IMPLIKASI UNDANG UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERHADAP PENYEDIAAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) MENUJU KOTA EKOLOGIS Oleh : Dr. Ir. Ning Purnomohadi, MS1
PENDAHULUAN Tuhan menciptakan dunia ini tak ada yang kekal, kecuali proses alami yang mendukung siklus kehidupan makhluk hidup itu sendiri. Semua berputar datang silih berganti atau berubah wujud, seperti misalnya air yang berubah dari cair menjadi gas (uap air) atau padat (es). Dengan demikian kondisi lingkungan yang mampu dan dapat tetap menampung berbagai proses tersebut harus dijaga sedemikian rupa, supaya proses alami tetap berlangsung dan mampu mendukung kehidupan pada skala lokal, nasional, regional, dan global. Salah satu bentuk komitmen itu adalah pembangunan lingkungan kota secara berkelanjutan. Bumi, planet tempat tinggal manusia kini telah mengalami perubahan menuju krisis lingkungan yang telah mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Ironisnya hampir semua kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut adalah akibat kegiatan manusia yang mengabaikan fungsi lestari lingkungan. Kebangkitan kesadaran manusia untuk menyelamatkan bumi dilakukan dengan berbagai cara. Kata-kata Lingkungan Hidup (LH) dan Ruang Terbuka Hijau/RTH lalu menjadi kata-kata sakti. Istilah kota berwawasan yang ramah lingkungan, kota hijau, kota taman, kota sehat, ”Kota Ekologis”, dan seterusnya menjadi ’menjamur’ (klise). Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan suatu komitmen (keterlibatan) penyediaan berbagai macam barang dan jasa agar manusia dapat hidup sehat dan produktif, melalui penggunaan berbagai proses dan teknologi untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) seminimal mungkin, membatasi dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial yang mudah timbul akibat berbagai kegiatan manusia tersebut. Namun kenyataannya, pada saat ini paradigma pembangunan yang ada justru mengakibatkan degradasi kualitas sumber daya alam dunia, dikarenakan pelaksanaan pembangunan sangat mengandalkan daya dukung bumi, eksploitasi tenaga kerja manusia yang berlebihan, serta penurunan kesehatan manusia dan spesies lainnya. Paradigma pembangunan berkelanjutan menolak kebijakan dan pelaksanaan yang mendukung gaya hidup seperti saat ini (business as usual) yang semakin meningkatkan kesenjangan sosial dan akhirnya berakibat pada rusaknya potensi dasar sumber daya alam, mewariskan resiko yang lebih besar, dan masa depan yang suram bagi generasi berikutnya. Secara pragmatis, sambil terus bergerak berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, masih diperlukan perencanaan dan perancangan tata ruang yang membutuhkan inisiatif kebijakan guna mengeliminasi kesenjangan dan perbedaan antar-bangsa dan di dalam masing-masing bangsa itu sendiri dalam menghadapi laju kecepatan degradasi sumber daya alam dan ekosistem, di mana manusia dan spesies lain justru sangat tergantung pada sumber daya alam dan ekosistem tersebut. Bangsa yang sudah makmur dan sejahtera
1
Dr. Ir. Ning Purnomohadi, MS. WI-LH, Pusdiklat KLH, bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan, Perencanaan Lansekap Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut, Ekologi Lansekap, RTH-Kota, Etika Lingkungan, Konservasi SUMBER DAYA ALAM & Lingkungan; TPTT Pasca Sarjana FMIPA-UI, Jurusan Ilmu Kelautan, MA: Manajemen SD dan Lingkungan Pesisir dan Laut. Penulis Utama ”Buku RTH sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota” diterbitkan Dep. PU-Ditjen Penataan Ruang, akhir Desember 2006. 1
perlu mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak efisien dan sia-sia, merubah pola produksi dan konsumsi yang tak berkelanjutan, serta membantu bangsa yang membutuhkan tambahan sumber daya untuk melawan kemiskinan dan memperkuat kapasitas bangsanya untuk memperoleh pelayanan jasa infrastruktur utama yang berhubungan dengan sarana ketersediaan sumber daya air, sampah, energi, transportasi, pangan, rumah yang layak, fasilitas kesehatan, dan pendidikan, rekreasi dan olahraga, dll sehingga kebutuhan dasar miliaran orang di seluruh dunia dapat terpenuhi.
UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG
PENATAAN RUANG
Visi Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang adalah terwujudnya ruang nusantara yang mengandung unsur-unsur penting dalam menunjang kehidupan masyarakat, sebagai berikut: (1) keamanan: masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dalam menjalankan aktivitasnya; (2) kenyamanan: kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat menjalankan fungsi dan mengartikulasi nilai-nilai sosial budayanya dalam suasana tenang dan damai; (3) produktivitas: proses dan distribusinya dapat berlangsung efisien serta mampu menghasilkan nilai tambah ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing; (4) berkelanjutan: kualitas lingkungan dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Untuk mendukung visi di atas, maka setiap wilayah harus selalu memperhatikan aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 3 yaitu bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dengan terwujudnya:
(1) keharmonisan antara lingkungan alami dan buatan; (2) keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (3) perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadal lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Sementara pasal 6 ayat (1) mempertegas bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan potensi khusus sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan serta kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan. Pada pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pasal 28 sampai dengan pasal 30 memuat bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota minimal 30% di mana proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota minimal 10%. Sedangkan pasal 48 memuat bahwa penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan antara lain, untuk: (1) pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya; (2) konservasi sumber daya alam; dan (3) pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahahan pangan Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang terdiri dari:
2
(1) ketentuan tentang ’amplop’ ruang (koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar ruang hijau, garis sempadan); (2) penyediaan sarana dan prasarana; (3) ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait dengan keselamatan penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi, dan pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi. Pasal 5 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, mengandung penetapan dua fungsi kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dibagi ke dalam beberapa sub-kawasan yang akan memperjelas fungsi sesuai tata guna (peruntukan ruang/lahan) sektoral yang satu sama lain saling melengkapi (komplementer) seperti pada diagram 1. Diagram 1 Pembagian Fungsi Kawasan Menurut UU No. 26 Tahun 2007 III. …Lanjutan Pasal 5 dan penjelasan UUPR
FUNGSI KAWASAN
Kaw. yg memberikan perlind. kaw. bawahannya Kaw. perlindungan setempat
Kawasan Lindung
Kaw. suaka alam & cagar budaya Kaw. rawan bencana alam Kaw. lindung lainnya
Fungsi Kawasan
Kaw. perunt. hutan produksi Kaw. perunt. hutan rakyat Kaw. perunt. pertanian
Kawasan Budidaya
Kaw. perunt. perikanan Kaw. perunt. pertambangan Kaw. perunt. permukiman Kaw. perunt. industri Kaw. perunt. pariwisata Kaw. tempat ibadah Kaw. penddikan Kaw. hankam
Sedangkan klasifikasi penataan ruang dapat dilihat pada diagram 2.
44
Diagram 2 Klasifikasi Penataan Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG TIPOLOGI PENDEKATAN PENATAAN RUANG SISTEM
WILAYAH Nasional
PENATAAN RUANG
PENATAAN RUANG
FUNGSI UTAMA
Wilayah
Lindung Provinsi
KEGIATAN Perkotaan • Kecil • Sedang • Besar • Metro • Mega
NILAI STRATEGIS Hankam Ekonomi Sos - Bud
Internal Perkotaan
Kabupaten Budidaya Kota
Perdesaan • Agropolitan
SDA & Iptek Lingkungan Hidup 12
3
Dari klasifikasi penataan ruang tersebut ditetapkan strategi umum dan strategi implementasi penyelengaraan penataan ruang, sebagai berikut: (1) Pasal 6 yakni menyelenggarakan penataan ruang wilayah nasional secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, kenyamanan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; (2) Pasal 6 ayat (2) yakni menetapkan prinsip-prinsip ”komplementaritas” dalam rencana struktur ruang dan recana pola ruang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah provinsi; (3) Pasal 7 sampai dengan pasal 8 yaitu memperjelas pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang; (4) Pasal 17, pasal 28 - pasal 30 yakni: (a) memberikan perhatian besar kepada aspek lingkungan/ ekosistem; (b) menekankan struktur dan pola ruang dalam rencana tata ruang. Dalam menghadapi tantangan dan permasalahan menuju ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, penyelenggaraan penataan ruang di kawasan perkotaan perlu menggunakan instrumen penataan ruang yang memuat sistem insentif dan disinsentif serta sanksi bagi pelanggar tata ruang. Hal ini dimaksudkan untuk dapat meminimalkan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti: konflik spasial antara provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan otonomi daerah; rencana tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya menjadi acuan penerapan tata ruang; aspek pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah; berlangsung terusnya berbagai permasalahan perkotaan klasik (macet, bencana tanah longsor, kumuh, banjir, kurangnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana, dan seterusnya).
Sedang pentahapan penyusunan dari RTRW Nasional sampai pada tingkat pembangunan dalam RTRW Kota, dapat dilihat pada diagram 3 berikut:
Diagram 3 Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
RTRWN
RTRWP RTR Kaw. Metropolitan RTRW Kab/Kota
RDTR Perkotaan/Kota
Peraturan Zonasi
Perijinan
Pembangunan
4
Dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, tuntutan penerapan prinsip-prinsip good governance hendaknya terus diupayakan melalui peningkatan kepedulian dan peran masyarakat khususnya dalam penetapan fungsi, peran, serta pendekatan kebijakan dan strategi penataan ruang. Pada level terendah, penerapan prinsip-prinsip good governance ini dilakukan melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Misalnya, belajar dari kasus pengelolaan sampah padat dan produksi kerajinan rumahtangga di Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan dan di Gang Taman, Jl. Pertanian Selatan, Klender, Jakarta Timur (Gambar 1 dan 2). Masyarakat mengintegrasikan sarana dan prasarana yang telah ada sekarang melalui kegiatan swadaya kelompok RT/RW.
Gambar 1 a-b: Penghijauan kompleks rumah di Banjarsari (Purnomohadi, 2007) dan “Gang Taman” Jl Pertanian Selatan, Klender Jakarta Timur (Adi W., April 22, 07)
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 secara eksplisit diuraikan tentang penegasan hal, kewajiban serta peran masyarakat, yaitu:
Pasal 60 : Setiap orang berhak untuk : (1) mengetahui Rencana Tata Ruang; (2) menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; (3) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan Tata Ruang; (4) mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tak sesuai dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya.
Pasal 61: Dalam pemanfaatannya setiap orang wajib : (1) menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan; (2) memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; (3) memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang, dan (4) memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 65 : Peran masyarakat melalui : (1) pelibatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang (2) peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
5
(a) partisipasi dalam penyusunan RTR; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN DAN IMPLIKASINYA Perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah dan kota, khususnya dalam penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang hendaknya dilaksanakan sepenuhnya oleh Bupati/Walikota dengan dukungan penuh dari pihak legislatif di masing-maisng daerah. Hal ini tentu saja dilaksanakan dengan melihat kondisi bio-geografi lingkungan dan sumber daya manusia di masing-masing wilayah dan hendaknya dikembangkan secara bertahap. Hal ini telah dilaksanakan oleh beberapa Bupati dan Walikota yang juga telah mendapat dukungan penuh dari badan legislatifnya, seperti kelima wilayah kota Provinsi DKI Jakarta, Surabaya, dan lain-lain. Pada akhir bulan April 2008 ini, DPRD Kota Semarang secara proaktif akan melakukan ‘public hearing’ dengan mengundang para pakar dalam menyusun berbagai peraturan daerah (Perda), antara lain “Rancangan Perda Kota Semarang tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau” yang dimaksudkan sebagai perwujudan dari perubahan paradigma dimaksud (Diagram 4).
Diagram 4 Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
PEROBAHAN PARADIGMA PEMERINTAH, DAN PENGARUHNYA PADA MANAJEMEN PEMBANGUNAN PERKOTAAN, SERTA PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH STRATEGI PERUBAHAN PARADIGMA Bupati/Wali Kota dan staf inti sebagai : Pemberdaya Pelayan Pelaksana yang transparan dan akuntabel
MISI Ukuran utama sektor Pemerintahan adalah keberhasilan mencapai misi
KEUANGAN
PELANGGAN
“Memenuhi harapan pemberi dana “
“Memenuhi harapan penerima manfaat “
PROSES INTERNAL “Melakukan proses yang terbaik dan benar……” PENGEMBANGAN SDM “Pengembangan” organisasi dan SDM yang tepat
Tujuan Srategis Program Proritas Ukuran Strategis Perkotaan Terfasilitasinya Pengembangan Perkotaan yang layak huni, inovatif/dinamis, kompetitif dan terciptanya pelayanan jasa perkotaan prima Tertatanya ruang kota yang menyediakan fungsi kawasan lindung, hutan kota, hijau rekreasi kota, hijau kegiatan olahraga, hijau pemakaman, hijau pertanian, hijau jalur hijau, hijau pekarangan, dst.
Penyusunan RTRW Kabupaten berlaku mutatis mutandis (Pasal 28 UUPR No. 26 Tahun 2007) untuk penyusunan RTRW Kota dengan penambahan muatan pada rencana-rencana: (1) penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; (2) penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non-hijau; dan
6
(3) penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Model perencanaan tata ruang terakhir yang disepakati para Walikota di dunia (KLH, 2005) pada Penandatanganan Bersama Kesepakatan Lingkungan Hidup adalah dikenal dengan istilah Green City. Meskipun terdapat dua persepsi berbeda tentang istilah Kota Hijau ini, yaitu: 1 Sebagai visi (negara bagian di USA) menghijaukan kota-kota dengan menanam banyak tanaman dan tumbuhan serta membangun taman-taman kota; 2 Negara-negara Eropa mempunyai persepsi ‘hijau’ sebagai “Kota yang Sehat” dan hampir bebas dari emisi polusi CO2, CO, N2O, dan lain-lain serta orientasinya pada penggunaan sarana angkutan dengan energi non-fosil. Meskipun demikian sekitar dua dekade lalu beberapa walikota di beberapa negara sedang berkembang, seperti di benua Amerika Selatan dan di Asia telah berhasil mengembangkan lingkungan kota layak huni (habitable) atau apa yang disebut sebagai: ‘Kota Berwawasan Lingkungan’, sebagai contoh kota Curitiba (Brasilia) (Gambar 3).
Gambar 3 Kota Berwawasan Lingkungan THE LIVEABLE CITIES
2
1
4
3
Gambar: (1) Kota Curitiba; (2) Pendidikan lingkungan; (3) Jalur bus; (4) “Makanan” untuk proyek sampah. (Hendrik & Duijvestein, ed. 2002)
Pada hakekatnya penyebab utama perencanaan dan perancangan permukiman kota adalah ketidakpedulian akan pentingnya sanitasi lingkungan yang “higienis”, yang kemudian secara sadar maupun tidak, menjadi perilaku (kebiasaan) warga yang tak terpuji. Lingkungan menjadi semakin buruk akibat tidak ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini mengakibatkan beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) kondisi sanitasi dasar lingkungan permukiman, menimbulkan masalah kesehatan yang serius; (2) persediaan air bersih yang minim (tak cukup bahkan tak ada); (3) sampah padat dan limbah cair tidak terkelola dengan baik (tak ada ‘sewerage system; (4) makanan tidak higienis (keracunan, pemakaian zat kimia/pengawet, pewarna, penyedap), (5) vektor penyakit (nyamuk, tikus, kecoak, dan lain-lain) tak terkendali;
7
(6) sistem transportasi/ lalu lintas yang buruk dengan adanya kemacetan lalu lintas dan polusi udara; (7) buruknya lingkungan kerja/ kantor (hal ini ditandai dengan berkembangnya bakteri legionellosi, yang mengakibatkan sick building syndrome). Hampir semua permasalahan di atas saling terkait dan merupakan akibat dari penyelenggaraan penataan ruang yang buruk. Oleh karena itu, dalam rangka menuju pembangunan “Kota Sehat”, maka diperlukan persyaratan ketat pembangunan sarana dan prasarana sanitasi kota. Ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka kawasan perkotaan yang merupakan bagian ruang terbuka suatu kawasan perkotaan, di mana antara lain relatif terdapat banyak unsur hijau tanaman dan tumbuhan yang sengaja atau tak sengaja ditanam. Unsur hijau ini antara lain berfungsi sebagai pendukung keberlangsungan proses siklus alami (fisik-ekologis), pendukung bagi upaya peningkatan kesejahteraan warganya (baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan estetika). Sementara itu, ruang terbuka non-hijau kawasan perkotaan yang permukaan tanahnya bisa diperkeras (paved) untuk kepentingan tertentu, termasuk di sini adalah ruang terbuka ‘biru’ (danau, waduk serta jalur sungai atau tepi pantai) termasuk areal yang sengaja dibangun, diperuntukkan bagi peresapan air permukaan (hujan), kolam genangan (retention basin), atau luapan air hujan (banjir). Struktur RTH pada ruang terbuka kawasan perkotaan dapat dilihat pada diagram 5.
Diagram 5 Ruang Terbuka di Kawasan Perkotaan dan Struktur RTH Kota
RUANG RUANG TERBUKA TERBUKA DI DI PERKOTAAN PERKOTAAN
RUANG TERBUKA NON HIJAU
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) (MIN 30% LUAS KOTA)
RUANG TERBUKA NON HIJAU PUBLIK RUANG TERBUKA NON HIJAU PRIVAT
RTH PUBLIK (20% LUAS KOTA)
RTH PRIVAT
7
KOTA EKOLOGIS MASA DEPAN Berdasarkan gambaran yang bisa dilihat pada diagram 2 dan diagram 5, ruang terbuka hijau menjadi merupakan suatu komponen kota yang harus disediakan dalam suatu kota. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hampir semua kota, khususnya kota-kota besar di Indonesia telah mengalami degaradasi lingkungan. “The ecological city impressions” merupakan suatu pedoman visioner yang hendaknya dicapai oleh suatu kota, seperti “the liveable city” dan “the water city”. Meskipun demikian, bila sebuah kota telah mempunyai pedoman visioner sebagai kota ekologis, maka tidak
8
otomatis berarti bahwa kota ini telah dapat mengatasi permasalahan, tetapi bisa merupakan suatu seri pengalaman yang berbeda-beda ditinjau dari visi dan usulannya. Bila pencapaian visi tersebut masih terlalu jauh, maka disarankan untuk diarahkan pada proyek skala kecil atau sebagian kota saja. Hal ini selain lebih relatif lebih mudah untuk dilakukan, juga akan lebih berari karena terus berjalan menyusuri setiap bagian kota sehingga pencapaian visi tercapat dan proses penyusuran tersebut menjadi sangat berarti (Tjallingi, S, dalam Hendrik & Duijvestein, 2002). Kota ekologis mensyaratkan pentingnya perubahan (restrukturisasi) hubungan antara permukiman dan lingkungan. Perubahan ini bukan dengan membongkar bangunan lama (bersejarah), akan tetapi dengan perbaikan ruang komunal dan ruang kehidupan. Hal ini dilakukan misalnya dengan membangun ruang-ruang publik yang dapat menampung penduduk dengan tingkat kepadatan tinggi, tanpa mengabaikan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas tersebut, terutama keamanan. Sebagai contoh adalah pembangunan tiga kawasan (teritori) yaitu “the strip” (pedestrian), small courtyards (untuk penghuni 5 lantai), dan large courtyards’ untuk penghuni apartment lebih besar. Sementara itu, Kota Curitiba dan Kota Singapura merupakan kota yang berkarakter ‘manusiawi’ (liveable).
The participating city adalah kota di mana seluruh warga tanpa kecuali mampu bekerja sama memelihara kualitas lingkungan menjadi “kompak” serta karakter jalan lebar dan hijau (boulevard) (Den Haag, dibangun 1930). Dalam hal ini, keterbatasan ruang diatasi dengan pengembangan bagian perairan kota dengan infrastruktur semi permanen ( light city) atau mudah dibongkar dengan pola aturan khusus, seperti rumah-rumah perahu “orang laut” atau pasar terapung di Banjarmasin. Pengembangan bagian kota yang mempertimbangkan adanya daerah hijau menjadi pilihan masyarakat, meskipun harganya menjadi sangat mahal. Hal ini dapat dilihat di beberapa pengembangan perumahan yang menerapkan konsep lingkungan yang hijau, sehat dan asri. Di samping itu, pengembangan kota hendaknya mempertimbangkan kemungkinan adanya ’peluang’ agar energi sebanyak mungkin dapat dihemat melalui pembangunan “green infrastructures”. Dengan demikian, semua habitat biota (flora/fauna) dapat hidup bersimbiosis mutualistisme dalam suatu kota. Sementara itu, Frey (2004) dalam Wardhani (2006) menyebutkan bahwa saat ini terdapat tiga model “sustainable city” yang tengah diperdebatkan, yakni: (1) apakah kota yang padat (compact city) tidak akan menyebar (sprawling) ke daerah pinggiran dan apakah kota ini mempunyai kelebihan efisiensi distribusi aktivitas penduduk dengan berbagai moda; (2) apakah kota polisentrik (decentralized concentration (polycentric) city) merupakan kelanjutan proses pengembangan compact city yaitu pada pusat-pusat spesialisasi fungsi di dalam suatu kota; dan (3) apakah short-cycles city merupakan perkembangan lebih lanjut dari kedua model kota tersebut di atas? Dari berbagai uraian di atas, diharapkan bahwa penerapan prinsip-prinsip ekologis dan lingkungan dapat menciptakan terwujudnya keberlanjutan kota melalui pemanfaatan sumber daya alam lokal dengan sistem daur ulang, otonomi lokal yang lebih luas, dan ecological footprints yang lebih kecil.
9
PENUTUP
Keberadaan ruang terbuka hijau sebagai penyeimbang area terbangun merupakan unsur utama tata ruang kota yang mutlak harus ada pada suatu kota yang berwawasan lingkungan, aman, serasi, seimbang dan berkelanjutan.
Para perencana kota hendaknya perlu memahami berbagai informasi tentang pengelolaan jasa utama kota, seperti penyediaan air yang aman, jasa kebersihan/sanitasi, energi, perumahan /permukiman, transportasi, persediaan pangan, ruang terbuka hijau dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi degradasi lingkungan dan dampak sosial negatif dari suatu pembangunan kota.
Pertumbuhan ekonomi kota hendaknya dapat menjadi salah satu indikator pengukuran pembangunan dengan tetap mengindahkan pembagian sumber daya alam yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak (termasuk kaum marjinal).
Perencanaan kota harus ditekankan pada adopsi pendekatan-pendekatan baru dan perancangan teknologi tepat guna untuk mengantar dan mengelola jasa infrastruktur kota berdampak minimal bagi lingkungan, selain komitmen dan keinginan untuk berubah.
BAHAN BACAAN: Anies, 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, solusi mencegah dan menanggulangi penyakit menular. Seri Lingkungan dan Penyakit. Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Anggota IKAPI. ISBN: 979-20-8692-7 Raquel. 2004. Alternative urban Future, planning for sustainable development in cities throughout the world. Chapter six: Alternative Urban Futures (hal
Pinderhughes,
220-226). Rowman & Littlefield Publishers, Inc. PO Box 317. Oxford OX29RU, UK. Purnomohadi, Ning. 1995. Ruang Terbuka Hijau dan Perannya dalam Pengelolaan Kualitas Udara di Metropolitan Jakarta. Bahan Disertasi FPS-PSL-IPB (tidak dipublikasikan), Purnomohadi, Ning (Penulis Utama), 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Penerbit: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum RI. ISBN 979-15540-0-5. Purnomohadi, Ning, 2007. Konsep dan Strategi Membangun Lingkungan Kota yang Sehat (Ekologis) serta Identifikasi Masalah yang Dihadapi (Bahan diskusi/makalah-tidak dipublikasikan) Tjallingi, S, dalam Hendrik & Duijvestein, 2002. The Ecological City – Impressions. Studi DIOC-DGO (Delft Interfaculty Research Centre – Sustainable Built Environment) dari Delft University of Technology, 1997. Wardhani, Citra. 2006. Kota Berkelanjutan (Sustainable City), salah satu editor dalam dalam buku ” SUSTAINABLE DEVELOPMENT”, Beberapa Catatan Tambahan. Asosiasi SYLFF (The Ryoichi Sasakawa Young Leaders Fellowship Fund), Universitas Indon
10