Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia
2012
i
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012 © Indonesian Legal Roundtable, 2013
Editor Rikardo Simarmata Penulis Tim Indonesian Legal Roundtable Desain Sampul Mugi Pengki Tata Letak dan Cetak Gajah Hidup
Cetakan Pertama, Mei 2013 i-viii+118 hlm, 14x21 cm
Indonesian Legal Roundtable Jl. Tebet Barat Dalam IV No.6 Tebet- Jakarta Selatan ii
Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule of Law Perception Index) Indonesia 2012 Indonesian Legal Roundtable
iii
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
iv
Kata Pengantar Tahir Foundation
Para pendiri bangsa ini telah mengenalkan cita-cita untuk membangun suatu negara hukum jauh sejak negara ini diproklamasikan, meskipun secara eksplisit baru dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 konsep negara hukum itu ditegaskan. Secara sederhana, negara hukum dipahami sebagai cita-cita untuk menjadikan hukum sebagai rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Walaupun di dalam konstitusi tercantum bahwa Indonesia adalah negara hukum, namun sulit dinafikan bahwa hukum di Indonesia sudah berjalan dalam rel yang benar. Setiap hari kita mendengar di berita-berita korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, konflik horisontal, dan lain sebagainya. Hal itu menandakan bahwa ada permasalahan serius dalam dunia hukum di Indonesia. Oleh karena itu, kami merasa penyusunan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012 yang dilakukan oleh Indonesian Legal Roundtable sangat relevan dengan situasi dan kondisi hukum di Indonesia saat ini. Karena melalui Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia inilah kita dapat menilai sejauh mana negara hukum telah diimplementasikan dengan baik. v
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tahir Foundation sangat mendukung dan menghargai upaya yang dilakukan oleh Indonesian Legal Roundtable ini karena kami sangat percaya bahwa dengan pembangunan hukum dan hak asasi manusia merupakan salah satu jalan menuju Indonesia yang lebih baik dan bermatabat. Tentunya kami berharap semoga hasil dari penilaian ini dapat digunakan oleh semua pihak untuk terus menerus melakukan perbaikan demi tercapainya cita-cita negara hukum Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Todung Mulya Lubis yang telah membuka jalan bagi kami untuk berkontribusi dalam pembangunan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Serta tentunya terima kasih kami ucapkan kepada Indonesian Legal Roundtable dan berbagai pihak yang telah bersusah payah dalam mewujudkan laporan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia ini.
Jakarta, 17 Mei 2013 Dato’ Sri Prof. DR. Tahir, MBA
vi
Kata Pengantar Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable
Negara hukum, baik dalam tataran konseptual maupun implementasi selalu menjadi isu yang menarik dan tidak pernah sepi dari perdebatan. Telah begitu banyak ilmuwan dan praktisi hukum yang mengemukan pendapatnya tentang hal tersebut. Ada di antaranya yang relatif sejalan, tapi tidak sedikit yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Bicara tentang negara hukum memang tidak bisa dilepaskan dari pergerakan peradaban manusia itu sendiri, sehingga dengan sendirinya semua teori para ahli tersebut pasti dipengaruhi oleh zaman dan tempat di mana teori tersebut diutarakan. Saat ini Indonesia telah menasbihkan dirinya sebagai negara hukum, hal tersebut dapat dibaca dengan jelas dalam konstitusi negara. Beberapa norma baru di dalam konstitusi kita semakin meneguhkan hal ini seperti pengakuan HAM yang lebih rinci, pembatasan kekuasaan yang lebih jelas dan sebagainya. Sebagai implementasinya, berbagai kebijakan pun terlihat sudah dikeluarkan. Tak dapat dipungkiri, pasca gerakan reformasi tahun 1998 telah terjadi perubahan yang signifikan dalam pelaksanaan negara hukum di Indonesia. Hal tersebut tidak sebatas dalam peraturan perundangundangan baru yang dikeluarkan dan upaya reformasi di vii
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
berbagai lembaga penegak hukum, juga terlihat dalam pembentukan berbagai lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) yang diharapkan dapat mengawal agar pelaksanaan negara hukum berjalan optimal. Namun di sisi lain kita juga tidak dapat menyangkal bahwa negara hukum tidak bisa hanya dinilai dari lahirnya berbagai peraturan ataupun proyek reformasi belaka. Nyatanya permasalahan masih kerap muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kisruhnya hubungan antarlembaga negara, maraknya kasus korupsi dalam berbagai sektor, bermasalahnya integritas aparat penegak hukum, terjadinya berbagai pelanggaran HAM dan minimnya akses masyarakat –terutama kaum marginal- terhadap keadilan merupakan fakta yang tidak dapat disangkal. Bahkan hal tersebut dapat dengan jelas kita lihat dalam data resmi yang dikeluarkan baik oleh lembaga negara maupun lembaga riset masyarakat sipil. Beranjak dari potret di atas, ILR berinisiatif untuk menilai sudah sejauh manakah sebenarnya negara hukum Indonesia diimplementasikan. Kegiatan ini rencananya akan dilakukan setiap tahun dan dimulai pada tahun 2012 lalu. Sebagai langkah awal, Indonesian Legal Roundtable (ILR) melakukan suatu survei persepsi publik yang dilakukan kepada 1220 orang di seluruh Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memotret sejauh mana prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, independensi kekuasaan kehakiman, pemenuhan dan perlindungan HAM, akses terhadap keadilan serta peraturan yang terbuka dan jelas sudah dijalankan oleh negara. Kelima prinsip tersebut ditetapkan setelah melalui viii
serangkaian perdebatan pemikiran dan didasarkan pada keinginan agar prinsip yang ditentukan dapat aplikatif dan cocok diterapkan di negara hukum Indonesia. Selain survei publik, dalam rangka menyempurnakan data dan informasi yang dibutuhkan, ILR juga melakukan studi dokumen untuk memproporsionalkan hasil temuan dari survei publik. Secara umum, berdasarkan hasil survei dapat kami katakan bahwa saat ini negara hukum Indonesia berada dalam persimpangan. Hal ini didasarkan pada nilai indeks yang tidak menggembirakan, di mana dalam skala 0 sampai 10, nilai yang diperoleh tidak bisa mencapai angka setengahnya. Kami berharap langkah awal yang telah dilakukan oleh ILR ini dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan negara hukum Indonesia. Kami pun menyadari bahwa indeks ini masih perlu dikembangkan ke depannya. Namun paling tidak dengan adanya potret berdasarkan indeks persepsi publik ini akan diketahui di mana posisi negara hukum kita saat ini di mata publik, serta setidaknya kita akan mendapat gambaran apa sebenarnya yang perlu secepatnya dibenahi. Dari sini kita bisa melihat, bahwa banyak hal yang perlu dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat untuk mencapai negara hukum Indonesia yang dicita-citakan, karena membangun negara hukum bukanlah pekerjaan yang sebentar dan ringan. Sehingga keinginan kita untuk mempunyai negara hukum Indonesia yang bisa memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa kecuali dapat tercapai. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Tahir Foundations yang telah mendukung pendanaan program ini, Lembaga Survei Indonesia yang telah membantu ix
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
pelaksanaan survei, dan semua pihak lainnya yang telah berkontribusi dalam penyusunan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia tahun 2012 . Jakarta, 17 Mei 2013 Todung Mulya Lubis
x
Daftar Isi
Kata Pengantar Tahir Foundation
....... v
Kata Pengantar Direktur Eksekutif
. . . . . . . vii
Daftar Tabel
. . . . . . . xiii
BAB I A. B. C. D. E.
Pengantar Latar Belakang Signifikansi Tujuan Metodologi Struktur Laporan
....... ....... ....... ....... ....... .......
BAB II A. B. C.
Survei Publik Pemerintahan Berdasarkan Hukum Independensi Kekuasaan Kehakiman Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM Akses Terhadap Keadilan Peraturan yang Terbuka dan Jelas Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule of Law Index) Indonesia 2012
. . . . . . . 19 . . . . . . . 19 . . . . . . . 27
D. E. F.
1 1 3 4 4 6
. . . . . . . 31 . . . . . . . 44 . . . . . . . 51 . . . . . . . 60
BAB III Studi Dokumen . . . . . . . 67 A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum . . . . . . . 67 B. Independensi Kekuasaan Kehakiman . . . . . . . 84 C. Penghormatan, Pengakuan dan xi
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
D. E. BAB IV A. B. C. D. E.
Perlindungan HAM Akses Terhadap Keadilan Peraturan yang Terbuka dan Jelas
. . . . . . . 101 . . . . . . . 146 . . . . . . . 160
Analisis Pemerintahan Berdasarkan Hukum Independensi Kekuasaan Kehakiman Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM Akses Terhadap Keadilan Peraturan yang Terbuka dan Jelas
. . . . . . . 173 . . . . . . . 173 . . . . . . . 176 . . . . . . . 177 . . . . . . . 180 . . . . . . . 182
Daftar Pustaka
. . . . . . . 185
Latar Belakang
. . . . . . . 197
xii
Daftar Tabel
Tabel 1.1
Berbagai Pandangan Mengenai Prinsip Negara Hukum
Tabel 1.2 Tabel 1.3
Prinsip dan Indikator Negara Hukum Demografi Responden Berdasarkan Gender, Desa-Kota, dan Usia
Tabel 1.5
Demografi Responden Berdasarkan Agama dan Etnis
Tabel 1.4
Tabel 1.6
Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
Demografi Responden Berdasarkan Provinsi
Tabel 2.1
Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Tabel 2.2
Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Tabel 2.3
Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM
Tabel 2.4
Indikator dan Pertanyaan Prinsip Akses terhadap Keadilan
Tabel 2.5
Indikator dan Pertanyaan Prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas
Tabel 2.6
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Tahun 2012 xiii
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 2.7
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Gender, Desa-Kota, Usia, Pendidikan, Pekerjaan dan Wilayah
Tabel 3.1.1 Tabel 3.1.2
Kewenangan Cabang Kekuasaan Kewenangan Lembaga Eksekutif/Pemerintahan
Tabel 3.1.3
Regulasi yang Mengatur Saluran yang Tersedia Bagi Masyarakat Menyampaikan Keberatan atau Pengaduan Terkait Penyelengaraan Layanan Publik
Tabel 3.1.4
Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik
Tabel 3.1.5
Sengketa yang Diselesaikan Komisi Informasi Pusat dari tahun 2010-2012
Tabel 3.1.6
Laporan Pengaduan Masyarakat Terhadap Instansi Pemerintah Ke Ombudsman
Tabel 3.1.7
Tindak Lanjut Ombudsman Terhadap Laporan Masyarakat 2008-2011
Tabel 3.1.8
Ketentuan Regulasi Mengenai Berbagai Sanksi yang Dapat Dikenakan kepada Pegawai Negeri Sipil
Tabel 3.1.9
Regulasi Saluran Pengaduan Masyarakat atas Pelanggaran Anggota Legislatif
Tabel 3.1.10 Regulasi Larangan dan Sanksi Bagi Anggota DPR Tabel 3.2.1
Regulasi Kewajiban Bagi Para Hakim untuk Berintegritas
Tabel 3.2.2
Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat dan Sanksi yang Dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Periode Januari-September 2012
xiv
Tabel 3.2.3
Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Rekomendasi Sanksi yang Dijatuhkan oleh Komisi Yudisial Periode Januari-Desember 2012
Tabel 3.2.4
Regulasi yang Mengatur tentang Independensi Hakim
Tabel 3.2.5
Regulasi yang Mengatur Mekanisme Seleksi dan Pengangkatan Hakim
Tabel 3.2.6
Regulasi yang Mengatur Jaminan Kesejahteraan dan Keamanan Hakim
Tabel 3.2.7
Beberapa Kasus Amuk Massa Terhadap Pengadilan
Tabel 3.3.1
Hak-hak Dasar Warga Negara dalam UUD 1945
Tabel 3.3.2
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Hak untuk Berserikat dan Berkumpul
Tabel 3.3.3
Ketentuan Mengenai Kebebasan Berpendapat dan Sanksi Terhadap Pihak-pihak yang Menghalang-halangi
Tabel 3.3.4
Ketentuan Perundang-undangan yang Membatasi Hak Menyampaikan Pendapat
Tabel 3.3.5
Ketentuan Perundang-undangan yang Mengatur Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Tabel 3.3.6
Perundang-undangan yang Membatasi Pemeluk Agama Minoritas
Tabel 3.3.7
Pengaduan ke Komnas HAM tentang Kasus Agama 2011-2012
Tabel 3.3.8
Laporan Pemantauan Tahun 2012
Komnas
Perempuan
Tabel 3.3.11 Kebijakan Daerah yang Diskriminatif terhadap Perempuan xv
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.3.9
Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Perempuan untuk Tidak Didiskriminasi
Tabel 3.3.10 Peraturan Perundang-undangan Diskriminatif Terhadap Perempuan
yang
Tabel 3.3.11 Kebijakan Daerah yang Diskriminatif terhadap Perempuan Tabel 3.3.12 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia 7-18 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, Tahun 20092011 Tabel 3.3.13 Persentase Penduduk 15 Tahu Ke atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Tabel 3.3.14 Persentase PNS Menurut Jenis Kelamin Tabel 3.3.15 Perundang-undangan yang Tidak Mendiskriminasi Kelompok Minoritas Tabel 3.3.16 Pengakuan Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan Tingkat Nasional Tabel 3.3.17 Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat dalam Legislasi Daerah Tabel 3.3.18 Perundang-undangan yang Menjamin Warga Negara Bebas dari Penyiksaan Tabel 3.3.19 Fakta-fakta Pelanggaran Terhadap Hak Bebas dari Penyiksaan Tabel 3.3.20 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak atas Pendidikan Tabel 3.3.21 Angka Partisipasi Murni Pendidikan Indonesia Tabel 3.4.1
xvi
Regulasi yang Mengatur tentang Bantuan Hukum
Tabel 3.4.2
Regulasi yang Terhadap Korban
Mengatur
Perlindungan
Tabel 3.4.3
Regulasi yang Terhadap Pelapor
Mengatur
Perlindungan
Tabel 3.4.4
Regulasi yang Mengatur Ganti Rugi kepada Pihak yang Keliru dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan
Tabel 3.5.1
Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundangundangan Tingkat Nasional
Tabel 3.5.2
Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundangundangan di Tingkat Daerah
Tabel 3.5.3
Regulasi yang Mengatur Peraturan PerundangUndangan Harus Jelas
Tabel 3.5.4
Regulasi yang Mengatur Hak Warga dalam Memperoleh Informasi
Tabel 4.1.1
Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Tahapan Pembentukan Perundang-undangan
xvii
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
xviii
BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang
Salah satu langkah utama yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di masa-masa awal Era Reformasi untuk mengimplementasikan semangat reformasi, adalah memunculkan kembali terminologi “Negara Hukum” dalam UUD 1945. Sebagai lembaga tertinggi negara pada masa itu, MPR melakukan langkah tersebut dengan maksud menjadikan hukum sebagai rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Meskipun langkah memunculkan kembali istilah “Negara Hukum” telah membuat konstitusi Indonesia menjadi eksplisit menganut konsep negara hukum, namun realitas hukum di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir justru menunjukan situasi yang berbeda. Situasi berbeda, yang tidak menunjukan Indonesia sebagai negara hukum, adalah adanya pelbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, mafia peradilan, dan kerusakan lingkungan. Laporan riset kuantitatif sejumlah lembaga independen dan komisi negara berikut ini dapat dijadikan rujukan untuk mendapatkan gambaran pelbagai masalah hukum tersebut. Untuk isu korupsi misalnya, menurut Transparansi International (TI), Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) Indonesia pada tahun 2012 berada pada 1
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
peringkat ke-118 dari 174 negara yang disurvei. Peringkat rendah tersebut didapatkan karena Indonesia hanya memiliki nilai 32, sama dengan nilai Republik Dominika, Mesir, Ekuador dan Madagaskar. Bahkan peringkat Indonesia tersebut lebih rendah dari Timor Leste, negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, yang berada pada peringkat ke-113 (Tranparansi Internasional Indonesia 2012: 9).1 Untuk isu pelanggaran HAM, dalam hal ini kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) serta intoleransi dan diskriminalisasi, menurut laporan The Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 terdapat 110 kasus pelanggaran. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011) yaitu dengan 93 kasus pelanggaran, terdapat peningkatan sebesar 8 % untuk tahun 2012. Artinya, jika pada tahun 2011 ratarata 7 kasus pelanggaran perbulan, maka pada tahun 2012 meningkat menjadi rata-rata 9 kasus perbulan. Statistik di atas merupakan jenis pelanggaran KBB yang dilakukan oleh aparatus negara. Adapun untuk jenis pelanggaran yang dilakukan oleh bukan aparatus negara, laporan tersebut menyebutkan terdapat 197 pelanggaran sepanjang tahun 2012. Sama seperti pelanggaran yang dilakukan oleh aparatus negara, pelanggaran oleh bukan aparatus negara juga meningkat 3% dari tahun sebelumnya dengan 187 kasus. Ini sekaligus menunjukan peningkatan dari rata-rata 15 kasus menjadi 16 kasus perbulan (The Wahid Institute 2012: 10-13). Adapun untuk isu mafia peradilan, sejak Komisi Yudisial (KY) berdiri pada tahun 2005, jumlah laporan masyarakat mengenai hakim yang diduga melanggar kode etik dan 1
2
Sebenarnya sejak tahun 1998 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) meningkat sebesar 14 poin. Meskipun demikian, karena kenaikan tersebut berlangsung dalam rentang waktu 14 tahun maka belum terlihat sebagai peningkatan yang cukup signiikan.
BAB I | Pengantar
pedoman perilaku hakim dari periode Agustus 2005 s/d Juni 2012 mencapai 6.643. Selama periode tersebut jumlah laporan cenderung naik dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2011 saja, KY menerima 1.638 laporan (Komisi Yudisial 2012: 66-67). Selain melalui data-data kuantitatif di atas, realitas hukum di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir juga bisa ditunjukan lewat penanganan beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Dengan mengambil kasus pembunuhan Munir dan luapan lumpur Lapindo, dapat dikatakan bahwa penanganannya belum jelas dan tidak tuntas. Berdasarkan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa di satu sisi Indonesia sudah meletakan basis konstitusional mengenai kedudukannya sebagai negara hukum, namun di sisi lain realitas hukum menunjukan tidak dipenuhinya prinsip-prinsip negara hukum. Dalam pengertian ini dapat dikatakan juga bahwa realisasi amanah Reformasi masih jauh dari harapan. B.
Signifikansi
Sudah terdapat banyak publikasi yang memotret perjalanan ide negara hukum Indonesia, baik yang dilakukan peneliti luar maupun dalam negeri. Meskipun demikian perlu pula diberi catatan bahwa publikasi-publikasi tersebut lebih berfokus pada tataran ide. Oleh karena itu masih diperlukan riset dan publikasi yang berfokus untuk menampilkan aspek empirik mengenai negara hukum Indonesia. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan riset kuantitatif maupun kualitatif yang menggambarkan dan menjelaskan seberapa jauh Indonesia telah memenuhi prinsip-prinsip negara hukum2. 2
Dalam hal ini istilah “negara hukum” dipahami sebagai terjemahan dari istilah rule of law, bukan terjemahan dari rechtsstaat.
3
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
World Justice Project (WJP) bekerja sama dengan Vera Institute, telah mentradisikan riset kuantitatif dengan output berupa index rule of law sejumlah negara. Riset yang dimulai sejak tahun 2009 dan hingga 2012 tersebut telah berhasil mencakup 197 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut diindeks. Namun, riset yang dilakukan oleh WJP tersebut hanya menggunakan metode kuantitatif. Bertolak dari kebutuhan untuk melakukan riset dengan pendekatan yang komprehensif, Indonesian Legal Rountable (ILR) menyelenggarakan sebuah riset yang menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Data-data kuantitatif dan kualitatif akan diperbandingkan dan dipadukan untuk memeriksa seberapa jauh Indonesia memenuhi prinsip-prinsip negara hukum. Dalam pengertian yang sempit, riset ini akan menghasilkan keluaran berupa Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI). C.
Tujuan
ILR mengharapkan laporan riset ini menyajikan gambaran dan analisis yang bermutu mengenai persepsi, norma, dan implementasi negara hukum di Indonesia sepanjang tahun 2012. Gambaran dan analisis tersebut pada akhirnya diharapkan dapat dipakai untuk keperluan mendorong perwujudan ide dan norma negara hukum di Indonesia. D.
Metodologi 1.
Ragam pandangan
Negara hukum adalah salah satu gagasan yang sangat penting di masa sekarang. Ia merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gagasan mengenai 4
BAB I | Pengantar
moralitas politik modern. Ia juga tidak dipisahkan dari ide mengenai Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan prinsipprinsip ekonomi pasar bebas. Dalam pemberitaan media negara hukum selalu disebut dan didengungdengungkan dengan prediket berbeda. Di satu sisi ia digunakan untuk keperluan mencela namun di sisi lain ia digunakan sebagai landasan bagi legitimasi politik dan cita-cita yang hendak dicapai (Waldron 2008: 1). Meskipun ‘negara hukum’ merupakan gagasan yang penting sampai masa sekarang namun, sebagaimana dikatakan oleh Andrei Marmor (tanpa tahun: 1), gagasan mengenai ‘negara hukum’ sangat rumit dan seringkali membingungkan. Kerumitan dimaksud tidak saja menyangkut substansi ide negara hukum tetapi juga dalam penggunaan terminologi. Negara-negara penganut sistem hukum anglo-saxon (Inggris dan Amerika Serikat) menggunakan terma “rule of law”, sedangkan negara-negara penganut sistem hukum civil law memakai terma Rechtsstaat atau Etat de Droit. Masing-masing terma tersebut mempunyai sejarah dan pengertian yang tidak sama (Zolo 2007:7). Diskusi ide negara hukum yang membingungkan dan tidak ada habisnya juga menggejala dalam diskursus akademik. Salah satu imbas dari situasi yang demikian adalah para sarjana (academic scholars) belum memiliki kata sepakat mengenai prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam istilah negara hukum. Mereka masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Tabel berikut ini memperlihatkan berbagai pandangan mengenai prinsip negara hukum oleh sejumlah sarjana dan lembaga internasional: 5
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 1.1 Berbagai Pandangan Mengenai Prinsip Negara Hukum M. Scheltema 1. Pengakuan, penghormatan, dan pelindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity); 2. Kepastian hukum; 3. Persamaan (similia similius atau equality before the law); 4. Demokrasi; dan 5. Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan.
Joseph Raz
Rachel Kleinfeld Belton
1. Hukum harus 1. Pemerintah yang prospektif, terbuka dan terikat pada hukum; jelas; 2. Persamaan di depan 2. Hukum seharusnya hukum; tidak sering dirubah; 3. Hukum dan Ketertiban; 3. Proses pembuatan 4. Keadilan yang eisien hukum harus jelas, dan terukur; dan stabil, terbuka, dan berlandaskan pada 5. Tidak adanya prinsip-prinsip umum; kekerasan terhadap Hak Asasi Manusia. 4. Independensi peradilan; 5. Keadilan alamiah; 6. Pengadilan mampu menghentikan tindakan kekuasaan yang melampaui batas; 7. Pengadilan mudah diakses; dan 8. Penegak hukum tidak menyalahgunakan diskresi yang dimilikinya.
Sumber: diolah dari Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, University of Southern California Law School, Tanpa Tahun; Brian Z. Tamanaha, The History and Elements of Rule of Law, Washington University School of Law, 2012; Jeremy Waldron, The Concept and The Rule of Law, New York University School of Law, 2008; Jimly Asshidiqqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Tanpa Tahun;
6
BAB I | Pengantar
Brian Z. Tamanaha 1. Pemerintahan yang dibatasi oleh hukum; 2. Legalitas formal; 3. Diatur oleh hukum, bukan orang.
Jimly Asshidiqqie 1. Supremasi hukum; 2. Persamaan di depan hukum;
The International Commission of Jurist 1. Negara merupakan subjek hukum; 2. Peradilan independen dan fair;
3. Legalitas; 4. Pembatasan kekuasaan; 5. Organ-organ campuran yang bersifat independen;
3. Independensi profesi advokat; 4. Pengakuan dan penegakan hukum yang efektif terhadap hak-hak individual.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak; 7. Peradilan tata usaha negara; 8. Peradilan tata negara; 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10. Demokratis berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara; 11. Transparansi dan kontrol sosial; 12. Ber-Ketuhanan yang maha esa. Joseph Raz, The Authority of Law: Essays on Law and Morality, 1979; Rachel Kleinfeld Belton, Competing Deinitions of The Rule of Law: Implications for Practioners, Carniege Papers, 2005, dan International Commision of Jurist: The Rule of Law and Human Right, http://www.globalwebpost.com/genocide1971/ h_rights/rol/ 10_guide. htm#athens, diakses 10 Oktober 2012.
7
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
2.
Prinsip-prinsip umum
Sekalipun masih terdapat perbedaan mengenai penggunaan istilah, pengertian maupun prinsip, namun tidak menghalangi upaya untuk merumuskan elemenelemen universal dalam gagasan negara hukum. Salah satu elemen universal tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku umum, karena disebutkan oleh hampir semua sarjana dan lembaga yang mencoba merumuskan prinsip-prinsip negara hukum. Berangkat dari pandangan bahwa prinsip-prinsip umum negara hukum masih bisa dirumuskan, ILR memilih 5 prinsip dengan dua alasan. Pertama, kelima prinsip tersebut mewakili pandangan yang saling beririsan dari beberapa sarjana terkemuka. Kedua, prinsip-prinsip tersebut lebih realistis diturunkan dalam tataran praktis. Dengan kata lain prinsip-prinsip tersebut lebih aplikatif karena tidak terlalu abstrak. Guna memudahkan untuk memeriksa seberapa jauh kelima prinsip tersebut telah dipenuhi atau dilaksanakan, ILR membuat indikator untuk masingmasing prinsip tersebut. Berikut kelima prinsip terpilih beserta indikatornya masing-masing: Tabel 1.2 Prinsip dan Indikator Negara Hukum No 1
Prinsip Pemerintahan berdasarkan Hukum
Indikator • Keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif • Performa eksekutif • Performa legislatif
2
8
Independensi kekuasan Kehakiman
• Pelaksana kekuasaan kehakiman • Organisasi kekuasaan kehakiman
BAB I | Pengantar
3
Penghormatan, pengakuan dan perlindungan HAM
• Kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat • Kebebasan beragama dan berkeyakinan • Perlakuan yang tidak diskriminatif • Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan • Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan
4
Akses terhadap keadilan
• Peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan • Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu • Perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah
5
Peraturan yang terbuka dan jelas
• Mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan • Kejelasan materi peraturan • Akses terhadap peraturan perundangundangan
Kelima prinsip yang dipilih ini tentu saja bisa mengundang perdebatan. Oleh sebab itu, perlu disampaikan di sini bahwa ILR memandang kelima prinsip terpilih tersebut bukan merupakan prinsip negara hukum yang final. Kelima prinsip tersebut bersifat sementara yang akan dikembangkan terus agar mampu memenuhi pelbagai pandangan dan ekspektasi mengenai negara hukum Indonesia yang lebih ideal. 3.
Pengumpulan data Laporan ini menggunakan survei dan studi dokumen sebagai cara untuk mendapatkan data. Survei digunakan untuk mendapatkan data primer berupa persepsi, sedangkan studi dokumen digunakan untuk mendapatkan data-data sekunder berupa laporan 9
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
lembaga negara/pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Laporan ini mengutamakan hasil survei sebagai data utama untuk melihat pemenuhan atau pelaksanaan kelima prinsip negara hukum di atas. Namun kami menyadari bahwa mengandalkan hasil survei semata hanya akan menghasilkan penggambaran dan analisa yang tidak proporsional. Latar belakang responden, terutama dari segi pendidikan dan pekerjaan, diyakini akan menyulitkan sebagian mereka untuk memahami pertanyaan-pertanyaan sehingga berpengaruh pada jawaban-jawaban yang diberikan. Dengan maksud mendapatkan gambaran dan analisa yang proporsional, laporan ini menggunakan data-data studi dokumen sebagai pembanding untuk data-data survei. Data-data dari studi dokumen dibagi atas dua kelompok: Pertama, data-data normatif berupa peraturan perundangan dan putusan pengadilan; Kedua, data-data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM, dan lembaga internasional. Survei Publik Laporan ini menggunakan metode survei untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi publik tentang seberapa jauh Indonesia telah melaksanakan atau memenuhi kelima prinsip terpilih negara hukum. Survei dilakukan dengan metode multi stage random sampling. Responden yang disurvei adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, yaitu mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Jumlah sampel sebanyak 1.220 responden. Dengan jumlah sampel sebanyak itu, margin of error diperkirakan 10
BAB I | Pengantar
kurang lebih 3 %, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Seluruh responden diwawancari lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertanggung jawab mewawancari para responden dalam satu desa/kelurahan, yang masing-masing terdiri dari 10 orang. Untuk memastikan kualitas (quality control) hasil wawancara yang dilakukan oleh pewawancara, supervisor melakukan wawancara secara random terhadap responden terpilih (spot check) yang jumlahnya mencapai 20% dari total sampel. Setelah dilakukan, quality control menemukan tidak ada kesalahan berarti pada wawancara sebelumnya. Seluruh wawancara berlangsung pada 6-14 Desember 2012. Dengan menggunakan metode multi stage random sampling, responden ditentukan dengan menggunakan 3 tahap pengelompokan. Tahap pertama, populasi pemilih dikelompokan menurut provinsi. Di masing-masing provinsi ditentukan jumlah pemilih sesuai dengan jumlah populasi. Atas dasar ini dipilih desa dan kelurahan secara random sebagai primary sampling unit. Jumlah desa atau keluruhan terpilih ditentukan oleh jumlah pemilih di masing-masing provinsi. Seperti sudah disebutkan setiap desa ditetapkan 10 responden dengan komposisi 5 laki-laki dan 5 perempuan. Kesepuluh responden tersebut dipilih secara random. Sekedar memberi contoh, bila di Provinsi Jawa Barat (Jabar) prosentase pemilih adalah 18% dan di Nusa Tenggara Barat (NTB) 2%, maka untuk Provinsi Jabar akan disurvei di 18 desa/kelurahan dan NTB di 2 desa/kelurahan. Tahap kedua, populasi pemilih dikelompokan ke dalam kategori yang tinggal di pedesaan (desa) dan perkotaan (kelurahan) dengan komposisi 50% : 50%. Setelah 11
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
menentukan jumlah desa atau kelurahan selanjutnya dihitung jumlah rukun tetangga (RT) atau yang setingkat dengan itu. RT yang masuk dalam cakupan survei masing-masing 5 buah untuk setiap desa atau kelurahan yang dipilih secara random. Langkah terakhir dari tahapan kedua ini adalah menentukan 2 keluarga setiap RT yang dipilih secara random juga. Tahap ketiga, populasi pemilih dikelompokan menurut jenis kelamin dengan komposisi 50% laki-laki dan 50% perempuan. Setelah ditentukan 2 keluarga untuk setiap RT sebagaimana yang dilakukan pada tahap kedua, langkah berikutnya adalah mendaftar seluruh anggota keluarga yang mempunyai hak pilih, baik lakilaki atau perempuan. Langkah terakhir dari tahap ketiga ini adalah memilih secara random siapa yang akhirnya menjadi responden. Aturan mainnya, bila pada keluarga pertama yang dipilih adalah responden perempuan maka pada keluarga kedua respondennya otomatis laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Indeksisasi Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ILR memilih 5 prinsip negara hukum yang dianggap berlaku umum. Untuk keperluan membuat kelima prinsip tersebut lebih aplikatif, masing-masing prinsip tersebut diurai ke dalam indikator. Indikator selanjutnya diurai ke dalam pertanyaan. Terdapat 16 indikator dan 49 pertanyaan. Setiap indikator diukur dengan menggunakan skala ordinal 4 titik yaitu 1-4 dengan kualifikasi 1 berarti rendah dan 4 berarti tinggi.
12
BAB I | Pengantar
Tahap pertama yang dilakukan adalah menganalisis reliabilitas dan unidimensionalitas kelima prinsip dan 16 indikator. Berdasarkan analisis tersebut pertanyaan yang tidak layak dikeluarkan. Tahap berikutnya adalah pembuatan skor atau indeks. Skor setiap indikator diperoleh dari rata-rata jawaban responden; skor setiap prinsip diperoleh dari rata-rata skor indikatornya; dan akhirnya IPNHI diperoleh dari rata-rata skor masing-masing prinsip. Dengan demikian, setiap skor pada awalnya mempunyai interval 1-4. Skor akhir yang diinginkan adalah skor dengan interval 0-10. Untuk tujuan tersebut dibentuk skor akhir dengan formula berikut: skor akhir = (skor - 1) / 3 × 10. Tabel 1.3 Demografi Responden Berdasarkan Gender, Desa-Kota, dan Usia Kategori
Sampel
BPS
Gender Laki-laki Perempuan
49,8
50,3
50,2
49,7
Desa-Kota Pedesaan Perkotaan
50,6
50,2
49,4
49,8
Usia < 25 Tahun
13,2 %
26-40 Tahun
39,7 %
41-55 Tahun
29,3 %
> 55 Tahun
17,8 %
Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012
13
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 1.4 Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Tingkat Pendidikan
< SD
51,7 %
SLTP
18,6 %
SLTA
22,9 %
PT
6,8 % Pekerjaan
Petani/Peternak/Nelayan
27,0 %
Buruh Kasar/ Pembantu/ Kerja Tidak Tetap/ Supir/ Ojek/ Satpam/ Hansip
13,7 %
Pedagang/Wiraswasta
11,0 %
Pegawai Negeri/ Pegawai Desa/ Guru/ Dosen
4,7 %
Pegawai Swasta/ Profesional
6,6 %
Ibu Rumah Tangga
24,4 %
Lainnya
12, 6 %
Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012
Tabel 1.5 Demografi Responden Berdasarkan Agama dan Etnis
Kategori
Sampel
BPS
Agama Islam
87,2
87,2
Katholik/Protestan
9,2
9,8
Lainnya
3,8
3,0
Etnis Jawa
40,0
40,2
Sunda
15,9
15,5
Melayu
2,3
2,3
Madura
3,0
3,0
Bugis
2,7
2,7
Betawi
2,9
2,9
Batak
3,6
3,6
Minang
2,7
2,7
Lainnya
27,1
27,1
Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012
14
BAB I | Pengantar
Kategori
Tabel 1.6 Demografi Responden Berdasarkan Provinsi
Sampel
BPS
Kategori
Provinsi NAD
1,9
Sampel
BPS
Provinsi 1,9
NTB
1,9
1,9
Sumut
4,8
5,5
NTT
1,9
2,0
Sumbar
1,3
2,0
Kalbar
1,0
1,8
Riau
1,9
2,3
Kalteng
0,9
0,9
Jambi
0,8
1,3
Kalsel
1,9
1,5
Sumsel
3,1
3,1
Kaltim
1,7
1,5
Bengkulu
O,5
0,7
Sulut
0,9
1,0
Lampung
3,5
3,2
Sulteng
0,9
1,1
Babel
0,4
0,5
Sulsel
3,2
3,4
Kepri
0,8
0,7
Sultra
0,9
0,9
DKI
4,7
4,0
Gorontalo
0,9
0,4
Jabar
17,1
18,1
Sulbar
0,9
0,5
Jateng
14,4
13,6
Maluku
0,9
0,6
DIY
1,7
1,5
Malut
0,9
0,4
Jatim
16,6
15,8
Papua
0,9
1,2
Banten
4,0
4,5
Papua Barat
0,9
0,3
Bali
1,9
1,6
Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012
Studi Dokumen Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa studi dokumen menghasilkan data normatif dan statistik. Data normatif akan mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Mengikuti metode pengelompokan data survei, data studi dokumen juga disusun ke dalam prinsip, indikator, dan pertanyaan.
15
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Berkenaan dengan data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM dan lembaga internasional, perlu disampaikan bahwa tidak semua prinsip atau indikator negara hukum tersedia laporan sebagai data pendukung. Hal ini terjadi karena tidak terdapat laporan mengenai prinsip atau indikator tertentu. Sekalipun laporan tersebut tersedia tidak dengan sendirinya dapat dipakai sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh prinsip atau indikator tertentu telah dilaksanakan atau dipenuhi. E.
Struktur Laporan
Agar lebih memudahkan pembaca dalam membaca, maka laporan ini diorganisasikan dalam empat bab, yaitu: Bab 1, Pengantar. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, urgensi, tujuan, dan metodologi Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI) ini dilakukan oleh ILR. Selain itu dalam bab ini juga ditemukan pembahasan dan alasan ILR menggunakan prinsip dan indikator negara hukum yang akan digunakan sebagai titik pijak dalam melakukan survei dan studi dokumen dalam bab-bab selanjutnya. Bab 2, Survei. Bab ini mendeskripsikan hasil temuan persepsi publik yang telah disurvei terhadap masing-masing prinsip, indikator, dan pertanyaan dalam bentuk diagram. Selain itu, dalam bab ini pembaca juga akan menemukan hasil indeks dari masing-masing prinsip dan indikator yang telah dikonversikan dalam angka. Hasil indeks dari masingmasing prinsip yang diakumulasikan dalam bab inilah yang dijadikan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI) 2012.
16
BAB I | Pengantar
Bab 3, Studi dokumen. Bab ini mendeskripsikan hasil temuan studi dokumen masing-masing prinsip negara hukum. Hasil temuan dalam studi dokumen ini memaparkan regulasi normatif dan fakta empiris sejauh mana penyelenggara negara sudah tunduk pada prinsip-prinsip negara hukum yang telah dibangun oleh ILR. Bab 4, Analisis. Bab ini menganalisa hasil temuan persepsi publik sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab 2 dan hasil temuan studi dokumen sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab 3. Hasil analisa dalam bab ini adalah hasil pandangan ILR sebagai sebuah lembaga dalam melihat ketaatan negara dalam menjalankan prinsip-prinsip negara hukum.
17
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
18
BAB II SURVEI PUBLIK
Bab ini akan mendeskripsikan hasil temuan survei persepsi publik tentang seberapa jauh penyelenggara negara Indonesia telah melaksanakan atau memenuhi kelima prinsip negara hukum. Persepsi publik terhadap setiap indikator dari prinsip-prinsip negara hukum akan disajikan dalam persentase yang terdeskripsikan dalam bentuk diagram. Hasil survei tersebut kemudian dikonversi menjadi skor dan indeks yang terpapar pada setiap prinsip negara hukum. Pada bagian akhir bab ini semua hasil indeks masingmasing prinsip negara hukum diakumulasikan menjadi Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012. A.
Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab I, prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum diurai ke dalam tiga indikator. Ketiga indikator dan pertanyaan-pertanyaan turunan dari masing-masing indikator dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
19
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 2.1 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum Indikator
Pertanyaan
Keseimbangan cabang kekuasaan
Keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif
Performa kekuasaan eksekutif
• Bagaimana pemerintah sudah menjalankan undang-undang; • Bidang apa yang dijalankan dengan baik oleh pemerintah; • Ketersediaan saluran untuk menampung keluhan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah; dan • Penegakan hukum terhadap aparat pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-undang.
Performa kekuasaan legislatif
• Pelaksanaan undang-undang oleh legislatif; • Bidang yang dijalankan dengan baik oleh legislatif; • Ketersediaan saluran untuk menampung keluhan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh legislatif; dan • Penegakan hukum terhadap anggota legislatif yang melakukan pelanggaran undang-undang.
20
BAB II | Survei Publik
Keseimbangan cabang kekuasaan Menurut hasil survei ketika ditanya mengenai keseimbangan kekuasaan negara, sebanyak 34% responden berpendapat kekuasaan negara telah seimbang. Adapun 3% responden menyatakan kekuasaan sangat seimbang. Pendapat yang berbeda dinyatakan oleh 35% responden yang berpendapat keseimbangan kekuasaan di antara ketiga cabang kekuasan tersebut kurang seimbang. Bahkan 11% di antaranya menyatakan tidak seimbang sama sekali. Sedangkan sebanyak 16% responden tidak menjawab.
Dari 46% responden yang menyatakan kekuasaan negara kurang seimbang atau tidak seimbang, 49% di antaranya berpersepsi bahwa pemerintah/presiden (eksekutif) memiliki kekuasaan paling besar. Sedangkan yang menyatakan DPR (legislatif) memiliki kekuasaan paling besar sebanyak 30% responden. Sisanya, sebanyak 19% responden menyatakan yudikatif memiliki kekuasaan paling besar. Sebanyak 2% responden tidak menjawab.
21
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Performa kekuasaan eksekutif Ketika ditanyakan mengenai kinerja pemerintah dalam melaksanakan hukum/undang-undang, 45% responden berpendapat sudah cukup baik dan hanya 6% mengatakan sangat baik. Sedangkan sebanyak 32% responden mengatakan pemerintah atau presiden kurang baik dalam melaksanakan hukum/undang-undang. Bahkan 3% respoden menyatakan tidak baik sama sekali. Sementara itu 14% responden tidak memberikan jawaban.
22
BAB II | Survei Publik
Dari 35% responden yang berpersepsi bahwa pemerintah kurang/tidak baik dalam melaksanakan hukum/ undang-undang, 48% di antaranya berpendapat bahwa performa paling kurang atau tidak baik sama sekali terdapat pada bidang ekonomi dan investasi. Sedangkan beberapa bidang lain dipersepsikan secara hampir merata, antara lain: pendidikan 12%; kesehatan 12%; lingkungan hidup 11%; dan lainnya 15%. Sisanya sebanyak 2% responden tidak menjawab pertanyaan ini.
Dalam hal pemerintah melanggar hukum/undangundang/putusan pengadilan, masyarakat memerlukan saluran untuk mengadu atau menyampaikan keluhan. Terhadap pertanyaan tersebut, 37% responden berpendapat bahwa saluran tersebut sudah tersedia cukup baik. Bahkan 4% di antaranya menyatakan tersedia sangat baik. Sedangkan yang berpersepsi sebaliknya: saluran pengaduan tersebut kurang baik, dikemukakan 34% responden. Hanya 6% responden yang berpersepsi saluran tersebut tidak baik sama sekali. Untuk pertanyaan ini, cukup banyak responden yang tidak memberikan pendapat, yaitu sebanyak 19%. 23
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Responden juga ditanyai mengenai seberapa jauh pemberian sanksi dilakukan terhadap aparatur pemerintah yang melanggar hukum/undang-undang/putusan pengadilan. Hanya 30% responden yang mengatakan pengenaan sanksi yang dilakukan cukup sering. Jumlah yang mengatakan sanksi selalu/hampir selalu dikenakan jumlahnya lebih kecil yaitu 5%. Sedangkan mayoritas responden: sebesar 37%, mengatakan sanksi jarang dikenakan. Bahkan 9% responden berpendapat sanksi sangat jarang atau bahkan tidak pernah dikenakan kepada pelanggar. Sama seperti pertanyaan mengenai saluran pengaduan, sebanyak 19% responden juga tidak memberi jawaban untuk pertanyaan ini.
24
BAB II | Survei Publik
Performa kekuasaan legislatif Jika mayoritas responden berpendapat bahwa performa pemerintah sudah cukup/sangat baik dalam melaksanakan hukum/undang-undang, tidak demikian pendapat mereka ketika ditanyakan performa DPR. Pendapat responden yang mengatakan cukup/sangat baik berimbang dengan pendapat yang mengatakan kurang/tidak baik sama sekali. Sebanyak 36% responden mengatakan bahwa performa DPR cukup baik dan 3% responden menyatakan sangat baik. Sebaliknya, 37% responden mengatakan kurang baik dan 4% responden mengatakan tidak baik sama sekali. Sedangkan yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 19%.
Pendapat responden juga berimbang ketika ditanyakan mengenai saluran pengaduan yang tersedia bila masyarakat hendak mengadukan anggota DPR yang melanggar hukum. Sebanyak 32% responden mengatakan bahwa saluran pengaduan sudah cukup baik. Bahkan 4% responden mengatakan sangat baik. Sementara itu, 37% responden menyatakan sebaliknya: saluran pengaduan masih kurang baik. Bahkan 4% responden menyatakan tidak baik sama sekali. Untuk pertanyaan ini responden yang tidak menjawab cukup banyak, sebesar 23% responden. 25
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Sama ketika menjawab pertanyaan sanksi yang dikenakan pemerintah kepada aparaturnya yang melanggar hukum/undang-undang/putusan pengadilan, mayoritas responden juga berpendapat bahwa DPR juga jarang/ sangat jarang mengenakan sanksi kepada anggotanya yang melanggar hukum. Ini ditunjukan dengan 37% responden yang berpendapat sanksi jarang dikenakan, bahkan 7% responden berpendapat sangat jarang atau tidak pernah. Adapun yang berpendapat sanksi cukup sering dikenakan sebanyak 28% responden, dan 4% responden berpendapat sanksi selalu/hampir selalu dikenakan. Sebanyak 24% responden tidak menjawab pertanyaan ini.
26
BAB II | Survei Publik
Apabila semua jawaban dari kedelapan pertanyaan di atas dikonversikan menjadi indeks maka untuk ketiga indikator tersebut akan didapat skor masing-masing: Keseimbangan Cabang Kekuasaan (4,50); Performa Eksekutif (5.00); Performa Legislatif (4.81). Dengan demikian, indeks untuk prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum secara keseluruhan berada pada angka 4,77. B.
Independensi Kekuasaan Kehakiman Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman memiliki dua indikator. Dari dua indikator tersebut, terdapat enam pertanyaan yang diajukan. Berikut kedua indikator beserta pertanyaan-pertanyaan yang diajukan: Tabel 2.2 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum Indikator
Pertanyaan
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
• Integritas hakim;
Organisasi Kekuasaan Kehakiman
• Seleksi hakim yang bebas dari KKN;
• Independensi hakim; dan • Pihak yang paling sering mempengaruhi hakim; • Memberikan kesejahteraan hakim secara layak; • Menyediakan sarana dan prasarana pengadilan.
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Berkenaan dengan integritas, survei menanyakan kepada responden mengenai seberapa bersih para hakim dari praktik suap. Dari pertanyaan tersebut, sebanyak 49% responden menjawab tidak setuju bahwa para hakim bersih dari praktik suap. Bahkan 11% di antaranya sangat tidak setuju. Sekalipun demikian, 21% responden setuju dengan 27
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
pernyataan bahwa para hakim bersih dari praktik suap. Dan 2% responden menyatakan sangat setuju. Sedangkan 17% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
Persepsi responden mengenai seberapa bersih para hakim dari praktek suap berbanding lurus dengan persepsi responden mengenai independensi hakim dalam memutus perkara. Hal itu tecermin dari 40% responden yang memilih tidak setuju dengan pernyataan bahwa hakim independen dalam memutus perkara, bahkan 7% responden memilih sangat tidak setuju. Hanya 30% responden yang berpendapat setuju dan 3% sangat setuju dengan pernyataan bahwa hakim independen dalam memutus perkara. Adapun 20% responden memilih tidak tahu/tidak jawab.
28
BAB II | Survei Publik
Survei menggali lebih jauh pendapat responden terhadap independensi hakim dengan menanyakan pihak mana yang paling sering mempengaruhi hakim. Dari pertanyaan tersebut, sebanyak 33% responden menganggap pengusaha sebagai pihak yang paling sering mempengaruhi hakim. Berturut-turut setelah itu adalah partai politik (30%), pemerintah (24%), dan tokoh masyarakat (5%). Sedangkan 6% responden menyebutkan pihak lainnya. Sisanya sebanyak 3% responden memilih tidak menjawab.
Organisasi Kekuasaan Kehakiman Berkenaan dengan indikator Organisasi Kekuasaan Kehakiman, ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada para responden. Pertama, mengenai pemilihan hakim sudah bebas dari KKN; Kedua, mengenai tingkat kememadaian gaji hakim jika dikaitkan dengan beban tugasnya. Ketiga, berhubungan dengan kelayakan sarana prasarana pengadilan. Terhadap pernyataan pertama mengenai proses pemilihan hakim sudah bebas dari KKN, sebesar 43% responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Bahkan 5% responden menjawab sangat tidak setuju. Hanya 31% responden yang menjawab setuju dan 3% responden 29
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Sedangkan 18% sisanya memilih tidak tahu atau tidak menjawab.
Terhadap pertanyaan kedua: tingkat kememadaian gaji hakim jika dikaitkan dengan beban pekerjaan, sebanyak 54% responden menyatakan setuju, bahkan 3% responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa gaji hakim sudah memadai bila dikaitkan dengan beban tugasnya. Hanya 23% responden yang menyatakan tidak setuju, dan 2% responden menjawab sangat tidak setuju bahwa gaji hakim sudah memadai. Sedangkan 18% responden menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
30
BAB II | Survei Publik
Untuk pertanyaan ketiga: sarana prasarana pengadilan sudah layak atau baik, 50% responden menyatakan setuju, bahkan 3% responden menjawab sangat setuju bahwa sarana prasarana pengadilan sudah layak atau baik. Hanya 21% responden yang berpendapat tidak setuju dan 1% responden sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Sisanya sebesar 25% responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Bila keseluruhan statistik jawaban di atas diakumulasi maka indeks untuk prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman berada pada angka 4.72. Angka tersebut merupakan total dari skor rata-rata untuk indikator Pelaksana Kekuasaan Kehakiman (4.26) dan indikator Organisasi Kekuasaan Kehakiman (5,8). C.
Penghormatan, Pengakuan dan, Perlindungan HAM
Prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM memiliki jumlah indikator yang paling banyak dibandingkan dengan indikator-indikator prinsip negara hukum lainnya. Dalam prinsip ini terdapat 5 indikator yang kemudian dijabarkan dalam sejumlah pertanyaan yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. 31
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 2.3 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM No 1
Indikator Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
Pertanyaan • Jaminan atas hak menyatakan pendapat atau pemikiran secara terbuka; • Jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat; • Jaminan kebebasan pers.
2
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
•
Pemerintah memberikan jaminan kebebasan bagi warga negara dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing;
• Apakah kekerasan atas nama agama sudah diproses hukum oleh penegak hukum; • Negara sudah menjamin dan melindungi hak-hak penganut agama minoritas seperti halnya penganut agama mayoritas • Negara sudah menjamin dan melindungi hak-hak kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Syiah dll, seperti halnya penganut agama mayoritas Islam. 3
Perlakuan yang tidak diskriminatif
Persepsi publik yang hendak diketahui melalui indikator ini adalah perlindungan terhadap kelompok perempuan, minoritas dan masyarakat adat.
4
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan
Lewat indikator ini survei hendak menggali persepsi publik mengenai jaminan untuk tidak disiksa selama proses pemeriksaan peradilan pidana dan extra judicial killing yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
5
Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak
Indikator yang terakhir ini mencaritahu persepsi publik mengenai jaminan kehidupan yang layak.
32
BAB II | Survei Publik
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat Publik sekarang sudah relatif terbebas dari rasa takut dalam mengemukakan pendapat, keinginan dan berorganisasi. Sebagian besar publik merasa tidak tertekan dan terancam dalam mengemukakan pendapat. Hal ini terungkap dari jawaban-jawaban yang diberikan responden terhadap tiga pertanyaan untuk indikator kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Untuk pertanyaan pertama: kebebasan menyatakan pendapat, sebanyak 68% responden menjawab setuju, bahkan 7% responden di antaranya menjawab sangat setuju dengan pernyataan bahwa masyarakat sudah bebas dari rasa takut dalam menyatakan pendapat dan keinginannya. Hanya 16% responden yang menjawab tidak setuju, dan 1% responden menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan sisanya: sebesar 8% responden, tidak menjawab.
33
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Senada dengan jawaban dalam pertama, dalam pertanyaan kedua: tidak ada lagi orang yang mengalami tekanan/ancaman penjara karena mengemukakan pendapat, sebanyak 53% responden menjawab setuju, dan bahkan 4% responden sangat setuju, bila dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada lagi orang yang mengalami tekanan/ancaman penjara karena mengemukakan pendapat. Sebaliknya, terdapat 27% responden yang menjawab tidak setuju, dan hanya 2% responden yang menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 14% responden tidak menjawab pertanyaan ini.
Begitu juga dengan jawaban terhadap pertanyaan ketiga: sebanyak 68% responden menjawab setuju dengan pernyataan bahwa warga negara tidak lagi merasa takut untuk aktif dalam organisasi sosial dan politik. Bahkan 5% responden menjawab sangat setuju. Hanya 13% responden yang menjawab tidak setuju, dan 1% responden menjawab sangat tidak setuju bahwa warga negara tidak lagi merasa takut untuk aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sedangkan sisanya sebesar 13% responden tidak menjawab pertanyaan ini. 34
BAB II | Survei Publik
Publik juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapat perlindungan dari negara terutama saat meliput atau menyajikan berita. Hal tersebut tecermin ketika 64% responden menjawab setuju, bahkan 4% responden berpendapat sangat setuju, dengan pernyataan bahwa wartawan sudah mendapat perlindungan dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya, hanya 14% responden yang menjawab tidak setuju, dan 1% responden sangat tidak setuju. Sedangkan 17% responden tidak menjawab pertanyaan.
35
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Kebebasan beragama dan berkeyakinan Ketika ditanyakan perihal kebebasan memeluk dan menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing, sebanyak 78% responden menjawab setuju dan bahkan 10% responden menjawab sangat setuju bahwa negara telah memberikan jaminan terhadap warga negaranya dalam memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Pada sisi lain, hanya 6% responden yang berpendapat tidak setuju. Sisanya 6% responden tidak menjawab.
Terhadap pertanyaan apakah kekerasan atas nama agama sudah diproses hukum oleh aparat penegak hukum, sebanyak 71% responden menjawab setuju, bahkan 5% menjawab sangat setuju bahwa aparat penegak hukum telah memproses tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sebaliknya, 12% responden menjawab tidak setuju, dan 1% sangat tidak setuju. Sebanyak 11% tidak menjawab tidak tahu/tidak jawab.
36
BAB II | Survei Publik
Terhadap pertanyaan apakah negara sudah memberikan perlindungan kepada penganut agama minoritas, secara mengejutkan sebanyak 76% responden menyatakan setuju, bahkan 4% responden menjawab sangat setuju. Hanya 10% responden yang menyatakan tidak setuju dan 1% sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 9 % responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
Sedangkan terhadap pertanyaan apakah negara sudah mengakui dan melindungi hak-hak penganut kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah dan lainnya, 37
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
apresiasi responden menurun. Sebanyak 42% responden mengatakan setuju dan 2% sangat setuju bahwa negara sudah mengakui dan melindungi kelompok agama minoritas seperti Ahmadyah, Syiah, dan lainnya. Sedangkan 32% responden menyatakan tidak setuju bila negara sudah mengakui dan melindungi mereka. Bahkan 3% responden berpendapat sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 21% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.
Perlakuan yang tidak diskriminatif Mayoritas responden juga berpersepsi negara sudah mengakui, melindungi dan memberikan hak-hak yang sama kepada kelompok etnis minoritas. Hal ini tecermin dari 66% responden yang menjawab setuju dan 3% responden menjawab sangat setuju. Hanya 12% responden yang menjawab tidak setuju dan 1% responden menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 18% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.
38
BAB II | Survei Publik
Persepsi yang sama juga tecermin terhadap masyarakat adat: negara dipersepsikan sudah melindungi dan memberikan hak-hak yang sama kepada masyarakat adat seperti halnya kepada masyarakat umum. Hal itu tecermin dari 64% responden menjawab setuju, dan 3% responden menjawab sangat setuju. Sedangkan yang menjawab sebaliknya, tidak setuju dan sangat tidak setuju, sebanyak 14% dan 1% responden. Sisanya sebesar 18% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
39
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Demikian pula terhadap perlindungan dan persamaan kepada perempuan: negara dipersepsikan sudah melindungi dan memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan seperti halnya kepada laki-laki. Hal itu tecermin dari 74% responden yang menjawab setuju, bahkan 5% responden menjawab sangat setuju. Sedangkan 11% responden menjawab tidak setuju. Sisanya sebesar 10% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan Apabila responden ditanya mengenai jaminan terhadap hak atas hidup maupun bebas dari penyiksaan, sebanyak 55% responden menilai bahwa aparat penegak hukum terhadap berhati-hati untuk tidak menghilangkan nyawa warga negara selama proses penegakan hukum. Bahkan 3% responden menjawab sangat setuju. Sebaliknya terdapat 24% responden yang menjawab tidak setuju, dan 2% responden menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sekitar 16% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.
40
BAB II | Survei Publik
Sebagian besar responden merasa bahwa aparat penegak hukum tidak akan melakukan penyiksaan selama proses penahanan. Hal itu tecermin dari 46% responden yang menjawab setuju dan 3% responden yang menjawab sangat setuju. Sebaliknya, sebanyak 33% responden menjawab tidak setuju bahwa aparat penegak hukum tidak akan melakukan penyiksaan selama proses penahanan. Bahkan 3% responden menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebanyak 15% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.
41
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak Apabila ditanya mengenai ketersedian lapangan kerja, sebagian besar responden menjawab negara masih gagal menyediakan lapangan pekerjaan. Hal itu tecermin dari 27% responden yang menjawab setuju dan 3% responden menjawab sangat setuju. Sebaliknya terdapat 57% responden yang menjawab tidak setuju dan 3% responden yang menjawab sangat tidak setuju bahwa lapangan kerja yang tersedia dapat menampung kebutuhan jumlah tenaga kerja yang ada. Sisanya sebesar 5% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
Sedangkan mengenai apakah upah minimum daerah sudah dapat mencukupi kebutuhan dasar masyarakat seharihari, ternyata masyarakat merasa upah minimum daerah belum mencukupi. Hal itu tecermin dari jawaban 55% responden yang memilih tidak setuju, bahkan 5% responden menyatakan sangat tidak setuju. Hanya 29% responden yang menyatakan setuju, dan 2% responden sangat setuju. Sisanya, 9% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
42
BAB II | Survei Publik
Mengenai pertanyaan pendidikan murah dan berkualitas, lebih dari setengah responden merasa pendidikan yang murah dan berkualitas sudah tersedia. Hal itu tecermin dari 50% responden yang menjawab setuju, dan 3% responden yang menjawab sangat setuju. Sedangkan yang menjawab tidak setuju sebesar 37% responden, dan 4% responden menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 6% responden tidak tahu/menjawab.
Apabila semua indikator diakumulasikan, maka indeks untuk prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM berada pada angka 5.74. Angka tersebut merupakan akumulasi dari skor rata-rata yang didapatkan dari 5 indikator, yaitu: 43
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
1. 2. 3. 4. 5. D.
Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (6.07); Kebebaan beragama dan berkeyakinan (6.54); Perlakuan yang tidak diskriminatif (6.08); Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan (5.44); dan Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak (4.58). Akses Terhadap Keadilan
Prinsip negara hukum berikutnya adalah prinsip Akses Terhadap Keadilan. Terdapat tiga indikator untuk prinsip ini, yaitu: Tabel 2.4 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Akses terhadap Keadilan No 1
Prinsip Peradilan yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan
Pertanyaan •
Kecenderungan pilihan responden dalam menyelesaikan masalah hukum mereka;
• Faktor-faktor yang mendorong responden untuk memilih penyelesaian hukumnya melalui lembaga peradilan; dan •
2
Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu
Faktor-faktor yang menghambat responden untuk memilih penyelesaian hukumnya melalui lembaga peradilan.
• Kewajiban negara untuk menyediakan bantuan hukum untuk warga yang tidak mampu; • Kesesuaian antara bantuan hukum yang diberikan oleh negara dengan kebutuhan masyarakat; dan • Kualitas pekerja bantuan hukum yang disediakan oleh negara.
3
44
Perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah.
•
Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada korban;
•
Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada pelapor; dan
• Kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah.
BAB II | Survei Publik
Peradilan yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan Dari pertanyaan mengenai preferensi masyarakat dalam menyelesaikan masalah hukumnya, dapat diketahui bahwa masyarakat Indonesia lebih condong untuk menyelesaikan masalah hukumnya melalui jalur hukum. Hal itu terlihat dari 48% responden yang menjawab kemungkinan besar akan, dan 19% responden yang menjawab ya, pasti akan. Sebaliknya, hanya 23% responden yang menjawab kemungkinan besar tidak akan dan 9% responden menjawab pasti tidak akan. Hanya 1 % responden yang menjawab tidak tahu/jawab.
Jika kelompok responden yang menjawab ‘ya, pasti akan’ dan ‘kemungkinan besar akan’ menyelesaikan masalah hukumnya ke penegak hukum yang berjumlah 67% tersebut argumentasinya digali lebih dalam, maka mayoritas alasan mereka adalah mendapatkan keadilan (70%). Setelah itu, berturut-turut: akan mendapatkan kepastian (27%); prosesnya cepat (9%); prosesnya mudah (7%); biaya yang murah (4%), dan lainnya (45). Hanya 7% respoden yang menjawab tidak tahu/menjawab.
45
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Sedangkan 31% responden yang memilih kemungkinan besar tidak akan dan pasti tidak akan menyelesaikan masalah hukumnya lewat jalur peradilan ditanyakan alasannya, maka alasan paling banyak adalah dikarenakan prosesnya berbelitbelit (44%). Berturut-turut dikarenakan: biaya yang mahal (37%); memakan waktu (16%); tidak akan mendapatkan kepastian (14%); tidak akan mendapatkan keadilan (11%); alasan lainnya (16%). Sedangkan jawaban tidak tahu/tidak menjawab sebesar 12%.
46
BAB II | Survei Publik
Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu Dari pertanyaan sudah seberapa banyak negara memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada warga yang tidak mampu, mayoritas responden menjawab bantuan hukum yang diberikan negara masih sedikit. Hal itu tecermin dari 32% respoden yang menjawab sedikit dan 24% responden yang menjawab sangat sedikit. Hanya 15% responden yang menjawab bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan negara cukup banyak dan 3% responden yang menjawab sangat banyak. Sedangkan yang responden yang menjawab tidak tahu/tidak jawab cukup banyak, sebesar 26% responden.
Sekalipun mayoritas responden (56%) berpendapat bahwa bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh negara masih sedikit, namun mayoritas mereka berpendapat bahwa bantuan hukum yang masih sedikit tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal itu tecermin dari 70% responden yang menjawab setuju, bahkan 6% responden menjawab sangat setuju. Hanya 22% responden yang menjawab tidak setuju. Sisanya, sebesar 2% responden menjawab tidak tahu/jawab. 47
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Apresiasi responden terhadap bantuan hukum cumacuma yang disediakan oleh negara berlanjut ketika mereka dimintai pendapat mengenai kualitas para pekerja bantuan hukum yang memberikan bantuan. Sebanyak 66% responden setuju dan 8% responden sangat setuju bahwa para pekerja bantuan hukum tersebut berkualitas. Pada sisi lainnya, hanya 20% responden yang menyatakan tidak setuju dan 1% responden sangat tidak setuju (1% ) bila para pekerja bantuan hukum tersebut sudah berkualitas. Sisanya, 5% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
48
BAB II | Survei Publik
Perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah. Indikator ketiga yang ingin diketahui dari prinsip Akses terhadap Keadilan adalah perlindungan yang diberikan negara baik kepada korban maupun pelapor pelanggaran hukum. Termasuk di dalamnya kompensasi/ganti rugi kepada yang keliru dinyatakan bersalah. Secara garis besar, mayoritas responden memberikan apresiasi terhadap perlindungan yang diberikan negara kepada korban dan pelapor. Namun kompensasi/ganti rugi yang diberikan negara kepada pihak/ orang yang keliru dinyatakan bersalah, penilaian responden terlihat ‘terpecah’. Untuk pertanyaan pertama: apakah negara sudah memberikan perlindungan terhadap korban secara memadai? Hasil survei menunjukan bahwa 49% responden menyatakan setuju, bahkan 2% responden menyatakan sangat setuju. Sebaliknya terdapat 30% responden menyatakan tidak setuju dan 1% responden menyatakan sangat tidak setuju. Sisanya sebanyak 18% menjawab tidak tahu/jawab.
49
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Komposisi jawaban yang relatif sama juga diberikan responden terhadap pelapor. 51% responden berpendapat setuju dan 2% responden berpendapat sangat setuju bahwa negara sudah memberikan perlindungan hukum secara memadai terhadap pelapor. Hanya 26% responden yang berpendapat tidak setuju dan 1% sangat tidak setuju bila negara sudah memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap pelapor. Sedangkan jumlah responden yang menjawab tidak tahu/menjawab cukup banyak, yaitu sebesar 20% responden.
Jika ditanyakan mengenai kompensasi/ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada pihak yang keliru didakwa/ dinyatakan bersalah oleh pengadilan, 34 % responden menjawab setuju, bahkan 2% responden menjawab sangat setuju, bila dikatakan negara sudah memberikan kompensasi/ ganti rugi yang memadai kepada pihak yang keliru didakwa/ dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebaliknya terdapat pula 34% responden yang menjawab tidak setuju dan 3% responden menjawab sangat tidak setuju. Sebanyak 27% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
50
BAB II | Survei Publik
Dalam prinsip ini hanya dua indikator yang dapat diukur, yaitu indikator pemberian bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu dan perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi bagi kepada yang keliru dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Hal ini disebabkan dalam proses indeksisasi, indikator peradilan mudah, cepat, dan biaya ringan tidak memenuhi prinsip unidimensionalitas dan realibilitas. Apabila dua indikator dalam prinsip Akses terhadap Keadilan ini diakumulasikan secara rata-rata, maka indeks untuk prinsip ini berada pada angka 4.27. Angka tersebut didapat dari indikator pemberian bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu yang berada pada angka 3.21; dan indikator perlindungan kepada korban, pelapor, dan kompensasi bagi kepada yang keliru dinyatakan bersalah berada pada angka 5.33. E.
Peraturan yang Terbuka dan Jelas
Sama seperti prinsip Akses terhadap Keadilan, prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas juga memiliki 3 (tiga) indikator. Ketiga indikator dan pertanyaan-pertanyaan turunannya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. 51
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 2.5 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas Indikator Mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan
Kejelasan materi peraturan
Akses terhadap peraturan perundangundangan
Pertanyaan •
Kewajiban negara untuk memberikan informasi mengenai peraturan yang akan dibuat;
•
Kewajiban pemerintah dalam mempublikasikan materi rancangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat;
•
Kewajiban pemerintah dalam memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan tanggapan dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan; dan
•
Mekanisme pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan.
•
Kejelasan rumusan bahasa peraturan perundang-undangan;
•
Kerugian yang ditimbulkan oleh berlakunya suatu peraturan perundang-undangan; dan
•
Penyebab merugikannya suatu peraturan perundang-undangan.
•
Kewajiban negara dalam mensosialisasikan peraturan-perundangan yang baru disahkan; dan
• Kewajiban negara dalam mempublikasikan peraturan perundang-undangan yang baru disahkan.
52
BAB II | Survei Publik
Mengikutsertakan peraturan
publik
dalam
pembuatan
Informasi terhadap publik mengenai rencana pembuatan peraturan masih sangat sedikit dilakukan oleh negara. Hal tersebut terungkap dari 65% jawaban responden yang menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai peraturan yang akan dibuat. Dan sebanyak 21% responden menyatakan jarang. Hanya sebagian kecil responden yang menjawab sering mendapatkan informasi mengenai hal tersebut, dengan rincian: 11% responden menyatakan cukup sering dan 2% responden sangat sering. Sedangkan sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
Dari 34% responden yang mengatakan pernah mendapatkan informasi mengenai rencana pembuatan peraturan perundang-undangan, 42% responden di antaranya mengatakan bahwa pemerintah jarang memberikan informasi mengenai materi peraturan yang akan dibuat. Sedangkan 12% responden menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi tersebut. Sebaliknya sebanyak 36% responden menyatakan cukup sering, dan 6% responden menyatakan sangat sering. Sisanya 4% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
53
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Bagi 42% responden yang mendapatkan informasi dari pemerintah mengenai materi peraturan yang akan dibuat tidak dengan sendirinya diberikan kesempatan untuk menanggapi rancangan peraturan yang akan dibuat tersebut. Hal ini tecermin dari 38% responden yang menyatakan tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. Hanya 27% responden mengatakan masih diberi kesempatan namun jarang. Sebaliknya terdapat 22% responden yang mengatakan cukup sering dimintai tanggapan, dan 2% responden mengatakan sangat sering. Sisanya sebesar 11% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
54
BAB II | Survei Publik
Terhadap responden yang menjawab merasa pernah diberikan kesempatan oleh pemerintah untuk menanggapi rancangan peraturan yang akan dibuat, cara paling sering yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dimintai pendapat (43%). Menyusul kemudian: lewat dengar pendapat (38%); kotak saran (24%); dan sarana lainnya (4%). Sedangkan 8% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
Kejelasan materi peraturan Selain minim informasi mengenai rencana dan materi peraturan yang akan dibuat, mayoritas responden juga menyatakan tidak pernah membaca peraturan yang dibuat oleh negara. Hal itu tecermin dari 75% responden yang menjawab tidak pernah, dan 16% responden yang menjawab jarang. Hanya 7% responden yang menyatakan cukup sering dan 1% responden cukup sering. Sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
55
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Menariknya dari 24% responden yang mengatakan pernah membaca peraturan yang dibuat negara (baik jarang, cukup sering, dan sangat sering), berpendapat bahwa bahasa peraturan dapat dipahami. Hal itu tecermin dari 69% responden yang menyatakan cukup baik dan 11% responden menyatakan sangat baik. Sebaliknya hanya 11% responden yang mengatakan kurang baik, dan 1% responden yang menyatakan tidak baik sama sekali. Sisanya sebesar 8% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
56
BAB II | Survei Publik
Sekalipun mayoritas responden minim informasi dan jarang diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, namun mayoritas responden juga merasa tidak pernah dirugikan oleh peraturan. Hal itu tecermin dari 68% responden yang menjawab tidak pernah, dan 23% responden yang menjawab jarang. Hanya 23% responden yang menyatakan cukup sering dan 7% menyatakan sangat sering dirugikan. Sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
Dari 30% responden yang dirugikan oleh pemberlakuan peraturan (baik cukup sering dan sangat sering), mengemukakan beberapa alasan. Alasan paling dominan adalah peraturan tersebut tidak adil (42%). Selanjutnya berturut-turut: peraturan yang sering mengalami perubahan (36%); peraturan yang tumpang tindih (17%); peraturan yang menggunakan bahasa yang tidak jelas (9%); peraturan yang berlaku surut (7%); dan alasan lainnya (4%). Sedangkan sebanyak 12% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
57
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Akses terhadap Peraturan Perundang-undangan Mirip dengan informasi mengenai rencana pembuatan dan materi peraturan, pengetahuan responden mengenai peraturan yang disahkan juga minim. Hal itu tecermin dari 19% responden yang menjawab jarang, bahkan 70% responden menjawab tidak pernah tahu. Hanya 9% responden yang menyatakan cukup sering, dan 1% menyatakan sangat sering. Sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
58
BAB II | Survei Publik
Terhadap responden yang mengatakan mengetahui peraturan yang baru disahkan ditanyakan dari mana mereka mendapatkan sumber informasi, sebagian besar responden menjawab melalui televisi (81%). Selanjutnya berturutturut: melalui penjelasan/cerita orang lain (21%); melakui koran (19%); melalui internet (10%); melalui radio (7%); melalui lembaga resmi (4%); dan lainnya (2%). Sedangkan sebanyak 11% responden menjawab tidak tahu/menjawab.
Jika semua indikator dalam prinsip Peraturan yang Jelas dan Terbuka diakumulasikan, maka untuk prinsip ini mendapatkan angka indeks 3,13. Angka ini merupakan penjumlahan dari skor rata-rata untuk ketiga indikator, yaitu: mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan dengan angka 1,38; kejelasan materi peraturan dengan angka 6,63; dan akses terhadap peraturan perundang-undangan dengan angka 1,39. Angka untuk prinsip Peraturan yang Jelas dan Terbuka sebesar 3,13 merupakan angka indeks paling kecil dibandingkan dengan angka yang diperoleh prinsip lainnya.
59
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
F.
Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule of Law) Indonesia Tahun 2012
Hasil survei terhadap seluruh pertanyaan dan indikator dari kelima prinsip negara hukum terpilih akan dikonversi menjadi indeks. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa prinsip Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM mendapatkan skor tertinggi, yakni 5,74. Berturut-turut adalah prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum (4,77); Independensi Kekuasaan Kehakiman (4,72); Akses Terhadap Keadilan (4,28); dan prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas (3,13). Bila indeks kelima prinsip negara hukum tersebut diakumulasikan maka untuk Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI) Tahun 2012 berada pada angka 4,53. Tabel di bawah ini menunjukan rincian skor indeks yang diperoleh masing-masing prinsip negara hukum dilengkapi dengan skor indeks masing-masing indikator.
60
BAB II | Survei Publik
Tabel 2.6 Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Tahun 2012 No 1.
2.
3.
4.
5.
Prinsip Negara Hukum
Skor Indeks
Pemerintahan Berdasarkan Hukum
4,77
Keseimbangan kekuasan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif
4,50
Performa eksekutif
5,00
Performa legislatif
4,81
Independensi Kekuasaan Kehakiman
4,72
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
4,26
Organisasi Kekuasaan Kehakiman
5,18
Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM
5,74
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
6,07
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
6,54
Perlakuan yang tidak diskriminatif
6,08
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan
5,44
Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak
4,58
Akses Terhadap Keadilan
4,27
Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu
3,21
Perlindungan kepada korban, pelapor, dan kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah
5,33
Peraturan yang Terbuka dan Jelas
3,13
Mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan
1,38
Kejelasan materi peraturan
6,63
Akses terhadap peraturan perundang-undangan
1,39
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
4,53
61
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Berikut ini adalah tabel skor indeks kelima prinsip negara hukum bila responden dikelompokan berdasarkan kelompok gender, desa-kota, usia, pendidikan, pekerjaan dan wilayah:
Proporsi Responden
Total
Dimensi 1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Dimensi 2 Indepedensi Kekuasaan Kehakiman
4,77
4,72
Gender Laki-laki
49,8%
4,74
4,80
Perempuan
50,2%
4,80
4,94
Pedesaan
50,6%
4,97
5,03
Perkotaan
49,4%
4,57
4,70
Desa-Kota
Usia <25 Tahun
13,2%
4,75
4,72
26-40 Tahun
39,7%
4,70
4,87
41-55 Tahun
29,3%
4,73
4,85
> 55 Tahun
17,9%
4,93
5,06
<SD
51,7%
4,93
5,18
SLTP
18,6%
4,89
4,91
SLTA
22,9%
4,46
4,38
PT
6,8%
4,22
4,03
Proporsi Responden
Dimensi 1 Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Dimensi 2 Indepedensi Kekuasaan Kehakiman
4,77
4,87
5,06
5,22
Pendidikan
Total Pekerjaan Petani/Peternak/ Nelayan
62
27,0%
BAB II | Survei Publik
Tabel 2.7 Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Gender, Desa-Kota, Usia, Pendidikan, Pekerjaan dan Wilayah Dimensi 3 Pengakuan, Pemenuhan dan Perlindungan HAM
Dimensi 4 Akses Terhadap Keadilan
Dimensi 5 Peraturan yang Jelas dan Terbuka
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI)
5,74
4,27
3,13
4,56
5,69
4,25
3,25
4,55
5,79
4,28
3,02
4,56
5,84
4,38
2,97
4,64
5,64
4,15
3,30
4,47
5,77
4,42
3,51
4,63
5,73
4,24
3,19
4,55
5,72
4,16
3,09
4,51
5,81
4,39
2,74
4,59
5,83
4,47
2,78
4,64
5,76
4,25
3,30
4,62
5,65
3,96
3,51
4,39
5,34
3,79
4,09
4,29
Dimensi 3 Pengakuan, Pemenuhan dan Perlindungan HAM
Dimensi 4 Akses Terhadap Keadilan
Dimensi 5 Peraturan yang Jelas dan Terbuka
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI)
5,74
4,27
3,13
4,56
4,43
2,83
4,68
5,88
63
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Buruh Kasar/ Pembantu/Kerja Tidak Tetap/Supir/ Ojek/Satpam/ Hansip
13,7%
4,72
4,99
Pedagang/ Wiraswasta
11%
4,52
4,69
Pegawai Negeri/ Pegawai Desa/ Guru/Dosen
4,7%
4,49
4,37
Pegawai Swasta/ Profesional
6,6%
4,09
4,18
Ibu Rumah Tangga 24,4%
4,80
4,95
Lainnya
12,5%
4,83
4,62
Sumatera
18,9%
4,48
4,91
DKI+Banten
8,7%
4,38
4,46
Jabar
17,1%
4,90
5,06
Jateng+DIY
16,1%
4,68
4,72
Jatim
16,6%
4,98
5,17
Wilayah
Kalimantan
5,5%
4,25
4,58
Sulawesi
7,8%
4,88
4,48
Lainnya
9,3%
5,47
5,05
64
BAB II | Survei Publik
5,79
4,26
3,05
4,56
5,59
4,17
3,08
4,41
5,49
3,64
4,56
4,51
5,40
4,05
3,53
4,25
5,77
4,36
3,05
4,59
5,76
4,23
3,39
4,57
5,79
4,17
3,06
4,48
5,46
4,29
3,17
4,35
5,76
4,26
3,20
4,64
5,71
4,27
3,15
4,50
5,94
4,54
3,16
4,76
5,20
3,55
3,27
4,17
5,54
3,98
2,87
4,35
6,04
4,60
3,18
4,87
65
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
66
BAB III STUDI DOKUMEN
Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, bahwa menggunakan survei sebagai satu-satunya instrumen dalam mengukur sejauh mana sebuah negara telah menaati prinsip-prinsip suatu negara hukum bukanlah sebuah langkah yang cukup proporsional. Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana realitas empiris dan normatif penyelenggara negara sudah menaati prinsip-prinsip negara hukum, ILR merasa diperlukanlah sebuah studi dokumen. Studi dokumen ini memaparkan data-data normatif dan statistik masing-masing prinsip negara hukum. Data normatif mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM dan lembaga internasional yang relevan dengan masing-masing prinsip. A.
Pemerintahan Berdasarkan Hukum
1.
Keseimbangan Cabang Kekuasaan Tabel berikut berisi sejumlah ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kewenangan dan kedudukan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan 67
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
yudikatif, beserta mekanisme hubungan antarcabang kekuasaan tersebut: Tabel 3.1.1 Tabel Kewenangan Cabang Kekuasaan Jenis Pengaturan Undang-Undang Dasar 1945
2.
68
Isi Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Performa Eksekutif a. Ketersediaan saluran pengaduan atau keluhan bagi masyarakat terkait dengan pelanggaran hukum/undang-undang/putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
BAB III | Studi Dokumen
Tabel 3.1.2 Tabel Kewenangan Lembaga Eksekutif/Pemerintahan Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Isi Pasal 1 Angka 1 Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 Angka 2 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pasal 1 Angka 1 Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 Angka 2 Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
69
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025
Lampiran BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 A.
B.
C. D.
E. F. G.
H.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014
70
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab; Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera; Terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan berkeadilan; Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri; Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari; Terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional.
Lampiran Buku I Arah Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 (2010—2014) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.
hukum/undang-undang/putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. BAB III | Studi Dokumen Tabel di bawah ini berisi sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai saluran yang tersedia bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan atau pengaduan terkait dengan penyelenggaraan layanan publik.
Tabel 3.1.3 Tabel Perundang-undangan yang Mengatur Saluran yang Tersedia Bagi Masyarakat Menyampaikan Keberatan atau Pengaduan Terkait Penyelengaraan Layanan Publik Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Isi Pasal 35 (1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan berikut: a. penolakan atas permintaan informasi berdasarkan b. alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; c. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; d. tidak ditanggapinya permintaan informasi; e. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; f. tidak dipenuhinya permintaan informasi; g. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/ atau h. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UndangUndang ini.
71
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 6 Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Pasal 23(1) Setiap warga negara Indonesia atau penduduk berhak menyampaikan Laporan kepada Ombudsman.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
72
Pasal 8 (1) Organisasi penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan. (2) Penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi: i. pengelolaan pengaduan masyarakat;
BAB III | Studi Dokumen
Laporan Komisi Informasi Pusat tahun 2012 menunjukan seberapa jauh masyarakat menggunakan saluran keluhan/pengaduan yang terkait dengan penyediaan informasi publik. Laporan tersebut juga menggambarkan kinerja Komisi Informasi Pusat (KIP) dalam merespon keberatan-keberatan yang diterima. Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, sudah terdapat 818 permohonan penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan kepada KIP. Tabel di bawah ini merinci jumlah permohonan yang masuk setiap tahun selama periode dimaksud. Tabel 3.1.4 Tabel Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Tahun 2010 2011 2012 Total
Jumlah Permohonan 76 419 323 818
Sumber : Data PSI per 26 Desember 2012
Dari 818 sengketa yang dimohonkan untuk diselesaikan oleh Komisi Informasi Pusat dari tahun 2010-2012, sebanyak 532 atau 64% kasus berhasil diproses, baik yang berujung dengan penyelesaian kasus lewat mediasi dan ajudikasi maupun berakhir dengan penolakan dan pencabutan. Sedangkan 36% atau 295 kasus masih dalam proses.
73
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.1.5 Tabel Sengketa yang Diselesaikan Komisi Informasi Pusat dari tahun 2010-2012 Status Dalam Proses Ditolak Dicabut Mediasi Ajudikasi Total
Jumlah Sengketa 295 272 24 162 65 818
Sumber : Data PSI per 26 Desember 2012
Adapun menurut Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2011, selain menunjukan seberapa jauh masyarakat menggunakan Ombudsman sebagai saluran untuk pengaduan, laporan itu juga menunjukan bahwa banyak instansi pemerintah yang dianggap tidak melaksanakan layanan publik atau melanggar hukum/undangundang/putusan pengadilan, sehingga menjadi objek pengaduan oleh publik yang dirugikan. Dari 1867 laporan yang masuk ke Ombudsman RI sepanjang tahun 2011, instansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah dengan 671 laporan (35,94%). Hal ini sama dengan laporan masyarakat kepada Ombudsman RI pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan instansi pemerintah lainnya yang juga banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Kepolisian dengan 325 laporan (17,41%), Lembaga Pengadilan dengan 178 laporan (9,53%), Badan Pertanahan Nasional dengan 165 (8,84%), serta Instansi Pemerintah/ Kementerian dengan 154 laporan (8,25%). 74
BAB III | Studi Dokumen
Meningkatnya jumlah laporan masyarakat mengenai kinerja Pemerintah Daerah menunjukkan kecenderungan pergeseran perhatian masyarakat dari persoalan penegakan hukum ke administrasi pemerintahan. Pergeseran ini sekaligus menunjukan semakin besarnya perhatian masyarakat kepada isu kesejahteraan rakyat. Berikut rincian instansi pemerintah yang dilaporkan ke Ombudsman RI dan jumlah laporannya: Tabel 3. 1.6 Tabel Laporan Pengaduan Masyarakat Terhadap Instansi Pemerintah Ke Ombudsman
Bagaimana kinerja Ombudsman RI dalam menangani laporan-laporan yang masuk selama periode 2008-2011 bisa dilihat dalam tabel di bawah ini. 75
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.1.7 Tabel Tindak Lanjut Ombudsman Terhadap Laporan Masyarakat 2008-2011
b. Penegakan hukum terhadap aparat pemerintah yang melanggar hukum/undang-undang/putusan pengadilan Tabel di bawah ini memuat ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai berbagai sanksi yang dapat dikenakan kepada pegawai negeri sipil bila melakukan pelanggaran, termasuk pelanggaran hukum. Tabel 3.1.8 Ketentuan Regulasi Mengenai Berbagai Sanksi yang Dapat Dikenakan kepada Pegawai Negeri Sipil Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
76
Isi Pasal 23 (5) Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena: a. melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
BAB III | Studi Dokumen
b.
c.
melakukan penyelewengan terhadap ideologi Negara, Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan pemerintah; atau dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Pasal 24 Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikenakan pemberhentian sementara.
Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pasal 1 Angka 1 Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Pasal 5 PNS yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Kewajiban PNS) dan/ atau Pasal 4 (Larangan PNS) dijatuhi hukuman disiplin. Pasal 6 Dengan tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, PNS yang melakukan pelangggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin.
77
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
3.
Performa Legislatif a. Ketersediaan saluran pengaduan atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota legislatif Sejumlah klausul peraturan perundang-undangan dalam tabel di bawah ini menentukan hak masyarakat untuk mengadukan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak melaksanakan kewajibannya. Termasuk di dalamnya tugas alat kelengkapan DPR yang diberi mandat memproses pengaduan.
78
BAB III | Studi Dokumen
Tabel. 3.1.9 Tabel Regulasi Saluran Pengaduan Masyarakat atas Pelanggaran Anggota Legislatif Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Isi Pasal 127 (1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan veriikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: 1. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79; 2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhala-ngan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; 3. tidak menghadiri rapat paripurna dan/ atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau 5. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Pasal 211 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.
79
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pada tahun 2012 setidaknya terdapat dua pengaduan masyarakat terhadap anggota DPR yang cukup mendapatkan perhatian publik, yaitu pengaduan yang disampaikan oleh Koalisi Pemantau Peradilan mengenai dugaan intervensi oleh anggota DPR terhadap lembaga peradilan, dan pengaduan oleh Kementerian BUMN mengenai dugaan pemerasan oleh anggota DPR terhadap sejumlah BUMN. Pengaduan pertama disampaikan oleh KPP kepada Badan Kehormatan (BK) DPR pada 11 Januari 2012, terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh lima orang anggota Komisi III yaitu Azis Syamsudin, Ahmad Yani, Syarifudin Sudding, Nasir Djamil dan Aboe Bakar Al Habsy yang mendatangi Pengadilan Negeri Semarang untuk mempertanyakan alasan pemindahan sidang kasus korupsi Walikota Semarang Soemarmo ke Jakarta. Koalisi melihat tindakan ini merupakan bentuk intervensi terhadap peradilan dan sebuah bentuk pelanggaran kode etik sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 Ayat 2 Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2011, bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan diri pribadi dan/atau pihak lain.1 Pengaduan kedua bermula dari pernyataan Menteri BUMN Dahlan Iskan bahwa beberapa anggota dewan diduga meminta jatah anggaran kepada beberapa BUMN. Adapun BUMN tersebut terdiri dari: PT Garam; PT PAL; dan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA). Terhadap pernyataan tersebut, DPR memanggil Dahlan 1
80
Anggota Komisi III Dilaporkan ke BK DPR, http://nasional.kompas.com/ read/2012/06/13/02110579/Anggota.Komisi.III.Dilaporkan.ke.BK.DPR, diakses pada 30 April 2013.
BAB III | Studi Dokumen
Iskan untuk menjelaskan kasus ini. Selanjutnya Badan Kehormatan (BK) DPR merespon dugaan pelanggaran kode etik tersebut dengan memeriksa beberapa anggota dewan yang diduga melanggar. Hasil pemeriksaan BK DPR memutuskan empat anggota dewan terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi ringan.2 b. Sanksi yang diberikan oleh DPR kepada anggotanya yang melanggar hukum Ketentuan peraturan perundangan dalam tabel di bawah ini mengatur mengenai sejumlah larangan bagi anggota DPR dan sanksi yang dapat dikenakan oleh DPR atas anggotanya yang melanggar larangan tersebut.
2
Surat Dahlan Iskan ke BK DPR berisi kronologi pemerasan BUMN. http:// news.detik.com/read/2012/11/08/142821/2086075/10/surat-dahlan-iskanke-bk-dpr-berisi-kronologi-pemerasan-bumn, diakses 30 April 2013; dan Dahlan Iskan Berkirim Surat Lagi ke Ke BK DPR. http://www.tempo.co/ read/news/2012/11/12/078441281/Dahlan-Iskan-Berkirim-Surat-Lagi-keBK-DPR, diakses 30 April 2013.
81
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel. 3.1.10 Tabel Regulasi Larangan dan Sanksi Bagi Anggota DPR Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Isi Pasal 208 (1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang angga-rannya bersumber dari APBN/APBD. (2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai anggota DPR. (3) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratiikasi. Pasal 209 (1) Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. (2) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. (3) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
82
BAB III | Studi Dokumen
Selama tahun 2012, tercatat 8 anggota DPR yang dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan DPR. Sementara itu, 4 anggota DPR diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Untuk kasus dugaan pemerasan sejumlah BUMN oleh anggota DPR seperti disebutkan di atas berujung dengan pernyataan Badan Kehormatan bahwa keempat anggota DPR tersebut telah melakukan pelanggaran etik tingkat ringan dan sedang. Tabel 3.1.11 Tabel Daftar Anggota DPR yang Dijatuhi Sanksi oleh BK DPR Tahun 2012 No
Nama Anggota Dewan yang Dijatuhi Sanksi
1.
Jenis Sanksi
Kasus
Panda Nababan
Pemberhentian sementara
Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus (Korupsi)
2.
Soewarno
Pemberhentian sementara
Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus (Korupsi)
3.
Djufri
Pemberhentian sementara
Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus (Korupsi)
4.
Angelina Sondakh
Pemberhentian sementara
Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus (Korupsi)
5.
Achsanul Qasasi
Sanksi ringan teguran lisan
Upaya meminta bagian dari anggaran sejumlah BUMN
6.
Idris Laena
Sanksi ringan/ sedang
Upaya meminta bagian dari anggaran sejumlah BUMN
7.
Sumaryoto
Sanksi ringan/ sedang
Upaya meminta bagian dari anggaran sejumlah BUMN
8.
Tidak teridentiikasi
Sanksi ringan/ sedang
Upaya meminta bagian dari anggaran sejumlah BUMN
83
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
B.
Independensi Kekuasaan Kehakiman 1.
Pelaksana kekuasaan kehakiman a. Integritas Tabel di bawah ini berisi ketentuan sejumlah peraturan perundangan di bidang yudisial yang mengatur mengenai kewajiban bagi para hakim untuk berintegritas serta berbagai mekanisme untuk menjaga integritas hakim, baik yang dilakukan oleh institusi yudisial (internal dan eksternal) maupun masyarakat. Selain itu diatur juga mengenai mekanisme melakukan pengawasan serta sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran kode etik atau pedoman berperilaku hakim.
Tabel 3.2.1 Regulasi Kewajiban bagi Para Hakim untuk Berintegritas Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 5 (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman Pasal 39 (1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan (3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung Pasal 40 (1) Dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
84
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Pasal 6A Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum Pasal 32A (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung (2) Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim (4) Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung Pasal 32B Mahkamah Agung harus memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai: a. Putusan Mahkamah Agung, dan atau b. Biaya dalam proses pengadilan
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Pasal 13A (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 12A (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 13A (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial
85
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pasal 19A Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Pasal 20 (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim; b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; c. melakukan veriikasi, klariikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
Peraturan Bersama MA-KY No. 02/PB/ MA/IX/2012-02/ PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode etik dan Perilaku Hakim
86
Pasal 2 Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimaksudkan sebagai acuan dalam rangka menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pasal 3 Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim didasarkan pada prinsip-prinsip: a. Independensi Hakim dan Pengadilan; b. Praduga tidak bersalah; c. Penghargaan terhadap profesi Hakim dan pengadilan; d. Transparansi; e. Akuntabilitas; f. Kerahasiaan dan kehati-hatian; g. Obyektivitas; h. Efektiitas dan eisiensi; i. Perlakuan yang sama; dan j. Kemitraan;
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 4 Kewajiban dan larangan bagi Hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu: a. Berperilaku adil, b. Berperilaku jujur, c. Berperilaku arif dan bijaksana, d. Bersikap mandiri, e. Berintegritas tinggi, f. Bertanggung jawab, g. Menjunjung tinggi harga diri, h. Berdisiplin tinggi, i. Berperilaku rendah hati, dan j. Bersikap profesional. Pasal 18 (1) Pelanggaran ringan meliputi pelanggaran atas: a. Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c b. Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c c. Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k d. Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c e. Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e f. Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m g. Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f h. Pasal 13ayat (1), (2), (3), dan (4) (2) Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas: a. Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e b. Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e c. Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b d. Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f, dan j e. Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g f. Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j g. Pasal 11 ayat (3) huruf b h. Pasal 11 ayat (4) huruf c. (3) Pelanggaran berat meliputi pelanggaran atas: a. Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f b. Pasal 5 ayat (3) huruf b, c, dan d c. Pasal 6 ayat (2) huruf a; d. Pasal 7 ayat (3) huruf a, d, dan i e. Pasal 8 ayat (2) huruf a; f. Pasal 9 ayat (4) huruf a dan f g. Pasal 9 ayat (5) huruf b, c, e, f, dan i h. Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b i. Pasal 11 ayat (3) huruf a; j. Pasal 11 ayat (4) huruf a, b dan g.
87
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 19 (1) Sanksi terdiri dari: a. Sanksi ringan. b. Sanksi sedang. c. Sanksi berat. (2) Sanksi ringan terdiri dari: a. Teguran lisan. b. Teguran tertulis. c. Pernyataan tidak puas secara tertulis. (3) Sanksi sedang terdiri dari: a. Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; b. Penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; c. Penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun; atau d. Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan. e. Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah; f. Pembatalan atau penangguhan promosi. (4) Sanksi berat terdiri dari: a. Pembebasan dari jabatan sebagai pimpinan pengadilan; b. Hakim nonpalu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun; c. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun d. Pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau e. Pemberhentian tetap tidak dengan hormat. (5) Terhadap hakim yang diusulkan untuk dijatuhi pemberhentian tetap dan pembelaan dirinya telah ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim, dikenakan pemberhentian sementara berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 21 Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Ad Hoc, terdiri dari: a. Sanksi ringan berupa teguran tertulis b. Sanksi sedang berupa dilarang menangani perkara selama 6 (enam) bulan. c. Sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
88
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 22 Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Agung, terdiri dari: a. Sanksi ringan berupa teguran tertulis b. Sanksi sedang berupa non palu paling lama 6 (enam) bulan c. Sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Peraturan Bersama MAKY No. 03/PB/ MA/IX/2012-03/ PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama
Pasal 2 (1) Pemeriksaan bersama dilakukan dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang hasil pemeriksaan dan atau penjatuhan sanksi ringan, sedang, berat selain sanksi pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat (2) Pemeriksaan bersama dapat pula dilakukan dalam hal: a. Terdapat laporan yang sama yang diajukan atau ditembuskan kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial b. Diketahui terdapat sattu permasalahan sama yang masih dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial, atau c. Terdapat informasi dan atau laporan yang menarik perhatian publik dan masing-masing lembaga memandang perlu melakukan pemerisaan bersama Pasal 4 Dalam melaksanakan pemeriksaan bersama, tim pemeriksa wajib: a. Menjaga independensi dan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara b. Menaati norma-norma yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan c. Berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim d. Menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
89
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 9 (1) Tim Pemeriksa untuk melaksanakan pemeriksaan bersama terdiri dari 4 (empat) orang anggota, masing-masing 2 (dua) orang dari Mahkamah Agung dan 2 (dua) orang dari Komisi Yudisial (2) Tim pemeriksa dibantu oleh 2 (dua) orang sekretaris, masing-masing 1 (satu) orang dari Mahkamah Agung dan 1 (satu) orang dari Komisi Yudisial (3) Ketua tim pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) adalah salah satu anggota dari Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung (4) Ketua tim pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) adalah salah satu anggota dari lembaga yang mengusulkan pemeriksaan bersama yang ditetapkan oleh ketua lembaga pengusul. (5) Ketua tim pemeriksa menyusun rencana kerja pemeriksaan yang meliputi: a. Penentuan pihak-pihak yang yang diperiksa b. Penentuan mekanisme dan lokasi pemeriksaan c. Penentuan teknis pemeriksaan d. Penghitungan waktu dan jadwal pemeriksaan e. Persiapan daftar nama dan urutan pihak yang akan diperiksa dan daftar pertanyaan yang akan diajukan f. Pemanggilan pihak-pihak yang akan diperiksa Peraturan Bersama MAKY No. 04/PB/ MA/IX/2012-04/ PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim
90
Pasal 2 (1) Majelis Kehormatan Hakim bersifat tidak tetap (2) Majelis Kehormatan Hakim dibentuk dengan penetapan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian dari Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 3 (1) Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri dari: a. 3 (tiga ) orang Hakim Agung, dan b. 4 (empat) orang Anggota Komisi Yudisial (2) Anggota Majelis Kehormatan Hakim bukan merupakan Anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran. Pasal 5 (1) Majelis Kehormatan Hakim bersidang di gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Majelis Kehormatan Hakim melakukan pemeriksaan usul pemberhentian paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan Majelis Kehormatan Hakim. (3) Setelah Majelis Kehormatan Hakim ditetapkan, Ketua Majelis Kehormatan Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim untuk memanggil Terlapor. Pasal 6 (1) Sidang Majelis Kehormatan Hakim tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali pada sidang pembacaan keputusan. (2) Setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis, Terlapor dipanggil masuk ke ruang sidang. Pasal 8 (1) Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. (2) Daalam hal pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak. (3) Dalam hal pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak juga tercapai, maka diambil keputusan yang menguntungkan bagi Terlapor. (4) Musyawarah Majelis Kehormatan Hakim untuk pengambilan keputusan dilakukan dalam sidang tertutup.
91
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 9 (1) Keputusan Majelis Kehormatan Hakim terdiri dari: a. Irah-irah keputusan, dengan bunyi “Demi Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” b. Identitas Terlapor c. Duduk permasalahan d. Pembelaan diri Terlapor e. Pertimbangan Hukum f. Amar Keputusan (2) Keputusan Majelis Kehormatan Hakim bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut peraturan perundang-undangan pengawasan dalam rangka menjaga integritas hakim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan cara menyampaikan pengaduan kepada lembaga yang berwenang. Laporan resmi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2012, seperti akan disebutkan di bawah ini, menunjukan bahwa sebagian masyarakat masih mempermasalahkan integritas sejumlah hakim.
92
BAB III | Studi Dokumen
Tabel 3.2.2 Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat dan Sanksi yang Dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Periode Januari-September 2012 Jumlah Pengaduan
1773
2376
Jumlah Hukuman Disiplin Berat
Sedang
Ringan
19 6 0 6 2 2 0
8 0 0 2 0 0 0
33 2 1 4 0 4 9
3
2
1
6 12 4 2 62
0 3 0 1 16 146
3 7 4 0 68
Jabatan Hakim Hakim Ad Hoc Hakim Militer Panitera/Sekretaris Wakil Sekretaris Wakil Panitera Panitera Muda Pejabat Struktural/ Fungsional Panitera Pengganti Staf Juru Sita Juru Sita Pengganti Jumlah Total
Tabel 3.2.3 Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Rekomendasi Sanksi yang Dijatuhkan oleh Komisi Yudisial Periode Januari-Desember 2012 Jumlah Pengaduan 1520 1520
Jumlah Hukuman Disiplin Berat Sedang Ringan 5 3 19 27
Jabatan Hakim Total
Laporan Komisi Yudisial di atas juga menginformasikan bahwa kode etik dan pedoman perilaku hakim yang sering dilanggar adalah prinsip bersikap profesional, berintegritas tinggi dan berperilaku adil. Sedangkan dari segi asal daerah, laporan yang masuk mayoritas secara berturut-turut berasal dari, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. 93
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
b.
Independensi Berbagai ketentuan peraturan perundangundangan dalam tabel berikut ini memberikan jaminan bagi para hakim kemandirian dalam memeriksa dan memutus perkara. Termasuk di dalamnya sanksi bagi pihak yang melanggar asas kemandirian tersebut. Tabel 3.2.4 Regulasi yang Mengatur tentang Independensi Hakim Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 3 (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 39 (4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
94
Pasal 13E (3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 12E (3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 13E (3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Undang-Undang No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pasal 20A (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1), Komisi Yudisial wajib: d. Menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10 yang dilakukan anggota Komisi Yudisial dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2.
Organisasi Kekuasaan Kehakiman a.
Seleksi hakim yang bebas dari KKN Peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam tabel berikut ini mengatur mengenai mekanisme seleksi dan pengangkatan hakim di berbagai tingkatan dengan tujuan membuat proses seleksi dan pengangkatan berlangsung transparan, akuntabel dan partisipatif. 95
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.2.5 Regulasi yang Mengatur Mekanisme Seleksi dan Pengangkatan Hakim Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Pasal 6B (1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier (2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non karier.
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Pasal 14A (1) Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel dan partisipatif (2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 13A (1) Pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel dan partisipatif (2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 14A (1) Pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel dan partisipatif (2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pasal 13 Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
96
Pasal 7 – Pasal 8
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c. menetapkan calon Hakim Agung; dan d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. PB MA-KY No. 01/ PB/MA/IX/2012-01/ PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi Pengangkatan Hakim
Pasal 1 Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: a. Seleksi pengangkatan hakim adalah rangkaian proses mulai dari Pendidikan Calon Hakim Terpadu, sampai pada penentuan akhir untuk diangkat menjadi hakim. Pasal 5 (1) Penilaian yang dilakukan dalam Pendidikan Calon Hakim Terpadu meliputi komponen: a. nilai ujian tertulis/lisan komprehensif; b. nilai ujian kode etik dan pedoman perilaku hakim; c. nilai hasil evaluasi magang dari tutor dan mentor; d. nilai kedisiplinan; e. nilai kepribadian. (2) Komponen nilai sebagaimana dimaksud ayat (1) harus terkumpul paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya Program Pendidikan Calon Hakim. (3) Rapat penentuan kelulusan diadakan oleh Panitia Pendidikan Calon Hakim Terpadu dengan dihadiri unsur Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari setelah terkumpulnya komponen nilai pada ayat (2). (4) Hasil rapat penentuan kelulusan dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Panitia Pendidikan Calon Hakim Terpadu dan unsur Komisi Yudisial.
97
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(5)
(6)
Apabila dalam rapat penentuan kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) karena sesuatu hal tidak dihadiri oleh unsur Komisi Yudisial maka rapat diundur paling lama 7 (tujuh) hari. Dalam hal telah dilakukan pengunduran waktu penyelenggaraan rapat penentuan kelulusan dan rapat tersebut tidak dihadiri oleh Komisi Yudisial meskipun telah diundang kembali, maka penentuan kelulusan ditetapkan oleh Panitia Pendidikan Calon Hakim Terpadu.
Pada tahun 2013, Komisi Yudisial mengadakan seleksi hakim agung secara terbuka. Pelamar yang mendaftar sebanyak 230 orang, masing-masing 160 melalui jalur hakim karir dan 70 melalui jalur nonkarir. Peserta yang dinyatakan lolos seleksi dan kemudian diajukan kepada DPR untuk dipilih berjumlah 24 orang, terdiri dari 23 hakim karir dan 1 nonkarir. DPR sendiri akhirnya memilih 8 orang untuk menjadi hakim agung yang seluruhnya adalah hakim karir. 3 b.
Kesejahteraan dan keamanan hakim
Tabel berikut ini berisi ketentuan sejumlah peraturan perundangan yang memberikan jaminan kesejahteraan dan keamanan kepada hakim dalam menjalankan tugasnya. Termasuk di dalamnya lembaga yudisial dan penegak hukum yang mengupayakan kesejahteraan dan keamanan.
3
98
Lihat dalam Laporan Tahunan Komisi Yudisial Tahun 2012, “Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial, Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Harmoni”, Jakarta, Komisi Yudisial, 2012.
BAB III | Studi Dokumen
Tabel 3.2.6 Regulasi yang Mengatur Jaminan Kesejahteraan dan Keamanan Hakim Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 48 (1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaaan kehakiman Pasal 49(1) Hakim ad hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan tunjangan khusus
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Pasal 25 (2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya pensiun dan hak-hak lainnya. (3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Tunjangan jabatan, dan b. Tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan (4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Rumah jabatan milik negara b. Jaminan kesehatan, dan c. Sarana transportasi milik negara (5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 24 (2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya pensiun dan hak-hak lainnya. (3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Tunjangan jabatan, dan b. Tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan (4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Rumah jabatan milik negara b. Jaminan kesehatan, dan c. Sarana transportasi milik negara (5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya
99
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 25 (2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya pensiun dan hakhak lainnya. (3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Tunjangan jabatan, dan b. Tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan (4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. Rumah jabatan milik negara b. Jaminan kesehatan, dan c. Sarana transportasi milik negara (5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pasal 20(1) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.
Peraturan Pasal 2 Pemerintah No. 94 Hak keuangan dan fasilitas bagi hakim terdiri atas: Tahun 2012 tentang a. Gaji Pokok; Hak Keuangan dan b. Tunjangan jabatan; Fasilitas Hakim c. Rumah negara; Hakim yang Berada d. Fasilitas transportasi; di Bawah MA e. Jaminan kesehatan; f. Jaminan keamanan; g. Biaya perjalanan dinas; h. Kedudukan Protokol; i. Penghasilan Pensiun. j. Jaminan lain. Pasal 7 (1) Hakim diberikan jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas (2) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Tindakan pengawalan b. Perlindungan terhadap keluarga (3) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didapatkan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau petugas keamanan lainnya.
100
BAB III | Studi Dokumen
Meskipun peraturan perundang-undangan sudah menjamin keamanan hakim dalam menjalankan tugasnya, namun dalam tataran implementasi tidak sepenuhnya demikian. Setidaknya dapat terlihat dalam sejumlah kasus dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.2.7 Beberapa Kasus Amuk Massa Terhadap Pengadilan4 Pengadilan
Waktu
Deskripsi peristiwa
Pengadilan Negeri Maumere, Kab. Sikka, NTT
2006
Kantor pengadilan dibakar massa sebagai buntut aksi protes terhadap pelaksanaan eksekusi mati terpidana Fabianus Tibo dkk.
Pengadilan Negeri Kota Pasuruan, Jawa Timur
2010
Gedung pengadilan dibakar oleh orang yang tidak dikenal.
Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah
2011
Sejumlah masyarakat merusak beberapa fasilitas pengadilan saat sidang pembacaan vonis terhadap terdakwa kasus penistaan agama sedang digelar.
Pengadilan Negeri Muara Tebo, Jambi
2013
Ketua pengadilan dikejar dengan pisau terhunus oleh wakil ketuanya karena alasan hubungan kerja yang tidak harmonis
C.
Pengakuan, Perlindungan dan Pemenuhan HAM
Seluruh hak-hak dasar warga negara yang ditanyakan dalam survei dan sekaligus dijadikan indikator dalam laporan ini sudah tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. 4
Deskripsi lebih lengkap mengenai kasus-kasus tersebut dapat dilihat di:http://www.antaranews.com/print/42908/kantor-pengadilan-negerimaumere-dibakar-massa, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ nusantara/10/06/28/121972-pengadilan-negeri-pasuruan-dibakar-orangtak-dikenal,http://www.tempo.co/read/news/2011/02/08/177311988/IniBangunan-yang-Jadi-Sasaran-Amuk-Massa-di-Temanggung,http://www. metrojambi.com/v1/daerah/14641-bawa-pisau-wakil-ketua-serang-ketuapn-muara-tebo.html, semuanya diakses pada 25 April 2013.
101
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.3.1 Hak-hak Dasar Warga Negara dalam UUD 1945 Ketentuan Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik. Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Indikator Perlakuan yang tidak diskriminatif
Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan
Pasal 28 Kemerdekaan Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan
Pasal 28C ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Hak atas pendidikan
Pasal 28E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
102
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 28E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
Pasal 28 G ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan
Pasal 28I ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
• Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan • Kebebasan beragama dan berkeyakinan • Hak menyatakan pendapat
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Perlakuan yang tidak diskriminatif
Pasal 28I ayat (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Perlakuan yang tidak diskriminatif
Pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan
Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan
Pasal 31 ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya Pasal 31 ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan
103
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
a.
Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat Berikut ini sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.3.2 Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Hak untuk Berserikat dan Berkumpul Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 24 (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik
Pasal 21 Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Pasal 22 (1) Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
104
BAB III | Studi Dokumen
(2) Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini. (3) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislative atau menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Pasal 9 (1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: a. unjuk rasa atau demonstrasi; b. pawai; c. rapat umum; dan atau d. mimbar bebas
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 5 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 104 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/ serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. (3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/ serikat buruh yang bersangkutan.
105
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel di bawah ini berisi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan atas hak menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers, serta ancaman sanksi kepada pihak yang menghalang-halangi realisasi hak tersebut.
Tabel 3.3.3 Ketentuan Mengenai Kebebasan Berpendapat dan Sanksi Terhadap Pihak-pihak yang Menghalang-halangi Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 23 (1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Pasal 5 Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a. mengeluarkan pikiran secara bebas; b. memperoleh perlindungan hukum.
106
Pasal 18 (1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 4 (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik
Pasal 19 (1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentukcetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. (3) Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a. Menghormati hak atau nama baik orang lain; b. Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
Pasal 66 Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Jika pada tabel di atas menampilkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjamin hak menyatakan pendapat, maka 107
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
tabel di bawah ini menampilkan hal sebaliknya: ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak tersebut. Tabel 3.3.4 Ketentuan Perundang-undangan yang Membatasi Hak Menyampaikan Pendapat Ketentuan Kitab Undangundang Hukum Pidana
Materi Pasal 310 (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2)
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 510 (1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu: 1. mengadakan pesta atau keramaian untuk umum; 2. mengadakan arak-arakan di jalan umum. (2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
108
Pasal 15 Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 27 (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung
Pasal 30 (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: c. pengawasan peredaran barang cetakan Penjelasan Pasal 30 ayat (3): ”Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Selain dalam peraturan perundangundangan, jaminan hak menyatakan pendapat juga dalam terdapat putusan pengadilan. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. MK No.613-20/PUU-VIII/2010 yang membatalkan UndangUndang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan. Sekalipun Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers sudah menjamin kebebasan pers namun menurut Laporan Aliansi Jurnalis Indonesia tahun 2012, para pekerja pers masih mengalami kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Dalam rentang waktu Desember 2011-Desember 2012 terdapat 56 kasus kekerasan yang dialami para jurnalis. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2010 (51 kasus) dan 2011 (49 kasus).5 5
Catatan Akhir Tahun 2012 AJI Indonesia, “Tahun Kekerasan Struktural, Perjuangan Upah Layak, Penegakan Etika Profesi, Hingga Penguatan Jurnalis Perempuan”. Dapat dilihat di: http://ajiindonesia.or.id/read/article/ press-release/168/catatan-akhir-tahun-2012-aji-indonesia.html
109
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Bentuk kekerasaannya meliputi: serangan fisik (18 kasus), ancaman (15 kasus), perusakan dan perampasan alat (10 kasus), pengusiran dan pelarangan meliput (7 kasus), demonstrasi disertai pengerahan massa (3 kasus), sensor (2 kasus), dan peretasan web (1 kasus). Data yang disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia ini cukup berbeda dengan hasil survei yang menginformaskan bahwa mayoritas responden (68%) melihat negara telah memberikan jaminan kepada pers dalam meliput dan menyajikan berita (lihat temuan survei dalam Bab 2). Pada saat yang sama, sebagian warga negara juga merasakan adanya pembatasan kebebasan berkumpul dan berserikat. Pembatasan tersebut dirasakan dalam pembubaran paksa diskusi buku Irshad Manji di Jakarta6 dan Yogyakarta7, pelarangan penyelenggaraan Q-Film Festival di Jakarta, pembubaran, dan penganiayaan aksi buruh oleh aparat kepolisian dan TNI di Tangerang. 8 b.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan Peraturan perundang-undangan sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini mengatur mengenai jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk kebebasan dalam
6 7 8
110
http://salihara.org/community/2012/05/05/kronologi-pembubaran-paksadiskusi-irshad-manji, diakses pada 27 April 2013 http://regional.kompas.com/read/2012/05/10/13423742/Kronologi. Pembubaran.Diskusi.Irshad.Manji.di.Yogya, diakses pada 27 April 2013. Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta 2012, Paradoks Negara Hukum, Jakarta, 2012.
BAB III | Studi Dokumen
menjalankan ibadat sesuai keyakinan masing-masing.
dengan
agama/
Tabel 3.3.5 Ketentuan Perundang-undangan yang Mengatur Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 4 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pasal 22 (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Hak Sipil dan Politik
Pasal 18 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya;
Sekalipun terdapat peraturan perundangundangan yang menjamin kebebasan beragama dan keyakinan namun pada saat yang sama terdapat juga peraturan perundang-undangan yang berkarakter 111
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
membatasi bahkan mendiskriminasi pemeluk agama minoritas. Hal itu dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.3.6 Perundang-undangan yang Membatasi Pemeluk Agama Minoritas Jenis Pengaturan
Isi
UndangUndang No.1/ PNPS/1965/ Jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan dan/ atau Penodaan Agama
Pasal 1 Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penaf-siran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Penjelasan Pasal 1 Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agamaagama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agamagama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
112
BAB III | Studi Dokumen
Dengan kata-kata “Kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilahistilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat alat/ caracara untuk menyelidikinya. Pasal 2 (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.” Penjelasan Pasal 2 Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganutpenganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibatakibatnya (jo pasal 169 K.U.H.P.). Pasal 3 Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang,
113
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun. Pasal 4 Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.’” Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung
Pasal 30 (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: d.
pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan
Pasal 64 (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Pasal 81 a. Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan. b. Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.
114
BAB III | Studi Dokumen
c.
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri RI No: 3 Tahun 2008 No: KEP-33/A/ JA/6/2008 No: 199 Tahun 2008
Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
KESATU : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau nrelakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatar. keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. KEDUA : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau merelakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. KETIGA : Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud nada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk organisasi dan badan hukumnya KEEMPAT : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindahan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). KELIMA : Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KEENAM : Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka Pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
115
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
KEP-004/ J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat
Pasal 3 Tim Pakem bertugas: a. menerima dan menganlisa laporan dan/ atau informasi tentang Aliran Kepercayaan Masyarakat b. Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu Aliran Kepercayaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi Ketertiban dan Ketntraman Umum c. Mengajukan laporan dan saran sesuai dengan jenjang wewenang dan tanggung jawab d. Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Selain peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat sejumlah peraturan lain yang juga membatasi dan mendiskriminasi pemeluk agama minoritas seperti Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam serta Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadah. Tidak hanya legislasi nasional yang bersifat membatasi kebebasan beragama, tetapi juga pada legislasi dan regulasi daerah. Menurut laporan Komnas Perempuan,9 sampai dengan tahun 2012 9
116
Komnas Perempuan (2012), Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, “Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum”.
BAB III | Studi Dokumen
terdapat 30 kebijakan daerah10 yang membatasi hak atas kebebasan beragama yang mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas tertentu. Ke 30 (tiga puluh) kebijakan daerah tersebut meliputi: 27 kebijakan mengenai pembatasan kelompok Ahmadiyah; 2 kebijakan mengenai pembatasan kelompok nasrani (HKBP&Gereja Jasmin); 1 kebijakan pelarangan penganut kepercayaan Millata Abraham di Aceh; Peraturan perundang-undangan (statutory law) yang berkarakter membatasi kebebasan beragama di atas diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No.1/PNPS/1965/ tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap berlaku. Pada tataran empirik situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia bisa diwakili oleh data-data statistikal yang termuat dalam laporan lembaga negara dan LSM. Tabel di bawah ini merupakan rekapitulasi laporan pelanggaran kebebasan beragama yang diterima oleh Komnas HAM sepanjang tahun 2011-2012.
10
Kebijakan daerah dimaksud tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah, Surat Himbauan Kepala Daerah, Instruksi Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Surat Keputusan Bersama.
117
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.3.7 Pengaduan ke Komnas HAM tentang Kasus Agama 2011-201211 No 1
2
Jenis Pelanggaran Kasus Ahmadiyah Status legalitas Ahmadiyah Kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Penyegelan masjid Ahmadiyah Penghalangan kegiatan menjalan kegiatan ibadah Pelarangan merayakan Idul Adha Kasus Penghayat Keyakinan dan Aliran Minoritas Diskriminasi keagamaan bagi penghayat Baha’i Diskriminasi keagamaan bagi penghayat Kaharingan Diskriminasi pencatatan sipil penganut khonghucu Diskriminasi penganut Islam Syiah
4
11
118
2012
1 9 3
1 _ _
8
_
_
1
3 3
_ _
_
1
_
4
_
1
Penghalangan pendirian gereja kristen
15
7
Penghalangan pendirian gereja katolik
-
1
Perusakan gereja kristen
3
4
Perusakan masjid Penyegelan gereja kristen Penghalangan pendirian kelenteng Pelarangan mendirikan patung budha Penghalangan pendirian masjid Pembongkaran masjid Perusakan Pura
2 4 1 1 3 3 -
7 1 1
3
-
-
1
-
1 1
Kriminalisasi penganut atheis 3
2011
Kasus penghalangan pendirian dan perusakan tempat ibadah
Kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pemeluk agama Intimidasi dan kekerasan terhadap jemaat agama kristen Intimidasi dalam pelaksanaan kebaktian jemaat Kristen Intimidasi untuk memeluk keyakinan agama tertentu Intimidasi pelaksanaan kegiatan ibadah
Data Komnas HAM tentang kasus kebebasan beragama untuk tahun 20072009 belum dipublikasikan.
BAB III | Studi Dokumen
5
6
7
Kasus penghalangan menjalankan kegiatan ibadah Penghalangan menjalankan kebaktian jemaat agama kristen Penghalangan menjalankan kegiatan ibadah agama budha Penghalangan kegiatan ibadah umat agama islam Pelarangan menggunakan jilbab di lingkungan sekolah dan kerja
3
7
4
-
1
1
2
2
Pelarangan menggunakan makam bagi penganut agama non muslim
1
-
Pelarangan penggunaan agama khonghucu dalam KTP
1
-
Penghalangan menjalankan kegiatan ibadah keagamaan Penghalangan ibadah dalam lingkungan kerja Penghambatan ibadah dalam masa penahanan Diskriminasi pendidikan bagi siswa penganut agama kristen
1
1
-
1 2
-
1
Penghalangan menjalankan kegiatan ibadah umat agama Hindu
-
1
5 -
11 8
2
-
83
1 68
Kasus sengketa internal keagamaan Masalah internal agama Islam Masalah internal agama Kristen Kasus penistaan terhadap agama Penistaan terkait dengan UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama Laporan penistaan Agama Jumlah
Laporan senada tentang hambatan kelompok minoritas untuk menjalankan ibadat menurut keyakinannya dimiliki oleh dua LSM yaitu Wahid Institute dan Aliansi Sumut Bersatu. Dalam laporan tahunannya Wahid Institute mencatat 274 pelanggaran kebebasan beragama dengan 374 tindakan sepanjang tahun 2012.12 Sementara 12
The Wahid Institute (2012), Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 Peta Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Intoleransi oleh Aparatus Negara 2012.
119
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Aliansi Sumut Bersatu melaporkan peristiwa penutupan paksa 20 gereja di Singkil, Daerah Istimewa Aceh.13 Adapun laporan Komnas Perempuan mengungkapkan perlakuan diskriminatif yang didapatkan oleh sejumlah kelompok minoritas agama. Laporan tersebut terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.3.8 Laporan Pemantauan Komnas Perempuan Tahun 201214 Deskripsi •
Masih terdapat 400 pasangan jemaat Ahmadyah yang tidak bisa mencatatkan pernikahan mereka di KUA Kabupaten Kuningan.
•
Penganut agama leluhur dan kepercayaan masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif kesulitan dalam mendapatkan KTP. Kesulitan mendapatkan KTP ini menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh surat nikah dan akte kelahiran anak, kesulitan mengakses program pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan ekonomi, bahkan juga dalam hal pengurusan perizinan pemakaman karena tidak dapat memiliki KTP. Mereka juga tidak dapat menikmati hak menjalankan keyakinan sesuai dengan kepercayaannya itu;
•
Penganut agama leluhur masih mendapatkan stigma kair oleh masyarakat
•
Penganut agama leluhur/penghayat masih kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah
•
Penganut agama leluhur/penghayat masih kesulitan memastikan pendidikan agama leluhur/penghayat kepercayaan bagi anak-anak di sekolah.
Sekali lagi, data statistik yang disampaikan oleh lembaga negara dan LSM di atas menunjukan hal yang relatif bertentangan dengan fakta 13 14
120
Op. Cit, Komnas Perempuan (2012). ibid
BAB III | Studi Dokumen
yang terungkap dalam survei. Menurut survei, 88% responden berpendapat bahwa negara telah menjamin warganya untuk memeluk dan menjalankan agamanya. c.
Perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan perempuan Fokus penggambaran perlakuan yang tidak diskriminatif adalah kelompok perempuan, kelompok minoritas, dan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di satu sisi telah menjamin perlindungan, namun di sisi lain tidak menjamin hak perempuan untuk tidak didiskriminasi. Dua tabel di bawah ini menunjukan situasi yang kontras tersebut. Tabel 3.3.9 Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Perempuan untuk Tidak Didiskriminasi Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pasal 3 Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Partai Politik
Pasal 8 (2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
121
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 55 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Pasal 56 (1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
Selain peraturan perundang-undangan di atas, juga terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang menjamin perempuan untuk tidak didiskriminasi, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini memuat pertimbangan pentingnya keberadaan konvensi ini, yaitu prinsip nondiskriminatif, prinsip persamaan, prinsip kewajiban negara. Konvensi ini juga memuat hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya perempuan, hak persamaan perempuan di depan hukum serta hak persamaan perempuan dalam perkawinan. Tabel 3.3.10 Peraturan Perundang-undangan yang Diskriminatif Terhadap Perempuan Jenis Pengaturan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
122
Isi Pasal 31 (3) Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
BAB III | Studi Dokumen
Sejumlah legislasi dan regulasi daerah juga bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Laporan pemantauan Komnas Perempuan tahun 2012 menunjukan kecenderungan tersebut, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.15 Tabel 3.3.11 Kebijakan Daerah yang Diskriminatif terhadap Perempuan Irisan Pengaturan Terkait Langsung Perempuan No
1
Jenis Kebijakan Kriminalisasi Kontrol Tubuh Pencitraan Jumlah
2 3
Busana
Khalwat
Pemisahan Ruang Publik
Aturan Jam Malam
Jumlah
11
6
9
3
35
135
0
37
1
0
0
39
0 11
17 60
0 10
0 3
3 38
33 207
Prostitusi
Pornograi
71 1 13 83
Pada tataran empirik seberapa jauh perempuan mendapatkan atau tidak mendapatkan diskriminasi bisa diwakili oleh sejumlah laporan yang dikeluarkan oleh lembaga negara, universitas, dan lembaga internasional. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka partisipasi sekolah periode 2009-2011, menunjukkan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan dasar untuk anak perempuan mulai seimbang dengan anak laki-laki.
15
Ibid
123
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.3.12 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia 7-18 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2009-2011 Kelompok Umur (tahun) Daerah/Jenis Kelamin
7-’12
13-15
16-18
APS
APS
APS
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
Laki-laki
98.57
98.48
98.27
89.08
89.40
89.89
64.49
63.97
64.91
Perempuan
98.95
98.93
98.54
90.43
90.77
91.85
61.15
61.40
62.32
98.75
98.70
98.40
89.74
90.08
90.84
62.84
62.69
63.63
Laki-laki
96.96
97.01
96.38
80.42
81.35
83.07
47.64
49.73
50.39
Perempuan
97.65
97.66
96.98
83.26
84.05
86.22
47.39
47.71
51.57
97.29
97.32
96.67
81.77
82.62
84.58
47.52
48.50
50.94
Laki-laki
97.68
97.69
97.27
84.33
85.03
86.32
55.80
56.68
57.78
Perempuan
98.24
98.26
97.72
86.61
87.28
88.94
54.25
54.95
57.35
97.95
97.97
97.49
85.43
86.11
87.58
55.05
55.83
57.57
Perkotaan
Laki-laki + Perempuan Perdesaan
Laki-laki + Perempuan Perkotaan+ Perdesaan
Laki-laki + Perempuan
Sumber: BPS RI - Susenas, 2009-2011
Laporan yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggambarkan dua hal. Pertama, jumlah perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja dengan berbagai status pekerjaan.16
16
124
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik (2012), Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012.
BAB III | Studi Dokumen
Tabel 3.3.13 Persentase Penduduk 15 Tahu Ke atas yang Bekerja MenurutS Status Pekerjaan
Kedua, pemenuhan hak atas kesempatan kerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tabel. 3.3.14 Persentase PNS Menurut Jenis Kelamin
Laporan lain yang relevan juga menunjukan perlakuan diskriminatif yang didapatkan perem125
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
puan baik dalam hal pengupahan, kesempatan kerja, kedudukan manajerial dan politik. Hasil survei International Labour Organization (ILO) dan Tufts University yang dilakukan di Sumatera Utara dan Jawa Timur pada tahun 2012 mengenai tantangan atas Pekerjaan dan Diskriminasi Kerja Bagi Perempuan menyebutkan bahwa pada sisi pengupahan, perempuan hanya mendapatkan 79% dari rata-rata upah perjam yang diterima oleh laki-laki. Jumlah ini lebih tinggi untuk upah bulanan.17 Sementara pada poin ketenagakerjaan temuan ILO menyebutkan bahwa bahwa laki-laki lebih sering dipromosikan dan menerima gaji atau bonus yang lebih besar.18 Pada posisi manajerial ditemukan bahwa laki-laki memiliki kekuasan lebih besar di tempat kerja (posisi penyelia). Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyimpulkan bahwa jabatan struktural dalam kepegawaian sipil sebanyak 75,09% diisi oleh laki-laki dan hanya 24,09% yang diisi oleh perempuan.19 Terlepas dari dua grafik di atas yang menunjukan perempuan yang bekerja pada berbagai status dan bidang, data lain menunjukan bahwa terdapat ketimpangan kesempatan kerja 17
18 19
126
Temuan-temuan Kunci Studi ILO dan Tufts University Mengenai Tantangan atas Pekerjaan dan Diskriminasi Kerja bagi Perempuan di Indonesia,2012 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/meetingdocument/wcms_201768.pdf, diakses pada 2 Mei 2013 Ibid Op. Cit
BAB III | Studi Dokumen
antara perempuan dan laki-laki. Hal ini terlihat dari data pengangguran di mana perempuan mencapai 7,2%, sementara laki-laki 5,9%. Dari sudut kedudukan politik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa pada tahun 2012 baru 10 perempuan yang berhasil menjabat sebagai kepala daerah yaitu sebagai bupati/walikota. Angka ini kurang dari 5% dari jumlah keseluruhan kepala daerah yang sekarang telah mencapai 492 orang20. Kembali kepada kelompok minoritas. Pada tataran normatif terdapat peraturan perundangundangan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hal tersebut dapat dilihat pada sejumlah peraturan perundangundangan dalam tabel di bawah ini.
20
Ibid
127
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.3.15 Perundang-undangan yang Tidak Mendiskriminasi Kelompok Minoritas Ketentuan
Materi
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Pasal 2 Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga Negara Pasal 41 Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah UndangUndang ini diundangkan.
Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4 1. Untuk kepentingan tertentu yang memerlukan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia, isteri dan atau anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2, cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ ayah atau ibunya beserta berita acara pengambilan sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, atau Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran yang bersangkutan. 2.
128
Bagi warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran tersebut.
BAB III | Studi Dokumen
Instruksi Mendagri No. 25 Tahun 1996
Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, atau Kartu Tanda Penduduk sebagai bukti diri WNI, serta menghapus semua produk hukum daerah yang mewajibkan bagi isteri dan anak-anak, untuk kepentingan tertentu melampirkan SBKRI
Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina
PERTAMA : Mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. KEDUA : Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut dinyatakan tidak berlaku. KETIGA : Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini
Keppres 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek
Pasal 1 Menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional
Selain dalam peraturan perundang-undangan di atas, jaminan agar seseorang tidak mendapatkan perlakuan yang diskriminatif karena rasnya dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tahun 1965 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Secara garis besar konvensi ini memuat tentang landasan pentingnya konvensi ini, yaitu pengertian diskriminasi rasial, tindakantindakan yang membedakan, tindakan afirmasi, kewajiban negara pihak yaitu mengutuk diskriminasi rasial, kewajiban negara pihak untuk menghapuskan 129
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
segala bentuk diskriminasi ras di negaranya serta mewajibkan menggunakan semua sarana yang memadai dan menjamin menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk menikmati hak sipil politik serta hak ekonomi sosial dan budaya serta komite penghapusan segala diskriminasi rasial. Pengaturan lainnya juga terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undangundang ini cukup komprehensif dalam menjamin perlindungan terhadap diskriminasi yang dilakukan berdasarkan ras dan etnis. Peraturan ini mewajibkan pemerintah baik pusat dan daerah untuk menjamin pencegahan serta penyelesaian yang adil akibat diskriminasi ras dan etnis. Selain itu peraturan ini juga memberikan jaminan persamaan di hadapan hukum memberikan mekanisme ganti rugi dan kompensasi bagi korban serta memungkinkan pemidanaan bagi tindakantindakan diskriminasi ras dan etnis, menunjukkan perilaku kebencian berdasarkan diskriminasi ras dan etnis serta kekerasan seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, atau perampasan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis. Pengakuan normatif terhadap masyarakat adat juga muncul baik pada produk legislasi (nasional dan daerah) maupun putusan pengadilan. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat yang memiliki arti penting karena pengakuan tersebut bisa menjadi titik 130
BAB III | Studi Dokumen
awal untuk menghindarkan masyarakat adat sebagai korban diskriminasi. Tabel di bawah ini memetakan pengakuan masyarakat adat dalam legislasi nasional.
Tabel 3.3.16 Pengakuan Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan Tingkat Nasional Ketentuan
Materi
UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 6 (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 6 (2) Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan (3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 angka 32 Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
131
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 1 angka 33 Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geograis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Pasal 18 HP-3 dapat diberikan kepada: a. Orang perseorangan warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c. Masyarakat Adat. Pasal 61 (1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. (2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 63 (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; Pasal 63 (2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
132
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 63 (3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
Tabel 3.3.17 Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat dalam Legislasi Daerah Provinsi/Kabupaten
Peraturan
Provinsi Banten Kabupaten Lebak
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Provinsi Jambi Kabupaten Bungo
•
• •
•
Provinsi Sumatera Barat
•
•
Provinsi Sulawesi Tengah
Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Peraturan Daerah Provinsi Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Lembaga Adat Melayu Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Panas Bumi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Nagari
Peraturan Daerah Morowali Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana
133
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Provinsi Jawa Barat
•
•
•
•
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lingkungan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 tahun 2006 Tentang Pengeloaan Panas Bumi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sumber Data: Database peraturan HUMA dan Epistema
Adapun pengakuan masyarakat adat dalam putusan pengadilan dapat ditemukan antara lain dalam dua putusan MK, yaitu: 1. Putusan No. No. 45/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Konstitusional Kawasan Hutan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan ini mengakui adanya hak masyarakat untuk dimintai pendapat 2.
Putusan No. Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Konstitusional Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dalam putusan ini MK mengakui keberadaan masyarakat adat dan memutuskan perlu adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam hubungannya dengan tanah.
Pada tataran empirik, diskriminasi terhadap masyarakat adat masih dialami. Misalnya terkait 134
BAB III | Studi Dokumen
dengan kepercayaan yang dianut oleh mayarakat adat. Selama tahun 2012 masyarakat adat yang masih menganut agama leluhur seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan KTP. Hal ini berdampak pada kesulitan yang mereka hadapi untuk memperoleh surat nikah, akte kelahiran, mengakses program pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan ekonomi. Penganut agama leluhur juga seringkali mendapatkan stigma kafir dari masyarakat serta kesulitan mendirikan rumah ibadah maupun mendapatkan hak bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan agama leluhur/ penghayat di sekolah-sekolah. 21 d.
Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan Tabel di bawah ini menunjukan sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara bebas dari penyiksaan sekaligus larangan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyiksaan. Tabel 3.3.18 Perundang-undangan yang Menjamin Warga Negara Bebas dari Penyiksaan Jenis Pengaturan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
21
Isi Pasal 33 (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Komnas Perempuan (2012), Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, “Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum”. Jakarta
135
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009
Pasal 10 Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h sebagai berikut : h. tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan; Pasal 11 (1) Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: b. penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; d. penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia; g. penghukuman dan tindakan isik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment); h. perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain; j. menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Selain peraturan perundang-undangan di atas, jaminan terhadap warga negara bebas dari penyiksaan juga dapat ditemui dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Secara garis besar, konvensi ini memuat tentang kewajiban negara pihak untuk memastikan jaminan dan pencegahan terjadinya penyiksaan di wilayah hukumnya, memastikan bahwa penyiksaan adalah tindak pidana kejahatan dan mengatur hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Konvensi 136
BAB III | Studi Dokumen
ini juga memuat tentang Komite Menentang Penyiksaan, mekanisme pelaporan Negara Pihak, Pelapor Khusus, maupun pengaduan individual. Jaminan yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan seperti terlihat di atas berbeda dengan fakta-fakta yang diungkapkan oleh 2 LSM dan Komnas HAM sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.3.19 Fakta-fakta Pelanggaran Terhadap Hak Bebas dari Penyiksaan Lembaga
Hasil Pemantauan 22
Komnas HAM
Kontras23
ELSAM24
22 23 24
Laporan Pengaduan selama 2012 terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi yang terkait dengan hak atas hidup dan bebas dari penyiksaan: Terdapat 48 berkas yang terdiri dari 13 kasus penyiksaan berakibat kematian dan 35 kasus legalitas penyiksaan; 115 berkas kekerasan yang dilakukan polisi yang terdiri dari 20 kasus kekerasan yang menyebabkan kematian, 18 kasus kekearasan dalam aksi demonstrasi, 3 kasus pemukulan, 26 kasus penembakan dan 48 kasus penganiayaan; 2 kasus kematian dalam tahanan. Juli 2011-Juni 2012 terdapat 86 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah 243 korban dengan sebaran korban di 24 provinsi Khusus di Aceh pada periode Juni 2011-Juni 2012 terdapat 47 orang yang dihukum cambuk Pelaku penyiksaan paling banyak dilakukan oleh Polisi (70%), TNI (16%), Sipir Penjara (14%) Selama tahun 2012 terdapat 83 tindakan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 191 orang Pelaku penyiksaan paling banyak dilakukan oleh Polisi (65%), petugas lapas (11%), petugas rutan (13%), TNI (1%), Rumah Detensi Imigrasi (1%) Sebaran penyiksaan terjadi di 23 provinsi.
Catatan Akhir Tahun 2012 Komnas HAM, “ Saatnya Merajut Toleransi dan Kohesi Sosial”. Jakarta: Komnas HAM, 2012. Laporan Penyiksaan 2012, “ Penyiksaan Meningkat Drastis”. Jakarta: Kontras, 2012 Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2012,” Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia’. Jakarta: Elsam, 2012 137
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Hasil survei agaknya mengkonfirmasi laporan di atas, karena mayoritas responden tidak setuju/sangat tidak setuju bila dikatakan bahwa aparat penegak hukum telah berhati-hati untuk tidak menghilangkan nyawa warga atau tidak melakukan penyiksaan selama proses penahanan (lihat Bab 2). e.
Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan Peraturan perundang-undangan dalam tabel di bawah ini mengatur mengenai jaminan hak atas pekerjaan termasuk mendapatkan standar minimum ketenagakerjaan Tabel 3.3.20 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Jaminan Hak atas Pekerjaan Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 38 (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. Selanjutnya pada ayat (2) Setiap orang berrhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama. (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
138
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pasal 6 (1) Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak ini. Pasal 7 (1) Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan menjamin khususnya: (a) Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya dengan: (i) Upah yang adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan apapun, khususnya kepada perempuan yang dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. (ii) Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuanketentuan Kovenan ini; (b) Kondisi kerja yang aman dan sehat; (c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan. (d) Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur umum.
Dalam tataran empirik, laporan ILO tentang Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 201222 menyatakan bahwa Indonesia 22
ILO (2012), Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2012, Upaya untuk menciptakan ekonomi yang adil dan berkelanjutan
139
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
sudah dalam track yang baik untuk mengurangi angka pengangguran. Namun demikian, ILO menegaskan, bahwa situasi sebagian besar pekerja Indonesia belum memiliki pekerjaan layak dengan perlindungan sosial yang memadai dengan standar ketenagakerjaan minimum.23 Menurut Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) pada tahun 2012 hanya 27 provinsi yang menetapkan upah minimum sesuai dengan KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Masih menurut laporan ILO, tingkat pengangguran di Indonesia memang menurun sejak tahun 2011 yang mencapai 6,14%. Namun demikian tingkat pengangguran secara keseluruhan dan (terutama) pengangguran di kalangan muda masih tetap tinggi (19,56%). Jumlah ini mencapai 55% dari total pengangguran24. Sedangkan jumlah pekerja rentan: yaitu pekerja mandiri, pekerja musiman dan pekerja keluarga yang tidak dibayar, masih tetap tinggi yakni antara 60%-63 % dari keseluruhan jumlah pekerja yang ada. Pekerja rentan biasanya bekerja pada sektor informal dan tidak menerima perlindungan sosial seperti para pekerja yang menerima upah dan gaji. Jumlah pekerja rentan perempuan tiga lebih besar jumlahnya ketimbang pekerja laki-laki, terutama karena status pekerjaannya sebagai pekerja keluarga. Berkenaan dengan hak atas pendidikan, saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang menegaskan hak setiap 23 24
140
Ibid Ibid, hal 10
BAB III | Studi Dokumen
warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Selain itu ditentukan juga mengenai tujuan dan sasaran pendidikan. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam tabel di bawah ini menunjukan hal-hal demikian. Tabel 3.3.20 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak atas Pendidikan Jenis Pengaturan UU No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Isi Pasal 13 (1) Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan- egiatan Perserikatan BangsaBangsa untuk memelihara perdamaian. (2) Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: (a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; (b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-Cuma secara bertahap;
141
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(c)
(d)
(e)
Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka; Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.
Undang-Undang No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Belanja Negara 2012
Pasal 29 Anggaran Pendidikan Tahun 2012 sebesar Rp289.957.815.783.800.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
142
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 34 a. Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar b. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pasal 50 Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Jaminan normatif terhadap hak atas pendidikan beserta dukungan pendanaan yang besar di satu sisi diikuti dengan naiknya minat untuk bersekolah, terutama untuk pendidikan dasar. Laporan BPS Untuk Angka Partisipasi Murni pertahun 2011 membuktikan pernyataan tersebut. Tabel 3.3.21 Angka Partisipasi Murni Pendidikan Indonesia 2011** Provinsi -1
SD/MI/ Paket A
SMP/Mts/ Paket B
SM/SMK/ MA/Paket C
-26.00 92.57
-27.00 74.76
-28.00 61.43
Sumatera Utara
91.46
67.96
57.83
Sumatera Barat
93.47
67.10
54.05
Riau
91.67
65.98
53.07
Kepulauan Riau
92.01
73.34
54.25
Aceh
Jambi
92.69
66.54
48.55
Sumatera Selatan
89.79
64.12
45.34
143
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Kep Bangka Belitung
91.12
60.19
40.91
Bengkulu
92.75
68.55
49.91
Lampung
91.47
66.56
45.06
DKI Jakarta
89.79
68.85
49.27
Jawa Barat
92.26
69.57
42.50
Banten
92.18
71.12
46.17
Jawa Tengah
90.19
69.77
47.34
DI Yogyakarta
91.98
69.15
59.68
Jawa Timur
91.88
71.77
49.32
Bali
90.39
69.16
60.54
Nusa Tenggara Barat
92.69
76.70
53.93
Nusa Tenggara Timur
92.13
56.74
40.84
Kalimantan Barat
92.18
58.75
36.28
Kalimantan Tengah
92.25
66.35
43.93
Kalimantan Selatan
92.01
65.79
43.01
Kalimantan Timur
92.23
72.40
54.58
Sulawesi Utara
85.91
61.22
50.55
Gorontalo
90.04
59.17
44.33
Sulawesi Tengah
89.99
61.74
46.99
Sulawesi Selatan
89.48
65.29
47.89
Sulawesi Barat
89.35
60.34
46.83
Sulawesi Tenggara
88.80
64.31
52.16
Maluku
88.00
64.33
52.64
Maluku Utara
89.95
65.92
51.88
Papua
70.13
46.03
32.45
Papua Barat
88.28
57.66
47.88
Indonesia
91.03
68.12
47.97
144
BAB III | Studi Dokumen
Meskipun demikian, pada sisi lain, kenaikan signifikan anggaran pendidikan justru diikuti dengan fenomena anak putus sekolah dan buta huruf. Laporan Profil Anak 2012 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa pada tahun 2011 masih ditemukan angka putus sekolah anak. Untuk anak yang berumur 7-17 tahun angka putus sekolah sebesar 2,91 %. Angka putus sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun sebesar 0,67 %; pada kelompok umur 13-15 tahun mencapai 2,21 %; dan pada kelompok umur 16-17 tahun 2,32 %. Hampir separuh (49,51%) anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah disebabkan oleh tidak tersedianya biaya, 9,2% karena bekerja, 3,05% karena menikah atau mengurus rumah tangga, dan sisanya (38,24%) karena alasan lainnya. Selain itu, masih ada sekitar 1% anak berusia 16-17 tahun yang tidak mempunyai kemampuan baca tulis.25 Sedangkan jika dilihat berdasarkan daerah, anak putus sekolah lebih banyak terjadi di pedesaan (3,51 %) dibandingkan perkotaan (2,28 %)26 Bukan hanya diiringi oleh angka putus sekolah dan buta huruf, kenaikan anggaran pendidikan juga berbarengan dengan munculnya masalah di seputar pungutan dan infrastruktur fisik. Laporan penelitian PATTIRO Institute pada tahun 2011 menunjukkan rendahnya efektivitas 25 26
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan BPS (2012), Proil Anak 2012, hal vii Ibid, hal 50
145
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
alokasi belanja pendidikan (dasar),27 sehingga belum berhasil mengurangi pungutan. Poin senada dikemukakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk APBN Kesejahteraan yang menyebutkan bahwa besarnya anggaran pendidikan tidak menyelesaikan masalah dasar pendidikan, seperti gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan ajar-mengajar. Secara nasional, dari 899.016 ruang kelas SD, 32,6 % atau sebanyak 293.098 buah dalam kondisi rusak. Pada tingkat SMP dari 298.268 ruang kelas terdapat 125.320 (42%) ruang kelas yang rusak. Demikian pula pada sisi kualitas dan kompetensi guru yang masih belum sesuai harapan.28 D.
Akses terhadap Keadilan
Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu Berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah seperti yang terdapat dalam tabel di bawah ini, negara diwajibkan untuk menyediakan bantuan hukum cuma-cuma kepada warga yang tidak mampu sampai perkara bersangkutan memperoleh putusan hukum yang tetap. Berikut sejumlah peraturan perundangan yang mengatur mengenai bantuan hukum cuma-cuma.
27 28
146
Seri Kajian Kebijakan, “Pendidikan Dasar Gratis Bermutu”. Jakarta: Pattiro Institute dan Yayasan Tifa, 2011. Siaran Pers Koalisi Masyarakat untuk APBN Kesejahteraan, “Keranjang Sampah Anggaran Pendidikan dan Pemanis Anggaran Kemiskinan”, 27 September 2012.
BAB III | Studi Dokumen
Tabel 3.4.1 Regulasi yang Mengatur tentang Bantuan Hukum Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Isi Pasal 56 (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 (1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. 2.
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.
3.
Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini.
Pasal 4 (1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. (2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
147
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(3)
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa,mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Pasal 17 (1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
1. Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana dan perdata bagi pencari keadilan yang tidak mampu di lingkungan Peradilan Umum agar mengacu pada Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Umum sebagaimana tercantum dalam lampiran A. Lampiran A Pasal 1 ayat (1) Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaatz). 2. Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara perdata dan jinayat bagi pencari keadilan yang tidak mampu di lingkungan Peradilan Umum agar mengacu pada Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Agama sebagaimana tercantum dalam lampiran B. Lampiran B 4. Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. 5. Bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum di pengadilan agama secara cumacuma bagi masyarakat yang tidak mampu.
148
BAB III | Studi Dokumen
6. Bantuan hukum dalam perkara jinayat melalui penyediaan Pos Bantuan Hukum dan Advokat Pendamping di Mahkamah Syar’iyah secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu. 7. Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma dengan dibiayai negara melalui DIPA pengadilan. 1. Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara Tata Usaha Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara agar mengacu pada Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Umum sebagaimana tercantum dalam lampiran A. Lampiran A Pasal 1 ayat (1) Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaatz).
Sebelum pemerintah pusat menuntaskan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, di daerah sebenarnya sudah ada inisiatif baik dari gubernur, walikota, dan bupati mengenai kewajiban negara dalam memberikan bantuan hukum. Tercatat terdapat beberapa regulasi di daerah yang sudah memberikan bantuan hukum, di antaranya: Peraturan Walikota Makasar No 63 Tahun 2009 tentang Bantuan Hukum Gratis; Peraturan Gubernur Sumbar Nomor 29 tahun 2010 tentang Prosedur Pemberian Bantuan Biaya Untuk Penanganan Kasus Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu; Perda Provinsi Sumsel No.8 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum Cuma-Cuma; Perda Bantuan Hukum Kabupaten Sinjai Tahun 2010; Perda Provinsi Jawa Timur No 2 Tahun 2012 tentang Bantuan 149
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu; dan Perda Kota Palembang Nomor 9 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum. Dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangundangan, baik Pengadilan Umum, Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah menjalankan program bantuan hukum cuma-cuma. Berikut kegiatan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang diselenggarakan berbagai peradilan seperti yang dikutip dalam presentasi Laporan Tahunan 2012 Mahkamah Agung.29 a.
Pengadilan Umum Pada 2012 MA telah mengalokasikan anggaran operasional Posbakum bagi 39 Pengadilan Negeri Kelas I.A dan I.A Khusus. Saat ini lebih dari 150 Pengadilan Negeri Kelas I.B dan Kelas II sudah menyediakan ruang Pos Bantuan Hukum. Kegiatan Posbakum ini bekerja sama dengan 228 lembaga penyedia jasa advokat dan telah melayani 42.505 pencari keadilan.
b.
29
150
Pengadilan Agama •
Sidang keliling yang dilaksanakan pada 273 lokasi telah memproses 23.675 perkara dengan jumlah penggunaan anggaran sebesar 3, 6 milyar rupiah. Jumlah perkara ini meningkat 27,63% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 18.549.
•
Program bantuan hukum cuma-cuma menangani 12.243 perkara dengan penggunaan anggaran sebesar 2,1 milyar rupiah. Jumlah perkara ini meningkat 16,52% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 10.507.
Presentasi Laporan Tahunan 2012 Mahkamah Agung, http://kepaniteraan. mahkamahagung.go.id/images/artikel/laptah2012.pdf, diunduh pada 5 April 2013.
BAB III | Studi Dokumen
•
Pelayanan bantuan hukum menghabiskan anggaran sebesar 3,27 milyar rupiah yang dipakai untuk melayani 55.860 pencari keadilan pada 69 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah pencari keadilan ini meningkat sebesar 59,56% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35.009 orang.
Pelaksanaan Itsbat Nikah untuk TKI di Luar Negeri Sidang istbat nikah di Tawau (Malaysia) memeriksa sebanyak 491 permohonan istbat nikah dari pasangan suami-isteri WNI/TKI yang berasal dari wilayah tersebut. Sedangkan sidang itsbat nikah di Kota Kinabalu (Malaysia) memeriksa 295 permohonan istbat nikah dari pasangan suami-isteri WNI/TKI yang berasal dari wilayah Pantai Barat, wilayah Persekutuan Labuan, wilayah Pedalaman, Kudat, Lahat Datu dan Sarawak. c.
PTUN Pelaksanaan program bantuan hukum dialokasikan di 5 pengadilan yaitu PTUN Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, dengan anggaran berjumlah 250 juta rupiah. Sementara itu, Perkara Prodeo dialokasikan di 30 pengadilan, dengan anggaran keseluruhan sebesar 225 juta rupiah. Pada PTUN realisasinya, PTUN Jakarta menyerap anggaran Rp9.600.000 dan PTUN Surabaya tersisa anggaran sebesar Rp117.000. Sedangkan pada PTUN Medan, PTUN Makassar dan PTUN Bandung tidak ada satu pun pencari keadilan yang mengajukan gugatan secara cuma-cuma. Untuk perkara prodeo, dari 30 PT TUN/PT TUN hanya PTUN Surabaya yang menangani satu perkara sengketa kepegawaian secara prodeo.
151
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada orang-orang yang keliru dinyatakan bersalah Pada tataran normatif serta empirik jaminan perlindungan kepada korban, pelapor dan ganti rugi kepada pihak yang dinyatakan bersalah terlihat seperti uraian berikut ini. a.
Jaminan perlindungan kepada korban Tabel 3.4.2 Regulasi yang Mengatur Perlindungan Terhadap Korban
Jenis Pengaturan
Isi
UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 2 Undang-undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal 5 (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
152
BAB III | Studi Dokumen
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pasal 6 Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 9 (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa; (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut; (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan;
153
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(3) Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. PP No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
154
Pasal 2 Ayat (1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh Kompensasi;
BAB III | Studi Dokumen
b.
Jaminan perlindungan kepada pelapor Tabel 3.4.3 Regulasi yang Mengatur Perlindungan Terhadap Pelapor Jenis Pengaturan
Isi
UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
Peraturan Bersama Menhukam Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor : M.HH 11.HM.03.02.th.2011 NOMOR :PER 045/A/ JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR KEPB 02/01 55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011
Pasal 5 (1) Pelapor dan Saksi Pelapor berhak untuk mendapatkan perlindungan secara isik, psikis dan/atau perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
(3)
Pelapor dan Saksi Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana, administrasi maupun perdata atas laporan atau keterangan yang diberikan di hadapan aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat tahapan penanganan perkaranya kecuali dengan sengaja memberikan keterangan atau laporan yang tidak benar. Dalam hal Pelapor tindak pidana kemudian dilaporkan balik oleh terlapor, maka proses penyidikan dan penuntutannya atas laporan Pelapor didahulukan dari laporan terlapor sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
155
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Ganti rugi kepada pihak yang keliru dinyatakan bersalah oleh pengadilan
c.
Tabel 3.4.4 Regulasi yang Mengatur Ganti Rugi kepada Pihak yang Keliru dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan Jenis Pengaturan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Isi Pasal 1 Angka 22 Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 95(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Penjelasan Pasal 95 ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
156
Pasal 35 (2)
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 36 (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. (4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 38 (1)
Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
(2)
Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan
Pasal 39 Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Pasal 40 (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/ atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. (2)
Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
(3)
Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
157
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Pasal 41 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. Pasal 42 Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan. Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 1 angka 13 Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Pasal 48(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.
158
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 48 (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Penjelasan pasal 48 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini misalnya: a. kehilangan harta milik; b. biaya transportasi dasar; c. biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau d. kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 7 (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PP No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Pasal 2 (1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh Kompensasi; (2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau Kuasanya dengan surat kuasa khusus;
159
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(3) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. Pasal 20 (1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi; (2) Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau Kuasanya dengan surat kuasa khusus;
Berdasarkan Press Release No. 05/PR/ LPSK/I/2013 LPSK tentang Catatan tahun 2012 dan Prediksi 2013, jumlah permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK sebanyak 655. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 340 permohonan. LPSK memberikan respon dan perlakuan yang beragam atas permohonan tersebut. Layanan perlindungan hukum diberikan kepada 4 korban, layanan pemberian hak prosedural kepada 114 korban, layanan pendampingan kepada 128 korban, layanan medis kepada 22 korban, layanan psikologis kepada 52 pemohon, dan layanan restitusi kepada 20 korban. Di luar itu, LPSK juga memberikan perlindungan kepada sejumlah justice collaborator yang membantu pengungkapan beberapa kasus korupsi besar. E.
Peraturan yang Terbuka dan Jelas Partisipasi publik dalam pembuatan peraturan
Tabel berikut berisi ketentuan peraturan perundangundangan (nasional dan daerah) yang di satu sisi memberikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi 160
BAB III | Studi Dokumen
dalam penyusunan program legislasi nasional (Prolegnas) dan pembuatan rancangan peraturan perundang-undangan, dan di sisi lain mewajibkan lembaga legislatif dan eksekutif untuk mendengar masukan-masukan masyarakat. a.
Peraturan perundang-undangan nasional Tabel 3.5.1 Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Nasional Jenis Pengaturan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembe ntukan Peraturan Perundangundangan
Isi Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik, yang meliputi: g. keterbukaan. Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
161
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan untuk: a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 137 Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang undangan yang meliputi: g. keterbukaan. Pasal 139 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/Tahun 2009 tentang Tata Tertib
Pasal 104 Ayat (1) Badan Legislasi dalam menyusun Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/ atau masyarakat. Ayat (6) Usulan dari masyarakat disampaikan kepada pimpinan Badan Legislasi. mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/atau masyarakat. Pasal 105 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/ atau masyarakat. Pasal 106 (8) Dalam pembahasan Prolegnas, penyusunan daftar rancangan undang-undang didasarkan atas : h. mengakomodasi aspirasi masyarakat.
162
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 114 Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang. Pasal 143 (1) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat meminta menteri yang mewakili Presiden membahas rancangan undangundang untuk menghadirkan menteri lainnya atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian dalam rapat kerja atau mengundang masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus dapat mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah.
163
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
b.
Peraturan perundang-undangan di daerah Tabel 3.5.2 Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Daerah
No.
Daerah
Jenis Peraturan Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Mekanisme Konsultasi Publik Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan
1.
Kab. Magelang
2.
Kab. Lebak
3.
Kab. Tanah Datar
Perda No. 2 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi
4.
Kab. Solok
Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat.
5.
Kab. Gowa
Perda No. 3 Tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaran Pemerintahan Kab. Gowa
6.
Kab . Kebumen
Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Kebijakan Publik
7.
Kab. Bandung
Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Transaparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
8.
Kab. Lamongan
Perda No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Dan Partisipasi Masyarakat
Sekalipun Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) telah dibentuk berdasarkan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2010, persoalan ketersediaan informasi publik di DPR tidak berubah. Bahkan, pada awal-awal pelaksanaan peraturan ini sampai dengan tahun 2011, permohonan atas informasi dan dokumentasi di DPR terasa lebih sulit dari sebelumnya. Masalah utamanya adalah tersebarnya informasi dan dokumen serta tidak berfungsinya secara maksimal unit kerja yang bertugas dalam penyediaan informasi dan 164
BAB III | Studi Dokumen
dokumen (PSHK 2011: 45). Laporan ini mengkonfirmasi hasil survei yang mengatakan bahwa mayoritas responden (68%) jarang atau tidak pernah mendapat informasi mengenai rencana peraturan yang akan dibuat (lihat Bab 2). Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, khususnya peraturan pelaksana, cenderung tertutup dibandingkan dengan proses pembahasan undang-undang (PSHK 2011: 210). Fakta ini senada dengan hasil survei yang menunjukan bahwa mayoritas (65%) responden mengatakan jarang atau tidak pernah dimintai tanggapan untuk keperluan pembuatan rancangan peraturan (lihat Bab 2). Kejelasan materi peraturan Dengan maksud melahirkan peraturan perundangundangan yang baik, terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang menentukan bahwa rumusan peraturan perundang-undangan harus jelas. Berikut dua peraturan perundang-undangan yang memiliki klausul demikian: Tabel 3.5.3 Regulasi yang Mengatur Peraturan Perundang-Undangan Harus Jelas Jenis Pengaturan
Isi
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: f. kejelasan rumusan;
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 137 Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang undangan yang meliputi: f. kejelasan rumusan;
165
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Eksekusi yang terhambat atas putusan kasus Direktur Utama PT Satui Bara Tama (PT SBT), Parlin Riduansyah, Bupati Kepulawan Aru, Theddy Tengko dan Mantan Kabareskrim Polri Jendral (Purn) Susno Duaji, merupakan contoh dari akibat rumusan peraturan yang tidak jelas. Ketiga terpidana beragumen bahwa putusan kasasi atas kasus mereka batal demi hukum karena tidak mencamtumkan perintah penahanan. Mereka mendasarkan argumennya pada Pasal 197 ayat (1) UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal ini memang menentukan bahwa putusan pemidanan harus memuat dua belas hal yang bersifat kumulatif. Salah satu yang harus dimuat adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (huruf k). Sifat imperatif hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanan tersebut dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) yang menentukan bahwa tidak dimuatnya hal-hal tersebut, kecuali mengenai hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim30, menyebabkan putusan batal demi hukum. Akan tetapi, ayat ini berubah menjadi tidak jelas ketika Penjelasannya mengatakan bahwa bila karena kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, tidak dicamtumkannya sejumlah hal, termasuk perintah penahanan dalam putusan pemidanan, tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam putusannya bernomor 69/PUU-X/2012, pada bagian Pertimbangan MK menanggapi multi tafsir atas Pasal 197 UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan mengatakan ketentuan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP yang menjadikan putusan batal demi hukum apabila tidak mencantumkan peritah penahanan adalah pengingkaran 30
166
Kecuali bila perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
BAB III | Studi Dokumen
atas kelemahan manusia sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna. MK memandang kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam hal formil tidak serta-merta kemudian membatalkan hal sifatnya materil. Menurut MK sangat ironi apabila terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya oleh karena putusan tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Akses terhadap peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan sudah mengatur mengenai hak setiap warga untuk menerima dan memberikan informasi. Dalam proses pembuatan peraturan perundangan, agar warga bisa menerima dan memberikan informasi, peraturan perundangan memerintahkan pemerintah untuk menyebarluaskan informasi sejak dari tahap penyusunan Prolegnas/Prolegda, penyusunan rancangan undangundang/Perda, pembahasan rancangan undang-undang/ Perda sampai pada pengundangan undang-undang/Perda. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang menentukan hal demikian.
167
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tabel 3.5.4 Regulasi yang Mengatur Hak Warga dalam Memperoleh Informasi Jenis Pengaturan
Isi
UUD 1945
Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU 12/2005)
Pasal 19(2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah.
168
BAB III | Studi Dokumen
Pasal 88 (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang- Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Pasal 92(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pasal 2 (1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. (2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. (3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana Pasal 4 (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.
169
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
(2) Setiap Orang berhak: a. melihat dan mengetahui Informasi Publik; b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut. (4) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 7 (1) Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. (2) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan Pasal 9 (1) Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala. (4) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Pasal 11(1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
170
BAB III | Studi Dokumen
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 147(3) Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/Tahun 2009 tentang Tata Tertib
Paragraf 2
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Pasal 3 Pemohon informasi berhak memperoleh informasi publik di DPR dan Setjen DPR berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR.
Penyebarluasan Pasal 107 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (11) disampaikan kepada Presiden, DPD, dan masyarakat. (2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh: a. Badan Legislasi kepada anggota, fraksi, komisi, dan masyarakat; b. Pimpinan DPR kepada pimpinan DPD; dan c. menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan kepada instansi Pemerintah dan masyarakat. (2) Penyebarluasan Prolegnas kepada masyarakat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.
Pasal 6(1) DPR dan Setjen DPR wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi, selain informasi yang dikecualikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR.
Dalam praktek, pemberian atau penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan dilakukan melalui sejumlah situs resmi 171
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
pemerintah. Pertama adalah situs yang dikelola oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yaitu: http://ditjenpp. kemenkumham.go.id/database-peraturan.html. Kedua, situs yang dikelola oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yaitu: http://bphn.go.id/. Dalam kedua situs tersebut peraturan perundang-undangan yang tersedia adalah UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (PP), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Lembaga Negara Non-Kementerian dan Peraturan Daerah (Perda). Namun dari sisi kelengkapan, informasi mengenai peraturan daerah masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan informasi peraturan perundangan-undangan nasional. Informasi mengenai peraturan daerah yang lebih lengkap dapat ditemukan pada situs http://www.jdih.setjen. kemendagri.go.id/. Situs resmi ini dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri.
172
BAB IV ANALISIS
Bab ini mencoba menganalisa hasil temuan-temuan ketaatan negara Indonesia terhadap prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana yang ditemukan dalam survei (Bab II) dan studi dokumen(Bab III). Analisa dilakukan perprinsip negara hukum. Analisa ini merupakan pandangan Indonesian Legal Roundtable sebagai lembaga dalam melihat sejauh mana ketaatan negara dalam menjalankan prinsip-prinsip negara hukum pada tahun 2012. A.
Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Secara normatif UUD 1945 sudah mengatur mengenai keseimbangan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif (lihat Bab III). Meskipun konstitusi sudah menyeimbangkan kekuasaan tersebut namun publik tidak sepenuhnya melihatnya demikian. Hasil survei menunjukan bahwa sebagian publik memang mengatakan bahwa kekuasaan negara sudah seimbang, namun sebagian lagi mengatakan sebaliknya yaitu kekuasaan negara tidak seimbang. Mereka yang mengatakan kekuasaan negara belum seimbang melihat bahwa kekuasaan negara didominasi oleh kekuasaan eksekutif (Pemerintah). Arah Pembangunan Jangka Menengah Kedua (2010– 2014) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 173
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010–2014 berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, yaitu pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan penguatan daya saing perekonomian. Akan tetapi, target ideal tersebut tidak didukung oleh fakta yang didapat dari hasil survei. Publik mengatakan bahwa performa pemerintah kurang baik, terutama pada bidang ekonomi dan sumber daya manusia. Kinerja eksekutif lainnya disoroti dari sisi ketersediaan saluran pengaduan atau keluhan bagi masyarakat dalam hal terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Secara institusional saat ini sudah tersedia dua lembaga negara yang bisa menjadi kanal bagi publik untuk menyampaikan pengaduan dan keluhan. Kedua lembaga tersebut adalah Komisi Informasi Publik (KIP) dan Ombudsman RI. Hasil survey menunjukan bahwa publik cukup mengapresiasi kehadiran institusi-institusi semacam ini. Hal tersebut tecermin dari pendapat responden yang mengatakan bahwa sarana pengaduan sudah baik. Sebagian responden, dalam jumlah yang hampir sama dengan pendapat pertama, memang masih berpendapat bahwa sarana pengaduan kurang baik. Pendapat pertama berkorelasi dengan banyaknya jumlah pengaduan yang ditangani oleh KIP dan Ombudsman RI yang meningkat dari tahun ke tahun. Namun perlu juga dicatat bahwa kenaikan jumlah pengaduan tersebut tidak berkolerasi dengan penjantuhan sanksi kepada aparat pemerintah yang melanggar hukum. Mayoritas publik berpersepsi bahwa sanksi masih jarang/sangat jarang/tidak pernah dikenakan kepada aparat pemerintah yang melanggar hukum.
174
BAB IV | Analisis
Persepsi publik mengenai kinerja legislatif (DPR) selama tahun 2012 berimbang antara yang mengatakan sudah baik dan tidak baik. Persepsi ini relatif berbeda dengan situasi faktual yang menunjukan kinerja DPR tidak baik, khususnya untuk fungsi legislasi. Dari 64 RUU yang menjadi prioritas untuk tahun 2012 yang akhirnya berhasil disahkan hanya 24 undang-undang. Ukuran lain yang dipakai untuk menyimpulkan kinerja yang tidak baik tersebut adalah: (i) studi banding anggota DPR ke luar negeri yang menjadi sorotan publik karena dinilai tidak pantas; (ii) minimnya tingkat kehadiran sebagian anggota DPR dalam sidangsidang, dan (iii) keterlibatan beberapa anggota DPR dalam tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Terkait saluran pengaduan dan keluhan terhadap kinerja anggota DPR, peraturan perundangan telah menyediakan saluran lewat pembentukan Badan Kehormatan DPR. Meskipun demikian, data empirik yang didapatkan dari studi dokumen, menunjukan bahwa implementasi masih belum berjalan optimal. Hal ini terungkap dari data yang menginformasikan bahwa sepanjang tahun 2012 hanya 8 anggota DPR yang dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan, masing-masing 4 diberhentikan dan 4 lainnya dinyatakan telah melakukan pelanggaran etik tingkat ringan dan sedang. Belum optimalnya saluran pengaduan dan keluhan melalui Badan Kehormatan DPR linier dengan hasil survei yang memperlihatkan bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa penjatuhan sanksi kepada anggota DPR yang melanggar hukum masih jarang/sangat jarang/tidak pernah.
175
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
B.
Independensi Kekuasaan Kehakiman
Secara umum terlihat adanya hubungan yang saling menguatkan antara hasil survei dengan studi dokumen mengenai prinsip kekuasaan kehakiman. Untuk indikator Pelaksana Kekuasaan Kehakiman misalnya, tingginya laporan masyarakat mengenai dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh hakim dan pegawai pengadilan sejalan dengan hasil survei yang menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat masih berpendapat hakim tidak bebas dari suap dan dapat diintervensi oleh pihak lain pada saat menjalankan tugasnya. Demikian juga untuk indikator Organisasi Kekuasaan Kehakiman. Persepsi sebagian besar masyarakat yang menyatakan bahwa gaji hakim dan prasarana pengadilan sudah cukup memadai berbanding lurus dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang memang mengatur mengenai hal tersebut. Bahkan mengenai gaji hakim, perlu ditambahkan di sini, sejak tahun 2012, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012 tentang Kedudukan dan Hak Hakim sebagai Pejabat Negara yang mengatur tentang kenaikan pendapatan hakim. Peraturan tersebut menetapkan bahwa untuk hakim 0 tahun yang sebelumnya memperoleh penghasilan sekitar 5,5 juta/ bulan kini mendapatkan sekitar 10,6 juta/bulan. Meskipun secara general persepsi publik dan studi dokumen menunjukan linieritas, namun untuk hal yang spesifik seperti rekrutmen hakim terdapat kesenjangan. Sebagian besar responden masih melihat seleksi hakim belum bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Hal ini berbeda dengan aspek normatif yang sudah ditandai dengan cukup banyaknya aturan baru yang mengatur seleksi hakim agar transparan, akuntable, dan partisipatif. Situasi ini 176
BAB IV | Analisis
sebenarnya relatif sama dengan persepsi sebagian besar responden yang menyatakan bahwa hakim tidak bebas dari suap dan dapat diintervensi oleh pihak lain. Survei ini didukung oleh laporan MA dan KY tahun 2012 mengenai pengaduan dan laporan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Fakta-fakta tersebut menunjukan kesenjangan dengan sudah cukup banyaknya peraturan perundangan baru yang mengatur mengenai pengawasan hakim. C.
Pengakuan dan Perlindungan HAM
Hasil survei menunjukan bahwa secara umum masyarakat merasa telah merdeka dalam menyatakan pendapat dan keinginan. Kemerdekaan serupa dirasakan dalam keikutsertaan secara aktif pada aktivitas-aktivitas organisasi sosial dan politik. Dalam artian tertentu fakta ini bisa diartikan sebagai efektivitas implementasi sebagian peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Namun, studi dokumen juga mengungkapkan bahwa pada saat yang sama masih terdapat sejumlah peraturan perundangan yang bersifat membatasi hak menyatakan pendapat. Secara umum masyarakat juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapatkan perlindungan dari negara terutama saat meliput atau menyajikan berita. Dalam tataran normatif, kekebasan pers memang telah dijamin dalam undang-undang. Meskipun demikian, kebebasan tersebut belum sepenuhnya dirasakan dalam tataran praktik. Laporan Alinasi Jurnalis Indonesia (AJI) tahun 2012, yang menyebutkan kekerasan terhadap wartawan mengalami peningkatan selama tahun 2010-2012, menunjukan masih 177
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
terdapat ancaman terhadap para pekerja pers dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana sudah disebutkan pada Bab III, mayoritas responden menganggap bahwa negara telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta memproses kekerasan yang mengatasnamakan agama. Begitu tingginya responden yang memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan hak ini menyebabkan indikator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan meraih skor indeks terbesar dari 5 indikator prinsip Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM (lihat indeks). Akan tetapi laporan resmi Komnas HAM dan Komnas Perempuan 2012 menunjukan hal yang sebaliknya. Menurut laporan kedua lembaga negara tersebut dalam prakteknya sejumlah kelompok agama minoritas bukan hanya dihalangi kebebasannya dalam beragama dan berkeyakinan tetapi juga mengalami kekerasan. Sementara itu, penganut agama leluhur mendapatkan diskriminasi untuk mendapatkan KTP yang pada akhirnya menghalangi mereka untuk mengakses hak atas jaminan sosial maupun layanan hak atas pendidikan dan kesehatan. Perbedaan persepsi masyarakat dengan hasil studi dokumen juga terjadi dalam indikator perlakuan terhadap perempuan. Sebagian besar responden (79%) menganggap bahwa negara tidak diskriminatif terhadap perempuan. Sedikit banyak hasil survei ini didukung oleh data BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2012 mengenai angka partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dasar dan partisipasi kerja perempuan. Namun perlu diberi catatan bahwa peningkatan angka partisipasi kerja perempuan masih tunduk pada pembagian 178
BAB IV | Analisis
kerja tradisional berdasarkan gender. Mayoritas perempuan masih berperan sebagai pekerja keluarga dan pekerja lepas. Perempuan yang berhasil memasuki wilayah kerja formal, hanya sebagian kecil di antaranya yang dapat menduduki posisi manajerial. Diskriminasi juga dialami perempuan dalam hal upah serta kedudukan politik. Di tingkat daerah, tradisi mendiskriminasi perempuan disahkan oleh kebijakan daerah seperti yang diungkap dalam Laporan Komnas Perempuan tahun 2012. Terhadap kelompok minoritas dan masyarakat adat, mayoritas responden menilai bahwa negara sudah memperlakukan mereka sama dengan masyarakat pada umumnya. Hasil survei ini seolah-olah menginformasikan efektivitas pemberlakuan sejumlah peraturan perundangundangan yang mengakui keberadaan kelompok minoritas maupun masyarakat adat. Pengakuan hukum tidak hanya bisa ditemui dalam peraturan perundang-undangan tetapi juga dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Dalam menilai hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan, masyarakat berpendapat bahwa kinerja negara cukup buruk. Meskipun di satu sisi masyarakat menilai bahwa proses penegakan hukum sudah mulai berhati-hati, namun di sisi lain mayoritas dari mereka masih melihat adanya tindakan penyiksaan oleh aparat penegak hukum selama masa penahanan. Persepsi masyarakat ini sejalan dengan laporan lembaga negara dan sejumlah LSM tahun 2012 yang mengungkap penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum, khususnya polisi, dalam proses penegakan hukum. Ketika dimintai pendapat seberapa jauh negara sudah menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas, mayoritas reponden mengatakan bahwa pemenuhan hak atas 179
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
pendidikan sudah memadai. Persepsi responden ini beserta ketentuan normatif yang telah menjamin hak setiap warga untuk mendapatkan pendidikan, serta anggaran pendidikan yang besar, relatif tidak berkesesuaian dengan sejumlah fakta empirik. Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pattiro mengungkap masalah angka putus sekolah, buta huruf, dan kondisi gedung sekolah yang rusak. Mengenai hak atas pekerjaan dan upah yang layak, mayoritas responden menilai bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia belum memadai dan upah yang ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hasil survei tersebut dikonfirmasi oleh data ILO dan BPS yang menunjukkan bahwa meskipun angka pengangguran usia produktif di Indonesia pada tahun 2012 tinggal 6,4%, namun pekerja yang diserap oleh sektor informal masih tercatat yang paling besar. Mereka yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan perlindungan sosial serta standar ketenagakerjaan yang memadai. D.
Akses terhadap Keadilan
Berdasarkan hasil survei terkait peradilan yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan, diketahui bahwa antusiasme masyarakat untuk menyelesaikan masalah hukumnya ke lembaga penegak hukum cukup tinggi. Akan mendapatkan kepastian hukum merupakan alasan dominan yang mereka kemukakan dalam memilih menyelesaikan masalah hukum ke lembaga penegak hukum. Di sisi lain, mayoritas responden menganggap bahwa negara belum mampu menyediakan bantuan hukum cumacuma bagi masyarakat yang tidak mampu. Pendapat ini 180
BAB IV | Analisis
sebenarnya agak mengherankan karena berdasarkan studi dokumen, peraturan perundangan sebenarnya sudah mengamanatkan negara untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Hasil survei tersebut juga sekaligus menjadi semacam petanda bahwa sekalipun sepanjang tahun 2012 baik peradilan umum, peradilan agama, dan PTUN memberikan bantuan hukum cuma-cuma, namun masih belum menjangkau masyarakat secara luas. Meskipun mayoritas responden mengatakan bahwa bantuan hukum cuma-cuma masih (sangat) sedikit namun mayoritas mereka mengatakan bahwa bantuan hukum cuma-cuma tersebut telah sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. Apresiasi mereka atas bantuan hukum cumacuma juga terlihat dari pendapat mayoritas mereka yang mengatakan bahwa para pekerja bantuan hukum cuma-cuma berkualitas baik. Terkait perlindungan terhadap korban, pelapor dan kompensasi kepada orang-orang yang keliru dinyatakan bersalah, responden memberikan komposisi jawaban yang berbeda. Saat ditanya mengenai perlindungan terhadap korban dan pelapor, mayoritas responden mengatakan bahwa negara sudah bekerja secara baik dan memadai. Namun ketika ditanya mengenai kompensasi kepada pihak yang keliru dinyatakan bersalah, jumlah responden yang mengatakan negara sudah melakukan hal yang memadai dengan yang berpendapat sebaliknya, berimbang. Persepsi responden di atas mengenai perlindungan negara terhadap korban dan pelapor berbanding lurus dengan data yang terungkap dari studi dokumen. Ratusan korban dan pelapor telah dilayani LPSK sepanjang tahun 181
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
2012. Tidak hanya memberikan layanan perlindungan kepada korban, LPSK juga memberikan layanan lain seperti layanan medis, psikologis dan restitusi. E.
Peraturan yang Terbuka dan Jelas
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas memperoleh angka indeks terkecil dibandingkan dengan angka indeks empat prinsip negara hukum lainnya. Hal ini menunjukan bahwa secara umum negara rupanya masih enggan melibatkan publik dalam pembuatan peraturan perundangan dan perumusan kebijakan, baik di tingkap pusat maupun daerah. Hasil survei tersebut sebenarnya agak berbeda dengan aspek normatif. UUD 1945 sendiri sudah menjamin keterlibatan warga dalam proses penyusunan peraturan perundangan dan kebijakan dengan menentukan bahwa setiap warga negara bebas untuk menyatakan pendapat. Selain itu sejumlah peraturan perundang-undangan sudah menegaskan bahwa negara wajib menerima dan memberikan informasi kepada warga mengenai rencana penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta memberitahukan peraturan perundang-undangan yang disahkan. Peraturan perundang-undangan tersebut bahkan telah menentukan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembentuan peraturan perundangundangan seperti tampak dalam tabel di bawah ini
182
BAB IV | Analisis
Tabel 4.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Tahapan Pembentukan Perundang-undangan TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN Tahap perencanaan dan penyiapan RUU
Tahap Pembahasan RUU
Tahap sesudah menjadi UU
BENTUK PARTISIPASI
penelitian; diskusi, lokakarya dan seminar; pangajuan usul inisiatif; dan perancangan terhadap suatu RUU. audiensi (RDPU di DPR); penyampaian RUU alternatif; masukan melalui media masa; unjuk rasa; dan diskusi, lokakarya dan seminar.
uji materil ke MK.
Namun, hasil survei yang mengatakan bahwa partisipasi publik masih minim dalam penyusunan peraturan perundangan bersesuaian dengan data empirik. Kondisi ini bermula dari minimnya informasi yang disediakan untuk publik oleh badan legislatif. Selain itu, menurut Catatan Kinerja DPR 2011 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), publik sangat jarang dilibatkan dalam tahapan perencanaan yaitu pada saat menyusun usulan pengajuan peraturan perundang-undangan. Dalam pembuatan peraturan perundangan yang dihasilkan oleh eksekutif, partisipasi publik lebih minim. Terlepas dari fakta bahwa partisipasi publik masih minim dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, mayoritas responden (80%) mengatakan bahwa bahasa peraturan sudah cukup/sangat baik. Pendapat ini mereka ungkapkan pada saat mayoritas dari mereka (91%) mengatakan jarang atau tidak pernah membaca peraturan. 183
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Fakta bahwa mayoritas masyarakat tidak pernah membaca peraturan sejalan dengan fakta lain yang diungkapkan responden bahwa mayoritas mereka (89%) mengaku jarang atau tidak pernah mengetahui adanya peraturan yang disahkan. Menariknya, mayoritas responden mengetahui adanya peraturan yang disahkan bukan dari lembaga resmi negara/pemerintah melainkan dari media massa utamanya televisi.
184
Daftar Pustaka
Buku, Makalah, dan Laporan Penelitian Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, University of Southern California Law School, Tanpa Tahun. Brian Z. Tamanaha, The History and Elements of Rule of Law, Washington University School of Law, 2012. Elsam, Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2012: Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2012. ILO, Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2012: Upaya Untuk Menciptakan Ekonomi yang Adil dan Berkelanjutan, Jakarta, 2012. Jeremy Waldron, The Concept and The Rule of Law, New York University School of Law, 2008. Jimly Asshidiqqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Tanpa Tahun. Jim Parsons, Developing Clusters of Indicators: An Alternative Approach to Measuring the Provison of Justice, Hague Journal Rule of Law, Vol 3; Isue 2, 2011. Joseph Raz, The Authority of Law: Essays on Law and Morality, 1979. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan BPS, Profil Anak 2012, Jakarta, 2012. 185
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Komnas HAM, Data tentang Kasus Kebebasan Beragama Tahun 2007-2009, Data Belum Dipublikasikan, Jakarta, 2010. Komnas HAM, “Catatan Akhir Tahun 2012 Komnas HAM: Saatnya Merajut Toleransi dan Kohesi Sosial”. Jakarta, 2012. Komnas Perempuan, “Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum”, Jakarta, 2012. Komisi Informasi Pusat, Laporan Komisi Informasi Pusat tahun 2012, Jakarta, 2012. Komisi Yudisial, Laporan Tahunan Komisi Yudisial Tahun 2012: Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial, Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Harmoni”, Jakarta, 2012. Kontras, Laporan Penyiksaan 2012: Penyiksaan Meningkat Drastis, Jakarta, 2012. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Cet. Ke-19, Jakarta, 1996 Lembaga Survei Indonesia, Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia Desember 2012, Jakarta, 2012. LBH Jakarta, Laporan Hukum dan HAM 2012: Paradoks Negara Hukum, Jakarta, 2012. LPSK, Press Release No 05/PR/LPSK/I/2013 LPSK tentang Catatan tahun 2012 dan Prediksi 2013, Jakarta, 2013. Ombudsman RI, Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2011, Jakarta, 2011. Pattiro Institute dan Yayasan Tifa, Seri Kajian Kebijakan: “Pendidikan Dasar Gratis Bermutu”, Jakarta, 2011. 186
Daftar Pustaka
Pietro Costa & Danilo Zolo, The Rule of Law: The History, Theory and Criticism, Springer, 2007. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi?, Jakarta, 2012 Rachel Kleinfeld Belton, Competing Definitions of The Rule of Law: Implications for Practioners, Carniege Papers, 2005. Siaran Pers Koalisi Masyarakat untuk APBN Kesejahteraan, “Keranjang Sampah Anggaran Pendidikan dan Pemanis Anggaran Kemiskinan”, 27 September 2012. The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012: Peta Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Intoleransi oleh Aparatus Negara 2012, Jakarta, 2012. Transparansi Indonesia Internasional, Indeks Persepsi Korupsi 2012, Jakarta, 2012. Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No.1/PNPS/1965/ Jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. 187
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tahun 1965 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 188
Daftar Pustaka
Undang-Undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 189
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Peraturan Bersama MA-KY No. 02/PB/MA/IX/2012-02/ PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode etik dan Perilaku Hakim. Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Belanja Negara 2012. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Partai Politik. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 190
Daftar Pustaka
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Hakim yang Berada di Bawah MA. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Keputusan Presiden No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Keputusan Presiden 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek. Instruksi Mendagri No. 25 Tahun 1996. Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009. 191
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan Bersama Menhkumham Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor : M.HH 11.HM.03.02.th.2011 NOMOR :PER 045/A/ JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011NOMOR KEPB 02/01 -55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011. Peraturan Bersama MA-KY No. 03/PB/MA/IX/2012-03/ PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama. Peraturan Bersama MA-KY No. 04/PB/MA/IX/2012-04/ PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri RI No: 3 Tahun 2008 No: KEP33/A/JA/6/2008 No: 199 Tahun 2008. KEP-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. 192
Daftar Pustaka
Peraturan Walikota Makasar No 63 Tahun 2009 tentang Bantuan Hukum Gratis.
Peraturan Gubernur Sumbar Nomor 29 tahun 2010 tentang Prosedur Pemberian Bantuan Biaya Untuk Penanganan Kasus Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu. Perda Provinsi Sumsel No.8 tahun 2012 tentang Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Perda Bantuan Hukum Kabupaten Sinjai Tahun 2010. Perda Provinsi Jawa Timur No 2 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu. Perda Kota Palembang Nomor 9 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No.1/PNPS/1965/ tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap berlaku. Putusan Mahkamah Konstitusi No. MK No.6-13-20/PUUVIII/2010 yang membatalkan Undang-Undang No. 4/ PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap BarangBarang Cetakan. Situs Anggota Komisi III Dilaporkan ke BK DPR, http://nasional. kompas.com/read/2012/06/13/02110579/ Anggota.Komisi.III.Dilaporkan.ke.BK.DPR, diakses pada 30 April 2013. Bawa Pisau, Wakil Ketua Serang Ketua PN Muaro Tebo. http: //www.metrojambi.com/v1/daerah/14641-bawapisau-wakil-ketua-serang-ketua-pn-muara-tebo. html, diakses 20 April 2013. 193
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Catatan Akhir Tahun 2012 Aliansi Jurnalis Indonesia, “Tahun Kekerasan Struktural, Perjuangan Upah Layak, Penegakan Etika Profesi, Hingga Penguatan Jurnalis Perempuan”. Dapat dilihat pada http://ajiindonesia. or.id/read/article/press-release/168/catatan-akhirtahun-2012-aji-indonesia.html, diakses 10 April 2013. Dahlan Iskan Berkirim Surat Lagi ke Ke BK DPR. http://www. tempo.co/read/news/2012/11/12/078441281/ Dahlan-Iskan-Berkirim-Surat-Lagi-ke-BK-DPR, diakses 30 April 2013. Ini Bangunan yang Jadi Sasaran Amuk Massa di Temanggung. http://www.tempo.co/read/news/2011/02/08/ 177311988/Ini-Bangunan-yang-Jadi-Sasaran-AmukMassa-di-Temanggung, diakses 20 April 2013. International Commision of Jurist: The Rule of Law and Human Right, http://www.globalwebpost.com/ genocide1971/h_rights/rol/10_guide.htm#athens, diakses 10 Oktober 2012. Kantor Pengadilan Negeri Maumere Dibakar Massa. http:// www.antaranews.com/print/42908/kantorpengadilan-negeri-maumere-dibakar-massa, diakses 20 April 2013. Kronologi Pembubaran Diskusi Irshad Manji. http:// salihara.org/community/2012/05/05/kronologipembubaran-paksa-diskusi-irshad-manji, diakses pada 27 April 2013 Kronologi Pembubaran Disukusi Irshad Manji di Yogya http:// regional.kompas.com/read/2012/05/10/13423742 /Kronologi.Pembubaran.Diskusi.Irshad.Manji.di. Yogya, diakses pada 27 April 2013. 194
Daftar Pustaka
Pengadilan Negeri Pasuruan Dibakar Orang Tak Dikenal. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ nusantara/10/06/28/121972-pengadilan-negeripasuruan-dibakar-orang-tak-dikenal, diakses 20 April 2013. Presentasi Laporan Tahunan 2012 Mahkamah Agung, http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/ artikel/laptah2012.pdf, diunduh pada 5 April 2013. Surat Dahlan Iskan ke BK DPR Berisi Kronologi Pemerasan BUMN. http://news.detik.com/read/2012/11/08/1 42821/2086075/10/surat-dahlan-iskan-ke-bk-dprberisi-kronologi-pemerasan-bumn, diakses 30 April 2013. Temuan-temuan Kunci Studi ILO dan Tufts University Mengenai Tantangan atas Pekerjaan dan Diskriminasi Kerja bagi Perempuan di Indonesia, 2012 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/ meetingdocument/wcms_201768.pdf, diakses pada 2 Mei 2013
195
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
196
Latar Belakang
Melewati satu dasawarsa masa reformasi, dunia hukum dan peradilan Indonesia ternyata dipenuhi kontroversi: mulai dari materi peraturan perundang-undangan yang tidak jelas nilai dan ideologi yang dianutnya serta multi makna dalam penafsirannya, sampai dengan kinerja lembaga peradilan yang sering kali melukai rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Aktor-aktor yang terlibat dalam kekusutan ini pun demikian meluas. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan hukum belum membuahkan hasil yang memuaskan dan tidak berpengaruh secara signifikan.
Oleh karena itu, melengkapi upaya yang telah dilakukan sejumlah lembaga dan kalangan, Indonesian Legal Roundtable sebagai lembaga kajian lahir untuk mendorong dan memperkuat proses perubahan hukum yang telah berjalan guna memberikan sesuatu perubahan yang lebih bermakna bagi sebuah pencapaian Rule of Law dan keadilan yang lebih luas. Visi Tercapainya hukum yang demokratis, responsif, dan berkeadilan yang berlandaskan Hak Asasi Manusia.
197
Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012
Misi 1.
2.
3.
Merumuskan ide dan gagasan baru tentang hukum serta perubahan hukum yang diperlukan bagi penguatan demokrasi, hak asasi dan rule of law yang berkeadilan. Mendorong dan memfasilitasi peran masyarakat sipil untuk terlibat aktif dalam proses perubahan dan penegakan hukum. Melakukan upaya-upaya untuk membangun kesadaran dan awarness publik terhadap perubahan hukum.
Sekretariat Jl. Tebet Barat Dalam IV, No. 6, Jakarta Selatan Telp: 021-33117100 Ofice: 021-8291656 Email:
[email protected] Website: http://www.ilr.or.id
198