Ilmu Tasawuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid alBaghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini Muhsin Ruslan Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Artikel ini membahas tentang pandangan al-Junaid al-Baghdadi dalam bidang tasawuf. Pandangan tersebut meliputi konsep tasawuf al-Junaid, landasan dasar dalam tasawufnya, serta pendidikan tasawuf yang ditempuhnya. al-Junaid antara lain mempelajari fikh dan hadis terlebih dahulu sebelum belajar tasawuf. Dengan begitu, tasawuf al-Junaid sangat berpijak pada syariat. Hal berbeda terjadi belakangan. Banyak orang belajar spiritualitas tanpa syariat bahkan meninggalkannya. Hal terakhir inilah yang menurut artikel ini menyebabkan seseorang menjadi antisyariat sehingga dicap sesat. Dalam konteks sekarang, tasawuf al-Junaid bisa dijadikan pegangan untuk mempelajari spiritualitas. Kata Kunci: al-Junaid, tasawuf, pendidikan tasawuf, spiritualitas modern.
A. Pendahuluan Al-Junaid al-Baghdadi adalah seorang tokoh besar dalam bidang tasawuf. Inilah bidang terakhir yang dimiliki al-Junaid. Sebelumnya, dia dikenal pakar dalam bidang fikh dan hadis.1 Jika tidak terjun ke bidang tasawuf, al-Junaid dipastikan menjadi maestro dalam bidang fikh dan hadis. Dengan tidak mengurangi kepakarannya dalam dua bidang tersebut, tulisan ini mencoba fokus dan menelusuri secara Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
412 MUHSIN RUSLAN
kritis serta menganalisis aspek-aspek tertentu yang menyangkut dalam bidang tasawuf, antara lain: 1. Pendekatan al-Junaid al-Baghdadi dalam mempelajari dan menghayati serta mengamalkan tasawuf. 2. Menyoroti sikap dan pribadinya dalam menyelesaikan persoalan penyelewengan ilmu tasawuf.2 3. Kontroversi ilmu tasawuf yang muncul pada masa al-Junaid alBaghdadi. Penjelasan secara ringkas terhadap tiga poin di atas diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap berbagai aliran-aliran tasawuf yang belakangan ini muncul dan berkembang bagai jamur di musim hujan. Dalam perdebatan yang menyangkut persoalan-persoalan di atas, tulisan ini coba mengambil inti dari sejumlah teladan yang telah dipraktikkan oleh al-Junaid yang mungkin dapat dimanfaatkan bersama untuk menyelesaikan beberapa masalah umat yang akhirakhir ini cenderung bermasalah dalam bidang kerohanian dan tampaknya memerlukan penanganan secara serius dengan menggunakan pendekatan tersendiri. Ini agar umat Islam di Indonesia tidak terjebak kepada kekosongan batin dalam menghadapi perkembangan zaman yang kian menantang dan dapat menjadi umat yang tahan uji meskipun diterpa berbagai cobaan. Dalam Strategi Dakwah Tahun 2000, M. Quraish Shihab telah memberikan analisa dan gambaran yang bakal terjadi tentang kehausan umat terhadap kehidupan beragama. Penyebab utamanya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu memberikan kepuasan batin tehadap orang yang haus akan ketenangan.3 Jika para pencari ketenangan itu salah dalam memilih pembimbing yang kompeten, dikhawatirkan dapat membawa ke dalam aliran-aliran yang bertentangan dengan syariat Islam.
B. Riwayat Hidup al-Junaid al-Baghdadi Al-Junaid al-Baghdadi memiliki nama lengkap Abu al-Qasim alMedia Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 413
Junaid Ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Ia lahir, dibesarkan, dan meninggal dunia di Baghdad. Dia meninggal sekitar 297 atau 298 H. Deretan nisbah yang melekat pada ujung namanya adalah gelar terhadap profesi yang digelutinya. Gelar al-khazzaz diberikan kepadanya karena al-Junaid merupakan seseorang yang pernah menjadi saudagar sutera mentah, sedangkan gelar al-qawariri karena ayahnya berprofesi sebagai saudagar kaca. Adapun gelar al-baghdadi merujuk kepada tempat beliau lahir dan dibesarkan, yaitu Baghdad.4 Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa tokoh yang sedang kita bicarakan ini merupakan seorang yang lahir dan dibesarkan di tengah-tengah sebuah keluarga saudagar yang telah sukses mendidik menjadi saudagar yang sukses di sebuah kota metropolitan Baghdad. Al-Junaid lahir, dibesarkan, dan menghabiskan sisa umurnya di Baghdad dan bahkan termasuk orang yang tidak suka mengembara keluar dari kota tersebut. Dia hanya beberapa kali keluar dari kota tersebut. Itu pun hanya dilakukan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah.5 Al-Junaid al-Baghdadi memiliki asal-usul keturunan dari Persia, yaitu berasal dari sebuah kota tua Nahawand di Jibal. Daerah ini terkenal dengan kesuburan tanahnya yang mampu menghasilkan berbagai komoditas untuk keperluan kota sekitarnya. Kota ini telah tunduk dan berada dalam kekuasaan Islam antara 17-21 H atau masa Umar ibn al-Khattab. Karena memiliki naluri dagang yang tinggi dan dilahirkan dari keluarga saudagar, barangkali urusan daganglah yang telah membawa keluarga al-Junaid akhirnya pindah dari kota asalnya ke Baghdad. Dan Baghdad pada 145 H di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh al-Mansur sebagai khalifah, mengumumkan bahwa Baghdad dinyatakan sebagai ibu kota Bani Abbas.6 Para penulis biografi al-Junaid al-Baghdadi tidak mendapatkan informasi yang banyak mengenai kehidupannya semasa kanak-kanak. Hal yang dapat diceritakan hanyalah catatan mengenai perihal perilakunya saat ayahnya meninggal dunia, yakni ketika umur alMedia Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
414 MUHSIN RUSLAN
Junaid masih terhitung kanak-kanak. Oleh karena itu, ia diasuh dan dibesarkan oleh ayah saudara sebelah ibunya, yaitu Sari al-Saqati, yang meninggal pada 253 H. Sari al-Saqati sendiri berprofesi sebagai saudagar bumbu masak yang juga merupakan tokoh sufi. Dia yang banyak berperan membentuk pemikiran tasawuf al-Junaid, bersamasama dengan al-Muhasibi yang meninggal pada 243 H. Kedua tokoh ini adalah peletak dasar aliran tasawuf Baghdad dan merupakan guru bagi sebagian besar golongan sufi Irak yang muncul sesudahnya.7 Pengaruh yang berada di bawah penjagaan seorang sufi yang haus akan ilmu dan berada di kota Metropolitan sekelas Irak yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan menjadi magnet bagi para ilmuwan untuk datang dan menimba ilmu dari berbagai penjuru dunia Islam ketika itu, yaitu pada kurun ketiga Hijriyah, kelihatannya telah memberi warna pada al-Junaid menjadi orang yang cemerlang dalam berbagai bidang ilmu. Atas nasihat yang diberikan oleh al-Saqati, al-Junaid telah memulai pendidikan awalnya dengan mendalami bidang fikh dan hadis di bawah bimbingan seorang tokoh besar bidang fikh pada masa itu yaitu Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi al-Baghdadi (w. 240 H). Di samping itu al-Junaid juga bersahabat baik dengan seorang tokoh besar fikh al-Syafi’iyah abad ketiga Hijriyah, yaitu Ibnu Syurayj.8 Penguasaan al-Junaid dalam bidang fikh telah sampai kepada puncak yang mengagumkan. Jika tidak ada daya tarik yang kuat terhadap ilmu tasawuf, sudah pasti bahwa al-Junaid akan muncul menjadi seorang ahli fikh yang tersohor. Kehebatan al-Junaid dalam bidang ini berdasarkan catatan yang menjelaskan bahwa al-Junaid dalam usia yang masih muda berumur sekitar 20 tahun telah mampu memberi fatwa dalam masalah fikh pada ketika adanya acara pertemuan yang dikendalikan gurunya, Abu Tsaur.9 Setelah menguasai bidang fikh dan hadis, al-Junaid mengalihkan tumpuan dan mendalami bidang tasawuf. Hal ini dapat dimaklumi kerena pengaruh yang diberikan oleh al-Saqati dalam memberikan corak kepada al-Junaid terhadap ilmu tasawuf. Dalam hubungan ilmu Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 415
tasawuf ini, ditemukan bahwa al-Junaid al-Baghdadi menyedot sumbernya dari dua kelompok golongan sufi. Pertama dari kalangan sufi yang menetap di Baghdad sendiri dan yang kedua dari kalangan sufi yang wara-wiri datang ke Baghdad dari waktu ke waktu. Dalam kelompok pertama dapat dipastikan Sari al-Saqati sebagai orang yang paling dekat dengan al-Junaid yang telah mendahului tokoh sufi lain dalam memperkenalkan ilmu tasawuf kepadanya sekaligus menjadi pembimbing dalam menghayati bidang ini. Ini berdasarkan pengakuan al-Junaid sendiri bahwa: Sewaktu aku berusia tujuh tahun dan sedang bermain-main di hadapan al-Saqati, dan al-Saqati ketika itu sedang melakukan pembicaraan tentang al-syukr, lalu bapak saudaraku itu bertanya kepadaku, “Anakku, syukr itu apa?” Aku menjawab kepadanya bahwa syukr itu ialah bahwa seseorang itu tidak melakukan maksiat terhadap Tuhan dengan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Bapak saudaraku berkata, “Nikmat Tuhan yang diberikan kepada engkau itu tentulah (termasuk) lidahmu.” Al-Junaid seterusnya berkata, “Mataku senantiasa berlinang apabila aku teringat apa yang telah diucapkan oleh al-Saqati tersebut.”10
Paragraf di atas menunjukkan bahwa al-Junaid telah mulai berkenalan dengan masalah-masalah tasawuf semenjak ia masih anak-anak. Persentuhan ini dilakukan oleh al-Saqati dengan secara tidak langsung mengikuti dialog-dialog tentang tasawuf yang diadakan di rumahnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Junaid, bentuk pengajaran dan bimbingan kerohanian yang dilaksankan al-Saqati terhadapnya adalah diskusi yang diawali beberapa pertanyaan. “Jika al-Saqati ingin agar aku memperoleh manfaat dari pelajaran yang diberikannya, maka ia memberikan pertanyaan kepadaku.”11 Tampaknya sebuah diskusi sangat bermanfaat bagi al-Junaid. Terlalu banyak cerita dalam literatur tasawuf yang menggambarkan keadaan seperti ini. Di sini akan dikemukakan salah satu cerita yang barangkali dapat mewakili cerita-cerita lain: Al-Junaid berkata, “Suatu hari Sari al-Saqati bertanya kepadaku tentang al-mahabbah. Lalu aku menjawab, sebahagian orang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah keserasian (perasaan); dan yang lain pula Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
416 MUHSIN RUSLAN mengatakan bahwa al-mahabbah adalah mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Sedangkan yang lain mengatakan begini dan begitu.” Lalu Sari al-Saqati memegang dan menarik kulit lengannya yang begitu kencang dan kering sehingga tidak boleh ditarik, sambil berkata, “Demi Tuhan, jika aku berkata bahwa kulit ini menjadi kering melekat pada tulang-tulang ini disebabkan oleh (usaha-usaha pelaksanaan amal demi) kecintaan kepada-Nya, maka itu aku sedang menjelaskan tentang kebenaran.”12
Bila dianalisa, ungkapan al-Junaid tersebut di atas memiliki pemahaman yang sangat jelas, yakni Sari al-Saqati seolah-olah mengajar sambil memberikan bimbingan kepada al-Junaid bahwa dalam kasus di atas. Persoalan al-mahabbah bukan hal yang melibatkan ucapan semata, tetapi lebih dari itu memerlukan penghayatan dengan melaksanakan berbagai amalan atau laku perbuatan untuk menjadi tanda kecintaan tersebut, meskipun seseorang terpaksa menjadi kurus kering. Di samping bimbingan kerohanian yang secara terus-menerus dari Sari al-saqati, dia juga mendapat bimbingan dari ahli sufi lain yang menetap di Baghdad. Di antara mereka termasuk seorang ahli sufi terkenal yang juga merupakan karib Sari al-Saqati yang secara bersama-sama mendukung aliran sufi Baghdad, yaitu Abu ‘Abd Allah al-Harits ibn Hasad al-Muhasibi. Begitu juga sederet nama ahli sufi Baghdad lain yang mendampingi al-Junaid, yakni Abu Ja’far Muhammad Ibn ‘Ali al-Qassab (w. 275 H), Abu Ja’far al-Karabi alBaghdadi, Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ‘Abd al-Rahman alQantari (w. 260 H), Abu Ya’qub al-Zayyat, Muhammad al-Samin, dan Hasan al-Bazzaz.13 Kemudian dari kalangan golongan sufi yang mengunjungi Baghdad dari waktu ke waktu dimanfaatkan oleh al-Junaid sebagai pendamping dan sahabat untuk menimba ilmu dari mereka. Di antara tokoh-tokoh sufi yang memiliki keterlibatan dalam kelompok ini adalah Abu Hafs ‘Amr Ibn Salama al-Haddad al-Nisyafuri (w. 260 H), Abu Ja’far Yahya Ibn Muaz Ibn Ja’far al-Razi (w. 258 H), dan Abu Ya’qub Yusuf Ibn Husain Ibn ‘Ali al-Razi (w. 304 H).14 Hasil dari bimbingan dan mendampingi sejumlah syekh Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 417
kerohanian seperti dijelaskan di atas, al-Junaid muncul sebagai seorang tokoh sufi yang cukup berwibawa.15 Bahkan semasa Sari alSaqati masih hidup pun, nama al-Junaid sudah bersinar dan diakui sendiri oleh al-Saqati.16 Berikut ini pengakuan Sari al-Saqati dalam hal memuji muridnya: Al-Junaid berkata, suatu hari aku mengunjungi Sari al-Saqati dan aku menjumpai beliau tidak seperti biasanya, lalu akupun bertanya kepadanya, “Apa masalah yang sedang engkau hadapi?” Lalu al-Saqati menjawab, “Seorang pemuda telah datang kepadaku dan menanyakan tentang taubat, lalu aku jawab pertanyaannya, taubat ialah bahwa engkau tidak melupakan dosa yang telah kau perbuat. Pemuda itu tidak setuju dengan jawabanku. Lantas ia berkata, taubat itu ialah bahwa engkau melupakan (tidak mengingat) dosa engkau.” Maka al-Junaid pun berkata, “Apa yang dikatakan oleh pemuda itu adalah sama dengan pandanganku.” Lalu Sari al-Saqati berkata kepadaku, “Kenapa engkau berpendapat sedemikian?” Lalu al-Junaid menjawab, “Jika engkau sudah berada dalam keadaan (hubungan) yang tidak baik dengan Tuhan, dan setelah itu engkau berusaha memulihkan kembali hubungan itu dengan-Nya, maka mengingat keadaan (dosa yang sudah dilakukan) adalah sesuatu yang tidak baik.” Mendengar jawabanku, lalu Sari alSaqati terdiam.17
Pengakuan al-Saqati berikut menegaskan pujiannya terhadap al-Junaid: Suatu hari Sari al-Saqati ditanya orang tentang kedudukan seorang murid terhadap gurunya, apakah ada seorang murid yang dapat melebihi kemampuan gurunya dalam bidang spritual. Al-Saqati menjawab, “Ya, dan ini bukti yang paling nyata adalah kedudukan alJunaid al-Baghdadi melebihi kedudukan diriku sendiri.”18
Berdasarkan pengalaman mendampingi dan bimbingan kerohanian yang agak luas dan wibawa yang diakui sendiri oleh pembimbingnya, dalam batas kewajaran dan tidaklah berlebihan jika al-Sullami dalam Thabaqat al-Sufiyyah memberikan pandangan yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya di dunia waktu itu hanya ada tiga saja tokoh besar sufi yang terkenal, yaitu al-Junaid alBaghdadi di Irak, Abu Utsman di Nisabur, dan Abu Abdullah bin alJalla‘ di Syam.19 Kemudian, dengan taraf dan kedudukan sebagaimana yang telah Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
418 MUHSIN RUSLAN
diungkapkan di atas, tidaklah mengherankan bila al-Junaid dijadikan rujukan yang cukup punya otoritas oleh para penulis sufi yang datang sesudahnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan jelas bahwa al-Sarraj (w. 377/378 H) dalam kitabnya al-Luma‘ telah membuat rumusan dan pandangan al-Junaid al-Baghdadi tidak kurang dari 139 kali. AlHujwiri (w. 465/469 H) dalam Kasyf al-Mahjub menggunakan nama dan pandangan al-Juanaid dalam bidang tasawuf tidak kurang dari 75 kali. Sedangkan al-Qusyayri (w. 465 H) dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyyah telah merujuk nama dan pandangan al-Junaid tidak kurang dari 107 kali. Ini menunjukkan bahwa al-Junaid merupakan otoritas yang cukup berwibawa dan sangat disegani dalam bidang tasawuf.
C. Konsep Tasawuf al-Junaid al-Baghdadi Ketokohan al-Junaid al-Baghdadi memiliki posisi yang jelas dalam disiplin ilmu tasawuf sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tasawuf merupakan salah satu dari ilmu-ilmu syari’ah yang muncul dalam agama Islam. Asal muasal jalan yang ditempuh kelompok ini merupakan hal biasa yang dilakukan oleh kalangan ulama salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang yang datang sesudah mereka.20 Contoh pertama yang perlu direnungi secara mendalam adalah cara yang dilakukan oleh al-Junaid adalah pendekatan yang dilakukan dalam mempelajari dan menghayati ilmu tasawuf, memiliki gambaran seolah-olah semacam ada hierarki khusus dalam proses pembelajaran dan penghayatan ilmu ini. Terutama bila proses itu terbawa kepada kemauan untuk seterusnya mendalami dan menghayatinya. Karena al-Junaid direncanakan dan dibimbing oleh seorang tokoh besar sufi sekelas al-Saqati, pendekatan yang dilakukan oleh al-Junaid tersebut seakan-akan pendekatan itu sudah memenuhi standar yang dituntut dalam ilmu tasawuf. Atas nasihat Sari al-Saqati, pada tingkat awal al-Junaid melakukan pendalaman pendidikan dan pelajaran dalam bidang fikh dan hadis. Setelah menguasai kedua ilmu itu, baru dia mencoba Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 419
melakukan pendekatan dalam usaha menghayati dan mendalami tasawuf. Karena itu, menurut pengakuan al-Junaid sendiri, dia telah sampai kepada tempat yang wajar dalam penghayatan ilmu tasawuf: Aku (al-Junaid) telah mempelajari undang-undang (fikh) menurut aliran dan golongan yang berotoritas dalam bidang hadis seperti (yang didukung oleh) Abu ‘Ubayd dan Abu Tsawr, dan setelah itu aku mendampingi al-Harits al-Muhasibi dan Sari Ibn Mughallas al-Saqati. Itulah yang menjadi sebab kesuksesanku dalam menghayati ilmu tasawuf.21
Dalam pandangan al-Saqati sendiri, yang melakukan rekayasa pada proses pembelajaran al-Junaid, hal itu cukup jelas ketika dia mengungkapkan pandangan pribadinya sebagai berikut: Apabila seorang insan ingin memulai amalan hidup zuhud (amalan tasawuf), kemudian setelah itu baru mempelajari hadis, maka ia akan musnah. Apabila seseorang mulai dengan mempelajari hadis, kemudian baru mengamalkan cara hidup zuhud (amalan tasawuf), maka ia akan sukses.22
Di sini kita dapat membangun satu pemahaman bahwa Sari alSaqati, berdasarkan kejelasan tentang pendekatan yang wajar dan tepat dalam melakukan pendekatan pada bidang tasawuf, memberi arah kepada al-Junaid supaya terlebih dahulu memantapkan ilmu dalam bidang fikh dan hadis sebelum terjun ke tasawuf. Sebagaimana yang dicatatkan oleh al-Makki dalam Qut al-Qulub, al-Saqati juga mendoakan al-Juanaid agar “Allah menjadikan engkau pakar dalam bidang hadis terlebih dahulu sebelum menjadi seorang sufi, dan jangan dijadikan engkau seorang sufi (sebelum) menjadi seorang pakar hadis.”23 Doa Sari al-Saqati di atas dijabarkan lagi oleh al-Makki dengan mengatakan: Sesungguhnya engkau apabila mulai dengan mempelajari ilmu hadis dan atsar serta memahami ilmu ushul dan sunah, setelah itu baru engkau mengamalkan zuhud dan melakukan ta’abudiyah, maka engkau kelak akan terkemuka dalam ilmu golongan sufi dan engkau akan menjadi seorang sufi yang arif. (Sebaliknya), apabila engkau dimulai dengan ta’abbudiyah... (serta) sibuk dengan urusan tersebut (hingga mengabaikan) ilmu dan sunah, maka nanti engkau akan muncul menjadi orang yang menyimpang kerena kebodohan engkau dalam ilmu ushul dan sunah. Maka suasana yang terbaik bagimu Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
420 MUHSIN RUSLAN ialah bahwa engkau kembali kepada ilmu zahir dan mempelajari hadis, kerena ia merupakan asal yang darinya cabang ibadat dan ilmu.24
Berdasarkan rincian yang dibuatkan oleh al-Makki di atas, dan dia juga seorang sufi, maka dapat dipahami apa yang sebenarnya dikehendaki oleh para ahli sufi terkait persoalan yang sedang kita bicarakan ini. Pertama, istilah hadis sebagaimana yang diungkapkan oleh Sari al-Saqati dan oleh ahli-ahli sufi yang lain tidak wajar dipahami secara literal saja. Malah ia lebih wajar dipahami dan diletakkan dalam perspektif yang lebih luas, yaitu pada ilmu-ilmu zahir secara keseluruhan. Jadi yang perlu dimantapkan terlebih dahulu sebelum mendalami dan menghayati ilmu tasawuf itu ialah keseluruhan ilmu Islam yang bersifat zahir, bukan terbatas kepada hadis. Kedua, golongan sufi juga telah meletakkan dasar rujukan yang jelas, yaitu ilmu-ilmu zahir yang merupakan ushul atau pokok/ pangkal, sedangkan ilmu bathin termasuk di dalam ilmu tasawuf dan merupakan furu’ (cabang). Karena itu, dalam pandangan mereka, pendekatan yang tepat untuk masalah ini ialah dengan dimulai dari pokok atau pangkal, bukan dari cabang. Kerena itu, terdapat ungkapan dari golongan ini: Sesungguhnya (ujung) kesuksesan menjadi tidak mungkin dicapai dengan cara mengabaikan pangkalnya (al-ushul).25 Berdasarkan analisa di atas, jelas bahwa dalam pandangan sufi, pendekatan yang tepat untuk mendalami dan menghayati tasawuf adalah seharusnya seseorang itu sudah memiliki persediaan yang cukup pengetahuan tentang ilmu Islam, termasuk di dalamnya fikh dan hadis. Jika tidak mengikuti prosedur tersebut, besar kemungkinan membawa kepada aliran sesat yang dapat membuat aliran-aliran baru atau sempalan di dalam agama Islam. Bila dibandingkan dengan banyak kasus terjerumusnya pihakpihak tertentu dalam penyelewengan akidah dan penyelewengan amalan kerohanian di tanah air, ditemukan kaitan yang cukup erat tentang kegagalan mereka untuk mengikuti prosedur seperti yang disebutkan di atas. Mereka seolah meloncat naik ke atas dahan tanpa tertib mengikuti naik dari batang terlebih dahulu. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 421
Dalam hubungan ini, tidak salah bila al-Junaid al-Baghdadi dijadikan tempat becermin dalam mengamalkan tasawuf. Hemat saya, ini sangat penting karena dapat mengubah skenario dalam penyelewengann akidah di tanah air yang akhir-akhir ini cukup membawa keresahan pada masyarakat awam.
D. Landasan Tasawuf al-Junaid al-Baghdadi Sumbangan al-Junaid al-Baghdadi adalah gaya penghayatan ilmu tasawuf dengan segala doktrin dan amalannya harus memiliki ikatan yang kuat dengan Alquran dan Sunah. Dengan kata lain, segala doktrin dan amalan tasawuf yang diyakini dan diamalkan senantiasa membiasakan dengan apa yang dikehendaki oleh kandungann Alquran dan Sunah. Sekiranya suatu doktrin atau amalan tidak dapat dipertahankan bila berhadapan dengan isi dan kandungan Alquran dan Sunah, mesti ditolak. Perlu dicatat bahwa pengaruh Sari al-Saqati terhadap model tasawuf gaya al-Junaid seperti bentuk yang sedang kita bicarakan ini adalah sangat kental. Sari al-Saqati memang seorang sufi yang tidak akan membuat amal tanpa dasar dari Alquran dan Hadis, sebagaimana ungkapannya: Tasawuf itu merupakan satu nama yang memiliki tiga pengertian. Pertama, orang yang cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’-nya. Kedua, orang tidak berbicara secara batin mengenai ilmu yang dapat menyebabkan kenyataan al-kitab dan Sunah tidak berfungsi. Ketiga, orang yang tidak menyebabkan kekeramatan membuka tirai pengharaman Allah.26
Ukuran keterikatan doktrin dan amalan tasawuf al-Junaid dengan cara penghayatan tasawuf sebagaimana penjelasan sebelumnya dapat digambarkan kepada beberapa ucapan dan anjuran al-Junaid yang dapat kita temui dalam kitab-kitab tasawuf yang ditulis para sufi sendiri. Berikut sebagian dari ucapan al-Junaid al-Baghdadi: Siapa saja orang yang tidak menghafal dan memahami isi dan kandungan Alquran dan tidak mempelajari Hadis, tidak boleh diikuti dalam urusan ini (urusan ilmu tasawuf), karena ilmu kami ini terikat erat dengan Alquran dan Sunah.27 Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
422 MUHSIN RUSLAN Ilmu kami ini (ilmu tasawuf) terjalin rapi dengan (isi kandungan) Hadis Rasulullah.28 Semua jalan (tasawuf) tertutup rapat kepada makhluk (manusia), melainkan kepada kalangan orang yang mengikuti Rasulullah SAW, meneladani sunnahnya serta membiasakan caranya, maka (bagi kalangan tersebut) semua jalan kebaikan terbuka luas kepadanya.29
Ungkapan al-Junaid di atas memberi arah untuk mengambil tindakan dan penentu dalam hubungan dengan ilmu, amal, serta doktrin tasawuf. Hanya bentuk amal atau doktrin yang sesuai dengan kandungan Alquran dan Hadis saja yang diberi tempat untuk terus berfungsi di bawah payung tasawuf. Karena itu, timbul masalah tentang bagaimana hal seperti ini dapat terjadi dan berkembang pada tingkat pribadi. Hal seperti ini sebenarnya dapat dijawab melalui ungkapan yang tersirat dalam ucapan al-Junaid, seolah-olah keinginan beliau untuk memberikan penjelasan bahwa setiap pengamal tasawuf hendaklah memiliki syarat mampu memahami dengan baik isi dan kandungan Alquran maupun Hadis. Jika syarat seperti ini tidak dapat dipenuhi, jalan untuk masuk ke dalam dunia tasawuf dari perspektif al-Junaid adalah tertutup rapat kepadanya. Isyarat yang diberikan oleh al-Junaid tentang penguasaan ilmu dan amal dalam tasawuf tertuju kepada dua kelompok. Pertama, kepada kelompok pengamal atau pengikut sebuah aliran dalam tasawuf biasa. Kedua, kepada pembimbing (mursyid) atau syekh yang memimpin murid-muridnya. Pentingnya para pengamal tasawuf, lebih-lebih lagi kelompok yang menjadi pemimpin atau syekh bagi murid-muridnya, memahami dengan jelas isi dan kandungan Alquran dan Hadis, dapat dimengerti dengan jelas bila ditinjau dari perspektif ilmu tasawuf itu sendiri. Tasawuf itu sendiri merupakan satu jenis ilmu yang suka atau tidak suka akan berhadapan dengan persoalan-persoalan almukasyafat,30 al-musyahadat,31, al-ilhamat,32 dan lain-lain. Masalah yang ada hubungannya dengan al-kasyf, al-ilham, dan al-musyahadah, wasiat al-Syeikh Abu al-Hasan al-Syazili sebagai Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 423
pendiri tarikat al-Syaziliyah agaknya perlu diperhatikan dan diambil menjadi pedoman: Apabila kasyf engkau (yang engkau peroleh) bertentangan dengan Alquran dan Sunah, maka hendaklah engkau berpegang kepada Alquran dan Sunah dan tinggalkan kasyf tersebut. Dan tanyakan kepada dirimu, “Sesungguhnya Allah telah menjamin pada diriku kemaksuman (memelihara dari tersalah) kandungan Alquran dan Sunah, tetapi tidak begitu halnya dengan kandungan al-kasyf, al-ilham, dan almusyahadah, melainkan setelah (segala itu) diselaraskan dengan kandungan Alquran dan Sunah (lalu ditemukan tidak bertentangan dengan kandungan keduanya).”33
Persoalannya di sini adalah bagaiaman seseorang yang mengaku mendapat pengalaman seperti al-kasyf, al-ilham, atau almusyahadah, dapat menyelaraskan pengalaman-pengalaman tersebut dengan isi dan kandungan Alquran dan Sunah, kemudian membuat kesimpulan tidak bertentangan atau bertentangan dengan pengalaman yang ia alami. Seseorang yang tidak memahami dengan sempurna isi dan kandungan Alquran dan Sunah, baik yang tersurat maupun yang tersirat, akan lebih berbahaya bila kedudukannya sebagai seorang syekh yang membimbing para murid. Bagaimana pula dia menyelesaikan masalah pengalaman-pengalaman murid yang dihadapkan kepadanya untuk mendapat keputusan yang tepat. Di sinilah pentingnya penguasaan Alquran dan Sunah untuk menjamin penyimpangan dan penyesatan tidak terjadi. Berdasarkan analisa dan penjelasan sebelumnya, golongan sufi, khususnya al-Junaid al-Baghdadi, meletakkan dasar dan fondasi amalan tasawuf yang mereka yakini dan amalkan berada di bawah penjagaan yang ketat dan neraca kandungan Alquran dan Sunah agar dapat dipastikan terhindar dari penyelewengan yang sering kali dimotivasi oleh setan dan iblis. Dan ini seyogianya dijadikan pedoman dan ikutan oleh umat Islam kini dan nanti dalam setiap langkah yang ada hubungannya dengan ilmu tasawuf.
E. Ilmu Tasawuf pada Masa al-Junaid al-Baghdadi Pedoman yang sangat penting untuk diteladani umat Islam pada masa Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
424 MUHSIN RUSLAN
sekarang adalah warisan yang ditinggalkan oleh al-Junaid, yakni sikap tegas yang tidak pernah berkompromi terhadap unsur-unsur penyelewengan dalam doktrin dan amalan tasawuf. Pada dasarnya persoalan penyelewengan atau kesalahan dalam pegangan dan amalan tasawuf bukanlah satu fenomena baru dalam sejarah perkembangan kerohanian umat Islam. Penyelewengan itu sudah terjadi semenjak zaman al-Junaid sendiri. Abu Nasr al-Sarraj, penulis kitab al-Luma’ yang terkenal sekitar abad ke-4 H, memberi penjelasan panjang-lebar apa yang diistilahkannya dengan al-aghlat yang diamalkan dan diyakini oleh golongan yang menganggap diri mereka sebagai sufi. Al-aghlat ada yang dikategorikan ke dalam persoalan ushul dan ada pula yang digolongkan kepada persoalan furu’.34 Terkait persoalan penyimpangan dalam tasawuf, kita dapat melihat sikap al-Junaid yang sangat cermat dan teliti. Dia tidak dapat menerima Abu Mansur al-Hallaj untuk mendampingi atau menjadi muridnya hanya karena sikap dan kelakuan al-Hallaj yang kurang sopan terhadap guru atau syekh. Dalam kasus ini, al-Hujwiri dapat memberikan penjelasan kepada kita: Pada awalnya al-Hallaj merupakan seorang murid Sahl Ibn Abdullah, yang ditinggalkan oleh al-Hallaj begitu saja tanpa meminta izin karena keinginan al-Hallaj untuk bergabung menjadi murid pada ‘Amr Bin Utsman al-Makki. Kemudian al-Hallaj pun mengulangi meninggalkan al-Makki tanpa minta izin terlebih dahulu dan berusaha untuk menjadi murid al-Junaid al-Baghdadi, tetapi al-Junaid tidak menerimanya.35
Berdasarkan kutipan di atas, dalam pandangan al-Junaid, perbuatan seperti yang dilakukan al-Hallaj, yakni meninggalkan seorang guru (syekh) tanpa meminta izin adalah salah satu bentuk kelakuan yang salah. Meskipun persoalan itu tidak melibatkan persoalan ushul, hal seperti itu adalah sesuatu yang tidak wajar dilakukan oleh seorang murid. Kita juga dapat melihat sikap al-Junaid yang tegas dan berwibawa bila berhadapan dengan penyelewengan yang lebih serius. Kisah singkat di bawah ini dapat dijadikan gambaran betapa al-Junaid Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 425
tidak main-main dengan masalah penyimpangan dalam ilmu tasawuf: Abu ‘Ali al-Ruzabari berkata, aku mendengar al-Junaid berkata kepada seorang laki-laki yang melaporkan tentang ahli al-ma’rifah dengan mengatakan bahwa ahli al-ma’rifah bi Allah sudah sampai kepada tingkat meninggalkan amalan yang tergolong kedalam bab kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. Al-Junaid berkata, sesungguhnya ini merupakan ucapan golongan mereka yang berbicara tentang gugurnya kewajiban amal (taklif) yang telah dibebankan Allah. Dan hal ini, dalam pandangan saya, adalah satu masalah yang sangat berat. Orang yang mencuri dan berzina adalah lebih baik dari orang yang membicarakan masalah ini (al-ma’rifah bi Allah). Sesungguhnya golongan al-‘arif bi Allah telah mengambil berbagai amalan mereka dari Allah, dan kepada Allah-lah mereka kembali dengan (mengamalkan) amalan-amalan itu.36
Menggugurkan beban syara’ atas dasar dekat dengan Allah merupakan penyimpangan dan ketidakwajaran yang serius. Seyogianya semakin dekat seseorang itu dengan Allah, semakin hebat pula baktinya kepada Allah seperti yang diungkapkan al-Junaid di atas. Atas dasar keseriusan masalah yang sedang dihadapi, ditemukan dari petikan di atas bahwa al-Junaid menolak dengan sangat keras sekali. Bila diingat bahwa dosa mencuri dan berzina merupakan dua jenis dosa besar yang layak menerima hukuman, tetapi pada kacamata al-Junaid pelaku kedua dosa itu masih jauh lebih baik keadaannya jika dibandingkan dengan orang yang menggugurkan kewajiban. Mustafa al-‘Arusyi menggambarkan, orang yang berzina dan orang yang mencuri biasanya mengetahui dosa yang ia lakukan, dan karenanya ada harapan bagi mereka untuk bertobat. Tetapi lain halnya dengan orang yang mengaku dekat dengan Allah, biasanya dia beritikad bahwa dia sedang berada pada maqam yang paling tinggi dan dalam keadaan yang paling baik, lalu dia tidak akan kembali ke pangkal jalan.37
F. Kesimpulan Al-Junaid sangat prihatin terhadap persoalan penyelewengan dan dia sangat tegas memberikan keputusan terhadap ajaran yang Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
426 MUHSIN RUSLAN
menyimpang dari Alquran dan Sunah. Dengan cara yang sama barangkali kita dapat menggantungkan harapan untuk melihat kemurnian doktrin dan amalan tasawuf masih dapat dipertahankan sebagai warisan Islam. Ada tiga isu sentral yang perlu diambil umat Islam masa kini, khususnya umat Islam Indonesia, dari seorang tokoh tasawuf sebesar al-Junaid. Pertama, penghayatan ilmu tasawuf harus berada di bawah naungan isi dan kandungan Alquran dan Sunah. Kedua, setiap amalan tasawuf yang bertentangan dengan Alquran dan Sunah mesti ditingggalkan dan mendahulukan kedua sumber tersebut. Ketiga, setiap orang baik secara pribadi maupun berjamaah seharusnya memahami Alquran dan Sunah terlebih dahulu baru dapat mengamalkan ajaran tasawuf. Dari al-Junaid juga kita mendapati bahwa memang ada pedoman dan contoh yang dapat kita tarik dari perbendaharaan budaya kita untuk digunakan dalam kehidupan masa kini dalam upaya memperbaiki ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seharihari, terutama dari kesimpangsiuran orientasi kehidupan modern. Karena itu, dalam lajunya perjalanan hidup yang terkadang melelahkan, rupanya sesekali kita perlu juga melihat ke belakang, membuka lipatan peradaban yang kita warisi, untuk menambah semangat, kekuatan, dan pendekatan baru. Catatan: 1. Pada abad k-3 H muncul tiga tokoh besar dalam bidangnya masingmasing, antara lain Ibnu Surayj dalam bidang fikh, di mana al-Junaid alBaghdadi berguru kepadanya atas anjuran dari bapak saudaranya yang bernama al-Saqati; Abu Hasan al-Asy’ari dalam bidang teologi; dan alNasa’i dalam bidang Hadis. Lihat Tajuddin al-Subki, Tabaqat alSyafi’iyah al-Kubra, (Kairo, 1324 H.), hlm. 87. 2. Konsep yang ditawarkan dalam bidang ini, tasawuf yang dapat diterima adalah bila tidak bertentangan dengan syariat. Menurut K.H. Mansur Sufi, “Kullu thariqatin tatasadama ma’a syari’ati pahia mardudatun, wa kullu thariqatin la tatasadama ma’a syari’ati fahiya maqbulatun” (setiap ajaran tarikat yang bertentangan dengan syariat, maka itu ditolak. Setiap aliran tarikat yang tidak bertentangan dengan syariat dapat diterima.” Wawancara, 1987. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 427 3. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 395. 4. Lihat Abd. al-Rahman al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, ed Nur al-Din Saribah, (Kairo, 1969), hlm. 155. Lihat juga Abd al-Karim al-Qusyairi, alRisalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawuf, editor Ma’ruf Zariq dan ‘Ali ‘Abd al-Hamid Baltaji, (Bairut, 1991), hlm. 430; Ali Hasan Abdul Kadir, The Life Personality and Writings of al-Junaid, (London, 1976), hlm. 12. 5. Lihat Abdul Kadir, The Life Personality, hlm. 33-34. 6. Lihat al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, hlm. 155; al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 430; Abdul Kadir, The Life Personality, hlm. 1; Kenneth Cragg, The House of Islam, (California, 1975), hlm. xi. 7. Lihat Abdul Kadir, The Life Personality, hlm. 235; Ali bin Utsman alHujwiri, The Kasyf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson, (London, 1970), hlm. 110. 8. Lihat al-Tajuddin al-Subki, Tabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, (Kairo, 1324 H.), hlm. 87. Dalam abad ke-3 H ini muncul tiga orang tokoh besar yang dapat mempengaruhi umat Islam sesudahnya, yakni Abu Hasan al-Asy’ari dalam bidang teologi yang dikenal dengan aliran Asy’ariah atau ahlu sunnah waljama’ah, Ibnu Syurayj dalam bidang fikh, dan al-Nasa’i dalam bidang Hadis. 9. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah; al-Sullami, Thabaqat alSuffiyah. 10. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 175. 11. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 176; Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, al-Luma‘, ed. ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Abd. al-Baqi Surur, (Kairo, 1960), hlm. 240. 12. al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 418. 13. Lihat Abdul Kadir, The Life Personality, hlm. 18-28. 14. Abdul Kadir, The Life Personality, hlm. 28-33. 15. Lihat Zakaria Stapa, “Wacana Pemikiran Islam”, makalah disampaikan dalam seminar Jabatan Ushuluddin dan Falsafah Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1994. 16. Stapa, “Wacana Pemikiran”. 17. al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 95. 18. Lihat, ‘Ali Ibn Utsman al-Hujwiri, The Kasyf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson, (London, 1970), hlm. 128. 19. al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, hlm. 176. 20.Lihat, Ibnu Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. F. Rosenthal, (London: Routledge and Kegan Paul, 1958), hlm. 76. 21. Lihat al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah, hlm.36. 22. Lihat al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, hlm 55. 23. Lihat Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, (Kairo, 1961), hlm. 322. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
428 MUHSIN RUSLAN 24. al-Makki, Qut al-Qulub. 25. al-Makki, Qut al-Qulub. 26. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 418. 27. al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 431. 28.Lihat al-Tusi, al-Luma’, hlm. 144. 29. Lihat al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, hlm. 159. 30.Yang dimaksud dengan al-mukasyafat adalah orang yang dikenal dengan ahli kasyf, yaitu “orang yang terbuka pada mereka itu dinding”, yaitu yang memandang akan segala perbuatan hamba bagi hamba. Dengan kata lain, mereka memandang semua perbuatan manusia itu adalah perbuatan Allah. Lihat Muhahammad al-Nafis al-Banjari, al-Dur al-Nafis, (tt., tp.), hlm. 6. Lihat juga Abdulfatah Haron Ibrahim, Sanggahan ke Atas Kitab al-Daar al-Nafis, (Jakim, Malaysia, 2004), hlm. 33. Ibrahim memberikan contoh: “Orang yang menulis (Allah), kalam yang menulis (manusia), dan tulisan (perbuatan manusia). Kalam (manusia) tiada berdaya menyurat apa-apa kalau tidak digerakkan oleh jari orang yang menulis (Allah).” 31. Yang dimaksud dengan syuhud ini dipandang mazhar yang banyak (seluruh isi alam ini mazhar bagi Allah) pada yang satu (Allah). Lihat Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 41. 32. Kata ilhamat artinya orang mendapatkan pengetahuan secara langsung dari Allah. Dengan kata lain, biasanya orang mendapat ilmu laduni, sering kali ilmu ini berkaitan dengan persoalan-persoalan gaib seperti meramal apa yang akan terjadi masa yang akan datang dan dapat membaca isi hati seseorang serta mengetahui atau melihat alam gaib seperti jin, malaikat, dan lain-lain. Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 57. 33. Lihat, ‘Abd al-Halim Mahmud, al-Munqiz min al-Dhalal Ma’a Abhats fi al-Tasawuf wa Dirasat ‘an al-Imam al-Ghazali, (Kairo, 1972), hlm. 247. 34. Lihat al-Tusi, al-Luma’, hlm. 516-555. 35. Lihat al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, hlm. 151. 36. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hlm. 430; al-Sullami, Thabaqat al-Suffiyah, hlm. 158-159. 37. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, al-Tasawuf al-Islam fi Madrasah Baghdad, (Iskandariyah, 1975), hlm. 295.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
ILMU TASAWUF DAN MANFAATNYA 429
DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir, Ali Hasan, The Life Personality and Writings of alJunaid, (London, 1976). al-Banjari, Muhammad al-Nafis, al-Dur al-Nafis, (tt., tp.) al-Hujwiri, ‘Ali Ibn Utsman, The Kasyf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson, (London, 1970). al-Hujwiri, Ali bin Utsman, The Kasyf al-Mahjub, terj. R.A. Nicholson, (London, 1970). al-Makki, Abu Thalib, Qut al-Qulub, (Kairo, 1961). al-Qusyairi, Abd al-Karim, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm alTasawuf, editor Ma’ruf Zariq dan ‘Ali ‘Abd al-Hamid Baltaji, (Bairut, 1991). al-Subki, Tajuddin, Tabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, (Kairo, 1324 H.). al-Sullami, Abd. al-Rahman, Thabaqat al-Suffiyah, ed Nur al-Din Saribah, (Kairo, 1969). al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj, al-Luma‘, ed. ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Abd. al-Baqi Surur, (Kairo, 1960). Cragg, Kenneth, The House of Islam, (California, 1975). Ibrahim, Abdulfatah Haron, Sanggahan ke Atas Kitab al-Daar alNafis, (Jakim, Malaysia, 2004). Khaldun, Ibnu, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. F. Rosenthal, (London: Routledge and Kegan Paul, 1958). Mahmud, ‘Abd al-Halim, al-Munqiz min al-Dhalal Ma’a Abhats fi al-Tasawuf wa Dirasat ‘an al-Imam al-Ghazali, (Kairo, 1972). Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007). Stapa, Zakaria, “Wacana Pemikiran Islam”, makalah disampaikan dalam seminar Jabatan Ushuluddin dan Falsafah Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1994. Syaraf, Muhammad Jalal, al-Tasawuf al-Islam fi Madrasah Baghdad, (Iskandariyah, 1975).
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011