IMPLEMENTASI DEKODER MIMO BERBASIS DETEKSI MAXIMUM LIKELIHOOD PADA WLAN 802.11n Reza Heri Prayogo#1, Wahyul Amien Syafei#2, Imam Santoso#3 #
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, Indonesia
Abstract – WLAN (Wireless Local Area Network) is a fixed wireless technology which mainly used for data communication. IEEE as a group that makes the WLAN standard had developed WLAN 802.11n standard by combining OFDM and MIMO techniques. WLAN 802.11n can reach data-rate up to 600 Mbps, so it is called high-throughput (HT) system. This final project presents a research in MIMO decoding technique for IEEE WLAN 802.11n. The Maximum Likelihood Detector (MLD) method is implemented in the IEEE WLAN 802.11n to enhance the error performance rather than the preceeding method (i.e., Zero Forcing (ZF) and Minimum Mean Square Error (MMSE)). Running test is conducted under small office channel model for modulation 64 QAM with data-rate (2/3, 3/4, 5/6) within two spatial streams. For BER 10-4, the MLD shows superior performance rather than ZF about 15,33 dB and MMSE about 13,33 dB. Keyword : decoding, Maximum Likelihood Detector (MLD), MIMO, OFDM, and WLAN 802.11n
I. PENDAHULUAN Wireless LAN merupakan teknologi jaringan nirkabel yang dapat digunakan untuk komunikasi data. Dalam perkembangannya, teknologi wireless menghadapi masalah klasik yaitu kanal yang bersifat multipath fading. Di samping itu, karena semakin meningkatnya komunikasi menggunakan WLAN, maka peningkatkan efisiensi kanal merupakan hal yang sangat penting. Untuk mengatasi hal tersebut, ada dua teknik yang digunakan dalam perkembangan WLAN yaitu Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) dan Multi Input Multi Output (MIMO). OFDM merupakan teknik transmisi multicarrier, dimana tiap frekuensi subcarrier adalah orthogonal satu sama lain. OFDM membagi aliran data highrate mejadi aliran laju data yang lebih rendah, yang kemudian dikirimkan secara bersama pada beberapa subcarrier. Penerapan teknik ini mengakibatkan kondisi kanal multipath fading menjadi kanal flat fading. Dan di sisi lain untuk meningkatkan efisiensi kanal digunakan teknik MIMO. MIMO merupakan sistem yang menggunakan multi antena pada sisi pengirim dan penerima. Teknik ini akan membentuk kanal paralel yang independen untuk membagi transmisi data menjadi beberapa spatial stream. Dengan demikian teknik ini dapat memperbesar kapasitas kanal tanpa memerlukan bandwidth tambahan. Teknik OFDM sendiri telah diterapkan pada WLAN 802.11a dengan sistem SISO (Single-Input Single Output/antena tunggal) pada frekuensi 5 GHz [1]. Selanjutnya dikembangkan sistem MIMO-OFDM yang diterapkan pada WLAN 802.11n [2]. Kombinasi sistem MIMO-OFDM mempunyai kemampuan dalam menawarkan akses komunikasi yang cepat, handal, fleksibel dan efisien dalam penggunaan bandwidth. WLAN 802.11n menggunakan
MIMO dengan jumlah maksimal antena pemancar adalah empat buah. Penerapan MIMO-OFDM pada WLAN 802.11n dapat menjanjikan kenaikan laju data mencapai 600 Mbps [3]. Untuk meningkatkan peforma WLAN 802.11n telah digunakan beberapa teknik, antara lain penggunaan Low Density Parity Check (LDPC) sebagai channel coder pengganti Binary Convolutional Code (BCC), serta desain Register Transfer Level (RTL)-nya [4]. Lalu desain Application Specific Integrated Circuit (ASIC) untuk LDPC decoder [5] [6]. Hasilnya simulasi dengan menggunakan LDPC memberikan peningkatan peforma 6 dB dibandingkan BCC. Teknik lain yang dilakukan adalah pengaturan antenna spacing pada nilai 2 λ menghasilkan perbaikan sebesar 5 dB dibandingkan dengan menggunakan antenna spacing sebesar 1/2 λ [7]. Pengiriman beberapa data independen pada sistem MIMO disebut teknik spatial multiplexing. Dengan penggunaan kanal yang sama untuk mengirim beberapa data independen, dibutuhkan teknik khusus untuk mendapatkan kembali informasi yang dikirim. Dua teknik deteksi linier yang digunakan pada WLAN 802.11n adalah Zero Forcing (ZF) dan Minimum Mean Square Error (MMSE). Keduanya memiliki kompleksitas yang sederhana dan kinerjanya rendah. Teknik yang dikenal memiliki kinerja optimal pada soft-decision detector adalah Maximum Likelihood Detector (MLD), dimana teknik ini akan menghitung jarak sinyal diterima terhadap seluruh kemungkinan kombinasi simbol. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap peningkatan kinerja pada WLAN 802.11n dengan menerapkan algoritma deteksi Maximum Likelihood sebagai detektor MIMO. Dan hasilnya akan dibandingkan dengan algoritma deteksi ZF serta MMSE. Teknik MIMO yang digunakan adalah Spatial Division Multiplexing pada kofigurasi MIMO 2x2 dan modulasi 64 QAM. Simulasi dilakukan pada model kanal B IEEE 802.11 TGn yang mewakili cakupan area suatu kantor kecil. Dan parameter yang diamati adalah perbandingan Bit Error Rate (BER) terhadap Signal to Noise Ratio (SNR). II. DASAR TEORI A. MIMO Nomenklatur : Huruf yang dicetak tebal menandakan suatu matriks sedangkan yang dicetak biasa menandakan nilai skalar; (∙)𝐻𝐻 menandakan matriks hermitian (conjugate transpose); (∙)−1 menandakan matriks invers; I menandakan matriks indentitas; ‖∙‖ menandakan norma euclidean. MIMO (Multiple-Input Multiple-Output) merupakan salah satu teknik diversitas, yaitu spatial diversity dimana penggunaan teknik diversitas dapat mengurangi fading dan interferensi dari user lain dan meningkatkan laju data tanpa mengorbankan bandwidth maupun daya pancarnya. Teknik MIMO ini menggunakan beberapa antena pada pemancar dan penerima untuk meningkatkan performansi 1
y1 h11 y2 h21 � ⋮ �=� ⋮ yN hM1
h12 … h22 … ⋮ ⋱ hM2 …
n1 h1N s1 n2 h2N s2 �� ⋮ � + � ⋮ � ⋮ nN hMN sN
(2)
ZF mengimplementasikan matriks invers (mengabaikan masalah penguatan derau). Dan pesan yang diterima diberikan oleh persamaan : 𝐬𝐬 = 𝐖𝐖 ∙ 𝐲𝐲
Untuk mencari nilai s, kita harus mencari matriks bobot W yang memenuhi 𝐖𝐖𝐖𝐖 = 1. Persamaan ZF untuk memenuhi hal tersebut diberikan sebagai berikut :
Gambar 1. Sistem MIMO.
komunikasi. Skema MIMO yang umumnya digunakan, dibedakan menjadi dua jenis yaitu Space Time Block Code (STBC) dan Spatial Division Multiplexing (SDM). Konfigurasi sistem MIMO dengan N antena pemancar dan M antena penerima dapat dilihat pada gambar 1. Dari gambar 1, Tx1 sampai dengan TxN merupakan antena pemancar sejumlah N, sedangkan Rx1 sampai dengan RxM merupakan antena penerima sejumlah M. h11 merupakan kanal propagasi sinyal dari antena penerima pertama dan antena pemacar pertama, h21 merupakan kanal propagasi sinyal dari antena penerima kedua dan antena pemancar pertama, begitu seterusnya sampai hMN yang merupakan kanal propagasi sinyal dari antena penerima ke-M dan antena pemancar ke-N. Adapun persamaan dari sistem MIMO diberikan sebagai berikut : 𝐲𝐲 = 𝐇𝐇𝐇𝐇 + 𝐧𝐧
(3)
𝐖𝐖 = (𝐇𝐇 H 𝐇𝐇)−1 𝐇𝐇 H
(4)
Maka nilai estimasi s adalah
𝐬𝐬� = 𝐖𝐖𝐖𝐖 ⇔ 𝐬𝐬� = 𝐖𝐖(𝐇𝐇𝐇𝐇 + 𝐧𝐧) ⇔ 𝐬𝐬� = 𝐖𝐖𝐖𝐖𝐖𝐖 + 𝐖𝐖𝐖𝐖 ⇔ 𝐬𝐬� = 𝐬𝐬 + 𝐖𝐖𝐧𝐧 (5)
Minimum Mean Square Error (MMSE) Metode MMSE mencoba untuk mencari koefisien bobot W yang mengurangi nilai noise additive, sehingga : 𝐖𝐖 = [𝐇𝐇 H 𝐇𝐇 + 𝐧𝐧𝐧𝐧]−1 𝐇𝐇 H
(6)
Ketika membandingkan dengan persamaan ZF, bagian dari faktor faktor noise (nI) kedua persamaan tersebut sebanding. Faktanya ketika faktor noise adalah nol, MMSE akan sama dengan persamaan ZF.
(1)
2. Metode non Linier Maximum Likelihood Detector (MLD) Maximum Likelihood merupakan metode yang membandingkan sinyal yang diterima receiver dengan semua kemungkinan informasi yang dapat dikirim atau kandidat simbol. Persamaannya diberikan sebagai berikut :
dengan : y : Simbol yang diterima, H : Respon impuls kanal dari N jumlah antena pemancar dan M jumlah antena penerima, s : Simbol yang ditransmisikan, dan n : Noise. B. Wireless LAN 802.11n Standar WLAN IEEE802.11n menjanjikan untuk meningkatkan kehandalan secara signifikan dan throughput. Pada MIMO, WLAN 802.11n dapat memberikan peningkatan data rate hingga 5 kali dengan 20 Mhz bandwidth yang sama dan hingga 10 kali dengan menggandakan bandwidth menjadi 40 Mhz. Oleh karena itu WLAN 802.11n disebut sistem dengan high throughput. WLAN 802.11a/g dapat memberikan maximum data rate mencapai 54 Mbps sedangkan dalam WLAN 802.11n, menjanjikan kenaikan hingga 600 Mbps.
𝐬𝐬�𝐌𝐌𝐌𝐌 = arg min‖𝐲𝐲 − 𝐇𝐇𝐬𝐬�‖2
(7)
dengan : 𝐬𝐬�𝐌𝐌𝐌𝐌 : Simbol yang dideteksi, y : Simbol yang diterima, H : Respon impuls kanal dari N jumlah antena pemancar dan M jumlah antena penerima, dan 𝐬𝐬� : Kandidat simbol.
𝐬𝐬�𝐌𝐌𝐌𝐌 didapat dengan mencari jarak Euclidean antara sinyal yang diterima dari pemancar dan hasil perkalian kanal dengan kandidat simbol dari sinyal yang ditransmisikan. Detektor maximum likelihood memilih pesan 𝐬𝐬� yang menghasilkan jarak terkecil antara vektor penerimaan (y) dan perkiraan pesan (𝐇𝐇𝐬𝐬�) [8]. Semakin kecil perbedaan sinyal yang diterima dengan 𝐇𝐇𝐬𝐬�, maka semakin besar kemungkinan bahwa kandidat simbol tersebut adalah informasi yang dikirim oleh pemancar. Ilustrasi deteksi maximum likelihood dapat dilihat pada gambar 2. Pada gambar 2 dapat dilihat sinyal yang diterima receiver (y) jatuh pada titik X, untuk dapat mengenali X maka dicari jarak minimal terhadap empat kandidat simbol (dalam kondisi ini dicontohkan pada modulasi QPSK).
C. MIMO Decoding Setiap antena penerima akan mendapatkan seluruh sinyal dari semua antena pemancar, sehingga sinyal yang diterima pada antena pertama adalah y1 = ∑Ni=1 h1i si dan seterusnya hingga yM. Karena semua informasi tercampur pada setiap antena penerima, maka dibutuhkan suatu teknik MIMO decoding untuk mendapatkan sinyal informasi asli. Metode MIMO decoding terbagi atas beberapa jenis, yaitu : 1. Metode Linier Metode linier yang digunakan ada dua yaitu Zero Forcing (ZF) dan Minimum Mean Square Error (MMSE).
Permasalahan MLD Permasalahan MLD adalah mengenai kompleksitas yang tinggi dan jumlah kandidat simbol yang bergantung pada jenis modulasi. Hal ini dapat dilihat dari persamaan berikut :
Zero Forcing (ZF) Metode ZF merupakan metode untuk menghilangkan pengaruh kanal dengan cara mengkalikan matriks kanal pada matriks invers-nya. Dari persamaan umum transmisi sinyal yang diberikan pada persamaan (1), dapat dibentuk persamaan (2) sebagai berikut :
K = MNt 2
(8)
III. PERANCANGAN SISTEM Pada bagian ini akan dipaparkan perancangan sistem dan parameter simulasi. Diagram blok sisi penerima pada WLAN 802.11n dapat dilihat pada gambar 3, dan bagian MIMO decoder berada setelah tahap phase tracker. Pada simulasi ini akan diteliti kinerja MIMO decoder pada konfigurasi antena 2 x 2 dengan orde modulasi 64 QAM. Pada standar IEEE 802.11n, konfigurasi ini termasuk dalam Modulation and Coding Scheme (MCS) 13,14 dan 15. Yang membedakan ketiga MCS tersebut adalah laju pengkodean dimana masing- masing bernilai 2/3,3/4 dan 5/6. Parameter sistem yang lain ditampilkan pada tabel 1. Pada blok MIMO decoder sendiri sudah terdapat dua algoritma yang akan dijadikan pembanding kinerja algoritma Maximum Likelihood Detector (MLD), yaitu Zero-Focing (ZF), Minimum Mean Square Error (MMSE). Sebagai titik acuan kinerja terbaik, alur kerja perbandingan kinerja berbagai metode digambarkan oleh diagram blok pada gambar 4. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dibandingkan dengan algoritma linier seperti Zero Forcing (ZF) dan Minimum Mean Square Error (MMSE), maka digunakan algoritma Maximum Likelihood dan penerapan algoritma ini dilakukan pada bagian penerima sistem WLAN 802.11n yaitu pada blok dekoder MIMO. Adapun diagram alir dari algoritma maximum likelihood dapat dilihat pada gambar 5. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Ilustrasi deteksi maximum likelihood.
dengan : K : Banyaknya kombinasi dari kandidat simbol, M : Jumlah poin konstelasi, dan Nt : Jumlah antena pemancar. Jadi bila menggunakan modulasi QPSK dengan dua antena pemancar, maka kita harus mencari nilai minimum dari 42 = 16 kombinasi [9]. Penerapan MLD pada Sistem MIMO [10] Dari persamaan (6) dapat diambil contoh perhitungan sederhananya, bila menggunakan modulasi QPSK dengan antena pemancar dan penerima masing-masing dua buah. Maka persamaan matriksnya akan diberikan sebagai berikut : y1 h 𝐬𝐬�ML = ��y � − � 11 h21 2
h12 s1 2 � � �� h22 s2
1. Inisialisasi Kandidat simbol Pada blok ini ditentukan kandidat-kandidat simbol sesuai jenis modulasi yang dipakai, dalam hal ini yang dipakai adalah modulasi 64 QAM. Sehingga apabila memakai dua antena pemancar, maka jumlah kandidat simbolnya adalah 4096 kombinasi.
(9)
Jika memakai modulasi QPSK, nilai dari s1 yaitu ±1 ± j. Nilai dari s2 pun adalah sama yaitu ±1 ± j. Jadi untuk mencari solusi dari Maximum Likelihood seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kita harus mencari nilai minimal dari semua 16 kombinasi s1 dan s2. y1 h 𝐬𝐬�ML 1 = ��y � − � 11 h21 2 y1 h 𝐬𝐬�ML 2 = ��y � − � 11 h21 2 y1 h 𝐬𝐬�ML 3 = ��y � − � 11 h21 2 . . . y1 h 𝐬𝐬�ML 16 = ��y � − � 11 h21 2
2. Menghitung 𝐇𝐇𝐬𝐬� Sebagaimana rumus dari maximum likelihood yaitu 𝐬𝐬�𝐌𝐌𝐌𝐌 = arg min‖𝐲𝐲 − 𝐇𝐇𝐬𝐬�‖2 , 𝐇𝐇𝐬𝐬� sendiri merupakan perkalian antara estimasi kanal (H) dengan semua kandidat simbol 𝐬𝐬�.
h12 +1 + j 2 �� �� h22 +1 + j h12 +1 + j 2 �� �� h22 −1 + j h12 +1 + j 2 �� �� h22 +1 − j h12 −1 − j �� �� h22 −1 − j
3. Menghitung Euclidean Distance Setelah menghitung nilai Hs, selanjutnya adalah mencari jarak Euclidean antara sinyal yang diterima (y) dengan kandidat simbol yang telah dikalikan nilai dari estimasi kanalnya (𝐇𝐇𝐬𝐬�). Nilai y sendiri merupakan hasil perkalian antara kanal (H) dan simbol yang dipancarkan (s) serta telah ditambahkan derau (n).
2
𝐲𝐲 = 𝐇𝐇 ∙ 𝐬𝐬 + 𝐧𝐧 𝐲𝐲 − 𝐇𝐇𝐇𝐇 = (𝐇𝐇 ∙ 𝐬𝐬 + 𝐧𝐧) − (𝐇𝐇_estimasi ∙ 𝐬𝐬)
(10)
(11)
4. Mencari Nilai Minimum Setelah semua kandidat simbol dihitung jarak Euclideannya, maka langkah selanjutnya adalah mencari nilai minimum dari jarak Euclidean dari kandidat-kandidat simbol tersebut. Sesuai dengan prinsip maximum likelihood, semakin kecil (minimum) nilai perbedaan sinyal yang diterima (y) dengan suatu kandidat simbol, maka semakin besar (maximum) kemungkinan bahwa kandidat simbol tersebut adalah informasi yang dikirim oleh pemancar.
Perkiraan dari simbol yang dikirimkan dipilih berdasarkan nilai minimum dari ke 16 nilai s�ML diatas : Jika nilai minimum adalah s�ML 1 maka simbolnya adalah [+1 + j, +1 + j], Jika nilai minimum adalah s�ML 2 maka simbolnya adalah [+1 + j, +1 − j], Jika nilai minimum adalah s�ML 3 maka simbolnya adalah [+1 + j, −1 + j], dan seterusnya sampai nilai s�ML 16 . Jika nilai minimum adalah s�ML 16 maka simbolnya adalah [−1 − j, −1 − j].
5. Pengambilan Keputusan (Decision) Setelah didapat nilai minimum-nya maka langkah selanjutnya adalah pengambilan keputusan untuk menggolongkan nilai minimum tersebut termasuk ke dalam salah satu kandidat simbol untuk modulasi yang digunakan. 3
TABEL 1 PARAMETER PENGUJIAN
Parameter Jumlah iterasi Modulasi subcarrier Jumlah antena pemancar dan penerima Laju pengkodean Lebar pita MIMO decoder MIMO type Jumlah data per paket Model kanal Channel code Throughput
Nilai 100 64 QAM 2 2/3, 3/4, 5/6 40 MHz ZF, MMSE, dan MLD SDM 1000 octet TGn channel B Convolutional coding 216, 243, 270 Mbps
IV. SIMULASI DAN ANALISIS Pada bab ini akan dilakukan analisis hasil penelitian dan pembahasan atas kimerja dekoder Maximum Likelihood pada WLAN 802.11n. Analisis meliputi pembahasan mengenai hasil simulasi dekoder Maximum Likelihood pada simulator WLAN 802.11n dengan membandingan kinerjanya berdasarkan nilai BER dengan metode dekoder yang merupakan standar WLAN 802.11n yaitu ZF dan MMSE. Adapun pada pengujian ini digunakan parameter MCS (Modulation and Coding Scheme) yaitu nilai yang menentukan jenis modulasi, laju pengkodean, dan jumlah dari spatial stream atau antena pemancar yang digunakan. Parameter lainnya dapat dilihat pada tabel 1.
Gambar 3. Blok diagram penerima WLAN IEEE802.11n.
A. Pengujian MCS 13 Hasil pengujian untuk MCS 13 (modulasi 64 QAM, laju pengkodean 2/3, dan dua antena pemancar), ditunjukan pada gambar 6. Dari gambar 6, ZF mencapai BER 10-4 pada SNR 44 dB, dan MMSE pada SNR 42 dB. Sedangkan MLD mencapai BER tersebut pada SNR 31 dB. Hal ini berarti bahwa metode optimum Maximum Likelihood (MLD) menunjukan peningkatan kinerja terhadap detektor ZF dan MMSE yaitu sebesar 12,5 dB dan 10,5 dB.
Gambar 4. Diagram alur kerja perbandingan kinerja MIMO decoder.
B. Pengujian MCS 14 Hasil pengujian untuk MCS 14 (modulasi 64 QAM, laju pengkodean 3/4, dan dua antena pemancar), ditunjukan pada gambar 7. Dari gambar 7, ZF mencapai BER 10-4 pada SNR 46 dB, dan MMSE pada SNR 44 dB. Sedangkan MLD mencapai BER tersebut pada SNR 31 dB. Hal ini berarti bahwa metode optimum Maximum Likelihood (MLD) menunjukan peningkatan kinerja terhadap detektor ZF dan MMSE yaitu sebesar 15 dB dan 13 dB. C. Pengujian untuk MCS 15 Hasil pengujian untuk MCS 15 (modulasi 64 QAM, laju pengkodean 5/6, dan dua antena pemancar), ditunjukan pada gambar 8. Dari gambar 8, ZF mencapai BER 10-4 pada SNR 55 dB, dan MMSE pada SNR 53 dB. Sedangkan MLD mencapai BER tersebut pada SNR 36,5 dB. Hal ini berarti bahwa metode optimum Maximum Likelihood (MLD) menunjukan peningkatan kinerja terhadap detektor ZF dan MMSE yaitu sebesar 18,5 dB dan 16,5 dB.
Gambar 5. Diagram alir algoritma Maximum Likelihood.
4
D. Analisis Kompleksitas Dari persamaan (6) K = M N t , maka dapat ditentukan jumlah kompleksitas dari MLD yaitu jumlah kombinasi dari kandidat simbolnya, dengan menggunakan dua antena pemancar (Nt) dan modulasi 64 QAM (M=64), maka kompleksitasnya adalah 642 = 4096. Sedangkan untuk detektor linier seperti ZF dan MMSE, perhitungan kompleksitasnya diberikan pada persamaan : K = Nt2 + Nt
(12)
Jika menggunakan dua antena pemancar, maka kompleksitasnya adalah 22 + 2 = 6 [11]. Dari contoh perhitungan tersebut maka dapat dibuat tabel perbandingan kompleksitas antara ZF, MMSE, dan MLD seperti yang dapat dilihat pada tabel 2. Gambar 6. Grafik hasil pengujian MCS 13.
V. PENUTUP A. Kesimpulan Pada target BER 10-4, terdapat perbaikan nilai SNR MLD terhadap ZF dan MMSE. Untuk MCS 13 masing-masing sebesar 12,5 dB dan 10,5 dB. Lalu MCS 14 sebesar 15 dB dan 13 dB. Dan MCS 15 sebesar 18,5 dB dan 16,5 dB. Adapun kompleksitas kandidat simbol MLD bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah antena pemancar dan poin konstelasi yang digunakan. Sebagai contoh dengan menggunakan satu antena pemancar dan modulasi 64 QAM, jika dibandingkan dengan dekoder linier rasionya adalah 26 : 2. Sedangkan jika menggunakan empat antena pemancar rasionya akan meningkat secara signifikan yaitu 224 : 20. B. Saran Karena masalah kompleksitasnya, maka diperlukan suatu metode untuk menyederhanakan prosesnya dengan hasil yang mendekati peforma Maximum Likelihood seperti Trellis, Sphere, dan K-Best. Lalu untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dan diterapkan pada tipe WLAN lainnya, sebagai contoh WLAN 802.11ac.
Gambar 7. Grafik hasil pengujian MCS 14.
DAFTAR PUSTAKA [1] Suplement to IEEE STANDARD for Information Technology Telecommunications and information exchange between systems Local and metropolitan area networks - Specific requirements, IEEE Std 802.11a-1999(R2003), Juni 2003. [2] Draft STANDARD for Information Technology - Telecommunications and Information Exchange between Systems - Local and Metropolitan Area Networks - Specific Requirements, IEEE P802.11n./D9.0, March 2009. [3] Perahia, Eldad and Stacey, Robert. 2008. Next Generation Wireless LANs- Throughput, Robustness, and Reliability in 802.11n. Cambridge University Press. [4] Syafei, W.A., Y. Nagao, R. Imashioya, M. Kurosaki, and H. Ochi. 2008. Performance Evaluation of Low Density Parity Check CODEC for IEEE802.11n and Its RTL Design. Smart Info-Media System in Bangkok (SISB 2008). Bangkok, Thailand. [5] Syafei, W.A., Y. Nagao, R. Yohena, H. Shimajiri, T. Yoshida, M. Kurosaki, B. Sai, and H. Ochi. 2008. Performance Evaluation of Low Density Parity Check Codes for IEEE 802.11n and Its ASIC Design. International Symposium on Communications and Information Technologies (ISCIT 2008), No. D3-AM, Don Chan Palace, Vientiane, Lao PDR. [6] Syafei, W.A., Y. Nagao, R. Yohena, H. Shimajiri, T. Yoshida, M. Kurosaki, B. Sai, and H. Ochi. 2009. Performance Evaluation and ASIC Design of LDPC Decoder for IEEE802.11n. 6th Annual IEEE Consumer Communications and Networking Conference (IEEE CCNC 2009), No. 1569141488, Las Vegas, Nevada, USA. [7] Syafei, W.A., dan H. Pratista. 2011. Performance Evaluation of Wireless LAN IEEE802.11n by Antenna Spacing. International Conference
Gambar 8. Grafik hasil pengujian MCS 15. TABEL 2 PERBANDINGAN KOMPLEKSITAS ZF, MMSE, dan MLD. Antena Pemancar
Modulasi
1 2 3 4
64 QAM 64 QAM 64 QAM 64 QAM
ZF 2 6 12 20
Kompleksitas MMSE MLD 2 26 6 212 12 218 20 224
5
on Information Technology and Electrical Engineering (ICITEE) 2011, Jogjakarta, Indonesia. [8] Jalden, Joakim. 2004. Maximum Likelihood Detection for the Linear MIMO Channel. Sweden. [9] Zelst, Allert van. 2010. Space Division Multiplexing Algorithms. Paper for IEEE, Eindhoven University of Technologies, Eindhoven. [10] Sankar, Krishna. 2008. MIMO with ML Equalization. Article at http://www.dsplog.com/2008/12/14/mimo-ml-equalization/. [11] TGn Channel Models, IEEE P802.11 Wireless LANs, Mei 2004. [12] Zimmermann, E., W. Rave, and G. Fettweis. On the Complexity of Sphere Decoding. Dresden University of Technology, Vodafone Chair Mobile Communications Systems, D-01062 Dresden, Germany.
BIODATA MAHASISWA Reza Heri Prayogo, lahir di Cirebon, 3 Desember 1989. Menempuh pendidikan di SD Negeri Bima Cirebon, SMP Negeri 5 Cirebon, SMA Negeri 4 Cirebon dan melanjutkan studi Strata-1 di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, konsentrasi Elektronika dan Telekomunikasi.
Mengetahui dan Mengesahkan, Dosen Pembimbing I
Dr.Eng.Wahyul Amien Syafei NIP.197112181995121001 Tanggal:_______________
Dosen Pembimbing II
Imam Santoso, S.T., M.T. NIP.197012031997021001 Tanggal:_______________
6