Ideologi Paliatif : Peran system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif terhadap subjective well-being pada buruh outsourcing
ABSTRAK
Istiqomah Ideologi Paliatif : Peran system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif terhadap subjective well-being pada buruh outsourcing Penelitian ini meneliti hubungan antara system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif terhadap subjective well-being pada buruh outsourcing. Sebanyak 321 buruh outsourcing yang sedang dipekerjakan di perusahaan berpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengisi satu set kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif berkorelasi secara positif dan signifikan terhadap aspek kognitif subjective well-being. Semakin tinggi keyakinan terhadap system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif semakin tinggi pula aspek kognitif subjective well-being buruh outsourcing. Sedangkan aspek afektif subjective well-being tidak ditemukan berkorelasi. Hal ini disebabkan pengukuran aspek afektif lebih dipengaruhi kepribadian individu. Secara tidak langsung penelitian ini dapat menggambarkan fungsi paliatif dari ideologi dalam membantu meringankan kelompok tak beruntung (status ekonomi rendah) dalam menghadapi ketidaksetaraan sehingga mereka yang tidak diuntungkan oleh sistem tetap mengakui perbedaan sosial ekonomi adalah sah dan adil (menjustifikasi sytem). Kata kunci: System justifying belief, belief in a just world, ideologi konservatif dan subjective well-being.
ABSTRACT
Istiqomah Ideology palliative: The role of system justifying belief, belief in a just world and conservative ideology on subjective well-being of the labor outsourcing. This study examined the relationship between the system justifying belief, belief in a just world and conservative ideology on subjective well-being of the labor outsourcing. A total of 321 labors, who work in companies, participated in this study by completing a set of questionnaires. The results showed system justifying belief, belief in a just world and the conservative ideology has a significant and positive correlation to the cognitive aspects of subjective well-being. It means the higher the belief in system justifying belief, belief in a just world and the conservative ideology cause higher cognitive aspects of subjective well-being of labor outsourcing. While the affective aspects of subjective well-being was not found correlated. This is because the measurement of the affective aspects is more influenced by individual personality. Indirectly these studies also describe the palliative function of ideology in helping to alleviate the disadvantaged groups (low economic status) in facing of inequality, so they preserved the belief that existing social arrangement are fair, legitimate and justifable. Keywords: System justifying belief, belief in a just world, conservative ideology and subjective well-being.
Praktek outsourcing diharapkan mampu membuka lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Argumen ini berdasarkan asumsi bahwa jika pola aturan kerja outsourcing yang diterapkan, maka akan membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi tanpa diskriminasi. Namun menurut pandangan buruh, praktek outsourcing semakin memperberat kehidupan mereka. Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. Kedua, outsourcing mengakibatkan semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Dengan outsourcing bentuk hubungan kerja buruh bersifat sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Kedua, outsourcing mengakibatkan semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa tua. Menurut Nugroho, peneliti lembaga penelitian LIPS, outsourcing menimbulkan ketidakpastian akan nasib dan penghasilan bagi buruh tenaga kerja. Akibatnya, terjadi penurunan kondisi kerja dan kinerja di kalangan buruh. Sehingga sangat wajar seringkali terjadi demonstrasi buruh yang menuntut perbaikan dan perubahan. Dengan kondisi tersebut buruh layak tidak mengalami kepuasan dalam hidupnya sehingga mungkin bisa diprediksi buruh mempunyai subjective well-being yang rendah.. Namun penelitian Berg (2006) menemukan tidak ada korelasi antara ketimpangan pendapatan dengan subjective well-being seseorang dan lebih berhubungan dengan sosio-emosional seseorang seperti dengan teman, keluarga dan kelompok. Sedangkan uang (sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan) tidak berhubungan secara linier dengan well-being (Diener et al., dalam Farid & Lazarus, 2007) tetapi berkorelasi negatif dengan well-being (Sirgy, 1998 dalam Farid & Lazarus, 2007). Dalam sebuah sistem sosial, buruh dikategorikan kedalam kelompok yang tidak beruntung dan sering menghadapi ketidaksetaraan (inequality). Implikasi dari ketidaksetaraan adalah munculnya hirarki kelompok yaitu ada kelompok yang mendapatkan sesuatu yang lebih dibanding kelompok yang lain (Sidanius&Pratto, 1999). Individu dari kelompok beruntung (status ekonomi tinggi) akan mendapatkan bagian seperti uang, makanan, social goods (seperti otoritas ekonomi-politik dan kekuasaan) yang lebih besar dibandingkan individu
dari kelompok tak beruntung (status ekonomi rendah). Kelompok beruntung mempunyai kepentingan tetap dalam meyakini bahwa pembagian seperti itu adalah sah (Jost & Banaji, 1994; Jost & Hunyady, 2002). Dengan kata lain, situasi ini dapat dipahami lantaran kelompok beruntung umumnya berada pada posisi yang diuntungkan dengan adanya status quo. Jost, dkk (2003) mendefinisikan status quo sebagai existing social order atau tingkat sosial yang berlaku atau perbedaan tingkat sosial yang terjadi di masyarakat. Disisi lain, penelitian Jost dkk (2003) menemukan bahwa kelompok tak beruntung ternyata juga mendukung status quo dan mengakui perbedaan status sosial, untuk selanjutnya dikenal dengan teori system justification. Pembuktian teori system justification sering dilakukan di negara maju dengan sistem ekonomi dan sosial yang sudah mapan. Penelitian di negara berkembang
(Malaysia dan Bolivia) membuktikan bahwa kelompok tak
beruntung ternyata juga membenarkan (menjustifikasi) sistem (Henry & Saul,2006). Sedangkan penelitian Meutia (2006) di Indonesia membuktikan bahwa kelompok tak beruntung (perempuan) juga membenarkan (menjustifikasi) sistem namun hanya pada dimensi agama bukan pada dimensi ekonomi. Ada beberapa alasan yang dapat menerangkan mengapa kelompok tak beruntung juga mendukung status quo dan mengakui perbedaan status sosial. Berlandaskan teori disonansi kognitif, Jost dkk (2003) mengajukan konsep disonansi ideologi sebagai motif untuk membenarkan status quo. Asumsinya, dalam konteks ketidakadilan sosial, anggota-anggota kelompok tak beruntung mengalami kondisi disonansi. Di satu sisi mereka percaya kalau sistem meletakkan diri (dan kelompok mereka) pada suatu kondisi yang tidak menguntungkan, di sisi lain mereka beranggapan kalau diri dan kelompok mereka berkontribusi pada stabilitas sistem. Untuk meredakan disonansi tersebut, mereka diasumsikan akan lebih mempertahankan sistem yang ada sekaligus membenarkan sebagai sistem yang baik, adil dan sah (Jost, Banaji dan Nosek 2004). Selain itu, menurut teori system justification, individu membenarkan sistem sebagai sesuatu yang adil dan sah berdasarkan faktor disposisional maupun situasional. Ketika menghadapi sebuah sistem yang dirasakan di bawah ancaman dan dalam ketidakpastian (situasional) maka kecenderungan untuk membenarkan sistem cenderung meningkat.
Sebagai contoh, ketika sekelompok teroris menyerang menara kembar Amerika Serikat pada 11 September 2001 rakyat Amerika mendukung sistem yang ada dan mendukung pemerintahan Presiden Bush atau status quo (Napier et al., 2004). Di Indonesia dengan kondisi perekonomian dan sosial yang masih dalam ketidakpastian, ternyata masyarakat lebih memilih dan mendukung kembali pemerintahan Presiden Yudhoyono pada pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu. Pilihan ini mungkin dikarenakan adanya asumsi bahwa mengganti pemerintahan yang baru belum tentu dapat menjamin terciptanya kondisi ekonomi dan sosial menjadi lebih baik. Berdasarkan faktor disposisional, pembenaran terhadap sistem cenderung meningkat karena subyek memandang ketidakberuntungan yang dialami disebabkan ketidakmampuan korban (victim blaming). Seperti korban badai Katrina di Amerika, korban banjir di Jakarta, korban Situ Gintung dan lainnya mungkin dapat dilihat dari kesalahan korban yang tinggal di tepi laut atau tinggal di pinggiran sungai dan di pinggiran bendungan yang memang bukan tempat layak untuk tinggal. Pembenaran terhadap system tersebut menunjukkan adanya keyakinan yang membenarkan perbedaan status sosial ekonomi dalam masyarakat (system justifying belief). Para peneliti menganggap keyakinan tersebut sebagai salah satu status legitimizing ideologies yaitu ideologi yang membenarkan hirarki dan ketidaksetaraan diantara kelompok dalam masyarakat. Selain system justifying belief, ada juga Protestant ethic work, meritrocracy, belief in a just world dan ideologi konservatif (Brien & Major,2004). Belief in a just world yaitu keyakinan bahwa seseorang mendapatkan sesuatu yang sepatutnya diperoleh dan dunia merupakan tempat yang adil. Dengan belief ini, individu meyakini bahwa ada kesesuaian antara apa yang dilakukan seseorang dengan apa yang terjadi padanya. Akibatnya, individu akan mengakui bahwa kerja keras, kemampuan dan motivasi akan membawa kesuksesan (meritrokrasi). Para penganut ideologi ini percaya bahwa orang-orang layak menerima apapun keadaan mereka karena mereka sendirilah yang membuat keadaan tersebut terjadi. Dengan meyakini bahwa dunia itu adil, mereka akan melihat ketidkberuntungan sebagai konsekuensi atas perbuatan yang bersangkutan. Meningkatnya persepsi keadilan pada individu yang meyakini belief in a just world dapat berakibat pada tindakan membenarkan situasi dan mendukung status quo (Ditmar & Ditkinson, 1993).
Ideologi konservatif juga merupakan status legitimizing ideologies karena individu yang konservatif cenderung tidak toleran pada perbedaan pendapat dan anti perubahan. Mereka cenderung menunjukkan sikap menolak perubahan (bertahan terhadap status quo) dan membenarkan ketidakadilan (Jost, Glaser, Kruglanski dan Sulloway, 2003). Mendukung suatu ideologi akan membantu seseorang merasa lebih baik karena ideologi atau keyakinan tersebut dapat membantu meringankan (palliative) dalam menghadapi ketidaksetaraan beserta konsekuensinya (Jost, 2002). Ideologi tersebut akan menjadi filter dan bersifat adaptif sehingga secara positif akan berhubungan dengan well-being seseorang (O’Brien & Major, 2008). Pada kelompok tak beruntung, meyakini suatu ideologi dapat membantu meringankan mereka dalam menghadapi ketidaksetaraan yang dialaminya. Penelitian Jost dkk (2003) menemukan bahwa pembenaran (justifikasi) terhadap sebuah sistem dapat “membantu” kelompok tak beruntung mengurangi disonansi kognitif dan mendapatkan kepuasan dalam sistem yang ada. Ideologi-ideologi tersebut akan melindungi personal well-being mereka sehingga mereka menganggap bahwa ketidakberuntungan mereka adalah layak (Cosley & McCoy, 2008). Individu yang meyakini belief in a just world akan lebih percaya diri dan lebih tahan terhadap suasana hati yang positif dan kehidupannya lebih bahagia (Dalbert, Tomaka & Blascovic, 1994 dalam Dalbert et al., 2001). Demikian pula dengan penelitian Napier dan Jost (2008) yang menemukan ada kesenjangan kebahagiaan antara individu dengan ideologi liberal dan konservatif karena individu dengan ideologi konservatif lebih menempatkan ideologinya sebagai buffer dalam menghadapi efek negatif dari ketidaksetaraan ekonomi. Individu yang liberal cenderung kurang bahagia dibanding individu yang konservatif karena mereka secara ideologi kurang mempersiapkan rasionalisasi dalam melihat ketidaksetaraan dalam masyarakat. Di sisi lain ideologi konservatif lebih menerima dan membenarkan perbedaan penghasilan dan melihatnya sebagai sesuatu yang adil dan sah. Kembali kepada kasus buruh, penelitian tentang subjective well-being pada buruh outsourcing masih menarik perhatian mengingat buruh sebagai kelompok tak beruntung (status social ekonomi rendah) sering mengalami ketidaksetaraan baik secara sosial
maupun ekonomi. Sebagai kelompok tak beruntung buruh outsourcing diprediksikan masih mempunyai subjective well-being yang tinggi karena subjective well-being tidak berkorelasi dengan ketimpangan pendapatan (Berg, 2006). Selain itu beberapa penelitian juga menemukan bahwa beberapa ideologi dapat berfungsi meringankan (palliative) para buruh dalam menghadapi ketidaksetaraan sehingga mereka lebih siap menerima akibat negatif dari ketidaksetaraan (Jost, 2002). Pada akhirnya ideologi tersebut akan menjadi filter dan bersifat adaptif sehingga secara positif akan berhubungan dengan well-being seseorang (O’Brien & Major, 2008). Penelitian tentang fungsi palliative dari ideology sangat menarik terutama pada kelompok tak beruntung (status social ekonomi rendah) karena mereka sering mengalami ketidaksetaraan baik secara sosial maupun ekonomi. Sebagai kelompok tak beruntung mereka diprediksikan masih mempunyai subjective well-being yang tinggi. Dengan bantuan fungsi palliative dari ideologinya,mereka mampu menghadapi ketidaksetaraan sehingga mereka lebih siap menerima akibat negatif dari ketidaksetaraan (Jost, 2002). Demikian juga pada buruh outsourcing , mempunyai ideology yang membenarkan system (system justifying belief (SJB), belief in a just world (BJW) dan ideologi konservatif ) diprediksikan dapat membantu subjective well being mereka. Tinjauan Literatur Menurut teori sistem justifikasi, ada suatu dorongan ideologis untuk mempertahankan status quo dan mengakui keberadaan sistem sosial sehingga perbedaan status sosial dianggap suatu yang sah dan adil. Motif menjustifikasi system tersebut merupakan suatu mekanisme adaptif yang secara psikologis akan membantu individu mengatasi ancamanancaman yang diarahkan dari sistem sosial yang tidak adil, tidak sah dan tidak stabil. Melalui proses kognitif dan motivational individu akan berusaha mempertahankan bahkan menguatkan aspek-aspek pada sistem dan menghalangi usaha-usaha yang mengganti sistem (Jost, 2009). Sehingga individu akan melihat sistem, otoritas dan perbedaan yang ada diantara kelompok dan individu sebagai suatu yang sah dan penting (Jost et.al 2002). Berlandaskan teori disonansi kognitif, Jost dkk (2003) mengajukan konsep disonansi ideologi sebagai motif untuk menjustifikasi status quo. Asumsinya, dalam konteks
ketidakadilan sosial, anggota-anggota kelompok status ekonomi rendah mengalami disonansi antara dua kondisi yang bertentangan. Di satu sisi mereka percaya kalau sistem meletakkan diri (dan kelompok mereka) pada suatu kondisi yang tidak menguntungkan. Namun di sisi lain, mereka beranggapan kalau diri dan kelompok mereka berkontribusi pada stabilitas sistem. Membuat perubahan untuk membuat sistem lebih adil tanpa ketidaksetaraan lebih sulit sehingga lebih mendorong individu melakukan penilaian kognitif dengan merasionalisasi. Untuk meredakan disonansi tersebut, mereka diasumsikan akan lebih mempertahankan sistem yang ada sekaligus membenarkannya sebagai sistem yang baik, adil dan sah (Jost, Banaji dan Nosek, 2004). Individu pada kelompok status ekonomi rendah akan mengurangi kondisi disonansi dengan mendukung system justifying belief yang membenarkan dan merasionalisasi keberadaan sistem. Dalam hal ini system justifying belief berfungsi sebagai ideologi paliatif yang membantu individu merasa lebih baik, mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakberuntungannya dengan merasionalisasi status quo (Jost, 2002). Beberapa penelitian menemukan hubungan positif antara system justifying belief dengan psychological well-being pada anggota kelompok status ekonomi rendah sepanjang mereka tidak mengidentifikasikan diri secara tinggi pada kelompok mereka (O’Brien dan Major,2005). System justifying belief juga mempunyai hubungan dengan peningkatan motivasi dan performance dan menurunkan stress individu dalam menghadapi tugas-tugas (Tomaka & Bascovich,1994), mempunyai aspirasi dan tujuan hidup yang lebih tinggi (Mirels & Darland, 1990) lebih mudah beradaptasi pada situasi. Ditemukan juga hubungan system-justifying belief dengan tingginya kepuasan personal dengan meningkatnya afek positif dan menurunnya afek negatif. Misalnya orang miskin yang menyalahkan diri mereka sendiri atas kemiskinan yang dialaminya, mempunyai emosi yang lebih positif, kurang merasa bersalah dan lebih puas dibanding orang miskin yang menyalahkan orang lain atau system masyarakat atas kemiskinan yang dialaminya (Lerner, 1980; Major, 1994; Wakslak, Jost, Tyler & Chen, 2007 dalam Napier & Jost, 2008 dan Napier dkk, 2006). Hal ini merujuk pada fungsi paliatif dari system justifying belief yang dapat memberikan penjelasan bahwa suatu ideologi dapat menjadi buffer dalam menghadapi suatu kondisi ketidaksetaraan (Napier & Jost, 2008). Dengan kata lain, system justifying belief akan melindungi individu
sehingga dapat lebih menurunkan emotional distress seseorang
(Wakslak, Jost, Tyler & Chen, 2007). Pengurangan emotional distress tersebut akan membuat individu baik secara aktif maupun pasif membatasi sumber-sumber distress yang berarti akan kembali menerima ketidaksetaraan (Lerner, 1980; Walster, 1973 dalam Wakslak et al., 2007). . Individu yang mempunyai system justifying belief tidak hanya menerima begitu saja ketidaksetaraan yang ada di masyarakat, tetapi ada suatu motivasi untuk melihat bahwa ketidaksetaraan tersebut adalah suatu aturan dan sistem yang sah (Napier & Jost, 2008). Dengan mendukung system justifying belief akan membuat seseorang merasa lebih baik dalam menghadapi ketidaksetaraan beserta akibat-akibatnya (Wakslak et al., 2007). Belief in a just world merupakan suatu keyakinan bahwa dunia merupakan suatu tempat yang adil dimana seseorang mendapatkan sesuatu yang sepatutnya. “A just world is on in which people get what they deserve” (Lerner, 1980). Dalam belief in a just world diyakini bahwa ada kesesuaian antara apa yang dilakukan seseorang dengan apa yang akan terjadi padanya. Keyakinan tersebut akan membantu individu melakukan komitmen terhadap tujuan hidupnya dan berperilaku sehari-hari sesuai dengan aturan sosial yang ada (Dalbert, 2001). Individu yang mendukung kuat belief in a just world akan mempunyai persepsi lebih positif terhadap orang lain dibandingkan individu dengan belief in a just world yang lemah, mempunyai keyakinan bahwa mereka hidup dalam dunia yang adil sehingga mereka dapat melalui kehidupan sehari-harinya dengan yakin, mempunyai harapan dan percaya diri di masa yang akan datang. Meningkatnya persepsi terhadap keadilan pada individu dengan belief in a just world yang tinggi
akan berakibat pada tindakan membenarkan (justifikasi) situasi dan
mempertahankan status quo. Hal tersebut diperjelas oleh Dittmar dan Ditkinson (1993) yang mengkaji literatur-literatur yang menonjol pada era 1980-an dan menyimpulkan bahwa orang-orang yang menganut belief in a just world akan mendukung status quo. Para penganut ideologi ini percaya bahwa orang-orang layak menerima apapun keadaan mereka karena mereka sendirilah yang membuat keadaan tersebut terjadi. Mereka yang sangat meyakini dunia itu adil akan melihat ketidakberuntungan sebagai konsekuensi atas perbuatan yang bersangkutan. Sehingga individu tersebut kurang merasakan adanya
diskriminasi. Individu mengakui bahwa mendapatkan pendapatan (outcome) yang sedikit dan berbeda bukanlah suatu bentuk diskriminasi (Jost, 2009). Dalam kaitannya dengan system justifying belief, sejumlah penelitian memberikan bukti bahwa belief in a just world memberi sumbangan dalam membenarkan (justifkasi) status quo.. Individu dengan belief in a just world yang tinggi akan mempersepsi keadaan yang ada sebagai sesuatu yang adil karena segala sesuatu layak diperoleh (deserve). Dalam fungsi paliatifnya, belief in a just world diyakini mampu membantu individu memahami ketidaksetaraan beserta konsekuensinya. Penelitian Taylor & Brown, 1988 (dalam Dalbert dkk 2001) menemukan bahwa believe in a just world dapat dipandang sebagai positive illusion yang mendukung psychological well-being. Beberapa studi juga menemukan hubungan antara belief in a just a world dengan indikator dari well-being seperti kepuasan dan suasana hati yang positif. Individu yang mendukung belief in just a world akan lebih percaya diri dan lebih tahan terhadap situasi yang penuh ketegangan sehingga mudah beradaptasi (Dalbert, 1996; Tomaka & Blascovic, 1994; dalam Dalbert dkk, 2001), lebih mempunyai suasana hati yang positif dan kehidupan yang lebih bahagia. Individu yang meyakini belief in a just world tidak ingin mengubah dunia sehingga individu tersebut lebih mempunyai sikap politik yang konservatif dan lebih memilih partai politik yang well-establised daripada partai oposisi (Dalbert, Lpkus, Sallay & Goch, 2001). Definisi konservatif menurut McDonald (2004) adalah nilai dan sikap terhadap perubahan dalam rangka mempertahankan aturan. Sedangkan menurut Jost dan Hunyady (2005) ideologi konservatif merupakan suatu bentuk umum dari system justiication. Karena dengan memihak pada hal yang tradisionaldan tidak ingin mengubah system, sama halnya dengan secara nyata menunjukkan sikap system-justifying. Hal ini dipertegas oleh Haidt dan Graham (dalam Jost, 2009) yang menyebut sikap system-justifying lebih sesuai dengan perspektif konservatif daripada perspektif liberal karena sikap tersebut berada dalam garis authoritarian. Rasionalisasi ketidaksetaraan merupakan komponen inti dari ideologi konservatif (Napier & Jost, 2008). Dengan fungsi palliatifnya, ideologi konservatif akan membantu individu
untuk merasionalisasi status quo sehingga merasa lebih baik dalam menghadapi ketidaksetaraan ( Jost ,2002). Dalam proses rasionalisasi ketidaksetaraan tersebut, ideologi konservatif
akan membantu meringankan akibat-akibat negatif dari ketidaksetaraan
(fungsi palliative dan buffer). Sebaliknya ideologi liberal kurang dapat membantu meringankan karena lebih menekankan adanya kesetaraan dan menolak ketidaksetaraan. Akibatnya individu yang konservatif lebih menerima dan membenarkan perbedaan hasil (outcome) dan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang adil dan sah sehingga individu yang konservatif cenderung lebih bahagia dalam menghadapi ketidaksetaraan yang dialaminya ( Napier & Jost, 2008). Diener (1997 dalam Eid et all., 2008) mendefinisikan subjective well-being merupakan penilaian seseorang terhadap kehidupannya secara positif dan menyenangkan (Diener (1997 dalam Eid et all., 2008). Individu dengan subyektif well-being tinggi akan mengalami kepuasan hidup, bahagia dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti sedih atau marah. Tiga komponen utama subjective well-being adalah evaluasi kognitif kepuasan hidup, pengalaman afek positif dan pengalaman afek negatif (Diener, 1999). Karakteristik individu yang mempunyai subjective well-being tinggi adalah mereka yang mempunyai hubungan sosial yang positif dan
lebih
mempunyai emosi yang positif sebaliknya individu yang sering mengalami emosi yang negatif dan mempunyai hubungan sosial yang kurang baik cenderung mempunyai subjective well-being yang kurang tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi subjective well-being diantaranya penghasilan, hak asasi, ideologi, kesetaraan dan sebagainya. Penggunaan atribusi (eksternal atau internal) juga berpengaruh terhadap subjective well-being seseorang. Individu yang lebih memakai atribusi internal atas ketidakberuntungannya cenderung kurang emosional dibanding individu yang memakai atribusi eksternal atribusi. Pada kelompok status ekonomi rendah, individu yang menyalahkan diri mereka sendiri atas kemiskinan yang dialaminya akan merasakan emosi lebih positif dan kepuasan yang lebih besar dibanding individu yang menyalahkan orang lain maupun masyarakat atau sistem atas situasi yang dihadapinya (Kluegel & Smith, 1986 dalam Napier et al., 2006).
Metode Penelitian Responden penelitian berjumlah 321 orang buruh outsourcing pada dua buah perusahaan yang diambil dengan tehnik accidental non probability sampling. Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner yang mengukur subjective well-being (SWB), system jusfiying belief (SJB), belief in a just world (BJW) dan ideology konservatif (IK). Tiap item disusun dengan memberi enam kategori pilihan jawaban dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Alat ukur SWB terdiri dari dua aspek yaitu aspek kognitif (KW,α=0,841) dan aspek afektif (AF,α=0,779). Reliabilitas SJB (α=0,619), BJW (α=0,614) dan IK (α=0,614). Untuk melihat hubungan antar variabel digunakan analisi regresi. Hasil penelitian Dari 321 responden, 196 (60,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 125 (38,9) berjenis kelamin perempuan. Usia responden berkisar antara 18-26 tahun sebanyak 182 (56,69%); 27-35 tahun sebanyak 98 (30,54%) dan 36-45 tahun sebanyak 41 (12,77%). Tingkat pendidikan responden untuk tingkat SMP sebanyak 59 (18,38%); SMA sebanyak 253 (78,81%) dan diploma sebanyak 9 (2,81%).
Hasil regresi system justifying belief menunjukkan bahwa system justifying belief berpengaruh positif secara signifikan terhadap aspek kognitif subjective well-being (F(1,319)=4.070; R2=.013; β = .11 ; p = .05). Namun system justifying belief tidak berpengaruh secara signifikan terhadap afek positif subjective well-being (p = 0,090). Hasil regresi belief in a just world menunjukkan bahwa belief in a just world berpengaruh positif secara signifikan terhadap aspek kognitif subyektif well-being (F(1,319)=17.527; R2=.052; β = .23; p = .01) dan juga berpengaruh positif secara signifikan terhadap afek positif subjective well-being (F(1,319)=4.632; R2=.014; β = .12 ; p = .032). Hasil regresi ideology konservatif menunjukkan bahwa ideologi konservatif berpengaruh positif secara signifikan terhadap aspek kognitif subjective well-being (F(1,319)=16.842; R2=.050; β = .22 ; p = .01) serta berpengaruh positif secara signifikan terhadap afek positif subjective well-being (F(1,319)=7.241; R2=.022; β = .15 ; p = .008).
Secara bersama-sama, seluruh variabel bebas dalam penelitian ini dapat menerangkan sekitar 10% varians dari variasi yang terjadi pada nilai aspek kognitif subjective well being (R2 = .10, p < .01). serta dapat menerangkan sekitar 3,3% varians dari variasi yang terjadi pada nilai afek positif subjective well being (R2 = .033, p < .01). Walaupun sumbangan varians ini tidak terlalu besar, tetapi karena signifikan, hubungan dan pengaruh antar variabel-variabel penelitian tetap menjadi penting. Diskusi Dari hasil uji korelasi menunjukkan bahwa ketiga ideologi (system justifying belief, belief in a just world dan ideologi konservatif) mempunyai korelasi yang signifikan dengan aspek kognitif subjective well-being. Dan hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa ketiga ideologi tersebut merupakan prediktor subjective well-being (aspek kognitif). Ketiganya secara bersama-sama menyumbangkan sekitar 10 persen penjelasan mengenai varians pada subjective well-being. Selain itu uji korelasi dan hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa belief in a just world dan ideologi konservatif mempunyai korelasi positif dan signifikan terhadap afek positif subjective well-being. Keduanya secara bersama-sama menyumbangkan sekitar 3,3 persen penjelasan mengenai varians pada subjective well-being. Dengan kata lain ketiga ideologi tersebut dapat berpengaruh terhadap subjective well-being seseorang. Semakin tinggi keyakinan seseorang terhadap ideologi tersebut semakin tinggi pula subjective well-beingnya. Hal ini merujuk pada fungsi paliatif dari ketiga ideologi tersebut, bahwa ideologi tersebut membantu meringankan dan menjadi buffer (terutama bagi kelompok tak beruntung) dalam menghadapi ketidaksetaraan. Ideologi-ideologi tersebut akan mengarahkan individu untuk menerima ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang sah dan adil. Pada akhirnya individu akan lebih siap menghadapi pengaruh negatif dari ketidaksetaraan sehingga tetap mempunyai subjective well-being walaupun mereka pada kondisi yang tidak diuntungkan oleh sistem. Besarnya sumbangan varians total yang hanya sekitar 10 persen terhadap subjective wellbeing dapat diartikan bahwa masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi pengukuran subjective well-being seseorang. Hasil penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa penghasilan, pengalaman emosi, harga diri, hak asasi, dan
sebagainya dapat mempengaruhi subjective well-being. Beberapa penelitan ada yang menemukan korelasi positif antara uang (penghasilan) dengan subjective well-being dan sebaliknya ada penelitian yang menemukan bahwa uang tidak berkorelasi dengan subjective well-being (Diener & Oishi,2003; Farid & Lazarus, 2005; Eid & Larsen, 2008). Saran Keterbatasan instrumen ideologi yang digunakan merupakan alat ukur adaptasi yang belum melewati serangkaian uji coba dalam setting budaya Indonesia dapat menimbulkan bias yang mungkin berpengaruh terhadap analisis data beserta interpretasinya sehingga diperlukan serangkaian uji coba untuk mengembangkan instrumen ideologi yang lebih reliabel dan sesuai dengan kultur budaya Indonesia. Perlu untuk memasukkan variabel kepribadian untuk mengetahui lebih lanjut penilaian aspek afektif subjective well-being dan mencari variabel mediator atau moderator yang dapat memperkuat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Akhitnya,dengan menggunakan sampel yang lebih besar dan dengan berbagai macam variabel tambahan diharapkan dapat membuat sebuah model teoritik untuk menerangkan lebih lanjut hubungan ideologi dengan subjective wellbeing. Daftar Pustaka Canover, P. J. & Feldman, S. (2004). The origins and meaning of liberal/ conservative self-identification. Political Psychology. Edited by Jost, J. T. & Sidanius, J. New York: Psychology Press. Cosley, B.J., & McCoy, S.K., (2008)., Is ideology palliative? priming meritrocracy and psychological well-being in the face of inequality. American Psychological Association, Convention Presentation. Dalbert, C. (2001). The justice motive as a personal resource. Dealing with challenges and critical life events. New York: Kluwer Academic/Plenum. Dalbert, C., Lipkus, I. M., Sallay, H. & Goch, I. (2001). A just and unjust world: Structure and validity of different world beliefs. Personality and Individual Differences, 30, 561577. Diener, E. Oishi, S. & Lucas, R. (2003) Culture, personality and subjective well-being. Annual Review of Psychology, 54, 403-425. Diener,E., Suh,E., Lucas, R. & Smith, H. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302.
Ditmar, H., & Ditkinson, J. (1993). The perceived relationship between the belief in a just world and sociopolitical ideology. Social Justice Research, 6(3), 232-254 Duckitt, J. & Fisher, K (2003). The impact of social threat on worldview. Eid, L. & Larsen, Randy. (2008). The Science of Subjective Well-Being. New York, Guilford Press. Farid, M & Lazarus, H. (2008). Subjective well-being in rich and poor country. Journal of Management Development ,27 (10), 341-365 Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford: Stanford University Press. Hafer, C.L., & Correy, B.L., (1999)., Mediators of relation between beliefs in a just world and emotional responses to negative outcomes. Social Justice Research ,12(3),342-365. Henry, P.J., & Saul, A., (2006). The development of system justification in the developing world. Social Justice Research ,19(3) 365-378 Introduction, (7th ed). Massachusetts: Allyn and Bacon. Jost, J.T, & Banaji, M.R. (1994). The role of stereotyping in system justification and production of false consciousness. British Journal of Social Psychology, 33, 1-27 Jost, J.T. (1995). Negative illusion: conceptual clarification and psychological evidence concerning false consciousness. Political Psychological, 16, 397-424. Jost, J.T. (2006) The end of the end of ideology. American Psychologist, 61(70), 651-670 Jost, J.T., & Banaji, M.R. (1994). The role of stereotyping in system justification and the production of false consciousness. British Journal of Social Psychology, 33, 1-27. Jost, J.T., & Hunyady, O. (2002). The psychology of system justification and the palliative function of ideology. European Review of Social Psychology, 13, 111-153. Jost, J.T., & Thompson, E.P. (2000) Group-based dominance and opposition to equality as independent predictors of self esteem, ethnocentrism, and social policy attitutudes among African Americans and European Americans. Journal of Experimental Social Psychology,36, 209-232. Jost, J.T., Banaji, M.R., Nosek, B.A.. (2004). A decade of system justification theory: accumulated evidence of conscious and unconscious bolstering of status quo, Political Psychology, 25(6), 881-919. Jost, J.T., Glaser, J., Kruglanski, A.W., & Sulloway, F. (2003). Exceptions that prove the rule: Using a theory and political of motivated social cognition to account for ideological incongruities and political anomalies. Psychological Bulletin, 129, 383-393.
Jost, J.T., Kay, C.A., Thorisdottir, H. (2009). Social and psychological bases of ideology and system justification. Series in Political Psychology. Oxford University Press. Jost, J.T., Kivetz, Y., & Rubini, M. (2005).System-justifying functions of complementary regional and ethnic stereotypes: cross-national evidence. Social Justice Research, 18(3) 303-335 Jost, J.T., Pelham, B.W., & Carvallo, M. (2002). Non conscious forms of system justification: cognitive, affective, and behavioral preferences for higher status groups. Journal of Experimental Social Psychology, 38, 586-602. Jost, J.T., Pelham, B.W., Sheldon, O., & Sullivan, B.N. (2003). Social inequality and the reduction of ideological dissonance on behalf of the system: Evidence of enhanced system justification among disadvantaged. European Journal of Social Psychology, 33, 13-36. Kay, A.C., & Jost, J.T., (2003). Complementary justice: effects of “poor but happy” and “poor but honest” stereotype exemplars an system justification and implicit activation of the justice motive. Journal of Personality and Social Psychology,85(5)352-365 Kay, A.C., Jimenez, M.C., Jost, J.T.(2002). Sour grapes, sweet lemons, and the anticipatory rationalization of status quo. Personality and Social Psychology Bulletin 28(2) Kay, A.C., Jost, J.T., & Young, S.,(2005). Victim derogation and victim enhancement as alternate routes to system justification. American Psychological Society ,16(3),240-246. Korys, P. (1999). Conservatism as an answer to liberalism in politic: The case of contemporary Poland. IWM junior visiting fellows conferences, Vol VIII/5, by the author. Korys, P. (1999). Conservatism as an answer to liberalism in politic: The case of contemporary Poland. IWM junior visiting fellows conferences, Vol VIII/5, by the author. Lau, G.P., Kay, A.C., & Spencer, S.J. (2008). Loving those who justify inequality. Association for Psychological Science Vo.19.No.1 Lerner, M. J. (1980). The Belief in a Just World: A Fundamental Delusion. New york: Plenium Press. Lipkus, I., (1991). The construction and preliminary validation of global belief in a just world scale and the exploratory analysis of the multidimensional belief in a just world scale. Personality and Individual Differences, 12, 1171-1178. Lucas, T., Alexander, S., Firestone, I., & Lebreton, J.M. (2008). Just world beliefs, perceived stress, and health behavior: The impact of procedurally just world. Psychology and Health Vol.23 No.7 Lye, J.(1997). Ideology: a brief guide. http://www.brocku.ca/english/jlye/ideology. html.
Meutia (2006). Reduksi disonansi ideologis sebagai motif untuk menjustifikasi status quo, Thesis Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Mc.Coy, S.K., & Major, B. (2007). Priming meritocracy and the psychological justification of inequality. Journal of Experimental Social Psychology, 43,341-351. McDonald (2004). How http://www.libertyhaven.com.
conservatism
guided
America’s
founding.
Mirels, H.L., & Darland, D.M.(1990).The protestant ethnic and self character rization. Personality and Individual Differences, 11, 895-898. Montero, M. (1990). Ideology and psychosocial research in third world contexts. Journal of Social Issues, 46, 3, 43-55. Napier, J.L. & Jost, J.T. (2008). Why are conservatives happier than liberals? Association for Psychological Science Vol 19 No.6. Napier, J.L., Mandisodza, A.N., Andersen, S.M., Jost, J.T. (2006). System justification in responding to the poor and displaced in the aftermath of hurricane Katrina, Analyses of Social Issues and Public Policy, Vol.6, No.1. O’Brien, L.T., & Major, B.(2005).Systems justifying-beliefs and psychological well-being: the roles of group status and identity. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol.31, No.12. Oldmeadow, J., & Fiske, S.T., (2007). System-justifying ideologies moderate status = competence stereotypes: roles for belief in a just world and social dominance orientation. European Journal of Social Psychology, 37, 1135-1148. Pratto, F., Liu, J. H., Levin, S., Sidanius, J., Shih, M., Bachrach, H. & Hegarty, P. (2000). Social dominance orientation and legitimization of inequality across cultures. Journal of Cross-Cultural Psychology, 31, 3, 369-409. Sidanius, J., & Pratto, F., (1999). Social dominance; an intergroup theory of social hierarchy and oppression, New York: Cambridge University Press. Tajfel, H., & Turner, J. (1979), An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Michael A.Hogg & Dominic Abrams (Eds). Key Readings in Social Psychology: Intergroup Relations. Philadelphia: Psychology Press. Tomaka, J., & Blascovich, J. (1994). Effects of justice belief and cognitive appraisal of and subjective psychological, and behavioral responses to potensial stress. Journal of Personality and Social Psychology, 67, 732-740 Wakslak, C.J., Jost, J.T., Tyler, T.R., & Chen E.S. (2007). Moral outrage mediates the dampening effect of system justification on support redistributive social policies. Association for Psychological Science ,18(3),267-274.
Zhang, J., Yang, Y., & Wang, H., (2009). Measuring subjective well-being: A comparison of China and the USA. Asian Journal of Social Psychology, 12.221-225