Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015
IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET Kholidah1,*, Rasdewita Kesumaningrum2,, Judhistira Aria Utama1 1Departemen
Pendidikan Fisika,Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 299 Bandung 40154 2Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173
Email:
[email protected] [email protected] [email protected] ABSTRAK
Kejadian badai geomagnet dapat diidentifikasi dengan menggunakan indikator indeks Dst yang menunjukan gangguan medan geomagnet pada komponen H. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomen penting dalam sistem cuaca antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Cuaca antariksa sangat dipengaruhi oleh aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME, dan flare yang biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Data yang ditinjau yaitu data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi yaitu sebanyak 60 data. Hasil analisis menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hal ini menunjukan bahwa luas daerah aktif memiliki keterkaitan yang kecil terhadap intensitas badai geomagnet. Kata Kunci
: Badai Geomagnet Kuat, Badai Geomagnet Sangat Kuat, CME, Flare, Indeks Dst, Luas Daerah Aktif.
IDENTIFICATION THE WIDE OF ACTIVE REGION ON THE SUN CAUSE GEOMAGNETIC STORM EVENT ABSTACT
Geomagnetic storm event can identified using Dst Index as indicator that show the geomagnetic field disturbance component H. Geomagnetic storm is one of
*Penanggung Jawab
Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet
the important phenomena in space weather because it is the impact of the SunEarth. Space weather is influenced by solar activity such as sunspot, CME and flares are usually derived from the active region on the Sun. Based on the result of analysis that has been done with Dst index < -100 nT indicator during the solar cycle 23 and 24 , gained as much as 104 geomagnetic storm and about 75.9 % are caused by CME are generally to the Halo and about 92.4% % of this CME is caused by flares above the active region. The data is to be reviewed is data geomagnetic storm event with Dst index < -100 nT is caused by the CME that caused by flares above the active region as many as 60 events. Based of analysis showed that the wide of active region causes of strong geomagnetic storm and very strong geomagnetic storm during solar cycle 23 and 24 generated is in the category of narrow and medium . Active region with narrow and medium able to produce a geomagnetic storm intensity greather than the intensity of geomagnetic storms with wide breadth. Thus, the wide of active region have little relevance to the intensity of geomagnetic storm. Keywords : Strong Geomagnetic Storms, Very Strong Geomagnetic Storms, CME, Flares, Dst Index, The Wide of Active Region.
PENDAHULUAN Matahari merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi lingkungan Bumi. Aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME, dan flare dapat menjadi penyebab perubahan cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan kondisi di Matahari dan di ruang antarplanet , magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, kondisi dan kemampuan sistem tehnologi yang berbasis antariksa seperti misalnya sistem satelit, penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS (Global Positioning System) bahkan dapat mempengaruhi keadaan iklim di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012). Salah satu fenomena terpenting dalam sistem cuaca antariksa yaitu kejadian badai geomagnet yang merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Badai geomagnet merupakan gangguan pada magnetosfer Bumi yang disebabkan oleh lontaran partikel-partikel yang berasal dari Matahari dan medan magnet Matahari yang dibawa oleh angin Matahari yang mengarah ke selatan Bumi sehingga dapat menyebabkan terjadinya rekoneksi yang menyebabkan melemahnya medan magnet Bumi. Kecepatan angin Matahari dapat lebih
tinggi dari biasanya setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari (Santoso, 2013).. Lubang korona (Coronal Holes) muncul sebagai daerah gelap di korona Matahari yang berkaitan dengan garis medan magnet yang terbuka.. Lubang korona dapat menjadi sumber angin Matahari berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya CIR (Corotating Interaction Region) yang bisa mempercepat partikel dan bisa menimbulkan badai geomagnet. Coronal Mass Ejection (CME) merupakan material yang dilepaskan di korona Matahari berupa plasma dan mengandung medan magnet. Saat terjadi CME, sekitar 2 × 1011 kg s.d 4 × 1013 kg materi korona terlontar ke angkasa dengan energi sebesar 1022 Joule s.d 6 × 1024 Joule dengan rata- rata kecepatannya mencapai 350 km/s. CME ini dapat mencapai Bumi rata-rata 2 hari s.d 3 hari (Martiningrum, dkk. 2012). CME ini biasanya terlihat sebagai CME Halo (Howard, dkk dalam Youssef, 2012). Yatini (2011) mengungkapkan bahwa CME Halo dan flare kuat yang berada pada posisi geoefektif akan berdampak pada Bumi. Flare yang mengakibatkan badai geomagnet umumnya berasal dari bagian barat Matahari (Yatini, dkk. 2008).
Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 Flare merupakan suatu ledakan di Matahari yang melontarkan partikel berenergi tinggi yang disebabkan oleh peristiwa rekoneksi magnet (magnetic reconnection) (Yatini, dkk, 2010). Rekoneksi magnet adalah penyusunan kembali garis-garis gaya magnet ketika dua medan magnet berlawanan arah dibawa bersama-sama. Penyusunan kembali ini diikuti oleh pelepasan energi secara mendadak yang tersimpan di dalam medan magnet dengan arah berlawanan. Aktivitas di Matahari seperti misalnya CME maupun flare biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari, sehingga pengamatan terhadap daerah aktif di Matahari sangat penting dilakukan terutama untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk yang dapat diakibatkan oleh aktivitasnya. Pada penelitian ini, variabel daerah aktif yang akan ditinjau yaitu luas daerah aktif, sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu indeks Dst. Indeks Dst (Disturbance Storm Time) merupakan suatu indeks yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen H (arah utaraselatan geomagnet). Saat terjadi badai geomagnet, indikasinya adalah penurunan atau pelemahan kuat medan magnet yang mengarah ke utara. Semakin negatif harga Dst mengindikasikan semakin kuat badai geomagnet tersebut. Gonzales & Tsurutani, Gonzalez, dkk. (dalam Santoso, dkk. 2008) mengklasifikasikan intensitas badai geomagnet menjadi empat kategori yaitu Lemah (-30 > Dst ≥ −50), Sedang (-50 > Dst ≥ −100), Kuat (-100 > Dst ≥ −200), dan Sangat Kuat (Dst < -200).
Pada penelitian ini, data yang ditinjau yaitu kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014). METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu : • Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database
•
•
•
•
yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://wdc.kugi.kyotouac.jp/dst_final/Index.html. Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://cdaw.gsfc.nasa. gov/CME_list/ untuk data CME sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus CME List yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://sidc.oma.be/cactus/ catalog.php untuk data CME tahun 2014. Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather yang tersedia online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/ pub/warehouse/ dengan kode flare yaitu XRA dan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Data lubang korona diperoleh dari http://dbserv.sinp.msu.ru/Apev/ dan dari Solar Monitor yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://www.solarmonito r.org/ Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather yang tersedia online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/.
Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat dan sangat dengan melakukan identifikasi terhadap indeks Dst. Hal yang perlu diperhatikan untuk data indeks Dst yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum). Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut . Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari . Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan rata-rata CME tiba di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012). Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai
Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan
Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet
pengklasifikasian terhadap luas daerah aktif. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan distribusi kejadian flare penyebab terjadinya badai geomagnet. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil dari 10-2 ergs cm-2s-1 memiliki
kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionths of a Solar Hemisphere (MH) s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-X 10-2 ergs cm-2s-1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian dibuat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas dan hasil pengklasifikasian ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif Klasifikasi Keluasan Luas Daerah Aktif Sempit L < 400 Sedang 400 ≤ 𝐿 < 1000 Luas L ≥ 1000 1.20E-01 1.00E-01 Flare Kelas B Flare Kelas C Flare Kelas M Flare Kelas X
8.00E-02 6.00E-02 4.00E-02 2.00E-02 2000
1500
1000
500
0
0.00E+00
2500
Intensitas Flare
mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME. Jika teridentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif dan luas daerah aktif. Sedangkan jika teridentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME, maka data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME. Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari yaitu antara 300 km/s s.d 800 km/s (solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html). Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet. Pada penelitian ini, data yang digunakan yaitu data kejadian badai geomagnet yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi. Pada penelitian ini, dilakukan
Keluasan Daerah Aktif
Gambar 1.Distribusi flare penyebab badai geomagnet terhadap luas daerah aktif
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
2.
Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Jumlah Kejadian 1 5 12 5 12 17 14 7 7 10 1 0 0 0 0 3 7 2 1 104
Jika hasil pada Tabel 2 kita rajah dalam sebuah grafik maka akan dapat ditunjukkan pada Gambar 2.
20 15 10 5 0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah kejadian
Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator nilai Indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke23 (1996 s.d 2007) dan siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dengan distribusi kejadian sepanjang siklus ke23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang siklus ke-24 dengan distribusi kejadian tiap tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tahun
Gambar 2. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24 Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 2 diketahui bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari 100 nT paling banyak pada siklus aktivitas Matahari ke-23 terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 17 kejadian, sedangkan pada siklus aktivitas Matahari ke-24 terjadi pada tahun 2012 sebanyak 7 kejadian. Telah diketahui bahwa aktivitas Matahari mencapai puncak maksimum pada siklus ke-23 yaitu terjadi pada tahun 2000 (Saroso, 2010) dan pada siklus ke-24 terjadi pada tahun 2014 (Maspupu, 2011). Dengan hasil yang diperoleh ditunjukan bahwa kejadian badai geomagnet tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan fase minimum dari siklus Matahari. Simpulan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Saroso (2010) yang membahas tentang karakteristik kejadian badai geomagnet besar dalam siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang telah dilakukan, dari 104 kejadian, 79 diantaranya atau sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME , 14 diantaranya atau sekitar 13,5 % disebabkan oleh lubang korona dan 11 diantaranya atau sekitar 10,6 % tidak diketahui sumbernya seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Tabel 3. Penyebab Terjadinya Badai Geomagnet Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24
No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Kuat Sumber Lubang CME Tidak Korona Diketahui 0 1 0 2 0 3 5 2 5 2 2 1 12 0 0 15 1 1 11 3 0 6 1 0 5 2 0 7 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 7 0 0 2 0 0 1 0 0 79 14 11
Dari Tabel 3 diperoleh bahwa sumber di Matahari yang menghasilkan badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT umumnya disebabkan oleh CME sebanyak 79 kejadian atau sekitar 75,9 %. Data CME yang diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog diketahui bahwa sebesar 73,4 % CME penyebab badai geomagnet umumnya merupakan CME Halo, sebesar 26,6 % merupakan CME yang memiliki sudut posisi lebih besar dari 180 derajat, hal ini menjelaskan bahwa posisi CME yang menyebabkan badai ini umumnya terletak di bagian barat Matahari. Saat Matahari berotasi, medan magnet Matahari menjadi melengkung ke sisi barat Matahari sehingga sumber gangguan yang kemungkinan besar mengenai Bumi berasal dari sisi barat. Dari 79 kejadian yang disebabkan oleh CME, 73 kejadian atau sekitar 92,4 % CME dipicu oleh flare dan 6 kejadian atau sekitar 7,6 % CME dipicu oleh erupsi filamen. Diperoleh
bahwa Prosentase kejadian CME lebih tinggi disebabkan oleh flare dibandingkan oleh erupsi filamen, hal ini karena jumlah kejadian erupsi filamen lebih sedikit (filamen yang erupsi lebih jarang) daripada jumlah kejadian flare. Pada penelitian ini, terdapat 13 data atau sekitar 17.8 % kejadian CME yang dipicu oleh flare yang tidak teridentifikasi daerah aktifnya seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Frekuensi Pemicu Timbulnya CME Pemicu Terjadinya CME
No
Waktu Terjadinya CME
1
Flare Daerah Aktif Teridentifi kasi
Daerah Aktif Tidak Teridentifik asi
Erupsi Filamen
1996
0
0
0
2
1997
2
0
0
3
1998
2
2
1
4
1999
1
1
0
5
2000
8
4
0
6
2001
9
4
2
7
2002
8
2
1
8
2003
6
0
0
9
2004
4
0
1
10
2005
6
0
1
11
2006
1
0
0
12
2007
0
0
0
13
2008
0
0
0
14
2009
0
0
0
15
2010
0
0
0
16
2011
3
0
0
17
2012
7
0
0
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015
Waktu Terjadinya CME
18 19
Flare
Erupsi Filamen
Daerah Aktif Teridentifi kasi
Daerah Aktif Tidak Teridentifik asi
2013
2
0
0
2014
1
0
0
60
13
6
Total
Dari Tabel 4 dapat terlihat bahwa umumnya sebesar 82,2 % flare terjadi di atas daerah aktif sehingga dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet. Hal ini dapat dijelaskan karena daerah aktif di Matahari dapat menghasilkan flare yang dapat memicu terjadinya CME penyebab terjadinya badai geomagnet. Telah diketahui sebelumnya bahwa badai geomagnet dengan intensitas kuat umumnya disebabkan oleh CME yang dapat berpengaruh terhadap angin Matahari. Data yang digunakan hanya data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare dengan daerah aktif yang teridentifikasi yaitu sebanyak 60 data kejadian badai geomagnet.
Sesuai dengan tujuan awal yaitu mengidentifikasi luas daerah aktif yang menyebabkan terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke-23 dan ke-24, maka pada penelitian ini, keluasan daerah aktif diklasifikasikan seperti pada Tabel 1. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut diperoleh distribusi kejadian badai geomagnet tiap tahunnya berdasarkan klasifikasi keluasan yang ditunjukan pada Tabel 5. Tabel 5. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst Lebih Kecil dari 100 nT Berdasarkan Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Klasifikasi Keluasan Sempit 0 1 2 1 5 1 5 4 0 1 0 0 0 0 0 2 6 2 1 31
Sedang 0 1 0 0 3 6 2 1 2 3 1 0 0 0 0 1 0 0 0 20
Luas 0 0 0 0 0 2 1 1 2 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 9
Jika waktu terjadinya badai geomagnet pada Tabel 5 dirajah dalam bentuk grafik berdasarkan jumlah kemunculan pada keluasan daerah aktif , maka hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3. 7 6 5 4 3 2 1 0
Keluasan Sempit Keluasan Sedang Keluasan Luas 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
No
No
Jumlah kejadian
Pemicu Terjadinya CME
Tahun
Gambar
3.
Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan Indeks Dst Lebih Kecil dari -100 nT Berdasarkan Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif
Dari 60 kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT yang dipicu
Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa sekitar 56,5 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 21,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas.
Keluasan daerah aktif
2500
6 3
2000
14 6
Keluasan luas
1500
26 5
Keluasan sedang
1000
Kuat Sangat Kuat
Klasifikasi Keluasan Sempit Sedang Luas
Keluasan sempit
500
Intensitas Badai
-450 -400 -350 -300 -250 -200 -150 -100 -50 0
0
Tabel 6. Distribusi Luas Daerah Aktif Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Kuat dan Sangat Kuat
Hasil ini menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu kategori keluasan sempit, sedangkan untuk badai geomagnet sangat kuat tidak ada kategori keluasan yang menunjukan dominan namun terlihat bahwa kecenderungan luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu dalam kategori keluasan sempit dan sedang.. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluasan daerah aktif tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap intensitas badai geomagnet. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa daerah aktif dengan keluasan luas tidak selalu memberikan nilai indeks Dst yang lebih negatif dibandingkan nilai indeks Dst yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang.
Indeks Dst (nT)
oleh flare yang muncul di atas daerah aktif, diperoleh bahwa sekitar 51,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 33,3 % di sebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 15 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukan bahwa umumnya kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nT disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit. Berdasarkan pengklasifikasian Gonzales & Tsurutani, dan Gonzales, dkk, (dalam Santoso, dkk, 2008) diketahui bahwa badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT dapat dikategorikan menjadi badai geomagnet kuat dan badai geomagnet sangat kuat. Dari 60 data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nT, diperoleh 46 kejadian badai geomagnet masuk dalam kategori badai geomagnet kuat dan 14 kejadian badai geomagnet masuk dalam kategori badai geomagnet sangat kuat. Berdasarkan klasifikasi keluasan daerah aktif, maka diperoleh luas daerah aktif penyebab kejadian badai geomagnet kuat dan sangat kuat seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
Gambar 4. Hubungan Luas daerah aktif dengan Intensitas Badai Geomagnet Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan ke24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dengan distribusi kejadian sepanjang siklus ke-23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang siklus ke-24. Dari 104 kejadian, diperoleh sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015 Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Pada penelitian ini, data yang ditinjau yaitu data kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nT yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi sehingga data yang digunakan yaitu sebanyak 60 data. Dari hasil analisis yang telah dilakukan menunjukan bahwa sebesar 56,5 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13% disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 21,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hal ini menunjukan bahwa luas daerah aktif memiliki keterkaitan yang kecil terhadap intensitas badai geomagnet. DAFTAR PUSTAKA Catalogue of Space Storms. [Online]. Diakses dari : http://dbserv.sinp.msu.ru/Apev/
Maspupu, J. (2011). Prediksi untuk Siklus 24 Secara Numerik. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Penerapan MIPA .Bandung: LAPAN Martiningrum, D.R., Purwono, A., Nuraeni, F., Muhamad, J. (2012). Fenomena Cuaca Antariksa. Bandung: LAPAN Santoso, A., Habirun., Rachyany, S., Bangkit, H. (2008). Karakteristik Sudden Commencement dan Sudden Impulse di SPD Biak Periode 1992-2001. Jurnal Sains Dirgantara, 6 (1), hlm. 60-70. Saroso, S. (2010). Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, hlm.190194 SOHO-LASCO CME Catalog. [Online]. Diakses dari : http://cdaw.gsfc.nasa.gov/CME_list/ Solar Monitor. [Online]. Diakses dari : http://www.solarmonitor.org/ Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html Space Weather. [Online]. Diakses dari : ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/ World Data Center for Geomagnetism Kyoto. [Online]. Diakses dari : http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html Yatini, C.Y., Saroso, S., Sinambela, W., Nugroho, J.L., Suhandi., B. (2010). Modul Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah Atas. Bandung: LAPAN Youssef, M. (2012). On the relation between the CMEs and the solar flares. NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics, 1, hlm. 172– 178