IMAJINASI PEMBACA TERHADAP PEMBENTUKAN RUANG INTERIOR RUMAH HOBBIT DALAM NARASI FIKSI J.R.R. TOLKIEN Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak
Imajinasi adalah sebuah proses mental yang tujuannya adalah menciptakan sesuatu yang baru dan belum ada sebelumnya. Imajinasi manusia dipengaruhi oleh latar belakang, pengalaman dan pengetahuannya. Imajinasi bekerja pada proses desain sebagai katalis ide yang akan digunakan dalam proses perancangan. Fiksi mempengaruhi proses desain, yakni sebagai sumber inspirasi direct. Inspirasi direct dapat terealisasi dalam bentuk arsitektural dengan dua macam cara, yakni statis dan dinamis yang diwujudkan dalam studi kasus. Perwujudan karya fiksi ke dalam sebuah realitas ini merupakan sebuah kondisi hiperrealitas sehingga membuat studi kasus yang bersangkutan menjadi simulakrum. Pembahasan studi kasus yang dibahas dalam skripsi ini adalah perwujudan rumah hobbit berdasarkan imajinasi pembaca terhadap narasi J.R.R. Tolkien. Kata kunci: fiksi; hiper realitas; imajinasi; J.R.R. Tolkien; ruang interior.
Reader’s Imagination in The Creation of Hobbit House’s Interior Space Based on J.R.R. Tolkien’s Fiction Narration Abstract Imagination is a mental process that aims for creating something new and is never existed before. Human imagination works on the design process as an idea catalyst that will be use in the design process. Fiction affects design process as a source of direct inspiration. Direct inspiration can be happen in architectural forms in two ways, static and dynamic that developed in the case studies. Fiction development to reality is a hyper reality condition thus makes the case studies become simulacrum. The case studies that will be discussed in this essay are the development of hobbit houses based on reader’s imagination of J.R.R. Tolkien’s narration. Keywords: fiction; hyper reality; imagination; J.R.R. Tolkien; interior space.
1. Pendahuluan Imajinasi menuntun manusia untuk merespon terhadap hal yang diimajinasikan. Misalnya saja saat menonton film animasi, seseorang seringkali membayangkan dirinya sebagai tokoh dalam film tersebut, beberapa bahkan akan menirukan gaya berpakaian, berbicara, ataupun membuat benda-benda yang digunakan oleh tokoh tersebut. Respon yang sedemikian merupakan salah satu bentuk kondisi hiperrealitas, dimana manusia berusaha merealisasikan hal-hal yang sebenarnya tidak ada dalam kehidupannya. Pada tahun 1937, seorang penulis berkebangsaan Inggris J.R.R. Tolkien menulis sebuah cerita fiksi anak tentang sebuah karakter yang dikenal dengan sebutan hobbit. J.R.R Tolkien
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
dikenal sebagai seorang penulis fiksi yang selalu menciptakan ‘background’ berlangsungnya sebuah cerita secara deskriptif. Pada tahun 2004, Honegger menulis bahwa deskripsi ‘tempat’ atau ‘place’ dalam karya-karya Tolkien memiliki tiga tujuan. Yang pertama dan utama adalah membentuk dunia narasinya. Yang kedua adalah untuk memberi karakter pada subjek dan elemen pendukung dari tempat tersebut atau bahkan menghindari sebuah pembentukan sebuah karakter yang jelas pada subjek cerita. Dan yang terakhir adalah karena pembentukan 'homeland' bagi seseorang dapat menerima cerita tersebut dengan apa adanya (h.59).
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi Dalam cerita fiksi karyanya, Tolkien menceritakan tempat yang menjadi latar belakang cerita secara deskriptif. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa Tolkien secara tidak langsung juga berusaha menciptakan pengalaman ruang dalam ceritanya sehingga pembaca dapat mengalami dan membayangkan tempat yang dideskripsikan. Berikut merupakan salah satu kutipan narasi Tolkien tentang Bag End dalam The Hobbit: No going upstairs for the hobbit: bedrooms, bathrooms, cellars, pantries (lots of these), wardrobes (he had whole rooms devoted to clothes), kitchens, dining – rooms, all were on the same floor, and indeed on the same passage. The best rooms were all on the left – hand side (going in), for these were the only ones to have windows, deep – set round windows looking over his garden, and meadows beyond, sloping down to the river (Tolkien,1981c, h.3).
Narasi Tolkien ini menimbulkan berbagai imajinasi dari pembaca terhadap cerita karyanya, terutama tentang Bag End yang menjadi rumah tinggal dari Bilbo Baggins. Sehingga kemudian muncullah Bag End atau pun rumah hobbit dengan berbagai macam versi. Imajinasi pembaca dapat berbeda-beda tergantung pada jenis kelamin, budaya, dan daya imajinasi pembaca tersebut. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisa dan memahami bagaimana cara pengkomunikasian ruang interior berdasarkan narasi cerita fiksi melalui imajinasi pembaca, yang juga menjadi suatu kondisi hiperrealitas dalam arsitektur. Terdapat dua pertanyaan yang akan berusaha dijawab oleh penulis dalam jurnal ini, yakni: a. Bagaimana pengaruh narasi dari Tolkien dan imajinasi pembaca terhadap pembentukan ruang interior rumah hobbit? b. Sejauh mana imajinasi pembaca mampu menjadi penggambaran ideal bagi ruang interior dalam sebuah narasi fiksi? Pertanyaan pertama akan dijawab terlebih dahulu, kemudian hasil dari jawaban tersebut akan mejadi dasar dalam menjawab pertanyaan kedua. Lingkup masalah dalam jurnal ini akan dibatasi dengan beberapa topik pembahasan, yakni: a. Perilaku tokoh dalam narasi Tolkien yang membangun hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial, selama cerita berlangsung.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
3
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
b. Pengaruh imajinasi pembaca terhadap pembentukan ruang interior yang akan dibahas dalam dua buah studi kasus. c. Perbandingan beberapa studi kasus untuk menarik kesimpulan sekaligus jawaban dari pertanyaan kedua dalam jurnal ini. 2. Fiksi, Imajinasi dan Arsitektur Interior Karya fiksi menunjukkan kepada pembaca karakter imajinatif yang berada dalam sebuah adegan dan situasi imajinatif. Fiksi didefinisikan secara luas sebagai sesuatu yang diciptakan atau diimajinasikan; atau secara lebih spesifik adalah sebagai sebuah statement yang diciptakan atau dinarasikan (New,1999, h.39). Oleh sebab itu hampir mayoritas isi dari karya fiksi terdiri dari, seperti yang disebut New (1999), kalimat fiksional. Kalimat fiksional berbeda dengan kebohongan. Yang membedakannya adalah bahwa penulis tidak berniat untuk menipu pembacanya namun, lebih kepada berniat mengajak pembaca untuk mengerti bahwa kita sedang ‘berpura-pura’. Saat membaca karya fiksi, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pembaca seringkali terbawa ke dalam cerita, meskipun sebenarnya mereka sendiri sadar bahwa karya fiksi tersebut bersifat imajinatif (tidak nyata). Keadaaan ini disebabkan oleh kekuatan imajinasi yang memungkinkan pembaca untuk tergerak bahkan seolah-olah mengalami cerita tersebut secara emosional. Imajinasi dipengaruhi oleh dua hal yakni emosi dan pengetahuan yang dapat mempengaruhi sensasi, persepsi dan konsepsi yang dirasakan pengguna terhadap ruangan dan elemen-elemen pembentuknya (Yi-Fu Tuan, 2001, h.19). Hal ini seringkali disebut dengan ‘paradox of fiction’, permasalahan tentang bagaimana emosi pembaca yang nyata dapat diarahkan oleh sebuah fiksi yang imajinatif (Kieran, 2003, h.14). Emosi terhadap suatu pengalaman, seperti yang di jelaskan oleh Bachelard (1964), dapat terpanggil kembali jika kita mengalami pengalaman tersebut sekali lagi. Fenomena ini disebut olehnya sebagai ‘reveberation’ atau gaung (h. introduction). Konsep gaung ini dapat menjadi salah satu alasan bahwa emosi yang dirasakan oleh pembaca saat membaca adalah emosi yang real (nyata). Fiksi bersumber dari imajinasi dan fantasi dari penulis, sehingga keberadaannya tidaklah nyata. Pembaca hanya diajak untuk berpura-pura bahwa cerita fiksi tersebut seolah-olah nyata untuk memahami cerita tersebut. Oleh karenanya dalam proses pemahaman karya fiksi ini, imajinasi dari pembaca sangatlah diperlukan. Dari imajinasi terhadap karya fiksi tersebut, dihasilkan gambaran sesuai dengan apa yang diceritakan. Proses pembentukan gambaran melalui imajinasi ini adalah sebuah prose simulasi. Gambaran yang dihasilkan oleh imajinasi
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
pembaca ini merupakan sebuah gambaran yang masih tidak real dan kemudian menciptakan sebuah simulakrum dari karya fiksi. Kondisi hiperrealitas pertama dicapai ketika dampak atau efek dari ruang simulakrum ini dirasakan oleh pembaca, dan menghasilkan sebuah emosi. Dalam bukunya yang berjudul Poetics of Architecture, Antoniades menegaskan bahwa baik imajinasi maupun fantasi adalah elemen yang diperlukan dalam kreativitas arsitektur. Imajinasi dan fantasi berada dalam ruang lingkup pemikiran, sedangkan kreativitas sendiri lebih cenderung pada ruang lingkup pembuatan atau penciptaan. Kreativitas menurut Antoniades (1992), adalah proses yang menunjukkan bahwa imajinasi benar-benar ada. Dengan kata lain imajinasi dalam proses desain berfungsi untuk memberikan ide atau pemikiran yang kemudian akan diwujudkan melalui kreativitas penciptanya.
Gambar 2.2 Ringkasan Kajian Teori Sumber: Ilustrasi Pribadi
Diagram berikut ini merupakan kerangka berpikir yang akan membantu melihat bagaimana fiksi dan imajinasi mempengaruhi arsitektur interior yang merupakan sebuah contoh dari kondisi hiperrealitas. Simulasi dalam pikiran manusia dapat membentuk sebuah simulakrum ketika simulasi tersebut direalisasikan ke dalam kehidupan manusia tersebut. Kondisi sedemikian membentuk suatu kondisi hiperrealitas, dimana manusia dapat mengalami ruang baru yang sebelumnya hanya ada dalam fantasinya ke dalam realitas. Proses simulasi yang terjadi dalam pikiran manusia membutuhkan imajinasi dari manusia itu sendiri.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
Dalam skripsi ini, imajinasi dikaitkan dengan sebuah narasi fiksi yang juga merupakan hasil dari simulasi pikiran manusia, namun tidak sampai terwujud sebagai sebuah simulakrum. Fiksi dalam Poetic of Architecture karya Antoniades dapat menjadi direct inspiration bagi arsitek atau desainer. Yang dimaksud sebagai direct inspiration disini adalah fiksi langsung dijadikan sebagai salah satu inspirasi desain. Dalam prosesnya direct inspiration ini dibagi menjadi statis dan dinamis. Statis dimana desainer akan langsung memvisualisasikan elemen dalam cerita narasi sesuai dengan narasinya. Contoh perwujudannya adalah setting dalam theater atau drama. Dinamis dimana desainer akan memaknai terlebih dahulu narasi dari fiksi, kemudian mengambil ambiens, aura, ataupun esensi dari narasi tersebut. Direct inspiration ini sangat terkait dengan bagaimana pemahaman seorang desainer terhadap cerita fiksi. Pemahaman terhadap cerita fiksi sendiri sangat terkait dengan bagaimana imajinasi pembaca terhadap cerita fiksi tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa direct inspiration ini bersumber dari imajinasi pembaca terhadap cerita fiksi terkait. Imajinasi pembaca dalam hal ini dipengaruhi oleh tiga unsur utama, yakni pengalaman, visi, dan mimpi dari pembaca. Ketiga unsur ini sangat terkait dengan latar belakang pembaca (budaya, pengetahuan serta hal-hal lain yang akrab dengannya dalam kehidupan sehari-hari). Untuk melihat bagaimana perwujudan imajinasi dalam ruang interior pada kedua studi kasus, perlu dilihat kesesuaianya terhadap beberapa parameter arsitektur interior. Parameter tersebut meliputi secara arsitektural, organisasi ruang, bentuk, skala & proporsi, serta elemenelemen interior lain yang berfungsi untuk memaksimalkan kualitas ruang seperti, furnitur & ornamen, color scheme, serta material yang digunakan. Secara arsitektural maksudnya adalah lebih memperhatikan bentuk eksteriornya serta konteksnya terhadap lingkungan sekitar. 3. Metode Penelitian Metode pembahasan akan dimulai dengan menjabarkan definisi fiksi, pengkajian imajinasi serta bagaimana imajinasi dapat bekerja dalam proses perancangan arsitektur. Rangkuman dan pemahaman dari kajian tersebut kemudian akan dijadikan sebagai dasar pembahasan bagaimana imajinasi terhadap narasi fiksi bekerja dalam pembentukan ruang interior melalui studi kasus yang telah ditentukan. Studi kasus tersebut meliputi Bag End sebagai sebuah setting film dan rumah ‘hobbit’ karya Peter Archer dimaksudkan untuk membuktikan bahwa komunikasi ruang interior mempunyai cara yang berbeda-beda dalam membentuk kondisi hiperrealitasnya tergantung pada imajinasi pembaca. Sumber data akan
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
diambil melalui internet dan berbagai sumber tertulis lain mengenai latar belakang Tolkien dan studi tentang buku yang pernah ditulisnya, studi imajinasi manusia, serta dua buah studi kasus. 4. J.R.R Tolkien, Hobbit, dan Bag End Jurnal ini akan banyak membahas tentang narasi cerita dari karya-karya J.R.R Tolkien. Oleh sebab itu penulis ingin memberikan gambaran umum mengenai J.R.R Tolkien dan sebuah karakter ciptaannya yakni hobbit, yang menjadi salah satu subjek utama dalam bukubuku karyanya. Kemudian akan dibahas juga Bag End untuk mendapatkan gambaran umum bagaimana rumah hobbit yang dideskripsikan dalam cerita Tolkien. John Ronald Reuel Tolkien ini lahir di Bloemfontein, Afrika Selatan, 3 Januari 1892. Masa kecilnya tidak bahagia karena ayahnya meninggal pada saat ia berusia 4 tahun. Tolkien dibesarkan secara Katolik meskipun keluarganya sendiri tidak memilki latar belakang Katolik. Ibunya, Mabel, yang baru menjanda waktu itu, berusaha keras memenuhi kebutuhan kedua putranya, Ronald dan Hilary, dengan memutuskan untuk menjadi seorang Katolik. Keputusan ini menjadi salah satu pilar utama dalam kehidupan Ronald Tolkien selanjutnya. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Tolkien dan adiknya, Mabel bekerja sangat keras hingga akhirnya meninggal di usia tiga puluh empat tahun. Pada waktu itu Tolkien sendiri masih berusia dua belas tahun. Sembilan tahun kemudian Tolkien menulis: My own dear mother was a martyr indeed, and it is not to everybody that God grants so easy a way to his great gifts as he did to Hilary and myself, giving us a mother who killed herself with labour and trouble to ensure us keeping the faith. - dikutip dalam Carpenter, h.31.
Peristiwa masuknya ajaran Katolik ke dalam kehidupan Tolkien hingga meninggalnya sang Ibu tercinta, telah menjadikan Tolkien seorang yang begitu berpegang teguh kepada agama kepercayaannya tersebut. Peristiwa ini secara tidak langsung juga menumbuhkan minat Tolkien di bidang ilmu bahasa. Tolkien bersama saudaranya dikirim untuk tinggal bersama salah satu kerabat di Birmingham dengan bimbingan dari seorang pendeta Katolik. Ia melanjutkan pendidikan di Exeter College dan mendapatkan gelar kelas pertama dengan spesialisasi dalam Anglo-Saxon dan bahasa Jerman serta literatur klasik. Pada masa Perang Dunia I kegemarannya dalam menulis masih terus berkanjut. Pada tahun 1920, Tolkien melanjutkan pendidikannya di bidang linguistik di University of Leeds, dan beberapa tahun kemudian ia pun menjabat sebagai seorang profesor di Oxford University. Dalam perjalanannya karirnya di Oxford, ia memulai sebuah perkumpulan menulis yang disebut dengan The Inklings, termasuk sebagai anggota di dalamnya penulis cerita fantasi The
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
Chronicles of Narnia, C.S. Lewis. Di Oxford jugalah, saat sedang mengoreksi tugas, Tolkien secara spontan menulis sebaris kalimat singkat “In a hole in the ground there live a hobbit.”. Dari situlah berawal serangkaian cerita petualangan seorang hobbit (bersama karakter fantasi lain) dalam dunia fantasi yang dikenal dengan sebutan Middle Earth. Cerita pertama sekaligus yang terakhir ditulis oleh Tolkien adalah Silmarillion. Silmarillion adalah sebuah cerita dongeng yang berbasis pada mitologi (mitos). Silmarillion sengaja diciptakan oleh Tolkien, karena ia berpikiran bahwa Inggris pada waktu itu belum memiliki cerita mitologi yang mencerminkan Inggris itu sendiri (Hendrickson, 2011, h.4). Silmarillion juga berlatar belakang Middle Earth, hanya saja periode masa di dalamnya jauh lebih kuno dibandingkan dengan periode masa pada The Hobbit ataupun The Lord of The Rings. The Hobbit yang akhirnya terbit pada tahun 1937 menjadi karya klasik dan sudah dibaca jutaan orang hingga saat ini. Kisah fantasi tentang petualangan seorang hobbit bernama Bilbo Baggins ini masuk ke dalam kategori buku bacaan anak, meskipun Tolkien menyatakan kisah tersebut pada awalnya tidak ditulis untuk anak-anak. Untuk mendukung narasi dari The Hobbit, Tolkien bahkan membuat lebih dari 100 gambar mengenai berbagai lokasi maupun hal-hal lain yang terdapat dalam cerita. Hobbit merupakan karakter fiksional karya Tolkien yang terdapat di beberapa buku yang ditulisnya. Dalam prolog The Fellowship of The Ring (1981a), hobbit digambarkan sebagai ras minoritas kuno yang menghuni bawah tanah. Sebenarnya hobbit memiliki kebutuhan yang hampir sama dengan manusia. Kebutuhan tersebut secara umum dapat digolongkan menjadi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Yang termasuk dalam kebutuhan primer hobbit adalah makanan, tempat tinggal, pakaian, dan pekerjaan. Kebutuhan sekunder mereka adalah pendidikan. Sedangkan kebutuhan tersier mereka adalah makan hingga enam kali sehari, minum bir, berpesta, dan memberi hadiah pada hobbit lainnya. Bag End adalah rumah dari Bilbo Baggins, salah satu karakter hobbit dalam novel The Hobbit dan trilogi The Lord of The Rings. Bag End telah banyak menjadi latar belakang dari narasi Tolkien, sehingga pembahasan terhadap Bag End ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang rumah hobbit yang akan dibahas dalam studi kasus. Bag End terletak di sebuah daerah perbukitan bernama Hobbiton, The Shire. Tolkien menceritakan Bag End sebagai sebuah liang bawah tanah yang berada di bawah bukit di Hobbiton, seperti yang dikutip berikut: a) This hobbit was a very well-to-do hobbit, and his name was Baggins. The Bagginses had lived in the neighbourhood of The Hill for time out of mind ...
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
b) In a hole in the ground there lived a hobbit. It had a perfectly round door like a porthole, painted green, with a shiny yellow brass knob in the exact middle. ... The tunnel wound on and on, going fairly but not quite straight into the side of the hill ... and many little round doors opened out of it, first on one side and then on another. Dalam kutipan (b) kita dapat mengetahui bahwa pintu depan dari Bag End berbentuk bulat, berwarna hujau dan memiliki pegangan pintu logam berwarna kuning. Dalam kutipan tersebut dideskripsikan juga bahwa Bag End memiliki banyak pintu kecil lain yang terdapat di beberapa tempat di bukit tempatnya berada. Deskripsi ini memberikan gambaran bagi pembaca terhadap bagaimana bentuk fisik rumah (eksterior rumah). Bagian interior Bag End kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Tolkien melalui beberapa deskripsi kutipan dari novel The Hobbit berikut ini: c) Not a nasty, dirty, wet hole, filled with the ends of worms and an oozy smell, nor yet a dry, bare, sandy hole with nothing in it to sit down or to eat: it was a hobbit hole, and that means comfort. Kutipan (c) menjelaskan bahwa hobbit sama seperti manusia, juga membutuhkan ruang hidup yang layak untuk ditinggali. Lebih lanjut deskripsi kutipan ini secara langsung juga menunjukkan kenyamanan yang ada di dalam liang hobbit ini, yakni tidak bau dan kotor, memiliki kelembapan udara yang cukup, serta terdapat funitur dan juga makanan di dalamnya untuk menunjang kebutuhan hobbit tersebut. d) The door opened on to a tube-shaped hall like a tunnel: a very comfortable tunnel without smoke, with panelled walls, and floors tiled and carpeted, provided with polished chairs, and lots and lots of pegs for hats and coats . Kutipan (d) menjelaskan lebih lanjut tentang bentuk ruangan interior, serta beberapa jenis furnitur dan fungsinya dalam ruangan. Dalam kutipan ini dapat terlihat juga kelas sosial sang hobbit yang berasal dari keluarga terpandang, dengan adanya dinding berpanel, lantai ubin dan karpet. e) No going upstairs for the hobbit: bedrooms, bathrooms, cellars, pantries (lots of these), wardrobes (he had whole rooms devoted to clothes), kitchens, dining – rooms, all were on the same floor, and indeed on the same passage. Dalam kutipan (e) disebutkan ruang apa saja yang ada di dalam Bag End. Ruang- ruang ini secara langsung juga menginformasikan kepada pembaca tentang karakter hobbit yang sangat suka makan, sebab hampir dari separuh ruangan yang ada adalah ruang penyimpanan makanan dan minuman. Selain itu dideskripsikan juga bahwa semua ruangan terletak di satu lantai dengan lorong- lorong sebagai akses yang menghubungkan satu ruangan dengan yang lain.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
f) The best rooms were all on the left – hand side (going in), for these were the only ones to have windows, deep – set round windows looking over his garden, and meadows beyond, sloping down to the river. Kutipan (f) menjelaskan bagaimana orientasi Bag End terhadap wilayah sekitarnya. Dari kutipan ini dapat diketahui juga bahwa meskipun Bag End berada di bawah permukaan tanah, Bag End masih memiliki beberapa ruangan yang berpencahayaan alami. Penetapan ruangruang tersebut sebagai ruang-ruang terbaik, secara implisit, juga memberitahukan bahwa ruangan interior yang baik harus bisa berbaur dengan lingkungan sekitarnya (outdoor). g) ... a couple of small tables into the parlour and set out everything afresh. Gandalf sat at the head of the party with thirteen, dwarves all round: and Bilbo sat on a stool at the fireside... h) ... while the hobbit was turning round and round in the middle of the kitchen trying to see what they were doing. Kutipan (g) dan (h) menjelaskan secara kasar perkiraan besar ruangan dari ruang tamu dan dapur dari Bag End, dengan deskripsi jumlah pengguna ruangan dan beberapa furnitur yang ada di dalamnya. i) The hobbit had to find room for them all, and filled all his spare-rooms and made beds on chairs and sofas, before he got them all stowed and went to his own little bed... j) As he lay in bed he could hear Thorin still humming to himself in the best bedroom next to him... Kutipan (m) ingin menjelaskan bahwa hobbit tersebut memiliki ruang kosong yang cukup untuk menampung tiga belas dwarf dan satu manusia. Kutipan (n) sendiri menjelaskan jarak ruang utama hobbit dengan ruang tidur untuk tamu. Suara yang dapat didengar oleh hobbit dari kamarnya menjelaskan bahwa ruang tidur tamu tersebut tidak jauh letaknya dari ruang tidur utama. Kutipan-kutipan tersebutlah yang menjadi sumber imajinasi bagi pembentukan ruang interior rumah hobbit melalui dua studi kasus yang akan dibahas dalam jurnal ini. 5. Studi Kasus: Menilik ke Dalam Liang Hobbit Pembahasan akan meliputi deskripsi umum terhadap studi kasus, pemilik imajinasi, serta peran imajinasi terhadap interior style, organisasi ruang, skala dan proporsi, dan lain-lain. Semua pembahasan tersebut kemudian akan diringkas untuk menghasilkan pemahaman terhadap kedua studi kasus. 5.1 Bag End sebagai setting Film
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
Bag End adalah salah satu dari beberapa setting yang dibangun untuk mendukung pembuatan dua dari tiga film trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit: An Unexpected Journey. Setting interior Bag End dibuat terpisah dari setting eksteriornya. Setting interior Bag End juga hanya dibuat untuk sebagian ruangan yang digunakan sebagai latar belakang film berdasarkan sketsa konseptual dari dua conceptual art director, John Howe dan Alan Lee. Art director memegang salah satu peranan penting dalam proses pembuatan film. Art director secara tidak langsung dapat disebut sebagai film architect (Bergfelder, Harris, & Sreet, 2007). Peran dari seorang art director dalam sebuah film adalah untuk memberikan gambaran ide tentang bagaimana film tersebut harus berjalan. Proses pembuatan ilustrasi scene dalam film dapat terjadi dalam dua cara. Pertama sutradara sendiri yang akan meminta art director untuk menggambarkan apa yang diinginkannya dengan menguraikan secara jelas apa yang dikehendakinya. Pada proses pertama imajinasi art director dipengaruhi oleh dua hal, yakni narasi yang telah diketahuinya sejak awal dan juga opini dari orang lain. Pada proses ini imajinasi ilustrator menjadi lebih terikat. Proses kedua adalah dimana art director tidak diberikan gambaran sama sekali tentang sebuah scene. Mereka dibebaskan untuk berimajinasi dalam mengilustrasikan scene tersebut dan memasukkan sebanyak mungkin pilihan untuk disintesis membentuk sebuah ide. Pada proses kedua imajinasi art director secara murni hanya dipengaruhi oleh narasi dari buku yang dibacanya. Dalam studi kasus ini proses ini juga berlaku kepada Alan Lee dan John Howe selaku conceptual art director serta Peter Jackson selaku sutradara dari film tersebut. Alan Lee lahir dan dibesarkan di Inggris, dimana ia belajar seni grafis dan desain. Ia sangat tertarik dengan cerita mitos dan kisah rakyat, sejak ia masih muda. Ia memiliki ketertarikkan yang kuat di bidang ilustrasi buku, Alan bekerja sebagai ilustrator di London hingga pentengahan tahun 1970an, ketika ia pindah ke Dartmoor dengan teman sesama senimannya, Marja Lee Kruyt (yang kemudian menjadi istrinya) dan Brian Froud. Ia memiliki ketertarikan terhadap mitos dan cerita rakyat, karya literatur, puisi, music (terutama jazz, blues, dan lagu-lagu June Tabor), arkeologi, sejarah, perjalanan internasional, hingga sekedar berjalan-jalan di hutan di Devon (Vadeboncoeur, 2003). John Howe lahir di Vancouver, dan tumbuh di British Columbia. Sejak usia dini ia telah akrab dengan dunia seni. John Howe melanjutkan pendidikan di Perancis di de Strasbourg, dan kemudian meneruskan lanjut di Ecoles des Arts Décoratifs dalam bidang seni. John Howe sangat terampil mengilustrasikan hal-hal yang detail. Oleh karenanya, kebanyakan ilustrasi
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
untuk detail dalam film The Lord of The Rings dikerjakan olehnya. Alan Lee adalah seorang yang sangat mengenal Inggris (berbagai kebudayaan, kebiasaan dan kehidupan sosial) luar dalam, sebab ia sendiri lahir dan tumbuh di Inggris. John Howe di lain pihak memiliki pandangan tentang Inggris yang agak tercampur dengan kota tempatnya tinggal, Swiss. 5.2 Hobbit House milik Vince Donovan Hobbit House milik Vince Donovan merupakan rumah peristirahatan sekaligus rumah penyimpanan koleksi dan artefak yang berhubungan dengan J.R.R. Tolkien. Rumah seluas, kurang lebih 183 m2, ini terletak di West Chester, Pennsylvania. Didesain dan dibangun oleh Peter Archer dari Archer & Buchanan Architecture Ltd. berdasarkan keinginan dan ide dari Vince. Vince Donovan, mulai membaca buku karangan J.R.R Tolkien sekaligus menjadi kolektor dari benda-benda yang terkait dengan dunia imajinasi Tolkien mulai tahun 1964. Dalam wawancaranya bersama CNN, Vince menyatakan bahwa mereka akan membangun lubang di tanah dimana seorang hobbit dapat tinggal di dalamnya dan sekaligus juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan koleksi. Dalam studi kasus ini pemilik imajinasi adalah Peter Archer dan timnya. Sebab merekalah yang menuangkan imajinasi ke dalam bentuk desain. Vince Donovan juga memegang peranan penting dalam proses pembentukan imajinasi Peter Archer dan timnya. Sebagai klien, ia dapat memiliki kontrol terhadap imajinasi tersebut Archer dan timnya. Sebut saja dalam kasus ini Vince Donovan memiliki imajinasi kontrol, sedangkan Peter Archer dan timnya memiliki imajinasi utama. Peter Archer dan timnya adalah sekelompok arsitek dari sebuah biro arsitektur di Pennsylvania, Archer & Buchanan Architecture. Oleh karena itu kita perlu mengetahui sedikit latar belakang Archer & Buchanan Architecture untuk memahami bagaimana imajinasi mereka bekerja. Archer & Buchanan Architecture, Ltd. adalah sebuah biro desain di Pennsylvania yang memiliki karakter proses desain yang kolaboratif. Mereka berusaha bekerja untuk memuaskan kliennya dengan melibatkan klien dalam proses mendesain. Biro ini juga memiliki perhatian khusus pada detail dan kualitas struktur pada setiap proyek mereka. Sejak didirikan pada tahun 1996, Archer & Buchanan telah menangani secara khusus proyek-proyek residensial termasuk membangun rumah baru dari awal, penambahan dan renovasi, serta restorasi bangunan bersejarah. Biro ini sangat mengerti dan mengapresiasi tradisi asli dari daerah sekitar dan sejarah dari Pennsylvania. Mereka berusaha menjaga keaslian lokal dengan mendesain bangunan yang terus memperkaya keindahan kota dan area
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
historisnya. Tedapat beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi dari penjelasan singkat latar belakang Archer & Buchanan Architecture, Ltd. Yang pertama adalah mereka mengutamakan kolaboratif desain, sehingga dalam proses pembuatan Hobbit House ini imajinasi dari Vince Donovan juga ikut berkolaborasi. Yang kedua adalah mereka terbiasa menangani proyek rumah tinggal, sehingga kebanyakan desain mereka pastilah kualitas ‘nyaman’ yang ada dalam imajinasi mereka pastilah ‘nyaman’ yang seperti rumah. Ketiga, mereka sangat menjaga keaslian lokal pada setiap bangunan yang dibuatnya. Oleh sebab itu kebanyakan material yang digunakan dalam studi kasus ini berasal dari material sekitar. Keempat, biro ini sangat memperhatikan detail, jadi pastilah terdapat unsur ornamental lokal dalam imajinasi mereka saat mendesain. Tabel berikut adalah adalah tabel studi kasus yang meringkas keseluruhan peranan imajinasi dalam proses desain yang dilihat dari perwujudan desain ke dalam realitas yang sudah terbangun. STUDI KASUS Kesesuaian dengan narasi novel
Konteks dengan lingkungan sekitar
Ruang yang ada dalam denah
Ruang yang terbangun Tipologi ruang dalam pembentukan organisasi ruang Bentuk ruang
BAG END Sesuai dengan narasi secara statis (eksplisit) dan dan dinamis (implisit). Kesesuaian dengan narasi secara statis lebih dominan. Menyatu ke dalam bukit sesuai dengan narasi novel. Entrance hall, parlour, kitchen, dining room, study, bedroom, oak hall, east hall, atrium, west hall, pantry, spare room, smoking room, wine cellar, cold cellar, storage, back room, dan guest room. Entrance hall, parlour, kitchen, dining room, study, bedroom, oak hall, east hall, atrium, west hall, dan pantry
HOBBIT HOUSE
Penetrasi dan adisi
Adisi
Didominasi dengan
Ruang segi empat dengan atap prisma
Sesuai dengan narasi secara (eksplisit) dan dan dinamis (implisit). Kesesuaian dengan narasi secara dinamis lebih dominan. Menyatu dengan lingkungan tapak yang dipilih, mengambil esensi bahwa hobbit tinggal dekat dengan alam
Reception, library, gallery.
Reception, library, gallery.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
ruang segi empat dan persegi dengan langitlangit yang memiliki bentuk lengkungan
dan langit-langit yang memiliki struktur ekspos kombinasi bentuk linear dan lenngkung
Skala dan proporsi ruang
Proporsi hobbit
Proporsi manusia pada ruangan, proporsi hobbit pada pintu depan
Furnitur dan ornamen
Bergaya Duncan Phyfe dan colonial pada furnitur dan sedikit art nouveau pada ornamennya.
Bergaya early American pada detail dan ornamen dan bergaya Pennsylvania dutch pada furnitur. Penggunaan warna coklat dan coklat kemerahan yang terang dengan beberapa aksen warna hijau dan kuning pada furnitur. Material yang digunakan stucco warna putih, kayu douglas fir, cedar, dan pinus, serta batu alam pada lantai galeri.
Color Scheme & Material
Pengunaan warna monokrom coklat (pada kayu dan furnitur) dengan perpaduan warna terang seperti putih dan krem. Material yang digunakan mayoritas dari kayu dan batu dengan finishing natural.
Tabel 4.1 Tabel Ringkasan Dua Studi Kasus Sumber: Ilustrasi Pribadi
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
Tabel 4.2 Tabel Ringkasan Analisis Studi Kasus Sumber: Ilustrasi Pribadi
Dalam tabel ringkasan analisis studi kasus dapat terlihat bahwa pada studi kasus satu, imajinasi yang dihasilkan bersumber dari narasi Tolkien dan pengalaman dari pemilik imajinasi utama (Alan dan John), sedangkan pada studi kasus dua imajinasi bersumber dari narasi yang telah dipahami oleh pengalaman, visi, dan mimpi pemiliki imajinasi (Peter Archer). Narasi Tolkien memiliki porsi yang lebih besar terhadap sumber imajinasi pada studi kasus satu, sebab tujuan dari pembuatan studi kasus satu adalah sebagai setting dari film. Sehingga realisasi dari imajinasinya haruslah semirip mungkin dengan apa yang dinarasikan dalam novel. Dari studi kasus satu ini dapat dipahami juga bahwa pengalaman, visi, dan mimpi dari pemilik imajinasi lebih banyak bekerja pada ruang interiornya, sebab tidak semua ruang interior dalam rumah hobbit diceritakan secara detail dalam novelnya. Pada studi kasus dua, meskipun narasi terlebih dahulu dipahami oleh pemilik imajinasi, namun penafsiran dari narasi tersebut kemudian juga hamper sama dengan apa yang dinarasikan. Baik pada studi kasus satu ataupun studi kasus dua, imajinasi bersifat sosial sebab pemilik dari imajinasi lebih dari satu orang. Pada studi kasus satu imajinasi memiliki efek yang mendetail pada ruangan dan bahkan meluas akibat narasi implisit dari Tolkien tentang keseharian dan kebiasaan dari hobbit. Narasi ini menstimulasi pembaca untuk berimajinasi tentang ruang-ruang lain yang semestinya terdapat ataupun tidak terdapat dalam rumah hobbit. Pada studi kasus dua imajinasi mensintesis narasi Tolkien dalam proses pembuatan rumah hobbit sesuai dengan kebutuhan dari pemiliknya. Hasil dari sintesis dalam studi kasus dua ini adalah pereduksian ruang yang terdapat dalam narasi.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
Proses pembentukan imajinasi ini menyebabkan saya berpikir bahwa seharusnya terdapat istilah lain dalam realisasi direct inspiration. Dalam skripsi ini saya sebut dengan istilah semistatis dan semi-dinamis. Keduanya merupakan hasil sintesis yang menjelaskan bahwa tidak semua sumber inspirasi dari imajinasi berasal dari narasi atau pengalaman saja, namun merupakan gabungan dari keduanya. Direct inspiration semi-statis adalah ketika narasi mengambil porsi yang jauh lebih besar dalam sumber inspirasi imajinasi dibandingkan dengan pengalaman pembaca. Sedangkan direct inspiration semi-dinamis adalah ketika pemahaman terhadap narasi berdasarkan pengalaman pembaca memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan narasi itu sendiri. 6. Kesimpulan Imajinasi terbentuk dari fantasi manusia yang dibatasi oleh pengalaman dan visi yang dimilikinya. Bersama dengan fantasi, imajinasi membuat sebuah realitas baru yang lebih tinggi. Imajinasi berkaitan erat dengan pikiran manusia dan kepura-puraan, oleh karena itu keberadaannya sangat diperlukan dalam karya fiksi, karya fiksi sendiri mengajak pembacanya untuk berpura-pura. Karya fiksi dan imajinasi memiliki satu kesamaan lagi yaitu mengandaikan suatu hal yang belum pernah ada sebelumnya. Imajinasi diperlukan dalam proses desain sebagai katalis untuk memunculkan ide desain. Oleh sebab itu keberadaannya juga turut menunjang proses desain. Terlebih lagi imajinasi memiliki sifat orisinalitas yang sangat dihargai dalam proses desain. Penggunaan imajinasi dalam proses desain juga berguna untuk merealisasikan (dalam pikiran) apa yang akan dibuat sebelum benar-benar dibuat. Saat dibuat, pewujudan tersebut dikenal dengan sebutan simulakrum, yakni objek yang berasal dari simulasi pemikiran manusia yang sifatnya belum pernah ada sebelumnya. Dalam skripsi ini imajinasi dalam proses desain berperan sebagai katalis dari direct inspiration yang bersumber pada narasi fiksi J.R.R. Tolkien. Narasi dan imajinasi pembaca dapat memberikan pengaruh secara statis ataupun dinamis pada ruang interior yang terbentuk. Secara statis narasi Tolkien berperan ketika narasi dari buku diwujudkan secara langsung tanpa melibatkan pengalaman pribadi pembaca. Secara dinamis narasi Tolkien sendiri memberikan parameter tersendiri bagi pembacanya bagaimana sebaiknya ruang tinggal hobbit melalui narasi yang lebih mendeskripsikan lingkungan sekitar, kebudayaan, status sosial serta kebiasaan dari hobbit itu sendiri. Dari studi kasus 1 dan 2 terbukti bahwa sebenarnya sifat statis dan dinamis ini tidaklah mutlak berasal dari narasi dan pemahaman terhadap karya fiksi saja. Artinya sifat statis, yang langsung mewujudkan apa yang ada dalam fiksi dalam realitas,
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Valentina Lianawati dan Embun Kenyowati Ekosiwi
dan dinamis, yang memaknai karya fiksi terlebih dahulu sebelum dijadikan realitas, dapat dikombinasikan menjadi: semi-statis atau semi-dinamis. Kondisi ini menunjukkan bahwa perwujudan cerita fiksi ke dalam sebuah realitas juga memerlukan imajinasi yang bersumber dari pengalaman, visi, dan mimpi pembaca. Imajinasi setiap orang berbeda-beda tergantung dari sumber imajinasi orang tersebut. Oleh karena itu penggambaran yang ideal bagi narasi fiksi pun bervariatif setiap orangnya. Sejauh mana imajinasi pembaca mampu menjadi penggambaran ideal bagi ruang interior dalam sebuah narasi fiksi mungkin dapat diukur dengan menentukan parameter terhadap narasi fiksi terkait. Berdasarkan studi kasus terhadap rumah hobbit, penggambaran yang ideal didapat dengan memadukan penggambaran narasi secara statis dan dinamis dengan melibatkan imajinasi pembaca didalamnya. Secara statis, realisasi dari imajinasi terhadap karya fiksi haruslah sesuai dengan narasi fiksi yang berkaitan. Secara dinamis, karya fiksi akan dimaknai terlebih dahulu kemudian dari pemahaman tersebut diperolehlah sebuah gambaran untuk direalisasikan. Imajinasi pembaca lebih banyak bekerja dalam perwujudan direct inspiration secara dinamis ini. 7. Saran Sejauh ini, skripsi membahas peranan imajinasi pada proses desain melalui sketsa-sketsa dan elemen-elemen yang telah terbentuk secara nyata pada beberapa ruangan saja. Hal ini disebabkan karena keterbatasan wawancara dengan pemilik imajinasi utama yang hanya berasal dari artikel buku ataupun majalah. Untuk pengembangan selanjutnya diharapkan semua ruang dan elemen pembentuknya dapat dibahas dengan berdasarkan wawancara dengan narasumber yang bersangkutan secara langsung agar data yang diperoleh lebih lengkap dan akurat. Pengembangan lebih lanjut juga dapat dilakukan dengan memperbanyak studi kasus ataupun menggunakan imajinasi penulis sendiri untuk memperoleh hasil perbandingan yang lebih akurat. 8. Referensi Sumber buku, jurnal, skripsi, dan majalah Antoniades, Anthony C. (1992). Poetic of Architecture: Theory of Design. Canada: John Wiley & Sons. Bachelard, Gaston. (1964). The Poetics of Space. Massachusetts: Beacon Press. Bergfelder, Tim, Hariss, Sue, & Street, Sarah. (2007). Film Architecture and the Transnational Imagination. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013
Imajinasi Pembaca terhadap Pembentukan Ruang Interior Rumah Hobbit dalam Narasi Fiksi J.R.R. Tolkien
Buchs, Peter dan Thomas Honegger (Eds.). (2004). News from the Shire and Beyond - Studies on Tolkien. United Kingdom: Walking Tree Publishers. Hendrickson, Aldean B. (2011). True Myth: Tolkien’s Catholic Imagination. Ontario: Saint Paul University. Kieran, Matthew (Ed.). (2003). Imagination, Philosophy, and The Arts. London: Routledge. New, Christopher. (1999). Philosophy of Literature: An Introduction. New York: Routledge. Tolkien, J.R.R. (1981a). The Fellowship of the Ring. London: Allen and Unwin. Tolkien, J.R.R. (198Ib). The Hobbit. London: Allen and Unwin. Tuan, Yi-‐Fu. (2001). Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota Press. Sumber situs internet http://alan-lee.narod.ru/Bio.htm http://www.john-howe.com/biography/bio.htm http://aiaphiladelphia.org/member/archer-buchanan-architecture-ltd http://www.archerbuchanan.com/portfolio.asp?isection=3&iPortfolio=27
Imajinasi pembaca…, Valentina Lianawati, FT UI, 2013