INSTITUT TEKNOLOGI PADANG Jurnal Teknik Mesin
Volume 6
Issue 2
Pages
Padang
ISSN
55 – 110
October 2016
2089 – 4880
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Editorial Team Editor-in-Chief
: Arfidian Rachman, Ph.D. Institut Teknologi Padang, Indonesia
Editor
: Asmara Yanto Institut Teknologi Padang, Indonesia
Section Editors
: Eswanto Institut Teknologi Medan, Indonesia
Mastariyanto Perdana Institut Teknologi Padang, Indonesia
Nurzal Institut Teknologi Padang, Indonesia
Putri Pratiwi Institut Teknologi Padang, Indonesia
Romiyadi Politeknik Kampar, Indonesia
Rozi Saferi Institut Teknologi Padang, Indonesia
Reviewer
: Prof. Dr. Eng. Gunawarman Universitas Andalas, Indonesia
Prof. Dr. Ilmi Institut Teknologi Medan, Indonesia
Dr. Firman Ridwan Universitas Andalas, Indonesia
Dr. Muhammad Yahya Institut Teknologi Padang, Indonesia
Dr. Ahmad Fudholi Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia
Dr. Gusri Akhyar Ibrahim Universitas Lampung, Indonesia
Dr. Eng. Mochamad Syamsiro Universitas Janabadra, Indonesia
Dr. Eng. Feblil Huda Universitas Riau, Indonesia
IT Support
: Indra Warman Institut Teknologi Padang, Indonesia
Publication Jurnal Teknik Mesin (JTM) is a journal aims to be a peer-reviewed platform and an authoritative source of information. We publish original research papers, review articles and case studies focused on mechanical engineering and other related topics. All papers are peer-reviewed by at least two referees. JTM is managed to be issued twice in every volume (April and October).
Publisher
: ITP Press – Institut Teknologi Padang http://press.itp.ac.id/
Mailing Address
: Mechanical Engineering Department - Institut Teknologi Padang Jalan Gajah Mada Kandis Nanggalo Padang, West Sumatra, 25143 Indonesia Telp: (0751) 443317 / Fax: (0751) 443317 Email:
[email protected]
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Contents
Pages
1.
The Flat Type Heat Pipe Solar Collector: An Experimental Research Dian Wahyu
55 – 62
2.
Characteristics of the Mixed Crude Jatropha Oil-Clove Oil Adhes Gamayel
63 – 67
3.
Effect of Cyclone Diffuser Swirl throughout 30 mm On Liquid Jet Gas Pump (Application on Frying Pineapple Chips) Eswanto
68 – 71
4.
Reverse Engineering of a Hydro Turbine System Mechanical Parts Nofirman Firdaus, Usdek Panjaitan and Bambang Teguh Prasetyo
72 – 79
5.
A Simple Dynamic Signal Analyzer Virtual Instrument to Monitoring and Control Airflow Temperature Asmara Yanto, Anrinal and Ryan Adi Pratama
80 – 85
6.
Strength Analysis of Betelnut Fiber-Reinforced Resin Composite Hendriwan Fahmi, Syafrul Hadi and Fajar Marda Kapur
86 – 91
7.
Development of Ejector Cooling System for Vegetables Products Vacuum Cooling Sulaeman and Desmi Asriandi
92 – 97
8.
Modal Analysis of Free-Inverted Wilson Tennis Racket with 1st Type and 2nd Type of Damper Rozi Saferi and Ismet Eka Putra
98 – 102
9.
Effect of Printing Pressure to Paving Block with 5% Weight of Added Fly Ash on Compressive Strength Nurzal, Edison and Krisna
103 – 110
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
The Scope of JTM 1. 2. 3. 4. 5.
Mechanics Energy Science and Engineering Design, Manufacturing and Product Development Control, Instrumentation and Robotics Ocean Science and Engineering
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Kolektor Surya Pipa Panas Tipe Datar: Sebuah Penelitian Eksperimental The Flat Type Heat Pipe Solar Collector: An Experimental Research Dian Wahyu Department of Mechanical Engineering, Politeknik Negeri Padang Kampus Limau Manis, Limau Manis, Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia
Received 01 September 2016; Revised 09 September 2016; Accepted 11 September 2016, Published 11 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.55-62 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2016 D. Wahyu. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Flat solar collectors with heat pipe absorber with dimension of wide 1.5 m x 2 m lenght x 0.2 m thickness and 2.87 m2 aperture area has been tested to produce hot water. Heat pipe used in flat plate solar collector, has a filling ratio of 20% which has been proven to have the highest ability to transfer heat when tested in previous studies. Testing of solar collectors with heat pipe absorber has been done during the month of April 2016 in the city of Padang by using standard ASHRAE 93-2003. The test results showed the highest efficiency obtained was 46%. To get the hot water of at least 64 ° C with a flow rate of 0,35 L / min for 5 hours, required solar radiation of 750 W / m2. Generally, during the trial obtained water output temperature collectors from 8:00 - 9:00 pm and from 15: 30 - 17: 30 is below 60 ° C, whereas at 9:30 - 15: 30 obtained collector output water temperature above 64 ° C, while the water temperature reached at the highest collector output value of 78 ° C. Keywords: Flat Type Solar collector, Heat pipe, Filling Ratio
1. Pendahuluan Indonesia memiliki potensi menjadikan energi surya sebagai salah satu sumber energi alternatif masa depan, karena indonesia terletak pada posisi khatulistiwa. Berdasarkan letaknya, Indonesia berada di daerah beriklim tropik dimana daerah ini kaya akan curahan energi surya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan data potensi energi surya harian rata-rata di Indonesia sebesar 4,5-6,8 kWh/m2/hari. Bandung terletak pada koordinat 107o36’ Bujur Timur dan 6o55’ Lintang Selatan. Berdasarkan program Meteonorm radiasi ratarata harian berkisar antara 4,5-5,4 kWh/m2/hari. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan untuk memanfaatkan energi surya sangat mungkin dilakukan. Perpres Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menunjukkan adanya supaya agar pemakaian energi baru dan © 2016 ITP Press. All rights reserved.
terbarukan meningkat. Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain energi surya, panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), arus sungai, energi angin, biomassa, dan energi laut. Usaha pemanfaatan energi surya untuk memberikan sumbangan bagi pemenuhan kebutuhan energi sejak lama telah dilakukan tetapi belum optimal. Pada saat ini pemanfaatan energi surya telah dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan teknologi surya fotovoltaik dan teknologi surya termal. Teknologi surya fotovoltaik biasanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan listrik skala kecil seperti penerangan rumah, penyuplai pompa air, penyuplai televisi LCD dan LED, dan lain-lain. Sementara teknologi surya termal dapat digunakan langsung seperti untuk pengering dan pemanas air.
56
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
Namun potensi ini belum termanfaatkan secara optimal khususnya untuk kebutuhan skala rumah tangga melalui penggunaan kolektor surya. Salah satu penyebabnya adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kolektor surya sebagai alat untuk mengkonversi energi surya merupakan barang ekslusif berteknologi tinggi yang harganya cukup mahal. Tentu asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar karena masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan khususnya untuk jangka panjang. Hal ini menarik untuk dikaji lebih mendalam, bagaimana mendapatkan kolektor surya sebagai pre-heater skala rumah tangga dengan biaya yang terjangkau untuk mereduksi penggunaan bahan bakar minyak yang semakin terbatas. Penelitian terdahulu diantaranya mengkaji kinerja berbagai jenis kolektor surya seperti menganalisis perfomansi sistem kolektor surya jenis palung silindris dengan absorber multi-pipa [1], mengkaji kolektor surya pemanas air dengan menggunakan pelat absorber gelombang [2], dan melakukan studi eksperimental kolektor tubular dengan memanfaatkan lampu neon bekas sebagai kaca penutup kolektor [3]. Usaha pemanfaataan energi matahari menggunakan kolektor surya konvensional dirasa masih belum efisien karena memiliki efisiensi rendah sekitar 15% - 30% [4]. Pipa kalor adalah alat superkonduktor yang mampu memindahkan panas secara cepat, dengan memanfaatkan panas laten fluida kerja yang berada dalam pipa kalor. Penggunaan pipa kalor sebagai pemanas pada kolektor surya telah dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Wahyu [1], dari hasil penelitian didapatkan efisiensi tertinggi sebesar 37 %. Diharapkan penelitian lanjutan mengenai penggunaan pipa kalor sebagai elemen pemanas kolektor surya, dapat ditingkatkan lagi efisiensinya dan menjadi prospek yang menjanjikan karena memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap panas energi matahari. Penggunaan pipa kalor didalam kolektor surya dapat meningkatkan penggunaan energi matahari yang mampu mencapai efisiensi kerja 47% [5].
dimana bagian itu dapat diilustrasikan seperti Gambar 1. Struktur wick digunakan untuk membantu mempercepat aliran kondensat di dalam pipa. Pada Gambar 2, dapat dilihat kondisi fasa fluida kerja sebelum dan sesudah kalor masuk ke area evaporator pipa kalor . Ketika kalor masuk di sepanjang sisi evaporator, dimana temperatur kalor masuk melebihi temperatur saturasi fluida kerja, hal tersebut menyebabkan sejumlah cairan fluida kerja menguap. Uap akan mengalir ke area kondensor karena terjadi peningkatan tekanan uap. Panas Keluar (Qout)
Daerah Kondensor Kondensat Uap Daerah Adiabatik
Daerah Evaporator
Fluida Kerja
Panas Masuk (Qin)
Gambar 1. Skematik pipa kalor
Pada bagian kondensor, kalor laten uap dipindahkan ke lingkungan sekitar, hal ini menyebabkan temperatur dan tekanan uap turun sehingga kondensat terbentuk. Kondensat akan kembali ke area evaporator melalui wick, sementara penurunan tekanan uap akan menguapkan lagi sejumlah fluida kerja yang berada pada daerah evaporator. Proses ini akan berlangsung secara terus menerus sepanjang adanya panas yang diterima dibagian evaporator.
2. Metode A. Prinsip Kerja Pipa Kalor Pipa kalor merupakan pipa berongga yang kedua ujungnya ditutup setelah sejumlah fluida kerja ditempatkan di dalamnya [6]. Secara umum pipa kalor bekerja memanfaatkan kalor laten dari fluida kerja. Proses perpindahan panas pada pipa kalor terjadi pada tiga daerah hantaran yaitu, evaporator, adiabatic dan condenser
Gambar 2. Proses perpindahan panas pipa kalor
Secara sederhana siklus yang terjadi pada pipa kalor dapat diringkas berdasarkan Gambar 2, seperti di bawah ini:
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
Proses 0-1 1-2
2-1
57
Keterangan Peristiwa evaporasi pertama kali kalor masuk Peristiwa kondensasi karena kalor dipindahkan keluar pipa kalor Peristiwa evaporasi
B. Fluida Kerja Pipa kalor Fluida kerja berfungsi untuk memindahkan panas dari evaporator ke kondensor. Untuk itu harus dipilih fluida kerja yang yang memiliki temperatur titik cair di bawah temperatur operasi dan memiliki temperatur kritis di atas temperatur operasi dan memiliki kalor laten yang tinggi. C. Pemanas Air Surya Pemanfaatan energi matahari untuk pemanasan air bukan merupakan ide baru. Lebih dari seratus tahun yang lalu, tangki air yang dicat hitam telah digunakan sebagai pemanas air surya sederhana di berbagai Negara. Teknologi pemanas air surya telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Sekarang lebih dari 30 juta m2 kolektor pemanas air surya telah dipasang di seluruh permukaan bumi. Keuntungan penggunaan pemanas air surya adalah penghematan biaya dalam pemanasan air, karena beberapa pemanas air surya tidak membutuhkan pasokan listrik untuk beroperasi. Selama irradiance matahari cukup, air panas tetap diproduksi seperti pemanasan air kolam renang secara langsung. Tiga operasi dasar pada sistem pemanas air surya [7]: 1. Pengumpulan Radiasi matahari dapat diserap dengan menggunakan kolektor surya. 2. Pemindahan Sirkulasi air pada kolektor surya menyebabkan perpindahan energi dari kolektor surya ke tangki penyimpanan. Sirkulasi fluida bisa terjadi secara alami (thermosiphon systems) atau sirkulasi paksa (low-head pump). 3. Penyimpanan Air panas dapat disimpan pada tangki penyimpanan yang diberi isolasi termal. Salah satu jenis kolektor surya yang menggunakan pipa kalor adalah kolektor tabung hampa. Kolektor surya ini terdiri dari tabungtabung kaca. Tabung tersebut memiliki 2 lapisan kaca, dimana udara di dalam ruang tersebut telah divakum, ini bertujuan untuk menimalisir rugirugi panas konveksi pada kolektor.
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 3. Tabung kolektor surya. (a) Konstruksi tabung kaca pada kolektor surya tabung hampa. (b) Tabung hampa kolektor surya menggunakan heat pipe. (c) Tabung hampa kolektor surya menggunakan pipa berbentuk U. (d) Compound Parabolic Concentrator (CPC) yang digunakan pada kolektor surya tabung hampa
Absorber dengan permukaan selektif ditempatkan di dalamnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.(a). Kolektor ini bagus dalam penyerapan energi matahari dan rugi termal ke lingkungan sangat rendah. Kolektor tersebut sudah menjadi komoditi pasar internasional. Kolektor ini memakai teknologi heat pipe dan pipa berbentuk U yang diletakkan dalam setiap tabung kaca hampa. Fungsi heat pipe dan pipa berbentuk U adalah untuk memindahkan panas yang diserap oleh absorber ke tempat manifold. Kolektor ini biasanya digunakan pada kondisi daerah temperatur sedang dan temperatur tinggi untuk tujuan pembuatan air panas (kondisi temperatur air yang dihasilkan sampai pada temperatur 90oC), dan pemanasan ruangan dll. Beberapa kolektor ini dilengkapi dengan konsentrator yang membantu meningkatkan efisiensi kolektor [8].
58
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
Pada Gambar 3.(b) proses perpindahan panas antara heat pipe dengan manifold terjadi melewati perubahan fasa fluida kerja heat pipe. Fluida kerja di dalam heat pipe akan menguap ketika energi surya jatuh pada bidang absorber, dimana bidang absorber merupakan tempat penempelan evaporator heat pipe. Uap akan mengalir ke arah sisi kondensor heat pipe yang bersentuhan dengan manifold kolektor. Kondensat akan terbentuk ketika panas laten uap dipindahkan ke fluida yang mengalir pada manifold. Gambar 3.(c) ini adalah kolektor yang digunakan pada penelitian pengembangan teknologi pompa kalor temperatur tinggi oleh Djuanda. Secara konstruksi kolektor ini, mempunyai kemiripan dengan kolektor surya heat pipe tabung hampa. Perbedaannya terletak pada proses pemanasan air pada kolektor. Air yang akan dipanaskan, akan mengalir di dalam pipa U sebelum menuju ke manifold.
1. Heat pipe Perpindahan energi berlangsung sangat cepat dan efisien. 2. Glass tube top holder Berfungsi Sebagai penahan tabung kaca pada bagian manifold. 3. Cover Berfungsi meminimalisir rugi-rugi panas dari dalam tabung kaca. 4. Absorber plate Berfungsi sebagai penyimpan energi termal. 5. Vacuum layer between the glass skins 6. Solar glass tube Membantu meningkatkan penyerapan energi surya dan menimalisir rugi-rugi panas. 7. Base/tube seal Ujung pipa kaca membantu meminimalisir rugi panas kolektor Gambar 4. Bagian komponen pada tabung kaca pada kolektor surya hampa
Gambar 3(d) dapat digunakan pada kedua kolektor ini, dimana fungsinya membantu memantulkan kembali sinar radiasi yang jatuh di celah kolektor menuju absorber. Konsentrator tersebut berguna meningkatkan efisiensi dari kolektor. Adapun komponen yang digunakan pada kolektor surya tabung hampa ditunjukkan pada Gambar 4 [3]. D. Kolektor Surya Heat Pipe Secara umum, kolektor surya rancangan ini termasuk tipe kolektor surya pelat datar. Hal yang membedakan terletak pada jenis absorber yang digunakan. Absorber kolektor ini, menggunakan teknologi heat pipe. Heat pipe ditempelkan di atas pelat aluminium seperti yang terlihat pada Gambar 5. Heat pipe yang telah ditempelkan, dimasukkan ke dalam manifold kolektor surya melewati kondensor heat pipe.
Gambar 5. Kolektor surya heat pipe
Prinsip kerja kolektor dalam proses pemanasan air yaitu dengan perubahan fasa yang berlangsung di dalam heat pipe. Energi radiasi surya yang jatuh pada permukaan kolektor akan diserap oleh heat pipe pada sisi evaporator. Temperatur heat pipe akan meningkat secara perlahan, menyebabkan fluida kerja di dalam heat pipe berubah fasa menjadi uap. Uap akan mengalir dari sisi evaporator ke sisi kondensor.
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
Pada sisi kondensor, panas laten uap akan dipindahkan ke aliran air yang akan dipanaskan di dalam manifold seperti yang ditunjukan Gambar 5. Penutup kolektor menggunakan 1 lapis kaca. Kolektor ini dibuat dan diuji untuk melihat kinerja kolektor, apakah kolektor ini dapat menggantikan kolektor tipe evacuated tube yang telah digunakan sebagai penyuplai heat pump pada penelitian disertasi Djuanda. Diharapkan kolektor surya heat pipe tersebut, dapat memberikan hasil yang memenuhi persyaratan sebagai sumber kalor pemasok energi heat pump. E. Kesetimbangan Energi dan Perhitungan Pada Kolektor Surya Heat Pipe Langkah awal untuk melakukan analisis kolektor surya adalah dengan menerapkan hukum termodinamika I yang berbicara tentang kekekalan energi. Kesetimbangan energi ini berguna untuk melihat energi yang masuk, energi yang termanfaatkan dan rugi-rugi energi termal. Dengan mengasumsikan kolektor beroperasi pada keadaan tunak, skema ini dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini:
59
ditunjukkan pada Gambar 7. Jumlah energi radiasi yang diterima kolektor surya dapat dicari dengan Persamaan (1).
Gambar 7. Aliran air yang akan di panaskan di dalam manifold pada kolektor surya
𝑄𝑖 𝐴𝑎 . 𝐺
(1)
Bagaimanapun ada bagian dari radiasi yang dipantulkan kembali ke angkasa dan ada yang diserap melalui kaca penutup dan pelat absorber. Energi masuk (Qin) setelah peristiwa penyerapan dari penutup dan absorber kolektor dapat ditulis seperti persamaan 2 dimana energi masuk adalah perkalian Aa, nilai transmisi-absorbsi (τα) dengan irradiance matahari yang datang (G) seperti pada Persamaan (2). Qin =AaταG
(2)
Karena kolektor menyerap panas, maka temperatur kolektor akan tinggi jika dibandingkan dengan temperatur lingkungan dan panas akan hilang ke lingkungan secara konveksi dan radiasi. Rata-rata rugi panas tergantung pada koefisien perpindahan panas (U L ) dan perbedaan antara temperatur rata -rata pelat absorber, T p,m dan temperatur lingkungan, T a . Persamaan rugi t er mal dapat ditentukan menurut Persamaan (3). Q l o ss = U L . A g (T p .m – T a )
(3)
Ener gi yang ber guna Q u yang diekstrak dari kolektor di bawah kondisi steady setara dengan ener gi masuk penyerapan kolektor dikurang dengan ener gi yang hilang ke lingkungan, dan dapat ditulis seperti Persamaan (4). Q u = τ α G-U L . A (T p m -T a ) Gambar 6. Skema kesetimbangan energi pada kolektor surya
Jika G adalah irradiance matahari (W/m2), jika kolektor surya memiliki aperture area (Aa)
(4)
Persamaan di atas sangat sulit untuk diterapkan karena proses yang sulit dala m menetapkan temperatur pelat kolektor rata-rata. Cara aktual untuk menghitung ener gi yang ber guna, dapat juga dihitung
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
60
sebagai rata-rata panas yang diekstrak dari kolektor yang dipindahkan ke fluida yang mengalir di dalam manifold seperti yang ditunjukan pada Gambar 8. Secara umum ener gi yang dimanfaatkan untuk memanaskan air dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (5). Q u = m.C p .(T f, o – T f,i )
3. Setelah keadaan tunak dicapai, pengukuran dilakukan meliputi: a. Pengukuran intensitas radiasi surya b. Pengukuran temperatur fluida masuk kolektor c. Pengukuran temperatur fluida keluar kolektor d. Pengukuran temperatur keliling
(5)
Dimana C p adalah panas jenis dari air, m adalah laju aliran massa dari air, T f,i dan T f,i temperatur fluida masuk dan keluar. Menurut Hottel Whillier-Bliss energi yang berguna sebagai perolehan dari energi surya yang masuk ke bidang kolektor dapat ditulis seperti Persamaan (6). Qu=F R .A a .(Gτ α –U L (T f, i –T a )
(6)
Dimana FR adalah faktor pemindah panas. Indikator kiner ja kolektor adalah efisiensi, yang didefenisikan sebagai perbandingan jumlah kalor yang ter manfaatkan dengan jumlah panas yang masuk ke bidang kolektor. Secara matematis bisa ditulis seperti Persamaan (7). t
ηa =
∫t 2 Qu dt 1
t
Aa . ∫t 2 G dt 1
x 100 %
(7)
Dengan t adalah selang waktu, pengambilan data diambil tiap detik sedangkan pengolahan data dalam selang waktu 5 menit. F. Skematik pengujian dan Perangkat pengujian serta Alat yang digunakan Untuk mengilustrasikan proses pengujian pada kolektor surya heat pipe dapat dilihat pada skema pengujian seperti pada Gambar 8. Pipa kalor / heat pipe yang digunakan pada kolektor surya ini, merupakan hasil rancangan yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya. Pemilihan heat pipe jenis ini merupakan pipa kalor yang memiliki kemampuan tertinggi dalam memindahkan panas. Sistematika pengujian adalah sebagai berikut: 1. Fungsikan tangki head konstan untuk mengatur laju aliran air yang akan dipanaskan. 2. Setelah debit diatur, air dialirkan masuk kolektor melewati saluran yang di dalamnya terdapat sisi kondensor heat pipe.
Gambar 8. Diagram Alir Penelitian
Adapun alat-alat yang dibutuhkan dalam pengujian ini adalah: 1. Kolektor surya pelat datar heat pipe, adalah kolektor yang akan diuji perfomansinya. 2. Air, digunakan sebagai indikator adanya penyerapan energi dari absorber heat pipe ke air, yang diindikasikan dengan kenaikan temperatur air. 3. Tangki head konstan, berfungsi untuk mengatur laju aliran air ke kolektor. 4. Reservoar air, menampung air yang berlebih yang dipasok pompa ke tangki head konstan. 5. Pompa, berfungsi untuk mengalirkan air dari bak penampungan air ke tangki head konstan.
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
6. Sensor temperatur, digunakan untuk mengukur temperatur air masuk dan keluar kolektor serta temperatur lingkungan. 7. Alat ukur intensitas radiasi matahari, digunakan untuk mengukur intensitas radiasi matahari. 8. Data akuisisi, pengubah sinyal analog yang dihasilkan sensor temperatur ke sinyal digital. 9. Laptop, berfungsi sebagai perekam dan pengolah data.
61
yang dirancang mampu menghasilkan air panas melewati temperatur 64 oC selama waktu lebih kurang 5 jam dan ini bisa dicapai jika kondisi cuaca tidak hujan atau berawan tebal serta radiasi minimal 750 W/m2.
Gambar 10. Hasil pengukuran intensitas matahari
Gambar 9. Skema pengujian kolektor heat pipe pelat datar
3. Hasil dan Pembahasan Pada Gambar 10 dan Gambar 11 masing-masing diperlihatkan hasil pengukuran intensitas radiasi matahari dan temperatur fluida yang dihasilkan kolektor surya heat pipe pelat datar. Secara umum, fluktuasi radiasi matahari sangat jelas terlihat selama pengujian berlangsung. Hal ini berpengaruh terhadap temperatur air panas yang keluar dari kolektor. Namun, perhitungan perfomansi kolekor masih dapat dilakukan karena beberapa data hasil pengujian masih di dalam syarat batas pengujian. Pengujian dilakukan pada semua kondisi cuaca kecuali hujan, ini bertujuan untuk melihat apakah kolektor surya heat pipe mampu menghasilkan air panas. Kondisi tempat pengujian mempengaruhi data yang dihasilkan, dimana radiasi mulai masuk ke bidang kolektor secara efektif dan signifikan pada pukul 8:30. Padahal, bila diambil pada posisi lain sebenarnya data radiasi sudah dapat diambil, hal ini disebabkan karena radiasi matahari terhalang pepohonan yang tumbuh di samping bangunan. Dari hasil data-data selama pengujian dapat disimpulkan bahwa kolektor
Gambar 11. Hasil pengukuran temperatur fluida
Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan contoh hasil pengukuran intensitas radiasi matahari dan temperatur air keluaran kolektor. Sesuai dengan persyaratan pengujian, hasil pengujian seperti pada Gambar 10, dapat digunakan untuk menghitung efisiensi sesaat kolektor, karena memiliki beberapa segmen yang memenuhi persyaratan untuk menghitung efisiensi sesaat kolektor. Pada Gambar 11 diperlihatkan gambar yang akan nantinya diolah untuk menentukan efisiensi sesaat kolektor surya. Data-data yang berada pada garis lurus pada salah satu bagian pada Gambar 11, diolah sebagai contoh untuk menghitung efisiensi kolektor sesaat. Dalam perhitungan efisiensi, data-data diolah menjadi bersegmen-segmen dengan selang waktu selama 5 menit. Kemudian, untuk setiap segmen, efisiensi sesaat kolektor dihitung dengan menggunakan Persamaan (1) sampai dengan Persamaan (7). Hasil perhitungan dapat
D. Wahyu / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 55-62
62
dilihat di bawah ini berupa grafik pada Gambar 12.
telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3] Gambar 12. Efisiensi sesaat kolektor
Gambar 12 merupakan grafik efisiensi sesaat hasil pengujian kolektor surya heat pipe, dari data diperoleh bahwa kenaikan temperatur yang terjadi sebesar 45 oC. Ini didapat pada kondisi pengujian: intensitas radiasi rata-rata 900 W/m2, temperatur rata-rata fluida masuk 33 oC, temperatur rata-rata keliling 31oC, dan kecepatan angin 0 - 2 m/s. Pada kondisi ini didapat efisiensi sesaat kolektor surya yang berbeda-beda tergantung pada kondisi fluktuasi radiasi surya dan nilai perbedaan temperatur fluida masuk dengan temperatur lingkungan (Tf,i–Ta). Efisiensi sesaat kolektor akan turun jika nilai (Tf,i–Ta) meningkat. Efisiensi kolektor tertinggi didapatkan bernilai 46 %. Ini terjadi pada saat perbedaan temperatur fluida masuk dengan temperatur lingkungan mendekati nol.
4. Simpulan Setelah melakukan pengujian dan menganalisa data pada penelitian ini, dapat disimpulkan halhal sebagai berikut, pertama, kolektor surya dengan absorber heat pipe berukuran 1,5 m x 2 m, telah diuji dan dapat menghasilkan air dengan temperatur minimal 64 oC dan temperatur air tertinggi sebesar 78 oC pada radiasi minimal 750 W/m2 selama 5 jam. Kedua, efisiensi kolektor sangat dipengaruhi oleh fluktuasi radiasi matahari dan nilai perbedaan temperatur fluida masuk kolektor dengan temperatur lingkungan (Tf,i–Ta). Efisiensi kolektor tertinggi didapatkan sebesar 46 % ketika nilai (Tf,i–Ta) mendekati nol.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Staf Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Padang yang
D. Wahyu, “Experimental study of heat pipe for solar collector heater,” Jurnal Teknik Mesin Institut Teknologi Padang, Vol. 6, No. 1, pp. 6-14. N. G. Yoga, “Kaji Ekperimental Penggunaan Pipa Kalor Dalam Kolektor Surya Sebagai Penyerap Energi Termal Surya Untuk Penyuplai Pompa Kalor Temperatur Tinggi,” Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9, Palembang, 13-15 Oktober 2010. D. Wahyu, “Kaji eksperimental kolektor surya heat pipe untuk heat pump temperatur tinggi,” Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XII, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 23-24 Oktober 2013.
[4]
W. F. Stoecker, Design of Thermal Systems, 355rd edition, McGraw-Hill Book Co., NewYork, 1989.
[5]
American Society of Heating, Refrigeratoring and Air Conditioning Engineers Inc. ASHRAE Pocket Guide for Air Conditioning, Heating, Ventilation, Refrigeration 7th Edition. Tullie Circle, NE Atlanta: W. Stephen Comstock. B&K Engineering. (1979). Pipa kalor Design Handbook. Maryland: Nasa. P. I. Cooper and R.V. Dunkle, “A nonlinear flat plate collector model,” Solar Energy, Vol. 26(2), pp. 133-140, 1981. A. A. M. Sayigh, Solar Flat Plate Collectors, in Technology for Solar Energy Utilization, Development and Transfer of Technology Series No.5, United Nations Industrial Development Organization, 1987.
[6] [7]
[8]
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Karakteristik Campuran Minyak Jarak-Minyak Cengkeh Characteristics of the Mixed Crude Jatropha Oil-Clove Oil Adhes Gamayel Department of Mechanical Engineering, Sekolah Tinggi Teknologi Jakarta Jakarta, Indonesia Received 03 September 2016; Revised 11 September 2016; Accepted 13 September 2016, Published 13 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.63-67 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2016 A. Gamayel. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Crude jatropha oil (CJO) composed by triglycerides that consist of fatty acid and glycerol. CJO has high viscosity and low evaporation rate that cause ignition delay and imperfect combustion. Blending with lower viscosity and more volatile fuel can reduce it. In this study, CJO blend with clove oil (CO) in percentage of 5%, 10%, 15% and 20%. The physical properties: viscosity, heating value, and flash point were measured with international standard method (ASTM). The result indicates that more percentage of clove oil causes viscosity and flash point reduce while heating value increase. There is because molecular interaction between eugenol and triglyceride makes oscillation of molecule more active than before. Keywords: Crude Jatropha Oil, Clove Oil, fuel blend, physical properties, molecular interaction
1. Pendahuluan Konversi minyak nabati menjadi biodiesel membutuhkan jumlah energi yang besar pada proses transesterifikasi dan menyebabkan biaya produksi yang mahal [1-3]. Hal ini memicu adanya kegiatan meneliti ulang apakah penggunaan minyak nabati non-transesterifikasi dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam konteks teknologi pembakaran modern [4]. Penggunaan Minyak nabati dapat mengurangi pemanasan global dan emisi gas buang. Minyak nabati memiliki keunggulan yaitu dapat diperbarui, nilai kalor yang tinggi, kandungan sulfur yang rendah, gugus aromatik yang rendah dan memiliki kemampuan terurai yang tinggi [5]. Disamping itu, kerugian penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar adalah tingginya viskositas, penguapan yang rendah dan tingkat kereaktifan rantai hidrokarbon tak jenuh [6]. Menurut Blin [5] viskositas minyak nabati lebih tinggi daripada solar karena minyak nabati memiliki rantai hidrokarbon yang panjang dan kandungan trigliserida yang tak jenuh. Angka cetane yang © 2016 ITP Press. All rights reserved.
dimiliki oleh minyak nabati lebih rendah dari solar sehingga sulit untuk menyala pada kondisi dingin. Knothe [7] menyatakan bahwa secara umum angka cetane akan tinggi apabila rantai hidrokarbon panjang, tetapi untuk minyak nabati, angka cetane lebih kecil daripada solar dikarenakan adanya cabang pada ikatan asam lemak tak jenuh yaitu asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat. Ikatan rangkap C=C pada asam lemak tak jenuh juga menyebabkan minyak nabati mudah teroksidasi oleh udara. Semakin besar jumlah ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh, maka semakin tidak stabil sehingga mudah terjadi reaksi oksidasi [8]. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui perubahan properties minyak nabati apabila diaplikasikan pada mesin diesel. Bajpai [9] mencampurkan minyak karanja dengan solar pada variasi 5, 10, 15 dan 20%. Minyak karanja mengalami pemanasan awal pada suhu hingga 90 oC dengan tujuan agar viskositas menurun mendekati viskositas solar. Campuran minyak karanja 10% dan solar memiliki efisiensi termal terbaik dibandingkan campuran yang lain. Pada
64
A. Gamayel / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 63-67
pembebanan rendah, konsumsi bahan bakar campuran minyak karanja dan solar lebih rendah dibandingkan konsumsi solar. He dan Bao dalam Misra dan Murthy [10] menyatakan bahwa minyak jarak memiliki efisiensi termal 27.4% dan tidak berbeda jauh dengan efisiensi termal biodiesel minyak jarak sebesar 29%. Pencampuran minyak jarak 2.6% dan solar 97.4% menjadi campuran dengan konsumsi bahan bakar terendah dan memiliki termal efisiensi tertinggi pada penelitian yang dilakukan oleh Forson [11]. Pencampuran minyak batang cengkeh (clove stem oil) dan solar pada prosentase 25% dan 50% menghasilkan performa yang tidak terlalu berbeda apabila menggunakan solar murni [12]. Kadarohman [13] melakukan penelitian dengan menambahkan minyak cengkeh, eugenol dan eugenyl asetat masing-masing sebesar 0.2% pada solar. Kandungan terpena yang bersifat mudah menguap pada minyak cengkeh menyebabkan minyak cengkeh dapat larut sempurna pada solar sehingga lebih cepat terjadi pembakaran dan penundaan penyalaan menjadi lebih pendek. Kandungan oksigen pada eugenol dan struktur molekulnya yang besar dapat menurunkan ikatan van der walls pada solar. eugenyl asetat tidak mudah melepaskan panas karena ikatan yang dimiliki adalah polar sehingga campuran dengan solar tidak sempurna. Kandungan oksigen pada minyak cengkeh menyebabkan proses pembakaran menjadi efisien. Berdasar latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian dasar untuk memperbaiki kelemahan yang dimiliki oleh minyak nabati, khususnya minyak jarak pagar. Salah satu cara adalah mencampurkan dengan minyak yang mudah menguap yaitu minyak cengkeh.
D445 dan variasi temperatur pemanasan 27, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 oC. Nilai kalor adalah jumlah energi yang dimiliki oleh suatu minyak. Nilai kalor diukur menggunakan bomb kalorimeter dengan standar ASTM D240. Flash point adalah karakteristik fisik bahan bakar yang menunjukkan mudah terbakar atau tidak. Pengujian dilakukan menggunakan Pensky Marten Close Cup (PMCC) dengan standar ASTM D93. Untuk memudahkan pembacaan grafik, ada beberapa inisial yang dipakai seperti pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Inisial penyederhanaan
Bahan Minyak Jarak 100% Minyak Cengkeh 5% Minyak Cengkeh 10% Minyak Cengkeh 15% Minyak Cengkeh 20%
Inisial CJO CO5 CO10 CO15 CO20
3. Hasil dan Pembahasan A. Viskositas Hubungan temperatur pemanasan dan viskositas dari campuran minyak jarak dan minyak cengkeh dapat dilihat pada Gambar 1.
2. Bahan dan Metode Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah minyak jarak pagar yang di dapat pada proses ekstraksi mekanik menggunakan mesin screw press yang ada di Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas) Malang. Minyak cengkeh didapatkan di toko bahan kimia yang banyak tersedia di kota-kota seluruh Indonesia Pada penelitian ini variabel bebas yang dipakai adalah prosentase minyak cengkeh yang dicampurkan ke minyak jarak yaitu 5, 10, 15, 20% dan dilakukan pengujian karakteristik fisik seperti viskositas, nilai kalor dan flash point. Viskositas adalah kemampuan fluida untuk mengalir. Pengukuran viskositas bahan bakar menggunakan viskometer merk Leybold Didactic dengan standar pengukuran ASTM
Gambar 1. Hubungan viskositas dan temperatur pada campuran minyak jarak-minyak cengkeh
Pada Gambar 1 terlihat bahwa semakin besar persentase minyak cengkeh yang ditambahkan, maka semakin turun viskositas campuran bahan bakar. Pada suhu ruang, minyak jarak 100% memiliki viskositas sebesar 52, 419 cSt. Viskositas mengalami penurunan saat dicampur minyak cengkeh hingga 20% yaitu sebesar 34,104 cSt. Penurunan viskositas saat dicampur minyak cengkeh disebabkan adanya fenomena delokalisasi elektron pada senyawa aromatis yang dimiliki oleh minyak cengkeh. Pergeseran elektron yang mengelilingi cincin aromatis
A. Gamayel / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 63-67
menyebabkan adanya reaksi tarik menarik dan tolak menolak antar molekul eugenol dan trigliserida setiap saat, sehingga terjadi pergerakan molekul yang aktif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar.2.
65
menyebabkan terjadinya knocking. Jika dipaksakan, maka umur mesin akan menjadi lebih pendek. B. Nilai Kalor Grafik hubungan nilai kalor dan komposisi campuran dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar.2. Delokalisasi elektron pada cincin aromatis
Penambahan temperatur juga menyebabkan viskositas menjadi turun. Minyak jarak 100%, mengalami penurunan viskositas yang signifikan menjadi 9,0189 cst saat dipanaskan pada 100oC. Saat dicampur minyak cengkeh 20%, viskositas turun saat dipanaskan 100 oC dari 34,104 menjadi 6, 17 cst. Penambahan temperatur berarti menambahkan kalor pada bahan bakar sehingga ikatan antar molekul menjadi lemah. Transfer energi panas yang terjadi pada molekul menyebabkan peningkatan energi kinetik sehingga pergerakan molekul menjadi aktif dan ikatan antar molekul menjadi lebih renggang. Ilustrasi ikatan molekul yang merenggang dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
Gambar 4. Grafik nilai kalor pada campuran minyak jarak-minyak cengkeh
Semakin tinggi nilai persentase minyak cengkeh, maka semakin tinggi nilai kalor. Minyak jarak pagar memiliki nilai kalor 8.954 Kal/gr. Dengan dicampur minyak cengkeh 20%, maka nilai kalor yang dimiliki bahan bakar campuran menjadi 9.158 Kal/gr. Hal ini dikarenakan adanya molekul eugenol, molekul yang mengandung gugus hidroksil sehingga menyebabkan nilai kalor yang dimiliki oleh minyak cengkeh menjadi tinggi. Nilai kalor minyak jarak tinggi akibat kehadiran molekul oksigen pada gugus karbonilnya, sehingga saat ditambahkan minyak cengkeh, maka nilai kalor akan lebih tinggi lagi. Struktur eugenol dapat dilihat pada Gambar 5.
(b)
Gambar.3. Ilustrasi pergerakan molekul akibat adanya peningkatan temperatur. (a) Saat Energi panas masuk (b) Saat terkonversi menjadi energi kinetik Gambar 5. Struktur Eugenol dengan gugus hidroksil
Dengan adanya pemanasan hingga 100 oC, viskositas yang dihasilkan mendekati viskositas solar (2,3-4 cSt) sehingga minyak jarak dapat diaplikasikan kepada mesin stasioneri jika dilakukan proses pemanasan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan referensi [1] dan [2]. Menurut standar SNI, biodiesel memiliki viskositas dengan nilai 2,3-6 cSt. Campuran minyak jarak-minyak cengkeh masih jauh dari standar SNI, sehingga campuran ini masih belum layak dipakai pada mesin diesel. Viskositas tinggi akan mengganggu proses atomisasi di nosel, sehingga pencampuran bahan bakar dan udara menjadi tidak sempurna. Hal ini
C. Flash Point Flash point dapat didefinisikan sebagai mudah tidaknya suatu bahan bakar menguap. Misra dan Murthy [10] menyatakan bahwa flash point digunakan sebagai ukuran aman tidaknya dalam proses distribusi dan penyimpanan bahan bakar. Hubungan flash point dan campuran bahan bakar dapat dilihat pada Gambar 6. Dengan semakin bertambahnya prosentase minyak cengkeh, maka flash point mengalami penurunan. Minyak jarak 100% memiliki flash point sebesar 208 oC. Saat dicampurkan dengan minyak cengkeh hingga 20%, maka flash point
A. Gamayel / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 63-67
66
turun menjadi 143 oC. Adanya senyawa aromatis pada campuran bahan bakar menyebabkan molekul menjadi aktif bergerak.
[2]
[3]
Gambar 6. Hubungan flash point dan campuran bahan bakar
Keaktifan gerakan molekul menyebabkan ikatan antar molekul menjadi lemah. Ikatan antar molekul semakin melemah saat terjadi pemanasan pada pengujian flash point. Akibatnya, saat proses penguapan molekul dengan mudah mencapai permukaan cairan dan berubah fase dari cair menjadi uap lalu terbakar. Semakin rendah suhu flash point, maka semakin mudah menguap bahan bakar yang diuji. Oleh karena itu, penambahan minyak cengkeh menyebabkan minyak jarak menjadi lebih mudah terbakar.
4. Simpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa: Semakin besar prosentase minyak cengkeh yang dicampurkan dan semakin tinggi temperatur pemanasan, maka viskositas semakin menurun. Semakin tinggi persentase minyak cengkeh yang dicampurkan, maka nilai kalor campuran bahan bakar menjadi naik Semakin besar persentase minyak cengkeh yang dicampurkan, maka flash point campuran bahan bakar menjadi turun..
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M DITJEN DIKTI melalui Program Penelitian Dosen Pemula (PDP) tahun 2016 atas pendanaan penelitian ini.
Referensi [1]
A. S. Ramadhas, S. Jayaraj and C. Muraleedharan, “Use of vegetable oils as I.C. engine fuels—A review,” Renewable Energy , 727–742.
I. Wardana, “Combustion characteristics of jatropha oil droplet at various oil temperatures,” Fuel , 659-664, 2010.
P. Pradhan, H. Raheman and D. Padhee, “Combustion and performance of a diesel engine with preheated Jatropha curcas oil using waste heat from exhaust gas,” Fuel, 527-533, 2014. [4] G. Knothe, A. C. Matheaus and T. W. Ryan, “Cetane numbers of branched and straight-chain fatty esters determined in an ignition quality tester,” Fuel , 971-975, 2003. [5] J. Blin, C. Brunschwig, A. Chapuis, O. Changotade, S. Sidibe, and E. Noumi, “Characteristics of vegetable oils for use as fuel in stationary diesel engines—Towards specifications for a standard in West Africa,” Renewable and Sustainable Energy Reviews , 580597, 2013. [6] R. Misra and M. Murthy, “Jatropa— The future fuel of India,” Renewable and Sustainable Energy Reviews, 1350-1359, 2011. [7] T. Laza, T and A. Bereczky, “Basic fuel properties of rapeseed oil-higher alcohols blends,” Fuel , 803-810, 2011. [8] L. C. Meher, C. P. Churamani, M. D. Arif, Z. Ahmed and S. N. Naik, “Jatropha curcas as a renewable source for bio-fuels—A review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews, 397407, 2013. [9] S. Bajpai, P. K. Sahoo, and L. M. Das, “Feasibility of blending karanja vegetable oil in petro-diesel and utilization in a direct injection diesel engine,” Fuel , 705-711, 2009. [10] R. D. Misra and M. S. Murthy, “Straight vegetable oils usage in a compression ignition engine—A review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews, 3005-3013, 2010. [11] S.-Y. No, “Inedible vegetable oils and their derivatives for alternative diesel fuels in CI engine: A Review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews , 131-149, 2011. [12] M. Mbarawa, “Performance, emission and economic assessment of clove
A. Gamayel / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 63-67
stem oil–diesel blended fuels as alternative fuels for diesel engines,” Renewable Energy , 871-882, 2010. [13] A. Kadarohman, Hernani, I. Rohman, R. Kusrini and R. Astuti, “Combustion characteristics of diesel fuel on one cylinder diesel engine using clove oil, eugenol, and eugenyl acetate a"s fuel bio-additives,” Fuel, 73-79, 2012.
67
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Pengaruh Pusaran Cyclone Diffuser Sepanjang 30 mm Pada Liquid Jet Gas Pump (Aplikasi Pada Penggorengan Kripik Nanas) Effect of Cyclone Diffuser Swirl throughout 30 mm On Liquid Jet Gas Pump (Application on Frying Pineapple Chips) Eswanto Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Medan Jl.Gedung Arca No. 52 Medan, Indonesia
Received 05 September 2016; Revised 13 September 2016; Accepted 15 September 2016, Published 15 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.68-71 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2016 Eswanto. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Pineapple is a plant that is widely available in Indonesia and fruit favored by the public. Some areas in North Sumatra as langkat, Binjai, Berastagi, Siborong-borong many supply pineapples to the city field, so if at the time of pineapple fruit season arrives, the city became a flood pineapple field and consequently if the fruit is not sold will be rotten. Seeing this need to utilize technology in order not rotten pineapple and wasted, therefore there is need to do an experiment to make a pineapple into chips with technology liguid jet gas pump (LJGP) which method a way with a vacuum system. From the problems necessary to study to get the best vacuum LJGP tool is one of them by adding a Cyclone vortex diffuser models. The purpose of this study is to obtain the best vacuum as well as the efficiency of LJGP that can be used in frying applications pineapple crisps vacuum method along the vortex diffuser 30 mm. The research method with experiments involving fluid water and air, by adding a Cyclone vortex Diffuser models in LJGP tool as long 30 mm. The observed data is the primary flow rate (primary flow / motive flow) is 0.32 L / s, up to 0.44 L / s and discharge secondary flow (secondary flow) ranged from 0.04 L / s to 0.2 L / s. As for the water to circulate fluid LJGP, used types of centrifugal pumps with a capacity of 340 L / min. From the research that has been done shows that the more points cyclone vortex diffuser, the secondary pressure will increase. The maximum secondary pressure in the cyclone vortex diffuser length 30 mm which is 150 215 kPa, with secondary pressure maximum of 12 GPM is present in 1,367 kPa. This condition is informed that the use of models in the vortex of Cyclone Diffuser LJGP tool is in need to improve the vacuum system for LJGP. Keywords: Cyclone, pineapple, vacuum, water, air, LJGP.
1. Pendahuluan Dalam memanfaatkan hasil perkebunan masyarakat dibutuhkan teknologi dan ide-ide kreatif agar hasil yang didapatkan menjadi nilai jual yang tinggi. Nanas merupakan tanaman perkebunan yang banyak terdapat di Indonesia dan buahnya disukai oleh masyarakat. Beberapa daerah di Sumatera Utara seperti Langkat, Binjai, Berastagi, Siborong-borong banyak © 2016 ITP Press. All rights reserved.
memasok buah nanas ke Medan, sehingga jika pada saat musim buah nanas tiba kota Medan menjadi banjir nanas dan akibatnya jika buah tidak laku dijual akan menjadi busuk. Melihat hal tersebut perlu teknologi untuk memanfaatkan nanas agar tidak busuk dan terbuang, maka dari itu penelitian terkait untuk membuat nanas menjadi kripik dengan teknologi Liguid Jet Gas Pump (LJGP) yaitu
Eswanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 68-71
metode vakum merupakan suatu kebutuhan. Dari permasalahan tersebut perlu dilakukan kajian untuk mendapatkan hasil kevakuman terbaik alat LJGP yaitu salah satunya dengan menambahkan model Cyclone Diffuser. Cyclone Diffuser yang akan dibuat berbentuk spiral untuk menjadikan aliran berubah dari laminar manjadi turbulen dengan harapan semakin kuat kevakuman yang didapatkan dari alat LJGP tersebut. Dimana LJGP yang tersusun dari komponen utama yaitu Nozzle, throat, section chamber, diffuser. Dengan tingkat kevakuman yang baik, maka proses penggorengan kripik nanas menjadi lebih baik pula, sehingga nanas dapat termanfaatkan dengan nilai jual yang tinggi. Diffuser adalah tabung berbentuk kerucut yang sisi bagian atas digunakan untuk memperluas aliran dari laras throat ke dalam sisi keluar diffuser. Panjang diffuser dapat menentukan seberapa besar tekanan pompa, khususnya dibagian sisi masuk yang terkoneksi dengan throat. Pada bagian sudut diffuser yang mempunyai diameter kecil disisi masuknya (bagian yang tersambung dengan throat) diperkirakan mempunyai tekanan yang lebih baik. Sedangkan pada diffuser saluran keluar banyak energi kinetik yang dirubah menjadi bentuk energi potensial. Pada penelitian ini Diffuser yang dibuat difungsikan untuk mengubah bentuk dari energi energi kecepatan aliran menjadi energi tekanan aliran. Perubahan bentuk energi ini dilakukan secara bertahap. Berdasarkan proses konversi yang terjadi di dalam diffuser, perubahan luas penampang dibuat untuk mendapatkan efisiensi dari diffuser ini yang lebih baik, disamping itu pada diffuser prinsipnya yang harus dihindari adalah gradien tekanan yang besar pada diffuser. Sharma [1] melakukan pengujian untuk profil sudut kontaksi terhadap kinerja ejector cair-gas. Profil kontaksi nozzle yang diuji adalah conical, circular, dan elliptical Pada ekepsrimen ini nozzle dengan profil elliptical memberikan pressure ratio dan efisiensi tertinggi dibandingkan dari profil kontraksi nozzle conical, dan circular. Yadav dan Patwardhan [2] mengemukakan bahwa geometri optimum diffuser adalah 40 hingga 100, dengan panjangnya 4 sampai 8 diameter throat. Neve [3] menyampaikan bahwa geometri optimum adalah 6,80, dengan rasio luas penampang sebesar 5,6. Sedangkan Owen [4] menyatakan Geometri optimum diffuser dicapai pada sudut 700 dengan rasio luas penampang 1 berbanding 9. Fenomena aliran melintas diffuser untuk aliran berfasa ganda,
69
gas dan cairan fenomena yang terjadi berbeda dengan fenomena yang terjadi pada aliran berfasa tunggal. Pengaruh void fraction didalam cairan merupakan variabel yang dominan mempengaruhi kinerja diffuser [3]. Di bagian lain terkait dengan penelitian LJGP ini, Eswanto [5] melakukan penelitian tentang Efek Variasi debit aliran primer dan sekunder dalam mencapai kevakuman pada Liquid Jet Gas Pump, hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa Peningkatan debit aliran sekunder menyebabkan penurunan kecepatan aliran motive pada sisi keluar nosel dengan dimensi throat konstan 3.5dT. Menurunnya kecepatan tersebut akan diiringi dengan menurunnya tekanan vakum. Sementara itu bertambahnya debit aliran primer menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vakum dan debit aliran sekunder, dan dalam penelitiannnya yang lain masih terkait dengan LJGP Eswanto [6] melaporkan bahwa dengan Panjang Throat 30,45 mm terjadi peningkatan rasio aliran yang menyebabkan terjadinya penurunan rasio tekanan sehingga kecepatan aliran motive menurun, efesiensi tertinggi diperolah sebesar 10,543 % dengan tingkat kevakuman mencapai 85,828 kPa.
2. Bahan dan Metode Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium Fenomena Dasar Mesin Institut Teknologi Medan, selanjutnya pada akhir penelitian membuat korelasi dengan hasil penelitian sebelumnya. Secara umum ada empat tahapan utama dalam penelitian yang laksanakan dengan judul: “Pengaruh Pusaran Cyclone Diffuser Sepanjang 30 mm Pada Liquid Jet Gas Pump (Aplikasi Pada Penggorengan Kripik Nanas)”. Dalam pengukuran untuk mendapatkan data hasil riset digunakan alat ukur yang disesuaikan dengan kebutuhan pengamatan, alat ukur tersebut diantaranya adalah: flow meter udara, flow meter air, manometer U, penggaris Tahapantahapan tersebut yaitu tahap persiapan, tahap kalibrasi, pengujian dan penyelesaian. Tabel 1 adalah parameter yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 1. Parameter penelitian Parameter Panjang cyclone diffuser Diameter throat
Unit 30 mm 24 mm
Debit aliran primer Debit aliran sekunder
4,8,12,16,20 Gpm 10,15,20,25,30
70
Eswanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 68-71
Gambar 1. Instalasi Alat Uji
3. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 2 merupakan hasil pengukuran tekanan motive (Pm) pada flow meter air dan debit aliran sekunder (QG) pada flow meter udara dengan pusaran cyclone diffuser 30 mm, dengan memberikan variasi debit motive, dan aliran sekunder yang terdapat dibagian flow udara.
Gambar 2. Grafik hubungan Debit sekunder dengan Tekanan Motive
Dari hasil pengukuran dan analisa data dapat di informasikan bahwa ketika ada perlakuan peningkatan debit aliran sekunder pada debit motive yang sama, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan motive. Hal ini terjadi karena kecepatan aliran yang melewati pusaran cyclone diffuser mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya debit aliran sekunder yaitu pada bagian sisi flow udara, sehingga terjadi peningkatan tekanan motive. Semakin bertambanya titik pusaran pada cyclone diffuser yang menyebabkan kecepatan aliran pada sisi keluar cyclone diffuser meningkat, sehingga berakibat pada penurunan tekanan vakum. Tekanan vakum yang menurun akan menyebabkan debit aliran sekunder juga menurun dan jika semakin tinggi debit sekunder yang masuk ke dalam cyclone diffuser 30 mm melalui section chamber dan throat maka tekanan motive yang dihasilkan semakin
meningkat. Tekanan motive maksimum hasil pengamatan cyclone diffuser 30 mm terdapat pada 25 GPM yaitu 205,137 kPa, dan tekanan motive minimum terdapat pada 5 GPM yaitu 155.231 kPa. Hasil pengolahan data yang disajikan pada gambar 3 adalah hasil pengukuran rasio aliran dengan tekanan sekunder dengan panjang cyclone diffuser 30 mm, rasio aliran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rasio aliran pada bagian air dan udara. Dari Gambar 3 terlihat bahwa semakin tinggi rasio aliran pada cyclone diffuser 30 mm maka semakin banyak pula titik pusaran cyclone diffuser yang dihasilkan, sehingga berdampak terhadap tekanan sekunder yang dihasilkan yaitu tekanan sekunder akan semakin meningkat. Tekanan sekunder maksimum yang dihasilkan pada cyclone diffuser 30 mm yaitu sebesar 150.215 kPa, dengan tekanan sekunder minimum terdapat pada 12 GPM yaitu 1.367 kPa.
Gambar 3. Grafik hubungan Rasio Aliran dengan Tekanan Sekunder
Gambar 4. Grafik hubungan Rasio Aliran dengan Efesiensi
Pada Gambar 4 adalah hasil pengukuran rasio aliran (M) terhadap effesiensi dengan variasi titik pusaran cyclone diffuser. Dari pengukuran yang telah dilaksanakan dan dituangkan ke dalam gambar 4 terlihat bahwa
Eswanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 68-71
debit motive yang tinggi cenderung memberikan informasi terkait nilai efisiensi yang lebih baik pada semua tingkat rasio aliran. Efesiensi yang baik tersebut adalah adanya peningkatan rata-rata pada setiap line pada grafik yang ditunjukkan (Gambar 4). Dalam hal ini efisiensi meningkat pada seluruh variasi debit motive terhadap penurunan rasio aliran. Efesiensi maksimum pada pengujian cyclone diffuser terlihat pada gambar 4. Yaitu sebesar 18,11 % pada debit motive 5 dengan tingkat kevakuman mencapai 80.79 kPa, kecendrungan efesiensi meningkat pada seluruh variasi debit motive terhadap penurunan rasio aliran, sedangkan bertambahnya titik pada pusaran cyclone diffuer model cendrung menyebabkan penurunan efesiensi pada semua tingkat rasio aliran hal tersebut kemungkinan karena adanya aliran turbulensi.
4. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu semakin banyak titik pusaran cyclone diffuser maka tekanan sekunder akan semakin meningkat. Tekanan sekunder maksimum pada panjang cyclone diffuser 30 mm yaitu 150.215 kPa, dengan tekanan sekunder maksimum terdapat pada 12 GPM yaitu 1.367 kPa, sedangkan di sisi lain untuk tekanan motive maksimum yaitu terdapat pada 25 GPM sebesar 205,137 kPa, dan tekanan motive minimum terdapat pada 5 GPM yaitu 155.231 kPa. Sedangkan efesiensinya didapat sebesar 18,11%.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Staf Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Medan yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3]
V. P. Sharma, S. Kusmaraswamy and A. Mani, “Effect of Various Nozzle Profiles on Performance of a Two Phase Flow Jet Pump,” Engineering and Technology, pp. 546-552, 2012. R. L. Yadav and A. W. Patwardhan, “Design Aspects of Ejectors: Effects of Suction Chamber Geometry,” Chemical Engineering Science, 63:3886-3897, 2008. R. S. Neve, “Diffuser Performance in Two-Phase Jet Pumps,” International Journal of Multiphase Flow, vol. 17, pp. 267-272, 1991.
[4]
[5]
[6]
71
I. Owen, A. Abdul-Ghani, and A. M. Amini, “Diffusing a homogenized twophase flow,” International Journal of Multiphase Flow, vol. 18, pp. 531-540, 1992. Eswanto, “Efek Variasi Debit Aliran Primer Dan Skunder Dalam Mencapai Kevakuman Pada Liquid Jet Gas Pump,” Jurnal Momentum ITP Padang, vol.18, no.1, hal. 133-138, 2015. Eswanto, “Effect diameter of throat 8, 7 mm in improving performance liquid jet gas pump,” IJRAET Int.Journal, vol. 2, Issue. 3, May 2016; pp. 57-60, www.engineeringresearchjournal.com.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Rekayasa Ulang Komponen Mekanis Sistem Turbin Air Reverse Engineering of a Hydro Turbine System Mechanical Parts Nofirman Firdaus 1,2,*, Usdek Panjaitan 2, Bambang Teguh Prasetyo 2 1
PT.Esco Pacific Jakarta, Indonesia 2 Department of Mechanical Engineering, Institut Sains & Teknologi Nasional (ISTN) Jl. Moh Kahfi II, Jakarta, Indonesia
Received 08 September 2016; Revised 16 September 2016; Accepted 18 September 2016, Published 18 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.72-79 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2016 N. Firdaus. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract This paper presents a reverse engineering process for mechanical parts of a hydro turbine system. The parts under reverse engineering (RE) are faceplates and bushings. A glance of reverse engineering process is also presented based on the case study. The key to reverse engineering process is determining the key properties of material. Based on the analysis, there are several material properties that would be used for the comparison with the original equipment.The comparison of the final products with the original components shows that faceplates and bushings manufactured from reverse engineering are equivalent to the original components. Keywords: reverse engineering, mechanical parts, hydro turbine
1. Pendahuluan Indonesia adalah salah satu bangsa dengan penduduk terbanyak no 5 di dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk, konsekuensinya hal ini juga membuat Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang besar di dunia, hal ini dibuktikan dengan besarnya GPD indonesia no 16 terbesar di dunia. Akan tetapi, dalam bidang industri kita masih kalah bersaing dengan dengan negara-negara maju. Salah satu sektor yang penguasaan teknologi kita tertinggal adalah dalam teknologi pembangkit listrik, khususnya dalam hal penguasaan enjiniring dan kemampuan membuat peralatan pembangkit di dalam negeri. Dalam bidang pembangkit listrik, hampir sebagian besar teknologi pembangkit listrik, khususnya penggerak utama (prime mover) masih di impor dari luar negeri, mayoritas produknya berasal dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Dengan banyaknya produk asing di pembangkit listrik di Indonesia, maka dominasi perusahaan asing masih begitu terasa di industri © 2016 ITP Press. All rights reserved.
kita. Selain produk baru, produkasi spare parts juga masih tergantung dari produsen teknologi itu sendiri yang mayoritas adalah negara-negara asing. Impor tidak dapat dihindari, hal ini mengakibatkan kita rentan terhadap beberapa hal; fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan ketergantungan terhadap produsen luar negeri. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya pemahaman mengenai ketahanan nasional, khususnya dalam hal kemandirian dalam industri nasional, beberapa perusahaan mulai melakukan reverse engineering untuk komponen-komponen (spare parts) pembangkit listrik. Diantaranya adalah komponen untuk turbin air skala besar.
DOI 10.21063/JTM.2016.V6.72-79
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
73
facing plate dengan sisi atas dan bawah sudu penghantar harus presisi yaitu dengan toleransi ± 0,025 mm.
2. Proses Reverse Engineering
Gambar 1. Sudu penghantar turbin francis (Wicket gate) [1]
Obyek dari proses reverse engineering yang dilakukan adalah komponen turbin air tipe francis dengan kapasitas hampir 200 MW, yaitu sistim sudu penghantar yang biasa dikenal dengan nama guide vanes atau wicket gate. Turbine ini beroperasi hampir 30 tahun, komponen-komponen sudu penghantar masih di import dari negara produsen. Sudu pengarah (guide vane atau wicket guide) dari turbin francis mempunyai beberapa komponen utama yaitu oiless bushing, facing plate, dan sudu pengarah (Gambar.1). Sistim ini berfungsi untuk mengontrol jumlah aliran yang akan masuk kedalam turbin francis dengan cara menggerakkan sudu penghantar. Bushing berfungsi sebagai bearing tuas penggerak sudu penghantar dan juga berfungsi sebaga pelumas padat (Solid lubrication) dengan adanya material grafit di permukaan. Terdapat 2 jenis bushing yaitu pada sisi atas (upper side) dan sisi bawah (lower side). Terdapat dua 2 tipe bushing yang di gunakan yaitu tipe standar SAE 430 dan BC-6. Selama 20 tahun pertama tipe yang digunakan adalah BC-6, yang mempunyai umur pakai 5-6 tahun. Di 10 tahun berikutnya tipe yang digunakan adalah berdasarkan standard SAE 430, tipe ini memiliki grade yang lebih tinggi sehingga usia pakainya bisa mencapai 10 tahun. Tipe yang dinginkan oleh pengguna adalah balik ke tipe awal yaitu bushing BC-6. Karena contoh bushing yang adalah tipe SAE 430, maka tipe ini hanya akan digunakan dalam mengukur dimensi dan geometri bushing. Untuk sifat material mengacu kepada standard bushing tipe BC-6. Untuk facing plate juga terdapat di 2 lokasi pemasangan yaitu lokasi sisi atas (upper) dan sisi bawah (lower). Facing plate ini mengapit sudu penghantar di sisi atas dan sisi bawahnya. Karena facing plate menjadi dudukan sudu penghantar, maka besarnya clearance antara
Dalam melakukan reverse engineering, tahapantahapan proses yang akan dilakukan seperti di tunjukkan oleh Gambar 2. Secara garis besar terdapat 5 tahapan proses, mulai dari pengukuran geometri sampai dengan uji material dan pengukuran dimensi produk yang sudah selesai di manufaktur (Quality Control). Dalam hal ini, langkah yang paling krusial adalah tahapan verifikasi proses manufaktur, proses manufaktur, dan kontrol kualitas (QC) PARTS/COMPONENTS
MATERIAL: 1. Identifikasi material 2. Verifikasi proses Mfg
PENGUKURAN: Dimensi dan geometri
PERENCANAAN PRODUKSI
MANUFAKTUR/FABRIKASI
QC & PENGUJIAN
Gambar 2. Diagram alir proses reverse engineering
A. Pengukuran Dimensi dan Geometri Dalam proses reverse engineering, dimensi dan geometri dari komponen di ukur dari komponen OEM yang baru (Original equipment manufacturing). Jika komponen OEM yang baru tidak ada, maka bisa menggunakan komponen OEM yang bekas, tapi nanti harus dilakukan beberapa adjustment dalam menentukan dimensi dan geometri dari komponen. Dipaper ini, geometri dan dimensi diukur berdasarkan komponen OEM yang baru, yang akan digunakan untuk unit lain. Terdapat beberapa cara pengukuran untuk menentukan geometri dan dimensi dari suatu komponen. Pertama, adalah pengukuran manual dengan menggunakan alat ukur manual atau
74
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
digital seperti caliper,micrometer sekrup, dan lain sebagainya. Kedua, adalah dengan menggunakan alat ukur canggih. Pemilihan cara pengukuran yang tepat di pilih berdasarkan tingkat kedetilan dan akurasi yang dibutuhkan. Instrumentasi yang digunakan untuk mendapatkan informasi geometri dan dimensi adalah alat 3D scanner. Alat 3D Scanner bekerja dengan cara sebagaimana kamera digital bekerja. Proses pemindai bekerja tanpa menyentuh permukaan benda yang diukur. Kecepatan proses pemindai menentukan banyaknya titik yang dapat di pindai. Semakin banyak titik yang berhasil di pindai, semakin akurat hasil yang didapatkan.
Faceplate terdiri dari 4 faceplate panjang dan 4 faceplate pendek yang jika disusun dan digabungkan akan membentuk lingkaran seperti tampak pada Gambar 2. Faceplate yang disusun dalam bentuk lingkarang ini memiliki diameter lingkaran luar sebesar 4120 mm. Hasil dari pemindai kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak untuk menghasilkan gambar 2D dan 3D. Karena panjang keliling faceplate jauh lebih besar dibandingkan ketebalannya (21 mm), maka gambar yang ditampikan dalam paper ini hanya yang dalam bentuk 2D (Gambar 4). Pemindai dengan 3D scanner juga dilakukan terhadap bushing yang terdiri dari 3 macam bentuk yaitu bushing tengan (Middle bushing), lower bushing (Bushing bawah) dan guide stlip (Gambar 5). Hasil pengukuran dimensi dan geometri inilah yang dijadikan acuan dalam proses manufaktur.
Gambar 4. Gambar Faceplate
(b) (a)
(c)
Gambar 5. Oiless Bushing (a) lower bushing, (b) upper bushing, (c) guide stlipt Gambar 3. Proses pemindai faceplate dengan 3D Scanner
B. Analisa Material Sebuah material mempunyai beberapa sifat (properties), secara umum sifat tersebut dibagi
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
tiga [RE] yaitu sifat mekanik, sifat metalurgi, dan sifat fisik (Physics). Sifat mekanis umumnya berkenaan dengan hubungan antara tegangan (Stress) dan regangan (Strain). Contoh dari sifat mekanis diantaranya adalah: tegangan tarik (Ultimate tensile strength, tegangan luluh (Yield strength), kekerasan (Hardness), keuletan (Ductility) dan lain sebagainya. Sedangkan sifat metalurgi diantaranya adalah kompisisi material, dan mikrostruktur. Yang terakhir adalah sifat fisik, sifat ini adalah independen, tidak tergantung pada dua sifat lainnya. Macam sifat fisik adalah berat jenis, temperatur luluh, koefisien perpindahan panas, panas spesifik dan lain sebagainya. Dalam reverse engineering, secara teoritis suatu material dikatakan equivalen dengan material lainnya jika semua sifat-sifat materialnya sama atau identik, akan tetapi jika semua sifat material diuji untuk menentukan kesamaan material dengan produk hasil reverse engineering, maka biaya yang dikeluarkan akan sangat besar, membutuhkan waktu yang lama, dan bisa jadi mustahil untuk dilakukan [RE]. Untuk terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menentukan sifat material mana saja yang diuji yang dapat mewakili ke-ekuivalenan suatu material. Secara garis besar hal ini terfokus kepada sifat metalurgi dan beberapa sifat mekanik . Sifat metalurgi mempunyai peranan yang sangat penting dalam reverse engineering. Sifat mekanik alloy ditentukan oleh komposisi material dan struktur mikro dari material. Dua material yang memiliki komposisi material yang sama, belum tentu sifat mekanik kedua material tersebut sama, jika struktur mikro kedua material berbeda. Oleh sebab itu kesamaan bentuk struktur mikro menjadi faktor kunci dalam menentukan apakah kedua material ekuivalen. Jadi menyamakan struktur mikro material reverse engineering dengan material OEM akan membuat material hasil reverse engineering ekuivalen dengan material OEM. Analisa struktur mikro yang dilakukan dalam proses reverse engineering adala analisa morfologi butiran (Grain morphology) struktur mikro dan tekstur dari material. Dari analisa struktur mikro ini kita dapat menelusuri proses manufaktur apa saja yang dialami oleh material tersebut dengan bantuan analisa diagram fase material. Salah satu parameter dalam analisa struktur mikro ini adalah ukuran butir struktur mikro material. Material yang memiliki struktur mikro yang berbeda, mengalami proses manufaktur dan perlakuan panas yang berbeda
75
pula, dan sifat mekanik kedua material tersebut akan berbeda pula. Dalam menghitung ukuran butiran struktur mikro material bisa mengacu kepada standar ASTM E112 (Standard test method for determining grain size). Untuk membandingkan struktur mikro dari dua material dapat dilakukan dengan beberapa cara [2]. Pertama, jumlah butiran per satuan luas dihitung dengan metode planimetric yang juga dikenal dengan metode Jeffries [4], kemudian dikonversikan kedalam nomor ukuran butir ASTM (ASTM grain size number). Cara Kedua, dengan menggunakan metode Heyn. Metode Heyn menghitung jumlah intersep antara batas butir dan garis uji yang diambil secara acak, kemudian dihitung ukuran rata-rata dari butir struktur mikro material [2]. Metode Heyn lebih sederhana dan lebih cepat dikerjakan dibandingkan dengan metode Jeffries [4,5]. Hasil uji ukuran butir struktur mikro material hasil reverse engineering dibandingkan material OEM. Jika ukuran rata-rata butiran struktur mikro material mendekati atau sama dengan materia OEM, maka bisa dikatakan kedua material tersebut adalah ekuivalen. Terdapat cara untuk menentukan sifat material apa yang diuji dan dijadikan parameter dalam perbandingan material terhadap material OEM. Analisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan di bawah [2]: 1. Sifat material yang dianggap penting: Menjelaskan sifat material mana yang dianggap penting (Critical) dan relevan terhadap fungsi dari komponen tersebut. 2. Analisa Resiko: Menjelaskan bagaimana sifat material yang dipilih ini akan mempengaruhi kinerja dari komponen tersebut, dan apa konsekuensi yang dapat terjadi jika nilai sifat material ini tidak dapat memenuhi nilai standar yang berlaku. 3. Jaminan kinerja: Jenis uji material apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan ekuivalensi terhadap material original. Faceplate: Faceplate terletak di bagian bawah dan bagian atas dari sudu pengarah. Sudu pengarah bekerja diapit oleh faceplate bagian atas dan faceplate bagian bawah. Aliran air mengalir ruang yang ada diantara dua faceplate dan sudu pengarah. Disini terdapat beberapa mekanisme yang terjadi. Pertama, bisa terjadi gesekan antara faceplate dengan sudu pengarah, akan tetapi gesekan yang terjadi pada suatu waktu akan hilang karena akan terbentuk jarak ruang
76
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
(cleareance) antara sudu dan faceplate, sehingga sudu akan bebas bergerak kembali. Kedua, air akan melalui permukaan kedua sisi faceplate, sehingga akan terjadi gesekan antara air dengan permukaan faceplate. Sifat material yang penting dalam hal ini adalah sifat mekanik yaitu kekerasan material (Hardness). Sifat kekerasan (Hardness) material adalah kemampuan material untuk tahan terhadap goresan (scratching), abrasi (abrasion), dan tusukan (cutting). Media yang melalui faceplate adalah air, dan air membuat proses korosi material menjadi lebih cepat. Terlebih bila kualitas air nya sangat buruk berdasarkan parameter yang ada. Oleh sebab itu terdapat satu sifat material yang perlu dijadikan acuan yaitu ketahanan terhadap korosi (Corrosion resistance). Parameter yang digunakan biasanya adalah Pitting resistance equivalent number (PREN). Besarnya nilai PREN ini sangat ditentukan oleh besarnya kandungan chromium (Cr). Formula yang digunakan untuk menghitung nilai PREN adalah sebagai berikut: PREN = 1 x %Cr + 3.3 x %Mo + 16 x %N (w/w)
termasuk bushing. Paramater sifat material yang digunakan adalah nilai kekerasan material. Bushing hasil proses reverse engineering ini dipasang pada sistim pengatur udara dan bahan bakar pesawat. Dalam suatu penerbangan pesawat tersebut jatuh. Hasil investigasi menunjukkan bahwa penyebab kegagalan salah satunya adalah bushing. Setelah dilakukan pengujian nilai kekerasan material dan dibandingkan dengan nilai kekerasan bushing OEM, diperoleh fakta bahwa nilai kekerasan produk reverse engineering 14% lebih rendah dibandingkan nilai kekerasan material OEM. Perbedaan nilai kekerasan inilah yang ditenggarai sebagai penyebab gagalnya material dan mengakibatkan jatuhnya pesawat terbang terbang tersebut. Jadi dalam proses reverse engineering bushing PLTA, nilai kekerasan bushing akan dijadikan parameter dalam menentukan ekuivalensi dengan material OEM. Karena jenis material sudah ditentukan yaitu BC-6, maka komposisi material juga akan dijadikan sebagai parameter sifat material produk hasil reverse engineering [3-6].
(1)
Jika nilai kekerasan dibawah nilai acuan yang di tentukan, maka, material ketebalan faceplate menjadi lebih cepat terkikis dan menjadi lebih tipis. Konsekuensi yang ada adalah umur teknik faceplate menjadi lebih cepat. Umur pakai menjadi lebih cepat, pengadaan baru faceplate menjadi lebih sering. Hal yang sama juga terjadi bila laju korosi menjadi lebih tinggi. Untuk mengidentifikasi apakah material faceplate hasil reverse engineering bisa dikatakan ekuivalen dengan material faceplate original, akan digunakan tiga sifat material sebagain acuan dan bahan perbandingan yaitu komposisi material, kekerasan (Hardness) dan pitting resistance equvalent number (PREN). Bushings: Menurut Wang [2], nilai kekerasan (Hardness) merupakan satu satunya uji parameter yang diperlukan dalam menunjukkan bushing hasil reverse engineering ekuivalen dengan bushing OEM. Di referensi [6], dilakukan proses reverse engineering pada katup kupu-kupu (Butterfly valve) dari kaburator pesawat terbang dengan 4 penumpang. Peralatan ini berfungsi untuk mengatur aliran udara dan bahan bakar ke dalam mesin. Salah satu komponen dalam peralatan ini adalah bushing. Pabrik bushing OEM telah tutup, sehingga sebuah perusahaan manufaktur melakukan reverse engineering terhadap peralatan tersebut,
3. Proses Manufaktur RE Dibawah ini akan dijelaskan proses manufaktur faceplate dan bushing A. Proses Manufaktur: Faceplae Material faceplate berupa plat dengan ukuran tertentu. Sebelum dilakukan permesinan, dilakukan beberapa tahap persiapan seperti pemotongan pada geometri plat faceplate agar proses permesinan dengan cnc lebih cepat dan ekonomis. Setelah tahap persiapan selesai, material tersebut di kirim ke mesin cnc (Gambar 5) untuk dilakukan proses permesinan. Ketebalan faceplate yang dinginkan adalah 20 mm dengan akurasi yang diminta oleh konsumen ± 0,025 mm. Dibandingkan dengan dimensi panjang dan lebar komponen faceplate, akurasi yang diminta bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan tahapan persiapan yang sangat kompleks dan presisi agar akurasi yang di minta tercapai.
Gambar 5 . Proses machining faceplate
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
B. Perbandingan Material: Faceplate Setelah material selesai di manufaktur, pengujian dan perbandingan sifat material perlu dilakukan untuk memastikan bahwa material tersebut ekuivalen dengan material OEM. Dalam ini ada 3 sifat material yang diuji dan dibandingkan yaitu komposisi material, nilai kekerasan (Hv), dan nilai tahanan terhadap korosi (PREN number). Selain dibandingkan dengan material OEM, tiga sifat material diatas juga dibandingkan dengan standard material SUS-410. Uji komposisi material reverse engineering memperlihatkan bahwa komposisi material masuk ke dalam kategori SUS-410 (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan material orisinil (OEM), unsur C, Si, Mn, serta Cr memiliki nilai yang mendekati. Kecuali pada unsur phosphorus
77
(P) dan Sulfur (S), dimana nilai nya berbeda dengan material hasil reverse engineering. Nilai phosphorus (P) yang tinggi meningkatkan kekuatan dan kekerasan material dan meningkatkan tahanan terhadap korosi. Nilai sulfur (S) sampai dengan 0,05% adalah bentuk ketidak murnian material, dan tidak mempunyai efek yang besar terhadap sifat material kecuali jika nilainya mencapai 0,1% - 0,3% mampu meningkatkan sifat mampu mesin (Machinability) material. Material orisinil mempunyai kandungan Molybdenum (Mo). Kandungan Molybdenum (Mo) meningkatkan nilai kekerasan material. Perbedaan kandungan unsur-unsur diatas, membuat material OEM memiliki sifat kekerasan dan ketahanan korosi sedikit lebih baik dari material reverse engineering.
Tabel 1. Perbandingan sifat material
No 1 2 3
Material C Si Mn P S Cr Mo HV PREN SUS-410 (Standard) 0.15 Max 1.00 Max 1.00 Max 0.040 Max 0.030 Max 11.5-13.5 0 210 Max 15 Max SUS-410 (Orisinil) 0.111 0.564 0.32 0.145 0.002 12.3 0.0058 220 12.3 SUS-410 (Reverse Engi) 0.12 0.507 0.467 0.03 0.02 12.232 0 211 12.2
Perbandingan nilai kekerasan (HV) material RE dengan standar, nilai kekerasan RE boleh dibilang ekuivalen dengan standard maksimum pada SUS-410. Jika dibandingkan dengan material OEM, nilai kekerasan material RE lebih rendah 4% dbandingkan dengan nilai kekerasan material OEM. Disisi lain, nilai ketahanan terhadap korosi (PREN) untuk material OEM sedikit lebih baik (0,8% lebih tinggi) dibandingkan material hasil RE. Hal ini dikarenakan kandungan phosphorus (P) dan Molybdenum (Mo) pada meterial OEM. Berdasarkan perbandingan tiga sifat material ini, maka dapat dikatakan bahwa material RE bisa ekuivalen dengan material OEM. C. Verifikasi Geometri: Faceplate Dalam proses pengendalian mutu (QC), dilakukan verifikasi dimensi dan geometri komponen faceplate hasil RE. Verifikasi menggunakan mesin portable coordinate measuring machine (CMM) (Gambar 6). Hasil verifikasi menunjukkan bahwa akurasi ± 0,025 mm dicapai. Kemudian dilakukan pula verifikasi geometri dengan cara menyusun bagian-bagian faceplate menjadi satu lingkaran besar (Gambar 7). Hasil verifikasi menunjukkan bahwa faceplate dapat tersusun sesudai geometri yang di syaratkan oleh konsumen. Setelah proses QC selesai, material di siap dilakukan pengemasan (Gambar 8)
D. Proses Manufaktur: Bushing Sebelum dilakukan proses pengecoran, terlebih dahulu harus ditentukan hasil akhir komposisi material dinginkan. Dengan menggunakan diagram fase kuningan dapat ditentukan bahan baku apa saja yang dimasukkan, bahan additive apa saja yang harus diikutkan, berapa suhu tungku proses pengecoran, berapa lama proses pengecoran, dan berapa lama proses pendinginan dalam cetakan (Mold) agar didapatkan sifat material yang dinginkan.
Gambar 6. Proses verifikasi faceplate hasil RE
78
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
Gambar 7. Penyusunan faceplate untuk verifikasi geometri
Gambar 8. Proses pengemasan faceplate
(a) Pengecoran
Proses pengecoran menggunakan tungku dengan bahan bakar solar (Gambar 9.a). Setelah proses pengecoran didalam tungku selesai, kemudian kuningan cair dimasukkan kedalam cetakan dengan geometri dan dimensi yang diinginkan. Lalu dipanaskan kembali dengan panas lebih rendah dibanding didalam tungku, dan kemudian didinginkan sesuai hasil analisa dari diagram fase kuningan. Hasil cetakan dapat di lihat di gambar 9.b Hasil cetakan kemudian di machining, sehingga mulai tampak lapisan kuningan pada permukaan bushing. Setelah itu dilakukan pemasangan grafit pada lobang-lobang di permukaan bushing. Dalam memasang grafit ini, grafit dipanaskan agar menjadi cair, kemudia dipasang kedalam cetakan yang sudah di siapkan di lobang bushing. Setelah dibiarkan beberapa waktu grafit akan menjadi padat dan kering. Kemudian dilakukan machining kembali dengan mesin bubut agar tumpahan cairan grafit tadi bisa bersih kembali dan machining juga dilakukan agar ketebalan bushing sesuai dengan yang disyaratkan. Akurasi yang diminta pada bushing ini adalah ± 0,3 mm, sehingga proses permesinan cukup menggunakan mesin bubut. E. Perbandingan Material: Bushing Sifat material yang akan digunakan dalam menentukan ekuivalensi dengan material OEM adalah komposisi material dan nilai kekerasan (Hardness). Berdasarkan Tabel 2, sifat komposisi material RE masuk kedalam tembaga paduan standar BC-6. Kandungan unsur tembaga (Cu), timah (Sn), timbal (Pb), dan seng (Zn) masih dalam batas kriteria tembaga paduan BC-6. Perbandingan nilai kekerasan, menunjukkan bahwa nilai kekerasan material RE lebih besar dari nilai minimum yang diizinkan. Berdasarkan perbandingan dua sifat material yaitu komposisi material dan kekerasan, maka material RE ekuivalen dengan standard CAC406 BC-6. Tabel 2. Sifat material bushing
Unsur
(b) Hasil cetakan casting Gambar 9. Proses casting
Cu Sn Pb Zn Sifat Hv
Standar JIS 512 CAC-406 (BC6) 83-87 4.0-6.0 4.0-6.1 4.0-6.2 60 min
Reverse Eng 83.87 5.08 4.94 5.23 75
N. Firdaus / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 72-79
F. Verfikasi Geometri: Bushing Verifikasi dimensi dan geometri bushing menggunakan caliper dan mikrometer digital hal ini dikarenakan akurasi yang dibutuhkan tidak setinggi faceplate. Hasil verifikasi dimensi dan geometri menunjukkan dimensi dan geometri bushing sesuai dengan yang disyaratkan oleh pemesan.
79
dan nilai kekeran bushing. Perbandingan bushing hasil RE dengan standard BC-6 menunjukkan bahwa bushing hasil RE ekuivalen denga standard yang di syaratkan.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Staf PT.Esco Pacific dan Staf Jurusan Teknik Mesin Institut Sains & Teknologi Nasional yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5] [6]
Gambar 10. Hasil akhir bushing sebelum dipasang grafit
4. Simpulan Berdasarkan proses reverse engineering untuk komponen faceplate dan bushing terdapat beberapa sifat material yang dijadikan parameter ekuivalensi material terhadap material OEM. Faceplate menggunakan tiga sifat material yaitu komposisi material, nilai kekerasan, dan nilai indeks tahanan terhadap korosi (PREN). Berdasarkan perbandingan 3 parameter tersebut, dapat dikatakan bahwa komponen faceplate hasil RE ekuivalen dengan faceplate OEM. Begitu juga dengan dimensi dan geometri faceplate. Untuk komponen bushing, digunakan dua parameter untuk menunjukkan ekuivalensi dengan bushing OEM berdasarkan standar JIS 511 CAC-406 BC-6, yaitu komposisi material
Norwegian University of Science and Technology, Di akses 25 Oktober 2016, http://www.ivt.ntnu.no/ept/fag/tep4195/in nhold/Forelesninger/forelesninger%2020 06/8%20-%20Guide%20Vanes%20in%2 0Francisturbines.pdf W. Wego, Reverse Engineering: Technology of Reinvention. CRC Press, 2010 Diakses pada 25 Oktober 2016: http://www.tf.unikiel.de/matwis/amat/iss/ kap_6/illustr/i6_2_1.html G. F. V. Voort. Metallography, Principles and Practice. Second edition. ASM International. 1999 J. J. Friel. Practical Guide to Image Analysis. ASM International. 2000 A. J. McEvily, ”Reverse engineering gone wrong: A case study”. Engineering Failure Analysis, Vol. 12, Issue 5, pp. 834838, October 20015.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Sebuah Instrumen Virtual Penganalisis Sinyal Dinamik Sederhana untuk Memantau dan Mengontrol Temperatur Aliran Udara A Simple Dynamic Signal Analyzer Virtual Instrument to Monitoring and Control Airflow Temperature Asmara Yanto 1,*, Anrinal 1, Ryan Adi Pratama 2 1
2
Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Undergraduate Program, Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 10 September 2016; Revised 18 September 2016; Accepted 20 September 2016, Published 20 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.80-85 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2016 A. Yanto. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract This work aims to present a Dynamic Signal Analyzer Virtual Instrument (DSA-VI) for monitoring and control the airflow temperature in a prototype of air duct. Here, the DSA-VI has developed by using LabVIEW software and Arduino UNO. To investigate the performance of DSA-VI, an experiment has performed to monitoring and control airflow at settling temperature, 40oC, 50oC, and 60oC, respectively by using the DSA-VI. By assuming that an airflow temperature control system as the first order system, the time constant () should be inspected as one of the system characteristics. The testing at the settling and surrounding temperatures (Tsp and T0) are 40oC and 28.81oC respectively, obtained value of is 7.49 s; at Tsp and T0 are 50oC and 29.88oC respectively, obtained value of is 11.35 s; and at Tsp and T0 are 60oC and 28.81oC respectively, obtained value of is 19.54 s. By using DSA-VI, the value of at the transient response can be evaluated. At the steady state response, the airflow temperature has controlled well with the steady state error less than ± 2.5 %. Keywords: DSA-VI, monitoring, control, airflow temperature, time constant, steady state error
1. Pendahuluan Dalam proses industri, sering dibutuhkan besaran-besaran yang memerlukan kondisi atau persyaratan yang khusus, seperti ketelitian yang tinggi, harga yang konstan untuk selang waktu tertentu, nilai yang bervariasi dalam suatu rangkuman tertentu, perbandingan yang tetap antara 2 (dua) variabel, atau suatu besaran sebagai fungsi dari besaran lainnya. Kesemuanya itu tidak cukup dilakukan hanya dengan pengukuran saja, tetapi juga memerlukan suatu sistem kontrol agar syaratsyarat tersebut dapat dipenuhi [1-5]. Pada umumnya, sistem kontrol yang digunakan di industri adalah sistem kontrol on/off terutama pada sistem kontrol temperatur aliran udara [6© 2016 ITP Press. All rights reserved.
12]. Sistem kontrol on/off banyak digunakan karena sistemnya sederhana dan berharga murah. Di pasaran, pada umumnya sistem kontrol on/off yang tersedia masih secara analog [13], sehingga tidak dapat digunakan untuk sistem pemantauan. Ada beberapa produk yang digunakan untuk mengontrol temperatur aliran udara dan kebanyakan diproduksi oleh perusahaanperusahaan yang bergerak di bidang instumentasi dan kendali seperti Siemens 6], Chromalox [7], CAP [8], Danfoss [9], WPI [10], Belimo [11], dan Omega [12]. Umumnya, produk-produk tersebut menggunakan satu sensor temperatur. Metode pengontrolan yang terdapat pada produk-produk ini biasanya
A. Yanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 80-85
dilengkapi dengan set point temperatur yang digital. Akan tetapi, temperatur yang dikontrol biasanya hanya terpantau pada satu harga tertentu saja tanpa terpantau perubahan harga temperatur sepanjang waktu operasi. Dengan kata lain, respon transient dan respon steady state tidak termonitor. Oleh sebab itu, diperlukan suatu metode dan instrumen yang dapat memonitor sekaligus mengontrol temperatur aliran udara. Nurahmadi dan Ashari [14] telah mengembangkan sistem kontrol dan monitoring suhu jarak jauh memanfaatkan embedded system mikroprosesor W5100 dan ATMega8535. Sistem kontrol dan monitoring yang telah dikembangkan ini dapat mengontrol temperatur objek dan dapat menyajikan data temperatur yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya pada objek. Bentuk komunikasi dari sistem kontrol dan monitoring ini masih serial dan berkomunikasi dengan memanfaatkan paket data TCP/IP. Vendamawan [15] telah mengembangkan sistem monitoring dan kendali suhu reaktor skala laboratorium. Sistem
1. PC/Laptop 2. Arduino Uno 3. Power supply (PS)
81
monitoring kendali ini telah dilakukan secara online menggunakan Wifi dan sudah berjalan baik dengan prosentase kesalahan kisaran di bawah 2%. Pada penelitian yang lain, Yanto dan Hadi [13] telah mengembangkan sistem kontrol untuk mengendalikan temperatur aliran udara pada 3 (tiga) buah saluran udara sekaligus. Akan tetapi, sistem ini belum bisa dimonitor karena sistem kontrol ini masih secara analog. Berdasarkan uraian di atas, maka pada artikel ini dipaparkanlah sebuah dynamic signal analyzer (DSA) yang dikembangkan untuk memonitor dan sekaligus mengontrol temperatur aliran udara. Di sini, DSA berbasis komputer atau berupa dynamic signal analyzer virtual instrument (DSA-VI) dengan memanfaatkan perangkat lunak LabVIEW dan perangkat keras Arduino UNO. Dengan DSA-VI ini diharapkan dapat ditemukan sistem kontrol yang tidak hanya dapat mengontrol temperatur aliran udara, tetapi juga dapat untuk memonitor fluktuasi temperatur aliran udara baik pada daerah transient maupun pada daerah steady state.
4. Power trigger (PT) 5. Kipas angin (fan) 6. Sensor IC LM35DZ
7. Heater 8. Prototipe saluran udara 9. Tegangan PLN (𝑉𝑃𝐿𝑁 )
Gambar 1. Sistem Monitoring dan Pengontrolan Temperatur Aliran Udara dengan DSA-VI
82
A. Yanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 80-85
2. Metode DSA-VI yang dikembangkan untuk mengontrol dan memonitor temperatur aliran udara pada sebuah prototipe saluran dapat dilihat pada Gambar 1. DSA-VI terdiri atas perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak berupa Paket Program LabVIEW dan Arduino IDE dan perangkat kerasnya berupa personal computer (PC) dan Arduino UNO. Temperatur yang dikontrol adalah temperatur aliran udara pada sebuah prototipe saluran udara berbentuk persegi. Pada sisi masuk saluran udara ditempatkan sebuah kipas angin (fan) yang berfungsi untuk mengalirkan udara menuju sisi keluar saluran udara. Udara yang dialirkan adalah udara dengan temperatur ruang/lingkungan. Di dalam saluran ditempatkan pemanas (heater) yang berfungsi untuk memanaskan temperatur udara yang
mengalir di dalam saluran tersebut. Fan diaktifkan dengan sebuah power supply (PS) sedangkan daya listrik yang dibutuhkan oleh heater disalurkan oleh power trigger (PT) dengan cara memicu tegangan PLN (VPLN) ke heater berdasarkan aksi kontrol oleh DSA-VI. Temperatur aliran udara pada sisi keluar diukur dengan sensor IC LM35DZ yang memiliki sensitifitas 10mV/°C. Sensor ini dihubungkan ke Arduino UNO. Di Arduino UNO, temperatur yang terukur oleh sensor, dibaca. Dengan menggunakan komunikasi serial, data temperatur dari Arduino UNO dapat termonitor oleh PC dengan sebuah paket program LabVIEW untuk mengontrol dan memonitor temperatur aliran udara. Front Panel dan Block Diagram dari paket program LabVIEW ini masing-masing dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Fornt Panel pada DSA-VI
Saat inisiasi (waktu, t = 0 s), PT tidak akan memicu VPLN ke heater, sehingga temperatur aliran udara yang terukur oleh IC LM35DZ sama dengan temperatur udara lingkungan. Setelah harga temperatur set point (Tsp) diinputkan pada Front Panel DSA-VI, PT akan memicu 100% VPLN ke heater hingga saat temperatur aliran udara berkisar pada harga T sp, DSA-VI melakukan aksi kontrol agar temperatur udara tetap berkisar pada harga T sp. Aksi kontrol ini akan mengendalikan PT melakukan penyulutan VPLN ke heater sehingga heater akan mengeluarkan energi panasnya sebanyak yang diperlukan hingga temperatur aliran udara tetap di kisaran Ts.
Sistem kontrol yang digunakan merupakan sistem kontrol lup tertutup (closed-loop control system) dengan sinyal keluaran yang berpengaruh terhadap aksi pengontrolan seperti pada Gambar 4. Sedangkan aksi kontrol yang digunakan oleh DSA-VI menghasilkan tegangan heater (VH1) berdasarkan firing sudut fase VPLN sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 5.
3. Hasil dan Pembahasan Analisa kinerja sistem monitoring dan pengontrolan temperatur aliran udara ini difokuskan pada karakteristik sistem berupa harga Time Constant (𝜏) sistem orde satu. Hasil monitoring dan pengontrolan pada pengujian pertama diperlihatkan pada Gambar 6.
A. Yanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 80-85
Temperatur awal (T0), temperatur set point (Tsp), batas kesalahan ±2.5% dari T sp, durasi dan harga 𝜏 untuk ketiga variasi T sp (40oC, 50oC dan 60oC), juga diperlihatkan pada Gambar 6. Untuk Tsp = 40℃ dan T0 = 30.76oC diperoleh harga 𝜏 sebesar 6.28 second. Ini berarti, sistem membutuhkan waktu untuk mencapai respon 63,21% dari set point selama 6,28 second pada temperatur 36.62oC. Sementara, Untuk T sp =
83
50 ℃ dan T0 = 32.23oC diperoleh harga 𝜏 sebesar 10.11 second. Ini berarti, sistem membutuhkan waktu untuk mencapai respon 63,21% dari set point selama 10.11 second pada temperatur 43.95oC dan dengan Tsp = 60℃ dan T0 = 25.39oC diperoleh harga 𝜏 sebesar 21.62 second. Ini berarti, sistem membutuhkan waktu untuk mencapai respon 63,21% dari set point selama 21.62 second pada temperatur 47.36oC.
Gambar 3. Block Diagram pada DSA-VI 400 VPLN VH1
Voltage
200
0
-200
-400 0.9
Gambar 4. Model sistem pengontrolan temperatur aliran udara sederhana.
0.91
0.92
0.93
0.94
0.95 0.96 Time <s>
0.97
0.98
0.99
1
Gambar 5. Contoh gelombang firing sudut fase VPLN yang digunakan oleh heater.
Gambar 6. Hasil Pengujian Pertama DSA-VI
84
A. Yanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 80-85
Pengujian untuk monitoring dan pengontrolan yang dilakukan terhadap konsumsi VPLN ke heater selama 2 menit sebanyak 5 kali pada setiap Tsp. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi harga Time Constant (τ) pada respon transient. Hasil kelima pengujian ini
dapat dilihat pada Tabel 1 dan ilustrasikan pada Gambar 7. Untuk melihat daerah steady state, dilakukan pengujian keenam dengan durasi waktu 5 menit (300 second) dengan hasil pengujian diperlihatkan pada Gambar 8.
Tabel 1. Hasil pengujian DSA-VI terhadap konsumsi VPLN ke heater selama 2 menit sebanyak 5 kali pada setiap Tsp
Temp Set Point
40℃ o
50℃ o
60℃ o
T0 ( C)
𝜏 (sec)
T0 ( C)
𝜏 (sec)
T0 ( C)
𝜏 (sec)
Pengujian 1
31.25
6.28
33.20
10.11
25.39
21.62
Pengujian 2
30.76
6.47
25.88
13.27
27.83
20.41
Pengujian 3
29.30
7.52
28.32
11.20
28.81
19.70
Pengujian 4
27.83
8.22
30.27
11.11
31.74
17.79
Pengujian 5
24.90
8.99
31.74
11.08
32.23
18.20
Rata-rata
28.81
7.50
29.88
11.35
29.20
19.54
Gambar 7. Hasil pengujian rata-rata
Gambar 8. Hasil pengujian untuk melihat daerah steady state.
Gambar 7 memperlihatkan bahwa harga Time Constant (τ) dapat dievaluasi dengan baik. Sedangkan pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa DSA-VI mampu memonitor dan
mengontrol temperatur aliran udara dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari harga batas kesalahan dari Tsp yang diperoleh berkisar kurang dari ±2.5%.
A. Yanto / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 80-85
4. Simpulan Tujuan pengembangan DSA-VI ini dalam rangka menemukan metode monitoring dan pengontrolan temperatur aliran udara di dalam saluran yang sederhana telah berhasil dicapai. Dari hasil monitoring dan pengontrolan temperatur aliran udara diperoleh harga time constant, , pada temperature set point, Tsp, 40℃ sebesar 7,496 second, harga pada Tsp 50℃ sebesar 11,35 second dan harga pada Tsp 60℃ sebesar 19,54 second. Harga-harga ini dapat termonitor di daerah transient. Sedangkan, monitoring pada daerah steady state memperlihatkan temperatur aliran udara terkontrol secara baik dengan kesalahan lebih kecil dari batas kesalahan 2.5%.
[6]
[7]
[8]
[9]
Ucapan Terima Kasih Terima kasih penulis sampaikan kepada Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atas penugasan penelitian dengan nomor kontrak: 94/Kontrak-Penelitian Batch II/O10/KM/2016. Artikel ini merupakan hasil penelitian yang memanfaatkan salah satu produk penelitian yang telah didanai dengan nomor kontrak di atas.
[10]
[11]
[12]
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
M. Ruel P.E., “Fast Methods for Slow Loops: Tune Your Temperature Controls In 15 Minutes,” Presented at ISA EXPO 2003, 21-23 October 2003 in Houston. W. Laurenzi, “Computer Aided Design Of Drying Schedules In Order To Control The Drying Process,” 8th International IUFRO Wood Drying Conference, 302 – 307, 2003. C. Prewit and R. Bachnak, “Implementing PID Temperature Control Using LabVIEW,” Proceedings of the 2004 ASEE Gulf-Southwest Annual Conference, Texas Tech University, 2004. A. Nogueira, “Simulation and control strategies for an energetically efficient wood drying process,” EFITA/WCCA Joint Congress on IT in Agriculture, Vila Real Portugal, 244-251, 2005. K. Hachisuka and S. Hoshi, “Development of Multi-temperature Controllability for Transport Refrigeration Systems,” Mitsubishi Heavy Industries Technical Review, Vol. 48, No. 2, 2011.
[13]
[14]
[15]
85
Siemens Switzerland Ltd. Air duct temperature controller RLM162. [Online]. Available: http://www.siemens.com/Air Duct Temperature.pdf, 12-08-2013. Chromalox. Air Temperature Control Electric Heating System. [Online]. Available: http://www. chromalox.com/ Air Temperature Control Electric Heating System.pdf, 12-08-2013. Capcontollers. AIR-1 Temperature & Humidity Control. [Online]. Available: http://www. capcontollers.com/AIR-1 Temperature & Humidity Control.pdf, 12-08-2013. Danfoss. Controller for Temperature Control. [Online]. Available: http:// www.danfoss.com/ Controller for Temperature Control.pdf, 12-08-2013. WPI (World Precision Instruments) Inc. (2007). Precise temperature controlled air heater and humidifier. [Online]. Available: http://www.wpiinc.com/AirTherm-H.pdf, 12-08-2013. Belimo. Room temperature controller TRC. [Online]. Available: http://www. belimo.com/ Room temperature controller TRC.pdf, 12-08-2013. Omega. Control Tuning a PID (Three Mode) Controller. [Online]. Available: http://www.omega.com/ Temperature Control Tuning a PID (Three Mode) Controller.pdf, 12-08-2013. A. Yanto dan S. Hadi, “Pengembangan Metode Pengontrolan Temperatur Aliran Udara Dengan Menggunakan Analog Voltage-Controlled Phase Angle-Fired Power Interface,” Jurnal Teknik Elektro ITP, vol. 2,no. 3, pp. 6-11, 2013. F. Nurahmadi dan A. Ashari, “Sistem Kontrol dan Monitoring Temperatur Jarak Jauh Memanfaatkan Embedded system Mikroprosesor W5100 dan ATMega8535,” Indonesian Journal of Electronics and Instrumentation System, vol. 1, no. 2, pp. 55-66, 2011. R. Vendamawan, “Rancangan Sistem Monitoring dan Kendali Temperatur Reaktor di Laboratorium,” Jurnal Metana, vol. 8, no. 2, pp. 24-29, 2012.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Analisis Kekuatan Komposit Resin diperkuat Serat Pinang Strength Analysis of Betelnut Fiber-Reinforced Resin Composite Hendriwan Fahmi 1,*, Syafrul Hadi 1, Fajar Marda Kapur 3 1
2
Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Undergraduate Program, Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 10 September 2016; Revised 18 September 2016; Accepted 20 September 2016, Published 20 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.86-91 Academic Editor: Putri Pratiwi ([email protected]) *Correspondence should be addressed to [email protected] Copyright © 2016 H. Fahmi. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Material is needed in life, the material itself is used aims to facilitate human activities, in the development of modified human material in various ways, one of which composite materials. Composite is a combination of two or more elements that get combined properties of the elements combined. Liquid Epoxy resin is a low molecular weight organic group containing epoxide. The composite material used is a fiber reinforced resin nut shell. Point of this study is know tensile strength of fiber nut shell composite, variations in the composition of the epoxy resin and fiber nut shell made in this study was 90:10%wt, 80:20%wt, and 70:30%wt, fiber length of 2 cm with random fiber orientation. This experiment is the tensile test. Tensile test was conducted to determine the tensile stress each - each composition, the standard used is ASTM 638 02. From the test results obtained on the composition of the composite tensile strength of 90: 10% wt is 9.8 MPa, the composition of 80: 20% wt was 13.06 MPa and the composition of 70: 30% wt is 14.04 MPa. Of the fracture surface can be seen that the fibers are well distributed and the bond between resin and fiber is also more evenly so that the tensile strength increased. Keywords: composite, betelnut fiber, epoxy, fiber orientation, tensile strenght
1. Pendahuluan Material komposit adalah material yang tersusun dari campuran atau kombinasi dua maupun lebih unsur – unsur utama yang secara makro berbeda di dalam bentuk dan atau komposisi material yang dasarnya tidak dapat dipisahkan [1]. Kelebihan komposit dari logam adalah ketahanannya terhadap korosi maupun pengaruh lingkungan bebas dan untuk jenis komposit tertentu memiliki kekuatan dan kekakuan yang lebih baik. Oleh karena itu penelitian yang berkelanjutan berbanding lurus dengan dengan perkembangan teknologi bahan tersebut. Keuntunngan lain dari material komposit adalah kemampuan material tersebut untuk diarahkan sehingga kekuatannya dapat diatur hanya pada arah tertentu yang kita kehendaki. Hal ini dinamakan tailoring © 2016 ITP Press. All rights reserved.
properties dan ini adalah salah satu istimewanya komposit dibandingkan dengan material konvensional lainnya. Resin merupakan bahan yang akan diperkuat serat secara umum.. Resin bersifat cair dengan viskositas yang rendah, yang akan mengeras setelah terjadinya polimerisasi. Resin berfungsi sebagai pengikat antara serat yang satu dengan yang lain sehingga menghasilkan ikatan yang kuat terbentuk material yang padu, yaitu material yang memiliki kekuatan pengikat (bound strength) yang tinggi [2]. Serat alami adalah serat yang dihasilkan dari bahan – bahan alam. Serat alami ini akan digunakan sebagai penguat pada komposit. Diantara semua serat alam, serat buah pinang merupakan bahan yang menjanjikan karena murrah, dan ketersediaan yang melimpah
H. Fahmi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 86-91
karena tidak begitu dimamfaatkan oleh masyarakat bahkan kadang hanya dianggap sebagai sampah saja. Serat buah pinang secara ilmiah pemamfaatannya masih dikembangkan. Serat ini sekarang banyak digunakan di industri – industri mebel dan kerajinan rumah tangga. Pemamfaatan serat ini dapat mengurangi permasalahan lingkungan, karena sering dianggap sampah dan tidak membahayakan kesehatan. Kandungan serat buah pinang yaitu, kadar selulosa 70,2%, air 10,92%, abu 6,02% [3]. Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk mengetahui tegangan tarik serat buah pinang sebagai penguat komposit epoksi yang dihasilkan terhadap kekuatan tarik dengan orientasi serat secara acak / random. Kekuatan tarik pada serat akan meningkat jika diberikan perlakuan NaOH. Kekuatan tarik yang diperoleh terhadap komposit serat dengan persentase NaOH 5% adalah 195 Mpa, sedangkan pada saat tanpa perlakuan kekuatan tariknya hanya 84 Mpa [4]. Penelitian dengan komposit epoksi tapi menggunakan serat kulit kayu khombouw, mengatakan bahwa kekuatan tarik maksimum tanpa perlakuan alkali adalah 2,73 MPa, dengan perlakuan alkali (perendaman 4 jam) didapatkan kekuatan tarik sebesar 11,45 Mpa [5]. Komposit dengan matriks epoksi-serat ijuk 3 lapis memiliki kekuatan tarik 45,44 MPa, epoksi-serat pisang 3 lapis memiliki kekuatan tarik 30,47 Mpa, sedangkan untuk polyester-serat pisang 3 lapis hanya memiliki kekuatan tarik 15,62 Mpa [6]. Pengujian komposit Resin epoksi dengan penguat serat tebu, mendapatkan hasil pengujian tarik komposit serat tebu sebagai berikut ; dengan komposisi 55%vf adalah 3,16 kgf/ mm2, 60%vf adalah 3,14 kgf/mm2, 65%vf adalah 2,67 kgf/mm2, 70%vf adalah 2,53 kgf/mm2, dan 75%vf adalah 3,19 kgf/mm2 [7]. Penelitian karakteristik resin epoksi dengan serat rami, dengan komposisi 40%vf dan 50%vf mendapatkan kekuatan tarik 232 MPa untuk 40%vf dan saat komposisi 50%vf 260 Mpa [8]. Analisa sifat mekanik komposit epoksi dengan penguat serat pohon aren (ijuk), saat komposisi komposit 40%vf mendapatkan hasil kekuatan tarik sebesar 5,538 kgf/mm2 [9]. Fahmi [10]
melakukan pengujian tarik komposit polyester dengan penguat serat daun nenas. Pada orientasi serat 0º dengan kekuatan tarik komposit 43,88 N/mm2, orientasi serat 0º ; 45º didapatkan kekuatan tarik dengan nilai 54,26 N/mm2, dan pada orientasi serat
87
0º ; 90º dengan nilai kekuatan tarik sebesar 46,85 N/mm2. Matriks dalam komposit berfungsi sebagai bahan mengikat serat menjadi sebuah unit struktur. melindungi dari kerusakan eksternal, meneruskan atau memindahkan beban eksternal pada bidang geser antara serat dan matriks, sehingga matriks dan serat saling berhubungan. Pembuatan komposit serat membutuhkan ikatan permukaan yang kuat antara serat dan matriks. Selain itu matrik juga harus mempunyai kecocokan secara kimia agar reaksi yang tidak diinginkan tidak terjadi pada permukaan kontak antara keduanya. Untuk memilih matriks harus diperhatikan sifat - sifatnya, antara lain tahan terhadap panas, tahan cuaca yang buruk, dan tahan terhadap goncangan yang biasanya menjadi pertimbangan dalam pemilihan material matriks. Bahan polimer yang banyak digunakan sebagai material matriks dalam komposit ada dua macam yaitu thermoplastik dan thermoset. Komposit serat harus mempunyai kemampuan untuk menahan tegangan yang tinggi, karena serat dan matrik berinteraksi dan pada akhirnya terjadi pendistribusian tegangan. Kemampuan ini harus dimiliki oleh matriks dan serat. Hal yang mempengaruhi ikatan antara serat dan matriks adalah void , yaitu adanya celah pada serat atau bentuk serat yang kurang sempurna yang dapat menyebabkan matriks tidak akan mampu mengisi ruang kosong pada cetakan. Bila komposit tersebut menerima beban, maka daerah tegangan akan berpindah ke daerah void sehingga akan mengurangi kekuatan komposit tersebut. Pada pengujian tarik komposit a k a n berakibat lolosnya serat dari matriks. Hal ini disebabkan karena kekuatan atau ikatan interfacial antara matriks dan serat yang kurang besar [11]. Faktor-faktor yang mempengaruhi Peforma Komposit a. Faktor Matriks Matrik dalam komposit yang berfungsi sebagai bahan pengikat serat menjadi sebuah unit struktur yang melindungi dari perusakan eksternal, meneruskan atau memindahkan beban eksternal pada bidang geser antara serat dan matriks. Bahan polimer yang sering digunakan untuk menjadi bahan matriks ini.
b. Faktor Serat Serat yang merupakan bahan pengisi matriks yang digunakan untuk dapat memperbaiki
88
H. Fahmi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 86-91
struktur matriks yang tidak dimilikiya, juga dapat diharapkan mampu menjadi bahan penguat matriks pada komposit untuk menahan gaya yang terjadi. Orientasi serat adalah cara memposisikan letak dari serat saat pmbuatan material komposit Dalam pembuatan komposit hal ini dalam matriks akan menentukan kekuatan mekanik komposit, dimana arah dan letak yang mempengaruhi kinerja komposit tersebut. Menurut tata letak dan arah serat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : 1. One dimensional reinforcement, mempunyai kekuatan dan modulus maksimum pada arah axis serat.
2. Two dimensional reinforcement (planar), mempunyai kekuatan pada dua arah atau masing-masing arah orientasi serat. Three dimensional reinforcement, mempunyai sifat isotropic kekuatannya lebih tinggi dibanding dengan dua tipe sebelumnya. Pada pencapuran dan arah serat mempunyai beberapa keunggulan, jika orientasi serat semakin acak ( random ) maka sifat mekanik pada 1 arahnya akan melemah, bila arah tiap serat menyebar maka kekuatannya juga akan menyebar kesegala arah maka kekuatan akan meningkat.
Gambar 1. Orientasi serat
Arah serat penguat menentukan kekuatan komposit, arah serat sesuai dengan arah kekuatan maksimum. Bila sejajar berpeluang sampai 90%, bila separuh – separuh saling tegak lurus peluangnya 75%, dan tatanan acak hanya berpeluang pengisian 15 – 50%. Hal tersebut menentukan optimum saat komposit maksimum [12]. Panjang serat dalam pembuatan komposit sangat mempengaruhi terhadap kekuatan komposit tersebut. Ada dua penggunaan serat dalam campuran komposit, yaitu serat panjang dan serat pendek. Oleh karena itu panjang serat berbanding diameter serat sering disebut aspect ratio. Panjang serat mempengaruhi kemampuan proses dari komposit serat. Pada umumnya, serat panjang lebih mudah penanganannya dibandingkan dengan serat pendek. Sedangkan serat pendek dengan orientasi yang benar akan menghasilkan kekuatan lebih besar. c. Faktor Ikatan Fiber-Matriks Komposit serat yang baik harus mampu menyerap matriks yang mempermudah terjadi antara dua fase [13]. Selain itu komposit serat juga harus mempunyai kemampuan untuuk menahan tegangan yang tinggi, karena serat dan matriks berinteraksi dan pada akhirnya terjadi
pendistribusian tegangan. Kemampuan ini harus dimiliki oleh matriks dan serat. Serat Pinang Banyak pinang yang pemanfaatannya masih terbatas. Bagian pinang yang masih sering dimanfaatkan selama ini adalah bagian daun, batang dan biji. Sementara itu bagian sabut pinang tersebut terbuang dengan pecuma tanpa digunakan atau dimanfaatkan lebih lanjut. Mengingat pemanfaatan serat pinang secara langsung sangat sedikit, maka perlu ada inovasi untuk pemanfaatan serat pinang seperti pembuatan komposit alam. Serat pinang merupakan salah satu material fiber alternatif dalam pembuatan komposit secara ilmiah pemanfaatannya masih dikembangkan karena serat pinang selain mudah didapat, murah, dapat mengurangi polusi lingkungan sehingga komposit ini mampu mengatasi permasalahan lingkungan, serta tidak membahayakan kesehatan. Pengembangan serat pinang sebagai material komposit ini sangat dimaklumi mengingat dari segi ketersediaan bahan baku serat alam indonesia yang memiliki bahan baku yang cukup melimpah. Adapun komposit dengan penguat serat alam mempunyai keuntungan antara lain kekuatan spesifik dan
H. Fahmi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 86-91
modulusnya yang tinggi, densitas rendah,harga rendah, melimpah dibanyak negara, emisi
89
polusi yang lebih rendah [14].
Tabel 1. Sifat Biometrical dan Fisik dari serat pinang Length of fiber ( mm ) Diameter Density ( mm ) gr/cm3 Short Medium Long Average 0,285 – 0,89 18 - 29 30 – 38 39 - 46 29 – 38 0,52
Resin Epoxy Resin epoksi merupakan resin yang paling sering digunakan. Resin epoksi adalah cairan organik dengan berat molekul rendah yang mengandung gugus epoksida. Epoksida memiliki tiga anggota di cincinnya: satu oksigen dan dua atom karbon. Reaksi epichlorohydrin dengan phenols atau aromatic amines membuat banyak epoksi. Pengeras (hardener), pelunak (plasticizer), dan pengisi (filler) juga ditambahkan untuk menghasilkan epoksi dengan berbagai macam sifat viskositas, impact, degradasi, dan lain - lain [15]. Meskipun epoksi ini lebih mahal dari matriks polimer lain, namun epoksi ini adalah matriks dari polimer matrix composite yang paling populer. Lebih dari dua pertiga dari matriks polimer yang digunakan dalam aplikasi industri pesawat terbang adalah epoksi [16]. Sifat Fisik Epoksi Sebagaimana jenis plastik lainnya, Epoksi merupakan isolator listrik dan konduktor panas yang buruk. Kecuali bila ditambahkan campuran, mis logam / karbonain [17]. Sifat Kimia Sebagaimana umumnya plastic, secara kimia epoksi termasuk inert. Dalam jangka lama, sinar ultraviolet mempengaruhi struktur kimianya [18]. Sifat Mekanik Dalam bentuk asli resin epoksi keras dan getas. Tetapi dalam penggunaan, sifat mekanik banyak dimodifikasi sifatnya, baik dari sisi kekuatan, kekenyalan, keuletan, sampai kearah sobekan [19]. Alasan utama epoksi paling sering digunakan sebagai matriks polimer yaitu [20]: Kekuatan tinggi. Viskositas dan tingkat alirannya rendah, yang memungkinkan membasahi serat dengan baik dan mencegah ketidakberaturan serat selama pemrosesan. Ketidakstabilan rendah. Tingkat penyusutan rendah yang mengurangi kecenderungan mendapatkan
tegangan geser yang besar ikatan antara epoksi dan penguatnya. Tersedia lebih dari 20 tingkatan untuk memenuhi sifat spesifik dan kebutuhan pengolahan.
2. Metode Penelitian A.
Bahan Serat buah pinang Resin Epoksi Katalis / Hardener NaOH
B. Variabel Penelitian Pembuatan komposit dengan penguat serat buah pinang divariasikan dengan persentase perbandingan, yaitu : 90 : 10%, 80 : 20%, 70 : 30%. Hal ini bertujuan untuk membandingkan hasil dari pengujian tarik yang dilakukan terhadap specimen nantinya. Panjang serat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 3 cm. C. Pengujian Pengujian dilakukan untuk mengkaji sifat yang dihasilkan oleh bahan, dan apa pengaruh komposisi terhadap sifat mekanik bahan. Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan satu pengujian yaitunya penguian tarik. Dari pengujian ini akan didapatkan kekuatan tarik dan regangan tarik dari bahan.
3. Hasil dan Pembahasan Proses pembuatan spesimen untuk komposit serat kulit pinang ini memerlukan waktu untuk setiap komposisi 24 jam sampai resin epoksi mengering. Setelah cetakan selesai maka akan dilakukan proses pembentukan spesimen uji tarik. Hasil dan pembahasan pada penelitian ini adalah menganalisa kekuatan yang didapatkan dari komposit resin epoksi dengan penguat serat kulit pinang. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai rata – rata tegangan dari masing – masing komposisi pengujian, pada komposisi 90:10%wt memiliki tegangan sebesar 9,8 MPa, pada komposisi 80:20%wt memiliki tegangan sebesar 13,06 MPa. Sedangkan nilai tegangan tertinggi
H. Fahmi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 86-91
90
didapatkan pada komposisi 70:30%wt, dengan nilai tegangan sebesar 14,04 MPa.
Tegangan (MPa)
Gambar 2. Spesimen sebelum uji tarik dilakukan, a. 90:10%wt, b. 80:20%wt, c. 70:30%wt
0.8 0.6 0.4 0.2 0 90:10%
80:20%
70:30%
Komposisi (%) Gambar 3. Grafik hubungan komposisi komposit dengan kekuatan tarik
dimiliki oleh resin sebagai matriks dan serat sebagai penguat, oleh karena itu penggabungan dari kedua hal ini akan mengakibatkan material komposit yang dibentuk menjadi lebih kuat. Serat inilah yang menentukan karakteristik dari komposit, serat inilah yang nantinya akan menahan sebagian besar gaya – gaya yang bekerja pada bahan komposit, saat pengujian tarik dilakukan tegangan mulanya akan diterima oleh matrik (resin) dan diteruskan kepada serat sehingga sampai menahan beban maksimum.
Pada umumnya pembuatan komposit adalah bertujuan untuk menggabungkan sifat yang
Gambar 4. Permukaan patah spesimen setelah pengujian tarik, a. Komposisi 90:10%wt, b. 80:20%wt, c. 0:30%wt
Dari data pengujian masing – masing spesimen didapatkan bahwa serat kulit pinang mempengaruhi kekuatan tarik terhadap komposit ini, semakin tinggi persentase serat kulit pinang kekuatan tarik juga akan meningkat, hal ini dikarenakan penambahan serat kulit pinang meningkatkan ikatan yang terjadi oleh resin epoksi. Perbedaan tegangan yang terlihat pada grafik merupakan pengaruh dari orientasi serat yang dibuat secara acak / random, sehingga tingkat kerapatan dan ikatan antara matriks dan serat juga terjadi secara acak atau tidak teratur, hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan yang signifikan antara setiap spesimen uji, meskipun
dalam satu komposisi. Disisi lain serat kulit pinang juga mempengaruhi regangan yang dihasilkan, dimana regangan akan meningkat saat persentase serat kulit pinang juga ditingkatkan.
4. Simpulan Dari masing – masing komposisi didapatkan kekuatan tarik komposit pada komposisi 90 : 10 %wt 9,8 Mpa, 80 : 20 % 13,06 Mpa, 70 : 30 % memiliki gaya 143,33 kgf dan tegangan 14,04 Mpa. Dari semua spesimen uji, komposisi 90:10% memiliki nilai tegangan yang paling rendah, sedangkan nilai tegangan tertinggi didapatkan pada komposisi 70 :30 %.
H. Fahmi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 86-91
Komposisi serat mempengaruhi kekuatan tarik dari komposit serat buah pinang, semakin tinggi persentase serat, semakin tinggi tegangan yang dihasilkan.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada seluruh Staf Teknik Mesin Institut Teknologi Padang yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel ini dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3] [4]
[5]
[6] [7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12] [13]
[14]
M. M. Schwartz (1984). “Material Komposit Handbook”. McGraw-Hill, New York, Amerika Serikat. K.G. Budinski (2003). “Engineering Material Properties and Selection“. Prentice Hall, New Jersey. R. Ruslinda (2008). “Kandungan Serat Buah Pinang“. ITB, Bandung. B. Agustinus, S. Rudy dan A.S. Achmad (2014 ), “Analisa Persentase Alkali pada Serat Pangkal Pelepah Daun Pinang ( Areca Catechu ) terhadap Sifat Mekanis Komposit Polimer“. Universitas Brawijaya, Malang. Joni, L. Johannes dan S. Rafiuddin (2008), “Analisis Kekuatan Tarik dan Lentur Komposit Epoksi yang Diperkuat Serat Kulit Kayu Khombow”. A.J., Hartomo. (1992). “Polimer dan Perekat “. Yogyakarta D.R. Askeland, (1985). “The Science and Engineering of Material “. Alternate Edition, PWS Engineering, Boston. P. N. Belaguru annd S. P. Shah (1992). “Fiber-reinforced Concrete Composites “. McGraw-Hill, New York. D. Feldman dan A. J. Hartomo (1995). “Bahan Polimer Konstruksi Bangunan “. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. H. Fahmi, Hendriwan (2011). “Pengaruh Orientasi Serat Pada Komposit Resin Polyester / Serat Daun Nenas Terhadap Kekuatan Tarik “. ITP. Padang. R. F. Gibson, (1994). “Principles of Composite Material Mechanics “. McGraw-Hill Inc., St. Louis. Hendrodiyantopo (1998). “Teknik Penyempurnaan “. STTT, Bandung. A. K. Kaw, (2006). “Mechanics of Composites Materials “. Taylor & Francis Group, New York. M. Kumar (2008). “A study of Short Areca Fiber Reinforced PF Composites”. WCE, London, U.K.
91
[15] D. Kuncoro (2006). “Pengaruh Perlakuan Alkali terhadap Sifat Tarik Bahan Komposit Serat Rami-Polyester “. Jurnal Teknik Mesin Vol. 8 No.1. [16] T. Richardson (1987). “Composites“. Industrial Press Inc., New York. [17] M. M. Schwartz (1992). “Material Komposit Handbook: 2nded “. McGrawHill Inc., New Jersey [18] B. Srinivasa (2013). “Effect of Alkali Treatment On Impact Bahavior of Areca Fibers Reinforced Polymer Composites”. International Journal of Chemical, Molecular, Nuclear, Materials, and Metallurgical Engineering, [19] T. Surdia (1985). “ Pengetahuan Bahan Teknik “. Jakarta. [20] R. Wulandari, (2009). “Komposit Polypropylene: Fashion Baru Dalam Otomatif “. Sentra Polimer tahun VIII Nomor 29. Sentra Teknologi Polimer, Tangerang.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Pengembangan Sistem Pendingin Ejector untuk Pendinginan Vakum Produk Sayuran-Sayuran Development of Ejector Cooling System for Vegetables Products Vacuum Cooling Sulaiman 1,*, Desmi Asriandi 2 1
2
Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Undergraduate Program, Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 15 September 2016; Revised 23 September 2016; Accepted 25 September 2016, Published 25 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.92-97 Academic Editor: Putri Pratiwi ([email protected]) Correspondence should be addressed to [email protected] Copyright © 2016 Sulaeman. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Nowadays, the development of refrigeration technology is more rapidly, the adicted of people to refrigeration system from year to year is always rising,start from the simple scale (eg,refrigerator) in order to safe foods until the big scale such as in industry. The ejector designed will change the capillar tube function or TXV to improve the AC mechine performance. Theoritically,the use of ejector in this research will increase the effect of refrigeration and decrease compression performance. The increasing work of the system will decrease the eletrical energy consumption at the time the air conditioner work. The test in the research is designed in such a manner, so that it can be operated in standard or conventional condition (the system operates normally by using capilar tube) and in the condition of using ejector and doing cooling vacuum. Based on the test by using AC in kind of split with 2 HP Compressor capacity,it is concluded that there has been increasing of COP (Coeficient Of Performance) after using ejector in refrigeration system with vacuum cooling about 1,2 % and also there is retrenchment use of electricity about 0,01 %. Keywords: ejector, refrigeration effect, compression work, electrical energy, COP.
1. Pendahuluan Perkembangan teknologi bidang refrigerasi saat ini semakin pesat. Ketergantungan manusia terhadap sistem refrigerasi dari tahun ke tahun terus meningkat, mulai dari skala kecil (misal refrigerator) untuk menyimpan bahan makanan hingga skala besar seperti pada industri. Karena itu kita perlu mempelajari system kerja pendingin dan sekaligus mengenal komponenkomponen mesin endinginan, pendinginan dapat berupa lemari es pada rumah tangga, mesin pembeku (freezer), pendingin sayur dan buah-buahan pada supermarket dan sebagainya. Ejektor adalah alat yang digunakan untuk menggerakkan atau mengalirkan fluida dengan jalan memanfaatkan aliran fluida lain. Fliuda © 2016 ITP Press. All rights reserved.
yang digunakan untuk mendorong aliran fluida lain disebut motive fluid, sedangkan fluida yang terdorong disebut fluida isap.Ejektor digunakan secara luas dalam pabrik pembangkit tenaga dan banyak dijumpai dalam industri-industri kimia. Fluida yang digunakan dalam mengoprasikan ejektor dapat berupa cairan, gas, atau uap. Fungsi utama alat ekspansi adalah menurunkan tekanan, yaitu dari tekanan tinggi dikondenser ke tekanan rendah di evaporator. Ejector yang dirancang akan menggantikan fungsi pipa kapiler ataupun TXV untuk meningkatkan kinerja mesin AC tersebut. Secara teori, penggunaan ejector pada penelitian ini akan dapat meningkatkan efek refrigerasi dan menurunkan kerja kompresi.
Sulaeman / JurnalTeknikMesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2017) 92-97
Peningkatan kinerja sistem akan mengurangi konsumsi energi listrik pada saat pengkondisi udara tersebut beroperasi. Sejarah teknik pendinginan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia di wilayah sub-tropik. Secara alamiah, manusia yang tinggal di wilayah sub-tropik menyadari bahwa bahan pangan yang mudah rusak ternyata dapat disimpan lebih lama dan lebih baik pada saat musim dingin dibandingkan dengan pada saat musim panas. Kesadaran inilah yang memandu manusia pada saat itu mulai memanfaatkan “es alam” untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan yang mudah rusak. Sunanto, Suhanan, dan Fauzun menjelaskan tentang Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Ejektor Dua Fase terhadap Unjuk Kerja Siklus Refrigerasi Pada Mesin AC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ejektor yang ditempatkan sebagia piranti ekspansi dalam peningkatan efisiensi sistem refrigerasi. Hasil dari penelitian ini didapat adanya peningkatan rata-rata COP sebesar 1,4, kerja kompresor sendiri mengalami penurunan sebesar 7 kJ/kg, penghematan energi setiap bulannya sebesar 0,189 kW, serta ratarata efisiensi 0,67 % dari sistem yang menggunakan piranti ejektor sebagai pengganti ekspansi [1]. Markus dan Sutandi. T menjelaskan tentang Pengaruh Penggunaan Ejektor Pada Sistem Refrigerasi. Sistem refrigerasi yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin pengkondisi udara (AC) jenis split dengan kapasitas kompresor 1 HP. Ejector yang dirancang akan menggantikan fungsi pipa kapiler ataupun TXV untuk meningkatkan kinerja mesin AC tersebut Berdasarkan pengujian menggunakan AC jenis split dengan kapasitas kompresor 1 HP didapat hasil bahwa telah terjadi peningkatan efek refrigerasi dari 165,5 kJ/kg menjadi 169 kJ/kg, atau meningkat 2,1%, dan penurunan kerja kompresi yang ditunjukkan dengan penurunan konsumsi daya listrik dari 616 Watt menjadi 550 Watt, atau turun 10 % [2]. Sistem refrigerasi adalah suatu sistem yang menjadikan kondisi temperatur suatu ruang berada dibawah temperatur semula (menjadikan temperatur dibawah temperatur siklus),pada prinsipnya kondisi temperatur rendah yang dihasilkan oleh suatu sistem refrigerasi diakibatkan oleh penyerapan panas pada reservoir dingin (low temperature source) yang merupakan salah satu bagian sistem regrigerasi tersebut. Panas yang diserap bersama-sama energi (kerja) yang diberikan kerja luar dibuang
93
pada bagian sistem refrigerasi yang disebut reservoir panas (high temperature sink). Siklus kompresi uap adalah suatu siklus dimana fluida kerja secara berganti-ganti diuapkan dan diembunkan, dengan suatu proses kompresi uap diantara kedua proses tersebut. Proses yang menyusun siklus ini adalah : 1-2 Kompresi reversibel adibatik dari uap jenuh ke tekanan kondensor. 2-3 Pembuangan panas pada tekanan konstan secara reversibel desuperheating dan kondensasi. 3-4 Ekspansi ireversibel pada enthalpi konstan dari cair-jenuh ke tekanan evaporatif. 4-1 Penyerapan panas reversibel pada tekanan konstan untuk penguapan ke uap jenuh.
Gambar 1. Siklus Kompresi Uap Ideal
Rumus-rumus perhitungan thermodinamika seperti berikut ini: Evaporasi (Penguapan) (4-1) Qe = h1 – h4 (1) Dimana : Q e = Besarnya panas yang diserap evaporator, (kJ/kg) h1 = Entalpi refrigeran saat keluar evaporator, (kJ/kg) h4 = Entalpi refrigeran saat masuk evaporator, (kJ/kg) Besarnya 1 evap ini disebut juga efek pendinginan. Kompresi (1-2) Qw = h2– h1 (2) Dimana : Qw= Besarnya kerja kompresor, (kJ/kg) h1 = Entalpi refrigeran saat masuk kompresor, (kJ/kg) h2 = Entalpi refrigeran saat keluar kompresor, (kJ/kg) Kondensasi (2-3) Qc= h3– h2 (3) Dimana : Qc = Besarnya panas dilepas di kondensor, (kJ/kg)
94
Sulaeman / JurnalTeknikMesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2017) 92-97
h2 = Entalpi refrigeran saat masuk kondensor, (kJ/kg) h3 = Entalpi refrigeran saat keluar kondensor, (kJ/kg) Proses expansi (3-4) h3 = h4 (4) Dimana : h3 = Entalpi refrigeran saat keluar kondensor, (kJ/kg) h4 = Entalpi refrigeran saat masuk evaporator, (kJ/kg) Keseimbangan Panas (Heat Balance) Untuk proses ideal adibatis, kerja ekspansi sama dengan nol. Keseimbangan panas dalam sistim akan dicapai dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Qevap + Wcomp = qcond(kj/kg) (5) Laju aliran massa refrigerant (mref) 𝑸 ṁ = (𝑬𝑹)
Kondensor
Compresor
Separator VV
GV
Ejektor
Katup ekspansi
Pompa Pakum v
Evaporator
E-12
Ruang Pakum
Gambar 2. Skema Pendinginan ejector dengan pendinginan vakum
3. Hasil dan Pembahasan (6)
Dimana : ṁ = Laju aliran massa refrigerant, (kg/jam) Q = Kapasitas pendingin, (BTU/jam) ER = Effek Refrigerant, (kj/kg)
- Data Sistem Refrigerasi Konvensional Dengan Pendinginan Vakum. Tabel 1 Data sistem refrigerasi Konvensional
Coefficient Of Performance (COP) Coefficient of performance dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: 𝐸𝑓𝑒𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑎𝑛(𝑞𝑒𝑣𝑎𝑝) 𝐶𝑂𝑃 = 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑟𝑒𝑠𝑜𝑟 (𝑄𝑐𝑜𝑚𝑝) (7)
2. Metode Penelitian Mesin pendingin merupakan salah satu mesin yang mempunyai fungsi utama untuk mendinginkan zat sehingga temperaturnya lebih rendah dari temperatur lingkungan. Komponen utama dari mesin pendingin pada penelitian ini adalah kompresor, kondensor, katup ekspansi, ejektor, separator, evaporator, serta refrigeran sebagai fluida kerja yang bersirkulasi pada bagian-bagian tersebut. Pada penelitian ini katup ekspansi akan diganti perannya dengan ejektor, dan skema pendinginan penelitian bisa dilihat pada gambar 2 berikut ini.
- Data Sistem Refrigerasi Ejector Dengan Pendinginan Vakum. Tabel 2 Data sistem refrigerasi ejector
Sulaeman / JurnalTeknikMesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2017) 92-97
95
8.6000 8.4000
COP
8.2000 8.0000 7.8000 7.6000 7.4000 7.2000 26.6
26.8
27
27.2
27.4
27.6
27.8
28
Tevapo in (kj/kg)
Gambar 4 Grafik hubungan perbandingan COP terhadap Tevapo In
Gambar 3 Grafik hubungan COP terhadap Qkomp
Pada gambar 3 merupakan grafik hubungan COP terhadap Qkomp terlihat bahwa pengaruh pengunaan ejetor pada sistem refrigerasi dapat menurunkan temperatur refrigerant yang keluar dari ejector sehingga dapat menurunkan kerja kompresi yang mengakibatkan meningkatnya nilai COP. Semakin kecil nilai kerja kompresi semakin besar nilai COP yang didapat,peningkatan COP akan mengakibatkan kerja kompressor menjadi lebih ringan.
Pada gambar 4 memperlihatkan secara keseluruhan COP dari mesin pendingin dengan menggunakan ejektor lebih besar dibandingkan dengan mesin pendingin konvensional, hal ini disebabkan karena pada mesin pendingin yang menggunakan ejektor refrigerant yang keluar dari kondensor memasuki dua saluran katup ekspansi 2 tingkat, karena katup ekspansinya 2 tingkat sehingga mengalami 2 proses ekspansi secara bersamaan kemudian masuk ke saluran evaporator, jadi refrigeran yang masuk ke evaporator suhunya lebih rendah dan tekanannya lebih rendah.
Gambar 5 Grafik hubungan COP terhadap efek refrigerasi
Sulaeman / JurnalTeknikMesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2017) 92-97
96
Pada gambar 5 hubungan COP terhadap efek refrigerasi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi COP maka efek refrigerasi semakin tinggi begitu sebaliknya karena nilai COP adalah pembanding dari efek refrigerasi dibagi kerja kompresor.
0 -10 11.8
12
12.2
12.4
12.6
12.8
13
13.2
13.4
Pvakum (kPa)
-20 -30
-40 -50 -60
-70 -80 -90
Tvakum ( ˚C )
Gambar 6 Grafik hubungan tekanan ruangan vakum terhadap temperatur ruang vakum
Pada gambar 6 hubungan tekanan ruangan vakum terhadap temperature ruang vakum, memperlihatkan bahwa pada tekanan -75,84 kPa memiliki temperature vakum sebesar 12,7 dan pada tekanan – 82,73 kPa memiliki temperature vakum sebesar 12,1, dapat disimpulkan bahwa jika tekanan naik pada ruang vakum maka temperature pada ruang vakum akan naik begitu sebaliknya, karena tekanan berbanding lurus terhadap temperatur.
Pada gambar 7 perbandingan COP sistem refrigerasi konvensional dan ejector pada pendinginan Vakum dapat diambil kesimpulan bahwa pengunaan ejector pada sistem referigerasi dengan pendinginan vakum dapat terlihat pada penelitian pertama pada 15 menit pertama sistem refrigerasi konvensional memiliki COP sebesar 7,43 sedangkan refrigerasi ejector memiliki COP sebesar 7,63 jadi COP sistem refrigerasi konvensional mengalami peningkatan COP sebesar 0,2 pada penelitian menit ke 45 sistem refrigerasi konvensional memiliki COP sebesar 7,48 sedangkan refrigerasi ejector memiliki COP sebesar 9,88 jadi COP sistem refrigerasi konvensional mengalami peningkatan COP sebesar 2,4.
Gambar 8 Grafik perbandingan pemakaian daya listrik terhadap waktu
Pada gambar 8 perbandingan pemakaian daya listrik terhadap waktu dapat dilihat pada menit ke 15 terjadi penghematan sebesar 0,011 kW dari pemakaian daya listrik sistem referigerasi konvensional 0,3894 kW sedangkan pemakaian daya listrik pada sistem referigerasi ejector 0,3784 kW dan pada menit ke 30 pemakaian daya listrik sistem referigerasi konvensional 0,3806 kW sedangkan pemakaian daya listrik pada sistem referigerasi ejector 0,3740 kW terjadi penghematan daya listrik sebesar 0,0066 kW,namun pada menit ke 75 terjadi penurunan pemakaian daya listrik pada sistem referigerasi konvensional sebesar 0,3762 dan pemakaian daya listrik pada sistem referigerasi ejector yang mengalami kenaikan 0,3784 kW,ini dikarenakan tidak stabilnya voltase arus listrik.
4. Simpulan Gambar 7 Grafik perbandingan COP Sistem Refrigerasi Konvensional dan Ejector Pada Pendinginan Vakum.
Dari serangkaian, penelitian, perhitungan dan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan ejector pada sistem refrigerasi dengan pendinginan vakum dapat meningkatkan COP ( Coeficient Of Performance) sistem referigerasi,pengunaan
Sulaeman / JurnalTeknikMesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2017) 92-97
ejector pada sistem referigerasi dengan pendinginan vakum dapat terlihat COP sistem refrigerasi konvensional memiliki rata-rata COP sebesar 7,75 sedangkan COP sistem refrigerasi ejector memiliki rata-rata COP sebesar 8,95, jadi setelah mengunakan ejector pada sistem refrigerasi dengan pendingin vakum terjadi peningkatan rata-rata COP sebesar 1,2 %. Hasil perhitungan penghematan konsumsi daya listrik dengan pemakaian sistem refrigerasi ejector pada pendinginan vakum dan dibandingkan dengan sistem refrigerasi konvensional pada pendinginan vakum terlihat bahwa terjadi penghematan komsumsi daya listrik akibat pemakaian ejector. Pemakaian daya listrik sistem refrigerasi konvensional rata-rata sebesar 0,38 kW sedangkan sistem refrigerasi ejector pemakaian daya listrik ratarata sebesar 0,39 Kw, jadi telah terjadi penghematan konsumsi daya listrik sebesar 0,01 kW atau sebesar 0,01 % karena pemakaian ejector pada sistem refrigerasi dengan pendinginan vakum.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada seluruh Staf Teknik Mesin Institut Teknologi Padang yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel ini dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
S. Sunanto, S. Suhanan and F. Fauzun, "Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Ejektor Dua Fase Terhadap Unjuk Kerja Siklus Refrigerasi Pada Mesin AC," 2012. Markus and S. T, "Pengaruh Penggunaan Ejektor Pada Sistem Refrigerasi," ed. Bandung: Jurusan Teknik Refrigerasi dan Tata Udara – Politeknik Negeri Bandung, 2012. Wardika, Suhanan dan Prajitno, "Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Ejektor Terhadap Kinerja Sistem Refrigerasi AC". Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2012. B. Budiwantoro, I. D. Nengah, dan R. S. H. Sahat, "Analisis Tegangan Pada Beberapa Jenis Ejektor Uap", UNDIP, Semarang, 2015. J. Chen, B. Palm dan P. Lundqvist, "Ejector Sistem Pendingin", http:///juornal of menchanical enggneering, 2013.
[6]
97
C. Sunardi, "Analisis termodinamika pengunaan ejector sebagai alat ekspansi pada pengondisian udara mobil", Jurusan Refrigerasi dan Tata Udara, Politeknik Negeri Bandung, Bandung, 2014. [7] Wardika, Suhanan dan Prajitno, "Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Ejektor Terhadap Kinerja Sistem Refrigerasi AC", Universitas Indonesia, Depok, 2012. [8] W. F. Stoecker dan J. W. Jones, "Refrigrasi dan pengkondisian udara", Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992. [9] A. Pudjanarsa dan D. Nursuhut, 'Mesin konversi energy', Andi Offset, Yogyakarta, 2013. [10] N. Bilir and H. K. Ersoy, "Performance improvement of the vapour compression refrigeration cycle by a two-phase constant area ejector", International Journal of Refrigeration, vol 33, no 5, 469-480, 2009.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Analisis Modal Raket Tenis Wilson Tergantung Bebas dengan Peredam Tipe-1 dan Tipe-2 Modal Analysis of Free-Inverted Wilson Tennis Racket with 1st Type and 2nd Type of Damper Rozi Saferi 1,*, Ismet Eka Putra 1 1
Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 17 September 2016; Revised 25 September 2016; Accepted 27 September 2016, Published 27 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.98-102 Academic Editor: Putri Pratiwi ([email protected]) Correspondence should be addressed to [email protected] Copyright © 2016 R. Saferi. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract One way that can be used to analyze vibration in structures is the modal method of analysis. With this method vibration can be measured when the structure is working, so get the form of vibration mode and vibration values with different frequency levels. If the frequency of the structure in operation is known, then the structure can be controlled so that it does not work on its private frequency, so that the vibrations that occur in the structure are at a safe level. The objective of this research is to know the mechanism of reconstruction of disturbance force on tennis racket structure that vibrates and determines the personal frequency through the test. Then determine the time-frames style graph. In testing, the Wilson brand test racket was given a type 1 and type 2 damper with a weight of 320 grams and a 697mm long vertical hanging with a free-to-pedestal condition. After the software was run, an excitation style with impact hammer was applied to the top of the racket. Measurement of response is done by recording FRF (frequency domain) and coherence graph. The sampling results are stored in * .txt extensioned files and processed with microsoft excel to get real FRF and imaginary FRF graphics. The test is done several times by varying the accelerometer position of 8 points and 2 types of silencer. From the capital test the analysis of the specimen is hung freely with the silencer, then obtained the personal frequency of the test racket with a lower silencer than the personal frequency of the system without damper with a difference of 2 Hz. The three lowest vibration modes of the free-hanging system of the experimental results are the first mode of a half-wave graph forming a peak, the second mode being a one-wave graph forming a single valley peak, and the third mode being a one-and-a-half wave graph of the two valleys. The damping of the test structure is different at each test point and at any given frequency range. Keywords: tennis racket, FRF, natural frequency, damping ratio.
1. Pendahuluan Resonansi pada struktur terjadi diakibatkan oleh adanya getaran yang berasal dari luar. Resonansi yang bekerja pada frekuensi pribadi dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pada struktur tersebut. Fenomena ini dapat dilihat pada raket tenis. Raket tenis yang beresonansi akan memberi pengaruh pada pengguna saat memukul bola. Agar fenomena ini dapat dihindari maka karakteristik dinamik dari struktur seperti © 2016 ITP Press. All rights reserved.
frekuensi pribadi (ωn), rasio redaman (ξ) dan modus getar (ψ) perlu diketahui [1]. Secara umum, harga karakteristik dinamik suatu struktur dapat diukur dengan eksperimen. Makalah ini menyajikan eksperimen karakteristik dinamik struktur raket tenis dengan kondisi tumpuan bebas-bebas.
R. Saferi / JurnalTeknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 98-102
99
2. Metode Penelitian Analisis Modal Secara Eksperimen Analisa modal secara eksperimen adalah suatu proses yang ditujukan untuk menentukan karakteristik dinamik suatu struktur melalui kaji eksperimental. Salah satu teknik yang banyak digunakan untuk mendapatkan karakteristik dinamik struktur adalah menggunakan pengujian kejut. Pengujian kejut ini dilakukan dengan cara pemberian eksitasi kejut pada struktur menggunakan impact hammer. Dalam hal ini struktur dipukul dengan impact hammer dan responnya kemudian diukur pada beberapa titik pengujian menggunakan sensor accelerometer. Gaya kejut diukur menggunakan sensor loadcell yang terletak di ujung impact hammer. Hasil pengujian selanjutnya dicuplik oleh FFT Analyzer. FFT Analyzer ini akan menghitung respon frekuensi dari sinyal yang terukur. Dengan menggunakan data respon frekuensi ini dapat dihitung fungsi respon frekuensi dari struktur (FRF) yaitu perbandingan sinyal respon dan sinyal gaya eksitasi dalam ranah frekuensi. Pada Gambar 1 diperlihatkan skema prosedur penentuan karakteristik dinamik struktur secara eksperimen. Selanjut karakteristik dinamik ini diperoleh melalui pengukuran.
Keterangan: 1. Raket 2. Force Amplifier (Impact Hammer) Bruel & Kjear type 8203 3. Accelerometer Bruel & Kjear type 4507 4. Impact Hammer’ s cable 5. Cable of Accelerometer Bruel & Kjear 6. PC 7. DSA Bruel & Kjear type 2827 8. Condition Amplifier Nexus Bruel & Kjear Gambar 2. Skema Alat Pengujian
Gambar 1. Pengujian Beban Impak [2]
Pada penelitian ini, struktur bebas-bebas dibuat dengan cara menggantungkan Raket tenis dengan tali yang diikatkan pada tiang dan pengujian ini dilakukan dengan redaman tipe satu dan tipe 2. Pengujian dilakukan pada delapan titik, dengan titik eksitasi tetap yaitu, di posisi satu. Raket uji yang digunakan adalah Raket tenis merek Wilson yang memiliki berat sebesar 320, gram panjang 670 mm dan lebar pada bagian yang terpasang senar sebesar 270 mm. Skema alat pengujian dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan titik pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Skema TitikPengujian
Prosedur Pengujian [3] 1. Raket tenis digantung pada balok,selanjutnya ditempelkan accelerometer. 2. Perangkat lunak dijalankan untuk pencuplikan data. 3. Pemberian gaya eksitasi pada posisi yang telah ditentukan dengan cara memukulnya dengan impact hammer, 4. Pengukuran respon dilakukan terhadap setiap titik dengan mencatat data getaran dalam grafik FRF (frequency domain).
100
5.
6.
R. Saferi / JurnalTeknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 98-102
Data hasil pencuplikan disimpan dalam file berekstensi *.txt dan diolah dengan micosoft excel Pengujian dilakukan dengan memvariasikan posisi accelerometer pada delapan titik
Pada Gambar 4 diperlihatkan grafik hasil pengujian. Gambar 4(a) menunjukkan FRF salah satu hasil pengukuran sedangkan Gambar 4(b) menunjukkan koherensi data yang bersesuaian. Koherensi yang bernilai satu menunjukkan hasil yang cukup baik [4].
Penyimpangan ini terjadi karena tidak sempurnanya kesimetrisan struktur raket tenis. Tabel 1 Frekuensi Pribadi Dan Rasio Redaman (Frekuensi pribadi tanpa peredam) Posisi penguk uran
Frekuensi Pribadi (Hz) dan rasio redaman (%)
0.553
1014
0.785
1
174.3
0.759
499
2
178.5
0.561
498.5
0.575
1025
0.749
3
178.3
0.574
498
0.543
1022
0.791
4
177.8
0.566
504.8
0.495
1023
0.777
5
178
0.551
505.3
0.511
1022
0.714
6
179.5
0.666
503.3
0.875
1036
1.17
7
178
0.891
507
0.463
1030
0.868
8
177.3
1.07
502.3
0.812
1026
0.963
Tabel 2 Frekuensi Pribadi Dan Rasio Redaman (Frekuensi pribadi dengan peredam tipe 1)
a
b Gambar 4 Hasil Pengujian:a. Grafik FRF, b. Grafik Koherensi
Dari grafik FRF hasil pengujian selanjutnya diperoleh frekuensi pribadi struktur uji. Modus getar dihitung dengan menghubungkan komponen imajiner dari frekuensi pribadi yang bersesuaian pada beberapa titik pengukuran.
Tabel 3 Frekuensi Pribadi Dan Rasio Redaman (Frekuensi pribadi dengan peredam tipe 2)
3. Hasil dan Pembahasan Dari pengujian yang dilakukan diperoleh frekuensi pribadi dan rasio redaman dari raket tenis, seperti yang tersaji dalam Tabel 1, 2, dan 3.
Dari Tabel dapat dilihat bahwa frekuensi raket tenis hasil pengukuran untuk posisi sensor 2 dan 3 serta posisi sensor 4 dan 5 bernilai sama atau mendekati sama untuk tiap puncak. Untuk raket dengan peredam, nilai frekwensi pribadi rata-rata lebih rendah sekitar 2Hz dibandingkan dengan frekwensi pribadi raket tanpa peredam. Posisi pengukuran 2 dengan 3 dan 4 dengan 5 merupakan posisi berseberangan yang simetris. Pada posisi ini diperoleh nilai frekuensi pribadi yang hampir sama, yang secara teoritik seharusnya sama.
Nilai frekuensi pribadi dan rasio redaman pada tabel 1-3 diperoleh dari perekaman data yang terhilat pada Gambar 5. Selain frekuensi pribadi dan rasio redaman dari hasil pengujian juga diperoleh nilai real dan imajiner FRF yang disimpan dalam bentuk format *txt. Nilai real dan imajiner ini diplot dalam bentuk grafik dengan frekuensi pribadi, seperti Gambar 6 dan Gambar 7.
R. Saferi / JurnalTeknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 98-102
101
1500 1000 500 0 1
-500
2
3
4
5
6
7
8
-1000
Gambar 5 Grafik FRF yang Menunjukkan Frekuensi Pribadi
FREKWENSI (HZ)
a 1000
500 0 1
2
-500
3
4
5
6
7
8
POSISI SENSOR b
FREKWENSI (HZ)
500 0 1
2
3
4
5
6
7
8
-500 -1000 -1500
Gambar 6 Grafik Imajiner FRF vs Frekuensi
POSISI SENSOR c
Gambar 8 Modus Getar Raket Tenis dengan peredam tipe 1: a. Modus getar pertama, b. Modus getar kedua, c. Modus getar ketiga
4. Simpulan
Gambar 7 Grafik Real FRF vs frekuensi
Sel Grafik pada Gambar 6 dan Gambar 7 merupakan salah satu contoh grafik imajiner FRF vs frekuensi dan grafik real vs frekuensi. Apabila FRF pada frekuensi pribadi yang sama dihubungkan satu sama lain untuk posisi 1 sampai 8 maka akan diperoleh grafik modus getar [5]. Modus getar adalah pola getar benda uji ketika bergetar pada salah satu frekuensi pribadinya. Pada percobaan ini didapatkan tiga modus getar terendah dari struktur raket. Adapun tiga modus getar yang didapatkan dari pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Frekuensi pribadi raket uji dengan redaman lebih rendah dari frekuensi prIbadi sistem tanpa peredam dengan selisih berkisar 2 Hz. Tiga modus getar terendah dari system tergantung bebas hasil percobaan adalah modus pertama berupa grafik setengah gelombang membantuk satu puncak, modus kedua berupa grafik satu gelombang membentuk satu puncak satu lembah, dan modus ketiga berupa grafik satu setengah gelombang yang berbentuk satu puncak dua lembah. Rasio redaman berbeda untuk setiap titik pengujian walaupun frekuensi pribadinya sama. Frekuensi pribadi pada posisi berseberangan yang simetris memiliki besar hampir sama.
R. Saferi / JurnalTeknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 98-102
FREKWENSI (HZ)
102
[5]
1000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
-1000
-2000
POSISI SENSOR a
FREKWENSI (HZ)
1000 500 0 -500
1
2
-1000
3
4
5
6
7
8
POSISI SENSOR b
FREKWENSI (HZ)
400 200 0 -200
1
2
3
-400
4
5
6
7
8
POSISI SENSOR c
Gambar 9. Modus Getar Raket Tenis dengan peredam tipe 2: a. Modus getar pertama, b. Modus getar kedua, c. Modus getar ketiga
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada seluruh Staf Teknik Mesin Institut Teknologi Padang yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel ini dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
J. He & Z.-F. Fu, Modal Analysis, Butterworth - Heinemann. Linacre House, Jordan Hill, Oxford OX2 8DP, 2001. B. J. Schwarz, & M. H. Richardson, Experimental Modal Analysis,Vibrant Technology, IncJamestown, California. , 1999 Syafri, Penentuan Parameter Modal untuk Struktur dengan Kondisi BebasBebas, Proceeding SNTTM XI & Thermofluid IV, UGM, Yogyakarta, 2012. Bruel & Kjaer, Structural Testing Part 2. Modal analysis andSimulation, DK 2850 Naerum Denmark, 2009.
D. J. Ewins, Modal Testing Theory, Praction and Application, Second Edition, Research Studies PressLTD. Baldock, Hertfordshire, England, 2000.’
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 6, No. 2, October 2016
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Pengaruh Variasi Tekanan pada Saat Pencetakan Paving Block dengan Penambahan 5% Berat Fly Ash terhadap Uji Kuat Tekan Effect of Printing Pressure to Paving Block with 5% Weight of Added Fly Ash on Compressive Strength Nurzal 1,*, Edison 1, Krisna 2 2
1 Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Undergraduate Program, Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 19 September 2016; Revised 27 September 2016; Accepted 29 September 2016, Published 29 October 2016 http://dx.doi.10.21063/JTM.2016.V6.103-110 Academic Editor: Putri Pratiwi ([email protected]) *Correspondence should be addressed to [email protected] Copyright © 2016 Nurzal. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract This research aims to investigate the effect of compacting pressure variations with the addition of 5 wt.% fly ash (Fa) on paving block (Pb) in the compressive strength test base on SNI 03-0691-1996. Fa is obtain from waste material produced from coal burning thermal power plant from Sijantang sawahlunto. The growing production of Fa caused negative environmental impact, so that one of the solutions to overcome that effects is to use the Fa as a raw material for paving block mixture that can reduce the cost of raw material and increase its strength. The fly ash composition in the paving blocks manufacture, that is: 0 wt.%, 5wt.% Fa + block paving material (cement and sand), pressure variation 55, 65, 75, 85 and 95 Kg/cm2 with a drying time for 35 days. The addition of 5 wt.% Fa in paving block is taken based on the results of research conducted in 2013 by using a variation of the composition of 0,5,10,15 wt.% Fa and obtained optimum conditions at 5 wt.% Fa, while the optimal time drying 35 days is taken based on the results of research conducted in 2014 by the drying time variation of 7, 14, 21, 28, 35 days. While the pressure used 75 Kg/cm2, so it is necessary to study based on variations of pressure to get the optimum condition of the paving blocks. Form of test specimens by SNI 03-0691-1996 with paving block size of 20 cm x 10 cm x 6 cm. The test results showed The addition of 5 wt.% Fa increases the compressive strength when compared to 0 wt.% Fa. Optimal compressive strength occurred in paving block compacting pressure 95 kg/cm2 in the amount of 36.1 kg/cm2 with a quality that is used for road on the composition 5 wt.% Fa and 0 wt.% Fa of 30.3 kg/cm2 with quality B parking area. This is because the material fly ash contains oxide compounds that have mechanical properties that are very good and and the size of the fly ash used is very small so as to fill the voids between particles and reduce the porosity of the paving blocks and the higher pressure causes the density of paving blocks increases because bond between the particles is getting stronger. All the results that have made the products meet the quality according to SNI 03-0691-1996. Keywords: fly ash, printing pressure, paving block, SNI and compressive strength
1. Pendahuluan Batubara merupakan energi fosil yang sangat melimpah di Indonesia dan banyak digunakan dalam proses pembakaran pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Abu/sisa pembakaran batubara tersebut menghasilkan residu yang disebut dengan fly ash [1].
© 2016 ITP Press. All rights reserved.
Meningkatnya kebutuhan batubara pada pembangkit tenaga listrik untuk proses pembakaran menimbulkan peningkatan produksi fly ash sedang pemanfaatannya baru sedikit, yaitu kurang lebih 20 sampai 30 %, sehingga menyebabkan polusi lingkungan berupa pencemaran udara dan air tanah. Oleh karena itu perlu dicari suatu solusi untuk
104
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
mengatasi masalah tersebut dengan cara pemanfaatan fly ash sebagai raw material untuk campuran paving block. Dalam pengembangan dibidang teknik fly ash mempunyai sifat superior, diantaranya: kekerasan, kekuatan yang tinggi dan mampu kerja yang baik, sehingga dapat diaplikasikan pada bidang konstruksi, mekanik dan industri kimia [2]. Pemanfaatan fly ash sebagai bahan tambah juga dapat meningkatkan kualitas paving block. Pada komposisi fly ash 10 % 40 %, paving block bersifat kedap air agresif sedang, yaitu tahan terhadap air limbah industri, air payau dan air laut [3]. Paving block merupakan salah satu elemen bahan bangunan yang banyak diterapkan dalam bidang lapisan perkerasan jalan. Salah satu karakteristik kualitas yang harus dimiliki paving block adalah kekuatan tekan dan daya serap air. Kualitas paving semakin baik jika memiliki kuat tekan yang semakin tinggi. Paving block dibuat dari campuran semen portland, agregat dan air dengan atau tanpa tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu paving block tersebut. Komposisi yang digunakan antara lain semen portland, pasir, dan fly ash sebagai variasi bahan campuran dalam pembuatan paving block. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya. Pada Penelitian sebelumnya didapatkan komposisi 5% berat fly ash merupakan komposisi terbaik untuk nilai Daya serap air dengan mutu A & Kuat Tekan Mutu B [4]. Binder terbaik adalah air mineral [5] sedangkan Waktu pengeringan terbaik diperoleh selama 35 hari [6]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi tekanan kompaksi pada saat pencetakan paving block dengan penambahan 5 % berat fly ash tehadap kuat tekan serta menentukan penggolongan mutu dari paving block dengan SNI 03-0691-1996.
ukuran, warna, corak dan tekstur permukaan serta kekuatan. Keunggulan paving blok: Daya serap air melalui paving block menjaga keseimbangan air tanah untuk menopang betonan/rumah diatasnya. Berat paving block yang relatif lebih ringan dari betonan/aspal menjadikan satu penopang utama agar pondasi rumah tetap stabil. Serapan air yang baik sekitar rumah, menjamin ketersediaan air tanah untuk bisa dibor untuk digunakan untuk keperluan sehari-hari. Pelaksanaannya mudah dan tidak memerlukan alat berat. Pemeliharannya mudah dan dapat dipasang kembali setelah dibongkar. Kelemahan paving blok: Mudah bergelombang bila pondasinya tidak kuat dan kurang nyaman untuk kendaraan dengan kecepatan tinggi, sehingga perkerasan paving blok sangat cocok untuk mengendalikan kecepatan kendaraan dilingkungan pemukiman dan perkotaan yang padat. Pemakaian paving blok sangat beraneka ragam diantaranya yaitu: Jalan lingkungan Perumahan Area parkir Gedung, Ruko, Sekolahan, Rumah Sakit, Masjid dll Pedestrian/trotoar Halaman rumah Penggunaan paving blok dapat diklasifikasikan berdasarkan SNI 03-06911996 [7], dibedakan menurut kelas penggunaannya sebagai berikut: Tabel 1. Mutu Paving Blok ( SNI 03-0691-1996 ) [7]
2. Bahan dan Metode Paving block merupakan produk bahan bangunan dari semen yang digunakan sebagai salah satu alternatif penutup atau pengerasan permukaan tanah. Paving blok dikenal juga dengan sebutan bata beton (concrete block) atau cone blok. Paving block adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata beton. Diantara berbagai macam alternatif penutup permukaan tanah, paving block lebih memiliki banyak variasi baik dari segi bentuk,
Paving block yang diproduksi secara manual biasanya termasuk dalam mutu beton kelas D atau C yaitu untuk tujuan pemakaian non struktural, seperti untuk taman dan penggunaan lain yang tidak diperlukan untuk menahan beban berat di atasnya. Mutu paving
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
block yang pengerjaannya dengan menggunakan mesin press dapat dikategorikan ke dalam mutu beton kelas C sampai A dengan kuat tekan diatas 125 kg/cm bergantung pada perbandingan campuran bahan yang digunakan. Penampakan antara paving block yang diproduksi dengan cara manual dan paving block pres mesin secara kasat mata relatif hampir sama, namun permukaan paving blok yang diproduksi dengan mesin pres terlihat lebih rapat dibanding yang dibuat secara manual [8]. Mutu dan standar paving block diatur dalam SNI 03-0691-1996 [7] adalah: Mempunyai bentuk yang sempurna
105
Tidak retak-retak dan cacat Bagian sudut dan rusuknya tidak dirapikan dengan kekuatan tangan Bentuk dan ukuran Berdasarkan bentuknya paving blok dapat dibedakan menjadi dua yaitu bentuk segi empat dan segi banyak. Ketebalan 6 cm , 8 cm, dan 10 cm Warna umumnya abu-abu atau sesuai dengan pesanan konsumen Toleransi ukuran yang disyaratkan adalah ± 2 mm untuk ukuran lebar bidang dan ± 3 mm untuk tebalnya serta kehilangan berat bila diuji natrium sulfat maksimum 1 %.
Gambar 1. Bentuk- bentuk paving blok
A. Fly Ash (Abu Terbang) Fly ash merupakan sisa pembakaran batubara yang berbentuk partikel halus amorf, merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan bahan mineral karena proses pembakaran. Dari proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler) akan terbentuk dua jenis abu yaitu: fly ash dan bottom ash. Komposisi abu batubara yang
dihasilkan terdiri dari 10 - 20 % bottom ash, sedang sisanya sekitar 80 - 90 % berupa fly ash yang ditangkap dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong [8]. Menurut ACI Committee 226, dijelaskan bahwa abu terbang (fly ash) mempunyai butiran yang cukup halus, yaitu lolos ayakan No. 325 (45 mili mikron) 5 – 27 % dengan spesific gravity antara 2,15 – 2,6 dan berwarna abu-abu
106
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
kehitaman. Abu batubara mengandung silika dan alumina sekitar 80 % dengan sebagian silika berbentuk amorf. Sifat-sifat fisik abu batubara antara lain densitasnya 2,23 gr/cm3, kadar air sekitar 4 % dan komposisi mineral yang dominan adalah α-kuarsa dan mullite. Selain itu abu batubara mengandung SiO2 =58,75 %, Al2O3 = 25,82 %, Fe2O3= 5,30 % CaO = 4,66 %, alkali = 1,36 %, MgO = 3,30 % dan bahan lainnya = 0,81 %. Sebenarnya abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen, namun dengan kehadiran air dan ukurannya yang halus, oksida silika yang dikandung didalam abu batubara akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan akan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat [9]. Abu batubara dapat digunakan pada beton sebagai material terpisah atau sebagai bahan dalam campuran semen dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat beton. Fungsi abu batubara sebagai bahan aditif dalam beton bisa sebagai pengisi (filler) yang akan menambah internal kohesi dan mengurangi porositas daerah transisi yang merupakan daerah terkecil dalam beton, sehingga beton menjadi lebih kuat. Pada umur sampai dengan 7 hari, perubahan fisik abu batubara akan memberikan konstribusi terhadap perubahan kekuatan yang terjadi pada beton, sedangkan pada umur 7 sampai dengan 28 hari, penambahan kekuatan beton merupakan akibat dari kombinasi antara hidrasi semen dan reaksi pozzolan [10-12]. B. Air Air merupakan bahan pembuat beton yang sangat penting namun harganya paling murah. Air diperlukan untuk bereaksi dengan semen sehingga terjadi reaksi kimia yang menyebabkan pengikatan dan berlangsungnya proses pengerasan pada beton, serta untuk menjadi bahan pelumas antara butir-butir agregat agar mudah dikerjakan dan dipadatkan. Untuk bereaksi dengan semen, air hanya diperlukan 25 % dari berat semen saja. Selain itu, air juga digunakan untuk perawatan beton dengan cara pembasahan setelah dicor [13]. Kebutuhan kualitas air untuk beton mutu tinggi tidak jauh berbeda dengan air untuk beton normal. Pengerasan beton dipengaruhi reaksi semen dan air, maka air yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Air yang digunakan harus memenuhi persyaratan air minum yang memenuhi syarat untuk bahan campuran beton, tetapi air untuk campuran
beton adalah air yang bila dipakai akan menghasilkan beton dengan kekuatan lebih dari 90 % dari kekuatan beton yang menggunakan air suling [14]. C. Semen Portland Berdasarkan SNI No. 15-2049-2004, semen Portland dapat diklasifikasikan dalam 5 jenis [15], yaitu: Semen Portland tipe I Adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling klinker yang kandungan utamanya kalsium silikat dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk negatif senyawa kalsium sulfat. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah: 55% (C3S); 19% (C2S); 10% (C3A); 7% (C4AF); 2,8% MgO; 2,9% (SO3); 1,0% hilang dalam pembakaran, dan 1,0% bebas CaO. Semen Portland tipe II Dipakai untuk keperluan konstruksi umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus terhadap panas hidrasi dan kekuatan tekan awal, dan dapat digunakan untuk bangunan rumah pemukiman, gedung-gedung bertingkat dan lain-lain. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah: 51% (C3S); 24% (C2S); 6% (C3A); 11% (C4AF); 2,9% MgO; 2,5% (SO3); 0,8% hilang dalam pembakaran, dan 1,0% bebas CaO. Semen Portland tipe III Dipakai untuk konstruksi bangunan dari beton massa (tebal) yang memerlukan ketahanan sulfat dan panas hidrasi sedang, bangunan dipinggir laut, bangunan bekas tanah rawa, saluran irigasi , dam-dam. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah: 57% (C3S); 19% (C2S); 10% (C3A); 7% (C4AF); 3,0% MgO; 3,1% (SO3); 0,9% hilang dalam pembakaran, dan 1,3% bebas CaO. Semen Portland tipe IV Dipakai untuk konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan tinggi pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi, untuk pembuatan jalan beton, bangunan-bangunan bertingkat, bangunan-bangunan dalam air. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah: 28% (C3S); 49% (C2S); 4% (C3A); 12% (C4AF); 1,8% MgO; 1,9% (SO3); 0,9% hilang dalam pembakaran, dan 0,8% bebas CaO. Semen Portland tipe V Dipakai untuk instalasi pengolahan limbah pabrik, konstruksi dalam air, jembatan,
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
terowongan, pelabuhan dan pembangkit tenaga nuklir. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah: 38% (C3S); 43% (C2S); 4% (C3A); 9% (C4AF); 1,9% MgO; 1,8% (SO3); 0,9% hilang dalam pembakaran, dan 0,8% bebas CaO. D. Pasir Pasir adalah contoh bahan material butiran. Butiran pasir umumnya berukuran antara 0,0625 sampai 2 milimeter. Materi pembentuk pasir adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai tropis dan subtropis umumnya dibentuk dari batu kapur [17]. E. Uji Kuat Tekan Kuat tekan beton diukur berdasarkan besarnya beban persatuan luas yang menyebabkan benda uji hancur melalui gaya tekan tertentu yang dihasilkan dari alat uji, Kemudian dihitung dengan persamaan berikut:
𝜎=
𝐹
(1)
𝐴
dengan σ = Kuat tekan (kg/cm2) F = Gaya tekan (kg) A = Luas penampang (cm2)
107
Air, merupakan bahan pembuat beton yang sangat penting namun harganya paling murah. Air diperlukan untuk bereaksi dengan semen sehingga terjadi reaksi kimia yang menyebabkan pengikatan dan berlangsungnya proses pengerasan pada beton, serta untuk menjadi bahan pelumas antara butir-butir agregat agar mudah dikerjakan dan dipadatkan. G. Alat Penelitian Screening/mesh digunakan untuk mengukur partikel material paving block. Timbangan biasa dan digital digunakan untuk menimbang berat material dan perhitungan besarnya densitas dan daya serap air. Cetakan spesimen uji berbentuk jenis persegi panjang dengan ukuran 20 cm x 10 cm x 6 cm. Jangka Sorong untuk mengukur dimensi spesimen uji. Mesin Press untuk mencetak spesimen uji. Compression machine untuk uji kuat tekan. H. Bentuk Spesimen Uji Berdasarkan SNI 03-0691-1996, dengan ukuran: P=20cm, L=10cm dan Tmin= 6cm, toleransi +8%
F. Bahan yang Digunakan Fly Ash Berasal dari PLTU Sijantang Sawahlunto yang batu baranya berasal dari PT. Bukit Asam Sawahlunto, berbentuk serbuk berwarna abuabu gelap, ρ = 2,10 gr/cm3 dan ukuran butir 80 mesh setelah pengayakan. Tabel 2. Komposisi Kimia Fly Ash Unsur SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2O MnO TiO2 P2O5 H2O
Fly Ash (% berat) 62,80 20,70 4,87 1,30 0,42 0,41 2,02 0,03 0,96 0,28 0,26
Semen Portland adalah material yang mengandung ±75% kalsium silikat (3CaO.SiO2 dan 2CaO.SiO2), sisanya tidak kurang dari 5% berupa Al silikat, Al feri silikat dan MgO. Pasir berbentuk butiran. Butiran pasir umumnya berukuran antara 0,0625 sampai 2 milimeter.
Gambar 3. Bentuk Spesimen Uji
I. Cara Pembuatan Paving Block Langkah-langkah pembuatan paving block adalah sebagai berikut : Persiapkan perkakas, peralatan dan bahan material spesimen uji. Pengayakan pasir Langkah pertama dengan ayakan pasir 1 cm2 untuk memisahkan batu/ kerikil yang besar. Langkah kedua dengan ayakan lebih kecil untuk mendapatkan pasir halus. Pasir harus bersih dari kotoran, sampah, dan lumpur. Pengadukan bahan Mengaduk bahan biasanya dilakukan dengan sekop jika jumlah specimen kecil atau
108
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
dengan menggunakan mesin untuk jumlah yang besar. Mengaduk bahan dengan tangan dilakukan hanya untuk specimen uji yang berjumlah sedikit, agar biaya produksi murah, pengadukan spesimen uji hendaklah ditempat yang kedap air agar mencegah air semen merembes keluar.
Gambar 4. Penjemuran Paving
Setelah itu paving dikeringkan dengan cara dijemur dengan sinar matahari langsung selama 35 hari. Dilakukan penyiraman berkala (3 kali dalam sehari) untuk hasil yang sempurna.
Gambar 3. Proses pengadukan material secara manual
Langkah- langkah mengaduk specimen uji : Timbang pasir, semen, dan fly ash sesuai komposisi dibawah ini: - Komposisi 100% berat untuk pembuatan 10 paving block membutuhkan : 4,7 kg semen + 23,3 kg pasir + air 0,8 liter . - Komposisi 95 % berat PB+ 5 % berat FA untuk pembuatan 10 paving block membutuhkan : 4 kg semen + 22,6 kg pasir + 1,4 kg FA + air 0,8 liter. Campurkan semua material hingga merata. Lalu bentuk adukan menjadi gundukan, dan buat lubang ditengah untuk tempat air. Siram sedikit demi sedikit air kedalam lubang speimen uji dan aduk sampai terbentuk pasta merata. Jika ingin menambahkan kerikil, sekarang tambahkan dalam takaran yang sesuai, lalu aduk hingga semua kerikil terlapisi merata. Periksa adukan, ambil sedikit adukan yang telah tercampur lalu buat seperti bola kecil, jika bola tersebut tidak retak dan tangan sedikit basah maka specimen uji siap dicetak. Pencetakan paving block Pencetakan menggunakan mesin press dengan variasi tekanan cetak: 55, 65,75, 85 dan 95 Kg/cm2. Paving yang selesai dicetak diletakan diatas papan dan dibiarkan mengeras selama 1 malam tetapi tidak terkena sinar matahari langsung agar tidak retak.
J. Kuat Tekan Nilai kuat tekan diperlukan untuk mengetahui kekuatan maksimum dari paving block tersebut untuk menahan tekanan atau beban sesuai dengan SNI 03-0691-1996. Nilai kuat tekan dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya beban yang akan ditempatkan diatas sebuah benda tersebut tanpa mengalami kerusakan. Setelah semua proses pembuatan paving blok dilakukan, maka spesimen siap untuk diuji kuat tekannya pada mesin Kuat Tekan Beton “controls srl digimax plus V.1.0.3 dengan mendapatkan nilai gaya penekanan sampai benda uji gagal kemudian menghitung kuat tekan dengan persamaan.
b a Gambar 5. (a) Pengujian kuat tekan, (b) Input data dan Output data
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
3. Hasil dan Pembahasan Pengujian Kuat Tekan
Kuat tekan (MPa)
5% berat fly ash
109
Penambahan 5% berat fly ash meningkatkan nilai kuat tekan jika dibandingkan dengan 0% berat fly ash. Kuat tekan optimal terjadi pada tekanan cetak paving block 95 kg/cm2 yaitu sebesar 36,1 kg/cm2 dengan mutu A yang digunakan untuk Jalan pada komposisi 5% berat fly ash. Hasil produk yang telah dibuat memenuhi kualitas sesuai SNI 03-0691-1996 kecuali pada komposisi 0% berat fly ash dengan tekanan kompaksi 55 Kg/cm2 untuk daya serap air.
Ucapan Terima Kasih
Tekanan cetak paving block (kg/cm2) Gambar 6. Grafik hubungan antara tekanan cetak paving block dengan kuat tekan Tabel 3. Data hasil pengujian kuat tekan mengacu pada SNI 03-0691-1996. Kuat tekan (MPa) Tekanan 5% berat 0% (kg/cm2) fly ash Mutu berat fly Mutu ash 55 17.8 B 14.8 C 65 26.9 B 18.3 B 75 27.9 B 20.1 B 85 32.2 B 24.8 B 95 36.1 A 30.3 B
Pada Gambar 7 dan Tabel 3 terlihat bahwa nilai rata-rata pengujian kuat tekan meningkat seiring dengan penambahan tekanan kompaksi pada saat pencetakan. Nilai ini menunjukkan mutu yang layak pakai untuk paving block dan telah memenuhi syarat sesuai dengan SNI 030691-1996 kualitas kuat tekan ditinjau. Penambahan 5% berat fly ash meningkatkan nilai kuat tekan jika dibandingkan dengan 0% berat fly ash. Pada tekanan pencetakan 55 kg/cm2 penambahan 5% berat fly ash mutu B untuk pelataran parkir lebih baik dari penggunaan 0% berat fly ash mutu C untuk pejalan kaki. Sementara pada tekanan 95 kg/cm2 penambahan 5% berat fly ash mempunyai mutu A yang digunakn untuk jalan, kuat tekannya paling tinggi dari penggunaan 0% berat fly ash mutu B untuk pejalan kaki dan tekanan pencetakan lainnya.
Terima kasih diucapkan kepada seluruh Staf Teknik Mesin Institut Teknologi Padang yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel ini dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6] [7]
[8]
4. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
[9]
E. Benavides, C. Grasselli and N. Quaranta, 2003, Densification of Ash from a Thermal Power Plant, Journal Ceramics International, 29, 61-68. A. R. Boccacini, M. Kopf and W. Stumpfe, 1995, Glass-Ceramics from Filter Dust From Waste Incinerators, Journal Ceramics International, 21, 231235. Z. Eridani, 2004, Pemanfaatan Limbah Batu Bara Paiton sebagai Bahan Tambah pada campuran beton,Thesis JTS, FT. UGM. Nurzal dan J. Mahmud. (2013). Pengaruh Komposisi Fly Ash terhadap Daya Serap Air pada Pembuatan Paving Blok. Jurnal Teknik Mesin ITP, Vol 3, No.2, Halaman : 41-48, ISSN 2089-4880. Nurzal, Z. Zakir, 2014, Pengaruh Komposisi Fly Ash terhadap Kuat Tekan pada Pembuatan Paving Blok. Jurnal Teknik Mesin ITP, vol 4, no. 1, halaman: 15-21, ISSN 2089-4880. SNI 03-0691-1996. Bata Beton (Paving Block) E. F. C. Muller, (2006). Modul Pelatihan Pembuatan Ubin atau Paving Block dan Batako. International Labour Organization. M. W. Barsoum, 1997, Fundamentals of Ceramics. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Nurzal dan W. F. Putra, 2014, Pengaruh Waktu Pengeringan dengan Menambahkan 5% Berat Fly Ash Melalui Daya Serap Air Dan Uji Densitas pada
110
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
Nurzal / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 6(2) (2016) 103-110
Pembuatan Paving Blok (Binder Air Mineral), Jurnal Teknik Mesin ITP, Vol 4, No. 2, Halaman : 59-67, ISSN 20894880. Nurzal dan Ardiansyah., 2015, Pengaruh Variasi lama Pengeringan Paving Blok Dengan Menambahkan 5% Berat Fly Ash terhadap Kuat Tekan (Binder PT.X), Jurnal Teknik Mesin ITP, Vol 5, No. 2, Halaman : 127-132, ISSN 2089-4880. Nurzal dan Y.B. Gea, 2015, Pengaruh Waktu Pengeringan Dengan Menambahkan 5% Berat Fly Ash melalui Uji Daya Serap Air dan Uji Densitas Pada Pembuatan Paving Blok (Binder PT.X). Jurnal Teknik Mesin ITP, Vol 5, No. 1, Halaman : 18-24, ISSN 20894880. Nurzal, Edison dan Suhendri. (2015). Pengaruh Variasi Tekanan pada saat pencetakan Paving Blok dengan menambahkan 5% Fly Ash terhadap Sifat Fisis (Densitas dan Daya Serap Air). Prosiding Seminar Nasional PIMIMD ke 3 ITP, Halaman : 42-49 ISBN 978-60270570-3-6. I. W. Purba, (2011). Perbandingan Mutu Paving Block Produksi Manual dengan Produksi Masinal . Jurnal Rekayasa, Vol 15, No.2. R. Madya, (2012 ). Studi Sifat Mekanik Paving Block Terbuat Dari Limbah Adukan Beton Dan Serbuk Kaca . FT UI, Depok.: Tugas Akhir Teknik Sipil. H. S. Saptoadi (2002). Compression Strength of Artificial Light Weight Aggregates Made from Fly Ash. Yogyakarta: Journal of People and Environment Vol IX No.3 Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM. H. S. Saptoadi, (2002). Preliminary Studty of The Utilization of Ash Waste from Power Plants to Produce Artificial Light Weight Aggregates. Yogyakarta: Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM. A. B. Triwulan, (1993). Pengaruh Pemakaian Abu Terbang ex Batubara pada Campuran Semen terhadap Sifat Fisika Beton . Yogyakarta: Seminar Hasil Penelitian Bahan, PAU-UGM .
The Author Guideline
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. XX, No. XX, Month 20XX
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Type the Title of Your Article Here Tulis Judul Artikel di Sini First Author 1,*, Second Author 1, 2, Third Author 2 1
First affiliation institution First affiliation address, City, Country 2 Second affiliation institution Second affiliation address, City, Country
Received XX Month 20XX; Revised XX Month 20XX; Accepted XX Month 20XX, Published XX Month 20XX http://dx.doi.10.21063/JTM.20XX.VXX.XX-XX Academic Editor: Asmara Yanto ([email protected]) *Correspondence should be addressed to [email protected] Copyright © 20XX Your Name. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Keywords: keywords contain three to five words/phrases separated with coma.
1. Introduction This guideline is a template for writing the manuscript for Jurnal Teknik Mesin (JTM) submission and this guideline is available online at the Author Guideline page on JTM official website. Authors are allowed to modify this template for submission purpose.
2. Writing Layout Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia and be submitted online via journal website. Author must login in order to make submission. Online registration will be charged at no cost. A. Word Processing Software Manuscript should be contains at least 2.000 words and should not exceed 20 pages including embedded figures and tables, contain no © 20XX ITP Press. All rights reserved.
appendix, and the file should be in Microsoft Office (.doc/.docx) or Open Office (.odt) format. Article should be in prepared in A4 paper (21cm x 29.7cm) using 3 cm for inside margin and 2 cm for top, bottom, and outside margin. No need to alter page number in this template as the page number will be reordered at preprinting process. B. Writing Format The title and abstract should be in one column while the main text should be in two columns. Title should be less than 20 words, title case, centered, bold, font type Times New Roman (TNR), font size 16, and single spaced. Abstract contains neither pictures nor tables, justified, in 10 TNR, single spaced, and should not exceed 300 words. Keywords should be justified, 10 TNR and single spaced. The main
2
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
text of the writing should be in two columns with 1 cm colom spacing, justified, 11 TNR.
defined at their first mention in the abstract itself.
C. Section Headings Heading should be made in four levels. Level five cannot be accepted. 1) Heading 1 Heading 1: should be written in title case, left aligned, bold, 14 TNR, single spaced, and numbered by number followed by dot. 2) Heading 2 Heading 2: should be written title case, left aligned, bold, 11 TNR, single spaced, Capital numbered followed by dot. 3) Heading 3 Heading 3: should be written title case, left aligned, italic, 11 TNR, single spaced, numbered by number followed by closed bracket. a) Heading 4 Heading 4 is not recommended, however, it could still be accepted with the format of: sentence case, left indent 5 mm, hanging indent 5 mm, italic, 11 TNR, single spaced, numbered by small cap followed by closed bracket. b) Heading 5 Heading 5 cannot be accepted in the manuscript.
C. Keywords The keywords should be avoiding general and plural terms and multiple concepts. Be sparing with abbreviations: only abbreviations firmly established in the field may be eligible. These keywords will be used for indexing purposes.
3. Writing Structure The manuscript should begin with title, abstract, and keyword and the main text should consist of: Introduction, Material and Methods, Results and Discussion, and Conclusion; followed by acknowledgements and References. A. Title The title of the article should be concise and informative. Titles are often used in information-retrieval systems. Avoid abbreviations and formulae where possible. Author names should not contain academic title or rank. Indicate the corresponding author clearly for handling all stages of pre-publication and post-publication. B. Abstract The abstract should be concise, factual, and state briefly the purpose of the research, the principal results and major conclusions. An abstract is often presented separately from the article, so it must be able to stand alone. For this reason, References should be avoided. Also, non-standard or uncommon abbreviations should be avoided, but if essential they must be
D. Introduction State the objectives of the work and provide an adequate background, avoiding a detailed literature survey or a summary of the results. Explain how you addressed the problem and clearly state the aims of your study. E. Material and Methods State the objectives of the work and provide an adequate background, avoiding a detailed literature survey or a summary of the results. A Theory section should extend, not repeat, the background to the article already dealt with in the Introduction and lays the foundation for further work. a Calculation section represents a practical development from a theoretical basis. F. Results and Discussion Results should be clear and concise. Discussion should explore the significance of the results of the work, not repeat them. Avoid extensive citations and discussion of published literature. G. Conclusion The main conclusions of the study may be presented in a short Conclusions section, which may stand alone or form a subsection of a Discussion or Results and Discussion section. The conclusion section should lead the reader to important matter of the article. It also can be followed by suggestion or recommendation related to further research. H. Acknowledgements Collate acknowledgements in a separate section at the end of the article before the references and do not, therefore, include them on title page, as a footnote to the title or otherwise. List here those individuals who provided help during the research (e.g., providing language help, or proof reading the article, etc.).
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
I. Construction of References References are recommended using reference management software i.e. Endnote or Mendeley in IEEE style. References should be listed at the end of the article, and numbered in the order of their appearance in the text. Authors should ensure that every reference in the text appears in the list of references and vice versa. The actual authors can be referred to, but the reference number(s) must always be given. Wikipedia, personal blog, or non scientific website is not allowed to be taken into account. Primary references should be at least 80% from at least ten references. References should be taken from the late ten years. There are two types of references i.e. electronics sources and nonelectronics sources. Sample of correct formats for various types of references are as follows: • Book: Author, Title. Edition, editor, City, State or Country: Publisher, year, Pages [1]. • Part of book: Author, “Title”, in Book, edition, and editor, City, State or Country: Publisher, year, Pages [2]. • Periodical: Author, “Title”, Journal, volume (issue), pages, month, year [3-5]. • Proceeding: Author, “Title”, in Proceeding, year, pages [6]. • Unpublished article: Author, “Title”, presented at Conference/ event title, City, State or Country, year [7]. • Paten/Standart: Author, “Title”, patent number, month day, year [8]. • Technical report: Author, “Title”, Company, City, State or Country, Tech. Rep. Number, month, year [9]. Three pieces of information are required to complete each reference from electronics sources: 1) protocol or service; 2) location where the item is to be found; and 3) item to be retrieved. Sample of correct formats for electronics source references are as follows: • Book: Author. (Year, month day). Title. (edition) [Type of medium]. Volume (issue). Available: site/path/file [10]. • Periodical: Author. (Year, month). Title. Journal. [Type of medium]. Volume (issue), pages. Available: site/path/file [11]. • Articles presented at conferences: Author. (Year, month). Title. Presented at Conference title. [Type of Medium]. Available: site/path/file [12]. • Reports and handbooks: Author. (Year, month). Title. Company. City, State or Country. [Type of Medium]. Available: site/path/file [13].
3
J. Figures Figure should be in grayscale, and if it made in color, it should be readable when it later printed in grayscale. Caption should be numbered, in 9 TNR and single spaced. A caption should comprise a brief title (not on the figure itself) and a description of the illustration. Keep text in the illustrations themselves to a minimum but explain all symbols and abbreviations used. The lettering on the artwork should be clearly readable and in a proportional measure and should have a finished, printed size of 7 pt for normal text and no smaller than 6 pt for subscript and superscript characters. Figures should have a brief description in the main body of text. For layouting purpose, please provide the respective high resolution figure (≥300dpi) separately in .tif/.jpg/.jpeg within a particular folder apart from the manuscript. Moreover, kindly avoid mentioning position of figure/table e.g. “figure below” or “table as follow” because the position will be rearranged in layouting process. DO NOT put boxes around your figures to enclose them.
Figure 1. Figure caption
K. Table Number tables consecutively in accordance with their appearance in the text. Place footnotes to tables below the table body and indicate them with superscript lowercase letters. Avoid vertical rules. Be sparing in the use of tables and ensure that the data presented in tables do not duplicate results described elsewhere in the article. Tabel 1. Table Caption Parameter Unit Massa, ms 1 (kg) Reducer, c 1.81(Ns/m) a Stiffness, ks 22,739.57(N/m) b a b footnote footnote
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
4
L. Mathematical Equation Mathematical equation should be clearly written, numbered orderly, and accompanied with any information needed. They should also be separated from the surrounding text. ∞
𝑓 (𝑥) = 𝑎0 + ∑
𝑛=1
(𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 sin
𝑛𝜋𝑥 𝐿
[5]
[6]
) (1) [7]
Where 𝑓(𝑥) is notation explanation, 𝑎0 is notation explanation, and so on. M. Header, Footer, and Hyperlink Header and footer including page number must not be used. All hypertext links and section bookmarks will be removed from articles. If you need to refer to an Internet email address or URL in your article, you must type out the address or URL fully in Regular font.
4. Conclusion This author guideline is the first version of writing template for submitting manuscript into JTM. Please do not alter the formatting and style layouts which have been set up in this template document. For inquiries relating to the submission of articles, please visit JTM's homepage.
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Acknowledgements The guidelines for citing electronic information as offered below are a modified illustration of the adaptation by the International Standards Organization (ISO) documentation system and the American Psychological Association (APA) style and finalized in Information for IEEE Transactions, Journals, and Letters Authors.
References [1]
[2]
[3]
[4]
W.-K. Chen, Linear Networks and Systems. 2nd ed., R. M. Osgood, Jr., Ed. Belmont, CA: Wadsworth, 1993, pp. 23– 35. G. O. Young, “Synthetic structure,” in Plastics, 2nd ed., vol. 3, J. Peters, Ed. New York: McGraw-Hill, 1964, pp. 15– 64. J. U. Duncombe, “Infrared navigation— Part I: An assessment of feasibility,” IEEE Trans. Electron Devices, vol. ED11, pp. 34–39, Jan. 1959. E. P. Wigner, “Theory of traveling-wave optical laser,” Phys. Rev., vol. 134, pp. A635–A646, Dec. 1965.
[13]
E. H. Miller, “A note on reflector arrays,” IEEE Trans. Antennas Propagat., to be published. D. B. Payne and J. R. Stern, “Wavelength-switched passively coupled single-mode optical network,” in Proc. IOOC-ECOC, 1985, pp. 585–590 D. Ebehard and E. Voges, “Digital single sideband detection for interferometric sensors,” presented at the 2nd Int. Conf. Optical Fiber Sensors, Stuttgart, Germany, 1984 G. Brandli and M. Dick, “Alternating current fed power supply,” U.S. Patent 4 084 217, Nov. 4, 1978. E. E. Reber, R. L. Mitchell, and C. J. Carter, “Oxygen absorption,” Aerospace Corp., Los Angeles, CA, Tech. Rep. TR0200 (4230-46)-3, Nov. 1968 J. Jones. (1991, May 10). Networks Architechture. (2nd Ed.) [Online]. Available: http://www.atm.com/ R. J. Vidmar. (1992, Aug.). On the use of atmospheric plasmas. IEEE Trans Plasma Sci. [Online]. 21(3), pp. 876–880. Available: http://www.halcyon.com/pub/jos/ PROCESS Corp., MA. Intranets: Internet technologies deployed. Presented at INET96 Annu. Meeting. [Online]. Available: http://home.process.com/wp2.htp S. L. Talleen. (1996, Apr.). The Intranet Architecture. Amdahl Corp., CA. [Online]. Available: http://amdahl.com/ infra/