Inform Consent
Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L
1
PENDAHULUAN
Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik profesi, serta undangundang yang berlaku baik disengaja maupun akibat kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum, jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan malpraktek. Definisi malpraktek medis “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956) Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan risiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
2
PEMBAHASAN
I. Kronologis Kasus 24 hari sudah Nina Dwi Jayanti, 15 tahun, putri pasangan Gunawan dan Suheni warga Jalan Perum Pucung Baru Blok D2 No.6 Kecamatan Kota Baru, Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Menurut cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM, Nina masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2009 lalu karena mengeluh tak bisa buang air besar. Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendiks atau usus buntu. Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan. Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10 jahitan lebih. Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya. II.
Analisa Kasus Hubungan pasien, dokter & rumah sakit (RS), selain berbentuk sebagai hubungan medik, juga berbentuk sebagai hubungan hukum HAK PASIEN menurut UU No. 23 Th 1992 tentang Kesehatan pasal 53 (2) 1. Hak atas informasi 2. Hak memberikan persetujuan
3
3. Hak atas rahasia kedokteran 4. Hak atas pendapat ke 2 ( second opinion) HAK PASIEN menurut UU Pradoks pasal 52 1. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis 2. Meminta pendapat dokter/dokter gigi lain 3. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis 4. Mendapat isi rekam medis Pada kasus ini termasuk kasus pelanggaran kode etik kedokteran karena kurangnya pemberian informasi dan penjelasan dari dokter kepada pasien sehingga menimbulkan kerugian terhadap pasien. Sebagai seorang dokter harus membina hubungan yang baik dengan pasien secara 2 arah dan tidak bersifat paternalistik. Pasien berhak tahu semua tindakan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya. III. Aspek Pidana dan Perdata Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang 4
dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (alpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Undang-undang yang terkait dalam kasus ini:
Pasal 2 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989 ayat 3 yang berbunyi : “Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya”
Pasal 4 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989 yang berbunyi : Ayat (1) “Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta ataupun tidak”
Ayat (2) “ Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi”
Pasal 5 Permenkes no. 585/menkes/per/IX/1989 yang berbunyi : Ayat (1): “Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik”
Pasal 359 KUHP : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”
Pasal 361 KUHP : “Jika kejahatan yang di terangkan dalam bab ini dilakukan dalam mejalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat 5
cabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusan di umumkan”
Pasal 1365 KUH Perdata : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantinya”
Pasal 1366 KUH Perdata : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatanperbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hatihatiannya”
Undang-undang Praktek Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 : Pasal 45 (1) “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan” (2) “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap” (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan c. Alternatif tindakan lain dari risikonya d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (4) “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan” (5) “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan” (6) “Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri”
6
Pasal 51 (a) “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien” Pasal 52 (a) “Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)”
Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit : Pasal 13 ayat (3) “Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien” Pasal 29 ayat (1) “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien” Pasal 46 ”Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”
Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 : Pasal 4 “Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya“
7
Pasal 7 “Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
Pasal 62 “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlak”
8
KESIMPULAN Dari kasus pelanggaran terhadap undang-undang di atas dapat ditarik kesimpulan seharusnya dokter terlebih dahulu melakukan informed consent pada pasien dan keluarga pasien sebelum melakukan tindakan. Penjelasan pada proses informed consent setidaknya harus meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosisnya. Persetujuan pasien atau oleh yang berhak menyetujuinya dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, namun demikian disebutkan bahwa tindakan yang memiliki risiko tinggi membutuhkan persetujuan tertulis Pada bagian tersebut undang-undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, alternatif, risiko, komplikasi dan prognosisnya, hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis, serta hak mendapatkan isi rekam medis.
9