BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutaan saat ini masih merupakan masalah gangguan penglihatan di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) tentang angka kebutaan global, didapatkan kurang lebih 38 juta orang buta diseluruh dunia, dan 110 juta orang dengan low vision yang berisiko untuk mengalami kebutaan. Katarak, terutama yang terkait usia, mencakup kurang lebih separuh dari seluruh angka kebutaan di dunia, dan sebagian besar berada di negara berkembang. WHO juga melaporkan bahwa terdapat backlog katarak kurang lebih 15,8 juta orang dengan peningkatan sekitar 2 juta penderita katarak baru setiap tahunnya (Khan et al., 2010; Gogate et al., 2014). Operasi katarak merupakan salah satu jenis operasi yang paling banyak dilakukan di bagian bedah mata. Operasi katarak sangat berbeda dengan operasi lainnya, karena tujuan utama yang ingin dicapai baik oleh dokter maupun pasien adalah visus pasca operasi yang optimal, dan ini sangat bergantung dari kemampuan operator, teknik operasi yang digunakan serta fungsi makula dan saraf mata pasien. Beberapa teknik operasi dikembangkan untuk mengurangi berbagai efek samping yang timbul. Tujuan yang ideal dari operasi katarak terus dikembangkan untuk memenuhi 5 kriteria yaitu: prosedur operasi yang aman, efektifitas dan prediktabilitas yang tinggi, hasilnya stabil untuk jangka panjang, serta memberikan kepuasan yang baik bagi penderita (Sukardi and Hutahuruk, 2004). Surgical-induced
astigmatism
merupakan
salah
satu
komplikasi
terbanyak yang terjadi pasca operasi katarak. Saat ini teknik operasi sudah berkembang luas dengan tujuan mengurangi kejadian astigmatisma pasca operasi. Teknik operasi katarak pertama kali dilakukan dengan irisan di kornea, kemudian dikembangkan dengan irisan kornea sklera dan yang terakhir dengan teknik tanpa sayatan ditujukan untuk meminimalkan perubahan bentuk kontur kornea. Teknik fakoemulsifikasi, dimana massa lensa dihancurkan didalam bilik mata depan dan disedot dengan mesin, menjadi pilihan terbaik dengan efek terjadinya surgical 1
2
induced astigmatism yang rendah. Sayangnya dalam beberapa kondisi teknik operasi fakoemulsifikasi tidak bisa dilakukan, misalnya pada daerah dengan keterbatasan alat, keterbatasan biaya, keterbatasan keahlian operator atau karena jenis katarak yang sulit dilakukan operasi dengan teknik fakoemulsifikasi. Teknik yang dikembangkan dan diharapkan bisa mengurangi kejadian astigmatisma dan relatif memungkinkan dilakukan pada berbagai kondisi adalah teknik MSICS atau Manual Small Incision Cataract
Surgery, dimana irisan
dilakukan di sklera sehingga sedikit mempengaruhi kontur dan meredian kornea yang bisa menyebabkan astigmatisma. (Adio and Aroatu, 2011), mengemukakan bahwa walaupun dengan teknik operasi yang lebih modern, komplikasi astigmatisma kadang tidak bisa dihindari. Pada teknik MSICS dengan sayatan yang lebih dari 3 mm, hasil penglihatan pasca operasi yang buruk kemungkinan didapatkan dari astigmatisma yang timbul pasca operasi. Hal ini dikarenakan pada luka operasi yang cukup besar diperlukan jahitan yang menimbulkan tegangan pada permukaan meredian kornea, selain itu lokasi jahitan serta diambil tidaknya jahitan akan mempengaruhi kejadian astigmatisma pasca operasi. Teknik operasi MSICS dilaporkan menimbulkan kejadian astigmatism yang dilaporkan bervariasi pada berbagai penelitian dengan rerata antara 0,13 Dioptri - 2,27 Dioptri (Parikshit, 2009; Lemagne and Kallay, 2007; Marlinda, 2012; Shepherd, 1989). Sementara itu, Tariq Khan et al., tahun 2010 melaporkan terdapat 50% kejadian astigmatisma derajat sedang dan tinggi pasca MSICS tanpa jahitan dari 150 mata yang dilakukan operasi MSICS. Natchiar (2000), menyatakan bahwa pada sayatan standar untuk teknik MSICS yang berkisar 6-8 mm tidak mungkin akan menghindari timbulnya astigmatisma. Bahkan, walaupun ukuran sayatan kurang dari 6 mm, astigmatisma tetap sulit dihindari karena alasan utama terjadinya surgical induced astigmatism adalah adanya pintu internal yang luas. Kejadian
surgical
induced
astigmatism,
juga
dipengaruhi
oleh
kekencangan jahitan, yang pada teknik MSICS dipengaruhi oleh banyaknya jahitan, dan diduga juga karena jenis bahan benang yang dipakai. Beberapa hal seperti teknik operasi, bentuk sayatan, arsitektur luka sayatan, panjang sayatan,
3
skar kauterisasi, banyak jahitan, kekencangan benang dan jenis benang akan mempengaruhi hasil akhir operasi (Sukardi and Hutahuruk, 2004; Sharma and Panwar, 2012). (Sela, Spierer and Spierer, 2007), membandingkan penggunaan benang Vicryl yang terabsorpsi dan Mersilene yang tidak terabsorbsi pada teknik operasi MSICS katarak kongenital. Didapatkan hasil derajat astigmatisma pasca operasi yang lebih kecil, yaitu 2,3 Dioptri dan 1,4 Dioptri, dengan nilai p= 0,037. Selain itu, penggunaan benang Vicryl juga mengurangi komplikasi inflamasi dan neovaskularisasi pada kornea. Manna et al. (1994)
meneliti penggunaan benang Vicryl 8/0 pada
operasi ECCE. Didapatkan hasil bahwa penggunaan benang Vicryl 8/0 aman untuk penutupan luka pada operasi katarak, walaupun dengan adanya astigmat yang muncul pasca operasi (Manna, et al., 1994). Penggunaan benang absorbable Polyglactin juga lebih dianjurkan pada operasi fakoemulsifikasi karena menimbulkan reaksi inflamasi jaringan lebih baik dibandingkan dengan nonabsorbable Nylon, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna pada astigmatisma pasca operasi yang terjadi (Bainbridge et al., 1998). Luka operasi MSICS pada sklera merupakan luka yang bersifat teratur dan watertight sehingga penjahitan pada flap sklera tidak memerlukan penutupan rapat dan ketat seperti layaknya luka karena laserasi atau perforasi. Sklera sendiri merupakan jaringan yang memerlukan waktu penyembuhan luka lebih lama dan tidak bisa menutup sempurna seperti kulit. Oleh sebab itu, pemilihan material benang penting untuk dipertimbangkan pada luka sklera, dimana pemilihan benang ini tergantung pada ukuran luka, lokasi anatomis luka dan bentuk luka. Luka yang teratur sebaiknya ditutup dengan jahitan absorbable, misalnya Vicryl, karena jahitan absorbable akan meningkatkan respon selular pada luka dan mempercepat penutupan luka. Diharapkan juga setelah bahan benang terserap habis, derajat astigmatisma akan berkurang (Moya, A.Quisor and A.Cruz, 2006). Pada operasi katarak senilis matur dengan teknik MSICS, sayatan operasi yang dilakukan cukup lebar dan memerlukan penjahitan untuk menutup sayatan operasi tersebut, sehingga mutlak diperlukan pemilihan material benang yang digunakan untuk penjahitan. Berdasarkan kajian pustaka, sampai saat ini belum
4
didapatkan penelitian yang membandingkan penggunaan bahan benang terhadap perbedaan nilai keratometri dan derajat astigmatisma pasca operasi MSICS pada katarak senilis matur, sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai hal ini. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pemilihan benang yang lebih baik sehingga didapatkan hasil akhir operasi katarak yang lebih baik pula.
B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Surgical induced astigmatism masih merupakan komplikasi terbanyak yang terjadi pasca operasi MSICS yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
2.
Berbagai faktor telah diidentifikasi sebagai faktor risiko munculnya surgical induced astigmatism, diantaranya: teknik operasi, jenis sayatan operasi, lokasi sayatan operasi, lebar sayatan operasi, jarak sayatan operasi dengan limbus kornea serta kekencangan jahitan operasi.
3.
Kekencangan jahitan operasi dipengaruhi oleh jumlah jahitan dan bahan benang yang digunakan dalam penjahitan luka operasi.
4.
Belum didapatkan penelitian yang membandingkan penggunaan bahan benang terhadap perbedaan nilai keratometri dan derajat astigmatisma pasca operasi MSICS pada katarak senilis matur, sehingga dianggap perlu untuk dilakukan penelitian mengenai hal ini.
C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan nilai keratometri yang bermakna pada pasca operasi katarak dengan teknik Manual Small Incision Cataract Surgery yang dilakukan penjahitan dengan benang absorbable Vicryl 8/0 dibandingkan nonabsorbable Nylon 10/0.
5
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan nilai keratometri pasca Manual Small Incision Cataract Surgery yang dilakukan penjahitan dengan benang absorbable Vicryl 8/0 dibandingkan dengan benang non-absorbable Nylon 10/0.
2. Tujuan Khusus Mengetahui perbedaan perubahan nilai keratometri pasca MSICS pada kedua jenis penjahitan antara pra operasi, pasca operasi hari ke-5 dan pasca operasi hari ke-60 pada penjahitan dengan benang absorbable Vicryl
8/0
dibandingkan dengan benang non-absorbable Nylon 10/0.
E. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pemilihan jenis benang pada teknik operasi Manual Small Incision Cataract Surgery dengan perubahan nilai keratometri paling rendah. Diharapkan pula dengan pemilihan jenis benang yang tepat, didapatkan hasil operasi MSICS yang lebih baik dengan derajat astigmatisma paling rendah.
F. Keaslian Penelitian Penulis meneliti tentang penggunaan benang absorbable dibandingkan dengan benang non-absorbable, terhadap kejadian astigmatisma pasca operasi MSICS pada katarak senilis matur, yang dalam hal ini
digambarkan dengan
perubahan nilai keratometri pra dan pasca operasi. Berdasarkan telaah pustaka yang penulis lakukan, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian seperti yang penulis lakukan.
6
Beberapa penelitian terdahulu mengenai astigmatisma pasca operasi katarak: No Peneliti 1. Marlinda
Tahun 2013
Desain Randomized Controlled Trial
2.
Sela, et al.
2007
Randomized Controlled Trial
3.
Shepherd
1989
Observasional
4
M Tariq Khan 2010 et al.
Observasional
5.
J.W.B. 1998 Brainbridge et al.
Randomized Controlled Trial
Hasil Tidak ada perbedaan kejadian astigmatisma yang bermakna antara teknik fakoemulsifikasi dan MSICS. Terdapat perbedaan derajat astigmatisma yang bermakna antara penggunaan benang non absorbable dan absorable pada katarak kongenital yang dioperasi dengan teknik MSICS (70 mata), dengan nilai p= 0,038. Terdapat perbedaan derajat astigmatisma yang bermakna antara operasi MSICS dengan panjang sayatan 4 mm dibandingkan 6 mm. Terdapat kejadian astigmatisma derajat sedang dan tinggi pada 50% pasien pasca MSICS (150 mata) yang tidak dilakukan penjahitan. Terdapat komplikasi yang lebih minimal pada penggunaan polyglactin dibandingkan Nylon pada fakoemulsifikasi, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna pada derajat astigmatisma pasca operasi.