Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang Nazar Moesbar Sub Departemen Orthopaedi dan Trauma Departemen Ilmu Bedah FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Abstrak: Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosa atau Tubercle bacillus. Menurut WHO 2 , Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal dinegara – negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi penularan. Tuberkulosis tulang punggung merupakan salah satu tuberkulosis ekstra paru yang dapat menimbulkan cacat fisik yang berat. Telah dipelajari berbagai sumber bacaan , penting sekali untuk memahami patofisiologi penyakit agar penanggulangan dapat dilakukan dengan sempurna dan menghindarkan sesedikit mungkin cacat fisik yang diakibatkannya, serta mengurangi mortalitas dan morbiditas. Kata kunci: Mikobakterium tuberkulosa, tuberkulosis ekstra paru, spondilitis tuberkulosa, obat anti tuberkulosis (OAT) Abstract: Tuberculosis (TB) has been known as a contagious disease. This disease is due to infection of Tubercle bacillus. WHO found that Indonesia is in 3rd rank in morbidity rate beside India and China. There were 140.000 TB patients died every year or one TB patient died every 4 minutes in those above countries and there was contamination in every 2 seconds Tuberculous spondilytis is one among the extrapulmonal tuberculosis that may caused severe physical handicap. A large number of references had been studied, it is very important to understand its pathophysiology in order to have satisfactory end results in treating tuberculosis and to decrease the physical handicap as well as to decrease the mortality and morbidity rates. Keywords: Tubercle bacillus, extrapulmonary tuberculosis, tuberculous spondilytis, anti tuberculosis drugs
PENDAHULUAN Tuberkulosa tulang punggung sering ditemukan didaerah endemik terutama di negara berkembang. Percival Pott 1 pada tahun 1779 pertama kali menguraikan infeksi tuberkulosa tulang punggung sehingga disebut Pott’s disease, penyebabnya adalah infeksi mikobakterium tuberkulosa. Patofisiologi penyakit penting untuk dipahami agar penanganan dapat dilakukan dengan baik. Diagnosa dibuat melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium dan pemeriksaan radiologik konvensional. Pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan tambahan, untuk membuat diagnosa yang akurat, perencanaan tindakan operatif dan menilai kemajuan pengobatan. Terapi konservatif memberikan hasil yang baik, namun pada kasus tertentu diperlukan tindakan operatif.
EPIDEMIOLOGI Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal dan dapat mengenai hampir semua bagian tubuh. Biasanya dan lebih banyak mengenai paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosa atau Tubercle bacillus. Menurut WHO 2 , Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal dinegara – negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi penularan. Hampir 10% dari seluruh pendertita TB memiliki keterlibatan dengan muskulo-skeletal. Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik 10% - 45% dari penderita. Pada masa lalu spondilitis
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
279
Tinjauan Pustaka
tuberkulosa sering terjadi pada kelompok umur 3 – 5 tahun. Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak, pola penyakit ini berubah menjadi lebih banyak menyerang orang dewasa dengan perbandingan wanita dan pria hampir sama banyaknya. Spondilitis tuberkulosa dapat terjadi pada level manapun dari tulang belakang. Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal. (T8 – L3) , kemudian daerah torakal atas, servikal dan daerah sakral.4 Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis ditempat lain dari tubuh. Mikobakterium tuberkulosis adalah basil tidak berspora, mudah dibasmi dengan pemanasan sinar matahari, ultra violet . Basil ini sukar diwarnai, tetapi setelah diwarnai oleh fuchsin / methylen blue, basil ini tidak dapat lagi dibersihkan dengan asam , oleh karena itu disebut basil tahan asam. (BTA). Ada 2 jenis mikobakterium yang dapat menginfeksi manusia, yaitu tipe bovin dan tipe human. Tipe bovin ditularkan melalui sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, biasanya masuk melalui saluran cerna. Tipe human ditularkan melalui tetes dahak penderita yang terhirup melalui saluran pernafasan (droplet infection). 5
sampai menimbulkan kematian , mungkin juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.
PATOFISIOLOGI Mikobakterium tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran cerna, denga perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase 6,
Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase hematogen atau reaktivasi kuman dorman. Vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8L3). Bagian anterior vertebra lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior. 7 . Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama , jalur arteri dan jalur vena serta jalur tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah paradiskal.7 Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson , suatu anyaman vena epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson
1.
Fase Primer Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Didalam jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistim pertahanan tubuh, dan membentuk afek primer.Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu granuloma sel epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui fibrosis dan kalsifikasi. 2.
Fase Miliar Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus 280
3.
Fase Laten Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama bertahuntahun.Bila terjadi perubahan daya tahan tubuh maka kuman dorman dapt mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi. 4.
Fase Reaktivasi Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, rektifasi penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan kalsifikasi atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi ; selanjutnya kelenjar limfe, tuba , tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal ,saluran cerna dan kelenjar mamma. Meskipun jarang, tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilikal atau cairan amnion ibu yang terinfeksi.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Nazar Moesbar
berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapt ikut menyebar dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena terbut.7 Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudial anterior dan postrior ke korpus vertebra yang berdektan 7. Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebral dan ke korpus yang berada didekatnya. Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan granulasi dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit. Kerusakan pada bagian depan korpus vertebra menyebabkan korpus menjadi kolaps sehingga dapat terjadi kifosis ; kemudian eksudat menyebar ke anterior dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum longitudinale anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum yang lemah.3 BENTUK TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk spondilitis11: 1. Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada orang dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus. 2. Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra.. Dapat menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak. 3. Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra diatasnya atau dibawahnya. BIOMOLEKULAR TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG Patogenesis dan Patologi Spondilitis Tuberkulosa 3,6,7 Karakter infeksi tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis)vertebra yang
Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang
progresifitasnya berjalan lambat.Destruksi timbul dibagian anterior korpus vertebra disertai osteoporosis regional. Proses perkijuan yang menyebar akan menghamabat timbulnya pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan menimbulkan segmen-segmen yang avaskular membentuk sekuester , terutama pada vertebra daerah torakal. Secara bertahap jaringan granulasi akan menembus koteks korpus vertebra yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses paravertebra yang meliputi beberapa korpus vertebra. Selain itu proses infeksi dapat menyebar keatas dan kebawah melalui ligamentum longitudinale anterior dan ligamentum longitudinale posterior. Diskus intervertebralis yang avaskular , awalnya relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Tetapi kemudian karena dehidrasi, diskus akan meyempit dan akhirnya akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan granulasi. Destruksi progresif pada bagian anterior menyebabkan korpus bagian anterior kolaps , mengakibatkan kifosis yang progresif. Melalui mekanisme reaksi hipersensitif lambat, vertebra mengalami destruksi dengan membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis perkijuan ini mencegah pembentukan tulang baru dan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga terbentuk sekuester tuberkulosa yaitu serpihan tulang yang lepas dan nekrosis. Secara bertahap jaringan granulasi menembus korteks vertebra membentuk abses paravertebra yang dapat melewati beberapa segman vertebra, menyebar dibawah ligamentum longitudinale anterior dan posterior mencari tempat paling rendah dengan tahanan yang paling lemah. GAMBARAN HISTOPATOLOGI Inflamasi Kronis 3,4 Inflamasi kronis didefinisikan sebagai suatu inflamasi yang berkepanjangan dimana proses inflamasi aktif, destruksi jaringan dan penyembuhan berlansung simultan. Gambaran histologik inflamasi kronik berupa: 1. Infiltrasi sel-sel mononuklear, makrofag, limfosit, sel plasma 2. Destruksi jaringan 3. Penggantian jaringan rusak oleh jaringan ikat melalui angiogenesis dan fibrosis. Infiltrasi Mononuklear 3,4,7 Merupakan gambaran utama inflamasi kronik. Berasal dari sel-sel monosit di aliran darah perifer yang bermigrasi melalui endotel
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
281
Tinjauan Pustaka
akibat pengaruh agen-agen kemotaktik: C5a, fibropeptides, cytokines (MCP-1), PDGF. Aktivasi makrofag akan menimbulkan: 1. Protease 2. Chemotactic Factors 3. Metabolit asam arakidonat 4. Oksigen reaktif 5. Faktor – faktor pembekuan 6. Growth factors 7. Cytokines (IL-1, α – interferon )
menghasilkan nekrosis perkijuan melalui reaksi hipersensitif tipe lambat. Pada tuberkulosis sekunder, kuman mikobakteria dengan granuloma yang terbentuk, akan menetap di parenkim paru atau menyebar secara hematogen ke berbagai organ, termasuk tulang. Granuloma-granuloma yang gagal mengendalikan pertumbuhan mikobakteria merupakan penyebab utama timbulnya kerusakan jaringan pada tuberkulosis.
Proses aktivasi makrofag pada inflamasi dipengaruhi oleh lymphokines (γ–interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun. Produk-produk makrofag tersebut akan menghasilkan perubahan karakteristik pada inflamasi kronis, yaitu: 1. Destruksi jaringan (protease dan radikal oksigen bebas) 2. Neovaskularisasi dan proliferasi fibroblas. 3. Akumulasi jaringan ikat (cytokines dan growth factors) 4. Remodeling (kolagenase) Inflamasi Granulomatus 5 Salah satu karakter lain inflamasi kronis adalah adanya granuloma, yaitu kumpulan makrofag berbentuk nodul-nodul kecil , yang dikenal juga sebagai sel – sel epiteloid. Sel-sel epiteloid terbetuk dari sel-sel berinti banyak. Pada granuloma terdapat juga limfosit, sel plasma, neutrofil ; pada granuloma ditemukan juga nekrosis sentral.
SISTIM IMUN 5,8,10
Granuloma 5 Terbentuk dari sel T aktif imun terhadap antigen yang sulit tergradasi. Lymphokines (γ– interferon) yang dihasilkan oleh sel-sel T aktif imun menyebabkan makrofag berubah menjadi sel-sel epiteloid dan multinucleate giant cells. Granuloma merupakan gambaran khas pada beberapa penyakit tertentu antara lain, tuberkulosis, silikosis dan sarkoidosis. Tuberkulosis 5 Disebabkan infeksi Mycobactrium tuberculosis, bakteri aerob, tidak mem bentuk spora, tidak motil dan tahan pencucian asam pada pewarnaan. Pada infeksi primer mikobakteria akan berproliferasi didalam makrofag, dan dapat dikendlaikan pada 95% kasus oleh respons imun selular. Sel T CD4+ (T helper) menghasilkan γ – interferon yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh bakteri intraselular dan membentuk sel-sel epiteloid. Sel T CD8+ (T supressor) akan membunuh sel-sel makrofag yang terinfeksi mikobakteria,
282
Sel-Sel Imun Sistim imun berperan dalam perlindungan tubuh terhadap adanya infeksi. Sistim ini terbentuk dari jutaan klon limfosit, sekitar 2 x 1012. Se—sel limfosit pada setiap klon memiliki reseptor permukaan yang unik yang memungkinkan berikatan dengan determinan antigen yang mempunyai susunan sangat spesifik, seperti halnya atom dalam susunan molekul. Ada 2 kelompok limfosit yaitu, sel B yang dihasilkan oleh sumsusm tulang dan menghasilkan antibodi serta sel T yang dihasilkan oleh kelenjar timus dan membentuk respons imun selular. Respons Imun Selular Respons imun selular menghasilkan sel-sel khusus yang akan bereaksi dengan antigen asing yang terdapat pada permukaan sel-sel yang lain.. Sel tersebut akan membunuh sel-sel tubuh yang terinfeksi virus dipermukaan selnya, sehingga sel-sel tersebut akan dimusnah kan sebelum virus bereplikasi. Contoh lain, sel imun tersebut menghasilkan sinyal-sinyal kimia yang akan mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikro-organisme. Reseptor Sel T dan Subkelasnya Terdapat sedikitnya dua subkelas yang berbeda pada sel T, yaitu Cytotoxic T cell dan Helper T cell. Cytotoxic T cell dengan segera membunuh sel yang terinfeksi, terutama oleh virus. Helper T cell membantu aktivasi sel B untuk membentuk antibodi dan makrofag, untuk menelan dan merusak mikro-organisme. Kedua jenis sel T pada permukaan sel nya, membentuk reseptor yang strukturnya serupa dengan antibodi. Molekul mHC dan Penyajian Antigen pada Sel T Reseptor tersebut diatas dapat mengenali fragmen-fragmen protein asing yang dimunculkan pada permukaan sel tubuh oleh molekul MHC. Kedua sel T tersebut dapat
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Nazar Moesbar
mengenali antigen dalam bentuk fragmen peptida yang dibentuk melalui degradasi antigen protein asing didalam sel target, dan keuanya bergantung kepada kemampuan molekul MHC, suatu protein khusus dalam kemampuannya mengikat fragmen protein asing, membawanya kepermukaan sel dan menyajikannya kepada sel T. Protein-protein MHC ini dihasilkan oleh kelompok gen-gen yang dikenal dengan istilah Major Histocompatability Complex (MHC). Pada manusia MHC juga disebut antigen HLA (Human leucocyte-associated antigens), karena pertama kali didemostrasikan pada lekosit. Kelas Molekul MHC Molekul MHC yang terdiri dari kelas I dan kelas II, mempunyai peran yang sangat penting didalam menyajikan antigen protein asing kepada Cytotoxic T cell dan Helper T cell. Molekul MHC kelas I dihasilkan oleh hampir seluruh sel tubuh manusia ; molekul mHC kelas II hanya dihasilkan oleh beberapa sel saja yang dapat berinter-aksi dengan Helper T cell, yaitu limfosit B dan makrofag. Reseptor Tambahan: CD4 dan CD8 Kemampuan berikatan antara reseptor sel T dengan kompleks molekul MHC-peptida pada sel target pada umumnya terlalu lemah untuk menghasilkan interaksi yang fungsional. Oleh karena itu dibutuhkan reseptor tambahan (accessory receptors) untuk memperkuat stabilitas interaksi dengan memperkuat adhesi antar sel, disebut sebagai co-receptors. Reseptor ini juga berperan dalam mengaktifkan sel T melalui sinyal intrasel mereka sendiri. Tidak seperti reseptor sel T atau molekul MHC, reseptor tambahan ini tidak berikatan dengan antigen, tidak variatif dan tidak polimorfik. Resptor tambahan sel T yang terpenting dan banyak dikenal adalah protein CD4 dan CD8. CD adalah singkatan dari cluster of diffrentiation. CD4 dihasilkan oleh helper T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas II. CD8 dihasilkan oleh cytotoxic T cell dan berikatan dengan molekul MHC kelas I. Cytotoxic T Cell Cytotoxic T cell bekerja langsung membunuh sel target yang terinfeksi yang telah memunculkan fragmen protein mikroba pada permukaan selnya. Beberapa bagian dari protein mikroba yang dihasilkan didalam sitosol sel target akan mengalami degradasi melalui aktifitas proteasom, dan fragmen protein yang terbentuk akan dipompakan kedalam lumen retikulum endoplasma dan akan berkaitan dengan molekul MHC kelas I. Kompleks ini
Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang
akan ditransportasikan menuju permukaan sel target sehingga dikenali oleh cytotoxic T cell. Sel T ini diduga membunuh sel target dengan menginduksi kematian sel target melalui mekanisme programmed cell death atau apoptosis. Aktivasi Sel T Aktivasi sel T, cytotoxic T cell atau helper T cell, adalah suatu proses rumit yang belum dipahami sepenuhnya. Reseptor sel T mengenali peptida asing yang berikatan dengan molekul MHC pada permukaan sel target.Pada sel B, reseptornya bekerja sama dengan invariant transmembrane polypetida chains, disebut sebagai CD3 complex, yang dapat mengtransduksikan (transduce) peristiwa ikatan di ekstrasel menjadi sinyal aktivasi intrasel (intracellular activating signals) . Kompleks CD3 tersebut diduga mengaktifkan satu atau lebih bagian dari Src family dari tyrosine kinases, termasuk protein Fyn, yang memfosforilasi berbagai macam protein selular, termasuk kompleks CD3 itu sendiri dan juga enzim phopholipase C-γ, yang akan mengaktifkan inositol phospholipid signaling pathway. Reseptor sel T dan kompleks CD3 tidak bekerja sendiri untuk mengaktifkan sel T. Beberapa co-receptors juga berperan penting, diantaranya CD4 , CD8 dan LCK kinase.Pada proses aktivasi sel T, reseptor dan co-receptor, juga Src-like tyrosine kinases diduga bekerja sama didalam suatu kompleks sinyal yang luas di memberan plasma sel T; akan tetapi kompleks sinyal yang luas ini ternyata belum cukup untuk mengaktivasi sel T. Dibutuhknn juga jalur sinyal lainnya yang independen. Mekanisme Sinyal pada Aktivasi Helper T Cell. Untuk mengaktifkan helper T cell, sel penyaji antigen sedikitnya harus menyediakan 2 sinyal. Sinyal pertama, telah dikemukakan diatas., melalui ikatan protein asing dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel target, yang akan mengaktifkan reseptor sel T. Sinyal kedua terbentuk melalui sekresi sinyal kimia, misalnya interleukin-1 (IL-1), atau melalui plasma membrane-bound signaling molecule B7 pada permukaan sel penyaji antigen. Jika helper T cell menerima kedua sinyal tersebut, terjadi aktivasi untuk berproliferasi dan
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
283
Tinjauan Pustaka
untuk mensekresikan berbagai interleukin. Sebaliknya jika hanya menerima sinyal pertama tanpa sinyal kedua, sel T akan terganggu sehingga tidak akan dapat lagi diaktifkan walupun kemudian menerima kedua sinyal. Satu kali helper T cell atau cytotoxic T cell mendapat stimulasi antigen, protein tambahan lainnya akan difungsikan untuk menambah kekuatan ikatan sel T pada sel target. Proliferasi Sel T Gabungan aksi sinyal pertama dan sinyal kedua, akan memprovokasi helper T cell untuk berproliferasi melalui mekanisma tidak langsung. Terjadi stimulasi terhadap diri sel T itu sendiri untuk berproliferasi melalui sekresi growth factor, interleukin-2 (IL-2) dan sistesis reseptor permukaan sel yang mengikatnya secara simultan. Ikatan IL-2 dengan reseptor nya ini akan secra langsung menstimulasi proliferasi sel T. Melalui mekanisme autokrin ini, helper T cell akan terus berproliferasi setelah mereka meninggalkan permukaan sel penyaji antigen. Helper T cell ini juga dapat menstimulasi proliferasi sel-sel T lainnya yang berdekatan termasuk cytotoxic T cell yang sebelumnya telah membentuk reseptor IL-2 akibat induksi antigen. Karena ekspresi reseptor IL-2 sangat tergantung pada stimulasi antigen, maka IL-2 hanya menimbulkan proliferasi pada sel T yang telah berikatan dengan antigen spesifik. Sekresi Interleukin Sel T Helper T cell setidaknya dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan interleukin yang disekresikan. Sel TH1 mensekresikan IL-2 dan γ-interferon dan utamanya membantu aktivasi cytotoxic T cell dan makrofag. Sel TH2 menghasilkan IL-4 dan IL-5 dan utamanya membantu aktivasi sel B dan eosinofil. Aktivasi makrofag oleh sel T sangat penting dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi mikro-organisma yang dapat betahan dari fagositosis oleh makrofag yang tidak aktif. Salah satu contoh adalah infeksi tuberkulosis. MANIFESTASI KLINIK 4,5,6 Gejala Umum Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari, takikardi dan anemia. 284
Gejala Lokal Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Nyeri dapat dirakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak. Gejala lokal sesuai dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada vertebra servikal. dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang, terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa. Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher. Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul. PEMERIKSAAN PENUNJANG 5,6,8 Laboratorium 1. Darah Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Nazar Moesbar
2.
Tes Tuberkulin Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif. Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan indurasi 5 – 9 mm meragukan dan perlu diulang. 3.
Bakteriologi Untuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy. Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam Hok, Kinyoun-Gabbet atau denagn metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per ml sputum.. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi selama satu malam. Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya. 4.
Kultur Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat melihat perkembangan organisme yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa. 5.
Histopatologi Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang khas dan sel
Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang
datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas. 6.
PCR Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang berbeda. Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses amplifikasi DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan bertindak sebagai template untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopis atau bakteriologis. Jumlah kuman 10 – 1000 sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. Target yang paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110. Deteksi dengan menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa paru) dan darah (pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% , spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari spondilitis tuberkulosa. ICT Tuberkulosis 5 Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa atau ICT Tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan mengembangkan antigen untuk mendetekdi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh penderita. Pemeriksaan ini menggunakan membran atau strip nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen. Teknik pemeriksaan dengan metode ini cepat dan mudah. Strip dapat dibaca secara manual atau dibaca oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% – 85% dan spesifisitas 98%. 7.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIK 1.
Sinar Rontgen Diperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
285
Tinjauan Pustaka
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk fusiform.
Diagnosa untuk tuberkulosis diluar paru (extra pulmonal tuberculosis) termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebgai kasus tuberkulosis ekstra paru tersangka.
2.
Mielografi Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan ,disebut CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis.
DIAGNOSA BANDING Spodilitis tuberkulosa harus dibedakan dari penyebab destruksi vertebra dan kifosis angular lainnya, yaitu infeksi piogenik non-spesifik dan keganasan Pada infeksi piogenik akut, manifestasi klinik umumnya lebih berat dibandingkan dengan spondilitis tuberkulosa. Pada infeksi, diskus biasanya kolaps sedangkan pada keganasan biasanya masih baik.
3.
PENATALAKSANAAN (2,7,12) Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian obatobat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol, pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkijuan, maka tindakan bedah menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik, terutama skeuster. Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medula spinalis dan menyebabkan defisit neurologik , sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit, obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.
CT-Scan Dapat memperlihatkan bagian-bagaian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan. 4.
MRI Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis tuberkulosa. 5.
Sidik Tulang Dengan menggunakan Tc 99M methylene diphosphonate dan isotop gallium-67 , sidik tulang memberikan sensitifitas 92% dan spesifisitas 88%. Pemeriksaan ini tidak digunakan secara rutin. DIAGNOSA Diagnosa dibuat berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan yang tinggi didaerah endemis, dengan keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik lainnya disertai dengan hasil pemeriksaan hematologis, radiologis, bakteriologis dan histipatologis. 286
Terapi Konservatif Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik. a.
Istirahat di Tempat Tidur Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris. Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. b.
Kemoterapi Anti Tuberkulosa
(2)
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Nazar Moesbar
Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang
Tujuan pemderian obat antituberkulosa (OAT) secara umum adalah: 1. Menyembuhkan penderita dalam waktu singkat dengan gangguan yang minimal 2. Mencegah kematian akibat penyakit atau oleh efek lanjutannya. 3. Mencegah kekambuhan 4. Mencegah timbulnya kuman yang resisten 5. Melindungi masyarakat dari penularan Pemberian OAT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Terapi sedini mungkin 2. Obat-obat dalam bentuk kombinasi 3. Diberikan secara teratur 4. Dosis harus cukup 5. Diberikan sesuai jangka waktu pemberiannya. WHO memeberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit 1. Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa. 2. Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan. 3. Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif. Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I seperti dalam Tabel 1. INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya sebagai kombinasi terakhir tau tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya Kanamycin, PAS, Thiazetazone, ethionamide, dan quinolone. c.
Immobilisasi Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan
immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin. Terapi Operatif 10,11,12 Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme. Indikasi operasi: 1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan radiologis memburuk. 2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel. 3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit neurologik, terdapat abses paravertebral 4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT. 5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak.
Tabel 1. Paduan OAT untuk tiap kategori Fase terapi
Kategori I
Kategori II
Kategori III
Intensif/inisial
2R7H7E7Z7
2R7H7E7Z7 1R7H7E7Z7 (3 bl)
2R7H7Z7 2R3H3Z3
Lanjutan/kontinyu
4R7H7 4R3H3 7H7E7 , 7H7T7
6R7H7E7 E3H3Z3
4R7H7 4R3H3 7H7E7(T7)
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
287
Tinjauan Pustaka Tabel 2. Dosis obat Jenis obat
Tiap hari/mg BB < 50 kg
Tiap hari/mg BB > 50 kg
3 x seminggu mg
Dosis per Kg BB
R – Rifampicin
450
600
600
10 (8-12)
H – INH
300
400
600
5 (4-6)
E – Rthambutol
1000
1500
1500
15 (15-20)
Z – Pyrazinamide
1500
2000
2000
25 (20-30)
S – Streptomycin
750
1000
-
15 (12-18)
T – Thiazetazone
-
-
100
2.5
Tabel 3. Total treatment of TB spine Treatment Alternative I II
-
Approach
Methods Basic treatment
Indications Earky cases dgn maslah terbatas Penderita menolak dioperasi
Anterior
Anterior debridement
Patient in good condition Huge abcess Minimal destruction
Evacuation of paravertebral abcess III
Anterior
Anterior debridement Fusion and instrumentation
IV
Posterior – Anterior
Cervical TB Æ anterior plate Toraco-lumbal TB Æ Hongkong Method
Posterior instrumentation
Non-rigid deformity
Anterior debridement and circumferential fusion
Bad tolerance for anterior approach – thoracoscopic debridemnet & instrumentation Infection,pain,instability,deformity and neuro deficit
V
Posterior – Anterior
Posterior instrumentation
Rigid deformity
Anterior debridement and circumferential fusion Limited shortening VI
Posterior
Posterior decompressionÆ laminectomy
See indication for treatment alternative II - IV
Costotransversectomy Æ debrid.&evacuation of abcess Posterior instrumentation and fusion VII
Posterior
Laminectomy Limited shortening
Lumbar TB without paravertebral abcess
Debridement & translateral/posterior fusion Posterior instrumentation VIII
Posterior
Laminectomy Transpedicular debrid.
288
Upper thoracic TB Minimal abcess Minimal deformity
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Nazar Moesbar
Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang Biopsy Posterior instrumentation
IX
Posterior
Shortening Æ discard: lamina,facet, transverse process, costa
Severe kyphosis (600-900)
Posterior instrumentation X
-
See method from II - IX
DAFTAR PUSTAKA 1. Hidalgo JA, Alangaden G. Pott’s Disease (Tuberculous Spondylitis). Available at http://www.emedicine.com/; July 12, 2002. 2.
WHO Communicable Diseases Cluster. Fixed dose combination tablets for treatment of tuberculosis. Report of an informal meeting held in Geneve; April 27, 1999.
3.
Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In : The Musculoskeletal System. 2nd Ed. New York : Williams & Wilkins ,1984.p.186 – 9.
4.
Garfin SR, Vaccaro AR. Spinal Infections. In: Orthopaedic Knowledge. Spine update. American Academy of Orthopaedic Surgeon , 1997.p.261 – 3.
5.
Rini SH. Pemeriksaan antigen 38kDa dan 4 antigen sitoplasma lain dari M.tuberkulosis dengan teknik imunokromatografi untuk evaluasi hasil terapi penderita tuberkulosis paru. Tesis untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolh gelar spsialis ilmu patologi klinik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2004.
Kyphosis > 900 Neuro.deficit +
6.
Ramachandran R, Paramasivan CN. What is new in the diagnosis of tuberculosis. Indian Journal of Tuberculosis 2003; 6: 182 – 8.
7.
Tuli SM. Tuberculosis of the spine. New Delhi : Amerind, 1975 .p. 564 – 7.
8.
Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id. Agustus 2002.
9.
Gowrinath K. Polymerase chain reaction for Mycobacterium tuberculosis. Indian Lung Journal 2002 ; 5 : 201 – 9.
10. Apley. Apley’s system of orthopaedics and fractures. 8th Ed. Oxford : BH Co 2001.p.387 – 9. 11. Crenshaw AH. Spinal anatomy and surgical approach. In : Campbell’s operative orthopaedics. 8th Ed. Missouri : Mosby Year Book 1992.p.3493 – 514; 3792 – 817. 12. Sapardan S. Total treatment of tuberculosis of the spine. A rational problem solving approach. Perpustakaan Universitas Indonesia 2004.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
289