Kolaborasi antara Respons Pembaca dan Pilar Karakter Bangsa dalam Menggali Makna Tersirat Wacana Narasi untuk Pembentukan Karakter Siswa Rita Inderawati Universitas Sriiwijaya Materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang disajikan dalam buku teks di bawah naungan kurikulum apa pun pada semua tingkat pendidikan telah menunjukkan karakteristik ke arah pembentukan karakter. Meskipun tidak tertuang secara eksplisit, materi ajar dalam buku teks tersebut dapat menggiring peserta didik dalam mengembangkan karakter. Materi ajar telah dipaparkan dalam tema atau topik yang sesuai dengan kurikulum. Berdasarkan tema atau topik dikembangkan berbagai kegiatan pembelajaran yang dapat membentuk karakter peserta didik. Sebagai contoh, “Bersahabat dengan Kesetiaan,” topik dalam pelajaran 6 buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk SMP membahas kegiatan berikut: (1) menuliskan dan menyimpulkan isi wawancara, (2) kegiatan kreatif mengubah wawancara menjadi narasi, (3) memaknai cerpen, (4) mengenali tokoh, watak, dan cara penokohan, (5) mendiskusikan pelaku dan perwatakan, dan (6) berlatih membacakan cerpen sesuai isi,suasana, suara, dan kekhasan watak tokoh (Suparno, dkk., 2008). Ironisnya, antara topik dengan kegiatan-kegiatan yang dikemas di dalamnya tidak saling mendukung. Meskipun demikian, kegiatan-kegiatan pembelajaran tersebut sebenarnya telah menyiratkan upaya pembentukan karakter peserta didik. Pembentukan karakter peserta didik diharapkan mampu diwujudkan melalui pembelajaran bahasa. Berdasarkan pengamatan penulis, materi ajar dalam buku-buku teks pembelajaran bahasa dan sastra dapat mewujudkan harapan membentuk karakter generasi penerus bangsa karena kegiatankegiatannya mengindikasikan ke arah terbentuknya karakter. Namun, harapan tersebut baru sebatas tataran wacana mengingat kegiatan-kegiatan yang dirancang hanya mengadopsi perspektif efferent. Perspektif selintas tersebut hanya menajamkan aspek kognisi peserta didik. Rosenblatt (1987) menyarankan penerapan perspektif estetik yang mampu menajamkan aspek afeksi peserta didik. Dengan demikian, untuk mengarahkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pendidik seyogyanya dapat menerapkan perspektif estetik untuk membekali peserta didik yang tidak hanya tajam pikiran, tetapi juga perasaan. Untuk mencapai pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang berperspektif estetik, penulis telah melakukan penelitian dan pengembangan terhadap teori strategi respons pembaca dalam satu dasawarsa ini. Strategi respons pembaca telah penulis teliti dan kembangkan dengan mengolaborasinya dengan teori lainnya, seperti respons simbol visual, psikosastra, dan pembentukan karakter melalui penulisan tesis (2001), disertasi (2005), dan penelitian-penelitian dikti dimulai dari Hibah Kompetitif PHK A2 JPBS FKIP Unsri (2007), Hibah Bersaing Dikti selama dua tahun (2007-2008), Hibah Potensi Pendidikan Dikti (2009), dan Hibah Kompetensi Dikti(2010-2012) selama tiga tahun. Berdasarkan hasil kolaborasi antara teori strategi respons pembaca dan pembentukan karakter bangsa yang ditata dalam instrumen apresiasi sastra yang valid, diharapkan peserta didik tidak hanya mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dari karya sastra, tetapi juga menggali makna yang tersirat dalam cerpen yang dibaca karena esensi dari tujuh respons pembaca adalah mencerdaskan kognisi dan afeksi siswa. Sementara itu, sembilan pilar karakter bangsa dapat dieksplorasi dari dalam diri tokoh cerita. Hasil yang diharapkan ini tidak dapat ditemukan dalam kompetensi dasar silabus KTSP. Rosenblatt dalam Rudy (2005:81) merinci pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi, 2) sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap emosi, dan ukuran nilai sosial serta pribadi, 3) sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola hubungan, dan filsafat, 4) sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra, 5) pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif dan
memecahkannya dengan lebih baik, dan 6) sastra memberikan kenyataan kepada orang dewasa sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa takut, bersalah dan tidak pasti. Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, apresiasi dan interpretasi terhadap karya sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut. Makalah ini memaparkan kolaborasi respons pembaca dan pilar karakter bangsa dalam membentuk karakter peserta didik di sekolah menengah dengan menggali makna tersirat dalam wacana narasi. Kolaborasi Respons Pembaca dan Pilar Karakter Bangsa Manfaat pembelajaran sastra sudah sangat banyak dikemukakan para ahli sastra. Ironisnya, teoriteori yang membahas manfaat pembelajaran tersebut belum tersentuh sampai pada tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra mahasiswa. Pada tahun 2005, Rudy meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat dengan mengapresiasi karya sastra yang menggunakan respons pembaca dan simbol visual. Jejak penelitian yang mengangkat respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradigma baru apresiasi sastra yang mementingkan peran pembaca ketika bergaul dengan karya sastra diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya sebagai bukti bahwa kolaborasi kedua respons efektif meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra yang tidak hanya mencerdaskan kognisi tetapi juga afeksi peserta didik. Selain itu, hasil penelitian tersebut diaplikasikan dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan setidaknya oleh para peneliti lanjutan dan mahasiswa yang telah menjadi subjek penelitian. Dengan demikian, kolaborasi respons hasil penelitian menjadi obat mujarab yang ampuh (panasea) bagi pembentukan karakter peserta didik karena unsur-unsur pembangun karya sastra bukan hanya diidentifikasi tetapi dieksplorasi tanpa takut terbelenggu dalam kata-kata. Selanjutnya, strategi respons pembaca yang dikedepankan oleh Beach dan Marshall (1991) terdiri atas respons merinci isi cerita, menjelaskan tindakan tokoh cerita, memahami tindakan tokoh cerita, menafsirkan apa yang tengah terjadi, menyertakan perasaan dan pikiran terhadap apa yang dialami tokoh cerita, menilai jalan cerita dan pengarangnya, serta menghubungkan isi cerita dengan pengalaman siswa, kehidupan sosial, budaya, dan kepercayaannya. Sedangkan pilar karakter bangsa yang diusung Megawangi (2004) terdiri atas: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, hormat dan sopan santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Kedua teori ini telah dikolaborasikan menjadi instrumen apresiasi yang valid untuk pembentukan karakter. Peserta didik dapat mengaplikasikan instrumen tersebut dalam menggali makna tersirat dari paparan dan tindakan tokoh cerita dalam wacana narasi yang tersusun dalam 10 pertanyaan berikut. 1. Berdasarkan dialog pemeran, menurut Anda siapa yang menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini? Menurut Anda bagaimana tokoh protagonis tersebut dan apa yang dilakukannya sehingga ia disebut tokoh yang baik? Sukakah Anda padanya? Mengapa? 2. Adakah tokoh cerita yang anda benci? Siapa? Mengapa Anda membencinya? Sifat-sifat apa yang ada pada dirinya yang tidak Anda sukai?
3. Dimana cerita ini terjadi? Suka atau tidak sukakah Anda pada latar cerita? Mengapa? 4. Peristiwa apa yang Anda anggap penting dalam cerita itu? Mengapa penting? 5. Dapatkah Anda merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita? Apa yang dirasakannya? Apakah Anda akan melakukan hal yang sama dilakukan tokoh cerita protagonis? Mohon dijelaskan. Dapatkah Anda membayangkan apa yang telah terjadi? Mohon beri penjelasan. 6. Sifat manakah yang muncul dalam diri tokoh cerita yang protagonis? jujur, baik dan rendah hati, dan tanggung jawab, disiplin, dan mandiri. Mengapa tokoh cerita yang bersifat protagonis bertindak demikian? Menurut Anda bagaimana tindakan tokoh protagonis dalam cerita itu? Setuju atau tidakkah tindakan yang dilakukan tokoh antagonis dalam cerita? Mengapa? 7. Pilihlah satu kata penting menurut Anda dari cerita yang telah dibaca. Mengapa kata itu sangat bermakna bagi Anda? 8. Punyakah Anda pengalaman yang serupa dengan isi cerita? (Bila tidak, Anda boleh mencoba menghubungkan isi cerita dengan yang mungkin dialami oleh saudara, orang tua, kakek, nenek, bahkan teman atau tetangga anda? Pernahkah Anda menonton film yang hampir sama dengan cerita ini atau buku cerita lain yang pernah Anda baca? Coba Anda ceritakan itu dan hubungkan dengan cerita ini. Coba Anda hubungkan cerita ini dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama Anda. Bagaimana menghubungkannya? 9. Coba anda hubungkan atau ceritakan, bagaimana tokoh cerita yang anda anggap sebagai tokoh yang baik menunjukkan hal berikut: kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif , kerja keras, dan pantang menyerah, cinta Tuhan dan alam semesta, toleransi, cinta damai, dan persatuan (Bila tergambar pada diri tokoh protagonis dalam cerita, anda perlu beri alasan) 10. Menarikkah jalan ceritanya? Mohon dijelaskan. Bermanfaatkah cerita ini? Manfaat apakah yang Anda peroleh setelah membaca cerita ini? Apa pendapat Anda tentang pengarang cerita ini? Makna Tersirat Wacana Narasi dalam KTSP Memaknai cerita naratif tidak semudah memaknai cerita deskriptif. Dalam cerita naratif terdapat tiga jenis makna, yaitu: alegoris, realistis, dan simbolis. Dalam makna alegoris, kata “kebenaran” berkaitan dengan moral, politik, dan kepercayaan dibangun berdasarkan tokoh cerita, alur dan latar cerita. Oleh karena itu, apa yang terjadi dalam wacana alegoris tidak realistis dan tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari. Selanjutnya, makna muncul dalam peristiwa yang sebenarnya dalam wacana narasi realistis. Rampan (1999:7) menyontohkan Perjalanan dalam Kelam sebagai sebuah narasi realistis. Sementara itu, dalam narasi simbolistis, makna terletak di antara makna alegoris dan makna realistis, seperti yang dicontohkan oleh Rampan (1999:78) yaitu Antara Kristus dan Isytar. Wacana narasi biasanya digambarkan secara tersurat oleh pengarang, namun dalam beberapa kasus pengarang menyampaikan pesan secara implisit. Pesan yang sampaikan secara implisit tersebut dapat menyulitkan peserta didik dalam memahami isi wacana. Apabila pesan dalam cerita sulit mencapai logika mereka, maka peran karya sastra sebagai menyambung rasa tidak bermakna apa-apa. Oleh karena itu, instrumen apresiasi dibutuhkan dalam mengeksplorasi makna yang tersirat dalam wacana narasi. Dalam silabus KTSP untuk siswa sekolah menengah atas, kompetensi dasar dari kegiatan membaca wacana narasi adalah menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik, juga menemukan nilai budaya, agama, dan sosial. Sementara itu, indikator dari kompetensi itu adalah mengidentifikasi unsurunsur (tema, penokohan, dan amanat) cerita pendek yang telah dibaca dan mengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat) dengan kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasar lainnya adalah menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman, sedangkan indikatornya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik cerita rakyat yang didengarkan, (2) menentukan isi dan atau amanat yang terdapat di dalam cerita rakyat, (3) menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat, (4) membandingkan nilai-nilai dalam cerita rakyat dengan nilai-nilai masa kini dengan menggunakan kalimat yang efektif, dan (5) mengungkapkan kembali cerita rakyat dalam bentuk sinopsis. Kedua kompetensi dasar tersebut mengindikasikan bahwa wacana narasi apa pun jenisnya dapat digunakan untuk membentuk karakter peserta didik, namun bila diamati
secara mendalam, indikator yang berada dalam kompetensi tersebut termasuk dalam tataran perspektif efferent karena kata kunci dari perspektif itu adalah mengidentifikasi. Eksplorasi Makna Tersirat Wacana Narasi dalam Membentuk Karakter Wacana narasi memiliki muatan nilai yang sangat beragam. Nilai-nilai tercermin dalam tingkah laku, tindakan, kebiasaan, serta sikap pikiran tokoh cerita ketika ia menghadapi masalah dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Nilai-nilai tersebut biasanya digambarkan secara tersirat dalam cerita dan pembaca dalam hal ini peserta didik dapat menggali makna yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam cerita pendek Ebola, yang diterjemahkan oleh Soeprijadi Tomodiharjo, makna tersirat yang ingin disampaikannya tercermin dalam pertanyaan, “Apakah makna Ebola yang menjadi judul cerita?” Pertanyaan-pertanyaan lain seperti siapa, apakah, dan mengapa yang tersebar dalam tujuh pertanyaan setelah membaca cerpen tersebut mengindikasikan bahwa indikator dari kompetensi dasar membaca adalah mengidentifikasi apa yang tersurat dalam cerita. Pertanyaan dengan respons mengidentifikasi sulit membentuk karakter peserta didik. Sebagai perbandingan, eksplorasi makna tersirat dalam wacana narasi dengan mengaplikasi respons pembaca dan pilar karakter bangsa dapat menjadi sangat bermanfaat bagi pengembangan pikiran dan perasaan peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik dapat merinci isi cerita, memahami perilaku dan tindakan tokoh cerita, menjelaskan tingkah laku tokoh cerita, menafsirkan isi cerita, menghubungkan isi cerita dengan pengalaman, budaya, dan agama yang dianut peserta didik, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi peserta didik, serta menilai isi cerita dan pengarangnya. Sebagai contoh, setelah membaca cerpen Ebola, peserta didik dapat menghubungkan atau menceritakan tokoh cerita yang dianggap sebagai tokoh yang baik menunjukkan hal berikut: kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif , kerja keras, dan pantang menyerah, cinta Tuhan dan alam semesta, toleransi, cinta damai, dan persatuan (pertanyaan #9). Hasil penelitian Rudy (2010) menunjukkan bahwa pertanyaan #9 dapat dijawab dengan cukup baik oleh responden setelah membaca cerpen Sekar dan Gadisnya yang dikarang oleh L. Rieke seperti yang tertuang dalam tabel 1. Tabel 1: Ilustrasi Tokoh Cerita Protagonis No KARAKTER 1 Kasih sayang
ILUSTRASI 1. Rajin menanyakan keadaan anak 2. Sayang anak dan rajin menasehati 3. Tetap mengurus anaknya 2 Peduli Peduli terhadap sifat dan masa depan anaknya 3 Kerja sama Membentuk perilaku anak 4 Percaya diri Yakin yang dikerjakan akan berhasil 5 Kreatif, kerja keras, pantang 1. Sekar ingin mendekati anaknya menyerah 2. Bekerja keras demi anaknya 6 Cinta Tuhan dan alam 7 Toleransi, cinta damai, dan persatuan Sumber: Rudy (2010) Tabel 1 merinci hasil eksplorasi responden terhadap tokoh cerita dalam cerpen yang dibacanya. Mereka mencoba menemukan adanya karakter yang mungkin muncul dalam diri tokoh cerita dan mengilustrasikan temuannya. Peserta didik dapat pula menggali sifat yang muncul dalam diri tokoh cerita yang protagonis, seperti jujur, baik dan rendah hati, dan tanggung jawab, disiplin, dan mandiri (pertanyaan #6), memaknai manfaat cerita ini dan mengeksplorasi manfaat yang dapat diperoleh setelah membaca cerita, serta mengungkapkan pendapat tentang pengarang cerita (pertanyaan #10), dan memilih satu kata yang menurutnya penting dan memberikan alasan (pertanyaan #7). Menjawab pertanyaan #6, tindakan tokoh
cerita sangat diapresiasi oleh seluruh subjek penelitian sebagai bukti bahwa kasih sayang ibu tiada tandingannya, wujud kasih sayang dan tanggung jawab ibu kepada anaknya, tokoh Sekar ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, dan ia juga tidak ingin anaknya bernasib sama dengannya. Tindakan tokoh Sekar sebagai tokoh protagonis baik, luar biasa, menarik, tanggung jawab, tepat, sayang kepada anaknya meskipun secara diam-diam, disiplin, bijaksana, cukup tegas, perhatian, teladan, bekerja keras, tegar, rendah hati, pemaaf, dan mandiri. Sementara itu, pertanyaan #10 direspons sangat bermanfaat oleh semua responden karena cerita tersebut mengingatkan wanita dalam memilih pendamping hidup, mengajarkan pembaca untuk menghormati orang tua, mengandung nilai-nilai positif, menunjukkan pentingnya keharmonisan dalam keluarga, memberi hikmah yang besar, dan membantu membentuk kepribadian. Hasil penelitian Rudy terhadap mahasiswa dalam merespons cerita dengan menggunakan kolaborasi respons pembaca dan teori pembentukan karakter dapat diaplikasikan di tingkat sekolah menengah karena materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sering menampilkan teks narasi yang selama ini hanya diidentifikasi oleh siswa bukan dieksplorasi. Simpulan Wacana narasi mengandung makna tersirat yang dapat digunakan peserta didik untuk membangun karakternya. Penggalian nilai-nilai yang terkandung di dalam wacana naratif dapat diwujudkan dengan mengolaborasikan respons pembaca dan pilar karakter bangsa. Respons pembaca menggiring peserta didik untuk merinci isi cerita, menjelaskan dan memahami perilaku tokoh cerita, menafsirkan isi cerita, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi, menghubungkan isi cerita dengan pengalaman, cerita lain, film yang pernah ditontonnya, kehidupan sosial dan kepercayaan, serta menilai cerita dan pengarangnya. Sementara itu, pilar karakter bangsa dapat ditemukan dalam diri tokoh cerita protagonis setelah penggalian makna dengan bantuan respons pembaca. Daftar Pustaka Beach, R.W. & J.D. Marshall. 1991. Teaching Literature in the Secondary School. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Indonesia Heritage Foundation, dalam Sofyan Djalil dan Ratna Megawangi (2006). Peningkatan Mutu dan Pendidikan di Acehmelalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Orasi pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis Universitas Syahkuala-Banda Aceh, 2 September 2006. Rampan, Korrie Layun.1999. Sekar dan Gadisnya. Aliran Jenis Cerita Pendek. Jakarta: Balai Pustaka. Rosenblatt, Louise M. 1978. The Reader, the Text, the Poem: The Transactional Theory of the Literary Work. Illinois: Southern Illinois University Press Rudy, Rita Inderawati. 2005. Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Rudy, Rita Inderawati, Dinar S., dan Zuraidah. 2007. Model Pembelajaran Sastra dalam Pendidikan Bahasa Inggris. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol 9/No.1. Rudy, Rita Inderawati. 2010. Konsep Literature for All dan Literature across Curriculum dalam Mengapresiasi Karya Sastra bagi Mahasiswa Calon Guru di FKIP Universitas Sriwijaya untuk Mengembangkan Karakter Siswa. Laporan Hibah Kompetensi Tahun I. Dibiayai oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Kompetensi Nomor: 382/SP2H/PP/DP2M/VI/2010 tanggal 11 Juni 2010 Suparno, Sumadi, E.T. Priyanti, Harsiati, T., Nurhadi, Hamidah, S.C. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia I untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: PT Bumi Aksara Tomodihardjo, Soeprijadi. Ebola, dalam Suryanto, A. & Haryanto, A.. 2007. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas X.