Vol. 7 • No. 2 • Juli 2009
ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (The Indonesian Wood Research Society)
Terakreditasi A Nomor 52/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 Nomor 185/AU1/P2MBI/08/2009
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Penanggung Jawab: Ketua Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia Redaksi Pelaksana: Ketua
: Dr. Wahyu Dwianto
Komposit Kayu:
Anggota
:
Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi – IPB
Ir. Euis Hermiati, M.Sc.
Prof. Dr. T.A. Prayitno – UGM
Faizatul Falah, S.Si.
Prof. Dr. Bambang Subiyanto – LIPI
Yusup Amin, S.Hut.
Prof. Dr. Fauzi Febrianto – IPB
Ika Wahyuni, S.Si.
Dr. Subyakto – LIPI
Ari Kusumaningtyas, S.T. Teguh Darmawan, A.Md. Syam Budi Iryanto, A.Md.
Redaksi Ahli: Ketua
: Dr. Wahyu Dwianto – LIPI
Anggota
:
Prof. Dr. Imam Wahyudi – IPB Dr. Wayan Darwaman – IPB Dr. Subyakto – LIPI Dr. Anita Firmanti – Puskim Dr. Sulaeman Yusuf – LIPI Dr. Nyoman J. Wistara – IPB Dr. Rudianto Amirta – UNMUL Dr. Adi Santoso – P3THH
Dewan Penelaah: Sifat Dasar Kayu: Prof. Dr. Wasrin Syafii – IPB Prof. Dr. Imam Wahyudi – IPB Dr. Sri Nugroho Marsoem – UGM Dr. I. Ketut N. Pandit – IPB Krisdianto, S. Hut, MSc – P3THH
Pemesinan Kayu: Dr. Osly Rachman – P3THH Dr. Edi Suhaimi Bakar – UPM Dr. Wayan Darmawan – IPB
Rekayasa Kayu: Prof. Dr. Anwar Kasim – UMSB Dr. Anita Firmanti – Puskim Dr. Naresworo Nugroho – IPB
Peningkatan Sifat-Sifat Kayu: Prof. Dr. Zahrial Coto – IPB Prof. Dr. Musrizal Mu'in – UNHAS Dr. Sulaeman Yusuf – LIPI Dr. Pipin Permadi – P3THH
Pulp dan Kertas: Prof. Dr. Sipon Muladi – UNMUL Dr. Nyoman J. Wistara – IPB Ir. Wieke Pratiwi, MSc – BBPK
Hasil Hutan Non Kayu: Prof. Dr. Kurnia Sofyan – IPB Prof. Dr. Bambang Prasetya – LIPI Dr. Rudianto Amirta – UNMUL
Penelaah/Pengusul Makalah Vol.7 No.2 Juli 2009: Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi; Prof. Dr. Wasrin Syafii; Dr. Nyoman J. Wistara; Dr. Subyakto.
Vol. 7 • No. 2 • Juli 2009
ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (The Indonesian Wood Research Society)
Terakreditasi A Nomor 52/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 Nomor 185/AU1/P2MBI/08/2009
Alamat Redaksi: UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia Tel: 62-21-87914509, 87914511; Fax: 62-21-87914510 E-mail:
[email protected] http://jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Tujuan dan Ruang Lingkup Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah Jurnal resmi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) yang terbit 2 kali dalam setahun. Jurnal ini merupakan media nasional dan internasional untuk pertukaran pengetahuan dan mendiskusikan hasil penelitian terbaru mengenai kayu dan kegunaannya. Jurnal ini mempublikasi tulisan original penelitian dasar maupun terapan ilmu pengetahuan dan teknologi kayu yang berhubungan dengan sifat-sifat dasar kayu, permesinan kayu, produk panel dan komposit kayu, serta keteknikan kayu untuk konstruksi. Jurnal ini juga meliputi tulisan mengenai peningkatan sifat-sifat kayu, rayap dan jamur perusak kayu, pulp dan kertas, bahan berlignoselulosa bukan kayu dan biomas kayu yang berhubungan dengan produk kehutanan. Selain itu, jurnal ini juga mempublikasikan tulisan review dengan tema yang ditentukan oleh redaksi. Pernyataan dan Ketentuan 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Makalah yang dipublikasikan adalah berupa hasil penelitian yang dilakukan dengan ruang lingkup Ilmu dan Teknologi Kayu serta review dengan tema yang ditentukan oleh Redaksi. Makalah tersebut belum pernah dipublikasikan pada jurnal maupun prosiding sebelumnya. Makalah dapat dikirimkan ke alamat Redaksi dalam bentuk print out 2 rangkap dan software file melalui pos; atau electronic file melalui alamat e-mail:
[email protected]. Penulis bersedia memperbaiki makalah yang diterima di jurnal ini sesuai dengan saran dan pertanyaan dari Dewan Penelaah. Tatabahasa dan tataletak Gambar/Tabel bersedia diubah oleh Redaksi tanpa mengubah substansi. Bersedia membayar biaya publikasi sebesar Rp. 150.000,- s/d 6 halaman cetak dan kelebihan halaman akan dikenakan biaya sebesar Rp. 30.000,per halaman. Khusus mengenai Gambar yang dicetak berwarna akan dikenakan biaya tambahan.
Format Penulisan 1.
Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan program Word; ukuran halaman Letter; huruf Arial Narrow; satu spasi. Margin kiri/kanan = 3 cm dan atas/bawah = 2.5 cm. Besar huruf untuk Judul = 14 pt.; Nama Penulis = 12 pt; dan Text = 10 pt. 2. Untuk makalah yang ditulis dalam bahasa Indonesia harus menyertakan Judul makalah, Abstrak, Judul dan Keterangan Gambar, Skema dan Tabel dalam bahasa Inggris. Makalah yang ditulis dalam bahasa Inggris harus memeriksakan spelling dan grammarnya kepada native speaker. 3. Sistematika penulisan: 3.1. Judul (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) 3.2. Nama lengkap Penulis 3.3. Abstrak (bahasa Inggris) 3.4. Kata kunci (key words) 3.5. Teks: Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan (dan Saran) Daftar Pustaka Nama dan Alamat Lengkap Instansi Penulis Lampiran 4. Ketentuan lainnya: 4.1. Agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar, kuantitatif dan kronologis. 4.2. Penulisan kata bahasa asing dengan huruf miring. 4.3. Nama kayu/tumbuhan harus disertai nama botani. 4.4. Penulisan angka dengan desimal menggunakan titik (contoh: 2.45). 4.5. Penulisan besaran diantara menggunakan symbol ~ (contoh: 3.75 ~ 8.92%). 4.6. Gambar yang dikirimkan harus masih dapat diubah. 4.7. Daftar Pustaka ditulis menurut abjad A ~ Z. Penulis diharapkan mencocokkan Daftar Pustaka. 4.8. Contoh penulisan nama pustaka pada text adalah: (Palomar et al. 1990; Arancon 1997). 4.9. Contoh penulisan Daftar Pustaka yang memenuhi ketentuan adalah: Harada, T. 1996. Charring Rate Calculated from Mass Loss Rate. Journal of the Japan Wood Research Society 42:194-201.
Vol. 7 • No. 2 • Juli 2009
ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Objective and Scope Journal of Tropical Wood Science and Technology is the official journal of the Indonesian Wood Research Society. This journal is a national and international medium in exchanging, sharing and discussing the science and technology of wood. The journal publishes original manuscripts of basic and applied research of wood science and technology related to the basic properties of wood, wood machineries, wood panel and composite products, and engineering of wood for constructions; as well as wood properties enhancement, termite and wood deterioration fungi, pulp and paper, ligno-cellulosic materials other than wood and biomass in concern with forest products. Besides that, this journal also publishes review manuscripts which topics are decided by the editors. General Remarks 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Manuscripts will be accepted for publications are those discussing/containing results of research on wood science and technology, and reviews on specific topics, which are decided by the Editors. Manuscripts have not been published elsewhere. Manuscripts could be sent to the Editor address in the form of 2 hardcopies and software file by mail; or electronic file through e-mail address:
[email protected]. Authors are requested to correct the manuscripts accepted for publications as suggested by the Reviewers. Editors could change texts and positions of Figures and Tables without changing their substantial meanings. The Authors would be charged for publication fee, Rp. 150.000,- for 6 publication pages and Rp. 30.000,- per page for additional pages. Manuscripts preparations
1.
Manuscripts must be in Indonesian or English, typewritten using Word, Arial Narrow, single space, 3 cm of left and right margin and 2.5 cm of top and bottom margin of a Letter paper size. Title is printed with a font size of 14 pt, Authors are of 12 pt, and Text is of 10 pt.
2. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7.
Manuscripts written in English should be checked for spelling and grammar by a native speaker. Manuscripts compositions: Title Complete name of Authors Abstract Key words Texts: Introduction Materials and Methods Results and Discussion Conclusions (and Suggestions) References Name and complete address of Authors Appendix Other rules: Names of wood are followed by Botanical Name. Decimals are written using point (.), e.g. 2.45. Values between are written using this symbol ( ), e.g. 3.75 8.92%. Editors could modify Figures without changing their substantial meaning. References are arranged from A to Z. References in text are written as this example: (Palomar et al. 1990; Arancon 1997). Examples of writing of References: Harada, T. 1996. Charring Rate Calculated from Mass Loss Rate. Journal of the Japan Wood Research Society 42:194201.
Editor address: Research and Development Unit for Biomaterials Indonesian Institute of Sciences Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia Tel/Fax : 62-21-87914509; 87914511/87914510 E-mail :
[email protected] http : //jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/ Indonesian Wood Research Society address: Faculty of Forestry, Mulawarman University Kampus Gunung Kelua, Jl. Ki Hajar Dewantara, PO BOX 1013 Samarinda 75123, Indonesia Tel : 62-541-737078 Fax : 62-541-737078 E-mail :
[email protected]
Daftar Isi Original: Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC.) Abdurachman..................................................................................................................................... Penetapan Angka Bentuk dan Tabel Berat Rotan (Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia Zippeli Burret) pada Kondisi Kering Udara Asal Hutan Dataran Rendah Ransiki-Manokwari Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari Susan Trida Salosa ..........................................................................................................................................
49 - 55
56 - 61
Karakteristik LVL Lengkung dengan Proses Kempa Dingin Characteristic of LVL Bent by Cold Press Process Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji P. dan Bambang Subiyanto .........................
Perlakuan Enzim pada Serpih Kayu Daun Lebar untuk Refiner Mechanical Pulping (RMP) Enzyme Pretreatment to Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP)
62 - 66
Wawan Kartiwa Haroen ...................................................................................................................................
67 – 74
Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kimia dari Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana Linn) Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn) Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman ..................
75 - 78
Pengaruh Lama dan Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas dan Struktur Kimia Arang Aktif Bagasse Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal Wawan Sujarwo .................................................................................................................................
79 - 84
Karakterisasi Sifat-Sifat Arang Kompos dari Limbah Padat Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jack) Characterization of Compost Charcoals Properties from Oil Palm (Elaeis guinensis Jack) Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari ................................
85 - 91
Review: Tinjauan Penelitian Terkini tentang Pemanfaatan Komposit Serat Alam untuk Komponen Otomotif Review on Current Research on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Components Subyakto dan Mohamad Gopar............................................................................................................
92 - 97
Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC.) Abdurachman Abstract Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) signifies as one of the wood species that belong to the streaked Ebony. In Indonesia, this species prevalently grows in Sumatera and West Java. The branch-free stem of this species when reaching over 25 years can reach about 5 m in height and 30 cm in diameter. It is categorized as dense wood with dark color, which gradually appears like Eben wood. This wood usually finds much uses as handcraft and merchant items. This research aimed to look into characteristic and uses of Bisbul wood through laboratory-scale testing on its physical and mechanical properties. This examined wood species was originated from the community-owned forest situated in Bogor regency. The wood samples were taken from three height positions at branch-free Bisbul tree stems (i.e. top, middle, and butt portions) and from three lateral portions (sapwood, heartwood, and pitch), and then prepared to specimens measuring 2 cm by 2 cm in cross-section area. Each of the combination between such height and lateraldepth positions was replicated three times. The tested physical and mechanical properties covered specific gravity, moisture content, shrinkage, static bending, compressive strength parallel to the grain, shear, tensile parallel to the grain, and impact bending. Results revealed that based on moisture content and specific gravity, Bisbul wood belongs to medium density and floats on the water. Its radial (R) and tangential (T) shrinkages were categorized as medium in the range of 0.92 ~ 2.74% and 2.26 ~ 4.04%, respectively with T/R ratio somewhat less than 2, indicating that the wood was unstable due to moisture changes. Air-dry moisture content at various height and depth positions ranged about 14 ~ 16%, but the density decreased moving from the top, middle, to butt portions. The density at top, middle, and butt portions was consecutively 0.756 ~ 0.806 g/cm3, 0.710 ~ 0.805 g/cm3, and 0.672 ~ 0.716 g/cm3. Based on the examined mechanical properties, Bisbul wood belonged to strength class II ~ I at the butt and middle portion, and to class III ~ II to top portion. Key words: Bisbul wood, physical and mechanical properties, utilization. Pendahuluan Dari sekitar 400 jenis kayu yang dianggap penting di Indonesia, baru sebagian saja yang sudah diketahui sifat dan kegunaannya, 259 jenis di antaranya sudah dikenal dalam perdagangan dan dapat dikelompokkan menjadi 120 jenis kayu perdagangan (Martawijaya et al. 2005). Beberapa jenis kayu komersial seperti kayu Ramin, Eboni, Sungkai dan lain-lain yang memiliki penampilan yang menarik terutama digunakan sebagai bahan baku pembuatan mebel dan barang kerajinan. Jenis kayu tersebut potensinya semakin berkurang bahkan hampir punah. Usaha untuk menjaga mutu dan jumlah produk hasil hutan kayu telah dilakukan antara lain dengan mengganti jenis kayu tersebut dengan jenis kayu yang penampilan dan sifat-sifatnya hampir sama seperti kayu Karet, Mangium dan lain-lain (Rulliaty 2005). Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) tergolong dalam famili ebenaceae dan termasuk ke dalam kelompok jenis Eboni Bergaris (Streaked Ebony) yang tumbuh di Sumatera dan Jawa Barat (Soerianegara 1995). Di Filipina kayu Bisbul disebut “Butter fruit” (Buah Mentega) karena buahnya yang berbentuk seperti buah peer beraroma khas dan manis rasanya dan dimakan oleh penduduk seperti halnya di Indonesia. Sedangkan kayunya digunakan sebagai bahan baku barang kerajinan
dan kayu pertukangan. Menurut Heyne (1987), batang kayu Bisbul yang telah berumur lebih dari 25 tahun bisa mencapai tinggi bebas cabang 5 m dengan diameter 30 cm dan tergolong kayu sangat keras berwarna gelap seperti daging yang lambat laun menjadi seperti kayu Eben. Sifat fisik suatu jenis kayu yang erat hubungannya dengan sifat mekanik kayu dalam menentukan karakteristik mekanik dan kelas kekuatannya adalah kadar air dan berat jenis atau kerapatan. Sedangkan penyusutan arah pada kayu digunakan untuk menentukan tingkat stabilitas kayu pada saat digunakan.(Hadjib 1999). Sampai saat ini belum banyak diperoleh data dan informasi mengenai sifat dan kegunaan kayu Bisbul. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui sifat-sifat fisik dan mekanik kayu tersebut dengan harapan dapat memberikan informasi yang berguna mengenai penggunaannya untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat dan karekteristiknya. Bahan dan Metode Bahan kayu yang digunakan dalam penelitian ini ialah kayu Bisbul berumur kurang lebih 15 tahun dan
The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC) (Abdurachman)
49
berdiameter 20 cm. Kayu tersebut diperoleh dari kebun milik rakyat di Cimanglid Bogor Jawa Barat. Bahan lain yang digunakan adalah air destilasi dan paraffin. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu alat pemotong (gergaji potong/belah), mesin serut, ampelas, cutter, alat ukur panjang (meteran, penggaris, dial caliper), timbangan, oven, gelas piala, desikator, alat tulis dan alat uji mekanis (UTM) Simadzu berkapasitas 20 ton gaya, serta alat uji pukul Amsler berkapasitas 10 kgm). Metode penelitian meliputi pengambilan dan pembuatan contoh uji, pengujian sifat fisik dan mekanik dan pengolahan data yang diuraikan sebagai berikut : Pengambilan Contoh Uji Dari satu batang kayu Bisbul sepanjang 6 m dibagi menjadi 3 dolok yang masing-masing menunjukkan posisi dalam pohon yaitu pangkal (A), tengah (B) dan ujung (C). Dari setiap dolok diambil menurut posisi penampang dari empulur menuju bagian kayu gubal seperti Gambar 2. Pembuatan Contoh Uji Contoh uji sifat fisik (kerapatan, kadar air dan penyusutan) berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm dari bagian pangkal (bottom), tengah (middle) dan ujung (top) batang serta pada bagian kayu lunak (pitch), teras (heartwood) dan gubal (sapwood). Masing-masing bagian terdiri dari 3 ulangan, sehingga berjumlah 27 contoh uji kerapatan dan kadar air serta 27 contoh uji penyusutan. Contoh uji sifat mekanik (lentur statik, tekan sejajar serat, tekan tegak lurus serat, geser sejajar serat, keteguhan pukul dan tarik sejajar serat) masing-masing 5 ulangan pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang, sedangkan pada bagian kayu lunak, teras dan gubal diambil secara acak sehingga berjumlah 15 contoh uji untuk setiap sifat mekanik yang diamati. Semua ukuran contoh uji sesuai dengan Anonim (1994) untuk contoh uji kecil bebas cacat (small clear specimen). Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik Untuk pengujian sifat fisik dilakukan terhadap kondisi basah sampai kondisi kering tanur, sedangkan untuk pengujian sifat mekanik hanya pada kondisi kering udara berdasarkan metode pengujian menurut Anonim (1994). Pengolahan Data Analisis data yang dilakukan meliputi perhitungan rata-rata hasil pengujian menurut posisi ketinggian dan posisi kedalaman dolok dan penentuan kelas kuat kayu berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu pada contoh kecil bebas cacat menurut Den Berger (1923). Untuk penentuan kelas kekuatan kayu pada skala pemakaian pada berbagai ketinggian pohon dihitung dan diklasifikasikan menurut Anonim (1961).
50
Hasil dan Pembahasan Sifat Fisik Kayu Bisbul Hasil pengamatan kadar air pada kondisi basah dan penyusutan volume dari basah ke kering tanur pada posisi ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul telah dilaporkan oleh Krisdianto (2005). Kadar air tertinggi terjadi pada bagian ujung batang (top) dan terendah pada bagian pangkal (bottom). Pada setiap ketinggian, kadar air tertinggi pada kayu gubal (sapwood), sementara bagian kayu teras (hearthwood) lebih rendah dari pada bagian empulur (pitch). Berdasarkan posisi ketinggian, penyusutan volume paling tinggi terjadi pada bagian pangkal dan berdasarkan posisi kedalaman, bagian kayu teras memiliki penyusutan paling rendah dari bagian lainnya dan tergolong penyusutan tinggi. Kerapatan rata-rata pada bagian pangkal (bottom), tengah (middle) dan ujung (top) serta posisi kedalaman batang bagian empulur (pitch), teras (heartwood) dan gubal (sapwood) kayu Bisbul berdasarkan perbandingan berat dan volume kering udara dan perkiraan kadar air minimum dan maksimum dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tampak bahwa kadar air minimum dan maksimum meningkat mulai dari bagian pangkal, tengah dan ujung, tetapi kadar air kering udara tidak menunjukkan kekonsistenan baik pada posisi ketinggian maupun kedalaman batang. Secara keseluruhan, kerapatan dan kadar air kering udara berdasarkan letak ketinggian dan posisi kedalaman kayu ditampilkan pada Gambar 3. Kadar air kering udara pada berbagai posisi ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul berkisar antara 14% ~ 16%, namun kerapatan menurun dari bagian pangkal hingga ujung batang. Kerapatan padabagian pangkal berkisar 0.756 ~ 0.806 g/cm3, tengah 0.710 ~ 0.805 g/cm3 dan ujung 0.672 ~ 0.716 g/cm3. Nilai rata penyusutan arah radial (R), tangensial (T) serta rasio T/R dari kondisi basah ke kering udara ditampilkan pada Tabel 3. Penyusutan rata-rata arah radial terendah terjadi pada kayu gubal (Sapwood) bagian ujung (top) batang dan tertinggi terjadi di sekitar empulur (pitch) pada bagian pangkal (bottom) batang. Pada arah tangensial penyusutan terendah dan tertinggi terjadi di sekitar empulur pada bagian ujung dan pangkal batang. Gambar 4 memperlihatkan besarnya penyusutan berbagai posisi ketinggian dan kedalaman kayu Bisbul secara keseluruhan, di mana nilainya berbeda-beda pada setiap posisi ketinggian (height) maupun kedalaman (depth). Hal tersebut disebabkan oleh sifat higroskopis kayu yaitu dapat mengikat dan melepaskan air sesuai dengan keadaan suhu dan kelembaban udara di sekitarnya. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut menyebabkan kayu mengalami penyusutan dan pengembangan yang berbeda pada ketiga arah sumbunya (sifat anisotropis kayu). Pada arah radial kayu menyusut/mengembang sekitar 0.1 ~ 0.3%, arah tangensial sekitar 4.3 ~ 14% dan arah longitudinal sekitar 2.1 ~ 8.5%.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Figure 1. Leaves and fruit of Bisbul.
C
Top
120 cm 5
60 cm
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Middle
B
120 cm
23 24 29
25 26
28
30 31 32
heartwood pitch sapwood
1
60 cm
2 cm 2 cm
Bottom
A
Physical Properties
120 cm
Mechanical Properties
30 cm b. Sampling stick
a. Sampling stem
Figure 2. Cutting samples pattern
The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC) (Abdurachman)
51
Table 1. Mean values of specific gravity of wood tested and approximation of minimum and maximum moisture content. Air dry density Moisture content (%) Height (g/cm3) Depth position position Air dry Min. Max. 1 (pitch) 15.16 58.10 93.10 0.79 A (Bottom) 2 (heartwood) 14.97 55.34 90.34 0.79 3 (sapwood) 15.12 55.27 90.27 0.79 1 (pitch) 14.34 63.22 98.22 0.75 B (Middle) 2 (heartwood) 14.90 61.96 96.96 0.75 3 (sapwood) 15.13 58.76 93.76 0.77 1 (pitch) 14.83 74.32 109.32 0.69 C (Top) 2 (heartwood) 14.37 76.17 111.17 0.68 3 (sapwood) 15.66 74.91 109.91 0.69
18
0.85
0.8
14 12
0.75 10 8 0.7 6 4
0.65
Density (g/cm3)
Moisture Content (%)
16
P : pitch H : Heartwood S : Sapwood Moisture Content
2 0
0.6 1
3
P
5
H Bottom
7
9
S
11
P
13
15
H
17
19
21
P
S
Middle
23
H
25
Density
27
S
Top
Height & depth Position
Figure 3. The air dry density and moisture content based on height and depth positions. Table 3. The mean of shrinkage direction at wet to air dry condition. Radial shrinkage (%) Height stem Pitch Heart-wood Sap-wood Bottom 2.35 2.23 1.29 Middle 1.90 1.37 1.75 Top 1.77 1.35 1.21 Mean 2.01 1.65 1.42 Berdasarkan klasifikasi penyusutan arah dari kondisi basah ke kering udara (Table 4), kayu Bisbul tergolong memiliki penyusutan sedang pada arah radial dan penyusutan tinggi pada arah tangensial. Ratio penyusutan T/R seperti pada Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai rata-ratanya 1.84 pada bagian pangkal (bottom), 1.88 bagian tengah (middle) dan 1.97 bagian ujung (top) batang, sehingga kayu Bisbul memiliki kestabilan dimensi rendah (Abdurachman dan Hadjib 2001) dan kayu cenderung lebih mudah pecah atau
52
Pitch 3.68 3.43 2.46 3.19
Tangential shrinkage (%) Heart-wood Sap-wood 3.20 3.16 2.87 2.96 2.70 2.75 2.92 2.96
berubah bentuk yang mengakibatkan cacat bentuk (Martawijaya 1990). Table 4. The shrinkage classification. Range of shrinkage (%) Grade > 3.5 Very High 2.5 ~ 3.5 High 1.5 ~ 2.5 Middle < 0.5 Low Source : Burgess (1966)
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
4.5 4
Shrinkage (%)
3.5 3
2.5 2
1.5 1
P : pitch H : Heartwood S : Sapwood
0.5 0 1
3 P
5 H
7
Radial
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 S
Bottom
P
H
S
P
Middle
H
Tangential
S
T/R ratio
Top
Height and depth position
Figure 4. Shrinkage based on vertical and horizontal positions. Table 5. The mean of mechanical properties based on stem height Mechanical Properties : Unit Bottom Specific Gravity* 0.68 Modulus of proportional limit kg/cm2 770.08 Modulus of elasticity kg/cm2 70597.87 Modulus of rupture kg/cm2 959.06 Compression // to the grain kg/cm2 492.94 2 kg/cm 294.06 Compression to the grain 2 Radial Shear Strength kg/cm 90.45 Tangential Shear Strength kg/cm2 76.82 Radial Impact Bending kgm/dm3 28.62 Tangential Impact Bending kgm/dm3 30.88 Radial Tensile Strength kg/cm2 701.69 Tangential Tensile Strength kg/cm2 1039.73 Table 6. Strength class of Indonesian wood classification based on specific gravity. Strength Class Specific Gravity Bending Strength (kg/cm2) I > 0.90 > 1.100 II 0.90 ~ 0.60 1.100 ~ 725 III 0.60 ~ 0.40 725 ~ 500 IV 0.40 ~ 0.30 500~ 360 V < 0.30 < 360 Source : Berger (1923) Table 7. Permissible stress and strength class of the Bisbul wood tested. Height position Specific Gravity Permissible stress (kg/cm2) (G) lt tk// = tr// t Bottom Middle Top
0.68 0.66 0.60
116.27 111.77 101.97
102.60 98.62 89.97
The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC) (Abdurachman)
27.36 26.30 23.99
Middle 0.66 626.84 56013.08 717.28 486.02 286.53 117.33 67.51 14.66 15.81 699.26 509.68
Top 0.60 529.23 51447.86 666.10 386.28 277.02 111.52 94.03 12.84 13.82 688.15 531.84
Maximum Crushing Strength (kg/cm2) > 650 650 ~ 425 425 ~ 300 300 ~ 215 < 215
//
13.68 13.15 12.00
Strength Class II ~ I II ~ I III ~ II
53
Sifat Mekanik Nilai rata-rata sifat mekanik yang diteliti menurun mulai dari bagian pangkal, tengah, hingga ujung batang, kecuali geser sejajar serat (radial) pada bagian pangkal lebih rendah dari bagian tengah dan ujung batang. Demikian pula geser sejajar serat bidang tangensial, bagian ujung batang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah dan pangkal batang seperti tampak pada Tabel 5. Karena sifat ini berbeda dengan yang lainnya dan penyebabnya belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Sifat mekanik kayu sangat dipengaruhi oleh berat jenis atau kerapatan (Dwianto dan Marsoem 2008). Di samping itu sebagaimana sifat fisik, maka sifat mekanik kayu berbeda pula pada setiap posisi ketinggian maupun posisi kedalaman dolok (sifat anisotropis kayu) terhadap arah longitudinal (sejajar arah serat), radial (menuju pusat) dan tangensial (menurut arah garis singgung) dolok (Dumanuaw 1990). Untuk mengetahui kelas kekuatan kayu Bisbul serta kemungkinan penggunaannya, maka sifat-sifat mekanik kayu yang berhubungan dengan ketahanan menerima beban luar dibandingkan dengan klasifikasi kekuatan kayu menurut Berger (1923) dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, maka kayu Bisbul pada berbagai ketinggian tergolong kelas kuat III ~ II, penurunan kelas kuat tersebut konsisten mulai dari bagian pangkal hingga ujung batang seperti tampak pada Tabel 5. Kelas kekuatan tersebut merupakan hasil penelitian laboratories menggunakan contoh kecil bebas cacat (CKBK). Kelas kekuatan untuk skala pemakaian berdasarkan berat jenis, dapat dihitung tegangan ijin (permissible stress) untuk kayu mutu A menurut Anonim (1961) dalam Abdurachman dan Hadjib (2005) sebagai berikut : lt = 170G ; tk// = tr// = 150G : t = 40G dan // = 20G ; di mana G = Berat jenis kayu kering udara. Berdasarkan Tabel 7, maka kayu Bisbul bagian pangkal dan tengah dapat digunakan sebagai kayu pertukangan termasuk kayu konstruksi yang memikul beban tinggi, sedangkan pada bagian ujung batang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk keperluan lainnya. Kesimpulan 1. 2.
3.
54
Kadar air kering udara kayu Bisbul pada berbagai posisi ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul berkisar antara 14% ~ 16%. Kerapatan menurun dari bagian pangkal hingga ujung batang. Kerapatan pada bagian pangkal berkisar 0.756 ~ 0.806 g/cm3, tengah 0.710 ~ 0.805 g/cm3 dan ujung 0.672 ~ 0.716 g/cm3. Penyusutan rata-rata arah radial terendah terjadi pada kayu gubal (Sapwood) bagian ujung (top) batang yaitu 1.21% dan tertinggi terjadi di sekitar empulur (pitch) pada bagian pangkal (bottom) batang
4.
5.
6.
7. 8.
yaitu 2.35%. Pada arah tangensial penyusutan terendah dan tertinggi terjadi di sekitar empulur pada bagian ujung dan pangkal batang yaitu 2.46% dan 3.68%. Berdasarkan klasifikasi penyusutan arah dari kondisi basah ke kering udara kayu Bisbul tergolong memiliki penyusutan sedang pada arah radial dan penyusutan tinggi pada arah tangensial. Nilai rata-rata ratio penyusutan T/R 1.84 pada bagian pangkal (bottom), 1.88 bagian tengah (middle) dan 1.97 bagian ujung (top) batang, sehingga kayu Bisbul memiliki kestabilan dimensi rendah. Nilai rata-rata sifat mekanik yang diteliti (keteguhan lentur statik, tekan sejajar serat, tekan tegak lurus serat, geser sejajar serat dan keteguhan tarik sejajar serat) pada umumnya menurun mulai dari bagian pangkal, tengah, hingga ujung batang. Berdasarkan kelas kekuatan kayu Indonesia, maka kayu Bisbul pada berbagai ketinggian tergolong kelas kuat III ~ II. Kayu Bisbul bagian pangkal dan tengah dapat digunakan sebagai kayu pertukangan termasuk kayu konstruksi yang memikul beban tinggi, sedangkan pada bagian ujung batang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk keperluan lainnya seperti mebel dan barang kerajinan. Daftar Pustaka
Anonim. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Yayasan Dana Normalisasi. Jakarta. Anonim. 1994. Standard Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia. Abdurachman dan N. Hadjib. 2001. Sifat Fisik dan Mekanis Jenis Kayu Andalan Setempat Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Mapeki IV. Samarinda. Pp II125-II135. Abdurachman dan N. Hadjib. 2005. Kekuatan dan Kekakuan Balok Lamina dari Dua Jenis Kayu Kurang Dikenal. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(2):87-100. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Burgess, P.F. 1966. Timbers of Sabah. Sabah Forest Records No. 6. Sabah. Burgess, P.F. 1966. Timbers of Sabah. Sabah Forest Records No. 6. Sabah. Den Berger, L.G. 1923. De Grondslagen voor de Classificatie van Nederlandsch Indische Timmerhoutsoorten. Tectona. Vol. XVI. Dumanuaw, 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisus. Yogjakarta. Dwianto W. dan S.N. Marsoem. 2008. Tinjauan Hasilhasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 6(2): 85-100. Hadjib N, dan Abdurachman. 1999. Sifat Fisis dan Mekanis Beberapa Jenis Kayu dari Jawa Barat Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (5): 287-292. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Krisdianto and Abdurachman. 2005. Anatomical and Physical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC.). Journal of Forestry Research 2(1): 57-67. Ministry of Forestry. Forestry Research and Development Agency. Jakarta. Martawijaya, 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Martawijaya A., Iding K., Kosasi K., dan Soewanda A.P. 2005. Atlas Kayu Jilid I. Edisi Revisi. Departemen
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Rulliaty. 2005. Beberapa Jenis Kayu Alternatif Pengganti Ramin. Prosiding Seminar Nasional Mapeki VIII. Tenggarong, 3~5 September 2005. Pp. A41~A45. Soerianegara, I. 1995. General Part of Diospyros L. In Lemarens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.) Plant Resources of South East Asia N. 5(2). Timber trees : Minor commercial timber. PROSEA Foundation. Bogor. P.185. Abdurachman Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Product Research and Development Center) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor. Tel. : 0251-8633378 Fax : 0251-8633413 HP : 081386021510 E-mail :
[email protected]
The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC) (Abdurachman)
55
Penetapan Angka Bentuk dan Tabel Berat Rotan (Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia Zippeli Burret) pada Kondisi Kering Udara Asal Hutan Dataran Rendah Ransiki-Manokwari Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari Susan Trida Salosa Abstract The purpose of this research is to calculate form number and weight table of two commercial species of rattans (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on air-dry condition. Observation variables which are used in this research were length, diameter, weight of rattan on fresh and air-dry conditions. Data collected is analized by using statistics to fid mean, standard deviation and interval. The result shows that C. heteracanthus Zipp length, weight and diameter bigger than K. zippeli Burret on fresh and air-dry conditions. The form number of C. heteracanthus Zipp on fresh condition is 0.90 and on air-dry condition is 0.56, where as K. zippeli Burret has form number 0.90 on fresh condition and 0.45 on air-dry condition. Water content of C. heteracanthus Zipp and K. zippeli Burret 0.45 on fresh condition are 101.35% and 146% and on air-dry condition 18.67% and 19.38%. Weight table of both rattans can be applied specifically in low land forest of Ransiki or at any other area, which has similar natural condition with this area. Key words: form number, weight table, rattan, Calamus heteracanthus Zipp, Korthalsia zippeli Burret, fresh condition, air condition, water content. Pendahuluan Latar Belakang Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi strategis setelah hasil hutan kayu. Hal ini sangat beralasan karena Indonesia memiliki kurang lebih 306 jenis dan 9 genera yang merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia (± 80%). Selain itu komoditi ini memiliki keunggulan komparatif yang dapat meningkatkan nilai tambah yang sangat berarti bagi peningkatan pendapatan daerah. Sebagaimana halnya di daerah lainnya di Indonesia, seperti Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi yang terlebih dahulu mengusahakan rotan sebagai komoditi non kayu unggulan, Papua juga memiliki potensi dan peluang yang sama. Rombe (1986) memperkirakan bahwa luas areal hutan di Papua lebih kurang 11.402 juta hektar yang tersebar hampir di setiap kabupaten memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber ekonomi daerah. Namun sejauh ini potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, karena di sektor kehutanan hasil hutan kayu dari hutan alam masih menjadi sumber pendapatan utama. Hal ini terjadi karena belum tersedianya data dan informasi yang cukup akurat untuk mengukur potensi jenis-jenis rotan potensial yang ada di Papua dengan standard ukuran yang baku. Untuk mengetahui potensi rotan secara kuantitatif biasanya dinyatakan dalam berat (kg/ton), berbeda dengan potensi kayu yang biasanya dinyatakan dalam
56
volume pohon (m3). Sehingga untuk memberi gambaran tentang potensi rotan perlu dibuat tabel berat. Untuk membuat tabel berat maka terlebih dahulu perlu diketahui angka bentuk berdasarkan jenis dan asal tempat tumbuh rotan tersebut. Rombe (1986), menjelaskan bahwa untuk mengukur potensi rotan, parameter yang diukur antara lain jumlah rumpun, jumlah batang tiap rumpun, diameter batang, panjang dan berat per batang masing-masing jenis rotan. Kemudian dari parameter tersebut dapat ditaksir berat rata-rata tiap batang, potensi rata-rata per hektarnya dalam satuan jumlah batang/hektar atau kilogram/hektar. Bila standard nilai ukuran angka bentuk dan tabel berat dari jenis-jenis potensial tertentu pada suatu daerah tertentu telah diketahui, maka dengan mudah dapat dihitung besaran nilai potensi rotan suatu daerah dan strategi pengusahaannya. Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret merupakan jenis-jenis rotan komersil yang terdapat di Papua, namun sejauh ini informasi mengenai suatu ukuran pendugaan potensi yang baku seperti angka bentuk dan tabel berat masih sangat kurang (Rusmiati 1996 dan Anonimous 1997). Untuk maksud tersebut, maka selayaknya penelitian tentang angka bentuk dan tabel berat rotan pada setiap daerah potensial tertentu perlu dilakukan di Papua. Hutan alam Ransiki merupakan salah satu kawasan yang dipilih sebagai daerah target penelitian, karena daerah ini memiliki potensi yang dapat dijadikan harapan sebagai sumber peningkatan pendapatan daerah Manokwari.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan angka bentuk dan tabel berat rotan asal hutan dataran rendah Ransiki, yaitu Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara. Metodologi Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan dataran rendah Desa Siwi Kecamatan Ransiki Kabupaten Manokwari dan di Laboratorium Kehutanan Faperta Universitas Cendrawasih. Penelitian berlangsung selama kurang lebih 3 bulan (Mei s/d Agustus 1998). Bahan dan Alat Bahan yang dijadikan obyek penelitian adalah jenis rotan Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret yang berasal dari hutan alam dataran rendah Desa Siwi serta telah masak tebang dengan panjang ≥ 5 m. Peralatan penelitian yang digunakan adalah parang, meteran roll, gergaji, kantung plastik, timbangan analitik, kaliper, kalkulator, kamera, alat tulis-menulis dan lembar kerja, serta alat penunjang lain. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik observasi. Variabel yang diamati yaitu panjang, diameter, berat, dan kadar air rotan pada kondisi segar dan kering udara. Prosedur Penelitian Pembuatan Contoh Uji. Sampel rotan diambil secara acak hingga terpilih sebanyak 25 batang rotan untuk masing-masing jenis yang menyebar merata pada lokasi penelitian. Dari 25 sampel yang diambil kemudian dipotong dalam ukuran 100 cm dan 110 cm pada bagian pangkal, tengah dan ujung serta diukur panjang sisa potongannya. Dari potongan-potongan sampel tersebut diambil masing-masing 1 contoh uji berukuran 10 cm bagi penetapan angka bentuk dan tabel berat ditambah 2 buah contoh uji kadar air berukuran 5 cm pada setiap sampel berukuran 110 cm untuk pengukuran kadar air segar dan kadar air kering udara. Dengan demikian dari 25 sampel diperoleh contoh uji angka bentuk dan tabel berat sebanyak 407 buah untuk Calamus heteracanthus Zipp dan 195 buah contoh uji untuk Korthalsia zippeli Burret. Sedangkan jumlah contoh uji kadar air bagi masingmasing jenis rotan adalah sebanyak 150 buah, terdiri dari 75 buah contoh uji kadar air segar dan 75 buah contoh uji kadar air kering udara. Pengukuran diameter dan penimbangan berat dilakukan pada contoh uji kondisi segar baik contoh uji angka bentuk dan tabel berat maupun contoh uji kadar air. Hasilnya dinyatakan sebagai diameter dan berat pada kondisi segar. Khusus untuk kadar air segar setelah
ditimbang selanjutnya dioven. Untuk kondisi kering udara, contoh uji dikeringkan dan secara kontinyu dilakukan penimbangan berat hingga diperoleh nilai berat terendah dan stabil. Bila berat telah stabil maka dilakukan pengukuran diameter dan ditimbang beratnya yang dinyatakan sebagai diameter dan berat pada kondisi kering udara. Setelah contoh uji kadar air mencapai kondisi kering udara kemudian dioven guna memperoleh berat rotan kondisi kering tanur. Perhitungan berat dan diameter rata-rata setiap batang rotan pada kedua kondisi adalah sebagai berikut: n Berat Total = ∑ Bi x L1/10 i=1 Diameter
=
n ∑ Di i=1 n
dimana: Bi = Berat rotan ukuran 10 cm dari contoh uji ke-1 (g) 10 = Contoh uji 10 cm N = Jumlah sampel berukuran 100 cm L1 = Panjang potongan sampel (100 cm, 110 cm dan SSP) SSP = Sampel Sisa Potongan (<100 cm) Di = Diameter rotan berukuran 10 cm dari contoh uji ke-i Suhu pengeringan oven untuk kedua contoh uji kadar air baik kadar air segar maupun kadar air kering udara adalah 103 ± 20C yang dinaikkan secara perlahanlahan. Selanjutnya selama periode tertentu dilakukan penimbangan hingga diperoleh berat terendah dan stabil. Hasi penimbangannya dinyatakan sebagai berat kering oven. Data panjang dan diameter hasil pengukuran contoh uji digunakan untuk menghitung volume rotan pada kedua kondisi dengan menggunakan rumus Huber (Hasanu 1993): V=1/4 ∏ x (D)2 x L dimana: V = Volume rotan (cm3) ∏ = 3,14 atau 22/7 D = Diameter bagian tengah (cm) L = Panjang (cm) Penetapan Angka Bentuk Rotan. Angka bentuk rotan adalah koefisien regresi yang diperoleh dari hubungan regresi linier yang didasarkan pada perbandingan antara berat hasil pengukuran dengan volume hasil hitungan. Dengan adanya data berat dan volume yang diukur pada kedua kondisi, yakni kondisi segar dan kondisi kering udara maka dapat dilihat apakah sama angka bentuk
Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari (Susan Trida Salosa)
57
yang diperoleh untuk masing-masing keadaan ini. Analisa regresi linier dirumuskan sebagai berikut: A= y/x atau y=ax dimana: a = Angka bentuk rotan (koefisien regresi) y = Berat rotan kondisi segar dan kering udara x = Volume batang rotan kondisi segar dan kering udara. Penetapan Tabel Berat. Tabel berat ditetapkan berdasarkan angka bentuk yang telah diperoleh dengan jalan menyusun berat rotan pada kedua kondisi yakni kondisi segar dan kering udara berdasarkan kisaran panjang dan diameter yang ada. Variabel penunjang yang diukur adalah kadar air rotan pada kondisi segar dan kondisi kering udara (KAKU) serta suhu dan kelembaban pada tempat penelitian. Untuk kadar air rotan ini dihitung menggunakan rumus yang dipakai oleh Haygreen dan Bowyer (1993) sebagai berikut: KAS (%)
=
BBS - BKT
x 100%
BKT BKU - BKT KAKU (%) dimana: KAS BBS KAKU BKU BKT
=
BKT
x 100%
= Kadar Air Basah/Segar (%) = Berat Basah (g) = Kadar Air Kering Udara (%) = Berat Kering Udara (g) = Berat Kering Tanur (g)
Analisis Data. Analisis data menggunakan Statistik Deskriptif dengan menampilkan nilai tengah, simpangan baku dan interval dari semua peubah yang diukur memakai paket program minitab 10. Sedangkan angka bentuk diperoleh sebagai koefisien dari hubungan regresi linier antara berat rotan hasil pengukuran dengan volume rotan hasil perhitungan. Dari angka bentuk tersebut dibuat tabel berat untuk kedua jenis rotan ditetapkan berdasarkan kisaran dari panjang dan diameter yang diperoleh.
Hasil dan Pembahasan Panjang, Diameter dan Berat Rotan Hasil pengukuran panjang, diameter dan berat dua jenis rotan asal hutan dataran rendah Ransiki-Manokwari, yakni Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat pada kondisi segar, Calamus heteracanthus Zipp memiliki panjang, diameter dan berat lebih besar, yaitu panjang berkisar antara 13.19~19.06 m dengan rata-rata 16.13 m, diameter berkisar antara 1.91~2.10 cm dengan rata-rata 2.00 cm dan berat berkisar antara 3945 ~ 5920 g dengan rata-rata 4933 g. Sedangkan Korthalsia zippeli Burret memiliki panjang berkisar antara 6.51 ~ 8.75 m dengan rata-rata 7.63 m, diameter berkisar antara 1.85 ~ 2.01 cm dengan rata-rata 1.93 cm dan berat berkisar antara 1692 ~ 2263 g dengan rata-rata 1978 g, Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret termasuk dalam kelompok rotan berdiameter besar. Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret tumbuh pada areal kelembaban 79.58% dengan ketinggian dari permukaan laut ≥ 20 m dan tipe iklimnya basah. Kedua jenis rotan ini tumbuh menyebar dataran rendah hingga lereng bukit yang berjenis tanah alluvial dengan struktur lempung sampai lempung berpasir. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Calamus heteracanthus Zipp yang bertipe tunggal, dalam pertumbuhannya bergerak mencari sinar matahari bahkan sampai menembus tajuk pohon, sehingga memiliki panjang yang lebih besar dibandingkan dengan Korthalsia zippeli Burret. Pada jenis rotan Korthalsia zippeli Burret yang bertipe rumpun, hanya sebagian kecil yang dapat hidup memanjang pada inangnya sedangkan selebihnya, tumbuh memanjang di atas permukaan tanah sehingga mengakibatkan bagian batangnya rusak dan busuk terserang serangga tanah. Ditambah dengan sempitnya ruang tumbuh antara individu rotan yang menyebabkan terjadinya persaingan yang tinggi dalam penyerapan unsur hara pada satu rumpun. Hasil pengukuran panjang, diameter dan berat Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret asal dataran rendah Ransiki-Manokwari pada kondisi kering udara disajikan pada Tabel 2.
Table 1. The Rate of Length, Diameter and Weight of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Fresh Condition Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Averages Intervals Averages Intervals Averages Intervals C. heteracanthus 16.13 1319~19,16 2.00 1.91~2.10 4933 3945~5920 K. zippeli 7.63 6.51~8.75 1.93 1.85~2.01 1978 1692~2263
58
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Table 2. The Rate of Length, Diameter and Weight of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Air Dry Condition Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Averages Intervals Averages Averages Intervals C. heteracanthus 16.13 13.19~19.16 1.95 1.86~2.05 2758 2240~3276 K. zippeli 7~63 6.51~8.75 1.87 1.79~1.95 937.2 816~1058,3 Dari Tabel 2 terlihat bahwa kondisi kering udara terdapat perbedaan antara berat pada kondisi segar dengan kondisi kering udara pada ukuran diameter dan panjang tetap. Diameter Calamus heteracanthus Zipp berkisar antara 1.86 ~ 2.05 cm dengan rata-rata 1.95 cm dan berat berkisar antara 2240 ~ 3276 g dengan rata-rata 2758 g serta diameter Korthalsia zippeli Burret berkisar antara 1.79 ~ 1.95 cm dengan rata-rata 1.87 cm dan berat berkisar antara 816 ~ 1058.3 g. Setelah proses pengeringan udara tampak bahwa tidak terjadi penyusutan diameter dan panjang pada kedua jenis rotan tersebut. Hal ini diduga disebabkan oleh struktur kulit rotan yang kuat dan mengandung lapisan silika sehingga walaupun sel rotan telah kosong namun tidak terjadi penyusutan baik secara radial maupun tangensial.
0.45. Selama proses pengeringan udara, berat rotan menjadi berkurang pada kondisi volume rotan yang relative tetap yang mengakibatkan angka bentuk yang diperoleh menjadi lebih kecil. Berbeda dengan kondisi segar, pada kondisi kering udara angka bentuknya ≥ 0.5. Ini berarti bahwa Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret memiliki volume dua kali lebih besar dari beratnya. Perbedaan angka bentuk ini diduga terjadi karena kedua jenis rotan tersebut memiliki kadar air berbeda pada kondisi perlakuan kering udara dengan suhu dan kelembaban yang sama. Korthalsia zippeli Burret memiliki kadar air segar lebih tinggi dibanding Calamus heteracanthus Zipp (Tabel 9 di bawah), serta mengalami perubahan berat yang besar setelah proses pengeringan.
Angka Bentuk Rotan Angka bentuk diperoleh dari hubungan regresi linier antara berat rotan hasil pengukuran dengan volume rotan hasil perhitungan. Angka bentuk Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada kondisi segar Calamus heteracanthus Zipp mempunyai angka bentuk lebih besar dari pada Korthalsia zippeli Burret yakni 0.94 sedangkan Korthalsia zippeli Burret 0.90. Kedua jenis rotan ini mempunyai angka bentuk mendekati 1.00. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berat rotan Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret memiliki volume yang hampir sebanding. Angka bentuk rotan Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa angka bentuk Calamus heteracanthus Zipp pada kondisi kering udara lebih tinggi yaitu 0.56 sedangkan Korthalsia zippeli Burret adalah
Tabel Berat Rotan Besarnya nilai panjang dan diameter yang digunakan dalam penyusunan tabel berat didasarkan pada kisaran panjang dan diameter untuk masing-masing jenis rotan pada kedua kondisi. Tabel berat Calamus heteracanthus Zipp pada kondisi segar yang memiliki angka bentuk 0.94 dengan kisaran panjang dan kisaran panjang antara 13~19 m dan kisaran diameter antara 1.9~2.1 cm dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan Tabel berat Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar yang mempunyai angka bentuk 0.90 dengan kisaran panjang antara 6 m hingga 9 m dan kisaran diameter antara 1.8 cm hingga 2.0 cm dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel berat Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara yang mempunyai angka bentuk 0.45 dengan kisaran panjang antara 6~9 m dan kisaran diameter antara 1.7~2.0 cm dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya ukuran panjang dan diameter tertentu pada rotan maka bertambah pula beratnya.
Table 3. The Form Numbers of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki Manokwari on the Fresh Condition Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Volume (cm3) Form number C. heteracanthus 13.19~19.06 1.91~2.09 3945~5920 4047~6273 0.94 K. zippeli 6.51~8.75 1.85~2.01 1692~2263 1905~2520 0.90 Table 4. The Form Numbers of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki Manokwari on the Air Dry Condition Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Volume (cm3) Form number C. heteracanthus 13.19~19.06 1.86~2.05 2240~3276 3920~5824 0.56 K. zippeli 6.51~8.75 1.79~1.95 816~1058.3 1793~2366 0.45
Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari (Susan Trida Salosa)
59
Table 5. The Weight Table of Calamus heteracanthus Zipp from low land Forest of Ransiki-Manokwari on the fresh condition Form Length (m) Diameter Weight (g) number (cm) 0.94 13 1.9 3462.96 2.0 3837.08 2.1 4230.38 14 1.9 3729.35 2.0 4132.24 2.1 4555.79 15 1.9 3995.73 2.0 4427.40 2.1 4881.21 16 1.9 4262.11 2.0 4722.56 2.1 5206.62 17 1.9 4528.49 2.0 5017.72 2.1 5532.04 18 1.9 4794.87 2.0 5312.88 2.1 5857.45 19 1.9 5061.26 2.0 5608.04 2.1 6182.86 Table 6. The Weight Table of Korthalsia zippeli Burret from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Fresh Condition Form Length (m) Diameter Weight (g) number (cm) 0.90 6 1.8 1373.44 1.9 1530.28 2.0 1695.00 7 1.8 1602.34 1.9 1785.33 2.0 1978.20 8 1.8 1831.25 1.9 2040.37 2.0 2260.80 9 1.8 2060.15 1.9 2295.42 2.0 2543.40
Table 7. The Weight Table of Calamus heteracanthus Zipp from Low Land Forest of RansikiManokwari on the Air Dry Condition Form Length Diameter Weight (g) number (m) (cm) 0.56 13 1.8 1851.60 1.9 2063.04 2.0 2285.92 14 1.8 1994.03 1.9 2221.74 2.0 2461.76 15 1.8 2136.46 1.9 2380.43 2.0 2637.60 16 1.8 2278.89 1.9 2539.13 2.0 2813.44 17 1.8 2421.32 1.9 2697.83 2.0 2989.28 18 1.8 2563.75 1.9 2856.52 2.0 3165.12 Table 8. The Weight Table of Korthalsia zippeli Burret from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Air Dry Condition Form Length Diameter Weight (g) number (m) (cm) 0.45 6 1.7 612.54 1.8 686.72 1.9 765.14 2.0 846.80 7 1.7 714.62 1.8 801.17 1.9 892.66 2.0 989.10 8 1.7 816.71 1.8 915.62 1.9 102.,19 2.0 1130.40 9 1.7 918.80 1.8 1030.08 1.9 1147.71 2.0 1271.70
Table 9. The Water Contents Rate of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the fresh Condition Species of Rattans Water Contents (%) lower stem ends middle stem upper stem ends averages C.heteracanthus 74.60~100.18 102.75~121.62 94.17~114.77 101.35 K.zippeli 110.07~138.27 144.67~183.64 132.96~169.07 146.45
60
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Table 10. The water Contents Rate of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Air Dry Condition Water Contents (%) Species of Rattans lower stem ends middle stem upper stem ends averages C.heteracanthus 17.84~19.27 18.28~19.09 18.08~19.22 18.67 K.zippeli 18.97~19.89 18.70~19.62 18.86~20.22 19.38 Kadar Air Rotan Kadar air rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar dapat dilihat pada Tabe 9. Pada Tabel 9 tampak bahwa rata-rata kadar air Korthalsia zippeli Burret lebih besar dari pada kadar air Calamus heteracanthus Zipp yaitu 146.45%, sedangkan rata-rata kadar air Calamus heteracanthus Zipp adalah 101.35%. Besar kadar ini relatif sama dengan rata-rata kadar air basah Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret asal dataran rendah Pami yaitu 101.07% dan 148.46 % (Triantoro 1996). Untuk kadar air rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 tampak bahwa rata-rata kadar air kering udara pada Korthalsia zippeli Burret adalah 19.38% lebih besar daripada Calamus heteracanthus Zipp yaitu 18.67. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp asal dataran rendah Ransiki-Manokwari memiliki panjang, diameter dan berat lebih besar dibandingkan Korthalsia zippeli Burret baik pada kondisi segar maupun kondisi kering udara. Kedua jenis rotan ini tergolong sebagai rotan berdiameter besar. 2. Angka bentuk rotan berbeda-beda tergantung pada jenis rotan. Perbedaan angka bentuk juga terjadi antara rotan segar dengan rotan yang kering udara walaupun jenis dan asalnya sama. 3. Angka bentuk rotan Calamus heteracanthus Zipp pada kondisi segar yaitu 0.94 dan kering udara 0.56. Sedangkan angka bentuk rotan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar adalah 0.90 dan 0.45 pada kondisi kering udara. 4. Tabel berat dapat digunakan untuk mengetahui berat rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar dan kering udara yang berasal dari daerah yang memiliki ciri relatif sama yang meliputi kelembaban udara, ketinggian tempat tumbuh, iklim dan jenis tanah dengan hutan dataran rendah Ransiki-Manokwari. 5. Rata-rata kadar air rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp pada kondisi segar (basah) adalah 101.35% dan 18.67% pada kondisi kering
udara. Sedangkan rata-rata kadar air Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar (basah) adalah 146.45% serta kadar air kering udaranya adalah 19.38%. Saran 1. Untuk memperoleh data potensi rotan secara akurat pada suatu lokasi sebaiknya ketika pengambilan sampel rotan sekaligus dilakukan inventarisasi rotan mengenai jenis, jumlah rumpun, banyaknya batang tiap rumpun pada lokasi tersebut. 2. Angka bentuk dan tabel berat rotan hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk daerah lain dengan kondisi tanah, iklim, topografi dan habitat yang mirip dengan dataran rendah Ransiki-Manokwari. Daftar Pustaka Anonimous, 1997. Analisis Pengusahaan Rotan dan Bambu di Irian Jaya (Studi Kasus di Kabupaten Jayapura, Manokwari dan Sorong). Tim Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Hasanu, S. 1993. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Yogyakarta. Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rombe, Y.L. 1986. Inventarisasi Potensi Rotan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Rusmiati, L. 1996. Keragaman Jenis Rotan di Areal Hutan Dataran Rendah Desa Siwi Kecamatan Ransiki Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Faperta Uncen (tidak diterbitkan). Triantoro, G. N. R. 1996. Sifat-sifat Fisik Rotan Asa Hutan Dataran Rendah Pami Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Faperta Uncen (tidak diterbitkan). Susan Trida Salosa Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (Forestry Research and Development Institute (FRI) of Manokwari) Tel. : +62-986213437 Fax : +62-986213441 E-mail :
[email protected]
Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari (Susan Trida Salosa)
61
Karakteristik LVL Lengkung dengan Proses Kempa Dingin Characteristic of LVL Bent by Cold Press Process Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto Abstract Bending LVL (Laminated Veneer Lumber) is a more effisien method to manufacture bent wood components compare to other methods in raw materials point of view. The Bending LVL was made from Sengon veneers by cold press process with variation of Water Based Polymer-Isocyanate adhesive of 250, 280, 310 g/m2 and bend radius of 200,300, 400 mm. The results showed that the physical properties of Bending LVL made by using Water Based PolymerIsocyanate adhesive and cold press process was fit with JAS 1639/1986 standard. The optimum adhesive concentration and bend radius was 250 g/m2 and 20 cm, respectively. Key words: Bending LVL, adhesive concentration, bend radius, physical properties. Pendahuluan Kayu berbentuk lengkung telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan umumnya diaplikasikan pada produk-produk furniture maupun pada komponen bangunan perumahan. Pelengkungan kayu merupakan bagian dari proses pengerjaan kayu untuk produk yang menghendaki bentuk lengkung (Malik et al. 2006). Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kayu berbentuk lengkung, diantaranya (1) cara konvensional, yaitu dengan memotong balok kayu menjadi bentuk lengkung dan disambung sehingga didapatkan bentuk lengkung yang diinginkan, (2). pelengkungan kayu solid (Darmawan et al. 2005; 2006; 2007). Kedua metode pembuatan kayu lengkung tersebut masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan. Ditinjau dari prosesnya, cara konvensional paling mudah dikerjakan, karena hanya menggunakan peralatan dan teknik pemotongan kayu yang sederhana. Namun proses ini banyak membuang bahan baku kayu dan arah serat kayunya terputus atau tidak mengikuti arah kelengkungan. Pelengkungan kayu solid sampai saat ini terus dikembangkan untuk mendapatkan metode pelengkungan kayu solid yang lebih efisien, mengingat dalam pelengkungan kayu solid memerlukan peralatan dan teknik yang khusus, serta banyak hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain jenis kayu yang dipakai. Cara ini juga masih mempunyai keterbatasan, yaitu ketebalan kayu dan radius yang dapat dilengkungkan. Kelebihan dari kayu lengkung solid adalah memiliki kekhasan alami, karena tekstur seratnya tidak terpotong. Hal tersebut juga akan mempengaruhi sifat mekaniknya. Laminated Veneer Lumber (LVL) sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku struktural maupun non struktural, seperti konstruksi bangunan, industri furniture, bahan lantai kayu, dan sebagainya (Eckelman 1993, Wong et al. 1996), karena dapat dibuat dengan ketebalan yang diinginkan.
62
Penelitian tentang LVL telah banyak dilakukan dari veneer berbagai jenis kayu dan penggunaan perekatnya. Ada dua metode dalam proses pembuatannya sehubungan dengan penggunaan perekatnya, yaitu proses panas dan proses dingin. Perbedaan mendasar dari kedua proses ini adalah pemakaian energi panas. Pada penelitian ini dibuat LVL dalam bentuk lengkung dengan memvariasikan berat labur dan radius lengkungnya. Pelengkungan LVL ini dilakukan dengan merekatkan dan mengklem lembaran veneer menggunakan perekat Water Based Polymer-Isocyanate pada suatu cetakan yang berbentuk lengkung. Proses pelengkungan LVL ini diperkirakan lebih mudah jika dibandingkan dengan pelengkungan kayu solid yang membutuhkan panas dan akan mendapat ketebalan yang diinginkan. Veneer didapat dari kayu gelondongan (log) yang disayat/ dikupas, sehingga diperoleh lembaranlembaran kayu yang tipis. Proses ini mengurangi pemborosan bahan baku kayu pada proses pemotongan. Selain itu, lembaran veneer yang tipis akan lebih fleksibel, sehingga dapat dengan mudah dilengkungkan dengan radius/bentuk yang bervariasi. Proses pembuatan LVL lengkung ini mengacu kepada Draft Paten tentang Proses pembuatan Laminated Veneer Board (LVB) dengan Perekat Water Based Polymer-Isocyanate (Subiyanto et al. 2008). Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik dari LVB dengan memvariasi berat labur perekat, cara labur dan susunan veneer, menggunakan veneer kayu Sengon dan Karet. Hasil penelitian tersebut dijadikan acuan untuk diaplikasikan dalam pembuatan LVL berbentuk lengkung untuk mengetahui sifat fisik LVL lengkung dengan memvariasi berat labur dan radius kelengkungan. Berdasarkan tujuan tersebut diharapkan bahwa desain bentuk lengkung berbahan veneer memungkinkan penggunaan bahan baku yang lebih efisien dan lebih mudah dalam proses pengerjaannya serta dapat
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
dikembangkan penggunaannya untuk memenuhi produkproduk yang memiliki desain lengkung. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Bahan utama pembuatan LVL lengkung ini adalah veneer dan perekat. Veneer dibuat dari kayu cepat tumbuh (fast growing species), yaitu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dengan ketebalan ± 2 mm. Veneer tersebut dipotong searah serat kayu (longitudinal) dengan lebar 50 mm dan panjang disesuaikan dengan kebutuhan yang dihitung berdasar radius (R) sisi luar dan dilebihi masing masing 20 mm. Potongan veener dikeringkan hingga kadar air 4 ~ 6%. LVL lengkung ini dibuat dengan target ketebalan 20 mm, sehingga setiap contoh uji memerlukan 10 lembar veneer. Perekat yang digunakan adalah jenis Isocyanate yang reaktif terhadap air (water base) dari merek Water Based Polymer-Isocyanate berupa resin (KR 7800) dan Crosslinker (AJ1) dengan perbandingan 100/15 (% berat). Karakteristik tentang perekat jenis Isocyanate ini dilaporkan oleh Yanto et al. (2005). Peralatan utama yang dipakai dalam pembuatan LVL lengkung ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini:
Klem
C
Cetakan dan Perlengkapannya Cetakan dibuat setengah lingkaran dengan radius kelengkungan disesuaikan dengan radius kelengkungan yang telah ditetapkan. Cetakan serta perlengkapannya diilustrasikan pada Gambar 1. Penjepit yang digunakan adalah klem C ukuran 4 inchi dan klem fleksibel (dapat diatur panjang jangkauan penjepitannya). Sedangkan plat fleksibel memiliki lebar 100 mm, tebal 1 mm dengan panjang disesuaikan dengan panjang keliling cetakan. Proses Pelengkungan Veneer yang telah dipersiapkan dilabur dengan perekat. Cara pelaburan dilakukan pada ke dua permukaan (double spread) dengan berat labur 250, 280, dan 310 g/m2. Selanjutnya veneer disusun di antara dua plat fleksibel dan kemudian diklem pada cetakan selama 24 jam. Contoh uji yang telah melengkung dikondisikan pada suhu ruang selama minimal 3 hari sebelum dilakukan pengujian. Pengujian Pengujian yang dilakukan difokuskan pada pengujian fisik, yaitu kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan air, delaminasi, dan fiksasi. Pengujian fisik yang dilakukan merujuk pada standar JAS for LVL No.1639 tahun 1986. Pengambilan contoh uji untuk mengetahui kerapatan, pengembangan tebal, dan penyerapan air dilakukan dengan cara memotong pada setengah dan seperempat lengkungan LVL lengkung dengan panjang masingmasing 5 cm, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Cetak
C
an
L
R
Plat
Fleksibel Figure 1. Bending equipments. Radius Kelengkungan LVL Dalam teknik pelengkungan kayu, besar-kecilnya radius dan ketebalan kayu mempengaruhi tingkat kesulitan dan keberhasilan pelengkungan. Rasio radius/ tebal memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung pada jenis kayu yang digunakan. Pelengkungan LVL dari berbagai jenis veneer kayu pada radius minimum yang mungkin dilakukan memiliki rasio radius/tebal antara 29~70 (Stevens dan Turner 2005). Pada penelitian ini radius kelengkungan minimum ditetapkan pada rasio 100 atau radius kelengkungan 20 cm untuk memperkecil kegagalan yang mungkin terjadi. Variasi radius kelengkungan diberikan secara berturut-turut (R) 20, 30, dan 40 cm.
Figure 2. LVL samples sampel for the tests. Pemotongan Untuk mengetahui delaminasi dan fiksasi digunakan contoh uji utuh LVL lengkung. Pengukuran tingkat fiksasi berdasarkan perubahan panjang tali busur setelah dilakukan perendaman selama 24 jam, dihitung dengan rumus:
PRL
l lo 100% l0
dimana, lo = Panjang tali busur sebelum perendaman l = Panjang tali busur setelah perendaman
Caracteristic of LVL Bent by Cold Press Process (Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto)
63
Hasil dan Pembahasan Kerapatan Kerapatan dari kayu ataupun komposit kayu merupakan salah satu parameter dan umumnya dapat memprediksi sifat kekuatannya. Pada komposit kayu, kerapatan ditentukan oleh jenis kayu dan kondisinya, susunan dari komponen yang digunakan dalam membuat komposit kayu, jenis perekat, dan beberapa parameter lainnya seperti tekanan, temperatur, durasi waktu penekanan dan lain-lain (Shukla dan Kamdem 2008). Nilai rata-rata kerapatan LVL lengkung dari setiap perlakuan yang dihasilkan tidak jauh berbeda, yaitu berkisar di antara 0.38 ~ 0.47 g/cm3 (Tabel 1). Besarnya kerapatan tersebut merupakan cerminan dari penyusunnya, yaitu veneer Sengon yang memiliki kerapatan 0.33 ~ 0.50 g/cm3 (Lemmens et al. 1995). Tabel 1. Average specific gravity of bent LVL samples. (g/cm3) Radius (cm) R20 R30 R40
Glue Spread (g/m3) 250 280 310 0.41 0.45 0.47 0.42 0.46 0.46 0.43 0.43 0.44
Penyerapan Air dan Pengembangan Tebal Kayu akan mengembang jika air memasuki struktur dinding sel dan sebaliknya akan menyusut jika kehilangan air terikat. Besarnya nilai pengembangan dan penyusutan kayu mempunyai hubungan yang linear dengan besarnya air yang terikat dalam dinding sel kayu (Haygreen dan Bowyer 1996). Demikian pula pada LVL, pengembangan bisa terjadi karena LVL tersebut masih mempunyai pori dan dinding sel seperti kayu solidnya. Akan tetapi nilainya akan lebih kecil karena adanya pengaruh faktor perekatan dan pengempaan. Penyerapan air pada contoh uji memiliki nilai yang bervariasi baik pada pengujian perebusan 2 jam maupun
perendaman 24 jam. Contoh uji yang direbus 2 jam cenderung memiliki penyerapan air yang lebih rendah bila dibanding dengan contoh uji yang direndam 24 jam demikian pula pengembangan tebalnya. Besarnya nilai rata-rata penyerapan air dan pengembangan tebal disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat pengaruh perlakuan variasi berat labur, dimana semakin banyak berat labur yang diberikan, maka kecenderungan sifat penyerapan maupun pengembangan tebalnya lebih kecil. Pengembangan tebal seluruh contoh uji, baik yang direbus 2 jam maupun direndam 24 jam telah memenuhi standar JAS yang menetapkan pengembangan tebal maksimal sebesar 7%. Delaminasi Suatu batang kayu yang dilengkungkan sebelum batas kritisnya akan berusaha kembali ke bentuk semula (spring back). Pada LVL lengkung ini gaya tersebut dapat diredam oleh perekat sehingga tidak terjadi perubahan bentuk ataupun kerusakan lainnya. Oleh karena itu kekuatan perekat menjadi faktor utama dalam menjaga agar LVL lengkung tidak mengalami kerusakan pada berbagai kondisi perlakuan. Seperti terlihat dalam Gambar 3, hasil pengujian LVL lengkung menunjukkan bahwa delaminasi masih terjadi pada contoh uji potongan dengan berat labur 250 dan 280 g/m2, yaitu berkisar di bawah 6.5%; sedangkan pada berat labur 310 gr/m2 tidak terjadi delaminasi, hal ini menandakan perekatan LVL lengkung dengan berat labur 310 g/m2 cukup baik. Namun hasil tersebut tidak tercermin pada contoh uji yang utuh. Setelah dilakukan perendaman 24 jam, seluruh contoh uji yang utuh mengalami delaminasi. Hal ini juga diungkapkan oleh Yanto et al. (2005) yang menggunakan contoh uji kayu lamina berupa papan kayu yang tidak rata dan melengkung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa walaupun pada awalnya contoh uji papan kayu lamina sudah terbentuk rapat pada garis rekatnya, papan tersebut akan kembali melengkung setelah direndam dan dikeringkan kembali, sehingga terjadi delaminasi yang sangat tinggi.
Tabel 2. The average value of water absoption (%) and thickness swelling (%) of sample. Boiling 2 hr Glue Spread Radius Water Absorption (%) Thickness Swelling (%)
64
R20 R30 R40 R20 R30 R40
Boiling 24 hr
250
280
310
250
280
310
77.6 78.8 75.9 3.9 2.8 2.8
72.9 71.7 73.5 3.3 2.7 2.4
71.7 65.8 65.8 2.6 2.4 2.3
98.4 99.0 104.7 4.5 4.1 4.0
95.0 95.3 99.2 4.1 3.5 3.9
92.1 90.9 98.5 3.8 3.0 3.5
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Glue spread (g/m2)
Delamination (%)
Delamination (%)
Glue spread (g/m2)
Radius of bend (cm)
Radius of bend (cm)
Figure 3. Delamination value (a) Soaking 24 hr (b) Boiling 2 hr (c) Delamination of solid sample after Soaked 24 hr
Delamination (%)
Glue spread (g/m2)
bend of Lengkung Recavery of radius radius Pemulihan (%) (%)
Radius of bend (cm)
2,5 Glue spread (g/m2)
2
250
1,5
280 1
310
0,5 0 20
30
40
Radius Lengkung (cm) Radius of bend (cm)
Figure 4. Recovery of set of bending LVL. Pada penelitian ini terlihat adanya pengaruh variasi berat labur dan radius kelengkungan, dimana semakin banyak perekat atau berat labur dan semakin besar radius kelengkungannya, maka tingkat delaminasinya semakin mengecil. Besarnya nilai delaminasi yang dipersyaratkan untuk LVL menurut standar JAS adalah sebesar ≤ 10 %. Seluruh contoh uji masih dalam kisaran nilai yang dipersyaratkan, kecuali contoh uji dengan berat labur 250 dan radius 20 cm. Fiksasi Mekanisme fiksasi pada pelengkungan LVL berbeda dengan pelengkungan kayu solid. Fiksasi pada pelengkungan kayu solid dapat terjadi karena adanya perubahan komponen kimia dari kayu yang dilengkungkan, sedangkan pada LVL disebabkan oleh pengerasan perekat yang digunakan. Dari hasil pengujian
contoh uji setelah dilakukan perendaman air dingin dan dikeringkan, tingkat fiksasi atau pemulihan radius lengkung berkisar di bawah 2.1% (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa perekat mempunyai kekuatan perekatan yang cukup baik, sehingga dapat menjaga LVL lengkung untuk tidak berubah bentuk. Kesimpulan Aplikasi perekat Water Based Polymer-Isocyanate pada pembuatan LVL lengkung dengan proses dingin berbahan baku veneer Sengon memiliki sifat fisik sesuai dengan standar JAS 1639/1986. Berdasarkan pada sifat fisik yang diuji, berat labur dan radius kelengkungan mempengaruhi karakteristik LVL lengkung.
Caracteristic of LVL Bent by Cold Press Process (Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto)
65
Daftar Pustaka Darmawan, T; Jayadi; Sudijono; Y. Amin; I. Wahyuni; W. Dwianto. 2005. Modifikasi Alat Pelengkung Kayu Skala Pilot dengan menggunakan Pemanas. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4 (1): 1-8. Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin; Sudarmanto; I. Wahyuni. 2006. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan terhadap Tingkat Fiksasi Pelengkungan Kayu Kepuk (Sterculia sp.) Skala Pemakaian. Prosiding Seminar Nasional IX MAPEKI, Banjarbaru. Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin. 2007. Fiksasi Kayu Lengkung dengan Pemanasan Oven. Prosiding Seminar Nasional X MAPEKI, Pontianak. Eckelman, C.A. 1993. Potential Uses of Laminated Veneer Lumber in Furniture. Forest Product Journal 43(4):19-24. Haygreen, J. G. dan J. L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Lemmens, R.H.M.J. I. Soerianegara and W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5, (2) Timber trees: Minor commercial timbers. Malik, J.; K. Yuniarti; Jasni; O. Rachman. 2006. Pengaruh Pengukusan dan Perendaman dengan NaOH terhadap Pelengkungan Kayu Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Asam Jawa (Tamarindus indica L.) dan Marasi (Hymeneae courbaril L.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(2): 61-65. Subiyanto, B.; Subyakto; K.W. Prasetyo; Ismadi. 2008. Proses Pembuatan Laminated Veneer Board (LVB)
66
dari Venir Kayu Sengon dan Kayu Karet dengan Perekat Water Based Polymer-Isocyanate. Paten Aplication Number: P 00200800779. Shukla S. R. and D.P. Kamdem. 2008. Properties of Laminated Veneer Lumber (LVL) Made with Low Density Hardwood Species: Effect of the Pressure Duration, Holz Roh Werkst 66: 119-127 Stevens, W.C. and N. Turner. 2005. Wood Bending and Forming,http://www.valuecreatedreview.com/bentwo od.htm (23 Mei 2007) Wong, E.D.; A.K. Razali; S. Kawai. 1996. Properties of Rubber Wood LVL Reinforced with Acacia Veneers. Wood Research 83:8-16 Yanto, D.H. Y.; W. Fatriasari; E. Hermiati. 2006. Fortifikasi Deernol 33E dan PI-120 pada Perekat Lateks Karet Alam-Stirena. Widyariset 9:49-54. Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Research & Development Unit for Biomaterials Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor Tel. : 021 - 87914511 Fax. : 021 - 87914510 E-mail :
[email protected]
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Perlakuan Enzim pada Serpih Kayu Daun Lebar untuk Refiner Mechanical Pulping (RMP) Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process Wawan Kartiwa Haroen Abstract The objective of the study is to examine the influence of 10 l/ ton of Xylanase and Lypase pretreatment on biomechanical pulp of Gmelina and Paracerianthes wood chips with Refiner Mechanical Pulping (RMP) process. The result shows that the enzymatically pretreated of chips can save the electrical consumption of the refiner machine up to 30%, while reducing of 45~50% extractives, and significant improvement of the pulp physical properties compared with control. Two stages of P1 and P2 hydrogen proxide pulp bleaching produced pulp brightness of 65~71.9 % ISO and more than 97% yield bleached pulp. Physical properties of the tensile index and burst index testing result of Gmelina and Paracerianthes mechanical pulp sheet are fairly good. Key words: enzyme, chips, RMP, biomechanical pulping Pendahuluan Enzim adalah molekul biopolimer yang tersususn dari serangkaian asam amino dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap (Richana.2002). Namun enzim dapat juga sejenis katalis yang stabil, dihasilkan oleh sel mahluk hidup yang terdiri dari komponen dasar senyawa-senyawa protein. Karena enzim pada setiap sel hanya menghasilkan enzim untuk satu reaksi saja maka enzim merupakan katalis yang bekerja secara spesifik. Pada saat bereaksi terjadi pada dua substrat dalam sel hidup, maka enzim tersebut akan mempercepat reaksi menjadi lebih baik dibandingkan lainnya, sehingga enzim dapat bersifat directive catalyst. Enzim dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya menjadi beberapa kelompok, yaitu: 1. Enzyme of hydrolyst (hydrolase), yaitu enzim yang mempercepat reaksi pemecahan substrat dengan penambahan air, misalnya esterase, a-amylase dan selulase, Reaksinya adalah: RCOOC2H5 +H2O2 RCOOH + C2H5OH 2.
3.
Enzim
Enzyme of oxydations yaitu enzim yang dapat mengoksidasi senyawa-senyawa kimia, Enzim ini terbagi menjadi 4 tipe yaitu: a. Enzim yang mengkombinasikan dan menggunakan molekul-molekul oksigen (oxidase) b. Enzim yang menggunakan peroxida c. Enzim dehydrogenase d. Enzim karboksidase Enzymes of transfer, yaitu enzim yang membantu proses transfer molekul, dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu : a. Transfer of amino group
4.
b. Transfer of phosphate c. Posphorylase Mutases, yaitu enzim yang membantu proses mutasi atau penyusunan ulang molekul.
Pada industri pulp dan kertas, enzim dapat digunakan untuk beberapa keperluan diantaranya biopulping, biobleaching, modifikasi pati, pengolahan air limbah dan juga pada proses penghilangan tinta pada kertas bekas. Enzim selulase adalah enzim yang dapat mendegradasi selulosa menjadi glukosa yang larut dalam air. Faktor penting dalam mempelajari sistem selulase terhadap selulosa adalah sifat-sifat struktur bahan selulosa, karena hidrolisa secara enzimatis terhadap selulosa sebagian besar tergantung pada struktur fisik substrat selulosa, diantaranya kemampuan untuk ditembus (accessibility), luas permukaaan spesifik, derajat polimerisasi dan unit dimensi sel dari bahan selulosa. Selulose bekerja secara otimal pada konsistensi 4~6% , pH 6~8 dan waktu reaksi 30~60 menit, sedangkan pada waktu reaksi 120 menit effisiensinya berkurang, begitu pula dengan konsistensi sampai 10% effisiensinya akan menurun (Ellis 1976) Dalam proses refining, selulase dapat meningkatkan sifat fleksibilitas serat dan memperbaiki sifat pulp terutama pada serat yang berdinding tebal. Apabila perlakukan enzim berlebihan maka dapat merusak permukaan serat dan mengurangi kekuatan serat. Dengan kondisi yang optimal ketahanan tarik dapat meningkat 25~35% (Leatham ; Myer and Wegner 1990) Hal ini menyebabkan serat mudah kolaps akibat aktifitas selulase sehingga meningkatkan luas pemukaan serat dan membentuk ikatan serat yang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja enzim adalah:
Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process Wawan Kartiwa Haroen
67
1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
Konsentrasi substrat. Semakin tinggi konsentrasi substrat, aktifitas enzim cenderung akan berkurang. Konsentrasi enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim menyebabkan aktifitas enzim makin tinggi. Konsentrasi hasil reaksi. Penambahan hasil reaksi pada sistem yang mengandung enzim murni akan mengubah hubungan linear antara konsentrasi enzim dan laju reaksi. Semakin tinggi hasil reaksi yang ditambahkan maka aktifitas enzim akan berkurang karena: a. Adanya resistensi oleh enzim akibat tingginya konsentrasi hasil reaksi. b. Hasil reaksi cenderung lebih stabil dari pada enzim dan substrat. Tingkat keasaman (pH). Setiap enzim mempunyai pH optimum dengan alasan belum diketahui secara pasti karena enzim adalah protein yang dapat mengalami perubahan bentuk jika keasamannya berubah. Setiap protein umumnya mempunyai pH isoelektrik yang dapat menentukan nilai pH aktif yang mengandung protein. Temperatur. Temperatur optimum enzim yaitu jumlah substrat paling banyak dirubah dalam bentuk satuan waktu, namun hampir semua enzim kerjanya akan melambat pada suhu 70~80oC dan akan mati pada temperatur di atas 90oC. Waktu reaksi. Keistimewaan dan keunikan dari enzim hanya dapat bereaksi satu kali saja, tidak seperti pada katalis kimia lainnya, karena itu semakin lama waktu reaksi enzim dapat mengakibatkan aktifitasnya akan semakin menurun. Konsentrasi inhibitor, inaktifator dan racun. Karena enzim dihasilkan dari sel hidup maka enzim menjadi rentan terhadap kehadiran senyawa beracun (inhibitor atau inaktifator). Misalnya: senyawa sulfida merupakan inhibitor.
mengurangi pencemaran namun kualitas pulpnya termasuk katagori baik sampai sedang. Air limbah proses pulp rendemen tinggi umumnya memiliki kadar Chemical Oxygen Demand (COD) sekitar 7000 mg/l (Kudo 1991) dan Biochemical Oxygen Demand (BOD) 700~5000 mg/l (Vipart 1993) Indonesia sampai abad ke 21 ini, masih belum memliki industri atau pabrik yang memproduksi pulp mekanis. Hal ini kemungkinan karena bahan baku kayu untuk pulp masih mudah diperoleh dan berlimpahn tetapi bisa juga karena harga enerji masih mahal. Namun tidak dapat disangkal, suatu saat sumber daya alam berupa serat dari kayu akan berkurang dan industri pulp akan berubah secara bertahap. Ahirnya pertimbangan proses dan pengolahan bahan baku akan beralih pada pembuatan pulp mekanis atau semi mekanis. Produk akhir yang dapat dibuat dari pulp mekanis diantaranya kertas koran, kertas industri, campuran pulp kimia bahkan dibuat untuk lapisan peredam suara. Menurut Leatham and Wegner 1990 kualitas pulp TMP berdasarkan fraksi serat panjang apabila akan dilakukan penggilingan memperlihatkan sifat yang hampir sama dengan pulp serat pendeknya. Fraksi serat panjang TMP secara visual akan mendominasi pada permukaan kertas , namun serat panjang TMP diperlukan penggilingan secara terpisah dengan serat pendeknya supaya tidak terjadi pemotongan yang berlebihan.
Xylanase memiliki berat molekul 15.000-30.000 dalton aktif pada suhu 55 oC dengan pH 9 (Richana.2002). Xylanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa. Sehingga dapat diklasifikasikan berdasarkan kepada subtrat β-xilosidase,exoxilanse dan endoxilanase.
Figure 1. Corelation of light scattering and tensile index pulp (Kappel 1999)
Pulp Mekanis Kayu merupakan bahan baku pulp yang dapat diproses secara kimia atau mekanis. Pembuatan pulp secara mekanis diantaranya adalah proses mekanis TMP (Thermo Mechanical Pulp), Refiner Mechanical Pulp (RMP) atau CTMP (Chemi Thermo Mechanical Pulp) karena sifat kayu ada yang keras , lunak dan ringan sehingga ada beberapa perlakuan atau pengolahan awal untuk membantu proses mekanis tersebut. Proses tersebut diantaranya dengan penambahan enzim atau mikroba yang ahirnya dapat menghemat bahan baku, energi, bahan kimia, meningkatkan rendemen dan
Pemutihan pulp mekanis pada prinsipnya ada dua, yaitu pemutihan secara reduktif dan pemutihan secara oksidatif. Kondisi ini dapat dilakukan secara tunggal atau gabungan. Bahan kimia pemutih reduktif dapat menggunakan bisulfit, ditonit dan boronhidrida sedangkan bahan pemutih oksidatif dapat menggunakan peroksida, hipohlorit, asam perasetat atau ozone. Pemutihan pulp mekanis menggunakan peroksida (H2O2) merupakan pemutih oksidatif terbaik saat ini dan banyak digunakan di industri , apabila pemakaiannya optimum akan menghasilkan tingkat kecerahan yang baik dan konsitensi proses pemutihan yang effisien (Grandfeldt 2003). Bahan
68
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
kimia pemutih yang umum digunakan seperti Na2O, H2O2 atau campuran dari keduanya. Mekanisme H2O2 yang digunakan dalam medium alkali umumnya dilakukan pada pH 10~11. Penambahan natrium silikat dan garam magnesium sangat disarankan karena dapat berfungsi sebagai penyangga, stabilisasi warna dan meningkatkan kecerahan pulp. Selain itu perlu juga diperhatikan pengaturan konsentrasi NaOH, suhu, konsentrasi Na2SO3, konsistensi pulp dan konsentrasi H2O2 yang tepat supaya diperoleh kualitas kecerahan pulp yang optimum, kekuatan fisik pulp yang baik. Keuntungan lain pemakaian pemutih peroksida adalah menghasilkan derajat putih tinggi, menghemat biaya produksi, mengantisipasi penurunan rendemen pulp, warna pulp lebih stabil karena seratnya bisa mempertahankan sekitar 1/10 bagian peroksida yang terpakai. (Stuart 1996; Stanley 1986). Penelitian pendahuluan ini mengkaji secara teknis proses, kualitas pulp dan kendala yang terjadi setelah modifikasi dilakukan. Diharapkan hasilnya dapat menjadi kajian awal untuk penelitian atau pengembangan di masa depan. Pemasakan dan Pemutihan Pulp Secara Biologis Selulosa dan hemiselulosa merupakan komponen utama dalam serat yang memberikan kontribusi ikatan antar serat, sedangkan lignin dapat mengurangi kemampuan ikatan antar serat. Menurut Messer dan Strebotnik (1994) dalam Typuk (2002), biobleaching adalah proses pemutihan pulp dengan kombinasi kimia dan mikrobiologis. Biobleaching adalah proses reduksi warna pulp dengan menggunakan mikroorganisme. Seperti yang dikemukakan oleh Ming T. and Krik. 1988 pulp putih yang berasal dari kayu memerlukan pemutihan melalui proses pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih seperti khlor atau hidrogen peroksida dimana pada proses tersebut banyak menimbulkan bahan kimia yang terlarut dengan toksisitas yang tinggi. Pemakaian senyawa khlor untuk pemutihan pulp kertas telah dirintis sejak tahun 1799. Proses pemutihan pulp dengan khlor menimbulkan persoalan lingkungan yang serius, karena dampak negatifnya adalah buangan senyawa kimia khloroorganik berupa dioksin dan furan yang berbahaya dan beracun. Di dalamnya terdapat 10 senyawa dioksin dan 10 senyawa furan yang berbahaya seperti 2.3~7.8 tetracholro dibenzodioksin (TCDD) dan 2.3~7.8 tetrachloro dibenzofuran (TCDF) Dioksin dan furan merupakan senyawa yang kuat dengan daya ikat yang besar terhadap tanah dan sendimen karena akan terikat kuat pada partikel tanah dan sendimen. Senyawa ini tidak dapat lepas secara kimiawi maupun biologis, karena sifatnya sulit didegradasi secara alami dan senyawa ini dapat tertahan lebih lama
pada permukaan bumi (Valchev 2010). Kemungkinan lain dapat masuk ke dalam makanan dan akan terakumulasi pada tubuh manusia atau binatang dan bersifat karsinogenik. Sasaran dan tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dan dikembangkan proses pemutihan pulp secara biologis untuk skala laboratorium menggunakan enzim yang berasal dari jamur hutan tropika Indonesia dan memperkenalkan produksi bersih yang ramah lingkungan dan mengurangi bahan kimia pemutih yang bersifat karsinogenik. Bahan dan Metoda Kayu Kayu Gmelina dan Paraserianthes diperoleh dari Bandung selatan dengan kisaran umur tanaman 9~11 tahun, berdiameter setinggi dada (dbh) 25~30 cm dengan kayu bebas cabang di atas 12 m.
Figure 2. Plantation Gmelina arborea and Paraserianthes falcataria Enzim Enzim yang dipergunakan terdiri dari 2 jenis yaitu Enzim Xylanase (X) dan Lypase (L) berbentuk cair, diperoleh dari Bogor dengan aktifitas antara 38~50 mU Bahan dan Peralatan Double diskrefiner, Tachometer, Ampere Meter, Hydrogen Peroxida (H2O2) pa sebagai bahan pemutih pulp mekanis, demineral water untuk proses pencucian pulp, kantong plastik untuk penyimpanan serpih dan treatment enzim, alat uji fisik pulp dan kimia. Metoda Kayu dipotong seukuran 1 m, dikuliti, ditentukan kadar kulit dan kayunya. Kayu tanpa kulit diserpih menggunakan penyerpih tipe disk dengan 3 pisau, kapasitas 0.5 m3/jam. Serpih disaring menggunakan chips classifier untuk memperoleh ukuran standar, kemudian dikondisikan sampai kadar air seragam.
Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process Wawan Kartiwa Haroen
69
Figure 3. Equipment for experiment.
Chips of Gmelina / Paraserianthes
Enzin X dan L
Steaming 30 minutes T : 120 0 C
Peroxide Bleaching (P1/ P2)
Refining 2
Sheet pulp making
Phisycal Pulp Properties
Refining 1
Figure 4 : Flowchart experiment Serpih Gmelina dan Paraserianthes dilakukan perendaman (pretreatment) dengan Enzim X atau L dengan dosis 10 liter/ton serpih, perendaman serpih dilakukan pada suhu 25~27oC dengan variasi 3 waktu yaitu 1 jam, 6 jam dan 24 jam. Kemudian sepih disteaming selama 30 menit dan diuraikan dengan mesin refiner dilakukan 2 tahap (R1 dan R2) yang diikuti dengan mengalirkan air panas (40~50oC), sampai diperoleh serat kayu (pulp) terpisah secara sempurna. Pulp yang diperoleh diuji , diputihkan dengan peroxida dan dibuat lembaran yang selanjutnya pulp dievaluasi sifat fisiknya. Hasil dan Pembahasan Sifat fisik dan kimia kayu merupakan salah satu tahap awal dalam melakukan pemilihan bahan baku untuk pulp mekanis, hal ini dilakukan supaya kriterianya sesuai dengan persyaratan untuk pulp mekanis. Hasil pengamatan pada Tabel 1 dan 2. Memeperlihatkan bahwa panjang serat Gmelina dan Paraserianthes tergolong ke dalam serat pendek, berdinding serat tipis sampai sedang dan bilangan runkel yang kecil, yaitu 0.4. Sedangkan fisik kayunya bermassa jenis 0.38~0.45 termasuk massa jenis ringan sampai sedang. Dari sifat tersebut dapat dikatagorikan dapat memenuhi syarat untuk bahan pulp mekanis. Massa jenis ringan akan mempermudah proses penguraian serat secara mekanis
70
dengan energi yang rendah bila dibandingkan dengan kayu yang bermassa jenis tinggi. Salah satu kandungan kimia yang perlu diperhatikan adalah kadar silikatnya tidak tinggi, karena hal ini dapat memperpendek umur pisau refiner. Gmelina dan Paraseriantes kandungan silikatnya tergolong rendah, yaitu kurang dari 1%. Kadar lignin merupakan pengikat serat pada kayu, semakin tinggi kadar lignin akan menyebabkan penguraian serat lebih sulit dan memerlukan waktu atau energi yang tinggi. Kedua jenis kayu daun tropis ini memiliki lignin sedang termasuk kedalam kriteria baik sebagai bahan baku kertas. Sifat inilah yang dapat direkomendasikan untuk pulp mekanis, diharapkan dapat menghasilkan fisik pulp berkualitas sedang sampai baik. Pemilihan jenis kayu Gmelina arborea dan Paraserianthes falcataria pada awalnya atas dasar massa jenisnya yang ringan (0.3~0.4) dengan warna kayu putih, kayu teras rendah dengan ekstraktif dan lignin rendah. Karakter kayu seperti ini merupakan sifat yang perlu diperhatikan sebagai bahan baku pulp mekanis (Cassey 1980), karena akan mempermudah dalam proses mekanis . Serat kayu Gmelina dan Paraserianthes termasuk kelompok panjang serat sedang berdinding tipis sampai sedang dengan masa jenis ringan. Berdasarkan sifat yang pada Table 1 memberikan gambaran bahwa kedua jenis kayu tersebut memenuhi syarat sebagai bahan baku pulp mekanis. Terutama massa jenis kayu yang ringan
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
memberikan keuntungan dalam proses penguraian seratnya. Table 1. Fiber morfology and physical of Gmelina arborea and Paraserianthes falcataria. Gmelina Paraserianthes Fiber length avg, mm 1.05 0.97 Fiber length min, mm 0.65 0.48 Fiber length max, mm 1.64 1.44 Fiber diameter, µ 17.84 17.69 Diameter lumen, µ 11.28 10.64 Cell wall thickness, µ 3.28 3.52 Runkel Ratio 0.58 0.66 Felting power 58.86 54.83 Flexibilty ratio 0.63 0.60 Muhlsteps ratio, % 60.02 63.82 Basic density 0.41 0.60 Chips bulk file density, kg/m3 166.20 107.30 Bark content, % 8.10 10.02 Wood content, % 91.90 89.98 Table 2 . Wood chemical of Gmelina arborea and Paracerianthes falcataria Gmelina Ash ,% Silikat,% Lignin, % Extractives, % Holocelulose, % Celulose α, % Pentosan, % Solubility in: Cool water, % Hot water, % 1% NaOH, %
0.88 0.12 21.31 2.88 72.42 39.46 17.45
Paraserianthes 1.30 0.15 21.11 3.69 83.10 48.60 18.03
4.39 4.36 14.38
4.86 4.41 14.54
NaOH yang baik, sekitar 14% menunjukkan bahwa kayunya masih segar. Kadungan silikat yang rendah sangat membantu penguraian serat pada refiner lebih mudah, semakin tinggi silikat pada kayu dapat mempercepat kerusakan alur pisau refiner. Klasifikasi serpih Gmelina dan Paraserianthes yang lolos saringan (chips classifier) akan memiliki ukuran dan ketebalan yang sama, dilakukan preteatment dengan enzim L dan X dengan konsentrasi sama dan waktu perendaman selama 1, 6 dan 24 jam. Serpih dimasukan kedalam kantong plastik dan ditempatkan pada suhu (23~25oC) atau suhu ruangan dengan variai waktu tertentu. Warna kayu yang terang atau putih akan memberikan kualitas pulp mekanis yang dihasilkan lebih terang dibandingkan dengan kayu yang berwarna gelap. Rendahnya lignin dan ekstraktif pada kayu setelah terjadi aksi mekanis saat pembuatan pulp mekanis dimana ikatan antar seratnya akan lebih mudah terurai dan proses pemutihan dengan peroxida lebih efisien. Kedua kayu yang dipilih telah menunjukkan hasil yang sesuai persyaratan bahan baku pulp mekanis. Selanjutnya untuk pemutihan pulp mekanis dapat dilakukan dengan prinsip reduktif dan pemutihan secara oksidatif, kondisi ini dapat dilakukan secara tunggal atau gabungan. . Pemutihan pulp menggunakan peroksida (H2O2) hal ini dipilih karena cukup effektif untuk pulp mekanis dan merupakan pemutih oksidatif terbaik yang banyak digunakan di industri. Bahan kimia pemutih yang digunakan seperti Na2O, H2O2 atau campuran dari keduanya, mekanisme H2O2 digunakan dalam medium alkali dilakukan pada pH 10~11. Penambahan natrium silikat dan garam magnesium untuk menjaga stabilitas warna dan untuk menambah kecerahan pulp. Pengaturan Namun konsentrasi NaOH, Na2SO3, H2O2 konsistensi pulp dan suhu sangat diperhatikan dalam pengamatan ini. Hal ini untuk mendapat kualitas pulp putih yang optimum, kekuatan fisik pulp baik.( Clark 1985 ; Dence 1996.
Kayu Gmelina dan Paraceriantes memiliki komponen dan sifat kimia hampir sama dengan sifat kelarutan 1%
S3
Inner layer of the secondary wall (0,1μ m)
S2
Main layer of the secondary wall (1 5 μm) -
S1
Outer layer of the secondary wall (0,10,2 μm)
P
Primary wall (0,1 0,3 - μm)
M
Middle lamella (0,1 1- μm)
L
Lumen
Figfure 5. Wood fiber structure (Casey, J. P. 1980) Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process Wawan Kartiwa Haroen
71
Table 3. Pre-treatment enzyme X of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes Gmelina arborea Paraserianthes falcataria Parameter GX-1 GX-6 GX-24 PX-1 PX-6 PX-24 Yield of pulp 73.78 77.68 80.85 76.23 81.37 75.54 Colour of pulp Light Light Light Light Light Light Note : G : Gmelina P : Paraserianthes X : Enzyme X L : Enzyme L Table 4. Chemical content of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes Gmelina arborea Parameter GX-1 GX-6 GX-24 Lignin,% Celulose,% Extracfive , %
20.25 88.84 1.13
Table 5. Energy consumed refiner (ton/pulp) Parameter GX-1 Energy refiner 1 (2 x ), Watt 3.42 Energy refiner 2 (3 x), Watt 3.44 Colour of Pulp Light Freeness pulp , ml CSF 850
PX-1
Paraserianthes falcataria PX-6 PX-24
20.51 89.11 1.05
20.07 88.25 1.04
20.34 85.22 1.13
Gmelina arborea GX-6 4.56 2.98 Light 850
GX-24 3.8 2.34 Light 850
PX-1 5,13 4.97 Light 850
19.31 84.84 1.19
19.30 89.11 1.04
Paraserianthes falcataria PX-6 PX-24 4.56 3.42 4.01 3.12 Light Light 850 850
Table 6. Peroxide bleaching stages of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes Paraserianthes falcataria (P)
Gmelina arborea (G)
X-1
X-6
X-24
L-1
L-6
L-24
X-1
X-6
X-24
L-1
L-6
L-24
H2O2
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
NaOH
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
Na2SiO3
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
5.0
P1 stage 180 mnt,70oC, 10% cons
EDTA
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0,5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
pH P2 stage 180 mnt,70oC, 10 % cons
7.88
7.90
7.62
7.38
7.53
8.09
8.42
8.13
8.38
8.79
8.13
8.29
H2O2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
NaOH
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Na2SiO3
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
EDTA
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
pH
9.47
9.43
9.30
9.56
9.36
9.32
9.69
9.77
9.68
9.92
9.66
9.67
Yield ,% Brightnes ,% ISO
97.25
97.40
99. 95
98.71
94.87
99.13
97.11
08.15
9.,05
98.15
99.01
98.61
70.4
65.8
73.4
65.3
68.8
69.2
71.0
71.9
74.2
70.8
65.6
73.1
Perlakuan serpih (Table 3) dengan enzim X selama 1 jam (GX-1), 6 jam (GX-6) dan 24 jam (GX-24) telah menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap rendemen pulpnya. Seperti pada serpih Gmelina yang diperlakuan dengan enzim selama 24 jam menghasilkan rendemen pulp 80.85 %, apabila dibandingkan dengan
72
retensi enzim yang lebih pendek yaitu selama 1 jam rendemen pulpnya lebih rendah yaitu 73.78 %. Namun gejala yang lain terlihat pada serpih Paraserianthes , dengan perlakuan enzim untuk memperoleh rendemen yang tinggi hanya diperlukan waktu perendaman 6 jam (PX-6) dengan rendemen pulp yang dihasilkan 81.37 %.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Table 7. Physical properties of mechanical pulp for Gmelina arborea (Enzyme pre-treatment) Sample of pulp
Physical properties
Tear Index, Nm2/kg Burst Index, MN/kg Tensile Index ,Nm/g Breaking length, m Folding indurace,times Brightness, % ISO Opacity
GX1
GX-6
GX24
GL-1
GL-6
GL24
PX-1
PX-6
PX-24
PL-1
PL-6
PL-24
3.20 2.48 48.0 4895 2 71.1 91.1
3.53 2.71 35.8 3618 2 71.4 89.4
3.68 2.73 39.9 4074 2 74.5 93.5
3.50 0.67 30.59 2079 2 72.5 86.4
3.56 1.20 30,90 2610 2 72.5 87.4
3,73 1.22 31.72 3234 2 74.6 90.61
4.05 2.35 40.2 4699 2 65.3 91.1
4.50 2.93 45.17 4625 2 68.8 89.6
4.07 2.27 43.91 4457 2 69.2 90.1
2.75 0,58 24.6 2509 2 70.4 93.5
3.52 1.29 35.13 3582 2 65.8 91.9
3.27 1.76 36.81 3714 2 73.4 86.1
Brightness (% ISO) SNI News paper
Dari proses tersebut dapat dibuktikan bahwa, semakin lama waktu retensi yang diterapkan ada kecenderungan untuk menurunkan rendemen pulp. Alasannya karena serpih Paraseriantes memiliki sifat kayu/serpih lebih lunak sehingga waktu retensi 6 jam saja sudah optimal, sedangkan serpih Gmelina kayunya lebih pada diperlukan waktu retensi lebih lama. Kedua pulp mekanis dari Gmelina dan Paracerianthes yang dihasilkan memiliki warna pulp yang cerah sampai terang sesuai dengan sifat kayunya yang putih. Perlakuan enzim terhadap serpih sebelum diproses untuk pulp mekanis pada kedua kayu tersebut dapat menurunkan lignin sampai 4.5~5.8% dibandingkan dengan bahan baku awal. Kandungan selulosanya masih tetap tinggi, yaitu 65% lebih dan ektraktifnya berkurang dari 3.89 % menjadi 1.04~1.2 % , hal ini memperlihatkan bahwa proses perlakuan awal pada serpih menggunakan enzim X atau L dapat membantu proses penurunan ektratif pada serpih. Sejalan dengan menurunnya kandungan kimia akibat perlakuan enzim pada serpih, dapat dipantau juga pengaruhnya terhadap pemakaian enerji refiner saat serpih dihancurkan menjadi serat. Terpantau dari data amper meter menunjukkan hasil yang signifikan. Treatment enzim lebih lama menunjukkan pemakaian enerji listrik semakin berkurang terlihat dari nilai Ampere meter yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa serpih kayu tersebut lebih lunak, sehingga mesin refiner memerlukan arus listri lebih rendah yang ditujukkan oleh nilai aper meternya (Table 5). Pemutihan dengan peroksida 2 tahap terhadap pulp mekanis Gmelina dan Paraserianthes menghasilkan derajat putih antara 65~74% ISO, derajat putih pulp Gmelina dan pulp Paraserianthes. Perlakuan awal terhadap serpih menggunakan enzim selama 1 dan 6 jam derajat putih pulpnya lebih rendah, karena waktu retensi yang diperlukan masih kurang tetapi dengan waktu lebih lama derajat putih pulpnya meningkat. Perlakuan enzim terhadap serpih untuk pembuatan pulp mekanis telah
55
menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap peningkatan derajat putih, bahkan derajat putih yang diperoleh melebihi standar SNI untuk kertas koran yang dipersyaratkan yaitu 55 % ISO (Table 7). Air limbah proses pembuatan pulp mekanis yang serpihnya dilakukan pre-treatment dengan enzim X dan L untuk Gmelina dan Paraserianthes menghasilkan air limbah yang memiliki COD dan BOD yang rendah bahkan di bawah baku mutu buangan yang dipersyaratkan Kementrian Lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Kudo (1991), bahwa buangan proses pembuatan pulp mekanis dari kayu memiliki zat terlarut yang rendah (Table 9). Table 10. Waste water mechanical pulping process COD (mg/l) BOD (mg/l) Sample Regulation Regulation Value Value KLH KLH GX-24 53.25 Max 120 28.60 Max. 50 GL-24 54.12 20.92 PX-24 42.86 19.36 PL-24 50.18 33.24 Kesimpulan Serpih Gmelina arborea dan Paraserianthes falcataria yang direndam dengan enzim dosis 3 kg/ton selama 6~24 jam telah memberikan pengaruh yang positif terhadap proses pembuatan pulp mekanis (RMP), terutama dapat meningkatkan rendemen pulp yang dihasilkan. Rendemen pulp yang diperoleh, yaitu 76.23~86.37% tergantung jenis kayu dan retensi enzim yang digunakan. Perlakuan perendaman serpih dengan enzim X atau L selama 24 jam dapat menurunkan pemakaian enerji listrik refiner mencapai 15~30%, sedangkan peredaman dengan enzim selama 1 jam belum memperlihatkan adanya penurunan energi pada proses refining. Kualitas pulp mekanis RMP yang serpihnya di treatmen dengan cara direndaman dengan Enzim X atau
Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process Wawan Kartiwa Haroen
73
L dapat meningkatkan derajat putih dan indek sobek pulpnya yang sebanding dengan tingkat perlakuannya. Saran Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki industri pulp yang berorientasi pada pulp mekanis. Untuk menghemat bahan baku dan penyelamatan hutan diperlukan regulasi kebijakan yang mengarah kepada pendirian pabrik pulp mekanis di wilayah Indonesia Timur dengan bahan baku yang sesuai. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Perum Perhutani Jawa Barat, Ibu Typuk Artiningsih dan Bapak Sudarmin.dkk yang banyak membantu terlaksananya penelitian ini.Daftar Pustaka Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Volume 1. Interscience. New York. Casey, J.P. 1981. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Volume 3. Interscience. New York. Clark, J.D. 1985. Pulp Technology and Treatment for Paper. Miller Freeman Publication. San Fransisco. Dence, C.W.; D.W. Reeve. 1996. Pulp Bleaching, Principle and Practice. Tappi Press, Atlanta, Georgia. Ellis, B.C. 1976. Propertis of Cellulose and Lignocellulosic Material as Subtrates for Enzimatic Conversation Processes. Biotechnology Symp. No. 6. 95-123. Grandfeldt, T.; H. Dahlin .2003. Hardwood BCTMP Improves Bulk, Smothness and Opacity. Paper Technology 44 (7): 43-46. Kappel, J. 1999. Mechanical Pulp from Wood to Bleacheched Pulp. Tapp Press - USA Kudo, A.T. 1991. An Aerobic Treatment of Pulp CTMP Waste Water and Toxicity of Granules. Water Sc.Tech.13:1919.
74
Leatham, G.F.; G.C. Myer and T.H. Wegner. 1990 Biomechanical Pulping of Aspen Chips: Paper Strength and Optical Properties Resulting from Different Fungal Treatments. Tappi Journal. pp.249253. Ming T. and K. Krik. 1988. Lignin Peroxidase of Phenerochaete crysoporium. Method in Enzimology, Vol. 161. Academic press. Richana, N. 2002. Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia. Buletin Agro-Bio 5 (1): 29-36 Stanley N.M. 1986. Introduction to Paper Technology University of Maine. Orono, Maine. Stuart, R.C. 1996. Development TMP Fiber and Quality of Pulp. Appita Journal 49 (5): 197-210. Typuk A. and W. Kartiwa. 2000. How Utilize Fungi and their Enzim for Clean Product of Pulp and Paper. Proceeding of Tappi Annual Meeting and Pacific Conference, Japan. Typuk A. 2002. Jamur untuk Industri Pulp dan Kertas Ramah Lingkungan. Inovasi Teknologi BPPT 1(12): 22-23. Vipart. B. 1993. Evaluating the Anaerobic Treatiability of Themomecanical Pulping Waste Water Treatment. Pulp and Paper Canada 91(3):193. Valchev, I. and P. Tsekova. 2010. Xylanase Posttreatment as a Progress in Bleaching Processes. Apita Journal .63(1): 53-56. Wawan Kartiwa Haroen Peneliti Utama Balai Besar Pulp dan Kertas, Kementrian Perindustrian (Central for Pulp and Paper, Ministry of Industry) Jl.Raya Dayeuhkolot 132 Bandung Telp : 022-5202980 Fax : 022-5202871 Email :
[email protected] [email protected]
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kimia dari Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana Linn) Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn) Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman Abstract The purpose of this research is to isolate and characterize chemical compound from bark of mangosteen. Bark of mangosteen was macerated with methanol. The extract from that process was fractionated with n-hexane, methylen chloride, and ethyl acetate. Ethyl acetate fraction was separated and purified by vacuum column chromatography, gravitation column chromatography, and preparative thin layer chromatography. The relative pure compound was afforded from ethyl acetate fraction of mangosteen bark (8.5 mg) resulting from 1.5 kg of mangosteen bark. The yellow amorphous powder of compound melts at 114 ~ 116ºC (uncorrected). The purity of compounds was tested by 1 and 2 dimension thin layer chromatography which gave one spot on TLC plate. The ultraviolet-visible (in CH3OH solvent) spectrum showed absorption maximum at 318 nm (sinamoyl group/band I), 258 (shoulder), and 243 nm (benzoyl group/band II). Addition of NaOH caused batochromic shift of band I and band II predicted as two hydroxyl at C-4’ and C7, respectively. The infrared spectrum displayed absorption bands of OH stretching at 3436 cm-1, C-H stretching at 2920 cm-1, C=O stretching at 1631 cm-1, C-O-C stretching at 1094 cm-1, and C-H aromatics bending at 970-800 cm-1. A molecular ion in the FABMS at m/z 271.36 [M+H] + was consistent for the molecular formula C15H10O5. The 1H NMR spectrum showed characteristic resonances of a flavone. Based on the result of phytochemical test and analysis of the spectrum, it is predicted that the compound belongs to flavone, a kind of flavonoids which has hydroxyl at C-5, C-7, and C-4. Key words: Garcinia mangostana Linn, flavonoids, ethyl acetate fraction, chromatography Pendahuluan Indonesia memiliki potensi besar untuk menemukan bahan alam baru, karena lebih dari 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan berada di hutan tropika Indonesia. Sebagian besar dari tumbuhan tersebut belum pernah diselidiki apalagi dieksploitasi untuk diambil manfaatnya. Famili Guttiferae genus Garcinia tersebar luas di Indonesia terutama daerah Kalimantan Barat (Kosela 2005). Kajian secara kimiawi menunjukkan bahwa di dalam Manggis terdapat kandungan senyawa mayor santon. Selain santon, Manggis juga kaya akan sumber senyawa bioaktif lainnya yaitu flavonoid, benzofenon, lakton dan asam fenolat serta tannin (Mahabusarakam et al. 1987; Kosela 2005). Penyebaran senyawa dalam tumbuhan menunjukkan kecenderungan yang kuat bahwa tumbuhan dari famili yang sama akan menghasilkan senyawa dari golongan yang sama atau secara umum mengandung konstituen terkait (Nakanishi et al. 1974). Pada tanaman yang berada dalam satu famili Guttiferae, Garcinia dioica sebagai tumbuhan daerah tropis juga dikenal sebagai tumbuhan yang kaya akan kandungan xanton dan biflavonoid (Iinuma et al. 1996a). Pada Crotoxylum formosanum ditemukan pula 2 jenis flavonoid (Iinuma et al. 1996b).
Selain itu, telah ditemukan 11 senyawa biflavonoid dari Garcinia multifora (Lin et al. 1997). Kolaviron adalah jenis biflavonoid yang diperoleh dari Garcinia kola (Souza et al. 2002; Farombi et al. 2004; Adaramoye et al. 2005). Biflavonoid jenis morelloflavon ditemukan dari kulit batang Garcinia atroviridis (Permana et al. 2003) Selanjutnya, dalam buah Garcinia scortechinii terdapat 2 senyawa biflavonoid (Sukpondma et al. 2005). Pada buah Garcinia dulcis ditemukan dulcinoside, dulcisisoflavon, dulcisflavan, morelloflavon dan pada bagian buahnya mengandung biflavonoid lain (Deachathai et al. 2005; Deachathai et al. 2006). Senyawa bioaktif tersebut mempunyai efek farmakologis yang tinggi yaitu sebagai antibakteri, antijamur, antiinflamasi, dan antitumor. Isolasi dan karakterisasi senyawa flavonoid dari kulit batang Manggis belum ditemukan publikasinya. Padahal dalam tanaman satu genus/famili lain telah ditemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan struktur senyawa flavonoid yang terdapat pada kulit batang Manggis. Selanjutnya dapat dilakukan uji aktivitas dari ekstrak yang diperoleh, sehingga pengembangannya dalam dunia kesehatan dapat ditingkatkan. Diharapkan pula agar populasi Manggis dapat dipertahankan karena selain mengingat produksi buah yang dihasilkan, Manggis memiliki prospek yang cerah karena terdapat pula nilai tambah yang cukup penting.
Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn) Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman
75
Bahan dan Metode Bahan dan Peralatan Kulit batang Manggis (Garcinia mangostana L.) diperoleh dari kebun Manggis di Jalan Kakap Pal VII Pontianak. Identifikasi spesies tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI Bogor. Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan asam sulfat, natrium hidroksida, asam klorida, besi klorida, reagen serium sulfat, pita magnesium, berbagai jenis pelarut organik diantaranya metanol (teknis dan merck p.a), n-heksana (teknis), metilena klorida (teknis), etil asetat (teknis), kloroform (merck p.a), silika gel G-60 ukuram 230-400 mesh dan 70-230 mesh untuk kromatografi kolom, serta plat kromatografi lapis tipis silika gel 60 F254 (merck). Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah alat-alat gelas kimia yang umum digunakan di Laboratorium Kimia Organik, neraca analitik (Mettler AE 2000), seperangkat alat kromatografi kolom, evaporator yang dilengkapi dengan sistem vakum (rotary Heidolph WB 2000), lampu UV (Vettler GMBH), melting point apparatus (Melting Point SMP 10 Stuart Scientific), spektrofotometer UV-Vis (UV
Figure 1. Identification Diagram
76
Varian Cary 100 Conc), dan spektrometer IR (FTIR ONE Perkin Elmer), FABMS (JEOL JMS HX-110A) dan 1HNMR ( Unity Plus Variant 400 MHz). Metode Penelitian Kulit batang Garcinia mangostana L. (1.5 kg) diekstraksi dengan metanol. Ekstrak metanol (110.65 g) kemudian dipartisi corong pisah menggunakan pelarut nheksana, metilena klorida, dan etil asetat secara berturutturut. Ekstrak etil asetat (4.57 g) selanjutnya dimurnikan dengan menggunakan kromatografi kolom vakum (eluen bergradien). Diperoleh 5 fraksi gabungan dari proses tersebut, yaitu A, B, C, D, dan E. Kemudian fraksi B (1.24 g) diteruskan untuk dimurnikan dengan menggunakan kromatografi kolom gravitasi (KKG) I eluen etil asetat:nheksana (2:1). Hasilnya adalah fraksi B2 (358.5 mg). Pemurnian kembali dengan KKG II eluen metilena (1). Fraksi B2.2 (91.5 mg) dikromatografi dengan lapis tipis preparatif eluen kloroform:metanol (9:1). Dengan demikian diperoleh fraksi B2.2.5 sebanyak 10 mg. Diagram identifikasi dan isolasinya dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Figure 2. Isolation Diagram.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Hasil dan Pembahasan Hasil Isolat diperoleh sebagai serbuk kuning amorf (8.5mg); t.l. 114-116oC; UV (CH3OH) λmaks (Absorbansi): 436 (0,04), 317 (0,10), 243 (0,17), 204 (0,22); UV (CH3OH+NaOH) λmaks (Absorbansi): 368 (0,20), 243 (0,30), 205 (1,71). FABMS m/z (% intensitas relatif) ([M+H]+ 271,36) (27), 179,56 (40), 162, 60 (100). 1H-NMR (DMSO-d6) ( ppm) 13,28 (1H, s, 5-OH), 7,8 (2H, d, J=9,3 Hz, H-2’, H-6’), 6,92 (2H, d, J=9,3 Hz, H-3’, H-5’), 6,60 (1H, s, H-3), 6,50 (1H, s, H-8). Pembahasan Hasil penapisan fitokimia ekstrak kental metanol menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam kulit batang Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah golongan senyawa flavonoid, alkaloid, polifenol, kuinon, dan saponin. Analisis kemurnian terhadap fraksi B2.2.4 yang diperoleh, dilakukan secara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan berbagai eluen, yaitu kloroform:metanol (9:1), n-heksana:etil asetat (3:2), metilena klorida:aseton (4:1), dan aseton:n-heksana (1:1). Berdasarkan spektrum UV-Vis yang diperoleh menunjukkan beberapa puncak maksimum, yaitu 441 nm, 318 nm, 258 nm, 243 nm, dan 203 nm. Puncak maksimum pada 436 nm diasumsikan sebagai puncak senyawa isolat dalam sistem terkonjugasi panjang. Transisi yang terjadi sehingga panjang gelombang besar adalah transisi dengan energi kecil (n- *). Kromofor C=O yang mengalami transisi n- * akan memberikan puncak maksimum pada 258 nm. Kekhasan untuk senyawa flavonoid adalah terdapatnya pita sinamoil (pita I) dan pita benzoil (pita II), dalam hal ini ditunjukkan oleh maks 318 nm dan 243 nm. Prediksi adanya kerangka flavon pada isolat diperkuat dengan munculnya pita I dan II dengan intensitas pita I lebih rendah dibandingkan intensitas pita II. Rentang nilai pita tersebut dicocokkan dengan karakteristik dari pita I dan II masing-masing jenis golongan flavonoid yang telah ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, kerangka senyawa isolat adalah flavon dengan rentang pita I (310-350 nm) dan pita II (250-280 nm) (Markham, 1998). Fraksi B2.2.4 berbentuk serbuk warna kuning. Hasil identifikasi spektrum UV menunjukkan bahwa senyawa merupakan sistem aromatik, yang ditandai dengan munculnya cincin benzen pada panjang gelombang 243 nm. Sistem terkonjugasi panjang akan memberikan nilai panjang gelombang 318 nm. Hal tersebut dapat diprediksikan sebagai adanya cincin aromatik dengan jumlah lebih dari 1 dalam kerangka struktur senyawanya. Penambahan reagen geser metanol ditujukan untuk mengetahui adanya gugus OH pada isolat. Pergeseran nilai sebesar 50 nm (318 nm menjadi 368 nm) menunjukkan adanya OH pada senyawa isolat. Pada penafsiran spektrum IR menguatkan adanya OH
(3437 cm-1) dan sistem aromatik (1505-1464 cm-1 cincin aromatik dan 900-700 cm-1 C-H tekuk aromatik). Disamping itu, dapat diketahui bahwa terdapat gugus karbonil (1642 cm-1), dan eter (1170 cm-1) pada kerangka senyawa isolat (Deachathai et al. 1996; Silverstein, et al. 1986). Berdasarkan spektrum MS yang diperoleh, senyawa isolat B2.2.4 memiliki berat molekul 270,36 dengan rumus molekul C15H10O5. Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan menggunakan spektrometer UV-Vis dibandingkan dengan senyawa dulcinoside (Deachathai et al., 2005) adalah sebagai berikut: Table 1. Wavelength (λ max) of isolate B2.2.4 and Dulcinoside (UV-Vis) max (nm) (CH3OH) B2.2.4 441 318 258 243 203
max (nm) (CH3OH + NaOH) B2.2.4 368 244 206
max (nm) (CH3OH) Dulcinoside 334 272 238 216
Information band I band II -
Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan menggunakan spektrometer IR dibandingkan dengan senyawa dulcinoside (Deachathai et al., 2005) adalah sebagai berikut: Table 2. Absorption frequencies of isolate B2.2.4 and Dulcinoside (IR) Absorption frequencies (cm-1) isolate B2.2.4 3446 2927 1642 1096
Absorption frequencies (cm-1) Dulcinoside 3402 1650 -
Functional group -OH -CH C=O C-O (eter)
Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan menggunakan spektrometer 1H-NMR dibandingkan dengan senyawa dulcinoside (Deachthai et al., 2005) adalah sebagai berikut: Table 3. Chemical shift of isolate B2.2.4 and Dulcinoside (1H-NMR) H 5-OH H-2’ H-3’, H-5’ H-3 H-8
(ppm) isolate B2.2.4 13,28 (1H,s) 7,80 (2H,d,J=9,3Hz) 6,92 (2H,d,J=9,3 Hz) 6,60 (1H,s) 6,50 (1H,s)
(ppm) Dulcinoside 13,31 7,83 6,90 6,63 6,51
Karakteristik dari spektrum NMR-H menunjukkan kemiripan dengan senyawa yang telah ditemukan sebelumnya, yaitu dulcinoside (5,7,4’-trihidroksiflavon 6C-[ -rhamnpiranosil-(16)]- -glukopiranosid) (Deachathai et al. 2005). Proton flavon terdapat pada 6,60
Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn) Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman
77
ppm, ikatan hidrogen dari OH terdapat pada 13.28 ppm, proton aromatiknya terdapat pada 6.50 ppm. Kesimpulan Berdasarkan data spektrometri maka senyawa B2.2.4 adalah 5,7,4’-trihidroksiflavon dengan titik leleh 114-1160oC. Daftar Pustaka Adaramoye, O.A.; E.O. Farombi; E.O. Adeyemi and G.O. Emerole. 2005. Comparative Study on the Antioxidant Properties of Garcinia cola Seed. J. Med. Sci. 21(3): 331-339. Deachathai, S.; Mahabusarakam, W.; Phongpaichit, S. and Taylor, W.C., 2005, Phenolic compounds from the fruit of Garcinia dulcis, J. Phytochem., 66:23682375. Deachathai, S.; Mahabusarakam, W.; Phongpaichit, S.: Taylor, W.C.; Zhang, Y.J. and Yang, C.R., 2006, Phenolic compounds from the flowers of Garcinia dulcis, J. Phytochem., 67:464-469. Farombi, E.O.; M. Hansen; P. Moller and L.O. Dragsted. 2004. Commonly Consumed and Naturally Occurring Dietary Substances Affect Biomarkers of Oxidative Stress and DNA Damage in Healthy Rats. Food and Chem Toxicology: 1315-1322. Iinuma, M.; H. Tosa; T. Tanaka and S. Riswan. 1996a. Three New Xanthones from the Bark of Garcinia dioica. J. Chem. Pharm. Bull. 44(1): 232-234. Iinuma, M.; H. Tosa; T. Ito; T. Tanaka and D.A. Madulid. 1996b. Two Xanthones from Roots of Crotoxylum formosanum. J. Phytochem 42(4): 1195-1198. Kosela, S. 2005. Kandungan Senyawa Kimia dari Tanaman Garcinia spp yang Tumbuh di Indonesia. J. S. Chem ITB - UKM VI. Lin, Y.M.; H. Anderson; M.T. Flavin and Y.H.S. Pai. 1997. In vitro Anti HIV Activity of Biflavonoids from Rhus succedanea and Garcinia multiflora. J. Nat. Product 60(9): 884-888. Mahabusarakam, W.; P. Iriayachitra; W.C. Taylor. 1987. Chemicals Constituents of Garcinia mangostana. J. Nat. Product 474-478. Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Padmawinata, K. (alih bahasa), Institut Teknologi Bandung, Bandung.
78
Nakanishi, K.; T. Goto; S. Ito; S. Natori and S. Nazoe. 1974. Natural Product Chemistry Vol. 1. Academic Press Inc. Permana, D.; N.H. Lajis; M. Kitajima; H. Takayama and N. Aimi. 2003. Morelloflavon, A Biflavonoid from the Trunk Barks of Garcinia atroviridis. J. Bull. Soc. Nat. Product Chem. 3: 67-70. Silverstein, R.M.; Bassler, G.C. and Morrill, 1986, Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, ed ke4, Hartomo, A.J. dan Purba, A.V. (alih bahasa), Erlangga, Jakarta. Souza, A.E.; T.M.S. Silva; C.C.F. Alves; M.G. Carvalho; R.B. Filho and Echevarria. 2002, Cytotoxic Activities Against Ehrlich Carcinoma and Human K 562 Leukaemia of Alkaloids and Flavonoid from Two Solanum Species. J. Braz. Chem. Soc. 13(6): 838842. Sukpondma, Y.; Rukhacaisirikul, V. and Phongpaicit, S., 2005, Xanthone and Sesquiterpene Derivatives from the Fruits of Garcinia scortechinii, J. Nat. Product., 68(7):1010-1017. Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Maryati, Harlia, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura (Department of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Tanjungpura University) Jl. A. Yani Pontianak, West Kaliimantan Elvi Rusmayanto.P.W Jurusan Biologi FMIPA Universitas Tanjungpura (Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Tanjungpura University) Jl. A. Yani Pontianak, West Kalimantan Ratu Safitri Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran (Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Padjadjaran University) Jl.Raya Sumedang, Jatinangor, Sumedang, West Java Unang Supratman Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran (Department of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Padjadjaran University) Jl.Raya Sumedang, Jatinangor, Sumedang, West Java E-mail:
[email protected])
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Pengaruh Lama dan Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas dan Struktur Kimia Arang Aktif Bagasse Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal Wawan Sujarwo Abstract The aim of this research was to determine the effect of time and temperature activation on the quality and chemical structure of bagasse activated charcoal. The study was designed in a completely random design with 3 x 3 factorial, each treatment was 5 times repeated. Bagasse was carbonized in an electrical retort at 400oC for 3.5 hours, then activated at 800oC, 900oC and 1000oC for 30, 60 and 90 minutes at each temperature. The quality of bagasse activated charcoal showed that the yield was 72.57 ~ 91.78%, 5.90 ~ 9.58% moisture content, 39.70 ~ 52.70% volatile matter, 18.40 ~ 25.30% ash content, 26.30 ~ 36.70% fixed carbon, 8.44 ~ 13.40% benzena adsorption, 1036.18 ~ 1474.33 (mg/g) iodium adsorption, 121.91 ~ 124.80 (mg/g) methylene blue adsorption. The surface area of bagasse activated charcoal was 250.45 m2/g. The FTIR analysis indicated that surface of bagasse activated charcoal contained bonding of C-X, S═O, CN, N-H and C═C. The SEM analysis showed that there were wide pore diameter and plenty of pores. The application of bagasse activated charcoal at two villages reduced the colour, turbidity and iron contents until 65%, 30% manganese contents while hardness of water and pH did not change. Key words: activated charcoal, bagasse, activation, quality, chemical structure. Pendahuluan Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi bahan baku arang aktif yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Produksi arang aktif di dalam negeri sampai saat ini masih terbatas, akibatnya untuk memenuhi kebutuhan arang aktif, Indonesia masih mengimpor dari negara-negara lain seperti Australia, Korea Selatan, Jerman, Jepang, Belanda dan Malaysia. Pada tahun 2004, Indonesia mengimpor arang aktif sebanyak 909,170 kg dengan harga 1,192,525 US$ (Anonimous 2005a). Kebutuhan Indonesia akan arang aktif masih cukup besar, disebabkan semakin meluasnya penggunaan arang aktif dalam banyak sektor industri. Menurut Nurhayati et al. (2002) terdapat 27 industri yang menggunakan arang aktif untuk keperluan adsorbent dan penyerapan polutan. Saat ini arang aktif telah digunakan secara luas dalam indutri kimia, makanan, minuman dan farmasi. Pada umumnya arang aktif digunakan sebagai bahan penyerap, penjernih dan dalam jumlah kecil juga digunakan sebagai katalisator. Arang aktif dapat digunakan untuk pemurnian udara pada lingkungan padat penduduk seperti perkantoran, rumah sakit, laboratorium, industri pengolahan makanan. Tempat-tempat tersebut membutuhkan udara bersih serta mencegah polusi udara ke atmosfir akibat emisi pada pembuangan gas yang berasal dari berbagai macam operasi industri. Pada industri gula, arang aktif digunakan untuk menghilangkan zat warna pada air gula dan pemurnian oksida logam. Pada pengolahan limbah cair modern, arang aktif juga
digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan anorganik. Berdasarkan keperluan di atas, maka sangat penting untuk meningkatkan produktivitas arang aktif di Indonesia. Arang aktif dapat menjadi produk unggulan bila didukung dengan peran aktif pemerintah maupun swasta yang akan meningkatkan produktivitas dan kualitas arang aktif. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas adalah dengan melakukan studi terhadap sumber biomassa yang berpotensi sebagai bahan baku arang aktif yang berkualitas. Bahan baku pembuatan arang aktif yang dipilih dalam penelitian ini yaitu dari bahan bagasse. Dipilihnya bagasse karena merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dalam industri gula tebu yaitu sekitar 35 ~ 40% dari berat batang tebu yang biasanya dipakai sebagai bahan baku di pabrik gula (Christiyanto 1998). Potensi bagasse di Indonesia cukup besar, menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395,399.44 ha yang tersebar di Sumatera seluas 99,383.8 ha, Jawa seluas 265,671.82 ha, Kalimantan seluas 13,970.42 ha dan Sulawesi seluas 16,373.4 ha. Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu mampu menghasilkan 100 ton bagasse. Oleh karenanya potensi bagasse nasional dapat tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Anonimous 2005b). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara lama dan suhu aktivasi terhadap kualitas dan struktur kimia arang aktif serta mengetahui kualitas air setelah diperlakukan dengan arang aktif bagasse.
Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal Wawan Sujarwo
79
Proses pembuatan arang menjadi arang aktif dalam penelitian ini tidak menggunakan aktivasi kimia namun menggunakan aktivasi thermal dengan suhu tinggi. Hal ini dilakukan dengan harapan, agar arang aktif yang dipakai untuk memperbaiki kualitas air tidak mengganggu kesehatan. Bahan dan Metode Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagasse (ampas tebu) yang diperoleh dari PG.Trangkil, Pati, Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan diantaranya adalah iodium, tapioka, natrium tiosulfat, benzena dan biru metilen. Beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu persiapan bahan, karbonisasi, aktivasi, pengujian kualitas dan struktur kimia arang aktif. Rancangan penelitian yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor (3 tingkatan lama aktivasi dan 3 tingkatan suhu aktivasi) dan 5 kali ulangan pada tiap perlakuan. Metode analisa data dengan analisis keragaman (ANOVA). Apabila hasil analisis keragaman berbeda nyata, hasil pengujian diuji lanjut dengan uji HSD
(Honestly Significant Difference) dengan prosedur Tukey pada taraf 1% dan 5%. Hasil dan Pembahasan Kondisi optimum didefinisikan sebagai kondisi perlakuan yang dapat memberikan kualitas arang aktif terbaik (Hudaya dan Hartoyo, 1990). Lama dan suhu aktivasi merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas dan struktur kimia arang aktif yang dihasilkan, karena besar pengaruhnya terhadap kemampuan daya serap. Kualitas arang aktif meliputi rendemen, kadar air, kadar volatile, kadar abu, kadar karbon terikat, daya serap benzena, daya serap iodium dan daya serap biru metilen, sedangkan hasil analisa struktur kimia arang aktif meliputi luas permukaan, pola struktur gugus fungsi dan Scanning Electron Microscope (SEM). Kualitas Arang Aktif Nilai rata-rata kualitas arang aktif yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan parameter yang diamati disajikan pada Tabel 1.
Table 1. Quality of Bagasse Activated Charcoal.
Treatment A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2* A3B3 Criteria Standard 06-33701995 Note: * Rend Ka K.V K.Ab K.KT DS.B DS.I DS.BM
80
Ren (%) 91.78 88.63 81.66 88.80 85.61 80.63 86.56 84.65 72.57
-
Ka (%) 5.90 8.22 8.32 6.78 7.44 9.58 7.50 8.32 7.38
K.V (%) 39.70 52.70 43.00 43.60 48.60 48.10 47.70 44.00 47.10
15
25
: Optimum Treatment : Rendement : Moisture Content : Volatile Matter : Ash Content : Fixed Carbon : Adsorption of Benzena : Adsorption of Iodium : Adsorption of Methylene Blue
Parameter K.Ab K.KT (%) (%) 23.60 36.70 21.00 26.30 21.60 35.40 24.00 32.40 20.40 31.00 20.50 31.40 25.30 27.00 21.20 34.80 18.40 34.50
10 A1 A2 A3 B1 B2 B3
65
DS.B (%) 8.44 8.50 8.80 8.62 8.84 11.48 8.70 9.40 13.40
25
DS.I (mg/g) 1036.28 1218.24 1211.50 1144.11 1319.33 1339.55 1400.20 1474.33 1326.07
750
DS.BM (mg/g) 122.33 122.13 124.80 121.95 124.61 124.60 121.91 124.16 124.75
120
: Time of Activation 30 Minute : Time of Activation 60 Minute : Time of Activation 90 Minute : Temperature of Activation 800oC : Temperature of Activation 900oC : Temperature of Activation 1000oC
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antara lama aktivasi dan suhu aktivasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap daya serap iodium yang dihasilkan. Daya serap iodium cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya lama aktivasi. Kecenderungan ini menggambarkan banyaknya struktur mikropori yang terbentuk karena daya serap iodium merupakan indikasi volume daya tampung pori-pori arang aktif. Hal ini juga menunjukkan bahwa relatif banyak diameter pori yang terbentuk lebih dari 10 Å. Menurut Hendra dan Pari (1999) besarnya daya serap ini karena antara ikatan C dan H terlepas dengan sempurna, sehingga terjadi pergeseran pelat karbon kristalit membentuk pori yang baru dan mengembangkan pori yang sudah terbentuk. Sedangkan untuk suhu aktivasi, daya serap iodium cenderung berfluktuasi dengan bertambahnya suhu. Suhu aktivasi yang semakin meningkat akan mengkorversi karbon dan membantu pembentukan pori mikro dalam arang secara kontinyu yang diikuti dengan meningkatnya daya adsorpsinya. Setelah itu dinding pori karbon mulai rusak atau erosi sehingga luas permukaan pori menurun kembali dan diikuti dengan menurunnya daya adsorpsi (Pari 1991).
dibutuhkan untuk proses pengujian dan semakin banyak kebutuhan nitrogen cair yang dibutuhkan maka luas permukaannya semakin besar. Hal ini disebabkan karena arang aktif yang luas permukaannya besar akan menyerap nitrogen cair lebih banyak dari pada arang aktif yang luas permukaannya rendah. Selain itu rendahnya luas permukaan arang aktif juga bisa disebabkan karena kandungan abu yang masih tinggi yang menyebabkan pori-pori arang aktif masih tertutup mineral seperti silika, aluminium, besi dan kalsium.
Luas Permukaan (Surface Area) Arang aktif Hasil analisis Multi BET (Adsorption) arang aktif bagasse yang diperoleh dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, terlihat nilai total surface area sebesar 11.270501 m2 karena berat sampel yang diuji 0.0450 maka nilai spesific surface area sebesar 250.455576 m2/g. Luas permukaan arang aktif bagasse pada kondisi optimum dalam penelitian ini adalah 250.455 m2/g. Rendahnya luas permukaan arang aktif berkaitan dengan daya serap terhadap iodium dan metilen biru yang rendah (Pari 1991). Semakin lama waktu yang
Note: Slope Intercept Correlation coefficient BET C Total surface area Weight Sample
Table 2. Multy BET (Adsorption) Analysis of Bagasse Activated Charcoal P/Po
BET Transform (1/{W[Po/P -1]} )
0.049722
0.733188
0.066857
0.903169
0.143376
1.992454
0.199209
2.751593
0.250710
3.511588 : 13.899742 : 0.004985 : 0.999704 : 2789.073754 : 11.270501 m2 : 0.0450 g
Pola Struktur Gugus Fungsi Arang Aktif Gambar spektrum serapan FTIR arang aktif bagasse yang diperoleh, ditampilkan pada Gambar 1.
Figure 1. Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FTIR) of Bagasse Activated Charcoal.
Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal Wawan Sujarwo
81
Mengacu pada Kenneth dan Judith (2000) terlihat spektrum FTIR pada Gambar 1 menunjukkan bahwa arang aktif bagasse pada kondisi optimum dalam penelitian ini terdapat vibrasi dan gugus yang tidak teridentifikasi pada bilangan gelombang 4524.7 ~ 3732 cm-1, 2354.9 ~ 2327.9 cm-1, 1693.4 cm-1 dan 1537.2 ~ 1454.2 cm-1. Pita serapan di daerah bilangan gelombang 1730 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C═C gugus aldehida dan ester sedangkan pada daerah bilangan gelombang 1712.7 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C═C gugus keton dan asam karboksilat. Pada pita serapan di daerah 1666.4 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C═C gugus alkena, amida dan amina dan oksim. Pita serapan pada bilangan gelombang 1552.6 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi N-H gugus amida dan amina primer sekunder (bending), sedangkan pita serapan didaerah 1014.5 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-X gugus fluorida, S═O gugus sulfone dan sulfonil klorida, CN gugus amina. Pita serapan didaerah 578.6 ~ 414.7 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-X gugus bromida dan iodida. Secara keseluruhan hasil analisis IR terdapat 20 pita serapan bilangan gelombang dengan 5 jenis vibrasi dan 14 jenis gugus fungsi yang teridentifikasi dengan intensitas berkisar dari 3.182 ~ 6.971 %T. Dari data hasil analisis struktur gugus fungsi arang aktif pada kondisi optimum memperlihatkan bahwa sedikit jumlah gugus fungsi selain vibrasi C. Dengan demikian arang aktif yang dihasilkan dalam penelitian ini sedikit gugus pengotornya sehingga daya serapnya semakin besar, karena yang diharapkan dari pembuatan arang aktif adalah gugus C berikatan dengan C. SEM Arang Aktif Gambar scanning electron microscope (SEM) arang aktif bagasse, dapat dilihat pada Gambar 2. Tampilan SEM arang aktif pada Gambar 2 mewakili beberapa gambar hasil SEM dalam penelitian ini. Pada Gambar 2 hasil analisis fotograf SEM arang aktif bagasse pada kondisi optimum menunjukkan adanya jumlah pori yang cukup banyak dan adanya sebagian diameter pori yang cukup lebar. Hal ini menunjukkan selama proses aktivasi, pelat-pelat karbon kristalit yang
tidak teratur mengalami pergeseran sehingga permukaan kristalit menjadi terbuka dan terbentuk pori yang lebih banyak. Pergeseran pelat karbon menghasilkan pori yang baru dan mengembangkan mikropori awal menjadi makropori (Pari et al. 2004). Selain itu terbentuknya makropori disebabkan oleh rusaknya dinding pori yang kecil dan bergabung dengan pori lain sehingga membentuk pori yang lebih lebar (Pari et al. 2003).
Figure 2. Scanning Electron Microscope (SEM) Image of Bagasse Activated Charcoal. Aplikasi Arang Aktif untuk Memperbaiki Kualitas Air Pengujian kualitas air dilakukan untuk mengurangi kotoran bahan organik, partikel atau gabungan antara bau, warna dan rasa. Proses penyerapan merupakan proses yang penting dalam peningkatan kualitas air. Arang aktif sebagai salah satu bahan yang memiliki daya serap yang tinggi dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas air. Berdasarkan data pada Tabel 1, arang aktif dengan daya serap iodium tertinggi digunakan untuk pengujian kualitas air (warna, kekeruhan, pH, kesadahan, kadar besi dan kadar mangan). Hasil pengujian kualitas air sebelum dan sesudah diperlakukan dengan arang aktif bagasse secara lengkap disajikan masing-masing pada Tabel 3 untuk desa Ledokdawan dan Tabel 4 untuk desa Monggot.
Table 3. Water Analysis at Ledokdawan Village. Parameter Colour Turbidity pH Hardness of Water Iron Content Manganese Content
82
Unit
Standard Criteria No.416/Menkes/ Per/IX/1990
Pt-Co NTU mg/l mg/l mg/l
max 50.0 max 25.0 6.5 ~ 9.0 max 500 max 1.0 max 0.5
Result Before Treatment 15.0 18.0 8.0 688.49 0.2 1.0
After Treatment 4.0 6.0 8.0 688.49 0.00 0.68
Reducing 73.33% 66.67% 100% 32%
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Table 4. Water Analysis at Monggot Village. Parameter Colour Turbidity pH Hardness of Water Iron Content Manganese Content
Unit
Standard Criteria No.416/Menkes/ Per/IX/1990
Pt-Co NTU mg/l mg/l mg/l
max 50.0 max 25.0 6.5 ~ 9.0 max 500 max 1.0 max 0.5
Air yang berasal dari sumur warga desa Ledokdawan dan desa Monggot, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, setelah diperlakukan dengan arang aktif bagasse yang berasal dari pembuatan pada suhu 900oC selama 90 menit, maka air tersebut dapat memenuhi kriteria sebagai air bersih menurut standar baku mutu No. 416/Menkes/Per/1990. Pengujian tersebut berdasarkan sifat fisika air (warna dan kekeruhan) serta sifat kimia air (pH, kesadahan, kadar Mangan, kadar besi) kecuali kualitas kesadahan dan kadar mangan air dari desa Ledokdawan belum memenuhi standar baku mutu air bersih. Kesimpulan Interaksi antara lama aktivasi dan suhu aktivasi berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter kualitas arang aktif bagasse. Limbah bagasse dapat dibuat menjadi produk arang aktif dengan kadar air, daya serap terhadap iodium dan daya serap terhadap biru metilen memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 063730-1995). Sementara kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat dan daya serap terhadap uap benzena belum memenuhi SNI 06-03730-1995, tetapi masih bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas air. Uji coba aplikasi arang aktif bagasse di dua desa menghasilkan penurunan di atas 65% untuk parameter warna, kekeruhan dan kadar besi air. Sementara kadar mangan air hanya mengalami penurunan di atas 30% sedangkan pH dan kesadahan relatif tidak mengalami perubahan. Daftar Pustaka Anonimous. 2005a. Inforistek Vol 3 (1). http://www. pdii.lipi.go.id. Diakses 1 Oktober 2007. Anonimous. 2005b. Siaran Pers No. S.563/II/PIK-1/2005. http://www.dephut.go.id. Diakses 1 Oktober 2007. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3370-1995. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Result Before Treatment 25.0 21.0 7.0 386.23 1.3 0.5
After Treatment 2.5 5.0 7.0 386.23 0.00 0.25
Reducing 90.00% 76.19% 100.00% 50.00%
Christiyanto, M. 1998. Pengaruh Lama Pemasakan dan Fermentasi Ampas Tebu dengan Trichoderma viride terhadap Degradasi Serat. Tesis S2 Program Studi Ilmu Peternakan. Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (tidak dipublikasikan). Departemen Kesehatan RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hendra, D dan G. Pari. 1999. Pembuatan Arang Aktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Bogor 17(2): 113-122. Hudaya, N. dan Hartoyo. 1990. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Biji-Bijian Asal Tanaman Hutan dan Perkebunan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 8(4): 146-149. Kenneth, A. and F. Judith. 2000. Contemporary Instrumental Analysis Chapter Infrared and Raman Spectrometries : Vibrational Spectrometries. Prentice Hall International Inc. New Jersey. Nurhayati, T.; Aepuloh; Sylviani. 2002. Analisis Teknis dan Ekonomi Produksi Arang Aktif Industri Pedesaan. Badan Penelitian Hasil Hutan 20 (5): 353 -366. Pari, G. 1991. Pembuatan Arang Aktif Kayu Karet untuk Bahan Pemurni Minyak Daun Cengkeh. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 8 (6): 228-235. Pari, G.; K. Sofyan; W. Syafii; Buchari. 2003. Suhu Karbonisasi dan Perubahan Struktur Arang Serbuk Gergaji Jati. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 16 (2) : 7080. Pari, G.; K. Sofyan; W. Syafii; Buchari. 2004. Pengaruh Lama Aktivasi terhadap Struktur dan Mutu Arang Aktif Serbuk Gergaji Jati (Tectona grandis L.f). Jurnal Teknologi Hasil Hutan 17(3): 33-44.
Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal Wawan Sujarwo
83
Wawan Sujarwo Unit Pelayanan Teknis Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Technical Implementation Unit for Plant Conservation Bali Botanic Garden - Indonesian Institute of Sciences) Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191. Tel. : (0368) 21273, 22050, Fax. : (0368) 22051 E-mail :
[email protected] HP : 08522806057
84
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Karakterisasi Sifat-Sifat Arang Kompos dari Limbah Padat Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jack) Characterization of Compost Charcoals Properties from Oil Palm Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari Abstract Oil palm solid waste especially fruit and empty bunches are hard to decompose naturally in the environment because fruit bark still contains oil and empty bunches contain cellulose, hemicelluloses and lignin with relatively similar levels. In this research, the quality of compost charcoals from raw materials of oil palm solid waste was studied. Oil palm empty bunches were pyrolized in a drum reactor at optimum temperature. Charcoals were milled and mixed with oil palm fruit bark to make compost charcoals by using biodecomposer Dobura1 and EM-4. Compost charcoals were characterized and their qualities were compared with the organic waste compost in accordance with SNI-19-7030-2004. The production of compost charcoals in all treatments in this research indicated that the fluctuating temperatures were changes especially in the first day and in the second day until the fourth day, decreased gradually and then rose again slowly. pH values in all treatments showed a very sharp increase in the first day, except for control that were rose up to the second day, whereas in the third day they all showed a rather sharp decrease, then in the fourth day and forth rose again slowly. The weight shrinkage of compost charcoals in all treatments occurred significantly until the sixty day. Compost charcoals that were produced in all composting treatments fulfilled the compost quality of domestic waste in accordance with SNI-19-7030-2004. Key words: oil-palm solid waste, pyrolized reactor, compost charcoals, quality Pendahuluan Hingga saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit nomor dua terbesar di dunia setelah Malaysia. Sejak tahun 2003, produksi minyak kelapa sawit secara nasional sudah mencapai 2 juta ton per tahun dan kecenderungannya semakin meningkat pada tahun-tahun yang akan datang (Fauzi et al. 2008). Hal ini dapat dilhat dari perkembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat saat ini di seluruh tanah air. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh sejak tahun 2005 telah mencanangkan pembukaan perkebunan kelapa sawit seluas 40 ribu hektar/tahun yang direncanakan berlangsung hingga tahun 2012. Semakin meningkatnya produksi kelapa sawit dari waktu ke waktu, akan diikuti pula dengan peningkatan jumlah limbahnya. Salah satu limbah yang diproduksi dalam jumlah besar ialah limbah padat. Limbah ini terdiri atas cangkang, janjang, tandan kosong, dan kulit buah. Selama ini, penanganan limbah tersebut yang dilakukan oleh sebahagian besar pabrik kelapa sawit, yaitu dengan cara membakarnya secara terbuka, baik untuk kebutuhan energi boilernya maupun hanya untuk tujuan meminimisasinya saja. Pada proses tersebut sering kali menimbulkan pencemaran udara sehingga meresahkan masyarakat yang bermukim di sekitar pabrik tersebut. Menurut Utomo dan Widjaja (2004), sebahagian dari janjang dan kulit buah kelapa sawit ada yang diolah menjadi makanan ternak. Di samping itu, menurut Darnoko dan Sutarta (2006), tandan kosong kelapa sawit dapat diolah menjadi kompos,
namun proses pengomposannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu berkisar 3~4 bulan. Untuk itu, metode semacam ini juga dinilai kurang efektif. Menurut Fauzi et al. (2008), limbah padat kelapa sawit terutama tandan kosongnya termasuk salah satu limbah yang diproduksi dalam jumlah besar. Limbah ini mengandung berbagai senyawa kimia, antara lain selulosa (40%), hemiselulosa (24%), lignin (21%), dan abu (15%). Selanjutnya, menurut Irawadi (1991), pada tandan kosong kelapa sawit mengandung 34.78% selulosa, 28.28% hemiselulosa, 21.56% lignin, 6.95% lemak, dan 6.94% protein. Di samping itu, Pratiwi et al. (1988) menyatakan komposisi kimia tandan kosong kelapa sawit terdiri atas selulosa (36.81%), hemiselulosa (27.01%), lignin (15.70%), dan abu (6.04%). Ditinjau dari kandungan kimianya, maka metode yang diperkirakan dapat menjadi alternatif solusi yang baik pada penanganan limbah tersebut ialah dengan menerapkan metode pirolisis. Metode ini juga dikenal dengan istilah karbonisasi (pengarangan). Penerapan metode ini sangat banyak keuntungannya, antara lain dapat mendegradasi limbah secara cepat dengan menghasilkan produk-produk yang bermanfaat misalnya arang dan asap cair. Dengan demikian, adanya limbah tersebut berpotensi secara ekonomi. Arang yang dihasilkan sebagai produk utama pada proses pirolisis dapat dikembangkan menjadi produkproduk yang bermanfaat dan juga ramah lingkungan, misalnya diolah menjadi arang kompos (soil conditioning), briket arang, dan arang aktif. Dewasa ini, pengolahan
Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari
85
sampah/limbah organik menjadi arang kompos sudah mulai dikembangkan secara luas, terutama dibeberapa negara seperti Jepang dan Korea. Menurut Komarayati et al. (2007), arang kompos dapat dibuat dari bahan baku limbah industri kertas dengan penambahan arang serbuk gergaji. Beberapa peneliti telah melaporkan kelebihan penggunaan arang kompos sebagai pupuk organik, antara lain Steiner et al. (2007) melaporkan bahwa arang kompos dapat mempercepat pertumbuhan tanaman karena dapat mengikat molekul air yang banyak dan menyerap sinar yang lebih sempurna guna membantu proses fotosintesis. Di samping itu, keuntungan lain dari penggunaan metode ini ialah mampu meminimisasi pencemaran udara karena asap yang dikeluarkan dapat dikondensasi menjadi asap cair. Menurut Swastawati et al. (2007), asap cair merupakan produk sampingan pada proses pirolisis suatu bahan berupa asap yang terkondensasi menjadi destilat (asap cair). Beberapa peneliti lain melaporkan bahwa asap cair mengandung asam-asam organik suku rendah dan beberapa senyawaan fenolik (Cocchi et al. 2006). Oleh karena itu, asap cair dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan baku zat pengawet (Su dan Silva 2006), antifeedant (Narasimhan et al. 2005), desinfektan dan biopestisida (Nurhayati 2000). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu arang kompos hasil pengomposan bahan baku campuran limbah kulit buah dan arang hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit. Adapun sasaran dari penelitian ini adalah menangani limbah kulit buah dan tandan kosong kelapa sawit dengan cara mengembangkannya menjadi arang kompos yang bermanfaat sebagai pupuk organik. Bahan dan Metode Penelitian Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah tandan kosong dan kulit buah kelapa sawit sebagai limbah padat hasil produksi Pabrik Kelapa Sawit Tanjong Seumentok Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang. Bahan bakar yang digunakan adalah limbah serbuk gergajian. Biodekomposer yang digunakan adalah Dobura1 dan Effective Microorganism (EM-4). Alat utama yang digunakan pada proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit adalah reaktor sederhana yang terbuat dari bahan drum bekas dengan ketebalan plat 1.5 mm, diameter 60 cm, dan tingginya mencapai 45 cm dan dilengkapi alat pencatat suhu merk Thermocouple tipe HI 8757. Tungku pembakaran dibuat dari bahan yang sama dengan reaktor, tinggi 35 cm. Kondensor juga dibuat dari bahan yang sama dengan ketinggian reaktor mencapai 80 cm. Alat untuk wadah pengomposan digunakan wadah drum plastik bekas kaleng bahan kue dengan ukuran 25 kg. Alat untuk karakterisasi sifat-sifat
86
arang kompos digunakan Spectrophotometer (AAS).
Atomic
Abstroption
Metode Penelitian Tandan kosong kelapa sawit terlebih dahulu disortir dan dicacah secara manual untuk mendapatkan tandan kosong yang bebas dari pengotor. Selanjutnya, sampel digiling dengan mesin penggiling sampai menjadi bubuk halus, lalu disaring dengan ayakan 100 mesh. Kemudian bubuk lolos ayakan 100 mesh ditentukakan kadar airnya menurut metode yang dikembangkan AOAC (Association of Official Agricultural Chemist) Internasional (Horwitz 2006). Proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit dilakukan dengan langkah-langkah antara lain 1) tandan kosong ditimbang sebanyak 20 kg; 2) tandan hasil penimbangan dimasukkan ke dalam reaktor drum; 3) disiapkan tungku pembakaran dengan bahan bakar serbuk gergajian; 4) tungku pembakaran dinyalakan dan diukur suhunya selama proses berlangsung dengan alat Thermocouple tipe HI 8757; 5) asap yang keluar dikondensasi menjadi asap cair dan ditampung dalam ember; 6) proses pirolisis dijalankan selama 5 jam, dan setelah selesai api di dalam tungku dipadamkan dan reaktor dibiarkan dingin secara alami; 7) produk arang dan asap cair ditimbang dan ditentukan rendemennya, dan (8) pekerjaan tersebut diulangi dengan cara yang sama beberapa kali agar diperoleh produk arang yang mencukupi kebutuhan pengembangannya. Arang yang diperoleh dikarakterisasi sifat-sifatnya yang meliputi kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat, dan nilai kalor. Semua prosedur karakterisasi mengikuti prosedur yang dikembangkan AOAC Internasional (Horwitz 2006). Pembuatan arang kompos pada penelitian ini merupakan modifikasi dari metode yang dikembangkan Indriani (2005) yang dilakukan melalui langkah-langkah, yaitu: 1) biodekomposer Dobura1 ditimbang sebanyak 55 g; 2) limbah kulit buah kelapa sawit ditimbang sebanyak 11 kg; 3) arang tandan kosong kelapa sawit dicacah secara manual supaya menjadi bubuk arang, lalu ditimbang sebanyak 1 kg; 4) bahan-bahan hasil penimbangan pada poin 1, 2, dan 3 dicampur secara merata di atas terpal plastik; 5) campuran dianalisis rasio C/N dan ditentukan kadar airnya; 6) wadah plastik yang akan digunakan ditimbang untuk pengomposan; 7) campuran pada poin 4 dimasukkan ke dalam wadah plastik yang sudah diketahui bobotnya; 8) selama proses berlangsung diukur suhu dan pH setiap hari serta dilakukan penimbangan bobotnya setiap 5 hari hingga dihasilkan kompos yang sudah matang; 9) terbentuknya kompos yang matang diamati dengan ciri-ciri berwarna hitam, gembur, tidak panas, dan tidak berbau; 10) arang kompos yang diperoleh dikarakterisasi yang meliputi pengukuran kadar air, kadar rasio C/N, dan unsur-unsur mineralnya antara lain P, K, Ca, Mg, Mn, dan Fe.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Bahan Baku Tandan kosong kelapa sawit yang digunakan adalah limbah padat yang diproduksi dalam jumlah besar yang menumpuk di lingkungan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Tanjong Seumentok Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh. Tandan kosong tersebut mempunyai struktur fisik yang padat, keras dan berwarna coklat kehitaman. Hasil penentuan kadar airnya menunjukkan limbah ini rata-rata mengandung 6.56% air. Dari data ini, kadar air yang dikandung oleh tandan kosong kelapa sawit tergolong rendah sehingga sukar terdekomposisi secara alami dalam waktu cepat. Pirolisis Tandan kosong Kelapa Sawit Rata-rata rendemen arang yang dihasilkan pada proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit, yaitu 21.45%, dan asap cairnya sebesar 0.29%. Semakin tinggi suhu pirolisis akan semakin rendah rendemen arang yang diperoleh karena sebahagian arang berubah menjadi abu dan gas-gas yang mudah menguap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paris et al. (2005) bahwa akibat peningkatan suhu menyebabkan sebahagian arang berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. Produk utama yang diperoleh pada proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit ialah arang. Arang ini memiliki penampilan fisik yang berwarna hitam dan bentuknya sangat beragam. Karakterisasi sifat-sifat arang tandan kosong kelapa sawit dilakukan untuk mengetahui mutunya. Untuk kebutuhan ini, arang digiling sampai menjadi bubuk halus dan diayak dengan ayakan 100 mesh supaya diperoleh ukurannya yang relatif seragam. Hasil karakterisasi sifatsifat arang disajikan pada Tabel 1. Data Tabel 1 menunjukkan karakteristik arang hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit dengan reaktor drum cenderung menunjukkan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan arang bubuk arang tempurung kelapa sesuai SNI06-4369-1996 (BSN 1996). Hal ini disebabkan karena semua parameter mutu arang tersebut tidak ada yang memenuhi standar kecuali kadar airnya. Namun jika ditinjau dari kadar karbon terikat dan nilai kalor yang dimilikinya, arang ini sudah mendekati standar tersebut. Hasil ini memberi indikasi bahwa arang hasil pirolisis
tandan kosong kelapa sawit berpotensi dikembangkan menjadi arang kompos yang bermanfaat sebagai pupuk organik. Pembuatan Arang Kompos Bahan baku kulit buah kelapa sawit yang digunakan pada penelitian ini rata-rata mengandung 72.21% air, berbentuk pasta yang sangat kental dan mulai mengeluarkan bau busuk. Pada awal proses pengomposan, campuran kompos mengeluarkan bau busuk yang menyengat dan air licit yang keluar melalui lubang pada bagian bawah wadah. Oleh karena itu, di sekitar wadah pengomposan dihinggapi lalat. Setelah proses berjalan lebih satu minggu bau busuk lebih tajam dan munculnya ulat. Perubahan Suhu Pengomposan Perubahan suhu pada proses pengomposan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu apakah proses dekomposisi berjalan dengan baik atau tidak. Faktor suhu berhubungan erat dengan proses dekomposisi atau perombakan bahan organik, aktivitas mikroorganisme dan kadar air bahan yang dikompos-kan. Menurut Strom (1985) perubahan suhu merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui kesempurnaan pembentukan kompos. Data rataan perubahan suhu selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data Tabel 2 ditunjukkan bahwa pada hari ke-0, suhu campuran arang kompos pada semua perlakuan berada di bawah suhu lingkungan. Hal ini disebabkan karena campuran arang kompos baru saja diproses sehingga belum ada respon dari kerja mikroorganisme. Semua perlakuan pengomposan mengalami peningkatan suhu pada hari ke-1. Namun pada hari ke-1 hingga hari ke-7, terjadi perubahan suhu yang naik-turun pada semua perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena suhu lingkungan juga tidak menentu, terutama karena sedang musim hujan. Peningkatan suhu pada hari ke-1 yang paling tinggi ditunjukkan biodekomposer EM-4 yang sudah mulai bekerja. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Djuarnani et al. (2005) bahwa cairan EM-4 sangat potensial untuk melangsungkan proses dekomposisi bahan-bahan organik melalui fermentasi yang berlangsung secara cepat dan eksoterm.
Table 1. Average data analysis charcoal properties of oil palm empty bunches Pyrolysis Content (%w/w) Type Temperature (oC) Reactor Water Substance fly Ash Drum 356 3.36 28.20 24.49 SNI-06-4369-1996 6 20 5 Source: Data from the Integrated Laboratory analysis of P3HH at Bogor in 2009
Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari
Fixed carbon 47.31 min. 70
Calorific value (cal/g) 4616 min. 7000
87
Table 2. Compost charcoal mixture temperature changes first week composting Treatment
Changes in temperature (oC) on day 2 3 4 5
0
1
6
7
Control
29.0
32.0
31.5
31.0
29.5
31.0
31.5
31.5
Dobura1 0.5%
30.0
33.0
32.0
31.0
29.5
30.5
32.5
32.0
Dobura1 1.0%
30.0
34.0
32.5
31.5
30.0
31.0
32.5
33.5
EM-4 0.5%
30.0
34.0
33.0
32.5
31.0
32.0
33.0
33.5
EM-4 1.0% 30.0 34.5 32.5 31.5 29.5 31.5 Environmental Temperature 32.0 30.0 27.0 27.0 27.0 27.0 Source: Data analysis at the Laboratory of Chemical FKIP Unsyiah at Banda Aceh in 2009
32.0
32.5
32.0
32.0
Secara umum hingga hari ke-7, perubahan suhu pada proses pengomposan di atas, berlangsung dalam suasana semi aerobik dengan suhu rata-rata berkisar antara 31.0~32.0oC. Menurut Djuarnani et al. (2005), kondisi ini masih lebih rendah dibandingkan rentang suhu optimum proses pengomposan yang umumnya dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan organik, yaitu berkisar antara 35.0~55.0oC. Perombakan bahan organik mengakibatkan pelepasan sejumlah energi melalui perubahan dalam bentuk panas, sehingga terjadi kenaikan suhu dalam wadah pengomposan. Jika proses dekomposisi berlangsung dalam suhu yang agak tinggi, misalnya mencapai 60.0~70.0oC, kondisi ini memungkinkan semua bakteri termofilik bekerja secara lebih optimal. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses dekomposisi bahan baku, karena bakteri patogen tidak dapat hidup pada kondisi tersebut (Strom 1985). Hal ini sesuai dengan pernyataan Komilis (2006), bahwa penurunan suhu pada proses pengomposan yang mendekati suhu lingkungan merupakan suatu indikasi bahwa arang kompos yang dihasilkan telah matang. Pendapat ini diperkuat oleh Harada et al. (1993) bahwa pematangan kompos dapat ditentukan berdasarkan sifat fisik, biologis dan kimia, yaitu pada saat suatu kompos telah matang ditandai dengan menurunnya suhu
mendekati suhu lingkungan, sehingga bentuknya stabil dan menurunnya kandungan karbon. Perubahan Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan organik selama proses pengomposan. Aktivitas mikro-organisme secara umum meningkat pada pH 5.5~8.0 terutama untuk fungi (jamur), sedangkan kebanyakan bakteri beraktivitas pada pH 6.0~7.5 (Strom 1985). Pengukuran nilai pH dilakukan setiap hari selama 2 minggu dan selanjutnya diukur dalam waktu selang 10 hari. Perubahan pH arang kompos pada minggu pertama pengomposan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada minggu pertama pengomposan hampir semua perlakuan menunjukkan nilai pH cenderung meningkat pada awal proses hingga hari ke-3, dengan kisaran pH rata-rata antara 4.4~8.0. Dari Gambar 1 ditunjukkan terjadi kenaikan pH yang ekstrem pada semua perlakuan hingga hari ke-2, namun pada hari ke-3 terjadi penurunan yang ekstrem pula. Selanjutnya, sejak hari ke-3 sampai hari ke-6 pada semua perlakuan mengalami kenaikan nilai pH secara perlahan, tetapi pada hari ke-7 pengomposan dengan menggunakan biodekomposer Dobura1 baik pada konsentrasi 0.5 maupun 1.0% terjadi penurunan kembali
Figure 1. Graph average pH change of the first week of charcoal compost composting.
88
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
nilai pH-nya. Menurut Djuarnani et al. (2005), cairan Dobura1 juga mengandung Lactobacillus sp. yang mampu merombak gula atau karbohidrat menjadi asam laktat sehingga proses penurunan pH semakin cepat dibanding perlakuan pengomposan lain. Secara umum rata-rata nilai pH pada setiap perlakuan masih tergolong sangat baik bagi kesempurnaan proses pengomposan. Hal ini sesuai pernyataan Murbandono (2005) bahwa nilai pH optimum bagi perkembangan mikroorganisme, yaitu 6.0~8.0. Pendapat ini diperkuat oleh Edwards (1990), bahwa pH optimum yang dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme, yaitu 5.5~8.0. Penurunan nilai pH pada pengomposan disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikro-organisme, sehingga jumlah ion-ion logam yang dilepas relatif kecil, sedangkan produksi asam-asam semakin meningkat. Kondisi yang demikian menunjukkan penurunan nilai pH mendekati netral (Djuarnani et al. 2005). Demikian juga halnya, dengan pendapat Komilis and Ham (2006), jika pH terlalu tinggi (kondisi basa), konsumsi oksigen akan meningkat, sehingga memberi kondisi buruk bagi lingkungan dan akan menyebabkan sebahagian unsur nitrogen dalam bahan dirombak menjadi amonia (NH3), sebaliknya jika pH terlalu rendah (kondisi asam) akan menyebabkan sebagian mikroorganisme mati. Penyusutan Bobot Perubahan bobot merupakan salah satu parameter proses pengomposan. Hal ini didasarkan pada penentuan tingkat kematangan arang kompos yang dihasilkan, diperhitungkan berdasarkan terjadinya penyusutan bobot bahan baku yang digunakan selama waktu tertentu. Data pengukuran penyusutan bobot bahan baku kompos disajikan pada Tabel 3. Pada semua perlakuan pengomposan masih terjadi penyusutan bobot arang kompos hingga hari ke-60. Pada hari ke-10, penyusutan tertinggi ditunjukkan oleh pengomposan dengan biodekomposer Dobura1, hal ini terutama terjadi pada 1.0%, sedangkan pada proses pengomposan dengan biodekomposer EM-4 baik pada konsentrasi 0.5% maupun 1.0% mengalami penyusutan bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Mikroorganisme dalam cairan Dobura1 dapat meningkatkan penyusutan bobot arang kompos secara cepat melalui proses fermentasi menghasilkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, menekan aktivitas serangga, hama, dan mikroorganisme patogen (Sukmadi dan Hardianto 2000). Penyusutan bobot bahan baku arang kompos terjadi karena pelepasan molekul air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang cukup besar selama proses pengomposan. Menurut Komilis (2006), kehilangan H2O dan CO2 yang cukup banyak selama proses dekomposisi bahan organik menyebabkan penyusutan bobot kompos hingga 50% dari bobot awal, namun hal ini bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Penyusutan ini disebabkan karena terjadinya aktivitas perombakan bahan organik oleh mikroorganisme, sehingga kadar air bahan berkurang dan juga akibat panas yang timbul menyebabkan terjadinya penguapan. Persentase penyusutan bobot yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot arang kompos yang rendah, demikian juga sebaliknya. Kualitas Arang Kompos Kualitas suatu arang kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, di samping kandungan unsur hara dan logamnya. Tingkat kematangan arang kompos dapat diketahui dengan melihat beberapa parameter seperti nisbah C/N, penampakan fisik yang berwarna cokelat tua hingga hitam dan remah, serta suhu yang mendekati suhu lingkungan. Data hasil analisis nisbah C/N arang kompos disajikan pada Tabel 4. Data Tabel 4 menunjukkan persentase rasio C/N arang kompos pada semua perlakuan berkisar 9.11~14.93. Hal ini berarti arang kompos yang dihasilkan sudah memenuhi rasio C/N tanah yang berkisar 10-20. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaur (1983), nilai nisbah C/N kompos matang berkisar antara 10~20. Keragaman jenis bahan baku pengomposan juga menentukan variasi nilai nisbah C/N kompos. Penurunan nilai nisbah C/N selama proses kompos. Penurunan nilai nisbah C/N selama proses dekomposisi berkaitan erat dengan aktivitas biodekomposer yang membebaskan gas CO2 dan CH4,
Table 3. Shrinkage percentage weight of charcoal compost during composting % Depreciation charcoal compost weight on day Treatment 0 10 20 30 40 50
60
Control
0.00
8.83
22.29
31.30
40.30
46.89
51.30
Dobura1 0.5%
0.00
9.72
22.99
33.06
43.13
49.88
54.55
Dobura1 1.0%
0.00
10.35
24.63
34.95
45.28
51.78
56.58
EM-4 0.5%
0.00
7.78
20.18
30.04
39.91
46.82
51.90
EM-4 1.0%
0.00
8.09
21.95
33.47
45.01
50.95
55.61
Source: Data analysis at the Laboratory of Chemical FKIP Unsyiah at Banda Aceh in 2009 Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari
89
Table 4. Charcoal nutrient content of compost composting results on day 60 Nutrient Trace Element Treatment C N Ratio P K Ca (%) (%) C/N (ppm) (ppm) (ppm) 1450 7865 1867 Control 26.16 2.25 11.65 Dobura1 0.5% 32.63 3.02 10.79 1943 6295 1264 1235 6352 1271 Dobura1 1.0% 30.67 3.37 9.11 1586 6745 1706 EM-4 0.5% 34.01 2.28 14.93 EM-4 1.0% 30.45 2.18 13.99 1542 7136 1537 SNI Min. 27.00 0.40 10.00 100 200 Maks. 58.00 20.00 2550 Source: Data from the Integrated Laboratory analysis of P3HH at Bogor in 2009 sehingga kadar unsur C cenderung menurun, sedangkan unsur N relatif meningkat. Hanya pada pengomposan dengan biodekomposer Dobura1 yang menghasilkan rasio C/N sangat rendah. Hal ini disebabkan karena biodekomposer ini selama pengomposan bekerja sangat intensif. Berdasarkan data Tabel 4 ditunjukkan bahwa semua perlakuan pengomposan mengandung unsur hara yang memenuhi standar kompos sampah organik domestik sesuai SNI-19-7030-2004 (BSN 2004), kecuali arang kompos hasil pengonposan dengan biodekomposer Dobura1 terutama pada perlakuan konsentrasi 0.5%. Salah satu parameter penting sebagai syarat kualitas kompos adalah kandungan unsur haranya. Semakin lengkap kandungan unsur haranya maka semakin tinggi pula mutu kompos yang dihasilkan (Harada et al. 1993). Kandungan unsur hara pada arang kompos sangat menentukan kemampuannya untuk menaikkan kadar unsur hara dalam tanah sehingga dapat menyuburkan tanaman. Mineral Ca dan Mg merupakan unsur-unsur yang biasa dihubungkan dengan keasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya tergolong kation yang cocok untuk mengurangi keasaman atau menaikkan nilai pH tanah. Mineral Fe dan Mn merupakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah sedikit, oleh karena itu disebut sebagai unsur hara mikro. Hal ini bukan berarti unsur hara mikro kurang esensial dibanding unsur hara makro, karena meskipun tanaman mengambilnya dalam jumlah sedikit, akibatnya dapat mengurangi jumlah yang tersedia. Kesimpulan Pembuatan arang kompos pada semua perlakuan penelitian ini menunjukkan perubahan suhu yang fluktuatif terutama pada hari ke-1 dan hari ke-2 hingga ke-4 terjadi penurunan secara perlahan, selanjutnya naik kembali secara perlahan pula. Nilai pH pada semua perlakuan menunjukkan kenaikan yang sangat tajam pada hari ke-1, kecuali kontrol yang naik hingga hari ke-2, sedangkan pada hari ke-3 semuanya menunjukkan
90
Mg (ppm) 2592 2996 1548 2963 2986 600
Fe (ppm) 527 683 587 725 842 2000
Mn (ppm) 34.4 45.2 35.5 68.8 49.4 1000
penurunan yang agak tajam, selanjutnya padahari ke-4 dan seterusnya naik kembali secara perlahan. Penyusutan bobot arang kompos pada semua perlakuan terjadi secara signifikan hingga hari ke-60. Arang kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan memenuhi mutu kompos sampah domestik sesuai SNI19-7030-2004. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Pimpinan Universitas Syiah Kuala yang telah membiayai Proyek Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Tahun 2009 ini sehingga semuanya dapat berjalan dan sukses sesuai rencana yang telah diprogramkan. Selanjutnya, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan membantu kelancaran penelitian ini. Daftar Pustaka BSN. 2004. SNI 19-7030-2004 Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisari Nasional, Jakarta BSN. 1996. SNI 06-4369-1996 Bubuk Arang Tempurung Kelapa. Badan Standarisari Nasional, Jakarta Cocchi, M., C. Durante, M. Grandi, P. Lambertini, D. Manzini, and A. Marchetti. 2006. Simultaneous Determination of Sugars and Organic Acids in Aged Vinegar and Chemometric Data Analysis. Talanta, in press Darnoko dan A.S. Sutarta. 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Sawit. Artikel Tabloid Sinar Tani, 9 Agustus 2006. Djuarnani, N., Kristian, dan B.S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Edwards, C. 1990. Microbiology of Extreme Environment. McGraw-Hill Publishing Company. New York.
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Fauzi,Y., Y.E. Widyastuti, I. Satyawibawa, dan R. Hatono. 2008. Kelapa Sawit, Budi Daya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah. Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta Gaur, A.C. 1983. A Manual Rural of Composting. Project Field Document. Food and Agricultural Organization UN. Rome. Harada, Y., K. Haga, Tosada, and M. Koshino. 1993. Quality of Compost Produced from Animal Waste. Japan Agric. Res. Quarterly 26(4):238-246. Horwitz, W. (ed.) 2006. Official Methods of Analysis of AOAC International. Gaithersburg, Maryland USA. Indriani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Cetakan VII. Penebar Swadaya. Jakarta. Irawadi, T.T. 1991. Produksi Enzim Ekstrasellular (sellulase dan xilanase) dari Neurospora sitophilla pada Substrat Limbah Padat Kelapa Sawit [Disertasi Program Doktor] Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor. Komarayati, S., Mustaghfirin, dan K. Sofyan. 2007. Kualitas Arang Kompos Limbah Industry Kertas dengan Variasi Penambahan Arang Serbuk Gergaji. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5(2): 78-84 Komilis, D.P. 2006. A Kinetic Analysis of Solid Waste Composting at Optimal Conditions. Waste Management 26: 82-91 Komilis, D.P. and R.K. Ham. 2006. CO2 and Ammonia Emissions during Composting of Mixed Paper, Yard Waste and Food Waste. Waste Management 26: 6270 Murbandono, L. 2005. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta Narasimhan, S., S. Kannan, V.P. Santhanakrishnan and R. Mohankumar. 2005. Insect Antifeedant and Growth Regulating Activities of Salannobutyrolactone and Desacetylsalannobutyro-lactone. Fitoterapia 76: 740-743 Nurhayati, T. 2000. Sifat Destilat Hasil Destilasi Kering 4 Jenis Kayu dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17: 160-168 Paris, O., C. Zollfrank, and G.A. Zickler. 2005. Decomposition and Carbonization of Wood Biopolymer Microstructural Study of Softwood Pyrolisis. Carbon 43: 53-66. Pratiwi, W., O. Atmawinata, dan R.S. Pudosunarjo. 1988. Pembuatan Pulp Kertas dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Proses Soda. Menara Perkebunan 56: 49-52 Steiner, C., Wenceslau, G.T., Lehmann, J., Nehls, T., Blum, H., and Zech, W. 2007. Long Term Effects of Manure, Charcoal and Mineral Fertilization on Crop Production and Fertility on a Highly Weathered Central Amazonian Upland Soil. Plant soil 9: 7-24
Strom, P.F. 1985. Effects of Temperature on Bacterial Species Diversity in Thermophilic Solid-waste Composting. Applied and Environmental Microbiology 50(4): 899-905 Su, M-S. and J.L. Silva. 2006. Antioxidant Activity, Anthocyanins, and Phenolic of Rabbiteye Blueberry (Vaccinium ashei) by Products as Affected by Fermentation. Food Chemistry 97: 447-451 Sukmadi, B. dan D. Hardianto. 2000. Pengujian Aktivitas Formulasi Mikroorganisme Dekomposisi pada Proses Pengomposan Bahan Organik. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Mikrobiologi Indonesia di Denpasar, 27-28 Juni 2000. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Denpasar, pp. 23-28. Swastawati, F., T. W. Agustini, Y. S. Darmanto, and E. N. Dewi. 2007. Liquid Smoke Performance of Lamtoro Wood and Corn Cob. J. Coastal Development 10(3): 189-196 Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2004. Limbah Padat Pengolahan Minyak Sawit sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian 23(1): 73-82. Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara Program Studi Kimia FKIP, Universitas Syiah Kuala (Study Program of Chemistry FKIP, Syiah Kuala University) Darussalam Banda Aceh 23111 Telp./HP : 08126907730 Email :
[email protected] [email protected] [email protected] Asri Gani Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala (Dept. of Tehnic Chemistry, Faculty of Tehnic, Syiah Kuala University) Darussalam Banda Aceh 23111 Telp./HP : 081362951966 Sarwo Edi dan Diana Indah Sari Mahasiswa Program Sarjana Program Studi Kimia FKIP, Universitas Syiah Kuala (Bachelor Students of Study Program of Chemistry FKIP, Syiah Kuala University) Darussalam Banda Aceh 23111
Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari
91
Tinjauan Penelitian Terkini tentang Pemanfaatan Komposit Serat Alam untuk Komponen Otomotif Review on Current Research on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Components Subyakto dan Mohamad Gopar Abstract Automotive industries now are targeting their components to become “green composites” which are environmentally friendly, renewable, biodegradable, recyclable, light, and strong. Natural fibers have potential to use as substitute for material composites traditionally used by automotive industries such as fiber glass, carbon fiber and aramid that are non renewable, non degradable and non recyclable. Therefore the use of synthetic fibers should be reduced. European End of Live program required that in 2015 all new cars should be recyclable. Composites reinforced with natural fibers will play important role as automotive materials. Some advantages of natural fibers compare to synthetic fibers are renewable, biodegradable, recyclable, non toxic to human and environment, low density, better specific mechanical properties, non abrasive to tools, and lower cost. Utilization of natural fibers can reduced car weight up to 30%, and energy to produce natural fibers is lower compare to glass fibers. Natural fiber resource, their characteristics and current research on their utilization for automotive components were reviewed. Hopefully it will stimulate and raise the research on utilization of natural fibers in Indonesia, especially for high value products such as automotive components. Key words: natural fibers, resource, utilization, composites, automotive components Pendahuluan Perkembangan industri otomotif terus meningkat di dunia, demikian juga di Indonesia. Pada tahun 2007 produksi kendaraan penumpang di dunia naik menjadi 52.1 juta unit, dari 49.1 juta unit tahun 2006. Kalau ditambah dengan produksi truk, maka total produksi otomotif di dunia sebanyak 74.1 juta unit tahun 2007, dan tahun 2008 diprediksi akan naik menjadi total 84 juta unit per tahunnya (Renner 2008). Di Indonesia total produksi mobil tahun 2008 mencapai 600628 unit, naik dari 411638 unit pada tahun 2007 (Gaikindo 2009). Departemen Perindustrian memproyeksikan pada tahun 2011 produksi mobil sebanyak 1 juta unit dan motor 6.53 juta unit; dan pada tahun 2025 sebanyak 4.17 juta mobil dan 7.57 juta motor (Kompas, 22 Oktober 2008). Pertambahan produksi mobil ini tentunya memerlukan bahan baku untuk interior dan eksterior yang meningkat pula. Dari segi pemakaian bahan, industri otomotif dituntut untuk menggunakan “green materials” yang lebih ramah lingkungan dan dapat didaur ulang (Brady and Brady 2007, Holbery and Houston 2006, Marsh 2003, Monteiro et al. 2009, Netravali and Chabba 2003). Pada sebagian produsen mobil utama seperti Mercedes Benz, Ford, BMW dan lainlain, beberapa bagian komponen mobil ini sudah menggunakan komposit yang diperkuat dengan serat alam (Bledzki et al. 2006). Seperti Mercedes Benz AClass telah mengganti bahan plastik-serat gelas dengan serat alam flax-polypropylene untuk komponen bawah badan mobilnya, dan S-Class (Gambar 1) telah
92
menggunakan 27 komponen mobilnya dari serat alam (Marsh 2003, Bledzki et al. 2006). Serat alam mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan serat sintetis untuk komponen otomotif, yaitu antara lain lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui, mudah terdegradasi, bisa didaur ulang, ringan dan kuat (Bledzki et al. 2006, Suddell and Evans 2005, Wambua et al. 2003). Pada sisi lain serat alam mempunyai kelemahan antara lain kualitasnya tidak seragam, sumber bahan baku yang tidak kontinyu, mempunyai sifat hydrophilic yang menyebabkan sulit berikatan dengan polimer yang bersifat hydrophobic, serta mempunyai sifat kekuatan impact yang rendah (Suddell and Evans 2005). Indonesia yang mempunyai sumber bahan baku serat alam yang melimpah, perlu menggalakkan penelitian bahan baku ini untuk komponen otomotif sehingga mempunyai nilai keuntungan ekonomi dan lingkungan. Pada makalah ini ditinjau potensi serat alam dan karakterisasinya, serta penelitian terkini tentang pemanfaatan serat alam untuk komposit sebagai komponen otomotif. Diharapkan tinjauan ini dapat lebih membangkitkan minat penelitian serat alam dan pemanfaatannya untuk komposit khususnya sebagai komponen otomotif di tanah air. Potensi Serat Alam Potensi produksi serat alam di dunia per tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Setelah kayu, kapas merupakan serat alam yang paling banyak dihasilkan (18.45 juta
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
Figure 1. Utilization of composites reinforced with natural fibres for utomotive components of Mercedes S class (Source: Bledzki et al. 2006) ton/tahun), diikuti oleh serat jute (2.30 juta ton/tahun), kenaf (970 ribu ton/tahun), dan seterusnya. Negara penghasil serat alam yang penting (Brink dan Escobin 2003) antara lain adalah: abaka (Filipina, Ekuador), kelapa (India, Sri Lanka), kapas (Cina, Amerika Serikat, India), flax (Cina, Perancis), hemp (Cina, Spanyol), jute (India, Banglades), kenaf dan rosela (India, Cina, Thailand), kapok (Indonesia, Thailand), rami (Cina, Brazil), sisal (Brazil, Cina, Kenya). Sementara itu produksi serat alam per tahun di Asia Tenggara disajikan pada Tabel 2. Serat abaka banyak diproduksi di Filipina, sedangkan serat kenaf banyak dihasilkan oleh Thailand. Indonesia merupakan penghasil serat kapok, kapas, kenaf, abaka, rami dan sisal dengan jumlah produksi yang masih sedikit. Menurut Balai Penelitian Tembakau dan Serat (Sastrosupadi et al. 2004), tanaman sisal banyak terdapat di Blitar Selatan, Malang Selatan, Banyuwangi, Jember, Solo, Kulon Progo, dan Madura. Areal tanaman sisal di Madura sekitar 450 Ha dengan produksi sekitar 400 ton per tahun. Selama ini serat alam telah dimanfaatkan untuk bahan tekstil, tali, kerajinan, kertas, bahan konstruksi bangunan, komponen otomotif, dan penggunaan lainnya. Untuk seluruh Eropa dan Amerika Utara pasar untuk produk biokomposit-plastik mencapai 685000 ton dengan nilai $ 775 juta pada tahun 2002. Khusus untuk pemanfaatan sebagai komponen otomotif telah terjadi
peningkatan jumlah yang sangat tajam, misalnya di Jerman meningkat dari 4000 ton pada tahun 1996 menjadi 18000 ton pada tahun 2003 (Bledzki et al. 2006). Kecenderungan ini diperkirakan akan terus berlanjut, misalnya di Eropa pada tahun 2005 penggunaan serat alam untuk otomotif mencapai 70000 ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 100000 ton pada tahun 2010 (Suddell and Evans 2005). Karakteristik Serat Alam Secara umum serat alam bisa diklasifikasikan menjadi serat kayu (wood) dan serat bukan kayu (non wood). Serat bukan kayu terdiri dari serat straw seperti jerami padi; serat kulit batang (bast) seperti kenaf, rami, jute, hemp; serat daun seperti sisal, nenas; serat dari biji atau buah seperti sabut kelapa; dan rumput-rumputan seperti bambu, rumput gajah (Mohanty et al. 2002). Sebenarnya serat merupakan satu kumpulan serat (fiber bundles). Sebagai contoh serat kulit batang flax (Linum usitatissimum), satu kumpulan serat (bundle) dengan diameter 50~100 μm terdiri dari kumpulan serat tunggal (elementary fiber) dengan diameter masing-masing sekitar 10~20 μm. Serat tunggal terdiri dari kumpulan mikrofibril-mikrofibril (microfibrils) dengan diameter 4~10 nm. Mikrofibril ini tersusun oleh rangkaian molekul selulosa. Komponen kimia utama dari serat alam adalah
Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component Subyakto dan Mohammad Gopar
93
Table 1. Annual world production of natural fibers. Fiber sources Wood (>10,000 species) Cotton lint (Gossypium sp) Bamboo (> 1250 species) Jute (Corchorus sp) Kenaf (Hibiscus cannabinus) Flax (Linum usitatissimum) Sisal (Agave sisalana) Roselle (Hibiscus sabdariffa) Hemp (Cannabis sativa) Coir (Cocos nucifera) Ramie (Boehmeria nivea) Abaca (Musa textilis) Source: Suddell and Evans (2005)
Production (x1000 ton/year) 1,750,000 18,450 10,000 2,300 970 830 378 250 214 100 100 70
Origin Stem Fruit Stem Bast Bast Bast Leaf Bast Bast Fruit Bast Leaf
Table 2. Production of natural fibers in some countries in South-East Asia (x1000 ton/year). Fiber sources Indonesia Thailand Philippines Burma Vietnam South-East Asia Abaca 0.6 71.9 72.5 Cotton 8.9 15.2 1.2 55.2 23.9 110.4 Jute 5.3 36.4 14.5 57.3 Kenaf, etc. 5.9 60.0 0.1 65.9 Kapok 79.9 44.5 124.5 Ramie 0.3 1.6 3.0 Sisal 0.5 0.1 0.6 Source: Brink and Escobin (2003) Table 3. Chemical properties of some natural fibers. Fiber Cellulose Hemicellulose (%) (%) Abaca 55~64 18~23 Cotton 88~96 3~6 Flax 57 15 Hemp 62~67 8~16 Jute 45~64 12~26 Kenaf 44~62 14~20 Pineapple 55~82 15~20 Ramie 69~91 5~13 Sisal 54~66 12~17 Source: Munawar (2008)
Lignin (%) 5~18 1~2 2 3~4 11~26 6~19 5~12 1 7~14
Table 4. Mechanical properties of some natural fibers compare with glass fiber. Fiber Density Tensile strength E-modulus (g/cm3) (Mpa) (Gpa) Abaca 1.50 980 19.7 Cotton 1.51 400 12 Flax 1.40 800~1500 60-80 Hemp 1.48 550~900 70 Jute 1.46 400~800 10-30 Kenaf 1.47 413~1627 18.2 Pineapple 1.44 413~1627 34.5~82.5 Ramie 1.50 500 44 Sisal 1.33 600~700 38 E-glass 2.55 2400 73 Source: Munawar (2008)
94
Pectin (%) 1 1.2 4 0.8 0.2 4~5 2~4 2 1
% of World 74.2 0.6 2.0 13.2 100 2.1 0.2
Wax (%) 0.2 0.6 1.5 0.7 0.5 4~7 0.3 0.3
Specific Modulus (E-modulus/Density) 13 8 26~46 47 7~21 12 24~57 29 29 29
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
merupakan unsur utama dari serat alam, semakin banyak kandungan selulosa dari serat alam maka semakin tinggi harganya (Brink and Escobin 2003). Serat alam mempunyai komponen pektin dan lilin, tidak seperti kayu yang tidak mempunyainya. Sifat mekanis (kekuatan) dari serat alam memang lebih rendah dibandingkan dengan serat gelas, tetapi serat gelas mempunyai densitas yang lebih tinggi (Tabel 4). Sehingga kalau dilihat modulus spesifiknya, maka beberapa serat alam (rami, sisal) setara dengan serat gelas bahkan banyak yang melebihinya seperti hemp, flax dan serat nenas. Oleh karena itu pemanfaatan serat alam sebagai bahan penguat polimer untuk komponen otomotif sekarang ini banyak diminati karena lebih ringan tapi kuat. Pemanfaatan Serat Alam untuk Komponen Otomotif Aspek Positif Serat Alam Beberapa keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan dengan serat sintetis (fiber glass) untuk komponen otomotif antara lain adalah: bisa diperbarui (renewable) dan sustainable, dapat didaur ulang (recyclable), dapat mengurangi berat kendaraan antara 10~30%, tersedia dalam jumlah banyak dan lebih murah (Suddell and Evans 2005). Dari aspek teknis, serat alam mempunyai sifat dapat didegradasi (biodegradable), kekuatan spesifik lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, mempunyai sifat akustik dan termal baik, dan lebih lembut (soft) (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al. 2006). Ditinjau dari harga bahan baku, serat alam lebih murah dibandingkan dengan serat sintetis seperti serat gelas (glass fiber) dan serat karbon. Perbandingan harga serat (dalam $ US/ kg) adalah sebagai berikut: serat karbon 200, serat gelas 1.3~3.25, sisal 0.6~0.7, abaca 1.5~2.5, rami 1.25~2.5, sabut kelapa 0.25~0.5, jute 0.30~ 0.35, flax 1.5, hemp 0.6~1.8 (Bogoeva-Gaceva et al. 2007, Bledzki et al. 2006). Meskipun demikian serat alam juga memiliki keterbatasan antara lain kualitasnya tidak seragam, sumber bahan baku yang tidak kontinyu, mempunyai sifat hydrophilic yang menyebabkan sulit berikatan dengan polimer yang bersifat hydrophobic, serta mempunyai sifat kekuatan impact yang rendah (Suddell and Evans 2005). Tetapi dengan kemajuan teknologi di bidang silvikultur, serta pengembangan teknologi proses maka kelemahankelemahan tersebut dapat diatasi. Penelitian serat alam untuk komposit Komposit dari polimer yang diperkuat dengan serat alam telah banyak diteliti (Jacob and Thomas 2008). Serat alam yang diteliti antara lain sisal, hemp, daun nenas, abaca, bambu, rami, kenaf, jute (Acha et al. 2006, Bogoeva-Gaceva et al. 2007, Chen et al. 2005, Li et al. 2000, Lodha and Netravali 2002, Misra et al. 2004,
Mohanty et al. 2002, Mueller and Krobjloski 2003, Mutje et al. 2006b, Okubo et al. 2004, Shibata et al. 2003, Subyakto et al. 2005, Syamani et al. 2005). Polimer yang digunakan antara lain polimer termoplastis, termoseting ataupun perekat dari bahan alam (biodegradable polymer) seperti polylactic acid, starch, soy oil, castor oil (Lee et al. 2004, Lee et al. 2009, Mohanty et al. 2005, Shibata et al. 2008, Williams and Wool 2000) Rasio serat alam dengan polimer yang digunakan berkisar antara 10% sampai dengan 80%. Penguatan serat alam pada polimer meningkatkan sifat kekuatan antara 2 ~ 5 kalinya tergantung dari jumlah serat. Semakin banyak jumlah serat sampai batas optimum mempunyai kecenderungan semakin meningkatkan sifat kekuatannya. Teknologi Proses Jenis polimer yang biasa digunakan untuk komponen otomotif dari serat alam dapat digolongkan menjadi polimer termoplastis dan polimer termoset. Polimer termoplastis antara lain adalah polipropilena (polypropylene), polietilena (polyethylene), polyvinil chloride (PVC), dan poliester. Polimer termoset antara lain adalah epoxy, polyurethane, acrylate, phenol dan melamine. Proses yang umum digunakan untuk membuat komposit komponen otomotif adalah cetak pres panas (hot press molding) (Parikh et al. 2002) dan cetak injeksi (injection molding). Polipropilena banyak digunakan pada proses cetak injeksi menggunakan serat alam (Arzondo et al. 2004, Mutje et al. 2006a, Nystrom et al. 2007, Panthapulakkal and Sain 2007). Aplikasi Aplikasi komposit serat alam-polimer untuk komponen otomotif bisa digunakan untuk bagian interior maupun eksterior. Bagian otomotif yang telah menggunakan komposit serat alam antara lain adalah seat back, side and door panel, boot lining, hat rack, spare tire lining, dashboard, business table, piller cover panel, under body protection trim, instrumental panel, headliner panel (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al. 2006). Sedangkan industri otomotif yang telah memanfaatkan serat alam sebagai komponennya antara lain Audi, BMW, DaimlerChrysler, Fiat, Ford, Mitsubishi, Opel, Peugeot, Renault, Saab, Volkswagen, Volvo (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al. 2006). Kesimpulan Penelitian serat alam sebagai komposit untuk aplikasi komponen otomotif serta status pemakaian serat alam pada produk otomotif telah disampaikan pada makalah ini. Di samping berbagai keuntungan pemakaian serat alam untuk komponen otomotif, ada beberapa kelemahan yang perlu penelitian lebih lanjut terutama dengan menggunakan serat alam Indonesia sehingga
Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component Subyakto dan Mohammad Gopar
95
diperoleh komposit serat alam yang memenuhi standar pemakaian komponen otomotif. Daftar Pustaka Acha, B.A., Reboredo, M.M., Marcovich, N. 2006. Effect of Coupling Agents on Thermal and Mechanical Properties of Polypropylene-Jute Fabric Composites. Polymer International 55: 1104-1113. Arzondo, L.M., Vazquez, Carella, J.M., Pastor, J.M. 2004. A Low-cost, Low-Fiber-Breakage, Injection Molding Process for Long Sisal Fiber Reinforced Polypropylene. Polymer Engineering and Science 44 (3): 1766-1772. Bledzki, A.K., Faruk, O., Sperber, V.E. 2006. Cars from Bio-Fibers. Macromolecular Materials Engineering 291: 449-457. Bogoeva-Gaceva, G., Avella, M., Malinconico, M., Buzarovska, A., Grozdanov, A., Gentile, G., Errico, M.E. 2007. Natural Fiber Eco-composites. Polymer Composites. DOI 10.1002/pc.20270. Brady, P., Brady, M. 2007. Automotive Composites: Which Way are We Going?. Reinforced plastics November 2007: 32-35. Brink, M., Escobin, R.P. 2003. Plant Resources of SouthEast Asia No. 17. Fibre Plants. Prosea Foundation. Bogor, Indonesia, 456 pp. Chen, Y., Chiparus, O., Sun, L., Negulescu, I., Parikh, D.V., Calamari, T.A. 2005. Natural Fibers for Automotive Nonwoven Composites. Journal of Industrial Textile 35(1): 47-62. Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia). 2009. Production Data 2005-2008. http://www.gaikindo.or.id. Holbery, J., Houston, D. 2006. Natural-Fiber-Reinforced Polymer Composites in Automotive Applications. JOM November 2006: 80-86. Jacob, M.J. and Thomas, S. 2008. Biofibres and Biocomposites. Carbohydrate Polymers 71:343-364. Kompas. 2008. Target Industri Otomotif Nasional 20112025: 4,17 juta Mobil, 7,57 juta Motor. Harian Kompas 22 Oktober 2008. Lee, N.I., Kwon, O.J., Chun, B.C., Cho, J.W., Park, J.S. 2009. Characterization of Castor Oil/ Polycaprolactone Polyurethane Biocomposites Reinforced with Hemp Fibers. Fibers and Polymers 10(2): 154-160. Lee, S,.H., Ohkita, T., Kitagawa, K. 2004. Eco-composite from Poly (Lactic Acid) and Bamboo Fiber. Holzforschung 58: 529-536. Li, Y., Mai, Y.W., Ye, L. 2000. Sisal Fibre and Its Composites: a Review of Recent Developments. Composites Science and Technology 60: 2037-2055. Lodha, P., Netravali, A.N. 2002. Characterization of Interfacial and Mechanical Properties of “Green”
96
Composites with Soy Protein Isolate and Ramie Fiber. Journal of Materials Science 37: 3657-3665. Marsh, G. 2003. Next Step for Automotive Materials. Materialstoday, April 2003, Elsevier Science Ltd. pp. 36-43. Misra, S., Mohanty, A.K., Drzal, L.T., Misra, M., Hinrichsen, G. 2004. A Review on Pineapple Leaf Fibers, Sisal Fibers and Their Biocomposites. Macromolecular Materials and Engineering 289: 955974. Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable Bio-composites from Renewable Resources: Opportunities and Challenges in the Green Materials world. Journal Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26. Mohanty, A.K., Tummala, P., Liu, W., Misra. M., Mulukutla, P.V., Drzal, L.T. 2005. Injection Molded Biocomposites from Soy Protein Based Bioplastic and Short Industrial Hemp Fiber. Journal of Polymers and the Environment 13 (3): 279-285. Monteiro, S.N., Lopes, F.P.D., Ferreira, A.S., Nascimento, D.C.O. 2009. Natural-Fiber Polymer-Matrix Composites: Cheaper, Tougher, and Environmentally Friendly. JOM January 2009: 17-22. Mueller, D.H., Krobjilowski, A. 2003. New Discovery in the Properties of Composites Reinforced with Natural Fibers. Journal of Industial Textiles 33(2): 111-123. Munawar, S.S. 2008. Properties of Non-wood Plant Fiber Bundles and the Development of Their Composites. Doctor Dissertation, Department of Forestry and Biomaterials Science, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Japan. Mutje, P., Girones, J., Llop, M.F., Vilaseca, F. 2006a. Hemp Strands : PP Composites by Injection Molding: Effect of Low Cost Physico-Chemical Treatments. Journal of Reinforced Plastics and Composites 25 (3): 313-327. Mutje, P., Vallejos, M.E., Girones, J., Vilaseca, F., Lopez, A., Lopez, J.P., Mendez, J.A. 2006b. Effect of Maleated Polypropylene as Coupling Agent for Polypropylene Composites Reinforced with Hemp Strands. Journal of Applied Polymer Science 102: 833-840. Netravali, A.N., Chabba, S. 2003. Composites Get Greener. Materialstoday April 2003: 22-28. Nystrom, B., Joffe, R., Langstrom, R. 2007. Microstructure and Strength of Injection Molded Natural Fiber Composites. Journal of Reinforced Plastics and Composites 26(6): 579-599. Okubo, K., Fujii, T., Yamamoto, Y. 2004. Development of Bamboo-based Polymer Composites and Their Mechanical Properties. Composites Part A 35: 377383. Panthapulakkal, S., Sain, M. 2007. Injection-molded Short Hemp Fiber/glass Fiber-reinforced Polypropylene Hybrid Composites – Mechanical, Water Absorption
J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009
and Thermal Properties. Journal of Applied Polymer Science 103: 2432-2442. Parikh, D.V., Calamari, T.A., Sawhney, A.P.S., Blanchard, E.J., Screen, F.J. 2002. Thermoformable Automotive Composites Containing Kenaf and Other Cellulosic Fibers. Textile Research Journal 72(8): 668-672. Renner, M. 2008. Vehicle Production Rises, but Few Cars are “Green”. http://www.worldwatch. org/node/5461. Sastrosupadi, A. et al. 2004. Konservasi Sumber Daya Lahan dengan Tanaman Sisal (Agave sisalana Perrine) di Bendungan Karangkates Malang. Laporan Proyek. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Badan Litbang Pertanian, Malang. Shibata, M., Ozawa, K., Teramoto, N., Yosomiya, R., Takeishi, H. 2003. Biocomposites Made from Short Abaca Fiber and Biodegradable Polyesters. Macromolecular Materials Engineering 288: 35-43. Shibata, S., Cao, Y., Fukumoto, I. 2008. Flexural Modulus of Undirectional and Random Composites Made from Biodegradable Resin and Bamboo and Kenaf Fibers. Composites Part A 39: 640-646. Subyakto, Munawar, S.S., Gopar, M., Syamani, F.A., Budiman, I., Subiyanto, B. 2005. Development of Biocomposites from Abaca Fiber Glued with Urea or Phenol Formaldehydes. Proc. International Symposium on Wood Science and Technology. IAWPS2005. Yokohama, Japan. pp. 124-125.
Suddell, B.C. and Evans, W.J. 2005. Natural Fiber Composites in Automotive Applications. In: Natural Fibers, Biopolymers, and Biocomposites (Eds.: Mohanty, Misra, Drzal). CRC Press. pp. 231-260. Syamani, F.A., Budiman, I., Subyakto, Subiyanto, B. 2005. Panel Product from Long Fibers of Abaca (Musa textiles Nee). Proc. of the 6th International Wood Science Symposium: Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resources. Bali, Indonesia. p. 47. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass in Fibre Reinforced Plastics?. Composites Science and Technology 63: 1259-1264. Williams, G.I., Wool, R.P. 2000. Composites from Natural Fibers and Soy Oil Resins. Applied Composite Materials 7: 421–432. Subyakto, Mohamad Gopar UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911 Tel. : +62-21-87914511 Fax. : +62-21-87914510 Email :
[email protected]
Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component Subyakto dan Mohammad Gopar
97