57 IMUNOLOGI DASAR Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis
Pertahanan Fisik
PENDAHULUAN
napas, batuk dan bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam
Kulit, selaput lendir, silia saluran Imunologi dasar pada tulisan berikut ini diuraikan dalam 3 bab, yaitu sistem ilmun, antigen dan antibodi, dan reaksi
tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok akan
hipersensitivitas.
meningkatkan risiko infeksi.
SISTEM IMUN
Pertahanan Larut
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem imun nonspesifrk (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired). Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik terlihat dalam
Pertahanan Biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalampertahanan tubuh. Asam hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam keringat, ludah, ait mata
Gambarl.
dan air susu dapatmelindungi tubuh terhadap kuman Gram
positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan stafilokok. Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan
kuman negatif-Gram dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk hidup kuman pseudomonas (Gambar2). Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna' Gambar 1. Sistem lmun. NK= Natural Kller; Tdlh = T delayed
mengandung banyak mikroba, biasanya berupa bakteri dan
type hypersensitivity; CTLtfc = Cytotoxic T Lymphocyte/ T cytotoxic-/ T cytolytic; Ts = T supresor; Tr =
I
virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran
regulator
napas membantu menurunkan
SISTEM IMUN NONSPESIFIK
jumlah mikroba yang masuk
tubuh, sedang epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan sekresi tubuh, enzim lisosom membunuh banyak bakteri dengan mengubah dinding selnya. IgA juga merupakanpertahanan
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifft memerlukan waktu sebelum memberikan responsnya. Sistem tersebut
permukaanmukosa. Pertahanan Humoral
disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap
Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan
mikroorganisme tertentu.
367
368
ALERGIIMUNOI.OGI
Organisme penyebab infeksi
..:- ''Virus
Udara
=.
Pertahanan
4.,
..-",
Bak teri
Jamur Makanan dan
Mata dan Dara Lis oz im
air'
---
lgA
Viru s Bak teri
Jamur Protozoa C ac
- .1
Saluran napas mu kus
ing
silia
-- --
Kulit &- Bakleri Jamur Proiozo Cacing
lJsus
-"r
Asam Lemak
,r--
Viru s
'-
----
Pe ptid a
Bakteri Protozoa C ac
Kulit
a
a
..-
ing
-
-*
nliba
kte ria
I
lJrine pH asam
Gambar 2. Pertahanan eksternal tubuh
membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi (Gambar 3).
l. 2. 3.
Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak bakteri (C8-9) Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat bakteri (C5-6-7) Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan memakannya (C3b, C4b). Kejadian-kejadian tersebut di atas adalah fungsi sistem imun nonspesifft, tetapi dapat pula te{adi atas pengaruh respons imun spesifik.
Gambar 4. Fungsi sel NK
Sel
NK membunuh sel terinfeksi virus intraselular,
sehingga dapat menyingkirkan reservoir infeksi.
Sel
NK memberikan respons terhadap lL-12 yang
diproduksi makrofag dan melepas IFN-yyang mengaktifl
makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakannya.
C-Reactive Protein (CRP). CRP dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen (Gambar 5).
Interferon. Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus
tersebut.
Di
samping itu, interferon dapat pula
mengaktifkan natural killer cel// sel NK untuk membunuh virus dan sel neoplasma (Gambar 4). Protein
Gambar 5. C-Reactive Profern (CRP)
Pertahanan Selular Fagositimakrofag, sel NK dan sel mast berperun dalam sistem imun nonspesifik selular.
Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, sel utama yang berperan pada
369
pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit
membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat
dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel hemopoietik
ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin.
yang sama. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap, membunuh dan mencerna.
Naturst Killer ceZ (sel NIQ. Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebutjuga sel non B non T atau sel populasi ke tiga atan null cell. Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu disebut jugaZ arge Granular Ll,mphocyte/I-Gl. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK. Sel mast. Sel
zasl berperan dalam reaksi alergi
dan juga
dalam pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi. Sel mast jtga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifl
SISTEM IIl/IUN SPESIFIK Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan
2. Sistem imrm spesifik
sehrlar. Berperan dalam sistem
imun
spesifft selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel Tumumnyaialah:
. .
. .
membantu sel B dalam memproduksi antibodi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi
virus mengaktifkan makrofag dalam fagositosis mengontrol ambang dankualitas sistem imun
Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Sembilan puluh
sampai sembilan puluh lima persen semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-l0Yo menjadi matang dan meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi utama sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorganisme yang hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset seperti sel T naif, Thl,Th2,T Delayed Type Hypersensitivity (Tdti), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau T cytotixic ataru T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr).
Sel T Naif (virgin). Sel T naif adalah sel limfosit yarlg meninggalkan timus, namun belum berdiferensiasi, belum pemahterpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan antigen akan
berkembang menjadi sel ThO yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sel efektor Th1 dan Th2yatgdapat
dibedakan atas dasar jenis-jenis sitokin yang
dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut
diproduksinya. Sel ThO memproduksi sitokin dari ke 2 jenis sel tersebut seperti IL-2, IFN dan IL-4.
disebut spesifik.
Sel T CD4*
benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk
(Thl dan Th2). Sel T naifCD4* masuk sirkulasi dan menetap di dalam organ limfoid seperti kelenj ar getah
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badaa, tetapi pada umumnya terj alin kerj a sama yang b aik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag.
bening untuk bertahun-tahun sebelum terpajan dengan
Komplemen turut'diaktifkan dan ikut berperan dalam
berkembang menjadi subset sel
menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun.
Sistem lmun Spesifik Humoral
l.
Sistem imun spesifft humoral. Berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal tersebut berdiferensiasi
menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat
antigen atau mati. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-II oleh APC dan
Thl atau sel Tdth (Delayed Type Hypersensitivity) atau Th2 yartg
tergantung dari sitokin lingkungan. Dalam kondisi yang berbeda dapat dibentuk dua subset yang berlawanan
(GambarQ. IFN-Ydan IL-12 yang diproduksiAPC seperti makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan mikroba merangsang diferensiasi sel CD4* menjadi Thl/Tdth yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas lambat (reaksi tipe 4 Gell dan Coombs). Sel Tdth berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
370
ALERGIIMUNOI.OGI
berperan menekan aktivitas sel efektor T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat dibagi menjadi sel Ts
spesifik untuk antigen tertentu dan sel
/t V
M a krofag diaktifkan, sel dendritik
Ts
nonspesifik.Tidak ada petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda molekul CD8'. Molekul CD4t kadang dapat pula supresif. Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thl. APC yang mempresentasikan antigen ke sel T naif akan melepas sitokin lL-12 yang merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor Thl. Sel Thl
Se Td a ktifkan
memproduksi IFN-y yang mengaktifl
n?
melalui mekanisme yang belum jel,as (kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC). Beberapa sel T regulator melepas sitokin imunosupresif
seperti IL-10 yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan TGF-B yang mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.
ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar denganberatmolekul lebih dari 40.000 dalton dankompleks polisakarida mikrobial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga Sel Th1
Sel Th2
ber-sifat imunogenik, tetapi tidak demikian halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi
Gambar 6. Diferensiasi Sel Naif CD4 Menjadi Th l dan Th2
tidak dalam keadaan normal. PembagianAntigen
Atas pengaruh sitokin IL-4,IL-s,IL-10, L-13 yang dilepas selmastyangterpajan dengan antigen atau cacing, ThO berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel
L
Pembagian antigen menurut epitop
a. Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/epitop pada satu molekul.
b.
determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
Th adalah CD4* yang mengenal arfigen yang dipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul MHC-tr.
c.
d. Multideterminan, multivalen. Banyak maCam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu
dipresentasikan bersama molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utamanya
molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi). (Gambar 7)
2. Pembagian antigen memrrut spesifisitas a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies b. Xeno antigen, y ang hanya dimiliki spesies tertentu c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk
menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular.
individu dalam satu spesies Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertenfu e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
d.
Istilah sel T inducer digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam mengaktifkan sel subset T lainnya. Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor) yang}uga disebut sel Tr (regulator) atau Th3
Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein).
Sel T CD8* (Cytotoxic T Lymphocyte / CTL / Tcytotoxic /Tcytolytic/ Tc/. Sel T CD8* naif yang keluar dari timus disebut juga CTLlTc. Sel tersebut mengenal antigen yang
ialah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dengan menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. Sel CTL/To akan juga menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Dalam keadaan tertentu, CTLITI dapat juga
Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis
3.
371
IMUNOI.OGIDASAR
tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk memacu respons antibodi,
Unideterminan
Hapten
univelan
Unideterminan m
Polisakarida
ultivalen
bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) danmolekul besar (disebut carrier ataumolekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya denganberat
molekul kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, Multideterminan
Protein
univalen
Multideterminan m
Gambar
a.
b.
7.
Kimia komPleks
ultivalen
pembentukan antibodi (Gambar 8).
T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respons
antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam golongan ini T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa
bantuan sel T untuk membentuk antibodi.
perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, fl agelin polimerik bakteri Pembagianantigenmenurut sifatkimiawi a. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein yang merupakan bagian permukaan sel banyak mikoorganisme dapat
menimbulkan respons imrur terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respons imun yang ditimbulkan golongan darahABO, sifat antigen dan spesif,rsitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah
b. Lipid. Lipid
biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah shngolipid
c.
imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang
Berbagai antigen dan epitop
Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam tubuh secara
4.
sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Molekul pembawa sering digabung dengan hapten daJam usaha memperbaiki
Asam nukleat. Asam nukleat tidak imrurogenik, tetapi dapat menj adi imunogenik bila diikat protein molekul
GambarS. Respons sel B terhadap hapten
Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa (carrier) untuk dapat dipresentasikan ke sel Th.
Epitop. Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi pembentukan antibodi; dapat diikat
dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat (Gambar 9). Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi artara antigen dan TCR dan reseptor sel B.
pembawa. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun terhadap DNA
terjadi pada pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik(LES)
d.
Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalen.
Imunogen dan Hapten. Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Bahan kimia
ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi,
Gambar 9. Epitop
372
ALERGIIMUNOI]OGI
Epitop adalah bagian dari antigen yang membuat kontak fisik dengan reseptorAb: antibodi; Ag: antigen.
Unit dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantaiberat dan 2 rantaiitrganyang identik, diikat menjadi satu oleh ikatan
Superantigen. Superantigen (Gambar 10) adalah molekul
disulfida yang dapat dipisah-pisah dalam berbagai
yang sangat poten terhadap mitogen sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen, oleh karena dapat memacu
mitosis sel CD4*tanpa bantuan APC. Superantigen berikatan dengan berbagai regio dari rantai p -reseptor sel T. Ikatan tersebut merupakan sinyal poten unhrk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar populasi sel T. Sampai 20o/o dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh satu molekul superantigen. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin yang menimbulkan sindrom syok
fragmen.
A: rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000) B : rantai ringan (berat molekul: 25.000) C: ikatan disulfrda Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobulin, yaitu IgM, IgQ IgE,IgAdanIgD (Gambar 12).
toksin yang diproduksi stafilokokus aureus. Molekul tersebut dapat memacu penglepasan sejumlah besar sitokin seperti IL- I dan TNF dari sel T yang berperan dalam patologi jaringan lokal pada syok anafilaktik oleh stafilokokus.
Gambar 12. Berbagai kelas antibodi
Gambar 10. Superantigen
lgG
IgG merupakan komponen utama ANTIBOD! Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan mengikat antigen secara spesifik. Bila serum protein dipisahkan secara elekftoforetik, Ig ditemukan
terbanyak dalam fraksi globulin g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan b. Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang teridiri atas 2 rantaiberat (hea,vy chain) dat2rantai ringan
(light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida (Gambar 11).
(terbanyak) imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mglml merupakan 75%o dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.
IgG dapat mengaktifkan komplemen, meningkatkan pefiahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit
dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonigasi dibantu reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG terdiri atas 4 subkelas yaiti-lgl,Ig2,Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.
lgA IgA ditemukan
dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cema, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksirVvirus dengan alat sasaran. sIgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam Gambar 11. Unit dasar antibodi
serum dan tidak menembus plasenta. sIgA melindungi
373
MI.JNOI.OGIDASAR
tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
berperan pada imunitas cacing pita.
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebihjenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.
lgM IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus
Reaksi Tipe
pejamu.
IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat meningkatkan efek
bakteriolitik
komplemen dan menetralisir toksin. IgA juga diduga
bangun pentamer dan merupakan
Ig
terbesar.
Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya
sebagai reseptor antigen.
IgM dibentuk paling dahulu
pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama,
karena
itu kadar IgM yang tinggi merupakan
tanda
adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk
IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM
juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus
Reaksi Tipe I atau Reaksi CePat
I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua
kali atau lebih. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel TM. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel zasr, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesif,ft) pada permukaan sel mast yarrg menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi
tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I (Gambar13).
plasenta.
Sel mast lgD IgD ditemukan dengan kadar yang
sangat rendah dalam serum)' IgD tidak dalam (1% total imunoglobulin dari darah
mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B.
lgE' IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukanpada
alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin.
Gambar 13. Tipe
l:
Alergen, lgE, sel mast, mediator
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapajam sesudah kontak dengan alergen.
Reaksi Tipe ll atau Reaksi Sitotoksik Reaksi tipe II yang disebutjuga reaksi sitotoksik terjadi
374
ALERGIIMI,JNOI.OGI
oleh karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibodi
dengan antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan
lisis (Gambar 14). Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.
Gambar 15. Reaksi Tipe lll: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan lgM atau lgG3 yang diendapkan dalam membran basal vaskular
Sebab
lnfeksi persisten
Antigen Antigen
mikroba
sendiri Ekstrinsik Antigen
Autoimunitas Gambar 14. Tipe ll: lgM, lgG terhadap permukaan sel atau antigen
Antigen
Tempat kompleks mengendap Organ yang diinfeksi, ginjal Ginjal, sendi, pembuluh darah, kulit Paru
lingkungan
matriks ekstraselular
Reaksi Tipe lll atau Reaksi Kompleks Imun Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemo tacti c fac t or. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai dengan respons antibodi efektif. Pembentukan kompleks imun yang terbetuk dalam pembuluh darah terlihat pada Gambar15. Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun. Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas Cru dan Cru dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator antara lainhistamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebab-sebab
dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen ditemukanjauh lebih banyak dari pada antibodi yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada
dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan fungsi fagosit diduga dapat merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.
Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24 jam setelahtubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dib agi dalarn Delayed Type
Hyper-sensitivity yang teq'adi melalui sel CD4* dan T cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8* (GambarlQ.
reaksi tipe III dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit kompleks imun terlihat pada Tabel 1. Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam hati, limpa
Sel T
dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks imun merupakan faktorpenting.
Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat
Gambar 16. Reaksi hipersensitivitas lambat
375
IMUNOI.OGIDASAR
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel
diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasayarrg
CD4.Thl yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4*Th1 melepas sitokin (IFN-y) yang
memiliki banyak nukleus disebut sel raksasa Langhans.
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada
di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut
DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk
merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit/
makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut: l). Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50%o adalah limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 iam, timbul infiltrasi limfosit dalam
makrofag.
Sel tersebut mempunyai beberapa nukleus yang tersebar
Granuloma imunologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen) yang terjadi akibat proliferasi f,rbroblas dan peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkolusis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya
struktur j aringan (Gambar 1 7).
jumlah besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma. 2). Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi
sebagai respons terhadap bahan yang tidak berbahaya
dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal tet'adi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhats sebagai anti-
gen presenling cell (APC), sel Thl dan makrofag memegang peranan pada reaksi tersebut. 3). Reaksi granuloma. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi hal sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan mikobakteriumyang ditutupi kapsul lipid. DTH laonis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan gro wth factor oleh makrofdg yang dapat menimbulkan granuloma.
Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe
IV
yang dianggap paling penting oleh karenamenimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosis dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hal ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganik tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang
Gambar 17. Pembentukan granuloma
Sel TH1 berhubungan dengan tuberkulosis bentuk ringan oleh karena sitokin TH1 mengerahkan dan mengaktifkan makrofag (A), menimbulkan terbentuknya granuloma (B) yang mengandung kuman. S el TH 1 spesifi k diaktifkan oleh kompleks peptida MHC dan melepas sitokin
yang bersifat kemotaktik untuk berbagai sel, termasuk monosit/makrofag. Sitokin THI yang lain terutama IFN-1, mengaktifl
konik
atau hipersensitivitas lambat, terjadi susunan sel-se1 terorganisasi, yang spesifik dengan sel T di perifer dan mengaktifkan makrofag yang ada di dalam granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan (B). Beberapa makrofag berfusi menjadi sel datia dengan banyak nukleus atau berupa sel epiteloid.
T Cell Medisted Cytolysis. Dalam T cell mediated cy t o ly s i s, kerusakan terj adi melalu i sel CD8* / Cy t o t oxi c T Lymphocyte (CTL/Tc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit hipersensitivitas selular diduga merupakan sebab autoimunitas. Oleh karena itu, penyakit
yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. Sel CD8* spesifik untuk antigen atau sel autologus
dapat membunuh sel dengan langsung. Pada banyak
376
penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4* maupun CDS* spesifik
unttk self antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkankerusakan.
REFERENSI
AI.ERGIIMT,JNOI.OGI
Baratawidjaja KB. Sistem imun nonspesifik. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p.32-50. Baratawidjaja KB. Sistem imun spesifik. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 5l-72. Baratawidjaja KB. Antigen dan antibodi. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p.73-91. Baratawidjaja KB. Reaksi hipersensitivitas. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. l7l-90.
Decker JM. Introduction to immunology. Oxford: Blackwell AK, Lichtman AH. Basic immunology. 2nd edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003. Abbas
Altnan LC, Becker JW, Williams PV. Allergy in primary care. Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. Anderson WL. Immunology. Madison: Fence Creek Publishing; 1999. Austen KF, Burakoff SJ, Rosen FS, Strom TB. Therapeutic immu-
nology. 2nd edition. Oxford: Blackwell Science; 2001. KB. Sistem imua. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 1-31.
Baratawidjaja
Science; 2000.
Kreier, JP. Infection, resistance and immunity. Edisi ke-2. An Arbor: Taylor and Francis; 2002. Male D. Immunology, an illustrated outline. 3rd edition. London: M Mosby; 1998.
Playfair JHL, Lydyard PM. Medical immunology. 2nd Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2000. Roitt I, Rabson A. Really essential medical immunology. Oxford: Blackwell Science; 2000.
58 PROSEDUR DIAGNOSTIK PENYAKIT ALERGI Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti
PENDAHULUAN
Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria
akut lebih mungkin disebabkan oleh alergen Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Diperkirakan 10-20% penduduk pernah 4tau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ yang sering terkena adalah saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Samsuridjal dkk melaporkan penyakit alergi
dibandingkan urtikaria yang kronik. Frekuensi dan beratnya gejala diperlukan untuk menentukan apakah diperlukan pengobatan terus-menerus atau hanya saat timbulnya gejala. Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi, siang, malam, atau tidak menentu. Alergi
yang sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta adalah asma, rinitis, urtikaria, dan alergi makanan. Di Medan, TanjungAmelaporkan bahwa manifestasi klinis pasien alergi saluran napas adalah initis 41,9%o, asma 30,6%, asma dan rinitis25Yo, serta batukkronlk5o/o. Agar penanganan pasien alergi lebih tepat dan terarah, diperlukan diagnosis tepat dan cepat supaya komplikasi dapat dihindari. Bila seorang pasien yang datang dgngan
dapat intermiten, setiap tahun, atau berhubungan dengan musim. Di Indonesia, karena tidak ada musim gugur, semi, atau panas, keluhan lebih banyak menetap
sepanjang tahun. Gejala yang menetap sepanjang tahun biasanya dihubungkan dengan aeroalergen seperti tungau debu rumah, kecoa, j amur, atau serpihan
kulit binatang peliharaan. d. Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja.
kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama harus ditentukan terlebih dahulu apakah pasien memang menderita alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan-perneriksaan dalam rangka mencari alergen penyebab, selain juga faktor-
Sekitar 50% kasus asma berhubungan dengan tempat kerja. Demikian juga dengan kejadian pajanan lateks, binatang percobaan, atau produk kimia di tempat
faktor non alergikyang mempengaruhi timbulnya gejala.
kerja. Bagaimana perjalanan penyakit dari permulaan sampai sekarang, apakah bertambah baik, tidak berubah, atau bertambah berat. Bagaimana pengaruh pengobatan
RIWAYAT PENYAKIT
sebelumnya.
Adakah jangka waktu paling lama tanpa serangan,
Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut: a. Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur. Umur permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk membedakan apakah kondisi tersebut diperantarai IgE atau tidak. Sebagai contoh, lebih dari 90% pasien dengan gejala rinitis yang sudah muncul sebelum umur 10 tahun menunjukkan tes kulit yang positif, sedangkan pada pasien yang gejalanya timbul sesudah 40 tahun kurang dari 40o/o yang menunjukkan sensitivitas terhadap alergen.
bilamana dan di mana. Apakah timbul keluhan setelah mengeluarkan tenaga. h. Faktor-faktor yang mempengaruhi serangan penting ditanyakan dalam rangka penanganan pasien, misalnya o E'
faktor musim, faktor tempat, faktor hewan, faktor kelelahan, kurang tidur, pergantian cuaca, hawa dingin, debu, makanan, obat, emosi, kehamilan, asap, baubauan, dan lain-lain. Kebiasaan merokok, dan berapa batang sehari. Dalam usaha mencari alergen, hubungan antara gejala
377
378
ALERGIIMUNOLOGI
alergi dengan waktu dan tempat sangat penting. Dengan
Telinga
mengenal timbulnya gejala pada waktu tertentu,
Telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit alergi saluran napas, perlu dilakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media. Demikian juga dengan sinus paranasal berupa sinusitis yang dapat diperiksa secara palpasi dan transiluminasi.
kecurigaan akan penyakit alergi lebih dipertegas. Begitu juga halnya dengan faktor tempat. Dalam hal ini kita
harus mempunyai pengetahuan dengan alergen sekeliling pasien.
Untuk itu yang ditanyakan adalah tentang:
.
. . k
keadaan rumah, apakah sudah fua, masih baru, dan kelembabannya kamar tidur, karena di tempat ini banyak dijumpai D. pteronyssinus keadaan sekeliling pasien, apakah banyak hewan peliharaan seperti anjing, kucing, burung, dan sebagainya.
Pada pasien asma atau alergi saluran napas lain ditanyakan juga tentang dahak: jumlahnya (banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih, kuning, hijau), kekentalan (encer, kental).
L
Pengaruh terhadap kualitas hidup. Apakah keluhan tersebut mempengaruhi pekerjaan, absensi sekolah, mengganggu aktivitas olahraga atathobi lainnya, atau mengganggu tidur.
m Perlu juga ditanyakan
riwayat alergi pada keluarga, apakah ada keluarga sedarah yang menderita asma,
rinitis, eksim, alergi makanan, atau alergi obat.
PEMERIKSAAN FISIS Pemeriksaan fisis yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Kalau seseorang datang dengan keluhan hidung, maka perhatian lebih lanjut
Hidung Pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada
beberapa tatda yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal
dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic s hiners, dan kelainan gigi-geligi. Bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan bbntuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi septum.
Mulut dan Orofaring Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsll, post nasal drip. Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau keduanya. O r al t ru s h juga perlu diperhatikan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi. Palatum yang cekung ke dalam, dagu yang kecil, serta tulang maksila yang menonjol kadang disebabkan oleh penyakit alergi yang kronik.
ditujukan lagi terhadap pemeriksaan hidung dan kerongkongan, baik dari luar maupun dari dalam rongga hidung.
Dada Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, baik terhadap organ paru maupun jantung. Pada waktu
Kulit
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi,
Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti ekskoriasi, bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatanJipatan kulit daerah fleksor. Kelainan ini mungkin tidak dikeluhkan pasien, karena dianggap tidak
penggunaan otot bantu pemapasan dan mengi, sedangkan dalam keadaan normal mungkin tidak ditemukan kelainan.
mengganggu ataupun tidak ada hubungan dengan penyakitnya. Lihat pula apakah terdapat lesi urtikaria, angioedema, dermatitis, dan likenifftasi.
Mata
Pemeriksaan Lain Jangan lupa memeriksa tekanan darahtya, karena tekanan sistolik yang rendah (90- 1 I 0 mmHg) sering dijump aipada
penyakit alergi. Pada pengguna kortikosteroid perlu dinilai striae, obesitas, miopati, hipertensi, dan efek samping kortikosteroid lainnya.
Diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan
dengan penyakit atopi, dan kadangkaladisebabkan
PEM ERIKSAAN LABORATORIUM
pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama.
Pada rinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners,yait:,t daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak
Pemeriksaan laboratorium hanya memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, jadi tidak untuk menetapkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan labora.torium juga dipakai
379
PROSEDUR DIAGNOSTIK PENYAKIT ALERGI
untuk pemantauan paSien, misalnya untuk menilai timbulnya penlulit penyakit dan hasil pengobatan.
Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel jumlah leukosit normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofrlia sering dijumpai tetapi tidak spesifik, sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik dengan alergi. Pada penyakit alergi, eosinofrlia berkisar antara 5-l5o/o beberapa hari setelah pajanan alergen, tetapi pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid dapat timbul
Pada penyakit alergi
eosinopenia. Eosinofilia merupakan petanda hipersensitivitas dan beratnya hipersensitivitas tersebut. Selain itu harus dipikirkan penyakit lain, misalnya infeksi parasit, keganasan, imunodefisiensi, akibat radioterapi, penyakit jantung bawaan, dan lain-lain. Sel eosinofil normal, untuk dewasa 0-450 seVmm3.
Sel Eosinofil pada Sekret Konjungtiva, Hidung dan Sputum Semasa periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada infeksi, sel neutrofil yang lebih dominan.
TES KULIT Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup sederhana dan terbukti mempunyai korelasi yang baik dengan kadar lgE spesifik atau dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen-alergen lain yang dicurigai rnerupakan penyebab keluhan pasien dan terhadap alergen-alergen yang ada pada lingkungan pasien. Di bidang alergi, cara-carates kulit yang dilakukan adalahprick test. scratch test, friction test, patch test dan intradermal test. Di antara berbagai tes ini yang lebih
disukai adalah cara prick test, karena mudah
melakukannya, murah, spesifik dan aman. Menurut laporan yang ada di Indonesia, prick test ini hampir tidak pemah menimbulkan efek samping . Patch testbiasanya dilakukan
pada pasien dermatitis kontak. Selanjutnya yang dibicarakan adalah tesprick (tes tusuk) dantespatch (tes tempel).
Tes Tusuk (Prick Testl
Serum lgE Total
Mula-mula kulit bagian volar dari lengan bawah
Meningkatnya serum lgE total menyokong adanya penyakit alergi, tetapi sayang hanya didapatkan pada sekitar 60-80%
dibersihkan dengan alkohol, biarkan hingga kering. Tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris dengan jarak 2-3 cmdiatas kulit tersebut. Teteskan setetes alergenpadd
pasien. Sebaliknya peningkatan kadar 1g E total ini juga dijumpai pada penyakit lain misalnya infeksi parasit, sirosis hati, monokleosis, penyakit autoimun, limfoma, HIV dan lainlain. Oleh karena itu pemeriksaan serum lg E total saat ini mulai ditinggalkan, kecuali pada: a) Rarnalan alergi pada anak yang orang tuanya menderita penyakit alergi, b) Ramalan alergi pada anak dengan bronkiolitis, c) Membedakan asma dan rinitis alergik dengan non alergik, d). Membedakan dermatitis atopik dengan dermatitis lainnya, e). Diagnosis dan
tempat yang disediakan, }uga kontrol positif (larutan histamin fosfat
0.
1%) dan kontrol negatif (larutan phospate-
buffered saline dengan fenol 0.4Yo). Dengan jarum disposibel ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal melalui masing-masing ekstrak yang telah diteteskan. Jarum yang digunakan harus baru pada tiap-tiap tusukan pada masing-
masing tetesan untuk menjaga supaya alergen jangan tercampur. Tusukan dljaga jangan sampai menimbulkan
pengelolaan selanjutnya aspergilosis bronkopulmoner
perdarahan.
alergik.
Pembacaan dilakukan setelah l5-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan eritema yang timbul, juga pseudopoda yang terjadi. Hasil yang negatif, didapatkan bila hasil tes sama dengan kontrol negatif. Hasil tes positif dinilai berdasarkan bentol atau eritema dengan penilaian sebagai berikut: Hasil negatif : sama dengan kontrol negatif
lg E Spesifik Dilakukan untuk mengukur lgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atatELISA(Enzym Linked Immuno Sorbent Assay). Keuntungan pemeriksaan lg E spesifik dibandingkan tes
kulit
adalah risiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, alergen lebih stabil. Sedangkan kerugiannya adalah mahal, hasil tidak segera dapat dibaca, kurang sensitifdibanding
tes kulit. Untuk alergi makanan, pemeriksaan ini kurang
mendukung, bahkan
jika dibandingkan tes kulit.
Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan jika tes kulit tidak dapat dilakukan, misalnya pada penyakit kulit yang luas, pasien tidak dapat menghentikan pengobatan, atau pada kasus alergi berat.
Hasil+l -Hasil +2 Hasil+3 Hasil+4
zs%darikontrolpositif 50% dari kontrol Positif 100% darikonholPositif
2}}%daikontrolPositif
Harus diingat sebelum melakukan tes kulit, pasien diminta menghentikan konsumsi beberapa obat. Sebagian besar antihistamin generasi pertama harus dihindari mini mal 72jam sebelum tes, sedangakan untuk antihistamin generasi kedua harus dihentikan minimal satu minggu sebelumnya. Pemakaian kortikosteroid sistemik jangka
380
ALERGIIMUNOI.OGI
singkat dosis rendah (< 20 mg prednison) dihentikan 3 hari, dosis tinggi harus dihentikan I minggu. Sedangkan pemakaian kortikosteroid jangka lama perlu dihentikan minimal 3 minggu sebelum dapat dilakukan tes. Untuk kortikosteroid topikal cukup dihentikan I hari menjelang tes. Obat lain yangjuga harus dihindari adalah antidepresan trisiklik (1-2 minggu sebelum tes) dan beta adrenergik (1 hari sebelumnya). Teofilin, obat-obat simpatomimetik, dan sodium kromoglikat karena tidak menghalangi reaksi tes kulit, tidak perlu dilarang.
TesTempel (Patch Test) Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab dermatitis alergi kontak. Jika kulit menunjukkan reaksi, mungkin
pada penempelan bahan
pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun bahan atau benda lain yang mengandung unsur tersebut. Bahan dan konsentrasi yang sering digunakan pada tes tempel adalah benzokain 5o%, merkapto benzotiazol loh, kolofoni 20%, p. fenilendiamin l%o, imidazolidinll w ea 2o/o, sinamik aldehid l%, lanolin alkohol 3\Yo,karbamiks 3%,
neomisin sulfat 20oh, tiuran miks l%, etilendiamin dihidroklorid I 02, epoksi resin I o%, quatemim 15,2%o, p.tert butifenol formaldehid resin 1o%, merkapto mix lo/o, black rubber mix0,60Z, potasium d1kronat0,25o/o, balsam ofPeru 25olo, nikel sulfat 2,5%o. Cara melakukan tes tempel yaitu bahan-bahan yang akan dites ditaruh pada kertas saring, yang diletakkan di atas lembaran impermeabel. Kemudian ditempelkan pada
kulit
dengan plester. Tempat pemasangan bisa di
Tes Provokasi Nasal Pada tes ini alergen diberikan pada mukosa hidung baik dengan disemprotkan atau mengisap alergen yang kering melalui satu lubang hidung sedang lubang hidung yang lain ditutup. Tes dianggap positifbila dalambeberapa menit timbul bersin-bersin, pilek, hidung tersumbat, batuk, atau pada kasus yang berat menjadi gejala sama. Pada pemeriksaan mukosa hidung, tampak bengkak sehingga menyumbat rongga hidung.
Tes Provokasi Bronkial Pasien asma umumnya mempunyai kepekaal yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan, baik bersifat alergen maupun non alergen (kegiatan jasmani, bahanbahan kimia, perubahan cuaca dan lain-lain). Untuk melakukan tes provokasi diperlukarin alat-alat yang cukup
rumit, tenaga yang berpengalaman dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyulit (obstruksi laring, trakea atau bronkus) dapat diatasi segera. Banyak cara untuk menimbulkan serangan asma, tetapi
yang paling sering dipahai adalah tes kegiatan jasmani (exercise induced-asthma), tes inhalasi antigen, tes inhalasi metakolin dan tes inhalasi histamin.
a.
menimbulkan serangan asma. Sutopo dan kawan-kawan (1984) melaporkan 42%o pasien asma memberikan tes
b.
punggung. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam. Sesudah plester
dilepas kemudian pasien diminta menunggu selama /z-l jam, dengan maksud menghilangkan adanya faktor tekanan pada kulit. Sebaiknya pembacaan diulangi 96 jam sesudah pemasangan tes karena reaksi alergi muncul lebih jelas sesudah 96 jam. 0 1+
2+ 3+
tidak ada reaksi eritema ringan, meragukan reaksi ringan (eritema dengan edema ringan) reaksi kuat (papular eritema dengan edema) reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)
Tes kegiatan jasmani. Kegiatan jasmani dapat
c.
kegiatan j asmani positif. Tes inhalasi antigen. Pada tes ini diperlukan alatyang dapat menyemprotkan larutan yang mengandung anti-
gen dalam jumlah yarrg tetap pada setiap semprotan (dosimeter) dan besar partikelnya harus sangat kecil antara 1-3 rnikron. Tes inhalasi histamin dan metakolin. Tes inhalasi
histamin dan metakolin banyak dipakai untuk menentukan reaktivitas saluran napas., bahkan dianjurkan sebagai salah satu kriteria diagnosis asma. karena lebih 90% pasien memberikan reaksi yang kuat terhadap tes ini.
PEM ERIKSAAN.PEM ERIKSAAN LA!N
l. Spirometri, untuk menentukan obstruksi TES PROVOKASI Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan
alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukanjika terdapat kesulitan di-
agnosis dan ketidakcocokan artara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi yang dapat dilakukan
adalah tes provokasi nasal, tes provokasi bronkial, tes
provokasi konjungtival, tes eliminasi dan provokasi terhadap makanan.
saluran napas
baik beratnya maupun reversibilitasnya, serta unfuk menilai hasil pengobatan asma (monitoring). Foto dada, untuk melihat komplikasi asma dan foto sinus paranasal untuk melihat komplikasi rinitis. Bila ada kecurigaan rinitis akut maupun kronik maka diperlukan pemeriksaan scanning sinus. Pemeriksaan tinja, untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikaria yang tidak bisa diterangkan, dan lain-lain. Laju endap darah normal pada penyakit atopi. Kalau
381
PROSEDUR DAGNOSTIK PEITYAKTT ALERGI
laju endap darah meninggi kemturgkinan disertai infeksi. Tes penglepasan histamin dari basofil
5. 6. Anti-tripsin alfa 1. 7. IgGIgA, tes kompleks
imun dan stimulasi limfosit.
Hamilton RG. Clinical laboratory assessment of IgE-dependent hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2003 ; I I I : 5687-701. Hamilton R. Laboratory tests for allergic and immunodehciency diseases. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner
BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6h edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc;2003.p.611-32.
REFERENSI Boguniewicz M, Beltrani VS. Atopic dermatitis and contact dermatitis. In: Adelman DC, Casale TB, Corren J, editors. Manual
of allergy and clinical immunology.
4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.165-86. Demoly P, Piette V, Bousquet J. In vivo methods for the study of allergy: skin tests, techniques and interpretation. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6th edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc;
200) .p.632-43 . Durham SR, Church MK. Principles of allergy diagnosis. In: Holgate ST, Church MK, Lichtenstein LM, editors. Allergy. 2"d edition. London: Mosby Int, Ltd; 2001. p. 3-16. Fish JE. Peters SP. Bronchial provocation testing. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse W-W, Boschner BS, Hoigate Sl Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6'h edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003. p.657-67.
Lachapelle JM, Maibach HI. Patch testing prick testing: a practical guide. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag; 2003. Li JT. Allergy testing. Am Fam Physician. 2002;66:621-4,6. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6'h
edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc;2003.p.644-56. Ring J. Allergy diagnosis. In: Ring J, editor. Allergy in practice. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag; 2005. p. 60-73. Sanico AM, Bochner BS, Saini SS. Immediate hypersensitivity: approach to diagnosis. In: Adelman DC, Casale TB, Corren J, editors. Manual of allergy and clinical immunology. 4s ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.24-43. Yungioger JW, Ahlstedt S, Eggleston PA, Hornburger HA, Nelson HS, Ownby DR, et al. Quantitative IgE antibody assays in allergic diseases. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:1077-84.
5e ALERGI MAKANAN Iris Rengganis, Evy Yunihastuti
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Walaupun kejadian alergi makanan lebih
PATOFISIOLOGI
sering ditemui pada anak-anak, penelitian terbaru
Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan
melaporkan 1,4-6yo populasi dewasa juga pernah
reaksi yang memang sudah terjadi saat kanak-kanak atau reaksi yang memang baru terjadi pada usia dewasa.
mengalami alergi makanan. Prevalensi pada perempuan dewasa juga dilaporkan lebih banyak daripada laki-laki dewasa. Sebagian besar alergi makanan tersebut sudah muncul pada masa kanak-kanak, kemudian menghilang setelah usia 3 tahun. Alergi makanan yang baru muncul pada usia dewasa jarang terjadi. Tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat
Diperantarai lgE Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke dalam
sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respons imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respons yang ditekan secdra selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi berlebihan antibodi IgE yang spesifik terhadap
disebut sebagai alergi makanan. Klasifikasi yang dikeluarkan E AACI (European Association of Allerg,' and
Clinical Immunologt)membagi reaksi makanan yang tidak
diinginkan menjadi reaksi toksik dan reaksi non-toksik.
epitop yang terdapat pada alergen makanan. Antibodi
Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam makanan, misalnya jamur, susu atau daging terkontaminasi atau sisa pestisida dalam makanan. Reaksi non-toksik dapat
tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil danselmast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit. Ketika protein makanan melewati sawar mukosa, terikat danbereaksi silang dengan antibodi tersebut, akanmemicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Kemudian sel mast akanmelepaskan berbagai mediator (histamin, pros-
berupa reaksi imunologis dan reaksi non-imunologis
(intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat pada makanan tersebut (seperti histamin yang terdapat pada ikan yang diawetkaQ,
taglandin, dan leukotrien) yang akan menyebabkan
farmakologi makanan (seperti tiramin pada keju), atau akibat kelainan pada orang tersebut (seperti defisiensi laktosa), atau idiosinkrasi. Sedangkan alergi makanan adalah respons abnormal terhadap makanan yang
vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, 'dan
influks sel inflamasi lain sebagai bagian reaksi
bukan alergi makanan.
hipersensivititas cepat. SeI mast yang teraktivasi tersebut juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat. Selama 4-8 jampertama, neutrofil dan eosinofil akan dikeluarkan ke tempat reaksi
Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria, angioedema, dermatitis atopik), saluran napas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah,
alergi. Neutrofil dan eosinofil yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti platelet activating faclor, peroksidase, eosinophil major basic protein dan eosinophil cationic protein. Sedangkanpada
diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik).
24-48 jamberikutnya, limfosit dan monosit menginfiltrasi lokasi tersebut dan memicu reaksi inflamasi kronik. Belakangan ini alergi makanan pada orang dewasa
diperantarai reaksi imunologis. Sebenarnya sebagian besar keluhan akibat makanan termasuk intoleransi makanan,
Pada perempuan dapat juga menyebabkan kontraksi uterus.
382
383
ALERGIMAKANAN
seringkali dihubungkan dengan sensitisasi alergen lain
Makanan Sehari-hari
sebelumnya (terutama inhalan) yang berhubungan dengan
Susu sapi. Tidak hanya susu sapi yang ditemukan dalam
jenis alergi lainnya. Manifestasinya seringkali disebut menggunakan istilah sindrom, seperti sindrom alergi oral, dan sindrom polen-alergi makanan. Diduga terjadi reaksi silang IgE antar beberapa alergen makanan dengan alergen lainnya.
Tidak Diperantarai lgE Patogenesis reaksi alergi makanan yang tidak diperantarai
IgE belumlah diketahui dengan jelas.
Reaksi
hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik), tipe III (reaksi kompleks imun), dan tipe IV (reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T) pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang mengalami alergi makanan, walaupun belum cukup bukti untnk membuktikan p erannya padaalergi makanan'
PENYEBAB ALERGI MAKANAN
.
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Sifat frsikokimia yang berperan dalam alergenisitas masih belum banyak diketahui. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Beberapa makanan seperti susu sapi, telur, dan kacang mengandung beberapa protein alergen sekaligus. Namun demikian, tidak semua protein dalam makanan tersebut mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi makanan pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab tersering alergi makanan pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagianbesar
alergi makanan akan menghilang setelah pasien menghindari makanan tersebut dan kemudian melakukan cara eliminasi makanan, kecuali alergi terhadap kacangkacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama' Sebab-sebab alergi makanan terlihat dalam Tabel 1.
Golongan Makanan sehai-hai Legume Tree nuts
Biji-bijian crustacea kerang-kerangan Sayuran Buah-buahan Sereal Protein bukan makanan
Contoh Susu sapi, telur Kacang tanah, kedelai Almond, kacang Brazil, kacang mede, kemiri,kenari, filbert, pine nuts, pistachio Biji bunga matahari, oPium, wljen, biji kapas lobster, kepiting, udang, dan udang karang. Remis, tiram, keongisiPut, gurita, cumi-cumi Seledri, wortel, tomat, kentang Apel, peach, pir, aPrikot, melon, semangka, pisang, alPukat, kiwi Gandum, gandum hilam, BarleY Polen (serbuk sari tumbuhan)
makanan bayi. Susu sapi sedikitnya merupakan 20%o komponen yang dapat menimbulkan produksi antibodi. Fraksi protein susu utama adalah kasein (76oh) datwhey. Whey mengandung beta-laktoglobulin, alfa-laktalbumin,
imunoglobulin sapi dan albumin serum sapi. Alergi dilaporkan dapat terjadi terhadap semua komponen tersebut. Ditemukan reaksi silang antara susu sapi dengan susu domba, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pengganti pada anak dengan alergi susu sapi. Manifestasi alergi susu sapi pada orang dewasa lebih berupa gangguan saluran napas dan kulit, namun menetap lebih lama daripada
alergi susu sapi pada anak. Telur. Telur ayam sering merupakan sebab alergi makanan pada anak, Putih telur lebih alergenik dibanding dengan kuning telur dan reaksi terhadap kuning telur dapat disebabkan oleh karena kontaminasi protein. Alergen utama putih telur adalah ovalbumin. Hanya sedikit reaksi silang dengan daging ayam sehinga pasien alergi telur terbanyak dapat mengkonsumsi daging ayam. Pada orang dewasa alergi telur unggas seringkali didahului dengan alergi terhadap bulu unggasnya. Beberapa pekerja'pabrik pengolahan telur yang terpajan protein telur melalui inhalasi juga mengalami alergi ketika memakan telur yang disebut
""gg-"gg syndrome". Daging. Walaupun daging merupakan sumber protein utama, alergi terhadap protein daging sapi hampir tidak pemah dilaporkan. Reaksi alergi akibat daging yang pemah dilaporkan antara lain alergi terhadap daging ayam,kalkun, dan babi.
Legume. Legume Ierutamakacang tanah merupakan sebab utama alergi makanan. Berbagai jenis Legume memiliki beberapa antigen yang sama, tetapi tidak menunjukkan reaksi silang yang relevan. Pasien dengan alergi kacang tanah dapat makan legume jenislain.
Kacang tanah. Kacang mungkin merupakan makanan alergenik paling berbahaya. Reaksi dapat berupa anafilaksis. Tiga jenis protein telah diidentifikasi sebagai alergen utama; Ara h l, Ara M dan Ara h3. Minyak kacang tanah yang dimurnikan adalah aman untuk orang yang alergi kacang tanah.
Kedelai. Kedelai sering menimbulkan reaksi alergi. Kedelai banyak digunakan sebagai sumber protein yang murah. Telah diidentifrkasi jenis alergen, dan tidak ada yart'g predominan. Minyak kedelai yang dimurnikan meskipun aman, tetap harus diwasPadai. Tree Nuts.Tree nuts merupakem golongan alergenmakanan utama pada orang dewasa. Seperti halnya dengan kacang tanah, almond,kacatgBrazil, kacang mede, kemiri,kenari,
filbert, pine nuts, dan pistachio telah dilaporkan dapat menimbulkan anafi laksis.
384
ALERGIIMI..|NOI.OGI
Biji-bijian. opium,
biji
Beberapa biji-bijian seperti biji brurga matahari,
kapas, dan wijen sudah dilaporkan sebagai
penyebab alergi makanan, terutama anafilaksis.
Ikan. Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utamadalam codfishadalahGad cl telah diisolasi dari fraksi miogen. Spesies ikan biasa memiliki alergen yang analog dengan Gad cl yang juga menunjukkan reaksi silang
dengan Gad 1c codfish. Antigen rentan terhadap
dengan sifat alergen yang kurang telah dikembangkan dengan rekayasa genetik. Pada orang dewasa terutama yang bekerja di tempat pembuatan roti ada risiko terjadinya sensitisasi yang menimbulkan rinitis dan asma akibat inhalasi debu tepung. Namun pasien tersebut dapat mengkonsumsi produk gandum. Protein bukan makanan. Polen dilaporkan dapatbereaksi silang dengan makanan. Reaksi tersebut terjadi dalam dua arah; pasien alergi terhadap hazelnut bereaksi dengan
manipulasi dan penyimpanan, tetapi tidak untuk dalam kaleng. Antigen tersebut mudah disebarkan ke udara dan dapat memicu reaksi alergi saluran napas akibat bau ikan yang dimasak. Alergi ikan juga dapat disebabkan kontak langsung dengan kulit berupa dermatitis kontak. Apakah seseorang yang alergi terhadap satu jenis ikan juga harus pantang jenis ikan lainnya, masih merupakan kontroversi.
menimbulkan reaksi bila makan hazelnut. Reaksi silang terjadi antara polen birch dengan apel, kentang mentah, wortel, sledri dan hazelnut; antara polen mugworl (semak) dengan sledri, apel, kacang tanah dan kiwi; antara ragweed dengan melon; antara lateks dan pisang. alpukat,
Crustacea dan molluscum. Golongan kerang-kerangan
kiw| ches tnut dan pepaya.
merupakan alergen utama yang mengenai sekitar 250.000 orang dewasa di Amerika. Dalam golongan Crustacea termasuk lobster, kepiting, udang, dan udan gkarang. Dalam golongan kerang-kerangan termasuk remis, tiram, keong/ siput, gurita, cumi-cumi. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a 1 (tropomiosin). Tropomiosinjuga dapat menyebabkan reaksi silang antara crustacea, molluscum, dan beberapa artropoda
Sayuran. Alergi terhadap sayuran yang sering dilaporkan pada usia dewasa adalah terhadap seledri dan wortel. Alergi terhadap kedua sayuran ini dapat bereaksi silang dengan polen. Sedangkan alergi terhadap jenis sayuran lain sangat jarang dilaporkan, demikian juga dengan bawang. Patatin, sejenis alergen yang ditemukan pada tomat dan kentang juga dilaporkan menyebabkan berbagai reaksi alergi, termasukreaksi silang dengan alergen lateks.
Buah-buahan. Apel merupakan penyebab alergi buahbuahan yang paling sering terjadi dengan manifestasi utama berupa sindrom alergi oral, diikuti reaksi anafilaksis dan edema laring, lalu manifestasi saluran napas dan cerna lainnya. Sedangkan alergi peach 86% manifestasinya berupa sindrom alergi oral, diikuti dengan urtikaria kontak, lalu reaksi sistemik. Sebagian besar pasien alergi peach juga mengalami alergi terhadap polen. Alergi melon dilaporkan menunjukkan reaksi silang dengan semangka, pisang, kiwi, dan alpukat.
Sereal. Reaksi alergi terhadap sereal sering ditemukan terutama pada anak. Fraksi globulin dan fraksi glutenin diduga merupakan alergen utama yang menimbulkan reaksi IgE, sedang gliadin merupakan sebab penyakit celiac. Ada reaksi silang antara gandum, rye danbarley. Tes kulitpositif sering ditemukan pada anak, namun arti klinisnya harus
polen birch dan pasien alergi terhadap polen birch
GAMBARAN KLINIS Dari segi klinis dan penanganan perlu dibedakan reaksi yang terjadi diperantarailgE dan yang tidak diperantarai IgE.
Reaksi Hipersensitivitas Diperantarai lgE Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan memrnjukkan manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran napas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh penglepasan histamin, leukotrin, prostaglandin dan sitokin. Awitan respons alergi terjadi dalam 30 menit setelah mengkonsumsi makanan. Ada hubungan tidak erat ant ara derajat alergi dan cepatnya awitan. Pasien yang sangat alergi dapat menimbulkan reaksi dalam menit atau bahkan detik setelah konsumsi. Ciri kedua reaksi alergi
nampaknya tidak tergantung dosis. Reaksi berat yang terjadi oleh dosis kecil sama dengan yang ditimbulkan dosis besar. Anafrlaksis dapat terjadi hanya melalui kontak kacang tanah dengan bibir atau setelah makan kacang tanah dalam jumlah besar. Ciri reaksi alergi lainnya ialah terjadinya reaksi berat di berbagai tempat dan organ.
Mengapa alergen yang dimakan menimbulkan efek luas? Respons dapat berupa urtikaria, ditentukan oleh distribusi random IgE pada sel mast di seluruh tubuh. Makanan sebagian dicerna. Dalam usus kecil terjadi absorbsi direk peptida di plak Peyer. Plak Peyer dilapisi sel berdinding tipis, disebut sel M yang memudahkan peptida masuk langsung ke dalam plak Peyer. Begitu sampai di senter germinal plak Peyer, antigen diikat sel dendritik dan sel Langerhans. Sel-sel tersebut bermigrasi melalui saluran limfe dan menyebarkan informasi mengenai antigen dan dapat menimbulkan reaksi difus.
diintrepretasi dalam hubungan dengan sereal yang
Reaksi Hipersensitivitas Non-lgE
dikonsumsi. Berbagai variasi jenis padi dan sereal lain
Reaksi hipersensitivitas non-IgE akibat makanan umumnya
38s
ALER,GIMAKANAN
bermanifestasi sebagai ganggguan saluran cerna dengan
alergi makananpada target organ tersebut dapat dilihat
berbagai variasi, mulai dari mual, muntah, diare, steatorea,
pada Tabel 3.
nyeri abdomen, berat badan menurun. Pada beberapa kasus dapat ditemukan darah dalam pemeriksaan fesesnya.
Berlawanan dengan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai IgE, beratnya reaksi yang terjadi bergantung pada jumlah alergen yang dikonsumsi dan awitannya
sangat bervariasi, mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam kemudian.
Organtarget HipersentitivitaslgE Kulit
Urtikaria dan angioedema Dermatitis atopik
Dermatitis atopik Dermatitis herpetiformis
Saluran cerna
Sindrom alergi oral Anafilaksis gastrointestinal Gastroenteritis eosinofi lik
Proktokolitis Enterokolitis Gastroenteritis eosinofilik alergi Sindrom enteropati Penyakit celiac
Beberapa kasus reaksi hipersensitivitas non-IgE mekanismenya diatur IgG, misalnya hipersensitivitas terhadap gliadin, protein utama gandum yang terjadi pada sariawan. Pasien menunjukkan tanda malabsorbsi dan steatorea akibat reaksi antara IgG terhadap gliadin dan gandum. Reaksi terjadi di permukaan mukosa, meratakan vilus mikro dan malabsorbsi.
Pada umumnya pasien dengan hipersensitivitas menunjukkan reaksi berlebihan terhadap makanan atau
Hipersentitivitas non-lgE
alergi
Saluran napas
Asma Rinitis alergi
multisistem
Food-induced anaphylaxis Food-associated, exercise-induced Anaphylaxis
aditif. Sebagai contoh reaksi terhadap kafein, yang menimbulkan kesulitan tidur setelah pasien mengkonsumsi kopi dalam jumlah sedikit. Banyak bahan kimia yang dapat
Sindrom Heiner (pada anak)
menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang dapat dikaburkan dengan reaksi alergi melalui IgE. Jenis reaksi hipersensitivitas terlihat pada Tabel 2.
DIAGNOSIS
Mekanisme Kategori lntoleransi
Kimiawi
Gula Alkohol Kafein
LaKosa, sukrosa, manosa Bir, anggur, alkohol lain Kopi, soft drink
Sodium Metabisulfit
Salad anggur Buah dikeringkan makanan cina
Monosodium glutamat Nitrit Nitrat Histamin Feniletilamin Serotonin Teobromin Triptamin Tiramin Reaksi silang
Zatwatna azo
Pengawet Daging, ikan lkan Coklat Pisang, tomat Coklat, teh Tomal, plum Keju tua, anggur merah Beberapa acar
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti merupakan hal terpenting dalam alergi makanan. Kebanyakan reaksi cepat oleh makanan terjadi dalam beberapa menit, tetapi dapat te{adi sampai 30 menit. Formulasikan makanan yang
diduga sebagai penyebab, dan singkirkan sebab-sebab lainnya. Gambaran umum dalam pendekatan terhadap diagnosis alergi makanandapat dilihat pada Tabel 4. Bila pada pasien yang diduga alergi terhadap makanan ditemukan tes kulit positif, yangpertamaharus dilakukan ialah mengeliminasi jenis makanan tersebut dari dietnya. Tes kulit tidak dilakukan pada pasien dengan reaksi akut
yang berat. Bila keadaan kronis (dermatitis atopi, asma)
danlatau banyak jenis makanan terlibat, mungkin diperlukan /o od challenge.
Tarlrazin
Manifestasi alergi makanan juga dapat berupa manifestasi lokal dan sistemik. Manifestasi lokal biasanya
karena kontak langsung dengan makanan. Pada kulit berupa urtikaria kontak, pada saluran napas berupa rinitis atau sama setelah inhalasi partikel makanan, dan pada saluran cema misalnya sindrom alergi oral. Manifestasi sistemik terjadi setelah menelan makanan. Faktor penentu terjadinya reaksi sistemik ataupun lokal adalah reaksi biokimia protein makanan tersebut, absorbsi dan proses dalam saluran cerrta, respons imun individu, dan hipereaktivitas target organ. Berbagai macam manifestasi
Riwayat Awitan Gambaran Reaksi dahulu Banyak makanan Faktor yang berhubungan Catatan harian makanan
Eliminasi diet Pemeriksaan Tes kulit lntradermal (tidak dianjurkan untuk makanan) RAST (radlo-al/e rgosorbent test)
Double blind placebo-controlled food challenge (gold
standard)
386
ALERGIIMUNOI.OGI
Oral Food Challenge Double blind placebo controlled food challenge
REFERENSI
dianggap sebagai gold standard untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Prosedur tersebut lama dan tetapi dapat dimodifikasi. Pasien pantang makanan terduga untuk sedikitnya 2 minggu, antihistamin dihentikan sesuai waktu paruhnya. Makanan diberikan dalam bentuk kapsul. Supervisi medis dan fasilitas gawat darurat termasuk epinefrin, antihistamin, steroid, inhalasi beta 2 agonis, dan peralatan resusitasi kardiopulmoner diperlukan untuk mencegah terjadinya reaksi berat. Selama diuji, pasien diawasi seringkali untukperubahan
Bruijnzeel-Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev-Jensen C, Bjorksten B, Moneret-Vautrin D, et al. Adverse reactions to
kulit, dan saluran cerna dan napas.
Tes tantangan dihentikan bila timbul reaksi dan terapi gawat darurat diberikan seperlunya. Pasien juga diawasi untuk reaksi
lambat. Hasil yang negatif dikonfirmasi jika setelah menelan makanan yang dicurigai dalamjumlah yang lebih besar,
tidak ada reaksi alergi yang terjadi. Oral challenge tidak
dilakukan bila pasien menunjukkan riwayat
hipersensitivitas yang jelas atau reaksi berat.
food. European Academy of Allergology and Clinical Immunology Subcommittee. A11ergy. 1 995;50: 623-35. Crespo JF, Rodriguez J. Food allergy in adulthood. Al1ergy. 2003;58:98-1 13.
Sampson HA. Food allergy-accuratety identifying clinical reactivity. Allergy. 2005;60(Supp1.79):19-24. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004;1 13:805-19. Sampson
Menghindari Makanan Sebenarnya terapi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab. Hal itu kadang sulit unhrk dilakukan. Konsultasi dengan ahli gizi dapat berguna.
Medikamentosa Pada reaksi alergi makanan ringan hanya diberikan antihistamin, dan jika perlu ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada serangan anafilaksis terapi utamany a adalah epinefrirVadrenalin.
Food allergy J Allergy Clin Immunol. 2003;111:5540-
HA, Sicherer SH, Bimbaum AH. AGA technical review on the evaluation of food allergy in gastrointestinal disorders. Gastroenterolo gy. 200 1 ;120 : 1 026 -40. Sampson HA. Adverse reactions to food. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6th edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003. p. 1619-44. Sampson HA. Food allergy. Part 1: immunopathogenesis and clinical disorders. J Allergy Clin Immunol. 1999;103:'/17-28. Sampson
HA. Food allergy. Part 2: diagnosis and management. Allergy Clin Immunol. 1999;103:981-9.
Sampson
TERAPI
IIA.
7.
J
Sicherer SH. Food allergy. Lancet. 2002;36O:701-10. Sicherer SH. Clinical implications of cross-reactive food allergens. J Allergy Clin Immunol. 2001;108:881-90.
Sicherer SH. Manifestations of food allergy: evaluation and management. Am Fam Phys. 1999:59:415-28. Wolf RL. Food allergy. Essential pediatric allergy, asthma, & immunology. New York: McGraw-Hil[; 2004. p. 9l-106.
60 ALERGI OBAT Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana
PENDAHULUAN
2.
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan
produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang
tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi
3.
tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasamya, tetapi kadang-kadang dapat membawa
maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafrlaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi adversi obat yang ringan. Karena pada umunnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.
4.
langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheime) Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.
Reaksi Adversi pada Orang-orang yang Sensitif
l.
Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh
efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala
INSIDENS
tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2. Idiosinkrasi
Insidens reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-l5Yo. Anga insidens di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10% dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar l-3%o telapi mungkin angka ini lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat.
adalah reaksi adversi yang tidak
berhubungan dengan efek farmakologis dan tidakjuga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik.
3.
Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi.
4. Pseudoalergi (reakgi
anafilaktoid) yaitu tejadinya
keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgB independent).Beberapa
obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin
KLASIFIKASI REAKSI ADVERSI
B'
D
tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-imunologis).
ReaksiAdversiyang Terjadi pada Orang Normal
1.
berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan. Contoh: depresi pernapasan karena obat sedatif. Efeksamping yaitu efek farmakologis suatu obatya\g tidak diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mqngantuk pada pemakaian antihistamin. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak
Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung
387
388
MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah ini digunakan klasifftasi Gell dan Coombs.
Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat) Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator
kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. I ). Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang taring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas, 2). Urtikaria,
3). Angioedema, 4). Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: a). Fase
sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE. b). Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifft. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.. c). Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat penglepasan mediator.
ALERGIIMUNOI.OGI
multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai pruritus.2). Demam. 3). Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Lain-Iain: . kejangperut, mual . neuritis optik . glomerulonefritis . sindrom lupus eritematosus sistemik
.
gejalavaskulitislain
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu I -5 hari.
Tipe
IV
IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun selular). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): l). Cutaneous B as ophil Hypers ens itivity. 2). Hipersensitivitas Reaksi tipe
kontak (Contact Dermatitis).3). Reaksi tuberkulin. 4). Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksiparu akut seperti demam, sesak, bahrk, infiltratparu, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi
ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis
interstisial,
ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa,penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejaladapatmuncul 18-24 jamsetelah obat
dioleskan.
Tipe ll Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi
oleh karena terbentuknya IglWIgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki
reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifl
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Tipe lll Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan te{adi bila kompleks ini mengendap padajaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah lgM dan IgG. Kompleks ini
akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. I ).
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa: Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema
DIAGNOSIS
Anamnesis Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang palingpenting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan
yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasamya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat. H4l-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : a). Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, danjuga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi; c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi
389
ALERGIOBAI
anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gej ala alergi obat baru timbul 7 - 1 0 hari setelah pemakaian pertama; d). Catat lama pemakaian serta riwayat pemakaian
obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral; e). Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu; f).
Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang
lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anahlaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test) \rfikmenilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).
Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; g). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotikjangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
Uji Kulit Uji kulit yang ada pada
saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
a.
Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga
bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali
Pemeriksaan Laboratorium Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berb agai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kaqus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mpngkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak
tipe
dapat dilakukan uji kulit ftarena seluruh kulit rusals, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi)'
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), litik dapat ditunjang dengan k, sedangkan trombo$itopenia
penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-ob at yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
b.
Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga uji yang tejadi adalah semu (false positive).
c.
positif
Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Karakteristik klinik
Tipe reaksi
asi komplemen atau reaksi aglutinasi. Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untukreaksi alergi tipe fV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan' Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada Tabel 1'
Uji laboratorium
Penggunaan obat
selanjutnya
Urtikaria, angioedema, mengi, hipotensi, nausea, muntah, nYeri abdomen, diare
Uji kulit, uji radioalergosorben
Desensitisasi
Anemia hemolitik, granulositopenia, trombositopenia Demam, urtikaria, arthralgia, limfadenopati 2-21 hari sesudah mulai teraPi
Darah perifer lengkaP (DPL)
lndikasi kontra
Kadar komplemen
lndikasi kontra
Uji tempel
Agaknya indikasi kontra
Morbiliform
Eritema, blister (kulit melePuh) Ruam makulo popular (dapat bergabung)
Mungkin uji tempel, uji kulit intradermal (reaksi lambat)
Pemakaian hati-hati
Eritema multiforme
Lesi sasaran tertentu
Tidak ada
lndikasi kontra
Steven-Johnson/TEN
Lesi sasaran, keterlibatan membran
Tidak ada
lndikasi kontra
Anafilaktoid
mukosa, deskuamasi kulit Utikaria, mengi, angioedema, hipotensi
Tidak ada
Pencegahan dengan prednison dan antihistamin untuk sensitivitas terhadaP
HSS/DRESS
Dermatitis, eksfoliativa, demam,
Gell dan Coombs Tipe
1
Gell dan Coombs Tipe 2 Gell dan Coombs Tipe 3 Gell dan Coombs Tipe 4
limfadenopati HSS : Hypersen sitivity syndrome; DRESS
DPL, enzim hati, kreatinin, urinalisis
Drug Rash with Eosinophilia and systemic symptom "
radiokontras lndikasi kontra
390
ALERGIIMUNOI.OGI
PENGOBATAN Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat
yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi
mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif obat tadi boleh diberikan namun tetap harus berhati-hati.
Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan
bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedw desensitisasi (Gambar 1).
Adakah obat alternatif yang efektif
dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus dirawat, karena selain
Obati dengan
obatalternatif
harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi
Uji kulit atau Iaboratorium (tersedia dan dapat dipercaya)
adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. perawatan
kulit juga memerlukan waktu berhari-hari
sampai
berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
Uji provokasi
Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab anafilaksis. pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid
Desensitisasi ata u
pikirkan kem bali
dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya)
alternatrf yang lain
sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison tersebut difurunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
PENCEGAHAN Cara yang efektif untuk mence gah atal mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektifyang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin, temyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas. Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan sulfonilurea. Pada pasien dengan
riwayat alergi obat, atau dicurigai
alergi obat sedangkan obat atau tindakan altematif tidak
Gambar 1. Skema pencegahan reaksi alergi obat
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk melakukannya, antara lain: l). Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain; 2). Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung ruginya; 3). Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk menanggulangi keadaan darurat; 4). Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman; 5). Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan rute pemberian yang akan diberikan; 6). Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan bila terjadi keadaan darurat; 7). Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan sensitisasi.
Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai.
Meskipun uji provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi
sebenarnya pada
uji provokasi tidak selalu tejadi
391
ALERGIOBIIT
desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Contoh uji provokasi dengan anestesi lokal pada Tabel 2.
Urutan No.
Rute
1.
uji tusuk uji tusuk
2. 3 4. 5. 6.
intrakutan intrakutan subkutan subkutan
Dosis 1 : 100 (pengenceran) tidak diencerkan 0,02 ml larutan 1 : 100 0,02 ml tidak diencerkan 0, 1 ml tidak diencerkan 1 ml tidak diencerkan
Catatan : Larutan obat tidak mengandung epinefrin Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.
-
Frekuensi alergi obat temyata tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non atopi, tetapi pasien yang
mempunyai iwayat penyakit alergi tipe I (atopi) seperti asma alergik, rinitis alergik, atau eksim, lebihbesar 3 sampai 10
kali kemungkinannya unflrk mendapat reaksi anafilaksis. Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral,
karena selain jarang menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas mempunyai riwayatalergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik. Pemberian obat topikal seperti antibiotik, anesujii lokal dan antihistamin paling besar kemungkinannya menimbulkan sensitisasi, sehingga pemberian obat secara topikal harus dihindari. Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik, sebelum menyrntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien
diminta menunggu paling tidak 20 menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas kesehatan yang membantu dokter, pasien juga sebaiknya
diberitahu mengenai tanda-tanda dini reaksi anafilaktik, sehingga bila terjadi reaksi, mereka dapat segera memberitahukan kepada kita.
Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi amat terbatas. Pada umumnya pemberian antihistamin dan steroid untuk pencegahan reaksi alergi tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi alergi yang disebabkan oleh radioaktivitas.
Pasien perlu diberikan penyuluhan. Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran
dengan obat yang lain. Metampiron, misalnya, banyak terdapat pada berbagai obat baik sebagai obat analgesik maupun sebagai antipiretik atau campuran analgetik spasmolitik. Bila berobat ke dokter, pasien hendaknya
memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi aletgi, agar dokter dapat membuat catalan khusus di kartu berobat pasien.
REFERENSI Adkinson NF, Jr. Drug allergy. In: Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons FER, editors. Middleton's allergy principles and practice. 6n edition. Philadelphia: Mosby; 2003. p.1679-94. Anderson JA. Allergic reactions to drugs and biological agents. JAMA.
1992; 268:2845-57. De Swarte RD, Patterson R. Drug allergy. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic diseases, diagnosis and management. 5th edition. Philadelphia: JB Lippincott; i997.
p.317-4t2. De Swarte RD. Drug allergy, problem and strategies. J Allergy Clin Immunol. 1984;.7 4:209-27. Gruchalla RS. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:554859. Incaudo G, Schatz M, Patterson R, et al. Administration of local anesthetic to patient with a history of prior adverse reaction. J Allergy Clin Immunol. 1978;67:339- 45. Jost BC. Drug allergy and desensitization. In: Jost BC, Abdel-Hamid KM, Friedman E, Jani AL, editors. Allergy, asthma and immunology subspecialty consult. Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p.89-101. Me11on MH, Schatz M, Pattemon R. Drug allergy. In: Lawlor GJ, Fischer T J, Adelman DC, editors. Manual of allergy and immunology. 3th edition. Boston: Little Brown and Company; 1995.
p.262-89. Pichler WJ. Immune mecharism of drug hypersensitivity. Immunol
Allergy Clin North Am, 2004;24:373-91 . Solensky R, Mendelson LM. Drug allergy. In: Leung DYM, Sampson IIA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric allergy principle and practice. St Louis: Mosby; 2003. p.611-32. Volcheck. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am. 2004;24:357-71.
61 RINOSINUSITIS ALERGI Heru Sundaru, Enruanto BudiWinulyo
PENDAHULUAN
hidung dan sinus seperti rasa tertekan dan otalgia, serta
Istilah rinosinusitis saat ini lebih sering dipakai
32 pasien menunjukkan perubahan gambaran radiologis sinus. Disimpulkan pajanan alergen menyebabkan edema
atau obstruksi rongga hidung, penurunan bersihan mukosilier sinus paranasal dan peningkatan produksi
dibandingkan dengan sinusitis karena baik rinitis alergik maupun non alergik hampir selalu mendahului terjadinya sinusitis, sedangkan sinusitis tanpa rinitis sangat j arang.
mukus. Savolainen melaporkan dari 224 pasien dengan
Demikian pula mukosa hidung dan sinus paranasal
sinusitis maksilaris akut, 102 (45%) memperlihatkan reaksi
merupakan kesatuan, gejala obstruksi maupun sekret
uji kulit positifterhadap alergen, dibanding hanya 34 dari
hidung yang merupakan gejala utama sinusitis juga
105 konhol (33%) sehingga disimpulkan kejadian sinusitis akut lebih sering terjadi pada pasien alergi dibanding non alergi. Newman dkk, jugamelaporkanbahwa pasien alergi
terdapat pada rinitis.
Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan l4o/o penduduknya menderita rinosinusitis dan merupakan salah satu penyakit kronis yang sering dilaporkan.
menunjukkan peningkatan risiko luasnya penyakit dibanding pasien non alergik ditinjau dari gambaran
Sebagian besar pasien dengan keluhan rinosinusitis akan datang berobat ke dokter umum, sebagian lagi ke ahli
Tomografi Komputer:TK ( CT Scan) sedangkan penelitian Berrettini dkk, menyimpulkan faktor alergi berperan dalam
telinga, hidung dan tenggorok, sisanya ke dokter lain
beratnya rinosinusitis. Penelitian Wright dkk, menunjukkan peranlL-4 dan IL5 pada rinosinusitis kronik. IL-4 dan IL-5 adalah sitokin yang dihasilkan Th2, IL-4 berkaitan dengan sensitisasi alergen sedangkan IL-5 berkaitan dengan gejala rinitis. Dari kasus yang diteliti, ternyata IL-4 ditemukan pada kasus rinosinusitis alergi sedangkan IL-5 pada rinosinusitis alergi maupun non alergi.
seperti dokter ahli penyakit dalam, anak atau alergi.
Rinosinusitis sangat menganggu penyandangnya, menurunkan kualitas hidup, produktivitas kerja dan pada anak meningkatkan absensi sekolah. Berbagai penyakit
sering menyertai atau sebagai komplikasi penyakit tersebut seperti asma, polip hidung, otitis media atau konjungtivitis alergik. Gejala batuk kronik, terutama malam hari atau setelah bangun tidur, harus diwaspadai sebagai salah satu gejala rinosinusitis. Dari berbagai penyebab rinosinusitis seperti infeksi, polusi, obat-obatan, tumor atau kelainan anatomis, faktor alergi cukup penting, karena rinosinusitis sering terjadi akibat komplikasi rinitis alergi.
DIAGNOSIS Diagnosis rinosinusitis dibuat berdasarkan adanya
iwayat
penyakit, pemeriksaan fisis, sitologi sekret hidung dan pemeriksaan radiologi. Gejala utama yang sering dijumpai adalah hidung buntu, sekret hidung purulen, 'post nasal drip', rasa sakit di muka dan pipi, pusing, hiposmia dan batuk. Selain keluhan-keluhan di atas, perlu ditanyakan adanya faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis seperti rinitis alergi, rinitis akibat kerja, rinitis vasomotor, polip hidung, rinitis medikamentosa dan defisiensi imun. Pada
PERANAN ALERGI Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan antara kejadian rinitis alergik dan sinusitis. Pelikan dan Pelikan
melaporkan provokasi alergen pada hidung 37 pasien rinosinusitis kronik, 29 pasien memrnjukkan respons gejala
392,
393
RINOSINUSMSALERGI
b). Demam pada sinusitis akut belum mendukung diagnosis rinosinusitis tanpa disertai gejala atautanda mayorlainnya.
pemeriksaan fisis ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah sinus, mukosa hidung kemerahan, sekret purulen, meningkatnya sekret farings posterior, edema periorbita dan di rongga hidung kadang-kadang ditemukan adanya deviasi septum, polip, benda asing atau tumor. Pemeriksaan radiologi diperlukan bila gej ala tidak jelas,
Untuk menyatakan diagnosis rinosinusitis kronik, pasien harus memrnjukkan 2 atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua faktor minor (Tabel 1).
hasil pemeriksaan fisis meragukan atau respons pengobatan tidak memuaskan. Pemeriksaan foto polos si-
nus paranasal dilaporkan tidak sensitif dan spesifik, sehingga dianjurkan pemeriksaan dengan TK untuk menilai rongga hidung serta sinus paranasal terutama obstruksi di kompleks ostiomeatal. Hal ini diperlukan pada tindakan operasi. Pemeriksaan foto polos sinus paranasal pada rinosinusitis akut sering dijumpai adanya perselubungan, batas cairan-udara, penebalan mukosa sinus >6 mm, atau berkurangnya volume udara sinus melebihi sepertiga. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) hanya dianjurkan bila rinosinusitis diduga disebabkan oleh j amur atau tumor. Berbagai pemeriksaan laboratorium juga diperlukan seperti sitologi sekret hidung, untuk menilai adanya rinitis alergi, rinitis non alergi disertai eosinofil (NARES) atau infeksi lain. Uji tusuk kulit dengan alergen untuk menilai peranan
Faktor mayor
-
Muka rasa nyeri/terteka.n (a) Rasa tersumbat atau penuh pada muka Hidung tersumbat Sekret hidung purulenlpost nasal drip Hiposmia/anosmia Sekret purulen di rongga hidung pada pemeriksaan Demam (hanya pada stadium akut) (b)
Faktor minor
-
Sakit kepala Demam (pada yang bukan akut) Halitosis Lesu Sakit gigi Batuk Telinga rasa sakiUtertekan/penuh
alergi. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan imunoglobulin IgA, IgM atau IgG bila dicurigai adanya imunodefisiensi kongenital. Demikian pula halnya bila dicurigai adanya imunodefisiensi didapat seperti AIDS pemeriksaan anti HIV serta CD4 perlu dilakukan. Pada
Gugus tugas untukrinosinusitis yang dibentuk olehAmeri-
umunmya diagnosis rinosinusitis berdasarkan gambaran klinis, seperti ditemukakan oleh Krouse pada Tabel 1. a). Muka rasa nyeri/tertekan saja, belum mendukung diagnosis rinosinusitis tanpa disertai gejala atalutanda mayorlainnya.
can Academy of Otolaryingology-Head and Neck Sur' gerjl (AAOHNS) dan kemudian juga disetujui oleh American College of Allergt and Immunologlt (ACAD sepakat bahwa pada orang dewasa rinosinusitis diklasifftasi dalam 5 jenis, seperti terlihat pada Ttbel 2.
Klasifikasi
Lama
KLASIFIKASI
Riwayat
1. Akut
< 4 minggu
> 2 faklor mayor, 1 faktor mayor dan 2 faktor minor atau sekret purulen pada pemeriksaan
Demam atau muka sakit saja tidak mendukung, tanpa adanya gejala atau tanda hidung yang lain. Pertimbangkan rinosinusitis akut bakteri, bila gejala memburuk setelah 5 hari, atau gejala menetap > 10 hari atau adanya gejala berlebihan daripada infeksi
2. Sub akut
4-12 minggu
Seperti kronik
Sembuh sempurna setelah pengobatan yang efektif
3. Akut, rekuren
> 4 episode dalam setahun,
4. Kronik
setiap episode berlangsung > 7-10 hari > 12 minggu
> 2 faktor mayor, 1 faktor mayor dan 2faktor minor atau sekret purulen pada pemeriksaan
Muka sakit tidak mendukung, tanpa disertai tanda atau gejala hidung yang lain
VITUS
5. Eksaserbasi akut pada kronik
Perburukan mendadak dari rinosinusitis kronik, dan kembali ke asal setelah pengobatan
394
PENGOBATAN
ALERGIIMI.'NOIIrcI
anak, pasien dengan rinosinusitis kronik memerlukan
evaluasi alergi, untuk pengendalian lingkungan atau Dalam pengobatan rinosinusitis, Krouse mengemukakan
imunoterapi. Evaluasi spesialistik diperlukan untuk menilai
konsep faktor dinamik dan adinamik. Alergi merupakan salah satu faktor dinamik yang penting di samping infeksi (bakteri, virus atau jamur), iritasi mukosa dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mukosa sepefti suhu, kelembaban dan
penyerta seperti asma, polip hidung, rinosinusitis karena jamur, otitis media, imunodefisiensi dan alergi terhadap berbagai macam antibiotik.
pengendapan partikel-partikel yang ada di udara.
Dari faktor adinamik umunnya berhubungan dengan kelainan anatomi, sikatriks pasca operasi, diskinesia silier,
polip, benda asing atau keganasan. Kedua faktor tersebut harus selalu menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi.
Bila gejala rinosinusitis menetap lebih dari 7 hari, besar kemungkinan penyebabnya bakteri. Antibiotika sebaiknya diberikan pada pasien yang mempunyai gejala sedang atau berat, sementatapada kasus yang ringan umumnya dapat sembuh tanpa antibiotik. Meskipun demikian secara keseluruhan pasien yang mendapat antibiotik lebih cepat sembuh dibanding plasebo. Pada rinosinusitis akut lama pemberian antibiotika I 014 hari, sedangkanjenisnya tergantung harga, keamanan dan pola resistensi kuman di daerah tersebut. Amoksilin dosis tinggi, atau kombinasi amoksilin-asam klavulanat, klaritromisin dan azitromisin dapat dipakai sebagai lini pertama. Bila obat di atas gagal dapat dicoba dengan sefalosporin generasi ke 3 (sefuroksim, sefoodoksim atau sefprozil) yang mempunyai spektrum luas. Obat golongan
kuinolon seperti siprofloksasin, gatifloksasin atau levofloksasin dipakai pada pasien dewasa, sebagai cadangan bila obat yang terdahulu tidak memuaskan. Pada
rinosinusitis kronik ada yang menganjurkan pemberian antibiotika sampai 4-6 minggu.
Dekongestan oral atau topikal dipakai untuk mengurangi pembengkakan mukosa rongga hidung, sehingga melebarkan rongga hidung. Pemakaian dekongestan topikal dianjurkan tidak melebihi 5-7 hari, untuk menghindari rinitis medikamentosa. Kortikosteroid oral atau nasal mengurangi inflamasi. Irigasi atau semprotan ai garamfaali dapal mengurangi kekentalan sekret hidung serta memperbaiki bersihan mukosilier. Nc Nally melaporkan dari 200 kasus rinosinusitis kronilg dengan terapi medis yang agresif yang terdiri dari antibiotik
oral selama 4 minggu, kortikosteroid nasal, lavase rongga hidung dan dekongestan topikal, temyata hanya 6Yo (12 kasus) yang kurang memberikan respons sehingga memerlukan operasi FESS (Functional Endoscopic Sinus Szrgery). Dsimpulkan terapi medik cukup memadai dan efektif untuk pengobatan rinosinusitis.
adanya kelainan imunologis yang lain, atau penyakit
Rujukan ke ahli telinga, hidung dan tenggorok diperlukan. Pemeriksaan rinosikopi fiber optik untuk melihat polip hidung, deviasi septum atau sekret purulen. Kultur cairan aspirasi sinus untuk uji resistensi kuman dan tentu saja tindakan operasi seperti Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Matabengkak di daerah
sinus, gangguan pergerakan bola mata, gangguan penglihatan, edema periorbita, gejala gangguan susunan saraf pusat menunjukkan komplikasi intrakranial akibat rinosinusitis akut (abses periorbita, abses otak atau meningitis) memerlukan konsultasi bedah dengan segera.
REFERENSI LM, Busse WW, Geha
RS,
editors. Current therapy in allergy, immunology
and
Baroody. Rhinosinusitis. In: Lichtenstein
edition. Philadelphia: Mosby; 2004. p. 25-30. Faklri S, Hamid QA, Liu AH. Sinusitis. In: , Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric allergy, principle and practice. Philadelphia: Mosby; 2003. p. 309-20. de Benedictis FM, Bush A. Rhinusitis and asthma epiphenomenon or association? Chest. 1999; I 15:550-6. Dykewicz MS. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:S520-9. Grossman J. One airway, one disease. Chest 1997;111:S11-6. Krouse JH. Minosinusitis and allergy. In: Krouse JH, Chadwick SJ, Gordon BR, Derebery MJ, editors. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 221-31. Mc Nally PA, White MV, Kaliner MA. Sinusitis in allergist's office: analysis of 200 consecutive cases. Allergy Asthma rheumatology.
6th
Chan KH, Abzug MJ,
Proc. 1997;18: 169-'15. Newman LJ, Platts-Mills TAE, Phillips D, et al. Chronic sinusitis: relationship of computed tomographyc findings to allergy, asthma and eosinophille. I/tMA. 1994;2'1 l:363-2. Pelikan Z, Pelikan-Filipek M. Role of nasal allergy in chronic maxillary sinusitis: diagnostic value of nasal challenge with allergen. J Allergy Clin Immunol. 1990;86:484-91. Savolainen S. Allergy in patients with acute maxillary sinusitis.
Allergy. 19891'44:116-22. Spector SL, Bemstein IL, Li JT, et al. Parameters for the diagnosis and management
of sinusitis. J Allergy Clin
Immunol.
1998;102:S107-44. Spector SL. The role of allergy in sinusitis in adults. J Allergy Clin Immunol. 1992;90:515-7.
AM, Chanez P, Bousquet J. The relationship between asthma and allergic rhinitis: exploring the basis for a common pathophysiology. Clin Exp All Rev. 2003;3:63-8.
Vignola
EVALUASI SPESIALISTIK Oleh karena rinosinusitis kronik berhubungan dengan rinitis alergi, 40-80%, padaorang dewasa darr 30-600/o pada
Wright ED, Frankiel
S,
Al-Ghamdi K, et al. Interleukin-4, interleukin-
5, and granulocyte colony stimulating factor receptor expression in chronic sinusitis and response to topical steroids. Otolaryngol Head Neck Surg. 1998;118:490-5.
62 URTIKARIA DAN ANGIODEMA Ari Baskoro, Gatot Soegiafto, Chairul Effendi, PG.Konthen
menerus atau munculnya kadang-kadang saja. Biasanya berlangsrmg sekitar 30 menit (misalnya pada urtikaria hsik) hingga beberapa hari pada urtikaria vaskulitis. Namun j arang sekali pro gresif menj adi reaksi anafilaksis. Secara umum keluhan pasien urtikaria hanya merasakan gatal, tetapi pada episode serangan urtikaria yang berat dapat mengeluh badan terasa lelah, gangguan pencernaan dan menggigil. Angioedema merupakan spektrum urtikaria
DEFINISI
Urtikaria: Suatu kelainan yang terbatas pada bagian innlJ (wheat) yang berbatas jelas daerah yang eritematous. Pada bagian
superfisial kulit berupa dengan dikelilingi
b
tengah bintul tampak kepucatan. Biasanya kelainan ini bersifat sementara (transient), gatal dan bisa terjadi di manapun di seluruh permukaan kulit. Angiodema: Edema lokal dengan batas yang jelas yang
yang terjadi pada lapisan kulit yang lebih dalam, lebih
melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam (iaringan
sering terasa nyeri dibanding gatal dengan waktu
subkutan), bila dibandingkan pada urtikaria. Bisa terjadi di manapun, tetapi paling sering pada daerah mulut, kelopak mata dan genitalia. Urtikaria dan angioedema merupakan edema nonpitting yang dapat terjadi secara tersendiri atau bersamaan. Selain di kulit, kelainan yang sama dapat terjadi pada permukaan mukosa gastrointestinal ataupun saluran napas atas. Episode urtikaria/angioedema yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria/angioedema akut. Dan bila proses tersebut cenderung menetap lebih dari 6 minggu, disebut
penyembuhan yang relatif lebih lama.
INSIDEN Walaupun dapat terjadi pada setiap umur, namun urtikaria dan angioedema meningkat insidennya setelah dewasa dan mencapai puncaknya pada usia dekade ketiga. Suatu survei pada pelajar sekolah, memperkirakan sekitar 15-20% pelaj ar pernah mengalami urtikaria/angioedema. Mungkin
laonik.
sekali frekuensinya lebih dari angka-angka tersebut, mengingat kelainan ini bersifat dapat hilang sendiri dan
PENDAHULUAN
jarang memerlukan pertolongan secara medis, apalagi kalau hanya terbatas pada kulit. Belum ada data insiden yang terjadi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, urtikaria dikenal pertama kali oleh
ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
pengamat-pengamat dibidang medis seperti Hippocrates,
Pliny dan Celsus. Terminologi urtikaria pertama kali Pada waktu-waktu tertentu terjadi peningkatan insiden urtikaria/angioedema. Hal ini terutama pada pasien-pasien
dipergunakan secara luas pada abad 18 masehi. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan sebagai akibat proses alergi. Bentuk kelainan klinisnya amat bervariasi dengan ukuran
dengan alergi saluran napas musiman sebagai akibat inhalasi tepung sari, serpihan kulit hewan dan spora jamur. Selain dicetuskan bahan-bahan inhalan, dapat juga
beberapa milimeter hingga berdiameter beberapa sentimeter. Lesi ini bisa bersifat terlokalisir seperti pada urtikaria fisik, meluas atau menggabung menjadi satu
dicetuskan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang, ikan, produk-produk susu, coklat, kacang-kacangan dan obat-obatan. Bahan-bahan tersebut dapat mencetuskan
membentuk giant urticaria. Serangan urtikaria bisa terus
39s
396
ALERGIIMUNOT.]OGI
reaksi anafilaksis dengan keluhan yang menonjol pada
sistem kardiovaskular dan gastrointestinal, selain mengakibatkan juga urtikaria kronik. Urtikaria kronik yang disebabkan oleh alergi makanan dengan perantaraan IgE
Apabila didapatkan kadar
Cl inhibitor di bawah
normal, mungkin bisa diakibatkan oleh faktor yang didapat (misalnya limfoma, lupus eritematosus sistemik) atau
bawaan/herediter yang sifatnya diturunkan secara
hanya mencakttp l% kasus. Sisanya dengan penyebab yang sangat heterogen. Ada terminologi pseudoallergt atau hipersensitivitas non alergi terhadap bahan-bahan
autosomal dominan.
pseudoallergen. Gejala urtikaria sebagai akibat
ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT
eudoall ergt ini sangat menyerupai hipersensitivitas tipe l, tetapi mekanismenya sangat berbeda. Urtikaria kronik
ps
sering dikaitkan dengan bahan-bahan makanan yang mengandung pseudoallergerz, selain penyakit autoimun dengan didapatkannya autoantibodi terhadap tiroid atau
reseptor IgE. Bahan-bahan makanan seperti ini bisa mencetuskan manifestasi klinis urtikaria, diduga melalui mekanisme kerusakan fungsi barrier mukosa gastroduodenal. Apakah infeksi H.pylori ikut berperanan dalam hal ini, masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Infeksi lainnya seperti Hepatitis B dan C pada beberapa laporan dapat menyebabkan urtikaria, walaupun dengan etiopatogenesis yang belum jelas. Oleh karena itu masih diperlukan data dan penelitian yang lebih intensif.
Pencetus urtikaria lainnya yang mungkin adalah rangsangan fisik seperti dingin, panas, sinar matahari, latihan fisik/olah raga dan iritasi mekanik. Dermografisme dapat dicetuskan oleh goresan yang cepat dari benda keras
tertentu dengan membentuk gambaran urtikaria yang linear, walaupun ini tidak dipengaruhi oleh status atopi pasien. Membawa tas yang cukup berat, merupakan rangsangan timbulnya pressure urticaria pada bahu. Demikian juga berlari atau mengangkat beban, dapat mencefuskan pressure urticaria pada kaki dan lengan. Demam, mandi air hangat atau olah raga di mana terjadi peningkatan temperatur tubuh, dapat mencetuskan urtikaria kolinergik. Cold urticaria dapat timbul sebagai akibat pajanan terhadap udara dingan, es bahr, bahkan dapat
mengarah pada kolaps vaskular bila berenang pada air dingin. Pemicu lain adalah cahaya (s olar urticaria) , at pada temperatur berapapun (aquagenic urticaria) dan bahan kimia tertentu (contact urticaria). Alergi terhadap bahanbahan karet alarn seperti lateks, merupakan masalah tersendiri
bagi pekerja medis. Timbulnya manifestasi klinis contact urticaria seperti ini, melalui hipersensitivitas tipe 1. Pada angioedema, perlu dilihat ada atau tidaknyabintul-
bintul (wheals) yang menyertai. Bila disertai adanya urtikaria, dapat dikatakan angioedema tersebut merupakan bagian dari urtikaria yang kebetulan terjadi bersamaan. Tetapi bila angioedema yang terjadi tanpa disertai adanya urtikaria, perlu dipikirkan kemungkinan keterkaitannya dengan kadar Cl inhibitor. Angioedema dengan kadar Cl inhibitor yang normal, umunmya penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik). Walaupun demikian perlu dipertimbangkan kemungkinannya akibat penggunaan obat
(aspirin, ACE inhibifor, OAINS) atau episodic angioedema with
eos
inophilia (EA,\E).
Sebelum membahas lebih lanjut patogenesis urtikaria/ angioedema, akan disinggung secara sepintas tentang
anatomi dan fisiologi kulit, dengan harapan dapa\ mempermudah pemahaman selanjutnya. Kulit merupakan organ yang terluas dengan berbagai macam frrngsi selain
fungsi perlindungan terhadap dehidrasi, pengaruh lingkungan dan alergen. Komposisi terbanyak pada epidermis adalah keratinosit, sedangkan sel-sel Langerhan mencapai sekitar 2-6%o stnrktur epidermis. Peranan penting sel-sel ini adalah sebagai antigen presenting cells yang mengolah antigen. Di bawah epidermis terdapat lapisan
dermis yang terdapat pembuluh darah kecil, pembuluh
limfe, sel zasl dan serabut sarafsensoris yang berperanan dalam patogenesis urtikaria. Akhir serabut saraf di dermis dipersarafi oleh neuron aferen menuju susunan saraf pusat. Rangsangan yang bersifat mekanik terutama dihantarkan oleh serabut saraf bermielintipeA, sedangkan stimulasi nyeri akan diterima nosiseptor dan dihantarkan melalui serabut saraf tidak bermielin tipe C. Hantaran serabut saraf tipe C ini relatif lebih lambat dibanding serabut saraf tipe A. Antidromic stimulation serabut saraf tipe C ini yang berperanan dalam terbentuknya eritema pada urtikaria seperti yang terlihat pada triple response dari Lewis. Saat ini terdapat buktibukti bahwa proses tersebut diperantarai pelepasan neuropeptida dari akhiran sarafdibanding akibat pengaruh histamin. Histamin sendiri berperan dalam terbentuknya
bintul (wheal). Sistem simpatis auotonom yang mempersarafi kelenj ar keringat lebih banyak memperantarai pelepasan asetilkolin dibanding norepinefrin.
Limfosit normal di dapatkan di lapisan dermis. Walaupun jarang, sejumlah kecil (kurang dari l0%) berkecenderungan migrasi ke epidermis. Selanjutnya limfosit tersebut berdiferensiasi menjadi limfosit yang mempunyai sifat kusus, berdasarkan sitokin yang dikeluarkan serta berperan dalam menentukan macam respons imun pada kulit. Limfosit CDr* yang memproduksi Interleukin-2 (IL-2) dan Interferon-1(FNy) merupakan 7 helper seltipe I (Th l) yang berperanan sebagai sel efektor pada imunitas selular (Cell-mediated immunity). Sebaliknya limfosit CDo* yang memproduksi n--4,IL-5 dan IL-6 merupakan T helper seltipe2 (Tl2)yang mempunyai peranan penting dalam respons hipersensitivitas yang diperantarai IgE (hipersensitivitas tipe 1). Sel Langerhan, keratinosit dan limfositkulit merupakan suatu sistem yang
saling mempengaruhi dan satu kesatuan
ini
disebut
397
URTII(ARIA DAN ANGIODEMA
sebagai skin associated limphoid /lssze (SALT). Pada urtikaria, sel mast telahdiketahui sebagai sel efektor, tetapi temyata limfosit T jugamempunyai peranan. Hal ini terlihat dari penelitian, bahwa pada pasien urtikaria memperlihatkan dominasi sel CDr* dibanding CDr. Sitokin dari limfosit dan
sel mast dapat memperantarai peningkatan vascular adhesion molecules. E-selectin atau Endothelial Adhesion Molecule-l dan Vascular Adhesion Molecule-l (VCAM-l) menjadi meningkat yang merupakan respons dini terhadap tekanan pada delayed-pressure urticaria.
Rangsangan imunologis non sitotoksik
alergi, sel mast memainkan peran yang amal penting. Reaksi hipersensitivitas tipe I dan urtikariai angioedema diawali oleh "tertangkapnya" antigen pada
mediator yang pada akhirnya mengundang sel-sel inflamasi. Sel-sel yang berperan pada reaksi fase lambat termasuk contoh diantaranya eosinofil, netrofi l, limfosit dan basofil. Mekanisme tersebut di atas dapat terj adipada urtikaria yang terjadi akibat makanan tertentu dan pemakaian bahan yang mengandung lateks. Pada 30%o pasien urtikaria kronik idiopatik terdapat autoantibodi dari kelas IgG yang memiliki sifat sebagai anti IgE atau anti Fc reseptor IgE. IgG tersebut memiliki kemampuan melepaskan histamin dari sel mast, tanpa tergantung dari ada atau tidaknya IgE spesifik pada reseptor sel masl. Pengukuran terhadap aktivitas melepaskan histamin
ini hanya dapat dilakukan pada pusat-pusat penelitian tertentu. Tes kulit menggunakan serum pasien setdiri (autologous serum skin leslASST) atau plasma pasien yang
Reaksi hipersensitivitas (lateks, kelapa, ikan laut) Otoantibodi yang bekerja pada bagian Fc dari lgE atau secara langsung pada reseptor lgE di sel masf Anafilatoksin C3a dan CSa Substansi P V asoactive i ntesti n al polype ptida
4
Obat-obatan
(vrP)
Eksperimental
Morfin Kodein Tubokurarin, kurare
Rangsangan sitotoksik
reseptor IgE yang saling berhubungan dan menempel pada
sel mast atau basof,rl. Proses selanjutnya terjadi aktifasi sel masthasofil dengan mengeluarkan berbagai macam
I
Fisiologis
PATOGENESIS Pada penyakit
Golongan
Jenis bahan 1.
Larutan 48/80 Calcium ionophore Antet Cs" , C:"
Surfaktan
6.
Reaksi anafilaktoid
Dekstran Endotoksin Kontras radiologi
telah diberi heparin, dapat digunakan sebagai tes penyaring sederhana untuk aktivitas melepaskan histamin dalam darah pasien urtikaria. Ditempat penyuntikan akan timbul wheal andflare dalamwaktu 30-60 menit. Tes ini dapat dikatakan sensitif tetapi tidak spesifik pada pengukuran aktivitas melepaskan histamin oleh basofil. Pada penelitian sebelumnya, ASST yang positif dapat dihasilkan dari penglepasan histamin oleh sel mast kulit tetapi bukan oleh basofrl yang berasal dari donor sehat.
Adanya autoantibodi anti IgE ini dapat dideteksi melalui immunoassay dengan metode ELISA atau western blotting. Selain pada pasien urtikaria kronik, autoantibodi
Procesing and presentation e Fig,19 22)
(see Fig 19 23)
Gambar 1. lnduksi dan mekanisme efektor pada hipersensitifitas Tlpe
1
398
ALER,GIIMI.JNOII)GI
ini bisa didapatkan pada pasien atopi ataupun pasien sehat.
Autoantibodi terhadap reseptor Fc IgE juga bisa didapatkan pada pasien dermatomiositis, lupus eritematosus sistemik, pempigus lulgaris dan pempigoid bulosa. Peranan sel mast kulit pada urtikaria kronik, untuk pertama kali diperkenalkan oleh Juhlin'pada tahw 1967.
Dinyatakan bahwa hampir pada semua pasien urtikaria
kronik, menunjukkan peningkatan histamin pada lesi urtikaria. Hasil yang sama diperoleh pada kasus cold
komponen dari komplemen yang mengarah pada pembentukan bahan-bahan vasoaktif dari peptida yang menyerupai kinin dan bradikinin. Trauma mekanik ringan mengaktifkan faktor Hageman (faktor XII) yang mengawali pembentukan plasmin dan kalikrein. Plasmin selanjutnya
mengaktifkan
Cl
dengan pembentukan C2 kinin-like
peptide,sedangkan kalikrein menghasilkan bradikinin yang berasal dari kininoget C1 inhibitor menghambat fungsi katalitik dari faktor XII aktif, kalikrein dan komponen C I .
Dengan demikian bisa dipahami, pada pasien defisiensi
urticaria. Kadar histamin total pada lesi urtikaria ataupun
Cl inhibitor,
pada kulit yang tanpa lesi, lebih tinggi pada pasien urtikaria
angioedema, terjadi peningkatan kadar bradikinin. Di lain pihak, kadar C4 komplemen akan menurun. Pada kasus defisiensi C I inhibitor yang didapat bisa dikaitkan adanya penyakit autoimun atau Limfoma.
kronik dibandingkan pasien tanpa urtikaria. Waktu yang diperlukan sel mas t lur:rftk melepaskan histamin pada pasien
cold urticaria, temyala tidak sesederhana dengan cara menurunkan temperatur kulit sehingga terjadi degranulasi sel mas
t
selama terjadinya serangan klinik
ataupunmenghangatkannya sebelum dilakukan
tes.
SEL.SEL INFLAMAS! DAN MEDIATOR
urtikaria, berkembang pendapat terjadinya peningkatan kemampuan sel mast dalam melepaskan histamin serta peningkatan jumlahny alkadamya. Keadaan ini dapat diketahui melalui tes kulit menggunakan bahan degranulator sel mast yang non spesifik, seperti misalnya larutan 48/80 atau menggunakan kodein (selengkapnya Pada pasien
lihat tabel). Peningkatan histamin ini murni akibat degranulasi sel mast kulit dan bukanlah akibat sekunder dari mobilisasi dan stimulasi basofrl yang juga dikenal sebagai sumber histamin. Kenyataan ini terlihat dari peningkatan kadar triptase, selain histamin pada cairan urtikaria. Peranan neuropeptida dalam hal degranulasi selmast belum jelas dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mungkin saja lingkungan mikro disekitar sel mast terjadi peningkatan sitokin, kemokin atau histamin releasing factors yangpada gilirannya dapat menurunkan ambang rangsang sel mast, sehingga mudah terdegranulasi.
Angioedema diakibatkan peningkatan aktivitas
Peranan Sel Masf Sel mast diketahui sebagai efektor primer yang menghasilkan histamin pada urtikaria dan angioedema. Selain histamin, sel mast menghasilkan berbagai macam
mediator yaitu triptase, kimase dan sitokin. Bahan-bahan ini di samping meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast leblhlanjut, juga terjadi peningkatan aktivitas ELAM dan VCAM. Molekul adesi ini memudahkan migrasi limfosit dan granulosit menuju tempat terjadinya lesi urtikaria.
Peranan Eosinofil Eosinofil sangat berperanan bila penyebab urtikaria adalah proses alergi, seperti reaksi alergi terhadap obat, makanan atau antigen eksogen. Bersama-sama dengan netrofil merupakan bagian dari infiltrat sel-sel inflamasi pada delayed pressure urticaria. Eosinofil secara dominan
Cytokines e g lL-S TNttr^ il e LTB l,PAF
\7> neutro0hrls e0srn0pnrls
basophils
5
basoohils
Activators istam ine
)
vasidilatation and vascular permeability
PAF
)
Microthrombi
Try pta se
, \
proteolytic,enzyme activates C3
H
K
in in oge
nase
Histamine PG D2
LTC4,LTD4
Gambar 2. Aktivasi sel mast dan pengaruh mediator yang dihasilkan
Kinis
+
aasodilatation + oedem
y' ^
bronchial smooth muscle contraction mucosal oedema mucus secrelion
399
URTIKARIA DAI{ AIYGIODEMA
didapatkan pada jaringan. Bila diperbandingkan, setiap eosinofil pada darah tepi sesuai dengan 300 eosinofil di jaringan. Ada suatu sindrom yang disebut sebagai
Episodic Angioedema Associated With Eosinophilia
(EAAE), menggambarkan adanya angioedema yang berulang, penambahan berat badan hingga l5%o, demam, urtikaria, lekositosis dan peningkatan eosinofil pada jaringan dan darah tepi. Tidak didapatkan kelainan organ internal dengan perjalanan klinis yang tidak seberat sindrom hipereosinofi 1.
Bagaimana sebenarnya pengaruh eosinofil pada urtikaria belum sepenuhnya dipahami. Akan tetapi eosinofil merupakan penghasil utama leukotrien
Co
GjIC4)
pada inflamasi alergi. Dengan adanya antagonis terhadap reseptor leukotrien, dapat diketahui dengan jelas peranan leukotrien dalam menimbulkan gejala pada urtikaria kronik.
Selain itu, adanya wheal and dengan penyuntikan pada
flare
migrasi basofil menuju lesi urtikaria atau menggantikan posisi makrofag setelah mengalami degranulasi parsial. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa basofil pasien urtikaria melepaskan histamin yang relatif lebih rendah dibanding kontrol orang sehat, ketika dirangsang dengan anti IgE. Mungkin basofil tersebut sebelumnya sudah dalam keadaan desentisasi terhadap adanya autoantibodi yarry dapat merangsang pelepasan histamin. Basofil juga berperan pada peningkatan histamin pada fase lambat reaksi hipersdnsitivitas tipe 1. Pada keadaan tersebut terjadi migrasi basof,rl menuju kulit dan ini dapat terjadi 6 jam setelah provokasi oleh alergen. Sel mast tidakberperanan melepaskan histamin pada fase lambat ini. Secara teknis tidak mudah mendeteksi basofil pada jaringan. Dengan berkembangnya antibodi anti basofil, kendala tersebut dapat diatasi.
dapat ditimbulkan
kulit oleh protein kationik dari
eosinofil. Ada juga suatu bentuk urtikaria kronik di mana secara histopatologis didominasi oleh sel-sel PMN dan eosinofil
tanpa bukti-bukti adanya vaskulitis. Gambaran ini menyerupai reaksi alergi fase lambat. Perbedaannya adalah pada reaksi alergi fase lambat timbul beberapa jam setelah rangsangan antigen dan lesi ini dapat berlangsung lebih dan24 jam.Lesi pada reaksi alergi fase lambat berupa bintul
yang lunak, gatal, dan rasa panas/menyengat. Secara histopatologis didapatkan infiltrat yang mengandung netrofil, eosinofil dan limfosit. Tidak didapatkan gambaran vaskulitis. Sebaliknya pada urtikaria vaskulitis, umumnya tampak adanya purpura yang dapatteraba serta gambaran vaskulitis pada pemeriksaan histopatologis.
Peranan Basofi! Pada pasien urtikaria kronik terjadi penunrnan jumlah basofil darah tepi. Keadaan ini mungkin terkait dengan adanya proses degranulasi yang ikut andil dalam reaksi urtikaria. Hal lain yang mungkin bisa menerangkan adalah
DIAGNOSIS
U
RTIKARIA/ANGIOEDEMA
Untuk membuat diagnosis urtikaria perlu dilakukan anamnesis yang baik terhadap riwayat penyakit, gejala klini s, dan pemeriksaan penunjang.
Riwayat Penyakit ini sangat penting, terutama menyangkut
Anamnesis
lamanya keluhan. Bintul-bintul yang berlangsung kurang dari I jam, mungkin merupakan suaitphysical urticaria,
dengan perkecualian delayed pressure urticaria yang biasanya gejala puncaknya antara3-6 jamdan menghilang dalam 24 jam. Contact urticaria biasanya berlangsung singkat, tapi bila dapat menimbulkan reaksi fase lambat, akan bisa berlangsung hingga beberapajam. Pada urtikaria vaskulitis yang khas, dapat berlangsung sampai 1 minggu. Bintul-bintul pada urtikaria yang umum, berlangsung hingga 24 jam. Walaupun berulang, urtikaria yang berlangsung total kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut. Lebih dari waktu tersebut dikatakan kronik. Untuk mengetahui pencetusnya, perlu anamnesis yang teliti tentang keadaan-keadaan sebelumnya seperti infeksi,
obat-obat yang dikonsumsi termasuk cairan infus,
Skin urt cafla
imunisasi dan makanan tertentu, walaupun pada urtikaria kronik biasanya sulit menentukan faktor pencetusnya. Perlu juga diperhatikan apakah keluhan-keluhan tersebut semakin memberat dengan adanya panas, stres dan kadang-kadang oleh alkohol. Riwayat angioedema pada
beberapa anggota keluarga, perlu diwaspadai
gut
t
permeability
Gambar 3. Reseptor histamin dan pengaruhnya
kemungkinan defisiensi C I inhibitor. Penyebab yang paling sering urtikaria akut yang umum adalah obat-obatan dan infeksi (misalnya infeksi virus pada saluran napas atas). Saat ini cukup sering seorang pasien mendapatkan berbagai macam obat (polifarmasi) saat datang berobat. Atau mereka membeli sendiri dari tokotoko obat, termasuk beberapa produk bahan kimia yang
400
ALERGIIMUNOIOGI
tak berijin. Semua bahan-bahan ini berpotensi sebagai
urtikaria, 50% akan disertai angioedema. Bila kedua kelainan
pengenalan antigen pada saluran pencemaan. Obat-obatan bisa memperberat gejala urtlkaria dengan
tersebut terjadi bersamaan, kemungkinan mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingurtikaria umumnya. Sebab ada kemungkinan terjadi berulang dengan episode yang bisa berlangsung hingga 5 tahun. Pada urtikaria vaskulitis ada gambaran kelainan dermatologi lain yang biasanya menyertai, seperti eritema multiforme, pruritic urticarial plaques and papules of pregnancy (PUPP
cara stimulasi sel mast atau mempengaruhi sintesis eikosanoid pada saat terjadi degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast non-imunologis, dapat dicetuskan oleh beberapa obat seperti opiat, curare, bahan kontras radiologi dan beberapa antibiotika (misalnya polimiksin B). Walaupun demikian, jarang sekali terjadi urtikaria, bila diberikan dalam dosis terapi pada kondisi sehat. Pada pasien urtikaria kronik, obat-obat tersebut bisa meningkatkan risiko eksaserbasi dan seharusnya dihindari penggunaannya sebisa mungkin. Obat-obatan lain yang bisa menyebabkan urtikaria atau reaksi anafilaktoid adalah obat-obat golongan COX- 2 inhibitor, aspirin, atau NSAID. Selain itu, sepertiga pasien urtikaria akan bisa diperberat oleh obat-obatan tersebut, dengan mekanisme yang belum jelas benar. Mungkin saja melalui mekanisme hambatan terhadap terbentuknya prostaglandin, pada saat terjadinya degranulasi sel mast. Pergeseran metabolit asam arakidonat ke arah terbentuknya leukotrien, mungkin memudahkan
terjadinya infiltrasi sel-sel radang'pada lesi urtikaria dengan memperpanjang fase reaksinya. Sebagian kecil pasien urtikaria kronik yang dicetuskan oleh aspirin memiliki reaksi yang hampir sama terhadap salisilat, azodyes (termasuk tartrazin) dan benzoat pada makanan. Reaksi hipersensitivitas terhadap penisilin diduga dapat menyebabkan urtikaria kronik, walaupun belum terbukti. Obat-obatan lain golongan ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin II, dapat menyebabkan angioedema. Makanan-makanan tertentu dapat juga menimbulkan urtikaria. Biasanya gejala akan muncul dalam waktu 30-90 menit setelah makan dan bisa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme hingga galggwvaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE. Walaupun belum jelas benar, beberapa peneliti menduga, bahan pengawet seperti benzoal dan azodyes (misalnya larrtrazin), dapat memperberat gejala urtikaria
konik.
Gejala Klinis Lesi urtikaria biasanya tidak akan sulit dikenali. Bentuk kelainannya berupa bintul-bintul yang eritematous dan disertai rasa gatal. Gatal ini bervariasi dari ringan hingga yang berat bahkan terasa terus-menerus hingga sangat
mengganggu irama kerja dan tidur malam. Lesi ini cenderung bersifat sementara, namun dapat bertambah besar atau mengecil dalam beberapa jam. Apabila menetap
lebih dari 24 jam, perlu mendapat perhatian khusus akan kemungkinan suatu urtikaria vaskulitis. Kadang-kadang lesi yang terjadi lebih dalam pada lapisan dermis, akan membentuk bercak eritematous dan cenderung terjadi edema. Lesi yang demikian umumnya dapat menghilang dalam beberapa menit hingga beberapa jam. Kejadian
syndrome), pempigoid bulosa, dermatitis herpetiformis dan urtikaria papular. Pada angioedema yang tanpa disertai
urtikaria, mungkin bisa diawali adanya trauma mekanik ringan sehingga menimbulkan edema subkutan yang cukup besar dan terasa nyeri. Edema ini bisaterladipadajaringan submukosa dengan berbagai macam manifestasi klinis.
Pada submukosa usus dapat memberikan gejala kolik, sedangkan pada laring menyebabkan gejala sufokasi. Semua gejala ini dapat menetap sampai beberapa hari bila
tidak dilakukan pengobatan yang memadai. Dalam hal ini, pemeriksaan fisik ditujukan unhrk menilai aktivitas urtikaria, bentuk dan distribusi dari lesi, apakah disertai angioedema, memar, edema kulit yang luas serta kemungkinan keterlibatan kelainan jaringan ikat. Perlu diperhatikan juga adanya kemungkinan penyakit sistemik seperti kelainan tiroid, artritis dan ikterus.
Pemeriksaan Laboratorium Penuniang Tes Alergi. Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit invivo
(skin
prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radio-
allergosorberal /esl-RASTs) atau invitro yang mempunyai makna yang sama. Apabila secara klinis "memungkinkan", dapat dilakukan tes provokasi. Pada prinsipnya tes kulit dan RASI hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe 1. Tes yang demikian itu tidak dapat menunjang diagnosis urtikaria vaskulilis yang merupakan reaksi imun kompleks atau sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat obat-obatan atau transfusi darah.
Untuk urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis. Pada kasus urtikaria kontak, mungkin sulit dilacak penyebabnya dari riwayat perj alanan penyakibrya. Bentuk lain dari intoleransi obat dan makanan
yang tidak diperantarai oleh IgE, mungkin dihubungkan dengan manifestasi klinis sebagai urtikaria kronik. Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-re-
leasing autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien s endii (autologous serum skin
lesl-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana. Tes Provokasi. Tes provokasi akan sangat membantu diagnosis urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi
ini harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin
keamanannya. Hal
ini dilakukan
pada tempat yang
401
URTII(ARIA DAN AITIGIODEMA
mempunyai tenaga ahli dan fasilitas untuk resusitasi, terutama bila ada riwayat anafilaksis atau reaksi anafilaktoid. Adanya alergen kontak terhadap karet sarung tangan atau buah-buahan, dapat dilalarkan tes pada lengan bawah, pada kasus urtikaria kontak.
Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan urtikaria akibat obat dan makanan tertentu. Tes ini menggunakan suatu seri kapsul yang mengandung pengawet makanan, pewama makanan, dan dosis kecil asetilsalisilat yang diberikan secara bergantian dengan kapsul plasebo. Metode tes seperti ini relatif sulit disimpulkan dan pasien harus benar-benar tidak mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, tes ini dilakukan saat tidak terjadi urtikaria, diet ketat terhadap bahan yang dicurigai sebelum dilakukannya tes tersebut.
Biopsi. Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat
PENATALAKSANAAN
U
RTIKARIA/ANGIOEDEMA
Penjelasan Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dapat dilakukan dan harapan di masa mendatang, merupakan hal yang penting untuk pasien, karena mungkin harus hidup dengan kondisi tersebut untuk beberapa bulan bahkan beberapa tahun.
Menghindari Alergen Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen, yarag sebenarnya lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Menghindari alergen penyebab dari urtikaria kontak atau
digunakan membantu diagnosis. Urtikaria mencakup
anafilaksis, seharusnya akan dapat menyelesaikan
kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai macam sel radang yang agak jarangdengan edema dermis hingga edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi selsel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari netrofrl, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtik aria alergi. Pada beberapa pasien vaskulitis nekrotikan, tampak juga inflamasi dengan sel-sel radang limfosit yang jarang
masalah. Intoleransi terhadap makanan dan obat yang tidak diperan{arai IgE, harus dipertimbangkan sebagai urtikaria kronik yang tidak memberikan respons yang baik dengan
pemberian antihistamin. Pada kasus seperti ini, lebih menguntungkan menghindari salisilat, azodyes, benzoat
dan pengawet makanan lain seperti asam.sorbik, khususnya bila akan dilakukan tes provokasi double blind.
disekitar pembuluh darah dermis dengan atau tanpa eosinofil.
Medikamentosa
Pemeriksaan pelengkap. Pemeriksaan darah rutin biasanya tidak banyak membantu diagnosis urtikaria umumnya atau urtikaria fisik. Pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau
Pengobatan lini pertama. Mayoritas pasien urtikaria laonik mendapatkan pengobatan simtomatis dengan antihistamin I (AHl) klasik. Keberhasilan obat-obat tersebut agak
adanya infeksi penyerta. Pemeriksaan-pemerikspan seperti komplemen, autoantibodi, elektroforesis serum, faal ginjal, faal hati dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan Cl inhibitor danC4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria.
terbatas, karena timbulnya efek samping berupa sedasi dan mulut kering. Seperti telah diketahui, bahwa sel mast kulit dapat mengalami degranulasi oleh berbagai macam stimulus yang kadang-kadang tidak diketahui, dengan mengeluarkan bermacam-macammediator. Mediator-mediator tersebut, terutama adalah histamin dan triptase. Dengan
keterangan seperti ini, sangat sesuai memberikan antihistamin sebagai cara profilaksis daripada saat terjadinya urtikaria. Beberapa dokter menjadi segan memberikan obat-obat tersebut, dengan adarya antihistamin yang lebih baru yang tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Beberapa antihistamin non sedasi yang saat ini digunakan untuk urtikaria adalah setirizin, loratadin, astemizol, akrivastin dan feksofenadin yang juga bersifat non kardiotoksik tidak seperti terfenadin. Pengalaman klinis
Gambar 4. Histopatologi reaksi fase lambat urtikaria
Keterangan: tampak infiltrasi sel PMN dan eosinofil daerah perivaskular tanpa terlihat gambaran vaskulitis
mennnjukkan terdapat sedikit variasi di antara obat-obat tersebut dalam mengatasi urtikaria kronik, walaupun beberapa pasien lebih menyukai suatu obat dibanding lainnya. Loratadin lebih efektif dibanding plasebo. Berdasarkan kinetika obat, loratadin diberikan sekali sehari yang cukup efektifdalam beberapajam setelah ditelan dan manpunyai lamakerja 1248 jam. Akrivistinberbeda dengan antihistamin non sedasi lainnya, karena singkatnya masa
402
ALERGIIMI.JNOI.OGI
paruh dalam darah dan diberikan dalam dosis 3 kali sehari.
Setirizin merupakan metabolit dari hidroksizin yang merupakan golongan antihistamin dengan efek sedasi yang rendah. Obat ini terbukti mengurangi insiden eritema, bintul dan pruritus pada urtikaria spontan dan yang diprovokasi, pada double-blind cross -over trials.Beberapa peneliti dapat
menunjukkan berkurangnya infiltrasi eosinofil pada lesi reaksi fase lambat, setelah diberikan setirizin. Dengan memiliki sifat sebagai anti inflamasi sertapenyekatHl yang baik, mungkin menguntungkan pasien dimana gambaran histopatologisnya menunjukkan infl amasi dengan infi ltrasi berbagai macam sel radang. Doksepin, suatu antidepresan trisiklih memiliki efek yang kuat sebagai penghambat reseptor H,. Pengaruh hambatan
terhadap reseptor H, tersebut lebih kuat dibanding antihistamin umumnya. Pada penelitian terhadap pasien urtikaria kronih Doksepin yang diberikan 3x I 0mg, dikatakan 7 kali lebih efektif dibanding Difenhidramin, tetapi efek samping antikolinergiknya lebih besar. Obat ini mungkin lebih baik dipergunakan malam hari, karena efek samping mengantuk.
Pengobatan lini kedua. Walaupun umumnya antihistamin dapat mengatasi gejala urtikaria, pada beberapa kasus yang berat memerlukan kortikosteroid. Sebelum diputuskan pemberian steroid, seharusnya dilakukan biopsi kulit terlebih dahulu, untuk mengklasifikasikan urtikaria secara histopatologis. Berhubung penggunaan steroid jangka panjang berkaitan dengan beberapa efek samping, saat ini
sedang diteliti kemungkinan penggunaan obat seperti
stanozolol, sulfasalazin dan metotreksat. Obat-obat tersebut dapat mengurangi kebutuhan akan steroid. Pada urtikaria yang berat dan sangat mengganggu aktivitas pasien, dapat diberikan dosis tinggi steroid secara oral. Prednisolon 60 mg sehari diberikan sebagai pulse dosing
untuk 3-5 hari. Obat-obatan lain seperti kolkisin, dapson, indometasin dan hidroksiklorokuin pernah dilaporkan pada beberapa
kepustakaan, mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengurangi dosis atau frekuensi penggunaan steroid pada kasus urtikaria vaskulitis. Adrenalin yang diberikan secara intramuskular, subkutan atau perinhalasi, sangat berperan pada
Penghambat reseptor H, juga mempunyai peranan dalam pengobatan urtikaria kronik. Ada beberapa
penatalaksanaan angioedema yang berat yang bisa
penelitianyang mendukung adanya kombinasi yang cukup efektif antara penghambat reseptor H, dan H, pada pasien urtikaria tertentu. Dari pengalaman klinis, kombinasi tersebut mengecewakan unfuk pengobatan urtikaria, tapi
C, inhibitor. Montelukast sebagai antagonis reseptor leukotrien dengan dosis oral 10 mg/hari diindikasikan khususnya pada urtikaria akibat sensitisasi terhadap aspirin alat pressure urticaria.
cukup membantu mengatasi keluhan dispepsia yang tidak jarang berhubungan dengan urtikaria berat.
Pengobatan
Obat-obat yang secara teoritis sebagai stabilisator membran sel mast, seperti nifedipin, pada beberapa
sepanjang waktu. Pada kasus tersebut, didapatkan bukti-
penelitian menunjukkan pengaruh yang menguntungkan. Namun demikian, penggunaan di lapangan mempunyai efek yang minimal dan mungkin baik dipergunakan pada pasien urtikaria yang bersamaan menderita hipertensi. Sodium kromolin, absorbsinya dari saluran pencernaan buruk sekali dan tidak mempunyai makna dalam terapi urtikaria. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel2.
Klorfeniramin Hidroksizin Difenhidramin Prometazin
4 Mg, 3 kali sehari
Akrivastin Setirizin Loratadin Mizolastin
4 Mg, 3 kali sehari
Generasi lll
Desloratadin Feksofenadin
5 Mg, sekali sehari 180 Mg, sekali sehari
Antagonis
Simetadin Ranitidin
400 Mg, 2 kali sehari
Generasi ll
Hz
lini ketiga.
10-25 Mg, 3 kali sehari 10-25 Mg, (malam hari) 25 Mg, (malam hari)
10 Mg, sekali sehari 10 Mg, sekali sehari 10 Mg, sekali sehari
150 Mg, 2 kali sehari
Plasmaferesis pernah berhasil
dilakukan pada beberapa pasien urtikaria kronik yang te{ adi
bukti adanya autoantibodi yang dapat mencetuskan pelepasan histamin. Obat-obatan imunosupresarr yang cukup menjanjikan, seperti siklosporinAdan imunoglobulin secara intravena dapatdipergunakan dengan evaluasi yang
ketat. Namun demikian, penggunaannya masih amat terbatas
pada pusat-pusat rujukan tertentu. Pengobatan angioedema akibat dehsiensi C, inhibitor, secara gawat darurat dapat diberikan konsentrat C,
fresh frozen plasma. Anti histamin tidak diindikasikan, karena terjadinya kebocoran plasma bukan akibat histamin sebagai mediator. Profilaksis dengan
inhibitor
atau
steroid anabolik
Golongan Klasik (sedasi)
menyertai urtikaria, kecuali yang terkait dengan defisiensi
atalu
plasmin inhibitor seperti asam
traneksamat, sering kali sangat efektif.
PENGOBATAN DENGAN PENDEKATAN TERAPI TERBARU Urtikaria, etiologinya dan cara penatalaksanaannya masih merupakan masalah pada dokter maupun pasiennya. Dengan semakin dipahaminya perkembangan terbaru
tentang sitokin yang dapat mendorong terjadinya degranulasi sel mast, interleukin yang merangsang aktivitas dan menghambat terjadinya apoptosis eosinofil
403
URTII(ARIA DAN ANGIODEMA
serta autoantibodi yang mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor IgE pada s el mast, merupakan gambaran yang kompleks pada urtikaria. Walaupun kita telah memiliki
berbagai cara yang adekuat pada pengobatan urtikaria umumnya, penatalaksanaan di masa mendatang seperti imunomodulasi dari produksi sitokin, penggunaan obat-
obat anti inflamasi non steroid yang lebih baik dan pengaturan produksi antibodi autoimun akan semakin berkembang. Perkembangan penggunaan peptida yang menghambat reseptor IgE pada sel mast dan penelitian murin anti IgE, bisa memberi pilihan pendekatan terapi yang baru dimasa mendatang.
Condemi JJ, Dykewicz MS. Immune mediated dermatologic disorders. Allergy and immunology, medical knowledge self assesment program. In: Condemi JJ, Dykewicz MS, Bielory L, editors. 2"d edition. American academy of allergy asthma & immunology. Philadelphia, Pensylvania; 1997. p. 94. Grattan CPH. Chronic urticaria. Current therapy in allergy Immunology and rheumatology. In: Lichtenstein LM, Busse WW, Geha RS, editors.
p.
6th
edition. Mosby, United States; 2004.
72.
Grattan CEH, Charlesworth EN. Urticaria. Allergy. In:Holgate S! Church MK, Lichtenstein LM, editors. 2'd edition. Mosby. London, Edinburgh, New York; 2001. p. 93. Nettis E, Colanardi MC, Ferrannini A. Type I latex allergy in health care workers with latex-induced contact urticaria syndrome: a
follow-up study. Allergy. 2004;59 :7 19. I M, Deives PJ. Hypersensitivity. Essential immunology. In:Roitt, I M, Delves PJ, editors. 10th edition. Oxford, London, Edinburgh: Blackwell Science; 2001. p.322. Siddique N, Pereira BN, Arshad SN. Hepatitis C and urticaria: cause and effect? Allergy. 2004:59:668. Toubi E, Kessel A, Avshovich N. Clinical and laboratory parameters in predicting chronic urticaria duration: a prospective sfudy of
Roitt.
REFERENSI Austen KF. Allergies, anaphylaxis, and systemic mastocytosis. Harrison's principles of intemal medicine. In: Kasper DL, Faucy AS, Longo DL, editors. 16th edition. New York, Chicago, San Fransisco: Mc Graw Hill Medical Publishing Division; 2005. p. i 951.
Buhner S, Reese
I, Kuchll F. Pseudoallergic reaction in chronic
urticaria are associated with altered permeability. Allergy. 2004;59: I
1 1
8.
gastroduodenal
139 patients. Allergy. 2004;59:869.
63 ASMA BRONKIAL Heru Sundaru, Sukamto
PENDAHULUAN
asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di r,egara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara5 -7oh.
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lala. para ahli masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu dehnisi asma terus
mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1). obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien)
KLASIFIKASI Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Asma alergik terutama munculnya pada waktu kanak-kanak mekanisme serangannya melalui
baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2). inflamasi saluran napas; 3). peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara berlahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan
reaksi alergi tipe
I terhadap
alergen. Sedangkan asma
dikatakan asma intrinsik bila tidak ditemukan tanda-tanda
reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifrkasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan
tetapi dapat pula
terj adi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran
sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan nonalergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu: 1). asma ekstrinsik, 2). asma intrinsik, 3). asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik. Selanjutnya Global Initiative for Asthma (GINA) mengajukan klasifikasi asma intermiten dan
napas,dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi
mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rarigsangan didasari oleh inflamasi
persisten ringan, sedang dan berat. Baru-baru ini, berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam,
saluran napas.
pemakaian obatpelega dan eksaserbasi, GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian dan
PREVALENSI
tidak terkontrol.
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor
PATOGENESIS
kefurunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak Iaki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari lakiJaki. Umumnya prevalensi
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.
404
405
ASMABROKIAL
Asma sebagai penyakit inflamasi Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi
kerusakan epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang
saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonshiksi lebih mudah terjadi.
(rasa sakit karena rangsangan sensoris), danfunctio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya
radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi selsel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik. Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik
maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itupaling tidak dikenal 2 jahtr untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells
:
sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong).
Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sefta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator infl amasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (If), pl atel et activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-Iain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan f,tbrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan
Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf parasimpatis. Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN.
Obstruksi saluran napas. Meskipun bukan faktor utama. obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada HSN.
PATOFISIOLOGI Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambdh berat selama ekspirasi karena secara fisiologis salwan napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara
distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF). dan pasien akan bemapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan perlukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan
otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat
dinilai secara objektif dengan VEPI (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi),
Hipereaktivitas saluran napas (HSN) Yang membedakan asma dengan orangnormal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap
berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga safigat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi
sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan deraj at hiperinfl asi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. Penyempitan saluran napas temyata tidak merata di
sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat
seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang
meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang yaitu:
mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk
Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma. Kerusakan epitel. Salah satukonsekuensi inflamasi adalah
mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus
406
ALERGIIMUNOI.OGI
sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot
pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atalu gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaittt peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikilan penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit aleryi yang lain pada pasien maupun
keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hai,tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu.
Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencefus, kemudian
menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah.
Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu: 1. Infeksi virus salurannapas: influenza
2. Pemajanan
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemia, hiperkapnia, asido sis respiratorik p ada tahap yang sangat lanjut.
J.
Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
4.
Kegiatanjasmani: lari Ekspresi emosional takut, marah, frustasi Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-
5. 6.
GAMBARAN KL!NIS Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik bahrlg mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidakjelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Blla hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilalarkan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asmatidakjelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gej ala terhadap faktor pencetus
non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menj elang akhir minggu. Pada pasien y ang gejalanyatetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerj anya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atalu uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada
terhadap alergen fungau, debu rumah, bulu
binatang
steroid
7. 8. 9.
Lingkungan kerja: trap zatl
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang
lain yaitu pada asma serangah dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati adayang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak etis, jluga dapat membahayakanrtyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu sendiri misalnya g ejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari.
PEMERIKSAAN FISIS Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktekjarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
di lingkungan kerja mungkin
diperlukan urituk menegakkan diagnosis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
Spirometri
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit,
diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan
Carayangpaling cepat dan sederhana untuk menegakkan
407
ASMABROKIAL
dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan
Pemeriksaan eosinofil total
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak> l2o/o atau (> 200mL)
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada
menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari> l2o/o atau (> 200mL) tidak berarti bukan asma. Halhal tersebut dapat dijumpaipada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan kombinasi obat
golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktupengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif
kronik.
Uji provokasi bronkus Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik,
pasien asma dan hal
ini dapat membantu
dalam
membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan
cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan paslen asma.
Uji kulit uji kulit
Tujuan
adalah untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesilftdalamtubuh. Uji ini hanyamenyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
Pemeriksaan kadar lgE total dan IgE spesifik dalam sputum Kegunaanpemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukanbila uji kulittidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
Foto dada Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.
Analisis gas darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat.
Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mpHg) kemudianpada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnyapada asma yang sangat berat terj adinya hiperkapnia (PaC 02 > 45 mmH g), hipoksemia,
dan asidosis respiratorik.
dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20%o atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan pemrrunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit l0%. Akan halnya uji provokasi dengan
ASMA
alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.
Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai denganbatuk
Pemeriksaan sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-Lelyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus.
DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI
Diagnosis banding kronikyangmengeluarkan sputum
3
bulan dalam setahun
untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.
408
ALERGIIMUNOI.OGI
Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema. sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan
foto dada menunjukkan hiperinflasi.
Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan.
Mencegah penglepasan mediator Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Natrium
kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah
pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema
penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pad aterapi pemeliharaan. Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi. meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan
paru.
mediator.
Gagal jantung
kiri akut. Dulu gagal jantung kiri
akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebttparoxysmal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anam-
nesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Di samping ortopnea,
Emboli paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Di samping gejala sesak napas, pasien batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan
Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator Simpatomimetik : l). Agonis beta 2 (salbutamol,
a.
terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Dianjurkathanya dipakai
fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagal jantung
kanan, pleural
friction, irama derap, sianosis, dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.
Penyakit lain yang jarang seperti: stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliarteritis nodosa. Komplikasi asma
l. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pneumotoraks Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
Gagal napas
Bronkitis Frakturiga
Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons saluran napas, mencegah
ikatan alergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot polos bronkus.
Mencegah ikatan alergen-lgE Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar dilakukan.
b. Hiposensitisasi,
dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan rnencegah ikatan alergen dengan IgE padaselmast.
sewaktu serangan asma akut.
Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan.
c.
Atelektasis Aspergilosis bronkopulmoner alergik
PENGOBATAN
a.
pada asma anak atau dewasa muda.
b. Aminofilin dipakai
d.
Kortikosteroid Sistemik. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat. Antikolinergik (ipahopium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.
Mengurangi respons dengan jalan meredam inflamasi saluran napas Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan adany a infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di ternpat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.
Obat-obat anti-asma. Pada dasarnya obat-obat anti-asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti-asma antaralain: Pencegah (controller) yaitu obat-ob atyang dipakai setiap
hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap
409
ASMABROKIAL
terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat antiinflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti-infl amasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektifsebagai pencegah. Obatobat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas
yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998,2002,2006, danyang terakhir 2008. Hampir seluruh negara di dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang,
sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya. Asma akan mempunyai dampak terhadap kehidupan
bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat
pasien, keluarganya maupun masyarakat. Sampai sejuh ini belum ada cara untuk menyembuhkan asma, namun dengan
antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta
penatalaksanaan yang baik tujuan untuk dapat memperoleh
mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta
kontrol asma yang baik, pada sebagaian besar dapat tercapai. Dalam pembicaraan berikut, akan dibahas
penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator.
Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obat anti alergi. Falmaterol, antileukotrien dan anti-IgE. Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup ke{a pendek (short- acting), kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerjapendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih rmtuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejalapada asma episodik.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau Ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat altematif pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi efek sarnping agonis beta
2.
Teofilin maupun agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.
Pengobatan Asma Menurut GINA (GIobal lnitiative
forAsthma).
mengenai fujuan penatalaksanaan asma, tes kontrol asma (TKA), obat-obat asma, serta komponen-komponen yang berperan dalam mencapai keberhasilan pengobatan.
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk: . Mencapai dan mempertahankan kontrol gejala-gejala
. . . . .
asma
Mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olah taga Menjaga fungsi paru senormal mungkin Mencegah eksaserbasi asma Menghindari reaksi adversi obat asma Mencegah kematian karena asma
Unhrk mencapai tujuan di atas GINA merekomendasikan 5 komponen yang saling terkait dalam penatalaksanaan asma:
1. Bina hubungan yang baik
antara pasien dengan dokter
2. Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko 3. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma
4. Atasi serangan asma 5. Penatalaksanaan keadaan khusus 1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter Kerja sama yang baik antara dokter-pasien, akan mempercepat tujuan penatalaksanaan asma. Dengan bimbingan dokter, pasien didukung untuk mampu mengontrol asmanya. Pasien akan mampu mengenal kapan asmanya memburuk, mengetahui tindakan sementara sebelum menghubungi dokter, kapan harus menghubungi dokternya, kapan harus segera mengunjungi instalasi
gawat darurat dan akhirnya akan meningkatkan kepercayaan diri dan ketaatan berobat.
2. Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu lokakarya Global Initiative for Asthma: Management and Prevention yang dikoordinasi-
Untuk mencapai kontrol asma diperlukan identifikasi
kan oleh National Heart, Lung and Blood Institute
mengenai faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala
Amerika Serikat dan WHO. Publikasi lokakarva tersebut
risiko asma atau lebih dikenal sebagai faktor pencetus.
4t0
ALERGIMT,'NOI.OGI
Menghindari faktor pencetus diharapkan dapat mengurangi gejala dan serangan asma. Berbagai alergen,
baik yang di dalam rumah seperti tungau debu, bulu binatang, kecoa, atau di luar ruangan serta polusi udara, lingkungan kerja, pengawet makanan, obat-obatan, virus influenza, ketegangan jiwa, rinosinusitis, refluks gastroesofagal, dan lain sebagainya, patut untuk diidentifikasi dan selanjutnya dihindari.
3. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma Tujuan terpenting penatalaksanaan asma adalah mencapai dan mempertahankan kontrol asma.
Kontrol Penuh
Karakteristik
(Semua Kriteria)
Dulu GINA menyandarkan pengobatan pada klasifikasi derajat berat asma, yang terdiri dari asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Selain aplikasinya rumit, klasifrkasi tadihanya pendapat para ahli, dan belum pernah divalidasi, sehingga menuai berbagai kritik. Derajat berat asma juga dapat berubah
seiring dengan berjalannya waktu atau pengaruh pengobatan. Oleh karena itu sekarang diperkenalkan istilah
kontrol asma yang lebih mengarah kepada upaya pencegahan dengan cara mengendalikan gejala klinik penyakit termasuk juga perbaikan fungsi paru. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi tiga tingkatan yaitu
terkontrol sempurna, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol (Tabel 1) yangjuga belum divalidasi. Berbagai
Terkontrol Sebagian (Salah satu Dalam Per mgg) >
Tidak ada (< 2l.l/ mgg)
Gejala Harian
>3
2xlmgg
Gambaran asma terkontrol sebagian ada dalam setiap
Keterbatasan Aktivitas
Tidak ada
Ada
Gejala
Tidak ada
Ada
Tidak Ada (< 2xl mgg)
> 2x mgg
Normal
< 80% prediksi / nilai terbaik
Tidak ada
> 1 itahun > 1 /tahun
Nokturnal/Terbangun karena Asma Kebutuhan Pelega Fungsi Paru (APEA/EP1) Eksaserbasi
Tidak Terkontrol
mrnggu
l Xmgg
dan upayakan tahap terenda
O
bati ses ua i eksa se rb a si
Penyuluhan Asma dan pcngendalian lingkungan
ICS dosis randah ditambah agonis p, aksi
ICS dosis sedang atau dosis tinggi ditambah
ICS dosis sedang atau dosis tinggi ditambah
Pengobatan Anti-lgE
Teofilin lepas lambat
ICS dosis rendah ditambah teofilin lepas lambat
.lCS
= inhalasi glucocorticosteroids
0 = Antagonis reseptor atau inhibitor
syntesis
Gambar 1. Penatalaksanaan Berdasarkan Kontrol pada Anak > 5 tahun, Remaja dah Dewasa
4tt
AITMABROKIAL
alat tingkat kontrol asma saat ini telah dikembangkan baik
yang menggunakan fungsi paru sebagai salah satu komponen pengukuran kontrol maupun yang tidak, dan semuanya telah divalidasi. Salah satu diantaranya adalah Tes Kontrol Asma (TKA), yang tidak menggunakan fungsi paru, mudah pemakaiannya dan praktis karena sebagian besar dokter di negeri kita tidakmenggunakan fungsi paru
dalam prakteknya. TKA
ini telah pula divalidasi di
Indonesia. Pertanyaan-p ertany aan untuk TKA beserta interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 1 Pada sebagian besar pasien dengan intervensi obat asma dan hubungan dokter pasien yang baik tujuan di atas dapat tercapai. Pengobatan merupakan proses yang berkesinambungan. Bila dengan obat yang diberikan saat
terkoitrol, dosis atau jenis obat ditingkatkan. Seperti diketahui pada panduan
ini
asma belum
penatalaksanaan asma yang baru, terdapat 5 tingkatan pengobatan asma. Bila kontrol asma dapat tercapai dan dapat dipertahankan terkontrol paling tidak selama 3 bulan
maka tingkat pengobatan asma dapat dicoba untuk diturunkan. Sebaliknya bila respons pengobatan belum memadai tingkatpengobatan dinaikkan. Pada tingkat berapa
pengobatan untuk mencapai kontrol dimulai, tergantung berat atau tidaknya kontrol asma. Bila dianggap ringan
tirgkat2,yang agak berat tingkat 3 Tabel 1).
Pengukuran kontrol asma Pada penyakit-penyakit kronik sasaran pengobatan umumnya sudah jelas, sehingga pengobatan ditujukan kepada sasaran tersebut. Hipertensi dikatakan terkontrol
bila tekanan darah < 140190 mmHg, diabetes mellitus terkontrol bila kadar HbAlc < 6.5% atau dislipidemia dianggap terkontrol bila kadar LDL kolesterol < 100 mg/ dL. Namun asma sebagai penyakit multidimensi persepsi tentang kontrol asma belum ada kesepakatan, sehingga tidak mengherankan bila sebagian besar asma tidak terkontrol. Seperti dilaporkan dari beberapa negata maju. Oleh karena itu para ahli berupaya mencari alat ukur yang diperkirakan dapat mewakili kontrol asma secara keseluruhan mulai dari pengukuran salah satu variabel sampai kepada gabungan beberapa variabel. Sejauh ini paling tidak terdapat 5 alat ukur berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru, tetapi yang lazim dipakai adalah tes kontrol asma seperti terlihat pada Gambar2.
Asthma Control Test (Tes Kontrol Asma). Diperkenalkan oleh Nathan dkk yang berisi 5 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai terendah ACT adalah 5 dan tertinggi 25. Interpretasi dari skor tersebut adalah : a. bila kurang atau sama dengan 19 berarti asma tidak terkontrol, sedangkan di bawah I 5 dikatakan terkontrol buruk b. 20 -24 dikatakarterkontrol baik
c.
25 dikatakan terkontrol total atau sempurna.
ACT ini juga telah di uji coba oleh Susilawati di PoliklinikAlergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam,FKUIRSCM. Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya asma. Bila gej ala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik pengobatan,
ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (penghindaran alergen atau faktor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik. Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan, dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala. Akhil-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE rurtuk asma alergi yang berat. Penelitian menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma, kunjungan ke gawat darurat karena serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.
Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien. Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan kronisitas asma. memantau kondisi penyakitnya. mengenal tanda-
tanda dini serangan asma dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan menggtnakan peak Jlow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengannilai terbaikAPE pasien ataunilai prediksi normal.
4. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) Serangan asma ditandai dengan gejala sesaknapas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancamjiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal ata.u pasien sedang terpajan faktor pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu : a. Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
b. Mengatasi hipoksemia c. Mengembalikan fungsi paru ke arah normal secepat mungkin
d.
e.
Mencegah terjadinya serangan berikutnya
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cata-cara mengatasi dan mencegah serangan asma Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui
lebih dahulu derajat beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda frsis, nilai
412
ALERGIIMI.'NOI.OGI
silahkan pilih salah satu jawaban yang sesuaidengan kondisi asma Anda Berikan tanda silang (x)
Pedanyaan
1
Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering penyakit asma menggangguanda untuk melakukan pekerjaansehari-hari di kontor, di sekolah, atau di rumah?
t'-' el F- @l @l F*"'@lml Pertanyaan
2
Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering anda mengalami sesak napas?
Ir"":,'r"."CI1 Pertanyaan
3
ml ml
E @l @l @l m] E E:ix,.@l l#,l:" @l
Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering gejala asma (bengek, batuk-batuk, sesak napas, nyeri dada atau rasa tertekan di dada) menyebabkan Anda terbangun di malam hari atau lebih awal dari biasanya
Fi:'r'$','rulol
Pertanyaan4 Dalam4mingguterakhirseberapaAndamenggunakanobatsemrotatauobatminum(tablet/sirup) pern apasa n?
ffiol Pertanyaan
5
E
untukmelegakan
fd ml ffi*"dml E
Bagaimana Anda sendiri menilaitingkat kontrol/kendali asma anda dalam 4 minggu terakhir?
E*.r--,]
E
Gambar 2. Tes Kontrol Asma
APE, dan bila mungkin analisis gas darah seperti terlihat pada tabel 2. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah pasien termasuk pasien asma yang berisiko tinggi untuk kematian karena asma, yaifu pasien yang : . sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik . riwayatrawat inap ataukunjungan ke unit gawatdarurat karena asma dalam setahun terakhir . gangguan kejiwaan atau psikososial . pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan
Pengobatan asma akut Prinsip pengobatan asma akut adalahmemelihara saturasi oksigen yang cukup (Sa O, > 92%) dengan memberikan
oksigen, melebarkan saluran napas dengan pemberian
bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi serta mencegah
kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai Sa o2> 92yio, sehingga bila penderita telah mempunyai Sa O, > 92oh sebenamya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang, pemberian aerosol 2-4kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi serangan. Obatobat anti-asma yarrg lain seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat
altematif karena mula kerja yang lama serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberian kombinasi Ipratropium bromida dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.
4t3
AITMABROKIAL
Sedang
Ringan Dapat berjalan
Jalan terbatas
Sukar berjalan
Dapat berbaring
Lebih suka duduk
Duduk membungkuk ke depan
Beberapa kalimat
Kalimat terbatas
Kata demi kata
Kesadaran
Mungkin terganggu
Biasanya terganggu
Frekuensi napas
Meningkat
Meningkat
Biasanya terganggu Sering > 30 kaliimenit
Retraksi otot-otot bantu napas
Umumnya tidak ada
Kadang kala ada
Ada
Mengi
Lemah sampai sedang
Keras
Keras
Frekuensi nadi
<1
Pulsus paradoksus
Tidak ada (< 10mmHg)
Aktivitas
Bicara
00
1
00-1 20
Mungkin ada(10-25 mmHg)
>120 Sering ada
(>25mmHg)
60-80%
< 60%
PaCOz
> 80% < 45 mmHg
< 45 mmHg
< 45 mmHg
SaOz
> 957o
91-95%
<90%
APE sesudah bronkodilator (% prediksi)
Keteranoan: Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respons terhadap agonis beta 2 hirup tidak memuaskan. Dosis prednisolon arrtara 0,5-l mg/kgBB atau ekuivalennya. Perbaikan
biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan untuk beberapa hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan atau minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik. Pasien harus segera dirujuk bila : 1. Pasien dengan risiko tinggi untukkematian karena asma.
2. Serangan asma beratAPE < 60% nilai prediksi. 3. Respons bronkodilator tidak segera, dan bila
Pembedahan Komplikasi pembedahan juga ditentukan oleh beratnya asma sewaktu operasi, lokasi operasi dimana daerahtorak
dan abdomen atas mempunyai risiko yang paling besar serta jenis anestesi dengan intubasi mempunyai risiko yang lebih tinggi. Penilaian sebaiknya dilakukan beberapa hari sebelum operasi, agar bila terj adi kelainan dapat diatasi
sebelum operasi. Kortikosteroid sistemik oral dapat diberikan bila pada fungsi paru menunjukkan adanya obstnrksi. Demikian pula pasien asma yang 6 bulan terakhir
ada
respons hanya bertahan kurang dari 3 jam.
4.
Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah
5.
mendapat pengobatan kortikosteroid. Gejalaasmamakinmemburuk.
5. Penatalaksanaan asma pada kondisi khusus Beberapa keadaan pada asma yang perlu mendapat perhatian khusus apablla pasien asma juga mengalami kehamilan, pembedahan, rinitis, sinusitis, refluks gastroesofagal, dan anafrlaksis.
mendapat kortikosteroid sistemik, perlu mendapat perlindungan dengan 100mg hidrokortison sebelum operasi. Steroid mulai diklurarrgi24 jam setelah operasi.
Rinitis dan sinusitis Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rinitis, sinusitis dan polip hidung, dsb, karena mempunyai hubunganyang erat. Sekitar 70-80% pasien asma mempunyai gejala rinitis, sebaliknya sekitar 30% pasien rinitis mempunyai asma.
Untuk kepastian diagnosis sinusitis dianjurkan pemeriksaan CT Scan sinus paranasal. Perlu diwaspadai adanya asma, rinitis dan polip hidung yang sering disertai alergi terhadap asam asetil saliksilat. Infeksi saluran napas
Kehamilan Asma yang tidak terkontrol akan berdampak pada janin, menyebabkan kematian perinatal, prematuritas dan berat lahir rendah. Secara umum dapat dikatakan wanita hamil dengan asma yang terkontrol. Prognosisnya sama dengan wanita hamil tidak asma. Oleh karena itu pemakaian obatobat antiasma untuk memperoleh kontrol asma dapat diterima, meskipun keamanannya pada kehamilan belum terbukti. Dengan demikian penatalaksanaan asma pada kehamilan di tujukan untuk memperoleh kontrol asma.
atas yang disebabkan virus sering memicu terjadinya serangan asma. Pengobatan tidak berbeda dengan serangan asma yang disebabkan oleh faktor pencetus lainnya.
Refluks gastroesofageal Refluks gastroesofagal perlu dipikirkan terutama pada pasien asma yang sulit di kontrol. Penanganan keadaan ini diharapkan mengurangi gejala asma. Pengobatan yang dianjurkan yaitu porsi makanan yang sedikit tetapi sering,
414
ATJRGIIMI.JNOI.OGI
hindari makan atauminum sbbelum tidur, hindari makanan
yang berlemak, alkohol, teofilin dan agonis beta, oral. Berikan "Proton Pump Inhibitor" atau antagonisH2, serta tidur dengan tempat tidurbagian kepala yang ditinggikan.
Anafilaksis Kejadian anafilaksis bisa te{adi pada pasien asma, sehingga pada serangan asma yang resisten terhadap pengobatan perlu dicari gejala-gejala lain dari anafilaksis. Sekali diagnosis anafilaksis ditegakkan, pengobatan utamanya adalah epinefrin atau adrenalin 0.3 ml
IM yang dapat diulangi
beberapakali.
REFERENSI Bousquet J, Cabrera P, Berkman N, Buhl R, Holgate S, Wenzel S, et
al. The effect of treatment with omalizumab an anti-IgE antibody on asthma exacerbations and emergency medical visits in patients with severe persistent asthma. Allergy. 2005; 60:3028.
Fieal SB. Pulmonary diseases. In: Myers AR, editor. Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Harvard Publishing; 1994. p. 6l-95.
GINA Report, Global Strategy for Asthma Management and Prevention. [Cited 2007 October 12]. Available from: www.ginaasthma.org. Holgate S, Casale I Wenzel S, Bousquet J, Denis Y, Reisner C. The
anti-inflammatory effects of omilizumab confirm the central role of IgE in allergic inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:459-65.
Jariwala G, Hartlly JPR, Ree.s PJ, Mc Donald JB, Waiters EH. Epidemiology of asthma and asthma death. In: Jariwalla G, editor. Asthma. Lancaster MTP Press Limited; 1988. p. 11-58. Mc Connel WD, Holgate ST. The definition of asthma: its relationship to other chronic obstructive lung diseases. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thomson NC, editors. Asthma. 4th edition. London: Arnold; 2000. P.1-31. National Heart, Lung and Blood Institute US Department of Health
and Human Services/WHO. Global initiative for asthma. Publication No.95, 3859; 1995. p. 1-176.
NHLBI/WHO Workshop report. Global strategy for asthma management and prevention 1995. NIH Publication No. 023659. Revised 2004. p. l-182. Rodrigo GJ, Rodrigo C, Hall JB. Acute asthma in adults. A review. Chest. 2004; 125:1081-102. Rodrigo GJ, Rodrigo C. First line therapy for adult's patients with acute asthma receiving a multiple-dose protocol of ipratropium bromide plus albuterol in the emergency department. Am J Resp Crit Care Med. 2000; 161:1862-8. Sundaru H, Sukmana N. Epidemiologi asma di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. 1990; 19:.177-81. Sundaru H. Kontrol asma sebagai tujuan pengobatan asma masa kini. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu penyakit dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Susilowati J. Uji Keandalan dan kesahihan kuesioner tes kontrol asma pada pasien asma dewasa [tesis]. Jakarta: Program Studi
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007.
Universitas
64 PET{YAKIT KOMPLEKS IMUN Eddy Maft Salim, Nanang Sukmana
antibodi merupakan proses alami dalam rangka
yaitu: kelompok penyakit kompleks imun alergi dan non alergi. Penyakit kompleks imun alergi antara lain: reaksi Artus, reaksi serum s i clcn es s, alergik bronko-alveolaris. Termasuk penyakit kompleks imun non-alergi antara
mempertahankan tubuh terhadap antigen yang larut,
lain lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis,
misalnya toksin bakteri. Dalam keadaan normal, kompleks imun yang dibentuk oleh toksin dan antitoksin segera
reumatik.
PENDAHULUAN Pembentukan kompleks imun atau kompleks antigen-
glomerulonefritis, artritis rematoid (RA), dan demam Walaupun etiologi spesifik penyakit
dimusnahkan dengan cara fagositosis dan selanjutnya
ini
sangat
bervariasi namun patofisiologi secara umum sama. Pada makalah ini, lebih dititik beratkan dari aspek
hilang dari sirkulasi. Namun, pada keadaan tertentu adanya
kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan berbagai kelainan dalam organ tubuh yang disebut
imunologi sedangkan aspek klinis dibahas secara mendalam pada bab lain buku ini.
penyakit kompleks imun.
Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu atau beredar dalam pembuluh dar ah (C ir cull ating Imune Comp I ex). Biasanya, antibodi berupa IgG atau IgM, tapi pada penyakit tertentu juga terlihat peranan IgE dan IgA. Kompleks imun dapat
PATOFISIOLOG! Dasar patofisiologi penyakit kompleks imun ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Gell dan Comb (Gambar 1). Reaksi yang terjadi disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
berasal dari ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi ataupun terbentuk padajaringan setempat. Pada beberapa penyakit
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasildinding pembuluh
antigen merupakan komponen dari jaringan tubuh sendiri (autoantigen), sehingga dikenal sebagai penyakit autoimun atau berasal dari agen infeksi (bakteri, virus, maupun jamur). Setelah terbentuk kompleks imun di sirkulasi atau jaringan. kompleks akan mengaktifkan berbagai mediator inflamasi seperti komplemen pengerahan sel-sel radang PMN dan monosit ke tempat lesi. Selanjutnya komplemen yang telah diaktifl
darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi disini biasanya jenis IgM atau IgG, dan dapat pula berupa IgA atau IgE. IgG dan IgM mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik sedangkan IgA melalui jalur alternatif. Pada
penyakit kompleks imun alergik seperti Aspergilosis BronkopulmonariAlergik IgE juga berperan melalui reaksi hipersensitivitas Tipe I Gell dan Comb.Komplemenyang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemo t act ic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas enzim protease dan enzim lain yang dapat merusak
jaringan sekitarnya. Makrofag juga melepas bahan toksik
yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin (Oksigen Radikal Bebas) yang akan menyebabkan
akan menyebabkan kerusakan jaringan sekitar tempat
kerusakan jaringan lebih parah. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang
endapan menjadi lebih parah.
Penyakit kompleks imun ini dibagi atas 2 kelompok
415
4t6
ALERGIIMI.'NOI.OGI
yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meninggi, antara
lain karena histamin yang dilepas. Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada
penglepasan histamin tersebut. Histamin dilepas dari mastosit atas pengaruh anafilatoksin ( C3a dan C5a) yang dilepas pada aktivasi komplemen. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan ciliary body mata. Pada lupus eritematosus sistematik (SLE), ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis reumatoid, sel plasma
dalam sinovium membenhrk anti-IgG (faktor reumatoid berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun di sendi.
Muatan listrik kompleks imun ikut pula berperan. Kompleks imun bermuatan positif cendrung lebih mudah mengendap terutama di glomeruli. Hal ini diduga karena glomeruli bermuatan negatif.
Berikut dibicarakan beberapa diantara penyakit kompleks imune yang pentmg.
Reaksi artus. Artus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulangkali menemukan reaksi
yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya te{adi eritema dalam2-4jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan
suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit menyembuh. Hal tersebut disebut fenomena Artus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleksimun. Reaksi Artus biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikan akan Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe lll
persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Dalam kedaaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru, tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati, sedangkan kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi
untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun dalamjaringan, ialah ukuran kompleks imun
membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafrlatoksin) yang terbentuk meninggikan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edem. Komponen lain yang berperanan adalah faktor kemotaktik. Neutrofil dan
trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan mengakibatkan statis dan obstruksi total aliran darah. Neotrofrl yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan toksik seperti oksigen radikal bebas, protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhimya terjadi perdarahan disertai dengan nekrosis jaringan setempat. Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai komplemen komponen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosis memrrun (pada binatang, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari Artus tidak terjadi. Di dalam klinik, reaksi artus jarang terlihat.
Reaksi serum sickness. Serum sickness adalah penyakit
kompleks imun alergik yang bersifat sistemik akibat pemberian serum heterolog.
417
PENYAKIT KOMPLEKTi IMI.'N
Istilah ini berasal dari Pirquet dan Schick yang
Sebenarnya kemerahan tadi lebih menyerupai kupu-kupu
menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Sekitar 1-2 minggu setelah serum kuda diberikan, timbul
dibanding dengan muka serigala. Jadi istllah wolf-like sebenarnya kurang tepat. Istilah sistematik mempunyai
reaksi sistemik berupa panas dan gatal (urtikaria),
ginjal merupakan penyebb terbanyak kematian. Atas dasar yang belum jelas, pasien SZE membentuk imunoglobulin terhadap beberapa komponen badan misalnya DNA. Hal ini merupakan tanda utama dari SLE. Kadang-kadang dibentuk Ig terhadap denaturated, single stranded DNA atau nukleohiston. Diduga Ig tersebut membentuk kompleks DNA yang berasal dari degradasi jaringan normal. Sensitivitas pasien SZE terhadap sinar
bengkak-bengkak (angioedema), kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian badan, sendi dan kelenjar limfoid. Sedangkan pada tempat injeksi didapati tanda radang akut.
Gejala tersebut akan menghilang sendiri (self limited) setelah 7-30hari. Pada keadaan beratjantung dan ginjal dapat pula terlibat tetapi keadaan inijarang te4ad12. Begitu pula gejala neorologik seperti mono/poneuropati, sindrom Guillain-Barre dan meningo-ensefalitis j arang terj adi.
Aspergilosis bronkopulmonari alergik. Penyakit ini merupakan peradangan saluran napas yang ditemukan pada pasien atopi usia muda. Pasien sering memperlihatkan
gejala alergi terhadap jamur aspergilus fumigatus. Penyakit
ini dapat menyebabkan
kerusakan pada bronkus
(bronkiektasis) dan kerusakan parenkim paru. Baik IgE
maupun IgG terhadap aspirgilus, berperan dalam patogenesis penyakit ini. IgE terbentuk terhadap alergen spora sedangkan IgG terhadap alergen miselium. Tidak didapatkan peningkatan titer IgE yang menyolok pada keadaan eksaserbasi akut. Padapenyakit ini didapatkan 2 mekanisme imunologik.
Pertama; kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG) menyebabkan inflamasi saluran napas melalui mekanisme aktivasi komplemen dan
sel-sel fagosit. Kedua; kerusakan parenkim paru dan bronkus terjadi pula akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang menempel pada mastosit, yang selanjutnya
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
I
akibat
penglepasan histamin dan mediator lainnya. Gambaran klinis penyakit ini menyerupai asma dengan tanda-tanda serangan demam, batuk produktif, nyeri dada dan kelelahan. Batuk darah jarang terjadi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, nyeri sendi dan otot. Pada pemeriksaan f,rsik paru, ditemukan ronki yang menunjukan adanya infiltrat. Aspergilosis bronkopulmonari Alergik ini termasuk dalam kelompok penyakit Farmer b lung disease. F armer's lun g di s e as e ditemukan pula pada orang yang
rentan dengan pemaparan jerami yang mengandung banyak aktinomiset termofilik yang melepas spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pemaparan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete termofilik dan membenflrk kompleks antigenantibodi. Reaksi Tipe III pulmoner lain-lain yang sejenis adalah Pigeon breeder b disease, Cheese washer b disease.
Bagassosis, Maple bark stripper's disease, Paprika worker's dis
eas
e dan Thatched
ro
of worker b
dis eas e.
Lupus eritematosis sistematik. Istilah SZE yang berarti red wolfberasal dari gejala dini berupa kemerahan di pipi.
dasar yang kuat oleh karena penyakit mengenai berbagai alat tubuh seperti sendi, SSP, jantung dan ginjal. Kerusakan
ultraviolet diduga berdasarkan hal ini. Agregrat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengaktifkan komplemen, dan menarik glanurosit dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai glomerulonefi:itis. Kerusakan ginj al menimbulkan proteinuri dan kadang-kadang perdarahan. Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai dengan kadar kompleks imun. Imunisasi binatang dengan kapsel bakteri seperti Klebsiella dapat menimbulkan Ig yang bereaksi silang dengan SZ.E ditimbulkan oleh yang terdapat dalam lingkungan. umum mikroorganisme
DNA. Jadi mungkin sekali
Artritis reumatoid (RA). RA merupakan contoh penyakit autoimun lain. Di sini dibentuk Ig yang berupa IgM (disebut rheumatoidfaktor,FtF) yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Mengapa jenis Ig ini dibentuk dalam jumlah yang besar pada beberapa orang tidaklah diketahui. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovial sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respons infl amasi yang disertai peningkatan permeabilitas vaskular menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat bertambah banyak. (Gambar 2) Enzim hidrolitik yang dilepas pada reaksi ini dapat pula
menimbulkan destruksi permukaan sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi tersebut.
Akibat inflamasi yang berulang-ulang, terjadi penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh jaringan ikat sehingga sendi menyatu (ankilosis) yang menjadi sulit untuk digerakkan. Berbagai sitokin yang terlibat dalam kerusakan sendi dapat dilihat pada Tabel 1. Demam reumatik. Infeksi Streptokokus golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran Streptokokus bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tilang rawan dan membran glomerulus. Antibodi tprhadap Streptokokus diduga mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan reaksi inflamasi. Pada Gambar 3 ditampilkan patogenesis demam reumatik.
Sindrom Goodpasteur. Sindrom Goodpasteur ditandai
418
ALERGIIMI,'NOI.OGI
imun pada membran basalis tubuli/glomeruli ginjal dan paru
yang kemudian mengaktifkan komplemen dan sel-sel fagosit. Selanjutnya akibat reaksi ini dilepas mediatormediator inflamasi yang akan merusak jaringan sekitarnya. Adanya endapan kompleks imun pada membran basalis
organ
di
atas dapat diperiksa dengan pengecatan
imonofluorisensi.
Beberapa kelainan ginjal lain yang didasari adanya endapan kompleks imun adalah: glomerulonefritis anti-
gbm, glomerulonefritis kompleks imun, nefritis tubulointerstisial, nefropati lesi minimal dan glomerulosklerosis fokal.
Vaskulitis. Vaskulitis adalah suatu penyakit kompleks imun yang ditandai adanya inflamasi dan nekrosis lokal pada dinding pembuluh darah akibat respons tubuh terhadap antigen infeksi, keganasan, obatlbahan kimia, radiasi dan antigen lain yang tidak diketahui. Pada penyakit ini didapatkan beberapa hal penting : l). Adanya kompleks imun yang larut ditemukan dalam darah;2). Peningkatan permiabilitas vaskular akibat adanya endapan kompleks
J
imun pada dinding pembuluh darah; 3). Aktivasi komplemen dengan akibat pengerahan sel-sel PMN dan
monosit ke tempate ndapan kompleks imun; 4). Penglepasan mediator-mediator inflamasi yar,g menyebabkan kerusakan dan nekrosis pembuluh darah.
Gambar 2. Proses inflamasi pada reumatik artritis
Anemia hemolitik. Trombositopeni dan leukopeni dapat pula didasari oleh reaksi kompleks imun, baik autoimun
maupun non- autoimun. Golongan penisilin dapat bertindak sebagai hapten, menempel pada dinding sel target (eritrosit, trombosit atau leukosit). Plasma protein
Manifestation
Relevant cytokine (s)
Synovial tissue inflammation
aI b.
c
Adherence to endothelium
T cell chemotaxis T cell activationlproliferation
d. B
cell Differentiationl Abproduction
I Expression HLA atigens f. Macrophage activation e.
lL-1, TNF-cr, IFN-y I1.8, RANTES lL-'1,TNF-o, lL-6,11-2 lL-1,TNF-q, lL-6, lL-2, IFN-y IFN-y, TNF-cr
lFNl,GM-CSF,lL-2
Synovial fluid inflammation
a.
f
Adherence to endothetium b. PMN chemataxis c PMN activation Sy n ov i al p ro I iferati o n a. Fibrolast grawth b. Neovascularization C a r7i I ag e I bo n e d e stru cti o n a. Activation of chondrocytes b. Activation of fibroblast c. Activation of osteoc/asts Sys(emic man ifestations a. Fever, constitutional symptoms b I Acute phase reactants
lL-1, TNF-a, lFNl lL-8, TNF-cr TNF-o, GM-CSF, lL-8 tL-1,TGF-p, PDGF, FGF TNF-cr, TGF-P,FGF lL-1, TNF-cr lL-1, TNF-cr lL-1, TNF-cr IL-1, TNF-O
lL-1, TNF-o, lL-6
dengan trias: perdarahan paru, glomerulonefritis dan ditemukannya antibodi terhadap membran basalis (AntiGBM). Dasar kelainan ini adalah akibat endapan kompleks
Site of deposition
CrC YS Kidneys Joints Skin Autoimune disease Systemic lupus erythematosus Rheumatoid anhritis Polyafteritis Cutaneous vasculitis Polymyositis I dermatomyositis Fibrosing alveolitis Cryoglobulinaemia Disease due to
+
Others
+++ +
+
Muscle liver +
+
Muscle Lungs
+ +
+
microbiel antigens Bacterial endocarditis Leprosy Malaria Hepatitis Typanosomiasis (Atrican) Dengue haemorrhagic fever
Heafl +
+
+
+
++ ++
Eyes
+
Liver
+
Heaft,
brain +
CIC : circulating immune complexes; yS i the vascular system
PET.IYAIfl T KOMPLEKS
419
IMUN
bertindak sebagai " carrier" menyebabkan hapten menjadi
imunogen. Kompleks imun yang terbentuk akan mengaktifkan komplemen dan sel NK. Reaksi yang te{adi akan membebaskan mediator-mediator in{lamasi. Hasil akhir reaksi tipe II Gell dan Comb ini akan menyebabkan lisis sel target, sehingga terjadi anemia hemolitik, trombositopeni atau leukopeni.
Analilaksis. Reaksi atau renjatan anafilaksis dapat pula didasari oleh reaksi kompleks imun. Aktivasi komplemen dan trombosit dapat pula membebaskan amin vasoaktif
(histamin dll) yang akan menyebabkan peningakatan permeabilitas vaskular, sehingga terjadi vasodilasi. Hasil akhir reaksi ini dapat menyebabkan reaksi atau renjatan anafilaksis.
Infeksi Lain. Pada beberapa penyakit infeksi seperti malaria, virus hepatitis B, lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat, antara lain organ ginjal.
train reumatogenik serotype [,11,
3,5,
P
ositif untuk
H
LA-D R 4,
2, 1 , 3,
dan atau alotipe DB /
Kompleks imun dalam sirkulasi dapat ditemukan 2 cara,yaitu: pemeriksaan antigen spesifik dalam
dengan
kompleks dengan antibodi dan dengan pemeriksaan antigen nonspesifik. Oleh karena beraneka tagam antigen dapat ditemukan dalam kompleks imun, cara antigen spesifik sangat sulit untuk digunakan di klinik. Maka banyak peneliti telah memilih dan mengembangkan teknik antigen nonspesifik. Dewasa ini banyak carayal1dapat dikerjakan untuk menemukan kompleks imun dalam sirkulasi, tetapi tidak ada satupun c arayangideal. Salah satu teknik yang sering digunakan adalah cara yar,g menggunakan cell line limfoma(selRaji). Kerusakan jaringan oleh karena kompleks imun tidak selalu disertai dengan adanya kompleks imun dalam sirkulasi. Penemuan kompleks imun dalam serum berguna untuk menilai dan memantau penyakit serta efekperhrkaran plasma. Bila kompleks imun diduga berperan pada suatu penyakit, maka sedapatnya dilakukan biopsi jaringan dan kompleks imun diperiksa dengan teknik imunofluoresen' Karena itu pemeriksaan kompleks imun di dalam jaringan lebih bermakna dibanding dengan pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi.
7
1 7-
Pemeriksaan KomPlemen Pemeriksaan komplemen dalam serum dimaksudkan untuk
JARINGAN / ORGAN lnflamasi pada I Jantung Sendi 0ta I Vaskular
Jaringan rkat
Gambar 3. Patogenesis demam reumatik
DIAGNOSIS LABORATORIU M
mengukur fungsi komplemen dan menentukan sifat antigenik komplemen (cara Mancini). Komplemen dapat dibagi dalam 3 golongan sebagai berikut: a). Komponen dini pada jalur klasik (C l,C4 danC2); b). Komponen dini pada jalur altematif (faktor B, D,dan P); c). Komponen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9). Bila kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti aktivasi komplemen hanya te{adi melalui jalur klasik. Bila kadar C4, C3, dan semua faktor B semuanya rendah, kanungkinanbesarjuga te{adi aklivasi melalui jalur altematif. Tetapi bila kadar C4 normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah, berarti ada aktivasi melalui jalur altematif saJa.
Walaupun diteksi kompleks imun tidak mutlak untuk setiap
penyakit, tetapi pada beberapa keadaan, penentuan kompleks imun bermanfaat selain untuk menunjang diagnosis juga untuk memantau keberhasilan tetapi. misalnya pada SLE, artritis reumatoid, poliartritis nodosa. Kadar kompleks imun sesuai dengan status penyakit dan mempunyai nilai prediktif yang cukup baik.
Pemeriksaan Kompleks lmun Adanya kompleks imun dapat diperiksa dengan 2 cata sebagai berikut: l. Analisis spesimen jaringan untuk melihat komponen
2.
Pengukuran C3 dan C4 akan membantu dalam pemantauan pengobatan pasien glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar yang rendah biasanya menjadi normal padaremisi.
Pemeriksaan Jaringan BioPSi Jaringan biopsi dapat juga digunakan untuk pemeriksaan imunoglobulin, komplemen, dan kadang-kadang antigen' Baik pada jaringan yang rusak maupun yang sehat, dapat terjadi endapan kompleks imun yang mengandung ketiga
endapan kompleks (imunoglobulin, komplemen,
unsur tersebut. Jaringan biopsi untuk pemeriksaan imunofluoresen, tidak boleh difisasi, tetapi jaringan tersebut harus secepatnya dikirim ke laboratorium untuk
kadang-kadang antigen) dengan teknik imunofluoresen' Kompleks imun dalam serum atau cairan tubuh lain.
dicuci dengan larutan garam untuk mengurangi fluoresensi
dibuat sendian beku. Sebelum diwarnai, sediaan harus
420
ALERGIIMI.'NOI.OGI
yang timbul darijaringan itu sendiri (fluoresensi intrinsik).
Teknik tersebut sering digunakan pada pemeriksaan jaringan biopsi kulit, ginjal, dan sumsum tulang.
Pemeriksaan Autoantibodi Autoantibodi seperti ANA (Arti NuklirAntibodi), ds-DNA, SMA(Smooth Muscules Antibodi) dan lain-lain dalam sirkulasi dapat ditemukan melalui beberapa cara, arltara lain dengan teknik imunofluoresen, RIA, dan countercurent electrophoresis. Rheumalold faktor (RF) adalah IgM yang bereaksi dengan IgG sebagai antigen. Di banyak laboratorium, RF ditentukdn dengan bantuan lateks yang dilapisi dengan IgG, yang kan mengendap bila
ada RF. Cara
ini
mudah, murah,dan cepat, tetapi menimbulkan reaksi positif semu. Selanjutnya RF dapat diperiksa dengan cara Rosewaaler yang menggunakan IgG (yang mempunyai determinan sama dengan IgG manusia)
terhadap sel darah merah
biri-biri. IgG tersebut
diinkubasikan bersama sel darah merah biri-biri. RF hanya
menimbulkan aglutinasi sel darah merah biri-biri yang disensitisasi IgG saja.
PENGOBATAN
dapat diberikan dosis rendah (1 inglKg bb). Pada keadaan yang lebih berat steroid dapat diberikan dosis tinggi (2mglKgbb) atau mega dose (500-1000 mg/ hari selama 3 hari berhrrut-turu1). Pemberian steroidjangka panjang, dipilih golongan yang mempunyai efek samping lebih kecil seperti metil prednisolon. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid dapat pula diberikan pada kasus yang masih ringan. Pada keadaan tertentu yang berat atau respons steroid tidak memuaskan
dapat ditambahkan pula obat imunosupresif seperti klorokuin, siklofosfamid, metotreksat ataupun siklosporin.
REFERENSI Ambrus JL. Small and medium vessel primary vasculitides. Clinical immunology principles and practise. Volume 2. In: Robert R. Rich, editor. St. Luis, Missouri: Mosby-Year Book, Inc; 1996.
p.tt98-223. Ayoub EM. Rheumatic fever. Clinical immunology principles and practice. Volume 3. In: Robert R, editor. St. Luis, Missouri: Mosby Years Book, Inc; 1996. Baratawijaya KB. Reaksi hipersensitivitas. Imulogi dasar. Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1996. p.76-97. Coico R, Sunshine G, Benyamin E. Immunology: a short course. Fifth edition. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Son Inc,; 2003.
Terapi penyakit kompleks imun dapat dilakukan dengan
menghilangkan antigen penyabab dan menghentikan respons inflamasi. Umumnya sentm siclcness merupakan perryaktt self limited, jarans mengancam kehidupan. Pada kasus serum sickness yang diinduksi obat, paling penting
menyetop agen penyebab Sekarang ini, plasmaferesis dapat digunakan untuk membuang sebagian kompleks imun yang ada dalam sirkulasi (terutama berhubungan dengan bahan sitotoksik).
Pada beberapa kasus, terapi suportif dengan antihistamin untuk urtikaria dan asetaminofen untuk demam, mialgia dan artralgia sudah cukup adekuat. Pada kasus gangguan renal yang berat, gangguan CNS dan vaskular dapat diberikan glukokortikoid sistemik Pengobatan Aspergilasis Bronkopulmonari alergik sangat tergantung dari kecepatan dalam menegakkan diagnosis. Terapi dengan steroid dosis tinggi dapat mengurangi
gejala inflamasi alergik akut dan mencegah kerusakan parenkim paru dan bronkus yang bersifat "Irriversible". Pemberian bronkodilator dapat pula mengatasi gejala sesak
napas (mirip asma). Pemberian obat anti jamur untuk aspergilus tidak memberikan marfaat. Pada penyakit kompleks imun
non-alergik seperti SLE,
Artritis rematoid, Glomerulonefritis dapat diberikan steroid dengan dosis yang bervariasi tergantung berat ringannya penyakit. Pada umumnya kelainan yang ringan
p.219.
Frank MM, Lawley TJ. Immune-complex diseases. Harrison's principles of intemal medicine. 13 th Edition. New York: Mc. Graw Hill, lnc; 1994. p. 1638-43. Fye KH, Sack KE. Rheumatic diseases. Basic and clinical immunology. 7th Edition. In: Daniel P, editor. Stites, PreticeHall International Inc; 1991. p. 438-63. Kresno SB. Penyakit kompleks imun. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1991. p.127-32. Mannik M. Serum sickness and pathophysiology of imune
complexes. Clinical immunology principles and practise. Volume 2 In: Roberl R. Rich, editor. St. Luis, Missouri: MosbyYear Book, Inc; 1996. p.1062-71. Petri M. Systemic lupus erythematosus. Clinical immunology principles and practise. Volume 2. In: Robert R. Rich, editor. St. Luis, Missouri: Mosby-Year Book, Inc; 1996. p. 1072-92. Sigal LH. Autoimun disorder; systemic and organ spesific. Immunology and inflammation. In: Leonard H, Sigal, Yacov Ron, editors. New York: McGraw-Hill,Inc.; 1994. p. 599-619. Terr Abba IT. Immune complex allergic diseases. Basic and clinical immunology. 7th Edition. In: Daniel P. Stites, editor. Pretice-Hall International Inc; 1991. p. 410-4. Wilson CB, Fornasieri A, et all. Renal diseases. Basic and clinical immunology. 7th Edition. In: Daniel P. Stites, editor. Pretice-Hall International Inc; 1991. p. 526-38. Yates AB, de Shazo RD. Drug allergies and hypersensitivitas in clinical immune. PrinciplJi and practice. 2'd edition. In: RR. Rich et al, editors. Mosby, London; 2001. p. 54-6.
65 RESPONS IMUN INFEKSI HIV Tuti Panruati Merati, Samsuridjal Djauzi
limfosit CD4 merupakantargetutamapada infeksi HIV' Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan
Sel
menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya
diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.'!2 Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gpl20yatgmelekat pada glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein pl7. Setelah itu terdapat
inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa duabuahrmrtai RNA dan
dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejalapenyakit dengan spektrum yang luas. Gejala
enzitmrev ers e trans criptas e (Gtmbar
l).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV- 1 yang ditemukan pada tahun 1983. dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 cara pada pasien AIDS di Afrika tiPe global terutama disebabkan
penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluleq di samping imunitas
humoral karena gangguan sel T helper (TH) untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi
HIV-2 tidak terlalu luas
peny
atau keganasan pada stadium lanjut. Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, .yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung
vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur genom ini
ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi ke
janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV
memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh
HIV. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya
HIV
ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4.
Penelitian intensif di bidang virologi HIV dan kemajuan di bidang imunologi akhir-akhir ini dapat dengan lebih jelas menerangkan bagaimana HIV masuk kedalam sel pejamu dan menimbulkanperubahan patologi pada tubuh manusia'
Reverse transcriptase (RT)
STRUKTUR H!V
HIV merupakan
suatu vlrus
di
hubungan erat dengan Afrika Barat. HIV- I maupun HIV-2 mempunyai stmktur yang hampir sama, HIV-l mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai
hipersensitivitas dan kecenderungan terj adinya malignansi
vertikal dari ibu
at
Afrika Barat dan beberapa negaraBropayang mempunyal
Gambar 1. Struktur HIV
RNA bentuk sferis dengan
421
422
ALERGIIMUNOLOGI
walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam
menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-I yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-I.
Gemone organisation of HIV-'I and of
HIV-2
Gag = group-speclfic antlgen
Po = polymerase = reverse transcriptase
Gambar 2. Perbedaan struktur gen HIV-1 dan HIV-2
SEL TARGET Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, periferal dendritik, folikular dendritil<, mukosa rektal, mukosa saluran cema, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada
mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata juga dapat terinfeksi HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel mieloid progenitor CD34+ dan sel timosit
tripel negatif.
Di samping itu memang ada sel yang benar-benar CD4
negatif tetapi dapat terinfeksi HIV. Untuk hal ini diperkirakan ada reseptor lain untuk HfV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galaktosil seramid.
Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadi binding.
MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL Aktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respons imunitas. Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag -TCR (7 Cell Receptor) dengan kompleks Antigen-molekul MHC
produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (sitotoksik T limfosit atau TC) dan sel limfosit B.IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th lainnya yang belum memproduksi
IL-2 untukberproliferasi. Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respons yang diawali oleh kontakAPCs dengan sel Th semula. Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CDS dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel Th,
sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitop benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut. Tangan ke tiga dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK(natural killer),yaifi sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel fumor atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi oleh antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell dffirentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit B, maka akan te{adi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.
PENGARUH HIV TERHADAP SISTEM IMUN atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun,
HIV terutamamenginfeksi limfosit CD4
demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respons imun seluler maupun respons imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respons imunitas tubuh tidak berlangsung normal.
Clas
Abnormalitas pada lmunitas Selular
gen
Untuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respons imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMD. Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag
II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagai antipresenting cel/s (APCs) yang teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua berasal dari Sitokin IL- I yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan
RESFONS IMUN INFEKIII
423
HW
dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi
pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidorudin atau anti virus sitomegalo yaitu gansiklovir dapat menimbulkan terjadinya neuffopenia.
membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, di samping secara spesifik membunuh
Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV di dalam tubuh, atau paling tidak berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutama neutralizing antibodikasns AIDS stadium lanjut (di mana limfosit CD4
sel yang di bungkus oleh antibodi melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Sel Th: Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikatorAIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200l,tL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai I 00/uL.
Makrofag: Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii.
Sel Tc: Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi diferensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi. Sel NK: Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa
penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV.
Abnormalitas pada Imunitas Humoral Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4
<200ltL) bila dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Sedangkan pada stadium sebelumnya di mana sel Th masih di atas 200-500/uL, produksi anitibodi tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa bulan setelah infeksi.
Secara umum dapat dikatakan respons antibodi terhadap HIV sangat lemah, dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HfV. Karena
itu HIV dapat melewati respons antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.
InfeksiAkut. Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel dendritik @C) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap Fase
HIV. DC bertindak sebagai antigenpresenting cell (APC) dan mgmpresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Hal ini terjadi karena DC mengekpresikan molekul major histocompatibility
complex (MHC) klas I, MHC klas II dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap DC akan menuju kelenjar limfoid dan
yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell dffirentiation factors) akan
mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping mengangkut HIV kekelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit
merangsang limfosit B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi
Th.
sel plasma. Dengan adanya antibodi diharapkan akan
Perlu diketahui terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan
meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel
protein envelop gp 120 pada sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk dalam C'type lectin receptor adalah dendritik cell-specific ICAM-3-
makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi. HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara
poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi
respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toksoplasma
grabbing non-integrin (DC-SIGN), mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini dapat mengikat gp 120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC sel mengekspresikan molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai CXCR4. Murlgkin ini berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa hampir 95% strain HIV yang ditemukanpada infeksi primer adalah strainM-tropik atau R5 HIY strain. Sama seperti transmisi mukosa,
gondii atau CMV tidak direspons dengan pembenhrkan imunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisakarida sangat lemah,
transmisi HfV secara vertikal juga terutama Strain R5. Pada manusiawaktu lama dari infeksi mukosa sampai terjadi viremia, berkisar antara4-ll hari. Hal ini juga tergantung dari
misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dan lainJain. Fungsi neutrofiljuga terganggu, karena itu
apakah ada hal-hal lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya inflamasi dan infeksi (servisitis, uretritis, ulkus genitalis, dsb). HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada
hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Di samping memproduksi lebih banyak imunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respons yang tepat.' Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena
sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi
424
dalam sel yang terinfeksi akan menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respons imun seluler maupun
ALERGIIMT,'NOI.OGI
humoral. Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru
terinfeksi HIV. Didapatkan HIV telah berada dalam kelenjar limfe kera 5 hari setelah infeksi SIV, dan bila dilakukan analisis hibridaterhadap RNA HIV/SIVpada fase itu, temyata HIV
menyebabkan makin banyak sel limfosit yang terinfeksi.
kebanyakan terdapat sebagai sel-sel individual yang
Dalam beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi. Dalam fase ini
mengekspresikan RNA, dan mencapai puncak pada hari ke 7 setelah inokulasi. Analisis biopsi kelenjar secara cross sectional pada orang yang terinfeksi HIV bersifat konsisten dengan model rhesus monkey. Dengan bukti itu, maka kelenjar limfe merupakan organ anatomi yang pertama yang
di dalam darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan komponen inti p24, yang menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistem imun. Dalam 24 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respons imunitas seluler terhadap HIV. Diperkirakanpaling sedikit 10 milyard HfV diproduksi dan
dihancurkan setiap harinya, karena waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam. Tapi ada yang mengatakan turnoyer HIV adalah 2x10 milyar perhari, sedangkan sebagai bandingan, estimasi penurunan CD4 limfosit adalah 20-200 x I juta per hari dengan klirens waktu paruhnya sekitar dua hari. Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi analogi dengan infeksi virus pada umunnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang
sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa mengenal dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembentukan virus baru. Pada infeksi HfV sejak awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik (TCLs atau Tc). Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk CAF ), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfositCD4. Keadaan seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi. Di samping
jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu, bahkan pada stadium di mana jumlahnya masih di atas 5 00/ml. Ternyata kemampuannya untuk proliferasi
karena rangsangan berbagai macam antigen dan kemampuannya untuk memproduksi sitokin untuk fungsi
helper juga menurun.Terjadi penurunan respons pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus atau toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respons terhadap sel
asing (allogeneic response), terakhir juga kehilangan kemampuan untuk respons mitogen non-spesifft seperti f,rtohaemaglutinin.
Risiko infeksi oportunistik dipengaruhi oleh jumlah CD4. Pada jumlah CD4 di bawah 100 dapat terjadi infeksi toksoplasma sedangkan pada jumlah CD4 di bawah 50 dapat terj adi infeksi Sitome gal.
Peranan kelenjar limfe pada infeksi primer. Penelitian tentang peranan kelenjar limfe dalam infeksi akut HIV, dilakukan secara histopatologik biopsi kelenjar yang diikuti baik secara longitudinal, maupun cross sectional, pada
percobaan rhesus monkey dengan SIV dan orang yang
terinfeksiHlV. Pada fase transisi ke fase kronik, terjadi switch ekspresi sel-secara individual ke benhrk
dai
trappingHN oleh
jaringan sel dendritik folikuler didalam germinal senter kelenjar limfe. Bentuk ini mendominasi keberadaan HIV dan pada saat ini terjadi pemrmnan secara drastis jumlah sel-sel individual yang mengekspresikan HIV. Jadi pada fase akut ini dapat dilihat adanyaupaya sel-sel limfosit T sitotoksik untuk mengurangi jumlah HIV. akan membentuk
kompleks dengan imunoglobulin dan komplemen. Kompleks ini akan terikat pada reseptor komplemen pada permukaan sel dendritik. Secara klinik akan terjadi
penurunan jumlah RNA
HIV dalam plasma dan
menghilangnya sindrom infeksi akut Terjadinya gejala-gejalaAIDS umumnya didahului oleh percepatan penurunan jumlah limfo sit CD4, sering te{ adi pada keadaan di mana sebelumnya jumlah limfosit CD4 di atas 300/uL. Pada umumnya perubahan ini berkorelasi dengan munculnya strain HIV yang lebih virulen, yaitu
strain SI (Syncitial Inducing), diikuti oleh gejala klinis menghilangny a gejala limfadenopati generalisat a y ang merupakan prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat
hilangnya kemampuan respons imun seluler untuk melawanturnoverHlYdalamkelenjarlimfe,ditandaioleh membanjirnya HIV kedalam sirkulasi karena rusaknya stuktur kelenj ar limfe.
Reaksi Autoantibodi Reaksi autoantibodi cenderung terjadi pada fase awal infeksi HIV pada saat sistem irnunitas masih relatifbagus. Karena limfosit B tidak memberi respons yang tepat, terbentuk autoantibodi terhadap beberapa protein tubuh, antara lain antibodi terhadap platelet, neutrofil, limfosit dan mielin. Mekanismenya tidak begitu jelas, ada dua jalur. Pertama akibat aktivasi sel B yang disregulasi sehingga te{adi poliklonal hipergammaglobulinemia. Kedua karena adanya molecular mimicry antara antigen HIV dengan
beberapa protein tubuh. Keadaan
ini
menimbulkan
sindrom autoimun, antara lain Autoimun hombositopenik purpura (AITP), antifosfolipid antibodi (APLA), autoimun
gastropati dengan hipoklorhidria, autoimun hemolitik anemia (AIHA), pruritic papuloves icular eruption (PPYE). Proses autoimun juga mempercepat penurunan jumlah T
CD4. Pada stadium awal infeksi HIV juga dapat terjadi Sindrom yang dimediasi oleh limfosit T-CD8, seperti
RESPONS IMUN INFEKSI
425
HIV
Sj ogren's, Lymphocytic Interstitial Pneumonitis (LIP), Autoimun Polimiositis, Autoimun chronic active hepatitis dan Cardiac miositis.
sindrom
c.
dosis tinggi trimetoprim-sulfametoksazol bila
Sindrom demielinisasi, seperti sindrom Guillain Barre,
kronik idiopatik demielinating polineuropati dan sindrom kompleks imun seperti polyarteritis nodosa-like arteritis dan hipersensitivitas vaskulitis bisa timbul juga pada awal penyakit Gambar 5 menrurjukkan gejala klinik dihubungkan
dengan lama infeksi dan jumlah Th (CD4). Jumlah CD4 menentukan manifestasi gejala klinik yang timbul melalui patogenesis yang berbeda. Pada awal merupakan respons tubuh yang sama seperti infeksi oleh virus lain, setelah itu, pada saat jumlah CD4 masih cukup tinggi (500-700) dapat timbul gejala akibat reaksi autoantibodi. Gejala klinik pada waktu CD4 sudah rendah (<500) merupakan infeksi
Besar dosis dan lama pemakaian obat. Misalnya ditemukan reaksi hipersensitivitas pada pemakaian
d.
dibandingkan dengan pemakaian dosis rendah sebagai profilaksis. Dan semakin lama obat dikonsumsi, semakin tinggi kemungkinan terj adinya reaksi hipersensitivitas. Faktor lain misalnya imunoglobulin yang spesifik untuk obat tertentu dan stnrktur obat dan metabolismenya dalam tubuh.
Timbulnya Malignansi atau Tumor Sekunder pada Infeksi HIV Telah diketahui bahwa degenerasi maligna akan disebabkan oleh adanya diferensiasi dan proliferasi sel yang abnormal. Kerusakan genetik sel dapat berakibat
oportunistik atau kanker oportunistik.
kematian sel, atau beberapa sel dengan struktur genetik yang berubah tersebut masih dapat hiduP dan
Reaksi Hipersensitivitas pada lnfeksi HIV Reaksi hipersensitivitas pada infeksi HIV tidak jarang obat-obatan yang diketahui menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada infeksi HfV semakin lama semakin
menunjukkan fenotip yang berbeda. Fenotip yang berbeda bisa berkembang kearah malignansi atau keganasan. Di sinilah peran sistem imun, terutama respons imun seluler berfungsi untuk menghancurkan antigen asing. Sebab bila tidak terjadi klirens, maka antigen asing tersebut merupakan
bertambah. Kej adian hipersensitivitas terhadap obat j auh lebih tinggi pada infeksi HIV dibandingkanpadanon HIV.
stimuli kronis terhadap proliferasi sel-sel imun yang cenderung berlebihan. Misalnya proliferasi poliklonal dari
Misalnya hipersensitivitas terhadap trimetoprim-
buruk lagi karena selalu diperlukan obat pengganti, di mana obat ini mempunyai efektifitaskurang ataumempunyai efek yang lebih toksik.
sel limfosit B dengan berbagai akibatnya dan terjadinya limfadenopati generalisata. Di samping itu sistem imun berfungsi untuk menghancurkan sel dengan fenotip yang berubah kearah keganasan akibat adanya virus yang bersifat onkogenik. Pada infeksi HIV dengan adanya defisiensi imun akan memungkinkan aktivasi virus-virus laten dalam tubuh sehingga terjadi keganasan sekunder, misalnya EBV
Patogenesis terjadinya reaksi hipersensitivitas ini
berkaitan dengan timbulnya Limfoma Non Hodgkin's, HPV
te{ adi, dan umumnya berkaitan dengan obat-obat an. Daftar
sulfametoksazol dosis tinggi untukmengobati PCP terjadi
antara 27o/o-64yo, dibandingkat 3Yo pada otang imunokompeten atau imunodefisiensi karena non HIV. Kejadian hipersensitivitas terhadap obat ini akan lebih
diperkirakan melalui jalur reaksi alergi, fiadi bersifat immune mediated) atau karena toksik yang penyebabnya
belum diketahui. Namun reaksi hipersensitivitas yang ditemukan pada infeksi HIV ini tidak dapat dimasukkan pada salah satu dari 4 tipe reaksi hipersensitivitas menurut klasifikasi Gell and Coombs.s Memangbertentangan sekali terjadi reaksi hipersensitivitas pada orang yang 'anergi' terhadap beberapa stimulan lain, misalnya vaksinasi Hepatitis B atau tes tuberkulin. Beberapa keadaan yang diduga berperan adalah:
a. Disregulasi
pada sistem imun. Reaksi terhadap dan obat anti
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol TB (OAT) sering terjadi padaCD4 rendah (20-<2001
uL). Pemeriksaan histopatologi kulit menunjukkan
b.
kelainan yang sama, tidak tergantung obat pencetus, sehingga diperkirakan patogenesisnya bersifat umum. Koinfeksi virus-virus lain, seperti virus Epstein-Barr (EBV), Sitomegalo (CMV) dan beberapa virus saluran
napas dikatakan berhubungan dengan terjadinya kemerahan pada kulit akibat Ampisilin. Tidak ditemukan timbulnya kemerahan pada kulit, bila fase infeksi akut
oleh virus-virus tersebut sudah lewat.
(human papiloma virus) berkaitan dengan timbulnya karsinoma leher rahim, dan Human herpes Virus dengan sarkoma Kaposi's.
8
berkaitan
Faktor Pejamu dan Virus yang Mempengaruhi Infeksi HIV. Respons imun spesifik terhadap HIV tidak dapat mengontrol atau menghambat infeksi kearah kronik. Faktorfaktor yang menentukan hal tersebut adalah: faktor genetik host, mekanisme imunologis untuk melepaskan diri dari imun survailan dan faktor virusnya sendiri.
Faktor Pejamu: Genetik dengan HLA class I haplotype sering menunjukkan penyakit yang tidak progresif dibanding HLA lainnya. Di samping itu ditemukan adanya
mutasi genetik homozigot pada reseptor kemokin CCR5, seperti "32CCR5-"32CCR5 akan relatif resisten terhadap infeksi HIV. Akan tetapi mutasi heterozigot seperti CCR5"32CCR5 tidak dapat mencegah infeksi, namun secara bermakna berhubungan dengan progresifitas penyakit yang lambat. Faktor imunologik yang dapat mempengaruhi, antzralain'. tingginya RNA HfV plasma yang terjadi setelah infeksi akut yang disebut set point, dapat dipakai untuk menduga kecepatan progresifitas penyakit. Wrologic set
426
ALERGIIMI.JNOI.OGI
point pada orang yang terinfeksi HIV akan berbeda-beda, tapi cenderung tetap stabil pada orang yang sama pada fase kronik. Menghilangnya clone sel sitotoksik limfosit CDS yang spesifik, gangguan fungsi APCs, dan adanya
untuk timbul pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan, karena itu IO bisa disebabkan oleh organisme non patogen. Pada infeksi olehhuman immuno(IilV), tubuh secara gradual akan mengalami pemrnrnan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CDl. Pada keadaan dimanajurnlah limfosif CD4 4001 ml ataukurang, sering te{adi gejala penyakit indikatorAlDS. Spektrum infeksi yang te{adi pada keadaan imunitas tubuh deficiency virus
respons antibodi humoral.
Faktor Virus: HIV
dapat bertahan dalam tubuh karena
HIV
mempunyai kemampuan untuktetap berada dalam limfosit CD4 dan mempunyai kemampuan untuk replikasi, adanya variabilitas genetik HIV dan trappingHN pada permukaan sel folikuler dendittk. P oolirzg tersebut mengandung DNA provirus dengan daya replikasi. Sebagai catata\ tipe ini jnga dapat dijumpai pada seseorang yang telah memakai HAART selama2tahun, sehingga bila HAART dihentikan, maka HIV plasma akan meningkat lagi yang berarti gejala penyakit akan muncul lagi. Perusakan sel limfosit CD4 yang membawa provirus ini terjadi sangat lambat sekali, dan prosesnya tidak dapat dipengaruhi oleh HAART, sehingga
menurun pada infeksi oportunistik.
Organisme penyebab
akan menjadi reservoir kronik yang stabil (karena
mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulitmengobati, bahkan sering
mengakibatkan kematian. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga
HIV
jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya iqfeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO terdapat dilingkungan hidup kita yang terdekat, seperti
pada stadium lanjut. HIV dapat bertahan danberada dalam organ atau sel tertenfupada manusia, sehingga merupakan sumber HfV secara kronik.
air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita padakeadaannormal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi. Penyebab IO padaAIDS, sumber dan cara transmisinya dapat dilihat dalam Tabel l.
Patogen penyebab infeksi oportunistik pada AIDS. Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi akibat adanya kesempatan
Gara Transmisi
Penularan Orang ke Orang
Reaktivasi endogen, org sakit Air, tanah Air, tanah
lnhalasi lnhalasi, ingestion lngestion
Ya Tidak Tidak
Reaktivasi Reaktivasi Reaktivasi Reaktivasi
Seksual Tidak tentu Seksual, darah lnhalasi/ingestion?
Ya Tidak tentu Ya Ya
Organisme
1 2. 3.
V rus 1.
2. 3.
4.
Herpes simpleks Herpes Zoster CMV EBV
endogen, endogen, endogen, endogen,
org org org org
sakit sakit sakit sakit
Parasit:
'1.
2.
Pneumocystiscarinii Toksoplasma Gondii
3. 4.
lnhalasi lngestion
Mikrosporidia Cryptosporidia
Reaktivasi endogen, org sakit Reaktivasi endogen, kotoran kucing, daging mentah Air, orang/bint terinfeksi Air, orang/bint terinfeksi
Kandida
Air ,tanah,
KriptokokkusNeoforman
Tanah, kotoran burung/ binatang Tanah Air, tanah Air, tanah
Tidak tentu lnhalasi lnhalasi lnhalasi/ingestion lnhalasi/ingestion
lngestion/inhalasi? lngestion
Mungkin Tidak Ya Ya
Jamur
1. 2. 3. 4. 5.
Aspergilus
HistoplasmaCapsulatum Coccidioido immitis
yang
terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian
terbebas dari serangan CTLs spesifik) dan merupakan sumber infeksi bagi limfosit CD4, sehingga te{adi inflamasi kronik yang mengakibatkan te{adi destruksi jaringan limfosit
Bakteria: MTB MAC Salmonella
IO adalah organisme
merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang
menghambat eradikasi HN. Trapping oleh sel folikuler dendritik sebenamya merupakan frrngsi fisiologis untuk melakukan klirens terhadap patogen, akan tetapi pada HIV
justu
HIV ini disebut sebagai infeksi
Tidak Tidak Tidak
Tidak Tidak
RESP'ONS IMUN INFEKSI
427
HW
Gambaran Infeksi Oportunistik di POKDISUS AIDS RSCM. Pola infeksi oportunistik diberbagai negara dapat berbeda. DiAmerika Serikat infeksi oportunistikyang sering dijumpai adalah PCP (Pneumocystic Carinii Peneumonia) namun di Indonesia infeksi oportunistikyang sering dijumpai
adalah infeksi jamur saluran vcerna dan tbc. Pola infeksi oportunistik di RS Ciptomangunkusumo dapat dilihatpada
Tabel2.
!nfeksi oportunistik Kandidiasis (oroparing, esofagus)
Yo
40
TBC paru
37,1
Diare kronik Pneumonia bakteri Toksoplasma ensefalitis TBC luar paru
27,1
Herpes zoster
16,7 12
11,8 6,3
Sindrom imun rekonstitusi dan disfungsi imun. Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV dalam darah sehinggqpenghancuran CD4 dapat dikurangi. Akibatnya jumlah CD4 akan meningkat. Peningkatan CD4 bermanfaat untuk mengurangi risiko infeksi oportunistik. Pasien yang berhasil meningkatkan CD4 di atas 200 risiko infeksi oportunistiknya akan rendah. Namun demikian
yang berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya
sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunanjumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi imunitas selular terganggu. Fungsi ini dilalcukan oleh sel makrofag dan CTLs (sitotoksik T Limfosit atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikianjuga sel NK (Nalaral Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, di samping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibodi melalui
mekanisme antibody dependent
cell
mediated
cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak be{alan seperti
biasaakibatHlV. Di samping itupenurunanjumlah dan frrngsi sel T CD4 ini mengakibatkan terganggunya homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam sistem
imunhumoral, yaitu sel limfosit B
yang berperan dalam imunitas humoral. Terganggunya fungsi limfositB karena disregulasi oleh sel limfosit CD4 akan menimbulkan respons imun humoral yang tidak relevan dan terbentuknya poliklonal hipergammaglobulinemia. Dapat dirangkumkan, defisiensi imun akibat HIV dapat mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, tiftbulnya reaksi autoimun, mudah terj adi r'eaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan
tumor ganas sekunder, seperti Limfoma Non Hodgkin,
pemulihan kekebalan tubuh juga dapat menimbulkan
Sarkoma Kaposi's dan karsinoma serviks. Pemberian obat antiretroviral dapat meningkatkan CD4
sindrom imun rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya proses radang setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa demam, pembengkakkan kelenjar limfe, batuk serta perburukan'foto toraks. Sindrom
sehingga risiko infeksi oportunistik menurun. Namun pemulihan sistem imun juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi imun . Sedangkan pada disfungsi imun, perbaikan klinik tidak disertai dengan peningkatan CD4
ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi
secara nyata.
oprtunistik TBC namun juga dapat timbul pada infeksi oporhrunistik lain. Sindrom ini biasanya timbul 6-8 minggu penggunaan obat antiretroviral, namun dapat juga muncul beberapabulan sesudahnya. Pada sindrom ini gejalaklinis lain seperti berat badan membaik, jumlah CD4 meningkat namun gejala karena infeksi oportunistik timbul kembali sebagai akibat gejala inflamasi. Selain infeksi oportunistik,
sindrom ini juga bisa bermanifestasi sebagai penyakit autoimun (lupus, penyakit Graves), perburukan hepatitis B atau C yang sudah ada, atau penyakit inflamasi lainnya (sarkoidosis). Terapi obat antiretroviral perlu diteruskan
dan untuk menekan gejala radang diberikan obat kortikosteroid. Pada sisi lain dapat terjadi disfungsi imun, yaitu perbaikan klinis nyata namun CD4 tidak atau meningkat dengan lambat.
PENUTUP Telah dibahas berbagai aspek imunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV mernpunyai target utama sel limfosit CD4
REFERENSI Abbas AK, Lichtman AH and Pober JS. Antigen recognition and lymphocyte activation. Cellular and molecular immunology. 3'd editors. Philadelphia: WB Saunders Co;1997. p. 35-65. Ananworanich J, Phanupak P, Ruxrungtham K. Immune
reconstitution syndrome: when patient deteriorates after starting highly active antiretroviral therapy. J Infect Dis Antimicrob Agents. 2003;20: 109-18. Barre-sinoussi F, Nugeyre M, Dauguet C, et al. Isolation of a T-lymphocytotropic retrovirus from a patient at risk for ac-
quired immune deficiency syndrome (AIDS).
Science.
983;220:868-7 1 . Barttett JG Gallant JE. Natural history and classification' In: Bartlett, I
Gallant, editors. Medical management of HIV infection. Baltimore: John Hopkins Medicine Health Publishing Business Group; 2004. p. l-4. Boyle MJ, Goldstein DA, Frazer IH, Sculley TB. How HIV promotes malignancies. In: Stewart GJ, editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited; 1997. p.37-9. Carr A, Garsia R. How HIV leads to hypersensitivity reactions. In:
428
Stewart GJ, editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited; 1997. p.34-6. Clavel F, guetard F, Brun-Veziner F, et al. Isolation of a new human retrovirus from West African patients with AIDS in West Africa. Science.1986; 233:343-6. Coffin J, Haase A, Levy JA, et al. What to call the AIDS virus? Nature. 1986; 321:10. Crowe S and Kombluth RS. How HIV leads to Opportunistic infection. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.28-30. Delves PJ, Roitt IM. The immune system. First of two parts. N Eng J Med. 2000; 343:37-49.
IM. The immune system. Second of two parts. N Eng J Med. 2000;343:108-17. Essex M, Kanki PJ. The origins of the AIDS virus. The science of AIDS. In: WH Freeman, editor. New York; 1989. p.27-37. French MA, Price P, Stone SF. Immune restoration disease after antiretroviral therapy. AIDS. 2004; I 8 :1615-27 . French RF, Stewart GJ, Penny R, Levy JA. How HIV produces Delves PJ, Roitt
immune deficiency. In: Stewart GJ, editor. Managing HIV. Sydney: Australasian medical publishing Co. Limited; 1997. p.22-8. Gallo RC, Salahudin SZ, Popovic M, et al. Frequent detection and isolation of cytopathic retroviruses (HTLV-IID from patients with AIDS and at risk for AIDS. Science. 1984;224:497-500. Gallo RC, Montagnier L. The AIDS epidemic. The science of AIDS. In: WH Freeman, editor. New York; 1989. p. l-12. Goodman JW. The immune response. In: Stites, Terr, editors. Basic human immunology. Connecticut: Appleton and lange; 1995. p. 34-44. Haseltine WA. Molecular biology of the human immunodeficiency virus type 1. FASEB L 199l;5:2349-60.
ALERGIIMUNOI.OGI
Lawn SD, Buter ST, Folks TM. Contribution of immune activation to the pathogenesis and transmission of human immunodeficiency virus type I infection. Clinical Microbiology Reviews. 2001 ; l4:754-77. Levy JA. HIV pathogenesis. Virologic and immunologic features with attention to cytokines. http://www.medscape.com/ viewarticle/487733 di akses 5 Januari 2005.
Levy JA, Hoffman AD, Kramer SM, et al. Isolation of limphocytopathic retroviruses from San Francisco patients with 19841' 25:840-2. Li X, Wainberg MA. In: Armstrong, Cohen, editors. Infectious diseases. Vol 2. 5. 7. p. l-4. Luster AD. Chemokines-chemotactic cytokines that mediate inflammation. N Eng J Med. 1998;338:436-45. Marriot DJE, McMurchie M. HIV and advanced immune dehciency. In: Stewart GJ, editor. Managing HIV Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited; 1997. p. 15-6. Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS. The immunopathogenesis of human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med. 1993;328:327 -35.
AIDS. Science.
Preiser W. HIV pathogenesis: what do the viruses do'! http:ll www.kgu.de/zhyglvirologie/virologie.html. Diakses 8 Februari 2005. Fiizzardi GP, Pantaleo G. The immunopathogenesis of HIV-I infection. In: Armstrong, Cohen, editors. Infectious diseases. London: Mosby Co; 1999. p.6l-12. Stewart GJ, kvine SS, Scott M, et al. Strategies of care in managing HlV. In: Stewart GJ, editor. Managing HIV. Sydney: Australasian
Medical Publishing Co. Limited; 1997. p. 3-8.
Yunihastuti E.C hanging opportunistic infection in Ciptomangunkusumo hospital. Temu Ilmiah PDPAI. Jakarta 26-28 November 2005.
66 IMUNISASI DE}VASA Erwanto BudiW, Samsuridjal Djauzi
dan T), APC (Antigen Presenting Cel/ dendritik, makrofag melalui:
PENDAHULAUAN lmunisasi dewasa pada saat ini masih kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan imunisasi anak, walaupun kematian akibat penyakit yan:g dapat dicegah dengan
) misalnya
sel
Respons Humoral Yang berperan dalam sistem imtin spesifik humoial adalah limfosit B. Reseptor imunoglobulin pada limfosit B berfimgsi untuk mengenal dan berinteraksi dengan antigen. Setelah
imunisasi cukup tinggi pada orang dewasa. Bukti keberhasilan imunisasi dalam mencegah penularan berbagai penyakit telah lama diakui. Pada tahun 1980 Badan Kesehatan Dunia WHO menyatakan penyakit cacar telah
antigen mengalami endositosis ke dalam sel dan berinteraksi
T maka akan mengakibatkan te{adinya aktivasi sel B yang berdiferensiasi menjadi sel plasma memproduksi antibodi (IgG, IgA dan IgE), dan akan dengan limfosit
dilenyapkan dari muka bumi. Pada tahun 2000 sebenarnya WHO merencanakan eradikasi polio namun sampai 2005
masih banyak negara yang melaporkan kasus polio
berhubungan dengan reseptor pada permukaan sel.
termasuk Indonesia. Sekitar 50.000 hingga 70.000 orang pada usia dewasa di Amerika, di laporkan meninggal karena infeksi pnemokok, influenza atau hepatitis B, sebagai pembanding pada usia anak angka kematian berkisar antara 1 000 orang karena penyakit-penyakit yang mendapat pro-
Respons Selular Respons selular dilakukan terutama oleh limfosit T yang
berfungsi sebagai sel antara dan diaktifkan melalui
gram imunisasi. Setiap tahun diperkirakan 1 milyar
pelepasan sitokin.
wisatawan melakukan perjalanan melalui udara dan lebih
Sel limfosit T mempunyai reseptor yang berbeda
dari 50 juta orang melakukan perjalanan ke negara
dengan reseptor pada sel limfosit B. Sel T mempunyai 2 kelompok molekul besar yaitu CDr* dan CDr'yang berfirngsi sebagai molekul asesori pada reseptor sel T. Sel CDo*berperanmembantu sel B membentuk antibodi
berkembang, 20-70Yo wisatawan mempunyai masalah kesehatan dalam perjalanan. Angka kematian akibat
penyakit menular menduduki peringkat ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan kecelakaan. Sehingga
sehingga disebut juga sebagai Cell T helper (Th). Sebaliknya sel CDr* berfungsi untuk mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi, disebut sebagai
pemberian imunisasi harus mendapat perhatianbagi untuk mencegah penularan penyakit infeksi termasuk pada or-
ang dewasa. Pada tahun 2003 Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) telah
Cytotoxic T Lymphociytes (CTLs).
menghasilkan konsensus Imunisasi pada orang dewasa, sehingga diharapkan imunisasi pada orang dewasa di Indonesia akan lebih digalakkan.
Vaksin berperan penting menginduksi memori imunologik pada sel ! selB danAPC. Perkembangan memori pada sel T belum banyak diketahui, satupenanda selular, isoform molekul CDnr',meningkat pada memori sel T. Sedangkan salah satu hal yang penting pada memori sel T adalah antigen yang diperlukan untuk menstimulasi respons imun
RESPONS IMUN PADA VAKSINASI
kedua dan seterusnya lebih sedikit dibandingkan
Komponen penting dalam menimbulkan respons imun setelah pemberian vaksin adalah sel limfosit (Limfosit B
kebutuhan antigen untuk merangsang respons awal.
429
430
AI.ERGIIMI'NOI.OGI
Ajuvan merupakan bahan yang diperlukan sebagai tambahan pelarut antigen atau perangsang produksi antibodi. Hingga saat ini aluminium hidroksida merupakan bahan yang paling sering digunakan sebagai bahan ajuvan
vaksin misalnya pada vaksin difteri dan tetanus toksoid.
Bahan-bahan lain seperti liposom, sitokin, ISCOM (immune stimulating complexes) saat ini masih dalam penelitian untuk digunakan sebagai ajuvan.
w Y;\
,Z \ Lvses virus- infecled cell: -/ cd8' \.i"-r.. r -, rEN., YirE,
subkutan, intradermal, intranasal atau oral) berdasarkan c
6il
L'2'\1%
penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin. Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA Vaccines) Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandurg kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respons humoral dan selular yang cukup kuat. Sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan. Berbagai macam carapemberian vaksin (intra muskular,
./ce'p-\]\L
? \]/i
d.
d4'
d- type hypersensllivity FN1, TNFo, P
l;;;;t;;il-;"r'L' 3
cd4' )
/
Provides'helP' rq rsotvDe swil
Gambar 1. Presentasi antigen dan aktivasi Sel T
pada komposisi vaksin dan imunogenesitasnya. Sebaiknya vaksin diberikan pada tempat di mana respons imun yang
diharapkan tercapai dan terjadinya kerusakan jaringan, saraf dan vaskular minimal. Penyuntikkan intramuskular dianjurkan pada kasus di mana bila dilakukan penyuntikkan subkutan atau intra-dermal dapat menimbulkan iritasi, indurasi, perubahan
warna kulit, peradangan, pembentukkan granuloma. Pemberian suntikan secara subkutan mempunyai risiko jaringan neurovaskular lebih jarang, non reaktogenik dan cukup imunogenik
pada
VAKSIN UNTUK ORANG DEWASA Imunisasi untuk orang dewasa dapat diberikan sebagai imunisasi ulangan atau imunisasi pertama. Dewasa ini vaksin yang dapat tersedia untuk orang dewasa cukup banyak, seperti terlihat pada Tabel 1. Gambar 2. Aktivasi sel B
Jenis Vaksin Beberapa jenis vaksin dibuat berdasarkan proses produksinya antara lain:
a.
Vaksin hidup dilemahkan (Z iye attenuatated vaccines). Vaksin jenis ini memerlukan replikasi organismenya
(terutama virus) pada penerima vaksin untuk meningkatkan rangsangan antigen. Proses melemahkan antigen tersebut melalui pembiakan sel, pertumbuhan jaringan embrionik pada suhu rendah atau pengurangan
gen patogen secara selektif. Biasanya vaksin ini
b.
memberikan imunitas j angka panj ang. Vaksin dimatlkan (Killed Vaccine/Inactivated Vaccine).
Vaksin ini mengandung organisme yang tidak aktif setelah melalui proses pemanasan atau penambahan bahan kimiawi (misalnya aseton, formalin, timerosal, fenol). Biasanya pemberian vaksin ini perlu beberapa
c.
dosis dan diperlukan bahan ajuvan untuk meningkatkan respons imunologik. Rekombinan Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesa
dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan
Nama Vaksin Tetanus Kolera Hemofllus influenza tipe B Pneumokok Meningokok Tifoid BCG Campak Parotitis (Mumps) Polio oral Polio inactivated
Rubela Yellow fever Hepatitis B Hepatitis A lnfluenza Japanese B encephalitis Rabies
Macam Vaksin
Cara Pemberian
Toksoid Bakteri yang dimatikan Polisakarida
Suntikan lM Suntikan lM/SK
Polisakarida (23 tipe) Polisakarida Bakteri yang dimatikan Bakteri dilemahkan Virus dilemahkan Virus dilemahkan Virus dilemahkan Virus tidak aktif
Suntikan lM/SK
Suntikan lM
Virus dilemahkan Virus DNA Virus Virus Virus
dilemahkan rekombinan tidak aktif tidak aktif tidak aktif
Virus tidak aktif
Dewasa ini sedang dikembangkan HlV, H.pylori dan virus papilloma.
Suntikan SK Oral dan suntikan lM Suntikan lD/SK Suntikan SK Suntikan SK Oral Suntikan SK (meningkatkan potensi polio oral) Suntikan subkutan Suntikan SK Suntikan lM Suntikan lM Suntikan lM Suntikan SK Suntikan lM/lD
vaksin malaria,
dengue,
431
IMUMSiASIDETWASA
INDIKASI
sebesar 92ohpada anak dan 95o/opada usia remaja.
Indikasi penggunaan vaksin pada orang dewasa
Demam tifoid menurut WHO tidak lagi termasuk penyakit yang harus dilaporkan sehingga sulit untuk mengetahui insidens penyakit ini secara akurat. Edelman
didasarkan kepada riwayat pajanan,risiko penularan, usia lanjut, imunokompromais, pekerjaan, gaya hidup dan rencana bepergian
. .
Riwayatpajanan
tetanus toksoid
Risikopenularan
. . .
inflienza, hepatitis A., tifoid, MMR
Usia lanjut Risikopekeq'aan lmunkompromais
pneumokok, influenza hepatitis B, rabies.
.
B, hemophilus Rencana bepergian: Japanese B ensefalitis, hepatitis A.
pnemokok, inflienza, hepatitis
tifoid,
Vaksin kolera yang dulu digunakan untuk perlindungan penularan ke daerah endemis sekarang tidak dianjurkan
lag.
EFEKTIVITAS Sebagian besar vaksin yang beredar mempunyai efektivitas
dan Levine memperkirakan sekitar 12,5 juta orang setiap tahun menderita Demam Tifoid. Di Unit Perawatan Penyakit
Dalam RS Ciptomangunkusumo Demam Tifoid masih termasuk penyakit infeksi yang paling sering dijumpai. Penyakit ini terutama menyerang remaja. Dengan berkembangnya pariwisata maka penularan penyakit ini pada penduduk negara maju meningkat. Sekitar 80% penduduk negara maju mengalami infeksi semasa dalam masa perjalanan di negara yang sedang berkembang. Dewasa ini tersedia 3 macam bentuk vaksin. Dua macam dalam bentuk suntikan yaitu vaksin yang mengandung bakteri utuh dan vaksin polisakarida antigen Vi. Satu macam dalam bentuk oral.
Vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) diperkenalkan pada tahun 1960. Rubela meningkat 5 kali lipat pada tahun 1990 dibandingkan 1988, peningkatan tajam terjadi pada kelompok umur di atas 15 tahun. Sekarang dianjurkan setiap orang yang lahir setelah tahun., 1 95 6 mendapat vaksinasi MMR sebany ak 2 kali. ., ..
tinggi, namun penggunaan vaksin masih rendah, sedangkan peningkatan jumlah penggunaan akan dapat mencegah jumlah kematian. Influenza merupakan salah satu penyakit menular yang banyak menimbulkan kematian terutama pada kelompok usia lanjut. Di Amerika serikat setiap tahun sekitar 150.000 sampai 200.000 orang dirawat karena penyakit ini dan jumlah yang meninggal mencapai 10.000 orang. Penyakit ini dapat menimbulkan penyulit diantaranya pada kelompok usia di'atas 65 tahun serta pasien yang mempunyai penyakit jantung, paru, diabetes melitus. Vaksinasi influenza terutama ditujukan terhadap: kelompok usia di atas 65 tahun, penghuni wisma jompo, pasien penyakit kronik (antung, paru, asma, diabetes
melitus, gagal ginjal), dan pasien dalam keadaan imunkompromais. Penelitian di Perancis menunjukkan uji klinik lapangan pada 53.382 orang, pada kelompok yang divaksinasi didapatkan 0,50% serangan influenza sedangkan pada plasebo 4,6 Yo sehingga vaksin ini dapat menurunkan morbiditas sekitar 8 9%. Sedangkan pada 2 8 5 pasien usia lanjut yang berumur 75-95 tahun vaksinasi
influenza juga menunjukkan perlindungan yang tinggi, hanya I orang yang tertular influenza.r mendapatkan vaksinasi, angka pemakaian antibiotika akibat infeksi saluran napas pada kelompok yang mendapat vaksinasi l8% dibandingkan360/o kelompok yang tidak mendapat vaksinasi, Influenza secara signifikan menurunkan angka kesakitan dan pemakaian antibiotik di antara jemaah haji sehingga dianjurkan pemberiannya sebelum ke Arab Saudi. Ada G melaporkan pada tahun 1999 setelah dilakukan program imunisasi terhadap N Meningtidis serogrup C di Inggris, ternyata insidens dalam satu tahun menurun
KEAMANAN Selain efektivitas, perlu juga diperhatikan keamanan dalam menggunakan vaksin. Persoalan yang dapat timbul pada penggunaan vaksin adalah r:
L
Vaksinyangdilemahkan: a. Proses untuk melemahkan bakteri/virus kurang mencukupi.
b. Mutasi ke bentuk wild type. c. Kontaminasi d. Penerima vaksin imunkompromais. 2.
Vaksin yang memakai bakterilvirus yang dimatikan
a. Kontaminasi b. Reaksi alergi atau autoimrur. c. Proses mematikan bakteri/virus kurang memadai. 3.
Vaksin Plasmid DNA. dapat menimbulkan toleransi atau
autoimun.
STABILITAS Vaksin pada umumnya stabil selama I tahtrn pada suhu 4 0C sedangkan bila disimpan pada suhu 37 0Chanya dapat bertahan 2 sampai 3 hari.
VAKSINASI MASSAL Di Amerika Serikat campak, rubela dan hepatitis B dianggap
432
sebagai penyakit yang mungkin dapat dieradikasi. Untuk dapat melaksanaan eradikasi diperlukan upaya pencegahan
penularan termasuk imunisasi. Agar imunisasi dapat
Temus diiphteria
memberikan dampak yang besar terhadap pemutusan rantai
MMR
penularan penyakit diperlukan vaksinasi massal yang dapat menjangkau sebagian besar masyarakat. Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat dalam mencapai Healthy People 2000 dalam layanan imunisasi untuk orang dewasa ternyata pencapaian vaksinasi influ-
Influeua PDemokok Hepatitis
A
Hepatitis B
enza dan pneumokok untuk usia 1 8 sampai 64 tahun masih
tBll
di bawah sasaran (kurang dari 60 %). Namun demikian
Menineokok
pendudukAmerika atas 65 tahun yang menjalani
selama tahun 1989 sampai 1993 proporsi
Serikat yang berusia di vaksinasi influenza meningkat dari 33Yo menjadi 52Yo sedangkan vaksinasi pneumokok meningkat dai l5oh
meyrladi 28%. Sedangkan untuk kelompok-kelompok kulit putih non Hispanik sasaran vaksinasi untuk influenza berhasil dicapai pada tahun 1997. Sedangkan sasaran Healthy People 2010 adalah 90%. Upaya untuk
meningkatkan jumlah orang yang dapat divaksinasi antara
lain melalui: l). Meningkatkan kepedulian petugas kesehatan; 2). Meningkatkan kemampuan pelayanan kesehatan dalam menyediakan vaksin; 3). Menyediakan vaksin yang murah dan mudah dijangkaq 4). Menyediakan
vdi@la
Gambar
3.
Rekomendasi Jadwal lmunisasi Dewasa
primer diik-uti dosis penguat setiap l0 tahun. Macam vaksin : Toksoid
Efektivitas : Wo Rute suntikan : Intramuskular
Pekan Peduli Imunisasi Dewasa (diAmerika Serikat setiap
Measles, Mumps, Rubella (MMR). Orang usia dewasa yang lahir sebelum tahun 1957 dianggap telah mendapat imunitas secara alamiah. Orang dewasa yang lahir pada tauhn 1957 atau sesudahnya perlu mendapat I dosis vaksin MMR. Beberapa kelompok orang dewasa yalg berisiko terpapar memerlukan 2 dosis yang diberikan tidak kurang dari jarak 4 minggu. Macam vaksin : Vaksin hidup
bulan Oktober); 6). Memantau kinerja program imunisasi
Efektifitas
nasional; 7). Meningkatkan penelitian dalam bidang
Rute suntikan : Sub-kutan
pendanaan baik oleh pemerintah maupun asuransi (Medicare membiayai vaksin influenza dan pneumokok sejak 1993); 5). Menyelenggarakan acara khusus seperti
pelaksanaan vaksinasi.
Dokter mempunyai peran penting dalam memberikan informasi kepada pasien tentang manfaat imunisasi. Sekitar
sepertiga responden yang termasuk indikasi untuk vaksinasi dalam setahun terakhir mengunjungi dokter lebih dari 5 kali tetapi tidak dianjurkan untuk menjalani imunisasi.
Padahal anjuran dokter untuk menjalani imunisasi mempunyai pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan pasien unhrk menjalani vaksinasi.
JADWAL IMUNISASI Untuk jadwal imunisasi dapat digunakan sesuai dengan yang terdapat dalam Gambar 3.
: W95%
Influenza. Vaksinasi Influenza diberikan setiap tahun bagi orang dewasa dengan usia >50 tahun, penghuni rumah jompo, dan penghuni fasilitas-fasilitas lain (biara, asrama) orang usia muda dengan penyakit jantung, paru-paru kronis, penyakit metabolik (diabetes), disfungsi ginjal, hemoglobinopati, atau imunosupresi, juga anggota rumah taugga, perawat, dan petugas-petugas kesehatan. Vaksin inijuga dianjurkan padajemaah haji karena risiko pajanan yang cukup tinggi. Macam : Vaksin split atau sub unit Efektifitas : 88-89% Rute : suntikan intramuskular Catatan: vaksin ini dianjurkan untuk usia >50 tahun unhrk individual sedangkan untuk program usia >65 tahun.
Pnemokok. Vaksin polisakarida diberikan pada orang
Penjelasan Rekomendasi Jadwal Imunisasi
dewasa usia >65 tahun dan mereka yang berusia <65 tahun
Dewasa Tetanus toksoid (Td). Semua orang dewasa mendapat
dengan penyakit kronik (penyakit paru kronik, diabetes, alkoholik, sirosis, kebocoran cairan serebrospinal, asplenia
vaksinasi lengkap 3 dosis seri primer dari difteri dan toksoid tetanus, dengan 2 dosis diberikan paling tidak jarak 4 minggu dan dosis ke tiga diberikan 6 hingga 12 bulan setelah dosis kedua. Jika orang dewasa belum pernah mendapat imunisasi tetanus dan difteri maka diberikan seri
anatomik/fungsional, infeksi HIV, leukemia, limfoma Hodgkins, mieloma multipel,malignansi umum, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik, atau individu yang mendapat kemoterapi imunosupresif. Vaksinasi ulang secara rutin
bagi individu imunokompeten yang sebelumnya telah
433
IMT.'NISASIDEWASA
dianjurkan jika vaksinasi sebelumnya sudah >5 tahun dan beberapa saran:
dekat dengan pasien yang berisiko tinggi terjadinya komplikasi (misalnya: petugas kesehatan dan keluarga yang kontak dengan individu imunokompromais).
Individu berisiko tinggi terjadinya infeksi pnemokok yang serius sesuai deskripsi ACIP Individu mempunyai tingkat antibodi yang cepat turun Macam vaksin : polkisakarida
berisiko (mis. Guru yang mengajar anak-anak, petugas kesehatan dan residen serta staf di lingkungan institusi), mahasiswa, penghuni serta staf rehabilitasi militer,
mendapat vaksinasi tidak dianjurkan tetapi revaksinasi
. .
Efektivitas : Wo Rute : suntikan intramuskular atau sub kutan
Hepatitis A. Diberikan dalam dua dosis dengan jarak 6 hingga 12 bulan pada individu berisiko terjadinya infeksi
Pertimbangkan vaksinasi bagi mereka yang pekerjaannya
perempuan usia subur yang belum hamil,dan mereka yang sering melakukan perjalanan wisata. Vaksinasi terdiri dari 2 dosis yang diberikan dengan jarak 4-8 minggu. Macam vaksin : Virus hidup dilemahkan
Efektifitas :860/o
hepatitis A. (penyaji makanan) dan mereka yang
Rute suntikan : Sub kutan
menginginkan imunitas, individu yang, sering melakukan perjalanan atau bekerja di suatu negara yang mempunyai prevalensi hepatitis A tinggi, homoseksual, pengguna
Demam tifoid. Penggunaan vaksin ini dianjurkan pada pekerja jasa boga, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis. Pemberian vtifoid perlu diulang setiap 3 tahun. Macam vaksin : AntigenVi inaktif Efektifitas :50-80%
narkoba, pasien penyakit hati, individu yang bekerja dengan hewan primata terinfeksi Hepatitis A, peneliti virus Hepatitis A dan pasien dengan gangguan faktor pembekuan darah. Macam vaksin : antigen virus inaktif
Rute suntikan : Sub kutan Yellow fever. Vaksin
ini diwajibkan
oleh WHO bagi
Efektifitas :94-95% Rute : intramuskular
wisatawan yang berkunjung ke Afrika Selatan. Pemberian ulang dianjurkan setiap l0 tahun Macam vaksin : Virus hidup dilemahkan
Hepatitis B. Kelompok individu yang mempunyai risiko
Efektifitas : tinggi
terinfeksi hepatitis B diantaranya: individu terpapar darah atau produk darah dalam beke{a, klien dan stafdari institusi
Rute suntikan : Sub kutan
pendidikan cacat, pasien hemodialisis, penerima konsentrat faktor VII atau IX, rumah tangga atau kontak seksual
dengan individu yang teridentifikasi HbsAg positif, individu yang berencana pergi atau tinggal di suatu tempat di mana infeksi hepatitis B sering dijumpai, pengguna obat
injeksi, homoseksual/biseksual aktif, individu heteroseksual aktif dengan pasangan berganti-ganti atau baru terkena PMS, fasilitas penampungan korban narkoba, individu etnis kepulauan pasifik, atau imigran/pengungsi baru dimana endemisitas daerah asal sangat tinggi, dapat diberikan 3 dosis dengan jadwal 0, 1 dan 6 bulan. Bila
Japanese ensefalitis. Pemberian vaksin dianjurkan bagi wisatawan yang akan bepergian ke daerah endemis (Asia) dan tinggal lebih dari 30 hari atau akan tinggal lama di
sana, terutama
jika
mereka melakukan aktivitas di
pedesaan. Macam vaksin : Virus inaktif
Efektifitas :91%o Rute suntikan : Sub kutan
dilakukan pemberian imunisasi pen gtat (booster). Macam vaksin : Antigen virus aktif
Rabies. Bukan merupakan imunisasi rutin, pemberiannya dianjurkan pada individu yang berisiko tinggi tertular (dokter hewan dan petugas yang bekerja dengan hewan, pekerja laboratorium), wisatawan berkunjung ke daerah endemis yang berisiko kontak dengan hewan dan individu yang tergigit binatang tersangka rabies.
Efektifitas :75-90oh
Macam
pemberian imunisasi respons baik maka tidak perlu
Rute suntikan : intramuskular
Meningokok. Vaksin polisakarida tetravalen (N CN tW 135) wajib diberikan pada calon jemaah haji. Vaksin ini juga dianjurkanuntuk individu defisiensi komponen faktor
pembekuan darah, pasien asplenia, anatomik dan fungsional dan pelancong negara dimana terdapat penyakit
meningokok (Mengitis Belt
di Sub Sahara Afrika).
Pertimbangkan pemberian ulang setelah 3 tahun Macam vaksin : Polisakarida inaktif
Efektifitas :90o/o Rute suntikan : Sub kutan
Varisela. Vaksin diberikan pada individu yang kontak
vaksin Efektifitas
:
Virus yang dilemahkan
:l00Yo
Rute penyuntikan : Intramuskular, Sub kutan
REFERENSI Ada G. Vaccines and vaccination. N Engl J Med. 2001;345:1043-53. Ada G. The immunology of vaccination. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors. Vaccine. 3'd edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 1999. p. 28-7 l. Baratawidjaja KG. lmunoprofilaksis. Imunologi dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. p.226-58. Djauzi S. Imunisasi untuk orang dewasa. Siang klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM. November 2000.
434
ALERGIIMI,.INOI.OGI
Djauzi S. Manfaat imunisasi pada orang dewasa. Imunisasi dewasa. In: Djauzi Sundaru H, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKIII; 2003.
p. 3-6. Gardner P, Schafner W. Immunization of adult.
Pakistan pilgrim Ramkisson
N Engl J of Med.
1993;29:1252-8. JW' The immune responssse. In: Sites DP, Terr AI, editors. Basic clincal immunology. 5'b edition. New Jersey: Prentice-Hall International; 1991. p. 34-44. Hyde RM. Immunization. Immunology. 3'd edition. Philadelphia: Goodman
William&Wilkins; 1995. p. 137-45. Johnson AG, Immunization. High yield immunology. Philadelphia:
Lippincort William&Willkin; 1995. p. 137-45. Perhimpuanan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Konsensus imunisasi dewasa. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003. Qureshi H, Gessner BD, Lebon Heux et al. The incidence ofvaccine preventable influenza like illness and medication use among
to the Haj in
Saudy Arabia. Vaccine.
2000;18:2956-62.
A, Jugnundan. Reactogenicity and immunogenicity of
a
single dose of a typhoid VI polysaccharide vaccine in adolescents. Biodrugs. 2001;15(Suppl.):21-6.
Roitt I, Brostoff J, Male D. Vaccination. Immunology. 4h edition. Mosby. London;1996. p. 19; 1-9. Ryan El Kain KC. Health advice and immunization for travelers. N Engl J of Med. 2000;8:1716-24. Sundaru H. Rekomendasi jadwal imunisasi pada orung dewasa dalam. Imunisasi dewasa. In: Djauzi S, Sundaru H, editor Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p. 145-50.
Zimmerman RK, Ahwesh ER. Vaccines for persons at high risk teaching immunization for medical education (TIME) projecl (abstract). J Farm Pract. 2000;49:551-63.
67 VASKULITIS Nanang Sukmana
PENDAHULUAN
autopsi. Kriteria ARA 1990 hanya membahas 7 (tujuh) penyakit, yaitu poliarteritis nodosa, sindrom Churg-
Walaupun prevalensi vaskulitis belum banyak dilaporkan, tetapi penyakit ini dapat dijumpai seiring dengan kemajuan
Strauss, granulomatosa Wagener, vaskulitis hipersensitif, purpura Henoch-Schcinlein, arteritis temporal dan penyakit Takayasu. Dengan diterimanya kedua konsensus tersebut terbuka peluang bagi klinis untuk mendiaglosis vaskulitis sebaik mungkin sesuai dengan sarana yang ada. Pada makalah ini akan dibahas mengenai vaskulitis primer.
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi lainnya. Vaskulitis baru dicurigai bila dijumpai gejala yang tidak dapat diterangkan dengan keadaan iskemia pada kelompok usia muda dan ditemukan kelainan berbagai organ, neuritis atau adartya kelainan pada kulit. Berbagai ahli mengemukakan kriteria diagnostik vaskulitis agar penyakit tersebut mudah diketahui supaya pengobatan dapat dilakukan lebih dini. Arti kata vaskulitis sendiri adalah suatu proses inflamasi pembuluh darah. Disebut vaskulitis primer bila kumpulan gejala (sindrom) yang ditemukan tidak diketahui penyebabnya dan ini merupakan
DEFINISI Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanyaproses inflamasi dannekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.
kelompok terbanyak, sedang vaskulitis sekunder penyebabnya dapat diketahui, misal oleh karena infeksi, virus, tumor, penyakit kolagen dan kerusakan pembuluh darah akibat obat, bahan kimia atau radiasi. Umumnya pembagian klinis vaskulitis primer didasarkan ukuran pembuluh darah, dan pembagian ini telah diterima oleh banyak klinis. Masalah yang muncul untuk kepastian diagnosis dapat diatasi dengan diterimanya konsensus
KLASIF!KASI Walaupun banyak pembagian mengenai vaskulitis akan tetapi klasifikasi yang banyak dianut adalah pembagian menurut Consensus Chapel Hill (1994) yang melibatkan berbagai ahli sehingga dapat diterima dari berbagai sudut
Hill tahw
1994. Kehadiran konsensus ini membuka peluang bila menemukan masalah diagnostik, karena pembagian tersebut lebih lengkap. Penyakit
Chapell
pandang.
Kawasaki, poliarteritis mikroskopik (poliangiitis mikroskopik) dan vaskulitis esensial krioglqbulinemia
Pembagian Vaskulitis Secara Umum
dimasukkan dalam konsensus tersebut, dan tidak ada pada kriteia American College of Rheumatologt (ARA) tahun 1990. Walaupun demikian, kriteria ARA masih dapat
Vaskulitis primer A. Vaskulitis pembuluh darah besar 1. Arteritis Takayasu 2. Arteritis temporal (giant cell arteritis) B. Vaskulitis pembuluh darah sedang
dipergunakan dalam upaya pendekatan diagnostik oleh karena kriteria tersebut berdasarkan pada gejala klinis,
pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium,
l.
pemeriksaan penunjang (angiogram), biopsi jaringan, pengobatan, dan hasil pengobatan bahkan pemeriksaan
2. 43s
Poliarteritis nodosa (poliarteritis nodosa klasik) PenyakitKawasaki
436
ALERGIIMI.'NOI.OGI
C. Vaskulitis pembuluh
l.
darah kecil
3. Poliarteritis
Granulomatosis Wagener Sindrom Churg-Shauss
2. 3. Poliarteritismikroskopik 4. Purpura Henoch-Schdnlein 5. Vaskulitis krioglobulinemia esensial 6. Angiitis kutaneus leukositoklastik
mikroskopik. Vaskulitis nekrosis dengan
sedikit atau tanpa deposit imun yang dapat terjadi pada pembuluh darah kecil (kapiler, venul dan arteriol). Arteritis nekrosis pembuluh darah kecil dan sedang sering ditemukan, glomerulonefritis nekrosis dan kapileritis pembuluh darah paru.
4. Purpura
Henoch-Schcinlein. Vaskulitis dengan
deposit imun IgA yang terjadi padapembuluh darah
kecil (kapiler, venul, atau arteriol). Kelainantersebut
Vaskulitis Sekunder 1. Vaskulitis yang berhubungan
2. 3. 4. 5.
dengan penyakit infeksi (endokarditis bakterial, viral, milaobakterial dan riketsia) Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit kolagen (lupus eritematosus sistemik, arfitis, reumatoid, sindrom Sj 6gren's, dermatomiositis) Vaskulitis oleh karena obat(drug inducedvasculitis) Vaskulitis yang berhubungan dengan keganasan Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik (hepatitis kronik aktif, sirosis biliaris primer)
sangat khas, mengenai
kulit, saluran
cerna,
glomerulus dan bukan artralgia & artritis.
5.
6.
Vaskulitis krioglobulinemia esensial. Vaskulitis dengan deposit imun krioglobulin mengenai pembuluh darah kecil (kapiler, venul atau arteriol) dan dihubungkan dengan krioglobulin dalam serum. Organ yang sering terkena ialah glomerulus. Angiitis kutaneus leukositoklastik
kulit
dan
Angiitis kutaneus leukositoklastik yang terisolasi tanpa vaskulitis sistemik atau glomerulonefritis.
Vaskulitis Menurut Konsensus Chapel Hill1994 (Vaskulitis Primer) A. Vaskulitis pembuluh darah besar
l.
granulomatosa aorta serta cabang-cabang yang besar dengan predileksi pada cabang ekstra kranial arteri karotis. Sering mengenai arteri temporalis. Umumnya terjadi pada pasien usia lebih dari 50 tahun dan sering dihubungkan dengan polimialgia
B.
dinding pembuluh darah. Beberapa pertanyaan yang banyak dikemukakan misalnya: kenapa vaskulitis itu te{adi,
Kawasaki. Arteritis yang mengenai pembuluh darah besar, sedang dan kecil serta berhubungan dengan sindrom mukokutaneus kelenjar getah bening. Pembuluh darah koroner sering terkena. Umumnya penyakit ini terjadi pada anak-anak.
dihasilkan oleh sel yang teraktivasi oleh respons imun yang
Arteritis Takayasu.
Suatu proses inflamasi
granulomatosa aorta dan cabang-cabang utama. Umumnya didapat pada pasien usia <50 tahun. Vaskulitis pembuluh darah sedang 1. Poliarteritis nodosa (poliarteritis nodosa klasik). Inflamasi dan nekrosis pembuluh darah sedang atau kecil tanpa glomerulonefritis atau vaskulitis di arteriol, kapiler atau vena kecil.
2. Penyakit
C. Vaskulitis pembuluh darah kecil l. Granulomatosis Wagener. Suatu inflamasi
2.
Vaskulitis terjadinya akibat aktivasi proses imunologi pada
keadaan apa saja yang dapat mencetuskan kerusakan pembuluh darah, atau jenis alergen apa saja yang dapat menyebabkan vaskulitis, dan mengapa proses inflamasi tersebut hanya terjadi pada pembuluh darah tertentu saja tanpa melibatkan pembuluh darah lainnya, serta mediatormediator yang dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Kondisi tersebut hanya sebagian dapat diterangkan sedangkan mekanisme lainnya masih dalam penelitian. Keadaan imunologi yang dapat menerangkan timbulnya aktivasi imunologi ditentukan oleh beberapa keadaan, yaitu jumlah antigen, kemampuan tubuh mengenai antigen, kemampuan respons imun untuk mengeliminasi antigen dan route (target organ) yang dirusak. Beberapa mediator yang dapat terlibat dalam vaskulitis ini, misal: Interleukin (sitokin) yaitu suatu molekul yang
reumatika.
2.
PATOGENESIS
Arteritis temporal (giant cell arteritis): Arteritis
dapat berpengaruh terhadap mekanisme imunologi selanjutnya. Interleukin yang berperan pada vaskulitis ialah: IL- I , IL -2,IL-6,IL-4, TNF alfa, dan Interferon gamma.
granulomatosayang mengenai saluran napas dan vaskulitis nekrosis pembuluh darah kecil dan sedang (kapiler, venul, arteriol dan arteri) Glomerulonefritis nekrssis sering dijumpai.
Sedangkan mediator inflamasi lainnya yang terlibat dalam terjadinya vaskulitis misalnya histamin, serotonin, PAF dan endotelin.
Sindrom Churg-Strauss. Hipereosinofilia dan inflamasi granulomatosa yarrg mengenai saluran napas dan vaskulitis nekrosis yang mengenai
Cytoplasmic Antibody) patogenesis beberapa vaskulitis dapat diterangkan, dan dari beberapa laporan penelitian
pembuluh darah kecil dan sedang serta berhubungan dengan asma dan hipereosinofilia.
Dengan ditemukannya ANCA (Anti Neutrophilic
pemeriksaan Wagener.
ini erat kaitannya
dengan arteritis
437
VASKI,'I.XTIS
Tanda dan gejala lainnya asimetris denyut arteri, dan
GAMBARAN KLINIS
hilangnya pulsus arteri, bruit di arteri, hipertensi (reno
Arteritis Temporal Suatupenyakit yang kausanya tidak diketahui, terjadi pada pembuluh arteri besar dan medium. Gejala akan muncul pada umur 50 tahun atau leblh (g}%didapatkan pada umur
vaskular), sakit kepala, sinkop atau postural dizziness dan klaudikasio.
60 tahun atau lebih), insidens terbanyakpadausia 70 tahun.
Dua pertiga pasien adalah perempuan. Pada umumnya gejala dapat muncul beberapa minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala dapat berupa kelelahan, panas dan berat badan menurun. Keluhan panas ditemukan pada setengah pasien arteritis temporal. Suhu dapat tinggi, lebih dari 40"C dan disertai gejala yang mirip sepsis. Gejala lainnyayang sering dijumpai adalah polimialgia reumatika dan keluhan sakit kepala dan gejala lokal yang berhubungan dengan
lesi kelainan berupa nyeri tekan di arteri temporal, pembengkakan dan kadang ditemukan bruit. Kadang ditemukan gangguan penglihatan yang dapat menetap. Kriteria diagnostik arteritis temporal (ditemukan 3 dari 5
1.
Usia saat penyakit <40 tahun
Timbul gejala ditemukan pada umur 40 tahun atau kurang
2.
Gejala klaudikasio ekstremitas
Perburukan kelemahan, perasaan tidak enak pada otol (pegal) satu atau lebih terutama bila melakukan aktivitas terutama ekstremitas bagian atas Adanya penurunan pulsasi salah satu atau kedua arteri brakialis Adanya perbedaan TD sistolik >10 mmHg antara kedua
Penurunan pulsasi arteri brakialis 4
Perbedaan TD >10 mmHg
5
Bruit pada daerah A.Subklavia atau aorta
lengan
kriteria).
6. 1.
2. 3.
4. 5.
Usia saat awitan >50 tahun Sakit kepala (baru) Kelainan A.Temporalis
Kenaikan LED Kelainan pada biopsi
Angiografi yang abnormal
Ditermukan bruit pada pemeriksaan auskultasi di atas kedua daerah atau salah satu arteri subklavia atauPun aorta abdominalis Ditemukan arteriogram dengan penyempitan !t'au penyumbatan aorta dan cabang-cabangnya
Timbul tanda dan gejala Pertama kali pada usia 50 tahun atau lebih Nyeri yang baru pada lokasi kepala A.Temporal yang lemah Pada palpasi atau ditemukan Pulsasi yang menurun, tidak ada hubungan dengan arterosklerosis a.cervicalis LED >50 mm/jam (Westergen) Menunjukkan predominansi infi ltrasi mononuklear atau inflamasi granulomatosa umumnya dengan multi'nuklear giant cell
Poliarteritis Nodosa (Poliarteritis Nodosa Klasik) Suatu penyakit kompleks imun arteri muskularis dan arteriol. Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya
tidakdiketahui. Gejala yang dapat ditemukanialah; arttalgia, mialgia, gangguan sarafperifer, kemerahan pada kulit, nodul di kulit,
nyeri abdomen, hipertensi dan gangguan pada jantung (gagal jantung).Untuk memudahkan pendekatan diagnosis perlu diingat hal sebagai berikut:
L
Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah sedang, organ yang terkena kulit, otot, sarafperifer, lambung dan ginjal, sedang paru-paru tidak terkena.
Arteritis Takayasu Adalah suatu penyakit kronik yang tidak diketahui
2. Dihubungkan dengan IIbsAg (kurang leb1h20%) 3. Didiagnosis ditegakkan dengan angiografi dan biopsi aringan. Arteriografi menunjukkan adany a aneurisma atau oklusi arteri visera yang bulan disebabkan oleh arteriosklerosis atau sebab noninflamasi lainnya. Pada biopsi didapatkan adanya gambaran granulosit dan mononuklear pada dinding arteri.
j
etiologinya yang sering muncul pada perempuan muda. Prevalensi lebih banyak ditemukan pada orang Asia. Penyempitan, sumbatan bervariasi tergantung kepada
tingkat kelainan penyakit tersebut sehingga gejala klinisnya akan berbeda tergantung derajat penyumbatan dan kerusakan.
Umumnya 80-90% Arteritis Takayasu mengenai
Penyakit Kawasaki
perempuan, dapat dimulaipadaumur 10-40 tahun. Gejala awal umumnya berupa kelelahan, penurunan berat badan, dan panas yang terlalu tinggi. Gejala artralgia ataupun nyeri otot ditemukan pada separuh pasien dan jarang disertai sinovitis. Nyeri daerah sendi dapat hilang timbul atau
Beberapa buku menyebutkan istilah poliarteritis infantil, karena berhubungan dengan usia yang terjadi pada anakanak. Penyakit ini jarang mengenai orang dewasa. Kriteria
menetap.
2. Ditemukan4
diagnosis:
l.
Panas>5 hari dari
5
keadaanini:
438
a.
ALERGIIMI,.,NOIIrcI
Injeksi konjungtiva non-eksudatif bilateral
b. Ditemukan salah satukelainan di orofaring: Injected atau fisura di bibir
. . .
ginjal; 2). Diawali gejala fase alergi (gejala asma); 3). Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru.
Injectedfarings Strawberry tongue
Satu atau lebih kelainan di ekstremitas
. . . . . 3.
Eritema di telapaktangan Edema di tangan atau kaki
Deskuamasiperiungual Eksantemapolimorfi
1
Asma
2
Eosinofillia
3
Riwayat alergi
4.
Mononeuropati
5.
lnfiltrat paru yang tidak menetap Kelainan sinus paranasal Eosinofil ekstra vaskular
Riwayat wheezing atau ronki kering nyaring pada ekspirasi Eosinofil > 10% hitung jenis
Kelenjar getah bening servikal akut non
supuratif inflamasi Penyakitnya tidak dapat diterangkan oleh sebab lain
Granulomatosa Wagener Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran napas bagian atas dan bawah serta ginjal yang etiologinya tidak diketahui. Proses inflamasi yang terjadi dapat mengenai
6. 7.
Riwayat alergi musim dan makanan serta kontak lainnya kecuali alergi obat Berhubungan dengan vaskulitis sistemik atau polineuropati
Biopsi arteri, arteriol atau venul menunjukkan penumpukan eosinofil ekstra vaskular
sistem arteri dan vena terbukti dengan ditemukannya deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya. Dari keadaan
ini dapat disimpulkan bahwa yang bertanggung jawab pada proses di atas adalah sistem imun. Hubungan dengan ANCA (merupakan suatu keadaan
kompleks imun) yang dapat merusak pembuluh darah banyak dilaporkan peneliti, walaupun pada beberapa kasus belum terbukti hubungannya. Bila mengenai ginjal akan menimbulkan glomerulonefritis kresentik.
Poliarteritis Mikroskopik (Poliangiitis Mikroskopik) Poliarteritis mikroskopik (PM) adalah suatu vaskulitis sistemikyang mengenai arteriol dankapiler dengan gejala prodromal panas, lelah dan mialgia, yaitu suatu sindrom yang menyerupai infeksi virus. Pada PM ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Gejala tersebut dapat berlangsung I bulan sebelum tanda dan gejala penuh
poliarteritis mikroskopik terlihat. Kelainan akut GN
lnflamasi oral atau nasal
2
Foto dada abnormal
3
Sedimen urin
Biopsi, adanya inflamasi
Timbulnya ulkus di mulut yang nyeri atau tidak ditemukannya sekret hidung yang purulen atau hemoragik Dapat terlihat gambaran nodul, infiltrat yang menetap atau kavitas Diketemukan mikrohematuria (>5 sel darah merah/LPB) atau kavitas lntlamasi granulomatosa ditemukan pada granulomatosa dinding arteri atau daerah perivaskular/ekstravaskular
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa granulomatosa Wagener sangat berhubungan erat dengan ANCA, sehingga pemeriksaan ini sekarang dapat dipakai sebagai pemeriksaan penapis untuk penyakit Wagener.
Sindrom Ghurg-Strauss Keadaan yang perlu diketahui mengenai sindrom ChurgStrauss ialah: l). Vaskulitis yang mengenai arteri dan vena pembuluh darah sedang dan dapat mengenai paru, saluran napas bagian atas, usus, susunan sarafparifer, kulit dan
kresentik dapat disebabkan oleh poliarteritis mikroskopik selain granulomatosa Wagener. Walaupun penyakit tersebut hampir serupa akan tetapi gejala di luar ginjal berbeda. Poliarteritis mikroskopik dapat menyebabkan gagal ginjal akut (GGA) sehingga bila menemukan gejala GGA tanpa sebab tidak jelas perlu dipikirkan PM. Perbedaan yang lain dengan granulomatosis Wagener adalah bahwa pada PM, jarang ditemukan ANCA. Penyakit ini bila tidak segera diobati akan berakibat fatal, oleh karena itu penemuan secara cepat akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Purpura Henoch-Sch6nlein Suatu sindrom tanpa trombositopenia, nyeri abdomen, kadang ditemukan perdarahan saluran cerna, dan kelainan
ginjal. Ditemukannya kompleks imun IgA di jaringan merupakan hal yang patognomonik. Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-kadang penyakit ini self limiting yang tidak memerlukan pengobatan. Kriteria diagnostik (ditemukan 2 dari 4 kriteria): 1. Purpurapalpabel 2. Umur mulai kena kurang atau sama dengan 20 tahun 3. Bowel angina
4. Pada biopsi
ditemukan granulosit pada dinding
pembuluh darah (arterio maupun venul)
439
VASiKULITIS
PRINSIP PENGOBATAN VASKULITIS
Vaskulitis Krioglobulinemia Esensial Tanda dan gejala yang perlu diketahui:
1. Vaskulitis pada pembuluh darah kecil umumnya
2.
mengenai kulit, sarafparifer, sendi dan ginjal Umumnyakarena infeksi Hepatitis C
Angiitis Leukositoklastik Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah kecil ini sering juga disebut hipersensitivitas vaskulitis, oleh karena gejala lebih banyak pada daerah kulit, jarangl tidak ditemukan kelainan pada viseral. Nama lain ialah
alergik vaskulitis, kutaneus sistemik vaskulitis, ata:u s m al I vessel vaskulitis. tetapi semua sependapat nama, akan Walaupun banyak pada saja yaitu pada biopsi kulit kelainan hanya bahwa (deposit) kompleks imun terlihat suatu endapan akan komplemen. suatu aktivasi dengan
leukositoklastik vaskulitis
Definisi
Kriteria
1 2.
Usia saat awitan penyakit Pengobatan saat awitan penyakit
3.
Purpura palpabel
4 5
Ruam makulopapular Gambaran biopsi arteriol dan venul
tahun Pengobatan yang didaPat yang mungkin menjadi faktor persipitasi Tidak berhubungan dengan trombositopenia >1 6
Adanya gambaran granulosit pada perivaskular dan ekstra vaskular
Pemberian steroid dalam dosis terbagi dapat dimulai bila menemukan vaskulitis, karena efek anti-inflamasi steroid dapat segera terlihat lebih cepat dibanding pemberian siklofospamid. Dosis prednison dimulai I mg/kg BB/hari, dapat diberikantiap 6-8 jam. Dosis permulaan diberikan arfiaraT-10 hari dan setelah itu dapat diberikan pagi hari
sampai 2 minggu berikutnya. Pemberian ini umumnya disebut sebagai dosis induksi. Setelah dosis induksi, pemberian steroid diturunkan secara bertahap dosis 60 mg diberikan secara selang sehari untuk waktu 1-2 bulan berikutnya. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan sampai dosis pemeliharaan yang bergantung pada gambaran klinis.
Pada keadaan khusus seperti pada penyakit granulomatosis Wagener, serta poliarteris nodosa, arteritis Takayasu dan vaskulitis susunan sarafpusat yang resisten terhadap steroid diberikan kombinasi dengan siklofosfamid. Umumnya pemberian siklofosfamid secara oral tiap hari yang digabung dengan steroid dosis kecil
selang sehari untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder akibat pemakaian steroid jangka lama. Lama pemberian siklofosfamid berkisar ariata 18-24 blulart, sedang lama pemberian steroid tergantung kepada aktivitas penyakitnya. Pemberian pulse metilprednisolon 0,5-1 gAari selama
tiga hari berturut-turut diberikan pada permulaan pengobatan kasus-kasus yang mengancam nyawa (life threatening vasculitis syndrome) atau vaskulitis yang progresif. Intervensi pembedahan hanya dimungkinkan
iopsi paru atau ginjal
Biopsi syarat,arteriorgl Sakit perut,testicular pain,
P-ANCA positif
m
ono
ropati,k rin,kre atin
ne u u
e la in a n
it
>50 th,sakit kepala, gangguan penglihatan,jaw
Hemopiisis,kelainan urinalisis, kreatini l,kelainan foto dada R
iwayat obat-obatan,infeksi,
Riwayat penyakit, peneriksaan jasnuni, DPL, kreatinin, urinalis a
Fenomena Raynaud's, palpable purupum, kelainar urin, kreatinin
Sinusitis atau gejala saluran napas, kelainan ulin atau ioto dada, kreatinint , c-ANCA positif
Rinitis alergik, asma, eosinoPilia,
mononeulopati, kelainan foto dada
Biopsi paru atau ginjal
Gambar 1. Spektrum jenis-jenis vaskulitis dan pendekatan diagnostiknya
Biopsi saraf atau saluran napas
Biopsi saluran nSpas
440
ALERGIIDIUNOI.OGI
pada penyakit Takayasu setelah aktivitas penyakitnya tenang, sedang pada arteritis temporal jarang dilakukan tindakan pembedahan.
REFERENSI Arend WP, Michel BA, Bloch DA, Hunder Ge Calabrese LH, et al. The American College of Rheumatology 1990. Criteria for the
classification of Takayasu arteritis. Arthritis Rheum.
Maryland: William & Wilkins; 1997. p. l49l-5l7. responses to myeloperoxidase (MPO) and proteinase 3 (PR 3) in patients with systemic vasculitis. Clin Exp Immunol. 1996;103:253-58. Gross WL, Csemok E. Immunodiagnostic and pathophysiologic aspects of antineutrophil cytoplasmic antibodies in vasculitis. Current Opinion Rheumatol. 1995;7 :11-9. Hunder GG, Lie JT, Goronzy JJ, Weyand CM. Pathogenesis of giant cell arteritis. Arthritis Rheum. 1993 ;36:7 57 -61. Hunder GG, Bloch DA, Michel BA, Stevens MB, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology 1990. Criteria for the
Griffith ME, Coulthart A, Pusey CD. T cell
classification of giant cell arteritis. Arthritis Rheum.
1990;33:l 129-34. Bloch DA, Michel BA, Hunder GG MsShane DJ, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of vasculitis. Patients and methods. Arthritis
Rheum. 1990;33: 1068-73. Calabrese LH, Michel BA, Bloch DA, Arend WP, Edworthy SM, et a1. The American College of Rheumatology. Criteria for the
classification of hypersensitivity. Arthritis
Rheum.
1990;33:l 114-21. Cohen MD and Conn DL. In: Ball GV, Bridges JR.SL, editors. Vasculitis. Oxford: Oxford Universi[, Press Inc; 2002. p.228. Cupps TR. In; Stites DP, Terr AI, Parslow G, editors. Medical immunology. Stamford: Appleton & Lange; 1997. p. 513-26. Falk RJ, Jennette C. Anti-neutrophil cytoplasmic autoantibodies with specihcity for myeloperoxidase in patients with systemic vasculitis and idiopathic necrotizing and crecentic glomerulonephritis. N Engl J Med. 1988;318:1651-7. Fries JF, Hunder GG, Bloch DA, Michel BA, Arend WP, et al. The
American College of Rheumatology. Criteria for the classification of vasculitis. Summary. Arthritis Rheum. 1990;33:l 135-36. Gardner GC. Vasculitis. In: Eisenberg MS, Dugdale DC, editors. Medical diagnostics. Philadelphia: WB Saunders; 1992. p. 738-
1990;33:1122-8. RI, Andrassy K, Bacon PA, Churg J, Gross WI, et al. Nomenclature of systemic vasculitides. Proposal of an
Jerurette JC, Falk
international consensus conference. Arthritis Rheum. 1994;37:187 -92.
Kallenberg CGM, Mulder AHL, Tervaert JWC. Antineutrophil cytoplasmic antibodies in inflamatory disorder. Am J Med. 1992;93:675-80. Lighfoot RW, Michel BA, Bloch DA, Hunder GCa Zvaifler NJ, et aI. The American College of Meumatology 1990. Criteria for the classification of polyarteritis nodosa. Arthritis Rheum. 1990;33:1088-93. Maaten JC, Franssen CFM, gans ROB, Strack van Schijndel RIM, et al. Respiratory failure in ANCA associated vasculitis. Chest.
1996;ll0:357 -62. Masi
allied conditions. A textbook of rheumatology. Baltimore,
GG, Lie
Jl
Michel BA, Bloch DA, Arend WP, et
classification of Churg-Strauss syndrome (allergic granulomatosis and angiitis). Arthritis Rheum. 1990;33:1094-100. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of Henoch-Sch6nlein purpura. Arthritis Rheum.
46. Gay RM, Ball GV. Vasculitis. In: Koopman WJ, editor. Artritis and
AI, Hunder
al. The American College of Rheumatology. Criteria for the
I
Pall
990;33:
AA.
1
114-21
.
In: Savage COS, Pearson JD, editor. Immunological aspects of the vascular endothelium. Cambridge: Cambridge University Press; 1995. p. 173-90. Savage COS.
Puett DW. Vasculitis. Bull Meum Dis. 1996;348:4-7.