IMPLEMENTASI UU NO 21 TAHUN 2007 DALAM PENANGANAN KORBAN TRAFFICKING PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
OLEH RIKO NUGRAHA 060200090 Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2009 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
IMPLEMENTASI UU NO 21 TAHUN 2007 DALAM PENANGANAN KORBAN TRAFFICKING PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
OLEH RIKO NUGRAHA 060200090 Departemen Hukum Internasional
Disetujui oleh Ketua Bagian
(Sutiarnoto,SH.,M.Hum) NIP 131 616 321
Pembimbing I
(Sutianoto,SH.,M.Hum) NIP. 131 616 321
Pembimbing II
(Chairul Bariah Mozasa,SH.,M.Hum) NIP. 131 570 464
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
KATA PENGANTAR Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah Swt yang mana atas berkat dan redhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Telah menjadi kewajiban bagi mahasiswa tingkat akhir bahwa penulisan skripsi adalah sebagai pemenuhan persyaratan untuk mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itu penulis memberanikan diri untuk memilih judul skripsi, yaitu : “IMPLEMENTASI UU No 21 TAHUN 2007 DALAM PENANGANAN KORBAN TRAFFICKING PERSPEKTIF HUKUM INTERNASONAL” Penulis menyadari bahwa skripsi yang diajukan ini jauh dari pada memadai dan masih banyak kekurangan, baik dipandang dari segi kelengkapan apalagi dari segi ilmiahnya. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan kemampuan yang ada penulis, serta dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian guna menuju arah dan penyempurnaan dan menjadi bahan pertimbangan serta bekal bagi penulis dimasa mendatang. Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata merupakan jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengaturkan rasa terima kasih yang sedalamdalamnya kepada : 1. Bapak Prof. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan FH USU. 2. Bapak Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I FH USU. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II FH USU. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
4. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III FH USU. 5. Bapak Sutiarnoto, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata sekaligus selaku Pembimbing I penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Chairul Bahriah SH, M.Hum, selaku Pembimbing II penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Syaiful Azam,SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing akademis penulis. 8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menuangkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkulihan sehingga berkat ilmu pengetahuan penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman penulis di Fakultas Hukum yang penulis kasihi di FH USU. Pada tempatnyalah disini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga atas kasih sayang dan perhatian yang begitu dalam dari Ayahanda Abdul Gafar dan Ibunda Farida yang penulis sangat cintai, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan santun dan sabar. Juga kepada kakak-kakak penulis, Afrida Yenti, Sri Astuti, yang sangat penulis sayangi, yang turut memberi dukungan kepada Penulis dalam menyelesikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini akan berdaya guna dan berhasil serta membawa manfaat bagi para pembaca khususnya civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang menggunakannya. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Medan,
Desember 2009
Penulis
RIKO NUGRAHA NIM 060200090
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Abstraksi
Sutiarnoto, SH.,M.Hum* Chairul Bahriah Mozasa, SH.,M.Hum** Riko Nugraha***
Perdagangan Orang (Trafficking) merupakan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (UU No 21 Tahun 2007) Trafficking atau perdagangan orang merupakan suatu fenomena yang tumbuh dalam masyarakat yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu yaitu sejak revolusi industri Inggris. Namun belakangan inimasalah Trafficking kembali mencuat khususnya Indonesia. Bukanlah hal yang biasa namum pantaslah dikatakansebagai hal yang luar biasa. Kasus Trafficking dapat diibarat gunung es, dimana dari permukaannya kelihatan kecil atau hanya sedikit padahal sebenarnya masalah Trafficking telah melebar dan begitu besar di bawahnya. Artinya tidak banyak kasus Trafficking yang terungkap dan terselesaikan. Penulisan di dasarkan pada penelitian melalui studi kasus untuk menemukan kajian mengenai kasus perdagangan orang (Trafficking) sehingga dapatlah diketahui bagaimana implementasi UU No 21 tahun 2007 dan resolusi ataupun penanganan terhadap korban Trafficking. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative. Penelitian normative merupakan penelitian hokum yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Pengolahan hasil ini dengan menyimpulkan data dengan menguraikan metode analisis hukum normatif kualitatif.
Penulis
Riko Nugraha
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
DAFTAR ISI
Abstraksi .............................................................................................................. i Kata Pengantar ...................................................................................................ii Daftar Isi ............................................................................................................ iv Bab 1. Pendahuluan .............................................................................................. I A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... I B. Perumusan Masalah ................................................................................ 4 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................................ 5 D. Keaslian Penulisan .................................................................................. 6 E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................. 6 F. Metode Penulisan .................................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11 Bab II. Gambaran Umum Tentang Trafficking ...................................................... 13 A. Latar Belakang Munculnya Trafficking ................................................... 13 B. Definisi Trafficking ................................................................................. 15 B.1 Pengertian Korban ............................................................................ 20 B.2 Jenis – Jenis Perdagangan Perempuan Dan Anak .............................. 24 C. Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Trafficking .................................... 25 D. Perkembangan Trafficking Di Indonesia ................................................. 37 E. Implementasi UU No 21 Tahun 2007 ...................................................... 41
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Bab III.Tinjauan Tentang Hukum Internasional Terhadap Trafficking .................. 46 A. Dampak Trafficking ................................................................................ 46 B. Penanganan Korban Trafficking .............................................................. 50 C. Peraturan Yang Mengatur Masalah Trafficking ........................................ 51 C.I Peraturan Internasional ..................................................................... 51 C.2 Peraturan Nasional ........................................................................... 54 D. Penegakan Hukum Terhadap Trafficking ................................................ 58 Bab IV. Pembahasan Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional ................................. 61 A. Contoh Kasus Korban Trafficking ........................................................... 61 B. Analisis Korban Trafficking Terhadap UU No 21 Tahun 2007 ................ 67 C.Upaya Dan Kewajiban Pemerintah Dalam Melindungi korban Trafficking 68 D.Ketentuan Internasional Larangan Trafficking .......................................... 73 D.I Hak Asasi Perempuan Dan Konvensi CEDAW .................................... 75 D.2 Protokol Palermo................................................................................. 77 Bab V. Kesimpulan Dan Saran ............................................................................. 97 A. Kesimpulan ............................................................................................. 97 B. Saran ........................................................................................................ 99
Daftar Pustaka .................................................................................................... 102 Lampiran ............................................................................................................ 107
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia dan segala peradabannya selalu mengalami perubahan dan perkembangan sepanjang adanya pengaruh-pengaruh yang datang dari dalam maupun dari luar dan hal ini adalah merupakan suatu keadaan yang dapat merusak kehidupan masyarakat. Hukum Sebagai bagian yang tidak terpisah dari proses kehidupan manusia mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hal ini. Dalam menjalani kehidupan, berbentuk berbagai peraturan-peraturan yang mengatur ruang lingkup tata kehidupan masyarakat, misalya dalam masalah perdagangan orang/manusia (Trafficking). Trafficking merupakan kejahatan sistemik, pola dan pelakunya sangat susah untuk dilacak. Untuk itu pola penanggulangan juga diperlukan kerjasama semua pihak, mungkin kerjasama ini tahap awal untuk menggalang kekuatan bersama. Dan dalam Undang-Undang No 21 th 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Irwanto dkk., (dalam sofian, 2004) mencatat sedikitnya terdapat lima jenis perdagangan perempuan dan anak yang dijumpai di Indonesia, dimana salah satu diantaranya adalah perdagangan untuk tujuan pelacuran. Penelitian ini hanya di khususkan pada perdagangan anak untuk tujuan pelacuran. Para korban trafficking, khususnya yang terjerumus kedunia prostitusi kerap kali mendapat kekerasan seksual.
1 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Dimana korban Trafficking tidak hanya menderita secara fisik tetapi juga mengalami menderita secara psikis. 1 (Hawani, 1997). Memang disadari bahwa penanganan trafficking tidaklah mudah, karena khusus pengiriman manusia secara illegal ke luar negeri sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya tanpa adanya perubahan perbaikan. Pada dasarnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas sari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagai bagian dari kebijakan politik, perburuhan cheap labour
yang dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung
dieksploitasi. Trafficking merupakan salah satu jalur perdagangan orang yang korbannya rata-rata di bawah garis kemiskinan, khususnya perempuan dan anak. Apalagi hingga saat ini posisi perempuan masih terimajinasi, tersubordinasi yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan. Emil W. Aulia, seorang jurnalis yang terobsesi menuliskan fakta perdagangan manusia dikomunitas perkebunan di Sumatera Timur pada awal abad 20 menguraikan dalam novelnya ”Carut marut dunia perburuhan (perdagangan manusia, pen) di Indonesia dewasa ini bukanlah hal yang baru. Seperti menjadi takdir dalam sejarah, para pekerja memanga selalu dalam posisi tak berdaya. Percayalah Anda, pada awal abad 20 harga seorang manusia Indonesia tidak lebih mahal dari harga seekor sapi? Perdagangan manusia benar-benar terjadi (dan diiklankan!) pada masa itu. Berlombalomba para makelar memassang advertensi mencari dan menyalurkan tenaga kerja –
1
Hawani,Korban Trafficking yang menderita secara fisik dan psikis. 1997.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
orang Jawa, Sunda, Madura Dan China—untuk mengurus pohon disebuah perkebunan. Bukan sembarang pohon, tapi konon, pohon berdaun uang. Orangpun berbondongbondong pergi ke tanah yang namanya Deli itu. Sampai di sana, bukan pohon uang yang ditemukan tapi para tuan berkebun Belanda yang menjadi mereka kuli kontrak. Perbudakan yang trjadi dibalik rimbunnya daun-daun tembakau. Tak banyak yang tahu bahwa tembakau Deli yang terkenal di seluruj dunia, akarnya telah menyerap keringat, air mata, dan darah para kuli. Kolusi terjadi para penguasa daerah dengan tuan kebun. Poenale Sanctie menjadi tameng yang melegalkankekejaman mereka. Tak ada hukum yang dapat melindungi para kuli. Sampai seorang para advokad mengungkapkan perbudakan yang keji itu dalam sebuah tulisan berjudul Millioenen uit Deli. Sebuah tulisan yang menggempar negeri Belanda pada tahun 1902.2 Situasi dan kondisi semacam ini merupakan santapan sindikat perdagangan perempuan dan anak yang sudah terorganisir untuk melakukan perekrutan. Bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum, karena sindikatnya di awali dengan transaksi utang-piutang antara pemasok tenaga kerja illegal dengan korban yang mempunyai bayi atau anak perempuan yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunannya adalah anak perempuan yang masih bau kencur. Masyarakat Internasional telah lama menaruh perhatian terhadap permasalahan perdagangan perempuan dan anak (Trafficking), dimana adanya konvensi internasional yang mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak.
2
Edy Ikhsan dan Pekerja Sosial Pada Yayasan Pusaka Indonesia. Tulisan ini disampaikan pada Dialog Implementasi Perda No 6 tahun 2004 tentang penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.Medan, 12 Agustus 2008 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
B. Perumusan Masalah Dalam penulisan ini, secara secara garis besarnya terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan dan penanganan korban trafficking
(Perdagangan perempuan dan
anak). Adapun pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : I. Apa yang melatar belakangi dan dampak
terjadinya Perdagangan orang
(Trafficking). 2. Bagaimana Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking dalam Perspektif Hukum Internasional. 3. Apa dampak yang dampak yang timbul akibat yang terjadinya trafficking. 4. Bagaimana pandangan dunia dalam penanganan korban Trafficking di Indonesia. Permasalahan di atas merupakan beberapa penilaian yang tepat untuk membahas mengenai penanganan dan perlindungan korban Trafficking dalam masyarakat Internasional sehingga dapat dinilai sejauh mana kepentingan Perlindungan pada Hak asasi Perempuan untuk mengatasi terjadinya Trafficking.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : I. Mengidentifikasi dan menginventalisir latar belakang, pengaruh atau dampak sosial yang timbul dalam persoalan perdagangan manusia
( Human
Trafficking). Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Melakukan kajian atau analisis yuridis atas perangkat-perangkat hukum tentang perdagangan orang, khususnya keberadaan UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang menyangkut perlengkapan pengaturan serta efektifitasnya dalam upaya penegakan hukum. 3. Mengetahui peranan pemerintah dan pihak terkait dalam upaya menangani, menanggulangi dan mencegah terjadinya perdagangan orang di Indonesia. 4. Menjaring aspirasi dan pemikiran kritis publik sehubungan dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang efektif untuk menghapus atau sekurangkurangnya meminimalisir terjadinya perdagangan orang. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah wawasan sarta pengetahuan bagi penulis mengenai penanganan korban trafficking khususnya bagi perempuan dan anak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Baik mengenai perlindungan hukum terhadap korban maupun tindakan yang sepantasnya yang dilakukan untuk perekrut, trafiker, dan sindikat kejahatan dan upaya terhadap orang/manusia yang telah terlibat dalam masalah trafficking supaya tidak terlibat lagi dalam masalah tersebut, disamping itu dapat menambah pengetahuan masyarakat khusunya penanganan korban trafficking bagi orang-orang yang terlibat dalam masalah perdagangan manusia/orang.
D. Keaslian Penulisan Pada dasarnya, penulisan skripsi yang bertemakan mengenai perlindungan korban trafficking telah banyak di angkat dan dibahas , namun penulisan skripsi dengan judul Implementasi UU No 21 Tahun 2007 dalam penanganan korban trafficking perspektif Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
hukum internasioal belum pernah di tulis sebagai skipsi. Dengan demikian, sripsi ini masih asli serta dapat dipertanggung jawabkan penulis secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan Secara definitif, pengertian perdagangan perempuan dan anak adalah setiap tindakan atau transaksi dimana (perempuan dan anak) dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok manapun , demi keuntungan atau dalam bentuk lain meliputi; menawarkan, mengantarkan, atau menerima perempuan dengan berbagai cara tujuan untuk ekploitasi serksual, mengambil organ tubuh perempuan dan anak untuk suatu keuntungan, keterlibatan perempuan dan anak dalam kerja paksa serta penculikan anak untuk adopsi. 3 Secara konseptual, sesuatu dikatakan trafficking apabila terdapat berbagai aktivitas , seperti perekrutan, transportasi, dan pemindahan. Perekrutan diartikan sebagai proses pengambilan anak dari tempat asalnya atau dari orang lain. Transportasi merujuk pada pemahaman pemindahan anak yang sudah berhasil direkrut kepada orang lain atau ke tempat tertentu. Perpindahan ini bisa lintas batas negara atau bisa dalam suatu negara dan unsur-unsur terakhir adalah penipuan dengan korban yang tidak mengetahui tujuan dari pemindahan. 4 Hal ini merupakan satu faktor yang menjadi mendorong terjadinya trafficking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjualbelikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat. 3 4
Protokol PBB. 2003. dalam Manik. Jakarta:Harapan Prima. Pasal I ayat I. Ahmad, Sofian. Unsur-Unsur Penipuan terhadap korban, 2004. Hal 35
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Jika di tinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah termasuk area tindak pidana, perlakuan mereka adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak adalah makhluk ciptaan tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban. 5 Sehingga dengan keluarnya UU No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan masalah perdagangan orang yang semakin meluas, baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, baik yang bersifat antar negara maupun dalam negeri. Hal ini dirasakan dengan ancaman bagi masyarakat , bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dil;andasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan berlakunya UU No 21 Tahun 2007, maka segala tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Perdagangan orang merupakan kejahatan serius dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Penegakan hukum saat ini tidak hanya dapat dilakukan secara parsial, dimana penegakan hukum harus dilaksanakan secara terpadu, baik antar sektoral dalam suatu negara maupun secara internasional. Berkembangnya kasus perdangangan orang era sebelum dikeluarkan UU No 21 Tahun 2007 dapat dikarenakan antara lain : 1. Peraturan perundang-undangan yang khusus belum memadai 2. Penegakan hukum yang lemah 3. Koordinasi secara nasional maupun internasional belum optimal. 5
Lihat Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).Bandung: Fokus
Media Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Perlindungan oleh UU No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang pada saat terjadinya korban trafficking
dapat melakukan upaya
pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan (trafficking) dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia maupun di luar negara Republik Indonesia. Menurut UU No 21 Tahun 2007, memberikan pengertian trafficking dan Korban sebagai berikut ; Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan Pengertian korban adalah ; Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. (Pasal 1 Ayat 3 UU No.21 Tahun 2007)
F. Metode Penulisan Dalam penyelesaian penulisan skipsi ini, untuk mendapatkan hasil maksimal diupayakan pengumpulan data secara baik dan layak yang dilakukan penulis berupa : Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
1.Tinjauan Kepustakaan Yakni berupa buku bacaaan yang relevan dengan penulisan skipsi ini, dengan cara membaca dan mempelajari bahan buku bacaan maupun perundang-undangan dan juga sumber lain yang berhububngan dengan penulisan ini dan dijadikan sebagai dasar untuk menghasilkan suatu karya ilmiah dengan sebaik-baiknya agar lebih berbobot, yang mana data-data ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). 6
2.Tinjauan Lapangan Yakni dengan melakukan tinjauan secara langsung terhadap korban trafficking yang berada di wilayah propinsi Sumatera Utara (Medan) di samping itu penulis juga melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dengan maksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut , suatu hal yang tidak bisa dilakukan melalui pendekatan lain. Adapun struktur wawancara yang dilakukan penulis pada saat melakukan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pedoman Wawancara (Interview Guide) Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara. 2. Pembukaan (Opening)
6
Abdul Muis, Pedoman penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden. 3. Isi (The Body) Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaaan lanjutan dari pedoman wawancara. 4. Penutup (The Closing) Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah didapati dari responden.
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Di dalam bab ini disajikan pengantar-pengantar permasalahan pokok yang terdiri dari ; Latar Balakang, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan Dan Sistematika Penulisan.
BAB I
: GAMBARA UMUM TENTANG TRAFFICKING Dalam Bab ini diuraikan sekilas tentang trafficking secara umum yang terdiri dari; Latar Belakang Munculnya Trafficking, Definisi Trafficking, Pengertian Korban,
Bentuk – Bentuk Trafficking, Jenis – Jenis
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Perdagangan Perempuan Dan Anak, Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Trafficking, Perkembangan Trafficking Di Indonesia, Implementasi UU No 21 Tahun 2007. BAB III
: TINJAUAN TENTANG HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP TRAFFICKING Dalam Bab ini diuraikan sekilas tentang masalah trafficking secara umum yang terdiri dari; Dampak Trafficking, Penanganan Korban Trafficking, Peraturan Yang Mengatur Masalah Trafficking, Peraturan Internasional, Peraturan Nasional, Penegakan Hukum Terhadap Trafficking.
BAB IV
:PEMBAHASAN IMPLEMENTASI UU No 21 TAHUN 2007 DALAM PENANGANAN KORBAN TRAFFICKING PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Dalam Bab ini diuraikan sekilas tentang trafficking secara umum yang terdiri dari; Contoh Kasus Korban Trafficking, Analisis Korban Trafficking Terhadap UU No 21 Tahun 2007, Kewajiban Dan Upaya Pemerintah
Dalam
Melindungi
korban
Trafficking,
Ketentuan
Internasional Larangan Trafficking. BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh Penulisan serta saran-saran dan mudah-mudahan berguna bagi penulis dan pembaca.;
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
B A B II GAMBARAN UMUM TENTANG TRAFFICKING
A.Latar Belakang munculnya Trafficking Dalam salah satu publikasinya, United Nation Office On Drugh And Crime (UNDC), 7 menyebutkan setidaknya16 akar utama penyebab Traffickig in Person (Perdagangan Orang). Hanya satu penyebab saja dari 16 akar yang tidak secara langsung terkait dengan masyarakat atau kelompok komunitas, yakni failed and corrupt governments ( pemerintahan yang gagal korup). Kelima belas akar lainnya sangat berhubungan langsung dengan masyarakat antara lain, kekerasan berbasis gender, diskriminasi kerja, marginalisasi etnis, ras, dan agama, kehilangan status, kekuasaan,power, dan pranata sosial, sejarah kerja paksa, perkawinan dini dan paksa, struktur sosial yang partriarki,
7
United Nation Office on Drugs and Crime, Human Traffficking, New York, 2008.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
jaringan keluarga yang rapuh, peran perempuan dan anak di keluarga, tingginya angka perceraian serta peluang pendidikan dan ekonomi yang terbatas. Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi Pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan pekerjaan.
terjadinya peningkatan kasus–kasus trafficking dilatarbelakangi oleh banyak faktor penyebab, namun paling tidak ada 3 (tiga) faktor sosial yang cukup dominan menyebabkan kasus trafficking sering terjadi. Pertama: Tidak adanya kontrol sosial terhadap munculnya kasus trafficking terhadap anak dan perempuan. Memang sudah ada peraturan dan lembaga yang bertugas untuk mengawasi kasus–kasus trafficking, namun pelaksanaannya masih belum optimal serta kurang adanya peran serta dari masyarakat untuk menanggapi kasus–kasus trafficking. Kesadaran diri dari masyarakat untuk melakukan upaya preventif/pencegahan masih sangat kurang karena ada prinsip individualistis dalam masyarakat serta kurangnya pendidikan masyarakat itu sendiri. Kedua: adanya hubungan hierarki sosial di masyarakat yang sering kali menempatkan posisi anak pada kedudukan di bawah laki–laki dan perempuan. Orang dewasa seakanakan mempunyai “hak” untuk memperlakukan anak–anak sesuka hatinya, tanpa memperhatikan bahwa pada prinsipnya anak–anak itu mempunyai hak untuk tumbuh Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
berkembang, melangsungkan hidup, dilindungi, berpartisipasi, mempunyai hak sipil dan kebebasan, dan berpendapat. Ketiga : Ketimpangan sosial dan struktrur sosial-ekonomi yang menindas sering kali melahirkan semacam kultur kekerasan, khususnya di kalangan keluarga miskin
A. Definisi Trafficking Trafficking merupakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksanaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan berkuasa atas orang lain, untuk tujuan exploitasi. Exploitasi termasuk, paling tidak, exploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari exploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. 8 Memang definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut terasa masih rumit bagi orang awam, karena menggunakan bahasa teknis hukum. Namun, dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan trafficking itu terjadi.
8
Lihat Protokol Palermo pasal 1 ayat 1.Tahun 2000.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Pertama, proses, meliputi perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalagunaan kekuasaan. Dan ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau ponografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai human trafficking atau perdagangan manusia. Dan Persetujuan dari korban tidak lagi relevan bila salah satu dari tiga tahap yang tercantum tersebut digunakan. Trafficking, menurut International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat korban rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma kejiwaan (psikologi)
dan
bahkan
kematian.
Pelaku
trafficking
menipu,
mengancam,
mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan fisik untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi, pornografi, kerja paksa, perbudakan dan lain-lain. Pengertian di atas memberikan rumusan yang jelas bahwa pengertian tersebut dapat dibagi menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1. Adanya tindakan atau perbuatan Tindakan atau perbuatan ini meliputi unsur-unsur pengerahan (perekrutan), transportasi,
pemindahan,
penyembunyian (Penampungan),
penempatan,
dan
penerimaan orang. 2. Adanya Cara Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Unsur-unsur yang meliputi: penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang menguasai orang lain.
3. Adanya Tujuan atau Maksud Eksploitasi Yakni untuk tujuan ekspoloitasi, yang di dalamnya mencakup setidak-tidaknya mencakup unsur: eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan (Servitude), penghambaan (Selfdom), dan pengambilan organ tubuh.
Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu ke waktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.
Pada tahun 1949, PBB mengesahkan Convention for the Suppression of the Trafficking in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (Konvensi untuk Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran oleh Pihak Lain). Konvensi ini mengutuk perdagangan untuk tujuan di dalam maupun di luar negeri, menghapus persyaratan bahwa perekrutan harus dilakukan secara paksa atau dengan kekerasan. Hal ini membuat perdagangan mungkin saja terjadi bahkan jika ada
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
persetujuan dari korban dan membuat pencarian keuntungan dari pelacuran sebagai perbuatan yang illegal. Konvensi mengenai Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran oleh Pihak Lain tahun 1949 dianggap banyak pihak sudah kadaluarsa dan batasan mengenai trafficking sudah tidak sesuai dengan karakteristik kondisi yang ada saat ini. Selain itu Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan juga menyebutkan bahwa Konvensi ini telah terbukti tidak efektif dalam melindungi hak-hak perempuan yang diperdagangkan dan dalam memerangi trafficking. Menurutnya konvensi ini tidak memandang perempuan sebagai pelaku independen yang diberkahi hak nalar, melainkan lebih melihatnya sebagai makhluk rentan yang membutuhkan perlindungan dari kejahatan prostitusi. 9 Trafficking atau perdangangan perempuan dan anak adalah setiap tindakan atau transaksi dimana (perempuan dan anak) dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok manapun, demi keuntungan atau dalam bentuk lain, meliputi; menawarkan, mengantarkan, atau menerima perempuan dengan berbagai cara untuk tujuan eksploitasi seksual, mengambil organ tubuh perempuan, dan anak untuk suatu keuntungan, keterlibatan perempuan dan anak dalam kerja paksa serta penculikan anak untuk adopsi.9 Menurut UU No.21 Tahun 2007, definisi trafficking atau Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
9.
Konvensi PBB TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) tahun 2007.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. ( Pasal 1 Ayat 1).10 Secara Konseptual, sesuatu dikatakan trafficking apabila terdapat berbagai aktivitas, seperti perekrutan, transportasi, dan perpindahan. Perekrutan diartikan Sebagai proses pengambilan perempuan dan anak drai tempat asalnya ataun dari orang lain. Transportasi merujuk pada pemindahan anak yang sudah berhasil direkrut kepada orang lain ataun ketempat tertentu. Perpindahan ini bisa lintas batas negara atau bisa dalam suatu negara dan unsur-unsur terakhir adalah penipuan dengan korban yang tidak mengetahui tujuan dari perpindahan.(Sofian, 2004) Trafficking Perempuan dan anak yakni perpindahan orang (perempuan dan anak) secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah (lokasi) dengan tujuan akhir dengan memaksa orang-orang tersebut masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif dan memberikan keuntungan kepada perekrut, traffickers, dan sindikat kejahatan. (Murniati, 2006).
10. Lihat UU No 21 Tahun 2007 Pasal 1 Angka 1. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
B.I Pengertian Korban Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 11 Definisi korban trafficking sesuai dengan teori trafficking dan teori korban trafficking adalah perempuan dan/atau anak yang telah akan menderita kerugian, termasuk cidera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya dikarenakan tindakan perpindahan perempuan dan anak dengan niat terencana secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah (lokasi) dengan memaksa orang-orang tersebut dengan berbagai cara dengan tujuan eksploitasi seksual, mengambil organ tubuh mereka untuk memperoleh suatu keuntungan, keterlibatan perempuan dan anak dalam kerja paksa serta penculikan anak untuk adopsi dimana memberikan keuntungan kepada perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan. Pelaku kekerasan terhadap anak kecenderungannya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan anak antara lain ayah dan ibu di rumah, guru di sekolah, majikan di tempat kerja, petugas di tempat kerja, tugas penjara dan sebagainya. 12 Disamping itu, pelacuran dan penyalahgunaan zat terlarang sangat erat kaitannya dengan trafficking. Anak yang kecanduan obat-obatan terlarang dan alkohol mungkin akan berpaling ke pelacuran untuk bisa mendukung kebiasaannya itu, dan orang dewasa yang mengeksploitasi mereka itu mungkin mendorong para pelacur anak untuk menggunakan obat-obatan terlarang untuk membuat mereka menjadi lebih tergantung.
11. UU NO 21 Tahun 2007 (Tindak Pidana Perdagangan Orang ), Ibid, pasal 1 Ayat 3. 12 . Pratiwi Arna, Antarini, Kekerasan Terhadap Anak Di Mata Anak Di Indonesia. Hal. 10 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Kecanduan dapat menjadi kendala yag serius bagi rehabilitasi korban-korban eksploitasi seksual. 13 Dalam kaitannya dengan perlindungan hak korban perdagangan orang, protocol PBB memuat beberapa aturan antara lain: 14 1. Bantuan dan perlindungan termasuk perlindungan akan privasi dan identitas korban diterapkan sejauh mungkin ( pasal 6.1) 2. Pemberian informasi yang relevan mengenai proses administratif dan peradilan ( pasal 6.2a) 3. Pelayanan atau pendampingan dalam rangka memungkinkannya diungkap dan dimunculkannya pandangan dan kepentingan korban agar dapat turut dipertimbangkan oleh pengadilan pidana (pasal 6.2b) 4. Langkah-langkah yang diambil oleh negara dalam pelaksaan pemulihan korban perdagangan orang secara fisik, psikologis, sosial, termasuk bekerjasama
dengan
berbagai
lembaga
swadaya
masyarakat,
organisasi/lembaga/instansi terkait dan elemen masyarakat lainnya untuk menyediakan sherter, konseling, informasi yang bermanfaat, pekerjaan, pendidikan, dan kursus (pasal 6.3), yang sesuai dengan umur, jender dan kebutuhan khusus korban, khusus dalam memenuhi kebutuhan korban anak, harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak seperti pendidikan, dan perawatan. (pasal 6.4).
13
. Riyanto, Agus. Perlindungan Anak, Sebuah Buku Panduan Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Hal. 60. 14 Lihat Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Edisi Revisi Dilengkapi Dengan Pembahasan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dan Pereturan Perundang-Undangan Yang melengkapinya. Hal. 7-12. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
5. Perlindungan atas rasa aman bagi korban dan kemungkinan pengembalian kompensasi atas kerugian yang dialami oleh korban (pasal 6.5). 6. Pemberian izin tinggal permanen bagi korban perdagangan orang di luar negeri (pasal 7). 7. Pemulangan/Repatriasi sukarela, yang mengedepankan keamanan korban. Pemulangan tersebut harus benar-benar memperhatikan keselamatan korban. Informasi tentang status setiap proses hukum yang berkaitan dengan kasusnya harus selalu diberikan kepada korban. Semua proses tersebut harus dilakukan atas kesukarelaan korban (tidak ada paksaan). Ketentuan pasal 14 memuat antara lain klausul non diskriminatif, yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam protocol tersebut ditafsirkan dan diterapkan secara tidak diskriminatif, terutama terhadap meraka yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang (Trafficking) dan bahwa penafsiran dan penerapan ketentuan-ketentuan tersebut harus selaras dengan prinsip non diskriminasi yang diakui secara internasional. Dengan kata lain, perlindungan hukum yang diatur dalam protocol PBB harus dapat menjangkau, terutama mereka yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang, terlepas dari asal usul, suku, kebangsaan, jenis kelamin maupun agama/kepercayaan yang dianut korban Trafficking.
Disamping itu, terdapatnya empat hal sifat dasar trafiking yaitu sebagai berikut;
1. Bersifat manipulatif atau penyalahgunaan , yaitu penyimpangan dari rencana semula atau hal yang diinformasikan kepada korban. Pada saat membujuk dikatakan akan diberikan pekerjaan layak tetapi pada kenyataannya dijadikan Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
budak, dieksploitasi, dipekerjakan pada pekerjaan buruk, dijadikan obyek transplantasi, dan sebagainya. 2. Ada transaksi, dalam trafiking terjadi transaksi uang antara calo, penjual dan pembeli/pemakai. 3. Tidak mengerti, yakni korban pada umumnya tidak mengerti bahwa ia akan menjadi korban dari tindak pidana, karena ketika akan bermigrasi dalam niatnya akan mencari pekerjaan atau tujuan lainnya yang tidak ada hubungan dengan sindikat tindak pidana. 4. Ada migrasi, yaitu perpindahan korban yang melampaui batas negara atau batas propinsi. Karena faktor jarak dan melampaui batas-batas administrasi, maka trafiking biasanya dilakukan oleh sebuah sindikat.
B.2 Jenis – Jenis Perdagangan Perempuan Dan Anak TVPA (Trafficking Victims Protection Act) menyebutkan jenis-jenis perdagangan perempuan dan anak didefinisikan sebagai:
a. Perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa, dengan cara penipuan, atau kebohongan, atau dimana seseorang diminta Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
secara paksa melakukan suatu tindakan demikian belum mencapai usia 18 tahun; atau
b. Merekrut,
menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan
seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui
paksaan,
penipuan, atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, peonasi, penjeratan hutang (ijon) atau perbudakan. 15
Irwanto dkk., (Dalam Sofian,2004) mencatat sedikitya terdapat lima jenis perdagangan perempuan dan anak yang dijumpai di Indonesia, Yaitu; 1.Perdagangan perempuan dan anak untuk pelacuran 2.Perdagangan perempuan dan anak untuk dijadikan pembantu rumah tangga 3.Perdagangan perempuan dan anak untuk dijadikan penfgemis 4.Perdagangan perempuan dan anak untuk dipekerjakan pada tempat-tempat yang berbahaya 5.Perdagangan perempuan dan anak untuk dijadikan pengedar narkoba. C Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Trafficking Faktor-faktor penyebab terjadnya perdagangan perempuan dan anak adalah sebagai berikut
16
:
1.Adanya kemiskinan struktural dan disharmonisasi keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi
15. TVPA (Trafficking Victims Protection Ac)t menyebutkan jenis-jenis perdagangan perempuan dan anak. Refina Aditama. Hal 67 16. Widya Susanty,S.Psi, Skripsi., Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, Hal 2526 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2.Adanya kepercayaan para konsumen bahwa berhubungan seks dengan anak- anak dapat sebagai obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki tertentu. 3.Orang tua berpendapat/beropini bahwa perempuan dan anak dapat dijadikan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar, sehingga orang tua kandung sampai hati menjual mereka denga harga yang sangat tinggi, khususnya harega keperawanannya. 4.Jeritan hutang, dimana orang korban dililitkan hutang dengan germo sehingga pada jatuh tempo orang tua korban tidak sanggup/mampu untuk membayar hutang kepada germo, malahan mereka menjadi tambal untuk melunasi hutangnya. 5.Orang tua kadang kala beranggapan bahwa perempuan dan anak dapat dipandang sebagai sesuatu/aset yang dapat memperoleh keuntungan yang sangat besar, sehingga orang tua sampai hati untuk menjual mereka. Disamping itu juga banyak faktor yang mendorong orang terlibat dalam perdagangan manusia, yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu supply and demand, antara lain sebagai berikut : 1. Trafficking merupakan bisnis yang menguntungkan. Dari industri saja seks saja diperkirakan US $ 1.2 – 3,3 milyar pertahun untuk indonesia. Hal ini menyebabkan kejahatan internasional terorganisir menjadi prostitusi internasional dan jaringan perdagangan manusia sebagai fokus utama kegiatannya. 2. Kemiskinan telah mendorong anak – anak tidak sekolah sehingga kesempatan untuk memiliki keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersil kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian anak dan ibu Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
sebagai tenaga kerja wanita, yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga berisiko menjadi korban. 3. Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka tyerjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk kedalam dunia prostitusi. 4. Konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak remaja, sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. Akibat konsumerisme, berkembanglah kebutuhan untuk mencari uang banyak dengan cara mudah. 5. Pengaruh sosial budaya seperti pernikahan di usia muda yang rentan perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial. Adanya kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak-anak secara homoseksual atau heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang atau membuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya. 6. Kebutuhan para majikan akan pekerjaan yang murah, penurut, mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti telah mendorong naiknya demand terhadap pekerja anak. 7. Perubahan struktur sosial yang diiringi cepatnya industrialisasi/komersialisasi, telah meningkatkan jumlah keluarga menengah, sehingga meningkatkan kebutuhan akan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Dalam kondisi yang tertutup dari luar, anak-anak itu rawan terhadap penganiayaan baik fisik maupun psikis. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
8. Kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya permintaan akan perempuan dan anakanak untuk bisnis tersebut. 17 Ada beberapa faktor-faktor yang lainnya menyebabkan terjadinya terfficking (Ditinjau dari Penelitian Pemerintah Sumatera Utara) yaitu ; 1. Trafficking merupakan bisnis (illegal) yang menguntungkan terbesar. Trafficking tercatat sebagai bisnis illegal dengan keuntungan terbesar ketiga, setelah perdagangan gelap senjata dan narkoba.
2. Kemiskinan Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2002 sebesar 17,6 %. Sedangkan penduduk miskin Sumatera Utara tahun 2002 sebesar 15,84% dan tahun 2004 turun menjadi 14,93%. 3. Kurangnya kesempatan kerja dan peluang usaha Jumlah penduduk tahun 2005 sebesar 12.326.678 dengan perincian laki – laki 50,01% dan perempuan 49,99%. Jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas di Sumatera Utara tahun 2005 sebesar 8.067.008 orang, terdiri atas angkatan kerja 5.803.112 orang dan bukan angkatan kerja 2.263.896 orang, dengan perincian sebagai berikut : Angkatan kerja
Laki – laki
Perempuan
Jumlah
Bekerja
3.107.019
2.059.113
5.166.132
17
Chairul Bariah Mozasa,SH.,M.Hum, Dosen Fakultas Hukum USU .Lihat Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan Dan Anak), Medan. Hal. 13-14 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Mencari kerja Total
Bukan angkatan kerja
283.332
353.648
636.980
3.390.351
2.412.761
5.803.112
Perempuan
Jumlah
Laki– laki
Sekolah
393.452
406.650
800.102
Mengurus rumah tangga
18.432
1.102.568
1.121.000
Lain – lain
177.874
164.920
342.794
Total
589.758
1.674.138
2.263.896
Sumber : Oleh Ir. Hj. R. Sabrina, Msi Dalam Makalah Upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Sinergitas Pusat dan Daerah Dalam Implementasinya.10 Mei 2007.
Data di atas memperlihatkan bahwa akses perempuan untuk bekerja/berusaha lebih rendah daripada laki – laki. Angkatan kerja di Sumatera Utara tahun 2004 sebagian besar berpendidikan SD ke bawa 41,57%, sedang SLTP 23,82%, SLTA 29,88% dan di atas SLTA 4,42%. 4. Pekerja migran Jumlah TKI yang berangkat melalui pintu Sumatera Utara tahun 2005 terdata sebesar 20.107 orang, terdiri dari TKI dari Sumatera Utara 14.103 orang dan dari luar Sumatera Utara ( transit ) sejumlah 6.004 orang. Dari sejumlah 14.103 orang TKI Sumatera Utara tersebut yang berangkat secara formal ( legal ) sejumlah 11.578 orang dan informal 2.525 orang. TKI formal tersebut 82,22% perempuan dan 17,78% laki – laki, sedangkan TKI informal 100% perempuan. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
5. Pendidikan Di Sumatera Utara penduduk buta huruf tahun 2004 laki–laki sebesar 1,54% dan perempuan 4,34%. 6. Lain – lain kondisi, keluarga, dan masyarakat Kondisi keluarga dan sosial masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan , sumber pendapatan, ketidaktahuan akan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, faktor ketidakadilan gender dan budaya patriarkhi atau kuatnya dominasi laki – laki dalam keluarga dan masyarakat, meningkatya permintaan, dampak penyiaran dan tulisan porno di media, rendahnya kesadaran terhadap nilai anak dan faktor – faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat. 18 Selain faktor-faktor di atas maka, dapat juga kita ketahui bahwa faktor-faktor terjadinya trafficking di sebabkan oleh 3 (Tiga) faktor, diantaranya adalah sebagai berikut: 1.Tidak adanya kontrol sosial terhadap munculnya kasus trafficking. 2.Adanya hubungan hirarki sosial di masyarakat yang sering kali) menempatkan anak pada tangga terbawah (Setelah Laki-Laki dan Perempuan 3.Ketimpangan sosial dan struktur ekonomi – sosial yang menindas sering kali melahirkan semacam kultur kekerasan khususnya dikalangan keluarga miskin. 19
18
Ir. Hj. Sabrina, Msi. Makalah Upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Sinergitas Pusat dan Daerah Dalam Implementasinya, Pemerintah Provinsi Sumetera Utara Biro Pemberdayaan Perempuan SetdaProvsu, 2007, Medan. 19 Ir.Hj.Sabrina, M.Si.,Dkk, Pola Koordinasi Penanganan korban Kekeran – Perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara.Op.cit Hal.3-4 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Disamping itu, Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka.
Ada beberapa cara
yang dilakukan oleh para pelaku terhadap korban antara lain 20:
1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; 2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; 3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur; 4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; 5. Membuat korban tergantung pada pelaku trafficking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam "perlindungan" dari yang berwajib; dan 6. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;
Selain cara-cara diatas yang kerap dilakukan oleh para pelaku trafficking ada beberapa bentuk trafficking yang terjadi khususnya pada anak-anak dan perempuan baik di dalam maupun di luar negeri. Antara lain, kerja paksa seks dan eksploitasi seks, pembantu rumah tangga, penari, penghibur, kedok pertukaran budaya, pengantin pesanan, penjualan bayi, dan buruh anak. Perlu diingat bahwa kasus perdagangan manusia ini
20
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=pandangan+dunia+dalam+penanganan+korban+traffic king+di+indonesia&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq= Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
dapat terjadi dalam lingkup domestik antara desa dan kota (urbanisasi) maupun lintas batas negara (trans-nasional).
Berdasarkan penemuan di lapangan, sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang terjadi dalam penangaan korban traffiking, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Eksploitasi Buruh Migran Setiap orang yang dijanjikan dengan suatu pekerjaan sebagai pekerja yang informal sebagai pembantu rumah tangga, pelayan toko, pekerja pabrik, atau pelayanan restoran.Lalu di kirim dan diterima oleh agen di negara tujuan.Di negara tersebut mereka dipekerjaka layaknya seperti budak, tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja seperti gaji dan waktu istirahat, tidak boleh meninggalkan tempat kerja ditambah dengan siksaan fisik, psikologis, maupun seksual. 2. Eksploitasi Prostitusi Pada mulanya korban dijanjikan bekerja sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan restoran, dan pengasuh anak dan lain-lainnya, ternyata dilacurkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pelaku perdagangan orang, tidak hanya melacurkan korban di lokalisasi-lokalisasi prostitusi biasa, juga mengorganisir kejahatan ini dengan cara membawa korban ke hotel-hotel dan melakukan transaksi di sana. Korban biasanya dikurung di sebuah kamar apartemen, kemudian dibawa keluar untuk melayani pelanggan di hotel-hotel tempat pelaku bertemu dengan pelanggan dan pelanggan bebas memilih korban. Pelakulah yang bertransaksi langsung dengan pelanggan sementara Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
korban tidak memiliki kekuasaan untuk menolak, apalagi dengan penjagaan ketat dari para bodyguard, dipaksa untuk melayani pelanggan. Walaupun kadang korban tahu bahwa dia akan bekerja sebagai prostitusi, namun biasanya karena ditipu oleh pelaku, seperti tentang kondisi pekerjaannya, dijerat utang, dipaksa melayani sejumlah laki-laki dalam satu hari dan dilarang meninggalkan lokalisasi sebelum membayar sejumlah besar uang yang dianggap utang kepada mucikari, maka korban tidak dapat berbuat apa-apa. Eksploitasi prostitusi juga dapat tyerjadi di lokasi perkebunan, dimana pelaku mengorganisir kegiatan ini di lokalisasi perkebunan terpencil dengan target pelanggan para pekerja perkebunan tersebut. 3. Kerja Paksa Laki-laki dewasa dan anak ditawari pekerjaan perkebunan, pabrik kayu, atau sebagai pekerja bangunan di luar negeri, dan dijaanjikan dengan mendapat gaji yang tinggi dan fasilitas mess yang disiapkan oleh perusahaan. Sesampainya di lokasi kerja, ternyata korban bekerja tanpa gaji dan istirahat yang cukup, dilarang meninggalkan tempat kerja dan tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak. Atau mereka dieksploitasi diwilayah perkebunan, biasanya tinggal digubuk-gubuk tidak permanen dan dilarang meninggalkan tempat kerja sebelum mereka menyelesaikan kontrak (biasanya dua tahun). Lebih menganaskan lagi, kadang-kadang, ketika perjalanan hampir selesai, pelaku melaporkan kepada polisi setempat tentang keberadaan mereka yang biasanya tidak berdokumen. Akhirnya mereka ditangkap polisi dan dianggap melanggar peraturan keimigrasian dan tentu saja pelaku tidak perlu membayar gaji mereka. 4. Training Atau Pelatihan
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Anak-anak yang di kirim keluar negeri denga alasan training atau pelatihan ternyata kemudian dipaksa bekerja di hotel, restoran, di kapal nelayan, dan jermal tanpa gaji dan waktu istirahat yag cukup. Disamping merupakan suatu situasi yang eksploitatif yang dapat dinggap sebagai perdagangan manusia dewasa, situasi-situasi seperti itu melanggar hak-hak anak berdasarkan perundang-undangan indonesia. Korban ditipu dengan alasan sebagai duta budaya, ternyata kemudian dilacurkan atau dipaksa menjadi penari erotis. 5. Penculikan Anak perempuan remaja diculik pada saat pulang sekolah lalu dibius dan dipindahkan untuk kemudian dilacurkan. Pembiusan yang sering terjadi terhadap perempuan dewasa, biasanya di kendaraan umum misalnya dalam bus-bus antar kota. 6. Pengantin Pesanan Korban dijanjikan dinikahi dengan warga negara asing namum kemudian oleh suaminya dijadikan pembantu rumah tangga atau bahkan dilacurkan. 7. Kawin Kontrak Korban kawin kontrak dan dieksploitasi sebagai prostitusi oleh suaminya. 21 Selain faktor-faktor di atas juga terdapatnya penyebab terjadinya trafficking, hal ini dapat dijelaskan dengan empat sebab yaitu : Pertama, karena motif adopsi. Modernisasi di negara-negara Barat telah melahirkan tingkat kemakmuran tinggi yang membawa perubahan jalan pikiran tentang perkawinan dan keluarga. Di negara-negara Skandinavia, kaum wanita memilih tidak kawin, atau kalau pun kawin tidak ingin memiliki anak. Pemerintah bahkan sampai harus mengiming21
, Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Edisi Revisi Dilengkapi Dengan Pembahasan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dan Pereturan Perundang-Undangan Yang melengkapinya. Op.cit. Hal 15-16. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
iming hadiah besar bagi wanita yang mau melahirkan anak. Tetapi mereka adalah warga yang telah sukses dalam membangun ekonomi. Mereka mengabaikan segala iming-iming tersebut, bahkan rela mengeluarkan dana besar untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya. Pada sisi lain negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang
akan
diadopsi
melalui
proses
perdagangan..
Untuk motif ini pedagang tidak hanya mengambil anak-anak yang sudah beranjak Balita, anak usia sekolah atau remaja saja, bahkan masih orok dan janin pun bisa diterima. Di perbatasan Indonesia-Malaysia misalnya, pada tahun 2003 harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai RM 18.000-25.000. sedangkan untuk orok bermata bundar dan kulit gelap dihargai RM 10.000-15.000. Untuk yang masih dalam kandungan para calo-calo bandit akan mencari mangsa kaum perempuan yang hamil tanpa nikah atau korban perkosaan. Mereka dirayu dengan iming-iming akan diberi pekerjaan atau dikawini asal bersedia pergi ke luar negeri. Kedua, motif pemerkerjaan. Dengan memperkerjaan anak-anak tidak perlu membayar tinggi, bahkan tidak dibayar sama sekali kecuali tempat tidur dan makanan yang tidak layak. Dengan mempekerjaan anak keuntungan bisa diperoleh berlipat-lipat. Inilah yang disebut perbudakan. Motif pemerkerjaan juga terjadi pada dunia hiburan, dengan mempekerjalan anak perempuan bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar. . Ketiga, motif eksploitasi seksual. Motif ini paling banyak menimbulkan korban yakni dengan menjadikan anak-anak sebagai pelacur maupun bentuk eksploitasi lainnya. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Korban pelavuran. Organisasi buruh internasional (ILO) memperkirakan 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia tahun 2004 adalah anak di bawah 18 tahun. Ini belum termasuk angka perempuan muda Indonesia yang menjadi pelacur di luar negeri. Mereka lebih susah dihitung karena umurnya selalu dipalsukan. Tetapi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan memperkirakan tidak kurang dari 30.000 perempuan muda Indonesia menjalani seks komersial di luar negeri. Sebutan bagi mereka bermacam-macam seperti ayam kampung (Pontianak), barang (Medan dan Batam), ciblek (Semarang) dan lain-lanya. Data di KPAI menunjukkan saat ini ada 3 juta TKW di luar negeri, 10 persen di antaranya bermasalah seperti soal pembayaran gaji yang tidak beres, menjadi korban kekerasan, paspor hilang, dan sebagainya. Dari jumlah yang bermasalah, antara 1 sampai 2 % atau antara 30.000 hingga 60.000 merupakan TKW korban trafiking yang mayoritas masih masuk kategori anak-anak. 22 Keempat, motif lainnya. Yang paling menonjol adalah untuk transplantasi organ tubuh seperti ginjal, liver, mata, dan sebagainya. Dalam kondisi terpaksa atau terancam, korban akan menyerahkan organ tubuhnya. Sasaran penjualan transplantasi adalah kota Bombay, India. Tetapi yang mengagetkan adalah temuan GTA MNPP) bahwa di Shanghai korban trafficking diambil ginjalnya bukan untuk transplantasi tetapi dibuat soup ginjal. Ada mitos di Shanghai, dengan menyantap soup ginjal maka akan menambah keperkasaan laki-laki. Semakin muda ginjal, semakin optimal keperkasaannya, maka semakin mahal pula harganya.
22
http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=250:fa ktor-faktor-penyebab-gangguan-jiwa-pada-korban-trafficking&catid=89:info&Itemid=118 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
D. Perkembangan Trafficking Di Indonesia Perdagangan manusia (trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Awalnya trafficking hanya dipandang sebagai tindakan kriminal mempekerjakan orang sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil), namun sekarang masalah trafficking telah jauh berkembang menjadi masalah internasional. Korban terbesar trafficking adalah perempuan dan anak, seperti memperjualbelikan anak dengan tujuan prostitusi, perdagangan organ tubuh manusia (servitude), dan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi. 23 Sebenarya kesadaran masyarakat akan bahaya trafficking masih rendah. Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi Pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan pekerjaan. Eksploitasi tenaga kerja dapat menjerumuskan para tenaga kerja pada sistem kerja tanpa upah yang jelas, tanpa ada syarat-syarat kerja, tanpa perlindungan kerja dan sebagainya layaknya kerja paksa.
23
Eksploitasi setidaknya meliputi: eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ-organ tubuh, Agusmidah, Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan, Makalah (Dialog Interaktif, “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007”, Medan, 2007), hlm. 4.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Perkembangan masalah perdagangan orang sangat kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan
harus dilakukan secara
terpadu. Adapun beberapa faktor pendorong terjadinya perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta petugas kelurahan dan kecamatan yang membantu pemalsuan KTP (Kartu Tanda Penduduk).24 Disamping itu, kasus trafficking di Indonesia secara khusus disebabkan oleh satu hal/penyebab saja. Trafficking disebabkan kondisi dan persoalan yang berbeda-beda 25. Misalnya, pertama, kurangnya kesadaran, banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafficking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan. Kedua kemiskinan, kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang. Ketiga, keinginan cepat kaya, keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafficking. Selain persolan diatas diatas, perdagangan manusia juga dipicu oleh faktor-faktor budaya masyarakat yang juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya praktek trafficking. Pertama, peran perempuan dalam keluarga: Meskipun norma-norma
24
. Lihat Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAMLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hal 2-3. 25 http://www.crcs.ugm.ac.id Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Kedua, peran anak dalam keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek trafficking. Ketiga, perkawinan dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap praktek trafficking hal ini disebabkan kerapuhan ekonomi mereka. Keempat, sejarah pekerjaan karena jeratan hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. Keempat, kurangnya pencatatan kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang perdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. Kelima, kurangnya pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah diperdagangkan karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Dan keenam, korupsi & lemahnya penegakan hukum: Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking. Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan, juga disinyalir sangat rentan terhadap praktek-praktek kejahatan kemanusian ini. Sehinga tidak berlebihan jika Indonesia di identifikasikan sebagai negara yang menjadi pengirim, tempat transit dan penerima korban trafficking. Menurut Kepala Bidang Reserse dan Kriminal (Kaba Reskrim) Polri Komisaris Jenderal
(Komjen)
Erwin Mappaseng, ada
tiga pintu
perdagangan yang cukup besar di Indonesia, antara lain Batam, Entikong (Kalimantan Barat), dan Manado. Yang kesemua daerah ini pengawasan terhadap perbatasannya sangat lemaah dan sering dijadikan jalur penyeludupan manusia secara ilegal.Kompleksitas penyebab terjadinya trafficking di Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus dan komitmen yang kuat dari berbagai elemen masyarakat. Praktek
trafficking
biasanya
terselubung
dengan
berbagai
tabir
mulai
budaya/kultural, politik maupun kepentingan ekonomi. Maraknya perdagangan manusia Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
juga berkembang pesat karena bisnis ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar, seperti bisnis haram lainnya, sehingga tidak mengherankan bisnis perdagangan manusia ini merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan senjata dan narkotika. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, lemahnya penegakkan hukum, perbatasan antar negara yang rentan terhadap penyeludupan manusia, dan lain sebagainya membuat para pelaku trafficking lebih leluasa untuk menggaet korbannya dengan berbagai bujuk rayu.
E. Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dengan lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), masyarakat Indonesia dan komunitas internasional yang peduli masalah perdagangan. Penerapan/implementasi undang-undang ini merupakan sebuah prestasi, karena dianggap sangat komprehensip dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam protokol PBB.Indonesia sebagai negara yang menandatangani protokol PBB, mempunyai kesepakatan dengan komunitas internasional tentang bagaimana melihat perdagangan orang sebagai kasus yang multi kompleks dan harus ditangani secara komprehensip, melalui lima langkah penting penangananan yaitu; Penindakan, Pencegahan, Rehabilitasi Sosial, Perlindungan bagi korban, Kerja Sama dan peran serta masyarakat. Namun demikian, sebagus atau seunggul apapun bentuk produk hukum, apabila tidak dilaksanakan dengan benar dan ditegakkan, maka produk hukum tersebut menjadi tidak memiliki manfaat. Menjadi kewajiban aparat penegak hukum untuk melakukan
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
upaya-upaya penerapan dan penegakan hukum secara profesional. Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental sosial control). 26 Yang tujuannya adalah mencapai ketertiban dan keselarasan dalam hidup di masyarakat. Hukum itu sendiri adalah sebuah sistem yang mengandung beberapa sub sistem sebagai unsurnya. Sistem hukum setidaknya terdiri atas tiga unsur. Unsur pertama sistem hukum adalah struktur. Sruktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan objek yang disebut “hukum”. Struktur hukum terdiri dari unsur berikut ini: jumlah dan ukuran pengadilan, jurisdiksinya, termasuk hukum acara di pengadilan. Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yang termasuk di dalamnya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Komponen ke tiga dari sistem hukum yaitu budaya hukum, yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum mencakup kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapan masyarakat terhadap hukum. 27 Berikut ini merupakan hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang tindak pidana perdagangan orang (UU PTPPO) ádalah sebagai berikut: 1. Penyalahan Posisi Rentan Merupakan salah satu bentuk praktek eksploitasi, keadaan yang di dalamnya terdapat ketidakseimbangan status/kedudukan antara dua pihak.Pihak yang lebih tinggi memiliki kekuasaan dibanding pihak yang lainnya yang memiliki kedudukan yang lebih rendah atau berada dalam posisi rentan ( Contoh;Majikan 26
Donald Black, The Behavior of Law, 1976, hal. 2. Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition, 1998, Penerjemah Wishnu Basuki,PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 6-8. 27
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Dan Buruh). Pihak yang memiliki kekuasaan, menyalahgunakan kekuasaaannya untuk memegang kendali atas kerentanan orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. 2. Perbudakan Perbudakan ádalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Perbudakan diatur pula dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 9c. Yang dimaksud dengan perbudakan dalam ketentuan ini termasuk dalam perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan dan anak. 3. Praktik Serupa perbudakan Hádala tindakan yang menempatkan seseorang yang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak statu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.
Dengan adanya kelemahan UU No 21 tahun 2007 dan ketentuan yang telah ada sebelumnya, maka dibutuhkan undang-undang khusus yang dapat menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Sehinnga undang-undang khusus ini diharapkan dapat mengantisipasi dan menjerat pelaku perdagangan orang. Dengan demikian, pererapan UU PTPPO adalah suatu keharusan yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain mengamanatkan dalam bagian Pembukaan bahwa negara dan pemerintah didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
umum. 28 Trafiking memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktek trafficking selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban yang tanpa masa depan. Korban trafficking pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara pisik (anak-anak), psikis, maupun
ekonomi.
Konvensi ILO No 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Anak Terburuk menyebutkan bahwa trafiking sebagai bentuk pekerjaan anak mutlak harus dilarang. Perdagangan anak bukan sebuah bentuk pekerjaan, namun suatu proses pengerahan dan atau pengangkutan dan penerimaan seorang anak atau orang dewasa untuk keperluan eksploitasi, di mana selama dalam proses itu hak-hak asasi manusia dilanggar.
Faktor utama dalam semua bentuk pekerjaan yang mutlak dilarang (perbudakan atau yang mirip dengan perbudakan, penjualan dan perdagangan anak, ijon, penghambaan, dan kerja paksa dan wajib kerja) adalah bahwa orang tidak bebas meninggalkan pekerjaannya atau merundingkan kondisi-kondisi lainnya. 29 Perdebatan tentang definisi perdagangan atau trafiking diselesaikan pada tahun 2000 dengan hukum internasional yang menjelaskan bahwa anak (manusia yang berusia kurang dari 18 tahun) harus dianggap sebagai diperdagangkan, bahkan bila mereka telah diijinkan untuk bermigrasi untuk memperoleh pekerjaan. Dengan demikian trafiking
28 29
Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, alenia ke empat. http://satreskrimreskng.blogspot.com/2009/01/melawan-trafficking.html
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
tidak
hanya
merujuk
pada
anak-anak
yang
diculik
dan
dijual.
B A B III TINJAUAN TENTANG HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP TRAFFICKING
A. Dampak Trafficking Dampak yang akan timbul akibat terjadinya perdagangan orang dapat kita ketahui sebagai dampak secara umum dan dampak secara khusus. Secara umum Trafficking dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap penegakkan hak asasi manusia dan mengakibatkan suatu negara mengalami kemerosotan dalam berbagai bidang seperti dalam bidang: I. Ekonomi, kegiatan ekonomi ilegal akan selalu menimbulkan distorsi ekonomi karena walaupun perputaran uang dibisnis Trafficking ini sangat tinggi akan tetapi Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
karena ilegal maka semua kegiatan ekonomi dan jumlah uang berputar dibisnis ini sama sekali tidak terdata dan tercatat. Selain itu tidak pernah ada pemasukan ke kas negara misal disektor pajak, restribusi dan lain-lain yuang didapat dari bisnis illegal ini. Hal ini tentunya malah akan merugikan. 2. Sosial, Perdagangan orang tentunya akan membuat orang yang diperdagangan menjadi terputus komunikasi dengan pihak kelurganya. Perdagangan manusia akan meningkatkan kerusakan sosial, hilangnya jaringan dukungan keluarga dan masyarakat membuat korban menjadi rentan terhadap ancaman dan keinginan para pelaku perdagangan, dan dalam menimbulkan dalam beberapa menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan merenggut anak secara paksa dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan moral 3. Budaya, salah satu tujuan dari perdagangan orang adalah untuk pelacuran khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kebudayaan indonesia. Kemerosotan ini tentunya akan mempengaruhi kemajuan bangsa dalam menghadapi kemajuan zaman menuju era globalisasi guna meningkatkan daya saing bangsa. Generasi muda adalah generasi penerus bangsa, apa jadinya bila regenerasi ini terputus atau tidak terbentukya regenasi yang berkualitas yang dapat menjalankan pembangunan dan meneruskan cita-cita bangsa. Pada kenyataanya Trafficking menjadikan generasi muda sebagai korbannya (umumnya korban Traffickig adalah perempuan dan anak), hal ini tentu dapat merusak regenerasi bangsa sehingga negara yang tadinya sudah merdeka, pada akhinya kembali terjajah oleh kebodohan rakyat sendiri dan tidak akan mampu Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi kemajuan zaman menuju era globalisasi. Secara khusus Trafficking dapat menimbulkan terjadinya: I. Penderitaan mental dan rasa ketakutan yang berkepanjangan bagi si korban misalnya kegelisahan, insomnia, depresi dan korban trafficking pada umumnya akan mengalami trauma. 2. Dampak menimbulkan berbagai penyakit diantaranya HIV-AIDS, penyakitpenyakit kelamin dan lain sebagainya. 3. Penderitaan fisik dan cidera berat akibat penganiayaan atau kekerasan yang berujung pada kematian. Kekerasan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu: i.
Kekerasan
Psikologis,
misalnya
penghinaan,
ancaman,
intimidasi, bahkan pengisolasian. ii. Kekerasan terhadap fisikm misalnya menampar, memukul tubuh orban dengan dengan benda tumpul atau benda tajam maupun dengan tangan kosong. iii. Kekerasan seksual, misalnya pemaksaan atau memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dan kekerasan seksual yang terjadinya karena adanya kelainan seks dalam pemenuhan kebutuhan seksual seseorang. 4. Terputusnya komunikasi antara korban Trafficking dengan keluargannya.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
5. Korban Trafficking pada umunnya tidak akan dapat mengembangkan kreativitas dirinya, dikarenakan belenggu yang begitu mengekang dari majikan atau calocalo Trafficking. 6. Akan mengakibatkan kehamilan dan lahirnya anak diluar nikah atau bahkan yang tidak mendapat pengakuan dari orang tuanya sehingga menimbulkan kepadatan jumlah penduduk yang tidak menentu bahkan dapat meningkatkan terjadinya berbagai tindak kriminal. Di antara dampak kekerasan yang terjadi pada korban trafficking yaitu anak dan perempuan, hal tersebut merupakan stigma buruk yang melekat pada korban di antaranya ádalah sebagai berikut ; 1.Stigma Internal Stigma Internal yaitu kecenderungan korban yang menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama hádala trauma sehingga seperti halnya perempuan tidak mau lagi berkeluarga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. 2.Stigma Eksternal Stigma Eksternal Merupakan kencenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain Stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak, dan perempuan juga dadpat menghancurkan tatanan nilai etika fdan social seperti halnya buruk dari human Trafficking. 30
30
“ Trafficking” http:// terangdunia.com . diakses pada tanggal 03 Maret 2009.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
B. Penanganan Korban Trafficking Penanganan korban trafficking dapat dilakukan kerja sama antar penegak hukum, berdasarkan keberadaan korban, maka penanganan korban trafficking dapat dibagi atas dua yaitu : 1.Jika Korban Berada di Luar Negeri Adapun yang harus dilakukan apabila korban berada di negara asing (Luar Negeri) adalah sebagai berikut : A. Biasanya korban akan menuju ke KBRI untuk memohon perlindungan hukum. Di KBRI, Polri menugaskan seseorang Senior Liaison Officier ( SLO) untuk menjadi penghubung ( Contact Person) dalam penanganan kasus dan menjadi jembatan antara tempat mereka bekerja dengan daerah asal mereka. B. Korban yang meminta perlindungan KBRI diwawancarai oleh SLO Polri dan hendaknya didengar dengan sepenuh perhatian serta dilayani dengan ramah dan sopan. C. SLO kemudian akan menghubungi Mabes Polri di wilayah tempat paspor korban dibuat, agar laporan pengaduan korban dapat segera ditindaklanjuti.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
D. Kendala koordinasi biasanya terletak pada kerancuan pemahaman bagi penyidik mengenai kewenangannya karena masalah TKP berada di Luar Negeri atau korban bukan berasal dari wilayah hukum yang menjadi kewenangannya. Dalam hal ini diperlukan komitmen dan keseriusan dari aparat bpenegak hukum untuk melakukan kerja sama antar penegak hukum di Luar Negeri dan interpol, juga hendaknya menjalin kerja sama dengan pihak lain yang dapat memberikan bantuan bagi korban. E. Dalam hal korban di pulangkan di Indonesia, Korban hendaknya mendapatkan pengawalan yang memadai sampai ke tempat aman. Hal ini untuk mengantisipasi adanya jaringan perdaganga orang yang mengawasi pergerakan korban. 2.Jika Korban Berada Dalam Negeri Biasanya korban menghubungi kantor polisi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat untuk memohon perlindunga hukum. Sebagai langkah awal sedapat mungkin korban diterima dan dilayani oleh polisi yang sesuai dengan gender korban. Interview harus dilakukan didalam ruangan yang tertutup. Jika korban adalah perempuan dan anak, sedapat mungkin dilayani oleh Polwan dan diterima pelayanan khusus. Kehadiran polisi yang sama gender diharapkan akan sedikit menghibur, menentramkan dan menimbulkan rasa aman bagi korban. Korban yang mengadu hedaknya hendaknya didengar dengah penuh perhatian serta dilayani dengan ramah dan sopan.
C. Peraturan Yang Mengatur Masalah Trafficking C.I Peraturan Internasional Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Pada dasarnya peraturan Internasional yang mengatur masalah Trafficking telah banyak instrumen yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan human trafficking, instrumen-instrumen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Universal Declaration of Human Right 2. International Convenant on Civil and Political Rights 3. International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights 4. International Convenant on The Rights of The Child and its Relevant Optional Protocol 5. Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of The Worst Forums of Child Labour (ILO 182) 6. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 7. United Nation Protocol to Suppress, Prevent, and Punish Trafficking in Against Transnational Organized Crime 8. SARC convetion on Combating Trafficking in Women and Child for Prostitution 9. UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) 10.CEDAW. (Convention on the Elimination of Alls Forms of Discrimination Against Women) 11. International Agreement the Suppression of White Slave Traffic (1904) 12. International Convention for the Suppression of White Slave Traffic (1910) 13. Convention on the Suppression of Traffic in Women and Children (1921)
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
14. International Convention on the Suppression of Traffic in Women of Full Age (1933). Pada era Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semua instrument internasional tersebut diakomodasika oleh Perserikan Bangsa-Bangsa melalui Convention for the Suppression of Traffic in Person and of the Exploitation of the Other (1949). Pada tahun 1979 PBB mengeluarkan Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againt Woman (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Sebelum tanggal 10 desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 2000 melalui resolusi MU PBB No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan terorganisir (The United Nation Convention Againt Transnational Organied Crime (2000) beserta Protocol Againt the Smuggling of Migrants by Land and Sea and Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children. Konvensi beserta protocol ini mengatur tentang pembentukan struktur internasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sector produksi dan pergerakan obat-obat terlarang,perdagangan orang dan pengiriman imigrasi secara tidak sah. 31 Rumusan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
31
. Supriyadi Widodo Eddyono, op.cit, hal.6
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Persons), Especially Woman and Children (2000). Protokol ini di maksud untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. C.2 Peraturan Nasional Peraturan nasional yang mengaturb masalah Trafficking adalah sebagi berikut:
32
1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004; 3. Ketetapan MPR Nomor 10/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI 2001; 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Pengesahan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 Mengenai Berlakunya DasarDasar Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama; 6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; 9. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; 10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak; 11. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
32
(Konvensi
Menentang
Penyiksaan
dan
Perlakuan
atau
Chairul Bariah, Op.cit. hal. 46-48.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia); 12. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Number 105 Concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa); 13. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Number 138 Concerning Minimum Age for Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja); 14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Number 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan jabatan); 15. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah; 17. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; 18. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 19. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Number 182 Concerning the Prohibiton and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak); 20. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
21. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 22. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang; 23. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 24. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi; 25. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang hak-hak anak); 26. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan Berserikat; 27. Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia; 28. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; 29. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Pada Desember 2001, Indonesia telah memperbaharui komitenya tentang penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) dengan menandatangani World Declaration II to Combat CSEC (The Commercial Sexual Eksploitation of Children) di Yokohama setelah pada tahun 1996 menandatangani Deklarasi Dunia Pertama (CSEC) di Stockholm, Swedia. 30. Perda Sumatera Utara No.6 Tahun 2004, tentang Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Selanjutnya Indonesia juga ikut menandatangani United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (Konvensi Tentang Menentang Organisasi Kejahatan Lintas Batas) dan Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person, Especially Woman and Children) Protokol untuk mencegah, memberantas dan menghukum perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak di dalam peraturan perundang-undangan Indonsia, khususnya pasal 297 dan 324 KUHP mmengatur tentang larangan perdagangan perempuan dan anak serta larangan perdagangan budak. Namun substansi dalam pasal-pasal KUHP tidak dapat menjangkau suatu tindak pidana perdagangan orang yang bersifat transnasional dan kejahatan terorganisasi. Pasal 297 KUHP mengkhususkan diri pada perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual. 33
D.Penegakan Hukum Terhadap Trafficking Dengan berlakunya UU No 21 Tahun 2007 maka Pasal 207 dan Pasal 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 34 Namun segala perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian penyidikan penuntutan, atau pemeriksaan di sidang Pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. 35 agar dapat dilaksanakan dan di tegakan dengan seadil-adilnya. Sebagaimana dalam pasal 2 UU No 21 Tahun 2007 memberikan rumusan tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut;
33
Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun 34 Pasal 65 UU No 21 Tahun 2007. 35 Pasal 64 UU No 21 Tahun 2007. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
(1) Setiap orang yang
melakukan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus
dua
puluh
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2)Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam Legal System. 36 Maka upaya penegakan hukum dapat dilakukan melalui pembenahan struktur hukum (Legal Structure). Struktur hukum terdiri dari kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pengacara/Konsultan Hukum, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Untuk membangun sistem penegakan hukum ( kepolisian, Kejaksaan, dan pengadilan) yang dibarengi dengan sistem Reward And Punisment, menjadi suatu yang harus mendapat prioritas utama. Legal Structure (Budaya Hukum) berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap hukum.Dengan demikian diperlukan upaya membangun kesadaran dan
36
.Black, Donal. 1976. The Behavior of Law. Hal. 3-4
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap perdagangan orang (Trafficking). Beberapa perangkat hukum di Indonesia memang dirasa belum secara spesifik membahas perdagangan manusia. Seperti yang diungkapkan diatas tadi ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Namun keduanya tidak memberi definisi secara spesifik tentang perdagangan manusia. Akibatnya membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU ini. Untuk mencegah dan memberantas praktek perdagangan manusia ini baik pemerintah pusat (nasional) maupun pemerintah daerah sebenarnya telah menerbitkan undang-undang dan peraturan yang dapat menjerat para pelaku trafficking. Di tingkat nasional misalnya ada RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kepres No 88 Tahun 2003 37. Kemudian beberapa pemerintah daerah telah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang bisa melindungi dan minimal memberi sanksi administrasi pada pelaku pelaku trafficking Dengan demikian, dalam konteks penegakan hukum akhirnya akan sangat tergantung pada kualitas dan substansi hukum, kinerja struktur hukum, dan kesadaran masyarakat yang merupakan suatu sistem. Akhirnya, dengan mengambil teori hukum Roscoe Pound yamg menyatakan bahwa “Law is tool of social engineering/Social engineering by law”. Roscoe Pound ingin memberikan gambaran tentang sebenarnya yang diinginkan dan apa yang telah diinginkan oleh pengguna hukum sebagai alat rekayasa sosial. UU No 21 Tahun 2007
37
Lihat Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2003.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
telah disahkan, namum sekarang tergantung kepada kita mau diapakan undang-undang ini, karena undang-undang ini hanya sebagai alat.
B A B IV PEMBAHASAN IMPLEMENTASI UU NO 21 TAHUN 2007 DALAM PENANGANAN KORBAN TRAFFICKING PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL A. Contoh Kasus Korban Trafficking
Identitas Korban Siti Habibah, Umur 29 Tahun, Pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga, Alamat Dusun V Gang Kasmir Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.
Kronologis Kasus Singkat: Sekitar bulan Juli 2008, Habibah dikenalkan oleh temannya, Sari kepada Pendi. Selanjutnya Pendi mengenalkan Habibah kepada Tinik. Dalam perkenalan tersebut, Habibah sangat berniat sekali untuk mencari pekerjaan, demi memenuhi kebutuhan hidup Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
yang semakin sulit. Tinik kemudian menawarkan pekerjaan kepada Habibah ke Malaysia, yakni bekerja di bagian Saloon kecantikan, antara lain mencuci ranbut, massage, dan lain-lain. Dengan gaji yang sangat menggiurkan, yakni RM.1.500, Habibah pun menyetujuinya. Tidak hanya Habibah yang tergiur dengan pekerjaan tersebut, juga ketiga temannya yang lain yakni Indah Sari (30), Ernawati (37) dan Windy Astuti (16). Setelah sepakat, Tinik kemudian mengurus surat-surat izin Habibah dan teman-temannya, seperti pasport, visa, dll. Biaya-biaya yang dikeluarkan atas pengurusan surat-surat tersebut ditanggung oleh Tinik dan akan dikembalikan oleh Habibah dan temantemannya setelah mereka bekerja di Malaysia. Setelah surat izin selesai diurus mereka kemudian berangkat menuju Malaysia melalui Pelabuhan Tanjung Balai menaiki kapal Fery pada tanggal 11 November 2008. Sebelumnyna mereka sempat bermalam di Tanjung Balai selama satu malam, namun tidak ada melakukan kegiatan apa-apa. Esoknya, tepatnya pukul 12.00 wib, mereka berangkat menuju pelabuhan Port Klang, Malaysia. Setibanya di Port Klang, mereka menaiki Bus dan menuju ke daerah Sungai Rebani, Keda.
a. Sebelum Trafficking Sekitar bulan Juli 2008, Habibah dikenalkan oleh temannya, Sari kepada Pendi. Selanjutnya Pendi mengenalkan Habibah kepada Tinik. Dalam perkenalan tersebut mereka menawarka sebuah pekerjaan kepada Habibah, Sehingga Habibah sangat tertarik dan berniat sekali untuk mencari pekerjaan, demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit. Dimana Tinik menawarkan pekerjaan kepada Habibah ke Negara Malaysia, yakni bekerja di bagian Saloon kecantikan, antara lain mencuci ranbut, massage, dan lain-lain. Dengan gaji yang sangat menggiurkan, yakni RM.1.500, Habibah Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
pun menyetujuinya. Tidak hanya Habibah yang tergiur dengan pekerjaan tersebut, juga ketiga temannya yang lain yakni Indah Sari (30), Ernawati (37) dan Windy Astuti (16). Setelah Habibah sepakat dan suami Habibah Pun memberikan izin kepada Habibah untuk bekerja demi mengubah hidup lebih baik. kemudian Tinik mengurus surat-surat izin Habibah dan teman-temannya, seperti pasport, visa, dll. Biaya-biaya yang dikeluarkan atas pengurusan surat-surat tersebut ditanggung oleh Tinik dan akan dikembalikan oleh Habibah dan teman-temannya setelah mereka bekerja di Malaysia. Setelah surat izin selesai diurus mereka kemudian Habibah berangkat demi mengubah hidup Habibah rela meninggalkan suami dan 2 (dua) orang anaknya. Habibah berangkat menuju Malaysia melalui Pelabuhan Tanjung Balai menaiki kapal Fery pada tanggal 11 November 2008. Sebelumnyna mereka sempat bermalam di Tanjung Balai selama satu malam, namun tidak ada melakukan kegiatan apa-apa. Esoknya, tepatnya pukul 12.00 wib, mereka berangkat menuju pelabuhan Port Klang, Malaysia. Setibanya di Port Klang, mereka menaiki Bus dan menuju ke daerah Sungai Rebani, Keda. Sesampainya di Sungai Rebani, Keda, yakni sekitar pukul 05.00 waktu setempat, mereka menuju rumah Agen Mr. A Hok. Selanjutnya mereka istirahat sebentar, kemudian pada pukul 10.00 pagi Habibah dan teman-temannya pergi menuju ke kantor Mr. A Hok. Menurut Habibah, kantor tersebut mirip kantor PJTKI, yang menyediakan tenaga-tenaga kerja yang siap untuk dipekerjakan. Dikantor tersebut mereka melakukan pekerjaan seperti membersihkan kantor, menyapu, mengepel, dll. b. Kehidupan di Lokalisasi Sesampainya Habibah dan teman-temannya Di kantor Mr. Ahok, kemudian mereka di perkenalkan kepada seorang pria paruh baya, yang ternyata pria tersebut Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
adalah yang akan menjadi Majikan mereka. Kebetulan Habibah tidak mengetahui siapa nama majikan mereka tersebut. Setelah habibah dan teman-temannya berkenalan, majikan mereka kemudian menerangkan pekerjaan yang akan mereka lakukan, yakni mereka akan bekerja sebagai pelayan massage urut bathin (dalam bahasa indonesia: urut ”alat kelamin pria”), dengan gaji RM. 1.200. Setelah perkenalan singkat tersebut, sang majikan pun pulang dan mereka berempat masih tetap tinggal di kantor Mr. A Hok. Tiga hari kemudian, mereka berempat, Habibah, Windy, Indah dan Erna dijemput oleh Majikan mereka. Keempatnya di bawa ketempat Majikan mereka
(tempat
Massage), dimana menurut Habibah tempat tersebut diberi nama ”Perobatan Tradisional”, namun didalamnya bukan berisi seperti nama tempatnya melainkan menyerupai tempat prostitusi (prostitusi berbalut massage perobatan tradisional). Sesampainya di tempat tersebut, Habibah dan teman-temannya disuruh naik keatas. Menurut habibah, tempat itu berisikan kamar-kamar yang berjajar, mungkin dikamar itu tempat transaksi seksual berbalut massage (”urut bathin” dalam bahasa malaysia-nya) itu dilakukan. Sampailah mereka di salah satu kamar. Dikamar itu hanya ada Majikan yang baru mereka kenal 3 (tiga) hari yang lalu. Kemudian oleh Majikan itu, Habibah dan teman-temannya disuruh buka pakaian, hingga tanpa busana sama sekali alias bugil. Majikan tersebut juga melakukan hal yang sama. Alasan mengapa mereka harus melakukan hal tersebut adalah untuk latihan praktik massage/ urut bathin, sebelum mereka bekerja. Menurut Habibah, pekerjaan itu tidak lebih dari sekedar bagaimana caranya ”cairan sperma” itu bisa keluar dari ”sang empunya”, terserah bagaimana caranya. Habibah dan Windy sempat menolak pekerjaan tersebut, namun tidak dihiraukan
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
oleh sang majikan, akhirnya mereka hanya bisa pasrah mengikuti kemauan si Majikan yang berkebangsaan China tersebut. Setelah selesai latihan ”urut massage” di tempat majikan, Habibah dan kawankawannya kemudia dipulangkan lagi ke tempat Mr. A Hok. Alasannya karena belum ada permitt mereka, dan sedang diurus. Selama 3 (tiga) minggu Habibah dan Windy belum dikerjakan di tempat majikan china tersebut. Namun menurut Habibah, temannya yang bernama Indah dan Erna sudah mulai dipekerjakan. Selama waktu 3 (tiga) minggu itu, Habibah dan Windy dibawa ke Bukit, dimana ditempat tersebut ada Villa yang sudah 5 (lima) tahun tidak pernah ditempati. Di Villa itu lah Habibah dan Windy disuruh bekerja membersihkan Villa hingga bersih. Mulai dari menyapu, mengepel, menggosok-gosok dinding, membersihkan taman dan kolam, mengecat, dll. Setiap hari mereka harus melakukan pekerjaan tersebut, dengan hanya diberi makan roti pada siang harinya, sedangkan untuk air minum, mereka meminumnya dari air parit. Kemudian menjelang malam hari, pukul 07.00 malam mereka kembali dijemput ke rumah Mr. A Hok. Begitulah rutinitas setiap hari yang dilakukan Habibah dan Windy. Ketika mereka bekerja membersihkan Villa, mereka dijaga oleh seorang pria berkebangsaan Bangladesh. Dari situ lah, Habibah bisa berkomunikasi dengan suaminya di Medan, Indonesia. Habibah meminjam Handphone si penjaga tersebut, dengan alasan ingin memberi kabar kepada keluarga dan sudah kangen dengan anaknya. Habibah kemudian mengirim pesan singkat kepada suaminya, yang intinya berisi ”Tolong kami, kami disini disuruh bekerja urut ’bathin/alat kelamin’. Adukan Tinik ke polisi. Dia nipu kami. Kalau bisa cepat pulangkan kami”.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Habibah dan Windy yang sudah tidak tahan dengan pekerjaann yang mereka lakukan di Villa tersebut serta adanya penolakan untuk bekerja di Massage (urut bathin/alat kelamin), membuat Habibah mengajukan keberatan kepada Mr. A Hok, dan mengatakan dirinya untuk dipulangkan ke Indonesia karena tidak betah dengan pekerjaan tersebut. Namun oleh Mr. A Hok, mereka dikatakan terhutang sebanyak 22 juta rupiah. Jika mereka ingin pulang, merek aharus melunasi hutang-hutang mereka tersebut. Habibah pun terkejut, karena dirinya merasa tidak pernah berhutang sebanyak itu. Mr. A Hok menjelaskan, bahwa uang tersebut adalah biaya-biaya untuk memproses surat-surat izin mereka baik di Indonesia maupun di Malaysia, dan juga untuk ongkos perjalanan mereka. Habibah kemudian mengatakan, tidak apa-apa jika dirinya dipekerjakan lagi, tapi tidak mau bekerja di tempat masssage/ urut bathin itu, melainkan lebih baik bekerja sebagai PRT. Namun permintaan Habibah tersebut juga ditoleh oleh Mr. A Hok, karena menurutnya Habibah harus bekerja di Massage selama satu tahun, baru boleh pindah ke pekerjaan yang lain. c. Setelah Trafficking Di lain pihak, setelah menerima pesan singkat dari Habibah, suaminya kemudian membuat laporan pengaduan ke Unit PPA Polda Sumut. Gayung pun bersambut, Kanit PPA Polda, yang memang secara kebetulan ada agenda untuk melakukan kunjungan kerja ke KBRI Malaysia, langsung menindak lanjuti laporan dari Suami Habibah tersebut, dalam hal ini ditindaklanjuti ole Veriana Gultom, Nurlisa Ginting, Emi Lubis, Wadir. Dkk. Setibanya rombongan Kanit PPA Polda Sumut di KBRI, Penang, Malaysia, kemudian melakukan pencarian atas laporan yang dibuat oleh suami Habibah tersebut.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Selanjutnya, Habibah dan ketiga temannya yang lain, dijemput oleh pihak KBRI dan sempat menginap selama 2 (dua) minggu di KBRI. Selanjutnya Habibah, Windy, Erna dan Indah dipulangkan kembali ke Indonesia. Puska Indonesia sebagai lembaga yang konsern terhadap perlindungan hukum dan penegakan hak-hak perempuan dan anak, selanjutnya menerima rujukan laporan dari pihak Polda sumut dan menindak lanjuti rujukan tersebut untuk selanjutnya mendampingi dan merehabilitasi korban.
B. Analisis Korban Trafficking Terhadap UU No 21 Tahun 2007 Dari kronologis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa setiap orang yang merekrut/mengirim manusia dengan tujuan eksploitasi maka telah melanggar ketentuan UU No 21 Tahun 2007 pasal 2 (I) yang berbunyi: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Setiap orang (korban) yang mengalami masalah Trafficking dapat dituntut dan diperkarakan melalui undang-undang No 21 Tahun 2007 pasal 48 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang Maka, setiap orang yang membawa dan mengirimkan warga negara Indonesia ke luar wilayah Rebublik Indonesia akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah/badan hukum yang berwenang.
C.Upaya Dan Kewajiban Pemerintah Dalam Melindungi korban Trafficking 1. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban, antara lain : a. Penegakan hukum (penindakan pelaku; penyelamatan; perlindungan dan pendampingan korban ) b. Pelayanan bantuan hukum,psikologis, dan medis c. Perlindungan dan penampungan sementara d. Pelatihan/simulasi penanganan stakeholder/anggota tim Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
e. Sosialisasi, seminar, kampanye, konferensi guna mengajak partisipasi masyarakat dan semua pihak untuk menaggulangi masalah trafficking ( melaporkan, membantu aparat, membantu korban ) f. Melakukan koordinasi antar stakeholder dalam dan luar daerah/negera dalam upaya penanganan kasus dan pelayanan korban. 2. Upaya yang dilakukan dalam rangka reintegrasi korban,antara lain : a. Penguatan terhadap korban b. Sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka upaya penerimaan korban kembali ke masyarakat /keluarga c. Pendekatan terhadap keluarga korban untuk kesiapan keluarga untuk menerima korban kembali d. Melakukan pemulangan korban ke daeah asal/keluarga e. Melakukan kerjasama antar stakeholder dalam upaya reintegrasi korban.
3. Upaya yang dilakukan dalam rangka penataan masa depan korban, antara lain : a. Pelatihan ketrampilan bagi korban b. Bantuan modal usaha / peralatan c. Melakukan koordinasi dan kerjasama dalam upaya membantu korban unutk menata kehidupannya Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
4. Upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan,antara lain : a. Mengeluarkan dan menetapkan peraturan perundang-undangan,baik yang dibuat secara nasional maupun secarayang diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia
melalui
beberapa
konvensi
Internasional,peraturan perundang-undangan b. Sosialisasi peraturan daerah dan peraturan yang berkaitan seperti prosedur bekerja ke luar negeri, dan lainnya kepada aparat dan masyarakat. c. Sosialisasi dan kampanye trafficking ke dan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan/LSM dan masyarakat luas secara langsung atau tatap muka. d. Penyebarluasan informasi melalui leaflet dan poster e. Dialog interaktif baik langsung maupun melalui radio dan televisi f. Publikasi di berbagai event dan media, baik langsung maupun mendorong insan pers untuk melakukannya melalui himbauan, pelibatan, pendekatan personal hingga perlombaan. g. Membuat
pola
koordinasi
penanganan
trafficking
dan
mengimplementasikannya h. Membentuk dan mengoperasikan Tim Pengendalian Pemberangkatan Gender dan Tim Pengendalian Pemberangkatan dan Pemulangan TKI i.
Melakukan rapat – rapat koordinasi antar stakeholder/anggota tim dalam rangka upaya pencegahan, termasuk dalam peningkatan pemeriksaan dan proses dokumen dan keberangkatan.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
j.
Melakukan kerjasama kegiatan dan memperkuat sinergitas serta penyamaan persepsi dalam upaya pencegahan.
k. Mendorong kabupaten/kota dan pihak berwenang dalam pemantauan aktivitas keluar masuk orang/barang baik pada jalur – jalur resmi maupun tidak resmi, terutama pada sepanjang pantai Selat Malaka. l.
Memperluas jaringan kerja ke luar daerah/Negara untuk koordinasi, konsultasi, dan kerjasama
m. Melaksanakan dan mengikuti berbagai pertemuan dalam dan luar daerah/Negara untuk peningkatan pengetahuan dan perluasan jaringan kerja. n. Melakukan
kegiatan
pengembangan
ketrampilan/pelatihan
bagi
anak/remaja putus sekolah. o. Menikatkan kegiatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil serta upaya peningkatan angka partisipasi sekolah. 38 Selain upaya-upaya diatas maka, dapat juga kita ketahui bahwa upaya-upaya yang dapat lagi dilakukan oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan atau menekan jumlah kasus Trafficking adalah dengan beberapa cara, yaitu:
38
Ibid hal. 6-8, dan lihat juga : http://www.migrantcare.net Online version: http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=5&artid=167 merekomendasikan upaya preventif untuk penanggulangan trafficking antara lain: (1) Pengembangan ekonomi pedesaan yang responsif gender dan berpihak kepada masyarakat miskin, (2) pengembangan kewirausahaan terutama bagi perempuan dari keluarga miskin , (3) pembukaan dan perluasan kesempatan kerja yang responsif gender, dan (4) pengembangan nilai-nilai sosial budaya yang responsif gender dan berbasis HAM
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
I. Secara Umum a. Menjalin kerja sama yang baik antar pemerintah daerah didalam negeri. b. Menjalin hubungan dan kerja sama yang baik antar pemerintah RI dengan pemerintah negara asing. c. Membentuk panitia RANHAM 2.Secara Khusus Pemerintah dapat menyelesaikan khusus Trafficking ini, dengan cara mencegah, melindungi, dan menyelamakan korban, serta menindak pelaku Trafficking dengan tegas.
D. Ketentuan Internasional Larangan Trafficking Ketentuan Internasional dalam melakukan dan/atau usaha perlindungan terhadap larangan Trafficking dapat dilakukan dengan melalui instrument internasional. Dimana Instrumen international yang dikeluarkan masyarakat Internasional pada era sebelum berdiri Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain: A.International
Agreement
the
Suppression
of
White
Slave
Traffic
(1904);
B.International Convention for the suppression of White Slave Traffic (1910); C.Convention on the Suppression of Traffic in Women and Children (1921); D.International Convention on the Suppression of Traffic in Women of Full Age (1933). Pada era Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke empat instrument internasional tersebut diakomodasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Convention for the Suppression of Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others (1949). Pada tahun 1979 PBB mengeluarkan Convention on The Elimination of All Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Forms of Discrimination Against Woman (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap
Perempuan.
Sebelumnya Pada tanggal 10 Desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia.
Selanjutnya pada tanggal 15 November 2000 melalui Resolusi MU PBB No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir (The United Nation Convention Against Transnational Organized Crime 2000) beserta Protocol Agains the Smuggling of Migrants by Land and Sea dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Konvensi beserta protocol ini mengatur tentang pembentukan struktur inernasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sektor produksi dan pergerakan obat-obat terlarang, perdagangan orang dan pengiriman
imigran
secara
ilegal.
Rumusan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children (2000). Protokol ini dimaksudkan untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Di dalam Protokol disebutkan
bahwa
yang
dimaksudkan
dengan
Trafficking
adalah
perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan,
kecurangan,
penyalahgunaan
kekuasaan,
atau
posisi
rentan
atau
memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut untuk tujuan eksploitasi.
D.I Hak Asasi Perempuan Dan Konvensi CEDAW Hak asasi perempuan merupakan hak asasi manusia yang sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya, kelihatannya semakin menguat dari waktu ke waktu. Pada dasarnya hak asasi perempuan adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat pelaksana sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Di tingkat internasional, sistem hukum hak asasi manusia internasional, pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sabagai standar umum bagi semua masyarakat dan semua bangsa untuk berjuang bagi kemajuan martabat manusia. 39 Diantara hak-hak yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau
perlakuan yang merendahkan martabat
39
Lihat Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia kaum Perempuan, Langkah demi langkah, terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001. Hal. 13 Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi politik. 40
DUHAM dinyatakan sebagai upaya kodifikasi, sebab perbincangan dan pengaturan hak manusia sebetulnya telah dimulai jauh sebelumnya dengan adanya berbagai konvensi internasional yang antara lain dikeluarkan oleh International Labor Organization. Beberapa hak perempuan yang telah dirumuskan oleh ILO sebelum adanya DUHAM, yaitu sejak tahun 1918, misalnya hah persalinan buruh perempuan (maternity rights), perlindungan buruh perempuan di perkebunan, hak perlindungan dari perdagangan perempuan dan berbagai hak lainnya. Dengan demikian, pentingnya prinsip-prinsip DUHAM ke dalam kewajiban hak asasi perempuan yang mengikat untuk mengikatkan dirinya secara hukum. Komite Hak Asasi Manusia (HAM), sebuah komite di PBB yang berwenang untuk mengawasi dan melaksanakan sistem hak asasi manusia PBB, menyusun rancangan instrumen hak asasi manusia yang pertama, yang kemudian dipecah menjadi dua konvenan (persetujuan). Dalam menandatangani Konvensi Wanita, negara Indonesia jadinya menurut hukum Internasional berkewajiban melakukan berbagai tindakan-tindakan seperti misalnya tertulis pada Konvensi Wanita pasal 2. Dalam hal ini, dibaca bahwa negara peserta Konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha: 41
40 41
Ibid. Hal. 14 Lihat Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, SH.,M.A.,Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Hal. 65
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturanperaturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap wanita 2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya, prlindungan wanita yang efektif terhadap tiap tindakan diskriminasi. 3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadapwanita, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini. 4.
membuat
peraturan-peraturan
yang
tepat
untuk
mengubah
dan
menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang ada, yang merupakan diskriminasi terhadap wanita.
D.2 Protokol Palermo Protokol ini menyatakan bahwa tindakan yang efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia (Trafficking in Person), khususnya perempuan dan anak-anak, membutuhkan pendekatan Internasional yang bersifat menyeluruh dinegara asal, transit, dan tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan seperti ini, untuk menghukum paara pelaku perdagangan ini, termasuk dengan melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional, sebagaimana fakta menyatakan bahwa walau ada bermacam-macam instrumen hukum internasional yang berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktikal untuk memerangi eksploitasi manusia, Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Khususnya perempuan dan anak-anak, tidak ada instrumen universal yang mengangkat semua aspek perdagangan manusia, peduli bahwa denga tidak adanya instrument seperti itu, orang-orang yang rentan terhadap perdagangan orang (Trafficking in Person) tidak akan cukup terlindungi. Mengingat Resolusi Dewan Umum 53/III tanggal 9 Desember 1998, dimana Dewan telah membentuk komite Adhoc antar pemerintah untuk tujuan mengelaborasi sebuah konvensi yang menentang kejahatan terorganisir lintas negara yang bersifat menyeluruh dan membicarakan proses elaborasi antara lain, sebuah instrument internasional yang mengangkat perdagangan wanita dan anak-anak, meyakinkan bahwa mewndukung konvensi PBB yang menentang kejahatan terorganisir litas negara dengan sebuah instument internasional untuk pencegahan, penekanan dan penghukuman perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak akan berguna dalam mencegah dan memerangi kejahatan tersebut.42
I.
KETENTUAN UMUM 43
Pasal 1. Hubungan dengan Konvensi Persrikatan Bangsa-Bansga terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir 1. Protokol ini melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir. Hal ini harus diinterpretasikan secara bersamaan dengan Konvensi tersebut.
42
Lihat resolusi Majelis Umum 55/25 tanggal 15 Nopember 2000. Protokol ini diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnational yang Terorganisir 43 Lihat Protokol Palermo Tahun 2000. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Ketentuan-ketentuan Konvensi haruslah berlaku secara mutatis mutandis terhadap protokol ini kecuali disebutkan sebaliknya dalam dokumen ini. 3. Pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan pasal 5 dari Protokol ini harus dianggap sebagai pelanggaranpelanggaran sesuai dengan Konvensi. Pasal 2. Pernyataann Tujuan Tujuan-tujuan dari Protokol ini adalah : (a) Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, dengan menaruh perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak; (b) Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan manusia, dengan menghormati secara penuh hak asasi mereka; (c) Untuk pemajuan kerjasama diantara Negara-negara Pihak dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Pasal 3. Penggunaan Istilah Untuk tujuan-tujuan dari Protokol ini: (a)”Perdagangan manusia” haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memeiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentukbentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ; (b) Persetujuan dari seorang korban perdagangan manusia atas eksploitasi yang disengaja seperti yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini haruslah dianggap batal ketika cara-cara yang tertera dalam subayat (a) digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut; (c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai “perdagangan manusia” meskipun jika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini: (d) “Anak-anak” harus berarti semua orang dibawah usia delapan belas tahun. Pasal 4. Wilayah Penerapan Kecuali bila disebutkan lain, Protokol ini haruslah diberlakukan untuk pencegahan, investigasi dan penuntutan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan pasal 5 Protokol ini, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut bersifat transnasional, dan melibatkan kelompok kejahatan terorganisir, dan harus diterapkan pula untuk perlindungan bagi korban dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pasal 5. Kriminalisasi 1. Setiap Negara Pihak harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkahlangkah lain yang dianggap perlu untuk menetapkan tindakan-tindakan yang Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
dinyatakan dalam pasal 3 protokol ini sebagai tindakan kriminal, ketika tindakantindakan dilakukan dengan sengaja. 2. Setiap Negara Pihak juga harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk menjadikan hal-hal dibawah ini sebagai tindak kriminal: (a) Tunduk kepada konsep dasar dari sistem hukumnya, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini; (b) Terlibat sebagai kaki tangan dalam tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini; dan (c) Mengorganisir atau menyuruh orangh lain untuk melakukan tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini.
II. PERLINDUNGAN BAGI KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA
Pasal 6. Bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan manusia 1. Dalam kasus-kasus yang layak dan yang sejauh mana dimungkinkan di bawah hukum nasional, setiap Negara Pihak harus melindungi privasi dan identitas dari korban perdagangan manusia, termasuk salah satunya, degan cara menerapkan proses hukum yang berhubungan dengan perdagangan.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum nasional atau sistem administrasinya memuat langkah-langkah yang memberikan korban perdagangan manusia hal-hal di bawah ini: (a) Informasi mengenai proses pengadilan dan administratif yang relevan; (b) Bantuan yang memungkinkan bagi pandangan-pandangan dan kekhawatirankekhawatiranmereka untuk bisa tersampaikan dan dipertimbangkan pada tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kriminal melawan para pelanggar, namun tetap dalam kerangka tidak merugikan hak terdakwa. 3.Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengimplementasikan langkah-langkah pemulihan fisik, psikologi dan sosial bagi korban perdagangan manusia, dalam kasus-kasus yang sesuai, bekerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lain yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, dan terutama dalam ketentuan-ketentuan:
(a) Tempat tinggal yang layak; (b) Konseling dan informasi, terutama yang terkait dengan hak hukum mereka, dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh korban perdagangan mansusia; (c) Bantuan medis, psikologi dan material; dan (d) Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pelatihanpelatihan. 4. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, setiap Negara Pihak harus Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
mempertimbangkan umur, jender, dan kebutuhan-kebutuhan khusus korban perdagangan manusia, terutama kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, termasuk didalamnya tempat tinggal, pendidikan dan pengasuhan yang layak. 5. Setiap Negara Pihak harus berupaya keras untuk menjamin keselamatan fisik korban perdagangan manusia ketika mereka berada dalam wilayahnya. 6. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem hukum nasionalnya memuat langkah-langkah yang menawarkan korban perdagangan manusia kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita. Pasal 7. Status korban perdagangan manusia di Negara-negara penerima 1. Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal 6 Protokol ini,
setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang layak yang memungkinkan korban perdagangan manusia untuk tetap tinggal di wilayahnya, sementara maupun permanen, dalam kasus-kasus tertentu. 2. Dalam Mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara Pihak harus memberikan pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan empati. Pasal 8. Pemulangan korban perdagangan manusia 1. Negara Pihak dimana seorang korban perdagangan manusia menjadi warga negara atau dimana orang tersebut mendapatkan hak untuk menjadi penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, harus memfasilitasi dan menerima kepulangan orang tersebut tanpa penundaan yang berlebihan dan tidak berlasan, dengan memperhatikan keselamatan orang tersebut. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Ketika sebuah Negara Pihak memulangkan seorang korban perdagangan manusia ke Negara Pihak dimana orang tersebut adalah warga negaranya atau mendapat hak sebagai penduduk tetap, disaat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, pemulangan semacam itu haruslah dengan memperhatikan keselamatan orang tersebut dan status dari tuntutan-tuntutan hukum apapun yang terkait dengan fakta bahwa orang tersebut adalah korban perdagangan manusia dan pemulangan tersebut lebih baik harus bersifat sukarela. 3. Atas permintaan dari Negara Pihak penerima, Negara Pihak yang diminta, tanpa penundaan yang berlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah orang yang menjadi korban perdagangan manusia adalah warga negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam wilayahnya pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara Pihak penerima. 4. Dalam rangka untuk memfasilitasi kepulangan seseorang korban perdagangan manusia yang tidak memiliki dokumen sebagaimana mestinya, seseorang yang merupakan warga negara dari Negara Pihak atau orang tersebut mendapat hak sebagai penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, harus setuju untuk mengeluarkan dokumen perjalanan atau otorisasi lainnya yang dianggap perlu, sesuai dengan permintaan Negara Pihak penerima, untuk memungkinkan orang tersebut melakukan perjalanan dan masuk kembali ke dalam wilayahnya. 5. Pasal ini tidak boleh merugikan hak korban perdagangan manusia yang mungkin disebabkan oleh hukum nasional Negara Pihak penerima.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
6. Pasal ini harus tanpa merugikan kesepakatan bilateral atau multilateral yang berlaku atau ketetapan yang mengatur, secara keseluruhan maupun sebagian, kepulangan korban perdagangan manusia.
III. PENCEGAHAN, KERJASAMA DAN LANGKAH-LANGKAH LAIN
Pasal 9. Pencegahan Perdagangan 1. Negara-negara Pihak harus menetapkan kebijakan-kebijakan, program-program dan langkah-langkah lain yang komprehensif: (a) Untuk mencegah dan memerangi perdagangan; dan (b) Untuk melindungi korban perdagangan manusia, terutama perempuan dan anakanak, dari kemungkinan untuk menjadi korban kembali. 2. Negara-negara Pihak harus berupaya keras untuk melaksanakan langkah-langkah lain yang ditetapkan seperti penelitian, informasi dan kampanye media massa dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan. 3. Kebijakan-kebijakan, program-program, dan langkah-langkah lain yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini haruslah, secara layak, menyertakan kerjasama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil lainnya. 4. Negara-negara Pihak harus mengambil atau memperkuat langkah-langkah lain, termasuk melalui kerjasama bilateral atau multilateral, untuk menekan faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi rentan terhadap perdagangan, seperti misalnya kemiskinan, keterbelakangan pembangunan dan kurangnya kesempatan yang setara. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
5. Negara-negara Pihak harus mengadopsi atau memperkuat langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lainnya, seperti halnya langkah-langkah pendidikan, sosial dan budaya, termasuk melalui kerjasam bilateral dan multilateral, untuk mencegah tuntutan-tuntutan yang bisa menyebabkan terjadinya segala bentuk eksploitasi, dan nantinya bisa mengarah menjadi perdagangan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak. Pasal 10. Pertukaran informasi dan pelatihan 1. Penegakan hukum, otoritas imigrasi dan pihak berwenang lainnya yang relevan dari Negara-negara Pihak haruslah secara layak bekerjasama satu sama lain dengan cara bertukar informasi, sesuai dengan hukum nasional mereka, untuk memungkinkan mereka menentukan: (a) Apakah seorang individu yang menyeberangi atau mencoba menyeberangi perbatasan internasional dengan dokumen perjalanan yang sebenarnya adalah milik orang lain ataupun tanpa dokumen perjalanan adalah seorang pelaku atau korban perdagangan manusia; (b) Jenis-jenis dokumen perjalanan yang digunakan atau dicoba untuk digunakan oleh individuindividu tersebut untuk menyeberangi perbatasan internasional memiliki tujuan perdagangan manusia.. (c) Alat-alat dan metode-metode yang digunakan oleh kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir untuk tujuan perdagangan, termasuk pengerahan dan transportasi korban, rute-rute dan hubungan-hubungan antara dan dalam individu-individu Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
dan kelompok-kelompok yang terlibat dalam perdagangan semacam itu, dan langkah-langkah yang memungkinkan untuk mendeteksi mereka. 2. Negara-negara Pihak harus menyediakan atau memperkuat pelatihan untuk penegakan hukum, imigrasi dan pejabat-pejabat lain yang relevan dalam pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan harus difokuskan pada metode-metode yang digunakan dalam pencegahan perdagangan tersebut, menghukum para pelaku perdagangan dan melindungi hak para korban, termasuk melindungi para korban dari pelaku-pelaku perdagangan
manusia.
Pelatihan
yang
diselenggarakan
juga
harus
mempertimbangkan hak manusia dan persoalan-persoalan yang sensitif terhadap anak-anak dan gender dan juga harus mendorong kerjasama dengan organisasiorganisasi lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lainnya yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya. 3. Negara Pihak yang menerima informasi harus bertindak sesuai dengan permintaan dari Negara Pihak yang menyampaikan informasi tersebut yang menempatkan pembatasan-pembatasan tempat dalam penggunaanya. Pasal 11. Aturan-aturan di perbatasan 1. Tanpa merugikan komitmen internasional dalam hubungannya dengan kebebasan untuk bergerak bagi semua orang. Negara-negara harus memperkuat, sejauh mana dimungkinkan, pengawasan perbatasan yang dianggap perlu untuk mencegah dan mendeteksi perdagangan manusia. 2. Setiap Negara Pihak harus mengadopsi langkah-langkah legislatif atau langkahlangkah lain yang dianggap pantas untuk mencegah, sejauh mana dimungkinkan, Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
alat-alat transportasi yag dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan komersial digunakan untuk tindakan pidana seperti yang ditetapkan sesuai dengan pasal 5 Protokol ini. 3. Bila dianggap pantas, dan tanpa merugikan konvensi-konvensi internasional yang berlaku,
langkahlangkah
tersebut
harus
mencakup
perusahaan-perusahaan
transportasi atau pemilik atau operator alatalat transportasi jenis apapun, untuk memastikan bahwa semua penumpang memiliki dokumen perjalanan yang disyaratkan untuk memasuki negara penerima. 4. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan hukum nasionalnya, untuk menjatuhkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran kewajiban yang tertera dalam ayat 3 pasal ini. 5. Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah yang mengijinkan, sesuai dengan hukum nasionalnya, penolakan masuk atau pencabutan visa orang-orang yang terlibat tindak pidana sebagaimana telah ditetapkan sesuai dengan Protokol ini. 6. Tanpa merugikan pasal 27 dari konvensi ini, Negara-negara Pihak harus mempertimbangkan memperkuat kerjasama diantara badan-badan pengawas perbatasan, salah satunya dengan cara menjalin dan menjaga hubungan-hubungan komunikasi langsung. Pasal 12. Keamanan dan pengawasan dokumen Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diangap penting, di dalam alat-alat yang tersedia sebagai berikut; Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
(a) Memastikan bahwa dokumen perjalanan atau dokumen identitas yang mereka keluarkan memiliki kualitas yang tidak mudah disalahgunakan dan tidak dengan mudah dipalsukan atau secara tidak sah dirubah, digandakan atau dikeluarkan lagi; dan (b) Memastikan integritas dan keamanan dokumen perjalanan ataupun dokumen identitas yang dikeluarkan oleh atau atas nama Negara Pihak dan untuk mencegah pembuatan, pengeluaran dan penggunaan yang tidak sah secara hukum. Pasal 13. Legitimasi dan keabsahan dokumen Berdasarkan permintaan Negara Pihak yang lain, sebuah Negara Pihak, sesuai dengan hukum nasionalnya, haruslah menjelaskan legitimasi dalam jangka waktu yang sesuai dan keabsahan dokumen perjalanan atau identitas yang dikeluarkan atau yang dinyatakan, telah dikeluarkan olehnya dan diduga digunakan untuk tindak perdagangan manusia. IV. KETENTUAN-KETENTUAN AKHIR
Pasal 14. Klausa-klausa pengamanan 1. Tidak satupun dalam Protokol ini yang mempengaruhi hak-hak, kewajibankewajiban dan tanggung jawab Negara dan individu berdasarkan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi inetrnasional dan, terutama, apabila berlaku, Konvensi 1951 dan Ptotokol 1967 yang terkait dengan Statuts Pengungsi dan prinsip tidak memperbolehkan repatriasi atau dikembalikan ke tempat asal (Non-Refoulement sebagaimana disebutkan dalam konvensi dan protocol tersebut). Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Langkah-langkah yang tertera dalam Protokol ini harus diinterpretasikan dan dilaksanakan di dalam sebuah cara yang tidak mendiskriminasikan siapapun dengan dasar bahwa mereka adalah korban perdagangan mausia. Interpretasi dan pelaksanaan langkah-langkah tersebut haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip yang diakui secara internasional. Pasal 15. Penyelesaian Sengketa 1. Negara-negara Pihak harus berupaya dengan keras untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan interpretasi dan pelaksanaan Protokol ini melalui negoisasi. 2. Sengketa apapun yang terjadi di antara dua Negara Pihak atau lebih yang terkait dengan interpretasi dan pelaksanaan Protokol ini yang tidak bisa diselesaikan melalui negoisasi dalam waktu tertentu, berdasarkan permohonan salah satu dari Negara Pihak yang bersengketa, dapat diajukan kepada arbitrase. Jika, dalam waktu enam bulan setelah tanggal permohonan arbitrase, Negara-negara Pihak yang berselisih tidak dapat mencapai kesepakatan atas arbitrase tersbut, maka salah satu dari Negara Pihak yang berselisih tersebut dapat menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional dengan permohonan yang sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional. 3. Setiap Negara Pihak, pada saat penandatanganan, ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, aksesi atas Protokol ini, dapat menyatakan bahwa dirinya tidak mau terikat dengan ayat 2 pasal ini. Negaranegara Pihak yang lain tidak terikat dengan ayat 2 pasal ini bila berkaitan dengan Negara Pihak yang mengajukan pensyaratan ini.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
4. Negara Pihak yang telah mengajukan pensyaratan sesuai dengan ayat 3 pasal ini boleh setiap saat
mencabut
pensyaratan tersebut
dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 16. Tandatangan, pengesahan, penerimaan, persetujuan dan aksesi 1. Protokol ini terbuka bagi semua Negara untuk menandatangani dari tanggal 12 sampai 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, dan setelah masa itu bisa dilakukan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York sampai batas waktu 12 desember 2002. 2. Protokol ini juga terbuka bagi penandatanganan oleh organisasi-organisasi regional yang bersatu dalam hal ekonomi, apabila setidaknya satu dari anggotanya telah menandatangani Protokol ini sesuai dengan ayat 1 pasal ini. 3. Protokol ini dapat diratifikasi, penerimaan atau persetujuan, instrumen-instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan harus disimpan pada Sekretaris Jenderal perserikatan Bangsa-Bangsa. Suatu organisasi integrasi ekonomi regional boleh menyerahkan naskah pengesahan, penerimaan atau persetujuannya jika paling tidak salah satu Negara anggotanya telah melakukan hal yang sama. Dalam naskah pengesahan, penerimaan atau persetujuannya, organisasi tersebut harus mendeklarasikan tingkat kompetensinya sesuai dengan hal-hal yang diatur dalam protokol ini. Organisasi macam ini juga harus menginformasikan penyerahan modifikasi-modifikasi apapun yang relevan terkait dengan kompetensinya. 5. Protokol ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun, yang paling tidak salah satu dari Negara anggotanya adalah Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Pihak dari Protokol ini. Instrumeninstrumen aksesi ini harus disimpan pada Sekretaris
Jenderal
disampaikan,
Perserikatan
sebuah
organisasi
Bangsa-Bangsa. integrasi
Pada
ekonomi
saat
aksesi
regional
ini
harus
mendeklarasikan tingkat kompetensinya yang sesuai dengan hal-hal yang diatur dalam Protokol ini. Organisasi semacam ini juga harus menginformasikan penyerahan modifikasi apapun yang relevan terkait dengan kompetensinya. Pasal 17. Pemberlakuan 1. Protokol ini mulai berlaku pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyerahan naskah ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi yang keempat puluh, kecuali bahwa Protokol ini tidak boleh berlaku sebelum Konvensi berlaku. Untuk tujuan dari ayat ini, instrumen yang disetorkan oleh sebuah organisasi integrasi ekonomi regional tidak boleh dihitung sebagai tambahan dari yang telah diserahkan oleh Negara anggota organisasi tersebut.
2. Untuk setiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi Protokol ini setelah penyerahan instrumen keempat puluh dari tindakan semacam itu, Protokol ini harus mulai diberlakukan pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyerahan naskah yang relevan oleh Negara atau organisasi semacam itu atau pada saat Protokol ini diberlakukan menurut aturan dari ayat 1 pasal ini, atau manapun yang belakangan. Pasal 18. Amandemen Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
1. Setelah berakhirnya lima tahun masa berlakunya Protokol ini, sebuah Negara Pihak Protokol ini boleh mengusulkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang segera setelah pengkomunikasian usulan amandemen kepada Negara-negara Pihak dan kepada Konferensi Pihak-Pihak dari Konvensi dengan tujuan untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan dari proposal yang diajukan. Negara-negara Pihak Protokol ini yang bertemu di konferensi Pihak-Pihak harus melakukan semua upaya untuk mencapai konsensus telah dilakukan namun tidak bisa mencapai kesepakatan, sebagai jalan terakhir, amandemen tersebut dapat, sebagai jalan terakhir, meminta penetapannya dengan pemungutan suara mayoritas dua-pertiga dari negara pihak dari Protokol yang hadir dan terlibat pengambilan suara dalam konferensi PihakPihak tersebut. 2. Organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional, dalam hal-hal di wilayah kompetensinya, boleh menjalankan hak mereka untuk memilih dibawah pasal ini dengan jumlah suara yang setara dengan jumlah Negara anggota mereka yang menjadi Pihak dari Protokol ini. Organisasi-organisasi semacam ini tidak bias mendapatkan hak suara jika Negara anggota mereka sudah menjalankan haknya dan demikian pula sebaliknya. 3. Suatu amandemen yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini menjadi subyek ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh Negara-negara Pihak. 4. Suatu amandemen yang diterapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini harus mulai diberlakukan oleh sebuah Negara Pihak dalam masa sembilan puluh hari setelah Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
tanggal penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan amandemen kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa . 5. Suatu amandemen mulai diberlakukan, memiliki kekuatan mengikat terhadap semua Negara-negara Pihak yang menyatakan kesepakatan mereka untuk menjalankannya. Negara-negara Pihak lainnya masih harus terikat ketentuanketentuan Protokol ini atau amandemen-amandemen yang dilakukan sebelumnya yang sudah mereka ratifikasi, terima atau setujui.
Pasal 19. Penarikan diri 1. Suatu Negara Pihak boleh menarik diri dari Protokol ini dengan mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penarikan diri ini akan menjadi efektif setelah salah satu tahun dari tanggal penerimaan surat pemberitahuan oleh Sekretaris Jenderal. 2. Organisasi integrasi ekonomi regional harus berhenti menjadi Pihak Protokol ini bila semua Negara anggotanya menarik diri mereka atas Protokol ini. Pasal 20. Penyimpanan dan bahasa 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditugaskan untuk melakukan penyimpanan Protokol ini.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
2. Naskah asli dari Protokol ini terdapat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol yang mempunyai keaslian yang sama dan disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BABV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan skripsi di atas adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana perdagangan manusia (Trafficking) merupakan salah satu fenomena sosial yang sangat mengancam harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, dan perlu mendapat perhatian yang lebih dari berbagai elemen masyarakat guna melindungi dan menjamin hak-hak asasi masyarakat. 2. Kejahatan perdagangan orang (Trafficking) merupakan pola kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan Extra Ordinary Crime dan merupakan kejahatan Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
transnasional yang dapat mengancam siapa saja baik pria, wanita, maupun anakanak. 3. Adanya berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang (Trafficking), diantaranya adalah kemiskinan akibat tekanan ekonomi, keterbatasan peluang pekerjaan di dalam negeri, minimnya pengetahuan masyarakat tentang Trafficking akibat kurangnya sosialisasi tentang Trafficking dari pemerintah, ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga, pola hidup komsumtif, godaan gaya hidup kota (Urban Life Style), desakan atau tekanan dari pihak orang tua yang ingin agar anak perempuannya segera menikah dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya kejahatan perdagangan orang lebih sering menimpa kaum perempuan dan anak-anak. 4. Dampak yang timbul akibat tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) sebagian besar merupakan dampak negatif atau dampak buruk. Misalnya trauma atas pengalaman yang pernah dirasakan oleh korban Trafficking selama ia menjadi objek Trafficking, ketakuatan berpanjangan, krisis percaya diri, kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri sehinngga korban tersebut tidak mampu mengembangkan kreatifitasnya, maka perkembangan pertumbuhan penduduk akan menurun mutunya. Hal ini tentu dapat menurunka daya saing bangsa dalam menghadapi perkembangan yang pesat di era globalisasi. 5. Beberapa upaya pemerintah yang dapat dikemukakan untuk mencegah dan menaggulangi tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) adalah melalui peran serta berbagai elemen masyarakat, secara garis besar upaya tersebut adalah seperti: Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
1. Secara Umum a.Menjalin kerja sama yang baik antar pemerintah daerah didalam negeri b.Menjalin hubungan dan kerja sama yang baik antar pemerintah RI dengan pemerintah negara asing. c. Membentuk panitia RANHAM
2. Secara Khusus Pemerintah dapat menyelesaikan khusus Trafficking ini, dengan cara mencegah, melindungi, dan menyelamakan korban, serta menindak pelaku Trafficking dengan tegas. 6. Dengan lahinya undang-undang nomor 21 tahun 2007 diharapkan dapat menjadi paying hokum bagi para korban Trafficking dan dapat menjadi penuntutan dan hukuman terhadap para pelaku kejahatan tesebut.
B. Saran Guna meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi era globalisasi maka sudah selayaknya sebagai generasi muda memberikan sumbangsihnya dalam membantu pemerintah untuk menangani masalah-masalah atau fenomena-fenomena sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Salah satu fenomena itu adalah perdagangan orang (Trafficking). Agar korban trafficking tidak terus bertambah dan agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang bobrok atau hancur dan dengan melihat praktek trafficking begitu marak karena kelihaian para pelaku tindak pidana perdagangan orang; cukong, Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
agen, Peran
bandit,
pengguna,
masyarakat
sangat
dan
dibutuhkan,
baik
lain-lain secara
sebagainya.
kelembagaan
maupun
perseorangan.Orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana trafiking. Kita harus mengingatkan agar mereka tidak mudah bujuk rayu dan iming-iming kehidupan mudah mewah tanpa pekerjaan yang jelas karena seungguhnya hal tersebut akan menjerumuskan anak-anak dan perempuan khususnya dalam masalah tindak perdagangan
orang
(Trafficking
in
Person).
Pada sisi lain, jajaran aparat hukum agar mengambil tindakan yang tegas dan hukum yang berat kepada para trafiker. Tanpa hukuman yang berat tidak akan ada efek jera kepada
para
pelaku.
Apalagi
bila
hukum
bisa
dibeli.
Dan lebih dari itu, adalah tugas para Kepala daerah untuk mensejahterakan warganya, untuk bisa memperoleh pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang mencukupi sehingga warganya tidak mudah tergiur tawaran kerja di luar daerah/luar negeri yang ternyata
derita
panjang
dalam
hidupnya.
maka, ada beberapa hal yang perluh dilakukan, tentunya untuk menekan terjadinya kasus Trafficking, yaitu: I. Harus adanya ”kontrol hukum” yang dijalankan dengan maksud untuk mencegah timbulnya korban yang lebih banyak. Pada kontrol hukum yang dimaksud disini adalah suatu pola penegakan hukum yang efektif dalam suatu kerangka hukum yang melindungi hak asasi manusia (HAM) serta memiliki efek penjerahan, dimana peraturan itu mampu membuat para pelaku tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) tersebut merasa takut untuk mengulangi perbuatanya lagi dan bagi orang yang beresiko untuk melakukan Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
tinadak pidana kejahatan tersebut akan merasa takut untuk mulai melakukan perbuatannya. 2. Sudah waktunya seluruh elemen masyarakat menunjukan kesungguhan yang lebih nyata serta perlakuan yang lebih adil dalam merespon persoalan Trafficking. Perhatian seriua semestinya tidak hanya diberikan pada diri pelaku, seperti yang telah terjadi selama ini. Namun, tindakan kongket juga dibutuhka oleh para korban dengan bobot dan kualitas yang juga sama petingnya. Karena korban juga memerlukan perlindungan khusus terhadap hak-haknya dalam berbagai aspek yang terkait, termasuk upaya-upaya reintegrasi sosial dan pemulihan keadaaan yang telah mereka alami. 3. Pemberian edukasi, sosialisasi dan advokasi tentang tindak pidana perdagangan orang sebaiknya dilakukan secepatnya, sebelum tindak kejahatan ini semakin merajalela. Pemberian edukasi, sosialisasi dan advokasi ini tidak hanya dari pihak-pihak yang berwenang seperti pemerintah dan lembaga non pemerintah (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan terhadap harkat dam martabat manusia semata, yang sering terjergal olehb rumitnya birokrasi, aka tetapi akan lebih baik jika seluruh elemen masyarakat untuk melakukannya. 4. Hendaknya perlindungan yang diberikan terhadap para korban tafficking dilakukan dengan penuh komitmen yakni dengan membangun sebuah pelayanan shelter yang melibatkan pemerintah, instansi terkait, dan peran stakeholder yang lain dan mampu untuk konsisten terhadap komitmennya masing-masing sehigga misi untuk memberikan pelayanan dalam konteks penanganan korban Trafficking dapat terwujud dengan baik.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
5. Dengan disyahkan dan berlakunya UU No 21 Tahun 2007, maka pemerintah dapat dengan benar-benar melaksanakan undang-undang tersebut dengan sebaik-baiknya dan apabila dilanggar akan diberikan sanksi yang tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Basuki, Wishnu. 2001. Friedman, Lawren M. American Law An Introduction, Second Edition, 1998, Penerjemah PT. Tatanusa: Jakarta. Black, Donal. 1976. The Behavior of Law. Academic Press: New York. Davison, Gerald. Neale, Jhon. Kring, Ann. 2004. Abnormal Psychology. Ninth Edition. Jhon Willey & Sons: USA Hamid, Sulaiman. 2006. Pengantar Hukum dan Hak Asasi Manusia. USU Press: Medan International Organization for Migration. 2009. Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Edisi Revisi Dilengkapi Dengan Pembahasan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dan Pereturan PerundangUndangan Yang melengkapinya. The United States Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Person. Lembaga Bantuan Hukum. 2001. Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia kaum Perempuan. LBH APIK Jakarta. Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Mozasa,
Chairul
Bariah.
2005.
Aturan-Aturan
Hukum
Trafficking
(Perdagangan Perempuan dan Anak), USU Press: Medan Omas Ihromi, Tapi, Prof. Dr.SH.,MA. 2006 Pemghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Alumni. Bandung. Pratiwi Arna, Antarini, dkk. Kekerasan Terhadap Anak Di Mata Anak Indonesia. Departemen Sosial RI. Jakarta-Indonesia. Riyanto,Agus, M.Ed. 2006. Perlindungan Anak Sebuah Buku Panduan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. UNICEF. OPTIMA: Jakarta – Indonesia. Risenberg, Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. ICMC. ACILS: Jakarta- Indonesia. Sabrina, Ir. Hj.Msi. dkk. 2004. Pola Koordinasi Penanganan Korban Kekerasan Perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara. Pusaka Indonesia: Medan. Sadarjoen, Sawitri S. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual.PT. Refika Aditama: Bandung. Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Remaja. Cetakan ke Lima. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rencana KUHP, ELSAM-Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005. Soesilo, Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Bogor, Jawa Barat. Susanti, Widya. 2006. Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking. Skripsi. Medan.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Wahid, Abdul & Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). PT. Refika Aditama: Bandung. _____________ 2004. Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak. Pusat Studi kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Makalah
Agusmidah,
Tenaga
Kerja
Indonesia,
Perdagangan
manusia
(Human
Trafficking) dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Huku Ketenagakerjaan, Makalah dialog Interaktif di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 30 Agustus 2007: Medan Harkrisnowo, Harkristuty. Fenomena Perdagangan Orang Sebagai Bentuk Perbudakan Modern. Makalah disampaikan pada acara Dies Natalis FH USU pada tanggal 16 Februari 2008: Medan Hawari, Dadang. Kekerasan Seksual (Stress Pasce Trauma). Makalah disampaikan pada lokakarya kekerasan Seksual Pada Anak dan Remaja. Jakarta. Ikhsan, Edy. MA.Trafficking in Person: Refleksi atas Tanggung Jawab Negara dan Peran Masyarakatnya. Tulisan ini disampaikan pada Dialog Implementasi Perda No 6 tahun 2004 tentang penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.Medan, 12 Agustus 2008 Sabrina, Ir. Hj. Msi (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan setda Provsu). 2007. Upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam Upaya Pemberantasan Tindak Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
Pidana Perdagangan Orang dan Sinergitas Pusat dan Daerah Dalam Implementasinya, Makalah. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Biro Pemberdayaan Perempuan setda Provsu: Medan.
Undang-Undang Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU No.21 Tahun 2007. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 39 Tahun 1999. Undang-Undang No. 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Undang-Undang No.19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO (Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa) Undang-Undang No. 37 Tahu 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Untuk Anak. Perda No. 6 Tahun 2004.
Artikel UNICEF (no Date) Convention On The Rights of The Child. New York. USA: UNICEF
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.
United Nation. 2002. List Of Convention and Instrument Contained in General Assembly Resolutions (1946 on Wards). New Yok. USA. United Nation Dag. Resolusi PBB Nomor 49/166 Resolusi Majelis Umum 55/25 Protokol Palermo Tahun 2000
Internet ”Trafficking” http:// www.migrantcare.net ”Trafficking”http:// www.sinarharapan.co.id ”Trafficking”http:// www.terangdunia.com ”Trafficking”http:// www.usebassyjakarta.co.id ”Trafficking”http:// www.pusakaindonesia.net. ”http:// www.state.gov./tip/rls/tiprpt/2002/10680.htm. “http://www.google.co.id/search?hl=id&q=pandangan+dunia+dalam+penanganan+korba n+trafficking+di+indonesia.
Riko Nugraha : Implementasi UU No 21 Tahun 2007 Dalam Penanganan Korban Trafficking Perspektif Hukum Internasional, 2010.