INFERIORITAS PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN KAJIAN HERMENEUTIKA DAN KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA Didi Suhendi1
Abstrak. Dalam pemaknaan teks sastra, hermeneutika menduduki peranan yang signifikan. Sebagai ilmu interpretasi, hermeneutika berusaha menangkap makna-makna, mengelaborasi pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra. Akan tetapi, validitas interpretasi terhadap teks sastra bersifat relatif karena sebuah interpretasi sesungguhnya merupakan reinterpretasi. Pembaca yang juga sekaligus penafsir memahami teks dari pusat pandangan dan sejarahnya sendiri. Dengan kalimat lain, pemahaman pembaca dibatasi oleh horison sosial dan budayanya sendiri. Dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca, interpretasi teks selalu merupakan horizontverschnelzung 'pembauran cakrawala', perpaduan antara cakrawala masa lampau (saat teks itu tercipta) dan cakrawala masa kini pembaca. Meskipun demikian, proses interpretasi harus tetap berpijak pada makna verbal dan konteks. Sebagai arena “pertarungan kekuasaan”, teks sastra memuat interes-interes, tendensi-tendensi, dan kepentingan-kepentingan politis tertentu tentang relasi lakilaki dan perempuan. Kaum feminis melihat bahwa sastra merupakan sarana efektif bagi sosialisasi ideologi patriarkis, dan pemaknaan karya sastra oleh pembaca, selama kurun waktu yang panjang, dilakukan dengan perspektif laki-laki. Oleh karena itu, model reading as woman ‘membaca sebagai perempuan’ diperlukan untuk mendekonstruksi pembacaan androsentris tentang relasi laki-laki dan perempuan, terutama dalam perkawinan. Dalam novel pertama Indonesia, status perempuan dalam perkawinan bersifat inferior. Fungsi dan peran mereka semata-mata diarahkan untuk berbakti dan melayani kepentingan suami. Kata Kunci: hermeneutika, pembauran cakrawala, ideologi patriarki, reading as woman 1. Pendahuluan Dalam pemaknaan teks sastra, persoalan interpretasi menduduki peranan yang signifikan. Meskipun bahasa adalah sarana utama karya sastra, bahasa karya sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Dalam hubungannya dengan karya sastra, bahasa 1
Dosen Pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah serta Dosen Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya.
merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics) (Preminger dkk., 1974:981). Arti bahasa disebut arti (meaning), sedangkan arti sastra adalah arti dari arti (meaning of meaning) atau disebut makna (significance). Hal demikian disebabkan oleh fakta bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa figuratif, konotatif yang memungkinkan makna sebuah karya sastra bersifat multi-interpretable. Oleh karena itu, pemahaman terhadap keduanya membutuhkan pendekatan baru, yang berbeda dengan objek atau disiplin lain. Wilhelm Dilthey (Triatmoko, 1990:29) membedakan dua bidang ilmu pengetahuan, yaitu naturwissenschaften (ilmu alam) dan geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan). Bagi Dilthey, dua disiplin ini menuntut pendekatan dan metode yang berbeda karena keduanya memiliki objek kajian yang juga berbeda. Perbedaan dua disiplin tersebut terletak pada objek dan posisi subjek-objek. Berbeda dengan objek ilmu alam yang relatif pasti, objek ilmu kemanusiaan adalah manusia berikut kompleksitas jaringan pikiran, kehendak, dan tindakan sehingga posisi subjek-objek berada dalam situasi yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ilmu alam memerlukan metode erklaren 'penjelasan atau eksplanasi', sedangkan ilmu kemanusiaan, yang memuat dinamika psikologi manusia, tidak bisa ditundukkan ke dalam norma-norma kausalitas-mekanistik, seperti dalam pola-pola kuantitatif (Poespoprodjo, 1987:48—49). Ilmu ini memerlukan metode verstehen 'pemahaman' dan interpretasi (hermeneutika). Menurut
Dilthey
(Triatmoko,
1990:29—30),
erklaren
adalah
sikap
positivistik-naturalistik yang dituntut ilmu-ilmu pengetahuan alam untuk menentukan kadar ilmiah, validitas ilmiah ilmu tersebut. Sikap itu melahirkan metode yang bersifat matematis dan eksperimental-empiristik. Sebaliknya, verstehen adalah kegiatan memecahkan makna tanda-tanda ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau hasil kegiatan jiwa. Ia adalah proses yang kehidupan mentalnya diketahui melalui ekspresinya yang ditangkap oleh pancaindra. Meskipun demikian, ekspresi itu lebih dari sekadar kenyataan fisik karena dihasilkan oleh kegiatan jiwa
(Poespoprodjo, 1987:56). Dengan kata lain, verstehen berarti menghidupkan kembali, mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diri pembaca atau peneliti (Anskersmit, 1987:162). Verstehen adalah pemahaman subjektif yang dipakai sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid tentang makna-makna subjektif tindakan sosial. Yang dituntut dalam metode itu adalah empati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya dijelaskan serta situasi dan tujuan-tujuannya dilihat dari perspektif itu. Dalam deskripsi Dilthey (Triatmoko, 1990:30), verstehen adalah kemampuan peneliti atau pembaca untuk memasuki mental orang lain atas dasar tanda-tanda yang diberikan oleh pengarang. Tanda-tanda itu bisa berupa ucapan, tulisan, monumen-monumen, atau secara umum mencakup semua hasil kebudayaan yang diwariskan manusia. Untuk menggunakan metode verstehen, menurut Dilthey (Bertens, 1981:90), diperlukan tiga persyaratan. Pertama, peneliti atau pembaca harus membiasakan diri pada proses-proses psikis yang memungkinkan suatu makna. Kedua, peneliti atau pembaca memiliki pengetahuan tentang konteks. Ketiga, peneliti atau pembaca memiliki pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural, yang menentukan fenomena yang sedang dipelajari. Dengan kata lain, menginterpretasi suatu makna teks dengan menggunakan metode verstehen selalu harus dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks. Oleh karena itu, sebagai sebuah metode penelitian, kehadiran hermeneutika dipandang signifikan. Tulisan ini menguraikan secara singkat maksud dan hakikat hermeneutika serta proses interpretasi terhadap teks (karya sastra). Dalam bagian ini dikemukakan pandangan Hans Georg Gadamer, Hirsch, Paul Ricouer, Amina Wadud Muhsin, dan Abu Zayd tentang hakikat dan proses interpretasi. Selanjutnya, teori hermeneutika itu diaplikasikan untuk menginterpretasi relasi perkawinan laki-laki dan perempuan dalam novel Azab dan Sengsara dengan perspektif kritik sastra feminis (reading as woman). Interpretasi ini dimaksudkan untuk menunjukkan paradigma baru dalam
pemaknaan karya sastra sekaligus mengetahui isu-isu perempuan dalam novel itu yang dipandang sebagai tonggak lahirnya kesusasteraan Indonesia.
2. Hermeneutika Kata hermeneutika (dalam bahasa Inggris hermeneutics) berasal dari verba Yunani hermeneuin yang berarti (1) mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, (2) menerjemahkan, atau (3) bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian tersebut menyatakan maksud senada bahwa hermeneutika merupakan upaya untuk mengalihkan teks dari sesuatu yang "relatif gelap" ke sesuatu yang "lebih terang". Dalam mitologi Yunani, kata hermeneuin dihubungkan dengan tokoh Hermes, seorang utusan atau pembawa pesan dari para dewa yang bertugas menafsirkan kehendak Dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Ia memiliki peran mengubah apa yang berada di luar pengertian manusia ke bentuk yang dapat dipahami (Triatmoko, 1990:28; Hardiman, 1991:3). Dari mitologi itu, pengertian hermeneutika dapat dijelaskan, yaitu menginterpretasikan kehendak Tuhan seperti terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Kini, hermeneutika mendapatkan maknanya yang lebih luas. Wolff (1991:188; lihat juga Bleicher, 1980:1) mendefinisikan hermeneutika sebagai studi pemahaman atau teori tentang filsafat interpretasi makna. Dalam kajian sastra, hermeneutika adalah ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas maksudnya (Teeuw, 1984:123). Pada mulanya, hermeneutika digunakan oleh para teolog Kristen dalam menginterpretasi Bibel. Kerangka pemikiran penggunaan ilmu itu didasari oleh sebuah persoalan bagaimana manusia sekarang dapat memahami, menginterpretasi makna Bibel yang ditulis pada masa lampau. Dapatkah manusia sekarang memahami makna yang dihayati orang lain, menginterpretasi alam pikiran dan perilaku orang dari periode sejarah yang berbeda? Dapatkah orang menafsirkan teks yang memiliki perbedaan "jarak waktu" dan perbedaan "jarak budaya" dengan pembacanya? Persoalan ini telah disingkap oleh sebagian pakar hermeneutika.
Seorang pemikir hermeneutika, Hans-Georg Gadamer, melihat bahwa proses interpretasi terhadap teks merupakan tugas produktif atau tugas kreatif: membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala pembaca (masa kini) dengan cakrawala pengarang
(Hardiman,
1991:13).
Sesungguhnya,
interpretasi
merupakan
penyingkapan maksud yang lebih dalam, yaitu menjembatani distansi dan perbedaanperbedaan kultural. Interpretasi menghadapkan pembaca kepada teks yang telah menjadi sesuatu yang asing, dan memasukkan maknanya ke dalam pemahaman sekarang (Triatmoko, 1990:29). Gadamer menyatakan bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, memiliki strukturnya sendiri yang lepas dari penulis dan pembacanya. Interpretasi teks seorang pembaca berarti memberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca. Dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca, interpretasi teks selalu merupakan horizontverschnelzung 'pembauran cakrawala', perpaduan antara cakrawala masa lampau (saat teks itu tercipta) dan cakrawala masa kini pembaca (Teeuw, 1984:174). Wolff (1991:189) menyatakan bahwa proses interpretasi selalu merupakan reinterpretasi yang merupakan mediasi masa lalu dan masa kini. Oleh karena itu, dalam setiap penelitian selalu diawali dengan hipotesis dan orientasi awal. Dalam studi hermeneutika, menurut Gadamer, orientasi awal itu lebih kurang identik maknanya dengan prejudice 'praanggapan'. Praanggapan menjadi sesuatu yang penting dalam studi hermeneutika karena suatu interpretasi yang tepat dapat tercapai jika praanggapan-praanggapan
yang diajukan oleh peneliti diarahkan dan
dikembalikan pada teks, atau persoalan pokok yang sedang diinterpretasikan (Wolff, 1991:187—188). Menurut Gadamer, pengertian tentang praanggapan, sebaiknya, dipahami sebagai historical understanding dan cultural understanding (Wolff, 1991:188). Praanggapan itu didapat pembaca dari pemahaman sejarah dan budayanya sendiri. Oleh karena itu, kemampuan pembaca untuk memahami sejarah dan kebudayaannya sendiri, sekaligus menghubungkan makna-makna itu dalam rangkaian yang koheren diperlukan dalam interpretasi. Bagi Gadamer, interpretasi selalu bersifat sirkular.
Pembaca hanya dapat memahami masa lalu dan teks dari pusat pandangan dan sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison harapan pembaca yang hidup pada masa sekarang. Interpretasi tidak akan menghasilkan pemahaman yang menyeluruh karena perhatian pembaca hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan interes-interes kontemporer pembaca. Hasil maksimal interpretasi adalah fusion of horizons, yaitu perpaduan cakrawala masa lalu teks saat diciptakan dengan cakrawala masa kini ketika teks ditafsirkan (Wolff, 1991:189). Dalam bukunya Validity in Interpretation, Hirsch (1979:61—75) meyakini bahwa antara arti teks (karya sastra) dan maksud pengarang terdapat hubungan yang logis. Ia menerima maksud pengarang sebagai kadar tertentu tentang maksud sebuah teks karena jika tidak dimaknai demikian, interpretasi akan menjadi subjektif, dan tidak akan menghasilkan pengetahuan yang murni tentang arti suatu teks. Menurut Hirsch, makna sebuah teks ditentukan oleh maksud pengarang. Hanya maksud pengaranglah yang memberikan "standar pembeda yang benar", yaitu suatu ukuran yang memperkenalkan pembaca, setidaknya secara prinsip, menentukan bahwa interpretasi makna verbal yang mungkin terhadap teks yang disodorkan adalah benar. Makna verbal, bagi Hirsch,
adalah apa saja yang dikehendaki seseorang untuk
disampaikan melalui simbol-simbol kebahasaan tertentu. Bagi Hirsch, tidak ada yang mengharuskan pembaca untuk menjadikan makna yang dimiliki pengarang sebagai gagasan standar. Konsep standar apa saja dalam interpretasi menyatakan suatu pilihan yang dituntut bukan oleh hakikat naskah tertulis tersebut, melainkan oleh sasaran yang dibuat oleh pengarang. Dengan hanya dibatasi oleh prinsip sharability (oleh apa yang dapat disampaikan naskah tersebut), teks apa pun dapat diinterpretasi dengan tepat dalam bermacam-macam cara yang berbeda. Oleh karena itu, interpretasi teks akan menjadi sebuah disiplin ilmu, hanya jika pembaca mampu mendefinisikan makna verbal tersebut. Makna verbal yang berupa segala sesuatu yang disampaikan melalui simbolsimbol merupakan kata kunci pemahaman interpretasi Hirsch. Ricoeur (1974:12)
mendefinisikan simbol sebagai setiap struktur penandaan yang di dalamnya makna langsung (denotatif), harfiah, dan primer ditunjukkan, dan bersamaan dengan itu ditunjukkan pula makna tidak langsung (konotatif), sekunder, dan metaforis yang hanya dapat dipahami berdasarkan makna pertama. Oleh karena itu, Ricoeur (1974:13) mendefinisikan interpretasi sebagai usaha akal budi untuk menguak makna tersembunyi di balik makna langsung yang tampak, atau upaya untuk menyingkap tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiah. Berpijak pada definisi itu, Ricoeur melihat struktur simbol sebagai intensionalitas ganda. Intensionalitas pertama menunjuk pada makna harfiah, sedangkan intensionalitas kedua mengacu pada makna tersembunyi. Intensionalitas ganda itulah yang menimbulkan interpretasi sehingga kebutuhan interpretasi itu muncul dari hakikat dasar simbol itu sendiri. Dengan demikian, hermeneutika menjadi suatu proses analisis, proses penguraian yang memunculkan makna dari keadaannya semula yang tersembunyi.
Interpretasi atas simbol, bagi Ricoeur,
mengandaikan bahwa simbol itu di satu pihak harus dipahami dalam dirinya, tetapi di lain pihak juga harus dimengerti sebagai sesuatu yang mengatasi dirinya. Hal itu dapat terjadi karena simbolisme berakar dalam fungsi simbolik yang umum untuk semua kata-kata, berakar dalam fungsi universal bahasa (Ricoeur, 1974:76). Bagi Ricoeur, teks memiliki struktur imanen yang membutuhkan cara pendekatan struktural. Teks juga memiliki referensi luar yang sering disebutnya sebagai being 'dunia dari teks' yang dibawa ke dalam bahasa oleh teks. Struktur imanen teks itu membuat teks bersifat otonom. Hal itu dimungkinkan oleh apa yang disebut sebagai distance 'proses penjarakan'. Distance menjamin otonomi teks dalam hubungannya dengan pengarangnya, dengan situasi penciptaannya, dan dengan sidang pembaca awalnya. Dengan demikian, distance membantu pelestarian makna teks. Akan tetapi, secara tak terelakkan, dengan berbuat itu, distance pun mencabut teks dari konteks aslinya. Sebagai konsekuensinya, teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi selanjutnya, yang mungkin bertolak belakang dengan maksud pengarangnya (Triatmoko, 1990:39).
Untuk menghindari konsekuensi tersebut, Ricoeur mengaitkan hermeneutika dalam konteks pembacaan dan appropriation 'kepemilikan kembali' makna tersembunyi dari teks-teks yang telah menjadi asing bagi pembaca. Melakukan appropriation, yang merupakan oposisi dari distance, berarti menciptakan sesuatu yang asing menjadi "milik sendiri". Hal itu terjadi melalui pembacaan kembali teks sehingga membuka cakrawala baru, membuka dunia teks yang harus dipahami dalam arti eksistensial, yaitu sebagai sebuah cara baru dalam memahami realitas. Appropriation itulah, bagi Ricoeur, merupakan tujuan utama semua hermeneutika. Kegiatan interpretasi tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya penafsirnya. Seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi sosialnya dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Dalam konteks ini, interpretasi objektif, dalam pengertian memperoleh kembali atau memproduksi makna sejati teks seperti maksud pengarangnya dahulu, sama sekali tidak mungkin tercapai. Amina Wadud Muhsin (1994:1) berpendapat bahwa setiap interpretasi berusaha menggambarkan maksud teks, tetapi bersamaan dengan itu terdapat prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang orang yang membuat interpretasi. Prior text ini makin tidak dapat terhindarkan sebab ia adalah bahasa dan konteks budaya tempat teks tersebut ditafsirkan (Muhsin, 1994:7). Oleh karena itu, tidak ada interpretasi teks apa pun yang sepenuhnya objektif mengingat setiap interpretasi memuat sejumlah pilihan yang subjektif sifatnya. Demikian pula, tidak ada interpretasi yang bersifat definitif, pasti, dan memutuskan (Muhsin, 1994: 125). Dari pandangan di atas, muncul pemikiran tentang bagaimana menafsirkan teks secara benar, dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang ”benar” pula. Menurut Abu Zayd (Saenong, 2002: 97), sebuah hermeneutika, bagaimana pun, harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna objektif teks (meaning) dan pengertian atau interpretasi baru (significance) yang dapat ditarik dari makna objektif-orisinalnya. Makna objektif ini pertama-tama harus diusahakan oleh penafsir dengan melakukan pembacaan pada struktur internal teks dan pada situasi historis yang pernah diresponsnya. Setelah itu, penafsir melakukan pembacaan yang
memungkinkan diperolehnya jawaban spesifik bagi problem eksistensial hidup kekinian. Dari fakta-fakta tersebut di atas, model pendekatan hermeneutika selalu melihat secara kritis hubungan antara tiga aspek: (1) dalam konteks apa teks itu ditulis; (2) bagaimana komposisi tata bahasa teks itu, bagaimana pengungkapannya, dan apa yang dikatakannya; (3) bagaimana keseluruhan teks itu, pandangan hidupnya. Dengan model ini, teks-teks sastra, yang bias gender dapat dijelaskan secara lebih kontekstual. Tafsir inilah yang digunakan para feminisme dalam mendekonstruksi teks-teks sastra yang misoginis dengan pisau analisis gender. Dalam menginterpretasi relasi laki-laki dan perempuan, mereka meletakkan perempuan bukan sebagai lawan laki-laki, atau memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki, tetapi mereinterpretasi teks dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial (kontekstual), yang selama ini tidak pernah dipertimbangkan.
3. Perkawinan dan Feminisme 3.1 Perkawinan dalam Perspektif Feminisme Pergeseran wacana modernitas ke posmodernitas telah menempatkan kajian gender pada kedudukan yang signifikan. Keyakinan terhadap adanya satu pusat, absolutisme, narasi-narasi besar, sistem pemikiran tunggal, gerak sejarah monolinear, yang selama ini dibangun teori modernisme, ditolak oleh teori posmodernisme. Posmodernisme mereduksi totalitas dan homogenitas dengan memberikan intensitas pada berbagai diferensiasi, relativitas, pluralisme, serta paralogi (sistem pemikiran plural). Pergeseran modernisme ke posmodernisme, dengan kata lain, adalah peralihan dari universal ke partikular. Sebagai bagian dari posmodernisme dan postrukturalisme, teori feminis berkepentingan sekaligus mendukung penolakan teori
posmodernisme atas dua isu utama teori modernisme: (1) polaritas tradisional dan (2) otherness ‘keliyanan’. Polaritas tradisional (yang salah satunya ditunjukkan dengan oposisi biner laki-laki-perempuan) dan keliyanan (yang menempatkan perempuan sebagai the other sex), bagi kaum posmodernisme, tidak lagi dipandang layak karena beragamnya pluralitas posisi subjek manusia, dan ini mendapatkan apresiasi yang tinggi dari kaum feminis. Analisis gender, yang merupakan pisau analisis kaum feminis, berusaha menemukan jawaban terhadap persoalan-persoalan ketimpangan hubungan laki-laki-perempuan demi mewujudkan kesetaraan gender. Hubungan modernisme dengan posmodernisme bersifat komplementer: posmodernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, dan terabaikan. Dengan meminjam dikotomi kaum Marxis, jika era modernisme telah berhasil menyediakan infrastruktur bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan, era posmodernisme berusaha untuk mempersiapkan superstruktur ideologisnya. Jika era modernisme memberikan perhatian pada nilai yang menyertai budaya massa produksi, pencipta, karya, dan seniman, era posmodernisme membalik semua aspek itu dengan menekankan pada konsumsi, penerima, teks, dan penikmat (Dunn, 1993:40—41). Dari konsekuensi itu, bagi posmodernisme, sistem informasi menjadi penting. Kaum posmodernisme amat berkepentingan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sarana komunikasi utama: bahasa dengan manifestasinya yang khas, yaitu wacana. Wacana, yang bagi Foucault merupakan sarana penindasan dan pembebasan, membawa dan mentransaksikan kekuasaan, dan sebagai sebuah wacana, sastra merespons dan memuat persoalan hubungan kekuasaan yang timpang antarmanusia, khususnya hubungan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Dalam pandangan feminis, perkawinan selalu berbeda jika dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. Dua jenis kelamin ini saling membutuhkan, tetapi
kebutuhan mereka tidak pernah membawa kondisi timbal balik antara keduanya. Perempuan tidak pernah menciptakan kasta dengan membuat pertukaran dan kontrak dengan kasta laki-laki yang mendasarkan diri pada kesetaraan. Secara sosial, laki-laki adalah makhluk independen dan individu yang komplet. Laki-laki selalu dianggap sebagai "manusia super" yang eksistensinya kadang-kadang ditunjukkan dengan kekuasaan. Sebaliknya, sebagai makhluk dengan stigma lemah, perempuan menyatu dalam keluarga yang didominasi oleh para ayah dan saudara laki-laki, dan dalam perkawinan, perempuan selalu menjadi pihak yang "diberikan" oleh beberapa lakilaki kepada laki-laki lain. Kebebasan perempuan belia untuk memilih justru terbatas, justru menempatkannya sebagai parasit atau pemberontak. De Beauvoir (2003:227) menyatakan bahwa perkawinan merupakan satu-satunya sarana untuk mendapatkan dukungan dan pembuktian diri terhadap eksistensinya. Hal ini, menurut Simone de Beauvoir (2003:227), dilekatkan pada perempuan untuk dua alasan. Pertama, perempuan harus memberikan keturunan dalam masyarakat. Kedua, mengapa perkawinan menjadi suatu takdir didasarkan anggapan bahwa fungsi perempuan juga untuk memenuhi kebutuhan seks laki-laki (suami) sekaligus mengurusi segala kebutuhan suaminya. Oleh masyarakat, kewajiban-kewajiban ini diserahkan kepada perempuan dan dihargai sebagai pelayanan khusus yang diberikan kepada pasangannya. Sebagai gantinya, laki-laki harus memberi mereka nafkah, hadiah, atau kepuasan dalam perkawinan. Oleh karena itu, secara ironis, poligami kurang lebih selalu menjadi hal yang ditoleransi. Seorang laki-laki dianggap wajar "tidur" dengan pembantu, gundik, istri muda, atau pelacur sepanjang ia tetap menghargai hak-hak tertentu yang dimiliki istri sahnya (De Beauvoir, 2003:28). Dengan demikian, dalam waktu bersamaan, perkawinan bisa membawa keuntungan dan kerugian bagi kedua belah pihak, tetapi tidak ada kesimetrisan dalam situasi yang dihadapi kedua jenis kelamin ini. Bagi perempuan, perkawinan merupakan satusatunya syarat untuk mengintegrasikan diri ke dalam komunitasnya dan jika mereka tetap saja tidak laku, secara sosial, mereka dipandang hina sehingga para ibu selalu berusaha mengatur perkawinan bagi anak-anak perempuannya. Sebaliknya, bagi laki-
laki, kawin berarti mengambil istri, memiliki istri. Mereka memandang perkawinan sebagai ekstensi, konfirmasi eksistensi diri (De Beauvoir, 2003:230). Oleh karena itu, gagasan kepemilikan suami atas istri telah memberikan kekuasaan kepada suami untuk mendapatkan segala bentuk pengabdian, kebaktian, dan pelayanan dari istri.
3.2 Inferioritas Perkawinan Perempuan dalam Novel Pertama Indonesia Konsep cinta sejati dan kesetiaan perempuan kepada laki-laki (kekasihnya atau suaminya) mewarnai tema-tema utama novel-novel periode awal Indonesia. Cinta kasih yang suci, harapan yang besar bersatu dengan kekasihnya, kesedihan yang berkepanjangan ketika berpisah dengan orang yang dicintainya merupakan tiga hal atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh novel Balai Pustaka, terutama tokoh-tokoh perempuan. Tiga hal tersebut muncul sebagai manifestasi perlawanan terhadap tradisi atau adat-istiadat masyarakat patriarki di lingkungannya. Perjodohan oleh orang tua dan perkawinan setara (baik karena status sosialnya maupun kekayaannya) dikonfrontasikan dengan kekuatan janji setia dan ketulusan cinta kasih kaum muda. Pelestarian tradisi dan adat istiadat yang direpresentasikan oleh orang tua mendapatkan pemberontakan dari kaum muda dengan membawa konsep kekuatan cinta walaupun pada akhirnya, idealisme kaum muda tidak mampu mengalahkan kekuatan tradisi masyarakat patriarki di lingkungannya yang dianut oleh golongan kaum tua. Hal demikian tampak pada peran-peran perempuan dalam novel Azab dan Sengsara. Seperti umumnya novel-novel periode Balai Pustaka, novel Azab dan Sengsara memperlihatkan isu-isu utama perempuan atas tokoh-tokohnya, yaitu (1) kondisi subordinasi dan (2) inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Kaum perempuan tidak memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya, sekaligus tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi itu. Nasib hidup mereka ditentukan oleh para orang tua (ayah atau ibu) melalui mediasi kawin paksa. Demikian pula, dalam perkawinan, relasi perempuan (istri) dan laki-laki
(suami) berjalan timpang. Suami mendominasi, istri tersubordinasi; suami superior, istri inferior; suami menjadi tuan, istri adalah pelayan. Hubungan yang tidak setara itu seringkali memicu suami melakukan kekerasan domestik terhadap istri dan anakanaknya. Kedua isu tersebut dibentuk oleh tradisi masyarakat yang sesungguhnya mengandung kelemahan. Kelemahan tradisi tersebut ditunjukkan dengan memberikan contoh kepada perkawinan Nuria yang tidak membahagiakan (Siregar, 1992:115) dengan Sutan Baringin. Bagi novel ini, perkawinan yang tidak didasari oleh perasaan cinta kasih dapat berakibat pada perceraian: sesuatu yang dibenci dalam pandangan masyarakat. Dalam tradisi masyarakat Batak (yang menjadi setting novel ini), kuatnya ikatan perkawinan dilukiskan dengan ungkapan "berumah itu tiada sebagai berdayung, yakni kalau biduk tertumbuk, boleh dikelokkan" (Siregar, 1992:72). Ungkapan itu berarti bahwa perceraian adalah persoalan yang harus dihindari karena baik laki-laki maupun perempuan yang menceraikan pasangannya dipandang hina oleh masyarakatnya. Namun, kehinaan dan hukuman yang diterima oleh perempuan lebih berat. Seorang perempuan yang meminta cerai kepada suaminya dianggap sebagai perempuan yang tidak setia, tidak memiliki harga diri sehingga karena stigma itu, amat sulit atau tidak ada kemungkinan baginya untuk menikah lagi. Oleh karena itu, keputusan Mariamin yang berencana menikah dengan Aminuddin—karena dibangun oleh basis cinta kasih keduanya— disokong oleh Nuria. Untuk mereduksi atau mengeliminasi tradisi kawin paksa, melalui tokoh Nuria, dengan setia, novel ini tidak melepaskan ideologi yang menjadi basis perjuangannya, yaitu cinta kasih dalam liberalisasi perkawinan sebagai bentuk pemberontakan terhadap tradisi kawin paksa. Hal ini menjadi tema novel tersebut, dan kisah cinta Mariamin-Aminuddin dan sikap Nuria yang menolak konsep kawin paksa merupakan representasi pemberontakan. Kesengsaraan Mariamin dan penderitaannya mengalami tindak kekerasan domestik dari suaminya (Kasibun), misalnya, merupakan risiko yang harus diterima akibat kawin paksa. Dari sini, novel ini telah meletakkan dasar-dasar liberalisasi bagi perempuan untuk menentukan
pasangannya. Namun, kendatipun secara transparan novel ini mengecam tradisi kawin paksa dan "kawin dini", karya ini tetap tidak berupaya untuk menyentuh persoalan gender dengan mengangkat posisi perempuan dalam inferioritas statusnya terhadap laki-laki. Inferioritas perempuan (istri) kepada laki-laki (suami) cukup kental mewarnai novel tersebut. Teks menyebutkan bahwa menyenangkan dan melayani suami sekaligus sifat kepatuhan, kesetiaan, kepasrahan, dan ketundukan istri kepada suaminya adalah tugas dan kewajiban seorang istri (Siregar, 1992: 25—26). Seorang istri harus bersedia mengorbankan diri untuk kesenangan atau kepentingan suaminya. Oleh karena itu, dengan hubungan yang timpang ini kekuasaan suami menjadi dominan. Istri dipandang milik suami, yang berposisi sebagai tuan dan raja (Siregar, 1992: 71). Bahkan, seorang istri tidak diperkenankan meminta talak kepada suaminya karena masyarakat telah memberikan stereotip negatif bahwa perempuan semacam itu dianggap tidak setia, mengkhianati suaminya, yang pada akhirnya, dipandang rendah oleh masyarakatnya. Apa yang disodorkan novel ini mengandung ambiguitas. Pada satu sisi, ketulusan cinta kasih dan kesetiaan perempuan dieksplorasi untuk mereduksi tradisi perjodohan, tetapi pada sisi lain, eksplorasi yang berlebihan itu membuat perempuan terjebak pada sikap ketergantungannya terhadap laki-laki. Hal ini, misalnya, tampak pada sikap Mariamin yang sedih dan menderita ketika ditinggalkan kekasihnya untuk mencari pekerjaan. Apalagi, setelah diketahui Aminuddin dijodohkan ayahnya (Baginda Diatas) dengan perempuan lain, Mariamin menunjukkan kepasrahannya dengan menerima perjodohan yang ditawarkan ibunya dengan laki-laki yang belum dikenalnya, yaitu Kasibun. Kepatuhan, kepasrahan, dan ketidakberdayaannya untuk menolak tawaran ibunya itulah yang menggiring Mariamin menerima perlakuan tindak kekerasan domestik dari suaminya. Di sini, sikap menerima takdir atau fatalistik dalam menerima nasib hidup, dalam pandangan novel ini, merupakan bagian dari rencana Tuhan.
Dengan filosofi
perkawinan
semacam
itu,
novel
itu
membuktikan
"kebenarannya" dengan menunjukkan kebahagiaan hubungan Baginda Diatas dengan Maryam (orang tua Aminuddin) dan relasi Nuria dengan Sutan Baringin. Persona Maryam yang baik budi, lemah lembut, suka menghibur dan membantu suaminya, oleh novel ini, dipandang sebagai istri yang ideal, istri yang menyenangkan suaminya (Siregar, 1992:25). Persona yang ideal dari Maryam itu memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk citra ideal Aminuddin, anaknya, menjadi laki-laki yang saleh, yang "sempurna". Sementara itu, relasi asimetris suami-istri dilegitimasi dan dijustifikasi dengan menampilkan persona Nuria sebagai istri ideal Sutan Baringin. Teks mendeskripsikan suami istri tersebut secara kontradiktif. Persona Nuria digambarkan sebagai perempuan "penyabar, tutur bahasanya lemah lembut, pengiba, peramah serta tahu menghormati orang" (Siregar, 1992:69). Sebaliknya, Sutan Baringin dilukiskan sebagai "orang yang suka marah-marah, bengis, angkuh, tinggi hati, dan tiada tahu akan hormat kepada orang lain” (Siregar, 1992:69). Begitu pentingnya kebaktian dan pengabdian istri kepada suami yang dipandangnya sebagai pemilik, sebagai tuan dan raja (Siregar, 1992:71), novel ini menekankan ideologi cinta yang berbanding lurus dengan dosa. Istri yang tidak mencintai suami dianggap sebagai perbuatan yang mendatangkan dosa. Teks mengungkapkan hal tersebut demikian. Nuria seorang perempuan sejati, selamanya mengusahakan dirinya akan menutup barang sesuatu apa yang kurang antara kedua mereka itu, serta menerbitkan kecintaan di dalam hati suaminya. Tahulah ia rupanya, apa-apa kewajiban perempuan kepada suaminya. Oleh sebab itu tiadalah ia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan sepenuh-penuh hati. Seorang pun tiada mengetahui hal itu, hanya ia sendirilah yang tahu karena dirasanya benarbenar; acapkali ia bertanya dalam hatinya, "Apakah sebabnya hati dan pikiranku kurang terikat kepada suamiku? Kalau ia dalam perjalanan, kuranglah rinduku kepadanya. Kadang-kadang aku melupakan dia…" Ini aku sudah kawin dengan dia dan kami sudah sekian lama bersama-sama. Tetapi sungguh pun demikian, tiadalah berapa cintaku kepadanya. Ia, suamiku, kurang kucintai; orang muda pertandangku kurindui. Sudah tentu aku berdosa kepada suamiku (Siregar, 1992:70).
Gagasan kepemilikan istri oleh suami dan pemosisian status suami sebagai tuan atau raja telah mendorong dan menciptakan persona ketaatan, kesetiaan, dan ketabahan bagi istri sehingga segala kesusahan dan penderitaan yang dialami sang istri harus dipandang sebagai takdir yang harus diterima dengan sukarela. Ini seperti pandangan Freud (1960:98—99) yang menyatakan bahwa sikap pasrah (pasivitas) dan menikmati penderitaan (masokisme) adalah karakteristik khas perempuan, sekaligus karakter perempuan sehat. Kesan ini ditunjukkan teks terhadap kesetiaan dan ketabahan Nuria. Walaupun penderitaan hidup yang dialami perempuan itu amat berat (Siregar, 1992:75), walaupun suaminya tidak menghargainya (Siregar, 1992:76), ia tetap setia, sabar, tabah, dan tetap menyenangkan suaminya (Siregar, 1992:75). Bagi novel ini, walaupun ikatan suami istri antara Nuria dan Sutan Baringin semakin rapuh, semakin menunjukkan keterpecahan (karena persona yang berkontradiksi di antara keduanya), perceraian di antara keduanya tidak diberikan tempat yang sewajarnya karena perceraian merupakan sesuatu yang dicela masyarakat. Teks memperlihatkan dalil yang menutup pintu perceraian itu sebagai berikut. Kehinaan besar dipandang orang kalau seorang laki-laki menceraikan bininya. Perempuan yang meminta talak itu pun tiada berharga di mata orang; kawin kedua kalinya amat susah bagi dia, karena orang berkata dalam hatinya: "Perempuan itu tiada baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu" (Siregar, 1992:72). Persona Nuria sebagai perempuan dan ibu sejati (Siregar, 1992:80) ditransformasikan ke dalam pribadi anaknya, Mariamin (Siregar, 1992:81). Dalam konteks itu, karya ini hendak menunjukkan bahwa sebagai istri, perempuan dituntut dan dibebani sekaligus bertanggung jawab menjaga nilai-nilai moral anak-anaknya. Pendidikan informal anak merupakan tanggung jawab seorang ibu. Oleh karena itu, Mariamin dirancang, diarahkan, dan dibentuk untuk menjadi citra perempuan ideal, yaitu perempuan yang patuh, setia, sabar, ramah, dan pasrah menerima takdir. Pada gilirannya, semua persona di atas harus dimiliki istri, yang secara totalitas, kelak
memberikan pelayanan dan kesenangan kepada suaminya kendatipun segala bentuk kebaktian itu membuat dirinya menderita. Kesedihan Mariamin berpisah dengan Aminuddin, luka hati yang dalam karena persatuannya yang gagal dengan Aminuddin (Siregar, 1992:143), ketidakberdayaannya menolak perjodohan dirinya dengan Kasibun, serta kematian akibat azab dan sengsara merupakan manifestasi dari sikap setia, patuh, sabar, pasrah, dan tawakal, konsekuensi dari proses pembentukan yang dilakukan ibunya. Dengan statusnya yang inferior, baik Maryam, Nuria maupun Mariamin tidak memiliki bargaining apa pun di hadapan suaminya masing-masing. Apa yang tampak pada rumah tangga Maryam-Baginda Diatas, Nuria-Sutan Baringin, dan Mariamin-Kasibun memperlihatkan bahwa harmonisasi rumah tangga mereka ditentukan oleh sikap kebaktian istri terhadap suami. Baik Maryam, Nuria, maupun Mariamin adalah istri-istri, yang secara total, melayani segala keperluan dan kesenangan suaminya masing-masing sehingga oleh teks, keempatnya disebut istri ideal. Maryam berbakti kepada Baginda Diatas dan “menurunkan” persona dirinya pada
Aminuddin.
Nuria
mengabdikan
dirinya
pada
Sutan
Baringin
dan
mentransmisikan sifat-sifat luhurnya pada Mariamin. Mariamin sendiri setia melayani Kasibun. Sekalipun pengabdian Nuria dan Mariamin tidak berbanding lurus dengan perlakuan suaminya (yang tidak menghargai istrinya), sebagai istri sejati, sebagai manifestasi nilai-nilai masyarakat patriarki yang mengharuskan demikian, ibu dan anak itu pasrah dan tabah menerima penderitaan akibat ulah suaminya. Demikian pula, sekalipun hubungan Maryam dengan suaminya tampak harmonis, perempuan itu tidak mempunyai bargaining dalam pengambilan keputusan menyangkut urusan rumah tangga mereka. Hal ini terlihat pada ketidakberdayaannya menampik niat suaminya yang menjodohkan Aminuddin dengan perempuan selain Mariamin.
4. Penutup Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, Dalam pemaknaan teks (sastra), hermeneutika menduduki peran signifikan. Kedua, interpretasi merupakan aktivitas yang kompleks. Ketiga, interpretasi tidak bersifat
definitif, mutlak, dan pasti. Pemaknaan suatu teks dengan maksud memperoleh kembali atau memproduksi makna sejati teks seperti maksud pengarangnya dahulu sama sekali tidak mungkin tercapai karena adanya prior text. Prior text ini makin tidak dapat terhindarkan sebab ia adalah bahasa dan konteks ditafsirkan. Keempat, meskipun interpretasi objektif tidak mungkin dilakukan, pemaknaan terhadap karya sastra harus berpijak pada makna verbal dan konteks. Kelima, dengan perspektif kritik sastra feminis, peran istri dalam novel Azab dan Sengsara diarahkan untuk mendedikasikan kepentingan suami. Keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga lebih ditentukan oleh tingkat kebaktian seorang istri kepada suami.
DAFTAR PUSTAKA Anskersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia. Bertens, K. 1981. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia. Bleicher, Josep ed. 1980. Contemporary Hermeneutics. London: Routledge and Kegan Paul. De Beauvoir, Simone. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Surabaya: Pustaka Promothea. --------------. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Surabaya: Pustaka Promothea. Dunn, Robert. 1993. “Pascamodernisme, Populisme, Budaya Massa, dan Garda Depan.” Prisma Nomor 17 Tahun XXII.
Freud, Sigmund. 1960. A General Introduction Psychoanalysis. New York: Washington Square Press Book. Hardiman, F. Budi. "Hermeneutik: Apa Itu?". Basis, Januari 1991. Hirsch Jr., E.D. 1979. Validity in Interpretation. London: Yale University Press. Muhsin, Amina Wadud. 1994. Wanita di dalam Al-Quran. Bandung: Pustaka. Poespoprodjo, W. 1987. Interpretasi. Bandung Remaja Karya. Preminger, Alex dkk. 1974. “Semiotics” dalam Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton: Princeton University Press. Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Evanston: Northwestern University Press. Saenong, Ilham B. 2002. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Triatmoko, Bambang. 1990. "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur." Driyarkara, Nomor 2, Tahun XVI, 1990. Wolff, Janet. 1991. Hermeneutics and Sociology" dalam Henry Etzkowitz and Ronald M. Glassman ed. The Renaissance of Sociological Theory. Itaca, Illinois: F.E. Peacock Publisher Inc.