ajaran agamanya, dalam rangka mencapai keabsolutan dan keuniversalan dari hal yang partikuler. Sesungguhnya kehadiran para nabi dan rasul ke muka bumi ini bukanlah untuk menghapuskan kebenaran agama-agama secara substantif, akan tetapi untuk melengkapi level kebenaran yang telah ada, yang telah dibangun oleh para nabi dan rasul sebelumnya, serta untuk melengkapi pula pada tataran eksoteris serta memeperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh umatnya. Antara tataran esoteris dan eksoteris dua hal yang sama-sama berharga, seperti dua sisi mata uang, yang satu melengkapi yang lain dan keduanya harus berjalan secara bersamaan. Tataran eksoteris dapat membentuk karakteristik pemeluknya dengan ciri khas dan keunikan tersendiri yang patut dimengerti, hal itu merupakan suatu jalan yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran sejati yang harus digali dengan mencari substansi yang absolut dan tesembunyi dibalik simbolisasi keagamaan. B. Memahami Pluralisme Agama Di Indonesia Tuhan menciptakan alam beserta isinya secara plural. Berbagai keragaman ciptaan Allah mengindikasikan adanya sebuah ekosistem yang di dalamnya terdiri dari bagianbagian yang membentuk jaringan-jaringan kehidupan yang satu sama lain saling terkait, saling mempengaruhi, menentukan dan saling membutuhkan.14 Guliran sejarah manusia yang panjang, dengan berbagai kreatifitas dan refleksinya atas alam, maupun wahyu Tuhan yang turun beberapa kali kepada manusia, telah melahirkan prulalitas agama dan kepercayaan. apat dipahami jika masing-masing manusia memiliki persepsi dan pengalaman D spiritual yang berbeda tentang Tuhan sesuai dengan perspektif masing-masing. Persepsi dan pengalaman spiritual dalam mencari Tuhan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan nama agama atau kepercayaan menjadi berbeda. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang panjang. Oleh karenanya, wajar setiap manusia atau kelompok manusia memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja tidak bermakna pada generasi yang lain. Ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan 14 Primavesi, A., From Apocalypse to Genesis: Ecology, Feminism and Christianity, (Tunbridge Wells: Burn and Oates, 1991).
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
253
tidak lagi memiliki makna atau relevansi, maka secara diam-diam akan ditinggalkan dan digantiakan oleh teologi yang baru. Sekalipun para fundamentalis membantah akan hal ini. Fumandemantalisme cenderung ahistoris, sehingga mereka yakin bahwa kelompok orang-orang suci seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami pengalaman ke-Tuhanan dengan cara yang sama, seperti pengalaman orangorang masa sekarang. Akan tetapi, jika disimak, setidaknya dalam tiga agama besar, Yahudi, Nasrani dan Islam, tidak ada pandangan yang obyektif tentang Tuhan, karena setiap generasi ternyata menciptakan citra tentang Tuhan yang belum tentu sama antar satu generasi dengan generasi yang lain. Pada dasarnya agama sesungguhnya bersifat pragmatik. Sebuah ide tantang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang penting bisa diterima. Ketika ide tersebut tidak efektif lagi, sangat mungkin tergantikan oleh ide lain yang berbeda secara radikal. Perubahan menjadi sebuah keniscayaan, karena gagasan-gagasan tersebut sepenuhnya adalah buatan manusia dan jauh berbeda dengan realitas yang sesungguhnya. Sepanjang sejarah manusia telah mengalami dimensi ruhaniah yang melampaui dunia material. Hal ini merupakan salah satu karakteristik pikiran manusia yang mengagumkan. Taylor misalnya, ia mencoba menguak kepercayaan-kepercayaan terhadap hal-hal yang melampaui nalar atau mitos tersebut, dengan menawarkan hasil pencariannya melalui kreatifitas dan kecerdasan logikanya.15 Dalam pencarian akan adanya Tuhan, bangsa manusia telah menemukan siapa Tuhannya. Penemuan itu tentunya disesuaikan dengan batas kemampuan refleksinya. Sebagai misal ada ajaran animisme dan dinamisme. Pada abad ke-6 SM–2 SM, masyarakat Yunani Kuno menyembah pelangi, laut dan tempat-tempat atau benda-benda yang memiki kekuatan. Pada saat yang sama, para filosof awal di Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximadros, Phitagoras, Heraklitos, Socrates, Plato, Aristoteles dan lain sebagainya, mencoba membuktikan kebenaran-kebenaran mitos yang dipercayai masyarakat tersebut. Mereka memusatkan kajian pada fenomena-fenomena alam (cosmos-sentris) dalam rangka mencari realitas dasar yang ada dibalik fenomena-fenomena alam tersebut, sekaligus mencari jawaban mitos yang dipercayai oleh masyarakat pada saat itu. Realitas dasar yang ditemukan oleh masing-masing filosof selalu berbeda sesuai dengan batas kreatifitas dan kapasitasnya.16 Satu hal penting yang pantas dicermati dalam tulisan ini, bahwa apapun bentuk hasil pencarian itu, hasil itulah yang dianggap realitas dasar, yang oleh para pengikut agama menyebutnya sebagai “Tuhan”. Ini artinya, ada sejarah kebudayaan manusia, yang telah 15 Edward B. Taylor, From Primitive Culture: Reseaches in the Development of Mythology, Philosophy, dalam Certer J., Understanding Religious Sacrifice: A Reader (New York & London: Continous, 2003), p. 14-34. 16 Frederick Copleston, History ofPhilosophy, Vol. I ( London: Burn Oates & Wasbourne LTD, 1959), p. 1-511.
254
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
berbudaya mencari Tuhan, khususnya dalam rentang waktu abad Yunani Kuno dan sebelum Injil turun, dan mungkin telah terjadi dalam rentang zaman lampau yang sulit terjangkau oleh pencarian manusia sekarang. Dalam rentang sejarah itu, dapat dikenali juga tokoh seperti Sidarta Gautama, tokoh utama dalam Agama Budha yang mendapt pencerahan Tuhan. Selain itu juga ada agama Hindu, yang lahir atas kreatifitas spiritual mausia yang rindu akan Tuhan. Begitu pula dalam Islam, rentang waktu Fatrat al-Wahyi terulang kembali dan terjadi pada abad 2-6 M, hingga turunnya wahyu al-Qur’an pada awal abad 7 M. Pada rentang waktu yang Allah tidak menurunkan petunjuk atau wahyu kepada Rasul-Nya ini (selama 600 tahun) manusia mengalami pencarian yang sama dengan masa Fatrat al-Wahyi sebalumnya, yakni mencari siapa Tuhan yang sebenarnya. Penyembahan-penyembahan terhadap alam maupun benda ciptaan-Nya sendiri yang dianggap memiliki kekuatan supra-natural terulang kembali, hingga akhirnya wahyu al-Qur’an pada abad 6 M turun menjadi petunjuk umat manusia. Kreatifitas manusia yang selalu rindu mencari Tuhan di sepanjang zaman, yang telah dibuktikan dengan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang memnyembah mitos, animisme, dinamisme, arca dan sebagainya adalah merupakan bukti bahwa ada agama pencarian atau hasil kreatifitas spiritual dan akal manusia untuk mencari Tuhan. Sesuatu yang dianggap sebagai realitas dasar, sumber kehidupan atau Tuhan yang dijadikan landasan serta sumber norma dalam kehidupannya. Sejarah panjang yang sarat dengan spirit mencari Tuhan ini telah menjadi hukum kausalitas mengapa di muka bumi terdapat pluralitas agama. Masing-masing agama tidak jarang teguh dengan pendirian kebenaran yang diyakini oleh mereka bahkan cenderung lebih ekslusif. Adanya pluralitas agama telah menjadi keniscayaan. Tidak ada kedewasaan dan kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan ini, justru akan mengakibatkan munculnya benih-benih disharmoni antar umat beragama. Oleh karena itu, semua pemeluk agama mestinya menyadari akan hal tersebut. Jika seorang ingin memeluk suatu agama, sikap yang bijak adalah bukan menganggap pemeluk agama lain tidak benar dan agama yang dipeluknya yang benar, atau semua agama benar. Akan tetapi, diawali dengan semangat mencari kebenaran, mengkaji ajaran-ajaran agama yang plural dalam rangka menemukan keyakinan yang dipilih sesuai dengan pencarian itu. Sebagai bahan renungan, di Amerika dan Eropa telah lama dibuka institut untuk mengkaji Islam dan berbagai agama. Semestinya juga dibuka institut untuk mengkaji agama lain yang diselenggarakan pihak Islam. Dari kajian terhadap agama-agama secara ilmiah ini diharapkan ada semangat saling menyelami dan memahami ajaran agama-agama, sehingga muncul tingkat pemahaman agama yang lebih tinggi dan toleran. Kajian yang mendalam terhadap agama, termasuk agama lain, diharapkan muncul sikap toleran yang bukan dalam lahiriah saja, akan tetapi muncul sikap toleransi yang bersumber dari suara hati dan saling menghargai dengan masing-masing pemeluk agama
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
255
secara lahir dan batin.17 Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Gandhi ketika mengkaji ajaran Kristen maupun Islam. Pemahamannya terhadap agama lain meningkatkan kesadarannya untuk semakin menghargai konsep-konsep kebenaran agama lain dan tetap teguh pada keyakinan atau keimanan Hindunya. Sebuah keimanan yang terbuka pada kebenaran sejati, kebenaran yang dia rasakan lebih dari sekedar yang ditampung oleh kapasitas tiap-tiap manusia, gereja, atau tardisi manapun. Kebenaran sejati yang terbuka itu kiranya dapat menumbuhkan filosofi hidupnya, yaitu “ahimsa”.18 Masyarakat yang mempercayai mitos biasanya tidak dapat membuktikan sumbersumber kebenaran dan bagaimana cara untuk membuktikan apa yang dipercayainya itu. Kepercayaan terhadap mitos biasanya dilakukan oleh orang-orang atau kelompok orang yang tidak mau menggunakan kapasitas dan kreatifitas akal, spiritual, maupun emosionalnya. Mereka percaya sesuatu yang dianggap memiliki kelebihan tanpa mempertanyakan akan kebenarannya. Hal ini dapat dipahami karena mereka mempercayai sesuatu tanpa dibarengi dengan upaya pembuktian tentang kebenran yang dipercayai. Sisi lain, para filosof awal mencoba membuktikan apa yang dipercayai sebagai realitas dasar, sumber kehidupan, dengan analisis logis dan empirisnya. Oleh karena itu, ukuran kebenarannya pun sebatas epistimologi yang mereka gunakan, yakni logis dan empiris. Hal ini memberi inspirasi betapa pengalaman keagamaan itu milik semua orang dan betapa tidak bijaksananya jika tidak ada sikap saling memahami, menghargai, dan saling menghormati sesama pemeluk agama. Apa jadinya dunia ini? C. Agama Dalam Perspektif Sosiologis Agama merupakan modal keyakinan yang memiliki sumber élan vital rohaniyah yang sangat besar makna dan pengaruhnya dalam pembentukan alam pikirandan sikap hidup manusia, dibanding dengan sumber-sumber keyakinan lain, seperti politik dan ekonomi. Oleh sebab itu, usaha-usaha politik sering dilancarkan dengan memanfaatkan potensi agama.19 Karenanya, agar kita dapat memahami agama dengan baik perlu dijelaskan pengertiannya secara umum. Agama adalah suatu jenis sisten sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka serta masyarakat luas pada umumnya. 17 David Trueblood, Philosophy of Religion, alih bahasa oleh HM. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), p. 136-137. 18 Robert Ellsberg, (ed), Gandhi on Christianity, (Yogyakarta: Lkis, 2004), p. 1-220. 19 Istilah “Agama” Inggris: Religion. Latin: religio. Tetapi mengenai pengertian kata ini terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa kata ini berhubungan dengan kata kerja Latin “religere” yang berarti “mengikat dengan kencang” atau kata kerja “relegere” yang berarti “membaca kembali” atau “membaca berulang-ulang dan penuh perhatian”. Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia dan dunianya dengan Allah. Segala sesuatu menerima eksistensinya dari Allah karenanya berasal dari Allah. Segala sesuatu juga berjuang untuk kembali kepada Allah. Namun manusia adalah satu-satunya mahluk yang menjalankan agama. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), p. 12-13.
256
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Unsur-unsur yang hendak dipaparkan dalam pengertian ini mencakup: 1) Agama disebut sebagai jenis sistem sosial. Ini hendak dijelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial yang dapat diananlisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu. 2) Agama berporos pada kekuatankekuatan nonempirik. Ungkapan ini mau menjelaskan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “ dunia luar” yang di “huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan-kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan Roh Tertinggi. 3) Agama dijadikan oleh manusia sebagai kekuatan untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yakni sebagai jalan menuju keselamatan baik di dunia maupun kehidupan setelah kematian kelak.20 Sementara, Tomas F.O.’ DEA memberikan pengertian terhadap agama sebagai pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Hal ini menunjukan bahwa pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris semata-mata ditujukkan kepada kepentingan supra-empiris saja. Seakan-akan orang yang beragama hanya mementingkan kebahagiaan akherat dan lupa akan kebutuhan mereka di dunia sekarang ini. Hal itu tidak sesuai dengan pengalaman. Banyak orang berdoa kepada Tuhan untuk keperluan sehari-hari yang dirasa tidak akan tercapai hanya dengan kekuatan manusia sendiri.21 Berbeda dengan Tomas. J. Milton Yinger, melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek yang mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjagajaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sementara Dunlop memiliki pendirian yang berbeda. Ia melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal dan tak berdaya. Maka, Ia merumuskan agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia bilamana tidak tersedia suatu institusi lain yang penanganannya tidak cukup dipersiapkan oleh lembaga lain.22 Bagi Joachim Wach, ketika kita membicarakan mengenai agama maka, aspek yang perlu diperhatikan secara khusus adalah: Pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua unsur praktisnya, yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya, bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. Hematnya, jika salah satu unsur tidak terdapat, maka orang tidak dapat berbicara tetang agama, tetapi itu hanya kecenderungan sikap religius saja.23 Berpijak dari beberepa pengertian di atas mengenai agama, betapa urgennya agama bagi kehidupan umat manusia. Karenanya, agama telah banyak dipelajari, dikaji,
p. 7.
20 D. Hendropuspito, O.C., Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), p. 34. 21 Thomas F.O.’ Dea, TheSociology Of Religion, Prentice-Hall Inc., Enhlewood Cliffs, New Jersey,
22 Knight Dunlop, Religion, Its Functions in Humai Life, (New York, 1946), p., 9 23 Joachim Wach, Sosiology Of Religion, (Chicago, 1944). Dikutip oleh D.Hendripuspito dalam Sisologi Agama , p. 35.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
257
diperbincangkan, diperdebatkan bahkan dikritik oleh penganutnya sendiri sejak dahulu kala. Robert John Ackermann mengatakan bahwa “Kritik memang tidak membuat agama layu, tetapi agama yang tidak dapat melancarkan kritik berarti sudah mati.24 Memang agama dari satu sisi menjadi sumber ktirik, teutama kritik sosial yang abadi, tetapi umumnya agama tidak sama dengan kritik sosial. Melainkan agama sebagai sumber integrasi dalam masyarakat.25 Menurut Michael Keeni, “pada zaman kita yang semakin sekuler ini agama memainkan peranan penting terhadap kehidupan berjuta-juta umat manusia. Agama mengambil bagian pada saat-saat yang paling penting dan pada pengalaman-pengalaman hidup. Agama juga memberikan beberapa jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan kita. Adakah kekuatan tertinggi lain yang mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kita? Bagaimanakah kehidupan dimulai? Apa arti semua ini? Semuanya akan dijawab oleh agama, karena agama yang akan merespons dan yang memberi makna atas semua persoalan manusia di dunia ini, dari persoalan kelahiran hingga kematian. Bahkan agama berada dalam kehidupan yang paling khusus maupun pada saat-saat yang paling mengerikan dan menakutkan.26 Dengan demikian makna hubungan antar agama yang dimaksudkan dalam tulisan ini, bukan hanya dipahami atas dasar keyakinan saja, tetapi juga upaya untuk memahami, mendialogkan dan merespons kebutuhan manusia terhadap persoalan-persoalan keberagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Agama tidak bersifat individualistis saja, melainan bersifat sosial, kolektif, budaya dan peradaban. Karena itulah makna agama sesuai dengan kata Parson sebagai titik artikulasi sistem cultural (cultural system) dan sosial, dimana nilai-nilai dari sistem budaya terjalin dalam sistem sosial dan diwariskan, diinternalisasikan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, agama juga merupakan sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem kepribadian individu.27 D. Upaya Dialog dan Tantangan Umat Beragam Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan24 Robert John Ackermann, Religion As Critique, (New York: The University of Massachusett Press Post Office Box, 1985), p., 5. 25 Agama sebagai sumber integrasi merupakan fenomena yang universal yang telah ada bersama dengan adanya manusia, maka tentu tidak menutup kemungkinan fenomena ini dipahami berbeda oleh mereka yang berasal dari lingkup wilayah dan periode waktu yang berbeda, seperti yang ditawarkan oleh Walter H. Capps bahwa agama (religion) sebagai “ a set of belief, syimbol and practices, which is based on the idea of the sacred, and which unites believers into a socio-religions community” (seperangkat kepercayaan, perlambang dan praktek, yang didasarkan atas ide tetang yang sacral, dan mengintegrasikan mereka yang percaya ke dalam komunitas sosio-religius). Lihar, Walter H. Capps, Religious Stud: The making of Disipline, (Minneapolis : Fortress Press. 1995), p., 203. 6.
26 Michael Keeni, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius Anggota IKAPI, 2006), p. 27 Talcott Parsons, (et.al), eds. Theories of Society, (New York: Pree Press, 1963), p. 326.
258
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso, Sampit, Ambon, Bogor, Bekasi dan di tempat-tempat lain di Indonesia. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembagalembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.28 Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya. Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas. Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.29 Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi). Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan 28 Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, p. 12. 29 Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), p. 163. Lihat juga Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), p. 5. Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun ke-32, 31 Januari 1997.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
259
kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semua pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.30 Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.31 Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.32 Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.33 30 Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun ke-32, 31 Januari 1997. 31 Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), p. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, p. 35-36. 32 Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, p. 42. 33 Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), p. 12.
260
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin). Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.34 Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.35 (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.36 (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif. (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.37 Itulah tantangan kedepan yang sedang dihadapi oleh tiap-tiap pemeluk umat beragama di Indonesia. E. Dimensi Esoteris dalam Beragama Upaya memahami agama sebagaimana yang telah dilejaskan dalam konsep penelitian agama di atas, dapat dikatakan bahwa agama memiliki potensi ganda, di samping mempunyai atau memperlihatkan segi-segi kesamaan, akan tetapi juga mengandung banyak perbedaan antara satu dengan lainnya. Pendapat yang mengatakan bahwa semua agama itu sama adalah sama sekali keliru dan sangatlah keliru kalau mengatakan bahwa hitam itu putih. Alasan seperti itu bertentangan dengan fakta, titik temu antar agama dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran moril, karena tidak satupun agama yang mengajarkan keburukan, sementara nilai-nilai moral memilki sifat universal yang terdapat dalam setiap agama.
34 Lihat St. Sunardi, “Dialog:Cara Baru Beragama”, p. 76. 35 Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan. 36 Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, p. 131. 37 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), p. 350-351.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
261
Perbedaan antara agama cukup banyak, ada perbedaan yang menyangkut hal-hal yang bersifat prinsip dan fundamental tetapi ada juga perbedaan yang bersifat furu’iyah (tidak prinsip). Contoh perbedaan yang menyangkut tidak prinsip hal ini banyak ditemukan dalam tata cara peribadatan. Sementara perbedaan-perbedaan yang bersifat fundamental dapat dengan mudah ditemukan dengan membandingkan teologi masing-masing agama.38 Tidak mengherankan bila masalah agama dan keberagamaan merupakan masalah peka. Bagi masyarakat kita yang majemuk, menumbuhkan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati antara anutan dan keyakinan masing-masing pihak menjadi sangat penting. Hal itu merupakan tuntutan obyektif kalau kita menginginkan agar kerukunaan hidup diantara umat berbagai agama tidak tinggal sebagai gagasan yang mandul steril. Kemajemukan, keterbukaan dan mobilitas masyarakat kita tidak memungkinkan lagi untuk tegak dan kokoh jika tembok-tembok eksklusifisme diantara umat berbagai agama masih berjalan sendiri-sendiri. Tentu saja gagasan upaya untuk menghilangkan sama sekali perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh agama-agama tidaklah realistik. Perbedaan itu nyata adanya, sebab kalau tidak, kita tidak menyebutnya dengan ungkapan yang satu” agama”.39 Untuk mendapatkan gambaran bahwa tiap-tiap agama itu tidak sama, marilah kita lihat dalam kasus perceraian dalam agama Katholik, bahwa ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan itu, dianggap sebagai ikatan perjanjian untuk selama-lamanya yang tidak mungkin dilepas kecuali oleh kematian. Hal ini tidak terdapat dalam ajaran Islam maupun agama Protestan. Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa semua agama itu tidaklah sama, bahwa agama-agama itu berbeda antar satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang perbedaan itu dijadikan sebagai alat untuk saling bermusuhan, tetapi di sisi lain perbedaan itu juga menjadi perekat antar sesama umat beragama. Oleh karena itu, sikap yang paling elegan adalah semua penganut agama menyadari bahwa diantara kita adalah memiliki perbedaan sesuai dengan agama yang kita anut. Dalam hidup, kita mengalami banyak perbedaan, baik perbedaan suku, ras, bangsa, warna kulit, agama, budaya dan sebagainya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengingkarinya. Mengingkari keragaman (pluralitas) sama halnya mengingkari diri sendiri. Begitu pula ketika kita berbicara masalah agama. Masalah ini sangat sensitif, sebab setiap komunitas berkeyakinaan bahwa agamanyalah yang paling benar. Agama bisa bertahan dalam diri manusia dan dapat memeberikan kebutuhan spiritual manusia, bahkan bisa membuat hidup manusia bergairah. Itulah sebabnya di dalam diri manusia tidak dapat dilepaskan dengan norma-norma agama. Bahkan agama selalu hadir ditengahtengah kehidupan kita dan kehadirannya semenjak manusia itu ada.40 38 Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), p. 11-12. 39 Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta:Yayasan Obor, 1999), p. Xii. 40 Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), p. 180.
262
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Persoalan yang muncul adalah apakah agama yang ada dalam diri tiap-tiap manusia itu sama? Jawabannya adalah ada titik persamaan dan titik perbedannya. Persamaannya adalah bahwa setiap agama memiliki kepercayaan kepada sesuat kekuatan gaib (percaya adanya Tuhan). Misalnya agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Hal itu jika kita melihat sisi persamaannya. Diperkuat dengan munculnya para rasul dan nabi dalam setiap agama dan setiap rasul itu muncul untuk membawa misi Kasih Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia dari ketertindasan dan kesesatan hidup dengan menghubungkan kesadaran manusia akan Tuhannya Yang Maha Esa dan Maha Kasih. Jika kita melihat segi perbedaannya antara Islam, Yahudi dan Nasrani. Justru paham monoteisme Islam jauh lebih radikal dan universal ketimbang Yahudi dan Nasrani. Dalam Islam, konsep keselamatan itu ditentukan dengan melalui proses tafakkur untuk memdapatkan keridoan Tuhan. Secara sepintas dapat di pahami bahwa konsep keselamatan dalam Islam memiliki persamaan dengan agama Hindu dan Budha, dalam arti kata bahwa keselamatan itu dapat diperoleh oleh setiap manusia dengan cara sungguh-sungguh oleh manusia itu sendiri.41 Pengenalan manusia dalam mempersepsikan Tuhannya mengekspresikan dalam tiga bentuk atau sifat: 1) Teoritis atau pemikiran seperti dogma, doktrin ajaran dan konsepkonsep. 2) Praktek atau perbuatan (ritual). 3) Sosiologi atau kelompok (organisasi sosial) yaitu persekutuan dalam agama.42 Perjalanaan manusia dalam penyapaan diri mereka terhadap Tuhan disinyalir oleh al-Qur’an mengenai peristiwa Nabi Ibrahim ketika mencari hakikat kekuatan yang absolut dengan ungkapan yang tidak hanya bersifat literar, akan tetapi bermakna simbolis. “Tatkala malam yang gelap tiba ia (Ibrahim) melihat sebuah bintang, ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bintang itu terbenam, ia berkata: “aku tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam. Tatkala ia melihat bulan timbul, ia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi setelah bulan tenggelam, ia berkata: Jika Tuhanku tidak memberi petunjuk pastilah aku menjadi orang yang sesat. Tatkala ia melihat matahari, ia berkata: Inilah Tuhanku “ Inilah Tuhanku” inilah yang lebih besar, tetapi setelah matahari terbenam, ia berkata: “hai kaumku, aku lepas tangan dari segala yang kamu persekutukan. Kuhadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi sebagai penganut agama yang hanif, yang jauh dari syirik dan aku bukanlah termasuk golongan yang musyrik.43 Pengakuan kesadaran manusia itu adalah fitrah yang biasa disebuat dengan iman, yaitu respon seseorang terhadap panggilan Tuhannya dan keimanan itu dapat merespon kognitif, afektif dan motorik.44 Karena kata iman mempunyai akar yang sama dengan “aman dan amanah”, yaitu sikap religius dimana seseorang secara sadar dan dan yakin mempercayakan keamanan hidupnya kepada Tuhan. Ketika keimanan itu diteremahkan kepada dataran teologis dan praktis, maka ia muncul dalam respon yang beragam sejalan 41 Komarudin Hidayat, Agama-Agama Besar di Dunia Masalah Perkembangan dan Interelasi dalam Passing Over, (Jakarta: Gramedia, 1998), p. 208. 42 Dam’annuri (editor), p. 4 43 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tarjamah, Al-An’am ayat: 76-79. 44 Komarudin Hidayat, Agama-Agama Besar..., p.68.
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
263
dengan pengalaman dan panggilan iman seseorang. Keragaman ini tidak bisa dihindari, karena Tuhan berbicara kepada umat-Nya dalam bahasa, ruang dan waktu yang berbeda. Jika iman bersifat personal, artinya ia lebih menggambarkan ungkapan pribadi seseorang dan Tuhan. Sementara agama lebih bersifat formal mengacu kepada institusi, hirarki dan organisasi sebagai respon terhadap keimanan. Begitu pula dengan agama, secara bahasa lebih berkonotasi sebagai kata kerja, karena agama merupakan respon yang terpancar dari titik yang transendental dan juga imanent yaitu iman. Transenden karena Tuhan diyakini sebagai yang teramat jauh bahkan tidak terjangkau dan disebut imanent karena kehadiran Tuhan sesungguhnya berada bersama kita bahkan berada dalam diri kita. Dan seyogyanya iman itu dihayati sebagai kehendak etis artinya hanya dengan sikap pasrah secara total dan berbuat baik.45 Kebenaran agama yang berasal dari Dzat yang tak terhingga itubersifat universal, namun karena teraktualisasi dengan campur tangan manusia maka agama yang diaktualisasikan tersebut akhirnya muncul dalam bentuk yang terbatas, dan dalam waktu bersamaan agama yang bersifat universal itu sekalugus berubah menjadi partikular.46 Dalam konteks ini, benar apa yang telah diungkap oleh Frithjof Schoun bahwa agama sebenarnya memiliki satu bentuk dan satu substansi.47 Kata “Religion” dengan menggunakan R huruf besar mengandung makna bahwa agama itu bersifat absolut, universal dan metahistoris. Kebenaran agama ini sesungguhnya terkandung dalam setiap agama dan terdapat pada tataran “esoteris” suatu agama. Akan tetapi, selain “Religion” yang bersifat metahistoris campur tangan manusiapun menghasilkan religions “dengan r kecil” yang bersifat historis. Religion yang bersifat sakral dan esoterik itu, ketika dikomunikasikan dan diwahyukan kepada manusia akan mengalami eksorisasi, eksternalisasi, fragmentasi historis dan konseptual yang pada gilirannya akan memunculkan religions. Oleh karenanya, agama memiliki konotasi ganda sebagai Religion yang wujudnya hanya satu namun eksoterisasi dan eksternalisasinya selalu tampil dalam bentuk plural.48 Penghayatan manusia akan agamanya dapat dikatakan bermula dari dataran a religion menuju Religion atau pendakian dari yang bersifat eksoteris ke esoteris, dari formal ke esensial, dari historis ke metahistoris dari simbol ke reality simbolized. Dan ketika kita gagal menggali kesejatian agama yang ada di balik simbol-simbol dan tradisi yang luptu dari distorsi historis berarti kita gagal dalam melakukan pendakian kepada kebenaran yang datangnya dari Dzat yang absolut. Meskipun Relogion tersebut menjelma menjadi religius. Sangatlah tabu bagi kita untuk mengatakan bahwa semua agama adalah sama, meskipun perbedaan itu tidak ekstrim. Meminjam ungkapan Schoun: “Inwardly or in terms of substance, the claim 45 Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial., p. 25. 46 Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan..., p. 54. 47 Frithjof Schoun, Islam and The Parenial Philoshophy, p. 15. 48 Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas, p. 24.
264
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
that a religion makes are absolut, but outwardly or in terms of form, on so on the level of human contigency, they are necessary relatif” (secara esoteris atau dalam pengertian substansi ataupun pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak, tetapi secara eksoteris atau dalam pengertian bentuk atau pada tingkat keberagaman manusiawi, mau tidak mau pernyataan tersebut menjadi relatif.49 Kondisi seperti dikatakan oleh Sayyed Hsain Nasr dengan istilah relatively-absolut. Dalam hal ini keberadaan agama (titik eksoterik) yang terangkum melalui teoritis, praktis dan sosiologis menjadi alat pengantar manusia menuju utamanya yaitu kesejukan rohani (gnosis) yang berasal dari Dzat yang absolut meskipun kemutlakan tersebut dalam tataran relatif, artinya agama yang mereka anut adalah mutlak kebenaraannya tanpa harus menafikkan kemutlakan-kemutlakan agama lain.50 Antara esoteris dan eksoteris adalah dua hal yang sama-sama berharga, seperti dua sisi mata uang yang satu melengkapi yang lain dan keduanya harus berjalan secara bersamaan. Tataran eksoteris dapat membentuk karakteristik pemeluknya dengan ciri khas dan keunikan tersendiri yang patut dimengerti, hal itu merupakan suatu jalan yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran sejati yang harus digali dengan mencari substansi yang absolut dan tesembunyi dibalik simbolisasi keagamaan. Dalam hal ini, agama rawan untuk dijadikan legitimasi demi kepentingannyang bersifat idiologis dan egoisme individu. Bukankah agama diturunkan untuk pengabdian sosial untuk menciptakan masyarakat yang damai dan sentausa. Disinilah titik temu agama dan konsep-konsep yang dibuat manusia pada tataran pelayanan kepada masyarakat. Jika agama mampu dipahami, dihayati dan diamalkan dengan sebenar-benarnya oleh para pemeluknya, maka pernyataan yang mendeskreditkan agama sebagai ancaman dapat dihindari. Sebagaiman ungkapan yang dilontarkan oleh Karl Mark bahwa “agama adalah sentimen suatu dunia yang tak berprikemanusiaan dan ia adalah candu bagi masyarakat”. Begitu juga Nietzhe mengatakan “Got is Tott” yang itu semua merupakan ungkapan luka darai cacat agama yang terjadi di masa lampau. Yang pada akhirnya bahwa konsep-konsep agama secara tidak langsung telah terbentuk oleh sejarah dan akan mengalami mahkamah sejarah pula yang senantiasa dipertahankan oleh para pemeluknya dengan menghindari benturan-benturan yang bersifat eksoteris dengan cara memeperluas wacana keilmuan agama agar keberadaannya selalu survive sesuai dengan perkembanagn zaman. Dan yang paling penting bahwa agama merupakan sebuah tafsiran yang bersifat spekulatif, maka keberadaannya dalam bentuk plural itu merupakan keharusan, tetapi kemajemukan itu harus dijadikan motivasi oleh para pemeluknya untuk bersikap arif dan bijaksana, karena kemajemukan itu merupakan kehendak dari Dzat yang absolut. 49 Komarudin Hidayat, Agama-Agama Besar..., p. 6. 50 Komarudin Hidayat, Agama-Agama Besar..., p. 14
Ismail
. Landasan Etis Hubungan Antar Agama di Indonesia
265
III. PENUTUP Upaya manusia untuk mencapai kesejukan yang bersifat rohani dapat memncapainya dalam bentuk yang beragam dan plural sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Karena keimanan itu bersifat inheren yang melekat dalam jiwa manusia, apapun bentuk agama dan keyakinannya. Sebagaimana ungkapan yang dilontarkan oleh Ibn Al-‘Arabi bahwa “Tuhan akan hadir dan menyapa hambanya sesuai dengan persepsi hambanya terhadap Tuhan yang mereka sembah”. Ungkapan tersebut hendaknya dijadikan renungan bagi kita yang hidup di tempat yang banyak keyakinan yang beragam dan pluralis. Dan yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap pemeluk agama harus bisa mencapai titik substansi dari ajaran agamanya, dalam rangka mencapai keabsolutan dan keuniversalan dari hal yang partikuler. Sesungguhnya kehadiran para nabi dan rasul ke muka bumi ini bukanlah untuk menghapuskan kebenaran agama-agama secara substantif, akan tetapi untuk melengkapi level kebenaran yang telah ada, yang telah dibangun oleh para nabi dan rasul sebelumnya, serta untuk melengkapi pula pada tataran eksoteris serta memeperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh umatnya. Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa semua agama itu tidaklah sama, bahwa agama-agama itu berbeda antar satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang perbedaan itu dijadikan sebagai alat untuk saling bermusuhan, tetapi di sisi lain perbedaan itu juga menjadi perekat antar sesama umat beragama. Oleh karena itu, sikap yang paling elegan adalah adanya dialog yang inten antara umat beragama. Semua penganut agama hendahnya menyadari bahwa diantara kita memiliki perbedaan dan persamaan sesuai dengan agama yang kita anut. Dengan demikian jalinan hubungan antar agama –khususnya- di Indonesia harus semakin baik dan masing-masing pemeluk agama dapat menemukan kebenaran hakiki berdasarkan keyakinan dan keimanan agamanya masing-masing. Semoga. DAFTAR PUSTAKA Abas, Zainul, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun ke-32, 31 Januari 1997. Abdullah, M. Amin, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993. Copleston, Frederick, History ofPhilosophy, London: Burn Oates & Wasbourne LTD, 1959, Vol. I Djam’annuri, (editor), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama,Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2000. Ellsberg, Robert, (ed), Gandhi on Christianity, Yogyakarta: Lkis, 2004. Faruqi, Ismail Raji al- (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Pustaka Progressif,
Jurnal Nuansa
266
. Edisi 1, No. 2, September 2010
1994. Cet. I. Guillaume, A., The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, Karachi: Oxford University Press, 1970. Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah Jakarta: Tintamas, 1984. Hart, Michael H., Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1990, Cet. XII. Hassan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam Yogyakarta : Kota Kembang, 1989. Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t.. Hidayat, Komaruddin, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama. Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Huntington, Samuel P., “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993. Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. Nasution, Chadijah, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam, Yogyakarta: Ideal Offset, 1978. Primavesi, A., From Apocalypse to Genesis: Ecology, Feminism and Christianity, Tunbridge Wells: Burn and Oates, 1991. Rasyidi, Empat Mata kuliah di Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Sjalabi, A., Sedjarah dan Kebudajaan Islam, Djakarta: Djajamurni, 1970. Taylor, Edward B., From Primitive Culture: Reseaches in the Development of Mythology, Philosophy, dalam Certer J., Understanding Religious Sacrifice: A Reader New York & London: Continous, 2003. Thaher, Tarmizi, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999. Tibi, Bassam, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996. Trueblood, David, Philosophy of Religion, alih bahasa oleh HM. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1965. Watt, W. Montgomery, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press, 1956. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Ketentuan dan Persyaratan Naskah Jurnal Nuansa Redaksi berhak mengedit naskah-naskah yang masuk tanpa mengubah substansi atau ide pokok tulisan. Naskah-naskah yang masuk menjadi hak milik redaksi, dan apabila tidak dimuat, tidak akan dikembalikan kepada penulis. Naskah-naskah yang dikirim ke redaksi Jurnal Nuansa akan dipertimbangkan pemuatannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Persyaratan Umum Naskah harus bersifat ilmiah berupa kajian tentang Studi Islam dan Kemasyarakatan. Naskah adalah naskah orisinil dan belum pernah dipublikasikan di jurnal atau terbitan manapun serta belum pernah digunakan untuk kenaikan pangkat akademik. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar (baku) serta memenuhi kaidah penulisan ilmiah. Persyaratan Teknis Diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 dengan panjang naskah 12-20 halaman. Naskah ditulis dengan sistematika penulisan yang meliputi: judul, abstrak, kata kunci, isi (pendahuluan, pembahasan, penutup), dan daftar pustaka. Setiap kutipan dalam bentuk footnote. Daftar pustaka ditulis secara alfabetis dengan memuat: nama pengarang, judul buku, kota tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, nomor halaman contoh: Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1988), p. 99 Naskah diserahkan kepada redaksi dalam bentuk Soft-Copy dan file flasdisk dalam format windows 2003 atau e-mail yang dikirim ke alamat redaksi. Penulis naskah harus menyertakan riwayat hidup singkat yang berisi identitas diri, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan karya-karya ilmiah yang dihasilkan. Sekretariat Redaksi Nuansa Program Pascasarjana STAIN Bengkulu Jl. Raden fatah Pagar Dewa Bengkulu Telp. (0736) 51276, 51171. Fax. (0736) 51272
267
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan redaksi jurnal Nuansa mengucapkan terima kasih kepada para penyunting ahli/mitra bestari di bawah ini: 1. Dr. Sirajuddin M, M.Ag. MH. 2. Dr. Zubaedi, M.Ag. M.Pd.
(STAIN Bengkulu)
(STAIN Bengkulu)
3. Prof. Dr. Bustami Rahman, MA.
(Universitas Bangka Belitung)
4. Dr. Zulkifli Hasmi, MA.
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
5. Dr. Efrinaldi, M.Ag.
(IAIN Imam Bonjol Padang)
6. Dr. Abdul Wahid, M.Ag.
(IAIN Ar-Raniry Darussalam (Banda Aceh)
Atas kerjasamanya yang telah meluangkan waktu untuk membaca, mengoreksi, dan memberi catatan untuk perbaikan artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal NUANSA Volume 1. Nomor 2. September 2010.
Bengkulu, September 2010 Penyunting
268