ILMU LADUNI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Telaah Atas Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali) Ach. Sayyid STAI Al-Khairat Pamekasan e-mail:
[email protected] Abstract: Laduni is a science that is sourced from hakiki enlightens (Transcendentally from God) into majazi enlightens (human capacities) lying in four human spiritual parts; mind, soul, spirit, and heart. Laduni since birth has been embedded since a man’s birth and it is waiting to be actualized. So the standpoint of the true nature of the emergence of Laduni science is when it integrates with both actual human effort and God’s, the Almighty’s, emanation. Thus, education should function to encourage human actualization with all capacities through a systematic educational process called humanistic curriculum. Thereby, this research intends to (1) discover the essence of Laduni science, (2) demonstrate Abu Hamid al-Ghazali’s methods in gaining Laduni science, and (3) to discover its contribution towards Islamic pedagogy. This research is a library research using descriptive-qualitative approach. For collecting the data, the researcher uses content documentation into Abu Hamid al-Ghazali’s works containing Laduni concepts . He then analyzes those works using content analysis method. In conclusion, the researcher found that (1) Laduni science is the human actualization product which is entrenched in every human being spiritual, (2) all men can get Laduni science; (3) methods of gaining Laduni science divided into internal and external methods. The internal method is done by learning and thinking. A man may conduct Riyāḍatunnafsi (Psychological Betterment), Mujahadah (Consistent Strivings), and being patient. While the external method is done by consuming halal food, (4) Laduni science is distributed by means of the internal and the external human dimensions. Internally, it is distributed into qalbun (heart), whereas externally it is distributed into wahyu (God’s Guidance) and ilham (God’s inspiration), (5) the appropriate and recommended curriculum to achieve Laduni science in formal education is humanistic. Keywords : Laduni Science, Islamic Pedagogy Pendahuluan Islam sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi pendidikan sebagaimana tercermin dalam tiga dimensinya, yaitu: (1) pendidikan Islami; (2) pendidikan agama Islam; dan (3) pendidikan dalam Islam, 1 tentu tidak 1
Tiga dimensi tipologi pendidikan Islam tersebut adalah (1) Pendidikan Islami atau Pendidikan menurut Islam adalah sebuah konsep, pemikiran, atau teori pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran agama Islam, yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah; (2)
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 : ISSN 2443-2741
Ach. Sayyid
menginginkan adanya pohon ilmu tanpa buah (ilmu bila ṡamrah) –meminjam istilah az-Zarnuji-2. Oleh karena itulah dalam pendidikan Islam dimensi iman, Islam, dan ihsan sebagai tiga fondasi agama Islam harus terintegrasikan secara komprehensif dengan ilmu pengetahuan tanpa ada dikotomi di antara salah satu pihak 3 karena penekanan kepada salah satunya dengan mengabaikan yang lainnya hanya akan menimbulkan berbagai kepincangan dalam kehidupan sebagaimana terjadi di Barat sepanjang abad 18, 19, dan 20 Masehi.4 Alasan paling mendasar dari pernyataan di atas adalah karena iman, Islam, dan ihsan adalah tiga fondasi utama syariat Muhammad SAW, yang dari ketiganya seluruh bangunan syariat menjadi komprehensif. 5 Dari terma iman lahir disiplin ilmu teologi, dari term Islam lahir ilmu fikih, dan dari term ihsan lahir ilmu tasawuf6 Khusus dalam disiplin ilmu tasawuf, pemahaman komprehensif seputar akidah dan syariah, aplikasi ilmiyah, dan ikhlas beramal adalah tiga pilar utama bangunan tegaknya tasawuf, baik dalam dimensi teori atau aplikasi.7 Dalam ranah terminologi, disiplin ilmu tasawuf memiliki banyak istilah yang terkadang sulit dimengerti oleh komunitas di luar mereka. Kesukaran yang terkadang berujung kepada kesalahpahaman dan pengingkaran terhadap tasawuf itu sendiri. Di antara istilah ilmu tasawuf yang terus menjadi sebab kesalahpahaman dan pengingkaran terhadap tasawuf itu sendiri adalah istilah ilmu laduni. Sebuah terminologi yang berkembang dalam ajaran dan praktek tasawuf yang sampai detik ini para pemikir Islam masih silang pendapat tentang: (1) orang yang mendapatkan ilmu laduni, dan (2) metodologi ilmu laduni. Pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam adalah suatu kegiatan yang bertujuan menginstall nilai-nilai ajaran Islam agar menjadi mazhab berpikir, pandangan sekaligus sikap hidup; dan (3) Pendidikan dalam Islam adalah sebuah proses dan praktek pendidikan yang pernah terjadi dan diusahakan dalam sejarah umat Islam. Dengan pengertian lain, Pendidikan Islam adalah berbagai macam pendidikan yang pernah dikembangkan oleh para pakar pendidikan Islam dari generasi ke generasi. Lihat Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (Malang: UMM Press, 2006), 18. 2 Az-Zarnuji memiliki nama lengkap yaitu Burhanuddin al-Islam Az-Zarnuji, almarhum hidup pada akhir ke-12 dan awal abad 13 yang kira-kira tahun 591-640 H/1195-1243 M). Pada zamannya perkembangan Pendidikan Islam masih berpusat di kota Bukhara dan Samarkan, pusat-pusat bergulirnya proses pendidikan waktu itu masih memakai Mesjid-mesjid sebagai lembaga institusi pendidikan. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998), 41 dan Zuharini, Sejarah Penddikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992), 7. 3 Abuddin Nata dkk., Integrasi ilmu Agama & Ilmu Umum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), . 186. 4 Ilyas Ismail, True Islam: Moral, Intelektual, Spritual (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), V. 5 Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih Bukhori: Pertanyaan Jibril as Kepada Rasulillah SAW Tentang Iman, Islam, Ihsan, dan Tanda-Tanda Kiyamat (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), 31. 6 Muhammad Salikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam (Jakarta: Buku Kita, 2008), 221-228. 7 Abdul Gholib Ahmad Isa, Mafhūmut Tasawwuf (Bairut: Dār al-Jīl, 1992), 14.
104 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pertama, orang yang bisa memperoleh ilmu laduni. Menyikapi kasus ini para sarjana Islam terpecah menjadi dua kelompok, yaitu: (1) kelompok ekstrem dan (2) kelompok moderat. Kelompok ekstrem yang diwakili oleh kaum Wahabi dan Syiʻah. Kaum Wahabi berpendapat bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang hanya bisa dimiliki oleh para nabi dan rasul.8 Sedangkan kelompok Syʻiah berpendapat bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang hanya bisa dimiliki oleh para nabi, rasul, dan imam golongan Syiʻah. Berbeda dengan kelompok ekstrem, kelompok moderat yang diwakili oleh kaum sunni, khususnya para pengamal tasawuf falsafi seperti Abu Hamid al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu laduni bisa diperoleh oleh semua manusia.9 Kedua, metode mendapatkan ilmu laduni. Dalam permasalahan ini para intelek dan sarjana juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) kelompok filsuf, (2) kelompok sufi, dan (3) kelompok filsuf-sufi. Kelompok filsuf, dalam pandangan kelompok pertama ini istilah ilmu laduni lebih dikenal dengan istilah al-hadas. Dalam wacana filsafat al-hadas modern nama Henri Louis Bergson (W. 1941 M)10 adalah nama seorang filsuf yang paling berkompeten.11 Sebagai metode logik dalam memperoleh ilmu, al-hadas menggunakan saluran ilmu berupa akal.12 Jika kelompok pertama berpendapat bahwa ilmu laduni dapat diperoleh melalui aktifasi akal melalui metode logik, maka kelompok sufi berada dalam mainstrem yang secara diametral berseberangan dengan kelompok filsuf. Menurut mereka metode untuk mencapai ilmu laduni adalah melalui metode intuitif.13 Sebuah metode memperoleh ilmu melalui proses (1) penyucian hati dari kerusakan yang bersumber
8
Ihsan Utaybi, Arsip Multaqā ahlil hadiṡ (Maktabah Syamilah al-Iṣdar aṡ-Ṡani, tt), 991. Abu Hamid al-Ghazali, Majmūʻah Rasāil; ar-Risālah Alladuniyah (Mesir: Maktabah at-TaufĪqiyyah,tt), 252. 10 Henri Louis Bergson (lahir di Paris, Prancis, 18 Oktober 1859 – meninggal di Paris, Prancis, 4 Januari 1941 pada umur 81 tahun) merupakan seorang filsuf Prancis yang berpengaruh besar terutama pada awal abad ke 20. Ia lahir dari seorang ibu berdarah Inggris dan seorang ayah berdarah Yahudi Polandia. Sebagian besar masa produktifnya dihabiskannya sebagai seorang dosen filsafat dan seorang penulis. Bergson pernah memperoleh nobel untuk sastra pada 1927. Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, pemikiran Bergson mulai bergeser ke arah religius. Ia bergabung dalam Gereja Katolik Roma tidak lama sebelum kematiannya. Walaupun demikian, hal ini sengaja ditunda dan dirahasiakan, karena ia tidak ingin memberi kesan mengkhianati bangsa Yahudi, sewaktu Prancis masih ada dalam pendudukan Jerman. Lihat ar-Royce Syarel Helwa, Mausūʻah A’lāmul Falsafah (Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 214. 11 Abdur Rahman bin Zaid az-Zubaidi, Maṣādirul Maʻrifah Fil Fikrid Dīni wal Falsafi, cet. I, (Riyadl: Maktabah al-Muayyad, 1992), 267. 12 Raji Abdul Hamid, Naẓāriyah Maʻrifat Bainal Qurʻān wal Falsafah (Saudi Arabia: Maktabah alMuayyad, 1992), 670-671. 13 Ibid. 672. 9
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 105
Ach. Sayyid
dari keyakinan (i’tiqād), karakter (akhlāk), perbuatan, dan harta benda; dan (2) mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri (īṡār wa mahabbah).14 Jika para filsuf berpendapat bahwa al-hadas hanya bisa diperoleh lewat aktifasi akal melalui metode logik, sedangkan para sufi berpendapat bahwa metode untuk mendapatkan ilmu laduni adalah melalui metode intuitif, maka Abu Hamid al-Ghazali sebagai seorang tokoh tasawuf sekaligus filsafat merekonsiliasikan kedua pendapat sebelumnya dengan menjadikan saluran ilmu laduni berasal dari dua saluran sekaligus, yaitu (1) akal melalui metode logik dan (2) olah spiritual serta praktik syariat (ʻamaliyah syarʻiyah) sebagai jalur intuitif.15 Pembahasan tentang ilmu laduni sangat inheren dengan pendidikan Islam karena pendidikan Islam adalah salah satu pendidikan yang menjadikan intuisi sebagai metode memperoleh Ilmu.16 Karena itu penambahan terma Islam17 dalam terminologi pendidikan Islam yang secara otomatis memberikan pengertian adanya pembatasan kerangka berpikir tentang konsep suatu pendidikan, yang dalam konteks ini dibatasi dengan ajaran-ajaran Islam18 seharusnya juga memberikan pemahaman tentang sebuah model pembelajaran dan metodologi pengajaran yang bersumber dari Dzat Yang Maha Mendidik, Memperhatikan, dan Melindungi19 (arRabb) sebagaimana arti dari kata Islam itu sendiri.20 Namun sangat disayangkan, di era modern ini pendidikan Islam yang tujuan utamanya adalah membentuk individu berkepribadian utuh jasmani dan rohani yang mampu hidup dengan wajar dan normal berdasarkan ketakwaannya kepada Allah SWT (insān kāmil)21 dalam ranah pendekatan, metode, dan teknik pembelajarannya masih terkesan mengesampingkan ranah afektif yang di dalamnya terkandung proses pembersihan jiwa (tazkiyatun nufūs) sebagai media penanaman akhlak sekaligus kunci utama ilmu hikmah. Dampak negatif selanjutnya dari pembelajaran yang hanya menjadikan sumber ilmu hanya dari manusia, baik berupa peserta didik atau pendidik adalah 14
Rosidin, Epistimologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2013), 217. Raji Abdul Hamid, Naẓāriyah Maʻrifat Bainal Qurān wal Falsafah ... , 678. 16 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), 109-110. 17 Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya (1) selamat, (2) tunduk. Pengertian kedua tersebut senada dengan definisi al-Jurjani yang memberikan arti Islam sebagai kerendahan hati dan diri yang disertai proses ittiba’ kepada ajaran Rasulillah SAW. Lihat Ahmad bin Muhammad al-Fayumi, al-Misbāh al-Munīr (Qohiroh: Dar alHadits, 2000), 173. dan Ali Muhammad al-Jurjani, at-Taʻrifāt, (Indonesia: al-Harāmain, tt), 24. 18 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet X (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 24. 19 Sayyid Qutub, Fi Ẓilal al-Qurʻān, Jilid VI (Beirut: Dār as-Syurūq, 1992), 4010. 20 Ahmad bin Muhammad al-Fayumi, al-Misbāh al-Munir ... , 173. 21 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 41. 15
106 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
semakin gersangnya spiritual peserta didik dari nilai-nilai ilāhiyah dalam berbagai disiplin ilmu yang dipelajarinya. Jelas implikasi tersebut sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam yang bermaksud menciptakan manusia paripurna (insān kāmil) dalam setiap jenjang pendidikan berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Dzat Yang Maha Mengetahui.22 Masih terkesampingkannya (1) sumber ilmu dari Dzat Yang Maha Transendental (Tuhan), yang berimplikasi terhadap dekonstruksi metode pembelajaran pendidikan Islam23 hanya terlalu fokus pada pendidik atau peserta didik; (2) alat atau saluran ilmu berupa intuisi dan ilham sebagai ciri khas pendidikan Islam di lembaga formal yang terintegrasikan sebagai metode pembelajaran sekaligus budaya keagamaan (culture of religious); dan (3) minimnya referensi khusus yang membahas ilmu laduni adalah permasalahan krusial yang harus dicarikan problem solvingnya melalui penelitian ini. Sedangkan pemilihan pemikiran Abu Hamid al-Ghazali sebagai fokus kajian tentang konsep ilmu khususnya ilmu laduni bukan karena kesakralan ketokohan atau karena terjebak dalam ortodoksi pemikiran keagamaan (taqdīs al-afkārud dīn) an sich, namun lebih karena beberapa pertimbangan, yaitu: (1) dari perspektif pendidikan, Abu Hamid al-Ghazali memiliki banyak karya tulis yang di dalamnya memuat beberapa komponen pendidikan Islam seperti Ihyaʼ Ulūmuddīn, Ayyuhal walad, dan Mursyidul Amīn24 yang secara riil banyak menjadi bacaan wajib dikalangan tradisionalis dan sebagian pos-modernis; (2) dari perspektif filsafat pendidikan, Abu Hamid al-Ghazali memiliki landasan filosofis berbasis filsafat paripatetik dalam penciptaan25 dan parenial-essensialis kontekstual-falsifikatif26 dalam 22
Ibid. 41. Penggunaan kata Pendidikan Agama Islam dalam judul di atas menyesuaikan dengan tipologi pendidikan Islam yang diketengahkan Khozin mengutip Muhaimin, yaitu (1) Pendidikan Islami atau Pendidikan menurut Islam adalah sebuh konsep, pemikiran, atau teori pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran agama Islam, yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah; (2) Pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam adalah suatu kegiatan yang bertujuan menginstal nilai-nilai ajaran Islam agar menjadi mazhab berpikir, pandangan sekaligus sikap hidup; dan (3) Pendidikan dalam Islam adalah sebuah proses dan praktek pendidikan yang pernah terjadi dan diusahakan dalam sejarah umat Islam. Dengan pengertian lain, Pendidikan Islam adalah berbagai macam pendidikan yang pernah dikembangkan oleh para pakar pendidikan Islam dari generasi ke generasi. Lihat Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (Malang: UMM Press, 2006), 18. 24 Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 234. 25 Paripatetik (masyā’iyah) adalah sebuah istilah yang diadopsi dari bahasa Yunani paripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. kata tersebut secara eksplisit juga merujuk kepada serambi gedung olah raga di Athena, yang biasa digunakan Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan. Dalam tradisi Islam, term tersebut terkenal dengan nama masya’iyah yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain. Term tersebut secara implisit menunjukkan metode pengajaran Aristoteles dalam menggembleng siswa-siswanya. Lihat Majid Fakhri, “al-Masyāʻiyah al-Qadīmah” 23
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 107
Ach. Sayyid
pendidikan sebagaimana termaktub dalam beberapa karyanya seperti Misykātul Anwār, Munqiż Minaḍ Ḍhalāl, dan Maqhāshidul Falāsifah; dan (3) dari segi metodologi (manhaj) pemikiran, Abu Hamid al-Ghazali termasuk ulama beraliran sunni yang telah mampu merekonsiliasi dengan begitu harmonis antara ketiga fondasi pokok syariat Muhammad SAW, yaitu Islam (fikih), Iman (teologi), dan Ihsan (tasawuf). Sebuah metodologi yang secara aplikatif menjadi manhaj para intelektual muslim Sunni, khususnya di Indonesia terlebih kaum muslim tradisionalis.27 Metode Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research). Yang berusaha mengkaji berupa kitab, buku, jurnal dan lain sebagainya yang bersifat tulisan yang berhubungan dengan topik penelitian terutama karya Abu Hamid alGhazali. Dalam library research ini, penulis akan menggunakan penelitian deskriptif dengan lebih menekankan pada kekuatan analisis sumber dan data yang ada, dengan mengandalkan konsep yang ada untuk diinterpretasikan.28 Sumber data ada dua yaitu: Pertama, sumber primer adalah kitab karya Abu Hamid al-Ghazali (Risalatul Ladunniyah; Ihya’ ʻulūmuddīn; Misykātul Anwār; Mursyīdul Amīn; Kimiyāʼus Saʻādah; Maqāṣidul falāsifah; dan Maʻārijul Qudsi). Kedua, sumber sekunder adalah kitab al-Munqkiẓ Minaḍ Ḍhalāl; Fātihatul ʼUlūm; al-Mankhūl; alHikmah Fī Makhlūqātillāh; Tahātuful Falāsifah; Faḍāihul Baṭiniyah;Mauiẓotul
dalam Main Ziyadah (Ed.) al-Mausū’atul Falsafiyatul Arābiyah, Cet I, Jilid II (Tkp: Ma’had al-Inma alArābiyah, 1998), 1274. 26 Tipologi parenial-essensialis kontekstual-falsifikatif adalah sebuah filsafat pendidikan Islam yang berusaha untuk selalu bersikap moderat antara kembali ke masa lalu dan masa sekarang lewat kontekstualisasi dan uji falsifikasi dalam mengembangkan wawasan-wawasan pendidikan Islam. dalam perspektif filsafat ini, fungsi utama pendidikan Islam adalah untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai, baik yang terdapat dalam idealitas ilahiyah atau ketika sudah ter-instalisasi dalam realitas insaniyah –meminjam istilah Faisal Ismail - sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan sosial. Lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), 104. 27 Kesimpulan di atas secara eksplisit mendapatkan justifikasi dari praktek keberagamaan para penganut Islam Tradisionalis di Indonesia khususnya Nahdlatul Ulama, yang menjadikan pemikiran Abu Hamid al-Ghozali sebagai reference utama sekaligus mazhab dalam bertasawuf. Lihat A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogyakarta: LKPSM, 1999), 39-41. 28 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian suatu Pemikiran dan Penerapannya (Jakarta: Reneka Cipta, 1999), 25. Penelitian Deskriptif secara khusus bertujuan untuk (1) Memecahkan masalah- masalah aktual yang dihadapi sekarang ini, dan (2) mengumpulkan data dan informasi untuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Lihat S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, Cet, ke-2, 2000), 8
108 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
Muʼminīn berbagai literatur di era kekinian baik buku maupun jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis data yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersumber dari hasil eksplorasi data kepustakaan. Dalam hal penelitian ini menggunakan 6 tahapan analisis isi, yaitu: unitizing, sampling, recording, reducing, abductively inferring, dan naratting.29 Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas sebagai upaya pengecekan keabsahan data penelitian. Kredibilitas data adalah mengonfirmasi serta memverifikasi data penelitian yang telah didapat kepada subyek penelitian sehingga keaslian dan keobjektifan data dapat terjamin tanpa ada rekayasa.30 Oleh karena itu, upaya yang akan dilakukan peneliti dalam mengecek kredibilitas data penelitian ini adalah dengan teknik triangulasi data, meningkatkan ketekunan, diskusi teman sejawat, dan kecukupan bahan referensi.31 Peneliti akan membandingkan data-data dalam bentuk karya-karya yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali yang berkenaan dengan Ilmu Laduni dengan beberapa tulisan orang lain mengenai pemikiran Abu Hamid al-Ghazali tentang paradigma tersebut. Temuan Penelitian dan Pembahasan Epistemologi Ilmu Dalam Perspektif Abu Hamid Al-Ghazali Pertama, Definisi Ilmu Dalam Risālatul Laduniyah secara eksplisit Abu Hamid al-Ghazali menerangkan tentang definisi ilmu (science), orang yang berilmu (al-ālim), sesuatu yang telah menjadi ilmu (al-maʻlūm), dan permisalan ilmu dengan sebuah cahaya (nūr). Beberapa definisi yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, sebagaimana di bawah ini: Definisi ilmu (science) adalah keberhasilan jiwa yang berpikir lagi tenang mempersepsikan dan mengimajinasikan hakikat sesuatu (verite formalle). Sebuah imajinasi abstraktif secara konkret (aʻyān), kualitas (kayfiyah), kuantitas (kimiyah), substansi (jawhar), dan esensi (żātun). Definisi orang berpengetahuan (al-ʻālim) adalah orang yang mempunyai kemampuan menerima ilmu (al-muhīṭ), mempersepsikan ilmu (al-mudrik), dan merekam ilmu dalam fakultas esoteriknya (al-mubtaṣir). Definisi sesuatu yang diketahui (al-maʻlūm) adalah esensi sesuatu yang telah terukir dalam jiwa yang berpikir. Ilmu (science) adalah sebuah eksistensi, eksistensi lebih baik dari ketiadaan (alʻadāmu, non being), sedangkan petunjuk dan cahaya ada dalam rangkaian 29
Klaus Krippendorff, Content Analysis: An Introductions to its Methodology (Second Edition) (California: Sage Publication, 2004), 27 30 Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 7. 31 Nurul Ulfatin, Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikann: Teori Dan Aplikasi, (Malang: Banyu Media Publishing), 271-275.
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 109
Ach. Sayyid
eksistensi. Konsekuensinya adalah, eksistensi lebih tinggi dari ketiadaan (alʻadāmu, non being) maka ilmu lebih mulia dari kebodohan. Karena kebodohan sama seperti kebutaan dan kegelapan sedangkan ilmu sama seperti penglihatan dan cahaya sebagaimana firman Tuhan, “Tidaklah sama antara orang yang buta dengan yang melihat sebagaimana tidak sama antara kegelapan dengan cahaya”.32 Kedua, Dalam al-Mankhūl secara eksplisit Abu Hamid al-Ghazali menerangkan saluran ilmu sebagaimana di bawah ini: Saluran atau alat ilmu yang berkembang di masa Abu Hamid al-Ghazali ada enam dan menjadi tujuh karena Abu Hamid al-Ghazali menambah satu saluran ilmu khas produk pemikiran Abu Hamid al-Ghazali. Ketujuh saluran ilmu adalah: a) Al-Qurʼān dan as-Sunnah, namun membuang jauh-jauh rasio sebagaimana pendapat kaum Hasyawiyah. b) Panca indera. c) Khabar mutawatir sebagaimana pendapat kaum Sanamiyah. d) Berpikir dan merenung sebagaimana pendapat ulama India. e) Rasio (intelegensi) sebagaimana pendapat al-Qalansī. f) Ilham. g) Membedakan objek pengetahuan (al-mayzu, distinction) sebagaimana pendapat hasil eksperimen Abu Hamid al-Ghazali.33 Hierarki Ilmu Abu Hamid Al-Ghazali Dalam Perspektif Filsafat 1. Definisi Ilmu Laduni Secara eksplisit Abu Hamid al-Ghazali mendefinisikan ilmu laduni sebagai ilmu yang diperoleh oleh seseorang yang telah berhasil menstabilkan emosional, spiritual, dan intelektualnya. Sebagaimana ungkapannya dalam Kitab Risālatul laduniyah dibawah ini:
ُدا ُنُد ْعِإا ِإا ُد ُدا ُنل َل الَّن ِإَّنِإ ِإ ْع لَل َّن ِإ ْع َلا ال ْعل َل الَّن ُد ْيِّنْع َل ُد َل ُد ْع َل ْع ُد َل َل ْع َل ْع ْع
Ilmu laduni adalah pancaran cahaya ilham yang terjadi setelah terjadinya kesetabilan emosional, spiritual, dan intelektual seseorang. Berdasarkan definisi di atas, maka untuk memahami dengan komprehensif tentang terminologi ilmu laduni dalam perspektif Abu Hamid al-Ghazali, dalam poin-poin selanjutnya akan dibahas dan dikaji dengan mendalam tentang term cahaya, ilham, dan potensi manusia yang berhubungan erat dengan terma taswiyah (kestabilan emosional, spiritual, dan intelektual seseorang)
32
Abu Hamid al-hazali, Risālatul Laduniyah dalam Majmūʻatur Rasāʼilil Imāmil Ghazāli (Mesir: Maktabah Tawfiqiyah, tt.), 240. 33 Abu Hamid al-Ghazali, al-Mankhūl, Editor: Muhammad Hasan Baito (tp: Chicago Univershity, tt ), 34 Abu Hamid al-Ghazali, Risālatul Laduniyah ... , 252.
110 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
2. Kajian Cahaya (Nūr) dalam Perspektif Abu Hamid al-Ghazali Mengkaji tentang cahaya (nūr) dalam perspektif Abu Hamid al-Ghazali maka kitab Misykātul Anwār (relung-relung cahaya) adalah kitab paling representatif yang menerangkan tentang seluk beluk cahaya dalam sudut pandang Abu Hamid alGhazali. Sebuah kitab yang secara khusus membahas cahaya (nūr) dan kegelapan (ḍulmatun) dan berbagai hal yang berhubungan dengan keduanya.35 Pertama, Pembahasan tentang cahaya dalam kitab Misykātul Anwār (relungrelung cahaya) berporos kepada eksplorasi makna cahaya yang terdapat dalam Q.S An-Nur 35 yang terkenal sebagai ayatun nūr (ayat cahaya) yang artinya sebagaimana di bawah; “Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah celah yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar.Pelita itu ada di dalam kaca, kaca itu bagaikan bintang seperti mutiara.Dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati yaitu pohon zaitun, (yang tumbuh) tidak disebelah timur dan tidak pula di sebelah barat. Hampir-hampir saja minyaknya meneragi, walaupun minyaknya tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya.Allah memberikan kepada cahanya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”36 Berdasarkan ayat Q.S An-Nur 35 di atas, Abu Hamid al-Ghazali mengembangkan konsep pemikirannya tentang cahaya (nūr) yang bisa kita ringkas dalam kajian definisi, tingkatan, cahaya, dan hubungan cahaya dengan potensi manusia. Dalam mendefinisikan cahaya (nūr) Abu Hamid al-Ghazali menggolongkannya menjadi tiga definisi sesuai dengan subyek yang menggunakan terma tersebut dalam interaksi mereka. Subyek pengguna terma cahaya (nūr) menurutnya ada tiga kelompok, yaitu golongan umum (ʻawām), golongan khusus (khowāṣ), dan golongan paling khusus (khowāṣul khowāṣ). Golongan pertama, golongan umum (ʻawām) mengartikan cahaya sebagai sesuatu yang tampak atau jelas (ḍuhūr). Karakter tampaknya sesuatu adalah bersifat nisbi, artinya terkadang suatu cahaya itu bisa menjadikan sesuatu menjadi tampak terlihat namun di sisi lain juga sebaliknya. Sebagai sesuatu yang menampakkan benda lain, cahaya menurut orang awam adalah alat pengetahuan, yang alat tersebut hanya sebatas panca indera terutama indera penglihatan. Objek penglihatan dinisbatkan kepada indera penglihatan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1) Sesuatu yang dengan sendirinya tidak bisa dilihat seperti kegelapan. 2) Sesuatu yang dengan sendirinya boleh terlihat tapi tidak bisa 35 36
Abu Hamid al-Ghazali, Misykātul Anwār dalam Majmūʻah Rasāʼil al-Ghazāli, 286. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 8, cet iv, (Ciputat: Lentera Hati, 2011), 548.
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 111
Ach. Sayyid
menjadikan benda lain terlihat seperti bintang-bintang dan api yang belum menyala. 3) Sesuatu yang dengan sendirinya boleh terlihat dan menjadikan benda lain terlihat seperti matahari, lampu dan api yang menyala.37 Golongan kedua, golongan khusus (khowāṣ) berpendapat bahwa cahaya adalah sesuatu yang terlihat dan menjadi sebab terlihatnya benda lain. Dalam persepsi golongan ini, cahaya yang tampak dalam penglihatan adalah sama dengan roh (rūh, spirit). Sama dalam melihat sesuatu. Bahkan penglihatan ruh lebih tajam dan lebih bisa dipercaya dalam membidik, memotret serta menghadirkan data dari pada mata biasa. Berdasarkan persepsi tersebut, maka menurut mereka cahaya adalah cahaya mata, bukan mata itu sendiri. Sedangkan korelasi cahaya (nūr) dengan potensi manusia dalam menerima ilmu laduni, ialah sebagaimana pada poin sebelumnya telah disebutkan bahwa menurut golongan khawāṣul khawāṣ, akal, roh, dan jiwa adalah nama bagi cahaya (nūr) yang sesungguhnya. Karena ketiganya adalah alat untuk menemukan ilmu dalam diri manusia (idrāk), maka di bawah ini akan dikemukakan definisi, fungsi, keutamaan, dan pembagian dari akal (dimaksudkan untuk menunjukkan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.38, Kedua, Relasi Cahaya (Nūr) Sebagai Representatif Akal Aktif (al-ʻaqlul Faʻāl, intelligence active) Dengan Cahaya (Nūr) Sebagai Representatif Syariat. Dalam pandangan Abu Hamid al-Ghazali, pengetahuan yang telah berhasil direkam oleh berbagai fakultas akal sifatnya adalah masih berupa imajinatif, global, masih samar, dan memiliki kebenaran relatif. Sebuah sifat yang konstan sampai pengetahuan tersebut tercerahkan oleh pancaran cahaya bernama akal aktif (intelligence active, aqlul faʻāl) sebagaimana pendapat Abu Hamid al-Ghazali di bawah ini: Secara individualis, akal sangat membutuhkan faktor eksternal dalam memahami hakikat sesuatu, bahkan karakter utama akal adalah kemampuannya yang hanya mampu memahami suatu realita secara makro (kulliyāt, universal), bukan secara mikro (juzʼiyyāt). Karena itulah dia hanya tahu secara global tentang niat yang bagus, perkataan yang benar, perbuatan yang baik …, selalu menjaga kehormatan dan yang lainnya. Artinya akal tidak mampu mendeskripsikan berbagai kualitas dan kuantitas berbagai sifat tersebut dalam berbagai realita kehidupan. Sebaliknya, syariat di samping ia mengetahui yang makro dia juga mengetahui yang mikro. Artinya dia mengetahui tentang sebuah sifat beserta hakikat, kualitas, dan kuantitasnya dalam berbagai realitas kehidupan.39 Karena itulah antara akal dengan syariat -menurut Abu Hamid al-Ghazaliterjadi simbiosis mutualisme. Sebuah korelasi saling menguntungkan antara 37
Abu Hamid al-Ghazali, Misykātul Anwār ..., 287. Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, Vol I, (Bairut: Dārul Kutubil Islāmiyah, tt), 84. 39 Abu Hamid al-Ghazali, Maʻārijul Qudsi (Qohiroh: Matbaʻah al-Istiqāmah, tt), 47. 38
112 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
keduanya yang tercermin dalam kesesatan akal jika meninggalkan syariat, dan ketidakjelasan syariat jika membuang akal. Perumpamaan akal adalah laksana mata yang memandang sedangkan syariat adalah laksana cahaya yang menerangi pandangan.40 Ketiga, Dasar Pijakan Ilmu Laduni Dalam Perspektif Abu Hamid al-Ghazali, Dalam mengungkapkan pendiriannya tentang konsep ilmu laduni, ia menjustifkasi konsepsinya tersebut dengan argumen normatif berdasarkan al-Qurʼān dan al-Hadīṡ serta argumen berdasarkan eksperimen spiritual dari orang-orang tertentu. a. Landasan Normatif (al-Qurʼān dan Hadits) Di antara ayat al-Qurʼān yang dipergunakan Abu Hamid al-Ghazali menjustifikasi konsepsinya tentang ilmu laduni adalah: 1) Q.S an-Nisāʻ/ 113 tentang pengajaran langsung oleh Allah kepada Nabi Adam as.41 Yang artinya sebagaimana berikut; Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. Q.S an-Najem ayat 1-11 tentang pengajaran langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw.42 Yang artinya; Demi bintang ketika terbenam (2) Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru (3) Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya (4) Ucapan itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (padanya) (5) Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (6) Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (7) Sedang dia berada di ufuk yang tinggi (8) Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi (9) Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi) (9) Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan (10) Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Q.S. At-Talak ayat 2-3 tentang janji Allah berupa jalan keluar dari berbagai beban kehidupan dan pengetahuan tanpa proses belajar dan produk tanpa eksperimen.43 Yang artinya; (2) Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar (3) Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan 40
Ibid. 46-47. Abu Hamid al-Ghazali, Risālatul Laduniyah ... , 249. 42 Ibid. 43 Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, jilid iii, 22. 41
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 113
Ach. Sayyid
mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Kemudian di antara landasan normatif (al-Hadīṡ) yang dipergunakan Abu Hamid al-Ghazali dalam menjustifikasi konsepsinya tentang ilmu laduni adalah sebagai berikut: Pertama, tentang jaminan munculnya ilmu hikmah dari dalam hati yang telah tersinari cahaya ibadah secara kontinu melalui metode penyingkapan (alkasyfu, discovery) dan ilham (intuition).44 “Barang siapa mengamalkan ilmu yang dia ketahui maka Allah akan mewariskan padanya ilmu yang belum dia ketahui sesuai kadar amaliyah ilmunya sehingga dia masuk surga.” Kedua, tentang Jaminan kestabilan intelektual, emosional, dan spiritual bagi orang yang hatinya telah tersinari cahaya ibadah sehingga mendapat rida Tuhannya.45 Rasulillah saw ditanya tentang maksud dari kata terbuka (syarhun) dalam firman Allah swt, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” Nabi menjawab: Syarhun adalah kelapangan dada karena telah tercerahkan oleh pancaran cahaya. b. Landasan Eksperimen Spiritual Di antara landasan eksperimen spiritual yang dikemukakan Abu Hamid alGhazali dalam menjustifikasi konsepsinya tentang ilmu laduni adalah: Pertama, Pernyataan Ali Karramallāhu Wajhahu bahwa ada pengetahuan tanpa proses belajar.46 Ali ra. berkata : Tidak ada sesuatu yang kami miliki yang lebih disukai Rasulillah saw kecuali ketika ada seorang hamba yang bisa memahami Kitab-Nya tanpa melewati proses pembelajaran. Telah terdapat suatu tafsir mengenai firman Allah swt bahwa kalimat-kalimat hikmah dalam firman-Nya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki,” artinya adalah pemahaman. Kedua, Pernyataan Abu Dardaʼ bahwa orang mukmin melihat dengan cahaya dari Allah (bi nūrillāh).47 Abu Darda’ berkata: Pandangan seorang mukmin adalah dengan cahaya Allah (nūrillāh) yang dan terletak di belakang tirai yang sangat halus. Cahaya itu benarbenar nyata. Sebuah cahaya yang disorotkan Allah kedalam hati orang yang beriman dan ditampakkan dalam tutur kata mereka. 44
Ibid. Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, jilid iii, 23. 46 Ibid. 47 Ibid. 45
114 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
3. Epistemologi Ilmu Laduni Dalam Perspektif Abu Hamid al-Ghazali a. Metode Mendapatkan Ilmu Laduni Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Risālatul Laduniyah, Metode untuk memperoleh ilmu laduni adalah dengan melalui empat tahap, yaitu (1) proses belajar (ta’allum). (2) proses riyāḍah, (3) berfikir (tafakkur),48 dan (4) mengonsumsi makanan halal. Pertama, proses belajar, pendekatan metode ini menggunakan dua proses, yaitu pendekatan eksternal (khārijun) dan internal (dākhilun). Pendekatan pertama adalah melalui proses belajar,49 yang oleh Abu Hamid al-Ghazali diartikan dengan proses eksplorasi sesuatu dari sebuah potensi (al-quwwah) menjadi aktual (al-faʻli).50 Sedangkan pendekatan kedua adalah melalui proses berpikir (tafakkur). Tafakur menurut Abu Hamid al-Ghazali adalah usaha jiwa makro dalam menyerap suatu pengetahuan. Proses pengaktifan jiwa makro memberikan hasil yang lebih mendalam dan fenomenal dari pada belajar dari faktor eksternal yang tercitrakan dalam belajar dari para ilmuan dan intelektual.51, Kedua, Riyāḍah dan mujāhadah yang menjadi kendaraan menuju penyingkapan spiritualitas adalah metode para nabi menggapai kesempurnaan ilmu mereka sebagaimana firman Allah swt, “Ingatlah Tuhan-mu dan beribadahlah kepadaNya dengan penuh ketekunan”. Makna firman Allah swt. tersebut adalah memfokuskan tujuan dan usaha hanya untuk Allah, menyucikan hati dari Selain Allah, dan beribadah kepadanya dengan total. Di samping riyāḍah dan mujāhadah adalah metode para nabi, keduanya juga metode para kekasih Tuhan karena ilmu mereka juga tersorot kemudian terekam dalam relung hati mereka langsung dari Tuhan tanpa perantara.52 Menurutnya kemampuan menyingkap alam metafisika melalui riyāḍah juga bisa dilakukan oleh semua manusia tanpa terkecuali. Maka sebagai kata motivasi Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Tanamlah maka engkau akan memanen, berjalanlah maka engkau akan sampai, dan carilah maka engkau akan menemukan”. Juga perlu diingat, bahwa proses menanam, berjalan, dan mencari membutuhkan sebuah spirit yang bernama mujāhadahdan kesabaran.53 Ketiga, Untuk mengerti hakikat dari berpikir maka ada dua hal fundamental yang harus dimengerti lebih dahulu, yaitu pembukaan berpikir (muqaddimātul fikri) dan proses setelah berpikir (lawāhiqul fikri). Pembukaan berpikir (muqaddimātul fikri)
48
Abu Hamid al-Ghazali, Risālatul Laduniyah ... , 252. Ibid. 247. 50 Ibid. 247-248. 51 Ibid. 247. 52 Abu Hamid al-Ghazali, Kimiyāʻus Saʻādah dalam Majmūʻatur Rasāʼilil Imāmul Ghazāli, 454. 53 Ibid. 455. 49
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 115
Ach. Sayyid
meliputi proses mendengarkan (simāʻ, hearing), kesadaran (tayaqquẓ), mengingat (tażakkur, reminiscence), dan berpikir (tafakkur, think). Sedangkan proses setelah berpikir (lawāhiqul fikri) adalah ilmu.54 Hakikat mendengarkan (simāʻ) adalah mengambil manfaat dari berbagai perkara yang didengarkan baik berupa hikmah, nasehat, dan sesamanya. Syarat mendengarkan adalah memperhatikan (iṣgāʼ). Hukum memperhatikan (iṣgāʼ) adalah wajib dalam mendengarkan semua ilmu yang hukumnya fardhu ain, sunnah dalam semua ilmu yang terpuji, haram dalam semua perkara yang diharamkan sariat, dan makruh dalam semua perkara yang dimakruhkan syariat. Keempat, mengonsumsi makanan halal. mengonsumsi makanan dan minuman halal adalah salah satu metode untuk memperoleh ilmu laduni. Karena dalam kerangka berpikir Abu Hamid al-Ghazali, makanan dan minuman yang halal adalah sumber dari pencerahan akal, jiwa, dan hati spiritual yang ketiganya adalah tempat-tempat terproduknya ilmu laduni. Dalam menguatkan pernyataannya, Abu Hamid al-Ghazali menguatkan pendapatnya dengan dalil-dalil normatif, baik dari al-Qurʼān, dan al-hadīṡ. alQurʼān55. Perintah mengonsumsi makanan dan minuman yang halal sebelum melakukan berbagai aktifitas positif. Karena makanan dan minuman itu akan menjadi sumber energi positif yang memudahkan terealisasinya berbagai aktifitas positif. Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: alMukminun: 51) b. Saluran Ilmu Laduni (Ṭāriqatul ʻIlmil Laduni) Pertama, al-Qalbu, Abu Hamid al-Ghazali dalam Mursyīdul Amīn mengelompokkan al-qalbu kedalam dua bagian yaitu al-qalbu secara material dan alqalbu secara spiritual.56 al-Qalbu secara spiritual, Pembahasan hati dalam perspektif spiritual adalah pembahasan terpenting dalam kajian Abu Hamid al-Ghazali tentang al-qalbu. Karena dalam pembahasan tersebut tampaklah berbagai hal fundamental yang berhubungan dengan al-qalbu tersebut. Setidaknya dalam Ihyā’ ʻUlmuddīn dan Mursyīdul Amīn kita akan temukan pembahasan tentang hakikat alqalbu, keitimewaan, klasifikasi, keadaan al-qalbu, dan posisi serta permisalan hati dalam menyerap ilmu pengetahuan.
54
Abu Hamid al-Ghazali, Rauḍatuṭ Ṭālibīn (Bairut: Dārul Fikri, tt), 149. Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, jilid ii ... , 90. 56 Abu Hamid al-Ghozali, Mursyīdul Amin ... , 113. 55
116 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dengan eksplisit Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan bahwa hakikat alqalbu adalah: Hati spiritual adalah laṭīfah rabbāniyah rūhaniyah yang mempunya korelasi unik dengan hati material. Laṭīfah rabbāniyah rūhaniyah tersebut adalah hakikat dari manusia karena dialah bagian manusia yang menemukan hakikat sesuatu (almudrik), mengetahui (al-alim), dan mengenal (al-ārif), yang terkena khitob syariat, disiksa (al-muʻāqab), dan dicela (al-muʻātab).57 Dalam menerangkan korelasi hati dengan akal maka dalam Mursyīdul Amīn diterangkan bahwa hati spiritual adalah bagian manusia yang memahami Allah dan memahami sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh angan-angan semu (wahmun) dan imajinasi dan fantasi (khoyyāl)58 Kedua, Wahyu dan Ilham, Dalam menjelaskan wahyu dan ilham sebagai saluran ilmu laduni, marilah kita lihat paparan Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyāʼ Ulūmuddin di bawah ini: Adapun alat kognisi kedua untuk mengetahui alam akhirat adalah wahyu bagi para nabi dan ilham bagi para wali. Janganlah kalian mempersepsikan bahwa sumber pengetahuan nabi tentang alam akhirat dan agama adalah berdasarkan taklid kepada Jibril As melalui pendengaran (simāʻ) sebagaimana pengetahuan anda adalah bersumber dari taklid kepada Rasulullah SAW sehingga pengetahuan anda sama dengan pengetahuan nabi … Karena (1) taklid bukanlah sebuah pengetahuan akan tetapi tidak lebih dari melestarikan akidah yang benar; dan (2) para nabi adalah orang-orang yang mengetahui (ārifun). Mengetahui sebuah pengetahuan berdasarkan saluran mata hati.59 c. Pancaran (Emanasi) Akal Aktif (al-ʻqlul faʻāl) Kedalam Jiwa (nafsun) Sebagai Sumber Ilmu Laduni (Maṣdārul ʻĪlmil Laduni) Berdasarkan pengertian bahwa jiwa manusia adalah tempat bersemayamnya semua ilmu maka tidak heran jika Abu Hamid al-Ghazali menyimpulkan bahwa jiwa manusia adalah tempat emanasi akal aktif menyorotkan ilmu laduni. Sebuah pancaran yang mencerahkan gerak motorik dan kognitif manusia sebagaimana di bawah ini: Sesungguhnya Allah SWT menjadikan manusia dari dua unsur yang berbeda, yaitu: 1) Fisik yang gelap, tebal, terkena hukum kausalitas dan kerusakan, tersusun dari berbagai organ, tercipta dari tanah, dan yang selalu membutuhkan faktor eksternal.
57
Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, jilid ii ... , 206. Abu Hamid al-Ghozali, Mursyīdul Amin ... , 113. 59 Abu Hamid al-Ghazali, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, jilid IV ... , 381. 58
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 117
Ach. Sayyid
2) Substansi jiwa (an-nafsul jauhari) yang bersifat tunggal, mencerahkan, berpikir, beraksi, bergerak, dan menyempurnakan fungsi organ tubuh manusia. Allah SWT menumbuh kembangkan fisik manusia dengan nutrisi makanan, melempengkan pantatnya, mengokohkan sendi-sendi tulang mereka, memperjelas pandangan mereka, kemudian menampakkan esensi jiwa yang tunggal, sempurna, menyempurnakan, dan memberi faidah. Esensi jiwa yang saya maksud –kata al-Ghazali- bukanlah potensi makan, bukan pula potensi yang merangsang syahwat dan marah, juga bukan potensi jiwa manusia yang bersemayam di dalam hati manusia sebagai sumber kehidupan karena potensi yang memfungsikan panca indera dan merangsang gerak hati mengendalikan organ tubuh adalah rūhul hayawānī (spirit animal). Sedangkan potensi yang berada dalam hati sekaligus merangsang untuk makan dinamakan rūh ṭabīʻat (spirit of habitude).60 Setelah Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa yang berpikir (nafsun nātiqah) adalah pusat intelektual manusia, maka di bawah ini akan dikemukakan pengaruh (aṡarun) pancaran dan pencerahan (emanasi, fayḍun) akal aktif (al-ʻaqlul faʻāl) terhadap jiwa manusia (nafsul insān). Pembahasan tentang proses emanasi tersebut oleh Abu Hamid al-Ghazali dikaji dalam beberapa poin sebagaimana berikut ini; Pertama, Petunjuk jiwa yang berpikir (nafsun nāṭiqah, de anime) terhadap akal aktif (intelligence active, al-ʻaqlul faʻāl). Berdasarkan pengertian bahwa jiwa manusia dikatakan sebagai substansi yang berteori dalam berbagai objek rasio dan mengerti secara arti makro (universal meaning) bagi anak kecil adalah dengan bantuan potensi, kemudian menjadi berteori secara aktual. Maka dalam rangka mentransformasikan sebuah potensi menjadi kekuatan faktual harus ada perantara yang disebut sebab. Perantara tersebut tidak boleh berupa fisik (body, corpus, jismun) karena potensi bukanlah sebuah fisik dan tempat ilmu-ilmu aqliyah bukanlah di fisik sehingga dia bisa dibatasi oleh tempat (makān, hayzi, space). Jika demikian, maka perantara tersebut adalah substansi yang tidak bermateri. Dialah akal aktif (intelligence active, al-ʻaqlul faʻāl). Sebuah perantara yang dalam istilah syariat diberikan kepada para nabi dan manusia melalui perantara malaikat.61 Kedua, Proses emanasi ilmu pengetahuan dari akal aktif (intelligence active, alʻaqlul faʻāl) kedalam jiwa yang berpikir (nafsun nāṭiqah, de anime). Proses terjadinya ilmu dalam jiwa yang berpikir adalah ketika sebuah imajinasi tidak berhasil di rasakan, maka berbagai abstraksi makna makro (universal meaning) juga tidak dapat dilakukan. Dalam kasus anak kecil yang belum mampu mengabstraksikan sebuah pemikiran, maka berbagai imajinasi 60 61
Abu Hamid al-Ghazali, Risālatul Laduniyah ... , 241. Abu Hamid al-Ghazali, Maqāṣidul falsafah ... , 372.
118 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
tersebut hanya berupa bentuk (form) yang gelap tanpa bisa diidentifikasikan. Ketika persiapan jiwa anak kecil tersebut telah sempurna maka akal aktif menjadikan bentuk (form) yang gelap tanpa bisa diidentifikasikan tadi menjadi terang, terimajinasi, dan terabstraksi sehingga jiwa bisa membedakan sebuah bentuk dengan sempurna sebagaimana aslinya.62 Ketiga, Ekspresi kebahagian jiwa yang berpikir (nafsun nāṭiqah, de anime) dengan akal aktif (intelligence active, al-ʻaqlul faʻāl) setelah kematian. Kebahagiaan (happiness, saʻādah) Yang di maksud kebahagiaan (happiness, saʻādah) adalah kesiapan jiwa untuk menerima sebuah emanasi dari akal aktif (intelligence active, al-ʻaqlul faʻāl) dan bersuka-ria dengan selalu terhubung dengannya. Ketika jiwa telah sampai pada batas yang demikian maka dia tidak lagi membutuhkan fisik dan panca indera. Akan tetapi dalam realitanya, jiwa fisik selalu menarik, menyibukkan, dan mencegah jiwa mencapai kesempurnaannya. Sebab itulah, jika kesibukan fisik telah sirna karena kematian, maka terbukalah tirai, hilanglah penghalang (hijāb), dan secara kontinuitas terjadi persambungan. Persambungan yang tidak pernah terputus karena kekekalan jiwa dan akal aktif dalam sebuah proses emanasi (fayḍ).63 Keempat, Ekspresi Jiwa yang celaka karena terhalang dari akal aktif (al-ʻaqlul faʻāl) oleh sebab akhlak yang tercela. Celaka (syaqāwatun) Definisi celaka dalam konteks keilmuan adalah ketika jiwa terhijab dari tuntutan karakter alaminya yang berupa kebahagiaan bernikmat-nikmat dengan pengetahuan. Jika kondisi seperti ini terjadi, maka nafsu tersebut dalam kondisi celaka. Celaka karena terhalang antara esensinya dengan naluri alaminya.64 Karakter nafsu yang celaka adalah mengikuti syahwat (hedonisme), mendewakan kebutuhan ragawi, dan memprioritaskan kepentingan alam yang fana (materialisme). Sebuah karakter yang semakin hari semakin menguasai kejiwaannya. Kendali kuasa yang menjadikannya selalu rindu dunia. Kerinduan yang menjadikannya merasa terpukul dengan kematian. Terpukul karena kehilangan sensor alat kerinduan dan radar untuk mencari ilmu. Kehilangan bercampur kerinduan dan kegelisahan yang terus mencekam tanpa batas waktu dalam perpisahan dengan akal aktif. Penutup Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Ilmu laduni dalam perspektif Abu 62
Ibid. 372-373. Ibid. 373-374. 64 Ibid. 374-375. 63
Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 119
Ach. Sayyid
Hamid al-Gazali memiliki dua dimensi, yaitu dimensi terbatas dan dimensi tidak terbatas. Maksud dari keterbatasan dimensi ilmu laduni adalah berdasarkan sudut pandang bahwa dia adalah sebuah produk dari bagian ilmu yang dihadirkan (huḍūri). Namun walaupun ilmu laduni dalam pemikiran Abu Hamid al-Ghazali adalah hanya sebuah produk, tapi dia memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan pencerahan, pemahaman, dan pemecahan berbagai masalah dalam pembelajaran (problem solving). Sedangkan maksud dari ketidakterbatasan dimensi jelajah ilmu laduni adalah sifat pencerahan, pemahaman, dan pemecahan yang dimilikinya terhadap berbagai permasalahan yang awalnya bersumber dari sebuah emanasi terhadap sisi spiritualitas manusia merambah kesemua dimensi hierarki keilmuan sebagaimana diterangkan Abu Hamid al-Ghazali. Metode yang ditawarkan Abu Hamid al-Ghazali untuk memperoleh ilmu laduni adalah Pertama, Belajar dan berpikir untuk memperoleh emanasi hakiki berupa kecerdasan intelektual (IQ) melalui akal spiritual. Kedua, Riyāḍah, Mujāhadah, dan sabar untuk menginstalasi kecerdasan emosional (EQ) yang bersumber dari kejernihan cermin hati dan kesucian jiwa. Ketiga, Mengonsumsi makan yang halal untuk menyetimulus berbagai kecerdasan, intelektual dan emosional lewat kecerdasan spiritual (SQ). Kurikulum yang tepat untuk meraih ilmu laduni adalah kurikulum humanistis. Alasannya, karena karakter kurikulum humanistis adalah aktualisasi potensi dasar manusia melalui pendidikan. Karakter tersebut sangat sesuai dengan pengertian terbatas ilmu laduni yang menunjukkan keterbatasannya hanya sebagai produk dari aktualisasi potensi lahiriah manusia. Berbagai potensi lahiriah, yang oleh Abu Hamid al-Ghazali dinyatakan bersumber dari saluran ilmu yang dinamakan secara mutlak sebagai hati spiritual, yaitu potensi lahiriah manusia yang mempunyai substansi sebagai esensi spiritualitas manusia yang bersifat ketuhanan dan sumber berbagai pengetahuan sekaligus cermin penerima pantulan cahaya dari alam metafisika tempat tercatatnya semua ilmu pengetahuan (laṭīfatur robbāniyatur rūhiyyah). Dalam perspektif ilmu laduni sebagai produk aktualisasi diri manusia yang terdidik, baik dalam pendidikan insaniyah atau robbaniyah, ilmu laduni memiliki kontribusi yang nyata terhadap tujuan pendidikan Islam, yaitu mencetak manusia paripurna baik secara fisik atau non-fisik. Daftar Pustaka A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), 39-41. Abdul Gholib Ahmad Isa, Mafhūmut Tasawwuf, (Bairut: Dār al-Jīl, 1992)
120 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Ilmu Laduni dalam Perspektif Pendidikan Islam
Abdur Rahman bin Zaid az-Zubaidi, Maṣādirul Maʻrifah Fil Fikrid Dīni wal Falsafi, cet. I, (Riyadl: Maktabah al-Muayyad, 1992) Abu Hamid al-Ghazali, al-Mankhūl, Editor: Muhammad Hasan Baito, (tp: Chicago Univershity, tt ), ---------------, Ihyāʼ ʻUlūmuddīn, Vol I, (Bairut: Dārul Kutubil Islāmiyah, tt), 84. ---------------, Maʻārijul Qudsi, (Qohiroh: Matbaʻah al-Istiqāmah, tt), 47. ---------------, Majmūʻah Rasāil; ar-Risālah Alladuniyah, (Mesir: Maktabah atTaufĪqiyyah,tt) Abuddin Nata dkk., Integrasi ilmu Agama & Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Abuddin Nata, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998) Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif , (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 234. Ahmad bin Muhammad al-Fayumi, al-Misbāh al-Munīr, (Qohiroh: Dar al-Hadits, 2000) Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet X, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 24. Ali Muhammad al-Jurjani, at-Taʻrifāt, (Indonesia: al-Harāmain, tt), 24. Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 7. ar-Royce Syarel Helwa, Mausūʻah A’lāmul Falsafah, (Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1992) Ihsan Utaybi, Arsip Multaqā ahlil hadiṡ, (Maktabah Syamilah al-Iṣdar aṡ-Ṡani, tt) Ilyas Ismail, True Islam: Moral, Intelektual, Spritual, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013) Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, (Malang: UMM Press, 2006) Klaus Krippendorff, Content Analysis: An Introductions to its Methodology, Second Edition, (California: Sage Publication, 2004) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 8, cet iv, (Ciputat: Lentera Hati, 2011) Main Ziyadah (Ed.) al-Mausū’atul Falsafiyatul Arābiyah, Cet I, Jilid II, (Tkp: Ma’had al-Inma al-Arābiyah, 1998) Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih Bukhori: Pertanyaan Jibril as Kepada Rasulillah SAW Tentang Iman, Islam, Ihsan, dan Tanda-Tanda Kiyamat, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005) Muhammad Salikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Jakarta: Buku Kita, 2008) Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2006) Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Nurul Ulfatin, Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikann: Teori Dan Aplikasi, (Malang: Banyu Media Publishing) Volume 2, Nomor 1, Juni 2016 | 121
Ach. Sayyid
Raji Abdul Hamid, Naẓāriyah Maʻrifat Bainal Qurʻān wal Falsafah (Saudi Arabia: Maktabah al-Muayyad, 1992) Rosidin, Epistimologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2013) S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, Cet, ke2, 2000) Sayyid Qutub, Fi Ẓilal al-Qurʻān, Jilid VI ,(Beirut: Dār as-Syurūq, 1992) Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian suatu Pemikiran dan Penerapannya, (Jakarta: Reneka Cipta, 1999) Zuharini, Sejarah Penddikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992)
122 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman