II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroforestri 2.1.1 Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut de Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa agroforestri menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi, serta memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Agroforestri merupakan ciptaan manusia yang dikembangkan dalam rangka pengembangan dan pelestarian sumber daya hutan, dan bukan merupakan upaya pengelolaan hutan alam. Menurut de Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa agroforestri memiliki struktur yang serupa dengan hutan alam, umumnya agroforestri memiliki penampilan seperti hutan alam primer atau sekunder karena dominasi pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan yang pada tahap awalnya berasal dari hutan alam, agroforestri dapat secara keliru dianggap sebagai hutan alam. Agroforestri merupakan satu persekutuan hidup satuan-satuan biologi dan proses-proses yang dapat direproduksi dalam jangka panjang. Menurut Vergara (1982) agroforestri meskipun tidak selalu merupakan paket teknologi yang penting dalam program-program social forestry. Social forestry pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan yaitu fuel, fodder, food, timber, income, environtment. Social forestry pada prinsipnya mempunyai tiga tujuan yaitu: a. Tujuan produksi yaitu berusaha memberikan hasil maksimal produk dan jasa hutan yang didefinisikan secara tradisional oleh masyarakat setempat b. Tujuan ekuiti yakni distribusi faedah produk dan jasa hutan c. Tujuan partisipasi yaitu menghubungkan alokasi hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.
Sasaran pokok dari ketiga prinsip di atas adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat atas kekayaan yang ada dilingkungan sekitar. Ada empat tujuan dari agroforestri yaitu: a. Untuk menciptakan keseimbangan yang harmonis antara konservasi sumberdaya alam dengan produksi b. Untuk mengurangi kesenjangan antara pasokan (supply) dan permintaan c. Untuk pelaksanaan program tata guna lahan yang berdasarkan pertimbangan ekologi, sosial, ekonomi, dan demografi d. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Agroforestri diharapkan berguna bagi daerah tropika, sebagai usaha mencegah perluasan tanah tandus, dan kerusakan kesuburan tanah, dan mendorong pelestarian sumberdaya hutan. Agroforestri juga diharapkan berguna bagi peningkatan mutu pertanian serta intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. 2.1.2 Keuntungan agroforestri Vergara (1982) mengatakan bahwa keuntungan-keuntungan dari sistem pertanaman agroforestri adalah: a. Aspek ekologi: 1. Berkurangnya tekanan terhadap hutan, sehingga akan lebih banyak pepohonan hutan yang dimanfatkan sebagai pelindung daerah perbukitan 2. Daur ulang unsur hara yang lebih efisien dengan terdapatnya perakaran pohon yang sangat dalam 3. Perlindungan terhadap lahan berlereng tinggi dengan adanya pengelolaan lahan yang stabil 4. Berkurangnya aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah karena adanya akar dan batang pepohonan yang menghalangi proses-proses tersebut 5. Perbaikan mikroklimat seperti menurunnya suhu permukaan tanah dan berkurangnya evaporasi tanah karena adanya naungan dan humus 6. Meningkatkan jumlah unsur hara karena adanya penambahan dan dekomposisi bahan organik yang jatuh ke atas permukaan tanah
b. Aspek sosial 1. Perbaikan standar kehidupan masyarakat dengan adanya pekerjaan sepanjang waktu dan pendapatan yang berkesinambungan 2. Perbaikan nilai gizi dan kesehatan karena lebih banyaknya kuantitas dan keanekaragaman bahan pangan yang akan diperoleh 3. Stabilisasi dan perbaikan komunitas di daerah dataran tinggi melalui pengurangan kebutuhan lahan perpindahan untuk usaha tani. c. Aspek ekonomi 1. Hasil yang beragam berupa pangan, kayu bakar, makanan ternak pupuk dan bahan bangunan 2. Mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan panen yang bisa terjadi pada pertanaman monokultur 3. Menaikkan pendapatan petani karena ada penambahan hasil dari jenis tanaman yang berbeda 2.1.3 Klasifikasi sistem agroforestri Tipe sistem agroforestri sangat beragam dan kompleks dalam sifat dan fungsinya. Oleh karena itu, pengklasifikasian sistem-sistem agroforestri dalam berbagai kategori sangat diperlukan untuk mengevaluasi, memahami dan memperbaiki sistem-sistem yang telah ada. Menurut Nair (1993) menyatakan bahwa istilah sistem agroforestri berbeda dengan teknologi agroforestri. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri yang banyak dilaksanakan di suatu daerah atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum dilakukan di suatu daerah. Sedangkan istilah teknologi agroforestri digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam mengelola sistem-sistem agroforestri yang telah ada. Dengan demikian, sistem agroforestri meliputi bentuk-bentuk asli praktek agroforestri
(indigenous
agroforestry).
Sedangkan
teknologi
agroforestri
menghasilkan bentuk agroforestri yang telah diperbaiki (improved agroforestry) misalnya: improved fallow, alley cropping, multi purpose trees on farm lands, dan sebagainya.
Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem Agroforestri adalah sebagai berikut (Nair 1993): 1)
Pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan tempat Þ struktur,
2)
Kepentingan dan peran komponen Þ fungsi,
3)
Tujuan produksi atau hasil sistem Þ output,
4)
Karakter sosial ekonominya Þ dasar sosial ekonomi,
5)
Basis ekologinya Þ dasar ekologi.
Klasifikasi pokok sistem agroforestri disajikan pada Tabel 1. 2.1.4 Sistem agroforestri Menurut de Foresta et al. (2000) mengatakan bahwa agroforestri di Indonesia dapat digolongkan menjadi 2 sistem agroforestri yaitu: 2.1.4.1 Sistem agroforestri sederhana Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur atau sering juga dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Contoh tanaman yang bisa ditanam di sistem ini adalah tanaman yang memiliki peran ekonomi (kelapa, karet, jati, kopi, pisang, coklat dan lain sebagainya), peran ekologi (dadap dan petai cina) serta tanaman musiman (padi, jagung, sayur mayur, rerumputan). Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas adalah tumpang sari yang merupakan sistem taungnya. Sistem-sistem agroforestri sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersil misalnya kopi diselingi dengan tanaman dadap, yang menyediakan naungan bagi kopi dan kayu bakar bagi petani.
Tabel 1. Klasifikasi pokok sistem agroforestri. Pengelompokan berdasarkan struktur dan fungsi komponen agroforestri
-
-
-
-
Struktur (asal dan susunan komponen kayu) Asal komponen Susunan komponen 1. Spasial/ruang Agrisilvikultur (tanaman pertanian dan - Campuran tanaman yang padat, misal: tanaman kayu, termasuk pekarangan. shrub). - Campuran terpisah, misal: pada kebanyakan Silvopastoral tanaman HMT. (ternak dan tanaman - Strip kayu). - Lebar strip lebih dari satu pohon. - Tanaman batas Agrosilvopastoral (tanaman pertanian, ternak - Pada sudut-sudut ladang. dan tanaman kayu). Lainnya (multipurpose tree lots, apiculture, aquaculture, dll.)
Sumber: Nair 1993
2. Temporal/waktu - Coincident - Concomitant - Overlapping - Sequential (separate) - Interpolated
Pengelompokan berdasarkan penyebaran dan pengelolaan agroforestri Fungsi Kesesuaian Level sosial(output dari lingkungan agroekonomi dan komponen kayu) ekologis manajemen Fungsi produksi - Dataran rendah Berdasarkan tingkat tropika. - Pangan input teknologi: - HMT - Input rendah - Kayu bakar - Dataran tinggi (marginal) tropika ( > 1.200 m - Input sedang - Produksi lain dpl, Malaysia). - Input tinggi Fungsi lindung - Dataran rendah Berdasarkan - Windbreak subtropis (misal: hubungan - Sabuk hijau daerah savana di - Konservasi cost/benefit: Afrika, Cerrado di tanah Amerika Selatan). - Komersial - Konservasi air - Peralihan tanah - Subsisten - Dataran tinggi - Kesuburan subtropis (misal: di tanah Kenya dan - Peneduh Ethiopia). (tanaman pertanian, ternak, manusia).
2.1.4.2 Sistem agroforestri kompleks (agroforest) Sistem agroforestri kompleks atau agroforest adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. Berdasarkan sudut pandang pelestarian lingkungan kemiripan struktur dan penampilan fisik agroforest dengan hutan alam merupakan suatu keunggulan. Seperti halnya pada sistem-sistem agroforestri sederhana, sumberdaya air dan tanah dilindungi dan dimanfaatkan, tetapi lebih dari itu pada agroforest sejumlah besar keanekaragaman flora dan fauna asal hutan alam tetap berkembang. Contoh agroforest di Indonesia adalah di Provinsi Kalimantan Barat yang mana masyarakat Dayak membangun agroforest dengan pohon Dipterokarpa (Dipterocarpaceae) penghasil buah tengkawang sebagai jenis utama, desa-desa di Provinsi Maluku dikelilingi oleh kebun-kebun yang memadukan pohon-pohon rempah tradisional yang berasal dari hutan seperti pala dan cengkeh dengan pohon kenari yang juga asal hutan, penduduk Krui di Lampung Barat mendomestifikasi jenis pohon Dipetrocarpa penghasil damar. 2.2 Repong Damar 2.2.1 Deskripsi Repong Damar Menurut Lubis (1997) menyatakan bahwa Repong menurut orang Krui adalah sebidang lahan yang diatasnya tumbuh beranekaragam jenis tanaman produktif, umumnya tanaman tua (perennial crops), seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, tangkil, manggis, kandis, dan lain sebagainya yang dipelihara karena memiliki nilai ekonomis. Disebut Repong Damar karena pohon damar merupakan tegakan yang dominan jumlahnya pada setiap bidang Repong.
2.2.2 Sejarah Pembentukan Orang Krui menyebut hutan alam dengan istilah Pulan dan wanatani damar dengan istilah Repong. Struktur vertikal dan ekosistem Pulan dan Repong tidak jauh berbeda. Keduanya ditandai oleh tingginya keanekaragaman biota alam yang menjadi komponennya. Komposisi mosaik Pulan dan Repong yang menghampar hijau kini telah menutupi gugusan perbukitan di sepanjang pantai barat Provinsi Lampung hingga ke batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di sebelah utara dan timur laut (Lubis 1997). Dari aspek teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif (mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua) berikut perawatannya, di sengaja atau tidak disengaja oleh petani, ternyata berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan Repong bisa membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Pada gilirannya, kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan kontribusi ekonomi bagi petani secara terus-menerus dalam jangka panjang. Getah damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk nafkah keluarga. Dari tanaman Repong juga bisa diperoleh hasil lainnya seperti kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis tumbuhan obat (Lubis 1997). Menurut Michon et al. (1998) menjelaskan bahwa secara ekologis fase perkembangan Repong Damar menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala keuntungan ekologisnya, seperti perlindungan tanah, evolusi iklim mikro, dan lain sebagainya. Dari segi teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif, mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua yang mana perawatannya disengaja atau tidak oleh petani yang berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan Repong Damar bisa membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Menurut Lubis (1997) menyatakan bahwa tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Krui secara garis besar dapat dibedakan atas tiga fase produktif yang ketiganya berlangsung di ruang fisik yang sama, namun berada
pada ruang yang berbeda dalam perspektif kognitif masyarakat Krui. Ketiga fase tersebut adalah: 1. Fase Dakhak (ladang) adalah fase ketika lahan siap tanam mulai ditanami dengan tanaman-tanaman subsistensi, seperti padi dan palawija. 2. Fase Kebun adalah fase bagi tanaman muda (annual crop) yang mana berkebun merupakan alasan utama dalam pengambilan keputusan untuk membuka lahan hutan. 3. Fase Repong dimana masyarakat Krui mulai menanamkan lahan pertaniannya dengan Repong apabila keragaman jenis tanaman yang tumbuh di dalamnya sudah terpenuhi, yang pada umumnya mulai didominasi oleh tanaman keras. Proses penanaman tersebut berlangsung secara simultan semasa pemeliharaan tanaman kebun.