Vol. 13• No. 1 • Januari 2015
ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (The Indonesian Wood Research Society)
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015
ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Penanggung Jawab: Ketua Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia Ketua Dewan Penyunting (Chief editor): Fauzi Febrianto Penyunting Ahli (Editorial Board Members): Edi Suhaimi Bakar (UPM Malaysia) Enos Tangke Arung (Fahutan UNMUL) Imam Wahyudi (Fahutan IPB) Nyoman Jaya Wistara (Fahutan IPB) Lina Karlinasari (Fahutan IPB) Musrizal Muin (Fahutan UNHAS) Ragil Widyorini (Fahutan UGM) Subyakto (UPT BPP Biomaterial LIPI) Wahyu Dwianto (UPT BPP Biomaterial LIPI)
Penyunting Pelaksana (Managing Editors) Anne Carolina Deded Sarip Nawawi Fengky Satria Yoresta Rita Kartika Sari Sukma Surya Kusumah
Alamat Redaksi Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Telp/Fax. +62-251-8621285, email :
[email protected] http://www.mapeki.org Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah jurnal resmi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) yang terbit sejak tahun 2003. Jurnal ini mempublikasikan artikel asli baik penelitian dasar maupun terapan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kayu, bahan berlignoselulosa bukan kayu, hasil hutan lainnya dan industri hasil hutan. Selain itu, jurnal ini juga mempublikasikan artikel ulas balik (review) dengan tema yang ditentukan oleh redaksi. Setiap artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini telah ditelaah oleh mitra bestari yang dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penerbitan jurnal 2 kali dalam setahun (Januari dan Juli). Harga langganan jurnal (hardcopy) sebesar Rp 100.000/tahun. Jurnal juga dapat diakses secara online di http://www.mapeki.org/jitkt. Jurnal ini telah terakreditasi B oleh DIKTI dengan Nomor 212/P/2014.
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015
ISSN 1693-3834
Daftar Isi Artikel Asli: Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling) Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara……………….….............................
1-10
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti……………………………………..…………….....
11-21
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur (Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on Flexural Test) Fengky S Yoresta……………………..……………..……….......................
22-27
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin (Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction) Ganis Lukmandaru………….………………………………………………
28-38
Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin........................................................................................................
39-50
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus (Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of Tapping Pine) Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa….
51-60
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap (Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and Wastepaper for Termite Control) Musrizal Muin, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra………………
61-69
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala...................................................................
70-79
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015
ISSN 1693-3834
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara (The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal Briquettes) Sanjaya……………..……………………………………………………….
80-87
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) (Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol Extracts of Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina, Salina Febriany………………………………………………………………….….
88-97
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling) Syamsul Falah1*, Achmad2, Aji Winara3 1
Departemen Biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680 2 Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680 3 Peneliti Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Kementerian Kehutanan, Ciamis *Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract
Dieback on jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) seedling caused by fungi Botryodiplodia theobromae Pat. decreased seedling’s quality and nurseries economic benefits. The control of dieback pathogen on jabon seedling used biofungicide from plant extract have not been studied intensively nowadays. Mahogany (Swietenia macrophylla King.) is one of the promising medicinal plants in Indonesia but its utilization as a biofungicide specially for controlling the dieback on jabon seedling has not been reported. This research aimed to examine the antifungal activities of mahogany root extracts against B.theobromae isolate causing dieback on jabon seedling in vitro. The poisoned food technique was used in assay of the antifungal activities of mahogany root extract. The result showed that mahogany root extract has antifungal activities against B.theobromae with the highest efective growth inhibition was the metanol solvent on 50% concentration level. Microscopical examination showed the inhibition of mycelium growth was caused by the changes on hyphae morphology and growth direction which were beads formation and curling. Keywords: antifungal, Botryodiplodia theobromae, jabon, mahogany root
Abstrak Penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) yang disebabkan oleh fungi Botryodiplodia theobromae telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para pegiat persemaian. Saat ini pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon menggunakan fungisida dari ekstrak tanaman masih sangat minim. Mahoni (Swietenia macrophylla King.) merupakan salah satu potensi tumbuhan obat Indonesia yang ketersediaannya melimpah namun potensinya sebagai fungisida nabati khususnya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas antifungi ekstrak akar mahoni secara in vitro terhadap isolat B. theobromae penyebab mati pucuk pada bibit jabon. Pengukuran aktivitas antifungi ekstrak akar mahoni dilakukan melalui teknik peracunan makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak akar mahoni bersifat antifungi B. theobromae dengan nilai penghambatan pertumbuhan isolat tertinggi efektif dihasilkan oleh ekstrak metanol akar pada taraf konsentrasi 50%. Penghambatan pertumbuhan isolat disebabkan oleh morfologi hifa yang abnormal berupa bentuk manik-manik dan
perubahan arah pertumbuhan hifa yang melingkar. Kata kunci: akar mahoni, antifungi, Botryodiplodia theobromae, jabon. Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
1
Pendahuluan Penyakit mati pucuk pada bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para pegiat budidaya jabon. Jabon saat ini menjadi komoditi hasil hutan tanaman khususnya sebagai penyedia bahan baku kayu lapis, papan partikel, papan semen, papan blok, pulp dan kertas, kayu kontruksi ringan, bahan baku kerajinan, perahu, batang korek api, batang sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Selain itu jabon banyak digunakan sebagai tanaman penghijauan dan rehabilitasi lahan bekas tambang. Hal ini disebabkan jabon memiliki sifat yang relatif adaptif pada berbagai kondisi tempat tumbuh (Krisnawati et al. 2011). Patogen primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon adalah fungi Botryodiplodia theobromae Pat. dengan tingkat kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon di Bogor mencapai 15%. Gejala awal yang muncul pada bibit berupa nekrotik pada batang yang bergerak secara vertikal menuju daun kemudian pucuk, mengakibatkan batang membusuk, daun menguning dan pucuk mati (Aisah 2014). Fungi B. theobromae tergolong kelompok fungi anamorfik dan menjadi patogen penyakit tanaman berkayu khususnya di daerah tropis (Ellis et al. 2007). Menurut Anggraeni dan Lelana (2011), fungi Botryodiplodia dilaporkan menjadi patogen pada beberapa tanaman kehutanan di Indonesia antara lain menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.), busuk akar pada meranti (Shorea sp.), bercak daun pada merbau (Intsia bijuga Kuntze.), bercak daun pada bakau (Rhizophora mucronata Lamk.), bledok pada nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), penyakit batang pada 2
gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dan bercak daun pada skubung (Macaranga gigantea Muell.). Selain itu, di dunia fungi B. theobromae telah menjadi patogen mati pucuk pada beberapa tanaman budidaya antara lain Albizia falcataria (Sharma & Shankaran 1988), Mangifera indica (Khanzada et al. 2004, Ismail et al. 2012), Pinus taeda dan P. elliotii (Cillier et al. 1993), Grevellia robusta (Njugana 2011), Syzygium cordatum (Pavlic et al. 2007), Pouteria sapota (Pedraza et al. 2013), aprikot dan persik (Li et al. 1995), Theobroma cacao (Semangun 2000, Kannan et al. 2010), Citrus spp. (Alam et al. 2001, Salamiah et al. 2008), Annona squamosa dan A. cherimola (Haggag & Nofal 2006), Prunus spp. (Shah et al. 2010) dan Vitis vinifera (Torres et al. 2008, Al-Saadon et al. 2012). Pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai agen pengendali penyakit tanaman pada tataran aplikasi masih sangat minim termasuk pada kegiatan pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang hingga saat ini masih menggunakan fungisida sintetik. Pemanfaatan fungisida nabati dalam pengendalian penyakit mati pucuk belum dilakukan disebabkan kurangnya informasi tentang potensi fungisida nabati, padahal potensi tumbuhan obat di Indonesia sangat tinggi yang kemungkinan berpotensi pula sebagai bahan baku fungisida nabati, salah satunya adalah mahoni (Swietenia macrophylla King.). Beberapa bagian mahoni diketahui secara ilmiah memiliki sifat farmakologi sebagai obat seperti antifungi, antidiabetes, antimutagenik, antibakteri, antihepatitis C, antivirus, antitumor, antikanker, antioksidan, inflammatori (Eid et al. 2013). Adapun bagian mahoni yang telah diketahui bersifat antifungi khususnya terhadap J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
fungi patogen penyakit pada manusia antara lain daun (Tan et al. 2009), kulit batang (Dewanjee et al. 2007) dan biji (Maiti et al. 2007). Sementara itu pemanfaatan bagian akar mahoni sebagai fungisida nabati belum banyak diketahui terutama potensinya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada bibit jabon. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antifungi ekstrak akar mahoni terhadap pertumbuhan isolat B. theobromae secara in vitro. Bahan dan Metode Penyiapan patogen dan uji virulensi Isolat B. theobromae yang berasal dari koleksi Laboratorium Patologi Hutan IPB diremajakan pada media kultur agar potatoes sucrose agar (PSA) dan 1000 ml aquades selektif yang mengandung antibiotik kloramfenikol 250 mg l-1. Pemilihan PSA sebagai media kultur didasarkan pada hasil uji pendahuluan dan merujuk pada Alam et al. (2001). PSA dibuat dari 200 g kentang, 20 g sukrosa, dan 20 g agar. Sebelum isolat patogen digunakan pada uji bioaktivitas ekstrak akar mahoni, uji virulensi patogen dilakukan terlebih dahulu pada bibit jabon berumur 4 bulan dengan metode inokulasi blok agar tempel yang mengacu pada Michailides (1991). Hasil uji virulensi patogen menunjukkan bahwa isolat B. theobromae menyebabkan gejala mati pucuk hingga kematian bibit setelah 10 hari sejak inokulasi (HSI) yang menunjukkan bahwa isolat patogen masih memiliki virulensi yang tinggi. Penyiapan ekstrak tanaman Sampel akar mahoni dikeringudarakan selama satu bulan, kemudian dijadikan serbuk berukuran 40-60 mesh menggunakan alat Willey Mill. Proses ekstraksi dilakukan dengan teknik
maserasi menggunakan dua pelarut yaitu metanol dan air panas yang mengacu pada Maiti et al. (2007) dan Falah et al. (2010). Proses ekstraksi metanol dilakukan dengan cara merendam 500 g serbuk akar mahoni dalam larutan metanol dengan perbandingan 1:3 (v/v) selama 3x24 jam sehingga diperoleh ekstrak metanol. Selama proses perendaman, pengadukan dilakukan menggunakan pengaduk kaca. Pemisahan cairan ekstrak dari residu dilakukan dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Ekstrak metanol dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 40 ºC. Proses ekstraksi dengan pelarut air panas dilakukan dengan cara sebanyak 500 g serbuk akar mahoni dilarutkan dengan aquades pada erlenmeyer 2000 ml dengan perbandingan 1:3 (v/v), kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100 ºC selama 4 jam. Cairan ekstrak disaring dengan kain empat lapis, kemudian cairan ekstrak yang diperoleh dijadikan serbuk dengan alat vacuum pan evaporator pada suhu 60 ºC. Sediaan ekstrak akar mahoni (EM) yang akan digunakan dalam setiap pengujian dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 5000 mg EM dalam 100 ml aquades hingga homogen dengan steril panas menggunakan stirrer selama 15 menit. Khusus untuk EM dengan pelarut metanol, pembuatan sediaan disterilisasi dengan menambahkan sebanyak 5 ml metanol terlebih dahulu sebelum ditambahkan aquades, sedangkan sterilisasi EM dari pelarut air panas dilakukan pada autoclave dengan suhu 121 ºC tekanan 1 atm selama 15 menit (Achmad & Suryana 2009).
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
3
Uji aktivitas antifungi
Pangamatan mikroskopis
Uji aktivitas antifungi EM terhadap pertumbuhan isolat B. theobromae dilakukan secara in vitro melalui teknik peracunan makanan yang mengacu pada Achmad dan Suryana (2009). Rancangan penelitian yang digunakan ialah rancangan acak lengkap dengan sepuluh perlakuan EM dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa konsentrasi EM dengan pelarut air panas (EAM) dan pelarut metanol (EMM) pada taraf masing-masing 0, 5, 10, 25, dan 50% (Sangeetha et al. 2013). Penyiapan konsentrasi ekstrak dilakukan dengan cara mencampur EM dengan media kultur PSA steril (v/v) sesuai konsentrasi yaitu sebanyak 0,0; 0,5; 1,0; 2,5; dan 5,0 ml EM dicampurkan dengan 10,0; 9,5; 9,0; 7,5; dan 5,0 ml PSA untuk menghasilkan media padat nutrisi teracuni EM pada konsentrasi 0, 5, 10, 25, dan 50%.
Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk mengetahui karakteristik morfologi hifa B. theobromae pada setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya pada gelas preparat yang ditambahkan aquades.
Semua proses penyiapan media kultur uji dilakukan secara steril pada laminar air flow cabinet. Parameter uji yang diukur adalah diameter koloni miselium setiap periode 12 jam dan pengukuran dihentikan pada saat koloni miselium perlakuan kontrol memenuhi seluruh permukaan cawan petri. Nilai efikasi EM terhadap pertumbuhan isolat dihitung dengan rumus penghambatan pertumbuhan isolat yang mengacu pada Dubey et al. (2009). P (%) =
C–T × 100% C
dengan P = Penghambatan pertumbuhan (%), C = Diamater radial koloni kontrol (mm), T = Diameter radial koloni perlakuan (mm).
4
Analisis data Hasil uji in vitro dilakukan analisis ragam dan jika pengaruhnya nyata maka dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf uji 5%. Nilai persentase penghambatan secara in vitro diukur dengan kategorisasi efektivitas mengacu pada Sangoyomi (2004) dalam Okigbo dan Emeka (2010) yaitu penghambatan ≤0% = tidak efektif; penghambatan >0-20% = efektivitas rendah; penghambatan >20-50% = efektivitas sedang; penghambatan >50 %-<100% = efektif, penghambatan 100% = efektivitas sangat tinggi. Hasil dan Pembahasan Aktivitas antifungi Hasil uji menunjukkan bahwa EM memiliki sifat antifungi B. theobromae baik ekstrak dengan pelarut metanol maupun pelarut air yang ditunjukkan dengan adanya penghambatan pertumbuhan radial isolat B. theobromae secara in vitro (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa bagian metabolit sekunder akar mahoni memiliki sifat yang sama dengan bagian lainnya yang bersifat antifungi seperti bagian daun, biji, dan kulit batang meskipun diujikan pada patogen fungi yang berbeda. Gambar 2 menunjukkan nilai penghambatan EM terhadap partumbuhan isolat B. theobromae yang berbeda antar kedua jenis pelarut dengan nilai penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh EMM pada taraf perlakuan ekstrak 50%. J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Sementara itu pengaruh EAM menunjukkan nilai penghambatan yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan pengaruh EMM. Adanya perbedaan nilai penghambatan pertumbuhan isolat akibat EM dengan pelarut yang berbeda senada dengan hasil penelitian Maiti et al. (2007) bahwa ekstrak metanol biji mahoni memberikan pengaruh penghambatan yang lebih besar terhadap pertumbuhan fungi secara in vitro dibandingkan dengan ekstrak biji mahoni dengan pelarut air. Demikian pula hasil penelitian Kagale et al. (2004) bahwa ekstrak Datura metel dengan pelarut metanol lebih toksik 10-35% terhadap pertumbuhan Rhizoctonia solani secara in vitro dibandingkan ekstrak tanaman yang sama dengan pelarut air. Perbedaan pengaruh antar jenis pelarut kemungkinan berkaitan dengan tingkat kepolaran pelarut yang digunakan, sehingga senyawa yang terekstrak akan berbeda. Metanol mengandung pelarut polar dan beberapa semipolar, sedangkan air merupakan pelarut yang polar
menyebabkan senyawa kimia yang terekstrak berbeda. Hal ini dibuktikan oleh Tan et al. (2009), bahwa terdapat perbedaan total senyawa fenol, tannin dan flavonoid serta sifat antifungi yang dihasilkan dari ekstrak daun mahoni dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Ayyappadhas et al. (2012) juga melaporkan bahwa senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak daun mahoni dengan pelarut yang berbeda menghasilkan kandungan saponin, flavonoid, tanin, alkaloid, antrakuinon, dan terpenoid yang berbeda serta aktivitas antibakteri dan antifungi yang berbeda pula. Berdasarkan kriteria efektivitas fungisida, maka EMM efektif dalam menghambat pertumbuhan isolat B. theobromae, sedangkan EAM bersifat kurang efektif. Efektivitas penghambatan pertumbuhan fungi secara in vitro akibat peracunan nutrisi oleh metabolit sekunder tanaman dapat bersifat fungisida atau fungistatik bergantung pada nilai dan stabilitas penghambatan.
a
b
c
d a
e
f
g
h
i d
j
Gambar 1 Pertumbuhan koloni miselium B. theobromae pada berbagai taraf konsentrasi ekstrak akar mahoni. Huruf a-e menunjukkan EMM dengan taraf a. konsentrasi 0% (kontrol), b. 5%, c. 10%, d. 25% dan e. 50%. Huruf f sampai dengan j menunjukkan EAM dengan taraf f. konsentrasi 0% (kontrol), g. 5%, h. 10%, i. 25% dan j. 50%.
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
5
80
Penghambatan (%)
70
EMM
70.74a
EAM
60 50 34.07b
40 30
20.74c
20 10
0.00d 0.00d
3.89d
2.78d 1.48d
0 5%
10%
25%
50%
Taraf konsentrasi ekstrak
Gambar 2 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak akar mahoni terhadap penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat B.theobromae. EMM (■), EAM (□). Huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 0,05. Stabilitas pengaruh ekstrak Gambar 3 menunjukkan hasil pengamatan pengaruh EMM pada taraf konsentrasi 50% dalam menghambat pertumbuhan radial isolat B. theobromae secara berulang dalam periode 12 jam. Pengaruh EMM bersifat stabil selama periode pengamatan yang ditunjukkan dengan pengaruh nilai penghambatan seiring dengan waktu inkubasi bersifat tidak berbeda nyata secara statistik. Nilai penghambatan tertinggi EMM berada pada periode waktu pengamatan jam ke36 yaitu sebesar 75,66%, kemudian mengalami penurunan pada jam ke-48 menjadi 70,74% meskipun secara statistik mengalami penurunan yang tidak signifikan. Secara umum sejak waktu inkubasi jam ke-12, pengaruh EMM terhadap pertumbuhan isolat B. theobromae masih di atas 50% hingga akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal periode pengamatan, EMM efektif dalam menghambat pertumbuhan isolat atau dalam arti lain secara in vitro EMM potensial sebagai bahan fungisida dalam mengendalikan
6
patogen B. theobromae penyebab mati pucuk pada bibit jabon meskipun perlu uji lanjut pada tingkatan in planta dan uji fitotoksisitas. Hasil pengamatan mikroskopis terhadap isolat B. theobromae yang mendapatkan perlakuan menunjukkan adanya perubahan morfologi hifa menjadi tidak normal yaitu berupa hifa yang berbentuk manik-manik dan penyimpangan arah pertumbuhan menjadi melingkar (Gambar 4). Bentuk hifa isolat yang tidak normal merupakan efek dari racun yang dikeluarkan oleh EMM sehingga pertumbuhan hifa menjadi terhambat. Adanya morfologi hifa yang tidak normal mengkonfirmasi penyebab penghambatan pertumbuhan radial isolat B. theobromae akibat EMM sebagaimana menurut Hu et al. (2003) bahwa perubahan morfologi hifa patogen yang tidak normal akibat media kultur yang mengalami peracunan oleh metabolit sekunder tanaman dapat berupa pembengkakan, berbentuk manik-manik, pertumbuhan yang melingkar dan berlebihan.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Penghambatan (%)
80
74.25
75.66 70.74
70 60
55.86
50 40 30
20 10 0 12
24 36 Waktu inkubasi (Jam ke-)
48
Gambar 3 Pengaruh taraf konsentrasi 50% ekstrak metanol akar mahoni terhadap penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat B. theobromae.
a
b
c
Gambar 4 Morfologi hifa B. theobromae secara mikroskopis : a. normal, b. berbentuk manik-manik, c. perubahan arah pertumbuhan (melingkar). Tanda panah menunjukkan letak morfologi hifa yang tidak normal. Bentuk hifa tidak normal berupa bentuk manik-manik akibat ekstrak tanaman terjadi pula pada hifa Colletotrichum lagenarium patogen antraknosa pada kukumbar akibat ekstrak Cinnamomum camphora (L.) sebagaimana dilaporkan oleh Chan dan Dai (2012), sedangkan bentuk hifa yang tidak normal berupa perubahan arah pertumbuhan hifa yang melingkar terjadi pula pada pertumbuhan Ganoderma sp. akibat metabolit sekunder dari ekstrak kulit Acacia mangium sebagaimana dilaporkan oleh
Yuniarti (2010). Informasi mengenai kandungan metabolit sekunder akar mahoni belum diketahui, namun secara umum kandungan utama mahoni adalah limonoid yang merupakan turunan dari terpenoid (Moghadamtousi et al. 2013). Kesimpulan Ekstrak akar mahoni memiliki aktivitas antifungi B. theobromae secara in vitro dan efektif dalam menghambat pertumbuhan isolat patogen dengan nilai penghambatan tertinggi dihasilkan oleh
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
7
ekstrak dengan pelarut metanol pada taraf konsentrasi ekstrak 50%. Daftar Pustaka Achmad, Suryana I. 2009. Pengujian aktivitas ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap Rhizoctonia sp. secara in vitro. Bul Littro. 20(01):9298. Aisah AR. 2014. Identifikasi dan patogenisitas cendawan penyebab primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb). Miq). [Tesis]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Alam MS, Begum MF, Sarkar MA, Islam MR. 2001. Effect of temperature, light and media on growth, sporulation, formation of pigments and pycnidia of Botryodiplodia theobromae Pat. Pakistan J Biol Sci. 4(10):1224-1227. Al-Saadon AH, Ameen MKM, AlRubaie EMA. 2012. Histopathology of grapevine inoculated with Lasiodiplodia theobromae. Basrah J Agric Sci. 25(1):1-12. Anggraeni I, Lelana NI. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Haneda NF, Rahayu S, editor. Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Ayyappadhas R, Jestin C, Kenneth N, Dayana N, Dhanalekshmi UM. 2012. Preliminary studies on antimicrobial activity of Swietenia macrophylla leaf extract. Int J Pharm Sci Rev Res. 16(2):1-4. Chan Y, Dai G. 2012. Antifungal activity of plant extracts against Colletotrichum lagenarium, the causal agent of anthracnose in cucumber. J Sci Food Agric. 92:1937-1943. Doi: 10.1002/jsfa.5565. 8
Cillier AJ, Swart WJ, Wingfield MJ. 1993. A review of Lasiodiplodia theobromae with particular reference to each occurrence on coniferous seeds. South African For J. 166:47-52. Dewanjee S, Kundu M, Maiti A, Majumdar R, Majumdar A, Mandal SC. 2007. In vitro evaluation of antimicrobial activity of crude extract from plants Diospyros peregrina, Coccinia grandis and Swietenia macrophylla. Trop J Pharm Res. 6(3):773-778. Dubey R, Kumar H, Pandey R. 2009. Fungitoxic effect of neem extracts on growth and sclerotial survival of Macrophomina phaseolina in vitro. J Am Sci. 5:17-24. Eid AMM, El-Marzugi NA, El-Enshasy HA. 2013. A review on the phytopharmacological effect of Swietenia macrophylla. Int J Pharm Pharm Sci. 5(3):47-53. Ellis D, Davis S, Alexiou H, Handke R, Bartley R. 2007. Description of Medical Fungi. Adelaide: School of Molecular and Biomedical Science University of Adelaide. Falah S, Safithri M, Katayama T, Suzuki T. 2010. Hypoglycemic effect of mahogany (Swietenia macrophylla King) bark extracts in alloxan-induced diabetic Rats. Wood Res J. 1(2):89-94. Haggag WM, Nofal MA. 2006. Improving the biological control of Botryodiplodia disease on some Annona cultivar using single or multibioagent in Egypt. Biol Control. 38:341-349. Doi:10.1016/j. biocontrol.2006.02.010. Hu K, Dong A, Kobayashi H, Iwasaki S, Yao X. 2003. Antifungal agent from tradisional Chinese medicines against rice blast fungus Pyricularia oryzae J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Cavara Pp. 525-549. Dalam buku: Plant-Derived Antimycotics :Current Trend and Future Prospects. Rai M, Mares D (Edt.). New York: Food Product Press. Ismail AM, Cirvilleri G, Polizzi G, Crous W, Groenewald JZ, Lombard L. 2012. Lasiodiplodia species associated with dieback disease of Mango (Mangifera indica) in Egypt. Aust Plant Pathol. 41:649–660. Doi:10.1007/s13313-012-0163-1 Kagale S, Marimuthu T, Thayumanavan B, Nandakumar R, Samiyappan R. 2004. Antimicrobial activity and induction of systematic resistance in rice by leaf extract of Datura metel against Rhizoctonia solani and Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Phys Mol Plant Pathol. 65:91-100. Doi: 10.1016/j.pmpp.2004.11.008. Kannan C, Karthik M, Priya K. 2010. Lasiodiplodia theobromae causes a damaging dieback of Cocoa in India. Plant Pathol. 59:410. Doi: 10.1111/j.1365-3059.2009.02192.x. Khanzada MA, Lodhi AM, Shahzad S. 2004. Pathogencity of Lasiodiplodia theobromae and Fusarium solani on Mango. Pak J Bot. 36(1):181-189. Krisnawati H, Kallio M, Kanninnen M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq., Ecology, Silviculture dan Productivity. Bogor: CIFOR. Li HY, Cao RB, Mu YT. 1995. In vitro inhibition of Botryosphaeria dothidea and Lasiodiplodia theobromae, and chemical control of Gummosis disease of Japanese apricot and peach trees in Zhejiang Province, China. Crop Protect. 14(3):187-191. Maiti A, Dewanjee S, Mandal SC, Annadurai S. 2007. Exploration of antimicrobial potential of methanol
and water extract of seed of Swietenia macrophylla (famili: Meliaceae), to substantiate folklore claim. Iranian J Pharm Therapeutics. 6(1):99-102. Mbenoun M, Zeutsa EHM, Samuels G, Amougou, Nyasse S. 2008. Dieback due to Lasiodiplodia theobromae, a new constaint to cocoa production in Cameroon. Plant Pathol. 57:381. Doi: 10.1111/j.1365-3059.2007. 017 555.x Michailides TJ. 1991. Pathogenicity, distribution, sources of inoculum and infection courts of Botryosphaeria dothidea on Pistachio. Phytopathology. 81(5):566-571. Moghadamtousi SZ, Goh BH, Chan CK, Shabab T, Kadir HA. 2013. Biological activities and phytochemicals of Swietenia macrophylla King. Molecules.18:10465-10483. Doi:10. 3390/molecules180910465. Njugana JW. 2011. Stem cancer and dieback disease on Grivellea robusta Cun. Ex. RBr. Distribution, causes, and implications in agrofoestry system in Kenya [Disertation]. Uppsala (SE): Swedish University of Agricultural Science. Okigbo RN, Emeka AN. 2010. Biological control of rot-inducing fungi of Water Yam (Dioscorea alata) with Trichoderma harzianum, Pseudomonas syringae and Pseudomonas chlororaphis. J Stored Prod Postharvest Res. 1(2):18-23. Pavlic D, Slipper B, Coutinho TA, Wingfield MJ. 2007. Botryosphaeriaceae occurring on native Syzigium cordatum in South Africa and their potential threat to Eucalyptus. Plant Pathol. 56:624-636. Doi: 10.1111/j.1365-3059. 2007. 01608.x
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
9
Pedraza JMT, Aguilera JAM, Diaz CN, Ortiz DT, Monter AV, Mir SGL. 2013. Control of Lasiodiplodia theobromae, the causal agent of dieback of sapote mamey (Pouteria sapota Jacq.) H.E. Moore and Stern) grafts in Mexico. Rev Fitotec Mex. 36(3):233-238. Salamiah, Badruzsaufari, Arsyad M. 2008. Jenis tanaman inang dan masa inkubasi patogen Botryodiplodia theobromae Pat. penyebab penyakit kulit diplodia pada jeruk. JHPT Trop. 8(2):123-131. Sangeetha G, Thangavelu R, Rani SU, Muthukumar A. 2013. Antimicrobial activity of medicinal plants and induction of defence related compounds in banana fruits cv. Robusta againts crown rot patogens. Biol Control. 64:16-25. Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Shah MD, Verma KS, Singh K, Kaur R. 2010. Morphological, pathological and molecular variability in Botryodiplodia theobromae (Botryosphaeriaceae) isolated associated with die-back and bark cancer of pear trees in Punjab, India. Gen Mol Res. 9(2):1217-1228.
10
Sharma JK, Sankaran KV. 1988. Incidence and severity of Botryodiplodia die-back in plantations of Albizia falcataria in Kerala, India. For Ecol Manag. 24:43-58. Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant Resources of South-East Asia. No. 5(1): Timber Trees: Major Commercial Timbers. Wageningen: Pudoc Scientific Publishers. Tan SK, Osman H, Wong KC, Boey PL, Ibrahim P. 2009. Antimicrobial and antioxidant activities of Swietenia macrophylla leaf extract. Reasearch articles. As J Food Ag-Ind. 2(02):181188. Torres JRU. 2008. Identification and pathogenicity of Lasiodiplodia theobromae and Diplodia seriata, the causal agents of bot canker disease of grapevines in Mexico. Plant Dis. 92:519-529. Doi: 0.1094/PDIS-92-40519. Yuniarti. 2010. Kajian pemanfaatan ekstrak kulit Acacia mangium Wild. sebagai antifungi dan pengujiannya terhadap Fusarium sp. dan Ganoderma sp. Sains Terapan Kim. 4(2):190-198. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 11 Agustus 2014 Diterima (accepted): 15 Oktober 2014
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati*, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Jl. Agro No 1. Bulaksumur, Yogyakarta *Corresponding author:
[email protected] Abstract Tree breeding program has been conducted in Indonesia in order to produce more productive teak trees. Recently, from this program, superior clones (clone source) of teak have been selected for the establishment of the wider plantations. These clones show a good performance on growth characteristics such as stem diameter and tree height. However, it is important to evaluate wood quality of selected superior teak. Physical (heartwood percentage, wood color, basic density, and shrinkage per 1% change in moisture content) and mechanical (static bending strength and compressive strength) properties were investigated for 10-year old of two sources type of teak (superior and conventional) planted in Randublatung, Central Java, Indonesia. There was not significant different between superior and conventional teak was found in all physical and mechanical properties of both teak wood, suggesting that wood properties of both teak are similar at the same age. All trees are in juvenile phase as show by increasing of basic density from pith to bark. Basic density has positively correlation with all mechanical properties measured. It can be said that basic density can be used to estimate mechanical properties. Keywords: conventional teak, mechanical properties, physical properties, superior teak
Abstrak Program pemuliaan pohon telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas hutan jati. Program ini telah menghasilkan bibit unggul dengan perbanyakan vegetative (klon) dan telah digunakan sebagai materi pembangunan hutan tanaman jati di banyak lokasi. Karakteristik pohon jati dari klon ini menunjukkan pertumbuhan diameter dan tinggi yang sangat baik. Akan tetapi, sifat-sifat kayu dari pohon jati ini juga penting untuk diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisis (pesentase teras, warna kayu, kerapatan dasar, dan perubahan dimensi per 1% perubahan kadar air) and mekanis (kekuatan lengkung statis dan kekuatan tekan) pohon jati umur 10 tahun yang berasal dari 2 tipe sumber benih (superior dan konvensional) yang ditanam di Randublatung, Jawa Tengah, Indonesia. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu jati superior (klon) dan jati konvensional (biji) tidak berbeda secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa, pada umur yang sama jati superior dan konvensional memiliki sifat yang sama. Variasi pada arah radial dari kerapatan dasar adalah naik dari hati ke kulit. Dari hasil ini, diperkirakan bahwa kayu jati tersebut masih dalam fase juvenil. Selanjutnya, kerapatan dasar berkorelasi positif terhadap semua sifat mekanis yang diukur. Hal ini menunjukkan bahwa sifat mekanis dapat diduga melalui kerapatan dasar. Kata kunci: jati unggul, jati konvensional, sifat fisis, sifat mekanis
Introduction Teak (Tectona grandis L.f.) is an important commercial plantation species, and its demand is increasing in
Indonesia. In contrast, the total teak wood production is decreasing because of declining teak wood resources and the plantation productivity (Hidayati et al.
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
11
2014). Therefore, tree breeding program has been conducted by Indonesian State Forest Enterprise (Perhutani) since 1981 to produce more productive teak trees (Suseno 2000). Recently, from this program, superior clones (clone source) of teak, which is called Jati Plus Perhutani (JPP), have been selected for the establishment of the wider plantations. These clones show good performance on growth characteristics such as stem diameter and tree height. It is important to evaluate wood quality of selected superior teak. Wood quality is determined by wood properties such as anatomical, physical, and mechanical properties which are very important for the end use of the wood. Furthermore, heartwood percentage is also important factor due to its relationships with natural durability of the wood. The color of wood is one of the criteria of wood to assess its suitability for certain end-use, such as furniture and decorative veneers (Thulasidas et al. 2006). Research about wood properties of teak has been conducted by many researchers in the world by destructive and non-destructive evaluation (Kedharnath et al. 1963, Indira & Bhat 1998, Bhat et al. 2001, Cordero & Kanninen 2003, Bhat & Priya 2004, Moya & Marin 2011, Hidayati et al. 2013a, 2013b, Hidayati et al. 2014). Furthermore, many researchers also conducted the research about heartwood percentage and wood color of teak (Cordero & Kanninen 2003; Kokutse et al. 2006, Thulasidas et al. 2006, Lukmandaru et al. 2009, Moya & Berrocal 2010, Moya & Marin 2011). However, researches about wood properties of clone sources are limited in Indonesia (Wahyudi & Arifien 2005, Krisdianto & Sumarni 2006, Basri & Wahyudi 2013, Wahyudi et al. 2014a,b). 12
The objectives of this study were to clarify the heartwood percentage, wood color, physical properties, and mechanical properties of 10-year-old of clone source and conventional teak (seed source) planted in Randublatung, Central Java. The differences between two sources type, radial variation of basic density, and relationship between basic density and mechanical properties measure were also investigated. The information of these result are important for the plantation management and silvicultural practices. Material and Methods Sample preparation Three trees of clone source and two trees of seed source from Perum Perhutani plantation located in Randublatung, Central Java, Indonesia (7o05’S, 111o30’E) were used in this present study. The environmental condition of site was as follow; average temperature of 27.5 oC; annual precipitation of 1650 mm/year; relative humidity of 72%, altitude of 140 meter above sea level., soil of homous margalitic, loamy sand. The mean diameter of clone and seed source was 19.4 and 16.3 cm, respectively. From these trees, only the bottom part was used for determining physical properties [heartwood percentage, wood color, basic density, and shrinkage per 1% change in moisture content (radial, tangential, and longitudinal)] and mechanical properties (Modulus of Rupture, MOR and Modulus of Elasticity, MOE) and compressive strength (parallel and perpendicular to grain). Heartwood percentage and wood color properties Heartwood percentage was measured on 5-cm-thick disks cut from 30 cm above J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
the ground. Total diameters of disks, heartwood diameter, bark thickness, height of disk were measured. Heartwood percentage was calculated using formula proposed by Wahyudi and Arifien (2005). For measuring wood color (heartwood and sapwood), air-dried wood meal were prepared. Color of wood meal was measured using a colorimeter (NF333, Nippon Denshoku). The CIELAB (L*, a*, b*) system was employed to evaluate heartwood and sapwood colors. The value of L*, a*, and b* indicate psychometric lightness, a color parameter on the red/green axis, and a color parameter on the yellow/blue axis, respectively. Physical properties Basic density (BD) was measured on 10cm-thick disks cut from 30 cm above the ground. Radial strips (2 cm in width, 2 cm in thickness, and length depend on tree diameter) were prepare from each disk. The radial variations of basic density were determined at 2 cm intervals from pith to bark. Small blocks were obtained from two opposite sides with respect to the pith of the disk. Basic density was calculated as the ratio of oven-dry weight to green volume as determined by the water displacement method. A total of 25 specimens of clone and 12 specimens of conventional teak were prepared from the disk cut from 30 cm above the ground. The specimens were placed in the laboratory until air-dried condition. The radial, tangential, and longitudinal dimensions of the specimens under air- and oven-dried conditions were measured by digital caliper. Shrinkage in the radial, tangential, and longitudinal directions per 1% change in
moisture content was calculated according to Istikowati et al. (2012). Mechanical properties Air-dried specimens for MOR and MOE tests (2 x 2 x 30) cm3, compressive tests parallel and perpendicular to the grain (2 x 2 x 6) cm3 were obtained from airdried radial-sawn board cut from logs at 40 cm above the ground at 2-cm intervals. The procedure of the testing was according to British Standard (BS. 373:1957). The total specimens were 30 and 18 for clone and seed source respectively. MOR, MOE tests and compressive tests were conducted using a Universal Testing Machine (Instron 3369) with load speed of 0.25 cm min-1 and 0.06 mm min-1, respectively. MOR, MOE, compressive strength (parallel and perpendicular to grain) were calculated by using software (Bluehill 3, Instron). Data analysis T-test analysis was conducted to determine the significant differences between clone and seed source of all physical and mechanical properties measured. Simple correlation was also conducted for determining correlation between basic density and all mechanical properties measured using Excel 2003. Result and Discussion Heartwood percentage and wood color The statistical values of heartwood percentage are listed in Table 1. The mean value of heartwood percentage from clone source and seed source teak was 45.2 and 28.5%, respectively. Krisdianto and Sumarni (2006) reported that heartwood percentage was 39.6 and 20.3% of 7-year old clone and seed source planted in East Kalimantan. On the other hand, heartwood percentage of
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
13
9-year old superior teak (JPP) planted in Central Java was 25% (Basri & Wahyudi 2012). In addition, heartwood percentage of 3-year old clone and seed source planted in Semarang, Central Java were 29.81 and 25%, respectively (Wahyudi & Arifien 2005). They also reported that heartwood percentage of 8-year-old conventional teak planted at the same place was 58.23%. This result of the heartwood percentage is consistent with the result of previous study by Krisdianto and Sumarni (2006). Furthermore, heartwood percentage of clone source was higher than seed source but no significant difference was found between clone and seed source. Wahyudi and Arifien (2005) reported that heartwood percentage was not significant different between 3-year-old clone and seed source. On the other hand, heartwood percentage was significantly different between clone and seed source, which was clone source, has higher heartwood percentage than seed source (Krisdianto & Sumarni 2006). Our result of the differences of heartwood percentage of clone and seed source was similar to this previous result (Wahyudi & Arifien 2005). However, based on this result, it is suggesting that clone source has high possibility to have higher heartwood percentage. Table 1 also shows the statistical value of the wood color of the two different sources type. No significant difference was found between L*, a*, and b* value of heartwood and sapwood for clone and seed sources. Moya and Berrocal (2010) reported that the mean values of L*, a*, and b* at the heartwood form 7- to 15year old teak trees planted in Costa Rica were 58.2, 10.4, and 25.9, respectively. At the sapwood, L*, a*, and b* were 73.8, 5.8, and 25.2, respectively. The values of L*, a*, and b* at the inner 14
heartwood of 32-year old teak from Randublatung were 54.2, 6.3, and 23.5, respectively (Lukmandaru et al. 2009). At the same age, previously report showed that L*, a*, and b* of the sapwood were 70.1, 3.8, and 26.4, respectively. Our result of the wood color (L*, a*, and b*) of heartwood and sapwood were lower than these previous reports (Lukmandaru et al. 2009, Moya & Berrocal 2010). Physical and mechanical properties Table 2 shows physical and mechanical properties of clone and seed sources. The mean value of basic density was 0.47 and 0.48 g cm-3 for clone and seed sources, respectively. Basri and Wahyudi (2012) reported that specific gravity of superior teak (JPP) from Central Java at 5-, 7-, and 9-year old were 0.46, 0.49, and 0.51. Specific gravity of 3-year old from clone source planted in Semarang was 0.430.64 (Wahyudi & Arifien 2005). Wahyudi et al. (2014a) also reported that specific gravity of 4- and 5-year old superior teak planted in West Java was 0.35 and 0.45, respectively. Wenneng et al. (2014) found that basic density of 10-, 15-, 20-, and 25-year old teak (source is unknown) planted in Laos was 0.53, 0.52, 0.53, 0.50 g cm-3. Specific gravity of 8-year old of seed source planted in Semarang was 0.47 – 0.70 (Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore, basic density of 10-year old teak planted in Solomon island was 0.54 g cm-3 (Anonim, 2011). In the present study, mean value of basic density of clone and seed source is lower than previous results at the same age and around (Basri & Wahyudi 2012, Wenneng et al. 2014, Wahyudi & Arifien, 2005). However, the value is higher than the result of the younger age J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
of the previous results (Basri & Wahyudi 2012, Wahyudi & Arifien 2005, Wahyudi et al. 2014a). Therefore, it can
be said that basic density of wood will increase with the increasing of the three age.
Table 1 Statistical values of heartwood percentage and wood color of teak from two sources type Source Properties Heartwood percentage Wood color Heartwood L* a* b* Sapwood L* a* b*
Significant between two sources type
Clone (n=3) Mean SD 45.2 9.1
Seed (n=2) Mean SD 28.5 7.6
46.7 10.5 19.1
6.3 0.7 1
45.3 10.3 18.9
5.3 0.9 2
ns ns ns
56.8 6.9 11.6
3 0.8 1.9
59.2 8.4 15.5
3.1 0.8 2.4
ns ns ns
ns
Note : n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.
Table 2 Mean values of physical properties and mechanical properties of teak from two sources type Source Significant Properties Clone (n=3) Seed (n=2) between two Mean SD Mean SD source types Physical properties Basic density (g cm-3) 0.47 0.02 0.48 0.03 ns RS per 1% change in MC (%) 0.13 0.03 0.10 0.01 ns TS per 1% change in MC (%) 0.24 0.04 0.21 0.01 ns LS per 1% change in MC (%) 0.04 0.02 0.04 0.01 ns Mechanical properties Static bending strength MOR (kg cm-2) MOE (x 1000 kg cm-2) Compressive strength parallel to grain (kg cm-2) Compressive strength perpendicular to grain (kg cm-2)
805 92
66 8
889 109
23 14
ns ns
406
34
441
6
ns
202
11
239
31
ns
Note : RS = radial shrinkage, TS = tangential shrinkage, LS = longitudinal shrinkage, MC = moisture content, n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
15
The statistical analysis using t-test shows that basic density was not significant difference between two source types of teak (Table 2). Wahyudi and Arifien (2005) reported that at 3-year old, clone and seed source has similar value of density. Our result of differences of basic density between clone and seed source are consistent with the previous results (Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore, Figure 1 shows the radial variation of clone and seed source. The radial variation of basic density of both sources type were increase from pith to bark. Hidayati et al. (2014) reported that basic density of 12-year old teak clones were gradually increased from pith to bark. On the other hand, basic density varied relatively little from pith to bark (Bhat et al. 2001). Our result of radial variation of basic density is consistent with the result reported by Hidayati et al. (2014).
reported that the maturity of teak begins at approximately 15-25 year. The mean value of radial, tangential, and longitudinal shrinkages per 1% change in Moisture content are shown in Table 2. The mean value of radial, tangential, and longitudinal shrinkage were 0.13 and 0.10, 0.24 and 0.21, and 0.04 and 0.04 for clone and seed source, respectively. On the other hardwood species in Indonesia, the mean values of radial shrinkage of Terap, Medang, and Balik Angin were 0.15, 0.26, and 0.17, respectively. The mean value of tangential shrinkage was 0.24, 0.31, and 0.22 for Terap, Medang, and Balik Angin (Istikowati et al. 2014). In addition, the basic density of Terap and Balik Angin was lower and Medang was higher than our results in Table 2. Furthermore, no significant difference was found between clone and seed source for radial, tangential, and longitudinal shrinkages (Table 2). Based on this result, it is suggesting that dimensional stability between clone and seed source is similar at the same age.
Based on this result, it is suggesting that these woods are still in juvenile phase. Hidayati et al. (2014) reported that xylem maturation process in teak is depending on age rather than diameter growth. Furthermore, Bhat et al. (2001)
Basic density (g cm-3)
0.6 0.5 0.4
0.3 0.2 Clone
0.1
Seed
0.0 2
4
6
8
Distance from pith (cm)
Figure 1 Radial variation of the basic density form two different sources type. 16
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Table 2 also shows the result of mechanical properties. The mean value of static bending strength of MOR was 805 and 889 kg cm-2 for clone and seed source, respectively. MOE was 92,000 and 109,000 kg cm-2 for clone and seed source respectively. MOR and MOE of 10-year-old teak at base part planted in Solomon Island were 1,080 and 118,000 kg cm-2, respectively (Anonim, 2011). Wahyudi and Arifien (2005) reported that MOR and MOE of 8-year-old of conventional teak at the base part planted
in Semarang were about 970 and 73,000 kg cm-2. On the other hand, at 3-year-old of clone and seed source planted in the same place, MOR was about 780 and 720 kg cm-2, respectively, whereas for MOE was 62,000 and 42,000 kg cm-2 (Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore, MOR was 654 and 782 kg cm-2 for 4and 5- year-old of teak planted in West Java. At the same ages, MOE was 77.995 and 80,653 kg cm-2, respectively (Wahyudi et al. 2014a).
1600
MOR (kg cm-2)
R² = 0.501 1200
800
400
0 0.0
0.2 0.4 0.6 Basic density (g cm-3)
0.8
160
MOE (x1000 kg cm-2)
R² = 0.5593
120
80
40
0 0.0
0.2 0.4 0.6 Basic density (g cm-3)
0.8
Figure 2 Relationships between basic density and MOR and MOE of teak.
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
17
Compressive strength parallel to grain (kg cm-2)
600 R² = 0.3043
400
200
0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Compressive strength perpendicular to grain (kg cm-2)
Basic density (g cm-3)
400 R² = 0.2301 300
200
100
0 0.0
0.2 0.4 0.6 -3 Basic density (g cm )
0.8
Figure 3 Relationships between basic density and compressive strength of teak. In the present study, MOE and MOR values especially for conventional teak was slightly lower than previous results at the same age (Anonim 2011). However, the values were higher than previous results at the younger age of teak trees (Wahyudi & Arifien 2005, Wahyudi et al. 2014a). Therefore, similar to basic density, MOE and MOR of static bending strength will increase with the increasing of tree age. 18
Furthermore, compressive strength parallel to grain and compressive strength perpendicular to grain were also determined in this present study (Table 2). The mean value of compressive strength parallel to grain was 406 and 441 kg cm-2 for clone and seed source, respectively. In addition, the mean value of compressive strength perpendicular to grain was 202 and 239 kg cm-2 for clone and seed source. The information of J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
compressive strength for the young teak is very limited. No significant difference was found between clone and seed source for all mechanical properties (Table 2). Wahyudi and Arifien (2005) reported that MOE and MOR were not different between clone and seed source which was in agreement with this results. Based on this result, it can be said that mechanical properties is not differ between clone and seed source at the same age. Relationship between basic density and mechanical properties Figure 2 and 3 show the relationships between basic density and mechanical properties. Basic density was positively significant correlation with all mechanical properties measured. Thulasidas and Bhat (2012) reported that MOR, MOE, and compressive strength parallel to grain has significant positive correlation with air-dried density in teak planted in Kerala, India. Other researchers reported that basic density has positively significant correlation with compressive strength parallel to grain in teak clones planted in Indonesia (Hidayati et al. 2014). Similar result was also found in other hardwood species in Indonesia (Makino et al. 2012, Istikowati et al. 2014). In the present study, result of the relationship between basic density and mechanical properties was in agreement with these previous studies (Thulasidas & Bhat 2012, Hidayati et al. 2014, Makino et al. 2012, Istikowati et al. 2014). Therefore, based on this result, it can be concluded that mechanical properties can be predicted by basic density. Conclusion No significant difference between two sources type of teak seed was found in
heartwood percentage, wood color, and all physical and mechanical properties measured. It is suggesting that wood properties are similar between clone and seed source at the same age. This result shows the promising future of utilization of clone as source of superior teak. Plantation management and silvicultural practices should be concerning to produce more productive teak forest without decreasing the quality of wood. However, further research is required to clarify this result. Furthermore, radial variation of basic density was increase from pith to bark, indicating that this wood is still in juvenile phase. As basic density was significantly correlation to all mechanical properties. It can be said that basic density can be used to estimate mechanical properties. Acknowledgment The author expresses sincere thanks to Perum Perhutani especially for ADMKKPH Randublatung for providing sample trees. Sincere thanks also addressed to Project of PUPT DIKTI for the funding to conduct this research. References Anonim. 2011. Selected wood properties and potential uses for plantation teak and poumuli. ACIAR project report FST/2007/020. States of Queensland: Dept of Employment, Economic Development and Inovation. pp: 1-35. Basri E, Wahyudi I. 2012. Sifat dasar kayu jati plus Perhutani dari berbagai umur dan kaitannya dengan sifat dan kualitas pengeringan. J Penelitian Hasil Hutan. 31:93-102. Bhat KM, Priya PB. 2004. Influence of provenance variation on wood properties of teak from the Western
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
19
Ghat region in India. IAWA J. 25:273282. Bhat KM, Priya PB, Rugmini P. 2001. Characterization of juvenile wood in teak. Wood Sci Technol. 34:517-532. Cordero LDP, Kanninen M. 2003. Heartwood, sapwood and bark content, and wood dry density of young and mature teak (Tectona grandis) trees grown in Costa Rica. Silva Fennica. 37:45-54. Hidayati F, Ishiguri F, Iizuka K, Makino K, Marsoem NS, Yokotas S. 2014. Among-clone variations of anatomical characteristics and wood properties in Tectona grandis planted in Indonesia. Wood Fiber Sci. 46:385-393. Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino K, Takashima Y, Danarto S, Winarni WW, Irawati D, Na`iem M, Yokota S. 2013. Variation in tree growth characteristics, stress-wave velocity, and Pilodyn penetration of 24-yearold teak (Tectona grandis) trees originating in 21 seed provenances planted in Indonesia. J Wood Sci. 59: 512-516. Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino K, Tanabe J, Marsoem SN, Na`iem M, Yokota S, Yoshizawa N. 2013. Growth characteristics, stress-wave velocity, and Pilodyn penetration of 15 clones of 12-year-old Tectona grandis trees planted at two different sites in Indonesia. J Wood Sci. 59: 249-254.
woods from three native fast-growing species in a secondary forest in South Kalimantan, Indonesia. Forest Prod J. 64:48-54. Kedharnath S, Chacko VJ, Gupta SK, Mattews JD. 1963. Geographic and individual tree variation in some wood character of teak (Tectona grandis L.f): I. Fiber length. Silvae Genet. 12:181-187. Kokutse AD, Stokes A, Bailleres H, Kokou K, Baudasse C. 2006. Decay resistance of Togolese teak (Tectona grandis L.f) heartwood and relationship with colour. Trees. 20: 219-223. Krisdianto, Sumarni G. 2006. Perbandingan persentase volume teras kayu jati cepat tumbuh dan konvensional umur 7 tahun asal Penajam, Kalimantan Timur. J Penelitian Hasil Hutan. 24:385-394. Lukmandaru G, Ashitani T, Takahashi K. 2009. Color and chemical characterization of partially blackstreaked heartwood in teak (Tectona grandis). J For Res. 20: 377-380. Makino K, Ishiguri F, Wahyudi I, Takashima Y, Iizuka K, Yokota S, Yoshizawa N. 2012. Wood properties of young Acacia mangium trees planted in Indonesia. Forest Prod J. 62:102-106.
Indira EP, Bhat KM. 1998. Effects of site and place of origin on wood density of teak (Tectona grandis) clones. J Trop For Sci. 10:537-541.
Moya R, Berrocal A. 2010. Wood colour variation in sapwood and heartwood of young trees of Tectona grandis and its relationship with plantation characteristics, site, and decay resistance. Ann For Sci. 67:109. Doi 10.1051/forest/2009088.
Istikowati W, Ishiguri F, Aiso H, Hidayati F, Tanabe J, Iizuka K, Sutiya B, Wahyudi I, Yokota S. 2014. Physical and mechanical properties of
Moya R, Marin JD. 2011. Grouping of Tectona grandis (L.f) clones using wood color and stiffness. New For. 42:329-345.
20
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Thulasidas PK, Bhat KM, Okuyama T. 2006. Heratwood color variation in home garden teak (Tectona grandis) from wet and dry localities of Kerala, India. J Trop For Sci. 18:51-54.
Wahyudi I, Priadi T, Rahayu IS. 2014a. Karakteristik dan sifat-sifat dasar kayu jati unggul umur 4 dan 5 tahun asal Jawa Barat. J Ilmu Pertanian Indonesia. 19:50-56.
Thulasidas PK, Bhat KM. 2012. Mechanical properties and wood structure characteristics of 35-year old home-graden teak from wet and dry localities of Kerala, India in comparison with plantation teak. J Indian Acad Wood Sci. 9:23-32.
Wahyudi I, Sinaga DKD, Muhran, Jasni LB. 2014b. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan pohon dan beberapa sifat fisis-mekanis kayu jati cepat tumbuh. J Ilmu Pertanian Indonesia. 19:204-010.
Wahyudi I, Arifien AF. 2005. Perbandingan struktur anatomis, sifat fisis, dan sifat mekanis kayu jati unggul dan kayu jati konvensional. J Ilmu Teknol. Kayu Tropis. 3:9-15.
Wanneng PX, Ozarska B, Daian MS. 2014. Physical properties of Tectona grandis grown in Laos. J Trop For Sci. 26:389-396. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 4 September 2014 Diterima (accepted): 2 Nopember 2014
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
21
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur (Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on Flexural Test) Fengky S Yoresta Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract This research aims to understand the behavior of elastic bending curve on several types of timber laminated beams using bolts and combination of bolt-adhesive as connector among the timber layers. The beams are divided into types A, B, and C based on position of bolts and adhesive on beam. Flexural testing is conducted with one-point loading method using 5 tons capacity of Instron machine. The test results are then compared with theory of beam deflection by EulerBernoulli and Timoshenko. The research concludes that Timoshenko beam equation is accurate enough to predict the elastic behavior of beams. Deflection obtained from experiment is about two times larger than Euler-Bernoulli beam and not more than 1% error to Timoshenko. Keywords: adhesive, bolts, elastic behavior, flexural testing, laminated beam
Abstrak Penelitian ini bertujuan memahami perilaku kurva elastik lentur beberapa tipe balok laminasi kayu yang menggunakan baut dan kombinasi baut-perekat sebagai penghubung antar lapisan kayu. Balok dibedakan menjadi tipe A, B, dan C berdasarkan posisi penempatan baut dan perekat pada balok. Pengujian lentur dilakukan dengan metode one point loading menggunakan mesin Instron berkapasitas 5 ton. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan teori defleksi balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persamaan balok Timoshenko cukup akurat untuk memprediksi perilaku elastik balok. Defleksi yang diperoleh dari eksperimen adalah sekitar dua kali lebih besar dari balok Euler-Bernoulli dan error tidak lebih dari 1% dari balok Timoshenko. Kata kunci: balok laminasi, baut, pengujian lentur, perekat, perilaku elastik
Pendahuluan Balok laminasi baut adalah balok yang terdiri lebih dari satu lapisan kayu yang membentuk suatu sistem laminasi dengan baut berfungsi sebagai transfer geser antar lapisan (Pranata et al. 2010, Pranata et al. 2011). Penggunaan baut sebagai penghubung antar lapisan kayu pada balok laminasi memungkinkan balok ini menjadi lebih mudah dan cepat dalam pembuatannya. Hal ini terutama sangat berguna ketika menghadapi 22
kondisi darurat setelah terjadi bencana. Kebanyakan insfrastruktur sipil seperti jembatan mengalami rusak berat setelah terjadi gempa kuat misalnya, sehingga membutuhkan perbaikan dengan sangat segera karena fungsi dan keberadaannya sangat diperlukan untuk akses darurat bencana. Kekakuan balok laminasi dapat melebihi kayu solid. Berbagai faktor seperti jenis kayu dan cara menghubungkan antar lapisan kayu akan mempengaruhi J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
kekuatan dan kekakuan balok laminasi. Penelitian terhadap berbagai jenis balokkotak laminasi baut untuk jembatan (Gotou 2014) menyimpulkan bahwa, dalam beberapa kasus, kekakuan lentur balok dapat mencapai 50% lebih kecil dari nilai kekakuan yang diperoleh menggunakan teori Euler-Bernoulli. Hal ini sekitar 10% disebabkan oleh perlemahan titik hubung di area tarik balok (bagian bawah balok) dan selebihnya (sebagian besar) disebabkan oleh deformasi geser yang terjadi. Hal ini sesuai dengan teori Timoshenko yang memperhitungkan adanya pengaruh geser pada balok. Biasanya tegangan geser bernilai tinggi disekitar daerah sumbu netral balok sehingga memungkinkan deformasi geser yang besar di daerah ini. Dalam penelitian ini hasil pengujian dibandingkan dengan teori defleksi balok yang dikemukakan oleh Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Penelitian ini bertujuan memahami perilaku elastik lentur beberapa tipe balok laminasi kayu yang menggunakan baut dan paku. Bahan dan Metode Penelitian ini menggunakan kayu mahoni berkadar air 13%. Perekat Epoxy dempX dengan perbandingan 1:1 serta baut berdiameter 3 mm digunakan sebagai penghubung geser.
Total semua balok berjumlah 18 sampel uji. Balok dibagi menjadi 3 tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Pembagian tipe tersebut dilakukan berdasarkan posisi penempatan baut dan perekat pada balok. Balok tipe A hanya menggunakan baut sebagai penghubung antar laipsan kayu penyusun balok. Baut ditempatkan di setiap jarak 5 cm disepanjang bentang balok. Sementara itu balok tipe B dan C menggunakan gabungan antara perekat dan baut. Baut pada balok tipe C ditempatkan disepenjang 30 cm di tengah bentang balok, dengan jarak yang sama dengan jarak baut pada balok tipe A, dan perekat digunakan di selain area tersebut, sedangkan pada balok tipe B baut ditempatkan di sepanjang area yang menggunakan perekat pada balok tipe C yaitu sepanjang 30 cm di kedua ujung balok, dan perekat ditempatkan di area yang menggunakan baut (sepanjang 30 cm di tengah bentang balok). Balok terdiri atas 3 lapis lamina dengan ketebalan masing-masing lamina adalah 1,67 cm. Tabel 1 memperlihatkan pembagian sampel uji untuk masingmasing tipe balok. Semua balok diuji lentur menggunakan mesin Instron berkapasitas 5 ton. Pengujian dilakukan dengan metode pembebanan terpusat di tengah bentang dengan panjang bentang balok adalah 90 cm.
Tabel 1 Pembagian sampel uji balok kayu laminasi No
Tipe
Penghubung
Diameter baut
Kode sampel
Jumlah
1
A
baut
3 cm
Exp1, Exp2, Exp3
3
2
B
baut, perekat
3 cm
Exp1, Exp2, Exp3
3
3
C
baut, perekat
3 cm
Exp1, Exp2, Exp3
3
Total
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur Fengky S Yoresta
9
23
Hasil dan Pembahasan Perbedaan mendasar antara teori balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. Teori balok Euler-Bernoulli mengabaikan adanya pengaruh deformasi geser pada penampang balok, yaitu dengan cara mengasumsikan bahwa bidang penampang tetap tegak lurus (tidak berubah) terhadap garis netral penampang balok selama terjadi lenturan. Hal ini menjadikan tegangan dan regangan geser tidak diperhitungkan dalam teorinya. Namun berbeda dengan teori balok Timoshenko bahwa deformasi balok didasarkan pada deformasi geser. Disekitar daerah netral terjadi tegangan geser yang tinggi sehingga menyebabkan deformasi geser. Tegangan geser yang bekerja di satu sisi elemen selalu akan disertai tegangan geser yang besarnya sama dan bekerja tegak lurus muka elemen tersebut. Dengan asumsi bahwa tegangan geser yang bekerja disetiap elemen kecil pada penampang balok tersebut adalah vertikal, maka terjadi tegangan horizontal yang bekerja antara lapisan horizontal balok yang besarnya sama dengan tegangan geser vertikal tersebut. Tegangan geser maksimum (τmaks) di balok dengan penampang persegi panjang adalah 50% lebih besar dari teganagn geser rata-rata V/A (Gere et al. 1997). Hasil pengujian lentur dan nilai yang diperoleh secara teoritis balok laminasi baut tipe A diperlihatkan pada Gambar 2. Garis “EB” adalah grafik hubungan beban-defleksi yang diperoleh menggunakan teori deflesi balok yang dikemukakan oleh Euler-Bernoulli (persamaan 1) dan garis “Timo” adalah grafik beban-defleksi berdasarkan teori balok Timoshenko (persamaan 2), 24
sedangkan angka 1, 2, dan 3 menunjukkan nomor sampel balok. Sementara itu, defleksi balok laminasi yang diperoleh dari hasil pengujian lentur diperlihatkan oleh garis Exp1, Exp2, dan Exp3.
Gambar 1 Perbandingan deformasi balok Euler-Bernoulli dan balok Timoshenko. Kedua persamaan ini (Persamaan 1 dan 2) ditentukan dengan melibatkan persamaan (3) untuk nilai koefisien geser k yang dipengaruhi oleh nilai rasio poisson υ material balok (Timoshenko 1972), persamaan (4), dan persamaan (5) (Cahyono et al. 2014). Eapp adalah nilai Modulus Elastisitas yang diperoleh dengan hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur, sedangkan Etrue adalah Modulus Elastisitas akibat lentur dan geser. Kedua nilai ini memiliki perbedaan mencapai 13,4% untuk balok glulam kayu eukaliptus (Sulistyawati 2006). Substitusi persamaan (5) ke (4) menghasilkan persamaan hubungan antara modulus geser G dan Eapp. Persamaan tersebut selanjutnya disubstitusi kembali ke persamaan (2). Nilai modulus geser G yang dihasilkan kemudian digunakan untuk menentukan Eapp dari hasil substitusi persamaan (5) dan (4).
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
𝑃𝐿3
𝛿 = 48𝐸
𝑎𝑝𝑝 .𝐼
𝑃𝐿3
𝛿 = 48𝐸
𝑎𝑝𝑝 .𝐼
𝑘=
𝑃𝐿
+ 4𝑘𝐺𝐴
10(1+𝑣) 12+11𝑣
𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 =
𝑃𝐿3 3𝑃𝐿 4𝑏ℎ3 𝛿(1− ) 10𝑏ℎ𝐺𝛿
𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 = −829 + 1,04𝐸𝑎𝑝𝑝
......
(1)
......
(2)
......
(3)
......
(4)
......
(5)
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kurva hasil pengujian lentur balok tipe A untuk semua ulangan berhimpit dengan kurva balok Timoshenko. Kondisi ini juga terjadi pada balok tipe B dan C (Gambar 3 dan 4). Perbedaan kedua kurva tersebut bahkan tidak melebihi 0.6%. Hasil pengujian terhadap 3 sample balok tipe A diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 2,72; 5,07; dan 1,08 kali lebih besar dari balok EulerBernoulli. Error balok tersebut terhadap balok Timoshenko masing-masing adalah 0,58; 1,11; dan 0,02%. Dengan cara yang sama dengan balok laminasi tipe A, hasil pengujian lentur balok laminasi tipe B dan tipe C juga dibandingkan dengan teori defleksi balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Perbandingan kurva beban-defleksi yang diperoleh kemudian diperlihatkan pada Gambar 3 dan 4. Defleksi balok laminasi dari pengujian lentur ditunjukkan oleh garis Exp1, Exp2, dan Exp3, sedangkan balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko masing-masing disimbolkan sebagai “EB” dan “Timo”.
Gambar 2 Hubungan beban-defleksi balok tipe A.
Gambar 3 Hubungan beban-defleksi balok tipe B.
Gambar 4 Hubungan beban-defleksi balok tipe C. Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur Fengky S Yoresta
25
Pengujian terhadap 3 sample balok tipe B diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 2,09; 1,75; dan 2,50 kali lebih besar dari balok EulerBernoulli, sedangkan untuk balok tipe C masing-masing adalah 2,65; 2,50; dan 2,67 kali lebih besar dari balok EulerBernoulli. Sementara itu, error tiga balok tipe B dan C terhadap balok Timoshenko berturut-turut adalah 0, 0,12, 0,02%, dan 0,03, 0,06, 0,0%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata defleksi balok tipe A yang diperoleh dari pengujian lentur adalah 2,96 kali lebih besar dari defleksi balok Euler-Bernoulli, sedangkan balok tipe B dan C berturut-turut memiliki rata-rata defleksi 2,11 dan 2,61 kali lebih besar dari defleksi balok Euler-Bernoulli. Balok tipe A, B, dan C memiliki relatif error terhadap balok Timoshenko berturut-turut adalah sebesar 0,57, 0,05, dan 0,04%. Selain mengindikasikan keakuratan persamaan (5) dalam mendefinisikan hubungan antara Eapp dan Etrue (R2 = 0,99), nilai error yang sangat kecil ini juga menegaskan bahwa defleksi balok sangat mungkin didekati dengan persamaan Timoshenko. Sebagai perbandingan, nilai error terhadap balok Timeshenko untuk balok kotak kayu laminasi tegangan (timber stresslaminated box-beam) adalah sekitar 1% (Gotou 2014). Selain itu, Gambar 2, 3, dan 4 memperlihatkan kekakuan balok meningkat dari tipe A, B, dan C. Kekakuan terbesar pada balok tipe C mengindikasikan bahwa perekat berperan cukup signifikan dibandingkan dengan baut dalam menahan geser. Kesimpulan Penelitian ini membandingkan kekakuan 3 tipe (A,B, dan C) balok kayu laminasi 26
baut hasil pengujian lentur terhadap hasil perhitungan menggunakan teori defleksi balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Defleksi yang diperoleh dari pengujian lentur adalah sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan teori balok EulerBernoulli, sedangkan error tidak melebihi 1% terhadap balok Timoshenko. Hal ini mengindikasikan bahwa geser berpengaruh besar terhadap defleksi balok. Selain itu, persamaan balok Timoshenko cukup akurat untuk memprediksi perilaku elastik balok.
Daftar Pustaka Cahyono TD, Wahyudi I, Priadi T, Febrianto F, Ohorella S. 2014. Analisis modulus geser dan pengaruhnya terhadap kekakuan panel laminasi kayu samama (Antocephallus Macrophyllus). J Teknik Sipil. 21(2): 121-128. Gere JM, Stephen PT,. 1997. Mechanics of Material. New York: Publishing Company. Gotou H. 2014. Shear behavior of on-site timber stress-laminated box-beam bridges, Proceeding World Conference on Timber Engineering WCTE, 10-14 Agustus 2014. Quebec City, Canada. Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro JA. 2010. Flexural behavior of boltlaminated beams:experimental and numerical analyses. Proceeding 2nd International Conference Indonesian Wood Research Society, 12-13 November 2010. Bali: Indonesian Wood Research Society. Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro, JA. 2011. The flexural rigidity ratio of indonesian timber bolt-laminated beam, Indonesia: Proceeding The 3rd European Asian Civil Engineering
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Forum. 20-22 September 2011. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Timoshenko S, Gere JM. 1972. Mechanics of Materials. New York: Van Nostrand Reinhold Co.
bending stiffness (EI) of timber beam, J Trop Wood Sci Technol. 4(2):44-49. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 16 September 2014 Diterima (accepted): 12 Nopember 2014
Sulistyawati I. 2006. ratio of shear to bending deflection and its influence to
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur Fengky S Yoresta
27
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin (Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction) Ganis Lukmandaru Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Bulaksumur, Yogyakarta Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract Sampling by increment borer along with wood extraction by cold soaking would be useful for large sample size and if the destructive sampling is undesirable. This work aimed to evaluate the reliability of cold extraction by methanol and acetone to extract the quinone compounds of teak heartwood compared to the conventional soxhlet extraction by ethanol-benzene. Another purpose of this work was to find out the intra-tree variability of quinone compound around the outer heartwood parts (8 angles, 16 points). On the basis of the yield of ethanol-benzene extracts in 6 trees, cold extraction could remove the extracts of 37-66% by methanol and 23-61% by acetone. By correlaton analysis, considerable degree of correlations (r>0.9) were calculated between soxhlet and cold extraction in the contents of deoxylapachol, lapachol, tectoquinone. With regard to intra-tree variation quinones, wide level ranges were observed in all compounds by judging the coefficient of variation, except for tectol. Therefore, it is suggested that the sampling in the tangential direction in a single tree should be taken at 3 points separated by at least 90 degrees to avoid the bias in the individual components. The variation of quinone total amounts, however, showed comparatively low (18%) of coefficient of variation. Keywords: cold extraction, extractives, incrrement borer, quinone, Tectona grandis
Abstrak Pengambilan sampel dengan bor riap serta ekstraksi kayu melalui rendaman dingin akan bermanfaat apabila dalam situasi sampel dengan jumlah besar dan metode sampling yang merusak tidak diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kehandalan ekstraksi rendaman dingin pelarut metanol dan aseton dalam mengekstrak senyawa-senyawa kinon (deoksilapakol dan isomernya, lapakol, tektokinon, tektol) dari kayu teras jati dibandingkan dengan metode konvensional ekstraksi soxhlet pelarut etanol-benzena. Tujuan lain penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi senyawa kinon di dalam pohon bagian sekeliling kayu teras luar (8 sudut, 16 titik). Analisis komponen dilakukan melalui GC dan GC-MS. Berdasarkan nilai rendemen ekstraksi etanol-benzena dari 6 pohon, rendaman dingin mampu mengekstrak sebanyak 37-66% bagian melalui metanol dan 23-61% bagian melalui aseton. Melalui analisis korelasi, derajat korelasi yang tinggi (r>0,9) dihitung antara ekstraksi soxhlet dan rendaman dingin dalam kadar deoksilapakol, lapakol, dan tektokinon. Dari variasi dalam pohon untuk senyawa kinon, kisaran lebar diamati di semua komponen bila dilihat dari koefisien variasinya, kecuali untuk tektol, sehingga disarankan dalam arah tangensial dalam satu pohon harus diambil di 3 titik terpisah minimal 90 derajat untuk menghindari bias untuk komponen-komponen tunggal. Meski demikian, variasi kadar kinon total mempunyai koefisien variasi yang relatif rendah (18%). Kata kunci : bor riap, ekstraktif, kinon, rendaman dingin, Tectona grandis
28
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Pendahuluan Senyawa kinon merupakan komponen ekstraktif yang terdapat pada beberapa kayu teras seperti jati (Tectona grandis), walnut (Juglans nigra), dan Tabebuia avellanedae (Thomson 1971, Umezawa 2001). Pada jati, komponen kinon seperti tektokinon, lapakol, dan deoksilapakol berperan besar terhadap ketahanan terhadap rayap dan jamur dengan derajat yang berbeda (Lukmandaru 2013, Sandermann & Simatupang 1966, Sumthong et al. 2006, Sumthong et al. 2008). Penelitian sebelumnya telah mengkuantifikasi keberadaan senyawa kinon (Nawawi et al. 2011) dan hubungannya dengan keawetan alaminya (Lukmandaru & Takahashi 2009, Niamke et al. 2011, Thulasidas & Bhat 2007), kecepatan tumbuh (Lukmandaru 2010) dan pengaruhnya terhadap warna doreng kayu teras (Lukmandaru 2009). Senyawa ekstraktif jumlahnya bervariasi pada pohon dan antar pohon. Di Indonesia, variasi senyawa kinon berdasarkan tempat tumbuh, fenotip, umur, dan biji untuk kayu jati datanya masih terbatas. Penelitian mengenai kemotaksonomi kayu jati (87 individu) berdasarkan senyawa kinonnya pada beberapa lokasi telah dilakukan (Lukmandaru 2012). Kuantifikasi kinon dalam beberapa penelitian disebutkan di atas dilakukan dengan ekstraksi etanolbenzena pada alat soxhlet dengan asumsi senyawa-senyawa kinon sudah terekstrak secara keseluruhan. Untuk melakukan penelitian terhadap senyawa ekstraktif pada variasi jati yang ada, tentunya diperlukan metode yang efisien dengan akurasi yang bisa diandalkan. Dalam melakukan penelitian kemotaksonomi pada kayu teras misalnya, tentunya diperlukan jumlah sampel yang besar sehingga pengambilan
sampel dengan metode bor riap menjadi pilihan utama. Penelitian sebelumnya pada beberapa spesies lainnya (Jactel et al. 1996, Latta et al. 2003, Mosedale et al. 1996, Mosedale & Savill 1996, Ogiyama et al. 1983, DeBell et al. 1997, Yanchuk et al. 1998) dilakukan untuk untuk penentuan variasi kadar dan komponen ekstraktifnya menggunakan bor riap untuk sampel/individu dalam jumlah besar. Metode ekstraksi dengan alat soxhlet yang dirasa kurang praktis untuk jumlah sampel yang besar. Untuk itu, metode ekstraksi dengan cara sederhana seperti perendaman dingin dengan pelarut yang murah dan mudah tersedia perlu dievaluasi keakuratannya. Eksperimen ini diarahkan pada penentuan metode sampling yang akurat pada pengambilan sampel melalui bor riap. Dari latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui akurasi metode perendaman dingin dengan pelarut metanol dan aseton dengan membandingkan dengan metode standar yaitu ekstraksi etanol-benzena dengan soxhlet. Metanol dan aseton adalah pelarut universal yang selain efektif, tersedia banyak dan murah juga lebih aman apabila dibandingkan benzena yang relatif mahal dan bersifat karsinogenik. Satu hal lainnya adalah pada jati perlu terlebih dahulu ditentukan variasi dalam satu pohon pada komponen ekstraktifnya terlebih dahulu sehingga titik pengambilan sampelnya melalui bor riap menjadi lebih akurat untuk merepresentasikan populasi. Oleh karena itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah mengetahui variasi dalam 1 pohon pada 5 senyawa kinon (tektokinon, lapakol, tektol, deoksilapakol dan isomernya) yang merupakan senyawa utama atau bersifat bioaktif pada jati (Sandermann & Simatupang 1966, Thulasidas & Bhat 2007).
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin Ganis Lukmandaru
29
Bahan dan Metode Penyiapan bahan Eksperimen untuk membandingkan metode ekstraksi dilakukan menggunakan sampel dari penebangan 6 pohon jati (no. 1-6) KU VII dari KPH Purwakarta. Tiap pohon dalam kondisi relatif sehat dan lurus (diameter 50-70 cm) diambil lempengan kayu (disk) setebal 5 cm pada ketinggian kira-kira 1 m dari permukaan tanah. Serbuk pada bagian teras luar secara acak diambil dan dihaluskan pada ukuran 40-60 mesh untuk analisis komponen kimia. Untuk mengetahui variasi senyawa kinon dalam satu pohon, dipilih pohon no. 1 yang selanjutnya diambil sampel serbuk kayu pada 16 titik dalam 8 sudut disk searah lingkaran tahun atau tangensial (Gambar 1). Metode pengambilan sampel ini mengacu pada DeBell et al. (1997) dalam penentuan akurasi ekstraksi untuk kadar tropolon total pada kayu Western Redcedar. Bahan kimia yang dipakai adalah etanol, metanol, benzena, dan aseton dengan grade PA dari Merck. Komponen standar yang dipakai adalah tektokinon (Kanto Chemical), lapakol (Sigma-Aldrich), dan naftakinon (Sigma). Ekstraksi Metode perendaman dingin 2 g serbuk kayu setara kering tanur dengan pelarut metanol dan aseton secara terpisah dilakukan selama 72 jam. Ekstraksi soxhlet dengan pelarut etanol-benzena (1:2 v/v) mengacu pada ASTM D-1107 (1984) dilakukan sebagai pembanding. Kadar ekstraktif dihitung setelah menyaring filtrat, menguapkan pelarut dan menimbang ekstrak keringnya. Ekstraksi soxhlet dengan pelarut etanolbenzena juga dilakukan untuk mengetahui variasi kadar senyawa kinon dalam pohon (Thulasidas & Bhat 2007). 30
Identifikasi dan kuantifikasi senyawa kinon Ekstrak dari perendaman dingin dan ekstraksi soxhlet dicuplik dan dilarutkan dalam pelarut yang bersesuaian sehinga diperoleh konsentrasi 100 mg ml-1. Selanjutnya dari supernatan tiap sampel diinjeksikan secara manual ke kromatografi gas (GC Hitachi G-3500, kolom NB-1) dengan kondisi suhu kolom 120~300 ºC, suhu deteksi dan injeksi 250 ºC, waktu pada suhu maksimal 15 menit, kecepatan 4 ºC per menit sedangkan helium dipakai sebagai gas pembawa. Identifikasi komponen memakai kromatografi gasspektrofotometer massa (GC-MS Shimadzu QP 5000, kolom DB-1) dengan kondisi serupa analisis GC, sedangkan kondisi MS adalah voltase suhu ionisasi 70 eV, suhu transfer 250 ºC, dan kisaran pindai 50-500 satuan massa atom. Penentuan kadar komponen berdasarkan persentase luasan puncaknya terhadap total area puncak. Kadar kinon total merupakan penjumlahan dari kadar deoksilapakol dan isomernya, tektokinon, lapakol dan tektol. Identifikasi komponen secara detail dideskripsikan pada penelitian sebelumnya (Lukmandaru & Takahashi 2009, Lukmandaru 2012). Kalibrasi pada alat dilakukan sehingga koefisien variasi tidak melebihi 20% pada sampel yang sama dalam kuantifikasi komponennya. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan secara statistic menggunakan korelasi Pearson untuk mengetahui keeratan hubungan antar parameter bebas. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 10.0.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Gambar 1 Skema pengambilan sampel serbuk kayu di bagian teras luar pada berbagai sudut piringan kayu jati. Hasil dan Pembahasan Evaluasi metode ekstraksi rendaman dingin Gambar 2 memperlihatkan kadar ekstraktif terlarut aseton (KEA) dan metanol (KEM) dari 6 pohon menghasilkan kisaran 2,47-8,44% dan 5,11-9,87%, secara berurutan. Nilai tersebut lebih rendah dari kelarutan dalam etanol-benzena (KEB) menghasilkan kisaran 10,69-14,74% seperti yang diduga sebelumnya. Nilai KEB yang relatif tinggi ini wajar karena
sampel pohon cukup tua dan diambil pada bagian teras terluar. Secara matematis, KEM mengekstrak sekitar 37-66% dari ekstraktif keseluruhan (KEB) sedangkan KEA mengekstrak sedikit di bawah KEM (23-61%). Kecuali pada sampel no. 2, nilai KEM pada setiap sampel lebih tinggi dari KEA. Hal tersebut dapat dijelaskan dari polaritasnya dimana metanol lebih polar dari aseton sehingga lebih banyak mengekstrak komponen yang lebih polar dari ekstrak jati. Untuk mengetahui efektivitias metode rendamaan dingin dalam melarutkan kinon, hasil ekstraksi tersebut disajikan pada Gambar 3. Dari urutan puncaknya adalah deoksilapakol (BM = 226), disusul oleh lapakol (BM = 240), isodeoksilapakol (BM = 226), tektokinon (BM = 222) serta tektol (BM = 450). Pada grafik juga terlihat puncak terbesar adalah skualena (waktu retensi sekitar 37 menit). Terlihat bahwa untuk konsentrasi dan komponen yang sama, pelarut aseton menghasilkan puncak (peak) yang lebih lebar sedangkan pelarut 31 etanol dan etanol-benzena tidak banyak berbeda.
16 Kadar ekstraktif (%)
14 12 10 8 6 4 2 0 KEA
KEM
KEEB
Gambar 2 Rerata kadar ekstraktif pada 6 sampel kayu teras jati dengan 3 pelarut berbeda (error bar menunjukkan standar deviasi). Keterangan: KEA = kadar ekstraktif terlarut aseton, KEA: kadar ekstraktif terlarut aseton, KEM = kadar ekstraktif terlarut metanol, KEEB = kadar ekstraktif terlarut etanol-benzena.
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin Ganis Lukmandaru
31
Gambar 3 Gas kromatogram dari ekstrak kayu teras jati yang terlarut pada (a) metanol, (b) aseton, dan (c) etanol-benzena. Beberapa komponen utama kinon yang teridentifikasi (sesuai nomor puncak) : deoksilapakol (1), lapakol (2), isodeoksilapakol (3), tektokinon (4), dan tektol (5). Hasil ini menunjukkan bahwa aseton efektif dalam melarutkan zat kinon melalui perendaman dingin. Sjostrom dan Allen (1999), menyatakan bahwa aseton merupakan pelarut yang baik untuk kebanyakan ekstraktif. Meskipun rendemen tertinggi didapatkan pada etanol-benzena, zat-zat ekstraktif selain kinon juga banyak terlarut sehingga puncak komponen kinon tidak terlalu
32
besar. Penjelasan yang sama juga dikemukakan apabila membandingkan antara hasil pelarut aseton dan 32 ethanol. Tabel 1 memperlihatkan hasil kuantifikasi 5 macam senyawa kinon dari kayu jati. Jika dihitung berdasarkan relatif terhadap persentase luasan puncak totalnya maka ekstrak metanol memberikan nilai tertinggi untuk tiap komponennya.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Tabel 1 Kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati (n=6) berdasarkan persentase luas puncak total dalam 3 pelarut berbeda Deoksilapakol
Lapakol
Kadar (%) Isodeoksilapakol
Tektokinon
Tektol
Metanol - Nilai minimum - Nilai maksimum - Rerata - Standar deviasi
1,19 39,48 15,23 16,47
1,39 16,00 8,17 6,63
5,75 12,95 8,22 2,76
7,97 20,19 13,67 5,04
7,44 15,04 11,71 3,06
Aseton - Nilai minimum - Nilai maksimum - Rerata - Standar deviasi
3,43 32,14 11,73 12,00
0,99 11,14 5,33 4,20
2,85 11,54 6,06 3,68
4,54 17,44 10,33 6,11
4,63 10,76 6,21 2,30
Etanol-benzena - Nilai minimum - Nilai maksimum - Rerata - Standar deviasi
2,76 31,00 12,53 11,04
1,18 9,43 4,04 3,60
2,17 5,32 3,74 1,13
4,07 14,27 7,19 4,81
2,25 11,40 6,61 4,10
Pelarut
Hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya senyawa berat molekul tinggi yang tidak terdeteksi oleh kromatografi gas pada ekstrak metanol tetapi tidak terlarut dalam aseton. Standar deviasi yang diperoleh cukup besar yang menunjukkan variasi besar meski sampel diambil dalam KU yang sama. Nilai standar deviasi yang besar tersebut diabaikan karena tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui kecenderungan pada pelarut yang berbeda pada kisaran konsentrasi rendah sampai tinggi. Terlihat bahwa dari nilai relatif reratanya maka urutan konsentrasi terbesar ke terkecil pada pelarut etanol-benzena adalah deoksilapakol > tektokinon > tektol > isodeoksilapakol > lapakol. Penelitian sebelumnya (Lukmandaru 2012) menunjukkan adanya 3 kemotipe berdasarkan komponen yang dominan pada ekstraktif pada jati di Jawa yaitu tipe skualena, tipe tektokinon dan tipe naftakinon. Data di atas menunjukkan
sampel yang dipakai umumnya memiliki tipe naftakinon karena relatif tingginya nilai deoksilapakol. Kecenderungan tersebut sedikit berbeda apabila menggunakan pelarut aseton dan metanol dimana urutan konsentrasi terbesar ke terkecil pada pelarut etanol-benzena adalah deoksilapakol > tektokinon > tektol > lapakol > isodeoksilapakol. Dari analisa korelasi (Tabel 2) terlihat bahwa derajat korelasi yang tinggi (r>0,9) antara ekstrak etanol-benzena dengan ekstrak aseton atau ekstrak metanol diukur pada komponen deoksilapakol, lapakol dan tektokinon sedangkan pada 2 komponen lainnya derajat korelasinya cukup moderat (r = 0,40-0,78). Hal ini menunjukkan metode rendaman dingin cukup akurat, khususnya aseton, dalam memprediksi kadar senyatanya komponen individual di atas dalam ekstrak etanol-benzena. Meski demikian, korelasi tidak nyata diamati di parameter kadar kinon total.
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin Ganis Lukmandaru
33
Tabel 2 Koefisien korelasi (r) antara komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati pada tiga pelarut berbeda Komponen Pelarut Metanol- etanol/benzena Aseton-etanol/benzena Deoksilapakol 0,95** 0,99** Lapakol 0,97** 0,98** Isodeoksilapakol 0,40* 0,78** Tektokinon 0,99** 0,93** Tektol 0,60* 0,72** Kinon total 0,27 0,56 Keterangan : *= nyata pada taraf uji 5%, ** = nyata pada taraf uji 1%
Jika kelarutan etanol-benzena melalui soxhlet dianggap ideal, penggunaan metode rendaman dingin di atas masih perlu disempurnakan karena kecenderungan rerata berbeda maupun relatif rendahnya derajat korelasi antara ekstrak etanol-benzena dan ekstrak aseton/metanol pada komponen isodeoksilapakol dan tektol, serta kadar kinon total. Metode perendaman dingin untuk penelitian kemotaksonomi atau variasi antar pohon pada spesies lain dengan sampel bor riap telah dilakukan pada kayu Cryptomeria japonica (Ogiyama et al. 1983) menggunakan metanol untuk mengekstrak senyawa golongan norlignan. Selanjutnya, pelarut pentana untuk melarutkan kelompok monoterpena pada spesies Pinus ponderosa (Latta et al. 2000, 2003), maupun campuran etanolair untuk melarutkan senyawa-senyawa tanin (Mosedale & Savill 1996) serta campuran metanol, air, asam fosfat untuk melarutkan senyawa-senyawa elagitanin (Mosedale et al. 1996) pada spesies Quercus sp. Pada jati, pencampuran aseton atau metanol dengan senyawa yang non-polar yang tidak bersifat karsinogenik perlu dipertimbangkan sehingga ekstraksi senyawa-senyawa kinon menjadi lebih menyeluruh. Sebelumnya, Nawawi et al. (2011) telah mengevaluasi beberapa komposisi
34
pelarut melalui ekstraksi soxhlet untuk melarutkan tektokinon dalam kayu jati dan didapatkan pelarut toluena-etanol (2:1, v/v) yang paling efektif jika senyawa tersebut dideteksi dengan PyrGC-MS. Variasi kadar kinon dalam pohon Penelitian ini tidak menggunakan bor riap secara langsung tetapi pengambilan sampel secara konvensional dengan menebang. Pengambilan di kayu teras terluar diasumsikan bor riap akan lebih mudah mengakses bagian tersebut dari keseluruhan kayu teras dan bagian tersebut mempunyai kadar ekstraktif tertinggi pada kayu jati (Sandermann & Simatupang 1966, Lukmandaru & Takahashi 2008). Hasil pengukuran beberapa senyawa kinon yang terlarut dalam ekstrak etanol-benzena bisa dilihat pada diagram pencar (Gambar 4) dan disarikan pada Tabel 3. Secara keseluruhan didapatkan koefisien variasi antara 11-69% yang menunjukkan bahwa kadar kinon kayu jati bervariasi cukup lebar meski dalam 1 disk. Kecuali pada tektol, nilai kadar maksimal bisa melebihi dua kali dari nilai minimalnya. Pada sudut yang sama (3 ulangan) juga didapatkan variasi cukup lebar (lapakol, isodeoksilapakol) meski tidak sebesar variasi antar sudut.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Gambar 4 Pengukuran kadar (%) beberapa senyawa kinon kayu teras jati berdasarkan persentase luas puncak total dengan sampling di berbagai sudut pada sebuah disk. Tabel 3 Data kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati Kadar Komponen Nilai kadar minimal (%) Nilai kadar maksimal (%) Rerata nilai kadar (%) Standar deviasi (%) Koefisien variasi (%) Sudut pada nilai minimal Sudut pada nilai maksimal
Deoksilapakol 0,55 9,08 4,46 2,37 53,27 225, 180 135, 270
Lapakol 1,34 8,31 3,36 2,32 69,20 0, 270 180, 90
Komponen Isodeoksilapakol 4,38 12,17 7,52 2,14 28,43 180, 225 90, 270
Tektokinon
Tektol
4,41 12,21 6,64 2,65 39,88 90, 135 180, 315
5,50 8,97 7,75 0,91 11,75 45, 0 180, 225
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin Ganis Lukmandaru
Kinon total 21,69 41,90 29,41 5,30 18,02 225, 270 180, 315
35
Cukup beralasan bila pengambilan sampel harus dilakukan pada lebih dari satu tempat untuk menghindari bias. Kisaran nilai minimal, maksimal dan rerata serta posisi dimana nilai-nilai tersebut diambil yang disarikan di Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai maksimal dan minimal berjarak 90 derajat (deoksilapakol, isodeoksilapakol, dan tektokinon) dan 180 derajat (lapakol). Hasil tersebut menyarankan bahwa pengambilan sampel dalam satu pohon sebaiknya dilakukan pada tiga titik yang masing-masing berjarak 90 derajat untuk menghindari bias pada komponenkomponen tunggalnya apabila individu pohon berjumlah relatif sedikit. Hal tersebut tidak diperlukan apabila yang dicari kadar kinon totalnya karena koefisien variasi yang relatif rendah (18%) dalam satu disk. Pada kayu Larix sp (DeBell et al. 1997), disarankan untuk mengambil pada dua posisi dengan selisih 90 derajat dalam satu disk untuk menghindari perbedaan yang tinggi pada kadar tropolon total yang merupakan gabungan dari empat senyawa dari golongan tersebut. Di lain pihak, Latta et al. (2000) mendapatkan variasi dalam satu pohon (antara sudut 0 dan 180 derajat) yang relatif kecil pada enam senyawa monoterpena di batang Pinus ponderosa. Kesimpulan Metode rendaman dingin dengan pelarut aseton dan metanol cukup akurat untuk menggantikan metode ekstraksi soxhlet dengan pelarut etanol-benzena khususnya untuk komponen-komponen deoksilapakol, lapakol dan tektokinon. Penyempurnaan metode diperlukan untuk mendapatkan derajat korelasi yang lebih tinggi antara ekstrak yang terlarut dalam etanol-benzena dengan terlarut aseton maupun metanol pada komponen 36
isodeoksilapakol, tektol, dan kinon total. Untuk variasi dalam satu pohon, kisaran lebar (koefisien variasi 28-69%) didapatkan pada semua komponen kecuali tektol. Untuk itu, pengambilan sampel serbuk kayu dengan bor riap disarankan dilakukan pada 3 titik yang berjarak 90 derajat dalam arah tangensial disk. Meski demikian, koefisien variasi yang relatif rendah (18%) dalam 1 disk dihitung di parameter kadar kinon total. Daftar Pustaka [ASTM] American Society for Testing and Materials. 1984. Standard Test Method for Alcohol-benzene Solubility of Wood. Designation of D 1107-84. Philadelphia: ASTM. DeBell J, Morrell JJ, Gartner BL. 1997. Tropolone contents of increment cores as an indicator of decay resistance in Western Redcedar. Wood Fiber 29:364-369. Jactel H, Kleinhentz M, Marpeau-Bezard JA, Marion-Poll F, Menassieu P, Burban C. 1996. Terpene variations in maritime pine constitutive oleoresin related to host tree selection by Dioryctria sylvestrella Ratz. (Lepidoptera: Pyralidae). J Chem Ecol. 22:1037-1050. Latta RG, Linhart YB, Lundquist L, Snyder MA. 2000. Patterns of monoterpene variation within individual trees in ponderosa pine. J Chem Ecol. 26:1341-1357. Latta RG, Linhart YB, Snyder MA, Lundquist L. 2003. Patterns of variation and correlation in the monoterpene composition of xylem oleoresin within populations of ponderosa pine. Biochem Systematics Ecol. 31:451–465.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Lukmandaru G. 2009. Perubahan warna pada kayu teras jati (Tectona grandis) doreng melalui ekstraksi berturutan. J Ilmu Teknol Hasil Hutan. 2(1):15-20. Lukmandaru G. 2010. Sifat kimia kayu jati (Tectona grandis) pada laju pertumbuhan berbeda. J Ilmu Teknol Kayu Tropis. 8(2):188-196. Lukmandaru G. 2012. Chemotaxonomic study in the heartwood in the heartwood of Javanese teak – analysis of quinones and other related components. Wood Res. 3(1):30-35. Lukmandaru G. 2013. Antifungal activities of certain components of teak wood extractives. J Ilmu Teknol. Kayu Tropis. 11(1):11-18. Lukmandaru G, Takahashi K. 2008. Variation in the natural termite resistance of teak (Tectona grandis Linn fil.) wood as a function of tree age. Ann For Sci. 65:708 (p1-8) Lukmandaru G, Takahashi K. 2009. Radial distribution of quinones in plantation teak (Tectona grandis L.f.). Ann For Sci. 66:605 (p1-9). Mosedale JR, Savill PS. 1996. Variation of heartwood phenolics and oak lactones between the species and phenological types of Quercus petraea and Q. robur. Forestry. 69:47-55. Mosedale JR, Charrier B, Crouch N, Janin G, Savill PS. 1996. Variation in the composition and content of ellagitannins in the heartwood of European oaks (Quercus robur and Q. petraea). A comparison of two French forests and variation with heartwood age. Ann For Sci. 53 : 1005-1018. Nawawi DS, Suyono, Widyorini AA. 2011. Ekstrak kayu jati sebagai katalis
delignifikasi pulping soda. J Ilmu Teknol. Kayu Tropis 9(2):101-110. Niamké FB, Amusant N, Charpentier JP, Chaix G, Baissac Y, Boutahar N, Adima AA, Coulibaly SK, Allemand CJ. 2011. Relationships between biochemical attributes (non-structural carbohydrates and phenolics) and natural durability against fungi in dry teak wood (Tectona grandis L. f.). Ann For Sci. 68:201-211. Ogiyama K, Yasue M, Takahashi K. 1983. Chemosystematic study on heartwood extractives of Cryptomeria japonica D. Don. Proceedings of International Symposium on Wood and Pulp Chemistry, Tsukuba, Japan 1:101–106. Sandermann W, Simatupang MH. 1966. On the chemistry and biochemistry of teakwood (Tectona grandis L. fil). Holz Roh Werkst. 24:190-204. Sumthong P, Romero-González RR, Verpoorte R. 2008. Identification of anti-wood rot compounds in teak (Tectona grandis L.f.) sawdust extract. J Wood Chem Technol. 28:247- 260. Sumthong P, Damveld RA, Choi YH, Arentshorst M, Ram AFJ, Van den Hondel CAMJJ, Verpoorte R. 2006. Activity of quinones from teak (Tectona grandis) on fungal cell wall stress. Planta Medica. 72:943-944. Thomson RH. 1971. Naturally Occurring Quinones (2nd ed). New York : Academic Press. Thulasidas PK, Bhat KM. 2007. Chemical extractive compounds determining the brown-rot decay resistance of teak wood. Holz RohWerkst. 65:121–124.
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin Ganis Lukmandaru
37
Umezawa T. 2001. Chemistry of extractives. Dalam Hon DNS, Shiraishi N (ed). Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcel Dekker. Yanchuk AD, Spilda I, Micko MM. 1988. Genetic variation of extractives in the wood of
38
trembling aspen. Wood Sci Technol. 22:67-71. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 20 September 2014 Diterima (accepted): 21 November 2014
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari1,2* , Fauzi Febrianto3, Nyoman J Wistara3, Sucahyo Sadiyo3, Siti Nikmatin4 1
Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara 2 Student of Graduate School, Bogor Agricultural University (IPB) 3 Department of Forest Products, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (IPB) 4 Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science, Bogor Agricultural University (IPB) *Corresponding author:
[email protected] Abstract Sludge is the largest waste produced from the pulp and paper mill, it consists of 50-60% fibers and inorganic materials and have caused serious disposal problem. Recycling sludge into valueadded product can give environmental and economic benefits. The objective f this research was to optimize utilization of sludge as filler in wood plastic composite using polypropylene as a matrix resin. Sludge with and without purification treatment were used as filler. The concentration of filler used was 40%, 50% and 60%. Maleic anhydride-modified- polypropylene (MAPP) with concentration of 5% was used as a coupling agent. Filler, matrix with and without coupling agent were compounded using Haake polydrive labopastomill at 175 °C, 60 rpm for 20 min. The results indicated that the morphology, physical, mechanical and thermal properties of wood plastic composites was much influenced by purification treatment, filler loadings and addition of coupling agent. Interaction of between fibers and matrix resin and thermal stability of wood plastic composites were much improved by purification treatment on sludge and addition of coupling agent. Keywords: coupling agent, fillers, purification, sludge, wood plastic composite
Abstrak Sludge adalah limbah terbesar yang dihasilkan dari pabrik pulp dan kertas, terdiri dari 50-60% serat dan bahan anorganik. Penanganan sludge menyebabkan masalah terutama dalam hal pembuangannya. Daur ulang sludge menjadi produk yang memiliki nilai tambah dapat memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal sludge sebagai pengisi dalam pembuatan komposit kayu plastik dengan matrik polipropilena. Sludge dengan dan tanpa perlakuan purifikasi digunakan sebagai pengisi. Konsentrasi pengisi digunaka sebanyak 40%, 50% dan 60%. Maleic anhydride-modifiedpolypropylene (MAPP) dengan konsentrasi 5% digunakan sebagai agen pengkopel. Pengisi, matrik dengan dan tanpa agen pengkopel dicampur menggunakan Haake polydrive labopastomill pada suhu 175 °C dengan laju putaran 60 rpm selama 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan sifat morfologi, sifat fisis, mekanis dan termal komposit kayu plastik dipengaruhi oleh perlakuan purifikasi, kadar pengisi dan pemberian agen pengkopel. Perlakuan purifikasi dan penambahan agen pengkopel terutama mempengaruhi interaksi antara serat dan matriks polypropylene serta meningkatkan stabilitas termal dari komposit kayu plastik. Kata kunci: agen pengkopel, komposit kayu plastik, pengisi, purifikasi, sludge
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
39
Introduction Natural fiber has been widely used as the primary material in the manufacturing of plastic composite for its advantages over synthetic fiber. Other than plant’s waste, the sludge from pulp and paper industry also acts as a potential source of cellulose. Sludge consists of fiber (5060%) and inorganic materials such as mineral and ash (Mehmood et al. 2010), thus it has the potential to be utilized as an alternative source of cellulose. However, as natural fiber, sludge has its disadvantages, such as the existence of hydroxyl groups and other polar groups which are causing it to have hydrophilic properties which can resulted in low wettability and poor interface bonding with matrix resin (Taramian et al. 2007, Li et al. 2011, Lima et al. 2014). The poor bonds between hydrophilic fiber and hydrophobic matrix could affect the physical and mechanical properties of the composites product. Faruk et al. (2012) explained that in order to increase the interface adhesion between the fiber and the matrix, there should be a modification in the matrix or the fibers. The modification of fiber can be conducted through physical and chemical methods, in which the physical methods such as corona/plasma and mercerisation aim to affect the mechanical bonding with polymer matrix. Moreover, the chemical modification of fiber aims to form the hydroxyl group reaction in fiber with correct reactive compound in order to form covalent bonding. The newly formed group will act as the interface between the fiber and the matrix to produce composite products with better properties. The use of third component besides the matrix and fiber is also categorized as chemical method, known as compatibilizer, or coupling agent. The coupling agent’s function is modifying 40
one or both of the two component of the composite in order to improve its adhesion (Lu et al. 2000, Febrianto et al.2005, 2006a, 2006b, 2006c, 2014). Examples of coupling agents that have been used in several researches are maleic anhydride polypropylene (MAPP), maleic anhydride polyethylene (MAPE), isocyanate, silane, and other anhydride such as acid and succinic anhydride (Lu et al. 2000, Febrianto et al. 2005, Febrianto et al. 2006a, 2006b). MAPP and MAPE are obtained through the reaction between the matrix and MAH with additional initiator. The coupling agent widely used in the manufacturing of plastic composite with PP matrix is MAPP. Maleic anhydride has advantages such as its effectivity in low concentration, low surface energy, can be obtained commercially, and not require pretreatment of the fiber or PP before its manufacturing (Lu et al. 2000; Lin et al. 2002; Kim et al. 2007). This research aims to determine the effect of MAPP towards the mechanial and thermal properties of the manufactured plastic composite. Materials and Methods Materials used in this research are primary sludge obtained from PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten. Polypropylene impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA was obtained from PT. Chandra Asri Petrochemical, Cilegon. The most important characteristics of PP impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA is its impact-resistance material (it’s hard to break) and its resistance of low temperature (reaching as low as -30 oC), melt flow rate (MFR) of 9.0 g per 10 min., and its density of 0.9 g cm-3. The coupling agent used is Licocene PPMA 6452 TP, produced by Clariant J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Chemical, Ltd., Germany. Several characteristics of Licocene PPMA 6452 TP are its acidic number of 41 mg KOH/g, its softening point of 143 oC, its density of 0.93 g cm-3, and its grafting level of maleic anhydride (7%). The chemical materials used are ethanol, benzene, sodium chloride (NaClO2), acetic acid, sodium hydroxyde, destilated water, and acid chloride.
used by sludge/PP/MAPP are 40/55/5, 50/45/5, and 60/35/5. Afterwards, the resulting mixture was formed into pellets, and then manufactured into sheets/composites using hot press at 180 °C for 20 min. Further, it was coldpressed for 10 min. After, the manufactured composite was conditioned at room temperature and cutting into specific sizes to be examined.
Purification treatment
Plastic composite characterizations
The purification treatment was conducted in order to isolate the cellulose component of the primary sludge, and it was based on the methods of Fahma et al. (2010). Firstly, sludge was extracted using ethanol/benzene solution (1:2 v/v) through soxhlet extraction for 48 h to remove the extractive components (resin, oil, fat, and wax). Further, fiber was washed using ethanol to remove the benzene, followed by rinsing using destilated water. Afterwards, bleaching was conducted using sodium chloride solution 1.25% in acidic condition (pH = 4-5). Bleaching treatment was conducted at 70 °C for 4 h. Fiber was rinsing with destilated water until pH 7. Furthermore, fiber was extracted with sodium hydroxyde 17.5% for 2 h at 20 °C, and rinsing several times with destilated water to remove the alkali. Finally, the fiber was extracted with 1M acid chloride solution to remove the inorganic materials. Fiber was rinsing with destilated water until pH 7, and then it was dried at 50 °C.
The physical properties of composite film consist of water absorption and thickness swelling with the samples’ size of (2×2) cm2. Before the testing, each samples’ mass and thickness were measured. After, samples were soaked in aquades at room temperature for two days. After two days, each samples were swabbed using tissue paper to wipe off the water and then their mass and thickness were determined. The examination of mechanical properties (tensile strength, young modulus, and break elongation) of composite film was conducted based on ASTM D882-75b (Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting) with the crosshead speed of 50 mm/min. The sludge-filled composite’s morphology was analyzed using SEM (Scanning Electron Microscope) JEOL-JSM 6510LV. In this morpology analysis, samples were put down on the carbontape fixed to the samples holder of 1 cm diameter. Samples were coated with osmium in coating device, and then they were put into SEM and scanned with the voltage of 15 kV. The thermal properties of composite were determined using TGA (Thermo-Gravimetrix Analysis) and DSC (Differential Scanning Calorimetry). The TGA testing was conducted by taking 10 mg of the composite samples and then put into the
Plastic composite manufacture The composite was manufactured through the following steps: the mixing of sludge, PP matrix, and MAPP using Haake Polydrive labo plastomill at 175 °C and 60 rpm for 20 min. The composition (percentage) of materials
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
41
crucible. This samples-contained crucible was placed inside a testing chamber with heating program at 50 °C to 600 °C and rising temperature speed of 10 °C min-1 and nitrogen gas flow speed of 50 ml min-1. Afterwards, it was put into hold (isothermic) for 5 minutes at 600 °C before the heating was continued again until it reached 900 °C in the oxygen gas-environment and oxygen gas flow speed of 50 mL/min. The DSC testing was conducted using DSC Mettler Toledo type-DSC 821. 16 mg of samples were then put into the 40 µL crucible. The analysis was conducted with temperature program from -75 to 125 oC with heating speed of 5 oC min-1. The purging gas used was nitrogen with flow speed of 50 ml min-1.
amount of empty spaces/gaps between the fibers and matrix. Figure 2 shows the water absorption properties and thickness swelling tendency of the composite after two days being submerged. The water absorption in all treatments increases with the increasing amount of fiber. The natural properties of plastic matrix is hydrophobic, which means the water was absorbed by cellulose materials inside the composite (Hamzeh et al. 2011). The decrease of water absorbed was caused by the addition of MAPP in all of the treatments. The addition of MAPP was probably causing the forming of better linkages between matrix and fiber, for it decreases the amount of gaps on the composite’s interface. Moreover, the fiber’s hydrophilic properties was blocked by the existence of hydroxyl group, due to the coupling agents increase the amount of ester bonds between hydroxyl group in the fiber with the anhydride group in MAPP.
Results and Discussion Physical and mechanical properties of plastic composite Figure 1 shows the density of composite. The increasing fiber content added into the PP matrix tends to increase the density. The addition of MAPP toward all treatments also causing the increasing of composite’s density, due to the interaction between PP with sludge becomes better and thus decrease the
Our result was agreed with the previous result reported by Febrianto et al. (2006a) using woody filler in manufacturing wood flour-poly lactic acid composites.
Figure 1 The density of the plastic composite. 42
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 2 Water absorption and thickness swelling of the composite. The thickness swelling properties of the composite show the same tendency with the water absorption properties. The hydrophilic properties of lignocellulosic materials are mostly caused by the existence of polar groups which pull the water molecules by hydrogen bond. This causes the water molecules trapped within fiber cell’s wall (causing the cells to swell) and also in the interfaces between fiber and the matrix. This affects the dimensional changes of plastic composite, especially on its thickness (Hamzeh et al. 2011). Figure 3 shows the results of tensile strength testing of sludge-filled plastic composite. The tensile strength decreases by the increasing of amount of fiber of the composite. These decreases are caused by the heterogenity of sludge’s size, due to the composites are not able to
withstand the stress transferred from the matrix to the filler. Similar result was reported by Febrianto et al. (2005) increasing the filler loadings resulted in decreasing the tensile strength and breaking elongation and increasing the Young’s modulus of wood polypropylene composite. The addition of MAPP towards all composites increases their tensile strength. This increase in strength occurred because of the better bonding between fiber and PP. The increase in interaction between fiber and PP happens through esterification between anhydride groups of MAPP with hyrdroxyl groups of fibers. Figure 4 shows the mechanism of chemical reaction in the forming of interface bonding between fiber’s surface with matrix. The reaction begins through
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
43
the peroxyde catalyst which starts the forming of radical on PP chain through hydrogen bonding and chain breaking. The formed radical further reacts with maleic anhydride to form MAPP (Park et al. 2006, Febrianto et al. 2005).
amount of fiber added into the matrix, the composite structure becomes more rigid. The addition of MAPP increases the composite’s rigidity for there is a compatibility between the fiber and the matrix. Figure 6 shows the break elongation graphic of the composite, in which the addition of fiber causes the composite to become more rigid and its break elongation to decline.
Figure 5 shows that there is an increase in young modulus of the plastic composite along with the increase of sludge content. Young modulus shows the composite’s rigidity. The larger the
Figure 3 Tensile strength of plastic composite.
Figure 4 The mechanism of chemical reaction between fiber with MAPP.
44
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 5 Young modulus of plastic composite.
Figure 6 Break elongation of the plastic composite. Figure 7 shows the SEM results of the composite with PP matrix based on the varied sludge treatment. There are morphological differences of the composite’s surface made with the different fillers and sludge treatments. The unpurified sludge-filled composite shows the existence of gaps between fibers and matrix which indicates that the interaction between fiber and the matrix does not occured. While the composite added coupling agents already seen the interaction between the fibers with the matrix has shown by the matrix that surrounds the fiber so it is not seen again
the gap between the fibers with the matrix. The similar thing also occured on the purified sludge-filled composite. Thermal composite
properties
of
plastic
Figure 8 shows the TGA thermogram of sludge, PP film composite, and PP film composite with sludge filler. The steps of sludge’s mass declination from the heat was started with the change of mass caused by water evaporation from the fiber at 50-150 °C (Figure 8a). The next step is the mass change caused by initial damage of sludge at 200-350 °C.
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
45
Unpurified sludge
a
b
c
d
Purified sludge
Figure 7 SEM image of plastic composite filled: a) unpurified sludge without MAPP, b) unpurified sludge with MAPP, c) purified sludge without MAPP, and d) purified sludge with MAPP. According to Onggo et al. (2005), in this step, the components inside the fiber undergo carbon chain breaking, followed by the secretion of volatile matters such as carbon dioxide, hydrocarbon, and hydrogen gas. Components with lower molecular mass will undergo degradation before the components with high molecular mass. Therefore, on fiber, the degradation is firstly experienced by hemicellulosic component, lignin, and lastly, cellulose which produces charcoal. Further, the mass change was happened because of the oxydation reaction of residue such as charchoal, followed by the process of carbon burning into ashes which happened at 400-600 °C. PP decomposition shows one degradation step with the mass diminution on the exothermic peak at 420 °C (Figure 8b). Moreover, on composite with 50% PP-50% sludge, the decomposition consists of two steps of mass reduction. The first step is caused by the sludge and PP: the amalgamation of 50% sludge in PP matrix increases the
46
sludge component decomposition at 320 °C (sludge decomposition at 300 °C). This shows that PP is the component protecting the fibers, thus delaying the degradation. The second step is the consistent decomposition of PP at ≈420 °C, showing that the existence of sludge doesn’t affect the thermal stabilization or mass reduction of the matrix greatly (Spoljaric et al. 2009). For the composite film with 45% PP-5% MAPP-50% sludge (Figure 8d), the observed changes in decomposition profile is the change in mass reduction steps according to the matrix. The decomposition temperature of the matrix increases toward 440oC. The rate of mass reduction slightly decreases compared to the composite without coupling agent. This change is caused by the existence of coupling agent inside the composite. The specific interaction between cellulose and maleat anhydride could produce an association through esterification between anhydride group and hydroxyl group of the cellulose (Spoljaric et al. 2009).
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Gambar 8 TGA thermogram on a) sludge; b) PP composite film; c) composite film with 50% sludge-50% PP and d) composite film with 50% sludge-45% PP-5% MAPP. Figure 9 shows the DSC thermogram of the composite to determine the glass transition temperature and melting point of the manufactured composite. The first endothermic peak of PP film (115 °C) is the process of the increasing of glass transition at 125 °C in the PP composite with sludge filling, whereas on the PPsludge composite with MAPP addition, the glass transition temperature is the same as the PP’s. The second endothermic of the PP film (163.73 °C) shows the process of polymer meltdown
from its solid state into liquid. The addition of sludge toward matrix causes the melting point to increase at 164.40 °C. However, the addition of MAPP on the PP-sludge composite decreased the melting point into 160.38°C. The ΔH value is the change of calor which was happening along the calor absorption or desorption process, showing that the addition of MAPP toward the composite causes the change of calor becoming smaller.
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
47
a
b
c
Figure 9 DSC thermogram of a) sludge; b) PP composite film; c) composite film of sludge 50%-PP 50% and d) composite film of sludge 50%-PP 45%-MAPP 5%. Table 1 Thermal characteristics of composite Sample Glass transition (0C) PP (pure) 115 Sludge Composite 125 50%-PP 50% Sludge Composite 115 50%-PP 45%-MAPP 5%
48
Melting point (0C)
ΔH (J/g)
163.73 164.40
79.7894 39.1249
160.38
35.7662
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Conclusion Purification treatment of sludge prior to be used as filler improved the physical, mechanical and thermal properties of wood plastic composites. The physical and mechanical properties of wood plastic composites were also influence by filler loadings. The addition of coupling agents improved the interaction between the fiber and the matrix in the manufacturing of wood plastic composite. The SEM results of the composite added with coupling agent show good interaction between the fiber and the matrix, as was shown by the matrix which engulfs the fiber, leaving no gaps between the fibers and the matrix. The addition of coupling agent also improved the thermal stability of the manufactured composite, as is shown by the increase of temperature of matrix decomposition, mass loss rate, and the decrease of the calor’s change. References Faruk O, Bledzki AK, Fink H-P, Sain M. 2012. Biocomposites reinforced with natural fibers: 2000–2010. Prog Polym Sci. 37(11):1552-1596. Doi: 10.1016/j.progpolymsci.2012.04.003 Febrianto F, Lee SH, Jang JH, Hidayat W, Kwon JH, Kondo T, Kim NH. 2014. Tensile properties and dimensional stability of wood flourreinforced cis-1,4-isoprene rubber composites. J Fac Agr Kyushu Univ. 59(2); 333-337. ISSN 0023-6152 Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y, Thair MT, Syafii W, Shiraishi N. 2006a. The morphological, mechanical and physical properties of composites of wood flour-polylactic acid under various filler types. J Biol Sci. 6(3):555-563. Doi: 10.3923/jbs.
2006.555.563 URL: http://scialert.net/ abstract/?doi=jbs.2006.555.563 Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y, Shiraishi N. 2006b. Characterization and properties of composites of woodflour and poly lactic acid. J Korean Wood Sci Technol. 34(5):67-78. Doi prefix : 10.5658 Febrianto F, Sulaeman R, Karina M, Ashaari Z, Hadi YS. 2006c. Weathering and termite resistance of composites of wood flour and recycled polypropylene in tropical region. J Korean Wood Sci Technol. 34(5):88-97. Doi: 10.5658/WOOD Febrianto F, Setyawati D, Karina M, Bakar ES, Hadi YS. 2005. Influence of wood flour and modifier content on the physical and mechanical properties of wood flour-polypropylne composites. J Biol Sci. 6(2):337-343. Doi: http://dx.doi.org/10.3923/ jbs.2006.337.343 Hamzeh Y, Ashori A, Mirzaei B. 2011. Effects of Waste Paper Sludge on the Physico-Mechanical Properties of High Density Polyethylene/Wood Flour Composites. J Polym Environ. 19:120-124. Doi: 10.1007/s10924010-0255-3 Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012. Extraction, preparation and characterization of cellulose fibres and nanocrystals from rice husk. Ind Crops Prod. 37:93-99. Doi: 10.1016/ j.indcrop.2011.12.016 Kim H-S, Lee B-H, Choi S-W, Kim S, Kim H-J. 2007. The effect of types of maleic anhydride-grafted polypropylene (MAPP) on the interfacial adhesion properties of bioflour-filled polypropylene composites. Compos. Part A-Appl. S. 38(6):1473-
Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
49
1482. Doi: 2007.01.004
10.1016/j.compositesa.
Li Z, Zhou X, Pei C. 2011. Research article effect of sisal fiber surface treatment on properties of sisal fiber reinforced polylactide composites. Int J Polym Sci. 1-7. Doi: 10.1155/ 2011/803428 Lima PRL, Santos RJ, Ferreira SR, Filho RDT. 2014. Characterization and treatment of sisal fiber residues for cement-based composite application. Eng Agríc Jaboticabal. 34(5):812-825. Lin Q, Zhou X, Dai G, Bi Y. 2002. Some studies on mechanical properties of wood flour/continuous glass mat/polypropylene composite. J Appl Polym Sci. 85(3):536-544. Doi: 10.1002/app.10591 Lu JZ, Wu Q, Harold S, McNabb J. 2000. Chemical coupling in wood fiber and polymer composites: a review of coupling agents and treatments. Wood Fiber Sci. 32(1): 88-104. Onggo H, Subowo W, Sudirman. 2005. Analisis Sifat Termal Komposit Polipropilen-Kenaf. Prosiding Simposium Nasional Polimer V:149153.
50
Park J-M, Quang ST, Hwang B-S, DeVries KL. 2006. Interfacial evaluation of modified Jute and Hemp fibers/polypropylene (PP)-maleic anhydride polypropylene copolymers (PP-MAPP) composites using micromechanical technique and nondestructive acoustic emission. Compos Sci Technol. 66(15):26862699. Doi: 10.1016/j.compscitech. 2006.03.014 Spoljaric S, Genovese A, Shanks RA. 2009. Polypropylene–microcrystalline cellulose composites with enhanced compatibility and properties. Compos Part A-Appl S. 40(6-7):791-799. Doi: 10.1016/j.compositesa.2009.03.011 Taramian A, Doosthoseini K, Mirshokraii SA, Faezipour M. 2007. Particleboard manufacturing: an innovative way to recycle paper sludge. Waste Manag. 27(12):17391746. Doi: 10.1016/j.wasman. 2006. 09.009 Riwayat naskah: Naskah masuk(received): 23September 2014 Diterima (accepted): 24 Nopember 2014
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus (Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of Tapping Pine) Maryam Jamilah1*, Lina Karlinasari2, Sucahyo Sadiyo2, Gunawan Santosa3 1
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 2 Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 3 Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 *Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract Non-destructive testing based on sound wave propagation has been used widely to estimate wood quality of standing trees. The aim of this study was to evaluate the characteristics of the sound wave velocity in relation to pine resin productivity and resin intercellular frequency and diameter. The samples were 72 trees consisted of 36 trees which were tapped by the quarre method and 36 other trees were tapped with addition of stimulants. The speed of sound waves propagation was measured by SylvatestDuo for radial direction and longitudinal. The tapping position was determined refering to the wind direction. The resin productivity was twice for tapping with stimulant comparing to the control. The highest resin productivity was 87.31 g per harvest for tapping with stimulant and the lowest (39.86 g per harvest) for control. Statistically, there was not significant difference in sound speed for tapped position as well as for measurement before and after tapped of both radial and longitudinal testing, as well as for the anatomical properties of both of treatments. A high positive correlation was found between resin productivity and intercellular frequency for both treatments (r>0.80), however, there was not significance correlation between resin productivity and other parameters. Keywords: Pinus merkusii, resin tapping, sound wave propagation
Abstrak Pengujian metode non-destruktif testing (NDT) berbasis gelombang suara biasa digunakan untuk menduga kualitas pohon di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kecepatan rambat gelombang suara pada kayu pinus sadapan dan kaitannya dengan produksi getah berdasarkan penyebaran jumlah dan diameter saluran resin. Sampel uji pohon pinus sebanyak 72 pohon terdiri atas 36 pohon disadap dengan metode quarre, dan 36 pohon disadap dengan penambahan stimulansia. Pengukuran kecepatan gelombang suara menggunakan SylvatestDuo pada arah radial (horizontal) dan arah longitudinal (searah serat batang utama). Posisi penyadapan dilakukan berdasarkan pada arah mata angin. Hasil penelitian menunjukkan produksi getah meningkat sebanyak dua kali lipat dengan penambahan stimulansia. Produksi tertinggi diperoleh dari penyadapan dengan penambahan stimulansia (87,31 g per panen) dan terendah dari kontrol (39,86 g per panen). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kecepatan gelombang suara dengan posisi penyadapan, dan antara pengujian sebelum dan setelah penyadapan pada arah radial dan longitudinal. Perbedaan sifat anatomi berdasarkan jumlah dan diameter saluran resin pada kedua perlakuan juga menunjukkan perbedaan tidak signifikan. Hubungan antara produksi getah dengan jumlah diameter saluran Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
51
resin pada kedua perlakuan menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan (r>0,80). Sementara itu, hubungan produksi dengan beberapa parameter lainnya menunjukkan korelasi tidak signifikan. Kata kunci: kecepatan gelombang suara, penyadapan pinus, Pinus merkusii
Pendahuluan Hutan pinus (Pinus merkusii) tidak hanya memproduksi kayu tetapi juga diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya (Indrajaya dan Handayani 2008). Salah satu produk hasil hutan yang bernilai tinggi dan pada saat ini sangat diminati pasar didalam dan diluar negeri adalah gondorukem. Penelitian Fachrodji et al. (2009) dan Surbakti et al. (2014) mengemukakan bahwa produk tersebut termasuk produk potensial dan dikelompokkan sebagai pine chemical products, dihasilkan dari proses pemasakan getah pohon pinus yang cukup memegang peranan penting sebagai andalan hasil hutan non kayu di Indonesia terutama dalam menghasilkan devisa dan menyerap tenaga kerja. Pemanfaatan gondorukem berkembang pesat seiring dengan perkembangan industri diberbagai bidang. Tercatat beberapa kegunaan dan manfaat dari gondorukem pada berbagai industri antara lain sebagai proses pembuatan sabun mandi, sabun cuci, pelapis kertas, pengering cat, penyamak kulit, semir pengkilat keramik, penggunaan didunia farmasi dan masih banyak kegunaan lainnya. Untuk menghasilkan getah pinus menjadi gondorukem maka perlu dilakukan proses penyadapan. Penyadapan getah pinus umumnya dilakukan dengan menggunakan metode quarre atau koakan. Kelebihan metode ini adalah murah dan mudah diaplikasikan serta menghasilkan produksi getah yang meningkat dan stabil. Selain faktor penyadapan, terdapat faktor lain yang 52
juga berpengaruh yaitu pemberian stimulansia yang dapat meningkatkan produksi getah pinus. Santosa (2011) mengemukakan bahwa penggunaan stimulansia dapat berfungsi sebagai perangsang terbentuknya etilenapada tanaman dan selanjutnya menaikkan tekanan osmosis serta tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah bertambah cepat dan lebih lama. Stimulansia bertujuan untuk merangsang keluarnya getah pada saat penyadapan sehingga produksi getah menjadi semakin meningkat. Teknik penyadapan umumnya dapat mengakibatkan kerusakan pada pohon. Pada penelitian Teknologi Non Destruktive Testing (NDT) berbasis gelombang suara biasa digunakan untuk menemukan adanya ketidakteraturan di dalam kayu akibat faktor alami yang dipengaruhi oleh lingkungan. Ross (1992) mengemukakan pengujian non denstruktif digunakan untuk menilai cacat yang muncul akibat diskontinuitas, adanya rongga (voids) serta kemungkinan adanya pembesaran (inclusions) selama proses pembuatan yang dapat berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis produknya. Saat ini pemanfaatan teknologi NDT pada pohon sadapan pinus belum banyak dilakukan. Informasi pengukuran rambatan gelombang suara terhadap jumlah dan ukuran saluran resin pada pohon pinus belum tersedia. Wu dan Hu (1997), Pandit dan Kurniawan (2008) mengemukakan bahwa saluran resin pada kayu pinus terbentuk melalui proses schizogenous, yaitu terpisahnya sel-sel parenkim sehingga menciptakan ruangruang kosong diantara sel-sel tersebut. J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kecepatan rambatan gelombang suara pada kayu pinus sadapan kaitannya dengan produksi getah berdasarkan penyebaran jumlah dan diameter saluran resin. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai karakteristik kecepatan gelombang suara pada kayu pinus yang disadap serta kemungkinan penggunaan gelombang suara untuk menduga produksi getah pinus. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan pada tegakan pinus sebanyak 72 pohon di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bahan berupa stimulansia organik etilena asam sitrat (etrat) yang berfungsi sebagai bahan perangsang keluarnya getah pinus selama penyadapan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur kecepatan rambatan gelombang suara merk SylvatestDuo (f = 22 kHz), alat bor mekanis yang dapat melubangi pohon untuk memasang transduser, label pohon, pita ukur, bor riap untuk pengambilan sampel anatomi, kadukul ukuran 6 cm, plastik ukuran (12x25) cm2, timbangan digital, talang sadap dan alat lainnya yang dibutuhkan. Penentuan pohon sasaran Pemilihan pohon sasaran dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Febriani (2014) dan Purnawati (2014) mengenai produksi getah pinus. Pada penelitian tersebut dilakukan penyadapan getah untuk mengetahui potensi awal produksi getah pinus. Data tersebut merupakan data awal dalam pemilihan pohon sasaran dilapangan. Berdasarkan data produksi getah 90 pohon maka dilakukan seleksi terhadap pohon yang memiliki produksi getah yang ekstrim
(terlalu tinggi atau terlalu rendah) untuk dikeluarkan dari populasi sehingga diperoleh sebanyak 72 pohon contoh. Hal ini bertujuan dalam pengambilan pohon sasaran menjadi seragam. Selanjutnya pohon sasaran tersebut dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu perlakuan koakan tanpa stimulansia dan perlakuan koakan dengan menggunakan stimulansia masing-masing 36 pohon. Pohon sasaran tiap perlakuan dibagi lagi menjadi 4 (empat) kelompok pohon yaitu pohon yang disadap di sisi bagian utara, selatan, barat dan timur yang masingmasing sebanyak 9 pohon. Penyadapan batang pohon pinus Pada keseluruhan pohon sasaran dilakukan penyadapan dengan menggunakan metode koakan. Metode koakan yang dilakukan mengacu pada standar Perhutani yaitu pelukaan dimulai sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Pembukaan luka sadapan awal berukuran (10x6) cm2 dengan kedalaman 1,5 cm (tidak termasuk tebal kulit) dan selanjutnya diperbaharui setiap 3 hari sekali. Pembaharuan luka dilakukan di atas luka sadapan awal sekitar 5 mm sehingga luka sadapan dalam satu bulan adalah 5 cm. Pengambilan data dilakukan sebanyak 10 kali dengan periode pembaharuan luka sadapan, pemanenan dan pemberian stimulansia setiap 3 hari. Pada setiap kali pembaruan luka diberikan stimulansia Etrat 1240 dengan cara disemprot pada bidang sadapan pohon sebanyak satu kali atau 0,5 ml per koakan untuk merangsang keluarnya getah pada pohon. Pengukuran suara
kecepatan
gelombang
Pengukuran kecepatan rambatan gelombang suara dilakukan untuk menduga kondisi bagian dalam pohon
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
53
pinus. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan alat uji non destruktif metode gelombang ultrasonik merk SylvatestDuo. Pengukuran ini dilakukan dengan cara memasang transduser pada bagian batang pohon pinus yang sudah dilubangi sedalam ±2 cm dengan diameter 5 mm secara berlawanan (pengukuran radial) dan sejajar (pengukuran longitudinal). Gelombang suara akan dibangkitkan dan merambat dari transduser pengirim dan diterima oleh transduser penerima sehingga kecepatan gelombang akan terbaca pada alat tersebut. Pengukuran radial Pengukuran radial dilakukan pada arah horizontal batang kayu pinus dengan posisi transduser saling berlawanan melintang diameter pohon. Pengukuran arah radial ini dilakukan sebelum penyadapan, setiap 3 kali panen atau setiap 9 hari kegiatan penyadapan (pengukuran hari ke 9, 18, 27) dan terakhir pada hari ke-30 atau setelah penyadapan. Pengukuran radial ini dilakukan pada ketinggian minimal ±20 cm dan maksimal ±100 cm dari permukaan tanah.
Pengambilan sampel anatomi Pengambilan sampel dilakukan dengan melubangi batang pohon secara horizontal pada dua arah mata angin dengan menggunakan bor riap berdiameter 0,5 cm dan panjang 30 cm. Contoh uji diambil dari bagian terluar batang pohon hingga ke arah bagian empulur. Pengambilan sampel sebelum penyadapan dilakukan pada ketinggian ±50 cm dari permukaan tanah, dan setelah penyadapan pengambilan sampel dilakukan pada ketinggian ±30 cm dari permukaan tanah. Sampel disimpan pada wadah tertutup untuk dilakukan pengamatan di laboratorium. Sampel dipotong menjadi beberapa segmen dengan panjang per segmen yaitu ±3 cm untuk memudahkan proses pengamatan, selanjutnya disayat pada arah tegak lurus serat untuk pengamatan dan pengukuran sampel anatomi. Sampel difoto dengan mikroskop cahaya pada luasan 12 mm dan perbesaran 30 kali, lalu diamati menggunakan software Motic Image Plus untuk menentukan jumlah dan diameter saluran resin. Hasil dan Pembahasan
Pengukuran longitudinal
Produksi getah pohon pinus
Pengukuran longitudinal dilakukan searah serat batang utama pohon (arah aksial) pada salah satu sisi batang pohon pinus yang disadap. Pengukuran dilakukan sejajar arah serat dan aliran getah. Pengukuran longitudinal dilakukan dengan menempatkan transduser pada posisi sudut ±45 dengan jarak antara transduser ±100 cm mulai dari permukaan bawah sekitar bidang sadap (±20 cm dari permukaan tanah) hingga ketinggian ±130 cm. Pengukuran longitudinal ini dilakukan sebelum penyadapan dan setelah penyadapan.
Gambar 1 menunjukkan produksi getah pada pohon pinus tanpa stimulansia dan dengan stimulansia. Hasil produksi getah tiap pohon pada awal pemanenan koakan seragam. Pada pembaharuan luka yang kedua (hari ke-6) produksi getah yang dihasilkan menurun. Hal ini diduga karena deposit getah menjadi lebih sedikit dari sebelumnya akibat proses metabolisme sekunder menjadi terganggu karena adanya “shock” atau tekanan yang diberikan pada kegiatan pelukaan bagian batang pohon (Darmastuti 2014, Purnawati 2014).
54
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Produksi getah (g/panen)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Koakan Koakan+stimulan
3
6
9
12
15 18 Hari ke-
21
24
27
30
Gambar 1 Produksi getah pinus dengan metode koakan dan koakan dengan stimulansia. Produksi getah dengan stimulansia lebih rendah dibandingkan dengan tanpa stimulansia. Pada tahap awal, penambahan stimulansia etilen asam sitrat mengakibatkan kondisi luka tetap terbuka dan getah tetap mengalir (Sukadaryati & Dulsalam 2013). Hal tersebut akan merangsang terbentuknya etilen pada tanaman yang menyebabkan naiknya tekanan osmosis serta tekanan turgor sehingga aliran getah menjadi cepat dan lebih lama (Santosa 2011). Pada periode penyadapan berikutnya produksi getah meningkat karena pohon sudah beradaptasi dengan pelukaan pada proses penyadapan. Hasil produksi getah tanpa stimulansia terendah 6,29 g per panen dan tertinggi 39,86 g per panen, sedangkan dengan stimulansia diperoleh produksi getah terendah 23,03 g per panen dan tertinggi 87,31 g per panen. Produksi getah pinus dengan stimulansia 2 kali lipat atau 48,3% tanpa stimulansia. Berdasarkan hasil uji-t menunjukan perbedaan yang signifikan antara produksi getah dengan stimulansia dan tanpa stimulansia, dan sama halnya dengan hasil penelitian sebelumnya (Purnawati 2014, Darmastusi 2014).
Karakteristik kecepatan gelombang suara Gambar 2 menjelaskan kecepatan gelombang suara sebelum dan setelah penyadapan setiap tiga kali panen. Pengukuran arah radial dilakukan pada keempat sisi batang pohon, yaitu pada arah barat dan timur (B-T) dan arah utara selatan (U-S). Pada perlakuan koakan saja, rata-rata kecepatan rambatan gelombang suara pada arah B-T 1416 m det-1 dan arah U-S 1220 m det-1. Untuk perlakuan koakan plus penambahan stimulansia diperoleh 1397 m/detik pada arah B-T dan 1319 m det-1 di arah U-S. Kecepatan rambatan gelombang suara pada hari ke-9 menurun daripada kondisi awal pohon sebelum disadap. Kondisi ini sama halnya dengan produksi getah yang dihasilkan. Pelukaan pada pohon pinus secara terus menerus menyebabkan stres pada bagian internal batang. Pada pengukuran hari ke-18 pohon sudah dapat beradaptasi akibat adanya kegiatan penyadapan. Pengukuran kecepatan gelombang suara pada hari berikutnya kembali meningkat dan mendekati pada kondisi semula sebelum penyadapan.
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
55
B-T
U-S V (m det-1)
V (m det-1)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0
9
(a)
18
27
30
Hari Pengukuran
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
B-T
0
U-S
9 18 27 (b) Hari Pengukuran
30
Gambar 2 Kecepatan gelombang suara radial pada perlakuan koakan (a), dan kecepatan gelombang suara radial pada koakan dan stimulansia (b). Dari kedua perlakuan yang diberikan menunjukkan perubahan kecepatan gelombang yang terjadi adalah sama, dan adanya penambahan stimulansia tidak mempengaruhi kondisi internal pohon. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi bagian dalam pohon pinus yang diamati adalah seragam. Pengukuran secara longitudinal juga dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadipada arah aksial sejajar sumbu batang. Pengujian dilakukan pada salah satu sisi pohon yang mengalami penyadapan dan pada arah yang berlawanan sesuai dengan arah mata angin yaitu barat, timur, utara dan selatan. Gambar 3 menunjukkan nilai rata-rata kecepatan gelombang ultrasonik pada perlakuan awal adalah 4023 m det-1 untuk pohon yang hanya disadap dengan koakan, dan 3806 m det-1 untuk pohon yang disadap dengan penambahan stimulansia. Pada akhir penyadapan, rataan nilai kecepatan gelombang ultrasonik 4204 m det-1 dan 4151 m det-1 masing-masing untuk perlakuan koakan dan koakan dengan penambahan 56
stimulansia. Hasil uji perbandingan statistik (uji-t) menunjukkan bahwa kecepatan rambatan gelombang suara pada perlakuan koakan dan koakan dengan stimulansia tidak berbeda signifikan. Hal yang sama ditunjukkan untuk pengukuran pada sisi batang arah barat-timut dan utara-selatan. Evaluasi saluran resin pinus Penyebaran jumlah saluran resin pada keempat sisi tersebut hampir sama, yaitu antara 15 sampai 20 saluran resin per mm. Berdasarkan jumlah penyebaran saluran resin pada keempat arah mata angin dari sisi penyadapan diperoleh sebelum penyadapan rata-rata jumlah saluran resin yaitu 16 saluran per millimeter dan setelah penyadapan 18 saluran per milimeter. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kegiatan penyadapan mengakibatkan terjadinya penambahan jumlah saluran resin. Namun, hasil uji perbandingan statistik (uji-t) menjelaskan bahwa jumlah penyebaran saluran resin sebelum dan setelah penyadapan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Dari kelima J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
segmen yang diamati, hasil perhitungan jumlah saluran resin menunjukkan nilai yang hampir sama, namun pada segmen yang mendekati ke arah kulit luar kayu jumlah penyebaran saluran resin lebih banyak dibandingkan dengan dekat dengan empulur. Hasil pengukuran diameter saluran resin yang dilakukan pada keempat sisi penyadapan. Berdasarkan klasifikasi sisi penyadapan, ukuran diameter saluran resin sebelum penyadapan berkisar 121,5-133,30 μm, sedangkan ukuran diameter saluran setelah penyadapan yaitu 129,58-139,31 μm. Dari keseluruhan sampel yang diuji diperoleh rata-rata diameter saluran resin yaitu 129,92 μm dan setelah penyadapan 135,15 μm. Hasil tersebut menjelaskan bahwa diameter saluran resin menjadi besar akibat kegiatan penyadapan.
Namun, berdasarkan hasil uji perbandingan statistik (uji-t) menunjukkan bahwa pengukuran diameter saluran sebelum dan setelah penyadapan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, begitu juga pengukuran yang dilakukan berdasarkan sisi penyadapan juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dari hasil penelitian Susilowati (2013) tentang klasifikasi diameter saluran resin pohon pinus, diperoleh kandidat bocor getah tinggi antara 267,92-681,58 μm, kandidat bocor getah rendah 172,75553,53 μm dan untuk kategori pohon normal atau yang tidak termasuk ke dalam bocor getah adalah 68,82-274,12 μm. Kategori tersebut menjelaskan bahwa pohon pinus yang diamati ini merupakan pohon pinus normal.
6000
6000 Sebelum
Sesudah
5000
5000
4000
4000
V (m det-1)
V (m det-1)
Sebelum
3000 2000 1000
Sesudah
3000 2000 1000
0 U
S
B
T
0
Mata Angin
U
S B Mata Angin
(a)
(b)
T
Gambar 3 Kecepatan gelombang suara longitudinal pada perlakuan koakan (a), dan kecepatan gelombang suara longitudinal pada koakan dan stimulansia (b).
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
57
jumlah dan diameter saluran resin. Dari kelima variabel yang dikorelasikan pada perlakuan koakan dan koakan plus stimulansia terdapat satu variabel yang mempunyai nilai korelasi yang tinggi yaitu jumlah saluran resin. Korelasi Pearson disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Korelasi produksi getah pinus dengan karakteristik gelombang suara dan sifat anatomi kayu Beberapa variabel yang diamati untuk pendugaan produksi getah, yaitu kecepatan rambatan gelombang secara longitudinal, kecepatan rambatan gelombang secara radial, kerapatan kayu,
Tabel 1 Korelasi produksi getah pada perlakuan tanpa stimulansia Korelasi
N
Produksi Getah
VLongitudinal
VRadial
Kerapatan
Saluran Resin
Produksi Getah
6
-
VLongitudinal
6
-
0,55 (0,25) -
VRadial
6
-
-
-0,24 (0,64) 0,58 (0,22) -
Kerapatan
6
-
-
-
0,41 (0,41) -0,06 (0,89) -0,38 (0,45) -
Saluran Resin
6
-
-
-
-
0,88 (0,01)* 0,29 (0,56) -0,48 (0,33) 0,40 (0,42) -
Saluran Resin
6
-
-
-
-
-
Saluran Resin -0,51 (0,29) -0,05 (0,92) 0,63 (0,17) 0,11 (0,83) -0,73 (0,09) -
Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial = kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05
Tabel 2 Korelasi produksi getah pada perlakuan dengan stimulansia Kerapatan
Saluran Resin
-
0,58 (0,22) 0,11 (0,82) 0,73 (0,09) -
-
-
0,89 (0,01)* 0,37 (0,46) -0,26 (0,61) 0,29 (0,57) -
-
-
-
Korelasi
N
Produksi VLongitudinal VRadial Getah
Produksi Getah
6
-
VLongitudinal
6
-
0,32 (0,53) -
VRadial
6
-
-
0,08 (0,87) -0,13 (0,80) -
Kerapatan
6
-
-
Saluran Resin
6
-
-
Saluran Resin
6
-
Saluran Resin 0,17 (0,74) 0,67 (0,13) 0,04 (0,93) 0,08 (0,86) 0,35 (0,49) -
Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial = kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05
58
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Korelasi antara produksi getah pinus dengan jumlah saluran resin menghasilkan persamaan y=1,55x-12,64 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.88 untuk perlakuan koakan, dan pada perlakuan koakan plus stimulansia menghasilkan persamaan y=4,94x-67,09 dengan koefisien korelasi = 0,89. Hasil menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dengan keeratan hubungan yang kuat pada produksi getah dengan jumlah saluran resin. Kesimpulan Penambahan stimulansia dapat meningkatkan produktivitas getah pinus hingga mencapai dua kali lipat dibandingkan kontrol. Hasil pengukuran kecepatan gelombang suara batang pohon belum dapat menjelaskan fenomena produktivitas getah pinus. Peningkatan produksi getah pinus sadapan lebih berkorelasi kuat dengan sifat anatomi pohon khususnya jumlah dan diameter saluran resin. Ucapan Terima Kasih Penulis ucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan selama masa studi, dan ucapan terima kasih kepada pihak pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan fasilitas selama proses penelitian. Daftar Pustaka Darmastusti IN. 2014. Penyempurnaan metode quare dan stimulansia organik pada penyadapan getah pinus. [Tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Fachrodji A, Suwarman U, Suhendang E, Harianto. 2009. Perbandingan daya saing produk gondorukem di pasar
internasional. 6(2):7-11.
J
Man
Agribisnis.
Indrajaya Y, Handayani W. 2008. Potensi hutan Pinus merkusii Jungh sebagai pengendali tanah longsor di Jawa. Info Hutan. 5(3):231-240. Pandit KN, Kurniawan D. 2008. Struktur Kayu : Sifat kayu sebagai bahan baku dan ciri diagnostik kayu perdagangan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purnawati RR. 2014. Produktivitas penyadapan getah pinus dengan metode bor tanpa pipa. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ross RJ. 1992. Nondestructive Testing of Wood. Prosiding Nondestructive evaluation of civil structures and materials. Colorado: University of Colorado Boulder. Santosa G. 2011. Pengaruh pemberian ETRAT terhadap peningkatan produktivitas penyadapan getah pinus (Studi kasus di KPH Sukabumi perum perhutani unit III Jawa Barat dan Banten). Bogor: LPPM, Institut Pertanian Bogor. Sukadaryati, Dulsalam. 2013. Teknik penyadapan pinus untuk peningkatan produksi melalui stimulan hayati. J Hasil Hutan 31(3):221-227. Sukadaryati. 2014. Pemanenan getah pinus menggunakan tiga cara penyadapan. J Hasil Hutan. 32(1):6270. Surbakti ARE, Batubara R, Muhdi. 2014. Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) sebagai Stimulansia dalam Meningkatkan Produktivitas Getah Pinus dengan Metode Rill. Penomena For Sci J. 3(1):33-37. Susilowati A. 2013. Karakterisasi genetik dan anatomi kayu Pinus
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
59
merkusii kandidat bocor getah serta strategi perbanyakannya. [Tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wu H, Hu ZH. 1997. Ultrastructure of the resin duct initiation and formation in
60
Pinus tabulaeformis. (6):123-126.
Chin
J
Bot.
Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 2 Oktober 2014 Diterima (accepted): 8 Desember 2014
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap (Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and Wastepaper for Termite Control) Musrizal Muin*, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Makassar 90245 *Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract The bait formulation from the mixture of organic wastes for termite (Coptotermes sp) control was evaluated in laboratory and field tests. Four formulations were prepared by equally mixing based on dried weights, i.e. the mixture of degraded pine wood and HVS wastepaper, degraded pine wood with HVS and newsprint wastepaper, degraded pine wood with HVS and cardboard wastepaper, and the mixture of degraded pine wood with HVS, newsprint, and cardboard wastepaper. Boiled soybean water was used as an additional substance of the formulation. The termite survival rate and food transfer were evaluated using no-choice test. The food transfer was studied using test samples dyed with 0.1% Nile Blue A. The food formulations were also subjected to field test for six weeks to evaluate the termite attacks. The results showed that the highest food transfer efficiency was found for degraded pine wood and HVS wastepaper formulation, however, the survival rate was not significantly different among the formulations. The field test proved that the mixture formulation of degraded pine wood with HVS and cardboard wastepaper as well as that of degraded pine wood with HVS, newsprint, and cardboard wastepaper were attacked by termites to the failure level. Keywords: bait formulation, Coptotermes sp., food transfer efficiency, survival rate, termite control
Abstrak Pengembangan sistim pengendalian rayap (Coptotermes sp) dengan memanfaatkan umpan dari campuran beberapa limbah organik telah dilakukan melalui uji di laboratorium dan lapangan. Empat formulasi umpan dari beberapa jenis limbah bahan organic dibuat dengan proporsi seimbang berdasarkan berat keringnya, yaitu campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah kertas HVS, kayu pinus terdegradas ditambah limbah kertas HVS dan koran, kayu pinus terdegradasi ditambah limbah kertas HVS dan kardus, dan kayu pinus terdegradasi ditambah limbah kertas HVS, koran, dan kardus. Air rebusan kedelai ditambahkan untuk menambah nutrient dan pengaturan kadar air dari formulasi umpan. Pengukuran kelangsungan hidup rayap dan transfer makanannya dilakukan dengan uji “no-choice”. Transfer makanan oleh rayap dimonitor menggunakan sampel uji yang telah diwarnai Nile Blue A 0,1%. Uji lapangan juga dlakukan selama enam minggu untuk mengevaluasi derajat serangan rayap. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa transfer makanan oleh rayap tertinggi dijumpai pada formulasi umpan campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah kertas HVS, akan tetapi, tingkat kelangsungan hidup rayap pada semua formulasi umpan berbeda tidak nyata. Hasil uji lapangan menunjukkan bahwa campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS dan kardus serta campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS, koran, dan kardus diserang rayap hingga hancur.
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
61
Kata kunci: Coptotermes sp, efisiensi transfer makanan, formulasi umpan, keberlanjutan hidup, pengendalian rayap
Pendahuluan Rayap tanah telah dikenal sebagai serangga yang tidak hanya mampu merusak bangunan kayu, tetapi juga melakukan aktivitas yang memiliki pengaruh nyata terhadap perbaikan tipologi tanah, baik secara fisik maupun kimia. Tantangan yang muncul adalah bagaimana keberadaan organisme tersebut dapat dikontrol agar aktivitasnya sesuai dengan tujuan yang diinginkan, baik untuk perlindungan bangunan maupun untuk perbaikan produktivitas lahan. Salah satu teknologi yang berkembang dan menguasai pasar komersil dalam pengendalian rayap pada bangunan adalah penggunaan “bait system” (Rust & Su 2012). Sistem tersebut menggunakan umpan makanan dengan penambahan insektisida yang memiliki sifat racun low action untuk memungkinkan terjadinya distribusi makanan dari sumber umpan tersebut ke seluruh anggota koloni rayap. Sistem ini dapat menyebabkan koloni rayap yang menyerang struktur kayu bangunan menjadi musnah. Pada dasarnya, sistem ini dapat pula ditujukan untuk pengendalian rayap bagi perbaikan sifatsifat lahan dengan menggunakan sumber makanan sebagai umpan dengan daya tarik tinggi tanpa penambahan bahan beracun. Dengan demikian, rayap dapat melakukan aktivitas yang di samping memperbaiki aerasi tanah juga dapat menghasilkan produk biogenic yang memberikan kontribusi pada peningkatan kadar hara tanah (Muin et al. 2013). Usaha pengendalian rayap tanah dengan sistem bait seperti dikemukakan di atas menuntut pentingnya formulasi umpan/ bait sebagai penarik (attractants). Pentingnya formulasi atau 62
produk umpan untuk pengendalian rayap telah menjadi perhatian banyak peneliti (Rojas et al. 2003, Martin & Richardson 2007, Eger et al. 2012). Penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi penggunaan campuran limbah organik berupa kayu terdegradasi dan kertas limbah sebagai bahan attractants melalui uji laboratorium dan uji lapangan. Uji laboratorium dilakukan untuk mengamati efisiensi transfer formulasi umpan tersebut oleh rayap Coptotermes sp. dan kelangsungan hidupnya (termite survival rate). Sedangkan uji lapangan dilakukan untuk mengevaluasi derajat serangan rayap terhadap formulasi umpan yang diberikan. Bahan dan Metode Persiapan bahan Bahan yang digunakan adalah berupa kayu pinus terdegradasi, kertas HVS limbah, kertas koran limbah, kertas karton limbah, dan air rebusan kacang kedelai. Semua limbah kertas berasal dari kantor di Universitas Hasanuddin yang dihancurkan dengan menggunakan high-power blender. Bahan limbah tersebut, dalam jumlah yang seimbang berdasarkan berat kering ovennya, dicampur sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Muin et al. 2013). Formulasi tersebut adalah campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS, campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS dan koran limbah, campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS dan karton limbah, serta campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS, koran, dan karton limbah. Air rebusan J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
kacang kedelai yang dihasilkan dari perebusan kacang kedelai seberat 400 g dengan air sebanyak 6000 ml selama sekitar satu jam disiapkan sebagai bahan tambahan untuk memberikan kadar air 50-60% pada sampel uji. Pembuatan contoh uji Setiap formulasi umpan dibuat contoh uji dengan dua ukuran yang berbeda untuk masing-masing tujuan pengujian, di laboratorium dan di lapangan, tetapi dengan target kerapatan yang sama (0,5 g cm-3). Untuk tujuan uji laboratorium, contoh uji dibuat dengan ukuran (2x2x1) cm3, sedangkan untuk tujuan uji lapangan, contoh uji dibuat dengan ukuran (2x2x2) cm3. Perbedaan ukuran tersebut didasarkan pada kesesuaiannya dengan kapasitas alat laboratorium dan desain unit pengumpanan di lapangan. Pengamatan laboratorium Pengamatan laboratorium dilakukan untuk mengetahui efisiensi transfer makanan dan kelangsungan hidup rayap pada setiap formulasi contoh uji yang telah dibuat. Untuk tujuan tersebut, rayap Coptotermes sp. dikoleksi dari lapangan sekitar kampus Universitas Hasanuddin, Makassar dengan cara pengumpanan menggunakan potongan kayu dan kertas karton. Koleksi rayap yang diperoleh bersama dengan sumber makanan umpannya kemudian dimasukkan dalam kontainer plastik dan dibawa ke laboratorium. Sebelum menggunakannya sebagai bahan uji, koleksi rayap tersebut dikondisikan pada suhu 26-28 ºC dan kelembaban 70-80% selama seminggu. Efisiensi transfer makanan dari setiap formulasi umpan dan kelangsungan hidup rayap diamati dan ditentukan berdasarkan prosedur Wang and Henderson (2012). Transfer makanan tersebut diamati dengan menggunakan
pewarna berupa Nile Blue A (0,1%) yang dicampurkan pada setiap formulasi umpan. Sebanyak 25 pekerja dan 2 prajurit rayap Coptotermes sp. dimasukkan ke dalam unit pengujian berupa Petri dish yang berisi 20 g pasir steril yang lembab (kadar air ±15%) dengan sampel uji di atasnya. Unit pengujian untuk setiap formulasi dibuat sejumlah 15 unit untuk pengamatan transfer makanan harian selama lima hari. Jumlah rayap yang berubah warna diamati setiap hari pada tiga unit pengujian yang diambil secara acak. Selama pengujian di laboratorium, semua unit pengujian disimpan pada ruang gelap dengan suhu 26-28 ºC dan kelembaban 70-80%. Pengamatan lapangan Penelitian lapangan dirancang dengan menempatkan sampel uji dari semua formulasi umpan dalam jumlah yang seimbang ke dalam unit pengujian berupa kotak stryroform berukuran (35x22x12) cm3. Keempat kelompok sampel uji (formulasi umpan) dalam unit pengujian dirancang untuk memiliki akses yang sama untuk menerima serangan rayap (four-choice test) dengan memberikan lubang (diameter 1 cm) pada bagian bawah dan samping kotak stryroform. Lokasi pengujian ditentukan berdasarkan survei awal yang menunjukkan adanya aktivitas rayap Coptotermes sp. Pengamatan dilakukan dengan menentukan persentase serangan rayap pada permukaan sampel uji dalam unit pengujian setiap minggu selama enam minggu uji kubur. Pada akhir pengamatan, semua unit pengujian dibongkar untuk menentukan derajat serangan rayap dengan visual rating berdasarkan American Wood Preservers’ Association (AWPA) standard E1-97.
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
63
Penilaian tingkat kerusakan berdasarkan pada klasifikasi sebagai berikut: Nilai 10 untuk sampel utuh Nilai 9 untuk sampel dengan serangan ringan Nilai 7 untuk sampel dengan serangan sedang Nilai 4 untuk sampel dengan serangan ringan Nilai 0 untuk sampel hancur. Hasil dan Pembahasan Transfer makanan dan kelangsungan hidup rayap Transfer makanan dari bahan umpan (formulasi) ke rayap dapat dilihat dari jumlah rayap yang berubah warna menjadi biru setelah memakan umpan yang sebelumnya telah diwarnai dengan larutan 0,1% Nile Blue A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer makanan dari bahan umpan ke rayap relatif sama dan berbeda tidak nyata pada semua formulasi hingga hari ke-4 (Tabel 1). Transfer makanan tersebut tampak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada hari ke-5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa transfer makanan tertinggi dijumpai pada
formulasi umpan dari campuran kayu pinus terdegradasi dan kertas HVS limbah dengan penambahan air rebusan kacang kedelai, meskipun formulasi tersebut diketahui berbeda tidak nyata dengan yang tanpa penambahan air rebusan kacang kedelai. Kelangsungan hidup rayap dalam proses transfer makanan dari bahan umpan ke rayap dinyatakan sebagai rata-rata persentase jumlah rayap yang tetap hidup (Tabel 2). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup rayap relatif sama pada semua formulasi umpan dalam jangka waktu pengamatan. Hasil uji laboratorium mengenai transfer makanan dari umpan ke rayap dan kelangsungan hidupnya memberikan gambaran bahwa semua formulasi umpan yang diteliti berpotensi untuk dikembangkan sebagai bagian dari sistem pengendalian rayap. Meskipun demikian, transfer makanan dan kelangsungan hidup rayap yang tidak secara nyata konsisten dalam penelitian ini perlu dilihat secara seksama sebagai dua hal yang memerlukan pertimbangan tertentu dalam pengembangan sistem kontrol rayap.
Tabel 1 Transfer makanan dari bahan umpan ke rayap Jumlah Rayap Biru** Formulasi Umpan* Hari-1 Hari-2 Hari-3 Hari-4 K+H 16± 6 a 16 ± 4 a 19 ± 1 a 22 ± 2 a K + H + ARK 9 ±4 a 12 ±2 a 18 ±4 a 19 ±2 a K + H + Ko + ARK 7 ±4 a 9 ±3 a 14 ±2 a 21 ±4 a K + H + Ka + ARK 8±6a 8 ±5 a 17 ±3 a 17 ±2 a K + H + Ko + Ka + ARK 10 ±2 a 15 ±1 a 19 ±3 a 19 ±1 a
Hari-5 23 ± 1 ab 25 ±1 b 23 ±3 ab 18 ±3 a 19 ±2 a
* K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai ** Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
64
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Tabel 2 Kelangsungan hidup rayap pada transfer makanan dari bahan umpan Persentase Rayap Hidup**
Formulasi Umpan* K+H K + H + ARK K + H + Ko + ARK K + H + Ka + ARK K + H + Ko + Ka + ARK
Hari-1
Hari-2
Hari-3
Hari-4
Hari-5
100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a
100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a
96±4 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a
96±6,9 a 92±4 a 94,7± 9,2 a 100±0 a 100±0 a
94,7±6,1 a 89,3±9,2 a 97,3±4,6 a 94,7±2,3 a 97,3±2,3 a
*K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai **Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
Menurut Chen and Henderson (1996) dan Lenz and Evans (2002), transfer makanan berhubungan dengan ketertarikan rayap terhadap umpan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa umpan dengan bahan-bahan yang kaya karbohidrat dan asam amino dapat meningkatkan daya tarik umpan terhadap rayap. Hedlund and Henderson (1999) juga mengemukakan bahwa luas permukaan umpan dapat meningkatkan konsumsi dari rayap. Faktor-faktor ini diduga berkontribusi pada formulasi umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah yang memiliki persentase bahan kayu yang lebih besar dibanding formulasi umpan lainnya. Pada aspek kelangsungan hidup rayap, Gautam and Henderson (2011) menjelaskan adanya pengaruh lingkungan pengujian yang memungkinkan adanya serangan mikroorganisme lainnya seperti jamur yang berkembang pada permukaan umpan. Serangan rayap di lapangan Hasil penelitian menunjukkan adanya serangan yang nyata pada sampel uji yang ditempatkan di lapangan setelah dua minggu. Jenis rayap yang menyerang diidentifikasi sebagai Coptotermes sp.
sesuai dengan hasil penelitian Astuti (2013). Nilai persentase serangan rayap pada permukaan sampel dalam unit-unit pengujian ditunjukkan pada Gambar 1. Meskipun demikian, jangka waktu mulainya terjadi serangan rayap terhadap makanan umpan yang diberikan dapat saja lebih pendek atau bahkan lebih panjang dari waktu tersebut. Menurut Esenther and Beal (1978), waktu serangan rayap terhadap umpan yang diberikan sangat tergantung pada ukuran koloni rayap dan proporsi kasta pembentuknya. Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan rayap pada permukaan sampel uji terus mengalami peningkatan dengan berjalannya waktu, tetapi besarnya peningkatan tersebut berbeda-beda menurut formulasi umpan. Secara umum, dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan persentase serangan rayap yang tidak nyata dijumpai pada permukaan unit pengujian dengan formulasi umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah dengan maupun tanpa penambahan air rebusan kacang kedelai. Namun demikian, kedua formulasi umpan tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata dengan bahan umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi +
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
65
HVS + kertas karton atau pun dengan campuran kayu pinus terdegradasi + HVS + kertas koran + kertas karton, yang keduanya ditambah dengan air rebusan kacang kedelai. Kedua formulasi umpan yang disebutkan terakhir juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Selain itu, formulasi umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS dan kertas koran dengan penambahan air rebusan kacang kedelai menunjukkan persentase serangan rayap yang sangat rendah dan memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan formulasi umpan lainnya.
pengujian. Derajat serangan rayap hasil visual rating pada setiap formulasi ditunjukkan pada Tabel 3. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa derajat serangan rayap berbeda tidak nyata antara formulasi campuran kayu pinus terdegradasi dan kertas HVS dengan atau tanpa penambahan air rebusan kacang kedelai. Perbedaan derajat serangan yang tidak nyata juga dijumpai antara formulasi campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah dan kertas karton limbah dengan formulasi campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah, kertas koran limbah dan kertas karton limbah, yang pada kedua formulasi tersebut ditambahkan air rebusan kacang kedelai.
Serangan rayap ke dalam unit pengujian pada umumnya masuk melalui lubang akses pada bagian bawah kotak unit
Persentase serangan permukaan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 K+H
K+H+ARK
K+H+Ko+ARK
K+H+Ka+ARK K+H+Ko+Ka+ARK
Formulasi umpan Minggu-1
Minggu-2
Minggu-3
Minggu-4
Minggu-5
Minggu-6
Gambar 1 Rata-rata persentase serangan rayap pada permukaan sampel dalam unit pengujian setiap formulasi (K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai).
66
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Tabel 3 Derajat serangan rayap (visual rating) pada sampel uji setelah pemaparan enam minggu di lapangan Formulasi umpan* Visual Rating** K+H 9,26 ± 0,34 b K + H + ARK 9,06 ± 0,36 b K + H + Ko + ARK 9,85 ± 0,17 c K + H + Ka + ARK 0,08 ± 0,02 a K + H + Ko + Ka + ARK 0,00 ± 0,00 a * K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai ** Rata-rata dan standar deviasi dari empat unit pengujianberdasarkan kriteria nilai 10 = utuh; 9 = serangan ringan; 7 = serangan sedang; 4 = serangan hebat; 0 = hancur. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom berbeda nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan hasil sebelumnya berupa persentase serangan rayap pada permukaan sampel dalam unit pengujian. Dilihat dari besarnya derajat serangan, formulasi umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah dan kertas karton limbah serta formulasi campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah, kertas koran limbah dan kertas karton limbah, yang pada kedua formulasi tersebut ditambahkan air rebusan kacang kedelai, mengalami tingkat kerusakan terbesar, yaitu hancur. Sedangkan formulasi umpan lainnya hanya mengalami derajat serangan ringan. Secara umum, hasil ini memberikan gambaran bahwa rayap yang menyerang dalam penelitian ini (Coptotermes sp.) cenderung tertarik pada kedua formulasi umpan tersebut. Hasil uji lapangan yang menunjukkan derajat serangan rayap tingkat menghancurkan terhadap formulasi umpan berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah dan kertas karton limbah serta berupa campuran kayu pinus terdegradasi dengan kertas HVS limbah, kertas koran limbah dan kertas karton limbah, yang pada kedua formulasi tersebut
ditambahkan air rebusan kacang kedelai, memerlukan kajian lebih dalam. Hal ini terutama perlu dilakukan secara komprehensif untuk menentukan perubahan karakteristik formulasi umpan atas interaksinya dengan keadaan kotak dan lingkungan aplikasinya. Hal ini sangat penting mengingat adanya pengaruh yang nyata dari metode aplikasi umpan untuk evaluasi dan pengendalian rayap, selain pengaruh dari komposisi umpannya sendiri (Rojas et al. 2003). Kesimpulan Formulasi umpan berupa campuran seimbang antara kayu pinus terdegradasi, kertas HVS limbah, dan kertas karton limbah dengan penambahan air rebusan kacang kedelai hingga kadar air 50-60% memiliki potensi besar untuk dijadikan umpan dalam usaha pengendalian rayap di lapangan. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa penambahan kertas koran limbah secara berimbang pada formulasi potensil tersebut tidak berdampak negatif pada tingkat serangan rayap Coptotermes sp. di lapangan. Untuk tujuan aplikasi, formulasi umpan tersebut harus disiapkan dalam suatu tempat (kotak) yang didesain tertutup, tetapi dengan memberikan akses
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
67
terhadap rayap untuk dapat masuk ke dalamnya. Serangan rayap terhadap kedua formulasi umpan potensil tersebut yang ditempatkan dalam kotak desain tertutup menunjukkan tingkat menghancurkan setelah enam minggu. Meskipun demikian, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk mengetahui perubahan karakteristik formulasi umpan atas interaksinya dengan keadaan dan desain kotak serta lingkungan aplikasinya. Daftar Pustaka Astuti. 2013. Identifikasi, Sebaran dan Derajat Kerusakan Kayu oleh Serangan Rayap Coptotermes (Isoptera: Rhinotermitidae) di Sulawesi Selatan. (Disertasi). Makassar: Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin. Chen J, Henderson G. 1996. Determination of feeding preference of Formosan subterranean termite (Coptotermes formosanus Shiraki) for some amino acid additives. J Chem Ecol. 22:2359-2369. Esenther GR, Beal RH. 1978. Insecticidal baits on field plot perimeters suppress Reticulitermes. J Econ Entomol. 71:604-607. Eger JE, Lees MD, Neese PA, Atkinson TH, Thoms EM, Messenger MT, Demark JJ, Lee LC, Vargo EL, Tolley MP. 2012. Elimination of subterranean termite (Isoptera: Rhinotermitidae) colonies using a refined cellulose bait matrix containing novifumuron when monitored and replenished quarterly. J Econ Entomol.105:533-539. Gautam BK, Henderson G. 2011. Relative humidity preference and survival of starved Formosan 68
subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae) at various temperature and relative humility conditions. Environ Entomol. 40:1232-1238. Hedlund JC, Henderson G. 1999. Effect of available food size on search tunnel formation by the Formosan subterranean termite (Isoptera: Rhinotermitidae). J Econ Entomol. 92:610-616. Lenz M, Evans TA. 2002. Termite bait technology perspectives from Australia. In: Johns SC, Zhai J, Robertson WH, editor. Proceedings of the 4th International Conference in Urban Pests; Charleston, SC. 7-10 July 2002. Pocahontas Press Inc., Blacksburg, VA. Pp. 27-36. Lenz M, Lee CY, Lacey MJ, Yoshimura T, Tsunoda K. 2011. The potential and limits of termites (Isoptera) as decomposers of waste paper products. J Econ Entomol. 104:232-242. Martin SRJA, Richardson RO. 2007. Optimum Density Termite Bait Composition. United States Patent No. US 2007/0020229 A1. Jan. 25, 2007. Muin M, Arif A, Nuraeni S. 2013. Pengembangan Sistem Kontrol Rayap Untuk Produksi Biogenik dan Perbaikan Produktivitas Lahan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Laporan Penelitian. Makassar: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Rust MK, Su NY. 2012. Managing social insects of urban importance. Annu Rev Entomol. 57:355-375. Rojas GM, Juan AMR, Edgar GK. 2003. Termite Bait Matrix. United States Patent No. US 6, 585, 991 B1. Jul. 1, 2003. J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Wang C, Henderson G. 2012. Evaluation of three bait materials and their food transfer efficiency in Formosan subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae). J Econ Entomol. 104:1758-1765.
Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 12 Oktober 2015 Diterima (accepted): 9 Desember 2015.
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah untuk Pengendalian Rayap Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
69
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara*, Devi Nurmala Department of Forest Products, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Indonesia *Corresponding author:
[email protected] Abstract The fate of metals in pulp of the five years old mangium wood (Acacia mangium Wild) during bleaching process was investigated. The wood was divided into tree division, i.e. bottom, middle and upper divisions. The wood was chipped and kraft pulped to achieve a kappa number of 14 + 0.5. The resulting pulps were then bleached following an elementally chlorine free (ECF) method of D0, EO, D1, D2 and P sequences. The measurement of metals content was carried out with Inductively Coupled Plasma (ICP) type Optical Emission Spectrometry (OES) Optima 4300DV. Brightness and viscosity of bleached pulps were measured in accordance with TAPPI T 525 om - 92 and TAPPI T 230 om-89 standard procedures, respectively. It was found that, metals content of five years old Acacia mangium tended to increase from the bottom to the upper divisions of the stem. Beyond the EO stage, the content of Mn reduced to below detrimental limit required in peroxide bleaching, which is of 1 ppm. However, the content of Cu and Fe of pulp from every stage of bleaching sequences were much higher than their detrimental limit, i.e. 0.5 ppm and 2 ppm, respectively. Metals content were also found to reduce brightness gain in ECF bleaching. Keywords: Acacia mangium, brightness, ECF bleaching, metals, viscosity
Abstrak Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kadar logam pulp mangium (Acacia mangium Wild) hasil setiap tahap pemutihan. Batang mangium berumur 5 tahun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Kayu dibuat serpih dan dimasak menggunakan proses kraft untuk menghasilkan bilangan kappa 14 + 0.5. Pulp yang diperoleh kemudian diputihkan dengan metode pemutihan elementary chlorine free (ECF) D0EOD1D2P. Pengukuran kadar logam pulp dilakukan dengan Inductively Coupled Plasma (ICP) tipe Optical Emission Spectrometry (EOS) Optima 4300DV. Derajat putih dan viskositas pulp masingmasing ditentukan mengikuti prosedur standar TAPPI T 525 om-92 dam TAPPI T 230 om-89. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam mangium berumur 5 tahun cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung batang. Setelah tahap EO, kadar Mn menurun dibawah batas yang diijinkan (1 ppm) untuk pemutihan tahap P. Tetapi, kadar Cu dan Fe pulp dari setiap tahap pemutihan jauh melebihi batas yang diijinkan, yaitu masing-masing sebesar 0.5 ppm dan 2 ppm. Kandungan logam juga berdampak pada menurunnya peningkatan derajat putih pulp. Kata kunci: Acacia mangium, derajat putih, logam, viskositas, pemutihan ECF
Introduction An environmentally friendly bleached pulp production requires the application of elemental chlorine free (ECF) and 70
totally chlorine free (TCF) bleaching methods. The methods have been well known capable of preventing the formation of toxic organochlorine J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
compounds from elemental chlorine based pulp bleaching. Although in ECF bleaching Cl2 is replaced by a more environmentally benign ClO2 (Smook 1994), the final objective of pulp production technology is the application of the totally effluent free (TEF) technology. The main prerequisite of TEF technology is the use of close loop cycle where the application of TCF bleaching and counter current washing methods is unavoidable. The presence of trace elements such as metallic component in mill systems will impede the practice of close loop cycle system. The trace elements content is dependent on its intake (from pulp wood, process water and chemical used in pulp production), process configuration, and operating conditions (Nurmesniemi et al. 2005). Many metal ions reduce the brightness and strength properties of pulp, mainly when pulp is bleached with oxygen, ozone and peroxide (Yokohama et al. 1999). Dahl (1999) reported that the detrimental limit of Cu2+, Mn2+, and Fe2+ and Fe3+ in peroxide bleaching were 0.5 ppm, 1 ppm, and 2 ppm, respectively. Furthermore, metal ions are corrosive and may damage iron or steel based equipment (Bryant & Edwards 1996). Hydrogen peroxide decomposition by Fe, Cu and Mn proceed through Fenton reaction. In Fenton reaction, metal ions continuously alter their oxidation degree and decompose hydrogen peroxide to produce hydroxyl radical and other radicals (Lidén & Ohman (1997). Hydroxyl radical reacts and depolymerizes cellulose, thus reducing the strength properties of pulp (Et al. 2000). In these ways, metal ions also increase the consumption of bleaching chemical and decrease the selectivity of oxygen based bleaching (Ni et al. 1996). At an excessive concentration, Ca, Mg
and Al are corrosive to bleaching equipment. Nevertheless, Mg can act as a stabilizer for hydrogen peroxide; however, Ca possibly disturbs the performance of the digester heating elements and evaporator effects (Bryant & Edward 1996). Numerous lignin components such as veratryl alcohol, biseugenol, vanillyl alcohol and catechol formed complexes with metals (Yoon et al. 1999). Iron and lignin form colored complexes that reduce the brightness of pulp (Sunden et al. 2000). The appearance of color from lignin-metal complexes was because of the d-d interaction (between the d-electron of metal ion and ligan) or charge transfer between metal ion and ligan or both (Gosh & Ni 1998). These authors also found that the influence of Mn and Al on pulp brightness is negligible. Fast growing tree such as mangium wood (Acacia mangium) is the preferred pulp wood plantation in Indonesia. It can be grown in both infertile and fertile lands. As for other tropical woods (Fengel & Wegener 1984), the ash content of mangium is relatively high and has been reported to reach 0.38-0.46 % with the lowest metal content was retained by the 5 years old (Wistara & Yustiana 2014). Ash content is indicative to the metals content of wood. From the standpoint of its trace elements content, mangium wood will possibly be a challenging raw material for TEF based pulp production. Various methods have been developed to eliminate the negative effects of metallic component in the TEF pulping process. Chelating agents applied in acidic media reduced the metallic component through the formation of complexes with trace elements. The most commonly used chelating agents are ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) and diethylene
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala
71
triamine penta acetic acid (DTPA). DTPMP is another excellent chelating agent proven capable of effectively removing Mn, Ba, Mg and Zn (Kujala et al. 2004). The transition (Fe and Mn) and scale-inducing (Ba, Ca, Mg and Al) metals content determine the application of chelating stages (Bryant & Edwards 1996). Pulp washing at the pH of 1.5-3 capable of reducing metallic ions in a more environmentally friendly approach compared to that of using chelating agents because of acid is recyclable (Bouchard et al. 1995). Another environmentally friendly method of handling metal content in bleaching processes is by nanofiltration. Nanofiltration with polyamide membranes has been reported effectively filters metal complexes from TCF bleaching effluent (Lastra et al. 2004). The present works were intended to determine the content and distribution of metal ions in every stage of an ECF bleaching sequences of the 5 years old mangium pulp. Prediction of pulp strength quality was carried out through the determination of pulp viscosity. Materials and Methods Metal content of chips, unbleached and bleached kraft of the mangium pulp was measured. Mangium wood of 5 years old used in the present experiments was donated by the state own company, PT. Perhutani BKPH Parung Panjang– Indonesia. The wood was divided into 3 divisions, i.e. bottom, middle, and upper division. Each division was chipped and screened. Chips of the accepted size distribution were then cooked to a kappa target of 14+0.5 by kraft pulping process. Pulping was carried out with L/W of 6/1
72
with active alkali of 22% and sulphidity of 30% at maximum temperature of 165 o C for 190 min. The resulting pulp was washed and screen for 1 hour. Kappa number, effective alkali and total solid content were determined based on the standard procedures of TAPPI 236 cm85, Western Lab 4.1.1996 and TAPPI 625 cm-85, respectively. The screened pulp was then air dried, homogenized and oxygen delignified. Oxygen delignification (ODL) stage was carried out in an alkaline media (pH + 11) at 100 o C for 60 min under 8 bars pressure and consistency of 10%. The pulp was bleached with ECF method consisting of D0(EO)D1D2P sequences proceeding oxygen delignification. Table 1 indicates the bleaching conditions and parameters. Metal content, brightness, and viscosity of pulp resulted from each bleaching stage were determined. Pulp brightness and viscosity were determined following the standard procedures of TAPPI T 525 om-92 and TAPPI T 230 om-89, respectively. In metal content determination, an ashing process of the sample at 525 oC for 5 hrs was initially carried out, and 3 drops of HNO3 was then added and diluted into 250 ml of volume. The solution was then injected into Optical Emission Spectrometry (OES) Optima 4300 DV Inductively Coupled Plasma. The wave length of each metal ion radiation was detected and converted into concentration unit (mg/l). The concentration in mg/L was then converted into ppm following the formulae of: 𝑚𝑔 250 )𝑥 𝐿 1000 𝑝𝑝𝑚 = 𝑜𝑣𝑒𝑛 𝑑𝑟𝑖𝑒𝑑 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 (𝐾𝑔) 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡 (
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Table 1 Parameters and condition of bleaching processes Stage Parameter D0 (EO) D1 o Temperature, C 65 80 80 Time, min 60 90 180 pH 2.5 – 3.5 10.8 – 11 4–5 Consistency, % 10 10 10 ClO2, ml 66-67 3-7 NaOH, ml 26-33 H2O2, ml Brightness, % 65 – 75 78 – 80 89 – 90 Results and Discussion Ash content The ash content represents inorganic substances in wood and pulp. Ash content of wood is usually not more than 1 % of the oven dried weight of wood (Chirat & Lanchenal 1997). Table 2 indicates the ash content of wood and pulp resulted from every bleaching stage and division of wood. It can be seen in Table 2 that proceeding the post oxygen delignification (PostODL), the ash content tends to decrease with the advancing of bleaching sequences. It seemed that metal was washed out in every bleaching stage. Ash content tended to increase from the bottom division to the upper division of the stem. Upper division is dominated by
D2 80 180 4–5 10 2-3 90 – 91
P 80 180 4 -5 10 0.12 >91
sapwood that consists of physiologically active wood cells. These cells require higher amount of metal ion to carry out metabolic processes (Sundenet al. 2000). Greater content of ash in sapwood of red meranti has been reported (Sukowati 2013). Furthermore, silviculture treatment on Leucaena leucocephala also increased the ash content (Al-Mefarrej et al. 2011) might be because of increasing the proportion of sapwood. Pulp at the stage of Pre- and Post-ODL contained highest amount of metal possibly due to the higher level of residual lignin content as indicated by the kappa number of pulp in Table 3. Metal ions in wood attached to the functional groups of lignin and acid of hemicelluloses (Bryant & Edwards 1996).
Table 2 The ash content (%) of wood and pulp Stage Wood Pre - ODL Post - ODL D0 EO D1 D2 P
Bottom 0.44 0.52 0.69 0.10 0.31 0.02 0.02 0.02
Division of Wood Middle 0.47 0.65 0.70 0.42 0.33 0.02 0.02 0.02
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala
Upper 0.60 0.61 0.92 0.63 0.38 0.05 0.02 0.02
73
Table 3 The Kappa Number of Oxygen Delignified Pulp Oxygen Delignification Stage Stem Division Pre-ODL Post-ODL EO 13.97 7.03 0.84 Bottom 14.50 8.23 2.87 Middle 14.50 7.70 0.55 Upper
Ca, Na, K, and Mg content (ppm) of the presently investigated mangium wood were in the range of 769.42-1015.93, 141.10-310.95, 233.14-720.16, and 104.87-203.32, respectively. Although Ca is important for the growth of wood, however at an excessive amount, it is very corrosive to the digester, bleaching and evaporator effect equipment (Bryant & Edwards 1996). Fe was the dominant micro element in the 5 years old mangium wood with its content of 26.0836.31 ppm. Mn and Cu content were also found substantial to bring about a problem in the application of the future TEF technology based pulp production. It was not understood why Al noticed just in the middle part of the wood. Though Al and B are present in mangium wood, they are not considered to influence the bleaching properties of wood pulp.
Metal content in wood and pulp Metal in wood is classified into micro and macro element dependent on its content. Macro element content is more than 100 ppm and that of micro element is below 100 ppm. The distribution pattern of macro and micro elements content of mangium wood of the present works is shown in Figure 1. The content of most metal in mangium wood tended to increase from the bottom to the upper division of its stem. Upper division of stem was thought to consist of more sapwood with its physiologically active cell. As the component of ash, metal ion is required more by these physiologically active cells for their metabolic process purposes (Sundenet al. 2000). Ca, Na, K and Mg are classified as macro element, thus with higher content compared to these of the micro elements. This finding agreed to that stated by Sjostrom (1993).
1200
Macro Elements
1000
bottom middle upper
ppm
ppm
800 600 400 200 0 Ca
Na K Elements
Mg
40 35 30 25 20 15 10 5 0
bottom middle upper
Micro Elements
Al
B
Cu
Fe
Mn
Zn
Elements
Figure 1 Macro and micro elements content of mangium wood based on stem division. 74
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
The present results indicated that the content of Ca and Mg reached 1000 ppm and 200 ppm, respectively. This result was on the contrary to those found by Wistara and Yustiana (2014), in which the content of Ca of the 5 years old wood was the lowest and Mg was the highest. As reported by Mayer and Koch (2007) for American black cherry wood, differences in growing site could be the origin of this variation. Metal content is influenced by factors such as wood species, soil type, wood maturity, cooking chemical and process water.
post-ODL, EO and P bleached pulp was assumed because of the use of NaOH (Bryant & Edwards 1996). Oxygen delignification was carried out in an alkaline media, in which NaOH was used to increase the pH of the pulp slurry being delignified. Mg is a stabilizer of hydrogen peroxide in oxygen based bleaching (O, P and Z stages). The present results indicated that its highest content was in the pre-ODL and then kept decreasing afterward. Pulping decreased the content of Fe and Mn; however it increased the content of Cu and Zn as indicated by Figure 3. Oxygen delignification and subsequent bleaching stages tended to decrease the micro elements of pulp. During the bleaching stages (after Post- ODL), the highest content of Fe (15.96 ppm), Cu (5.03 ppm), and Mn (1.67 ppm) was found in the D1, P and D0 bleached pulp, respectively. These three metals ion can decompose hydrogen peroxide through Fenton reaction to form hydroxyl radical (Lidén & Ohman 1997). Hydroxyl radical is very reactive and brings about the depolimerization of cellulose.
Figure 2 exhibits the content of Ca, Na, K, and Mg in wood and an ECF bleached pulp. The unbleached pulp (Pre-ODL) contained the highest amount of Ca, and its content tended to decrease with the following bleaching stages. An increasing amount of Ca in the Pre- and Post-ODL compared to that of wood was thought due to the used of mill white liquor in the pulping processes and it was not totally washed out in the Post-ODL stage. Mill white liquor contains traces of Ca from previously recovered cooking liquor. Increasing amount of Na in the
2500 Ca Na K Mg
2000
ppm
1500 1000 500 0 Wood Pre - Post ODL ODL
D0
EO
D1
D2
P
Bleaching stage
Figure 2 Macro elements content in mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached pulp.
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala
75
ppm
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Cu Fe Mn Zn
Wood
Pre ODL
Post ODL
D0
EO
D1
D2
P
Bleaching stage
Figure 3 Micro elements content of mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached pulp. Dahl (1999) reported that the detrimental limit of Cu2+, Mn2+, and Fe2+ and Fe3+ to P bleaching stage was 0.5 ppm, 1 ppm, and 2 ppm, respectively. The content of Fe and Cu found in the present works were much higher than those of the reported detrimental limit. Furthermore, Fe, Cu and Mn do not just increase the consumption of bleaching chemical, but also reduce the reaction selectivity of oxygen toward lignin (Niet al. 1996).
system. Transition metals decrease the stability of hydrogen peroxide and can bring about cellulose degradation (Yokohamaet al. 1999). Figure 4 indicates that a significant increment of pulp brightness occurred from Post-ODL treatment to the subsequent bleaching stages. However, the brightness increment among D0, EO, D1, D2 and P stages were not significant. The content of Fe and Cu sharply decreased after oxygen delignification of pulp. Fe in pulp negatively affects pulp brightness more than that of Cu. Meanwhile the influence of Mn and Al on brightness is negligible (Gosh & Ni 1998).
The brightness and viscosity of pulp
% (ISO)
The efficiency and selectivity of oxygen based bleaching is strongly influenced by the presence of transition metals in the 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pre ODL
Post ODL
D0
EO
D1
D2
P
Bleaching stage
Figure 4 Brightness of unbleached and bleached pulp. 76
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Viscosity, mPa.s
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pre - ODL
Post EO D2 ODL Bleaching Stage
P
Figure 5 Pulp viscosity of unbleached and bleached pulp. Transition metal has been reported also to reduce strength properties of pulp (Yokohama et al. 1999). However, in the present works, pulp viscosity was measured instead of directly measuring pulp strength. Viscosity of pulp is indicative of the depolimerization degree of cellulose, thus can be related to the strength of pulp. Strong pulp is generally made up of pulp with high viscosity value (Smook 1994). Figure 5 indicates the viscosity of pulp at selected bleaching stages of the present works. It can be seen that pulp viscosity decreased with the proceeding bleaching stages. Cellulose degradation is unavoidable when delignification proceeds in pulping and bleaching processes. In peroxide based bleaching, transition metal can oxidize hydrogen peroxide and results in radical formation that bring about cellulose degradation and reduce pulp strength (Sunden et al. 2000). Figure 5 indicates that starting from oxygen delignification, the viscosity of pulp was sharply decreased. It could be due to the degradation of lignin carbohydrate complex and the presence of high concentration transition metals. It has been indicated early that the concentration of harmful metal ion to
hydrogen peroxide bleaching were beyond the stated detrimental limit. Conclusions Metal content of 5 years old Acacia mangium wood tended to increase from the bottom division to the upper division of the stem. The increasing content of Ca after Pre-ODl and Post-ODL stages was thought due to the use of mill cooking liquor during pulping stage. Na increased in the EO and P stages because of the used of NaOH to activate oxygen and peroxide bleaching agents. Subsequent to the EO bleaching stage, Mn content of pulp decreased and was found lower than its detrimental limit of 1 ppm in peroxide stage. However, the content of Cu and Fe was higher than its detrimental limit in every bleaching stage. Metal content decreased the brightness and viscosity of pulp in the present ECF bleaching of pulp. References Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser RA, Shetta ND. 2011. Impact of initial tree spacing and height level on chemical compotition of Leucaena leucocephala trees grown in Riyadh
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala
77
region. World Appl Sci J. 12(7):912918. Bryant PS, Edwards LL. 1996. Cation Exchange of Metals on Kraft Pulp. J Pulp Pap Sci. 22(1):37-42. Bouchard J, Nugent HM, Berry RM.1995. A Comparison between Acid Treatment and Chelation Prior to Hydrogen Peroxide Bleaching of Kraft Pulps. J Pulp Pap Sci. 21(6): J203-J208. Chirat C, Lachenal D. 1997. Systems closure in the bleach plant. Effect of the metal ions on the bleaching of pulp. Proc. the Johan Gullichsen Colloquium, Espoo, Finland, Pp8189. Dahl O. 1999. Evaporation of Acidic Effluent from Kraft Pulp Bleaching, Reuse of the Condensate and Further Processing of the Concentrate. [Dissertation]. Oulu Yliopisto: University of Oulu. Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Berlin: Walter de Gruyter & Co. Gosh, A., Ni, Y. 1998. Metal Ion Complexes and Their Relationship to Pulp Brightness. J Pulp Pap Sci. 24(1):26-31. Kujala M, Sillanpaa M, Ramo J. 2004. A method to leach manganese and some other metal cations from pulp matrix to aqueous phase for the subsequent ICP-AES analysis: a potential tool for controlling the metal profile in a pulp bleaching process. J Cleaner Prod. 12:707-712. Doi: 10.1016/S09596526(03)00059-3. Lastra A, Gómeza D, Romero J, Francisco JL, Luque S, Álvarez JR. 2004. Removal of metal complexes by nanofiltration in a TCF pulp mill: 78
technical and economic feasibility. J Membr Sci. 242:97–105. Doi:10.1016/ j.memsci.2004.05.012 Lidén J, Öhman LO. 1997. Redox Stabilization of Iron and Manganese in the +II Oxidation State by Magnesium Precipitate and Some Anionic Polymers. Implication for the Use of Oxygen-Based Bleaching Chemical. J Pulp Pap Sci. 23(5):J193J199. Mayer I, Koch G. 2007. Element content and pH value in American black cherry (Prunus serotina) with regard to color changes during heartwood formation and hot water treatment. Wood Sci Technol. 41:537-547. Doi: 10.1007/s00226-007-0144-7. Ni Y, Kang GJ, Van Heiningen ARP. 1996. Are Hydroxyl Radical Resposible for Degradation of Cardohydrates during Ozone Bleaching of Chemical Pulp? J Pulp Pap Sci. 22(2):J53-J57. Nurmesniemi H, Poykio R, Peramaki P, Kuokkanen T. 2005. The use of a sequential leaching procedure for heavy metal fractionation in green liquor dregs from a causticizing process at a pulp mill. Chemosphere 61: 1475–1484. Doi:10.1016/ j.chemosphere.2005.04.114 Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry: Fundamentals and Applications. Second edition. London: Academic Press, Inc. Smook GA. 1994. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Second Edition. Canada: Angus Wilde Publication, Inc. Sukowati M. 2013. Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Meranti Merah. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sunden A, Brelid H, Rindby A, Engström P. 2000. Spatial Distribution and Modes of Chemical Attachment of Metal Ion in Spruce Wood. J Pulp Pap Sci. 26(10):352357. Wistara NJ, Yustiana E. 2014. Trace Elements Measurement of Mangium Wood (Acacia mangium) by AAS. J Ilmu Teknol Kayu Tropis. 12(1):1-10. Yokohama T, Matsumoto Y, Meshitsuka G. 1999. The Role of Peroxide Species in Carbohydrate Degradation
during Oxygen Bleaching. Part III: Effect of Metal Ions on the Reaction Selectivity between Lignin and Carbohydrate Model Compounds. J Pulp Pap Sci. 25(2):42-46. Yoon BH, Wang LJ, Kim GS. 1999. Formation of Lignin-Metal Complexes by Photo-Irradiation and Their Effect on Color Reversion of TMP. J Pulp Pap Sci. 25(8):289-293. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 15 Oktober 2014 Diterima (accepted): 10 Desember 2014
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching Stages as Measured by ICP Nyoman Wistara, Devi Nurmala
79
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara (The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal Briquettes) Sanjaya Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Sriwijaya Jl. Palembang-Prabumulih, Inderalaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan Penulis korespondensi:
[email protected] Abstract Durian (Durio zibethinus) originally was wild plants from forests of Malaysia, Sumatera, and Borneo. Durian trees cultivated Indonesian society is primarily not for timber, but to produce fruit. At the season of durian, durian rind becomes waste. A tropical plant product which is unfortunate if the durian rind that contains a lot of fiber disposed of as trash, as long as this happens. Has conducted research utilization fiber of durian rind in the field of coal energy. Durian rind fibers can act as a stimulant ignition of coal. Durian rind fibers in various positions with coal and other material added form a briquettes. The position of the fibers has been investigated: briquettes with fiber outer position (1), lower (2), the side (3), the top-down (4), and two quarters (5). Briquettes with durian serat kulit different positions have different speeds and long flame. Keywords: fibre, durian rind, coal ignition, flame speed, long burning
Abstrak Tanaman durian (Durio zibethinus) semula berupa tanaman liar yang berasal dari hutan Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Pohon durian dibudidayakan masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan untuk diambil kayunya, melainkan untuk menghasilkan buah. Pada saat musim buah durian, kulit durian menjadi limbah. Suatu produk tanaman tropis yang sangat disayangkan jika kulit durian yang banyak mengandung serat dibuang sebagai limbah, seperti selama ini terjadi. Telah dilakukan penelitian pemanfaatan serat kulit durian dalam bidang energi batubara. Serat kulit durian dapat berperan sebagai stimulan penyalaan batubara. Serat kulit durian bersama batubara dan bahan imbuh lain dicetak dalam bentuk briket pada berbagai posisi. Posisi serat yang telah diteliti: briket dengan posisi serat sebelah luar (1), sebelah bawah (2), sebelah samping (3), atas-bawah (4), dan dua perempat (5). Briket dengan posisi serat kulit durian yang berbeda memiliki perbedaan kecepatan nyala dan lama menyala. Kata kunci : kecepatan nyala, kulit durian, lama menyala, penyalaan batubara, serat.
Pendahuluan Salah satu tanaman kayu tropis adalah pohon durian (Durio zibethinus). Tanaman durian semula berupa tanaman liar yang berasal dari hutan Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Sekarang durian banyak tumbuh di seluruh wilayah Indonesia, dari provinsi Aceh hingga 80
Papua, sehingga durian memiliki banyak nama, dan banyak spesies. Tiga kabupaten yang memiliki jumlah pohon durian terbanyak di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2014 yaitu: Kabupaten Lahat (57.117 pohon), Kabupaten Empat Lawang (55.168 pohon), dan Kabupaten Muara Enim (52.945 pohon) (Rohim 2014). Durian J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
tumbuh dengan baik di daerah bersuhu antara 20-30 C (Prihatman 2000). Kayu durian memiliki struktur batang yang baik, karena pohon durian dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 25-50 m, (Wikipedia 2014). Masyarakat Indonesia banyak menggunakan kayu durian untuk keperluan bahan bangunan, meskipun kayu durian termasuk kelas awet empat (kurang awet) (Duljapar 1996).
disayangkan jika dibuang sebagai limbah, seperti selama ini terjadi.
Pohon durian dibudidayakan masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan untuk diambil kayunya, melainkan untuk menghasilkan buah. Pohon durian menghasilkan buah setiap tahun sekali. Buah durian muncul dari ranting, dahan, bahkan pokok pohon durian itu sendiri. Pada saat berbuah, setiap pohon durian menghasilkan buah yang sangat banyak, bisa mencapai 300 butir. Apabila pohon durian yang ada di Indonesia diasumsikan terdapat 2 juta pohon, maka akan terdapat 600 juta buah durian. Dengan demikian pada saat musim buah durian, juga akan dihasilkan kulit durian sebagai limbah. Di tempat pembuangan limbah kulit durian akan menjadi dominan.
Pemanfaatan serat kulit durian di bidang energi ini dilatarbelakangi oleh adanya skim penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Sriwijaya yang berupaya menggalakkan penggunaan batubara sebagai bahan bakar rumah tangga atau industri kecil.
Kulit durian mengandung serat, suatu bahan berlignoselulosa bukan kayu dalam jumlah yang besar. Perbandingan berat kulit durian basah dengan berat buah durian basah adalah sebesar 57,4165% (Sanjaya 2012). Kulit durian basah terdiri atas tepung, serat dan sebagian besar air. Persentase berat serat terhadap kulit durian basah adalah sebesar 11,8524 %. Persentase berat serat dibandingkan dengan berat durian adalah 6, 8052%. Jika dalam setiap musim durian dihasilkan 600 juta buah, dengan rata-rata berat 2,5 kg, maka serat yang dihasilkan sebanyak 6, 8052 /100 x 2,5 kg per buah x 600.000.000 buah = 102.078.000 kg atau 102.078 ton. Suatu produk kayu tanaman tropis yang sangat
Serat kulit durian dapat dimanfaatkan untuk bermacam keperluan. Sanjaya (2012) mencoba memanfaatkan serat kulit durian sebagai bahan baku media grafis. Selanjutnya, pemanfaatan serat kulit durian menjadi stimulan penyalaan pada briket batubara telah dilakukan oleh Penulis sejak 2012 (Sanjaya 2014).
Batubara adalah bahan bakar yang murah, dengan kelimpahan yang sangat tinggi di sumatera selatan. Cadangan batubara di Sumatera Selatan diperkirakan sebanyak 22,24 miliar ton atau 48,48% cadangan nasional (Alam 2014). Cadangan batubara tersebar di hampir seluruh daerah tingkat II dalam provinsi Sumatera Selatan. Dengan kelimpahan yang sangat banyak tersebut akan sangat wajar masyarakat di provinsi Sumatera Selatan menggunakan Batubara sebagai bahan bakar di rumah tangga atau industri kecil, bahkan mungkin industri besarnya. Namun masyarakat kurang berminat menggunakan batubara, karena batubara memiliki kekurangan dibanding bahan bakar gas dan minyak bumi. Salah satu kekurangan batubara adalah lambat menyala. Sebelum dibakar, menurut Peraturan Menteri ESDM No. 047 Tahun 2006, batubara harus direndam dalam minyak tanah, spiritus, alkohol, atau bahan lainnya. Dengan demikian, agar minat masyarakat menggunakan batubara meningkat, kekurangan batubara harus dihilangkan, yaitu harus cepat menyala.
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara Sanjaya
81
Serat kulit durian dapat digunakan untuk mempercepat penyalaan, karena serat kulit durian lebih cepat menyala dari batubara. Serat kulit durian dan batubara dicetak membentuk briket. Ketika briket tersebut dibakar, maka mula mula Serat kulit durian terbakar. Serat kulit durian yang telah terbakar tersebut memicu batubara untuk ikut menyala. Meskipun serat kulit durian dapat mempercepat penyalaan batubara, serat kulit durian memiliki nilai kalor yang lebih rendah dari batubara. Nilai kalor adalah ukuran besar energi yang dihasilkan jika suatu bahan terbakar. Dengan demikian jika briket terdiri dari batubara dan serat kulit durian dibandingkan dengan briket yang hanya dibuat dari batubara saja, maka kalor yang dihasilkan briket batubaraserat kulit durian lebih rendah dari kalor yang dihasilkan oleh briket batubara. Bahan bakar yang baik adalah bahan bakar yang memiliki nilai kalor yang tinggi. Dengan komposisi tertentu antara batubara dan serat kulit durian, akan didapatkan briket yang cepat menyala dengan nilai kalor yang masih cukup tinggi. Bahan dan Metode Penelitian pemanfaatan kulit buah durian sebagai stimulan penyalaan briket batubara menggunakan bahan bahan sebagai berikut: kulit buah durian, batubara, kapur, tanah liat, tapioka. Metode penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut: (1) isolasi serat kulit durian dari kulit buah durian, (2) menguraikan dan menghaluskan seratserat, (3) pencetakan briket dengan variasi persen berat serat kulit durian dan variasi posisi serat dalam briket, (4) uji kecepatan nyala, dan (5) penentuan lama briket menyala.
82
Isolasi serat kulit durian dari kulit buah durian dilakukan dengan merendam kulit buah durian dalam air selama beberapa hari. Setelah lunak, kulit buah durian diperas sampai terpisah serat dari tepung. Untuk menguraikan dan menghaluskan serat dilakukan menggunakan pencampur. Pencetakan briket dilakukan dengan menggunakan cetakan stainless steel berbentuk silinder diameter 4 cm dengan tekanan 2 ton. Variasi persen berat serat kulit durian antara 16,5 hingga 18,5 g dalam 100 g batubara. Variasi posisi serat meliputi posisi di bagian bawah, tengah, atas bawah, dan bagian luar dari briket. Uji kecepatan nyala dan penentuan lama briket dilakukan dengan cara menempatkan briket yang diteliti di atas briket lain yang tengah menyala, dihitung waktu yang diperlukan briket yang diteliti untuk mulai menyala, dan dilanjutkan dihitung waktu yang diperlukan sehingga habis menyala. Hasil dan Pembahasan Hasil isolasi serat kulit durian dari kulit buah durian ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan serat kulit durian tersebar di seluruh bagian kulit. Di bagian tengah paling sedikit, di bagian kulit lebih rapat, dan yang paling rapat serat pada bagian duri. Kulit durian yang seratnya telah diisolasi di masukkan ke dalam pencampur untuk menguraikan dan menghaluskan seratserat. Serat kulit durian hasil penguraian dan penghalusan ditunjukkan pada Gambar 2. Serat kulit durian yang telah dihaluskan selanjutnya dengan variasi berat tertentu dicampur dengan batubara untuk membuat briket. Variasi berat yang telah diteliti ditunjukkan pada Tabel 1.
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Selain variasi berat serat kulit durian, juga dilakukan variasi posisi serat kulit durian di dalam briket, meliputi posisi sebelah bawah, luar, samping, atas-
bawah, dan dua perempat. Variasi posisi serat kulit durian tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3 sampai Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 1 Kulit durian sebelum isolasi (a) dan kulit durian setelah isolasi (b).
Gambar 2 Serat kulit durian yang telah diuraikan dan dihaluskan menggunakan pencampur. Tabel 1 Variasi berat serat kulit durian, batubara, dan bahan imbuh lain Varian
Serat kulit durian (g)
Batubara (g)
Tapioka (g)
Kapur (g)
Tanah liat (g)
1
16,5
100
7
1
1
2
17
100
7
1
1
3
17,5
100
7
1
1
4
18
100
7
1
1
5
18,5
100
7
1
1
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara Sanjaya
83
1
2
3
4
5
Gambar 3 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah, varian 1 sampai varian 5.
1
2
3
4
5
Gambar 4 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah luar, varian 1 sampai varian 5.
1
2
3
4
5
Gambar 5 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah samping, varian 1 sampai 5.
1
2
3
4
5
Gambar 6 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah dan atas, varian 1 sampai 5.
1
2
3
4
5
Gambar 7 Briket bio-batubara serat kulit durian duaperempat, varian 1 sampai 5. Berdasarkan Gambar 3 sampai Gambar 7, membandingkan bentuk briket, diurutkan dari bentuk paling silindrik ke paling berubah dari bentuk silinder, 84
terlihat bahwa bentuk briket yang baik adalah bentuk briket bio-batubara serat kulit durian sebelah luar (Gambar 4), briket bio-batubara serat kulit durian J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
duaperempat (Gambar 7), briket biobatubara serat kulit durian sebelah bawah dan atas (Gambar 6), briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah (Gambar 3), dan briket bio-batubara serat kulit durian sebelah samping (Gambar 5). Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah luar memiliki bentuk paling silindrik disebabkan bahwa serat kulit durian tersebar merata di seluruh permukaan briket dengan ketebalan yang minimal dibanding dengan briket yang lain. Hal ini disebabkan sifat serat kulit durian yang mengembang kembali setelah mengalami penekanan dalam pencetakan briket. Ketebalan serat yang minimal dan merata dalam briket menyebabkan pengembangan yang minimal dan merata pada briket. Briket dengan serat kulit durian sebelah bawah (Gambar 3) dan briket dengan serat kulit durian sebelah samping (Gambar 5) terlihat mengalami pengembangan yang besar, briket yang dihasilkan mudah belah/pecah, sehingga menyulitkan dalam penyimpanan. Uji kecepatan nyala briket dilakukan dengan meletakkan briket yang diuji di atas tiga buah briket yang sedang menyala. Waktu yang diperlukan sehingga briket bagian serat menyala dinyatakan sebagai kecepatan nyala. Kecepatan nyala briket ditunjukkan dalam Tabel 2 berikut. Penentuan lama briket menyala ditentukan dengan menghitung waktu yang diperlukan satu briket untuk habis terbakar, terhitung briket tersebut di letakkan di atas tiga
briket yang sedang menyala. Lama briket menyala juga ditunjukkan pada Tabel 2 berikut. Berdasarkan data kecepatan nyala pada Tabel 2, terbukti bahwa serat kulit durian mempercepat penyalaan briket. Data di atas menunjukkan bahwa paling lama 157 detik (kurang dari 3 menit) briket telah mulai menyala. Mula-mula briket menyala pada bagian serat kulit durian. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa serat kulit durian memiliki titik nyala yang lebih rendah dari batubara. Bagian serat yang telah menyala selanjutnya memicu bagian batubara untuk juga menyala. Membandingkan kecepatan nyala briket terhadap posisi serat dalam briket, diketahui bahwa posisi serat sebelah bawah dan sebelah luar menyebabkan briket lebih cepat terbakar. Briket berikutnya adalah briket dengan posisi serat kulit durian dua perempat, dan atas bawah; yang paling lambat adalah briket posisi sebelah samping. Perbedaan kecepatan nyala ini disebabkan kerapatan serat kulit durian dalam briket. Pada saat pencetakan briket, diterapkan tekanan sebesar 2 ton. Setelah pencetakan, selama pengeringan, briket mengalami pengembangan. Pengembangan briket pada bagian serat kulit durian lebih besar daripada pengembangan pada bagian batubara. Pengembangan ini mengurangi kerapatan serat dan menghasilkan rongga. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa briket dengan posisi serat kulit durian sebelah bawah, dan briket sebelah luar lebih cepat menyala.
Tabel 2 Kecepatan nyala dan lama menyala briket bio batubara serat kulit durian Posisi serat kulit durian sebelah sebelah luar sebelah atas-bawah dua Uji nyala bawah samping (detik) (detik) perempat (detik) (detik) (detik) Kecepatan nyala 122 124 157 141 138 Lama menyala 15048 14928 15122 16850 13993 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara Sanjaya
85
Berdasarkan Tabel 2 di atas ternyata briket dengan posisi serat kulit durian yang berbeda memiliki perbedaan lama menyala. Briket yang paling lama menyala adalah briket dengan posisi serat kulit durian atas bawah, yaitu 16850 detik (4 jam 40 menit 50 detik), diikuti briket dengan posisi serat kulit durian sebelah samping, sebelah bawah dan sebelah luar. Briket yang paling cepat adalah briket dengan posisi serat kulit durian dua perempat yaitu 13993 detik (3 jam 53 menit 13 detik). Perbedaan lama menyala ini disebabkan karena pengaruh tekanan terhadap kerapatan batubara dan serat kulit durian dalam briket. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 6, briket dengan posisi serat kulit durian atas bawah, akibat tekanan menghasilkan briket dengan kerapatan batubara dan kepadatan serat yang lebih tinggi dari briket posisi lain. Dengan kepadatan yang lebih tinggi, mengakibatkan proses pembakaran briket menjadi lebih lama habisnya. Briket dengan posisi serat sebelah samping, pada saat pencetakan menghasilkan kerapatan yang tinggi; namun setelah itu pada saat pengeringan briket, serat kulit durian mengalami pengembangan yang maksimal. Akibatnya briket dengan posisi serat kulit durian sebelah samping bentuknya tidak silinder, mengembung di bagian serat kulit durian.Pada saat pembakaran mengakibatkan bagian serat kulit durian lebih cepat habis terbakar/menyala.Demikian pula dengan briket posisi serat kulit durian sebelah bawah dan luar. Briket dengan posisi serat kulit durian dua perempat paling cepat habis menyala, yaitu 13993 detik (3 jam 53 menit 13 detik). Hal ini juga dapat dijelaskan akibat proses pencetakan. Pada saat pencetakan briket, serat kulit 86
durian masuk ke dalam batubara. Akibatnya batubara memiliki kerapatan yang lebih rendah dari pada jika hanya terdiri batubara saja, seperti briket lainnya. Dengan kerapatan yang lebih rendah maka briket menjadi lebih cepat habis menyala. Kesimpulan Telah berhasil dibuat briket bio-batubara dengan serat kulit durian sebagai stimulan penyalaan dengan ukuran briket adalah berbentuk silinder diameter 4 cm, komposisi 16,5 hingga 18,5 g serat kulit durian yang telah dihaluskan setiap 100 g batubara, dengan komposisi serat kulit durian sebelah bawah, luar, samping, atas-bawah, dan dua perempat. Posisi serat kulit durian dalam briket memberi variasi kecepatan nyala dan lama menyala. Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sriwijaya, dan Dekan FKIP Unsri, kepala Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, yang telah memfasilitasi penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Kemendikbud yang telah menyetujui dan mendukung dana penelitian ini. Daftar Pustaka Alam AT. 2014. Gubernur Sumsel Pelindo MOU pengangkutan Batubara. http://ekbis.sindonews.com read 876755/34 [23 Januari 2015]. Duljapar K. 1996. Pengawetan Kayu. Jakarta: Penebar Swadaya. Menteri ESDM. 2006. Peraturan Menteri ESDM No 047 tahun 2006 tentang Pedoman Keselamatan Pengoperasian Kompor dengan Bahan Bakar Briket
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Batubara dan Kompor dengan Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara. http://prokum.esdm.go.id/ permen/ 2006/permen-esdm-47-2006.pdf (26 Januari 2015) Prihatman K. 2000. Tentang Budidaya Pertanian Durian. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Rohim AM. 2014. Analisis Jumlah Pohon Durian dengan Analisis Spasial dari 15 Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. http://arcgiskita. blogspot.com/2014/08/ analisisjumlah-pohon-durian-dengan.html [26 Januari 2015] Sanjaya. 2012. Pemanfaatan kulit durian sebagai bahan baku pembuatan media grafis dalam pembelajaran kimia di SMA. Dalam : Sinaga B dkk, editor. Prosiding SEMIRATA BKS PTN MIPA 2012, Medan, 11-12 Mei 2012. Medan: Fakultas MIPA UNIMED. Hal 22-26.
Sanjaya. 2013. Pembuatan Briket BioBatubara Sumatera Selatan dengan serat Kulit Durian sebagai Stimulan Penyalaan. [Laporan Penelitian]. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya Sanjaya. 2014. Development of teaching materials of basic chemistry course in subject thermochemical with topics bio-coal briket from South Sumatera. In: Hartono, Editor. Proceedings The 1st Sriwijaya University Learning and Education International Conference (SULE-IS) 2014; Palembang, 16 – 18 May 2014. Palembang: Faculty of Training and Education Sriwijaya University. Pp 607 – 614. Wikipedia. 2014. Durian. http://id. wikipedia.org. [14 januari 2015]. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 25 Oktober 2014 Diterima (accepted): 15 Desember 2014
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara Sanjaya
87
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) (Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol Extracts of Acacia mangium) Rita K Sari1,2*, Rahmi Utami1, Irmanida Batubara2,3, Anne Carolina1, Salina Febriany2 1)
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680 2) Pusat Studi Biofarmaka IPB, Jl. Taman Kencana No 03, Bogor 16151 3) Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680 *Penulis korespondensi:
[email protected]
Abstract Active compounds utilization of its extractives for cosmetic products increase the value added of mangium tree. The purpose of this study was to determine the antioxidant and an inhibitor tirosinase activities of methanol extract of the various parts of mangium tree. Phytochemical properties of the best extract were also anlayzed. Extraction was conducted by soxhletation in methanol for 12 hours. The antioxidant and tyrosinase inhibitory activities of the extracts were tested in vitro to radical of 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) scavenging and inhibition to tyrosinase enzyme. The results showed that leave resulted in the highest methanol ectract followed succesively by bark, heartwood, and sapwood the value of 10.7; 4.4; 2.5; and 0.9%, respectively. The highest antioxidant activity was bark extract and followed by leave, heartwood, and sapwood extracts with EC50 values respectively of 8.3; 26.7; 66.9; and 137.9 ppm. Only bark extract which classified as an active tyrosinase inhibitor with IC50 value of 257.8 ppm in the difenolase reaction. The IC50 value of the positive control (kojic acid) was 116.7 ppm. The other extracts relatively inactive as a tyrosinase inhibitor because their IC50 values > 1000 ppm. The qualitative analysis detect the methanol extract of mangium bark as the best extract containing phenolic compounds (phenol hirokinon, flavonoids, and tannins) and alkaloids which were thought to contribute to the high antioxidant and tyrosinase inhibitor activities. Keywords: Acacia mangium, antioxidant, extracts, tyrosinase inhibitor
Abstract Peningkatan nilai tambah limbah mangium dapat dilakukan dengan memanfaatkan zat ekstraktif berbagai bagian pohonnya sebagai senyawa aktif produk kosmetika. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan rendemen ekstrak metanol berbagai bagian pohon mangium, menguji aktivitas antioksidan serta ainhibitor tirosinasenya, serta menganalisis fitokimia secara kualitatif komponen kimia ekstrak teraktif. Ekstraksi dilakukan secara sokletasi dalam metanol selama 12 jam. Ekstrak yang dihasilkan diuji aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase secara invitro menggunakan metode peredaman radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dan penghambatan enzim tirosinase dengan reaksi monofenolase dan difenolase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari bagian daun tertinggi diikuti oleh kulit, kayu teras, dan gubal dengan nilai berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%. Aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit dan diikuti daun, kayu teras, dan kayu gubal dengan nilai EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan 137,9 ppm. Hanya ekstrak kulit yang tergolong aktif sebagai inhibitor tirosinase dengan nilai IC50 257,8 ppm dengan nilai IC50 kontrol positif 88
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
(asam kojat) 116,7 ppm pada reaksi difenolase. Ekstrak lainnya tergolong tidak aktif sebagai inhibitor tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm. Estrak metanol kulit mangium sebagai ekstrak teraktif positif kuat mengandung senyawa fenolik (fenol hirokinon, flavonoid, dan tanin) serta alkaloid. Kata kunci: antioksidan, ekstrak, inhibitor tirosinase, mangium
Pendahuluan Mangium (Acacia mangium Willd.) merupakan salah satu jenis pohon primadona dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia. Dari 3,5 juta Ha HTI, terdapat sekitar 1,6 juta Ha tegakan mangium yang ditujukan sebagai bahan baku industri perkayuan di Indonesia yang memproduksi 13 juta ton pulp dan kertas serta 5 juta m3 panel kayu setiap tahunnya (Mohammed et al. 2012). Akan tetapi, pemanfaatan hasil hutan di Indonesia masih tergolong rendah karena sebagian besarnya merupakan limbah. Limbah pemanenan berupa daun, kulit, ranting, dan kayu kurang lebih 50% serta limbah industri berupa potongan kayu sekitar 25% (Syafii 2008). Muhdi et al. (2010) melaporkan bahwa limbah pemanenan berupa kayu di hutan tanaman rata-rata mencapai sebesar 37,29 m3/Ha. Peningkatan nilai tambah hasil hutan melalui pemanfaatan seluruh bagian pohon dan komponen kimianya perlu dikembangkan. Salah satunya adalah pemanfaatan zat ekstraktifnya sebagai senyawa aktif dalam produk kosmetik pemutih dan antipenuaan kulit. Pasar produk kosmetik antipenuaan dini dan pemutih kulit di Indonesia sangat potensial. Hal ini disebabkan oleh kondisi Indonesia yang terletak di daerah tropis yang menyebabkan kulit masyarakatnya mudah mengalami penuaan dini dan kecokelatan. Paparan sinar UV dari matahari di daerah tropis menjadi sumber radikal bebas penyebab penuaan kulit (Ardhi 2011) dan
meningkatkan aktivitas enzim tirosinase pensintesa pigmen melanin sehingga warna kulit menjadi semakin kecoklatan (Batubara dan Adfa 2013). Namun, produk kosmetik tersebut sebagian besar mengandung bahan kimia sintetik yang berbahaya. Butil hidroksi anisol dan butil hidroksi toluen sebagai antioksidan sintetis pencegah penuaan kulit bersifat karsinogenik (Ariyani et al. 2008). Senyawa pemutih kulit seperti asam kojat dan hidrokuinon bersifat karsinogenik dan menyebabkan iritasi kulit, kulit memerah, panas, dan gatal (Miyazawa et al. 2006, Al-Ash’ary et al. 2010). Untuk itu, produk kosmetik berbahan aktif alami yang efektif serta aman digunakan perlu dikembangkan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa zat ekstraktif tumbuhan berpotensi sebagai senyawa aktif antioksidan dan inhibitor enzim tirosinase. Senyawa antioksidan alami dari golongan fenolik tumbuhan mampu menghambat penuaan dini kulit (Stallings & Lupo 2009). Senyawa fenolik dalam bakau (Rhizhopora apiculata) dan nyiri (Xylocarpus granatum) dan Artocarpanone dalam nangka (Arthocarpus heterophyllus) bersifat sebagai inhibitor enzim tirosinase (Arung et al. 2006, Rahayu 2012, Darusman et al. 2011). Kulit mangium asal Cina sangat tinggi mengandung senyawa fenolik dan terbukti bersifat antioksidan (Zhang et al. 2011). Kayu teras mangium asal Australia juga mengandung senyawa antioksidan (Mihara et al. 2005). Penelusuran pustaka menunjukkan penelitian potensi zat ekstraktif dalam
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
89
mangium sebagai inhibitor tirosinase belum ada. Penelitian potensi antioksidan berbagai bagian pohon mangium asal Indonesia juga belum banyak dilakukan. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah menetapkan rendemen ekstrak metanol hasil ekstraksi daun, kulit, kayu teras dan gubal mangium, menguji aktivitas antioksidan serta inhibitor tirosinase ekstraknya, serta menganalisis fitokimia secara kualitatif komponen kimia ekstrak teraktif. Bahan dan Metode Penyiapan bahan Bahan baku yang digunakan adalah bagian daun, kulit, kayu teras, dan kayu gubal mangium yang diperoleh dari hutan rakyat di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan tersebut dikeringudarakan, digiling dengan willey mill, dan disaring hingga diperoleh serbuk yang berukuran 40-60 mesh. Ekstraksi Sebanyak 25-30 g sampel yang telah diketahui kadar airnya masing-masing diekstraksi dengan metode sokletasi dalam 400 ml metanol selama ± 12 jam. Setelah itu, filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga volumenya menjadi 100 ml. Sebanyak 10 ml filtrat dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 oC selama 24 jam hingga bobotnya konstan untuk menetapkan rendemen ekstraksi. Sisa filtrat sebanyak 90 ml dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC untuk pengujian aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase, serta analisis kimianya. Uji aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan ekstrak diuji secara in vitro untuk meredam radikal bebas 1,1difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Metode 90
uji mengacu pada Sari et al. (2011). Aktivitas antioksidan diketahui dari nilai EC50, yaitu konsentrasi efektif senyawa yang mampu meredam 50% radikal bebas.
Uji aktivitas inhibitor tirosinase Aktivitas inhibitor tirosinase diuji secara in vitro dengan mengacu pada Batubara et al. (2010). Larutan ekstrak induk dengan konsentrasi 20 mg ml-1 dibuat dari 2 mg ekstrak padat yang dilarutkan dalam 0,1 ml dimetil sulfoksida (DMSO). Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 31,25-2000 µg ml-1 dengan pengenceran larutan induk dalam buffer natrium fosfat (50 mM dan pH 6,5). Kontrol positif dalam penelitian ini adalah asam kojat yang diuji pada konsentrasi 7,82-500 µg ml-1. Ekstrak dari berbagai konsentrasi sebanyak 70 µl dimasukkan ke dalam tiap lubang sumur dalam microplate dan ditambahkan dengan 30 µl enzim tirosinase yang berasal dari jamur (Sigma, 333 µl ml-1). Pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan. Setelah itu, plate disimpan di dalam ruangan inkubasi yang bertemperatur (37 o C) selama 5 menit. Selanjutnya, substrat (2 mM L-tirosin dan 12 mM L-3,4dihydroxyphenylalanine (L-DOPA)) sebanyak 110 µl ditambahkan ke dalam tiap-tiap lubang sumur. Plate tersebut kemudian disimpan dalam ruang inkubasi selama 30 menit. Nilai absorbansi dari tiap sumur kemudian ditentukan menggunakan multi-well reader pada panjang gelombang 492 nm. Selanjutnya, konsentrasi dari masing-masing ekstrak yang dapat menghambat setengah dari aktivitas tirosinase tersebut ditentukan dengan cara membandingkan absorbansi sampel tanpa penambahan ekstrak dengan penambahan ekstrak. Cara perhitungan absorbans dengan rumus: J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
Absorbansi difenol-sampel= C – A dengan C= difenolase, A=sampel+enzim Persentase penghambatan dengan rumus sebagai berikut:
dihitung
% penghambatan difenolase = A blangkodifenol A difenol
100%
A blangkodifenol
% penghambatan monofenolase = A blangko monofenol A monofenol 100% A blangko monofenol Aktivitas inhibitor tirosinase ekstrak ditentukan dari nilai IC50, yaitu konsentrasi ekstrak uji yang mampu menghambat 50% aktivitas enzim tirosinase. Nilai tersebut diperoleh dari persamaan regresi hasil interpolasi antara konsentrasi ekstrak dengan persen penghambatan difenolase dan monofenolase. Analisis fitokimia Pengujian fitokimia dilakukan secara kualitatif mengacu pada Harborne (1996). Pengujian hanya dilakukan pada ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan serta inhibitor enzim tirosinase tertinggi. Kelompok senyawa yang dideteksi adalah keberadaan alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid. Hasil dan Pembahasan Rendemen ekstrak Rendemen ekstraksi berbagai bagian pohon mangium dalam metanol beragam. Tabel 1 menunjukkan bahwa rendemen tertinggi adalah hasil ekstraksi daun, sedangkan rendemen terendah adalah hasil ekstraksi kayu bagian gubal. Hal ini menunjukkan bagian pohon yang berbeda mengandung zat ektraktif
dengan kadar yang berbeda pula. Hal ini dipertegas oleh Fengel & Wegener (1995) dan Reyes et al. (2004) yang menyatakan bahwa perbedaan rendemen zat ekstraktif dipengaruhi oleh tempat tumbuh, jenis pohon, umur pohon, dan bagian dalam pohon. Fenomena yang sama juga dilaporkan Sari et al. (2011) bahwa ekstraksi berbagai bagian pohon surian (Toona sinensis) menghasilkan kadar ekstrak terlarut etanol yang berbeda. Ekstrak surian bagian daun, kulit kayu, kayu teras, dan kayu gubal berturut-turut adalah 13, 7, 6, dan 4%. Wujud fisik ekstrak berbagai bagian mangium bervariasi (Tabel 1). Perbedaan wujud fisik ekstrak tersebut menunjukkan bahwa jenis dan komposisi zat ekstraktif dalam berbagai bagian pohon tersebut berbeda meskipun diekstraksi menggunakan pelarut yang sama. Ekstrak daun dan kayu teras berwujud padatan kental karena kemungkinan besar mengandung lemak, lilin, atau minyak atsiri yang dapat larut dalam metanol (Harborne 1996). Ekstraksi daun mangium menghasilkan rendemen tertinggi jika dibandingkan dengan bagian pohon lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa klorofil atau zat hijau daun yang ikut terekstraksi oleh metanol. Wujud fisik ekstrak daun yang berwarna hijau kehitaman memastikan adanya senyawa klorofil yang terekstraksi. Harborne (1996) menyatakan bahwa sebagian besar klorofil terdistribusi dalam daun dan dapat larut dalam pelarut organik seperti etanol, aseton, metanol, eter, dan kloroform. Ekstraksi bagian kulit menghasilkan rendemen ekstrak lebih tinggi dari bagian kayunya. Hal ini dapat disebabkan karena kulit mangium diketahui mengandung senyawa fenolik yang lebih
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
91
tinggi (Zhang et al. 2011). Hasil penelitian Gao (2007) pada berbagai bagian pohon Chamaecyparis lawsoniana juga menunjukkan bahwa kadar ekstrak bagian kulit (7%) lebih tinggi dibandingkan kayu teras (4%). Rendemen ekstraksi bagian kayu teras mangium ini (2,5%) berbeda dengan rendemen ekstraksi kayu teras mangium asal Cina yang dilakukan oleh Mihara et al. (2005), yaitu 4,0%. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan metode ekstraksi, kualifikasi pelarut, dan asal kayunya. Mihara et al. (2005) menggunakan metode maserasi dengan cara merendam serbuk kayu teras mangium dalam metanol kualifikasi pro analisis pada suhu ruang selama 2x2 hari, sedangkan ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan metode sokletasi yang menggunakan metanol kualifikasi teknis yang telah dimurnikan selama 12 jam. Houghton dan Raman (1998) menegaskan bahwa kualifikasi pelarut dan metode ekstraksi mempengaruhi rendemen ekstraksi. Selain itu, Penelitian Reyes et al. (2004) membuktikan bahwa rendemen zat ekstraktif sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuh. Aktivitas antioksidan
pohon mangium bersifat antioksidan. Hal ini ditunjukkan oleh korelasi positif antara konsentrasi ekstrak dengan persentase penangkapan radikal bebas. Namun, kurva yang menggambarkan korelasi positif antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan radikal bebas antar ekstrak berbeda (Gambar 1). Interpolasi antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan radikal bebas setiap ekstrak juga menghasilkan jenis persamaan regresi yang berbeda. Perbedaan tersebut menghasilkan nilai EC50 ekstrak yang berbeda (Tabel 2). Ekstrak metanol berbagai bagian pohon mangium memiliki aktivitas antioksidan yang beragam dengan nilai EC50 8,27137,88 ppm. Tabel 2 menunjukkan bahwa ektrak kulit mangium memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dengan nilai EC50 terendah, diikuti ekstrak daun, kayu bagian teras, dan gubal. Perbedaan aktivitas antioksidan tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis dan komposisi senyawa antioksidan yang terkandung dalam jaringan tumbuhan yang berbeda. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Gao (2007) yang menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak metanol kulit Chamaecyparis lawsoniana berbeda dengan bagian kayunya.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua ekstrak metanol berbagai bagian Tabel 1 Rendemen dan wujud fisik ekstrak berbagai bagian pohon mangium Sampel Rendemen (%) Wujud fisik ekstrak Padatan kental, beraroma, dan berwarna hijau Daun 10,72 kehitaman. Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna Kulit 4,40 cokelat kehitaman. Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna Kayu gubal 0,89 cokelat muda. Padatan kental, beraroma, dan berwarna Kayu teras 2,50 cokelat kehitaman.
92
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
Penangkapan DPPH (%)
120 100
80 60 40 20
0 0
50
100
150
200
Konsentrasi ekstrak etanol mangium (ppm)
Tabel 2 Persamaan regresi dan aktivitas antioksidan (nilai EC50) ekstrak berbagai bagian pohon mangium Jenis ekstrak Persamaan regresi Nilai R2 EC50 (ppm) Daun y = 15,25 ln(x) – 0,09 0,987 26,70 Kulit y = 18,08 ln(x) + 11,78 0,959 8,27 Kayu teras y = 13,65 ln(x) – 7,38 0,972 66,93 Kayu gubal y = 0,29 x + 9,24 0,988 137,88 Vitamin C y = 13,86 ln(x) + 34,39 0,930 3,08 Aktivitas antioksidan ekstrak metanol kulit mangium yang dihasilkan dari pelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol kulit mangium asal Cina hasil penelitian Zhang et al. (2011). Nilai EC50 ekstrak metanol kayu teras pada penelitian ini adalah 8,27 ppm, sedangkan nilai EC50 ekstrak metanol kayu teras mangium asal Cina adalah 20,99 ppm. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan komposisi kandungan senyawa antioksidan yang disebabkan oleh perbedaan metode ekstraksi, kepolaran pelarut, dan kondisi tempat tumbuhnya (Houghton & Raman 1998, Reyes et al. 2004). Ekstraksi yang digunakan Zhang et al. (2011) adalah ekstraksi dengan etanol 50%, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pelarut metanol.
Inhibitor tirosinase Ekstrak mangium dari berbagai bagian pohon memiliki aktivitas penghambatan enzim tirosinase. Hal tersebut tercermin dari Gambar 2 yang menunjukkan peningkatan konsentrasi ekstrak telah meningkatkan persentase penghambatan kerja enzim tirosinase. Akan tetapi, grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persentase penghambatan dari setiap ekstrak berbeda. Interpolasi konsentrasi ekstrak dengan persentase penghambatan kerja enzim tirosinase menghasilkan persamaan regresi dan nilai IC50 yang berbeda pula (Tabel 3). Berdasarkan nilai IC50, aktivitas ekstrak berbagai bagian pohon mangium berbeda. Ekstrak kulit memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
93
tertinggi, diikuti ekstrak bagian daun, kayu teras, dan kayu gubal (Tabel 3). Bila mengacu pada penggolongan aktivitas menurut Miyazawa et al. (2006), maka hanya ekstrak kulit mangium yang tergolong aktif sebagai inhibitor tirosinase, sedangkan ekstrak lainnya tergolong tidak aktif karena nilai IC50 < 1000 ppm. Kandungan fitokimia Hasil analisis fitokimia secara kualitatif menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit mangium terdeteksi kuat mengandung beberapa kelompok senyawa fenolik seperti fenol hidrokuinon, flavonoid, dan tanin setra alkaloid (Tabel 4). Golongan senyawa yang diduga memiliki aktivitas sebagai antioksidan serta inhibitor tirosinase adalah flavonoid. Chang (2009) menyatakan bahwa flavonoid sebagai salah satu golongan senyawa yang aktif sebagai penghambat tirosinase. Nangka (Artocarpus sp.) memiliki potensi
sebagai inhibitor tirosinase karena mengandung senyawa fenol dari golongan flavonoid yang lebih besar dibandingkan senyawa non fenol dari golongan triterpenoid dan steroid (AlAsh’ary et al. 2010). Flavonoid banyak tersebar pada bagian bunga, daun, biji, dan kulit kayu suatu tanaman. Senyawa-senyawa yang termasuk dalam golongan flavonoid dan berperan sebagai antioksidan serta penghambat tirosinase diantaranya adalah kuersetin (5,7,3',4'-tetrahidroksiflavonol), mirisetin (5,7,3', 4',5'-pentahidroksi-flavonol), kaemferol (5,7,4 trihidroksi flavonol), galangin (5,7dihidroksiflavonol), morin, buddlenoid A, dan buddlenoid B (Chang 2009). Ekstrak metanol daun singkong (Manihot utilissima) juga memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase karena mengandung senyawa kuersetin (Fatmawati et al. 2010).
100
Penghambatan (%)
Penghambatan (%)
100
75
50
25
0
50
25
0 0
500
1000
1500
Kadar ekstrak (ppm)
(a)
94
75
2000
0
500
1000
1500
2000
Kadar ekstrak (ppm)
(b)
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
Tabel 3 Persamaan regresi dan aktivitas inhibitor tirosinase (nilai IC50) ekstrak berbagai bagian pohon mangium pada reaksi monofenolase dan difenolase Monofenolase Difenolase Jenis ekstrak Persamaan regresi IC50 Persamaan regresi IC50 (ppm) (ppm) Daun y=13,66ln(x)-28,86 321,52 y=12,13ln(x)-38.93 1536,80 Kulit y=20,29ln(x)-49,00 131,53 y=23,88ln(x)- 82,59 257,84 Kayu teras y= 0,04 x – 3,89 1458,93 y=0,019x+12,72 1962,11 Kayu gubal y=0.020x + 25,1 1245,00 y=0,017x+7.53 2498,24 Asam kojat y=17,22ln(x)+ 0.02 18,22 y=28,54ln(x)- 85,84 116,70 Senyawa kimia dari kelompok flavonoid yang terdeteksi kuat terkandung dalam ekstrak kulit mangiumberperan terhadap aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase. Kalsom et al. (2001) telah mengidentifikasi senyawa flavonol yang bersifat antioksidan dalam daun mangium seperti kuersetin-3-glukosida, kuersetin-3-diglukosida, kaemferol-3,7dirhamnosida, dan kaemferol-7,4’-digalaktosida. Tabel 4 Fitokimia ekstrak metanol kulit mangium Deteksi Komponen fitokimia fitokimia Alkaloid +++ Flavonoid +++ Fenol hidrokuinon +++ Steroid + Triterpenoid + Tanin +++ Saponin ++ Keterangan: +: hasil uji positif lemah, ++: hasil uji positif sedang, +++: hasil uji positif kuat, ++++: hasil uji positif sangat kuat
Alkaloid sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan, salah satunya dapat berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian Minarti et al. (2002) menunjukkan bahwa senyawa siamine dari golongan senyawa alkaloid yang terkandung dalam pohon johar (Cassia siamea) berfungsi sebagai antioksidan.
Kesimpulan Ekstraksi berbagai bagian pohon mangium dengan metanol yang menggunakan metode sokletasi selama 12 jam menghasilkan ekstrak dengan rendemen yang bervariasi. Rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari ekstraksi bagian daun, diikuti oleh kulit, kayu teras, dan kayu gubal dengan nilai berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%. Aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit mangium dan diikuti daun, kayu teras, dan kayu gubal dengan nilai EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan 137,9 ppm. Namun, hanya ekstrak kulit mangium yang tergolong aktif sebagai inhibitor tirosinase (nilai IC50 257,8 ppm pada rekasi difenolase). Ekstrak lainnya tergolong tidak aktif sebagai inhibitor tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm. Estrak metanol kulit mangium sebagai ekstrak teraktif positif kuat mengandung senyawa fenolik (fenol hirokinon, flavonoid, dan tanin) serta alkaloid. Ekstrak juga terdeteksi sedang mengandung saponin, tetapi terdeteksi lemah mengandung triterpenoid dan steroid. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Laboratorium Kimia Hasil Hutan IPB tempat preparasi ekstrak, Pusat Studi Biofarmaka IPB tempat menguji
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
95
aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase, serta Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB tempat menganalisis fitokimia kualitatif. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para teknisi, yaitu Supriatin, Junawan, dan Ibu Nunung yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Daftar Pustaka Al-Ash’ary MN, Supriyanti FMT, Zackiyah. 2010. Penetuan pelarut terbaik dalam mengekstraksi senyawa bioaktif dari kulit batang Artocarpus heterophyllus. J Sains Tek Kim. 1(2): 150-158. Ardhi AM. 2011. Radikal bebas dan peran antioksidan dalam mencegah penuaan. Medicinus 24(1):3-9. Ariyani F, Amin I, Fardiaz D, Budiyanto S. 2008. Aplikasi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) dalam menghambat oksidasi lemak jambal patin (Pangasius hypophthalmus). JPBKP 3(2):157-169. Arung ET, Shimizu K, Kondo R. 2006. Inhibitory effect of artocarpanone from Artcocarpus heterophyllus on melanin biosynthesis. Biol Pharm Bull. 29(9):1966-1969. Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T, Rahminiwati M, Djauhari E. 2010. Potency of medicinal plants as tyrosinase inhibitor and antioxidant agent. J Biol Sci. 10(2):138-144. Batubara I, Adfa M. 2013. Potensi daun kayu bawang (Protium javanicum) sebagai penghambat kerja enzim tirosinase. J Sains Mat. 1(2):52-56. Chang TS. 2009. An updated review of tyrosinase inhibitor. Int J Mol Sci. 10: 2440-2475.
96
Darusman LK, Batubara I, Lopolisa C. 2011. Screening marker components of tyrosinase inhibitor from Xylocarpus granatum Stem. Valensi 2(3):409-413. Fatmawati A, Aswad M, Kolobani MN, Manggau MA, Alam G. 2010. Efektivitas beberapa bahan alam sebagai bahan pemutih kulit: studi in vitro penghambatan aktivitas enzim tirosinase. J Bahan Alam Indones. 7(4):219-223. Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Sastrohamidjoju H, penerjemah, Prawirohatmodjo S. editor. Yogjakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Gao H. 2007. Chemical analysis of extract from port-oford cedar wood and bark [Tesis]. Louisiana: Louisiana State University Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K. Soedira I, Penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman & hall. Kalsom YU, Khairuddin HI, Zakri MM. 2001. Flavonol glycosides from leaves of Acacia mangium and related species. Malaysian J Anal Sci. 7(1):109-112. Mihara R, Barry KM, Caroline L, Mohammed, Mitsunaga T. 2005. Comparison of antifungal and antioxidant activities of Acacia mangium and A. auriculiformis heartwood
J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
extracts. J Chem Ecol. 31(4):789-804. Doi:10.1007/s10886-005-3544-x. Minarti DP, Kardono LBS, Wahyudi B. 2002. Penapisan kimia senyawa senyawa alkaloid dalam ekstrak daun johar (Cassia siamea L.). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Miyazawa, Mitsuo, Tamura N. 2006. Inhibitory compound of tyrosinase activity from the Sprout of Polygonum hydropiper L. J Biol Pharm Bull. 30(3):595-597. Mohammed C et al. 2012. Management of Fungal Root Rot in Plantation Acacias in Indonesia. Canbera: ACIAR’s. Muhdi, Risnasari I, Putri LAP. 2010. Kuantifikasi limbah kayu akibat pemanenan kayu pada hutan tanaman di Sumatera Utara. J Rekayasa Penel. 3:32-41. Rahayu E. 2012. Aktivitas gabungan ekstrak bakau (Rhizophora apiculata), alamanda (Allamanda schottii), dan binahong (Anredera cordifolia) terhadap enzim tirosinase [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Reyes LF, Miller JC, Zevallos LC. 2004. Environmental conditions influence the content and yield of
anthocyanins and total phenolics in purple and red-flesh potatoes during tuber development. Amr J Potato Res. 81(3):187-193. Sari RK, Syafii WS, Achmadi SS, Hanafi M. 2011. Aktivitas antioksidan dan toksisitas ekstrak etanol surian (Toona sinensis). JITHH 4(2):45-51. Stalling AF, Lupo MP. 2009. Practical Uses of Botanicals in Skin Care. J. Clin Aesth Derm. 2(1): 36-40. Syafii W. 2008. Peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan melalui penerapan “the whole tree utilization”. Di dalam: Pemikiran Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Perspektif Ilmu-ilmu Pertanian dalam Pembangunan Nasional. Bogor: Penebar Swadaya dan IPB Pr. hlm 187-191. Zhang L, Chen J, Wang Y, Wu D, Xu M. 2011. Phenolic extracts from Acacia mangium bark and their antioxidant activities. Molecules 15: 3567-3577. Doi:10.3390/molecules 15053567. Riwayat naskah: Naskah masuk (received): 28 Oktober 2014 Diterima (accepted): 15 Desember 2014
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol Mangium (Acacia mangium) Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
97