INSTITUT TEKNOLOGI PADANG Jurnal Teknik Mesin
Volume 7
Issue 1
Pages
Padang
ISSN
1 – 62
April 2017
2089 – 4880
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Editorial Team Editor-in-Chief
: Arfidian Rachman, Ph.D. Institut Teknologi Padang, Indonesia
Editor
: Asmara Yanto Institut Teknologi Padang, Indonesia
Section Editors
: Eswanto Institut Teknologi Medan, Indonesia
Mastariyanto Perdana Institut Teknologi Padang, Indonesia
Nurzal Institut Teknologi Padang, Indonesia
Putri Pratiwi Institut Teknologi Padang, Indonesia
Romiyadi Politeknik Kampar, Indonesia
Rozi Saferi Institut Teknologi Padang, Indonesia
Reviewer
: Prof. Dr. Eng. Gunawarman Universitas Andalas, Indonesia
Prof. Dr. Ilmi Institut Teknologi Medan, Indonesia
Dr. Firman Ridwan Universitas Andalas, Indonesia
Dr. Muhammad Yahya Institut Teknologi Padang, Indonesia
Dr. Ahmad Fudholi Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia
Dr. Gusri Akhyar Ibrahim Universitas Lampung, Indonesia
Dr. Eng. Mochamad Syamsiro Universitas Janabadra, Indonesia
Dr. Eng. Feblil Huda Universitas Riau, Indonesia
IT Support
: Indra Warman Institut Teknologi Padang, Indonesia
Publication Jurnal Teknik Mesin (JTM) is a journal aims to be a peer-reviewed platform and an authoritative source of information. We publish original research papers, review articles and case studies focused on mechanical engineering and other related topics. All papers are peer-reviewed by at least two referees. JTM is managed to be issued twice in every volume (April and October).
Publisher
: ITP Press – Institut Teknologi Padang http://press.itp.ac.id/
Mailing Address
: Mechanical Engineering Department - Institut Teknologi Padang Jalan Gajah Mada Kandis Nanggalo Padang, West Sumatra, 25143 Indonesia Telp: (0751) 443317 / Fax: (0751) 443317 Email:
[email protected]
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Contents
Pages
1.
Design of PID Control System for Liquid Surface Height Using Root Locus Method Iskandar Azis
01 – 13
2.
Designing and Manufacturing of Meat Grinding and Meatball Dough Blending Machine Romiyadi and Indah Purnama Putri
14 – 19
3.
AFR Modeling of EFI Engine Based on Engine Dynamics, Vehicle Dynamics, and Transmission System Suroto Munahar and Muji Setiyo
20 – 29
4.
Modeling and Simulation of a Rotary Quadruple Pendulum System Using Scientific Python Stacks and Modelica Language Adriyan
30 – 38
5.
Position Optimization of SDVA Mass (1/20 System Mass) to Reduce Translation and Rotation Vibration on Beam Susastro
39 – 44
6.
Hardness Test on the Alloy Fe-50%atAl With the Addition of Nickel Using Mechanical Alloying Method Dona Abrini, Sanny Ardhy and Haznam Putra
45 – 49
7.
Optical Properties Degradation of Organolead Halide Perovskite with Lead Devired from Solder Wire Putri Pratiwi
50 – 55
8.
Effect of Particles Size on EFB Bio-briquettes of Calorific Value Nofriady Handra, Anwar Kasim, Gunawarman and Santosa
56 – 62
9.
In Editing Author-1, Author-2 and Author-3
61 – 66
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
The Scope of JTM 1. 2. 3. 4. 5.
Mechanics Energy Science and Engineering Design, Manufacturing and Product Development Control, Instrumentation and Robotics Ocean Science and Engineering
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Desain Sistem Kendali PID pada Tinggi Permukaan Cairan dengan Metode Root Locus Design of PID Control System for Liquid Surface Height Using Root Locus Method Iskandar Azis Department of Mechanical Engineering, Universitas Almuslim Bireun Aceh Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Paya Cut, Kab. Bireuen, Aceh 24261, Indonesia
Received 11 October 2016; Revised 09 February 2017; Accepted 11 March 2017, Published 11 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.1-13 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected] ) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 I. Azis. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Control of the liquid surface height at a plant requires a system of control. The design of the control system requires a method of completion for height control system capable of controlling the liquid level remains stable at the desired level, namely the level of 8 and 10. The purpose of this research is to design a control system on a high surface of the liquid with PID control and implement methods of Root Locus. In this study, the liquid surface height of plant to be controlled ie MISO plant with two tanks. Root locus method has been able to control the high liquid level in the tank 1 with PID control parameters K p = 58.27, K d = 0.5. While high liquid level in the tank 2, PID control parameters are K p = 75.7, K d = 5. High surface of the liquid in the know stabilized by providing high varisi disruption of the liquid surface is high melibihi SP and under high-SP into PID control system. Keywords: PID, control systems, high fluid level, root locus
1. Pendahuluan Kestabilan merupakan hal penting dalam sistem kendali linear. Kestabilan sebuah sistem ditentukan oleh tanggapannya terhadap masukan atau gangguan. Sistem yang stabil adalah sistem yang tetap dalam diam bila tidak di ransang oleh sumber luar dan akan kembali diam jika semua ransangan dihilangkan [1-3]. Metode Root-Locus digunakan untuk memetakan akar-akar dari persamaan karakteristik, dimana dengan metode ini akarakar persamaan karakteristik digambarkan / diplot untuk semua nilai parameter sistem. Karena penggambaran root locus berada pada bidang s, sehingga sangat berguna untuk analisa kestabilan [4-7]. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain dan menganalisis suatu tinggi permukaan cairan dengan menggunakan metode tempat kedudukan akar dengan memakai kendali PID © 2017 ITP Press. All rights reserved.
agar sistem dapat stabil, serta dapat menggambarkan diagram root locus menggunakan simulasi matlab. Dengan pengendalian menjadikan tinggi permukaan cairan tetap stabil sehingga debit air yang keluar lebih efisien. Pada penelitian ini, penulis juga merancang kendali PID pada tinggi permukaan cairan 2 input dengan menggunakan metode root locus untuk menentukan kestabilan sistemnya.
2. Materi dan Metode A. Sistem Permukaan Zat Cair Resistansi dan Kapasitansi Sistem Permukaan Zat Cair Resistansi untuk aliran zat cair dalam pipa atau hambatan didefinisikan sebagai perubahan dalam perbedaan tinggi (perbedaan permukaan zat cair dalam dua tangki) yang diperlukan
2
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
untuk membuat satu satuan perubahan laju aliran, yaitu: R=
perubahan perbedaan permukaa n,m perubahan laju aliran, m3 /sec
(1)
Kapasitansi C dari tangki didefinisikan sebagai besar perubahan cairan yang diperlukan untuk
membuat perubahan potensial sebesar satu satuan. C=
perubahan cairan yang disimpan ,m3 perubahan potensial , m
(2)
Kapasitas sebuah tangki sama dengan luas permukaannya. Jika luas permukaan konstan, maka kapasitansi juga konstan [1].
Gambar 1. Sistem permukaan cairan dengan interaksi [1].
Tinjau sistem pada Gambar 1 dengan variabel didefinisikan sebagai berikut: Ǭ1 = Laju keadaan tunak tangki 1 Ǭ2 = Laju keadaan tunak tangki 2 H 1 = Tinggi permukaan zat cair tangki 1
H 2 = Tinggi permukaan zat cair tangki 2 h1 = Penyimpangan kecil permukaan zat cair pada keadaan tunak tangki 1 ℎ 2 = Penyimpangan kecil permukaan zat cair pada keadaan tunak tangki 2 C1 = Kapasitas tangki 1 C2 = Kapasitas tangki 2 q1 = Penyimpangan kecil laju aliran keluar tangki 1 q2 = Penyimpangan kecil laju aliran keluar tangki 2 𝑅 = Resistansi B. Sistem Kendali Sistem kendali merupakan kombinasi dari beberapa komponen yang bekerja bersamasama dan melakukan suatu sasaran tertentu. Kendali berfungsi mengatur masukan (input) untuk memperoleh keluaran (output) yang diinginkan. Sistem kendali ini secara umum terdiri dari tiga bagian yaitu input, proses dan output.
2) Close loop (loop tertutup) Sistem kendali loop tertutup adalah suatu proses pengendalian dimana variabel yang dikendalikan (output) di sensor secara kontinyu, kemudian dibandingkan dengan besaran acuan. Sinyal error yang merupakan selisih dari sinyal masukan dan sinyal umpan balik (feedback ), lalu di umpankan pada komponen pengendalian (controller) untuk memperkecil kesalahan sehingga nilai keluaran sistem semakin mendekati harga yang diinginkan.. C. Kontrol Proporsional Integral Derivatif (PID) Kontrol PID merupakan kontroller untuk menentukan kepresisian suatu sistem instrumentasi dengan karakteristik adanya umpan balik (feed back ) pada sistem tersebut. Kombinasi dari aksi kontrol proporsional, integral dan turunan disebut aksi kontrol integral ditambah integral ditambah turunan. Persamaan dengan tiga kombinasi ini diberikan oleh: u(t) = Kp. e(t) +
Kp Ti
t
∫ e(t) dt + Kp. Td 0
de(t) dt
(3) Atau fungsi alihnya
1) Open loop (loop terbuka) Sistem kendali loop terbuka adalah proses pengendali dimana variabel input mempengaruhi output yang dihasilkan. Suatu sistem kontrol yang keluarannya tidak berpengaruh terhadap aksi pengontrolan.
U(s) E(s)
= Kp (1 +
1 TiS
+ TdS)
(4)
Dengan Kp penguatan proporsional, Ti waktu integral, dan Td waktu turunan.
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Keuntungan-keuntungan kontroler PID: P : Memperbaiki respon transien. I : Menghilangkan error steady state. D : Memberikan efek redaman. D. Metode Root Locus Root Locus (tempat kedudukan akar) merupakan suatu metode dengan menggambarkan akar-akar persamaan karakteristik untuk semua nilai dari suatu parameter sistem. Harga pole (kutub) dan harga zero (nol) Analisa kestabilan suatu sistem kendali tidak selalu mudah dilakukan dalam wawasan waktu dan pada umumnya dilakukan dalam daerah
3
frekuensi (ω). Jika suatu fungsi alih dituliskan dalam bentuk 𝐅(𝐒) =
𝐒 𝟐+𝐀𝐒+𝐁 𝐒 𝟑+𝐂𝐒 𝟐+𝐃𝐒+𝐄
(5)
diubah menjadi bentuk 𝐅(𝐒) = (
( 𝐒+𝐚)(𝐒+𝐛) 𝐒+𝐜)(𝐒+𝐝)( 𝐒+𝐞)
(6)
Maka, yang dimaksud dengan harga zero (nol) fungsi tersebut adalah harga-harga dari S yang mengakibatkan F(S) = 0, yang dalam hal ini adalah S = −a dan S = −b, sedangkan harga pole (kutub) adalah harga S yang menyebabkan F(S) = ∞ yaitu S = −c, S = −d dan S = −e.
Gambar 2. Penggambaran Bidang-s [1].
Prosedur penggambaran root locus 1. Letakkan pole-pole dan zero-zero loop terbuka pada bidang s. 2. Tentukan root locus pada sumbu nyata. Syarat Sudut : ∠G(s)H(s) = ± 180° (2k + 1) k = 0, 1, 2, .... Ambil titik test: Bila jumlah total pole dan zero dikanan titik ini ganjil, maka titik tersebut terletak di root locus. 3. Tentukan asimtot Root locus : Banyaknya asimtot = ηp - ηz ηp = banyaknya pole lope terbuka ηz = banyaknya zero loop terbuka ±180°(2k+1) Sudut-sudut asimtot = ηp−ηz
k = 0, 1, 2, .... Titik pusat asimtot pada sumbu nyata : CG =
∑p(jumlah pole) − ∑z(jumlah zero) ηp − ηz
Tentukan titik break-away, Untuk persamaan karakteristik B(s) + KA(s) = 0 Maka titik-titik tersebut harus berada di Root Locus dan memenuhi persamaan
dK B ′(s)A(s) − B(s) A′ (s) = =0 ds A2 (s) Tentukan sudut berangkat (θD) dengan θD = 180° + Arg GH E. Tanggapan sistem Tanggapan sistem atau respon sistem adalah perubahan perilaku output terhadap perubahan sinyal input. Respon sistem berupa kurva ini akan menjadi dasar untuk menganalisa karakteristik sistem selain menggunakan persamaan / model matematika. Bentuk kurva respon sistem dapat dilihat setelah mendapatkan sinyal input. Sinyal input yang diberikan untuk mengetahui karakteristik sistem disebut sinyal test. Respon sistem terbagi dalam dua domain / kawasan yaitu domain waktu (time response) dan domain frekuensi (frequency response). Tanggapan waktu (time response) dari suatu sistem kontrol dibagi menjadi dua bagian : tanggapan transien (transient response) dan tanggapan keadaan tunak (steady-state response). Tanggapan transien berlangsung dari saat mulai hingga tanggapan sistem mencapai
4
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
nilai akhir yang diinginkan (final state). Tanggapan keadaan tunak dimulai pada saat tanggapan mulai pertama kali mendekati nilai akhir hingga waktu yang tak terhingga. Tanggapan transien digunakan untuk menganalisa sifat naik atau permulaan dari
suatu sistem bila diberikan sinyal uji. Sedangkan tanggapan keadaan tunak digunakan untuk menganalisa karakteristik sistem pada saat mencapai harga akhirnya.
Gambar 3. Tanggapan transien dan tanggapan keadaan tunak [1].
1) Sistem orde 1 Secara umum fungsi transfer sistem ordesatu dapat dinyatakan dalam bentuk standar sebagai berikut: G(s) =
C (s) R(s)
=
K
(7)
τs+1
Dimana K adalah penguatan proses dan τ adalah konstanta waktu. Respon tangga satuan sistem orde 1 Karena transformasi Laplace dari fungsi masukan tangga satuan adalah 1/s, dengan mensubstitusi R(s) = 1/s ke dalam Persamaan (2.13), diperoleh C(s) =
1
1
(8)
Ts+1 s
Dengan menguraikan C(s) menjadi pecahan parsial, diperoleh 1
T
s
Ts+1
C(s) = −
G(s) =
C(s) R(s)
=
ω2n 2 s +2ωnξs+ω2n
(11)
Dimana ωn adalah frekuensi natural dan ξ adalah rasio redaman (damping ratio). Untuk nilai ξ yang bervariasi, didapatkan kasus-kasus yang berbeda, yaitu: 1. Untuk nilai ξ : 0 < 𝜉 < 1, tanggapan sistem yang dihasilkan disebut tanggapan redaman kurang (under damped). 2. Unuk nilai ξ = 1 , tanggapan sistem yang dihasilkan disebut tanggapan redaman kritis (critical damped). 3. Untuk nilai ξ > 1 , tanggaan sistem yang dihasilkan disebut tanggapan redaman lebih (over damped).
(9)
Dengan melakukan transformasi Lapalace balik, diperoleh c(t) = 1 − e−t/T
2) Sistem orde 2 Secara umum fungsi transfer sistem ordedua dapat dinyatakan dalam bentuk standar sebagai berikut:
(t ≥ 0)
(10)
Persamaan (10) menyatakan bahwa keluaran c(t) mula-mula nol kemudian akhirnya menjadi satu [2].
Spesifikasi Tanggapan Transien Spesifikasi tanggapan transien dalam domain waktu yang dimaksud adalah: 1. Waktu Tunda (delay time), t d: Adalah waktu yang diperlukan oleh tanggapan untuk mencapai setengah nilai akhir untuk pertama. 2. Waktu Naik (rise time), t r : Adalah waktu yang dibutuhkan untuk naik dari 10% - 90%, 5% - 95%, atau 0% - 100% dari nilai akhir dari tanggapan. Untuk kasus under damped, biasanya digunakan kriteria
5
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
0% - 100%. Untuk kasus over damped, biasanya digunakan kriteria 10% - 90%. 3. Waktu Puncak (peak time), t p : Adalah waktu yang dibutuhkan tanggapan untuk mencapai nilai puncak dari overshoot pertama kali. 𝑡𝑝 =
𝜋 𝜔𝑑
=
𝜋
(12)
𝜔𝑛√1−𝜉𝑛
4. Overshoot Maksimum (maximum overshoot), Mp : Adalah nilai puncak maksimum dari tanggapan yang diukur dari nilai akhir dari nilai tanggapan. Biasanya dirumuskan dalam persentase : c (tp)−c(∞)
Mp =
x 100%
c(∞)
(13)
5. Waktu Settling (settling time), t s : Adalah waktu yang dibutuhkan tanggapan untuk mencapai nilai akhir dari tanggapan dan tetap berada pada nilai tersebut dalam range persentase tertentu dari nilai akhir (biasanya 5% atau 2%). Untuk kriteria 2% , diperoleh 𝑡𝑠 = 4/𝜎 Untuk kriteria 5% , diperoleh 𝑡𝑠 = 3/𝜎 F. Disain Sistem Berdasarkan pada Gambar 1, diperoleh persamaan matematis untuk tangki-1 adalah C1
dh1 dt
q1 =
= qi1 − q1
(14)
h1−h2
(15)
R1
Persamaan (15) disubstitusikan ke persamaan (14) menghasilkan C1 C1
dh1 dt dh1 dt
dh1 dt
= qi1 − ( = qi1 − 1
=
q C1 i1
−
h1−h2 R1
h1 R1
+
C2
dt
qO =
R1
C2
dh2 dt
1
h R 1C1 1
+
1
h R 1C1 2
= qi2 + q1 − qO
(16)
1 q C2 i2
h1−h2
h1 R1
R1
−
h2 R1
)− −
h2 qO
h2 R2
1 h R 1C2 1
1 h R 1C2 2
−
h2
−
R 2C2
(19)
u1 = qi1 y1 = x1 dh2 dt
= ẋ 2 ⇒ h2 = x2
u2 = q2 y2 = x2 Dari persamaan (16) dan Persamaan (19) diperoleh dh1 dt
=−
ẋ 1 = −
1 h R 1C1 1
1 x R 1C1 1
+
+
1 h R 1C1 2
1 x R 1C1 2
1 q C1 i1
+
+
1 u C1 1
(20)
dan dh2 dt dh2 dt
=
1 h R 1C2 1
−
=
1 h R 1C2 1
−(
ẋ 2 = 1
1 x C2 R 1 1
1 h R 1C2 2 1
R 1C2
−(
1
1
+
+
) h2 +
R 2C2 1
+
R 1C2
1 h R 2C2 2
−
1 q C2 i2
1 q C2 i2
) x2 +
R 2C2
u C2 2
(21)
Persamaan (20) dan (21) dibentuk menjadi matriks 1
− ẋ [ 1 ] = [ C11R 1 ẋ 2 − C2R 1
1
0
1 C1R 1 1 C2R 1
−
1
x1 ] [x ] + 2
C2R 2
0
u1 1 ] [u2 ]
C2
1 0 x1 ][ ] 0 1 x2
(22)
Dengan 1
1
− C R A = [ 11 1
−
C2R 1
(17) (18)
+
= ẋ 1 ⇒ h1 = x1
1
= qi2 + ( = qi2 +
dt
y=[
R2
dt
dh1
h2
Persamaan (18) disubstitusikan ke persamaan (17) menghasilkan C2
=
Definisi variabel keadaan:
[
)
h2
dh2
dt
C1
Dan persamaan matematis untuk tangki-2 adalah dh2
dh2
C1
𝐵=[
0
C1R 1 1 C2R 1
−
1
]
C2R 2
0 1
]
C2
1 0 ] 0 1 diperoleh 𝐶=[
(23)
G(s) = C(SI − A) −1 B + D
(24)
6
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Dengan 1
− [SI − A] = [ S 0] − [ C11 R1 0 S − C2R 1
1
1
1
C1 R 1 1 1 C2R 1
1 C1R 1 ] 1 S+ C2 R 1 C1R 1 1 1 S+ − C1R 1 | C11R 1 | 1 1 − S+ + C2R 1 C2R 1 C2R 2
−
C2 R 2
1
[SI − A]−1 =
[
=
]
C2R 2
1 C1R 1 ] 1 S+ C1R 1
C2R 1 1 1 1 1 )S+ + + C2R 1 C2R 2 C1 R 2 C1C2R 1R 2
1 C1 R 1 1 1 1 1 1 S2+( +( + ) )S+ C2 R 1 C2 C1 R 2 C1C2R 1R 2 1 S+ C1 R 1 1 1 1 1 1 S2+( +( + ) )S+ C2 R 1 C2 C1 R 2 C1C2R 1R 2
1 1 + C2R 1 C2R 2 C C 1 1 C1 S2+( 1 + 1 + )S+ C2 R 1 C2R 2 R 2 C2R 1R 2 1 C2R 1 C C 1 1 C1S2+( 1 + 1 + )S+ C2 R 1 C2R 2 R 2 C2R 1R 2
1 C1R 1 C 1 1 1 C2S2+( + + 2 )S+ R 1 R 2 C1R 2 C1R 1R 2 1 S+ C1 R 1 C 1 1 1 C2S2 +( + + 2 )S+ R 1 R 2 C1R 2 C1R 1R 2
S+
[
C2 R 1
1
S2 +(
1 1 + C2R 1 C2R 2 1 1 1 1 1 S2 +( +( + ) )S+ C2R 1 C2 C1 R 2 C1C2R 1R 2 1 C2R 1 1 1 1 1 1 S2+( +( + ) )S+ C2R 1 C2 C1 R 2 C1C2R 1R 2
C[SI − A]−1 B =
1
S+ + [ C2R 11 C2 R 2
S+
[SI − A]−1 =
C2R 1
1
S+ + [ C2R11 C2R 2
1
S+ − C1R 1 C1R 1 ]=[ 1 1 − S+ +
]
]
diperoleh fungsi alih dalam bentuk sistem orde 2 G(s)11 =
1 1 + C2R 1 C2R 2 C C 1 1 C1S2 +( 1 + 1 + )S+ C2R 1 C2R 2 R 2 C2R 1R 2
G(s)12 =
1 C1R 1 C 1 1 1 C2S2+( + + 2 )S+ R 1 R 2 C1R 2 C1R 1R 2
G(s)21 =
1 C2R 1 C C 1 1 C1S2 +( 1 + 1 + )S+ C2R 1 C2R 2 R 2 C2R 1R 2
G(s)22 =
1 C1R 1 C 1 1 1 C2 S2+( + + 2 )S+ R 1 R 2 C1R 2 C1R 1R 2
S+
S+
, G(s)11 =
, G(s)12 =
H1 Qi1
H2
, G(s)11 =
(26)
Qi1
, G(s)21 =
(25)
H1 Qi2
H1
(27)
(28)
Qi1
Dari Persamaan (25), (26), (27) dan (28) dapat dibentuk blok diagram sistem MIMO sebagai berikut
Gambar 4. Blok diagram rangkaian fungsi alih sistem M IM O
G. Perancangan Sistem Kendali Perancangan simulasi sistem dibagi menjadi 2, yaitu pemodelan sistem dan perancangan program untuk kestabilan sistem. Perancangan program untuk kestabilan sistem menggunakan
program MATLAB 7.5 buatan The Mathwork . Pada aplikasi program MATLAB ini digunakan beberapa sub program, yaitu MATLAB Command Window dan MATLAB Simulink.
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Sistem Kendali dimodelkan seperti pada Gambar 5. Untuk dapat mengendalikan sistem pada Gambar 5 perlu dilakukan perhitungan
7
matematis pada plant tersebut dan menentukan parameter-parameter kendali PID.
Gambar 5. Perancangan sistem kendali pada plant
Berdasarkan data tangki pada lampiran, untuk nilai kapasitas atau volume tangki diperoleh dari nilai t dan d, nilai parameter t dan d diketahui yaitu: - tinggi tangki, t = 3.5 m, - diameter tangki, d = 6.5 m, r = 3.25 m , maka volume = πr 2 t = 3.14(3.25) 2 (3.5) = 116.082 m3 ≈ 116.1 m3 , sehingga nilai untuk kapasitas kedua tangki dianggap sama yaitu C1 dan C2 = 116.1 m3 . Untuk mencari nilai parameter R1 dan R 2 , perlu diketahui atau ditentukan dahulu nilai dari parameter h1 , h2 , q1 dan q2 . Dimana nilai parameter tersebut yaitu: h1 = 3 m L q1 = 1 = 0.001 m3 /s, open vale 75%
h2 = 3.2 m L q1 = 10 = 0.01 m3 /s, open valve 50% detik Berdasarkan nilai parameter diatas, maka diperoleh h1 − h2 3 m − 3.2 m R1 = = = −200 s/m2 q1 0.001 m3 /s dan h2 3.2 m R2 = = = 320 s/m2 q2 0.01 m3 /s Karena nilai-nilai parameter telah diketahui, kemudian nilai parameter dimasukkan kedalam Persamaan 3 sampai 7. Sehingga persamaan fungsi alihnya menjadi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6.
detik
Gambar 6. Blok diagram loop terbuka pada sistem permukaan cairan 2 input
Decoupler Decoupler dirancang untuk mengkompensasi interaksi proses yang tidak
diinginkan. Untuk mendapatkan persamaan pada tiap decoupler maka dilakukan analisa terpisah pada tiap input dan output.
8
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Tujuan deucopling adalah untuk memutuskan / menghilangkan sifat interaksi antar loop pada sistem MIMO. Karena pada sistem ini menggunakan metode Root Locus untuk merancang sistem kendali, yang mana pada metode ini bekerja pada sistem SISO, maka interaksi pada sistem MIMO ini harus diputuskan agar menjadi sistem SISO. Untuk menjadikan sistem ini menjadi 2 buah sistem SISO, perlu adanya fungsi alih decoupler. Dari blok diagram diatas dapat dilihat, Qi2 mempengaruhi H1 dan Qi1 mempengaruhi H2 melalui persamaan berikut akan diperoleh fungsi alih decoupler.
H1 (s) = (D12 (s)G11 (s) + G21 (s))Qi2 (29) H2 (s) = (D21 (s)G22 (s) + G12 (s))Qi1 (30) 𝐷12 = − 𝐷21 = −
𝐺 ( 𝑠) 21 𝐺 ( 𝑠) 11 𝐺(𝑠) 12 𝐺(𝑠) 22
= =
0.00004 𝑠−0.00001 0.00004 𝑠−0.00001
(31) (32)
Serta penggambaran blok diagramnya dengan simulink diperlihatkan pada gambar blok diagram berikut
Gambar 7. Blok diagram loop terbuka pada sisem permukaan cairan 2 input dengan decoupler
Perhitungan untuk sistem SISO Untuk memperoleh fungsi alih untuk tangki 1 dan 2 dalam bentuk sistem SISO, maka perlu dilakukan perhitungan berdasarkan fungsi alihfungsi alih yang terdapat pada Gambar 3.7 yang
berbentuk blok-blok diagram. Dimana perhitungan untuk memperoleh sistem SISO untuk tangki 1 dan 2 adalah sebagai berikut:
Tangki-1: D12 G(s)12 + G(s)22 = G(s) 1 GG(s)1 =
(33)
116.1s4−4.8x10 −3s3 −2.896x10−7s2 +3.8x10 −12s+1.2x10−16 13480s5 +0.0974s4 −2.5x10−5s3 −2.22x10 −11s2 +1.2x10−14s−10−19
(34)
Tangki-2: D21 G(s)21 + G(s)11 = G(s)2 GG(s)2 =
(35)
116.1s4 −0.0048s3 −2.896x10−7s2 +3.8x10 −12s+1.2x10 −17 13480s5 −0.3065s4 −3.15x10−5 s3+7x10−10 s2 +1.8x10−14s−4x10 −19
Penentuan parameter PID Untuk mendapatkan nilai-nilai dari parameter kontroler, harus ditentukan dahulu
(36)
spesifikasi desain sistem yang dinginkan sehingga nilai pole simpul tertutup (dimisalkan = 𝑠1 ) yang berkesesuaian dapat dicari. Nilai
9
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
pole tersebut dimasukkan pada persamaan sehingga didapatkan parameter Kp, Ki, dan Kd. Karena kontroler PID menambah orde sistem, maka perlu diperiksa timbulnya pole-pole baru yang memungkinkan terjadinya ketidakstabilan sistem. Nilai parameter kontroler yang tidak menimbulkan ketidakstabilan sistem kemudian disimulasikan dengan MATLAB untuk diamati performansinya. Sistem pengendalian ketinggian tangki 1 Sistem pengendalian ketinggian pada tangki 1 diinginkan keadaan mantap mencapai waktu No
Kp
1 2
10 detik dengan setpoint 3 meter, dengan mengganggap bahwa keadaan mantap terjadi setelah 5 kali konstanta waktu, didapat T = 10/5 = 2 detik. Nilai pole yang berkesesuaian adalah s1 = −1/T = −1/2 = −0.5. Dengan memasukkan nilai 𝑠1 pada persamaan karakteristik yang didapat dan memvariasikan nilai Ki dan Kd. Sehingga diperoleh −210.622 Kp = = 58.02 −3.63 Karena nilai s = −0.5, maka nilai Kp = 58.02.
Tabel 1. Kontroler PID untuk tangki 1 Pole1 Pole2 Pole3 Pole4
Ki
Kd
Pole5
Pole6
58.02
0
0
0
-0.4998
0.0001
58.22
0.1
0
-0.4997
-0.0017
0.0001
-0.0000
-0.0000
-0.0000
0.0000
-0.0000
-0.0000
3
58.27
0
0.5
0
-0.4998
0.0001
0.000
-0.00
-0.00
4
58.72
0.1
1
-0.4998
-0.0017
0.0001
0.00
-0.000
-0.000
5
58.77
0
1.5
0
-0.4998
0.0001
0.000
-0.000
-0.000
6
58.97
0.1
1.5
-0.4998
-0.0017
0.0001
0.000
-0.000
-0.000
Gambar 8. Root locus pada tangki 1 dengan Kp = 58.02
Dari Tabel 1, hasil gambar root locus dapat dilihat pada Gambar 8, di mana ditunjukkan kawasan root locus pada bidang s tangki-1. Titik merah pada Gambar 8 menunjukkan bahwa titik tersebut berada pada kawasan root locus. Sistem pengendalian ketinggian tangki 2 Pada tangki 2 diinginkan keadaan mantap tercapai dalam waktu 8 detik dengan setpoint 3.2 meter, dengan mengganggap bahwa
keadaan mantap terjadi setelah 5 kali konstanta waktu. Sehingga didapat T = 8/5 = 1.6 detik atau pole pada s1 = −1/1.6 = −0.625 . Dengan memasukkan nilai s1 pada persamaan dan memvariasikan nilai Ki dan Kd. Sehingga diperoleh −803.5 Kp = = 72.56 −11.073 Karena nilai −0.625, maka nilai Kp = 72.56.
10
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13 Tabel 3.2 Kontroler PID untuk tangki 2 No
Kp
Ki
Kd
Pole1
Pole2
Pole3
Pole4
Pole5
Pole6
1
72.56
0
0
0
-0.625
0.0001
0.00
-0.00
-0.00
2
72.72
0.1
0
-0.625
-0.0014
0.0001
0.00
-0.00
-0.00
3
74.16
1
0
-0.625
-0.0138
0.0001
0.00
-0.00
-0.00
4
74.48
1
0.5
-0.625
-0.0137
0.0001
0.000
-0.000
-0.000
5
75.7
0
5
0
-0.6251
0.0001
0.00
-0.00
-0.00
6
75.85
0.1
5
-0.625
-0.0013
0.0001
0.00
-0.00
-0.00
3. Pengujian dan Analisis Pengujian sistem kendali PID pada tinggi permukaan cairan Berdasarkan pada Gambar 5, sistem kendali untuk tinggi permukaan cairan pada tangki 1 dan 2 ditentukan dengan cara perhitungan yang tertera pada Subbab 3.6.1 dan untuk pengujian kestabilan sistem kendali tinggi permukaan cairan pada tangki 1 dan 2 ditentukan dengan penempatan akar-akar dan respon transien.
Berikut adalah blok diagram sistem kendali PID untuk tinggi permukaan cairan pada tangki 1 dan 2. Berdasarkan nilai parameter kontroler PID yang telah didapat pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa semua sistem stabil karena tidak ada pole yang terletak di sebelah kanan bidang s, dan untuk pembuktian bahwa sistem stabil dapat dilihat pada hasil respon transien pada Gambar 10 dan 11.
Gambar 9. Blok diagram kontroler PID untuk tinggi permukaan cairan
Gambar 11. Respon transien sistem kendali dengan kp=58.27 dan kd=0.5
Gambar 12. Respon transien sistem kendali dengan kp=75.85, ki=0.1, kd=5
11
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Dari hasil respon yang ditunjukkan pada Gambar 11 dan 12 terlihat bahwa sistem bergerak menuju keadaan mantap dengan set poin 3 m, dan mencapai settling time pada waktu 7.4 detik. Sehingga sistem dikatakan stabil steady state. Serta respon diatas memperlihatkan tidak adanya overshoot. Karena settling time-nya < 8 detik, maka sistem tidak memenuhi spesifikasi desain.
(
1.5e−30s ) 4s+1
Gambar 14. Respon sistem pengendalian tinggi permukaan cairan dengan gangguan (
−2e−30s ) 3s+1
) Dari hasil respon yang ditunjukkan pada Gambar 13 terlihat bahwa, pada awalnya output respon mencapai keadaan tunak pada waktu 10 detik dengan set poin 3 m, kemudian output 𝟒𝐬+𝟏
Tangki 1 Untuk tangki 1, pengujian gangguan diberikan berupa variasi tinggi permukaan cairan yaitu tinggi permukaan cairan melebihi tinggi setpoint (sp) dan di bawah tinggi setpoint (sp).
Gambar 13. Respon sistem pengendalian tinggi permukaan cairan dengan gangguan (
Pengujian sistem kendali dengan gangguan 𝟏.𝟓𝐞−𝟑𝟎𝐬
Pengujian sistem kendali pada tinggi permukaan cairan dengan gangguan Untuk pengujian sistem kendali dengan pemberian gangguan, dilakukan dengan menvariasikan tinggi permukaan cairan yang berupa fungsi alih.
respon bergerak stabil sampai pada waktu 30 detik, dan ketika mencapai waktu 30 detik output respon mengalami gangguan sehingga output respon bergerak naik melewati nilai set point sampai mencapai 3.4 meter, dan beberapa selang waktu kemudian output respon kembali stabil pada waktu 50 detik. Sehingga dapat
12
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
disimpulkan bahwa sitem stabil, walau diberi gangguan penguat (+). Pengujian sistem kendali dengan gangguan −𝟐𝐞−𝟑𝟎𝐬
(
) Dari hasil respon yang ditunjukkan pada Gambar 14 terlihat bahwa, pada awalnya output respon mencapai keadaan tunak pada waktu 10 detik dengan set poin 3 m, kemudian output respon bergerak stabil sampai pada waktu 30 detik, dan ketika mencapai waktu 30 detik output respon mengalami gangguan sehingga 𝟑𝐬+𝟏
(
1.5e−30s ) 4s+1
Gambar 16. Respon sistem pengendalian tinggi permukaan cairan dengan gangguan (
−2e−30s ) 3s+1
) Dari hasil respon yang ditunjukkan pada Gambar 15 terlihat bahwa, pada awalnya output respon mencapai keadaan tunak pada waktu 8 detik dengan set poin 3.2 m, kemudian output respon bergerak stabil sampai pada waktu 30 𝟒𝐬+𝟏
Tangki 2 Sama halnya dengan tangki 1, untuk tangki 2, pengujian gangguan juga diberikan berupa variasi tinggi permukaan cairan.
Gambar 15. Respon sistem pengendalian tinggi permukaan cairan dengan gangguan (
Pengujian sistem kendali dengan gangguan 𝟎.𝟓𝐞−𝟑𝟎𝐬
output respon bergerak turun dari nilai set point pada ketinggian 2.4 meter, dan beberapa selang waktu kemudian output respon kembali stabil pada waktu 44 detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sitem stabil, walau diberi gangguan penguat (-).
detik, dan ketika mencapai waktu 30 detik output respon mengalami gangguan sehingga output respon bergerak naik melewati nilai set point sampai mencapai 3.3 meter, dan beberapa selang waktu kemudian output respon kembali stabil pada waktu 43 detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sitem stabil, walau diberi gangguan penguat (+).
I. Azis / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 1-13
Pengujian sistem kendali dengan gangguan
Referensi
(
[1]
–𝟐.𝟓𝐞−𝟑𝟎𝐬
) Dari hasil respon yang ditunjukkan pada Gambar 16 terlihat bahwa, pada awalnya output respon mencapai keadaan tunak pada waktu 10 detik dengan set poin 3.2 m, kemudian output respon bergerak stabil sampai pada waktu 30 detik, dan ketika mencapai waktu 30 detik output respon mengalami gangguan sehingga output respon bergerak turun dari nilai set point sampai mencapai 2.7 meter, dan beberapa selang waktu kemudian output respon kembali stabil pada waktu 48.5 detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sitem stabil, walau diberi gangguan penguat (-). 𝟒𝐬+𝟏
[2] [3]
[4] [5]
4. Simpulan Dari hasil pengujian dan analisis, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kendali PD pada Perancangan sistem kendali PID dengan metode root locus, mampu menstabilkan tinggi permukaan cairan pada waktu 10 dan 8 detik untuk tangki 1 dan 2, juga sesuai dengan spesifikasi desain kontrol yang diinginkan, yaitu 10 detik untuk pada tangki 1 dengan parameter Kp=58.27, Kd=0.5 dan 8 detik untuk tangki 2 dengan parameter Kp=75.7, Kd=5. 2. Dengan pemberian parameter Kp=58.27, Kd=0.5 untuk tinggi permukaan cairan pada tangki 1 dan Kp=75.7, Kd=5 untuk tinggi permukaan cairan pada tangki 2, menjadikan sistem kembali stabil dengan sempurna walau diberi gangguan berupa variasi tinggi permukaan cairan pada plant yaitu tinggi permukaan cairan melebihi tinggi setpoint 1.5e −30s
0.5e−30s
( ) untuk tangki 1, ( ) untuk 4s+1 4s+1 tangki 2 dan tinggi permukaan cairan −2e−30s
dibawah tinggi setpoint ( –2.5e−30s
3s+1
) untuk
tangki 1 dan ( ) untuk tangki 2. 4s+1 Berdasarkan hasil yang didapat, disarankan agar kedepannya sistem kendali tinggi permukaan cairan dapat dikembangkan menjadi sebuah sistem yang berbasis PLC dan dapat ditampilkan di SCADA.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Staf Jurusan Teknik Mesin Universitas Almuslim Bireun Aceh yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan
[6]
[7]
13
K. Ogata, 1996. “Teknik Kontrol Automatik”, terjemahan Edi Laksono. Ed.ke-2 jilid 1. Jakarta: Erlangga B. C. Kuo, 1998. “Teknik Kontrol Automatik.” Jild 1. Jakarta: PT Prenallindo M. Kamal, 2010. “Modul Ajar Dasar Sistem Kendali.” (Bahan yang digunakan untuk Program Studi Instrumentasi dan Otomasi Industri Jurusan teknik Elektro PNL). Buket Rata S. Pakpahan, 1994. “KONTROL OTOMATIK, Teori dan Penerapan.” Cet.ke-2. Jakarta: Erlangga C. L. Philips, and D. H. Royce, 1996. “Dasar-Dasar Sistem Kontrol.” Jakarta: PT Prenhallindo M. Tirono dan N. Nayiroh, 2008. “Pemodelan dan Pembuatan Simulasi Kestabilan Respon Transien Motor DC menggunakan Graphical User Interface (GUI) pada Matlab,” Jurnal Neutrino, Vol.1.No.1, UIN Malang W. Kurniawan. 2009. “Pengendalian Suhu Dan Ketinggian Air Pada Boiler Menggunakan Kendali PID dengan Metode Root Locus.” Teknik Elektro Universiyas Brawijaya Malang. diakses 25 november 2013. Dari http://jurnaleeccis.ub.ac.id/index.php/ee ccis/article/download/134/131.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Perancangan dan Pembuatan Mesin Penggiling Daging dan Pengaduk Adonan Bakso Designing and Manufacturing of Meat Grinding and Meatball Dough Blending Machine Romiyadi1,*, Indah Purnama Putri1 1
Department of Maintenance and Repair Machinery, Politeknik Kampar Jl. Tengku Muhammad KM. 2, Bangkinang, Indonesia
Received 15 November 2016; Revised 11 February 2017; Accepted 13 March 2017, Published 13 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.14-19 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected] ) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 Romiyadi. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract The purpose of the study was to design and manufacture of meat grinding and meatball dough blending machine with a capacity of 6 kg. In this study, researchers add more functions on meat grinding to meatball dough blending machine. From the process of designing and manufacturing, has produced a meat grinding and meatball dough blending machine with a capacity of 6 kg for a process. The machine uses a electric motor with a power of 0.25 HP. Based on the test results, meat grinding and meatball dough blending machine was able to meat grinding and meat ball dough blending and has efficiency of 96 % for the meat grinding process and 95 % for the meatball dough blending process. Keywords: designing and manufacturing, meatball, meat grinding, meatball dough blending
1. Pendahuluan Indonesia sangat terkenal dengan aneka kuliner dan makanan tradisional. Salah satu kuliner tradisional Indonesia yang sangat terkenal dan sudah banyak dikonsumsi masyarakat adalah bakso. Bakso merupakan suatu produk olahan daging khas Indonesia berbentuk bola-bola kecil yang biasa disajikan panas dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya protein hewani yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia terutama untuk pertumbuhan [1]. Bahan baku bakso adalah daging, bahan pengisi, bahan pengikat, dan bahan-bahan tambahan lainnya. Jenis daging yang biasa digunakan adalah daging sapi, meskipun dapat juga digunakan daging ayam, daging kelinci atau daging dari hewan ternak yang lain [2]. Bakso dibuat dengan mencampurkan adonan antara daging yang sudah digiling, tepung, dan bahan lainnya. Proses penggilingan daging dan pengadukan adonan bakso merupakan proses © 2017 ITP Press. All rights reserved.
utama dalam membuat bakso. Proses penggilingan daging merupakan salah satu proses pengolahan daging yang bertujuan untuk menghancurkan dan menghaluskan daging untuk diproses lebih lanjut [3]. Sementara proses pengadukan adonan bakso merupakan proses pencampuran bahan-bahan pembuat bakso seperti daging yang sudah digiling, tepung tapioka, bahan pengikat, bumbu, air, dan bahan lainnya agar terbentuk adonan dan dibentuk menjadi bola-bola kecil [4]. Proses penggilingan daging dan proses pengadukan adonan bakso merupakan suatu kendala yang dihadapi oleh pedagang bakso karena membutuhkan suatu alat atau mesin untuk menggiling daging dan mengaduk adonan bakso. Di Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar, para pedagang bakso pada ummnya menggiling daging dan mencampurkan adonan bakso di pasar tradisional dimana tersedia jasa penggilingan daging dan pengadukan adonan
Romiyadi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 14-19
bakso. Proses penggilingan daging dan pengadukan adonan bakso ini menggunakan alat atau mesin yang berbeda. Mesin pengaduk adonan bakso merupakan mesin yang berfungsi untuk mencampur adonan bakso yang terdiri dari tepung, bumbu dan daging yang sudah digiling sehingga tercampur secara merata. Komponen mesin pengaduk adonan bakso ini terdiri dari motor listrik sebagai tenaga penggerak, poros, pisau pengaduk, tabung atau wadah tempak pengadukan, puli dan sabuk sebagai sistem transmisi serta rangka sebagai penopang mesin. Saat ini, banyak sekali pedagang bakso yang menjual bakso untuk dinikmati oleh masyarakat baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Oleh karena itu mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso ini sangat berperan penting untuk menggiling daging dan menghasilkan adonan bakso yang bagus dan dengan kapasitas yang besar. Atas dasar inilah, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melakukan rancang bangun mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso dengan kapasistas 6 kg untuk sekali proses dan menggunakan motor listrik sebagai tenaga penggerak. Mesin ini dapat menggiling daging sekaligus dapat mengaduk adonan bakso. Pada penelitian ini, peneliti melakukan proses perancangan dan pengembangan suatu produk. Proses perancangan merupakan sebuah kegiatan awal dari sebuah usaha dalam merealisasikan sebuah produk yang keberadaannya diperlukan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya [5]. Dalam sebuah perancangan, khususnya perancangan mesin banyak menggunakan berbagai ilmu yang harus diterapkan di dalamnya. Ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk mendapatkan sebuah rancangan yang baik, tepat dan akurat sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada umumnya ilmu-ilmu yang diterapkan antara lain ilmu matematika, ilmu bahan, dan ilmu mekanika teknik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat mesin penggiling daging dan pengadukan adonan bakso dengan kapasitas 6 kg untuk sekali proses. Pada penelitian ini, peneliti mencoba menambahkan fungsi penggilingan daging pada mesin pengaduk adonan bakso dengan menambahkan pisau untuk menggiling daging selain pisau untuk mengaduk adonan bakso. Sehingga mesin ini dapat melakukan proses penggilingan daging sekaligus dapat melakukan proses pengadukan adonan bakso.
15
2. Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini. Mulai
Penyusunan Konsep
Perancangan Produk
Pembuatan Produk
Pengujian
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir M etode Penelitian
A. Penyusunan Konsep Rancangan Penyusunan konsep diperlukan dalam suatu perancangan produk untuk menentukan model rancangan yang ideal dan untuk menetapkan bagian dan mekanisme yang diperlukan untuk membangun suatu produk yang akan dihasilkan. Pada tahapan ini, peneliti akan menentukan model atau bentuk mesin pengaduk adonan bakso yang sesuai dengan kapasitas 6 kg dan pemilihan bagian dan mekanisme atau sistem yang akan digunakan untuk membangun mesin pengaduk adonan bakso serta pemilihan komponen-komponen pembangun mesin pengaduk adonan bakso. B. Proses Perancangan Produk Pada tahapan ini, peneliti melakukan perancangan produk berdasarkan konsep rancangan yang telah ditetapkan. Perancangan ini dilakukan dengan menentukan ukuran atau dimensi serta material yang akan digunakan pada setiap komponen dengan meperhatikan kekuatan, ketahanan dan keamanan mesin. Dalam menetukan dimensi dan ukuran setiap komponen terutama komponen poros, puli dan sabuk peneliti melakukan perancangan berdasarkan rujukan dari beberapa buku perancangan elemen mesin [6-7]. Hal ini bertujuan agar dimensi atau ukuran komponen yang dihasilkan dari perancangan dapat memenuhi standar keamanan dan memenuhi kaidah ilmiah dari suatu perancangan produk. C. Proses Pembuatan Produk Pembuatan produk merupakan proses membangun suatu produk dari suatu rancangan produk yang telah dihasilkan. Proses pembuatan produk merupakan tahapan yang sangat penting
16
Romiyadi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 14-19
dan sangat krusial karena keberhasilan atau kegagalan suatu produk akan ditentukan pada tahapan ini. Proses pembuatan produk ini menggunakan proses manufaktur yang sesuai dengan komponen yang akan dibuat seperti pada pembuatan poros menggunakan proses bubut atau pada pembuatan rangka menggunakan proses pengelasan. Pada tahapan ini, semua komponen dan bagian yang akan dibuat berdasarkan dari hasil rancangan.
-
Tinggi Tabung Material Pisau Material Poros Bentuk Poros Diameter Poros Panjang Poros Material Rangka Panjang Rangka Lebar Rangka Tinggi Rangka
: : : : : : : : : :
300 mm Stainless Steel ST 37 Poros Bertingkat 25 mm dan 35 mm 250 mm Mild Steel (Profil L) 400 mm 400 mm 600 mm
D. Proses Pengujian Mesin Proses pengujian mesin dilaksanakan untuk menguji apakah mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso yang telah dibuat dapat beroperasi sesuai dengan fungsinya dan memenuhi kriteria mesin sesuai dengan hasil rancangan.
Berdasarkan desain kontruksi mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka didapat model rancangan mesin penggiling dan pengaduk adonan bakso.
3. Hasil dan Pembahasan A. Desain Konstruksi Mesin Penggiling Daging dan Pengaduk Adonan Bakso Desain konstruksi mesin penggiling dan pengaduk adonan bakso ini ditentukan atas berbagai pertimbangan sebagai berikut : 1. Mesin pengaduk adonan bakso tidak menggunakan tenaga penggerak manusia sebagai penggerak utamanya, melainkan dengan tenaga motor listrik. 2. Spesifikasi mesin yang ergonomis dengan dimensi yang nyaman bagi operator dan mudah disesuaikan dengan ruang kerja, mesin berdimensi panjang 400 mm, lebar 400 mm dan tinggi 600 mm. 3. Mudah dalam pengoperasian, perawatan maupun pergantian suku cadang. 4. Mesin pengaduk adonan bakso ini tidak menimbulkan pencemaran udara Dari hasil proses perancangan mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso, didapat suatu model atau bentuk mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso. Adapun spesifikasi mesin mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso hasil rancangan adalah sebagai berikut : - Tenaga Penggerak : Motor listrik 1 phase - Daya : 0,25 HP - Putaran Motor : 1400 rpm - Putaran Poros : 840 rpm - Kapasitas : 6 kg / proses - Sistem Transmisi : Transmisi Puli - Diameter Puli 1 : 75 mm - Diameter Puli 2 : 125 mm - Material Tabung : Stainles Steel - Diameter Tabung : 280 mm
Keterangan Gambar : 1. Tabung Pengaduk 2. Rangka 3. Pisau Penggiling 4. Pisau Pengaduk 5. Puli bagian Poros 6. Bearing Poros 7. Poros 8. Bearing Poros 9. Puli Bagian M otor 10. M otor Listrik Gambar 2. M odel Rancangan M esin Penggiling dan Pengaduk Adonan Bakso
Salah satu komponen yang sangat menentukan keberhasilan proses rancang bangun pada mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso ini adalah rancangan pisau yang akan digunakan. Rancangan mesin ini menggunakan 2 buah pisau dimana masingmasing pisau berfungsi sebagai pisau penggiling daging dan pisau pengaduk adonan bakso. Pisaupisau tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga diperkiranan akan mampu melakukan fungsinya untuk menggiling daging dan mengaduk adonan bakso. Material pisau adalah
Romiyadi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 14-19
17
stainless steel dengan ketebalan masing- masing 2 mm.
Gambar 3. Rancangan Pisau Pengiling Daging
Gambar 5. M esin Penggiling Daging dan Pengaduk Adonan Bakso Gambar 4. Rancangan Pisau Pengaduk Adonan Bakso
B. Pembuatan Mesin Pengaduk Adonan Bakso Proses pembuatan mesin penggiling dan pengaduk adonan bakso ini mengacu pada hasil rancangan yang telah dibuat sebelumnya. Proses pembuatan mesin pengaduk adonan bakso ini dilaksanakan di Workshop Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Kampar dan melibatkan teknisi dan mahasiswa Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Kampar. Proses pembuatan mesin pengaduk adonan bakso ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu adalah sebagai berikut. - Proses Pembuatan Rangka - Proses Pembuatan Tabung Pengaduk - Proses Pembuatan Poros - Proses Pembuatan Pisau - Proses Perakitan - Proses Proses Finishing
C. Pengujian Mesin Proses pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah mesin penggiling dan pengaduk adonan bakso yang telah dibuat dapat bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya yaitu menggiling daging dan mengaduk adonan bakso. Selain melakukan proses penggilingan daging dan pengadukan adonan bakso, proses pengujian juga dilakukan untuk mengetahui performa dan efisiensi mesin dengan membandingkan putaran poros pada saat tanpa pembebanan dengan putaran poros dengan pembebanan. Alat yang digunakan untuk mengetahui putaran poros yang terjadi adalah Digital Hand Tacho Meter.
Gambar 6. Proses Pengujian M esin
18
Romiyadi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 14-19
Gambar 7. Hasil Penggilingan
Gambar 8. Hasil Pengadukan
Tabel 1. Hasil Pengujian Putaran Poros M esin Pengaduk Adonan Bakso Putaran Poros Putaran Poros Tanpa Pembebanan Dengan Pembebanan (rpm) (rpm) Proses Penggilingan 865 837 Proses Pengadukan 865 824
Hasil pengujian menunjukkan bahwa mesin pengaduk adonan bakso dapat bekerja sesuai dengan fungsinya yaitu menggiling daging dan mengaduk adonan bakso. Hasil dari penggilingan dan pengadukan dapat dilihat pada gambar 7 dan gambar 8. Tabel 1 menunjukan hasil pengujian mekanik mesin pengaduk adonan bakso berdasarkan dari putaran poros yang terjadi. Pada tabel 1 terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan antara putaran poros tanpa pembebanan dengan putaran poros dengan pembebanan baik pada saat proses penggilingan maupun pada proses pengadukan dimana putaran poros dengan pembebanan lebih rendah dibandingkan dengan putaran poros tanpa pembebanan tetapi perbedaan yang terjadi sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kehilangan energi pada saat pembebanan karena adanya beban yaitu massa daging dan adonan sehingga putaran poros yang terjadi lebih kecil tetapi persentase kehilangan energi sangat kecil. Berdasarkan hasil pengujian mekanik, nilai efisiensi mesin berdasarkan putaran poros yang terjadi adalah 96 % untuk proses penggilingan daging dan 95 % untuk proses pengadukan adonan bakso.
96 95
listrik dari 1400 rpm menjadi 840 rpm, dengan komponen berupa 2 puli dengan diameter 75 mm dan 125 mm. Dari hasil pengujian, mesin penggiling daging dan pengaduk adonan bakso ini mampu melakukan proses penggilingan daging dan proses pengadukan adonan bakso dengan efisiensi 96 % untuk proses penggilingan daging dan 95 % untuk proses pengadukan adonan bakso.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih diberikan kepada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Politeknik Kampar yang telah mendanai penelitian ini.
Referensi [1]
[2]
[3]
4. Simpulan Dari proses perancangan dan pembuatan, telah dirancang dan dibuat satu unit mesin penggiling daging dan pengadukan adonan bakso dengan kapasitas 6 kg untuk sekali proses. Mesin ini menggunakan motor listrik 1 phase dengan daya 0.25 HP sebagai tenaga penggerak. Sistem transmisi menggunakan sistem transmisi puli dimana transmisi puli ini merubah putaran motor
Efisiensi (%)
[4]
S. Triatmojo, “Pengaruh Penggantian Daging Sapi dengan Daging Kerbau, Ayam, Kelinci Pada Konsumsi dan Kualitas Fisik Bakso,” Buletin Peternakan, Vol. 6, 1992. S. Wibowo, Pembuatan Bakso Ikan dan Daging, Cetakan ke-7, Jakarta : Penebar Swadaya, 2000. C. Anson, S. Tjitro, and S. Ongkodjojo, “Desain dan Pembuatan Alat Penggiling Daging Dengan Quality Function Deployment,” Jurnal Teknik Industri, Vol. 8(2), pp : 106-113, 2006. M. W. Astawan and M. Astawan 1989, Teknologi Pengolahan Hewan Tepat Guna, Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 1989.
Romiyadi / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 14-19
[5]
[6]
[7]
H. Darmawan and Harsokoesoma, Pengantar Perancangan Teknik (Perancangan Produk), Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, 2004. Sularso and K. Suga, Dasar Perancangan dan Pemilihan Elemen Mesin, Cetakan ke-11, Jakarta : Pradnya Paramita, 2004. R. L. Mott, Machine Elements In Mechanical Design, Singapore : Pearson Education South Asia, 2006.
19
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Degradasi Sifat Optik Material Perovskite Organolead Halida dengan Timbal Ekstraksi dari Kawat Solder Optical Properties Degradation of Organolead Halide Perovskite with Lead Devired from Solder Wire Putri Pratiwi Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 17 April 2017; Revised 20 April 2017; Accepted 22 April 2017, Published 29 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.50-55 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 P. Pratiwi. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Organolead halide perovskite material was used as the most common light-harvesting active layer in perovskite solar cell. This material is the most promising material in photovoltaic technology due to its fastest-advancing power conversion efficiency (PCE) to date. The PCE has increased up to 22.1 % only six years after it was discovered in 2009. In our last research, we synthesized and fabricated perovskite solar cell using CH 3NH3PbI(3x)Clx material as light-harvesting active layer. We extract lead from solder wire to produce PbCl 2 powder. This powder was used as basic substance for organolead halide perovskite material. CH3NH3PbI(3-x)Clx solution produced by reacting CH3NH3 with PbCl2 powder in DMF (Anhydrous N,N-Dhymethilformamide) by using solution based method. Based on device performance characterization, we conclude that solder wire is suitable enough for fabricating perovskite solar cell. They have identical characteristic compared to commercial lead. However, both perovskite solar cell using lead from solder wire and commercial lead’s performance are smaller than published solar cell’s efficiency. Therefore, in this study we investigate that degradation affected perovskite material performance, especially physical appearance and absorbance characteristic. Keywords: Organolead halide, perovskite solar cell, lead, solder wire, degradation
1. Pendahuluan Pencarian sumber energi terbarukan adalah salah satu tantangan paling mendesak terbesar abad ke-21. Salah satu sumber energi alternatif yang sangat berpotensi untuk mengatasi permasalah ini adalah energi matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang sangat melimpah dan ramah lingkungan. Pemanfaatan energi matahari ini sudah dimulai sejak dilakukannya sebuah observasi tentang efek fotovoltaik pada tahun 1977 dan dikenal dengan istilah sel fotovoltaik atau sel surya. Pada tahun 2009, Kojima dkk menemukan sebuah material dengan struktur perovskite yang dapat berfungsi sebagai bahan penyerap foton yang efektif serta dapat berfungsi menghantarkan pembawa muatan © 2017 ITP Press. All rights reserved.
untuk diaplikasikan pada sel surya [1] dan dikenal sebagai perovskite based solar cell (PBSC). Dikembangkan dari DSSC [2], PBSC ini dianggap sebagai “the Next Big Thing” dalam fotovoltaik [3]. Sejak awal ditemukan PBSC berkembang sangat pesat. Pada Agustus 2014, dilaporkan bahwa PCE sebesar 19,3% telah dicapai [4] dan telah meningkat menjadi 22,1% pada awal tahun 2016 [5]. PBSC dengan efisiensi tinggi ini menggunakan gabungan material organik dan inorganik (organometal halide perovskite material) dengan biaya fabrikasi yang relatif rendah. Rumus kimia umum dari senyawa berstruktur perovskite adalah AMX3, dimana A dan M adalah kation dengan ukuran yang sangat berbeda, dan X adalah anion yang berikatan pada
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
kedua kation tersebut. Biasanya dikenal dua jenis senyawa perovskite yaitu perovskite oksida dan perovskite halida. Sementara, perovskite halida dapat digolongkan menjadi perovskite alkali-halida dan perovskite organometal halida. Perovskite organometal halida terdiri kation A dari material organik dan menggunakan metal M dari golongan 4A (Ge2+, Sn2+, Pb2+, dan Cu2+). Material ini sangat menarik perhatian para peneliti karena memiliki sifat elektronik yang sangat baik dan berpotensi untuk difabrikasi menggunakan temperatur yang rendah. Selain itu, bandgap material perovskite ini dapat diatur dengan penggantian kation dan anion penyusun material ini seperti yang diperlihatkan pada gambar 1. Perovskite organometal halida ini termasuk material yang relatif baru tetapi material sudah dipelajari secara intensif [6-7]. Perovskite organolead halida CH3NH3PbI3-xClx adalah lapisan penyerap cahaya yang digunakan pada penelitian ini. Bahan metal yang digunakan adalah timbal (Pb). Pada umumnya timbal berasal dari bijih timbal (galena). Proses ekstraksinya membutuhkan suhu yang sangat tinggi dan berpotensi menghasilkan uap yang berbahaya sebagai produk sampingannya [8], sehingga bahan baku timbal yang biasa digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan material perovskite ini relatif sulit
51
untuk didapatkan, terutama di Indonesia. Salah satu sumber timbal alternatif dapat ditemukan pada kawat solder. Solder dengan paduan timah dan timbal ini sangat mudah dijumpai dipasaran, termasuk pasaran di Indonesia. Sekitar 95% solder yang terdapat dipasaran merupakan paduan timah dan timbal. Selain itu, material ini memiliki harga yang relatif murah [9].Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan sistesis dan fabrikasi sel surya perovskite menggunakan material CH3NH3PbI(3-x)Clx sebagai material fotoaktif. Pada penelitian tersebut, juga telah dilakukan pengujian performa sel surya dan hasil yang didapatkan dibandingkan dengan sel surya perovskite komersil (menggunakan PbCl2 komersil), sehingga dapat disimpulkan bahwa prekursor PbCl2 yang diekstraksi dari kawat solder dapat diaplikasikan pada sel surya perovskite. Namun, dari hasil uji performa tersebut diketahui bahwa nilai efisiensi sel surya perovskite berbasis timbal dari kawat solder dan sel surya perovskite komersil masih sangat kecil. Untuk itu, pada penelitian ini akan dikaji aspek yang mungkin dapat mempengaruhi kecilnya performa sel surya perovskite tersebut. Pada penelitian ini juga akan dilihat perubahan absorbansi dari material organolead halida setelah mengalami degradasi dan menganalisa secara fisis apa yang terjadi saat material tersebut.
Gambar 1. Berbagai variasi kation dan anion pada material perovskite organometal halida [7].
2. Metode Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan Material dasar yang digunakan dalam sintesis material perovskite berbasis timbal dari kawat solder ini adalah Hydroiodic acid (HI) 57%wt
dalam air, methylamine (MA) 33%wt dalam ethanol, lead (II) chloride (PbCl2), anhydrous N,N-Dhymethilformamide (DMF) dibeli dari Sigma Aldrich Singapura, subtrat kaca, copper (II) sulfate pentahydrate (CuSO4.5H2O), nitric acid (HNO3) dari Merck Indonesia, natrium klorida (NaCl) dari Bratachem Indonesia, dan
52
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
kawat solder Merek Paragon dengan perbandingan timah dan timbal sebanyak 60/40. Sementara itu, peralatan yang digunakan dalam sintesis material perovskite ini adalah magnetic stirrer, gelas beaker, gelas ukur, ultrasonic bath, spatula, pipet, oven pemanas, kertas saring, cawan petri, dan spin coater. Sintesis Material Methylamine iodide atau MAI (CH3NH3I) digunakan sebagai prekursor untuk mensintesis perovskite CH3NH3PbI(3-x)Clx. MAI diperoleh dengan mereaksikan sebanyak 5 mL larutan hydroiodic acid (HI) dengan 12 mL larutan methylamine dan diaduk selama 1 jam pada suhu ruang. Setelah itu, larutan tersebut dikeringkan dengan oven bertemperatur 100oC selama 12 jam dan akan terbentuk serbuk awal MAI. Sebelum digunakan, serbuk awal MAI ini direkristalisasi dengan menggunakan ethanol sebanyak 20 mL dan kemudian dikeringkan kembali pada oven 60oC selama 24 jam [10]. Sintesis PbCl2 dengan timbal ekstraksi dari kawat solder Kawat solder dibesihkan dengan aceton untuk menghilangkan polimer yang tidak diinginkan, kemudian dilarutkan dalam HNO3 (2 M) pada suhu ruang. Dari reaksi tersebut dihasilkan endapan SnO2 dan larutan Pb(NO3)2
yang selanjutnya dipisahkan menggunakan alat sentrifugal dan penyaringan (filtrasi). Pb(NO3)2 yang berbentuk larutan selanjutnya direaksikan dengan NaCl (2 M) untuk mendapatkan PbCl2. NaNO3 sebagai produk sampingannya dipisahkan dengan cara mencuci hasil reaksi tersebut menggunakan ethanol 95% sebanyak tiga kali,kemudian dikeringkan pada suhu 85°C selama 12 jam untuk mengasilkan bubuk PbCl2. Sintesis Material Perovskite Larutan perovskite CH3NH3PbI(3x)Clxdidapatkan dengan mencampurkan MAI dan PbCl2, sementara larutan perovskite CH3NH3PbI3 didapatkan dengan mencampurkan MAI dan PbI2 dengan DMF sebagai pelarut dan dilakukan pada suhu ruang. Komposisi MAI, PbCl2, dan DMF yang digunakansesuai dengan yang dilaporkan oleh Snaith dkk [10], untuk mendapatkan larutan perovskite CH3NH3PbI(3x)Clx dengan perbandingan molar ratio antara MAI dan PbCl2 sebesar 3 : 1 dengan konsentrasi MAI dan PbCl2 pada DMF masing-masing 2,64 M dan 0,88 M. Untuk menghasilkan lapisan tipis perovskite, larutan perovskite dideposisi diatas substrat dengan menggunakan teknik spin coating dengan kecepatan 1500 rpm selama 60 detik dan dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur 100°C selama 45 menit.
Gambar 2. Bagan alat karakterisasi UV-Vis
Karakterisasi Material dan Divais Karakterisasi UV-VIS (Ocean Optik HR2000CG-UV-NIR) digunakan untuk mengetahui karakteristik optik yaitu absorbansi dari lapisan material perovskite yang dideposisi.
Karakterisasi sifat optik dilakukan dengan melewatkan sumber cahaya polikromatis (deuterium halogen DH-2000-BAL) pada lapisan yang akan dikarakterisasi, cahaya dengan panjang gelombang terentu akan diserap
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
dan sisanya akan ditransmisikan dan diolah oleh spektrometerHR2000CG-UV-NIR. Spektrometer ini kemudian akan terhubung dengan komputer yang dilengkapi dengan software spectrasuite yang berfungsi untuk mengekstrak data agar dapat diolah lebih lanjut. Bagan alat karakterisasi UV-VIS dapat dilihat pada gambar 2. Pada penelitian ini dilakukan dua kali karakterisasi UV-VIS yaitu karakterisasis sesaat setelah material disintesis dan karakterisasi setelah material perovskite mengalami degradasi. Hal ini bertujuan untuk melihat perubahan sifat optik pada material perovskite tersebut setelah mengalami degradasi dan dapat dianalisis akibat yang ditimbulkan dari perubahan sifat optik material ini.
53
sangat higroskopik. Pada saat lapisan perovskite kontak dengan udara dengan kelembaban yang tinggi, H2O yang terdapat di udara tersebut membentuk ikatan yang kuat dengan –NH3[12]. Terbentuknya ikatan ini dapat menghalangi terjadinya ikatan antara bagian organik (CH3NH3) dan inorganik (PbI6) pada material perovskite. Sehingga struktur perovskite 3D (cubic octahedral) yang diharapkan tidak terbentuk. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa lapisan perovskite yang disintesis mengalami degradasi setelah disimpan pada kondisi ambien pada kelembaman relatif (RH) diatas 60% selama 4 hari seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
3. Hasil dan Pembahasan Keberhasilan penggunaaan timbal ekstraksi dari kawat solder sebagai sumber metal pada organometal halida CH3NH3PbI3-xClx yang digunakan sebagai material aktif sel surya perovskite telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya [11]. Pada penelitian tersebut diketahui tampilan serbuk PbCl2 yang terbentuk serupa dengan PbCl2 komersil dan puncakpuncak yang terbentuk pada pola XRD juga telah sesuai dengan referensi JCPDS#26-1150. Pada penelitian tersebut juga dilaporkan keterbentukan dari larutan perovskite yang selanjutnya digunakan dalam fabrikasi sel surya perovskite. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa timbal ekstraksi dari kawat solder dapat digunakan untuk mensintesis material perovskite yang selanjutnya akan digunakan sebagai material penyerap cahaya pada sel surya perovskite. Namun, dari informasi terdapat pada penelitian tersebut diketahui bahwa performasi sel surya perovskite yang dihasilkan masih sangat kecil. Permasalahan stabilitas material perovskite diperkirakan sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi performansi dari sel surya ini. Material perovskite organik-inorganik sangat dipengaruhi oleh kelembaban. Menurut Zhou dkk, proses sintesis dan fabrikasi perovskite harus berada pada kondisi kelembaban yang rendah (relative humidity (RH)≤ 30%) untuk menghasilkan perovskite dengan struktur dan kemampuan menghantarkan muatan yang baik. Dengan menjaga kelembaban pada RH ≤ 30%, Zhou berhasil menghasilkan divais sel surya dengan efisiensi mencapai 19,3%[4]. Pada kelembaban yang tinggi, material perovskite CH3NH3PbI(3-x)Clx sangat mudah terdegradasi karena bagian organik yang terdapat pada material ini (CH3NH3) bersifat
Gambar 3. (a) Foto lapisan tipis perovskite dengan sumber timbal komersial sebelum (hitam) dan setelah degradasi (kuning), (b) foto lapisan tipis perovskite dengan sumber timbal kawat solder sebelum (hitam) dan setelah degradasi (kuning).
Pada gambar 3 diketahui bahwa sesaat setelah lapisan perovskite terbentuk lapisan berwarna gelap dan berubah warna menjadi kuning setelah mengalami degradasi. Selain mengalami perubahan warna, lapisan perovskite juga mengalami penurunan kemampuan absorbsi seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. Sebelum terjadi degradasi lapisan tipis perovskite berwarna hitam dan memiliki kemampuan absorbsi yang sangat baik sampai rentang panjang gelombang sekitar 800 nm. Namun, saat lapisan tipis perovskite ini mengalami degradasi warnanya berubah menjadi kuning dan lapisan ini diketahui mengalami penurunan kemampuan absorbsi, dimana yang awalnya mampu menyerap hingga sekitar 800 nm, saat lapisan mengalami degradasi terjadi penurunan kemampuan absorsi di sekitar panjang gelombang 500 nm.
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
54
Penurunan kemampuan absorbsi ini tentunya kan memperkecil performa dari sel surya yang difabrikasi, karena material ini akan digunakan sebagai material penyerap cahaya, semakin lebar rentang spektrum yang diserap oleh material tersebut maka semakin baik performa sel surya yang akan dihasilkan. Saat lapisan mengalami degradasi terjadi penurunan kemampuan absorsi di sekitar panjang gelombang 500 nm dan dari literatur diketahui bahwa rentang ini merupakan kemampuan penyerapan lapisan PbI2 [12, 13]. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat terjadi degradasi pada lapisan perovskite, terjadi kerusakan ikatan antara bagian organik dan inorganiknya. Perubahan kemampuan absorbsi lapisan perovskite sebelum dan setelah degradasi dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. 2
yaitu hanya mampu menyerap sampai rentang 500 nm, dan dari literatur diketahui bahwa rentang ini merupakan kemampuan penyerapan lapisan PbI2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat terjadi degradasi pada lapisan perovskite, terjadi kerusakan ikatan antara bagian organik dan inorganiknya, dan setelah mengalami degradasi material tidak layak lagi digunakan sebagai material penyerap cahaya pada sel surya.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih untuk dukungan biaya yang digunakan dalam penelitian ini yang didanai oleh insentif riset SINAS dari Kementrian Riset dan Dikti Tahun Anggaran 2015. Serta kepada bapak Ferry Iskandar yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama melakukan penelitian ini.
Referensi
d)
[1]
1
Intensitas (a.u)
2
c)
1
[2] b)
2 1
a)
[3]
2 1 400
500
600
700
800
900
1000
[4]
Panjang Gelombang (nm) Gambar 4. Spektrum UV-Vis dari lapisan tipis perovskite CH3NH3PbI3-xClx dengan sumber timbal kawat solder a) sebelum degradasi, b) setelah degradasi, dengan sumber timbal komersil c) sebelum degradasi, d) setelah degradasi.
[5]
4. Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadi perubahan bentuk fisik (warna) dan kemampuan absorbsi dari material perovskite setelah mengalami degradasi. Sebelum terjadi degradasi lapisan tipis perovskite berwarna hitam dan memiliki kemampuan absorbsi yang sangat baik sampai rentang panjang gelombang sekitar 800 nm. Namun, saat lapisan tipis perovskite ini mengalami degradasi warnanya berubah menjadi kuning dan lapisan ini diketahui mengalami penurunan kemampuan absorbsi,
[6]
[7]
A. Kojima, K. Teshima, Y. Shirai, and T. Miyasaka, “Organometal halide perovskites as visible-light sensitizers for photovoltaic cells,” Journal of the American Chemical Society, vol. 131, no. 17, pp. 6050-6051, 2009. P. Docampo, S. Guldin, T. Leijtens, N. K. Noel, U. Steiner, and H. J. Snaith, “Lessons learned: from dye‐sensitized solar cells to all‐solid‐state hybrid devices,” Advanced Materials, vol. 26, no. 24, pp. 4013-4030, 2014. P. V. Kamat, “Quantum dot solar cells. The next big thing in photovoltaics,” The Journal of Physical Chemistry Letters, vol. 4, no. 6, pp. 908-918, 2013. H. Zhou, Q. Chen, G. Li, S. Luo, T.-b. Song, H.-S. Duan, Z. Hong, J. You, Y. Liu, and Y. Yang, “Interface engineering of highly efficient perovskite solar cells,” Science, vol. 345, no. 6196, pp. 542-546, 2014. http://www.nrel.gov/pv/assets/images /efficiency_chart.jpg. diakses 25 Oktober 2016. P. Gao, M. Grätzel, and M. K. Nazeeruddin, “Organohalide lead perovskites for photovoltaic applications,” Energy & Environmental Science, vol. 7, no. 8, pp. 2448-2463, 2014. F. Hao, C. C. Stoumpos, R. P. Chang, and M. G. Kanatzidis, “Anomalous band gap behavior in mixed Sn and Pb perovskites enables broadening of absorption spectrum in solar cells,” Journal of the
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
American Chemical Society, vol. 136, no. 22, pp. 8094-8099, 2014. P.-Y. Chen, J. Qi, M. T. Klug, X. Dang, P. T. Hammond, and A. M. Belcher, “Environmentally responsible fabrication of efficient perovskite solar cells from recycled car batteries,” Energy & Environmental Science, vol. 7, no. 11, pp. 3659-3665, 2014. G. Humpston, and D. M. Jacobson, Principles of soldering: ASM international, 2004. S. D. Stranks, G. E. Eperon, G. Grancini, C. Menelaou, M. J. Alcocer, T. Leijtens, L. M. Herz, A. Petrozza, and H. J. Snaith, “Electron-hole diffusion lengths exceeding 1 micrometer in an organometal trihalide perovskite absorber,” Science, vol. 342, no. 6156, pp. 341-344, 2013. D. Addini M. M, P. Pratiwi, E. Medina D. S, F. A. Permatasari, A. H. Aimon, F.Iskandar, "Studi Awal Fabrikasi Sel Surya Perovskite Berbasis Pb dari Ekstraksi Kawat Solder." J. A. Christians, P. A. Miranda Herrera, and P. V. Kamat, “Transformation of the Excited State and Photovoltaic Efficiency of CH3NH3PbI3 Perovskite upon Controlled Exposure to Humidified Air,” Journal of the American Chemical Society, 2015. H.-S. Ko, J.-W. Lee, and N.-G. Park, “15.76% efficiency perovskite solar cells prepared under high relative humidity: importance of PbI2 morphology in twostep deposition of CH3 NH3PbI3,” Journal of Materials Chemistry A, vol. 3, no. 16, pp. 8808-8815, 2015.
55
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Modeling and Simulation of a Rotary Quadruple Pendulum System Using Scientific Python Stacks and Modelica Language Adriyan Department of Mechanical Engineering, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jambi Jl. Kapt. Patimura No. 100, Rawasari, Kota Baru, Jambi, Indonesia
Received 08 March 2017; Revised 16 March 2017; Accepted 18 March 2017, Published 18 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JT M.2017.V7.30-38 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 Adriyan. T his is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract This paper presented the modeling and simulation of a rotary quadruple pendulum (RQP) system using two open source software, i.e: scientific python stacks (SciPy stacks) and Modelica language via Anaconda python distribution and OpenModelica, respectively. The modeling stage using SymPy (a package of SciPy stacks) was conducted to obtain the governing equation in full symbolic form by applying Lagrange’s method. The listing code is also provided to test by the user later on. Meanwhile, both modeling and simulation were performed in Modelica language by addressing several conditions concerning the initial conditions of the system, i.e: examining up-upup-up, up-up-down-down, and up-down-up-down conditions. Simulation required the numerical values of the RQP system be supplied before running the simulation. In conclusion, the derivation of the governing equation using SymPy can be done in a matter of minutes without having a mistake when doing the algebraic manipulation. Simulation using OpenModelica was present the response of the RQP system in three conditions that considered initial conditions imposed to the system. The model obtained through this research can be used a baseline for developing a control scheme for the RQP system in its inverted position. Keywords: Modeling and simulation, rotary quadruple pendulum, the governing equation of motion, scientific python stacks and Modelica language.
1. Introduction A pendulum system in an iverted position which driven by either rotary or linear way can be considered as an underactuated mechanical system. It means that actuators required for driving the system are less than the number of degree of freedom (DoF) owned by the system. This condition is a little bit different with the serial robotic manipulator which shares same serial configuration as pendulum system does. In serial manipulators, each joint where the total of joints are equal with the DoF must be driven by the actuators to produce the desired motion [1]. Meanwhile, for the underactuated system, few actuators can be used to balance the system instead of following the desired trajectory, at least for the pendulum system. Modeling, simulation and/or even control of the pendulum system are not a novel idea © 2017 ITP Press. All rights reserved.
because there are a lot of research devoted to this system. The pendulum system is still a desirable system to develop and test any control scheme [2-4], and also can be used as a learning media in dynamics and control theory [5-6]. Besides, the system has a simple construction which can be easily manufactured and assembled. Related to modeling, a method developed by Lagrange’s and Kane’s or recursive NewtonEuler technique can be used to construct the governing equation of any dynamical problems of the mechanical system [7]. Manual or computer assisted can be applied to derive such equation. Later is very valuable when dealing with large or complex mechanical system, especially in multi-body dynamic problems. In computer assisted engineering, the three approaches can be applied for modeling of any dynamics of the mechanical system, i.e:
31
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
computer algebra system (CAS) approach, block diagram approach, and Modelica language approach. The computer algebra system can be viewed as a tool to alter manual derivation of symbolic mathematical formulations into computer means. Indeed, it can save an amount of time and avoid a mistake during manipulation of algebraic expressions. Block diagram approach is another technique for modeling which introduced by Mathworks in their product, Matlab/Simulink [8]. This approach uses input-output relations to construct the whole system. Finally, Modelica approach is a language for modeling multiphysics problems which based on object-oriented, equation based, and component oriented [9]. Currently, Modelica can be accessed using block components – a wider term to name block diagram of a complex physical system inside – and block diagrams as Matlab/Simulink can do. Simulation is a step after modeling to address any conditions that will be encountered by the system. This step will reveal the characteristic of the system under the study in the time domain forms or known as the response of the system. The three approaches introduced previously also can produce the response of the system by giving such conditions. This paper presented the modeling and simulation of the rotary quadruple pendulum (RQP) system by using scientific python stacks (SciPy stacks) via Anaconda python distribution and Modelica language via OpenModelica [1011]. The rotary quadruple pendulum (RQP) was chosen as the system used within this paper. The pendulum system consisted of five links in which the first link was treated as a rigid body model and acted as an arm provided a rotary motion for the system. The rest four links were also modeled as the rigid body that connected in series in a plane perpendicular to the arm. Full symbolic expression of the system was computed using SymPy (a subset package of SciPy stacks for symbolic computation) [12]. Then, semi-symbolic and later numerical computation was conducted by using Modelica language. Both software is open source software intended for the use of the scientific domain and available in the three major computer operating system. The model and dynamical simulation presented here for the RQP are used for design a control strategy to balance the system in inverted position for the next research, which later is named as the rotary inverted quadruple pendulum (RIQP).
2. Materials and Method The rotary quadruple pendulum (RQP) was chosen as the system which made of UHMW-PE (ultra high molecular weight polyethylene) polymer. The use of the UHMW-PE was due to the properties of this polymer; low density (about 0.93 g/cm3 ), very low friction resistance and high corrosion resistance to chemical substances or even be used for implants [13]. The rigid body properties of each link constructed by the polymer were computed with respect to its center of mass, respectively. These properties were used as the parameters for the numerical simulation along with the dimension of each link. The model of the system is shown in Figure 1. The arm as the first link of the system was built by using a round bar (Ø20 mm) and a plate (t10 mm) together formed a T-shape. Meanwhile, the other four links as the compound pendulums were made by the plate with the same thickness and possessed the same dimensions. Gz B0z Arm O
B0y
Gy B1y
B0x θ0 Gx
P1
B1x
Link1
θ1
B4y P4
B4z B4x
Link4
θ4 Figure 1. Reference frame assignment for each link of the RQP in non-inverted position and its generalized coordinates θi (i = 0, 1, …, 4).
G and B i (i = 0, 1, …, 4) were assigned respectively to an inertial reference frame and body reference frames for each link. xcomponent for each body reference frame was parallel to the length of each link. Every link had the same offset in z-direction regarding the position of their center of masses except for the arm. Thus, the properties of each link (the arm and the four links) were given by Table 1 to 4, and 4. Notation {…, …, …} indicates a set of the values in x-, y-, and z-direction. The position of points P1 to P4 were measured relative to the previous points (O to P3 ) with respect to the body reference frame B 0 to B 3 . It is due to the nature of UHMW-PE, a dissipation mechanism (friction and/or damping)
32
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
is not taken into account for deriving the equation of motion. Tabel 1. The position of each point measured relative to the previous points. Parameters Values [mm] Point O Point P1
{0.0, 0.0, 0.0} {95.0, 0.0, 40.0}
Point P2 to P4
{120.0, 0.0, 10.0}
Tabel 2. The position of the center of masses (CM ) of each link measured relative to point O and Pj (j = 1, 2, .., 4), respectively. Parameters Values [mm] CM of arm {56.1, 0.0, 0.0} CM of each links {60.0, 0.0, 10.0} Tabel 3. M ass properties of each link (j = 1, 2, .., 4). Parameters Values [kg] M ass of the arm, m0 M ass – links, mj
46.8×10-3 34.1×10-3
Tabel 4. M ass moment of inertia (I@CM) of each link at its center of mass (j = 1, 2, .., 4), respectively. Parameters Values (×10-6 [kg∙m2]) I@CM of arm {12.8, 78.4, 68.8} I@CM of each links
{2.1, 62.7, 64.2}
A. Modeling with Computer Algebra System There are a lot of the CAS applications that can be divided into closed and open source licenses. This research used the CAS from open source domain – SymPy (Symbolic Python), a package of SciPy stacks intended for manipulating and solving mathematical expression in symbolic forms. This package is written entirely in Python language – an open source, interpreted, dynamic, object-oriented programming language – and has numerous modules which not only for the mathematical domain but also for physics. The use of SymPy for modeling any dynamics of the mechanical system can be accessed from sympy.physic.mechanics module. Users must import this module at the first before using it via import or from … import … command. Derivation of governing equation or known as the differential equation of motion in second order form can be simply applied because mechanics module possesses Lagrange’s and Kane’s method for automatically deriving such equation. Indeed, the governing equation for multi-body system forms differential algebraic equation (DAE) in the second order form. Detailed explanation about Lagrange’s or Kane’s method can be referred to [14].
Modeling the RQP using SymPy, in general, can be easily understood by referring to the algorithm depicted in Figure 2. This algorithm is used especially for deriving the governing equation using Lagrange’s method. The output of every step done in SymPy can be exported directly to LaTeX because SymPy has built-in LaTeX printing. The best recommendations are with the use of Jupyter Notebook, a web browser-based interactive environment for scientific computing with IPython backend [15]. Rendering mathematical equations on the web browser can be done by installing MathJax. Using the aid of MathJax, users are able to generate TeX commands or MathML scripts of the mathematical equation yielded by SymPy in the web browser. MathML scripts can be used directly with the built-in Microsoft equation editor. Scipy stacks and its supporting such as Jupyter Notebook and MathJax can be installed at once by using Anaconda python distribution installer which can be obtained from https://www.continuum.io/downloads. This research used Anaconda 4.3.0 with Python 3.6. 1 2.
3. 4.
5. 6. 7.
Initialization of variables Creating reference of frames and assigning generalized coordinates and velocities Creating points and assigning velocity of each point Constructing rigid body for each link in the system Assigning potential energies Forming Lagrangian Computing the governing equation with Lagrange’s Methods, including the work done by dissipation elements and external forces (if any)
Figure 2. Algorithm for constructing governing equation of any dynamical system through Lagrange’s method using SymPy.
B. Modeling and Simulation with Modelica Language Modelica language is a non-proprietary object-oriented component-based physical modeling which released by the Modelica associations. Creating a model using this language is similar to other programming languages such as python, C/C++, fortran, etc. OpenModelica (which can be obtained from https://openmodelica.org/) is software written to wrap all modelica building block within a single environment. The end users can used the software in simple means because the software has provided a nice environment to create the
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
building block of models in block compoents form or using scripting via OpenModelica Notebook. In this research, we used OMEdit (OpenModelica Connection Editor) as a visual environment to develop the RQP model in modelica language which came from OpenModelica 1.11.0. Building the RQP model requires modelica multibody library [16] which have already installed by default in OpenModelica. Figure 3 shown the multibody component used to construct the RQP model. These components were mainly composed of revolute joints and body shapes including world, fixed translations, fixed rotation. Each of this component had to be connected each other by simply dragging a connector line from the frame b to the frame a as indicated on each component.
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Figure 3. M odelica multibody component used in this research using OM Edit: (a) word, (b) revolute joint, (c) body shape, (d) fixed translation, and (e) fixed rotation.
World component must be used to construct an inertial reference frame, construction of each governing equation refers to this frame. Revolute joint produces a rotary motion about one fixed axis and all joints in the RQP was this type. BodyShape can be regarded as the rigid link used to model the arm and the compound pendulums. This component is the general model for a rigid body because of the dimensions, the position of the center of mass w.r.t. the frame a, the mass, and the mass moment of inertia at the center of mass. Then, both fixed translation and rotation provide a way to create an offset or an inclination w.r.t. any axis. Frame a and b that indicated by different color (light gray and white, respectively) are the connecting nodes. The block can have one or two depending on the physical system lies behind the block. Thus, the block act as the input and output for the model under constructed. For the multibody library, frame a can be thought as the body reference frame. After the model was constructed, a simulation can be conducted by
33
supplying several parameters required for activating the DAE solver. Indeed, the numerical value of each parameter had to be entered before running the simulation.
3. Results and Discussion This section presented both modelings used in this paper. The arrangement of the pendulum system for construction the model was referred to the series of reference frame assigned in Figure 1. A. Governing Equation using Computer Algebra System As mentioned in the algorithm as depicted in Figure 2, it can be implemented into SymPy package for obtaining the governing equation of motion. A listing code used on each step taken in the algorithm was given as shown in Figure 4. Here, Jupyter Notebook was employed to write and execute the code in an interactive environment for scientific computation. Initialization of variables was conducted in the first to create any variables and parameters required in the entire formulation. It can be generalized coordinates θi and generalized velocities 𝜃̇𝑖 as the variables, for i = 0, 1, …, 4. Meanwhile, the position of each points (O, P1 to P4 ), the center of mass of each link, the masses and the mass moment of inertia of each link w.r.t. the center of mass were assigned as the parameters where the numerical values were given by Table 1 to 4. Li , and d i were the parameters extracted from x- and z-components of the position of the point O and P1 to P4 . Meanwhile, ci denotes the position of center of mass w.r.t. the point O and Pi in the x-direction. The second step was to create reference frame (inertial and body reference frames) and assigned the respective generalized coordinates and velocities. Regarding this step, it can produce the rotation matrices or the direction of cosines matrices of each reference frame relative to other frames. Executing the following command G.dcm(B[0]) and B[0].dcm(B[1]) will produce the rotation matrices of the system with frame B 0 relative to frame G and frame B 1 relative to frame B 0 , respectively. Both commands provided a nice mathematical expression as follow 𝐆
and
cos (𝜃0 ) 𝐑 𝐁0 = [ sin(𝜃0 ) 0
−sin(𝜃0 ) 0 cos (𝜃0 ) 0 ], 0 1
(1)
34
𝐁𝟎
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
0 𝐑 𝐁1 = [ sin(𝜃1 ) −cos (𝜃1 )
0 cos (𝜃1 ) sin(𝜃1 )
1 0]. 0
(2)
# Load SymPy module and its sub-modules required for deriving the governing equation import sympy as sym import sympy.physics.mechanics as me # Activating lATEX printing to display the governing equation in the nice form sym.init_printing(use_latex=True) # Please consider to use this if the system has many DoF me.init_vprinting(use_latex=True) # Please consider to use this if the system has many DoF ### STEP 1: INITIALIZATION n = 5 # Counted including the arm # Generalized coordinates theta = me.dynamicsymbols('theta_{:'+str(n)+'}') # Generalized velocities can be set by taking the derivative of the generalized coordinates # "theta[i].diff(t)" # Position of points and center of mass L = sym.symbols('L_{:'+str(n)+'}') d = sym.symbols('d_{:'+str(n)+'}') # Offset c = sym.symbols('c_{:'+str(n)+'}') # Mass and mass moment of inertia m = sym.symbols('m_{:'+str(n)+'}') Ixx = sym.symbols('I_{xx:'+str(n)+'}') Iyy = sym.symbols('I_{yy:'+str(n)+'}') Izz = sym.symbols('I_{zz:'+str(n)+'}') # Additional symbols: acceleration of gravity and time g, t = sym.symbols('g t') # Container B, pCM, pP, = [], [], [] ### STEP 2 & STEP 3: REFERENCE FRAME & POINTS and THEIR KINEMATICAL PROPERTIES G = me.ReferenceFrame('G') # Inertial reference frame pO = me.Point('pO') # Point O pO.set_vel(G, 0) # Velocity of ponint O in G-frame # Body reference frame for i in range(n): # Orientation of the new reference frame must be set w.r.t. the previous reference frame if i == 0: RF, p = G, pO else: RF, p = B[i-1], pP[i-1] # Defining body reference frame including the asignment of generalized coordinates if i == 1: B.append(RF.orientnew('B_{'+str(i)+'}', 'Body', [0, sym.pi/2, theta[i]], 'XYZ')) else: B.append(RF.orientnew('B_{'+str(i)+'}', 'Axis', [theta[i], RF.z])) # Assigning generalized velocities of i-th reference frame w.r.t. (i-1)th reference frame B[i].set_ang_vel(B[i-1], theta[i].diff(t)*B[i-1].z) # Defining points attached to moving bodies pCM.append(p.locatenew('pCM_{'+str(i)+'}', c[i]*B[i].x + d[i]*B[i].z)) pP.append(p.locatenew('pP_{'+str(i+1)+'}', L[i]*B[i].x + d[i]*B[i].z)) # Assigning velocity using 2-points theory pCM[i].v2pt_theory(p, G, B[i]) pP[i].v2pt_theory(p, G, B[i]) ### STEP 4: CREATING RIGID BODIES # Inertia at the center of mass I_at_CM = [[Ixx[0], Iyy[0], Izz[0]], [Ixx[1], Iyy[1], Izz[1]], Ixx[2], Iyy[2], Izz[2]], [Ixx[3], Iyy[3], Izz[3]], [Ixx[4], Iyy[4], Izz[4]]] for i in range(n): # Construct tensor of mass moment of inertia w.r.t. the center of mass Inertia = me.inertia(B[i], *I_at_CM[i]) # Creating links Link.append(me.RigidBody('Link_{'+str(i)+'}', pCM[i], B[i], m[i], (Inertia, pCM[i]))) ### STEP 5: ASSIGNING POTENTIAL ENERGIES for EACH LINKS Link = [] for i in range(n): Link[i].potential_energy = m[i]*me.dot(-g*G.z, pCM[i].pos_from(pO)) ### STEP 6: CONSTRUCTING LAGRANGIAN of the SYSTEM sys_lagrangian = me.Lagrangian(G, *Link) ### STEP 7: APPLYING LAGRANGE's METHOD INCLUDING THE WORK DONE by ### NON-CONSERVATIVES and/or EXTERNAL FORCES # There are no non-conservative and external forces exerted on the system (forcelist = []) LM = me.LagrangesMethod(sys_lagrangian, theta, forcelist=[], frame=G) LM.form_lagranges_equations() LM.mass_matrix LM.forcing_function
Figure 4. Listing code of the SymPy program to form the governing equation of the RQP system which depicted by Figure 1.
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
For the rest of the rotation, matrices will give the same result as eq. (1) does, but with different generalized coordinates. The third step resembled the condition in which points attached to the links and measured w.r.t. the inertial reference frame. To get the information about the position vector of each point (P1 to P4 and the position of the center of mass), one can implement the following pP[i].pos_from(pO).express(G).simplify () command, where i denotes the number of
which link to apply. For an instance, the position vector of point P2 from point O in inertial reference frame G was given by (but needed a little modification to make it nicer) 𝐫𝑃2 = [(𝐿0 + 𝑑 1 + 𝑑 2 ) cos (𝜃0 ) − (𝐿1 sin( 𝜃1 ) + 𝐿2 sin(𝜃1 + 𝜃2 )) sin( 𝜃0 )] 𝐠̂ 𝐱 + [(𝐿0 + 𝑑 1 + 𝑑 2 )sin(𝜃0 ) + ( 𝐿1 sin(𝜃1 ) + 𝐿2 sin(𝜃1 + 𝜃2 )) cos (𝜃0 ) ] 𝐠̂ 𝐲 + [ −𝐿1 cos (𝜃1 ) − 𝐿2 cos (𝜃1 + 𝜃2 ) + 𝑑 0 ] 𝐠̂ 𝐳 . (3)
Meanwhile, the velocity vector of point P1 to P2 w.r.t. point O also can be obtained by applying pP[i].vel(G).express(G).simplify(), where the equation will not be presented here. These can be applied to the point where the center of mass defined. Following to the fourth step, dynamics formulation of links can be assigned via RigidBody command. This step required the position of the center of mass, the inertia at the center of mass in tensorial form, and the reference frame where the link lay. At this step, the kinetic energy of each link was obtained easily w.r.t. the inertial frame by just typing Link[i].kinetic_energy(G). But, the potential energy for each link must be supplied by the user which means that the fifth step is done. Then, the Lagrangian of the system was formed from both kinetic and potential energy of each link which had assigned previously. Finally, the last step must be applied in order to obtain the governing equation. At this step, the user also can input the work done by the dissipative element (or non-conservative part of the system) and/or the external forces exerted to the system. Thus, the governing equation of the RQP system can be obtained and displayed in the following mathematical expressions 𝐌𝛉̈ = 𝐟(𝑡, 𝛉, 𝛉̇),
(4)
35
where M ∈ ℝ5×5 denotes the mass matrix, θ ∈ ℝ5 is the vector generalized of generalized coordinates and f ∈ ℝ5 is the forcing vector of the RQP generated by the LagrangeMethod. The forcing vector for the conservative type system is the centrifugal forces, Coriolis forces, and gravitational forces. The full symbolic governing equation of the RQP system will not be given in this paper. It is due to the content of the equation which too large to manage with the length of the paper. Also, the reader is encouraged to try run the listing code as provided in Figure 4. B. Model Construction and its Simulation in OpenModelica The model of the RQP constructed in OpenModelica has used the components mentioned in Figure 3. These components were arranged according to the physical configuration as given by Figure 1. Figure 5 shown the RQP model while constructed in Modelica language in the block components form. Every block components dragged from the library including the modification of the parameters were translated automatically into its modeling language in the scripting form. The numerical values for parametrizing the RQP given by Table 1 to 4 had to be supplied into respective block components. Before computation or simulation was executed, one must check the number of variables and equations existed in the developed model. If the number variables and the number of equations are equal, one can continue to run the computation or simulation. Then, the code is compiled with the default C/C++ compiler shipped with OpenModelica. The simulation was run for 5 s long by imposing three different initial conditions, i.e: up-up-upup condition, up-up-down-down condition, and up-down-up-down condition. Up and down stated the configuration of the pendulum link in the inverted or normal position. These initial configurations of the RQP system were depicted in Figure 6. OpenModelica also provides a visualization environment which can be accessed after numerical calculation had been done by the OpenModelica solver. It is a virtual physical visualization of the system considering the initial conditions applied to the system. Thus, one can know the characteristic and behavior of the system by examining the time domain response or viewing the physical visualization.
36
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
Figure 5. The RQP model in OM Edit using multibody components resembled the physical configuration in Figure 1.
the second and third initial condition except for the first initial condition which forced it to move in the circular motion. The arm of the system only encountered the oscillation after the four pendulums released from their three initial conditions.
(a) (b) (c) Figure 6. Three initial configurations of the RQP system simulated in OpenM odelica (a) up -up-up-up configuration, (b) up-up-down-down configuration and (c) up -down-updown configuration.
Simulation results for each initial configuration were plotted by using Matplotlib [17] because it had a nice graphic for presenting the results. Figure 7, 8, 9 depicted the response of the RQP system based on the initial conditions stated earlier. The fourth link showed the largest angular displacement compared to other links. It can be understood by the condition that it undergoes a circular motion back and forth during the simulation period. The second and third pendulum link, at least, shared the same characteristic of motion as the fourth link did for those three initial conditions imposed. Meanwhile, the second link experienced oscillate motion when compelled by
Figure 7. The response of the arm and the four links subjected to initial conditions at up -up-up-up configuration.
Figure 8. The response of the arm and the four links imposed to initial configurations in the up-up-down-down state.
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
[4]
[5]
Figure 9. The response of the arm and that four pendulum links driven by the initial up -down-up-down configuration.
[6]
4. Conclusion The use of a computer for modeling and simulation of the dynamics of the RQP system has been presented in this paper. To conclude that, SymPy can be used as an alternative application for symbolic computation and has shown its capability to handle and manage the calculation of the large symbolic mathematical expressions. It had been illustrated by the RQP system whose possessed five DoF and underwent a large motion. Implementation in Modelica language gave an impression that the simulation of the dynamics multibody system can be done in such simple way. Control strategy will also be implemented to this type of pendulum in its inverted position for the future research. In addition to this paper is to introduce and promote the use of the open source software for engineering or scientific computation. The open source software has shown its capability and performance when dealing with the large complex mechanical system.
[7] [8]
[9]
[10]
[11]
References [1]
[2]
[3]
L. W. Tsai, Robot Analysis: The Mechanics of Serial and Parallel Manipulators. Wiley, 1999. M. Akhtaruzzaman dan A. A. Shafie, “Modeling and control of a rotary inverted pendulum using various methods, comparative assessment and result analysis,” in 2010 IEEE International Conference on Mechatronics and Automation, 2010, hal. 1342–1347. N. J. Mathew, K. K. Rao, dan N. Sivakumaran, “Swing up and stabilization control of a rotary inverted pendulum,” in IFAC Proceedings Volumes (IFACPapersOnline), 2013, vol. 10, no. PART 1.
[12]
[13]
37
N. D. Quyen, N. Van Thuyen, N. Q. Hoc, dan N. D. Hien, “Rotary inverted pendulum and control of rotary inverted pendulum by artificial neural network,” Int. Conf. Theor. Phys., vol. 37, hal. 243– 249, 2012. C. Meza, J. A. Andrade-Romero, R. Bucher, dan S. Balemi, “Free open source software in control engineering education: A case study in the analysis and control design of a rotary inverted pendulum,” 2009 IEEE Conf. Emerg. Technol. Fact. Autom., no. March 2014, hal. 1–8, 2009. N. S. Özbek dan M. Ö. Efe, “Swing up and stabilization control experiments for a rotary inverted pendulum - An educational comparison,” in Conference Proceedings - IEEE International Conference on Systems, Man and Cybernetics, 2010, hal. 2226–2231. A. A. Shabana, Computational Dynamics, 3rd Edition. Wiley, 2009. O. K. and T. S. Krunoslav Horvat, “Describing Function Recording with Simulink and MATLAB,” in Technology and Engineering Applications of Simulink, P. S. Chakravarty, Ed. InTech, 2012, hal. 149–166. H. Elmqvist dan S. E. Mattsson, “Modelica — the Next Generation Modeling Language an International Design Effort,” Proc. 1st World Congr. Syst. Simul., no. August, hal. 1–5, 1997. P. Fritzson, “Modelica A cyber-physical modeling language and the OpenModelica environment,” IWCMC 2011 - 7th Int. Wirel. Commun. Mob. Comput. Conf., hal. 1648–1653, 2011. P. Fritzson et al., “OpenModelica - A free open-source environment for system modeling, simulation, and teaching,” in 2006 IEEE Conference on Computer Aided Control System Design, 2006 IEEE International Conference on Control Applications, 2006 IEEE International Symposium on Intelligent Control, 2006, hal. 1588–1595. D. Joyner, O. Čertík, A. Meurer, dan B. E. Granger, “Open source computer algebra systems: {SymPy},” ACM Commun. Comput. Algebr., vol. 45, no. 177, hal. 225–234, 2011. S. M. Kurtz, UHMWPE Biomaterials Handbook: Ultra High Molecular Weight Polyethylene in Total Joint Replacement and Medical Devices. Elsevier Science, 2015.
38
Adriyan / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 30-38
[14] S. D. Team, “SymPy Documentation,” 2014. [15] F. Pérez dan B. E. Granger, “IPython: A system for interactive scientific computing,” Comput. Sci. Eng., vol. 9, no. 3, hal. 21–29, 2007. [16] M. Otter, H. Elmqvist, dan S. E. Mattsson, “The New Modelica MultiBody Library,” Proc. 3rd Int. Model. Conf., hal. 311–330, 2003. [17] J. D. Hunter, “Matplotlib: A 2D graphics environment,” Comput. Sci. Eng., vol. 9, no. 3, hal. 90–95, 2007.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Optimasi Posisi dari Massa SDVA (1/20 Massa Sistem) untuk Mereduksi Getaran Translasi-Rotasi pada Beam Position Optimization of SDVA Mass (1/20 System Mass) to Reduce Translation and Rotation Vibration on Beam Susastro Departement of Mechanical Engineering, Adhi Tama Surabaya Institut of Technology Jl. Arif Rahman hakim No. 100, Surabaya, Indonesia
Received 13 April 2017; Revised 16 April 2017; Accepted 20 April 2017, Published 27 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.39-45 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 Susastro. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract In many cases, amount of SDVA mass (single dynamic vibration absorber) which is used to dampen vibrations is equal to 1/10 of the mass of the system. Meanwhile, the amount of additional mass is sometimes felt to be too great if the mass system is also great. To resolve this problem, we use mass absorber with a much smaller size. In this research, we did a simulation optimization of the use massa SDVA 1/20 on the beam, to damped translation and rotation vibration from main system. The study began by building a 2 DOF vibration prototype system with the addition of SDVA. Prototype modeled into mathematical equations and simulated to determine the change vibration characteristics. In this simulation we provide changes in the excitation frequency and distance of the center of mass SDVA future main system. From this research indicated that the addition of SDVA capable of reducing vibration direction of translation by 98.53% that occurred at a frequency ratio of 1. Whereas for rotational motion, vibration reduction which occurred amounted to 80.41%. From the results of This research also concluded that translation and rotation vibration reduction are best obtained when the ratio of the arms by rl = 0,9 with 75,84 % vibration reduction. Keywords: Single dynamic vibration absorber, DVA, vibration
1. PENDAHULUAN Semua sistem yang bergerak tentu akan mengalami getaran, dan apabila getaran yang terjadi terlalu berlebih maka diperlukan cara untuk mengurangi getaran yang timbul. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk mengurangi getaran sistem adalah dengan mengurangi effek getaran yang terjadi, yang mana hal ini dapat dilakukan dengan jalan memberikan peredam atau dynamic vibration absorber (DVA). Dynamic vibration absorber pada dasarnya merupakan masa dan peredam tambahan yang diberikan pada sistem utama yang bergetar guna mengurangi getaran sistem utama dengan jalan menciptakan anti resonansi pada daerah © 2017 ITP Press. All rights reserved.
frekuensi natural sistem utama tersebut. Pada mulanya dynamic vibration absorber ini banyak digunakan untuk meredam getaran pada bangunan bertingkat pada daerah yang rawan mengalami gempa [1-2]. Namun prinsip kerja dari dynamic vibration absorber tetap dapat digunakan pada hampir semua kasus getaran pasa sistem-sistem mekanis. Selain dapat digunakan untuk meredam getaran arah translasi [3], dynamic vibration absorber juga dapat digunakan untuk meredam getaran arah rotasi [4]. Beberapa peneliti bahkan juga telah menggunakan DVA untuk meredam getaran translasi dan rotasi secara bersama-sama sebagaimana [5-8]. Untuk dapat meredam getaran arah translasi dan rotasi maka digunakan lebih dari satu masa tambahan,
40
Susastro / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 39-44
namun penggunaan banyak masa DVA dirasa kurang efektif sehingga dilakukan pengurangan jumlah masa tambahan untuk mengurangi getaran translasi dan rotasi secara besamaan [8]. Hal ini dilakukan dengan jalan memberikan masa absorber sebesar 1/10 dari masa sistem utama, dan kemudian melakukan perubahan posisi masa SDVA terhadap pusat masa sistem utama [8] . Pemberian masa absorber sebesar 1/10 dari masa sistem utama dirasa akan sangat berat dan besar apabila sistem utama memiliki masa yang sangat besar. Oleh karena hal tersebut dalam penelitian ini diberikan sebuah masa absorber sebesar 1/20 dari total masa sistem utama untuk meredam getaran translasi dan rotasi secara bersama-sama. Sebuah sistem utama berupa balok beam diberikan sebuah motor sebagai sumber gerak yang menggerakan 2 buah masa unbalance. Untuk menciptakan getaran translasi dan rotasi secara bersamaan maka diberikan perbedaan fasa 90ᵒ pada kedua masa unbalance. Pada kedua ujung beam dihubungkan dengan batang cantilerver sebagai pengganti dari pegasperedam. Selain itu dalam penelitian ini juga diberikan variasi lengan momen b sehingga diperoleh pengurangan getaran translasi dan rotasi yang paling optimum.
2. Metodologi A. Penurunan Persamaan Gerak
Keterangan: 𝑚 : masa unbalance (kg) ma : masa absorber (kg) mm : masa motor (kg) mp : masa piringan disc (kg) mkp : masa kotak pemberat (kg) 𝑚𝑏 : masa balok beam (kg) 𝑅 : jari-jari rotasi dari masa unbalance (m) 𝐾1 : kekakuan cantilever 1 (N/m) b : CG balok beam - cantilever absorber (m) 𝜔 : kecepatan putaran motor (rad/s) 𝐾2 : kekakuan cantilever 2 (N/m) 𝐾𝑎 : kekakuan cantilever absorber (N/m) 𝐶1 : redaman cantilever 1 (N.s/m) 𝐶2 : redaman cantilever 2 (N.s/m) 𝐶𝑎 : redaman cantilever absorber (N.s/m) 𝐿1 : Cantilever 1 – CG balok beam (m) 𝐿2 : Cantilever 2 – CG balok beam (m) a : CG balok beam - motor listrik (m) c : CG balok beam - kotak pemberat (m) L : Panjang total balok beam (0,53 meter) Gambar 1 (a) diatas merupakan bentuk sistem DVA dengan dua derajat kebebasan yang digunakan dalam penelitian. Dari sistem DVA yang ada kemudian dilakukan penyederhanaan sebagaimana gambar 1 (b) dan dibuat diagram benda bebas untuk menurunkan persamaan gerak sistem berdasarkan hukum Newton. Dalam penelitian didapatkan tiga persamaan gerak yang diperoleh dari sistem utama dan masa absorber, yaitu translasi arah vertikal dari absorber (Ya), translasi arah vertikal dari sistem utama (Ys) dan rotasi dari sistem utama (𝜃). Dari persamaan gerak yang diperoleh kemudian diturunkan persamaan state variable yang kemudian digunakan untuk membangun blok diagram simulasi. Adapun state variable yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1
𝑦𝑎̈ = 𝑀 [𝐶𝑎 𝑦𝑠̇ − 𝐶𝑎 𝑏𝜃̇ + 𝑘𝑎 𝑦𝑠 − 𝑘𝑎 𝑏𝜃 − 𝑎
𝐶𝑎 𝑦𝑎̇ − 𝑘𝑎 𝑦𝑎 ] (a)
𝑦𝑠̈ =
1 𝑚𝑠
(1)
[𝑚𝜔2 𝑅 sin 𝛼 + 𝑚𝜔2 𝑅 sin(𝛼 + 90) +
𝐶𝑎 𝑦𝑎̇ + 𝑘𝑎 𝑦𝑎 − (𝐶1 + 𝐶2 + 𝐶𝑎 )𝑦𝑠̇ − (𝑘1 + 𝑘2 + 𝑘𝑎 )𝑦𝑠 − (𝐶1 𝑙1 − 𝐶2 𝑙2 − 𝐶𝑎 𝑏)𝜃̇ − (𝑘1 𝑙1 − 𝑘2 𝑙2 − 𝑘𝑎 𝑏)𝜃] (2) 𝑚𝑎𝜔2 𝑅 sin(𝛼 ) − (𝐶1 𝑙1 2 + 𝐶2 𝑙2 2 + 𝐶𝑎 𝑏2 )𝜃̇ − (𝑘1 𝑙1 2 + 𝑘2 𝑙2 2 + 𝑘𝑎 𝑏2 ) (3) (b) Gambar 1. Bentuk fisik sistem DVA (a) dan bentuk Penyederhanaan modelnya (b)
Gaya arah horizontal (sumbu X) diasumsikan memiliki pengaruh yang kecil,
Susastro / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 39-44
sehingga inputan eksitasi yang digunakan dalam simulasi merupakan fungsi sinsoidal sebagaimana berikut: 𝐹1 = 𝑚. 𝜔2 . 𝑅. sin(𝜔. 𝑡)
(4)
Untuk eksitasi yang terjadi pada sisi kotak pemberat memiliki perbedaan fasa 90◦ terhadap sisi motor. Dengan demikian eksitasi yang terjadi pada kotak pemberat didefinisikan sebagai berikut: 𝐹2 = 𝑚𝜔2 𝑅 sin(𝛼 + 90)
(5)
B. Parameter Simulasi Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi merupakan parameter yang berasal dari sistem DVA dan diperoleh dengan cara mengukur. Untuk inersia dari sistem diperoleh dengan menggunakan softwar. Berikut nilai parameter yang digunakan dalam simulasi: ms mm mkp M mb l1 l2 R L
: 13,88 Kg : 5 Kg : 5 Kg : 0,14 Kg : 3,88 Kg : 0,145 m : 0,145 m : 0,045 m : 0,530 m
I k1 k2 c1 c2 ca a c
: 0,401 Kg.m2 : 38.800 N/m : 38.800 N/m : 49,7 N.s/m : 49,7 N.s/m : 1,75 N.s/m : 0,06 meter : 0,06 meter
Untuk besar masa absorber (ma) dalam penelitian ini adalah sebesar ms/20. Sedangkan untuk kekakuan absorber juga dilakukan perubahan dengan faktor perkalian yang sama dengan yang digunakan dalam masa absorber, yaitu sebesar ks/20. C. Simulasi Dengan menggunakan persamaan state variabel yang telah diturunkan serta nilai parameter yang telah ditetapkan, dilakukanlah simulasi dengan menggunakan software. Simulasi dilakukan dengan maksud untuk mengetahui RMS respon getaran sistem utama baik sebelum dan setelah pemberian masa absorber (SDVA). Begitulah proses ini dilakukan dengan memvariasikan nilai frekuensi dari gaya eksitasi dan lengan momen b (jarak pusat masa sistem utama terhadap masa absorber). Adapun variasi frekuensi dilakukan pada range 0 Hz hingga 30 Hz yang merupakan daerah frekuensi rentan kerja dari motor listrik, sementara untuk lengan momen b divariasikan antara 0 m hingga 0,265 m yang merupakan setengah dari panjang total sistem beam. Untuk
41
melakukan variasi nilai frekuensi dan lengan momen b, maka perlu dibangun sebuah program pada comand editor simulink terlebih dahulu. Setiap variasi nilai lengan momen b dan frekuensi motor disimulasikan dengan memberikan tiga nilai masa absorber yang berbeda. Adapun masa absorber yang digunakan adalah sebesar ms/20. Untuk mendapatkan grafik karakteristik sistem maka dalam hasil simulasi yang diperoleh dilakukan beberapa normalisasi. Rasio lengan (rl) merupakan hasil normalisasi antara lengan momen b terhadap jarak pusat masa beam kepada cantilever (l1). Rasio frekuensi translasi (rf) merupakan hasil normalisasi frekuensi eksitasi terhadap frekuensi natural arah translasi. Sedangkan rasio frekuensi rotasi (rfr) merupakan hasil normalisasi antara frekuensi eksitasi terhadap frekuensi arah rotasi sistem.
3. Hasil dan Pembahasan A. Karakteristik Respon Getaran Gambar 2 (a) dan (b) merupakan grafik pengaruh nilai rasio lengan momen (r l) terhadap perubahan karakterstik RMS displacement dan RMS angular displacement untuk ma = 1/20ms. Grafik yang berwarna hitam merupakan grafik RMS displacement untuk sistem tanpa DVA. Sedangkan grafik yang berwarna berwarna merah, hijau dan biru masing-masing merupakan grafik untuk rl = 0, rl = 2,221 dan rl = 4,42. Secara garis besar, dari grafik hasil simulasi yang ditampilkan pada gambar 2 (a) dan (b) terdapat beberapa perbedaan antara grafik yang diperoleh ketika sistem tidak diberikan masa tambahan, sistem diberikan masa tambahan pada posisi pusat masanya dan sistem diberikan masa tambahan tidak pada pusat masanya. Beberapa perbedaan itu diantaranya ialah jumlah frekuensi natural teredam (𝜔d) yang nampak pada grafik, jarak antar frekuensi natural teredam, besarnya respon getaran pada saat 𝜔d terjadi, dan range frekuensi dimana terjadi penurunan respon getaran. Pada sebuah sistem yang memiliki dua buah derajat kebebasan, maka harusnya juga memiliki dua buah frekuensi natural. Namun pada gambar 2 (a) dan (b) menunjukan bahwa pada kondisi tanpa DVA maka sistem hanya memiliki sebuah frekuensi natural untuk gerak translasi maupun rotasi. Kondisi ini dikarenakan sistem yang dimodelkan merupakan sistem yang tidak memiliki keterkaitan (tak terkopel) antara gerak translasi
42
Susastro / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 39-44
dan rotasi. Sehingga getaran arah translasi tidak mempengaruhi getaran arah rotasi, begitu juga sebaliknya sehingga hanya diperoleh sebuah frekuensi natural teredam pada masing- masing grafik.
(a)
(b) Gambar 2. Perubahan karakteristik dengan perubahan rl untuk gerak (a) Translasi (b) Rotasi
(a)
(b) Gambar 3. Grafik Surface perubahan karakteristik dengan perubahan rl untuk gerak (a) Translasi (b) Rotasi
Pemberian masa absorber pada rl = 0 ditunjukan sebagaimana pada grafik berwarna merah. Pada kondisi ini jumlah derajat kebebasan sistem mulai bertambah, sehingga jumlah resonansi yang dialami sistem (𝜔d) utama juga ikut bertambah. Pada kondisi ini
terlihat bahwa sistem masih tidak memiliki keterkaitan (tidak terkopel) antara gerak translasi dan rotasi, sehingga berakibat pada berbedanya jumlah frekuensi natural teredam yang terjadi pada gerak translasi maupun rotasi. Meski sistem masih merupakan sistem yang tidak terkopel, namun getaran arah translasi dari sistem utama justru terkopel dengan getaran translasi darimasa absorber. Adapun resonansi yang terjdi pada gerak translasi adalah terjadi pada rf = 0,8907 dan rf = 1,118. Untuk sistem utama dengan masa absorber yang tidak lagi diletakan pada pusat berat sistem utama maka sistem menjadi terkopel secara statis. Terkopelnya sistem secara statis berakibat pada jumlah resonansi yang diperoleh pada gerak translasi sama dengan jumlah resonansi pada arah rotasi. Selain daripada itu resonansi dari kedua jenis gerak ini juga terjadi pada nilai frekuensi yang hampir sama. Resonansi pada gerak translasi dengan nilai r l = 2,21 terjadi pada rf = 0,3479, rf = 0,9033 dan rf = 1,129. Sedangan untuk rl = 4,42 terjadi pada rf = 0,3319, rf = 0,9243 dan rf = 1,157. Resonansi pada gerak rotasi dengan nilai rl = 2,21 terjadi pada rfr = 0,9874; rfr = 2,6381 dan rfr = 3,185, sedangkan untuk rl = 4,42 terjadi pada rfr = 0,938; rfr = 2,65 dan rfr = 3,267. Dari grafik hasil simulasi juga ditunjukan bahwa semakin besar rasio lengan momen (r l) yang diberikan maka resonansi pertama akan berada pada frekuensi yang lebih rendah. Sedangkan untuk resonansi kedua dan ketiga justru akan berada pada rasio frekuensi yang tinggi ketika rasio lengan momen yang diberikan semakin besar. Dengan demikin jarak antara resonansi kedua dan pertama akan menjadi semakin lebar seiring dengan bertambahnya rasio lengan yang diberikan. Hal ini berlaku baik untuk respon displacement maupun angular displacement. Apabila dibandingkan dari keempat grafik baik pada gambar 2 (a) dan (b) , adanya perubahan rasio lengan momen (r l) selain merubah letak dan jumlah dari resonansi yang terjadi juga dapat merubah besarnya RMS respon yang terjadi saat resonansi tersebut. Pada gambar 4.14 terlihat bahwa semakin besar nilai rl yang diberikan maka nilai RMS displacement yang terjadi untuk resonansi pertama dan kedua menjadi semakin tinggi, sedangkan RMS displacement untuk resonansi ketiga menjadi berkurang. Adapun nilai RMS displacement dari resonansi pertama untuk nilai rl = 2,21 dan rl = 4,42 masing- masing adalah 0,0001303 m dan 0,0001698 m. Untuk frekuensi natural kedua nilai RMS displacement
Susastro / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 39-44
untuk r1 = 2,21 dan rl = 4,42 masing-masing adalah 0,003933 m dan 0,004202 m. Sedangkan untuk frekuensi natural ketiga, perubahan nilai rl dari 2,21 menjadi 4,42 merubah nilai RMS displacement dari 0,004541 m menjadi 0,004374 m. Adapun gambar grafik surface dari RMS displacement untuk ma=ms/20 dengan perubahan dari rl dan rf ditunjukan sebagaimana dalam gambar 3 (a). Sebagaimana grafik simulasi dalam gambar 2 (b), RMS angular displacement pada resonansi kedua dan ketiga menjadi semakin tinggi ketika sistem diberikan masa absorber dengan rl yang semakin besar. Hal yang sedikit berbeda terjadi pada resonansi pertama, yang mana pada rasio frekuensi ini RMS angular displacement menjadi mengecil ketika masa absorber diletakan pada ujung dari sistem.Adapun nilai RMS angular displacement dari resonansi pertama untuk nilai rl = 2,21 dan rl = 4,42 masing- masing adalah 0,06504 rad dan 0,06167 rad. Untuk resonansi kedua nilai RMS angular displacement untuk r1 = 2,21 dan rl = 4,42 masing-masing adalah 0,003682 rad dan 0,007013 rad. Sedangkan untuk resonansi ketiga, perubahan nilai rl dari 0,5 menjadi 1 merubah nilai RMS angular displacement dari 0,007777 rad menjadi 0,015 rad. Adapun gambar grafik surface dari RMS angular displacement untuk ma=ms/10 dengan perubahan dari rl dan rfr ditunjukan sebagaimana dalam gambar 3(b). Definisi dasar dari DVA adalah sebuah masa yang digunakan untuk meredam getaran pada frekuensi tertentu. Dari definisi tersebut maka hal yang tidak kalah penting dari hasil simulasi ini adalah untuk mengetahui daerah frekuensi dimana terjadi reduksi getaran, baik arah translasi maupun rotasi. reduksi getaran ini biasanya terjadi karena adanya interferensi antar dua buah getaran yang saling berkebalikan (destructive interference) sehingga terbentuk sebuah daerah antiresonansi. Dari hasil simulasi yang dilakukan diperlihatkan bahwa pemberian DVA mampu menimbulkan antiresonansi pada daerah rasio frekuensi tertentu, dimana pada rasio frekuensi tersebut malah menimbulkan resonansi yang tinggi untuk sistem tanpa DVA. Saat masa absorber diletakan pada bagian tengah beam, nilai terendah dari antiresonansi ini terletak saat rf = 1. Ketika masa absorber diletakan pada posisi yang semakin jauh dari pusat masa sistem utama, ternyata letak dari antiresonansi ini akan bergeser ke kanan dengan nilai RMS displacement yang juga semakin tinggi pula. Kondisi ini mengakibatkan apabila diinginkan
43
hanya meredam getaran translasi suatu sistem yang memiliki daerah operasi pada rf = 1 akan lebih baik ketika menggunakan DVA yang diletakan tepat pada pusat masa dari sistem. B. Karakteristik Respon Getaran Gambar 4 (a) memperlihatkan prosentase pengurangan RMS displacement yang terjadi pada rasio frekuensi 1 dengan perubahan lengan momen yang diberikan pada masa absorber. Rasio frekuensi 1 merupakan daerah dimana frekuensi natural dari sistem secara keseluruhan terjadi. Dari grafik yang ada ditunjukan bahwa pengurangan getaran akan menjadi semakin tinggi dengan semakin kecilnya nilai rasio lengan yang diberikan. Hal ini mengartikan bahwa pengurangan getaran arah translasi akan menjadi semakin baik apabila masa absorber diletakan mendekati pusat masa dari sistem utama. Adapun pengurangan RMS displacement yang terbaik terjadi saat rl = 0,009 dengan nilai prosentase penguragan getaran sebesar 98,53%. Tren grafik yang berbeda dari justru ditunjukan pada grafik prosentase pengurangan RMS angular displacement sebagaimana pada gambar 4 (b). Pada kondisi ini ditunjukan bahwa semakin besar lengan momen yang diberikan pada masa absorber, maka pengurangan nilai RMS angular displacement juga menjadi semakin besar. Hal ini dapat diartikan bahwa pengurangan getaran arah rotasi menjadi semakin besar apabila masa absorber diletakan pada bagian paling ujung dari sistem utama. Adpaun hasil pengurangan RMS angular displacement yang terjadi pada penelitian ini adalah sebesar 80,41%. Penurunan getaran pada gerak arah translasi lebih dikarenakan oleh karena timbulnya interferensi destruktif antara getaran pada masa sistem utama dan pada masa absorber. Interferensi jenis ini terjadi karena masa absorber dan masa sistem utama memiliki frekuensi natural yang sama, namun dengan fasa getar yang mendekati 180o. Keadaan ini juga yang mengakibatkan adanya daerah antiresonansi pada rf = 1, yang mana pada frekuensi ini fasa dari kedua masa tadi adalah sebesar 180o. Dengan perbedaan fasa sebesar 180o, maka getaran dari masa absorbe dan masa sistem utama akan menjadi saling menghilangkan. Untuk gerak arah rotasi, Penurunan getaran (RMS angular displacement) lebih dikarenakan oleh adanya pergeseran letak resonansi dan perubahan nilai RMS angular displacement. Perubahan nilai dari kedua hal ini dikarenakan
44
Susastro / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 39-44
oleh perubahan nilai lengan momen (b) pada masa absorber.
4. Simpulan
C. Optimasi Pengurusan Getaran Dari pembahasan sebelumnya menunjukan bahwa perubahan nilai rasio lengan momen yang diberikan pada masa absorber justru akan menghasilkan karakteristik penurunan prosentase getaran yang berbeda antara gerak translasi dan rotasi. Untuk menyelesaikan masalah ini maka dilakukan optimasi dengan jalan memotongkan kedua grafik yang ada pada gambar 4. Adapun hasil pemotongan dari grafik pada gambar 4 (a) dan 4 (b) diperlihatkan sebagaimana pada gambar 5. Dari gambar 5 ditunjukan bahwa pengurangan getaran yang paling optimal terjadi pada pemberian rasio lengan rl = 0,9. Pada rasio lengan ini pengurangan getaran baik pada arah translasi maupun rotasi adalah sama besar, yaitu sebesar 75,84 %.
Ucapan Terima Kasih
Berdasar hasil simulasi yang dilakukan menunjukan bahwa pemberian masa SDVA sebesar 1/20 dari masa sistem utama ternyata cukup mampu untuk meredam getaran translasi maupun rotasi secara bersama-sama. adapun besar pengurangan getaran optimal yang mampu dihasilkan adalah sebesar 75,84 % yang terjadi pada saat pemberian rasio lengan sebesar 0,9.
Terima kasih diucapkan kepada Staf Jurusan Teknik Mesin Adhi Tama Surabaya Institut of Technology yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan.
Referensi [1]
[2]
[3] (a)
[4]
[5]
(b) Gambar 4. Grafik pengurangan getaran translasi (a) rotasi (b)
[6]
[7]
[8] Gambar 5. Optimasi pengurangan getaran translasirotasi
K. Yoshida, active vibration control for builder subjected to horizontal and vertical large seismic excitation.” IEEE Conferenceon Decision and Control, 1995. X. Tang, “Regenerative semi-active control of tall building vibration with semi TMDs.” IEEE Control conference, 2010. F. S. Samani, “Vibration reduction of beam under successive traveling loads by mean of linear and nonlinear absorber.” Science Direct Journal Sound and Vibration. pp. 2273-2290, 2010. S. Krenk, “tuned mass absorber on a fleksible structure.” Science Direct Journal Sound and Vibration, pp 15771595, 2013. W.O. Wong, 2007, “design of a dynamic vibration absorber for vibration isolation of beam under point of distribution. Science direct journal of sound and vibration 898-908. L. Weldemar, “Optimum Tuning of the Tunable Translational-Rotational Dynamic Absorber in Global Vibration Control Problem in Beam.” Journal of Civil Engineering, Environment and Architecture, pp 107-118, 2014. M. Najafi, “Optimation design of beam vibration absorber under point harmonic excitation.” IEEE proceding, 2009. A. A. Daman, “The influence of dynamic vibration absorber to reduce vibration of main system with 2-DOF.” IECC, 2016.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Uji Kekerasan pada Paduan Fe-50%atAl dengan Penambahan Nikel Menggunakan Metode Mechanical Alloying Hardness Test on the Alloy Fe-50%atAl With the Addition of Nickel Using Mechanical Alloying Method Dona Abrini1,*, Sanny Ardhy1, Haznam Putra1 1 Department of Mechanical Engineering, University Dharma Andalas Jl. Sawahan No.103A, Simpang Haru, Padang Tim., Padang, Sumatera Barat
Received 31 March 2017; Revised 17 April 2017; Accepted 21 April 2017, Published 28 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.45-49 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 D. Abrini. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Hardness test on the alloy Fe-50% at Al with the addition of nickel were prepared by mechanical alloying method. The powder mixture Fe-50at.%Al with the variation adding 0,5at.%Ni, and 2at.%Ni are grinded using High Energy Milling HEM E-3D in Argon condition for 10 hours. To determine the hardness, conducted to take the sample with the certain time duration to each composition. Then, the sample which has been taken is characterization using hardness. The results showed that the highest hardness properties exist in the alloy Fe50% at Al-0.5% at Ni, amounting to 161.53 HV. The addition of nickel on alloy reduces the hardness properties of the alloy. However, the addition of nickel require a short time to raise the hardness properties. Keywords: mechanical alloying, nikel, high-energy milling, hardness test
1. Pendahuluan Paduan Fe – Al merupakan bahan material yang memiliki keunggulan yakni mampu memberikan perlindungan korosi pada temperatur tinggi [1], karena paduan ini akan membentuk lapisan oksida yang protektif dalam lingkungan oksidasi, sulfidasi, lelehan garam dan tahan terhadap karburisasi dalam kondisi aplikasi temperatur tinggi [1-2]. Paduan Fe-Al memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada baja krom [3].Namun demikian, paduan Fe-Al memiliki kelemahan juga yaitu sifat keuletan yang rendah pada temperatur kamar dan kekuatan yang rendah diatas suhu 6000C [3-5]. Cara untuk memperbaiki sifat keuletannya adalah dengan pengurangan ukuran kristalit dan homogenisasi slip partikel [5]. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan teknik mechanical alloying[4]. Teknik mechanical alloying merupakan teknik dengan menggunakan bola giling yang mampu © 2017ITP Press. All rights reserved.
menghasilkan material nanokristalin yang memiliki ukuran butir dalam skala nanometer sehingga akan memperbaiki sifat fisik dan mekanik paduan [4-5]. Teknik mechanical alloying dapat dipakai dalam skala industri .Teknik ini mampu memproduksi material dalam struktur nano. Keunggulan lainnya, teknik ini dapat dilakukan pada suhu rendah sehingga mampu menghemat biaya proses [5]. Karena keunggulan paduan Fe-Al diatas, maka paduan ini sangat baik dipakai sebagai bahan material pelapis baja. Baja sering dipakai untuk berbagai aplikasi dalam dunia industri seperti pada industri perminyakan, pertambangan, industri otomotif dan lain – lain. Penggunaan baja menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan jenis material baja lainnya[6]. Bahan baku baja juga murah dan prosesnya pembuatannya cepat. Akan tetapi ketahanan baja karbon terhadap korosi
46
D. Abrini / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 45-49
temperatur tinggi tidak terlalu bagus [2]. Baja karbon hanya bisa bertahan pada temperatur 600 C dan diatas suhu tersebut baja karbon akan mudah teroksidasi [2]. Oleh karena itu paduan Fe-Al dengan menggunakan teknik pemaduan mekanik bisa menjadi solusi terhadap sifat kelemahan baja karbon tersebut. Menurut S. Gedevanishvili dan S. C. Deevi, intermetalik Fe-Al yang paling baik adalah FeAl kemudian Fe3Al dan yang terakhir Fe2Al5[7]. Menurut Hongwei Shi dan Debo Guo serta Yifang Ouyang , intermetalik FeAl terbentuk pada komposisi Fe-50at.%Al pada 30 jam [5]. Hal senada juga sama pada penelitian M. Krasnowski [8]. Penambahan Nikel dalam paduan serbuk Fe –Al mampu mempercepat proses penghancuran dan pengelasan dingin. Selain itu, penambahan nikel mempercepat terbentuknya fasa baru intermetalik FeAl yakni dengan waktu 10 jam setelah disintering [9]. Menurut Eri kuswantoro, struktur lapisan Fe-50%atAl memiliki tingkat kekerasan yang paling rendah dibandingkan dengan struktur lapisan Fe-30%atAl, Fe40%atAl dan Fe-60%atAl. Hal ini disebabkan struktur lapisan Fe-50%atAl agak kasar dan kurang mencampur[10]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan serbuk FeAl dengan komposisi Fe-50at.%Al , untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kekerasannya jika ditambah dengan Nikel.
2. Materi Dan Metode Campuran bubuk Fe-Al-Ni dengan kemurnian 90% untuk Aluminium dan 99% untuk Besi serta 99,5% untuk Nikel dicampur dengan komposisi Fe-50at.%Al-0,5at.%Ni, Fe50at.%Al-2at.%Ni dalam suasana Argon. Bubuk dimilling menggunakan High Energy Milling (HEM E3D) dalam suasana Argon. Suatu alat high energy milling yang mempunyai 1 bejana penggiling digerakkan dengan motor secara tiga dimensi. HEM-E3D ini merupakan instrumen hasil kreasi Pusat Penelitian Fisika LIPI. Waktu milling serbuk yang akan diteliti adalah: 0 jam, 2 jam, 5 jam, 10 jam. Perbandingan bola milling terhadap serbuk adalah 10:1. Struktur sampel diidentifikasi menggunakan hardnes Matsuzawa tipe MXT50 untuk menguji kekerasan paduan Fe-Al.
digunakan juga harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi agar paduan yang terbentuk bersifat homogen dan menghindari terbentuknya paduan lain yang tidak diinginkan. Bahan baku yang dapat digunakan dalam proses pemaduan mekanik dapat berupa campuran antara serbuk ulet dan serbuk ulet, serbuk ulet dengan serbuk getas dan serbuk getas dengan serbuk getas [11]. Bola giling Bola giling dalam proses pemaduan mekanik berfungsi sebagai penghancur dan pemadu campuran serbuk agar terbentuk suatu paduan baru. Bahan pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang sangat tinggi supaya tidak terjadi kontaminasi selama proses pemaduan mekanik. [11]. Wadah Penggilingan Proses penghancuran serbuk tidak akan efektif dan efisien jika material yang digunakan sebagai wadah penggilingan sama dengan material serbuk yang akan digiling, Hal itu disebabkan kedua material tersebut memiliki kekerasan yang sama. Sedangkan jika kedua material yang digunakan tersebut berbeda, maka akan terjadi kontaminasi pada material serbuk yang akan di-milling [11]. Material yang digunakan sebagai wadah penggilingan harus memiliki kekerasan yang lebih tinggi daripada kekerasan material serbuknya agar selama proses milling tidak terjadi kontaminasi. Material yang dapat digunakan sebagai wadah penggilingan antara lain: baja perkakas, baja kromium dan baja tahan karat [11]. Perbedaan jenis material yang digunakan antara wadah penggilingan dan bola penggiling bisa juga menjadi penyebab terjadinya kontaminasi pada serbuk. Agar hal itu tidak terjadi , maka material antara wadah penggilingan dan bola giling yang digunakan terbuat dari jenis material yang [11]. Jika menggunakan jenis material yang berbeda maka harus diperhatikan kekerasannya. Sebaiknya kekerasan kedua material tersebut tidak jauh berbeda.
Komponen Pemaduan Mekanik Bahan Baku Semakin kecil ukuran partikel serbuk yang digunakan, maka proses pemaduan mekanik akan semakin efektif dan efisien. Serbuk yang
Gambar 1. Bola giling dan wadah penggilingan [11] .
D. Abrini / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 45-49
Alat Penggiling Bola Dalam proses pemaduan mekanik, beberapa jenis alat penggiling bola dapat digunakan seperti: planetary ball mill, conventional horizontal ball mill, horizontal ball mill controlled by magnetic force, attritor mill dan shaker ball mill [12] .
47
Terjadinya kesetimbangan antara proses penghancuran dan pengelasan dingin menyebabkan partikel menjadi homogen. Partikel menjadi lebih kecil karena penghancuran dan sebaliknya partikel akan beragglomerasi karena pengelasan dingin.
Mekanisme Pemaduan Mekanik Mekanisme pemaduan mekanik adalah pengelasan dingin (cold welding), pematahan (fracturing) dan pengelasan kembali (rewelding) [13-14]. a. Tahapan awal Akibat benturan dari bola giling menyebabkan partikel serbuk mengalami gaya tekan. Gaya tekan yang tinggi maka luas permukaan dari partikel serbuk menjadi besar. Partikel serbuk yang ulet lebih mudah terdeformasi plastik menjadi lapisan flake yang tipis. Jika menggunakan partikel getas–ulet maka deformasi akan lebih kecil, hal itu disebabkan partikel ulet akan mengikat partikel getas.
Gambar 3. Perubahan ukuran serbuk terhadap waktu milling [14].
Uji Kekerasan ( Hardness ) Kekerasan adalah sifat dari bahan yang memungkinkan untuk menahan deformasi plastik, biasanya dengan penetrasi. Defenisi kekerasan juga merupakan perlawanan terhadap lentur, menggaruk, abrasi atau pemotongan [15].
Gambar 2. Mekanisme tumbukan serbuk–bola [14].
b. Tahapan Pertengahan Proses pengelasan dingin lebih dominan terjadi daripada proses penghancuran. Proses penghancuran dan pengelasan dingin yang terjadi pada tahapan ini menghasilkan lamellar yang terorientasi secara acak. Deformasi plastik yang besar akan menghasilkan struktur yang berlapis. Struktur yang berlapis ini lebih diperhalus. Ketebalan dari lamellar menjadi berkurang. Komposisi kimia pada tahapan ini masih belum homogen. c. Tahapan akhir Proses penghalusan ukuran partikel menjadi tahap terakhir dari pemaduan mekanik. Pada tahap ini akan terbentuk paduan mekanik.
Gambar 4. Identor uji vickers
D. Abrini / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 45-49
48
Harga kekerasan dinyatakan dengan Hardness Vicker (HV) dengan Hardness (HV)
(1)
200
Di mana, F adalah Beban (kgf), d adalah rata aritmatika dari dua diagonal, d1 dan d2 (mm).
Prinsip Kerja HEM–E3D Dalam proses pemaduan mekanik, HEME3D bekerja dengan cara menghancurkan campuran serbuk melalui mekanisme pembenturan bola–bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya yang berbentuk elips tiga dimensi. Terbentuknya partikel-partikel serbuk berskala nanometer disebabkan pola gerakan elips tiga dimensi dimana frekuensi tumbukan menjadi tinggi. Dalam hal ini, wadah juga ikut berputar hingga 500 rpm.
3. Hasil dan Pembahasan Gambar 5 merupakan grafik kekerasan pada paduan Fe-50%atAl dengan penambahan nikel sebesar 0,5 %. Nilai kekerasan pada paduan ini terlihat meningkat dengan bertambahnya waktu. Milling. Jika kita bandingkan waktu milling 2 jam dengan 10 jam terlihat adaa peningkatan nilai yakni dari 133,76 HV menjadi 161,52 HV. Hal ini menunjukkan ikatan antar atomnya makin kuat sehingga tidak mudah mengalami deformasi plastik. Penurunan kekerasan di waktu milling 5 jam kemungkinan disebabkan paduan mengalami fase penghancuran saat bola bola giling menumbuk paduan.
hardness ( HV)
200 150
Fe50%atAl0,5%atNi
100 50 0
0
5 milling10 Waktu ( jam ) 15
Gambar 5. Kekerasan pada paduan Fe-50%atAl0,5%atNi dengan variasi waktu
100
Fe50%atAl0,2%atNi
50 0 0
10
20
Waktu milling ( jam ) Gambar 6. Kekerasan pada paduan Fe-50%atAl2%atNi dengan variasi waktu
hardness (HV )
HEM – E3D HEM-E3D adalah singkatan dari High Energy Mill – Ellips 3 Dimensions. HEM-E3D merupakan alat penggiling bola yang digunakan untuk melakukan proses pemaduan mekanik berskala kecil dalam laboratorium.
150
200 150
Fe50%atAl0,5%atNi
100 50 0 0
10
20
Fe50%atAl2%atNi
Waktu milling ( jam ) Gambar7. Perbandingan Kekerasan paduan pada Fe50%atAl-0,5%atNi dengan Fe-50%atAl-2%atNi
Gambar 6 merupakan grafik kekerasan pada paduan Fe-50%atAl dengan penambahan nikel sebesar 2 %. Nilai kekerasan pada paduan ini terlihat meningkat selama 5 jam waktu milling. Hal ini kemungkinan disebabkan pada waktu milling 5 jam terjadi proses pengelasan dingin. Pada proses ini paduan mengalami anglomerasi dimana paduan nya satu sama lain sudah homogen. Namun mengalami penurunan kekerasan saat waktu milling makin diperlama yakni sekitar 10 jam. Penurunan ini bisa disebabkan terjadinya penghancuran saat milling sampel. Pada Gambar 7 bisa dilihat bahwa kekerasan paduan Fe-50%atAl lebih tinggi jika penambahan Ni nya makin sedikit. Hal ini bisa kita lihat pada waktu milling 2 jam dengan 10 jam. Saat waktu milling 2 jam, paduan FeAl dengan penambahan 0,5 nikel memiliki nilai kekerasan 133,76 HV, sedangkan untuk penambahan 2 nikel nilai kekerasannya lebih kecil yakni 73,19 HV. Tidak hanya itu pada waktu milling 10 jam, paduan FeAl dengan penambahan 0,5 nikel memiliki nilai kekerasan 161,52 HV, sedangkan untuk penambahan 2 nikel nilai kekerasannya lebih kecil yakni 73,56 HV. Penambahan nikel pada sampel Fe-50%atAl bisa meningkatkan nilai kekerasan dengan waktu milling yang lebih singkat. Hal ini bisa
D. Abrini / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 45-49
ditemukan pada penambahan nikel 2 % atom, dimana nilai kekerasan sudah meningkat tinggi pada waktu milling 5 jam, sementara pada penambahan nikel yg kurang dari itu, justru peningkatan nilai kekerasan baru meningkat setelah milling 10 jam.
[7]
[8]
4. Simpulan Adapun yang bisa penulis simpulkan dari hasil penelitian dan analisa adalah sebagai berikut: 1. Nilai kekerasan paduan Fe-50%atAl makin meningkat dengan bertambahnya waktu milling.Penambahan kadar Nikel pada paduan Fe-50%atAl ini menurunkan sifat kekerasannya. 2. Nilai kekerasan terbesar ada pada paduan Fe-50%atAl dengan penambahan Nikel sebesar 0,5 % yakni 161,53 HV. 3. Untuk meningkatkan sifat kekerasan pada paduan, membutuhkan waktu relatif cepat pada paduan yang kadar Ni lebih banyak.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih penulis ucapkan kepada Staf Jurusan Teknik Mesin Universitas Dharma Andalas yang telah memberikan kontribusi sehingga artikel dapat diselesaikan dengan baik.
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
S C.Deevi, V.K. Sikkat, dan C, T. Liul,“Nickel and iron aluminides: An overview on properties, processing, and applications” ,USA: Metals and Ceramics Division, Oak Ridge National Laboratory, Tennessee 37831, Hal 362, 1995 . B. Sudhangshu, “High temperatur coating”,Elsevier Science & Technology Books . Hal 21, 33.,2007 [2] M. Krasnowski, dan T. Kulik, “Nanocrystalline FeAl intermetallic produced by mechanical alloying followed by hot – pressing consolidation” ,Intermetallics. Hal 201 – 205, 2007. U. Prakash,“Structure properties intermetallics Ordered and the Based on Fe – Al System”, School of Materials, University of Sheffied. Hal 113. 1991 . HongweiShi, Debo Guo, Yifang Ouyang, Structural evalution of mechanic alloyed nanocrystalline FeAl intermetallics. Hal 1. http://www.key-tosteel.com/Articles/Art60.htm. Corrosion of Carbon Steel. INTERNET. Diakses pada 26 Maret 2008 pukul 11.35 WIB .
[14]
[15]
49
S. Gedevanishvili*, S.C. Deevi. “Processing of iron aluminides by pressureless sintering throughFe+Al elemental route”. M. Krosnowski, “Phase transformations during mechanic alloying of Fe-50%Al and subsequent heating of the milling product”, . Journal of Alloysand Compounds . Hal 119-127, 2006 . D. Abrini, “Efek Penambahan Ni terhadap Perubahan Mikrostrktur Campuran Serbuk Fe-Al dengan Metode Pemaduan Mekanik“,university of Indonesia, 2010. E. Kuswantoro, “Proses Pelapisan Pada Baja Karbon dengan Menggunakan Metode Pemaduan Mekanik Serbuk FeAl”,Hal 69, 2008 Suryanarayana ,C., “Mechanical Alloying dan Milling”,. Progress in materials Science, 46 , hal 11 – 15, 22 – 31, 32 – 39,2001. L. Lu dan M.O Lai., “Mechanical Alloying” , Boston : Kluwer Academic Publisher, hal. 1,7,11-20, 69-153, 165169, 155-172. 2008 L. Lu dan M.O Lai., “Mechanical Alloying”, London : Kluwer Academic Publisher, hal: 24,25,26,27,28,4854,75,76,166., 1998. C. Suryanarayana, “Mechanical Alloying and Milling .New York: Marcel Dekker, hal 11,21-26,29. ,2003 http://www.gordonengland.co.uk. Hardness Test, INTERNET.
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Degradasi Sifat Optik Material Perovskite Organolead Halida dengan Timbal Ekstraksi dari Kawat Solder Optical Properties Degradation of Organolead Halide Perovskite with Lead Devired from Solder Wire Putri Pratiwi Department of Mechanical Engineering, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada Kandis Nanggalo, Padang, Indonesia
Received 17 April 2017; Revised 20 April 2017; Accepted 22 April 2017, Published 29 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.50-55 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 P. Pratiwi. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Organolead halide perovskite material was used as the most common light-harvesting active layer in perovskite solar cell. This material is the most promising material in photovoltaic technology due to its fastest-advancing power conversion efficiency (PCE) to date. The PCE has increased up to 22.1 % only six years after it was discovered in 2009. In our last research, we synthesized and fabricated perovskite solar cell using CH 3NH3PbI (3x)Clx material as light-harvesting active layer. We extract lead from solder wire to produce PbCl2 powder. This powder was used as basic substance for organolead halide perovskite material. CH 3NH3 PbI (3-x)Clx solution produced by reacting CH3NH3 with PbCl2 powder in DMF (Anhydrous N,N-Dhymethilformamide) by using solution based method. Based on device performance characterization, we conclude that solder wire is suitable enough for fabricating perovskite solar cell. They have identical characteristic compared to commercial lead. However, both perovskite solar cell using lead from solder wire and commercial lead’s performance are smaller than published solar cell’s efficiency. Therefore, in this study we investigate that degradation affected perovskite material performance, especially physical appearance and absorbance characteristic. Keywords: Organolead halide, perovskite solar cell, lead, solder wire, degradation
1. Pendahuluan Pencarian sumber energi terbarukan adalah salah satu tantangan paling mendesak terbesar abad ke-21. Salah satu sumber energi alternatif yang sangat berpotensi untuk mengatasi permasalah ini adalah energi matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang sangat melimpah dan ramah lingkungan. Pemanfaatan energi matahari ini sudah dimulai sejak dilakukannya sebuah observasi tentang efek fotovoltaik pada tahun 1977 dan dikenal dengan istilah sel fotovoltaik atau sel surya. Pada tahun 2009, Kojima dkk menemukan sebuah material dengan struktur perovskite yang dapat berfungsi sebagai bahan penyerap foton yang efektif serta dapat berfungsi menghantarkan pembawa muatan © 2017 ITP Press. All rights reserved.
untuk diaplikasikan pada sel surya [1] dan dikenal sebagai perovskite based solar cell (PBSC). Dikembangkan dari DSSC [2], PBSC ini dianggap sebagai “the Next Big Thing” dalam fotovoltaik [3]. Sejak awal ditemukan PBSC berkembang sangat pesat. Pada Agustus 2014, dilaporkan bahwa PCE sebesar 19,3% telah dicapai [4] dan telah meningkat menjadi 22,1% pada awal tahun 2016 [5]. PBSC dengan efisiensi tinggi ini menggunakan gabungan material organik dan inorganik (organometal halide perovskite material) dengan biaya fabrikasi yang relatif rendah. Rumus kimia umum dari senyawa berstruktur perovskite adalah AMX3, dimana A dan M adalah kation dengan ukuran yang sangat berbeda, dan X adalah anion yang berikatan pada
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
kedua kation tersebut. Biasanya dikenal dua jenis senyawa perovskite yaitu perovskite oksida dan perovskite halida. Sementara, perovskite halida dapat digolongkan menjadi perovskite alkali-halida dan perovskite organometal halida. Perovskite organometal halida terdiri kation A dari material organik dan menggunakan metal M dari golongan 4A (Ge2+, Sn2+, Pb2+, dan Cu2+). Material ini sangat menarik perhatian para peneliti karena memiliki sifat elektronik yang sangat baik dan berpotensi untuk difabrikasi menggunakan temperatur yang rendah. Selain itu, bandgap material perovskite ini dapat diatur dengan penggantian kation dan anion penyusun material ini seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Perovskite organometal halida ini termasuk material yang relatif baru tetapi material sudah dipelajari secara intensif [6-7]. Perovskite organolead halida CH3NH3PbI3-xClx adalah lapisan penyerap cahaya yang digunakan pada penelitian ini. Bahan metal yang digunakan adalah timbal (Pb). Pada umumnya timbal berasal dari bijih timbal (galena). Proses ekstraksinya membutuhkan suhu yang sangat tinggi dan berpotensi menghasilkan uap yang berbahaya sebagai produk sampingannya [8], sehingga bahan baku timbal yang biasa digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan material perovskite ini relatif sulit
51
untuk didapatkan, terutama di Indonesia. Salah satu sumber timbal alternatif dapat ditemukan pada kawat solder. Solder dengan paduan timah dan timbal ini sangat mudah dijumpai dipasaran, termasuk pasaran di Indonesia. Sekitar 95% solder yang terdapat dipasaran merupakan paduan timah dan timbal. Selain itu, material ini memiliki harga yang relatif murah [9].Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan sistesis dan fabrikasi sel surya perovskite menggunakan material CH3NH3PbI(3-x)Clx sebagai material fotoaktif. Pada penelitian tersebut, juga telah dilakukan pengujian performa sel surya dan hasil yang didapatkan dibandingkan dengan sel surya perovskite komersil (menggunakan PbCl 2 komersil), sehingga dapat disimpulkan bahwa prekursor PbCl2 yang diekstraksi dari kawat solder dapat diaplikasikan pada sel surya perovskite. Namun, dari hasil uji performa tersebut diketahui bahwa nilai efisiensi sel surya perovskite berbasis timbal dari kawat solder dan sel surya perovskite komersil masih sangat kecil. Untuk itu, pada penelitian ini akan dikaji aspek yang mungkin dapat mempengaruhi kecilnya performa sel surya perovskite tersebut. Pada penelitian ini juga akan dilihat perubahan absorbansi dari material organolead halida setelah mengalami degradasi dan menganalisa secara fisis apa yang terjadi saat material tersebut.
Gambar 1. Berbagai variasi kation dan anion pada material perovskite organometal halida [7].
2. Metode Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan Material dasar yang digunakan dalam sintesis material perovskite berbasis timbal dari kawat solder ini adalah Hydroiodic acid (HI) 57%wt
dalam air, methylamine (MA) 33%wt dalam ethanol, lead (II) chloride (PbCl2), anhydrous N,N-Dhymethilformamide (DMF) dibeli dari Sigma Aldrich Singapura, subtrat kaca, copper (II) sulfate pentahydrate (CuSO4.5H2O), nitric acid (HNO3) dari Merck Indonesia, natrium klorida (NaCl) dari Bratachem Indonesia, dan
52
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
kawat solder Merek Paragon dengan perbandingan timah dan timbal sebanyak 60/40. Sementara itu, peralatan yang digunakan dalam sintesis material perovskite ini adalah magnetic stirrer, gelas beaker, gelas ukur, ultrasonic bath, spatula, pipet, oven pemanas, kertas saring, cawan petri, dan spin coater. Sintesis Material Methylamine iodide atau MAI (CH3NH3 I) digunakan sebagai prekursor untuk mensintesis perovskite CH3NH3PbI(3-x)Clx. MAI diperoleh dengan mereaksikan sebanyak 5 mL larutan hydroiodic acid (HI) dengan 12 mL larutan methylamine dan diaduk selama 1 jam pada suhu ruang. Setelah itu, larutan tersebut dikeringkan dengan oven bertemperatur 100oC selama 12 jam dan akan terbentuk serbuk awal MAI. Sebelum digunakan, serbuk awal MAI ini direkristalisasi dengan menggunakan ethanol sebanyak 20 mL dan kemudian dikeringkan kembali pada oven 60oC selama 24 jam [10]. Sintesis PbCl2 dengan timbal ekstraksi dari kawat solder Kawat solder dibesihkan dengan aceton untuk menghilangkan polimer yang tidak diinginkan, kemudian dilarutkan dalam HNO3 (2 M) pada suhu ruang. Dari reaksi tersebut dihasilkan endapan SnO2 dan larutan Pb(NO3)2
yang selanjutnya dipisahkan menggunakan alat sentrifugal dan penyaringan (filtrasi). Pb(NO3)2 yang berbentuk larutan selanjutnya direaksikan dengan NaCl (2 M) untuk mendapatkan PbCl 2. NaNO3 sebagai produk sampingannya dipisahkan dengan cara mencuci hasil reaksi tersebut menggunakan ethanol 95% sebanyak tiga kali,kemudian dikeringkan pada suhu 85°C selama 12 jam untuk mengasilkan bubuk PbCl2. Sintesis Material Perovskite Larutan perovskite CH3NH3PbI(3x)Clxdidapatkan dengan mencampurkan MAI dan PbCl2, sementara larutan perovskite CH3NH3PbI3 didapatkan dengan mencampurkan MAI dan PbI2 dengan DMF sebagai pelarut dan dilakukan pada suhu ruang. Komposisi MAI, PbCl2, dan DMF yang digunakansesuai dengan yang dilaporkan oleh Snaith dkk [10], untuk mendapatkan larutan perovskite CH3NH3PbI(3x)Clx dengan perbandingan molar ratio antara MAI dan PbCl2 sebesar 3 : 1 dengan konsentrasi MAI dan PbCl2 pada DMF masing-masing 2,64 M dan 0,88 M. Untuk menghasilkan lapisan tipis perovskite, larutan perovskite dideposisi diatas substrat dengan menggunakan teknik spin coating dengan kecepatan 1500 rpm selama 60 detik dan dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur 100°C selama 45 menit.
Gambar 2. Bagan alat karakterisasi UV-Vis
Karakterisasi Material dan Divais Karakterisasi UV-VIS (Ocean Optik HR2000CG-UV-NIR) digunakan untuk mengetahui karakteristik optik yaitu absorbansi dari lapisan material perovskite yang dideposisi.
Karakterisasi sifat optik dilakukan dengan melewatkan sumber cahaya polikromatis (deuterium halogen DH-2000-BAL) pada lapisan yang akan dikarakterisasi, cahaya dengan panjang gelombang terentu akan diserap
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
dan sisanya akan ditransmisikan dan diolah oleh spektrometerHR2000CG-UV-NIR. Spektrometer ini kemudian akan terhubung dengan komputer yang dilengkapi dengan software spectrasuite yang berfungsi untuk mengekstrak data agar dapat diolah lebih lanjut. Bagan alat karakterisasi UV-VIS dapat dilihat pada Gambar 2. Pada penelitian ini dilakukan dua kali karakterisasi UV-VIS yaitu karakterisasis sesaat setelah material disintesis dan karakterisasi setelah material perovskite mengalami degradasi. Hal ini bertujuan untuk melihat perubahan sifat optik pada material perovskite tersebut setelah mengalami degradasi dan dapat dianalisis akibat yang ditimbulkan dari perubahan sifat optik material ini.
53
sangat higroskopik. Pada saat lapisan perovskite kontak dengan udara dengan kelembaban yang tinggi, H2O yang terdapat di udara tersebut membentuk ikatan yang kuat dengan –NH3 [12]. Terbentuknya ikatan ini dapat menghalangi terjadinya ikatan antara bagian organik (CH3NH3) dan inorganik (PbI6) pada material perovskite. Sehingga struktur perovskite 3D (cubic octahedral) yang diharapkan tidak terbentuk. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa lapisan perovskite yang disintesis mengalami degradasi setelah disimpan pada kondisi ambien pada kelembaman relatif (RH) diatas 60% selama 4 hari seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
3. Hasil dan Pembahasan Keberhasilan penggunaaan timbal ekstraksi dari kawat solder sebagai sumber metal pada organometal halida CH3NH3PbI3-xClx yang digunakan sebagai material aktif sel surya perovskite telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya [11]. Pada penelitian tersebut diketahui tampilan serbuk PbCl2 yang terbentuk serupa dengan PbCl2 komersil dan puncakpuncak yang terbentuk pada pola XRD juga telah sesuai dengan referensi JCPDS#26-1150. Pada penelitian tersebut juga dilaporkan keterbentukan dari larutan perovskite yang selanjutnya digunakan dalam fabrikasi sel surya perovskite. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa timbal ekstraksi dari kawat solder dapat digunakan untuk mensintesis material perovskite yang selanjutnya akan digunakan sebagai material penyerap cahaya pada sel surya perovskite. Namun, dari informasi terdapat pada penelitian tersebut diketahui bahwa performasi sel surya perovskite yang dihasilkan masih sangat kecil. Permasalahan stabilitas material perovskite diperkirakan sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi performansi dari sel surya ini. Material perovskite organik-inorganik sangat dipengaruhi oleh kelembaban. Menurut Zhou dkk, proses sintesis dan fabrikasi perovskite harus berada pada kondisi kelembaban yang rendah (relative humidity (RH)≤ 30%) untuk menghasilkan perovskite dengan struktur dan kemampuan menghantarkan muatan yang baik. Dengan menjaga kelembaban pada RH ≤ 30%, Zhou berhasil menghasilkan divais sel surya dengan efisiensi mencapai 19,3%[4]. Pada kelembaban yang tinggi, material perovskite CH3NH3PbI(3-x)Clx sangat mudah terdegradasi karena bagian organik yang terdapat pada material ini (CH3NH3) bersifat
Gambar 3. (a) Foto lapisan tipis perovskite dengan sumber timbal komersial sebelum (hitam) dan setelah degradasi (kuning), (b) foto lapisan tipis perovskite dengan sumber timbal kawat solder sebelum (hitam) dan setelah degradasi (kuning).
Pada Gambar 3 diketahui bahwa sesaat setelah lapisan perovskite terbentuk lapisan berwarna gelap dan berubah warna menjadi kuning setelah mengalami degradasi. Selain mengalami perubahan warna, lapisan perovskite juga mengalami penurunan kemampuan absorbsi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Sebelum terjadi degradasi lapisan tipis perovskite berwarna hitam dan memiliki kemampuan absorbsi yang sangat baik sampai rentang panjang gelombang sekitar 800 nm. Namun, saat lapisan tipis perovskite ini mengalami degradasi warnanya berubah menjadi kuning dan lapisan ini diketahui mengalami penurunan kemampuan absorbsi, dimana yang awalnya mampu menyerap hingga sekitar 800 nm, saat lapisan mengalami degradasi terjadi penurunan kemampuan absorsi di sekitar panjang gelombang 500 nm.
54
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
Penurunan kemampuan absorbsi ini tentunya kan memperkecil performa dari sel surya yang difabrikasi, karena material ini akan digunakan sebagai material penyerap cahaya, semakin lebar rentang spektrum yang diserap oleh material tersebut maka semakin baik performa sel surya yang akan dihasilkan. Saat lapisan mengalami degradasi terjadi penurunan kemampuan absorsi di sekitar panjang gelombang 500 nm dan dari literatur diketahui bahwa rentang ini merupakan kemampuan penyerapan lapisan PbI2 [12, 13]. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat terjadi degradasi pada lapisan perovskite, terjadi kerusakan ikatan antara bagian organik dan inorganiknya. Perubahan kemampuan absorbsi lapisan perovskite sebelum dan setelah degradasi dapat dilihat pada referensi [13]. 2
500 nm, dan dari literatur diketahui bahwa rentang ini merupakan kemampuan penyerapan lapisan PbI2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat terjadi degradasi pada lapisan perovskite, terjadi kerusakan ikatan antara bagian organik dan inorganiknya, dan setelah mengalami degradasi material tidak layak lagi digunakan sebagai material penyerap cahaya pada sel surya.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih untuk dukungan biaya yang digunakan dalam penelitian ini yang didanai oleh insentif riset SINAS dari Kementrian Riset dan Dikti Tahun Anggaran 2015. Serta kepada bapak Ferry Iskandar yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama melakukan penelitian ini.
Referensi
d)
[1]
1
Intensitas (a.u)
2
c)
1
[2] b)
2 1
a)
[3]
2 1 400
500
600
700
800
900
1000
[4]
Panjang Gelombang (nm) Gambar 4. Spektrum UV-Vis dari lapisan tipis perovskite CH3NH3PbI3-xClx dengan sumber timbal kawat solder a) sebelum degradasi, b) setelah degradasi, dengan sumber timbal komersil c) sebelum degradasi, d) setelah degradasi.
[5]
4. Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadi perubahan bentuk fisik (warna) dan kemampuan absorbsi dari material perovskite setelah mengalami degradasi. Sebelum terjadi degradasi lapisan tipis perovskite berwarna hitam dan memiliki kemampuan absorbsi yang sangat baik sampai rentang panjang gelombang sekitar 800 nm. Namun, saat lapisan tipis perovskite ini mengalami degradasi warnanya berubah menjadi kuning dan lapisan ini diketahui mengalami penurunan kemampuan absorbsi, yaitu hanya mampu menyerap sampai rentang
[6]
[7]
A. Kojima, K. Teshima, Y. Shirai, and T. Miyasaka, “Organometal halide perovskites as visible-light sensitizers for photovoltaic cells,” Journal of the American Chemical Society, vol. 131, no. 17, pp. 6050-6051, 2009. P. Docampo, S. Guldin, T. Leijtens, N. K. Noel, U. Steiner, and H. J. Snaith, “Lessons learned: from dye‐sensitized solar cells to all‐solid‐state hybrid devices,” Advanced Materials, vol. 26, no. 24, pp. 4013-4030, 2014. P. V. Kamat, “Quantum dot solar cells. The next big thing in photovoltaics,” The Journal of Physical Chemistry Letters, vol. 4, no. 6, pp. 908-918, 2013. H. Zhou, Q. Chen, G. Li, S. Luo, T.-b. Song, H.-S. Duan, Z. Hong, J. You, Y. Liu, and Y. Yang, “Interface engineering of highly efficient perovskite solar cells,” Science, vol. 345, no. 6196, pp. 542-546, 2014. http://www.nrel.gov/pv/assets/images /efficiency_chart.jpg. diakses 25 Oktober 2016. P. Gao, M. Grätzel, and M. K. Nazeeruddin, “Organohalide lead perovskites for photovoltaic applications,” Energy & Environmental Science, vol. 7, no. 8, pp. 2448-2463, 2014. F. Hao, C. C. Stoumpos, R. P. Chang, and M. G. Kanatzidis, “Anomalous band gap behavior in mixed Sn and Pb perovskites enables broadening of absorption spectrum in solar cells,” Journal of the American Chemical Society, vol. 136, no. 22, pp. 8094-8099, 2014.
P. Pratiwi/ Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 50-55
[8]
[9] [10]
[11]
[12]
[13]
P.-Y. Chen, J. Qi, M. T. Klug, X. Dang, P. T. Hammond, and A. M. Belcher, “Environmentally responsible fabrication of efficient perovskite solar cells from recycled car batteries,” Energy & Environmental Science, vol. 7, no. 11, pp. 3659-3665, 2014. G. Humpston, and D. M. Jacobson, Principles of soldering: ASM international, 2004. S. D. Stranks, G. E. Eperon, G. Grancini, C. Menelaou, M. J. Alcocer, T. Leijtens, L. M. Herz, A. Petrozza, and H. J. Snaith, “Electron-hole diffusion lengths exceeding 1 micrometer in an organometal trihalide perovskite absorber,” Science, vol. 342, no. 6156, pp. 341-344, 2013. D. Addini M. M, P. Pratiwi, E. Medina D. S, F. A. Permatasari, A. H. Aimon, F.Iskandar, "Studi Awal Fabrikasi Sel Surya Perovskite Berbasis Pb dari Ekstraksi Kawat Solder." J. A. Christians, P. A. Miranda Herrera, and P. V. Kamat, “Transformation of the Excited State and Photovoltaic Efficiency of CH3NH3PbI3 Perovskite upon Controlled Exposure to Humidified Air,” Journal of the American Chemical Society, 2015. H.-S. Ko, J.-W. Lee, and N.-G. Park, “15.76% efficiency perovskite solar cells prepared under high relative humidity: importance of PbI2 morphology in twostep deposition of CH3 NH3PbI3,” Journal of Materials Chemistry A, vol. 3, no. 16, pp. 8808-8815, 2015.
55
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. 7, No. 1, April 2017
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Pengaruh Ukuran Partikel Bio-briket TKKS terhadap Nilai Kalor Effect of Particles Size on EFB Bio-briquettes of CalorificValue Nofriady Handra1,*, Anwar Kasim2, Gunawarman3, Santosa2 1
Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Padang Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas 3 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Andalas 2
Received 24 April 2017; Revised 27 April 2017; Accepted 29 April 2017, Published 30 April 2017 http://dx.doi.10.21063/JTM.2017.V7.56-62 Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 2017 N. Handra. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract The development of biomass has been assumed as an important issue in the past several decades and would remain to be attractive in the future due to its clean, renewable, and carbon–neutral properties. Biomass is one of the most important renewable energy resources in the world. In recent decades, the utilization of biomass has dramatically increased. The objective of this research was to knowing effect of particles size on EFB biobriquettes of calorific value. There were many reasons. First, biomass is a renewable resource, because of the availability of biomass is unlimited, and its regenerative process runs well. Second, the extraction of biomass energy can be carried out more flexibly. The biomass can be burned directly without high technology. Biomass bio-briquettes are often used as an energy source for cooking purpose and in some industries. The 2% (dry basis) is used as a binder in a mixture with EFB fibre. Samples of solid cylindrical shape Ø 4 cm and 6 cm high and density sample is 0,8 g/cm2. The pressure is used to generate samples specified in the mold volume. The volume of the cylinder is 75,36 cm2. The particle size briquette of 40 mesh average water content of 9,1% was generated while the size of 60 mesh was 9,5%. The particle size of 60 mesh (smooth) yields the highest value between 20 mesh and 40 mesh. The value of ash content generated by 4,35% is higher than the size of 20 mesh (2,88%) and 40 mesh (3,09%). On the particle size of 20 mesh fibers (more roughly), it yields a calorific value of 4237,5 kal /g and is higher than 40 mesh fiber particle size (4102,2 kal/g) and 60 mesh (4066,5 kal/g). The difference in heating value produced by the three did not show any significant difference. Keywords: Bio-briquette, particles size, calorific value, EFB
1. Pendahuluan Kebutuhan energi dalam berbagai sektor di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan laju pertumbuhan populasi dan ekonomi nasional. Pemenuhan kebutuhan energi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber energi seperti bahan bakar minyak, matahari, biomassa, angin, air, dan lain-lain. Selama ini sumber energi yang digunakan di Indonesia masih banyak menggunakan sumber energi yang tidak terbarukan, seperti bahan bakar minyak. Hal ini dapat memicu tingginya subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah apabila harga minyak dunia © 2017 ITP Press. All rights reserved.
mengalami lonjakan harga seperti pada saat ini yang hampir mencapai 100 US$/barrel. Menurut data dari British Petroleum Indonesia akan mengalami krisis minyak bumi pada tahun 2024 jika tidak ditemukan cadangan minyak bumi yang baru dalam jumlah besar. Dari data tersebut diperlukan energi alternatif yang bersifat renewable untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi. Biomassa limbah padat industri kelapa sawit merupakan salah satu energi alternatif yang bersifat renewable yang belum banyak termanfaatkan di Indonesia. Limbah padat industri Kelapa sawit dapat dijadikan bahan bakar alternatif berupa briket [1].
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif, terutama sumber-sumber energi terbarukan. Pengalihan sumber energi yang berasal dari bahan bakar minyak ke sumber energi terbarukan diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan kepada minyak bumi, apalagi mengingat potensinya yang cukup melimpah di Indonesia. Salah satu sumber energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan adalah biomassa. Potensi biomassa pada tahun 2004 tercatat setara dengan 49,81 GW, namun kapasitas terpasang hanya 302,4 MW (www.esdm.go.id). Biomassa merupakan hasil fotosintesis tumbuhan beserta hasil turunannya. Pemilihan biomassa sebagai bahan bakar memiliki nilai lebih karena bersifat green energy. Pembakaran biomassa dinilai tidak mengganggu lingkungan karena biomassa dapat ditanam kembali (renewable) dan CO hasil pembakaran akan diserap kembali oleh tanaman (zero emission). Limbah biomassa dapat diperoleh dari hasil sampingan dari suatu industri perkebunan, hasil pertanian, maupun industri yang memanfaatkan bahan baku yang berasal dari hutan. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama selain minyak solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat dibandingkan minyak solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Minyak solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batubara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp 6.200/liter). Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi energi listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi, dimana hal ini menjadi sorotan tersendiri terutama dengan adanya isu global warming [2]. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang diperdagangkan, baik untuk kebutuhan industri dalam negeri maupun ekspor. Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Produk utama pohon
57
kelapa sawit yang dimanfaatkan adalah tandan buahnya yang menghasilkan minyak dari daging buah dan kernel (inti sawit). Setelah dilakukannya proses pengolahan kelapa sawit tersebut, pada akhirnya menyisakan tandan kosong sawit yang umumnya tidak diolah lagi oleh pabrik pengolah minyak kelapa sawit. Sisa tandan kosong ini menimbulkan masalah untuk tempat dan transportasi pembuangannya yang mengakibatkan biaya produksi tambahan bagi pengolah. Di tempat pembuangannya biasanya TKS dibakar, ini juga menimbulkan masalah kerusakan lingkungan yaitu polusi udara dan bau. Limbah biomassa dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar, dikonversi terlebih dahulu menjadi arang atau dikempa terlebih dahulu menjadi briket. Tujuan pengempaan adalah memperoleh kualitas pembakaran yang lebih baik dan kemudahan dalam penggunaan serta penanganannya. Optimasi kadar perekat dan limbah biomassa pada pembuatan briket merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan briket. Penambahan kadar perekat pada pembuatan briket akan meningkatkan nilai kalor briket tersebut karena penambahan unsur karbon. Limbah TKS dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Limbah tandan kosong sawit setelah proses perebusan.
Berdasarkan dari beberapa permasalahan pada pembahasan latarbelakang dan melihat potensi pencemaranya terhadap lingkungan maka limbah TKKS harus dikelola secara bijaksana dalam rangka tuntutan penggunaan biomassa energi alternatif yang renewable, teknologi pemanfaatan biomassa dan menghasilkan energi panas yang ramah lingkungan. Pengembangan limbah pertanian untuk dijadikan bahan bakar padat, juga dipicu oleh kondisi pada saat ini, dimana bahan bakar fosil yang selama ini menjadi andalan bagi kalangan rumah tangga ataupun industri telah mengalami kenaikan harga. Untuk bahan bakar
58
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
rumah tangga seperti minyak tanah telah mengalami kenaikan harga hingga 2 kali lipat. Melihat dari kenyataan tersebut, maka limbah sangat berpotensi untuk dijadikan suatu bahan bakar padat yang relatif lebih murah dan diharapkan dapat meminimalkan masalah lingkungan yang selama ditimbulkan dalam penaganan sampah kota itu sendiri dengan karakteristik pembakaran setara dengan batu bara namun lebih bersih yaitu dengan diolah melalui teknologi slow pyrolysis, sehingga untuk mengelaborasikan permasalah tersebut, perlu dipikirkan teknologi yang tepat untuk mengolah potensi yang melimpah di pedesaan, yang selama ini belum diolah secara maksimal, menjadi bahan bakar yang dapat dimanfaatkan oleh petani bahkan jika memungkinkan diekspor keluar negeri. Salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan mengolah limbah-limbah pertanian tersebut menjadi briket, menjadi bahan bakar padat alternatif yang kuat, murah dan memenuhi spesifikasi teknis, yaitu dengan pemberian tekanan pada cetakan.
penumpukan TKKS di area pabrik. Setelah itu, serat dicacah dan disaring untuk mendapatkan 3 (tiga) kehalusan dengan menggunakan saringan Controls Milano Italy dengan ukuran 20 mesh, 40 mesh dan 60 mesh. Timbangan digital jenis KW 0600378 500g x 0,01g digunakan untuk menimbang dan menentukan berat serat sebelum dicetak. Rasio penggunaan air ditentukan sebesar 1:5 sebagai campuran dengan bahan serat agar mempermudahkan proses pencetakan. Sebagai perekat, digunakan tepung ubi kayu sebesar 2%. Nilai kalor heating value (HHV) masing-masing sampel ditentukan dengan menggunakan Oxygen Bomb Calorimeter (OBC) Type Ignition Unit 2901EE.
2. Metodologi A. Material Hasil kajian akan menghasilkan bio-briket dari limbah industri sawit. Limbah sawit diperoleh dari perusahaan PT. Tamora Argo Lestari (TAL) yang terletak di daerah Taluak Kuantan – Propinsi Riau. Limbah yang diperoleh adalah setelah melalui proses pencacahan dengan mesin sehingga didapatkan serat-serat sawit yang berukuran lebih kasar dan masih segar. Langkah proses pembriketan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 3. Penjemuran TKKS setelah proses pencacahan dengan mesin pabrik.
B. Alat dan Bahan Cetakan briket merupakan salah satu pendukung eksperiment. Cetakan briket yang di gunakan dibentuk dengan menentukan klasifikasi cetakan. Proses pengerjaan cetakan ini adalah salah satu bagian ditekan untuk mendapatkan density yang optimal. Gambar 4 adalah dimensi cetakan berbentuk silinder dengan dimensi panjang 10 cm, Ø 4 cm dan panjang briket yang dihasilkan 6 cm. Volume briket ditentukan dengan persamaan : Volume = π r2. t
Gambar 2. Langkah proses pembriketan
Gambar 3 adalah proses penjemuran TKKS di udara terbuka setelah dicacah menggunakan mesin. Penjemuran dilakukan untuk mengurangi kelembaban serat pada saat
Gambar 4. Cetakan briket
(1)
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
Density bio-briket sebagian pada proses teknologi briket menghasilkan bio-briket dengan kerapatan diatas 1000 kg-3, dimana briket akan terbenam dalam air sebagai pengujian kualitas. Secara fisik batas kepadatan tertinggi untuk material lignocellulosic adalah antara 1500 kg-3. Proses tekanan tertinggi (seperti piston mekanis dan penekanan pellet atau screw extruders membuat briket menjadi kompak dari kepadatan antara 1200-1400 kgm-3. Briket menekan piston hydraulic dimana membuat briket menjadi kurang padat, terkadang di bawah 1000 kg-3. Pembuatan briket menjadi padat tidak efektif, karena kemungkinan akan mempengaruhi sifat pembakaran yang dihasilkan [3]. Dalam percobaan di atas, densitas ditentukan dengan persamaan : 𝐵
D/ρ = 𝑉
(2)
Dimana : D/ρ = density (g/cm3), B = Inisial massa briket (g) dan v = volume (cm2 ). Density digunakan dalam persamaan ini sebesar 0,8 g/cm3 dan massa briket (B) adalah 60,29 g untuk masing-masing mesh. Masingmasing sampel diberi persentase bahan perekat sebesar 2% (dry basis) dengan jumlah perekat sebesar 1,2 g. Kemudian untuk bahan serat adalah 60,29 g – 1,2 g = 59,09 g. Gambar 5 adalah dimensi cetakan dan skematik proses pembriketan. Tekanan dalam piston akan mendorong serat dengan volume serat yang telah ditentukan untuk menghasilkan panjang briket maksimum sebesar 6 cm.
Gambar 5. Dimensi cetakan dan skematik proses pembriketan.
3. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 adalah data hasil pengujian sampel bio-briket pada masing-masing ukuran partikel. Pengujian sampel dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali untuk setiap bahan. Variabel data uji yang dihasilkan adalah kadar air, kadar abu dan nilai
59
kalor. Di samping itu, data lain yang diperoleh adalah analisis makrostruktur bahan dengan tujuan untuk melihat struktur permukaan briket seperti terlihat pada Gambar 6. Data uji seperti terlihat pada Tabel 1 untuk penganalisaan data, telah dibuatkan analisisnya dalam bentuk grafik kadar abu dan grafik nilai kalor. Mesh 20
40
60
Tabel 1. Data pengujian bio-briket TKKS Sampel Kadar Air (%) Rata-rata Kadar Abu (%) Nilai Kalor (Kal/gr) 1 9,7 2 9,9 10,1 2,88 4237,48 3 10,8 1 9,2 2 9,1 9,1 3,09 4102,22 3 9,1 1 9,7 2 10,0 9,5 4,35 4066,51 3 8,9
Rata-rata nilai kadar air yang dihasilkan pada masing-masing ukuran partikel briket sedikit lebih tinggi menurut SNI 01-6235-2000 mengenai standar kualitas briket arang dengan bahan baku utamanya kayu yaitu sebesar maksimal 8%. Pada ukuran partikel briket 40 mesh, dihasilkan rata-rata kadar air 9,1% sementara itu pada ukuran 60 mesh sebesar 9,5%. Gambar 6 menunjukkan hasil cetakan biobriket TKKS masing-masing sampel briket 60 mesh, 40 mesh dan 20 mesh. Bio-briket pada ukuran partikel 60 mesh (Gambar 6.a), tidak mengalami perubahan panjang yang signifikan saat sampel dikeluarkan dari cetakan. Pada kondisi ini rata-rata ketiga sampel menghasilkan panjang yang sama. Perubahan atau penambahan panjang briket diakibatkan karena serat mengalami elastisitas saat dikeluarkan dari cetakan, ini sangat berpengaruh terhadap kadar perekat dan ukuran partikel serat TKKS pada setiap bahan [10]. Sementara itu, pada Gambar 6.b dan 6.c, masing-masing sampel telah mengalami perubahan panjang dari panjang awal sampel 6 cm menjadi 6,5 cm. Dalam kajian ini, ukuran partikel serat TKKS pada briket berpengaruh terhadap struktur briket dan nilai kalor yang dihasilkan.
60
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
1
2
3
1
2
3
60 mesh lebih rapat dan padat berbanding pada 20 mesh dan 40 mesh, hal ini memungkinkan menghasilkan nilai kadar abu yang tinggi.
a
a b 1
2
3
c b Gambar 6. Hasil cetakan Bio-briket TKKS masingmasing bahan, a). 60 mesh, b). 40 mesh dan c). 20 mesh.
c Gambar 7. Makrostruktur permukaan sampel bio-briket TKKS masing-masing bahan pada pembesaran 50x. a). 60 mesh, b). 40 mesh dan c). 20 mesh. 6 5 Kadar Abu (%)
Gambar 7 merupakan makrostruktur permukaan bio-briket yang diambil pada pembesaran 50x. Makrostruktur briket ini diambil untuk melihat dan menganalisa struktur permukaan dari masing-masing ukuran partikel serat briket yang digunakan. Gambar 7.a merupakan makrostruktur permukaan bio-briket pada ukuran partikel serat 60 mesh. Terlihat bahwa struktur yang dihasilkan lebih padat dan menghasilkan nilai kalor lebih rendah jika dibandingkan pada mesh 40 dan 20. Di sisi lain, pada Gambar 7.c struktur permukaan briket terlihat lebih kasar dan menghasilkan nilai kalor lebih tinggi sebesar 4237,5 kal/g dari pada sampel a dan b. Gambar 8 adalah Grafik hasil pengujian antara kadar abu (%) vs ukuran partikel bahan. Ukuran partikel pada ukuran 60 mesh (halus) menghasilkan nilai tertinggi diantara ukuran 20 mesh dan 40 mesh. Nilai kadar abu yang dihasilkan sebesar 4,35% berbanding lebih tinggi dari ukuran 20 mesh (2,88%) dan 40 mesh (3,09%). Komposisi dasar serat tandan kosong kelapa sawit dalam analisis proximate analysis dan chemical analysis komposisi unsur, nilai kalor dan analisis kimia bahan serat TKS didapat sebesar 3,92% [4], [8], [9]. Struktur permukaan serat yang dihasilkan pada
4.35
4 3
2.88
3.09
2 1 0 20 mesh
40 mesh
60 mesh
Gambar 8. Grafik hasil pengujian kadar abu (%) vs ukuran partikel (mesh) bahan.
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
Pada Gambar 9, merupakan grafik pengujian antara nilai kalor (cal/g) vs ukuran pertikel (mesh) masing-masing bahan. Pada ukuran partikel serat 20 mesh (lebih kasar), menghasilkan nilai kalor sebesar 4237,5 kal/g dan berbanding lebih tinggi dari pada ukuran partikel serat pada 40 mesh (4102,2 kal/g) dan 60 mesh (4066,5 kal/g). Perbedaan nilai kalor yang dihasilkan ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sementara itu, hal ini berbanding terbalik dengan nilai pada kadar abu yang dihasilkan. Untuk nilai kalor serat TKKS makin besar ukuran partikel serat biobriket, maka nilai kalor briket yang dihasilkan semakin tinggi, analisis ini seperti terlihat pada data grafik Gambar 9. Secara umum, nilai kalor untuk keseluruhan sampel bio-briket TKKS ini masih rendah jika dibandingkan menurut standar SNI 01-6235-2000 mengenai standar kualitas briket arang yaitu minimal 5000 kal/g [7].
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam proses pengujian dan penyelesaian penelitian ini terutama kepada: Lab Teknik Mesin Institut Teknologi Padang, Lab Nutrisi Non Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas dan PT. Tamora Agro Lestari (TAL) Taluk Kuantan – Riau.
Referensi [1]
[2]
4300
4237.48
[3]
4150
4050 4000
20 mesh
40 mesh
4066.51
4100 4102.22
Nilai Kalor (Cal/g)
4250 4200
60 mesh
[4]
Gambar 9. Grafik hasil pengujian nilai kalor (cal/g) vs ukuran pertikel (mesh) bahan.
4. Kesimpulan 1.
2.
Ukuran partikel serat 20 mesh, menghasilkan nilai kalor sebesar 4237,5 kal/g dan berbanding lebih tinggi dari pada ukuran partikel serat pada 40 mesh (4102,2 kal/g) dan 60 mesh (4066,5 kal/g). Perbedaan nilai kalor yang dihasilkan ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Struktur permukaan serat yang dihasilkan pada 60 mesh lebih rapat dan padat jika dibandingkan pada ukuran serat briket 20 mesh dan 40 mesh yang berpengaruh terhadap nilai bakar.
61
[5]
[6]
[7]
A.Kurniawan, Karakteristik pembakaran briket limbah industri kelapa sawit dengan variasi perekat dan temperatur dinding tungku 300°C, 400°C, dan 500°C menggunakan metode Heat Flux Constant (HFC). Jurnal Penelitian. G.O. Young, “Synthetic structure,” in Plastics, 2nd ed., vol. 3, J. Peters, Ed. New York: McGraw-Hill, 1964, pp. 15–64. 2015. E. Prasetyo Budiana et al, Rekayasa heated die screw extruder untuk pembuatan binderless bio-briquette. Simposium Nasional RAPI XIII. ISSN 1412-9612.E. P. Wigner, “Theory of traveling-wave optical laser,” Phys. Rev., Vol. 134, pp. A635–A646, 2014. I. Muzi, Surahma Asti Mulasari, ''The difference in concentration between Briquettes Adhesives Bioarang Empty Fruit Bunch Oil with Coconut Shell Briquette Bioarang against Time Boiling Water,’’ KESMAS, Vol.8, No.1, 2014. Khor, K.O. Lim and Z.A. Zainal. Characterization of Bio-oil : A By product from slow pyrolysis of oil palm empty fruit bunches. American Journal of Applied Science 6(9):1647-1652. 2009. A. B. Nasrin, A. N.Ma, Y.M. Choo, S. Mohamad, M.H. Rohaya, A.Azali and Z. Zainal. Oil palm biomass as potential substitution raw materials for commercial biomass briquettes production. American Journal of Applied Sciences 5 (3): 179-183. 2008. Bemgba Bevan Nyakuma, Anwar Johari and Arshad Ahmad, Analysis of the pyrolytic fuel properties of empty fruit bunch briquettes. Journal of Applied Sciences 12 (24): 2527-2533. 2012. Budiyanto, Pandu. I dan Sari P. N. Kajian penggunaan berbagai jenis biobriket sebagai alternatif pengganti minyak tanah untuk rumah tangga.
62
N. Handra / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): 7(1) (2017) 56-62
Jurnal Agroindustri Vol.1 No.2 pp : 2837. 2010. [8] Hasan Mohd Faizal, A. Latiff, Muhammad Amin. MD. Characteristics of binderless palm biomass briquettes with various particle sizes. Jurnal Teknologi, 77:8 pp: 1-5. 2015. [9] M. Thabuot, T. Pagketanang and K. Panyacharoen, Effect of applied pressure and binder proportion on the fuel properties of holey bio-briquettes, Energy Procedia, 79, pp: 890-895. 2015. [10] A. B. Nasrin, A. N. Ma, Y. M. Choo, M. Basri, W., L. Joseph, Michael, S., Lim, W. S., Mohamad, S., Rohaya, M. H. and Astimar, A. Briquetting of empty fruit bunch fibre and palm shells using piston press technology. MPOB Information Series. Malaysia: Malaysia Palm Oil Board. 2010.
The Author Guideline
JURNAL TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI PADANG http://ejournal.itp.ac.id/index.php/tmesin/ Vol. XX, No. XX, Month 20XX
e-ISSN : 2089-4880 p-ISSN : 2089-4880
Type the Title of Your Article Here Tulis Judul Artikel di Sini First Author 1,*, Second Author 1, 2, Third Author 2 1
First affiliation institution First affiliation address, City, Country 2 Second affiliation institution Second affiliation address, City, Country
Received XX Month 20XX; Revised XX Month 20XX; Accepted XX Month 20XX, Published XX Month 20XX http://dx.doi.10.21063/JTM.20XX.VXX.XX-XX Academic Editor: Asmara Yanto (
[email protected]) *Correspondence should be addressed to
[email protected] Copyright © 20XX Your Name. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License.
Abstract Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Write your abstract here. Abstract should be written in English only. Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia. If manuscript is written in English, then the title of article is written in English only. But, jika artikel ditulis dengan bahasa Indonesia, maka judul artikel ditulis dua kali (judul berbahasa Indonesia dan judul berbahasa Inggris). Keywords: keywords contain three to five words/phrases separated with coma.
1. Introduction This guideline is a template for writing the manuscript for Jurnal Teknik Mesin (JTM) submission and this guideline is available online at the Author Guideline page on JTM official website. Authors are allowed to modify this template for submission purpose.
2. Writing Layout Manuscript can be written in English or berbahasa Indonesia and be submitted online via journal website. Author must login in order to make submission. Online registration will be charged at no cost. A. Word Processing Software Manuscript should be contains at least 2.000 words and should not exceed 20 pages including embedded figures and tables, contain no © 20XX ITP Press. All rights reserved.
appendix, and the file should be in Microsoft Office (.doc/.docx) or Open Office (.odt) format. Article should be in prepared in A4 paper (21cm x 29.7cm) using 3 cm for inside margin and 2 cm for top, bottom, and outside margin. No need to alter page number in this template as the page number will be reordered at preprinting process. B. Writing Format The title and abstract should be in one column while the main text should be in two columns. Title should be less than 20 words, title case, centered, bold, font type Times New Roman (TNR), font size 16, and single spaced. Abstract contains neither pictures nor tables, justified, in 10 TNR, single spaced, and should not exceed 300 words. Keywords should be justified, 10 TNR and single spaced. The main
2
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
text of the writing should be in two columns with 1 cm colom spacing, justified, 11 TNR.
defined at their first mention in the abstract itself.
C. Section Headings Heading should be made in four levels. Level five cannot be accepted. 1) Heading 1 Heading 1: should be written in title case, left aligned, bold, 14 TNR, single spaced, and numbered by number followed by dot. 2) Heading 2 Heading 2: should be written title case, left aligned, bold, 11 TNR, single spaced, Capital numbered followed by dot. 3) Heading 3 Heading 3: should be written title case, left aligned, italic, 11 TNR, single spaced, numbered by number followed by closed bracket. a) Heading 4 Heading 4 is not recommended, however, it could still be accepted with the format of: sentence case, left indent 5 mm, hanging indent 5 mm, italic, 11 TNR, single spaced, numbered by small cap followed by closed bracket. b) Heading 5 Heading 5 cannot be accepted in the manuscript.
C. Keywords The keywords should be avoiding general and plural terms and multiple concepts. Be sparing with abbreviations: only abbreviations firmly established in the field may be eligible. These keywords will be used for indexing purposes.
3. Writing Structure The manuscript should begin with title, abstract, and keyword and the main text should consist of: Introduction, Material and Methods, Results and Discussion, and Conclusion; followed by acknowledgements and References. A. Title The title of the article should be concise and informative. Titles are often used in information-retrieval systems. Avoid abbreviations and formulae where possible. Author names should not contain academic title or rank. Indicate the corresponding author clearly for handling all stages of pre-publication and post-publication. B. Abstract The abstract should be concise, factual, and state briefly the purpose of the research, the principal results and major conclusions. An abstract is often presented separately from the article, so it must be able to stand alone. For this reason, References should be avoided. Also, non-standard or uncommon abbreviations should be avoided, but if essential they must be
D. Introduction State the objectives of the work and provide an adequate background, avoiding a detailed literature survey or a summary of the results. Explain how you addressed the problem and clearly state the aims of your study. E. Material and Methods State the objectives of the work and provide an adequate background, avoiding a detailed literature survey or a summary of the results. A Theory section should extend, not repeat, the background to the article already dealt with in the Introduction and lays the foundation for further work. a Calculation section represents a practical development from a theoretical basis. F. Results and Discussion Results should be clear and concise. Discussion should explore the significance of the results of the work, not repeat them. Avoid extensive citations and discussion of published literature. G. Conclusion The main conclusions of the study may be presented in a short Conclusions section, which may stand alone or form a subsection of a Discussion or Results and Discussion section. The conclusion section should lead the reader to important matter of the article. It also can be followed by suggestion or recommendation related to further research. H. Acknowledgements Collate acknowledgements in a separate section at the end of the article before the references and do not, therefore, include them on title page, as a footnote to the title or otherwise. List here those individuals who provided help during the research (e.g., providing language help, or proof reading the article, etc.).
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
I. Construction of References References are recommended using reference management software i.e. Endnote or Mendeley in IEEE style. References should be listed at the end of the article, and numbered in the order of their appearance in the text. Authors should ensure that every reference in the text appears in the list of references and vice versa. The actual authors can be referred to, but the reference number(s) must always be given. Wikipedia, personal blog, or non scientific website is not allowed to be taken into account. Primary references should be at least 80% from at least ten references. References should be taken from the late ten years. There are two types of references i.e. electronics sources and nonelectronics sources. Sample of correct formats for various types of references are as follows: • Book: Author, Title. Edition, editor, City, State or Country: Publisher, year, Pages [1]. • Part of book: Author, “Title”, in Book, edition, and editor, City, State or Country: Publisher, year, Pages [2]. • Periodical: Author, “Title”, Journal, volume (issue), pages, month, year [3-5]. • Proceeding: Author, “Title”, in Proceeding, year, pages [6]. • Unpublished article: Author, “Title”, presented at Conference/ event title, City, State or Country, year [7]. • Paten/Standart: Author, “Title”, patent number, month day, year [8]. • Technical report: Author, “Title”, Company, City, State or Country, Tech. Rep. Number, month, year [9]. Three pieces of information are required to complete each reference from electronics sources: 1) protocol or service; 2) location where the item is to be found; and 3) item to be retrieved. Sample of correct formats for electronics source references are as follows: • Book: Author. (Year, month day). Title. (edition) [Type of medium]. Volume (issue). Available: site/path/file [10]. • Periodical: Author. (Year, month). Title. Journal. [Type of medium]. Volume (issue), pages. Available: site/path/file [11]. • Articles presented at conferences: Author. (Year, month). Title. Presented at Conference title. [Type of Medium]. Available: site/path/file [12]. • Reports and handbooks: Author. (Year, month). Title. Company. City, State or Country. [Type of Medium]. Available: site/path/file [13].
3
J. Figures Figure should be in grayscale, and if it made in color, it should be readable when it later printed in grayscale. Caption should be numbered, in 9 TNR and single spaced. A caption should comprise a brief title (not on the figure itself) and a description of the illustration. Keep text in the illustrations themselves to a minimum but explain all symbols and abbreviations used. The lettering on the artwork should be clearly readable and in a proportional measure and should have a finished, printed size of 7 pt for normal text and no smaller than 6 pt for subscript and superscript characters. Figures should have a brief description in the main body of text. For layouting purpose, please provide the respective high resolution figure (≥300dpi) separately in .tif/.jpg/.jpeg within a particular folder apart from the manuscript. Moreover, kindly avoid mentioning position of figure/table e.g. “figure below” or “table as follow” because the position will be rearranged in layouting process. DO NOT put boxes around your figures to enclose them.
Figure 1. Figure caption
K. Table Number tables consecutively in accordance with their appearance in the text. Place footnotes to tables below the table body and indicate them with superscript lowercase letters. Avoid vertical rules. Be sparing in the use of tables and ensure that the data presented in tables do not duplicate results described elsewhere in the article. Tabel 1. Table Caption Parameter Unit Massa, ms 1 (kg) Reducer, c 1.81(Ns/m) a Stiffness, ks 22,739.57(N/m) b a b footnote footnote
First Author / Jurnal Teknik Mesin – ITP (ISSN: 2089–4880): XX(XX) (20XX) XX-XX
4
L. Mathematical Equation Mathematical equation should be clearly written, numbered orderly, and accompanied with any information needed. They should also be separated from the surrounding text. ∞
𝑓 (𝑥) = 𝑎0 + ∑
𝑛=1
(𝑎𝑛 + 𝑏𝑛 sin
𝑛𝜋𝑥 𝐿
[5]
[6]
) (1) [7]
Where 𝑓(𝑥) is notation explanation, 𝑎0 is notation explanation, and so on. M. Header, Footer, and Hyperlink Header and footer including page number must not be used. All hypertext links and section bookmarks will be removed from articles. If you need to refer to an Internet email address or URL in your article, you must type out the address or URL fully in Regular font.
4. Conclusion This author guideline is the first version of writing template for submitting manuscript into JTM. Please do not alter the formatting and style layouts which have been set up in this template document. For inquiries relating to the submission of articles, please visit JTM's homepage.
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Acknowledgements The guidelines for citing electronic information as offered below are a modified illustration of the adaptation by the International Standards Organization (ISO) documentation system and the American Psychological Association (APA) style and finalized in Information for IEEE Transactions, Journals, and Letters Authors.
References [1]
[2]
[3]
[4]
W.-K. Chen, Linear Networks and Systems. 2nd ed., R. M. Osgood, Jr., Ed. Belmont, CA: Wadsworth, 1993, pp. 23– 35. G. O. Young, “Synthetic structure,” in Plastics, 2nd ed., vol. 3, J. Peters, Ed. New York: McGraw-Hill, 1964, pp. 15– 64. J. U. Duncombe, “Infrared navigation— Part I: An assessment of feasibility,” IEEE Trans. Electron Devices, vol. ED11, pp. 34–39, Jan. 1959. E. P. Wigner, “Theory of traveling-wave optical laser,” Phys. Rev., vol. 134, pp. A635–A646, Dec. 1965.
[13]
E. H. Miller, “A note on reflector arrays,” IEEE Trans. Antennas Propagat., to be published. D. B. Payne and J. R. Stern, “Wavelength-switched passively coupled single-mode optical network,” in Proc. IOOC-ECOC, 1985, pp. 585–590 D. Ebehard and E. Voges, “Digital single sideband detection for interferometric sensors,” presented at the 2nd Int. Conf. Optical Fiber Sensors, Stuttgart, Germany, 1984 G. Brandli and M. Dick, “Alternating current fed power supply,” U.S. Patent 4 084 217, Nov. 4, 1978. E. E. Reber, R. L. Mitchell, and C. J. Carter, “Oxygen absorption,” Aerospace Corp., Los Angeles, CA, Tech. Rep. TR0200 (4230-46)-3, Nov. 1968 J. Jones. (1991, May 10). Networks Architechture. (2nd Ed.) [Online]. Available: http://www.atm.com/ R. J. Vidmar. (1992, Aug.). On the use of atmospheric plasmas. IEEE Trans Plasma Sci. [Online]. 21(3), pp. 876–880. Available: http://www.halcyon.com/pub/jos/ PROCESS Corp., MA. Intranets: Internet technologies deployed. Presented at INET96 Annu. Meeting. [Online]. Available: http://home.process.com/wp2.htp S. L. Talleen. (1996, Apr.). The Intranet Architecture. Amdahl Corp., CA. [Online]. Available: http://amdahl.com/ infra/