Budaya Universalia Raya Sebuah Dasar bagi Humanisme Terbuka di Indonesia CHRISTOPH ANTWEILER
I
ndonesia adalah negara dengan banyak budaya berbeda. Orientasi budaya Indonesia kerap dikemas sebagai sebuah keberagaman dengan slogan “bhineka tunggal ika”. Keragaman dan fragmentasi budaya memang cukup jelas terlihat di Indonesia. Dalam pada itu, pada masa pasca-Suharto, Indonesia dengan cepat berubah dari sebuah negara yang sangat terpusat menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi di dunia. Dalam kaitan transisi tersebut, kesatuan kerap dipahami secara top down dan dari perspektif nasionalis. Orde Baru telah pergi, tetapi demokrasi Pancasila masih dikerahkan dari pusat, sementara kesatuan nasional disajikan dalam bentuk quasi-religius. Meskipun secara prinsip terbuka, wacana masyarakat Indonesia atas identitas kolektif terpusat pada agama monoteistik. Dengan demikian, sementara retorika resmi menyatakan keragaman, imajinasi nasional yang dominan adalah monobudaya. Integrasi secara luas diandaikan sebagai asimilasi. Mengingat kuatnya mono-orientasi tersebut, keanekaragaman budaya pun terdepolitisasi. Keragaman akhirnya dijinakkan lewat seni-budaya dan cerita rakyat.
JurnalSajak No. 06, 2013
9
Pancasila pada prinsipnya memungkinkan kebebasan memilih agama. Dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” orientasinya adalah teistik, namun tidak mesti terbatas pada pribadi tuhan.1 Dilihat sebagai agama peradaban, Pancasila pada prinsipnya bahkan terbuka bagi sikap nonagama, sebagaimana baru-baru ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan penting bagi pembangunan bangsa dan demokratisasi di Indonesia sekarang ini adalah: “Apakah persatuan Indonesia dapat didasarkan pada nilai-nilai sekuler tinimbang pada keyakinan agama? Jelas ini merupakan tantangan nyata bagi politik dan kehidupan publik di Indonesia: siapa yang benarbenar siap untuk bertoleransi pada aneka rupa kepercayaan (non-monoteistik)? Siapa yang akan dengan toleran menghormati mereka sama sebagaimana pada pemeluk agama lainnya? Akankah masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan tidak hanya beberapa individu tercerahkan, terbuka untuk menerima ini semua? Tulisan ini didasarkan pada delapan bagian. Bagian 1 menjelaskan kebutuhan global akan humanisme yang tidak terbatas pada nilai-nilai
Barat. Di sini digarisbawahi potensi definisi inklusif atas humanisme, sementara godaan dan bahaya untuk terjerumus dalam lambungan lamunan pencarian nilai-nilai umum pun mendapat catatan. Pada bagian 2, Budaya Universalia Raya2 (Pan-Cultural Universals) didefinisikan sebagai sifat umum manusia di tingkat kolektif (masyarakat). Di sini dikemukakan bahwa universalia dibedakan dengan konsep ‘kodrat manusia’ maupun ‘konstanta antropologis’. Bagian 3 menyajikan metode perbandingan lintas budaya sebagai prosedur sentral dalam pengamatan universal secara empiris yang akan membawa kita pada hujah-hujah bagi universalia yang akan disusun dalam bagian 4. Di bagian ini digarisbawahi bahwa unsur biotik kita hanya merupakan salah satu saja di antara sekian banyak faktor asali universalia. Bagian 5 menyajikan ultra-sosialitas, kondisi besar dan kompleks bagi munculnya universalia dalam masyarakat. Bagian 6 menyajikan hujah bahwa teoriteori budaya tidak semestinya hanya memusatkan diri pada perbedaan antara satu dengan lain budaya —baik antar budaya etnis, budaya nasional, maupun bahkan antar peradaban— melainkan harus mempertimbang-
2 1
Wolfgang Brehm, “Religionsfreiheit in Indonesiens Pancasila-Demokratie” (Teil 1: Gründerjahre), dalam Berthold Damshäuser & Wolfgang Kubin (ed.) Orientierungen 2/2012: 117-136; lihat khususnya hal. 128.
10
Mengingat kata universals menempati posisi penting dalam tulisan ini dan kerap digunakan dengan makna berbeda, maka kata universals sebagai konsep diterjemahkan menjadi universalia untuk membedakannya dengan penggunaannya dalam makna biasa (penerjemah, ARS) .
JurnalSajak No. 06, 2013
kan keragaman intra-budaya di satu sisi dan kesamaan budaya raya di sisi lain. Pada bagian 7 saya menetapkan beberapa universalia yang secara khusus mungkin berguna untuk membentuk humanisme inklusif. Ini adalah wilayah baru di mana banyak penelitian masih harus dilakukan. Hal ini dijelaskan dengan bercontohkan gambaran atas pandangan dunia. Bagian penutup, bagian 8, akan menyajikan bahasan bagaimana penggunaan metafora keluarga di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan toleransi yang lebih besar dan membawa rahmat bagi Indonesia. Humanisme di Luar Barat Di Indonesia saat ini, sebagaimana di banyak negara lain di seluruh dunia, kian banyak orang yang tidak puas dengan pendefinisian budaya yang berpusatkan pada pembedaan sebagai terminologi utamanya. Mereka mengecam penggunaan “budaya” dan “identitas” secara tertutup tapi dalam bentuk jamak. Ada kecenderungan umum di seluruh dunia untuk menafsirkan konflik sebagai bentrokan antarbudaya. Pandangan ini dikompori oleh perdebatan seputar globalisasi gaya Barat. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu orientasi trans-budaya dan tata nilai lintas-budaya bersama. Di luar tata nilai, bagaimanapun, kita perlu memiliki pengetahuan tentang manusia dan budaya. Kita perlu mengetahui lebih banyak tentang budaya, baik
JurnalSajak No. 06, 2013
secara umum maupun khusus, jamak maupun tunggal. Berkaitan dengan kesatuan, ada peningkatan permintaan bagi penelitian empiris yang berfokus pada apa yang menjadi kesamaan umat manusia. Dasar pemikiran mengenai kodrat manusia saat ini merupakan domain khas bioscience. Di sisi lain, mengganjal kritik atas pendekatan yang memfokuskan diri pada faktor biologis semata. Oleh sebab itu, dibu-tuhkan pandangan yang lebih holistik —dengan fakta mutakhir— bagi pandangan biocultural atas budaya manusia. Konseptualisasi atas humanisme lintas budaya merupakan proyek yang mendesak bagi kemanusiaan. Sebuah dialog antarbudaya bermukamuka dengan oposisi mendasar, karena kebijakan saat ini justru memberi tekanan pada perbedaan budaya dan etnisitas. Banyak orang melihat kesenjangan tak terjembatani antara perbedaan dan kekhasan budaya di satu sisi dengan wacana universalia di sisi lain. Dalam konteks ini, pencarian yang hati-hati bagi kesamaan terbukti secara empiris mampu memberi kontribusi penting bagi landasan kerjasama dan kemanusiaan di era globalisasi sekarang ini. Apa yang dipertaruhkan di sini adalah upaya untuk mengembangkan suatu bentuk humanisme yang menekankan kesatuan lintas-budaya di mana budaya apa pun memiliki kesamaan tanpa pada saat yang sama mengabaikan perbedaan yang sangat 11
diperlukan bagi pembentukan identitasnya. Untuk tujuan ini, dan ini asumsi yang mendasari esai ini, konsep keragaman budaya yang senantiasa menyerukan beberapa jenis kualitas yang universal terbukti akan menjadi yang paling tepat. Ini semua akan lebih bermanfaat dibanding pemfokusan umum yang bertumpu pada pembedaan budaya yang berkecenderungan menempatkan perbedaan budaya sebagai sesuatu yang mutlak ada dari sananya. Pada saat yang sama, ini semua jauh lebih realistis daripada penyangkalan total atas tiap perbatasan antarbudaya dalam kajian budaya (dibingkai sebagai “ethnoscapes”) yang tengah mode saat ini. Dengan demikian, segunung pertanyaan atas bagaimana gambaran dunia secara menyeluruh, dapat diandaikan bukan dari segi kekurangannya sebagai satu bulatan dunia dengan pemberian tekanan pada perbedaan, melainkan lebih sebagai sebuah planet yang akan membuka diri bagi perspektif akan kesamaan-kesamaan.
dalam proses ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan: “Apakah tradisi besar, agama maupun peradaban — lepas dari semua perbedaannya— memiliki unsur-unsur tertentu yang sama, terutama saat mendefinisikan apa makna menjadi manusia.
Proyek humanisme mutakhir di Jerman bertumpu pada pencarian atas unsur-unsur umum dalam khasanah tradisi filsafat dan agama-agama besar yang mungkin terbukti bermanfaat untuk mengembangkan humanisme baru. 3 Relevansi utama
Secara empiris, saya mencoba mencari kesamaan dalam sekian banyak —jika tidak semua— budaya melalui gambaran yang bersumber pada Antropologi Budaya. Kita tidak bisa mengambil yang “harus” dari yang “adalah”. Tujuan pembangunan masyarakat harus ditentukan dalam proses politik, bukan oleh kaum ilmuwan. Jika tidak, para ilmuwan akan melakukan dosa “kesalahan alami”. Namun, dalam rangka membangun
3
Der Humanismus in der Epoche der Globalisierung. Ein interkultureller Dialog über Kultur, Menschheit und Werte. Kulturwissenschaftliches Institut Essen (KWI). (http://www.kwi-humanis mus.de/cms/index .php?t=3, diakses 12-5-2013).
12
Jika dalam semua konsep kemanusiaan tertentu dapat ditemukan pokok tertentu yang dapat menjadi suatu jatidiri alami universalia itu sendiri, maka hal ini akan memberi sumbangan besar bagi bangunan konseptual humanisme inklusif. Cukup sedikit pengetahuan sistematis yang kita miliki mengenai konsep universalia yang tersebar cukup merata pada khasanah pemikiran besar. Makin sedikit lagi yang kita ketahui mengenai atribut berbagi (shared attributes) di antara beribu budaya, masyarakat, dan suku bangsa, terutama saat berkenaan dengan normanorma umum, nilai-nilai, atau idealideal. Tulisan ini, persis diniatkan untuk memverifikasi persoalan-persoalan ini.
JurnalSajak No. 06, 2013
sebuah orientasi yang realistis atas sekian banyak budaya yang saling berjalin-berkelindan di planet yang terbatas ini, kita harus mengetahui sebanyak mungkin mengenai manusia nyata sebagai satu keseluruhan: budaya dan kemanusiaannya. Pola Budaya Raya versus “Kodrat Manusia” Universalia (juga universalia budaya, universalia manusia) adalah unsur atau fenomena untuk ditemukan secara teratur dalam semua — atau nyaris semua— masyarakat yang kita kenal.4 Dengan definisi ini, universalia sengaja dipahami sebagai fenomena yang ada di mana-mana. Di sana lah berdiam sejumlah perkara potensial. Dari perspektif empiris, pertanyaan yang menentukan adalah sebagai berikut: apakah tindakan manusia di mana pun dilakukan sebagai upaya meningkatkan keuntungan mereka sendiri? Atau hal ini berbeda, misalnya, dalam masyarakat Asia? Dalam semua budaya, adakah semacam konsep keadilan? Apakah semua manusia pada umumnya selalu berpikir dalam dikotomi? Apakah di mana pun orang lebih mengutamakan kerabat dekat mereka? Apakah semua
4
Brown, Donald Edward: Human Universals, New York etc., 1991; Antweiler, Christoph: Was ist den Menschen gemeinsam? Über Kultur und Kulturen, Darmstadt, 2009a.
JurnalSajak No. 06, 2013
masyarakat diklasifikasikan berdasar peran dan status? Apakah inses ditabukan di seluruh masyarakat mana pun di dunia? Apakah di masyarakat mana saja, para remaja cenderung merasa galau dan tak bahagia? Apakah di masyarakat mana saja orang piawai dalam seni menatap sekejap dengan pandangan aneh saat mereka ingin memandang remeh seseorang? Apakah manusia dari semua budaya memiliki fakultas yang saling mengenali ekspresi emosi mereka? Dan akhirnya: bentuk dan isi belajarmengajar yang mana yang mirip dalam semua kebudayaan —lepas dari perbedaan yang ada? Contoh masyhur dari universalia yang kerap dijadikan dalil adalah Oedipus kompleks, dominasi laki-laki dalam politik dan kehidupan publik, dan terutama ditabukannya inses. Universalia tersebut, yang akan lebih tepat disebut ‘penghindaran inses’, terutama menyiratkan pencegahan hubungan seksual atau perkawinan antar-kerabat lengkap dengan norma, larangan, dan sanksi. Istilah populer ‘tabu inses’ hanya mengacu pada satu segi dari keseluruhan masalah yang kompleks. Norma larangan inses adalah satu dari beberapa universalia yang tidak terbantahkan dalam kepustakaan ilmiah. Universalia dapat mewujud dalam beragam bentuk: kondisi umum kehidupan, perilaku, pikiran dan perasaan, serta dalam lembaga-lembaga sosial dan benda-benda tertentu. Pada 13
• • • • • • • • • • • • • •
Konsep antropomorfis Nepotisme Peranan gender, kedudukan, ideal-ideal tertentu Upacara inisiasi menuju kedewasaan Kategori atau terminologi berdasarkan kelompok usia Praktek kontrasepsi Konsep magis Konsep waktu linear, waktu bagai anak panah (selain konsep waktu yang lain) Etnisitas dan etnosentrisme Praktek prakiraan cuaca Konsep cinta dan asmara Musik, tari, seni pertunjukan Seni sebagai ‘pengkhususan’ Kesantunan yang bermakna pengenalan dan penyajian manusia secara bertahap
Gambar 1: Contoh-contoh universalia
gambar 1, saya memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan beragam uni-ersalia berkenaan dengan isi dan kekhususan mereka. Contoh yang diajukan merupakan hasil seleksi dari sejumlah universalia yang telah menjadi dalil dan/atau telah mengalami pembuktian.5
5
Berbagai katalog atas universalia telah terbit menyusul daftar universalia yang disajikan oleh George Peter Murdock pada tahun 1945: “The Common Denominator of Cultures” dalam Ralph Linton (Ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York 1945, pp. 123–140. Cf. Dokumentasi atas berbagai daftar pada Antweiler, Was ist den Menschen gemeinsam?, 393–409. Untuk sajian yang lebih populer atas berbagai contoh pola pan-cultural dalam konteks keberbagaian budaya cf. Antweiler, Christoph, Heimat Mensch. Was uns alle verbindet, Hamburg, 2009.
14
Biasanya, orang melakukan pembedaan berbagai bentuk dan jenis universalia dalam terminologi dan taksonomi yang tepat sebagaimana telah disusun dalam linguistik. Tanpa memikirkan hal ini secara luas, saya dengan singkat akan menggarisbawahi hal-hal yang paling penting. Universalia absolut atau universalia sejati merupakan sesuatu yang menonjol dan dapat ditemukan dalam semua masyarakat yang dikenal, sedangkan nyaris universal adalah fenomena yang ditemui dalam sejumlah besar masyarakat yang dikenal namun tidak pada semua mereka. Universalia absolut atau universalia sejati adalah f itur yang ditemukan dalam semua masyarakat yang dikenal, sementara nyaris universalia
JurnalSajak No. 06, 2013
adalah fenomena yang ditemukan pada sejumlah besar masyarakat, namun tidak pada semua. Apa yang disebut universalia implikasional membentuk kelompok khas. Mereka terdiri dari hubungan antara dua karakteristik dengan cara: kapan saja satu segi khas (yang dalam dirinya tak universal) ada dalam sebuah masyarakat, segi lain yang terkait pun akan ditemukan (namun tidak sebaliknya). Contoh sederhananya: semua bahasa yang memiliki bentuk jamak memiliki juga bentuk ganda. Universalitas atau keadadimanamanaan yang merupakan fenomena yang cocok sebagai universalia selalu berlaku untuk unit budaya —masyarakat, bangsa, atau etnis— dan, bagaimanapun, tidak untuk individu. Karena mereka menampakkan diri di seluruh budaya, meskipun tidak harus pada semua individu, universalia tersebut juga dinyatakan sebagai ‘universalia budaya’. Hal ini berbeda dengan bentuk lain yang mengacu pada karakteristik umum manusia, misalnya kekhasan yang mesti ditemukan pada setiap individu, seluruh spesies, dan seluruh umat manusia. Berlawanan dengan pendapat umum, universalia tidak dapat disamakan secara sederhana dengan kodrat manusia atau atribut umum homo sapiens, meskipun tentu menjadi bagian kausalitas dengan ini semua. Universalia manusia memiliki status berbeda dengan pendefinisian berbagai jenis hewan. Pada hewan,
JurnalSajak No. 06, 2013
ciri tujuan penguniversalan spesies sangat dekat dengan upaya menemukan satu hal yang diasalkan dari ethogram (inventarisasi semua perilaku) dari setiap populasi spesies tersebut. Dengan demikian, seseorang bisa menyelidiki populasi yang berbeda dari suatu spesies tertentu dengan mempertimbangkan parameter lingkungan, dan dari sana melakukan generalisasi atas seluruh spesies tersebut secara keseluruhan. Meskipun demikian, bahkan dalam beberapa primata cara ini hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu, seperti ditunjukkan pada perbedaan perilaku antara berbagai populasi simpanse di alam bebas dengan orang-utan. Pada populasi manusia, generalisasi tersebut bahkan kurang layak. Penelitian universalia dapat dihitung sebagai sumbangan empiris untuk memecahkan masalah berkenaan dengan unsur yang mengkonstitusi sifat alami kemanusiaan kita, kodrat manusia yang mencakup disposisi warisan biotis kita, arah, juga kebutuhan, budaya. Dalam arti yang sedikit berbeda, universalia adalah fenomena yang tidak hanya ditemukan pada semua budaya mutakhir. Ia secara umum terdapat juga pada semua masyarakat manusia yang kita kenal. Universalia diakronis demikian, ada dalam budaya di seluruh waktu dan ruang. Universalia yang demikian, dapat dianggap sebagai sifat umum yang abadi. Sementara pengetahuan etnografis 15
kita atas kebudayaan mutakhir sudah agak lengkap, pengetahuan kita tentang budaya prasejarah sangatlah fragmentaris. Oleh karena itu, akan sangat sulit bagi kita untuk mendefinisikan dengan tepat universalia di sana. Hal ini, bagaimanapun, janganlah menghalangi kita dalam penyelidikan diakronis universalia. Pengetahuan empiris kita yang fragmentaris dapat dilengkapi dengan metode lain: deduksi atau retrodiksi. Donald Brown, misalnya, mendefinisikan universalia manusia sebagai transbudaya serta trans-historis: “Universalia manusia terdiri dari segi budaya, masyarakat, bahasa, perilaku, dan kejiwaan yang keberadaannya tanpa kecuali terekam secara etnograf is maupun historis dalam masyarakat manusia.” 6 (Tekanan dari penulis, CA). “Universalia manusia —yang ratusan kali telah diidentif ikasi— terdiri dari segi-segi budaya, masyarakat, bahasa, perilaku, dan pemikiran, sejauh tercatat dan teruji, yang ditemukan di antara semua bangsa yang dikenal secara etnograf is dan historis.”7 (Tekanan dari penulis, CA)
Universalia budaya selalu ada sebagai segi tertutup bagi komunitas atau masyarakat tertentu, dan bukan
6
Brown, Donald Edward, “Human Universals”, dalam Robert Anton Wilson/Frank C. Keil (Eds.), The MIT Encyclopedia of the Cognitive Sciences, London, 1999, hal. 382.
7
Brown, Donald Edward, “Human Universals, Human Nature/Human Culture”, dalam Daedalus (Fall 2004), hal. 47.
16
merupakan jumlah keseluruhan seginya. Untuk mengklaim bahwa keserupaan masyarakat hanya dengan mengacu pada satu segi “a” tidak menutup kemungkinan dalam segi “b”, “c”, ... —atau bahkan semua karakteristik lainnya— muncul perbedaan yang signifikan. Penentuan universalia tidaklah mengurangi kekhasan suatu objek, pribadi, atau masyarakat tertentu. Ini hanya berarti bahwa pengujian obyek tidak lah unik dalam segala hal. Meminjam ungkapan Kluckhohn dan Murray, orang bisa mengatakan: setiap manusia sama seperti semua manusia lain, sama seperti beberapa manusia lain, tidak sama seperti manusia lain.8 Definisi universalia sebagaimana terdapat di semua masyarakat manusia tidak menyiratkan secara tegas bahwa suatu ciri tertentu tidak ada pada populasi primata lainnya. Ini perlu ditekankan mengingat pemahaman sejumlah penulis atas universalia menyiratkan bahwa sejumlah karakteristik menampakkan diri pada manusia namun tidak dapat ditemukan pada hewan. Karakteristik semacam ini harus dibedakan sebagai segi khusus suatu ‘spesies’ dari universalia. Salah satu dari beberapa segi memenuhi kondisi tambahan dan merupakan ‘kopulasi rahasia’. Hal ini
8
Kluckhohn, Clyde Kay Maben/Murrey, Henry A, Personality in Nature, Society and Culture, New York, 1953.
JurnalSajak No. 06, 2013
tidak berarti bahwa hanya ovulasi yang merupakan tindakan terselubung di kalangan manusia, karena hubungan seksual pun dalam semua kebudayaan tidak lazim berlangsung secara terbuka (coram publico). Ia kerap dilakukan dalam ruang pribadi (yang berasosiasi dengan kerahasiaan dan ketertutupan), sedangkan pada sejumlah primata lainnya perilaku ini benar-benar berbeda. Bagaimana Menemukan Universalia? —Perbandingan Lintas-budaya Metode yang secara empiris paling relevan dalam mendokumentasikan universalia terdiri dari beragam bentuk perbandingan antar spesies dan perbandingan lintasbudaya. Dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora metode mendasar untuk memasok bukti empiris keberadaan universalia sangatlah sistematis sebagaimana perbandingan antar budaya di dunia (perbandingan lintas-budaya). Ini merupakan pendekatan utama antropologi budaya berkenaan dengan penelitian mengenai universalia. Untuk tujuan ini perbandingan sinkronis antropologi budaya dapat dilengkapi dengan perbandingan diakronis sebagaimana ia ditunjang oleh penelitian sejarah. Dalam penelitian perbandingan budaya fenomena khas yang diamati melingkupi berbagai, atau setidaknya beberapa, unit budaya. Penyelidikan komparatif di bidang antropologi
JurnalSajak No. 06, 2013
budaya, sosiologi, dan ilmu politik dapat menujukan bandingan mereka atas berbagai tingkatan: perbandingan intra-budaya, perbandingan antar-budaya, dan perbandingan sejumlah besar masyarakat hingga sampel mendunia (Perbandingan lintas budaya sistematis). Tinimbang berkutat dalam masalah metodologis yang dihadapi seseorang dalam perbandingan budaya secara empiris, saya memilih untuk lebih menyoroti dua pandangan yang bertolak belakang dalam tipologi perbandingan empiris atas budaya9: ·
Budaya dibedakan lewat segi-segi yang mereka miliki, seperti seginya yang khas, atau dalam kondisi tertentu bahkan lewat seginya yang eksklusif. Budaya adalah suatu yang terputus satu sama lain;
·
Budaya dibedakan lewat segi yang relatif penting yang juga dapat ditemukan di mana saja: dengan demikian, perbedaan bersifat gradual dan hubungan antarbudaya berkesinambungan. Segi-segi tersebut tidak eksklusif melainkan bertingkat, bergantung statusnya yang relatif. dengan cara kepentingan relatif dari f i-
9
Holenstein, Elmar, “Interkulturelle Beziehungen – multikulturelle Verhältnisse. Im Ausgang von Japan-Berichten in der westdeutschen Presse”, dalam E. Holenstein, Menschliches Selbstverständnis. Ichbewußtsein –Intersubjektive Verantwortung Interkulturelle Verständigung, Frankfurt/Main, 1985, hal. 139.
17
tur yang juga dapat ditemukan di tempat lain, sehingga perbedaan yang bertahap dan hubungan antar budaya adalah kontinu. Fitur tidak eksklusif tapi dinilai menurut status relatif mereka. Segi yang utama menentukan kepentingan relatif semua yang lain.
Pilihan pada salah satu dari dua pandangan tersebut memiliki pengaruh yang kuat pada bagaimana kesamaan atau perbedaan dikonseptualisasi. Yang pertama menjadi salah satu pandangan yang saat ini merupakan arus utama dalam kajian budaya dan sosial. Pandangan kedua merupakan pandangan yang cenderung lebih optimis. Terlepas itu semua, saya berpegang pada model bandingan yang kedua agar dapat lebih adekuat secara teoretis dan lebih realistis secara empiris. 4 Sebab-sebab Universalia — Evolusi… dan Banyak Lagi! Ketika sebuah fenomena terdapat dalam semua —atau nyaris semua— budaya, ia pada awalnya cukup nyata mempertalikan penyebab bagi faktor biotik alamiah berturutan. Hal ini diasalkan pada terminologi seperti ‘kodrat manusia’ atau ‘jiwa manusia’. Dalam konteks ini orang mungkin menganggap penyebab terkait dengan struktur dan fungsi dari organisme manusia dan menganggap penyebab utamanya mesti berakar pada evolusi manusia. “Keseragaman 18
mental manusia”, misalnya, dapat dianggap bertanggung jawab bagi beberapa atau bahkan sejumlah besar universalia, sebagaimana pendapat Stephen Pinker:” Melalui penemuan kesejajaran mendalam dalam bahasa Perancis dan Jerman, orang Arab dan Israel, Timur dan Barat, orangorang zaman internet dan orang-orang zaman Batu, orang dapat menangkap sekilas keseragaman mental umat manusia.”10
Fenomena yang tersebar di mana-mana ini, bagaimanapun, tidak dapat secara otomatis —bertentangan dengan Pinker— dinyatakan pada basis biotika. Selain faktor biotika atau evolusi, di sana hadir kemungkinan lain sebagai penyebab universalia. Fenomena budaya global dapat disebabkan oleh difusi di seluruh dunia. Difusi semacam ini terjadi jauh sebelum munculnya Globalisasi dalam pengertian kita sekarang ini. Universalia juga dapat disebabkan oleh bentuk-bentuk historis awal difusi yang merupakan hasil dari penyebaran homo sapiens di seluruh dunia. Pada akhirnya, tipe universal perilaku atau tendensi mental dapat diasalkan pada kenyataan bahwa manusia sebagai organisme yang terikat secara budaya digugat, kemana pun mereka pergi, dengan keadaan
10
Pinker, Steven, Wörter und Regeln. Die Natur der Sprache, Heidelberg/Berlin 2000, hal. 287.
JurnalSajak No. 06, 2013
dan masalah yang mengatur hidup mereka. Hal ini menghasilkan pola yang universal tanpa ada disposisi khusus genetik. Hal yang sama berlaku untuk universalia sosial yang merupakan respon terhadap kebutuhan fungsional universal. Mengingat bio-budaya sifat manusia yang mendasar, setiap studi universalia pada umumnya bermuka-muka dengan persoalan teoretis maupun persoalan metodologis membumihanguskan budaya dengan hayati. Kapasitas untuk budaya dalam bentuk faktor-faktor non-genetik saat tiba pada pengaturan eksistensi manusia merepresentasikan sebuah biotik terberi yang diperlukan untuk bertahan hidup. Oleh sebab itu, tidak akan ada versi empiris manusia yang akan menjadi ‘alami’ dalam arti yang sepenuhnya tanpa budaya. Tetap bertahannya dikotomi antara alami dan asuhan (nature dan nurture) – baik ia mengambil bentuk sebagai oposisi, saling melengkapi, maupun berinteraksi— telah terbukti menjadi salah satu kendala paling serius dalam penelitian tentang universalia. Alam dan kebudayaan sebagai faktor menentukan harus dilihat secara terpisah dari konteks persamaan dan perbedaan. Pada prinsipnya, gen dapat bertanggung jawab atas kesamaan maupun perbedaan, sebagaimana budaya pun dapat menuntun pada persamaan maupun perbedaan. Pemecahan dikotomi tegas antara satu lapisan terdalam biotik dan sebu-
JurnalSajak No. 06, 2013
ah “lapisan tipis” budaya dengan menisbahkan yang universal dengan sebuah biotik non-variabel dan segi khusus pada variabel lapisan budaya adalah keliru. Universalia tidak perlu harus ditentukan oleh genetika. Sebabsebabnya boleh jadi lebih dari satu dan saling terkait. Jika umat manusia adalah untuk ditematisasikan dalam segala aspeknya, penelitian budaya dan biologis harus saling melengkapi. Ini semua hanya akan efektif dalam kerangka pandangan dunia yang diterangi oleh sebuah kealamian terbuka, dibanding oleh biologi. Masyarakat Luas — Ultra-Sosialitas sebagai Universalia yang Tumbuh Karena universalia tidak sama dengan konstanta antropologis, ia dapat berkembang secara historis dan universalia-universalia baru bisa terbentuk. Universalia tersebut harus berurusan dengan besar dan kompleksnya masyarakat. Dalam perspektif makrohistoris, ukuran masyarakat modern dapat dianggap sebagai luar biasa besar. Masyarakat manusia modern — baik kelompok etnis atau negara— secara demograf is dan spasial jauh lebih besar dari apa yang kita ketahui tentang primata lain maupun anthropogenesis. Mereka mewakili satu atau sebagian dari bentuk masyarakat yang sangat kompleks. Selain itu, sebagian kelompok manusia seringkali membuang sejumlah besar benda-benda yang merupakan artefak dari daya tahan 19
trans-generasi. Puncaknya adalah terjadinya perubahan-perubahan intensif dan juga trans-generasi di lingkungan f isik kita. Hampir di manamana, di bumi, manusia tinggal di lanskap berbentuk antropogenik yang didominasi oleh faktor budaya. Masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks dari ini disebut Holocene yang umumnya terdiri dari kelompok-kelompok kecil beranggotakan sekitar 150 orang. Inilah yang ditandai sebagai ‘ultra-sosial’11 Dalam perspektif sejarah universalia, hingga sekarang ini, manusia hanya hidup dalam komunitas yang besar dan kompleks. Dalam sejarah secara keseluruhan, memang ada masa di mana homo sapiens hidup dalam kelompok kecil, namun fakta ini hanya menjadi tema dalam psikologi evolusioner yang berbeda dari sosiobiologi, di mana bukan kesamaan antara manusia dengan hewan yang ditekankan, melainkan karakteristik khusus manusia. Psikolog evolusi terfokus pada bagaimana jiwa manusia dibentuk oleh lingkungan. Kelompokkelompok ini memang kecil, dan artefak yang mereka gunakan relatif sedikit. Bahkan, mereka pun tak membawa pengaruh yang berarti pada perubahan-perubahan f isik lingkungan mereka. Sifat khusus masyarakat awal
yang membentuk bagian besar sejarah manusia adalah bahwa ada sangat sedikit materi serta media informasi. Hal ini terjadi terutama karena saat itu belum ada tulisan atau monumen sebagai pemancar memori trans-generasi. Fenomena ultra-sosialitas dapat menyebabkan pembentukan universalia, karena ukuran dan kompleksitas masyarakat tersebut menyebabkan tim-ulnya kebutuhan dan persyaratan organisasi atau teknologi. Agar bisa berfungsi, masyarakat yang kompleks membutuhkan institusi yang kompleks yang melampaui tingkat organisasi hubungan kekerabatan.12 Masyarakat sosioekonomi kompleks berskala besar dengan demograf i yang padat memerlukan pembagian kerja serta subsistem, seperti birokrasi. Masyarakat semacam ini, kemudian harus beradaptasi dengan masalah-masalah yang timbul baik akibat kompleksitas mereka sendiri maupun akibat lingkungan mereka yang juga terdiri dari masyarakat tetangga yang kompleks. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa kelompok manusia, dengan budaya spesif ik, tingkat ekstensi, ukuran dan kepadatan penduduk, serta kompleksitas tertentu, cenderung menunjukkan kesamaan tertentu. Persyaratan lainnya adalah adanya media, sejauh media massa dapat
12 11
Dunbar, Robin I.M., The Human Story. A New History of Mankind Evolution, London, 2004.
20
Richerson, Peter J./Robert Boyd, Not by Genes Alone. How Human Culture Transformed Human Evolution, Chicago/London, 2005.
JurnalSajak No. 06, 2013
dianggap sebagai universalia yang cukup dekat, yang produknya memungkinkan seseorang untuk menyelidiki universalia spesif ik lainnya. Dalam konteks ini kita dapat mendalilkan universalia, yang dapat dikualif ikasikan sebagai universal implikasional yang terkait erat dengan kondisi ultra-sosialitas. Karena masyarakat saat ini telah melampaui ambang ultrasosialitas Dunbar, maka sejumlah universalia yang dekat bisa bermunculan. Dengan berfokus pada dimensi yang lebih komprehensif dari masyarakat yang lebih besar, dimensi ultra-sosialitas mampu memperluas perspektif kelompok kecil ‘suku’ dengan cara yang telah diterapkan oleh disiplin ilmu sosial-biologi dan psikologi evolusioner dalam mengembangkan universaliauniversalia psikologis. Hal ini secara khusus akan mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam akan universalia-universalia yang tumbuh yang merupakan hasil dari perkembangan sosial jangka panjang.
dengan perilaku yang relatif radikal. Obsesi akan alteritas ditentang oleh kecenderungan yang tidak realistis untuk mengaburkan garis batas antarbudaya. Kedua pendekatan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa konsep budaya hibrida. Saya tidak akan membahas konsep budaya secara panjang lebar di sini.
Menuju Teori Realistis tentang Keragaman Budaya dan Kesatuan di Indonesia
Berlawanan dengan gagasan populer tentang suku bangsa di Indonesia, posisi dominan saat ini di kalangan antropolog dan peneliti lain didasarkan pada gagasan bahwa kebudayaankebudayaan tidaklah digambarkan dengan tajam. Selain itu, kebudayaankebudayaan tersebut tidak statis, tidak homogen, dan tidak koheren secara internal. Saya sepakat dengan kritik terhadap konsep budaya monadik ini, namun saya juga percaya bahwa dalam teori budaya saat ini, ada hal-hal yang relatif sama. Kebudayaan jelas bukan sebuah tempat penampungan, tapi juga bukan merupakan kumpulan sejumlah elemen entitas terbuka, tidak terbatas, dan tanpa kontur. Budaya Indonesia, lebih dari sekedar cara hidup urban-metropolitan bangsa Indonesia.
Merenungkan dan melakukan pemikiran terhadap universalia-universalia yang ada dapat memberikan kontribusi pada konsep budaya yang realistis. Dalam pandangan saya, perdebatan teoritis saat ini tentang budaya sepertinya didominasi oleh posisi yang agak ekstrim. Di satu sisi, perbedaan budaya terlalu ditekankan
Kebudayaan-kebudayaan umumnya heterogen atau beragam secara internal (keragaman intra-budaya). Kecuali hukum positif, hampir tak ada sesuatu yang (a) bisa ditemukan seseorang hanya dalam budayanya sendiri, (b) bersama semua anggota, dan (c) tanpa anggota dari budaya lain. Budaya tidak dibedakan sedemikian rupa
JurnalSajak No. 06, 2013
21
sehingga budaya X memiliki sejumlah f itur yang sama sekali tidak ada dalam budaya Y, dan sebaliknya Y ditandai dengan f itur yang eksklusif. Khasanah milik budaya X atau Y juga dapat ditemukan (setidaknya sedikit) di (hampir semua) budaya lain. Oleh karena itu, budaya tidak dibedakan berdasarkan kualitas tertentu atau kumpulan segi eksklusif mereka, melainkan oleh status atau derajat relevansi yang diberikan kepada sejumlah segi mereka. Jadi, yang membedakan budaya-budaya adalah kepentingan-kepentingan yang berhubungan atau posisi hirarkis kualitas masing-masing budaya. Variasi-variasi dalam satu budaya yang sama (misalnya dalam hal usia, pekerjaan, kelas sosial, wilayah, atau zaman) nyaris selalu hadir sebagai variasi di antara berbagai budaya (keragaman antar-budaya), bahkan kerap lebih dari itu. Subkultur dan ketidaksesuaian adalah sesuatu yang normal, disamping biasanya ada cukup perbedaan antar-individu, bahkan jika hanya karena ada sekelompok orang yang tergolong dalam kelompok usia berbeda. Lebih jauh lagi, Holenstein bahkan menyatakan bahwa perbedaan dalam dan di antara masyarakat adalah identik berkait dengan jenis, derajat, fungsi dan konsekuensi13.
13
Holenstein, Elmar, “Intrakulturelle Variationen unterscheiden sich nicht selten weder der Art noch dem Grad nach von interkulturellen Variationen”, dalam Zeitschrift für Kulturwissenschaft 1/2013, hal. 184-192.
22
Keragaman dalam budaya adalah analog dengan variabilitas antar-budaya manusia. Bahwa hal ini mengarah pada penghapusan perbedaan antara intra dan antar-budaya, menurut saya agak terlalu jauh. Namun, pandangan Holenstein layak dipertimbangkan, terutama kontras dengan pernyataan Habermas awal, karena pandangan ini mewakili pendapat yang dominan dalam kajian budaya saat ini: “Lebih mudah untuk membuat pernyataan umum tentang manusia sebagai spesies tertentu, yaitu pernyataan yang berlaku untuk semua manusia dan tidak ada mahluk lain selain manusia yang bisa membuat pernyataan umum tentang budaya individu sebagai populasi tertentu, yaitu pernyataan yang berlaku untuk semua anggota budaya tertentu, dan tidak berlaku bagi anggota budaya yang lain.”14 “Manusia seperti itu —dan dalam ukuran yang sama, bahasa seperti itu— tidaklah ada. Karena manusia hanya membuat diri mereka menjadi sedemikian, dan hal itu dilakukan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan. Memang ada masyarakat dan budaya yang variasivariasi umumnya dapat dibuat dalam cara yang sama seperti jenis tanaman atau hewan, tetapi tidak bisa diterapkan untuk manusia secara umum.”15
Namun, budaya bukanlah —seperti disebutkan di atas– sejumlah
14
Holenstein, Kulturphilosophische Perspektiven, hal. 326.
15
Habermas, Jürgen, “Philosophische Anthropologie. Ein Lexikonartikelî, in: idem: Kultur und Kritik. Verstreute Aufsätze, Frankfurt/Main, 1973, hal. 106.
JurnalSajak No. 06, 2013
kumpulan elemen yang seluruhnya bisa ditembus oleh pengaruh eksternal. Meskipun ada manifestasi budaya yang berseberangan dengan tipe budaya tua16, seperti pola konsumerisme dan bentuk perilaku profesi, hal ini tidak membuat budaya bisa dengan mudahnya diuraikan sebagai unit-unit yang dapat didefinisikan. Budaya-budaya umumnya menjaga hubungan dengan lingkungan sekitar mereka dan bersifat dinamis, namun secara terbatas mereka adalah sistem yang terintegrasi. Budaya adalah organisasi yang sistematis, tetapi tidak seragam. Subsistem individual dimungkinkan untuk memperoleh tingkat otonomi tertentu, misalnya melalui modulasi. Beberapa Pandangan Dunia Budaya Raya yang Relevan bagi Humanisme Saya ingin menjelaskan secara singkat beberapa universalia yang dapat dibuat relevan untuk proyek humanisme. Usulan ini saya kemukakan lewat gambaran atas pandangan dunia dan ide-ide kemanusiaan yang mendasarinya. Pandangan dunia, yaitu konsep bagaimana dunia ini disusun dan bekerja, menunjukkan beberapa kesamaan trans-buda-
16
Welsch, Wolfgang, “Transkulturalität. Lebensformen nach der Auflösung der Kulturenî, dalam Kurt Luger/R. Renger (Eds.), Dialog der Kulturen. Die multikulturelle Gesellschaft und die Medien, Wien, 1994, hal. 147.
JurnalSajak No. 06, 2013
ya. Jadi, kosmologi dunia yang seragam dan kosmologi berdasarkan ini cukup luas. Apa yang menyatukan semua konsep-konsep dunia adalah klaim bersama yang menjelaskan bagaimana dunia ditata. Mitos dari semua belahan dunia yang memasok teori berkenaan dengan bagaimana alam dunia mewujud, dan bagaimana ia berkembang, memiliki banyak kesamaan, bahkan hingga ke detail. Di hampir di semua masyarakat, perbedaan mendasar antara manusia dengan hewan pun dibuat, baik secara eksplisit maupun implisit. Pertama, hanya manusia membuat api tidak hanya untuk menghangatkan diri melainkan juga untuk memasak; kedua, mereka hanya memiliki hubungan seksual dengan sesama manusia, dan ketiga mereka mengubah tubuh mereka dengan lukisan, mutilasi, atau pakaian. Kecenderungan untuk melakukan pemanusiaan dan mengubah alam tampaknya merupakan universalia lainnya. Hal yang sama boleh jadi berlaku bagi dikotomisasi alam dan budaya. Hal ini, bagaimana pun, belum diverifikasi secara empiris. Boleh jadi hal itu hanya sekedar proyeksi dari dualisme Cartesian kuno Barat. Maka, antropolog budaya memiliki keraguan kuat mengenai apakah perbedaan alam sebagai realitas yang bebas dari budaya tersebut memang sesungguhnya universal atau tidak. Pandangan dunia terdiri dari konsep mengenai dunia di tingkat makro, 23
menengah (mezo), dan mikro. Di antaranya, konsep mengenai individu sebagai tubuh adalah hal yang secara langsung paling menarik bagi seseorang dalam proses menjelajahi pengalaman diri sendiri. Konsep badan dapat ditemukan dalam semua budaya manusia: “... Awalnya apa yang tampaknya mendasar adalah kebutuhan mendesak dari setiap manusia untuk mengembangkan suatu gambaran identitas pribadi dan untuk menjaga integritas dan otonomi, yaitu untuk membuat suatu ukuran kontrol diri yang memadai dan menolak campur tangan dan kontrol berlebihan dari orang lain “.17
Clifford Geertz menggarisbawahi bahwa perbedaan ‘diri’ vs ‘si lain’ bersifat universal, sebagaimana gagasan manusia sebagai obyek dan subyek, yaitu manusia tidak hanya dipahami sebagai reaksi.18 Universalia lainnya adalah konsep intensi, yaitu asumsi bahwa tubuh menghasratkan sesuatu, bahwa mereka bisa membuat rencana dan dapat membuat keputusan. Berkaitan dengan hal ini adalah konsep umum aktor yang setidaknya bertanggung jawab sebagian atas tindakannya. Yang juga sama menyebar luas adalah perbedaan tindakan di
17
Markl, Hubert, Evolution, Genetik und menschliches Verhalten. Zur Frage wissenschaftlicher Verantwortung, Munich/ Zürich, 1986, hal. 84-85.
18
Geertz, Clifford James, The Interpretation of Cultures, New York, 1972.
24
mana kita memberi pengaruh dan di mana tidak memberi pengaruh. Persoalan seputar keputusan dan tanggung jawab menjelaskan dengan terang pada siapa saja, apapun budayanya, bagaimana tindakan ambivalen bisa mewujud, dan karenanya kita temukan di mana-mana gagasan bahwa tindakan, lebih-lebih keputusan, selalu ambivalen sifatnya.19 Konsep-aktor bahkan mempengaruhi perumpamaan kita: Di mana saja, yakni manakala seseorang datang dengan suatu cara berbicara tertentu mengenai institusi sosial dalam terminologi aktor, seperti misalnya “pengaturan menghukumi keberbagaian”.(“the legislative punishes the university”.) Kebanyakan antropolog budaya berbagi pendapat bahwa –sebagai tantangan atas konsep-aktor— mengenai konsep kepribadian yang lebih spesifik sebagai individu yang dikaruniai dengan otonomi dan identitas jangka panjang bersifat universal. Ini lah sebabnya mengapa kajian yang menyatakan bahwa semua kemungkinan mengenai konsep otonomi kepribadian tidak dikenal di antara semua budaya haruslah diberi perhatian khusus dengan sangat serius. Ada banyak indikator mengenai hal ini dalam etnografi dari wilayah Pa-
19
Cf. Boehm, Christopher, “Ambivalence and Compromise in Human Nature”, dalam American Anthropologist 91 (1989), hal. 921–939.
JurnalSajak No. 06, 2013
sifik.20 Beberapa teoretisi Barat, bahkan ketika hujah mereka dinyatakan berlaku umum, tidak memiliki pandangan bulat mengenai universalitas kepribadian. Dalam Marxisme, misalnya, sang subjek didasari oleh modus produksi tertentu secara historis, hingga tidaklah ada pribadi yang universal. Ide-ide mengenai dunia mezo dan makro macam apa yang ada secara universal? Berdasarkan penelitian budaya secara komparatif dan argumentasi deduktif mengenai tipetepe budaya materialis, Michael Kearney telah mengembangkan model umum pandangan dunia. Saat mengerjakan hal tersebut ia telah menyarikan kembali pertanyaan-pertanyaan purba mengenai kesatuan mental manusia dengan mengacu pada aspek tertentu. Konsep Kearney mengenai generalisasi “pandangan dunia universal”,21 dalam banyak hal
20
21
Loizos, Peter/Heady, Patrick (Eds.), Conceiving Persons. Ethnographies of Procreation, Fertility and Growth. (= London School of Economics Monographs on Social Anthropology), London 1999; Strathern, Andrew J./ Stewart, Pamela J. (Eds.), Identity Work. Constructing Pacific Lives. (Association of Social Anthropologists of Oceania Monograph), Pittsburg, 2000; Gregor, Thomas A./ Tuzin, Donald F., “Comparing Gender in Amazonia and Melanesia: A Theoretical Orientationî, dalam Gregor/Tuzin (Eds.), Gender in Amazonia and Melanesia. An Exploration of Comparative Method, Berkeley, 2001, hal. 1-16. Kearney, World View, hal. 65–107; “World View”; hal. 138; bdk dengan Wrightsman, Lawrence S., Assumptions about Human Nature. A SocialPsychological Approach, Monterrey, Cal., 1975.
JurnalSajak No. 06, 2013
sesuai dengan model awal universalia yang diusulkan oleh Redfield.22 Menurut kedua model tersebut, pemberadaan yang paling mendasar dan universal adalah kaitan seseorang dengan diri dan si lain. Kearney menekankan hubungan logis yang muncul di antara dikotomi tersebut. Dengan demikian, semua pembedaan dualistik lainnya sebagian besar dapat diasalkan pada hal ini. Konsep ruang dan waktu lebih erat bergantung pada konsep kausalitas dibanding ketergantungan mereka satu sama lain. Menurut Kearney pandangan dunia universal adalah refleksi dari pengalaman manusia yang paling umum dalam menangani situasi praktis kehidupan. Hasilnya adalah, antara lain, konsep ruang-waktu praEinstein yang melihat ruang dan waktu sebagai kategori berbeda. Kategori-kategori yang didefinisikan oleh Kearney sebagian besar berkaitan dengan hasil psikologi genetik Piaget tentang perkembangan pemikiran logis pada anak-anak. Sebuah universalia yang terkait erat dengan pandangan dunia adalah sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan hukum alam. Konsep ini berkenaan dengan jenis perilaku atau norma/cita-cita tindakan yang dianggap sebagai pencapaian universal semua orang. Ada banyak konsep
22
Redfield, Robert: The Primitive World and Its Transformations, Ithaca, N.J., 1953; cf. Kearney, World View, hal. 39.
25
berbeda mengenai hukum alam. Hal ini niscaya bersebab pada entitas berbeda seperti Tuhan, akal, kodrat manusia, atau kendala sosial. Di kalangan masyarakat lisan kerap hadir secara implisit; lazimnya dicontohkan lewat kontras dengan hukum positif buatan manusia. 23 Sebagai suatu konsep umum, hukum alam nyaris lah universal, sebagaimana dipertahankan Adams: “... dari satu atau lain segi, pastilah ia universal.” Konsep yang beragam dan agak berbeda mengenai hukum alam menunjukkan diri sebagai segi umum atas pola pikiran tempat hadirnya suatu “kesatuan esensial” antara hukum dan manifestasi tertinggi dari alam. Keuniversalannya adalah, sejauh mengacu pada Adams, ditunjukkan dengan kealamiahannya, dan sebaliknya kealamiahannya lah yang menjadi indikator bagi keuniversalannya. Kebenaran atau kesahihannya menjadi indikator bagi kealamiannya, dan sebaliknya kealamiannya lah yang merupakan indikator bagi kehahihan atau kebenarannya. Berbagai penulis telah mendalilkan adanya universalia dalam pandangan dunia dan berspekulasi mengenai keberadaan mereka. Saya hanya memberikan beberapa contoh: Di manapun, kata mereka, ada teori tentang cuaca, tentang nasib baik atau
nasib buruk, juga mengenai kesehatan atau penyakit. Di mana-mana terdapat gagasan tentang hubungan sebab akibat antara penyakit dan kematian, dan juga penafsiran atas situasi atau peristiwa tertentu bahkan melalui indikator kecil (hewan, penyakit). Dalam semua budaya ada ilmu gaib (magic) untuk melindungi kebutuhan penting kehidupan atau ketertarikan pada lawan jenis. Ada spekulasi lebih jauh mengenai adanya ketertarikan pada sihir, misalnya gagasan bahwa dengan memanipulasi simbol atau gambar obyek tertentu maka objek yang dilambangkan atau diwakili dapat dipengaruhi. Bahkan beberapa ide yang sangat spesifik diklaim sebagai nyaris universal. Menurut Edward Leach, misalnya, unsur simbolis bulu pada umumnya, khususnya penyamaan bulu dengan alat kelamin, bersifat universal.24 Namun, sejumlah pertanyaan mengenai persamaan dan perbedaan dalam pandangan dunia atau pola pemikiran masih lah tetap belum terjawab. Selain kesamaan pandangan dunia yang ada, di antara beratus universalia yang sejauh ini telah didokumentasikan, beberapa mungkin relevan untuk proyek humanisme. Pada gambar 2, saya senaraikan beberapa dari padanya.
24 23
Adams, William Yewdale, The Philosophical Roots of Anthropology, Stanford, Cal. 1998, hal. 117ff.
26
Leach, Edmund Ronald, “Magical Hair” dalam Proceedings of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland 88, 2 (1958), hal. 147 ff.
JurnalSajak No. 06, 2013
The Family of Man —Indonesia dan Potensi Metafor Kekerabatan
sistematik atas kesamaan-kesamaan yang diasumsikan di sisi lain.
Universalia Budaya bukanlah sekedar rekan dan pasangan imbangan bagi perbedaan budaya manusia. Universalia baru sungguh-sungguh beroleh relevansi yang nyata manakala ia dilihat sebagai suatu pola umum atas keragaman cara manusia mengatur keberadaan mereka. Penelitian atas universalia membuka perspektif yang bermanfaat atas apa yang konon selama ini disebut dengan kodrat manusia. Ini merupakan pendekatan yang menawarkan jalan tengah antara spekulasi dan lamunan di satu sisi dan pengumpulan non-
Saya tertarik pada jalan masuk nonmetafisik menuju kodrat manusia. Gagasan utamanya adalah bahwa seseorang dapat mereduksi insan manusia baik kepada kodratnya sebagai manusia, maupun pada budayanya dan yang, kedua, budaya tak dapat dijadikan pembatas bagi kegiatan intelektual melainkan merupakan sesuatu yang melekat secara sosial. Esai ini dimengerti sebagai satu sumbangan pada suatu antropologi yang dapat bertindak sebagai pecahan umum terkecil bagi sains yang berprihatin pada manusia. Antropologi di benak
•
Konsep manusia (misalnya manusia sebagai organisme dan kualitas manusia, misalnya kemampuan menahan penderitaan)
•
Konsep kemanusiaan (sebuah kemungkinan untuk muncul sebagai universalia, namun saat ini hanya tersebar secara luas )
•
Konsep aktor dengan otonomi terbatas (badan)
•
Konsep sejarah, kesejarahan budaya manusia, sejarah alam
•
Kerjasama
•
Ketimbalbalikan (perilaku dan norma-norma sosial)
•
Keadilan minimal dalam berkompetisi (setidaknya sebagai kecenderungan)
•
Kemampuan untuk berempati
•
Konsep, norma, dan tujuan ideal pendidikan
•
Keluarga sebagai lingkup gabungan propagasi biotik dan reproduksi sosial
•
Konsep remaja dan kelompok usia lain serta upacara inisiasi
•
Perbedaan gender dalam perilaku selama masa remaja
•
Kecenderungan dikhotomis dalam konsep gender, norma, dan cita-cita
•
Kearifan dan temuan empiris lokal dan pembelajaran performatif
•
Berpikir dalam metafor
•
Kecenderungan Nepotisme
•
Kecenderungan Egoisme
•
Kontrol sosial atas perilaku menyimpang
JurnalSajak No. 06, 2013
27
saya adalah: “... pemahaman atas apa yang mungkin manusiawi, dan batas-batas bagi apa yang mungkin manusiawi”.25 Jadi, menyusun penelitian kedalam universalia memiliki kemampuan untuk memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan sebagai suatu sains atas “semesta manusia”. Penelitian ke dalam universalia dapat memberikan wawasan penting atas kesamaan antara sekitar 7.000 budaya yang ada di dunia. Universalia tidak harus dilihat sebagai lawan bagi kekhasan budaya, perbedaan, atau keragaman umat manusia. Universalia tidak mengelirukan diri ke dalam kemutlakan. Kekerapan, lebih dibanding yang tak sengaja, kemunculan gejala tersebut lebih dari cukup untuk mengupayaan persoalan universalitas. Namun, universalia hanya memperoleh perhatian nyata lewat dipersepsikannya ia sebagai lawan bagi yang berlatarbelakangkan pembedaan budaya. Ia tidak dapat diverifikasi oleh semacam “jajak pendapat” di kalangan masyarakat. Apa yang dibutuhkan dalam terminologi metodologis adalah susunan teori yang berdasar pada evolusi dan ilmu sosial bagi tujuan membuat penilaian perbandingan antarbudaya.
humana (kondisi manusia) atau “kendala antropologis”, sebagaimana dibahas dalam filsafat. Dalam ukuran yang sama, ia pun tidak harus disamakan dengan “kesatuan fisik umat manusia”. Universalia berpandangan bahwa suatu kemutlakan tidak dapat dipertahankan sebagaimana satu kekhasan sepihak yang telah dimutasikan ke dalam kerelatifan. Dalam sebuah universalime dogmatik, antropologi budaya akan berlebihan alias —dalam bahasa populer— lebay, sebab yang akrab dan yang asing sekedar sisi dari sebuah berlian yang sama dan identik. Di sisi lain, desakan ekstrim atas pembedaan budaya mengalami jalan buntu. Hasrat akan alteritas26 membuat budaya menjadi suatu yang mutlak terberi, tak dapat dipertanyakan lagi, dan secara politis hal ini sangatlah berbahaya.27
26
Agak sulit menerjemahkan alterity dalam satu kata Indonesia secara tepat. Dalam termonologi filsafat ia bermakna rasa akan si lain dalam satu perspektif dualitas. Dalam tradisi fenomenologis, ia lazimnya dipahami sebagai sesuatu yang dikontraskan dengan identitas (yang dikonstruksikan) sehingga menyiratkan pembedaan antara diri dan nondiri. Konsep ini ditubuhkan oleh Emmanuel Lévinas dalam serangkaian esainya, yang dikumpulkan dalam Alterity and Transcendence (1999 [1970]). Diluar filsafat, konsep ini juga digunakan dalam antropologi, misalnya oleh Nicholas Dirks, Johannes Fabian, Michael Taussig, dan Pauline Turner Strong dengan mengacu pada konstruksi atas “budaya lain” (catatan penerjemah, ARS).
27
Van der Walt, Sibylle, “Die Last der Vergangenheit und die kulturrelativistische Kritik an den Menschenrechten. Ursprung und Folgen der westlichen Alteritätsobsession” dalam Saeculum 57.2 (2006), hal. 237.
Universalia tidak dapat secara sederhana disamakan dengan conditio-
25
Hauschild, Thomas: “Ethnologie als Kulturwissenschaftî, in: Klaus Stierstorfer/ Laurenz Volkmann (Eds.): Kulturwissenschaft interdisziplinär, Tübingen 2005, hal. 61.
28
JurnalSajak No. 06, 2013
Dalam esai ini saya telah berbicara tentang ‘universalia’ bukan ‘budaya universal ‘. Hal ini bukan saja secara ringkas cukup pantas, tapi sekaligus juga mengijinkan kita untuk menjaga definisi tetap jelas bagi setiap kesimpulan yang lebih dulu, dalam kaitan ini, dari kaum budayawan. Namun, universalia juga disebut sebagai universalia budaya karena ia hanya universal di tataran budaya atau masyarakat, bukan dalam tataran individual. Itu sebabnya mengapa ia jangan dikusutkan dengan universalia bio-psikologi. Ini tidak berarti, menghalangi hubungan sebab-akibat di antara mereka, terutama karena sejumlah universalia budaya merupakan hasil langsung dari universalia bio-psikologi, namun ini hanya dapat diterapkan sebagian saja. Indonesia adalah negara di mana kata-kata seperti keluarga dan kita kerap digunakan untuk menciptakan persatuan. Metafora keluarga memiliki potensi positif di satu sisi, namun di sisi lain dapat pula mengarah pada lamunan atau tindak depolitisasi. Salah satu bahaya yang melekat dalam keprihatinan kemanusiaan kita adalah bahwa seseorang mungkin mengharapkan universalia tertentu benarbenar menjadi ada. Gagasan mempertimbangkan kemanusiaan sebagai satu kepentingan komunitas dunia sangat lah penting,28 namun dapat 28
Topik ini dikembangkan secara detail dalam Antweiler, Christoph, Inclusive Humanism. Anthropological Basics for a Realistic Cosmopolitanism, Göttingen and Taipei, 2012.
JurnalSajak No. 06, 2013
menjadi sesuatu yang bermasalah sekaligus menggoda bagi institusi politik. Di belakang proyek semacam ini, kerap mengendap-endap dan mengintai angan lamunan, sentimentalitas, agenda politik tersembunyi, atau ideologi relijius terselubung. Sebuah contoh klasik dari proyek ini adalah pameran fotografi yang sangat sukses hasil susunan Edward Steichen (1879-1973) selaku kurator Museum of Modern Art di New York. Menyusul perumusan ‘Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia” tahun 1948, ada 503 foto hitam-putih karya 278 fotografer amatir dan profesional dari 68 negara dipamerkan. Dengan memanfaatkan fotografi sebagai bahasa dunia, terbagi dalam 24 kategori, pameran ini menunjukkan bahwa di belahan dunia mana pun, tema universal manusia yang sama dan masalah-masalah yang serupa, mendominasi keseluruhan pameran: bermain, kerja, kelahiran, penyakit, usia tua, dan kematian. Apa yang ingin dicapai Steichen adalah menciptakan sebuah “cermin kesamaan mendasar dari spesies manusia”.29 Foto-foto tersebut dilengkapi dengan kutipan yang tampaknya abadi, misalnya peribahasa atau baris-baris Perjanjian Lama untuk masing-masing kategori. ‘The Family of Man’ melanjutkan tur ke 67 negara sebagai sebuah edisi
29
Steichen, Edward, The Family of Man. The Greatest Photographic Exhibition of All Time – 503 Pictures From 68 Countries, New York, 1955.
29
pameran keliling dan ternyata mencapai sukses secara sensasional. Di era Perang Dingin, pameran ini mendorong gagasan kesatuan umat manusia. Berbagai divisi umat manusia tampil sekedar sebagai permukaan belaka, sesuatu yang tergantung, di mana identitas substansial menjadi nyata. Pembauran keragaman manusia dan kesatuan mendasar dari tindakan dan emosi mereka memesona jutaan pemirsa. Apa yang dikritik pada pameran tersebut adalah karena ia memberikan penekanan tak sengaja atas perbedaan fisik di satu sisi, dan universalisasi pesan di sisi lain.30 Persahabatan monumental sama dengan penolakan segala jenis perbedaan sosial. Yang belakangan ini, dianggap sebagai instrumen imperialisme Amerika dan nilai-nilai keluarga AS selama Perang Dingin. Beberapa suara mengkritisi nuansa patriarki yang tersirat pada ‘Family Man’; Keluarga “normal” di Amerika tak diberi tempat ideal dalam acara. Yang lainnya mengeluhkan menonjolnya kecenderungan didaktis di sana. Setelah melihat pameran lebih dekat, ada banyak hal membenarkan apa yang dikritik, namun dalam banyak hal lain kritik tersebut terkesan
agak berlebihan. Apa yang mudah dilupakan adalah bahwa konsep ‘Family Man’, terlepas dari hal yang bermasalah, memiliki potensi yang benar-benar serius. Kita dapat merumuskan konsep kemanusiaan sebagai sebuah ‘keluarga umat manusia’. Ini akan membawa kita pada peluang untuk tidak mendefinisikan kemanusiaan melalui katalog kualitas tertentu yang kaku, melainkan akan beralih ke arah genealogis lewat jalur lintas generasi umat manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Jerman Gernot Böhmethe, metafora keluarga tidak lah, jauh dari keharusan, harus dipahami secara Kristen, Yahudi, atau kerangka patriarki, juga selanjutnya pun tak perlu dipahami secara penglipur lara atau sentimental. Metafora ini juga dapat dibaca dalam kerangka sejarah atau filogenetik. Keanggotaan setiap individu dalam genre umat manusia terutama ditekankan oleh konsep ‘keluarga’ – yang bekonotasi dengan kekerabatan, keterhubungan, dan kesatuan. “Seseorang adalah manusia karena ia keturunan umat manusia”.31 Dengan cara demikian, orang dapat mendefinisikan kemanusiaan lewat konsep keterkaitannya, dan orang dapat menyusunnya sebagai perluasan (exten-
31 30
Barthes, Roland, “Die große Familie des Menschenî, dalam idem, Mythen des Alltags, Frankfurt/Main, 1974, hal. 16
30
Böhme, Gernot, “Kant und die Family of Man. Wie begründet sich die Universalität der Menschenrechte?” dalam Lettre Internationale 25 (1999), hal. 26.
JurnalSajak No. 06, 2013
sional) konsep yang mengakui keberagaman. Suatu definisi manusia yang membuat keanggotaan dalam umat manusia ditentukan oleh batasan kualitas tertentu (intensional) bakal sulit mengijinkan ruang gerak tersebut. Satu Pemahaman kemanusiaan yang luas, diilhami oleh metafora keluarga, bisa juga dimasukkan ke dalam perdebatan mutakhir tentang dimensi universalis keragaman budaya di berbagai belahan dunia. ‘Budaya universalia” baru di bawah tajuk “budaya dunia” atau ‘budaya global’ 32 tidak lagi berkutat pada dominasi homogenisasi Eropa-Amerika. Yang menjadi fokus mestilah keluarga besar umat manusia yang hidup di atas planet bumi yang secara mendalam berubah oleh kita, sebuah kemanusiaan yang hidup di zaman Anthropocene.33
Sejumlah budaya Indonesia memiliki ketangguhan pengalaman yang panjang dengan orientasi kosmopolitan. Di negeri di mana kontak antara berbagai manusia berbeda merupakan hal biasa dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan budaya tidak lah dapat diabaikan. Batas-batas budaya tidak diabaikan, namun kerap dapat disisihkan untuk sementara. 34 Dengan demikian, peluang untuk melihat kesamaan pun muncul. Indonesia adalah salah satu negeri di planet ini yang bakal jadi negara besar di masa mendatang. Indonesia tengah berada dalam transformasi dan mungkin beroleh keuntungan dari nilai-nilai kemanusiaan dan pengalaman puspa ragam budaya manusia di dunia. Dunia selebihnya, dapat belajar dari pengalaman Indonesia sebagai sebuah negeri yang secara damai menghasratkan kesatuan tanpa menghindari keragaman.[] Diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono
32
Lechner, Frank J./Boli, John, World Culture. Origins and Consequences, Oxford etc., 2005, hal. 22–25.
33
Anthropocene adalah sebuah istilah geologi berkenaan dengan dampak signifikan aktivitas manusia pada ekosistem bumi. Istilah ini diciptakan baru-baru ini oleh ahli ekologi Eugene F. Stoermer, namun menjadi terkenal di mana-mana setelah dipopulerkan oleh pemenang Hadiah Nobel bidang kimia, Paul Crutzen. Zaman Anthropocene adalah zaman dimana perilaku manusia membawa akibat besar pada lingkungan planet bumi. Hingga sekarang, istilah ini belum diadopsi sebagai bagian dari nomenklatur resmi bidang kajian geologi (catatan penerjemah, ARS)
JurnalSajak No. 06, 2013
34
Antweiler, Christoph, 2013, “Alltags-Kosmopolitismus in Indonesien? Transdifferenz in Makassar, Süd-Sulawesi”, dalam Asien 127 (1), hal. 1-20.
31