III. TINJAUAN TEORI DAN STUDI TERDAHULU 3.1.
Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional diyakini akan memberikan manfaat bagi semua
pihak yang melakukan. Bahkan, perdagangan internasional yang mengarah kepada perdagangan bebas akan lebih mendorong meluasnya permintaan, meningkatnya produksi dan pemakaian sumberdaya yang efisien (Smith, 1776 dalam Jhingan, 1975; Ricardo, 1917 dalam Jhingan, 1975). Menurut Ricardo, dengan asumsi “the law of diminishing return” dan persaingan sempurna, maka suatu negara akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keunggulan komparatif dan mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komparatif rendah. Suatu negara mengimpor barang karena tidak mampu menghasilkan barang yang lebih efisien dibandingkan negara lain atau lebih mahal. Mekanisme terjadinya perdagangan internasional (ekspor-impor) muncul sebagai akibat adanya perbedaan keseimbangan permintaan dan permintaan di antar negara. Kelebihan penawaran mendorong suatu negara untuk melakukan ekspor dan sebaliknya, kelebihan permintaan akan mendorong suatu negara untuk melakukan impor (Gambar 6). Secara teoritis perdagangan internasional akan meningkatkan kesejahteraan suatu negara dibandingkan dengan negara tersebut tidak melakukan perdagangan, yaitu kombinasi konsumsi yang baru berada pada kurva indeferen yang lebih tinggi (Gambar 7). Adanya kegiatan ekspor dan impor tentunya akan mempengaruhi keseimbangan
nasional.
Keseimbangan
nasional
dirumuskan
sebagai
keseimbangan antara penawaran total dan permintaan total. Penawaran total merupakan penjumlahan dari produksi dan impor, sedangkan permintaan total
20
merupakan penjumlahan dari konsumsi dalam negeri ditambah ekspor. Uraian secara grafis seperti disajikan pada Gambar 8. P
P
P
Sb Se Pb
Sa
Pw
Pw
Pw D
Qb1 Qb Qb2
Pa
De
b
Q
Da Q
Q e
Negara Importir
Pasar Dunia
Qa1 Qa Qa2 Negara Eksportir
Sumber : Kindleberger (1993) dalam Purwanto (2002)
Gambar 6. Mekanisme Perdagangan Dunia
Produksi Makanan QF
Kurva Indifference D
Impor makanan Q
Garis Isovalue
TT
Produksi PakaianP Ekspor pakaian
Produksi Pakaian QC
Sumber: Krugman and M. Obstfeld (2003)
Gambar 7.
Perbedaan Tingkat Konsumsi dan Produksi Pada Model Standar Perdagangan
Q
21
P St E2
P2 P0
St1
E0 E1
P1
Dt1 Dt
Q1
Q0
Q2
Q
Sumber :
Hady (1998) dalam Purwanto (2002)
Gambar 8.
Pengaruh Ekspor dan Impor terhadap Permintaan dan Penawaran Domestik
3.1.1. Kebijakan Pajak Ekspor Pajak ekspor merupakan salah satu instrumen perdagangan yang umum diterapkan oleh negara berkembang dengan fungsi utama sebagai sumber penerimaan pemerintah dari bukan pajak dalam APBN (fungsi budgeter). Disamping fungsi budgeter, pajak ekspor dapat digunakan sebagai fungsi regulator karena adanya kelangkaan produk-produk tertentu di dalam negeri, misal akibat krisis ekonomi (Mulyono, 1999). Pajak ekspor termasuk kedalam kelompok border intervention taxes. Dalam perdagangan internasional dikenal tiga kelompok border intervention, yaitu pajak (taxes), subsidi dan kuota. Dampak diterapkannya pajak ekspor terhadap perdagangan dunia disajikan pada Gambar 9. Dampak dari pemberlakukan dan kenaikan pajak ekspor (spesifik tarif) pada negara eksportir akan menyebabkan penurunan harga produk domestik dan harga ekspor, penurunan produksi domestik dan volume ekspor, peningkatan konsumsi,
22
penurunan devisa negara namun dapat meningkatkan penerimaan negara dari pajak ekspor. Sedangkan pada negara importir terjadi kenaikan harga domestik yang mendorong kenaikan produksi dalam negeri, penurunan konsumsi dan impor. P
ES - t
P
P
S
ES Sx PW1
t
PW PW1 - t
t D ED
Dx
qc qc1 qp1 qp
Q
Negara Eksportir A
qe1 qe Pasar Ekspor Negara Eksportir A
Q
Qp Qp1 Qc1 Qc
Q
Negara Lainnya (ROW)
Sumber : Tweeten (1992)
Gambar 9. Dampak Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Dunia 3.1.2. Kebijakan Tarif Impor Tarif impor merupakan pajak yang dikenakan suatu barang yang diimpor. Sepertihalnya pajak ekspor, tarif impor termasuk kedalam kelompok border intervention taxes. Tarif impor dapat berupa tarif spesifik yang besarnya tetap untuk setiap barang yang diimpor atau berupa tarif ad valorem yaitu pajak yang dikenakan sebagai suatu bagian dari barang yang diimpor. Dampak dari pemberlakuan tarif impor (spesifik tarif) dalam perdagangan disajikan pada Gambar 10. Dampak pemberlakuan kenaikan tarif impor pada negara importir
23
adalah harga produk yang meningkat, jumlah konsumsi mengalami penurunan, produksi barang sejenis di dalam negeri mengalami kenaikan, volume impor menurun dan penerimaan pemerintah dari kenaikan tarif meningkat. Sedangkan bagi negara eksportir, terjadi penurunan ekspor dan akhirnya mendorong harga di dalam negeri turun. P
P
Sm
P
ES
PW1 + t t
D
t
S
PW PW1
Dm ED ED - t
qp qp1 qc1 qc Negara Importir A
Q
qe1 qe Pasar Impor Negara Importir A
Q
Qc Qc1 Qp1 Qp
Negara Lainnya (ROW)
Sumber : Tweeten (1992)
Gambar 10. Dampak Tarif Impor Spesifik terhadap Perdagangan Dunia 3.1.3. Kebijakan Nilai Tukar Mata Uang Sistem nilai tukar mata uang di dunia terdiri dari tiga kategori yaitu (1) sistem nilai tukar tetap, (2) sistem nilai tukar mengambang, dan (3) sistem nilai tukar mengambang terkendali. Sistem nilai tukar tetap memberikan kepastian dan menghindari spekulasi, namun menuntut kesediaan cadangan devisa yang mampu menjamin pelaksanaan sistem tersebut. Sedangkan dua sistem nilai tukar lainnya lebih diserahkan pada mekanisme permintaan dan penawaran mata uang di pasar. Perbedaaan antara sistem nilai tukar mengambang dengan sistem nilai tukar
Q
24
mengambang terkendali berupa ada tidaknya sebuah batasan nilai tukar yang akan dijaga oleh bank sentral sebuah negara terhadap nilai mata uang negara lain. Sistem nilai tukar mengambang terkendali cenderung diterapkan di kebanyakan negara. Sebuah negara tentunya menghendaki nilai tukar yang normal dan stabil. Apresiasi yang terlalu besar menyebabkan harga barang dan jasa menjadi semakin mahal dan tidak kompetitif untuk ekspor. Sebaliknya, apabila terjadi deprisiasi yang terlalu besar mendorong ekspor dan produksi dalam negeri, namun akan menaikkan harga-harga barang impor dan akan mendorong terjadinya defisit neraca pembayaran. 3.2.
Model Ekonomi Ekspor, Impor dan Harga Dunia Berdasarkan pada teori perdagangan internasional pada sub-bab 3.1.
selanjutnya disajikan model ekonomi ekspor, impor dan harga dunia. Model ekonomi tersebut meliputi peubah-peubah yang mempengaruhi persamaan ekspor, impor dan harga dunia yang akan digunakan dalam penelitian ini. 3.2.1. Ekspor Ekspor merupakan kelebihan produksi dari konsumsi dalam negeri dan stok (Labys, 1973 dalam Purwanto, 2002). Persamaan ekspor tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
=
−
+
.............................................................................(3.1)
∶ jumlah ekspor pada tahun t
∶ jumlah produksi pada tahun t
∶ jumlah konsumsi pada tahun t
: jumlah stok pada tahun t
25
Dalam persamaan 3.1 tersebut diasumsikan bahwa jumlah impor cukup kecil di negara produsen dan stok (t-1) tetap diperlukan untuk rangka menghadapi fluktuasi baik dalam kegiatan produksi dan harga yang berlangsung selama satu tahun. Ekspor ditentukan oleh produksi (Qt) yang banyak dipengaruhi oleh luas lahan, produktivitas dan iklim. Di sisi lain, ekspor juga dipengaruhi oleh konsumsi. Besarnya konsumsi (Ct) banyak ditentukan oleh pendapatan, harga, selera dan harga barang lain, khususnya barang subtitusi. Stok, khususnya untuk minyak nayati merupakan hasil produksi yang belum dipasarkan dan bukan persediaan terhadap spekulasi harga. Pada model yang bersifat umum, ekspor juga merupakan fungsi penawaran dimana besarnya ekspor juga dipengaruhi oleh harga ekspor yang dapat dijelaskan sebagai berikut: =
dimana:
∗
∗
+
..................................................................... (3.2)
+
∶ jumlah ekspor pada tahun t
∶ harga harapan pada tahun t
∶ faktor lain selain harga harapan
Apabila terdapat harapan harga akan membaik, hal ini akan mendorong produsen untuk meningkatkan ekspor, begitu pula sebaliknya. Dalam model Nerlovian disebut Adaptive Expectations (Nerlove, 1958 dalam Purwanto, 2002), yang mana harga harapan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: ∗
dimana:
∗
,
−
−
= (
= (
∗
∗
−
−
∗
∗
) ....................................................................(3.3)
)....................................................................(3.4)
∶ koefisien ekspektasi dengan nilai antara 0 dan 1
26
∗
∶ harga harapan pada periode tahun lalu
∗
∶ ekspor harapan pada periode tahun lalu
Dari persamaan 3.2 dan 3.4 dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: =
∗
+
......................................(3.5)
+ (1 − )
+
dan dari persamaan 3.4 dan 3.3 diperoleh persamaan: (1 − ) ∗ + + + + + (1 − ).....................................................................................(3.6)
=
Dari persamaan 3.4 dapat dikembangkan persamaan: ∗
−
= (
∗
+
∗
−
).................................................................(3.7)
+
............................................................(3.8)
dan dari persamaan 3.2 diperoleh ∗
=
Apabila disubtitusikan persamaan 3.7 dan 3.8 maka diperoleh persamaan: = (
∗
+
+
+
) + (1 − )
.................(3.9)
−
.....(3.10)
dan dari persamaan 3.9 dapat ditransformasi menjadi: ∗
=
−
−
−
Kemudian kita dapat mentransformasikan dari persamaan 3.6 menjadi persamaan berikut: ∗
=
−
(1 − ) +
−
(1 − )
1
+
−
1− (1 − )
...............................(3.11)
Dari persamaan 3.10 dan 3.11 diperoleh persamaan ekspor yaitu: = +
+ (1 − ) − (1 − )(1 − ) + (1 − ) + + − (1 − )
..........(3.12)
Persamaan ekspor pada 3.12 tersebut dapat ditulis dalam bentuk sederhana yaitu:
dimana:
= (.
,
,
,
) ..............................................................(3.13)
∶ jumlah ekspor pada tahun t
: jumlah ekspor pada tahun sebelumnya
27
: harga ekspor pada tahun sebelumnya ∶ faktor lain pada tahun t
: faktor lain pada tahun sebelumnya
Dengan demikian, faktor yang menentukan ekspor adalah ekspor pada tahun sebelumnya dan selang waktu dua tahun untuk produk yang dapat dibuat stok. Selain itu harga pada selang waktu satu tahun, Faktor lainnya dapat berupa harga dan jumlah ekspor tahun ini dan selang waktu satu tahun. Dalam perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang. Diketahui bahwa suatu negara importir akan selalu mencari harga yang lebih murah dari produk yang sama (Purwanto, 2002). Dengan demikian, model ekonomi persamaan ekspor dapat dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
= (
,
,
,
,
,
) ..............................................(3.14)
: harga ekspor pada tahun t
: jumlah produksi pada tahun t ∶ nilai tukar pada tahun t
: jumlah stok pada tahun t ∶ faktor lain pada tahun t
: jumlah ekspor pada tahun sebelumnya
3.2.2. Impor
Impor merupakan kebalikan dari kegiatan ekspor, yaitu suatu negara membeli barang dari luar negeri. Pembelian tersebut antara lain disebabkan oleh (1) produksi barang dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi, (2) suatu negara tidak dapat memproduksi dengan baik akibat dari adanya keterbatasan teknologi dan iklim dan atau barang tersebut sangat penting dalam proses kehidupan sehingga terpaksa harus diimpor, dan (3) suatu negara
28
mempunyai teknologi dan tidak mempunyai bahan baku, dalam hal ini bermanfaat untuk kegiatan re-ekspor (Purwanto, 2002). Secara sederhana persamaa impor dapat dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
=
−
.......................................................................... (3.15)
+
∶ jumlah impor pada tahun t
∶ jumlah konsumsi pada tahun t
∶ jumlah produksi pada tahun t : jumlah stok pada tahun t
Dari persamaan 3.15 maka hal yang menentukan impor adalah konsumsi. Pendekatan selanjutnya di dekati dari fungsi konsumsi yang membentuk fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
= (
,
,
,
,
,
) ............................................(3.16)
∶ jumlah konsumsi pada tahun t ∶ harga produk pada tahun t
∶ harga barang lain yang bersifat subsitusi dan komplemen pada tahun t
∶ tingkat pendapatan pada tahun t
: jumlah stok pada tahun t
∶ distribusi pendapatan pada tahun t
: selera pada tahun t
Dari persamaan 3.16 diketahui apabila harga komoditi menurun maka konsumsi akan meningkat, dan sebaliknya. Konsumsi juga dipengaruhi oleh (a) harga komoditi lain yang bersifat subtitusi dan komplemen, (b) jumlah penduduk, serta (c) laju pertumbuhan konsumsi.
29
Sepertihalnya ekpsor, nilai tukar juga mempengaruhi impor, yaitu suatu negara akan mencari harga yang lebih murah dari barang yang sama dan berasal dari negara yang berbeda. Dengan demikian persamaan impor dapat dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
= (
,
,
,
,
) .....................................................(3.17)
∶ jumlah impor pada tahun t
: harga produk pada tahun t
∶ jumlah konsumsi pada tahun t
∶ nilai tukar pada tahun t
∶ faktor lain yang mempengaruhi impor pada tahun t : jumlah impor pada tahun sebelumnya
3.2.3. Harga Dunia
Harga dunia merupakan titik keseimbangan antara penawaran (total ekspor dunia) dan permintaan (total impor dunia). Penawaran dan permintaan merupakan kekuatan pasar, apabila dalam proses produksi terjadi peningkatan, maka bisa menyebabkan terjadinya pergeseran kurva peanwaran dan menyebabkan terjadinya penurunan harga. Sebaliknya, apabila terjadi peningkatan permintaan, maka mendorong terjadinya peningkatan harga. Ilustrasi keseimbangan harga oleh kekuatan penawaran dan permintaan disajikan pada Gambar 11. Besarnya perubahan baik penurunan dan kenaikan dalam ekspor, impor dan harga tergantung pada besarnya kemiringan atau slope dari kurva penawaran dan permintaan. Slope atau kemiringan ini yang dikenal dengan nilai elastisitas. Sedangkan besar dan kecilnya perubahan penawaran dan permintaan tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dan impor seperti dikemukakan
30
pada bagian 3.1 dan 3.2 di atas. Model ekonomi persamaan harga dunia dinyatakan sebagai berikut:
dimana:
= (
,
,
) ..............................................................(3.18)
,
∶ jumlah ekspor pada tahun t
∶ jumlah impor pada tahun t ∶ tren harga dunia
∶ harga dunia pada tahun sebelumnya P
S1 P4
S2
P3 P1 P2 D2 D1
q1
q2 q4
q3
Q
Sumber : Dahl and Hammond (1977)
Gambar 11. 3.3.
Keseimbangan Harga oleh Kekuatan Penawaran dan Permintaan
Metode Estimasi Parameter Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan persamaan
simultan disebabkan model yang dibangun mengandung lebih dari satu persamaan dan antar persamaan menggambarkan ketergantungan diantara peubahnya. Untuk
31
menganalisis dan mendapatkan nilai estimasi parameter dalam penelitian ini digunakan metode Two Stage Least Squares/2SLS, didasarkan kepada: 1. Untuk memperoleh nilai estimasi parameter dalam persamaan simultan, tidak mungkin dilakukan dengan hanya menaksir suatu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan-persamaan lain, sehingga metode estimasi Ordinary Least Squares/OLS tidak dapat digunakan. 2. Untuk mengatasi kelemahan metode estimasi OLS yang hasilnya bias dan tidak konsisten dalam persamaan simultan, terdapat beberapa alternatif metode estimasi, seperti Indirect Least Squares/ILS, Method Of Instrumental, Two Stage Least Squares/2SLS, Three Stage Least Squares/3SLS, Limited Information Maximum Likelihood/LIML, Mixed Estimation Method, dan Full Information Maximum Likelihood/FIML (Koutsoyiannis, 1977). Menurut Sumodiningrat (1995), 2SLS dan LIML memiliki hasil dugaan dengan derajat efisiensi yang sama, dimana kedua metode menggunakan jumlah informasi yang sama dan tersedia di dalam model. Metode estimasi 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan 2SLS dan LIML, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua metode tersebut lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi sehingga metode ini kurang menarik, dan peneliti lebih banyak menggunakan 2SLS. Sebelum melakukan proses estimasi parameter dengan metode 2SLS, harus dilakukan identifikasi model yang dimaksudkan untuk melihat apakah model yang diperdugakan dalam kondisi unidentified, exactly-identified atau overidentified. Jika hasil indentifikasi model menunjukkan dalam kondisi unidentified maka persamaan tersebut tidak dapat diduga, sedangkan pada kondisi exactly-
32
identified atau over-identified proses estimasi dari parameter dapat dilakukan serta hasil dugaan sudah unik. Metode identifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Order Condition. 3.4.
Tinjauan Studi Terdahulu Tinjuan studi terdahulu dalam penelitian ini dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu: (1) studi tentang pesaing minyak kelapa sawit dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan harga dunia minyak nabati, termasuk didalamnya studi tentang keterkaitan harga minyak bumi dalam pembentukan harga dunia minyak nabati, dan (2) studi tentang keterkaitan antara harga minyak kelapa sawit, kebijakan domestik dan keragaan industri kelapa sawit Indonesia. Akhir dari pembahasan disajikan mengenai arah pengembangan studi terdahulu yang akan dilakukan dalam penelitian ini. 3.4.1. Studi Tentang Pesaing Minyak Kelapa Sawit dan Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Pembentukan Harga Minyak Nabati Studi yang menganalisis tentang persaingan antar minyak nabati di pasar dunia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga minyak nabati telah banyak dilakukan, namun permodelan yang umum digunakan belum banyak yang menyatukan seluruh sumber minyak nayati dalam satu kerangka analisis. Penelitian-penelitian tersebut antara lain Baharsjah (1974), Griffith dan Meilke (1979), Suryana (1986), Susilowati (1989), Susila et al. (1997) dan Khamis et al. (2003). Penelitian terbaru dengan permodelan secara simultan untuk beberapa minyak nayati dalam satu kerangka analisis antara lain telah dilakukan oleh Zulkifli (2000) dan Purwanto (2002). Penelitian tentang keterkaitan harga minyak nabati dan minyak bumi mulai banyak dilakukan di atas tahun 2003 seiiring meningkatnya pemakaian minyak nabati sebagai sumber energi alternatif akibat
33
melonjaknya harga dunia minyak bumi. Beberapa penelitian terkait kaitan harga minyak nabati dan minyak bumi antara lain telah dilakukan oleh Amiruddin et al. (2005), Yu et al. (2006), Hameed dan Arshad (2008), Helbling et al. (2008), Efendi et al. (2010), Tung Chen et al. (2010) dan Razak et al. (2011). Baharsjah (1974) dalam disertasinya yang berjudul The Domestic and international Trade of Indonesian Coconuts Products menunjukkan bahwa harga ekspor minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit bersifat subsitusi untuk pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Jepang. Sedangkan Suryana (1986) dalam disertasinya yang berjudul Trade Prospects of Indonesian Palm Oil in The International Markets for Fats and Oils menyimpulkan bahwa (1) untuk pasar Amerika, ekspor mempunyai harga yang elastis, minyak kelapa sawit bersifat komplemen dengan minyak kelapa dan minyak kedelai serta merupakan barang normal, (2) untuk pasar MEE, Jepang dan Malaysia menunjukkan harga bersifat inelastis dan terhadap minyak kelapa dan minyak kedelai bersifat komplemen serta merupakan barang normal. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa minyak kelapa sawit Indonesia bersifat komplemen dengan minyak kedelai dan kelapa di Amerika Serikat, MEE, Jepang dan Malaysia, dan elastisitas harga bersifat inelastis (kecuali Amerika) dan merupakan barang normal. Menurut Griffith dan Meilke (1979) harga berbagai jenis minyak nabati dunia diduga berinteraksi satu sama lain karena adanya penggunaan yang saling menggantikan (substitusi) diantara berbagai jenis minyak nabati. Hal yang sama juga diduga terjadi antara minyak nabati dengan minyak bumi, karena kecenderungan pemanfaatan bahan bakar berbahan baku minyak nabati. Penelitian
34
ekonometrika terhadap minyak nabati tidak mudah untuk dilakukan karena harus melakukan agregasi terhadap banyak jenis komoditas. Solusi terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan agregasi pada beberapa komoditas yang pergerakan harganya serupa. Susilowati (1989) dalam penelitiannya tentang Pasar Minyak Kelapa Sawit Dunia dan Kaitannya dengan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia menyatakan bahwa: (1) ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mempunyai elastisitas harga yang elastis dan hubungan dengan minyak kelapa sawit Malaysia saling bersubsitusi, (2) untuk penawaran ekspor Malaysia mempunyai elastisitas harga yang inelastis dan minyak kelapa sawit Malaysia dan Indonesia bersifat komplemen, (3) untuk permintaan minyak kelapa sawit dalam negeri Indonesia memperlihatkan bahwa minyak kelapa sawit bersubsitusi dengan minyak kelapa dan merupakan barang normal, (4) untuk ekspor ke pasar Amerika, harga bersifat inelastis, barang normal, dan dengan minyak kelapa dan kedelai berisifat subsitusi, (5) untuk ekspor ke Jepang, memiliki elastisitias harga yang inelastis, bersubsitusi dengan minyak kedelai, dan barang normal, dan (6) untuk pasar MME, elastisitas harga yang inelastis, barang normal, bersubsitusi dengan minyak kedelai dan berkomplemen dengan minyak rapeseed. Susila et al. (1997) dalam penelitian Model Domestik Ekonomi Minyak Kelapa Sawit Mentah memberikan kesimpulan: (1) harga dunia CPO dipengaruhi oleh stok CPO, harga CPO dengan lag-satu dan lag-lima tahun sebelumnya, konsumsi tahun sebelummya serta harga minyak nabati lainnya, (2) ekspor Malaysia dipengaruhi oleh stok, jumlah penduduk, harga CPO dunia dan nilai tukar, (3) ekspor Indonesia banyak dipengaruhi oleh stok dan waktu untuk
35
pengamanan konsumsi dalam negeri, (4) di pasar MEE, ekspor lebih sebagai penyangga dan impor lebih banyak ditentukan oleh harga CPO, harga minyak nabati lain serta impor sebelummya, (5) di pasar China, konsumsi dipengaruhi oleh harga CPO, harga minyak nabati lain dan konsumsi periode sebelummya, dan (6) di pasar Pakistan, konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan dan jumlah penduduk, sedang impor dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan tingkat pendapatan. Khamis et al. (2003) dalam penelitian Permodelan Harga Minyak Sayuran Menggunakan Analisis Regresi Linear Berganda memberikan kesimpulan: (1) harga minyak kelapa sawit dipengaruhi secara positif oleh minyak kedelai dan minyak inti kelapa sawit namun secara negatif oleh minyak kelapa, (2) dalam permodelan masih dijumpai masalah multikolinearitas yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan imbal balik dalam pembentukan harga keempat minyak, (3) kajian selanjutnya disarankan menggunakan model yang dapat mengatasi masalaha autokorelasi dalam data. Zulkifli (2000) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Liberalisasi Perdagangan
terhadap
Keragaan
Industri
Kelapa
Sawit
Indonesia
dan
Perdagangan Minyak Sawit Dunia memasukkan tiga jenis minyak nabati yaitu minyak kelapa sawit kasar (CPO), minyak inti kelapa sawit dan minyak kedelai, ditambah satu produk turunan minyak kelapa sawit yaitu minyak goreng. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (1) ekspor CPO Indonesia dan Malaysia inelastis dan lamban merespon perubahan harga yang terjadi (time lag) dan hanya dipengaruhi oleh tingkat produksi CPO, ekspor CPO Papua New Guinea dipengaruhi oleh tingkat produksi dan nilai tukar, meskipun tidak respon terhadap
36
perubahan semua peubah penjelas, sedangkan ekspor CPO Ivory Coast memiliki respon terhadap perubahan produksi dan harga ekspor CPO, (2) dari keempat negara tersebut, ekspor Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan harga ekspor yang mencerminkan bahwa dari aspek harga, Indonesia mempunyai daya saing yang lebih baik, (3) dalam jangka pendek, renspon impor CPO terhadap perubahan harga impor inelastis di semua negara importir. Amerika Serikat dan Belanda relatif lebih responsif terhadap perubahan harga impor dibandingkan negara importir lainnya, (4) dalam jangka panjang, respon impor Jepang dan Amerika Serikat elastis terhadap perubahan harga impor. Purwanto S.K (2002) dalam tesisnya yang berjudul Dampak Kebijakan Domestik dan Faktor Eksternal Terhadap Perdagangan Dunia Minyak Nabati memasukkan empat jenis minyak nabati yaitu minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa (1) perilaku ekspor minyak sawit Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi dan pajak ekspor sedangkan perilaku ekpor minyak kelapa sawit Malaysia sangat dipengaruhi oleh produksi dan stok minyak kelapa sawit, (2) perilaku impor minyak kelapa sawit di China, Pakistan dan Jepang menunjukkan respon yang elastis terhadap konsumsi dan inelastis terhadap harga dunia minyak kelapa sawit, respon negatif terhadap kenaikan harga impor dan positif terhadap kenaikan pendapatan, (3) perilaku harga dunia minyak kelapa sawit menunjukkan respon negatif terhadap kenaikan ekspor dan postif terhadap impor, (4) hubungan minyak kelapa sawit dengan minyak kedelai dan minyak biji matahari bersifat subsitusi dan minyak kelapa bersifat komplemen, (5) pengaruh harga dunia minyak kelapa sawit terhadap harga ekspor, impor dan
37
harga domestik masing-masing eksportir utama dan importir utama pada umumnya juga positif dan inelastis, (6) dampak kebijakan domestik Indonesia menunjukkan bahwa ekspor, luas areal dan produktivitas minyak kelapa sawit lebih respon terhadap kebijakan pajak ekspor dan harga domestik, dan (7) dampak faktor eksternal menunjukkan bahwa kenaikan produksi minyak kelapa sawit Malaysia dan kebijakan domestik Indonesia menyebabkan peningkatan tajam ekspor minyak kelapa sawit dan menurunkan harga dunia minyak kelapa sawit cukup tinggi, sedangkan kenaikan produksi minyak kedelai, minyak kelapa dan minyak biji matahari menyebabkan penurunan harga dunia, ekspor dan impor yang tidak terlalu besar. Helbling et al. (2008) mengemukakan bahwa selain diakibatkan oleh faktor spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca serta kegagalan panen, peningkatan harga juga diakibatkan oleh faktor penawaran dan permintaan yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang memberikan
pengaruh
pada
peningkatan
harga
komoditas
adalah:
(1)
pertumbuhan ekonomi telah mendorong permintaan akan berbagai komoditas, (2) biofuel telah mendorong permintaan akan berbagai tanaman pangan yang dapat dikonversi menjadi biofuel, (3) Respon penawaran yang lambat, (4) keterkaitan diantara berbagai komoditas, dan (5) tingkat suku bunga yang rendah dan depresiasi nilai US Dollar. Efendi et al. (2010) dalam penelitian Analisis Harga Minyak Sawit, Tinjauan Kointegrasi Harga Minyak Nabati dan Minyak Bumi bertujuan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai keterkaitan harga minyak nabati
38
dengan minyak bumi dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yu et al. (2006), Hameed dan Arshad (2008) dan Amiruddin et al. (2005). Yu et al. (2006) melakukan kajian keterkaitan antara harga minyak nabati dengan minyak bumi dengan menggunakan data mingguan dari Januari 1999 hingga Maret 2006. Prosedur yang dipergunakan adalah teknik kointegrasi multivariat, dan menyimpulkan bahwa kejutan harga minyak bumi tidak berpengaruh signifikan pada variasi dari harga minyak nabati. Sementara itu Hameed dan Arshad (2008) menggunakan data bulanan dari Januari 1983 hingga Maret 2008 dengan menggunakan metode Johansen cointegration dan Granger causality. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa harga minyak bumi memberikan pengaruh terhadap harga minyak nabati. Kointegrasi di antara minyak nabati disampaikan oleh Amiruddin et al. (2005), dan menyimpulkan bahwa minyak kedelai adalah pemimpin harga di antara berbagai minyak nabati. Data yang dipergunakan adalah data bulanan dari Januari 1990 hingga Juni 2004, dan dikaji dengan impulse response dan variance decomposition. Dalam penelitian Efendi et al., keterkaitan dinamis di antara berbagai jenis minyak nabati dan dengan minyak bumi dipaparkan dengan menggunakan prosedur Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan merupakan data bulanan pada periode Januari 1980-Desember 2008, yaitu data harga dari tiga jenis minyak nabati yang paling banyak diproduksi di dunia, meliputi minyak kelapa sawit, minyak kedelai, dan minyak rapeseed. Selain itu dimasukkan kedalam sistem yang diamati adalah harga minyak bumi. Hal ini untuk mengkaji pengaruh harga minyak bumi pada minyak nabati dalam konteks pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel. Untuk mengetahui
39
dinamika yang terjadi pada periode peningkatan harga komoditas, maka kajian dilakukan terhadap periode sebelum peningkatan harga komoditas (1980-2003) dan pada periode peningkatan harga komoditas (2004-2008). Hasil penelitian menunjukkan adanya kointegrasi jangka panjang di antara minyak nabati dan minyak bumi, dan minyak bumi memberikan pengaruh kuat pada minyak nabati terutama pada periode peningkatan harga komoditas. Tung Chen, et al (2010) dalam penelitiannya The Relationship between the Oil Price and Global Food Prices menyimpulkan bahwa peningkatan pengolahan biji jagung sebagai ethanol dan biji kedelai sebagai biodiesel telah menjadikan harga biji jagung dan biji kedelai dipengaruhi secara nyata oleh perubahan harga minyak bumi dan hubungan saling mempengaruhi antara harga biji jagung dan biji kedelai. Razak et al. (2011) dalam penelitian Investigating Relationship between Crude Palm Oil and Crude Oil Prices – Cointegration Approach memberikan kesimpulan: (1) menggunakan metode Engle-Granger Cointegration Test diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara minyak kelapa sawit dan minyak bumi pada jangka panjang, dan (2) menggunakan metode Error Correction Model (ECM) diketahui bahwa antara harga minyak kelapa sawit dan harga minyak bumi memiliki korelasi positif. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat keterkaitan antara minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji matahari dan minyak bumi dalam pembentukan harga dunia minyak nabati.
40
2. Ekspor CPO Indonesia inelastis, lamban merespon perubahan harga yang terjadi (time lag) dan sangat dipengaruhi oleh produksi dan pajak ekspor. 3. Dampak kebijakan domestik Indonesia menunjukkan bahwa ekspor, luas areal dan produktivitas minyak kelapa sawit lebih respon terhadap kebijakan pajak ekspor dan harga domestik. 4. Dampak faktor eksternal menunjukkan bahwa kenaikan produksi minyak kelapa sawit Malaysia dan kebijakan domestik Indonesia menyebabkan peningkatan tajam ekspor minyak kelapa sawit dan menurunkan harga dunia minyak kelapa sawit cukup tinggi, sedangkan kenaikan produksi minyak kedelai, minyak kelapa dan minyak biji matahari menyebabkan penurunan harga dunia, ekspor dan impor yang tidak terlalu besar. 3.4.2. Studi Tentang Kaitan antara Harga Minyak Kelapa Sawit, Kebijakan Domestik dan Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia Studi terdahulu yang di dalamnya membahas kaitan antara harga minyak kelapa sawit, kebijakan domestik dan keragaan usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, antara lain Simanjuntak (1992), Zulkifli (2000) dan Purwanto (2002). Simanjuntak (1992) dalam disertasinya yang berjudul Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia melakukan kajian daya saing hasil-hasil kelapa sawit Indonesia melalui pendekatan tidak langsung berupa analisis indikator-indikator daya saing dari sisi produksi (produsen), seperti efisiensi ongkos produski (EOP), return of investment (ROI) dan domestic resource cost (DRC). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa: (1).Keragaan usaha perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan besar swasta asing memiliki efisensi ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan
41
dengan pelaku usaha perkebunan lainnya di Indonesia, termasuk dengan perkebunan besar nasional. Kondisi ini terkait dengan kemampuan perkebunan besar swasta asing mencapai efisiensi teknis yang lebih tinggi, tercapainya efisiensi harga absolut (maksimisasi keuntungan jangka pendek) serta efisiensi pengolahan buah (TBS) yang lebih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerapan kultur teknis budidaya oleh perkebunan besar swasta asing telah optimal atau mendekati optimal dan menjadi dasar tercapainya angka ROI yang lebih tinggi dibanding pelaku usaha lainnya. (2).Dampak kebijakan pemerintah mengurangi atau menghilangkan subsidi pupuk dan BBM ternyata berpengaruh relatif kecil. (3).Optimalisai input variabel bersama penurunan biaya lain-lain memberikan respon positif terhadap keragaan usaha perkebunan kelapa sawit. Biaya-biaya yang termasuk kedalam biaya lain-lain dalam penelitian Simanjuntak meliputi: biaya rumah sakit/perawatan, biaya pensiun dan pesangon, biaya konsultan dan penasehat, biaya akuntan, biaya penghapusan barang persediaan, biaya kerugian-kerugian/akibat kerusakan dan pengeluaran lain-lain. Zulkifli (2000) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Liberalisasi Perdagangan
terhadap
Keragaan
Industri
Kelapa
Sawit
Indonesia
dan
Perdagangan Minyak Sawit Dunia menunjukkan bahwa: (1).Respon areal tanaman menghasilkan pada perkebunan negara inelastis terhadap perubahan harga minyak kelapa sawit kasar, sementara perkebunan rakyat dan perkebunan besar memperlihatkan respon yang sangat elastis. Kondisi ini disinyalir akibat adanya intervensi pemerintah kepada perkebunan
42
negara, khususnya terkait dengan pemasaran dan perdagangan produk kelapa sawit yang dihasilkan. (2).Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit secara absolut telah mampu meningkatkan produksi
minyak kelapa sawit
nasional, akan tetapi
pengembangan areal yang tidak terarah dan tanpa didukung oleh kebijakan yang relevan telah meyebabkan penurunan produktivitas nasional. Selain pengaruh umur tanaman, kondisi ini juga disinyalir akibat penurunan kualitas tanaman dan manajemen perkebunan dengan semakin luasnya areal tanaman. Meskipun demikian, dampak negatif dari perluasan areal masih lebih kecil dibandingkan dampak positif perubahan harga terhadap produktivitas. (3).Penurunan tingkat bunga mampu meningkatkan luas areal tanaman menghasilkan dan produktivitas pada semua bentuk pengusahaan perkebunan. (4).Kebijakan yang mengarah kepada kenaikan harga input produksi perkebunan kelapa sawit seperti kenaikan upah tenaga kerja atau mengurangi subsidi pupuk menyebabkan penurunan luas areal dan produktivitas yang pada akhirnya akan diikuti oleh penurunan produksi, ekspor dan devisa, sedangkan bagi konsumen domestik akan menanggung kenaikan harga minyak goreng. Purwanto S.K (2002) dalam tesisnya yang berjudul Dampak Kebijakan Domestik dan Faktor Eksternal terhadap Perdagangan Dunia Minyak Nabati menyimpulkan bahwa luas areal kelapa sawit menunjukkan respon elastis terhadap peningkatan harga minyak kelapa sawit domestik, harga ekspor dan penurunan suku bunga. Sedangkan produktivitas minyak kelapa sawit Indonesia sangat dipengaruhi oleh peningkatan tanaman menghasilkan, harga minyak sawit dan penurunan suku bunga serta upah sektor perkebunan..
43
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1. Penerapan kultur teknis yang optimal atau mendekati optimal (optimalisasi input variabel) bersama penurunan biaya lain-lain memberikan respon positif terhadap keragaan usaha perkebunan kelapa sawit. 2. Peningkatan harga minyak kelapa sawit domestik, harga ekspor dan penurunan suku bunga mendorong terjadinya perluasan areal perkebunan kelapa sawit, akan tetapi pengembangan areal yang tidak terarah dan tanpa didukung oleh kebijakan yang relevan telah meyebabkan penurunan produktivitas nasional. Selain pengaruh umur tanaman, kondisi ini juga disinyalir akibat penurunan kualitas tanaman dan manajemen perkebunan dengan semakin luasnya areal tanaman. Meskipun demikian, dampak negatif dari perluasan areal masih lebih kecil dibandingkan dampak positif perubahan harga terhadap produktivitas. 3. Kebijakan pemerintah yang mengarah kepada kenaikan harga input produksi perkebunan kelapa sawit seperti kenaikan upah tenaga kerja atau mengurangi subsidi pupuk menyebabkan penurunan luas areal dan produktivitas. 3.4.3. Arah Pengembangan Studi Terdahulu dalam Penelitian Berdasarkan hasil studi terdahulu maka dalam penelitian ini selanjutnya dikembangkan arah studi berupa Keterkaitan Harga Minyak Nabati dan Minyak Bumi dalam Perdagangan Dunia Minyak Nabati. Model analisis yang membedakan dari studi sebelumnya antara lain: 1. Model analisis dalam penelitian ini menggunakan persamaan simultan, namun terkait dengan tujuan penelitian yang menekankan pada perilaku harga dan sekaligus membedakan dengan studi sebelumnya, maka dalam hal pemilihan
44
komoditi (dalam hal ini minyak kelapa sawit dan pesaing utamanya), dipilih berdasarkan (a) share produksi, (b) volume perdagangan, (c) kesamaan penggunaan dalam kehidupan sehari-hari, dan (d) sebagai subsitusi minyak bumi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka jenis minyak nabati yang dianalisis dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak biji bunga matahari dan minyak rapeseed. Penelitian sebelumnya lebih menekankan kepada hubungan minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya, dan oleh karena itu pemilihan komoditi cenderung tidak mewakili proses pembentukan harga di pasar dunia minyak nabati sesuai dengan kondisi aktual. 2. Selain pemilihan komoditi minyak nabati seperti tersebut di atas, dalam pemilihan negara eksportir utama dan negara importir utama dipilih berdasarkan share masing-masing negara dalam perdagangan dunia. Hal ini diharapkan dapat mencerminkan kekuatan penawaran dan permintaan mendekati kondisi aktual. 3. Dalam penelitian ini juga mengakomodir adanya kecenderungan keterkaitan antara harga dunia minyak bumi dalam proses pembentukan keempat minyak nabati yang akan dianalisis secara simultan.