II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan seresah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewise, 1990). Hutan memberi pengaruh pada sumber alam yang lain. Pengaruh ini melalui 3 faktor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu : iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilayah, misalnya di wilayah pertanian. Pada saat ini daerah hutan tropik yang terbesar dan masih cukup baik di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dijumpai di pulau Sumatera, Kaimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Soeriaatmadja, 1981). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (FWI, 2003). Menurut Daniel et al. (1992) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batubara), (3) pengembangan
Universitas Sumatera Utara
dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.
2.2. Ekosistem Hutan Hujan tropis Menurut Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 100 LU dan 100 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 250 C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80%. Arief (1994) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C, atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E (Arief, 1994; Ewise, 1990; Soerianegara dan Indrawan, 1982). Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut. 1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk ( kanopi ) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak
Universitas Sumatera Utara
tahan naungan). Menurut Ewuise (1994), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2. Stratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon pada stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada,
bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan
cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi. 3. Stratum C, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk yang berubahubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Menurut Vickery (1984), pada stratum C, pepohonan juga berassosiasi dengan berbagai populasi epipit, tumbuhan memanjat; dan parasit . 4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m.Pada stratum ini juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar. 5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah atau lapisan ke lima dari atas yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0-1m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Indriyanto (2008), tidak semua tipe ekosistem hutan memiliki lima stratum tersebut. Oleh karena itu, ada hutan yang hanya memiliki sratum A, B, D, dan E, atau A, C, D, dan E dan lain sebagainya. Santoso (1996) dan Direktorat
Jenderal Kehutanan
(2007)
mengemukakan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai. Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Tajuk pohon hutan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon,
misalnya rotan,
anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini
menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan di bawah naungan (Arief, 1994). Selain ciri umum yang telah dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itupun hanya berlaku bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies–spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon (Vickery, 1984) Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah sebagai berikut (Santoso, 1996)
Universitas Sumatera Utara
1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut. 2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggiantempat 1.000-3.300 m dari permukaan laut. 3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300-4.100 m dari permukaan laut. Hutan hujan tropis memiliki fungsi yang vital bagi keberlangsungan hidup semua makhluk yang ada di bumi, dalam hal iklim dunia. Hutan hujan tropis sangat membantu sekali dalam hal menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida yang ada diatmosfer, sehingga mengurangi pula dalam hal efek rumah kaca. Hutan hujan tropis juga merupakan rumah atau habitat bagi keberlangsungan hidup bagi makhluk hidup yang tinggal didalamnya, termasuk flora dan fauna yang terancam punah keberlangsungan hidupnya (Kusmana, 1995). Pada saat banyak pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan penebangan hutan secara liar (Ilegal logging), hal ini dapat mengakibatkan kepunahan berbagai spesies yang hidup. Selain fungsi- fungsi tersebut ada pula fungsi yang sangat vital, yaitu sebagai suatu sistem peredaran hidrologi bagi bumi.Hal ini menggambarkan pergerakan yang berkelanjutan dari air di bawah, di permukaan, dan di atas bumi. Jadi tidak heran jika hutan hujan tropis yang masih “perawan” memiliki sungai-sungai yang lebar serta panjang (Soerianegara & Indrawan, 1998).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Keanekaragaman vegetasi Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Vickery (1984) menyatakan bahwa jumlah spesies pohon yang ditemukan
dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazone mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies. Haeruman (1980) juga mengatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan,
dan merupakan hutan yang paling kaya
spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tersebut,
terdapat lebih dari 4.000 spesies
tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam setiap hektar hutan tropis tersebut mengandung 320 pohon yang berukuran garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan. Di hutan hujan bawah pulau Sumatera, Kalimantan, banyak terdapat spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea,
Dipterocarpus,
Hopea,
Vatica, Dryobalanops, dan Cotylelobium. Dengan demikian hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat
Universitas Sumatera Utara
spesies pohon lain dari anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Koompasia dan Dyera Pada ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies pohon anggota genus Altingia, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gossampinus, serta spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae (Arief, 1994). Selanjutnya Arief (1994) mengatakan bahwa ekosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian, merupakan hutan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp, Pometia pinnata, Intsia spp, Diospyros spp, Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus spp). Pada ekosistem hutan hujan tengah yang terdapat di sebagian Indonesia Timur, Aceh dan sumatera Utara didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Di beberapa daerah, tipe ekosistem hutan hujan tengah agak khas. Misalnya di Aceh dan Sumatera Utara terdapat spesies pohon Pinus mercusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia Montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp, di Sulawesi terdapat kelompok spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di sebagian daerah Indonesia timur terdapat spesies pohon anggota genus Trema, Vaccinium, dan pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Menurut Sutarno & Sudarsono (1997), ekosistem hutan hujan atas hanya ada di Irian Jaya dan di sebagian daerah Indonesia Barat. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak mengandung spesies pohon Conifer ( pohon berdaun jarum ), genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugenia spp,
Universitas Sumatera Utara
dan Calophylum,
sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompok-
kelompok tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m dpl.
2.4. Pohon Pohon merupakan organisme yang kompleks. Dari hasil pembiakan vegetatif atau dari sel telur yang telah dibuahi yang kemudian tumbuh menjadi emberio yang terselubung dalam suatu biji yang mungil, pohon tumbuh menjadi suatu organisme terbesar yang hidup di alam. Untuk keperluan inventarisasi, pohon dibedakan menjadi stadium seedling, sapling, pole, dan pohon dewasa. Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara & Indrawan (1998) membedakan sebagai berikut : 1) Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. 2) Sapling ( pacing, sapihan )yaitu permudaan yang tingginya 1,5m dan lebih sampai pohonpohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. 3) Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm. 4) Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah. Menurut Sutarno & Soedarsono (1997),
pohon hutan merupakan tumbuhan yang
berperawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak dan biasanya beberapa meter dari tanah tidak bercabang,
mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun seperti kepala. Pohon
mendominasi hutan tropis,
bentuk kehidupan pohon berpengaruh pada fisiognomi umum,
produksi dasar dan lingkaran keseluruhan dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda
Universitas Sumatera Utara
dengan pohon pada daerah lain mengingat ciri-ciri tertentu seperti percabangan, daun-daunan, buah-buahan dan sistem perakaran ( Longman & Jenik, 1987). Berbagai penelitian tentang keanekaragaman pohon telah banyak dilakukan di berbagai hutan di antaranya pada kawasan hutan hujan tropis yang menunjukkan tingginya keanekaragaman jenis. Di Borneo dengan luas plot 2,0 ha ditemukan 740 individu pohon dengan jumlah jenis sebanyak 199 jenis. Di Malay Peninsula Bukit Lagong dengan luas 2,0 ha ditemukan 559 individu pohon dengan jumlah jenis sebanyak 215 jenis (Kusmana, 1995). Di Asia Tenggara umumnya ditemukan lebih dari 100 jenis spesies pohon yang berbeda tiap hektarnya,
tidak termasuk tingkat seedling
(semai) walaupun beberapa dugaan terdahulu
menyatakan bahwa kadang-kadang jumlah keseluruhan spesies pohon mungkin hampir 400 spesies per hektar (Longman & Jenik,1987). Tegakan hutan
hujan tropis didominasi oleh
pepohonan yang selalu hijau. Tegakan hutan adalah keseluruhan pohon yang tumbuh di hutan. Tegakan hutan yang akan diteliti meliputi seluruh pohon dan tiang. 2.5. Analisis Komunitas Tumbuhan Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006). Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarspesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme
Universitas Sumatera Utara
(Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto (1994) menjelaskan, bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antarspesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas. Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif (Soerianegara & Indrawan, 1998). Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan kualitatif apa saja yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Arief, 1994)
2.5.1
Parameter Kualitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif, hal ini
sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain: fisiognomi, fenologi, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, dan bentuk pertumbuhan (Indriyanto, 2006). 1. Fisiognomi adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan
berdasarkan
kepada
penampakan
spesies
tumbuhan
dominan,
penampakan tinggi tumbuhan, dan warna tumbuhan yang tampak oleh mata.
Universitas Sumatera Utara
2. Fenologi adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya, sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas yang berbeda. Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang berbeda, sehingga keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas akan menentukan struktur komunitas tersebut. 3. Stratifikasi adalah distribusi tumbuhan dalam ruangan vertikal. Semua spesies tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertikal tidak menempati ruang yang sama. 4. Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan ditribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Menurut penaksiran kualitatif,
kelimpahan dapat
dikelompokkan menjadi: sangat jarang, jarang (kadang-kadang), sering, banyak atau berlimpah, dan sangat banyak (sangat berlimpah). 5. Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal,
antara lain random,
seragam,
dan
berkelompok. 6. Daya hidup atau vitalitas adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi. 7. Bentuk pertumbuhan adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Misalnya pohon, semak, perdu, herba, dan liana.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2
Parameter Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan Kusmana, C (1997) mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut
ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan. Kelindungan adalah daerah yang ditempati oleh tetumbuhan dan dapat dinyatakan dengan salah satu atau kedua-duanya dari penutupan dasar (basal cover) dan penutupan tajuk (canopy cover). Adapun parameter umum dari dominansi yang dikemukakan oleh Indriyanto (2006) meliputi kelindungan, biomassa, dan produktivitas. Kusmana, C (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian ekologi hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui spesies tetumbuhan yang dominan yang memberi ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Spesies tetumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan mengukur dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan perbandingan nilai penting (summed dominance ratio). Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parameter yang dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).
2.6. Struktur dan Komposisi Hutan Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Selanjutnya Daniel at al.(1992), menyatakan struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas
Universitas Sumatera Utara
tajuk.Sementara itu dinyatakan struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis spesies ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan , terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan biji. Pada daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al; 1992)
2.7. Mengapa C Tersimpan Perlu Diukur Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007). Konsentrasi GRK di atmosfir meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China,
Universitas Sumatera Utara
dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah dan Rahayu, 2007). Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintasis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubah tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) (pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007). Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C =C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahanlahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan
Universitas Sumatera Utara
gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah “C tersimpan” dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai “cadangan C” (Hairiah dan Rahayu, 2007) Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah (biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 2007). Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al., 2004). Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg (60 juta ton) karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan. Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon pertahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7 – 4,50 C (Rahayu et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon
ke
atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen (Rahayu et al., 2007). Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu et al.,2007). Peningkatan
penyerapan
cadangan
karbon
dapat
dilakukan
dengan:
(a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c)
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007). Untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (Rahayu et al., 2007). Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan “allometric equation” berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara